Pendekar Wanita Baju Merah 11
Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo Bagian 11 Kim-san-pai" Dan mengapa kau menghadang rombongan utusan Kim-san-pai ke Bu-tongsan" Mengapa pula sekarang kau datang ke sini" Hendak menyerbu Kim-san-pai" Hemm, kau mengandalkan apakah demikian sombong?" Sun Hauw seperti orang tuli. Ia tidak memperhatikan semua kata-kata itu dan sepasang matanya seperti kena hikmat, menatap bibir indah yang berkata-kata tanpa berkedip. Kecantikan Ang I Niocu yang luar biasa itu benar-benar membikin Sun Hauw seperti gila. Apalagi kalau ia ingat betapa ayah dari gadis jelita ini telah memilihnya menjadi calon mantu! "Jawab pertanyaanku!" Ang I Niocu membentak marah, mukanya agak merah karena ia maklum apa artinya pemuda itu menjadi termenung seperti patung. Adapun tujuh orang hwesio Bu-tong-pai yang terpilih sebagai orang-orang bertanggung jawab dalam pertikaian terhadap Kim-san-pang adalah hwesio-hwesio yang tingkatnya sudah tinggi, yakni anak murid Lo Beng Hosiang sendiri. Mendengar desakan Ang I Niocu kepada Liem Sun Hauw, seorang diantara mereka membela Sun Hauw yang kelihatannya "mati kutunya" menghadapi nona baju merah itu. "Ang I Niocu, harap jangan salah sangka terhadap Liem-sicu. Dia ini betul-betul penolong kami dan bermaksud baik...." "Siapa menyangkal bahwa dia itu penolong Bu-tong-pai" Akan tetapi sekali-kali aku tak Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 273 percaya dia ini menjadi pendamai! Menolong sepihak memusuhi pihak lain sama sekali bukan sifat seorang pendamai, karena dia berat sebelah dan menghina orang mengandalkan kepandaiannya yang ia kira tidak ada keduanya di kolong langit! Aku datang sebagai pendamai antara Kim-san-pai dan Bu-tong-pai, sudah pasti sekali aku tidak mau menghina Bu-tong-pai juga tidak mau memusuhi Kim-san-pai." Liem Sun Hauw menjadi serba salah dan memang kepandaian kata-katanya sudah lenyap entah ke mana setelah ia berhadapan dengan Ang I Niocu. Dalam pandangannya, segala gerak-gerik Ang I Niocu menarik hati dan menambah kemanisan dan kecantikannya. Kini dimarahi oleh Ang I Niocu, ia hanya tundukkan mukanya yang sebentar merah sebentar pucat, seperti seorang anak nakal dimarahi oleh ibunya. "Li-hiap, untuk meredakan permusuhan, pinceng sekalian datang ke sini, hendak menghadap Locianpwe Thian Beng Cu, dan Liem-sicu yang bertugas sebagai pendamai dari Go-bi-pai, ikut sebagai perantara," kembali hwesio itu membela Sun Hauw. "Losuhu bertujuh kalau hendak menghadap Ketua Kim-san-pai untuk menjernihkan suasana, hal itu amat baik dan patut dipuji, dan memang demikianlah seharusnya kalau orang hendak memperbaiki hubungan satu sama lain. Aku pun sedang hendak berangkat menemui Lo Beng Hosiang untuk mendamaikan urusan. Akan tetapi orang she Liem ini biar di sini jangan ikut masuk, dia tidak akan mendamaikan urusan bahkan mungkin akan mengacau lagi!" "Niocu harap kau suka maafkan aku..." akhirnya Sun Hauw dapat bicara kembali setelah menenteramkan hatinya yang berguncang. "Memang aku sudah berlaku terburu nafsu dan melukai dua orang tosu Kim-san-pai dalam pibu yang terjadi di Bu-tong-san. Oleh karena itu maka kedatanganku ini pun hendak memohon ampun kepada Locianpwe Thian Beng Cu dan bersama para Suhu ini hendak menyerahkan diri menerima hukuman. Sekarang baru Niocu saja sudah tidak dapat memaafkan, apalagi para tosu Kim-san-pai. Biarlah kalau begitu kau bunuh saja aku untuk menebus dosaku terhadap Locianpwe Sin-tai-hiap Bu-Pun Su..." Sambil berkata demikian, Sun Hauw melolos pedangnya dan menyerahkan pedang itu kepada Ang I Niocu. Gadis itu tidak mau menerima pedang, agak heran dan terkejut mendengar pemuda itu menyebut-nyebut nama Bu Pun Su. "Mengapa pula kau menyebut-nyebut nama Susiok-couw Bu Pun Su?" tanyanya wajar. "Sesungguhnya, tugasku ini adalah kehendak Sin-tai-hiap Bu Pun Su yang menyampaikan pesannya kepada Susiok Twi Mo Siansu melalui utusannya, yakni Loenghiong Kiang Liat yang akhirnya menjadi sahabat baikku. Aku dipilih oleh Susiok untuk mengerjakan tugas ini, tidak tahunya karena kebodohanku aku bahkan memburukkan keadaan. Kalau Sin-taihiap Bu Pun Su mendengar akan hal ini, apakah aku dapat diampuni, lagi" Kalau Kiang Lo-enghiong yang baik hati dan mulia itu mendengar, bukankah aku bisa mati saking maluku?" Tentu saja Sun Hauw sengaja menyebut-nyebut nama Bu Pun Su dan Kiang Liat untuk mengambil hati gadis yang kecantikannya telah merobohkan hatinya itu. Ia sama sekali tidak tahu bahwa semua kata-katanya itu bahkan merupakan garam yang diulaskan pada luka di dalam hati Ang I Niocu, mendatangkan rasa perih dan sakit karena mengingatkan ia akan semua peristiwa duka yang dialaminya. Hal ini bahkan menambah kebenciannya terhadap Sun Hauw sehingga kalau mungkin di saat itu juga ia memenggal leher pemuda itu. Akan tetapi pada saat itu, dari puncak bukit datang Thian Beng Cu ketua Kim-sanpai, diiringi oleh tosu-tosu muridnya, merupakan rombongan yang keren dan agung. Para tosu Kim-san-pai yang berada di situ cepat memberi hormat kepada ketua mereka. Dengan air muka tenang dan ramah, Thian Beng Cu memandang kepada para hwesio Butong-pai yang tujuh orang itu, melempar pandang tak acuh kepada Sun Hauw, lalu berkata kepada para hwesio itu, "Cu-wi Suhu dari Bu-tong-pai, harap tidak kecil hati kalau pinto terlambat menyambut. Pesan Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 274 apakah yang Cu-wi bawa dari sahabat Lo Beng Hosiang?" Melihat sikap dan mendengar kata-kata Ketua Kim-san-pai ini, para hwesio Butong-pai menjadi merah mukanya, malu kepada diri sendiri dan heran mengapa Ketua Kim-san-pai yang selama ini disangka sombong, ternyata seorang kakek yang baik hati dan ramah tamah. Serta merta mereka berlutut memberi hormat. Kakek Kim-san-pai itu sudah begitu merendahkan diri, maka kini tanpa ragu-ragu lagi para hwesio Bu-tong-pai maklum bahwa mereka berhadapan dengan seorang tua yang berhati mulia dan tunduklah mereka. Ki Keng Hosiang, pendeta gemuk pendek yang memimpin rombongan Butong-pai itu, lalu berkata, "Teecu bertujuh menerima titah Suhu untuk menghadap kepada Susiok, selain untuk menyerahkan surat dan menyampaikan salam dari Suhu, juga teecu yang telah melakukan banyak dosa menghina saudara-saudara dari Kim-san-pai, sengaja datang menyerahkan diri untuk menerima hukuman." Thian Beng Cu menarik napas panjang, mengelus-elus jenggotnya dan wajahnya nampak gembira sekali dan kalau diperhatikan orang akan melihat sepasang matanya menjadi basah. "Gurumu Lo Beng Hosiang seorang bijaksana, kalian tidak salah apa-apa, bahkan saudara-saudara mudamu dari Kim-san-pai yang keliru. Kesinikan surat dari suhumu agar pinto dapat segera mengetahui petunjuk apa yang diberikan kepada pinto yang bodoh." Pada saat itu, Liem Sun Hauw yang merasa terharu menyaksikan pertemuan tokohtokoh dari kedua pihak yang saling mengalah, merasa malu terhadap Thian Beng Cu yang ternyata seorang kakek yang begitu halus dan baik hati. Ia pun lalu, berlutut dan berkata, "Locianpwe, teecu Liem Sun Hauw utusan dari Go-bi-pai, karena cupat pengetahuan dan lancang, telah salah tangan melukai dua orang tosu Kim-san-pai. Sekarang teecu sudah insyaf akan kesalahan sendiri dan menghadap untuk menerima hukuman." Thian Beng Cu menunda niatnya membaca surat dari Lo Beng Hosiang, memandang kepada Liem Sun Hauw dan mengangguk-angguk. "Anak murid Go-bi-pai memang amat mengagumkan, begini muda sudah memiliki kepandaian tinggi, dan berani pula bertanggung jawab atas perbuatannya. Liemsicu, kalau kau tidak datang mengakui kesalahanmu, memang nama baik Go-bi-pai akan tercemar, akan tetapi dengan pengakuanmu ini, segala apa sudah beres. Di dalam pibu, kalah menang sudah lumrah, terluka atau tewas bukan hal aneh. Antara kau atau Go-bi-pai dengan kami tidak ada urusan apa-apa, habis sampai di sini saja." Sun Hauw menjadi girang sekali, akan tetapi kata-kata itu membuat ia makin tunduk dan malu. Thian Beng Cu lalu membuka surat dari Lo Beng Hosiang. Selain permintaan maaf bagi murid-muridnya, di dalam surat itu Lo Beng Hosiang menyatakan bahwa tentang pembunuhan atas diri Lai Tek, sesungguhnya bukanlah perbuatan anak murid Bu-tong-pai, dan menurut dugaan Lo Beng Hosiang, tentu dilakukan oleh pihak ke tiga yang ingin mengadu-dombakan Kim-san-pai dengan Butong-pai. Oleh karena itu, Lo Beng Hosiang menyatakan bahwa penjahat atau pihak ke tiga inilah yang harus dicari. Thian Beng Cu menghadapi Ang I Niocu yang masih berdiri di situ. Gadis ini ketika melihat betapa para hwesio mengaku salah dan betul-betul datang hendak menerima hukuman, juga menjadi girang dan terharu. Tak disangkanya bahwa tugasnya selesai dengan demikian mudahnya, apalagi ketika ia melihat Sun Hauw juga menerima salah dan rela dihukum, kebenciannya terhadap pemuda ini agak berkurang. "Ang I Niocu, kau sebagai utusan Sin-taihiap Bu Pun Su, kau telah mendengar dan melihat sendiri keadaan anak-anak murid Bu-tong-pai yang ternyata jauh lebih baik daripada anak-anak murid Kim-san-pai. Oleh karena kedatangan mereka inilah, maka segala kesalahpahaman telah dapat dibikin beres dan dihabiskan sampai di sini saja. Di dalam suratnya ini, Lo Beng Hosiang menyatakan bahwa pihak Bu-tong-pai betulbetul tidak pernah melakukan pembunuhan terhadap diri Lai Tek, dan menduga bahwa tentu ada pihak ke tiga Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 275 yang melakukan perbuatan itu untuk mengadu domba antara Kim-san-pai dan Bu-tongpai. Tidak tahu bagaimanakah baiknya kalau menurut pendapat Niocu?" "Soalnya sudah jelas bahwa memang tentu ada penjahat yang membunuh Lai Tek dan berbuat seolah-olah yang melakukan hal itu dari pihak Bu-tong-pai. Akan tetapi, perbuatan penjahat itu lebih banyak mendatangkan kerugian kepada Bu-tong-pai daripada kepada Kim-san-pai. Lai Tek anak murid Kim-san-pai tewas sebagai orang gagah dan tidak ada kecewanya, sebaliknya dengan perbuatan itu, nama baik Bu-tong-pai tercemar. Oleh karena itu, menurut pikiranku, sudah menjadi kewajiban Bu-tong-pai untuk menyelidiki hal ini dan menangkap pembunuhnya. Biarpun begitu, demi kebaikan kembali hubungan antara kedua partai yang sudah menjadi tugas yang kupikul menurut perintah Susiok-couw, aku akan berusaha pula untuk membongkar rahasia ini dan membekuk penjahatnya." Sun Hauw melompat berdiri, menjura kepada Thian Beng Cu, lalu menghadapi Ang I Niocu sambil berkata cepat, "Niocu, cocok sekali petunjukmu tadi. Memang sudah seharusnya Bu-tong-pai mencuci bersih namanya dari perbuatan terkutuk penjahat yang membunuh Lai Tek itu. Dan untuk pekerjaan ini, biarlah aku yang akan melakukannya. Aku telah berlaku lancang dan biar pun aku diberi tugas menjernihkan suasana antara Kimsan-pai dan Bu-tong-pai, ternyata aku bahkan mengeruhkan suasana. Sekarang ada pekerjaan ini, biar aku yang diwajibkan, hutang-hutang menebus dosaku!" Ang I Niocu memandang kepada pemuda itu dengan tajam dan diam-diam ia harus akui bahwa Liem Sun Hauw adalah seorang pemuda yang bersemangat dan gagah. Pantas saja ayahnya suka kepada pemuda ini dan hendak menjodohkannya dengan aku, pikirnya. Kebenciannya terhadap pemuda itu makin berkurang saja. "Bagaimana, Locianpwe" Apakah Locianpwe menyetujui kalau teecu yang mencoba untuk menangkap penjahat pembunuh Lai Tek-enghiong itu?" Sun Hauw bertanya kepada Thian Beng Cu dengan suara mendesak. Thian Beng Cu mengangguk-angguk dan tersenyum. "Liem-sicu, kau memang gagah dan kiranya tepat kalau kau yang mencarinya. Untuk hal ini, sebagaimana dinyatakan oleh Ang I Niocu tadi, pinto serahkan saja kepada pihak Bu-tong-pai. Pinto hanya bisa menyampaikan terima kasih atas maksudmu yang mulia ini, Liem-sicu." "Kalau begitu, perkenankan teecu berangkat sekarang untuk membekuk batang leher pembunuh Lai Tek-enghiong!" kata Sun Hauw penuh semangat sambil mengerling kepada Ang I Niocu. Tiba-tiba terdengar suara orang, lemah-lembut terdengarnya, "Tidak usah, tidak usah... penjahat itu telah tertangkap...!" Tiba-tiba berkelebat bayangan dan tahu-tahu di situ berdiri seorang tosu yang usianya kurang lebih lima puluhan tahun, gerak-geriknya halus dan sinar matanya tajam berpengaruh. "Eng Yang Cu-sute... kau baru datang...?" kata Thian Beng Cu dengan suara girang. "Dan betulkah penjahat itu telah tertangkap?" Tosu itu yang bukan lain adalah Eng Yang Cu, tokoh Kim-san-pai yang menjadi sute termuda dari Thian Beng Cu dan yang memiliki kepandaian lebih tinggi daripada tokoh-tokoh Kim-san-pai lainnya, akan tetapi yang selalu merantau, memberi hormat kepada suhengnya lalu berkata, "Memang betul, penjahat itu bukan lain adalah Siang-hek-pian (Sepasang Pian Hitam) Bwee Cat. Seperti Suheng tentu masih ingat, Siang-hek-pian Bwee Cat pernah memusuhi Kim-san-pai dan pernah jatuh oleh siauwte. Agaknya ia mengandung dendam sakit hati dan melihat salah paham yang timbul antara Kim-san-pai dan Butong-pai, ia turun tangan, menewaskan muridku Lai Tek kemudian mempergunakan nama Bu-tong untuk mengadu domba." "Sute yang baik, bagaimana kau bisa mengetahui ini semua dan bagaimana kau bilang bahwa dia itu sudah tertangkap?" tanya Thian Beng Cu dengan girang, sedangkan wajah Liem Sun Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 276 Hauw menjadi muram sekali mendengar bahwa penjahat yang rnenjadi biang keladi pertikaian itu telah tertangkap. "Dalam perantauan siauwte mendengar tentang pertikaian Kim-san-pai dengan Butong-pai dan siauwte mendengar pula sebab-sebab pertikaian itu, Siauwte tidak percaya bahwa Butong-pai akan berlaku sekeji itu, maka siauwte teringat akan Siang-hek-pian Bwee Cat. Kalau ada orang yang hendak mencelakakan Kim-san-pai, kiranya hanya penjahat itulah yang menaruh dendam dan pernah menjadi pecundang. Siauwte lalu mencarinya dan setelah berjumpa, betul saja dia yang melakukan pembunuhan terhadap Lai Tek, katanya untuk memancing siauwte supaya mencarinya. Kami bertempur dan ternyata selama ini ia telah mempertinggi ilmunya sehingga hampir saja siauwte kalah dan celaka dalam tangannya. Tidak heran apabila Lai Tek mudah saja ia tewaskan, tidak tahunya penjahat itu telah berguru lagi semenjak kalah di Kim-san-pai. Masih baik nasib siauwte, pada saat itu datang dua orang bersaudara, yakni Kang Bok Sian dan Kang Eng Sian. Dua orang pendekar muda ini ternyata adalah anak murid Bu-tong-pai dan mereka pun mendengar pula tentang pertikaian antara Bu-tong-pai dan Kim-san-pai. Dari orang-orang kang-ouw mereka mendengar tentang Siang-hek-pian Bwee Cat yang menyombongkan perbuatannya, yakni membunuh Lai Tek murid Kim-san-pai. Karena dua orang saudara Kang yang gagah perkasa itu telah mendengar pula akan sebab pertikaian kedua partai mereka lalu mengerti bahwa biang keladinya adalah Bwee Cat dan mencarinya. Kebetulan sekali siauwte terdesak dan mereka berdua turun tangan membantu. Barulah penjahat itu dapat dirobohkan, sayang sekali dalam keadaan tewas sehingga tidak mungkin siauwte seret ke sini untuk membuat pengakuan." Thian Beng Cu menggeleng-geleng kepalanya. Kemudian ia menoleh kepada para anak muridnya dan kepada tujuh orang hwesio Bu-tong-pai yang berada di situ, lalu berkata dengan suaranya yang halus berpengaruh, "Kalian murid-murid Kim-san-pai dan murid-murid Bu-tong-pai dengarlah baik-baik. Penuturan suteku Eng Yang Cu ini menjadi cermin bagi kalian. Kalian yang berada di sini, ribut-ribut saling menuduh dan saling menyerang, menurutkan hati panas. Sebaliknya Eng Yang Cu dan dua orang saudara Kang sebagai murid-murid Kim-sanpai dan Bu-tong-pai yang jauh dari sini, bahkan sudah bekerja sama untuk menangkap penjahat. Murid-murid Kim-san-pai, kalian tirulah sikap susiok kalian ini dan murid-murid Bu-tong-pai harap meniru perbuatan kedua saudara Kang yang gagah perkasa." Sementara itu, Liem Sun Hauw lalu berkata kepada Thian Beng Cu dengan muka muram, "Locianpwe, ternyata bahwa teecu seorang yang tidak ada gunanya sama sekali, kalau lebih lama di sini hanya akan mengotorkan tempat saja. Mohon maaf sebanyaknya dan perkenankan teecu pergi. Cuwi Suhu dari Bu-tong-pai, tolong sampaikan hormatku kepada Locianpwe Lo Beng Hosiang di Bu-tong-pai. Nona Ang I Niocu, aku sudah banyak melakukan kesalahan terhadapmu, maaf..." Setelah berkata demikian, dengan cepat sekali Liem Sun Hauw melompat dan pergi dari situ, berlari turun dari lereng Bukit Kim-san-pai. Semua orang memandang dengan bengong dan diam-diam merasa kasihan juga kepada pemuda tampan dan gagah itu yang sebetulnya bukan bertindak salah, hanya kurang Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo teliti dan kurang hati-hati. "Saudara Liem, tunggu dulu!" Ang I Niocu berseru dan di lain saat ia sudah melompat sambil berkata, "Totiang, maafkan aku tak dapat lebih lama lagi tinggal di sini!" Sebelum Ketua Kim-san-pai menjawab, tubuhnya sudah lenyap dan yang nampak hanya bayangan merah berkelebat dan meluncur turun gunung. "Siapa mereka itu?" tanya Eng Yang Cu kagum sekali melihat kehebatan dua orang muda itu. "Yang pertama adalah Liem Sun Hauw, murid mendiang Thian Mo Siansu dari Go-bipai untuk mendamaikan urusan Kim-san-pai dengan Bu-tong-pai. Yang ke dua tadi adalah Ang I Niocu, puteri dari Jeng-jiu-sian Kiang Liat, Bu Pun Su adalah susiok-couwnya dan ia pun Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 277 datang perintah atas perintah Bu Pun Su untuk maksud yang sama, yakni mendamaikan kedua partai." Eng Yang Cu menarik napas panjang. "Ahhh, anak-anak muda sekarang memang hebat. Kepandaian mereka tadi benar lihai, apalagi nona baju merah tadi, gin-kangnya sudah sampai ditingkat yang melebihi kita..." *** Liem Sun Hauw yang merasa kecewa sekali karena usahanya melakukan tugas yang diserahkan kepadanya oleh Twi Mo Siansu selalu menemui kegagalan, merasa amat malu. Ia telah mengeruhkan suasana dan sebelum ia dapat menebus kesalahannya, dengan menangkap biang keladi permusuhan, ia telah didahului oleh Eng Yang Cu! Saking malu dan kecewanya ia lalu meninggalkan Kim-san-pai. Yang membuat ia malu sesungguhnya bukan terhadap orang lain, melainkan terhadap Ang I Niocu. Ia telah tertarik dan jatuh hati kepada gadis ini, apalagi setelah ia tahu bahwa gadis itulah yang dicalonkan menjadi isterinya oleh Kiang Liat. Dan sekarang di depan gadis itu ia kelihatan sebagai seorang yang bodoh! Biarpun ia berlari cepat sekali, sebentar saja ia tersusul oleh Ang I Niocu. Tadi Sun Hauw mendengar suara panggilan Ang I Niocu, akan tetapi ia mengira bahwa gadis yang cantik tapi galak itu akan menyalahkan dan menyindirnya, maka ia tidak mau berhenti sebelum jauh dari para tokoh Bu-tong-pai dan Kim-san-pai. Selain ini ia pun henidak menguji ilmu lari cepat dari gadis itu dan diam-diam ia mengerahkan ilmu lari cepat yang paling diandalkan, yakni Liok-te-hui-teng (Lari Seperti Terbang di Atas Bumi), karena ia tahu bahwa gadis itu mengejarnya. Akan tetapi alangkah kagumnya ketika tak lama kemudian, gadis itu telah menyusulnya. Bayangan merah berkelebat di samping kanannya dan di lain saat gadis itu telah berdiri beberapa tombak jauhnya di sebelah depan, tersenyum menghadang di jalan. Ang I Niocu sengaja mengejar Sun Hauw karena gadis ini ingin sekali mendengar dari pemuda ini tentang hubungan ayahnya dengan pemuda ini. Ingin ia mengetahui bagaimana pemuda ini bertemu dengan ayahnya dan bagaimana pula ayahnya sampai mempunyai maksud menjodohkan dia dengan pemuda itu. Selain ini, ia pun agak menyesal atas sikapnya yang menghina dan keras terhadap Sun Hauw, dan sekarang ternyata bahwa sesungguhnya pemuda ini bukanlah seorang yang menyombongkan kepandaian dan sengaja membantu Bu-tong-pai melakukan penghinaan terhadap Kim-san-pai. Semua pertengkaran yang terjadi hanya timbul oleh kesalahpahaman. Sungguhpun pada mukanya terbayang kemuraman, namun di dalam hatinya Sun Hauw merasa girang sekali melihat gadis itu. "Nona, apakah kau masih merasa penasaran" Aku sudah mengaku salah dan..." "Saudara Liem, jangan kau salah sangka. Tadi kau menyebut nama ayahku. Di mana kau pernah bertemu dengan dia dan kapankah" Aku ingin sekali mendengar penuturanmu tentang Ayah." Seketika wajah Sun Hauw berseri, hatinya berdebardebar girang dan ia menarik napas lega. "Aku bertemu dan berkenalan dengan ayahmu yang gagah perkasa dan mulia itu di Go-bisan," ia mulai bercerita, "ketika aku menghadap Susiok Twi Mo Siansu, kebetulan ayahmu datang dan menyampaikan pesan kepada Susiok dari Sin-taihiap Bu Pun Su. Susiok lalu memilih aku untuk berusaha mendamaikan pertikaian antara Butong-pai dan Kim-san-pai dan hal ini menimbulkan iri hati dan tidak senangnya beberapa orang anak murid Go-bi-pai. Aku sendiri biarpun anak murid Go-bi-pai, akan tetapi suhuku adalah seorang perantau dan hampir tidak mempunyai hubungan lagi dengan Go-bi-pai." emudian Sun Hauw menuturkan bagaimana ia telah diserang oleh tokoh Go-bi-pai Tek Le Tojin dan hampir celaka kalau saja tidak ditolong oleh Kiang Liat. Dan bagaimana Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 278 perjalanannya ke Bu-tong-pai tertunda dan terlambat karena ia singgah di kampungnya dan terpaksa menunda perjalanannya ke Bu-tong-san karena ia harus merawat dulu ayahnya yang sedang sakit payah. Semua ini telah dituturkan di bagian depan dan kiranya tak perlu diulang pula. Demikianlah, Nona. Apakah ayahmu sudah pulang dan apakah kau sudah bertemu dengan orang tua yang mulia itu?" Sun Hauw menutup penuturannya dan balas bertanya. Ang I Niocu tak dapat menjawab, hanya mengangguk. Hatinya seperti ditusuk-tusuk karena teringatlah ia akan segala peristiwa antara dia dan ayahnya yang menyebabkan kematian ayahnya. Sun Hauw makin berdebar. Kalau gadis ini sudah bertemu dengan ayahnya, tentu sudah mendengar pula tentang maksud pertalian jodoh itu. Matanya bersinar-sinar, mukanya merah ketika ia menatap wajah dara cantik jelita yang berdiri sambil menundukkan muka di depannya itu. "Syukurlah kalau ayahmu sudah pulang, Nona. Kuharap saja orang tua yang gagah perkasa itu dalam sehat-sehat dan selamat. Ah, alangkah inginku menghadap Kianglo-enghiong, alangkah rindu hatiku bertemu muka dengan dia lagi. Aku amat menghormat dan memujanya, Nona, selembar nyawaku ini masih berada di dalam tubuhku hanya berkat pertolongan ayahmu." Mendengar kata-kata yang diucapkan dengan sungguh-sungguh ini, Ang I Niocu menjadi amat terharu. Ia meramkan kedua matanya dan merasa hatinya perih sekali. Ketika ia membuka lagi kedua matanya, ia tidak dapat menahan air matanya yang mengucur deras. Cepat-cepat ia mempergunakan ujung lengan baju untuk menutupi matanya dan mengusap air matanya. "Ang I Niocu... kau kenapa..." Maafkan kalau aku kesalahan bicara..." Sun Hauw berkata kaget. Ang I Niocu dapat menekan perasaannya dan kini menjadi tenang kembali. "Saudara Liem, harap kaumaafkan kelemahanku. Sesungguhnya, perlu kiranya kauketahui bahwa Ayah telah meninggal dunia tujuh bulan yang lalu." Tiba-tiba muka Sun Hauw menjadi pucat dan ia merasa seperti kehilangan semangatnya. Kemudian ia menjatuhkan diri berlutut di atas tanah, menutupi mukanya dengan kedua tangan dan biarpun ia tidak mengeluarkan suara, kedua pundaknya bergerakgerak dan tahulah Ang I Niocu bahwa pemuda ini telah menangis! Diam-diam ia menjadi terharu hadap pemuda ini, sekarang perasaan ini lenyap dan ia harus mengaku bahwa kecuali mendiang Gan Tiauw Ki, pemuda ini merupakan seorang pemuda pilihan dan baik, yang pernah ditemuinya. Hanya kata-kata perlahan sekali "gakhu..." terdengar dari mulut pemuda itu. Wajah Ang I Niocu menjadi merah sekali ketika mendengar pemuda itu mengeluarkan kata-kata sebutan gakhu (ayah mertua) itu, akan tetapi kata-kata itu diucapkan perlahan sekali dan agaknya pemuda itu menahan hatinya agar tidak mengeluarkan suara. lagi. Memang Sun Hauw di samping keharuan dan kesedihannya, juga merasa bimbang dan gelisah. Calon mertuanya sudah meninggal dunia, apakah nona ini sudah tahu tentang perjodohan yang diikat" Bagaimana kalau Nona ini belum diberi tahu oleh ayahnya. Ingin sekali ia bertanya kepada Ang I Niocu tentang ini, akan tetapi tentu saja ia merasa malu dan sungkan. Sebaliknya ia lalu membikin tenang hatinya, diam-diam ia mengeringkan air matanya, lalu bangkit berdiri lagi. Sepasang matanya masih basah dan mukanya merah. "Niocu," suaranya serak dan pandang matanya kepada Ang I Niocu penuh perasaan kasih dan iba, "sungguh aku ikut berdukacita dan alangkah kaget hatiku mendengar warta menyedihkan ini. Niocu, ayahmu demikian sehat dan gagah perkasa ketika bertemu dengan aku, bagaimana ia bisa meninggal dengan mendadak" Apa sebabnya?" Kalau saja masih ada kemarahan dan kebencian dalam hati Ang I Niocu terhadap pemuda ini, Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 279 tentu ia akan menjawab dengan makian dan tuduhan bahwa pemuda inilah yang menjadi gara-gara kematian ayahnya. Akan tetapi sikap Sun Hauw mendatangkan kesan baik dalam hati Ang I Niocu dan gadis itu hanya menjawab singkat, "Ayah meninggal karena sakit bagian jantungnya." Keduanya berdiam diri agak lama. Sun Hauw tidak tahu harus berkata apa untuk menghibur nona itu. Akhirnya ia hanya dapat bertanya dengan perlahan, "Niocu, apakah... apakah mendiang ayahmu ada meninggalkan sesuatu pesanan untuk aku...?" Tentu saja Ang I Niocu dapat menangkap maksud pertanyaan itu, tentu pemuda ini hendak bertanya tentang maksud perjodohan yang direncanakan ayahnya. Akan tetapi ia hanya menggeleng kepala dan tidak berkata apa-apa. "Niocu, apakah kau tidak mempunyai keluarga lain?" Kembali Ang I Niocu menggeleng kepalanya. "Kau sebatang kara di dunia ini?" pertanyaan ini penuh perasaan iba. Ang I Niocu mengangguk, tidak berani mengeluarkan suara karena tahu bahwa suaranya tentu akan gemetar. Pertanyaan-pertanyaan ini membangkitkan kesedihan hatinya. Sampai lama Sun Hauw diam saja, penuh bimbang, ragu dan iba. "Niocu, aku hendak melaporkan urusan Bu-tong-pai dan Kim-san-pai yang sudah selesai itu kepada Susiok di Go-bi-pai, setelah itu aku akan menghadiri pertemuan yang diadakan oleh Sin-taihiap Bu Pun Su. Kalau aku boleh bertanya, kau hendak ke mana?" "Aku juga harus menghadiri pertemuan di puncak Gunung Thai-san, seperti yang dipesan oleh Susiok-couw Bu Pun Su." Wajah Sun Hauw berseri. "Kalau begitu, Niocu, apabila kau tidak menganggap aku terlalu lancang dan kurang ajar, maukah kau mengijinkan aku mengiringkan perjalananmu" Kita sejalan, dan aku akan merasa berbahagia sekali kalau boleh melakukan perjalanan bersamamu." Karena sikap pemuda itu memang amat baik dan menyenangkan hatinya, Ang I Niocu tidak merasa keberatan. Di atas dunia ini ia memang hidup sebatang kara, tiada keluarga tiada teman, sekarang ada pemuda ini yang baik hati dan sopan, mengapa menolak perjalanan bersama" Sedikitnya ia akan dapat menyelidiki dan mengetahui bagaimana keadaan sebenarnya dari pemuda yang menjadi pilihan ayahnya ini. Berangkatlah dua orang muda itu menuruni Bukit Kim-san dan dengan kepandaian mereka yang tinggi, mereka perjalanan cepat sekali. Sikap Sun Hauw benar-benar amat sopan dan baik sehingga Ang I Niocu makin suka kepadanya,. sungguhpun sukar dikatakan bahwa gadis itu membalas cinta kasihnya. Setelah kehilangan Gan Tiauw Ki dan ayahnya, memang amatlah sukar bagi Ang I Niocu untuk dapat mencinta pemuda lain. Memang, Sun Hauw seorang pemuda yang baik dan gagah. Tidak saja ia telah memiliki kepandaian yang tinggi, akan tetapi juga ia pandai membawa diri. Perjalanan berbulan-bulan bersama Ang I Niocu menjadi ujian baginya. Biarpun ia tergila-gila kepada Ang I Niocu, mabuk oleh kecantikan gadis ini yang memang luar biasa sekali sehingga ia mencinta gadis ini dengan sepenuh hati dan perasaan, namun belum pernah ia memperlihatkan sikap yang kurang ajar dan melanggar tatasusila. Bahkan, biarpun sepasang matanya selalu menyorotkan sinar cinta kasih yang berkobar-kobar, bibirnya tak pernah mengeluarkan sepatah kata pun tentang perasaan yang terkandung dalam hatinya itu. Tiap malam, kalau Ang I Niocu sudah pulas di dalam kamar lain di penginapan, atau di dalam kamar di sebuah kelenteng kosong di mana mereka bermalam, Sun Hauw gelisah tak dapat tidur dan kadangkadang ia duduk bersandar pada meja sembahyang di dalam kelenteng dan melamun! Tentu saja yang terbayang hanyalah Ang I Niocu yang gagah perkasa dan cantik jelita, dan terbayanglah pula pertemuannya yang pertama kali dengan dara pujaan hatinya itu. Kadang-kadang pemuda ini menjadi muram wajahnya, penuh kegelisahan dan kedukaan, kalau ia teringat betapa akan sengsara hidupnya kalau gadis itu kelak menolaknya! Ia pun Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 280 bingung mencari jalan bagaimana untuk bicara dengan Ang I Niocu tentang kehendak mendiang Kiang Liat mengenai tali perjodohan itu. Karena nama Ang I Niocu sudah mulai terkenal, apalagi semenjak ia membasmi gerombolan perampok di Bukit Min-san itu, tidak ada penjahat yang berani sembarangan mengganggunya dalam perjalanan itu. Lebih-lebih karena di situ ada Liem Sun Hauw dan pemuda ini yang sudah sudah lama merantau di dunia kang-ouw bersama mendiang suhunya, juga merupakan tokoh yang terkenal dan ditakuti penjahat. Para kaum liok-lim mempunyai mata yang awas dan telinga yang tajam, dan mereka tidak mau mengganggu orang-orang gagah yang sekiranya akan merugikan mereka sendiri. Ketika mereka tiba di jalan simpangan yang dekat dengan kampung tempat tinggal Sun Hauw, pemuda itu berkata, "Nah, di sinilah jalan yang menuju ke rumah ayahku, Niocu. Kau tentu tidak keberatan kalau kita singgah sebentar, bukan" Aku harus menengok keadaan Ayah karena ketika kutinggalkan, dia baru saja sembuh dari sakit." Hal ini memang seringkali dikemukakan oleh Sun Hauw dalam perjalanan, yakni bahwa pemuda itu hendak singgah di kampung halamannya. Ang I Niocu tidak keberatan dan ia memang ingin sekali melihat keadaan keluarga pemuda ini. Mereka membelok dan dengan cepat menuju ke kampung Peng-kan-mui. Akan tetapi, ketika mereka tiba di luar kampung itu, tiba-tiba Sun Hauw menghentikan kakinya dan mukanya berubah. Ang I Niocu juga berhenti dan menoleh, memandang heran kepada pemuda itu. "Mengapa kita berhenti di sini?" tanyanya. Sun Hauw teringat akan sesuatu yang membuat hatinya berdebar cemas dan yang membuatnya tiba-tiba berhenti itu. Ia teringat akan Siok Lan, gadis yang oleh ayahnya dicalonkan menjadi isterinya! Ia mengajak Ang I Niocu ke rumahnya, bahkan bermaksud minta kepada ayahnya supaya melamar gadis ini sebagai calon isterinya. Akan tetapi bagaimana dengan Siok Lan" Karena dahulu ayahnya sudah menetapkan perjodohannya dengan Siok Lan, maka urusan ini menjadi sulit dan harus dipecahkan dengan perlahan. Kalau ia mengajak Ang I Niocu ke rumah ayahnya, bagaimana kalau terjadi hal-hal yang tidak dikehendakinya" Bagaimana kalau andaikata ayahnya marah-marah dan Ang I Niocu mendengar tentang pertunangannya dengan Siok Lan" Bisa ribut dan tentu Ang I Niocu akan tersinggung, akan marah! "Niocu, baru sekarang aku ingat dan betapapun besar malu dan kecewaku kepadamu, terpaksa hal ini kukemukakan secara terus terang kepadamu. Kau tahu bahwa Ayah adalah seorang dusun yang kuno dan pendiriannya masih kolot. Kalau tiba-tiba saja aku datang bersama engkau, tentu ia akan menyangka yang bukan-bukan dan mengira bahwa aku telah menyeleweng. Hal ini bukan saja tidak baik bagiku, juga akan menyinggung perasaanmu. Oleh karena itu, aku harap kau sudi memaafkan aku, Niocu. Biarlah aku yang masuk lebih dulu, memberitahukan tentang perjalananku dan tentang kunjunganmu, agar orang tua itu tidak salah paham dan dapat menyambut kunjunganmu." Wajah Ang I Niocu menjadi merah. Akan tetapi bagaimana ia bisa marah" Pemuda ini bicara dengan begitu terus terang dan secara terbuka, sehingga sama sekali tidak dapat disebut menghinanya, bahkan telah melindunginya dari keadaan yang benarbenar akan dapat menyinggung dan menghinanya, misalnya kalau tiba-tiba ayah pemuda itu memaki-maki puteranya di depannya, tentu hal ini akan membuat dia merasa terhina. Oleh karena itu ia pun, tersenyum manis sekali dan berkata, "Aku mengerti, Saudara Liem. Tidak apa, karena memang aku tidak berhak mengganggu orang tua itu. Kau masuklah ke kampung dan tengok orang tuamu. Biar aku berjalan-jalan di kampung ini melihat-lihat. Kiranya setengah hari cukup untuk melepas rindu kepada ayahmu, bukan" Nah, sekarang masih pagi. Nanti lewat tengah hari kita bertemu pula di luar kampung Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 281 ini untuk melanjutkan perjalanan." Sun Hauw tidak berani banyak membantah. Masuklah dua orang muda itu ke kampung Peng-kan-mui dalam keadaan berpisah. Sun Hauw membelok ke kanan dan Ang I Niocu membelok ke kiri. Kampung itu besar juga sehingga Ang I Niocu takkan merasa kesepian selama menanti Sun Hauw menyelesaikan kunjungannya ke rumah. Ia berjalan perlahan di sepanjang jalan kampung itu, tidak mempedulikan pandangan orang-orang yang terheran-heran dan kagum melihatnya. *** Di bawah sebatang pohon di belakang rumahnya, Tang Siok Lan berdiri termenung. Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Gadis manis ini kadang-kadang tersenyum dan kadang-kadang membelai-belai batan pohon dengan jari-jari tangannya yang halus. Baru saja ia mendengar warta girang, warta yang dianggapnya paling baik di antara segala berita. Warta tentang datangnya Liem Sun Hauw, kekasih dan tunangannya! Ia telah "jatuh hati" kepada Liem Sun Hauw semenjak ia masih kecil! Teringat ia ketika dahulu, samasama masih seorang anak berusia enam tujuh tahun, ia selalu bermain-main dengan Sun Hauw di tempat ini, di kebun rumahnya di mana Sun Hauw setiap hari datang mengajaknya bermain-main. Semenjak kecilnya, Sun Hauw memang sudah gagah atau setidak-tidaknya bercitacita menjadi seorang gagah. Sering kali Sun Hauw membuat kuda-kudaan dari batang pohon, lalu berlari-lari "naik kuda" dengan lagak seorang pahlawan berangkat ke medan perang! Dan di tengah jalan dia melambai-lambaikan tangan kepada Siok Lan yang dibalas dengan lambaian tangan pula. Sering kali mereka bermain-main, Sun Hauw menjadi pangeran dan Siok Lan menjadi puterinya, sang pangeran menolong sang puteri yang ditawan oleh penjahat! Siok Lan tersenyum dan kadang-kadang tertawa kecil menutupi mulut dengan tangannya kalau ia teringat akan semua ini. Sekarang Sun Hauw sudah pulang! Sedangkan ayah Sun Hauw dan ayahnya sendiri sudah setuju bahwa kalau Sun Hauw pulang, pernikahan antara dua orang muda ini akan dilangsungkan segera. Tiba-tiba pintu belakang rumah itu terbuka dan seorang wanita muda yang cantik juga datang berlari-lari sambil tertawa, "Siok Lan, kau sedang apa di situ" Mengapa tidak lekas-lekas berganti pakaian dan membereskan rambutmu" Sebentar lagi tentu dia akan datang ke sini...!" kata wanita itu yang ternyata adalah kakak ipar dari Siok Lan. "Ahhh... Soso suka menggoda orang..." jawab Siok Lan dan mukanya yang putih halus meniadi merah, lesung di atas tahi lalat yang berada di dagu kirinya membayang menambah kemanisannya. Dua orang wanita ini lalu bersendau-gurau dan Siok Lan digoda terus oleh kakak iparnya. Keduanya tertawa-tawa gembira tidak tahu bahwa tak jauh dari situ dua orang mengintai dan mendengarkan percakapan mereka. Kalau di tempat ini terjadi hal yang menggembirakan, sebaliknya di rumah Sun Hauw terjadi hal yang ribut. Terdengar ayah pemuda itu berteriak-teriak marah, diseling suara Sun Hauw yang tenang dan lemah-lembut, agaknya hendak menghibur ayahnya. Akhirnya dengan suara menyatakan kekecewaan, kemarahan, dan kedukaan, ayah pemuda itu berkata, "Sudahlah, Sun Hauw. Kalau kau berkukuh, aku pun tak dapat memaksa, karena kaulah yang akan menikah. Akan tetapi, untuk membatalkan ikatan jodoh dengan keluarga Tang, harus kau sendiri yang datang memberitahukan. Aku tidak sampai hati, aku tidak tega membikin malu dan susah Siok Lan, anak yang baik itu... Baru saja ia masih demikian lincah gembira... penuh harapan, sekarang kau hendak menghancurkan hatinya..." "Ayah, sesungguhnya anak pun merasa amat kasihan kepada Siok Lan. Akan tetapi apa daya, Ayah. Anak merasa lebih cocok dan anak mencinta Ang I Niocu seorang wanita gagah yang lebih sesuai dengan keadaan anak sendiri. Tentang Siok Lan, biarlah anak anggap sebagai Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 282 adik sendiri dan kelak anak yang akan mencarikan calon suami." "Masa bodoh... masa bodoh... anak muda sekarang memang tidak kenal budi!" Biarpun secara terpaksa sekali harus mendapat persetujuan ayahnya, Sun Hauw girang juga bahwa akhirnya ayahnya menyerahkan hal perjodohan ini kepadanya. Ia lalu cepat meninggalkan rumahnya, menuju ke rumah Siok Lan. Ia harus cepat-cepat karena khawatir kalau membuat Ang I Niocu terlalu lama menunggu. Akan tetapi setelah tiba di dekat rumah Siok Lan, ia merasa berdebar juga hatinya. Bagaimana ia harus menyampaikan hal yang amat pahit bagi Siok Lan itu" Lebih baik kusampaikan kepada Siok Lan sendiri, pikirnya. Untuk menyampaikan hal ini kepada ayah Siok Lan, atau kakak Siok Lan, ia merasa lebih sukar lagi karena hubungannya dengan mereka ini kurang erat. Semenjak kecilnya memang kakak Siok Lan itu bekerjaa di kota lain dan pulang-pulang sudah membawa isteri. Akan tetapi kalau dengan Siok Lan, semenjak kecil ia memang sudah kenal baik sehingga biarpun amat berat rasa hati menyampaikan hal yang menghancurkan perasaan gadis itu, namun masih lebih mudah apabila dibandingkan dengan menyampaikan kepada ayah atau kakaknya. Ketika Sun Hauw melompati pagar belakang rumah, ternyata ia mendapatkan Siok Lan tengah duduk seorang diri di bawah pohon. Kebetulan sekali, setelah bergurau dengan kakak iparnya yang menggodanya, kakak ipar itu kembali kedalam rumah untuk melanjutkan pekerjaan rumah tangga, dan Siok Lan melamun seorang diri di dalam kebunnya, mengambil keputusan di dalam hatinya, hanya akan keluar kalau Sun Hauw sudah datang berkunjung ke rumahnya. Akan tetapi kini ia telah berganti pakaian seperti yang dinasihatkan oleh kakak iparnya tadi, dan rambutnya yang hitam halus dan panjang sudah disisirnya rapi. Mukanya yang jarang dibedaki, karena ia memang bukan seorang pesolek, akan tetapi yang putih dan halus, kini bertambah menarik dengan bedak tipis-tipis dan senyumnya tak pernah meninggalkan bibirnya. Saat-saat seperti ini, menanti datangnya kekasih hati, memang merupakan saat paling bahagia bagi seorang dara. Ketika melompat turun ke dalam kebun itu, untuk sesaat Sun Hauw berdiri tertegun. Ia terharu. Teringat ia akan masa kanak-kanak dahulu. Setiap kali ia pun memasuki kebun Siok Lan seperti ini. Hanya bedanya, kalau dahulu ia masuk menerobos pagar kebun yang rusak, adalah sekarang dengan mudahnya ia melompati pagar tanpa mengeluarkan suara. "Siok Lan..." Ia memanggil dengan nada suara seperti dahulu ketika masih kecil pula. Gadis itu terkejut, serasa dalam mimpi. Seperti pada dulu, ia pun tersenyum, menoleh dan memandang ke Sun Hauw. "Hauw-ko... kau baru datang...?" Kemudian ia teringat bahwa mereka bukan kanakkanak lagi, maka merahlah mukanya dan disambungnya dengan kata. kata itu, "Eh, mengapa kau datang dari belakang?" Sun Hauw makin terharu melihat wajah wanita itu tersenyum bahagia, sepasang mata yang sudah dikenalnya baik semenjak kanak-kanak itu berseri seri, akan tetapi ia tidak bisa membalas senyum dan wajahnya nampak muram. "Aku sengaja datang dari belakang untuk bertemu dan bicara dengan kau, Siok Lan." Ia lalu menghampiri gadis itu dan diucapkanlah kata-kata yang sudah dirangkai dan dihafalkannya di sepanjang jalan tadi. "Siok Lan, semenjak kita masih kanak-kanak, kita telah menjadi sahabat baik, bahkan boleh dibilang sudah seperti kakak beradik saja. Oleh karena itu, biarlah sekarang kauanggap aku bicara selaku kakakmu dan bagi aku, lebih baik aku bicara sendiri denganmu daripada dengan ayah atau kakakmu. Sebagai seorang kakak aku hendak bicara terus terang saja, demi kebaikan kita berdua dan demi kebaikan keluarga kita. Kau tahu bahwa selamanya aku menganggap kau sebagai adikku, karena aku sendiri tidak mempunyai saudara. Akan tetapi, ketika aku pulang tadi, aku mendengar dari Ayah bahwa antara kita telah diikat tali perjodohan." Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 283 Mendengar ini Siok Lan menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali sampai ke telinga dan lehernya. Ia tidak berani bergerak, hanya tersenyum-senyum malu dan ujung kasutnya menggurat-gurat tanah di bawah kaki, hanya itulah gerakan satusatunya yang ia berani lakukan. Ia merasa malu, jengah, dan juga... girang bukan main. "Siok Lan, kau sendiri tentu tahu bahwa aku selalu akan merasa girang dan berterima kasih, bahwa aku tentu akan menerimanya dengan tangan terbuka dan haiti terbuka, karena kau memang seorang yang kutahu amat bijaksana, amat mulia, dan seorang dara pilihan, kalau saja..." Tiba-tiba wajah menunduk yang kemerahan itu menjadi pucat dan diangkat, sepasang mata yang bingung dan kaget, seperti mata seekor kelinci melihat harimau menatap wajah Sun Hauw, membuat Sun Hauw merasa kerongkongannya tersumbat! Akan tetapi pemuda itu mengeraskan hati dan ia harus mengakhiri kalimat yang paling sulit diucapkannya itu. "Kalau saja aku belum mempunyai seorang kekasih, Siok Lan. Memang ini salahku. Aku sudah jatuh cinta kepada seorang gadis gagah perkasa bernama Ang I Niocu Kiang Im Giok, dan aku... aku bahkan sudah bertunangan dengan dia, aku pulang untuk meminta Ayah meminangnya, maka tali perjodohan antara kau dan aku ini tentu saja tak mungkin...! Kau tahu Siok Lan, aku sayang kepadamu seperti seorang kakak menyayang adiknya, dan terhadap Ang I Niocu... dia itu pilihan hatiku, tak mungkin diganti oleh lain orang..." Kalau ada geledek menyambarnya di saat itu, kiranya Siok Lan takkan begitu kaget seperti ketika mendengar kata-kata ini. Sepasang matanya terbelalak, mukanya pucat, bibirnya gemetar dan bergerak-gerak tanpa dapat mengeluarkan sepatah kata pun, kakinya menggigil dan akhirnya air mata membanjir keluar dibarengi keluhan suaranya, "Hauw-ko..." dan gadis ini berlari dengan limbung, memasuki rumahnya. Sun Hauw menarik napas panjang dengan perasaan kasihan tercampur lega. Akhirnya kata-kata itu dapat juga dikeluarkan dan nona itu tentu akan menyampaikannya kepada kakaknya dan ayahnya dan semua bereslah! Ia lalu membalikkan tubuh dan melompati pagar kebun itu, kembali ke rumah ayahnya, untuk menyampaikan bahwa hal itu sudah beres. Biarpun kebun itu sudah ditinggalkan oleh Siok Lan dan Sun Hauw akan tetapi orang yang semenjak tadi mengintai di situ masih belum pergi. Ia berdiri bersembunyi, seperti patung, rupa-rupanya terpengaruh oleh semua yang telah didengarnya, semenjak Siok Lan bergurau dengan kakak iparnya tentang Sun Hauw sampai pertemuan antara Siok Lan dan Sun Hauw. Tiba-tiba terdengar jerit mengerikan dari dalam rumah sederhana, rumah keluarga Tang itu. Orang yang tadi bersembunyi, cepat sekali berkelebat, berubah menjadi bayangan merah dan di lain saat ia telah naik ke atas genteng rumah itu. Dilihatnya dari atas betapa Siok Lan berlari dikejar oleh kakak dan iparnya. Bayangan merah di atas genteng hendak melompat turun mengejar, akan tetapi terlambat, Siok Lan sudah sampai di dinding dan dengan sekuat tenaga gadis yang malang ini membenturkan kepalanya pada dinding. Terdengar suara keras dan gadis itu roboh terkulai, darah mengalir dari pelipisnya, keluar pula dari mulut, hidung, dan matanya yang terbuka lebar tanpa cahaya, mata seorang yang sudah tewas...! Kakak Siok Lan menggereng-gereng, isterinya menjerit-jerit dan seorang kakek tua, yakni ayah Siok Lan, terbungkukbungkuk lari dari dalam, lalu menubruk jenazah puterinya sambil menangis dan berkata-kata tidak karuan seperti orang yang sudah berubah ingatannya, seperti orang gila saking sedihnya. Bayangan merah itu menggigit bibir dan menghapus dua titik air mata yang membasahi pipinya, kemudian berkelebat pergi. *** Sun Hauw menjadi terkejut dan menyesal sekali ketika mendengar tentang perbuatan Siok Lan yang nekad. Tak terasa lagi air matanya turun bertitik, karena betapapun juga, ia sesungguhnya amat sayang kepada Siok Lan. Kalau di sana tidak ada Ang I Niocu, kiranya ia Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 284 akan menerima Siok Lan sebagai isteri dengan perasaan gembira dan bahagia. Ayahnya juga menangis sesenggukan, membanting diri di atas pembaringan sambil memaki-maki anaknya, "Sun Hauw, dasar kau manusia tak kenal budi! Kau telah melakukan perbuatan yang membikin kotor nama keluarga kita, kau telah melakukan dosa besar sekali, dan sesungguhnya kaulah yang membunuh Siok Lan...!" Setelah memaki-maki, ayah ini berkata, "Kau boleh mencari isteri yang mana saja, akan tetapi bagiku, kau sudah mempunyai isteri Siok Lan! Aku tidak sudi melamarkan lain orang gadis untuk menjadi isterimu!" Tentu saja Sun Hauw merasa amat berduka. Akan tetapi, disamping kedukaannya ini, ia pun diam-diam merasa girang karena kini perjodohannya dengan Ang I Niocu tidak terhalang oleh apapun juga lagi! Kalau ayahnya tidak mau meminang, ia dapat minta perantaraan susioknya. Memang, seorang yang sudah dimabuk cinta kadang-kadang sampai lupa akan kebajikan, yang diingat hanyalah kesenangan diri sendiri saja. Setelah meninggalkan sebagian besar uangnya untuk disumbangkan kepada keluarga Tang, Sun Hauw lalu berpamit kepada ayahnya untuk melanjutkan perjalanan. Tak dapat dilukiskan betapa remuk perasaan hati ayahnya. Ayah ini hanya mempunyai seorang putera dan sekarang, putera ini telah mengecewakan hatinya, bahkan hanya setengah hari saja pulang, dan hendak pergi lagi. Sebaliknya, setelah keluar dari rumahnya, Sun Hauw merasa seakan-akan seekor burung terlepas dari sangkar yang sempit. Ia berlari-lari menuju ke luar kampung di mana tadi ia berpisah dari Ang I Niocu. Kemuraman wajahnya yang tadi sudah lenyap terganti seri penuh harapan dan kegembiraan. Masa depannya penuh madu dan kebahagiaan bersama Ang I Niocu, dara perkasa yang cantik seperti bidadari, mengapa ia harus berduka" Dengan hati gembira ia berlari keluar dari pintu gerbang dusunnya dan dari jauh ia sudah melihat dara baju merah itu menanti kedatangannya, berdiri tegak dengan gagah dan cantiknya. Gadis itu tersenyum manis sekali dan matanya bersinar-sinar menatap wajah Sun Hauw. "'Kuharap aku tidak terlalu lama pergi sehingga kau tidak menjadi kesal hati," kata Sun Hauw. "Tidak sama sekali," jawab Ang I Niocu dengan suara merdu dan sikap menarik. "Saudara Liem, mengapa selama ini kau tidak pernah bercerita kepadaku tentang maksud-maksud mendiang ayahku?" Sun Hauw terkejut, hatinya berdebar. "Apa yang kaumaksudkan, Niocu?" Ang I Niocu tersenyum manis. "Ayah sebelum menutup mata meninggalkan pesan kepadaku tentang kita." Dapat dibayangkan betapa girangnya hati Sun Hauw. Jadi kalau begitu selama ini Ang I Niocu sudah tahu bahwa dia adalah pilihan ayahnya" Dan gadis itu mau melakukan perjalanan bersama dia. Ah, kalau begini dapat diharapkan sembilan dari sepuluh bagian cita-citanya terlaksana! "Jadi kau... kau sudah tahu, Niocu" Aku diam saja karena tidak ingin membikin kau tak enak hati dan malu. Memang, mendiang ayahmu dahulu telah... mengusulkan tentang... ikatan jodoh antara kita..." "Saudara Liem, apakah kau suka kepadaku?" tanya Ang I Niocu, sepasang matanya menatap tajam, mulutnya tetap tersenyum manis. Diam-diam Sun Hauw terheran-heran juga mengapa gadis inni tidak kelihatan likat dan sungkan, dan bicara tentang ikatan jodoh nampaknya demikian biasa! "Suka kepadamu, Niocu" Ah, kiranya tak perlu kujelaskan dan Niocu yang berpandangan tajam tentu sudah mengetahui akan isi hatiku. Semenjak pertemuan kita yang pertama kali, aku... aku sedetik pun tak pernah dapat melupakanmu, Niocu. Aku cinta kepadamu dengan seluruh jiwaku..." Senyum di mulut Ang I Niocu melebar sehingga nampak sekilas giginya yang putih dan rapi. Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 285 "Begitukah" Akan tetapi kau harus tahu bahwa sebelum Ayah menyatakan keinginannya agar kau berjodoh denganmu, aku sudah bersumpah bahwa aku hanya akan menikah dengan seorang pria yang dapat mengalahkan pedangku. Nah, Saudara Liem, kalau kau memang benar-benar cinta kepadaku dan hendak memperisteri aku, coba kaukalahkan pedangku ini!" Sambil berkata demikian Ang I Niocu mencabut pedangnya dan menanti dengan sikap garang. Liem Sun Hauw tentu saja menjadi terkejut, tertegun dan tak tahu harus berbuat apa. Akan tetapi, melihat senyum Ang I Niocu tadi, hatinya menjadi besar. Melihat gelagatnya, nona ini pun membalas cinta kasihnya. Sudah tentu saja Ang I Niocu memegang harga diri dan mengadakan "sayembara" ini untuk mempertinggi harga dirinya, akan tetapi kalau nona ini membalas cintanya, masa Ang I Niocu akan bertempur sungguh-sungguh" Dan pula, andaikata Ang I Niocu bersungguh-sungguh, ia pun tidak takut karena biarpun dalam hal gin-kang ia harus mengakui masih kalah oleh nona baju merah ini, namun dalam ilmu pedang, ia tidak percaya kalau kalah. Ia telah menerima gemblengan dari mendiang Thian Mo Siansu dan telah mempelajari ilmu pedang yang lebih lihai daripada ilmu pedang Go-bi-pai. "Begitukah kehendakmu, Niocu" Biarlah aku memperlihatkan kebodohanku," katanya sambil mencabut pedang dan memasang kuda-kuda. Ia sengaja memasang pertahanan untuk memberi kesempatan kepada Ang I Niocu menyerang lebih dulu. Ang I Niocu tidak sungkan-sungkan lagi. "Lihat pedang!" serunya dan di lain saat Sun Hauw harus cepat-cepat membuang diri ke kiri sambil menyampok karena pedang gadis itu lenyap berubah sinar bagaikan kilat menyambarnya, cepat bukan main. "Hebat...!" tak terasa lagi Sun Hauw mengeluarkan seruan terkejut dan kembali sinar pedang di tangan Ang I Niocu menyambarnya. Dalam beberapa jurus Sun Hauw terus terdesak hebat dan serangan-serangan Ang I Niocu benar-benar luar biasa Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo ganasnya. Akan tetapi Sun Hauw tidak mau membalasnya, hanya memutar pedang sedapat mungkin melindungi tubuhnya. "Balaslah, aku paling tidak suka melihat orang berlaku mengalah. Memangnya ilmu pedangmu jauh lebih menang?" kata Ang I Niocu. Sambil berkata-kata, ia melanjutkan serangan-serangannya dengan cepat. Melihat gerakan pedang Ang I Niocu, diam-diam Sun Hauw terkejut sekali dan tahulah ia bahwa gadis itu benar-benar lihai dan ilmu pedangnya amat tinggi tingkatnya, sukar diduga gerak-gerik dan perubahannya. Akan tetapi ia masih percaya penuh bahwa tidak nanti Ang I Niocu mau melukainya, maka sambil tersenyum manis ia berkata, "Niocu, bagaimana aku berani menyerangmu" Sejak dahulu ayahmu telah memberi tahu bahwa kepandaianmu tinggi sekali, malah lebih tinggi daripada ayahmu sendiri. Pula, pedang tidak bermata, bagaimana aku tega menyerangmu" Kalau sampai kulitmu terluka pedang, bukankah aku akan menyesal setengah mati?" Ang I Niocu yang tadinya bersikap manis, kini mengeluarkan suara ketus, "Orang she Liem, kita dalam pibu, luka atau mati adalah soal biasa! Aku akan menyerangmu sungguh-sungguh!" Sun Hauw masih saja tidak sadar akan perubahan suara ini. Ia masih tersenyum dan berkata manis, "Niocu, aku tidak percaya kau akan melukaiku. Tegakah kau melihat tunangan sendiri menjadi korban ujung pedangmu" Kalau kau tega, silakan, aku rela mati dalam tangan orang yang paling kucinta..." Ang I Niocu tak dapat menahan marahnya lagi. Ia menghentikan gerakan pedangnya, berdiri tegak dan dengan muka merah ia menudingkan pedangnya ke arah muka Sun Hauw. Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 286 "Bangsat rendah! Kaukira kau ini orang macam apakah berani sekali bicara seperti itu di depanku" Ketahuilah, buka telingamu lebar-lebar, jangankan kau tak dapat menangkan pedangku, andaikata kau dapat menangkan juga, belum tentu aku sudi menjadi isteri seorang kejam macam kau!" Kali ini benar-benar Sun Hauw terkejut. Mukanya berubah pucat ketika ia bertanya, "Eh, Niocu, mengapa kau marah kepadaku" Apakah kesalahanku?" "Manusia rendah, kau pandai berpura-pura! Tentu Ayah dahulu juga sudah tertarik oleh gerak-gerik dan kata-katamu yang palsu, mengira kau seorang baik-baik tidak tahunya kau menyimpan hati yang palsu. Apa yang kau sudah lakukan terhadap Siok Lan?" Sun Hauw merasa semangatnya terbang. "Siok Lan..." Bagaimana kau bisa tahu...?" Ang I Niocu tersenyum akan tetapi kini senyumnya mengiris jantung, senyum mengejek dan memandang rendah. "Kau sanggup menghancurkan hati seorang gadis suci seperti Siok Lan, kau telah mempermainkan perasaan cintanya. Kemudian, setelah gadis itu membunuh diri, masih hangat jenazahnya, kau sudah berani beraksi dihadapanku seolah-olah aku ini kekasihmu. Cih, laki-laki tak tahu malu!" Setelah berkata demikian, dengan sikap menghina sekali Ang I Niocu membalikkan tubuh dan meninggalkan pemuda itu. Dapat dibayangkan betapa hancur perasaan Sun Hauw di saat itu. Malu dan marah karena terhina, kecewa dan berduka karena ditolak cintanya, menyesal sekali atas perbuatannya terhadap Siok Lan, semua perasaan ini teraduk-aduk menjadi satu dalam hati dan pikirannya. Kemudian melihat Ang I Niocu meninggalkannya, ia mengejar sambil rnembentak, "Ang I Niocu, ayahmu telah menjanjikan aku menjadi suamimu! Apakah kau hendak melanggar janji " Apakah hendak mencemarkan nama baik ayahmu dengan mengingkari janji?" Tiba-tiba Ang I Niocu membalikkan tubuh menantangnya dengan pandang mata berapiapi. "Kau masih berani menyebut-nyebut ayahku" Bangsat rendah, aku tidak membunuh kau seperti anjing saja sudah amat untung bagimu. Kau berani menuduh aku mengingkari janji" Kaulah yang menipu Ayah, kau sudah bertunangan dengan Siok Lan masih berani menerima uluran tangan Ayah! Kau yang sudah menginngkari janjimu terhadap keluarga Siok Lan. Adapun aku, aku sama sekali tidak mengingkari janji. Sudah kukatakan tadi bahwa orang yang hendak menjadi suamiku harus dapat mengalahkan pedangku. Nah, sanggupkah kau mengalahkan pedangku?" Kata-kata ini disusul dengan tarikan pedang yang dilintangkan di depan dada dengan gaya menantang sekali. Hati Sun Hauw yang sudah remuk dan putus asa yang merasa kebahagiaannya jatuh dan hancur berantakan, kini menjadi panas dan membuatnya nekad. Ia rela mati kalau tidak bisa mendapatkan Ang I Niocu I sebagai isterinya. Maka cepat dihadapinya Ang I Niocu dengan pedang di tangan dan katanya, "Baiklah, Niocu. Kalau begitu besar keinginanmu hendak mengadu ilmu, mari kulayani kau!" Sun Hauw kini menerjang dengan sengitnya dan sebentar kemudian dua orang muda itu sudah bertanding dengan seru. Ilmu pedang dari Sun Hauw memang lihai sekali, karena di dalam ilmu pedang yang berdasar pada ilmu pedang Go-bi-pai ini terdapat pukulan-pukulan aneh yang dahulu diwarisi oleh Thian Mo Siansu dari orang sakti Hok Peng Taisu. Pedang di tangannya lenyap berubah menjadi sinar bergulung-gulung, bagaikan seekor naga mengejar awan. Namun kini ia menghadapi Ang I Niocu, dara perkasa ahli pedang yang mewarisi ilmu pedang dari keluarga Kiang, kemudian yang sudah menerima petunjuk dari orang sakti Bu Pun Su. Dalam menghadapi pemuda lihai ini, Ang I Nio tidak berani main-main dan cepat memainkan limu pedang Sian-li Kiam-sut yang amat indah gerakan-gerakannya namun di dalamnya mengandung tangan maut yang setiap saat mengancam nyawa lawannya. Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 287 Setelah mendapatkan kenyataan betapa tangguh ilmu pedang Ang I Niocu dan bahwa gadis itu benar-benar hendak merobohkannya, Sun Hauw menjadi marah dan hatinya sakit sekali. Ia merasa dipermainkan oleh gadis ini yang tadinya dikira "ada hati" kepadanya. Dengan seluruh tenaga dan kepandaian yang ada padanya, ia tidak sungkan-sungkan lagi dan kini ia benarbenar ingin mengalahkan Ang I Niocu, baik dengan melukainya maupun kalau perlu membunuhnya! Pertempuran menjadi makin seru dan hebat di luar kampung Peng-kan-mui. Beberapa orang kampung yang melihat pertempuran ini memberi kabar kepada lain orang dan sebentar saja di tempat itu banyak berkumpul orang kampung. Akan tetapi mereka itu hanya menonton saja, tidak ada yang berani mencampuri. Apalagi dua orang itu bertempur bagaikan telah saling libat dengan sinar pedang, seperti menjadi satu. Kalau bukan seorang ahli, mana bisa mencampuri mereka" Disamping ini, biarpun Sun Hauw orang kampung itu, akan tetapi ia telah mendatangkan kesan buruk pada penduduk kampung itu dengan peristiwa yang terjadi pada diri Siok Lan. Seratus jurus telah lewat dan tiba-tiba terdengar Ang I Niocu mengeluarkan bentakan nyaring, disusul oleh robohnya tubuh Liem Sun Hauw yang telah tertusuk dada kirinya oleh pedang dara baju merah itu. Aneh sekali, dalam menghadapi maut ini, tiba-tiba Sun Hauw teringat kepada Siok Lan dan seperti dalam mimpi ia berseru, "Siok Lan... kautunggulah aku...!" Dan tewaslah ia dengan pedang masih di tangan. Melihat ini, Ang I Niocu merasa terharu juga, terharu karena pemuda ini tewas sebagai akibat mencintainya. Ia menoleh kepada orang-orang kampung yang masih berdiri memandangnya. "Yang menewaskan Liem Sun Hauw adalah aku, Ang I Niocu. Aku membalaskan sakit hati Nona Siok Lan." Setelah berkata demikian, Ang I Niocu berjalan pergi dengan langkah tenang dan lambat, akan tetapi anehnya, sebentar saja ia telah lenyap dari pandangan mata orang-orang kampung. *** Ang I Niocu langsung menuju ke Thai-san untuk menghadiri pertemuan orang-orang gagah yang diadakan oleh susiok-couwnya. Memang ia sebetulnya tidak diharuskan ke sana, akan tetapi setelah sekarang ia menjadi seorang perantau, peristiwa ini menarik hatinya dan ingin ia melihat dan bertemu dengan tokoh-tokoh kang-ouw yang ternama. Ketika ia tiba di sebuah hutan di kaki Gunung Thai-san, selagi ia berjalan perlahan, tiba-tiba terdengar bentakan! "Perempuan rendah, sudah lama aku menunggu di sini!" Ang I Niocu tenang memandang dan ia melihat Koai-tung Toanio muncul bersama seorang kakek tua yang bermuka hijau. Ang I Niocu maklum bahwa Koai-tung Toanio tentu akan membalas sakit hati karena telah dua kali ia kalahkan, apalagi akhirakhir ini ia telah melukai pundak seorang puterinya, bahkan telah membunuh dua orang anaknya yang menjadi anggauta Min-san Sam-kui, yakni Kwan Liong dan Kwan Bi Hwa. Maka tahulah ia bahwa kali ini ia harus bertempur mati-matian. Terhadap Koai-tung Toanio ia tidak takut, akan tetapi ia dapat menduga bahwa kakek yang menyertai nenek galak itu tentulah seorang berkepandaian tinggi. "Toanio, kita berjumpa pula di sini. Kali ini apa kehendakmu?" tanya Ang I Niocu tenang akan tetapi siap sedia. Sementara itu, kakek bermuka hijau itu sejak tadi sudah memandang dengan bengong kepada Ang I Niocu. "Ci Im, inikah nona yang bernama Ang I Niocu?" tanya kakek itu kepada Koai-tung Toanio yang sebetulnya bernama Kwan Ci Im. "Betul, Susiok. Dia inilah siluman betina yang telah membunuh dua orang anakku," jawab Koai-tung Toanio penuh kebencian. "Kau keliru, Ci Im. Dia ini tidak seperti siluman, lebih patut menjadi bidadari. Hemm, alangkah cantik manisnya. Aku telah hidup lima puluh tahun lebih, baru sekarang ini melihat seorang wanita secantik ini...! Bukan main...!" Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 288 Dapat dibayangkan betapa mendongkol dan marahnya hati Ang I Niocu mendengar kata-kata bandot tua itu. Dari kata-katanya sudah dapat dinilai orang macam apa yang sekarang ia hadapi. "Anjing-anjing tua tak tahu malu!" makinya sambil mencabut pedangnya. "Kalian menggonggong di sini mau apakah?" "Setan perempuan, kuhancurkan kepalamu!" Koai-tung Toanio sudah tak dapat menahan marahnya lagi dan tongkatnya menyambar. Ang I Niocu cepat menangkis sehingga tongkat itu terpental kembali. "Ci Im, jangan! Biarkan aku menangkapnya. Sayang kalau sampai kulitnya yang putih halus itu lecet oleh tongkatmu! Aku akan menangkapnya hidup-hidup tanpa melukainya. Nona manis, marilah ikut dengan aku!" Kakek tua bermuka hijau itu melompat maju. Kedua tangannya dikembangkan, jari-jari tangannya seperti cakar setan. Ang I Niocu marah sekali. Pedangnya berkelebat membabat dua lengan itu. Kakek itu tertawa bergelak, tangannya disampokkan ke arah pedang. "Triiing...!" Kedua pihak kaget. Ang I Niocu terkejut sekali karena pedangnya telah ditangkis oleh kuku jari-tangan kakek itu! Benar-benar kepandaian yang luar biasa dan hebat. Agaknya kakek ini telah melatih jari tangannya berikut kukunya untuk menghadapi senjata tajam lawan. Di lain pihak, kakek itu pun kaget setengah mati karena bukan saja ia tidak dapat merampas pedang seperti yang ia duga semula, bahkan jari tangannya terasa sakit ketika bertemu dengan pedang. "Eh, eh, kau ternyata berisi juga, Nona manis. Akan tetapi sekarang bertemu dengan Tiat-sim Lo-mo (Iblis Tua Berhati Besi), jangan harap kau dapat berlagak!" Setelah berkata demikian, ia mencabut keluar sebatang golok yang memakai gelangan-gelangan kecil pada punggung golok, gelangan yang bisa mengeluarkan bunyi gemerincing yang gunanya untuk mengacaukan lawan. Ang I Niocu diam-diam terkejut juga. Ia pernah mendengar nama julukan Tiat-sim Lo-mo ini, yaitu seorang tokoh besar Kong-thong-pai yang menyeleweng dan sudah tidak diakui di partainya. Tiat-sim Lo-mo terkenal sebagai seorang penjahat cabul yang kejam sekali. Selain ini ia pun seringkali merampok rumah orang dan dalam melakukan semua kejahatan ini, ia bisa berlaku kejam dan membunuh seisi rumah tanpa berkedip mata, dari yang tua sampai anak-anak kecil. Oleh karena itulah maka ia diberi julukan Iblis Tua Berhati Besi untuk menggambarkan betapa kejam hatinya. "Ah, kiranya kau iblis jahat. Kebetulan sekali, aku ingin membalaskan sakit hati puluhan orang yang menjadi korbanmu!" kata Ang I Niocu sambil mainkan pedangnya. "Ha, ha, ha, ha, kau sendiri akan menjadi korban baru, bagaimana kau akan membalas sakit hati" Ha, ha, ha, lebih baik kau menyerah dengan tenang daripada harus lecet-lecet kulitmu!" Ang I Niocu tidak mau melayaninya bicara lagi, pedangnya bergerak hebat dan mengerti bahwa ia berhadapan dengan orang lihai, Ang I Niocu langsung mengeluarkan jurus-jurus yang paling lihai dari ilmu pedangnya. Sebetulnya tingkat dari Tiat-sim Lo-mo ini lebih tinggi dari Ang I Niocu, akan tetapi oleh karena ia seorang pemogoran sehingga lwee-kangnya banyak berkurang, pula karena ilmu pedang dari Ang I Niocu memang luar biasa, sebentar saja ia terdesak hebat dan goloknya hanya mampu menangkis saja. Baiknya ia masih mempunyai andalan tangan kirinya yang kadang-kadang melakukan serangan mencengkeram yang berbahaya sekali sehingga Ang I Niocu harus berlaku hati-hati sekali dan tidak mudah merobohkan iblis tua ini. Melihat Tiat-sim Lo-mo belum juga mampu mendesak, apalagi mengalahkan Ang I Niocu, Koai-tung Toanio menjadi kecewa dan nenek ini lalu menyerbu dengan tongkatnya, membantu Tiat-sim Lo-mo dan mengeroyok Ang I Niocu! Kali ini Ang I Niocu benar-benar terdesak hebat. Kepandaian nenek bertongkat itu sudah tinggi. Menghadapi kakek muka hijau itu saja sudah amat berat baginya, apalagi sekarang Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 289 nenek itu ikut-ikut mengeroyok. Terpaksa Ang I Niocu mengerahkan tenaga dan memutar pedangnya melindungi tubuhnya sehingga jangan kata baru senjatat lawan, biar angin dan air pun takkan mampu menembus benteng sinar pedangnya! Akan tetapi, pertempuran seperti ini kalau dilanjutkan tentu ia akan kalah juga, kalah karena kehabisan tenaga. Ia hanya mampu melindungi diri tanpa mendapat kesempatan membalas sama sekali. Telah delapan puluh jurus lebih Ang I Niocu bertahan diri. Ia mulai lelah karena untuk menangkis serangan-serangan kedua lawannya, ia harus mengerahkan tenaga lwee-kang. Ang I Niocu merasa gemas sekali. Untuk membalas serangan lawan, ia tidak mampu karena dirinya sudah dikurung hebat. Untuk melarikan diri, memang dapat karena dalam hal gin-kang ia masih menang, akan tetapi ia tidak sudi melakukan hal ini. Ia bertahan terus. Seratus jurus telah lalu dan kini peluh telah membasahi jidat dan leher gadis itu. Tiat-sim Lo-mo sudah tertawa-tawa mengejek dan mengeluarkan kata-kata kotor yang menambah kemarahan Ang I Niocu. Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring, "Dua orang siluman bangkotan sungguh tak tahu malu! Ang I Niocu, jangan khawatir, aku datang membantumu!" Berkelebat bayangan yang cepat dan gesit gerakannya, sebatang pedang menyerang dan menahan tongkat Koaitung Toanio. Serangan ini cukup kuat dan cepat sehingga terpaksa Koai-tung Toanio meninggalkan Ang I Niocu dan menghadapi lawan baru ini yang ternyata adalah seorang pemuda tampan berpakaian sastrawan. Biarpun gerak-geriknya lemah, namun ternyata ilmu pedang ini cukup kuat dan tenaga lwee-kangnya cukup hebat. Ang I Niocu melirik dan melihat pemuda tampan ini, ia menjadi heran. Belum pernah ia bertemu dengan pemuda ini, mengapa begitu datang terus membantunya dan telah mengenal namanya" Akan tetapi segera nona baju merah ini mengerutkan kening. Biarpun ia sudah ditinggalkan Koai-tung Toanio sehingga ia kini dapat membalas dan mendesak Tiat-sim Lo-mo, akan tetapi sebaliknya, pemuda itu terdesak oleh tongkat Koai-tung Toanio yang hebat dan ganas. Sekali pandang saja Ang I Niocu dapat mengenal ilmu pedang pemuda itu, yakni ilmu pedang dari Butong-pai, dan biarpun ilmu pedang pemuda itu cukup baik, namun masih belum cukup kuat untuk mengalahkan Koai-tung Toanio. Di lain pihak, ia sendiri biarpun mengurung lawan dengan sinar pedangnya, ternyata bahwa Tiat-sim Lo-mo benar-benar seorang yang luar biasa. Kakek ini sudah banyak sekali pengalamannya bertempur, maka ia tak mudah ditipu oleh gerakan pedang dan dapat menjaga diri dengan baiknya, bahkan kadang-kadang tangan kirinya masih melakukan serangan yang berbahaya. Tiba-tiba terdengar suara ketawa nyaring, "Ha, ha, iblis tua berani mengganggu Sumoi" Ini artinya kau akan segera mampus!" Berbareng dengan ucapan itu sinar pedang gemerlapan menyambar leher Tiat-sim Lamo yang menjadi kaget sekali karena serangan ini benar-benar cepat dan ganas. "Giok-gan Kui-bo (Biang Iblis Bermata Kemala)!" teriak Koai-tung Toanio ketika ia melihat gadis yang baru datang. "Enci Kim Lian...!" Ang I Niocu berseru girang dan juga heran. Dengan majunya Kim Lian mengeroyok Tiat-sim Lomo sebentar saja kakek itu menjadi kewalahan. Ilmu pedang Kim Lian biarpun tidak sehebat ilmu pedang Ang I Niocu, namun Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo memiliki keganasan sesuai dengan wataknya dan dalam lain-lain hal, kepandaian gadis ini hanya kalah sedikit saja oleh sumoinya. Karena rangsakan dua orang gadis ini, tak lama kemudian pedang Ang I Niocu telah dapat membabat lehernya, dan pedang Kim Lian membabat putus lengan kirinya. Kakek itu roboh tanpa dapat berteriak lagi dan tewas di saat itu juga! Ang I Niocu tidak segera menyambut sucinya, melainkan terus saja menyerang Koaitung Toanio, membantu pemuda itu. Mana Koai-tung Toanio dapat menahannya" Dalam lima jurus kemudian, ia pun roboh binasa Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 290 oleh pedang Ang I Niocu. Setelah itu, baru Ang I Niocu menoleh kepada sucinya, Kim Lian tertawa akan tetapi sepasang mata yang indah sekali itu menjadi basah air mata! Ang I Niocu memandang terharu dan di lain saat dua orang gadis itu saling berpelukan. "Im Giok... aku girang sekali kau sudah pulih kembali, sudah gembira dan bertambah cantik!" kata Song Kim Lian atau dengan julukan baru Giok-gan Kui-bo sambil memandang wajah sumoinya. Sebaliknya, Ang I Niocu juga memperhatikan sucinya yang sekarang kelihatan amat pesolek, jauh melebihi dahulu. Bahkan pipi dan bibirnya juga diberi merah-merah! Pakaiannya indah dan terbuat dari sutera mahal. Ang I Niocu teringat akan pemuda itu, lalu ia menoleh dan menghadapinya. "Tuan siapakah" Sungguh gegabah sekali berani menyerang Koai-tung Toanio. Kalau tidak cepat-cepat Suci datang membantu, bukankah kau hanya akan mengantarkan nyawa dengan cuma-cuma?" tegurnya, akan tetapi suara dan pandang matanya manis. Pemuda itu menjura dan sepasang matanya yang bening dan menyinarkan watak jujur dan halus itu berseri, "Niocu," katanya tersenyum, "andaikata aku tewas dalam membantumu, aku rela! Aku adalah Kang Ek Sian dan aku mewakili Bu-tong-pai untuk menghadiri pertemuan di Thai-san. Di Bu-tong-pai aku telah banyak mendengar tentang kau, Niocu, kau sudah berjasa mengakurkan kembali Bu-tong-pai dan Kim-san-pai. Budimu terlalu besar dan nyawaku tidak berharga!" Mendengar ini, diam-diam Ang I Niocu menjadi senang dan memuji pemuda yang pandai bicara ini. Akan tetapi tiba-tiba Giok-gan Kui-bo membentaknya, "Bocah lancang! Awas jangan kau berani main gila. Kau sudah jatuh cinta kepada sumoiku, ya" Jangan kau main-main, orang seperti kau ini mana ada harga untuk mencinta Sumoi?" "Suci!" Ang I Niocu menegur gadis itu. "Jangan kau bicara sembarangan dan menghina orang tanpa alasan. Kalau Susiok-couw mendengarnya, kau akan menerima hukuman!" Nama Bu Pun Su amat ditakuti Kim Lian. Ia menjadi pucat dan menengok ke sana ke mari. "Apakah Susiok-couw berada di sini?" tanyanya. "Apa kau tidak tahu?" Ang I Niocu menjawab. "Susiok-couw sedang mengadakan pertemuan di puncak Gunung Thai-san ini. Sewaktu-waktu Susiok-couw bisa muncul di sini. Maka jangan kau bicara sembarangan!" Song Kim Lian menjadi makin ketakutan. Ia buru-buru pergi sambil berkata, "Aku pergi dulu, Sumoi, ada urusan penting sekali. Biar lain kali kita bertemu kembali." Akan tetapi setelah agak jauh, ia mengamang-ngamangkan tinjunya ke arah Kang Ek Sian sambil berkata, "Awas kau, aku tahu kau tergila-gila pada Sumoi!" Dan di lain saat Giok-gan Kui-bo Song Kim Lian lenyap dari situ. Kang Ek Sian berdiri seperti patung, mukanya agak pucat. Ang I Niocu merah mukanya dan ia merasa malu sekali atas sikap sucinya. "Harap kau suka memaafkan Suci, memang wataknya aneh sekali," katanya kepada pemuda itu. Kang Ek Sian memandangnya dengan tajam. "Tidak ada yang harus dimaafkan, Niocu. Bahkan aku diam-diam memikirkan apakah kata-katanya itu tidak tepat sekali." Sepasang mata Ang I Niocu memancarkan api kemarahan, akan tetapi melihat wajah yang jujur dan terbuka itu, ia menahan kemarahannya. Hanya ia merasa mendongkol sekali. Dalam saat yang sama, dua orang laki-laki telah tergila-gila kepadanya. Tadi si tua bangka bermuka hijau itu tergila-gila, sekarang pemuda ini! Akan tetapi di samping kemendongkolannya, timbul perasaan aneh dalam hatinya. Perasaan seperti orang gembira dan puas. Puas melihat orang-orang lelaki yang tergila-gila kepadanya karena ia maklum bahwa mereka akan tergila-gila dengan sia-sia belaka, takkan menerima balasan darinya. Biar mereka itu menjadi korban cinta, pikirnya. Biar laki-laki bodoh itu makan hati biar sengsara karena kebodohan sendiri Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 291 telah mabuk oleh cinta, seperti yang pernah ia alami...! Kang Ek Sian sadar bahwa ia telah mengucapkan kata-kata yang kurang patut, maka ia lalu berkata cepat-cepat, "Maaf, Niocu. Aku... aku hendak mengurus dua jenazah ini lebih dulu." Pemuda itu lalu menggali lubang dan mengubur jenazah Tiat-sim Lo-mo dan Koaitung Toanio. Ang I Niocu melihat ini semua dengan hati memuji. Pemuda ini benarbenar seorang yang berbudi luhur, biarpun Tiat-sim Lo-mo dan Koai-tung Toanio adalah penjahat-penjahat keji, namun setelah mereka tewas, pemuda itu suka mengubur jenazah mereka. Jarang terdapat pemuda yang demikian baik hati, pikirnya. "Anak baik, kau siapakah?" tiba-tiba terdengar suara halus. Belum juga orangnya nampak, Ang I Niocu sudah cepat menjatuhkan diri berlutut dan betul saja tak lama kemudian, tiba-tiba di situ berdiri Bu Pun Su, pendekar sakti yang kini pakaiannya penuh tambalan seperti pengemis. Kakek sakti itu memandang kepada Ang I Niocu yang memberi hormat sambil menyebut, "Susiok-couw!" mengangguk-angguk senang lalu menoleh kepada Kang Ek Sian yang sudah selesai dengan pekerjaannya. Ketika Kang Ek Sian mendengar bahwa kakek ini adalah Sin-taihiap Bu Pun Su, ia menjatuhkan diri memberi hormat dan menjawab, "Boanpwe adalah Kang Ek Sian, anak murid Bu-tong-pai. Suhu Lo Beng Hosiang menyuruh boanpwe mewakili Bu-tong-pai untuk menghadiri pertemuan di puncak Thaisan. Harap Locianpwe maafkan kalau boanpwe tidak melihat kedatangan Locianpwe sehingga tidak sempat menyambut." "Tidak apa, tidak apa. Kau mengubur jenazah Tiat-sim Lo-mo dan Koai-tung Toanio, itu amat baik! Terima kasih, orang muda. Dengarlah, dan kau juga Im Giok, pertemuan di puncak tidak jadi diadakan. Perang sudah meletus, para pemberontak sudah bergerak di sana-sini. Celakanya, banyak orang-orang gagah di dunia kang-ouw membantu mereka! Benarbenar dunia kang-ouw telah terpecah dua dengan adanya pemberontakan ini." Bu Pun Su menghela napas dan memandang ke angkasa. "Kehendak Thian, siapakah orangnya dapat membantah" Im Giok, kau jagalah di lereng bukit sebelah barat, tunggu selama tiga hari. Jika ada orang datang, sampaikan terima kasih dan salamku, dan katakan bahwa pertemuan tak mungkin diadakan karena banyak tokoh-tokoh kang-ouw sudah turun tangan, terjun dalam peperangan. Tidak pertu dirunding-runding lagi. Dan kau, Kang Ek Sian, kau jagalah di lereng timur, jaga sampai tiga hari dan lakukan seperti yang kukatakan kepada Im Giok tadi. Aku sendiri hendak meninjau keadaan di mana terjadi perang agar rakyat jangan terlalu menderita oleh kerusuhan yang timbul karenanya." Dua orang muda yang berlutut itu menyatakan kesanggupan mereka. Ketika hendak pergi, Bu Pun Su berkata, "Im Giok, kelak kau harus awasi baik-baik sucimu Kim Lian itu. Aku sekarang tidak sempat, sampaikan peringatanku kepadanya supaya dia menjaga langkah hidupnya jangan menyelewengi!" Sebelum Ang I Niocu menjawab, kakek itu berkelebat lenyap! Dua orang muda itu bangkit berdiri, saling pandang dan Kang Ek Sian berkata, "Alangkah besar untungku, dapat bertemu dengan pendekar sakti itu. Niocu, setelah kita melakukan tugas ini dalam tiga hari, bolehkah aku menemuimu di lereng barat" Aku merasa bahagia dan terhormat sekali dapat bertemu dan berkenalan denganmu, dan sudikah kau menerimaku berkunjung di lereng barat untuk bercakap-cakap?" Permintaan ini cukup pantas, bagaimana ia dapat menolaknya" "Apa salahnya" Tentu saja aku suka menerima kunjunganmu, asal saja aku masih berada di sana," jawabnya menyimpang, kemudian gadis itu berlari cepat menuju ke lereng barat, Kang Ek Sian memandang ke arah bayangan merah itu dengan bengong, semangat dan hatinya seakan-akan ikut melayang bersama bayangan merah itu. Benar seperti dugaan Bu Pun Su, hanya sedikit saja orang yang datang mengunjungi puncak Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 292 Thai-san untuk pertemuan. Mereka ini segera turun kembali setelah diberitahu oleh Ang I Niocu atau Kang Ek Sian. Tidak seorang pun di antara mereka berani mengganggu dua orang muda ini karena siapakah orangnya berani main-main terhadap orang kepercayaan Bu Pun Su" Tiga hari telah lewat dan pada hari ke empat, pagi-pagi sekali Kang Ek Sian telah berlari-lari menuju ke lereng sebelah barat untuk bertemu dengan gadis baju merah yang selama tiga hari tiga malam telah membuat ia tidak dapat memejamkan mata barang semenit! Akan tetapi setelah tiba di tempat itu, ia tidak melihat lagi bayangan Ang I Niocu. "Niocu...!" ia memanggil. Tidak ada jawaban. "Ang I Niocu...!" ia memperkeras suaranya. Hanya kumandangnya saja yang menjawab. Sambil berseru memanggil-manggil nama gadis yang telah merampas hatinya itu Kang Ek Sian mencari terus di daerah itu, makin lama suaranya yang memanggil-manggil nama Ang I Niocu makin jauh sampai akhirnya tidak kedengaran lagi. Bayangan merah berkelebat dari balik gerombolan pohon dan Ang I Niocu berdiri di situ menarik napas panjang berkali-kali. Ia tidak mau mendekati Kang Ek Sian. Pemuda ini orang baik-baik dan memiliki watak yang mulia. Kalau ia dekati, mungkin akan menjadi berubah seperti halnya Liem Sun Hauw. Bukankah Sun Hauw tadinya juga seorang pemuda gagah perkasa yang berbudi mulia" Akan tetapi menjadi buta dan tidak kenal pribudi setelah tergoda oleh cinta. Ia tidak mau melihat Kang Ek Sian menjadi seperti itu. Setelah berpikir sebentar, Ang I Niocu lalu berlari-lari cepat turun gunung. Tujuannya adalah Pek-tiauw-san (Bukit Rajawali Putih) di mana ia akan mencari telur Rajawali Putih untuk dibuat obat anti tua agar ia tetap cantik jelita seperti Pek Hoa Pouwsat dahulu! Ang I Niocu tidak mau melayani kasih sayang pria akan tetapi ia pun tidak mau menjadi tua, hendak muda selalu, cantik jelita selalu, dan menjatuhkan hati laki-laki. Setelah mendapatkan telur Pek-tiauw dan meminumnya bersama obat sebagaimana yang diajarkan oleh mendiang Pek Hoa Pouwsat, benar saja Ang I Niocu menjadi makin cantik jelita, mukanya menjadi makin halus kemerahan dan bercahaya, dan biarpun tahun demi tahun usianya meningkat, namun wajah dan bentuk tubuhnya masih tetap seperti seorang remaja berusia tujuh belas tahun! Tidak terbilang banyaknya pria yang tergila-gila kepadanya, tua muda, ahli silat dan sastrawan, bangsawan dan petani, hartawan dan miskin. Namun, Ang I Niocu tetap tak mau menerima seorang di antara mereka, hanya tersenyum makin manis sambil meninggalkan mereka yang kehilangan semangat dan hati, pergi meninggalkan mereka yang bertekuk lutut mengharapkan balasan cintanya. Di samping semua ini, Ang I Niocu tidak lupa melakukan pekerjaan sebagai seorang pendekar wanita menolong orang-orang yang tertindas, membasmi si jahat dan si penindas. Oleh karena itu beberapa tahun kemudian, terkenallah nama Ang I Niocu sebagai seorang pendekar wanita yang gagah perkasa, kadang-kadang ganas sekali dan tak mengenal ampun menghadapi penjahat, seorang pendekar wanita yang cantik jelita seperti bidadari akan tetapi yang berhati batu, dingin membeku tidak menghiraukan segala bujuk rayu kaum pria. Demikianlah, cerita "ANG I NIOCU" berakhir sampai di sini dan pengalamanpengalaman selanjutnya dari Ang I Niocu dan tokoh-tokoh lain dalam cerita ini dapat dibaca dalam cerita, PENDEKAR BODOH. TAMAT_____________________________ Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 293 Hancurnya Sian Thian San 1 Keris Maut Karya Kho Ping Hoo Rahasia Di Balik Abu 2