Sunset Bersama Rosie Karya Tereliye Bagian 3
Anak-anak yang cerdas, anak-anak yang dibiarkan berpikir dengan caranya
sendiri, bisa dengan lebih mudah memahami sebuah masalah. Dan bagi Jasmine,
urusan berpisah pagi ini sederhana saja, ia tidak ingin ibunya melihatnya
menangis. Ia ingin ibunya tahu kalau Jasmine baik-baik saja. Hanya itu. Maka
Jasmine berusaha menahan sedan.
Smith menghidupkan helikopter. Baling-baling mulai bergerak kencang.
Clarice memeluk Ayasa. Aku bersiap naik. Ayasa mendekatiku.
"Kau mungkin tidak pernah mendapatkan pendidikan psikolog, Tegar. Kau
mungkin juga tidak berbakat menjadi psikiater," Ayasa tertawa kecil, bergurau,
"Tetapi kau dokter terbaik yang dimiliki anak-anak itu, Tegar. Kau adalah paman
paling hebat, keren, dan super bagi mereka. Kalau ada orang yang bisa
membawa anak-anak itu melewati masa-masa sulit ini, maka kaulah orangnya."
Aku menelan ludah. "Kau penting bagi mereka. Berharga seratus kali lipat dibandingkan psikiater
anak-anak ternama. Karena kau amat mencintai mereka. Itu modal hebat untuk
membuat anak-anak itu kembali menjejak hari-hari mereka. Ah, sayang, aku
tidak kecil lagi seperti mereka. Akan menyenangkan sekali kalau aku bisa
memiliki Paman sebaik dan setampan kau." Ayasa mengangkat bahunya, purapura kecewa sekali.
Aku tertawa, untuk pertama kalinya bisa tertawa rileks.
Sekejap sudah loncat ke atas helikopter. Sekejap helikopter itu sudah melesat,
merobek kabut di tubir cadas pantai. Pagi ini, aku menitipkan Rosie di tangan
terbaik. Tidak ada janji kapan Rosie akan pulih, tetapi menyaksikan shelter ini,
berkenalan dengan Dokter Ayasa, sedikit banyak gundah itu terusir di hati. Rosie
akan baik-baik saja. Anak-anak juga akan baik-baik saja.
Apa kata Ayasa tadi" Kau adalah paman paling hebat, keren, dan super bagi
mereka. Aku tersenyum, mendekap kepala Jasmine erat-erat. Itu selalu benar.
Belum pernah aku melihat berjuta pertanyaan dari mata Sakura seperti
sekarang, siap terlontarkan kapan saja. Helikopter kembali ke Gili Trawangan
lepas tengah hari. Smith dan Clarice kembali ke Denpasar setelah singgah
menghabiskan segelas orange squash buatan Anggrek. Turis-turis itu senang
bertemu dengan Clarice. Bergurau di halaman resor. Aku memutuskan
bergabung sebentar. Lian melaporkan kedatangan sepasang turis dari Hongkong. Baru pertama kali
datang ke resor karena rekomendasi kolega di sana, berharap menghabiskan
bulan madu dengan menyelam di antara tebaran terumbu karang, berenang di
antara penyu dan formasi ribuan ikan, atau berjemur di hamparan pasir. Aku
mengangguk, menyuruh Lian menyiapkan acara selamat datang khas resor.
Semoga perjalanan jauh spesial mereka tidak sia-sia oleh kesedihan ini.
Mitchell menawarkan diri menjadi pemimpin acara nanti malam. Aku tertawa
kecil, itu berarti sial besar untuk pasangan bulan-madu itu. Dulu Mitchell benarbenar tertipu saat mengikuti acara tak-terlupakan pertamanya. Dan sejak hari itu
ia bersumpah untuk membalas ke setiap turis baru lain. Mitchell mengangkat
bahu, "Hei! Aku tidak berniat jahat pada siapa pun." Turis lain justru tertawa.
Tentu saja, acara yang muasalnya dibuat Nathan itu tidak pernah berniat jahat,
hanya welcome games (yang sedikit berlebihan). Membuat semua turis yang
pertama kali datang ke Gili Trawangan punya kenangan indah. Dijahili turis lain,
seperti ospek, plonco penghuni baru.
Sepanjang sore, Sakura menatapku dua-tiga kali melewati ruang depan resor.
Ragu-ragu mendekat. Ragu-ragu menyapa. Aku hanya meliriknya sekilas. Nanti
akan Uncle jelaskan, jangan sekarang. Uncle masih perlu waktu, tempat, dan
suasana yang tepat. Jasmine sudah sibuk mengurus Lili, menyuapi adiknya.
Anggrek membantu Oma membereskan kamar. Sekali-dua aku mendapati
Jasmine bicara dengan Sakura. Entahlah.
Mereka berempat menjelang matahari tenggelam melangkah di sepanjang
bibir pantai. Anggrek mendorong kursi roda Sakura. Jasmine mengencangkan
selendang Lili. Berjalan bersisian. Melihat dari gesture muka, tidak banyak yang
mereka bicarakan. Aku menghela napas, membiarkan kebersamaan mereka,
yang amat mengharukan. Aku menyempatkan mengunjungi tamu dari Hongkong itu. Mereka tidak
lancar berbahasa Inggris. Jadi sedikit rumit menjelaskan soal acara selamatdatang nanti malam. Nakamura-san membantu. Lebih banyak tertawa
dibandingkan menerjemahkan. Pasangan itu terlihat takut-takut, bersitatap satu
sama lain. Tetapi menurut. Bertanya patah-patah dress-code. Aku hanya bilang,
apa-saja asal nyaman dipakai.
Sunset membungkus Gili Trawangan. Turis-turis berkumpul di pantai,
menikmati senja. Anak-anak kecil penduduk setempat berkejaran bermain air,
sekalian mandi sore. Keempat kuntum bunga Rosie ikut berdiri di sana. Lian
bersama pelayan lain menyiapkan bangku-bangku di pantai. Makan malam
bersama di pantai. Ada banyak menu tersedia.
Anak-anak ikut makan malam. Aku menyampaikan welcome speech, ini juga
tradisi resor, sepasang turis Hongkong berpelukan bahagia. Merasa senang
dengan semua sambutan. Sungguh pasangan yang bahagia. Cahaya muka
mereka membuat kemilau api unggun terasa redup.
Makan malam usai, anak-anak terlihat kehilangan selera bergabung dengan
mereka, padahal acara seperti ini lazimnya ditunggu-tunggu Sakura. Aku
mengerti tatapan mereka. Sudah saatnya penjelasan itu datang. Melambaikan
tangan kepada Mitchell. Izin pamit. Mitchell menggerakkan tangannya, serahkan
padaku, tertawa. Kemeriahan, termasuk ketegangan, mulai diskenariokan di tepi pantai.
Sementara aku mendorong kursi roda Sakura menuju halaman resor. Jasmine
menggendong Lili berjalan di sebelahku. Anggrek membawa botol susu. Aku
melangkah menuju hutan buatan Nathan. Malam beranjak naik, mungkin pukul
20.30, bulan semakin gompal. Ribuan formasi bintang terlihat memesona. Angin
pantai lembut menyentuh pundak, menelisik daun kuping. Hutan buatan yang
indah, luasnya setengah hektare, ditanami dengan pohon besar-besar, seperti
hutan di kaki Gunung Rinjani.
Kunang-kunang terbang melintas.
Aku menghentikan langkah. Ada bongkahan batu besar yang berserak. Duduk
di salah-satunya. Jasmine ikut-ikutan duduk, melepas selendang Lili. Anggrek
duduk di batu lainnya. Meletakkan botol susu Lili. Kursi roda Sakura merapat
dekat Anggrek. Suara teriakan antusias dan setengah takut, dari pantai terdengar samar.
Sepertinya Mitchell sudah beraksi. Hening sejenak. Hanya desing kunangkunang di bawah redup lampu taman yang mengundang perhatian.
Anggrek lagi-lagi menggurat bebatuan dengan ujung jemarinya.
"Om tidak suka itu." Aku memecah senyap. Anggrek mengangkat kepalanya.
Apa" "Om tidak suka lihat Anggrek melakukan pekerjaan yang tidak ada
gunanya itu." Aku menatap Anggrek tajam.
Gadis kecil itu tertunduk. Menyadari apa maksud kalimatku barusan. Takuttakut menarik tangannya. Aku menghela napas, menatap Anggrek lebih baik.
Tidak mudah menjelaskan ini semua. Aku kehabisan ide dongeng bagi mereka.
Lagipula bercerita mungkin tidak tepat. Tetapi aku harus menjelaskan banyak
hal, malam ini juga. "Bulan ini usia Anggrek berapa tahun?" Anggrek
mengangkat kepalanya. Bingung. Bukannya Om selalu ingat ulang tahun kami.
Kasih hadiah yang bagus-bagus.
"Berapa tahun?" Aku bertanya dengan intonasi terkendali.
"Dua belas." Gadis kecil itu menjawab pendek.
"Sakura?" Aku menoleh ke Sakura.
"Sembilan." "Jasmine?" "Lima." "Dan Lili satu tahun. Kalian sungguh masih amat muda bagi kebanyakan
orang." Aku menelan ludah, berhenti sejenak. Ketiga gadis kecil itu menatapku
lekat-lekat, "Tapi bagi Om, Uncle, Paman, kalian jauh lebih besar dibandingkan
umur-umur itu, jauh lebih besar. Kalian mungkin tidak akan mengerti apa yang
akan Paman katakan. Belum. Tetapi malam ini Paman akan menjelaskan banyak
hal. Menyakitkan. Mungkin. Paman juga tidak tahu seberapa menyakitkan ini
bagi kalian. Tetapi kalian harus tahu, harus siap, harus bisa melewatinya."
Sakura dan Anggrek berpandangan. Jasmine menunduk.
"Kalian lihat kunang-kunang itu. Terbang dengan cahaya di ekornya. Kecil
tapi indah. Begitulah kehidupan. Kecil tapi indah. Seekor kunang-kunang hanya
bisa menyalakan ekornya semalaman, esok-pagi, saat matahari datang menerpa
hutan kecil ini, lampu kunang-kunang itu akan padam selamanya. Mati. Pergi.
Tetapi mereka tidak pernah mengeluh atas takdir yang sesingkat itu. Mereka
tidak pernah menangis atas nasib sependek itu. Malam ini, meski mereka tahu
besok akan pergi, mereka tetap riang terbang menghiasi hutan. Menyalakan
lampu. Memberi terang sekitarnya."
Aku menelan ludah. Entahlah, apa mereka mengerti ucapan itu. Aku juga
tidak tahu persis apakah fakta tentang kunang-kunang yang kusampaikan juga
benar. "Kalian lihat lilin-lilin merah yang dinyalakan Om Lian di resor. Indah.
Cahaya kerlap-kerlip. Lilin itu membakar tubuhnya sendiri untuk mengeluarkan
cahaya. Begitulah kehidupan. Kita mengorbankan diri kita untuk sesuatu yang
lebih indah. Menerangi sekitar, tanpa peduli kalau itu menyakiti kita. Lilin ini
hanya hidup semalam, lantas setelah seluruh batangnya habis, nyalanya akan
padam. Selamanya. "Anggrek, Sakura, Jasmine, ayah kalian sudah pergi. Selamanya. Demi Tuhan,
andaikata Paman diberikan kekuatan membalik dunia, maka Paman akan
melakukannya untuk mengembalikan ayah kalian. Tetapi itu tidak bisa
dilakukan. Paman tidak bisa melakukan itu" Tidak akan pernah bisa." Aku
mendongak, entah mengapa semua kalimat ini tiba-tiba justru menusuk hatiku
sendiri, menoreh luka lama.
Andaikata aku diberikan kekuatan membalik dunia, maka aku akan
melakukannya, menyampaikan perasaan cinta itu jauh-jauh hari sebelum
kejadian di puncak Gunung Rinjani. Sebelum semuanya terlambat.
"Anggrek, Sakura, Jasmine, ayah kalian pergi seperti lilin yang padam. Seperti
kunang-kunang yang padam. Tetapi dia pergi setelah mengeluarkan cahaya yang
indah. Membesarkan kalian dengan kasih-sayang. Membesarkan kalian dengan
baik." Aku menggigit bibir berusaha berkata-kata dengan intonasi terkendali.
Jasmine mulai terisak. Sakura menyeka matanya. Anggrek terdiam.
"Kalian tidak sepatutnya sedih atas kepergiannya, kalian seharusnya bangga.
Karena Ayah kalian sudah menyelesaikan banyak hal baik. Lihatlah, semua
bagian resor ini adalah pekerjaan yang telah diselesaikan Nathan. Kita bisa
menjejak setiap pekerjaannya. Apa yang sering Nathan bilang ke kalian, jadilah
anak yang baik. Anak anak yang membanggakan. Itu artinya Ayah kalian
berharap setelah kepergiannya, Anggrek, Sakura, Jasmine, dan Lili tetap menjadi
sama baiknya seperti sebelumnya, tetap sama membanggakannya seperti
sebelumnya." Jasmine sekarang sudah hampir menangis.
"Kemarilah, Jasmine. Kemari!" Aku menjulurkan tangan, Jasmine sudah tak
kuasa menahan tangisnya, bergetar memeluk adiknya. Anggrek lemah
mengambil Lili dari gendongannya, dan Jasmine menghambur memelukku.
"Kau, kau amat membanggakan Nathan, Jasmine. Nathan pernah bilang, kalau
suatu saat ada seorang anak gadis yang begitu baik, begitu cantik, bagai peri-peri
dalam dongeng Pamannya maka itu adalah Jasmine. Kalau ada putri yang layak
memakai mahkota tiara itu adalah kau, sungguh adalah kau." Aku mengelus
rambut ikal Jasmine. Ya Tuhan, aku tidak kuasa untuk menahan air-mataku
tumpah. Jasmine terisak di pelukanku.
Sakura membuang ingus. Anggrek tertunduk. Satu tetes air-matanya jatuh di
pipi Lili yang tertidur. Anggrek gemetar menghapusnya.
"Tiga hari lalu, saat Paman menceritakan tentang Putri Nelayan, kita sudah
bersepakat untuk melanjutkan hari dengan riang. Sakura juga sudah pulang
dengan wajah riang. Kalian benar-benar anak yang hebat. Mengerti banyak hal
dengan baik. Paman berpikir kita akan dengan mudah melewati ombak itu
seperti menaiki kapal-cepat, melakukan manuver hebat. Paman pikir kita bisa
melanjutkan hari dengan senang. Sekolah. Membantu Oma. Bermain internet.
Belajar menulis, menyulam, penyelam melihat penyu, menaiki Gunung Rinjani."
Aku berhenti sejenak, mengusap pipi Jasmine yang berlinang air-mata.
"Tapi hari ini, ternyata Paman keliru. Kalian melihat sendiri ibu kalian yang
cantik meski gendut," Aku menyeringai, tertawa, amat getir, menatap Jasmine
yang suka sekali bilang ibunya gendut, "Hari ini ibu kalian harus dibawa ke
rumah-sakit. Kalian pasti menyimpan berjuta pertanyaan, dugaan, tebakan, dan
sayangnya apa yang kalian tebak benar, Ibu depresi. Ibu kalian kesulitan
mengendalikan pikirannya."
"Ibu kalian hari ini dan entah hingga kapan harus menjalani terapi kejiwaan.
Rehabilitasi mental. Paman tidak tahu kapan ibu kalian akan sembuh. Mungkin
minggu depan, mungkin bulan depan, mungkin juga tahun depan. Paman
sungguh tidak tahu. Tapi kapan pun ibu kalian sembuh, mulai malam ini kalian
hanya berempat di sini. Kalian kehilangan ayah selamanya. Kehilangan ibu
entah hingga kapan."
"Bersedih hati, melamun, menggurat batu, piring, entahlah tidak akan
membuatnya lebih baik, Anggrek. Tidak akan membuat seluruh kesedihan itu
hilang". Jasmine, kau tentu masih ingat dulu sering merajuk minta dibelikan
boneka beruang besar ke Ibu. Dan Ibu menolaknya karena Jasmine sudah punya
terlalu banyak boneka. Apakah dengan merajuk, teriak, protes membuat Ibu
akhirnya membelikan boneka" Tidak. Jasmine akhirnya mendapatkan boneka itu
justru karena tetap menurut, tetap mau menggendong Lili, tetap jadi anak yang
baik. Maka semua ini juga sama. Tetaplah menjadi anak yang baik. Dan semoga
Tuhan akan berbuat baik kepada kita."
"Kita akan melalui semua ini bersama-sama. Paman akan selalu di sini
bersama kalian. Ada Oma. Ada Om Lian Ada Putri. Ada tetangga-tetangga. Ada
turis-turis. Kalian memiliki mereka semua. Besok pagi saat matahari terbit kalian
akan terus menjadi anak-anak yang riang, polos dan bersemangat. Karena hanya
itu yang akan membuat seluruh kejadian menyakitkan ini bisa dilewati dengan
mudah. Nanti, nanti setelah Sakura bisa jalan lagi, kita akan mengunjungi Ibu.
Keriangan kalian akan membuat Ibu jauh lebih cepat sembuh."
Aku diam sejenak, menatap Sakura di atas kursi roda yang sekarang ikut
mencengkeram lenganku. Menatap wajah Anggrek yang tertunduk. Jasmine
yang masih memelukku. "Tahukah kalian, dalam banyak hal justru orang dewasalah yang banyak
belajar kepada anak kecil. Mencari kekuatan, inspirasi, kebahagiaan melihat
kalian. Termasuk Paman, Paman sungguh tak tahu apa yang akan dilakukan jika
kalian tidak ada. Paman sungguh sedih dengan ini semua. Ingin rasanya Paman
menangis, dan lihatlah Paman sudah menangis." Aku tertawa getir.
"Tetapi menatap wajah Anggrek, Om jadi tahu bahwa di sini selalu ada janji
kebahagiaan. Menatap wajah Sakura, Uncle jadi tahu di sini ada semangat hidup.
Menatap wajah Jasmine, wajah Lili, Paman jadi tahu, kalau Paman akan selalu
bersama kalian. Berjanjilah, Nak, kalian akan menjalani semua ini dengan
riang." Jasmine mencengkeram bahuku. Aku menghentikan kalimat. Menatap wajah
gadis kecil yang matanya sekarang terlihat redup. Gadis kecil itu membuka
mulutnya, berbisik pelan, menikam seluruh hatiku.
"Jasmine". Jasmine sungguh sayang Paman." Ya Tuhan, aku tahu maksud
ucapan gadis kecil itu. Aku tahu sekali. Akulah yang membiasakan mereka
mengucapkan kalimat itu dengan indah. Jangan buat aku menangis di depan
mereka. Aku mohon. Karena akulah satu-satunya pegangan bagi mereka
sekarang. Tetapi aku tak bisa menahannya lagi. Aku mendekap kepala Jasmine.
Biarlah. Malam ini biarlah aku menangis. Anggrek beringsut memelukku.
Bersama Lili dalam gendongannya. Cengkeraman tangan Sakura semakin
kencang. Mereka tidak pernah bilang ya atas permintaanku untuk terus riang. Tetapi
menatap wajah-wajah itu, menatap cahaya mata mereka, aku bisa merasakan
janji kehidupan. Terima-kasih Tuhan. Mereka masih kanak-kanak, tapi bahkan
bayi berumur satu tahun pun mengerti sebuah pembicaraan.
Lili malam itu menatap wajahku dari gendongan Anggrek, mengerjap-ngerjap,
entahlah, akan seperti apa Lili memanggilku kelak.
Setelah pembicaraan itu, anak-anak kembali ke resor, masuk kamar. Aku tidak
tahu apakah malam ini mereka bisa tidur atau tidak. Mereka beruntung dalam
urusan tidur, tubuh berkembang mereka membuat tidur jauh lebih mudah
dilakukan. Tidak ada gerakan resah itu, gerakan tubuh berganti posisi sepuluh
kali dalam satu menit. Tidak ada.
Dari arah pantai, Mitchell kembali ke resor bersama turis-turis lainnya.
Mereka tertawa terbahak. Pasangan turis dari Hongkong itu ikut tertawa. Meski
yang wanita masih terlihat pias. "Haha, kau tidak bisa membayangk betapa hebat
adegan mereka tadi, Tegar. Mereka layak mendapat Oscar, for the best moment"
Turis lain menyeringai, bersepakat soal Oscar.
Mitchell sengaja mencampurkan obat bius di minuman turis cowok asal
Hongkong itu. Membuatnya pingsan selama setengah jam. Lantas turis lainnya
berpura-pura panik. Berseru-seru soal siapa yang mencampurkan racun dalam
minuman. Beberapa pelayan juga bersekongkol dalam skenario welcome games
Sunset Bersama Rosie Karya Tereliye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu. Membuat panik pasangan ceweknya. Bagaimana tidak" Mereka hendak
berbulan-madu di pulau ini, menyaksikan pasangannya pingsan tiba-tiba saja.
Aku mengusap rambut, situasi malam yang sungguh berbeda, apa pun
tujuannya, Mitchell bergurau dengan kematian. Dan sepasang suami-istri muda
itu tertawa lega setelah tahu semua hanya gurauan, bahkan esok-lusa pasti akan
menceritakan dengan semangat games tersebut ke koleganya di Hongkong,
benar-benar kejutan hebat di Gili Trawangan. Sementara anak-anak Rosie,
mereka tidak sedang melakukan permainan.
Aku sejak setengah jam lalu tak-tertahankan ingin menelepon Sekar.
Mengabarkan berita terakhir. Berita yang tak akan senang didengarnya. Setelah
percakapan bersama anak-anak tadi ada banyak kesimpulan yang kulakukan.
Ada banyak keputusan yang telah kuambil. Satu dari keputusan itu cukup sudah
untuk mengganggu hubunganku dengan Sekar. Aku menghela napas, itu benarbenar akan mengganggu rencana-rencana kami. Pertunangan. Pernikahan.
Tidak mungkin aku meninggalkan anak-anak di Lombok. Tidak mungkin
kulakukan. Aku harus menemani mereka hingga Rosie pulih. Dan itu berarti
bukan minggu depan aku pulang ke Jakarta. Entahlah, aku tidak tahu kapan baru
bisa pulang. Bisa jadi berbulan-bulan. Sekar tidak akan pernah bisa menerima
hal tersebut. "Kau belum tidur?" Suara tua Oma menegur dari belakang.
Aku menoleh. Oma melangkah pelan mendekati teras depan resor.
Menggeleng. Pertanyaan basa-basi. Siapa pula yang bisa tidur"
Senyap. Debur ombak membungkus bibir pantai terdengar syahdu.
"Terima kasih telah bicara dengan anak-anak, Tegar."
Aku mengangguk. Hening. Burung hantu ber-uhu di kejauhan. "Semua ini tidak ada bedanya
dengan tiga belas tahun lalu, bukan?" Oma berkata pelan. Merapatkan sweater
biru-tuanya. Aku menoleh. Sama" Apa maksudnya" "Kau terlalu mencintai anak-anak,
Tegar. Sama seperti dulu, kau terlalu mencintai Rosie. Bukankah Oma pernah
bilang, kau tidak akan pernah mendapatkan seseorang kalau kau terlalu
mencintainya. Cintamu kepada Rosie bahkan tetap lebih besar dibandingkan bila
cinta Rosie ke Nathan ditambahkan dengan cinta Nathan ke Rosie." Oma berkata
pelan. Aku menggigit bibir. Menatap kosong bulan gompal di langit.
"Tempatmu bukan di sini, Tegar. Kau seharusnya sudah kembali ke Jakarta.
Ada janji kehidupan bagimu di sana. Kau punya Sekar di sana. Anak-anak akan
baik-baik saja. Mereka memang membutuhkan Paman hebatnya, tetapi mereka
tetap akan baik-baik saja melewati semua ini tanpa kau. Kau bisa menghubungi
mereka setiap hari dari Jakarta. Bertanya kabar. Bercerita. Melalui layar-layar
televisi itu, apalah namanya."
Aku masih diam. Menggigit bibir.
"Kau hanya membuang waktu di sini, Tegar. Anakku, sungguh tidak ada
mawar yang tumbuh di tegarnya karang. Menyakitkan memang. Tapi itulah
takdir kalian. Tidak ada gunanya menghabiskan waktu, "
"Tentu saja ada gunanya." Aku memotong kalimat Oma, sedikit kasar.
Senyap. Sama-sama menelan ludah.
Tidak. Aku tidak bisa berdebat dengan Oma, karena Oma tahu setiap jengkal
perasaan itu. Tahu setiap tapaknya. Tahu setiap detailnya. Dan dalam banyak hal
mungkin Oma benar. Dulu benar. Sekarang juga benar. Aku terlalu mencintai
Rosie. Dan sekarang aku terlalu mencintai anak-anak itu.
"Apakah Sekar sudah tahu kau akan terus tinggal di sini?" Oma bertanya
pelan, menghela napas, memecah sepi.
Aku menggeleng, belum. "Ia seharusnya tahu lebih cepat dari siapa pun, "
"Aku akan meneleponnya sebentar lagi."
"Anakku, urusan sepenting ini tidak patut dibicarakan lewat telepon. Kau
seharusnya bicara langsung padanya. Kalian merencanakan akan menikah,
bukan. Gadis itu Berharap banyak padamu. Dan kau sudah sepatutnya berharap
banyak pula padanya." Oma mendesah pelan.
Aku diam. Bicara langsung"
"Aku tahu Sekar gadis yang baik. Cantik, bukan" Bukankah saat kau
menangis di telepon ketika tahu Rosie dan Nathan akan menikah Oma pernah
bilang, kau bisa mendapatkan gadis yang jauh lebih cantik dan lebih baik
dibandingkan Rosie, Tegar." Oma tertawa kecil, getir.
Aku ikut tertawa getir. Masa-masa menyakitkan itu.
"Dan gadis itu amat mencintaimu, bukan. Sekar amat mencintaimu."
"Ya, terlalu mencintaiku. Cintanya bahkan tetap lebih besar dibandingkan
dengan kalau cintaku kepada anak-anak ditambahkan dengan cinta anak-anak
kepadaku, juga ditambah cintaku kepada Rosie, juga ditambah cinta Oma kepada
anak-anak." Aku menjawab pelan. Mengusap rambut.
Oma menghela napas. Kami bersitatap sejenak.
"Itulah bedanya, Tegar. Bagi seorang gadis, menyimpan perasaan cinta sebesar
itu justru menjadi energi yang hebat buat siapa saja yang beruntung menjadi
pasangannya, meskipun itu bukan dengan lelaki yang dicintainya. Bagi seorang
pemuda, menyimpan perasaan sebesar itu justru mengungkung hidupnya,
selamanya." Aku menggigit bibir. Selamanya" Percakapan dengan Oma tanpa kesimpulan.
Lepas tengah malam, aku akhirnya menelepon Sekar. Oma benar.
Pembicaraan sepenting ini tidak baik dilakukan lewat telepon. Aku harus
menatap wajah, gesture, gerakan tubuh Sekar, meskipun sebenarnya aku bisa
membayangkan dengan lengkap akan seperti apa reaksinya itu. Telepon ini
hanya untuk mengajaknya bertemu, di Denpasar.
Sebelas kali nada sambung. Tidak diangkat.
Lima belas kali. "Selamat malam." Aku menyapa lebih dulu.
"Malam." Sekar menjawab pelan.
"Hari ini buruk sekali," Aku langsung ke topik pembicaraan, sambil
merapatkan jaket, angin terasa semakin kencang, "Tadi pagi Rosie di bawa ke
shelter." Sekar (tidak) menghela napas.
"Aku ingin bicara denganmu. Semua ini bukan hanya membuat anak-anak
dalam posisi sulit dan menyedihkan, tetapi juga kita. Bisakah kau ke Denpasar
besok, hari Minggu" Ada hal penting yang ingin kubicarakan. Biar staf kantor,
Linda, yang mengurus perjalanan. Bisa?"
"Kenapa tidak lewat telepon saja?" Sekar bertanya pendek.
"Mengertilah, kita bisa membicarakan ini lebih mudah dengan bertemu
langsung. Kemungkinan-kemungkinan baik yang bisa kita ambil. Bisakah kau
datang?" "Tidak tahu." "Aku mohon, Sekar. Bisa?"
"Nanti aku pikirkan."
"Terima kasih. Aku mencintaimu, Sekar." Sekar tidak menjawab. Telepon
ditutup. Aku menghela napas pelan. Setidaknya pembicaraan ini menjadi prolog.
Selama seharian besok, gadis itu juga akan memikirkan kemungkinan solusi
yang lebih baik atas hubungan kami. Aku mengirimkan SMS untuk Linda, ia
juga teman baik Sekar. Esok pagi-pagi saat ia membaca SMS-ku, Linda akan
menyusun jadwal perjalanan Sekar dengan baik, yang mungkin akan menjadi
pekerjaan terakhir aku berikan kepada Linda. Dengan segala kejadian tadi siang,
kesimpulan dan keputusan-keputusan itu, aku tidak bisa lagi bekerja di
perusahaan sekuritas itu, tepatnya aku tidak bisa lagi tinggal di Jakarta.
Entah untuk hingga kapan.
10. MENGERTILAH SEKAR AKU TIDAK PUNYA
BANYAK PILIHAN Esok pagi, anak-anak bangun sesuai jadwal. Anggrek membangunkan Jasmine
bahkan ketika aku belum bangun. Saat kepalaku muncul di balik daun pintu
hendak membangunkan mereka, kedua gadis kecil itu sedang berganti pakaian,
sudah mandi. Sekolah. Hari ini, setelah pembicaraan semalam, mereka
mengambil inisiatif sendiri.
Sarapan bersama Oma dan Lian. Sakura bergabung. Lili didudukkan di kursi
bayinya. Tertawa cubby saat disuapi bubur oleh Jasmine. Iseng melempar sisa
bubur di mulutnya. Mengotori baju putih seragam Jasmine. Jasmine nyengir.
Lian sibuk bercerita detail welcome games semalam. Sekali-dua Sakura
menyeringai, mencoba membayangkan. Aku hanya mengangguk. Meski lebih
banyak diamnya, percakapan pagi ini cukup menyenangkan. Oma membantu
Jasmine mengelap pipi cubby Lili.
Berangkat menaiki kapal-cepat. Ngebut. Anggrek dan Jasmine lebih banyak
diam, meski wajah mereka antusias. Kecepatan seperti ini selalu membuat
suasana berbeda. Aku membiarkan, setidaknya mereka berangkat sekolah hari
ini atas kemauan sendiri, itu kemajuan penting. Besok-lusa mereka pasti juga
sudah berebutan mengendalikan kapal-cepat ini. Besok-lusa tawa riang itu akan
kembali. Tidak mungkin situasi lebih buruk lagi, bukan" Kecuali situasi
hubunganku dengan Sekar. Itu mungkin semakin buruk.
Anak-anak berlari-lari kecil di pelabuhan nelayan Bangsal, loncat ke atas
odong-odong yang terparkir rapi. Aku tersenyum sambil meraih telepon
genggam. Ada beberapa orang yang harus kutelepon sepagi ini. Pertama
menghubungi Eric Theo, bos-ku di perusahaan. Aku tahu ini hari Sabtu. Kantor
libur, tapi Eric Theo tidak pernah keberatan di telepon hari Minggu sekalipun
sepanjang urusan pekerjaan. "Kita berdedikasi penuh 24 jam, 7 hari penuh untuk
pekerjaan," itu yang dulu sering diceramahkannya ke karyawan baru saat masamasa plonco.
"Ah, selamat pagi, Tegar. Panjang umur. Aku baru saja membicarakan kau
bersama Direktur klien kita. Golf bersama, kau tahu kebiasaanku, kan. Tegar,
kau mengikuti trading listing saham kemarin" Bukan main. IPO-nya sukses
besar, My Friend." Suara berat Eric Theo terdengar riang. "Sebentar. Ya, ini dari
Tegar, dia menelepon dari Lombok." Eric Theo menjelaskan sesuatu ke teman
bermain golfnya. "Salam dari Bapak Nizami, Tegar. Kau tahu, satu setengah kali dari harga
penawaran perdana. Strategi marketing yang kau lakukan berhasil. Prospektus
yang hebat. Eksekusi yang baik. Semuanya sempurna. Satu setengah kali. Itu
setara dengan kapitalisasi tambahan hampir dua triliun, My Friend. Kau berhak
mendapatkan bonus atas nilai itu. Bukan main."
"Berapa harga terakhirnya?" Aku menelan ludah.
"Sebelas ribu per lembar saham. Kau tidak tahu?"
"Aku tidak sempat mengikuti."
"Astaga" Kau tidak akan bilang di Lombok tak ada teknologi internet, bukan"
Atau kau benar-benar terlalu asyik berlibur sehingga menelepon Frans pun tidak
sempat?" Eric Theo tertawa. Bergurau.
Percakapan ini benar-benar tidak mudah. Eric Theo tidak sedikit pun bisa
membayangkan situasi yang kuhadapi. Baginya aku ke Gili Trawangan hanya
berlibur. Izin cuti dua minggu untuk mengurus meninggalnya teman terbaik.
Hanya itu. Jadi bagaimana mungkin ada begitu banyak implikasi"
"KAU GILA, TEGAR! Tiga belas tahun kau bekerja untukku, tiba di
posisimu sekarang dengan cepat. Seluruh reputasimu! Dan kau hari ini
meneleponku, menyela acara bermain golf-ku hanya untuk bilang kau ingin
berhenti bekerja! Berhenti begitu saja! OMONG-KOSONG!"
Aku berusaha menjelaskan, terpotong di sana-sini.
"KAU BISA MEMBAWA ANAK-ANAK ITU KE JAKARTA. Aku bisa
membantu banyak. Kau berhak atas fasilitas apa pun. Tinggal sebutkan." Eric
Theo sedikit tidak terkendali. Tabiat buruk lamanya keluar.
Aku menelan ludah. Masalahnya tidak sesederhana itu.
"Baik. Aku mungkin tidak pernah tahu kalau mereka amat berarti bagi kau.
Aku juga tidak tahu apakah hanya kau memang satu-satunya yang bisa menjadi
pengasuh bagi mereka. Bukankah ada begitu banyak pengasuh anak-anak
berpendidikan dan profesional yang bisa kau bayar. Baik. Kuberikan kau waktu
satu bulan untuk berpikir. Kau tidak akan meninggalkan kesempatan besar
begitu saja, my friend."
"Aku beritahu kau, meski semua seharusnya masih amat rahasia, dua bulan
lagi akan ada promosi besar-besaran di Jakarta. Aku akan menjadi CEO di sini,
dan aku membutuhkan kau mengisi posisiku sekarang. Dua tahun lagi saat
kesempatanku pindah ke Singapore tiba, aku akan menjadikan kau bagian
terpenting dalam skenario itu. Jadi pikirkan saja."
Aku menggigit bibir. Mengusap dahi.
Eric Theo memutus pembicaraan dengan menitipkan salam buat anak-anak.
Orang Singapore separuh Melayu separuh China itu tidak akan pernah mengerti
urusan ini. Meskipun ia beribu kali dengan manis menitipkan salam buat anakanak.
Aku kembali memegang tuas kemudi kapal-cepat. Urung menelepon rumah,
klien perusahaan dan Frans. Kehilangan selera bercakap setelah mendengar
omelan Eric Theo. Menatap bening dan tenangnya air lautan. Tiga pulau berjejer
rapi di kejauhan. Gili Trawangan terletak paling ujung. Pagi ini aku harus
memperbaiki rekor, sebelas menit dua puluh tiga detik, menekan pedal gas
kencang-kencang. Kapal cepat itu bagai terbang satu senti di atas permukaan air.
Oma sedang membersihkan ruang depan resor saat aku pulang. Setua itu, Oma
tetap menyibukkan diri. Apalagi belakangan, kesibukan fisik dapat membantu
banyak memutus kesibukan hati memikirkan banyak hal, pikiran yang hanya
mengundang kesedihan. Sakura ada di teras. Duduk di atas kursi rodanya. Menghadap hutan buatan.
Membaca buku pelajaran. Buku matematika. Aku menyeringai. Pasti di
dalamnya terselip komik. "Itu buku matematika nomor berapa?" Melangkah mendekat, bertanya.
"Lima belas, Uncle."
Ups! Sakura nyengir. Mata bulatnya membesar. Baru menyadari keliru refleks
menjawab pertanyaanku, mendekap mulut. Aku tertawa. Nah, mana ada buku
matematika nomor lima belas. Sakura malu-malu menurunkan buku
matematikanya, memperlihatkan komik di dalamnya. Dulu Rosie sering ngomel,
tidak suka melihat Sakura menghabiskan waktu dengan membaca komik.
Makanya Sakura sering membuat penyamaran. "Itu komik yang dibelikan Bibi
Clare?" Sakura mengangguk, "Ini asli terbitan Jepang, Uncle, di Indonesia
belum ada, paling baru keluar enam bulan lagi. Sakura orang pertama di
Indonesia yang membacanya." Sakura bangga memperlihatkan koleksi buku
komiknya. Aku melilit melihat sampul depannya. Langsung dari Jepang, itu berarti hurufhurufnya juga versi huruf kanji. Sakura tertawa melihat dahiku terlipat.
"Sakura kan juga dikasih ini sama Bibi Clare." Tanpa ditanya Sakura
menyingkapkan selimut kecil di atas pangkuannya. Kamus Besar Bahasa Jepang.
Aku menyeringai, mengangguk. Tidak ada cara yang lebih efektif belajar
bahasa asing selain dengan hobi. Hobi yang memaksa. Aku membiarkan Sakura
melanjutkan belajar matematikanya.
Masuk ke ruang kantor Nathan. Menghidupkan laptop. Penasaran dengan
kalimat Eric Theo tadi. Laptop kecil itu berdesing pelan, menyala. Aku
menunggu sambil menatap foto besar Nathan, Rosie, dan anak-anak yang
tergantung di dinding ruangan. Aku tidak akan menurunkan foto-foto Nathan.
Bagi kebanyakan orang, dengan membuang seluruh benda kenangan itu dalam
gudang akan membantu banyak melupakan kesedihan. Bagiku tidak. Anak-anak
harus belajar berdamai. Bukan melupakan. Aku tidak ingin mereka mengulang
kesalahan besar yang kulakukan dulu.
Lima tahun yang getir. Setiap jengkal sepanjang hari berusaha melupakan Rosie. Membuang fotofoto kami ke kotak sampah. Percuma. Aku tidak akan pernah bisa
melupakannya. Malamnya malah panik berusaha mengais-ngais kotak sampah.
Berharap menemukan foto yang telanjur kubuang. Lantas terduduk saat
menyadari foto itu telah pergi dibawa truk sampah keliling. Menyesali,
bukankah yang kubuang termasuk foto waktu kami masih kanak-kanak di Gili
Trawangan. Foto-foto kami yang polos ketika berlarian di sepanjang bibir pantai.
Memanjat pohon kelapa. Berkunjung ke Lombok, bermain di pematang sawah.
Setiap jengkal sepanjang hari berusaha mengusir bayangan Nathan dan Rosie
yang akan bersanding bahagia di pelaminan esok-pagi. Sia-sia. Keingin-tahuan
itu malah datang mencengkeram dua kali lipatnya. Gemetar menekan nomor
telepon resor. Buru-buru ditutup saat mendengar suara yang menyapa adalah
Rosie. Buru-buru ditutup lagi saat suara yang menyahut adalah Nathan. Baru
menjelang malam, Oma yang terdengar menyapa. Ya Tuhan, semakin kuat aku
ingin mengenyahkan rasa ingin tahu itu, ingin tidak peduli, maka semakin
gemetar suaraku bertanya. Oma menjelaskan dengan suara prihatin. Setiap
jengkal sepanjang hari berusaha mengusir bayangan wajah Rosie. Maka setiap
jengkal pula bayangan wajahnya memenuhi langit-langit kamar kontrakanku.
Tidak. Aku tidak akan pernah bisa melupakannya. Seharusnya aku berdamai
dengan semua. Tetapi bagaimana melakukannya" Itu mudah dikatakan tapi
menyakitkan dilakukan. Malam-malam resah. Malam-malam yang terasa lebih
panjang karena helaan napas tertahan. Hingga Rosie dan Nathan datang
membawa Anggrek dan Sakura di depan pintu apartemenku. Ketika aku
menyimak dua gadis kecil nakal itu, yang terlihat bagai malaikat. Maka perasaan
damai itu muncul. Sungguh menyenangkan merasakan itu semua. Berdamai
dengan masa lalu yang menyakitkan. Berdamai bukan melupakan.
Laptop yang selesai booting mengeluarkan denting pelan. Memutus lamunan.
Sunset Bersama Rosie Karya Tereliye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku meraih mouse. Ada email masuk. Banyak. Aku membuka outlook sambil
simultan membuka internet. Masuk ke situs Bursa Efek. Melihat progres IPO
perusahaan klienku kemarin sore. Closing price, Rp 11.780 per lembar saham.
Aku tersenyum lebar. Benar, bahkan angkanya lebih besar dari yang disebutkan
Eric Theo tadi. Membuka inbox yang separuh lebih adalah email ucapan selamat dari kolega
kerja. Isinya tentang IPO yang sukses besar, ucapan selamat. Aku meng-klik
tombol reply all. Mengetik sepotong kalimat. Terima kasih. Menghela napas, itu
semua tinggal masa lalu, tidak akan ada lagi Tegar Karang, aku sudah
memutuskan berhenti. Dan ada email baru yang masuk ke inbox. Dari Linda Paling hanya c.c. tiket
pesawat untuk Sekar. Membuka email tersebut. Paragraf pertamanya memang
tentang tiket pesawat, hotel dan sebagainya untuk perjalanan Sekar besok. Tetapi
empat paragraf berikutnya bukan. Sama sekali bukan. Sekar melapor, ada
petugas mendatangi kantor sepagi ini. Mereka bertanya tentang video-streaming
di ruangan kerjaku. Mereka mendapatkan potongan kamera yang lebur di
Jimbaran. Baru berhasil tadi malam mengindikasikan kalau itu potongan kamera
yang merekam kejadian. Mereka mendapatkan potongan berita dari Kadek soal
kebiasaanku dengan anak-anak, berhubungan dengan tele-conference.
Mendapatkan informasi tentang koneksi internet, tahu muasal koneksi. Dan
mereka datang, bertanya, apakah rekaman video yang sama ada di komputer
ruang kerjaku. Linda bilang, petugas masuk ke ruang kerjaku. Linda ingin mencegahnya,
tetapi mereka memaksa. Meneleponku, tapi tidak tersambung. Aku menyeringai,
melihat telepon genggam yang kuletakkan di atas meja. Sialan, telepon genggam
itu mati, baterei-nya sudah mau habis sejak bicara dengan Eric Theo. Aku
menyambar telepon resor di atas meja. Menghubungi Linda di Jakarta. Tidak
mengapa. Biarkan saja mereka mengambil seluruh potongan gambar itu.
Mungkin akan membantu penyelidikan.
Aku belum menyadari kalau potongan video-streaming itu ternyata berguna.
Aku tidak tahu kalau kamera Nathan di atas tripod menangkap kejadian saat
Sakura bertabrakan dengan pemuda bergegas itu. Bahkan Jasmine sempat
hendak memberikan setangkai mawar biru pada pelaku pengeboman.
Makan malam yang lebih baik.
Pasangan turis dari Hongkong ikut bergabung. Mereka menghadiahi anakanak miniatur "Istana Kota Terlarang". Sakura berbinar-binar, senang
menerimanya. Bertanya banyak hal. Detail malah. Aku tersenyum, mereka
pasangan yang baik. Aku menyela Sakura, bertanya tentang welcome yatnes
kemarin malam. Tertawa. Mereka bilang itu akan membuat mereka selalu ingat
perjalanan bulan-madu ini. Mereka juga menyukai setiap potong resor, kecuali
lampunya, "Lampion. Akan indah sekali bila lilin-lilin itu diganti lampion.
Digantungkan dengan bilah-bilah bambu. Tali-tali panjang."
Anak-anak selepas makan malam belajar di kamar
Anggrek. Aku melangkah pelan di sepanjang bibir pantai, menyapa turis-turis yang
mengelilingi api unggun. Duduk lama di depan hutan buatan. Di atas hamparan
bebatuan. Saat aku sedang melamun menatap kunang-kunang, Oma datang
mendekat. Merapatkan sweater. Malam ini angin bertiup kencang. Penghujung
musim kemarau. Minggu-minggu depan Lombok dan sekitarnya akan dibungkus
hujan sepanjang hari. "Apa yang akan kau katakan kepada Sekar besok?" Oma tanpa basa-basi
memulai percakapan langsung pada intinya.
"Belum tahu." Aku menjawab pendek. Menatap Oma lamat-lamat.
Oma tertawa kecil, merapikan rambutnya yang memutih.
"Kembalilah ke Jakarta, Nak, "
"Kita sudah membicarakan ini kemarin malam, Oma, Aku memotong.
"Tidak. Kita sedikit pun belum membicarakannya. Kau sudah memberitahu
apa yang hendak kau lakukan tinggal di sini, tetapi kau belum mengatakan apa
yang kau pikirkan tentang Sekar, tentang pertunangan kalian."
"Belum tahu, Oma. Tergantung besok." Aku mengusap dahi.
Oma diam sejenak. Kunang-kunang terbang melintas. Nyala lilin terlihat
kerlap-kerlip. Ah, sepasang turis dari Hongkong itu benar, akan lebih indah
kalau menggunakan lampion, apalagi di musim penghujan. Usul yang bagus,
besok pagi aku menyuruh Lian untuk membeli seluruh perlengkapan.
"Kau selalu bisa memikirkan sesuatu yang lebih baik, Tegar. Bukan sematamata menurutkan emosimu. Dalam urusan ini kau selalu emosional. Kau punya
kesempatan besar dengan Sekar. Gadis itu memiliki semua yang kau butuhkan.
Gadis itu menjanjikan kehidupan berkeluarga yang baik, "
"Aku tidak emosional, Oma. Keputusan tinggal di sini kupikirkan matangmatang. Demi Anggrek, Sakura, Jasmine dan Lili." Aku mendesah pelan,
memotong. "Kau tidak akan membatalkan pernikahan dengan Sekar, bukan?" Oma
bertanya prihatin, matanya redup menatap.
"Aku tidak tahu. Tepatnya aku belum tahu." Lengang sejenak.
"Pulau kecil ini selalu terlihat indah, bukan?" Oma menghela napas.
Aku mengangguk. "Orang tua sepertiku, yang puluhan tahun hanya tinggal di pulau, tidak banyak
kebijakan yang dimiliki." Oma menoleh, tersenyum, "Malam ini, biarlah Oma
beritahu kau sebuah kalimat dari sedikit kebijakan hidup. Kau tahu Tegar, dua
puluh tahun dari sekarang kau akan lebih menyesal atas apa-apa yang tidak
pernah kau kerjakan dibandingkan atas apa-apa yang kau kerjakan."
Aku tersenyum getir, ya aku tahu persis makna kalimat itu. Sepotong kalimat
yang kubaca berkali-kali bagai mantera saat tiba di Jakarta, seminggu setelah
kejadian di puncak Gunung Rinjani. Aku jatuh tersungkur membujuk hatiku
untuk tidak kembali. Tetapi sepotong hatiku yang lain memaksaku untuk
Kembali. Hei, kau punya hak untuk bilang kepada Rosie kalau kau
mencintainya. Berteriak kencang-kencang kalau kau mencintainya. Tetapi aku
tidak pernah bisa melakukannya. Buat apa" Hanya agar Rosie tahu" Lantas apa"
Lantas kenapa" Merusak kebahagiaan Rosie dan Nathan" Mencoba mengungkit
kenangan kanak-kanak bersamanya. Menyadarkan kalau Nathan hanya sosok
yang datang sekejap, memesona, penuh perhatian, dan semata-mata keputusan
emosional Rosie" Lantas apa" Kalau Rosie bilang ya, bagaimana Nathan" Teman terbaik yang
pernah kumiliki. Kalau Rosie sebaliknya menatapku benci" Tidak menduga aku
akan mengatakan kalimat yang akan merusak hubungan pertemanan kami sejak
kecil" Aku tahu persis arti kalimat Oma barusan. Menyesali apa yang tidak
dikerjakan dibandingkan yang dikerjakan. Aku bahkan dalam segenap rasa
putus-asa pernah mendesah tentang, kesempatan itu masih ada. Aku akan
kembali. Merebut cinta Rosie meski itu hal terakhir yang dapat kulakukan di
dunia ini. Melakukannya sebelum semuanya benar-benar terlambat. Tetapi aku
tidak pernah bisa melakukannya. Buat apa" Lantas apa aku sekarang pernah
menyesalinya" Aku tidak tahu.
Senyap. Angin malam bertiup semakin kencang. Aku mendekap bahu Oma
yang duduk di sebelah. Tersenyum getir.
"Terima kasih Oma selalu memikirkan kebahagiaanku selama ini. Terima
kasih. Tetapi sungguh, aku bahagia meski harus menghabiskan seluruh waktu
bersama anak-anak. Oma benar, aku terlalu mencintai mereka sama seperti dulu
terlalu mencintai Rosie. Aku juga mungkin emosional belakangan ini. Tetapi
semuanya belum terjadi, bukan" Besok mungkin saja Sekar bisa mengerti. Aku
berjanji akan membuatnya mudah. Oma benar, ada banyak kemungkinan lain."
Langit muram, bintang-gemintang terbungkus awan. "Berjanjilah satu hal lagi,
Tegar." Oma berkata pelan. Aku menatap wajah tua itu.
"Berjanjilah kau tidak akan membuat gadis itu menangis."
Aku mengangguk. Suara nyanyian Putri Duyung terdengar indah.
Sayang, Oma tidak tahu kalau Sekar mudah sekali menangis.
Lian ikut menumpang kapal cepat. Belanja keperluan lampion di Mataram.
Anak-anak berloncatan naik. Bujang yang memegang tuas kemudi. Jasmine
menyeringai, kecewa, padahal ia sudah bawa-bawa kursi plastik untuk ganjal
kaki. Mereka tahu hari ini aku akan pergi ke Denpasar. "Salam buat Bibi Sekar,
Uncle!" Itu kata Sakura saat sarapan. "Kenapa pula Bibi Sekar tidak diajak
kemari, Paman" Kan, jadi ramai," Jasmine memotong sambil menyuapi Lili di
meja makan. "Jangan-jangan emang benar. Bibi Sekar jelek, ya?" Sakura
nyengir. Itu pagi pertama kami bisa tertawa lepas di meja makan. Aku menaiki
kendaraan umum ke Mataram, bersama Lian. Anak-anak seperti biasa naik
odong-odong ke sekolah. Dari Mataram aku meneruskan perjalanan ke
Pelabuhan Lembar, menumpang kapal cepat langsung menuju Denpasar. Dua
jam di atas lautan. Sempat mampir sebentar di kantor Made. Merapikan penampilan.
"Sudah tampan, Mas Tegar." Made tertawa sambil melemparkan kunci motor
besarnya. Aku meminjamnya untuk acara yang resminya harus kusebut pergi
bersama Sekar. Meski intinya adalah pembicaraan tentang hubungan kami.
Clarice menelepon saat aku bersiap berangkat. Hanya sebentar. Bilang ia
pulang ke Sydney lusa. Ada pekerjaan di yayasan yang dikelolanya. Aku sekali
lagi mengucapkan terima kasih. Clarice tertawa. Mengabarkan sedikit tentang
Rosie. Semua baik-baik saja, "Kau bisa menelepon langsung Ayasa kapan saja
untuk tahu kabar terbaru Rosie, bahkan malam-malam hari sekali pun. Ayasa
menghabiskan seluruh waktunya untuk shelter itu."
Aku mengangguk, menutup percakapan.
Motor besar Made meraung kencang saat aku menginjak pedal gasnya.
Pemberhentian pertama, Bali Intercontinental Hotel, tempat Sekar menginap.
Pesawatnya sudah tiba pukul 09.30 tadi pagi. Gadis itu menyambutku di lobi
hotel. Cantik. Ia mengenakan kaos hijau. Celana panjang katun. Lehernya dililit
selendang putih. Aku tersenyum.
"Kau membuatku menjadi pusat perhatian di lobi hotel ini."
Sekar tersipu. Kami berjalan bersisian.
Belum sekarang, sebelum pembicaraan itu tiba, aku harus membuat Sekar
nyaman. Kami melangkah menuju parkiran. Naik ke atas motor besar.
"Ini kendaraan kita sepanjang hari, kau tidak keberatan, bukan?"
Sekar tertawa, menggeleng. Pertanyaan basa-basi, naik motor dibonceng
seperti ini hal yang amat dibanggakan Sekar tentangku kepada teman-teman
kerjanya, itu pertemuan pertama kami. "Kalian tidak akan bisa merasakan
sensasi romantisnya." Aku tertawa saat Sekar seminggu kemudian menceritakan
percakapan tersebut. Motor besar yang kukendalikan membelah jalanan Denpasar yang sepi.
Sebulan ke depan jalanan itu tetap sepi, juga enam bulan kemudian. Hanya perlu
sedetik bom itu meledak, tapi akibatnya bertahun-tahun. Kunjungan wisatawan
turun drastis. Lengang. Aku memesan tempat di salah satu restoran dekat Sukowati untuk makan
siang. Made yang memesan.
Tempat itu menyenangkan meski sedikit berisik, dipenuhi pedagang kerajinan
perak. Di sana ada restoran tradisional yang nyaman. Meja dan kursinya
terhampar. Ruangannya dipenuhi benda-benda antik, meski aku tidak tahu-tahu
amat soal benda antik. Kami duduk berdua saling berhadapan. Benar-benar
berdua. Restoran itu kosong. Suara Gamelan Bali terdengar lembut.
Sekar lebih banyak menunduk. Aku sibuk menatapnya.
"Kau tahu, hari ini aku sengaja memesan seluruh meja. Biar kita bisa
berduaan tanpa diganggu siapa pun." Aku nyengir, berbohong.
Sekar tertawa. Memainkan pipet di kelapa muda.
"Bagaimana pekerjaanmu?" Bertanya.
Aku menghabiskan makan siang dengan membicarakan banyak hal, kecuali
tentang pertunangan, itu dibahas nanti-nanti. Tertawa, bergurau. Sekali-dua
Sekar bertanya tentang anak-anak, dan aku buru-buru mengalihkan pembicaraan
dengan baik. Belum waktunya.
"Mereka baik-baik saja. Sakura bilang seharusnya kau datang ke Gili
Trawangan, dia ingin membuktikan kalau bibinya cantik. Sayang, dia keliru,
bibinya tidak cantik, tapi, cantik sekali." Sekar yang hendak melotot jadi tersipu.
Aku tertawa. Entahlah, apa nanti kami akan tetap tertawa setelah tiba di bagian
itu" Aku mengusap dahi.
Sekar menatapku lamat-lamat, hilang tawanya. Melihatku mengusap dahi"
Sekar amat sensitif soal ini. Tapi ia tidak bertanya kenapa, kembali tertunduk.
Aku mengajak Sekar mengelilingi kota Denpasar. Ternyata menyenangkan
menyimak Denpasar yang lengang. Orang-orang dengan pakaian tradisional
membakar sesaji di pura dan sudut-sudut jalan. Menatap setia jalanan yang
terlihat asri dan artistik.
Menjelang senja, motor besar itu mengarah ke utara. Aku menuju pantai
dreamland. Tempat yang hebat untuk menyimak sunset. Tempat yang hebat pula
untuk membicarakan urusan ini. Pantai itu sempurna berbentuk cadas setinggi
tiga puluh meter. Rumah-rumah dari bambu menempel di cadas-cadas tersebut,
seperti siluet film klasik. Hamparan pasirnya bagai es krim ketika diinjak. Di
beberapa sisi, ombak berdebum langsung menghajar dinding cadas.
Sekar menggulung celana panjangnya. Aku membimbingnya menuruni anak
tangga yang terbuat seadanya dari potongan papan. Langit sudah menyemburat
merah. Setengah jam lagi, matahari bersiap menghujam di kaki cakrawala.
Gunung Agung terlihat indah dari sini. Lengang, dreamland hanya diisi dua-tiga
penduduk berwajah lokal, meski rambut dicat merah dan bergaya seperti turis
memegang papan seluncur. Aku dan Sekar berjalan bersisian. Ombak memecah pantai menjilat mata kaki.
Sekar jahil menendang-nendang pasir. Tertawa.
"Shelter Rosie setengah jam perjalanan dari sini." Aku berkata pelan. Sudah
saatnya. Sekar mengangkat kepalanya. Menoleh.
"Anak-anak itu amat malang. Mereka tidak tahu hingga kapan ibu mereka
akan pulih seperti semula." Aku berusaha menyusun kalimat.
Sekar terdiam. Menatap langit merah di kejauhan.
"Aku sepertinya tidak akan bisa pulang ke Jakarta minggu depan. Minggu
depannya juga tidak. Aku cemas aku tidak bisa pulang bulan-bulan ini. Aku
tidak tega meninggalkan anak-anak. Mereka tidak punya siapa-siapa selain aku."
"Ya, pamannya yang paling hebat, keren, dan super." Sekar memotong,
intonasi suaranya berubah. Aku menelan ludah.
"Aku tidak bisa mengajak anak-anak untuk pindah ke Jakarta, meskipun saran
itu logis sekali. Aku tidak ingin mereka terpisah dari masa kanak-kanak yang
bahagia di Gili Trawangan, tiga belas tahun jejak-jejak mereka bersama Nathan
dan Rosie." Muka Sekar sudah memerah. Cepat sekali seluruh potongan menyenangkan
kami sepanjang hari ini menghilang dari wajahnya.
"Aku mencintaimu, Sekar. Aku menginginkan pernikahan itu. Tapi itu tidak
bisa dilakukan dalam waktu dekat. Tidak bisa." Aku menelan ludah.
"Aku tidak akan memaksamu." Suara Sekar terdengar serak.
Aku menatap gadis itu, "Atau, atau maukah kau yang pindah ke Gili
Trawangan. Kita bisa menikah di sini, bukan" Tinggal di sini bersama anak-anak
Rosie." Aku mengatakan kemungkinan pertama.
Sekar tertawa, amat getir, "Ya, dan aku sepanjang hari menjadi saksi betapa
aku hanya menjadi bayang-bayang dari Rosie-mu."
Ya Tuhan, aku berharap agar pembicaraan ini tidak segera mengarah ke sana.
Tetapi Sekar sudah mencungkil pintunya. Semua ini sia-sia. Harus berapa kali
aku ngatakan kepadanya, masa lalu itu sudah tertinggal jauh Aku masih
mencintai Rosie, tapi itu dengan pengertian dan pemahaman cinta yang berbeda.
Aku sungguh sudah berdamai dengan perasaan itu.
"Aku tahu, kau tidak akan pernah bisa mencintaiku. Tidak dengan cinta
sebesar kepada Rosie-mu." Sekar mulai menangis.
Aku menggigit bibir. Hilang sudah kemungkinan-kemungkinan itu.
"Aku mencintaimu, Sekar."
"Tidak. Seharusnya saat berharap pertama kali dulu, saat mengenal pertama
kali dulu aku secepat mungkin mengenyahkan semua perasaan itu,
membuangnya jauh-jauh. Aku tidak akan pernah mendapatkan cintamu. Akulah
yang keliru, aku memaksakan diri. Bersimpati, lantas mulai menanam benihbenihnya. Merasa kalau cintaku yang besar bisa mengubur masa-lalu itu. Aku
tidak menginginkan pernikahan itu kalau kau merasa terpaksa melakukannya.
Pergilah, Tegar, pergilah bersama anak-anak. Mereka jauh membutuhkanmu
dibandingkan aku, dibandingkan aku." Sekar tergugu.
Matahari bersiap menghujam kaki langit.
Sunset yang indah. Sayang, tidak ada sunset di hati kami saat ini.
"Mungkin Rosie akan pulih satu-dua bulan ini. Mungkin Rosie bisa kembali
dalam waktu dekat. Dan kita bisa menikah segera." Aku berbisik, mencoba
mengais-ngais kemungkinan lainnya.
"Masalahnya bukan waktu. Bukan waktu. Aku ihklas, Tegar. Pergilah. Kau
memiliki kehidupan di sini. Dan aku ternyata tidak akan bisa meneguhkan diri
untuk menerima sepotong kehidupanmu di sini. Ya Tuhan, dulu aku pikir aku
bisa menerimanya, ternyata tidak. Aku egois. Ingin utuh memilikimu. Tanpa
berbagi. Tetapi kau selalu dipunyai anak-anak itu, sama seperti dulu hingga
sekarang, kau selalu dipunyai Rosie."
Senyap. Tangisan pelan Sekar menjadi lagu sendu pengantar sunset.
Sunset Bersama Rosie Karya Tereliye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Empat puluh tujuh detik berlalu. Matahari sempurna tenggelam.
Aku menghela napas. Maafkan aku Oma, Sekar menangis.
Setiap pembicaraan punya kesimpulan. Dan itu termasuk untuk pembicaraan
yang tanpa kesimpulan sekali pun, kesimpulannya: tidak ada kesimpulan. Aku
tidak tahu apa kesimpulan pembicaraanku dengan Sekar senja itu. Mungkin
Sekar benar, aku mungkin tidak pernah dengan sungguh-sungguh, antusias,
semangat, dan entahlah menginginkan pernikahan itu.
Aku mencintai Sekar, dan aku tidak berbohong. Aku tahu ada banyak yang
berubah dari caraku memahami kesendirian hidup. Tetapi setipis apa pun
perasaan itu, aku mencintainya.
Sekar kembali ke Jakarta esok pagi-pagi. Bagai patung pualam suci, Sekar
melangkah diam di sepanjang lobi bandara. Tatapan yang kosong. Mata gadis itu
sembap. Sisa menangis semalaman. Aku sekali lagi berusaha membesarkan
hatinya tentang kemungkinan Rosie sembuh lebih cepat. Sekar menatapku putusasa. Masalah ini bukan soal waktu, Sekar berbisik pelan. Justru waktu akan
mengkhianati semuanya. Semakin lama, akan semakin sakit. Pesawat menuju
Jakarta membawa sepotong hati yang luka, melesat ke angkasa yang mendung.
Gumpalan awan kelabu menggantung di langit.
Aku tidak tahu cerita selanjutnya. Tetapi sejak hari itu, malam-malam gadis
itu terasa lebih panjang oleh helaan napas tertahan. Gerakan tubuh resah. Mimpimimpi buruk. Terbangun berkali-kali di tengah malam. Mencari pegangan di
gelapnya kamar. Mendekap sesuatu. Tertunduk. Seolah-olah melihatnya, tapi ia
sungguh tidak ada di sekitar. Seolah-olah mendengarnya, tapi ia sungguh jauh
dari jangkauan. Aku tidak tahu apakah Sekar menyukai pagi. Bagiku, pagi selalu
indah. Aku tidak tahu itu hingga dua tahun kemudian. Menyadari kalau siklus
yang pernah kulewati, sekarang sedang terjadi pada Sekar, gadis yang cantik,
lebih cantik dari Rosie. Aku langsung kembali ke Gili Trawangan setelah menjenguk Rosie lima belas
menit di shelter. Rosie sedang tidur. Aku enggan membangunkan. Ayasa
tersenyum menyambutku, menjelaskan beberapa hal teknis. Tentang terapi.
Rencana-rencana rehabilitasi. Aku lebih banyak mengangguk. Kembali ke Gili
Trawangan. Tertidur kelelahan di kapal cepat.
Menjelang senja baru tiba. Langit semakin gelap. Mendung. Sepertinya
musim penghujan datang lebih cepat dari jadwalnya. Anggrek sibuk membantu
pelayan memasangkan lampion di depan resor. Aku menyeringai,
Lian sepertinya terlalu serius menanggapi perintahku dua hari lalu. Ada
banyak sekali lampion yang dipasangkan. Lian juga memasangkan lampionlampion di sepanjang bibir pantai. Membuat gantungan kawat panjang-panjang,
dari satu pohon nyiur ke pohon nyiur lainnya. Jangan-jangan seluruh Gili
Trawangan dipasangi Lampion"
Jasmine sedang belajar menyulam. Gadis kecil itu bahkan mengambil inisiatif
untuk membeli peralatannya sendiri.
Mungkin sempat titip ketika Lian kemarin belanja ke Mataram. Lili semangat
belajar merangkak di sekitarnya.
Berguling dibelit selendang gendongan. Jasmine tertawa, meletakkan sulaman,
membantu melepas. Mereka berseru riang saat melihatku melangkah di halaman resor. Jasmine
menggendong adiknya. Terhuyung berlarian mendekat. Aku mendekap mereka.
Eksplosif. Mereka terbiasa menunjukkan dengan nyata kasih-sayang mereka. Riang
menyambutku pulang. "Gimana Bibi Sekarnya" Jadi mau ke sini?" Anggrek bertanya.
Aku menggeleng. "Nikahnya kapan?" Jasmine ingin tahu. Aku mengangkat bahu. Tersenyum.
"Aduh, kok nggak dijawab, sih?" Anggrek memegang tanganku.
"Tadi sekolahnya menyenangkan?" Aku mengalihkan pembicaraan.
"Yee, hari ini kan tanggal merah. Paman gimana sih?" Aku nyengir.
Mengusap rambut Jasmine. Aku lupa. Sakura mendorong kursi rodanya.
Bergabung. Ada lebih banyak pertanyaan dari Sakura. Aku lebih banyak
tersenyum. Anak-anak tidak perlu mendengarkan kabar buruk lagi. Jadi aku
menjawab singkat, tunangannya urung, kami memutuskan akan langsung
menikah. Sakura berseru, "Wuih" Langsung" Jurus Kilat, Uncle?" Jasmine dan
Anggrek tertawa melihat ekspresi muka dan gerakan tangan Sakura. Tetapi
menikahnya ditunda, Sakura, mungkin enam bulan lagi, setahun lagi, entahlah.
Bibi Sekar masih banyak pekerjaan. Jadi Paman Tegar harus menunggu dengan
sabaaaar. "Wah, kenapa bisa begitu, Uncle" Memangnya Bibi Sekar
pekerjaannya apa" Bisa sibuk banget?"
Oma menatap datar dari bawah bingkai pintu. Menghela napas.
Aku membalas tatapan itu, tersenyum kecut.
Hujan lebat benar-benar turun saat makan malam. Air hujan membuncah atap
resor. Anak-anak sibuk bercerita di meja makan. Aku hanya mengangguk.
Tersenyum berusaha menanggapi. Malam ini mereka amat menyenangkan.
Akulah yang membawa beban itu. Beban hubunganku dengan Sekar. Menghala
napas sekali-dua. Berusaha larut dalam keceriaan anak-anak.
Apakah Sekar baik-baik saja" Entahlah.
Selepas makan, anak-anak berkumpul di teras resor. Hujan mulai reda.
Bukan main. Aku menelan ludah. Ternyata lampion-lampion itu memberikan
nuansa berbeda. Siluet cahaya yang keluar dari lampu-lampu itu bergabung
dengan denting kristal gerimis. Kerlap-kerlip memesona. Lampion-lampion di
sepanjang bibir pantai. Lampion-lampion yang disangkutkan di bilah-bilah
bambu. Berjuntai. Lampion-lampion di atas bubungan resor. Lian ternyata tidak
berlebihan. Pemandangan ini menakjubkan. Memberikan sensasi indah
tersendiri. Anak-anak berpegangan pada kayu berpelitur dan berukir, pembatas teras. Ikut
asyik menatap lampion-lampion. Debur ombak di pantai seolah bersaing dengan
suara gerimis. Menyenangkan.
Malam ini hujan pertama turun di Gili Trawangan. Malam ini dan esok-lusa
aku akan menghabiskan banyak waktu di sini.
Aku menatap wajah-wajah empat kuntum bunga itu. Lili yang merangkak,
sibuk menarik-narik baju Jasmine yang jongkok berpegangan ke pembatas teras.
Wajah Anggrek tenang. Gadis kecil ini sungguh mewarisi gurat wajah ibunya.
Jasmine menoleh, tertawa melihat kelakuan adiknya. Membantu adiknya berdiri.
Menunjuk-nunjuk puluhan lampion yang menghiasi halaman resor. Wajah cubby
Lili. Wajah Sakura. Aku sudah memutuskan untuk menemani mereka. Apa pun harga yang harus
kubayar. Oma mungkin benar. Aku terlalu mencintai anak-anak ini. Tetapi apa
salahnya" Aku ingin melihat mereka tumbuh menjadi anak-anak yang
membanggakan, anak-anak yang tetap riang dengan masa kanak-kanaknya.
Meski nasib mengambil ayah, juga ibu mereka.
Tuhan, aku titipkan urusan Sekar. Juga seluruh urusan perasaan ini. Aku
titipkan. Sama seperti saat aku dulu bersimpuh memohon kekuatan.
"Kak Sakura bawa apa sih" Perutnya kok gede banget?"
Suara Jasmine membuat aku menoleh. Jasmine berusaha menarik selimut di
perut Sakura. Buku" Kamus bahasa Jepang" Sakura berusaha mencegah tangan
adiknya. Jasmine lebih sigap, selimut itu tersingkap. Biola. Gadis kecil itu
menyembunyikan biola di pangkuannya. Aku menelan ludah. Teringat kebiasaan
Nathan, Rosie, dan anak-anak kalau sedang berkumpul di teras resor. Seharusnya
di saat-saat seperti ini, Sakura akan memainkan lagu indah, sambil sombong ke
Anggrek dan Jasmine. Sekarang" Bagaimanalah" Tangan kirinya masih
terbungkus gips. Yang lain terdiam melihat biola itu.
Sakura melotot pada Jasmine, marah karena Jasmine menarik selimutnya. Aku
tidak tahu apa yang ada di benak Sakura. Tidak tahu bagaimana ia menyikapi
keterbatasannya sekarang. Tidak tahu mengapa malam ini ia sembunyi-sembunyi
memangku biola kesayangannya.
Aku menyentuh lembut bahu Sakura, tersenyum.
"Sakura tidak akan memainkan lagu malam ini, bukan" Hujan. Nggak akan
terdengar. Lagi pula lebih asyik mendengar suara hujan dibanding gesekan biola
Sakura." Aku bergurau.
Sakura menatapku. Menggeleng. Mata gadis itu berkaca-kaca.
"Sakura tidak akan bisa memainkannya, Uncle. Lihat." Gadis kecil
memperlihatkan tangan kirinya. "Malam ini Sakura tidak akan bisa
memainkannya. Tetapi Sakura janji, Sakura janji demi Uncle yang berbaik hati
mengurus kami. Demi Uncle yang bahkan meninggalkan Bibi Sekar. Sakura
berjanji akan memainkannya nanti. Sakura akan memainkannya dengan indah.
Nanti. Sakura janji." Gadis kecil itu menyeka ujung matanya.
Aku menelan ludah. Ya Tuhan, anak-anak ini tidak pernah mendapatkan
penjelasan. Tetapi mereka sungguh bisa merangkaikan banyak kejadian. Mereka
pandai menyimpulkan sesuatu, dan lebih dari itu semua mereka pandai mengerti
situasi yang mereka hadapi. Aku mendekap kepala Sakura erat-erat. Jasmine dan
Anggrek tertunduk. Aku ikut mendekap mereka. Lili tertawa, masih berusaha
merangkak mencengkeram selendang gendongan di sela-sela hamparan bantal.
Hujan kembali menderas. Kami akan melewati seluruh hari-hari yang tersisa dengan riang, Tuhan.
Meski itu amat menyakitkan. Semoga esok, saat cahaya matahari pagi
menyentuh pulau ini, semoga esok saat embun menggelayut di ujung-ujung
dedaunan, semoga esok saat kabut membuat cahaya seperti mengambang, semua
kesedihan ini benar-benar berkurang sejengkal.
Dan waktu kemudian melesat bagai anak-panah.
Sungguh waktu melesat bagai anak-panah.
11. DUA TAHUN YANG BERLALU CEPAT
Selamat pagi. Aku tahu, saat membaca cerita ini, di tempat kalian mungkin sedang siang,
sore, atau boleh jadi malah malam hari. Di tempatku ketika memulai cerita ini
juga sebenarnya sedang senja, pukul 17.00. Matahari beranjak tenggelam di kaki
cakrawala. Tidak ada gedung-gedung pencakar langit yang menghalangi. Tidak ada langit
kota yang kotor dan kelabu seperti biasanya. Yang ada hanyalah hamparan lautan
membentang luas sepanjang mata memandang. Suara ombak menghantam cadas
bebatuan menambah magis senja. Aku persis berada di tubir cadas pantai
setinggi tiga puluh meter. Duduk di pondok kecil tanpa dinding beratap rumbia.
Selamat pagi. Bagiku waktu selalu pagi. Di antara potongan dua puluh empat
jam sehari, bagiku pagi adalah waktu paling indah. Ketika janji-janji baru
muncul seiring embun menggelayut di ujung dedaunan. Ketika harapan-harapan
baru merekah bersama kabut yang mengambang di persawahan hingga nun jauh
di kaki pegunungan. Pagi, berarti satu hari yang melelahkan telah terlampaui
lagi. Pagi, berarti satu malam dengan mimpi-mimpi yang menyesakkan terlewati
lagi; malam-malam panjang, gerakan tubuh resah, kerinduan, dan helaan napas
tertahan Tidak. Itu semua tinggal masa lalu.
Dua tahun berlalu sejak kejadian mengenaskan di Pantai Jimbaran.
Malam-malamku berubah segalanya. Tidak lagj menatap gemerlap kota
Jakarta. Tidak lagi penat pulang dari kantor, kepulan asap knalpot, suara klakson
mobil, entah macet di jalanan atau macet di manalah. Dua tahun terakhir aku
menghabiskan waktu bersama empat kuntum bunga yang mekar tak terkira di
Gili Trawangan. Menikmati sunset setiap petangnya. Menatap hamparan biru
lautan setiap saatnya, dan tidak ada lagi gerakan tubuh resah malam-malam itu.
Yang ada hanya janji masa depan kanak-kanak, keriangan dan semangat hidup
mereka. Laptopku berdenting pelan.
Display layarnya membentuk garis-garis. Aku tersenyum. Incoming signal.
Memperbaiki posisi kamera kecil yang kuletakkan di atas meja. Mereka akan
segera menyeruak dari layar. Suara mereka akan segera bising memenuhi sekitar
radius tiga meter. Rosie tersenyum, kepalanya maju ke depan antusias. Kami
sedang duduk di hamparan tikar pandan, di pondok yang langsung menghadap
tubir cadas pantai. Rosie duduk di belakang, menunggu tak sabaran.
Layar berkedip sekali lagi.
"IBU! IBU! UNCLE! UNCLE!" Wajah Sakura, yang masih bergoyang,
memenuhi layar laptop, tertawa lebar. Rambutnya sore ini dikuncir dua.
Bergerak-gerak mengikuti gerakan kepalanya.
"IBU! IBU! PAMAN!" Jasmine mendorong kakaknya. Menyikut.
Sakura tertawa. Menahan kepala adiknya yang menyeruak.
"Aduh, jangan dorong-dorong."
"Aduh, gantian dong. Lili, lihat! Lihat! Itu Ibu, Paman Tegar!" Jasmine
membantu mengangkat adiknya. Wajah cubby Lili terlihat merekah. Tersenyum
malu-malu. Tersipu. Mengangkat telapak tangannya, melambai patah-patah.
"Apa kabar Ibu?" Anggrek, menyapa, tersenyum matang.
Dua tahun berlalu cepat. Tidak ada lagi sisa-sisa kanak-kanak di wajah Anggrek. Umurnya sekarang
empat belas. Kelas satu SMA. Gurat wajahnya berubah paling banyak
dibandingkan adik-adiknya. Anggrek tumbuh menjadi gadis remaja yang
mengerti benar kata tanggung-jawab. Wajahnya teduh. Cahaya mukanya tenang.
"Baik, Sayang. Ibu baik." Rosie mengangguk, balas tersenyum kepada
sulungnya. "Ibu, Ibu, Si Putih beranak lagi. Wuih, kalau Ibu jadi pulang bulan depan, Ibu
bakal lihat anaknya sudah enam. Uncle sih, masa kucing kita dibiarin saja kawin
sembarangan. Malah anaknya sekarang nggak jelas gitu, belang-belang, Bu."
Sakura melapor. Aku tertawa. Rosie ikut tertawa. Lian yang berdiri di belakang anak-anak juga
tertawa. Mereka terlihat berkerumun di depan kamera.
"Oma! Oma sini." Jasmine meneriaki Oma yang berdiri agak jauh di
belakang. Tubuh tua Oma mendekat, ragu. ragu melambai ke kamera. Oma tidak
kunjung terbiasa dengan percakapan layar-layar ini, selalu merasa ganjil.
"Apa kabar, Oma?" Rosie bertanya.
"Baik. Oma baik-baik saja, Ros." Oma mengangguk.
Aku tersenyum. Dua tahun benar-benar berlalu dengan cepat.
Bulan-bulan pertama Rosie pergi, situasinya sulit bagi anak-anak. Aku tahu,
mereka harus membiasakan banyak hal tanpa ibu mereka. Tidak ada lagi yang
menyiapkan pakaian sekolah. Tidak ada lagi yang membereskan banyak hal.
Bahkan untuk hal sepele seperti membuat minuman panas di malam hari,
meletakkan sepatu di rak. Hingga urusan yang lebih serius, menemani saat
demam, menjawab pertanyaan, seperti Anggrek yang malu-malu bertanya
tentang masa-masa remajanya, tubuhnya yang berubah. Tetapi Anggrek bisa
melaluinya sekaligus mengambil tanggung-jawab itu. Mengurus adik-adiknya,
sekaligus mengurus dirinya-sendiri.
Butuh tiga bulan hingga akhirnya Sakura bisa lepas dari kursi roda. Tiga bulan
berikutnya dihabiskan untuk belajar berjalan dengan kurk. Lucu sekali, karena
Sakura persis belajar berjalan bersamaan dengan Lili belajar berjalan. Jasmine
suka menggoda kakaknya soal ini, bandel, mengolok-olok, dan mereka ujungujungnya bertengkar. Saling melempar bantal, saling piting. Dan lazimnya yang
menangis justru Lili, jatuh tersangkut bantal karena tidak diperhatikan Jasmine.
Sekolah anak-anak berjalan lancar. Sakura bisa menyusul banyak ketinggalan
selama enam bulan tidak masuk sekolah. Ujian sekolahnya bahkan dilakukan di
resor. Sakura naik kelas. Meski nilainya tidak sehebat Anggrek dan Jasmine
yang bangga membentangkan rapor mereka lebar-lebar kepadaku.
Enam bulan setelah Sakura pandai berjalan, Lili belum. Kami berlima pergi
mengunjungi Rosie di shelter. Kunjungan pertama yang mengharu-biru.
Sungguh aku ingin menangis saat itu, mendongakkan kepala, menahan air mata
tumpah, bertahan tidak menangis di depan anak-anak. Ayasa jahil menyikut,
"Menangis sajalah, Tegar. Bagi anak-anak, melihat kau menangis itu justru
memunculkan kesan yang baik. Kau tetap Paman mereka yang paling hebat
meski kau terlihat menangis. Dengan menangis, mereka tahu kalau Paman
tercinta mereka ternyata manusia, bukan Superman."
Aku benar-benar menangis ketika Jasmine memeluk leher Ibunya erat-erat.
Berkali-kali bilang, "Jasmine rindu Ibu. Jasmine rindu Ibu. Jasmine rindu." Ya
Tuhan, anak-anak itu sungguh rindu ibunya. Bagaimana tidak" Mereka
sempurna bersepakat tidak bertanya kabar ibunya selama enam bulan pertama.
Tidak menyinggung-nyinggungnya. Anggrek yang menyuruh mereka untuk
tidak banyak bertanya banyak. "Ibu akan sembuh. Kita akan mengunjunginya
suatu saat. Dan sebelum Om Tegar mengatakannya, sebelum Om Tegar
mengajak kita ke sana, jangan pernah bilang-bilang. Jangan pernah bertanyatanya sekalipun. Jangan ganggu Om Tegar dengan banyak hal. Om Tegar sudah
terlalu sibuk mengurus kita." Aku mencengkeram daun pintu saat melihat
Anggrek mengatakan itu. Masa-masa itu, Anggrek juga akhirnya menyelesaikan satu buku indah. Bukan
buku cerita yang sebelum kejadian Jimbaran hendak diselesaikannya, melainkan
buku puisi. Puisi-puisi tentang adik-adiknya, dan terutama tentang aku, "Selamat
Pagi Untuk Om Tegar". Puisi yang mengesankan. Puisi yang menggurat seluruh
kebanggaan mereka. Ayasa benar, dalam banyak kesempatan, empat kuntum
bunga itu menganggapku berlebihan.
Anggrek tumbuh terampil membantu urusan rumah. Membantu adik-adiknya
belajar, membantu Oma, membantu Lian, meski tetap mempunyai kehidupan
remajanya. Lewat sebulan ia menjejak kelas satu SMA, gadis tanggung itu
melapor tentang teman cowok sekelasnya yang mengirimkan surat cinta. Aku
tertawa lebar. Apalagi Sakura dan Jasmine. Mereka berdua sibuk mengolok-olok
Sunset Bersama Rosie Karya Tereliye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kakaknya. Malam itu aku membicarakan tentang cinta sebelum mereka tidur,
tentang perasaan. Dan Anggrek mendengarkan amat takzim.
"Cinta itu persahabatan. Semakin mengenal Anggrek dengan seseorang, maka
semakin cinta Anggrek dengannya."
Anggrek mencatat kalimat itu sambil menatap lampion-lampion yang
tergantung di sepanjang bibir pantai, lampu-lampu itu sudah diganti dua kali
sejak kepulangan pasangan turis itu ke Hongkong. Sakura dan Jasmine ikut
sibuk mendengarkan. Sok mengerti kalimat yang kuucapkan barusan. Lili yang
lelah berlarian sepanjang hari sudah tertidur di atas hamparan bantal.
"Kalau cinta itu persahabatan, apakah Uncle dulu pernah jatuh cinta kepada
Ibu" Eh, kan, Uncle dan Ibu bersahabat sejak kecil?" Sakura memotong ingin
tahu. Aku sempurna terdiam. Membeku. Itu pertanyaan pertama anak-anak tentang
masa-laluku dengan Rosie. Terlontarkan tidak sengaja oleh Sakura. Tanpa
prasangka. Tanpa maksud apa pun. Aku mengusap wajah kebasku, mereka tidak
perlu tahu. Tidak perlu tahu. Meskipun Anggrek belakangan sering mencari tahu
ke Oma tentang itu. Apa pun bentuk hubunganku dengan Rosie dulu, bagi
Anggrek yang cerdas dan sedang senang-senangnya berkata cinta, meski itu
cinta monyet gumpalan masa lalu tersebut menarik. Dan mereka toh akhirnya
juga tahu urusan itu beberapa minggu kemudian. Saat kejadian mengenaskan
yang memaksaku membongkar rahasia itu. Persis enam bulan lalu. Saat
kunjungan rutin mereka ke shelter Rosie.
Sakura sekarang sebelas tahun. Wajahnya mirip karakter kartun kesukaannya.
Ia meniru gambar kartun-kartun itu. Rambut dikepang. Pakaian-pakaiannya.
Gaya bicaranya. Koleksi pernak-pernik di kamarnya. Tapi terlepas dari itu
semua, ada yang positif. Dua tahun berlalu, kosa-kata bahasa asingnya
meningkat tajam. Aku tidak memerlukan guide lagi saat rombongan turis dari
Jepang datang berkunjung menghabiskan masa-masa liburan. Sakura guide yang
baik. Suka tertawa. Bergurau. Bahkan dalam banyak kasus jago "menipu".
Ia pernah menipu serombongan anak muda dari Tokyo yang datang ingin
melihat penyu. Sebal dibilang "ke-kartun-kartunan" oleh rombongan itu, Sakura
balik bilang di perairan Gili Trawangan ada hiu buas. Membuat rombongan anak
muda itu ngacir secepat mungkin dari dalam air. Butuh seharian untuk
membujuk mereka kembali ke air.
Dan Sakura memenuhi janjinya. Aku berkaca-kaca, saat di musim penghujan
tahun kedua, saat kami duduk-duduk di teras menyaksikan air hujan yang jatuh
menerpa atap-atap resor, menatap siluet lampion yang terbungkus jutaan kristal
air. Saat itulah Sakura memainkan biolanya. Lagu itu, lagu yang dulu
dinyanyikan Jasmine di pemakaman Nathan. Gesekan biola memadamkan
gemercik gerimis di atap resor, memadamkan debur ombak. Kupu-kupu
berterbangan. Melintas di bebungaan. Semerbak wangi melambai. Menjanjikan
kebahagiaan Kabut memenuhi langit-langit. Putih-indah memesona. Embun
merekah kemilau. Menjanjikan kebahagiaan Cahaya matahari pagi. Melintas di
sela dedaunan. Berlarik-larik mengambang. Menjanjikan kebahagiaan.
Sakura butuh setahun penuh belajar menggunakan tangan kirinya menggesek
biola. Ia kidal sekarang. Jari tengah tangan kirinya tak pernah bisa sempurna
digerakkan lagi. Anak-anak itu tumbuh dengan baik, Tuhan. Terima-kasih.
"Ibu! Lihat, lihat undangannya. Wuih, Sakura bakal resital biola bareng Sang
Maestro." Sakura mendorong Anggrek. Sibuk memperlihatkan kertas undangan
tersebut di depan kamera. Lamunanku terputus. Aku bergeser sedikit,
memberikan ruang bagi Rosie yang beranjak maju.
"Ibu bisa ikut, kan" Bisa, kan?"
"Ibu akan ikut ke Jakarta." Rosie tersenyum.
"Sungguh?" "Ya, kata dokter Ayasa, Ibu sudah boleh bepergian setelah pulang." Rosie
berbinar-binar. "Jasmine dan Lili juga mau ikut, Bu." Jasmine menyela.
"Nggak boleh." Sakura memotong, mendelik.
"Paman, Jasmine mau ikut." Jasmine berseru, meminta dukungan.
"Semuanya akan ikut." Aku tertawa lebar.
Jasmine nyengir ke kakaknya. Sakura melotot.
Jasmine dua bulan lalu genap tujuh tahun. Tumbuh dengan akselerasi fisik
lebih cepat dibandingkan kakak-kakaknya. Ia hanya beberapa jari lebih pendek
dibandingkan Sakura. Tubuhnya berisi. Terlatih menggendong Lili. Jasmine juga
berubah banyak dari sisi perangai. Tidak terlalu pendiam, walau tetap pendiam
kalau dibandingkan Sakura, siapa pun akan terlihat lebih pendiam jika
dibandingkan Sakura. Jasmine pandai melakukan banyak hal. Sweater yang
dikenakan Rosie saat ini, itu rajutan Jasmine tiga bulan lalu. Ia semakin pandai
mengurus adiknya. Mengenal setiap jengkal tabiat Lili. Mengerti apa kemauan
Lili. Urusan ini unik sekali. Benar-benar unik. Sejak kecil Lili diurus Jasmine. Dan
hingga hari ini, hanya kepada Jasmine-lah Lili bicara. Bungsu Rosie itu berumur
tiga tahun sekarang. Tiba di masa-masa paling menggemaskan kanak-kanak.
Paling suka mengenakan baju terusan berwarna biru. Berlarian di sepanjang
bibir pantai, bermain bersama kakak-kakaknya. Menaiki batu-batuan berserakan.
Memanjat apa saja yang bisa dipanjat. Ikut mengantar kakak-kakaknya sekolah.
Tertawa riang saat kapal cepat melesat. Suka sekali naik di atas pundakku.
Menyuruhku jalan berkeliling, ia menatap sekitar. Tetapi Lili hanya bicara pada
Jasmine. Lili membisu sejak dua tahun lalu. Sempurna tidak mengeluarkan katakata. Aku awalnya cemas. Khawatir Lili mengalami kelainan. Aku sempat
membawanya ke Ayasa. Setelah serangkaian tes, Ayasa hanya bilang, Lili
enggan bicara. Tidak bisu. Gadis kecil itu tidak memiliki masalah komunikasi
apa pun. "Trauma masa kecilnya membuat ia enggan bicara. Kau tidak usah
terlalu cemas, Tegar, nanti-nanti ia pasti bicara. Bukankah selama ini
komunikasinya dengan kalian berjalan baik?"
Ya, semuanya berjalan dengan baik. Lili sempurna menjadi penutup empat
kuntum bunga Rosie. Gadis kecil itu sama riangnya. Sama membanggakannya.
Hanya Jasmine yang mengerti tatapan matanya, mengerti apa maunya, dan
hanya Jasmine pula yang bicara padanya, meski Lili hanya mengangguk atau
menggeleng dalam percakapan mereka.
Sejak kunjungan pertama, aku rutin setiap dua bulan mengajak anak-anak
mengunjungi Rosie di shelter. Perjalanan estafet, tidak pakai helikopter. Empat
jam perjalanan. Tetapi perjalanan panjang melelahkan itu menyenangkan. Anakanak selalu senang menanti jadwal kunjungan itu. Tertawa lebar di atas kapal
cepat. Sibuk Bermain teka-teki. Membawa kotak permainan. Jasmine suka jahil
bertanya ke siapa saja yang baru dikenalnya, entah di kapal, di bus dengan
pertanyaan serupa, "Kenapa penyu jalannya lambat?" Dan selalu tertawa sambil
memegangi perut saat memberitahukan jawabannya.
Sayang, kemajuan Rosie lambat seperti rangkakan penyu. Enam bulan
pertama, Rosie sepertinya terlihat membaik. Sudah bicara dengan normal.
Ekspresi wajahnya normal. Tetapi seminggu kemudian, selepas kepulangan
kunjungan pertama anak-anak itu, depresinya kambuh. Rosie berteriak-teriak
kalap. Membuat Ayasa mengontakku subuh hari berikutnya. Prihatin melaporkan
kabar tersebut. Aku mengusap wajah, menelan ludah. Padahal harapan Rosie
akan pulang lebih cepat sudah tumbuh dari tatapan mata anak-anak. Ternyata
tidak. Jalan penyembuhan itu panjang dan terjal.
Rosie seperti itu terus hingga delapan belas bulan berlalu. Terkendali
seminggu, kalap sehari. Terkendali sebulan, kambuh sehari. Terkendali dua
bulan, mengamuk sehari. Ayasa dengan berat-hati tidak bisa menjanjikan apa
pun selama satu setengah tahun. "Tegar, aku sungguh tidak tahu hingga kapan
Rosie bisa membedakan mana yang hanya bayangannya, mana yang hanya
ketakutannya, mana yang sungguh-sungguh realita. Aku tidak tahu. Aku harap
kau dan anak-anak akan bersabar."
Aku mengeluh dalam, bagaimana kalau Rosie baru pulih setelah tiga-empat
tahun lagi, atau malah tidak pernah sembuh. Semua ini akan menyakitkan bagi
anak-anak. Mereka membutuhkan ibu, bukan sebaliknya, menyaksikan ibu
mereka dirawat di shelter. Beruntungnya, saat aku benar-benar berputus asa akan
kemajuan Rosie enam bulan lalu Rosie mulai menunjukkan kemajuan signifikan
yang menarik. Beruntung" Aku tidak tahu apakah itu beruntung atau bukan. Karena untuk
kemajuan itu, harga yang kubayar mahal sekali. Membuka masa lalu itu
langsung di hadapan anak-anak. Kejadian mengenaskan yang akhirnya memicu
pengakuan penting tersebut. Yang membuat kebersamaanku dengan anak-anak
terasa sedikit ganjil, kebersamaan dengan Rosie, dengan semua lalu itu. Yang
membuatku merasa jangan-jangan pengertian dan pemahaman kesendirian yang
kubuat selama enam tahun itu ternyata semu.
Rosie tidak pernah menjadi bagian masa laluku.
Perasaan itu tidak pernah pula menjadi bagian masa laluku
"Ibu, Ibu, tadi Sakura lihat Kak Anggrek kirim surat balasan buat itunya."
Wajah Sakura menyeruak lagi, menunjukkan selembar kertas. Memotong
lamunanku. Anggrek refleks langsung loncat mendekap mulut Sakura. Berusaha
merampas kertas di tangannya. Wajahnya memerah seperti kepiting rebus.
"Yee, kok marah, sih, emang benar. Kak Anggrek balas suratnya, Uncle, pas
Uncle nggak ada di rumah. Kak Anggrek mulai genit." Sakura melawan.
Tertawa. Rosie menatapku bingung. Surat apa" Aku tertawa seperti intonasi tawa
Sakura, mengangkat bahu. Apalagi kalau bukan urusan cinta monyet Anggrek.
"Ibu sekarang terlihat kurusan. Jasmine suka lihatnya." Jasmine mengambil
alih kamera. Kakak-kakaknya sibuk bertengkar di sebelahnya. Memperebutkan
selembar kertas. Saling piting. Saling menggelitiki.
"Ini karena sweater buatanmu, Sayang. Jadi pas di tubuh Ibu, kan" Jasmine
pandai sekali membuatnya."
Jasmine tersipu dipuji. Lili yang duduk di sebelahnya ikut menunjuk-nunjuk
sweater yang juga dikenakannya. Mengangguk-angguk. Maksudnya Lili, ia juga
memakai sweater yang dibuatkan Jasmine. Rosie tersenyum, "Lili juga terlihat
cantik." "Ibu kalau pulang nanti pasti pangling, deh, lihat resor. Paman Tegar banyak
bangun bangunan baru. Indah-indah. Jasmine suka lihatnya."
Rosie mengangguk. Aku sudah banyak menceritakan potongan itu.
Resor itu dua tahun terakhir maju pesat. Aku fokus mengurusi bisnis warisan
keluarga Rosie. Sebulan sejak telepon pengunduran diri dari perusahaan, Eric
Theo (mantan) bos-ku yang ternyata sudah menjadi CEO di Jakarta menelepon,
"Bukan main, my friend, kau bahkan sedikit pun merasa tidak perlu
meneleponku tentang keputusan akhirmu." Eric Theo tertawa kecut, dengan
intonasi tersinggung. Lima menit dihabiskan untuk basa-basi. Soal bonus yang sudah kuterima,
ditransfer oleh Linda. Soal proyek-proyek baru perusahaan. "Kita akan
membantu salah satu perusahaan blue-chips menerbitkan obligasi di Bursa Efek
Singapura, Tegar. Aku butuh kau. Delapan ratus juta dolar. Hanya kau orang
yang dapat dipercaya melakukan offering sebesar itu."
Eric Theo tidak akan pernah mengerti.
Aku sudah mengucapkan selamat tinggal untuk seluruh kehidupan di Jakarta.
Selamat tinggal untuk karir di perusahaan sekuritas. Aku memutuskan menemani
anak-anak. Itu prioritas pertama hidupku. Ia putus-asa menghentikan
bujukannya. Bilang akan segera mengirimkan uang pesangon dan segala barang
di ruang kerjaku. Aku tertawa getir. Meminta maaf telah membuatnya kecewa.
Maka sempurna sudah, sejak telepon itu aku menghabiskan waktu untuk
mengembangkan bisnis resor keluarga Rosie. Inilah pekerjaan baruku sekarang,
dan aku menyukainya lebih dari apa pun.
Hari ini seharusnya bukan jadwal kunjungan rutin ke shelter Rosie. Lagipula
dua minggu lagi kami beramai-ramai akan datang ke Bali, ada festival layanglayang. Hari ini aku menghadiri peletakan batu pertama enam belas unit
bungaloiv di dekat cadas dreamland. Cabang baru resor Gili Trawangan. Made
membantu mengurusnya. Enam belas bungalow, tidak mewah, tapi yang pasti
amat klasik. Seperti rumah-rumah yang ditempelkan di cadas pantai. Aku
menghabiskan seluruh tabungan, dan meminjam dua pertiga kekurangannya dari
bank. Semoga investasi itu tidak sia-sia. Sudah saatnya resor sederhana warisan
keluarga Rosie begerak maju.
Jadi sekalian dari lokasi pembangunan bungalow, aku menuju shelter Rosie.
Lazimnya kalau aku yang sendirian berkunjung, maka Anggrek bersiap dengan
layar televisi di ruangan depan resor. Menghidupkan komputer. Terampil
melakukan koneksi internet. Kami selalu menggunakan tele-conference. Sore ini
Anggrek menyuruh Lian menggotong layar televisi itu ke teras depan.
Meletakkannya di tengah-tengah hamparan bantal. Lebih nyaman bercakapcakap dari sana.
Senja semakin merah. Pemandangan terlihat menakjubkan dari cadas yang
menghadap persis ke hamparan biru lautan. Sebentar lagi matahari akan
tenggelam. Anak-anak mengerti, Anggrek dan Sakura menghentikan
pertengkaran. Jasmine mendekap Lili. Bersiap menatap sunset bersama-sama
dari layar televisi. Kamera kuarahkan persis ke kaki langit. Rosie beranjak maju.
Duduk persis di sebelahku. Aku tersenyum, menggenggam jemarinya.
Menyisakan empat tempat di sebelah kami. Untuk Anggrek, Sakura, Jasmine,
dan Lili. Sore ini kami akan menatap senja yang indah bersama-sama.
Sama persis seperti dua tahun silam. Saat aku bergabung bersama Nathan,
Rosie, dan anak-anak menatap senja di Pantai Jimbaran dari ruang kerjaku.
Sekarang semuanya berbeda. Pantainya berbeda. Anak-anak juga bertambah
dewasa. Aku sudah menjejak umur tiga puluh tujuh tahun. Rosie juga tiga puluh
tujuh. Semua terasa berbeda, meski waktu dan suasananya tetap sama. Meski
janji kebahagiaan yang diberikan sunset ini tetap sama. Empat puluh tujuh detik
yang hebat. Senyap. Hanya debur ombak yang menghantam cadas tiga puluh
meter di bawah sana terdengar berirama. Aku melirik wajah Rosie. Tidak ada
lagi gurat wajah muda dan segar seperti aku mengenalnya dulu. Lima belas
tahun sudah masa-masa itu berlalu. Yang tertinggal di wajah Rosie hanyalah
wajah tenteram. Wajah yang ingin beristirahat setelah dua tahun terakhir yang
menyakitkan. Senja ini, aku menghela napas.
Ada banyak kejadian penting dua tahun terakhir yang selalu terjadi di senja
hari. Salah satunya tentu tentang Sekar. Gadis yang mengisi enam tahun
kehidupanku. Terakhir kali aku menatap wajah Sekar ketika senja. Saat kami
membicarakan prospek hubungan di pantai ini juga. Dua tahun lalu. Sejak
kepergiannya, aku berusaha meneleponnya. Awalnya Sekar masih menerima
telepon-telepon itu, meski percakapan yang terjadi pendek dan lebih banyak
tidak nyaman. Sebulan berlalu ia mulai menghindar.
"Aku tidak ingin membuat luka itu semakin besar, Tegar". Aku tidak akan
pernah memilikimu. Jadi kumohon, biarkan aku melanjutkan kehidupanku.
Jangan pernah lagi menghubungi. Itu hanya akan menambah luka." Sekar
menangis di percakapan terakhir kami. Dan itu menjadi penutup seluruh
hubungan, tiga bulan setelah pembicaraan di Bali.
Sejak saat itu, kami tidak pernah saling menghubungi. Terputus. Enam tahun
tergadaikan oleh satu kejadian menyesakkan. Dua tahun masa-masa Sekar
berbaik hati menjadi pendengar setia keluhanku, dua tahun masa-masa Sekar
bersimpati dan menumbuhkan benih perasaan, dua tahun masa-masa menuju
komitmen hubungan yang lebih serius. Saat esok-pagi kami siap bertunangan,
saat kami bersiap menyambut enam bulan kemudian menikah, kejadian di Pantai
Jimbaran merobek seluruh kisahnya. Membuatnya hancur berkeping-keping
tanpa sisa. Oma tidak lagi sibuk menyinggung tentang Sekar sejak kepulanganku dari
Denpasar. Tidak lagi menyuruhku kembali ke Jakarta, tidak lagi berkata, "Kau
punya janji kehidupan bersama Sekar, Tegar." Oma hanya menatapku prihatin,
diam. Aku mengerti apa maksud tatapan Oma. Kalimat itu tidak pernah lagi
terucap selama dua tahun terakhir. Anak-anak juga menahan diri bertanya
tentang gibi Sekar mereka, yang tidak cantik. Mereka tahu situasinya. Mereka
bisa menebak-nebak. Tanpa penjelasan, mereka tahu.
Senja ini". Aku menghela napas.
Dalam hidupku, banyak sekali kejadian penting yang terjadi di senja hari.
Senja seperti ini juga ketika enam bulan lalu akhirnya seluruh masa getir itu
diketahui anak-anak. Kami berlima sesuai jadwal rutin dua bulanan
menghabiskan senja bersama Rosie di pondok shelter ini. Rosie saat itu terlihat
menyenangkan. Mengenali anak-anak dengan baik. Memeluk mereka.
Mendengarkan anak-anak berceloteh. Ikut tertawa. Rosie bahkan sempat
menghabiskan semangkuk sup jagung bersama-sama. Menyuapi Lili. Ayasa
duduk menemani menjelang sunset.
Kami bertujuh menatap sunset di kejauhan. Bersiap. Tetapi persis saat
matahari mulai ditelan garis horizon, entah apa pasal, Rosie tiba-tiba berteriak
kalap. Ia mendadak memukul Anggrek yang duduk di sebelahnya dengan
mangkuk sup jagung. Anggrek beringsut ketakutan, kepalanya terluka, berdarah,
tapi lebih terluka lagi hatinya. Anak-anak berloncatan memelukku, gemetar
ketakutan. Ayasa berteriak memanggil perawat. Rosie bagai kapal yang berbalik
arah seratus delapan puluh derajat, berubah menakutkan. Wajahnya dingin.
Tertawa sinis. Dan sialnya, tangannya sempat menarik kerah baju Lili. Gadis
kecil itu berteriak-teriak ditarik ibunya ke tubir cadas. Ya Tuhan, aku gentar
sekali waktu itu.
Sunset Bersama Rosie Karya Tereliye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"ROS! ITU LILI!"
"PERGI KAU!" "ROS! ITU LILI. AKU MOHON SADARLAH!"
Rosie terus menyeret Lili mendekati tiang pembatas pondok.
Aku melangkah gemetar. Ya Tuhan, apa yang akan dilakukan Rosie.
Rosie menatapku galak. Matanya merah.
"Aku mohon Ros. Sadarlah, aku tahu semua urusan ini menyakitkan, aku tahu
semua kenangan itu menyakitkan. Demi anak-anak, aku mohon, sadarlah". Itu
Lili, Ros!" Aku berusaha membujuk, berusaha tetap tenang dengan napas yang
tersengal, gentar melangkah mendekat.
"BERHENTI! JANGAN DEKAT-DEKAT!" Rosie berteriak kalap.
Mengangkat kerah baju Lili. Gadis kecil itu tersedak.
Demi melihat Lili megap-megap seperti kehabisan napas, aku mulai panik,
"Ros, aku mohon! Tidak bisakah kau sedikit saja menyadari anak-anak
membutuhkanmu. Anak-anak mencintaimu. Aku tahu semua kenangan itu
menyakitkan". Aku juga pernah merasakan betapa menyakitkan ketika
menyadari kesempatan itu tidak pernah ada. Tetapi kau masih punya
kesempatan, Ros. Selalu punya kesempatan." Aku terbata membujuk. Entahlah
apa yang sedang kukatakan, aku telanjur gentar memikirkan apa yang bisa
dilakukan Rosie dalam sekejap dengan tubir cadas yang hanya dibatasi tiang
kayu setinggi pinggang. Lili semakin tercekik. Tangannya menggapai-gapai.
"Ros". Kau sungguh masih memiliki kesempatan bersama anak-anak. Janji
kehidupan yang lebih baik. Lihatlah aku! Aku pernah merasakan bagaimana
menyakitkan saat menyadari tidak ada lagi kesempatan itu." Aku harus terus
bicara agar perhatian Rosie terpecah, mengulur waktu.
Sial, Rosie justru semakin menatapku galak. Lili mulai menangis dalam
cengkeramannya. Wajah Lili memerah.
"Ros, kau mungkin tidak pernah tahu. Malam-malam panjang, malam sesak,
malam-malam resah. Kau mungkin tidak pernah tahu. Aku mohon, sadarlah. Itu
Lili, anakmu". Kemarikan! Berikan padaku!" Tanganku terjulur, berusaha
membujuk. "PERGIII! BIARKAN AKU SENDIRI!!" Rosie berteriak kalap.
Aku menelan ludah. Beberapa perawat shelter akhirnya tiba. Tetapi mereka
tidak bisa melakukan banyak hal, Rosie sempurna sudah berada di tiang
pembatas pondok. Sekali saja Rosie nekad, loncat, maka urusan menjadi
runyam. Lututku gemetar membayangkan kemungkinan yang terjadi.
"ROS! Tidak bisakah kau sedikit saja menyadari kalau banyak sekali orangorang yang masih mencintaimu!" Aku berteriak.
Biarlah. Biarlah hatiku yang mengambil alih urusan ini.
"Tidak bisakah kau sedikit saja menyadari satu setengah tahun terakhir ada
begitu banyak yang mengharapkan kesembuhanmu. Kau tidak pernah sendirian
Ros! TIDAK PERNAH! Bahkan aku". Bahkan aku yang teramat ingin pergi
darimu sejak sunset di puncak Gunung Rinjani. Bahkan aku yang teramat ingin
membencimu sejak Nathan bilang kalimat itu di sunset puncak Gunung Rinjani.
Bahkan aku yang teramat ingin membencimu tidak pernah sedetik pun mampu
untuk membencimu". Kau tidak tahu seberapa jauh aku melemparkan bunga
Edelweis di Segara Anakan. Bunga Edelweis yang ingin kusematkan di
rambutmu. KAU TIDAK PERNAH TAHU MALAM-MALAM YANG SESAK.
Bahkan dengan segala sakit hati itu, aku sungguh tidak pernah bisa
meninggalkanmu." Aku kalap berteriak.
Senyap. Lengang, menyisakan debur ombak menghantam cadas.
Tangan Rosie yang memegang kerah baju Lili terlihat gemetar. Aku tidak tahu
apa pengaruh kalimat itu. Tidak tahu. Aku membiarkan kalimat itu keluar begitu
saja. Baiklah, kalau ini akan membuat Rosie mengurungkan diri melompati
pagar pembatas itu bersama Lili, maka biarlah semua orang tahu.
"Ros, tidak bisakah kau sedikit saja menyadari, kau selalu
punyakesempatanmeneruskan hidup denganbaik". Lihatlah aku! Itulah yang
kukatakan berkali-kali kepada diriku di malam-malam panjang. Membujuk diri
sendiri untuk terus melanjutkan hidup. Tidak mengakhirinya dengan segala
kesedihan. Berusaha meneruskan hari meski merangkak. Tahukah kau, saat itu
aku juga merasa semuanya sia-sia. Sia-sia ketika aku menyadari ternyata kau
mencintai Nathan. Dua puluh tahun yang sia-sia. Lihatlah aku sekarang! Aku
tetap hidup. Melalui masa-masa lima tahun yang menyakitkan itu. Padahal kau
tahu, semua itu sungguh menyakitkan, karena aku tidak pernah tahu apakah kau
pernah sekalipun mencintaiku atau tidak." Aku menggigit bibir.
Kalimat itu terucapkan sudah tanpa bisa kutahan. Genggaman Rosie di kerah
baju Lili mendadak terlepas. Lili jatuh ke lantai pondok. Mata merah Rosie
meredup. Rona nyalang wajahnya terlihat kuyu, dan sedetik kemudian Rosie ikut
jatuh terduduk, gemetar. Menangis. Ayasa berlari mengambil Lili.
Aku berpegangan ke tiang bangunan. Berusaha terus berdiri.
Senja itu, anak-anak mengetahui rahasia masa lalu itu. "Ibu, Ibu, Bibi Clare
lusa mau datang ke resor." Wajah Sakura kembali memenuhi layar laptop,
suaranya memecah lamunanku.
Matahari sudah hilang di kaki langit, menyisakan semburat jingga sejauh mata
memandang. Ombak malam ini pasang, suaranya terdengar lebih kencang saat
menghajar cadas pantai. Anggrek dan Jasmine masih duduk menatap sisa-sisa
sunset. "Bibi Clare bilang dia akan bawa pesawat yang bisa mendarat di air. Bibi
Clare mau ke, eh, apa Kak Anggrek" Aduh, eh-iya, riset, riset ekologi. Bibi
Clare bilang kami boleh ikut." Sakura menjelaskan. Rosie tersenyum,
mengangguk. "Salam buat Bibi Clare, Sakura."
"Iya, Ibu, nanti Sakura bilang. Eh, tapi kan Bibi Clare bilang mau mampir
sendiri ke shelter pas pulangnya ke Sydney. Katanya kangen. Tahu, nggak, Bibi
Clare sekarang gendut, loh." Sakura menyeringai.
Rosie pura-pura melotot, maksudnya tidak baik bilang Bibi Clare gendut.
Sakura hanya nyengir, merasa tidak berdosa. Aku tertawa.
Sejak kejadian senja enam bulan lalu itu, kabar baiknya, mulai ada kemajuan
berarti pada Rosie. Aku tidak tahu detailnya meski Ayasa menjelaskan panjanglebar. Aku terlalu sibuk memikirkan akibat kalimat yang kukatakan sore itu.
Anak-anak tidak banyak bertanya saat kami kembali ke resor. Aku tahu Anggrek
amat ingin tahu. Tetapi kalau ia yang selama ini justru mencegah adik-adiknya
agar tidak bertanya banyak pada Om-nya, apalagi Anggrek. Ia susah payah
menahan rasa ingin tahunya.
Sejak senja itu, kunjungan-kunjungan berikutnya ke shelter berubah sedikit
canggung. Rosie menatapku dengan tatapan yang berbeda. Pertemuan kami juga
berbeda. Aku tahu, ia juga ingin membicarakan masa lalu itu. Tetapi aku
menghindarinya. Sempurna menghindar selama enam bulan terakhir. Aku
awalnya cemas dengan interaksi ganjil itu, beruntung, waktu mengambil alih
masalah. Dengan semakin membaiknya kondisi Rosie, maka percakapan
berjalan lebih baik. Anak-anak lebih suka membahas hal lain.
Lupakan saja, lagipula kalimat itu terucap karena aku tidak tahu lagi
bagaimana membuat Rosie mengurungkan niat meloncati pembatas pondok
dengan membawa Lili. Tidak ada yang serius, hanya kalimat-kalimat panik. Dua
bulan terakhir anak-anak sudah bisa bicara sambil tertawa riang bersama Rosie.
Mereka membahas sekolah, PR, resor, Oma, kapal cepat, si Putih, apa saja
kecuali masa lalu itu. Semua tinggal masa lalu"
Sayangnya, enam bulan terakhir ini pula, masa lalu itu dengan deras kembali
di hatiku. Puing-puingnya kembali terangkat ke permukaan, seperti situs sejarah
yang terangkat ke atas permukaan tanah. Jika tidak ada anak-anak, entah kenapa,
sejak senja itu, Rosie suka sekali membicarakan masa lalu itu. Tertawa
mengenang masa kanak-kanak kami. Berlarian di pematang sawah. Kodok hijau.
Anggrek biru. Membuat istana pasir. Membawa diam-diam perahu nelayan, terus
mendayungnya entah ke mana, membuat Oma panik seharian mencari kami
yang terbawa arus belasan kilometer.
Dan aku tidak kuasa menghentikannya. Semuanya terkondisikan. Setiap kali
bersitatap sejenak dengan Rosie, Ya Tuhan, dalam sekejap aku seperti bisa
memandang wajah muda yang dulu kukenali. Rosie-ku. Tertunduk. Menghela
napas. Lihatlah, aku sudah tiga puluh tujuh tahun sekarang. Bukankah semua
kejadian itu tertinggal jauh lima belas tahun di belakang. Tidak ada lagi.
Seharusnya tidak ada lagi perasaan itu. Aku sungguh masih menyayangi Rosie
dengan tulus, tetapi itu dalam bentuk pengertian dan pemahaman cinta yang
berbeda. Berbeda" Entahlah, aku tidak tahu. Semua ini membuatku kembali
menapak-tilasi masa-masa itu.
Dan semua itu menyesakkan, lebih tepatnya memunculkan kekhawatiran.
Jangan-jangan aku berharap memiliki kesempatan kedua" Jangan-jangan
perasaan itu kembali mekar seperti lima belas tahun silam. Tidak. Semua itu
tidak patut lagi. Aku akan jauh lebih menyukai hubungan ini hanya sebatas
teman. Seperti masa-masa setelah berdamai.
"Aduh, Kak Anggrek jangan bahas soal buku, deh. Nggak seru." Sakura
menyikut kakaknya, menyuruh minggir.
"Berisik. Daripada Sakura, bahas biola melulu." Anggrek tidak mau
mengaiah. "Gantian, Kak."
"Sakura kan sudah dari tadi."
Anak-anak masih sibuk berceloteh melalui kamera.
Ayasa datang ke pondok, memutus pertengkaran anak-anak. Ayasa menyapa
anak-anak, bertanya kabar, bicara satu-dua kalimat. Lantas mengingatkan
saatnya Rosie makan malam bersama penghuni shelter lain. Aku mengangguk.
Rosie melambaikan tangan ke anak-anak. Anggrek, Sakura, Jasmine, dan Lili
balas melambaikan tangan. Video streaming itu berakhir.
Ayasa melangkah kembali ke gedung utama shelter. Aku melipat laptop. Rosie
membantu merapikan meja. Aku berdiri, sedikit kesemutan, terhuyung. Rosie
buru-buru bantu memegangi, tertawa, menepuk-nepuk ujung kemejaku yang
kotor. Kami berjalan bersisian, melangkah menuju bangunan utama shelter, melintasi
halaman rumput yang terpotong rapi, rumpun lebat bunga bougenville.
"Ayo kita lomba lari, Tegar."
"Eh?" "Siapa yang lebih dulu tiba di meja makan dia boleh mengambil jatah
makanan yang kalah." Rosie sudah berlari lebih dulu tanpa aba-aba.
"Hei, kau selalu curang!" Aku protes, menyusul.
Rosie tertawa, melambaikan tangannya. Satu sunset lagi kuhabiskan bersama
Rosie. Dihitung dari kecil, kebiasaan Rosie, maka sudah tak terbilang ribuan kali
aku menemaninya menatap sunset-dan sunset han ini pun tidak sesenti pun
berkurang indahnya-meski aku lebih suka pagi.
12. BUNGA EDELWEISS SEGARA ANAKAN
"Terima kasih untuk semuanya, Tegar" Rosie berkata pelan.
"Tidak perlu berterima-kasih, Ros. Kau juga akan melakukan hal yang sama
kalau kau berada dalam posisiku." Aku menyeringai.
Malam ini langit Bali cerah. Bintang-gemintang menghias angkasa, bulan
purnama bagai sengaja diletakkan untuk menyempurnakannya. Kami duduk
berdua dengan kaki terjulur di halaman rumput bangunan utama shelter selepas
makan malam barusan. Angin bertiup lembut. Tidak dingin, hangat dari udara lautan.
"Kau masih ingat kita bertengkar tentang bulan dulu?" Rosie menatap lamatlamat bulan yang tersangkut di atas.
Aku menyeringai, tertawa kecil.
"Kita dulu bodoh benar, ya. Oma benar, ternyata bulan itu cuma satu." Rosie
ikut tertawa. Dulu, waktu kanak-kanak Rosie pernah ikut Oma pergi ke Mataram. Sepulang
dari sana, ia menceritakan bulan purnama yang dilihatnya dari Mataram indah
benar. Aku juga bilang lihat bulan yang sama di Gili Trawangan. Ngotot bulan
yang kami lihat masing-masing lebih indah dibandingkan yang lain. Rosie
mendorongku jatuh ke pantai. Aku menimpuk rambutnya dengan pasir
bertengkar sepanjang hari.
Senyap sejenak selepas tawa kecil tersebut.
"Aku tahu, " Rosie menggantung kalimatnya. Memutus sepi.
Aku menoleh. "Tahu apa?"
"Aku tahu semuanya." Rosie menunduk.
Aku menelan ludah, menebak-nebak arah pembicaraan. Bersiap
mengalihkannya kalau itu mulai menyinggung masa-masa itu.
"Aku tahu kau pergi menghindari kami,"
"Tidak bisakah kita membicarakan hal lain, Ros. Tentang bopeng bulan
misalnya, kau dulu pernah bilang kalau semakin lama wajah bulan terlihat
semakin mulus, bukan?" Aku mengusap dahi, mencoba bergurau. Rosie tertawa.
Mengangkat kepalanya. "Oma menceritakan semuanya. Menjelang subuh, sebelum pernikahan kami."
Rosie tetap melanjutkan. Aku menelan ludah, membeku.
Hanya soal waktu Rosie akan membicarakan hal itu. Sejak kejadian enam
bulan lalu. Aku menggigit bibir. Kehabisan amunisi untuk mengalihkan topik
pembicaraan. Bagaimanalah" Otakku tiba-tiba kebas oleh fakta baru yang
disampaikan Rosie. Oma menceritakannya" Aku sungguh tidak tahu itu.
"Kau mungkin tidak pernah tahu soal itu, Tegar. Tidak pernah tahu. Karena
kau telanjur pergi jauh menjnggalkan kami. Meninggalkan semuanya. Dan sejak
itu kau hanya sekali menghubungi Oma, bukan?" Rosie tetap menunduk.
"Terima kasih telah mencintaiku begitu besar, Tegar. Mencintaiku begitu
indah." Rosie berbisik perlahan.
Aku menghela napas pelan. Senyap sesaat. "Semua itu tinggal masa lalu,
Ros." Aku mengusap dahi, berkata setelah terdiam cukup lama, mencoba
tersenyum, "Masa-masa yang kekanak-kanakan, bukan?"
Rosie menatapku lamat-lamat. Lama. Mengangguk kecil.
Ayasa mendekat, memotong pembicaraan, menyuruh penghuni shelter
kembali ke kamar masing-masing. Sudah waktunya tidur. Aku melangkah
menuju kamar tamu. Anak-anak juga selalu menginap di sana saat mengunjungi
Balada Padang Pasir 2 Perintah Kesebelas The Eleventh Commandment Karya Jeffrey Archer Tengkorak Hitam 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama