Pendekar Wanita Baju Merah 3
Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo Bagian 3 yang tidak tahu malu sekali. Mengadakan pertemuan dengan laki-laki di tengah malam, mencemarkan nama kehormatan keluargaku! Dia harus diusir pergi! Dua orang itu bicara bisik-bisik dengan mesra sekali sehingga Kiang Liat malu untuk muncul. Ia menanti sampai Ceng Si yang kelihatan memberikan sesuatu kepada laki-laki itu kembali ke dalam rumah, kemudian ia mendengar laki-laki itu menunggang kudanya kembali yang dibalapkan cepat-cepat pergi dari situ. Kiang Liat menjadi bingung. Haruskah hal ini ia beritahukan kepada Bi Li" Isterinya kelihatan begitu cinta dan sayang kepada Ceng Si dan kalau saat ini ia beritahukan, apakah tidak akan membikin isterinya berduka" Kemudian ia teringat akan sesuatu. Ada hal yang amat mengherankan hatinya, yakni persediaan uangnya cepat sekali berkurang bahkan isterinya yang ia tahu mempunyai banyak uang, cepat sekali kehabisan uang. Apakah Ceng Si tidak melakukan pencurian" Tadi ia melihat gadis pelayan itu memberi sesuatu kepada kekasihnya, apakah itu bukan uang atau benda berharga" Berpikir sampai di sini, kembali Kiang Liat tertegun. Ia sudah lama tidak melihat isterinya memakai perhiasan! Bahkan perhiasan berupa kupu-kupu dan bunga cilan yang dulu ia berikan kepada Bi Li sebagai emas kawin, tak pernah menghias rambut isterinya itu" Ia memang seorang laki-laki yang tidak begitu peduli tentang segala macam perhiasan, maka hal ini terlewat begitu saja dari perhatiannya. Memang pernah secara iseng-iseng ia bertanya kepada isterinya mengapa tidak pernah memakai perhiasan, akan tetapi isterinya menjawab, "Untuk apakah semua perhiasan itu" Aku sudah menikah dengan kau, bahkan sekarang sudah menjadi ibu, tak perlu lagi kiranya bersolek." Jawaban ini menyenangkan hatinya, karena Kiang Liat sendiri suka akan kesederhanaan, maka ia tidak bertanya lebih lanjut. Sekarang melihat peristiwa yang terjadi di taman bunga timbul berbagai dugaan di dalam hatinya. Tak salah lagi, mungkin sekali Ceng Si melakukan pencurian. Siapa tahu kalau isterinya kehilangan semua perhiasan itu, akan tetapi tidak berani bilang karena takut. Isterinya begitu lemah dan begitu sayang kepada Ceng Si. Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 55 Kiang Liat tidak dapat tidur. Pada keesokan hatinya, ia bangun dengan kepala pusing. Pagi-pagi sekali Ceng Si sudah datang membawa segala keperluan isterinya, bahkan dengan amat rajin dan telaten pelayan ini mengurus Im Giok dengan penuh kasih sayang. Isterinya juga kelihatan begitu berterima kasih kepada Ceng Si sehingga ia tidak tega untuk menimbulkan urusan itu. "Lebih baik kutangkap jahanam itu!" pikir Kiang Liat dengan gemas. Benar, itulah jalan satu-satunya agar tidak menyinggung perasaan isterinya. Ia harus menangkap laki-laki yang sering kali datang menemui Ceng Si, kemudian memaksanya mengaku! Beberapa hari kemudian, pada suatu pagi, Cia Sun mengaburkan kudanya dengan cepat. Seperti biasa, malam tadi ia mengadakan pertemuan dengan Ceng Si di taman bunga dan setelah meninggalkan tempat pertemuan rahasia itu, ia membawa sekantung uang dan beberapa potong benda berharga. Sambil membalapkan kudanya, Cia Sun tersenyum-senyum gembira. Betapa ia takkan merasa girang" Ceng Si telah menjadi kekasihnya, dan dengan bantuan kekasihnya ini, ia dapat menggerogoti kekayaan keluarga Kiang. Song Bi Li atau Nyonya Kiang yang sudah berada di dalam cengkeramannya itu tidak berdaya dan terpaksa menuruti segala permintaannya. "Ceng Si memang manis dan cerdik," pikir Cia Sun sambil memperlambat larinya kuda karena ia telah tiba di luar kota dan merasa aman. "Surat Bi Li padaku masih ada disimpannya dan dengan surat itu, ia dapat menakut-nakuti Bi Li. Sekali saja surat itu diperlihatkan kepada suaminya, tentu ia akan celaka." Biarpun sudah banyak uang yang diperasnya dari Bi Li, namun tetap saja Cia Sun merupakan seorang miskin. Semua uang itu dihabiskan di atas meja perjudian, dipakai foya-foya dengan sahabat-sahabatnya dan pendeknya, Cia Sun hidup sebagai pemuda kaya-raya yang royal dan mata keranjang. Tentu saja Ceng Si tidak tahu akan hal ini dan sama sekali tidak pernah menduga. Pelayan yang cantik ini mabuk oleh janji-janji Cia Sun yang menuturkan bahwa semua uang dan barang itu disimpannya baik-baik untuk dipergunakan sebagai modal dan bekal hidup kelak apabila mereka telah hidup sebagai suami isteri! Selagi Cia Sun enak-enak mencongklang kudanya, tiba-tiba dari arah belakang terdengar derap kaki kuda yang dilarikan cepat sekali. Cia Sun tidak menyangka buruk dan mengira bahwa ada orang berkuda hendak lewat mendahuluinya, maka ia minggirkan kuda tunggangannya. Benar saja, seorang penunggang kuda membalapkan kudanya menyusul, akan tetapi, tiba-tiba orang itu setelah berada di depan Cia Sun, menghentikan kuda sambil menarik kendali sehingga kudanya berputar dan menghadapi kuda Cia Sun. Melihat orang muda gagah yang menunggang kuda itu, seketika wajah Cia Sun menjadi pucat dan dadanya berdebar keras. Biarpun belum berkenalan namun diamdiam ia sering kali melihat dan memperhatikan suami Bi Li dan orang yang kini mencegatnya bukan lain adalah Kiang Liat, suami Bi Li! Akan tetapi, sastrawan muda ini dapat menenangkan hati dan memaksa diri tersenyum. "Tuan siapakah dan ada keperluan apa dengan siauwte?" tanya Cia Sun dengan suara ramah-tamah, sikap seorang terpelajar yang sopan-santun. Akan tetapi Kiang Liat tidak tertipu oleh sikap ini. Telah beberapa kali Kiang Liat mengintai di dalam taman dan tahulah ia bahwa pemuda itu diam-diam telah mengadakan hubungan rahasia dengan Ceng Si dan gadis pelayan itu memberi barangbarang berharga kepadanya. Tentu saja Kiang Liat merasa marah dan curiga. Dari mana Ceng Si bisa mendapatkan barang-barang berharga dan uang" "Bangsat kecil, tak perlu kau berpura-pura dan bermanis mulut. Aku sudah melihat dan tahu akan semua perbuatanmu di dalam taman rumahku. Ayo sekarang kau mengaku, siapa namamu dan mengapa kau berani mampus memasuki taman mengadakan pertemuan dengan Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 56 pelayan kami!" Kiang Liat melompat turun dari kudanya dan memandang kepada Cia Sun dengan sinar mata mengandung ancaman, sedangkan pecut kudanya dipegang eraterat di tangan kanan. Dapat dibayangkan betapa kaget hati Cia Sun mendengar ini. Tidak disangkanya sama sekali bahwa suami Bi Li ini sudah melihatnya mengadakan pertemuan dengan Ceng Si. Sampai di manakah pengetahuan orang she Kiang ini" Tanpa disadarinya, saking gelisah dan kagetnya, Cia Sun mengerling ke arah kantung uang yang berada di atas punggung kuda. "Ya, itu pun kauterima dari Ceng Si! Hendak kulihat, apakah isinya!" kata pula Kiang Liat sambil melangkah maju. Tentu saja Cia Sun tidak menghendaki hal ini terjadi. Ia tahu bahwa barangbarang dan uang yang kini dibawanya adalah milik hartawan muda ini yang diterima oleh Ceng Si dari Bi Li. Maka ia lalu mengambil sikap seakan-akan ia marah besar. "Manusia kurang ajar! Apakah kau hendak merampok?" bentaknya sambil mencambuk kudanya. "Aku tidak kenal padamu dan aku tidak mempunyai urusan denganmu. Pergi!" Akan tetapi Kiang Liat mana mau melepaskannya" Sekali mengulur lengan, Kiang Liat sudah menangkap pergelangan tangan Cia Sun dan sebelum sastrawan bermoral bejat ini tahu apa yang terjadi, ia telah diseret turun dari atas kuda! "Keparat busuk, kau tidak lekas-lekas mau mengaku?" bentak Kiang Liat yang sudah menjadi marah melihat sikap orang itu. Cia Sun yang terbanting dari atas kuda merasa pantatnya sakit sekali. Sambil meringis ia merayap bangun. Ia maklum bahwa pengakuan berarti mencari celaka, maka ia memberanikan diri, mengangkat dada dan berkata, "Kau ini orang gila atau orang mabuk" Kalau kau hendak merampok, carilah saudagar-saudagar yang kaya, jangan mengganggu seorang siucai yang miskin seperti aku!" Makin mendongkol hati Kiang Liat. Melihat sikap pemuda sastrawan ini, terang sekali baginya bahwa ia menghadapi seorang yang curang dan palsu. "Jahanam, jangan kau berpura-pura lagi. Sudah beberapa kali aku melihat kau mengadakan pertemuan dengan pelayan kami di taman. Kau tidak mau lekas-lekas mengaku" Atau menanti sampai aku turun tangan memukulmu?" "Mengaku apa" Aku tidak pernah melakukan hal yang kausebutkan tadi. Aku tidak bersalah apa-apa..." Kiang Liat marah sekali. Kaki kirinya bergerak menendang dan tersungkurlah Cia Sun. Baiknya Kiang Liat masih belum tahu akan semua perbuatan Cia Sun yang disangkanya hanya seorang pemuda yang main gila dengan gadis pelayannya saja. Maka tendangannya itu perlahan saja dan hanya cukup membikin Cia Sun roboh tanpa menderita luka berat. Akan tetapi cukup membikin Cia Sun merintih-rintih karena pahanya yang tertendang terasa sakit bukan main. Beberapa kali ia mencoba untuk bangun, akan tetapi tak dapat sehingga akhirnya ia menjatuhkan diri duduk di atas tanah sambil memandang kepada Kiang Liat dengan muka pucat. "Hayo lekas mengaku! Jangan menanti sampai aku naik darah dan memukul kepalamu sampai hancur!" Cia Sun mulai ketakutan. Tempat itu sunyi dan masih pagi sekali, dan melihat sepak terjang Kiang Liat, ia maklum bahwa ia takkan mungkin dapat melawan. Apalagi, memang ia telah mendengar bahwa hartawan muda she Kiang ini adalah seorang ahli silat yang amat tinggi kepandaiannya. "Ampunkah hamba Wangwe..." katanya dan tiba-tiba sastrawan muda ini berlutut! Kiang Liat memandang dengan hati merasa sebal sekali. Benar-benar ia menghadapi seorang pemuda yang mempunyai martabat rendah sekali. "Jangan banyak aksi, lekas mengaku!" bentaknya. Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 57 "Hamba akan mengaku terus terang. Sesungguhnya, telah lama hamba berkenalan dengan Nona Ceng Si. Hubungan hamba dengan dia sudah berjalan beberapa tahun, semenjak dia belum pindah ke Siang-koan. Hamba tidak melakukan sesuatu yang jahat, dan hubungan hamba dengan Ceng Si berdasarkan suka sama suka... harap Wangwe sudi memberi maaf." "Kau selalu menerima bungkusan dan kantung dari Ceng Si, apakah isinya?" Cia Sun menyembunyikan rasa takutnya. "Hanya... hanya makanan dan masakan, Wangwe. Ceng Si seringkali memberi makanan kepada hamba..." "Dusta!" bentak Kiang Liat dan dua kali ia menggerakkan tangan, kantung yang masih di atas sela kuda Cia Sun telah diambilnya. Ia membuka kantung itu dan berjatuhanlah isinya ke atas tanah. Uang emas, perak yang jumlahnya tidak sedikit. "Makanan kaubilang" Hayo bilang, dari mana kau mendapatkan ini semua?" "Dari... dari... Ceng Si, katanya itu uang simpanannya selama ia bekerja... dia berikan kepada hamba untuk... untuk..." "Untuk apa?" Kiang Liat tidak sabar lagi. "Wan-gwe, Ceng Si dan hamba mengambil keputusan untuk menikah dan karena hamba seorang miskin, Nona Ceng Si yang baik itu memberikan uang simpanannya ini kepada hamba untuk mempersiapkan dan memilih hari pernikahan." Kiang Liat percaya akan keterangan ini. Memang ia pun sudah menyaksikan sendiri bahwa pemuda ini mengadakan hubungan asmara dengan Ceng Si, maka semua keterangannya tadi masuk di akal. Yang mencurigakan hatinya adalah Ceng Si. Dari mana pelayan itu mendapatkan uang begini banyak" Mungkinkan uang simpanannya" "Siapa namamu?" tanyanya tiba-tiba. "Hamba bernama Cia Sun..." "Sekarang dengarlah. Aku Kiang Liat bukan orang yang boleh kau permainkan begitu saja. Kau sudah berani lancang memasuki taman rumah kami tanpa ijin, pada malam hari pula. Ini saja sudah menjadi alasan cukup kuat untuk membunuhmu sebagai seorang maling atau penjahat. Akan tetapi aku maafkan kau dengan satu syarat bahwa besok pagi kau harus datang ke rumahku dan dengan resmi kau mengajukan pinangan untuk diri Ceng Si. Kau boleh menyuruh seorang perantara wanita untuk mengajukan pinangan itu kepada Hujin (Nyonya). Kalau besok kau tidak melakukan hal ini, awas, aku akan mencarimu dan mengambil nyawamu!" "Baik, Wan-gwe... baik..." Cia Sun mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berlutut terus. Kiang Liat mencemplak kudanya dan membalapkan kuda itu menuju pulang. Hatinya lega. Ia memang tidak suka sekali melihat Ceng Si menjadi pelayan isterinya. Gadis pelayan ini terlalu genit dan terlalu cantik, pula amat berani. Dengan terang-terangan gadis pelayan itu mencoba untuk menjatuhkan perhatiannya, mencoba untuk menjatuhkan hatinya dengan pelbagai aksi dan gaya, lebih celaka lagi, isterinya entah mengapa, nampak suka sekali kepada Ceng Si sehingga bahkan rela kalau Ceng Si menjadi bini mudanya! Sekarang ia dapat menangkap Cia Sun dan memaksa sastrawan muda itu mengawini Ceng Si. Inilah jalan terbaik. Kiang Liat amat cinta kepada isterinya, ia tidak mau menyinggung perasaan Bi Li dan biarpun ia merasa curiga dan heran melihat sikap isterinya yang berlebihan terhadap Ceng Si, akan tetapi ia tidak tega untuk bertanya atau mendesak. Ia sudah percaya penuh akan kesetiaan dan kecintaan isterinya kepadanya, maka ia tidak mau memperlihatkan sesuatu sikap yang kurang percaya. Oleh karena ini, setibanya di rumah, ia tidak bercerita sesuatu kepada isterinya teritang pertemuannya dengan Cia Sun. Pada keesokan harinya, betul saja di rumah gedung keluarga Kiang Liat datang seorang wanita setengah tua yang terkenal di kota Sian-koan sebagai seorang perantara perjodohan. Wanita ini datang untuk mengajukan pinangan atas diri Ceng Si untuk sasterawan Cia Sun! Mendengar ini, Bi Li nampak terheran-heran, akan tetapi juga girang dan ia tidak tahu bahwa Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 58 diam-diam suaminya memandangnya dengan kerling tajam. "Panggil Ceng Si ke sini...!" kata Bi Li kepada seorang pelayan lain, suaranya nyaring dan jelas sekali bahwa ia bergembira. Ceng Si tergopoh-gopoh. Gadis ini sudah mendengar dari pelayan yang memanggilnya karena pelayan ini tadi telah mendengar tentang peminangan itu. Ceng Si juga terheran-heran dan bingung ketika Bi Li berkata kepadanya, "Ceng Si, Bibi ini datang untuk meminangmu atas nama seorang sastrawan muda yang bernama Cia Sun. Biarpun aku dan suamiku berhak mengambil keputusan karena kau tidak berkeluarga lagi, akan tetapi merasa lebih baik kami menanyakan pendapatmu sendiri. Bagaimana?" Ceng Si kebingungan. Sebentar ia memandang kepada Bi Li dan di lain saat ia menatap wajah pelamar itu. Semua ini diikuti oleh pandangan mata Kiang Liat yang duduk di sudut dan agaknya tidak mau tahu tentang persoalan perjodohan ini. "Akan tetapi..." kata Ceng Si bingung, "bagaimana ini, Hujin" Saya... saya masih suka melayani Hujin dan belum ada pikiran untuk menikah..." Dari tempat duduknya Kiang Liat dengan heran sekali melihat betapa pandang mata pelayan itu amat tajam dan berpengaruh ketika memandang kepada Bi Li! "Ceng Si, bukankah hal ini amat baik sekali" Lebih baik daripada kau bekerja di sini" Ingat, usiamu sudah dua puluh tahun dan pelamar ini bukan orang sembarangan. Kiranya sudah amat cocok apabila kau menjadi isteri seorang siucai..." "Betul sekali kata-kata Kiang-hujin," perantara itu berkata cepat-cepat. "Ciasiucai seorang pemuda yang tidak saja tampan sekali, akan tetapi juga amat terpelajar, sopan-santun dan berbudi mulia. Biarpun dia bukan dari keluarga kaya, akan tetapi ia bukan tidak beruang. Ia menyediakan semua biaya untuk upacara pernikahan!" "Akan tetapi... aku belum suka berumah tangga sendiri!" kata Ceng Si dan di dalam kata-katanya ini terkandung suara demikian keras dan menentukan. Kiang Liat terkejut sekali karena ia melihat betapa isterinya menjadi berubah air rnukanya dan agaknya isterinya itu tidak berani menentang keputusan Ceng Si! Hal ini menimbulkan kemarahan di dalam hatinya dan berkatalah Kiang Liat, "Ceng Si, dalam hal ini sekali-kali tidak betul kalau kau berkeras kepala! Agaknya memang kau sudah berjodoh dengan pelamar ini, karena malam tadi aku bermimpi melihat kau bertemu dengan seorang sastrawan muda di dalam taman bunga. Bukankah ini tanda bahwa kau memang berjodoh padanya" Maka kau tidak boleh menampik!" Perantara itu tertawa dan nampaklah giginya yang ompong. Ia menepuk-nepuk tangan dan berkata, "Bagus sekali! Itulah impian yang amat baik artinya. Nona Ceng Si, setelah Kiang-wangwe sendiri bermimpi seperti itu, jelas bahwa perjodohan ini adalah kehendak Thian! Kau tidak bisa menolak kehendak Thian." Hanya Kiang Liat yang tahu betapa wajah pelayan itu menjadi pucat sekali dan jelas nampak kegugupannya ketika mendengar kata-kata Kiang Liat tadi. Hanya untuk sekilas gadis pelayan itu mengerling kepadanya, akan tetapi di dalam Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo kerlingan ini, Kiang Liat menangkap pandang mata yang penuh keheranan, kekagetan, dan kebencian. Adapun Bi Li memandang kepada suminya dengan berterima kasih. Ceng Si menundukkan mukanya. "Baiklah. Kalau Wan-gwe dan Hujin mendesak, saya pun tak dapat membantah. Nasib hidupku memang berada di tangan kedua majikanku." Kata-kata yang perlahan ini diikuti oleh mengalirnya air mata. Hari pernikahan ditetapkan dan beberapa pekan kemudian, dilangsungkan pernikahan antara Cia Sun dan Ceng Si. Setelah pelayan itu dibawa pergi oleh suaminya, Bi Li merasa seakan-akan batu yang selama ini menggencat hatinya telah dilenyapkan. Ia merasa lega sekali dan mukanya yang selama ini agak pucat, kini menjadi agak kemerahan dan bercahaya. Sikapnya terhadap suaminya makin manis dan setiap hari ia nampak gembira sekali. Biarpun terheran-heran dan ingin sekali tahu rahasia apakah gerangan yang tersembunyi di dalam hubungan Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 59 antara isterinya dan Ceng Si, namun Kiang Liat tidak tega untuk mendesak isterinya membuka rahasia itu. Ia terlalu cinta dan terlalu sayang kepada Bi Li, kepercayaannya sudah bulat. *** Setelah Ceng Si meninggalkan rumah gedung itu, Bi Li benar-benar kelihatan seperti hidup baru. Ia nampak berbahagia sekali, perhatiannya kepada puterinya bertambah, dan kasih sayangnya terhadap suami pun makin mesra. Tentu saja Kiang Liat merasa beruntung sekali dan sepasang suami isteri ini hidup dalam keadaan tenteram dan penuh kebahagiaan. Puteri mereka, Kiang Im Giok, nampak makin mungil dan manis. Memang luar biasa sekali anak ini. Tubuhnya montok dan sehat, kulitnya halus dan putih kemerahan, bentuk tubuhnya demikian sempurna sehingga sukarlah mencari cacatnya. Biarpun masih kecil, sudah kelihatan betapa sepasang matanya bercahaya dan bening, rambutnya hitam dan subur. Tidak mengherankan apabila ayah bundanya amat sayang kepadanya. Beberapa bulan lewat tanpa ada peristiwa yang luar biasa. Pada suatu hari, ketika sepasang suami isteri ini sedang duduk makan angin di ruang depan dan menimang-nimang Im, Giok, dari pekarangan luar masuk seorang laki-laki setengah tua berpakaian pengemis. Kiang Liat yang berpendengaran tajam, cepat menoleh dan begitu melihat pengemis itu, wajahnya berubah girang sekali. "Suhu Han Le datang..." bisiknya kepada Bi Li yang juga memandang dengan heran. Keduanya berdiri dan menyambut dengan penuh kehormatan. Han Le tersenyum-senyum dan pendekar sakti ini memandang kepada Im Giok dengan pandang mata kagum. "Aduh, puterimu ini benar-benar mengagumkan sekali, Kiang Liat!" katanya sambil mengelus-elus kepala Im Giok yang baru berusia dua tahun. Setelah dipersilakan duduk dan dikeluarkan hidangan, Han Le makan minum tanpa sungkan-sungkan lagi, kemudian ia menuturkan maksud kedatangannya. "Muridku, sekarang ada pekerjaan penting sekali untuk kita. Ketahuilah, dunia kang-ouw sedang menghadapi ancaman dan bahaya hebat dan pada bulan Lak-gwe (bulan enam) nanti adalah saat penentuan apakah dunia kang-ouw akan dapat menyetamatkan diri atau tidak." Han Le lalu menuturkan tentang pergerakan dari kaum Mo-kauw yang dipimpin oleh Thian-te Sam-kauwcu, tiga orang tokoh besar aneh yang menjadi guru dari Bi Sianli Pek Hoa Pouwsat dan Hek Pek Mo-ko. Di samping mereka ini, masih banyak sekali tokoh-tokoh Mokauw yang berilmu tinggi. Kini pihak Mo-kauw mulai dengan gerakan mereka memusuhi dunia kangouw, dengan jalan mencuri kitab ilmu silat dari Siauwlim-pai dan pedang dari Kun-lun-pai. "Supekmu Bu Pun Su telah turun tangan dan siap sedia menghadapi mereka. Kita boleh percaya penuh akan kelihaian Bu Pun Su Suheng, akan tetapi, Thian-te Samkauwcu dan kawan-kawannya bukanlah orang-orang biasa, melainkan iblis-iblis dan siluman-siluman yang sakti. Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban kita untuk membantu supekmu Bu Pun Su." "Akan tetapi, Suhu. Mungkin Suhu merupakan bantuan yang amat berharga bagi Supek, sedangkan teecu..." Baru menghadapi Pek Hoa Pouwsat saja teecu tidak berdaya. Tentu saja teecu sama sekali tidak merasa takut dan untuk membela Supek, teecu siap mempertaruhkan jiwa raga teecu." "Betul kata-katamu itu, Kiang Liat. Aku pun tidak begitu bodoh untuk minta kau menghadapi mereka. Aku hanya minta kau membantuku mencari beberapa orang yang kiranya akan merupakan tandingan yang setimpal menghadapi pihak Mo-kauw." "Siapakah mereka itu, Suhu" Teecu siap untuk mencari mereka." "Orang pertama adalah Swi Kiat Siansu yang kini berada di barat. Orang ke dua Pok Pok Sianjin yang kabarnya berada di utara. Mereka ini takkan mau turun gunung kalau tidak aku sendiri yang datang dan membujuk mereka. Kiranya hanya dua orang inilah yang Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 60 kepandaiannya sudah setingkat dengan pihak Mo-kauw. Selain mereka berdua, alangkah baiknya kalau bisa mendatangkan Bun Sui Ceng dan The Kun Beng." Han Le menghela napas panjang ketika menyebut nama dua orang ini. "Siapakah mereka dan di mana tempat tinggal mereka, Suhu?" Kiang Liat tertarik mendengar nama orang-orang yang amat dipuji oleh gurunya dan yang belum ia kenal itu. "Mereka adalah orang-orang luar biasa. Keduanya mempunyai hubungan erat dengan supekmu Bu Pun Su. Bun Sui Ceng adalah reorang pendekar wanita gagah perkasa, murid tunggal dari mendiang Kiu-bwe Coa-li tokoh wanita nomor satu di dunia kang-ouw. Adapun yang bernama The Kun Beng adalah murid ke dua dari mendiang Pak-lo-sian Siangkoan Hai, yakni sebenarnya ia adalah sute (adik seperguruan) dari Swi Kiat Siansu. Namun seperti juga Bun Su Ceng, dia memiliki watak yang amat aneh dan sukar diajak berunding. The Kun Beng dahulu menjadi tunangan Bun Sui Ceng, akan tetapi mereka berpisah dan entah bagaimana keadaan mereka sampai saat ini. Aku tidak sanggup menghadapi mereka, maka kaulah yang kuminta menemui dua orang aneh itu. Kalau kau berhasil membawa mereka pada bulan Lak-gwe menghadapi pihak Mo-kauw, kau berjasa besar sekali, Kiang Liat." "Akan tetapi, murid belum pernah mengenal mereka dan tidak tahu di mana mereka berada, Suhu. Bagaimana teecu dapat mencari mereka?" "Mereka memang orang-orang aneh dan sukar sekali mencari tahu di mana mereka berada. Baiknya aku belum lama ini mendengar bahwa Bun Sui Ceng sekarang bertapa di sebuah pulau kosong yang terletak tidak jauh dari pantai timur di mana Sungai Huai-kiang memuntahkan airnya ke laut. Dan aku percaya bahwa di mana ada Bun Sui Ceng, tentu tak jauh dari situ kau dapat menjumpai The Kun Beng, karena dia ini selalu membayangi bekas tunangan yang dicintanya." "Baik, Suhu. Teecu akan berusaha mencari mereka. Akan tetapi kalau sudah bertemu, apakah yang harus teecu katakan?" "Katakan tentang munculnya tiga iblis yang sekarang menjadi pucuk pimpinan Mokauw, tentang perbuatan mereka mencuri kitab Siauw-lim-pai dan pedang Kun Lunpai. Beritahukan pula bahwa pada nanti hari-hari pertama dari bulan Lak-gwe, pihak Mo-kauw itu menantang kepada kita untuk menentukan keunggulan di tikungan Sungai Yalu Cangpo, di mana sungai itu membelok ke barat, yakni di sebelah barat Gunung Heng-tuang-san." "Bagaimana kalau mereka menolak, Suhu?" "Itulah yang kukhawatirkan. Akan tetapi, coba kau membujuknya. Terutama sekali katakan bahwa supekmu Bu Pun Su yang diancam oleh pihak Mo-kauw, dan bahwa pihak Mo-kauw lihai sekali sehingga Bu Pun Su Suheng takkan kuat menghadapi lawan kalau mereka berdua tidak mau membantu." Setelah menceritakan semua maksud kedatangannya, Han Le lalu pergi untuk mencari Swi Kiat Siansu dan Pok Pok Sianjin. Para pembaca cerita Pendekar Sakti tentu masih ingat akan nama-nama ini. Swi Kiat Siansu adalah murid pertama dari Paklo-sian Siangkoan Hai, sedangkan Pok Pok Sianjin adalah murid dari Hek I Hui-mo. Kiang Liat sendiri lalu meninggalkan pesan kepada isterinya agar supaya baikbaik menjaga Im Giok. Bi Li menangis dan merasa berat sekali ditinggal pergi oleh suaminya. "Jangan khawatir, isteriku yang baik. Aku pergi bukan untuk melakukan hal yang berbahaya, melainkan untuk minta bantuan orang pandai. Sungguhpun demikian, tugasku ini penting sekali. Sekarang sudah bulan dua, tinggal empat bulan lagi waktunya, maka aku harus cepatcepat pergi mencari dua orang pandai itu sebagaimana yang diperintahkan oleh Suhu." Akhirnya Bi Li melepas suaminya pergi dan Kiang Liat berangkat menunggang seekor kuda yang baik. *** Sebulan kemudian, Kiang Liat sudah menukar kudanya dengan sebuah perahu yang Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 61 membawanya terapung-apung di laut sebelah timur. Dari para nelayan ia mendapat keterangan bahwa di dekat pantai di mana air Sungai Huai-kiang mengalir ke laut itu hanya terdapat tiga buah pulau kosong yang tidak ada penghuninya. Hatinya girang karena kalau hanya tiga saja pulau yang berada di situ, mudah kiranya mencari wanita sakti yang bernama Bun Sui Ceng. Perahu yang dibeli oleh Kiang Liat adalah perahu yang baru dan kuat sekali, layarnya juga masih baru, terbuat dari kain yang tebal. Dayungnya juga baik sekali, maka pelayarannya maju dengan laju. Belum jauh ia meninggalkan pantai, tiba-tiba ia mendengar suara orang bernyanyi. Kiang Liat merasa heran sekali karena dari manakah datangnya suara nyanyian di atas lautan yang sunyi itu" Ia menengok dan terlihatlah olehnya sebuah perahu butut dengan layar bertambaltambal sedang berlayar meninggalkan pantai. Jarak antara dia dan perahu butut itu masih amat jauh, sehingga orang yang duduk di dalam perahu itu tidak kelihatan jelas, akan tetapi suara orang yang bernyanyi itu demikian jelas terdengar olehnya. Ia merasa terkejut sekali. Mungkinkah ada orang memiliki lwee-kang demikian hebatnya" Atau barangkali kebetulan saja suara itu terbawa oleh angin laut yang meniup kencang" Karena tertarik, ia memandang penuh perhatian. Setelah perahu butut yang ternyata cepat sekali gerakannya itu datang mendekat, ia melihat samar-samar bahwa penumpangnya adalah seorang laki-laki setengah tua yang pakaiannya tidak karuan, seperti seorang pengemis. Orang. itu mendayung perahunya dan Kiang Liat melihat hal yang amat aneh. Ia tahu bahwa angin bertiup kencang dan perahunya sendiri pun amat laju oleh tiupan angin pada layar. Dalam keadaan seperti ini, dayung tidak perlu digunakan lagi, karena betapapun kuatnya orang mendayung perahu, takkan dapat melawan kekuatan tenaga angin meniup layar. Akan tetapi anehnya, perahu butut yang sudah digerakkan oleh layar yang melengkung terhembus angin, masih terdorong cepat ke depan tiap kali orang itu menggerakkan dayungnya. Ini menandakan bahwa tenaga dorongan dayung itu masih lebih hebat dan lebih kuat daripada tenaga tiupan angin pada layar tambaltambalan itu! Tiba-tiba Kiang Liat yang sudah memandang terheran-heran itu, mengeluarkan seruan kaget. Betapa ia takkan kaget kalau melihat perahu butut itu tiba-tiba amblas dengan kepala lebih dulu ke dalam air dan sekejap mata kemudian, perahu berikut layar dan orangnya lenyap dari permukaan air! "Celaka...!" serunya. "Perahu itu telah karam...!" Akan tetapi ia merasa heran sekali. Bagaimana perahu dapat karam seperti itu" Lebih tepat kalau dikatakan bahwa perahu itu sengaja menyelam dengan kepala di depan. Akan tetapi mungkinkah ini" Mana bisa ada orang menyelam berikut perahu dan layarnya! "Dukk!" Kiang Liat tersentak kaget. Tanpa ia ketahui karena sejak tadi ia menoleh ke belakang, tahu-tahu kini perahunya menumbuk sebuah benda yang keras, besar dan berat. Ia memandang dan melihat bahwa perahunya telah bertumbukan dengan sebuah perahu besar dan terdengar suara ketawa terkekeh-kekeh di atas perahu besar itu. Baiknya Kiang Liat cepat-cepat menggerakkan dayung untuk mengatur gerak perahunya sehingga perahunya tidak sampai tenggelam. Akan tetapi terdengar suara keras dan tiang layarnya patah. Bukan main mendongkolnya hati Kiang Liat. Ia berdiri di dalam perahunya dan berdongak memandang ke atas. Dari perahu besar itu ia mendengar suara tertawa lagi, kemudian lapat-lapat ia mendengar suara khim (alat tetabuhan) yang dimainkan orang, lalu disusul oleh suara nyanyian wanita. "Kurang ajar! Siapa berani main-main dan sengaja menabrak perahuku?" seru Kiang Liat marah. Tidak ada jawab dari petahu besar yang kini tidak bergerak lagi dan masih menempel dengan perahunya. Saking jengkelnya, Kiang Liat mengayun dayungnya, memukul badan perahu besar sekuat tenaga. "Krakk!" Perahu besar bergoyang keras, akan tetapi badan perahu tidak apa-apa, sebaliknya Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 62 dayung yang dipegangnya patah dan ujungnya hancur berkeping-keping. Ketika ia meraba dengan tangannya, ternyata olehnya bahwa badan perahu besar itu berlapiskan besi. Suara khim berhenti dan sebuah kepala yang besar nongol dari atas pinggiran perahu besar, diikuti makian, "Demi setan air! Siapakah yang berani mampus memukul perahu!" Suara itu parau dan ketika Kiang Liat memandang ke atas, ia melihat muka yang kulitnya kasar dan bopeng, dengan sepasang mata bundar dan hidung pesek. "Jahanam!" Kiang Liat balas memaki. "Perahumu yang menabrak perahuku. Apakah kau buta?" Si Muka Bopeng menyeringai dan Kiang Liat mendengar suara wanita dari atas perahu besar, "Tiat-thouw-gu (Kerbau Kepala Besi), apakah orang she Kiang yang berada di bawah itu?" Kiang Liat terkejut sekali. Bagaimana ada orang dapat mengenalnya" Siapakah wanita itu" Si Muka Bopeng yang disebut Tiat-thouw-gu menjawab, "Agaknya betul dia, Wi Wi Toanio. Apakah aku boleh menabrak dan menggulingkan perahunya agar ia mampus di perut ikan?" "Jangan! Undang ia ke atas, aku ingin menyaksikan sampai di mana kehebatan ilmu silatnya," jawab suara wanita itu. Tiat-thouw-gu memandang kepada Kiang Liat, menyeringai, "Eh, bukankah kau orang she Kiang dari Sian-koan?" "Babi muka hitam, aku betul Kiang Liat dari Sian-koan! Apakah alasannya maka manusia-manusia rendah macam engkau berani menghinaku?" "Ha, ha, ha, suaramu besar sekali, bocah. Kau mendengar sendiri tadi, Wi Wi Toanio minta kau naik. Beranikah kau?" "Mengapa tidak berani?" Sambil berkata demikian, Kiang Liat menggenjot tubuhnya dan dengan gerakan ringan sekali ia telah melompat ke atas. Untuk menjaga diri agar jangan ia dibokong musuh, ia mencabut pedangnya dan memutar pedang sambil melompat ke atas perahu besar. Ketika ia sudah berdiri di dalam perahu, ia menghadapi banyak orang yang kelihatannya rata-rata memiliki kepandaian tinggi. Di tengah rombongan orang yang menumpangi perahu besar itu, ia melihat seorang wanita setengah tua yang cantik sekali, berdiri dengan sepasang pedang di tangan, sedangkan di sebelahnya berdiri seorang laki-laki setengah tua berpakaian mewah yang juga tampan dan gagah. Dan di kepala perahu terdapat tiga patung sebesar manusia, patung tiga orang laki-laki yang aneh, yang seorang tinggi kurus seperti tengkorak, yang kedua kurus bongkok bermata sipit dan yang ke tiga, di tengah-tengah, tinggi besar, seperti raksasa. Kiang Liat tidak tahu patung siapakah itu. Akan tetapi melihat wanita dan laki-laki yang nampaknya halus gerak-geriknya itu ia tidak berani sembarangan, bahkan menjura dengan hormat. "Tidak tahu siapakah Cu-wi sekalian dan mengapa pula mengganggu aku orang she Kiang." Wanita itu tersenyum dan nampak ia manis sekali. Kiang Liat dapat menduga bahwa dahulu di waktu mudanya, wanita ini tentu cantik sekali. "Kiang-enghiong, bukankah kau murid Han Le dan kau disuruh oleh gurumu untuk mencari bala bantuan guna membantu Bu Pun Su?" Kembali Kiang Liat tertegun. Bagaimana orang ini dapat mengetahui semua urusannya" "Apa yang sedang kukerjakan, sedikitpun tidak ada sangkut-pautnya dengan Cu-wi sekalian. Sekarang, apa yang Cuwi kehendaki maka menghadang perjalananku?" kata Kiang Liat, sedikit pun tidak merasa gentar menghadapi orang yang dua puluh lebih banyaknya itu. Terdengar suara orang-orang itu tertawa, dan wanita itu berkata, "Kiang-enghiong, aku adalah Wi Wi Toanio dan gurumu tentu akan mengerti mengapa aku menghadang pelayaranmu di sini. Sudah lama aku mendengar akan kelihaian Han Le, maka sekarang bertemu dengan kau yang menjadi muridnya, aku tidak akan menyia-nyiakan waktu. Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo 63 Sesungguhnya, kewajibanku ialah untuk melenyapkan kau di tempat ini, akan letapi aku tidak mau berlaku kejam terhadap seorang muda seperti kau ini. Marilah kita main-main sebentar sebelum aku mengajak kawan-kawanku berunding apa yang akan kami lakukan atas dirimu." Kiang Liat menjadi marah sekali. Terang bahwa ia dipandang ringan, dan ia maklum pula bahwa orang-orang ini tentulah bukan kawan, dan kalau bukan musuh besar gurunya, tentu musuh besar Bu Pun Su atau setidaknya anak buah Mo-kauw yang dipimpin oleh Thian-te Sam-kauwcu. Teringat akan ini tiba-tiba ia menoleh ke arah tiga buah arca di kepala perahu dan ia berkata, "Hm, salahkah dugaanku bahwa tiga buah patung itu adalah arca-arca dari Thian-te Sam-kauwcu?" "Matamu awas sekali, Kiang-enghiong. Memang, mereka itu adalah arca-arca dari ketiga ketua kami yang mulia," kata Wi Wi Toanio. "Kalau begitu, kalian adalah anggauta-anggauta Mo-kauw!" "Benar, bersiaplah kau dengan pedangmu!" Kiang Liat maklum bahwa tidak ada lain jalan baginya kecuali bertempur matimatian. Ia sudah banyak mendengar dari suhunya akan kekejaman orang-grang Mokauw yang tidak mau memberi ampun kepada orang yang mereka musuhi. Sambil menggereng hebat, Kiang Liat menggerakkan pedang menangkis tusukan Wi Wi Toanio yang sudah mulai menyerangnya. Segera terjadi pertempuran sengit antara dua orang ini. Yang lainlain berdiri mengelilingi dan menonton. Sepasang pedang di tangan Wi Wi Toanio benar-benar lihai sekali. Gerakannya cepat dan aneh, tenaga lwee-kangnya pun hebat sekali. Bahkan, dengan terus terang Kiang Liat harus mengaku bahwa dalam hal kecepatan dan tenaga dalam, ia masih kalah oleh lawannya ini. Baiknya ia memiliki ilmu pedang warisan Kiang yang sudah diperkuat dan diperhebat oleh gurunya, maka ia dapat melakukan penjagaan diri yang kuat. Wi Wi Toanio penasaran dan terheran-heran. Sudah tiga puluh jurus mereka bertempur, belum juga ia mampu mendesak orang muda itu. Laki-laki tadi berdiri di dekatnya, mengeluarkan seruan heran dan berkata dengan suaranya yang halus, "Aneh sekali, aku berani bertaruh bahwa ini bukan Hun-khai-kiam-hoat Ang-bin Sin-kai!" Mendengar seruan ini, diam-diam Kiang Liat mengeluh. Tidak saja wanita yang menjadi lawannya ini tangguh sekali, juga seruan laki-laki tadi menyatakar bahwa laki-laki itu pun seorang ahli silat yang pandai. Tidak sembarangan ahli silat dapat mengenal Hun-khai-kiam-hoat, dan laki-laki itu dapat menyatakan bahwa ilmu pedangnya bukan Hun-khai-kiam-hoat. Karena tahu bahwa ia dikepung oleh orang-orang Mo-kauw yang tinggi kepandaiannya, Kiang Liat menjadi nekat. Pedangnya digerakkan dengan cepat dan ia mengeluarkan seluruh kepandalan yang ia dapat dari Han Le selama satu tahun. Usahanya berhasil baik. Wi Wi 'I'oanio mengeluarkan seruan kaget dan dalam beberapa gebrakan, Wi Wi Toanio dapat terdesak mundur oleh serangan Kiang Liat, orang muda ini telah mengeluarkan tiga jurus ilmu pedang yang disempurnakan oleh Han Le, yakni pertama-tama ia menyerang dengan gerak tipu Pek-in-koan-goat (Awan Putih Menutup Bulan), lalu disambung dengan Sin-eng-liap-in (Garuda Mengejar Awan), dan akhirnya ia menyerang terus tanpa menghentikan pedangnya dengan gerak tipu Sian-jin-hoan-eng (Dewa Menukar Bayangan). Tiga serangan berantai ini merupakan puncak dari ilmu pedangnya yang oleh Han Le disebut Lian-cu-sam-kiam (Tiga Tikaman Pedang Berantai) dan amat lihai gerakannya. Tiga jurus serangan ini dapat dilakukan terus-menerus dan ganti-berganti karena dari jurus pertama ke jurus ke dua atau ke tiga mempunyai hubungan yang amat dekat dan dapat disambung menurut sesuka hatinya. Wi Wi Toanio adalah seorang ahli silat yang berkepandaian tinggi. Pembaca dari cerita Pendekar Sakti tentu masih ingat bahwa Wi Wi Toanio adalah isteri dari An Kai Seng, Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 64 keturunan dari An Lu Shan. Juga Wi Wi Toanio inilah yang dengan kecantikannya yang luar biasa telah menjatuhkan hati Bu Pun Su dan menyeret Pendekar Sakti itu ke dalam lumpur kehinaan. Semenjak dikalahkan oleh Bu Pun Su, suami isteri ini mempelajari ilmu silat tinggi dan akhirnya mereka bersekutu dengan pihak Mokauw, menjadi anggauta pimpinan yang disegani. Pihak Mo-kauw memang mempunyai banyak orang pandai dan mempunyai pengaruh yang luas sekali. Maka tidak begitu mengherankan apabila mereka sudah dapat mencium bau tentang tugas yang dijalankan oleh Kiang Liat untuk mengundang dua orang pandai untuk membantu Bu Pun Su. Maka Wi Wi Toanio bersama suaminya dan beberapa orang Mo-kauw segera ditugaskan untuk mencegat perjalanan Kiang Liat dan kalau perlu membunuh orang muda ini. Akan tetapi, kini menghadapi serangan Lian-cu Sam-kiam dari Kiang Liat, Wi Wi Toanio terkejut bukan main. Ia masih bergerak cepat untuk menangkis dan mengelak, akan tetapi gerakan yang aneh dari pedang Kiang Liat masih berhasil membabat ujung lengan bajunya yang hampir membabat putus jari tangan kiri sehingga sambil berseru kaget wanita ini melompat ke belakang dan melepaskan pedang kirinya! "Gempur dia!" bentak An Kai Seng marah sambil menyerang dengan pedangnya. Di lain saat, Kiang Liat sudah dikeroyok oleh dua puluh orang lebih yang rata-rata memiliki ilmu silat tinggi. Kiang Liat kewalahan, apalagi perahu ltu bergoyanggoyang karena gerakan banyak orang. Dalam amukannya Kiang Liat berhasil merobohkan dua orang dan ia terdesak sampai ke pinggir perahu. Tidak ada lain jalan bagi Kiang Liat. Di atas perahu yang berguncang itu, ia tidak dapat bersilat sebagaimana mestinya, maka untuk mencegah agar ia jangan terjengkang ke dalam air, ia lalu melirik ke bawah. Girang hatinya melihat perahunya masih menempel di pinggir perahu besar, maka sambil memutar pedang sehingga para pengeroyoknya mundur, ia lalu melompat ke arah perahu kecilnya itu. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia melihat tiba-tiba perahu kecilnya bergerak, meluncur maju cepat sekali sehingga tak dapat dicegah lagi, Kiang Liat jatuh ke dalam air! Air muncrat tinggi dan Kiang Liat menelan air asin. Cepat ia menahan napas dan mumbul lagi ke permukaan air, menggerak-gerakkan kaki tangan sehingga ia dapat bertahan mengambang di atas air. Ia bukan seorang ahli renang, namun kalau hanya menahan diri agar jangan tenggelam saja, ia masih bisa. Dengan hati mendongkol dan juga heran, Kiang Liat melihat bahwa yang membikin perahu kecilnya terdorong maju adalah seorang laki-laki setengah tua. Laki-laki ini tiba-tiba saja muncul di permukaan air bersama perahu kecilnya berikut layar tambal-tambalan dan ia ini bukan lain adalah laki-laki yang tadi bernyanyinyanyi dan kemudian tenggelam bersama perahunya! Dengan enaknya, laki-laki itu mempergunakan perahu mendorong perahu Kiang Liat. Ketika Kiang Liat melihat perahunya, ia bergidik. Perahunya telah penuh dengan anak panah yang menancap di seluruh badan perahu. Kalau tadi la berhasil melompat ke dalam perahu, ia bersangsi apakah ia akan dapat menangkis hujan anak panah itu. Kini ia melihat orang tua itu tertawa terkekeh-kekeh kepadanya. Orang setengah tua ini rambutnya awut-awutan, tubuhnya panjang kurus dan mukanya berkeriput. Namun bentuk mukanya masih dan gagah. Ia hanya satu kali terkekeh kepada Kiang Liat, kemudian tubuhnya tiba-tiba saja melayang naik ke perahu besar. Kiang Liat ternganga keheranan. Ia sudah sering kali melihat ahli-ahli silat tinggi bergerak, akan tetapi baru kali ini ia melihat orang melompat seperti kakek itu. Perahu kecil yang ditinggalkannya sama sekali tidak bergoyang dan ketika kakek tadi melompat, seakan-akan ia bersayap dan terbang ke atas begitu saja! Terdengar suara gaduh di atas perahu, disambung oleh suara ketawa dan jerit kesakitan. Tak lama kemudian, sesosok bayangan melayang turun dan tahu-tahu kakek tadi telah berada di Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 65 atas perahu Kiang Liat yang penuh anak panah. "Locianpwe harap tinggalkan nama!" terdengar suara Wi Wi Toanio dari atas perahu. Orang tua itu tertawa bergelak. "Wi Wi Toanio, aku datang dan pergi tak pernah memperkenalkan nama!" "Kau tetah menghina dan merusak patung Sam-kauwcu!" terdengar suara lain, suara laki-laki. Orang itu tertawa bergelak, "Ha,ha, beritahukan kepada Thian-te Sam-kauwcu supaya mereka jangan terlalu sombong dengan patung-patungnya!" Perahu besar itu tadinya tidak bergerak, akan tetapi kini perahu itu mulai bergerak pergi setelah orang-orangnya memasang layar. Agaknya mereka takut sekali menghadapi orang aneh tadi. Orang itu pun hanya tertawa saja melihat perahu itu pergi dari situ. Kiang Liat memandang kagum dan heran, akan tetapi tak lama kemudian ia mendongkol sekali karena tanpa menoleh kepadanya, laki-laki itu mendayung perahu dan pergi dari situ. Kiang Liat hendak memperingatkan orang itu bahwa perahu mereka tertukar, akan tetapi ia menahan niatnya. Agaknya orang itu sengaja menukar perahu yang butut itu dengan perahunya yang masih baik, akan tetapi mengingat orang itu telah menolongnya, pantaskah kalau ia ribut-ribut urusan perahu tertukar" Kekuatan orang itu luar biasa sekali dan sebentar saja perahunya telah lenyap dari pandangan matanya. Biarpun mendongkol, Kiang Liat merasa beruntung juga bahwa peristiwa itu lewat tanpa mendatangkan bencana kepadanya. Perahu yang ia duduki itu butut, akan tetapi layarnya yang tambal-tambalan masih ada. Ia benar-benar tak dapat mengerti bagaimana orang itu tadi dapat menyelam bersama perahunya termasuk layar-layarnya! Angin bertiup dan cepat-cepat Kiang Liat memegang tali layar untuk mengemudikan perahunya, menuju ke pulau kecil yang kelihatan samat-samar dari situ. Tak lama kemudian sampailah ia di sebuah pulau kecil yang penuh dengan pohonpohon liar. Ketika ia mendaratkan perahunya dan menurunkan layar, ia melihat sebuah perahu penuh anak panah di tepi pantai. Hatinya berdebar. Tak salah lagi, orang setengah tua yang aneh tadi telah mendarat pula di pulau itu! Baru saja Kiang Liat melompat ke darat, tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu ia berhadapan dengan seorang wanita baju putih yang kurus. Wanita itu usianya kurang lebih empat puluh tahun, wajahnya agak pucat akan tetapi masih kelihatan cantik. Sepasang alisnya dikerutkan dan bibirnya ditekuk sedemikian rupa sehingga kelihatannya galak dan gagah sekali. Tangan kanan wanita itu memegang sebatang cambuk yang ujungnya bercabang-cabang. "Bocah lancang kurang ajar, berani sekali kau mendarat di pulau tanpa ijin!" wanita itu berseru marah dan cambuknya menyambar ke arah Kiang Liat. Kiang Liat kaget sekali. Sambaran cambuk itu mendatangkan angin dingin dan cepat ia melompat ke belakang sambil mencabut pedangnya, karena ia tahu bahwa ia berhadapan dengan seorang yang lihai. Akan tetapi, cambuk itu aneh sekali gerakannya. Biarpun sabetan pertama tidak mengenai sasaran, namun seakan-akan lengan wanita itu bisa terulur panjang dan cambuk itu kembali menyerang. Kini ujung cambuk yang begitu bercabang-cabang itu bergerak-gerak seperti ular, menyerang ke jalan darah di tujuh bagian! Kiang Liat berseru keras dan memutar pedangnya untuk melindungi tubuh. Akan tetapi, tiba-tiba ia merasa tubuhnya kaku. Pedangnya terlilit oleh sebatang ujung cambuk dan pundaknya kena ditotok, membuat ia seketika merasa kaku tubuhnya dan di lain saat itu rebah lemas, pedangnya terampas! Wanita itu tertawa mengejek, memasukkan pedang rampasan ke dalam sarung pedang yang tergantung di pinggang Kiang Liat, kemudian menyeret tubuh Kiang Liat pada lengannya, dibawa naik ke atas bukit. Di atas bukit itu, seorang laki-laki setengah tua telah menantinya dan Kiang Liat melihat bahwa laki-laki itu adalah orang aneh yang tadi telah menolongnya di atas laut ketika ia dikeroyok orangorang Mo-kauw. Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 66 "Sui Ceng, apakah benar-benar kau begitu tega hati dan berkeras membiarkan aku bersengsara dan mati dalam keadaan hidup?" terdengar laki-laki itu berkata. Kiang Liat menjadi kaget sekali. Tidak tahunya bahwa wanita yang ganas dan lihai ini adalah Bun Sui Ceng, orang dicari-carinya dan yang disebut oleh gurunya sebagai wanita yang lihai. Memang ia wanita lihai sekali, akan tetapi kalau wataknya demikian ganas, tipis sekali harapan minta tolong kepada orang macam ini, pikir Kiang Liat. "Kun Beng, kau sudah tua, akan tetapi mengapa hatimu tetap muda" Cih, benarbenar tidak tahu malu!" jawab wanita itu. Kun Beng menghela napas dan menggeleng-geleng kepalanya. "Sui Ceng jangan kau salah duga. Sudah lama aku dapat mengalahkan nafsu dan semua kata-kataku terhadapmu bukan sekali-kali didorong oleh nafsu, melainkan didorong oleh hasratku hidup seperti manusia biasa. Apakah kau juga ingin mati dan meninggalkan dunia begitu saja tanpa meninggalkan keturunan yang akan menyambung riwayat hidupmu?" Sui Ceng, atau lengkapnya Bun Sui Ceng murid Kiu-bwee Coa-li, membanting-banting kakinya dan keningnya dikerutkan. "Menyebalkan, menyebalkan! Kun Beng, seperti kau tidak tahu saja. Apa sih baiknya hidup" Penuh penderitaan, penuh kepalsuan, penuh penyesalan dan penuh keributan-keributan! Siapa ingin mempunyai keturunan untuk merasakan semua penderitaan ini" Tidak, cukup diderita oleh kita sendiri, jangan menurunkan nyawa lain untuk mengalami pahit getir seperti yang kita alami. Sudahlah mari kita habiskan hidup dengan berlumba, siapa yang lebih cepat maju!" Kun Beng kelihatan sedih sekali. "Sui Ceng, tak kusangka bahwa kau berhati yang dingin dan keras. Akan tetapi, aku tetap tidak percaya. Kau sengaja mengeraskan hati, padahal aku yakin bahwa kau masih mencinta padaku. Sui Ceng, apakah sampai puluhan tahun kau masih saja belum dapat mengampuni kesalahan-kesalahanku?" Mendengar percakapan ini, Kiang Liat menjadi terharu dan juga jengah. Tanpa disengaja, ia mendengarkan percakapan dari dua orang tua tentang cinta kasih, dua orang yang bicara mengenai hal demikian gawat secara begitu saja di depannya, tanpa tedeng aling-aling! "Kun Beng," suara Sui Ceng terdengar lembut, agaknya kata-kata Kun Beng tadi mengharukan hatinya. "Bukan aku yang keras hati, melainkan kaulah. Cinta kasihmu sampai puluhan tahun belum padam, benar-benar menandakan bahwa kau berhati sekeras baja. Akan tetapi, seperti juga dulu telah kukatakan kepadamu berkalikali, kalau tidak salah sudah empat belas kali kau datang menyusul dan membujukku, aku akan menuruti kehendakmu kalau kau sudah bisa mengalahkan cambukku!" Kun Beng menundukkan kepalanya, kemudian menggeleng-gelengkan kepala itu. "Sui Ceng, ke mana saja kau pergi, aku mencari dan menyusulmu. Sampal kau lari ke Gobi-san, ke perbatasan Mongol, ke rimba raya di lembah Huang-ho, aku menyusulmu. Akan tetapi kau tahu bahwa aku tidak dapat menurunkan tangan untuk bertanding silat denganmu, aku tidak dapat mengalahkanmu. Andaikata aku dapat, aku pun tidak akan tega mengalahkanmu. Aku tidak ingin menjadi suamimu karena kekerasan, atau karena kau terpaksa, aku menghendaki kau suka menerimaku sebagai suamimu dengan cinta kasih." "Jangan ngaco-belo!" Sui Ceng membentak marah, akan tetapi Kiang Liat maklum bahwa wanita sakti itu terharu sekali, buktinya dua butir air mata menitik turun ke atas pipinya. "Kun Beng, sudah dua tahun kita tidak bertemu, mari kau melayani cambukku barang seratus jurus!" Kun Beng menarik napas panjang. "Kau memang doyan berkelahi. Biasanya aku melayanimu supaya kau gembira. Akan tetapi, sekarang aku akan berusaha mengalahkanmu. Siapa tahu kalau-kalau dengan kekalahanmu, akan kalah pula kekerasan kepalamu, Sui Ceng." Setelah berkata demikian, Kun Beng membuka baju luarnya dan mengeluarkan sebatang tombak yang Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 67 kelihatannya butut dan kotor, akan tetapi di antara batang yang kotor itu kelihatan kilauan dari logam aselinya. Sui Ceng mengeluarkan seruan girang dan dengan kaki kirinva ia menendang tubuh Kiang Liat yang tadi menggeletak di depannya karena orang muda ini masih tidak berdaya dan berada dalam keadaan tertotok. Tubuh Kiang Liat terguling sampai lima tombak lebih, akan tetapi ia dapat melompat bangun karena tendangan itu ternyata adalah obat untuk membebaskannya dari totokan. Ia tidak berani sembarangan bergerak hanya duduk di atas tanah dan memandang dengan hati tertarik dan penuh perhatian. Hatinya berdebar. Ia diutus oleh gurunya untuk mencari dan minta bantuan agar dua orang aneh itu, akan tetapi sekarang ia menjumpai mereka dalam keadaan hendak bertarung untuk memperebutkan kebenaran pendapat masing-masing! Benar-benar aneh sekali dua orang ini. Sui Ceng adalah murid tunggal terkasih dari Kiu-bwe Coa-li, tentu saja ilmu silatnya tinggi sekali. Kepandaian tunggal yang istimewa dari Kiu-bwe Coa-li, yakni permainan cambuk, diturunkan kepadanya, maka dalam hal permainan senjata aneh ini, Sui Ceng amat pandai dan tidak kalah lihainya dari mendiang Kiu-bwe Coa-li. Cambuknya itu ujungnya bercabang sembilan dan setiap ujung merupakan Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo senjata maut yang mengerikan. Jangankan sampai kena pukul, baru terkena totokan saja, setiap ujung cabang dapat mencabut nyawa lawan! Di lain pihak, kepandaian The Kun Beng sudah disaksikan oleh Kiang Liat. Pendekar ini adalah murid ke dua dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai, yang telah mewarisi ilmu tombak dari mendiang suhunya. Maka ilmu tombaknya juga jarang ada yang dapat menandingi pada masa itu. Ujung tombak ketika digerakkan tergetar sehingga ujung itu seakan-akan berubah menjadi belasan banyaknya, mengeluarkan suara mendenging yang menyakitkan anak telinga. Setiap tusukan, tangkisan, atau pukulan dari tombak dan gagangnya disertai tenaga lwee-kang yang luar biasa kuatnya. Demikian, dua orang itu bertempur dengan amat hebatnya. Kadang-kadang keduanya lenyap dari pandangan mata, tertutup oleh selimut dari gulungan sinar senjata mereka. Bahkan Kiang Liat sendiri yang terhitung seorang ahli silat kelas tinggi, menjadi pening dan tidak dapat mengikuti gerakan-gerakan mereka dengan baik. Akan tetapi, setelah bertempur dengan cepat ini sampai puluhan jurus, tiba-tiba mereka kelihatan lagi dan kini pertempuran dilangsungkan tanpa mengalihkan kedua kaki. Mereka berdiri berhadapan dengan jarak dekat dan hanya kedua tangan mereka saja yang bergerak dan senjata mereka yang menyambar-nyambar pergi datang! Kiang Liat melongo. Selama hidupnya belum pernah ia melihat pertempuran sehebat ini. Memang pernah ia menyaksikan kepandaian istimewa dari gurunya, Han Le, terutama ia pernah pula mengagumi kehebatan supeknya, Bu Pun Su. Pernah pula ia menghadapi orangorang lihai seperti Pek Hoa Pouwsat dan lain-lain, akan tetapi belum pernah ia melihat dua orang sakti bertanding sehebat ini! Padahal pertandingan mereka itu hanya "main-main" belaka, bukan untuk saling membunuh, hanya sekedar mengadu limu atau menguji tingkat saja. Setelah beberapa puluh jurus dilewatkan dengan pertempuran lambat, kembali mereka bertempur cepat. Tiba-tiba terdengar suara "brett" dan melayanglah sehelai robekan kain. "Sui Ceng, aku mengaku kalah..." kata Kun Beng yang melompat keluar dari kalangan pertandingan. Yang melayang tadi adalah robekan ujung bajunya, ruparupanya terkena sabetan cambuk Sui Ceng. Sui Ceng merengut, mukanya yang agak pucat itu menjadi merah. "Kau memang laki-laki tahu! Selalu memperlihatkan sifat lemah dan mengalah. Siapa tidak tahu bahwa kau tadi sengaja miringkan gagang tombakmu sehingga ujung cambukku dapat merobek ujung bajumu" Cih, kau selalu mengecewakan hatiku!" "Aku memang kalah, Sui Ceng," kata Kun Beng, wajahnya nampak berduka sekali. Sui Ceng membanting-banting kedua kakinya. Tiba-tiba ia dan Kun Beng menengok ke arah Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 68 Kiang Liat ketika mendengar orang muda itu berkata, "Ji-wi telah memperlihatkan kepandaian yang tiada keduanya di kolong langit. Kepandaian Ji-wi Locianpwe seperti kepandaian dewa saja. Boanpwe Kiang Liat yang bodoh merasa beruntung sekali dapat menyaksikan kepandaian hebat itu." Sambil berkata demikian, Kiang Liat menjura dengan penuh penghormatan. Sui Ceng tiba-tiba tertawa senang, "Ah, benar juga, Kun Beng. Kau selalu sungkan dan mengalah kalau mengadu kepandaian denganku. Sekarang ada orang muda ahli pedang ini, biar dia yang menentukan siapa yang lebih unggul di antara kita. Eh, orang she Kiang, cabutlah pedangmu!" Kiang Liat ragu-ragu, akan tetapi melihat sinar mata wanita sakti itu, ia tidak berani membantah. Dicabutnya pedangnya dan ia memandang kepada Sui Ceng dengan mata bertanya. Kiang Liat tertegun. Selama hidupnya baru satu kali ini ia menghadapi perintah seaneh ini, yaitu ketika ia bertemu dengan Bu Pun Su, supeknya. Sekarang, lagilagi ia menghadapi perintah serupa dari Bun Sui Ceng! "Boanseng mana berani berlaku kurang ajar?" katanya perlahan. "Bodoh! Aku sedang menguji kepandaian dengan Kun Beng. Hendak kami lihat di antara kami, siapa yang lebih dulu dapat merobohkanmu. Hayo serang!" Panaslah perut Kiang Liat. Ia merasa dihina sekali, hendak dijadikan permainan oleh dua orang aheh itu, maka tanpa mengeluarkan kata-kata lagi, ia lalu menggerakkan pedangnya, menyerang dengan gerak tipu yang paling lihai dari ilmu pedangnya, yakni Lian-cu Sam-kiam. Serangannya ini hebat dan ilmu pedang ini adalah petunjuk dari Han Le, maka tingkatnya sudah tinggi sekali. Kalau tadi Kiang Liat dengan mudah ditawan oleh Bun Sui Ceng dalam segebrakan saja, adalah karena Kiang Liat diserang tiba-tiba dan ia tidak menyangka sama sekali akan kelihaian Sui Ceng. Akan tetapi sekarang, ia sudah maklum bahwa ia menghadapi seorang yang kepandaiannya jauh mengatasinya, maka begitu menyerang, ia mengeluarkan kepandaiannya yang istimewa dan mengerahkan semua tenaga lweekangnya. "Ayaaa... bagus sekali ilmu pedang ini!" seru Bun Sui Ceng gembira. Ia melompat, cambuknya terayun dan di tengah udara terdengar suara "tarr-tarr-tarr!" berkalikali dari ujung-ujung cambuknya. Sui Ceng benar-benar kagum karena ia tidak mengira bahwa orang muda itu mempunyai kiam-hoat yang demikian lihai. Akan tetapi, betapapun hebat ilmu pedang keluarga Kiang yang sudah disempurnakan oleh petunjuk-petunjuk Han Le, tingkat kepandaian Kiang Liat memang jauh lebih rendah. Ia kalah banyak dalam gin-kang, lwee-kang, dan kemahiran gerakan silat. Apalagi memang senjata di tangan Sui Ceng itu benarbenar aneh dan hebat. Dengan mati-matian Kiang Liat membela diri dan membalas dengan jurus-jurus pilihan, namun pada jurus ke tiga belas ia tak dapat mempertahankan diri lagi. Sebatang ujung cambuk di tangan Sui Ceng bagaikan seekor ular telah membelit kaki kanannya dan tanpa dapat dicegah lagi, Kiang Liat terpelanting roboh ketika Sui Ceng menarik cambuknya! Kiang Liat bangkit berdiri dengan muka merah. Ia tidak merasa sakit. sama sekali, hanya pakaiannya yang menjadi kotor. Setelah mengebut-ngebut pakaiannya, ia menjura kepada Sui Ceng. "Terima kasih atas pelajaran dan petunjuk Locianpwe." Sebaliknya, Sui Ceng memandang kepadanya dengan tersenyum girang. "Baru sekarang aku bertemu dengan seorang muda yang kepandaian ilmu pedangnya demikian tinggi. Tak malu aku mengaku bahwa sampai sekarang pun aku belum dapat mengenal ilmu pedangmu," katanya. Terdengar The Kun Beng tertawa terkekeh, "Sui Ceng, biarpun ilmu pedang bocah she Kiang ini lihai, tetap saja dalam tiga belas jurus ia roboh olehmu. Aku mana bisa melakukan hal itu" Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 69 Sudahlah, aku pun mengaku kalah dalam pertandingan ini." "Kau curang!" Sui Ceng membentak, "Mana bisa pertandingan dianggap kalah kalau belum dilakukan" Eh, orang she Kiang, sekarang kaupergunakan pedangmu, seranglah dia si tua bangka itu!" Diam-diam Kiang Liat merasa kasihan dan terharu mendengar semua percakapan antara dua orang setengah tua ini. Dia sendiri sudah merasakan kebahagiaan berumah tangga, hidup penuh kasih sayang dan saling mencinta dengan Bi Li. Mengapa dua orang aneh ini tak dapat mengecap kebahagiaan itu" Kalau saja aku dapat menjadi perantara atau jembatan agar supaya mereka saling mendapatkan, pikir Kiang Liat. "Baik, Boanpwe akan menyerang. Awaslah, Locianpwe!" katanya dan pedangnya bergerak cepat menyerang Kun Beng. "Eh, eh, lihai sekali..." Kun Beng juga memuji dan suaranya gembira. Ahli silat manakah yang tidak gembira menghadapi pertandingan ilmu silat" Ia mengerakkan tombaknya dan terdengar suara berdencing ketika tombak bertemu dengan pedang. Biarpun Kun Beng menangkis perlahan saja, namun Kiang Liat merasa telapak tangannya pedas dan tergetar hebat. Ia terkejut sekali dan bersilat lebih hatihati. Ia tidak membiarkan pedangnya bertemu dengan tombak. Akan tetapi setelah bertanding beberapa jurus, tahulah Kiang Liat bahwa lagilagi kakek ini mengalah terhadap Sui Ceng. Kalau tadi dengan cambuknya, Sui Ceng menyerangnya dengah hebat, penuh nafsu untuk cepat-cepat merobohkan, adalah Kun Beng ini lebih banyak bertahan daripada menyerang. Kiang Liat tidak mau membiarkan hal ini terjadi, maka pada jurus ke sepuluh, ia tidak menarik kakinya yang kena diserampang oleh tombak dan tergulinglah dia! Kun Beng berdiri terpaku, Sui Ceng tertawa geli, dan Kiang Liat merayap bangun. "Kun Beng, kali ini kau menang!" kata Sui Ceng. "Benar, dan Ji-wi Locianpwe sekarang dapat melanjutkan perjodohan itu!" kata Kiang Liat. "Bocah lancang, apa maksudmu?" Sui Ceng membentak dan ia telah melompat ke depan Kiang Liat dengan sinar mata bernyala penuh ancaman. Kiang Liat kaget sekali, tak disangkanya bahwa wanita sakti ini akan marah. "Bukankah tadi Ji-wi Locianpwe hendak mempergunakan Boanpwe sebagai ujian" Bukankah tadi Locianpwe menyatakan bahwa kalau Locianpwe kena dikalahkan, maka perjodohan baru dapat terjadi" Boanpwe hanya mengatakan apa yang tadi boanpwe dengar, maka mohon banyak maaf apabila boanpwe tanpa disengaja berkata lancang." "Sui Ceng, orang muda pun merasa kasihan kepada kita, mengapa kau tidak kasihan kepada diri sendiri?" Kun Beng berkata, suaranya gemetar. Akan tetapi Sui Ceng marah sekali. Cambuknya diayun ke atas kepala, menimbulkan suara yang nyaring, "Kau bocah lancang mulut, berani sekali bicara tentang urusan orang lain. Kau harus diberi hajaran!" Baiknya sebelum cambuk itu meluncur ke tubuh Kiang Liat, Kun Beng melompat dan menahan Sui Ceng. "Sabar Sui Ceng. Bocah she Kiang ini datang ke sini karena diutus oleh Lu Kwan Cu!" "Apa..." Utusan Lu Kwan Cu...?" Sui Ceng menurunkan tangannya yang tiba-tiba kelihatan lemas, matanya terbelalak memandang kepada Kiang Liat. Kiang Liat tidak tahu bahwa Lu Kwan Cu adalah nama asli dari Bu Pun Su, maka ia tidak mengerti. Hanya ia ingat akan pesan suhunya bahwa di depan dua orang ini, ia harus banyak-banyak menyebut nama Bu Pun Su, oleh karena itu ia segera menjawab, "Ji-wi Locianpwe... boanpwe Kiang Liat diutus Suhu Han Le dan Supek Bu Pun Su untuk mencari Ji-wi." "Hm, Bu Pun Su menyuruh kau mencariku, ada urusan apakah?" tanya Sui Ceng sambil mengerutkan keningnya. Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 70 Dengan singkat Kiang Liat lalu menuturkan apa yang ia dengar dari Han Le yakni bahwa di dunia persilatan muncul tiga tokoh asing yang lihai dan yang kini menguasai dunia kang-ouw, mengancam semua orang gagah yang tidak mau menggabungkan diri dengan Mo-kauw. Dan bahwa pada bulan enam yang akan datang, pihak Mo-kauw menantang BuPun Su dan orangorang gagah lainnya untuk mengadakan penentuan siapa yang berhak menguasai dunia kangouw, di sebelah barat bukit Heng-tuan-san. Mendengar ini, Sui Ceng nampaknya tidak tertarik sedikitpun juga. "Serombongan tikus-tikus busuk macam itu saja, apa artinya bagi Bu Pun Su" Aku berani mempertaruhkan kepalaku bahwa Bu Pun Su seorang diri pun akan sanggup membasmi mereka sampai ke akar-akarnya. Mengapa pula harus orang seperti aku dan Kun Beng membantu?" "Akan tetapi sekarang keadaannya lain lagi, Sui Ceng," kata Kun Beng, menggirangkan hati Kiang Liat yang tadinya sudah kecewa, "kali ini musuh-musuh Bu Pun Su agaknya benarbenar hendak berusaha merebut kekuasaan di dunia kangouw. Bahkan kedatangan Kiang-enghiong ke sini tak terluput dari perhatian mereka sehingga Kiang-enghiong dihadang di tengah samudera. Tahukah kau siapa yang menghadangnya dan hendak membunuhnya agar dia jangan minta bantuan kita?" "Siapa" Anak buah Mo-kauw?" tanya Sui Ceng acuh tak acuh. "Benar, akan tetapi bukan anak buah sembarangan, melainkan An Kai Seng sendiri dan isterinya, siluman betina Wi Wi Toanio!" Mendengar ini, mata Sui Ceng bercahaya. "Apa" Dan kau tidak bunuh mampus mereka?" Kun Beng tersenyum dan menggeleng kepala. "Aku tidak mau membikin kau kecewa, Sui Ceng. Membasmi mereka adalah tugasmu, bukan?" "Di mana mereka?" Sui Ceng menggerakkan cambuknya. "Kau dapat bertemu dengan mereka kelak pada awal bulan enam di Yalu Cangpo, tikungan sebelah barat Gunung Heng-tuan-san," jawab Kun Beng. "Bulan enam kurang tiga bulan lagi, Heng-tuan-san tidak dekat, mari kita berangkat!" kata Sui Ceng tiba-tiba sambil berlari ke pantai. Kun Beng memegang lengan Kiang Liat. "Orang muda, mari kita berangkat!" Kiang Liat tak dapat menahan ketika tiba-tiba ia ditarik dengan cepatnya oleh Kun Beng. Akan tetapi hatinya girang sekali karena tidak disangka-sangkanya, tugasnya dapat dipenuhinya demikian mudah. Lebih gembira lagi hatinya ketika di dalam perjalanan menuju ke Heng-tuan-san itu, Sui Ceng dan Kun Beng yang suka melihat orang muda ini, berkenan menurunkan beberapa jurus silat tinggi sehingga Kiang Liat mendapat kemajuan yang luar biasa. Bahkan ia telah menerima pelajaran ilmu lari cepat dari Sui Ceng sehingga ia dapat melakukan perjalanan dengan leluasa bersama dua orang tokoh ini, tak perlu lagi ia digandeng oleh Kun Beng. Ilmu lari cepat dari Sui Ceng yang disebut Yan-cu-hui-po (Tindakan Seperti Walet Terbang) memang luar biasa sekali, dan berkat dari besarnya bakat dasar dalam diri Kiang Liat, pendekar muda ini dapat mempelajarinya dengan amat cepat. *** Awal bulan Lak-gwe di lembah Sungai Yalu Cangpo! Lembah ini biasanya sunyi, tak pernah didatangi manusia karena memang daerah ini masih liar dan sukar didatangi. Binatang-binatang buas yang aneh dan jarang terlihat di hutan-hutan yang sudah dijajah manusia, masih berkeliaran di tempat ini. Orang tanpa memiliki kepandaian tinggi jangan harap dapat keluar dari hutan ini dengan selamat. Akan tetapi, pada pagi hari itu, di lembah sungai, tepat di mana sungai itu membelok dan kembali mengalir ke arah barat, keadaan ramai sekali. Di sebuah tempat terbuka di pinggir sungai, kelihatan banyak orang yang duduk di atas rumput. Didepan mereka duduk beberapa orang di atas batu karang. Mereka seakanakan menanti datangnya orang lain. Bekas-bekas Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 71 tempat pohon ditebang menunjukkan bahwa tempat ini memang sengaja disediakan untuk pertemuan ini. Jumlah orang yang duduk di atas rumput ada tiga puluh orang lebih, pakaian mereka bermacam-macam, akan tetapi rata-rata mempunyai air muka penjahat. Banyak di antara mereka yang tinggi besar dengan muka kasar, gerak-geriknya, duduk sambil minum arak atau mengobrol dengan kata-kata yang kotor dan kasar. Akan tetapi ada pula yang gerak-geriknya halus dan bermuka tampan, namun sinar matanya tetap membayangkan kekejaman dan kebuasan. Di depan sekali, di atas batu karang, duduk Thian-te Sam-kauwcu, tiga orang dari barat yang kini menguasai Mo-kauw. Memang mereka ini adalah orang-orang terpenting dari Mo-kauw, yang berkumpul di situ untuk menghadapi musuh. Tak. jauh dari tiga ketua ini, duduk pula Hek Mo-ko, dan Pek Mo-ko, sepasang manusia iblis yang terkenal lihai dan keji. Selain mereka ini, masih terdapat banyak tokoh-tokoh yang berilmu tinggi, bahkan di antaranya terdapat pula Kiam Ki Sianjin, seorang yang tinggi sekali ilmu kepandaiannya! Karena pernah menderita kekalahan ketika menghadapi Bu Pun Su, Kiam Ki Sianjin terpaksa menggabungkan diri dengan Thian-te Sam-kauwcu untuk memperkuat kedudukannya. Akan tetapi yang paling mencolok di antara mereka semua, adalah seorang wanita cantik jelita seperti bidadari yang duduknya terpisah, di sebelah kiri dari tiga ketua itu. Dia ini kelihatannya masih muda, seperti seorang gadis dua puluh tahun, cantiknya benar-benar membuat semua orang laki-laki yang berada di situ menelan ludah dengan hati kagum dan penuh gairah. Akan tetapi tak seorang pun berani memperlihatkan kekagumannya secara berterang, karena gadis ini bukanlah orang sembarangan. Dia ini adalah murid terkasih dari Thian-te Sam-kauwcu dan dia bukan lain adalah Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat. Melihat setangkai bunga putih di rambutnya, orang akan mengenal Dewi Jelita ini, akan memandang dengan penuh kekaguman akan tetapi kalau melihat gagang sepasang pedang yang tersembul di pundak kirinya, orang itu akan merasa ngeri karena sepasang pedang itu entah sudah makan berapa banyak nyawa orang-orang tak berdosa! "Mengapa sampai sekarang dia belum muncul?" terdengar Hek-te-ong orang pertama dari Thian-te Sam-kauwcu yang bertubuh tinggi besar, bertanya. Suaranya besar seperti tambur dan kulitnya yang hitam itu mengkilap tertimpa sinar matahari pagi. "Ha, ha, ha, agaknya Bu Pun Su sudah hilang nyalinya dan takut kepada kita...!" kata Pek-inong orang ke dua yang tinggi kurus seperti cecak kering dan mukanya seperti tengkorak. Suaranya tinggi dan nyaring menusuk telinga. Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Mendengar ejekan ini, semua orang ketawa dan bergemalah suara ketawa mereka sampai di permukaan air sungai Yalu Cangpo. Tiba-tiba suara ketawa mereka itu terhenti. Mereka terkejut mendengar suara ketawa lain yang parau dan keras, yang keluar dari permukaan air sungai! Cheng-hai-ong, orang ke tiga dari Thian-te Sam-kauwcu yang bertubuh kurus bongkok dan bermata sipit menggerakkan tangan. Sebatang hui-to (golok terbang) meluncur ke arah permukaan air. Air itu bergelombang dan hui-to itu tenggelam, tidak ada tanda sesuatu. Kalau betul di permukaan air tadi ada sesuatu, jelas bahwa hui-to itu tidak mengenai sesuatu. "Bedebah, berani main gila dengan Cheng-hai-ong!" seru kakek kurus bongkok ini sambil berbangkit dari tempat duduknya. Ia hendak melompat dan terjun ke dalam air karena orang ke tiga dari Thian-te Sam-kauwcu ini memang seorang ahli dalam air, maka julukannya juga Cheng-hai-ong yang berarti Raja Laut Hijau! Akan tetapi, ia membatalkan niatnya karena tiba-tiba dari dalam hutan muncul seorang kakek berusia empat puluh tahun lebih bertubuh sedang berpakaian sederhana. "Thian-te Sam-kauwcu, aku sudah datang tak perlu gelisah!" Semua orang memandangnya. Bu Pun Su berjalan lambat-lambat naik ke tempat terbuka itu, tongkat kecil di tangan kiri, dipukul-pukulkan di atas tanah ketika ia berjalan. Ia tidak Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 72 kelihatan membawa senjata, hanya di pinggangnya terselip sebatang suling bulat. Setelah tiba di depan Thian-te Sam-kauwcu, kurang lebih sepuluh tombak jaraknya ia berhenti dan berdiri tegak. Thian-te Sam-kauwcu sudah lama mendengar nama Bu Pun Su yang menggemparkan dunia kang-ouw dan yang diakui oleh semua tokoh kang-ouw sebagai jagoan nomor satu, akan tetapi baru kali ini mereka bertemu muka dengan pendekat sakti itu. "Ha ha, ha, ha!" Hek-te-ong tertawa bergelak sambil memegangi perutnya, menahan kegelian hatinya. Ia tidak hanya geli, akan tetapi juga sengaja mentertawakan orang yang baru datang untuk menguji perasaan Bu Pun Su. "Inikah yang bernama Bu Pun Su" Lucu sekali! Agaknya sudah tidak ada lagi orang gagah di Tiong-goan sehingga bocah macam ini menjadi jago nomor satu. Ha, ha, ha!" "Siluman hitam, sombong sekali mulutmu!" terdengar bentakan nyaring seorang wanita dan nampak bayangan berkelebat cepat tahu-tahu Bu Sui Ceng telah berdiri di dekat Bu Pun Su, cambuknya bergoyang-goyang di tangan kanannya. Thian-te Sam-kauwcu tercengang. Gerakan wanita yang baru datang ini benar-benar hebat, membuktikan bahwa gin-kang dari wanita ini sudah sampai di tingkat tinggi sekali. Tentu saja mereka tidak tahu bahwa Bu Pun Su memang sengaja tidak memperlihatkan kepandaian, berbeda dengan Bu Sui Ceng yang wataknya keras. Di belakang Sui Ceng, menyusul datang The Kun Beng yang diikuti oleh Kiang Liat. Melihat Sui Ceng, Bu Pun Su memandang dengan muka tak berubah, akan tetapi wajahnya berseri ketika ia melihat Kun Beng datang bersama Sui Ceng. "Bagus, kalian datang, ini tanda bahwa kiamat telah tiba bagi Thian-te Samkauwcu," kata Bu Pun Su kepada Sui Ceng dan Kun Beng. Belum habis gema suara Bu Pun Su ini, berturut-turut muncul Swi Kiat Sian-su dan Pok Pok Sianjin, diikuti oleh Han Le! Sui Ceng tidak mau membuang banyak waktu. Ia melangkah maju menghampiri tempat duduk Thian-te Sam-kauwcu. Di depan tiga orang Ketua Mo-kauw ini, di atas tanah, terbentang sehelai kain dan di atas kain berwarna hitam itu terletak sebuah kitab dan sebatang pedang. Sekali melihat saja, Sui Ceng sudah dapat menduga dan ia berkata nyaring, "Inikah kitab Siauw-lim-pai dan pedang Kun-lun-pai yang dicuri oleh kaum siluman?" Kembali ia melangkah maju. Tiba-tiba terdengar suara ketawa yang lambat dan perlahan, akan tetapi menyeramkan. Yang tertawa adalah Cheng-hai-ong. Tangannya bergerak dan belasan benda warna hijau menyambar ke arah kitab dan pedang. Ketika Sui Ceng melihat, ternyata bahwa sekeliling kain tempat kitab dan pedang itu telah terkurung oleh anak-anak panah berwarna hijau yang menancap di atas tanah, begitu rapi seperti ditancapkan dan diatur dengan tangan. Dengan adanya anak-anak panah itu, maka kitab dan pedang itu terkurung rapat! Demonstrasi kepandaian ini tidak aneh kalau orang tahu bagaimana cara mempergunakannya. Biasanya, anak panah hanya diluncurkan dengan bantuan busur, akan tetapi melepaskan belasan batang anak panah sekaligus hanya dengan lontaran tangan dan dapat mengenai sasaran demikian tepatnya, jarang sekali ada orang dapat menirunya. Selain membutuhkan latihan, juga membutuhkan lwee-kang yang amat tinggi. "Hah, pertunjukan kanak-kanak macam itu siapa sih yang hargai?" kata Sui Ceng. Cambuknya bergerak. Terdengar suara, "Tar! Tar!" beberapa kali dari sembilan ujung cambuknya dan tanpa mengenai kitab dan pedang, anak-anak panah yang tertancap di sekeliling kain hitam itu lenyap beterbangan ke kanan kiri! "Heh-heh-heh, terima kasih atas pertunjukan ini. Kau tentu murid Kiu-bwe Coali!" kata Cheng-hai-ong dengan senyum mengejek, sungguhpun di dalam hatinya ia merasa kagum sekali. Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 73 Pada saat itu, terdengar suara orang datang ke tempat itu dan ketika semua orang memandang, ternyata datang pula dua rombongan orang, masing-masing rombongan terdiri dari sepuluh orang. Rombongan pertama adalah rombongan hwesio dari Siauw-lim-pai yang dikepalai oleh dua orang hwesio tua bertubuh gemuk. Rombongan ke dua adalah rombongan tosu dari Kun-lun-pai yang dikepalai oleh seorang tosu tua yang kurus dan tinggi. Pada saat semua orang memandang kepada rombongan ini, dari pihak Mo-kauw meloncat keluar seorang wanita setengah tua yang cantik. Wanita ini adalah Wi Wi Toanio yang memegang sebuah tusuk konde perak, dipegang di tangan kanan dan diangkat tinggi-tinggi. Dia melompat ke depan dan memandang ke arah rombongan Bu Pun Su, matanya mencari-cari dan ia berseru heran, "Di mana dia...?" Tak seorang tahu apa yang dimaksudkan oleh Wi Wi Toanio, akan tetapi pada saat itu, Bun Sui Ceng dan yang lain-lain juga merasa heran karena tanpa mereka ketahui, Bu Pun Su telah menghilang dari situ. Tak seorang pun tahu ke mana perginya pendekar sakti ini! Para pembaca cerita Pendekar Sakti tentu maklum mengapa Bu Pun Su melenyapkan diri. Pendekar sakti ini tadi melihat Wi Wi Toanio berada di antara rombongan Mo-kauw, maka melihat wanita itu muncul sambil mencabut tusuk konde, ia lekas-lekas melarikan diri dengan cepatnya. Sebagaimana diketahui dalam cerita Pendekar Sakti, Bu Pun Su pernah terlibat dalam urusan asmara dengan Wi Wi Toanio dan pernah bersumpah di depan wanita ular berbahaya ini bahwa ia akan selalu menuruti kehendak Wi Wi Toanio. Adapun tusuk konde itu adalah hadiahnya kepada Wi Wi Toanio dan di depan tusuk konde itulah ia bersumpah! Oleh karena itu, apabila Wi Wi Toanio mengeluarkan benda ini di depannya, apapun juga yang terjadi, Bu Pun Su selalu akan tunduk dan menyerah, sesuai dengan sumpahnya yang tak mungkin ia langgar sendiri. Di antara semua orang yang berada di situ, yang tahu sebab perginya Bu Pun Su, hanyalah Han Le seorang. Kepada sute ini saja Bu Pun Su membuka rahasianya, menceritakan dengan terus terang akan kebodohannya sehingga ia dahulu di waktu mudanya masuk ke dalam perangkap Wi Wi Toanio. Oleh karena itu, kini Han Le tampil ke muka, mewakili Bu Pun Su dan berkata kepada Thian-te Sam-kauwcu, "Thian-te Sam-kauwcu, kiranya kalian sudah tahu betul apa maksud kedatangan kami, terutama sekali mengapa rombongan saudara dari Siauw-lim-pai dan Kun-lunpai datang ke sini. Tak perlu bicara panjang lebar, adalah milik kedua partai itu yang kalian curi secara tidak tahu malu. Kini kalian menghendaki kami datang, sebenarnya apakah kehendak kalian?" Hek-te-ong berdiri dari batu karang yang didudukinya tadi. Wajahnya yang hitam itu menyeringai lebar, sama sekali tidak memandang mata kepada Han Le. "Ha, ha, ha, entah ke mana perginya Bu Pun Su, akan tetapi kiranya dia takut kepada kami. Kami tak perlu pula bicara panjang lebar, tak perlu menyembunyikan maksud kami. Memang kitab Siauw-lim-pai dan po-kiam (pedang pusaka) Kun-lun-pai telah kami bawa ke sini, karena tanpa mengambil dua benda ini, kiranya kalian takkan mau menerima undangan kami. Ketahuilah, sudah lama kami mendengar betapa golongan kalian memandang rendah kepada kami kaum Mo-kauw, banyak penghinaan telah kami alami. Akan tetapi sekarang tiba waktunya kami untuk memperlihatkan, siapa sebetulnya yang lebih kuat. Kitab dan pedang dapat kami ambil tanpa kalian mengetahui, ini saja sudah membuktikan bahwa kami kaum Mokauw tidak boleh dipandang rendah. Sekarang, terus terang saja kami menuntut agar kalian suka berjanji bahwa selanjutnya pihak kalian tidak boleh mengganggu kami dan mengakui kami sebagai sebuah partai persilatan terbesar di dunia kangouw. Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai adalah partai-partai terbesar maka kedua partai itulah yang kami tuntut supaya sekarang mengakui kami sebagai pimpinan partai terbesar!" Han Le tersenyum mengejek, "Hek-te-ong, kau bicara sombong sekali. Belum pernah orangorang gagah di dunia kang-ouw mengganggu siapapun juga, kecuali mereka yang jahat dan Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 74 sesat. Kalau Mo-kauw merasa terganggu, itu tandanya bahwa sepak terjang anggauta Mokauw memang tidak patut. Bagaimana kau menghendaki kami berjanji tidak akan mengganggu" Lebih baik kalian yang berjanji selanjutnya akan memperbaiki sepak terjang, tentu kami takkan sudi mengganggu." "Betul, betul sekali!" kata hwesio tua dari Siauw-lim-pai. "Memang tepat, Kun-lun-pai hanya membasmi orang-orang jahat tidak peduli dari golongan apa," kata tosu tua dari Kun-lun-pai. Pek-in-ong yang tinggi kurus seperti tengkorak melompat maju dan ketawa dengan suaranya yang tinggi menusuk telinga. "Aha, Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai merasa diri sebagai orang-orang bersih di dunia ini dan memandang orang lain sebagai orang-orang jahat. Apakah tidak ada anak murid Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai yang jahat?" "Kalaupun ada, kami selalu menangkap dan menghukumnya," kata hwesio Siauw-limpai dengan suaranya yang keras. "Bagus! Bicaralah seperti kau sendiri yang menjagoi di dunia! Hendak kulihat apakah kau sanggup mengambil kembali kitabmu!" kata Pek-in-ong menantang. Memang di antara Thian-te Sam-kauwcu, orang ke dua ini paling berangasan. Hwesio Siauw-lim-pai yang gemuk itu melangkah maju dan mengebutkan lengan bajunya. "Omitohud, datang-datang ditantang oleh tuan rumah. Siapakah Sicu" Apa kedudukanmu dalam Mo-kauw" Pinceng Kok Beng Hosiang dari Siauw-lim-pai ingin belajar kenal." "Aku adalah Pek-in-ong, ketua nomor, dua dari Mo-kauw. Tak perlu banyak aturan, kitab Siauw-lim-pai sudah terletak di depan kita. Kalau kau memang berkepandaian, cobalah kauambil kembali." Kok Beng Hwesio adalah tokoh ke tiga dari Siauw-li-pai, murid ke dua dari Ketua Siauw-lim-pai, yakni Hok Bin Taisu. Dengan tenang ia melangkah maju dan membungkuk, tangan kanannya menyambar ke arah kitab yang terletak di atas kain hitam itu. Biarpun ia membungkuk mengambil kitab, namun sesungguhnya ini adalah gerakan dari Siauw-lim-pai yang disebut Tit-ci-thian-te (Jari Menuding ke Tanah), suatu sikap bhesi yang amat kuat, siap-sedia menghadapi serangan lawan. Secepat kilat, Pek-in-ong melangkah maju dan sekali ia menggerakkan tangan yang kanan menepuk ke arah ubun-ubun kepala hwesio gundul itu, sedangkan tangan kiri menyambar ke arah pundak dengan totokan yang lihai. "Bagus!" seru Kok Beng Hosiang. Hwesio ini membatalkan niatnya mengambil kitab dan cepat merubah kedudukan tubuh, dua tangan diayun menangkis. "Plak!" Dua pasang lengan yang penuh dialiri tenaga lwee-kang bertumbukan. Pekin-ong tidak bergeming, akan tetapi Kok Beng Hosiang mundur dua tindak! Dari sini saja sudah dapat dibuktikan bahwa tenaga lwee-kang dari tokoh ke dua kaum Mo-kauw itu jauh lebih tinggi. Pihak Siauw-lim-pai terkejut sekali. Kok Beng Hosiang juga kaget dan cepat ia meloloskan senjatanya yang tadi dililitkan pada perutnya yang gendut, yakni sebuah rantai baja. "Omitohud, kau kuat sekali. Terpaksa pinceng minta bantuan pian untuk merampas kembali kitab pusaka!" Rantai itu dipukulkan ke tanah dekat kitab dan aneh! Kitab itu mencelat ke atas. Selagi Kong Beng Hosiang hendak menyambar kitab dengan tangan kiri, Pek-in-ong sudah mendahuluinya, menyambar kitab dengan tangan kanan, melemparkannya kembali ke atas kain dan cepat kedua tangannya bergerak menyerang ke arah iga dan lutut! Kok Beng Hosiang cepat melangkah mundur dan kini tanpa sungkan-sungkan lagi rantainya menyambar dengan serangan hebat yang disebut Sin-coa-wi-jauw (Ular Sakti Melilit Pinggang). Rantainya menyerang dengan kuat, membabat pinggang lawan. Pek-in-ong yang masih bertangan kosong itu tidak mengelak sama sekali, membiarkan rantai itu mengenai pinggang dan sekejap kemudian pinggangnya telah terpukul dan terlibat rantai! Akan tetapi alangkah kagetnya Kok Beng Hosiang ketika merasa betapa rantainya mengenai benda yang Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 75 amat lunak sehingga, tenaga sabetannya tertelan habis, kemudian tiba-tiba ia melihat sepasang lengan yang menyerang cepat sekali ke arah ulu hatinya, disusul oleh tendangan ke arah anggauta rahasia! "Ayaa...!" Kok Beng Hosiang terpaksa melepaskan rantainya dan melompat jauh ke belakang, karena hanya jalan inilah yang dapat membebaskan ia dari maut. "Ha, ha, ha, hanya demikian saja kepandaian tokoh Siauw-lim-pai" Ha, ha, ha!" Sambil berkata demikian, Pek-inong mempergunakan jari-jari tangannya yang kurus panjang untuk mematahkan rantai itu menjadi berkeping-keping, seperti orang mematahkan sebatang hio saja! Han Le dan yang lain-lain terkejut sekali. Bukan main kehebatan lwee-kang dari Pek-in-ong. Kun Beng sendiri harus mengakui bahwa kepandaian Pek-in-ong tidak berada di sebelah bawah kepandaiannya sendiri! Bok Beng Hosiang, suheng dari Kok Beng Hosiang melompat maju dengan toya kuningan di tangannya. Ia marah sekali dan membentak, "Pek-in-ong, kau terlalu menghina Siauw-lim-pai! Biar pinceng mencoba untuk merampas kembali kitab pusaka!" Pek-in-ong tertawa, "Hwesio gundul, nanti dulu. Jangan bergerak sembarangan, harus diadakan perjanjian dulu. Kau siapakah" Apakah kau memiliki kepandaian yang lebih tinggi daripada Kok Beng Hosiang?" Bukan main gemasnya hati Bok Beng Hosiang. "Orang sombong, dengarlah, Pinceng adalah Bok Beng Hosiang, barusan suteku telah kaukalahkan, biar sekarang pinceng yang mencoba kelihaianmu." "Nanti dulu, harus dengan perjanjian. Kalau aku kalah, kau boleh mengambil kitabmu yang butut, akan tetapi kalau kau kalah, kau sebagai wakil Siauw-lim-pai harus bertekuk lutut dan mengakui kami sebagai orang-orang yang lebih berkuasa dan mengakui Mo-kauw sebagai partai yang lebih tinggi dan kuat- daripada Siauwlim-pai. Bagaimana?" Muka Bok Beng Hwesio sebentar merah sebentar pucat. "Keparat, kami orang-orang Siauw-lim-pai tidak takut mati untuk membela kebenaran dan membasmi silumansiluman seperti kau! Biarpun mati, pinceng takkan sudi bertekuk lutut dan selamanya Siauw-lim-pai takkan mengakui Mo-kauw yang sesat sebagai partai besar. Terimalah senjataku!" Sambil berkata demikian, Bok Beng Hosiang langsung menyerang dengan toyanya. Harus diketahui bahwa Bok Beng Hosiang adalah murid pertama dari Hok Bin Taisu, kepandaiannya jauh lebih tinggi daripada sutenya, dan senjata yang ia pergunakan adalah sebuah toya. Semua orang tahu bahwa ilmu toya dari Siauw-lim-pai amat kuat dan lihai, maka pengharapan semua orang diletakkan kepada tokoh ini. Melihat sambaran toya yang amat kuat dan dahsyat, Pek-in-ong tidak berani menangkis, melainkan melompat mundur sambil memuji, "Eh, eh, ada isinya juga si gundul ini!" Di lain saat ia telah mengeluarkan senjatanya yang aneh, yakni sepasang roda. Tak lama kemudian terdengar suara keras ketika toya itu berkali-kali beradu dengan dua roda yang dipegang di kedua tangan. Tenaga lwee-kang mereka tidak jauh selisihnya, akan tetapi sepasang roda itu benar-benar amat lihai. Tidak saja dapat dipergunakan untuk menangkis dan memukul, akan tetapi juga beberapa kali roda-roda itu dilepas, berputar-putar dan meluncur ke arah tubuh lawan, lalu disambar kembali. Maka sebentar saja Bok Beng Hosiang telah terkurung oleh sepasang roda itu yang berputar-putar, kadangkadang menyerang langsung dari tangan Pek-in-ong, kadang-kadang terlepas dan menyambar-nyambar dengan dahsyat dari atas! Bok Beng Hosiang hanya dapat bertahan dua puluh jurus. Kepalanya telah menjadi pening dan pada suatu saat, serangan berantai dari Pek-in-ong tidak dapat dihindarkannya dan pundaknya terpukul oleh roda. "Krek!" Bok Beng Hosiang mengeluh dan terhuyung ke belakang, cepat ditarik oleh Kok Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo 76 Beng Hosiang dan diselamatkan. Tulang pundak hwesio gemuk ini telah hancur! "Ha, ha, ha, Siauw-lim-pai tidak patut menyimpan kitab pusaka!" Pek-in-ong mentertawakan sambil menyimpan sepasang rodanya. Han Le, Sui Ceng, Kun Beng, Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat Siansu marah sekali. Akan tetapi sebelum mereka sempat bergerak, tosu tua pemimpin rombongan Kun-lunpai telah melompat maju. "Siancai, siancai! Thian-te Sam-kauwcu memang lihai. Akan tetapi sayang kepandaian mereka dipergunakan untuk maksud buruk. Pinto Cin Giok Sianjin dari Kun-lun-pai datang untuk mengambil kembali pedang!" Sambil berkata demikian, tosu tua ini melangkah tenang mengambil pedang. Baru saja tangannya diulur, terdengar suara mendesing dan tiga batang anak panah hijau menyambar ke arah tangannya! Cin Giok Sianjin berlaku tenang, cepat tangannya mengibas dan tiga batang anak panah itu terpental kembali ke arah penyerangnya, yakni Cheng-haiong orang ke tiga dari Thian-te Sam-kauwcu! "Ha, ha, ha, ini baru namanya orang pandai!" Cheng-hai-ong tertawa sambil melompat maju menghadapi Cin Giok Sianjin yang terpaksa membatalkan niatnya mengambil pedang pusaka Kun-lunpai. Ia melihat orang kurus bongkok bermata sipit berpakaian serba hijau berdiri di depannya sambil memegang sebatang rantai yang ujungnya ada tengkoraknya! Cin Giok Sianjin adalah tokoh kedua dari Kun-lun-pai, murid dari mendiang Seng Thian Siansu, Ketua Kun-lun-pai. Tosu ini sudah puluhan tahun menjelajah dunia kang-ouw dan sudah puluhan kali bertemu dengan lawan tangguh, akan tetapi baru kali ini ia melihat senjata sehebat dan seperti itu. Mana ada orang bersenjata rantai yang ujungnya dipasangi tengkorak" Akan tetapi ia dapat menenangkan hatinya dan mengeluarkan sebatang pedang. Kunlun-pai terkenal dengan ilmu pedangnya dan dengan tenang ia berdiri tegak, melintangkan pedang di depan dada dengan jurus pertahanan Locia-pai-hud (Locia Menyembah Buddha). "Tosu bau, mari kita main-main sebentar!" kata Cheng-hai-ong dan secepat kilat menyambar, tengkorak di ujung rantainya bergerak ke arah kepala Cin Giok Sianjin. Tosu ini cepat mengelak dan pedangnya menusuk langsung dari dadanya ke dada lawan. Cheng-hai-ong miringkan tubuh dan kembali tengkoraknya menyambar, kini dari arah belakang agak ke kanan, menghantam leher tosu Kun-lun-pai. Cin Giok Sianjin melihat hebatnya serangan ini, maka ia tidak berani mengelak, dan cepat menangkis dengan pedangnya. "Plak!" Tengkorak itu terpukul miring, akan tetapi tidak pecah, sebaliknya, tosu Kun-lun-pai itu merasa tangannya tergetar. "Lihai sekali..." katanya dan sebentar kemudian pedangnya berubah menjadi segulung sinar putih, menyambar-nyambar laksana seekor naga mengurung lawan. Ia telah mengeluarkan kepandaiannya dan memainkan Kun-lun Kiam-hoat yang lihai. Bukan main cepatnya gerakan pedangnya, cepat dan berat disertai tenaga lweekang. Namun, Cheng-hai-ong masih tertawa-tawa dan mengimbangi permainan lawan dengan ilmu silatnya yang aneh sekali. Tidak hanya tengkorak di ujung rantai yang menyerang, kadang-kadang kedua kakinya menendang-nendang, tangan kirinya mencengkeram, sikunya berkali-kali mencari sasaran, bahkan tekukan lututnya sering diangkat menghantam perut dan tempat berbahaya. Swi Kiat Siansu berkata lirih. "Hm, ilmu silat barat dicampur dengan ilmu gulat dari Mongol. Benar-benar lihai sekali." Juga yang lain-lain merasa kagum dan terpaksa memuji kepandaian orang ke tiga dari Thian-te Sam-kauwcu itu. Mereka mulai mengkhawatirkan keselamatan Cin Giok Sianjin, karena setelah bertempur tiga puluh jurus, jelas kelihatan tosu itu mulai terdesak. Tiba-tiba Cheng-hai-ong berseru aneh dan Cin Giok Sianjin berseru kaget, terhuyung-huyung dan melompat mundur cepat sekali. Mukanya pucat dan dari jidatnya nampak merah, temyata kulit jidatnya telah terluka! Hanya tokoh-tokoh besar saja yang melihat betapa tadi dari mulut Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 77 tengkorak itu menyambar keluar tiga batang jarum hijau ke arah muka Cin Glok Sianjin. Biarpun tosu ini sudah berkelit, namun tetap saja jidatnya tergores oleh sebatang jarum hijau sehingga mengeluarkan darah! Cheng-hai-ong tertawa bergelak dan Cin Giok Sianjin cepat membuka bungkusan obat untuk mempergunakan obat penawar racun yang disengaja dibekalnya. Ia maklum dari rasa gatal pada lukanya bahwa jarum hijau itu mengandung racun. Baiknya Kun-lunpai terkenal dengan obat-obatnya anti racun, maka ia masih dapat menyelamatkan nyawanya, sungguhpun tak mungkin dapat maju bertempur lagi. Ia perlu bersamadhi untuk mengerahkan lwee-kang dan mengusir pengaruh racun dengan hawa mumi di dalam tubuhnya. Han Le marah sekali. Pemimpin-pemimpin rombongan Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai telah dikalahkan dan diam-diam ia merasa menyesal sekali mengapa tokoh-tokoh pertama dari Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai tidak mau keluar sendiri. Agaknya kedua partai besar itu terlalu memandang rendah kepada pihak Mo-kauw, maka Ketua Siauw-lim-pai, Hok Bin Tosu dan Ketua Kun-lun-pai yang baru Keng Thian Siansu tidak mau datang sendiri. Kalau dua kakek itu datang, tentu akan lain keadaannya, sungguhpun belum tentu mereka dapat mengalahkan Thian-te Sam-kauwcu yang benar-benar lihai itu. "Thian-te Sam-kauwcu! Kalian benar-benar tidak memandang mata kepada Siauw-limpai dan Kun-lun-pai yang terkenal sebagai partai besar. Tidak saja kalian mencuri kitab dan pedang, bahkan sekarang kalian dengan sombong telah melakukan hinaan-hinaan," kata Han Le. "Ha, ha, ha, yang kalah merasa terhina, itu sudah jamak. Salahkah kami kalau kebetulan kepandaian kami memang jauh lebih tinggi daripada kepandaian kalian?" kata Hek-te-ong sambil ketawa bergelak diikuti oleh anak buahnya. "Hek-te-ong, alangkah sombongmu!" bentak Han Le marah sekali. "Dahulu yang menjadi lima tokoh besar dunia persilatan adalah guruku Ang-bin Sin-kai dan para Locianpwe Kiu-bwe Coa-li, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, Pak-losian Siangkoan Hai dan Hek I Hui-mo. Biarpun mereka ini merupakan tokoh-tokoh dari delapan penjuru, namun mereka masih tidak sesombong kau dan kawan-kawanmu, tidak pernah mau menghina partai lain, apalagi melakukan pencurian yang rendah! Bahkan setiap kali muncul orang jahat, para locianpwe itu turun tangan membasminya!" "Ha, ha, ha, kau pengemis bau murid Ang-bin Sin-kai. Apa kaukira dapat menakutnakuti kami dengan nama-nama lima tokoh besar yang sudah mampus itu" Andaikata mereka masih hidup, kamipun ingin sekali menjajal kepandaian mereka, apalagi sekarang mereka sudah mampus. Apa yang perlu kami takutkan?" "Bangsat bermulut besar. Murid Kiu-bwe Coa-li berada di sini! Aku Bun Sui Ceng mewakili mendiang guruku untuk membasmi Mo-kauw!" bentak Bun Sui Ceng sambil bersiap-siap dengan cambuknya. "Pinto Swi Kiat Siansu mewakili mendiang Suhu Pak-lo-sian Siangkoan Hai menggempur orang jahat!" kata Swi Kiat Siansu dengan tenang dan sama sekali tidak memandang mata kepada Thian-te Sam-kauwcu. "Siancai, siancai, biarpun mendiang Suhu Hek I Hui-mo menjalani jalan hitam, namun kiranya beliau akan turun tangan kalau menghadapi siluman-siluman sombong seperti kalian! Biarlah pinto Pok Pok Sianjin mewakilinya." kata pula Pok Pok Sianjin sambil mengerling tajam. "Sayang Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu tidak ada wakilnya," kata Kun Beng tersenyum mengejek. "Karena Suhu Pak-losian Siangkoan Hai telah diwakili oleh Suheng, biarlah aku The Kun Beng mewakili mendiang Jeng-kin-jiu yang gagah perkasai!" "Bagus sekali! Jadi lima tokoh besar itu kini telah diwakili oleh muridmuridnya. Kami memang ingin sekali mencoba kepandaian mereka. Hayo, siapa yang hendak maju lebih dulu?" kata Hek-te-ong memandang rendah. Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 78 "Biarlah aku memperlihatkan kebodohanku," kata Han Le yang cepat maju sambil mencabut pedangnya. Sebelum Hek-te-ong menghadapinya, di pihak Mo-kauw muncul seorang kakek kate dengan telinga lebar, pakaiannya serba hitam. Dia ini adalah Hek Mo-ko yang berkata kepada Hek-teong. "Twa-suhu, biarlah teecu menghadapi murid Ang-bin Sin-kai ini. Ingin teecu merasai kelihaian Hun-khai-kiam-hoat dari Ang-bin Sin-kai. Heh-heh-heh-heh!" Setelah gurunya mengangguk, Hek Mo-ko lalu meloloskan sepasang senjatanya yang aneh, yakni sebatang pedang bengkok dan seuntai tasbeh, "Han Le pengemis busuk, kita bertemu lagi sekarang dalam pertandingan satu lawan satu yang menentukan. Hayo kaukeluarkan segala kepandaianmu akan kulihat." Han Le mendongkol sekali. Ia sudah tahu akan kelihaian Iblis Hitam ini. Akan tetapi ia tidak menjadi gentar sungguhpun ia tahu bahwa ia menghadapi lawan tangguh dan harus berlaku hati-hati sekali. "Majulah, Hek Mo-ko," katanya sambil melintangkan pedang. Sambil tertawa terkekeh-kekeh Hek Mo-ko mulai menyerang. Pedangnya yang aneh bentuknya itu membuat gerakan melingkar, disusul oleh tasbehnya yang meluncur ke arah lambung Han Le. Maklum akan bahayanya serangan orang kate ini Han Le tidak berani berlaku lambat. Pedangnya bergerak cepat dan dengan jurus-jurus terlihai dari Hun-khai-kiam-hoat, tidak saja ia menangkis dan menggagalkan serangan lawan, bahkan dengan kontan keras ia membalas serangan Hek Mo-ko dengan sabetan dan tusukan maut. Ilmu pedang Hun-khai-kiam-hoat warisan Ang-bin Sin-kai sudah hebat, apalagi ditambah dengan pelajaran yang didapat dari lukisan-lukisan ilmu silat dari Imyang Bu-tek-cin-keng di dalam guha di Pulau Pek-hio-to, maka bukan main lihainya ilmu pedang yang dimainkan oleh Han Le. Diam-diam Hek Mo-ko memuji dan tahulah ia mengapa dahulu ketika menghadapi pengemis ini, sutenya hampir saja celaka. Namun, bagi Han Le juga tidak mudah mengalahkan Hek Mo-ko, karena selain dalam ilmu silat Iblis Hitam yang kecil ini masih lebih lihai daripada Pek Mo-ko, juga tenaga lwee-kangnya amat tinggi, masih lebih kuat daripada tenaga lwee-kang Han Le. Setelah pertempuran berjalan lima puluh jurus lebih, tiba-tiba saja Hek Moko merubah gerakannya. Kini ia bergerak lambat, akan tetapi dengan pengerahan tenaga lwee-kang sepenuhnya sehingga tiap kali pedang di tangan Han Le terbentur dengan pedang bengkok atau tasbeh, pedang murid Ang-bin Sin-kai ini terpental dan telapak lengannya panas! Di antara para tokoh itu, hanya Swi Kiat Siansu seorang yang tahu bahwa dalam perubahan ini terjadi kecurangan dari pihak Thian-te Sam-kauwcu. Swi Kiat Siansu sudah banyak pengalamannya di dunia kang-ouw, terutama sekali di daerah barat di mana banyak diyakinkan ilmu hoat-sut (sihir). Tadi secara kebetulan ia melihat Hek-te-ong memandang tajam ke arah Hek Mo-ko dengan mulut bergerak-gerak. Sungguhpun tidak terdengar sedikit pun suara dari mulutnya, namun Swi Kiat Siansu maklum apa yang telah terjadi. "Hek-te-ong, kau curang!" serunya marah. "Diam-diam kau membantu Hek Mo-ko!" "Siapa membantu?" Hek-te-ong mengejek. "Aku tidak bergerak dari tempat dudukku!" Semua orang juga heran mendengar dakwaan Sui Kiat Siansu tadi. Akan tetapi sesungguhnya memang Hek-te-ong telah membantu Hek Mo-ko dengan ilmu mengirim suara yang disalurkan dengan tenaga lwee-kang melalui pengerahan khi-kangnya. Suara ini biarpun perlahan, namun langsung bergema di telinga Hek Mo-ko tanpa terdengar oleh orang lain. Hek-te-ong yang berpemandangan luas dan tajam, tahu bahwa tanpa merubah siasat, sukar bagi Hek Mo-ko untuk mencari kemenangan, maka diam-diam ia membisikkan siasat kepada Hek Mo-ko untuk mempergunakan tenaga lwee-kang sepenuhnya dalam pertempuran itu. Benar saja, setelah Hek Mo-ko merubah cara bertempurnya, Han Le menjadi sibuk. Biarpun Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 79 ia berada di pihak menyerang, akan tetapi setiap tangkisan lawan merupakan serangan balasan yang langsung merugikannya. Tiba-tiba ia mendengar suara bisikan perlahan yang mengejutkan hatinya. Ia mengenal baik suara itu, yakni suara suhengnya, Bu Pun Su. Seakan-akan Bu Pun Su berdiri di dekatnya dan berbisik di dekat telinganya, "Sute, jangan adu senjata. Pergunakan gin-kang dan serang dia dengan Bu-engkiam-sut!" Han Le girang sekali. Ia maklum akan kelihaian suhengnya, dan ia tahu bahwa biarpun tadi menghilang, ternyata Bu Pun Su berada di dekat situ dan sekarang berusaha menolongnya. Cepat ia berseru keras dan pedangnya berubah gerakannya. Kini pedang berkelebat menyambar ke sana sini. Bayangan Han Le lenyap terbungkus gulungan sinar pedang. Bukan main cepatnya gerakan Bu-eng-kiam-sut (Ilmu Pedang Tanpa Bayangan) ini! Ia berhasil, Hek Mo-ko mengeluarkan seruan kaget dan sebentar saja terdesak mundur. Beberapa kali Hek Mo-ko menggerakkan sepasang senjatanya, memukul membabi-buta, namun tak pernah senjatanya yang digerakkan dengan tenaga lwee-kang sepenuhnya itu dapat menyentuh senjata maupun tubuh lawannya. Tiba-tiba dengan gerakan cepat, Han Le berhasil menusuk paha Hek Mo-ko dengan pedangnya. Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika ia merasa pedangnya terpental dan hanya dapat merobek celana dan sedikit daging berikut kulit paha lawan! "Aduh!" teriak Hek Mo-ko yang cepat menggunakan pedang bengkoknya menyabet ke arah pedang Han Le. "Cring...!" Pedang terlepas dari tangan Han Le dan telapak tangannya pecah-pecah kulitnya. Keduanya melompat mundur. Hek Mo-ko terluka pahanya. Han Le terluka telapak tangannya. Setelah memungut pedangnya, Han Le berkata, "Hek Mo-ko, kau lihai sekali." Hek Mo-ko menyeringai, ia mendongkol sekali karena dalam pertandingan tadi, biarpun ia dapat membuat pedang lawan tertangkis, namun ia sendiri menderita luka di paha, sehingga kalau dibandingkan, kerugiannya lebih besar. "Kau patut menjadi murid Ang-bin Sin-kai," katanya perlahan. Pek Mo-ko melompat ke depan dan mengangkat dadanya yang bidang. Ia marah melihat kakaknya terluka, maka dengan lantang ia berkata, "Siapa lagi yang hendak gagah-gagahan mewakili Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai merampas kembali kitab dan pedang" Majulah, aku Pek Mo-ko akan menjaga dua benda ini!" Ia berdiri tegak di dekat kitab dan pedang, sikapnya menantang sekali. Pok Pok Sianjin marah sekali melihat lagak tengik dari Pek Mo-ko ini. Ia melompat ke depan dan menghadapi Pek Mo-ko dengan tongkat hitam di tangan. "Pek Mo-ko, ucapanmu itu menandakan bahwa kau seorang rendah dan seperti katak dalam sumur. Akulah orangnya, Pok Pok Sianjin murid Hek I Hui-mo yang akan menghadapimu. Majulah menerima kematian!" Pek Mo-ko gentar melihat Pok Pok Sianjin. Sebetulnya, kalau dijelaskan, Hek I Hui-mo masih ada hubungan dengan gurunya, karena gurunya itu terhitung adik seperguruan Hek I Hui-mo. Akap tetapi, karena sekarang ia telah menjadi murid Thian-te Sam-kauwcu, dan ketiga orang gurunya yang lihai masih berada di situ, ia tidak mau memperlihatkan takutnya, ia sebaliknya tertawa bergelak, "Ha, ha, Pok Pok Sianjin, alangkah bedanya kau dengan mendiang gurumu. Pantas kau dahulunya kutu buku, mana bisa menjadi seorang yang berpikir luas" Kalau gurumu masih hidup, tentu kau akan dicaci-maki!" Pok Pok Sianjin marah sekali mendengar ini. Memang sebetulnya ia mempunyai pendirian lain dengan mendiang gurunya. Hek I Hui-mo terkenal sebagai seorang liar kejam dan Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 80 mengandalkan kepandaian sendiri, yang tidak segan-segan melakukan perbuatan jahat untuk kepentingan dan keuntungan sendiri. Andaikata gurunya masih hidup dan berada di situ, belum tentu gurunya mau membantu pihak Bu Pun Su. Sekarang mendengar makian Pek Mo-ko, ia cepat menubruk maju menggerakkan tongkatnya. Ilmu tongkat dari Pok Pok Sianjin adalah warisan dari tokoh besar Hek I Hui-mo yang kepandaiannya setingkat dengan Kui-bwe Coa-li atau Ang-bin Sinkai. Maka dapat dibayangkan betapa hebatnya tongkat hitam yang dimainkannya itu. Pek Mo-ko cepat menangkis dengan tasbehnya, akan tetapi sekali benturan saja, untaian tasbehnya terlepas dan putus! Dengan kaget Pek Mo-ko melompat ke samping dan membalas dengan serangan kilat, mempergunakan pedang bengkoknya dan sekali menangkis, kembali pedang Pek Mo-ko terpental, hampir terlepas dari pegangan. Kemudian terjadilah pertempuran hebat. Namun mudah dilihat bahwa Pek Mo-ko masih kalah lihai sehingga ia main mundur saja. Pada suatu saat yang tepat, tongkat di tangan Pok Pok Sianjin berhasil menyodok dada Pek Mo-ko yang terjengkang dan roboh sambil muntahkan darah. Baiknya tenaga lwee-kangnya sudah matang sehingga ia dapat memelihara, dan Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo menjaga isi dada. Ia muntahkan darah bukan karena terluka, melainkan karena telalu keras mengerahkan hawa menjaga dada. Namun ia tak mungkin dapat melawan terus dan Hek Mo-ko menyeretnya ke pinggir. Pok Pok Sianjin menghampiri pedang dan kitab, hendak mengambilnya, akan tetapi tiba-tiba dari samping ada angin menyambar, Pok Pok Sianjin terkejut sekali dan cepat melompat mundur. Sebatang pedang hampir saja menabas putus lengannya, demikian cepatnya gerakan pedang yang menyerangnya itu. Ketika ia menengok, ia melihat seorang kakek tua sekali berdiri sambil mengurut-urut jenggot. "Kiam Ki Sianjin, kembali kau berada di antara orang-orang jahat!" Pok Pok Sianjin memaki. "Memang, ular belang selalu berkawan dengan segala binatang berbisa." "Ha, ha, ha, bocah kemarin sore berani main gila. Gurumu sendiri belum tentu berani berlagak sombong di depanku, kau masih kanak-kanak bau ingus ketika aku sudah menjagoi dunia kangouw. Tidak tahukah kau bahwa di dunia kang-ouw sekarang ini tidak ada orangorang yang dapat menandingi Thian-te Sam-kauwcu" Mengapa kau masih membutakan mata" Lebih baik kalian cepat mengakui bahwa Thian-te Sam-kauwcu memang patut menjadi pimpinan besar dari semua partai." "Ngaco-belo! Kau memang ular kepala dua, kaukira aku takut kepadamu?" Pok Pok Sianjin tak mau membuang banyak waktu lagi, cepat ia menyerang dengan tongkatnya. Dengan tertawa mengejek, Kiam Ki Sianjin menggerakkan pedang dan menangkis serangannya. Segera keduanya bertempur seru. Bagi para pembaca cerita Pendekar Sakti tentu masih ingat bahwa Kiam Ki Sianjin adalah tokoh besar yang lihai, bahkan ia pernah bekerja sama dengan Hek I Hui-mo. Sekarang melihat murid Hek I Hui-mo berada di pihak Bu Pun Su, selain heran ia juga marah sekali. Apalagi ketika ia melihat betapa dengan mudah Pok Pok Sianjin mengalahkan Pek Mo-ko, ia tak dapat menahan kemarahannya dan muncul ke depan tanpa bertanya lagi kepada Thian-te Sam-kauwcu, karena memang tingkat kepandaiannya sudah tinggi, tidak jauh selisihnya dengan tingkat kepandaian tiga ketua itu. Betapapun lihainya Pok Pok Sianjin, menghadapi pedang Kiam Ki Sianjin ia repot juga. Murid Hek I Hui-mo ini memang tadinya hanya seorang sastrawan muda dan ia hanya terpaksa saja menjadi murid tokoh besar Hek I Hui-mo (baca Pendekar Sakti). Maka setelah ia mewarisi ilmu silat tinggi, ia jarang sekali berlatih dan biarpun kepandaiannya sudah tinggi, akan tetapi ia jarang bertempur. Kini yang dihadapinya adalah seorang ahli silat tinggi yang boleh dibilang pekerjaannya sehari-hari hanya bersilat dan bertempur, maka dalam jurus ke empat puluh, pedang Kiam Ki Sianjin berhasil melukai pundaknya. Terpaksa Pok Pok Sianjin melompat ke belakang, ditertawai oleh Kiam Ki Sianjin. Kun Beng marah sekali dan sambil memaki keras ia melompat maju menggantikan Pok Pok Ang I Nio Cu > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com 81 Sianjin, tombaknya terus digerakkan menyerang Kiam Ki Sianjin. Kakek ini tertawa terkekeh-kekeh dan menggerakkan pedangnya menangkis sehingga sekejap kemudian mereka telah bertanding mati-matian. Melihat bahwa sute itu pun agaknya takkan dapat menangkan Kiam Ki Sianjin yang lihai, Swi Kiat berseru keras dan murid pertama dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai ini memasuki kalangan pertandingan dengan senjatanya yang ampuh di tangan, yakni sepasang kipas, senjata istimewa dari mendiang gurunya! "Perlahan dulu, tukang dapur!" Hek Mo-ko membentak dan bersama Pek Mo-ko, ia menyambut Swi Kiat Siansu. Dua saudara iblis hitam putih ini telah mengambil senjata cadangan dan biarpun mereka telah terluka, namun luka yang ringan itu tidak menghambat gerakan mereka. Terpaksa Swi Kian Siansu menghadapi keroyokan Hek Pek Mo-ko yang tentu saja amat berbahaya setelah maju bersama. Pok Pok Sianjin yang terluka pundaknya, tidak mau tinggal diam melihat dua orang kawannya didesak. Ia melompat maju dan tongkatnya kembali menyambar-nyambar, akan tetapi sebelum ia dapat membantu, terdengar suara ketawa merdu dan tahutahu seorang gadis cantik jelita menyambut tongkat dengan sepasang pedang. Temyata bahwa Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat, murid terkasih dari Thian-te Samkauwcu telah turun tangan! Pek Hoa Pouwsat memiliki kepandaian yang istimewa dan masih lebih tinggi tingkatnya daripada Hek Pek Mo-ko, maka tentu saja dalam beberapa belas jurus Pok Pok Sianjin telah terdesak hebat, terkurung oleh sepasang pedang dan keselamatannya terancam sekali! Sui Ceng menjadi bingung. Ia menoleh ke sana ke mari mencari-cari Bu Pun Su. Baru pembantu dan murid-murid Thian-te Sam-kauwcu saja yang maju, pihaknya telah terdesak. Tak disangkanya bahwa pihak Mo-kauw demikian lihai. Kalau sampai Thian-te Samkauwcu sendiri yang maju, dapat diramalkan bahwa dia dan kawan-kawannya takkan dapat keluar dari tempat itu dengan selamat. "Maju...! Serbu dan rampas kitab dan pedang!" hampir berbareng, para pimpinan Siauw-lin-pai dan Kun-lun-pai memberi aba-aba dan dua puluh orang Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai serentak maju sambil menggerakkan senjata masing-masing. Hek-te-ong tertawa bergelak. "Kawan-kawan, sambut mereka! Jangan biarkan hidup seorang juga! Kalau kita dapat menumpas mereka, dunia kang-ouw pasti akan mengakui kekuasaan kita!" Pihak Mo-kauw bersorak-sorai dan terjadilah perang tanding yang hebat dan matimatian. Sui Ceng tidak mau pusingkan tentang Bu Pun Su lagi, sungguhpun hatinya amat mendongkol. "Benar-benarkah Kwan Cu berubah menjadi seorang pengecut yang tak tahu malu?" pikirnya. Namun ia tidak mau tinggal diam dan sekali ia berseru nyaring, cambuknya berbunyi, "Tar! Tar! Tar!" dan seketika itu juga, empat orang anak buah Mo-kauw roboh menjerit dan bergulingan untuk menghadapi maut! Sui Ceng hendak mengamuk terus. Tiba-tiba ia melompat mundur karena ia mendengar suara Bu Pun Su berbisik dekat telinganya, "Sui Ceng, demi keselamatan semua kawan, kaurobohkan lebih dulu Wi Wi Toanio. Kaulihat wanita yang berbaju biru memegang pedang itu. Serang dia dan robohkan sampai tidak berdaya. Awas, di sebelah kirinya, laki-laki yang memakai baju kuning itu adalah An Kai Seng, musuh besar kita!" Sui Ceng memandang ke sana ke mari, akan tetapi tidak melihat Bu Pun Su. Ia Pedang Ular Merah 8 Kelelawar Hijau Lanjutan Payung Sengkala Karya S D Liong Pahlawan Dan Kaisar 17