Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 24

14 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 24


"Mudah-mudahan kami tidak lagi tergoda oleh kebutuhan-kebutuhan lahiriah yang berlebihan, sehingga kami justru telah terjerumus kedalam laku yang menyimpang dari tugas-tugas kami yang sebenarnya."
"Sebenarnya itu tergantung pada ketahanan jiwani Ki Demang, Ki Jagaya dan para bebahu. Godaan itu dapat saja datang kapan saja. Tetapi jika Ki demang dan para bebahu tetap pada landasan sikap yang mapan, maka godaan-godaan itu tidak akan berarti apa-apa."
Ki Demang menarik nafas dalam-dalam.
Hari itu Ki Demang, Ki Jagabaya dan bahkan kemudian menyusul beberapa bebahu kademangan Wirasari ikut sibuk dipenginapan itu. Mereka menunggui upacara penguburan sepuluh sosok mayat yang terbunuh dalam pertempuran semalam di halaman belakang penginapan itu.
Lewat tengah hari, maka kesibukan itu baru selesai. Kesepuluh sosok mayat orang-orang yang mengaku murid-murid dari perguruan Kedung Jati itu telah dikuburkan di kuburan tua diluar padukuhan induk kademangan Wirasari.
Ki Demang, Ki Jagabaya dan para bebahu kemudian telah minta diri. Bahkan Ki Jagabaya masih saja berulang kali minta maaf kepada Ki Citra Jati sekeluarga.
Di sore hari setelah semua pergi ke pakiwan untuk mandi dan berbenah diri, maka pemilik penginapan itu memerlukan berbincang beberapa saat dengan Ki Citra Jati. Namun kemudian pemilik penginapan itu-pun kembali kepada kesibukannya bersama para petugas di penginapan itu.
Menjelang senja, Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati, Glagah Putih dan Rara Wulan yang sudah dapat bangkit dari pembaringan karena darahnya yang sudah mampat lagi, duduk di lincak panjang di halaman pondok kecil tempat mereka menginap.
Sudah tidak nampak lagi bekas-bekas pertempuran semalam. Ceceran darah telah dibersihkan. Pohon-pohon perdupun telah dibenahi. Daun-daun di pepohonan yang layu dan kering seperti tersulut api telah dipotong.
"Keterangan orang yang bernama Carang Wregu itu sangat menarik perhatian, ayah," berkata Glagah Putih kemudian.
Rara Wulan-pun sudah mendengar pula dari Glagah Putih, apa yang dikatakan oleh orang mengaku bernama Carang Wregu yang dibunuh oleh kawan-kawannya sendiri untuk menghilangkan jejak. Namun orang itu ternyata masih sempat menghilangkan memberikan keterangan di saat-saat terakhirnya.
Ki Citra Jati mengangguk-angguk. Katanya, "Nampaknya Ki Saba Lintang sedang menyusun kekuatan, Glagah Putih."
"Ya ayah. Kakang Agung Sedayu harus segera mengetahuinya. Jika tiba-tiba tanpa disadari rumah kakang Agung Sedayu disergap, maka keadaannya akan sangat gawat."
"Jadi, apa rencanamu untuk mengatasinya Glagah Putih?"
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, "Kakang Agung Sedayu harus segera mengetahui, bahwa Ki Saba lintang akan datang untuk mengambil tongkat baja putih mbokayu Sekar Mirah."
Ki Citra Jati mengangguk-angguk. Katanya, "Sayang sekali, orang yang mengaku bernama Carang Wregu itu harus mati. Nampaknya ia banyak mengetahui rencana Ki Saba Lintang."
"Mungkin ia bukan orang yang penting, ayah. Tetapi orang itu bersama-sama dengan beberapa kawannya merupakan penghubung yang banyak mengenal orang-orang penting di lingkungannya. Orang itu bersama-sama dengan kelompoknya harus menghubungi Ki Lambung Jimat. Agaknya Ki Lambung Jimat adalah salah seorang yang akan diajak oleh Ki Saba Lintang untuk mengambil pasangan dari tongkat baja putih itu."
"Jika demikian," sahut Nyi Citra Jati, "kau masih mempunyai waktu. Agaknya Ki Saba Lintang akan menunggu kehadiran Ki Lambung Jimat."
"Ayah dan ibu," berkata Glagah Putih, "jika demikian, maka secepatnya aku harus kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. Mungkin aku memerlukan waktu tiga atau ampat hari perjalanan. Mudah-mudahan aku tidak terlambat."
"Glagah Putih," berkata Ki Citra Jati, "kau adalah anakku. Isterimu juga anakku. Karena itu, aku merasa ikut menjadi gelisah, bahwa keluargamu yang kau tinggalkan di Tanah Perdikan Menoreh akan mengalami tekanan yang tentu cukup berat. Ki Saba Lintang tentu akan mempersiapkannya dengan sebaik-baiknya."
"Serangan di rumah kami sudah pernah terjadi, ayah. Tetapi waktu itu kami dapat mempertahankan diri."
"Serangan terhadap Tanah Perdikan Menoreh maksudmu?"
"Bukan. Serangan langsung oleh beberapa orang berilmu tinggi terhadap rumah kakang Agung Sedayu. Tetapi mereka gagal. Cara lain-pun pernah ditempuh. Juga pernah ditempuh serangan atas Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi semuanya telah gagal. Seharusnya Ki Saba Lintang mau belajar dari pengalamannya."
"Ya. Ia tentu belajar dari pengalamannya. Kegagalan-kegagalan itu tidak akan pernah dilupakannya."
"Tetapi Ki Saba Lintang masih akan mencoba lagi."
"Ia tidak akan berhenti berusaha, ngger. Ia akan selalu mencoba sampai akhir hayatnya. Ia akan berhenti jika ia terbunuh di peperangan atau mati karena sebab lain."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam.
"Glagah Putih. Aku akan bertanya kepada ibumu, apakah ia juga ikan bertamu di Tanah Perdikan Menoreh."
"Ayah," desis Glagah Putih.
Nyi Citra Jati tersenyum. Katanya, "Aku baru akan bertanya kepada ayahmu. Apakah ayahmu ingin melihat-lihat keadaan Mataram sepeninggal Kangjeng Panembahan Senapati. Kemudian singgah di Tanah Perdikan Menoreh. Atau sebaliknya, melihat-lihat Tanah Perdikan Menoreh, kemudian singgah di Mataram."
Ki Citra Jati-pun tersenyum sambil mengangguk-angguk. Katanya, "Nah, kau dengar kata-kata ibumu?"
"Tetapi perjalanan ke Tanah Perdikan Menoreh adalah perjalanan yang panjang."
"Kami adalah petualang yang menjelajahi gunung dan ngarai."
"Tetapi bagaimana dengan adik-adik yang kita tinggalkan di padepokan?"
"Kita akan singgah di padepokan untuk minta diri kepada adik-adikmu. Biarlah adik-adikmu berada di padepokan untuk sementara. Di padepokan segala sesuatunya akan terpelihara. Mereka tidak akan diganggu oleh kakaknya, Srini. Sementara itu, latihan-latihan mereka-pun akan dapat berjalan dengan teratur. Mereka akan dibantu oleh suasana yang memungkinkan."
Glagah Putih tidak dapat menolak uluran tangan ayah dan ibu angkatnya itu. Apalagi mereka telah dengan ikhlas meningkatkan ilmu mereka. Bahkan Rara Wulan-pun telah mewarisi ilmu Nyi Citra Jati yang sangat tinggi.
Sambil memandang Rara Wulan, Glagah Putih-pun bertanya, "Bagaimana pendapatmu, Rara?"
"Aku menurut saja apa yang kakang katakan."
Glagah Putih menarik nafas panjang. Katanya, "Kami tentu akan sangat berterima kasih. Tetapi apakah dengan demikian kami tidak sangat merepotkan ayah dan ibu?"
"Aku ingin berkenalan dengan keluargamu yang sebenarnya, ngger."
"Jika ayah dan ibu menghendaki, kami justru akan sangat berterima kasih."
Nyi Citra Jati-pun kemudian berkata, "Dengan demikian, maka di hari tua ini, kami masih merasa ada artinya bagi sesama. Tanpa berbuat apa-apa, kami merasa bahwa hari-hari kami-pun seakan-akan sudah berhenti."
"Baiklah ayah dan ibu. Jika demikian, maka kita akan segera berangkat ke Tanah Perdikan. Bukankah kita tidak perlu benar-benar mencari orang yang bernama Lambung Jimat?"
"Tidak usah, ngger. Kecuali jika Ki Saba Lintang tidak sabar menunggu kedatangannya atau membatalkan niatnya untuk menghubunginya."
Glagah Putih mengangguk-angguk kecil. Katanya, "Sebenarnya aku merasa heran, bahwa Ki Saba Lintang mempunyai hubungan dengan sekian banyak orang berilmu tinggi. Tetapi nampaknya ia tidak mampu menyusun sebuah rencana yang matang sehingga usahanya dapat berhasil."
Ki Citra Jati mengangguk-angguk. Namun kemudian ia-pun berkata, "Mungkin Ki Saba Lintang memang tidak mampu menyusun rencana yang baik. Ia tidak mempunyai wibawa yang cukup untuk menentukan langkah mereka orang-orang berilmu tinggi, setelah mereka bergabung. Tetapi mungkin Ki Saba Lintang memang tidak ingin terlalu banyak orang yang sekaligus terlibat dalam setiap langkahnya. Semakin banyak orang yang terlibat, maka semakin banyak pula orang yang akan menuntut untuk ikut menikmati hasilnya."
"Ya ayah. Tetapi bukankah hasil terakhir dari usaha Ki Saba Lintang itu adalah sebatang tongkat?"
"Tongkat itu adalah lambang dari kekuasaan, Glagah Putih. Jika mereka berhasil mendapatkan tongkat itu, maka persoalannya tidak akan begitu saja selesai. Persoalan berikutnya yang timbul adalah, siapakah yang akan memiliki tongkat itu. Nah, semakin banyak orang yang terlibat, maka semakin keras benturan yang akan terjadi diantara mereka."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara Nyi Citra Jati-pun berkata, "Kedudukan akan mempunyai akibat kekuasaan, ngger. Sedangkan kekuasaan akan mempunyai akibat yang sangat luas. Karena itu, maka banyak orang yang mati-matian mengejar kedudukan untuk mendapatkan kekuasaan."
Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Sementara Nyi Citra Jati melanjutkannya, "Tentu saja kekuasaan dalam arti yang muram, karena ada kekuasaan yang pengejawantahannya berbeda."
"Ya, ibu." "Ada kekuasaan yang menindas mereka yang dikuasai. Tetapi ada kekuasaan yang mengabdi kepada mereka yang dikuasai."
"Ya, ibu." "Nah, kita tentu dapat membaca. Jika kawan-kawan Ki Saba Lintang nanti akan berebut kedudukan, maka jenis kekuasaan manakah yang mereka inginkan."
Glagah Putih mengangguk-angguk sambil menjawab, "Ya, ibu."
Sementara itu Rara Wulan-pun mendengarkan pembicaraan itu dengan sungguh-sungguh.
Demikianlah, maka akhirnya mereka sepakat untuk berangkat meninggalkan Wirasari esok pagi. Malam nanti mereka masih sempat untuk minta diri kepada pemilik penginapan itu serta Ki Demang Wirasari serta para bebahu.
Ketika mereka menemui Ki Demang Wirasari di rumahnya, maka Ki Citra Jati dan keluarganya itu disambut dengan akrab. Mereka-pun telah diperkenalkan pula dengan Nyi Demang yang agaknya tidak banyak mengetahui tugas-tugas suaminya. Agaknya Nyi Demang-pun tidak tahu. bahwa selama ini suaminya telah melakukan tugasnya tidak menurut garis-garis yang benar.
Pada saat-saat terakhir dari pertemuan mereka, maka sekali lagi Ki Demang minta maaf atas segala kesalahan yang pernah dilakukannya. Namun bagi Nyi Demang pernyataan itu hanya sekedar merupakan basa basi saja.
Malam itu juga Ki Citra Jati sekeluarga telah menemui pemilik penginapan untuk minta diri. Esok pagi-pagi mereka akan meninggalkan Wirasari.
"Kalian akan pergi kemana?" bertanya pemilik penginapan itu.
"Meneruskan perjalanan," jawab Ki Citra Jati.
"Kemana?" "Kami akan pergi ke Jipang."
"Ke Jipang" Untuk apa" Apakah kalian sedang mengemban tugas yang penting dari seseorang?"
"Tidak," berkata Ki Citra Jati, "kami akan menengok saudara kami yang tinggal di Jipang."
Pemilik penginapan itu mengangguk-angguk. Katanya, "Selamat jalan. Mudah-mudahan kalian sampai ke tujuan dengan selamat. Pada saatnya kalian-pun akan pulang dengan selamat pula."
"Terima kasih. Kami-pun ingin mengucapkan terima kasih, bahwa Kami sudah mendapat tempat yang baik di penginapan ini. Bukan hanya tempat, tetapi juga pelayanan yang baik."
"Hanya sekedar apa adanya, Ki Sanak."
Ketika Ki Citra Jati membayar sewa bilik yang mereka pergunakan, maka pemilik penginapan itu mengembalikan separonya sambil berkata, "Biarlah separo saja. Aku kira sudah lebih dari cukup. Pelayanan kami tentu tidak memuaskan. Dalam keadaan yang sulit, kami tidak dapat berbuat apa-apa."
"Memang bukan kewajiban kalian. Kalian telah memberikan tempat. Kami harus membayar sewanya sebagaimana seharusnya."
"Separo dari uang sewa itu mungkin tidak berarti apa-apa bagi Ki Sanak sekeluarga. Tetapi itu sekedar ujud penghormatan kami. Ki Sanak sekeluarga adalah orang-orang yang berilmu tinggi, yang seingatku, belum ada seseorang yang setingkat dengan Ki Sanak yang menginap di penginapan ini. Kesediaan Ki Sanak menginap di penginapanku ini sudah merupakan satu kehormatan yang besar bagiku. Karena itu, kami ingin juga memberikan penghormatan kepada Ki Sanak sekeluarga, meski-pun barangkali tidak seimbang sama sekali."
Ki Citra Jati tidak dapat menolak. Sambil mengucapkan terima kasih, Ki Citra Jati terpaksa menerima kembali separo dari sewa bilik yang telah mereka pergunakan selama mereka berada di Wirasari.
Ki Citra Jati dan keluarganya-pun kemudian telah minta diri pula. Besok mereka akan berangkat pagi-pagi sekali meninggalkan penginapan itu.
"Mungkin besok kami tidak sempat minta diri."
Malam itu, Ki Citra Jati dan keluarganya telah berbenah diri. Keadaan Rara Wulan sudah berangsur baik. Untuk menempuh perjalanan, meski-pun perjalanan yang panjang, tidak akan ada masalah lagi. Apalagi di sepanjang jalan, ia masih dapat minum obat dari Ki Citra Jati yang ikut dalam perjalanan itu pula.
Didini hari, menjelang hari berikutnya, Ki Citra Jati dan keluarganya sudah siap untuk meninggalkan Wirasari. Sebelum fajar, Ki Citra Jati telah menemui orang-orang yang malam itu bertugas di penginapan untuk minta diri.
"Selamat jalan bagi semuanya," berkata para petugas itu.
"Selamat tinggal," keluarga Ki Citra Jati itu hampir berbareng menjawab.
"Kami tidak akan pernah mendapat tamu orang-orang yang berilmu tinggi seperti Ki Sanak sekeluarga," berkata salah seorang di antara para petugas itu.
"Tentu ada. Besok atau lusa," jawab Ki Citra Jati.
Para petugas itu mengantar mereka sampai ke regol halaman penginapan. Bahkan satu dua orang yang sedang menginap ikut melepas mereka, sementara langit-pun menjadi semakin terang oleh cahaya kemerah merahan di ujung Timur.
Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati, Glagah Putih dan Rara Wulan-pun meninggalkan Wirasari pada saat Wirasari masih muram. Bahkan lintang panjer esok masih nampak cahayanya yang gemerlapan di sisi Barat Daya.
Namun satu dua mereka telah berpapasan dengan orang-orang yang akan pergi ke pasar. Beberapa orang perempuan dengan membawa obor blarak yang masih menyala, menggendong bakul di punggungnya berisi hasil kebun yang akan mereka jual ke pasar.
Masih juga terdengar seorang perempuan yang menggendong kayu bakar di punggungnya untuk dijual di pasar, berdendang di sepanjang jalan untuk melupakan dinginnya udara pagi yang mengigit.
"Mereka bekerja keras untuk dapat makan," berkata Nyi Citra Jati
"Makan untuk hari ini saja," sahut Ki Citra Jati, "untuk esok pagi, mereka masih harus berusaha mendapatkannya di kebun. Mungkin beberapa pelepah daun pisang. Mungkin beberapa ikat kacang panjang dan beberapa butir kelapa."
"Tetapi apa yang mereka dapatkan di kebun, dapat juga didapatkan oleh banyak orang di kebun mereka."
"Meski-pun demikian, ada saja yang membelinya. Ada seorang tengkulak yang mengumpulkan berbagai macam hasil kebun. Sayuran, ubi-ubian, kelapa, bahkan daun pisang dan lembar-lembar daun jati untuk membungkus bumbu masak atau reramuan jamu."
"Tetapi ada di antara mereka yang pergi ke pasar tidak membawa dagangan apa-apa. Tetapi juga tidak berbelanja?" sahut Rara Wulan.
"Untuk apa" Untuk melakukan kejahatan?"
"Juga tidak. Mereka adalah orang-orang yang tidak mempunyai apa-apa, tetapi mereka harus mencari makan bagi keluarganya. Mereka pergi ke pasar untuk menjual tenaganya. Membantu orang yang sedang berbelanja untuk membawa barang-barang dan bahan-bahan pangan yang dibelinya."
"Ya," Glagah Putih mengangguk-angguk, "mereka terpaksa melakukannya karena mereka tidak mempunyai peluang lain. Dimusim mengerjakan sawah atau di musim menuai padi, mereka menghambur ke sawah. Tetapi pada musim sepi dari kerja di sawah, mereka menjual tenaga di pasar."
"Meski-pun mereka melarat, tetapi mereka bukan orang-orang yang malas. Mereka bekerja keras tanpa mengenal waktu. Pagi, siang, sore dan bahkan malam hari," sahut Rara Wulan.
"Ya. Biasanya orang menganggap bahwa orang-orang yang hidupnya melarat adalah orang-orang yang malas dan segan bekerja. Tetapi sebenarnyalah bahwa kadang-kadang kesempatan yang masih belum mereka dapatkan meski-pun mereka sudah bekerja keras."
"Banyak orang-orang malas yang kaya raya," sahut Ki Citra Jati, "mereka yang mendapat warisan tanah yang luas, kadang-kadang lebih banyak tidur di rumah, memelihara burung sebagai klangenan, pesiar, makan berlebihan dan kesenangan-kesenangan yang lain."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara Rara Wulaji mengerutkan keningnya. Namun mereka harus melihat kenyataan itu.
Ketika mereka kemudian keluar dari gerbang kademangan Wirasari, maka mereka memasuki bulak persawahan yang panjang. Sementara itu, langit-pun menjadi semakin terang. Matahari sudah bangkit dari balik pegunungan. Cahayanya yang cerah memancar diatas daun padi yang mengalun disentuh angin pagi yang lembut.
Butir-butir embun yang berkilat-kilat memantulkan cahaya matahari pagi, masih nampak bergayutan di ujung dedaunan dan di rerumputan yang segar.
"Segarnya berjalan pagi hari," desis Nyi Citra Jati tiba-tiba.
"Ya," jawab Ki Citra Jati, "tetapi bukankah kita sudah sering berjalan di pagi hari selain di malam hari atau diteriknya sinar matahari?"
Nyi Citra Jati tertawa. Katanya, "Kita memang pernah berjalan dekat atau jauh, pagi, siang, sore atau malam hari. Tetapi kadang-kadang kita tidak dapat menikmati perjalanan kita karena beberapa sebab. Sekarang, kita sempat merasakan betapa segarnya angin pagi. Sinar matahari yang pertama mengusik dedaunan yang berembun."
Ki Citra Jati-pun tertawa. Demikian pula Glagah Putih dan Rara Wulan.
Demikianlah mereka berjalan mengikuti jalan panjang yang berkelok. Namun mereka dapat berjalan lebih cepat dari saat mereka berangkat dari padepokan. Mereka tidak mengenakan pakaian sebagaimana orang yang berpergian, Nyi Citra Jati dan Rara Wulan tidak mengenakan pakaian sebagaimana seorang perempuan.
Dengan demikian, maka perjalanan mereka-pun menjadi lebih rancak. Orang-orang yang bertemu dengan mereka langsung mendapat ke san khusus terhadap keempat orang itu, sehingga mereka lebih baik tidak membuat persoalan dengan mereka.
Tetapi disamping orang-orang yang merasa lebih baik tidak menyentuh mereka berempat, ada saja orang yang justru merasa tersinggung dengan kehadiran mereka dalam pakaian yang khusus itu.
"Sombongnya orang-orang itu," berkata seorang yang berkumis lebat. Satu dua lembar diantara kumisnya telah terdapat uban yang putih. Demikian pula di rambutnya.
Tetapi orang itu nampak begitu kokohnya seperti sebuah bukit batu karang yang tidak akan pernah lapuk oleh hujan dan panas.
"Daerah ini adalah daerah perburuanku. Aku tidak mau ada yang lain yang membusungkan dadanya disini."
"Siapakah mereka?" bertanya seorang kawannya.
"Aku belum pernah melihat mereka. Dua orang diantara mereka masih muda."
"Kita akan memaksa mereka mengakui keunggulan kita di daerah ini. Mereka tidak boleh berburu disini. Jika mereka sekedar lewat, mereka harus minta ijin kepada kita."
Kawan-kawannya mengangguk-angguk.
Dalam pada itu ketika Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati, Glagah Putih dan Rara Wulan masuk kedalam sebuah kedai, maka beberapa orang telah berdiri di depan kedai. Seorang diantara mereka adalah orang yang berkumis lebat itu.
Ketika pemilik kedai itu melihat lebih dari lima orang berkeliaran di depan kedainya maka jantungnya-pun segera menjadi berdebar-debar, ia kenal benar, siapa yang berkumis lebat itu.
"Apalagi yang akan diperbuatnya?" bertanya pemilik kedai itu pada pelayan yang membantunya.
"Entahlah. Seharusnya mereka tidak mengganggu orang-orang yang singgah di kedai ini. Bukankah kita sudah memberikan upeti kepada mereka setiap pekan. Seharusnya mereka justru ikut menjaga agar mereka yang masuk kedalam kedai ini merasa tenang dan nyaman."
"Nanti aku akan berbicara dengar mereka." Namun pemilik kedai itu tidak mempunyai kesempatan. Sebelum sempat berbicara, orang berkumis lebat itu telah berdiri di pintu lainya sambil berkata. "Maaf, kang Irareja. Aku tahu bahwa seharusnya aku tidak mengganggu tamu-tamumu. Tetapi sekali ini aku tidak dapat menahan diri. Jika orang itu tidak terlalu sombong dan besar kepala, aku memang tidak ingin mengganggunya."
Orang-orang yang sudah berada didalam kedai itu terkejut. Mereka tidak segera tahu siapakah yang dimaksud.
Tetapi setelah mereka sempat mengikuti pandang mata orang berkumis lebat itu, maka mereka-pun dapat menduga bahwa yang dimaksud oleh orang berkumis lebat itu adalah empat orang yang duduk disudut kedai itu.
"Mereka memang sombong," desis seorang yang berbaju lurik hitam.
"Mungkin mereka tidak bermaksud apa-apa. Pakaian yang dikenakannya adalah pakaian yang selalu dikenakannya sehari-hari. Pakaian itu sama sekali tidak menyinggung perasaan siapa-pun di tempat tinggal mereka."
"Tetapi tidak dipakai untuk berkeliaran seperti mereka berempat. Terutama kedua orang perempuan itu."
"Ya. Rasa-rasanya kedua orang perempuan itu menantang siapa-pun yang ditemuinya di perjalanan mereka."
Dalam pada itu, Ki Citra Jati menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia-pun berkata, "Ada apa lagi dengan orang yang berdiri di pintu itu."
"Agaknya kata-katanya memang ditujukan kepada kita," desis Nyi Citra Jati.
"Nampaknya memang begitu. Pakaian yang kita kenakan agaknya tidak berkenan di hatinya."
"Bagaimana dengan lukamu Rara," desis Glagah Putih, "kemarin lukamu berdarah lagi ketika Macan Larapan datang ke penginapan."
"Segala sesuatunya sudah teratasi kakang. Mudah-mudahan aku tidak perlu mengerahkan puncak ilmuku sehingga akan dapat berpengaruh atas daya tahan, tenaga serta lukaku itu."
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam.
Dalam pada itu, orang yang berdiri di pintu itu berkata pula, "Agaknya orang-orang itu mengira, bahwa di sepanjang jalan yang akan dilaluinya, tidak ada orang yang mampu mengimbangi kemampuan mereka. Mereka mengira bahwa mereka adalah orang-orang sakti yang tidak terkalahkan di dunia ini."
"Sudahlah," berkata pemilik kedai itu, "lapangkan dadamu, biarlah orang lain berbuat sesuka hati mereka, asal mereka tidak mengganggu."
"Jelas mereka mengganggu, kang. Mereka sudah menyinggung harga diriku sebagai orang yang paling ditakuti di daerah ini."
"Mereka tidak akan menetap di daerah ini."
"Tetapi mereka lewat di daerah ini. Kang Irareja, maaf bahwa aku tidak dapat membiarkannya. Aku tidak akan mengganggu pembeli-pembelimu yang lain kecuali orang yang sangat sombong ini."
"Biarkan saja mereka dengan kesombongannya."
"Tidak, kang. Aku tidak dapat membiarkannya. Orang itu akan berurusan dengan aku. Ia harus minta maaf. Kedua perempuan itu tidak boleh mengenakan pakaian seperti itu. Aku menjadi muak dan darahku menjadi panas. Jika mereka menolak, maka akulah yang akan mengganti pakaiannya dengan paksa."
Pemilik kedai itu tidak dapat berbuat apa-apa ketika orang berkumis tebal itu melangkah memasuki kedainya.
"Kita tidak akan dapat tinggal diam," berkata Ki Citra Jati.
"Biarlah aku melayani, ayah. Jika mungkin aku akan berbicara dengan baik. Jika tidak apaboleh buat."
"Hati-hatilah, Glagah Putih," pesan Nyi Citra Jati.
Namun Rara Wulan-pun berdesis pula, "Hati-hatilah, kakang."
Glagah Putih tidak menjawab. Orang berkumis tebal itu berhenti dua langkah dari tempat duduk Ki Citra Jati berempat.
"Ki Sanak," berkata orang itu, "kalian adalah orang-orang yang paling sombong yang pernah lewat di daerah ini."
"Kenapa?" bertanya Glagah Putih.
"Kedua orang perempuan yang bersamamu mengenakan pakaian yang sangat memuakkan. Aku tahu, bahwa orang-orang perempuan yang merasa dirinya berilmu mengenakan pakaian seperti itu. Dengan demikian maka kedua orang perempuan yang bersamamu itu merasa diri mereka berilmu tinggi."
"Tidak, Ki Sanak. Bukan begitu. Kedua orang perempuan ini adalah ibu serta isteriku. Mereka mengenakan pakaian seperti itu agar mereka dapat bergerak lebih leluasa. Kami sedang menempuh perjalanan yang sangat panjang."
"Kalian akan pergi kemana?"
"Kami akan pergi ke Mataram."
"Mataram?" "Ya." Orang berkumis lebat itu termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba saja ia-pun membentak.
"Omong kosong. Kau mencoba membuat ceritera yang sangat menarik untuk menggertak kami."
"Kenapa menggertak Ki Sanak" Apa anehnya dan bagi kalian apa pengaruhnya jika kami berkata bahwa kami akan pergi ke Mataram" Semua orang dapat saja pergi ke Mataram."
"Mataram adalah pusat pemerintahan di tanah ini. Dengan menyebut Mataram kau akan merasa dirimu orang penting."
"Tidak. Aku memang bukan apa-apa. Di Mataram kami akan mengunjungi saudara kami. Tidak ada maksudku untuk mempengaruhimu dengan menyebut nama Mataram."
"Persetan. Tetapi aku telah tersinggung dengan kehadiranmu. Terutama karena kedua orang perempuan itu. Karena itu maka kalian semuanya harus minta maaf kepadaku. Kedua orang perempuan itu harus berganti dengan pakaian orang perempuan kebanyakan."
"Ki Sanak," berkata Glagah Putih, "aku pernah melewati jalan ini. Kami juga mengenakan pakaian seperti ini. Ibu dan isteriku juga mengenakan pakaian yang dipakainya sekarang. Tetapi kami tidak menemui hambatan apa-apa."
"Saat itu tentu aku kebetulan tidak sedang melihat kalian lewat. Jika aku melihat kalian lewat, maka pada saat itu kami sudah mengambil tindakan. Nah, sekarang tidak usah banyak bicara. Kedua orang perempuan itu harus berganti pakaian."
"Kami tidak mempunyai pakaian lain."
"Kau memperbodoh kami pula. Pakaian yang dikenakannya itu dapat diubah cara memakainya sehingga pakaian khususnya tidak nampak. Setidak-tidaknya tidak semata-mata seperti cara mengenakannya sekarang. Kain panjangnya dapat diurai dan dikenakan dengan baik."
"Sudahlah Ki sanak. Biarkan kami lewat. Jika aku harus minta maaf, atas nama keluargaku aku minta maaf. Tetapi jangan paksa ibu dan isteriku merubah cara mereka berpakaian. Kami masih harus berjalan jauh. Bahkan kami harus menginap di perjalanan."
"Lakukan saja apa yang aku katakan, agar aku tidak harus memaksa mereka. Jika kedua orang perempuan itu berkebaratan, maka akulah yang akan mengganti cara mereka berpakaian dengan paksa."
"Kau aneh, Ki Sanak."
"Tidak ada yang aneh. Sekarang, bawa kedua orang perempuan itu ke pakiwan di belakang kedai ini. Jangan menjawab lagi. Atau aku akan menampar mulutmu sampai sampai berdarah."
Tetapi Glagah Putih masih juga menjawab, "Tidak, Ki sanak. Mereka tidak akan melakukannya."
Ternyata seperti yang dikatakannya, maka orang itu telah mengayunkan tangannya untuk menampar mulut Glagah Putih.
Glagah Putih tidak membiarkannya mulutnya di tampar. Karena itu, maka ia-pun telah mengayunkan tangannya pula. Dengan sisi telapak tangannya, Glagah Putih telah membentur pergelangan tangan orang berkumis lebat itu.
Terasa pergelangan tangan orang itu telah disengat oleh rasa sakit yang sangat sehingga orang berkumis lebat itu mengaduh kesakitan.
Diluar sadarnya orang itu mundur selangkah. Sementara Glagah Putih tidak beranjak dari tempatnya. Bahkan seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa.
"Aku bunuh kau," geram orang itu.
Glagah Putih memandang wajahnya yang menjadi merah oleh kemarahan yang menyala didalam dadanya.
"Keluarlah. Jika kau menantang aku berkelahi, kita akan berkelahi di halaman agar menjadi tontonan orang banyak," berkata Glagah Putih.
"Biarlah mereka melihat, bagaimana aku membunuhmu dan membantaimu di hadapan mereka. Bagaimana aku mematahkan tangan, dan kakimu tanpa mempergunakan senjata."
Glagah Putih memang tidak mempunyai pilihan. Tiba-tiba saja ia-pun berdiri. Didorongnya orang berkumis lebat itu dengan kerasnya ke arah pintu.
Orang itu tidak mengira bahwa ia akan diperlakukan seperti itu. Hampir saja ia jatuh terlentang. Namun ia segera dapat menguasai dirinya.
Sementara itu Glagah Putih-pun mendesaknya sambil berkata. "Aku tidak mau merusakkan perabot di kedai ini. Aku ingin berkelahi di luar. Aku akan menunjukkan kepada orang banyak, bahwa kau tidak perlu ditakuti."
"Anak iblis," geram orang itu.
Tetapi karena Glagah Putih mendesaknya terus, bahkan mendorongnya, maka orang itu akhirnya keluar dari kedai disusul oleh Glagah Putih.
Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati dan Rara Wulan tidak tinggal diam di tempat duduknya. Mereka tahu bahwa orang berkumis lebat itu juga tidak sendiri. Karena itu, maka mereka-pun bangkit pula dan berjalan ke pintu dan turun ke halaman.
"Bersiaplah," justru Glagah Putihlah yang menggeram.
Orang itu tidak sempat berkata sepatah kata-pun, Glagah Putih tiba-tiba saja telah menyerang dengan kakinya. Meski-pun serangan itu masih belum bersungguh-sungguh, tetapi orang berkumis lebat itu terkejut, sehingga ia-pun segera berloncatan mengambil jarak.
Glagah Putih tidak memburunya. Ia memberi kesempatan kepada orang berkumis lebat itu untuk mempersiapkan dirinya lebih mapan.
"Kau licik. Kau menyerang sebelum aku bersiap."
"Karena itu, aku beri kesempatan kau bersiap. Aku beri kesempatan kau memandang langit, gunung, pepohonan dan kedai itu. Jika kau berkeras untuk memaksakan kehendakmu, maka kau tidak akan pernah melihat langit lagi."
Jantung orang itu memang tergetar. Sikap Glagah Putih memang sangat meyakinkan. Apa yang dikatakannya itu agaknya akan sanggup pula dilakukannya.
Tetapi orang berkumis lebat itu merasa dirinya terlalu kuat. Ia tidak pernah menjumpai orang yang berani menentangnya. Jika ada juga yang berani mencoba melawannya, maka orang itu akan segera dibuatnya jera. Bahkan orang berkumis lebat itu pernah membunuh orang yang menantangnya, justru karenan orang itu tidak dapat dikalahkannya dengan segera.
"Kau terlalu sombong orang muda," geram orang berkumis lebat itu, "Jangan menyesal, bahwa kau benar-benar akan mati."
"Cepat, bersiaplah, jangan berbicara apa-apa lagi."
Orang itu masih akan menjawab. Tetapi Glagah Putih sudah meloncat menyerangnya.
Orang itu sempat meloncat menghindar. Bahkan orang berkumis lebat itu telah mencoba berganti menyerang.
Tetapi ayunan kakinya sama sekali tidak menyentuh sasaran. Bahkan pada saat ia bertumpu pada satu kakinya, Glagah Putih meloncat sambil berputar. Kakinya terayun mendatar menyambar dada orang itu.
Orang itu benar-benar terkejut. Tetapi ia tidak mempunyai kesempatan untuk mengelak, sehingga kaki Glagah Putih benar-benar telah menghantam dadanya.
Orang itu mengaduh tertahan. Namun tubuhnya terlempar selangkah surut. Sejenak kemudian, orang berkumis lebat itu telah kehilangan keseimbangan, sehingga ia-pun terhuyung-huyung dan jatuh terlentang di tanah.
Orang itu memang dengan cepat melenting bangkit. Namun demikian ia berdiri, maka sekali lagi kaki Glagah Putih terjulur lurus mengenai dadanya.
Orang itu benar-benar terlempar dengan kerasnya dan terbanting jatuh di tanah.
Orang berkumis lebat itu menyeringai menahan sakit. Tulang punggungnya rasa-rasanya bagaikan hendak patah. Karena itu, maka orang itu tidak dapat dengan serta merta bangkit berdiri untuk menghadapi Glagah Putih.
Glagah Putih berdiri tegak beberapa langkah dari orang yang tertatih-tatih bangkit berdiri itu.
"Nah," berkata Glagah Putih, "apakah kau masih ingin memaksa ibu dan isteriku untuk berganti pakaian atau mengenakan pakaiannya dengan cara yang lain."
Orang berkumis lebat yang telah bangkit berdiri itu memandang Glagah Putih dengan mata yang bagaikan menyala. Tiba-tiba saja ia berkata kepada kawan-kawannya. "Tangkap orang itu hidup-hidup. Aku ingin memberikannya sedikit peringatan."
Kawan-kawannya-pun segera menebar.
Sementara itu, orang berkumis lebat itu-pun telah berpaling kepada Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati dan Rara Wulan sambil berkata, "Jangan ikut campur, agar kalian tidak mengalami nasib seperti anak yang sombong ini."
Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati dan Rara Wulan tidak menyahut. Namun mereka-pun menjadi berdebar-debar ketika mereka melihat lebih dari lima orang mengepung Glagah Putih.
Glagah Putih yang berdiri didalam lingkaran kepungan kawan-kawan orang berkumis lebat itu-pun menggeram. "Baik. Jika aku harus bertempur melawan kalian semuanya, maka bukan salahku jika ada di antara kalian yang akan terbunuh. Aku bukan seorang pembunuh. Tetapi aku harus menyelamatkan diri dari kemungkinan terburuk yang dapat terjadi atas diriku. Jika aku tertangkap hidup-hidup, maka aku tentu akan mengalami perlakuan yang sangat buruk dari kalian."
Jantung orang-orang yang mengepung Glagah Putih itu-pun tergetar pula. Sementara itu Glagah Putih-pun berkata selanjutnya, "marilah. Siapa yang akan mati lebih dahulu."
Tidak seorang-pun yang segera-meloncat menyerang. Agaknya mereka menjadi ragu-ragu. Mereka telah menyaksikan, apa yang dilakukan oleh Glagah Putih terhadap orang berkumis lebat itu. Orang yang dianggap memiliki kemampuannya yang tidak terkalahkan di daerah itu, sehingga ia dapat memeras para pemilik kedai yang ada di sekitarnya. Bahkan orang-orang yang terhitung berkecukupan-pun harus membayar upeti pula kepadanya agar keluarganya tidak diganggu.
"Cepat," teriak orang berkumis lebat itu, "siapa yang tidak mau melakukan perintahku, akan aku bantai disini."
Namun mereka berpaling serentak ketika mereka mendengar suara orang tertawa.
"Kenapa kau tertawa?" bertanya orang berkumis lebat itu kepada Ki Citra Jati yang mentertawakan sikap orang-orang yang mengepung Glagah Putih itu.
"Yang mereka kepung hanya seorang. Tetapi nampaknya orang-orangmu menjadi ragu-ragu."
"Persetan dengan kau kakek tua. Jika kau turut campur maka kau dan kedua orang perempuan itu-pun akan kami bantai disini."
"Jangankan kami bertiga, melawan seorang diantara kami-pun kalian merasa ragu."
"Setan kau," geram orang berkumis lebat itu. Namun ia-pun segera berteriak, "Segera selesaikan anak itu. Tangkap hidup-hidup. Kemudian kita akan berurusan dengan setan tua itu."
Ki Citra Jati tidak menyahut. Ia ingin melihat apa yang akan dilakukan oleh orang berkumis lebat itu bersama-sama dengan orang-orangnya terhadap Glagah Putih.
Orang-orang yang mengepung Glagah Putih itu tidak sempat berpikir lagi. Orang berkumis lebat itu tiba-tiba telah mendorong seorang diantara mereka.
Orang yang didorongnya itu hampir saja menabrak Glagah Putih. Tetapi Glagah Putih bergeser sedikit kesamping sehingga orang itu justru meluncur terus dan membentur kawannya sendiri yang berdiri berseberangan.
Namun dengan demikian, maka kawan-kawannya yang lain-pun segera berloncatan pula menyerang Glagah Putih.
Tetapi Glagah Putih sudah siap menghadapi mereka. Karena itu, maka ia-pun segera melenting. Tubuhnya berputar sambil mengayunkan kakinya mendatar.
Buku 345 DUA orang terlempar dari arena. Sementara itu orang yang didorong oleh kawannya yang berkumis lebat serta orang yang dilanggarnya, telah bersiap pula untuk menyerang.
Sejenak kemudian, pertempuran-pun segera menjadi sengit. Glagah Putih sendiri harus bertempur melawan lebih dari lima orang.
Namun setiap kali orang-orang yang mengeroyoknya itu terpelanting dari arena, jatuh terlempar dengan kerasnya. Tetapi mereka-pun segera bangkit lagi dan kembali menyerang Glagah Putih.
Sebenarnyalah bahwa Glagah Putih tidak mengalami kesulitan. Tetapi Rara Wulan itu-pun berkata kepada Nyi Citra Jati, "Ibu, apakah aku boleh bergabung dengan kakang Glagah Putih?"
"Suamimu tidak memerlukan orang lain, ngger."
"Aku mengerti ibu. Tetapi nampaknya kakang Glagah Putih menjadi sibuk pula."
Nyi Citra Jati tersenyum. Ia mengerti, bahwa Rara Wulan tidak sampai hati membiarkan Glagah Putih sibuk sendiri meski-pun tidak berbahaya baginya.
Namun sebelum Nyi Citra Jati menjawab, seseorang telah terlempar dari arena membentur sebatang pohon, sehingga orang itu mengerang kesakitan.
Sebelum orang itu dapat bangkit berdiri, seorang lagi telah terdorong beberapa langkah surut. Ia masih sempat mempertahankan keseimbangannya. Namun kemudian orang itu justru terjatuh pada lututnya. Kedua tangannya memegangi perutnya yang disengat oleh perasaan nyeri karena jari-jari Glagah Putih yang merapat sempat mengenai perutnya itu.
"Jika anak itu keras kepala, bunuh saja," teriak orang berkumis lebat.
Tiba-tiba saja beberapa orang yang berada di sekitar Glagah Putih itu-pun telah mencabut senjata mereka. Ada yang bersenjata pedang, ada yang bersenjata golok dan ada yang membawa parang yang besar.
Glagah Putih yang melihat senjata teracu kepadanya itu-pun menjadi berdebar-debar. Untuk melawan orang-orang bersenjata itu, ia harus meningkatkan ilmunya. Dengan demikian, maka mungkin sekali ia akan membunuh beberapa diantara lawan-lawannya.
"Ibu," desis Rara Wulan.
Nyi Citra Jati-pun mengerti, Glagah Putih tentu akan menjadi sangat sibuk. Ia akan mengalami kesulitan karena senjata-senjata lawannya itu. Untuk mengatasinya, Glagah Putih mungkin harus benar-benar membunuh.
Namun sebelum Rara Wulan itu melangkah mendekati arena, maka tiba-tiba saja mereka telah mendengar suara rinding. Bukan Ki Citra Jati yang membunyikannya, tetapi Glagah Putih yang juga selalu membawa rinding kemana-kemana di kantong bajunya.
Ternyata pengaruh suara rinding itu demikian kuatnya. Beberapa orang yang bertempur melawan Glagah Putih itu tiba-tiba saja telah berloncatan menjauh. Mereka segera menyarungkan senjata mereka. Kemudian kedua tangannya telah menutup telinga mereka yang merasa bagaikan ditusuk duri.
Ternyata beberapa orang yang melihat pertempuran itu dari kejauhan terpengaruh juga oleh rinding itu. Tetapi karena mereka berdiri agak jauh, maka pengaruhnya tidak begitu tajam sebagaimana mereka yang berdiri hanya tiga ampat langkah dari Glagah Putih. Bahkan orang yang berkumis tebal itu-pun berteriak, "Gila kau anak iblis. Hentikan suara itu. Hentikan."
Tetapi Glagah Putih tidak menghentikannya. Ia masih bermain beberapa saat lamanya sehingga orang-orang yang bertempur melawannya itu menjadi lemas karena telinga mereka bagaikan ditusuk-tusuk duri kemarung.
Glagah Putih-pun kemudian menghentikan permainannya.
"Marilah, kita tinggalkan mereka," berkata Glagah Putih.
Nyi Citra Jati-pun kemudian mendatangi pemilik kedai itu untuk membayar makanan dan minuman yang dipesannya bersama keluarganya.
"Kami akan pergi," berkata Nyi Citra Jati, "jika rinding itu berbunyi lagi, lindungi telingamu dengan baik."
Orang itu tidak menjawab.
Namun demikian Nyi Citra Jati melangkah pergi, orang itu berdesis, "Terima kasih."
Nyi Citra Jati berpaling. Namun ia-pun kemudian melangkah terus.
Dalam pada itu, orang-orang yang kesakitan itu masih menutup telinga mereka meski-pun mereka tahu, bahwa Glagah Putih telah melepas rinding itu dari bibirnya.
"Ingat peristiwa ini," berkata Glagah Putih, "kau tidak akan dapat memaksakan kehendakmu terhadap semua orang. Mungkin kau berhasil memaksa satu dua orang menuruti kemauanmu. Tetapi pada suatu ketika, kau akan menjumpai orang-orang yang tidak dapat kau paksa. Bahkan seandainya aku membunuhmu, tidak ada orang yang menyalahkan aku. Tetapi aku masih ingin memberimu kesempatan. Jika lain kali kau masih melakukannya, maka kau benar-benar akan mati. Jika bukan aku, maka tentu ada orang lain yang ilmunya bahkan lebih tinggi dari ilmuku datang untuk mencekikmu sampai mati."
Orang berkumis tebal itu sudah tidak menutup telinganya lagi.
"Kau dengar kata-kataku?" bertanya Glagah Putih.
Orang itu diam saja.

14 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau dengar atau tidak?" bentak Glagah Putih.
Orang itu masih tetap berdiam diri.
"Baik. Aku harus melubangi telingamu."
Demikian Glagah Putih melekatkan rindingnya di bibirnya, maka orang itu berteriak, "Jangan, jangan."
Glagah Putih mengurungkan niatnya untuk membunyikan rindingnya lagi. Namun ia bertanya, "Kau dengar kata-kataku?"
"Ya. Aku dengar, Ki Sanak."
"Apa kataku?" Orang itu termangu-mangu. Namun demikian Glagah Putih mengangkat rindingnya orang itu berkata, "Jangan Ki Sanak. Aku mendengar kata-katamu."
"Apa kataku?" "Agar aku tidak mengulangi lagi perbuatan ini."
"Kau berjanji?"
Orang itu tidak segera menjawab.
"Kau berjanji" Jika kau tidak mau berjanji, aku akan membunuhmu dengan suara rinding ini."
"Jangan. Jangan. Aku berjanji."
"Baiklah. Kau harus belajar menghargai orang lain. Biarlah orang lain melakukan sesuai dengan kehendak mereka asal tidak mengganggu siapa-siapa. Tidak pula mengganggumu."
Orang itu mengangguk-angguk sambil berkata, "Baik, baik. Ki Sanak. Aku mengerti."
"Kau-pun tidak boleh mengganggu orang lain pula dengan cara apa-pun juga."
Orang itu merenung sejenak. Namun ia-pun kemudian mengangguk pula sambil menjawab, "Ya. Aku mengerti."
Glagah Putih-pun kemudian melangkah pula meninggalkan orang berkumis lebat itu bersama-sama dengan Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati dan Rara Wulan.
"Ada baiknya orang itu mengganggu perjalanan kita," berkata Ki Citra Jati.
"Kenapa?" bertanya Nyi Citra Jati.
"Ada alasan untuk berbicara dengan mereka. Kita mereka tidak mengganggu kita, maka mana mungkin tiba-tiba saja kita berdiri dihadapannya dengan memberikan pesan-pesan yang tajam sebagaimana dikatakan oleh Glagah Putih."
Nyi Citra Jati-pun tersenyum. Tetapi ia-pun berkata, "Tetapi jika kita yang menderita kekalahan?"
"Tentu tidak. Nah, bukankah kita tidak mengalami apa-apa" Sebaliknya kita dapat memberikan peringatan kepada mereka, terutama yang berkumis lebat itu."
"Tetapi bagaimana sepeninggal kita?" bertanya Rara Wulan.
"Untuk waktu yang dekat, mereka masih akan mengingat pesan ini.Tetapi lambat laun mereka memang akan melupakannya. Mudah-mudahan ada orang lain yang lewat dan memberikan peringatan pula kepada mereka. Atau kami yang kelak akan lewat lagi di jalan ini."
Nyi Citra Jati-pun menyahut, "Kapan-kapan."
"Ya, kapan-kapan," gumam Ki Citra Jati.
Demikianlah mereka berempat melanjutkan perjalanan mereka. Ketika malam turun, maka mereka-pun sempat menginap di sebuah banjar padukuna. Ternyata penunggu banjar itu seorang yang baik, yang memperhatikan mereka berempat yang menginap di banjar yang ditunggunya.
Bahkan penunggu banjar itu-pun telah menyediakan makan bagi keempat orang itu di tengah malam.
Menjelang Fajar, Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati, Glagah Putih dan Rara Wulan-pun telah melanjutkan perjalanan mereka menuju ke padepokan yang dipimpin oleh Mlaya Werdi untuk minta diri kepada anak-anak angkat Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati.
Kedatangan mereka dipadepokan yang dipimpin oleh Mlaya Werdi itu-pun disambut dengan gembira. Bukan saja oleh anak-anak angkat Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati, telah juga oleh para penghuni padepokan itu.
"Kami merasa gelisah, bahwa ayah, ibu serta kakang berdua tidak segera pulang," berkata Padmini.
"Bukankah aku hanya pergi beberapa hari termasuk perjalanan yang harus aku tempuh bersama ibu dan kakangmu berdua?" sahut Ki Citra Jati.
Tetapi kegembiraan anak-anak angkat Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati itu tidak lama. Demikian pula Mlaya Werdi serta para penghuni padepokan itu. Meski-pun dengan berat hati, Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati menyatakan niatnya untuk pergi ke Mataram.
"Mataram?" bertanya Padmini.
"Bahkan sebelah Barat Mataram," jawab Ki Citra Jati, "tetapi aku dan ibumu tidak akan lama."
"Bagaimana dengan kakang Glagah Putih dan mbokayu Rara Wulan."
"Mereka akan melihat suasana. Mungkin mereka akan berada disana lebih lama dari ayah dan ibu. Agaknya ayah dan ibu akan pulang lebih dahulu."
"Apakah kami kali ini juga tidak boleh ikut?" bertanya Baruni.
"Jangan kali ini, Baruni. Aku berjanji bahwa lain kali kita akan menempuh perjalanan panjang. Tetapi kalian harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Karena itu, kalian aku titipkan disini. Kakangmu Mlaya Werdi akan membantu kalian mempersiapkan diri."
"Tetpai bukankah ayah dan ibu tidak akan segera berangkat?" bertanya Satiti.
Ki Citra Jati merasa ragu. Tetapi ketika ia memandang Glagah Putih dan Rara Wulan, maka mereka-pun menyadari, bahwa mereka harus segera sampai di Tanah Perdikan Menoreh.
Dalam kebimbangan itu, Ki Citra Jati-pun bertanya kepada Glagah Putih, "Bagaimana menurut pendapatmu jika kita berangkat esok lusa?"
"Esok lusa?" bertanya Satiti, "kenapa begitu cepat?"
Ki Citra Jati tersenyum. Katanya, "Satiti. Jika aku bertanya kepada kakangmu, apakah kami dapat berangkat esok lusa itu artinya tidak esok lagi. Sehingga esok lusa itu-pun sudah bergeser mundur satu hari."
"Apakah ada batasan waktu bagi ayah, ibu dan kakak berdua untuk sampai ke Mataram?" bertanya Pamekas.
"Memang tidak Pamekas. Tetapi ada sesuatu yang sangat mendesak, sehingga semakin cepat kami tiba di Mataram, akan menjadi semakin baik."
"Tetapi setelah perjalanan paman berlangsung sekian lama, apakah satu dua hari itu akan berarti?" bertanya Ki Mlaya Werdi.
"Ya, Yang sehari itu akan berarti."
Mlaya Werdi-pun segera menyadari, bahwa tentu ada yang benar-benar penting di Mataram, sehingga waktu yang sehari dua hari itu dianggapnya penting, justru setelah mereka beberapa lama bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain.
"Agaknya di Wirasari mereka telah mendapat berita tentang sesuatu hal yang mereka anggap penting itu," berkata Mlaya Werdi di dalam hatinya, sehingga karena itu, maka Mlaya Werdi tidak akan menahannya lagi.
Namun Glagah Putih dan Rara Wulan-pun harus mengalah. Mereka menunda keberangkatan mereka sehari, sehingga mereka bermalam di padepokan itu dua malam.
"Anak-anak ingin melepaskan rindu mereka," berkata Nyi Citra Jati kepada Rara Wulan.
Rara Wulan-pun mengerti. Katanya, "Ya, ibu. Setelah ibu dan ayah tinggalkan beberapa lama."
Namun keberangkatan mereka tidak dapat ditunda-tunda lagi. Setelah bermalam dua malam, maka Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati, Glagah Putih dan Rara Wulan-pun telah meninggalkan padepokan yang dipimpin oleh Mlaya Werdi itu.
"Selamat jalan ayah, ibu serta kakak berdua," anak-anak angkat Ki Citra Jati itu-pun melepaskan mereka yang pergi di gerbang padepokan. Bukan hanya mereka saja yang berdiri di pintu gerbang. Tetapi juga Mlaya Werdi dan beberapa orang penghuni padepokan yang lain.
"Kami akan segera kembali," berkata Nyi Citra Jati.
Satiti masih saja melambaikan tangannya ketika Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati berpaling.
"Rindunya masih bergejolak di dadanya," desis " , "benar-benar ingin ikut bersama kita."
"Sayang. Perjalanan kita kali ini adalah perjalanan yang berat."
Ki Citra Jati mengangguk-angguk. Ketika sekali lagi ia berpaling, dari kejauhan ia masih melihat anak-anak angkatnya berdiri di pintu gerbang.
Namun akhirnya Ki Citra Jati berempat itu-pun telah berbelok dipintu gerbang."
Namun akhirnya Ki Citra Jati berempat itu-pun telah berbelok di sebuah tikungan.
"Apakah kita akan langsung menuju ke Tanah Perdikan Menoreh atau masih ada tempat persinggahan?" bertanya Ki Citra Jati.
"Kita akan langsung menuju ke Tanah Perdikan, ayah."
"Perjalanan yang panjang," desis Nyi Citra Jati.
"Sedikitnya kita akan bermalam dua malam di perjalanan," sahut Glagah Putih.
"Kalau tidak ada hambatan di perjalanan," sambung Rara Wulan.
"Kita harus menghindari segala macam hambatan," berkata Ki Citra Jati, "kita akan berjalan tanpa menghiraukan apa-pun yang terjadi di sepanjang jalan."
"Kecuali jika ada orang yang tiba-tiba saja menyilang di depan perjalanan kita," sahut Nyi Citra Jati.
"Ya. Sebagaimana orang berkumis lebat itu."
Ki Citra Jati tersenyum. Katanya, "Dalam keadaan seperti sekarang ini, kita tidak akan main-main lagi. Apalagi jika kita sudah mulai letih, maka kita-pun akan menjadi lebih garang lagi."
Tetapi Nyi Citra Jati menggeleng. Katanya, "Tidak. Jika letih, aku justru menjadi lebih jinak."
Ki Citra Jati tertawa. Katanya, "Apakah kau pernah menjadi jinak."
"Kenapa?" bertanya Nyi Citra Jati.
"Ibumu terkenal sejak masih berada di perguruan. Hanya ada tiga atau ampat murid perempuan diantara sekelompok murid utama. Nah, ibumulah yang paling sulit disentuh."
"Beruntunglah ayah, karena ayah tidak hanya dapat menyentuhnya," sahut Glagah Putih.
"Tetapi aku harus menempuh perjuangan yang sangat berat. Untuk mendapatkan ibumu aku harus menjalani beberapa laku."
"Jangan dengarkan. Ayahmu hanya membual saja."
Glagah Putih dan Rara Wulan tertawa.
Demikianlah, ketka matahari menjadi semakin-tinggi, maka mereka-pun telah memasuki jalan yang sepi. Mereka tidak mengikuti jalan yang paling banyak dilewati orang. Sebagai pengembara, mereka tahu, jalan-jalan manakah yang harus mereka tempuh untuk mendapatkan jarak yang terdekat, meski-pun kadang-kadang mereka harus melalui medan yang sulit. Bahkan kadang-kadang mereka harus melalui jalan-jalan setapak di pinggir hutan.
Tetapi justru karena mereka memilih jalan yang tidak banyak dilalui orang, maka mereka-pun tidak menemui persoalan-persoalan yang dapat menghambat perjalanan mereka.
Namun ketika lewat tengah hari, saat perut mereka mulai lapar,mereka tidak segera menemukan sebuah kedai untuk singgah.
Tetapi mereka sudah terbiasa menjalani laku, sehingga mereka-pun tidak terlalu sulit untuk menahan lapar. Sedangkan jika mereka menjadi sangat haus, maka mereka-pun tidak terlalu sulit untuk mendapatkan air. Bahkan di dekat regol-regol halaman rumah yang sederhana-pun banyak disediakan gentong atau gendi berisi air yang jernih, yang memang disediakan untuk minum mereka yang kehausan di perjalanan.
Ketika matahari menjadi semakin rendah, maka mereka berempat-pun mulai membicarakan dimana mereka akan menginap. Apakah di tempat terbuka atau di banjar padukuhan di padukuhan yang akan mereka lewati.
"Kita menginap dibanjar padukuhan saja, kakang," berkata Nyi Citra Jati, "kami, khususnya aku dan Rara Wulan tidak akan kesulitan mencari tempat untuk mandi."
"Bagaimana menurut pendapatmu, Glagah Putih."
"Aku sependapat saja, ayah."
"Tetapi di banjar padukuhan ada kemungkinan kita bersentuhan dengan masalah."
"Masalah apa, ayah?" bertanya Rara Wulan.
"Diluar dugaan, dapat saja terjadi masalah. Seperti yang pernah kita alami, anak muda yang meronda adalah anak-anak muda yang sering mabuk tuak. Tetapi mungkin juga masalah-masalah lain yang sebenarnya tidak ada sangkut pautnya dengan kita."
"Kita akan berusaha untuk tidak bersinggungan dengan masalah-masalah seperti itu."
"Jika saja kita dapat menghindari."
Namun akhirnya mereka sepakat untuk bermalam di padukuhan yang akan mereka lalui.
"Kita akan minta ijin untuk bermalam di banjar padukuhan yang kecil saja, yang akan kita lewati setelah senja."
"Ya, ayah," jawab Glagah Putih.
Namun sampai menjelang senja, mereka benar-benar tidak menemukan sebuah kedai-pun yang akan dapat menjadi tempat persinggahan untuk melepas lapar mereka.
Tetapi ketika mereka melewati sebuah gardu di ujung jalan sebuah padukuhan, mereka menemukan seorang tua penjual serabi di sebelah gardu itu.
"Kita beli saja serabi," berkata Glagah Putih.
Namun beberapa puluh langkah dari gardu itu mereka melihat di dekat sebuah regol seorang yang juga berjualan makanan di pinggir jalan.
"Apakah setiap hari nenek berjualan serabi disini?" bertanya Rara Wulan.
Perempuan itu memandang Rara Wulan sejenak. Namun kemudian ia-pun menggeleng, "Tidak, ngger aku hanya berjualan di hari-hari yang ramai seperti malam ini."
"Malam ini ada apa, nek?" bertanya Rara Wulan pula.
"Orang yang tinggal di rumah dekat simpang tiga yang kelihatan dari sini itu, malam nanti akan mengadakan perhelatan, di rumah itu, malam nanti akan ada pertunjukkan tari topeng dari rombongan yang sudah sangat terkenal. Rombongan tari topeng dari Ngandong."
"Dari Ngandong?" ulang Ki Citra Jati.
"Ya, dari Ngandong."
"Aku sudah pernah mendengar, rombongan tari topeng dari Ngandong memang terkenal," desis Ki Citra Jati, "tetapi kenapa kau berjualan disini Nek. Tidak di dekat tempat pertunjukkan itu?"
"Nanti. Jika pertunjukkan sudah mulai, aku akan pindah mendekat. Sekarang, tempat itu masih sepi. Justru disini ada satu orang yang membeli."
Ki Citra Jati mengangguk-angguk.
Setelah mereka menerima sebungkus serabi serta telah membayar harganya, maka mereka-pun melanjutkan perjalanan mereka.
"Kita tidak akan berhenti disini. Malam nanti akan ada pertunjukkan. Dapat saja sesuatu terjadi disini. Karena itu, maka kita akan meneruskan perjalanan. Kita akan menginap di padukuhan berikutnya."
"Baik, ayah," sahut Glagah Putih, "aku sependapat. Kita tidak akan berhenti disini."
Ketika mereka lewat di depan rumah yang disebut akan menyelenggarakan pertunjukkan wayang topeng itu, maka mereka sempat berhenti sejenak. Di halaman nampak beberapa orang masih sibuk menyelesaikan pemasangan tarub.
"Nampaknya mereka belum siap benar," gumam Nyi Citra Jati.
"Ya. Seharusnya segala-galanya sudah siap. Tidak ada lagi kesibukan memasang tarub," sahut Ki Citra Jati.
"Tetapi bukanlah tinggal bagian-bagian terakhir saja," berkata Glagah Putih.
"Ya. Sebentar lagi semuanya sudah akan siap."
"Agaknya upacara temu pengantin itu belum diselenggarakan malam ini. Agaknya malam ini baru malam midadareni."
"Ya. Tari topeng ini diselenggarakan justru malam midadareni. Entah apa yang akan diselenggarakan besok, saat upacara temu."
Keempat orang itu-pun kemudian telah melanjutkan perjalanan. Tetapi seperti yang mereka sepakati, mereka tidak akan berhenti di padukuhan itu, meski-pun ada juga keinginan untuk nonton tari topeng dari Ngandong yang terkenal, namun mereka tidak ingin perjalanan mereka terganggu oleh sebab sebab yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan mereka.
Ketika mereka melangkah menjauh, mereka melihat beberapa orang yang berjualan bertebaran di sepanjang jalan. Seperti perempuan tua di dekat gardu. Mereka baru akan mendekati tempat pertunjukkan jika persiapan pertunjukkan telah selesai.
Sementara itu mereka melihat anak-anak yang mulai ramai bermain di jalan. Agaknya mereka akan pergi melihat tari topeng yang merupakan tontonan yang jarang diselenggarakan.
Tetapi sebelum mereka sampai di tempat pertunjukkan, anak-anak itu telah menghabiskan uang jajannya untuk membeli makanan yang dijajakan di sepanjang jalan menuju ke tempat pertunjukan.
"Begitu tari topeng itu dimulai, anak-anak itu sudah mengantuk. Mereka akan pulang dan tidur nyenyak. Uang mereka telah habis pula sebelum pertunjukan dimulai," desis Nyi Citra Jati.
"Ya," sahut Glagah Putih, "tetapi bukankah anak-anak di mana-mana sama saja?"
Nyi Citra Jati tertawa. Sementara itu, lampu-lampu-pun telah menyala. Sinarnya mencuat keluar dari celah-celah pintu yang belum tertutup rapat. Di satu dua regol halaman, oncor telah dinyalakan pula. Demikian pula di regol halaman rumah yang akan menyelenggarakan pertunjukkan itu. Bukan hanya di regol, tetapi di pendapa, oncor-pun telah menyala, sehingga halaman itu menjadi terang benderang.
Sementara itu, Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati, Glagah Putih dan Rara Wulan telah keluar dari gerbang padukuhan itu. Di hadapan mereka terbentang bulak yang tidak terlalu luas. Di ujung bulak itu terdapat sebuah padukuhan pula.
"Kita bermalam di padukuhan itu. Nampaknya padukuhan itu tidak terlalu sibuk," berkata Ki Citra Jati.
"Tetapi tentu banyak penghuninya yang datang ke padukuhan ini untuk nonton tari topeng," sahut Nyi Citra Jati.
"Apa salahnya" Mereka menonton tari topeng, kami tidur nyenyak di banjar."
"Ya, Justru padukuhan itu menjadi lebih sepi dari biasanya." Mereka berempat-pun melanjutkan perjalanan mereka. Malam menjadi semakin gelap. Kunang-kunang-pun mulai nampak berkerdipan di ujung daun padi yang subur yang terbentang dari tepi ke tepi seberang bulak itu.
Sebagai pengembara mereka tidak mengalami kesulitan berjalan di kegelapan ujung malam. Apalagi di bulak yang terbuka, sehingga cahaya bintang-bintang di langit membuat malam itu tidak menjadi hitam pekat.
Bahkan kemudian mereka-pun mulai berpapasan dengan kelompok-kelompok remaja yang akan pergi ke padukuhan sebelah untuk menonton tari topeng.
Kelompok-kelompok remaja itu nampaknya tertarik melihat mereka berempat berjalan justru berlawanan arah. Tetapi tidak ada diantara mereka yang bertanya.
"Semakin malam, kita akan berpapasan dengan semakin banyak orang," berkata Ki Citra Jati.
"Kita mempunyai kepentingan yang berbeda," sahut Nyi Citra Jati.
Sebenarnyalah, bahwa semakin malam, semakin banyak anak-anak dan remaja yang berpapasan di jalan. Bahkan kemudian, anak-anak muda dan bahkan orang-orang tua. Nampaknya tari topeng itu benar-benar telah menarik perhatian banyak orang dari padukuhan-padukuhan di sekitarnya.
Ketika keempat orang itu sampai di gerbang padukuhan di seberang bulak, maka rasa-rasanya padukuhan itu menjadi sepi. Meski-pun pada malam hari padukuhan-padukuhan juga terkesan sepi karena penghuninya sudah berada di dalam rumah masing-masing, namun karena mereka berempat mengetahui bahwa penghuni padukuhan itu bagaikan mengalir ke padukuhan sebelah, maka rumah-rumah yang terdapat di sebelah-menyebelah itu rasa-rasanya telah kosong, meski-pun lampu di rumah itu menyala.
"Dimanakah letak banjar padukuhannya," desis Ki Citra Jati.
"Biasanya letaknya di pinggir jalan induk ayah. Agaknya jalan yang kita lalui ini adalah jalan induk, sehingga banjar itu letaknya agaknya di pinggir jalan ini."
Ki Citra Jati-pun mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Biasanya memang demikian."
Mereka tertegun ketika mereka melihat satu halaman yang luas. Sebuah bangunan joglo yang besar diantarai oleh satu wuwung berbentuk li-masan, lalu bangunan joglo lagi dan limasan lagi dua wuwung. Di sebelah kanan dan kiri terdapat gandok yang bagaikan sayap seekor burung yang sedang mengepak. Pintu seketeng yang diterangi oleh oncor di sebelah menyebelah, memisahkan halaman depan rumah itu dengan longkangan di sayap kiri dan kanan.
"Inikah banjar itu?" desis Nyi Citra Jati.
"Bukan. Ini rumah seseorang."
"Begitu besarnya. Di padukuhan ini terdapat juga seorang yang kaya dengan rumahnya yang besar serta halamannya yang luas."
"Ya. Tetapi yang tadi menyelenggarakan pertunjukkan tari topeng juga berhalaman luas. Rumahnya juga besar, tidak terpaut banyak dengan rumah ini."
"Tetapi agaknya rumah ini juga kosong. Isinya pergi kepadukuhan sebelah."
"Tentu tidak. Mungkin remaja dan anak-anak muda. Tetapi pemilik rumah ini suami isteri tentu tidak akan mau pergi nonton tari topeng di padukuhan sebelah. Kecuali jika mereka diundang untuk menghadiri malam midadareni."
"Mungkin penghuni rumah ini diundang ke padukuhan sebelah."
Pembicaraan mereka-pun terhenti. Mereka melanjutkan langkah mereka menyusuri jalan utama padukuhan itu.
Beberapa puluh tonggak kemudian, barulah mereka menemukan bangunan yang menurut pengamatan mereka adalah banjar padukuhan itu. Justru tidak sebesar rumah yang baru saja menarik perhatian mereka.
"Kita temui penunggu banjar itu. Biasanya mereka tinggal di belakang banjar," berkata Ki Citra Jati.
"Biarlah kakang pergi menemuinya bersama Glagah Putih. Aku dan Wulan menunggu disini," berkata Nyi Citra Jati.
"Baiklah." Bersama Glagah Putih, maka Ki Citra Jati-pun pergi ke rumah yang sederhana di belakang banjar itu.
Ternyata yang mereka temui hanyalah isteri penunggu banjar itu serta anaknya perempuan yang masih kanak-kanak. Agaknya isteri penunggu banjar itu sedang berusaha menidurkan anak perempuannya itu.
Ketika Ki Citra Jati mengetuk pintu rumah sederhana itu, maka perempuan itulah yang membukanya, sementara anak perempuannya yang sudah berbaring di pembaringan memanggil-manggilnya.
"Ibu, ibu." "Sebentar ngger, ada tamu."
"Maaf Nyi, kalau kami telah mengejutkan anak itu."
"Anak itu merengek terus. Kakaknya diantar ayahnya pergi ke padukuhan sebelah, untuk nonton tari topeng."
Ki Citra Jati mengangguk-angguk.
"Tetapi siapakah Ki Sanak ini" Apakah Ki Sanak mempunyai keperluan dengan ayahnya anak-anak?"
"Tidak, Nyi. Kami sedang menempuh perjalanan panjang. Kami kemalaman di jalan. Nyi, jika diperkenankan, kami ingin minta ijin untuk bermalam di banjar ini. Besok pagi-pagi kami akan melanjutkan perjalanan."
Perempuan itu termangu-mangu sejenak. Dengan ragu ia-pun bertanya, "Kalian berdua?"
"Tidak Nyi. Kami berempat. Isteriku dan isteri anakku ini menunggu di regol."
"Jadi Ki Sanak menempuh perjalanan bersama isteri dan menantu perempuan Ki Sanak?"
"Ya, Nyi." Perempuan itu mengangguk-angguk. Sementara anak perempuannya masih memanggilnya.
"Anak itu juga ingin nonton. Tetapi ia baru agak kurang sehat. Badannya agak panas dan sehari-harian tidak mau makan."
"Sudah diobati, Nyi."
"Sudah." "Sokurlah. Mudah-mudahan anak itu segera sembuh."
"Ki Sanak," berkata perempuan itu kemudian, "biasanya ayah anak-anak ini juga tidak berkeberatan jika ada seseorang yang kemalaman dalam perjalanan, minta ijin untuk bermalam disini. Karena itu, aku kira ayahnya anak-anak itu juga tidak akan berkeberatan, jika Ki Sanak bermalam. Apalagi Ki Sanak berjalan bersama dua orang perempuan."
"Terima kasih, Nyi. Jika Nyai tidak berkeberatan, maka biarlah aku memanggil isteri dan menantuku itu."
"Silahkan, Ki Sanak. Tetapi maaf, aku tidak dapat meninggalkan anakku. Jika ia sudah tidur, nanti aku pergi ke pendapa. Aku akan membersihkan bilik di serambi samping banjar itu."
"Sudahlah Nyi. Kami tidak usah merepotkan Nyai. Kami dapat tidur di mana-pun."
Ketika anak perempuan isteri penunggu banjar itu memanggil-manggil lagi, maka Ki Citra Jati-pun berkata, "Sudahlah, Nyi. Silakan. Biaikan kami duduk-duduk di pendapa banjar."
"Maaf Ki Sanak. Silahkan. Anak itu nakalnya bukan main." Sejenak kemudian, Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati, Glagah Putih dan Rara Wulan sudah berada di pendapa banjar. Mereka duduk disudut pringgitan sambil menanti penunggu banjar itu pulang.
"Penunggu banjar itu membawa anaknya yang masih menjelang remaja. Ia tentu tidak akan sampai tengah malam. Anak itu tentu sudah mengantuk. Jika sudah membeli jajan, ia akan segera mengajak pulang.
"Jika justru ayahnya yang senang melihat tari topeng?"
"Keadaannya tentu akan berbeda," Glagah Putih menyahut sambil tersenyum.
Namun yang kemudian muncul adalah isteri penunggu banjar itu. Dibersihkannya bilik di serambi. Kemudian mempersilahkan keempat orang itu bermalam di bilik itu.
"Hanya sebuah banjar, Ki Sanak. Apa adanya."
"Terima kasih, Nyi. Terima kasih. Ini sudah jauh dari cukup bagi kami berempat."
Setelah mencuci kaki di pakiwan, maka yang berbaring lebih dahulu adalah Nyi Citra Jati dan Rara Wulan. Nyi Citra Jati masih juga membantu Rara Wulan mengobati lukanya yang sudah menjadi semakin baik, sebelum mereka berbaring di amben yang besar yang terdapat didalam bilik itu.
"Tidurlah," berkata Ki Citra Jati kepada Glagah Putih, "nanti, menjelang dini, aku akan membangunkanmu. Aku akan gantian tidur."
"Baiklah, ayah," berkata Glagah Putih yang kemudian juga berbaring di amben yang besar itu.
Namun sebelum Glagah Putih sempat tidur, mereka mendengar langkah kaki disebeiah serambi banjar itu. Kemudian mereka-pun mendengar suara orang yang sedang bercakap-cakap. Seorang di antaranya adalah anak-anak.
"Penunggu banjar itu sudah pulang," desis Glagah Putih.
"Ya," Ki Citra Jati mengangguk-angguk, "anaknya tentu sudah mengantuk."
Sejenak kemudian, mereka-pun mendengar pintu rumah di belakang banjar itu diketuk orang.
Setelah mereka mendengar derit pintu dibuka, mereka-pun mendengar suara isteri penunggu banjar itu bertanya, "Sudah pulang?"
"Tole sudah mengantuk. Setelah jajan beberapa macam makanan ia mengajak pulang."
"Tari topeng itu sudah dimulai?"
"Belum lama." "Marilah." "Biarlah tole mencuci kaki."
Glagah Putih-pun kemudian bangkit. Kepada Ki Citra Jati ia-pun bertanya, "Apakah kita akan menemuinya?"
"Ada juga baiknya, Glagah Putih. Marilah, kita temui penunggu banjar itu."
Keduanya-pun kemudian keluar dari bilik di serambi banjar itu.
Keduanya-pun kemudian keluar dari bilik di serambi banjar itu. Setelah menutup pintunya, mereka-pun turun ke halaman samping.
Penunggu banjar yang baru saja mengantar anaknya ke pakiwan terkejut melihat mereka berdua. Namun Ki Citra Jati-pun segera menjelaskannya, "Kami berempat Ki Sanak. Kami mohon ijin untuk menginap di banjar ini."
"O," penunggu banjar itu mengangguk-angguk.
Sementara itu isterinya telah muncul di pintu rumahnya sambil berkata, "Mereka berempat kakang. Dua pasang suami isteri. Ayah dan ibu serta anak dan menantu."
"O," penunggu banjar itu mengangguk-angguk.
"Kami ingin mengucapkan terima kasih."
"Banjar itu terbuka bagi siapa saja yang memerlukan, Ki Sanak. Silahkan. Tetapi tentu saja hanya apa adanya. Kami-pun tidak dapat berbuat banyak bagi Ki Sanak semuanya."
"Terima kasih. Bahwa kami diijinkan bermalam di banjar ini, sudah merupakan satu keberuntungan bagi kami."
Namun pembicaraan mereka-pun terputus. Mereka mendengar langkah orang berlari-lari. Tidak hanya seorang. Tetapi saling mengejar. Mereka-pun kemudian telah memasuki halaman banjar.
"Kang, kang Kimin," terdengar seseorang berteriak.
"Ada apa?" bertanya penunggu banjar itu.
Orang yang berlari itu langsung menuju pintu rumahnya.
Namun ia-pun tertegun ketika ia melihat Kimin dan dua orang yang tidak dikenalnya berdiri di depan pintu. Demikian pula ia melihat isteri penunggu banjar itu berdiri di pintu.
"Ada apa?" bertanya penunggu banjar itu.
Orang itu tidak sempat menjawab. Dua orang yang berlari menyusulnya telah berdiri beberapa langkah di belakangnya.
Orang itu-pun segera melompat dan berdiri di sebelah penunggu banjar itu.
"Ada apa?" penunggu banjar itu masih bertanya.
"Orang itu, orang itu," suaranya terputus, sementara kedua orang yang mengejarnya itu bergerak mendekat.
"Tutup mulutmu," geram orang itu.
"Siapakah kalian?" bertanya penunggu banjar itu.
"Kau siapa?" bertanya orang itu.
"Aku penunggu banjar ini."
Sambil menunjuk kepada Ki Citra Jati dan Glagah Putih orang itu-pun bertanya, "Orang ini?"
"Mereka orang yang kemalaman dalam perjalanan dan menginap di banjar ini."
"Aku minta kalian tidak ikut campur. Orang yang aku kejar ini tentu akan memukul kentongan. Tetapi jika kentongan di banjar ini berbunyi maka kalian akan mati."
"Kenapa?" bertanya penunggu banjar itu.
"Kau tidak usah bertanya. Tetapi ingat, jangan bunyikan kentongan."
"Kenapa" Aku bertanya, kenapa dan ada apa?"
"Mereka perampok kakang," berkata orang yang dikejar itu dengan suara gemetar.
"Gila kau," geram orang bertubuh tinggi, "aku bunuh kau."
Penunggu banjar itu-pun menjadi sangat gelisah. Ia-pun berpaling kepada isterinya dan berkata, "Ajak anakmu masuk. Tutup pintunya."
"Tidak ada gunanya," geram perampok yang bertubuh lebih pendek, "jika kalian melanggar pesanku, aku bakar rumahmu bersama isteri dan anakmu."
Penunggu banjar itu masih tetap berdiam diri. Tetapi ia-pun merasa bahwa ia tidak dapat berbuat apa-apa. Isteri dan anaknya yang ada di dalam rumah itu akan dapat menjadi korban.
"Semuanya masuk ke dalam rumah itu. Aku akan menyelaraknya dari luar. Aku akan menunggui kalian sehingga pekerjaan kawan-kawanku sudah selesai. Jika selama itu kalian berbuat macam-macam maka sekali lagi aku peringatkan, aku akan membakar rumahmu."
Penunggu banjar itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia-pun berkata, "Jadi kalian memanfaatkan saat-saat padukuhan ini sepi untuk merampok" Saat penghuni padukuhan ini sebagian sedang pergi menonton tontonan di padukuhan sebelah."
"Ya," jawab perampok itu, "sekarang masuklah. Cepat. Atau aku memaksa kalian dengan kekerasan?"
Penunggu banjar itu berpaling kepada Ki Citra Jati dan Glagah Putih sambil berkata, "Maaf Ki Sanak. Yang terjadi ini adalah diluar kemampuanku untuk mengelak."
"Aku tahu Ki Sanak."
"Cepat," bentak perampok yang bertubuh tinggi, "masuk ke rumah itu."
Penunggu banjar itu termangu-mangu sejenak. Namun ia-pun kemudian berkata kepada Ki Citra Jati dan Glagah Putih, "masuklah Ki Sanak. Kita tidak mempunyai pilihan lain."
"Tetapi isteri dan menantuku berada di serambi."
"Siapa?" bertanya perampok yang bertubuh pendek.
"Isteri dan menantuku."
"Bawa mereka kemari, cepat. Mereka-pun harus masuk kedalam rumah ini."
Tetapi Ki Citra Jati dan Glagah Putih tidak segera bergerak.
"Cepat. Atau aku seret mereka kemari?"
"Nanti dulu, Ki Sanak," berkata Ki Citra Jati, "sebaiknya biarkan mereka disana. Mereka tidak akan berbuat apa-apa. Mereka hanya dua orang perempuan. Sedangkan yang seorang sudah tua. Mereka tidak akan berani bangkit dari pembaringan. Apalagi memukul kentongan."


14 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Persetan. Bawa mereka kemari. Cepat."
Namun Ki Citra Jati itu menggeleng sambil menjawab, "Tidak usah Ki Sanak."
"Kau menolak perintahku ini."
"Maksudku, biarlah mereka berada disana."
"Tidak. Bawa mereka kemari."
Namun yang menjawab kemudian adalah Glagah Putih setelah ia tanggap akan maksud Ki Citra Jati, "Tidak mau."
"Tidak mau?" "Ya. Tidak mau."
Tiba-tiba saja tangan perampok yang bertubuh pendek itu terayun dengan derasnya mengarah ke wajah Glagah Putih.
Tetapi yang terjadi adalah diluar dugaan. Glagah Putih dengan cepat menangkap pergelangan tangan orang itu, kemudian memilinnya sehingga tubuh orang itu berputar dan membelakangi Glagah Putih sambil terbungkuk-bungkuk. Sebelum orang itu sempat berusaha membebaskan dirinya, sisi telapak tangan Glagah Putih telah menghantam tengkuknya sehingga orang itu jatuh terjerembab. Terdengar orang itu mengerang kesakitan. Namun ia tidak dapat segera bangkit berdiri.
Kawannya yang bertubuh tinggi, yang melihat bagaimana kawannya tidak berdaya sama sekali, dengan serta-merta meloncat untuk melarikan diri.
Tetapi kaki Ki Citra Jati tiba-tiba saja telah menyambar perutnya.
Orang itu-pun terlempar beberapa meter dan terbanting jatuh. Ia-pun tidak dapat segera bangkit. Perutnya terasa sakit sekali dan bahkan menjadi mual. Nafasnya-pun terasa menjadi sesak.
"Cari tali apa-pun," berkata Glagah Putih kepada penunggu banjar itu.
"Untuk apa?" "Kedua orang ini harus diikat. Kami ingin pergi ke rumah yang sedang dirampok itu."
"Bunyikan kentongan," berkata penunggu banjar itu kepada orang yang berlari dikejar oleh kedua orang perampok itu.
"Tidak usah," cegah Glagah Putih, "suara kentongan akan mengacaukan pertunjukan di padukuhan sebelah. Jika orang di padukuhan sebelah ada yang mendengar dan kemudian menyahut dengan irama yang sama, maka pertunjukkan itu akan menjadi kacau balau."
"tetapi bagaimana dengan para perampok itu."
"Sudah aku katakan, kami akan pergi kesana. Tunjukkan rumah yang sedang dirampok itu."
Orang yang dikejar oleh kedua orang perampok itu termangu-mangu sejenak. Sementara Glagah Putih berkata, "Cari tali lebih dahulu."
Penunggu banjar itu-pun kemudian berlari masuk ke dalam rumahnya. Sejenak kemudian, ia-pun sudah berlari keluar lagi sambil membawa tali ijuk.
Sementara Glagah Putih mengikat kedua orang perampok itu pada sebatang pohon sawo, maka Ki Citra Jati telah memanggil Nyi Citra Jati dan Rara Wulan yang sudah duduk di bibir pembaringan. Namun mereka memang menunggu untuk mengetahui, apa yang telah terjadi.
Sejenak kemudian, maka Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati, Glagah Putih dan Rara Wulan diantar oleh orang yang berlari-lari ke banjar, pergi ke rumah yang sedang dirampok itu. Sementara Ki Citra Jati minta agar penunggu banjar itu tetap berada di banjar menunggui keluarganya serta kedua orang yang diikat pada pohon sawo itu.
"Dimana rumah itu?" bertanya Ki Citra Jati.
Orang yang berlari-lari ke banjar itu-pun menjawab sambil menunjuk, "Disana Ki Sanak. Tetapi perampok itu jumlahnya banyak. Lebih dari sepuluh orang."
"Kami akan mencoba. Antarkan kami."
Orang itu nampak ragu. Tetapi Ki Citra Jati mendesaknya, "Marilah. Kita jangan terlambat."
Keempat orang itu-pun kemudian meninggalkan banjar itu, turun ke jalan dan berjalan ke rumah yang sedang dirampok.
Ternyata rumah itu adalah rumah yang besar yang mendapat perhatian Ki Citra Jati di saat mereka mencari banjar padukuhan itu.
Dalam pada itu, penunggu banjar itu-pun menjadi ragu-ragu. Berbagai pertanyaan timbul di benaknya. Apakah keempat orang itu bukan justru kawan dari para perampok itu. Tetapi jika demikian, kenapa mereka telah mengikat dua orang diantara mereka di halaman banjar.
Untuk beberapa saat penunggu banjar itu termangu-mangu. Ketika isterinya menjenguk keluar, maka ia-pun berkata, "Masuklah Nyi. Tutup pintunya."
"Kau baik-baik saja kakang?"
"Ya. Aku baik-baik saja."
"Apakah kau tidak masuk?"
"Biarlah aku disini."
Demikian perempuan itu masuk dan menutup pintu, seorang diantara para perampok yang terikat itu-pun berkata, "Lepaskan kami. Kami akan membalas kebaikanmu."
"Apa yang dapat kau lakukan" Jika aku melepasmu, maka kau akan mencekik aku."
"Aku akan menyelamatkanmu. Kawan-kawanku tentu akan membantai keempat orang yang sombong itu. Apalagi dua diantara mereka hanyalah perempuan. Apa yang dapat mereka lakukan" Setelah membantai keempat orang itu, maka kawan-kawanku akan segera mencari kami berdua. Nah, jika kau lepaskan kami, maka kami akan melindungimu sekeluarga dari kemarahan kawan-kawan kami."
"Tidak. Aku tidak dapat melepas ikatanmu. Keempat orang itulah yang berhak melepaskan ikatanmu."
"Jika kau tidak mau melepaskan ikatan kami, kau akan menyesal," berkata seorang lagi, "jika kawan-kawanku datang, aku tidak akan melindungimu. Tanpa perlindungan kami, maka kalian akan dicincang menjadi sayatan-sayatan kecil."
Orang itu memang menjadi ragu-ragu. Sementara orang yang diikat itu-pun berkata, "tetapi jika kau lepaskan kami, maka kami berjanji untuk menjamin keselamatanmu, isterimu dan anakmu."
Jantung penunggu banjar itu terasa berdegupan didalam dadanya. Keragu-raguan yang sangat telah mencengkam perasaannya.
"Marilah, Ki Sanak," berkata salah seorang dari kedua orang perampok itu, "jangan korbankan nyawamu serta nyawa anak isterimu sekedar untuk sebuah kebanggaan. Apa artinya kebanggaan jika sebentar lagi nyawamu dan seluruh keluargamu akan kami tumpas."
Penunggu banjar itu tidak menjawab. Ia masih saja berdiri termangu-mangu penuh keragu-raguan.
"Cepatlah," desak perampok yang terikat itu, "jangan menunggu kawan-kawanku datang kemari."
Namun akhirnya penunggu banjar itu-pun berkata, "Diamlah. Aku tidak akan melepas ikatan itu. Aku akan membawa anak dan isteriku pergi."
"Setan kau," geram perampok itu, "jangan menyesal jika kawan-kawanku memenggal lehermu nanti."
Penunggu banjar itu-pun kemudian telah mengetuk pintu rumahnya serta memanggil nama isterinya. Demikian pintu itu dibuka, maka penunggu banjar itu-pun berkata, "Nyi. Pergilah bersama anak-anakmu. Agaknya keadaan menjadi tidak menentu."
"Kakang sendiri?"
"Biarlah aku disini. Aku dapat menjaga diriku sendiri."
Perempuan itu ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia-pun bertanya, "Aku harus pergi kemana, kang?"
"Pergi ke rumah Ki Jagabaya. Jika Ki Jagabaya sedang berada di pedukuhan sebelah karena diundang dalam malam midodareni itu, pergilah ke rumah Ki Kebayan. Tetapi untuk sementara, jangan memukul kentongan. Jika Ki Jagabaya akan mempersiapkan orang-orang padukuhan, biarlah Ki Jayabaya mendatangi mereka dan mengetuk pintu rumah ke rumah."
"Baik, kang." Sejenak kemudian, maka isteri penunggu banjar itu telah keluar dari rumahnya yang kecil dan sederhana itu sambil mendukung anaknya yang kecil dan sederhana itu sambil mendukung anaknya yang kecil, yang agaknya sudah tertidur sambil menggandeng anaknya yang lebih besar.
"Gila kau," geram perampok yang terikat itu, "aku akan mengejarnya sampai kemana-pun."
"Kau akan dipenjara untuk waktu yang lama. Jika kau keluar dari penjara, aku sudah bukan penunggu banjar lagi. Anakku sudah besar dan mampu berbuat sesuatu."
"Setan kau. Jangan menyesali sikapmu ini."
Penunggu banjar itu tidak menjawab. Tetapi ia-pun kemudian pergi ke sudut banjar dan duduk di tangga bersandar dinding.
"Kau orang yang dungu. Harga nyawamu tidak seimbang dari penghasilanmu sebagai penunggu banjar ini."
Tetapi penunggu banjar itu sudah memantapkan tekadnya untuk tidak melepaskan kedua orang perampok itu, apa-pun yang terjadi.
Dalam pada itu, Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati, Glagah Putih dan Rara Wulan telah berada di rumah yang besar dengan halaman yang luas bersama orang yang telah berlari ke banjar dan berniat memukul kenton-gan. Tetapi niat itu diurungkan karena Ki Citra Jati mencegahnya.
Ketika kelima orang itu masuk regol halaman rumah yang besar itu, suasananya justru sepi. Agaknya para perampok yang itu sedang berada di ruang dalam rumah yang besar itu.
"Tinggallah disini," berkata Ki Citra Jati kepada orang yang mengantarnya ke rumah itu. "Kami akan masuk kedalamannya."
"Hati-hatilah Ki Sanak. Mereka terdiri dari banyak orang."
"Ya. Kami akan berhati-hati."
Orang yang mengantar Ki Citra Jati itu-pun kemudian berhenti dan berdiri di balik bayang-bayang sebatang pohon sawo yang besar, sementara Ki Citra Jati dan ketiga orang keluarganya itu melangkah menuju ke pendapa.
Ketika mereka berempat naik, maka tiba-tiba saja dua orang melangkah dengan sempat mendekati mereka. Seorang diantara mereka-pun bertanya dengan garang. "Siapa kalian he?"
"Kami orang lewat yang kemalaman, Ki Sanak. Kami ingin minta ijin untuk bermalam disini. Apakah Ki Sanak pemilik rumah ini?"
"Rumah ini bukan penginapan mengerti. Pergi. Cari tempat lain untuk menginap."
"Aku sudah pergi ke banjar, Ki Sanak. Tetapi penunggu banjar itu menunjukkan kepada kami untuk bermalam disini."
"Disini bukan penginapan. Pergi atau aku halau kalian seperti menghalau seekor anjing?"
"Menurut penunggu banjar itu, orang yang bermalam di tempat ini akan mendapat perlakuan yang sangat baik. Kami akan mendapat makan malam dan bilik yang hangat di gandok."
"Omong kosong. Pergi."
"Tolong Ki Sanak. Jika orang lain mendapat kesempatan untuk bermalam disini dengan mendapat makan malam dan bilik yang hangat, kenapa kami tidak?"
"Persetan dengan dongeng itu. Pergi atau aku dera kalian sampai pingsan."
"Aku mohon Ki Sanak."
"Pergi." "Aku mohon." Tiba-tiba saja pintu pringgitan rumah itu terbuka. Seorang yang berwajah garang menjenguk sambil bertanya. "Ada apa?"
"Ada orang-orang gila yang ingin menginap disini."
"Menginap." "Ya." "Lalu." "Aku suruh mereka pergi."
"Jangan," berkata orang berwajah garang itu. "Suruh mereka masuk ke ruang dalam. Ia baru boleh pergi setelah kami pergi."
Dua orang yang mula-mula menyapa itu mengangguk-angguk. Dengan garang seorang diantara mereka-pun berkata. "Masuk. Kau justru tidak boleh pergi."
"Kenapa?" "Jangan banyak bertanya. Sekarang kalian harus masuk."
Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati, Glagah Putih dan Rara Wulan-pun melangkah perlahan-lahan menuju ke pintu yang terbuka itu. Demikian mereka melangkah masuk, maka mereka-pun segera melihat beberapa orang laki-laki yang kasar dan bahkan liar sudah berada di ruang dalam.
Seorang laki-laki, seorang perempuan dan tiga orang remaja duduk di tikar yang terbentang di tengah-tengah ruangan. Seorang gadis kecil di pangkuan perempuan itu terisak menahan tangisnya.
Wajah-wajah yang ketakutan itu memandang keempat orang yang masuk ke ruang dalam itu dengan kerut di kening.
"Duduk," bentak seorang yang bertubuh tinggi, agak kurus dan berkepala botak.
Ki Citra Jati tidak segera duduk. Dipandanginya orang-orang yang ketakutan itu dengan saksama. Agaknya mereka adalah pemilik rumah itu bersama keluarganya.
"Duduk," bentak orang bertubuh tinggi itu lebih keras lagi.
"Ki Sanak," berkata Ki Citra Jati, "Kami ingin minta ijin bermalam di sini."
"Apakah kau tuli. Duduk."
Ki Citra Jati beserta keluarganya itu-pun kemudian duduk pula di tikar yang terbentang di ruang dalam itu.
"Kalian tidak boleh beranjak dari tempatmu," geram orang bertubuh tinggi itu.
Ki Citra Jati tidak menjawab. Sementara itu, orang bertubuh tinggi itu-pun kemudian berkata kepada pemilik rumah, "Bawa perhiasanmu yang lain kemari. Aku tidak percaya, bahwa kalian hanya mempunyai beberapa potong perhiasan ini. Kalian harus membawa keris, timang dan perhiasan-perhiasan yang lain kemari dan menyerahkannya kepada kami. Jika kalian tidak melakukannya, maka anak-anak kalian akan menjadi korban."
"Kami tidak mempunyai yang lain, Ki Sanak."
Namun tiba-tiba saja tangan orang itu menyambar rambut anaknya yang sulung, sehingga anak itu menjerit.
Laki-laki itu-pun dengan gerak naluriah bergeser mendekati anaknya. Namun ujung golok yang besar segera melekat di dadanya.
"Ambil perhiasanmu serta benda-benda berharga yang lain. Bawa kemari."
"Sungguh Ki Sanak. Aku tidak menyesal yang lain." Diguncangnya rambut anaknya yang sulung sambil berkata, "Aku akan mematahkan leher anakmu."
"Jangan. Ia tidak bersalah."
"Ternyata kau lebih sayang kepada harta bendamu daripada kepada anakmu."
"Tidak." "Jika tidak, ambil sekarang. Aku akan menghitung sampai sepuluh. Jika sampai hitungan kesepuluh kau belum mengambil perhiasan dan harta bendamu yang kau sembunyikan, maka anakmu ini akan mati. Bahkan tidak hanya seorang. Tetapi aku akan membunuh semua anak-anakmu. Biar kau sempat menikmati kepedihan hatimu karena anak-anakmu mati."
"Jangan, jangan."
Ujung golok laki-laki itu sudah melekat di leher anaknya yang sangat ketakutan. Tetapi anak itu sudah tidak dapat lagi menangis.
"Satu." "Ki Sanak. Jangan lakukan itu."
"Dua ..." Tiba-tiba saja ibunya menjerit, "jangan sakiti anakku."
Orang itu seakan-akan tidak mendengarnya. Ia masih saja tetap menghitung, "Tiga ..."
Perempuan itu menangis. Namun tangisnya tidak dapat menumbuhkan belas kasihan di hati perampok yang nampaknya sudah membeku itu.
"Ampat ..." Tangis perempuan itu semakin menjadi jadi, sementara perampok itu masih menghitung terus. "Lima."
"Jangan menunggu sampai batas," geram seorang yang bermata tajam seperti burung hantu dengan segores luka di pipinya.
"Enam ..." Orang yang bertubuh tinggi itu menjadi semakin geram. Ia mulai mengguncang lagi rambut anak yang sangat ketakutan itu.
"Tujuh," nada suaranya semakin meninggi.
"Kakang, kakang. Tolong anakmu kakang," teriak perempuan itu.
Laki-laki itu-pun kemudian berkata, "Baik, baik, Ki Sanak. Aku akan mengambil apa yang masih tersisa."
Ketika laki-laki itu bangkit, orang yang bertubuh tinggi itu berkata kepada seorang pengikutnya, "Bantu orang itu membawa perhiasannya kemari."
Laki-laki itu tertegun. Tetapi perampok yang mendapat perintah itu membentaknya, "Cepat. Aku tidak sesabar Ki Lurah."
Laki-laki pemilik rumah itu tidak mempunyai pilihan. Iapun segera beranjak dari tempatnya, masuk ke senthong tengah diikuti oleh seorang perampok yang berwajah garang sambil membawa bindi yang diacu-acukannya.
Pemilik rumah itu harus mengambil benda-benda berharga yang disimpannya di bagian bawah geledeg yang berada di senthongnya, didalam sebuah peti yang ditindih dengan berbagai macam benda yang tidak berarti. Pakaian-pakaian kumuh, setagen dan kamus yang sudah tua. Timang yang terbuat dari tembaga serta barang-barang lain yang tidak berharga.
Didalam peti itu diserahkan kepada orang yang bertubuh tinggi, serta setelah dibuka dan dilihat isinya, maka orang bertubuh tinggi itu mengusap pipi anak sulung yang ketakutan itu sambil berkata, "Ternyata ayah dan ibumu cukup bijaksana ngger. Baiklah. Jangan takut lagi. Aku tidak apa-apa. Aku tidak bersungguh-sungguh. Aku hanya mengancam karena ayah dan ibumu terlalu kikir."
Pemimpin perampok itu-pun kemudian memberikan isyarat kepada kawan-kawannya. "Marilah kita pergi."
Beberapa orang laki-laki yang garang itu-pun kemudian beranjak dari tempat mereka. Namun pemimpin perampok itu masih berpesan, "Jangan berbuat aneh-aneh. Jika kalian membunyikan isyarat, maka kami akan kembali. Kami akan benar-benar membunuh siapa-pun yang akan aku bunuh."
Sejenak kemudian, maka para perampok itu sudah berada di pendapa. Setelah memperhatikan anak buahnya, maka perampok itu sempat bertanya, "Dimana Bandot dan Berok?"
"Mereka mengejar anak muda yang melarikan diri dari halaman rumah ini, Ki Lurah."
"Kemana?" "Kami tidak tahu."
"Kenapa begitu lama?"
"Mungkin orang itu sempat bersembunyi."
"Kita cari sambil keluar dari halaman rumah ini."
"Baik, Ki Lurah."
Namun sebelum mereka pergi, para perampok itu-pun terkejut. Ampat orang yang mencari penginapan itu telah berdiri di pendapa itu pula.
Pemimpin perampok itu termangu-mangu sejenak. Kehadiran ampat orang itu di pendapa sempat membuat jantungnya berdebar-debar.
Ketika keempat orang itu melangkah semakin maju, pemimpin perampok itu-pun bertanya, "Kau mau apa?"
"Ki Sanak," berkata Ki Citra Jati, "aku biarkan kau merampok perhiasan itu dari pemiliknya. Sekarang perhiasan-perhiasan dan benda-benda berharga itu sudah menjadi milikmu. Nah, sekarang aku akan merampok benda-benda berharga itu dari tanganmu."
"He?" pemimpin perampok itu tidak yakin akan pendengarannya, "apa yang kau katakan?"
"Sudah sampai pada gilirannya aku merampokmu. Berikan benda-benda berharga itu kepadaku, atau aku akan membunuh semua anak buahmu. Aku tidak akan membunuh dan bahkan tidak akan menyakitimu agar kau dapat menikmati kepedihan hatimu karena semua anak buahmu terbunuh."
"Apakah kau sudah menjadi gila?"
"Tidak. Aku tidak gila. Aku masih waras. Karena itu, aku dapat menahan diri. Aku biarkan kau menyelesaikan tugasmu dengan baik. Sekarang giliranku untuk menyelesaikan tugasku dengan baik."
"Jangan main-main, Ki Sanak. Waktuku sempit. Aku tidak sempat melayani kegilaanmu itu."
"Sudah aku katakan, aku tidak gila, isteriku, anak dan menantuku juga tidak gila. Kami sudah bertahun-tahun melakukan kegiatan keluarga kami. Merampok. Barangkali itulah kelebihan kami dari kalian, bahwa kelompok kami terdiri dari orang-orang sekeluarga. Ayah, ibu, anak dan menantu."
Wajah pemimpin perampok itu menjadi merah. Dengan geram ia-pun berkata, "Betapa sombongnya kalian, kalian hanya berempat. Tetapi kalian beranimenantang kami, yang jumlahnya lipat tiga. Apakah itu berarti bahwa setiap orang diantara kalian berani melawan tiga orang dari antara kami?"
"Tentu. Bukankah kami masih dapat menghitung dengan baik?"
"Setan alas. Kalian benar-benar orang yang tidak tahu diri. Betapa-pun tinggi tingkat ilmu kalian, tetapi kalian belum tahu tataran kemampuan kami."
"Kami sudah menjajaginya. Kami telah membunuh dua orang kawanmu yang kau cari itu. Dengan demikian kami dapat menjajagi kekuatan kalian."
"Jadi kedua orang kawanku itu sudah kau bunuh?"
"Ya." "Sekarang gilirannya, kalian berempat akan mati disini." Pemimpin perampok itu tidak menunggu jawaban Ki Citra Jati. Ia-pun segera mengangkat goloknya sambil berteriak, "Bunuh keempat orang gila ini."
Ki Citra Jati Tertawa. Ia-pun berkata lantang pula, "Ayo anak-anak. Sudah waktunya kita bekerja keras. Kita merampok perampok."
Nyi Citra Jati-pun telah mengambil jarak pula. Demikian pula Glagah Putih dan Rara Wulan. Namun keduanya masih saja berniat untuk bertempur berpasangan, karena luka Rara Wulan masih belum sembuh sepenuhnya, meski-pun sudah semakin baik.
Pemimpin segerombolan perampok itu menjadi sangat marah. Ia benar-benar merasa terhina oleh sikap Ki Citra Jati. Setelah bertahun-tahun ia berpetualang, tiba-tiba saja ampat orang yang dua diantaranya perempuan, berusaha untuk merampok gerombolannya. Satu peristiwa yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
Sejenak kemudian, maka para perampok itu-pun mulai menyerang. Perampok perampok itu dengan garangnya telah langsung menyerang Ki Citra Jati. Goloknya yang besar itu-pun berputaran sehingga menimbulkan desir angin serta gaung yang keras.
Namun baru saja pertempuran itu dimulai. Ki Citra Jati sudah berhasil merampas sebuah tongkat besi dari salah seorang lawannya, sehingga orang yang kehilangan tongkat besinya itu-pun mengumpat kasar.
Tetapi orang itu masih membawa sepasang pisau belati panjang, sehingga tanpa tongkat besinya, ia-pun telah menggenggam sepasang pisau belatinya.
"Cari senjata apa adanya," berkata Ki Citra Jati hampir berteriak.
Sebelum para perampok itu menyadari apa yang terjadi. Nyi Citra Jati, Glagah Putih dan Rara Wulan telah berhasil merebut senjata apa saja dari tangan lawan-lawannya.
Nyi Citra Jati telah berhasil merampas sebilah pedang Rara Wulan telah menggenggam sebatang tombak pendek. Sedang Glagah Putih berhasil mendapatkan sebuah canggah bertangkai pendek.
Keberhasilan mereka merebut senjata telah memberikan isyarat kepada lawan-lawan mepeka, bahwa keempat orang itu benar-benar orang-orang yang sangat berbahaya. Mereka memiliki kemampuan yang tinggi, sehingga seakan-akan mereka dapat berbuat sekehendak mereka atas lawan-lawan mereka.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, pertempuran-pun menjadi semakin sengit. Sementara itu, sebagaimana dibisikkan oleh Ki Citra Jati pada saat ia keluar pintu pringgitan kepada pemilik rumah itu, maka pintu pringgitan itu-pun telah ditutup dan diselarak dari dalam.
Namun sejenak kemudian, pemimpin perampok serta anak buahnya segera menyadari, bahwa keempat orang itu benar-benar orang yang berilmu tinggi.
Dengan senjata rampasan, Glagah Putih bertempur dengan garangnya. Keduanya bergerak dengan cepat diantara lawan-lawan mereka yang jumlahnya berlipat.
Para perampok itu sama sekali tidak menduga, bahwa perempuan muda yang disebut menantu dari sepasang suami isteri itu, juga memiliki ilmu yang tinggi sebagaimana ibunya.
Dengan demikian, maka pasangan suami isteri yang bertempur berpasangan itu, membuat lawan-lawan mereka berdebaran.
Tetapi mereka adalah perampok-perampok yang sudah berpengalaman. Apalagi jumlah mereka jauh lebih banyak dari keempat orang yang akan merebut hasil rampokan mereka. Karena itu, maka para perampok itu masih tetap berkeyakinan bahwa mereka akan segera dapat mengalahkan mereka.
Pemimpin perampok yang terlibat dalam pertempuran melawan Ki Citra Jati itu telah menyerahkan peti kecilnya kepada seorang kepercayaannya. Orang yang bertubuh tinggi itu, bersama dengan dua orang pengikutnya, mencoba untuk dengan cepat menyelesaikan pertempuran itu.
Tetapi ternyata mereka mengalami kesulitan, Ki Citra Jati dengan tongkat besinya, berloncatan dengan tangkasnya. Orang tua yang sedang bertempur itu, seolah-olah bukan lagi orang tua yang datang, minta ijin untuk menginap di rumah itu.
Demikian pula perempuan-perempuan yang telah menyingsingkan kain panjangnya itu. Mereka tiba-tiba saja telah berubah menjadi orang-orang yang sangat garang.
Tongkat besi di tangan Ki Citra Jati telah bergerak berputaran dengan cepat. Benturan-benturan yang keras telah terjadi antara tongkat besi itu dengan senjata-senjata para perampok itu. Bunga api-pun berloncatan memercik di sekitar arena.
Di sisi lain, Nyi Citra Jati harus bertempur melawan tiga orang pula.
Pedangnya yang berkilat-kilat memantulkan cahaya lampu minyak di pendapa rumah itu, terayun-ayun mengerikan. Orang yang semula memiliki pedang itu, rasa-rasanya tidak lagi mengenali, bahwa pedang itu adalah pedangnya. Pedangnya yang terayun itu rasa-rasanya menjadi jauh lebih berbahaya daripada saat-saat pedang itu berada di tangannya.
Orang yang kehilangan pedang itu mengalami kesulitan untuk mendekat. Putaran pedang itu bagaikan kabut yang melingkari tubuh Nyi Citra Jati.
Sementara itu senjata yang kemudian dipegangnya adalah lebih pendek dari pedangnya.
Dalam pada itu, pasangan yang disebutnya anak dan menantu itu-pun tidak kalah garangnya pula. Ternyata beberapa saat kemudian, seorang diantara lawan mereka telah terlempar dari pendapa dan jatuh berguling di halaman samping.
Dengan serta merta orang itu-pun bangkit. Tetapi tulang punggungnya terasa bagaikan telah retak, sehingga orang itu harus berdesah manahan sakit.
Sebelum orang itu sempat naik kembali ke pendapa, kaki Rara Wulan telah menghantam dada seorang yang bertubuh pendek dan berperut buncit. Terdengar orang itu mengaduh sementara tubuhnya terdorong dengan derasnya menghantam tiang. Demikian kerasnya sehingga pendapa itu rasa-rasanya bagaikan diguncang gempa.
Orang itu hanya sempat menggeliat. Namun kemudian ia-pun menjadi pingsan.
Sementara itu, Glagah Putih justru menjadi ragu-ragu. Canggah bertangkai pendek di tangannya itu ternyata sangat berbahaya bagi lawan-lawannya. Ketika ia sempat mengayunkannya, maka tiga orang sekaligus berteriak kesakitan. Canggah bertangkai pendek itu telah menggores ketiga orang itu sekaligus. Meski-pun lukanya tidak membahayakan hidupnya, namun darah sudah mulai menitik dari lukanya.
Namun dengan demikian, orang-orang yang terluka itu menjadi sangat marah. Mereka-pun segera menghentakkan kemampuan mereka.
Tetapi mereka tertegun ketika seorang lagi diantara mereka yangter-pelanting jatuh dari pendapa.
Orang itu mengaduh kesakitan. Sementara itu orang yang pertama kali terlempar jatuh itu telah naik kembali ke pendapa. Tetapi ia masih saja merasa terganggu oleh perasaan sakit di punggungnya.
Sementara itu, orang-orang yang bertempur melawan seorang perempuan yang mereka anggap sudah tua. merasa yakin bahwa mereka akan segera menyelesaikan tugas mereka. Setelah itu mereka akan datang bergabung dan membantu kawan-kawan mereka.
Tetapi ternyata mereka dengan cepat telah terdesak. Perempuan tua itu mampu bergerak dan berloncatan dengan cepat, seperti seekor burung srigunting.
"Perempuan iblis," geram seorang yang kulitnya bagaikan terbakar. Agaknya orang yang terlalu sering terpanggang oleh panasnya sinar matahari.
Dengan bersenjatakan sebuah kapak ia-pun berusaha untuk segera mengakhiri pertempuran. Dengan lantang ia-pun berkata, "Jangan ragu-ragu. Kita bunuh perempuan yang kepanjingan iblis ini."
Namun Nyi Citra Jati tertawa. Katanya, "Jangan mudah terseret oleh arus perasaanmu ngger. Apalagi dalam sebuah pertempuran Kegelisahan dan kecemasan yang tidak terkendali akan menjerumuskan kalian kedalam kesulitan."
"Persetan nenek tua," bentak seorang yang bertubuh kurus.
"Seharusnya kau makan lebih banyak, agar tubuhmu menjadi agak gemuk sedikit."
"Aku bunuh kau nek," sahut orang yang kurus itu.
Nyi Citra Jati tertawa. Suara tertawanya yang patah-patah itu-pun terdengar mengguncang. Bahkan Rara Wulan justru meloncat surut mengambil jarak dari lawan-lawannya. Terasa tengkuknya meremang.
Glagah Putih-pun menyusulnya sambil bertanya, "Ada apa, Rara Wulan?"
"Tidak apa-apa," jawab Rara Wulan. Namun ia-pun kemudian berdesis, "Suara tertawa ibu itu."
Glagah Putih tersenyum. Namun ia-pun segera meloncat menghindari serangan seorang lawannya. Sebuah golok yang besar terayun dengan derasnya mengarah ke leher. Sambil merendah Glagah Putih menggerakkan canggahnya. Sepasang mata canggahnya telah menjepit golok lawannya. Ketika Glagah Putih kemudian memutar canggahnya, maka golok di tangan orang itu-pun bagaikan direnggut dengan kerasnya.
Orang itu tidak berhasil mempertahankan beberapa langkah dari padanya. Justru hampir mengenai seorang yang bertubuh gemuk dan berwajah bulat.
Tetapi Glagah Putih tidak dapat mencegahnya ketika orang yang kehilangan goloknya itu dengan serta-merta meloncat menerkam goloknya itu yang terjatuh itu, karena Glagah Putih harus bergeser ke samping menghindari serangan seorang lawannya lain.
Tetapi demikian orang yang sudah berhasil memungut goloknya itu harus mengaduh kesakitan. Ujung tombak pendek di tangan Rara Wulan memang telah mematuk lambungnya. Namun Wulan memang tidak berniat membunuhnya, sehingga luka di lambung orang itu tidak terlalu dalam.
Meski-pun demikian, dari luka itu telah mengalir darahnya yang hangat.
"Jika kau memaksa untuk bertempur terus, maka dari lukamu itu darah akan mengalir semakin banyak, karena setiap gerakan bagaikan memeras urat nadimu. Akhirnya darahmu akan habis dan kau akan mati lemas karena tubuhmu menjadi kering."
Orang itu tidak menjawab. Tetepi ia mencoba menekan lukanya dengan telapak tangannya. Bahkan orang itu-pun kemudian merangkak menepi dan duduk bersandar tiang.
Dengan demikian, lawan-pun menjadi semakin menyusut. Lawan Ki Citra Jati-pun tinggal dua orang lagi.
Dalam pada itu para perampok yang menyadarinya, agaknya barusaha untuk mengambil jalan lain.
Beberapa saat ia masih mencoba melawan. Namun kemudian ia-pun meloncat surut. Kepada kepercayaannya ia-pun berkata, "Berikan peti itu. Bunuh orang yang berusaha merebut peti-peti ini."
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian diserahkannya peti kecil yang berisi benda-benda berharga itu sementara ia sendiri meloncat melibatkan diri dalam pertempuran melawan Ki Citra Jati.
Pada saat itulah pemimpin perampok itu mencoba melarikan diri. Tanpa memberikan peringatan apa-apa kepada kawan-kawannya, ia meloncat turun ke halaman dan berlari ke arah pintu regol.
Namun langkahnya terhenti, Glagah Putih telah berdiri beberapa langkah di hadapannya. Ditinggalkannya Rara Wulan karena lawan yang harus dihadapinya tinggal dua orang, sementara Glagah Putih yakin bahwa Rara Wulan akan mengatasinya.
"Minggir," teriak pemimpin perampok itu.
"Jangan lari. Serahkan peti itu kepadaku. Jika kau tidak melakukannya, seperti yang dikatakan oleh ayahku, semua anak buahmu akan kami bunuh."
"Bunuhlah," teriak orang itu, "aku tidak akan memerlukan mereka lagi. Sekarang minggir atau aku akan membunuhmu."
"Serahkan peti itu."
Pemimpin perampok itu tidak menyahut. Ia-pun segera meloncat sambil mengayunkan pedangnya yang digenggamnya di tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya mengepit peti kecil yang berisi benda-benda berharga itu.
Tetapi ayunan pedangnya tidak menyentuh sasarannya. Dengan cepat Glagah Putih telah menyerangnya pula.
Pertempuran berlangsung tidak begitu lama. Sejenak kemudian Ki Citra Jati-pun telah hadir pula sambil berkata, "Kau akan lari dan meninggalkan kawan-kawanmu yang terluka begitu saja."
"Persetan," geram orang itu.
Serangan-seranganya-pun menjadi semakin garang. Tetapi karena sebelah tangannya memegangi peti yang berisi benda-benda berharga, maka ia tidak dapat bertempur dengan leluasa.
Apalagi ketika Ki Citra Jati-pun telah melibatkan diri pula. Ketika tongkat besi di tangan Ki Citra Jati itu terayun dan menghantam pahanya, maka pemimpin perampok itu-pun telah terjatuh dan tidak dapat bangkit berdiri lagi. Ternyata tulang pahanya telah menjadi retak.
Sementara itu, peti kecil itu-pun telah terlepas dari tangannya dan jatuh beberapa langkah dari kakinya.
Pemimpin perampok itu berteriak kesakitan. Tetapi ia masih mencoba merangkak menggapai peti itu. Tetapi Glagah Putih bergerak lebih cepat memungut peti kecil yang terlempar itu.
"Kembalikan, kembalikan kepadaku," teriak pemimpin perampok itu.
"Apa yang dikembalikan?" bertanya Glagah Putih.
Pemimpin perampok itu-pun menjawab sambil menyeringai kesakitan, "Peti itu, peti itu."
Tetapi Glagah Putih-pun berkata, "Peti ini akan menjadi milik kami. Sebagaimana kalian merampok pemilik rumah ini sehingga ini menjadi milikmu, maka sekarang peti ini menjadi milik kami."
"Tidak, tidak," teriaknya.
Namun Ki Citra Jati segera meletakkan tongkat besinya di pundaknya sambil berkata, "Tongkat ini tidak hanya dapat mematahkan tulang kakimu. Tetapi tongkat ini akan dapat mematahkan lehermu."
Ketika Ki Citra Jati menggerakkan tongkat menyentuh leher orang itu, maka ia-pun berteriak, "Jangan, jangan."
"Baiklah," berkata Ki Citra Jati, "aku tidak hanya dapat mematahkan lehermu, tetapi kau jangan berbuat aneh-aneh."
Orang itu memandang Ki Citra Jati dengan sorot mata yang membayangkan kesakitan.
Dalam pada itu, Ki Citra Jati-pun kemudian berkata kepada Glagah Putih, "Suruh orang yang berdiri di belakang pohon itu untuk memanggil Ki Demang. Aku akan menemui pemilik rumah ini."
"Baik, ayah," sahut Glagah Putih.
Glagah Ptuih-pun kemudian berlari menemui orang yang telah menunjukkan rumah yang sedang dirampok itu.
"Pergilah ke rumah Ki Demang. Panggil Ki Demang kemari."
"Baik, Ki Sanak."
"Katakan bahwa para perampok sudah tidak berdaya. Ki Demang tidak perlu membunyikan kentongan."
Demikian orang itu berlari keluar regol halaman, maka Glagah Putih-pun segera kembali kepada Ki Citra Jati.
"Awasi orang ini," berkata Ki Citra Jati, "aku akan menemui pemilik rumah ini."
"Baik ayah." "Ki Citra Jatipun kemudian menuju ke pintu pringgitan. Diketuknya pintu itu sambil berkata, "Buka pintunya, Ki Sanak."
Hening sejenak. "Siapa?" bertanya pemilik rumah itu kemudian.
"Aku. Aku yang minta Ki Sanak menutup pintu pringgitan ini." Pemilik rumah itu terkejut. Ia melihat para perampok itu terbaring berserakkan di pendapa dan di halaman rumahnya. Yang terdengar adalah keluhan dan erang kesakitan.
"Ini peti perhiasanmu Ki Sanak. Aku telah merampasnya kembali."
Pemilik rumah itu merasa ragu-ragu menerimanya. Tetapi Ki Citra Jati berkata pula, "Terimalah. Lihat isinya, apakah masih utuh?"
Orang itu-pun kemudian menerima peti itu. Dengan tangan gemetar ia membuka peti itu.


14 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya, Ki Sanak. Nampaknya isinya masih tetap utuh."
"Simpanlah. Kami telah merampasnya kembali dari pada perampok itu."
"Lalu bagaimana dengan mereka?"
"Mereka sudah tidak berdaya. Aku sudah minta seseorang memanggil Ki Demang. Ia akan segera datang. Tetapi menurut pendapatku, kalian tidak perlu membunyikan kentongan, agar tidak membuat banyak orang menjadi kebingungan dan ketakutan."
"Simpanlah. Tetapi kau harus segera menemui Ki Demang."
"Baik, Ki Sanak."
Pemilik rumah itu-pun segera menyimpan perhiasannya. Namun sejenak kemudian ia sudah berada di pendapa rumahnya.
Sesaat kemudian, beberapa orang telah memasuki regol halaman rumahnya. Ki Demang dan beberapa orang yang telah dibangunkan pula oleh Ki Demang. Sementara itu, masih saja tetangga-tetangganya berdatangan. Agaknya orang-orang telah singgah, membangunkan dan mengajak tetangga-tetangganya untuk datang ke rumah yang sedang dirampok itu.
Ki Demang-pun segera menemui pemilik rumah itu. Mereka terlibat dalam pembicaraan yang bersungguh-sungguh, Sementara itu, para perampok masih saja mengerang kesakitan. Bahkan ada diantara mereka yang terluka parah dan pingsan.
"Bagaimana mungkin kau melakukannya?" bertanya Ki Demang sambil menebarkan pandangan matanya.
"Itulah pemimpin perampok itu," berkata pemilik rumah itu sambil menujuk seorang yang terbaring di tanah sambil mengaduh kesakitan. Kakinya yang retak terasa semakin sakit. Sementara goresan-goresan luka dikulitnya telah menitikkan darah.
"Tetapi apa yang sebenarnya terjadi" Bagaimana mungkin kau dapat mengalahkan mereka semuanya."
"Bukan aku," jawab pemilik rumah itu.
"Siapa yang telah mengalahkan mereka?"
"Ampat orang yang semula datang untuk minta ijin menginap. Merekalah yang telah merampas kembali peti perhiasan kami yang telah dirampas oleh para perampok itu."
"Dimana mereka sekarang?"
Pemilik rumah itu termangu-mangu sejenak. Dilihatnya semakin lama semakin banyak orang yang berdatangan. Tetapi ia tidak melihat lagi ampat orang yang telah menolongnya.
Pemilik rumah itu termangu-mangu sejenak. Dengan ragu-ragu ia-pun berkata, "Tadi ia masih berada di sini. Ketika Ki Demang datang, mereka masih berdiri di pendapa ini."
"Apakan kau bermimpi?" bertanya Ki Demang.
"Tetapi para perampok yang tidak berdaya lagi itu bukan sekedar mimpi."
"Apakah kau sudah diselamatkan oleh ampat sosok gendruwo?"
"Ki Demang," berkata orang yang telah menyusulnya, "Keempat orang itu semula bermalam di banjar."
"Kenapa ia datang kemari?"
Orang itu-pun kemudian menceriterakan bagamana ia dikejar oleh dua orang perampok pada saat ia menyelinap dari rumah ini untuk berusaha membunyikan kentongan di banjar.
"Jadi ada dua orang perampok yang terikat dibanjar?"
"Ya." Ki Demang mengangguk-angguk kecil. Katanya kemudian, "Sulit dimengerti. Tetapi untunglah bahwa aku sudah pulang dari padukuhan sebelah. Aku mendapat undangan midadareni."
"Aku juga mendapat undangan ki Demang. Tetapi aku tidak dapat datang karena kepalaku terasa pening dan badanku sedikit panas."
"Tetapi orang itu bukan jin, Ki Demang," berkata orang yang berlari kebanjar itu. Katanya selanjutnya, "Kaki mereka beranjak di tanah. Sikap mereka, kata-kata mereka sama sekali tidak memberikan kesan bahwa mereka bukan makhluk seperti kita."
"Jin dapat menjelma menjadi orang yang utuh seperti kita." Namun seorang yang berbadan agak gemuk berkata, "Maksud Ki Demang, ampat orang yang tadi berada di halaman rumah ini?"
"Ya." "Aku melihat ampat orang yang keluar dari halaman rumah ini."
"Kau tidak menegurnya?"
"Tidak Ki Demang."
"Seharusnya kau menegurnya dan bertanya kepadanya, siapakah mereka itu. Seandainya mereka termasuk anak buah perampok ini, maka mereka akan mendapat kesempatan untuk melarikan diri."
Iblis Pulau Hantu 1 Wiro Sableng 168 Mayat Kiriman Di Rumah Gadang Menumpas Gerombolan Lalawa Hideung 1

Cari Blog Ini