Menyemai Harapan Karya Maria A. Sardjono Bagian 1
DENGAN sepenuh pemahaman yang ia punya,
Dewi menumpahkan seluruh perhatiannya ke kesibukan di seputar dirinya. Bagaikan penonton dra ma yang
memiliki keterikatan erat dengan para pemain maupun
kisah yang sedang dipentaskan, ia me manda ngi berbagai aktivitas itu dengan kediaman pe nuh makna,
ter muat pula pengertian dan keharuan yang menukik
hingga jauh ke relung batinnya. Nyaris mengungkit air
matanya yang mahal. Ia anak sulung. Satu-satunya perempuan di antara
saudara-saudara lelakinya. Maka pernikahannya merupa kan pesta mantu pertama kali sekaligus yang terakhir kalinya, sebab pernikahan-pernikahan berikutnya
dalam keluarga ini nanti hanyalah pesta ngunduh
mantu karena pesta yang sesungguhnya ada di pihak
pengantin putri. Itulah adat Jawa yang masih begitu
http://pustaka-indo.blogspot.com6
kental menggelimangi pola pikir dan cara pandang keluarga Dewi. Sudah sejak berminggu-minggu sebelumnya Dewi
melihat kesibukan di rumah besar ini dan sudah seminggu lamanya kesibukan itu semakin me nunjukkan
peningkatan. Diawali dengan datangnya perlengkapan
kamar pengantin yang sudah dipesan jauh-jauh hari
sebelumnya. Kemudian datangnya pakaian-pakaian
yang akan dikenakan sang calon pengantin. Pakaian
bercorak jumputan untuk acara siraman, kebaya-kebaya
untuk dikenakan pada malam midodareni, yaitu
malam terakhirnya sebagai seorang gadis di malam
penuh harapan, agar kecantikan bi dadari menjadikannya pe ngantin yang jelita, dan ke mudian kebaya
mewah untuk acara resepsi di gedung. Disusul dengan
tibanya sanak keluarga dekat yang khusus datang dari
luar kota untuk ikut menjadi pasuk an sukarela,
menolong apa saja yang bisa mereka bantu. Lalu,
aroma wangi kue-kue kering yang berasal dari dapur
juga mulai me ngambang di udara sekitar rumah
sepanjang minggu ini. Siapa pun yang langkah kakinya
baru mulai me napaki halaman rumah besar ini pasti
bisa menduga, pesta besar sedang disiap kan dan sang
komandan per helatan itu tentulah sang nyonya rumah
sendiri. Dewi mengerti betul mengapa semangat sang ibu
begitu berkobar untuk mengantarkannya ke ambang
pernikahan, sampai-sampai semua hal diurus dan ditanganinya sendiri. Termasuk membuat makanan dan
kue-kue untuk angsul-angsul jika Pujisatriya dan
http://pustaka-indo.blogspot.com7
rombong an keluarga dekatnya datang pada malam
midodareni. Malam di mana untuk sekali lagi sang
calon menanyakan kesediaan Dewi menjadi istrinya.
Acara tanya-jawab itu akan didengar seluruh tamu.
Dalam acara itu, rombongan calon pengantin pria akan
datang dengan membawa bermacam barang untuk
calon pengantin putri seperti pakaian, sepatu, tas, seperangkat perhiasan, kosmetik, dan berbagai macam
penganan termasuk buah-buahan. Pulangnya, pihak
calon pengantin putri memberikan angsul-angsul (oleholeh balasan untuk pihak calon pengantin pria).
Biasanya berbagai macam makanan, kue, dan buahbuahan. Itulah yang disiapkan Ibu Kushartanti, ibu
Dewi, dengan tangannya sendiri. Orang lain hanya
boleh mem bantu, tetapi tidak menanganinya. Itu pun
de ngan pengawasan superketat. Beliau selalu mengingin kan segala sesuatu yang keluar dari rumahnya
serba sempurna. Dan memang, apa yang disiapkan
olehnya selalu tampak istimewa. Bukan hanya rasanya
yang lezat, tetapi juga penampilan dan keindah annya
yang unik. Bentuknya cantik-cantik, kreasi sendiri yang
tidak ada di toko-toko mana pun. Sesuatu yang sudah
diakui bukan hanya oleh keluarga, famili, dan handai
tolannya, tetapi juga para langganan serta muridmuridnya. Resep-resep kue kering maupun kue basah
yang diajarkannya kepada murid-murid nya memiliki
keistimewaan tersendiri, yang tidak diajarkan di tempat
kursus lain. Tidak percuma Bu Kushartanti mengadakan percobaan dan penelitian di dapurnya yang
luas, lengkap, dan modern itu. Ibu kandung Dewi itu
http://pustaka-indo.blogspot.com8
juga tidak pernah pelit membagikan ilmu kepada para
muridnya. "Penelitian, percobaan, dan perkembangan tidak
harus bersifat ilmiah saja," begitu sering dikatakannya
dengan bangga. "Telah kulakukan apa saja agar dari
dapur ku ini keluar makanan dan penganan yang
istimewa, aman dan sehat. Nah, cicipi kueku ini. Apakah di tempat lain kalian pernah merasakan kue yang
rasanya renyah, gurih, wangi, dan bentuknya se cantik
ini" " Bu Kushartanti benar. Dia tidak melebih-lebihkan.
Nyatanya banyak pengusaha roti dan kue-kue rumahan
meniru kreasinya. Namun tetap saja rasanya tidak selezat buatannya. Anak-anaknya pun bangga karenanya.
Bahkan ayah mereka yang kelihatannya acuh tak acuh
itu pun mengakui kehebatan istrinya dengan caranya
sendiri. Dibuatkannya sebuah dapur yang sangat indah
dan lengkap, khusus untuk kegiatan sang istri, di
halaman samping yang semula dipakai untuk bermain
pingpong dan tempat adik-adik Dewi mengobrol
dengan teman-teman mereka. Tempat ber santai itu
dipindah ke belakang, sementara dapur yang nya man
itu menjadi kerajaan sang ibu.
"Rasanya, dapur Ibu lebih bagus daripada ruang
tamu," Dion, adik lelaki Dewi, pernah menggoda ibunya. "Tirai-tirainya indah, hiasan dindingnya keren,
jendelanya lebar dan pemandangan ke halaman belakang, asyik. Orang lain pasti iri melihat dapur ini."
"Betul, Mas." Doni, adik Dewi yang lain menimpali
godaan kakaknya. "Nyatanya, Ibu lebih suka menemui
http://pustaka-indo.blogspot.com9
tamu-tamunya di dapur daripada di ruang tamu. Kalau
ada tempat tidur di situ, pasti Ibu akan memilih tidur
di dapur." "Barangkali di depan kompor, perlu diberi karpet
buatan Turki, Bu?" Dana, si bungsu ikut-ikutan menggoda. Godaan-godaan semacam itu hanya ditanggapi senyuman sang ibu, yang mengetahui betul betapa besar
kasih anak-anak itu terhadap dirinya. Tetapi Dewi,
yang memiliki kepekaan dan ketajaman perasaan, melihat sesuatu yang tidak terlihat oleh adik-adiknya di
balik senyum ibu mereka. Bahkan juga tidak terlihat
oleh ayah mereka. Bahwa sebenarnya dari dapur itulah
ibu mereka mendapatkan identitas dan otonomi pribadi nya sebagai individu. Bakat dan ke mahir annya
me masak serta membuat berbagai macam kue dan penganan lain hanyalah sarana untuk me realisasikan diri
melalui potensi yang dimilikinya, demi menunjukkan
diri sebagai perempuan yang kehadirannya patut diperhitungkan. Bahwa dia adalah subjek, bukannya
objek. Terutama bagi sang suami.
Sepanjang yang masih bisa Dewi ingat, ibu nya
bukanlah perempuan cengeng. Bukan pula pe rempuan
yang senang berkeluh kesah untuk me ngurangi beban
batinnya. Segala hal yang menekan perasaannya dan
yang menyakiti hati, disimpannya diam-diam di lubuk
batinnya yang terdalam. Kalaupun barangkali menangis
juga, entah di kamar mandi atau di tempat lain, air
mata itu tidak pernah diperlihat kannya kepada siapa
pun. Tidak juga di hadapan anak-anaknya. Dan itulah
http://pustaka-indo.blogspot.com10
yang sengaja atau tidak, kebetulan atau bukan, menjadi
sikap batin Dewi juga. Dewi kecil yang tumbuh sebagai gadis yang berperasaan halus dan peka itu mampu menangkap getargetar penderitaan ibunya melalui pancaran matanya
atau lewat pelupuk matanya yang sembap, yang selalu
disembunyikan di balik kaca matanya. Dewi mengerti
betul betapa sulitnya sang ibu menjalani kehidupan
per kawinannya yang pincang karena di dunia ini ada
perempuan lain di hati suaminya. Perempuan yang
mempunyai hak sama untuk menyandang sebutan sebagai Nyonya Sulistyo. Kenyataan itu sangat menyakitkan, namun kepala harus tetap dingin walaupun hati
seperti bara api. Budaya priyayi Jawa yang telah digeluti nya sejak kecil mem buatnya harus bisa menyembunyikan apa pun perang batinnya demi menjaga kedamaian dan demi meng hindari konlik terbuka, yang
bisa membuatnya merasa malu. Budaya malu memang
menjadi salah satu ajaran Jawa untuk menjaga projo
(kerajaan, yang dalam hal ini nama baik keluarga
besar). Dengan diam, namun lewat kepekaan rasa dan ketajaman matanya, Dewi memahami apa yang ada di
balik dada sang ibu. Gadis itu tumbuh dewasa dalam
bayangan derita perempuan yang melahirkannya ke
dunia ini. Ia juga memahami betapa ibunya selalu bersembunyi di balik topeng yang dibuatnya sendiri. Tidak
hanya untuk menutupi kecewanya hati atas pengkhianatan cinta sang suami, tetapi juga terutama demi
menjaga nama baik seluruh keluarga besarnya, perasaan
http://pustaka-indo.blogspot.com11
anak-anaknya, dan demi ke damaian yang ingin diciptakannya. Seperti ketika menghadapi anak-anak yang
rewel karena ayah mereka tak bisa mengantarkan ke
Ancol atau ke tempat lain, misalnya. Dengan bijak namun kreatif, sang ibu ber hasil memindahkan ke kecewaan anak-anaknya pada hal yang positif. Naik taksi
bersama-sama ke suatu tempat dan di sana mengajari
mereka berbagai permainan yang pernah dipelajarinya
ketika masih kecil di Solo dulu. Benthik (patil lele),
zondag mandag, gobak sodor (galah asin), adu gasing,
egrang, adu karet gelang, dakon (congklak), dampu,
jamuran, adu layangan, dan lain sebagainya. Di situ
anak-anak belajar bersosialisasi me lalui permainan
dengan mengajak anak-anak yang ada di sekitar mereka.
Misalnya ketika perlu tambahan anak untuk bisa memain kan satu atau dua jenis per mainan. Maka kekecewa an anak-anak itu pun terobati. Selain menambah
teman, mereka juga berkesempatan mengenal berbagai
permainan masa lalu yang lebih kreatif dan membutuhkan kegiatan isik. Tak jarang pula sang ibu membawa anak-anaknya ke Taman Mini Indonesia Indah
untuk melakukan ber bagai ke giatan bersama-sama.
Menyewa sepeda gandeng untuk berkeliling bersamasama, bagaikan induk ayam yang diikuti anak-anaknya.
Singkat kata, ada banyak aktivitas menyenangkan dalam
kehidupan masa kecil Dewi dan adik-adiknya berkat
usaha sang ibu, yang selalu berusaha menimbuni
kurang nya kesempatan mereka untuk bercengkerama
dengan sang ayah. Namun di balik keperkasaan ibunya, Dewi juga mehttp://pustaka-indo.blogspot.com12
nangkap betapa sang ibu mampu menutupi kenyataan
pahit itu dalam keadaan apa pun dengan bersikap
tenang dan terkendali, seakan menerima dirinya dimadu. Bahkan pura-pura tidak mempersoalkan bahwa
di tempat lain suaminya sedang menggiliri istri mudanya. Dewi juga tahu, di balik topeng yang ter pasang di
wajah ibunya, di balik senyum dan tawanya yang
lembut, tersembunyi duka yang menghunjam hingga
jauh ke sudut hatinya. Dengan diam-diam pula dan tanpa mengatakan apa
pun, Dewi memperhatikan seluruh kiprah ibunya
untuk mencari pegangan agar keseimbangannya yang
rapuh tidak oleng dan menyebabkan dirinya jatuh
terkapar bagai sang pecundang di ring tinju.
Dewi kecil yang beranjak menjadi remaja, nyaris tak
pernah melepaskan pandang dari berbagai hal seputar
diri ibunya. Ia sangat mencintai perempuan itu. Ia memiliki keinginan yang sangat besar untuk me nopang
ibunya dan menghibur hatinya yang luka. Ka rena nya,
sekarang pun dengan sepenuh pengertian nya, Dewi
memperhatikan bagaimana dengan susah payah ibunya
terus berusaha tampil sebagai seseorang yang patut
dihargai. Karenanya dengan secercah ke legaan hati,
Dewi menyaksikan bagaimana akhirnya sang ibu
mampu menjadi dirinya sendiri lewat bakat nya memasak. Dengan bakat itu, ibunya mampu hadir dengan
identitas diri sendiri di tengah masya rakat. Tidak sekadar sebagai Nyonya Sulistyo yang ber diri di bawah
bayang-bayang suami. Apalagi suami yang mempunyai
istri lain. Terutama, tidak perlu lagi ia menadahkan
http://pustaka-indo.blogspot.com13
tangan pada suami untuk menerima bagiannya yang
pasti tidak penuh karena ada istri lain yang juga mempunyai hak sama atas penghasilan suami. Kini sebagai
guru masak, pemilik tem pat kursus membuat kue dan
makanan kecil, dan serta pengusaha kue kering dan
basah yang bisa dipesan kapan pun, sang ibu mampu
tampil sebagai perempu an mandiri, termasuk dalam hal
keuangan. Memang tidak terlalu istimewa ke dengarannya karena ada ba nyak perempuan yang lebih sukses
melalui ke terampil an mereka di dapur. Tetapi bagi Ibu
Kushartanti, ki prahnya yang nyata ter lihat itu berhasil
mem buatnya merasa memiliki arti dalam hidup. Selama
belasan tahun hidup dalam perkawinan poligami
menyebabkan perempuan itu ke hilangan kepercayaan
dan harga dirinya. Bah kan ketika istri lain suaminya
Menyemai Harapan Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu meninggal ka rena sakit hampir dua tahun lalu, ibu
Dewi belum juga mampu berdiri tegak. Masih saja
Dewi me nangkap kegamangan di batin sang ibu.
Kemurungan sang suami selama ber bulan-bulan atas
kematian istri nya yang lain itu memperpanjang luka
hati yang tak kunjung sembuh. Bahkan ketika masa
ber kabung usai, sang ibu masih belum bisa menghilangkan kegetiran yang ditelannya selama ini. Senyum dan tawanya masih semu. Ke tenangan sikap nya
masih saja merupakan kedamaian yang semu. Untung
beberapa tahun terakhir, setelah ia sering dicari banyak
orang yang ingin mengikuti kursus yang di selenggarakan dan kemudian juga me nerima banyak pesanan kue,
baru lah setahap demi setahap sang ibu merasa memiliki hidup nya sendiri sebagai perempuan bernama
http://pustaka-indo.blogspot.com14
Kushartanti. Perempuan yang sukses menjadi guru dan
ahli masak yang cukup dikenal banyak orang. Bukan
cuma sebagai Nyonya Sulistyo atau hanya se bagai ibunya Dewi, Dion, Doni, dan Dana. Dan ka rena nya ada
kebanggaan di sana. Kini sesudah hampir seperempat abad usianya, apa
yang terlihat oleh Dewi melalui mata hatinya dan kepekaan perasaannya, masih belum banyak berubah.
Ibunya masih membutuhkan pengakuan lainnya.
Semua kesibukan saat menghadapi perkawinan Dewi
menjadi bagian utama kiprahnya belakangan ini. Seolah
dengan tangannya sendiri perempuan itu hendak
meraih kebahagiaan yang tak pernah dialami nya. Dia
mengupayakan kebahagiaan putrinya melalui pe nyelenggaraan pesta pernikahan yang sukses dan meriah.
Karenanya apa saja yang bisa ditanganinya sen diri,
termasuk membuat kue-kue, tak diberikannya ke
tangan orang lain kendati ia sanggup membayar dengan
harga tinggi. Daripada dipegang tangan orang, lebih
baik memanggil para muridnya untuk membantu sekali gus memberi mereka kesempatan untuk mempraktik kan apa yang telah mereka pelajari.
"Mereka senang dapat mempraktikkan apa yang
pernah dipelajari tanpa harus mengeluarkan uang.
Jadi, kami sama-sama untung," kata ibunya kepada
Dewi sambil tersenyum. "Aku mendapat bala bantuan
gratis, mereka dapat mengembangkan kreativitas dengan pen dampinganku. Apalagi setelah ini aku juga
mem beri mereka kursus secara cuma-cuma selama
dua bulan." http://pustaka-indo.blogspot.com15
Dewi membalas senyum ibunya. Ia mengerti betul,
di balik upaya ibunya agar perkawinan dirinya nanti
sukses baik dalam penyelenggaraan maupun dalam kehidupan perkawinannya dengan Pujisatriya, ada semacam kompensasi atas kepahitan yang dialaminya
selama lebih dari lima belas tahun. Maka semua ilmu
yang pernah diwariskan ibu dan neneknya di masa
lampau dan yang tampaknya tak pernah ada ke sempatan dipraktikkan dalam per kawin annya sendiri, kini
diturunkannya kepada Dewi. Dari rahasia dapur hingga
rahasia kamar tidur yang tampaknya merupakan
warisan kuno yang hanya diajar kan dari mulut ke
mulut bagi garis keturunan berjenis perempuan. Semua nya, tanpa kecuali dan tanpa peduli pada perubahan zaman dan pergeseran tata nilai yang selalu dinamis.
Bahwa perempuan sekarang suka yang instan dan
tinggal beli, sang ibu juga tidak ambil pusing. Namun
meskipun demikian, dengan kepatuhan yang dilandasi
cinta pada sang ibu dan didasari pula oleh pemahaman
mengapa sang ibu sedemikian ber semangat menurunkan ilmu yang dibawanya dari para leluhur, Dewi menerima semua itu tanpa protes barang sepatah kata
pun. Ia sungguh memahami apa yang ada di balik
kiprah sang ibu. Kini hari perkawinan itu sudah semakin mendekat.
Tiga hari lagi Dewi akan mengawali kehidupan perkawinan yang dimulai dengan acara siraman dan seterus nya, hingga resepsi di gedung pada hari berikutnya. Kesibukan yang tampak di seluruh penjuru
ru mah, semakin kentara. Kamar pengantin yang sudah
http://pustaka-indo.blogspot.com16
lengkap dengan perabot serbabaru dan telah mengisi
kamar itu sejak dua minggu lalu, kini mulai dihias.
Tirai-tirai, seprai, permadani, hiasan ini dan itu mulai
dipasang. Cantik sekali kamar itu, meskipun belum
diberi bunga-bunga segar dan permadaninya belum
ditaburi melati. Ibunya melarang siapa pun masuk ke
kamar pengantin. Khawatir merusak tatanan, khawatir
mengotori. Di kamar Dewi yang lama, sudah hampir sebulan
ini setiap pagi dan sore selalu tersedia gelas berisi jamu
yang harus diminumnya sampai habis. Entah jamu apa,
Dewi tidak tahu. Icih yang membawanya masuk hanya
tersenyum-senyum jika ditanya. Atau paling-paling
akan menjawab dengan nada menggoda.
"Pokoknya jamu pengantin," katanya. "Biar wangi
dan biar sedap, begitu kata Ibu. Jadi, harus diminum
tanpa boleh ada sisanya, Den."
Maka tanpa bertanya apa-apa lagi, Dewi langsung
meminumnya selagi masih hangat. Kalau dingin,
tambah tak enak rasanya. Ia tahu, itulah jamu resep
leluhur yang pernah dikatakan ibunya dengan setengah
berbisik saat memberikan nasihat dan ajaran-ajaran
kepadanya selama beberapa minggu ini. Tanpa melihat
pun Dewi tahu, ibunya pasti memilih dan membeli
sendiri bahan-bahan jamu dari pasar tradisional. Dewi
kecil dulu sering diajak ke sana dan mendengar pembicaraan mereka dalam bahasa Jawa, seakan mereka
sedang berada di Pasar Beringhardjo Yogya atau Pasar
Gede, Solo. Lucu memang para pen jual jamu itu.
Mereka hampir selalu menggunakan bahasa Jawa meski
http://pustaka-indo.blogspot.com17
pembelinya belum tentu orang Jawa. Padahal penduduk
Jakarta dipenuhi bermacam suku dan bahasa. Ataukah
menurut pengamatan mereka, hanya orang Jawa yang
menyukai bermacam jamu"
Begitulah, seperti biasa dengan patuh Dewi menghabiskan gelas berisi jamu itu tanpa tersisa setetes
pun. Bahkan juga dengan kepatuhan yang sama ia
melaku kan nasihat-nasihat ibunya untuk menghindari
makan an atau buah tertentu, misalnya. Tetapi bukan
karena menaruh rasa percaya pada semua itu, melainkan demi menghargai usaha sang ibu dan terutama
karena ia me mahami betul apa yang ada di balik dada
perempuan separo baya itu. Apa manfaat dan khasiatnya, Dewi tidak begitu peduli. Sama sekali tidak ada
perhatiannya ke situ. Apalagi karena munculnya pemikir an yang se dikit ekstrem dalam benaknya, yaitu
rasa tercuil marta batnya sebagai perempuan. Meskipun
me nuruti semua yang disiapkan agar dirinya nanti
menjadi istri sempurna, jauh di relung hatinya ia merasa sedang di persiapkan menjadi objek kesenangan
suami, se suatu yang barangkali tak tersentuh alam
pikir an sang ibu, yang dibesarkan dalam budaya yang
me nge depan kan kesenangan, pelayanan, dan kenyaman an bagi suami. Namun hal itu disimpannya
diam-diam di hatinya. Ia mengerti, usaha sang ibu
mem persiapkan segala sesuatunya itu demi satu tujuan.
Yaitu agar Dewi hidup bahagia, dicintai suami karena
mampu memper sembah kan diri sebagai istri yang
"sempurna". Seakan ke bahagia an perkawinan pasangan
suami-istri tergantung pada sukses atau tidaknya sang
http://pustaka-indo.blogspot.com18
istri memberikan diri nya sebagai pendamping yang
mem bahagiakan. Ter utama di kamar tidur. Seakan
pula kesuksesan malam pengantin menjadi tonggak
bagi kebahagiaan pada malam-malam selanjutnya. Setidak nya, itulah yang ter lintas dalam pikiran Dewi.
Kalau saja ia tidak melihat mata sang ibu berkaca-kaca
saat memberinya berbagai wejangan di kamar yang
ter tutup dari pendengaran orang lain, ingin sekali
Dewi me neriakkan protesnya.
"Sebagai seorang istri, hendaknya kita harus berusaha sedapat mungkin memberi suami kebahagiaan,
rasa nyaman, dan kedamaian. Juga kesetiaan, bakti,
kesa baran, dan kepatuhan. Kalau suami ke surga, kita
akan turut. Kalau suami masuk neraka, kita akan
terbawa. Oleh karenanya, sebagai istri kita harus bisa
mendorongnya ke arah yang baik agar surgalah yang
ditujunya." Begitu antara lain yang dinasihatkan ibunya
dengan suara bergetar dan mata berkilau.
Meski semula Dewi sering tertegun bahkan tercengang mengapa sang ibu yang dilahirkan di alam
kemerdekaan itu masih sedemikian kuat memegang
ajaran-ajaran yang tak lagi sesuai dengan situasi dan
kondisi zaman, bahkan tak menyetujui pandanganpandangan yang menempatkan perempuan pada tataran
rendah, namun akhirnya di situlah ia semakin mengerti
hati ibunya. Perempuan itu merasa dirinya gagal menjadi istri yang "sempurna" bagi suaminya. Usahanya
untuk menempatkan diri sebagai kebanggaan dan
kekasih sang suami dengan segala kesetiaan, kesabaran,
bakti, dan kepatuhannya telah dipatahkan perempuan
http://pustaka-indo.blogspot.com19
biasa, istri kedua sang suami. Perempuan yang segalanya berada di bawah kelebihan dirinya itu telah menyita separo dari waktu, pikiran, cinta dan perhatian
sang suami. Perih hati Dewi setiap menatap wajah ibunya yang
cantik itu menampilkan luka hati yang tampaknya
belum juga sembuh. Mencermati itu, Dewi tahu masih
cukup banyak laki-laki yang tidak memahami bahwa
seorang istri bukanlah miliknya, bukan pula penyedia
berbagai kesenangan dan kemudahan bagi sang suami
dalam kehidupan mereka sehari-hari. Seorang istri juga
bukan pelengkap hidup, yang ke surga ikut dan ke
neraka terbawa, seakan dia bukan individu otonom
yang memiliki dirinya sendiri.
Bagaimana dengan sebaliknya, apakah jika istri masuk surga, maka sang suami akan ikut" Dan bagai mana
jika sang istri masuk neraka" Adakah wejangan bagi
para calon suami bahwa ia harus setia, sabar, patuh dan
bakti pada istrinya" Hm, boleh jadi orang yang mendengar itu akan mengatakan bahwa jika demikian berarti dunia ini akan terbalik. Sebab me nurut mereka,
wejangan seperti itu merupakan peng hinaan terhadap
martabat laki-laki. Kalau memang ada orang yang berpikir demikian, bagaimana dengan kaum perempuan"
Tidakkah mereka juga bisa merasa martabatnya dileceh kan" Tidakkah orang sadar bahwa laki-laki dan
perempuan diciptakan Tuhan dengan martabat yang
sama" Sebagai sang Pencipta, Tuhan men cintai semua
ciptaan-Nya, laki-laki maupun pe rempu an. Karenanya
tidak boleh salah satu pihak menjadikannya sebagai
http://pustaka-indo.blogspot.com20
objek penyerta belaka. Mereka harus saling berbagi dan
saling melengkapi. Sering kali Dewi tersenyum pahit setiap pikirannya
mulai mengembara ke alam kehidupan antara laki-laki
dan perempuan sejauh yang diketahui, dilihat, dan terutama dialaminya. Pujisatriya misalnya, tunangannya
yang sama-sama berdarah ningrat itu adalah laki-laki
yang tidak terlalu menempatkan perempuan pada
tataran yang setara. Orientasi nilainya masih sama
seperti ayah, kakeknya, dan kakeknya lagi. Dewi yang
perasaannya peka, mudah sekali menangkap hal itu.
Seperti misalnya suatu hari ketika ia sedang berada di
rumah Puji lalu beberapa kawan tunangannya itu
datang berkunjung, serta-merta laki-laki itu me nyuruhnya membuatkan minuman. Seolah itulah tugas
perempu an, terkait dengan pelayanan dan se macamnya.
Tak peduli saat itu pun Dewi masih hadir sebagai
tamu dan sama-sama duduk di ruang tamu. Statusnya
masih sebagai tunangan, belum menjadi bagian dari
keluarga Pujisatriya. Suara ketukan yang tiba-tiba terdengar dan ke mudian
disusul dengan pintu kamarnya yang terbuka lebar membuyarkan lamunan Dewi di sepanjang pagi itu. Ia
menoleh ke arah asal suara. Di ambang pintu, ter sembul
sosok Astri yang tampak semakin bulat ka rena kandungan nya yang sudah menginjak tujuh bulan. Wajah perempuan muda itu bermandikan cahaya demi melihat
Dewi yang sedang duduk di muka jendela kamar.
"Hai, calon pengantin yang cantik," sapanya tersenyum lebar sambil melangkah masuk.
http://pustaka-indo.blogspot.com21
"Oh, halo calon ibu yang berbahagia," Dewi berdiri
menyambut kedatangan sepupunya itu dengan hangat.
"Dengan siapa kau datang, Tri?"
"Dengan calon ayah yang berbahagia, tentu saja,"
Astri menjawab dengan senyum yang semakin lebar.
"Kami berdua... eh, bertiga dengan yang ada di dalam
perut, khusus datang untukmu sebelum acara siraman
dua hari mendatang. Siapa tahu ada yang masih bisa
kami bantu. Mas Ary sengaja mengambil cuti lho.
Paling tidak, ikut membantu icip-icip kue buatan Bude
Kus." Usai bicara, Astri tertawa. Perutnya yang tampak
mem buncit, terguncang-guncang. Dewi geli melihatnya.
"Perlukah kalian berdua mendengar ucapan terima
kasih sedalam-dalamnya dariku?" Sambil tertawa juga,
ia mendekat ke arah Astri, memeluknya erat-erat dan
mencium kedua belah pipi adik sepupunya itu dengan
Menyemai Harapan Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hangat. Di antara sepupu-sepupunya, Astri adalah sepupu
yang paling akrab dan mempunyai hubungan yang
mesra dengan Dewi. Mereka sebaya dan sama-sama
anak perempuan satu-satunya di antara saudara-saudara
lelaki mereka. Sebelum Astri pindah ke Bandung setelah
menikah dengan Ary, mereka berdua sering bersamasama. Ketika Astri me nikah dengan Ary, Dewi dan
ibunya banyak membantu persiapannya. Sekarang
pasangan itu bermaksud mem balas bantuan tersebut.
"Aku kangen sekali kepadamu, Tri," kata Dewi
sambil sekali lagi mencium pipi sang sepupu. "Apa kah
kau sudah kerasan tinggal di Bandung?"
http://pustaka-indo.blogspot.com22
"Begitulah. Mas Ary tak pernah membiarkan aku
meng ingat-ingat Jakarta, kota kelahiranku ini," sahut
Astri sambil langsung duduk di atas kursi yang ditempati Dewi tadi. "Ada-ada saja yang dilakukannya.
Mengajak jalan-jalan, menonton atau sekadar makan
batagor, atau berbelanja keperluan bayi. Asyik pokoknya." Dewi tersenyum lembut sambil menyusul duduk.
Kali itu ia duduk di tepi tempat tidurnya.
"Kau sungguh beruntung punya suami yang sangat
menyayangimu. Kudengar dia sering memasakkan makan an untukmu kalau kau sedang tidak berselera
makan," katanya. Astri menoleh cepat ke arah Dewi. Ia menangkap
getar dalam suara gadis itu.
"Kalau Mas Puji sudah menjadi suamimu nanti, dia
pasti akan seperti Mas Ary. Penuh kasih sayang dan
me manjakanmu," katanya sambil bertanya-tanya dalam
hati, apakah Dewi meragukan cinta Puji ter hadap nya"
Dewi hanya tersenyum menanggapi perkataan Astri
sehingga sang sepupu yang merasa tak puas itu cepatcepat melanjutkan bicaranya.
"Mbak Wik, tidak semua laki-laki memakai cara
yang sama seperti Mas Ary untuk menunjukkan kasih
sayangnya kepada istri," katanya.
"Ya, aku tahu itu." Dewi menjawab sambil tersenyum lagi. Namun senyumnya tampak hambar. Astri
melihat itu. Mereka berdua terlalu akrab. Apa yang
dirasakan oleh yang satu, cepat tertangkap oleh yang
lain. http://pustaka-indo.blogspot.com23
"Mbak Wik, kau bahagia kan menghadapi per nikahanmu dengan Mas Puji?" tanyanya, penuh rasa ingin
tahu. "Eh... mengapa kau bertanya seperti itu, Tri?"
"Aku menangkap sesuatu yang tidak seharusnya,"
jawab Astri apa adanya. Dia tidak suka menyem bunyikan sesuatu dari Dewi. "Tidak seharusnya" Seperti apa, misalnya?"
"Sejak masuk ke kamar ini, aku tidak melihat binar
kebahagiaan maupun keceriaan yang se harusnya ada
pada calon pengantin. Meskipun aku ti dak melihat dengan jelas, tetapi kuduga kau tadi sedang duduk melamun di muka jendela, se belum aku masuk. Mata mu
tidak seceria yang kubayangkan. Mengapa, Mbak?"
Astri yang selalu bicara blakblakan tidak mau menyimpan isi hatinya. Ia harus yakin bahwa Dewi berada dalam kondisi baik-baik dan siap menikah dengan
hati baha gia seperti yang dirasakannya ketika akan
menikah de ngan Ary, setahun lebih yang lalu.
Dewi menunduk sesaat, tidak segera menjawab pertanyaan Astri yang dilontarkan dengan penuh rasa
ingin tahu itu. Akibatnya, sang adik sepupu bertanya
lagi. "Apakah kau... masih mengenang Mas Pramono,
Mbak?" Dewi mendongak. Ada semacam kabut melintasi
bola mata Dewi saat nama Pramono disebut. Gadis itu
menatap sejenak mata Astri, baru kemudian menjawab
pertanyaannya. "Ah, Mas Pram hanya masa laluku meskipun terhttp://pustaka-indo.blogspot.com24
kadang hatiku masih mat perih mengingatnya. Tetapi
percayalah, bukan itu yang me nyebab kan aku merasa
tertekan." "Kalau begitu, kenapa?"
"Karena aku merasa gamang, Tri. Perkawinan kedua
orangtuaku yang tidak bahagia, itulah penyebabnya.
Aku juga merasa perkawinan adalah wadah yang
sedikit-banyak akan membatasi gerakku. Kau tahu kan,
cukup alot ketika aku mengiyakan keinginan Mas Puji
untuk menikah se cepatnya. Dia berharap agar aku mau
menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya. Padahal aku
ingin berkarier di luar rumah."
"Ya, aku tahu. Kurasa banyak juga calon pengantin
yang menganggap perkawinan akan membatasi kebebasannya. Sejauh itu cuma lintasan pikiran belaka,
itu wajar kok, Mbak. Tetapi kalau rasa gamang itu
akibat perkawinan Bude yang kurang bahagia, menurut ku itu sudah berlebihan," sahut Astri sambil
meng awasi wajah Dewi. "Ya, kau betul." Dewi mengangguk.
Astri masih mengawasi air muka Dewi. Terlalu cepat kakak sepupunya itu mengatakan "Ya, kau betul".
"Mbak... bukan seperti jawaban-jawabanmu tadi kan
alasan sebenarnya?" tanyanya kemudian, ingin mengorek lebih dalam lagi. "Ayo, terus teranglah."
Dewi tersenyum jengkel. "Mana aku bisa bersembunyi dari matamu yang tajam itu, kan?"
"Nah!" Astri semakin lekat menatapi wajah Dewi.
"Ayo, berbagilah denganku. Jangan kausimpan sendiri."
"Aku tidak bisa merumuskan secara persis apa yang
http://pustaka-indo.blogspot.com25
kurasakan ini kepadamu. Terlalu baur dan mungkin
juga tidak masuk akal. Tetapi karena kau ingin berbagi
denganku... yah, terpaksa kukatakan terus terang perasa an terdalamku kepadamu. Tri, sebenarnya aku
punya semacam irasat bahwa perkawinanku dengan
Mas Puji tidak akan menemukan kebahagiaan. Padahal
kau tahu kan, Tri, bagaimana sejak kecil aku memimpikan kehidupan perkawinan yang indah, baha gia,
sejahtera, dan damai."
"Ah, Mbak Wik. Kukira kau akan mengatakan sesuatu yang lain, yang heboh. Firasat yang tidak jelas
kok dijadikan bahan pikiran sampai membuatmu jadi
murung sih." "Nah, kan" Pasti begitu komentarmu, aku sudah
tahu. Padahal tadi aku sudah bilang irasat ini memang
tidak masuk akal. Tetapi sulit sekali aku meng hilangkan perasaan yang tak masuk nalar ini. Apalagi tidak
bisa dijelaskan secara gamblang dan rasional."
"Sudahlah... menurutku kau sedang tertekan dan
menikmati perasaan itu berlama-lama. Ayo ah, bersenang-senanglah, Mbak Wik. Jangan biarkan hati mu
murung begitu. Nah, apa yang perlu kubantu?"
"Di sini tidak ada yang bisa kaubantu, Tri. Aku
sudah membereskan semua barangku, siap untuk kubawa pindah ke rumah yang akan kutempati bersama
Mas Puji nantinya. Kalau mau membantu, pergi lah ke
istana Ibu. Di sana kau juga bisa memuas kan
keinginanmu untuk icip-icip."
Astri tertawa. Istana yang dimaksud adalah dapur
Bude, ibu Dewi. Di sana pasti banyak kue. Setidaknya
http://pustaka-indo.blogspot.com26
yang bentuknya kurang bagus atau tidak utuh tetapi
sama lezatnya dengan yang sudah ditata dalam wadah,
dipisahkan dalam stoples besar. Siapa pun boleh memakannya. Usai tertawa, Astri mengembalikan topik
pem bicaraan. "Oke, nanti aku akan ke sana. Tetapi sebelumnya
aku ingin bertanya lebih dulu. Kau mencintai Mas
Puji, kan?" tanyanya.
"Aku tak mungkin menikah dengan laki-laki yang
sama sekali tak kucintai, Tri. Kau tahu itu," sahut
Dewi, mulai kesal. Astri selalu saja ingin me lindunginya. Padahal umurnya hanya lebih tua bebe rapa bulan
dan menurut "abunya", bahkan Astri lebih muda karena
dia anak adik ibu Dewi. Karena dia harus memanggil
Dewi dengan sebut an "Mbak".
Astri melirik Dewi. Dia tahu sepupunya itu sedang
jengkel. Tetapi dia mengabaikan hal itu. Ia me rasa
prihatin karena ingat pada peristiwa hampir empat
tahun yang lalu, saat Pramono bermaksud mengajak
keluarganya melamar Dewi dan keluarga ini sedang
menyusun rencana persiapan lamaran. Namun ketika
keluarga Pramono mengetahui bahwa ayah Dewi beristri dua dan karenanya tak ada keharmonisan di
dalam nya, lamaran pun batal. Selain patah hati, Dewi
menyimpan kemarahan mendalam pada orang-orang di
sekitarnya, terutama pada ayahnya yang tega mempunyai istri lain. Juga pada ibunya yang tidak menunjukkan protes jelas saat suaminya minta izin untuk
beristri lagi. Marah juga pada orangtua Pramono yang
picik karena melihat bobot bebet dan bibit hanya dari
http://pustaka-indo.blogspot.com27
per kawinan poligami orangtuanya. Juga marah pada
Pramono yang tidak memiliki keberanian untuk menentang keputusan orangtuanya. Padahal Dewi siap
jika diajak Pramono melakukan protes atas ketidakadilan ini. Teringat hal itu, Astri terdiam beberapa saat lamanya. Dari jawaban Dewi, ia me nangkap sesuatu yang
tanpa sadar diucapkan saudara sepupunya itu, "Aku tak
mungkin menikah de ngan orang yang sama sekali tidak
kucintai." Kenapa bukan jawaban "Ya, aku mencintai
Mas Puji?" Kata-kata "Sama sekali" itu mengandung
arti, cinta Dewi kepada Puji tidak penuh. Entah apa
alasannya, Astri tidak bisa menebak. Dalam laut bisa
diduga, dalamnya hati siapa yang tahu, bukan"
"Di rumah Mas Puji pasti juga sudah mulai sibuk.
Kudengar orangtuanya nanti akan ngunduh mantu
besar-besaran karena ingin mengadakan sendiri pesta
pernikahan kalian. Kudengar pula, calon ibu mertuamu
itu sangat menyayangimu," katanya, membelokkan pembicaraan. "Ya, memang." Dewi mengiyakan.
"Aku juga mendengar, dalam upacara siraman di
rumah nya nanti, orangtua mas Puji akan mengundang
banyak orang." "Ya. Dia kan anak sulung, Astri. Keluarganya sangat
gembira menyelenggarakan perkawinannya."
Pembicaraan kedua saudara sepupu itu terhenti oleh
gerakan pintu yang didorong dari luar. Di ambang
pintu berdiri Ari, suami Astri. Laki-laki itu tersenyum
menatap Dewi. http://pustaka-indo.blogspot.com28
"Mudah-mudahan kau tidak menyembunyikan Mas
Puji di bawah tempat tidurmu," guraunya.
Astri dan Dewi memandang ke arah Ari tanpa mengerti apa yang dikatakannya.
"Kenapa sih, Mas?" tanya Astri.
"Baru saja ada telepon dari salah satu keluarganya
me nanyakan apakah Mas Puji ada di sini," sahut Ari.
"Me reka menyangka dia sudah tidak sabar."
"Ada-ada saja," kata Dewi tersenyum.
"Rupanya keluarga Mas Puji masih memper tahankan tradisi kuno, calon pengantin sebaiknya tidak keluar rumah menjelang pernikahannya," kata Astri.
"Sama seperti keluarga kita. Aku dulu satu minggu diperam seperti mangga."
"Yah... begitulah," gumam Dewi.
"Meskipun tradisi seperti itu kuno, tetapi kan bagus
tujuannya. Kalau calon pengantin masih keluyuran di
luar, kan banyak risikonya. Kehujanan misalnya, kan
bisa sakit. Saat dijabat tangan para tamu, dia sibuk
meng usap ingus. Atau jatuh di jalan dan kakinya terkilir. Pengantin kok terpincang-pincang. Belum lagi
kalau tersenyum-senyum sendiri di jalan seperti orang
gila saking gembiranya mau jadi pengantin," komentar
Ari, menyela pembicaraan Dewi dengan istrinya. "Bisabisa anak-anak kecil mengekor di belakangnya."
"Idih. " Dewi tersenyum geli. Ari memang suka melucu. Ari tertawa. Matanya dilirik-lirikkannya ke kolong
tempat tidur dengan sengaja. Kemudian menelengkan
kepalanya ke arah lemari.
http://pustaka-indo.blogspot.com29
"Jadi dia tidak kausembunyikan di sini ya, Mbak
Wik?" godanya lagi. "Mungkin Mas Puji ke kantor sebentar untuk mengambil ini atau itu yang lupa tidak dibawa ke rumah.
Biasa kan, kalau orang mau cuti, sering begitu."
"Justru karena ada telepon dari kantor, maka orang
rumah menanyakan keberadaan Mas Puji di sini. Ponsel nya tidak aktif. Padahal orang yang akan meng gantikan pekerjaannya selama dia cuti itu ingin menanyakan
se suatu kepadanya," kata Ari. "Dikira, kau menyembunyikannya, Mbak." "Wah, pasti Mas Puji sedang keluar sebentar untuk
membeli hadiah istimewa buat calon pengantinnya,"
Astri ikut-ikutan menggoda.
Dewi membiarkan godaan suami-istri itu dengan
tersenyum. Sementara itu karena sekarang pintunya
terbuka lebar, aroma kue mulai menyebur ke kamar
Dewi. Astri mengendus-endus udara.
"Ah, sudah saatnya aku membantu Bude Kus di
Menyemai Harapan Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
belakang," katanya sambil tertawa. "Orang lain sibuk
bekerja, aku malah mengobrol di sini."
"Gayamu saja, Tri. Bilang saja mau jadi tukang icipicip di dapur," suaminya ganti menggoda sang istri.
"Soalnya aku takut bayiku nanti ngiler, kalau aku
tidak segera ke sana," sahut Astri sambil berdiri dari
tempat duduknya. "Kalau begitu akan kubantu kau." Ari mengekor di
belakang Asri sambil tertawa-tawa.
Dewi memperhatikan pasangan itu dengan hati senang. Nyata terlihat bagaimana mereka saling mehttp://pustaka-indo.blogspot.com30
nyayangi dan dengan kemesraan yang begitu kentara.
Me reka juga tampak kompak. Ada-ada saja yang mereka ceritakan dan ada-ada saja pula cerita lucu yang
mereka sajikan, menambah keceriaan di ruang keluarga
itu. Mudah-mudahan kebahagiaan seperti itu juga akan
kurasakan nanti bersama Puji, kata hati Dewi yang
sering merasa tak yakin. Sorenya setelah keluarga Dewi mengatur ini dan itu
untuk acara siraman esok lusa, mereka semua duduk
di ruang tengah. Lagi-lagi canda dan kemesraan
pasang an Ari dan Astri menyebar di antara mereka dan
menghangatkan suasana. Apalagi di depan mereka
tersaji beberapa macam penganan lezat yang disediakan
oleh nyonya rumah. Beberapa sanak saudara, yang baru
siang tadi datang dari kota-kota lain, juga ikut mengobrol dengan gembira dalam suasana meriah penuh
kasih persaudaraan. Dalam kesempatan-kesempatan semacam itulah
saudara-saudara yang mempunyai ikatan darah kental
namun berjauhan tempat tinggal, punya ke sempat an
untuk menjalin kembali silaturahmi di antara mereka.
Karena kebetulan rumah orangtua Dewi besar dan
banyak kamar, mereka tidak menginap di hotel atau di
tempat lain. Lagi pula, mereka tidak keberatan tidur di
sofa atau bahkan di karpet ruang keluarga, bersamasama dengan yang lain. Malah senang, bisa sambil
mengobrol dan bercanda karena lama tidak bertemu.
Itulah budaya Jawa yang mem punyai peribahasa
mangan ora mangan anggere ngumpul (makan tidak
makan asalkan berkumpul). Bisa ber kumpul dengan
http://pustaka-indo.blogspot.com31
sanak saudara, sudah bahagia rasa nya. Ada-ada saja
yang mereka bicarakan dan ada-ada saja yang mereka
guraukan. Tentang masa lalu mereka, misalnya. Ketika
sama-sama masih kecil bagi yang muda-muda. Ketika
mereka masih muda bagi mereka yang sudah memasuki usia setengah baya. Terutama me nyangkut para
leluhur yang menjadi ikatan darah dan ikatan batin
mereka. Sesuatu yang acap kali men jadi bagian dari
cerminan dan pelajaran tentang ke hidupan semua anak,
cucu, dan cicit di masa-masa men datang.
Dasar Jawa, Dewi tersenyum sambil memperhatikan
segala hal yang ada di seputar dirinya dengan sepenuh
pemahamannya. Seperti biasanya, gadis itu lebih banyak memperhatikan apa saja yang terjadi di seke lilingnya. Dan seperti biasa pula ia lebih suka berbicara
dengan diri sendiri. Apalagi sekarang saat ia menghadapi perkawinannya, yaitu tahap yang amat pen ting
dalam kehidupan pribadinya. Ia harus bisa bersikap
bijak, arif, dan terkendali. Kata orang, diam ada lah
emas. http://pustaka-indo.blogspot.com32
MENJELANG siang keesokan harinya, Dewi sedang berada di ruang tengah ketika melihat Sonny
datang dan langsung masuk ke tempatnya berada. Mata
gadis itu mengikuti gerak-gerak calon adik iparnya.
Entah apa yang sedang dipikirkan adik Puji itu, pikirnya. Tampaknya ada sesuatu yang sedang dicari pemuda itu. "Mencari apa sih, Son?" tanya Dewi.
"Hanya melihat-lihat suasana saja, Mbak. Kebetulan aku lewat tak jauh dari sini, jadi aku mampir.
Siapa tahu Ibu ingin mengetahui apa saja kesibukan
di ru mah ini, jadi aku bisa menceritakannya kepada
beliau." "Kalau begitu, apa saja yang sudah terekam di
kepalamu, Son?" Dewi bertanya lagi. Kini sambil
tersenyum lebar. Tetapi matanya tetap menatap Sonny
dengan tatapan tajam. Ada sesuatu yang agak lain, yang
Dua http://pustaka-indo.blogspot.com33
tidak biasanya ada pada air muka dan sikap pemuda
itu. Air mukanya sama sekali tidak menyiratkan kegembiraan. Padahal Sonny termasuk pemuda yang
periang, suka bercanda, dan menyenangkan dalam pergaulannya dengan siapa pun.
"Kulihat segala sesuatunya tampak beres. Aku akan
menceritakan keadaan di rumah ini kepada Ibu.
Rupanya di sini ada banyak bala bantuan datang dari
luar kota dan wanginya aroma kue memenuhi udara
rumah ini," jawab Sonny sambil tersenyum.
Dewi melihat, senyum Sonny juga tidak seperti
biasanya. Seakan dipaksakan. Sama sekali tampak tidak
murni. Merasa diperhatikan, lekas-lekas Sonny melanjut kan bicaranya tadi.
"Ada yang perlu kubantu, mumpung aku ada di sini?"
"Wah, semua sudah ditangani sanak keluargaku,
Son. Mereka sengaja datang dari jauh memang untuk
membantu. Lagi pula, daripada mencari-cari pekerjaan
di sini, kan lebih baik membantu persiapan di rumahmu sendiri. Di sana juga sedang repot, kan?"
"Tetapi yah... siapa tahu kan, Mbak" Sebaiknya aku
tanyakan kepada ibumu saja," sahut Sonny.
"Oke." "Pokoknya, Mbak, kalau ada hal-hal yang tak tertangani di sini atau yang semacam itu, jangan sungkansungkan untuk mengatakannya kepadaku. Ponselku
aktif 24 jam," kata Sonny lagi.
"Beres, Bos. Katakan juga pada ibuku di dapur sana.
Beliau pasti senang mendengar janjimu."
"Siap." http://pustaka-indo.blogspot.com34
Dewi memperhatikan Sonny yang sedang berjalan
menuju ke belakang. Ada sesuatu yang melintasi pikiran nya. Hari ini pemuda itu seperti lupa bagaimana
cara nya bergurau. Biasanya apa saja yang dikatakan
oleh Dewi ditanggapinya dengan gurauan atau
komentar-komentar segar yang menggelitik rasa geli
orang yang mendengarnya. Tetapi hari ini jangankan
melontarkan kata-kata lucu, percakapan yang ada di
antara mereka tadi seperti hanya ada di permukaan
belaka. Bahkan tertangkap oleh penglihatan Dewi,
Sonny tampaknya sedang resah. Meskipun pemuda itu
berusaha menutupinya rapat-rapat, usahanya itu sia-sia.
Terutama bagi Dewi yang memiliki ke pekaan tajam.
Maka ketika pemuda itu muncul lagi di ruang tengah,
ia langsung melontarkan pertanyaan ke pada pemuda
itu. "Nah, bagaimana?" tanyanya memancing.
"Tampaknya semuanya sudah beres dan baik sekali,"
sahut Sonny sambil meraih helm yang tadi diletakannya di kursi. "Jadi, aku pulang saja."
"Kok buru-buru, Son?"
Sonny tidak segera menjawab. Helm yang diambilnya tadi berada dalam pelukannya. Ia memandang
Dewi dengan pandangan ragu. Melihat itu, Dewi melontarkan pertanyaan lagi.
"Ada apa, Son" Ada sesuatu yang menyusahkan
hatimu?" pancingnya.
"Ti... tidak...," jawab Sonny pelan. Tetapi ada kegugupan yang tertangkap mata Dewi. "Te... tetapi...
boleh kah aku melihat kamar pengantin?"
http://pustaka-indo.blogspot.com35
"Tentu saja. Kau jadi bisa melaporkan seperti apa
kamar pengantinku kepada ibumu. Ayolah."
Sonny mendahului Dewi dan langsung menuju ke
kamar gadis itu dan membuka pintunya lebar-lebar.
Melihat itu Dewi tertawa.
"Kau keliru masuk, Son. Ini memang kamarku, tetapi bukan kamar pengantin. Kamar yang ini be rantakan karena ada beberapa sepupu tidur di sini," jelasnya.
"Ayo, kuantar kau ke kamar pengantin. Ibu memilih
kamar depan yang lebih terang, lebih tenang, dan tak
begitu sulit ditata sebagai kamar pengantin. Ayo kita
ke sana." "Oh, begitu." Di ambang pintu kamar pengantin, Sonny berdiri
dengan diam. Tetapi tatapannya melayang ke seluruh
penjuru kamar. Entah apa yang dicarinya, Dewi sama
sekali tidak bisa menduganya.
"Bagaimana, Son?" tanya Dewi.
"Bagus sekali. Padahal belum diberi bunga dan hiasan lainnya." Dewi mengiyakan. Dilihatnya Sonny bergerak lagi.
Sekarang berjalan menuju pintu ke arah kamar mandi
dan membukanya. "Wah, kamar mandinya juga dihias."
"Ya...," Dewi menjawab sekenanya. Dia tahu, perhatian Sonny tidak pada hiasan dinding dan pernakpernik yang ditata di kamar mandi itu.
Sonny bergerak lagi. Begitu keluar dari kamar pengantin, ia berjalan ke arah pintu yang menghubungkan
http://pustaka-indo.blogspot.com36
ruang makan dengan halaman samping tempat pemuda
itu memarkir motor besarnya.
"Aku pulang dulu, Mbak," pemuda itu berkata lagi
sambil mengenakan helmnya.
"Minum dulu ya, Son, kuambilkan. Aku punya
Coca-Cola dingin." "Tidak usah, Mbak. Aku baru saja minum di kampus tadi." Sonny sedang menyiapkan diri untuk melanjutkan studi lanjutannya di tempat yang sama sesudah beberapa bulan yang lalu menyelesaikan S1.
"Kalau begitu, mencicipi kue-kue buatan Ibu, ya"
Atau kau mau membawa sedikit untuk camilanmu di
jalan?" "Masih kenyang, Mbak. Aku harus cepat pulang.
Masih banyak yang harus kuurus di rumah."
"Jadi, mau langsung pulang" Ya sudah, kalau begitu.
Hati-hati di jalan ya, Son. Jangan ngebut lho."
"Tentu." "Sampaikan salam hormatku untuk Bapak dan Ibu."
"Beres, Mbak. Terima kasih."
"Oh ya, Son. Upacara siraman Mas Puji besok tetap
bersamaan dengan siramanku di sini, kan?"
"Yyy.. iya..." "Tadi sudah melihat tempat upacara siraman yang
disiapkan sepupu-sepupuku di halaman belakang, kan?"
Dewi mengulur waktu, ingin tahu lebih cermat lagi apa
sebenarnya tujuan Sonny datang ke rumah ini. Ditawari minum saja pun tidak mau.
"Sudah, Mbak. Wah, bagus sekali. Seperti dibuat
http://pustaka-indo.blogspot.com37
ahli nya. Padahal belum dihiasi bunga-bunga dan dedaun an." "Karena dibuat dengan hati yang penuh kasih dan
ketulusan. Nah, besok siramannya jam setengah empat
lho ya. Ingatkan mereka."
"He-eh. Nah, aku pulang dulu ya, Mbak," kata
Sonny sambil melangkah cepat ke halaman.
Dewi berdiri di ambang pintu, membalas lambaian
Sonny, kemudian menyandarkan sisi tubuhnya di
bingkai pintu. Lama gadis itu berdiri ter mangu di sana.
Dari penglihatan dan mata hati nya, Dewi melihat
pemuda yang baru saja me ninggal kan suara bising
motor nya itu datang ke rumah ini dengan cara yang
berbeda daripada biasanya. Bahkan agak aneh. Kedatang annya yang cuma sebentar dan se akan hanya
me ninjau apa yang terjadi di rumah ini pun sudah
mengherankan Dewi. Apalagi ketika tadi keliru melihat
kamar kamar pengantin. Bukankah dia sudah tahu
bahwa kamar yang akan dipakai sebagai kamar
pengantin bukan kamar yang ditempatinya" Sonny
hadir ketika rapat keluarga. Selain itu, Sonny itu
datang tanpa duduk barang sebentar pun, tanpa berhandai-handai pula seperti biasanya dan tanpa gurauan
sama sekali. Dan yang paling membuat Dewi merasa
aneh, Sonny menolak ditawari minum dan mencicipi
kue. Padahal sepanjang pengenalannya, calon adik
iparnya itu paling doyan camilan. Apalagi, kue-kue
buatan ibunya. Dia tahu betul di mana kue-kue yang
bentuknya kurang sempurna diletakkan oleh sang
nyonya rumah. Tetapi hari ini Sonny meng abai kannya
http://pustaka-indo.blogspot.com38
dan lebih aneh lagi, aroma harum kue dari dapur, sama
sekali tak menggugah selera Sonny. Ada apa sebenarnya" Sungguh, hari ini ada beberapa hal aneh yang menghampiri pikiran Dewi. Tadi, salah seorang keluarga Puji
menanyakan apakah calon suaminya itu ada di sini.
Sekarang Sonny seperti orang bingung, menunjukkan
sikap dan perbuatan yang tidak wajar, yang membuat
perasaan Dewi jadi tidak enak. Berbagai macam dugaan buruk mulai melintasi kepalanya. Kenangan buruk
yang pernah dialaminya beberapa tahun lalu dengan
keluarga Pramono, kembali mengusik ingatan nya. Apa
yang disaksikannya pada diri Sonny baru tadi seakan
mewakili keluarganya. Jangan-jangan, mereka menyesali
Menyemai Harapan Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rencananya menikahkan Puji dengannya sebagaimana
halnya keluarga Pramono dulu. Dugaan yang agak
mustahil sebenarnya, tetapi menyelip juga di pikirannya. Memang, tidak mudah bagi Dewi menyingkirkan
pikiran-pikiran pesimis seperti itu. Sampai sekarang
gadis itu masih belum bisa menghilangkan sakitnya
luka hati atas keputusan orangtua Pramono yang
meng urungkan niat mereka untuk melamarnya. Terlebih lagi, Pramono, sang anak tunggal itu, tidak berani
menentang keputusan tersebut. Meskipun dengan mata
basah Pramono menjelaskan panjang-lebar berbagai
alasan keluarganya di depan Dewi, tetapi gadis itu
tetap tidak bisa menerimanya. Perasaannya telah telanjur luka begitu dalam. Namun, tidak sesirat pun
pedih nya hati itu tersiar dari air mukanya. Bahkan
http://pustaka-indo.blogspot.com39
kemudian ketika dengan mata yang masih basah
Pramono mengatakan bahwa ia tidak akan pernah
jatuh cinta lagi kepada siapa pun, meskipun suatu ketika nanti barangkali harus menikah dengan perempuan lain, hati Dewi sama sekali tidak tergerak
barang sedikit pun oleh pernyataan itu.
Kini setelah empat tahun lebih berlalu, apakah peristiwa semacam itu akan terulang kembali dan apakah
irasat tidak enak yang belakangan ini sering menyusupi hatinya akan segera memperlihatkan bukti
kebenar annya" Cepat-cepat Dewi membantah lintasan pikiran yang
agak berlebihan itu. Selama ini keluarga Puji sudah
mengetahui semua hal mengenai rumah tangga orangtuanya dan mereka berpendapat bahwa Dewi adalah
pribadi otonom yang tidak perlu dikait-kaitkan dengan
apa pun perbuatan orangtuanya. Ter lebih sekarang ini
istri kedua ayahnya sudah meninggal. Apalagi ketika
Dewi teringat pada komentar Puji saat dia berterus
terang mengenai ayahnya yang berpoli gami.
"Keluargaku menerimamu karena dirimu sendiri,
Wik. Jangankan hanya masalah ayahmu punya dua
istri, seandainya beliau koruptor sekali pun, itu tidak
ada sangkut pautnya denganmu," begitu komentar Puji,
memberinya keyakinan. "Apalagi ibuku sangat sayang
kepadamu." Tetapi itu yang dikatakannya satu tahun yang lalu.
Bukan hari ini. Manusia adalah makhluk yang dinamis
dan terus-menerus berubah. Segala hal bisa saja berbeda. Pagi hari kedelai, sore sudah menjadi tempe.
http://pustaka-indo.blogspot.com40
Apalagi hanya diucapkan oleh lidah tak bertulang yang
mudah dibolak-balik. Dengan berbagai pikiran yang berseliweran di kepalanya itu, Dewi merasa resah. Firasat tidak enak
yang sudah dirasakannya sejak tadi masih saja timbultenggelam mengganggu perasaannya. Oleh sebab itu
ketika menjelang sore hari telinganya mendengar suara
ayahnya tiba-tiba menjadi keras saat menerima telepon,
dada gadis itu langsung saja berdebar kencang. Ada
apa" Siapa yang menelepon" Dengan pertanyaan itu
di tumpahkannya seluruh perhatiannya ke arah ruang
keluarga. Entah dengan siapa ayahnya itu berbicara, dia
tidak bisa menduganya. Tetapi yang jelas, irasat yang
menggenggam perasaannya selama beberapa hari ini
mulai mengatakan bahwa sesuatu yang tidak beres
sedang terjadi. Apa pun itu telah me nyebabkan suara
ayahnya terdengar menggelegar. Oleh karena itu, diamdiam ia mengintip dan mempertajam pendengarannya.
Saat melihat air muka ayahnya tampak tegang dan
dahinya berkerut dalam, keresahan hati Dewi semakin
menjadi-jadi, sebab tidak biasanya beliau bersikap seperti itu. Meskipun pernah melakukan kesalahan terhadap istri dan anak-anaknya, laki-laki itu termasuk
orang yang sabar dan tidak mudah marah.
"Jadi sudah beberapa hari dia pergi dan tidak seorang pun mengetahui ke mana perginya?" Bapak
Sulistyo bicara lagi, masih dengan suara keras. Kemudian, diam sesaat. "Hmm, begitu. Jadi sudah dicari ke mana-mana
tanpa ada hasilnya dan ponselnya tidak aktif sama
http://pustaka-indo.blogspot.com41
sekali," ayah Dewi berkata lagi setelah memberikan kesempatan bicara kepada orang yang meneleponnya tadi.
Masih dengan suara keras. "Naik apa dia?"
Ayah Dewi diam lagi. Tetapi hati Dewi semakin
ber degup kencang. Firasat tak enak yang sudah dirasainya sejak tadi, semakin bergulung-gulung di dadanya
dan menerpa seluruh perasaannya. Dengan telapak
tangan saling bertaut, gadis itu semakin menajamkan
telinga. Entah apa persisnya yang sedang di bicarakan
ayahnya dengan si penelepon di seberang sana, namun
terbayang olehnya bahwa sesuatu yang buruk betulbetul sedang terjadi. Kini, tidak sekadar hanya irasat
belaka. "Jadi tidak ada seorang pun yang tahu perginya naik
apa dan meskipun hanya beberapa lembar pakaian yang
berkurang di lemarinya, tetapi barang-barang pribadi nya
tidak ada. Termasuk dompetnya. Itu kan berarti kepergi an nya memang disengaja" Atau ada orang yang
menculiknya?" Terdengar lagi oleh Dewi suara ayahnya
yang masih terdengar menggelegar.
Kemudian suara keras itu terhenti beberapa saat
lamanya, baru kemudian terdengar lagi.
"Dari apa yang sudah saya dengar sejak menerima
telepon tadi hingga detik ini, saya mendapat kesimpulan bahwa dia memang sengaja pergi. Bukan diculik. Bukan korban kejahatan dan bukan pula oleh
hal-hal lain di luar dirinya. Benar begitu, bukan?"
Untuk kesekian kalinya Bapak Sulistyo terdiam lagi,
mendengarkan penjelasan dari seberang sana, siapa pun
si penelepon itu. Dewi hanya bisa me najamkan telinga
http://pustaka-indo.blogspot.com42
untuk merangkai dugaan-dugaan saat mendengar
komentar maupun jawaban ayahnya atas apa yang didengarnya lewat telepon. "Tetapi yang saya tidak mengerti, mengapa hal itu
dia lakukan menjelang hari pernikahannya" Ada apa
sebenarnya" Boleh saya mengetahui apa alasannya?"
Terdengar lagi oleh Dewi suara ayahnya dan yang sekali gus memberinya kepastian bahwa orang yang sedang dibicarakan pergi tanpa pamit itu adalah Puji,
sang calon pengantin. Dewi berpegang erat-erat pada tepi meja di dekatnya dan dengan sebelah tangan lainnya ia menutupi
mulut agar jangan sampai mengeluarkan suara. Kendati
sudah punya dugaan buruk, tetap saja ia kaget saat
mendengar perkataan yang me noreh kan kesimpulan
buruk itu. Sudah beberapa hari ini Puji pergi dari
rumahnya tanpa pamit kepada siapa pun sehingga
membuat keluarganya kalang kabut me nelusuri keberadaannya. "Jadi seluruh keluarga pun tidak tahu mengapa dia
pergi dan ke mana perginya. Ketika pergi pun tidak
ada hal-hal yang mencurigakan pada sikapnya, bahkan
seperti tidak ada apa-apa" Begitu, kan?" Apa yang ada
di kepala Dewi, terungkap oleh gelegar suara ayahnya.
Pak Sulistyo diam lagi. Ketika Dewi men condongkan kepala untuk mengintip lagi, wajah laki-laki separo
baya itu tampak amat keruh dan kedua alisnya bertaut
rapat. "Tetapi masa sih tidak ada sama sekali dugaan yang
muncul dalam pikiran seluruh keluarga ketika dia
http://pustaka-indo.blogspot.com43
pergi diam-diam seperti itu?" Begitu Pak Sulistyo menanggapi perkataan dari seberang sana. "Baik, kita semua akan menunggu kabar selanjutnya sampai besok.
Tetapi saya tetap menuntut penjelasan tentang apa
pun perkembangan yang terjadi karena harus ada kepastian secepatnya untuk jadi pegangan kami. Sementara itu saya minta agar pihak keluarga tetap meneruskan usaha untuk menghubunginya dengan berbagai
cara." Selesai bicara, Pak Sulistyo meletakkan gagang
telepon. Rahangnya terkatup rapat dan tatap annya
tam pak tajam ketika kemudian mengedar kan pandangnya ke sekeliling ruang tengah. Entah sejak kapan, di
tempat itu sudah ada Ibu Sulistyo, Astri, dan Dion.
Pasti mereka berkumpul di situ ketika men dengar
gelegar suaranya tadi. "Ada masalah apa, Mas?" Ibu Sulistyo langsung bertanya, begitu sang suami membalikkan tubuhnya dari
meja telepon. Wajahnya tampak tegang. Sedikit atau
banyak pastilah perempuan itu telah mengukir dugaan
di benaknya. Perlahan Dewi mulai memperlihatkan diri, keluar
dari tempat ia menguping tadi. Kehadirannya menyebab kan sang ayah tidak berani segera menjawab
per tanyaan istrinya. Apalagi semua orang yang ada di
ruang itu langsung menoleh ke arah Dewi. Syukurlah,
gadis yang telah lama belajar mengendalikan perasaan
itu mampu memperlihatkan sikap tenang.
"Apa yang terjadi, Pak?" tanya gadis itu. Suaranya
terdengar sayup sehingga setiap orang di tempat itu
http://pustaka-indo.blogspot.com44
mempunyai dugaan sama, gadis itu telah mendengar
kata-kata ayahnya dan mengambil kesimpulan.
"Ya, Pak. Katakan saja apa yang terjadi. Telepon tadi
dari keluarga Mas Puji, kan?" Dion yang tidak sabar
menunggu jawaban ayahnya, menyela.
Sang ayah masih saja belum menjawab. Diam-diam
ia memberikan isyarat kepada istrinya untuk membawa Dewi pergi. Namun meskipun tidak melihat
isyarat itu, Dewi tahu betul ayahnya tidak berani
men jawab karena keberadaannya di sana. Apalagi
sejak kemarin ia sudah punya irasat buruk. Oleh sebab itu ia ganti menyela. Kini suaranya terdengar
mantap dan gagah. "Katakan saja apa yang terjadi kepada kami semua,
Pak. Kalau itu berita buruk, jangan ditutup-tutupi,"
katanya tegas. "Kita semua akan meng hadapi bersamasama, apa pun itu." "Yah... memang berita buruk..." sang ayah menjawab
dengan suara yang tiba-tiba terdengar pelan. Kegarangan nya tadi tiba-tiba lenyap.
"Apa itu, pak?" desak Dewi.
Pak Sulistyo memalingkan wajahnya ke arah sang
istri. Tetapi perempuan itu tidak berkomentar apa pun.
Wajahnya tampak dingin dan kaku. Melihat itu, Dewi
mulai bersuara lagi. "Pak, katakan saja dengan terus terang apa yang
terjadi. Bapak tahu kan, hanya dua hari sebelum keluarga Mas Pramono melamar, segalanya berantakan
begitu saja. Padahal Bapak tahu, betapa besar cintaku
kepadanya. Bapak juga pasti tahu... atau paling tidak
http://pustaka-indo.blogspot.com45
mempunyai dugaan bahwa sejak itu aku tidak berani
memberikan seluruh hatiku kepada laki-laki mana pun,
termasuk kepada Mas Puji. Jadi, Pak, katakan saja
terus terang apa yang terjadi. Aku tidak akan mati
karenanya. " Semua orang menahan napas ketika Dewi berkata
seperti itu. Tak seorang pun yang tidak tahu mengapa
keluarga Pramono mengurungkan niat nya untuk
melamar Dewi, hampir empat tahun yang lalu. Adanya
dua istri dalam keluarga orangtua Dewi menjadi
ganjalan besar buat keluarga Pramono. Se ka rang mendengar perkataan gadis itu, Pak Sulistyo meng embuskan napas yang tadi ditahannya. Kemudi an setelah
memejamkan matanya sejenak, ia menjawab pertanyaan
Dewi dengan sikap terpaksa yang nyata.
"Yah... sudah tiga hari ini Puji menghilang dari rumah nya. Tanpa pamit kepada siapa pun dan ponselnya
tidak bisa dihubungi. Mereka sudah menanyakan kepada teman-temannya mengenai keberadaannya, tentu
dengan cara yang tak kentara, namun tidak seorang
pun tahu ada di mana dia."
Meskipun sudah mempunyai dugaan kuat, tetapi
ketika kepastian beita itu didengar sendiri oleh telinganya, Dewi merasa kakinya gemetar. Tetapi ditahannya
kuat-kuat. Sebetulnya, batal menikah dengan Puji
bukan sesuatu yang luar biasa bagi dirinya. Ia masih
me miliki kekuatan ekstra untuk menghadapinya. Firasat tak enak yang dirasakannya beberapa hari ini sudah
mengajarinya agar lebih waspada dan tetap sabar. Namun, bagaimana dengan ibunya yang sudah berbulanhttp://pustaka-indo.blogspot.com46
bulan mempersiapkan segala sesuatunya de ngan begitu
penuh semangat, cermat, dan dengan hasil yang rapi,
cantik, dan apik itu" Bagaimana pula dengan sanak
saudara yang telanjur datang jauh-jauh untuk menghadiri perkawinannya"
Dion yang sejak tadi menatapi wajah Dewi, mulai
naik darah. Sedikit atau banyak ia telah melihat apa
yang bergolak di dalam hati kakaknya.
"Laki-laki itu benar-benar keterlaluan, minggat dari
rumah tanpa memedulikan perasaan kedua belah pihak
keluarga. Apa sebenarnya yang diinginkannya" Kalau
me mang tidak ingin menikah, katakan kemarinkemarin. Bukan tiga hari menjelang pernikahannya.
Mana besok akan ada upacara siraman dan undangan
sudah beredar ke mana-mana. Sungguh otak udang
laki-laki itu."
Menyemai Harapan Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dion!" Ibu Sulistyo menegurnya dengan suara bergetar. "Lho, apa yang lebih tepat dari otak udang sih, Bu"
Ka lau dia itu manusia, pasti tidak begini yang dilakukan nya. Memangnya punya salah apa kita kepadanya
sampai setega itu membuang kotoran hewan ke wajah
kita?" "Sudah... sudah. Hentikan ribut-ribut ini," sela Pak
Sulistyo keras. "Makian seburuk dan sekotor apa pun
untuk Puji, tidak akan menyelesaikan masalah. Sekarang sebaiknya mari kita pikirkan apa yang harus
kita lakukan." "Pakde Sulis betul." Astri yang sejak tadi hanya
menjadi pendengar, mulai ikut bicara. "Sekarang yang
http://pustaka-indo.blogspot.com47
penting adalah mengatasi keadaan, apa pun itu. Bahkan yang terburuk sekalipun dengan kepala dingin."
"Seperti apa misalnya, Dik Astri?" Dion ganti bersuara. Adik sepupunya yang lebih tua itu sering kali
menunjukkan pemikiran-pemikiran yang masuk akal.
Apalagi perempuan muda itu mempunyai hubungan
yang sangat erat dengan Dewi. Persoalan kakaknya
pasti menjadi persoalannya juga. Bedanya, Astri tidak
mengalaminya sendiri. Tetapi justru karena itulah
pendapatnya lebih bisa didengar karena sarat dengan
penilaian yang objektif. "Sebaiknya sedikit bersabar dulu untuk hari ini. Kita
kan belum tahu pasti apa yang terjadi pada Puji," sahut
Astri. "Mungkin saja ada urusan men dadak yang tak
sempat dikatakannya kepada keluarga, meskipun kemung kinan seperti itu amat kecil meng ingat dia membawa ponsel tetapi tidak diaktifkan. Aku cuma mau
bilang, jangan terlalu buruk sangka dulu. Kita tunggu
berita lebih lanjut. Siapa tahu nanti malam dia muncul
di rumahnya." "Yang Astri katakan ada benarnya, meng ingat perkawinan ini tidak sedikit pun diwarnai paksa an, tetapi
atas dasar suka sama suka dan ada kerelaan baik yang
bersangkutan sendiri maupun kedua pihak keluarga
masing-masing. Segala sesuatunya juga sudah samasama disiapkan sejak lama dan selama ini rapat
keluarga kedua belah pihak juga berjalan baik, lancar,
dan dengan senang hati pula. Tidak mungkin Puji lari
untuk menghindari perkawinan yang menjadi keinginannya sendiri," Pak Sulistyo menyela, me ngomenhttp://pustaka-indo.blogspot.com48
tari perkataan Astri. "Jadi, me mang sebaiknya tenangkan lah dulu emosi kita dan tunggu berita lebih lanjut
tentang bagaimana per kembangannya sambil memikirkan apa yang akan kita lakukan jika terjadi hal-hal
yang tidak kita inginkan."
Dengan diam, Dewi mendengarkan seluruh pembicaraan di sekelilingnya. Hanya matanya yang berulang kali melayang ke arah sang ibu dengan keprihatin an yang sangat mendalam. Wajah perempuan paro
baya itu tampak amat kelam. Perih sekali hati Dewi
menatap ibu yang sangat dicintainya itu. Dia mengerti
betul perasaan sang ibu. Semua hal yang merusak kedamaian hati se perti yang kini sedang mereka alami ini
pasti men cabik-cabik batinnya. Ketika menyiapkan berbagai hal yang selama ini dilakukannya dengan penuh
harapan demi kebahagiaan sang putri, sekarang bagaikan telur di ujung tanduk. Apalagi kalau perkawinan
yang sudah mati-matian disiapkannya itu gagal karena
calon pengantin prianya menghilang. Harga diri yang
mulai naik sesudah belasan tahun terpuruk akibat
perkawinan sang suami dengan perempuan lain, bisa
jatuh berantakan lagi. Tak tega hati Dewi menatap
wajah sang ibu yang cantik itu bagai bunga yang baru
mekar namun tiba-tiba disiram air panas.
"Apakah Bapak yakin keluarga Mas Puji sedang berusaha keras mencarinya?" Dion mulai bicara lagi.
"Ya. Sonny dan saudara-saudaranya tidak tinggal
diam saja, Dion. Semua sepupunya juga dikerah kan untuk mencari Puji. Bahkan juga lewat koran dan radio...."
"Ah, apa tidak memalukan itu, Pak" Semua orang
http://pustaka-indo.blogspot.com49
kan tahu jadinya," Dion mengomentari kata-kata ayahnya sambil mengerutkan dahi.
"Tadi Bapak juga mengajukan pertanyaan sama. Mereka me ngatakan panggilan atau iklan-iklan itu ditulis
dengan sangat hati-hati. Kecuali yang bersangkutan dan
keluarga dekat, tidak akan ada yang tahu karena nama
yang digunakan itu nama Puji ketika masih kecil.
Singkat kata, mereka tahu bagaimana mengemas katakata yang jelas namun tidak akan bisa dimengerti
orang lain," sahut Pak Sulistyo.
Seperti sebelumnya, Dewi tetap tidak ingin bersuara.
Hatinya yang peka masih tertuju kepada sang ibu. Ia
benar-benar prihatin me lihat keadaan perempuan paro
baya itu. Pikirannya melayang pada peristiwa kedatangan Sonny tadi pagi. Sekarang ia mulai memahami apa
arti sikap Sonny yang aneh. Dia juga mulai mengerti
apa arti telepon dari rumah Puji ketika menanyakan
keberadaan laki-laki itu. Sekarang, dengan pemahaman
yang baru, gurau an Ari setelah laki-laki itu menerima
telepon dari rumah Puji, sungguh sama sekali tidak
lucu. Waktu itu belum seorang pun tahu bahwa Puji
telah menghilang dari rumah dan keluarganya sedang
kebingungan. Berbagai perasaan yang menghancurkan ketenangan
hatinya itulah yang dikeluhkan Dewi kepada Astri
ketika mereka tinggal berdua saja di kamarnya.
"Sudahlah, Mbak Wik, jangan terlalu dirisaukan.
Aku mengerti betul apa yang paling kaurisaukan. Bude
Kus, kan" Tetapi kalau beliau mengetahui keadaanmu,
pasti hatinya akan semakin hancur. Jadi bersikaplah
http://pustaka-indo.blogspot.com50
yang tabah sambil terus berharap segala sesuatunya
akan ter atasi dengan baik," kata Astri menyabarkan.
"Tri, irasatku terus saja meng ganggu ku. Aku yakin,
Mas Puji memang sengaja meng hilang. Entah apa pun
alasannya, pasti amat sangat pen ting baginya. Jauh
melebihi pentingnya perasaan keluarganya, perasaan
keluargaku, dan perasaanku pribadi sebagai calon
istrinya." "Mbak Wik, jangan..."
"Sudahlah, Tri," Dewi memotong perkataan sepupunya sebelum menyelesaikan ucapannya. "Biarkan aku
bicara atas landasan yang logis, yang masuk akal. Andai
kata Mas Puji menganggap keluarganya dan keluarga
kita, termasuk perasaanku, sebagai sesuatu yang patut
diper timbangkan, dia pasti tidak akan meng hilang
begitu saja. Apalagi hanya tiga hari se belum acara resmi
pernikahan kami. Kalaupun dia ter paksa harus pergi,
apa sih susahnya mengatakan ke pada salah seorang
sanak keluarganya. Kudengar ru mah nya juga dipenuhi
sanak keluarganya dari luar kota. Kalau tidak mau mengatakannya dengan terus terang, dia kan bisa meninggal kan secarik kertas berisi pesan atau apalah namanya pada salah seorang di antara mereka agar
ke luarga nya tahu alasan kepergian nya. Kalaupun tidak,
aktifkanlah ponselnya dan terima telepon atau SMS
orang yang ingin mengetahui keber adaannya. Tetapi
faktanya kan tidak begitu. Jadi salah kah kalau aku mulai
dipenuhi dugaan-dugaan yang terus datang silih
berganti di benakku?"
"Apa misalnya, Mbak Wik?"
http://pustaka-indo.blogspot.com51
"Mungkin dia baru menyadari bahwa baginya, aku
ini tidak setara dalam hal bibit, bobot, dan bebet. Memang, kami sama-sama keturunan darah biru, tetapi
keluarga Mas Puji masih ditambah dengan sebutan
keluarga intelektual. Semuanya berilmu dan bertitel.
Dibanding dengan keluargaku, kurang sebanding. Sudah begitu, Bapak berpoligami...."
"Sssst... jangan berlebihan, Mbak."
"Kau pasti tidak akan menilaiku berlebihan kalau
masih ingat pada perkataanku mengenai irasat tidak
enak yang terus menggangguku belakangan ini. Sekarang, irasat itu telah menjadi bukti, kan?"
"Sudahlah... meskipun begitu, jangan menjadikannya
sebagai kebenaran karena masih ada sisi-sisi gelap lain
yang belum kita ketahui."
"Kau khawatir aku patah hati, kan" Kalau ya, kau
salah besar, Tri. Aku sama sekali tidak me mikir kan
diri sendiri. Pertama, perasaan ibukulah yang paling
kucemaskan, seperti yang sudah kauduga. Ke dua,
perasaan keluarga besar kita, terutama yang sudah
datang jauh-jauh dari kota lain. Semua itu kan memakai biaya yang tidak sedikit. Lalu dari pihak
keluarga Mas Puji. Ibunya yang begitu menyayangiku
pasti me rasa amat terpukul. Perih sekali hatiku
memikirkan semua itu. Sungguh, Mas Puji betul-betul
keterlaluan, tega-teganya dia melakukan sesuatu yang
bisa me nimbulkan aib keluarga kita dan keluarganya
sendiri." "Sabarlah, Mbak Wik. Daripada membiarkan perasaan kacau begitu kan lebih baik berdoa dan mehttp://pustaka-indo.blogspot.com52
nenangkan diri sambil berharap terjadinya hal-hal yang
lebih positif," kata Astri lagi.
"Jangan coba-coba menghiburku, Tri. Tidak ada
gunanya. Kau kan sudah tahu siapa diriku. Lagi pula,
aku sedang menghayati ungkapan yang sering dikatakan orangtua dulu, bahwa buah tak pernah jatuh jauhjauh dari pohonnya. Mungkin Mas Puji ter ingat
peribahasa seperti itu sehingga tidak ingin me lanjutkan
rencana pernikahan..."
"Wik, jangan semakin ngawur ah. Kalau Mas Puji
memang betul berpikir seperti itu, kan sudah sejak
kemarin-kemarin dia mengatakannya dengan terus terang dan bukannya baru beberapa hari se sudah persiapan pernikahan begitu matang. Lagi pula, aku punya
pen dapat lain." "Apa itu?" "Mas Puji itu kan berpendidikan ting gi, tak hanya
sekadar sarjana strata satu, berarti pemikirannya pasti
lebih panjang dan luas."
"Ah, berpendidikan tinggi tidak menjamin pemikiran
dan wawasannya tentang kehidupan dunia ini juga
akan tinggi. Ilmunya sih, mungkin. Tetapi..."
"Tetapi setidaknya ada jalan pikiran yang berbeda
daripada pendapat para orangtua dulu seperti katakata mu tadi," Astri memotong perkataan Dewi.
"Apa misalnya?" Dewi ganti memenggal perkataan
sepupunya. "Peribahasa bahwa jatuhnya buah tidak jauh dari
pohonnya seperti yang kaukatakan tadi itu lho. Itu kan
pengetahuan yang biasa dan sederhana di zaman
http://pustaka-indo.blogspot.com53
kakek-nenek kita dulu. Dengan pemikiran baru, buah
bisa saja dijatuhkan jauh dari pohonnya dengan berbagai macam cara. Yang mau kukatakan adalah setiap
anak itu lahir dengan membawa sifat, watak, ciri-ciri,
dan bakatnya sendiri."
"Kau sangat benar, Tri. Seratus persen betul. Tetapi
mari kita lihat kenyataannya. Mas Puji lari menghindari ku..." "Wik!" Astri memotong. "Kurasa kau sudah tidak
objektif lagi. Sebaiknya sekarang kau beristirahat. Aku
juga mau meletakkan tubuhku sebentar. Syukur-syukur
bisa tidur. Kalaupun tidak, tubuh penat kita bisa jadi
lebih baik. " Usai berkata seperti itu, perempuan muda yang
sedang berbadan dua itu menarik tempat tidur sorong
di bawah ranjang Dewi, tempat tidur yang selalu
ditempatinya setiap ia menginap di sini ketika belum
menikah dengan Ary. Setelah menepuk-nepuk bantal
sebentar, dibaringkannya tubuhnya ke atasnya kemudian dipejamkannya matanya rapat-rapat.
Mau tidak mau, Dewi terpaksa mengikuti perbuatan
sepupunya. Namun pikirannya terus mengembara sampai akhirnya kenangan masa lalunya bersama Pramono
dulu menari-nari dalam ingatannya. Harus ia akui
bahwa jalinan cintanya bersama Puji tidak seindah dan
semanis ketika bersama Pramono. Tetapi karena
langkah-langkah nya bersama Puji lebih memiliki kepastian, pelan-pelan Dewi mampu melupakan Pramono
dan mengalihkan masa depannya bersama laki-laki
yang telah melamar nya itu. Jika Sabtu atau Minggu
http://pustaka-indo.blogspot.com54
tiba, selalu ada saja kesibukan yang menempatkan hati
keduanya menjadi semakin dekat. Kadang-kadang,
menengok ru mah yang akan mereka tempati, yang
sedang mereka renovasi agar menjadi lebih cantik.
Kadang-kadang pula, menyusuri deretan toko mebel
atau toko perabotan rumah tangga untuk memilih dan
me ncicil isi rumah. Kegiatan semacam itu terasa menyenangkan bagi keduanya, bahkan menimbulkan olokolok yang tak ada habisnya. Sebab selalu saja ada yang
lucu, seperti misalnya minggu ini mereka berniat
membeli sofa atau rak buku, tetapi begitu melihat yang
lain, lupa. Dan yang dibeli bukan sofa dan bukan pula
rak buku. Sering kali rencana mereka dan kenyataan
yang terjadi kemudian jauh berbeda, sampai akhirnya
Dewi merasa geli. "Ah, sudahlah. Kita tidak usah menyusun rencana
beli ini dan itu dengan model begini atau begitu, toh
sampai di tempat nanti, berubah sama sekali."
Menyemai Harapan Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya, kurasa kita berdua termasuk sepuluh besar
orang terkaya di Indonesia. Setiap hari perabotan kita
berganti model," sahut Puji, juga tertawa geli. Sebab
bukan hanya rencana yang berbeda, tetapi juga barang
yang mereka beli lain sekali dengan yang dipikirkan
dari rumah. Mau membeli lemari pakaian, yang akhirnya dibeli perangkat ruang makan. Begitu se terus nya.
Tetapi mereka tidak pernah menyesalinya. Apalagi
kalau sampai terucap kekeliruan pilihan mereka, kedua
belah pihak keluarga selalu mengatakan akan membelikan yang lebih bagus sebagai hadiah per nikahan
mereka nanti. Hal itu bukan sesuatu yang mengheranhttp://pustaka-indo.blogspot.com55
kan karena kebetulan kedua belah pihak termasuk
keluarga mampu. Memang, dari segi materi pasangan
muda itu termasuk orang-orang yang ber untung. Tetapi
masih kurang bagi Dewi yang me rindu kan kehidupan
yang tenang dan damai. Apalagi sekarang, begitu kata hati Dewi yang masih
saja melamunkan kehidupan cintanya bersama Puji.
Semua kemanisan yang baru mulai mereka rintis, mulai
retak. Sama seperti perasaannya yang tiba-tiba menjadi
hambar tanpa ia kehendaki. Seakan, laki-laki yang
pernah tertawa dan merundingkan ini-itu bersamanya
mengenai apa yang akan mereka beli dan tempatkan di
rumah baru mereka, belakangan ini seperti bayangan
belaka. Bukan kenyataan. Seakan pula, laki-laki itu
bukan orang yang sama seperti yang saat ini minggat
entah ke mana. Aneh rasanya. Dan lebih aneh lagi, seolah gadis yang biasanya ada bersama Puji ketika mereka sedang membeli perabot rumah tangga atau memandori tukang yang sedang merenovasi rumah, bukan
dirinya. Padahal untuk semua itu, ia juga menyumbang kan sejumlah uang yang tidak sedikit dari hasil
keringat sendiri. Dewi sering mengirim artikel ke
mana-mana dan mendapat uang dari kegiatannya itu.
Sepanjang sore hingga malam harinya, Dewi dan
Astri terus mengikuti perkembangan yang terjadi. Mulai
dari mencari kabar dari pihak keluarga Puji, sampai
pada iklan-iklan di surat kabar dan radio yang berisi
panggilan untuk Puji dikutinya dengan cermat.
Meskipun begitu, fokus perhatian utama Dewi ada pada
gerak-gerik dan air muka ibundanya tercinta. Meskipun
http://pustaka-indo.blogspot.com56
perempuan paro baya itu hanya diam tanpa banyak
memperlihatkan betapa dalam kerisauan hatinya, namun
Dewi tahu apa yang sedang dirasakan sang ibu.
Dewi masih ingat betul bagaimana beratnya tekanan
perasaan ibunya selama lima belas tahun lebih menjadi
istri yang harus berbagi segalanya dengan istri muda
sang suami. Tanpa protes yang berarti dan tanpa kemarahan yang terbuka, perempuan itu seperti memberi kan keleluasaan pada sang suami untuk menikmati
ke hidupan beristri dua. Namun Dewi dan beberapa
ke luarga dekat yang diam-diam mengikuti apa yang
se betulnya ada di balik dada perempuan yang tak banyak protes itu, menangkap betapa dalam luka yang
me rebak di hatinya. Kediamannya justru merusak
dunia batin nya sendiri. Dewi yang acap kali mendampingi ibunya ketika menghadiri undangan atau
pertemuan-per temu an lainnya, sering pula mendengar
bagaimana fasih ibunya menjawab pertanyaan orang
mengenai absennya sang suami.
"Ayahnya anak-anak sedang tugas ke luar kota,"
begitu antara lain alasan perempuan itu setiap menjawab pertanyaan orang dengan pipi yang terkadang
tam pak memerah. Dia mengerti, mereka yang bertanya
itu sebetulnya sudah tahu ke mana perginya sang
suami. Mengingat berbagai kenangan pahit masa lalu itu,
perasaan Dewi semakin bertambah kacau. Ia sadar, ada
banyak orang yang dengan begitu mudah memberi penilai an negatif, bahkan menghakimi, terhadap kesalahan
orang tanpa melihat hal-hal lain yang ada di seputar nya.
http://pustaka-indo.blogspot.com57
Tentang bagaimana perasaan keluarganya, misal nya.
Maka andai kata perkawinannya dengan Puji ga gal, ia
yakin akan ada saja orang berkomentar miring se bagaimana yang sering didengarnya terhadap keluargakeluarga lain yang mengalami peristiwa serupa.
"Hukuman itu menimpa anaknya sendiri," begitu
biasanya penilaian negatif yang akan mengiringi setiap
langkahnya. Atau, "Itulah hukum karmanya." Lalu
selama beberapa waktu lamanya pula, peristiwa itu
akan menjadi buah bibir di mana-mana. Betapa memalukan. Betapa coreng-moreng nanti wajah-wajah
keluarga mereka karena peristiwa pahit itu. Sudah
jatuh, tertimpa tangga pula.
Karena bayangan-bayangan buruk semacam itulah
hati Dewi jadi semakin kacau. Kacau dan sedih bukan
untuk dirinya sendiri, melainkan untuk keluarganya,
untuk ibunya. Kasihan beliau. Kasihan adik-adiknya.
Kasihan sanak saudaranya. Mereka tidak ikut makan
nangka, namun terkena getahnya.
Yah, meskipun Dewi merasa terhina oleh kelakuan
Puji yang seperti melecehkannya saat ia dan keluarga
sedang menyiapkan seluruh rangkaian upacara pernikah an yang indah dan anggun, namun ia lebih memikirkan perasaan ibunya. Ia tahu betul seluruh jerih
payah, energi isik maupun mental perempuan itu
sedang dipertaruhkan. Rentan pecah, rentan hancur
menjadi sesuatu yang sia-sia dan yang sama sekali tak
ada nilainya. Dan lebih dari itu, seluruh martabatnya
sebagai ibu yang menginginkan kebahagiaan anaknya,
berada di ujung kehancuran. Harapannya untuk mehttp://pustaka-indo.blogspot.com58
rintis kebahagiaan bagi putri satu-satunya, bagaikan
seseorang sedang berdiri di tepi jurang tanpa pijakan
yang pasti. Gamang seluruhnya.
Dewi sungguh mencemaskan itu semua. Ia tidak
ingin melihat ibunya jatuh tersungkur dalam lubang
kehinaan. Dewi sendiri tidak terlalu merisau kan dirinya. Bahkan nyaris tak peduli karena yang paling
utama baginya adalah nama baik keluarganya jangan
sampai jatuh dan terinjak-injak. Sudah banyak kepahitan dan rasa malu yang mereka rasakan akibat pernikah an poligami ayahnya. Jangan ditambah lagi.
Begitu lah ia terus berharap dengan perasaan yang amat
galau. Namun sampai hari berganti baru, berita baik mengenai Puji belum juga terdengar. Maka ketika sanak
keluarga yang menginap sedang antre untuk menempati
salah satu dari empat kamar mandi di rumah itu
dengan perasaan tertekan, diam-diam Doni menelepon
Sonny untuk mencari berita. Ia sudah tidak tahan lagi
hanya ber diam diri. Ketika pemuda itu mematikan ponselnya dengan
otot di pelipis bersembulan, Dewi sedang melintas. Ia
menaruh curiga melihat air mukanya. Tetapi sebagaimana biasa ia selalu berhati-hati, tidak mau bersikap tergesa dan impulsif. Rasionya tetap berjalan
bagus sehingga dengan diam-diam ia memperhatikan
gerak-gerak Doni. Maka ketika pemuda itu dengan
wajah tegang masuk ke kamar Dion, Dewi malah
masuk ke kamar Doni untuk menguping. Kamar kedua
pemuda itu bersebelahan dan di antara kedua kamar
http://pustaka-indo.blogspot.com59
terdapat pintu. Dari pintu itulah Dewi mencoba menguping. Meskipun pintunya tertutup, tetapi ada
lubang angin di atasnya sehingga suara dari kamar sebelah, bisa terdengar walau tak begitu jelas.
"Mas, aku baru saja menelepon Sonny!" terdengar
suara Doni. Untunglah emosinya yang sedang naik menyebabkan suaranya terdengar keras.
"Apa katanya?" "Kata Sonny, Mas Puji mengirim surat melalui
tukang ojek. Dia tidak mengatakan kapan akan kembali
ke rumah. Tetapi Sonny bilang, di dalam surat itu tersirat janji bahwa dia pasti akan datang memenuhi kewajibannya...." "Maksudmu, Don?"
"Kata Sonny, kelihatannya Mas Puji akan tetap melanjutkan pernikahan dengan Mbak Wik," jawab Doni.
"Apa alasannya minggat, kalau begitu?"
"Dia terpaksa menikahi bekas pacarnya. Dengan
kata lain, dia kawin lari ke kota lain. Gila, dia itu.
Entah ke mana otaknya!" Suara Doni meninggi.
"Kurang ajar. Ini penghinaan. Aku tidak terima!"
Dion berteriak. "Ssssh... jangan keras-keras, nanti terdengar orang."
Dewi yang sedang mencengkeram dada dengan wajah
pucat itu gemetar mendengar oleh suara Doni yang
lantang. Kemudian terdengar suara kunci jatuh. "Hei...
hei... mau ke mana kau, Mas?"
"Aku mau ke rumah Mas Puji. Aku akan melabrak
keluarganya." Suara Dion masih saja terdengar keras.
"Sudah kubilang tadi, aku tidak terima kakakku yang
http://pustaka-indo.blogspot.com60
cantik molek disia-sia dan direndahkan seperti gadis
bertabur kudis." "Sabar, Mas. Hatiku juga mendidih. Tetapi otak tidak boleh ikut mendidih. Kita pikirkan dulu bagaimana baiknya..." "Tidak bisa. Menghadapi orang gila tidak bisa dengan sikap sabar!" "Tetapi, Mas..."
"Tetapi apa, Don" Kau mau kakak kita dianggap
angin" Kau mau keluarga kita diinjak-injak kepalanya
hanya karena nama kita pernah dicemari oleh Bapak"
Kaupikir orang tidak akan menggunjingkan kita karena
calon pengantin laki-laki minggat, lari dengan perempu an lain" Sanggupkah kau melihat air mata Ibu"
Aku tidak. Maka aku harus pergi ke sana sekarang."
Rupanya perkataan Dion menyulut amarah Doni. Ia
menggebrak meja. "Kau betul. Aku akan ikut bersamamu melabrak
mereka," ujarnya. Dengan kaki gemetar, Dewi bermaksud mencegah
kepergian kedua adiknya. Tetapi begitu keluar kamar
Doni, ketika dengan mata kepalanya sendiri melihat
wajah garang kedua adiknya itu, pikirannya langsung
buntu. Rasanya ia tidak lagi punya kekuatan apa pun.
Maka ketika ia mendengar suara motor besar Dion
me raung keluar halaman, air matanya langsung menetes. Betapa sulitnya meraih kedamaian dan ketenangan hidup di dunia yang hiruk pikuk ini, pikirnya dengan hati yang teramat perih.
http://pustaka-indo.blogspot.com61
SEKITAR dua jam sesudah Dion dan Doni meninggal kan rumah, raungan motor mereka kembali
ter dengar me masuki halaman rumah dan lang sung
menuju ke garasi di samping rumah. Mendengar itu,
cepat-cepat Dewi mengadang kedua adiknya yang baru
datang di depan pintu yang menghubungkan garasi
dengan bagian belakang rumah.
Seperti dugaan Dewi, kedua adiknya terkejut ketika
melihatnya berdiri di situ. Lebih-lebih karena wajah
cantiknya tampak angker. Dan belum hilang rasa terkejut yang dirasakan Doni dan Dion, Dewi telah melemparkan pertanyaan yang terdengar bagai tembakan
oleh mereka. "Pagi-pagi sudah keluar rumah, dari mana saja
kalian berdua?" Demikian Dewi melemparkan pertanya an yang lebih bernada tuduhan itu.
Tiga http://pustaka-indo.blogspot.com62
Mendengar tembakan pertanyaan yang disuarakan
dengan nada dingin itu, Doni melirik Dion. Dan yang
dilirik, tampak bingung, tidak tahu harus men jawab
apa. "Dari jalan-jalan...." Akhirnya setelah Doni berhasil
menguasai diri, ia bisa menjawab pertanyaan Dewi.
"Ya, jalan-jalan," Dion menyambung dengan cepat,
terlalu cepat untuk menjawab pertanyaan sederhana
tadi. "Mencari udara segar di luar."
"Sambil melirik gadis-gadis cantik yang sedang lari
pagi di taman," Doni ganti menyambung.
"Ya. Siapa tahu pula ketemu bubur ayam langganan
kita," Dion mengambil alih perkataan Doni. Mereka
bicara sambung-menyambung.
"Cukup," Dewi memotong jawaban Doni dan Dion
dengan sikap ber wibawa. "Kalian berdua mengarang
cerita isapan jem pol. Aku tahu, kalian baru saja pergi
ke suatu tempat dengan diam-diam. Mengaku saja!"
Mendengar teguran Dewi, kedua pemuda itu langsung terdiam. Sebagai gantinya, mereka saling melempar pandangan. Melihat itu, Dewi mencecar keduanya dengan pertanyaan lagi.
"Kalian berdua dari rumah Mas Puji, kan?"
Ditembak langsung seperti itu, kedua adiknya
tampak salah tingkah sehingga Dewi melanjutkan
bicaranya lagi. "Kalian harus menceritakan apa pun yang kalian
ketahui kepada seluruh keluarga. Jangan ber tindak
sembarangan tanpa memikirkannya masak-masak lebih
http://pustaka-indo.blogspot.com63
dulu. Hindari perbuatan yang justru akan se makin
memperkeruh keadaan. Meskipun maksud kalian baik,
tetapi harus diingat apa dampaknya agar maksud baik
itu tidak malah justru berakibat buruk."
Menyemai Harapan Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Eeh... dari mana Mbak Wik tahu tentang kepergian
kami ke rumah Mas Puji?" tanya Dion.
"Dari mana aku tahu itu tidak penting, karena yang
jauh lebih penting adalah menceritakan apa pun kenyataan yang kalian lihat dan dengar kepada seluruh
ke luarga. Seburuk apa pun berita itu, kita harus menghadapinya bersama-sama dan harus bisa sa ling menguatkan. Nah, ayo kita ke ruang tengah, se karang."
Ketika ketiga kakak-beradik itu masuk ke ruang tengah, ayah mereka yang sedang berdiri mondar-mandir
di sana. Dewi sempat melirik ke arah ruang makan.
Menilik meja makan yang masih rapi, ia tahu sarapan
pagi tidak menarik buat mereka semua. Baik bagi
keluarga inti maupun bagi para tamu dari luar kota.
Nasi goreng masih banyak di tempatnya. Telor ceplok
masih berderet di piring oval. Stoples berisi abon masih
penuh, sambal kecap tak tersentuh, dan gelas-gelas isi
sari tomat di baki juga masih beberapa yang belum
berkurang isinya. Di depan meja makan hanya ada Astri
dan Ary yang tampaknya memaksakan diri makan demi
bayi mereka. Astri pasti tidak suka makan sendirian.
Melihat ketiga anaknya masuk ke ruang tengah, sang
ayah menghentikan langkahnya dan menatap wajah
mereka bergantian. "Ada apa" Siapa tadi yang baru saja pulang dari bepergian?" tanyanya. http://pustaka-indo.blogspot.com64
"Saya, Pak," Dion menjawab. "Dengan Doni."
"Dari mana?" "Dari rumah Mas Puji."
Jawaban Dion meraih perhatian seluruh keluarga.
Ibu Dewi yang sedang melamun sambil memangku
surat kabar, langsung menatap anak-anaknya.
"Kalian membawa kabar apa?" tanya perempuan tengah baya itu. "Apakah Puji sudah kembali ke rumahnya?" "Belum. Dia belum kembali." sahut Doni.
"Tetapi Mas Puji mengirimkan surat melalui tukang
ojek. Tampaknya dia akan memenuhi kewajibannya
un tuk menikah dengan Mbak Wik..." Suara Doni semakin lama semakin melambat.
Astri yang masih duduk di muka meja makan, langsung berdiri untuk pindah duduk ke ruang tengah.
Begitupun adik Pak Sulistyo yang sedang melintas. Tak
lama kemudian saudara-saudara yang lain juga menyusul duduk di ruang tengah yang luas itu, ingin
mengetahui berita baru apa yang akan diceritakan Doni
dan Dion. "Ceitakan secara runtut, Dion," Pak Sulistyo menyela. "Semuanya."
Sesaat Dion dan Doni berpandangan. Ka rena mengkhawatirkan guncangnya perasaan orang-orang dekat
yang mereka cintai, kedua pemuda itu tidak berani
menceritakan kenyataan yang ada. Tetapi Dewi menatap mereka dengan tidak sabar.
"Katakan saja apa yang kalian ketahui," desaknya.
"Jangan ada yang ditutupi, karena fakta yang kita kehttp://pustaka-indo.blogspot.com65
tahui dengan jelas akan membuat kita juga berpikir
lebih jelas untuk menghadapi dan mengatasinya bersama-sama." "Kakakmu betul. Jadi katakanlah saja apa yang kalian ketahui!" sang ayah berkata.
Dion menarik napas panjang, kemudian menatap
Dewi. Dia tidak tahu sang kakak telah men dengar
pembicaraannya dengan Doni pagi tadi. Karenanya ia
sangat khawatir kalau-kalau pe rasaan Dewi akan
terguncang ketika nanti mendengar Puji kawin lari
dengan perempuan lain. Dewi mengetahui apa yang sedang bergejolak di hati
Dion. Karenanya ia tersenyum sekilas, kemudian mendorong sang adik agar menjawab pertanyaan ayah mereka. "Dion, aku sudah siap mendengar berita darimu,
bah kan yang paling buruk sekalipun. Percayalah," katanya dengan suara yang terdengar meyakinkan. "Oleh
sebab itu ceritakan saja yang kauketahui."
"Baik. Melalui surat yang dibawa tukang ojek, Mas
Puji mengatakan bahwa dia terpaksa menikahi gadis
lain, gadis yang pernah menjadi kekasihnya," dengan
susah payah Dion menceritakan apa yang diketahuinya.
Semua yang mendengar berita itu tampak amat
terkejut. Dan begitu rasa terkejut mulai surut, hampir
secara bersamaan mereka menatap ke arah Dewi dengan perasaan tercekat. Dewi merasa sangat beruntung
karena dia sudah mengetahui hal itu sehingga mampu
me nampilkan wajah yang tegar. Tetapi tidak demikian
halnya dengan Ibu Sulistyo. Wajah perempuan itu
http://pustaka-indo.blogspot.com66
tampak pucat pasi, menatap Dion yang baru saja
meng ucapkan berita yang sama sekali tak disangkasangka nya itu. "Puji... kawin lari dengan... gadis lain?" serunya dengan suara terbata-bata. Bibirnya tampak bergetar.
Dewi melayangkan pandang ke arah Dion. Ia harus
tegar dan kuat kalau ingin melihat keluarga nya juga
setegar dirinya. Terutama ibunya.
"Dion, ceritakan lanjutannya," katanya dengan suara
mantap yang berhasil dikeluarkannya.
"Ya. Gadis itu minta dinikahi lebih dulu karena...
karena telah mengandung anak Mas Puji," kata Doni,
pelan. Perasaannya amat tertekan karena harus mengatakan kebenaran yang pasti membuat keluarganya
semakin terguncang. "Apa" Kurang ajar betul laki-laki brengsek itu. Sudah
gila, rupanya!" terdengar suara sang ayah yang menggelegar. Ruang tengah itu menjadi gaduh seketika. Ibu
Sulistyo menangis tersedu-sedu. Hati semua orang di
ruang keluarga itu langsung tersentak. Inilah per tama
kalinya mereka mendengar perempuan paro baya itu
menangis sedemikian rupa sehingga Astri dan se pupu
Dewi yang lain ikut menangis, sementara Dewi
meneteskan air mata menyaksikan semua itu.
Mengetahui akibat berita yang disampaikannya,
Dion merasa amat menyesal telah mengatakannya.
Hati nya seperti ditusuk-tusuk kayu penuh duri. Sakit
sekali rasanya. Ah, kelirukah caranya me nyampaikan
berita itu" http://pustaka-indo.blogspot.com67
"Kalau si gila itu tidak ingin menikah dengan
Wiwik, mengapa tidak dikatakannya kemarin-kemarin
sebelum persiapan kita matang begini?" Terdengar lagi
suara pak Sulistyo. "Biadab sekali per buatannya."
"Yah... itulah hukum karma, Pak..." istrinya menanggapi perkataan sang suami dengan getir di sela-sela
tangisnya. "Yah... itu tulah namanya. Kau yang menanam benih rusak, anak yang harus mengambil panen
buah busuk. Kau yang berbuat, anak yang me nerima
balasannya." Sepanjang sejarah kehidupan keluarga, baru sekali
itulah mereka semua mendengar luapan perasaan Ibu
Sulistyo, yang diucapkan dengan suara mengandung
amarah di sela derai tangisnya. Karenanya tidak seorang pun di ruang tengah itu berani bersuara. Bahkan
si biang keladinya pun duduk termangu dengan wajah
kusut masai. Yang dikatakan istrinya itu, tidak salah.
Bahkan ia mulai memahami betapa sakit hati sang istri
ketika belasan tahun lalu diam-diam dia menikah lagi
dan baru mengatakannya sesudah ketahuan dengan
pura-pura meminta izinnya.
Meskipun semuanya terdiam dan yang terdengar
hanya isak tangis Ibu Sulistyo yang selama ini disembunyi kan rapat-rapat, suasana di ruang tengah itu
terasa tegang dan amat menekan perasaan. Merasakan
situasi yang sangat tidak enak itu, Ary tidak tahan.
Hanya dia seorang yang tidak memiliki keter ikat an
darah dengan keluarga Bapak Sulistyo. Per nikahannya
dengan Astri-lah yang menyebabkannya ada di tempat
ini. Karenanya meskipun perasaannya ikut terlibat jauh
http://pustaka-indo.blogspot.com68
dengan permasalahan yang sedang di alami keluarga ini,
ia masih bisa berpikir dengan lebih tenang.
"Mas Dion, ceritakan hal-hal lain yang belum kaukatakan kepada kami. Yah... barangkali ada berita lain
yang bisa kita jadikan bahan pemikiran untuk menghadapi persoalan gawat ini," ujarnya. "Seperti kataku
tadi, mudah-mudahan bisa menjadi bahan pertimbangan. Jangan dengan emosi apa pun karena tidak ada
faedahnya. Bagaimanapun buruk dan pahitnya kenyataan ini, semuanya sudah telanjur terjadi. Oleh sebab itu
yang paling penting buat kita adalah memikir kan apa
yang harus kita lakukan untuk mengatasinya. Ingat,
undangan sudah tersebar dan nanti menjelang sore, para
undangan siraman Mbak Wik, akan datang."
Perkataan Ary sangat ampuh. Seluruh keluarga besar yang semula duduk termenung dengan air muka
keruh, kini mengangkat wajah. Beberapa jam lagi upacara siraman akan dimulai. Apakah akan tetap dilanjutkan ataukah dibatalkan, mereka harus memutuskannya
sekarang. "Kata-kata Dik Ary betul sekali. Kita sedang menghadapi sesuatu yang harus segera diputuskan bersamasama," sahut Dion. "Nah, Don, ceritakan apa yang kita
berdua hadapi tadi."
"Baik. Tadi, saya dan Mas Dion pergi ke rumah
Mas Puji setelah mendengar dari Sonny tentang
minggatnya Mas Puji. Terus terang, kami berdua bermaksud melampiaskan amarah pada keluarganya.
Tetapi begitu kami sampai di sana, keinginan itu
langsung luruh karena melihat keluarga mereka sedang
http://pustaka-indo.blogspot.com69
bertangis-tangisan. Sonny yang periang itu seperti lupa
bagaimana tersenyum. Wajahnya amat keruh, lesu dan
tampak letih. Dari dia kami mengetahui bahwa selama
tiga hari ini keluarga mereka berpencar ke sana kemari
mencari Mas Puji. Sama seperti kita, mereka juga
meng alami kekacauan karena sore nanti sudah ada
upacara siraman dan besok ada acara pernikahan yang
disambung dengan resepsi, sementara calon pengantin
lelaki entah ada di mana. Sudah begitu, baru saja
mereka menghadapi labrakan dari keluarga gadis yang
dibawa lari Mas Puji. Pokoknya keadaan mereka benarbenar kacau sehingga aku dan Mas Dion me mutuskan
pulang." "Tetapi kami diadang ibu Mas Puji yang sambil
memeluk kami, menangis menggerung-gerung dan mengatakan penyesalannya atas perbuatan Mas Puji yang
sama tidak diketahui keluarganya sendiri," Dion menyambung cerita adiknya. "Kasihan beliau. Mas Puji
memang keterlaluan. Tega-teganya dia melempar
kotoran di wajah ibu kandungnya sendiri."
"Menurut ceritamu tadi, gadis itu mantan kekasihnya," kata Ary setelah mendengar Doni dan Dion.
"Kalau cinta masih ada di antara mereka, kenapa Mas
Puji masih tetap ingin me nikah dengan Mbak Wik"
Aku benar-benar tidak me ngerti."
"Pikiran kita sama, Dik Ary. Maka aku menanyakan
hal tersebut pada Sonny," sahut Doni.
"Apa jawabannya?"
"Dia mengatakan bahwa di dalam suratnya yang
dititipkan tukang ojek, Mas Puji mengatakan bahwa
http://pustaka-indo.blogspot.com70
mereka bertemu kembali beberapa bulan yang lalu. Sebenarnya cinta di antara mereka sudah mati. Paling
tidak, dari pihak Mas Puji. Tetapi ketika bertemu kembali dan mantan kekasihnya itu mencurahkan kepedihan karena ditinggal kekasih barunya, perasaan mereka
pun terpengaruh. Apalagi ketika gadis itu mengetahui
Mas Puji akan segera menikah, maka otak mereka jadi
buntu sehingga terjadilah peristiwa yang mengakibatkan gadis itu mengandung dan menuntut supaya Mas
Puji bertanggung jawab menikahinya lebih dulu."
"Karenanya larilah mereka berdua untuk menikah
entah di mana. Ya, kan?" Astri menyela dengan wajah
me merah. "Lupa kewajibannya yang lain, yang bisa
menorehkan luka dan rasa malu pada keluarganya
sendiri maupun keluarga kita."
"Kau benar, Tri..." Ibu Sulistyo mulai ikut bicara
lagi. Suaranya masih gemetar karena tangis. "Te tapi
sebenarnya, peristiwa ini sarana Tuhan untuk mengajar
manusia yang hanya mementingkan pe rasaan dan
urusannya sendiri. Manusia yang tidak ber pikir panjang
berbuat sesuatu demi kesenangannya sendiri tanpa
memedulikan perasaan keluarganya..."
Selama beberapa detik semua orang di ruangan itu
terdiam. Mereka mengerti, perkataan Ibu Sulistyo itu
ditujukan kepada sang suami yang wajah nya langsung
memerah. "Sabarlah, Bude. Jangan mengumbar amarah. Sekarang kita harus mengetahui perkembangan se lanjutnya untuk segera menentukan langkah dan ke putusan
dari pihak kita," kata Astri lagi. "Mas Dana, coba telehttp://pustaka-indo.blogspot.com71
pon rumah Mas Puji untuk mengetahui per kembangannya." Dana, si bungsu yang sejak tadi hanya berdiam diri
dengan bibir terkatup menahan marah, langsung ber diri
dari tempat duduknya. "Oke," sahutnya. Mereka membiarkan pemuda itu
Menyemai Harapan Karya Maria A. Sardjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
me nelepon ke rumah Puji dan menunggu apa hasil
pem bicaraannya. "Bagaimana?" tanya saudara-saudaranya begitu dia
kembali. "Mas Sonny bilang, mereka sedang berusaha sedapat-dapatnya memanggil pulang Mas Puji sekarang
dan menagih janjinya untuk bertanggung jawab. Kata
Mas Sonny, sejelek-jeleknya Mas Puji, dia paling menghormati apa yang sudah dijanjikannya dan punya rasa
tanggung jawab untuk itu. Kata Mas Sonny pula,
justru karena prinsip hidup itulah maka dia bersedia
menikah dengan mantan kekasihnya ketika mengetahui
gadis itu mengandung anaknya."
"Tetapi apa pun yang telah dan akan dilakukannya,
dia itu laki-laki brengsek yang otaknya ada di bawah,"
Doni menyela, mulai mengumpat lagi.
"Sudah... sudah..." Ary menyabarkannya.
"Eh... tadi ketika berbicara denganku, Mas Sonny
memberi usul pada kita," Dana merebut pembicaraan
kembali. Rupanya masih ada yang belum dikatakannya.
"Usul apa?" "Upacara siraman Mbak Wik sebaiknya tetap dilaksana kan. Para undangan kan tidak tahu kalau Mas
Puji minggat...." http://pustaka-indo.blogspot.com72
"Aku tidak mau mengelabui tamu, Dana," sela Dewi.
"Karena besok kalau Mas Puji tidak datang dalam
upacara pernikahan, kita akan men dapat malu berlipatlipat kali. Jadi lebih baik acara siraman hari ini
dibatalkan saja." "Itu benar, Mbak. Tetapi Mas Sonny tadi bilang,
sudah ada tanda-tanda dari Mas Puji, dia akan pulang
entah hari ini, entah nanti malam, entah pula besok
pagi-pagi sekali. Pokoknya, dia akan menunjukkan
tanggung jawabnya," sahut Dana. "Maka kalau acara
siraman yang sudah disiapkan begini dibatalkan, justru
akan menimbulkan pertanyaan...."
"Tidak, Dana. Aku tidak sudi menikah dengan lakilaki seperti itu," Dewi menyela lagi. "Nilainya di mataku benar-benar telah runtuh. Dia sama sekali tidak
bisa menghargai perempuan."
"Mbak, Mas Sonny tadi bilang tentang keyakinan
keluarganya bahwa Mas Puji benar-benar men cintaimu.
Dia mengatakan, betapa semangat dan antusiasnya Mas
Puji menghadapi pernikahannya dengan mu, dan itu
terlihat oleh seluruh keluarga. Antara lain dibuktikannya dengan giat mengumpulkan uang untuk menyiapkan istana bagimu. Godaan man tan kekasihnya sajalah
yang menyebabkannya lupa ingatan dan lupa diri.
Begitu tadi yang Mas Sonny katakan kepadaku"
"Jadi usul Sonny, sebaiknya upacara siraman tetap
dilangsungkan?" Astri ganti menyela, sambil menatap
Dana. "Ya, Dik. Bahkan juga acara pernikahan jika Mas
Puji nanti datang. Mas Sonny tadi mengatakan usul itu
http://pustaka-indo.blogspot.com73
usul dari beberapa keluarga dekat nya sebagai cara
untuk menutupi aib kedua belah pihak. Sesudah pernikahan usai, me reka menyerahkan kepada kita, terutama kepada Mbak Wik, apakah perkawinan itu akan
dilanjutkan atau kah hanya sebagai penutup malu
belaka untuk nanti nya dengan diam-diam setelah berjalan beberapa waktu lamanya, perkawinan itu dibatalkan...." "Bercerai, maksudmu?" tanya Dion.
"Ya, itulah yang dikatakan Mas Sonny kepadaku
tadi." Pak Sulistyo menarik napas panjang, kemudian menoleh ke arah Dewi. Wajahnya tampak kelam dan
bahu nya turun. "Bagaimana pendapatmu, Nduk" Kaulah yang paling
berhak memutuskan masalah ini. Kami semua ada di
be lakangmu dan akan mendukung apa pun keputusanmu," katanya lelah. "Ya, kami ada di belakangmu. Ambillah keputusan
yang paling kaurasa benar atau sesuai dengan kata hatimu," kata sang ibu. "Perkawinan kok seperti main rumah-rumahan.
Selesai bermain, bubar dan lalu selesai begitu saja. Aku
tidak bisa menerima rencana seperti itu. Jadi biarkan
aku memikirkannya selama setengah jam," sahut Dewi.
"Setuju. " Begitu mendengar persetujuan itu, Dewi bangkit dari
tempat duduknya untuk kemudian masuk ke ka mar nya.
Astri bermaksud menyusul, tetapi suami nya memberikan isyarat agar Dewi dibiar kan berpikir sendiri.
http://pustaka-indo.blogspot.com74
"Sebaiknya kita berikan waktu pada Wiwik untuk
ber pikir sendirian tanpa pengaruh siapa pun. Yang dia
hadapi sekarang adalah masalah pribadinya. Dalam
kondisi kritis seperti sekarang ini, kita hanya boleh
menunggu," kata adik Pak Sulistyo menengahi.
"Ya..." Hampir secara bersamaan, mereka yang hadir
menyetujui usulnya. Tak sampai setengah jam kemudian, Dewi sudah
keluar dari kamarnya. Wajahnya tampak damai sehingga seluruh keluarga yang masih hadir di ruang
tengah itu merasa lebih tenang. Tak seorang pun di
antara mereka mengira bahwa tadi di kamarnya, selama
beberapa saat lamanya Dewi berada dalam kebimbangan yang nyaris membuatnya ter jungkal. Lama dia
duduk tepekur, berharap dunia kia mat saat ini. Hatinya
me nentang dilanjutkannya per nikahan yang menurutnya sudah pincang sejak awal. Ia tahu, perkawinannya
dengan Puji tidak akan bahagia. Laki-laki itu sudah
mempunyai istri di tempat lain. Dewi tidak ingin
mengulangi kisah pahit ibunya. Dewi merasa harga diri
dan martabatnya akan tercabik jika tetap melangungkan pernikahan dengan laki-laki se perti Puji.
Namun, ia sadar jika menolak me lanjut kan pernikah annya dengan Puji, ibunya akan sangat ter pukul.
Perempuan paro baya itu akan merasa seluruh usahanya untuk tampil sebagai perempuan yang berhasil
mengentaskan anak-anaknya baik di bidang studi
maupun dalam per nikah an gagal total. Hal itu pasti
akan memengaruhi lang kah hidupnya di hari esok dan
esoknya lagi. Lebih dari itu, semangat yang selama ini
http://pustaka-indo.blogspot.com75
dipupuknya lewat sudut-sudut dapurnya akan meredup
kembali. Dengan pertimbangan itu, sampailah Dewi pada keputusan yang diambil dari sudut tempat ibunya berdiri.
Dibanding dirinya yang masih muda dan masih memiliki masa depan yang luas, ibunya hanya pe rempu an
setengah baya yang akan meniti hidupnya ke masa
depan dengan laki-laki yang pernah membuatnya
sebagai perempuan yang tak berharga di mata keluarga
besar maupun di mata kenalan dekat mereka. Maka
gagalnya pernikahan putri satu-satunya, akan mengembalikan perempuan itu pada tempatnya yang
rapuh. Dewi tidak ingin melihat ibunya mengalami lagi
perasaan sama seperti di masa-masa lalu. Melihat bagai mana tangis yang selama puluhan tahun hanya disimpan sendiri dan tadi dibiarkan terlihat di per mukaan, Dewi juga tahu sang ibu sudah ada pada puncak
penderitaannya. Ia tak sampai hati me lihat nya. Maka
dengan sepenuh kesadaran, ia me nentukan keputusan
yang sangat bertolak bela kang dengan apa yang
sebenarnya ia inginkan. Namun ia ikhlas menjalaninya
demi kasihnya kepada sang ibu dan demi nama baik
keluarga. Begitu juga demi menghargai mereka yang
sudah datang jauh-jauh dari luar kota untuk menyaksikan upacara pernikahannya. Maka setelah duduk di
ruang tengah kem bali, ia segera mengatakan keputusannya. "Upacara siraman sore nanti akan tetap dilanjutkan.
Mas Puji pasti akan muncul nanti malam atau paling
lambat besok pagi-pagi sekali...."
http://pustaka-indo.blogspot.com76
"Mbak Wik... apakah... apakah hal itu sudah kau
pikirkan matang-matang?" sela Astri dengan gamang.
"Aku sudah memutuskannya matang-matang, Tri."
"Kau tidak sedang menempatkan dirimu sebagai
martir yang mengorbankan diri bagi banyak orang, kan?"
"Tidak, Tri. Keputusan yang kuambil merupakan
pilihan hidupku sendiri. Dengan berbagai risikonya,
tentu saja. Apa pun itu," Dewi menjawab mantap
meski pun berbeda dengan kata hati yang sesungguhnya, hatinya yang sebenarnya sedang menangis. Dia
tidak ingin menikah dengan laki-laki seperti Puji atau
seperti ayahnya. "Paling tidak, dengan keputusanmu itu kita sudah
bisa mengatasi masalah yang ada di depan mata, yaitu
acara siraman bisa tetap diadakan," kata Doni menyambung. "Soal bagaimana nanti sesudah acara pernikahan diadakan, bisa dipikirkan kemudian. Kalaupun
nanti Mbak Wik ingin membatalkannya, kami... atau
setidaknya aku pribadi, sama sekali tidak keberatan.
Malah setuju." "Yah... kurasa kita semua punya pemikiran sama,"
komentar Astri. "Tetapi apakah kau betul-betul ikhlas menjalani berbagai upacara ini, Nduk?" Pak Sulistyo menoleh ke
arah Dewi. Matanya menyipit.
"Ya, Pak. Soal siraman, jalankan saja. Ada acara
siraman atau tidak, aku kan harus mandi juga. Dimandikan dengan air kembang yang wangi kan enak."
sahut Dewi sambil tertawa. "Sesudah itu minum dawet
isi tape ketan, sedap."
http://pustaka-indo.blogspot.com77
Melihat tawa Dewi yang ikhlas dan mendengar
kata-katanya yang realistis, semua orang merasa lega.
Kecuali Astri. Dia sangat mengenal Dewi. Gadis itu
sangat mencintai keluarga besarnya, terutama ibu nya.
Nyawa pun diberikan kalau diminta. Kesediaannya
me lanjut kan acara-acara yang sudah direncanakan
keluarga pasti merupakan bagian dari kasih sayang nya
itu. Begitu juga tawa palsu yang diperlihatkannya barusan. "Yah... ada baiknya juga tumpeng dan jajanan pasar
yang sudah telanjur kupesan dan sebentar lagi datang
itu tidak mubazir," kata Ibu Sulistyo sesudah menarik
napas panjang. "Sekarang aku akan menyuruh orang
belakang membuat dawet. Tapai ketannya sudah jadi
sejak kemarin sore karena raginya bagus."
Dewi tersenyum, merasa sangat lega karena ibunya
tidak lagi terlalu murung. Maka acara siraman pun berlangsung lancar. Begitu juga malam midodareni berjalan
sesuai rencana, kendati ia mendengar dari Sonny, acara
siraman Puji batal. Mereka terpaksa me ngarang cerita,
calon pengantin lelaki baru bisa datang nanti malam
karena pesawat yang ditumpanginya diundur keberangkat annya akibat cuaca jelek.
"Mestinya, tadi pagi sudah di rumah," begitu antara
lain cerita bohong yang disampaikan pada para tamu.
"Jadi acara siraman juga terpaksa diundur. Malam
nanti, hanya disaksikan keluarga dekat."
Namun tamu-tamu puas karena sajian makanan
yang terhidang, serbaenak dan berlimpah, sesuai dehttp://pustaka-indo.blogspot.com78
ngan yang sudah direncanakan oleh ibu Puji. Bahkan
beberapa tamu memuji Puji karena meskipun sudah
mau menikah, masih bersedia menerima tugas ke luar
negeri. Itulah berita dari Sonny yang disampai kan
kepada Dion dan Dion ganti menceritakannya kepada
Dewi ketika mereka sedang sendirian di kamar
pengantin sesudah acara midodareni usai. Memang
Dion dan Sonny terus-menerus saling berbagi infomasi.
"Di balik cerita itu, aku berkesimpulan, ibu Mas
Puji masih mengharapkan keajaiban, bisa mengadakan
acara siraman untuk keluarga sendiri kalau Mas Puji
tiba-tiba muncul," kata Dewi.
"Aku juga berpikir yang sama, Mbak. Kasihan Tante
Pambudi. Kata Sonny, ibunya itu tampak sedih dan
kecewa sekali. Semua keluarga heran atas per buatan
Mas Puji yang seperti lupa segala-galanya itu. Malah
ada beberapa di antara mereka yang mengira Mas Puji
Cakar Maut 1 Pendekar Slebor Geger Di Lembah Tengkorak Manusia Serigala 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama