Negeri Van Orange Karya Wahyuningrat Bagian 5
Wicak tersentak saat suatu getaran halus yang bersumber dari saku celana memecah konsentrasinya.
~380~ Hoi, Tang! Heeei, apa kabar" Baik. Lagi di Leiden"
Iya, bosen nih. Seminggu penuh kuliah plus ngendon di perpus. Pengin refreshing ... tapi nggak ada temen.
Wicak mengernyit sebentar, memikirkan kemungkinan mengajak Lintang ke Rotterdam. Tapi, agenda rahasia para lelaki plus bayangan kekhawatiran Lintang akan sial buat kali kedua di Rotterdam membuatnya berpikir dua kali. Hoi, ngelamun! Lo lagi di mana, sih" Eh, sori. Sebenernya gue lagi jalan ama Daus. Waaa, di Utrecht"
Nggak, kita mau ke Rotty.
Ih, jahat! Kok nggak ngajak-ngajak" Pada mau nongkrong ama Banjar, ya"
Iya, sama kayak lo, jenuh di kamar. Siapa tahu dapet inspirasi atau malah kecengan di sana ... hihihi.
Curang, jalan-jalan nggak ajak-ajak gue! Ya, gimana ya Tang, gue khawatir lo trauma ke Rotty.
Tak ada jawaban. Rupanya sambungan diputuskan sepihak. Wicak jadi nggak enak sendiri. Tiba-tiba
~381~ sebuah SMS masuk. Lo sama Daus mesti jemput gue di Rotterdam Centraal. Gue nyampe setengah jam lagi. Kalian utang es krim sama kopi. Enak aja main ngumpul nggak ajak2! Huh!
Cak! Us! Suara bariton Banjar memanggil Daus dan Wicak yang sedang berdiri menunggu di luar stasiun sambil mengisap keretek. Setelah bersalaman ala pemain NBA yang pakai ngebentur-benturin dada segala, Banjar segera mengajak kedua sahabatnya menuju Waterfront.
Entar dulu, Jar, Lintang mau dateng. Lho, kok ngajak Lintang" selidik Banjar curiga. Ide siapa ngebocorin agenda hari ini ke dia" Ya, gimana, tadi dia nelepon.
Iye ni, si Wicak malah ngajak-ngajak Lintang! Enak aja, dia yang .... Wicak kehilangan argumen.
Well, nggak apa-apa, deh. Euro gue jadi aman. Kita batal nyoba cimeng-nya, ya! tukas Banjar. Senang karena uang yang sudah dia anggarkan buat nyimeng jadi aman, sedih karena setelah lama nyetanin dua sohibnya itu agar mau nyoba bareng
~382~ malah batal pada saat-saat akhir. Ketiganya punya prinsip serupa: bikin dosa, minimal berjamaah.
Well, boys will be boys. Selain ngopi dan ngobrol, agenda lain mereka hari itu ternyata bernama cimeng alias ganja. Kapan lagi bisa nyimeng aman tanpa risiko digerebek atau dikejar-kejar satgas kalau tidak di Belanda" Kan cuma icip-icip, justifikasi batin mereka bertiga. Pun untuk yang kali pertama.
Proyek haram ini bermula ketika kakak Banjar yang masih betah di Kairo baru-baru ini datang ke Belanda untuk berlibur. Malam sebelum berpisah, Banjar akhirnya buka kartu soal asal mula kedatangan dirinya di Belanda. Rupanya selama ini kakaknya heran bukan kepalang dengan keputusan adiknya meninggalkan kesuksesan hidupnya yang bergelimang rupiah. Begitu Banjar selesai bercerita, meledaklah tawa Armansyah hingga bercucuran air mata. Setelah tawa mereda, Armansyah menyerahkan sepuluh lembar travelling cheque senilai total seribu euro.
Ingat, nyawa utang lawan unda, kaina jakanya sudah bisi duit wajib diganti! tegur kakaknya sambil mengulum senyum.
Sejak itu, rekening Banjar kembali berisi angka empat digit. Hidupnya kini serasa lebih enteng. Duit
~383~ ada, kerjaan sampingan juga ada. Ia lalu merasa wajib syukuran. Tapi, kok ya malah ngebayarin Daus ama Wicak nyimeng"
Ya udah, nggak apa-apa. Blessing in disguise. Nggak jadi nambah dosa kalau gitu. Gue traktir ngopinya aja, deh! Suara Banjar yang masih agak kecewa memecah kebisuan. Bagaimanapun, ia ingin merasakan cimeng yang belum pernah dicobanya sama sekali.
Alhamdulillah ..., ucap Daus khidmat, yang diikuti toyoran kedua sahabatnya. Daus berhasil terhindar lagi dari dosa. Aji-ajian Engkong masih ampuh ternyata.
Ow! Ow! Wadawww! Masing-masing pria mendapat jatah satu cubitan keras di lengan tangan. Lintang masih sewot gara-gara ketiga sahabatnya mau bersenangsenang tanpa dirinya. Daus bersungut-sungut. Yeh, gue kagak tahu apa-apa, ikut dicubit. Banjar cuma meringis. Sori, Tang, katanya singkat.
So, ke mana dulu kita" Eh, gue mau lihat-lihat baju-baju yang lagi sale! Anterin gue, ya. Tanpa
~384~ menunggu persetujuan lagi, Lintang langsung mengayun kaki ke arah fashion district. Banjar, Wicak, dan Daus hanya mampu pasrah sambil berjalan mengikuti.
Tiga jam kemudian, tangan Lintang telah penuh dengan kantong-kantong plastik belanjaan berukuran jumbo. Satu jaket tipis Zara, tiga spring dress Mexx, dan dua pasang strappy shoes cantik berhasil diborongnya.
Duh, senengnya, bayangkan semuanya nggak nyampe delapan puluh euro! Di Jakarta aja nggak dapet!
Belanda telah berubah menjadi surga bagi para pencinta mode saat musim diskon tiba. Rabat gilagilaan membuat berbagai barang tiba-tiba terjangkau isi kantong para mahasiswa. Belum lagi ditambah rezeki dari pekerjaannya mengajar tari di KBRI, Lintang jadi kalap memborong semua barang idaman yang selama ini hanya mampu ia tinggalkan di etalase toko. Daus dan Wicak tak ketinggalan ikut membeli kacamata hitam seharga dua belas euro saja di Blokker.
Temperatur hampir mencapai angka tiga puluh derajat Celcius. Centrum Rotterdam semakin penuh dengan orang yang lalu-lalang berbelanja maupun
~385~ sekadar cuci mata. Bangku-bangku kafe dan bar yang ditaruh di luar juga ramai dipadati pengunjung. Keempat sohib Aagaban sudah menduduki bangkunya masing-masing di sebuah Kafe yang ramai di lapangan dekat Media Markt. Rencana ke kafe Waterfront sudah dilupakan.
Banjar dan Wicak duduk menyelonjorkan kaki sambil memegang gelas minuman. Daus dengan pipet di sela-sela bibir menyeruput cappuccino dingin sambil bertopang dagu. Lintang sibuk membenahi geraian rambutnya. Angin yang tadinya semilir bertiup kini semakin kencang embusannya.
Kapan si Wiwin itu dateng, Cak" Banjar tiba-tiba membuka suara. Lintang yang belum mendapat informasi sama sekali langsung mengernyitkan dahi.
Wiwin siapa" Lintang bertanya dengan nada dingin.
Pacar si Wicak noh ..., sahut Daus enteng. Lo kate gue paedofil" Wicak langsung menyambar.
Daus cengar-cengir sambil memainkan kamera digital pocket-nya. Lintang menatap Wicak menuntut penjelasan.
Cemburu ya, Tang" goda Banjar.
Enak aja. Rugi cemburuan ama makhluk kriwil
~386~ gini. Gue heran aja, cuman seminggu gue bertapa di kampus, eh gue dah ketinggalan gosip banyak.
Lho, jadi lo belum tahu juga kalau Banjar akhirnya udah bisa beli kolor baru" Daus buka mulut lagi. Asal, seperti biasa.
Emang kenapa, Jar" Kolor lama lo ketinggalan di apartemen Rendi" ledek Lintang sambil tersenyum jail. Daus dan Wicak kontan ngakak. Banjar mengisap kereteknya sambil misuh-misuh.
Wicak tanpa diminta menjelaskan permintaan kawannya untuk mencarikan kamar atau apartemen murah buat adiknya yang bernama Wiwin. Lintang manggut-manggut mendengar cerita Wicak. Sama seperti Daus dan Banjar, Lintang balik bertanya kepada Wicak kenapa nggak minta pertolongan Geri. Jawaban Wicak sama dengan jawaban yang diberikannya kepada Daus dan Banjar. Lagi-lagi Lintang manggut-manggut.
Gue mungkin nggak bisa bantu lo banyak, Cak. Tapi gue bisa cerita gimana gue dulu bisa dapet kamar di sini dan kiat-kiat lain yang dulu gue lakukan sampai dapet tempat tinggal. Kebetulan gue nggak seberuntung lo ama Daus yang udah terima bersih, atau Lintang yang dibantuin sama PPI Leiden, tawar Banjar.
~387~ Yang penting sih, kalau ada kemauan, pasti di situ ada jalan.
Mencari rumah atau kamar di Belanda hanya satu kata: RIBET! Kalau kita tahu trik-triknya, belum tentu ribetnya bakal hilang (nah lho"). Tapi setidaknya, usaha pencarian rumah jadi lebih ringan!
1. Via Kampus. Selamat, admission letter dari kampus di Belanda sudah di tangan! Rata-rata semua mahasiswa internasional telah dirujuk oleh kampusnya ke sebuah studentenhuis tertentu, yang diatur makelar khusus kampus. Namun, harga-harga kamar ataupun apartemen yang mereka sediakan biasanya juga cukup mencekik. Ada beberapa institut seperti ISS di Den Haag dan IHE-UNESCO di Delft mewajibkan mahasiswanya menempati studentenhuis yang telah disediakan dengan harga terjangkau. Karena mayoritas mahasiswa berasal dari negara berkembang bermodalkan beasiswa, kampus dengan baik hati menyediakan asrama/apartemen full furnished. Dengan demikian, mahasiswa cukup datang bawa koper, tak perlu keluar modal tambahan lain. Tapi, kalau terpaksa mencari akomodasi sendiri, masih banyak jalan yang bisa ditempuh.
2. Via PPI. Bergabung dengan milis PPI, atau milis himpunan mahasiswa Indonesia serupa di kota
~388~ tujuan. Cari kontak info para pengurus PPI di kota tersebut dan jalinlah persahabatan dunia maya dengan mereka. (Pertanyaan-pertanyaan pribadi seperti Situ cakep nggak" atau Udah punya pacar atau belum" baiknya disimpan dulu. Kalau jodoh juga entar ketemu, kan") Berita dari mahasiswa setempat merupakan informasi berharga yang nggak bisa didapatkan di makelar mana pun. Siapa tahu ada mahasiswa lama yang mau pulang sehingga apartemennya bisa dikudeta. Menjalin pertemanan ini penting karena kalau langsung to the point minta dicarikan rumah, 97,8% surel kita akan terkubur di trash bin. Bukan apa-apa, karena kemungkinan besar 97,8% penghuni baru milis akan menanyakan hal serupa.
3. Status Kontrakan. Korek keterangan mengenai status kontrakan. Resmi atau tidak" Apakah alamatnya bisa dipakai untuk surat-menyurat" Bagaimana dengan pajak" Apa harga sewa sudah termasuk listrik, gas, dan air" Apa pakai uang jaminan" Dan lain sebagainya. Kontrakan resmi adalah kontrakan yang telah didaftarkan ke Stadhuis atau Municipality Office. Sang pemilik akan membayar pajak atas uang yang diterimanya dari sewa. Dengan begitu, kita lepas dari kekhawatiran akan terjaring razia imigran gelap. Yang penting, kontrakan resmi bisa didaftarkan sebagai alamat tinggal di KTP alias verblijf. Kan kita jauh-jauh datang ke Belanda untuk menuntut
~389~ ilmu, bukan buat dideportasi. Malu-maluin aja .... 4. Survei Lapangan. Tetek-bengek administrasi sudah kelar" Rayu contact agar mau melakukan survei lapangan. Potret kamar, kamar mandi, dapur, dan ruang lainnya berguna buat menentukan pilihan tempat tinggal. Pasti malas, kan, ngontrak di tempat yang kamar mandinya nggak punya pintu"
5. Makelar. Usaha menjalin kontak gagal total" Tenang, masih banyak kantor makelar yang bertebaran di Belanda. Situs-situs seperti www.kamernet.nl, www.woningnet.nl, www.homeforrent.nl, atau www.studentsuits.nl bisa diandalkan. Enaknya pakai jasa makelar, kita nggak perlu pusing dengan urusan resmi-nggak resmi. Semua dijamin resmi, layak tinggal, dan siap huni. Nggak perlu khawatir mesti tawar-menawar pakai bahasa Belanda. Nggak enaknya pakai makelar, kita mesti siap mengeluarkan banyak uang di depan. Sebab, biasanya makelar menuntut uang sewa dua bulan pertama, uang jaminan, dan makelaar fee, semua dibayar di muka! Tapi paling nggak, kita jadi punya lebih banyak pilihan tempat tinggal. 6. Masa Sewa. Kita mesti siap mental bila salah pilih lalu nggak betah pengin pindah. Memutus kontrak sebelum masa kontrak berakhir berarti merelakan uang jaminan ludes. Sebisa mungkin, aturlah kontrak awal dengan masa kontrak tiga atau enam bulan saja. Jadi kalau kita nggak cocok,
~390~ nggak perlu makan hati setahun penuh! Atau coba tanya kemungkinan bisa tukar tambah ke tempat lain, tanpa kehilangan uang jaminan. Ketidakcocokan bisa bermula dari mana saja. Wicak misalnya, sering dikomplain habis-habisan oleh teman satu lantai yang terganggu bau ikan asin dan tumis cabai yang dimasaknya!
Buset, ribet juga ya ..., komentar Wicak. Kalau gitu, entar gue kontak Rusman deh, gue rekomendasiin dia buat nyuruh Wiwin kenalan ama Berni, biar dia minta tolong Berni agar dikenalin ama temen-temennya yang kerja di Den Haag. Mudahmudahan salah satu temennya bisa bantu kasih informasi ke Wiwin! Wicak menatap kawankawannya dengan muka bangga, seolah telah berhasil memecahkan masalah, padahal sekadar berniat melemparkannya kepada orang lain.
Wicak lalu mendendangkan Berbuat baik janganlah ditunda-tunda ciptaan Bimbo dengan suara fals. Daus, Banjar, dan Lintang hanya bisa menatap Wicak dengan pasrah. Sungguh pertemuan kontraproduktif.
~391~ Delft Lintang berjalan menyusuri kanal kecil di Kota Delft. Tangan kanannya memegang sepotong roti appelflap hangat berisi puree apel yang baru dibelinya dari sebuah toko roti di dekat stasiun. Membeli roti hangat straight from the oven adalah sebuah ritual kecil yang dinikmati Lintang selama hidup di Belanda. Tangan kirinya sibuk membenahi earphone iPod di telinga kanan. Dari iPod-nya mengalun song of the week yang sudah seminggu ini didengarkan tanpa bosan: Clarity dari John Mayer.
Semburat sinar matahari menembus deretan rumah tua bertingkat yang mengapit kanal kecil Oude Delft. Cahaya emas itu memantul indah di atas permukaan air kanal yang mengalir tenang. Musim semi sudah hampir mencapai penghujung, para pemilik toko, rumah, dan apartemen berlomba menghiasi balkon, teras, dan bingkai jendela mereka dengan bunga-bunga cantik berwarna-warni yang ditata apik dalam vas dan pot beraneka rupa.
Paduan sinar mentari pagi, pemandangan indah bunga-bunga musim semi di rumah-rumah
~392~ sepanjang kanal, dan manisnya roti appelflap seharusnya sudah cukup membuat hati Lintang bahagia. Sayangnya, pagi itu hanya resah yang ada di hatinya. Tembang Clarity yang diputarnya berulang-ulang ditambah dentingan indah gitar John Mayer ternyata belum mampu menjernihkan pikirannya. Semua masalah tampak berputar di dalam benaknya: tesis yang sudah harus dirampungkan, paper terakhir yang hanya mendapat nilai C+ (65! Memalukan!), dan hubungannya dengan Jeroen yang makin lama makin runyam. And I will wait to find ... if this will last forever .... Hhh ... Jeroen.
Saking stresnya, memikirkan Jeroen saja sudah membuat Lintang ingin menceburkan diri ke kanal. Di satu sisi, Lintang sangat menyayangi Jeroen. Dengan tubuh tegap, wajah tampan, rambut cokelat keemasan, dan mata hijau kecokelatan, Jeroen mampu membuat Lintang percaya bahwa kecerdasan, pribadi baik, dan fisik ganteng mungkin diciptakan Tuhan dalam satu manusia. Jeroen pun telah banyak membimbingnya selama ia hidup di Belanda. Singkatnya, Jeroen mampu membuat hidup Lintang di Leiden menjadi lebih mudah dan pastinya indah. Namun di sisi lain, kedekatan Jeroen
~393~ dengan Wulan makin lama makin membuat Lintang merasa tersisih.
Klimaksnya terjadi seminggu yang lalu, saat harus membuat kelompok kecil diskusi di kelas EU Common and Foreign Security Policy. Duo Lintang- Jeroen yang selama ini tak terpisahkan memilih untuk membuat kelompok tersendiri. Lintang bergabung bersama Ardita dan Pauline, gadis tegas asal Prancis, sementara Jeroen membentuk boys club bersama Marios dan Nikolas, dua teman sekelas dari Yunani. Sang Profesor bahkan secara spontan berkomentar.
What, no more dynamic duo" ujarnya mengacu pada kebiasaan Lintang-Jeroen membentuk satu tim. Saat itu keduanya hanya tersenyum kecil, sementara teman-teman sekelasnya yang lain saling pandang. Pasti mereka pun sudah menduga ada keretakan hubungan di antara kami, pikir Lintang kala itu. And I will pay no mind ....
When it won t, because it can t ... it s not supposed to ....
Lintang berbelok ke Oude Langendijk, menyusuri kanal sampai ke lapangan besar Nieuwekerk, atau lapangan besar Gereja Baru . Disebut Gereja Baru karena dibangun setelah Oude Kerk atau Gereja
~394~ Lama . Padahal, dalam kenyataannya, Nieuwekerk dibangun antara 1381 hingga 1496 alias sudah berumur ratusan tahun. Di gereja besar itu terdapat kuburan keluarga kerajaan Belanda dan sampai sekarang masih digunakan untuk upacara-upacara keagamaan.
Di sekeliling lapangan berderet toko-toko suvenir menjajakan barang-barang keramik bercorak Delft Blue yang terkenal dan aneka cendera mata khas Negeri Belanda. Mulai dari kincir angin keramik raksasa berharga ratusan euro yang dilukis tangan sampai produk massal semisal gantungan kunci klompen (sepatu kayu) mini seharga lima puluh sen saja.
Hmmm ... sebentar lagi pulang ke Indonesia. Mulai cicil oleh-oleh, deh, pikir Lintang sambil melangkahkan kaki memasuki sebuah toko.
Sebagaimana lazimnya perempuan yang dilanda pikiran kalut, shopping therapy kadang menjadi obat terbaik! Setengah jam kemudian, keranjang belanjaannya telah penuh oleh beberapa T-shirt berlambang Kota Delft, dua set cangkir teh mungil keramik bercorak Delft Blue, dua buah kapalkapalan kayu antik berbendera Belanda, dan selusin gantungan kunci keramik dengan hiasan tulip. Tiba~395~ tiba, HP-nya berdering. Hoi ....
Where" Bill Clinton Pannekoekenhuis" ... Okay, I ll see you there.
Jeroen telah menunggunya di restoran pannekoeken terkenal tak jauh dari toko suvenir tempat Lintang berbelanja. Akrab disebut rumah pannekoek Bill Clinton karena sang mantan Presiden AS tersebut kabarnya pernah bersantap di sana, dan sangat suka dengan dadar pannekoek yang mereka sajikan.
Lintang bergegas membawa barang belanjaannya ke kasir. Cuma habis 25 euro! Lumayan murah juga!
Begitu keluar dari toko suvenir, hati Lintang kembali gelisah. Ia lelah bila teringat komunikasinya dengan Jeroen akhir-akhir ini yang selalu berujung konflik. Bukan konflik emosional dengan teriakan dan air mata. Melainkan, justru konflik yang sifatnya lebih mematikan. Tenang, dingin, rasional ... dan tak acuh. Apathy. Sebuah kata yang sangat dibenci Lintang. Baginya, lebih baik Jeroen menunjukkan emosinya, cemburu dan marah, dibanding bersikap dingin dan apatis. Paling tidak, di balik kecemburuan itu masih tersimpan rasa sayang.
Setibanya di restoran pannekoek, Lintang mencium gelagat aneh pada diri Jeroen. Saat ia memasuki areal
~396~ tempat duduk berkanopi di tepi lapangan tempat Jeroen menunggu, pria itu tidak beranjak dari tempat duduk untuk memberi ciuman pipi seperti biasa. Ia hanya mendongak sekilas dan meletakkan majalah yang sedang dibacanya.
Lintang mengambil tempat duduknya berhadapan dengan Jeroen. Seorang pelayan menghampiri dengan sigap untuk menanyakan minuman yang hendak dipesan.
Een glasje melk, alsjeblief. Segelas susu, pesan Lintang.
Jeroen menyungging senyum.
Healthy choice, komentarnya sarkas seraya mengangkat botol bir di hadapannya.
So ... what s up" tanya Lintang sambil meletakkan belanjaannya di bawah meja, kemudian melepas jaket. Matahari sudah meninggi dan udara cukup hangat untuk dinikmati tanpa jaket tipis warna khaki yang sedang dikenakannya.
Air muka Jeroen berubah menjadi serius. Lintang, ucapnya lembut. We have to talk. Wicak menutup buku di hadapannya dengan frustrasi. Ia telah berkutat dengan buku-buku referensi berukuran tebal di Bibliotheek selama tiga
~397~ jam. Dari catatan yang dikumpulkannya, tak satu pun bahan yang cukup memuaskan untuk dimasukkan ke proposal tesisnya. Ia melirik jam tangan. Sudah hampir pukul 12.00 siang. Lintang online nggak, ya"
Ia membuka window YM di komputer. Dari tadi statusnya invisible karena Wicak sekadar online untuk menunggu kehadiran satu sosok saja. Namun, pesan yang dinanti tak kunjung tiba: starlight is online. Wicak memandang layar tujuh belas inci itu dengan penuh harap selama satu menit. Dua menit. Saat menit ketiga berlalu tanpa perubahan, ia menutup YM-nya dengan perasaan kecewa.
Ah, kenapa jadi tergantung begini, sih" batinnya sedikit kesal.
Sejak mengenalnya, Wicak semakin kecanduan pada persahabatannya dengan Lintang. Ada sesuatu yang membuat kehadiran Lintang, online maupun secara langsung, senantiasa dinanti oleh Wicak. Kenapa sih anak ini bikin gue penasaran banget" Padahal, bukan congkak bukan sombong, Wicak sebenarnya memiliki banyak teman wanita di Belanda yang secara fisik memiliki poin di atas Lintang. Sebut saja Calliope, teman satu lab-nya yang eksotis dari Cyprus, dengan tampilan bak fotomodel
~398~ majalah Sports Illustrated. Atau Corinne, sahabatnya produk blasteran Taiwan-Prancis, yang dengan mata kucingnya mampu menaklukkan pria sekampus. Atau si mungil Tchie, yang tampilan imut-imutnya mengingatkan Wicak pada pemain sinetron Jepang. Wicak bersahabat dengan mereka semua, sering menghadiri party dengan mereka. Tapi, tak seorang pun yang mampu membuatnya rindu tak tertahankan seperti Lintang.
Wicak yakin, bisa saja membawa hubungan persahabatannya dengan salah seorang teman sekampus ke tahapan lebih jauh. Namun, semua kesempatan itu belum pernah dijajaki secara serius. Hal itu bahkan sempat membuat Wicak menjadi bulan-bulanan di antara teman-teman pria sekelas, yang menganggap Wicak dengan tololnya menyianyiakan kesempatan bagus yang datang silih berganti.
Hexi, karibnya asal Ghana, bahkan sering bergurau, I don t understand it, man. Are you blind or gay"!
Hey, Wicak! Come on let s grab some lunch. I m starving! Calliope yang sedari tadi sibuk berkutat di meja komputer sebelah tiba-tiba membuyarkan lamunannya.
Sudahlah, mendingan gue cari makan aja, pikir
~399~ Wicak sambil merapikan tumpukan buku di hadapannya.
Buat apa gue pusing-pusing mikirin Lintang" Belum tentu dia mikirin gue juga!
Wicak tersenyum dan mengangguk ke arah Calliope.
Gimme a minute, okay"
Dan, dengan sedikit harapan tersisa, ia kembali membuka window YM-nya.
Bulatan kecil abu-abu starlight belum juga berubah warna menjadi kuning, pertanda online.
Let s go, Cal, ajak Wicak, sambil mematikan komputer. Menyerah.
Banjaaar! Ayo cepat, tiga porsi gado-gado, dua porsi sayur asem, dan dua piring semur!
Teriakan Mbak Lia kembali menggelegar di dapur kecil Restoran Rajawali. Wanita ini lalu sibuk mengecek kertas-kertas pesanan yang tergantung pada paku di bawah rak microwave.
Seperti biasa, setiap Sabtu Banjar bekerja paruh waktu menjadi asisten koki, merangkap tukang menghidangkan masakan, cuci piring, sapu-sapu, plus angkut-angkut sampah, dan dua minggu sekali, kerja bakti massal.
~400~ Secepat kilat, Banjar menyiapkan piring-piring kecil yang diletakkan di atas piring yang lebih besar, lalu menata apik aneka sayur yang tergabung dalam gado-gado: kol, bayam, buncis, tauge, dan sebutir telur rebus yang dibelah dua. Bumbu kacang Rajawali yang terkenal diletakkan dalam mangkuk kecil terpisah sesuai pesanan pelanggan. Satu piring kecil lagi diisi penuh dengan kerupuk. Gado-gado siap dihidangkan.
Tiga gado-gado! teriak Banjar seraya membunyikan lonceng mini, pertanda hidangan siap diambil oleh para pelayan untuk disajikan.
Saking ramainya restoran siang hari itu, Mbak Lia ikut turun tangan mengantarkan hidangan, membantu para pelayan yang kewalahan.
Sayur asem sama semurnya yang cepat, ya, Jar! Itu pelanggan udah ada yang sampai antre di luar!
Banjar mengangguk dan kembali menyibukkan diri menyiapkan pesanan.
Sementara tangannya berjalan secara autopilot (Banjar bahkan sudah mampu menyiapkan hidangan-hidangan tersebut sambil tidur, saking terbiasa), pikirannya mulai melayang.
Garing juga ya kalau tiap weekend harus terusterusan begini, pikir Banjar.
~401~ Dia sudah mulai merindukan libur akhir pekan yang diisi penuh dengan kegiatan menyenangkan. Nonton film di Bioskop Path", piknik ke pantai, atau sekadar bermalas-malasan di depan laptop sambil nonton YouTube sampai mata jereng.
Dia juga kangen kumpul-kumpul sama Aagaban, terutama Lintang. Hmmm, memang susah membohongi perasaannya sendiri. Lintang membuatnya semakin penasaran.
Kalau dipikir-pikir, sebenarnya sifat Banjar dan Lintang bagai langit dan bumi. Lintang senang dengan segala sesuatu yang spontan dan penuh kejutan. Banjar menyukai keteraturan hingga hampir mendekati taraf obsesif kompulsif. Lintang aktif berkegiatan, mulai dari mengajar tari di KBRI sampai menyibukkan diri di antara mahasiswa Leiden. Banjar hanya sudi turun tangan atau memeras keringat apabila ada imbalan sepadan. Lintang yang terobsesi ingin pacaran dengan bule tapi masih cenderung polos, sedangkan Banjar ... hmmm. Yang jelas gue udah nggak polos lagi! Lintang ....
Ah, Lintang lagi, Lintang lagi! Lintang melulu! Banjar menarik-narik poninya untuk menghentikan lamunan.
~402~ Ia sadar, rasa penasaran semata tidak akan membuahkan hasil. Sebagai seorang pebisnis yang memiliki jiwa marketing tulen, Banjar selalu suka pada segala sesuatu yang membuatnya penasaran. Yang sulit didapatkan pasti terasa lebih berharga, pikirnya. Walaupun prospek thrill of the chase untuk mendapatkan hati Lintang selalu bisa memompa adrenalinnya, Banjar sadar bahwa ada seorang pria yang tak mungkin disaingi.
Geri! Dia merusak standar semua cowok Indonesia. Sepintar-pintarnya gue, sebaik-baiknya gue, sesuksessuksesnya gue, masih ada makhluk ganteng lain di muka bumi ini bernama Garibaldi yang meski belum tentu lebih pintar dan sukses, tapi selalu bikin semua cewek mendekat bagai nyamuk!
Kadang-kadang susah untuk tidak sirik. Kata pepatah kuno Tiongkok Blessed is he that learns to admire, but not to envy . Ya, mungkin yang mampu melakukan hal itu cuma Geri karena dia beruntung punya segalanya. Sedangkan gue?" Punya apa gue?" Area Manager Tiga berpenghasilan puluhan juta tapi masih harus peras keringat di dapur karena nggak punya cukup duit buat sekadar beli rokok! Cewek nggak ada seorang pun yang nyangkut, surel Gita akhir-akhir ini juga makin jarang masuk ke inbox. Dan Lintang ....
~403~ Banjaaar, kok ngelamun, sih" Order udah numpuk, lho! Gulai ayam sama rendang yang tadi Mbak minta manaaa"! hardik Mbak Lia dari pintu dapur. Wahyu sang koki kembali membanting tumpukan piring ke atas meja, membuat Banjar terlonjak kaget.
Yes, Mbak Lia .... Banjar menghela napas sambil menyendok rendang dari panci. Lintang ditendang jauh-jauh dari benaknya. Untuk sementara.
Lintang masih belum paham apa yang tengah disampaikan Jeroen. Gue yang bolot apa dia yang ribet, ya"
So, what are you trying to tell me, Jeroen" That you want to break up with me" Because of someone else"
Well. I don t really want to break up with you, Lintang. I care about you, a lot! But yes ... there is someone else. Someone ... new ....
HAH! KAAAN!!! EMANG DASAR SIALAN!!! Emosi Lintang mulai mendidih. Tapi, tampak luar ia hanya berkata dingin:
You don t have to explain. I know everything. You do" Muka Jeroen menunjukkan roman kebingungan.
~404~ Of course! You think I m blind"! It s Wulan, right" I know there s something between you and her since you met her at Waterfront! tembak Lintang dengan tatapan menyelidik.
Dan Lintang terperanjat karena ia tak menyangka apa yang dilakukan Jeroen selanjutnya. Tertawa! Ya, Jeroen tertawa!
You cheat on me and you re laughing"! Suara Lintang meninggi dua oktaf.
Jeroen masih saja tersenyum. Menyebalkan. You think this is about Wulan" Wulan and I are just friends! It has nothing to do with her. Have you been jealous of Wulan all this time" Kini tatapan Jeroen balik menyelidik.
Lintang berbalik kebingungan.
But ... but I thought .... Lintang kehilangan katakata. Kalau bukan Wulan, siapa"
Come on, ajak Jeroen sambil mengangkat tangan meminta bon kepada pelayan.
Let s take a walk. There is someone I want you to meet.
Daus duduk diapit tiga wanita cantik. Di sebelah kanannya duduk Anna Maria Gonzales dari Costa Rica, dengan rambut berombak hitam legam yang
~405~ tergerai indah. Di kirinya si manis Selisha, teman setia yang selalu membantunya mengerjakan tugas kuliah. Di hadapannya, asisten dosen paling hot sejagad raya, Marlene van Westing, sedang duduk bersilang kaki. Dia mengenakan celana capri putih dan tank top hijau tosca, sambil memangku segelas bir dingin. Matahari memantul dari bongkahan es di gelas bir Marlene, menyinari wajahnya yang cantik dan senyumnya yang memperlihatkan deretan gigi putih bersih. Di mata Daus, bidadari di hadapannya bagaikan dicomot langsung dari iklan billboard perusahaan kosmetik. Berkilauan.
Ketiga mahasiswa program LLM Utrecht Universiteit itu sedang melakukan konsultasi di sebuah kafe favorit dekat kampus. Mereka berdiskusi tentang bahan tesis, kuliah-kuliah yang sulit, dan dosen supergalak, Prof. Nicholas van Dijk, dan cara mengatasinya.
Selisha dan Anna Maria terpaksa memilih Prof. van Dijk sebagai profesor pembimbing tesis karena mata kuliah yang diajarkannya, Hukum Humaniter Internasional, adalah tema utama tesis mereka. Sementara Daus ... ya bisa ditebak. Ia memilih Prof. van Dijk karena asdos beliau yang superseksi. Ah, lagi-lagi Daus telah membuat pilihan yang
~406~ menyebabkan dirinya terperangkap dalam situasi menyebalkan.
Let s have a quick break, usul Marlene, it looks like Daus is getting confused!
Daus tersipu. Jujur saja ia memang belum mempersiapkan diri dengan baik untuk sesi konsultasi kali ini. Apalagi, sebenarnya tesisnya tidak terfokus pada hukum humaniter. Makin bingunglah ia mencari bahan pembicaraan.
What do you want to drink, Daus" I m going to the bar. Selisha menawarkan diri membelikan minuman.
Nah, ini dia! Kesempatan gue! Coba bir, ah! I ... uh ... I d like a ....
Tepat saat itu bayangan Lintang melintas di benak Daus. Lintang yang ceria, Lintang yang polos, dan Lintang yang mabuk berat hingga harus digotong pulang ke rumah Rendi di Maastricht.
A ... cola ... alstublief, Daus berkata pelan sambil menyeka keringat dingin sebesar bulir padi yang tiba-tiba mengalir di pelipis. Keinginannya begitu kuat untuk berbuat nakal, tapi hati nuraninya tak pernah mampu.
Pikiran Daus kembali melayang kepada Lintang. Anak itu memang sebuah paradoks. Bolak-balik
~407~ pacaran dengan bule, tapi kok polosnya nggak hilang-hilang. Daus belum pernah melihat Lintang mengonsumsi satu tegukan pun minuman beralkohol. Tapi, Lintang termasuk paling rajin ke party. Ia pun tidak pernah tertarik untuk merokok atau mencoba ganja seperti kebanyakan mahasiswa turis di Belanda karena menurutnya baunya nggak enak dan menempel di baju.
Anak itu berintegritas tanpa bermaksud berintegritas. Aneh.
Tiba-tiba perasaan rindu menyergap Daus. Rindu pertemanan mereka, rindu mendengar ocehannya tengah malam, rindu gelak tawanya setiap kali ia menirukan istilah Betawi unik, bahkan rindu teriakannya setiap kali ia berbuat salah.
Lintang lagi ngapain ya, sekarang" Lintang dan Jeroen berjalan menyusuri Choorstraat, kemudian melewati Oude Kerk, sambil bergandengan tangan. Dari luar, tampak mereka seperti sepasang kekasih yang mesra, tapi hati Lintang makin diliputi perasaan bingung.
Ni orang aneh banget, sih! Mau ngajak putus aja pake acara jalan-jalan dulu!
Jeroen, where are we going" tanya Lintang.
~408~ Shhh ... questions are for later. Just ... enjoy the walk, okay"
Di usia yang baru memasuki seperempat abad, pengalaman Lintang berada dalam situasi seperti sekarang ini hampir melebihi jumlah jari-jari tangannya. Yang berbeda cuma setting waktu dan alur cerita, selalu dengan hasil akhir yang sama: cintanya kandas. Dalam hati, Lintang punya feeling kalau cerita cintanya kali ini juga akan berakhir d"j" vu, sama dengan yang sudah-sudah. Ia benci harus tunduk pada kebenaran bisikan hatinya.
Mereka berjalan melewati barisan toko kecil berkanopi. Semua toko berukuran sama, butik Esprit berdempetan dengan toko keju, bertetangga dengan toko barang antik, bersebelahan dengan toko sepatu. Tapi, itulah indahnya Delft. Semuanya serbamungil, dengan jalan-jalan berbatu dan tiangtiang lampu model kuno menghiasi sepanjang jalan setapak. Pemandangan seperti ini belum berubah banyak semenjak masa Johannes Vermeer, sang pelukis terkenal kelahiran Delft, memakai pemandangan kota kecil ini sebagai inspirasi lukisanlukisannya yang kini termasyhur.
Delft sendiri adalah salah satu kota tertua di Belanda yang memiliki kaitan sejarah erat dengan
~409~ bumi Nusantara. Kota nan penuh kanal-kanal kecil yang membelah jalan di atasnya tersebut pernah menjadi basis perdagangan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), salah satu perusahaan dagang terbesar di dunia yang kerap dipelesetkan menjadi kompeni oleh lidah Indonesia.
Kini Kota Delft menjadi bagian dari Provinsi Zuid- Holland. Sebuah provinsi yang membentang luas dari Hillegom di ujung batas utara sampai Oostflakke di timur, mencakup kota-kota seperti Leiden, Gouda, Dordrecht, hingga Den Haag.
Mereka terus berjalan melewati lapangan Museum Prinsenhof dekat Agathaplein dan Museum Nusantara yang memajang barang-barang budaya asal Indonesia dari masa penjajahan VOC. Gedungnya menyerupai gedung-gedung kolonial Belanda di Indonesia, dengan langit-langit tinggi dan jendela-jendela raksasa.
Prisenhof pernah menjadi kediaman William of Orange, pemimpin utama Perang Delapan Puluh Tahun melawan bangsa Spanyol. Di tempat ini pula ia dibunuh oleh Balthazar G"rard, salah seorang pendukung setia Raja Philip II. Hingga kini, bekas peluru yang ditembakkan dari jarak ekstra dekat masih bisa disaksikan di salah satu dinding
~410~ Prisenhof. Di sebuah pertigaan, Jeroen mengajak Lintang berbelok ke sebuah jalan kecil. Mobil Mini Cooper milik Jeroen terparkir di pojok jalan. Tepat saat itu, iring-iringan mobil limosin hitam tanpa dekorasi meluncur perlahan. Dari jendela belakang yang terbuka, terlihat seorang wanita dengan gaun pengantin duduk tersenyum menatap lurus ke depan. Wajahnya cantik, tangannya memegang sebuah buket bunga kecil.
Tanpa banyak tanya, Lintang menuruti Jeroen masuk ke mobil. Jeroen menghidupkan mobilnya, dan tak lama kemudian mereka berdua melaju menuju sebuah gedung yang sangat kontras dengan pemandangan kota kuno Delft yang dominan. Mobil Jeroen memasuki areal parkir sebuah gedung berarsitektur modern yang didominasi lengkungan besi dan kaca-kaca, yang namanya harum hingga ke penjuru dunia. TU Delft. Institusi yang kadang disebut sebagai ITB-nya Belanda , padahal dalam kenyataan justru sebaliknya. Keberadaan TU Delft justru menginspirasi kelahiran ITB di Tanah Air, demi melahirkan tukang-tukang insinyur andal.
Lintang mengikuti langkah Jeroen menapaki tangga kampus, memasuki lobi raksasa, dan keluar melewati
~411~ pintu belakang ke sebuah taman hijau nan asri. Terlihat banyak mahasiswa sedang duduk tenang membaca buku, bercengkerama, atau sekadar menikmati segelas kopi. Dari kejauhan terdengar dentang lonceng gereja bergema berulang-ulang. Burung-burung yang berjajar rapi di kanopi seketika terbang berhamburan ke angkasa. Ingatan Lintang melayang pada pengantin wanita dalam limosin yang tadi dijumpainya.
Di pojok taman, duduk seorang wanita cantik yang melambai kepada Jeroen.
Jeroen membalas lambaiannya.
That s your new girlfriend" tanya Lintang ketus. No, actually she s my ex girlfriend. Her name is Mieke.
But she s not the one I want you to meet. Heh" Lintang semakin bingung.
~412~ Keukenhof Lintang menyalakan lampu kamar, bayangan menyedihkan terpampang di cermin setinggi tubuhnya di pintu lemari. Matanya bengkak, hidungnya merah, rambutnya kusut berantakan tak tersisir. Sama berantakannya dengan perasaan gue, pikirnya. Kemarin, emosinya sangat labil saat bercerita kejadian di Delft kepada Mama di Jakarta. Air matanya mengalir deras, membasahi seprai, guling, dan sarung bantal.
Kata-kata dan kasih sayang Mama lumayan manjur membangkitkan semangatnya. Lintang menutup sesi curhatnya dengan janji akan meneruskan perjuangan meraih gelar di Negeri Kincir Angin. Ia tak ingin citacitanya kandas dan membuat kecewa kedua orangtua yang telah berkorban selama ini.
Akan tetapi, kini bayangan wajah yang serbabengkak membuatnya panik. Duuuh, bagaimana ini" Setengah jam lagi Geri akan tiba di depan pintu mengantarkan cobek batu. Lintang tak ingin Geri bertanya-tanya apa yang membuat kedua matanya bengkak seperti sekarang. Ia pun bergegas
~413~ ke kamar mandi dan mencuci mukanya dengan air hangat.
Ngomong-ngomong soal cobek batu, harus diakui, untuk mendapatkan barang ini di Belanda bukan pekerjaan yang gampang. Kalaupun ada, biasanya hanya dijumpai di beberapa toko Tiongkok di kota besar. Barang yang langka sudah pasti harganya juga mahal, karena itulah Lintang memilih untuk tidak membelinya. Lagi pula, selama ini Lintang masih bisa menyiasati memasak tanpa menggunakan jasa barang prasejarah. Teknologi sudah maju, bumbu instan mudah dijumpai di mana-mana. Ngapain harus repot-repot ngulek bumbu" begitu pikirnya. Hingga pada suatu hari.
Lintang! Come! Hurry! Look!!!
Dengan terbirit-birit, Lintang menghampiri Christina yang matanya memandang takjub ke televisi. Christina, teman sekelasnya, secara tak sengaja menonton acara masak-memasak di Garuda TV 1 . Itulah kali pertama gadis yang lahir dan besar di Twente tersebut menyaksikan sebuah benda terbuat dari batu bernama cobek. Di episode yang sedang ditontonnya, Om Ronny, sang empunya acara, dengan penuh semangat menggembar-gemborkan kesaktian rasa bumbu yang diolah dengan cobek.
~414~ Dengan nada bangga ia mengatakan bahwa proses pemenyetan 2 ayam dan tempe akan lebih lekker jika para pemirsa di Belanda mengolahnya dengan cobek.
Saat gambar Om Ronny yang merem-melek menikmati ayam penyet muncul di layar, sambil tersenyum lebar, Christina memohon kepada Lintang,
Lintang, ayam penyet with cobek next week" Lintang hanya bisa mengangguk pasrah. Awas kalau ketemu Om Ronny di jalan, gue timpuk pake cobek! Bikin repot gue aja!
Musim dingin yang lalu, saat suhu sedang anjlok mencapai minus sepuluh derajat Celcius, Lintang dengan teganya memaksa Christina membuat stamppot 3 daging dan boerenkool yang repotnya naujubilah. Ajaib, Christina menyanggupi. Namun, dengan satu syarat, jika giliran ia meminta Lintang membuat masakan khas Indonesia, Lintang harus membuatkannya tanpa penolakan juga.
Walhasil, mulai Senin yang lalu, Lintang sibuk menelepon teman-temannya, mencari cobek cerdas rupawan. Banjar yang bekerja di dapur restoran tentu saja menjadi orang pertama yang diteleponnya. Namun, dengan dingin Banjar menolak rayuan Lintang untuk meminjamkan cobek milik Mbak Lia.
~415~ Restoran Indonesia tanpa cobek bagaikan berenang tanpa celana, Tang. Demikian Banjar beranalogi.
Tapi, kan, cuman sehari, Jar"! paksa Lintang pantang menyerah.
Lo pikir restoran tutup hari Minggu" Justru Minggu itu hari paling rame, Tang! Lagian, kalau cuma ayam penyet, ngapain ribet pake cobek, sih" Getok aja pake remote TV! Kalau kurang gepeng, pake TV-nya sekalian!
Sambil mengumpat, Lintang memutus sambungan telepon. Akhir perburuannya berujung pada sebuah nomor yang dihafalnya di luar kepala. Geri.
Beruntung baginya, di dapur Geri teronggok sebuah cobek batu. Ia bahkan dengan baik hatinya menawarkan untuk mengantar batu seberat sembilan setengah kilo tersebut langsung ke dapur Lintang di Leiden. Dua tahun silam, mami Geri membeli cobek itu ketika sedang berlibur ke Belanda menengok putra sulungnya. Sang emak memang mami rumah tangga sejati. Jauh-jauh berlibur, beliau tetap menyempatkan waktu untuk memasak. Dan baginya, belumlah afdal bila bumbu-bumbu atau sambal tidak diulek di atas cobek. Keyakinan yang berhasil mengobati kerinduan Geri akan masakan
~416~ Indonesia dengan rasa asli yang tidak mudah dijumpai di Belanda.
Sembari duduk menanti, Lintang berpikir keras mencari alibi masuk akal untuk matanya. Namun, kreativitasnya membatu. Ia masih belum bisa menemukan alasan nggak malu-maluin hingga Geri memencet bel apartemennya.
Lho" Nanda habis nangis"
Tangannya menyentuh bahu Lintang, wajahnya tulus menyiratkan kekhawatiran. Lintang berdiri di ambang pintu dengan kedua tangan menutupi mukanya. Meski merasa malu, Lintang tetap tersanjung oleh empati Geri.
Chiko dan Hilda kelindas truk di kompleks. Kucing-kucing itu aku piara sejak kecil, jawab Lintang sekenanya seraya menundukkan muka. Akan tetapi, Geri tak termakan bualan Lintang. Loh, katanya alergi bulu kucing" Kok, malah punya kucing" Nggak usah bohong, Nan, ada apa" Geri kini berdiri semakin dekat ke tubuh Lintang. Rupanya ingatan lelaki tampan ini memang sangat encer. Pembicaraan di Den Haag beberapa bulan lalu tentang topik tersebut rupanya tidak dilupakannya. Lintang berharap dirinya memegang palu godam raksasa dan langsung memaku tubuhnya ke dalam
~417~ bumi. Later, Ger, nanti aku ceritain kalau bisa diceritain. Lintang memilih untuk menyimpan ceritanya hingga waktu yang belum ditentukan.
Well, ya udah kalau nggak mau cerita. Tapi, kamu bener nggak kenapa-kenapa, Nan"
I m fine. At least, I m fine now, thanks for coming, bisik batin Lintang
Minggu depan, deh, aku ceritain, Ger .... Hei, kebetulan. Kamu bisa cerita sambil jalanjalan di Keukenhof .... Gimana" Mau, kan" Keukenhof" Pameran bunga itu" Yep, mau kan"
Tanpa berpikir lagi, Lintang langsung mengangguk mengiyakan. Benaknya tiba-tiba membayangkan momen di taman penuh bunga bersama dengan Geri. Lintang bahkan sudah lupa sama sekali dengan cobek titipannya.
Eh, ini cobeknya, Nan. Dari batu asli. Kamu simpan saja, nanti kalau Mami berlibur mungkin baru aku ambil lagi, kata Geri sambil melangkah menuju dapur. Benda berat itu kini bersemayam dengan cantik di atas meja dapur, berderetan dengan microwave dan rice cooker milik Lintang.
Kesedihan di wajah Lintang seketika sirna berganti
~418~ senyum yang selama ini mampu mempermainkan perasaan Wicak, Daus, hingga Banjar. Geri sampai kebingungan, ia tidak tahu apakah kesedihan sahabatnya itu hilang karena rencana pergi ke Keukenhof atau karena kedatangan cobek impiannya.
Lintang sendiri tak mampu menjelaskan mengapa perasaan sakit hatinya kepada Jeroen secara perlahan memudar. Ia pun tak bisa membohongi nuraninya bahwa kehadiran lelaki tampan yang kini sedang berdiri menatapnya mungkin menjadi jawabannya. Jumat malam, Lintang sengaja tidak online di Yahoo Messenger. Ia membenamkan diri di dapur demi menyiapkan bekal kudapan esok hari. Tadi sore, seusai menyiksa otak seharian di perpustakaan, Lintang mengayuh sepedanya ke Super De Boer untuk berbelanja.
Dengan celemek andalan Lintang sibuk mengolah adonan pisang goreng kesukaan Geri, serta beberapa gorengan lainnya. Ia sudah tak sabar untuk menikmati hangatnya mentari Belanda bersama Geri. Lintang tidak peduli pada bunga-bunga tulip yang kabarnya sangat indah. Ia juga sudah tidak ingat cerita Nikolas kemarin bahwa bunga-bunga di
~419~ Keukenhof telah layu lebih awal karena musim semi tahun ini terlalu panas. Yang ada di kepalanya cuma Geri. Titik.
Saat sibuk menakar terigu, sempat terlintas ide untuk membawa keranjang piknik, tikar, serta limun jahe dingin seperti yang sering ia baca dari serial Lima Sekawan saat duduk di bangku SD. Untung akal sehat membatalkan niatnya. Repot! Bisa-bisa nanti acara pikniknya berujung adegan film India! Lintang membayangkan kejar-kejaran berdua, berlari slow motion dengan rambut tertiup angin, lalu duduk bersandar di dada Geri, yang menyelipkan setangkai bunga tulip di balik telinganya. Takkan mungkin Lintang punya khayalan India seperti itu kalau tidak sedang jatuh hati.
Tepat pukul sepuluh malam, semua bekal telah tertata rapi dalam Tupperware. Ia sudah membuat janji untuk bertemu Geri di Stasiun Leiden Centraal pukul sepuluh pagi.
Lintang mematikan telepon dan tidur lebih awal. Ia ingin menghindari telepon dari teman-teman Aagaban yang lain. Sorry guys, tapi kali ini gue cuma ingin berdua dengan Geri! batinnya dengan sedikit perasaan bersalah.
~420~ Pagi hari pun tiba. Jika kita percaya bahwa kadang kala ada satu konspirasi besar untuk melambatkan detak jarum-jarum jam, perasaan itulah yang kini sedang dirasakan Lintang. Gadis ini telah bangun dari tidurnya sejak pukul tujuh pagi. Ia bahkan sudah selesai mandi saat jam baru menunjukkan pukul delapan. Isi lemari bajunya berserakan di lantai demi menemukan baju yang serasi dengan sandal jepit yang baru saja dibelinya dua hari lalu.
Negeri Van Orange Karya Wahyuningrat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Coba ada Arbenita, pasti gue nggak bakalan repot gini, keluh batinnya.
Arbenita, kawan satu apartemennya itu, selain jago memuji kelezatan masakan Lintang, juga terlahir sebagai penasihat mode jempolan. Lintang sudah berkali-kali memanfaatkan jasanya, terutama saat hendak memberikan presentasi di depan kelas. Sayangnya, weekend ini Arbenita sedang mengunjungi sahabatnya di Maastricht, jadi tidak bisa jadi konsultan mode pribadi Lintang seperti biasanya.
Sandal jepit memang menjelma menjadi produk favorit semenjak suhu udara mulai merangkak naik. Benda yang biasa Lintang beli di warung Koh Akiong dekat rumah dengan harga sepuluh ribu, di sini dihargai lima belas kali lipat. Tetapi, hubungan
~421~ darah antara wanita dan alas kaki hingga kiamat pun tak akan pernah bisa dimengerti kaum lelaki. Karena itu, Lintang rela membayar mahal demi sepasang sandal jepit cokelat berlogo terkenal.
Pukul sepuluh kurang lima belas menit, Lintang dengan penuh semangat mengayuh sepedanya menuju Stasiun Leiden Centraal. Semua perlengkapan yang disiapkan sejak semalam sudah tersimpan rapi dalam kantong kertas. Pada saat-saat terakhir sebelum menutup pintu apartemen, ia sempat menyelipkan selembar kain Bali yang dibawanya dari Indonesia. Ide piknik di antara hamparan bunga akhirnya mampu menggoyahkan imannya.
Di depan Caf" La Place, Lintang menanti sesuai janji mereka kemarin. Sesekali ia melirik ke dalam kafe. Para karyawan tampak sibuk menata aneka roti dan kue di atas rak yang berlapis metal berkilat.
Tiba-tiba, ia dikejutkan oleh suara yang sudah tidak asing lagi.
Hayooo ... ngiler, yaaa?" Teriakan Daus dan Wicak kontan mengejutkan Lintang. Kekagetannya bukan bersumber pada teriakan norak mereka yang nyaring, melainkan karena kehadiran mereka yang sangat-sangat tidak diharapkan.
~422~ Loh, kalian" Lintang menatap mereka dengan nanar. Ingin rasanya menempeleng pipinya sendiri untuk memastikan ia sedang tersesat ke dalam mimpi entah siapa.
Hahaha ... kaget banget ya, Tang" Sori ... sori ... gue nggak tahu kalau lo kagetan. Anyway, dandan banget lo hari ini! Gitu dong, sekali-sekali dandan kayak cewek, kan cantik! komentar Wicak sembari tertawa lebih keras.
Lintang sama sekali tidak terkesan dengan pujian slash celaan Wicak. Ia tersenyum kecut ... sekecut jeruk sambal siomay. Bukan itu masalahnya, dudul. Tapi lo berdua pada ngapain di sini"! kutuk Lintang dalam hati.
Geri ama Banjar mana" Katanya janji jam sepuluh" tanya Daus sambil melirik ke kiri dan ke kanan. Mulutnya celemotan dihiasi lelehan es krim yang baru dibelinya.
Kalian, janjian sama ... Geri ..."
Iya, dia kemarin bilang jam sepuluh pagi ketemuan di sini. Ah dasar, pada jam karet semua, cerocos Wicak. Ia tak membaca perubahan pada roman muka Lintang. Wajah gadis cantik ini memerah, napasnya menderu cepat, dan gerak geriknya seperti orang salah tingkah. Tanpa disangka
~423~ tanpa dinyana, Geri juga menyebar undangan kepada sisa Aagaban.
Ya Allah, bisakah Engkau singkirkan nyamuk-nyamuk jahanam ini sekarang!" Aku cuma pengin berdua sama Geeerrriii!!!
Eh, kata Geri lo bawa makanan juga, ya" Asyiiik. Bawa bakwan jagung kesukaan gue, nggak" Daus langsung mencecar dengan pertanyaan favoritnya, soal makanan.
Eh ... iya ... tapi nggak banyak. Ehm ... gue nggak sempet, jawab Lintang sambil melirik kantong kertas di tangannya. Ia membayangkan jumlah pisang goreng dan bakwan jagung yang bakal lenyap jika kotak itu ia buka di hadapan Daus. Lintang cuma memasak dalam porsi yang cukup buat satu kencan sempurna dengan satu orang lelaki.
Nggak apa-apa. Banjar rencana mau bawain kita nasi goreng juga, kok. Dia mau menyelundupkan nasi goreng spesial dari restorannya. Wicak memberikan informasi yang sama sekali tidak dibutuhkan Lintang.
Dua puluh menit kemudian, tibalah Banjar dan Geri bersamaan. Ingin rasanya menarik Geri dan meminta penjelasan kenapa merusak rencana kencan romantis mereka. Sial, sial, sial!
~424~ Lintang hanya mampu melempar senyum kecut dan memutuskan untuk tetap meneruskan perjalanan ke Keukenhof. Tak lama, mobil Geri membawa rombongan lima sahabat tersebut meninggalkan Kota Leiden.
Di tengah perjalanan yang penuh derai tawa dan canda, Lintang akhirnya menerima kenyataan yang menimpanya. Bagaimanapun, Geri sama sekali tidak bersalah. Pria itu nyata-nyata tidak pernah menjanjikan kencan berduaan di Keukenhof. Hal itu hanya pernah tercetus dalam angan-angannya semata.
Yah, paling tidak, Wicak, Banjar, dan Daus adalah tiga orang yang selalu mampu membuat hari-harinya lebih berwarna. Tak ada alasan untuk menganggap kehadiran mereka sebagai perusak hari yang seharusnya romantis bersama Geri.
Keukenhof siang itu telah dipadati manusia. Rombongan mobil, bus, hingga sepeda membuat jalan menuju pameran bunga ini begitu ramai. Persis seperti turis lokal yang berduyun-duyun menyambangi Taman Wisata Cibodas pada musim libur anak sekolah.
Di sepanjang perjalanan, mereka juga sudah disuguhi pemandangan fantastis kebun bunga tulip
~425~ para petani Desa Lisse yang beraneka warna. Dari atas, hamparan tulip ini tak ubahnya permadani raksasa dengan corak indah berwarna-warni. Lintang berkali-kali meminta Geri menghentikan mobilnya. Belum lagi mobil berhenti sempurna, Lintang sudah turun dan berlari menuju deretan bunga-bunga tulip. Buat apa lagi" Jelas untuk foto-foto!
Wicak yang punya tampang paling sangar ternyata cukup romantis dengan memetik satu batang bunga tulip dan memberikannya kepada Lintang. Lepas dari tingginya kadar Bollywood yang melekat pada tindakan Wicak, wanita mana pun akan tetap senang menerima setangkai bunga pemberian seorang pria. Geri yang tak sempat mencegah aksi kriminal itu langsung mengajak mereka bergegas pergi sebelum para pengawas kebun berteriak marah dan melemparkan roda traktor ke arah mereka. Pameran bunga tahunan Keukenhof tak bisa disangkal adalah salah satu floral event terbesar di Eropa, bahkan dunia. Kegiatan tahunan yang berlangsung setiap penghujung musim semi ini bahkan telah bermetamorfosis menjadi simbol kebanggaan Belanda. Ungkapan say it with flowers di Belanda bukan sebaris kalimat klise belaka. Untuk
~426~ segala hal, mulai dari ucapan ulang tahun, pernikahan, melamar pasangan, lulus-lulusan, membesuk orang sakit, undangan makan malam, selamatan dapat promosi dari kantor, hingga kendurian, bisa dirayakan dengan memberikan sekuntum, sebuket, hingga sevas besar bunga!
Dari metropolitan sampai desa kecil, di supermarket hingga pasar yang hanya buka pada hari-hari tertentu, para pedagang bunga selalu ada. Mulai dari bandrol per tangkai yang dihargai kurang dari tiga euro sampai yang sudah dirangkai cantik di vas eksklusif seharga ratusan euro. Kecintaan bangsa Belanda pada bloemen (bunga) tersirat dari keseharian mereka hingga pameran skala internasional seperti Keukenhof. Di pameran ini, Belanda juga memamerkan kemajuan teknologi budi daya tanaman yang mereka miliki dengan kehadiran berbagai spesies bunga baru yang memiliki corak dan warna yang luar biasa unik. Spesies dan peranakan tanaman terbaik diadu dalam kontes nasional. Lomba yang cukup bergengsi karena jenis kembang sang pemenang bisa dipastikan akan laris manis dicari konsumen.
Memasuki gerbang barat, Aagaban berjalan kaki melewati lautan bunga memesona di kanan-kiri
~427~ jalan. Kebun bunga Keukenhof tampak seperti Kebun Raya Bogor, dengan pepohonan rindang dan hamparan rumput di mana-mana. Yang membedakan adalah tersebarnya jutaan aneka rupa kembang yang diatur sedemikian rupa hingga membentuk pola warna-warni yang indah.
Mereka berdecak kagum dan mengomentari apiknya tatanan bunga yang tersebar di mana-mana. Nggak rugi gue bayar mahal-mahal ongkos masuk yang dua puluh euro. Worth it!
Sudah barang tentu, semua jadi tertular virus banci foto. Menghasilkan foto yang layak dipajang di halaman utama Friendster ataupun Facebook pun ternyata tidak gampang. Semua selalu ingin ikut difoto! Tripod pun menjadi solusi ampuh agar mereka semua masuk ke frame.
Lintang berteriak-teriak mengusir Daus yang tibatiba nemplok seperti kotoran burung di belakang pundaknya. Beberapa pengunjung hanya tertawa melihat kelakuan mereka berlima. Wicak bahkan tiba-tiba memiliki gaya andalan dengan melompat di tengah-tengah hamparan bunga. Banjar nyusruk di antara rangkaian tangkai bunga tulip kuning dan menggigitnya. Seperti tikus mondok yang kelaparan. Daus" Seperti biasa mengambil contoh idolanya,
~428~ Shahrukh Khan, yang duduk termenung di antara permadani bunga. Dia bahkan meminta Lintang untuk menjadi Sri Dhevi dan berlutut di hadapannya seraya menunjuk hamparan bunga di sampingnya seperti berkata, Honey, inilah bukti cintaku padamu, taman bunga seribu hektare ini kubangun hanya dalam satu malam. Terimalah cintaku! 4
Geri hanya bisa tertawa geli melihat kelakuan para sahabatnya. Sebagai mahasiswa veteran, Geri sendiri sudah kenyang pengalaman foto-foto di Keukenhof.
Setelah dua jam tanpa putus berjalan dan berfoto, mereka menemukan lokasi strategis dan nyaman untuk beristirahat. Tidak seperti bule-bule yang justru mencari secuil matahari untuk berjemur di antara lebatnya payungan pepohonan, mereka berlima justru mencari satu pohon rindang dan besar untuk berteduh. Sayang, kan, kalau item lagi, kilah Lintang. Sementara Banjar merasa tidak pernah merindukan matahari. Udah cukup urusan gue sama matahari!
Kotak-kotak berisi makanan pun terbuka. Meski semua makanan yang dibawa sudah dingin, tidak mengurangi kelezatannya. Geri bahkan menggabungkan pisang goreng buatan Lintang dan
~429~ nasi goreng Restoran Rajawali, sesuatu yang dipelajarinya dari Rendi. Memang bukan gabungan menu aneh untuk mereka yang berasal dari Sulawesi. Namun bagi Wicak, menu itu tak ubahnya makan petai campur biskuit. Daus yang juga tak sepaham dengan Geri tak mau berkomentar. Ia memilih untuk bereksperimen dengan menaburkan bawang goreng di pisang goreng yang kini siap dinikmatinya.
Banjar yang sudah bosan dengan nasi goreng restoran tempatnya bekerja hanya mencomot sepotong pisang dan bakwan. Ia lalu duduk berselonjor sambil mengebul-ngebulkan asap rokok keretek. Matanya menerawang ke arah danau kecil dengan pancuran di tengahnya. Tangan kirinya menggenggam sekaleng bir yang telah menghangat.
Hoi ... ngelamun! Lintang berseru kepada Banjar.
Banjar yang tersadar dari lamunannya menoleh ke arah Lintang. Mulutnya seperti hendak menanyakan sesuatu, tapi ia mengurungkan niatnya.
Daus yang baru menyelesaikan sepotong pisang goreng bertabur bawang goreng kini membersihkan remah-remah tepung di kausnya. Tangannya baru hendak mencomot sepotong bakwan saat sebuah tangan menyambar bakwan terakhir di kotak
~430~ Tupperware. Rakus, gue belum dapet bagian! sungut Wicak. Daus cuma nyengir dan segera mengalihkan perhatiannya ke arah kotak keretek Banjar. Tiba-tiba Wicak bertanya:
Kok Jeroen nggak diajak sih, Tang"
Iya, gue barusan mau nanya juga, tukas Banjar. Lintang hanya tersenyum dan membuang pandangannya ke arah danau. Tangannya sibuk meremas-remas kertas tisu yang berada di genggamannya.
Earth calling, Lintang ..., celoteh Daus memecah keheningan.
.... Kenapa, Nan" tanya Geri perlahan.
Ada hubungannya sama kejadian minggu lalu" Daus, Banjar, dan Wicak yang tidak tahu apa-apa dengan kejadian minggu lalu saling berpandangan. Dalam hati, mereka berusaha mereka-reka jalinan kejadian minggu lalu. Namun, tak ada sesuatu pun yang tampak ganjil atau mencurigakan. Akhirnya, Wicak yang tidak dapat menyembunyikan keheranannya memutuskan untuk menanyakan langsung kepada Lintang.
Emang minggu lalu ada apa, Tang" Kok, nggak
~431~ cerita" korek Wicak.
Geri memandang lekat ke arah Lintang. Wajahnya menunjukkan keragu-raguan. Lintang memberi kode anggukan kepala. Matanya melirik ke arah Geri. Minggu lalu gue lihat Lintang habis nangis .... Nangis" Kenapa" Daus, Wicak, dan Banjar serempak terkejut.
Lintang hanya mengangguk lalu menundukkan kepala. Hatinya teriris mengingat kejadian di Delft tepat tujuh hari yang silam. Dengan suara pelan ia menceritakan fragmen akhir pertemuannya dengan Jeroen.
Jeroen, enough games. What s going on"! Dari nada suaranya, jelas Lintang telah habis kesabarannya.
Be patient, Lintang. Calm down, tukas Jeroen sambil terus melangkah.
Saat sudah mendekati bangku yang diduduki Mieke, Lintang baru menyadari keberadaan sebuah keranjang besar dengan aksen renda biru. Keranjang bayi.
Lintang. Jeroen tersenyum sambil menghela napas panjang. Tangannya menyibakkan kanopi mungil yang menudungi keranjang.
I d like you to meet my son.
~432~ Lintang tak ingat kalimat selanjutnya. Ia hanya ingat dentang lonceng gereja yang berhenti bergema seiring hujan yang turun deras membasahi Delft. Haaah"!
Itu minggu lalu, Tang"! Kok bisa, gue kagak ngeh"!
Ah, gue udah nyangka kalau itu bule emang kurang ajar! sembur Wicak menghakimi.
Reaksi Daus, Geri, Wicak, dan Banjar yang beragam membuat Lintang tertawa. Ia tidak menyangka mereka akan begitu perhatian pada cerita putusnya dengan Jeroen. Ia kini malah khawatir jangan-jangan mereka akan menyusun sebuah rencana konyol untuk ditimpakan kepada Jeroen.
Baru tujuh hari yang lalu. Sehari sebelum lo ngasihin cobek ke gue itu lo, Ger. Ternyata, Jeroen juga baru dikabari mantan pacarnya soal bayi itu. Sebelumnya, dia nggak pernah tahu kalau mantannya ternyata hamil setelah mereka putus. Tapi, sekarang dia ngerasa harus bertanggung jawab. Lintang memberi penjelasan sambil menghela napas panjang. Such a fate. Sekalinya dapat pacar bule yang baik ... eeeh ... punya anak sama orang lain!
~433~ Tapi, gue udah nggak apa-apa, kok. Suerrr! tegas Lintang sambil mengumbar senyum manis. Ia berharap penjelasannya mampu menenangkan hati keempat sahabatnya.
Jadi, mata lo bengkak bukan karena kucing mati kan, Nan" tanya Geri sambil mengedipkan matanya.
Hehehe, ya enggaklah. Tapi, lo beneran udah nggak apa-apa" tanya Wicak sedikit khawatir.
Iye, benerrr .... Abang-Abangku Sayang, adekmu ini perempuan kuat, tegar, mandiri, dan beriman. Jadi jangan khawatir ....
Bageeeuuusss. Kita juga nggak suka kalau sampai lo nangis darah cuma karena lelaki bule kurang ajar, cetus Banjar.
Iya, bener. Laki-laki model gitu nggak usah dipusingin, Tang. Entar juga ada lagi penggantinya, jawab Daus sok bijak.
Lintang mengangguk dan tersenyum. Ternyata, proses melupakan Jeroen lebih mudah daripada dugaannya. Semua karena kehadiran Aagaban. Ketulusan mereka membuat Lintang lebih mudah untuk forgive and forget.
Dengan jail Wicak mencuri kuciran rambut
~434~ Lintang dari kepalanya. Rambut Lintang jatuh terurai. Seiring protes yang keluar dari mulutnya, ia membalas dengan menaburkan sejumput besar rumput di atas rambut Wicak. Wicak berbalik ingin membalas Lintang dengan timpukan tanah, yang nyasar mengenai batok kepala Daus. Tak lama kemudian, sebuah perang timpuk-menimpuk pecah di antara kelima anggota Aagaban. Mereka berlomba mencari korban, kejar-kejaran sambil tertawa keras, sampai akhirnya diusir satpam taman karena menyebabkan keributan.
Ternyata, jadi juga kejar-kejaran di tengah kembang setaman, pikir Lintang sambil tersenyum di dalam hati.
1 Salah satu stasiun TV di Belanda yang isinya khusus mengenai
Indonesia. 2 Bener, dong" Namanya, kan, tempe penyet, jadi prosesnya dinamakan pemenyetan. Kalau namanya tempe garuk, namanya & . Ah, udahlah, nggak penting.
3 Makanan khas Belanda, terbuat dari kentang yang dihancurkan.
Biasanya dicampur dengan sayuran, seperti kol dan sosis. 4 Woooi ... salah setting, woi! Itu bukannya Bandung Bondowoso ama Roro Jonggrang"
~435~ Alles is Liefde [Semua Adalah Cinta] starlight: join my conference ....
Baik Daus, Banjar, maupun Wicak hanya melirik sebentar ke arah undangan chatting kiriman Lintang. Tak ada tanda-tanda salah seorang dari mereka bakal menggamit mouse untuk memijit tombol bertuliskan accept. Sedetik, tiga puluh detik, satu menit, Lintang akhirnya menutup window conference dengan raut wajah kesal. Begitu layar invitation ditutup, tanpa dikomando, tiga pasang tangan menyerbu keyboard masing-masing.
Pesan dari Daus. anak_gang_sanip: Duh, sori, Tang, ane lagi
males ngerumpi bareng-bareng .... Dari komputer Wicak.
greenwarrior: Gue ngobrol ama lo aja ya, Tang
~436~ .... Dan terakhir dari Banjar yang sok cuek. izbanjar: Gue cuman iseng nge-buzz lo tadi, Tang, sebenernya lagi sibuk ngeberesin tulisan ... kalau ikutan conference, gue bakal ilang konsentrasi.
Lintang menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Ia tak habis pikir, Ada apa, sih, sama bocahbocah ini"
Sejak dua minggu terakhir, tak seorang pun di antara mereka yang sudi memasuki conference room ciptaannya. Padahal, dulu conference biasa digelar berkali-kali dalam seminggu.
Sementara itu, di window yang terpisah-pisah, ia sibuk meladeni ketiga pria ini mengobrol. Kenapa pada nggak mau satu room aja, sih" Kan, gue ribet mesti ngejawab satu-satu. Emangnya gue customer service"! umpatnya dalam hati.
Pikirannya kini melayang kepada Geri yang juga lama menghilang dari dunia maya. Akhir-akhir ini intensitas online Geri memang menunjukkan kurva penurunan yang drastis, menyerupai angka
~437~ penjualan TV selepas Piala Dunia. Ia sibuk bergulat dengan beberapa tugas tambahan akibat nilai ujian yang jeblok. Kesibukan sebagai ketua panitia pertemuan PPI se-Eropa ternyata berimbas negatif pada prestasi studinya. Rencana keluarganya untuk berlibur ke Belanda pun menjadikan kesibukannya semakin menggila. Semua tugas dan tesis harus rampung sebelum mereka datang.
Setelah berkontemplasi sebentar, Lintang memungut HP hendak memijit sebuah nomor khusus yang tersimpan dalam speed dial teleponnya. Namun, saat ujung jempol tinggal seperseribu milimeter dari tombol call, ia mengurungkan niatnya.
Kasihan ah, gangguin Geri cuma buat curhat nggak penting soal Daus, Wicak, dan Banjar.
Semua berawal dari kejadian di Keukenhof. Tiga hari setelah menyambangi taman tulip raksasa yang berakhir dengan terungkapnya kisah tragis Lintang, Wicak meneguhkan hatinya untuk menyambangi gadis cantik itu di Leiden. Ia bahkan tidak menelepon terlebih dulu. Entah karena ingin memberikan kejutan atau sekadar terdorong rasa takut kalau-kalau Lintang menolak kedatangannya.
~438~ Akan tetapi, apa boleh buat, dengan buket besar tulip warna-warni di genggaman, pria cungkring itu kini gemetar di depan pintu apartemen Lintang. Kausnya basah kuyup oleh keringat. Udara sore itu memang kurang ajar panasnya. Namun, bukan itu alasan yang memicu hormon tubuhnya untuk melepas buliran air melalui pori-pori di sekujur tubuh.
Keringatnya mengucur deras setiap kali membayangkan bagaimana sambutan Lintang atas kehadirannya bersama seikat besar bunga. Biasa-biasa sajakah" Ataukah terkejut lalu senang" Atau justru malah bingung" Gawatnya lagi, bagaimana kalau Lintang malah menjerit ketakutan dan lari tunggang langgang"
Teeet! Wicak kembali menekan bel apartemen, setelah tiga usaha sebelumnya tidak menunjukkan respons.
Akhirnya, pintu depan apartemen Lintang terbuka. Namun, bukan wajah Lintang yang ditemui di balik pintu.
Excuse me, is she at home" tanya Wicak kepada gadis asal Macedonia di hadapannya.
Who" tanya Arbenita bingung.
Ia lupa, Arbenita belum pernah bertemu
~439~ dengannya. Padahal, Wicak serasa sudah mengenalnya secara akrab melalui cerita-cerita Lintang tentang roommate-nya yang superbawel.
Lintang, jawab Wicak singkat. Jantungnya berdebaran tak keruan.
Ooo, nooo ... she s not at home. I think she said she was going to Rotterdam this afternoon, jawab Arbenita sambil tersenyum manis ke arah Wicak. Pandangannya beralih ke buket besar tulip di hadapannya.
Err, well then, could you give this to her" I just stopped by to find out how she is doing.
Sure! Dan, bunga pun berpindah tangan. Wicak balik kanan bubar jalan dan berlari menuruni tangga. Tinggal Arbenita yang kebingungan. Ia tidak menjumpai sebentuk kartu ucapan atau identitas apa pun yang menjelaskan siapa si pemberi bunga. Tanpa disadarinya, Wicak baru saja mengulangi kesalahan tragedi surat cinta Siti Rosmah yang pernah dibuatnya saat duduk di kelas tiga SMP.
Malam hari, tatkala Lintang kembali dari Rotterdam, ia keheranan melihat seikat besar bunga tulip di atas kasurnya. Hanya ada selembar surat dari Arbenita yang menjelaskan bahwa sang bunga datang
~440~ bersama seorang pria yang kelihatannya sebangsa se- Tanah Air dengan Lintang. Di penutup suratnya, Arbenita menambahkan sepotong informasi. Ps : I m sure he was someone from one of your Keukenhof pictures!
Heh" Tumben amat anak Aagaban ngasih bunga segala" batin Lintang.
Semenit kemudian empat SMS melayang serempak menuju ponsel Geri, Daus, Wicak, dan Banjar. Eh guys, siapa nih yang kirim-kirim tulip" Kok, nggak bilang-bilang mau dateng" Tadi gue lagi ngopi sama Banjar di Rotty. Gue udah nggak apa-apa kok sejak putus, bener deh! Nggak usah dihibur pakai tulip segala. Tapi anyway, makasih ya bunganya!
Lintang lalu tersadar. Buat apa mengirim pesan ke Banjar, lha wong sepanjang sore ia menghabiskan waktu di Rotterdam bersamanya. Buang-buang pulsa aja! Apalagi, Lintang hampir seratus persen yakin cuma Geri seorang di antara mereka berempat yang cukup sensitif untuk datang menjenguk dengan
~441~ membawa seikat bunga kesukaannya.
Di empat lokasi terpisah di Belanda, SMS Lintang masuk ke HP para pria Aagaban dan memunculkan reaksi berbeda-beda.
Nun jauh di Rotterdam, Banjar sedang memutar otak. Siapa yang ngasih bunga ke Lintang" Pasti Geri! Bisa juga Wicak. Atau malah Daus" Kelakuan dia juga suka dangdut. Semua mungkin! Siapa pun itu, bukan lawan tangguh gue. Eh ... kecuali Geri, ding. Kampret!
Di Utrecht, Daus juga lagi mikir lelaki mana di antara Wicak dan Geri yang berani-beraninya mendekati Neng Lintang sebelum masa idah empat puluh hari berlalu. Khusus untuk Banjar, Kurang ajar bawa Lintang ngopi ke Rotterdam nggak bilangbilang! umpat Daus dalam hati.
Sementara di Wageningen, Wicak membenturbenturkan kepalanya ke tembok mengutuki ketololannya. Membaca SMS Lintang, ia tersadar bahwa bukan hanya dirinya yang tertarik kepada Lintang. Banjar juga! Dia malah bergerak lebih cepat!
Di Leiden, Lintang sendiri heran karena tak ada tanggapan yang masuk ke HP-nya. Geri pun yang diyakininya sebagai pelaku tak memberi respons. Jangan-jangan, bunga tersebut kiriman mereka ramai-ramai" Ah, pasti begitu! pikirnya polos, How
~442~ sweet of them! Padahal, tanpa sepengetahuannya, Daus, Wicak, dan Banjar tak membalas karena alasan yang berbeda-beda. Wicak jelas tak berani mengaku. Niatan di balik kiriman bunganya sudah salah kaprah. Sementara Daus dan Banjar memilih diam untuk alasan oportunis. Lumayan juga dikira ngasih surprise kiriman bunga! Kan, bisa jadi nilai tambah di mata Lintang!
Sementara Geri" Geri tak membalas untuk alasan yang sangat sederhana: SMS Lintang belum terbaca! Rongrongan kepanitiaan PPI plus SMS bertubi dari keluarganya tentang rencana liburan ternyata membuat Geri stres berat, dan memilih untuk mendiamkan sementara semua SMS masuk. Ia harus berkonsentrasi penuh pada tenggat waktu perbaikan bab yang telah ditetapkan pembimbing tesisnya!
Semenjak hari itu, SMS polos Lintang menjadi awal pecahnya perang dingin di antara Wicak, Daus, dan Banjar. Bahkan Geri, yang tidak tahu-menahu soal bunga penyebab konflik, ikut kena aksi diam ketiga pria tersebut. Tapi, berhubung Geri sibuk dalam dunianya sendiri, ia tak menyadari situasi pelik yang tengah menyelimuti sahabat-sahabatnya.
~443~ Sejak itu, Wicak, Daus, dan Banjar sibuk melancarkan jurus-jurus strategi PDKT masingmasing kepada Lintang. Pekan lalu, Lintang menghabiskan hari Minggu-nya di Wageningen menikmati jus stroberi dan semangkuk besar tongseng kambing atas undangan Wicak. Kamis malam, ia menonton film indie ditemani Banjar di Bioskop Path" Den Haag, dilanjutkan minum tonik di Havana, klub salsa tetangga bioskop.
Malam Minggu berikutnya, selepas mengajar tari di KBRI dan menyelesaikan paper setebal sebelas halaman, Lintang ditraktir Wicak nonton di Theater Tuschinski Amsterdam menyaksikan pemutaran perdana sebuah film Hollywood terkenal. Minggu sore, giliran Daus menawarkan jasanya untuk mengedit satu bab tesis Lintang, lalu mengajaknya menikmati secangkir kopi di samping kanal tua Kota Leiden.
Suatu hari, sebuah SMS dari Daus membuat perang merebut hati Lintang semakin memanas. Sobats, gue abis nginep di kamar Lintang nih. Ngopi dululah di Leiden kalau mau denger cerita lengkapnya.
~444~ Entah apa yang ada di kepala Daus hingga merasa harus pamer bahwa ia baru saja menginap semalaman di kamar Lintang. SMS itu terkirim kepada Banjar, Wicak, dan Geri. Namun, hanya Wicak dan Banjar yang langsung bereaksi naik kereta menuju Leiden.
Ya gitu deh, kemarin gue jalan-jalan ama temen seangkatan gue di UI dulu. Namanya Neng Ester, Daus bercerita santai sambil menyeruput kopi di Caf" Annie s Verjaardag, setibanya Wicak dan Banjar di Leiden.
Gue sama Ester jalan-jalan keliling Leiden. Nggak tahunya, si Neng Ester tinggal satu bangunan asrama sama Lintang! Ya ude, ane mampir aje ke apartemen Lintang. Nah, doi kebetulan lagi bermasalah sama Mac-nya minta tolong install ulang laptop. Tahu sendiri, kan, susahnye ngutak-atik komputer Apple" Jadi keterusan deh, sampe tengah malem! Sampe kereta balik terakhir ke Utrecht kelewatan. Jadilah gue nginep di kamar Lintang, ngegosip sampe tepar.
Kafe tersebut terletak di atas sebuah dok kapal tua, tepat di atas kanal yang dipenuhi kapal-kapal antik berbagai ukuran. Di sisi utara terlihat sebuah jembatan tua indah berpagar beton berukir. Di
~445~ seberang kanal, terhampar pemandangan toko-toko dan kafe-kafe yang selama musim panas selalu penuh dengan pengunjung. Inilah kafe favorit pilihan Daus untuk duduk ngopi-ngopi di Leiden. Alasannya sama dengan Wicak. Kalau di Jakarta kita harus membayar mahal untuk mendapat suasana seindah ini, sedang di Belanda hampir semua kafe menyajikan kemewahan semacam ini.
Wicak dan Banjar memendam dongkol seusai mendengar cerita Daus. Alasan kehabisan kereta sungguh sangat tidak bermutu. Randstad alias kotakota utama di Nederlaand dianugerahi kemewahan berupa nachttrain (kereta malam). Selepas tengah malam, setiap satu jam pasti lewat sebuah kereta yang menghubungkan kota-kota besar tersebut. Termasuk Utrecht.
Terus, tidurnya" Lo doang sama Lintang gitu" Banjar kelepasan penasaran.
Sekamar"! Kenapa lo nggak di sofa" Wicak juga, sudah tak mampu bersandiwara. Susah berhadapan dengan cowok emosional. Kelakuan (dan pikiran) mereka kembali primitif.
Iyelah. Sekamar. Lintang nawarin extra bed di kamarnye ..., ucap Daus sambil mengulum senyum kemenangan.
~446~ Ternyata ..., wuih asoi, Jek! Daus makin bikin panas.
Kunyuk! Kok bisa, kok nggak ditaruh di luar extra bed-nya" Banjar dan Wicak menuntut penjelasan. Sudah jelas darah mereka makin mendidih sirik. Hehehe. Daus terkekeh sejenak.
Tenang ya, Sohib! Tidak ada yang perlu dicemaskan! Teman kita gue tinggalkan masih berstatus perawan!
.... .... Uh eh, hummm. Baguslah, gue udah heran aja kirain Lintang kena pelet apaan, mau tidur bareng cumi-cumi, komentar Wicak, mencoba berakting sok cool kembali.
Uh, beruntung banget lo, Sapi. Minimal lo bisa eksklusif mandangin Lintang. Pake apa die semalem" Kali ini Banjar yang angkat bicara. Dasar cowok-cowok. Kalau sudah menyangkut cewek incaran, sering kali pikiran mereka sangat linear dan mudah ditebak!
Daus menjawab dengan pandangan nakal. Pake daster, seksi! Kalau dilihat-lihat, kakinya ternyata nggak gitu bagus. Panjang dan langsing sih, tapi ya, itu ... mungkin belum sempet cukur. Tapi,
~447~ memang dia cantik banget ....
Tapi, kalau ane pikir-pikir, mending bobok bareng Neng Ester, imut tuh. Pas nengok kamarnye di lantai atas, ternyata nggak ada extra bed, hihihi.
Komentar terakhir disambut timpukan gula sachet dari Wicak dan Banjar.
Semua drama sandiwara itu memang bagian dari strategi Daus. Dari awal ia sudah curiga kalau Wicak dan Banjar juga menaruh hati kepada Lintang. Kini waktunya mengeluarkan kartu truf untuk membuktikan dugaannya.
Cak, ane mau nanya .... Daus memulai dengan nada serius.
.... Apa maksud ente ngirim bunga buat Lintang" Wicak kaget langsung ditembak pertanyaan itu. Ia hanya bisa melongo memandang Daus yang sedang memainkan gelas kopi kosongnya.
Kata siapa gue yang ngirim"! Wicak berusaha mengelak, tapi dari tatapan matanya sudah jelas tersirat kepanikan telah tertangkap basah.
Halaaah, ude nggak usah ngeles! Kemarin waktu nginep, gue nanya ama Arbenita, yang bawain bunganya cakep, nggak" Dia bilang biasa aja, jadi pasti bukan Geri! Yang mukanya buduk, kan, tinggal ente berdua. Sorenya Lintang masih sama Banjar, jadi
~448~ pasti lo yang ngirim! Iya, kan"!
Banjar terkesiap mendengar deduksi Daus. Dalam hati ia sempat yakin kalau pelakunya adalah Geri. Kini ia menoleh ke arah Wicak, menuntut penjelasan.
Terus kalau emang gue, kenapa Us" Lo keberatan" tukas Wicak, berusaha mengalihkan perhatian.
..... Banjar ngajak Lintang ngopi berduaan, lo tidur sekamar ama Lintang, lalu kenapa, lo mesti keberatan gue ngasih kembang ke Lintang"
Daus tak dapat menjawab, mukanya sedikit memerah. Tak disangkanya Wicak akan bereaksi sekeras itu.
Lintang ... Lintang tahu kalau yang ngirim kembang itu gue" tanya Wicak, kini dengan nada sedikit panik.
Kagak! jawab Daus tenang sambil menyulut rokok.
Dia nyangkanya tu kembang kiriman kita ramerame, buat ngehibur dia abis putus! Tu anak emang nggak bakat curigaan. Ya udah, gue biarin aje dia nyangka begitu. Daripada dia jatuh pingsan, shock. Wicak menghela napas lega.
~449~ Pantesan dia nggak nyebut-nyebut lagi kalau lagi chatting, komentar Banjar.
Ya, kalau kalian juga suka sama Lintang silakan usaha! Dia bukan pacar siapa-siapa, jadi siapa pun di meja ini berhak ....
Berhak apa, Cak" potong Banjar dengan tatapan dingin.
Tidak ada jawaban. Semua pun tenggelam dalam pikiran masing-masing. Bahkan, pengalihan topik ke kesibukan belajar masing-masing pun tidak mampu meredam suasana yang sudah telanjur kaku. Perang dingin pun berjalan terus dan semakin berkobar.
~450~ Koude Oorlog [Perang Dingin] Kaum Adam memang unik. Hanya gara-gara sebatang rokok, hubungan mereka dapat merekat seperti sudah saling mengenal semenjak balita. Namun, semua perasaan bersahabat bisa lenyap dalam sekejap hanya gara-gara memperebutkan seorang perempuan.
Sejak pertemuan di Leiden, Wicak, Banjar, dan Daus tak pernah lagi bertegur sapa. Penyebabnya tak hanya karena perang dingin, tapi juga karena mereka semua kini memasuki tahapan kritis kehidupan mahasiswa sehingga menenggelamkan diri dengan kesibukan belajar masing-masing. Ujian akhir, schriftelijk tentamen (ujian tertulis), verbal tentamen (ujian lisan), final paper, ditambah dengan deadline penyerahan proposal tesis juga semakin melebarkan jurang pemisah antara anggota Aagaban.
Kamar Wicak, Flat Bornsesteeg,
~451~ Wageningen, 30 Mei, 02.45
Kamar dengan gorden bercorak khas itu sudah penuh dengan asap rokok. Kopi hitam kental satu gelas besar tersaji di atas meja. Tumpukan buku menggunung seakan satu rak perpustakaan berpindah lokasi ke kamar Wicak. Kertas-kertas print out berserakan di lantai. Sementara layar laptop menampilkan selusin window berbau manajemen kehutanan. Raut muka: kusut mode on.
Berikut jadwal keseharian Wicak. 04:00 Baru bisa terlelap sehabis menunaikan shalat Subuh (kalau musim ujian tiba-tiba ia menjelma seorang hamba yang saleh). 10:00 Masak sarapan, makan sambil membaca
sisa bacaan semalam. 11:00 Mengayuh sepeda ke perpustakaan
sambil pusing memikirkan nasib paper. 12:00 Berkutat mencari tambahan materi di
perpustakaan. 14:00 Makan siang disambi diskusi dengan
teman satu kelas. 15:00 Membaca materi-materi baru yang sudah
dikumpulkan. 19:00 Mengayuh sepeda pulang ke apartemen,
~452~ otak terus berputar mencerna beragam informasi baru yang diperoleh di perpustakaan.
20:00 Masak makan malam, mengistirahatkan badan, dan mencegah kram otak dengan browsing, serta menyempatkan diri membaca halaman depan situs web BBC agar tidak ketinggalan informasi terkini. 21:00 Kembali ke laptop diselingi memberi stabilo pada jurnal yang sudah di-print. Menyeduh kopi. Gelas pertama dari maksimal empat.
24:00 Mulai gelisah, akhirnya mencurahkan isi hati di blog. Bayangan Lintang biasanya mulai menari-nari pada saat-saat seperti ini. Bila sudah begitu, Wicak termenung memandang lukisan wajah Lintang yang sempat dilukisnya sewaktu riset di Texel. 01:00 Perasaan stres mulai muncul. Merasa dirinya seonggok tulang belulang tak berguna. Kok, bego banget ya, kenapa gue nggak sepintar orang lain"
01:30 Sadar dari lamunan, lalu belajar lagi sampai mata terasa berat dan tiba waktunya untuk menunaikan shalat Subuh.
~453~ Kegiatan superpadat tersebut terus dilakukannya bahkan saat weekend. Benar-benar mirip usaha sopir metromini mengejar setoran. Kalau lagi butuh pelampiasan kepenatan fisik dan mental, ia suka naik kereta dari Wageningen ke Schiphol. Bukan karena frustrasi terus memutuskan pulang kampung, melainkan karena ia menikmati duduk-duduk sendirian di tengah keramaian bandara, memperhatikan orang yang berlalu-lalang. Kadangkadang ia melangkah ke arah luar bandara untuk menikmati pemandangan bangunan-bangunan kompleks Schiphol sambil mengepulkan asap keretek. Cukup lama hingga otaknya ter-recharge kembali. Setiap kali singgah di Schiphol, selalu tebersit pikiran untuk melanjutkan perjalanan ke Leiden. Niat yang selalu diurungkan sebelum kembali ke Wageningen meneruskan riset.
Stres akibat belajar membuat setiap orang mempunyai cara unik tersendiri untuk melepas penat. Bahkan, seorang peneliti astronomi satu asrama dengan Lintang kabarnya suka melakukan hal yang lumayan aneh. Ia jalan kaki pulang pergi asrama-kampus yang jaraknya sepuluh kilometer. Setiap hari. Stres penelitian, katanya.
~454~ Kamar Banjar, Apartemen Meneer Yves, Westhof, Rotterdam, 30 Mei, 15.30 Kamar ini jauh dari kesan rapi. Entah kenapa, meski sang empunya cuma punya satu kasur single, satu lemari pakaian, dan televisi berukuran kecil, banyak pernak-pernik yang berseliweran tidak pada tempatnya. Yves, sang landlord pemilik apartemen, tinggal satu lantai di bawahnya.
Banjar sedang duduk di kursi kerja di depan meja belajar. Di hadapannya ada laptop, plus segelas espresso panas. Di sisi kanan tergeletak sepiring gorengan tavuk (sosis ayam turki yang panjangpanjang) dan botol wine murahan yang hampir kosong. Meja belajar itu memiliki ukuran yang besar. Luasnya mendominasi kamar sempit dengan sebuah jendela yang memiliki hamparan pemandangan deretan bengkel di seberang.
Setelah menjalani gaya hidup eksekutif muda papan atas sekian lama, Banjar memiliki mental yang terasah menghadapi rasa stres. Ia lebih tertata dan terpola. Kagok sejenak di awal masa kuliah, setelah itu ia bisa menyesuaikan diri dengan mulus.
Kelebihan Banjar mengatur jadwal riset membuatnya punya waktu lebih dalam finishing
~455~ tesis. Waktu lebih untuk urusan memoles tesis jelas ia butuhkan demi mengakomodasi sifat obsesif kompulsif yang bersemayam di jiwanya. Yang membuat ia masih sedikit keteteran hanya aktivitasnya nyambi bekerja di restoran.
Akan tetapi, semua keteraturan yang dimilikinya tidak berarti saat shit happens:
BLUP! What da ..." Banjar terkejut bukan alang kepalang.
Seakan waktu berhenti khusus di kediaman Banjar dan radius lima kilometer di sekitarnya. Banjar tidak memercayai takdir Tuhan yang baru saja menimpanya.
Laptop yang telah dianggap sebagai belahan jiwa telah berkhianat. Crash. Mati. Permanently shutdown. Kaput. Snowball effect dari kejadian ini sudah terbayang secara sistematis di kepala Banjar yang mendadak panas:
a. Ia tidak memiliki back up data karena tidak punya
uang lebih untuk menebus hard disk portable. b. Pekerjaan hard disk recovery cukup mahal dan
tidak bisa selesai dalam waktu singkat. c. Padahal, ada tiga dokumen penting yang sudah harus dicetak: proposal tesis yang akan deadline tiga
~456~ minggu lagi, dua final paper kasus pemasaran yang pasti diganjar ponten sembilan oleh sang Profesor saking sempurnanya, dan yang jauh lebih berharga, draft tesis yang segera akan dieksekusi begitu proposal tembus.
d. Tambahkan hilangnya berbagai rough data file plus 2 giga folder berisi foto-foto narsis selama tinggal di Eropa.
Jelas Banjar merasa keriting papan seketika. Ia mengeluarkan raungan serigala jadi-jadian. Suaranya menggelegar hingga seisi rumah geger.
Di lantai bawah, sang landlord bersama istrinya sedang asyik ngopi sambil nonton TV.
Aya werewolf di atap, Schaatje" tanya sang istri kaget.
Nee. Hari masih sore begini, itu pasti Iskandar, sahut sang suami cuek.
Banjar ubah wujud jadi serigala" Pan belum purnama" sahut si istri masih belum tune in.
Purnama belum, Schaatje, musim ujian sudah, balas sang suami yang rupanya lebih mafhum.
Oh, pas musim ujian, mahasiswa Indonesia suka jadi serigala, yah" komentar istrinya sembari membuka stoples kue.
~457~ Natuurlijk. Biarkanlah, nanti kalau sudah lapar juga jinak.
Keduanya lalu melanjutkan aktivitas leha-leha. Tiga puluh menit kemudian suara raungan bercampur erangan itu berhenti. Sejam kemudian Banjar turun tangga, wajah kusutnya tidak memedulikan tatapan pasangan landlord. Yves berbasa-basi sedikit: Kenapa jij teriak-teriak" Pusing ujian"
Banjar tidak menjawab, ia sedang tak selera untuk bersopan santun. Segera dihidupkannya kompor dan mulai menggoreng dua potong sosis berukuran jumbo. Begitu matang, ia membawanya ke lantai atas.
Sang istri berbisik kepada suaminya, Pap, bener, serigala Melayu kalau laper malah jadi jinak.
Aaarrrggghhh!!! Suara erangan kembali bergema dari Lantai 3. Istri Yves meloncat kaget dari tempat duduknya.
Di kamarnya, Banjar termenung memikirkan masa depan. Gagal riset hanya karena komputer crash adalah sebuah kekalahan. Dan, Banjar bukan tipe pria yang gampang melempar handuk putih tanda menyerah. Diperhatikannya lamat-lamat layar abuabu di hadapannya. Tangannya sibuk menekan tuts~458~
Negeri Van Orange Karya Wahyuningrat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tuts yang sekiranya secara ajaib mampu menghidupkan mesin berprosesor dobel tersebut. Namun, harapannya kandas. Tidak ada keajaiban yang terjadi kali ini. Dengan lemas dipungutnya PDA dari atas kasur. Menu-contact-Lintang-call.
Ya udah, Jar, telepon Daus, gih. Dia, kan, paling jago komputer ..., saran Lintang.
Hmmm, nggak deh .... Keras kepala banget, sih! Emang kenapa kalau minta tolong Daus"
Hmmm, nggak deh .... Ya udah. Minta saran, tapi nggak mau diturutin, lalu buat apa telepon"
Hmmm .... Ham-hem, ham-hem! Dui! Dengan kesal Lintang memutuskan sambungan.
Gue cuman pengin curhat, kok, nggak pengin minta saran, apalagi sarannya minta tolong ama Daus! Mendingan minta tolong sama kaleng bir! keluh hati Banjar sedih seraya menenggak habis isi botol wine. Kamar Daus, Kompleks Warande, Zeist, 29 Mei, 18.30
Sang empunya kamar sedang tidak berada di tempat. Empat jam kemudian ....
~459~ Daus belum juga kembali. Bahkan hingga keesokan harinya.
Rupanya Daus sedang berada lima belas kilometer dari Zeist. Di Centrum Kota Utrecht, pemuda ini sedang duduk menikmati segelas mochachino dingin sambil tertawa-tawa ditemani dua kenalan baru yang ia dapatkan dari Himpunan Mahasiswa Indonesia Utrecht. Kiki dan Koko, dua setan gangguan belajar du jure. Dari gelak tawanya, Daus seolah tidak memedulikan beban studi yang sedang mengimpitnya.
Kiki dan Koko adalah duo pria botak asli produk Bogor. Keduanya baru saja mendarat di Utrecht sebulan sebelum season finale kuliah Daus. These guys are very nice guys. Hanya saja, mereka pintar membuat Daus jadi anak nongkrong . Kiki adalah mahasiswa program Ph.D. di Utrecht yang baru menyelesaikan master di Universitas Paris XII, Prancis. Sementara Koko adalah mahasiswa program master seperti halnya Daus. Bedanya, Koko sudah menyelesaikan kewajibannya dan berhak atas titel M.Sc. dari sebuah universitas teknik di Leipzig, Jerman. Di Utrecht, ia memutuskan untuk menuntaskan masa-masa di penghujung jatah
~460~ tinggalnya di luar negeri.
Koko selalu full energy untuk bersenang-senang. Lalu apa yang salah dengan Kiki" Kiki adalah cerminan tipikal mahasiswa program Ph.D. di Belanda khususnya dan di dunia pada umumnya: 1. Mereka dianugerahi dana yang lebih banyak
daripada mahasiswa master. 2. Mereka mendapat gaji bulanan. Kewajiban yang harus ditunaikan adalah menyelesaikan target proyek, seperti riset berupa buku beberapa bab, dengan masa kerja sekitar 3 4 tahun.
3. Less supervision membuat mereka bebas mengatur jadwal sendiri dalam riset, apalagi kalau mereka tidak punya kewajiban ikut kelas.
Setelah menghabiskan isi gelasnya, Daus mengikuti sang duo botak melangkahkan kaki memasuki sebuah area yang sebelumnya haram untuk dimasuki seorang cucu kiai. Tempat bising dengan atmosfer penuh racun asap rokok yang meluncur di sela-sela embusan pendingin ruangan yang bernama: KASINO. Setelah keberadaan red light district, legalisasi ganja, dan pernikahan sesama jenis, Belanda juga merasa perlu menyuburkan usaha judi terlokalisasi dalam sebuah kasino.
~461~ Di tempat yang sebelumnya hanya ia kenal dari film-film James Bond, Daus mulai celingukan. Ia mengusap-usap potongan rambut baru (model nyaris botak) buah karya Kiki yang meminjam alat cukur elektrik milik Koko. Dengan potongan rambut sebelas-dua belas, ketiganya mirip anak panti asuhan yang baru dapat kesempatan keluar asrama.
Udah ikut aje, Us, kita jadi pengamat. Mengamati orang mengadu nasib membuang-buang uang. Itu embusan Kiki yang sok bijak saat melihat Daus mulai ragu saat hendak memasuki arena perjudian.
Ude pasang aje, Us, rasain sedikit adrenalin lo naek pas naro uang. Sensasi deg-degannya itu lho. Bukan uang lo ini, uang pemerintah Belanda, giliran Koko membisiki dari belakang telinga.
Godaan setan memang kuat. Apalagi, kalau wujudnya dua jin gundul. Daus sebelumnya sudah puas menjadi observer, kini bersiap-siap bertaruh. Permainan pilihannya berbeda dengan judi koprok di depan kompleks Pemakaman Gembrong yang sering dilihatnya dulu. Pilihannya jatuh pada permainan black jack yang sudah sering dimainkannya di komputer.
Mungkin ini yang disebut Beginner s Luck. Daus menang pada percobaan pertama! Sorak-sorai
~462~ menggema dari belakang layar. Total jenderal ia langsung mengantongi empat ratus euro! Kiki dan Koko berjoget dangdut dengan iringan musik dari mulut mereka masing-masing. Cukup lucu, yang satu menyanyikan lagu mars Oktoberfest , satunya lagi mendendangkan Les Marseillaise .
Akan tetapi, benar kata pepatah, bohong kalau sudah menang lantas ingat untuk pulang. Tepat pukul dua pagi, aktivitas itu berakhir saat semua uang yang ada di kantong ludes tak bersisa. Daus masih cukup beruntung karena ia sedang tidak punya uang banyak sehingga kerugian yang dialaminya tidak setelak kerugian Kiki dan Koko. Dengan lesu, mereka akhirnya pulang berjalan kaki sembari tertawa kecut.
Sepanjang perjalanan, petuah-petuah Engkong terus melintas di kepala Daus. Saat menyeberang jembatan dekat Post Kantoor, bayangan Engkong memelesat mendahului. Telinga Daus sempat menangkap bisikan bijak penuh kasih sayang:
Us, inget nasihat Engkong, jauhi maksiat. Lo malah masuk tempat maksiat! Mending kalah biar kapok, ye"
Godaan memang senantiasa menghiasi hari-hari yang seharusnya dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh Daus untuk kesempurnaan misinya di Negeri Kincir Angin.
~463~ Kadang godaan datang dalam bentuk makanmakan pengajian.
Daus, udah ditunggu nih sama kawan-kawan buat pimpin doa. Gulai kambingnya juga udah siap. Demikian bunyi telepon Pak Ustaz yang masih merasa belum afdal kalau belum dibuka sama perwakilan Departemen Agama dari Tanah Air. Lagi pula pantang, kan, nolak rezeki makan-makan" Godaan juga bisa berupa acara olahraga. Us, kurang pemain, nih, buat tim basket campuran! Ayo, buruan datang! Bayangan cewek bule bercelana pendek membuat Daus mengayuh sepeda lebih cepat.
Atau, event kesenian. Us, kita udah mau mulai rapat buat pertunjukan kesenian Indonesia. Buruan ke sini. Yang mengundang tentu bukan tokoh yang disegani, melainkan Wati, gadis manis asal Karanganyar penerima beasiswa seni tari dengan fokus studi tayub.
Walhasil, minim sekali waktu Daus yang tersisa untuk belajar, membolak-balik buku-buku hukum yang tebalnya tidak manusiawi.
Kamar Lintang, Leiden, 30 Mei, 20.30
~464~ Lintang terperenyak di depan laptopnya. Sudah beberapa hari terakhir sebuah surel mahapenting telah bersarang di inbox. Dan, malam ini ternyata ia mendapat sebuah surel dari seseorang yang tak disangka-sangka, yang memberinya sebuah pilihan yang sama penting. Belum pernah seumur hidupnya Lintang merasa begitu dilematis membuat pilihan hidup. Dan empat sahabat yang selama ini ia andalkan sebagai dewan penasihat pribadi seperti tengah sibuk dalam dunia mereka masing-masing. Duh, nggak bisa terus-terusan begini, batin Lintang. Seperempat jam kemudian, Aagaban sepakat untuk menemui Lintang di Den Haag lusa depan.
Kafe Popocatepetl, Den Haag, 1 Juni, 16.00
Jadi, menurut kalian gue mesti gimana, dong" Kalau lo di posisi gue, apa yang bakal lo lakukan" tanya Lintang memelas pada keempat sahabatnya.
Kelima Aagaban sedang duduk melingkar di depan sebuah kafe kecil bersuasana cozy yang terletak hanya sepelemparan batu dari Bioskop Path" Den Haag. Pilihan meja al fresco (outdoor) cocok mengingat musim sudah resmi berganti summer. Di atas meja
~465~ bundar berukuran besar sudah ada bergelas-gelas jus dan minuman bersoda untuk menghilangkan dahaga siang hari yang panas. Acara ngafe di Den Haag ini merupakan acara kumpul kali pertama sejak pecahnya perang dingin, yang cuma dimungkinkan atas undangan Lintang yang katanya ingin semuanya hadir untuk sesi curhat penting. Namun, di balik itu, gadis ini juga menyimpan agenda mahapenting lainnya menyangkut keselamatan umat manusia.
Apa yang dialami Lintang memang sebuah dilema klasik yang dialami banyak mahasiswa yang pernah bersekolah ke luar negeri. Yaitu menjawab pertanyaan Untuk apa pulang ke Indonesia" .
Lintang tengah dihadapkan situasi yang enak-nggak enak karena harus memilih di antara dua pilihan yang sama bagus, tapi juga sama sulitnya. Pilihan pertama, menerima tawaran mengajar tari dari Universitas Maastricht. Ternyata, kerja kerasnya mengajar tari di KBRI menarik perhatian seorang dosen tamu Unimaas keturunan Indonesia yang sedang bertandang ke KBRI Den Haag. Ia menawari Lintang menjadi dosen tamu Faculty of Arts di Unimaas, mengajar kelas tari Indonesia yang kebetulan baru ditinggalkan dosen lamanya yang telah kembali ke Tanah Air. Lintang sangat
~466~ tersanjung mendapat tawaran kerja seperti itu, mimpinya seperti jadi kenyataan. Namun, setelah kisah cintanya dengan Jeroen bubar, semangatnya untuk bertahan di Belanda kini sedikit memudar.
Sementara pilihan kedua, kembali ke Tanah Air dan mencoba ikut tes masuk Deplu seperti saran Daus! Ternyata, Bang Acil yang selama ini kerap adu argumen dengan Lintang diam-diam memberikan rekomendasi kepada istrinya yang bekerja di Deplu untuk mencoba merekrut Lintang menjadi diplomat. Bang Acil mengagumi hasil kerja keras Lintang di PPI serta aktivitasnya yang membeludak di kampus dan KBRI. Atas saran suaminya, Mbak Wita mengirimkan surel pribadi, berusaha meyakinkan Lintang untuk mempertimbangkan Deplu menjadi salah satu pilihan kariernya.
Wicak, Daus, Banjar, dan Geri terdiam mendengar pertanyaan Lintang. Tak ada yang berani menjawab karena masing-masing punya keraguan tersendiri terhadap jawabannya.
Banjar sedang memikirkan pro-kontra bekerja di luar negeri. Daus memikirkan ketentuan kontrak beasiswa dari StuNed. Wicak masih meragukan keselamatan dirinya di Indonesia. Sementara Geri ... Geri punya terlalu banyak masalah pribadi, yang tak
~467~ satu pun bisa dikemukakan di meja ini. Bahkan kepada sahabat-sahabatnya sendiri.
Kesunyian, seperti biasa, dipecahkan Daus. Sebenarnya, gue pengin juga tinggal di Belanda, Tang. Masalah gue cuma satu ....
Ya" .... Mmmh ... gimana, yah .... Daus memulai dengan ragu.
Ngomong aja, Us, nggak usah sungkan. Iye nih ... kayaknya gue tetep mesti pulang ke Indonesia. Soalnya ... gue pengin bener dateng reuni almamater tahun depan, biar bisa bagi-bagi kartu nama yang udah ada gelar LLM-nya!
Lintang yang sedianya berharap mendapat pencerahan terbengong sejenak mendengar alasan polos Daus.
Yeee, dasar Daus! Wicak dan Banjar tidak bereaksi memberi toyoran sayang kepada Daus seperti biasa. Melihat itu, Lintang yakin kecurigaannya bukan tidak berdasar sama sekali. Dengan tegas Lintang mengalihkan pembicaraan menjadi persidangan.
Ada yang bisa cerita kenapa kalian akhir-akhir ini kelihatan aneh"
Aneh gimana, Tang" ~468~ Suasana kini berubah jadi hening mencekam mirip sidang pengadilan penjahat perang Serbia-Bosnia.
Oh, come on! Kalian udah dua minggu nggak ngobrol satu sama lain dan lo nanya apa yang aneh" tuding Lintang.
Laptop gue, kan, crash. Gue udah cerita, kan" Banjar yang pertama mengelak.
Informasi yang keluar dari mulut Banjar rupanya mengejutkan Wicak dan Daus. Ada semburat prihatin yang muncul dari mata mereka.
Crash-nya baru dua hari lalu, Jar. Yang gue omongin dua minggu terakhir ini.
Kalian nggak ada yang mau conference, semua maunya chatting sama gue sendiri-sendiri! Ajakan conference gue selalu dicuekin, padahal gue pengin curhat penting!
Lho, santai dong, Tang. Wicak mencoba menurunkan tensi.
Gue sih, sibuk belajar ..., elak Daus. Alasan yang sebenarnya kurang valid.
Friends, gue juga akhir-akhir ini sibuk sama tugas, tesis, urusan PPI, dan urusan keluarga. Gue memang hampir nggak pernah online. Tapi, kalau melihat gelagat kalian sekarang, kayaknya emang ada sesuatu, Geri turut berkomentar.
~469~ Terus waktu komputer Banjar rusak. Dia juga pakai acara males minta tolong Daus, padahal Daus dewa IT kita. Gue rasa yang tahu soal komputer lo rusak juga baru gue doang, ya kan"! tuding Lintang yang semakin emosional.
.... .... Hmmm, gue rasa nggak ada apa-apa, yah. Gue sama ama Daus, sibuk belajar. Emang lo nggak sibuk ama kuliah dan tesis lo, Tang" Kini Wicak yang berusaha mengalihkan perhatian.
Ya jelas sibuklah! Tapi, nggak lantas ngelupain temen. Buktinya gue selalu nanyain kabar kalian. Tapi, kalau giliran gue nanya ke Daus soal kabar Wicak atau Banjar, Daus nggak bisa jawab. Sama aja kalau gue tanya ke Wicak dan Banjar ....
Lah, Geri juga ngilang! Daus masih mencoba berkelit.
Kalau Geri, gue udah tahu dari awal Mei. Dia sibuk di PPI dan sibuk dengan rencana liburan keluarganya yang mau datang. Jadi, dia mesti bertapa ngeberesin tugas dan tesis secepat mungkin.
Hening. Semua alasan lemah sudah dikeluarkan. Dan, Lintang tak memercayai satu pun di antaranya. Hhh ... ya udah! Kayaknya nggak ada gunanya gue
~470~ ngeluangin waktu mikirin sahabat-sahabat gue! Lintang telah kehabisan kesabaran.
Sekarang terserah ama kalian semua. Gue sedih kita nggak bisa kompak lagi cuman gara-gara alasan nggak jelas. Dan, khusus lo, Jar, selamat memperbaiki laptop lo ... sendirian!
Lintang berdiri, meraih selembar uang lima euro dari dalam dompet dan meletakkannya di atas meja. Tanpa berpamitan, ia melangkah cepat meninggalkan Daus, Wicak, Banjar, dan Geri yang hanya termangu memandang punggung gadis cantik yang mereka semua sayangi.
~471~ Thesis Sialaaan, mudah-mudahan kereta terakhir masih terkejar! Banjar mengumpat-umpat sambil berlari terengah-engah membelah halaman gedung Gemeente Rijswijk. Halaman luas dengan taman bermain di salah satu pojoknya itu berbagi dengan pelataran Centrum dan supermarket Albert Heijn XL. Stasiun kereta yang dituju masih dua ratus meter lagi di seberang jalan. Banjar melirik sekilas ke jam di pergelangan tangannya. Sudah pukul 23.50! Artinya, waktunya tinggal tiga-empat menit saja sebelum tertinggal stoptrein terakhir menuju Rotterdam. Kini pilihannya tinggal dua: mau sprint habis-habisan atau pilih meringkuk menggigil semalaman di bangku stasiun. Untunglah, tempaan alam ganas Belanda sudah menyulap Banjar menjadi atlet spesialis nguber trem. Jarak dua ratus meter habis dilahap dengan catatan waktu kurang dari dua menit. Waktu segitu tentu tak sebanding rekor dunia milik Michael Johnson yang berwajah mirip aktor Eddie Murphy. Namun, cukuplah bagi Banjar untuk memasuki gerbong terakhir tepat saat kondektur
~472~ membunyikan peluit tanda kereta akan kembali melaju.
Di negara-negara maju, ketepatan waktu kedatangan dan keberangkatan moda transportasi umum bagaikan pedang bermata dua. Di satu sisi, kita bisa mengatur jadwal perjalanan dengan akurat. Namun di sisi lain, berbeda dengan di Indonesia, bila sadar akan terlambat tiba di stasiun, kita selalu masih bisa menghibur diri dengan jurus, ah, paling entar keretanya terlambat. Dan, biasanya memang terlambat.
Lain lagi kalau bicara soal KRL, malah bisa lebih parah. Kereta yang sudah tidak ada lagi jadwal keberangkatannya pun bisa dibuat ada. Semua demi keselamatan umat. Ceritanya begini.
Beberapa tahun silam, Banjar adalah seorang fresh graduate yang baru meretas karier di Ibu Kota. Meski orangtuanya berkecukupan, ia bersikeras untuk tidak memanfaatkan semua fasilitas yang bisa mereka berikan. Jadilah Banjar seorang pelanggan setia KRL Tanjung Barat Gondangdia untuk pulang-pergi dari pondokannya di Depok ke kantor di bilangan Jakarta Pusat.
Lazimnya anak muda yang baru berkarier, lembur adalah kewajiban. Maka, tak jarang ia berpacu
~473~ dengan waktu, membonceng ojek yang melaju ugalugalan menuju Stasiun Gondangdia agar tidak ketinggalan kereta paling akhir tujuan Bogor.
Alkisah, pada suatu malam, Banjar keasyikan lembur hingga kembali harus mengulangi ritual ojek setannya. Sesampainya di stasiun, ternyata kereta yang akan ditumpanginya telah penuh sesak dengan penumpang. Saking penuhnya hingga masih ada ratusan penumpang yang dengan panik terus merangsek ingin terangkut. Di tengah-tengah situasi chaos, melalui pengeras suara, suara Kepala Stasiun tiba-tiba bergema. Ia mengumumkan masih ada satu kereta lagi yang akan tiba, jadi tak perlu ngotot berebut naik! Nanti pasti terangkut! Serta-merta, menurunlah tensi penumpang yang terheran-heran mendengar pengumuman itu. Beberapa penumpang yang terimpit ketiak-ketiak asam penuh keringat kontan ikutan turun. Dengan tenang mereka membiarkan kereta berlalu dan menanti kereta terakhir yang dijanjikan.
Sialnya, sampai hampir satu jam berlalu, kereta yang dimaksud tak jua kunjung kelihatan batang hidungnya. Penumpang merasa telah ditipu mentahmentah. Dengan marah mereka menggedor-gedor pintu ruang kepala stasiun. Beberapa di antaranya
~474~ ikut mengancam dengan berteriak-teriak hendak membakar stasiun bila kereta batal tiba. Di tengah situasi yang sungguh mencekam, dengan panik, dari kolong meja kerjanya, Si Kepala Stasiun berusaha mengontak Stasiun Kota, Senen, dan sekitarnya. Tapi apa daya, tak satu pun jawaban yang diterimanya. Dengan cemas ia mengontak ponsel masinis. Harapan terakhir penyelamat karier. Somad! Di mana lo"
Ya istirahatlah, Beh, barusan kelar mandi .... Udah balik ke rumah"!
Kagaklah, Beh, ini di mes 1 . Kenapa sih, Beh, senewen bener"
Tolongin gue, berangkatin satu kereta lagi ke Gondangdia. Penumpang ngamuk!
Loh, kok bisa, Beh" Mane ade kereta jam segini"! Gue ngelamun, Mad! Gue bilang ke penumpang masih ada kereta lagi. Dengan napas terengah-engah Kepala Stasiun menjelaskan duduk perkara.
Jangan nanya-nanya lagi deh, lo keluarin kereta sekarang! Ude hampir dibakar nih stasiun! Entar gue bayarin pijit ke Mabes 2 !
Dengan tergopoh-gopoh Somad yang cuma sempat mengenakan kaus dan sarung menjalankan kereta tak berjadwal dari Stasiun Kota langsung
~475~ menuju Gondangdia. Demi keselamatan umat ... dan stasiun.
Malam ini adalah hari terakhir Banjar bekerja di Restoran Rajawali hingga tiga minggu ke depan. Keputusannya untuk cuti panjang dari satu-satunya sumber tambahan uang saku terpaksa diambil karena musibah yang menimpa laptopnya. Mbak Lia, sang majikan, sebenarnya berat hati untuk meluluskan permintaan Banjar. Maklum, musim panas adalah saatnya panen raya di Restoran Rajawali. Lihat saja malam ini, restoran baru tutup pukul sebelas malam karena membeludaknya pelanggan.
Kembali ke siang harinya di T Building RSM Erasmus
Di depan ruangan dengan sederet kode huruf dan angka yang di bawahnya disusul nama si penghuni ruangan, Banjar duduk gelisah menanti kedatangan profesor pembimbingnya. Profesor Willem von Braun, nama yang tercantum di depan ruangan, adalah seorang ilmuwan karismatik. Beberapa tahun silam, namanya sempat memperoleh nominasi Nobel. Namun, Dewi Fortuna belum berpihak kepada lelaki itu.
That Summer Breeze 1 Tugas Tugas Hercules The Labours Of Hercules Karya Agatha Christie Karma Manusia Sesat 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama