Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 9

16 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 9


"Seandainya Ki Saba Lintang tidak berada di induk pasukan, apakah kami diperkenankan untuk mencarinya?"
Pangeran Singasari termangu-mangu sejenak. Namun Pangeran Singasari itu menyadari, betapa Sekar Mirah berkepentingan untuk menghentikan usaha Ki Saba Lintang memanfaatkan nama perguruan Kedung Jati untuk kepentingannya. Untuk menggapai keinginannya yang melambung tinggi.
Karena itu, maka Pangeran Singasari itupun kemudian menyahut, "Baiklah Sekar Mirah. Kau dapat mencari Ki Saba Lintang di medan perang. Bahkan tidak terbatas di induk pasukan, tetapi dimana saja. Mungkin dilambung atau di dalam gelar. Tetapi hatu-hatilah. Jangan terpancing masuk ke dalam jebakan. Aku yakin, Ki urah Agung Sedayu memiliki pengalaman dan ketajaman naluri untuk mengenali lika-liku medan."
"Terima kasih Pangeran," desis Sekar Mirah.
"Ikuti segala petunjuk suamimu," demikianlah, ketika pertemuan itu selesai, Ki Lurah Agung Sedayu dan Sekar Mirah masih harus menemui Prastawa, Glagah Putih dan Rara Wulan.
"Kita sudah mendapat ijin untuk melepaskan diri dari kesatuan kita masing-masing Glagah Putih dan Rara Wulan."
"Maksud kakang?" bertanya Prastawa.
"Kami akan minta ijinmu, Prastawa. Glagah Putih dan Rara Wulan yang selama ini ada di dalam pasukanmu, akan kami bawa secara khusus untuk mencari Ki Saba Lintang."
"Jadi aku akan sendirian memimpin pasukan pengawal Tanah Perdikan."
"Kau memang akan sendirian. Tetapi jika tugas ini sudah selesai, maka Glagah Putih dan Rara Wulan akan segera kembali ke kesatuanmu."
"Tetapi justru pada saat kami harus berada dalam gelar yang rumit."
"Aku yakin akan kemampuanmu. Para pemimpin kelompok pasukan pengawal Tanah Perdikan sudah dapat dipercaya. Mereka akan dapat menyesuaikan diri dengan gelar Cakra Byuha yang akan bergerak. Kemampuan para pengawalpun tidak diragukan lagi. bahkan ada diantara mereka yang secara pribadi memiliki kelebihan dari para prajurit terpilih, sebagaimana para pengawal dari Sangkal Putung yang dipimpin oleh adi Swandaru."
Prastawa tersenyum. Katanya, "Kakang memuji. Tetapi aku menjadi berdebar-debar."
"Tugaskan Panca dan Kurdi secara khusus untuk membantumu," berkata Glagah Putih, "aku percaya kepada kedua anak muda itu disamping para pemimpin kelompok yang lain."
"Baik, Glagah Putih, aku akan minta Panca dan Kurdi untuk secara khusus membantuku. Tetapi aku minta Glagah Putih dan Rara Wulan segera kembali jika kewajiban kalian sudah selesai."
Dengan demikian, maka- Sekar Mirah yang akan disertai oleh Ki Lurah Agung Sedayu, Glagah Putih dan Rara Wulan, akan berada di luar gelar yang akan diturunkan di keesokan harinya. Merekapun telah mengenakan pertanda khusus yang akan dapat memberikan keleluasaan kepada mereka untuk berada di mana saja diantara prajurit Mataram dan Wiratani.
Malam itu, para prajurit dari kedua belah pihak berusaha dapat beristirahat dengan sebaik-baiknya. Beberapa kelompok prajurit yang bertugas malam itu, tidak akan diturunkan ke medan di keesokan harinya. Tetapi sebagian lagi diantara pasukan cadangan telah dipasang untuk mengisi kekosongan. Sementara para pemimpin sudah mulai menetapkan para Senapati bawahannya masing-masing di dalam gelar yang bakal turun esok pagi.
Yang kesibukannya tidak pernah berhenti adalah para prajurit dan petugas yang berada di dapur. Mereka hanya sempat beristirahat sejenak. Kemudian mereka harus segera mempersiapkan makan bagi para prajurit sebelum mereka turun ke medan pertempuran.
Sebelum fajar menyingsing, seperti hari-hari sebelumnya, para prajuritpun telah mempersiapkan dirinya. Mereka telah mendengarkan petunjuk-petunjuk dari para pemimpin kelompok mereka sebagaimana petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh para Senapati.
Ketika langit menjadi merah, serta setelah makan nasi bungkus yang hangat, maka merekapun segera mempersiapkan diri. Terdengar suara sangkala, anak panah sendaren serta gaung bende yang meraung-raung untuk yang pertama kalinya.
Para prajurit itu telah memeriksa senjata-senjata mereka, serta senjata-senjata cadangan. Perisai serta ikatannya pada tangan mereka. Ujung tombak, trisula dan canggah. Ikatan pedang dengan hulunya.
Ada diantara para prajurit yang membawa senjata khusus serta sipat kandel masing-masing disamping senjata keprajuritan mereka. Ada yang membawa keris, luwuk, patrem atau cundrik yang terselip di pinggang mereka. Pada saat-saat yang paling gawat, senjata-senjata pendek itu kadang-kadang akan sangat berarti bagi mereka.
Sementara itu, di lambung pasukan yang berada di gelar Sapit Urangpun telah siap pula. Pada tangkai sapit udang yang memanjang kesamping, terdapat kelompok-kelompok prajurit yang bersenjata busur dan aftak panah disamping pedang-pedang mereka yang tergantung dilambung. Anak panah mereka akan dapat mengejutkan lawan-lawan mereka dalam gelar apapun juga, sementara kedua sapit yang merupakan sayap-sayap gelar, akan maju dengan cepat, menjepit kedudukan lawan.
Namun jika mereka menghadapi gelar yang melebar, maka sapit udang raksasa itu akan berhadapan dengan sayap pasukan lawan.
Ketika kemudian terdengar isyarat yang kedua, maka para prajurit dan Wiratanipun telah siap di kelompok mereka masing-masing. Setiap dadapun menjadi berdebar-debar. Mereka tidak dapat meramalkan apa yang akan terjadi atas diri mereka masing-masing di medan perang nanti. Kemungkinan hidup dan kemungkinan mati bagi setiap orang yang berada di medan perang itu seimbang. Mereka yang berderap maju dengan senjata teracu, dapat saja harus diusung oleh kawan-kawan mereka setelah matahari turun dan hilang dibalik cakrawala ke perkemahan mereka serta ikut mendapat kehormatan dalam upacara pemakaman.
Betapapun beraninya setiap prajurit, namun agaknya setiap mereka akan memasuki medan perang, jantung mereka-pun terasa berdegup semakin cepat.
Baru ketika terdengar isyarat yang ketiga kalinya maka debar di jantung itupun rasa-rasanya justru telah berhenti. Mereka tidak sempat lagi membayangkan apa yang akan terjadi. Setiap sebatang kayu yang diayun oleh arus banjir bandang, mereka telah hanyut oleh gelombang pasukan yang bergerak maju ke medan perang.
Demikianlah kedua pasukan yang besar itupun telah bergerak maju dalam gelar mereka masing-masing.
Ternyata pasukan Demak masih mempergunakan gelar yang sama. Induk pasukan Demak masih mempergunakan gelar Gajah Meta. Sedangkan lambung pasukannya masih mempergunakan gelar Garuda Nglayang.
Sesaat sebelum matahari naik, maka kedua pasukan itupun sudah menjadi semakin dekat. Ada kebiasaan pasukan Demak yang didahului oleh mereka yang mengaku murid dari perguruan Kedung Jati, sebelum kedua pasukan itu berbenturan, telah terdengar sorak yang gemuruh bagikan meruntuhkan langit.
Namun ternyata bahwa pasukan Matarampun telah menyambut sorak yang gemuruh itu dengan sorak sorai pula. Mereka tidak mau gejolak perlawanan mereka akan menyusut hanya karena gemuruhnya sorak dari pasukan lawan mereka.
Demikianlah, maka beberapa saat kemudian kedua pasukan yang besar itupun telah menjadi semakin dekat. Para prajurit Demakpun telah melihat bahwa gelar pasukan lawan telah berubah.
"Mereka telah menjadi bingung," berkata sorang Senapati Demak, "Mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Mereka ternyata tidak mampu mengimbangi pasukan kita. Namun yang mereka salahkan adalah gelar pasukan mereka, sehingga mereka merasa perlu untuk merubahnya. Namun meskipun mereka merubah gelar mereka sehari tujuh kali, mereka tetap saja tidak akan dapat mengimbangi benturan pasukan kita."
Kata-kata Senapati itu disambut teriakan-teriakan gemuruh dari prajurit-prajuritnya.
Sementara itu, gelar Garuda Nglayang di lambungpun merasa agak heran, bahwa pasukan Mataram telah merubah gelarnya. Gelar Cakra Byuha yang rumit, yang dapat digelar dengan hampir sempurna oleh pasukan Mataram, terasa merupakan tekanan yang berat bagi gelar Garuda Nglayang dilambung pasukan.
Agaknya Senapati di lambung itu agak lebih berhati-hati.
Ia tidak menganggap pasukan Mataram menjadi kebingungan dengan merubah-rubah gelarnya. Tetapi Senapati itu berkata, "Hati-hati dengan jebakan lawan. Gelar itu dapat mengandung banyak kemungkinan. Mungkin letak kekuatan terbesar mereka justru berada di sapitnya."
Baru saja Senapati itu berhenti memberikan peringatan, tiba-tiba saja pasukan yang menebar, yang menjadi tangkal kekuatan gelarnya, telah mengangkat busur mereka.
Memang agak mengejutkan. Tetapi para prajurit Demak tidak sempat berpikir panjang. Mereka harus segera berusaha menangkis atau menghindari ujung-ujung anak panah yang meluncur dari busurnya seperti hujan yang tercurah dari langit.
Gelar Garuda Nglayang itupun tertahan sejenak. Teriakan-teriakan merekapun terdiam. Yang terdengar kemudian adalah aba-aba, "Manfaatkan perisai pada sayap-sayap gelar."
Dengan tangkasnya para prajurit yang mempergunakan perisai segera berloncatan maju mendahului kawan-kawannya yang bersenjata tombak. Dengan perisai di tangan kiri mereka, para prajurit itupun berusaha menepis anak panah yang meluncur dengan derasnya.
Meskipun demikian, beberapa orang korban telah jatuh justru sebelum kedua pasukan itu berbenturan.
Namun Senapati pasukan Demak itupun kemudian memerintahkan pasukannya maju lebih cepat, sehingga para prajurit Mataram tidak akan sempat mempergunakan anak panahnya lagi.
Sebenarnyalah, maka benturanpun segera terjadi. Para prajurit Mataram memang tidak lagi mampu mempergunakan anak panah mereka. Merekapun segera mencabut pedang-pedang mereka dan bertempur dengan garangnya.
Sementara itu, induk pasukan Mataram dan Pasukan Demak itupun sudah berbenturan pula. Pasukan Demak tidak lagi menghadapi gelar Gedong Minep yang lebih banyak bertahan. Tetapi yang dihadapi oleh pasukan induk dari Demak itu adalah gelar Cakra Byuha yang rumit.
Demikianlah dua kekuatan itupun segera telah terlibat dalam pertempuran yang sengit. Gelar Cakra Byuha itupun mulai berputar perlahan-lahan.
Sejak saat benturan terjadi, maka sudah terasa pada gelar Gajah Meta dari Demak, bahwa mereka tidak lagi menghadapi gelar yang telah banyak bertahan. Gelar Cakra Byuha dari pasukan induk Mataram itu, terasa mulai menyengat sejak benturan yang pertama terjadi.
Namun sebenarnyalah bahwa beberupa orang Senapati terpilih dari Demak serta dari perguruan Kedung Jati memang berada di induk pasukan mereka.
Meskipun demikian, bukan berarti bahwa di lambung pasukan mereka dengan gelar Garuda Nglayang tidak terdapat Senapati-senapati pilihan.
Tetapi gelar Garuda Nglayang di lambung itu, kini berhadapan dengan gelar Sapit Urang.
Pangeran Puger yang muda itu, benar-benar seorang yang darahnya masih mudah mendidih. Demikian gelarnya berbenturan dengan gelar lawan, muka Pangeran Puger itu segera menghentikan pasukannya. Diperintahkannya lewat para penghubung, agar para Senapati yang berada di sapit udang raksasanya itu segera bergerak menekan sayap-sayap gelar Garuda Nglayang dari Demak.
Ternyata pengaruh kemudaan Pangeran Puger itu terasa pada gerak pasukannya, sebagaimana gerak pasukan yang dipimpin oleh Pangeran Demang Tanpa Nangkil.
Namun di lambung pasukan Mataram itu ada Ki Tumenggung Untara dan di lambuug yang lain Ki Tumenggung Ranawira yang dengan subar berusaha mengekang gejolak kedua Senapati muda itu. Bahkan kedua Tumenggung itu seakan-akan tidak pernah meninggalkan kedua orang Pangeran muda yang garang yang memimpin kedua gelar di lambung pasukan Mataram.
Terapi darah kedua Pangeran yang masih muda yang dengan cepat mendidih itu memang berpengaruh. Dengan pedang di tangan keduanya langsung berdiri di depan gelarnya sambil meneriakkan aba-aba.
Sikap kedua Pangeran muda itu berpengaruh kepada para Senapati yang lain.Para Senapati yang berada di sapit gelar itupun telah menghentak pula. Apalagi karena dalam benturan awal, pasukan Mataram yang berada di tangkai sapit udang itu telah menyerang dengan anak panah, sehingga beberapa orang prajurit lawanpun berjatuhan.
Disamping gejolak kemudaan kedua Pangeran yang darahnya segera mendidih itu, Ki Tumenggung Untara dan Ki Tumenggung Ranawira dengan pengalaman dan pandangannya yang luas, telah mengarahkan gelora di dada kedua Pangeran yang muda itu, sehingga memberikan pengaruh yang sangat berarti bagi para prajurit. Terutama prajurit-prajurit muda, sebaya dengan kedua orang Pangeran itu. Senapati yang memimpin pasukan Demak dalam gelar Garuda Nglayang itu justru terkejut mengalami tekanan yang mulai terasa berat. Pada saat pasukan Mataram mempergunakan gelar Cakra Byuha yang menggetarkan itu, pasukan Demak masih sempat berusaha menekan dengan sayap-sayap gelar Garuda Nglayang meskipun tidak berhasil menghentikan perputaran gelar Cakra Byuha itu. Tetapi gelar Sapit Urang yang kemudian dihadapi, terasa pasukannya menjadi sangat sibuk. Para prajurit muda Mataram itu berloncatan sambil bersorak-sorai nyaring. Sementara itu, Pangeran yang masih muda, yang dipercaya menjadi Senapati gelar Sapit Urang itu, langsung terjun ke medan perang dengan garangnya. Para Senapati pengapit serta pengawal pengawal khususnyapun dengan garangnya menyapu prajurit lawan yang berusaha menghalanginya.
Tetapi setiap kali Ki Tumenggung Untara dan Ki Tumenggung Ranawira berusaha untuk mengekang, agar kedua Pangeran yang masih muda itu tidak melupakan kedudukannya sebagai Senapati. Mereka tidak saja bertanggung jawab atas diri mereka sendiri. Tetapi mereka bertanggung jawab atas seluruh gelar yang terdiri dari para prajurit dan Wiratani.
Bahkan kedua orang Senapati yang sudah memiliki sebangsa! pengalaman itu, selalu memperingatkan, agar para Pangeran yang masih muda itu jangan sampai terpisah dari para pengawalnya.
Atau jangan membawa sekelompok pengawalnya masuk ke dalam perangkap lawan. Jika paruh dari gelar Garuda Nglayang itu terbuka, seakan-akan memberikan jalan bagi Senapati lawan untuk menyusup masuk ke dalam gelar mereka, maka justru itu akan berarti bahaya yang sangat besar.
Demikian pula ketika paruh gelar Garuda Nglayang yang sedang menghadapi pasukan Pangeran Puger muda. Ki Tumenggung Untara terpaksa menarik lengan Pangeran muda yang hampir saja terjerumus masuk ke dalamnya bersama pengawal-pengawalnya yang juga masih muda.
"Paman Tumenggung Untara, jangan lewatkan kesempatan itu. Aku berhasil memecahkan gelar mereka sehingga terbuka. Aku akan masuk ke dalamnya dan menghancurkan gelar mereka dari dalam."
"Itu bukan satu keberhasilan Pangeran. Tetapi itu satu jebakan. Jika Pangeran masuk ke dalam paruh gelar lawan yang menganga itu, maka paruh itu akan segera terkatub kembali."
"Jika benar demikian, aku akan menghancurkan paruh gelar itu dari dalam."
"Jika jebakan itu dibuat, maka mereka tentu sudah siap menghadapi sekelompok prajurit yang berhasil mereka jebak. Kita tidak tahu, siapa saja yang berada di dalam mulut garuda itu."
"Jadi?" Ki Tumenggung Untara itupun menjawab, "jangan masuk Pangeran. Kita akan menyerang paruh yang menganga itu dari luar. Pangeran akan tetap berada di garis pertempuran."
Pangeran Puger termangu-mangu sejenak. Paruh gelar Garuda Nglayang yang terbuka itu akan-akan selalu memanggilnya untuk bergerak memasukinya. Tetapi untunglah bahwa Ki Tumenggung Untara dapat meyakinkannya, sehingga Pangeran Puger serta para prajurit pilihannya bersama dengan Ki Tumenggung Untara dan prajurit-prajurit terpilih tetap bertempur di garis benturan antara kedua pasukan itu. Dengan garangnya Pangeran Puger serta para pengawalnya menyerang justru di sebelah gelar yang nampaknya telah pecah itu.
Serangan-serangan Pangeran Puger itu menjadi demikian sengitnya, sehingga paruh yang terbuka itu terpaksa mengatup kembali, sementara pusat serangan Pangeran Puger itulah yang kemudian terbuka, justru di bahu Gelar Garuda Nglayang.
"Betapa tangkasnya Senapati yang memimpin gelar Garuda Nglayang itu. Ia masih sempat membuka gelar Jurang Grawah di bahu gelarnya. Gelar Jurang Grawah yang mungkin tidak pernah terpikir oleh Senapati yang lain."
"Apa maksud Ki Tumenggung ?"
"Satu gelar kecil yang sangat berbahaya, yang dibuka pada gelar yang lebih besar."
Pangeran Puger mengangguk. Ia dapat mengerti keterangan Ki Tumenggung Untara. Meskipun Pangeran Puger masih muda, tetapi ia rajin berlatih berbagai ilmu, sehingga ia mengerti, betapa berbahayanya gelar Jurang Grawah yang kecil dan berada di gelar yang lebih besar, sehingga Pangeran Pugerpun kemudian mengerti, bahwa paruh gelar Garuda Nglayang yang terbuka itu mirip sekali dengan gelar Jurang Grawah.
Namun dalam pada itu, para Senapati yang berada di sapit udang raksasa dalam gelar perang pasukan Mataram itu telah menghentakkan kekuatan mereka. Perlahan-lahan pasukan yang berada di sapit udang itu sempat menekan sayap gelar lawannya.
Ketika matahari menjadi semakin tinggi, maka Pangeran Puger dengan pasukannya memang telah mampu menggoyang gelar lawannya. Gerakan-gerakan yang cepat dan menghentak-hentak, sejalan dengan kemudaan Pangeran Puger telah membuat gelar lawannya seperti di guncang-guncang.
Ternyata Ki Tumenggung Untara yang sangat berpengalaman itu senang bertempur bersama Pangeran Puger yang garang.
Namun di lambung pasukan yang lain, Pangeran Demang Tanpa Nangkil masih harus berkutat di garis benturan antara kedua pasukan itu. Nampaknya darah Pangeran Demang Tanpa Nangkil tidak sepanas darah Pangeran Puger. Namun meskipun demikian, gelar Sapit Utangnya, telah mulai menekan gelar pasukan lawan.
Dalam pada itu, benturan kekuatan yang sangat besar telah terjadi di induk pasukan. Kangjeng Adipati Demak bersama beberapa orang Senapatinya dengan keras telah menghentak gelar lawannya. Pasukannya yang kuat itu sebenarnya dipersiapkan untuk memecah gelar Gedong Minep dari Mataram. Tetapi pasukan Mataram telah merubah gelarnya. Justru gelar Cakra Byuha.
Benturan kedua kekuatan itu terasa sangat keras. Ketika para Senapati dari pasukan Demak seakan-akan berkumpul di belalai dan gading gelar Gajah Meta yang bergerak maju seperti seekor gajah yang sedang mengamuk, yang berusaha untuk menghentikan putaran gelar pasukan Mataram.
Sebenarnyalah putaran gelar dari pasukan Mataram itu mengalami kesulitan, sementara Senapatinya tersebar diantara putaran cakra yang bergerigi tajam.
Dalam pada itu, Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer yang merupakan Senapati pengapit, dengan garangnya membentur putaran gelar lawannya. Mereka mengamuk seperti harimau yang terluka. Para prajurit Mataram yang berusaha untuk melawannya telah terlempar dengan luka yang menganga di tubuhnya.
Namun langkahnya terhenti ketika tiba-tiba saja Ki Tumenggung Gending itu melihat seseorang yang menyibak pasukan Mataram yang sedang bergetar di depannya.
"Ki Tumenggung Gending," terdengar orang itu menyapa.
"Ki Tumenggung Derpayuda," geram Ki Tumenggung Gending.
"Ya. Ki bertemu lagi di medan perang ini Ki Tumenggung. Mungkin kita masih belum puas bermain di pertemuan kita yang terdahulu, Ki Tumenggung Gending. Pada saat Ki Tumenggung Gending dengan licik mencegat kami yang pada waktu itu menjadi utusan Kangjeng Panembahan Hanyakrawati dari Mataram."
"Persetan kau Ki Tumenggung. Apapun yang pernah kau lakukan, aku akan membunuhmu sekarang."
"Apakah kau mampu melakukannya ?"
"Kenapa tidak. Sekarang kita tidak terikat pada tatanan bagi seorang utusan, sehingga aku dapat berbuat apa saja atas Ki Tumenggung."
Ki Tumenggung Derpayuda tersenyum. Katanya, "Marilah. Kita akan meneruskan permainan kita."
Demikianlah, maka keduanyapun sudah mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya. Sejenak kemudian Ki Tumenggung Gendingpun telah meloncat sambil menjulurkan pedangnya ke arah dada.
Dengan tangkasnya Ki Tumenggung Derpayudapun telah menepis ujung pedang itu dengan pedang pula. Memutarnya dan kemudian menebas dengan cepat.
Demikianlah, kedua orang itupun segera terlibat dalam pertempuran yang sengit. Ketika gelar Cakra Byuha itu bergerak, maka Ki Tumenggung Derpayuda tidak bergeser dari arena pertempurannya melawan Ki Tumenggung Gending.
Agaknya keduanya telah menyimpan dendam di hati masing-masing. Ki Tumengung Derpayuda yang sedang menjadi duta Kangjeng Panembahan Hanyakrawati beberapa waktu yang lalu telah dihadang oleh Ki Tumenggung Gending,
Ki Tumenggung Panjer, beberapa orang berilmu tinggi dari perguruan Kedung Jati serta pasukannya. Tetapi Ki Tumenggung Derpayuda bersama empat orang yang pergi bersamanya ke Demak itu ternyata mendapat perlindungan dari Ki Lurah Agung Sedayu dengan sekelompok Pasukan Khususnya.
Karena itu, maka pertemuan mereka yang tiba-tiba di medan perang itu seakan-akan telah memberikan peluang kepada mereka berdua untuk menentukan, siapakah yang sebenarnya memiliki kemampuan yang lebih tinggi.
Dengan demikian, maka pertempuran diantara keduanya itupun menjadi semakin sengit. Keduanya adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Keduanya memiliki kemampuan melampaui orang kebanyakan.
Pangeran Singasari yang memimpin seluruh pasukan itupun telah mendapat laporan, bahwa Ki Tumenggung Derpayuda telah bertemu Ki Tumenggung di medan perang.
"Amati mereka. Berikan laporan setiap kali ada perkembangan."
"Baik, Pangeran," jawab penghubung itu.
Sementara itu, kedua orang Tumenggung yang sedang bertempur itupun telah mengerahkan kemampuan mereka. Dentang senjata mereka yang beradu telah menghamburkan peletik-peletik bunga api. Sementara itu, para pengawal mereka berusaha memberikan kesempatan yang lebih luas dengan menyibakkan diri. Namun mereka seakan-akan memang menjadi agak terpisah, karena para pengawal itu telah bertempur pula diantara mereka.
Ki Tumenggung Gending yang merasa dirinya menjadi sapu kawat di kademangan Demak, tidak ingin terjebak serta terhenti oleh amuk Ki Tumenggung Derpayuda, bahkan Ki Tumenggung Gending sudah bertekad untuk membunuh Pangeran Puger itu Pangeran Demang Tanpa Nangkil.
Bahkan Ki Tumenggung Gending itu masih juga bermimpi untuk ikut berperang, menghentikan perlawanan Pangeran Singasari. Ki Tumenggung Gending itu harus dapat menunjukkan kelebihannya dari semua Senapati di Demak, termasuk Ki Patih Tandanegara yang justru tidak banyak berperan. Bahkan seakan-akan Ki Patih Tandanegara yang juga berasal dari Mataram itu, hampir tersisih.
Namun ternyata dalam perang besar melawan Mataram itu, Ki Patih Tandanegara telah menunjukkan kelebihannya pula.
Tetapi Ki Tumenggung Gending tidak mau dianggap tidak dapat menyamai kelebihan Ki Tandanegara. Karena itu, maka Ki Tumenggung Gending itupun telah bertempur dengan garangnya. Bahkan sebelum Ki Tumenggung Gending bertemu dengan Ki Tumenggung Derpayuda, maka seakan-akan Ki Tumenggung Gending tidak terlawan lagi oleh para prajurit Mataram.
Tetapi ketika ia berhadapan dengan Ki Tumenggung Derpayuda, maka keadaanpun telah berubah. Ternyata Ki Tumenggung Derpayuda benar-benar seorang yang pilih tanding.
Jika pada saat Ki Tumenggung Gending berusaha mencegat Ki Derpayuda tidak berhasil, semata-mata bukan karena pasukan Mataram yang tiba-tiba saja tampil. Tetapi Ki Tumenggung Derpayuda memang seorang Senapati yang jarang ada duanya.
Jilid 383 PERTEMPURAN antara keduanya menjadi semakin sengit. Kedua belah pihak telah meningkatkan ilmu mereka. Semakin lama menjadi semakin tinggi. Pedang mereka berputar, menebas dan mematuk berganti-ganti.
Bunga-bunga apipun menjadi semakin banyak terhambur dari benturan kedua senjata di tangan kedua orang Senapati yang berilmu tinggi itu.
Disisi lain dari benturan kedua pasukan induk itu telah mempertemukan beberapa orang Senapati yang lain. Ki Tumenggung Panjerpun telah berhadapan dengan Ki Tumenggung Jayayuda yang memang sedang mencarinya. Ternyata Ki Tumenggung Jayayuda juga tidak melupakan kelicikan Ki Tumenggung Panjer yang telah berusaha mencegatnya pada saat ia menyertai Ki Tumenggung Derpayuda menjadi utusan Kangjeng Panembahan Hanyakrawati menghadap Kangjeng Adipati Demak.
"Satu kebetulan Ki Tumenggung Panjer," berkata Ki Tumenggung Jayayuda, "sudah sejak hari pertama aku ingin mencari Ki Tumenggung Panjer. Tetapi gelar perang Gedong Minep itu tidak menguntungkan. Kami seakan-akan hanya dapat menunggu kalian datang kepada kami. Tetapi sekarang kedudukan kami sudah berubah. Gelar kami bergerak, sehingga kesempatan untuk bertemu dengan Ki Tumenggung menjadi lebih luas.Meskipun kemudian aku tidak ikut berputar bersama pasukanku, tetapi para Senapati bawahanku tahu apa yang harus mereka lakukan."
"Persetan kau Tumenggung Jayayuda. Nampaknya kau terlalu yakin akan dapat mengalahkan aku."
"Ya. Aku yakin," berkata Ki Tumenggung Jayayuda.
"Jangan terlalu sombong. Kau akan menyesali kesombonganmu itu nanti. Sebaiknya kau bawa beberapa orang pengawal untuk bertempur melawan aku."
Ki Tumenggung Jayayuda itupun tertawa. Katanya, "Jangan sesumbar seperti itu, seolah-olah aku belum mengenalmu."
Ki Tumenggung Panjer menggeram. Dengan garangnya Ki Tumenggung Panjerpun segera meloncat menyerang Ki Tumenggung Jayayuda.
Pertempuran antara keduanyapun berlangsung dengan sengitnya. Para prajuritpun seakan-akan sengaja membiarkan mereka bertempur seorang melawan seorang. Namun setiap kali terdengar sekelompok prajurit Demak serta sekelompok orang yang mengaku murid dari perguruan Kedung Jati bersorak-sorak. Apalagi jika Ki Tumenggung Jayayuda kebetulan berloncatan surut, sementara ujung senjata Ki Tumenggung Panjer memburunya.
Namun Ki Tumenggung Jayayuda sama sekali tidak tergetar. Bahkan kemudian para prajurit Matarampun seakan-akan telah dijalari pula kebiasaan sebagaimana orang-orang Demak. Jika Ki Jayayuda berhasil mendesak lawannya, maka prajurit-prajuritnyapun bersorak-sorak pula.
Demikianlah keduanya bertempur dengan sengitnya. Keduanya adalah Senapati linuwih. Karena itu, maka pertempuran di an tara keduanyapun bagaikan pertarungan dua ekor burung rajawali diudara. Mereka saling menyambar, saling mendesak, namun juga saling menghindar.
Namun akhirnya ujung-ujung senjata merekapun mulai berbicara. Ki Tumenggung Panjer terkejut ketika pedang Ki Tumenggung Jayayuda sempat menyentuh lengan Ki Tumenggung Panjer.
Ki Tumenggung Panjer itu meloncat surut. Sorak para prajurit disekitar perang tanding itupun terdengar bagaikan mengguncang mega-mega di langit.
Namun dengan demikian kemarahan Ki Tumenggung Panjerpun telah mendidih di seluruh urat-urat nadinya.
Ki Tumenggung Panjer itupun kemudian menyerangnya seperti prahara.
Tetapi pertahanan Ki Tumenggung Jayayudapun tidak goyah. Ujung senjata Ki Tumenggung Panjer itu menggapai-gapainya dengan garangnya, seperti kuku-kuku seekor harimau yang berusaha meraih kelinci di liangnya.
Tetapi Ki Tumenggung Jayayuda bertempur dengan tangkasnya, sehingga dengan tangkas pula ia menghindari serangan-serangan itu.
Meskipun demikian sorak orang-orang Demak dan orang-orang dari perguruan Kedung Jati bagaikan meruntuhkan gunung ketika ujung senjata Ki Tumenggung Panjer menyentuh bahu Ki Tumenggung Jayayuda, sehingga darah-pun kemudian mengalir dari luka itu.
Kedua belah pihak yang sudah menitikkan darah itu bertempur semakin sengit. Ki Tumenggung Jayayuda bergerak semakin lama semakin cepat, sehingga Ki Tumenggung Panjerpun menjadi semakin terdesak. Sekali lagi ujung senjata Ki Tumenggung Jayayuda berhasil menggapai lambung Ki Tumenggung Panjer, mengoyakkan pakaiannya serta melukai kulitnya meskipun tidak terlalu dalam.
Namun Ki Tumenggung Panjer merasa lambungnya menjadi panas dan pedih. Lukanya yang menjadi basah oleh darah dan keringat, terasa menggigit sampai ke tulang.
Sementara itu, Ki Tumenggung Jayayuda bertempur semakin garang pula, sehingga rasa-rasanya Ki Tumenggung Panjer itu tidak mendapat tempat lagi.
Ternyata Ki Tumenggpng Panjer bukan seorang Senapati yang tanggon. Dalam keadaan yang terjepit, dari mulutnya telah melengking satu isyarat yang tidak diketahui oleh Ki Tumenggung Jayayuda.
Pada saat Ki Tumenggung Jayayuda mencoba untuk memecahkan isyarat sandi itu, tiba-tiba saja telah berloncatan empat orang dari sebelah menyebelah. Demikian tiba-tiba sehingga Ki Tumenggung Jayayuda tidak sempat berbuat apa-apa. Empat ujung senjata telah terhunjam di tubuhnya.
Para prajurit Ki Tumenggung Jayayuda terlambat menyadari kelicikan Ki Tumenggung Panjer itu. Ketika mereka berloncatan menyerang keempat orang itu, maka para prajurit lawan yang semula menyibak telah mengatup pula, sehingga di garis pertempuran itu telah terjadi perang brubuh. Bahkan putaran gelar Cakra Byuhapun telah terhenti.
Para prajurit Ki Tumenggung Jayayuda tidak dapat lagi menyerang keempat orang yang telah berada di belakang para prajurit yang bertempur membabi buta itu.
Ki Tumenggung Panjer serta keempat orang yang telah membunuh Ki Tumenggung Jayayuda itupun seakan-akan telah hilang dari garis pertempuran.
Namun keempat orang yang ternyata terdiri dari dua orang Senapati Demak dan dua orang dari perguruan Kedung Jati itu terkejut. Mereka merasa seakan-akan telah terlindungi. Namun tiba-tiba saja empat orang prajurit Mataram telah berada di sekitarnya. Mereka seakan-akan telah menyapu para prajurit Demak dan para murid dari perguruan Kedung Jati yang ada disekitarnya, sehingga para prajurit yang semula mengatup itu telah tersibak lagi. Para prajurit Mataram tidak mau terjadi kelicikan itu untuk kedua kalinya, karena itu, maka para prajurit itupun dengan garangnya telah menyerang mereka, sementara ampat orang pembunuh Ki Jayayuda itu telah dihadapi oleh empat orang pula.
Sementara itu, beberapa orang prajurit Ki Jayayuda telah berjongkok di sampingnya. Dua di antara empat ujung senjata yang tertancap ditubuhnya tidak sempat di tarik, sehingga kedua senjata itu masih tertancap di tubuhnya.
Ki Jayayuda terbaring diam diantara beberapa orang prajuritnya. Merekapun kemudian segera mengangkatnya dan membawa ke belakang garis perang.
Ternyata Ki Jayayuda masih belum meninggal. Tetapi Ki Jayayuda itu telah menjadi pingsan.
Seorang tabib terbaik dari jajaran prajurit Mataram di induk pasukan itupun segera menangani Ki Jayayuda. Dicabutnya dua pucuk senjata yang masih tertancap di tubuhnya Dengan reramuan obat yang sudah dibuat menjadi serbuk, tabib itu berusaha mengurangi arus darah yang keluar dari luka-lukanya. Di taburkannya serbuk reramuan obat itu di luka yang menganga perlahan-lahan.
Pedih yang tajam terasa menyengat. Tetapi hanya sebentar. Semakin lama perasaan pedih itupun menjadi semakin berkurang. Sementara itu arus darah yang keluar dari luka-pun menjadi semakin menyusut.
Namun sebenarnyalah luka Ki Tumenggung Jayayuda sudah terlalu parah, sehingga jika tidak terjadi keajaiban, maka sulit untuk dapat menyelamatkan nyawanya.
"Aku tidak mengira," suara Ki Jayayuda menjadi sangat lemah, "bahwa Ki Tumenggung Panjer ternyata sangat licik."
"Ya, Ki Tumenggung. Tetapi Ki Tumenggung Panjer itupun sudah terluka."
"Sampaikan pesanku kepada para Senapati. Mereka agar menjadi lebih berhati-hati jika mereka berhadapan dengan Ki Tumenggung Panjer."
"Ki Tumenggung akan segera sembuh," berkata seorang prajurit yang lebih tua.
Ki Tumenggung Jayayuda menggeleng. Katanya, "Lukaku sangat parah. Rasa-rasanya sudah sulit untuk diobati."
"Kita mohon kepada Yang Maha Agung."
Ki Tumenggung Jayayuda berusaha menarik nafas panjang. Tetapi dadanya merasa sakit sekali.
"Laporkan keadaanku kepada Kangjeng Panembahan Hanyakrawati yang berada diinduk pasukan. Aku mohon maaf, bahwa aku tidak dapat berbuat apa-apa lagi bagi Mataram."
"Sekarang beristirahatlah Ki Tumenggung," berkata tabib yang mengobatinya, "jangan banyak bergerak dan berbicara, agar darah Ki Tumenggung benar-benar menjadi mampat."
Ki Tumenggung mengerutkan dahinya. Rasa-rasanya Ki Tumenggung itu menahan sakit. Kemudian iapun berdesis, "Aku minta diri. Sampaikan pula kepada keluargaku."
"Ki Tumenggung. Ki Tumenggung."
Tetapi Ki Tumenggung itu sudah tidak mendengar lagi. Matanyapun kemudian telah terpejam pula.
Dua orang penghubungpun segera menembus dan menyibak para prajurit untuk menghadap Kangjeng Panembahan Hanyakrawati.
Laporan itu telah membuat Kangjeng Panembahan dan Ki Patih Mandaraka terkejut. Ki Jayayuda adalah salah seorang prajurit linuwih yang memiliki ilmu yang tinggi. Kematiannya telah membuat Kangjeng Panembahan menjadi berdebar-debar. Salah seorang Senapati terbaik dari Mataram telah gugur.
"Dalam pertempuran yang sengit seperti sekarang ini, Panembahan, seseorang akan berada dalam kemungkinan yang sama. Hidup atau mati. Ki Tumenggung Jayayuda telah berada pada salah satu keadaan dari kedua kemungkinan itu."
Kangjeng Panembahan Hanyakrawatipun menarik nafas panjang. Namun Panembahan Hanyakrawati itupun kemudian telah memerintahkan agar tubuh Ki Tumenggung Jayayuda diselamatkan ke perkemahan tanpa menunggu senja.
Dalam pada itu, empat orang Senapati dari pasukan Demak yang terdiri dari dua orang perwira Demak serta dua orang murid perguruan Kedung Jati, tidak dapat lagi meninggalkan empat orang prajurit Mataram yang tiba-tiba sudah menghadapi mereka. Sementara para prajurit Demak dan para murid perguruan Kedung Jati tengah bertempur dengan prajurit Mataram disekitar mereka.
"Ternyata kalian licik sekali," berkata salah seorang prajurit Mataram itu.
"Apa pedulimu. Kita berada di medan perang. Siapapun boleh membunuh siapa saja yang berdiri di pihak lawan."
"Bagus. Kalau demikian, maka kamipun akan membunuh kalian."
"Kalian ternyata sombong sekali. Siapa kalian berempat?"
"Kami adalah murid-murid dari perguruan Kedung Jati," jawab seorang perempuan diantara mereka.
"Agaknya Mataram telah kehabisan laki-laki, sehingga membiarkan perempuan maju ke medan."
"Sudah aku katakan. Kami adalah murid-murid perguruan Kedung Jati."
"Persetan kau," geram salah seorang yang mengaku murid Kedung Jati yang berpihak kepada Demak itu, "kau jangan mencoba menipuku."
Tetapi tiba-tiba saja perempuan itu telah menunjukkan sebatang tongkat baja putihnya sambil berkata, "Kalau kau benar murid perguruan Kedung Jati, kau, tentu mengenal tongkat ini."
Wajah orang itu menjadi tegang. Jantungnya rasa-rasanya berdegup semakin cepat.
"Kau akan mendapat kesempatan untuk tetap hidup jika kau menyampaikan pesanku kepada Saba Lintang yang berani mengaku sebagai pemimpin tertinggi perguruan Kedung Jati."
Orang itu tertegun sejenak. Namun kemudian iapun menggeram, "Siapa kau sebenarnya?"
"Aku adalah Sekar Mirah. Pemimpin tertinggi perguruan Kedung Jati. Karena itu, katakan kepada Ki Saba Lintang. Jika ia masih menganggap dirinya pemimpin perguruan Kedung Jati, biarlah ia datang kepadaku. Kami berdua akan membuktikan, siapakah yang pantas memimpin perguruan Kedung Jati itu."
"Jangan mengigau. Perguruan Kedung Jati adalah perguruan yang sangat besar. Seorang perempuan tidak akan mampu mengendalikannya."
"Kau meremehkan kemampuan seorang perempuan?"
"Persetan. Kau tidak usah mencari Ki Saba Lintang. Yang ada di sini sekarang adalah kami berdua."
"Baiklah. Kami memang sudah sepakat untuk membunuh kalian setelah kalian dengan licik telah menyerang Ki Tumenggung Jayayuda."
"Sudah aku katakan, kita berada di medan perang."
Sekar Mirahpun tidak berbicara terlalu panjang. Tongkat baja putihnyapun segera berputar. Sementara itu, seorang yang mengaku murid dari perguruan Kedung Jati yang lainpun telah bersiap pula. Rara Wulan yang datang bersama Sekar Mirahpun menghadapinya sambil berkata, "Aku juga murid Perguruan Kedung Jati."
"Persetan kau perempuan iblis."
Rara Wulan tertawa. Namun kemudian selendan-gnyapun telah bergetar pula.
Sementara itu, Glagah Putih dan Agung Sedayu telah menghadapi dua orang perwira Demak yang senjatanya tertinggal di tubuh Ki Tumenggung Jayayuda. Mereka sangat tergesa-gesa sedangkan senjata mereka menghunjam sangat dalam, sehingga mereka tidak sempat menarik dari tubuh Ki Tumenggung.
Untuk menghadapi mereka, Agung Sedayu dan agah Putdhpun tidak bersenjata pula.
Namun Agung Sedayu sempat menggeram, "Ke mana Ki Tumenggung Panjer itu bersembunyi?"
"Iblis kau. Ki Tumenggung Panjer tidak bersembunyi."
"Tetapi ia tinggalkan medan."
"Ki Tumenggung Panjer sekarang tentu sudah berhadapan dengan Senapati Mataram yang lain."
"Jika demikian, seharusnya kau juga sudah berada di dekatnya sehingga kau akan dapat merunduk lagi lawan Ki Tumenggung Panjer itu dan menyerangnya dengan diam-diam seperti umumnya para pengecut."
"Tutup mulutmu," teriak orang itu sambil meloncat menyerang.
Namun ternyata nasibnya buruk sekali. Pertempuran itu hanya berlangsung sebentar. Tiba-tiba saja orang itu sudah terlempar dan terpelanting jatuh.
"Kau harus menerima hukumanmu, karena kau telah membunuh Ki Tumenggung Jayayuda dengan licik," geram Agung Sedayu.
Tetapi ternyata orang itu sudah tidak dapat mendengar suaranya lagi. Bahkan prajurit Demak yang bertempur melawan Glagah Putih itupun telah jatuh pada lututnya. Kemudian tubuhnya tertelungkup tanpa dapat bergerak lagi.
Sekar Mirah dan Rara Wulan masih sempat menunjukkan kepada orang-orang yang mengaku murid perguruan Kedung Jati itu, ciri-ciri dari perguruan mereka. Namun tidak terlalu lama. Demikian kedunya menjadi pening, maka perlawanan merekapun segera berakhir pula.
Para prajurit Matarampun kemudian bersorak. Sementara itu mulai terdengar aba-aba dari para Senapati. Perlahan-lahan gelar Cakra Byuha itupun telah bergeser sedikit.
Tetapi Agung Sedayu, Sekar Mirah, Glagah Putih dan Rara Wulan telah diperkenankan berada di luar gelar untuk dapat berhadapan langsung dengan Ki Saba Lintang di luar gelar.
Tetapi tidak mudah untuk menemukannya. Ia berada di antara beberapa orang berilmu tinggi. Agaknya Ki Saba Lintangpun tidak terikat pada gelar Gajah Meta dari pasukan Demak itu.
Sementara itu, di sisi lain, Ki Tumenggung Gending telah menjadi semakin terdesak. Ki Tumenggung Derpayuda semakin meningkatkan kemampuannya, sehingga Ki Tumenggung Gending mengalami kesulitan.
Namun Ki Tumenggung Gendingpun licik seperti Ki Tumenggung Panjer, meskipun dengan cara yang berbeda. Dalam keadaan yang rumit, maka Ki Tumenggung Gending itupun telah menyusup di antara prajurit-prajuritnya.
Ki Tumenggung Derpayuda memang melihat bagaikan liang seekor ular yang terbuka serta melihat Ki Tumenggung Gending bergerak dan menghilang ke dalamnya. Lubang itupun sengaja tidak segera mengatup, untuk memancing agar Ki Tumenggung Derpayuda memburu masuk ke dalamnya.
Meskipun Ki Tumenggung Derpayuda adalah seorang yang sangat berpengalaman, tetapi pada saat perasaannya bergejolak, maka pertimbang nyapun menjadi agak kabur.
Namun ketika Ki Derpayuda hampir saja berlari memburu Ki Tumenggung Gending, seorang Senapati bawahannya, yang rambutnya sudah berbaur dengan uban, justru telah mendahului bersama beberapa orang prajuritnya. Tidak memburu Ki Tumenggung Gending, tetapi dengan sengaja menyumbat lubang itu dengan serangan yang garang.
Pertempuran menjadi sengit, sehingga dengan sendirinya lubang itu telah tersumbat.
Ki Tumenggung Derpayuda yang merasa jalannya tertutup menjadi marah. Dengan lantang iapun berkata, "Kalian telah menutup jalanku untuk memburu Ki Tumenggung Gending."
Senapati bawahannya yang rambutnya sudah beruban itupun berkata," jalan yang sangat berbahaya, Ki Tumenggung. Maaf bahwa aku sengaja menutup jalan itu, agar Ki Tumenggung tidak terpancing untuk memasukinya karena memburu Ki Tumenggung Gending. Jalan itu bagaikan liang yang menuju ke mulut ular. Kita tidak tahu, apakah ular itu sangat berbisa atau sama sekali tidak berbisa."
Ki Tumenggung Derpayuda menarik nafas panjang. Ketika gejolak perasaannya sedikit rnereda, maka iapun melihat bahaya yang menunggunya di belakang lubang gelar lawannya itu.
"Terima kasih," berkata Ki Tumenggung Derpayuda, "kita sudah sama-sama ubanan. Tetapi ternyata perasaanmu lebih mengendap dari perasaanku, sehingga hampir saja aku kehilangan kiblat."
"Ki Tumenggung sedang dicengkam oleh gejolak pertempuran. Aku masih belum terlibat langsung, sehingga aku masih sempat melihat bahaya yang bersembunyi di balik jebakan itu."
Ki Tumenggung Derpayudapun kemudian menepuk bahu Senapati bawahannya itu. Kemudian Ki Tumenggungpun telah berada di tengah-tengah pasukannya kembali. Ki Tumenggung perlahan-lahan telah hanyut dalam putaran gelar Cakra Byuha.
Dalam putaran yang perlahan-lahan itu, Ki Tumenggung Derpayuda bertempur dengan garangnya. Sementara Ki Tumenggung Gendingpun telah mengumpat pula, karena Ki Tumenggung Derpayuda tidak memburunya, sementara itu, para pembantunya telah mempersiapkan sebuah jebakan.
Namun yang terjadi adalah pertempuran yang sengit di antara para prajurit Demak serta para murid perguruan Kedung Jati melawan para prajurit Mataram.
Ki Tumenggung Gending yang berhasil melepaskan diri dari tangan Ki Tumenggung Derpayuda itupun masih berada di belakang para prajuritnya. Ki Tumenggung itu ingin beristirahat barang sejenak. Ia baru saja mengerahkan segenap tenaga dan kemampuannya menghadapi amuk Ki Tumenggung Derpayuda.
Yang kemudian berada di permukaan garis perang adalah kelompok-kelompok Senapati serta para pemimpin kelompok para murid perguruan Kedung Jati bersama para prajuritnya serta kelompoknya. Mereka menghadapi prajurit Mataram dalam kelompok-kelompok yang pekat dalam bingkai gelar Gajah Meta.
Pada saat Tumenggung Gending hilang dari gading gelar pasukan Demak, maka yang kemudian menggantikannya adalah seorang yang rambutnya telah memutih di sebelah menyebelah. Kumisnya juga telah memutih. Demikian pula janggutnya yang jarang.
Pada saat orang itu muncul di gading gelar Gajah Meta, maka Senapati dari putaran gelar Cakra Byuha yang sampai di gading gelar Gajah Meta itu adalah pemimpin dari pasukan pengawal kademangan Sangkal Putung. Swandaru bersama istrinya, Pandan Wangi.
Orang berambut putih yang berada di gading gelar Gajah Meta itu tiba-tiba telah meloncat mencegat Swandaru dan isterinya yang bertempur dengan garangnya.
"He, tidak adakah tempat lain, sehingga kalian berdua kencan di medan perang ini, he?"
Swandaru memandang orang itu dengan tajamnya. Kemudian iapun bertanya, "Kau siapa, Ki Sanak ?"
"Aku Sada Aren. Aku adalah salah seorang pemimpin dari para murid dari perguruan Kedung Jati."
Swandaru mengangguk-angguk. Katanya, "Minggirlah. Kau sudah terlalu tua untuk turun ke medan perang."
"Kau kira kau masih muda remaja?"
"Aku juga sudah tua. Tetapi masih belum terlalu tua."
"Kau siapa, he?"
"Aku anak Demang Sangkal Putung. Aku berada di gelar ini bersama pasukan pengawal kademanganku."
"He" Jadi kau bukan prajurit ya" Kalau begitu, minggir sajalah. Aku ingin membunuh prajurit Mataram sebanyak-banyaknya. Jika kau tidak mau minggir, maka kau akan ikut terbunuh pula."
Swandaru tertawa. Katanya, "Aku pernah membantai murid-murid perguruan Kedung Jati yang telah datang ke kademangan Sangkal Putung. Jika kau pernah datang ke Sangkal Putung, maka kau tentu akan tahu, bahwa Tohpati, yang bergelar macan Kepatihan, salah seorang pemimpin tertinggi dari perguruan Kedung Jati pada masa jayanya, telah terbunuh di Sangkal Putung."
"Omong kosong. Para pemimpin perguruan Kedung Jati adalah orang-orang yang tidak terkalahkan."
"Kau yang omong kosong. Para pemimpin Kadipaten Jipang adalah parn pemimpin dari perguruan Kedung Jati pada masa jayanya. Berbeda dengan sekarang. Kau dan bahkan Saba Lintang mengaku pemimpin tertinggi dari perguruan Kedung Jati. Bukankah dengan demikian kalian justru telah meremehkan perguruan Kedung Jati itu sendiri?"
"Persetan. Bersiaplah untuk mati."
"Kau terlalu sombong Sada Aren. Tetapi jangan sesali dirimu yang bernasib buruk itu."
Sada Aren itu tidak berbicara lagi. Iapun segera meloncat menyerang Swandaru dengan garangnya.
Tetapi Swandaru telah siap menghadapinya. Karena itu, maka serangan orang itu sama sekali tidak menyentuhnya. Dengan cepat Swandaru bergeser kesamping. Namun kemudian dengan cepat pula Swandaru meloncat sambil berputar di udara. Kakinya terayun mendatar langsung mengenai kening Sada Aren.
Sada Aren yang tidak mengira, bahwa tiba-tiba saja kaki lawannya dari Sangkal Putung itu menghantam keningnya terkejut sekali. Tetapi ia tidak dapat menahan tubuhnya yang terpelanting dan jatuh di tanah.
Seseorang dengan cepat meloncat dan berjongkok di sampingnya. Ketika Swandaru melangkah mendekat, orang itupun segera bangkit dan menggeram, "Selangkah lagi kau maju, maka nyawamu akan terlempar dari tubuhmu."
"Kau siapa?" bertanya Swandaru.
"Aku saudara seperguruan Sada Aren."
"Kau murid dari perguruan Kedung Jati?"
"Ya." "Bagus. Aku senang bertemu dengan orang-orang yang mengaku murid dari perguruan Kedung Jati. Aku tahu, bahwa kalian berbohong. Tetapi tidak apa-apa. Kadang-kadang seseorang memang perlu berbohong."
"Cukup," bentak orang itu. Ketika Swandaru melangkah maju lagi, maka orang itu menggeram, "berhenti. Berhenti kau dengar."
Swandaru berhenti, sementara Sada Aren itupun telah bangkit berdiri.
"Anak iblis," geram Sada Aren, "kau licik sekali. Kau menyerang sebelum aku benar benar bersiap."
Swandaru tertawa pendek. Katanya, "Kaulah yang menyerang aku lebih dahulu. Bagaimana mungkin kau dapat berkata bahwa aku menyerangmu sebelum kau benar-benar bersiap."
"Persetan," geram Sada Aren. Lalu katanya kepada saudara seperguruannya, "Adi Surawuna, marilah kita selesaikan anak Demang Sangkal Putung yang sombong ini."
"Kalian akan bertempur berdua" " Pandan Wangi yang sudah berada di sebelah Swandaru itupun bertanya.
"Kau mau apa?" bentak Surawana.
"Aku mau ikut dalam permainan ini," sahut Pandan Wangi.
"Perempuan ini adalah istriku," berkata Swandaru, "jika kalian bertempur berdua dengan saudara seperguruanmu, maka aku akan bertempur berdua dengan isteriku."
"Kau sangat merendahkan kami," berkata Surawana, "apa artinya seorang perempuan di medan perang. Meskipun ia memiliki keberanian seekor banteng sekalipun, tetapi ia tetap seorang perempuan yang lemah. Kerja perempuan adalah melahirkan dan menyusui anaknya. Perang adalah kerja laki-laki."
"Perang memang kerja laki-laki. Tetapi laki-laki yang memiliki bekal ilmu yang memadai."
"Cukup. Lidahmu ternyata setajam duri pandan."
"Namaku Pandan Wangi."
"Anak iblis," geram Surawana, "jangan salahkan aku jika aku membunuhmu nanti."


16 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pandan Wangi bergeser membuat jarak dari suaminya. Namun pedang rangkapnya yang tipis sudah bergetar di tangannya.
Surawana tidak berbicara apa-apa lagi. Iapun segera meloncat menyerang. Senjatanya yang besar terayun-ayun mendebarkan.
Tetapi Pandan Wangi sama sekali tidak gentar. Meskipun pedangnya hanya tipis saja, tetapi sepasang pedangnya itu akan mampu mengimbangi golok Surawana yang besar dan berat itu.
Demikianlah pertempuran itupun menjadi semakin sengit. Surawana berhadapan dengan Pandan Wangi, sementara Sada Aren berloncatan melawan Swandaru.
Demikianlah pertempuran di antara mereka semakin lama menjadi semakin sengit. Sedangkan mereka yang mengaku murid-murid dari Kedung Jatipun ternyata sulit untuk menembus garis pertempuran.
Para pengawal kademangan Sangkal Putung benar-benar memiliki kemampuan seorang prajurit yang tangguh.
Karena itu maka pertempuranpun menjadi semakin sengit. Para pengawal Sangkal Putung yang memiliki keyakinan yang tinggi akan kemampuan Swandaru dan Pandan Wangi berusaha untuk memberikan kesempatan kepada mereka untuk berperang tanding melawan dua orang yang mengaku murid dari perguruan Kedung Jati itu.
Sada Aren yang bertempur melawan Swandaru telah meningkatkan ilmunya. Sebuah bindi yang bergerigi terayun-ayun menggetarkan. Sementara Swandaru menggenggam sebuah pedang yang panjang dan besar. Benturan-benturan senjata mereka telah memercikkan bunga api yang berhamburan.
Sada Aren yang merasa dirinya memiliki kelebihan dari para murid perguruan Kedung Jati yang lain, berniat untuk memamerkan kemampuannya itu kepada saudara-saudara seperguruannya. Ia ingin segera mengakhiri perlawanan anak Demang Sangkal Putung itu dan berdiri di atas tubuhnya yang terkapar.
Tetapi ternyata anak Demang Sangknl Putung itu merupakan seorang yang jauh lebih baik dari dugaannya. Meskipun ia bukan seorang prajurit, tetapi ternyata kemampuannya tidak berada di bawah pura Senapati di Mataram.
Karena itu, maka Sada Aren itupun harus mengerahkan kemampuannya untuk mencoba mengalahkannya.
Tetapi Swandaru memang berilmu tinggi. Karena itu, betapapun orang yang menyebut dirinya Sada Aren itu meningkatkan kemampuannya, namun ia tidak mendapat banyak kesempatan. Serangan-serangan Swandaru semakin lama semakin berbahaya. Bahkan kemudian ujung senjata Swandarupun mulai menyentuh kulitnya.
"Sudah aku katakan, bahwa knu sudah terlalu tua untuk bertempur di pertempuran yang ganas seperti ini. Gelar Cakra Byuha yang berbenturan dengan gelar Gajah Meta ini merupakan benturan yang sangat garang. Apalagi di kedua belah pihak turun Senapati-senapati pilihan. Kenapa kau tiba-tiba saja berada di medan.. Bukankah sudah waktunya bagimu untuk duduk-duduk di serambi rumahmu, minum minuman hangat, makan ketela rebus yang masih mengepul dengan dendeng ragi sambil mendengarkan suara perkutut yang nyaring?"
"Persetan kau bocah Sangkal Putung. Kawan-kawanmu hanya akan dapat membawa kepalamu pulang. Tubuhmu akan aku sayat menjadi berkeping-keping."
"Mengerikan sekali. Tetnpi bagaimana pendapatmu jika hal itu terjadi padamu?"
Orang itu tidak menjawab. Tetapi iapun segera meloncat sambil mengayun-ayunkan senjatanya yang berat.
Tetapi pedang Swandarupun akan terasa berat bagi orang lain, meskipun di tangan Swandaru pedung itu dapat berputar dengan cepatnya.
Sementara itu, Surawanapun berusaha mengakhiri perlawanan Pandan Wangi dengan cepat. Goloknya terayun-ayun mengerikan. Ayunan goloknya telah menimbulkan desir angin yang keras dan bahkan terasa bagaikan menusuk-nusuk tubuh lawannya.
Namun Pandan Wangi cukup cepat berloncatan menghindari terpaan angin yang timbul oleh ayunan golok lawannya yang besar dan berat itu. Sementara pedang rangkap di kedua tangan Pandan Wangi mampu bergerak dengan cepatnya.
Ketika keringat keduanya sudah membasahi seluruh pakaiannya, maka merekapun telah menghentakkan kemampuan mereka. Golok di tangan Surawana itupun seakan-akan telah membara dan bahkan mulai menaburkan udara yang semakin lama terasa semakin panas.
Pandan Wangi merasakan ilmu yang terpancar dari tubuh lawannya itu. Panas udara di sekitar Surawana itu membuat keringat Pandan Wangi bagaikan diperas dari tubuhnya.
Tetapi Pandan Wangi tidak membiarkan lawannya menguasai arena pertempuran itu dengan kekuatan ilmunya yang memancarkan panas itu. Ketika Pandan Wangi menghentakkan serangannya, lawannyapun mulai menjadi bingung. Ujung pedang Pandan Wangi itu rasa-rasanya menjadi lebih panjang dari ujud yang sebenarnya.
Karena itu, ujung pedang Pandan Wangipun mulai menyentuh tubuh lawannya. Pakaiannya terkoyak di mana-mana, serta goresan-goresan pedang telah melukai lengannya, bahunya dan lambungnya.
"Gila perempuan ini," geram orang itu, "ilmu iblis manakah yang telah disadapnya, sehingga ia mampu melukai kulitku."
Kemarahan orang itu telah membuat ilmunya menjadi semakin meningkat. Udara panas yang seakan-akan memancar dari tubuhnya telah ditingkatkannya, sehingga udara panas itu seakan-akan telah memancar dari seluruh lubang-lubang kulitnya.
Pandan Wangipun tidak mempunyai pilihan lain. Jika ia tidak mulai mengerahkan ilmunya pula, maka ia akan segera digilas oleh lawannya yang menjadi sepanas bara.
Pandan Wangipun kemudian telah mengerahkan ilmunya pula. Ia menjadi semakin sulit untuk mendekati lawannya, sementara itu, golok lawannya yang besar itu selalu memburunya. Ayunan golok itu telah menaburkan angin yang panas pula.
Namun sepasang pedang Pandan Wangi bagaikan menjadi semakin panjang. Meskipun ujudnya menurut penglihatan lawannya masih berjarak dari tubuhnya, namun ternyata ujung pedang itu telah menggores kulitnya.
Dengan demikian, maka kedua belah pihak semakin lama menjadi semakin berdebar pula. Panas Surawana itu rasa-rasanya telah membakar kulit Pandan Wangi. Namun goresan-goresan pedang Pandan Wangi semakin banyak menyilang di tubuhnya.
Di panasnya udara, di sekitar Surawana, terasa tenaga dan kemampuan Pandan Wangi menjadi semakin menyusut. Tubuh dan pakaiannya benar-benar telah menjadi basah kuyup.
Karena itu, maka Pandan Wangi harus menghentakkan ilmunya untuk menghentikan lawannya.
Tiba-tiba saja Pandan Wangi itu mengabaikan udara panas yang terasa bagaikan membakar tubuhnya. Sambil meningkatkan daya tahannya, Pandan Wangi pun menyerang lawannya dengan ilmunya yang telah membingunkan lawannya itu.
Ternyata Pandan Wangi yang merasa dirinya seakan-akan berada di atas perapian itupun berhasil mengoyak dada Surawana yang mulai merasa berhasil menekan lawannya.
Surawana terkejut. Pedang Pandan Wangi benar-benar telah menorehkan luka yang dalam di dadanya.
Surawana itupun terhuyung-huyung melangkah ke belakang, sementara Pandan Wangi masih mencoba untuk bertahan di keseimbangannya.
Namun hampir berbareng keduanya telah tumbang. Surawana itu jatuh terlentang dengan luka yang parah di dadanya, sementara Pandan Wangi jatuh terduduk.
Dengan cepat beberapa orang pengawal Kademangan Sangkal Putungpun segera berlarian mendekati Pandan Wangi yang terduduk. Mereka menerobos udara panas yang masih tersisa. Tetapi demikian sumber panas itu ter-luka dan jatuh terguling di tanah, maka pancaran panas itupun dengan cepat bagaikan lenyap disapu angin.
Sementara itu, beberapa orang yang menyebut -dirinya murid dari perguruan Kedung Jatipun segera menghampiri tubuh Surawana. Namun tubuh itu sudah tidak berdaya lagi. Goloknya yang besar dan panjang, tergolek di sampingnya.
Ternyata luka Surawana terlalu parah sehingga nyawanya tidak dapat diselamatkan lagi.
Sementara itu Swandaru masih bertempur dengan sengitnya. Ketika ia mengetahui bahwa Pandan Wangi jatuh terduduk dengan wajah yang pucat serta tubuhnya yang sangat lemah, maka darah Swandaru bagaikan mendidih karenanya. Kemarahannyapun telah membakar ubun-ubunnya.
Karena itu, maka Swandaru tidak lagi telaten dengan pedang yang besar dan panjang untuk melawan senjata lawannya. Disarungkannya pedangnya kemudian diurainya cambuknya yang berjuntai panjang. Masih ada karah-karah besi dijuntai cambuk yang dipasangnya sejak semula, meskipun sebenarnya tidak terlalu diperlukan lagi.
Demikianlah, maka sejenak kemudian Swnndarupun telah menghentakkan cambuknya sendal pancing. Suaranya bagaikan meledakkan langit. Udara bergetar terguncang-guncang. Bahkan seluruh medan itu rasa-rasanya telah dihentak gempa.
Namun ledakan cambuk yang menggelegar itu sudah tidak lagi memberi kepuasan kepada Swandaru Geni. Sejak ia mengenali kemampuan Agung Sedayu yang sebenarnya, maka Swandarupun telah menekuni ilmunya pula sampai tuntas.
Karena itu, ketika Swandaru itu menghentakkan cambuknya sekali lagi, maka tidak terdengar ledakan sama sekali. Meskipun demikian Sada Aren yang berilmu tinggi, segera mengenali bahwa justru hentakan yang tidak memperdengarkan ledakan itu nduluh ledakan yang sangat berbahaya.
Namun Sada Aren sudah terlambat untuk menghindar. Karena itu, maka Sada Aren itupun berusaha untuk mendahului Swandaru. Seperti saudara seperguruan, maka Sada Arenpun telah bermain-main dengan panasnya udara. Ketika ia menghentakkan tangannya maka segumpal awan panas telah meluncur ke arah lawannya.
Namun Swandaru dengan tangkas telah menghindar. Meskipun demikian Swandaru tidak ingin gumpalan awan panas itu mengenai para pengawal kademangan Sangkal Putung. Karena itu, maka Swandarupun kemudian telah menghentakkan cambuknya mengenai gumpalan awan panas itu, sehingga awan panas itupun pecah berhamburan dan dihanyutkan angin.
Percikan-percikan kecil awan panas itu ternyata sempat melukai kulit orang-orang yang terkena.
Namun Swandaru tidak membiarkannya menaburkan luka dan bahkan kematian. Karena itu, maka dengan cepatnya Swandaru itu meloncat sambil mengayunkan cambuknya.
Ternyata Swandaru mampu bergerak cepat sekali. Melampaui kecepatan gerak lawannya. Karena itu, maka Sada Aren tidak mempunyai kesempatan. Sebelum ia sempat melontarkan awan panas lagi dari tangannya, maka ujung cambuk Swandaru telah menggapainya.
Ternyata hentakan cambuk Swandaru dilambari ilmu yang diturunkan oleh kiai Gringsing, benar-benar merupakan hentakan yang menentukan. Sada Aren tidak sempat menghindar. Meskipun Sada Aren mencoba menangkis dengan senjatanya, tetapi ujung cambuk Swandaru itu masih saja menggapai dadanya.
Hentakan cambuk yang seakan-akan tidak mengeluarkan bunyi sama sekali itu, justru telah menghentak dada Sada Aren sehingga menghentikan detak jantungnya. Dengan demikian, maka Sada Aren itu tidak mampu berbuat apa-apa lagi. Hentakan di dadanya yang menghentikan detak jantungnya itu telah menghentikan pernafasannya pula.
Demikian Sada Aren terpelanting jatuh, maka terdengar para pengawal Sangkal Putung bersorak gemuruh. Mereka tidak melakukannya ketika Surawana terbunuh oleh Pandan Wangi, karena Pandan Wangi sendiri telah terluka. Tetapi ketika lawan Swandaru itu terpelanting jatuh, sementara Swandaru masih berdiri tegak, maka sorak itupun tidak tertahan lagi.
Para prajurit Mataram yang berada di gelar Cakra Byuha itupun ikut pula tergetar hatinya. Mereka mendengar para pengawal Sangkal Putung itu berteriak, "Hidup Swandaru, hidup Swandaru."
Dua orang penghubungpun segera membawa laporan tentang kematian dua orang Senapati dari mereka yang menyebut dirinya murid dari perguruan Kedung Jati kepada para pemimpin Mataram. Merekapun telah melaporkan pula, bahwa Ki Tumenggung Gending dengan licik telah bersembunyi di belakang pasukannya yang telah membuka gelar kecil jurang grawah. Tetapi mereka telah gagal menjebak Ki Tumenggung Derpayuda.
Namun meninggalnya Ki Tumenggung Jayayuda yang telah diserang dengan cara yang licik itupun telah menyebar pula, sehingga para Senapati Mataram menjadi semakin marah.
Sementara itu, Swandarupun segera mendekati Pandan Wangi yang menjadi lemah. Tetapi Pandan Wangi menyambutnya dengan senyuman sambil berkata, "Aku tidak apa-apa, kakang."
Swandaru menarik nafas panjang. Iapun segera berjongkok di sebelahnya, sementara itu, para pengawal Kademangan Sangkal Putung pun segera melindungi mereka. Mereka bertempur dengan sengitnya melawan orang-orang yang mengaku murid-murid dari perguruan Kedung Jati.
Swandarupun kemudian membimbing Pandan Wangi memasuki gelar Cakra Byuha lebih dalam lagi, sehingga mereka tidak lagi tersentuh oleh benturan kekuatan yang menjadi semakin sengit.
Namun sejenak kemudian, maka Pandan Wangipun berkata, "Kakang Swandaru. Kembalilah ke pasukanmu. Biarlah dua orang pengawal menemani aku di sini. Bukankah aku berada di dekat Pasukan Khusus Pengawal Raja."
Swandaru termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, "Baiklah. Aku akan mengatakan kepada pemimpin kelompok Pasuknn Khusus Pengawal Raja yang berada di gigi gelar ini."
Swandarupun kemudian segera menemui pemimpin kelompok Pasukan Khusus Pengawal Raja yang berada di gerigi gelar itu. Dengan baik pemimpin kelompok itupun. menerima Pandan Wangi di antara sekelompok Pasukan Khusus Pengawal Raja. Apalagi setelah keadaan Pandan Wangi menjadi semakin baik, sehingga Pandan Wangi tidak akan menjadi beban mereka. Para prajurit dalam Pasukan Khusus Pengawal Raja itu sudah tahu kemampuan Pandan Wangi yang bersenjata pedang rangkap di kedua lambungnya itu.
Sementara itu, Swandarupun segera kembali ke dalam pasukannya yang berada di ujung-ujung gerigi roda gelar pasukan Mataram itu.
Demikianlah, maka pertempuran itupun menjadi semakin sengit. Sementara itu pasukan yang dipimpin oleh Pangeran Puger yang didampingi oleh Ki Tumenggung Untara, dalam gelar Sapit Urang itu telah berhasil mendesak perlahan-lahan pasukan lawannya yang juga mempergunakan gelar melebar, gelar Garuda Nglayang.
Ternyata Pangeran Puger adalah seorang pemberani, meskipun kadang-kadang justru menjadi berbahaya bagi dirinya sendiri.
Tetapi setiap kali Ki Tumenggung Untara masih dapat memberikan peringatan-peringatan yang berarti bagi Pangeran Puger muda itu.
Di lambung yang lain, pasukan Mataram yang dipimpin oleh Pangeran Demang Tanpa Nangkil telah bertempur dengan sengitnya pula. Namun pasukan Mataram itu masih belum berhasil bergerak maju. Tetapi pasukan Demakpun tidak berhasil mendesak pasukan Mataram itu pula.
Tetapi Ki Tumenggung Ranawira adalah seorang Senapati yang mempunyai pengalaman yang sangat luas. Karena itu, maka Ki Tumenggung itulah yang justru banyak memberikan petunjuk kepada Pangeran Demang Tanpa Nangkil. Meskipun secara pribadi Pangeran Demang Tanpa Nangkil berilmu tinggi, tetapi pengalamannya di medan pertempuran yang garang masih belum terlalu banyak.
Meskipun demikian, para prajurit Demak merasa agak ngeri mendekati Pangeran Demang Tanpa Nangkil. Ketika empat orang prajurit bersama-sama menghadapinya, maka dalam waktu yang terhitung pendek, dua di antaranya telah terpelanting dari lingkaran pertempuran. Namun demikian keduanya terlempar, maka tiga orang telah datang menggantikannya.
Tetapi para prajurit Demak itu tidak mampu menahan gejolak kemarahan Pangeran Demang Tanpa Nangkil.
Demikian para prajurit itu satu-satu terlempar dari pertempuran, maka seorang Senapati yang bertubuh tinggi besar telah berada di hadapan Pangeran Demang Tanpa Nangkil.
"Kau mengamuk seperti banteng ketaton," berkata Senapati yang bertubuh tinggi besar itu, "namamu siapa, he. Biar esok atau lusa aku dapat bercerita bahwa aku telah membunuh seorang Senapati dari Mataram yang berilmu tinggi, tetapi yang kemudian terhempas karena kesombongannya sendiri."
Pangeran Demang Tanpa Nangkil yang muda itu menjadi sangat marah mendengar ancaman orang bertubuh tinggi besar itu. Karena itu, tanpa menjawab, maka iapun segera menerjangnya.
"Anak iblis," geram orang itu, "siapa namamu he " Namaku adalah Tumenggung Ranapati. Sebaiknya kau katakan namamu sebelum kau mati."
Pangeran Demang Tanpa Nangkil tidak menjawab. Tetapi ia bergerak semakin cepat. Serangan-serangannya datang seperti amuk prahara.
Ternyata lawannya juga seorang Senapati yang berilmu tinggi, sehingga pertempuran di antara merekapun menjadi semakin sengit.
Ki Tumenggung Ranawira sendiri bertempur tidak terlalu jauh dari Pangeran Demang Tanpa Nangkil. Namun selagi Pangeran Demang Tanpa Nangkil bertempur melawan orang bertubuh tinggi dan besar itu, Ki Tumenggung Ranawira telah memberikan perintah agar para Senapati di ujung sapit udang pada gelar Sapit Urangnya itu meningkatkan kemampuan mereka. Sementara matahari sudah mulai turun di sisi Barat langit.
Dengan demikian, maka pertempuran antara gelar Sapit Urang dan gelar Garuda Nglayang itu menjadi semakin sengit. Setapak demi setapak, pasukan Pangeran Demang Tanpa Nangkil itu akhirnya dapat merayap maju meskipun perlahan sekali.
Sementara itu, Sekar Mirah ternyata masih belum menemukan Ki Saba Lintang. Namun untuk memancing hadirnya Ki Saba Lintang, maka Sekar Mirah telah bertempur dengan garangnya.
Jika Sekar Mirah itu bertemu dengan orang-orang yang mengaku murid-murid dari perguruan Kedung Jati, maka Sekar Mirahpun selalu menantang orang yang bernama Ki Saba Lintang. Sedangkan jika orang itu mencoba untuk melawannya, maka orang itu tentu akan terkapar di medan perang. Lukanya tentu parah atau bahkan nyawanya akan tercerabut dari tubuhnya.
Tetapi ia masih juga belum berhasil menemukan orang yang bernama Saba Lintang.
Dalam pada itu, maka pertempuran pun menjadi semakin sengit. Kangjeng Adipati Demak yang memimpin langsung gelar Gajah Meta itu berada di kepala gelarnya. Bahkan ketika gelarnya tidak maju-maju juga, Kangjeng Adipati Demak itupun telah bergeser maju dan berada di ujung gelarnya memimpin langsung para prajurit pilihan yang berilmu tinggi.
Gelar Cakra Byuha yang mulai berputar perlahan-lahan itu mulai mengalami kesulitan. Tajamnya gerigi gelarnya seakan-akan berpatahan. Senapati-senapati Mataram yang ada di ujung tajamnya gerigi gelar Cakra Byuha itu tidak ada yang mampu melawan amuk Kangjeng Adipati Demak.
Pangeran Singasari yang memimpin gelar pasukan Mataram yang mendapat laporan tentang keunggulan Kangjeng Adipati Demak itupun segera turun langsung berusaha menghadapi Kangjeng Adipati Demak.
Ketika keduanya bertemu dalam hentakan pertempuran yang sengit, maka terasa jantung Kangjeng Adipati Demak berdesir.
"Angger Adipati," sapa Pangeran Singasari.
"Paman Pangeran."
"Kau mengamuk seperti banteng ketaton, ngger."
"Hari ini gelar pasukan Mataram harus aku pecahkan."
"Tidak semudah itu, ngger."
"Aku tahu paman adalah seorang Pangeran yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Tetapi aku yakin, bahwa aku akan dapat menundukkan paman."
"Mungkin ngger. Tetapi aku minta angger menyadari, betapa banyaknya korban yang jatuh dalam perang ini. Setiap hari kita mengadakan upacara pemakaman orang-orang terbaik diantara pasukan kita masing-masing."
"Itu adalah tumbal gegayuhan, paman. Kita tidak dapat menggapai cita-cita kita tanpa pengorbanan. Nah, nasib mereka memang buruk. Sedangkan yang bernasib baik akan keluar dari pertempuran ini mengusung kemenangan."
"Angger Pangeran. Jika masih ada sepeletik sinar yang menerangi relung-relung jantung angger, aku minta angger menghentikan perang ini."
"Mustahil paman Pangeran. Paman jangan mengharapkan terjadi keajaiban. Aku sudah mulai. Aku akan terus mendesak pasukan Mataram ini ke Selatan sehingga akhirnya aku akan sampai ke Mataram. Akulah yang kemudian akan duduk diatas tahta Mataram. Bukan dimas Panembahan Hanyakrawati."
"Segala sesuatunya dapat diselesaikan dengan baik, angger Pangeran. Tetapi jangan mengorbankan puluhan, bankan mungkin ratusan orang."
"Sudah aku katakan, mereka adalah tumbal dari gegayuhan."
"Gegayuhan siapa ?"
"Gegayuhanku, Ratu Gusti mereka. Adalah sah jika aku mengorbankan rakyatku untuk mengangkat derajadku. Mereka adalah rakyatku yang setia, yang menghargai kesetiaannya lebih dari nyawanya."
"Sekali lagi aku peringatkan angger. Angger jangan berniat untuk mendapatkan kemukten dengan berdiri diatas timbunan mayat yang tidak terhitung jumlahnya."
"Kenapa harus aku yang bertanggungjawab. Kenapa bukan Dimas Panembahan Hanyakrawati. Jika Dimas Panembahan Hanyakrawati bersedia turun dari tahta dan menyerahkannya kepadaku, maka segala sesuatunya akan selesai. Perang akan berakhir dan kita tidak perlu setiap hari menyelenggarakan upacara pemakaman prajurit-prajurit kita yang gugur."
"Tentu anggerlah yang bertanggungjawab, karena angger Pangeran yang telah melanggar paugeran keraton Mataram."
"Siapa yang telah membuat paugeran itu " Seorang yang berkuasa mutlak, ia sendirilah paugeran itu."
"Paugeran itu terdapat dalam pustaka yang tersimpan di gedung pusaka di Mataram."
"Yang membuat paugeran itu adalah orang-orang seperti kita-kita juga. Nanti kalau aku sudah duduk di atas tahta di Mataram, maka aku akan merubah paugeran itu, sehingga tidak akan ada lagi orang yang mengatakan bahwa aku telah melanggar paugeran. Jika ada perdata yang menyebut bahwa aku melanggar paugeran, maka aku akan menjatuhkan hukuman mati kepadanya."
"Ternyata angger sudah terlalu jauh berjalan dalam kesesatan. Karena itu, mumpung masih ada kesempatan, aku minta angger berjalan kembali."
"Cukup paman. Lihat, perang masih berlangsung dengan sengitnya. Darah masih mengalir dari luka. Bersiaplah. Kita akan bertempur atau paman meninggalkan garis perang ini."
"Aku seorang Senapati, ngger. Apakah seorang Senapati akan meninggalkan medan demi keselamatannya sendiri."
"Bagus. Aku memang yakin, bahwa paman benar-benar seorang Senapati Agung."
Keduanyapun kemudian segera mempersiapkan diri. Dengan sigapnya Kangjeng Adipati Demakpun meloncat menyerang. Sementara itu, Pangeran Singasaripun dengan tangkasnya pula mengelak. Bahkan dengan cepat pula Pangeran Singasari itu melenting sambil memutar tubuhnya. Kakinya menebas mendatar mengarah ke kening. Namun Pangeran Puger sempat mengelak, sehingga serangan Pangeran Singasari itu tidak mengenainya.
Demikianlah, maka keduanyapun segera terlibat dalam pertempuran yang sengit. Kedua-duanya memiliki ilmu yang tinggi, sehingga kedua-duanya saling menyerang dan menghindar. Sekali-sekali Pangeran Puger mendesak maju. Namun pada kesempatan lain, Pangeran Singasarilah yang berhasil mendorong Pangeran Puger surut ke belakang.
Pertempuran antara keduanyapun menjadi semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya pertempuran di seluruh arena. Setiap Senapati telah berusaha menghentakkan kemampuan mereka serta prajurit-prajurit mereka. Prajurit Pajang yang berada di induk pasukan Matarampun bertempur dengan dada yang bergelora. Mereka berusaha untuk menempatkan kemampuan prajurit Pajang pada tataran yang setidak-tidaknya sejajar dengan prajurit Mataram.
Sementara itu, para pengawal Tanah Perdikan Menoreh dan para pengawal kademangan Sangkal Putung memang sudah mendapat pengakuan, bahwa pasukan pengawal mereka memiliki tataran yang sama dengan para prajurit.
Sedangkan para Wiratani yang masih berada di bawah tataran para prajurit, selalu berbaur dengan para prajurit yang sebenarnya. Para pemimpin kelompok merekapun selalu didampingi oleh para prajurit pula, sehingga mereka tidak menjadi sasaran serangan lawan yang melihat kelemahan mereka.
Demikianlah Pangeran Puger dan Pangeran Singasari telah bertempur dengan sengitnya Ketika pertempuran itu dilaporkan kepada Kangjeng Panembahan Hanyakrawati, maka Kangjeng Panembahan menaruh perhatian yang sangat tinggi.
Karena itu, maka Kangjeng Panembahan Hanyakrawati itupun berkata kepada Ki Patih Mandaraka, "Eyang. Aku ingin melihat, apakah yang terjadi antara paman Pangeran Singasari dengan kangmas Pangeran Puger."
"Tetapi wayah harus berhati-hati. Wayah harus siap menghadapi pertempuran yang mungkin saja tiba-tiba melibat kita."
"Bukankah kita sudah berada di medan perang, eyang. Dengan demikian, bukankah kita memang sudah siap untuk bertempur melawan siapapun juga ?"
"Baik. Marilah wayah. Tetapi wayah hadir di pertempuran sebagai seorang Raja Mataram. Karena itu, maka wayah akan hadir di pertempuran bersama Pasukan Khusus Pengawal Raja."
Panembahan Hanyakrawati termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, "Baiklah eyang. Tetapi aku tidak mau terbelenggu di dalam lingkaran pasukan itu. Merekalah yang harus menyesuaikan diri, sehingga aku merasa bebas untuk bergerak sebagaimana seorang Senapati perang."
"Wayah sekarang bukan Senapati perang," jawab Ki Patih Mandaraka.
Panembahan Hanyakrawatipun menarik naras panjang. Namun ia tidak dapat mengelak lagi. Ketika ia mulai bergerak ke garis pertempuran, maka beberapa orang Senapati dari Pasukan Khusus Pengawal Raja telah berada di sekitarnya sedangkan pasukan mereka tertebar pula diseputarnya.
Demikianlah, Kangjeng Panembahan Hanyakrawatipun bergerak ke garis pertempuran untuk menyaksikan perang antara Pangeran Puger melawan Pangeran Singasari.
Ternyata bahwa Pangeran Puger adalah seorang prajurit yang memiliki kemampuan yang tinggi. Namun Pangeran Singasari adalah prajurit yang berpengalaman. Karena itu, maka agak sulit bagi Pangeran Puger untuk dapat menundukkan Pangeran Singasari.
Meskipun Pangeran Puger mampu bergerak dengan kecepatan yang tinggi, namun gerak-gerak yang pendek dan mantap dari Pangeran Singasari telah mampu mengimbangi serangan-serangan lawannya.
Bahkan semakin lama ternyata bahwa pengalaman yang sangat luas dari Pangeran Singasari telah mampu memaksa Pangeran Puger untuk lebih banyak bertahan.
Pasukan dalam gelar Gajah Meta yang dipimpin langsung oleh Pangeran Puger itu terhenti. Bahkan perlahan-lahan mulai terdesak mundur, ketika Pangeran Singasari terjun langsung menghadapi Pangeran Puger.
Tetapi para Senapati dari Demak tidak membiarkan gelar Gajah Meta mereka terdesak. Mereka harus menghentikan Pangeran Singasari yang memiliki kelebihan dari Kangjeng Adipati Demak.
Karena itu, maka dalam pertempuran yang sengit, tiba-tiba saja seorang Senapati Demak yang berada di belakang Pangeran Puger telah meloncat disebelah Pangeran Puger. Bersama dengan Pangeran Puger Senapati itu bertempur melawan Pangeran Singasari yang berpegang pada jejer seorang kesatria.
"Tumenggung Gending," geram Pangeran Singasari.
Tumenggung Gending tidak menjwab. Tetapi serangan-serangan senjatanya menjadi semakin cepat.
Kangjeng Panembahan Hanyakrawati yang melihat bahwa seseorang telah ikut tampil melawan Pangeran Singasari diluar sadarnya telah meloncat maju. Tetapi Ki Patih Mandaraka sempat menarik lengannya sambil berkata, "jangan Panembahan. Biarlah seorang yang lain yang melawannya."
Wajah Kangjeng Adipati Hanyakrawati menjadi tegang. Dengan serta-merta iapun berkata, "Jika paman mencegah aku tampil, cepat perintahkan seseorang membantu paman Singasari. Pertempuran itu menjadi tidak adil."
"Lihat wayah Panembahan. Wayah Panembahan Puger tetap seorang kesatria Mataram."
Sebenarnyalah tiba-tiba saja Pangeran Puger itu membentak, "Tumenggung Gending. Pergilah. Jangan ganggu aku."
"Tetapi Pangeran Singasari sangat berbahaya, Kangjeng."
"Aku bukan seorang pengecut yang licik." Tetapi Ki Tumenggung Gending tidak segera pergi. Bahkan iapun menyerang Pangeran Singasari dengan sengitnya.
"Kalau kau tidak mau pergi, maka biarlah aku yang pergi," berkata Pangeran Puger.
Tetapi Ki Tumenggung Gending benar-benar tidak mau pergi. Katanya, "Pangeran Singasari sangat berbahaya bagi Kangjeng Adipati."
Kangjeng Adipati Demak itu tidak berkata apa-apa lagi. Karena Tumenggung Gending tidak juga beranjak pergi, maka Pangeran Pugerlah yang benar-benar meloncat meninggalkan arena sambil berkata, "besok kita akan bertemu, paman. Aku tidak mau pertempuran diantara kita terganggu."
"Angger Pangeran," teriak Pangeran Singasari. Tetapi Pangeran Puger tidak mau berpaling lagi. Iapun segera hilang diantara para prajurit Demak.
Namun perhatiannya terhadap Pangeran Puger, membuatnya sesaat kehilangan perhatian kepada Ki Tumenggung Gending. Agaknya Ki Tumenggung Gending mempergunakan saat itu sebaik-baiknya. Dengan cepat Ki Tumenggung Gending itupun menerkam dengan senjata terjulur.
Pangeran Singasari yang melihat serangan itu meskipun agak tergesa-gesa, tetapi masih sempat mengelak, sehingga serangan Ki Tumenggung Gending tidak mengenainya. Namun ternyata bahwa masih ada Senapati Demak yang lain, yang ternyata terlalu licik. Pada saat Pangeran Singasari menghindar dengan tergesa-gesa, maka tiba-tiba saja ujung sebuah pedang terjulur lurus menggapai dada.
Pangeran Singasari terkejut. Ia berusaha menggeliat. Namun ujung pedang itu masih saja menyentuh bahunya, sehingga Pangeran Singasari itu terdorong surut.
Panembahan Hanyakrawati yang melihat ujung pedang melukai tubuh Pangeran Singasari itupun berteriak, "Paman Pangeran."
Namun pada saat yang bersamaan, ketika Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer yang dengan licik menusuk Pangeran Singasari itu berloncatan maju dengan senjata terjulur, dua orang telah berloncatan pula menghadang mereka. Dua ujung senjata mereka yang langsung megarah kedada Pangeran Singasari yang sedang terhuyung-huyung karena tusukan di bahunya itu telah membentur senjata dua orang yang meloncat ke arena.
Sementara itu beberapa orang prajurit pengawal yang bertempur disekitar Pangeran Singasari itupun berloncatan untuk menyangga Pangeran Singasari yang hampir terjatuh.
Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer yang tiba-tiba telah mendapatkan lawan baru itupun segera berloncatan mundur. Dengan geram kedua orang Tumenggung itu mengamati dua orang yang tiba-tiba telah berdiri dihadapan mereka.
Sementara itu, dua orang Senapati Demak yang lain telah berloncatan pula, sementara prajurit-prajuritnya berusaha menyibak para prajurit Mataram yang melindungi Pangeran Singasari yang terluka.
Namun sebelum beberapa orang Senapati Mataram berloncatan menghadang kedua orang Senapati Demak yang ingin memanfaatkan keadaan serta membunuh Senapati Agung Mataram itu, telah terhalang oleh dua orang yang justru perempuan.
Sementara itu di putaran pertempuran yang lain, Ki Tumenggung Gending memandang orang yang berdiri di hadapannya itu dengan seksama.
"Kita pernah bertemu Ki Tumenggung Gending. Setidak-tidaknya kita pernah saling melihat di pertempuran. Bukankah Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer telah berusaha menghadang Ki Tumenggung Derpayuda serta para utusan dari Mataram pada saat mereka menghadap Kangjeng Adipati Demak" Atau bahkan sebelumnya.?"
"Persetan dengan kalian berdua," geram Ki Tumenggung Panjer, "kami akan membunuh kalian hari ini."
"Ki Tumenggung Panjer. Apa yang dapat kau lakukan selain merunduk lawan-lawanmu dengan licik. Kau pulalah yang telah memberi kesempatan orang-orangmu membunuh Ki Tumenggung Jayayuda dengan licik ?"
"Kita berada di medan pertempuran. Mereka yang tidak waspada akan mati tertusuk senjata. Jangan sesali itu."
"Baik. Kaupun akan mati disini."
Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih yang masih belum menemukan Ki Saba Lintang itulah yang kemudian menghadapi Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer.
Sejenak kemudian keduanyapun telah terlibat dalam pertempuran yang sengit. Sementara itu Sekar Mirah dan Rara Wulan telah berhasil menggagalkan dua orang Senapati Demak yang dengan serta-merta memburu Pangeran Singasari yang kemudian di papah ke dalam lingkungan gelarnya.
Kedua orang Senapati Demak itu menjadi sangat marah. Seorang diantara mereka berkata lantang, "Perempuan iblis. Kenapa kau berani menghalangi kami. Seharusnya kami sudah dapat mengakhiri tugas Senapati Agung Mataram. Ternyata Pangeran Singasari bukan seorang prajurit linuwih."
"Omong kosong," jawab Sekar Mirah tidak kalah lantangnya, "apa saja yang sudah kalian lakukan " Curang, licjk dan tidak tahu malu ?"
"Kaulah yang omong kosong. Kita berada di medan perang. Bukan dalam lingkaran perang tanding. Gelar pasukan kami melawan gelar pasukan kalian. Bukan sekedar seorang Senapati bertempur melawan seorang Senapati lawan. Bukankah gelar pasukan Mataram itu selalu bergerak, sehingga seorang Senapati dapat saja bertemu dan bertempur melawan dua atau tiga orang Senapati lawan " Apa salahnya. Mungkin dalam perang tanding kau dapat menyebut kami licik, curang atau istilah-istilah buruk yang lain. Tetapi tidak disini."
"Jika demikian, kenapa kau menyalahkan kami, bahwa kami telah menghalangi kalian. Bukankah itu juga wajar terjadi di medan perang."
"Bagus. Sekarang kalian berdualah yang akan mati. Tetapi itu salah kalian sendiri. Kalian adalah perempuan yang dengan sombong berani berada di medan pertempuran. Kalau kemudian kalian berdua kami bantai disini,itu sama sekali bukan salah kami."
"Kita berada di medan perang. Lakukan yang dapat kalian lakukan."
Kedua Orang Senapati Demak itu tidak sabar lagi. Merekapun segera berloncatan menyerang Sekar Mirah dan Rara Wulan.
Namun Sekar Mirah dan Rara Wulanpun telah siap menghadapi mereka. Dengan tangkasnya keduanya mengelak. Namun kemudian telah terjadi pertempuran yang sengit diantara mereka.
Dalam pada itu, seorang yang sudah separo baya, yang berada diantara para prajurit Demak, sejenak memperhatikan Sekar Mirah dan Rara Wulan yang bertempur melawan dua orang Senapati Demak. Tiba-tiba saja orang itu tertarik kepada unsur-unsur gerak keduanya sehingga orang yang sudah separo baya itu datang mendekat.
"Aku melihat keduanya menunjukkan ilmu dari aliran Kedung Jati," berkata orang separo baya itu.
Sekar Mirah dan Rara Wulanpun berloncatan mengambil jarak. Dengan singkat Sekar Mirah menyahut, "Ya. Kami adalah murid-murid perguruan Kedung Jati."
Kedua orang Senapati Demak itupun tidak segera memburu lawan-lawannya. Diperhatikan orang separo baya itu sejenak. Seorang diantara keduanya itupun bertanya, "Ki Kebo Ireng. Apa yang menarik perhatianmu pada kedua orang perempuan itu ?"
"Mereka mempergunakan ilmu dari aliran perguruan Kedung Jati."
Kedua orang Senapati Demak itu termangu-mangu sejenak. Sementara Sekar Mirahpun berkata, "Sudah aku katakan, bahwa kami memang murid-murid dari perguruan Kedung Jati."
"Kenapa kalian berada diantara pasukan Mataram ?"
"Kami memang bagian dari pasukan Mataram."
"Apakah kau tidak pernah merasa bersalah, bahwa dengan demikian kau sudah mengkhianati pernimpinmu ?"
"Siapakah pemimpinku ?"
"Ki Saba Lintang."
"Kenapa Ki Saba Lintang ?"
"Ia mempunyai ciri kepemimpinan dari perguruan Kedung Jati."
"Akulah pemimpin perguruan Kedung Jati," berkata Sekar Mirah kemudian, "aku yang memiliki tongkat baja putih, ciri kepemimpinan Kedung Jati yang aku terima langsung dari yang berhak. Sementara tongkat baja putih yang berada di tangan Ki Saba Lintang itu adalah tongkat baja putih yang telah dicurinya. Sebenarnyalah bahwa ia tidak berhak memiliki tongkat baja putih itu."
"Jadi kaulah perempuan yang memiliki pasangan tongkat baja putih itu. Jadi kaulah perempuan yang bernama Sekar Mirah, dari Tanah Perdikan Menoreh ?"
"Ya, Aku adalah Sekar Mirah dari Tanah Perdikan Menoreh, murid langsung dari Ki Sumangkar yang telah mewariskan tongkat baja putih ini."
Orang separo baya itu mengangguk-angguk. Katanya. "Bagus. Jika kau berada di medan pertempuran ini. Agaknya ceritera tentang tongkat baja putih yang mengembara itu hampir berakhir. Sudah waktunya kau menyerahkan tongkat baja putih itu kepada Ki Saba Lintang, agar Ki Saba Lintang segera dapat menunjuk seseorang untuk membantunya memimpin perguruan yang sangat besar ini."
"Bagus. Tolong, panggil Ki Saba Lintang. Aku ingin bertemu dengan Ki Saba Lintang itu."
"Jangan deksura. Ki Saba Lintang adalah pemimpin besar satu perguruan yang sangat besar. Bagaimana mungkin kau memanggilnya untuk menemuimu."
"Baik. Kalau begitu, biarlah aku menghancurkan murid-muridnya yang berani menghadapi aku di pertempuran ini, sehingga orang yang terakhir sebelum Ki Saba Lintang sendiri."
Orang separo baya itupun termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Ternyata kau selain deksura juga sombong sekali, Sekar Mirah. Baiklah. Nikmati kesombonganmu kali ini. Jangan sesali dirimu jika kau akan mati dipertempuran ini," orang itupun menengadahkan wajahnya kelangit. Dilihatnya matahari sudah berada di sisi Barat. Katanya, "Sayang sebentar lagi matahari akan menjadi semakin rendah. Tatapi aku akan membunuhmu sebelum senja. Sebelum terdengar suara sangkakala serta suara bende yang menyatakan, bahwa perang hari ini diakhiri."
"Rara Wulan," berkata Sekar Mirah, "uruslah dua orang Senapati Demak itu. Aku yakin, kau akan dapat menyelesaikan mereka. Biarlah aku menyelesaikan orang yang sombong ini."
"Kau berani merendahkan aku, he. Kau akan melawan aku seorang diri, sementara kawanmu akan bertempur melawan kedua orang Senapati dari Demak itu ?"
"Ya, aku akan melawanmu seorang diri. Aku akan membuktikan kepadamu, bahwa aku adalah orang yang berhak memimpin perguruan Kedung Jati. Bukan Ki Saba Lintang."
Orang itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya, "Kau tentu belum mengenal gelarku, meskipun barangkali kau sudah mengenal namaku, Kebo Ireng. Gelarku adalah Jagal Kuku Waja. Aku membunuh dengan jari-jariku. Meskipun kau membawa tongkat baja putih pertanda kepemimpinan Perguruan Kedung Jati, tetapi tongkatmu itu tidak berarti apa-apa. Hanya di tangan mereka yang berhak sajalah tongkat baja putih itu akan berarti."
"Cukup. Bersiaplah."
Orang itu bergeser setapak surut. Namun kemudian orang itupun meloncat menerkam Sekar Mirah sambil menjulurkan kedua tangannya.
Sekilas Sekar Mirah melihat, Jari-jari orang itu nampak berkilat-kilat. Nampaknya jari-jarinya telah dibalut dengan baja yang ujungnya runcing.
Tetapi Sekar Mirah sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Demikian orang itu menerkam, maka Sekar Mirahpun dengan cepat bergeser kesampin0. Kemudian tongkat baja putihnya terayun dengan cepat mengarah ke tengkuk lawannya. Namun lawannya itupun sempat merendah, sehingga tongkat baja putih Sekar Mirah tidak mengenainya.
Demikianlah sejenak kemudian, maka keduanyapun telah terlibat dalam pertempuran yang sengit.
Sementara itu, kedua orang Senapati Demak yang semula bertempur melawan Sekar Mirah dan Rara Wulan, hampir berbareng telah menyerang Rara Wulan. Tetapi Rara Wulan sempat meloncat surut. Bahkan tiba-tiba saja seorang Senapati yang rambutnya sudah ditumbuhi uban berdiri disebelahnya sambil berkata, "Biarlah aku mengambil seorang lawanmu, aku memang menunggu mereka mulai, agar aku sempat melihat, bagaimana dua orang murid perguruan Kedung Jati itu bertempur."
Rara Wulan tidak mencegahnya. Ia tidak ingin menyombongkan dirinya dengan melawan kedua orang Senapati itu bersama-sama. Dengan demikian, maka Rara Wulanpun telah bertempur dengan salah seorang dari kedua orang Senapati dari Demak itu.
Sementara itu, Sekar Mirahpun telah bertempur dengan sengitnya. Orang yang bernama Kebo Ireng dan bergelar Jagal Kubu Waja itu, memang seorang yang berilmu tinggi. Tetapi menurut penglihatan Sekar Mirah, orang itu sama sekali tidak mempunyai landasan ilmu dari perguruan Kedung Jati.
"Siapakah sebenarnya kau ini ?" bertanya Sekar Mirah, "kau sama sekali bukan murid dari perguruan Kedung Jati."
"Kenapa ?" "Landasan ilmumu sama sekali bukan landasan ilmu perguruan Kedung Jati."
"Aku bukan murid yang beraliran sempit. Aku mempelajari ilmu darimanapun datangnya. Dengan demikian maka pandanganku menjadi luas, serta wawasanku tentang ilmu kanuraganpun menjadi semakin jauh."
"Tetapi jika kau memang murid dari perguruan Kedung Jati, maka landasan ilmumu, meskipun luluh dengan ilmu dari aliran manapun, tentu landasan dasar ilmu dari aliran perguruan Kedung Jati. Tetapi kau sama sekali tidak menunjukkan dasar ilmu dari aliran perguruan Kedung Jati itu."
Orang itu masih sempat tertawa. Katanya, "Darimanapun aku menyadap ilmu bukan soal. Tetapi sekarang aku mengaku murid dari perguruan Kedung Jati yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang. Itu sudah cukup bagiku. Jika ternyata kemudian ilmuku agak membingungkanmu, itu adalah salahmu, bahwa pandanganmu terhadap ilmu kanuragan terlalu picik."
Sekar Mirah tidak menjawab. Namun sebenarnyalah bahwa Sekar Mirahpun tidak hanya mempelajari ilmu dari perguruan Kedung Jati. Ia melengkapi ilmunya dengan menyadap ilmu dari perguruan Kiai Gringsing dan bahkan Kiai Sadewa yang mengalir lewat Ki Lurah Agung Sedayu. Namun karena Sekar Mirah sering berlatih bersama Rara Wulan, maka kadang-kadang mereka dengan tidak terasa telah saling mempengaruhi. Meskipun Rara Wulan pertama kali mendapat bimbingan dari Sekar Mirah, namun setelah Rara Wulan menjadi dewasa dalam oleh kanuragan, maka ilmunya ternyata ada juga yang terselip dan sekaligus luluh dengan lmu yang sudah dikuasai oleh Sekar Mirah.
Itulah sebabnya, maka sebenarnyalah dari ilmu kanuragan yang dikuasai oleh Sekar Mirahpun beraneka yang dapat tumbuh menyatu dalam perkembangan selanjutnya.
Justru karena lawannya tidak menunjukkan landasan dasar ilmu dari aliran perguruan Kedung Jati, maka Sekar Mirahpun kemudian tidak pula berusaha membuktikan bahwa dirinya adalah mewarisi ilmu perguruan Kedung Jati. Untuk mengimbangi ilmu lawannya yang rumit, maka Sekar Mirahpun telah mengembangkan ilmunya pula. Meskipun ia tetap berlandaskan pada ilmu dari perguruan Kedung Jati, tetapi Sekar Mirah telah mengembangkan ilmunya pula dengan berbagai macam aliran yang telah luluh dengan ilmunya.
Dengan demikian, maka lawannyapun telah terkejut pula. Ternyata perempuan itu mempunyai cakrawala ilmu yang sangat luas.
Dengan mengerahkan kemampuannya, maka Jagal Kuku Waja itu menyerang dengan garangnya. Tangannya kadang-kadang mengembang seperti sayap burung garuda. Kemudian kukunya yang tajam menyambar lawannya dengan cepatnya. Setiap sentuhan dari ujung kuku orang itu, tentu akan dapat mengoyakkan kulit daging lawannya
Tetapi Sekar Mirah cukup cekatan. Ia bergerak dengan kecepatan yang sangat tinggi, mendahului sambaran jari-jari orang berkuku baja yang dijuluki Jagal Kuku Waja.
Dalam pada itu, ternyata tongkat baja putih di tangan Sekar Mirah itupun merupakan senjata yang sangat berba-hanya. Ayunan tongat baja putih itu telah menimbulkan desing yang tajam menusuk telinga. Sambaran anginnyapun bagaikan ujung-ujung seribu duri yang menyentuh kulit lawan.
"Gila perempuan ini," geram Kebo Ireng, "tetapi tidak seorangpun dapat mengalahkan Jagal Kuku Waja. Apalagi seorang perempuan."
Tetapi Jagal Kuku Waja harus menghadapi kenyataan. Serangan-serangannya sulit untuk dapat menembus pertahanan Sekar Mirah. Tongkat baja putihnya yang berputaran itu seakan-akan telah membuat lapisan baja mengitarinya meskipun tembus pandang. Kuku-kuku baja Kebo Ireng itu sulit untuk dapat menembusnya.
Bahkan ujung tongkat baja putih Sekar Mirah itu rasa-rasanya menjadi semakin dekat dengan kulitnya.
Sebenarnyalah ketika orang itu meloncat menerkam dengan kuku-kukunya yang mengembang, Sekar Mirah berusaha untuk menepis serangan itu dengan tongkat baja putihnya. Namun dengan satu tangan, orang itu menangkis tongkat baja putih Sekar Mirah, sedangkan tangan yang lain, dengan cepat menggapai ke arah wajah Sekar Mirah. Tetapi dengan tangkas pula Sekar Mirah bergerak kesamping sambil memalingkan wajahnya, sehingga ujung-ujung kuku itu terayun selebar daun saja dari wajahnya.
Namun pada saat itu pula, Sekar Mirah sempat menjulurkan tongkat baja putihnya ke arah perut Kebo Ireng. Tetapi Kebo Ireng berusaha untuk mengelak.
Meskipun demikian, namun tongkat baja putih itu masih sempat mengenai bahu Jagal Kuku Waja itu sehingga orang itupun terhuyung-huyung beberapa langkah surut.
Ketika Jagal Kuku Waja itu berhasil memperbaiki keseimbangannya, tongkat baja putih Sekar Mirah telah terayun mengarah ke keningnya.
Jagal Kuku Waja tidak mempunyai kesempatan lain kecuali melindungi keningnya. Ia sadar jika tongkat baja putih itu berhasil mengenai keningnya, maka tulang kepalanya itu tentu akan retak.
Karena itu, maka Kebo Ireng itu harus mengorbankan tangannya untuk melindungi kepalanya.
Dengan jari-jari bajanya, Kebo Ireng berusaha menangkis ayunan tongkat baja putih Sekar Mirah, sehingga terjadi benturan yang keras antara baja pada jari-jari Jagal Kuku Waja dengan tongkat baja putih yang diayunkan oleh Sekar Mirah.
Terdengar desah tertahan. Rasa-rasanya tulang jari-jari Kebo Ireng itu telah diremukkan oleh tongkat baja putih Sekar Mirah. Meskipun tulang-tulang itu sebagian terlindung oleh baja pula, namun kekuatan ayunan Sekar Mirah ternyata sangat besar.
Bahkan bukan hanya jari-jari tangannya saja yang terasa sangat kesakitan. Tetapi juga pergelangan dan bahkan sikunya.
Kebo Ireng itupun meloncat mundur. Tetapi demikian ia berdiri, maka Sekar Mirahpun telah meloncat menyerangnya.
Kebo Ireng itu mengumpat kasar. Dengan cepat Kebo Ireng itu berusaha meloncat surut untuk mengambil jarak.
Ternyata dua orang yang lain telah berloncatan menyerang Sekar Mirah pula. Dengan tombak di tangan kedua orang itu menyerang dari dua sisi. Tetapi keduanya segera tertahan ketika dua orang prajurit Mataram siap menghadapi mereka.
"Biarkan mereka jika mereka mengaku murid dari perguruan Kedung Jati."
"Kau memang sombong perempuan iblis. Kami memang murid-murid dari perguruan Kedung Jati."
"Kau telah membohongi dirimu sendiri," lalu katanya kepada prajurit Mataram yang menghalangi mereka, "lepaskan orang itu. Biarlah aku menunjukkan kepada mereka, siapakah sebenarnya murid-murid dari perguruan Kedung Jati itu."
Demikianlah, maka kedua orang prajurit Mataram itupun melangkah surut. Dibiarkannya kedua orang itu melangkah mendekati Sekar Mirah. Tetapi kedua prajurit itu tidak meninggalkan arena karena Kebo Ireng masih tetap berdiri di tempatnya sambil menyeringai kesakitan.
Sejenak kemudian, maka Sekar Mirah telah bertempur dengan dua orang yang juga mengaku murid-murid dari perguruan Kedung Jati. Berbeda dengan Kebo Ireng, maka pada kedua orang itu justru nampak unsur-unsur gerak dari aliran perguruan Kedung Jati. Namun landasan utama ilmu mereka, justru bukan ilmu dari aliran perguruan Kedung Jati.
"Itulah yang ada sekarang," geram Sekar Mirah-pergu-ruan Kedung Jati yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang itu tidak lebih dari keranjang sampah yang dapat ditimbuni sampah dari perguruan manapun juga."
"Aku akan membungkam mulutmu perempuan iblis." Tetapi yang kemudian terbungkam adalah mulut orang itu sendiri ketika tongkat baja putih Sekar Mirah menghentak mengenai dadanya. Orang itupun terpelanting dan terguling jatuh. Namun orang itu tidak segera dapat bangkit kembali karena iapun menjadi pingsan.
Karena itu, maka yang seorang lagi menjadi gentar menghadapi Sekar Mirah dengan tongkat baja putihnya. Namun tiba-tiba saja ia mendengar Kebo Ireng berkata, "bertahanlah. Aku akan membantumu."
Darah orang itu yang seakan-akan hampir membeku telah mengalir kembali di urat nadinya. Sebenarnyalah Kebo Irengpun telah meloncat memasuki arena pertempuran itu lagi. Tetapi sebelah tangannya telah menjadi cacat sehingga tidak dapat dipergunakan lagi dengan leluasa.
Karena itulah maka mereka berdua tidak lagi mampu mengimbangi Sekar Mirah yang bertempur dengan garangnya.
Kebo Ireng menyadari akan hal itu. Karena itu, maka ia tidak mempunyai pilihan lain kecuali mempergunakan senjata-senjata rahasianya.
Ketika Sekar Mirah meloncat menghindari ujung tombak lawannya yang seorang, maka dua pisau kecil telah meluncur dengan cepatnya.
Sekar Mirah terkejut. Dengan cepat ia berusaha untuk menghindarinya Namun satu diantara kedua pisau belati kecil itu telah menyambar pundaknya.
Kemarahan Sekar Mirah tidak terbendung lagi. Tanpa sempat mencabut pisau kecil yang tertancap di pundaknya, maka Sekar Mirahpun telah meloncat sambil mengayunkan tongkat baja putihnya kearah lawannya yang bersenjata tombak yang sedang memutar tombaknya dan siap mematuk ke arahnya.
Namun ayunan tongkat baja putih itu telah membuat lawannya mengurungkan serangannya. Tetapi ia harus menangkis serangan Sekar Mirah dengan landean tombaknya.
Tetapi ayunan tongkat baja putih Sekar Mirah sangat keras. Kemarahannya seakan-akan telah tertumpah pada ayunan tongkat baja putihnya itu, sehingga landean tombak orang itupun patah.
Orang itupun tidak sempat berbuat apa-apa lagi ketika kemudian tongkat baja putih Sekar Mirah terayun ke arah keningnya.
Orang itu tidak sempat berteriak. Sementara itu, dua pisau belati kecil telah terbang lagi menyambar Sekar Mirah.
Namun Sekar Mirah sempat melihatnya. Demikian tongkat baja putihnya menenai kening orang yang bersenjata tombak itu, maka iapun segera melenting menghindar.
Namun lawan Sekar Mirah yang bersenjata tombak itu memang buruk. Demikian Sekar Mirah melenting menghindar, maka kedua pisau belati itu telah mengenainya. Satu di pundaknya dan satu lagi di perutnya.
Orang itu tidak sempat menggeliat. Iapun kemudian terbanting jatuh tanpa dapat bergerak lagi untuk selamanya.
Sekar Mirah yang masih marah itu memandang lawannya yang telah melemparnya dengan pisau-pisau belati kecil itu dengan tajamnya. Ketika dua lagi pisau belati meluncur dari tangan lawannya itu. Sekar Mirahpun bergeser kesamping. Namun dengan cepat pula melenting tinggi.
Demikian lawannya itu memungut pisau-pisau kecil yang terselip diikat pinggangnya melingkar lambung, maka tongkat baja putih Sekar Mirahpun telah mengenai tengkuknya.
Orang itu berteriak nyaring. Yang terlontar dari mulutnya adalah umpatan-umpatan kasar. Tetapi pisau-pisau kecil itu tidak sempat dilontarkannya.


16 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sekar Mirah berdirti tegak memandangi tubuh orang itu. Kepalanya terkulai dengan lemahnya Namun orang itu sudah tidak bernafas lagi.
Sekar Mirahpun kemudian dengan mengatupkan giginya rapat-rapat telah mencabut pisau belati kecil yang menancap di bahunya. Mulutnyapun menyeringai menahan sakit yang menyengat.
"Mbokayu," desis Rara Wulan.
Sekar Mirah berpaling. Ia masih sempat bertanya, "Dimana lawanmu."
"Aku terpaksa membunuhnya. Ia curang. Ia mencoba menyerang dengan serbuk beracun. Aku terpaksa menghentak dadanya dengan ujung selendangku."
Sekar Mirah menarik nafas panjang.
"Luka mbokayu sebaiknya segera diobati untuk menghentikan aliran darahnya."
Rara Wulanpun kemudian membantu Sekar Mirah mengobati pundaknya. Ia berdiri membayangi Sekar Mirah yang duduk di hadapannya dengan menaburkan serbuk dilukanya.
Semuanya itu dilakukan dengan cepat. Sementara pertempuran masih berlangsung disekitarnya.
Ketika Sekar Mirah menaburkan obat di lukanya, maka terasa lukanya itu bagaikan disengat api. Namun hanya sejenak. Kemudian serbuk di luka itupun mulai terasa dingin.
Sementara darahpun menjadi pampat.
"Sebaiknya mbokayu beristirahat saja dahulu. Mbokayu masih harus menyimpan tenaga untuk menghadapi Ki Saba Lintang."
"Aku tidak apa-apa," berkata Sekar Mirah sambil membenahi bajunya. Tetapi bajunya itu sudah terkoyak oleh pisau belati yang sempat melukai bahunya.
Namun ketika Sekar Mirah itu menengadahkan wajahnya, maka ia melihat, bahwa matahari sudah menjadi semakin rendah.
"Rara," berkata Sekar Mirah kemudian, "marilah. Kita akan melihat apa yang terjadi dengan kakang Agung Sedayu dan kakangmu Glagah Putih.
Demikianlah, dengan sedikit menyibak medan keduanya berusaha untuk melihat, apa yang telah terjadi dengan Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih.
Ternyata keduanya bertempur di lingkaran pertempuran vang terpisah. Ki Lurah Agung Sedayu bertempur melawan Ki Tumenggung Gending sementara itu Glagah Putih bertempur melawan Ki Tumenggung Panjer.
Keduanya adalah orang-orang yang berilmu sangat tinggi. Ki Lurah Agung Sedayu yang bertempur menghadapi Ki Tumenggung Gending memutar cambuknya seperti baling-baling. Sementara itu Ki Tumenggung Gending ternyata telah mempergunakan pusaka yang paling dipercayainya dapat melindunginya. Pusaka terbaik yang dirniliknya.
Ki Tumenggung Gending itupun tidak lagi mempergunakan senjata keprajuritannya. Tetapi di tangannya telah tergenggam sebilah keris yang besar dan panjang dengan luk sebelas. Pamornya berkeredipan memantulkan cahaya matahari yang sudah menjadi semakin rendah.
"Kau tidak akan dapat melepaskan diri dari ujung kerisku," geram Ki Tumenggung Gending.
Ki Lurah Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi satu hentakan yang keras sendal pancing telah menggetarkan udara di medan pertempuran itu. Ledakan cambuk Ki Lurah Agung Sedayu rasa-rasanya akan meruntuhkan langit.
Ki Tumenggung Gending bergeser surut. Ia memang terkejut. Tetapi hanya sesaat. Kemudian bahkan Ki Tumenggung Gending itu tertawa. Katanya, "Suara cambukmu yang mengguntur itukah yang kau banggakan " Ledakan cambukmu memang dapat menakut-nakuti segerombolan kambing yang kau gembalakan. Tetapi suara cambukmu yang meskipun seperti petir, tidak dapat menakutiku."
Ki Lurah Agung Sedayu tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab.
Namun sekali lagi tangannya mengayunkan cambuknya sendal pancing.
Cambuk itu sama sekali tidak terdengar suaranya. Apalagi seperti ledakan petir. Namun Ki Tumenggung Gending yang berilmu tinggi segera merasakan, bahwa getar cambuk itu justru seakan-akan telah merontokkan isi dadanya.
"Ternyata kau memiliki ilmu iblis."
"Bukan ilmu iblis. Tetapi dengan ilmuku aku ingin membantu agar hidup sesama kita dapat menjadi lebih tenang."
Ki Tumenggung Gending itupun tertawa. Katanya, "Kau sudah kehilangan kiblat. Kau akan dapat membuat hidup sesama kita menjadi lebih tenang, sementara itu kau telah berlatih dan menguasai ilmu untuk membunuh sesamamu."
"Aku memang berlatih dan berusaha menguasai ilmu kanuragan agar aku dapat mencegah orang-orang seperti kau dan orang-orangmu yang menyalah gunakan kemampuan ilmu kanuragan untuk tujuan yang sesat. Kau dan orang-orangmu yang memiliki ilmu kanuragan yang tinggi telah membujuk Kangjeng Adipati Demak untuk memberontak melawan Panembahan Hanyakrawati."
Rajawali Hitam 1 Hujan Punya Cerita Tentang Kita Karya Yoana Dianika Makam Bunga Mawar 29

Cari Blog Ini