Ceritasilat Novel Online

Harta Karun Kerajaan Sung 5

Harta Karun Kerajaan Sung Seri Ke 02 Pendekar Tanpa Bayangan Karya Kho Ping Hoo Bagian 5


Bu-tek Sin-liong Cu Liong datang dan marah sekali melihat keadaan puterinya. Anak buah Bukit Merah segera mengepung dan mengeroyoknya dengan golok. Akan tetapi, datuk ini dengan tangan kosong mengamuk, menangkap dan melempar-lemparkan mereka. Seperti seekor gajah mengamuk dalam sebuah hutan. Para pengeroyoknya berpelantingan dan mereka menjadi gentar bukan main. Mereka mundur menjauhkan diri setelah tidak kurang dari enam orang kawan mereka terkapar dibanting atau dilemparkan datuk itu.
Bu-tek Sin-liong hendak mengamuk terus akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. "Bu-tek Sin-liong, kalau engkau tidak menghentikan amukanmu, puterimu ini akan kupenggal lehernya lebih dulu!"
Datuk itu cepat memutar tubuhnya dan dia melihat Huo Lo-sian telah berdiri di situ dengan golok ditempelkan pada leher Ai Yin yang berdiri lemas dan agaknya dalam- keadaan tertotok. Memang tadi, melihat amukan Bu-tek Sin-liong, Huo Lo-sian yang datang ke tempat itu melihat bahwa kalau dibiarkan mungkin semua anak buahnya akan terbunuh. Dia melihat Ai Yin yang masih meronta dalam jala, maka cepat ditotoknya gadis itu dan dikeluarkan dari jala, kemudian ditodongnya untuk menghentikan amukan Bu-tek Sin-liong.
Melihat puterinya tertawan dan diancam Huo Lo-sian yang biarpun namanya sudah lama dia kenal namun baru sekali ini mereka saling bertemu, Bu-tek Sin-liong tertawa. "Ha-ha-ha! Huo Lo-sian, engkau berjuluk Dewa Api akan tetapi ternyata hanya seorang pengecut besar! Kaukira dengan mengancam anakku, aku lalu takut dan tunduk kepadamu" Ha-ha, kaukira berhadapan dengan siapa, Huo Lo-sian" Aku Bu-tek Sin-liong tidak pernah tunduk kepada siapapun juga, tidak takut kepada
segala macam setan atau dewa sekalipun. Engkau mengancamku untuk membunuh anakku" Boleh, bunuhlah dan aku akan menghancurkan kepalamu kuminum darahmu, lalu kubasmi seluruh penghuni bukit ini!!"
Suara Bu-tek Sin-liong lantang dan tegas, penuh wibawa menggetarkan sehingga seorang datuk seperti Huo Lo-sian sendiri merasa gentar mendengar ancaman itu. Dia yakin bahwa ancaman itu bukan kosong belaka. Dia pun bukan seorang penakut, akan tetapi akan amat merugikan kalau menanam permusuhan dengan datuk besar seperti Bu-tek Sin-liong.
"Bu-tek Sin-liong! Aku pun tidak pernah takut kepada siapa pun, juga tidak takut kepadamu! Akan tetapi aku sama sekali tidak minta engkau untuk menyerah, melainkan kuminta jangan engkau mengamuk dan membunuhi anak buahku!"
"Anak buahmu yang mengeroyok anakku, maka aku membelanya!" hardik Bu-tek Sin-liong Cu Liong.
"Itu karena anakmu melanggar wilayah kami! Akan tetapi sudahlah, andaikan anak buahku dianggap bersalah, engkau sudah merobohkan beberapa orang. Apakah itu belum cukup" Aku tidak ingin bermusuhan denganmu, bukannya karena takut, melainkan karena bermusuhan antara kita hanya merugikan kedua pihak. Sama-sama datuk persilatan seperti kita, dan kukira sama-sama mencari harta karun Kerajaan Sung, apakah tidak lebih menguntungkan kalau kita berdua bergabung?"
"Kalau tidak mencari permusuhan, bebaskan anakku!"
"Berjanjilah bahwa engkau menerima uluran tanganku dan bersama anakmu menjadi tamu kami!"
Setelah diam sejenak, Bu-tek Sin-liong mengangguk, "Baik, aku berjanji."
Huo Lo-sian melepaskan totokan Ai Yin dan mengembalikan sepasang pedang gadis itu yang tadi dia ambil. Ai Yin se"gera menghampiri ayahnya.
Huo Lo-sian memberi isyarat kepada anak buahnya untuk mengangkut dan merawat mereka yang terluka, kemudian dengan sikap ramah dia mempersilakan Cu Liong dan Cu Ai Yin untuk mendaki ke puncak di mana terdapat perkampungan Huo Lo-sian dan anak buahnya.
Huo Lo-sian menjamu ayah dan anak yang menjadi tamunya itu. Wanita-wanita cantik dikerahkan untuk melayani mereka bertiga makan minum. Hidangan itu serba mewah, makanan bermacam-macam yang lezat dan minuman anggur dan arak yang harum. Dua orang datuk besar itu kuat sekali minum. Berguci-guci arak mengalir ke dalam perut mereka, namun keduanya tidak pernah mabok. Hanya muka Cu Liong yang gagah itu, yang biasanya sudah merah, menjadi semakin merah, sedangkan muka Huo Lo-sian yang seperti singa itu juga menjadi merah seperti kebakaran karena rambut jenggot dan kumisnya berwarna merah. Ai Yin tidak banyak minum, bahkan ia hanya memilih minuman anggur yang tidak begitu keras.
Setelah perjamuan itu, Huo Lo-sian mengajak Cu Liong dan Cu Ai Yin bercakap-cakap di ruangan dalam. Barulah Si Dewa Api bicara tentang harta karun itu.
"Bu-tek Sin-liong, aku dapat menduga bahwa kedatanganmu bersama puterimu di Thai-san tentu juga hendak mencari harta karun Kerajaan Sung. Berita tentang harta karun itu sudah menggegerkan dunia persilatan dan kukira sekarang sudah banyak orang yang datang berkunjung ke Thai-san untuk memperebutkan harta karun itu. Anak buahku melaporkan bahwa selama beberapa minggu ini banyak orang-orang kang-ouw berdatangan di kaki Pegunungan Thai-san."
"Tidak keliru dugaanmu, Huo Lo-sian. Memang aku dan puteriku sengaja datang ke Thai-san hendak melihat-lihat perebutan harta karun yang kabarnya dicuri orang dari Thai-san ini. Akan tetapi aku tidak murka akan harta, aku hanya ingin membuktikan bahwa aku yang paling kuat di antara mereka yang memperebutkan, maka aku bertekad hendak mendapatkan harta karun itu, mengalahkan semua orang yang memperebutkannya."
Huo Lo-sian tertawa dan mengangguk-angguk. "Ha-ha-ha, bagus! Cocok sekali, Bu-tek Sin-liong! Aku juga sependapat denganmu! Kita dapat mengangkat nama sendiri kalau berhasil mengungguli mereka dalam memperebutkan harta karun itu! Kita tidak murka mengejar harta, akan tetapi kalau bisa mendapatkannya, kita bagi dua, lumayan juga, bukan" Sin-liong, banyak orang akan memperebutkan harta karun dan mereka tentu terdiri dari orang-orang pandai yang mempunyai anak buah. Maka, kalau kita berdua bekerja sama, aku kira itu baik sekali dan menguntungkan kita."
Bu-tek Sin-liong mengerutkan alisnya mendengar ajakan bekerja sama ini. Keangkuhannya tersinggung dan dia merasa tidak enak kalau harus dibantu orang mendapatkan harta karun itu. Akan tetapi Cu Ai Yin berpendapat lain. Ia tadi melihat sudah kekuatan Huo Lo-sian dan anak buahnya. Sedangkan ayahnya hanya berdua dengannya saja. Kalau diingat bahwa mereka yang mencari harta karun tentulah orang-orang yang berkepandaian tinggi, maka menguntungkan sekali kalau ayahnya bergabung dengan Dewa Api dan anak buahnya.
"Ayah, kurasa memang baik sekali kalau kita bekerja sama dengan Paman Huo Lo-sian ini agar dapat mengimbangi mereka yang memiliki banyak anak buah yang kuat.
"Memang kita menghadapi lawan-lawan yang banyak dan berat, Nona Cu. Baru yang berada di Thai-san ini saja sudah amat kuat. Thai-san-pai memiliki murid yang cukup banyak dan kuat. Demikian pula Hek Pek Mo-ko dengan anak buah mereka. Selain mereka, ada pula Ang-tung Kai-pang yang terkenal kuat. Nah, Sin-liong, setelah puterimu setuju, kurasa tidak ada alasan lagi bagimu untuk menyetujui usulku yang baik ini. Tadi, karena salah paham, kita hampir bermusuhan, akan tetapi sekarang kita menjadi sahabat dan bekerja sama, bukankah itu baik sekali?"
"Hemm, aku setuju, akan tetapi hanya dengan satu syarat," kata Bu-tek Sin-liong.
"Katakan, apa syaratnya, Sin-Hong!"
"Lo-sian, aku mau bekerja sama, akan tetapi aku harus yang menjadi pemimpin dan semua, termasuk engkau, menjadi pembantuku yang harus tunduk terhadap semua keputusanku. Bagaimana?"
"Ha-ha-ha, baiklah, Sin-liong. Kuterima syaratmu. Biarlah kalau kita berhasil, engkau yang akan mendapatkan nama besar sebagai pemenang dan hasil harta karun itu kita bagi dua!" Huo Lo-sian tertawa-tawa senang karena kalau Bu-tek Sin-liong mau bekerja sama dengan"nya, maka dia, bertiga dengan ayah dan anak yang lihai itu, dibantu anak buahnya, lebih besar harapannya untuk dapat menguasai harta karun yang diperebutkan itu.
Tentu saja pada dasarnya Cu Ai Yin tidak sudi bekerja sama dengan datuk macam Huo Lo-sian yang kasar liar bersama anak buahnya itu. Kalau ia mau, bahkan menganjurkan ayahnya untuk bekerja sama dengan Dewa Api itu adalah karena gadis ini ingin sekali dapat menemukan dan menguasai harta karun. Bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk membantu Pouw Cun Giok!
Ia tidak dapat melupakan pemuda yang telah menjatuhkan hatinya itu. Ia tentu akan menyerahkan harta karun itu kepada Cun Giok agar dapat disumbangkan kepada para pejuang patriot. Nanti, apabila sudah berhasil, ia akan membujuk ayahnya untuk menguasai semua harta karun itu dan diserahkan kepada Cun Giok. Ayahnya amat sayang dan memanjakannya, maka permintaannya itu tentu tidak akan ditolak!
Dalam benak Huo Lo-sian terdapat pikiran yang lain lagi. Dia membujuk ayah dan anak itu untuk bekerja sama karena dia ingin berhasil menguasai harta karun itu. Kalau mereka berhasil, dia akan mencari jalan dan akal untuk menguasai harta itu semua. Akan tetapi kalau tidak mungkin, setidaknya dia akan mendapat setengahnya dan itu sudah amat banyak sekali.
Demikianlah, di dalam dunia ini, kebanyakan manusia mendasari semua pikiran, kata-kata, dan perbuatannya dengan pamrih untuk keuntungan atau kesenangan dirinya sendiri. Ke-akuan yang dipertebal nafsu itu hanya mementingkan dirinya sendiri, keuntungan diri sendiri, baik keuntungan materi berupa uang atau harta benda, maupun keuntungan batin berupa sanjungan, pujian, nama, dan sebagainya.
Bahkan dalam memberi pertolongan kepada orang lain atau perbuatan yang pada umumnya disebut sebagai kebaikan, sebagian besar dilakukan dengan dasar pementingan diri sendiri. Perbuatan baik, menolong orang dan sebagainya baru dilakukan kalau di situ tampak kemungkinan mendapatkan imbalan berupa keuntungan lahiriah, yaitu materi, atau keuntungan batiniah tadi. Pamrih yang tersembunyi di balik setiap pikiran, kata-kata, atau ucapan itulah yang membuat perbuatan itu, bagaimanapun bentuknya, menjadi palsu dan sama sekali tidak baik. Pamrih itu membuat setiap perbuatan hanya merupakan sarana untuk keuntungan diri pribadi. Misalnya perbuatan baik yang dilakukan dengan pamrih agar kelak mendapatkan sorga, sama saja perbuatan baik itu dipergunakan untuk membeli sorga. Andaikata tidak ada janji sorga, lalu apakah perbuatan baik itu tetap akan dilakukan"
Tiga orang itu, Huo Lo-sian, Bu-tek Sin-liong, dan Cu Ai Yin ketiganya mau bekerja sama dengan pamrih masing-masing yang berlainan.
Karena semua orang mengejar kesenangan itulah maka di mana-mana timbul permusuhan, pertentangan dan perebutan. Dan selama manusia masih diperhamba nafsu keinginan mementingkan diri sendiri, maka dunia tidak akan pernah ada keamanan, kedamaian dan ketenteraman. Masing-masing berlumba untuk memenuhi keinginan diri sendiri dan jika ada yang merintangi, maka yang merintangi itu akan ditendang.
Mereka bertiga lalu mengadakan perundingan untuk merencanakan tindakan mereka selanjutnya dalam usaha mereka untuk mencari pencuri harta karun.
"Tadinya kami mencurigai Thai-san-pai sebagai pencuri harta karun, akan tetapi setelah kami menyelidiki ke sana, agaknya bukan mereka yang melakukan pencurian itu. Sukar untuk menduga siapa sebetulnya yang telah mencuri harta karun itu. Yang jelas, kami tidak melakukannya dan agaknya Thai-san-pai juga tidak melakukannya. Sebagai penghuni tetap di Thai-san hanya tinggal dua golongan lagi yang terbesar, yaitu Hek Pek Mo-ko dan anak buah mereka dan Ang-tung Kai-pang. Terus terang saja, aku juga mencurigai dua golongan itu. Hek Pek Mo-ko adalah sepasang iblis yang kiranya tidak akan segan untuk melakukan pencurian, sedangkan Ang-tung Kai-pang adalah perkumpulan pengemis dan kiranya golongan pengemis itu tidak mustahil kalau melakukan pencurian. Selain dua golongan yang memiliki anak buah yang cukup besar itu, masih ada beberapa orang pertapa yang mengasingkan diri di puncak-puncak bukit yang terbesar di pegunungan ini. Biarpun mereka itu tidak pernah mencampuri urusan dunia, namun keadaan mereka yang penuh rahasia itu juga patut diselidiki. Nah, seperti sudah kuceritakan tadi, anak buahku juga melihat orang-orang kang-ouw berbondong mendatangi pegunungan ini. Bahkan baru kemarin ada rombongan pasukan Mongol datang ke sini dan agaknya mereka itu menuju ke utara. Sekarang terserah kepadamu, Bu-tek Sin-liong, apa yang harus kita lakukan, ke mana kita akan melakukan penyelidikan lebih dulu."
Bu-tek Sin-liong mengangguk-angguk. "Sebelum kita bertindak, sebaiknya kalau kita sebarkan anak buah untuk melakukan penyelidikan apa yang terjadi di daerah Thai-san ini. Dengan demikian, kalau terjadi perebutan antara dua kelompok, kita dapat mengetahui kelompok mana yang bertanding dan siapa yang kiranya paling mencurigakan. Kita tidak perlu turun tangan sebelum mengetahui dengan pasti agar tidak sia-sia usaha kita."
Huo Lo-sian setuju dengan rencana ini. Dia merasa telah bertindak keliru ketika dia melakukan pengacauan terhadap Thai-san-pai yang tadinya dia anggap sebagai pencuri harta karun. Akan tetapi di Thai-san-pai dia malah mendapat malu karena dalam adu tenaga sakti, dia dikalahkan oleh dua orang gadis dan seorang pemuda tak terkenal yang melawannya dengan tenaga digabung. Demikianlah, Huo Lo-sian lalu menyebar anak buahnya untuk melakukan penyelidikan secara diam-diam, melihat gerak-gerik Ang-tung Kai-pang dan Hek Pek Mo-ko, juga memantau gerakan para pendatang dari luar daerah Pegunungan Thai-san.
Pegunungan Thai-san mulai ramai didatangi banyak tokoh kang-ouw untuk mencari harta karun yang kabarnya dicuri oleh orang yang tinggal di Thai-san. Seperti kita ketahui, mereka yang mencari pencuri harta karun itu, yang sudah kita kenal adalah Thai-san-pai, Ang-tung Kai-pang, Huo Lo-sian yang kini bergabung dengan Bu-tek Sin-liong dan puterinya, Cu Ai Yin, Hek Pek Mo-ko, lalu Yauw Tek yang kini mencari Liu Ceng Ceng bersama Tan Li Hong. Kemudian Pouw Cun Giok bersama si kembar The Kui Lan dan The Kui Lin.
Masih ada lagi rombongan Kim Bayan yang membawa pasukan cukup besar, dan juga Kong Sek yang ditemani kedua gurunya, Cui Beng Kui-ong dan Song-bun Mo-li! Selain mereka ini masih ada rombongan atau perorangan dari dunia persilatan yang mencoba nasib ikut pula mencari harta karun yang kabarnya amat besar itu. Bahkan partai-partai persilatan besar seperti Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Kun-lun-pai, Go-bi-pai, Kong-thong-pai dan sebagainya tidak ketinggalan, mengirim wakil untuk ikut berlumba, atau setidaknya meninjau keramaian mencari harta pusaka di Thai-san itu.
"Y" Setelah selama tiga hari tiga malam melakukan pencarian terhadap Yauw Tek dan Tan Li Hong tetap saja belum dapat menemukan dua orang itu, maklumlah Ceng Ceng bahwa ia telah salah jalan, atau mencari ke arah lain sehingga mungkin sekali ia malah semakin jauh dari dua orang itu. Akan tetapi hati Ceng Ceng tidak khawatir karena selain ia percaya akan kemampuan Li Hong menjaga diri, juga tentu Yauw Tek telah menemukan adik angkatnya itu dan dengan adanya Yauw Tek di samping Li Hong, maka ia tidak perlu mengkhawatirkan keadaan mereka.
Ia sendiri juga tidak gentar menghadapi perjalanan melalui daerah pegunungan amat luas penuh bukit jurang dan hutan itu, daerah yang sama sekali tidak dikenalnya. Ia tidak gentar karena memang sejak remaja Ceng Ceng banyak melakukan perantauan seorang diri. Bagi gadis yang biarpun baru berusia sekitar duapuluh tahun namun memiliki pengertian mendalam tentang kehidupan ini, yang menjadi pelindung utamanya bukanlah ilmu silat tingkat tinggi yang dikuasainya, melainkan penyerahannya secara total lahir batin kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Ia yakin benar bahwa segala sesuatunya, pada akhirnya yang menentukan adalah Tuhan. Yang penting ia tidak melakukan kejahatan dan sebagai seorang ahli silat keturunan pendekar besar ia tentu selalu menggunakan ilmu silatnya untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, membela yang lemah tertindas dan menentang yang kuat namun sewenang-wenang. Juga dengan keahliannya dalam soal pengobatan, ia dapat menolong banyak orang. Maka siapa yang akan mengganggunya" Kalaupun ada orang yang bertindak jahat kepadanya, kalau usahanya membela diri tidak mampu menolongnya, ia sudah memasrahkan hidup dan matinya kepada Yang Maha Kuasa.
Ia harus melanjutkan perjalanannya, menjelajahi daerah Thai-san untuk melaksanakan tugasnya yang dipesankan mendiang ayahnya, yaitu menemukan harta karun Kerajaan Sung untuk diserahkan kepada mereka yang berhak, yaitu para patriot bangsa yang berjuang untuk membebaskan tanah air dan bangsa dari cengkeraman penjajah Mongol.
Ia menjelajahi dusun-dusun yang berada di sekitar kaki Pegunungan Thai-san dan setiap kali menemukan orang yang sakit berat, Ceng Ceng dengan penuh perhatian segera mengobatinya. Obatnya manjur sekali dan yang telah ia tolong, sembuh dari penyakitnya dan gadis itu sama sekali tidak menuntut imbalan. Maka namanya segera menjadi buah bibir penduduk dusun-dusun yang dilewatinya. Ceng Ceng tidak pernah memperkenalkan julukan Pek-eng Sianli yang dulu diberikan orang kepadanya dan kini para penduduk dusun memberinya sebuah julukan baru, yaitu Yok Sianli (Dewi Obat)!
Pada suatu siang Ceng Ceng memasuki sebuah dusun di lereng bukit yang paling bawah dari pegunungan itu, sebuah dusun kecil yang penduduknya terdiri dari beberapa puluh keluarga petani. Kebetulan sekali pada waktu itu penduduk dilanda penyakit perut yang sudah mengorbankan belasan orang. Melihat ini, Ceng Ceng segera turun tangan, mengobati mereka yang sedang sakit dan minta kepada kepala dusun kecil itu untuk mengerahkan orang-orangnya mencari beberapa macam daun dan akar obat untuk diminum semua anggauta keluarga penduduk agar jangan terkena penyakit itu.
Penduduk dusun keci1 itu berterima kasih sekali kepada Yok Sianli yang namanya sudah mereka dengar. Mereka mencari daun-daun dan akar obat yang diminta lalu Ceng Ceng membagi-bagi obat itu agar diminum semua orang. Saking girang dan sebagai pernyataan terima kasih mereka, kepala dusun memberi tempat bagi gadis penolong itu untuk melewatkan beberapa malam, mereka lalu mengadakan perjamuan selamat jalan kepada Ceng Ceng yang hendak melanjutkan perjalanan meninggalkan dusun. Sudah lima hari ia berada di dusun itu.
Seluruh penghuni dusun itu mengadakan perjamuan dengan gembira. Walaupun sederhana, namun meriah sekali karena semua orang mengagumi Ceng Ceng yang duduk di tempat kehormatan bersama kepala dusun.
Namun menjelang akhir perjamuan itu, tiba-tiba masuk dua orang wanita ke rumah kepala dusun itu dan semua orang memandang mereka dengan heran. Dua orang wanita itu berusia sekitar tigapuluh tahun, bertubuh ramping padat dan wajah mereka cukup manis namun dengan alis berkerut, mata tajam dan mulut cemberut, mereka mendatangkan kesan galak. Apalagi di punggung mereka tergantung sebatang pedang. Pakaian mereka yang berwarna serba hijau juga ringkas seperti pakaian para wanita kang-ouw. Mereka tidak mempedulikan pandang mata para penduduk dusun yang sedang berpesta itu, dan langsung saja mereka menghampiri meja di mana kepala dusun sedang menjamu Ceng Ceng sebagai tamu kehormatan dusun itu.
Melihat datangnya dua orang wanita baju hijau yang menghampiri mejanya itu, Si Kepala Dusun terbelalak dan tampak marah.
"Hei! Siapakah Ji-wi (Kalian Berdua) dan mengapa kalian masuk begini saja tanpa aturan?" dia menegur.
Seorang di antara dua wanita baju hijau itu berkata ketus kepadanya. "Diam kamu! Kami tidak ada urusan denganmu!" Kemudian ia memandang kepada Ceng Ceng dan bertanya. "Apakah engkau yang disebut Yok Sianli?"
Dengan senyum sabar Ceng Ceng menjawab. "Benar, orang-orang menyebut aku Yok Sianli walaupun aku tidaklah sehebat sebutan itu. Ada kepentingan apakah kalian mencari aku, dan siapakah kalian ini?"
"Mari engkau ikut kami. Kami membutuhkan pertolonganmu untuk mengobati Su-kouw (Bibi Guru) kami."
"Ah, tidak begitu caranya orang minta tolong! Kalian seolah memaksa dengan kasar!" Kepala dusun itu berseru marah melihat dua orang wanita itu tidak menghormati gadis penolong yang amat dihormati di dusun itu.
Melihat dua orang wanita baju hijau itu memandang dengan mata mencorong marah kepada Si Kepala Dusun, Ceng Ceng cepat bangkit berdiri dan berkata,
"Biarlah Paman. Mereka datang minta bantuanku, sudah semestinya aku pergi menolong orang yang sakit." Lalu kepada dua orang wanita baju hijau itu ia berkata, "Harap kalian menunggu sebentar di luar, aku hendak berkemas membawa pakaian dan obat-obat."
09.1. Murid Go-bi-pai Kena Batunya!
Dua orang wanita baju hijau itu mengangguk lalu keluar dari ruangan itu dengan langkah gesit menunjukkan bahwa keduanya adalah ahli-ahli silat yang tangguh.
Ceng Ceng lalu memasuki rumah, mengambil pakaian dan obat dari dalam kamar, kemudian keluar dan berpamit kepada semua penduduk dusun itu. Beberapa orang wanita yang merasa telah diselamatkan angauta keluarganya oleh Ceng Ceng, menangis terharu. Seluruh penduduk merasa terharu dan kehilangan ditinggal gadis yang muncul sebagai dewi penolong itu.
Di luar rumah kepala dusun, Ceng Ceng sudah ditunggu dua orang wanita baju hijau. Seluruh penduduk mengikuti dan mengantar kepergian Ceng Ceng sampai di luar dusun mereka. Setelah keluar dari dusun, wanita bermata sipit yang tadi bicara, berkata kepada Ceng Ceng.
"Hayo cepat, Bibi Guru kami sakit keras, perlu cepat ditolong!" katanya dengan nada memerintah.
Mendengar ucapan itu dan melihat sikap mereka yang murung dan galak, Ceng Ceng mengerutkan alisnya. Mereka sudah jauh dari dusun dan tidak ada orang lain melihat mereka.
"Sobat, sikap kalian yang kasar dan galak ini tentu membuat lain orang yang hendak menolong menjadi enggan!"
Tiba-tiba mereka mencabut pedang dari punggung mereka dan Si Mata Sipit mengancam. "Kalau engkau tidak mau menolong, pedang kami yang akan memaksamu!"
Ceng Ceng merasa penasaran juga, walaupun mulutnya masih tersenyum. Dua orang wanita ini sudah keterlaluan dan mereka agaknya perlu disadarkan. Maka ia lalu berkata, "Hemm, begitukah" Andaikata aku menolak, lalu kalian mau berbuat apa?"
Dua orang wanita itu membuat gerakan dengan pedang mereka, agaknya hendak menodong dan mengancam. Akan tetapi tiba-tiba mereka terkejut karena begitu berkelebat, gadis baju putih itu lenyap dan yang tampak hanya bayangan putih berkelebat. Sebelum hilang rasa kaget mereka, tiba-tiba saja pedang di tangan mereka dirampas orang tanpa dapat mereka pertahankan karena lengan mereka yang memegang pedang tiba-tiba tertotok lumpuh! Mereka terkejut dan cepat memutar tubuh. Di sana mereka melihat Ceng Ceng berdiri memegang dua batang pedang yang dirampasnya dengan cepat tadi.
"Hemm, belum pernah aku melihat orang minta tolong dengan sikap seburuk kalian! Apakah aku berhadapan dengan dua orang anggauta gerombolan penjahat?" Setelah berkata demikian, kedua tangan Ceng Ceng yang memegang pedang rampasan itu bergerak.
"Sing-singg?"!" Sepasang pedang itu meluncur seperti anak panah dan menancap di atas tanah, dekat sekali dengan kaki dua orang wanita baju hijau itu!
Wajah dua orang wanita itu menjadi pucat. Sekarang baru mereka menyadari bahwa yang diberi julukan Yok Sianli, selain ahli pengobatan, ternyata juga memiliki ilmu kepandaian silat yang luar biasa.
Wanita bermata sipit itu lalu mengangkat kedua tangan depan dada, diikuti temannya dan ia berkata sendu. "Sianli maafkan kami. Kami baru saja menerima musibah yang mengakibatkan dua orang rekan kami tewas dan Bibi Guru kami terluka parah. Karena penasaran dan sedih, maka kami lupa diri dan bersikap sangat tidak baik kepadamu. Harap maafkan kami berdua."
"Kalau kalian menyesali kesalahan sendiri, hal itu sudah cukup, tidak ada yang perlu dimaafkan. Akan tetapi kuharap kalian suka menceritakan dengan singkat siapa kalian dan apa yang telah terjadi dengan kalian." Ceng Ceng lalu duduk di atas akar pohon yang menonjol dari permukaan tanah dan mempersilakan dua orang wanita itu duduk pula.
Mereka menghela napas panjang, mencabut pedang dan menyarungkannya kembali, lalu duduk berhadapan dengan Ceng Ceng.
"Kami adalah murid-murid Go-bi-pai. Ketua kami mengutus Bibi Guru Thian-li Niocu sebagai wakil Go-bi-pai untuk meninjau ke Thai-san di mana para tokoh persilatan katanya mencari harta karun Kerajaan Sung. Bibi Guru mengajak kami, tujuh orang muridnya. Kemarin dulu, ketika kami bertujuh diutus Su-kouw melakukan penyelidikan dengan berpencar, dua orang su-moi (adik seperguruan) kami yang termuda hilang. Kami dan Su-kouw mencari dan menemukan kedua orang murid Go-bi-pai itu telah tewas dan sebelum dibunuh agaknya mereka diperkosa orang. Kami marah sekali dan mencari pelakunya. Tak jauh dari situ kami menemukan orangnya yang ternyata seorang kakek iblis, datuk besar yang tinggi sekali ilmunya dan berkelakuan seperti iblis. Dia mengaku terang-terangan bahwa dia yang memperkosa lalu membunuh dua orang su-moi kami itu. Bibi Guru marah sekali. Kami lalu mengeroyoknya, akan tetapi Bibi Guru terluka sebatang panah kecil beracun sehingga kami terpaksa melarikan diri. Kemudian, dari penduduk dusun kami mendengar akan Yok Sianli yang ahli mengobati, maka kami mencarimu dan telah bersikap kasar karena kami bingung dan marah, juga sedih."
"Hemm, siapakah kakek datuk yang jahat itu?" tanya Ceng Ceng yang dapat menduga betapa lihainya datuk itu sehingga seorang tokoh Go-bi-pai seperti bibi guru wanita-wanita ini kalah dan terluka walaupun sudah mengeroyok kakek itu bersama lima orang keponakan muridnya.
"Kakek iblis sombong itu adalah Cui-beng Kui-ong yang berkata bahwa semua orang yang hendak mencari harta karun akan berhadapan dengan dia karena harta itu katanya milik Kerajaan Mongol dan dia mewakili kerajaan penjajah itu."
"Ah, kiranya Raja Iblis itu yang datang ke sini dan melakukan kekejian itu!"
"Ah, engkan sudah mengenalnya, Yok Sianli?"
Ceng Ceng mengangguk. "Siapa tidak mengenal Raja Iblis Pengejar Roh, antek Mongol yang memusuhi semua patriot bangsa itu" Dia memang lihai sekali, akan tetapi kelihaiannya itu pasti akan musnah, dihancurkan kejahatannya sendiri. Mari kita ke bibi guru kalian, siapa tahu aku akan dapat menyembuhkannya, mudah-mudahan."
Mereka lalu memasuki sebuah hutan kecil di mana terdapat sebuah kuil tua yang sudah tidak dipergunakan lagi. Tiga orang murid wanita Go-bi-pai menyambut dan Ceng Ceng lalu dibawa masuk kuil tua itu.
Thian-li Niocu berusia sekitar limapuluh tahun, berpakaian pertapa sederhana berwarna hijau. Ia rebah di atas dipan batu yang ditilami rumput dan daun kering, telentang dengan mata terpejam dan wajahnya agak membiru, napasnya terengah-engah. Melihat wajah wanita itu saja Ceng Ceng dapat menduga bahwa wanita itu keracunan. Tanpa diminta lagi ia segera duduk di tepi dipan batu itu dan memeriksa dengan teliti. Setelah mendapatkan luka di pundak kanan wanita itu, luka oleh anak panah kecil yang sudah dicabut, tahulah ia bahwa racun itu disebabkan oleh anak panah yang melukai pundak. Anak panah yang mengandung racun. Ia lalu dengan teliti memeriksa luka yang berwarna hitam menghijau di sekelilingnya. Memeriksa pula detak nadi untuk menemukan racun yang bagaimana sifatnya yang terkandung dalam tubuh melalui luka itu.
Ia minta bantuan seorang murid Go-bi-pai untuk mendudukkan Thian-li Niocu yang masih pingsan dan menahan kedua pundaknya dari depan. Kemudian Ceng Ceng duduk bersila di belakang tokoh Go-bi-pai itu dan menotok beberapa hiat-to (jalan darah) di tubuh bagian belakang lalu menempelkan kedua telapak tangannya di punggung Si Sakit dan mengerahkan sin-kang untuk membantunya mendorong keluar hawa beracun dari dalam tubuhnya. Perlahan-lahan muncul uap hitam mengepul dari tubuh Thian-li Niocu dan tak lama kemudian ia muntahkan darah menghitam yang mengenai baju murid yang duduk di depannya dan menahan kedua pundaknya.
Thian-li Niocu mengeluh dan Ceng Ceng membantunya rebah telentang kembali. Thian-li Niocu siuman dari pingsannya, namun tampak masih lemah.
Ceng Ceng mengambil obat pulung (pel) yang diberi nama Pai-tok-san (Pel Pendorong Racun) sebanyak dua butir lalu menyuruh murid Go-bi-pai meminumkan obat itu kepada Thian-li Niocu. Setelah minum obat itu, Thian-li Niocu tertidur. Namun kini pernapasannya sudah normal kembali dan warna kehijauan pada mukanya makin menghilang. Pada luka di pundak itu, Ceng Ceng memberi obat bubuk, ditaburkan pada luka lalu pundak itu dibalut.
Setelah mengobati Thian-li Niocu, Ceng Ceng keluar dari ruangan itu dan mencari tempat di sudut ruangan depan yang sudah dibersihkan oleh lima orang murid Go-bi-pai dan ia lalu duduk bersila di atas tumpukan jerami untuk memulihkan tenaganya karena tadi ia mengerahkan cukup banyak tenaga sin-kang untuk mengusir hawa beracun dari tubuh Thian-li Niocu.
Setelah lewat beberapa lamanya, Ceng Ceng mendengar orang-orang menghampirinya. Ia membuka matanya dan melihat Thian-li Niocu diikuti lima orang muridnya memasuki ruangan depan itu dan menghampirinya. Ceng Ceng bangkit berdiri dan Thian-li Niocu memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan di depan dada. Ceng Ceng cepat membalas penghormatan itu.
"Nona, para muridku memberi tahu bahwa engkau adalah Yok Sianli yang telah menolongku dan menyembuhkan lukaku. Terimalah ucapan terima kasihku yang setulusnya."
"Ah, Bibi, harap jangan sungkan. Saya kira sudah semestinya kalau orang suka saling menolong, sesuai dengan kemampuan masing-masing. Kebetulan saja saya mempunyai kemampuan mengobatimu, maka hal itu merupakan kewajaran saja dan tidak perlu Bibi berterima kasih kepada saya."
"Siancai......! Menurut para murid, selain pandai ilmu pengobatan, engkau pun memiliki ilmu silat yang amat tinggi. Luar biasa sekali seorang gadis muda seperti engkau telah memiliki dua macam ilmu itu, dan mendengar ucapanmu tadi, engkau pun memiliki kebijaksanaan. Mari duduk, Nona, aku ingin sekali berbincang denganmu dan mengenalmu lebih baik lagi."
Mereka lalu duduk di atas lantai yang ditilami jerami kering. Ceng Ceng duduk berhadapan dengan Thian-li Niocu dan lima orang muridnya.
"Biarlah kami memperkenalkan diri lebih dulu, Nona. Aku bernama Thian-li Niocu, adik seperguruan Ketua Go-bi-pai yang menjadi seorang di antara pengurus Go-bi-pai. Aku ditunjuk oleh Ketua kami untuk mewakili Go-bi-pai meninjau Thai-san di mana kabarnya menjadi tempat pencuri harta karun Kerajaan Sung yang akan menjadi ajang pencarian dan perebutan di antara orang-orang kang-ouw. Go-bi-pai tidak menginginkan harta karun, hanya ingin mengetahui apa sebenarnya yang terjadi. Akan tetapi kami mengalami bencana. Dua orang murid kami telah dihina dan dibunuh oleh seorang datuk jahat, yaitu Cui-beng Kui-ong. Aku berusaha membalas dendam, akan tetapi ternyata dia lihai bukan main sehingga kami tidak mampu menandinginya, bahkan aku terluka dan nyaris tewas. Nah, kami ingin sekali mengenalmu lebih baik, Yok Sianli. Siapakah namamu yang sesungguhnya, siapa pula gurumu dan mengapa engkau juga berada di Thai-san ini."
Karena orang-orang Go-bi-pai itu sudah memperkenalkan diri dengan sejujurnya, dan Ceng Ceng juga sudah mendengar bahwa perkumpulan Go-bi-pai adalah satu di antara partai-partai persilatan yang beraliran bersih, maka ia pun tidak ragu-ragu untuk memperkenalkan dirinya dan menceritakan keadaannya.
"Nama saya Liu Ceng Ceng, Bibi......"
"She (marga) Liu" Dari mana asalmu?" potong Thian-li Niocu.
"Saya berasal dari Nan-king di mana mendiang orang tuaku tinggal."
"Di Nan-king" Apa engkau masih ada hubungan keluarga dengan Liu Bok Eng?"
Ceng Ceng tersenyum. "Liu Bok Eng adalah mendiang ayah saya, Bibi."
"Ahh?"!" Thian-li Niocu berseru. "Kiranya engkau adalah puteri pendekar patriot yang terkenal itu! Engkau tadi mengatakan bahwa ayah ibumu telah meninggal dunia?"
"Benar, Bibi, dan sesungguhnya, semua keributan di Thai-san ini adalah saya yang menyebabkannya. Mendiang Ayah meninggalkan sebuah peta kepada saya dengan pesan agar mencari harta karun pada peta itu."
"Akan tetapi kami mendengar kabar bahwa peta harta karun itu tadinya milik seorang wanita yang disebut Pek-eng Sianli yang bekerja sama dengan pemerintah Mongol untuk mencari harta pusaka itu!"
Ceng Ceng tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Sayalah yang diberi julukan itu, Bibi. Akan tetapi tidak benar kalau saya bekerja sama dengan pihak Pemerintah Mongol. Karena seorang adik angkat saya tertawan oleh seorang panglima Mongol bernama Kim Bayan, maka untuk menyelamatkan Adik angkat saya itu, terpaksa saya menyerahkan peta kepadanya dan terpaksa pula membantunya mencari harta karun sesuai dengan petunjuk peta itu. Setelah tempat harta karun itu ditemukan, yaitu di Bukit Sorga tak jauh dari kota raja yang kini menjadi tempat tinggal Cui-beng Kui-ong yang menjadi antek pemerintah penjajah."
"Hemm, pantas kalau datuk iblis itu menjadi pengkhianat bangsa!" kata Thian-li Niocu marah. "Selanjutnya bagaimana, Nona Liu?"
"Di tempat itu kami menemukan tempat penyimpanan harta karun, akan tetapi peti tempat harta karun itu kosong dan di dalamnya hanya terdapat tulisan THAI SAN. Saya dan Adik angkat saya bersama seorang sahabat berhasil meloloskan diri dan demikianlah, berita itu tersiar dan semua orang ingin mencari pencuri dan merampas harta karun itu, Bibi."
"Hemm, pantas ketika baru tiba di sini, kami melihat rombongan pasukan Pemerintah Mongol! Sebetulnya, dari mana asal peta harta karun itu dan bagaimana mendiang Pendekar Liu Bok Eng bisa mendapatkannya?"
Ceng Ceng menghela napas panjang. "Ketika Kerajaan Sung dikalahkan bangsa Mongol, seorang pembesar istana bernama Thai-kam (Orang Kebiri) Bong mencuri harta Kerajaan Sung. Harta yang besar itu lalu dia sembunyikan dan dia membuat sebuah peta untuk tempat penyimpanan harta karun itu. Karena diketahui bahwa Thai-kam Bong itu korup dan jahat, bahkan hendak menjadi pengkhianat, berhubungan dengan bangsa Mongol, maka Ayah saya yang ketika itu menjadi panglima, melakukan penggerebekan dan membunuh pembesar korup yang berkhianat itu. Ayah saya menemukan peta itu, akan tetapi dia tidak sempat mencari harta karun karena Kerajaan Sung diserang bangsa Mongol sampai akhirnya kalah dan jatuh. Setelah Kerajaan Sung jatuh, Ayah saya juga tidak mencari harta karun itu karena tidak mungkin dikembalikan kepada Kerajaan Sung yang sudah tiada. Ayah hanya menyimpannya saja. Akan tetapi agaknya rahasia itu diketahui pihak Kerajaan Mongol yang baru berkuasa, maka Ayah lalu dipaksa untuk menyerahkan peta itu kepada mereka. Ayah menolak dan sebelum ayah tewas, Ayah menitipkan peta itu kepada seorang sahabat dengan pesan agar diserahkan kepada saya. Nah, demikianlah, Bibi, maka peta itu terjatuh ke tangan Ayah lalu diberikan kepada saya dengan pesan agar saya mencari harta karun itu."
Thian-li Niocu mengangguk-angguk. "Ah, kiranya begitu" Kalau begitu, engkau datang ke Thai-san ini tentu hendak mencari harta karun yang menjadi hak ayahmu dan sudah diwariskan kepadamu?"
"Benar, Bibi. Akan tetapi bukan untuk mendapatkannya sebagai warisan. Mendiang orang tuaku tidak membutuhkan harta karun itu, dan saya juga sama sekali tidak menginginkannya untuk diri saya sendiri."
"Ah, begitukah" Kalau begitu, seandainya engkau berhasil mendapatkan harta karun itu, lalu untuk apa dan untuk siapa?"
"Saya akan melaksanakan apa yang dipesan mendiang Ayah saya yaitu apabila saya berhasil mendapatkan harta karun itu, pasti akan saya serahkan kepada yang berhak."
"Yang berhak" Siapakah yang berhak, Nona Liu" Harta itu milik Kerajaan Sung yang kini telah musnah. Lalu kepada siapa harta karun itu akan engkau berikan?"
"Menurut pesan Ayah saya, harta karun itu harus diserahkan kepada para pejuang rakyat yang berjuang membebaskan tanah air dan bangsa dari cengkeraman penjajah Mongol. Maka seandainya saja berhasil mendapatkan harta karun itu, pasti akan saya serahkan kepada para pejuang yang dimaksudkan itu."
"Siancai......! Bagus sekali! Sungguh mengagumkan! Nona Liu, jangan khawatir, Go-bi-pai pasti berdiri di belakangmu dan kami akan membantumu sekuat tenaga karena kami juga akan merasa gembira sekali kalau dapat membantu perjuangan rakyat untuk merobohkan penjajah Mongol," kata Thian-li Niocu dengan gembira sekali.
"Bibi, terima kasih banyak. Hati saya sudah merasa senang kalau ada pihak yang menyetujui pendirian mendiang Ayah."
"Kalau menurut pendapatmu, siapakah kiranya yang telah mencuri harta karun itu, Nona Liu?"
"Masih sulit untuk menduga siapa yang melakukan pencurian itu, Bibi. Beberapa hari yang lalu, saya datang ke Thai-san ini bersama Adik angkat saya dan seorang sahabat. Kami pergi mengunjungi Ang-tung Kai-pang. Di sana muncul Hek Pek Mo-ko dan Adik angkat saya terlibat perkelahian dengan Hek Pek Mo-ko yang sikapnya jahat dan kurang ajar. Saya membantu Adik angkat saya, melawan Hek Pek Mo-ko. Akhirnya Hek Pek Mo-ko melarikan diri......"
"Siancai ! Engkau dan Adik angkatmu dapat mengalahkan Hek Pek Mo-ko yang berilmu tinggi itu" Sungguh mengagumkan dan sukar dipercaya melihat engkau masih begini muda, Nona Liu. Kemudian bagaimana?"
"Setelah mereka berdua melarikan diri, adik saya Tan Li Hong melakukan pengejaran. Adik saya itu memang berwatak keras. Kamudian sahabat kami menyusulnya karena khawatir kalau-kalau adik saya terjebak musuh. Setelah menanti lama dan mereka berdua belum juga pulang, saya lalu mencari mereka. Akan tetapi usaha saya gagal. Saya tidak dapat menemukan mereka biarpun saya telah mencari selama beberapa hari. Akhirnya saya bertemu dengan dua orang Cici (Kakak Perempuan) ini dan diajak ke sini untuk mengobati Bibi. Oleh karena itu saya belum dapat melakukan penyelidikan kepada golongan lain. Akan tetapi menurut keyakinan saya, golongan yang sudah saya datangi, yaitu Ang-tung Kai-pang, pasti bukan pelaku pencurian harta karun itu."
"Bagaimana kalau Hek Pek Mo-ko" Kami mendengar bahwa Hek Pek Mo-ko merupakan datuk-datuk yang jahat dan kejam. Mungkinkah mereka yang menjadi pencurinya?"
"Sukar dipastikan, Bibi. Hek Pek Mo-ko sendiri menuduh Ang-tung Kai-pang yang menjadi pencurinya. Ada dua kemungkinan memang. Hek Pek Mo-ko benar-benar bukan pencuri harta karun atau merekalah pencurinya dan sengaja menuduh Ang-tung Kai-pang untuk mengalihkan kecurigaan para pencari harta karun yang lain."
Thian-li Niocu mengangguk-angguk. "Nona Liu, kami kira keadaan di daerah Thai-san ini sekarang amatlah berbahaya. Ini sudah kami rasakan sendiri. Kami melakukan penyelidikan dengan berpencar dan akibatnya, dua orang murid kami tewas, entah masih berapa banyak lagi orang jahat yang berilmu tinggi berkeliaran di sini. Maka, sebaiknya kita bersama melakukan penyelidikan agar kita lebih kuat menghadapi bahaya."
09.2. Gerombolan Anjing Rebutan Tulang
"Su-kouw (Bibi Guru), kita harus membalas dendam kepada jahanam Cui-beng Kui-ong atas penghinaan dan pembunuhan yang dia lakukan terhadap dua orang Sumoi (Adik Seperguruan)!" kata murid Go-bi-pai yang bermata sipit dengan suara mengandung kesedihan dan kemarahan.
Thian-li Niocu menghela napas panjang. "Aah, kita sudah pernah mengeroyoknya namun kita bukan tandingannya."
"Kita minta bantuan Nona Liu, tentu akan dapat mengalahkannya!"
"Bibi, saya sendiri pernah bertemu dan bertanding melawan datuk itu. Saya kira saya sendiri tidak mampu mengalahkannya. Akan tetapi perlukah melakukan balas dendam" Sebaiknya Bibi kelak melaporkan hal itu kepada Ketua Go-bi-pai agar diambil keputusan. Dendam di hati merupakan racun yang berbahaya, membuat orang terkadang menjadi kejam dan bahkan nekat. Membiarkan dendam sama dengan membiarkan api berkobar dalam hati, kalau tidak dapat membalas dendam kematian menjadi kecewa dan penasaran, sebaliknya kalau mampu membalas dendam kematian akan menghadapi dendam pula dari pihak lawan. Mengapa tidak membiarkan saja dendam itu lewat tanpa mempengaruhi kita?"
"Ah, Nona Liu!" Murid Go-bi-pai yang bermata sipit itu berseru dengan lantang, suaranya mengandung penasaran. "Karena engkau tidak merasakan kehilangan adik seperguruan, tentu saja engkau dapat berkata begitu. Akan tetapi kami yang kehilangan, bagaimana mungkin tidak menaruh dendam?"
Thian-li Niocu hendak menegur keponakan seperguruannya, akan tetapi Ceng Ceng yang tersenyum sudah mendahului menjawab dengan bertanya kepada Si Mata Sipit. "Enci yang baik, dapatkah engkau menjelaskan kepadaku, mana yang lebih berat antara adik seperguruan dan ayah ibu?"
Tanpa berpikir lagi Si Mata Sipit menjawab. "Tentu saja ayah ibu yang lebih berat. Ayah ibu merupakan orang-orang pertama yang paling dekat dengan kita!"
"Nah, kalau begitu ketahuilah, Enci yang baik, bahwa Ayah dan Ibuku juga tewas dibunuh orang. Yang membunuhnya adalah Cui-beng Kui-ong pula, bersama muridnya, yaitu Panglima Mongol Kim Bayan."
"Siancai!" Thian-li Niocu berseru kaget. "Jadi Ayah Ibumu juga terbunuh oleh datuk sesat itu" Akan tetapi mengapa engkau tidak membalas dendam kematian mereka, Nona Liu?"
"Seperti sudah saya katakan tadi, Bibi. Dendam itu racun yang amat berbahaya. Saya tidak mau dibakar dendam yang akan meracuni dan merusak diri sendiri."
"Tapi mengapa begitu?" Murid Go-bi-pai bermata sipit itu berseru, penuh rasa heran dan penasaran. "Apakah orang sejahat datuk Iblis itu dibiarkan saja merajalela dengan kejahatannya" Bukankah sebagai pendekar silat kita berkewajiban untuk menentang kejahatan?"
Dengan sikap tenang Ceng Ceng menjawab. "Sesungguhnya, bukan hanya ahli silat saja yang berkewajiban untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Setiap manusia berkewajiban untuk menentang kejahatan dengan hidup yang baik dan benar karena hanya dengan demikianlah kehidupan di dunia ini menjadi tenteram dan sejahtera. Berlandaskan kasih dalam hati, semua orang saling bantu, saling tolong dan tidak pernah ada kebencian dan kekerasan. Saya sendiri setiap saat siap untuk menentang kejahatan, akan tetapi harap diingat, yang ditentang itu adalah kejahatannya, bukan manusianya. Kalau orang-orang yang sesat hidupnya seperti misalnya Cui-beng Kui-ong itu melakukan kejahatan, sudah pasti saya menentangnya. Akan tetapi saya menentangnya karena dia melakukan kejahatan dan berbahaya bagi keselamatan orang lain, bukan saya tentang berdasarkan dendam pribadi."
"Siancai......! Aku semakin heran dan kagum kepadamu, Nona Liu. Bahkan di antara sekian banyaknya pendeta dan pertapa, tidak banyak yang tidak lagi dikuasai ke- akuannya yang menimbulkan kebencian dan dendam. Kami semakin yakin bahwa engkaulah orangnya yang pantas mendapatkan harta karun itu untuk melaksanakan pesan ayahmu. Kami akan membantumu sekuat kemampuan kami, Nona Liu."
"Terima kasih, Bibi."
Thian-li Niocu lalu berkata kepada lima orang keponakan muridnya. "Kalian sudah mendengar pendapat Nona Liu. Semua ucapannya tadi benar sekali, maka kalian sepatutnya mencontohnya. Kita tentu akan menentang orang-orang sesat seperti Cui-beng Kui-ong, akan tetapi kita menentang kejahatannya, bukan menentang orangnya untuk membalas dendam. Sekarang yang terpenting kita membantu Nona Liu untuk mendapatkan kembali harta karun, dan jangan membiarkan dendam membakar hati kalian."
Setelah Thian-li Niocu pulih kembali kesehatannya, ia bersama lima orang muridnya menemani Ceng Ceng melanjutkan penyelidikannya di daerah Thai-san itu. Atas permintaan Ceng Ceng, mereka menuju ke bagian Utara pegunungan itu untuk menyelidiki Hek Pek Mo-ko karena selain sepasang iblis ini dianggap mencurigakan, juga Ceng Ceng hendak mencari Yauw Tek dan Tan Li Hong yang tempo hari melakukan pengejaran terhadap sepasang iblis itu.
"Y" Dalam perjalanan mereka mencari pencuri harta karun, Pouw Cun Giok, The Kui Lan, dan The Kui Lin di sepanjang perjalanan mendengar bahwa banyak rombongan maupun perorangan dari dunia kang-ouw berdatangan di Pegunungan Thai-san. Bahkan di sana-sini terjadi bentrokan di antara mereka.
"Hemm, perebutan dan persaingan sudah dimulai," kata Cun Giok.
"Mereka itu orang-orang aneh. Harta karun belum juga ditentukan mengapa mereka sudah saling serang?" kata Kui Lin.
"Sejak dulu kita sudah mendengar bahwa orang-orang kang-ouw memang aneh dan mereka suka sekali berkelahi. Mungkin dalam kesempatan mencari harta karun ini mereka pergunakan untuk mengukur kelihaian masing-masing," kata Kui Lan.
"Memang demikianlah. Orang-orang seperti mereka itu menganggap bahwa mempelajari ilmu silat selama bertahun-tahun hanya untuk berkelahi, memperlihatkan kepandaian dan mencari kemenangan. Karena itu, orang-orang kang-ouw itu cenderung tersesat dan mengutamakan kekerasan," kata Cun Giok.
"Huh, tolol mereka semua itu. Seperti segerombolan anjing memperebutkan tulang dan asyik berkelahi sehingga tidak lagi mempedulikan tulang yang mereka perebutkan. Akhirnya, mereka itu babak belur akan tetapi tulangnya sudah dibawa pergi pihak lain!" kata pula Kui Lin.
Cun Giok tertawa. "Ha-ha, mudah-mudahan saja kita yang menjadi pihak lain itu!"
Makin naik ke lereng lebih tinggi, mereka semakin banyak mendengar akan keributan-keributan yang terjadi di daerah Pegunungan Thai-san itu.
"Lan-moi dan Lin-moi," kata Cun Giok. "Agaknya pencari harta karun semakin banyak dan ramai. Karena itu, kukira lebih baik kalau untuk sementara kita mencari dengan terpencar. Aku mencari ke arah sana dan kalian berdua ke arah yang berlawanan. Sebulan kemudian kita bertemu kembali di perkampungan Thai-san-pai. Bagaimana pendapat kalian?"
Kui Lin mengerutkan alisnya. Rasanya berat untuk berpisah dari pemuda yang dikaguminya itu. Akan tetapi Kui Lan segera berkata.
"Pendapat Giok-ko benar. Dengan berpencar kita dapat lebih banyak mengetahui keadaan dan siapa tahu, Giok-ko atau kami berdua dapat memperoleh keterangan yang jelas tentang pencuri harta karun."
Karena encinya sudah berkata demikian, Kui Lin tidak berani membantah, juga tentu saja ia malu untuk mengatakan bahwa dia tidak suka berpisah dari Cun Giok!
Demikianlah, tiga orang itu berpisah menjadi dua, Cun Giok melanjutkan penyelidikannya seorang diri, sedangkan Kui Lan dan Kui Lin mencari ke arah lain. Sebetulnya bukan hanya alasan yang dikemukakan kepada dua orang gadis kembar itu yang membuat Cun Giok mengambil kebijaksanaan untuk berpencar, melainkan juga karena dia mengkhawatirkan keadaan Li Hong dan Ceng Ceng yang belum juga dapat dijumpainya.
Setelah mereka berdua berpisah dari Cun Giok dan berjalan cukup jauh, Kui Lin mengomel kepada encinya. "Lan-ci, kenapa engkau setuju berpisah dari Giok-ko" Tempat ini amat berbahaya, kalau tidak ada Giok-ko, apakah kita berdua tidak akan terancam bahaya?"
"Ih, Lin-moi, benarkah ini engkau yang bicara" Sejak dulu aku tahu akan keberanianmu menempuh bahaya apa pun. Akan tetapi mengapa sekarang engkau begitu penakut" Belum juga muncul bahaya engkau sudah takut lebih dulu."
"Akan tetapi, Lan-ci, perjalanan kita sekali ini menempuh bahaya yang besar. Engkau merasakan sendiri. Baru bertemu Huo Lo-sian seorang saja, kita berdua tidak mampu menandinginya dan kalau tidak ada Giok-ko, tentu kita sudah celaka di tangan datuk itu."
"Sudahlah, Lin-moi, kita harus lebih percaya kepada diri sendiri. Engkau telah bersikap lancang ketika berhadapan dengan Huo Lo-sian sehingga hampir saja kita celaka kalau tidak dibantu oleh Giok-ko. Lain kali, kita harus lebih berhati-hati, jangan mudah naik darah dan mencari permusuhan dengan siapa pun. Keperluan kita ke sini adalah untuk membantu Giok-ko mencari harta karun itu, bukan mencari permusuhan."
Kui Lin cemberut. "Enci Lan, datuk iblis macam Huo Lo-sian itu sudah sepatutnya kita musuhi!"
"Bukan kita musuhi, Lin-moi. Kalau dia menyerang kita, terpaksa kita harus melawan mati-matian. Akan tetapi kalau tidak, untuk apa kita mencari penyakit" Pendeknya, selanjutnya aku melarang engkau turun tangan menggunakan kekerasan menyerang siapa saja sebelum aku beri tanda. Ingat pesan Ibu, dalam perjalanan ini engkau sudah berjanji untuk menaati kata-kataku!"
Kui Lin makin bersungut-sungut akan tetapi tidak berani membantah lagi. "Baiklah, Enciku yang baik, mulai sekarang aku akan menaati semua perintahmu." Ia merajuk dan sikapnya seolah menghadap seorang puteri raja yang harus dipatuhi dan dihormati!
Mau tidak mau Kui Lan tersenyum geli melihat sikap adiknya yang sinis itu. "Adikku yang baik, semua yang kupikirkan, katakan atau perbuat semata-mata untuk kebaikan dan keselamatan kita berdua. Kita sekarang hanya berdua, apakah engkau mengajak aku bertengkar" Kalau engkau tidak merasa puas, baiklah mulai sekarang engkau yang memimpin dan aku akan memaati semua petunjukmu!"
"Ah, jangan begitu, Lan-ci. Sekarang engkau yang merajuk!" Kui Lin setengah cemberut setengah tertawa sehingga Kui Lan tertawa. Mereka lalu berangkulan.
"Lihat, Lin-moi, matahari sudah condong ke barat. Kita harus cepat mencari tempat yang baik untuk melewatkan malam yang akan segera tiba." Mereka kini berlari cepat dan ketika dari atas sebuah bukit mereka melihat rumah-rumah pedusunan bergerombol di lereng bawah, mereka cepat menuruni bukit menuju ke dusun kecil itu.
Dusun di lereng itu hanya kecil saja, dihuni tidak lebih dari limapuluh kepala keluarga. Melihat keadaan rumah-rumah di situ dapat diduga bahwa penghuni dusun itu berkeadaan cukup baik. Rumah mereka kokoh dan jalan di dusun itu pun rapi dan terawat bersih. Akan tetapi ketika dua orang gadis kembar itu memasuki dusun, mereka terheran-heran. Matahari belum terbenam dan cuaca masih terang, apalagi waktu itu langit pun bersih tidak ada mendung. Akan tetapi mengapa semua pintu dan jendela rumah itu tertutup semua dan tidak tampak seorang pun manusia di luar rumah"
"Heran, apakah dusun ini tidak ada penghuninya?" Kui Lin mengomel.
"Sstt, dengar. Kukira di dalam semua rumah itu ada penghuninya, hanya entah mengapa masih terang begini mereka sudah menutup pintu dan jendela. Agaknya tidak berani keluar," kata Kui Lan.
Kui Lin diam dan memperhatikan dengan pendengarannya. Ia menangkap juga gerakan dari dalam rumah-rumah itu. Mereka berjalan sampai ke tengah dusun dan tetap saja tidak melihat seorang pun di luar rumah.
Kui Lin merasa penasaran dan ia melangkah ke depan sebuah rumah hendak berteriak memanggil, namun Kui Lan mencegahnya. "Jangan ganggu mereka, Lin-moi. Melihat sikap mereka, agaknya mereka ketakutan. Pasti ada sesuatu yang buruk terjadi di dusun ini."
Tiba-tiba mereka mendengar suara tangis lirih sekali. Hanya isak yang ditahan-tahan, tangis seorang wanita yang agaknya menutupi mulutnya dengan kain agar suara tangisnya tidak terdengar orang. Lalu ada suara laki-laki berbisik lirih menyuruh wanita itu menghentikan tangisnya.
Akan tetapi agaknya yang menangis itu tidak dapat menahan diri sehingga isaknya menerobos keluar dari tangan yang menutupinya. Kemudian, terdengar jeritannya tertahan. "Anakku...... aku mau mencari anakku......" Suara kaki berlari dan pintu sebuah rumah terdekat terbuka. Tampak seorang wanita muda berlari keluar dengan sanggul rambut terlepas.
"Cun-nio...... kembalilah?"!" Seorang laki-laki berlari mengejar.
Wanita itu terhuyung dan ketika tiba di depan Kui Lan dan Kui Lin, ia tersandung dan jatuh di depan kaki Kui Lan.
Kui Lan cepat menghampiri dan membantunya bangkit berdiri.
Pada saat itu, laki-laki yang tadi mengejar sudah sampai di situ. "Siluman jahat, jangan ganggu isteriku!" Dan dia lalu menerjang dan menyerang Kui Lan!
Akan tetapi serangan itu tidak ada artinya bagi Kui Lan karena hanya serangan seorang laki-laki biasa tanpa didukung ilmu silat dan tenaga dalam. Dengan mudah Kui Lan mengelak dan sebelum laki-laki itu menyerang lagi, Kui Lin telah mendorongnya dari samping sehingga tubuh laki-laki itu terpelanting dan terguling-guling.
Biarpun tubuhnya nyeri karena terbanting-banting, laki-laki itu bangkit kembali dan dengan nekat menyerang sambil memaki. "Siluman jahat, kembalikan anakku dan jangan ganggu isteriku!" Dia maju lagi menerjang dan memukul. Akan tetapi Kui Lan cepat bergerak menotoknya sehingga dia roboh terkulai lemas, tak mampu menggerakkan kaki tangan lagi. Wanita yang tadi lari menangis itu kini menjatuhkan diri berlutut di depan Kui Lan dan Kui Lin.
"Ampunkan suami saya...... ampunkan kami...... mohon dikembalikan anak kami......" Wanita itu meratap.
"Hei, kalian ini apakah sudah gila?" Kui Lin membentak. "Masa kami dituduh menjadi siluman jahat yang menculik anak kalian!"
Kui Lan berkata kepada suami isteri itu yang kini keduanya berlutut sambil menangis. "Kalian tenanglah dan hentikan tangismu. Sebetulnya apakah yang telah terjadi" Kami berdua hanya kebetulan lewat saja di dusun ini, mengapa kalian menganggap kami menculik anak kalian?"
Agaknya suami isteri itu baru menyadari bahwa mereka salah sangka, maka wanita itu berkata, "Ah, ji-wi Li-hiap, maafkan kami yang salah sangka...... tolonglah kami, Li-hiap, selamatkan kami......" Wanita itu menangis.
"Apa yang terjadi" Hayo katakan, apa yang terjadi?" Kui Lin bertanya tak sabar.
Kini suami itu berkata, "Harap Ji-wi memasuki rumah kami, di dalam saja kita bicara dan kami akan menceritakan semua. Kalau di luar sini berbahaya sekali......"
"Hemm, berbahaya apa" Siapa yang mengancam kalian" Biar kuhancurkan kepalanya!" teriak Kui Lin.
Kui Lan mengangkat bangun suami isteri itu. "Marilah kita bicara di dalam rumah kalian."
Mereka berempat lalu memasuki rumah. Daun pintu segera ditutup oleh si Suami. Cuaca di Iuar masih terang, akan tetapi karena semua jendela dan pintu ditutup, cuaca dalam rumah itu agak gelap.
"Nyalakan lampu!" kata Kui Lin.
"Kami takut......!"
"Tidak perlu takut. Siapa mengganggu kalian, akan kami hajar!" kata Kui Lin. Biarpun takut dan gugup, suami itu menyalakan sebuah lampu meja dan cuaca menjadi lebih terang.
"Nah, ceritakan, apa yang terjadi di dusun ini dan mengapa semua orang menutup pintu?" tanya Kui Lan.
Biarpun masih tampak pucat, namun kehadiran dua orang gadis cantik jelita yang tampak pemberani itu membuat suami isteri itu agak tenang. Si Suami kini menceritakan dengan suara lirih seperti takut kalau terdengar orang luar rumah.
"Ketahuilah, Ji-wi Li-hiap (Pendekar Wanita Berdua) bahwa sekitar lima hari yang lalu, dusun kami kedatangan siluman yang suka menculik anak-anak bayi. Sudah dua orang bayi yang ia culik, dan yang terakhir anak kami yang baru berusia tiga bulan diculiknya."
"Huh, macam apa siluman itu?" tanya Kui Lin.
"Kami sedusun tidak ada yang pernah melihatnya, Li-hiap. Pertama-tama, lima hari yang lalu, pada malam itu hanya terdengar suara wanita seperti menangis atau tertawa, aneh sekali dan menyeramkan. Lalu terdengar suaranya yang serak dan menakutkan. Ia minta agar disediakan seorang bayi. Tentu saja kami menjadi marah dan belasan orang laki-laki tua muda di dusun ini keluar untuk melawan siluman itu. Akan tetapi kami tidak melihat adanya orang, hanya suara tawa setengah tangis itu dan tiba-tiba ada angin menyambar-nyambar dan kami roboh berpelantingan. Kemudian, seorang anak bayi yang baru sebulan usianya, terdengar menangis dan ketika keluarga dalam rumah itu memasuki kamar, anak bayi itu telah lenyap!"
"Siluman keparat!" Kui Lin memaki marah.
"Selanjutnya bagaimana?" tanya Kui Lan.
"Selama tiga hari, siluman itu tidak muncul, kemudian kemarin malam, siluman itu muncul, atau lebih tepat, suaranya muncul minta seorang bayi. Semua laki-laki dalam dusun kami, dipimpin oleh kepala dusun, berjumlah limapuluh orang, keluar untuk melawan. Akan tetapi kemudian tampak sesosok wanita baju putih, gerakannya demikian cepat sehingga kami tidak dapat melihat jelas wajahnya, berkelebatan dan kami semua roboh. Untung bahwa kami hanya menderita luka tidak parah, akan tetapi anak kami yang berusia tiga bulan telah hilang setelah kami mendengar bunyi tangisnya."
Kini Si Isteri itu menangis terisak-isak, teringat akan anak bayinya yang diculik siluman.
"Lanjutkan ceritamu!" kata Kui Lan.
Suami itu melanjutkan dengan wajah sedih dan takut. "Sejak kemarin malam, kami seluruh penduduk dusun ketakutan, apalagi ketika terdengar suara siluman itu bahwa malam ini kami harus menyediakan seorang bayi yang usianya kurang dari tiga bulan. Kalau kami tidak menyediakan bayi itu, dusun ini akan dibakar dan penduduknya akan dibasmi. Karena itu, kami ketakutan dan tidak berani membuka pintu dan jendela."
"Siluman keparat! Aku akan membunuhnya!" Kui Lin sudah bangkit berdiri dan mengamangkan tinju ke arah pintu.
Akan tetapi Kui Lan memberi tanda kepada adiknya agar diam, lalu bertanya kepada tuan rumah. "Apakah permintaannya itu malam ini dipenuhi?"
"Aih, Li-hiap, orang tua mana yang merelakan anak bayinya dibawa siluman itu" Tentu saja tidak ada yang mau memberikan anaknya walaupun di dusun ini terdapat beberapa orang anak bayi di bawah tiga tahun."
"Kalau begitu, sekarang juga bawalah kami kepada orang tua yang mempunyai anak bayi kurang dari tiga bulan itu. Kami akan minta kepadanya untuk menyerahkan anak mereka. Apakah siluman itu mengatakan di mana anak itu harus diserahkan?"
"Ia hanya mengatakan agar anak itu diletakkan di halaman rumah dan ia akan mengambilnya. Akan tetapi, Li-hiap, kami yakin bahwa orang tua itu tidak akan memperbolehkan anak mereka diserahkan kepada siluman!"
"Maksudku bukan diserahkan, hanya untuk memancing agar siluman itu datang. Kalau ia datang, kami berdua yang akan menghadapinya dan anak itu kami jamin selamat," kata Kui Lan dengan suara meyakinkan.
Suami isteri itu lalu mengantarkan Kui Lan dan Kui Lin ke sebuah rumah tak jauh dari situ. Setelah mengetuk pintu dan suami itu memperkenalkan diri, daun pintu dibuka. Mereka berempat masuk dan di sini pun Kui Lin minta agar lampu dinyalakan.
"Kami tidak berani......!" kata Ibu si anak.
"Jangan takut, ada kami di sini. Kalau ada siluman atau iblis muncul, kami yang akan menghancurkan kepalanya!" kata Kui Lin galak.
Tiba-tiba anak kecil itu menangis dan cepat-cepat ibunya menghentikan suaranya dengan memasukkan payudaranya ke dalam mulut bayi itu. Sekarang suaminya berkata kepada Kui Lin dengan nada suara ragu dan penasaran.
09.3. Siluman Pemakan Bayi
"Nona, bagaimana kami akan dapat mempercayai kesanggupanmu untuk melindungi anak kami dan melawan siluman itu" Apakah yang Nona andalkan untuk mengalahkannya?"
Kui Lin hendak membentaknya akan tetapi didahului Kui Lan yang berkata. "Kapankah siluman itu minta agar anak bayi itu dikeluarkan di halaman rumah?"
"Mintanya...... eh, setelah matahari terbenam......"
"Hemm, kalau begitu sekarang?" tanya Kui Lan sambil membuka daun jendela sehingga tampak keadaan di luar. Memang pada saat itu, senja telah tiba dan cuaca di luar mulai remang-remang.
Tuan rumah dan penduduk yang membawa dua orang gadis kembar itu ke situ mengangguk dengan wajah ketakutan. Sementara itu, ibu si anak mendekap anaknya dan menggeleng-geleng kepala.
"Tidak boleh! Anakku tidak boleh dipakai umpan......"
Kui Lan memandang adiknya, pandang mata yang mengandung isyarat dan biasanya di antara kedua orang gadis ini memang ada hubungan batin yang peka sekali sehingga apa yang dimaksudkan seorang dari mereka dapat ditangkap oleh yang lain hanya dengan pandang mata saja. Lalu Kui Lan mendekati ayah si anak tadi sambil berkata.
"Engkau menghendaki bukti bahwa kami dapat melawan siluman itu?"
"Yang penting dapat melindungi anak kami!" kata tuan rumah. Tiba-tiba dia terkulai roboh, disusul isterinya. Suami isteri itu tertotok roboh oleh Kui Lan dan Kui Lin secepat kilat telah mengambil bayi itu dari pondongan ibunya.
Suami isteri yang membawa dua orang gadis itu ke situ, hanya memandang dengan terbelalak dan mereka berdua merasa bingung dan curiga. Mereka sama sekali tidak mengenal siapa dua orang gadis yang segala-galanya sama itu. Jangan-jangan siluman itu adalah mereka ini! Akan tetapi mereka tidak berani berbuat sesuatu, hanya memandang kepada ayah dan ibu bayi itu yang rebah di atas lantai tanpa dapat bergerak.
Kui Lan memberi isyarat kepada adiknya dan Kui Lin segera membawa bayi itu dengan selimutnya keluar rumah. Ia membentangkan selimut itu di atas pekarangan rumah, lalu menggunakan sebagian selimut itu untuk menyelimuti bayi yang kini menangis lagi. Kui Lan dan Kui Lin berjongkok di belakang semak-semak yang tumbuh di halaman itu, menanti dengan penuh kewaspadaan. Kui Lan sudah mencabut pedangnya, sedangkan Kui Lin memegang dua buah batu sebesar kepalan tangan di kedua tangannya. Mereka siap siaga untuk menyerang siluman yang akan muncul dan akan mengambil bayi yang menangis itu.
Suami isteri pertama yang kini mengintai di balik jendela gemetar seluruh tubuh mereka, dan suami isteri yang tertotok tadi biarpun tidak mampu bergerak, namun mereka mampu mendengar. Mendengar tangis bayi mereka, dapat dibayangkan betapa risau, khawatir dan sedih rasa hati mereka. Juga kini semua penduduk mendengarkan dengan ketakutan. Mereka mendengar tangis bayi itu dan tidak dapat melihat apa yang terjadi. Mereka membayangkan hal yang ngeri-ngeri.
Kui Lan dan Kui Lin tidak harus menanti terlalu lama. Agaknya tangis bayi itu menarik siluman itu datang lebih cepat. Tiba-tiba angin bertiup, menggerakkan daun-daun pohon di pekarangan itu. Lalu terdengar suara tawa bercampur tangis dan sesosok bayangan putih berkelebat memasuki halaman. Inilah saat yang dinanti-nanti Kui Lan dan Kui Lin. Kui Lin segera menyambitkan dua buah batu itu dengan pengerahan tenaga sinkang ke arah bayangan putih itu, lalu bersama Kui Lan ia melompat keluar dari balik semak-semak, lari menghampiri bayangan itu.
"Iihhhh......!!" Bayangan putih itu mengeluarkan jeritan marah dan tubuhnya mengelak dari sambaran batu pertama lalu tangan kirinya menangkis batu kedua sehingga batu itu pecah berantakan!
Akan tetapi Kui Lan dan Kui Lin sudah berdiri di depannya membelakangi bayi sehingga mereka berdua menghadang bayangan itu. Dalam keremangan cuaca mereka masih dapat melihat bahwa bayangan itu ternyata adalah seorang nenek kurus agak bongkok, mukanya putih pucat seperti mayat dan bajunya serba putih terbuat dari kain mori kasar seperti yang biasa dipakai orang yang sedang berkabung. Sepatunya kulit hitam berlapis besi dan tangan kirinya memegang sebatang tongkat hitam.
Biarpun Kui Lan dan Kui Lin belum pernah melihat nenek yang usianya tentu lebih dari enampuluh tahun itu, namun mereka sudah mendengar dari ibu mereka tentang para datuk persilatan, baik dari golongan hitam sesat maupun golongan putih berjiwa pendekar. Maka, melihat nenek yang pucat seperti mayat dan mengenakan pakaian berkabung itu, Kui Lan langsung berkata.
"Kiranya yang membuat kekacauan di dusun ini adalah Song-bun Mo-li (Iblis Betina Berkabung)!"
"Nenek siluman jahat! Untuk apa engkau menculik anak-anak bayi?" Kui Lin membentak marah. Mereka berdua sudah mendengar dari ibu mereka betapa lihainya nenek ini, namun mereka terutama Kui Lin sama sekali tidak merasa gentar.
Nenek itu mengeluarkan suara gerengan seperti tawa bercampur tangis. Tadinya ia marah sekali ketika ada dua buah batu menyambar dan ketika ia menangkis satu di antaranya, terasa betapa lemparan batu itu dilakukan orang dengan tenaga lemparan yang amat kuat. Akan tetapi ketika berhadapan dengan dua orang gadis kembar dan ternyata dua orang gadis itu mengenalnya, ia merasa heran. Biasanya, yang mengenal ia adalah para datuk dan tokoh besar persilatan. Akan tetapi kini, dua orang gadis muda, tampaknya kembar, mengenalnya, bahkan berani menghinanya dengan makian! Tentu saja ia menjadi marah sekali dan ia ingin tahu lebih dulu siapa mereka sebelum ia membunuh mereka.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Song-bun Mo-li dan Cui-beng Kui-ong, kakak beradik seperguruan ini tadinya membantu murid mereka, Kim Bayan ketika Kim Bayan berusaha mendapatkan harta karun Kerajaan Sung. Kemudian setelah tempat itu ditemukan menurut petunjuk peta yang mereka rampas dari Ceng Ceng, ternyata peti harta karun itu kosong dan yang ada hanya tulisan THAI SAN. Kim Bayan khawatir kalau-kalau harta karun itu akan dimiliki kedua orang gurunya, maka dia sengaja memisahkan diri, kemudian dia memimpin pasukan yang cukup besar untuk mencari sendiri ke Thai-san.
Adapun sepasang Iblis Tua itu, Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Mo-li, diajak oleh Kong Sek dan mereka bertiga juga pergi ke Thai-san. Setelah tiba di kaki pegunungan, Song-bun Mo-li kumat kesukaannya untuk menghisap darah bayi! Dahulu, hal ini dilakukan untuk memperkuat daya rendah yang kotor guna mempelajari ilmu sesat yang dapat membuat nenek ini melakukan sihir. Akan tetapi kemudian ia merasa kecanduan dan satu dua tahun sekali ia kumat dan baru puas kalau sudah menghisap darah beberapa orang bayi. Di tempat itu ia lalu mencari bayi-bayi dan kebetulan dusun di lereng itulah yang menjadi korban.
"Hu-hu-heh-heh-heh, kalian berdua ini bocah-bocah bosan hidup sudah mengenal aku. Hayo katakan siapa kalian sebelum aku membunuhmu dan jangan mati tanpa nama!"
Kui Lin yang marah mendahului encinya. "Huh, nenek siluman yang jahat! Sebentar lagi engkau akan berkabung untuk kematianmu sendiri! Bukalah telingamu dan dengarlah bahwa kami berdua adalah penghuni Lembah Seribu Bunga!"
Song-bun Mo-li terkejut juga mendengar disebutnya Lembah Seribu Bunga yang amat terkenal di dunia persilatan, terutama bagi para datuk.
"Lembah Seribu Bunga" Apakah kalian murid-murid The Toanio, majikan Lembah Seribu Bunga?" tanyanya.
"Kami puterinya!" jawab Kui Lan.
"Ah, kiranya puteri Majikan Lembah Seribu Bunga. Pantas saja kalian berani menentang Song-bun Mo-li! Mengingat ibu kalian, biarlah aku mengampuni kalian, akan tetapi jangan mencampuri urusanku. Pergilah dan jangan menggangguku atau aku akan lupa bahwa kalian adalah puteri-puteri The Toanio Majikan Lembah Seribu Bunga!"
"Huh, enak saja menyuruh kami pergi!" Kui Lin berseru marah. "Song-bun Mo-li, dosamu sudah bertumpuk-tumpuk dan sore ini bersiaplah untuk mampus tangan kami."
Marahlah Song-bun Mo-li, apalagi melihat Kui Lan sekarang mengambil bayi yang menangis itu, memondong dan membawanya masuk ke dalam rumah, menyerahkannya ke dalam pondongan ibu anak itu yang sudah terbebas dari totokan oleh Kui Lan sebelum menyerahkan anak itu. Kini dengan cepat Kui Lan sudah berdiri di samping adiknya lagi.
"Bocah-bocah kurang ajar! Sekarang aku tidak peduli lagi kalian anak dewa ataupun anak setan! Kalian terimalah ini!"
Setelah berkata demikian, nenek itu melompat ke depan dan tongkatnya menyambar bagaikan kilat secara bertubi kepada dua orang gadis kembar itu. Tongkat yang menjadi gulungan sinar hitam itu mula-mula menyambar ke arah dada Kui Lan dan ketika Kui Lan mengelak, tongkat itu langsung menyambar ke arah leher Kui Lin! Gerakannya selain amat cepat, juga ganas dan kuat sekali sehingga setiap serangan merupakan jangkauan maut!
Namun dua orang gadis kembar itu dapat menghindar dengan cepatnya, bahkan Kui Lan segera membalas dengan sambaran pedangnya, sedangkan Kui Lin menyerang dengan pukulan tangan kanannya. Kui Lin memang merupakan ahli ilmu silat tangan kosong tidak seperti kakaknya yang ahli silat pedang, maka biarpun ia menyerang dengan tangan kosong, serangannya itu berbahaya sekali. Pukulannya selain cepat juga didorong sin-kang (tenaga sakti) yang amat kuat sehingga didahului angin pukulan yang mengandung hawa panas!
"Trang! Plakk! Trangg...... plakk!" Dua kali tongkat hitam Song-bun Mo-li menangkis pedang Kui Lan dan dua kali pula tangan kirinya menangkis pukulan Kui Lin. Pertemuan tenaga antara Song-bun Mo-li dengan kedua orang gadis kembar itu membuat Kui Lan dan Kui Lin terhuyung, akan tetapi Song-bun Mo-li juga merasa tergetar lengannya. Hal ini menandakan bahwa biarpun nenek itu masih lebih kuat, namun selisihnya tidak banyak.
Song-bun Mo-li merasa penasaran. Masa ia tidak mampu mengalahkan dua orang gadis muda itu, sungguhpun mereka puteri The Toanio dari Lembah Seribu Bunga" Tingkat kepandaiannya kalau dibandingkan dengan tingkat kepandaian The Toanio mungkin seimbang, maka memalukan kalau ia sampai tidak mampu mengalahkan dua orang puteri atau muridnya itu! Ia lalu mengeluarkan bentakan nyaring dan tongkatnya digerakkan semakin cepat sehingga berubah menjadi sinar hitam bergulung-gulung yang menyambar ke arah Kui Lan dan Kui Lin menjadi serangan maut yang amat berbahaya.
Kui Lan dan Kui Lin maklum bahwa mereka berhadapan dengan lawan yang amat lihai, maka mereka bergerak dengan hati-hati sekali. Sepasang saudara kembar ini tentu saja memiliki kepekaan yang luar biasa antara satu sama lain sehingga ketika bertanding, mereka pun menggunakan penggabungan ilmu silat mereka. Pedang Kui Lan menjadi pertahanan dan tongkat hitam nenek itu selalu tertangkis pedang, sedangkan Kui Lin yang memiliki gerakan cepat itu melancarkan serangan bertubi-tubi dengan pukulan-pukulan kedua tangannya dan tendangan kedua kaki berganti-ganti.
Dengan kerja sama yang amat kompak ini, biarpun tingkat kepandaian mereka masih di bawah tingkat Song-bun Mo-li, sepasang gadis kembar itu dapat mendesak nenek yang lihai itu. Song-bun Mo-li menjadi marah sekali. Ia maklum bahwa kalau hanya mengandalkan ilmu silatnya, akhirnya ia sendiri yang akan terancam bahaya. Sepasang gadis kembar itu memiliki gerakan gesit sekali dan kerja sama mereka amat kompak yang melipatgandakan kekuatan mereka.
Tiba-tiba Song-bun Mo-li mengeluarkan suara tangis yang menggetarkan jantung Kui Lan dan Kui Lin. Suara tangis itu demikian kuat pengaruhnya sehingga kedua orang gadis itu tidak kuat bertahan dan ikut menangis! Mereka mempertahankan agar tidak terisak-isak, akan tetapi mata mereka mengeluarkan air mata yang menetes-netes membasahi pipi mereka. Akan tetapi dengan tekad yang amat kuat keduanya masih terus mendesak Song-bun Mo-li.
Nenek itu melompat ke belakang, melempar tongkat hitamnya ke atas dan tongkat itu meluncur ke depan, menyerang sepasang gadis kembar itu bagaikan seekor ular hidup yang dapat terbang! Kui Lan dan Kui Lin terkejut sekali. Mereka berdua mengelak dan menangkis. Kui Lan mencoba untuk mematahkan tongkat hidup itu dengan pedangnya, namun sia-sia. Tongkat hidup itu menyambar-nyambar cepat dan kini dua orang gadis kembar itulah yang kewalahan. Apalagi kini terdengar teriakan melengking-lengking dari mulut Song-bun Mo-li dan teriakan ini membuat Kui Lan dan Kui Lin semakin terdesak. Lengking itu seolah menembus gendang telinga mereka dan menusuk jantung! Kini keadaan mereka berbahaya sekali, dan agaknya tidak lama lagi mereka berdua akan menjadi korban kekejaman Iblis Betina itu.
Selagi keadaan Kui Lan dan Kui Lin berada dalam ancaman bahaya dan gawat sekali, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.
"Nenek iblis keji! Engkau tidak layak dibiarkan hidup!" Dan tampak dua sosok bayangan yang langsung menerjang Song-bun Mo-li.
Mereka adalah dua orang pemuda yang menyerang Song-bun Mo-li dengan pedang mereka. Gerakan mereka kuat dan cepat, dan permainan pedang mereka lihai sekali. Song-bun Mo-li yang sedang mengerahkan kekuatan sihirnya untuk membuat tongkatnya menyambar-nyambar dua orang gadis kembar, tentu saja menjadi terkejut sekali. Cepat ia melompat ke belakang menghindarkan sambaran dua batang pedang itu dan menarik tongkatnya yang kembali terbang ke arahnya. Ia menyambut tongkat hitamnya dan pada saat itu, dua orang muda sudah menyerangnya lagi.


Harta Karun Kerajaan Sung Seri Ke 02 Pendekar Tanpa Bayangan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Trang-trangg......!" Tongkat hitam nenek itu menangkis, membuat dua batang pedang itu terpental, akan tetapi ia pun terkejut karena merasa lengannya tergetar. Dua orang muda itu memiliki tenaga sin-kang yang tidak kalah kuatnya dibandingkan dengan sepasang gadis kembar! Baru menghadapi dua orang gadis kembar dari Lembah Seribu Bunga itu saja sudah amat sukar untuk menang, apalagi kini ditambah dua orang pemuda yang sama tangguhnya. Kalau harus menghadapi pengeroyokan empat orang muda itu, pasti ia akan terancam maut. Maka, sambil mengeluarkan teriakan setengah tangis setengah tawa, nenek itu melompat jauh dan menghilang di balik pohon-pohon dan tertelan cuaca yang sudah mulai gelap.
Kui Lin yang masih merasa marah dan penasaran berseru, "Nenek siluman, jangan lari!" Ia lalu bergerak hendak mengejar. Akan tetapi seorang di antara dua pemuda itu, yang bertubuh tinggi besar, berseru dan suaranya mengandung wibawa kuat.
"Jangan kejar, Nona. Nenek itu jahat dan licik, engkau akan terjebak!"
Mendengar seruan yang penuh wibawa itu, Kui Lin menghentikan langkahnya dan memandang pemuda yang tinggi besar itu. Kui Lan sendiri heran melihat betapa adiknya yang biasanya, bandel itu, kini agaknya menuruti nasihat pemuda tinggi besar berpakaian biru itu. Ia memandang pemuda yang lain.
Pemuda ini tubuhnya sedang, tidak tinggi besar seperti temannya, wajahnya tampan dan berseri, mulutnya tersenyum, matanya bersinar-sinar. Teringat bahwa dua orang pemuda itu telah membantu dan menyelamatkan mereka yang tadi dalam keadaan gawat sekali, Kui Lan lalu merangkap kedua tangan depan dada, memberi hormat dan berkata lembut.
"Ji-wi Eng-hiong (Pendekar Berdua) telah membantu kami. Kami mengucapkan banyak terima kasih atas pertolongan Ji-wi (Anda Berdua)."
Pemuda baju kuning yang berwajah gembira itu membalas penghormatan sepasang gadis kembar, diikuti oleh pemuda baju biru yang tinggi besar, "Aih, Ji-wi Siocia (Nona Berdua) jangan berterima kasih kepada kami. Kami memang sedang mencari siluman itu setelah mendengar berita dari dusun-dusun bahwa ada nenek siluman yang menculik anak-anak. Setelah kami kebetulan lewat dan melihat ia bertanding melawan Nona berdua, tentu saja kami turun tangan melawannya. Kami kira semua orang yang berjiwa pendekar pasti akan menentang nenek iblis itu!"
"Suheng berkata benar! Nenek iblis itu adalah Song-bun Mo-li yang jahat, harus dibasmi!" kata pemuda tinggi besar dengan singkat, dan sikapnya juga serius, tidak tersenyum-senyum dan banyak bicara seperti pemuda pertama yang dia sebut suheng (kakak seperguruan).
"Hemm, memang Song-bun Mo-li harus dibasmi!" kata Kui Lin agak marah. "Akan tetapi mengapa engkau melarang aku ketika hendak melakukan pengejaran agar aku dapat membunuh nenek iblis itu?"
"Maaf, aku tadi sama sekali tidak melarang, Nona. Aku hanya memperingatkan karena mengejar Mo-li (Iblis Betina) dalam kegelapan sungguh berbahaya sekali bagimu," kata pemuda tinggi besar itu dengan suaranya yang tenang.
"Lin-moi, Eng-hiong (Pendekar) ini benar, kalau engkau tadi mengejar, mungkin engkau akan terperangkap. Song-bun Mo-li berbahaya sekali," kata Kui Lan mencela adiknya yang marah-marah.
"Aku tidak takut!" Kui Lin yang masih mendongkol berseru sambil memandang pemuda tinggi besar itu.
"Ha-ha-ha, Sute (Adik Seperguruan), sekarang engkau tersandung batu karang! Maka jangan sembarangan bertindak. Nona-nona ini adalah pendekar-pendekar wanita yang gagah perkasa dan pemberani, maka cegahanmu untuk tidak mengejar tadi tentu saja membuat orang marah. Coba engkau membiarkan mereka tadi mengejar, mungkin sekarang Iblis Betina Berkabung itu akan berkabung untuk kematiannya sendiri!" kata pemuda baju kuning sambil menertawakan sutenya.
Pada saat itu, terdengar suara riuh dan ketika empat orang muda itu memandang, ternyata semua penduduk dusun itu membuka pintu rumah dan berbondong keluar dari rumah mereka. Banyak yang membawa obor sehingga keadaan menjadi terang. Dipimpin oleh seorang laki-laki berusia enampuluh tahun, mereka semua lalu menghampiri empat orang muda itu dan mereka lalu menjatuhkan diri berlutut.
10.1. Murid Bu-tong-pai Siap Membantu!
"Eng-hiong (Pendekar) berempat telah menyelamatkan kami dari ancaman siluman, kami menghaturkan banyak terima kasih!" kata kepala dusun yang memimpin mereka itu dan mereka semua memberi hormat dan riuh rendah suara mereka mengucapkan terima kasih. Akan tetapi terdengar dua orang wanita menangis menjerit-jerit.
"Kembalikan anakku...... kembalikan anakku?"!" Dua orang wanita itu menangis.
Kui Lan melihat bahwa seorang dari mereka adalah wanita yang pertama kali ia lihat lari keluar dari rumahnya. Ia dapat menduga bahwa wanita yang kedua tentulah ibu dari anak yang pertama diculik siluman. Ia sudah mendengar bahwa iblis betina itu telah dua kali menculik bayi.
"Kami akan mencoba untuk menolong dua orang bayi itu. Akan tetapi ke mana kami harus mencari" Kami tidak tahu di mana iblis betina itu berada," katanya dengan lembut dan penuh rasa iba.
Seorang laki-laki muda berkata lantang. "Saya tahu tempatnya! Siang tadi ketika saya berburu binatang di hutan sebelah selatan itu, saya melihat nenek berpakaian putih duduk bersila di bawah sebatang pohon besar. Karena saya takut, saya tidak berani mendekat dan melarikan diri secepatnya."
"Bagus! Kalau begitu mari kita ke sana! Siapa tahu kita masih akan dapat menolong dua orang bayi itu dan membunuh iblis betina keparat itu!" seru Kui Lan dan para penduduk dusun yang kini berbesar hati dengan adanya empat orang pendekar yang mampu mengalahkan dan mengusir siluman itu, lalu siap ikut dengan membawa obor.
Beramai-ramai hampir semua laki-laki penduduk dusun itu mengikuti empat orang pendekar menuju ke hutan seperti yang ditunjukkan oleh pembicara tadi. Tak lama kemudian mereka tiba di bawah pohon besar itu. Akan tetapi Song-bun Mo-li tidak berada di situ dah ketika mereka mencari-cari, terdengar jerit memilukan dari dua orang ayah yang menemukan mayat anak-anak bayi mereka. Dua mayat itu tergeletak di atas rumput dalam keadaan mengerikan. Tubuh mereka telah kering kerontang tinggal kulit membungkus tulang, seperti serangga yang telah dihisap semua cairan dari tubuhnya.
Mereka lalu membawa pulang dua mayat itu, disambut tangis riuh oleh para wanita di dusun. Kepala dusun mempersilakan empat orang pendekar itu untuk mengaso dan memberi dua buah kamar yang cukup besar untuk mereka berempat. Kemudian, empat orang itu ditinggalkan sendiri dan kepala dusun sibuk mengurus perkabungan dan persiapan penguburan dua orang bayi itu untuk dimakamkan esok hari.
Kesempatan itu dipergunakan oleh empat orang muda itu untuk bicara dan saling memperkenalkan diri. Mereka duduk berhadapan di sekeliling meja.
Pemuda baju kuning yang berwajah gembira itu memandang kepada sepasang gadis di depannya dengan mata terbelalak. Baru sekarang dia melihat betapa kedua orang gadis itu persis sama dan dia merasa dapat menduga bahwa mereka tentulah gadis kembar. Juga pemuda tinggi besar berpakaian biru, dia juga menatap wajah kedua orang gadis dengan heran dan kagum.
"Ih, mengapa kalian berdua memandang kami seperti orang melihat hantu?" Kui Lin membentak dan bibirnya cemberut.
Pemuda yang berbaju kuning tertawa. "Heh-heh-heh, sama sekali bukan seperti hantu, Nona, melainkan seperti bidadari! Sepasang bidadari dari sorga!"
Kui Lin memandang marah dan bibirnya cemberut. "Eh, kalian mau kurang ajar, ya?"
"Lin-moi......!" Kui Lan menegur adiknya yang hendak marah. Ia sendiri menganggap pemuda baju kuning itu tidak kurang ajar karena ucapan itu dilakukan dengan sikap berkelakar dan pandang matanya juga tidak kurang ajar.
"Suheng, harap engkau hentikan main-main itu agar orang tidak salah menilai kepada kita!" pemuda baju biru juga menegur suhengnya.
Pemuda baju kuning itu masih tersenyum, akan tetapi dia cepat bangkit dan menjura kepada dua orang gadis itu dan berkata, sekarang bersungguh-sungguh walaupun suaranya masih mengandung kegembiraan.
"Nona berdua, maaf kalau tadi aku berkelakar sehingga dianggap kurang ajar. Sesungguhnya kami berdua merasa kagum, terkejut dan heran setelah sekarang dalam keadaan terang kami melihat betapa kalian berdua begitu serupa, sukar dibedakan satu dengan yang lain. Tentu kalian adalah saudara kembar. Perkenalkanlah, kami berdua adalah murid-murid Bu-tong-pai yang diutus ketua kami untuk mewakili Bu-tong-pai datang ke Thai-san melihat keramaian orang-orang mencari harta karun Kerajaan Sung. Namaku adalah Liong Kun dan ini suteku bernama Thio Kui."
Karena tidak ingin adiknya kembali memperlihatkan kegalakannya, Kui Lan berkata, "Kiranya Ji-wi Eng-hiong adalah murid-murid Bu-tong-pai. Perkenalkan, aku bernama The Kui Lan dan ini adik kembarku bernama The Kui Lin. Kami berdua adalah puteri majikan Lembah Seribu Bunga."
"Ah, pantas kalian memiliki ilmu silat yang hebat! Kiranya datang dari Lembah Seribu Bunga yang terkenal!" kata Liong Kun kagum. "Apakah Nona berdua juga hendak memperebutkan harta karun itu?"
Kembali Kui Lin berkata dengan nada mengejek. "Siapa datang ke Thai-san hanya untuk nonton keramaian" Ucapan seperti itu bohong! Semua yang datang ke sini sudah pasti mempunyai keinginan untuk memperebutkan harta karun itu. Bu-tong-pai tentu tidak terkecuali!"
Thio Ki yang berwatak penyabar, pendiam namun berwibawa itu tidak ingin kalau suhengnya bertengkar dengan Kui Lin karena kedua orang itu agaknya memiliki watak yang sama, yaitu lincah, jenaka, namun keras dan pemberani. Maka dia cepat mendahului suhengnya.
"Sesungguhnya benar seperti yang engkau katakan, Nona The Kui Lin. Kami mendapat tugas dari ketua kami untuk meninjau keadaan di sini dan membantu pihak yang benar dalam perebutan itu."
"Hemm, siapakah pihak yang benar itu?" Kui Lin bertanya sambil menatap wajah Thio Kui yang gagah dengan tubuhnya yang tinggi besar dan tegap.
"Ketua kami mengatakan bahwa harta pusaka itu milik Kerajaan Sung, maka harus dijaga agar jangan terjatuh ke tangan Kerajaan Mongol," kata Thio Kui pula.
Liong Kun yang lincah melanjutkan. "Benar, Nona-nona, kami mendengar bahwa harta karun Kerajaan Sung itu dahulunya ditemukan oleh mendiang Lo-cianpwe Liu Bok Eng, seorang panglima Sung yang setia, juga seorang pendekar yang gagah perkasa. Maka kami diutus untuk membantu pihak yang benar untuk menentang mereka yang ingin memiliki harta karun itu untuk kepentingan sendiri atau untuk diserahkan kepada Pemerintah Mongol."
"Itu baik sekali," kata Kui Lan sambi1 mengangguk. "Kami berdua juga ingin membantu puteri dari mendiang Lo-cianpwe Liu Bok Eng untuk mendapatkan harta karun itu. Nona Liu Ceng Ceng dan para pendekar sahabatnya bermaksud untuk menyerahkan harta karun itu kepada para pendekar patriot yang memperjuangkan pembebasan tanah air dan bangsa dari penjajah Mongol."
"Hebat!" Liong Kun berseru dengan gembira sekali. "Kami mendukung sepenuhnya dan akan membantu kalian berdua sekuat tenaga kami! Bukankah begitu, Sute?"
Thio Kui mengangguk. "Apa yang dikatakan Suheng tadi memang benar. Kami dari Bu-tong-pai akan membantu sekuat tenaga agar harta karun itu dapat diserahkan kepada para pendekar patriot untuk menentang penjajah Mongol."
Karena satu tujuan, mereka menjadi akrab dan sepasang gadis kembar itu lalu menceritakan bahwa mereka tadinya melakukan penyelidikan bersama Pouw Cun Giok Si Pendekar Tanpa Bayangan dan kini mereka mencari secara berpisah untuk sebulan kemudian bertemu di Thai-san-pai.
"Pendekar Tanpa Bayangan" Bukankah dia itu yang pernah menggegerkan kota raja karena membunuh Panglima Besar Kong Tek Kok, Panglima Mongol itu dan para perajurit yang mengeroyoknya?"
"Benar, dan masih ada lagi pendekar-pendekar muda yang tadinya bersama Giok-ko, yaitu Liu Ceng Ceng puteri mendiang Lo-cianpwe Liu Bok Eng, dan adik angkatnya bernama Tan Li Hong, puteri dari Ban-tok Kui-bo dari Pulau Ular," Kui Lin menerangkan.
"Wah, bagus sekali kalau begitu!" kata Liong Kun. "Memang kita golongan bersih perlu bersatu karena kita pasti akan berhadapan dengan golongan sesat yang amat kuat. Tadi saja, baru muncul seorang nenek iblis itu sudah demikian lihai."
"Memang kami juga berpikir demikian," kata Kui Lan. "Masih banyak pihak yang sependapat dengan kita, yaitu membantu agar harta itu tidak terjatuh ke tangan orang-orang sesat dan penjajah Mongol. Thai-san-pai sudah menyatakan akan membantu. Memang, hanya dengan bersatu dengan para pendekar kita akan dapat menentang golongan sesat sehingga harta karun itu akan dapat diserahkan kepada yang berhak, yaitu Liu Ceng Ceng yang menerima warisan dari ayahnya, mendiang Lo-cianpwe Liu Bok Eng. Kita membantu Pek-eng Sianli Liu Ceng Ceng karena ia bermaksud menyerahkan harta karun itu kepada para pejuang yang akan menentang penjajah."
"Kami siap!" kata Liong Kun penuh semangat.
"Kalau begitu, sebaiknya kita berempat pergi ke Thai-san-pai untuk bertemu kembali dengan Giok-ko, kemudian kita bersama mengadakan hubungan dengan mereka yang sehaluan," kata Kui Lin.
Demikianlah, mereka berempat setuju untuk pergi ke Thai-san-pai. Setelah melewatkan malam di dusun itu, pada keesokan harinya mereka meninggalkan dusun dan pergi ke Thai-san-pai. Hubungan antara mereka berempat menjadi semakin akrab sehingga kini dua orang murid Bu-tong-pai itu menyebut moi-moi (adik) kepada Kui Lan dan Kui Lin, sedangkan kedua orang gadis kembar itu menyebut "twako" (kakak).
"Y" Berita yang tersebar cepat di dunia kang-ouw tentang harta karun Kerajaan Sung itu membikin geger. Karena berita itu hanya mengatakan bahwa harta karun yang amat besar jumlahnya itu dicuri orang yang tinggal di Thai-san, maka banyak tokoh kang-ouw mendatangi Thai-san. Akan tetapi karena berita itu tidak menyebutkan siapa pencurinya, maka semua orang menjadi bingung dan hanya menduga-duga sehingga timbul saling tuduh dan pertikaian di mana-mana!
Rombongan pertama yang tiba di Thai-san adalah Panglima Besar Kim Bayan dengan pasukannya. Karena dia sudah memisahkan diri dari guru-gurunya, yaitu Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli yang dianggap hendak menguasai sendiri harta karun yang diperebutkan, maka Kim Bayan membawa pasukan besar berjumlah duaratus orang lebih ke Thai-san. Sebelum rombongan dan orang-orang lain datang, dia sudah menyebar orang-orangnya yang menyamar dengan pakaian preman untuk melakukan penyelidikan, mencari siapa yang patut dicurigai mencuri harta karun Kerajaan Sung yang tadinya berada di Bukit Sorga tempat tinggal Cui-beng Kui-ong.
Namun, setelah berminggu-minggu dia menyebar para perajuritnya dan tidak juga mendapatkan keterangan yang jelas, Kim Bayan mulai mencari akal. Dia memang seorang panglima ahli perang dan juga amat cerdik, maka dia lalu mengatur muslihat bersama para perwira pembantunya. Dia ingin mengetahui siapa saja yang datang ke Thai-san untuk memperebutkan harta karun karena dari para anak buahnya dia mendengar bahwa ada beberapa rombongan orang dan perorangan kang-ouw datang ke pegunungan itu.
Lebih baik mereka itu diadu domba, pikirnya, selain untuk melemahkan mereka, juga untuk memancing keluar pencuri harta karun. Maka dia lalu menyuruh anak buahnya yang diharuskan mengganti pakaian seragam dengan pakaian sipil biasa, berpencar ke seluruh bagian pegunungan itu dan menyebar berita bahwa harta karun itu berada di tangan perkumpulan Thai-san-pai!
Berita itu cepat tersiar dan didengar oleh para pendatang. Mendengar bahwa harta karun yang dicari-cari itu berada pada Thai-san-pai, tentu saja mereka semua berbondong-bondong datang ke perkumpulan itu.
Akan tetapi, sebelum ada yang tiba di Thai-san-pai, lebih dulu The Kui Lan dan The Kui Lin bersama Liong Kun dan Thio Kui dua orang murid Bu-tong-pai, tiba di situ. Mereka disambut Thai-san Sianjin Thio Kong, ketua Thai-san-pai. Ketika sepasang gadis kembar itu memperkenalkan bahwa dua orang pemuda itu murid Bu-tong-pai, maka ketua itu menyambut mereka dengan gembira. Apalagi ketika dia mendengar bahwa Thio Kui, murid Bu-tong-pai yang tinggi besar gagah itu masih satu marga dengan dia, yaitu marga Thio. Kakek ini semakin senang hatinya mendengar dari sepasang gadis kembar bahwa dua orang murid Bu-tong-pai itu siap membantu pihak yang berniat mendapatkan harta karun Kerajaan Sung untuk diserahkan kepada para patriot pejuang.
"Lo-cianpwe, apakah Twako Pouw Cun Giok belum kembali ke sini?" tanya Kui Lin setelah mereka semua duduk di ruangan dalam.
"Belum," jawab Ketua Thai-san-pai. "Sebetulnya pinto juga mengharapkan kedatangannya karena ada berita yang gawat dan mengancam Thai-san-pai."
"Ah, berita apakah itu, Lo-cianpwe?" tanya Kui Lan sambil menatap wajah kakek itu.
Thai-san Sianjin menghela napas panjang. "Entah siapa yang menyebar berita, akan tetapi agaknya di mana-mana terdapat berita bahwa harta karun Kerajaan Sung itu berada di sini seolah kami Thai-san-pai yang mencurinya."
"Keparat! Ini mestinya fitnah yang disebarkan Hek Pek Mo-ko yang kita curigai, untuk mengalihkan perhatian!" kata Kui Lin marah.
"Atau oleh Huo Lo-sian yang dulu pun telah mencurigai bahwa yang mengambil harta karun itu adalah Thai-san-pai," kata Kui Lan.
"Jangan khawatir, Lo-cianpwe. Kalau ada yang datang menuduh Thai-san-pai, aku dan Enci Lan yang akan menghajar mereka!" kata Kui Lin galak.
"Lo-cianpwe, kami berdua juga siap untuk membantu Thai-san-pai!" kata Thio Kui.
Ketua itu mengangguk-angguk. "Terima kasih atas janji bantuan kalian berempat. Akan lebih besar hati kami kalau Pouw-sicu datang membantu."
Untuk menjaga segala kemungkinan dengan tersiarnya berita itu, Ketua Thai-san-pai lalu memanggil semua murid Thai-san-pai yang berjumlah seratus orang lebih dan menyuruh mereka semua waspada dan menghentikan penyelidikan, berkumpul ke perkampungan mereka dan melakukan penjagaan ketat siang malam. Pada keesokan harinya para murid Thai-san-pai melaporkan kepada ketua mereka bahwa di luar perkampungan mulai berdatangan orang-orang kang-ouw. Akan tetapi mereka itu agaknya masih hendak melihat perkembangan dan belum ada yang mencoba untuk memasuki perkampungan Thai-san-pai. Mungkin mereka merasa gentar juga karena Thai-san-pai merupakan sebuah partai persilatan besar yang cukup disegani.
Biarpun mereka tertarik oleh berita yang mendorong mereka untuk mendatangi Thai-san-pai, namun hati mereka masih diliputi keraguan. Rasanya sulit diterima bahwa Thai-san-pai, perkumpulan yang selain mempelajari ilmu silat, juga mempelajari Agama To itu melakukan pencurian harta karun. Mereka saling menanti munculnya satu pihak yang mulai menuntut atau menentang Thai-san-pai.
Para murid Thai-san-pai memberi laporan kepada ketua mereka bahwa yang telah tampak berkumpul di sekeliling perkampungan mereka adalah rombongan anggauta Ang-tung Kai-pang berjumlah tigapuluh orang yang dipimpin sendiri oleh ketuanya, Kui Tung Sin-kai dan bersama mereka tampak pula beberapa orang wanita murid Go-bi-pai. Juga tampak lima orang tokoh Hoa-san-pai, yaitu yang dikenal dengan julukan Hoa-san Ngo-heng-tin (Barisan Lima Unsur Hoa-san).
Pada hari-hari berikutnya, muncul Huo Lo-sian bersama Bu-tek Sin-liong dan puterinya, Pek-hwa Sianli Cu Ai Yin. Juga muncul Kong Sek yang datang bersama Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Mo-Ii. Kim Bayan yang sengaja menyebar berita itu tidak tampak karena dia hanya ingin melihat perkembangannya setelah dia menyebar berita itu. Banyak anak buahnya yang menyamar sebagai orang biasa melakukan pengintaian untuk melihat apa yang terjadi. Selain rombongan tokoh-tokoh dan datuk-datuk itu, terdapat belasan orang kang-ouw yang datang secara pribadi untuk mengadu untung mencari harta karun Kerajaan Sung.
Liu Ceng Ceng dan enam orang murid Go-bi-pai, satu di antaranya Thian-li Niocu, sudah berkunjung ke Ang-tung Kai-pang. Ia disambut Ketua Kai-pang itu dan ketika Ceng Ceng memperkenalkan Thian-li Niocu sebagai tokoh Go-bi-pai bersama lima orang muridnya, Kui-tung Sin-kai menyambut dengan hormat dan gembira. Apalagi ketika mendengar bahwa Go-bi-pai dan Ang-tung Kai-pang sehaluan, yaitu membantu Ceng Ceng menemukan harta karun Kerajaan Sung untuk diserahkan kepada para patriot pejuang, mereka menjadi lebih akrab.
Kedatangan rombongan Ang-tung Kai-pang yang disertai Ceng Ceng itu menarik perhatian Hoa-san Ngo-heng-tin. Thian-huo Tosu, orang pertama dari lima saudara seperguruan itu, segera menghampiri Ceng Ceng dan memberi hormat.
"Siancai! Nona Liu Ceng Ceng juga berada di sini?"
Ceng Ceng tersenyum dan membalas penghormatan Thian-huo Tosu.
"Totiang, sayalah orang pertama yang berhak mengurus tentang harta karun itu karena mendiang ayah saya telah mewariskannya kepada saya. Apakah Totiang berlima juga hendak ikut memperebutkan harta karun itu?"
Wajah Thian-huo Tosu berubah merah. Kalau bukan Ceng Ceng yang bertanya demikian, dia tentu sudah marah. "Siancai! Nona seperti tidak mengenal kami dari Hoa-san-pai saja! Kami tidak murka akan harta benda. Kami diutus oleh Suheng, Ketua Hoa-san-pai untuk melihat keadaan setelah mendengar tentang harta karun itu. Bukan untuk ikut berebut. Bahkan kami sudah mendengar bahwa harta karun itu merupakan peninggalan mendiang Pendekar Liu Bok Eng kepadamu. Suheng berpesan kepada kami untuk bertanya kepadamu, apakah Nona menginginkan harta karun itu untuk diri Nona sendiri?"
Ceng Ceng tersenyum. Ia menggelengkan kepalanya. "Untuk apa aku harta karun sebanyak itu" Tidak, Totiang. Biarpun mendiang Ayah mewariskan peta harta karun itu kepada saya, namun kalau saya berhasil menemukannya, akan saya serahkan kepada para patriot pejuang untuk mengusir penjajah!"
"Siancai! Bagus sekali, sungguh kami merasa kagum! Akan tetapi mengapa Nona datang bersama rombongan Ang-tung Kai-pang dan kalau tidak salah, bukankah para wanita itu murid-murid Go-bi-pai. Bagaimana kalian dapat datang bersama?"
10.2. Namaku Liu Ceng Ceng......!
"Totiang, ketahuilah, Ang-tung Kai-pang dan Go-bi-pai juga mendukung saya untuk mendapatkan harta karun dan diserahkan kepada para patriot pejuang. Karena sepaham dan sehaluan, maka kami datang bersama."
"Bagus! Sungguh kami berbahagia mendengarnya. Kalau begitu, engkau boleh memasukkan kami ke dalam barisan para pendukungmu, Nona Liu! Kami berlima akan siap siaga di sini untuk sewaktu-waktu membantumu jika diperlukan. Akan tetapi engkau sekarang datang di sini, apakah berita bahwa Thai-san-pai yang mengambil harta karun itu benar, Nona?"
"Saya kira berita itu bohong, Totiang. Tentu Totiang sendiri tidak percaya kebenaran berita itu. Kita mengenal nama besar Thai-san-pai, bahkan saya mengenal nama besar Thai-san Sianjin. Tidak mungkin mereka yang mengambil harta itu. Biarlah malam nanti saya akan menyelinap ke dalam dan menemui Thai-san Sianjin."
"Baik sekali kalau begitu, Nona. Pinto sendiri juga sulit untuk percaya bahwa Thai-san-pai murka akan harta benda."
Pihak Ang-tung Kai-pang dan Go-bi-pai juga merasa girang mendengar bahwa Hoa-san-pai juga berdiri di pihak mereka, dengan demikian maka kedudukan mereka yang ingin menyumbangkan harta karun itu untuk keperluan perjuangan membebaskan tanah air dan bangsa dari belenggu penjajahan bangsa Mongol, menjadi semakin kuat.
Malam itu langit gelap oleh mendung. Sesosok bayangan putih berkelebat cepat sekali, sukar diikuti pandang mata dan bayangan yang bukan lain adalah Ceng Ceng itu, dapat melompati pagar tembok yang mengelilingi perkampungan Thai-san-pai dengan mudah. Tidak ada murid Thai-san-pai yang melakukan penjagaan ketat melihat berkelebatnya bayangan putih itu.
Setelah melewati kebun belakang tanpa terlihat dan tiba di rumah induk yang merupakan kuil Agama To yang cukup besar dan berada di tengah perkampungan, Ceng Ceng menyelinap masuk setelah melompati dinding belakang. Kuil merangkap rumah tinggal Thai-san Sianjin itu besar dan saat itu tampak sunyi.
Hal ini adalah karena para murid semua berada di luar, melakukan penjagaan secara bergilir dengan ketat agar jangan sampai perkampungan mereka kebobolan.
Ketika ia melompat ke dalam sebuah ruangan yang luas di tengah kuil itu, dalam cuaca remang-remang karena ruangan yang luas itu hanya diterangi dua batang lilin besar yang bernyala, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.
"Penjahat dari mana berani masuk ke sini?" Bentakan itu ditutup dengan serangan pukulan yang amat kuat dan cepat, dilakukan oleh Kui Lin yang Iebih dulu melihat Ceng Ceng karena ia kebetulan hendak keluar dari dalam kamarnya mencari angin di tempat terbuka.
Serangan Kui Lin itu dahsyat sekali. Gadis ini memang seorang ahli silat tangan kosong yang pandai dan telah memiliki tenaga sakti yang cukup kuat. Mendapatkan serangan ini, Ceng Ceng berkelebat mengelak. Kui Lin terkejut melihat betapa gadis berpakaian putih yang diserangnya itu dapat mengelak sedemikian ringan dan cepatnya.
"Tangkap penjahat!" Tiba-tiba terdengar bentakan dan Thio Kui sudah muncul, menyerang Ceng Ceng dengan pedangnya.
Kembali Ceng Ceng terkejut karena serangan pemuda tinggi besar berbaju biru itu pun dahsyat sekali. Ia terpaksa mengerahkan gin-kangnya berkelebat cepat untuk mengelak. Akan tetapi kini dua orang penyerangnya itu mengejar dan menyerangnya secara bertubi-tubi. Kui Lin dan Thio Kui terkejut dan kagum melihat betapa bayangan gadis berpakaian putih itu berkelebatan amat cepatnya sehingga sampai beberapa jurus, serangan mereka selalu hanya mengenai tempat kosong.
"Tahan, sobat! Kalian berdua salah sangka, aku bukan penjahat!" kata Ceng Ceng lembut sambil berkelebat menjauh.
Kui Lin hendak melanjutkan serangan, akan tetapi Thio Kui berkata kepadanya. "Lin-moi, biar kita mendengar dulu keterangannya!"
Heran sekali. Biasanya Kui Lin yang galak itu sukar menerima nasihat orang, akan tetapi sekali ini suara Thio Kui baginya demikian berwibawa sehingga ia menahan diri lalu memandang kepada Ceng Ceng dergan sinar mata penuh curiga.
"Nah, katakan siapa engkau dan mau apa engkau malam-malam masuk ke sini seperti pencuri!" katanya galak.
"Hei, ada apakah?" terdengar seruan kaget dan muncullah Kui Lan dan Liong Kun yang terbangun mendengar ribut-ribut itu. Mereka kini berdiri dekat Kui Lin dan Thio Kui dan memandang kepada Ceng Ceng dengan heran. Bagaimanakah tahu-tahu ada gadis cantik berpakaian putih berada di ruangan tengah itu, padahal di luar kuil dan di perkampungan itu terjaga ketat oleh para murid Thai-san-pai"
Melihat munculnya dua orang muda lagi dan gadis yang baru muncul itu serupa benar dengan gadis pertama, Ceng Ceng dapat menduga bahwa mereka tentu saudara kembar. Bukan hanya wajah mereka yang serupa, akan tetapi bentuk badan dan pakaian serta tata rambut mereka persis sama. Ia yakin bahwa mereka yang tinggal di kuil Thai-san-pai ini pasti orang-orang muda yang berjiwa pendekar. Tadi pun ia sudah merasakan betapa dahsyatnya serangan pemuda tinggi besar dan gadis cantik itu. Ia lalu mengangkat kedua tangan di depan dadanya lalu berkata dengan lembut dan ramah.
"Kumohon maaf kepada kalian berempat dan kepada semua warga Thai-san-pai atas kelancanganku memasuki kuil ini malam-malam dan tanpa ijin. Hal ini terpaksa kulakukan melihat keadaan yang mengancam Thai-san-pai. Aku bukan penjahat dan bukan lawan, melainkan kawan. Aku sengaja menyelundup ke sini dengan niat untuk menghadap Thai-san Sianjin dan membicarakan hal yang amat penting mengenai harta karun Kerajaan Sung."
Melihat gadis yang amat cantik dan sikapnya amat lembut itu, kecurigaan empat orang muda itu berkurang dan Kui Lan bertanya halus. "Sobat, katakan dulu siapakah engkau?"
"Namaku Liu Ceng Ceng......"
"Aih, engkau puteri mendiang Panglima Kerajaan Sung yang terkenal bernama Liu Bok Eng itu?" kata Kui Lan.
"Benar, mendiang Liu Bok Eng adalah Ayahku."
"Wah, kami sudah mendengar banyak sekali tentang engkau dari Twako Pouw Cun Giok!" seru Kui Lin.
"Apakah Giok-ko berada di sini?" Ceng Ceng bertanya dan jantungnya terasa berdebar.
"Tadinya dia bersama kami berkunjung ke Thai-san-pai ini, akan tetapi kini dia melakukan penyelidikan terpisah dan belum kembali ke sini."
Terdengar suara banyak orang memasuki ruangan itu. Ternyata Thai-san Sianjin sendiri bersama belasan orang muridnya datang ke ruangan itu, siap dengan senjata di tangan.
"Apa yang terjadi" Siapakah Nona ini?" tanya Thai-san Sianjin dengan heran.
"Lo-cianpwe, Nona ini adalah Nona Liu Ceng Ceng......"
"Ah, puteri mendiang Panglima Liu Bok Eng, pewaris peta harta karun itu" Nona, kami sudah mendengar tentang Nona dari Sicu Pouw Cun Giok. Akan tetapi...... malam-malam begini Nona datang, ada keperluan apakah?"
"Maafkan saya, Lo-cianpwe. Sesungguhnya saya bermaksud menghadap dan bicara denganmu, dan karena di luar perkampungan terdapat banyak orang kang-ouw, saya tidak ingin diketahui orang dan menyelinap masuk ke sini."
"Tidak mengapa, Nona. Mari kita bicara di ruangan dalam!" kata Ketua Thai-san-pai itu. Dia menyuruh para muridnya untuk keluar lagi melakukan penjagaan, kemudian dia mengajak Ceng Ceng, kedua gadis kembar dan dua orang saudara seperguruan Bu-tong-pai itu memasuki sebuah ruangan lain.
Setelah mereka duduk mengelilingi meja besar, Ceng Ceng berkata. "Lo-cianpwe, saya mendengar berita yang mengatakan bahwa harta karun itu berada di sini......"
"Nanti dulu, Nona Liu. Sebaiknya Nona mengenal dulu tamu-tamu kami ini. Dua orang nona ini adalah The Kui Lan dan The Kui Lin, sepasang gadis kembar puteri majikan Lembah Seribu Bunga. Adapun dua orang pemuda ini adalah Liong Kun dan Thio Kui, dua orang murid perguruan Bu-tong-pai. Nah, sekarang lanjutkan ceritamu."
"Seperti saya katakan tadi, saya mendengar berita tentang harta karun Kerajaan Sung yang dikabarkan berada di sini......"
"Kabar itu bohong, fitnah belaka!" kata Kui Lin.
"Lin-moi, biarkan Enci Ceng Ceng melanjutkan ceritanya," kata Kui Lan.
Ceng Ceng tersenyum. Di bawah sinar lampu yang terang, ia segera dapat membedakan mana Kui Lan dan mana Kui Lin. Ia melihat persamaan watak antara Kui Lin dan Li Hong, lincah, bersemangat, dan galak! Sedangkan Kui Lan berwatak tenang dan serius.
"Lo-cianpwe, mungkin semua orang sudah mendengar bahwa mula-mula mendiang Ayah saya mewariskan peta harta karun kepada saya. Kemudian peta dirampas Panglima Kim Bayan dan saya dipaksa untuk membantunya mencari harta karun. Akan tetapi setelah tempat harta karun ditemukan, hanya ada peti kosong yang terdapat tulisan huruf THAI SAN. Maka banyak orang kang-ouw berdatangan ke sini. Saya sendiri juga menyelidiki ke sini dan saya bertemu dengan Thian-li Niocu dari Go-bi-pai bersama lima orang muridnya. Ternyata mereka dari Go-bi-pai mendukung dan hendak membantu saya menemukan harta karun itu. Kemudian saya mendengar bahwa harta karun itu berada di Thai-san-pai. Saya dan Thian-li Niocu tentu saja tidak mempercayai berita itu. Melihat betapa perkampungan Thai-san-pai telah dikepung banyak orang yang tentu berniat merebut harta karun yang dikabarkan berada di sini, maka saya diam-diam lalu menyelundup ke sini untuk bertemu dan bicara dengan Lo-cianpwe."
Thai-san Sianjin menghela napas panjang. "Siancai! entah siapa yang menyebar berita bohong itu dan entah apa maksudnya mengabarkan bahwa harta karun itu berada di sini. Akan tetapi kami siap menghadapi segala kemungkinan. Tentu saja kami akan menyangkal dan membela diri. Kebetulan sekali kedua Nona The datang bersama dua orang gagah murid Bu-tong-pai ini yang siap membela kami."
"Harap Lo-cianpwe tidak khawatir. Untuk mendapatkan kembali harta karun agar saya dapat memenuhi pesan mendiang Ayah, yaitu menyerahkan harta karun itu kepada para patriot pejuang, saya didukung banyak pihak. Bukan saja Go-bi-pai yang mendukung, melainkan juga Hoa-san-pai dan Ang-tung Kai-pang yang kini telah berada pula di luar perkampungan ini."
"Siancai! Itu bagus sekali!" kata Thai-san Sianjin.
"Karena itu, Lo-cianpwe, apabila terjadi sesuatu yang buruk menimpa Thai-san-pai, kami sudah siap untuk membantu. Dan saya kira, hanya mereka dari golongan sesat saja yang mempunyai niat buruk terhadap Thai-san-pai. Mereka yang terdiri dari golongan bersih atau para pendekar pasti tidak mau memusuhi Thai-san-pai tanpa alasan yang kuat dan hanya karena desas-desus itu saja," kata Ceng Ceng.
"Akan tetapi, kami merasa dikepung tanpa mengetahui apa yang mereka kehendaki, tidak tahu pula apa yang akan mereka lakukan terhadap Thai-san-pai. Hal ini sungguh membuat hati kami merasa tidak tenang. Apa yang sebaiknya kami lakukan dalam keadaan seperti ini?" kata Ketua Thai-san-pai sambil memandang kepada lima orang muda itu.
"Maaf, Lo-cianpwe, kalau menurut pendapat saya, hal ini tidak boleh dibiarkan begitu saja. Kita harus bertindak!" kata Thio Kui.
"Aku setuju sekali!" kata Kui Lin bersemangat. "Kalau Lo-cianpwe diam saja, tentu mereka itu semakin percaya bahwa Thai-san-pai merasa bersalah dan benar-benar telah mengambil harta karun itu. Mereka telah memasuki wilayah Thai-san-pai, sebaiknya usir saja mereka, kalau tidak mau pergi secara halus, kita usir dengan kekerasan. Kami akan membantumu, Lo-cianpwe!"
"Bagus, saya juga siap!" kata Liong Kun dengan gembira dan penuh semangat.
"Maaf, Lo-cianpwe dan saudara-saudara sekalian," kata Ceng Ceng dengan tenang dan lembut. "Menggunakan.kekerasan hanya memancing permusuhan dan perkelahian yang pasti akan menjatuhkan banyak korban. Karena harta karun itu belum diketahui berada di mana, maka pertempuran itu sama saja dengan memperebutkan karung kosong! Sebaiknya, besok pagi Lo-cianpwe membuka gerbang depan lalu keluar dan mengundang mereka yang mengepung itu untuk bicara di luar perkampungan. Di situ Lo-cianpwe dapat menyangkal desas-desus itu, kalau ada yang tidak percaya dan hendak menggunakan kekerasan, barulah kita membela diri. Para bijaksana mengatakan bahwa barang siapa memulai sebuah permusuhan, dialah yang bersalah! Jadi, biarkan mereka yang menggunakan kekerasan, kita membela diri dan saya yakin banyak yang akan mendukung Thai-san-pai."
"Sungguh mengagumkan pendapat Enci Ceng Ceng!" kata Kui Lan. "Saya setuju sekali!"
Memburu Iblis 21 Dewa Arak 49 Geger Pulau Es Petaka Cinta Berdarah 2

Cari Blog Ini