Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 2

15 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 2


Ki Lurah Agung Sedayu memutuskan untuk membawa benda-benda berharga itu ke Mataram.
"Kami tidak tahu, kebijaksanaan apa yang akan diambil oleh para pemimpin Mataram atas harta benda itu. Tetapi menurut dugaanku, harta benda ini akan dikembalikan ke Demak. Meskipun tidak akan sampai ke tangan pemiliknya lagi karena sudah tidak dapat dikenali, namun harta benda yang bernilai sangat tinggi ini akan tetap berada di Demak."
Dukut tidak dapat mencegahnya.
Demikianlah, benda-benda berharga itupun kemudian dikeluarkan dari persembuyiannya dan dimuat ke dalam pedati.
Sungsang yang tetap saja terikat, mengumpat-umpat ketika ia melihat benda-benda berharga itu akan dibawa ke Mataram.
"Ternyata kalian juga perampok seperti kami."
"Tidak. Kami tidak akan merampok benda-benda berharga ini, karena kami akan menyerahkannya kepada para pemimpin di Mataram."
Tetapi Sungsang yang terikat itu berteriak, "Omong kosong. Kalian akan membagi benda-benda berharga itu kepada para prajuritmu."
"Kau dan beberapa orang akan menjadi saksi, bahwa semuanya itu nanti akan kami serahkan kepada para pemimpin di Mataram."
"Kalian akan membunuh kami di sepanjang perjalanan."
"Jika kami ingin membunuh kalian, kami akan membunuhnya sekarang. Untuk melakukannya lebih mudah bagi kami. Kami tinggalkan mayat kalian serta beberapa orang yang akan kami biarkan hidup untuk mengubur kalian. Tidak akan ada seorangpun yang percaya, seandainya orang-orang yang masih hidup itu melaporkan peristiwa yang terjadi itu kepada siapapun."
"Bohong. Kalian adalah pembunuh dan perampok yang paling kejam."
"Kami tidak menjebak dan membunuh sekelompok prajurit dengan cara yang licik dan curang."
Sungsang masih saja berteriak-teriak. Namun kemudian Glagah Putih telah menyumbat mulutnya dengan sehelai kain.
Ketika malam turun, maka Ki Lurah Agung Sedayu telah memberikan beberapa pesan kepada para pengikut Srengga Sura yang akan ditinggalkan di padepokannya. Mereka tidak akan dapat memilih jalan yang manapun juga kecuali menemukan jalan kembali.
"Pelihara padepokan ini baik-baik. Hubungi para pemimpin Demak yang baru. Ceriterakan apa yang telah terjadi di sini. Kalian tentu akan mendapat petunjuk, apa yang sebaiknya kalian lakukan."
"Baik, Ki Lurah," jawab beberapa orang hampir berbareng.
Malam itu, para prajurit Mataram justru berjaga-jaga dengan kewaspadaan yang tinggi. Benda-benda berharga yang disembunyikan di goa di sebuah bukti kecil, telah berada di padepokan. Esok pagi benda berharga itu akan dibawa ke Mataram.
Beberapa orang yang besok akan ikut ke Mataram telah dikumpulkan di satu ruangan, dijaga oleh sekelompok prajurit dengan senjata terhunus.
Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih hampir semalam suntuk tidak tidur. Baru menjelang dini keduanya sempat terlena sejenak. Namun beberapa saat kemudian telah terdengar ayam jantan berkokok untuk ketiga kalinya di malam itu.
Para prajurit Mataram itupun segera bersiap. Mereka tidak menghiraukan Sungsang yang berteriak-teriak mengumpat. Bahkan iapun berteriak-teriak, "Bunuh aku. Bunuh aku."
Ki Lurah Agung Sedayu pun kemudian mendekatinya sambil berkata, "Berlakulah jujur. Kau tidak usah berteriak-teriak minta dibunuh. Aku tahu, bahwa sebenarnya kau ingin hidup. Tetapi Srengga Sura atau gurunya yang menamakan dirinya Kiai Pituturjati telah meracuni otakmu sehingga seakan-akan kematian akan sama artinya dengan kepahlawanan."
"Persetan dengan celotehmu."
"Tetapi Srengga Sura dan gurunya, Kiai Pituturjati yang tidak pernah memberikan pitutur itu sudah terbunuh di pertempuran sehingga kau tidak usah menghiraukannya lagi. Yakini bahwa nalurimu untuk tetap hidup itu adalah wajar. Jika kau mempunyai kesempatan untuk hidup itu adalah wajar. Jika kau mempunyai kesempatan untuk hidup, kenapa kau harus membunuh diri " Kematianmu akan sia-sia, dan namamu justru akan dicampakkan sebagai seorang pengecut yang tidak berani menghadapi kenyataan."
"Jika kau tidak membunuhku sekarang, aku akan membunuhmu kelak."
"Aku sudah mendengar ancaman seperti itu beberapa kali. Tetapi aku tidak pernah menghiraukannya Aku justru merasakan kesejukan jika aku berhasil membujuk seseorang yang telah berputus-asa menjadi berubah dan memandang dunia ini dengan penuh pengharapan."
"Jangan gurui aku."
"Kau hanya mau mendengarkan nasehat dari gurumu yang bernama Pituturjati " Kau tahu arti kata pitutur sejati ?"
"Diam. Diam." Ki Lurah Agung Sedayu memang terdiam. Tetapi ia mempunyai keyakinan, bahwa disepanjang jalan, Sungsang akan merenungi kata-katanya.
Demikianlah, ketika matahari mulai membayangkan, iring-iringan pasukan Mataram itupun mulai bergerak. Mereka justru merasa bahwa perjalanan mereka telah mendapatkan beban yang berat, sebagaimana saat mereka berangkat ke Demak mengawal Kanjeng Pangeran Puger.
Diantara pedati-pedati yang di dalam iring-iringan itu, dua di antaranya berisi benda-benda berharga yang dirampas oleh Ki Lurah Agung Sedayu dari para perampok yang berselubung dengan ujud sebuah perguruan itu.
Ki Lurah dan para prajurit Mataram itu menyadari, bahwa diantara mereka yang ditinggalkan di padepokan tentu ada yang sakit hati serta tidak mau menerima kenyataan tentang diri mereka serta tentang benda-benda berharga itu.
Orang-orang itu akan dapat menjadi sangat berbahaya. Mereka akan dapat menghubungi gerombolan-gerombolan perampok serta mengajak mereka untuk berusaha merampas kembali benda-benda berharga yang dibawa di dalam iring-iringan prajurit itu.
Karena itu, maka setiap orang di dalam iring-iringan itu selalu bersiaga menghadapi segala kemungkinan.
Demikian pula Sekar Mirah dan Rara Wulan serta Glagah Putih yang berada di ekor iring-iringan itu.
Dukut dan Semanta yang berjalan terpisah dari beberapa orang kawannya yang juga dibawa ke Mataram sempat berbincang di antara mereka, "Kita tidak tahu, apakah Lurah Prajurit itu jujur atau tidak," desis Dukut.
"Nampaknya ia seorang yang jujur," jawab Semanta.
"Mudah-mudahan kita tidak dibantai di tanggul kali dan mayat kita dihanyutkan ke dalamnya."
"Meskipun aku belum pernah mengenalnya, tetapi aku percaya kepadanya bahwa ia tidak akan berlaku curang. Aku justru sependapat dengan Lurah Prajurit itu, jika ia ingin membunuh kita, maka ia akan dapat memerintahkan prajurit-prajuritnya membantai kita di Padepokan. Seandainya itu mereka lakukan, akupun dapat mengerti, karena kita sudah pernah membantai sekelompok prajurit. Tetapi mereka tidak melakukannya."
Dukut menarik nafas panjang. Namun tiba-tiba saja ia bertanya, "Bagaimana dengan anakmu ?"
"Aku sudah menemukan mayatnya."
"Anakmu terbunuh ?"
"Ya. Tetapi aku tidak dapat menangisinya."
"Kenapa ?" "Beberapa waktu berselang, aku menyusuri jalan-jalan di lembah dan perbukitan untuk mencarinya. Bahkan kadang-kadang aku sempat ife.TMiap dan menangis kehilangan anak itu. Ketika aku ketemukan, rasa-rasanya aku menemukan kembali dunia yang pernah hilang. Tetapi justru aku telah terjerat ke dalam satu kehidupan yang sebelumnya tidak pernah aku bayangkan. Tetapi aku tidak dapat keluar lagi. Anakku telah diracuni dan kehilangan pribadinya. Karena itu, ketika aku ketemukan mayatnya, aku sama sekali tidak meratap. Apalagi menangis sebagaimana saat aku mencarinya. Aku relakan anak itu pergi meninggalkan dunianya yang telah dinodainya sendiri itu."
"Setelah terlibat dalam kehidupan yang garang, kau masih juga mengenali duniamu sendiri."
"Aku tidak pernah melupakannya. Tetapi aku tidak dapat menyeberang kesana pada waktu itu, karena anakku telah terbelenggu oleh dunia hitamnya Srengga Sura. Aku juga tidak ingin anakku dibunuh oleh Srengga Sura jika aku melarikan diri."
"Tetapi kepergiannya sekarang tidak kau tangisi."
"Aku lebih ikhlas anakku dibunuh prajurit Mataram daripada dibunuh oleh Srengga Sura."
Dukut menarik nafas panjang.
Ketika seorang prajurit berjalan di sebelahnya, Dukut itupun bertanya, "Ki Sanak. Siapakah Lurah Prajurit itu'?"
"Ki Lurah Agung Sedayu," jawab prajurit itu.
"Aku tahu, Ki Lurah itu namanya Agung Sedayu. Tetapi apa kedudukannya sebenarnya " Apa kelebihannya, bahwa Ki Lurah Agung Sedayu itulah yang ditugaskan untuk mengantar Kangjeng Pangeran Puger ke Demak " Bukankah begitu " Seorang prajurit telah mengatakan kepadaku. Prajurit itu juga mengatakan, bahwa Ki Lurah Agung Sedayu itu seorang yang mempunyai kedudukan bahkan kewenangan khusus."
"Kau salah dengar. Ki Lurah tidak mempunyai kewenangan dan kedudukan khusus. Tetapi Ki Lurah adalah pemimpin sepasukan prajurit dari Pasukan Khusus Mataram yang berada di tanah Perdikan Menoreh ?"
"Kenapa Ki Lurah itu yang ditunjuk untuk mengawal Kangjeng Pangeran Puger ?"
"Besok, kalau ada kesempatan bertanyalah kepada Ki Patih Mandaraka di Mataram."
Dukut menarik nafas panjang. Prajurit itu bergeser sedikit ke depan. Sementara itu, prajurit yang berada di belakangnya, tidak mengambil tempatnya di sebelah Dukut dan Semanta.
"Jawaban yang tepat," desis Semanta.
Dukut tersenyum. Masam sekali. Katanya, "Ya. Pertanyaanku salah alamat. Prajurit itu tentu tidak tahu, kenapa Lurah Agung Sedayulah yang diperintahkan untuk mengawal Kangjeng Pangeran Puger."
Semanta tidak menjawab lagi. Ketika ia berpaling, ia melihat dua orang prajurit berjalan di belakangnya. Di belakang mereka beberapa orang kawannya yang juga menjadi tawanan dan dibawa ke Mataram. Dibelakang kawan-kawannya itu, beberapa orang prajurit berjalan dengan pedang telanjang.
Di ujung belakang iring-iringan itu, Glagah Putih berjalan di belakang pedati yang memuat peralatan yang dibawa sejak dari Mataram. Justru seorang prajurit yang bertugas untuk mengurus perlengkapan itulah yang bertengger dipunggung kudanya.
Seorang kawannya tiba-tiba saja berhenti sambil berkata, "Ganti aku yang menunggang kuda. Aku sudah letih berjalan."
"Jangan. Lebih baik kau berjalan. Bukankah aku terluka dalam pertempuran di padang perdu itu."
"Edan kau. Lukamu hanya segores kecil seperti dicakar anak ayam saja, kau sudah mengeluh sejak kita berangkat tadi pagi."
"Aduh pedihnya luka itu. Tolong pamitkan aku kepada anak isteriku jika aku tidak dapat sampai ke rumah."
"Jangan berkata begitu," berkata kawannya yang lain, "jika kata-katamu itu numusi."
"Maksudmu ?" "Masih banyak kemungkinan dapat terjadi. Bahkan mungkin kami harus menyamakan pesanmu itu."
"Tidak. Tidak. Jangan, jangan terjadi."
Kawannya menyahut dengan wajah yang nampak bersungguh-sungguh, "Jika demikian, jangan berpura-pura sakit. Kau dapat berpura-pura apa saja. Tetapi jangan yang satu itu. Apalagi dengan mengucapkan pesan seperti itu."
"Baik. Baik. Aku tidak bersungguh-sungguh."
"Jika demikian, kenapa kau masih saja tetap berada di punggung kuda itu ?"
"Baik. Aku akan turun."
Namun, demikian orang itu meloncat turun, maka kawannya yang menakut-nakuti itulah yang segera meloncat ke punggung kuda.
"He. Kenapa kau yang naik kuda itu " Aku yang sejak tadi menunggu giliran."
"Salahmu. Kau tidak berhasil memaksanya turun. Akulah yang dapat memaksanya turun, sehingga akulah yang berhak untuk naik kuda itu sekarang."
"Edan," geram kawannya yang lebih dahulu menyatakan keinginannya naik kuda itu.
Dalam pada itu, iring-iringan itu masih saja berjalan seperti siput, justru karena lembu yang menarik pedati tidak dapat berjalan lebih cepat.
Ketika iring-iringan itu berhenti di padang perdu yang terbentang tidak jauh dari sebuah hutan yang lebat, maka para prajurit yang bertugas telah sibuk menyiapkan makan dan minum bagi para prajurit itu dibantu oleh Sekar Mirah dan Rara Wulan.
Para prajurit mendapat kesempatan untuk beristirahat. Tetapi sekelompok diantara mereka harus tetap berjaga-jaga. Pedati yang memuat benda-benda berharga telah mendapat penjagaan yang khusus.
Ketika para prajurit dan para tawanan mendapat kesempatan untuk makan, maka dua orang prajurit telah mendatangi Sungsang yang terikat sambil membawa sebungkus nasi. Glagah Putihlah yang kemudian membuka sumbat mulurnya sambil berkata, "Makanlah. Bukankah kau juga lapar ?"
Tetapi Sungsang itu justru berteriak mengumpat-umpat.
"Sungsang," berkata Glagah Putih, "jika kau masih berteriak-irriak, maka aku akan menyumbat mulutmu lagi. Aku justru akan mencari sobekan kain yang sangat kotor dan berdebu."
"Lepaskan ikatanku. Kita berkelahi. Aku akan menyumbat mulutmu dengan tumitku."
"Jangan berkata begitu. Kau sudah kalah. Kau tidak akan mempunyai kesempatan lagi."
"Jika demikian, kenapa kau tidak membunuhku ?"
"Bukan kami yang membuat keputusan. Biarlah para pemimpin di Mataram yang menentukan hukuman apakah yang harus kau sandang. Mungkin kau memang akan dihukum mati. Tetapi masih ada kemungkinan lain. Karena itu, jangan membuat ulah."
"Persetan dengan sesorahmu. Jika di Mataram nanti aku juga akan dijatuhi hukuman mati, kenapa tidak kau bunuh saja aku sekarang?"
"Belum tentu. Mungkin kau akan mendapat hukuman lain."
"Aku tidak peduli."
"Makanlah." "Tidak. Aku tidak perlu makan. Tetapi jika kau berani membuka ikatan tangan dan kakiku, maka aku akan membunuhmu."
"Kau mau makan atau tidak ?"
"Tidak." Glagah Putih tidak dapat mengulur kesabarannya lagi. Karena itu, maka iapun telah menyumbat lagi mulut Sungsang meskipun Sungsang meronta-ronta.
Tetapi ikatan tangan dan kakinya yang kuat masih tetap saja menjeratnya.
Salah seorang dari kedua orang prajurit yang membawa makan dan minum bagi Sungsang itu menggeram, "Kenapa orang itu tidak dicekik saja sampai mati " "
Kawannyapun menyahut, "Aku juga tidak telaten. Hampir saja sebungkus nasi inilah yang aku sumbatkan ke mulutnya."
Namun para prajurit itu tidak peduli lagi, apakah Sungsang akan mati kelaparan atau tidak.
Ketika hal itu dilaporkan kepada Ki Lurah Agung Sedayu oleh Glagah Putih, Ki Lurah itupun berkata, "Kau tidak membujuknya ?"
"Bagaimana aku dapat membujuknya. Sebelum aku berkata apa-apa, orang itu sudah mengumpat-umpat. Bahkan menantangku untuk berkelahi."
"Lalu, kau apakan orang itu ?"
"Tidak aku apa-apakan. Aku menyumbat lagi mulutnya agar ia tidak berteriak-teriak saja."
Ki Lurah menarik nafas panjang. Katanya, "Biarlah nanti aku menemuinya."
"Buat apa kakang menemuinya " Orang itu sudah gila. Jika kakang menemuinya, maka kakang hanya akan menambah cepat denyut jantung kakang."
Ki Lurah Agung Sedayu tersenyum. Tetapi ia tidak menyahut lagi.
Namun Ki Lurah memang tidak segera menemuinya. Ki Lurah berharap bahwa malam nanti orang itu akan merasa lapar sehingga ia akan mau makan apa adanya.
Beberapa saat kemudian, setelah para prajurit itu cukup lama beristirahat, maka iring-iringan itupun segera melanjutkan perjalanan menuju ke Mataram. Jalan yang mereka lalui memang agak rumpil, tetapi agak lebih dekat dari jalan yang lain.
Tetapi perjalanan ke Mataram memang jauh. Apalagi pasukan itu bagaikan siput yang merayap sangat perlahan. Para Prajurit itu tidak dapat memaksa lembu-lembu yang menarik pedati itu berjalan lebih cepat.
Karena itu, maka pasukan itu masih harus bermalam lagi di perjalanan.
Jika sebelumnya mereka berharap untuk dapat menempuh perjalanan itu lebih cepat dari pada saat mereka berangkat ke Demak, ternyata bahwa mereka mengalami banyak hambatan di perjalanan. Sehingga akhirnya waktu yang diperlukan oleh pasukan itu diperjalanan pulang tidak lebih cepat dari saat mereka berangkat.
Namun akhirnya pasukan itu telah turun ke jalan yang langsung menuju ke pintu gerbang kota.
Meskipun pintu gerbang kota masih belum kelihatan, tetapi rasa-rasanya para prajurit dari pasukan khusus itu telah tiba di rumah. Mereka masih akan bermalam di Mataram barang dua malam sebelum mereka kembali ke barak mereka di Tanah Perdikan Menoreh.
Tetapi di Malaram, para prajurit itu merasa sudah berada di rumah sendiri.
Semakin dekat mereka dengan pintu gerbang kota, mereka merasa lembu-lembu yang menarik pedati itu menjadi semakin lamban. Rasa-rasanya mereka ingin mendorong pedati itu agar perjalanan lebih cepat.
Tetapi para prajurit itu harus menahan diri.
Ketika para prajurit itu kemudian melihat pintu gerbang kota di kejauhan, maka rasa-rasanya hati mereka telah bersorak.
Tetapi mereka mennjadi agak kecewa ketika Ki Lurah Agung Sedayu menghentikan iring-iringan pasukannya. Dipanggilnya para pemimpin kelompok untuk mendengarkan penjelasannya.
"Aku akan mendahului masuk ke kota. Aku akan menghadap Ki Patih. Ki Patih akan memerintahkan mempersiapkan tempat bagi kita sebelum pulang ke Tanah Perdikan. Mungkin kita akan berada di Mataram satu dua hari untuk memberikan laporan serta menyerahkan kecuali para lawanan, juga benda-benda berharga yang kita bawa."
"Jadi, kita harus menunggu disini ?" bertanya seorang pemimpin kelompok.
"Ya. Kalian dapat beristirahat di padang rumput itu. Aku tentu tidak akan terlalu lama. Meskipun demikian, kita tentu akan menunggu perintah untuk memasuki pintu gerbang, setelah dipersiapkan tempat bagi kita selama kita berada di Mataram."
Para pemimpin kelompok itu mengangguk. Perintah Ki Lurah Agung Sedayu itu sudah jelas bagi mereka.
Karena itu, Ketika Ki Lurah Agung Sedayu mendahului pasukannya bersama dua orang prajurit, maka para pemimpin kelompok telah memerintahkan para prajurit itu beristirahat di padang rumput yang terlantang sampai ke tanggul sungai.
Tetapi para pemimpin kelompok itu tetap mewaspadai para tawanan, termasuk Sungsang yang sama sekali menolak untuk makan di sepanjang perjalanan, sehingga keadaanya menjadi semakin lemah. Namun dengan demikian, ia tidak lagi berteriak-teriak terlalu keras dalam setiap kesempatan.
Glagah Putih, Sekar Mirah dan Rara Wulan berada diantara para prajurit yang beristirahat. Mereka duduk di bawah sebatang pohon yang berdaun rimbun, yang tumbuh di padang rumput itu.
Beberapa orang anak yang sedang menggembalakan kambing, tanpa merasa takut mendekati iring-iringan yang berhenti itu. Mereka mengenali pakaian dan kelengkapan para prajurit itu, bahwa mereka adalah prajurit Mataram.
"Paman dari mana ?" bertanya seorang anak remaja yang sedang menggembalakan kambingnya.
"Bertamasya," jawab prajurit itu.
"Bertamasya " Kemana?"
"Melihat-lihat betapa luasnya bumi Mataram."
"Nampak ada diantara kawan paman yang terluka. Kenapa paman?"
"Mereka tergelincir masuk kedalam selokan yang tanggulnya curam."
Gembala itu mengerutkan dahinya. Namun kawannya yang lain bertanya, "Ada yang diikat di pedati itu, paman?"
Prajurit itu tersenyum. Katanya, "Orang itu kami temukan di jalan. Agaknya orang itu sakit syaraf. Karena ia sangat berbahaya, maka kami telah membawanya atas ijin keluarganya. Nanti, setelah diobati dan menjadi sembuh, orangku akan kami kembalikan kepada keluarganya."
Gembala itu mengangguk-angguk. Namun agaknya masih ada beberapa pertanyaan di dalam hatinya, meskipun tidak sempat diucapkannya, karena seorang prajurit berkata kepada mereka, "Sudahlah. Lihat kambingmu kalian berkeliaran kemana-mana."
Anak-anak itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian merekapun berlari menghambur menghampiri kambing mereka masing-masing.
Namun seorang anak remaja yang cerdas sempat berkata kepada kawannya, "mereka tentu baru saja berperang. Ada beberapa musuh yang tertawan. Tetapi ada beberapa prajurit yang terluka."
"Ada pertempuran di antara mereka," desis anak yang lain.
"Tentu tawanan perempuan yang ditawan setelah negrinya atau lingkungannya atau apanya dikalahkan oleh para prajurit itu."
"Tetapi nampaknya mereka bebas berkeliaran kemana-mana."
Seorang remaja yang lainpun menyahut, "Apa yang dapat dilakukan oleh perempuan diantara sepasukan prajurit?"
Kawannya yang lain tidak menjawab.
Dalam pada itu, langitpun menjadi buram. Gembala-gembala itu-pun mulai menggiring kambingnya pulang dan dimasukkan ke dalam kandang.
Sementara itu, Ki Lurah Agung Sedayupun telah menghadap Ki Patih Mandaraka di rumahnya. Kedatangan Ki Lurah memang agak mengejutkan. Namun Ki Patih mengetahui, bahwa Ki Lurah Agung Sedayu memerlukan tempat bagi prajurit-prajuritnya sebelum mereka kembali ke Tanah Perdikan Menoreh.
Karena itu, maka Ki Patih tidak meminta Ki Lurah Agung Sedayu menceriterakan perjalanannya lebih dahulu. Yang mula-mula dipikirkan adalah tempat bagi para prajurit yang baru pulang, karena barak mereka berada di Tanah Perdikan Menoreh. Sedang barak yang menampung mereka sebelum berangkat, masih belum disiapkan.
"Ki Lurah," berkata Ki Patih kemudian, "bawa prajurit-prajuritmu kemari. Biarlah malam ini mereka tidur disini."
"Mereka akan membuat halaman kepatihan menjadi kotor, Ki Patih."
Ki Patih Mandaraka tertawa. Katanya, "Mereka bukan kanak-kanak. Mereka akan dapat menjaga agar halaman keperihan tidak menjadi kotor."
"Terima kasih, Ki Patih."
"Besok mereka akan mendapatkan tempat yang pantas bagi para prajurit yang kembali bertugas."
"Apakah besok kami belum dapat pulang ke Tanah Perdikan?"
"Jangan besok. Mungkin masih ada persoalan-persoalan yang akan dibicarakan. Secepatnya baru besok lusa kau dapat kembali ke Tanah Perdikan."
Ki Lurah mengangguk sambil menjawab, "Kami akan menjujung segala perintah, Ki Patih."
"Nah, kembalilah ke pasukanmu. Aku akan memerintahkan dua orang prajurit untuk memberitahukan kehadiranmu kepada yang bertugas di pintu gerbang. Akupun akan memberitahukan kedatanganmu kepada Kangjeng Panembahan."
"Terima kasih, Ki Patih. Aku mohon diri untuk kembali ke pasukanku. Aku akan membawa mereka masuk dan langsung ke kepatihan."
"Ya. Aku akan mempersiapkan tempat ini untuk menampung mereka, setidaknya untuk malam ini."
Sejenak kemudian, Ki Lurah Agung Sedayu dan prajurit yang menyertainya telah melarikan kuda mereka untuk kembali menyongsong pasukannya yang ditinggalkannya di padang rumput di luar dinding kota.
Sementara itu, Ki Patihpun telah memerintahkan beberapa orang prajurit di kepatihan untuk memberitahukan kepada kalangan istana tentang kedatangan Ki Lurah Agung Sedayu dan pasukannya dari Demak.
Ketika Ki Lurah Agung Sedayu sampai di padang rumput, alam telah turun. Beberapa buah obor telah dinyalakan.
Namun para prajurit yang bertugas menyiapkan makanan dan minum bagi kawan-kawannya itu memberitahukan kepada Ki Lucah Agung Sedayu, bahwa mereka tidak menyiapkan makan bagi pasukan itu.
"Aku kira kita akan langsung masuk ke dalam barak yang sudah tersedia, berikut makan dan minumnya, sehingga kami tidak mempersiapkannya."
"Tidak apa-apa. Nanti kita dapat menyediakannya."
"Beberapa orang kawanan mulai bersungut-sungut. Yang lain meskipun nampaknya lagi berdendang, tetapi cakepannya menusuk telinga."
"Kenapa?" "Lapar. Itu saja yang diucapkannya."
Ki Lurah tersenyum. Katanya, "Kita sudah hampir sampai di rumah. Itulah sebabnya mereka menjadi manja."
Prajurit yang bertugas menyiapkan makanan dan minuman itu mengangguk sambil berkata, "Ya. Mereka menjadi manja."
Namun sejenak kemudian, Ki Lurah Agung Sedayupun segera memerintahkan prajuritnya untuk bersiap. Mereka akan meneruskan perjalanan masuk lewat pintu gerbang dan menapaki jalan-jalan kota.
Beberapa saat kemudian, para prajuritpun telah bersiap. Ki Lurah-pun segera memberikan perintah, agar pasukan itu segera berjalan menuju ke pintu gerbang.
Ketika pasukan itu mendekati gerbang, maka para prajurit yang bertugaspun segera menyambut mereka di sebelah-menyebelah jalan. Mereka telah mendapat pemberitahuan, bahwa Ki Lurah Agung Sedayu dan pasukannya telah kembali dari Demak. Bahkan mereka telah mendapat perintah untuk memberikan penghormatan kepada pasukan itu.
Ternyata sambutan yang sederhana itu telah memberikan kesan tersendiri bagi para prajurit yang pulang dari Demak itu tidak merasa, seakan-akan kedatangan mereka tidak ada artinya apa-apa.
Beberapa saat kemudian, setelah para prajurit itu menyusuri jalan kota di Mataram, merekapun langsung menuju ke dalem kepatihan.
Ternyata beberapa oncor telah menyala di halaman. Para prajurit itupun diterima langsung oleh Ki Patih di halaman dalem kepatihan.
Sambutan Ki Patih itupun telah membesarkan hati para prajurit. Apalagi setelah Ki Patih itu langsung memberikan ucapan selamat datang kepada para prajurit yang baru saja datang dari Demak itu.
"Aku atas nama Mataram minta maaf, bahwa aku belum dapat menyediakan tempat yang pantas," berkata Ki Patih kemudian.
Setelah upacara penyambutan yang sederhana itu, maka Ki Oatihpun mempersilahkan para prajurit untuk beristirahat.
Mereka telah mempersilahkan beristirahat di gandok sebelah menyebelah, serta di serambi samping dalem kepatihan. Sementara para abdi di kepatihan menjadi sibuk mempersiapkan makan dan minum para prajurit itu sejak para prajurit itu belum datang.
"Ada beberapa pakiwan di halaman belakang kepatihan," berkata seorang abdi kepada Ki Lurah.
"Terima kasih," jawab Ki Lurah.
Bergantian para prajurit itu pergi ke pakiwan. Bergantian pula mereka menimba air dari sumur di dekat pakiwan-pakiwan itu. Sementara itu, maka nasi dengan lauk dan sayur seadanya telah masak. Namun para prajurit yang bertugas mempersiapkan makan bagi kawan-kawannya itupun telah menghubungi para abdi yang sedang masak untuk menyerahkan sisa bekal yang mereka bahwa jika saja dapat dimanfaatkan.
Ketika semuanya telah mandi dan berbenah diri setelah beberapa hari menempuh perjalanandan setiap kali hanya mandi di sungai yang mereka jumpai didekat tempat mereka berhenti, maka para prajurit itupun sempat merasa benar-benar beristirahat tanpa kecemasan dan bahkan ketegangan terhadap kemungkinan buruk yang dapat terjadi dengan tiba-tiba. Di dalem kepatihan para prajurit itu tidak merasa khawatir bahwa tiba-tiba mereka akan diserang. Satu-satunya beban bagi mereka adalah menjaga para tawanan yang telah mereka bawa.
Dalam pada itu, ketika para prajurit sedang beristirahat, kecuali mereka yang bertugas menjaga para tawanan, Ki Lurah Agung Sedayu telah menghadap Ki Patih Mandaraka untuk memberikan laporan tentang perjalanan mereka.
"Kami membawa tawanan dan harta yang disimpan oleh para perampok itu, Ki Patih."
"Jadi kau bawa harta benda rampokan itu" "
" Ya, Ki Patih."
"Menurut jalan pikiranmu, harta benda yang sangat berharga itu akan kau pergunakan untuk apa?"
"Kami akan menyerahkan kepada para pemimpin di Mataram."
"Kau tentu dapat memberikan pendapatmu, setelah harta benda yang sangat tinggi harganya itu kau serahkan lalu apa yang sebaiknya di lakukan atas harta benda itu. Disimpan " Menjadi milik para pemimpin di Mataram atau untuk apa?"
"Ki Patih," berkata Ki Lurah Agung Sedayu, "aku mohon maaf jika aku telah melakukan kesalahan dengan harta benda itu. Tetapi menurut pendapatku, para perampok yang berselubung dengan sebuah perguruan dan tinggal di sebuah padepokan itu, telah merampok, menyamun dan merampas harta benda milik rakyat Demak. Karena itu, maka sebaiknya harta benda itu dikembalikan ke Demak. Mungkin tidak akan dapat kembali ke pemiliknya semula, tetapi kekayaan Kadipaten Demak itu tidak lari dari lingkungan Kadipaten."
Ki Patih Mandaraka mengangguk-angguk. Katanya, "Aku dapat mengerti jalan pikiranmu Ki Lurah. Aku sependapat. Tetapi bagaimanakah sikap para pemimpin Demak selain Kangjeng Pangeran Puger sendiri?"
Kita akan menyerahkannya kepada Kangjeng Pangeran Puger selaku Adipati di Demak. Biarlah kebijaksanaan berada di tangan Kanjeng Pangeran Puger."
"Baiklah. Besuk aku akan menyampaikannya kepada Kangjeng Panembahan."
"Segala sesuatunya terserah kepada Ki Patih Mandaraka."
"Nah, sekarang aku persilahkan Ki Lurah beristirahat. Bagi Nyi Lurah Agung Sedayu dan Rara Wulan, dapat disediakan tempat yang khusus. Ada sebuah bilik kecil di serambi samping yang dapat mereka pakai."
"Terima kasih, Ki Patih. Mereka berada di antara para prajurit sejak kami menempuh perjalanan pulang."
"Ketika berangkat?"
"Mereka berada di antara para abdi perempuan yang ikut pindah ke Demak."
"Tetapi sebaiknya mereka berada di dalam bilik kecil itu. Bukankah akan lebih baik bagi mereka " Disini keadaannya sudah berbeda dengan keadaan pasukanmu di perjalanan."
"Terima kasih, Ki Patih."
Malam ini juga, dua orang Lurah prajurit sedang mempersiapkan tempat yang lebih baik bagi kalian sebelum kalian kembali ke Tanah Perdikan Menoreh."
Terima kasih atas perhatian Ki Patih yang sangat besar terhadap kami."
"Kalian bukan sepasukan prajurit yang baru pulang dari sekedar pergi ke Demak mengantar Kangjeng Pangeran Puger. Tetapi kalian pantas diterima sebagai sepasukan prajurit yang pulang dari medan perang dengan membawa kemenangan. Bukankah kalian harus bertempur di perjalanan pada saat kalian berangkat dan pada saat kalian pulang?"
Malam itu, setelah disiapkan tempat bagi para prajurit yang baru pulang itu. Esok pagi-pagi, mereka sudah dapat masuk ke rumah yang telah disiapkan itu. Sementara itu, malam itu juga telah datang utusan dari Istana yang memerintahkan esok pagi Ki Lurah Agung Sedayu menghadap menjelang wayah pasar temawon.
Di keesokan harinya, saat cahaya merah kekuning-kuningan membayang dilangit, maka Ki Lurah Agung Sedayu dan para prajurit sudah berbenah diri. Mereka siap menunggu perintah, apa yang harus mereka lakukan.
Ki Patih yang telah bangun pagi-pagi pula, segera memerintahkan dua orang prajurit untuk mengantar Ki Lurah serta pasukannya ke tempat yang sudah dipersiapkan. Ki Patihpun telah memerintahkan kepada Ki Lurah untuk menghadap Kangjeng Panembahan pada wayah pasar temawon.
"Kami hanya dapat mengucapkan terama kasih Ki Patih."
"Mataramlah yang harus berterima kasih kepadamu."
"Kami sekedar menjalankan tugas."
"Nah, sekarang, bawa pasukanmu ke tempat yang sudah disiapkan itu."
Iring-iringan prajurit yang dipimpin oleh Ki Lurah Agung Sedayu itupun kemudian telah meninggalkan pintu gerbang kepatihan. Dalam iring-iringan itu terdapat beberapa buah pedati, sehingga iring-iringan itu sempat menarik perhatian.
-ooo0dw0ooo- Jilid 352 SEMENTARA itu, ketika Sungsang masih saja meronta-ronta, maka Ki Lurah Agung Sedayupun berkata, "Jika kau tidak dapat tenang, maka aku akan membiarkan kau menjadi tontonan. Aku akan meninggalkan pedati dengan kau terikat didalamnya di tengah-tengah jalan dengan dijaga oleh dua orang prajurit. Aku akan memerintahkan prajurit itu mengedarkan tampah untuk memungut uang bagi mereka yang nonton pertunjukan yang sangat menarik ini."
Sungsang tidak dapat menjawab, karena mulutnya disumbat. Namun sikapnya menunjukkan kemarahannya yang amat sangat. Namun akhirnya Sungsang itupun berhenti. Bukan saja karena kelelahan. Tetapi tapun tidak ingin menjadi tontonan di tengah jalan.
Beberapa saat kemudian, iring-iringan itu telah memasuki regol halaman yang cukup besar dengan halaman yang luas. Rumah itu memang disediakan untuk keperluan-keperluan khusus.
Ki Lurahpun memerintahkan para pemimpin kelompok untuk mengatur para prajurit yang harus bertugas, terutama mengawasi pedati yang memuat harta benda berharga yang diambil dari para perampok yang berkedok sebuah perguruan itu.
"Aku akan menghadap Kangjeng Panembahan di istana," berkata Ki Lurah Agung Sedayu.
Seperti yang diperintahkan oleh Kangjeng Panembahan Hanyakrawati, maka di wayah pasar temawon, Ki Lurah Agung Sedayupun telah menghadap.
Ternyata Ki Patih Mandaraka dan beberapa orang pemimpin Mataram telah menghadap pula.
"Aku ingin mendengar laporanmu, Ki Lurah," berkata Kangjeng Panembahan.
"Ampun Kangjeng Panembahan. Dengan perkenan Kangjeng Panembahan, hamba akan melaporkan perjalanan hamba, mengantar Kangjeng Pangeran Puger ke Demak."
"Katakan." Ki Lurah Agung Sedayupun kemudian telah melaporkan perjalanan yang telah ditempuh ketika ia mengawal Pangeran Puger menuju ke Demak. Semuanya telah di laporkannya. Tidak ada yang dikurangi dan tidak ada yang ditambah. Ki Lurah telah membawa harta benda berharga yang disembunyikan oleh gerombolan Srengga Sura yang telah menyelimuti gerombolannya sebagai sebuah perguruan.
"Jadi kau dan pasukanmu harus bertempur pada saat kau berangkat dan pada saat kau kembali?"
"Hamba, Panembahan."
"Di kedua pertempuran itu ada prajuritmu yang gugur ?"
"Ya, Panembahan."
Panembahan Hanyakrawati mengangguk-angguk kecil. Namun kemudian Kangjeng Panembahan itupun bertanya, "Lalu apa maksudmu dengan membawa harta benda yang berbau darah itu kemari?"
"Ampun Panembahan. Menurut dugaan hamba, harta benda itu adalah harta benda milik rakyat Demak, sehingga sepatasnya bahwa harta benda itu dikembalikan ke Demak."
"Adakah dapat dicari, siapakah pemilik benda-benda berharga itu?"
"Tidak Panembahan. Tetapi harta benda itu sebaiknya kembali ke Demak. Mungkin akan dapat dipergunakan untuk membeayai kerja yang akan sangat berarti bagi Demak. Mungkin untuk membangun bangunan-bangunan yang sangat dibutuhkan oleh rakyatnya. Dengan demikian, maka harta benda itu telah kembali ke kandangnya."
Kangjeng Panembahan Hanyakrawati mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Aku dapat mengerti jalan pikiranmu. Aku sependapat. Karena itu biarlah aku menugaskan eyang Patih Mandaraka untuk mengurus harta-benda itu, sehingga tidak akan salah arah."
"Hamba akan menyerahkannya Panembahan."
"Eyang Patih Mandaraka."
"Hamba Panembahan."
"Seperti yang aku katakan, aku serahkan pelaksanaan penyerahan kembali harta benda itu kepada eyang Panembahan."
Ki Patih Mandarakapun mengangguk sambil menjawab, "Baiklah. Pada saatnya hamba akan melakukannya. Tetapi untuk sementara biarlah harta benda itu berada di bangsal perbendaharaan istana. Kita bersama-sama akan menerima dan menghitung apa saja yang telah dibawa oleh Ki Lurah Agung Sedayu itu."
"Silahkan eyang. Sebaiknya eyang menunjuk siapa saja yang akan eyang minta menerima harta benda rampasan itu dan kemudian menyerahkannya kepada petugas di bangsal perbendaharaan. Pada saatnya, paman dapat mengambilnya dan menyerahkan kepada petugas yang akan membawanya ke Demak."
"Baiklah, Penembahan."
"Kangjeng Panembahan," Ki Lurah Agung Sedayu menyembah, "perkenankan hamba memberikan sedikit keterangan tentang sikap para prajurit Demak."
"Maksudmu?" "Pada saat kami sampai di Demak, maka para Senapati di Demak justru mempertanyakan, kenapa Mataram tidak memerintahkan saja kepada para Senapati di Demak untuk menjemput Kangjeng Pangeran Puger."
"Kau bermaksud untuk mengatakan, sebaiknya biarlah prajurit Demak menjemput harta benda berharga itu?" bertanya Panembahan Hanyakrawati.
"Hamba Panembahan."
"Aku tidak berkeberatan. Tetapi harus ada orang Mataram yang ikut bersama mereka harus untuk meyakinkan, bahwa harta benda yang telah dihitung jumlahnya dan disebut jenisnya itu sampai ketangan Kakangmas Adipati Demak."
"Hamba Panembahan."
"Nah, biarlah eyang Patih yang mengatur."
"Hamba Panembahan."


15 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Yang penting, sampaikan ucapan terima kasihku kepada prajuritmu. Ternyata mereka mengalami perjalanan yang berat ke Demak. Bukan sekedar berbaris kepanasan serta kedinginan di malam hari. Tetapi prajurit-prajurit itu harus memasuki arena pertempuran untuk menyelamatkan Pangeran Puger serta keluarganya."
"Perhatian Kangjeng Panembahan hamba junjung tinggi. Apa yang hamba lakukan bersama para prajurit adalah mengemban kewajiban kami sebagai prajurit."
"Mungkin ada tugas-tugas berat yang harus kau pikul di masa depan, Ki Lurah. Kesediaanmu memikul kewajiban dengan bersungguh-sungguh akan dapat menempatkanmu kedalam tugas-tugas yang justru lebih berat."
"Hamba akan menjujung tinggi setiap tugas yang harus hamba laksanakan sejauh batas kemampuan hamba."
"Nah. Sekarang kau dapat meninggalkan persidangan ini. Siapkan segala sesuatunya, terutama yang akan kau serahkan kepada eyang Patih Mandaraka, sementara eyang Patih akan menunjuk beberapa orang yang akan membantunya menerimanya dari menyimpanya di bangsal perbendaharaan sebelum harta benda itu dibawa ke Demak."
"Hamba mohon diri Kangjeng Panembahan." Demikianlah, maka hari itu, Ki Lurah Agung Sedayu bersama para pemimpin kelompoknya telah menyiapkan harta benda yang mereka bawa dari tempat penyimpannya yang tersembunyi di bawah kekuasaan Srengga Sura.
Ki Lurah Agung Sedayu telah minta beberapa orang yang ditawannya untuk menyaksikannya. Mereka harus yakin, bahwa harta benda itu akan diserahkan kepada penguasa di Mataram.
Hari itu pula, Ki Lurah Agung Sedayu telah menyerahkan harta benda itu kepada Ki Patih Mandaraka. Beberapa orang yang terpercaya telah menghitung dan kemudian menuliskan jenis-jenis harta benda berharga itu. Diantara mereka adalah seorang Tumenggung yang bertugas penjaga dan mempertanggungjawabkan bangsal perbendaharaan seisinya.
Demikian harta benda itu diterima dan dibawa ke istana untuk disimpan di bangsal perbendaharaan, maka rasa-rasanya beban tugas Ki Lurah Agung Sedayu menjadi jauh lebih ringan. Apalagi setelah Ki Lurah menyerahkan para tawanan kepada Ki Tumenggung Wiradigda yang mengurusnya lebih lanjut, termasuk Sungsang, yang dianggap sebagai tawanan yang khusus. Yang mengetahui lebih banyak tentang perguruan yang dipimpin oleh Srengga Sura itu.
Dengan demikian, maka rasa-rasanya tugas Ki Lurah Agung Sedayu sudah tuntas. Mereka akan dapat meninggalkan Mataram dengan ringan, karena semua beban tugas mereka sudah diletakkan.
Karena itu, maka malam itu Ki Lurah Agung Sedayu telah menghadap Ki Patih Mandaraka untuk minta diri. Tugasnya terakhir di Mataram adalah menyerahkan kembali beberapa orang prajurit yang bertugas mengurus bahan dan perlengkapan mereka yang bertugas menyediakan makan dan minuman.
"Kau dapat beristirahat barang dua tiga hari disini, Ki Lurah," berkata Ki Patih Mandaraka.
"Ampun Ki Patih. Kami ingin segera berada kembali di Tanah Perdikan Menoreh."
"Kenapa begitu tergesa-gesa" Bukankah Nyi Lurah ada disini pula sekarang?"
Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Tetapi hanya Nyi Lurah sendiri yang berada disini."
Ki Patih Mandaraka justru tertawa.
Namun Ki Patih Mandraka tidak menahan Ki Lurah Agung Sedayu dan pasukannya yang ingin segera kembali ke barak mereka di Tanah Perdikan Menoreh. Rasa-rasanya memang ada semacam kerinduan terhadap kehidupan di Tanah Perdikan itu. Meskipun Ki Lurah Agung Sedayu tidak di lahirkan di Tanah Perdikan itu, namun ia sudah lama tinggal di Tanah Perdikan itu. Sudah banyak sekali yang dilakukannya dan bahkan adik sepupunya juga berada di Tanah Perdikan itu pula.
Karena itu, Agung Sedayu seakan-akan sudah merupakan bagian dari Tanah Perdikan Menoreh. Apalagi ia telah mendapat tugas untuk memimpin prajurit Mataram dan Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan itu pula.
"Ki Lurah," berkata Ki Patih kemudian, "jika Ki Lurah benar akan kembali ke Tanah Perdikan esok pagi, biarlah aku melepas pasukanmu. Atas nama Kangjeng Panembahan Hanyakrawati, aku akan menyerahkan sebuah tunggul berbentuk cakra bagi prajurit dari Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh, sebagai pernyataan terimakasih serta penghargaan dari penguasa tertinggi di Mataram."
"Kami akan sangat berterima kasih atas penghargaan yang sangat penting itu, Ki Patih."
"Tetapi seperti yang dikatakan oleh Kangjeng Panembahan Hanyakrawati, justru karena keberhasilan Ki Lurah, maka agaknya Ki Lurah telah mendapatkan kepercayaan dari Kangjeng Panembahan. Dengan demikian, ada kemungkinan bahwa tugas-tugas yang sangat berat akan dibebankan kepada Ki Lurah dan Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan itu."
"Semua perintah akan kami junjung tinggi, Ki Patih."
"Baiklah. Siapkan pasukanmu. Besok, sebelum matahari terbit, aku akan berada di antara kalian untuk menyerahkan tunggul itu."
"Terima kasih, Ki Patih."
Demikian, maka Ki Lurah Agung Sedayupun segera kembali ke pasukannya. Iapun segera memerintahkan para pemimpin kelompok untuk bersiap-siap. Esok pagi-pagi semuanya harus sudah siap. Sebelum matahari terbit, Ki Patih akan datang menemui pasukan itu.
"Kalian harus sudah siap pada saat Ki Patih datang esok pagi sebelum matahari terbit."
"Baik, Ki Lurah," jawab para pemimpin kelompok itu. Malam itu, segala sesuatunya sudah dipersiapkan sebelum para prajurit itu pergi ke pembaringan. Esok pagi mereka akan meneruskan perjalanan mereka, pulang ke barak mereka di Tanah Perdikan Menoreh.
Justru karena itu, maka ada diantara para prajurit itu yang justru menjadi sulit untuk tidur. Rasa-rasanya malam merambat jauh lebih lamban dari perjalanan mereka berangkat dan pulang dari Demak. Malam itu rasa-rasanya bergerak lebih lambat dari pedati-pedati yang merangkak di antara iring-iringan prajurit dari Mataram.
Namun akhirnya, fajarpun menyingsing. Para prajurit segera mempersiapkan diri masing-masing. Mereka mengenakan pakaian dengan ciri-ciri keprajuritan mereka yang lengkap.
Sebenarnyalah, sebelum matahari terbit, Ki Patih Mandaraka bersama dua orang Tumenggung dan beberapa orang prajurit pengawal telah berada di barak yang dipergunakan para perajurit dari Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh itu.
Dalam upacara singkat dan sederhana, namun yang telah membuat setiap jantung para prajurit dari Pasukan Khusus itu berdebaran, Ki Patih telah menyerahkan sebuah tunggul berbentuk cakra atas nama Kangjeng Panembahan Hanyakrawati kepada Ki Lurah Agung Sedayu mewakili pasukannya.
"Mataram mengucapkan terima kasih kepada kalian," berkala Ki Patih Mandaraka, "Kalian sudah menjalankan tugas kalian dengan baik. Sekarang, aku lepas kalian pulang kembali ke rumah kalian di Tanah Perdikan Menoreh."
Pada saat matahari terbit, maka pasukan kecil itu bergerak meninggalkan Mataram. Ki Patih Mandaraka dan pengiringnya melepas mereka di pintu gerbang.
Di paling depan, berjalan tiga orang pemimpin kelompok. Seorang yang ditengah membawa tunggul yang berbentuk cakra dan disebelah menyebelahnya membawa duaja Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan serta sebuah rontek berwarna terang, lambang keceriaan pasukan itu.
Demikian pasukan itu meninggalkan regol barak yang menampung mereka selama mereka berada di Mataram, maka Agung Sedayu dan seorang pemimpin kelompok yang lain segera meloncat ke punggung kuda. Dibelakang iring-iringan itu, Glagah Putih, Sekar Mirah dan Rara Wulan mengikuti di atas punggung kuda pula. Mereka tidak berada di dalam barisan para prajurit Mataram dari Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan itu.
Tanpa pedati, maka perjalanan para prajurit itu terasa jauh lebih cepat. Demikian mereka keluar dari pintu gerbang kota, maka perjalanan merekapun menjadi lebih cepat lagi. Matahari yang memanjat naik telah menghangatkan tubuh mereka.
Embunpun mulai menggeliat bangunan serta meninggalkan dedaunan yang ditumpanginya di malam yang dingin.
Orang-orang yang berpapasan di jalan, memperhatikan iring-iringan itu dengan berbagai macam pertanyaan tentang sepasukan kecil prajurit yang membawa tunggul berbentuk cakra dengan penuh kebanggaan.
Sinar matahari yang menjadi semakin tinggi terasa mulai menggatalkan kulit. Keringatpun mula mengembun di tubuh para piajurit yang berjalan dengan langkah yang mantap itu.
Namun perjalanan itu terasa sangat berbeda dengan perjalanan panjang yang baru saja mereka tempuh. Perjalanan pulang itu mereka lakukan dengan jantung yang terasa mekar. Tanaman di sawah yang membentang luas itu, bagaikan wajah telaga dengan airnya yang kehitaman. Gelombang-gelombang kecil mengalir dalam sapuan angin yang lembut.
Hati para prajurit dalam perjalanan pulang itu terasa cerah seperti cerahnya matahari pagi yang menapaki langit dengan langkahnya yang lamban dalam irama yang tidak pernah berubah.
Para petani yang berada di sawah merekapun nampak berwajah jernih pula memandangi padi mereka yang tumbuh subur itu mulai bunting.
Pengharapanpun rasa-rasanya menjadi semakin dekat. Meskipun kadang-kadang mencuat pula kegelisahan, bahwa tiba-tiba saja akan muncul hama yang menghancurkan pengharapan mereka.
Namun dalam pada itu, selama Ki Lurah Agung Sedayu, Sekar Mirah, Glagah Putih dan Rara Wulan tidak berada di Tanah Perdikan Menoreh, telah datang di Tanah Perdikan itu, orang-orang yang tidak mereka kenal sebelumnya.
Seorang laki laki yang sudah separo baya dan dua orang laki-laki muda.
Mereka bertiga tidak datang ke Tanah Perdikan Menoreh untuk menemui Ki Gede, tetapi mereka datang ke rumah Ki Argajaya.
Dengan ramah Ki Argajaya menerima mereka. Tetapi karena Ki Argajaya merasa belum pernah mengenal mereka, maka iapun bertanya, "Maaf Ki Sanak. Barangkali kita belum pernah bertemu sebelumnya. Karena itu, maka perkenankanlah aku bertanya, siapakah Ki Sanak bertiga ini."
Orang yang sudah separo baya itu tersenyum. Katanya dengan nada rendah, "Akulah yang harus minta maaf, Ki Argajaya. Aku datang begitu tiba-tiba tanpa memberi isyarat lebih dahulu."
"Tidak apa-apa Ki Sanak. Bukan itu soalnya. Tetapi sekali lagi aku minta maaf, bahwa rasa-rasanya kita belum pernah bertemu. Karena itu, jika Ki Sanak tidak berkeberatan, perkenankanlah aku mengetahui serta sedikit tentang Ki Sanak bertiga. Nama Ki Sanak, dari mana Ki Sanak datang dan kemudian apakah keperluan Ki sanak."
Orang itu tertawa. Katanya, "Jadi Ki Argajaya ini benar-benar lupa kepadaku."
Ki Argajaya mengerutkan dahinya. Ia bukan seorang pelupa meskipun umurnya sudah menjadi semakin tua. Biasanya, ia selalu dapat mengingat kembali orang-orang yang pernah ditemuinya meskipun baru sekali.
Tetapi ketiga orang ini rasa-rasanya memang belum pernah ditemuinya dimanapun juga.
Sebelum Ki Argajaya mengatakan sesuatu, orang yang sudah separo baya itupun berkata, "Tetapi itu wajar sekali. Pertemuan kita yang baru sekali itu terjadi belasan tahun yang lalu. Aku masih remaja pada waktu itu, Ki Argajaya memang lebih tua sedikit dari umurku. Tetapi Ki Argajaya waktu itu juga belum menikah."
"Jadi sudah antara tiga sampai empat puluh tahun yang lalu, Ki Sanak?"
"Ya. Pada satu perhelatan pernikahan paman Tandajaya."
"Di Jatipendawa ?"
"Ya. Di Jatipendawa. Di rumah pengantin perempuan."
"Bibi Kantil yang kemudian kita panggil bibi Tandajaya ?"
"Tepat. Jadi Ki Argajaya masih ingat ?"
"Aku masih ingat tentang perhelatan itu. Aku bermalam di rumah pengantin perempuan itu semalam."
"Aku tidak." Ki Argajaya mencoba mengingat-ingat. Siapa saja yang ditemuinya dalam perhelatan itu. Tetapi begitu banyak orang, sehingga mungkin saja ia melupakan salah seorang diantara mereka.
"Ki Argajaya," berkata orang itu, "Ki Argajaya ingat kepada kakek Saradan ?"
"Ya. Aku ingat."
"Dengan Ki Sapa Aruh ?"
"Tentu. Justru karena namanya yang sangat menarik bagiku, aku tidak akan pernah melupakannya. Ki Sapa Aruh adalah anak kakek Saradan. Dan kakek Saradan adalah cikal bakal tanah ini, yang semakin ramai dan menjadi semakin subur karena digarap oleh orang-orang yang telah bertekad untuk bekerja keras. Akhirnya tanah ini menjadi Tanah Perdikian, antara lain juga karena jasa-jasa kakang Argapati."
"Tepat. Jika demikian, Ki Argajaya tentu akan dapat mengingat salah seorang anak Ki Sapa Aruh."
"Ada beberapa orang anak uwa Sapa Aruh."
"Ki Argajaya. Aku masih ingat pada waktu itu, Ki Argajaya datang bersama paman Argapada dan adi Argapati."
"Ya. Aku datang bersama ayah dan kakang Argapati."
"Ki Sapa Aruh datang bersama tiga orang anaknya. Dua orang perempuan dan seorang laki-laki."
Ki Argajaya mengingat-ingat sejenak. Lalu katanya, "Ya. Aku ingat itu. Paman Sapa Aruh datang bersama dua anak perempuannya dan seorang anak laki-laki yang sudah remaja."
"Ki Argajaya ingat anak laki-laki remaja itu " Seperti nama Ki Sapa Aruh yang agak aneh itu, maka nama anaknyapun agak aneh juga."
Ki Argajaya mencoba mengingat-ingat. Kemudian sambil tersenyum iapun berkata, "Ya. Aku ingat. Namanya Kapat."
"Tepat. Ternyata ingatan Ki Argajaya masih cerah. Nama anak laki laki Ki Sapa Aruh itu adalah Kapat. Ia anak ke empat. Tiga saudara tuanya adalah perempuan."
"Ya." "Dan remaja yang bernama Kapat itu adalah aku."
"Jadi Ki Sanak, eh, maksudku kakang adalah kakang Kapat ?"
"Ya. Aku adalah Kapat itu. Apakah ada yang berbeda ?"
Ki Argajaya mengerutkan dahinya. Namun kemudian sambil tertawa iapun berkata, "Aku sekarang sudah tua. Ingatanku sudah tidak secerah beberapa tahun yang lalu. Aku benar-benar tidak mampu lagi mengingat bahwa kakang adalah kakang Kapat."
"Sudah terlalu lama kita berpisah. Pertemuan kitapun hanya sebentar pada waktu itu."
"Aku minta maaf, kakang. Bukankah aku wajib memanggil kakang meskipun umurku lebih tua. ?"
"Ya. Dan jika Ki Argajaya berkenan, aku memanggil Ki Argajaya, adi. Sebagaimana aku memanggil adi Argapati."
"Tentu, kakang. Tentu aku tidak berkeberatan. Bukankah memang seharusnya demikian ?"
"Sokurlah jika adi tidak berkeberatan."
"Lalu kedua orang anak muda ini ?"
"Keduanya adalah anakku."
"Anak kakang ?"
"Ya." "Maaf ngger. Aku benar-benar agak lupa terhadap ayahmu. Siapakah nama kalian berdua ?"
"Aku yang tertua diantara kami berdua paman. Ayah memang aneh. Mungkin karena nama kakek aneh dan nama ayah juga aneh, maka ayah juga memberi nama aneh kepadaku. Namaku disesuaikan dengan hari lahirku Soma."
Ki Argajaya tertawa. Katanya, "Nama yang baik."
"Kebetulan nama itu agak manis di telinga."
"Hari kedua dalam urutan Saptawara."
"Ya, paman." "Yang seorang lagi ?"
"Seperti kakang, namaku juga aneh. Jika ayah dinamai menurut urutan kelahiran anak kakek, maka namaku adalah nama hari pada saat aku dilahirkan. Namaku Tumpak paman."
"Tumpak." "Ya, paman. Tidak semanis nama kakang."
"Hari ke tujuh dalam urutan Saptawara."
"Aku tidak mau dipersulit dengan nama, adi," berkata Ki Kapat.
"Ya. kakang. Tetapi apakah sampai tua kakang jura mempergunakan nama kanak-kanak kakang itu ?"
"Tidak, paman," sahut Tumpak, "ayah kemudian berganti nama setelah menikah. Alasannya, sebaiknya orang memakai nama tua. Tidak lagi memakai nama dimasa kanak-kanak."
Ki Argajaya tertawa. Iapun kemudian bertanya, "Siapa nama tua ayahmu ?"
"Namanya Ki Argajalu."
"Argajalu ?" "Ya." Ki Argajaya tertawa semakin panjang. Katanya, "Nama yang bagus."
"Aku tidak tahu, apakah nama itu mempunyai arti atau tidak. Aku hanya ingin mempergunakan nama Arga seperti adi Argapati dan Argajaya."
Ki Argajaya masih saja tertawa. Namun kemudian katanya, "Baiklah, kakang. Biarlah nanti tidak pergi ke rumah kakang Argapati. Kakang Argapati tentu senang sekali menerima kedatangan kakang Argajalu."
"Ah. Tidak usah, adi Argajaya. Aku cukup menemui Adi Argajaya saja."
"Kenapa ?" "Adi Argapati adalah seorang yang besar. Apa masih pantas aku datang menemuinya. Aku hanyalah seorang cantrik dari sebuah padepokan kecil."
"Cantrik ?" "Begitulah kira-kira."
"Paman," sahut Soma, "ayah telah mendirikan sebuah perguruan. Ayah sendiri memimpin perguruan itu. Kami adalah dua diantara para putut di padepokan itu."
"Hanya sebuah barak kecil yang tidak ada artinya apa-apa adi."
"Apalagi kakang adalah seorang pemimpin dari sebuah perguruan. Kenapa kakang mesti segan menemui kakang Argapati ?"
"Adi Argapati adalah seorang Kepala Tanah Perdikan yang besar."
"Jangan membuat jarak dengan kakang Argapati, kakang. Kakang Argapati bukan sejenis orang yang membuat batasan-batasan di dalam hubungannya antara sesama. Apalagi kakang adalah kulit daging sendiri."
"Tetapi bahwa aku diterima oleh adi Argajaya, aku sudah merasa gembira sekali."
"Tidak apa-apa, kakang. Jika tidak sekarang, biarlah besok kita bertemu dengan kakang Argapati."
Ki Argajalu itu menggeleng. Katanya, "Tidak adi. Biarlah aku disini saja."
"Malam ini kakang dan kedua anak kakang itu, akan bermalam disini. Tetapi sebaiknya kakang bertemu dengan kakang Argapati. Jika kakang Argapati tahu, bahwa kakang Kapat Argajalu datang kemari dan tidak singgah, maka akulah yang akan di marahinya."
Ki Kapat Argajalu menarik nafas panjang. Namun kemudian iapun berkata, "Aku akan memikirkannya adi. Tetapi biarlah malam ini aku bermalam disini jika adi berkenan."
"Tentu. Tentu. Kakang dan kedua kemenakanku itu akan bermalam disini malam ini. Nanti Prastawa akan gembira bertemu dengan sanak-kadangnya yang belum pernah dilihatnya."
"Siapakah Piastawa itu, adi ?"
"Anakku. Anakku hanya satu. Laki-laki. Namanya Prastawa."
"Tentu anak yang manja."
"Tidak. Prastawa kebetulan tidak manja. Ia seorang anak yang rajin, Ia ikut pamannya dan telah diserahi untuk memimpin anak-anak muda di Tanah Perdikan ini. Pasukan Pengawal Tanah Perdikan."
"Luar biasa. Ia tentu anak muda yang berilmu tinggi."
"Tidak, kakang. Prastawa tidak memiliki ilmu yang tinggi. Ia mempunyai kemampuan untuk memimpin kawan-kawannya, anak-anak muda di Tanah Perdikan ini."
Ki Kapat mengangguk-angguk. Katanya, "Ia akan berkembang terus hingga menjadi seorang pemimpin yang disegani."
"Mudah-mudahan, kakang."
Pembicaraan mereka terhenti. Hidanganpun disuguhkan.
Ketika mereka sedang menghirup minuman hangat yang dihidangkan itu, maka seorang laki-laki berkuda memasuki regol halaman rumah Ki Argajaya.
Ketika Ki Kapat Argajalu, Soma dan Tumpak berpaling, maka Ki Argajaya itupun berkata, "Itulah Prastawa."
"Siapakah Prastawa itu " " bertanya Ki Kapat Argajalu.
"Anak laki-laki paman Argajaya. Bukankah tadi paman sudah mengatakannya " " sahut Soma.
"O." "Ayah memang sudah hampir pikun. Tetapi ayah masih saja menjadi pemimpin sebuah perguruan."
"Tentu tidak," sahut Ki Argajaya, "pertanyaan itu datang tiba-tiba saja."
Ketika Prastawa kemudian meloncat turun dari kudanya, maka Ki Argajayapun memanggilnya, "Prastawa, kemarilah. Duduklah disini." Prastawapun kemudian naik ke pendapa dan langsung duduk di pringgitan.
"Ini adalah uwakmu."
Prastawa termangu-mangu sejenak. Namun Ki Argajaya kemudian menjelaskan urut-urutan susunan keluarganya.
"Sebut kedua orang anak muda itu, kakang. Mungkin kau lebih tua Prastawa. Tetapi abunya kau lebih muda dari mereka."
"Hormatku uwa serta kakang berdua," berkata Prastawa kemudian sambil membungkuk hormat.
"Ternyata kau tetap seperti ayahmu waktu muda, ngger," berkata Ki Kapat Argajalu, "kalau saja aku tidak tahu ayahmu juga ada disini, maka aku akan keliru menganggapmu adi Argajaya. Tentu saja aku akan sangat mengagumi bahwa adi Argajaya tidak juga bertambah tua."
Prastawa tersenyum. Katanya, "Tetapi banyak orang mengatakan bahwa aku tidak mirip dengan ayah, uwa."
"Tentu saja sekarang ayahmu sudah tua. Lebih tua dari umurku. Tetapi siapa yang pernah melihat ayahmu muda, maka ia akan mengatakan bahwa kau adalah bayangan ujud ayahmu diwaktu muda."
Prastawa berpaling kepada ayahnya sambil bertanya, "Benar begitu ayah ?"
"Tentu orang lain yang dapat menilainya," sahut Ki Argajaya sambil tersenyum.
Sementara itu, seorang pembantu di rumah Ki Argajaya itu sudah diperintahkan untuk membersihkan sebuah bilik di gandok. Didalamnya terdapat sebuah amben bambu yang agak besar yang dapat dipakai oleh ketiga orang tamu itu. Sebuah geledeg bambu dan sebuah lincak panjang.
Ki Argajaya dan Prastawapun kemudian mempersilahkan ketiga tamunya untuk beristirahat di bilik yang sudah disiapkan.
Kepada Prastawa Ki Argajaya mengatakan, bahwa tamu itu masih belum bersedia pergi menemui Ki Argapati hari itu.
"Mungkin besok," berkata Ki Argajaya.
"Kenapa ?" "Entahlah. Tetapi nampaknya ada perasaan rendah diri pada uwakmu. Uwakmu menganggap bahwa ia tidak pantas untuk menemui seorang Kepala Tanah Perdikan."
"Sikap yang keliru ayah. Anggapan itu harus diluruskan. Paman Argapati tidak pernah membeda-bedakan sesamanya."
"Aku sudah mengatakannya. Tetapi agaknya uwakmu belum siap sekarang. Mungkin besok ia akan bersedia pergi."
"Aku akan mengantarnya."
"Biarlah kita bersama-sama mengantarnya, Prastawa."
"Baik, ayah. Sebaiknya kita pergi menemui paman Argapati di pagi hari saja."
Ki Argajaya mengangguk-angguk sambil menjawab, "Baik. Nanti kau katakan kepada pamanmu Argapati, bahwa kakang Kapat Argajalu ada di Tanah Perdikan sekarang. Besok kakang Kapat Argajalu akan menemui kakang Argapati."
"Baik, ayah. Tetapi apakah uwa Argajalu sudah setuju ?"
"Besok, begitu saja mereka kita ajak menghadap pamanmu."
"Baik, ayah." "Jika pamanmu lupa, siapakah Ki Kapat itu. Kau dapat menjelaskan, bahwa Ki Kapat adalah putera Ki Sapa Aruh."
"Baik, ayah." Demikianlah, Prastawapun segera menemui Ki Gede Menoreh untuk menyampaikan pesan ayahnya itu.
Mula-mula Ki Gede memang agak lupa terhadap nama Ki Kapat. Sedangkan nama Argajalu Ki Gede masih belum pernah mendengarnya. Namun ketika Prastawa mengatakan bahwa Ki Kapat adalah putera Ki Sapa Aruh, maka Ki Gedepun tertawa sambil berkata, "Ya. Aku ingat. Ki Kapat adalah uwakmu."
"Ya, paman." "Aku pernah bertemu dengan kakang Kapat di rumah bibi Kantil di Jati Pendapa, ketika bibi Kantil menikah dengan paman Tandajaya."
"Ya, paman, Ayah juga berkata demikian."
"Baiklah. Besok aku akan menerimanya. Aku baru sekali bertemu. Itupun sudah lama sekali. Sudah puluhan tahun yang lalu. Agaknya selagi kau belum lahir."
"Ya, paman." "Agaknya kakang Kapat ingin menyambung hubungan darah di antara kita yang terputus."
"Agaknya memang demikian, paman. Baiklah aku mohon diri. Aku akan menyampaikannya kepada ayah, bahwa paman besok siap menerima kami bersama uwa Kapat Argajalu."
"Agaknya uwakmu Kapat menambah namanya dengan Argajalu."
"Ayah juga mengatakan demikian, paman." Ki Gede Menoreh tertawa
Demikianlah, maka Prastawapun segera menyampaikan kepada ayahnya kesediaan Ki Gede Menoreh untuk menerima Ki Argajaya yang akan mengajak Ki Kapat, yang baru sekali bertemu dan sesudah itu, berpuluh tahun mereka tidak bertemu lagi.
Malam itu, Ki Kapat dan kedua orang anaknya bermalam di rumah Ki Argajaya. Sambil makan malam, mereka banyak berbicara tentang keluarga mereka masing-masing. Tentang orang tua mereka dan tentang lingkungan hidup mereka.
Ki Kapat juga menanyakan tentang keluarga Ki Argapati. Anak-anaknya dan masa depan Tanah Perdikan itu.
Pembicaraan tentang masa lalu Tanah Perdikan serta anak laki-laki Ki Gede Menoreh, telah membuat jantung Argajaya berdebar-debar. Dengan hati-hati Ki Argajaya selalu membawa pembicaraan diantara mereka bergeser ke arah yang lain. Ki Argajaya tidak dapat berbicara dengan jujur tentang Sidanti dan tentang peristiwa-peristiwa yang menyakitkan Ki Tanah Perdikan Menoreh.
Akhirnya pembicaraan mereka mulai berkisar tentang musim. Tentang udan salah mangsa, tentang Kali Praga yang kadang-kadang marah dan menjadi tidak terlalu ramah kepada orang-orang yang menyeberangnya.
Beberapa saat kemudian, maka Ki Argajayapun mempersilahkan tamunya berpindah dan duduk di pringgitan. Bersama Prastawa Ki Argajaya masih duduk bersama mereka sampai malam menjadi semakin larut.
"Kakang Kapat," berkata Ki Argajaya kemudian, "silahkan beristirahat. Malam sudah larut. Kakang dan angger berdua tentu letih telah menempuh perjalanan panjang."
"Terima kasih, adi Argajaya. Adi sangat baik menerima kami berdua yang seakan akan sudah tersisih dari alur keluarga."
Prastawapun kemudian mengantar ketiga orang tamunya ke sebuah bilik di gandok, sementara itu Ki Argajaya telah masuk ke ruang dalam.
"Silahkan, uwa," berkata Prastawa kemudian.
"Kau akan ke mana ?"
"Aku akan melihat-lihat anak-anak yang meronda."
"Angger Prastawa akan keluar dan berkeliling Tanah Perdikan mi ?"
"Hanya di padukuhan induk saja, uwa."
"Angger adalah seorang anak muda yang sangat rajin. Jika angger setuju, biarlah kedua kakangmu itu ikut bersamamu. Biarlah mereka mengetahui apa yang seharusnya dilakukan oleh orang-orang muda. Bukan hanya sekedar berkutat di padepakan saja. Setiap hari berada di sanggar, disawah, pategalan dan di kandang kuda, lembu, kerbau dan kambing."
"Aku tidak keberatan, uwa. Tetapi tidak sekarang. Bukankah uwa dan kakang berdua tidak akan tergesa-gesa meninggalkan Tanah Perdikan ini ?"
"Kami akan tinggal beberapa hari disini jika adi Argajaya tidak berkeberatan."
"Tentu tidak uwa. Kami akan bergembira jika uwa bersedia tinggal beberapa hari disini. Paman Argapati yang oleh rakyat Tanah Perdikan ini dipanggil Ki Gede Menoreh, tentu juga akan senang sekali."
"Terima kasih."
"Besok atau lusa aku akan membawa kakang berdua berkeliling tanah Perdikan ini."
Ki Kapat itu mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah, ngger. Lain kali, biarlah kedua orang kakangmu melihat, apa saja yang kau kerjakan di tanah Perdikan ini."
"Uwa dan kakang berdua tentu juga letih. Karena itu, sebaiknya uwa dan kakang berdua beristirahat saja."
Ki Kapat Argajalu dan kedua orang anaknyapun kemudian masuk ke dalam bilik di gandok yang sudah disiapkan. Sementara itu, Prastawapun telah turun ke jalan. Karena Prastawa hanya akan melihat-lihat padukuhan induk, maka Prastawa itu hanya berjalan kaki saja.
Di pagi hari berikutnya, setelah matahari naik, maka Ki Argajaya dan Prastawa telah mengajak Ki Kapat dan kedua orang anaknya pergi ke rumah Ki Gede Menoreh.
Sejak semula Ki Kapat memang sudah ragu-ragu. Namun Ki Argajaya dan Prastawa telah mendesaknya.
"Aku sudah mengatakannya kepada paman Argapati semalam, uwa," berkata Prastawa.
Ki Kapat tidak dapat mengelak lagi. Bersama dua orang anaknya, diantar oleh Ki Argajaya dan Prastawa, mereka pergi ke rumah Ki Gede Menoreh.
Kedatangan mereka di rumah Ki Gede Menoreh, telah disambut dengan ramah sekali oleh Ki Gede dan beberapa orang bebahu yang kebetulan ada di rumah Ki Gede.
"Marilah, kakang. Silahkan," berkata Ki Gede yang menyongsongnya sampai ke tangga pendapa. Demikian pula para bebahu yang kebetulan sedang berada di pendapa itu pula.
Ki Kapat Argajalu mengangguk dalam-dalam sambil berkata, "Maafkan aku adi, bahwa aku telah berani datang mengunjungi adi, Kepala Tanah Perdikan Menoreh."
"Apapun pekerjaanku, tetapi kakang adalah saudaraku yang abunya lebih tua dari aku. Marilah, kakang. Silahkan naik."
Sejenak kemudian, Ki Kapat Argajalu serta kedua anaknya telah duduk di pringgitan, bersama Ki Argapati serta para bebahu, Ki Argajaya dan Prastawa.
"Selamat datang di Tanah Perdikan ini kakang," berkata Ki Argapati dengan ramah.
"Selamat adi. Demikian pula keluarga yang kami tinggalkan. Bagaimana dengan adi sekeluarga disini ?"
"Baik-baik saja, kakang."
"Aku dan anak-anakku minta maaf, bahwa kami memberanikan diri untuk menemui adi Argapati."
"Aku merasa senang sekali bahwa kakang tidak melupakan kami keluarga di Tanah Perdikan ini. Kedatangan kakang dan kedua kemenakanku ini akan dapat menyambung hubungan kita yang hampir terputus."
"Aku merasa sangat berterima kasih. Bahwa aku telah diterima dengan sangat baik di Tanah Perdikan ini. Adi Argajaya memberikan tempat kepada kami untuk bermalam. Tempat yang membuat kami kerasan tinggal di Tanah Perdikan ini. Adi Argapati, seorang Kepala tanah Perdikan yang besar, telah bersedia pula menerima kedatangan kami."
"Sudahlah. Untuk selanjutnya kita tidak akan membiarkan hubungan kita terputus lagi. Bahkan aku ingin menghubungi bukan saja kakang Kapat, tetapi juga saudara-saudaraku yang lain."
"Jika seorang diantara kami telah dapat berhubungan, maka yang lain akan dapat dilakukan pula. Besok, setelah aku pulang dari Tanah Perdikan ini, aku akan memberitahukan kepada saudara-saudaraku tentang adi Argapati dan adi Argajaya di Tanah Perdikan ini."
"Terima kasih, kakang. Mudah-mudahan hubungan kita selanjutnya akan menjadi semakin dekat."
Demikianlah, maka seperti Argajaya, maka Argapatipun telah bertanya tentang keluarga Ki Kapat Argajalu. Tentang saudara-saudara perempuan dan tentang sanak kadangnya yang lain.
Namun ketika Ki Kapat yang kemudian bertanya tentang keluarga Ki Argapati, tentang anak-anaknya dan tentang isterinya, maka Ki Argapati tidak menjelaskan keadaannya seutuhnya. Seperti Ki Argajaya, maka Ki Argapati berusaha untuk menghindari pembicaraan tentang mak-anaknya. Ki Argapati hanya mengatakan, bahwa anak perempuannya kini berada di Sangkal Putung.
"Pandan Wangi menjadi isteri anak Demang Sangkal Putung.
"Anak seorang Demang " " bertanya Ki Kapat Argajalu.
"Ya." Ki Kapat mengangguk-angguk. Tetapi nampak pada wajahnya, ada sesuatu yang dipikirkannya.
Seperti pada saat ia berbicara dengan Ki Argajaya, maka pembicaraan selanjutnya berkisar pada kehidupan di Tanah Perdikan Menoreh. Kehidupan rakyatnya, kesuburan tanahnya, luasnya dan berbagai macam keadaan di Tanah Perdikan itu lebih terbuka dari pembicaraan tentang keluarganya.
"Ternyata adi Argapati telah memimpin sebuah Tanah Perdikan yang besar, yang kesejahteraan rakyatnya cukup tinggi."
"Kami penghuni Tanah Perdikan ini. telah bekerja keras untuk kesejahteraan kami."
"Itulah yang tidak kami miliki di lingkungan kami," berkata Ki Kapat Argajalu kemudian, "apa yang aku lihat disini, akan aku bawa pulang untuk aku sampaikan kepada Ki Demang di Kademanganku."
"Yang penting bagi kami adalah, bahwa kami merasa satu," berkata Ki Argapati kemudian.
Ki Kapat Argajalu berada di rumah Ki Argapati yang disebut Ki Gede Menoreh beberapa lama. Namun kemudian Ki Kapat itupun berkata kepada Ki Argajaya, "Adi. Rasa-rasanya aku sudah merasa cukup berbincang dengan adi Argapati. Aku tidak ingin terlalu lama menunggu. Mungkin Adi Argapati sedang mengadakan pembicaraan dengan para bebahu yang harus terhenti karena aku ada disini sekarang ini."
"Tidak. Kami tidak sedang mengadakan pembicaraan apa-apa. Para bebahu itu datang sebagaimana hari-hari lain. Setiap hari mereka datang kemari. Mungkin ada sesuatu yang harus dibicarakan atau mungkin ada kerja yang segera harus di lakukan.
"Tetapi biarlah aku minta diri. Mungkin esok atau lusa aku akan singgah lagi kemari."
"Sekali-sekali selama kakang berada di Tanah Perdikan ini. bermalam dirumahku," berkata Ki Gede Menoreh.
"Terima kasih atas tawaran ini, adi. Aku memang berniat untuk bermalam satu atau dua malam di rumah adi."
"Kenapa tidak malam nanti" " bertanya Ki Gede.
"Mungkin esok atau lusa," jawab Ki Kapat sambil tertawa.
Demikianlah, Ki Kapatpun kemudian minta diri. Bersama Ki Argajaya, Ki Kapat itu meninggalkan rumah Ki Argapati. Sementara Prastawa masih tetap tinggal dirumah pamannya.
"Silahkan uwa pulang bersama ayah. Aku akan tinggal disini."
"Kapan-kapan kakangmu ingin melihat-lihat Tanah Perdikan ini, ngger."
"Baik, uwa. Besok aku akan membawa kakang berdua berkeliling Tanah Perdikan ini."
Sepeninggal Ki Kapat, kedua anak laki-lakinya serta Ki Argajaya, Ki Gede masih berbincang dengan Prastawa yang tinggal di rumah pamanya itu bersama para bebahu.
"Prastawa," berkata Ki Gede kemudian, "jika saja kau belum mengatakan kepadaku kemarin, bahwa yang datang itu adalah kakang Kapat, maka aku sama sekali tidak akan dapat mengenalinya lagi. Kakang Kapat itu lain sekali dengan gambaran angan-anganku."
"Paman sudah lama sekali tidak bertemu. Apalagi pada waktu itu, paman baru bertemu sekali dengan uwa Kapat dan hanya sejenak saja di upacara pernikahan."
"Ya, Prastawa. Tetapi rasa-rasanya apa yang aku lihat pada waktu itu, bukan orang yang baru saja datang kemari."
"Rentang waktu yang terlalu panjang, agaknya sudah menghapus ingatan paman atas wajah orang itu."
Ki Gede tersenyum. Seorang bebahu berkata, "Wajar sekali jika Ki Gede telah melupakan wajah yang pernah Ki Gede lihat sekilas puluhan tahun yang lalu."
"Ya," Ki Gede mengangguk-angguk. Namun ia masih juga bergumam, "tetapi meskipun aku sudah tua, rasa-rasanya aku masih belum pikun."


15 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Para bebahu itu sempat juga tertawa.
Namun tiba-tiba saja Prastawapun berkata, "Paman. Sebenarnyalah bahwa ayah juga sulit untuk mengenali uwa Kapat Argajalu. Tetapi ayah menjadi percaya dan bahkan yakin, karena apa yang dikatakan oleh Ki Kapat Argajalu sesuai dengan pengertian ayah. Tentang silsilah dan tentang pertemuannya yang tidak terlalu lama di upacara pernikahan itu. Pada saat itu, ayah memang belum menikah."
Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Apa yang diketahuinya memang cukup meyakinkan. Besok atau lusa, jika aku sampai berbincang lagi dengan kakang Kapat. maka aku akan dapat menjadi semakin pasti tentang orang itu."
Untuk beberapa saat Prastawa masih berbincang dirumah pamannya. Bahkan kemudian juga dengan para bebahu tentang beberapa tugas yang harus segera dilaksanakan oleh anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh. Beberapa ruas tanggul parit di beberapa padukuhan perlu diperbaiki.
Baru beberapa saat kemudian, Prastawa minta diri untuk melihat langsung tanggul-tanggul parit yang rusak itu bersama seorang bebahu.
Dalam pada itu, sejak hari itu, Ki Kapat Argajalu untuk beberapa hari tinggal di rumah Ki Argajaya. Seperti yang dikatakan oleh Prastawa, maka dikeesokan harinya, ia lelah mengajak ke dua orang anak Ki Kapat untuk melihat-lihat Tanah Perdikan Menoreh.
"Tanah yang subur," desis Soma.
"Kami harus bekerja keras untuk membuat tanah ini menjadi subur," berkata Prastawa.
"Adi Prastawa ternyata berhasil," desis Tumpak.
"Bukan itu. Tetapi seluruh Tanah Perdikan. Kerja keras itu sudah dimulai sejak kakek membuka daerah ini."
"Kau beruntung adi," berkata Soma.
"Bukan hanya aku yang beruntung. Tetapi seluruh rakyat Tanah Perdikan ini dapat menikmati hasil kerja keras mereka."
"Bukan hanya itu, adi. Tetapi adi secara pribadi."
"Apa yang kang Soma maksudkan?"
"Adi akan mewarisi sebuah Tanah Perdikan yang luas, subur serta kehidupan rakyatnya yang tenang dan damai."
"Mewarisi ?" Prastawa itupun kemudian tertawa. Katanya, "Aku tidak akan mewarisi Tanah Perdikan ini. Paman Argapati yang dipanggil rakyat Tanah Perdikan ini Ki Gede Menoreh, mempunyai seorang anak perempuan."
"Yang menjadi isteri anak Demang itu?"
Prastawa mengerutkan dahinya. Sambil memandang wajah Soma, Prastawa itu mengangguk, "Ya. Mbokayu Pandan Wangi."
Soma mengangguk-angguk. Katanya, "Kenapa Pandan Wangi itu tidak kau jadikan isterimu saja ?"
"He" Ia sepupuku."
"Kenapa " Bukankah banyak orang yang berumah tangga dengan sepupunya sendiri" Yang tidak dibenarkan adalah mereka yang menikah dengan saudara misannya. Antara anak dari dua orang saudara sepupu."
"Aku tidak pernah memikirkannya. Mbokayu Pandan Wangi sekarang hidup bersama suaminya di kademangan Sangkal Putung. Nampaknya keluarga mereka baik-baik saja."
"Kenapa dengan anak seorang Demang?"
"Adi Pandan Wangi adalah anak seorang Kepala Tanah Perdikan," berkata Tumpak.
"Ya." "Derajadnya lebih tinggi dari seorang Demang."
"Siapa yang mengatakannya " Seandainya demikian, yang derajatnya lebih tinggi adalah ayah mbokayu Pandan Wangi dibanding dengan ayah kakang Swandaru."
Tumpak tertawa. Katanya, "Itulah sebabnya seorang memperhitungkan keturunan."
"Mbokayu Pandan Wangi abunya lebih tua dari aku. Selain itu derajat ayahku juga lebih rendah dari derajad ayah mbokayu Pandan Wangi."
"Tetapi kalian masih mempunyai ikatan keluarga. Seandainya kalian hidup sebagai suami istri, maka tidak akan timbul masalah bagi Tanah Perdikan ini di kemudian hari."
"Maksudmu?" "Keturunan Ki Argapati dan Ki Argajaya akan bergabung dalam satu jalur."
"Sudahlah. Jangan bicara hal itu. Marilah kita lanjutkan melihat-lihat Tanah Perdikan ini."
"Kami minta maaf, bahwa kami telah mengusik perasaanmu, adi," berkata Soma kemudian.
"Tidak apa-apa kakang. Tetapi aku minta, pembicaraan seperti ini jangan diulang lagi."
Kami bermaksud baik. Kita adalah keturunan dari darah yang sama jika saja Pandan Wangi menikah dengan orang lain, maka darah keturunan yang lain akan memasuki lingkaran kekuasaan darah keturunan kita."
"Ayah juga menikah dengan orang yang bukan keturunan darah yang sama. Kakek juga."
Soma mengangguk-angguk sambil berkata, "Baik, adi. Nampaknya adi tidak ingin berbicara tentang masa depan Tanah Perdikan ini."
"Kakang jangan salah paham."
"Aku mencoba mengerti, adi," sahut Tumpak, "baiklah. Marilah kita melihat Tanah ini lebih jauh."
Sejenak kemudian, maka mereka bertiga telah melanjutkan perjalanan menyusuri jalan-jalan Tanah Perdikan diatas punggung kuda. Mereka melihat sawah-sawah yang terbentang luas. Mereka mengikuti jalan di lereng bukit dan yang kemudian menuruni lembah. Mereka menempuh jalan di tepi hutan pegunungan yang lebat.
Tetapi mereka tidak lagi banyak berbicara. Rasa-rasanya ada selembar tirai yang tiba-tiba saja terbentang membatasi pembicaraan antara Prastawa dengan kedua orang kakak beradik itu.
Namun Prastawa masih selalu menjawab dengan baik pertanyaan-pertanyaan yang diberikan oleh Soma dan Tumpak.
Lewat tengah hari, Prastawa, Soma dan Tumpak telah berada di rumah Ki Argajaya. Dengan penuh minat, Ki Kapat Argajalu mendengarkan ceritera anak-anaknya tentang Tanah Perdikan Menoreh yang luas, yang subur dan yang tenang.
"Sungguh satu kurnia yang sangat besar," berkata Ki Kapat.
"Ya," sahut Ki Argajaya, "satu kurnia yang besar." Namun Prastawa sendiri tidak dapat ikut dalam pembicaraan tentang Tanah Perdikan itu. Iapun kemudian telah minta diri untuk pergi ke rumah pamannya, Ki Gede Menoreh.
Namun ternyata bahwa Soma dan Tumpak masih saja berbicara tentang pewarisan Tanah Perdikan Menoreh itu kelak. Ketika senja turun, selagi Prastawa, Soma dan Tumpak minum minuman hangat diserambi gandok, Soma masih juga menggelitik hati Prastawa dengan apa yang dinamakannya masa depan Tanah Perdikan itu."
"Adi Prastawa," berkata Soma, "maaf kalau aku masih saja menyinggung tentang Tanah Perdikan ini di masa depan. Apalagi setelah aku menyaksikan sendiri, betapa kurnia yang telah dilimpahkan oleh Yang Maha Agung kepada keluarga paman Argapati dan paman Argajaya."
"Kepada kami seluruh penghuni Tanah Perdikan ini, kakang " sahut Prastawa.
"Ya. Khususnya kepada paman Argapati dan paman Argajaya. Namun sayang sekali bahwa adi Pandan Wangi telah menikah dengan anak Demang itu. Dengan demikian ada dua kemungkinan yang dapat terjadi kemudian. Apakah Tanah Perdikan ini bakal jatuh ke tangan suami adi Pandan Wangi atau kepada putera paman Argajaya. Jika suami adi Pandan Wangi sudah mendapatkan tempat karena ia harus menggantikan kedudukan ayahnya di Sangkal Putung, maka tentu adi Prastawalah yang akan menggantikan paman Argapati."
Jantung Prastawa terasa berdentang semakin cepat. Namun tiba-tiba saja Prastawa itu berkata, "Maaf kakang berdua. Aku harus pulang."
"Pulang" Kemana?"
"Rumahku ada dibelakang rumah ayah. Tetapi setelah aku berkeluarga, aku membuat rumah sendiri di belakang, menghadap ke jalan di seberang. Jadi rumahku dari rumah ayah ini saling membelakangi."
"Adi Prastawa tentu juga sudah berkeluarga. Apakah adi Prastawa sudah mempunyai anak?"
"Aku agak terlambat menikah, kakang. Pada umurku yang sekarang, aku sedang menunggu anakku yang pertama."
"O." "Nah, karena itu, silahkan beristirahat. Mungkin kakang berdua merasa letih setelah berkeliling Tanah Perdikan ini."
"Baiklah adi Besok atau lusa, kami ingin berkenalan dengan isteri adi Prastawa itu."
"Istriku juga mempunyai aliran darah yang berbeda dari aliran darah keluarga kita."
Soma tertawa. Katanya, "tidak ada masalah. Jika adi Prastawa ingin membersihkan diri, isteri adi Prastawa itu dapat saja disuruh pulang."
"Maksud kakang, aku dapat begitu saja mencerai isteriku?"
"Apa sulitnya?"
Keringat dingin tiba-tiba saja membasahi punggung Prastawa. Namun Prastawa, itupun berkata, "Seandainya demikian, maka darah yang asing juga telah mengalir di dalam tubuh anakku."
"Bukankah anak itu akan dibawa ibunya?" sahut Tumpak. Lalu katanya, "Selanjutnya, adi Prastawa dapat memanggil Pandan Wangi pulang. Ia tidak perlu lagi kembali ke kademangan itu."
"Mbokayu Pandan Wangi juga sudah mempunyai anak?"
"Tinggal saja anaknya di kademangan itu. Biarlah ia ikut ayahnya."
"Bukankah kakang berdua tahu, bahwa darah keturunan didalam diri mbokayu Pandan Wangi lebih tua dari aku?"
"Tidak apa-apa. Bukan masalah. Jika itu terjadi, maka Tanah Perdikan ini akan menjadi tentrem dan damai yang sejati untuk selamanya. Jika sekarang Tanah ini nampaknya tenang dan damai, namun di dalamnya tersimpan masalah yang pada suatu saat akan dapat membakar Tanah Perdikan ini. Seperti sepeletik api yang terjatuh pada setumpuk jerami kering."
"Maaf kakang. Aku harus pulang."
"Adi, tunggu. Aku kira aku perlu memberi penjelasan," berkata Soma.
"Lain kali saja, kakang. Aku sudah terlalu lama pergi hari ini."
Prastawa tidak menunggu lebih lama lagi. Iapun segera meninggalkan kedua orang anak Ki Kapat Argajalu.
Ketika Prastawa masuk ke ruang dalam untuk minta diri kepala ayahnya, maka dilihatnya Ki Kapat Argajalu sedang berbincang dengan ayahnya.
"Ada apa Prastawa?"
"Aku akan pulang sebentar."
"Pulang?" Ki Kapat yang menyambut.
Ki Argajaya tersenyum sambil menjawab, "Rumahnya hanya dibelakang rumah ini, kakang. Tetapi rumah kami saling membelakangi, karena rumah Prastawa juga mangku jalan di seberang."
"O." "Jika sempat silahkan paman singgah," berkata Prastawa.
"Baik, ngger. Besok aku tengok rumahmu."
"Hanya berjarak beberapa langkah. Jika aku pulang, aku juga lewat kebun belakang rumah ayah ini. Ada pintu butulan pada dinding halaman yang menyekat kebun rumah ayah ini dengan rumahku."
"Baik, ngger. Besok aku singgah. Tetapi dimana kakangmu berdua?"
"Diserambi gandok uwa."
"Baiklah. Biarlah nanti mereka duduk disini."
"Apakah aku harus memanggil mereka?"
"Tidak. Tidak usah. Nanti mereka akan kemari dengan sendirinya."
"Baiklah, uwa. Aku minta diri. Aku pulang dahulu, ayah."
"Apakah nanti kau akan datang kemari?"
"Nanti malam, ayah. Aku akan langsung pergi ke rumah paman."
Sepeninggalnya Prastawa, Ki Kapat Argajalu itupun bergumam, "Seorang yang sangat rajin. Seorang yang benar-benar telah mengabdikan dirinya bagi Tanah Perdikan ini. Setiap hari, hanya sedikit sekali waktu yang dipergunakan untuk tinggal bersama anak isterinya di rumah."
"Anaknya belum lahir."
"Jadi angger Prastawa belum mempunyai anak sebelumnya?"
"Prastawa terlambat menikah."
Ki Kapat Argajalu mengangguk-angguk.
Aku memang bertiarap agar anakku dapat memberikan apa saja yang dimilikinya bagi Tanah Perdikan ini."
"Angger Prastawa merupakan harapan bagi masa depan tanah Perdikan ini."
Ki Argajaya menarik nafas panjang.
Namun tiba-tiba saja Ki Kapat Argajalu itupun berkata, "bukankah angger Prastawa merupakan salah seorang yang berhak memerintah Tanah Perdikan ini?"
Ki Argajaya terkejut. Hampir diluar sadarnya Ki Argajaya itupun menjawab, "Anak itu tidak akan bermimpi untuk mewarisi tanah ini."
"Kenapa" Bukankah hanya ada dua orang yang sekarang berhak mewarisi tanah ini. Angger Pandan Wangi dan Angger Prastawa ?"
"Sudahlah kakang. Jangan berbicara tentang pewaris Tanah Perdikan ini. Semuanya akan berlangsung dengan baik dan menurut tatanan yang seharusnya."
Ki Kapat Argajalupun mengangguk sambil berkata, "Ya, adi."
"Prastawa adalah orang yang bekerja keras tanpa pamrih bagi dirinya sendiri. Pamrihnya adalah agar kesejahteraan rakyat Tanah Perdikan ini meningkat. Kesejahteraan yang dimaksud adalah kesejahteraan lahir batin."
Ki Kapat Argajalu itupun berdesis, "Ya, adi."
"Ki Argajayapun kemudian telah membelokkan pembicaraan mereka. Merekapun kemudian bicara tentang Kali Praga yang lebar dan berair keruh itu. Mereka juga berbicara tentang pegunungan yang membujur panjang ke Utara. Dataran yang subur diantara Pagunungan itu dengan Kali Praga.
Ketika malam menjadi semakin malam, maka Ki Argajaya itupun mempersilahkan tamunya untuk beristirahat.
"Selamat malam adi Argajaya," berkata Ki Kapat kemudian sambil melangkah pergi ke gandok. Ternyata kedua orang anaknya tidak menyusulnya ke ruang dalam.
Di hari berikutnya, Ki Kapat tidak bersedia diajak pergi kerumah Ki Gede Menoreh. Mereka memilih untuk berjalan-jalan melihat-lihat keadaan Tanah Perdikan Menoreh.
"Maaf, uwa. Aku tidak dapat mengantarkan uwa hari ini."
"Tidak apa-apa, ngger. Soma dan Tumpak kemarin sudah mengenali tanah Perdikan ini. Biar aku berjalan-jalan bersama mereka."
Ki Argajaya hari itu juga tidak dapat mengantar Ki Kapat melihat-lihat isi dari Tanah Perdikan. Hari itu Ki Argajaya sudah terlanjur berjanji untuk mewakili keluarga tetangganya meminang seorang gadis dari padukuhan yang lain, tetapi masih termasuk lingkungan Tanah Perdikan Menoreh.
"Aku dituakan oleh tetangga-tetangga," berkata Ki Argajaya, "karena itu, aku sering dimintai bantuan untuk melakukan kerja seperti ini."
"Ya, Adi. Adi tentu tidak akan dapat menolak."
Hari itu, Ki Kapat dengan kedua anaknya pergi melihat-lihat keadaan Tanah Perdikan Menoreh. Tapi mereka tidak hanya berjalan menyusuri jalan-jalan di Tanah Perdikan. Tetapi merka telah melihat-lihat keadaan pasar yang terhitung ramai dipadukuhan induk Tanah Perdikan. Bahkan keduanyapun telah singgah.di sebuah kedai didepan pasar yang banyak dikunjungi orang.
Beberapa orang yang sudah berada didalam kedai itu memperhatikan mereka bertiga yang kemudian duduk di bagian tengah dari kedai yang agak luas itu.
Setelah pesan minuman dan makanan, maka mereka bertiga duduk sambil berbincang tentang Tanah Perdikan Menoreh yang besar itu.
"Maaf, Ki Sanak," tiba-tiba saja Ki Kapat itu bertanya kepada orang yang duduk disebelahnya, "apakah Ki Sanak juga menghuni Tanah Perdikan ini?"
"Ya," jawab orang itu, "aku tinggal di padukuhan sebelah."
"O," Ki Kapat mengangguk-angguk.
"Nampaknya Ki Sanak bukan penghuni Tanah Perdikan ini," berkata orang yang duduk disebelah Ki Kapat itu.
Memang bukan. Ki Sanak. Aku datang dari jauh. Tetapi aku masih mempunyai hubungan darah dengan Ki Gede Menoreh serta Ki Argajaya."
Orang yang duduk disebelahnya itu mengangguk-angguk.
"Bukankah mereka berdua yang sekarang memegang kekuasaan di Tanah Perdikan ini?"
"Yang memegang kekuasaan adalah Ki Gede Menoreh."
"Tetapi bukankah Ki Argajaya itu satu-satunya saudara Ki Gede Menoreh?"
"Ya," jawab orang itu.
"Bukankah itu berarti bahwa kekuasaan atas Tanah Perdikan ini berada di tangan mereka berdua?"
"Ki Argajaya tidak terlalu banyak ikut mencampuri kepemipinan Ki Gede di Tanah Perdikan ini. Tetapi puteranya, Prastawa, mendapat kepercayaan untuk memimpin anak-anak pengawal Tanah Perdikan ini."
"O," Ki Kapat mengangguk-angguk.
Namun Somalah yang kemudian berkata, "Sayang, bahwa anak paman Argapati itu seorang perempuan."
"Ya," sahut orang yang duduk disebelah Ki Kapat.
"Jadi, menurut pendapat rakyat Tanah Perdikan ini, siapakah yang kelak akan menggantikan kedudukan Ki Gede " " bertanya Ki Kapat.
Orang yang duduk disebelahnya itu termangu-mangu. Pertanyaan semacam itu tidak pernah didengarnya. Rakyat Tanah Perdikan Menoreh sendiri belum pernah mempersoalkan, siapakah yang akan menggantikan kedudukan Ki Gede Menoreh.
Karena itu, sambil menggelengkan kepalanya orang itu menjawab, "Aku tidak tahu."
"Anak Ki Gede Menoreh adalah seorang perempuan yang menjadi suami anak Demang di Sangkal Putung. Jika Pandan Wangi yang harus menggantikannya, berarti Swandarulah yang akan berkuasa. Swandaru adalah orang asing bagi Tanah Perdikan ini. Sedangkan ada yang lain, anak Ki Argajaya, seorang laki-laki. Prastawa. Seorang yang sejak remaja telah bekerja keras bagi Tanah Perdikan ini."
Yang mendengarkan pembicarakan itu ternyata tidak hanya orang yang duduk disebelah menyebelah. Tetapi beberapa orang yang lainpun ikut mendengarkannya pula. Bahkan seorang yang rambutnya sudah memutih berdesis, "Ya. Selama ini kita tidak pernah berbicara tentang pengganti Ki Gede Menoreh."
"Sebaiknya Ki Gede berbicara tentang calon penggantinya itu sekarang. Mumpung Ki Gede masih ada. Kelak, jika Ki Gede sudah tidak ada, maka persoalannya akan menjadi semakin rumit. Tentu ada persoalan antara Prastawa dengan Swandaru, suami Pandan Wangi. Apalagi jika suami Pandan Wangi itu sudah mempunyai jabatan sendiri di Sangkal Putung."
Orang yang rambutnya ubanan itu mengangguk-angguk. Namun seorang anak muda yang juga berada di kedai itu berkata, "Kita tidak usah memikirkannya. Biarlah Ki Gede dan para bebahu mengambil keputusan."
"Jangan acuh tak acuh," berkata Tumpak, "justru anak-anak mudalah yang pantas menentukan masa depan Tanah Perdikan ini. Jika kalian tidak mau membicarakannya sekarang, itu sama artinya kalian membiarkan bara dibawah setumpuk jerami. Akhirnya jerami itu akan terbakar habis."
"Kau siapa Ki Sanak" " bertanya anak muda itu.
"Sudah aku katakan, aku masih terhitung keluarga Ki Gede Menoreh."
"Jika demikian, sebaiknya kalian bertanya saja kepada Ki Gede menoreh."
"Kau lucu Ki Sanak," sahut Soma, "yang menentukan bukan hanya Ki Gede sendiri. Tetapi kalian juga ikut menentukan. Jika kau merasa tidak perlu ikut campur, maka kau telah mematahkan hakmu sendiri."
Anak muda itu tidak menjawab. Bahkan anak muda itupun segera bangkit, mendekati pemilik warung itu untuk membayar makan dan minumannya. Kemudian pergi meninggalkan kedai itu.
Ki Kapat, Soma dan Tumpak tertawa. Ki Kapat itupun kemudian berkata, "Tanah Perdikan Menoreh adalah Tanah Perdikan yang besar. Yang kesejahteraan rakyatnya terhitung tinggi. Kesadaran hidup berkeluarga juga membanggakan. Namun ternyata bahwa rakyatnya tidak mempedulikan masa depan Tanah Perdikannya."
Tidak ada yang menanggapinya. Apa yang dikatakan oleh Ki Kapat dan kedua orang anaknya itu merupakan satu persoalan yang baru bagi orang-orang Tanah Perdikan Menoreh.
Ki Kapatpun kemudian tidak berbicara apa-apa lagi dengan orang-orang yang berada di kedai itu tentang Tanah Perdikan Menoreh. Dihabiskannya makanan dan minuman yang dipesannya. Kemudian membayar harganya dan meninggalkan kedai itu.
Namun Ki Kapat dan kedua orang anaknya telah melontarkan persoalan ke telinga rakyat Tanah Perdikan.
Tidak banyak orang yang mendengarkan persoalan yang dilontarkan oleh Ki Kapat dan kedua orang anaknya. Namun orang-orang yang mendengarkannya segera berbicara dengan orang-orang lain. Dari mulut kemulut. Dari telinga ke telinga.
Dalam pada itu, Ki Kapat sendiri telah berbicara langsung kepada Prastawa tentang hari depan Tanah Perdikan Menoreh. Prastawa sendiri merasa sangat segan mendengarkannya. Namun karena setiap kesempatan Ki Kapat maupun Soma dan Tumpak berbicara tentang pengganti Ki Gede, maka lambat laun Prastawa terlibat pula dalam pembicaraan.
"Ngger," berkata Ki Kapat ketika ia duduk di kebun belakang, dibawah sebatang pohon yang rindang ketika terik matahari bagaikan membakar Tanah Perdikan itu, "maaf jika aku berbicara tentang kakekku. Bukan maksudku menonjolkan diri. Tetapi aku hanya ingin mengutarakan pendapatku."
Prastawa tidak menyahut. "Meskipun hanya sekuku ireng, ketika Ki Surapada mulai membesarkan beberapa padukuhan kecil di daerah ini, sehingga Ki Surapada dapat disebut cikal bakal Tanah Perdikan ini, kakek Saradan juga telah terlibat didalamnya. Sehingga Ki Saradan dan Ki Surapada pada waktu itu telah bekerja keras untuk membesarkan daerah ini, sehingga menjadi Tanah Perdikan yang gemah ripah seperti sekarang ini."
Prastawapun mengangguk-angguk.
"Kami sama sekali tidak akan mengusik atau mentuntut apapun juga dari Ki Gede Menoreh. Kakekku memang tidak tinggal di Tanah Perdikan ini. yang kemudian bekerja keras adalah paman Argapada dan kemudian adi Argapati yang bergelar Ki Gede Menoreh. Meskipun demikian, ada semacam ikatan jiwani dari keturunan Ki Saradan dengan Tanah Perdikan ini. Kami tidak akan mempersoalkannya jika yang kemudian memegang pimpinan Tanah ini adalah darah keturunan Ki Surapada. Mereka memang berhak untuk menjadi penguasa di sini. Tetapi kami akan menyesalinya jika yang memegang pimpinan Tanah Perdikan ini justru orang lain. Mereka yang dilahirkan dari darah keturunan orang asing."
"Maksud paman " " bertanya Prastawa.
Ki Kapat Argajalu itu termangu-mangu sejenak. Dengan nada berat Ki Kapat itupun berkata, "Maaf ngger. Sebaiknya aku berterus terang. Menurut pendapatku. sekali lagi bahwa yang aku katakan adalah pendapatku, jika angger tidak sependapat, aku tidak merasa kecewa, bahwa aku lebih senang jika yang kelak menggantikan kedudukan Ki Gede Menoreh adalah angger Prastawa. Bukan Pandan Wangi. Karena jika Pandan Wangi yang mewarisi kedudukan ayahnya, maka yang akan berkuasa adalah suaminya, Swandaru. Anak Demang Sangkal Putung itu. Apalagi jika Swandaru memerintah dua lingkungan sekaligus. Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh. Perhatiannya tentu lebih besar tertuju pada Kademangan Sangkal Putung. Dengan demikian, maka Tanah Perdikan mi akan terbengkelai. Kesejahteraan yang dibina bertahun-tahun dengan kerja keras dan kesungguhan hati, akan menyusut sedikit demi sedikit seperti tebing sungai yang disisir air setiap hari."
Prastawa tidak menyahut. Memang terjadi gejolak didalam dladanya. Pandangan matanya menerawang menembus berkas-berkas cahaya matahari yang tajam, yang menyusup disela-sela dedadunan yang rimbun di kebun belakang.
Karena Prastawa tidak segera menyahut, maka Ki Kapat itupun berkata pula, "Tetapi segala sesuatunya terserah kepadamu ngger. Aku hanya ingin mengatakan, jika kau memang mencintai tanah ini, maka aku akan mendukungmu. Bukan saja mendukung gagasan-gagasan yang barangkali bermanfaat bagimu, tetapi aku adalah seorang peinimpin dari sebuah padepokan. Aku mempunyai sejumlah cantrik dari beberapa tingkatan. Soma dan Tumpak menurut pendapatku, adalah orang-orang yang sudah tuntas dalam berbagai macam kawruh, termasuk kawruh olah kanuragan."
Prastawa menarik nafas panjang.
Ki Kapatpun untuk beberapa saat terdiam. Dibiarkannya Pratawa mencerna kata-katanya.
Tetapi Prastawa masih saja tetap berdiam diri.
Dalam pada itu, Soma dan Tumpakpun telah datang pula dan duduk bersama mereka. Namun demikian mereka duduk, Prastawapun bangkit berdiri.
"Paman, aku akan pulang dahulu. Sebentar lagi aku akan pergi ke lereng bukit Wangon. Bukit kecil di pinggir jalan ke kademangan di ujung Tanah Perdikan."
"Kenapa dengan bukit itu?"
"Kami merencanakan untuk menanami sisi utara bukit kecil itu dengan berbagai macam pepohonan. Yang kelak kita ketahui paling sesuai dengan tanah di bukit kecil itu, akan kami usahakan untuk menutup daerah gundul disisi Utara itu, agar tanahnya tidak mudah longsor dan menutup jalan."
Ki Kapat mengangguk. Katanya, "Baiklah ngger. Tetapi sebaiknya kau tidak memaksa diri untuk bekerja terlalu keras. Bukankah kau mempunyai keluarga yang juga memerlukan keberadaanmu di rumah. Apalagi kau sedang menantikan anakmu lahir."
"Ya, paman." "Sebenarnya aku ingin pergi bersamamu, adi," berkata Soma ketika Prastawa mulai melangkah.
"Jika kakang akan pergi, aku akan menunggu kakang berbenah diri. Nanti dari rumah aku akan singgah lagi kemari."
"Tetapi adi akan pergi menemui paman Argapati dahulu."
"Ya." "Baiklah lain kali saja adi, jika adi tidak akan singgah di rumah paman Argapati."
Prastawa mengangguk. Iapun kemudian melangkah meninggalkan Ki Kapat serta kedua orang anaknya.
Prastawa sejak semula memang tidak pernah tertarik pada cerita Ki Kapat tentang apa yang disebutnya masa depan Tanah Perdikan. Tetapi karena ceritera itu di ulang-ulang terus, maka sekali-sekali terbersit pula di hati Prastawa, gambaran masa depan Tanah Perdikan itu.
"Kakang Swandaru memang bukan seorang keturunan dari mereka yang cikal bakal Tanah Perdikan ini," berkata Prastawa didalam hatinya, "tetapi anaknya adalah keturunan langsung dari eyang Surapada. Kelak, yang akan mewarisi kekuasaan di Tanah Perdikan ini tentu anak mbokayu Pandan Wangi, sehingga tidak akan ada bedanya dengan anakku, karena separo dari darah anakku juga darah orang yang asing bagi trah keturunan eyang Surapada."
Setiap kali Prastawa berusaha menyingkirkan pikiran-pikiran buruk yang meracuni otaknya itu.
Untuk mengurangi gejolak perasaan didadanya, maka Prastawa sudah berusaha untuk tidak terlalu sering bertemu dan berbicara dengan Ki Kapat Argajalu dan kedua orang anaknya.
Namun kesempatan berbicara itu masih saja selalu datang. Bahkan diluar sadarnya Prastawa mulai mendengarkan ceritera-ceritera Ki Kapat Argajalu itu.
"Tetapi di Tanah Perdikan ini ada pihak-pihak lain yang ikut menentukan sikap paman Argapati," berkata Prastawa didalam hatinya, "jika Agung Sedayu, Sekar Mirah, Glagah Putih dan Rara Wulan pulang, maka mereka mulai mempengaruhi paman Argapati lagi."
Prastawa sempat merasa bimbang. Namun kesadarannya akan kedudukannya sebagai kemenakan Ki Gede Menoreh telah terungkit.
"Jika bukan mbokayu Pandan Wangi, memang akulah yang berhak untuk memimpin Tanah Perdikan ini," berkata Prastawa di dalam hatinya.
Namun kesadaran Prastawa akan dirinya sebagai kemenakan Ki Argapati itu masih diredamnya. Bahkan Prastawa masih berniat untuk melawan gejolak perasaannya sebagaimana ditiupkan oleh Ki Kapat Argajalu serta kedua orang anaknya.
Tetapi bagaimanapun juga, getar yang terdapat dihatinya itu dapat ditangkap oleh ayahnya, Ki Argajaya. Karena itu, maka Ki Argajayapun telah memerlukan berbicara dengan Prastawa. Agar pembicaraan mereka dapat berlangsung lebih terbuka, maka Ki Argajaya telah pergi ke rumah Prastawa yang saling membelangkangi dengan rumahnya.
"Apa yang pernah dikatakan oleh uwakmu Kapat Argajalu, Prastawa?" bertanya Ki Argajaya.
Prastawa menarik nafas panjang. Dengan nada yang berat iapun berkata, "Uwa Kapat menanyakan kepadaku, siapakah yang kelak akan menggantikan kedudukannya."
"Jangan terpengaruh oleh pertanyaan itu, Prastawa. Kau tentu masih ingat apa yang pernah terjadi di Tanah Perdikan ini. Aku pernah menjadi gila dan hampir saja aku menghancurkan sendi-sendi kehidupan di Tanah Perdikan ini. Karena itu, sebaiknya kau tidak usah mendengarkan apa yang dikatakan oleh uwakmu itu."
"Apakah uwa Kapat Argajalu juga mengatakan kepada ayah, bahwa kecuali mbokayu Pandan Wangi, aku juga berhak menggantikan kedudukan paman Argapati?"
"Ya." "Paman juga mengatakan bahwa ia tidak rela jika tanah ini diperintah oleh orang asing" Maksudnya seseorang yang bukan berada pada jalur keturunan kakek Surapada?"
"Ya. Uwakmu tidak setuju jika kelak Swandaru memerintah tanah ini atas nama Pandan Wangi."
"Bagaimana menurut pendapat ayah?"
"Itu haknya, Prastawa. Suami Pandan Wangi memang berhak memerintah Tanah Perdikan ini atas nama Pandan Wangi. Mungkin didalam tubuh Swandaru memang tidak mengalir darah keturunan eyang Surapada. Tetapi anak Pandan Wangi tentu mempunyai aliran darah keturunan eyang Surapada. Tidak mungkin kelak seandainya Swandaru mempunai anak dari seorang perempuan yang lain untuk menetapkannya sebagai penggantinya, karena didalam tubuh anak itu tidak mengalir darah keturunan Ki Surapada."
Prastawa mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja Prastawa itu bertanya, "Tetapi jika tiba-tiba harus ditetapkan pengganti paman Argapti siapakah yang berhak untuk ditetapkan."
"Tentu Pandan Wangi."
"Tetapi mbokayu Pandan Wangi tidak ada disini. Sementara itu kakang Swandaru mempunyai tugasnya sendiri, memimpin kademangan Sangkal Putung."
Ki Argajaya termangu-mangu sejenak. Ia tahu bahwa Ki Demang Sangkal Putung sudah menjadi semakin tua dan tidak mungkin untuk memimpin Sangkal Putung seterusnya, sebagaimana Ki Gede Menoreh.
"Mungkin ada orang lain yang dapat memimpin Kademangan Sangkal Putung," jawab Ki Argajaya.
"Saudara kakang Swandaru adalah seorang perempuan, Mbokayu Sekar Mirah yang sekarang menjadi isteri kakang Agung Sedayu. Jika Sangkal Putung diserahkan kepada Sekar Mirah, maka aku kira kakang Agung Sedayu tidak akan mau melepaskan jabatannya yang sekarang. Ia sudah ditetapkan menjadi Lurah prajurit dari Pasukan Khusus. Jika kemampuan kakang Agung Sedayu dinilai cukup baik, maka ia akan dapat diangkat menjadi seorang Tumenggung seperti kakaknya, Kakang Untara."
Namun Ki Argajaya itupun menjawab, "Sebaiknya kita tidak memikirkan kepemimpinan Sangkal Putung. Itu bukan wewenang kita. Biarlah Swandaru mengaturnya nanti. Yang penting bagi kita adalah kepemimpinan di Tanah Perdikan ini."
"Ya. Justru itulah yang aku tanyakan."
"Prastawa. Ada cara yang dapat ditempuh di Tanah Perdikan ini. Yang akan menggantikan kedudukan Ki Gede adalah Pandan Wangi yang kelak akan diwariskan kepada anaknya. Sementara anaknya masih belum dewasa, sementara Pandan Wangi dan suaminya tidak dapat menjalankan tugasnya, maka tugas itu dapat dilimpahkan kepada orang lain atas nama anak Pandan Wangi itu."
"Itu terlalu berbelit, ayah. Jika mbokayu Pandan Wangi tidak dapat menjalankan tugasnya, maka tentu ada orang lain yang berhak untuk mewarisi kepemimpinan di Tanah Perdikan ini."
"Prastawa. Aku tahu arah bicaramu. Tentu uwakmu Kapat Argajalu dan kedua orang anaknya itulah yang membujukmu. Kau tentu ingat apa yang pernah terjadi di Tanah Perdikan ini semasa aku masih belum menemukan peletik kebenaran didalam hatiku. Meskipun waktu itu kau masih sangat muda, namun kau tentu dapat memahami apa yang telah terjadi."
"Aku mengerti ayah. Tetapi persoalannya sekarang berbeda. Aku tidak pernah ingin menggoyahkan kekuasaan paman Argapati. Aku hanya ingin meluruskan arus kekuasaan di Tanah Perdikan ini. Karena disini ada paman Argapati dan ada ayah, Ki Argajaya. Paman Argapati mempunyai seorang anak perempuan dan ayah mempunyai seorang anak laki-laki."
"Lupakan Prastawa. Biarlah pamanmu mengatur, siapakah kelak yang akan mewarisi kepemimpinan di Tanah Perdikan ini."
"Kita tidak dapat menjadi acuh tak acuh seperti itu, ayah."
Ki Argajaya memandang Prastawa dengan tajamnya. Katanya, "Bukan acuh tak acuh, Prastawa. Tetapi kita tidak ingin gejolak tentang pewarisan kedudukan itu terjadi."
"Ayah. Kita ikut bertanggungjawab terhadap kelestarian Tanah Perdikan ini. Kita berharap bahwa semakin lama Tanah Perdikan ini menjadi semakin maju. Kesejahteraan rakyat semakin meningkat. Karena itu, apa salahnya bahwa kita ikut memikirkan agar Tanah ini dapat semakin berkembang."
"Aku setuju Prastawa. Kita adalah pendukung dari Tanah Perdikan ini. Semua rakyat Tanah Perdikan ini. Tetapi siapapun yang akan memegang pimpinan di Tanah Perdikan ini, kita tentu akan mendapatkan kesempatan untuk mengabdikan diri kita."
"Belum tentu ayah. Jika yang memimpin Tanah Perdikan ini tidak menaruh perhatian sepenuhnya terhadap Tanah Perdikan ini, maka segala-galanya akan dapat terbengkelai."
"Jika kita dengan jujur ingin mengabdi, maka dalam hal seperti itulah, kita harus terjun."
"Sia-sia saja."
"Prastawa. Apa yang sebenarnya kau kehendaki" Apakah kau ingin mewarisi kedudukan pamanmu" Bahkan kau ingin nggege mangsa, mempercepat beredarnya waktu?"
"Tidak, ayah. Sama sekali tidak."
"Jika tidak, jangan kau risaukan lagi, siapakah yang akan menggantikan kedudukan pamanmu. Aku minta kau mengerti. Keluargaku tidak boleh mengulangi melakukan kesalahan yang sama."
Prastawa terdiam. Ia mengenali ayahnya dengan baik. Jika suaranya menjadi bergetar dan tidak begitu jelas, adalah isyarat bahwa ayahnya menjadi marah. Meskipun kemarahannya itu belum nampak di wajahnya atau tersirat pada kata-katanya, namun jantung orang tua itu sudah mulai bergejolak."
"Prastawa," berkata Ki Argajaya kemudian, "kalau uwakmu itu berbicara lagi tentang pewarisan kedudukannya, jangan ditanggapi atau aku usir orang itu dari Tanah Perdikan ini. Aku senang sekali dikunjungi sanak kadang yang sudah lama tidak bertemu. Tetapi jika ia datang untuk menuangkan racun di kepala kita, maka aku akan mengusirnya. Apapun yang akan dikatakannya tentang aku oleh sanak kadangku."
Prastawa menundukkan kepalanya.
Ki Argajaya itupun kemudian meninggalkan Prastawa duduk sendiri merenungi kata-kata ayahnya.
Tetapi persoalan yang menyangkut pewarisan kedudukan Kepala tanah Perdikan Menoreh itu tidak segera dapat disingkirkannya dari kepalanya.
Adalah diluar pengetahuan Ki Argajaya jika Ki Kapat dan kedua orang anaknya masih saja berbicara tentang kedudukan Kepala Tanah Perdikan Menoreh.
Ternyata racun yang ditaburkan di otak Prastawa itu menjadi semakin menggigit. Meskipun ia masih tidak berani berterus terang kepada ayahnya, tetapi ia mulai membicarakan persoalan yang telah membuatnya gelisah itu dengan satu dua orang sahabatnya terdekat.
Berbagai tanggapan telah diberikan oleh sahabat terdekatnya itu. Sahabatnya justru heran, bahwa Prastawa sempat memikirkan pernyataan uwaknya itu.
"Seharusnya kau tidak perlu mendengarkannya, Prastawa," berkata seorang sahabat terdekatnya.
"Tetapi jalan pikiran uwa Kapat itu mapan sekali, Pinta."
Sahabatnya yang dipanggilnya Pinta itu menggeleng sambil menjawab, "Seseorang dapat saja menyusun pernyataan yang kedengarannya "sangat wajar. Tetapi bukankah kau dapat menduga akibatnya seandainya hal ini benar-benar kau lontarkan kepada Ki Gede Menoreh?"
"Paman harus berjiwa besar."
"Meskipun seandainya Ki Gede berjiwa besar, namun jika hal ini kau nyatakan kepadanya, berarti kau sudah mendahului langkah yang seharusnya diambil olehnya."
"Bukankah itu berarti bahwa aku telah ikut memikirkan masa depan Tanah Perdikan ini?"
"Terus terang, Prastawa. Jika apa yang kau lakukan itu dapat dikatakan kepedulianmu, keikut sertaanmu memikirkan masa depan Tanah Perdikan ini, namun lambarannya adalah pamrih. Tidak seperti yang selalu kau lakukan selama ini. Kau, kita semuanya rakyat Tanah Perdikan. Jika kita mempunyai pamrih, maka pamrih itu adalah pamrih kita rakyat Tanah Perdikan ini."
Prastawa terdiam. Ia memang sempat merenungi kata-kata sahabatnya itu. Tetapi ternyata bahwa racun itu sudah melukai jantung Prastawa, sehingga pandangannya terhadap kebenaran menjadi kabur.
Prastawa memang tidak membantah langsung dihadapan sahabatnya itu. Namun ia mulai meragukan keikhlasan persahabatan mereka. Prastawa justru mulai berprasangka, bahwa kawannya itu merasa dengki seandainya kedudukan Kepala Tanah Perdikan itu akhirnya berada di tangannya.
Meskipun tidak hanya seorang saja sahabatnya yang menasehatinya, tetapi hati Prastawa benar-benar sudah menjadi keruh oleh racun yang ditebarkan uwaknya, Ki Kapat Argajalu.
Pada saat Prastawa dicengkam oleh kebimbangan yang semakin dahsyat didadanya itu, terbetik berita, bahwa prajurit Mataram dan Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh telah pulang.
Sebenarnyalah bahwa para prajurit dari Pasukan Khusus Mataram yang berada di Tanah Perdikan Menoreh, yang ikut serta mengantar Kangjeng Pangeran Puger ke Demak sudah kembali ke baraknya. Mereka disambut oleh kawan-kawannya dengan hangat.
Berita tentang gugurnya beberapa orang prajurit di perjalanan memang membuat para prajurit di barak itu berduka. Tetapi bahwa yang lain telah kembali dengan selamat, membuat seisi barak itu bergembira.
Sekar Mirah, Glagah Putih dan Rara Wulan masih berada pula diantara Pasukan Khusus itu, serta ikut pula masuk ke dalam barak prajurit.
Tetapi setiap orang didalam barak itu mengetahui, siapakah mereka. Para prajurit itupun mengetahui, bahwa meskipun mereka bukan prajurit, tetapi mereka memiliki kemampuan yang tinggi. Bahkan melampaui para prajurit yang berada di barak itu.
Sekar Mirah, Glagah Putih dan Rara Wulan berada di barak itu sampai sore hari. Setelah segala macam upacara sederahana namun penuh kegembiraan yang ikhlas itu, maka Sekar Mirah, Glagah Putih dan Rara Wulanpun minta diri.
Namun Agung Sedayu sendiri masih tetap berada di barak malam itu. Ia masih harus membenahi pasukannya. Menempatkan kembali mereka diantara para prajurit yang tidak pargi bersama mereka.
Menjelang senja, Sekar Mirah, Glagah Putih dan Rara Wulan sudah berada di rumahnya. Ki Jayaraga menyambut mereka dengan gembira. Demikian mereka masuk ke ruang dalam, maka Ki Jayaragapun berkata, "Sukurlah. Yang Maha Agung menyertai dan melindungi kalian. Kalian telah diperkenankan kembali dengan selamat."
"Ya. Kita semuanya harus mengucap sokur," sahut Glagah Putih.
Sukrapun kemudian muncul pula di pintu butulan. Anak yang sudah lama tinggal bersama mereka itu memandangi saja Glagah Putih, Sekar Mirah dan Rara Wulan berganti-ganti.
Glagah Putihlah yang mendekatinya. Sambil menepuk bahunya iapun berkata, "Kau baik-baik saja selama ini Sukra ?"
Drama Di Ujung Pisau 1 Di Kawasan Singa Perak Karya Karl May Pendekar Baju Putih 7

Cari Blog Ini