Ceritasilat Novel Online

Bidadari Dari Sungai Es 10

Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen Bagian 10


beberapa kali ia
telah mencari kami untuk membalas dendam. Belakangan urusan itu dapat didamaikan
oleh seorang sahabat dan sekarang kita sudah menjadi sahabat."
"Tong Lootaypo" atau Nyonya Tua Tong yang disebutkkan oleh Yo Lioe Tjeng, adalah
Tong Say Hoa, yaitu soetjie (kakak seperguruan) Liong Leng Kiauw. Hati Keng Thian
berdebar sebab ia
memang mau mencari keluarga Tong yang secara kebetulan ternyata bertempat
tinggal di Lengkoan. "Pengemis kusta itu sungguh harus dimampuskan?" berkata Tjiang Hee dengan suara
gusar. "Tak bedanya seperti anjing gila yang menyerobot segala orang."
"Apakah Pehbo tahu asal-usulnya?" tanya Keng Thian.
"Menurut kata Pehpeh-mu (pamanmu Tjee Sek Kioe), pengemis kusta itu baru muncul
sedari kira-kira dua tahun berselang," jawab sang bibi. "Dari Tionggoan ia datang di
Utara barat, dimana
ia mencari orang-orang ternama dari Rimba Persilatan untuk dibikin malu. Siapa
juga tidak mengetahui asal-usulnya."
Keng Thian menundukkan kepalanya, ia sungguh tak dapat memecahkan teka-teki di
sekitar si pengemis kusta.
"Soal si pengemis sudah cukup aneh, tapi ada lagi lain hal yang terlebih aneh,"
berkata Yo Lioe
Tjeng. "Ada apa lagi?" menanya Keng Thian.
"Menurut kata orang, dua wanita yang cantik bagaikan dewi berjalan bersama-sama
pengemis itu," menerangkan sang bibi.
Keng Thian terkesiap. "Apa?" ia menegaskan.
"Ada orang melihat mereka bertiga jalan bersama-sama, sembari bercakap-cakap
dengan tertawa-tawa," menerangkan Yo Lioe Tjeng. "Kata orang, kedua wanita itu juga
pernah berkunjung ke rumah keluarga Tong, tapi bagaimana kejadian yang sesungguhnya,
orang itu tak mengetahui jelas."
Tak kepalang herannya Keng Thian. Apakah tak bisa jadi, kedua wanita itu adalah
Pengtjoan Thianlie dan Yoe Peng" Tapi Koei Peng Go adalah seorang angkuh dan sama sekali
tak ada kemungkinan, bahwa ia sudi berjalan bersama-sama dengan seorang penderita kusta.
Tapi, selain mereka berdua, siapa lagi yang "cantik bagaikan dewi?"
*** Sekarang biarlah kita meninggalkan Keng Thian yang sedang kebingungan dan
mengikuti gerak-gerik Pengtjoan Thianlie dan dayangnya.
Malam itu, sesudah meninggalkan kuil Lhama, malam-malam mereka meneruskan
perjalanan ke arah Soetjoan. Oleh karena tidak mengenal jalan, walaupun tidak salah
arahnya, beberapa kali
mereka mengambil cabang jalan yang salah, sehingga pada waktu tiba di Tjiakdjie
san, mereka berada di belakang Keng Thian.
Pada waktu berjalan di bagian gunung yang paling berbahaya, Yoe Peng mendadak
mengeluarkan seruan tertahan dan meloncat mundur beberapa tindak.
Di bawah sebuah batu besar kelihatan sedang rebah seorang pengemis yang
pakaiannya rombeng dan kedua lengannya penuh bisul. Muka orang itu yang bersinar merah dan
bengkakbengkak kelihatan menakutkan sekali. Pengtjoan Thianlie yang tidak mengenal penyakit
kusta, lantas saja timbul rasa kasihannya dan lalu berkata pada dayangnya: "Menolong
jiwa satu manusia
adalah lebih berharga daripada membuat gedung dari tujuh tingkat. Yoe Peng, coba
kau mengangkat orang itu. Aku mau memeriksa keadaannya."
Yoe Peng tak menduga nonanya akan bertindak begitu dan ia menjadi serba salah.
"Tempat ini jarang diinjak manusia," berkata pula Koei Peng Go, setelah melihat
kesangsian dayangnya. "Jika kita tidak menolong, siapa lagi yang akan memberikan
pertolongan" Yoe Peng,
hayo!" Pengtjoan Thianlie yang belum mempunyai banyak pengalaman, sudah bertindak
dengan menuruti hatinya yang sangat mulia. Ia sama sekali tak ingat, bahwa oleh karena
gunung itu jarang diinjak manusia, seorang yang bisa berada disitu tentu juga bukan manusia
sembarangan Dengan terpaksa Yoe Peng maju beberapa tindak dan mengawasi si penderita kusta.
"Orang ini
rasanya tak akan bisa hidup lebih lama lagi," katanya.
"Bagaimana kau tahu?" tanya si nona.
"Lihatlah! Ia rebah seperti mayat dan sudah tak dapat bergerak lagi," berkata
Yoe Peng. Belum habis Yoe Peng mengucapkan perkataannya, si pengemis mendadak berbangkis
dan sesudah mengulet beberapa kali, ia bangun duduk. Dengan sorot mata ketololtololan, ia mengawasi Peng Go dan berkata dengan suara perlahan: "Aku sudah hampir mati.
Apakah kamu berdua masih merasa perlu untuk hinakan diriku?"
Mendengar suara itu, yang meskipun lemah, masih juga mempunyai semangat, si nona
bersenyum dan lalu berkata: "Kau tentu sudah menahan lapar beberapa hari.
Makanlah ini."
Tanpa menghaturkan terima kasih, si pengemis mengambil sepotong daging kambing
kering yang diangsurkan oleh Peng Go itu dan lalu makan dengan bemapsu.
"Kenapa sekujur badanmu penuh bisul?" menanya Pengtjoan Thianlie dengan suara
kasihan. Si pengemis mendelik dan menyahut dengan suara aseran: "Sedari kecil, aku sudah
begini. Jika kau jijik, pergilah jauh-jauh!"
"Ah, bukan begitu," kata si nona. "Maksudku adalah, jika mungkin aku mau coba
mengobati penyakitmu."
"Mau mengobati aku?" menegasi si pengemis. Sesudah berkata begitu, ia menunduk
dan tidak berkata suatu apa lagi.
Dalam keraton es terdapat macam-macam obat yang mujarab dan beberapa antaranya
selalu dibawa-bawa oleh si nona. Ia lantas saja mengeluarkan sebotol obat bubuk untuk
mengobati rupa-rupa bisul beracun. "Cobalah obat ini, usapkan di bisulmu," kata Peng Go
sembari mengangsurkan botol obat itu.
Sesudah mengusapkan obat bubuk itu di kedua lengannya, ia lalu membuka baju.
"Tanganku tak sampai ke punggung," katanya.
"Yoe Peng, kau tolonglah!" memerintah Pengtjoan Thianlie.
Sang dayang tentu saja tidak berani membantah perintah itu. Ia lalu mematahkan
sebatang cabang pohon dan membungkus ujungnya dengan selembar kain putih, yang kemudian
dicelup dalam air pancuran gunung. Kemudian ia tuangkan obat bubuk tersebut di atas kain
basah itu yang lalu digosok-gosokan di punggung si pengemis.
"Obat ini dingin rasanya, benar-benar bagus," kata si pengemis. "Tapi penyakitku
sudah sering sekali diobati dan aku sudah menggunakan ratusan macam obat tanpa berhasil. Maka
itu, belum tentu obatmu dapat menyembuhkan."
"Jika obat itu tidak berhasil sesudah dua hari, aku akan memberikan kau lain
obat," kata si
nona. "Hayolah kita berangkat!" berkata Yoe Peng dengan suara tidak sabar.
"Bagus!" kata si pengemis. "Aku justru sedang kuatir tak dapat makanan. Dengan
berjalan bersama kalian, bukan saja ada obat, tapi juga ada makanan!" Sehabis berkata
begitu, lantas saja
ia berdiri. Pengtjoan Thianlie tak duga si sakit bakal berkata begitu. Sesudah berpikir
beberapa saat, ia
berkata: "Baiklah. Menolong orang harus menolong sampai akhirnya. Kau boleh
mengikuti kami.
Apa kau bisa jalan?"
"Sesudah perut kenyang, jalanan gunung tak menjadi soal bagiku," jawabnya dengan
suara gagah dan sambil mengangkat tongkatnya, ia lalu mulai bertindak.
Sesudah berjalan dua hari, tibalah mereka di bagian selatan gunung Tjiakdjie san
dan dari situ, mereka sudah melihat rumah-rumah penduduk di kaki gunung. Selama dua hari itu,
si pengemis mengikuti tanpa bicara. Setiap hari, Pengtjoan Thianlie memburu binatang dan
membakar dagingnya untuk dijadikan barang santapan. Semua daging yang diberikan pengemis
itu. "Di atas
ada air terjun, di bawah ada solokan, kalian bisa loncat, tapi aku tak mampu."
Sehabis berkata
begitu, lantas saja ia duduk di atas tanah.
Yoe Peng merasakan dadanya sesak, tak tahu apa ia mesti menangis atau tertawa.
"Siauwkontjoe! Sudahlah jangan ladeni padanya," kata ia.
"Tunggu," kata Pengtjoan Thianlie. Belum sempat ia menyambung perkataannya,
mendadak terdengar suara tertawa menyeramkan yang menggetarkan seluruh selat.
Di lain saat, dari antara tumpukan batu di lamping gunung, loncat keluar dua
orang, satu antaranya bukan lain daripada Hiatsintjoe.
"Siluman perempuan kecil!" ia membentak sembari tertawa berkakakan. "Akhir-akhir
kita bertemu pula. Tong Keng Thian, si bocah bau, hari ini tak dapat melindungi kau!"
Dengan sekali mengenjot badan, ia sudah berhadapan dengan Pengtjoan Thianlie dan
terus menghantam dengan kedua telapakan tangannya yang merah bagaikan darah.
Kawannya juga sudah loncat turun dan tanpa berkata suatu apa, ia menjotos Yoe
Peng dengan tinjunya yang sebesar mangkok nasi. Yoe Peng berkelit, tapi gerakan orang itu
cepat luar biasa
dan baru saja ia berkelit, punggungnya kembali sudah disambar kesiuran angin
yang sangat tajam. Orang itu adalah pembantu Hiatsintjoe, namanya Kok Sek Koen, "manusia liar" dari
gunung Tjiakdjie san. Selain mempunyai ilmu weduk Kimtjiongto, tenaganya juga luar
biasa besarnya dan
sekali menjotos, ia dapat membinasakan seekor harimau.
Sesudah mendapat hajaran dari Phang Lin di atas Puncak Onta, sakit sekali hati
Hiatsintjoe. Oleh karena tak ungkulan melawan Phang Lin, lantas saja ia tumplekan sakit
hatinya kepada Keng
Thian. Tanpa memperdulikan segala kesukaran, ia lalu pergi ke Tjiakdjie san
untuk mengundang
Kok Sek Koen guna menghadapi Keng Thian dan Peng Go.
Ketika itu, melihat Keng Thian tidak berada bersama Pengtjoan Thianlie, hati
Hiatsintjoe jadi
lebih besar lagi.
Sebagaimana di atas telah disebutkan, bahwa baru saja berkelit, Yoe Peng sudah
merasakan sambaran angin di punggungnya. Pukulan itu yang cepat bagaikan kilat, sudah tak
dapat diegosi lagi. Pengtjoan Thianlie yang sedang repot melayani musuhnya tak dapat menolong
lagi. "Celaka!"
ia berteriak dengan hati mencelos.
Tapi, satu kejadian tak diduga-duga telah terjadi. Bukannya Yoe Peng yang
terkena pukulan,
sebaliknya adalah Kok Sek Koen yang terhuyung beberapa tindak dan hampir-hampir
jatuh terguling. "Binatang! Apa kau mau cari mampus?" ia membentak.
Ternyata, pada detik yang sangat berbahaya, entah bagaimana, si penderita kusta
sudah menggulingkan badannya dan tepat menghadang di antara Yoe Peng dan Kok Sek Koen,
yang jadi sempoyongan karena dibentur badannya yang keras seperti batu.
Dengan mata merah, Sek Koen menendang sekeras-kerasnya. "Celaka!" berteriak si
pengemis sembari menggelindingkan badannya. Sek Koen kaget bukan main lantaran
tendangannya yang
begitu cepat masih dapat dikelit oleh pengemis itu. Pada saat ia bengong, tiga
sinar dingin menyambar dan tiga jalan darahnya sudah kena dihantam Pengpok Sintan yang
dilepaskan oleh
Pengtjoan Thianlie.
Kok Sek Koen yang bertulang besi dan berkulit tembaga, tidak takut akan segala
senjata rahasia. Tapi Pengpok Sintan adalah lain dari yang lain. Begitu kena, ia
bergidik. Dengan
menggunakan kesempatan itu, Pengtjoan Thianlie putar Pengpok Hankong kiam
untuk melindungi Yoe Peng.
Di lain pihak, si pengemis yang menggelinding pergi beberapa tombak jauhnya,
sudah rebahrebahan
di atas tanah dengan menggunakan sebuah batu besar sebagai bantal kepala. Sambil
membuka kedua matanya sedikit, ia menonton pertempuran itu.
"Sahabat dari mana yang barusan munculkan diri?" seru Hiatsintjoe.
Si pengemis mengulet dan berkata dengan suara ogah-ogahan: "Pintu kota
kebakaran, sang
ikan kekeringan. Tak bagus! Tak bagus!" Hiatsintjoe gusar bukan main, badannya
melesat ke arah
si pengemis. Tapi mendadak si pengemis sudah berguling pula dan menggelinding
beberapa tombak jauhnya, akan kemudian tandalkan lagi kepalanya di atas sebuah batu.
Dengan sikap acuh
tak acuh, ia menonton pertempuran itu.
Melihat gerak-gerik si pengemis, Hiatsintjoe kaget dan selagi ia mau mengubar
untuk menurunkan tangan jahat, tiba-tiba ia mendengar jeritan Kok Sek Koen yang


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ternyata sudah terkena pedang Pengtjoan Thianlie.
Gwakang (tenaga luar) Kok Sek Koen sudah dilatih sampai di puncak kesempurnaan,
akan tetapi, apa mau ia harus menghadapi Pengpok Hankong kiam, semacam senjata
mustika yang satu-satunya di dalam dunia. Meskipun pedang itu tidak dapat melukakan kulit
musuh, akan tetapi
hawanya yang luar biasa dinginnya sudah membikin Kok Sek Koen kelabakan. Sesudah
tiga kali kena tikaman, Kok Sek Koen yang tenaga dalamnya belum seberapa tinggi, sudah
merasa seolaholah
darahnya membeku, sehingga mau tidak mau, ia menjerit-jerit.
Waktu mengundang sahabatnya itu, Hiatsintjoe ingin menggunakan ia untuk
menghadapi Tong
Keng Thian. Tapi tak dinyana, kawan yang berilmu weduk itu sudah kena ditindih
dengan peluru es dan pedang es, sehingga ia tidak dapat mengeluarkan kepandaiannya. Dengan
hati mendongkol, tanpa memperdulikan lagi si pengemis, buru-buru Hiatsintjoe
menyerang Pengtjoan
Thianlie untuk membantu kawannya. Begitu lekas si Malaikat Darah menghantam tiga
kali beruntun dengan telapak tangannya, hawa yang sangat panas segera menyambarnyambar, sehingga Kok Sek Koen jadi bersemangat pula dan lalu bantu menyerang secara
hebat. Sekarang pertempuran berlangsung antara dua pasang musuh. Pengtjoan Thianlie
dengan Pengpok Hankong kiam yang dingin melawan Hiatsintjoe yang pukulannya panas.
Mengenai tenaga dalam, Hiatsintjoe lebih unggul setingkat daripada si nona, tapi dalam
kiamhoat, Peng Go
terlebih lihay daripada lawannya. Masing-masing mempunyai keunggulan sendiri dan
kekacekan antara mereka tidak seberapa besar. Tapi tidak begitu dalam pasangan antara Kok
Sek Koen dan Yoe Peng. Baru saja bertempur setengah jam, sedang Pengtjoan Thianlie masih
dapat berkelahi
dengan penuh semangat, adalah Yoe Peng yang sudah tersengal-sengal napasnya.
Sesudah lewat lagi beberapa jurus, sambil membentak keras, tangan kanan
Hiatsintjoe menghantam kepala Pengtjoan Thianlie dengan pukulan Soathoa kayteng (Kembang
salju jatuh di kepala), sehingga si nona terpaksa mundur setindak sambil membabat dengan
pedangnya. Pada
detik itulah, yaitu pada waktu Peng Go berpisah dengan budaknya, tangan kiri
Hiatsintjoe mendadak menyambar ke arah kepala Yoe Peng.
Pukulan itu sedemikian cepatnya, sehingga Yoe Peng jadi seperti orang kesima.
Pada saat yang saat berbahaya, mendadak saja ia merasakan betisnya dipeluk orang dan ditarik ke
belakang, sehingga ia jadi terguling. Pada betisnya, ia lihat dua bekas telapak tangan
berlumpur yang basah,
sedang si pengemis lagi tidur meringkuk di tengah jalan. Sekarang ia tahu, bahwa
orang yang barusan sudah menolong jiwanya adalah si pengemis kusta. Mengingat, bahwa
betisnya itu telah
dicekal tangan yang penuh bisul, uluhatinya menjadi 'nak dan tanpa tercegah ia
jadi muntah. Melihat sepak terjang si pengemis, Kok Sek Koen jadi gusar bukan main. "Pengemis
bau!" ia membentak. "Kau sengaja mau merintangi kami?" Sehabis membentak, ia kirimkan
tendangan Lianhoan toei (tendangan berantai) Si pengemis yang tadi meram-melek, tiba-tiba
saja bangun berduduk dengan gerakan Lcehic tahteng (Ikan gabus meletik). "Eh, apa tempat ini
milik bapakmu?" ia membentak. "Aku senang tidur disini, anak Allah (kaizar) pun tak
dapat melarangnya." Sehabis membentak, ia menyemburkan ludahnya.
Kuatir kesembur ludah, Kok Sek Koen buru-buru loncat minggir.
"Awas!" demikian teriakan Hiatsintjoe.
Kok Sek Koen sama sekali tidak mengimpi, bahwa senjata rahasia si penderita
kusta tersimpan
dalam ludahnya. Sekonyong-konyong pundaknya gatal dan di lain saat, matanya
berkunangkunang.
Cepat bagaikan kilat, pengemis itu bergulingan sambil membabat dengan tongkat
besinya dan tak ampun lagi, badan Kok Sek Koen yang tinggi besar rubuh bagaikan pohon
ditebang. Pengpok Hankong kiam menyambar dan menikam manusia weduk itu.
Selagi Peng Go menikam Kok Seng Koen, Hiatsintjoe sudah bergebrak dengan
pengemis itu. Dengan gemas, Hiatsintjoe menurunkan pukulan yang membinasakan dengan kedua
tangannya, tangan kanan mencengkeram tenggorokan, tangan kirinya menghantam dada. Selagi
mau menyampok dengan tongkatnya, mendadak pengemis itu merasakan menyerangnya hawa
yang sangat panas, sehingga ia sukar bernapas. "Celaka!" ia berseru, badannya kena
disampok dan "plung!", ia kecebur dalam kobakan di bawah jurang.
Buru-buru Pengtjoan Thianlie memburu dan mengirim beberapa serangan hebat.
Mendadak, paras muka Hiatsintjoe berubah, sedang dari atas kepalanya keluar uap putih.
Dengan sekali menjejek kaki, badannya melesat ke atas dan terus kabur mendaki gunung, tanpa
memperdulikan lagi nasib kawannya.
Pengtjoan Thianlie merasa sangat heran, ia tidak mengerti kenapa Hiatsintjoe
lantas melarikan
diri. Ia mengawasi ke arah kobakan dan mendadak sadja ia jadi terpaku bahna
kagetnya. Si pengemis yang barusan kecemplung, ternyata sedang duduk di atas batu dengan
tidak memakai baju. Apa yang membikin si nona jadi kesima adalah: Kulit badan dan mukanya yang
bisulan sudah berubah licin, sepuluh jerijinya yang bengkak-bengkok sudah menjadi
lempeng, sedang
mukanya yang bersinar merah sudah berubah menjadi putih! Meskipun ia tidak
secakap Tong Keng Thian, tapi toh ia bukan seorang pemuda yang jelek romannya.
Sekonyong-konyong Yoe Peng mengeluarkan teriakan kaget sambil menuding ke satu
jurusan. Yang membikin Yoe Peng berteriak ternyata adalah Kok Sek Koen yang lengannya
bengkak sebesar timba air, mukanya berwarna hitam, sedang mulutnya mengeluarkan rintihan
yang menyayatkan hati. Dilihat dari tanda-tandanya, ia seperti juga kena digigit ular
yang sangat berbisa. Sesaat kemudian, ia bergulingan, mulutnya menggigit rumput dan kedua
tangannya mencengkeram tanah. Melihat begitu, Pengtjoan Thianlie merasa tak tega. Ia
pungut sebutir batu
dan menimpuk jalan darah Kok Sek Koen yang membinasakan.
Si pengemis tertawa terbahak-bahak. "Yang mujur adalah Hiatsintjoe," katanya.
"Siapakah kau?" tanya Peng Go Sekali mengenjot badan, pengemis itu sudah hinggap
di atas tanah datar dan sesudah memungut tongkat besinya yang berwarna hitam, ia
menyahut sembari
nyengir: "Aku adalah seorang penderita kusta yang romannya seperti memedi!"
Waktu mempelajari buku obat-obatan bangsa Han, Peng Go pernah membaca penuturan
tentang penyakit itu.
"Apa" Penyakit kusta?" ia menegasi.
Si pengemis tidak menjawab pertanyaan itu. Dengan kedua tangan, ia mencekal
tongkatnya yang kemudian ditarik. Dengan satu suara "srt", tercabutlah sebatang pedang yang
hitam mengkilap. Ia tunggingkan tongkat besi itu (atau lebih benar sarung pedang) dan
dengan telapak tangannya, ia menadah semacam bubuk yang keluar dari dalamnya. Sesudah itu, ia
mengusap mukanya. Hampir berbareng, Yoe Peng mengeluarkan teriakan kaget. Pengemis itu
yang barusan saja berparas cakap dan berkulit licin, sudah pulang asal menjadi penderita
kusta yang mukanya
bersinar merah.
Pengtjoan Thianlie kerutkan alisnya. "Sesudah memperlihatkan mukamu yang sejati,
guna apa kau main gila lagi?" kata si nona.
Si nona ternyata sudah dapat menebak, bahwa tanda-tanda penyakit kusta itu
adalah buatan belaka dengan mengerahkan tenaga dalam, sehingga otot-ototnya pada menonjol
keluar, seolaholah
bisul penyakit kusta. Peng Go juga mengetahui, bahwa sinar merah pada mukanya
adalah akibat semacam sepuhan yang disimpan dalam sarung pedangnya.
Si pengemis menyapu dengan kedua matanya yang tajam. Mendadak ia mengeluarkan
tertawa aneh. "Apa artinya muka yang sejati?" ia tanya. "Tahukah kau, bagaimana mukaku
yang sejati?"
Tiba-tiba ia loncat dan menikam si nona dengan pedangnya.
Itulah serangan yang tidak diduga-duga!
"Kenapa kau menyerang?" membentak Peng Go.
Tanpa menyahut, si pengemis mengirim tiga serangan, serangan yang sangat hebat.
Selama hidupnya, Pengtjoan Thianlie sering mengalami kejadian yang luar biasa.
Akan tetapi, kejadian pada hari itu adalah pengalamannya yang paling aneh. Dengan mempunyai
ilmu mengentengkan badan yang sangat tinggi, hampir-hampir Peng Go tak dapat mengelit
tiga serangan itu. "Kongtjoe! Cabutlah senjata!" berseru Yoe Peng.
Dengan gerakan Djieyan tjoanliam (Anak walet menembus tirai), Peng Go mengegos
empat lima serangan. Waktu serangan ke enam menyambar, Pengpok Hankong kiam sudah
terhunus dan bagaikan kilat, Pengtjoan Thianlie melakukan serangan pembalasan. Si pengemis
bergidik akan kemudian tertawa terbahak-bahak. "Maksudku adalah untuk berkenalan dengan pedang
mustikamu," katanya sembari menyerang terlebih hebat.
Pengemis itu ternyata mempunyai tenaga yang luar biasa besarnya. Saban kali
kedua senjata berbentrok, Peng Go selalu merasa lengannya pegal. Ia kaget berbareng heran,
ketika mendapat
kenyataan, bahwa ilmu silat orang itu tidak berada di sebelah bawahnya ataupun
Keng Thian. Dengan cepat ia mengempos semangat dan melayani dengan terutama menggunakan ilmu
mengentengkan badan dan menjaga, supaya pedangnya tidak kebentrok pedang si
pengemis. Pengpok Hankong kiam berkelebat-kelebat bagaikan titiran, seolah-olah berubah
menjadi puluhan pedang. Hawa yang luar biasa dinginnya meliputi mereka berdua, sehingga
orang yang ilmu silatnya kurang tinggi tentu sudah roboh kedinginan, meskipun tidak ketikam
pedang. Si pengemis kusta seperti juga tidak merasakan hawa dingin itu. Ia tertawa
terbahak-bahak seraya
berteriak: "Bagus! Bagus! Hawa memang sedang panas."
Dengan cepat mereka sudah bertempur kurang lebih lima puluh jurus, tanpa ada
yang keteter. "Orang ini tentu mempunyai asal-usul luar biasa," pikir Pengtjoan Thianlie.
"Untuk apa aku bertempur mati-matian?" Berpikir begitu, si nona lantas saja
menyerang dengan pukulan-pukulan simpanan dari Tatmo Kiamhoat dan akhirnya, dengan pukulan
Gioklie tauwso (Dewi menenun), Pengpok Hankong kiam berhasil memapas rambut si pengemis.
Tapi pada saat itu juga, berbareng dengan suara "trang!", pedang Pengtjoan Thianlie
terbang ke atas
udara! Ternyata, kedua belah pihak mempunyai pikiran yang sama. Masing-masing ingin
menghentikan pertempuran, begitu lekas sudah berhasil memperlihatkan
keunggulannya. Dalam gebrakan itu, gerakan Pengtjoan Thianlie agak lebih cepat dari lawannya,
tapi si pengemis
mempunyai tenaga dalam yang lebih besar, sehingga ia berhasil melontarkan pedang
si nona. Yoe Peng terkesiap. "Binatang!" ia membentak. "Benar kau tak mengenal budi.
Kebaikan dibalas dengan kejahatan!"
Si penderita kusta tertawa terbahak-bahak. Tiba-tiba mulutnya menyembur dan dua
titik hitam sebesar kacang kedele, menyambar Yoe Peng. Hati Pengtjoan Thianlie mencelos, ia
sudah tak keburu menolong lagi. Pada saat itu, sedapat mungkin Yoe Peng berkelit, tapi tak
urung rambutnya terpapas juga.
Dengan sekali meloncat, Peng Go sudah berhasil menyambut pedangnya yang sedang
melayang jatuh. Selagi ia hendak menyerang pula, sekonyong-konyong si pengemis
menangis, semakin lama semakin sedih dan keras.
"Eh, kenapa engkau?" tanya Peng Go akhir-akhirnya.
Tanpa menyahut, pengemis itu memasukkan pedang besinya ke dalam sarung yang
berupa tongkat besi itu, dan kemudian terpincang-pincang, ia pergi ke solokan untuk
mencuci mukanya.
Di lain saat, sinar merah yang menakutkan sudah hilang dari mukanya dan pada
kulitnya pun tidak
terlihat lagi bisul-bisul yang menjijikan. Ia berdiri tegak dengan paras mukanya
yang cakap dan angker. Mendadak ia menyoja dan berkata: "Untukmu, aku sudah melangggar sumpahku. Dalam
dunia ini, kau adalah manusia pertama yang tidak membenci diriku. Kalian pergilah!"
"Apa artinya perkataanmu itu?" tanya si nona.
"Aku pernah bersumpah untuk memusuhi semua manusia yang ilmu silatnya tinggi,"
jawabnya.

Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau dan aku adalah setanding. Sebenarnya aku ingin berkelahi terus sampai ada
keputusan, tapi
sekarang aku mengurungkan niatan itu."
"Kenapa?" tanya si nona.
"Karena kau tidak membenci aku," sahutnya.
"Aku tak percaya," kata Peng Go. "Aku sama sekali tidak percaya, bahwa selain
aku, semua orang membenci kau."
"Kecuali jika Lu Soe Nio masih hidup dalam dunia ini," kata si pengemis.
"Menurut Soehoe
(guru), dalam dunia ini hanya Lu Soe Nio yang tidak membenci kusta."
Dari mendiang ayahnya, si nona pun pernah mendengar nama Lu Soe Nio, seorang
pendekar wanita yang dianggap sebagai ahli silat nomor satu di jaman itu. Ia menjadi
heran karena ia tidak
mengerti, ada hubungan apa antara Lu Soe Nio dan pengemis itu.
"Bagaimana kau tahu, bahwa ia tidak membenci penderita kusta?" tanya Peng Go.
"Selain itu,
bukankah kau sendiri sebenarnya tidak menderita penyakit kusta!"
Si pengemis menyusut air matanya, akan kemudian tertawa terbahak-bahak.
"Perkataan
guruku, mana bisa palsu?" katanya.
"Di dalam dunia, hanya ia yang tidak membenci penderita kusta. Tidak! Sekarang
ditambah dengan kau dan dalam dunia ini hanya dua orang yang tak membenci si sakit
kusta." "Terang-terang kau tidak menderita penyakit kusta," kata pula si nona. "Apakah
gurumu seorang penderita kusta?"
"Aku dan guruku adalah sama saja," sahutnya. "Jika tak ada guruku, siang-siang
aku sudah mati di pinggir jalan, tanpa diperdulikan siapapun juga."
Koei Peng Go tergoncang hatinya. Ia ingat, bahwa menurut kitab ketabiban, kusta
adalah penyakit yang tidak mungkin dapat disembuhkan. Didengar dari keterangan si
pengemis, gurunya
seperti juga seorang yang pernah menderita penyakit itu dan yang belakangan
sudah menjadi sembuh. Hatinya jadi semakin heran dan ia sungkan melepaskan orang itu dengan
begitu saja. "Siapa gurumu?" tanya pula si nona.
Pengemis itu mendelik. "Aku juga tak tahu, guruku siapa," sahutnya.
"Mana bisa begitu?" Pengtjoan Thianlie mendesak.
"Apakah bocah yang baru berusia tiga empat tahun, bisa mengerti segala urusan?"
pengemis itu berbalik menanya.
"Ha?" Apakah kau mau mengartikan, bahwa kau sudah masuk dalam rumah perguruan
sedari usia tiga empat tahun"' tanya Peng Go lagi.
"Benar," jawabnya. "Baru saja aku belajar mendaki gunung sembari merangkak,
guruku sudah meninggal dunia,"
Pengtjoan Thianlie memanggut-manggutkan kepalanya. "Sungguh kasihan!" katanya.
Mendadak paras muka si pengemis berubah. "Aku tak sudi dikasihani orang!" ia
membentak sembari mengangkat tongkatnya, tapi sesaat kemudian, senjata itu diturunkan pula
dengan perlahan. Pengtjoan Thianlie mengawasi dengan mata tajam dan kemudian berkata dengan suara
perlahan: "Gurumu..." Sebenarnya ia ingin berkata begini: "Jika benar gurumu
sudah meninggal
dunia ketika kau baru berusia tiga empat tahun, dari mana kau mendapat ilmu
silat yang begitu
tinggi?" Tapi ia tak dapat menanya terus, karena si pengemis sudah mendelik lagi
dan berteriak: "Aku tak memperkenankan manusia yang mengasihani penderita kusta, menyebutnyebut pula nama guruku!' "Kongtjoe, marilah kita berangkat!" kata Yoe Peng yang sudah tidak dapat menahan
sabarnya lagi. Pengtjoan Thianlie menggoyangkan tangannya dan dengan suara lemah lembut menanya
pula: "Siapa namamu" Apa boleh aku majukan pertanyaan itu?"
Pengemis itu mengawasi si nona dan menghela napas panjang. Ia menundukkan
kepalanya dan menjawab dengan suara perlahan: "Kau adalah orang pertama yang menanyakan
namaku. Baiklah. Aku bersedia memberitahukannya. Namaku Kim Sie Ie, nama pemberian
guruku." Begitu mendengar, Peng Go mengetahui, bahwa "Kim Sie Ie" yang berarti
"Peninggalan jaman
emas" sama diucapkannya dengan "kim sie ie" yang berarti "disia-siakan atau
diasingkan seluruh
penghidupannya." Kata si nona di dalam hatinya: "Jika ia seorang penderita kusta
yang belum sembuh dari penyakitnya, menurut kebiasaan orang Han, memang ia harus diasingkan
seluruh masa hidupnya."
Sesudah memberitahukan namanya, Kim Sie Ie terus mengawasi Peng Go.
"Kemana kau mau pergi?" tanya si nona.
"Kemana kau pergi, kesitu aku juga pergi," jawabnya. "Kemana kau mau pergi?"
"Ke Soetjoan barat," jawabnya.
"Kalau begitu, aku pun ke Soetjoan barat," kata Kim Sie le.
"Apakah kau kenal jalan?"
Pengtjoan Thianlie sebenarnya tak ingin berjalan bersama-sama pemuda itu, tapi
ia tidak bisa berdusta. "Aku sudah tanya-tanya," sahutnya. "Sesudah lewat gunung ini, aku tak
tahu jalan lagi."
"Jika begitu, apa boleh aku menyertai kalian?" tanya pemuda itu.
Yoe Peng mendongkol sekali, ia mengawasi majikannya. Tapi Pengtjoan Thianlie
yang penuh welas asih merasa kasihan kepadanya dan juga kuatir, jika pemuda itu nanti salah
mengerti, kalau
ia menolak. Maka itu, lantas saja ia menyahut dengan suara perlahan: "Baiklah."
"Begitu turun dari gunung ini, kita akan bertemu dengan rumah-rumah penduduk,"
kata Yoe Peng. "Siauwkongtjoe, bagaimana kita dapat jalan bersama-sama dia?"
Pengtjoan Thianlie yang tadi bicara dengan hati setulusnya, menjadi sadar begitu
mendengar perkataan dayangnya. Pengemis yang berdiri di hadapannya, tidak berbaju, sedang
celananya yang rombeng terbuat dari selembar karung. Sungguh tak pantas untuk seorang
gadis seperti ia
berjalan bersama-sama dengan pengemis itu.
Kim Sie le tertawa terbahak-bahak. "Kau mencela pakaianku yang rombeng?" katanya
sembari memutarkan badan dan di lain saat, ia sudah lari seperti terbang dan segera
lenyap dari pemandangan. "Kau lihat!" kata Peng Go dengan suara menyesal. "Tanpa sebab, tanpa lantaran,
kita kembali menanam bibit permusuhan."
"Siauwkongtjoe," kata si pelayan. "Melihat dia saja, nyaliku sudah ciut."
"Ya," kata si nona sesudah berselang beberapa saat. "Baik juga aku dulu-dulu
tidak mengenal penyakit itu. Jika aku sudah tahu, mungkin sekali aku juga akan jadi ketakutan."
Ia sungguh tidak
mengerti, kenapa Kim Sie Ie berkelakuan begitu aneh. Ia memutar otak, tapi tidak
dapat memecahkan teka-teki di sekitar si pengemis yang luar biasa.
*** Di sekitar gunung Tjiakdjie san terdapat banyak sekali puncak-puncak yang
menjulang ke atas
bagaikan gigi anjing. Selama berada di bagian tertinggi dari gunung itu, dunia
dirasakan sempit
dan berjalan di antara pohon-pohon besar, orang akan mendapat perasaan
menyeramkan. Sesudah melewati puncak tertinggi itu, baru orang akan tiba di tempat terbuka,
darimana ia dapat memandang puncak-puncak yang lebih rendah dan kelihatan seolah-olah
kambing-kambing
berbulu putih. Melihat pemandangan yang indah itu, semangat Yoe Peng jadi terbangun. "Untung
juga kita sudah melepaskan diri dari si kusta yang menyebalkan," katanya sembari tertawa
dan bertepuk tangan. "Jika ia masih berada disini, pemandangan yang begini indah seperti juga
dikotorkan olehnya." "Dia toh sebenarnya tidak mendapat penyakit itu," kata sang majikan sembari
tertawa. "Dia
sama sekali tidak mengganggu kita, kenapa kau begitu jengkel terhadapnya?"
"Aku sebal melihat tingkah lakunya yang aneh," kata pula Yoe Peng. "Mana bisa
dia dibandingkan dengan Tong Siangkong."
Mendengar sang dayang menyebutkan Tong Keng Thian, tanpa sadar si nona menghela
napas panjang. Sesudah berjalan lagi kira-kira dua jam, mereka sudah melewati selat gunung di
sebelah selatan dan rumah-rumah penduduk sudah terlihat di depan mata. Yoe Peng jadi
semakin gembira. "Ah! Berjalan di jalan gunung selama beberapa hari ini, sungguh-sungguh
menyesakkan dadaku," katanya. "Sungguh menyebalkan terus menerus makan daging kambing
bakar." Pengtjoan Thianlie mesem mendengar perkataan dayangnya. Tiba-tiba ia menuding ke
sebelah depan seraya berkata: "Coba lihat, siapa itu?" Yoe Peng mengawasi ke arah yang
ditunjuk majikannya. Di lereng gunung tiba-tiba muncul seorang yang mengenakan pakaian
berwarna hijau, sedang kepalanya dibungkus dengan ikat kepala pasegi. Beberapa saat
kemudian, mereka
kenali, bahwa orang itu bukan lain daripada Kim Sie Ie!
Yoe Peng mendeluh, ia melengoskan mukanya.
"Kenapa kau kembali lagi?" tanya si nona sembari mesem, sesudah Kim Sie Ie
datang dekat. "Sang Budha harus mengenakan pakaian bersalut emas, manusia harus berpakaian
rapi," jawabnya. "Karena kau mencela aku, tak ada jalan lain daripada mencuri pakaian
supaya aku dapat berjalan bersama-sama kau."
"Hm! Tak nyana, kau juga bisa menjadi pencuri," kata Peng Go sembari tertawa.
"Benar," kata Kim Sie Ie. "Aku juga sudah mencuri lain macam barang. Apa kau
mau?" Sehabis
berkata begitu, dari kantong yang menggemblok di punggungnya, ia mengeluarkan
rantang makanan yang terisi empat macam sayur dan nasi putih.
Si nona menyambuti rantang itu dan berkata: "Terima kasih." Ia membagi separoh
makanan itu kepada Yoe Peng, tapi si dayang menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata:
"Tidak, aku
tak mau." Meskipun mengetahui, bahwa Kim Sie Ie tidak berpenyakit kusta, Yoe
Peng tak dapat menyingkirkan perasaan jijiknya. Selagi majikannya makan, ia sendiri lalu
memetik beberapa buah
dari pohon yang tumbuh di pinggir jalan.
Melihat si nona makan santapan yang disuguhkan olehnya dengan enak sekali, sorot
mata Kim Sie Ie memperlihatkan sinar berterima kasih dan dua butir air mata turun di
kedua pipinya. Selama dua hari mengikuti Pengtjoan Thianlie, Kim Sie Ie tidak memperlihatkan
lagak gila-gila
lagi. Di sepanjang jalan, ia bercakap-cakap sembari tertawa-tawa, tempo-tempo
menceritakan kejadian aneh dalam kalangan Kangouw.
Tapi, begitu lekas si nona coba menyelidiki asal-usulnya, ia bungkam dalam
seribu bahasa, sehingga Peng Go merasa tidak enak untuk mendesak.
Hari itu, mereka tiba di sebuah kota kecil, di sebelah selatan Tjiakdjie san. Di
sepanjang jalan,
orang-orang yang berpapasan dengan mereka, selalu mengawaskan dengan sorot mata
heran, sehingga Yoe Peng merasa sangat tidak enak dan diam-diam menyesalkan majikannya
yang sudah mau berjalan bersama-sama pengemis itu.
Selagi enak berjalan, tiba-tiba Kim Sie Ie berkata: "Disini aku mempunyai
seorang sahabat. Mari
kita mengunjungi ia."
"Kami tidak mengenal sahabatmu itu," kata Yoe Peng. "Kau pergilah sendiri." Tapi
Pengtjoan Thianlie berpikir lain, ia ingin mengetahui, siapa sahabat orang aneh itu.
"Sudah ketelanjur kita
berjalan bersama-sama, rasanya baik juga aku berkenalan dengan sahabatmu itu,"
katanya sembari tertawa.
Yoe Peng mendongkol bukan main, tapi ia tak dapat membantah kemauan nonanya.
Sesudah berjalan mengikuti Kim Sie Ie beberapa lama, mereka tiba di depan sebuah
gedung yang pintunya dicat merah. Kim Sie Ie memanggil-manggil beberapa kali, tapi tak
ada yang menyahut. Entah dengan menggunakan ilmu apa, dalam sekejap saja ia dapat membuka
pintu itu dan di lain saat, dari dalam keluar seorang pemuda.
Paras muka pemuda itu, yang mengenakan baju makwa, tenang dan agung, sehingga
Peng Go merasa heran melihat si pengemis punya sahabat serupa pemuda itu.
Begitu keluar, pemuda itu menyapu mereka bertiga dengan sorot mata heran. Sesaat
kemudian, ia merangkap kedua tangannya dan berkata sembari tertawa: "Maaf, aku
tidak mengenali Hengtay (saudara). Apakah sudah lama Hengtay datang disini?"
Mendengar pertanyaan itu, Pengtjoan Thianlie terkejut. Lagi-lagi Kim Sie Ie
mengeluarkan lagak-lagaknya yang gila-gila!
"Aku datang untuk menemui Tong Djiesianseng," kata Kim Sie Ie. "Siapa mau
bertemu dengan kau?" Sekali lagi Peng Go terkejut. Tong Djiesianseng" Nama itu agak tak asing


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

baginya. "Mendiang kakekku sudah meninggal dunia lama sekali," jawab si pemuda.
"Apa" Tong Djiesianseng sudah meninggal dunia?" Kim Sie Ie menegasi. "Sayang!
Sungguh sayang! Apakah kau masih mempunyai anggauta keluarga yang tingkatannya tua?"
"Kakek dan pamanku sudah pada meninggal," jawabnya. "Tak ada orang lagi yang
dapat melayani kau."
"Mana bisa" Apakah semua orang, laki-laki dan perempuan, dari tingkatan lebih
tua sudah pada mati seanteronya?" tanya si pengemis secara kurang ajar sekali.
Meskipun terdidik baik, mau tak mau, pemuda itu menjadi gusar. "Yang
tingkatannya lebih tua
dalam keluarga kami hanya ketinggalan
Kouwkouw (bibi)," sahutnya dengan suara mendongkol. "Ia sudah tua dan
berpenyakitan, sudah beberapa tahun, ia tidak pernah keluar pintu/'
"Bagus!" kata Kim Sie Ie. "Coba panggil Kouwkouw-mu."
Pemuda itu tercengang. Sedikitpun ia tidak nyana, tetamu itu bisa mengeluarkan
kata-kata yang sedemikian kurang ajar. "Dua tahun berselang, ketika Moh Tjoan Seng Loopeh
datang berkunjung, Kouwkouw-ku juga tidak keluar menyambut," katanya dengan suara
dingin. "Dengan
sebenar-benarnya ia sakit dan bukan tidak sudi menemui tamu. Jika mungkin,
beritahukan saja
kepadaku she dan nama tuan, supaya aku dapat menyampaikan kepada
Kouwkouw. Maafkanlah, siauwtee (adik) tak dapat mengantar kalian." Ia menyoja,
sebagai suatu tanda, bahwa ia tak dapat melayani lagi terlebih lama.
Pengtjoan Thianlie terkejut. Moh Tjoan Seng yang disebutkan oleh pemuda itu
adalah paman yang ia sedang cari. Harus diketahui, bahwa pada jaman itu, Moh Tjoan Seng
adalah pemimpin
Rimba Persilatan di wilayah Tionggoan. Cobalah pikir: Jika seorang sebagai Moh
Tjoan Seng masih
belum mendapat kehormatan untuk disambut oleh Kouwkouw pemuda itu, bukankah
permintaan Kim Sie Ie berarti, bahwa ia sungguh tak tahu diri"
Sementara itu, paras muka Kim Sie Ie sudah berubah. "Apakah kau mau mengusir
tamu?" tanyanya dengan suara aseran.
"Mana aku berani" Mana berani" Maaf, harap dimaafkan," jawab si pemuda, tapi
kedua tangannya tetap membuat gerakan seperti sedang mengantar tamu keluar.
Kim Sie Ie tertawa berkakakan. Tiba-tiba ia mengusap mukanya. Di lain saat,
parasnya bersinar
merah, mukanya penuh dengan daging yang menonjol keluar seperti bisul dan di
kedua lengannya
pun muncul bisul-bisul yang menjijikkan.
Pemuda itu mencelos hatinya. "Kau! Kau!" ia berteriak.
"Fui!" Kim Sie Ie menyemburkan ludah ke muka pemuda itu dan tangannya bergerak,
sehingga pemuda tersebut jatuh terpelanting. Ia tertawa terbahak-bahak seraya berkata:
"Kau mau mengusir aku, aku justru tak mau pergi! Tong Lootaypo! Aku mau melihat, apakah
kau mau keluar atau tidak!' "Sungguh jempol! Sungguh tinggi ilmu itu!" demikian terdengar suara seorang tua.
Beberapa saat kemudian, seorang nenek yang rambutnya sudah putih semua, muncul dengan
dipepayang seorang pelayan wanita.
Pemuda yang barusan dirobohkan Kim Sie Ie meloncat bangun dan berseru sambil
menuding pengemis itu: "Kouwkouw! Pengemis jahat itu mau juga menemui kau."
"Bagaimana kau harus berbuat jika menghadapi anjing gila?" kata si nenek. "Apa
kau tak tahu"
Ambil busurku!"
Begitu berbicara, sikap nenek itu berubah. Kalau barusan ia kelihatan lemah dan
tidak berdaya, sekarang ia berubah angker dan garang. Ia menyambuti sebuah busur yang
disodorkan pelayannya dan berbareng dengan suara menjepret, belasan peluru menyambar susul
menyusul. Kim Sie Ie tertawa besar. "Sungguh beruntung hari ini aku dapat menyaksikan
senjata rahasia
dari keluarga Tong!" ia berseru sambil loncat dan memutarkan tongkatnya bagaikan
titiran. Pengtjoan Thianlie jadi seperti orang kesima. Dua belas peluru itu menyambar
dengan macammacam
cara-ada yang lurus menyambarnya, ada yang miring, ada yang lebih dulu
berbentrok satu
dengan yang lain, kemudian baru menyambar sasarannya, seperti bola bilyar -- dan
anehnya, setiap peluru itu menyambar ke arah jalan darah Kim Sie Ie yang besar! Cara
melepaskan senjata
rahasia itu sungguh tiada keduanya dalam Rimba Persilatan!
Tapi Kim Sie Ie agaknya juga sudah mempunyai persiapan. Dengan disertai suara
"tring-tring!"
dan meletiknya api, tongkatnya yang diputar luar biasa cepatnya, sudah berhasil
mementalkan dua belas peluru itu. Tapi walaupun berhasil, tak urung Kim Sie Ie mengeluarkan
juga keringat dingin. Tongkat besinya penuh titik-titik akibat hantaman peluru-peluru itu. Ia
sekarang mendapat
bukti, bahwa meskipun tua, tenaga dalam nenek itu tidak berada di sebelah
bawahnya. "Bagus!" seru si nenek. "Muda-muda tak sayang diri. Sungguh sayang!"
Busur menjepret lagi, tapi kali ini berbeda dengan yang pertama. Jika tadi
peluru-peluru itu
menyambar dengan bunyi nyaring, kali ini menyambarnya tidak bersuara. Pelurupeluru itu melayang dalam empat kelompok, setiap kelompok terdiri dari tiga butir peluru.
Mereka menyambar dari empat penjuru dengan kecepatan yang berbeda-beda. Begitu
mendekati sasaran,
kelompok yang di belakang tiba-tiba seakan-akan menambah kecepatannya dan
melombai kelompok yang di sebelah depan. Di lain saat, bagaikan hujan peluru-peluru itu
menyambar tubuh
Kim Sie Ie dengan serentak!
"Senjata rahasia keluarga Tong benar-benar hebat!" teriak Kim Sie Ie yang lantas
saja jungkir balik beberapa kali di atas tanah.
"Kau pun boleh coba merasakan senjata rahasiaku!" ia berseru sembari meloncat
dan menyemburkan ludahnya.
Pengtjoan Thianlie terkesiap. Melihat senjata rahasia si nenek, ia segera
mengetahui, bahwa ia
tentu bukan lain daripada Tong Say Hoa yang namanya pernah disebut-sebut Tong
Keng Thian. Beberapa puluh tahun berselang, nama nenek itu telah menggetarkan seluruh dunia
Kangouw dan ia adalah puteri tunggal Tong Kim Hong, seorang ahli senjata rahasia nomor satu
di jamannya. Tong Kim Hong adalah putera kedua dalam keluarganya dan oleh karena itu,
belakangan ia dikenal sebagai Tong Djiesianseng. Dulu, Tong Kim Hong dan puterinya pernah
berbentrok dengan
kedua orang tua Tong Keng Thian dan dengan bantuan Lu Soe Nio, baru sengketa itu
dapat diselesaikan. Liong Leng Kiauw adalah murid penutup dari Tong Kim Hong dan
menjadi Soetee Tong Say Hoa. Dalam perjalanan ke Soetjoan untuk sekalian menyelidiki soalnya
Liong Leng Kiauw, orang yang ingin dicari oleh Keng Thian adalah nenek itu.
Maka, demi mengetahui asal-usul si nenek, Pengtjoan Thianlie terkejut ketika
melihat Kim Sie
Ie menggunakan senjata rahasianya yang mengandung racun. Tanpa berpikir lagi, ia
menghunus pedangnya dan sembari meloncat, menikam jalan darah Hiankie hiat, di dada Kim
Sie Ie, dengan tujuan supaya pengemis itu batal melepaskan senjata rahasianya.
Di lain detik, berbareng dengan suara mengaung yang sangat keras, busur Tong Say
Hoa berbentrok dengan tongkat si pengemis dan sebagai akibatnya, lima helai tali
busur itu putus,
sedang tongkat besi si pengemis terpental ke tengah udara. Hampir berbareng
dengan itu, baju
Kim Sie Ie, di bagian dada, dirobek ujung pedang Pengtjoan Thianlie.
"Bagus!" seru Kim Sie Ie sembari loncat menyambut tongkatnya yang sedang
melayang turun,
dan sesudah itu, ia kabur bagaikan terbang.
"Kau benar manusia kejam!" seru Peng Go dengan gusar sekali. "Lain kali jangan
kau menemui aku lagi." Si pengemis tidak menyahut, ia kabur terus sesudah melompati tembok.
Untuk sesaat, Koei Peng Go berdiri terpaku. Dengan mata mendelong, ia mengawasi
punggung si pengemis yang sedang kabur. Ia tak tahu, apakah ia harus gusar, apakah ia
merasa sayang melihat perbuatan pemuda yang berkepandaian tinggi itu atau bersimpati
kepadanya. Dengan paras muka gusar, Tong Say Hoa melemparkan busurnya yang rusak. "Nona
yang cantik, apakah kau datang bersama-sama ia?" tanyanya.
"Moh Tjoan Seng adalah Pehpeh-ku," jawabnya dengan menyimpang.
Si nenek kelihatan heran. "Hm!" Ia menggerendeng. "Kau keponakan Moh Tjoan Seng"
Bagaimana kau bisa berada bersama-sama seorang pengemis penderita kusta?"
Di waktu mengucapkan kata-kata "pengemis penderita kusta," suaranya mengandung
kegusaran dan penghinaan hebat. Pengtjoan Thianlie sebenarnya belum menganggap
Kim Sie Ie sebagai sahabatnya, akan tetapi, entah kenapa, begitu mendengar nada suara dan
melihat sikap si
nenek, hatinya lantas saja menjadi kurang senang.
Maka itu, ia hanya memberi jawaban pendek dengan suara tawar: "Aku menjumpainya
di tengah jalan."
Tiba-tiba ia melihat sinar hitam pada muka Tong Say Hoa. "Tong Pehbo!" ia
berseru dengan suara kaget. "Kau terkena senjata rahasianya!" Mengingat hebatnya racun senjata
si pengemis, ia
bergidik dan segala rasa simpatinya lantas saja hilang seperti ditiup angin.
"Aku tak nyana, ia
seperti juga anjing gila yang menggigit setiap orang yang dijumpainya!" katanya
dengan suara gusar. "Apakah tadinya menganggap dia manusia baik-baik?" tanya si nenek sembari
tertawa dingin.
Si nona mengerutkan alisnya. "Pehbo," katanya "Apakah kau sudi menggunakan
obatku untuk memunahkan racun?"
Pemuda keponakan Tong Say Hoa, yang kelihatannya merasa suka terhadap Peng Go
dan yang sedari tadi berdiri di dekat bibinya, lantas saja berkata: "Nona, terima kasih
untuk kebaikanmu.
Untung ada kau yang sudah bantu mengusir dia. Kau mempunyai obat mustajab?"
"Obat itu dibuat olehku sendiri," jawab Peng Go. "Meskipun tidak dapat
dipersamakan dengan
Thiansan Soatlian, tapi boleh juga untuk memunahkan racun. Tapi aku tak tahu,
apakah obat itu
berguna terhadap racun senjata rahasia pengemis itu."
Oleh karena sedari kecil sehingga besar dipelihara dalam keraton es yang
terasing dari dunia
luar, Peng Go tidak mengetahui, bahwa ia harus menjalankan peradatan terhadap
Tong Say Hoa sebagai seorang yang tingkatannya lebih rendah terhadap orang yang tingkatannya
tinggi. Selain itu, iapun tidak menjawab dengan kata-kata yang tepat terhadap pernyataan terima
kasih pemuda itu, ditambah pula dengan sikapnya yang angkuh, ia sudah membikin Tong Say Hoa
jadi lebih mendongkol. Tanpa sadar, bahwa sikapnya sudah menerbitkan salah mengerti, Pengtjoan Thianlie
merogoh sakunya untuk mengeluarkan obat.
Tiba-tiba si nenek mendongak "Tidak!"
"Kouwkouw, tak ada halangannya untuk dicoba-coba," bujuk si keponakan.
Mendadak Tong Say Hoa mendelik. "Toan-djie!" ia membentak. "Senjata rahasia
keluarga Tong belum pernah dilepaskan dengan percuma. Orang luar yang cupat pandangannya,
mungkin tak tahu. Apa kau sendiri tidak tahu" Dalam tempo tiga hari, kutanggung pengemis
kusta itu akan datang untuk menukar obatnya dengan obatku. Walaupun Kouwkouw-mu sudah tua,
rasanya ia masih dapat mempertahankan diri untuk tiga hari."
"Kouwkouw, apakah memedi itu terkena senjata rahasiamu?" tanya pemuda itu.
"Pehbie tjiam (jarum alis putih)!" jawabnya. "Dalam tiga hari racunnya akan
mengamuk, dalam
tujuh hari ia akan mampus, jika tidak mendapat obat pemunahnya!"
Dulu Phang Lin, bibi Tong Keng Thian, pernah dilukakan dengan Pehbie tjiam oleh
suami Tong Say Hoa. Ketika itu, biarpun diobati oleh Lie Tie menurut cara pengobatan yang
liehay, tak urung
ia masih harus menderita agak lama juga. Kejadian itu diketahui Peng Go dari
mulut Keng Thian.
"Dua tahun berselang Moh Tjoan Seng pernah datang kesini dan sekarang ia hidup
menyendiri di Tjengshia san," kata Tong Say Hoa. "Dia adalah tetua Rimba Persilatan jaman
ini dan tidak mengherankan, jika kau mempunyai kepandaian yang begitu tinggi. Aku sudah tua,
maaf, aku tak dapat mengantar kau mencari pamanmu itu."
Peng Go mengetahui, bahwa dengan berkata begitu, si nenek seperti juga mau
mengusir ia. "Aku bisa pergi sendiri, tak berani aku membikin capai Pehbo," katanya. "Tapi
ada suatu kejadian
yang aku ingin memberitahukan Pehbo. Liong Leng Kiauw telah di penjarakan di
Lhasa. Apakah

Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pehbo sudah tahu?"
"Apa?" teriak si nenek dengan suara kaget. "Liong Leng Kiauw ditangkap di
Lhasa?" Harus diketahui, bahwa Tong Say Hoa tidak mempunyai anak. Sedari berusia tujuh
tahun, Liong Leng Kiauw sudah berguru kepada keluarga Tong. Maka itu, meskipun secara
resmi ia adalah Soetee (adik seperguruan) Say Hoa, akan tetapi, si nenek menganggap ia
seperti putera sendiri. Pengtjoan Thianlie lantas saja menuturkan segala kejadian yang diketahuinya.
"Hm!" si nenek menggerendeng sehabis Peng Go menutur. "Besar benar nyali Hok
Kong An dan Hiatsintjoe. Hm! Dilihat begini, benar-benar mereka tidak mau membiarkan aku, si
tua, hidup senang di rumah."
"Kouwkouw," kata keponakannya. "Lebih baik kau jangan terlalu gusar. Sesudah kau
sembuh, barulah kita berdamai bagaimana baiknya."
Tong Say Hoa memanggut-manggutkan kepalanya. "Benar!" katanya. "Toan-djie! Antar
aku masuk." Tanpa memperdulikan Pengtjoan Thianlie, ia segera masuk ke dalam.
Dapat dibayangkan berapa besar rasa mendongkolnya Peng Go.
"Siauwkongtjoe, mari kita berangkat," kata Yoe Peng.
Pemuda itu merasa sangat tidak enak, buru-buru ia menghampiri dan menyoja.
"Kouwkouw-ku
yang tua memang rada linglung dan aku mohon kalian jangan menjadi kecil hati,"
katanya. "Siapakah ayahmu" Tjio Tayhiap atau Koei Tayhiap?"
"Ayahku Koei Hoa Seng," jawab si nona.
Pemuda itu terkejut dan segera berkata: "Ah! Kalau begitu Koei Tjietjie! Namaku
Tong Toan. Aku mohon, dengan mengingat Kouwkouw tidak mempunyai pelindung, supaya Tjietjie
sudi berdiam disini beberapa hari,"
"Bukankah Kouwkouw-mu sudah melukakan pengemis kusta itu dengan Pehbie tjiam dan
sekarang hanya menunggu penukaran obat?" kata si nona. "Kepandaianku sangat
cetek. Mana bisa aku melindungi Kouwkouw-mu?"
Tong Toan tertawa dan berkata pula: "Kouwkouw mengandalkan kepandaiannya secara
berlebih-lebihan. Siapa dapat memastikan, bahwa pengemis kusta itu tidak akan
menyatroni lagi
dalam tiga hari ini" Jika ia, tanpa mengetahui liehaynya Pehbie tjiam menyatroni
pula dalam tiga
hari, siapa yang akan dapat melawan ia?"
Peng Go berpikir sejenak. Ia merasa, perkataan pemuda itu memang ada benarnya.
"Walaupun nenek itu agak kurang ajar, tapi ia adalah seorang Tjianpwee," katanya di dalam
hati. "Jika aku
lantas berlalu dan sampai terjadi apa-apa, aku akan turut merasa berdosa."
Mengingat begitu,
lantas saja ia menyanggupi untuk berdiam beberapa hari dalam rumah keluarga
Tong. Dengan cepat tiga hari sudah lewat. Selama tiga hari itu, Tong Say Hoa terus
menyekap diri di
dalam kamar, duduk bersemedhi untuk mengeluarkan racun dari badannya. Dengan
memperhatikan paras muka Tong Toan yang semakin lama jadi semakin guram,
Pengtjoan Thianlie mengetahui, bahwa racun si pengemis sudah bekerja keras dan oleh karena
itu, hatinya merasa sangat tidak enak.
Berdasarkan sakit hatinya terhadap masyarakat, Kim Sie Ie memusuhi semua orangorang gagah dari Rimba Persilatan. Akan tetapi, melukakan seorang tua dengan senjata
beracun secara serampangan, adalah perbuatan yang menurut Peng Go, tidak bisa dimaafkan.
Berpikir sampai
disini, tanpa merasa si nona teringat Tong Keng Thian. Kedua-duanya adalah
pemuda yang berkepandaian tinggi, akan tetapi mengenai pendidikan, Kim Sie Ie tak dapat
direndengkan dengan Tong Keng Thian. Sesaat itu, mau tak mau, ia ingat juga bagaimana Tong
Keng Thian sudah mempermainkan dirinya dan berbareng, ia ingat pula cara-cara Kim Sie Ie
yang aneh, tapi
yang mengandung kejujuran dalam keanehannya itu.
Si nona sendiri tidak mengetahui, bahwa terhadap Tong Keng Thian, ia sudah jatuh
cinta. Maka itu, ia selalu gusar dan ingin menghukum pemuda itu untuk segala cacat dan
kesalahannya. Tapi terhadap Kim Sie Ie, ia hanya mempunyai perasaan kepengen
tahu, paling banyak perasaan kasihan. Itulah sebabnya, kenapa ia masih dapat melihat "sifat
baik" dalam
keanehan pemuda itu.
Waktu itu sudah magrib dan si pengemis kusta belum juga muncul. Dengan hati
cemas, Peng Go keluar dari kamarnya untuk menanyakan keadaan Tong Loothaypo. Keluarga Tong
mempunyai rumah yang sangat besar, tapi hanya sedikit bujang mereka. Begitu si nona berada
di luar kamar Tong Say Hoa, ia mendengar suara si nenek.
"Malam ini pengemis kusta itu pasti akan datang," kata si nenek dengan suara
keras. "Jika ia
tidak berlutut memohon ampun, jangan kau berikan obat pemunah itu!"
"Kouwkouw," kata Tong Toan. "Kita pun membutuhkan obatnya."
"Semenjak dulu, tak ada manusia yang berani memandang rendah keluarga Tong,"
bentak Tong Say Hoa. "Bahwa seorang pengemis sudah berani keluar masuk disini, adalah
suatu kejadian yang sangat menghilangkan muka kita. Kalau ia tidak berlutut minta ampun, tak
boleh kau memberikan obat itu. Mengerti?"
"Tapi, Kouwkouw, kau..." kata Tong Toan, terputus-putus.
"Jika ia tidak minta ampun, biarpun sampai mati aku akan tetap menolak obatnya,"
kata si nenek yang kepala batu. "Lebih baik biar dia mampus bersama-sama aku, supaya
seluruh dunia mendapat tahu, siapa juga yang berani melanggar keluarga Tong, dia mesti
membayar dengan
jiwanya." "Kouwkouw," kata Tong Toan, tergugu. "Inilah... inilah..." Suaranya gemetar,
hatinya sangat berkuatir. Tiba-tiba terdengar Tong Say Hoa menggebrak ranjang. "Manusia tak punya
semangat!" ia
membentak dengan gusar. "Benar-benar kau tak berhak menjadi anggauta keluarga
Tong!" Pengtjoan Thianlie bergidik. Menukar obat sebetulnya bukan kejadian yang
memalukan. Ia tidak nyana, Tong Say Hoa begitu keras kepala dan kejam hati. Ia merasa gusar
terhadap Kim Sie
Ie, tapi sesudah mendengar pembicaraan itu, perasaannya terhadap Tong Say Hoa
menjadi lain. Sementara itu terdengar suara Tong Toan yang sangat perlahan. Mungkin sekali
pemuda itu sedang membujuk bibinya. Tiba-tiba terdengar pula ranjang digebrak.
"Benar bandel kau!" membentak si nenek. "Sebelum mati, lebih dulu aku akan
mengambil jiwanya!" Beberapa saat kemudian, pintu kamar terbuka dan Tong Toan berjalan keluar. Buruburu Pengtjoan Thianlie menyingkir. Gerakannya ini luar biasa cepatnya, sekali
berkelebat, ia sudah
berada di belakang sebuah gunung-gunungan batu. Meskipun kepandaian pemuda itu
masih kacek jauh jika dibandingkan si nona, tapi karena sedari kecil sudah berlatih
menggunakan senjata
rahasia, perasaan dan kupingnya tajam luar biasa. Dengan cepat ia memburu ke
arah berkelebatnya bayangan orang. Sesaat itu, dengan tindakan perlahan, Peng Go
keluar dari tempat
sembunyinya. Tong Toan sudah membuka mulut untuk berteriak, tapi ia keburu
mengenali nona itu. "Ah! Kiranya Koei Tjietjie!" katanya dengan suara halus. "Apakah kau mencari
aku?" "Benar," jawabnya, tapi karena tidak biasa berdusta, mukanya lantas saja bersemu
dadu. "Ada urusan apa?" tanya Tong Toan dengan suara girang.
"Aku mencari kau... mencari kau... untuk menanyakan hal ihwal seseorang,"
jawabnya dengan
suara tergugu. "Siapa?" tanya pula Tong Toan.
"Tong Keng Thian, putera Tong Tayhiap, yang kemarin dulu disebutkan olehmu,"
jawab si nona. "Menurut dugaanku, ia sudah lewat disini. Kau adalah penduduk disini,
lebih gampang untuk
menyelidikinya."
Pengtjoan Thianlie sebenarnya tidak ingin menimbulkan halnya Tong Keng Thian,
tapi dalam keadaan kedesak, tanpa merasa ia sudah menyebutkan nama pemuda itu.
Hati Tong Toan mencelos, tapi sebagai pemuda yang terdidik baik, ia tidak
mengentarakan perasaan itu pada paras mukanya. "Karena dalam beberapa hari ini aku repot
melayani Kouwkouw, tak sempat aku keluar rumah," katanya. "Sesudah lewat malam ini, aku
tentu akan menyelidiki. Sst! Tjietjie! Lekas sembunyi!"
Peng Go yang kupingnya cukup tajam, juga sudah dapat menangkap suara seperti
jatuhnya daun kering di tempat yang jauhnya kira-kira setengah li.
"Ini adalah urusan keluargaku sendiri," kata Tong Toan. "Hanya dalam keadaan
yang sangat berbahaya, baru aku mohon bantuan Tjietjie."
Pengtjoan Thianlie tahu, bahwa yang datang tak bisa lain daripada Kim Sie Ie. Ia
mengangguk dan lantas loncat ke belakang gunung-gunungan batu. Diam-diam ia merasa heran
oleh karena, sedang tiga hari berselang Tong Toan berusaha menahan ia untuk bantu menghadapi
Kim Sie Ie, kenapa sekarang ia menolak bantuan, kecuali jika sangat perlu. Di lain saat ia
sadar. Perubahan
sikap Tong Toan tentu juga disebabkan oleh kepala batu si nenek yang berkeras
ingin menyelesaikan urusan itu dengan tenaga keluarga Tong sendiri.
Baru saja si nona berada di belakang gunung-gunungan, Kim Sie Ie sudah berada di
dalam pekarangan rumah sambil mengeluarkan suara tertawa yang menyeramkan. Sebelum
Tong Toan sempat membuka mulut, pengemis itu sudah berseru: "Pehbie tjiam sungguh-sungguh
liehay! Biar bagaimana pun juga, aku sudah berkenalan dengan senjata rahasia keluarga Tong.
Aku sungguh kagum, begitu bertemu lawan, kamu tak sungkan-sungkan lagi menggunakan senjata
yang beracun. Apakah itu memang kebiasaan keluargamu?"
Tong Toan gusar bukan main. Ia mendelik dan membentak: "Apakah senjatamu tidak
beracun" Tanpa sebab, tanpa lantaran melukakan seorang tua. Apakah itu perbuatan seorang
ksatria?" Peng Go memuji Tong Toan yang sudah menyemprot secara tepat sekali.
Kim Sie Ie tertawa terbahak-bahak. "Aku memang bukan ksatria," katanya.
"Perkataanmu tak
perlu dikeluarkan!'
Dalam kalangan Kangouw, banyak sekali manusia keparat yang mengaku ksatria dan
tak pernah ada yang mengatakan, seperti yang dikatakan Kim Sie Ie. Mendengar itu
Tong Toan menjadi kaget. Lagi-lagi Kim Sie Ie tertawa berkakakan. "Aku memang biasa meminta pelajaran
dari kaum ksatria yang berkepandaian tinggi," katanya. "Jika Kouwkouw-mu seorang biasa,
aku tentu tak akan perlu mencarinya. Tapi ia sendiri yang mengaku dirinya ahli senjata rahasia
nomor satu dalam dunia dan di samping itu, sudah beberapa turunan keluarga Tong menempel
merek ksatria. Ha-ha! Dan sekarang aku sudah mendapat pelajaran bagus sekali."
"Apa katamu?" bentak Tong Toan. "Kami dari keluarga Tong tak akan membokong
orang seperti kau!' Kim Sie Ie mendongakkan kepalanya dan kembali tertawa besar. "Sekarang aku
tanya," katanya. "Bukankah menurut peraturan Rimba Persilatan, menjajal ilmu dianggap
sebagai kejadian
lumrah?" "Benar," jawab Tong Toan.
"Nah," kata pula Kim Sie Ie. "Aku sebetulnya hanya ingin berkenalan dengan
senjata rahasia
keluarga Tong. Adalah Kouwkouw-mu yang lebih dulu menggunakan jarum beracun
Pehbie tjiam, untuk membinasakan aku. Coba kau katakan: Apakah yang aku harus lakukan" Dalam
dunia, senjata beracun bukan hanya dimiliki keluargamu. Ha-ha! Tak bisa lain, aku pun
harus melayani!
Pehbie tjiam memerlukan tempo tujuh hari untuk mengambil jiwa manusia.
Tokliongteng-ku (Paku
naga beracun) paling lama tiga hari. Kau mau aku mati" Gampang! Tapi, sebelum
mampus, lebih dulu aku mau menyaksikan kau menangis di depan jenazah Kouwkouw-mu!"
Bukan main kagetnya Tong Toan. Sekarang ia baru mengetahui, bahwa si pengemis
kusta sudah menggunakan pakunya karena diserang lebih dulu dengan jarum beracun.
Perkataan Kim Sie Ie ada benarnya juga. Jika Tong Say Hoa mengetahui, bahwa ia
hanya ingin menjajal ilmu, walaupun ia dapat menggunakan senjata rahasia, tak pantas ia
menggunakan senjata beracun. Akan tetapi, dari Shoatang Kim Sie Ie telah menyatroni sampai
di Soetjoan utara
dan sudah menghina banyak sekali orang-orang ternama dalam Rimba Persilatan,


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sehingga namanya menjadi buruk, maka begitu bertemu, Tong Say Hoa segera turun tangan
untuk membinasakan pengemis itu. Dalam hal ini, Tong
Say Hoa pun mempunyai alasan sendiri, yang dapat juga dimengerti jika dipandang
dari sudutnya. Mendengar pertanyaan Kim Sie Ie, Tong Toan jadi kemekmek. Beberapa saat
kemudian, baru ia dapat menjawab dengan suara gusar: "Siapa mau bicara hal peraturan Kangouw
dengan manusia yang sepak'terjangnya seperti anjing gila! Kouwkouw-ku mana kesudian
menjajal ilmu dengan manusia semacam kau!"
Paras muka Kim Sie Ie lantas saja berubah menyeramkan. "Jika kau banyak rewel
lagi, aku tak akan memperdulikan peraturan
Kangouw lagi!" ia membentak "Lebih dulu aku akan mengambil jiwamu!' Selagi
membentak kedua matanya mengeluarkan sinar yang sangat ganas, sehingga Tong Toan menjadi
terkejut. Beberapa saat kemudian, si pengemis tertawa dingin seraya berkata:
"Kouwkouw-mu tak sudi melayani aku menjajal kepandaian, tapi sekarang, bukankah
kau ingin memohon obat"'
"Dan kau?" Tong Toan berteriak. "Bukankah kau juga datang untuk memohon obat
pemunah dari keluarga Tong?"
"Benar," jawabnya. "Tapi jangan kau lupa, Kouwkouw-mu tidak akan dapat melalui
malam ini, sedang aku masih mempunyai tempo empat hari. Aku merasa, bahwa dia pantas
berlutut tiga kali
di hadapanku untuk perbedaan empat hari itu?"
"Apa?" bentak Tong Toan dengan suara gusar. "Dalam saling menukar obat, kau mau
orang lain berlutut di hadapanmu?"
"Menurut dugaanku,
Kouwkouw-mu sudah tidak dapat bergerak lagi," kata Kim Sie le. "Nah! Kau saja,
yang mewakili ia berlutut di depanku."
"Bagus mukamu!" berteriak Tong Toan. "Kaulah yang harus memohon ampun. Kalau kau
tak mau berlutut, jangan harap bisa mendapat obat."
Kim Sie Ie mesem tawar dan berkata dengan suara tawar pula: "Kalau begitu, tiada
jalan lain daripada membuka mata lebar-lebar untuk menyaksikan tangisanmu di hadapan peti
jenazah!' Tong Toan menjadi gusar berbareng kuatir. Tiba-tiba ia ingat, bahwa sesudah tiga
hari terkena jarum Pehbie tjiam, racun jarum tentu sudah mengamuk hebat di dalam tubuh Kim
Sie Ie, sehingga belum tentu ia tidak dapat melawan pengemis itu. Selagi ia ingin turun
tangan, si pengemis, yang agaknya sudah dapat mengerti apa yang dipikirnya, sekonyongkonyong memotes
sebatang cabang pohon dan berkata sembari tertawa: "Aha! Kau mau menggunakan
kekerasan" Baiklah!"
Tapi, belum habis perkataan itu diucapkan, ketika mendadak sesosok bayangan
manusia berkelebat cepat bagaikan angin.
Tong Toan terkesiap, ia menduga, bahwa serangan itu datangnya dari si pengemis.
Cepat seperti kilat, tangan kirinya menghantam dengan pukulan Wankiong siatiauw
(Mementang busur
memanah burung rayawali), sedang tangan kanannya menabas dengan gerakan Pihong
hoentjam (Mengebas angin menabas miring).
Selain mengandalkan senjata rahasia yang dikenal di seluruh Tiongkok, keluarga
Tong juga mempunyai ilmu pukulan yang disegani orang. Dua pukulan tersebut, yang menyerang
berbareng membela diri, adalah pukulan-pukulan rahasia yang hanya digunakan untuk menolong
jiwa dalam saat berbahaya. Tapi dengan sekali mengegos, bayangan itu sudah dapat mengelit
pukulan Tong Toan dan di lain saat, Pengtjoan Thianlie sudah berdiri di tengah-tengah antara
kedua lawan. "Tak berani aku menerima bantuanmu," kata Tong Toan dengan suara dingin. "Urusan
keluarga Tong harus dipikul olehku sendiri."
Peng Go tidak menyahut. Dengan muka dingin bagaikan es, ia berpaling ke arah Kim
Sie Ie dan berkata: "Ambil ini dan keluarkan obatmu!'
Bukan main kagetnya Tong Toan. Ia meraba sakunya dan mendapat kenyataan, bahwa
obat pemunah, yang tadi berada di dalam kantongnya, sudah pindah ke tangan si nona.
Ia terpaku dan setelah berselang beberapa saat, baru ia dapat mengeluarkan suara terputusputus: "Kau...
Kau..." Kim Sie Ie, yang tidak kurang terkejutnya, loncat mundur dan hampir berbareng
dengan Tong Toan iapun berseru dengan suara tertahan: "Kau!..."
"Keluarkan obat pemunah!" perintah si nona dengan nada suara sebagai seorang
ratu. "Bagus!" Kim Sie Ie berseru.
Sambil menuding dengan pedangnya, Peng Go berkata pula: "Dengan saling menukar
obat, tak ada yang kehilangan muka. Lekas keluarkan obatmu dan mulai dari sekarang, jangan
kau menemui aku lagi!" "
Kim Sie Ie melirik. Tiba-tiba ia mengayun tangan dan berseru: "Ambil!'
Baru saja si nona menyambuti obat itu, si pengemis kembali mengayun tangan. "Ini
juga!" ia berteriak. Pengtjoan Thianlie mengebas lengan jubahnya dan menggulung benda yang
dilemparkan itu. Si
nona heran, sebab benda itu adalah sebutir batu yang dibungkus dengan kertas
kulit kambing. "Orang yang sedang dicari olehmu, berada di dalamnya," kata Kim Sie Ie dengan
suara mendongkol. "Pandanglah sepuas hatimu." Ia memutarkan badan, melompati tembok
dan melenyapkan diri dengan kecepatan luar biasa.
Tanpa merasa, Tong Toan bangun bulu romanya. "Sesudah terkena Pehbie tjiam, tak
nyana ia masih begitu liehay," katanya di dalam hati. "Untung juga aku tadi tidak lantas
turun tangan."
Pengtjoan Thianlie membuka kertas yang membungkus batu itu dan mendadak saja, ia
menjadi bengong. Di atas kertas itu terdapat gambar dua orang, yang satu adalah Tong
Keng Thian, yang
lain seorang wanita muda cantik dan kedua matanya mengawasi Keng Thian dengan
meseman manis. Di kertas itu terdapat pula peta bumi yang mengunjukkan jalan untuk
mencari tempat Keng
Thian. "Kalau begitu, Keng Thian berada di Lengkoan," kata si nona di dalam hatinya.
"Dari sini hanya
memerlukan perjalanan dua hari. Siapa nona itu" Dengan maksud apa Kim Sie Ie
memberikan gambar ini kepadaku?"
Selagi ia berdiri bengong bagaikan orang linglung, kupingnya mendadak mendengar
suara Tong Toan: "Koei Tjietjie!" Buru-buru ia memasukkan gambar itu ke dalam sakunya dan
menengok. "Koei Tjietjie," kata pemuda itu. "Bagaimana baiknya" Kouwkouw tentu menggusari
aku." Si nona yang sedang kusut pikirannya, jadi merasa sebal. Ia menyesapkan obat Kim
Sie Ie ke dalam tangan Tong Toan dan berkata dengan suara dingin: "Bagaimana kalau aku
saja yang mewakili ia memohon maaf kepadamu"'
Tong Toan terkejut, buru-buru ia loncat minggir.
"Kouwkouw-mu telah memesan, bahwa jika ia tidak berlutut memohon ampun, obat
keluarga Tong tak boleh diberikan," kata pula Peng Go. "Bukankah begitu?"
"Benar!" jawabnya.
"Nah!" kata lagi si nona. "Obat keluarga Tong diberikan olehku kepadanya dan
tidak ada sangkut pautnya dengan kau. Jika Kouwkouw-mu menghukum, ia tidak boleh menghukum
kau. Obat ini lekas-lekas kau berikan kepada Kouwkouw-mu dan tolong kau menyampaikan
hormatku kepadanya." Sehabis berkata begitu, ia lantas berseru: "Yoe Peng! Yoe Peng!"
"Koei Tjietjie! Apa maksudmu?" tanya Tong Toan dengan suara bingung.
Sementara itu, Yoe Peng sudah menghampiri. "Terima kasih untuk pelayananmu
selama tiga hari," kata Peng Go. "Sampai ketemu lagi!"
"Koei Tjietjie," kata Tong Toan. "Apakah kau merasa tidak senang terhadap kami?"
"Kenapa tidak senang?" kata si nona. "Sesudah jiwa Kouwkouw-mu selamat, sekarang
aku boleh berlalu dengan hati lega."
Sehabis berkata begitu, bersama Yoe Peng, ia melompati tembok. Tong Toan
mengubar. Setibanya di luar, yang dapat dilihatnya hanya sang rembulan yang memancarkan
sinar gilang gemilang, tapi kedua gadis itu sudah tidak kelihatan bayang-bayangannya lagi.
Tong Toan menghela napas, ia ingat akan bantuan Pengtjoan Thianlie. Tanpa
bantuan itu, jika
ia dan si pengemis kusta sampai bergebrak, Kouwkouw-nya dan Kim Sie Ie tentu
juga akan binasa
bersama-sama Ia merasa menyesal, bahwa si nona pergi begitu terburu-buru dan
dengan perasaan berat, ia segera menuju ke kamar Tong Say Hoa dengan membawa obat.
Tong Toan tidak mengetahui, bahwa pikiran Peng Go terlebih kusut daripada
pikirannya. Semenjak berpi sahan dengan Tong Keng Thian, entah kenapa, si nona selalu merasa
tidak gembira. Tadi, sesudah melihat gambar itu, hatinya jadi berdebar-debar. Sesaat,
ia ingin segera
menemui Keng Thian, di lain saat, ia kepengen mabur jauh, jauh sekali, supaya
tidak bertemu muka pula dengan pemuda itu untuk selama-lamanya. Ia sendiri tidak mengetahui,
apakah ia mencinta atau membenci pemuda tersebut, ia juga tidak mengerti, apa yang sedang
dipikirkannya. Dan Pengtjoan Thianlie tentu saja tidak mengetahui, bahwa pada malam itu, pada
detik-detik yang sama, Tong Keng Thian pun sedang memikiri dirinya.
*** Pada malam itu, selagi Keng Thian dan Tjee Tjiang Hee berjalan-jalan di luar
rumah, di bawah
sinar rembulan, ibu si nona mendadak datang untuk memberitahukan hal
dilukakannya Tong Say
Hoa oleh si pengemis kusta yang berkawan dua wanita cantik bagaikan bidadari.
Mendengar itu, Keng Thian terkejut. Ia menduga, bahwa "dua wanita cantik
bagaikan bidadari
itu" tentu bukan lain daripada Peng Go dan dayangnya. Sebenarnya ia tak mau
percaya cerita itu,
akan tetapi, sesudah mendengar lukisan roman dan cara-cara kedua wanita
tersebut, mau tidak
mau, ia harus percaya juga.
Melihat paras pemuda itu yang sangat guram, Yo Lioe Tjeng menduga, bahwa Keng
Thian merasa jengkel karena mendengar munculnya pengemis itu. "Dalam satu dua hari
ini, lebih baik
kita menyingkir dulu," katanya. "Sesudah kau sembuh baru kita melawan pengemis
itu." Mendengar sang ibu tidak setuju mereka berjalan-jalan di luar, sembari
monyongkan mulut,
Tjiang Hee berkata: "Tong Koko baru saja sembuh, ia perlu banyak berjalan-jalan
untuk menghibur hatinya. Mana ia tahan disekap di dalam rumah?"
Melihat lagak si nona, Keng Thian jadi tertawa. Mengingat dengan cara apa selama
belasan hari nona itu sudah merawatnya, Keng Thian merasa sangat berterima kasih dan lantas
saja ia berkata: "Sebenarnya, kita memang tidak perlu begitu berkuatir. Meskipun aku
belum sembuh betul, tapi jika bertemu dengan pengemis kusta itu, belum tentu ia dapat
melukakan diriku lagi."
Tjiang Hee girang. "Tong Koko," katanya. "Apakah kau sudah mempunyai akal untuk
merobohkan padanya?"
"Senjata pengemis kusta itu yang paling liehay adalah senjata rahasianya yang
disemburkan dari mulutnya," Keng Thian menerangkan. "Tapi senjata itu hanya dapat menyerang
dari jarak dekat. Thiansan Sinbong-ku dapat merobohkan musuh yang berada dalam jarak lebih
dari enam tombak jauhnya. Jika sekarang aku harus menghadapi ia, aku dapat menggunakan
Sinbong untuk menahan majunya."
Yo Lioe Tjeng mesem dan segera berkata: "Jika kau sudah mempunyai pegangan,
boleh kau berjalan-jalan terus bersama Tjiang Hee. Aku tidak menghalang-halangi lagi."
Melihat tingkah laku kedua orang muda itu yang kelihatannya rapat sekali, Yo
Lioe Tjeng, yang
di dalam hatinya mempunyai maksud tertentu, jadi merasa girang sekali.
Rumah keluarga Tjee berdiri membelakangi gunung, sedang di pekarangan depan yang
cukup luas, ditanami pohon-pohon bunga yang waktu itu sedang mekarnya. Jalan-jalan di
bawah sinar sang Puteri Malam, dengan segala pemandangannya yang sangat indah dan bau-bauan
bunga yang harum semerbak, benar-benar seperti juga berada didalam surga.
Lama, lama sekali, tanpa berkata-kata, mereka keluar masuk di antara pohon-pohon
kembang. "Tong Koko, kau lagi memikirkan apa?" tanya si nona.
"Tidak apa-apa," jawabnya.


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tjiang Hee tertawa geli. "Aku tahu," katanya "Kau tentu ingin bertemu dengan
kedua wanita itu
yang katanya cantik seperti bidadari. Benarkah?"
Tjiang Hee sebenarnya hanya berbicara guyon-guyon, tapi di luar dugaan, Keng
Thian menundukkan kepalanya dan menghela napas panjang. "Benar," sahutnya. "Aku sedang
memikirkan mereka!"
Si nona terkejut. "Tong Koko, apakah kau benar-benar kenal dengan mereka?"
tanyanya. "Kenal," jawab Keng Thian. "Mereka adalah sahabat-sahabatku."
"Tapi, kenapa mereka tidak berjalan bersama-sama kau, sebaliknya justru berkawan
pengemis kusta itu yang dibenci orang?" tanya Tjiang Hee pula.
"Aku justru ingin mencari mereka untuk menanyakan sebab-sebabnya," jawab Keng
Thian. Paras muka Tjiang Hee lantas saja berubah guram. "Aku tak ingin menemui pengemis
kusta itu," katanya.
"Siapa menyuruh kau menemui ia?" kata Keng Thian.
"Tapi aku ingin sekali bertemu dengan kedua Tjietjie itu yang cantik bagaikan
bidadari," kata si
nona. "Kenapa?" tanya Keng Thian.
"Orang yang kau sukai, tentu juga kusukai," jawabnya. "Bolehkah aku turut kau
menemui kedua Tjietjie itu?"
"Aku sendiri tak tahu, apakah mereka sudi menemui diriku," kata Keng Thian.
"Kenapa begitu?" tanya Tjiang Hee dengan suara heran. "Bukankah mereka itu
sahabatsahabatmu?"
Keng Thian menghela napas panjang dan kemudian berkata dengan suara perlahan:
"Heemoay, usiamu masih terlalu muda, sehingga biar pun aku memberi penjelasan, kau tidak
akan mengerti."
"Tapi usiamu tidak berbeda banyak dengan usiaku," kata si nona yang merasa agak
kurang senang dikatakan belum mengerti urusan. Ia berdiam beberapa saat, kemudian
berkata pula: "Dulu, waktu'aku baru saja mengerti urusan, aku sudah ingin bertemu denganmu.
Apakah kau tahu?" Keng Thian tertawa. "Waktu itu bagaimana kau tahu, bahwa di dalam dunia ini ada
seorang yang bernama Tong Keng Thian?" tanyanya.
"Sedari aku mulai mengerti urusan, ibu sudah membicarakan hal dirimu," jawab
Tjiang Hee. "Aku tak percaya," kata Keng Thian. "Ibumu sendiri baru mengenal aku kira-kira
setengah bulan lamanya."
"Ibuku sering-sering
membicarakan hal ayahmu dengan aku," si nona menerangkan. "Ia sering
menceritakan ruparupa
kejadian-kejadian menarik di waktu mereka masih belajar silat bersama-sama.
Dalam beberapa tahun ini, ibu sering mengutarakan keinginannya untuk pergi ke Thiansan
guna menyambangi kalian. Kata ibu, ayahmu pendiam, kadang-kadang suka marah-marah
terhadapnya. Hm! Dalam hal ini, kau agaknya berbeda dengan ayahmu. Sering-sering Ibu berkata
begini: 'Heedjie,
kau sangat mirip dengan aku. Tong Pehpeh juga tentu sudah mempunyai anak. Tak
tahu, apakah anaknya juga seperti ia atau tidak.' Itulah sebabnya, mengapa sedari
kecil aku sering
menanya diriku sendiri: Macam apakah, Tong Koko ini" Biarpun aku belum pernah
bertemu dengan kau, malah tidak mengetahui, apakah di dunia ada seorang yang seperti
kau, tapi sering
sekali aku membayang-bayangkan bagaimana kira-kira rupamu, sebagai putera Tong
Pehpeh. Dan sesudah benar-benar bertemu, ternyata rupa dan cara-caramu sungguh tiada beda
dengan apa yang telah kulihat dalam bayangan khayalku sekian lama."
Hati Keng Thian jadi bergoncang. "Didengar dari perkataan Tjiang Hee, ternyata
ibunya menganggap ayah seolah-olah seorang anggauta keluarganya sendiri," katanya di
dalam hati. "Tapi kenapa ayah jarang sekali menyebutkan namanya?"
"Tong Koko, apa lagi yang kau pikirkan?" tanya pula si nona demi melihat Keng
Thian termenung. "Aku terharu, kau benar-benar seperti adikku sendiri," jawabnya.
"Apakah benar" Kau suka padaku?" menegas si nona dengan suara girang dan dengan
sikap sebagai bocah yang baru mendapat kembang gula.
"Tentu saja," sahut Keng Thian sembari tertawa. "Aku melihat kau seperti seekor
burung Pekleng niauw. Saban-saban hatiku pepat, suara dan lagak-lagakmu selalu dapat
menghilangkan kejengkelanku itu."
"Ya, aku pun merasa senang bergaul denganmu," kata si nona.
Demikianlah, kedua orang muda itu, yang dalam pergaulannya bebas dari segala
pikiran menyeleweng, bercakap-cakap dengan gembira dan tanpa merasa mereka berjalan
sembari bergandengan tangan.
Sekonyong-konyong selagi berjalan di bawah pohon-pohon bunga yang diterangi
sinar sang rembulan, Keng Thian teringat, bahwa Pengtjoan Thianlie pun sangat gemar akan
kembangkembang.
Ia membayangkan, bagaimana beruntungnya, jika ia dapat berjalan-jalan bersama
Peng Go di waktu itu dan dalam suasana yang begitu pula. Ia mengangkat kepalanya
dan... tiba-tiba di
sebelah jauh, di antara cabang-cabang yang penuh bunga, ia melihat wajah seorang
wanita muda! Kedua mata wanita itu, yang tajam luar biasa dan dingin bagaikan es, sedang
mengawasi ia. Sesaat itu, seluruh tubuh Keng Thian seolah-olah terkena arus listrik. Ia
gemetar, sembari
mengeluarkan teriakan, ia meloncat ke depan.
"Tong Koko! Ada apa?" seru Tjiang Hee. "Apakah manusia menyebalkan itu?" Ia
berteriak begitu karena menduga, bahwa si pengemis kusta menyatroni pula. Tapi, setelah
memperhatikan, ia melihat seorang wanita yang parasnya cantik luar biasa. Ia jadi kesima dan
terpaku! "Peng Go!" Keng Thian berteriak.
Wanita itu, yang memang bukan lain daripada Koei Peng Go, menatap wajah Keng
Thian dengan sorot mata dingin, sedih dan gusar bercampur menjadi satu! Tanpa merasa,
Tjiang Hee bergidik. Di lain saat, Peng Go memutarkan badannya dan dengan sekali
berkelebat, ia menghilang dari pemandangan.
"Peng Go! Koei Tjietjie! Koei Tjietjie!" berteriak Keng Thian dengan suara
menyayatkan hati,
sembari mengubar. Kasihan, ia mengubar dengan mengerahkan seantero tenaganya
yang belum pulih kembali. Baru tiba di suatu tanjakan, ia kesandung dan roboh terguling.
Beberapa saat kemudian, Tjiang Hee tiba dengan napas tersengal-sengal. Dengan
terkejut, ia membangunkan pemuda itu. "Apakah kau terluka?" tanyanya.
Keng Thian tidak menjawab, la menggelendot pada tubuh Tjiang Hee, kedua matanya
mencilak, mukanya pucat bagaikan mayat. Seolah-olah kehilangan semangat.
"Tong Koko! Tong Koko, kenapa kau"' tanya Tjiang Hee dengan suara bingung.
Sesudah lewat beberapa saat, baru Keng Thian dapat membuka mulut: "Dia! Dia
sudah pergi!"
"Siapa dia?" tanya Tjiang Hee. "Pengtjoan Thianlie, yang barusan kita
bicarakan," sahutnya. "Ah!
Kenapa ia tak mau bicara denganku?"
Tjiang Hee yang otaknya masih sederhana, merasa tidak mengerti, la tidak
mengerti, kenapa,
jika toh Pengtjoan Thianlie sahabat Keng Thian, ia sudah bersikap begitu" Keng
Thian menghela napas berulang-ulang, seperti juga melupakan, bahwa di sampingnya masih ada
seorang wanita lain, sehingga Tjiang Hee, mengeluh, ia merasa kasihan, berbareng mendongkol.
Lama mereka tidak mengucapkan sepatah kata. "Tong Koko," kata Tjiang Hee
akhirnya. "Mari
kita pulang. Ah! Aku tak nyana, di dalam dunia ada wanita yang begitu cantik!"
*** Tak usah dikatakan lagi, bahwa Pengtjoan Thianlie mabur karena menyaksikan Keng
Thian berjalan-jalan dan bercakap-cakap secara hangat dengan seorang wanita muda,
dengan bergandengan tangan. Dan selain itu, paras muka wanita tersebut benar-benar sama
dengan gambar yang ia dapat dari Kim Sie Ie, dengan hati hancur, ia kabur, tanpa
memperdulikan lagi
teriakan-teriakan Keng Thian. Dalam sekejap saja ia sudah lari belasan li dan
tiba di tepi sebuah
sungai kecil, di kaki gunung, dimana Yoe Peng sedang menunggu.
Melihat majikannya kembali seorang diri dengan gerak-gerik seperti linglung, Yoe
Peng menjadi kaget dan menanya: "Kenapa Siauwkongtjoe kembali sendirian?"
"Dia... dia..." kata si nona, terputus-putus, fa menengok dan memandang
pemandangan malam
yang indah, tapi tak kelihatan bayang-bayangan Keng Thian. Ia menjadi lebihlebih mendongkol
karena dalam anggapannya, Keng Thian tidak bersungguh hati dan teriakannya hanya
keluar dari hati palsu. Ia tentu saja tidak mengetahui, bahwa pemuda itu telah roboh di
tengah jalan karena
kehabisan tenaga. "Dia... dia tak akan datang," jawabnya sesenggukan.
"Kau sudah bertemu" Dan dia tak mau bersama-sama kau lagi?" tanya Yoe Peng
dengan hati mencelos. Pengtjoan Thianlie merasakan hatinya seperti ditusuk-tusuk. Ia menundukkan
kepalanya dan air matanya mengucur deras.
Ia teringat bagaimana pertama kali Tong Keng Thian naik ke keraton es, ia
teringat bagaimana
mereka bertanding pedang dan segala sesuatu mengenai "toeilian" di dalam taman,
la ingat akan semua kejadian itu yang tak akan bisa dilupakan olehnya.
Mendadak, ia mendengar suara tertawa yang nyaring. Ia menoleh ke arah suara itu
dan di lain saat, sambil menenteng tongkat besi, kelihatan Kim Sie Ie meloncat keluar dari
antara pohonpohon
yang rindang daunnya. Pemuda itu sekarang mengenakan pakaian sasterawan mirip
dengan Tong Keng Thian, akan tetapi, dengan menenteng tongkat dan meloncatloncat seperti bocah nakal, ia jadi kelihatan lucu dan tidak sesuai dengan pakaiannya.
"Kenapa kau tertawa?" bentak si nona, mendongkol.
"Mentertawakan kau!" jawabnya, sembari tertawa haha-hihi.
Dalam keadaan biasa, Pengtjoan Thianlie tentu sudah menghunus pedangnya. Tapi
sekarang, dalam kesedihannya, ia tidak memperdulikan lagi segala ejekan.
"Bukankah kau ingin sekali menemui ia?" tanya Kim Sie Ie. "Sesudah bertemu,
kenapa kau jadi
berbalik sedih. Apakah itu tidak lucu?"
"Jangan mencampuri urusan orang lain!" Peng Go membentak pula.
"Jika aku tak datang, kau tentu akan terus termenung-menung disini," kata lagi
Kim Sie Ie sembari nyengir. "Hayolah! Lebih baik menangis lebih siang daripada terlambat.
Nangislah biar puas! Sesudah puas, kau akan merasa lega."
Mendengar itu, air mata Peng Go justru jadi berhenti.
Si pengemis kusta lagi-lagi tertawa haha-hihi. "Bagaimana gambar pemberianku
itu?" tanyanya.
"Bukankah bagus sekali"'
"Bret!" Dengan gusar si nona merobek kertas bergambar itu.
Kim Sie Ie menepuk-nepuk tangan. "Bagus! Bagus! Sesudah gambar itu dirobek,
hatimu tentu menjadi enteng!" katanya.
Kata-kata Kim Sie Ie yang mengandung sindiran, dimengerti jelas oleh Yoe Peng.
Tapi Peng Go sendiri, yang sedang terbenam dalam kedukaan hebat, sebaliknya merasa perkataan
itu ada juga benarnya. Ia menganggap, bahwa memang terlebih baik jika ia mencoret segala apa
yang sudah lewat dan menuntut penghidupan baru dengan hati enteng.
"Siauwkongtjoe, mari kita berangkat," kata Yoe Peng.
"Benar, memang lebih baik kalian kembali ke keraton es!" kata Kim Sie Ie.
Pengtjoan Thianlie terkejut. "Bagaimana dia mengetahui asal-usulku?" tanyanya di
dalam hati. Mendadak pemuda itu menghela napas panjang dan berkata dengan suara sungguhsungguh: "Bukankah aku sudah mengatakan, bahwa di dalam dunia hanya terdapat beberapa
gelintir manusia baik-baik" Lebih baik berkawan dengan binatang daripada hidup bersamasama manusia. Apakah sekarang kau percaya"'
Si nona tidak menjawab, ia berdiri bengong bagaikan patung.
"Aku juga sudah merasa sebal hidup dalam dunia ini," kata pula pemuda itu.
"Keraton es-mu
adalah seperti surga dalam dunia. Sungguh sayang kau sudah meninggalkan surga
itu. Lebih baik
kita pulang bersama-sama. Pinjamkanlah kepadaku suatu pojokan dari keratonmu,
supaya aku bisa hidup secara tenteram."
"Kau ini benar-benar manusia yang tak tahu diri!" bentak Yoe Peng yang sudah tak
dapat menahan sabar lagi. "Apakah kau mengira Siauwkongtjoe sudi mengijinkan
keratonnya dinodakan
oleh seorang penderita kusta?"
Muka Kim Sie Ie lantas saja berubah pucat, kemudian ia mengeluarkan suara
tertawa menyeramkan. Ia mengangkat tongkatnya, seperti hendak menyerang. Yoe Peng cepat

Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cepat menghunus Hankong kiam-nya dan loncat ke belakang majikannya.
Peng Go mendongak mengawasi rembulan dan berkata dengan suara tawar: "Kau
pergilah! Aku pulang atau tidak adalah urusanku sendiri. Tak usah kau mencampuri urusan orang
lain. Kau sudah mengeluarkan perkataan tidak pantas, tapi aku juga tidak mau meladeni
kau." Kim Sie Ie mengawasi, lagaknya seperti bola karet yang kempes kehabisan angin.
Perlahanlahan ia menurunkan tongkatnya dan berkata: "Baiklah. Dengan memandang kau, aku pun
tidak mau meladeni budak kecilmu." Mendadak ia tertawa keras dan berkata dengan suara
nyaring: "Sebenar-benarnya kita berdua adalah manusia-manusia yang telah disia-siakan
oleh dunia. Menurut pantas, kita harus saling mengasihani. Tapi kau sebaliknya memandang aku
sebagai lawan. Sungguh tak pantas! Jika di belakang hari kau bisa mendusin,
beritahukanlah kepadaku."
Ia memutarkan badan dan terus berlalu dengan menggunakan ilmu mengentengkan
badan. Peng Go masih terus berdiri bengong.
"Pengemis kusta itu seperti juga setan air," kata Yoe Peng dengan suara gusar.
Peng Go merasa heran dan lalu menanya: "Apa?"
"Menurut kata orang Han, setan air paling jahat," Yoe Peng menerangkan. "Dia
mati di dalam air dan menjadi setan. Sebagai setan, tak hentinya ia mencari-cari pengganti.
Begitu mengetahui
ada orang yang sedang menderita, ia lantas memancing-mancing dengan rupa-rupa
akal busuk, supaya orang itu membunuh diri dengan menyebur ke dalam air. Hm! Semua
perkataannya itu
hanya bertujuan supaya Siauwkongtjoe tak memperdulikan pula Tong Siangkong dan
rela mengikuti jejaknya. Apakah dengan begitu, ia bukan seperti setan air?"
Mendengar penjelasan dayangnya, tanpa merasa Peng Go yang sedang bersedih, jadi
tertawa. "Belum cukup setahun kau turun gunung, lidahmu sudah begitu beracun," katanya
sembari mesem. "Apa Siauwkongtjoe tak percaya perkataanku?" tanya Yoe Peng.
Paras muka Pengtjoan Thianlie segera berubah keren. "Aku sendiri mempunyai
pendirian, tak usah kau banyak rewel," katanya.
Yoe Peng bungkam, tak berani membuka suara lagi.
"Baiklah," kata Peng Go dengan suara halus. "Kita sekarang menuju ke Soetjoan
barat. "Sesudah bertemu dengan Pehpeh-ku, baru kita pulang ke Puncak Es dan tak usah
memperdulikan lagi segala urusan dunia."
Yoe Peng menghela napas. Tanpa berkata suatu apa, ia mengikuti tindakan
majikannya. *** Sekarang marilah kita menengok Keng Thian yang pulang ke rumah keluarga Tjee
dengan dipimpin oleh Tjiang Hee. Di tengah jalan, pemuda itu menutup mulutnya, sehingga
si nona jadi sangat berkuatir. Sesudah Keng Thian mengunci kamar tidurnya, Tjiang Hee tidak
berani masuk tidur dan terus berjalan mundar-mandir dengan tindakan perlahan di depan kamar
pemuda itu. Sampai kurang lebih jam empat pagi, di dalam kamar Keng Thian tidak terdengar
suara apa-apa. Ketika itu Tjiang Hee sudah merasakan betapa dinginnya hawa malam dan ia juga
sudah merasa ngantuk sekali. "Kakak tolol itu mungkin sudah tidur," katanya di dalam
hati. Selagi mau masuk ke dalam kamarnya, mendadak ia melihat jendela kamar Keng Thian
terpentang dan seorang yang mengenakan pakaian putih meloncat keluar. Buru-buru
si nona meloncat ke atas genteng sembari berseru: "Tong Koko!"
Keng Thian merandek dan menengok. "Jangan ribut," katanya dengan suara perlahan.
"Jangan sampai ibumu bangun. Terima kasih banyak-banyak untuk pertolonganmu. Aku
mempunyai urusan penting dan harus berangkat sekarang juga!"
"Tak bisa! Tak boleh begitu!" berseru Tjiang Hee, tapi Keng Thian sudah
mengenjot badan dan
dengan beberapa loncatan, ia sudah melompati tembok pekarangan.
"Ibu!" teriak si nona. "Lekas keluar! Tong Koko mabur!"
Suami isteri Tjee Sek Kiu yang tidur di kamar sebelah barat, lantas saja bangun,
sedang Keng Thian sendiri, setelah mendengar teriakan Tjiang Hee, lantas saja berlari lebih
cepat. Tjiang Hee
jadi bingung, tanpa menunggu orang tuanya, ia segera mengubar.
Meskipun baru sembuh, ilmu mengentengkan badan Keng Thian masih lebih unggul
daripada Tjiang Hee. Sesudah mengubar beberapa lama, jarak antara mereka menjadi semakin
lebar. "Tong Koko! Apakah benar-benar kau mau pergi juga secara begini!" seru nona Tjee
dengan suara sedih. Mendengar seruan itu, hati Keng Thian menjadi sangat terharu dan dengan
terpaksa, ia menghentikan tindakannya. Ia berpaling seraya berkata: "Hee-moay, di lain tahun,
jika kalian pergi ke Thiansan, kita masih mempunyai kesempatan untuk bertemu pula. Aku
mempunyai suatu
urusan yang sangat penting dan mesti segera berangkat. Aku mohon kau jangan
mengantar terlebih jauh." Sehabis berkata begitu, lantas saja ia berlari secepat-cepatnya,
supaya tak mendengar pula teriakan si nona.
Sesudah kabur belasan li, barulah Keng Thian membuang napas dan berlari lebih
perlahan. Mengingat cara-caranya yang kurang pantas terhadap keluarga Tjee, hatinya
sungguh merasa tidak enak. Untuk menyusul Pengtjoan Thianlie, ia pergi tanpa pamitan dan hanya
meninggalkan sepucuk surat. Ia merasa sangat malu terhadap Yo Lioe Tjeng dan puterinya yang
sudah melepaskan budi begitu besar terhadapnya.
Keng Thian telah menduga tepat, bahwa Peng Go akan pergi ke Soetjoan barat untuk
menemui pamannya. Akan tetapi, ketika ia menanya-nanya di sepanjang jalan, tak ada
seorang pun yang
mengatakan pernah bertemu dengan Peng Go dan Yoe Peng.
Sesudah berjalan sekian hari, tibalah ia di wilayah gunung Palong san, di
sebelah barat propinsi
Soetjoan. Jika orang terus berjalan ke arah selatan, ia akan tiba di daerah
gunung Gobi san.
Walaupun Palong san tidak sampai seberbahaya Tjiakdjie san, tapi jalannya yang
legat-legot bagaikan ular dan terlebih panjang daripada Tjiakdjie san, malah di puncakpuncaknya yang berundak-undak, masih terdapat jalan yang berputar-putar ke atas seperti rumah
keong. Sering sekali, puncak di sebelah depan kelihatannya dekat, tapi sesudah didekati,
ternyata masih jauh
sekali. Keng Thian adalah seorang yang mempunyai ilmu silat yang tinggi dan
berpengalaman luas
dalam perjalanan di gunung, tapi toh, dalam sehari paling banyak ia bisa
berjalan seratus li lebih
dalam jarak lurus. Untung juga, daerah pegunungan di Soetjoan mempunyai
pemandangan yang
sangat indah. Sebagaimana diketahui, gunung Gobie san tersohor sebagai "Keindahan istimewa di
kolong langit." Dari Palong san, semakin ke selatan, pemandangan alam semakin indah
permai, sehingga
seorang pelancong dapat berjalan tanpa merasa jemu.
Di gunung itu sangat sedikit jumlah penduduknya, sehingga sering-sering seorang
pelancong tidak bisa mendapat tempat bermalam. Malam itu, Keng Thian tak menemukan rumah
orang dan ia sudah bersiap-siap untuk mengasoh di salah sebuah gua. Tiba-tiba dari sebelah
timur sang rembulan memancarkan sinarnya yang gilang gemilang dan seluruh gunung seperti
juga sedang mandi dalam laut perak. Kegembiraannya terbangun dan ia segera mengambil
keputusan untuk
meneruskan perjalanannya.
Selagi enak berjalan, di sebelah depan mendadak muncul suatu pemandangan luar
biasa, yaitu sekelompok batu-batu raksasa yang seolah-olah hutan batu. Setiap batu, yang
tingginya paling
banyak dua atau tiga puluh tombak, mempunyai bentuk-bentuk aneh dan indah luar
biasa, ada yang berbentuk harimau, singa, beruang atau macan tutul.
Tong Keng Thian adalah seorang yang sudah biasa menjelajah gunung-gunung besar
di daerah Utara barat. Akan tetapi, melihat keangkeran hutan batu itu, tak urung ia merasa
kagum dan heran. Dari jauh, hutan batu itu seakan-akan merupakan sekosol yang menedengi
sinar rembulan.
Akan tetapi, setelah didekati, Keng Thian menemukan suatu pintu gua, terbuat
daripada dua batu
raksasa yang menempel satu pada yang lain. Pintu itu, yang ditembusi sinar
rembulan, hanya
dapat dilewati seorang, sedang di dalamnya terdengar suara mengalirnya air.
Dengan perasaan heran, Keng Thian masuk ke dalam pintu itu. Di balik pintu
tersebut ia melihat sebidang tanah kosong yang penuh dengan pohon-pohon kembang dan di
sekitarnya, terdapat pula batu-batu raksasa dengan pintu-pintu yang beraneka bentuknya. Keng
Thian memilih sebuah terowongan yang paling besar dan merangkak masuk ke dalamnya.
Semakin lama, ia masuk semakin dalam dan selagi enak merangkak, lapat-lapat kupingnya
menangkap suara manusia. Bukan main herannya Keng Thian. Ia merangkak terus keluar dari terowongan dan
kemudian, dengan menggunakan ilmu Pekhouw kang (Ilmu cicak), ia merayap naik ke atas
sebuah batu raksasa yang tingginya kira-kira dua puluh tombak. Dari atas batu tersebut Keng
Thian memandang ke sebelah bawah. Ia terkesiap berbareng heran.
Di sebelah bawah terdapat sebidang tanah kosong yang merupakan satu selat
gunung, dimana berdiri pula sejumlah besar batu-batu yang lebih kecil, paling tinggi hanya lima
enam tombak. Batu-batu itu menjulang ke atas dan dilihat dari kedudukannya, mereka merupakan
suatu tin (barisan). Dalam barisan batu itu terlihat dua orang, seorang lelaki dan seorang
perempuan, yang
sedang berputar-putar seperti juga tengah mencari jalan keluar.
Jarak antara mereka dan pintu "hidup" tersebut sangat dekat, tapi sesudah
berputar-putar mereka tetap tidak dapat keluar.
Tong Keng Thian adalah seorang yang berpengetahuan luas, bukan saja tinggi ilmu
silatnya, tapi ia juga mengenal ilmu Patkwa tin (Barisan Patkwa). Ketika itu, dari sebelah
atas, ia memandang ke bawah dan tidak lama kemudian, ia sudah mengetahui, bahwa hutan
batu itu yang muncul di atas bumi secara wajar, mempunyai kedudukan seperti Pattintouw
susunan Tjoekat Boehouw (Tjoekat Liang, panglima besar kerajaan Han pada jaman Sam Kok).
Barisan batu itu mempunyai delapan pintu dan seorang yang sudah masuk, tak akan bisa
keluar lagi jika ia
tidak dapat mencari "Pintu Hidup."
Kedua orang itu mempunyai ilmu silat yang tidak rendah. Berulang kali mereka
meloncat setombak lebih dan memeluk salah sebuah pilar batu. Akan tetapi, oleh karena
licinnya pilar tersebut, mereka selalu tidak berhasil memanjat ke atas. Dua kali, secara
kebetulan mereka
berhasil mendekati "Pintu Hidup," tapi dua-dua kalinya, mereka dipukul mundur
dengan timpukan
batu yang tepat sekali. Keng Thian kaget. Ia menduga, bahwa dalam hutan batu itu
mesti bersembunyi seorang yang berkepandaian tinggi.
Lelaki dan perempuan itu agaknya juga. sudah mempunyai dugaan yang sama. "Memang
tidak pantas sekali Boanpwee (orang yang tingkatannya lebih rendah) sembarangan masuk
disini," seru
yang lelaki. "Aku mohon majikan dari tempat ini sudi memaafkan."
Keng Thian terkejut, karena suara itu agaknya tidak asing baginya. Selagi
mengingat-ingat,
mendadak terdengar teriakan "Aya!" yang nyaring, seperti suara anak tanggung.
Keng Thian jadi semakin heran. Sekonyong-konyong, dari
belakang segundukan batu yang terletak beberapa tombak jauhnya dari tin itu,
muncul seorang anak tanggung yang berusia kira-kira lima belas tahun.
"Apa Siauw Loosoe?" seru anak itu.
"Benar, aku Siauw Tjeng Hong," sahut orang laki-laki itu dengan suara
kegirangan. "Apakah
kau Kang Lam?"
Bukan main tercengangnya Keng Thian. Di Tibet, ia pernah bertemu sekali dengan
Siauw Tjeng Hong. Waktu itu, Siauw Tjeng Hong berbadan kurus kering, mukanya pucat kuning
dan sikapnya seperti seorang sasterawan tua. Tapi sekarang, walaupun tak dapat dilihat tegas,
tapi dengan bantuan sinar rembulan, Keng Thian melihat ia sebagai seorang yang bersemangat
dan berparas

Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

angker, sedang usianya seperti juga sepuluh tahun lebih muda daripada kira-kira
setahun yang lampau. "Tak heran jika tadi aku tidak mengenali ia," kata Keng Thian di dalam hatinya.
Ia tentu saja tidak mengetahui, bahwa perubahan itu sudah terjadi karena Siauw Tjeng Hong
sudah makan buah Yoetam Sianhoa, hadiah Thiekoay sian.
Sembari berlompat-lompatan dan tertawa-tawa di depan barisan batu itu, Kang Lam
berkata: "Ah! Benar-benar Siauw Loosoe! Jika kau tidak bersuara lebih dulu, aku tentu
tidak berani memanggil. Kenapa kau tidak bongkok lagi" Kerut-kerutan di atas mukamu juga
tidak kelihatan
lagi. Ha-ha! Siapa nyonya itu" Apa Siauw Soenio" Ah! Siauw Loosoe! Beruntung
benar kau! Kang
Lam harus memberi selamat dengan secangkir arak. Eh, Siauw Soenio! Apa Siauw
Loosoe pernah menyebutkan namaku, si Kang Lam"'
Demikianlah Kang Lam yang sekali berbicara lantas saja seperti petasan disulut.
Wanita itu tertawa seraya berkata: "Masakan ia tak pernah menyebutkan nama besar
Kang Lam yang kesohor" Bukankah kau menjadi kacung Tan Kongtjoe yang paling suka bicara?"
Lagi-lagi Keng Thian merasa heran. Dari mana kacung Thian Oe ini belajar silat"
Dilihat dari gerak-gerakannya, ilmu anak itu berbeda dengan ilmu Thian Oe.
"Eh," kata Siauw Tjeng Hong. "Sekarang jangan membicarakan yang tak penting.
Lebih dulu aku minta kau melepaskan kami."
"Mana aku mampu?" kata Kang Lam dengan suara jengkel.
"Kenapa tidak bisa?" tanya pula Siauw Tjeng Hong.
"Apakah kau sendiri tidak mengerti seluk-beluk barisan ini yang sangat aneh?"
Kang Lam balas menanya. "Kenapa tadi kau menimpuk dengan batu?" tanya lagi Siauw Tjeng Hong.
"Aku tak tahu, yang ditimpuk adalah kau," sahutnya.
"Oh, kalau lain orang, kau rasa boleh menimpuk sembarangan?" tanya Siauw Tjeng
Hong. "Kang Lam, kau tidak kecil lagi. Kenapa masih begitu nakal?"
"Ada orang yang menyuruh aku berbuat begitu," anak itu menerangkan.
"Siapa?" tanya Siauw Tjeng Hong.
"Guruku," jawabnya. "Eh, salah! Tua bangka itu yang memaksa aku mengangkat ia
sebagai guruku." "Tua bangka siapa?" tanya Siauw Tjeng Hong. "Sudah berapa lama kau belajar
silat" Mana
Thian Oe" Ia memperlakukan kau sebagai saudara sendiri, kenapa kau mabur dengan
diam-diam dan mengangkat orang lain sebagai gurumu" Sudah berapa lama kau kabur?"
" "Siapa kata aku mabur diam-diam?" teriak Kang Lam. "Dusta besar jika dikatakan
aku kesudian mengangkat orang lain sebagai guru. Kongtjoe yang menyuruh aku. Kau tak
tahu suatu apa, kenapa sudah mengatakan yang tidak-tidak?"
Wanita itu tertawa dan berkata: "Dia tidak sabaran, kau pun begitu juga. Tjeng
Hong! Kau harus menanya satu demi satu. Jika kau majukan pertanyaan seperti hujan, mana
bisa mendapat jawaban beres."
"Benar," kata Siauw Tjeng Hong sembari mesem. "Aku melupakan adat Kang Lam yang
seperti api. Baiklah. Sekarang pertanyaan pertama: Kenapa Tan Kongtjoe menyuruh kau
pergi ke lain tempat?" "Tan Kongtjoe?" kata Kang Lam. "Bukan! Looya (majikan tua) yang menyuruh aku
mengantarkan sepucuk surat kepada Tjioe Taydjin. Surat apa" Tentu saja ia tidak
memberitahukan. Ha! Tapi aku tahu. Tjioe Taydjin adalah besannya. Aku mendapat
tahu dari seorang budak perempuan, Tjay Hong namanya. Dialah yang memberitahukan kepadaku.
Aku malah tahu apa yang ditulis. Eh, Siauw Loosoe! Apakah kau tahu, kenapa aku
diberi nama Kang
Lam" Looya memberikan nama itu kepadaku lantaran ia selalu ingat akan kampung
kelahirannya, di daerah Kanglam. Aku sendiri merasa betah hidup di Tibet, tapi Looya sangat
tidak betah. Ia
selalu ingin pulang ke kampungnya. Suatu malam, aku telah mencuri mendengarkan
pembicaraan antara Looya dan Kongtjoe. Looya mengatakan, bahwa dengan menjadi utusan
istimewa untuk menyambut guci emas, ia sudah berjasa besar, tapi sungguh sayang, Hok Taydjinhm! Hok Kong An-tak sudi membantu ia.
Sebaliknya, dia malah memerintahkan Looya kembali ke Sakya untuk menjabat pula
pangkat Soanwiesoe."
"Oleh sebab itu, Looya segera mengambil keputusan untuk menulis surat kepada
besannya, dengan pengharapan Tjioe Taydjin suka memberitahukan Hongsiang (kaisar) tentang
jasa-jasanya dan memohon agar Hongsiang sudi membebaskan ia. Tapi, kata Looya, perjalanan
begitu jauh, siapa yang dapat dipercayakan membawa surat itu" Ha! Siauw Loosoe. Coba tebak,
siapa yang dipujikan oleh Siauwya (majikan muda)" Bukan lain daripada aku sendiri! Kata
Siauwya: Orang yang paling tepat adalah Kang Lam. Nah, lihatlah! Semua orang mengatakan aku
rewel, banyak mulut, tak mampu bekerja! Tapi, Siauwya" Siauwya memandang tinggi padaku! Maka
itu, jika tadi aku mengatakan, bahwa aku disuruh oleh Siauwya, aku pun tidak bicara salah!"
Begitulah keterangan Kang Lam yang panjang lebar dan banyak bumbunya. Mendengar
itu, Keng Thian pun merasa geli dan berkata di dalam hatinya: "Tak salah jika orang
mengatakan, Kang Lam suka benar bicara!"
Siauw Tjeng Hong tertawa terbahak-bahak. "Siauwya sungguh memandang tinggi
dirimu, sehingga ia sudah menurunkan ilmu silat kepadamu," katanya.
"Bukankah begitu?"
"Benar, tepat sekali dugaanmu, jawabnya. "Pada musim semi tahun yang lalu,
sesudah beberapa pencuri kuda itu membakar kantoran dan sesudah kau kabur, baru aku
mengetahui, bahwa Siauw Loosoe mempunyai ilmu silat yang sangat tinggi dan bahwa Kongtjoe
pun memiliki ilmu yang tidak rendah. Waktu itu, aku sudah lantas memohon supaya Kongtjoe sudi
menurunkan ilmunya kepadaku. Tapi, oleh karena ingin menghindari kawin paksaan dan juga
ingin mengantar
kau, maka Kongtjoe tidak dapat meluluskan permintaanku. Belakangan, sesudah
kembali dari Lhasa, baru ia mengajarkan aku beberapa macam ilmu silat yang kasar. Siauw
Loosoe! Coba kau
pikir: Jika aku tak mempunyai bekal, bagaimana Kongtjoe mau memujikan diriku
untuk membawa surat yang begitu penting?"
"Jika kau tahu pentingnya surat itu, kenapa juga kau main lambat-lambatan
disini?" tanya
Siauw Tjeng Hong lagi sembari menahan tertawa. "Dan kenapa kau membiarkan dirimu
dijadikan murid tua bangka itu?"
"Siapa mengatakan aku main lambat-lambatan disini?" teriak Kang Lam dengan suara
mendongkol. "Pengalamanku tiada bedanya dengan kau, Siauw
Loosoe! Aku lewat disini, hatiku heran, aku masuk untuk melihat-lihat. Dan kau
tahu, seperti kau, begitu masuk aku tak bisa keluar."
Muka Siauw Tjeng Hong jadi berubah merah. "Baiklah," katanya. "Aku tidak
mempersalahkan kau. Tapi kemudian, bagaimana kau dapat keluar?"
"Lama juga aku terkurung dalam barisan ini," Kang Lam menerangkan. "Aku jalan
terputarputar, perutku lapar dan aku mencaci maki sekeras-kerasnya. Ha! Baru aku memaki, sudah
ada yang datang."
"Apakah tua bangka itu?" tanya Siauw Tjeng Hong.
"Tak salah," sahutnya. "Selagi aku enak memaki, dengan sekali berkelebat, si tua
yang mengenakan jubah pertapaan kuning, sudah berdiri di hadapanku. Tak tahu, dari
mana datangnya. Katanya: Hei, anak muda! Kalau kau mau menjadi muridku, aku akan
mengeluarkan kau dari tempat ini."
"Dan kau lantas menerima tawaran itu?" tanya Siauw Tjeng Hong.
"Menolak pun tak ada gunanya," jawab si kacung. "Sehari suntuk aku sudah
terkurung dalam
barisan batu ini, lebih lama daripada kau. Apakah boleh tak usah makan" Biarpun
hatiku tak kesudian, mulutku lantas saja menyanggupi. Si tua tertawa girang. Dengan
menuntun tanganku,
ia berjalan bulak-balik dan entah bagaimana, tahu-tahu aku sudah berada di luar.
Kataku: Maaf, Lootjianpwee. Jika kau memerlukan murid, carilah saja yang lain. Aku sendiri
perlu buru-buru
meneruskan perjalanan. Tua bangka itu lantas saja berkata: Anak kecil! Kau
sungguh tak tahu diri.
Lain orang memohon-mohon berlutut di hadapanku tiga hari tiga malam, belum tentu
aku sudi mengambil dia sebagai murid. Apakah kau tahu, kenapa aku mau menerima kau
sebagai murid"
Aku sudah bersumpah, bahwa sebelum mati, aku akan mengambil seorang murid untuk
mewarisi Seantero kepandaianku. Tapi aku pun tak sudi keluar dari selat ini. Aku menunggu
sampai orang datang. Asal dia belum berusia delapan belas tahun, aku akan mengambilnya
sebagai murid. Bukankah kau beruntung sekali" Aku lantas menjawab, bahwa aku tak sudi menerima
keberuntungan itu lalu memutarkan badan untuk berjalan pergi. Si tua bangka
lantas saja berkata
sembari tertawa: Biarpun mempunyai kepandaian seratus kali lipat lebih tinggi,
kau tak akan bisa
kabur. Cobalah! Aku tak meladeni dan berjalan terus. Mendadak, kedua dengkulku
kesemutan dan di luar keinginanku, aku jungkir balik tiga kali sampai berhadapan pula dengan
si tua bangka. Begitu berhenti jumpalitan, rasa kesemutan di dengkulku lantas saja menjadi
hilang. Si tua berkata
lagi: Bocah! Jika kau mabur untuk kedua kalinya, seluruh badanmu akan kegatalan
dan kesakitan tiga hari tiga malam lamanya. Kalau kau berani mabur untuk ketiga kali, akan
kumampuskan kau!
Suaranya tenang, agaknya jiwa manusia seperti jiwa kacoa di matanya. Sorot
matanya sungguh
hebat. Aku menjadi ketakutan. Aku memberitahukan kepadanya, bahwa Siauwya-ku
menyuruh aku mengantarkan surat. Ia tidak meladeni dan kukuh pada kemauannya.
Demikianlah, aku tak
dapat berbuat lain daripada menerima nasib menjadi muridnya."
"Sudah berapa lama kau mengikuti dia?" tanya Siauw Tjeng Hong.
"Baru tujuh hari," jawab Kang Lam sesudah menekuk jerijinya.
"Dusta! Lagi-lagi kau membohong!" membentak Siauw Tjeng Hong.
"Lagi kapan aku berdusta"' tanya Kang Lam dengan suara keras.
"Tujuh hari?" Siauw Tjeng Hong menegaskan dengan suara tidak percaya. "Dalam
tujuh hari bagaimana kau mampu mempelajari ilmu menimpuk jalan darah?"
"Ah!" seru Kang Lam. "Apakah itu ilmu menimpuk jalan darah dengan senjata
rahasia" Tadinya
aku menduga ia hanya mengajarkan permainan anak-anak belaka."
Keng Thian tercengang. Jika benar dalam tempo tujuh hari ia bisa mengajar
menimpuk jalan darah dengan batu, kepandaian orang tua itu sungguh-sungguh tak dapat ditaksir
bagaimana dalamnya. "Apa si tua sudah mengetahui kedatangan kami dan menyuruh kau menunggu disini
untuk menimpuk dengan batu?" tanya Siauw Tjeng Hong.
"Mungkin," jawabnya.
"Semalam dia berkata begini kepadaku: Ada dua orang yang telah masuk ke dalam
selat ini. Sesudah mempunyai murid, aku tak suka orang luar datang kemari. "Hantamlah
mereka dengan batu, tapi jangan menimpuk sembarangan. Timpuklah sesudah mereka memutar dua
kali ke sebelah kiri, dua kali ke sebelah kanan dan mendekati pintu keluar. Siauw
Loosoe! Aku tak tahu,
kedua orang itu adalah kalian. Aku menganggap senang juga bisa bermain-main dan
Kaki Tiga Menjangan 3 Pendekar Gila 36 Balada Di Karang Sewu Dendam Empu Bharada 37

Cari Blog Ini