15 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 27
Namun Glagah Putih dan Rara Wulan berjalan terus. Meskipun kemudian gelap turun namun mereka tidak juga berhenti.
Dalam pada itu. keduanyapun melihat dalam keremangan ujung malam, beberapa orang yang berjalan di hadapan mereka yang juga menuju ke arali Timur. Ketika mereka menjadi semakin dekat, mereka menjadi semakin jelas melihat, tiga orang laki-laki dan seorang perempuan yang berjalan dengan tergesa-gesa.
"Aku takut, kakang," terdengar suara perempuan itu.
"Berdoalah. Jah," terdengar jawaban, "tetapi kita tidak dapat berhenti. Sakit ayah sudah menjadi sangat parah. Jika kita berhenti, dan bermalam di jalan mungkin kita sudah tidak akan dapat menemui ayah lagi."
"Jangan takut. Jah. Bukankah kau tidak sendiri. Aku. kakang dan sepupu kita ini akan melindungimu. Mudah-mudahan tidak ada apa-apa."
Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Rara Wulapun kemudian berbisik, "Kasihan anak itu. kakang. Ia menjadi sangat ketakutan."
"Lalu apa yang dapat kita lakukan?"
"Kita berjalan bersama-sama mereka. Jika ada kawan lebih banyak mungkin ketakutannyapun akan berkurang."
Glagah Putih tidak berkeberatan, sehingga keduanyapun berjalan semakin cepat.
Tetapi keduanya telah mengejutkan keempat orang yang disusulnya itu. Demikian mereka menyadari bahwa ada dua orang yang berjalan di belakang mereka, maka merekapun segera berhenti. Tiga orang laki-laki yang ada di antara mereka itupun dengan serta-merta telah menarik pedang mereka.
"Siapa kalian, he."
Glagah Putihpun menggamit Rara Wulan. agar ia menjawabnya. Suara perempuan akan membuat mereka lebih tenang.
"Kami Ki Sanak. Kami berdua akan menyeberangi hutan ini. Kami sedang mencari kawan di perjalanan."
Sebenarnyalah, suara Rara Wulan telah menenangkan mereka. Bahkan seorang diantara mereka berdesis, "Seorang perempuan. Yang seorang lagi?"
"Aku suaminya Ki Sanak."
"Kalian akan pergi ke mana?" bertanya perempuan yang berada di antara ketiga orang laki-laki itu.
"Kami ingin mengunjungi ayah kami di Jati Anom. Ki Sanak."
"Jati Anom" Jati Anom di kaki gunung Merapi di arah Timur itu?"
"Ya, Ki Sanak."
"Bukankah Jati Anom itu jauh sekali."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, "Ya Jati Anom memang jauh sekali. Kau pernah pergi ke Jati Anom?"
"Setahun yang lalu. Aku ikut ayah pergi ke Jati Anom mengunjungi seorang yang masih ada hubungan darah dengan ayah."
"Kami memang akan menempuh perjalanan jauh."
"Apakah kalian akan berjalan semalaman?"
"Kami memang ingin segera sampai ke Jati Anom," jawab Glagah Putih. Namun kemudian Rara Wulanpun bertanya, "Ki Sanak semuanya akan pergi ke mana?"
"Kami akan pergi ke Cupu Watu. Tidak terlalu jauh dibandingkan dengan Jati Anom."
"Malam-malam begini?"
Seorang yang agaknya tertua diantara mereka menjawab, "Ayah sedang sakit keras. Kami harus sampai ke Cupu Watu malam ini juga. Kami tidak ingin terlambat."
"Jika demikian, marilah. Kita berjalan searah. Jika kalian nanti sampai di Cupu Watu, maka perjalanan yang akan aku tempuh masih lebih dari liga kali lipat," berkata Glagah Putih.
"Adalah kebetulan sekali. Semakin banyak kawan di perjalanan, rasa-rasanya menjadi semakin tenang."
"Ya," Glagah Putih mengangguk-angguk, "juga dapat mengurangi perasaan lelah."
"Ki Sanak," berkata seorang diantara ketiga orang laki-laki itu, "Jika Ki Sanak bersedia, nanti Ki Sanak dapat beristrahat di rumah ayah di Cupu Watu. Esok pagi-pagi kalian melanjutkan perjalanan ke Jati Anom."
"Terima kasih Ki Sanak," jawab Glagah Putih, "nanti akan kami pertimbangkan setelah kita sampai di Cupu Watu."
Merekapun terdiam sejenak. Di malam yang semakin kelam, merekapun melanjutkan perjalanan ke arah Timur, melewati hutan Tambak Baya yang garang.
Jalanpun rasa-rasanya menjadi semakin sepi. Tidak ada orang lain lagi yang berjalan melewati jalan itu di malam hari. Meskipun di siang hari jalan itu adalah jalan yang banyak dilalui orang.
Dingin malam terasa semakin mengusik mereka yang berjalan di gelapnya malam. Angin yang semilir terasa bagaikan menusuk sampai ke tulang.
Keempat orang yang akan pergi ke Cupu Walu itu berjalan di depan. Sementara itu. Glagah Putih dan Rara Wulan berjalan di belakang mereka.
Tiba-tiba saja keempat orang itupun berhenti. Bahkan mereka bergeser surut selangkah.
"Ada apa?" bertanya Glagah Putih.
Sebelum salah seorang diantara mereka menjawab, maka merekapun telah menarik senjata-senjata mereka.
Perempuan yang ada di antara ketiga orang laki-laki itupun menjadi gemetar, ia melangkah surut, bahkan kemudian berpegangan Rara Wulan.
"Aku takut," berkata perempuan itu dengan suara yang bergetar, "Aku lakut."
"jangan takui," berkata Rara Wulan. Sementara perempuan itu justru mendekap Rara Wulan erat-erat.
Tetapi Rara Wulan telap tenang saja. Sementara itu, lima orang laki-laki yang berpakaian serba gelap berdiri di tengah-tengah jalan.
"Jangan takut," ulang Rara Wulan, "jika mereka ingin berbuat jahat, maka laki-laki yang berjalan bersama kita tentu akan melawan. Menurut penglihatanku mereka berlima, sedangkan ada ampat orang lak-laki bersama kita. Jumlahnya hampir sama."
"Tetapi mereka adalah penyamun yang garang."
"Kita masih harus meyakinkan, apakah mereka penyamun atau hanya orang lewat seperti kita."
Perempuan itu terdiam. Sementara itu laki-laki tertua diantara ketiga orang laki-laki yang akan pergi ke Cupu Watu itupun bertanya, "Siapakah kalian Ki Sanak yang tiba-tiba saja telah berdiri di lengah jalan."
Seorang diantara kelima orang itu maju selangkah. Dengan nada yang berat serasa menekan jantung orang itupun menjawab, "Kami tidak akan berbelit-belit. Serahkan semua harta benda yang kau bawa. Uang. perhiasan, pakaian dan apa saja."
"Kami tidak membawa apa-apa Ki Sanak. Kami menempuh perjalanan malam karena orang tua kami sedang sakit. Karena itu tidak ada yang dapat kami berikan kepadamu."
"Kalian tentu berbohong. Jika benar kalian tidak membawa apa-apa. beri kesempatan kami menggeledah kalian."
"Silahkan," berkata laki-laki itu, "kami tidak berkeberatan. Geledah kami semua. Jika ada yang berharga, ambillah. Kami memang membawa uang beberapa keping sekedar untuk bekal di perjalanan kami yang jauh. Tetapi jika uang yang beberapa keping itu akan kalian ambil, ambillah."
Tetapi tentu saja Glagah Putih dan Rara Wulan tidak akan membiarkan orang-orang itu menggeledah mereka karena mereka membawa tiga kampil uang yang akan menjadi bekal perjalanan mereka dalam tugas mereka.
Karena itu. maka Glagah Putihpun berkata, "Ki Sanak. Tolong, beri kesempatan kami lewat. Orang tua kami sakit keras, sehingga waktu kami hanya sedikit sekali."
Orang yang berdiri di paling depan itupun berkata, "Kau jangan banyak tingkah. Aku minta kalian membuka baju kalian. Kami akan menggeledah, apakah kalian membawa uang dan perhiasan atau tidak."
"Ada dua orang perempuan diantara kami," berkata Glagah Putih, "tentu mereka tidak akan dapat membuka baju mereka."
"Perempuan merupakan mahluk yang langka diantara kami. Karena itu. maka mungkin sekali kami memerlukan dua orang perempuan itu."
"Mbokayu," perempuan yang akan pergi ke Cupu Watu itu mendekap Rara Wulan semakin ketat, "aku takut."
Tetapi penyamun yang berdiri di paling depan itupun berkata lantang, "Cepat. Buka baju kalian. Apakah kalian membawa uang atau tidak."
Glagah Putihpun yang kemudian melangkah ke depan pula, "Jangan hambat perjalanan kami Ki Sanak. Tolong, ayah kami sakit keras. Mungkin Ki Sanak merasakan kepedihan kami. Bayangkan jiwa ayah kalian menderita sakit keras, sehingga waktupun terasa menjadi sangat sempit."
"Diam," bentak penyamun itu, "kalau kau masih berusaha mengelak sekali lagi. maka aku akan menghabisimu."
Glagah Putih memang tidak mempunyai pilihan. Namun yang terutama harus dipertahankan justru bukan tiga kampil uang. Tetapi kitab Ki Namaskara itu ada padanya.
Karena itu maka Glagah Putih itupun kemudian berkata. "Tidak Ki Sanak. Aku tidak akan membiarkan Ki Sanak menggeledah kami."
"Apa?" Jika saja nampak, maka wajah penyamun yang berdiri di paling depan itu menjadi merah, "kau berani menantang kami?"
Jilid 372 "AKU tidak menantang, Ki Sanak. Kami hanya menolak untuk digeledah."
Tetapi yang tertua diantara laki-laki yang akan pergi ke Cupu Watu itupun menyela, "Kenapa kau keberatan" Kami sama sekali tidak berkeberatan. Biarkan mereka menggeledah kita. Dengan demikian, maka persoalannya akan cepat selesai, sehingga kita akan dapat melanjutkan perjalanan."
"Tetapi menggeledah kita itu berarti merendahkan harga diri kita. Meskipun kita tidak membawa apa-apa, tetapi dengan membiarkan mereka menggeledah kita. maka kita sudah menundukkan kepala kita dibawah kaki mereka."
"Ki Sanak," berkata laki-laki tertua itu, "ayahku sedang sakit. Kau jangan menambah beban persoalan kami."
"Tetapi kita harus mempertahankan harga diri kita."
"Jika demikian terserah kepada kalian berdua. Jangan melihatkan kami berempat. Kehadiran Ki Sanak berdua ternyata hanya akan mempersulit keadaan," orang itupun kemudian berkata kepada orang-orang yang menghentikan mereka itu, "geledah kami berempat. Kami tidak keberatan. Kedua orang ini bukan keluarga kami. Kami, hanya secara kebetulan berjalan bersama-sama."
"Siapa saja yang kau sebut berempat itu."
Orang itupun kemudian minta kepada keluarganya untuk memisahkan diri dari Glagah Putih dan Rara Wulan. Katanya, "Maaf Ki Sanak. Bukan maksud kami untuk tidak saling menolong, tetapi kami ingin segera persoalan ini selesai, agar kami dapat segera melanjutkan perjalanan."
Glagah Putih itupun mengangguk-angguk sambil menjawab, "Aku mengerti, Ki Sanak. Karena itu. maka silahkan. Lakukanlah yang terbaik bagi Ki Sanak. Tetapi kami berdua tidak akan mengizinkan orang-orang itu menggeledah kami."
Pemimpin dari para penyamun itu menjadi marah. Dengan geram iapun berkata, "Kau sangai sombong Ki Sanak. Kau hanya berdua dengan seorang perempuan. Kau mau apa" Jika kau menolak untuk digeledah, maka kami akan mempergunakan kekerasan. Penolakanmu bagi kami adalah satu isyarat bahwa kau berdua tentu membawa barang-barang berharga."
"Ya," jawab Rara Wulan diluar dugaan para penyamun dan bahkan empat orang yang akan pergi ke Cupu Watu, "kami membawa uang dan perhiasan. Karena itu kami berdua menolak digeledah. Jika kalian menggeledah kami, maka kalian akan menemukan beberapa kampil uang yang kami bawa serta perhiasan yang aku kenakan."
"Iblis betina kau. Kenapa kau berkata seperti itu?"
"Kalau kami sudah berani membawa uang beberapa kampil serta mengenakan perhiasan yang mahal harganya lewat di sebelah hutan Tambak Baya. tentu kamipun siap menghadapi segala kemungkinan. Karena itu, minggirlah. Jangan ganggu kami, atau kami akan memaksa kalian berlutut di hadapan kami."
Kemarahan pemimpin penyamun itu lelah membakar ubun-ubunnya. Dengan geram iapun berkata, "Biarlah keempat orang itu melanjutkan perjalanannya. Tetapi yang dua orang ini akan menjadi makanan kita malam ini."
"Jangan mencari perkara. Ki Sanak," berkata Glagah Putih, "aku peringatkan kalian sekali lagi."
"Persetan," geram pemimpin penyamun itu, "ambil uang dan perhiasannya. Jika mereka menolak, bunuh mereka berdua."
"Mbokayu," perempuan yang akan pergi ke Cupu Walu itu menjerit tertahan, "jangan sakiti perempuan itu."
"Kau tidak usah turut campur, atau kaupun akan aku perlakukan seperti perempuan yang seorang itu."
"Sudahlah. Jah. Marilah kita meneruskan perjalanan."
Namun perempuan itu masih saja berteriak, "Ajak mbokayu itu pergi."
"Kita mempunyai kepentingan sendiri-sendiri Jah. Jika kita terkait dengan mereka, maka kitapun akan mengalami kesulitan. Sementara itu ayah menunggu dalam keadaan yang tidak menguntungkan."
"Pergi, cepat pergi," teriak penyamun itu.
Laki-laki yang tertua diantara ketiga orang laki-laki yang akan pergi ke Cupu Watu itupun segera menarik tangan adik perempuannya sambil membentak, "Kita harus segera pergi."
Perempuan itu tidak dapat mengelak lagi. Sementara itu terdengar Rara Wulan berkata, "Pergilah. Nanti sebentar lagi kami akan segera menyusul setelah kami menyelesaikan kelima orang cucurut.kecil ini."
Kata-kata Rara Wulan memang mengejutkan. Bahkan perempuan yang ketakutan itupun terkejut pula. Begitu berani perempuan yang berjalan berdua itu menyebut lima orang laki-laki garang itu sebagai cucurut.
Tetapi sikap Rara Wulan itu merupakan peringatan bagi kelima orang penyamun itu. Perempuan itu tentu bukan perempuan kebanyakan, sehingga ia berani berkata sedemikian sombongnya.
"Siapakah sebenarnya kalian berdua?" bertanya pemimpin penyamun itu.
"Kami orang Tanah Perdikan Menoreh, Ki Sanak. Kami akan pergi ke Jati Anom. Jika Ki Sanak mau mendengarkan, minggirlah. Tetapi jika Ki Sanak tetap saja mau berbuat jahat, maka kami akan dapai berbuat jauh lebih kasar dari apa yang akan kalian lakukan."
"Persetan," geram pemimpin penyamun itu, "ambil apa yang dapat kita ambil dari mereka. Jika mereka melawan, habisi saja mereka."
Keempat kawannyapun segera bersiap. Mereka mulai berpencar serta mempersiapkan diri untuk segera menyerang. Glagah Putih dan Rara Wulanpun segera bersiap pula.
Sementara itu keempat orang yang akan pergi ke Cupu Watu itu telah melanjutkan perjalanan mereka. Tetapi perempuan yang pergi bersama mereka itu sekali-sekali masih berpaling.
Perempuan itu sempat melihat dalam keremangan, para penyamun itu mulai menyerang Glagah Putih dan Rara Wulan.
"Kalian jangan menyesal kalau tubuh kalian akan terkapar di jalan ini. Mungkin binatang buas dari hutan Tambak Baya itu akan datang mencabik-cabik tubuh kalian. Atau esok akan diketemukan oleh orang-orang yang lewat dijalan ini."
Tetapi kata-kata orang itu patah. Tiba-tiba saja kaki Glagah Putih telah bersarang dimulutnya.
Orang itupun terpelanting jatuh menimpa seorang kawannya. Terdengar orang yang tertimpa kawannya itu mengumpat kasar. Kedua-duanya jatuh bergulir di tanah berdebu.
Orang yang tertimpa kawannya itupun segera meloncat bangkit. Sedang yang seorang lagi masih harus menyeringai menahan sakit. Rasa-rasanya tulang rahangnya telah menjadi retak.
Dalam pada itu, dua orang diantara merekapun bersama-sama telah menyerang Rara Wulan. Tetapi dengan loncatan yang ringan. Rara Wulan telah melenting menghindar. Bahkan kemudian Rara Wulanlah yang menyerang seorang diantara mereka.
Demikianlah, maka sejenak kemudian telah terjadi perkelahian yang sengit di antara mereka. Kelima orang itu segera mengerahkan tenaga kemampuan mereka. Tetapi ternyata mereka telah membentur kekuatan yang berada jauh diatas jangkauan mereka.
Dalam pada itu, keempat orang yang akan pergi ke Cupu Watu itu berjalan semakin cepat. Mereka hanya berpikir untuk semakin menjauhi orang-orang yang sedang berkelahi itu.
Setelah berhasil menguasai kedua orang laki-laki dan perempuan itu. maka mungkin sekali kelima orang penyamun itu akan mengejar mereka. Mungkin bukan uang dan harta yang mereka kehendaki, tetapi karena mereka, adalah seorang perempuan, maka kemungkinan buruk dapat terjadi pada perempuan itu.
Namun keempat orang itu terkejut ketika tanpa disadari perempuan yang ada diantara mereka berempat itu berpaling.
Mereka melihat dua orang laki-laki dan perempuan yang berkelahi melawan lima orang penyamun itu telah berada di belakang mereka.
"Mbokayu," desis pesempuan itu diluar sadarnya. Bahkan perempuan itupun tiba-tiba saja berhenti, "kau baik-baik saja?"
"Aku tidak apa-apa," jawab Rara Wulan sambil tertawa.
"Tetapi, bagaimana dengan para penyamun itu?"
"Mereka tidak akan mengejar kita lagi. Kami.telah membuat mereka tidak berdaya. Bukan hanya malam ini. Tetapi untuk selanjutnya, mereka tidak akan dapat menyamun lagi. Kami telah membuat mereka tidak berdaya untuk selanjutnya."
"Mereka telah mati?"
"Tidak. Kami tidak membunuh mereka. Mereka memang terluka, tetapi luka-luka mereka akan sembuh. Tetapi mereka sudah tidak akan mampu lagi menyamun."
Ketiga orang laki-laki yang akan pergi ke Cupu Watu itu, menjadi berdebar-debar. Mereka merasa bersalah, bahwa mereka tidak membantu kedua orang laki-laki dan perempuan itu. Karena itu. maka orang tertua diantara merekapun berkata dengan suara bergetar, "Maafkan kami Ki Sanak. Kami telah melakukan kesalahan yang besar dengan meninggalkan Ki Sanak berdua dalam keadaan yang sulit."
Glagah Putih dan Rara Wulan tersenyum. Dengan nada datar Glagah Pulih berkata, "Sudahlah, Ki Sanak. Aku mengerti. Kalian memang tidak pernah terlibat dalam perselisihan sehingga harus mempergunakan kekerasan."
"Darimana kau mengetahuinya?" bertanya seorang diantara ketiga orang laki-laki yang akan pergi ke Cupu Watu itu.
"Cara kalian memegang senjata. Kalian memang membawa senjata, tetapi kalian tidak terbiasa mempergunakannya."
"Tetapi seharusnya kami membantu kalian berdua. Bukan sebaliknya malah menyalahkan kalian berdua."
"Sudahlah. Marilah kita berjalan terus. Bukankah waktu kalian tidak terlalu banyak?"
Orang-orang yang akan pergi ke Cupu Watu itu tidak menjawab. Meskipun mereka segera melanjutkan perjalanan, namun terasa bahwa mereka masih saja ragu-ragu."
Karena itu. maka Glagah Putih dan Rara Wulanlah yang kemudian berjalan di depan.
Dalam kegelapan malam, keenam orang itupun berjalan terus. Beberapa saat kemudian, merekapun telah melewati Alas Tambak Raya yang lebat dan garang itu.
Keenam orang itu masih berjalan beberapa lama. Mereka melewati bulak-bulak panjang Namun kemudian merekapun melewati pula padukuhan-padukuhan.
Keempat orang yang akan pergi ke Cupu Watu iiu masih juga bertanya-tanya di dalam hati, siapakah kedua orang laki-laki dan perempuan itu sebenarnya. Apakah mereka benar-benar orang baik-baik atau mereka sebenarnya menyimpan satu kepentingan bagi mereka berdua.
Namun akhirnya, merekapun menjadi semakin dekat dengan Cupu Watu.
Di tengah malam, maka mereka berenampun telah memasuki regol padukuhan Cupu Walu. Padukuhan yang menjadi tujuan ketiga orang laki-laki dan seorang perempuan itu.
Glagah Pulih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Glagah Putihlah yang kemudian menjawab, "Baiklah, Ki Sanak. Kami akan singgah sebentar."
"Ki Sanak," berkata yang tertua diantara keempat orang itu, "kami sudah sampai di Cupu Watu. Jika Ki Sanak berkenan, aku persilahkan Ki Sanak singgah sebentar."
"Terima kasih atas kesediaan Ki Sanak berdua. Tetapi rumah ayahku tidak lebih besar dari sebuah gubug yang sudah mulai rapuh."
"Itu bukan soal Ki Sanak," jawab Glagah Putih. Merekapun kemudian berhenti di depan sebuah regol halaman yang tidak begitu luas.
"Inilah rumah ayahku itu."
Rara Wulan mengangguk-angguk sambil bertanya, "Dengan siapa ayah kalian itu tinggal?"
"Bersama ibu. Aku tinggal di gubug sebelah." Agaknya laki-laki itu telah diminta oleh ibunya menjemput adik perempuannya yang tinggal di seberang Alas Mentaok. Beberapa saat kemudian maka merekapun telah berada di halaman. Perlahan-lahan laki-laki yang tertua itu mengetuk pintu rumah yang nampaknya memang sederhana.
"Siapa?" terdengar suara perempuan.
"Aku, Nyi." "Kakang?" "Ya." Sejenak kemudian terdengar langkah tergesa-gesa menuju ke pintu.
"Itu isteriku Ki Sanak," berkata laki-laki tertua itu. Pintupun kemudian terbuka. Laki-laki tertua itu dengan serta-merta bertanya, "Bagaimana dengan ayah?"
"Belum ada perubahan, kang." Perempuan yang baru datang itu telah berlari masuk ke ruang dalam.
"Ayah," terdengar perempuan itu menjerit tertahan.
"Jangan menangis nduk. Ayahmu akan menjadi sangat gelisah."
"Biyung, apakah ayah akan sembuh?"
"Kita berdoa saja nduk."
"Apakah ayah tidak diobati ?"
Perempuan itu terdiam. Namun terdengar suara perempuan yang lain, "Kami sudah tidak mempunyai apa-apa lagi untuk membiayai pengobatan ayah. Jah. Kambing kami sudah kami jual. Sebenarnya kami sepakat untuk menjual sawah kami yang hanya sesobek kecil itu. Tetapi sawah itu masih berada di tangan orang. Kami sudah menggadaikannya sebulan yang lalu, ketika ayah baru mulai sakit."
"Jadi, ayah tidak mendapat pengobatan lagi?"
"Satu-satunya yang kita punya adalah halaman sempit serta rumah ini. Jika ini dijual pula, lalu ayah tinggal dimana. Gubug kami disebelahpun harus diusung pergi pula. Tetapi kemana?"
Pembicaran mereka berhenti. Orang-orang yang baru datang lewat Alas Tambak Baya itupun telah berada di ruang dalam. Demikian pula Glagah Putih dan Rara Wulan.
Mereka duduk di sebuah tikar yang terbentang. Di ruang dalam itu terdapat sebuah amben bambu. Di amben bambu itulah orang yang sedang sakit itu terbaring.
Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulanpun duduk pula bersama keluarga mereka yang menunggui orang yang sedang sakit itu. Perempuan yang ikut melintasi Alas Tambak Baya itu berlutut sambil menangis di sisi ayahnya yang nampak sangat kurus.
"Bagaimana keadaan ayah sekarang?" bertanya perempuan itu.
"Semua anggota badanku terasa sakit, Jah."
"Jadi selama ini ayah tidak diobati?"
"Biyungmulah yang meramu obat untukku."
Perempuan itupun berpaling kepada ibunya sambil bertanya, "Oh, apa yang biyung berikan kepada ayah?"
"Yang dapat aku ketemukan di kebun kita sendiri, Jah. Seorang tetangga memberitahukan, agar ayahmu diobati dengan ketela gantung grandel. Akarnya, sedikit batangnya, kulit batangnya, daun, tangkai daun, bunga dan buahnya."
"Ibu lelah membuatnya?"
"Ya, nduk. Saben hari aku membuatnya, sehingga bagian-bagian ketela gantung grandel di belakang rumah sudah hampir habis."
"Dan keadaan ayah tidak berubah?"
"Tidak nduk. Sakit ayahmu tidak berkurang."
"Sebenarnya ayah itu sakit apa, biyung?"
"Aku tidak tahu, Jah. Orang orang menyebutnya sakit panastis. Panas dan atis. Kadang-kadang ayahmu merasa bagaikan dipanggang di atas api. Tetapi kadang-kadang ayahmu merasa seperti direndam di dalam banyu wayu sewindu yang dingin sekali sehingga ayahmu menggigil."
"O," perempuan itu terisak.
"Sudahlah Jah. Jangan menangis," suara ayahnya terdengar perlahan dan sendat, "ayah sudah ikhlas meninggalkan kalian semuanya. Kalian harus hidup rukun sepeninggal ayah. Jaga biyung kalian baik-baik."
"Kakang. Jangan berkata begitu," suara isterinya terdengar parau. Sedangkan anaknya yang tertuapun berdesis, "Kita masih harus berusaha, ayah."
"Tidak akan ada gunanya lagi, ngger."
"Yang Maha Agung yang Pengasih akan memberi jalan kepada kita, ayah. Apapun caranya. Untuk sementara biarlah biyung membuat reramuan dari bagian-bagian batang ketela gantung grandel. Meskipun reramuan itu sangat sederhana, tetapi jika reramuan itu dipergunakan oleh Yang Maha Agung untuk menyembuhkan ayah, maka ayah akan sembuh."
Orang tua yang sakit itu menarik nafas panjang. Tetapi ia tidak menjawab lagi.
Anaknya yang tertua itupun kemudian berkata, "Biarlah ayah tidur. Menurut seorang kawanku, istirahat adalah bagian dari pengobatan."
Orang tua itu mengangguk.
Sejenak kemudian, maka anak yang tertua itu telah duduk bersama Glagah Putih dan Rara Wulan. Sementara itu, perempuan yang ikut melintasi Alas Tambak Baya itu pergi ke dapur untuk merebus air.
Dalam pada itu, Glagah Putihpun berkata kepada anak yang tertua itu, "Ki Sanak. Aku tidak mengerti sama sekali tentang ilmu pengobatan. Tetapi seorang pernah memberitahukan kepadaku, bahwa sakit panastis itu dapat diobati dengan buah munggur, daunnya dan sedikit bunganya. Bagian-bagian dari pohon munggur itu dijemur sampai kering. Kemudian dibuat butiran-butiran kecil. Reramuan itu dapat ditelan pagi, siang dan sore hari."
Namun. Glagah Pulihatupun terdiam ketika Rara Wulan menggamitnya sambil berdesis, "Kau yakin. Apakah tidak justru terjadi sebaliknya?"
Glagah Putih justru menjadi ragu-ragu. Katanya, "Bukankah seseorang pernah mengatakan kepada kita tentang buah munggur itu beserta daunnya yang muda."
Tetapi Rara Wulanpun berkata, "Tetapi sebaiknya kalian cari saja tabib yang baik. Bukan sekedar seorang dukun yang hanya pandai berbicara menyombongkan diri kemudian minta imbalan yang banyak. Minta syarat-syarat yang tidak masuk akal. Sebaiknya kalian menghubungi tabib yang mengerti benar ilmu obat-obatan."
"Tetapi Ki Sanak," berkata anak yang tertua itu, "Ki Sanak telah mendengar sendiri, bahwa untuk minta seorang tabib yang pandai mengobati ayahku, maka harus bersedia beaya yang cukup."
Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Nampaknya keduanya mempunyai gagasan yang sama. Meskipun agak ragu, Glagah Putih itupun berdesis, "Bukankah kita mempunyai bekal untuk membeayai tugas yang kita emban. Sekarang kita menghadapi tugas kemanusiaan."
"Aku sependapat kakang. Justru aku akan mengatakannya."
"Baiklah," berkata Glagah Putih kemudian, "kami akan mencoba membantu Ki Sanak sekeluarga."
Orang itu termangu-mangu sejenak, sementara itu, Glagah Putihpun telah mengambil beberapa keping uang dari kampilnya.
"Ki Sanak," berkata Glagah Putih sambil memberikan beberapa keping uang perak, "tidak seberapa. Tetapi mudah-mudahan akan dapat sedikit membantu. Mudah-mudahan seorang tabib yang baik. akan bersedia mengobati ayah Ki Sanak itu dengan imbalan beberapa keping uang perak. Tetapi ingat, tabib yang baik. Jangan sembarang orang yang mengaku mampu mengobatinya."
Orang itu justru menjadi bingung. Dipandanginya Glagah Putih dan Rara Wulan berganti-ganti.
"Terimalah Ki Sanak," berkata Glagah Putih.
"Apakah aku tidak bermimpi," desis orang itu. Bahkan saudara-saudaranyapun saling berpandangan.
"Kenapa?" bertanya Rara Wulan.
"Ki Sanak," berkata orang itu, "bukankah keping-keping itu uang perak?"
"Ya." "Menurut pengertianku, uang itu nilainya banyak sekali. Jika uang itu Ki Sanak berikan kepadaku, lalu apa yang Ki Sanak kehendaki" Kami sudah tidak punya apa-apa."
"Kami tidak menghendaki apa-apa. Kami hanya ingin ayah Ki Sanak itu mendapatkan pertolongan. Tentu ada tabib yang benar-benar pandai yang dapat mengobati sakit ayah Ki Sanak itu."
"Tetapi uang ini ?"
"Ki Sanak. Aku mendapat bekal untuk menjalankan tugasku. Bagiku mebantu pengobatan ayah Ki Sanak itu nilainya tidak kalah dengan tugasku yang lain, yang harus aku laksanakan itu."
"Siapakah sebenarnya Ki Sanak berdua?"
"Kami memang orang-orang Tanah Perdikan Menoreh yang sedang mengemban satu tugas. Hanya itu yang dapat aku katakan kepada Ki Sanak."
"Tetapi bukankah uang itu seharusnya kalian pergunakan untuk melaksanakan tugas itu?"
"Sudah aku katakan. Membantu usaha pengobatan bagi ayah Ki Sanak nilainya tidak kalah dengan tugas lain yang aku emban. Karena itu, aku tidak bersalah jika mempergunakan uang itu sedikit untuk pengobatan ayah, Ki Sanak."
"Kami benar-benar salah menilai kalian berdua, Ki Sanak. Seharusnya kami tidak meninggalkan kalian berdua di Alas Tambak Baya. Kami seharusnya berbuat sesuatu meskipun ternyata tanpa bantuan kami, kalian tidak mengalami kesulitan apa-apa."
"Tidak Ki Sanak. Kalian sudah melakukan sesuatu yang benar. Jika kalian ikut dalam perselisihan itu, pekerjaanku akan menjadi semakin berat, karena kami juga harus melindungi kalian."
Orang itu menarik nafas panjang.
"Nah, jangan berpikiran macam-macam. Ambil uang itu dan pergunakan sebaik-baiknya untuk penyembuhan ayah Ki Sanak."
"Lihat," berkata orang itu kepada saudara-saudaranya. "Betapa murah hati kedua orang yang sebelumnya belum pernah kita kenal itu."
"Sudahlah," Glagah Putih itupun kemudian berpaling kepada Rara Wulan, "sebaiknya kita meneruskan perjalanan kita."
"Marilah, kakang." jawab Rara Wulan.
"Nanti dulu," berkata orang itu, "Ki Sanak berdua belum minum. Adikku sedang membuat minuman hangat bagi kita."
Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Tetapi mereka tidak ingin membuat keluarga itu menjadi kecewa. Karena itu, maka merekapun menunggu sejenak, sehingga akhirnya minuman hangat itupun dihidangkan oleh perempuan yang ikut menyeberangi Alas Tambak Baya itu.
Minuman hangat itu memang membuat Glagah Putih dan Rara Wulan merasa segar. Namun setelah mereka menghabiskan minuman mereka, maka merekapun benar-benar minta diri untuk melanjutkan perjalanan.
"Kenapa kalian berdua tidak bermalam saja di sini?" bertanya anak yang tertua diantara mereka.
"Terima kasih. Ki Sanak. Perjalanan kami masih jauh."
"Baiklah Ki Sanak. Jika Ki Sanak berdua menginap di sini kami juga tidak dapat mmberikan tempat yang pantas."
"Bukan itu masalahnya. Tetapi kami memang ingin segera sampai ke Jati Anom."
Ternyata Glagah Pulih dan Rara Wulan memang tidak dapat dicegah. Keduanyapun kemudian minta diri kepada seluruh keluarga. Tetapi agaknya orang yang sakit itu sedang tidur; sehingga Glagah Putih dan Rara Wulan tidak minta diri kepadanya.
"Sampaikan saja kepada ayah kalian. Semoga lekas sembuh."
"Terima kasih, Ki Sanak," jawab anak yang tertua itu. Sejenak kemudian, maka Glagah Putih dan Rara Wulan melanjutkan perjalanan mereka.
"Mudah-mudahan ada seorang tabib yang dapat mengobatinya," desis Rara Wulan.
"Tentu ada. Masalahnya hanyalah karena mereka sudah tidak mempunyai uang sama sekali. Mungkin ada seorang tabib yang mau menolong tanpa minta imbalan apa-apa. Tetapi justru karena mereka tidak mempunyai apa-apa, maka sebelumnya mereka sudah merasa segan. Sedangkan tabib itu akan dengan senang hati menolongnya tanpa imbalan jika diminta. Karena mungkin tabib itu tidak tahu, bahwa ada orang sakit yang memerlukan pertolongannya."
"Ya," Rara Wulan mengangguk-angguk, "orang-orang yang tidak mempunyai apa-apa, kadang-kadang merasa dirinya dijauhi oleh orang lain, meskipun sebenarnya tidak demikian. Mereka merasa diri mereka rendah dan tidak berharga sama sekali. Sedangkan sebenarnya orang lain tidak menganggapnya demikian. Meskipun memang ada orang yang disebut kadang konang. Orang yang hanya mau bersahabat dan berkumpul dengan orang-orang dari tataran yang tinggi serta tidak mau berkenalan dan apalagi bergaul dengan orang-orang dari tataran, yang lebih rendah."
Glagah Putih mengangguk-angguk.
Sementara itu, dari Cupu Watu Glagah Putih dan Rara Wulan berjalan ke arah Timur. Perjalanan yang ditempuh masih sangat jauh dibandingkan dengan padukuhan Cupu Watu. Tetapi Jati Anoni barulah langkah pertama dari pengembaraannya.
Ketika dilangit nampak bintang Panjer Esuk di arah Timur, yang cahayanya melampaui terangnya bintang-bintang yang lain, maka keduanyapun sepakat untuk berhenti di sebuah gubug di tengah sawah.
"Tidurlah," berkata Glagah Putih kepada Rara Wulan, "masih ada waktu sedikit."
Rara Wulan memang berbaring di gubug itu. Tetapi Rara Wulan tidak dapat tidur. Bahkan iapun kemudian berkata, "Aku hanya ingin beristirahat kakang. Tetapi aku tidak merasa mengantuk. Kakang sajalah yang tidur. Meskipun aku berbaring, tetapi mataku tidak mau terpejam."
"Aku juga tidak mengantuk. Aku bahkan merasa lebih enak duduk bersandar tiang ini."
Rara Wulan tidak berkata apa-apa lagi. Tetapi matanya benar-benar tidak mau terpejam. Setiap kali bayangan orang yang sakit itu timbul di angan-angannya. Rara Wulan membayangkan, bahwa nyawa seseorang tidak dapat ditolong lagi hanya karena ia sudah tidak mempunyai apa-apa untuk biaya pengobatan.
"Bagaimana mungkin nyawa itu harus dikorbankan, sedang di sisi lain seseorang dapat menghamburkan uang tanpa batas untuk menyelenggarakan keramaian dalam upacara yang tidak harus diselenggarakan kecuali sekedar mencari kepuasan."
"Kalau saja aku dapat lepas dari keterbatasanku. Aku akan membiayai pengobatan semua orang sakit dan tidak mampu lagi membiayai pengobatannya."
Rara Wulan itupun tiba-tiba saja berdesah. "Ada apa Rara ?" bertanya Glagah Putih.
"Kalau aku menjadi seorang Ratu," desis Rara Wulan.
"Ratu" Kenapa kalau kau menjadi seorang Ratu?"
"Ah, aku telah bermimpi meskipun aku tidak tidur."
"Mimpi apa?" "Aku dapat mengulurkan tangan kepada setiap orang yang membutuhkan. Terutama untuk menyelamatkan jiwa seseorang."
"Menyelamatkan jiwa?"
"Bukan mempertahankan nyawa seseorang. Itu tentu tergantung kepada Yang Maha Agung. Tetapi membantu setiap usaha penyembuhan bagi orang-orang yang sakit, yang tidak mempunyai kemampuan untuk mendapatkan pengobatan. Meskipun akhirnya tergantung kepada yang Maha Agung, bukankah berusaha itu dibenarkan?"
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Kita memang wajib berusaha."
Namun dalam pada itu, keduanyapun terdiam. Mereka mendengar desir langkah kaki seseorang berjalan di pematang menuju ke gubug kecil itu.
Rara Wulanpun kemudian bangkit dan duduk di gubug itu.
Seorang laki-laki yang bertubuh tinggi tegap melangkah menyusuri pematang menuju ke gubug itu. Dipundaknya dipanggulnya sebuah cangkul. Agaknya orang itu sedang menelusuri air karena ia mendapat giliran air di dini hari.
Namun orang itu terkejut ketika Glagah Putih dan Rara Wulanpun meloncat turun dari gubug kecil itu. Keduanyapun mengangguk hormat. Sementara Glagah Putihpun berkata, "Selamat malam, Ki Sanak."
Orang itu berhenti. Wajahnya menjadi tegang. Dalam keremangan malam ia melihat seorang laki-laki dan seorang perempuan yang masih terhitung muda berada di gubugnya.
"Kalian siapa, he?"
"Kami adalah pengembara, Ki Sanak. Perempuan ini adalah isteriku."
"Apa yang kalian lakukan di gubugku. he?"
"Kami kelelahan dalam perjalanan kami. Ki Sanak. Kami menumpang beristirahat sejenak sampai fajar."
"Bohong. Kau pergunakan gubugku untuk berbuat gila, he. Iblis manakah yang telah menyusup di kepalamu, sehingga kalian telah mengotori gubug dan sawahku. Sawahku akan menjadi sangar dan cengkar, sehingga pada masa-masa mendatang hasilnya akan menyusut dengan tajam."
"Ki Sanak. Kami berdua adalah suami isteri. Kami berdua sedang menempuh perjalanan dalam satu pengembaraan. Tujuan kami yang pertama adalah Jati Anom."
"Omong kosong.. Kalian harus menebus kesalahan kalian. Yang dapat meruwat tanahku hanyalah darah kalian atau salah seorang dari kalian. Jika darah kalian atau seorang dari kalian menitik di sawahku, maka sawahku akan bersih dari noda yang telah kau taburkan."
"Ki Sanak. Kami hanya beristirahat. Kami sangat letih."
"Omong kosong. Sekarang, berikan satu jarimu. Aku akan memotongnya dan membiarkan darahnya menetes di sawahku. Baru sawahku akan menjadi suci kembali."
Wajah Glagah Putih menjadi tegang. Sementara orang itu telah menarik sebilah parang kecil yang diselipkan di punggungnya.
15 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jangan mencoba untuk melawan. Jika kau melawan maka aku akan membunuh kalian berdua."
Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Orang itu menurut penglihatan Glagah Putih dan Rara Wulan adalah seorang petani yang lugu. Seorang petani yang mempercayai, jika tanahnya ternoda maka hasilnyapun akan turun dengan tajamnya.
Karena itu, maka Glagah Putihpun kemudian berkata. "Ki Sanak, kenapa harus jariku."
"Jadi apamu" Lehermu?"
"Yang penting, bahwa darahku terpercik di sawahmu. Meskipun aku tidak merasa telah mengotori sawahmu, tetapi jika kau menuntut darahku memercik di sawahmu, akan aku lakukan. Tetapi tidak perlu memotong jariku."
"Lalu apa yang akan kau lakukan?"
"Berikan parangmu itu, Ki Sanak," berkata Glagah Pulih kemudian.
"Untuk apa?" "Biarkan aku sendiri yang menitikkan darahku di sawahmu itu."
"Kau jangan menganggapku terlalu bodoh. Kau tentu akan mempergunakan parangku itu untuk melawan aku."
"Tidak. Aku tidak akan berani melakukannya. Aku akan melakukan sebagaimana kau kehendaki. Tetapi tidak usah memotong jari."
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian diberikannya parangnya kepada Glagah Putih. Tetapi demikian ia melepaskan parangnya, maka iapun segera menggenggam doran cangkulnya.
Tetapi Glagah Putih memang tidak ingin menyerangnya. Disingsingkannya lengan bajunya, kemudian dengan parang itu dilukainya tangannya, diantara pergelangannya dan sikunya bagian dalam.
Parang itupun kemudian telah menggores kulitnya, sehingga lukapun telah menganga.
"Kakang," Rara Wulan tertegun melihat Glagah Putih melukai lengannya sendiri.
"Beri aku serbuk obat lukamu, Rara," berkata Glagah Putih kemudian.
Dengan tergesa-gesa Rara Wulan telah mengambil sebuah bumbung kecil di kantong bajunya di bagian dalam.
"Ki Sanak," berkata Glagah Putih yang dari luka di tangannya itu mengalir darah, "lihat. Darahku telah menetes di sawahmu. Jika kau anggap aku telah menodai sawahmu, meskipun sebenarnya sama sekali tidak aku lakukan, maka aku telah memberikan ketenangan batin padamu. Kau tidak usah merasa cemas, bahwa hasil sawahmu akan menyusut tajam."
Orang itu berdiri bagaikan membeku di pematang sawahnya. Namun ia telah melihat darah yang mengalir dari luka di tangan Glagah Putih telah menetes di sawahnya.
"Nah, Ki Sanak. Apakah kau sudah puas?"
Orang itu tidak segera menjawab. Ia justru berdiri saja termangu-mangu.
"Jawab Ki Sanak. Apakah kau sudah puas?"
"Ya, ya. Kau telah mensucikan sawahku lagi."
"Sawahmu tidak pernah ternoda," sahut Glagah Putih. Iapun kemudian berkata kepada Rara Wulan, "taburkan sedikit serbuk obat itu di lukaku,"
Rara Wulanpun segera melakukannya. Ditaburkan serbuk obat di luka Glagah Putih yang telah mengalirkan darah itu.
Terasa panas bagaikan menyengat luka itu. Namun hanya sekejap. Kemudian perasaan pedih dan panas itupun segera hilang. Sementara itu, darahpun segera menjadi pampat. Ketika Glagah Putih membersihkan serbuk di tangannya itu, maka lukanyapun tidak lagi mengeluarkan darah.
Petani itu masih berdiri tegak di tempatnya. Ia terkejut ketika Glagah Putih kemudian berkata, "Baiklah Ki Sanak. Kami akan pergi. Sebentar lagi fajar akan menyingsing. Kami harus melanjutkan perjalanan kami."
Glagah Putihpun kemudian berkata kepada Rara Wulan, "Marilah. Kita sudah cukup lama beristirahat di gubug ini. Agaknya pemilik gubug ini tidak rela memberikan sekedar tempat untuk beristirahat kepada para pengembara sebagaimana kita berdua."
"Tidak. Tidak Ki Sanak, " tiba-tiba saja orang itu menyahut, "bukannya aku tidak mau memberikan tempat persinggahan bagi orang yang kelelahan di perjalanan, tetapi aku telah menjadi salah mengerti tentang keadaan Ki Sanak berdua."
"Tidak apa-apa, Ki Sanak, Ki sanak sudah dapat menjadi tenang kembali. Kami berdua minta diri."
"Aku rninta maaf, Ki Sanak."
"Tidak ada yang harus dimaafkan. Kau sudah termakan oleh kepercayaanmu sehingga kau tidak lagi dapat mengurai persoalan-persoalan yang kau hadapi dengan sewajarnya."
"Baik. Baik. Aku tidak akan mengelak. Sekarang, bahkan aku ingin minta Ki Sanak berdua singgah di rumahku."
"Terima kasih. Tetapi kami harus segera melanjutkan perjalanan. Kami masih harus menempuh jarak yang jauh bagi tujuan pertama kami. Jati Anom."
"Apakah Ki Sanak berasal dari Jati Anom."
"Ya," jawab Glagah Putih. Ia berharap orang itu tidak bertanya lebih banyak lagi.
"Ki sanak. Aku minta Ki Sanak sudi singgah di rumahku. Aku minta maaf atas tuduhanku. Aku sekarang percaya, bahwa sawahku tidak ternoda."
Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan tetap pada niatnya untuk melanjutkan perjalanan mereka ke Jati Anom.
Karena itu, maka Glagah Putihpun kemudian berkata, "Aku minta maaf. Kami akan melanjutkan perjalanan kami yang masih panjang."
Demikianlah keduanyapun meninggalkan petani yang berdiri termangu mangu. Ditimangnya parang kecilnya yang telah diserahkan kembali oleh Glagah Putih kepadanya. Parang yang sudah bernoda darah, meskipun hanya seleret kecil.
Namun betapapun petani itu menyesali kekasarannya, kedua orang yang mengaku suami isteri itu sudah berjalan semakin jauh.
Petani itu menarik nafas panjang. Baru kemudian ia teringat air yang harus dialirkannya ke sawahnya, karena itu memang mendapat giliran hari itu di dini hari.
Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulan telah meninggalkan gubug itu semakin jauh. Dengan nada datar Rara Wulanpun berkata, "Kakang terpaksa melukai tangan kakang."
"Aku tidak punya pilihan lain, daripada harus mengorbankan jariku."
"Kakang. Misalnya. Hanya misalnya. Kakang menolak apa yang kira-kira akan dilakukan?"
"Orang itu benar-benar akan marah."
"Lalu kita paksa orang itu duduk diam di gubugnya dengan menyentuh beberapa simpul syaraf di bahunya. Baru setelah kita jauh. orang itu akan terlepas sendiri dari kebekuannya."
"Orang itu akan kehilangan waktu untuk mengairi sawahnya. Karena gilirannya di dini hari. maka baru esok menjelang fajar ia dapat mengairi sawahnya. Padinya yang sedang bunting itu, jika terlambat mengairinya, akan dapat menimbulkan masalah. Akhirnya, hasil sawah orang itu kemudian memang akan menurun tajam. Petani itu akan semakin yakin, bahwa sawahnya telah menjadi sangar."
Rara Wulan mengangguk-angguk. Sambil tersenyum ia bertanya, "Selain itu, maka orang itu akan selalu dibayangi oleh kecemasan, bahwa untuk selanjutnya sawahnya tidak akan menghasilkan."
"Ya. Karena itulah, maka lebih baik mengorbankan darahku beberapa titik. Bukankah tidak berpengaruh apa-apa padaku. Kecuali sekejap di sengat pedih saat kau taburkan serbuk obat pemampat darah itu."
Rara Wulan masih saja mengangguk-angguk.
Ketika mereka kemudian sampai di Kali Opak, maka keduanyapun sempat mencuci mukanya. Di musim kemarau air di Kali Opak tidak begitu deras sehingga dapat diseberangi tanpa harus mempergunakan rakit.
Sementara itu, langitpun sudah menjadi terang. Beberapa orang telah nampak berjalan beriring. Beberapa orang perempuan menggendong dagangannya, sementara beberapa orang lak-laki memikul kayu bakar atau hasil kebun mereka. Agaknya mereka akan pergi ke pasar yang tidak jauh lagi di sebelah Timur Kali Opak.
Setelah berbenah diri sekedarnya, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun melanjutkan perjalanan mereka pula. Mereka berjalan beriringan dengan orang-orang yang akan pergi ke pasar.
"Jika kita tidak berhenti di Cupu Watu dan di gubug itu, kita tentu sudah sampai di Gondang. Bahkan sudah melewatinya."
Glagah Putih tersenyum. Katanya, "Bukankah kita perlu beristirahat."
Rara Wulan mengangguk. Meskipun demikian iapun menyahut. "Tetapi kakang justru harus melukai tangan kakang."
Glagah Putih tersenyum sambil menyahut, "Tetapi dengan demikian, bukankah kita tidak lagi mengantuk."
"Aku memang tidak mengantuk."
"Ya. Kau tidak mengantuk. Tetapi kau sedang bermimpi meskipun kau tidak tidur."
Rara Wulanpun mengerutkan dahinya. Namun iapun tersenyum pula.
Beberapa saat kemudian, maka merekapun telah melewati sebuah pasar yang ramai. Meskipun matahari baru terbit, tetapi rasa-rasanya pasar itu sudah mulai penuh dengan orang-orang berjualan dan yang akan berbelanja.
Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian telah duduk di sudut pasar itu. Mereka duduk di sebuah lincak bambu yang panjang, didepan seorang penjual nasi serta wedang sere yang hangat.
"Semalaman kita tidak tidur. Minuman hangat dan nasi megana itu akan membuat kita menjadi segar kembali," berkata Glagah Putih.
Keduanyapun tidak lagi menghiraukan orang-orang yang semakin berdesakan di pasar itu. Semakin tinggi matahari, maka semakin banyak orang yang datang ke pasar untuk berbelanja.
Glagah Putih dan Rara Wulan bergeser ketika dua orang laki-laki yang tinggi tegap duduk pula di lincak itu serta membeli nasi megana dan wedang sere dengan gula kelapa.
Setiap kali orang yang duduk di sebelah Rara Wulan itu berpaling dan memperhatikannya. Bahkan kemudian orang itu mulai tersenyum-senyum.
Tetapi Rara Wulan sama sekali tidak menghiraukannya. Perhatiannya sepenuhnya tertuju kepada nasi megana dan minuman hangatnya.
Namun akhirnya perhatian Rara Wulan mulai tertarik kepada kedua orang itu, ketika mereka mulai berbicara.
"Tempat ini tidak menguntungkan," berkata yang seorang.
Seorang yang lainpun menyahut, "Apanya yang tidak menguntungkan."
"Kali Opak merupakan benteng yang sangat kokoh bagi Mataram. Mungkin ada kekuatan gaib yang terdapat di Kali Opak itu seakan-akan merupakan pelindung bagi Mataram."
"Pelindung bagaimana?"
"Ketika Pajang berniat menyerang Mataram, maka serangan itu telah tertahan di Kali Opak. Pasukan Pajang yang kuat itu harus kembali ke Pajang. Bahkan Kanjeng Sultan Hadiwijaya telah terjatuh dari kudanya, sehingga terluka parah."
"Sultan Hadiwijaya memang sudah sakit sebelum berangkat perang."
"Ya. Tetapi pasukannya yang kuat telah digulung oleh banjir bandang Kali Opak. Bukan hanya banjir air. Tetapi banjir batu yang tertumpahkan dari Gunung Merapi."
"Ya." "Kau kira cerita itu mempunyai arti yang wantah?"
"Maksudmu?" "Kau kira yang terjadi benar-benar seperti cerita itu?"
"Aku tidak tahu," jawab kawannya, "mungkin benar kata orang, bahwa sebenarnya Kali Opak tidak banjir air apalagi batu. Tetapi kekuatan yang sangat besar telah menghentikan pasukan Pajang di Kali Opak."
"Nah. Kemudian apa yang terjadi dengan pasukan Adipati Pragola dari Pati. Pasukannya sangat kuat. Seluruh kekuatan di sebelah Utara Gunung Kendeng telah dihimpunnya. Ketika pasukan yang tidak terhitung kekuatannya itu mengalir ke Mataram, maka pasukan Pati itu telah terhenti di Kali Opak. Akhirnya pasukan Pati itu harus terpukul mundur saat menyeberang Kali Opak oleh pasukan Mataram yang lebih kecil yang dihimpun dengan tergesa-gesa."
"Jadi, bagaimana menurut pendapatmu?"
"Jika kita akan membangun landasan, sebaiknya justru di sebelah Barat Kali Opak di sebelah Timur dan di sebelah Timur Kali Praga di sebelah Barat. Jika kita membangun landasan kekuatan di sebelah Barat Kali Praga maka pasukan itu harus menghadapi pasukan Tanah Perdikan Menoreh lebih dahulu. Kita harus ingat pengalaman buruk kita, bahwa pasukan kita pernah di hancurkan oleh pasukan Tanah Perdikan Menoreh."
"Itu dahulu," jawab yang lain, "tetapi sekarang keadaannya sudah berbeda. Kekuatan kita sudah berlipat lima belas. Pasukan Tanah Perdikan Menoreh tidak akan mampu lagi berbuat apa-apa dihadapan kita."
"Tetapi bagaimanapun juga, kita harus mengusulkan, agar pemusatan kekuatan harus dilakukan disebelah Barat Kali Opak dan di sebelah Timur Kali Praga."
Namun tiba-tiba kawannya berdesis, "Sst. Nanti saja kita bicara lagi. Sekarang marilah kita makan dan minum. Aku ada kerja yang lain, yang tidak kalah mengasikkan daripada berbicara tentang landasan kekuatan itu."
"Apa?" Orang itu tersenyum. Namun orang itu memberi isyarat kepada kawannya, bahwa disebelahnya duduk seorang perempuan."
"Aku sudah melihat sejak tadi."
"Sst," orang itu berdesis.
"Aku peringatkan, agar kau tidak membiarkan gejolak perasaanmu memperburuk keadaan."
"Kenapa harus memperburuk keadaan?"
"Jika kau terlibat dalam persoalan yang tidak ada hubungannya dengan kepentingan kita, maka kau akan merusak kesempatan kita meskipun kita telah berada disini."
"Merusak apa" Tidak akan ada persoalan apa-apa. Percayalah. Segalanya akan berlangsung lancar-lancar saja."
"Kau memang gila. Tetapi pada suatu saat, kau akan mengalami kesulitan karena tingkahmu itu."
Orang itu tertawa. Rara Wulan menarik nafas panjang. Justru karena ia memperhatikan pembicaraan orang itu, maka iapun tahu apa yang akan dilakukan oleh orang yang duduk di sebelahnya.
Namun dalam pada itu, meskipun ia tidak mendengar seluruh pembicaraan kedua orang itu, tetapi Rara Wulan dapat mengerti, apakah yang mereka maksudkan.
Meskipun keduanya tidak menyebutkan dengan jelas, tetapi Rara Wulanpun mengerti, bahwa mereka tentu orang-orang yang mengaku para murid dari Perguruan Kedung Jati.
Tetapi Rara Wulan masih tetap berdiam diri. Tetapi ia tidak lagi memusatkan perhatiannya kepada nasi dan minuman hangatnya. Tetapi Rara Wulan justru hanya berpura-pura saja tidak menghiraukan keadaan disekelilingnya dan hanya memperhatikan makan dan minumnya.
Orang yang duduk di sampingnya itu mulai memperhatikannya lagi. Setiap kali orang itu berpaling bahkan sambil tersenyum. Sekali-kali orang itu menyentuh Rara Wulan dengan sikunya.
Jika Rara Wulan bergeser sedikit menjauhinya, maka orang itu bergeser pula mendekat.
Bahkan kemudian orang itu telah bertanya kepada Rara Wulan, "Kau sendiri saja nini."
Rara Wulan pura-pura tidak mendengar. Sehingga orang itu mengulanginya, "Kau sendiri saja nini."
Rara Wulan seakan-akan masih belum mendengarnya. Karena itu, maka orang itupun bertanya lagi, "Apakah kau hanya sendiri saja he?"
Rara Wulanpun berpaling karena orang itu menggamitnya.
"Kau bertanya kepadaku?"
"Ya." "O. Maaf. Aku kira yang kau panggil nini itu seorang gadis kecil."
"Aku berbicara dengan kau."
"Kenapa kau panggil aku nini. Panggil aku bibi atau setidak-tidaknya panggil aku mbokayu. Anakku sudah hampir sebesar kau ini."
"Gila. Aku sudah hampir ubanan," sahut orang itu
"O. Kau sudah hampir ubanan" Tetapi kenapa kau masih saja sibuk memperhatikan perempuan ?"
"Perempuan gila. Sekarang jawab pertanyaanku. Apakah kau sendiri?"
"Aku bersama suamiku. Yang duduk di sebelahku ini adalah suamiku."
"Ya, Ki Sanak," Glagah Putih menyahut sambil tersenyum-senyum, "aku suaminya."
"Kenapa kau diam saja sejak aku bertanya kepada isterimu?"
"Maaf Ki Sanak. Aku tidak mengerti bahwa kau berbicara dengan isteriku."
Tiba-tiba saja Rara Wulan membentak, "Diam kau. Kau tidak usah turut campur."
"Tidak, tidak, Nyi," jawab Glagah Putih.
"Kau bentak-bentak suamimu?" bertanya laki-laki yang duduk di sebelah Rara Wulan.
"Laki-laki tidak tahu diri. Makan dan minum sajalah. Jangan hiraukan aku."
"Ya, ya, Nyi. Aku sudah makan."
"Apakah kau sudah kenyang?"
"Sudah Nyi." "Baik. Duduk sajalah yang baik."
Laki-laki yang duduk di sebelah Rara Wulan itu tertawa. Iapun kemudian bertanya, "Kenapa dengan suamimu itu?"
"Ia hanya tahu makan dan minum. Ia akan melakukan apa saja yang aku perintahkah."
"Bagus," laki-laki itu tertawa. Lalu bertanya, "Sekarang kau mau kemana?"
"Kemana saja. Aku memang sering berada disini."
"He." Ketika Rara Wulan tersenyum, laki-laki itu menggamit kawannya, "Aku mau pergi. Ikut apa tidak?"
"Kau mau pergi kemana?"
"Jangan bertanya. Jika kau mau ikut, ikut sajalah. Jika tidak, tunggu aku disini."
"Tunggu disini sampai kapan?"
"Sampai sore." "Gila. Aku ikut saja. Bukankah kau akan membawa perempuan ini" Tetapi berhati-hatilah."
Orang itu tertawa. Dilemparkannya beberapa keping uang kepada penjual nasi itu sambil bertanya, "Kurang" Aku bayar semuanya yang kami makan dan minum berempat."
"Terlalu banyak, Ki Sanak. Tunggu. Ada uang kembalinya."
"Ambil saja." "He" " penjual itu menjadi keheranan.
"Ambil kembalinya."
"Terima kasih. Terima kasih, Ki Sanak."
Orang itupun kemudian meningalkan tempat itu bersama Rara Wulan dan kawannya. Sementara itu Rara Wulanpun berkata kepada Glagah Putih, "Ikuti aku."
"Kenapa ia harus ikut?" bertanya laki-laki itu.
"Biar saja. Jika kau memerlukan sesuatu, aku dapat menyuruhnya mencarikannya. Akupun tidak mau ia melarikan diri dariku. Aku masih memerlukannya. Jarang ada laki-laki sebaik suamiku."
Laki-laki itu tertawa. Katanya, "Baiklah. Jika kau menganggapnya laki-laki yang sangat baik, sehingga kau masih sangat memerlukannya. Tetapi bukankah ia tidak akan mengganggu?"
"Tidak. Ia tidak akan mengganggu."
Ketiga orang itupun segera berdesakan dengan orang-orang yang ada di pasar itu menuju ke pintu gerbang. Sementara Glagah Putih mengikutinya. Sebenarnyalah bahwa Glagah Putih mendengar pula percakapan kedua laki-laki itu.
Seperti Rara Wulan, Glagah Putihpun dapat menduga bahwa kedua orang itu tentu orang-orang yang mengaku murid-murid dari perguruan Kedung Jati.
Karena itu. maka ia tanggap akan maksud Rara Wulan sehingga Glagah Putihpun mencoba menysuaikan dirinya dengan sikap Rara Wulan.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, keduanyapun telah keluar dari pintu gerbang pasar. Sejenak laki-laki yang mengajak Rara Wulan itu menjadi ragu ragu. Namun akhirnya iapun berkata, "Ikut aku. Kita pergi ke bukit itu."
"Bukit mana?" "Bukit di sebelah Selatan itu."
"Ke hutan di perbukitan itu."
"Ya." Tetapi kawannya berkata, "Kau gila. Kenapa orang itu kau bawa kesana?"
Orang itupun berdesis perlahan, "Mereka tidak akan pernah keluar lagi. Perempuan ini akan menjadi penghuni sarang kita."
Tetapi yang lain menyahut perlahan, "Keberadaannya di sarang kita akan dapat menimbulkan persoalan. Sepuluh orang yang ada di sarang kita itu akan dapat bertengkar karena keberadaannya."
"Tidak seorangpun yang akan berani melawan aku."
"Kau memang sudah gila."
Tiba-tiba saja Rara Wulan bertanya, "Apa yang kalian bicarakan?"
"Tidak apa-apa," jawab orang yang mengajak Rara Wulan itu. Lalu katanya, "Marilah. Aku punya rumah di belakang pebukitan itu. Kau akan aku ajak melihat-lihat rumahku."
"Kau tinggal di hutan di sebelah bukit itu ?"
"Tentu tidak. Aku tinggal di sebelah hutan itu. Di pinggir jalan setapak yang naik ke atas bukit itu. Ada sebuah candi yang sebagian sudah runtuh di atas bukit itu."
Namun Rara Wulanpun dengan ragu-ragu menjawab, "Sebaiknya aku tidak ikut pergi ke hutan itu. Aku takut."
"Apa yang kau takutkan ?"
"Macan atau binatang buas yang lain."
"Ada aku. Jangan takut."
Rara Wulanpun kemudian berkata kepada Glagah Putih, "Ikut aku. Jangan bertanya dan apalagi membantah."
"Baik, baik Nyi."
Rara Wulanpun kemudian berjalan bersama kedua orang yang baru saja dikenalnya itu. Namun Rara Wulan dan bahkan juga Glagah Putih menduga, bahwa di sarang mereka tinggal sekitar sepuluh orang. Mereka adalah orang-orang yang mendapat tugas untuk mengamati keadaan. Menilai tempat yang akan mereka pergunakan sebagai landasan kekuatan pasukan dari mereka yang mengaku para murid dari perguruan Kedung Jati.
Rara Wulan sebenarnyalah memang agak ragu. Sepuluh orang harus mereka hadapi berdua. Rara Wulan dan Glagah Putih belum tahu, seberapa tinggi kemampuan dari kesepuluh orang itu.
Tetapi bahwa Glagah Putih tidak mencegahnya, agaknya Glagah Putihpun mempunyai perhitungan yang sama dengan Rara Wulan, bahwa mereka berdua akan sanggup menghadapi sepuluh orang yang berada di sarang mereka. Setidak-tidaknya dua orang itu akan dapat mereka hentikan di perjalanan menuju ke sarang mereka.
Sementara matahari menjadi semakin tinggi, maka dua orang yang akan membawa Rara Wulan ke sarang mereka itupun berjalan semakin cepat. Sementara Glagah Putih berjalan di belakang mereka. Kadang-kadang Glagah Putih agak tertinggal. Tetapi kemudian dengan berlari-lari kecil menyusul mereka.
Namun tiba-tiba saja Glagah Putih itupun berkata, "Nyi. Aku sudah lelah. Jangan terlalu cepat."
Rara Wulanpun kemudian berhenti. Ia tahu bahwa Glagah Putih telah memberikan isyarat kepadanya.
Ketika Rara Wulan memperhatikan keadaan di sekitarnya, maka Rara Wulanpun menyadari, bahwa mereka telah berada di tempat yang sepi. Sebuah hutan yang tidak begitu lebat menyelimuti lereng pebukitan itu. Baru kemudian sebelah bukit itu terdapat sebuah hutan yang nampaknya masih garang.
"Kenapa berhenti" Kita sudah dekat dengan rumahku yang aku katakan itu."
"Suamiku sudah lelah," sahut Rara Wulan.
"Persetan dengan laki-laki cengeng itu."
Rara Wulanpun kemudian bertanya, "Apakah tulang-tulang kakimu sudah retak sehingga kau tidak mampu berjalan lagi."
"Kita berhenti sebentar Nyi. Aku lelah. Aku haus."
"Kau baru saja makan dan minum di pasar itu."
Glagah Putihpun kemudian duduk di tanggul parit di pinggir jalan sambil berkata, "Tunggu dulu. Nyi. Aku akan beristirahat."
"Jangan hiraukan suamimu. Kita berjalan terus."
"Nanti dulu, Ki Sanak. Aku tidak dapat meninggalkannya sendiri di sini. Di tempat yang sepi, dekat hutan lereng pegunungan. Nanti ia akan menangis ketakutan."
"Jangan pedulikan. Apapun yang akan terjadi padanya, biarlah terjadi."
"Jangan. Sayang sekali jika aku harus kehilangan laki-laki itu. Sulit untuk mencari laki-laki seperti suamiku."
"Aku akan mencari seratus laki-laki seperti itu."
"Belum tentu jika kami akan sesuai. Biarlah aku menunggunya sampai ia bangkit dan bersedia berjalan lagi."
"Gila. Aku akan membunuhnya. Jika orang itu mati, maka kau tidak perlu lagi menghiraukannya. Kau akan tinggal di rumahku untuk seterusnya."
"Jangan bunuh orang itu. Aku masih memerlukannya."
"Bangkit dan berjalan atau aku membunuhmu," bentak laki-laki yang berniat membawa Rara Wulan itu.
"Aku akan beristirahat dahulu, Ki Sanak," jawab Glagah Putih yang masih duduk di tanggul di bawah sebatang pohon sengon.
Orang yang berniat membawa Rara Wulan itu tidak sabar lagi. Tiba-tiba saja ia meloncat sambil mengayunkan tangannya. Kelima jari-jarinya yang mengembang itu terarah ke punggung Glagah Putih.
Glagah Putih sadar, bahwa serangan kelima jari-jari yang terbuka itu sangat berbahaya. Kelima jari-jari itu akan dapat menghujam ke punggungnya, sehingga ia tidak akan pernah dapat bangkit lagi dari tempat duduknya.
Namun Glagah Putihpun menyadari, bahwa cepat atau lambat, orang itu tentu akan membunuhnya pula.
Karena itu, maka Glagah Putih tidak akan membiarkan punggungnya berlubang lima. Ketika tangan itu terayun, maka dengan tangkasnya, Glagah Putihpun bangkit langsung melenting menghindari serangan orang itu.
Orang itupun menjadi terkejut sekali. Ia tidak mengira sama sekali, bahwa laki-laki yang dianggapnya cengeng itu mampu melenting demikian cepatnya, melampaui kecepatan ayunan tangannya.
"Gila," geram orang itu, "siapakah sebenarnya kau?"
Glagah Putih yang telah berdiri beberapa langkah dari tanggul parit itupun menjawab, "Aku suami perempuan itu. Bukankah sudah aku katakan."
"Persetan. Aku tidak peduli siapakah kau. Tetapi kau akan mati dan perempuan ini aku akan bawa ke sarangku."
Glagah Putih tertawa. Katanya, "Bertanyalah kepadanya. Jika perempuan itu mau pergi bersamamu ke sarangmu, bawalah."
Ketika orang itu berpaling kepada Rara Wulan, maka Rara Wulanpun tertawa pula. Katanya, "Tetapi biarlah suamiku ikut. Aku masih memerlukannya."
"Anak iblis kalian berdua. Apa maumu sebenarnya?"
"Bukankah kau yang membawaku kemari" Seharusnya akulah yang bertanya kepadamu, apa maumu."
Orang itu menggeram. Kawannyapun berkata, "Aku sudah memperingatkanmu, bahwa pada suatu saat kau akan mengalami kesulitan dengan kesenanganmu memburu perempuan."
"Tetapi aku tidak menyesal. Aku akan membunuh laki-laki itu dan membawa perempuan itu ke sarang. Ia tidak akan dapat mengelak lagi. Bahkan karena tingkahnya, aku akan melemparkannya kepada kawan-kawan kita. Apapun yang terjadi dengan perempuan itu, adalah akibat dari ulahnya sendiri."
"Jangan membuat keributan di sarang kita. Selama ini tidak ada masalah di sarang kita. Tetapi jika kau bawa perempuan ini, maka akibatnya akan dapat membuat sarang kita berhamburan. Mungkin akan timbul perkelahian. Bahkan mungkin dapat membawa korban jiwa."
"Tidak. Akulah yang akan mengaturnya. Yang akan terjadi di sarang kita, harus merupakan hukuman bagi perempuan ini."
Kawannya termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Terserah kepadamu. Sekarang bunuh laki-laki itu. Nampaknya laki-laki itupun telah dengan sengaja mengelabui kita. Mungkin dengan sengaja pula ia berusaha menjebak kita dengan maksud tertentu."
"Baik. Jaga agar perempuan itu tidak sempat melarikan diri. Aku akan membunuh laki-laki ini lebih dahulu. Nampaknya ia belum tahu, dengan siapa ia berhadapan."
"Cepat, lakukan."
Laki-laki yang akan membawa Rara Wulan ke sarangnya itupun melangkah mendekati Glagah Putih sambil menggeram, "Kau masih terlalu muda untuk mati. Tetapi tingkah serta kesombonganmu sendiri itulah yang akan membunuhmu."
"Kenapa kau akan membunuhku?" bertanya Glagah Putih.
"Pertanyaan yang bodoh atau kau menganggapku sangat bodoh sehingga kau lontarkan pertanyaan itu?"
Glagah Putih tersenyum. Katanya, "Baiklah. Lakukan apa yang akan kau lakukan kalau kau mampu. Tetapi aku tentu akan mempertahankan diriku. Bahkan jika perlu, akulah yang akan membunuhmu dan jika kawanmu itu ikut campur, maka akupun akan membunuh kalian berdua."
"Setan alas. Kau kira kau ini siapa, sehingga kau dengan sombong sekali mengancam kami berdua" Kau tentu belum tahu, dengan siapa kau berhadapan?"
"Aku memang belum tahu, siapakah kau dan siapakah kawanmu itu."
"Aku adalah Makantar. Aku jugalah yang disebut sebagai Alap-alap Kali Wedi."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, "Aku jadi ingat nama yang pernah disebut-sebut oleh saudaraku. Alap-alap Jalatunda. Apakah kau masih mempunyai hubungan darah dengan Alap-alap Jalatunda."
"Persetan. Aku tidak mengenal Alap-alap Jalatunda."
"Tentu kau tidak mengenalnya. Alap-alap Jalatunda namanya terkenal pada saat perguruan Kedung Jati sedang dalam kejayaannya."
"Apa" Pada saat perguruan Kedung Jati dalam kejayaannya?"
"Ya. Alap-alap Jalatunda adalah seorang Senapati dibawah kepemimpinan Macan Kepatihan. Saat Jipang runtuh. Macan Kepatihan telah bergerak ke Selatan, justru mendekati Pajang dan mencoba membangun kekuatan di sekitar Sangkal Putung. Satu lingkungan yang subur. Tetapi Macan Kepatihan telah gagal, karena kekuatannya telah membentur kekuatan Senapati besar dari Pajang yang bernama Untara."
"Darimana kau mendengar dongeng ngayawara itu?"
"Bukan dongeng ngayawara. Aku mendengar dari para pelakunya yang telah menghancurkan sisa-sisa terakhir para pemimpin dari perguruan Kedung Jati pada waktu itu, kecuali seorang."
"Siapakah yang seorang itu?"
"Ki Sumangkar. Ia adalah kakek guru isteriku itu. Karena itu, maka isteriku adalah murid dari perguruan Kedung Jati."
Wajah kedua orang itu menjadi tegang. Orang yang berniat membawa Rara Wulan itupun berkata, "Omong kosong. Ternyata kalian adalah pembual-pembual yang memuakkan."
"Kami bukan pembual," sahut Rara Wulan, "nah, siapakah diantara kalian yang mengenal aliran Kedung Jati dalam olah kanuragan."
Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Sementara itu Rara Wulanpun berkata selanjutnya, "Jika ada diantara kalian yang mengenal aliran Kedung Jati yang sebenarnya, akan dapat melihat, apakah aku memiliki warisan ilmu dari perguruan itu atau tidak. Sekarang memang banyak orang yang mengaku murid-murid dari perguruan Kedung Jati. Tetapi mereka sebenarnya bukan murid-murid dari perguruan Kedung Jati yang sebenarnya. Bahkan sekarang ada orang yang mengaku, pemimpin dari perguruan Kedung Jati dan mencoba menghimpun orang-orang yang tidak mempunyai sikap pribadi untuk bergabung dengan perguruan Kedung Jati. Mereka terdiri para murid dari perguruan-perguruan kecik yang gagap menghadapi perkembangan ilmu kanuragan sekarang ini.
"Apa yang kau maksud dengan perguruan-perguruan kecik?" bertanya orang yang berniat membawa Rara Wulan.
"Perguruan-perguruan kecil. Mereka beramai-ramai bergabung dengan sekelompok orang yang menyebut dirinya murid-murid sejati dari perguruan Kedung Jati. Mungkin karena bujukan, harapan-harapan atau karna ancaman sehingga mereka menjadi ketakutan."
"Bohong," bentak kawannya, "aku mengenal unsur-unsur dari aliran perguruan Kedung Jati. Jika benar perempuan itu murid dari perguruan Kedung Jati, maka aku menantangnya agar ia dapat menunjukkannya."
"Baik," berkata Rara Wulan, "aku kan menunjukkan kepadamu, bahwa aku adalah murid dari perguruan Kedung Jati."
Keduanyapun kemudian telah bersiap, Rara Wulan telah menyingsingkan kain panjangnya, sehingga yang kemudian dikenakannya adalah pakaian khususnya.
Glagah Putih dan orang yang menyebut dirinya Alap-alap Kali Wedi itu justru menunda pertarungan mereka. Agaknya mereka ingin menyaksikan, apa yang akan terjadi pada Rara Wulan dan orang yang mengaku mengenal unsur-unsur gerak dari aliran perguruan Kedung Jati itu.
Demikianlah, maka keduanyapun segera terlibat dalam pertempuran. Keduanya bergerak semakin lama semakin cepat.
Rara Wulan dengan sengaja telah mempergunakan khusus unsur-unsur gerak yang diwarisinya dari Sekar Mirah. Ilmu yang temurun dari Ki Sumangkar, salah seorang pemimpin dari perguruan Kedung Jati.
Kawan orang yang mengaku bergelar Alap-alap Kali Wedi itu benar-benar terkejut. Rara Wulan telah mempergunakan unsur-unsur gerak aliran perguruan Kedung Jati dengan tataran yang tinggi.
Ketika ia mendesak lawannya, maka Rara Wulan itupun berkata, "Nah, kau yakin, bahwa aku adalah murid dari perguruan Kedung Jati?"
"Kau telah mencuri unsur-unsur gerak dari aliran perguruan Kedung Jati," geram orang itu.
Rara Wulan tertawa. Katanya, "Apa yang dapat aku curi dari orang-orang yang mengaku murid dari perguruan Kedung Jati" Kau misalnya. Kau masih seperti pemula yang baru mulai berguru di padepokan Kedung Jati."
"Anak iblis kau."
"Aku akui, bahwa kaupun telah mempergunakan unsur-unsur gerak dari perguruan Kedung Jati. Tetapi ternyata kau masih belum menguasai dasar ilmu perguruan Kedung Jati sepenuhnya. Dasarnya saja belum. Lalu apa yang kau andalkan, he."
Orang itu menghentakkan ilmunya. Tetapi ilmunya yang bersumber dari perguruan Kedung Jati memang masih terlalu rendah.
Ketika Rara Wulan mendesaknya, maka Rara Wulanpun segera melihat bahwa unsur-unsur yang kemudian muncul adalah sama sekali bukan unsur-unsur gerak dari perguruan Kedung Jati.
15 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Nah, sekarang kau akan membuka dirimu. Kau akan hadir dengan kenyataan tentang aliran yang kau kuasai."
"Persetan dengan aliran perguruan Kedung Jati. Aku memang tidak mempunyai hubungan dengan perguruan Kedung Jati."
"Persetan kau perempuan iblis," geram orang yang berniat membawa Rara Wulan dan bergelar Alap-alap Kali Wedi, "kami berdua akan membunuh kalian berdua."
"Kau akan ikut dalam permainan ini?" bertanya Glagah Putih.
"Aku akan membunuhmu, kawanku itu akan membunuh perempuan iblis itu."
"Marilah Alap-alap Kali Wedi. Akupun sudah siap untuk terjun dalam permainan yang agaknya akan sangat mengasyikkan ini."
"Persetan dengan kesombonganmu. Bersiaplah untuk mati."
Orang itupun segera meloncat menyerang Glagah Putih, sementara Rara Wulan masih bertempur melawan yang seorang lagi, yang akhirnya tidak lagi terikat kepada ilmu aliran perguruan Kedung Jati.
Namun Rara Wulanpun harus menjadi lebih berhati hati menghadapi lawannya yang menjadi lebih berbahaya itu.
Dengan demikian, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah terlibat dalam pertempuran yang sengit. Orang yang menyebut dirinya bergelar Alap-alap Kali Wedi itu berusaha untuk segera menunjukkan kelebihannya. Karena itu, maka iapun dengan cepat meningkatkan ilmunya.
Tetapi yang dihadapi adalah Glagah Putih yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Ilmu yang pernah disadapnya dari berbagai perguruan yang mampu dikuasainya dengan matang.
Karena itu, meskipun Alap-alap Kali Wedi itu semakin meningkatkan ilmunya, namun ia masih saja membentur kemampuan Glagah Putih yang selalu mampu mengimbanginya.
Sementara itu. Rara Wulan yang bertempur dengan kawan Alap-alap Kali Wedi itupun masih saja memamerkan kemampuannya menguasai ilmu dari aliran perguruan Kedung Jati pada tataran yang sangat tinggi.
Tetapi lawannya sudah melepaskan diri dari ikatan ilmu perguruan Kedung Jati. Sehingga iapun semakin lama menjadi semakin keras dan bahkan kasar.
Meskipun demikian, Rara Wulan sama sekali tidak dapat dikuasainya. Bahkan semakin lama orang itupun menjadi semakin terdesak. Serangan-serangan Rara Wulan menjadi semakin sering menembus pertahanannya, menyentuh tubuhnya.
"Iblis betina," geram orang itu, "kau jangan berbangga dengan kemenangan-kemenangan kecilmu. Aku benar-benar akan membunuhmu."
Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi sambil tersenyum iapun segera berloncatan menyerang.
Dalam keadaan yang semakin sulit, karena serangan-serangan Rara Wulan yang semakin menyakitinya, maka orang itupun segera menarik pedangnya.
"Aku akan segera mengakhiri kesombonganmu. Aku akan melumatkan tubuhmu."
Rara Wulan bergeser surut. Dengan tajamnya dipandanginya pedang di tangan lawannya itu. Pedang yang besar dan panjang. Daun pedangnya yang putih berkilau memantulkan cahaya matahari.
"Tidak ada pedang setajam pedangku," geram orang itu.
Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya, "Pedangmu memang pedang pilihan."
"Sentuhan tajam pedangku, mampu memotong lenganmu."
"Aku akan menjaga diri, agar tajam pedangmu tidak menyentuh tubuhku."
"Persetan kau iblis betina. Jangan menyesali nasibmu yang buruk. Kau akan mati di sini."
Dengan garangnya, orang itupun segera meloncat sambil mengayunkan pedangnya. Namun Rara Wulanpun dengan tangkasnya pula menghindarinya. Tubuhnya dengan ringannya seakan-akan terayun dibawa angin.
Namun Rara Wulan tidak membiarkan dirinya menjadi sasaran serangan lawannya yang datang seperti prahara. Pedangnya menusuk bertubi-tubi. Kemudian terayun mendatar menebas ke arah lehernya.
Karena itu, maka sejenak kemudian, Rara Wulanpun telah mengurai selendangnya.
"Apa yang kau lakukan?" bertanya lawannya dengan wajah yang tegang.
Rara Wulanpun kemudian berdiri tegak sambil memegangi kedua ujung selendangnya dengan kedua tangannya.
"Apa yang akan kau lakukan dengan selendangmu?" bertanya lawannya.
"Aku tidak akan menari disini," jawab Rara Wulan, "selendangku inilah senjataku."
"Gila. Kau jangan meremehkan pedangku. Kapuk randupun akan terpotong jika dihembus ke tajaman pedangku. Apalagi selendangmu. Dalam sekejap aku akan memotong selendangmu menjadi potongan-potongan kecil yang akan berhamburan di hembus angin."
"Aku tidak akan merelakan selendangku kau potong dengan pedangmu."
"Persetan. Ternyata waktumu memang sudah sampai." Orang itupun tidak lagi menunda-nunda serangannya. Dengan garangnya ia memutar pedangnya. Semakin lama menjadi semakin cepat. Kakinya berloncatan dengan mantap seirama dengan ayunan pedangnya.
Tetapi Rara Wulan bergerak lebih cepat lagi. Tubuhnya seakan-akan sama sekali tidak berbobot lagi. Loncatan-loncatannya menjadi semakin panjang, sedangkan tubuhnya itu kadang-kadang bagaikan mengambang.
Sementara itu, selendangnyapun berputaran. Kadang-kadang ujung-ujungnya seakan-akan melambainya. Namun tiba-tiba saja ujung selendang itupun mematuk seperti kepala seekor ular.
Ternyata lawannya segera mengalami kesulitan menghadapi selendang Rara Wulan. Ketika ujung selendang itu mematuk dan mengenai dadanya, maka orang itu terlempar beberapa langkah surut. Patukan ujung selendang itu rasa-rasanya bagaikan hentakan segumpal batu panas. Tulang-tulangnya terasa nyeri sekali.
Orang itu bahkan tidak mampu mempertahankan keseimbangannya sehingga iapun kemudian jatuh berguling di tanah.
Orang itu berniat segera bangkit berdiri. Tetapi ia harus menyeringai menahan sakit di bagian dalam dadanya.
Namun Rara Wulan tidak memanfaatkan kesempatan itu. Ia justru berdiri saja sambil tersenyum menyaksikan orang yang tertatih-tatih berdiri itu.
Orang yang kesakitan itupun kemudian menuding Rara Wulan dengan pedangnya sambil menggeram, "Kemampuanmu mempergunakan selendang sebagai senjata itu bukan kau warisi dari perguruan Kedung Jati."
"Ternyata pengenalanmu atas ilmu Kedung Jati baru pada dasarnya saja. Kau belum mengetahui beberapa jenis ilmu menggunakan berbagai macam senjata pada tataran ilmu yang tinggi pada perguruan Kedung Jati, Itulah sebabnya kau tidak tahu, bahwa beberapa orang murid perempuan terbaik dari Perguruan Kedung Jati menguasai ilmu ini."
Orang itu termangu-mangu sejenak, ia menjadi ragu apakah yang dikatakan perempuan itu benar atau sekedar membodohinya saja.
Dalam pada itu. orang yang bertempur melawan Glagah Putihpun harus melihat kenyataan pula. Orang yang menyebut dirinya Alap-alap Kali Wedi itu merasa tidak akan mampu mengimbangi ilmu lawannya yang masih terhitung muda itu.
Terngiang kembali peringatan yang diberikan oleh kawannya bahwa pada suatu saat ia akan mengalami kesulitan dengan perhatiannya yang berlebihan terhadap perempuan.
Sebenarnyalah bahwa ia telah mengalaminya. Perempuan yang ditemuinya di pasar itu merupakan tusukan duri yang langsung mengenai jantungnya.
Karena itu. maka orang itu tidak akan mampu berlahan lebih lama lagi. Jika ia memaksa diri untuk bertempur terus, maka ia akan benar-benar mati seperti yang dikatakan oleh lawannya.
Dengan demikian, maka orang itupun telah memilih untuk menghindar dari pertarungan itu.
Ketika ia melihat kawannya juga berada dalam kesulitan, maka orang itupun segera memberikan isyarat untuk menyingkir dari arena pertarungan itu.
Demikian terdengar suitan nyaring, maka lawan Rara Wulan itupun segera meloncat berlari menuju ke pebukitan berbatu padas. Demikian pula orang yang mengaku Alap-alap Kali Wedi itu. Iapun segera berlari menjauhi Glagah Putih.
Namun dalam pada itu, Glagah Putih terkejut melihat sikap Rara Wulan yang berdiri tegak sambil menyilangkan tangannya di dadanya, menyentuh simpul-simpul syarafnya di bahunya.
"Rara," teriak Glagah Putih.
Tetapi terlambat, Rara Wulan telah menjulurkan tangannya, sehingga seleret sinar meluncur dari ujung-ujung jarinya yang terjulur.
Glagah Putih menjadi tegang. Ia mengira bahwa kemarahan Rara Wulan tidak terkendali lagi, sehingga ia berniat melumatkan lawannya yang telah merendahkan martabatnya sebagai seorang perempuan.
Tetapi ternyata Rara Wulan tidak membidik lawannya. Serangannya meluncur setapak di atas kepala orang yang berlari memanjat lereng bukit berbatu padas itu.
Ketika serangan Rara Wulan itu membentur tebing, maka terdengar sebuah ledakkan seperti suara guruh di langit. Batu-batu padaspun pecah berhamburan meluncur dari tebing pebukitan itu.
Kedua orang yang sedang berlari memanjat tebing itu terkejut bukan buatan. Sementara itu, mereka tidak mempunyi waktu untuk berbuat sesuatu. Batu-batu padas itu meluncur, menghanyutkan mereka kembali turun dari tebing. Bahkan sebagian dari tubuh merekapun telah tertimbun oleh batu-batu padas yang runtuh itu.
Terdengar Rara Wulan tertawa. Sementara Glagah Putih menarik nafas panjang.
"Aku kira kau menjadi mata gelap, Rara."
Rara Wulan itupun kemudian melangkah mendekati kedua orang yang sedang berusaha membebaskan dirinya dari timbunan reruntuhan yang menimbun kaki mereka.
Glagah Putihlah yang mendekati mereka dan bahkan membantu mereka keluar dari timbunan reruntuhan batu-batu padas itu.
"Nah," berkata Rara Wulan, "kau sudah melihat lengkap. Dari dasarnya sampai ke puncaknya. Itulah ilmu yang bersumber dari aliran Perguruan Kedung Jati yang sebenarnya. Aku tahu bahwa sekarang ada orang yang sekedar main-main dengan nama perguruan Kedung Jati. Tetapi mereka akan segera disapu bersih oleh murid-murid Kedung Jati yang sebenarnya, yang telah memahami peristiwa demi peristiwa yang terjadi di Jipang, Pajang dan kemudian Mataram. Jika kemudian perguruan Kedung Jati akan bangkit lagi, maka tentu akan terjadi perubahan arah dan sasaran perjuangannya. Aku tidak menyalahkan apa yang telah dilakukan oleh para pemimpin terdahulu, karena Ki Patih Mantahun itu memang Pepatih dari Kadipaten Jipang. Demikian pula Macan Kepatihan. Tetapi yang dilakukan oleh orang yang mengaku pemimpin dari perguruan Kedung Jati yang sekarang ternyata hanya mengada-ada saja."
Kedua orang itu tidak menjawab. Namun wajah mereka menjadi sangat tegang.
"Pergilah," berkata Rara Wulan kemudian, "cepat pergilah, sebelum aku berubah pikiran."
Kedua orang itupun nampak menjadi ragu-ragu. Jika mereka pergi, maka punggungnya akan dapat menjadi sasaran bidik perempuan yang garang itu.
Namun Glagah Putih seakan-akan dapat membaca pikiran kedua orang itu, sehingga karena itu, maka iapun berkata, "Ki Sanak. Pergilah. Isteriku tidak akan menyerang kalian dari belakang. Jika ia ingin membunuh kalian, maka ia dapat menyerang dari arah manapun, sehingga tidak perlu membohongi kalian agar dapat menyerang kalian dari belakang."
Kedua orang itu masih termangu-mangu sejenak. Baru kemudian sadar sepenuhnya akan keadaan mereka, ketika Rara Wulan berkata lantang, "Cepat pergi. Atau kalian masih akan menantang kami lagi."
Dengan tergesa-gesa keduanyapun segera meninggalkan tempat itu. Merekapun kemudian berjalan diatas reruntuhan tebing berbatu padas. Beberapa saat kemudian, merekapun turun ke jalan setapak yang melintasi salah satu puncak pebukitan itu dan turun ke seberang, sehingga beberapa saat kemudian, keduanya sudah menghilang di balik salah satu bukit di deretan pebukitan yang memanjang ke Timur itu.
Demikian mereka hilang, maka Glagah Putihpun berkata, "Aku sudah cemas, bahwa kau tidak dapat meredam kemarahanmu."
"Aku hanya ingin membuat cerita diantara orang-orang yang mengaku murid perguruan Kedung Jati itu. Biarlah mereka bercerita yang satu kepada yang lain, bahwa apa yang mereka saksikan dari para pemimpin yang mengaku murid-murid Perguruan Kedung Jati itu masih ada yang setidak-tidaknya mengimbangi, yang juga mengaku bersumber dari Perguruan Kedung Jati."
Glagah Putihpun tertawa pula. Katanya, "Nampaknya kau sangat asyik dengan permainanmu itu."
"Ya. Ccriteranya tentu akan sangat menarik bagi orang orang yang mengaku murid dari Perguruan Kedung Jati. Merekapun tentu akan membayangkan, jika salah seorang muridnya saja dapat berbuat seperti itu, lalu bagaimana dengan seorang perempuan yang memegang tongkat pertanda kepemimpinan Perguruan Kedung Jati."
"Aku mengerti."
"Nah, sekarang kita pergi ke mana ?"
"Kita akan meneruskan perjalanan kita ke Jati Anom." Rara Wulan nampak termangu-mangu sehingga Glagah Putihpun bertanya, "Agaknya masih ada yang kau pikirkan."
"Sebenarnya aku ingin melihat sarang orang-orang itu."
"Apakah itu perlu?"
"Baiklah. Kita melanjutkan perjalanan saja ke Jati Anom."
"Kita akan singgah di barak kakang Untara. Kita akan memberi tahukan kepadanya tentang beberapa orang yang nampaknya sedang mengamati daerah Prambanan untuk menjadi landasan kekuatan Ki Saba Lintang."
Rara Wulan mengangguk-angguk. Tetapi kemudian iapun bergumam, "Setelah peristiwa ini, agaknya mereka akan berpikir ulang untuk mengadakan pemusatan kekuatan di Prambanan sebagai kekuatan yang berada disisi Timur Mataram. Di sebelah Timur maupun di sebelah Barat Kali OPak."
"Ya. Meskipun demikian, sebaiknya kakang Untara mengetahuinya. Meskipun mungkin kakang Untara tidak menggerakkan pasukannya, setidak-tidaknya ia dapat mengirimkan petugas-petugas sandinya. Bahkan mungkin sudah ada orang lain yang mempunyai tugas pengamanan di daerah ini. Kakang Untara tentu akan menghubungi mereka."
Keduanyapun kemudian meneruskan perjalanan mereka ke Jati Anom. Mereka harus berjalan kembali menjauhi pebukitan itu, turun ke jalan yang lebih ramai menuju, ke arah Timur.
Mereka berharap bahwa di sore hari mereka sudah akan sampai ke Jati Anom.
Ternyata di perjalanan selanjutnya mereka tidak mengalami hambatan lagi.
Ketika matahari turun, maka merekapun sudah menjadi semakin dekat. Lewat jalan pintas, maka jaraknya menjadi terasa semakin dekat, meskipun kadang-kadang mereka harus melintas di jalan-jalan setapak yang rumit. Kadang-kadang memanjat tebing. Kemudian menuruni jurang yang curam.
Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan yang sudah berpengalaman menempuh pengembaraan, maka jalan yang sulit itu tidak menjadi masalah bagi mereka.
Dengan demikian, maka ketika matahari menjadi semakin rendah, maka Glagah Putih dan Rara Wulan sudah berada di jalan di luar padukuhan Banyu Asri.
Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan mengetahui, bahwa Ki Widura tentu tidak berada di Banyu Asri, tetapi berada di sebuah padepokan kecil peninggalan Kiai Gringsing. Karena itu, maka Glagah Putih dan Rara Wulan itu tidak berhenti di Banyu Asri.
Namun karena perjalanan mereka akan lewat dekat di barak pasukan yang dipimpin Untara, maka mereka akan singgah lebih dahulu di rumah Untara.
Kedatangan Glagah Putih dan Rara Wulan di rumah Untara itu memang agak mengejutkan. Untara yang sudah.berada di rumah segera menemui mereka bersama Nyi Untara.
"Bukankah kalian baik-baik saja?" bertanya Untara, "bagaimana dengan keluarga di Tanah Perdikan Menoreh?"
"Kami dan keluarga yang kami tinggalkan baik-baik saja, kakang. Bukankah kakang, mbokayu dan seluruh keluarga juga baik-baik saja?"
Untara mengangguk-angguk sambil menjawab, "Kami juga baik-baik saja Glagah Pulih."
"Kakang," berkata Glagah Putih kemudian, "kali ini aku hanya sekedar singgah. Aku harus mengembara lagi mengemban kewajiban. Kali ini aku membawa beban tugas dari Ki Patih Mandaraka yang sedang sakit, serta Kanjeng Pangeran Purbaya."
"Masih dalam hubungannya dengan tongkat baja putih itu?"
"Ya, kakang. Meskipun dengan cara yang agak berbeda." Glagah Putihpun kemudian telah menceritakan kepada Untara tugas yang sedang diembannya.
Ki Untara dan Nyi Untara mendengarkannya dengan sungguh-sungguh. Demikian Glagah Putih selesai, maka Ki Untarapun berkata, "Tugasmu cukup berat, Glagah Putih."
"Tetapi tugas ini lebih jelas bagi kami, kakang. Sebelumnya kami telah gagal mengemban perintah untuk membawa tongkat baja putih yang berada di tangan Ki Saba Lintang ke Mataram."
"Tetapi kau tidak dapat dianggap bersalah, Glagah Putih," sahut Untara, "siapapun yang mengemban tugas itu, kecil sekali kemungkinannya untuk dapat berhasil. Tugas yang sekarang kau lakukan, memang lebih nyata dihadapan kalian, sehingga bagi kalian, tugas itu tentu akan terasa lebih mungkin kalian lakukan. Tetapi aku berpesan kepadamu, berhati-hatilah. Kalian jangan terlalu percaya akan kemampuan kalian yang tinggi, karena di muka bumi ini, termasuk bumi Mataram, bertebaran orang-orang berilmu tinggi. Yang tinggi masih ada yang lebih tinggi lagi."
"Ya kakang." "Hindari persoalan-persoalan yang tidak perlu dan tidak ada hubungannya dengan tugasmu itu."
"Ya, kakang." Pembicaraan merekapun terputus ketika seorang pembantu di rumah Ki Untara itu menghidangkan minuman hangat serta beberapa potong makanan.
Dalam kesempatan itu, Glagah Putihpun sempat pula melaporkan peristiwa yang terjadi di Prambanan. Di sebelah Timur Kali Opak.
"Nampaknya mereka sedang menjajagi kemungkinan pemusatan kekuatan di Prambanan untuk menusuk Mataram dari arah Timur. Tetapi mereka menyadari, bahwa Kali Opak merupakan benteng yang sangat kokoh bagi Mataram. Karena itu agaknya mereka akan membangun landasan itu di sebelah Barat Kali Opak.
"Nampaknya mereka akan membangun landasan sebagaimana pernah dilakukan oleh Macan Kepatihan di Sangkal Pulung," sahut Ki Untara.
"Segala sesuatunya terserah kepada kakang Untara."
"Baiklah. Aku akan berhubungan dengan Ki Rangga Wirabaya di Kademangan Taji, Ki Rangga berada di Taji dengan pasukannya, yang meskipun tidak begitu banyak, tetapi cukup memadai. Jika ia mengalami kesulitan, ia tentu akan menghubungi aku disini."
"Silahkan, kakang. Mudah-mudahan segala sesuatunya akan dapat diatasi."
"Terima kasih atas keteranganmu, Glagah Putih."
Dalam pada itu, Nyi Untarapun kemudian menyela, "Silahkan adi berdua. Mumpung minuman masih hangat."
"Terima kasih mbokayu."
Namun Glagah Putih dan Rara Wulan tidak terlalu lama berada di rumah Untara. Merekapun kemudian minta diri untuk pergi ke padepokan, menemui Ki Widura.
"Paman sehat-sehat saja, Glagah Putih," berkata Untara, "baru kemarin aku singgah di padepokannya. Paman telah memperluas padepokan itu dengan beberapa bangunan lagi. Semakin lama semakin banyak anak-anak muda yang ingin tinggal di padepokan itu. Namun paman memperhatikan anak-anak muda yang berasal dari padukuhan-padukuhan yang berdekatan saja, meskipun juga melalui penyaringan dengan pendadaran. Bukan saja keutuhan tubuh, ketajaman panggraita, kekuatan, ketrampilan wadag, tetapi juga ketangkasan berpikir, kecerdasan dan kesegaran gagasan-gagasannya. Dengan demikian, murid-murid paman yang meski terhitung sedikit, tetapi mereka benar-benar anak-anak muda pilihan. Sementara itu murid-murid yang terhitung sudah tuntas, ada pula yang segan meninggalkan padepokan itu. Mereka lebih senang tinggal di padepokan. Tetapi mereka menguntungkan pula bagi paman, karena mereka dapat membantu paman, memberikan latihan-latihan kepada adik-adik seperguruan mereka.
"Sokurlah jika padepokan itu dapat berkembang, kakang."
"Sebagai seorang bekas prajurit, maka paman adalah seorang pemimpin perguruan yang baik, yang mengetrapkan tatanan dan paugeran dengan mantap."
Ceritera Ki Untara itu justru membuat Glagah Putih dan Rara Wulan semakin ingin segera melihat perkembangan padepokan kecil peninggalan Kiai Gringsing itu.
Beberapa saat kemudian, maka Glagah Putih dan Rara Wulan telah minta diri.
"Kenapa tergesa-gesa adi?" bertanya Nyi Untara, "bukankah kalian tidak dibatasi waktu yang sempit, sehingga kalian dapat menginap disini barang satu dua hari."
"Terima kasih, mbokayu," jawab Glagah Putih, "rasa-rasanya aku ingin segera melihat padepokan kecil itu."
Ki Untara dan Nyi Untara tidak dapat menahan mereka lebih lama lagi.
Karena itu, maka sejenak kemudian, Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah meninggalkan rumah Ki Untara. Namun demikian mereka turun ke halaman, mereka melihat seorang remaja yang melarikan seekor kuda keluar dari regol halaman. Demikian tangkasnya sehingga Glagah Putih dan Rara Wulan berhenti sejenak sambil mengaguminya.
"Tole memang nakal sekali, adi," berkata Nyi Untara.
"Seharusnya ia ikut menemui pamannya," sahut Ki Untara.
"Ia akan menjadi seorang anak muda pilihan," desis Rara Wulan.
"Ia agak malas adi," berkata Nyi Untara, "tetapi ia memang gemar bermain-main dengan kuda."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun mengangguk-angguk. Dengan nada dalam Glagah Putih berkata, "Pada suatu saat aku ingin bertemu dan mengenal anak itu lebih jauh."
"Ia memang memerlukan seseorang yang dapat menemaninya secara khusus."
"Kakang sendiri?"
"Tidak lama lagi, aku akan mengundurkan diri dari lingkungan keprajuritan karena umurku yang sudah semakin tua. Mudah-mudahan aku dapat menjadi teman yang baik bagi anakku yang nakal itu."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun kemudian telah keluar pula dari regol halaman rumah Untara dan turun ke jalan. Untara dan isterinya melepas mereka sampai keluar regol.
Demikianlah keduanyapun melanjutkan perjalanan mereka ke padepokan kecil di Jati Anom itu.
Kedatangan Glagah Putih dan Rara Wulan telah disambut dengan ceria oleh Ki Widura serta beberapa orang cantrik yang telah mengenal Glagah Putih dan Rara Wulan. Keduanyapun kemudian dipersilahkan duduk di pringgitan bangunan utama padepokan di Jati Anom itu.
"Aku menjadi seperti tamu saja, ayah," desis Glagah Putih.
"Kalian berdua memang tamu di padepokan ini," sahut Ki Widura.
Glagah Putih dan Rara Wulan itupun tertawa.
"Sudah agak lama kau tidak kemari," berkata Ki Widura.
"Ya, ayah. Kami belum lama pulang dari pengembaraan kami."
"Sekarang kau agaknya mempunyai waktu luang untuk tinggal di padepokan ini."
"Tidak. ayah. Kami sekarang justru sedang berangkat."
"Berangkat" Kalian akan pergi kemana lagi?"
Glagah Putih tersenyum. Katanya, "kami akan melanjutkan tugas yang belum dapat kami selesaikan. Namun bentuknya agak berbeda."
Ki Widurapun mengangguk-angguk. Namun sebelum ia menanyakan tugas yang akan diemban oleh Glagah Putih dan isterinya Ki Widura sempat mempertanyakan keadaan keluarga di Tanah Perdikan Menoreh.
"Semuanya baik-baik saja ayah."
"Sokurlah. Sebenarnya sekali-kali aku juga ingin mengunjungi Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi rasa-rasanya aku sulit mencari waktu untuk meninggalkan padepokan kecil ini."
"Bukankah padepokan ini tidak dibayangi oleh sikap permusuhan dari pihak manapun juga?"
"Tidak, Glagah Putih. Sampai saat ini, keadaan padepokanku ini tenang-tenang saja. Sebagaimana saat Kiai Gringsing masih ada disini."
Glagah Putih dan Rara Wulanpun mengangguk-angguk. Dalam pada itu, seorang cantrik telah menghidangkan minuman dan makanan bagi Glagah Putih dan Rara Wulan.
"Minumlah," berkata Ki Widura.
"Baik ayah. Tetapi kami baru saja minum di rumah kakang Untara."
"Kau sudah singgah di rumah kakangmu Untara?"
"Ya ayah. Ada sesuatu yang aku sampaikan kepada kakang Untara."
"Apa saja. Ada hubungan dengan tugasmu?" Glagah Putih mengangguk kecil.
Namun Glagah Putih dan Rara Wulan itupun meneguk minuman hangatnya pula. Kemudian Glagah Putihpun telah menceritakan tentang tugas yang diembannya serta perjumpaannya dengan orang-orang yang sedang mengamati keadaan di Prambanan.
"Agaknya mereka adalah orang-orang yang mengaku murid-murid perguruan Kedung Jati itu ayah."
Ki Widura menarik nafas panjang. Sambil mengangguk-angguk ia-pun berkata, "Kami memang sedang memikirkan usaha orang-orang dari perguruan Kedung Jati itu. Kami sudah mendengar, bahwa perguruan Kedung Jati sedang menghimpun kekuatan. Mereka telah berusaha untuk mendapatkan pengikut yang jumlahnya tidak terbatas. Beberapa padepokan dan bahkan gerombolan telah dihirup ke dalam lingkungannya.
"Apakah ada orang-orang yang mengaku murid-murid dari perguruan Kedung Jati itu datang kemari?"
"Belum. Sampai saat ini belum. Aku tidak tahu apakah mereka tahu, bahwa aku adalah ayahmu. Paman dari Untara di Jati Anom dan Agung Sedayu di Tanah Perdikan Menoreh."
"Mungkin mereka sudah tahu. Jika demikian, paman harus berhati-hati. Ada diantara mereka yang berada di Prambanan."
Ki Widura itupun mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, "Jika aku menghadapi persoalan yang besar, maka aku akan menghubungi Angger Untara. Aku kira orang-orang dari perguruan Kedung Jati itu harus berpikir dua kali untuk mengganggu padepokan ini. Meskipun padepokan ini kecil, tetapi kami tidak begitu jauh dari satu kesatuan prajurit yang kuat."
"Sokurlah," berkata Glagah Putih, "tadi kakang Untara juga mengatakan, bahwa ia baru saja mengunjungi paman disini."
"Ya. Kemarin Untara sempat datang kemari melihat-lihat keadaan padepokan ini."
"Menurut Kakang Untara, terdapat beberapa bangunan baru di padepokan ini, ayah."
Ki widura tersenyum. Katanya, "Ya Ada beberapa bangunan baru. Beberapa orang cantrik berada di barak yang terlalu sempit, sehingga bagi mereka perlu dibuat barak-barak baru. Aku juga memperluas sanggar terbuka. Ada beberapa orang cantrik baru yang memerlukan penanganan yang khusus."
"Nampaknya ayah memang harus melakukannya sejalan dengan pemekaran padepokan ini."
"Tetapi tentu saja dengan sangat terbatas. Aku harus tetap menyesuaikan dengan pendukung yang ada bagi padepokan ini. Meskipun aku sudah mendapat izin dari Ki Demang untuk membuka lingkungan baru di Padang Perdu sebelah Untara itu, tetapi sampai hari ini, kami masih belum sempat memanfaatkannya. Kami masih mengamati lingkungan itu. Kamipun masih harus menjajagi kemungkinan darimana kami mengangkat air serta membuat parit untuk mengairi tanah itu."
"Pada suatu saat, ayah akan mendapatkannya."
"Ya. Mudah-mudahan. Tetapi gambaran untuk itu sudah semakin nampak."
"Semoga ayah. Dengan demikian maka padepokan ini akan menjadi semakin berkembang meskipun dalam keterbatasan."
Setelah berbincang beberapa lama maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah mendapat kesempatan untuk melihat-lihat isi padepokan Ki Widura yang memang sudah berkembang. Keduanyapun sepakat, bahwa mereka akan berada di padepokan itu satu dua hari sebelum mereka mulai dengan pengembaraan mereka.
Selama di padepokan, Glagah Putih dan Rara Wulan sempat melihat lingkungan yang mendukung keberadaan padepokan itu. Sudah beberapa kali ia melihat sawah dan pategalan. Namun Glagah Putih dan Rara Wulan menyempatkan diri untuk melihat padang perdu yang oleh Ki Demang telah diserahkan kepada Ki Widura untuk memperluas lingkungan pendukung padepokan kecilnya.
Dua orang murid yang sudah cukup lama berada di padepokan itu, serta telah mengenal dengan baik Glagah Putih dan Rara Wulan, menemani mereka melihat-lihat lingkungan sekitar padepokan itu termasuk padang perdu serta sungai yang mengalir tidak jauh dari padang perdu itu.
"Air dari sungai inilah yang akan diangkat oleh Ki Widura," berkata salah seorang dari kedua orang murid itu.
"Ya. Agaknya memang mungkin sekali. Tetapi diperlukan kerja yang berat untuk membuat bendungan," sahut Glagah Putih.
"Ada rumpun-rumpun bambu di padang perdu itu." berkata Rara Wulan, "sehingga akan dapat dibuat banyak sekali brunjung, yang tinggal mengisi bebatuan."
Glagah Putih tersenyum. Katanya, "Memang tinggal mengisi bebatuan. Tetapi bebatuan itu harus dikumpulkan. Meskipun di sungai ini banyak batu, tetapi diperlukan tenaga yang besar untuk mengumpulkan batu-batu itu dan memasukkannya ke dalam brunjung. Jika perlu batu-batu yang besar itu harus dipecah lebih dahulu sebelum dimasukkan ke dalam brunjung."
Rara Wulanpun tersenyum pula. Katanya, "Ya. Batu-batu itu tidak mau berkumpul sendiri."
Yang lainpun tertawa pula.
Namun menurut pendapat mereka, bendungan itu memang mungkin untuk dibuat diatas tikungan sungai itu.
Sementara itu. parit-paritpun dapat digali sementara bendungan di buat.
Tetapi untuk melakukannya, memang diperlukan kerja yang besar. Kerja keras dan memerlukan waktu yang cukup lama. Sementara itu, jumlah penghuni padepokan itu sangat terbatas.
Tetapi Glagah Putihpun berkata kepada kedua orang murid padepokan itu, "Apakah ayah tidak berhubungan dengan penghuni padukuhan disebelah bulak itu. Jika air terangkat maka dapat dibuat parit induk yang melintasi sawah dan pategalan padepokan, langsung mengalir di bulak persawahan milik penghuni padukuhan disebe'ah timur bulak itu."
"Maksud kakang, sebagian airnya di pergunakan untuk mengairi sawah di bulak sebelah?"
"Ya." "Sudah ada parit yang mengalirkan air ke bulak itu."
"Tetapi agaknya airnya kurang mencukupi. Jika ditambah dengan air yang naik dari sungai itu, maka bulak itu tidak akan kekurangan air, meskipun di musim kering sekalipun."
Kedua orang murid padepokan itu mengangguk-angguk. Seorang diantaranya berkata, "Dengan demikian kita dapat bekerja sama dengan orang-orang padukuhan itu."
Rara Wulanlah yang kemudian menyahut, "Aku kira orang-orang dari padukuhan itupun akan merasa senang pula. Mungkin di lingkungan mereka masih terdapat sawah tadah udan. Jika air dari sungai itu naik, maka sawah itu akan dapat ditanami padi sepanjang tahun."
"Ya," seorang di antara kedua orang murid padepokan itu menyahut, "setahun akan dapat panen dua kali."
Seorang yang lainpun berkata, "Jika kakang dapat berbicara dengan Ki Widura. Kami berdua bersedia untuk menghubungi Ki Bekel di padukuhan sebelah bulak itu. Kami sudah mengenal Ki Bekel dengan baik. Apalagi Ki Bekel di padukuhan itu masih terhitung muda, sehingga masih banyak yang ingin dilakukannya bagi padukuhannya."
"Baik. Biarlah nanti aku berbicara dengan ayah." Keduanyapun kemudian telah turun pula ke sungai, serta menyusuri sungai itu naik sampai ke dekat hutan yang lebat itu.
"Jangan melewati kedung di lekuk sungai itu," berkata seorang di antara kedua orang murid yang menyertainya itu.
"Kenapa?" "Di Kedung itu terdapat beberapa ekor buaya. Sedangkan ditebingnya, diantara gerumbul-gerumbul yang tumbuh di sela-sela batu padas itu, terdapat banyak sekali ular."
"Ular?" "Ya. Bahkan di goa yang terdapat di sebelah tikungan, yang dari dalamnya mengalir sungai yang tumpah ke dalam sungai ini. merupakan sarang ular yang jumlahnya tidak dapat dihitung. Menurut kepercayaan orang, di goa itu selain terdapat ribuan ular berbisa, terdapat pula seekor raja ular. Dikepalanya dikenakan mahkota serta mengenakan jamang dan sumping yang berkilauan."
Glagah Putih mengangguk-angguk, sementara Rara Wulan bertanya, "Apakah ada orang yang pernah sampai kegoa itu?"
"Entahlah, tetapi sekarang tidak ada orang yang berani mencobanya memasuki goa itu."
"Goa sarang ular," desis Rara Wulan.
"Ya. Goa susuhing sarpa," desis Glagah Putih pula.
Tetapi keduanyapun kemudian hanya mengangguk-angguk saja. Namun Rara Wulanpun bertanya, "apakah buaya atau ular-ular berbisa itu tidak sering turun mengikuti arus sungai ini?"
"Satu dua saja yang pernah terjadi."
"Jika demikian, apabila kita akan membuat bendungan, kita harus berhati-hati terhadap ular berbisa. Kita tidak terlalu cemas terhadap buaya yang agaknya akan lebih senang tinggal di kedung yang nampaknya cukup dalam itu daripada menyusuri sungai yang lebih dangkal."
"Ya. Tetapi orang-orang juga pernah menceriterakan, bahwa pernah terjadi perkelahian antara seekor ular raksasa melawan seekor buaya yang besar. Perkelahian antara hidup dan mati."
"Tentu merupakan perkelahian yang mengerikan."
"Ya. Tetapi ternyata bahwa setia kawan diantara buaya-buaya itu lebih tinggi daripada ular. Karena itu perkelahian ditepi kedung itupun telah mengundang beberapa ekor buaya yang lain untuk naik ke tepian berpasir. Ular raksasa itu akhirnya dikeroyok oleh beberapa ekor buaya buas yang besar-besar, sehingga akhirnya ular itupun tidak mampu lagi mempertahankan hidupnya. Ular itu telah diseret oleh beberapa ekor buaya ke dalam kedung. Namun seekor buaya yang perlama kali bertarung melawan ular raksasa itu ternyata juga tewas."
Glagah Pulih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Mereka juga pernah mendengar ceritera seperti itu di tempat yang lain. Agaknya ular-ular raksasa itu merupakan musuh bebuyutan dari buaya-buaya yang buas yang tinggal di kedung-kedung yang dalam.
"Apakah yang menjadi mangsa buaya-buaya itu?" bertanya Rara Wulan.
"Buaya-buaya itu menunggu di tepian. Mereka membenamkan diri diantara selangkrah dan kayu-kayu lapuk yang mengambang. Jika beberapa ekor binatang di hutan itu haus diterik panasnya siang hari, maka buaya-buaya itu berusaha untuk menangkap mereka. Dengan cepat buaya itu menerkam seekor kijang. Sebelum kijang itu menyadari apa yang terjadi, maka kakinya telah berada di mulut buaya sehingga tidak mampu lagi melepaskan diri. Kijang yang malang itupun kemudian diseret masuk ke dalam kedung itu."
Glagah Putih dan Rara Wulan yang pernah menjalani laku tapa ngidang, hidup didalam hutan sebagaimana binatang-binatang hutan itu menarik nafas panjang.
Hutan rimba adalah medan pergulatan dari putaran kehidupannya yang lemah akan menjadi mangsa yang kuat tanpa ampun.
Tetapi apa yang pernah dilihat oleh Glagah Putih dan Rara Wulan dalam pengembaraannya, maka lingkungan kehidupan manusiapun tidak ubahnya dengan rimba raya yang paling garang. Ternyata manusiapun banyak yang berperi laku seperti penghuni rimba raya itu. Yang lemah menjadi mangsa yang kuat tanpa ampun.
Namun agaknya masih ada juga manusia yang mau mendengarkan suara nuraninya. Manusia yang masih menyadari kemanusiaannya. Tetapi jumlahnya semakin lama menjadi semakin menyusut. Yang lebih banyak adalah justru mereka yang dengan senang hati menirukan laku penghuni rimba raya, yang menganggap yang lemah itu sah-sah saja menjadi mangsa yang lebih kuat.
Demikianlah, beberapa saat kemudian, merekapun telah beringsut dari tempatnya. Sambil berjalan Glagah Putihpun berkata, "Jika dibuat bendungan, maka diatas bendungan itupun akan terjadi genangan air yang cukup luas seperti sebuah kedung. Nah, jika ada anak buaya yang tersesat, maka bendungan itu akan dapat juga menjadi sarang buaya.
Kedua orang cantrik itupun mengangguk-angguk.
"Harus dibuat susukan induk yang cukup dalam sehingga pada saat-saat tertentu, gejliknya dapat dibuat untuk mengalirkan air di bendungan itu, sehingga air di bendungan itu menjadi hampir kering. Jika setiap kali dilakukan, maka tidak seekor buayapun yang sempat tumbuh dan menjadi besar di bendungan. Itulah bedanya Kedung itu tidak akan dapat dikeringkan airnya, kecuali dapat disudet dan dialirkan ke sungai lain."
"Itu akan makan tenaga yang sangat besar," sahut Rara Wulan.
"Tenaga dan waktu."
Ternyata kedua orang cantrik itu menjadi sangat tertarik kepada gagasan Glagah Putih dan Rara Wulan. Orang-orang dari padukuhan yang juga akan mendapat aliran air tentu bersedia membantu menaikkah air dari sungai itu untuk mengairi padang perdu yang akan dibuka menjadi tanah persawahan.
Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan hanya dapat meninggalkan gagasan itu. Mereka tidak akan sempat ikut menyusun dan melaksanakan seandainya gagasan itu akan diwujudkan.
Dihari berikutnya, Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah mempersiapkan diri untuk mulai menempuh perjalanan yang panjang.
Esok pagi-pagi, keduanya akan berangkat melakukan pengembaraan mengemban tugas yang dibebankan di pundak mereka. Beban tugas yang cukup berat.
Ketika malam turun, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun duduk di pringgitan bangunan induk padepokan kecil itu bersama Ki Widura Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah menyatakan niatnya untuk berangkat esok pagi-pagi sekali.
"Kenapa begitu tergesa-gesa. Kau dapat beristirahat disini barang sepekan. Baru kau berangkat melakukan tugasmu itu. Mungkin kau masih akan bertemu lagi dengan kakangmu Untara atau dengan kakangmu Swandaru di Sangkal Putung."
"Tidak ayah," jawab Glagah Putih, "aku sudah tidak akan bertemu kakang Untara lagi sebelum aku berangkat. Ketika aku singgah, aku sudah sekaligus minta diri. Sementara itu, akupun masih belum berniat singgah di Sangkal Putung untuk bertemu dengan kakang Swandaru. Mungkin pada kesempatan lain."
"Baiklah Glagah Putih dan Rara Wulan. Hati-hatilah di perjalanan. Kalian sudah bukan anak-anak lagi yang hanya menuruti keinginan saja. Tetapi segala sesuatunya harus diperhitungkan masak-masak."
"Ya, ayah," jawab Glagah Putih.
Ki Widura masih memberikan beberapa pesan lagi kepada anak dan menantunya. Namun ketika malam sudah menjadi semakin larut, Ki Widura itupun kemudian berkata, "Beristirahatlah. BesokK kalian akan berangkat pagi-pagi sekali."
Keduanyapun kemudian pergi ke bilik mereka. Keduanyapun segera berbaring. Mereka harus menyimpan tenaga mereka baik-baik. karena esok harus mulai dengan perjalanan mereka.
Sebenarnyalah, selagi langit masih hitam keduanya sudah bangun. Bergantian mereka pergi ke pakiwan. Kemudian merekapun berbenah diri. Mereka telah mempersiapkan diri untuk menempuh perjalanan yang panjang. Tidak hanya sehari dua hari, tetapi berhari-hari.
Sebelum matahari terbit, maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun telah siap untuk berangkat.
Ki Widura dan para cantrikpun ternyata telah berbenah diri pula. Sebelum berangkat, maka Glagah Putih dan Rara Wulan masih sempat, minum-minuman hangat serta makan nasi yang masih mengepul dengan pepes udang dan sayur lembayung.
Ketika kemudian mereka meninggalkan padepokan itu maka Ki Widura dan para cantrikpun telah melepas mereka sampai dipintu gerbang padepokan.
Ki Widura yang masih saja berdiri di pinggir jalan itu menarik nafas panjang. Ia masih saja memandangi Glagah Putih dan Rara Wulan yang akan menempuh perjalanan yang sangat panjang. Bahkan dalam mengemban tugasnya, mereka harus mempertaruhkan apa saja yang ada pada mereka, termasuk nyawanya.
"Semoga Yang Maha Agung membimbing perjalanan mereka," gumam Widura yang hanya didengarnya sendiri.
Glagah Putih dan Rara Wulanpun melangkahkan kakinya didinginnya udara pagi. Kabut yang keputih-putihan masih nampqk mengaburkan pandangan. Titik-titik embun yang bergayutan di dedaunan satu-satu menetes diatas rerumputan.
Glagah Putih dan Rara Wulan melangkah terus, menembus kabut, sehingga beberapa puluh langkah dari pintu gerbang padepokan, keduanya sudah menjadi kabur.
Namun baru ketika keduanya hilang ditikungan Ki Widurapun melangkah masuk ke pintu gerbang padukuhan diiringi beberapa orang cantriknya.
"Mereka akan berjalan amat jauh," desis Ki Widura, "mereka akan dapat menambah pengalaman mereka untuk bekal hidup mereka kelak, atau segala sesuatunya akan terhenti."
Jantung Ki Widura tergetar. Ia membayangkan bahaya yang akan ditempuh oleh kedua orang suami isteri itu. Dua orang suami isteri yang masih belum mempunyai keturunan.
Terbayang pula di angan-angan Ki Widura, kemanakannya Agung Sedayu, ternyata tidak dapat menghasilkan keturunan. Mereka suami isteri adalah orang-orang berilmu tinggi. Tetapi sebagai sepasang suami isteri mereka memang kurang berhasil. Meskipun Agung Sedayu dan Sekar Mirah menyerahkan segala-galanya kepada kehendak Yang Maha Agung, namun setiap kali terkesan, betapa Sekar Mirah merasakan hidupnya menjadi sepi. Apalagi jika Agung Sedayu sedang menjalankan tugasnya sehingga tidak pulang. Karena itulah, jika ada kesempatan serta tidak menjadi hambatan, Sekar Mirah lebih senang ikut suaminya mengemban tugas.
Satria Gunung Kidul 1 Satria Gendeng 13 Penghuni Kuil Neraka Komplotan Pemuja Vodoo 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama