Ceritasilat Novel Online

Bidadari Dari Sungai Es 6

Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen Bagian 6


beratnya tugas, ia lantas menerima tanpa rewel lagi.
"Jika Tan Kongtjoe mempunyai sahabat, aku pun ingin minta bantuannya," kata
Liong Leng Kiauw, Thian Oe tahu, bahwa sahabat yang dimaksudkan adalah Yoe Peng. Ingat Yoe
Peng, ia jadi ingat Pengtjoan Thianlie dan hatinya lantas jadi bergoncang. Ia ingat, bahwa
Thiekoay sian telah
membujuk supaya Pengtjoan Thianlie bantu merampas guci itu, sedang si pemuda
baju putih minta ia melindunginya, tapi kedua usul itu sudah ditolak secara mentah-mentah.
Apa yang mengherankan, kenapa sekarang ia curi rencananya Liong Sam" Apa ia niat merampas
guci emas itu" Kalau benar, bagaimanakah baiknya" Dan sikap apa yang akan diambil oleh Yoe
Peng" Itulah
ada pertanyaan-pertanyaan yang mengaduk dalam otaknya Thian Oe. Akan tetapi, ia
tidak dapat berbuat lain, oleh karena ayahnya sudah terima perbaik tugas tersebut.
Sesudah beres berunding dan minum teh, Teng Kie lantas pamitan dan pulang
bersama-sama puteranya. "Urusan ini benar-benar di luar dugaan," katanya kepada sang putera.
"Sedari tiba di
Lhasa, berulang kali aku telah ajukan permohonan kepada Hok Tayswee supaya ia
bikin betul kantor Soanwiesoe yang rusak dan tambah penjagaan. Kalau tak diluluskan, aku
minta ia bebaskan saja tugasku dan kirim aku pulang ke kampung kita. Tapi ia tidak mau
pecat padaku dan
juga sungkan luluskan permohonan yang pertama. Dengan begitu, bulan lewat bulan,
aku tetap luntang-lantung dan makan gaji buta. Aku sungguh merasa tidak betah, tapi siapa
nyana hari ini aku mendapat tugas yang begitu berat."
"Yah, sesudah kita menerima, jalan satu-satunya adalah coba menunaikan tugas itu
sebaik bisa," kata sang putera. "Dan bagaimana dengan keadaan di Sakya?"
"Aku dengar, sesudah aku meninggalkan Sakya, Touwsoe semakin pentang
pengaruhnya, sebab sudah tidak ada orang yang menjadi rintangan," jawab Teng Kie. "Cuma saja,
ia kelihatannya tak dapat melupakan kau. Bulan yang lalu, ia malahan kirim orang
buat menanyakan
keadaanmu." Thian Oe jadi ingat cara bagaimana ia mau dipaksa menikah dengan
puterinya Touwsoe itu, sehingga tanpa merasa, ia jadi tertawa getir.
Rumah yang disewa oleh Tan Teng Kie cuma terpisah dua jalanan dengan gedung Hok
Tayswee. Rumah itu adalah rumah penduduk biasa yang sangat sederhana, dan oleh
karena Teng Kie kempes kantongnya, ia cuma ambil seorang pelayan buat bantu mengurus
rumahnya. Perabotan rumah juga sangat sederhana dan berbeda jauh dengan kemewahan kantor
Soanwiesoe. Baru saja mereka masuk ke dalam mereka lihat seorang wanita muda
yang berdiri di
tengah ruangan sembari tertawa. Wanita itu adalah Yoe Peng!
Tan Teng Kie terkesiap, sedang puteranya lantas buru-buru berkata: "Nona ini
adalah kawanku yang datang bersama-sama ke Lhasa. Eh, bagaimana kau bisa datang kesini?"
"Lantaran tak sabaran menunggu di rumahnya keluarga Liong, aku tanyakan dimana
letaknya rumahmu dan lantas pergi cari sendiri," menerangkan Yoe Peng. "Apa orang tua ini
ayahmu?" Sesudah berkata begitu, ia segera memberi hormat menurut adat istiadat bangsa
Han. Teng Kie lihat gadis itu berparas cantik dan sikapnya gagah, sehingga jika dibandingkan
dengan puterinya
Touwsoe, ia menang beberapa kali lipat. "Kalau dipasangi dengan Thian Oe memang
pantas sekali, cuma gerak-geriknya terlalu luar biasa," kata Teng Kie dalam hatinya.
Melihat ayahnya mengawasi dengan mata mendelong, Thian Oe jadi tertawa dan
berkata: "Ayah, dia adalah satu bidadari!"
"Foei! Jangan omong kosong!" membentak Yoe Peng sembari monyongkan mulutnya.
Melihat lagak orang yang masih kekanak-kanakan, Teng Kie jadi tertawa lebar. "Memang
juga seperti bidadari!" katanya.
"Ah, Looyatjoe (panggilan menghormat terhadap orang tua) juga suka guyon-guyon!"
kata Yoe Peng. "Ayah, memang benar ia adalah satu bidadari, kalau tak percaya, dengarlah
ceritaku," kata
sang putera yang lantas saja tuturkan segala pengalamannya dalam keraton es
selama beberapa
bulan. Teng Kie mendengari dengan mulut ternganga dan hampir-hampir tidak mau
percaya cerita itu yang seperti cerita dongeng.
Mulai waktu itu, Yoe Peng berdiam di rumahnya Teng Kie dan bersama Thian Oe,
diam-diam ia coba cari keterangan tentang halnya Pengtjoan Thianlie, tapi sebegitu jauh,
uasaha itu tidak
berhasil. Tanpa terasa musim dingin sudah hampir lewat dan tempo yang ditetapkan
buat menyambut guci emas sudah hampir tiba.
Menurut rencana, Liong Leng Kiauw, Thian Oe dan Yoe Peng berangkat satu hari
lebih dahulu buat membuka jalan. Sebelum berangkat, pemuda itu beritahukan kekuatirannya
kalau-kalau Pengtjoan Thianlie benar niat merampas guci itu, kepada Yoe Peng. "Kalau benar
Kongtjoe datang, aku pasti berdiri di pihaknya," kata Yoe Peng. "Jika ia mau merampas
guci itu, aku tentu
akan membantu. Manakala sampai kejadian begitu, kau buru-buru kabur dan aku
berjanji tidak akan menyerang dirimu." Mendengar jawaban orang, hatinya Thian Oe jadi lebih
kesal. Liong Leng Kiauw pilih tiga ekor kuda Tibet yang paling baik buat dijadikan
tunggangan dan mereka berangkat pada Capdjiegwee Tjapgo (bulan dua belas tanggal lima belas),
supaya dapat bertemu dengan rombongan yang mengantar guci itu di mulutnya gunung Tantat san
pada tangal dua puluh tiga. Jalanan gunung luar biasa sukarnya dengan jurang-jurang yang
berbahaya dan pegunungan itu dikenal sebagai tempat keluar masuknya kawanan kecu.
Dalam perjalanan, Liong Leng Kiauw dan Thian Oe merasa cocok sekali, tapi Yoe
Peng selalu mengambil sikap tawar. Berhubung dengan musim dingin, jalanan tertutup salju,
dan perjalanan jadi terlebih sukar lagi. Masih untung, ilmu silatnya Thian Oe sudah maju
banyak, sehingga ia
dapat menahan segala penderitaan dengan tidak banyak susah.
Di sepanjang jalan Liong Sam berlaku sangat hati-hati, dan ditambah sama
sukarnya jalanan
gunung, mereka maju lambat sekali. Sesudah berjalan tujuh hari, barulah mereka
dapat lalui kurang lebih empat ratus li. Hari itu, mereka masuklah di dalam daerah
pegunungan Tantat san.
"Sesudah lewati jalanan ini, besok pagi kita akan tiba di mulut gunung dan dapat
persatukan diri
dengan mereka," kata Liong Sam.
"Siapakah yang dikirim buat antar guci itu dari kota raja?" tanya Thian Oe.
"Aku dengar, pimpinan rombongan berada dalam tangannya Raja muda Ho Sek Tjin-ong
dan delapan pengawal utama dari keraton juga datang semuanya," sahut Liong Leng
Kiauw. "Bagaimana kepandaiannya delapan pengawal itu?" tanya Thian Oe.
Liong Leng Kiauw tertawa dan menjawab: "Sudah lama mereka dapat nama besar dan
rasanya kepandaian mereka tidak berada di sebelah bawah kita." Didengar dari lagu
suaranya, Thian Oe
merasa Liong Sam tidak terlalu pandang mata kepada delapan orang itu.
Jalanan di sebelah depan diapit dua puncak gunung dan jalanan gunung lugat-legot
seperti ular. Sesudah lewati satu lembah, mereka lihat tiga penunggang kuda yang jalan
berbaris, semua
berpakaian hitam, sedang tudungnya pun berwarna hitam, sehingga kelihatannya
menyolok sekali
di atas jalanan yang tertutup salju putih. Mendadak, orang yang jalan paling
dahulu menengok ke
belakang dan begitu lihat mukanya, Thian Oe keluarkan satu seruan tertahan,
sebab ia kenali,
orang itu bukan lain daripada Siamkam Tayhiap Bek eng Beng, yang tempo hari ia
ketemu di shigatse. Untung juga, malam ini Thjian Oe tidak munculkan muka, sehingga
sesudah menengok
sekali, Bek Eng Beng tidak perhatikan mereka lagi dan terus teriaki dua kawannya
supaya berjalan
terlebih cepat.
"Yang di sebelah depan adalah Siamkam Tayhiap Bek Eng Beng," kata Thian Oe
dengan suara perlahan. "Kau kenal tidak sedikit orang," kata Liong Sam sembari tertawa. "Walaupun
mendapat julukan
Siamkam Tayhiap, Bek Eng Beng tidak seberapa liehay. Dua kawannya yang jalan
belakangan banyak lebih tinggi kepandaiannya."
"Siapa mereka?" tanya Thian Oe.
"Dilihat dari bebokongnya, mereka agaknya seperti dua jagoan dari Tjionglam pay,
yaitu Boesie Hengtee (dua saudara she Boe)," sahut Liong Sam. Boe-sie Hengtee adalah
turunannya Tayhiap Boe Goan Eng yang hidup pada jamannya Kaizar Soentie dan keluarga Boe
biasanya hidup mengumpat dalam pegunungan Tjionglam san, tapi tak dinyana, sekarang kedua
jagonya berada di Tibet.
Di sebelah depan adalah jalanan sempit yang bulak-biluk seperti usus kambing dan
diapit oleh dua puncak gunung. Mendadak terdengar suara kelenengan kuda dan seekor kuda Arab
yang tinggi besar kelihatan mendatangi, dengan seorang penunggangnya yang memakai
jubah pertapaan warna merah. Hampir berbareng Thian Oe dan Yoe Peng keluarkan teriakan
tertahan. "Ah, dia!" berseru mereka. Orang itu bukan lain daripada Hoantjeng jubah merah
yang pernah dua
kali menyatroni keraton es dan binasakan Thiekoay sian! Thian Oe merasa heran
sekali, sebab, ketika mau lepaskan napasnya yang penghabisan, Thiekoay sian bilang, bahwa
paderi itu telah
mendapat luka berat dan harus berlatih lagi dari tiga sampai lima tahun buat
dapat pulang tenaganya. Tapi baru saja berselang empat bulan, ia kelihatannya sudah sama
gagahnya seperti
sebelum mendapat luka.
Sembari membentak keras, paderi itu kaburkan kudanya. Bek Eng Beng tidak keburu
menyingkir dan hampir-hampir saja ia jatuh terguling. Dengan sangat gusar,
Siamkam Tayhiap
angkat tangannya dan hantam kepalanya kuda itu. Bagaikan kilat, si paderi
gerakkan tangannya,
sedang badannya Bek Eng Beng kelihatan ngapung ke tengah udara. Hampir pada
detik yang bersamaan, kedua saudara Boe loncat dari tunggangannya dan dua pasang tangan
menyambar dengan berbareng. Paderi itu keluarkan teriakan keras dan jatuh terguling dari
kudanya. "Binatang tak kenal aturan!" kedua saudara Boe membentak. Mereka bergerak dengan
berbareng, yang satu menendang dengan kaki kirinya, sedang yang lain menyepak
sama kaki kanannya. Si paderi buru-buru putar badannya buat sambut kedua serangan yang
hebat itu. Mendadak kuda Arab itu berbenger keras. Ternyata lantaran kaget, bintang itu
terpeleset dan jatuh menggelinding ke bawah tanjakan. Di sebelah bawah tanjakan terdapat jurang
yang dalamnya ratusan tombak, sehingga kalau dia sampai jatuh kesitu, badannya tentu
akan hancur lebur. Si paderi terkesiap dan terlalu gugup buat bisa menolong tunggangannya.
Tiba-tiba badannya kedua saudara Boe melesat ke bawah seperti anak panah. Yang satu
tangkap kaki belakang kanan, sedang yang lain cekal kaki belakang kirinya sang kuda, dan
kemudian, sembari
kerahkan tenaga dalamnya, dengan berbareng mereka lemparkan kuda itu ke atas!
Tenaga yang dikeluarkan tidak kebanyakan atau kesedikitan dan kuda itu hinggap di atas tanah
tanpa mendapat luka! Sesudah lihat kepandaian orang yang istimewa itu, si paderi tidak
berani banyak tingkah lagi. Tanpa keluarkan sepatah kata, ia hampiri kudanya. Ketika itu, Bek
Eng Beng juga sudah duduk di atas sela, dan selagi ia mau menghalangi si paderi, Boe-sie
Hengtee mencegah
dengan berkata: "Bek Toako, biarkan manusia itu berlalu." Bek Eng Beng tundukkan
kepalanya dan berbareng dengan berkesiurnya angin, badannya si paderi sudah melesat di
atasan kepalanya
dan hinggap di atas punggung kuda.
Liong Leng Kiauw tertawa dan berkata: "Hoantjeng itu cukup liehay. Kalau satu
lawan satu, Boe-sie Hengtee tentu tidak bisa gampang-gampang dapat kemenangan." Melihat
musuh besar yang sudah binasakan gurunya, Thian Oe jadi merah matanya. Si paderi pun
kelihatannya kaget
ketika dapat lihat Thian Oe bersama Yoe Peng dan lantas keprak kudanya. Thian Oe
cabut pedangnya yang lantas diputar buat sambut kedatangan musuh.
Mendadak kedengaran bentakan Liong Leng Kiauw dalam bahasa Nepal: "Bangsat
gundul

Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

minggir!" Thian Oe cepat, tapi tangannya Liong Sam terlebih cepat lagi. Dengan
gerakan menuntun kambing, ia angkat si paderi dari atas kuda dan terus dilemparkan ke
belakang, sedang
sang kuda lari terus. Ilmunya paderi itu sesungguhnya tinggi sekali. Selagi
badannya berada di
tengah udara, dengan gerakan Leehie hoansin (Ikan Leehie balik badan), ia
hinggap dengan selamat di atas punggung kudanya yang sedang lari keras! Cuma saja, lantaran
sudah beruntun dua kali kena tubruk tembok, semangatnya jadi merosot dan ia cuma menengok ke
belakang dan awasi Liong Leng Kiauw dengan sorot mata gusar.
Liong Sam tak ladeni dia dan perintah Thian Oe berjalan terus. "Permusuhan
apakah terdapat
antara kau dan Hoantjeng itu?" tanya Liong Sam.
"Ia binasakan guruku," jawab Thian Oe.
Liong Sam heran mendengar pengakuan itu. Benar si pendeta ada terlebih liehay
daripada Thian Oe, tapi keunggulan itu cuma terletak kepada tenaga dalam yang hanya bisa
didapat dengan latihan lama. Jika dilihat ilmu silatnya Thian Oe yang mempunyai pukulanpukulan sangat aneh, gurunya tentu adalah seorang ahli silat kelas satu dalam Rimba Persilatan.
Tapi kenapa ia kena dibinasakan oleh paderi tersebut" Ia heran, tapi tidak mau menanya pula,
sebab bukan temponya buat bicara panjang-panjang. "Sekarang bukan waktunya membalas sakit
hati," kata ia.
"Hayolah kita jalan terus."
Thian Oe tidak membantah dan mereka lalu teruskan perjalanan. Ketika itu, Bek
Eng Beng bertiga sudah lewati lembah gunung. Kedua saudara Boe menoleh ke belakang dan
dari sikapnya, ternyata mereka juga sedang dihinggapi perasaan heran.
"Ikuti tiga penunggang kuda itu, cuma jangan terlalu dekat," kata Liong Leng
Kiauw. "Liong Sianseng, ilmu apa yang barusan kau gunakan?" tanya Thian Oe.
Liong Sam tertawa dan menyahut: "Pukulan Soentjhioe kianyo (pukulan menuntun
kambing) yang sanggat sederhana. Kesalahan paderi itu ialah dia terlalu tidak pandang
mata kepada kita
dan menerjang tanpa bikin persediaan. Maka itulah, dengan meminjam tenaganya
sendiri, sekali
gentak saja aku sudah berhasil keja dia jungkir balik." Liong Sam bicara secara
merendah sekali,
akan tetapi, Thian Oe mengetahui, bahwa ia mempunyai kepandaian yang sukar
diukur bagaimana
tingginya, lantaran dengan pukulan yang begitu sederhana, ia sudah bisa robohkan
satu musuh yang begitu liehay. Dengan demikian, Thian Oe jadi lebih-lebih kagumi orang
pandai itu. Sesudah berjalan beberapa lama, tiba-tiba terdengar pula suara kelenengan kuda.
Mereka menengok dan lihat si paderi jubah merah balik lagi dan sedang mengikuti dari
sebelah kejauhan.
"Paderi itu adalah Guru Negara dari Nepal dan dia bermaksud buat merampas guci
emas itu,"
kata Thian Oe. "Jangan perdulikan padanya," kata Liong Sam. "Kepandaiannya belum cukup buat
bikin kita berkuatir. Di sebelah depan mungkin sekali bakal muncul lain-lain orang yang
lebih liehay dan kita
harus sangat berhati-hati."
Sesudah lewati lagi beberapa lembah, tiga penunggang kuda yang jalan di depan
mendadak tahan tunggangannya. Liong Sam lantas beri tanda supaya Thian Oe dan Yoe Peng
pun tahan kuda mereka dan mengawasi gerak-gerik ketiga orang itu dari jarak belasan tombak
jauhnya. Mereka lihat, di mulutnya lembah, bersender pada satu batu besar terdapat
seorang paderi kurus kering yang mukanya hitam dan berpakaian seperti paderi berkelana dari
India. Di atas tanah terdapat satu paso pecah dan sebatang tongkat bambu, sedang si paderi
sendiri lagi angsurkan kedua tangannya seperti juga lagi minta sedekah.
Bek Eng Beng dan Boe-sie Hengtee saling awasi. "Kasihlah," kata Boe Lootoa
(saudara she Boe
yang lebih tua). Bek Tayhiap keluarkan sepotong perak yang lantas dilemparkan ke
dalam paso. Paderi itu menggerendeng dan mendadak lonjorkan tangannya buat usap kepalanya
Bek Eng Beng. Bek Tayhiap yang tidak kenal kebiasaan "memberi berkah" dari paderi India,
buru-buru mengkeretkan lehernya dan tangannya si paderi jadi kena usap pundaknya. Bek Eng
Beng terkesiap lantaran rasakan pundaknya seperti kena arus listrik dan ia loncat
setombak lebih tingginya sembari berteriak: "Ilmu iblis! Ilmu iblis!"
"Kami juga mau memberi sedekah," kata kedua saudara Boe sembari keluarkan seraup
perak hancur yang lantas dilemparkan ke arah paderi itu. Dengan sikap tenang, si
paderi kebas kedua
tangan bajunya dan semua perak itu masuk ke dalamnya, dan kemudian, dengan
miringkan tangan bajunya, ia tuang semua perak kedalam paso.
Kedua saudara Boe barusan menimpuk dengan ilmu Thianlie Sanhoa (bidadari
menyebar kembang), yaitu serupa ilmu menimpuk senjata rahasia yang sangat tinggi. Dengan
disertai tenaga dalam, perak hancur itu ada lebih liehay daripada puluhan piauw. Tapi si
paderi dapat menyambut dengan begitu gampang, sehingga kedua saudara Boe jadi kaget sekali.
Paderi itu lalu menghampiri dengan perlahan sembari angsurkan kedua tangannya
buat "memberi berkah". "Tak usah banyak peradatan," berkata Boe-sie Hengtee sembari
menangkis dengan gerakan tangan Toalek Kimkong.
Begitu kebentrok, kedua saudara Boe rasakan tangannya seperti memukul kapas
sehingga mereka jadi terkejut. Mendadak semacam tenaga yang sangat besar mendorong
mereka. Buruburu
mereka tarik pulang tenaga yang sudah dikeluarkan dan-berbareng loncat mundur
setombak lebih. Mereka jalankan pernapasannya dan mengetahui tidak sampai mendapat luka.
Mereka lantas saja cemplak kudanya dan berlalu tanpa menengok lagi.
Sembari menuntun kuda, Liong Leng Kiauw menghampiri. Paderi itu kembali
keluarkan beberapa patah perkataan yang tak dapat dimengerti dan angsurkan kedua
tangannya. Liong Sam
segera keluarkan seraup perak hancur, dan seperti caranya Boe-sie Hengtee, ia
lemparkan ke arah
sang paderi. Thian Oe dan Yoe Peng merasa heran, lantaran, sesudah ada contohnya
Boe-sie Hengtee, Liong Sam masih juga mau menggunakan gerakan Thianlie Sanhoa waktu
melemparkan peraknya. Si paderi lalu kebas tangan bajunya, dan seperti tadi, semua perak
lantas masuk ke
dalamnya. Mendadak terdengar suara "bret" dan baju paderinya robek sedikit,
sedang sebagian
perak moncor keluar.
Si paderi tertawa terbahak-bahak. "Bagus! Sungguh bagus!" Ia berseru sembari
acungkan jempol tangannya. Ia pentang telapakan tangannya yang lantas turun perlahanlahan buat "memberi berkah".
Barusan Liong Leng Kiauw telah gunakan ilmu melepaskan senjata rahasia yang
istimewa sekali. Ia timpukkan seraup perak hancur itu dengan sekali timpuk, akan tetapi,
setiap keping menyambar dengan tenaga yang berlainan beratnya. Selainnya itu, pada sebelum
menimpuk, lebih
dahulu ia pencet sekeping perak dengan dua jarinya, sehingga kepingan perak itu
menjadi gepeng seperti Kimtjhie piauw (piauw uang tembaga) dan sangat tajam. Itulah sebabnya,
kenapa kepingan itu dapat merobek bajunya si paderi. Tentu saja Thian Oe tak dapat
lihat itu semua,
sedang si paderi sendiri jadi sangat terkejut.
Melihat tangan orang yang turun perlahan-lahan, Liong Leng Kiauw segera angkat
tangannya buat menangkis sembari berkata dengan tertawa: "Jangan! Aku tak berani terima!"
Begitu kebentrok, mereka sama-sama rasakan seperti dilanggar arus listrik dan keduaduanya mundur beberapa tindak. Liong Sam balas memberi hormat dan lantas teriaki supaya Thian
Oe dan Yoe Peng buru-buru berangkat. Si paderi lalu punguti perak yang berantakan dan
kembali menyender
di batu besar sembari meramkan kedua matanya, buat tunggu kedatangannya lain
orang. "Orang macam apa adanya paderi itu?" tanya Thian Oe sesudah mereka jalan
beberapa jauh. "Aku cuma harap
kedatangannya disini tidak mempunyai hubungan dengan guci emas," sahut Liong
Sam. "Kepandaian yang barusan diperlihatkan olehnya adalah ilmu Yoga yang tidak kalah
dengan Hianboen lweekang dari Tiongkok. Jika kedatangannya adalah buat mencampuri
urusan guci emas, kita sunguh bakal ketemu lawanan berat." Sesudah mereka lalui dua lembah
gunung, tibatiba
mereka dengar teriakannya si paderi jubah merah. Waktu Liong Sam bertiga menoleh
ke belakang, mereka lihat paderi itu menggemblok di punggung kuda tanpa bisa angkat
kepalanya lagi! "Hoantjeng itu tentulah juga unjuk kegalakannya, sehingga ia dipersen sedikit
berkah," kata
Liong Sam sembari tertawa.
Thian Oe juga turut tertawa dan berkata: "Paderi itu memberi berkah seperti juga
pembesar ujian menguji calonnya. Setiap orang yang lewat tentu mesti diujinya. Ah,
caranya benar aneh
sekali." "Kalau Pengtjoan Thianlie yang lewat disitu, aku rasa dia bakal telan tulang,"
Yoe Peng beri pendapatnya. Liong Sam tidak turut bicara, ia seperti sedang berpikir keras.
Malam itu mereka menginap dalam gunung Tantat san dengan memasang tenda. Pada
esok paginya, ternyata si paderi jubah merah, Bek Eng Beng dan kedua saudara Boe
sudah tidak kelihatan mata hidungnya. Liong Sam menghela napas dan sembari mengawasi keadaan
di seputarnya, ia berkata: "Marilah kita berangkat pada sebelumnya matahari keluar,
supaya bisa tiba
terlebih siang di mulut gunung guna menanti kedatangannya guci emas!"
Baru saja matahari munculkan diri, mereka sudah tiba di mulutnya selat Tantat
san. "Kalian
tunggu disini sebentaran, aku mau lihat-lihat di sebelah depan," kata Liong Sam.
Belum habis perkataannya, dalam selat gunung tiba-tiba terdengar suaranya kaki kuda yang
sangat ramai. "Heran benar!" kata Liong Leng Kiauw dengan suara kaget. "Menurut rencana,
rombongan pengantar guci akan tiba pada waktu tengah hari. Kenapa mereka sudah sampai
begini pagi?"
Sementara itu debu tebal sudah mengebul ke tengah udara dan ribuan kuda dengan
penunggangnya lapat-lapat sudah bisa terlihat. Hatinya Thian Oe berdebar-debar,
ia kuatir timbul
kesulitan yang bisa rembet diri ayahnya dan berbareng harapkan munculnya
Pengtjoan Thianlie.
Selat gunung itu berbentuk seperti terompet, di dalamnya sempit, di luarnya
lebar. Barisan Gielimkoen yang mengawal guci emas itu, terbagi jadi dua pasukan yang keluar
dari mulut selat
secara angker sekali, seperti dua ekor naga. Ribuan bendera seakan-akan menutupi
sinarnya matahari, sedang ribuan kuda dengan para penunggangnya yang berpakaian indah dan
beroman keren, tak hentinya berbenger-benger. Di antara barisan itu terdapat sehelai
bendera kuning yang
berkibar-kibar menurut tiupannya angin dan di belakangnya bendera, tertampak
empat payung sulam warna kuning, yang mendahului empat ekor kuda bulu putih. Sekali lihat
saja, orang akan
mengetahui, bahwa salah satu dari empat kuda itu menggendol guci emas di
bebokongnya. "Utusan istimewa belum datang, apakah kita boleh menyambut lebih dahulu?" tanya
Thian Oe. "Tunggu dahulu," jawab Liong Sam.
Baru saja pasukan Gielimkoen berbaris di mulut selat, tiba-tiba terdengar suara
riuh dan serombongan orang menerjang keluar dari lereng gunung, dengan dikepalai oleh si
pendeta jubah merah. Sambil putar sianthung-nya, ia menerjang masuk ke dalam pasukan Boan,
dengan dilindungi oleh enam boesoe Nepal yang bersenjata golok bulan sebelah. Bagian
depan Gielimkoen
segera menjadi kacau. Dua perwira, yang satu bersenjata tongkat besi dan yang
lain cekal golok,
loncat keluar dan tahan majunya si pendeta. Dengan sepenuh tenaga, si pendeta
jubah merah sampok dua senjata musuhnya yang lantas terpental, tapi untung tidak sampai
terlepas. "Bangsat
Hoan! Besar benar nyalimu berani coba-coba merampas guci emas!" membentak satu
perwira sembari kebaskan tangannya dan Gielimkoen lantas bergerak. Pasukan anak
panah segera

Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

maju ke depan, sehingga enam boesoe Nepal itu jadi tertahan di luar sebab
dihujani anak panah,
sedang si pendeta jubah merah dikepung oleh kedua perwira di tengah-tengah.
Sembari mengumpat di belakang batu, Liong Sam bertiga tonton pertempuran itu.
"Apa kita perlu membantu?" tanya Thian Oe.
"Coba kita tonton dahulu kepandaiannya delapan pengawal istana," sahut Liong
Sam. Pertempuran berlangsung dengan sangat seru, tapi lekas juga kedua perwira itu
berada di bawah angin. "Dua perwira itu adalah Tiatkoay Thio Hoa (Thio Hoa si Tongkat Besi) dan Tanto
Tjioe Ngo (Tjioe Ngo si Golok Tunggal), yaitu dua antara delapan pengawal istana yang
utama," menerangkan Liong Sam. "Kalau sedang berkelahi, mereka biasanya tak suka orang
membantu, tapi sekarang rupanya kebiasaan itu tak akan dapat dipertahankan lagi."
Semakin lama, serangan si pendeta jubah merah jadi semakin hebat. Tongkatnya
seperti juga berobah jadi puluhan batang dan menyambar-nyambar dengan disertai sama deruan
angin yang santer, sehingga kedua perwira itu seakan-akan terkurung dalam bayangan tongkat.
Selagi ia mau turunkan tangan yang membinasakan, tiba-tiba dari belakang barisan Boan muncul
seekor kuda, yang dikaburkan keras sekali. Sebelum sang kuda tiba di gelanggang pertempuran,
badannya si penunggang sudah melesat ke tengah udara. "Sungguh indah gerakan Tian-ek mo-in
itu (Pentang sayap mengusap awan)!" memuji Thian Oe.
Bagaikan sehelai bianglala putih, pedangnya orang itu menyambar. Si pendeta
angkat sianthung-nya dalam gerakan Kiehwee liauwthian (Angkat obor menerangi langit)
buat sambut serangan musuh. Tiba-tiba dengan satu suara "srt", satu benda hitam ngapung ke
udara, mengikuti berkelebatnya sinar bianglala putih. Ternyata, topinya si pendeta yang
pesegi delapan sudah kena disontek dan dibabat putus dengan pedangnya orang itu.
"Orang itu adalah jagoan kedua, Ginhong kiam (Pedang Bianglala Putih) Yoe It
Gok," kata Liong
Sam. "Sekarang si Hoantjeng ketemu tandingan berat." Benar saja dalam tempo
sekejap keadaan
jadi berobah. Si pendeta terus main mundur dan sekarang cuma dapat membela
dirinya saja, tanpa mampu balas menyerang. Yoe It Gok adalah jagoan kelas satu dari Siauwlim
pay dengan mempunyai ilmu pedang Lianhoan Kiamhoat (Ilmu pedang berantai) yang liehay bukan
main. Selagi si pendeta terdesak hebat, tiba-tiba kembali terdengar suara riuh dan
dari sebelah selatan dan utara muncul keluar sejumlah orang. Rombongan sebelah selatan
dipimpin oleh Siamkam Tayhiap Bek Eng Beng, sedang yang datang dari sebelah utara berada di
bawah pimpinannya Boe-sie Hengtee. Liong Leng Kiauw mengawasi dan berkata sembari
tertawa: "Si tua
she Bek benar-benar banyak kawannya. Jago-jago dari Lima Propinsi Utara agaknya
semua turun kesini." Sementara itu, kedua rombongan itu sudah menyerbu sehingga barisan
Gielimkoen kembali menjadi kalut.
Dengan satu tanda kebutan dari bendera pasukan tengah, delapan jagoan istana
lantas dipecah buat sambut kedua serangan itu. Rombongannya Bek Eng Beng ditahan oleh satu
pasukan di bawah pimpinannya satu perwira yang bersenjata bandringan dan mereka lantas saja
bertempur hebat. Boe-sie Hengtee yang gagah luar biasa dapat menyerbu terus sampai di
tengah-tengahnya
pasukan Boan. Dengan bekerja sama, kedua pedangnya menyambar ke kanan kiri
bagaikan hujan dan angin. Selagi mereka mengamuk hebat, dari belakang barisan muncul dua
perwira yang lantas
tahan majunya kedua saudara itu. Mereka itu adalah dua anggauta dari delapan
jagoan istana, yang satu bersenjata golok bergigi seperti gergaji, sedang yang lain mencekal
pedang. "Yang merintangkan aku, mampus, yang menyingkir, selamat!" membentak kedua
saudara Boe sambil menyabet dengan pedangnya. Dengan satu suara krontrangan, giginya golok
kena tersabet putus, sedang pedangnya perwira yang satunya lagi kena dibikin terpental ke
tengah udara. Buruburu
mereka bilukkan kudanya, tapi gerakannya Boe-sie Hengtee luar biasa cepat, dan
berbareng sama berkelebatnya sinar pedang, kedua perwira itu kena bacokan dan roboh dari
atas kudanya. Sesudah robohkan kedua musuhnya, Boe-sie Hengtee segera menerjang ke pasukan
tengah, ke arah empat kuda putih itu.
Dengan hati terkejut, Yoe It Gok tinggalkan si pendeta j ubah merah dan balik
badannya buat cegat kedua saudara Boe itu. Tapi Boe-sie Hengtee bergerak luar biasa cepat,
mereka menubruk
ke kiri dan ke kanan dan segera sudah mendekati bendera kuning yang berkibarkibar di pasukan
tengah. Tiba-tiba terdengar suara bentakan dan seorang perwira yang berpakaian kebesaran
kelas tiga, loncat keluar dari tengah-tengah pasukan Boan. Ia itu berkumis merah dan
tangannya mencekal
senjata yang rupanya aneh sekali. "Kau orang adalah bangsa Han, tapi kenapa sudi
membantu orang asing buat merebut guci emas!" ia membentak sembari cegat majunya Boe-sie
Hengtee. Suaranya orang itu luar biasa nyaring dan terdengar jelas di antara gemuruhnya
pertempuran. Kedua saudara Boe balas membentak: "Hei, kau juga bangsa Han, tapi kenapa
kesudian menjadi budaknya bangsa Boan" Kami pasti tak akan permisikan guci emas itu
diantar ke Lhasa.
Majikanmu sudah duduki Tionggoan, apa dia belum puas" Dia sekarang masih mau
telan juga Sinkiang, Mongolia dan Tibet! Merampas guci itu adalah kemauannya kami sendiri,
sama sekali tidak ada hubungannya sama pendeta asing itu. Kau jangan omong besar, sambutlah
senjataku!"
Perwira kumis merah itu tertawa terbahak-bahak. "Kamu orang sudah sekongkol sama
bangsa asing dan memberontak, dan sekarang coba goyang lidah di hadapanku," kata ia.
"Kalau benar
kau punya kepandaian, ambillah guci emas itu dari tanganku!"
Boe-sie Hengtee tahu mereka sedang berhadapan sama lawanan berat, dengan
berbareng kedua pedang mereka menyambar, yang satu membabat, yang lain menikam, sehingga
gerakannya kedua pedang itu merupakan setengah lingkaran yang bekerja sama,
menyambar ke arah pingangnya perwira itu. Si perwira dengan cepat sodok masuk senjatanya ke
dalam setengah lingkaran itu dan kedua pedangnya Boe-sie Hengtee lantas saja terpencar dan
suara mengaungnya logam akibat bentrokan senjata kedengaran lama sekali.
Liong Leng Kiauw mengawasi sembari manggut-manggutkan kepalanya, sedang Thian Oe
berkata sembari tertawa: " Orang itu tak usah malu menjadi kepala dari delapan
pengawal istana,
benar-benar ilmu silatnya liehay."
Ilmu silatnya Boe-sie Hengtee adalah warisan dari leluhurnya dan liehaynya bukan
main. Dalam sekejap, mereka berdua sudah kirim beberapa serangan berbahaya dengan beruntun.
Senjata aneh dari perwira itu ada lebih pendek dari toya biasa, tapi lebih panjang dari
Poankoan pit (senjata yang macamnya seperti pit, pena Tionghoa yang terbuat dari bulu). Di
atasnya tongkat
itu penuh dengan gaetan-gaetan mengkilap yang biasa digunakan buat cangkol
senjata musuh. Maka itu, walaupun ilmu silatnya sangat tinggi, mau tidak mau Boe-sie Hengtee
harus berlaku sangat hati-hati.
"Apa namanya senjata perwira itu" Kenapa begitu liehay?" tanya Thian Oe.
"Perwira itu bernama Tjiauw Tjoen Loei, kepala dari delapan pengawal keraton,"
sahut Liong Leng Kiauw sembari tertawa. "Tenaga dalamnya tidak kalah dari Boe-sie Hengtee,
sehingga biarpun ia menggunakan senjata biasa, dua saudara Boe tidak nanti bisa mendapat
kemenangan. Dengan gunakan Longgee pang (Tongkat gigi anjing hutan) yang terutama digunakan
buat menindih senjata sebangsa golok, dalam lima puluh jurus, Boe-sie hengtee bakal
menjadi kalah."
Sementara itu, barisan Tjeng sudah menjadi teguh kembali. Bek Eng Beng dan
kawankawannya terkepung di tengah-tengah, sedang si pendeta jubah merah bersama enam boesoe
Nepal kena ditahan di luar barisan.
"Dilihat begini, kita boleh tak usah keluar membantu," kata Thian Oe.
"Mana bisa begitu mudah," sahut Liong Leng Kiauw dengan paras muka guram. Baru
saja ia habis ucapkan perkataannya, di mulut gunung sebelah timur sudah terlihat
munculnya tiga orang
yang pakai pakaian seperti Lhama Tibet, cuma warnanya putih.
Kaum Lhama di Tibet terbagi jadi dua sekte, yaitu Sekte Topi Merah dan Sekte
Topi Kuning. Warna jubahnya, kalau bukan merah, tentulah kuning. Lhama yang pakai jubah
putih, Thian Oe
belum pernah lihat dan jadi merasa sangat heran.
"Ah, Hoat-ong (raja) dari Tjenghay (Kokonor) juga kirim orang buat ngaduk di air
keruh," kata
Liong Leng Kiauw. "Kalau begini, kita toh mesti turun tangan juga!"
Thian Oe terkejut dan segera ingat sejarah agama Lhama yang pernah dituturkan
kepadanya oleh ayahnya. Ketika itu, Dalai Lhama dan Panchen Lhama merupakan kepala dari Sekte Topi
Kuning di Tibet.
Sekte Topi Merah telah mendapat kekuasaan pada jaman kerajaan Goan. Akan tetapi,
di sebelahnya kedua sekte itu masih ada satu sekte lain, yaitu Sekte Topi Putih,
yang pentang pengaruh sesudah jaman Sekte Topi Merah dan sebelum Sekte Topi Kuning. Di jaman
Kerajaan Beng, Sekte Topi Putihlah yang berkuasa di Tibet. Pada jaman Kaizar Beng yang
terakhir, yaitu
pada tahun ke-16 dari Kaizar Tjongtjeng, Dalai Lhama ke lima telah minta
bantuannya Kushi Khan,
seorang pangeran Mongol dari Kokonor, buat tergulingkan kekuasaannya Hoat-ong
(Raja Tsang- Pa). Mulai waktu itulah, Sekte Topi Kuning (atau Gelupa) berkuasa di Tibet.
Sesudah diusir dari
Tibet, orang-orang Sekte Topi Putih lari ke Tjenghay dan tancap kaki disitu
dengan pemimpinnya
yang dikenal dengan nama Hoat-ong.
Mengingat sejarah itu, Thian Oe jadi tidak merasa heran lagi melihat datangnya
ketiga Lhama yang berjubah putih. "Kalau sampai guci emas kena dirampas oleh mereka, Tibet
bakal jadi kalut
sekali," pikir Thian Oe.
Ketiga Lhama itu bukan main garangnya. Mereka semua menggunakan Kiuhoan Sekthung
(tongkat timah) yang mengeluarkan suara keras waktu diputar.
"Kita harus pasang mata," berbisik Leng Kiauw sembari cekal gagang pedangnya.
Dalam tempo sekejap, mereka bertiga sudah menerjang masuk ke dalam barisan
Tjeng. Dengan ajak sejumlah boesoe, Yoe It Gok coba tahan mereka, akan tetapi, baru
saja beberapa gebrakan, ia dan kawan-kawannya sudah terdesak mundur.
Selagi kegentingan memuncak, di atas gunung mendadak berkelebat satu bayangan
hitam. "Celaka!" berseru Liong Leng Kiauw sembari cabut pedangnya dan lantas pentang
kedua kakinya. Thian Oe dan Yoe Peng lantas saja mengikuti dari belakang. Thian Oe
merasa heran sekali, kenapa Liong Leng Kiauw yang begitu tenang, jadi begitu kaget setelah
lihat berkelebatnya
bayangan hitam tersebut. Siapakah musuh itu"
Kecepatan bayangan hitam itu sungguh sukar dilukiskan. Barusan saja ia terlihat
di atas gunung Tantat san yang terpisah ribuan kaki dari selat. Mula-mula cuma terlihat satu
titik hitam. Dalam
sekejap, seluruh badannya sudah dapat dilihat, dan di lain saat, ia sudah berada
di lereng gunung.
Begitu lihat romannya. Thian Oe terkesiap. Ia itu bukan lain daripada si pendeta
India berkelana,
yang kemarin mereka bertemu di tengah jalan. Di belakangnya pendeta itu
kelihatan mengikuti
beberapa bayangan hitam lain.
"Dia satu saja sudah sukar dilawan, bagaimana dengan kawan-kawannya," kata Thian
Oe dalam hatinya. "Kalau begini, guci emas sukar dilindungi lagi."
Gerakan Liong Leng Kiauw cepat bagaikan angin. Sembari acungkan pedangnya, ia
menerjang masuk ke dalam barisan. "Atas titahnya Hok Tayswee, aku datang disini buat
menyambut guci emas!" ia berseru. Dengan serentak, Gielimkoen terpecah dua buat memberi jalan
kepadanya. Mendengar bentakan Liong Leng Kiauw, tiga Lhama jubah putih yang sudah berada di
dalam barisan, segera menengok dan tiga batang sekthung menghantam dengan berbareng.
Liong Leng Kiauw, yang tidak ingin bertempur sama tiga Lhama itu, lantas tekan ujung
pedangnya pada salah
satu sekthung dan badannya segera melesat ke tengah udara. Dengan satu gerakan


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Koetjoe hoansin (Anak ayam putar badan) yang sangat indah, badannya sudah
"terbang" melewati kepalanya tiga Lhama tersebut, akan kemudian langsung memburu
ke pasukan tengah.
Thian Oe dan Yoe Peng yang datang belakangan sudah bertemu dengan enam boesoe
Nepal di luar barisan. Mereka berdiri berjajar sambil cekal goloknya yang berbentuk bulan
sebelah. "Siauw Kongtjoe akan segera datang. Kenapa kau orang tidak mau lantas melarikan
diri?" berkata Yoe Peng dalam bahasa Nepal.
Enam boesoe itu terkejut. "Jangan percaya omongannya!" membentak si pendeta
jubah merah. "Pengtjoan Thianlie siang-siang sudah ditelan gunung berapi!"
Tanpa berkata satu apa lagi, Yoe Peng lantas lepaskan dua butir Pengpok Sintan.
Enam boesoe itu jadi bergidik dan dua antaranya, yang pernah turut si pendeta jubah merah
naik ke keraton es
dan mengenali Yoe Peng, sudah jadi begitu ketakutan, sehingga badannya
bergoyang-goyang.
Dengan menggunakan kesempatan itu, Thian Oe dan Yoe Peng segera menerjang masuk
ke dalam barisan. Dalam barisan sedang terjadi pertempuran campur aduk. Oleh karena tidak ingin
kebentrok dengan jago-jago Lima Propinsi Utara, Thian Oe segera teriaki Yoe Peng: "Mari
kita gempur itu
Hoantjeng!"
Oleh karena dibukakan jalan oleh tentara Tjeng, Thian Oe dan Yoe Peng bisa masuk
secara gampang. Selagi mereka mau menerobos lebih jauh, tiga Lhama jubah putih mendadak
menengok. "Bocah, lekas pergi!" kata satu antaranya yang menjadi pemimpin dan
yang lantas menghantam dengan tongkatnya. Thian Oe dan Yoe Peng rasakan satu tenaga yang
luar biasa besar menyapu pedang mereka, yang lantas terbang ke tengah udara. Ternyata,
lantaran lihat usia mereka yang masih begitu muda, si Lhama tidak tega turunkan tangan jahat
dan cuma bikin terpental saja pedang mereka.
Selagi Lhama itu tertawa girang, dengan berbareng Yoe Peng lepaskan tiga Pengpok
Sintan. Tiga Lhama tersebut mana tahu dalam dunia ada senjata rahasia yang begitu
liehay. Diserang
selagi tidak bersedia, tiga peluru itu dengan tepat mengenakan dada mereka yang
terbuka lebar. Mendadakan saja, mereka rasakan menyambarnya hawa yang luar biasa dingin,
sehingga badan mereka jadi gemetaran. Dengan gunakan kesempatan itu, Thian Oe dan Yoe Peng
sambut pedang mereka yang sedang jatuh ke bawah dan lalu menerjang ke sebelah depan.
Begitu menerobos ke dalam barisan, pendeta berkelana itu segera kasih lihat
kepandaian yang
menakjubkan. Dengan tongkat bambunya, ia menotol ke kanan dan ke kiri, dan
serdadu-serdadu
Gielimkoen yang berada dalam jarak tujuh tindak dari ianya, begitu kena ditotol,
begitu roboh. Mukanya Tjiauw Tjoen Loei jadi pucat bagaikan kertas. Sembari menyampok dengan
Longgee pang-nya, ia tinggalkan kedua saudara Boe dan coba cegat si pendeta.
Pada saat tersebut, Liong Leng Kiauw juga sudah tiba disitu dan lantas papaki
kedua saudara Boe yang baru saja ditinggalkan oleh Tjiauw Tjoen Loei. Kedua pedangnya saudara
Boe lantas bekerja sama. Pedang kiri menikam dengan gerakan Lioeseng kangoat (Bintang sapu
ubar bulan), sedang pedang kanan menyambar dengan gerakan Tjietian hoei-in (Kilat terbang di
awan). Pedangnya Liong Leng Kiauw terputar dan dengan satu sinar dingin, kedua pedang
yang barusan bersatu jadi berpencar. Begitu berpencar, kedua pedang terus menikam jalanan
darahnya Liong Leng Kiauw. Dalam ilmu pedang, serangan pada jalanan darah dari jarak yang
begitu dekat adalah
serangan yang luar biasa sukar ditangkisnya. Tapi ilmu pedangnya Liong Leng
Kiauw sangat luar
biasa. Dengan sedikit gerakan, ujung pedangnya sudah bentur ujung pedangnya Boe
Lootoa, sehingga mengeluarkan suara "trang" yang sangat nyaring. Berbareng dengan itu,
dengan gunakan tenaga berbaliknya sang pedang, gagang pedangnya Liong Leng Kiauw bentur
ujung pedangnya Boe Loodjie, yang lantas menjadi miring! Gerakan itu dilakukan dalam
waktu yang luar
biasa tepatnya, sehingga Boe-sie Hengtee merasa sangat terkejut.
"Minggir!" berseru Liong Leng Kiauw sembari mendesak dengan tiga serangan kilat.
Di antara ahli-ahli silat kelas utama, satu dua gebrakan saja sudah cukup buat mengetahui
isinya pihak lawan. Demikianlah Boe-sie Hengtee segera mengetahui, bahwa ilmu silatnya sang
lawan ada banyak lebih tinggi dari mereka dan bahwa sang lawan itu masih berlaku sungkan
dan tidak mau turunkan tangan jahat. Dengan berbareng, mereka loncat ke samping buat membuka
jalan. "Terima kasih," berkata Liong Leng Kiauw sembari loncat.
Sekarang marilah kita tengok Tjiauw Tjoen Loei, yang sesudah tinggalkan Boe-sie
Hengtee, lantas cegat majunya si pendeta berkelana. Saat itu, si pendeta sudah totok
roboh dua pengawal
yang melindungi guci emas. Melihat sambarannya Tjiauw Tjoen Loei, dengan sikap
acuh tak acuh, ia angkat tongkat bambunya yang lantas menyambar ke arah jalanan darah Honghoe
hiat. Buat ahli-ahli silat, ilmu menotok jalanan darah adalah ilmu yang biasa saja. Akan
tetapi, bahwa dalam
perkelahian campur aduk di antara ribuan orang, si pendeta masih dapat kirim
totokan yang begitu tepat, adalah satu kejadian yang langka dalam Rimba Persilatan.
Tjiauw Tjoen Loei tak berani berayal lagi. Ia segera kerahkan tenaga dalamnya
terus sampai di
ujung Longgee pang, yang lantas digunakan buat tempel tongkat bambunya si
pendeta. Dengan
seluruh tenaga, ia menekuk buat mematahkan tongkat musuh. Tapi siapa nyana,
Longgee pang itu seperti juga kena dihisap dan nempel keras pada sang tongkat. Tjiauw Tjoen
Loei rasakan bukan saja tenaganya hilang tapi juga tekanan tenaga musuh yang luar biasa
besarnya. Ia betot
Longgee pang-nya tapi tak dapat terlepas lagi! Ia tahu, lweekang si pendeta ada
banyak lebih tinggi dan jika bertahan sedikit lama lagi. Ia akan mendapat luka di dalam
badan. Selagi ia kebingungan, mendadak berkelebat satu sinar hijau dan dengan suara
"srt",
pedangnya Liong Leng Kiauw menyambar di tengah-tengah dan pencarkan Longgee pang
dari tempelannya tongkat bambu. "Tjiauw Taydjin, pergilah lindungi guci emas,"
berkata Liong Leng
Kiauw sembari tertawa
Melihat pada tongkatnya terdapat tanda goresan pedang, pendeta itu merasa agak
terkejut tapi begitu lekas mendapat tahu siapa lawannya, ia lantas tertawa terbahak-bahak.
"Ah, kau pun
datang!" katanya.
"Kemarin kau jajal aku, hari ini akulah yang mau jajal padamu," kata Liong Leng
Kiauw sembari menyabet dengan pedangnya, yang lantas ditangkis sama tongkatnya si pendeta.
Menurut pantas,
begitu kebentrok sama pedang, tongkat bambu mestinya lantas putus. Akan tetapi,
sampokannya si pendeta disertai dengan tenaga dalam yang luar biasa hebatnya, sehingga
begitu lekas kedua
senjata kebentrok, badannya Liong Leng Kiauw jadi sempoyongan tiga tindak.
Di lain saat, tongkatnya si pendeta kembali menyambar. Dengan tangan kiri
mencekal pedang,
Leng Kiauw mementil sama dua jerijinya dan tongkat musuh segera terpentil
miring. "Bagus!"
berseru si pendeta dengan perasaan kagum sebab barusan ia menyabet dengan
gunakan tenaga dalam yang cukup besar dan tidak nyana lawannya dapat punahkan serangan itu sama
satu pentilan jeriji. Bagaikan kilat, Leng Kiauw kirim tiga serangan, dengan setiap
serangan berisi tiga
sambaran yang menuju ke arah sembilan jalanan darah. Si pendeta berkelana juga
benar-benar ahli silat kelas utama. Dengan sekali putar tongkatnya, ia kirim empat serangan
membalas dan punahkan semua totokan lawannya. Kedua lawan itu merupakan tandingan setimpal
sehingga buat sementara waktu sukar dilihat siapa yang lebih unggul.
Sekarang marilah kita tengok Thian Oe dan Yoe Peng, yang sesudah lewatkan tiga
Lhama jubah putih, lantas saja terjang si pendeta jubah merah. "Waktu kau menyatroni
keraton es, jiwamu sudah diberi ampun. Apa kau lupa pesanan Kongtjoe kami?" membentak Yoe
Peng. Pesanan Pengtjoan Thianlie pada waktu itu adalah supaya ia buru-buru pulang ke
Nepal dan jangan campur-campur urusan guci emas. Sebagaimana diketahui, Hoantjeng itu
adalah Koksoe (Guru Negara) dari Nepal dan selama hidupnya, baru dua kali ia mengalami
kekalahan di keraton
es. Maka itu, lantas ia menjadi gusar, ketika Yoe Peng sebut-sebut kejadian
tersebut. "Perempuan tak kenal mampus!" ia membentak. "Biar aku kirim kau pulang ke
akherat, supaya
bisa bertemu dengan Kongtjoe-mu!" Ia berkata begitu lantaran menduga pasti,
Pengtjoan Thianlie
mesti binasa waktu terjadi gempa bumi.
Melihat musuh besar yang sudah binasakan gurunya, Thian Oe jadi seperti orang
kalap. Sebelum si pendeta jubah merah bergerak, ia sudah dahului dengan serangan yang
membinasakan. Sama gerakan Totjoan pengpo (Bikin terbalik sungai es), sinar
pedangnya berkelebat-kelebat menyambar dari empat penjuru. Si pendeta jubah merah
terkesiap dan berkata
dalam hatinya: "Baru saja berdiam beberapa bulan di keraton es, ilmu silatnya
ini bocah sudah
maju begitu jauh!" Buru-buru ia menyampok dengan sianthung-nya. Pada saat itu,
serupa hawa yang luar biasa dinginnya mendadak menyambar, sehingga ia jadi bergidik dan
gerakan tongkatnya jadi agak terlambat. Tapi meskipun begitu, pedangnya Thian Oe kena
tersampok juga dan ia rasakan tangannya sakit sekali.
Tenaga dalamnya si pendeta jubah merah sebenarnya ada beberapa kali lipat lebih
tinggi dari Thian Oe. Akan tetapi, lantaran pertama ia sudah capai sekali, kedua lantaran
ilmu silatnya Thian
Oe memang sudah maju jauh dan ketiga lantaran Thian Oe mendapat bantuannya Yoe
Peng, maka dalam pertempuran itu, si pendeta jubah merah sama sekali tidak bisa berada
di atas angin. Harus diketahui, bahwa di antara dayang-dayangnya Pengtjoan Thianlie, Yoe Peng
mempunyai ilmu silat yang paling tinggi, sedang Pengpok Hankong kiam juga merupakan
senjata luar biasa
yang meminta banyak tenaganya musuh guna melawan hawa dinginnya yang sangat
hebat. Waktu itu, pertempuran campur aduk di selat gunung sedang berlangsung dengan
serunya. Thian Oe dan Yoe Peng yang sedang pusatkan seluruh perhatiannya guna melayani
musuh, tidak mempunyai tempo buat memperhatikan lain bagian. Tiba-tiba terdengar suara
teriakan riuh di
antara tentara Tjeng dan ribuan orang bergerak seperti gelombang. Thian Oe dan
Yoe Peng melirik. Ternyata itu tiga Lhama jubah putih sudah berhasil menerjang masuk ke
pasukan tengah dan sudah rampas itu tiga kuda putih, satu antaranya menggendol bungkusan besar
yang ditutup sama sutera sulam warna kuning. Tjiauw Tjoen Loei, kepala delapan pengwal
istana, kelihatan
sedang ubar kuda putih itu, sembari keluarkan satu teriakan geledek. Thian Oe
terkejut dan menduga bahwa bungkusan itu tentulah juga berisi guci emas. Di lain saat, ketiga
Lhama jubah putih itu sudah duduk di punggung kuda, yang sembari berbenger keras, sudah
lantas menerjang
keluar. Dengan sekuat tenaga Tjiauw Tjoen Loei coba menyandak, tapi ketinggalan jauh dan
tiga kuda putih tersebut kelihatannya akan segera dapat menerjang keluar dari barisan
Tjeng. Sembari berteriak keras, Liong Leng Kiauw keluarkan ilmu pedang Tjiauwhoen
Sippat tjiauw (Ilmu pedang tarik nyawa yang mempunyai delapan belas macam pukulan). Delapan
belas pukulan itu, yang satu lebih cepat dari yang lain, terutama digunakan buat
menikam jalanan darah
musuh. Liehay memang luar biasa liehay, tapi sangat meminta tenaga dalam. Baru
saja ia keluarkan pukulan yang ke tujuh, yaitu Toeihoen tokpok (Memburu roh menarik
sukma), napasnya
si pendeta berkelana sudah sengal-sengal dan sembari kebas tongkatnya, ia loncat
minggir buat kasih Liong Leng Kiauw lewat.
Liong Leng Kiauw jadi heran bukan main. Ia mengetahui, bahwa tenaga dalamnya si


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pendeta berkelana kira-kira setanding dengan tenaganya sendiri. Menurut taksirannya,
sesudah jalankan
habis itu delapan belas pukulan, barulah ada kemungkinan si pendeta dapat
dipukul mundur. Maka
itu, ia merasa sangat tidak mengerti, kenapa sebelum ilmu pedangnya di jalankan
separoh, si pendeta sudah keteter. Liong Leng Kiauw adalah ahli silat kelas berat dan tak
gampang orang dapat kelabui padanya. Panca inderanya yang sangat tajam sudah dapat tangkap,
bahwa sengalsengalnya
si pendeta adalah sengal-sengal yang dibuat-buat. Tapi kenapa toh ia berlagak
kalah" Tapi ketika itu, ia tidak sempat buat berpikir banyak-banyak. Dengan gunakan
ilmu entengi badan,
bagaikan kilat ia molos dari antara badan-badan manusia dan kejar tiga Lhama
jubah putih itu.
Dalam tempo sekejap, ia sudah menyandak dan kemudian lewati Tjiauw Tjoen Loei.
Selagi lewat, lapat-lapat ia dengar Tjiauw Tjoen Loei berkata: "Biarkan mereka pergi."
Leng Kiauw yang
sedang bergerak luar biasa cepat, tidak dapat lantas hentikan tindakannya, akan
tetapi, ketika menengok, ia lihat Tjiauw Tjoen Loei masih terus mengubar sembari acungkan
tongkatnya. Hatinya Liong Leng Kiauw jadi merasa sangat heran. "Apa aku dengar salah?" tanya
ia dalam hatinya. "Tjiauw Tjoen Loei adalah pemimpin dari para pengawal istana dan tugas
terutama dalam melindungi guci emas itu jatuh di atas pundaknya. Tapi kenapa ia kata 'Biarkan
mereka pergi'"
Dan kalau toh sudah berkata begitu, kenapa ia masih mengubar terus?"
Biarpun hatinya heran, ia mengejar terus dan dalam tempo sekejap sudah dapat
candak tiga kuda putih itu. Ketiga Lhama bilukkan kudanya dan tiga batang Kioehoan Sekthung
menyambar dengan berbareng. Dengan gerakan Tianghong kengthian (Bianglala membentang di
langit), Liong Leng Kiauw menggurat dengan pedangnya dan tiga batang toya timah itu lantas
tersampok miring. Meskipun berhasil menangkis serangannya musuh, tapi Leng Kiauw rasakan
tangannya tergetar lantaran tiga musuh itu bukan ahli silat sembarangan dan lebih pula,
sang musuh duduk
di atas kuda, sedang ia sendiri berjalan kaki. Mendadak ia dengar teriakannya
Tjiauw Tjoen Loei.
Ketika menengok, ia lihat pengawal istana itu menggape dengan paras muka
kebingungan. Leng Kiauw heran bukan main, sehingga gerakan pedangnya jadi agak lambat. Dengan
menggunakan kesempatan itu, ketiga Lhama jubah putih putar kudanya yang lalu
dikaburkan seperti terbang. Dalam tempo sekejap mereka sudah lewati mulut selat gunung yang
seperti terompet. Pertahanan tentara disitu agak tipis, sehingga dengan tidak banyak
sukar mereka dapat
menerjang keluar.
Liong Leng Kiauw mendadakan saja ingat apa-apa. "Ah, apakah mereka bukan gunakan
siasat pancing macan keluar gunung?" tanya ia dalam hatinya. "Apakah bungkusan yang
digendol kuda putih bukannya berisi guci emas?" Akan tetapi, walaupun hatinya berpikir begitu,
ia masih sangat
bersangsi lantaran urusan ini adalah urusan yang sangat besar dan jika guci emas
sampai kena dirampas, semua pembesar Tjeng yang berada di Tibet harus turut pikul
kedosaannya. Sedang Liong Leng Kiauw berada dalam kesangsian, tiga Lhama itu yang sudah
menerjang keluar dari kepungan, sedang mendaki satu tanjakan. Melihat guci emas kena
dirampas, beberapa
ribu serdadu Gielimkoen lantas saja menjadi kalut. Seluruh barisan lantas saja
dirobah, pasukan
belakang jadi pasukan depan, sedang yang di depan mengambil kedudukan di sebelah
belakang. Laksaan anak panah menyambar dengan berbareng dan ribuan kuda coba mengubar
ketiga Lhama itu. Akan tetapi, tiga kuda putih yang ditunggangi oleh mereka adalah
kuda-kuda pilihan
dari istal keraton kaizar. Bagaikan kilat, tiga binatang itu sudah naik di atas
tanjakan dan tentara
Gielimkoen ketinggalan jauh sekali.
Pada saat yang sangat genting, di atas tanjakan mendadak terdengar siulan yang
nyaring dan panjang dan di tengah jalan tiba-tiba muncul seorang pemuda yang pakai baju
putih. Dengan sekali ayun tangannya, tiga kuda putih itu berjingkrak dan berbenger keras.
Dengan gusar, tiga Lhama jubah putih menyapu dengan tongkatnya. Mendadak si
pemuda ayun kedua tangannya dengan berbareng dan tiga sinar hitam merah menyambar,
masing-masing mengenakan tepat tiga tongkat itu. Tiga Lhama rasakan tangannya sakit dan
tongkat mereka hampir-hampir saja terlepas dari tangannya.
Di bawah selat tiba-tiba terdengar suara teriakan orang: "Thiansan Sinbong!
Thiansan Sinbong!" Sedang ketiga Lhama itu terkejut, si pemuda sudah berkata sembari tertawa:
"Serahkan guci
emas itu dan lantas berlalu dari sini!"
Tiga Lhama itu yang merasa sudah kantongi hasil, mana mau gampang-gampang
menyerah. Mereka keprak kudanya yang lantas saja pentang kakinya dan menerjang.
Si pemuda baju putih tertawa tawar dan berkata: "Kau orang benar-benar kepengen
dihajar, baru mau mengerti?" Ia ayun tangan kanannya dan tiga sinar hitam merah kembali
menyambar. Tiga Lhama itu coba menyampok dengan tongkatnya, tapi luput, dan hampir pada
saat itu juga, tiga tunggangannya berjingkrak sambil berbenger keras diikuti dengan robohnya
ketiga Lhama itu.
Liong Leng Kiauw kaget berbareng girang dan mengetahui, bahwa si pemuda itu
adalah murid dari Thiansan pay. Ia pun mengetahui, bahwa kepandaiannya pemuda tersebut ada
lebih tinggi dari kepandaiannya sendiri dan sudah cukup buat melayani tiga Lhama tersebut,
sehingga hatinya
jadi merasa lega. Tapi, baru saja ia mau maju menghampiri, dari lereng gunung
mendadakan muncul lima pendeta India dan semuanya memakai jubah pertapaan warna hitam dan
bersenjata tongkat bambu. Mereka itu ternyata adalah murid-muridnya si pendeta berkelana.
Biarpun Liong Leng Kiauw berkepandaian tinggi, akan tetapi dengan dikerubuti
oleh lima ahli silat kelas satu yang bekerja sama secara erat sekali, tak gampang ia bisa buruburu loloskan diri.
Dilihat dari cara berkelahinya, lima pendeta India itu kelihatannya mau "ikat"
Liong Leng Kiauw di
luar barisan, supaya ia tak dapat masuk lagi ke pasukan tengah. Dengan begitu,
hatinya Liong Leng Kiauw jadi sangsi dan curiga. Sesudah bertempur beberapa gebrakan, ia
dengar bentakannya si pemuda baju putih dan tiga ekor kuda putih itu sudah balik ke
barisan Tjeng. Sejumlah serdadu lantas menyambut dan bungkusan yang digendol oleh salah satu
kuda, masih tetap berada di atas punggungnya kuda itu.
Tiga Lhama jubah putih kelihatan masih sangat penasaran dan ubar si pemuda
dengan tindakan sempoyongan. Si pemuda balik badannya dan berkata sembari tertawa:
"Lekas pulang ke
Tjenghay. Kau orang semua sudah kena Sinbong. Dengan mengasoh empat puluh
sembilan hari, mungkin kau orang akan sembuh kembali. Yang paling penting adalah jiwamu
sendiri, buat apa
kau orang terus ubar-ubar aku."
Tiga Lhama itu tahu, mereka sudah kena senjata rahasia. Cuma saja, dengan
andalkan ilmu Kimtjiongto (semacam ilmu weduk), mereka percaya senjata rahasia itu tidak akan
dapat celakakan dirinya dan sesudah pekerjaannya selesai, mereka masih dapat
mencabutnya. Itulah
sebabnya, mereka tidak begitu percaya perkataannya si pemuda baju putih. Mereka
cuma kuatir, kalau-kalau senjata rahasia itu mengandung racun. Dengan adanya kekuatiran
tersebut, mereka
jadi lebih ingin bertempur pula buat paksa si pemuda keluarkan obat pemunah.
Gerakannya si pemuda baju putih cepat luar biasa dan dalam tempo sekejap, ia
sudah masuk ke pasukan tengah. Lima pendeta India yang lagi kepung Liong Leng Kiauw dengan
lantas berpencaran. Selagi Liong Leng Kiauw mau menghaturkan terima kasih, mendadak ia
dengar teriakannya Boe-sie Hengtee: "Keng Thian-heng, sungguh kebetulan kau juga datang
disini! Bungkusan yang digendong oleh kuda putih itu berisi guci emas. Lekas rampas guci
itu!" Liong Leng Kiauw terkesiap seperti orang disambar geledek. Ilmu silatnya si
pemuda itu lebih
hebat daripada si pendeta berkelana. Jika ia sampai turun tangan, siapakah yang
dapat mencegahnya"
"Saudara-saudara Boe, Bek Lootjianpwee," kata si pemuda itu sembari tertawa.
"Aku sekarang
ingin ajukan satu permohonan pada kalian. Aku mohon kalian bubar saja dan
biarkan guci emas
itu tiba di Lhasa!"
Perkataan itu sudah membikin semua orang gagah dari Lima Propinsi Utara jadi
terkesiap. "Apa?" berteriak Bek Eng Beng. "Kau mau bantu kerajaan Tjeng melindungi guci
emas itu?"
"Benar!" jawabnya dengan tenang. "Aku datang buat melindungi guci emas itu."
"Tong Sieheng!" berseru Boe sie Hengtee. "Dengan membantu kerajaan Tjeng, apakah
kau masih ada muka buat menemui ayahmu?"
"Inilah justru kemauan ayahku sendiri," jawab si pemuda sembari tertawa. "Boe
Lootoa, sekarang lebih baik kalian bubaran saja dahulu. Sebentar kita bertemu, di gunung
depan, supaya aku dapat memberi penjelasan terlebih lanjut."
"Aku tak percaya!" membentak Boe-sie Hengtee dengan suara keras.
Semua orang gagah kawan-kawannya Bek Eng Beng jadi heran bukan main dan mereka
mulai saling menyatakan pikirannya. "Oh, kalau begitu ia adalah puteranya Tayhiap Tong
Siauw Lan?"
kata yang satu.
"Cara bagaimana Tong Tayhiap bisa permisikan puteranya menjadi kuku garuda
kerajaan Tjeng" Apakah ia bukan satu penipu yang menggunakan namanya Tong Tayhiap?" tanya
seorang lain. "Ah," kata orang ketiga. "Dilihat dari ilmu silatnya dan didengar panggilannya
Boe-sie Hengtee,
pasti tulen puteranya Tong Tayhiap. Hm! Anak poethauw (tidak berbakti)!"
Demikianlah mereka berunding dan pertempuran terhenti buat sementara waktu.
Pemuda itu memang benar adalah putera tunggal dari Tong Siauw Lan, tjiangboen
(pemimpin) dari Thiansan pay. Namanya pemuda itu adalah Tong Keng Thian. Dengan keluarga
Boe, Tong Siauw Lan mempunyai hubungan yang sangat rapat, dan ketika masih kecil Boe-sie
Hengtee pernah naik ke Thiansan buat menemui Tong Siauw Lan dan oleh karena itu, mereka
jadi kenal Keng Thian. Oleh karena Keng Thian baru pertama kali terjun ke dalam kalangan
Kangouw, maka banyak tjianpwee dan orang gagah masih belum tahu asal-usulnya. Mereka ingat,
dahulu Tong Siauw Lan bersama-sama Kam Hong Tie, Lu Soe Nio dan lain-lain pendekar sudah
musuhi kerajaan Tjeng secara hebat dan pernah lakukan pekerjaan yang menggemparkan
seluruh negeri.
Salah satu antara tiga pendekar wanita yang menyatroni keraton kaizar dan
kemudian bunuh mati kaizar Yongtjeng, adalah isteri Tong Siauw Lan sendiri. Sedang kepalanya
kaizar, ayah ibunya
masih berani kutungkan, mana bisa jadi mereka sekarang permisikan sang putera
melindungi guci
emas dari kerajaan Tjeng" Dengan adanya pendapat begitu, semua orang gagah sukar
percaya keterangannya Keng Thian dan mereka mengawasi pemuda itu dengan sorot mata
gusar. Keadaan yang sunyi senyap menakuti sekali, seperti juga mendung tebal yang tinggal
tunggu turunnya
hujan lebat. Keng Thian mesem, tapi selagi ia mau buka suara, mendadakan saja terdengar
teriakan kaget dari Tjiauw Tjoen Loei dan para perwira yang berkumpul di bawah bendera kuning
jadi kalang kabut. Seluruh pasukan tengah lantas saja menjadi kalut.
Ternyata dengan gunakan kesempatan selagi semua orang perhatikan puteranya Tong
Siauw Lan, si pendeta berkelana loncat ke atas satu kereta keledai. Dari dalam kereta
lantas menyambar
dua martil besi, yang dengan gampang dibikin terpental sama satu sampokan
tongkat. Dengan
sekali kasih masuk tangannya ke dalam kereta, si pendeta tarik keluar dan terus
lemparkan dua perwira yang menjaga dalam kereta itu!
Dua perwira itu juga bukannya sembarang orang. Begitu jatuh, dengan gerakan
Leehie tahteng (Ikan leehie meletik), ia sudah loncat bangun dan terus menubruk ke dalam


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kereta, tapi si pendeta
sudah keburu loncat keluar dan kabur ke jurusan barat.
Semua itu terjadi dengan luar biasa cepatnya. Baru saja Tjiauw Tjoen Loei dan
lain-lain perwira
mengetahui kejadian itu, si pendeta sudah kabur puluhan tombak jauhnya. Ia putar
tongkat bambunya dan semua serdadu
Gielimkoen, yang berada dalam jarak delapan kaki dari dirinya, begitu kebentur
tongkat, begitu
rebah. Oleh karena di sekitar itu tidak terdapat lawanan yang mempunyai ilmu
silat berarti, maka
ia kelihatannya akan segera dapat menoblos keluar dari barisan Tjeng.
Sembari keluarkan teriakan kaget, Tong Keng Thian cabut pedangnya dan terus
mengubar. Kereta yang tadi diserbu oleh si pendeta berkelana sebenarnya adalah kereta yang
paling jelek kelihatannya, seperti juga kereta rumput. Bukan saja tendanya tua dan pada
robek, tapi keledainya pun kurus kering. Akan tetapi, guci emas yang tulen justru terdapat
dalam kereta tersebut. Bungkusan indah yang digendong kuda putih hanya satu siasat buat
kelabui orang. Itu
sebabnya, biarpun diluar Tjiauw Tjoen Loei kelihatan bingung dan ubar tiga Lhama
jubah putih yang merampas tiga kuda putih itu, dalam hatinya ia merasa girang dan ingin
supaya mereka buru-buru pergi supaya lawanan berat jadi berkurang. Menyerbunya lima pendeta
India jubah hitam, yaitu murid-muridnya si pendeta berkelana, bertujuan memecah perhatian
orang, supaya sang guru dapat menyerbu kereta itu dan rampas guci emas yang lagi diincar.
Pendeta berkelana
itu bukannya pendeta biasa. Ia adalah ahli Yoga yang sengaja di kirim oleh raja
Kalimpong, India.
Raja tersebut mempunyai angan-angan berkuasa di Tibet dan dari sebab begitu, ia
mengirim orang-orangnya buat coba rampas guci emas kiriman kaizar Tjeng.
Tong Keng Thian yang sudah kuntit lama barisan Tjeng itu, mengetahui rahasia
tersebut. Maka itulah, begitu lihat si pendeta serbu kereta keledai, ia jadi terkejut dan cabut
pedangnya buat mengubar. Di lain saat, Liong Leng Kiauw juga sudah turut memburu bagaikan
terbang. Seperti sudah direncanakan lebih dahulu, begitu lihat gurunya berhasil, lima
murid itu lantas
saja cegat Keng Thian dan Leng Kiauw. Walaupun ilmu silat mereka masih kalah
jauh sekali jika
dibanding dengan Keng Thian dan Leng Kiauw, akan tetapi oleh karena adanya kerja
sama dalam menggunakan Ilmu Tongkat Tiantiok (Ilmu tongkat India) yang seperti berantai
dengan kepala dan buntut berhubungan satu sama lainnya, maka buat sementara waktu, Leng Kiauw
dan Keng Thian kena juga "diikat" oleh mereka. Selagi Keng Thian mau turunkan tangan
membinasakan, tiga Lhama jubah putih tiba-tiba datang menyerbu, sehingga mereka berdua jadi
dikerubuti delapan orang. Dengan demikian, mereka jadi lebih sukar menoblos dan pada ketika
itu, si pendeta berkelana sudah berada di luar barisan pasukan Tjeng.
"Apa kau orang sudah bosan hidup!" membentak Keng Thian. "Kau bertiga sudah kena
Thiansan Sinbong yang sekarang sudah masuk di jalanan darah. Jika kau orang
pulang dan mengasoh sambil kerahkan pernapasan, mungkin masih bisa ditolong. Tapi kalau kau
orang masih mau bertempur terus dan Sinbong sampai menusuk ke jantung, biar ada obat apapun
juga, jiwamu tidak akan dapat ditolong lagi!" Tapi tiga Lhama itu, yang sangat
andalkan lweekang-nya
yang tinggi, sudah tidak ladeni peringatannya Keng Thian dan terus menyerang
dengan sengit. Ketika itu, si pendeta berkelana sudah keluar dari mulut selat dan sedang
mendaki tanjakan
dengan cepat sekali. Ia bakal segera tiba di lereng gunung dan kalau ia sudah
berada disitu, biarpun bisa terlepas dari "ikatannya" itu delapan musuh, Keng Thian dan Leng
Kiauw tidak bakal
dapat menyandak lagi.
Hampir berbareng dengan siulan panjang yang dikeluarkan oleh si pendeta
berkelana, dari
lereng gunung kembali muncul lima orang pendeta India. Ternyata dalam rencana
merebut guci emas, ia sudah bikin persiapan yang sangat rapi dengan membawa sepuluh orang
muridnya, yang dibagi jadi dua rombongan. Lima orang ikut masuk ke dalam barisan Tjeng, sedang
lima murid lainnya menunggu di lereng gunung buat menyambut. Sepuluh murid itu sebenarnya
disiapkan buat cegat delapan pengawal istana atau cegat musuh-musuh yang menjaga di bagian
belakang. Akan tetapi, sebagaimana diketahui, delapan pengawal istana telah dibikin repot
oleh rombongannya Bek Eng Beng, sehingga pertahanan di bagian belakang jadi kosong
sama sekali. Begitu lekas si pendeta berkelana dan lima muridnya tiba di lereng gunung, lima
pendeta India yang kepung Keng Thian dan Leng Kiauw, lantas mulai mundur, tapi tiga Lhama
jubah putih masih
saja menyerang secara hebat.
"Hei!" berseru Keng Thian. "Coba kau bertiga rasakan, ada apa di jalanan darah
Thiansoan hiat,
di bawah tulang dada."
Tiga Lhama itu kaget dan benar saja di dekat jalanan darah itu, mereka merasa
baal dan gatal,
seperti juga ada binatang semut sedang berjalan, dan semakin lama perasaan itu
jadi semakin hebat. Tiga orang itu adalah ahli silat kelas satu dan mereka segera mengetahui,
bahwa senjata rahasia musuh sedang berjalan dalam badan mereka dengan mengikuti jalanan darah.
Bukan main kagetnya mereka dan gerakannya lantas menjadi lambat. Pada saat itu, lima
pendeta India sedang
berusaha buat kabur, tapi belum dapat kesempatannya. Mendadak dengan satu
bentakan keras,
Tong Keng Thian menyabet dengan Yoeliong kiam yang mengeluarkan sinar panjang
bagai bianglala "Rasakan tiamhoat-ku. Roboh!" Keng Thian berseru. Dengan satu getaran
tangan, pedangnya totok jalanan darah lima pendeta itu yang hampir berbareng roboh di
atas tanah! Tiga
Lhama jubah putih terkesiap dan buru-buru loncat minggir, sedang Liong Leng
Kiauw dan Tong Keng Thian lantas loncat melewati dirinya.
Ketika itu, si pendeta berkelana sudah tiba di lereng gunung. Tingginya gunung
Tantat san ada ribuan kaki dan buat mendaki setengah gunung, orang biasa harus gunakan tempo
setengah hari. Leng Kiauw dan Keng Thian belum berada di kaki gunung, sehingga biarpun mereka
mempunyai ilmu entengi badan yang lebih tinggi lagi, mereka tidak akan dapat menyandak
pendeta itu. Selainnya berteriak-teriak, tentara Tjeng tidak dapat berbuat suatu apa, sedang
orang-orang gagah dari Utara barat pun hanya dapat mengawasi dengan perasaan gusar.
Berhubung dengan
terampasnya guci emas, pertempuran lantas berhenti dengan sendirinya.
Selagi semua orang menahan napas, mendadak di antara suasana gunung yang sunyi
senyap terdengar suara khim yang merdu sekali. Tiga ribu serdadu Tjeng dan seratus
lebih orang gagah
jadi terkejut dan menduga-duga siapa yang menabuh tabuh-tabuhan itu. Tapi orang
yang paling kaget adalah Tong Keng Thian, sebab ia kenali, bahwa lagu itu adalah lagu yang
ia pernah dengar
ketika bertemu Pengtjoan Thianlie buat pertama kali. Tanpa merasa, ia hentikan
tindakannya dan
dongak mengawasi ke atas.
Tiba-tiba di atas puncak gunung yang ditutup awan putih muncul bayangannya
seorang wanita,
yang memakai jubah biru laut dengan ikatan pinggang sutera merah. Dengan
sekelebatan saja ia
sudah kenali, bahwa wanita itu adalah wanita yang siang malam ia tak dapat
lupakan - Pengtjoan
Thianlie! Semua orang dongak memandang ke atas dan biarpun disitu terdapat
ribuan manusia dan kuda, keadaan ada sedemikian sunyinya, sehingga andaikata jatuh sebatang
jarum, suaranya
akan dapat didengar.
Kecepatan bergeraknya Pengtjoan Thianlie sukar dapat dilukiskan. Orang-orang
yang berada di bawah cuma dapat lihat pakaiannya yang berkibar-kibar, seolah-olah ia sedang
terbang turun dengan mengikuti alirannya sang angin. Dalam tempo sekejap, ia sudah tiba di
lereng gunung dan
berhadapan sama si pendeta berkelana dan lima muridnya.
Si pendeta India juga kelihatannya terkejut. "Serahkan guci emas itu dan pergi
dari sini!"
berkata Pengtjoan Thianlie dengan suara tawar. Suaranya lemah lembut, tapi tak
mengenal kompromi, sedang sikapnya seakan-akan seorang ratu yang sedang mengeluarkan
perintah. Si pendeta berkelana terkesiap dan sembari kebas tangannya, enam batang tongkat
bambu lantas menyambar dengan berbareng. Sesudah lihat ilmu entengi badannya Pengtjoan
Thianlie, ia mengetahui sedang berhadapan sama musuh yang luar biasa tangguhnya. Maka itu,
dengan mengebas tangan, ia beri tanda supaya lima muridnya turun tangan dengan
berbareng. Mereka
menyerang dengan Barisan Tongkat Thaythianlo (Jaring langit besar), yaitu suatu
ilmu yang paling
-istimewa dari Ilmu Tongkat Tiantiok. Dengan sambaran enam tongkat itu, biarpun
seorang mempunyai tiga kepala enam tangan juga masih sukar menjaganya.
Bukan main kagetnya Leng Kiauw dan Keng Thian. Mereka tak nyana, begitu
berhadapan, enam pendeta India itu sudah turunkan tangan yang sedemikian kejam. Mendadak,
badannya Pengtjoan Thianlie kelihatan berkelebat dan jerijinya mementil. Hampir berbareng
terdengar jeritan kesakitan dan lima badan manusia tergelincir ke bawah gunung seperti
layangan putus!
Ternyata, melihat serangan musuh yang telengas, Pengtjoan Thianlie jadi sangat
gusar dan melepaskan Pengpok Sintan, senjata rahasia yang tiada keduanya dalam dunia.
Tenaga dalamnya
Pengtjoan Thianlie berlipat-lipat lebih kuat daripada Yoe Peng. Maka itu,
biarpun sama-sama
Pengpok Sintan, bekerjanya lain sekali. Jika senjata itu dilepaskan oleh Yoe
Peng, paling banyak
muridnya si pendeta berkelana gemetar badannya dan masih dapat pertahankan diri.
Tapi dengan dilepaskan oleh Pengtjoan Thianlie, Sintan itu masuk ke dalam jalanan darah dan
sang darah lantas membeku, sehingga tidaklah heran jika lima pendeta itu lantas roboh
terguling ke dalam
jurang. Si pendeta berkelana juga kena satu Sintan dan rasakan hawa dingin luar biasa
yang meresap ke tulang-tulang. Akan tetapi, lantaran mempunyai ilmu Yoga yang sangat tinggi,
ia masih dapat pertahankan diri dan menyerang terus. Sembari tertawa tawar, Pengtjoan Thianlie
buka ikatan pinggangnya yang lantas menyambar-nyambar seperti naga sedang memain di tengah
udara. Di lain saat, tongkatnya si pendeta sudah kena digulung dan biarpun ia gunakan
Seantero tenaga
dalam, ia tidak berhasil lepaskan tongkatnya dari gulungan itu.
Pengtjoan Thianlie juga merasa heran sebab ia pun tidak berhasil betot terlepas
tongkatnya si pendeta. Sembari keluarkan seruan "ih!" ia lepaskan lagi dua butir Pengpok
Sintan. Si pendeta
yang tongkatnya masih tergulung, tidak dapat berkelit dan dua peluru itu
mengenai tepat pada
jalanan darah Soankhie hiat di dada dan Thiantjoe hiat, di belakang otak.
Seketika itu juga, ia
bergidik beberapa kali. Buru-buru, ia kerahkan khiekang (tenaga napas), tapi
tidak dapat segera
pulihkan kekuatannya.
"Masih belum mau menyerah?" membentak Pengtjoan Thianlie sembari cabut
pedangnya. Dengan sekali kebas, bagaikan halimun, sinar dan hawa dingin seperti juga tutup
seluruh badannya si pendeta. Ketika itu, dari dalam jurang sayup-sayup terdengar suara
jeritan lima muridnya si pendeta yang sedang melarikan diri dengan dapat luka-luka berat.
Sambil menghela napas panjang, si pendeta masukkan tangan kirinya ke dalam
kantong. Di lain
saat, ia sudah keluarkan sebuah guci emas bertahta batu-batu permata yang
pancarkan sinar
gilang gemilang ke empat penjuru. Pengtjoan Thianlie sambuti guci emas itu dan
kemudian gentak
ikatan pinggangnya buat lepaskan tongkatnya si pendeta. Ia miringkan sedikit
badannya buat memberi jalan kepada si pendeta yang segera kabur secepat mungkin.
Sesudah kasih masuk Pengpok Hankong kiam ke dalam sarung dan dengan sebelah
tangan memegang guci emas, Pengtjoan Thianlie melayang turun ke bawah. Hosek Tjin-ong,
raja muda yang pimpin barisan Tjeng segera memberi perintah supaya pasukan belakang jadi


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pasukan depan, yang kemudian dipecah jadi dua sayap buat kurung Pengtjoan Thianlie guna
ditanya maksud kedatangannya dan buat rampas pulang guci emas itu.
Sekarang marilah kita tengok Thian Oe dan Yoe Peng yang kerubuti si pendeta
jubah merah. Mengingat sakit hati gurunya. Thian Oe menyerang sehebat mungkin dengan pusatkan
seluruh perhatiannya kepada musuh. Meskipun di lain gelanggang dengan dengan beruntun
sudah terjadi banyak perobahan luar biasa, ia sama sekali tidak mau perdulikan dan terus cecar
si pendeta jubah merah dengan setaker tenaganya. Pendeta itu adalah orang yang pertama
menyerbu dan sesudah bertempur lama, baru ia bertemu Thian Oe dan Yoe Peng yang serang
padanya dengan mata merah. Selagi berkelahi mati hidup, pertempuran di seluruh garisan mendadak berhenti
dan keadaan jadi sunyi senyap. Hal itu sudah terjadi oleh karena munculnya Pengtjoan
Thianlie. Yoe Peng
melirik dan kegirangannya meluap-luap. "Thian Oe! Lihat siapa yang datang!" ia
berteriak seperti
orang kalap. Mau tak mau, si pendeta jubah merah juga turut menengok dan begitu
lihat siapa yang muncul, semangatnya terbang. "Pengtjoan Thianlie!" berseru Thian Oe sembari
menikam dengan gerakan Pengho kiattang (Sungai es membeku). Oleh karena hatinya sedang
gemetar dan tidak nyana bakal diserang secara begitu, si pendeta jubah merah tidak keburu
berkelit atau menangkis dan tak ampun lagi, pedangnya Thian Oe bersarang di dadanya! "Suruh
kau nyingkir, kau tak mau nyingkir, sekarang sudah terlambat," berkata Yoe Peng sembari
menikam dengan pedangnya yang juga mengenai tepat pada dadanya. Dengan satu teriakan keras, ia
roboh dan badannya yang besar ditendang Thian Oe yang sudah balaskan sakit hati gurunya.
Sesudah itu, sembari tuntun tangannya Yoe Peng, Thian Oe berlari-lari menghampiri Pengtjoan
Thianlie. Sembari cekal pedangnya, Liong Leng Kiauw mau bergerak. Tong Keng Thian
mendekati dan berbisik: "Lekas tahan tentara negeri. Biar aku yang sambut padanya. Aku rasa ia
tidak mempunyai niatan kurang baik."
Leng Kiauw merasa sangsi. Ia sekarang kenali bahwa Pengtjoan Thianlie adalah itu
wanita yang sudah curi rencana menyambut guci emas. Di satu pihak, ia tidak percaya kalau
Pengtjoan Thianlie
mau membantu pihaknya, akan tetapi, di lain pihak, ia merasa heran, kenapa
sesudah dapat rampas guci emas itu, sebaliknya dari kabur, Pengtjoan Thianlie malahan datang
menghampiri. Ketika itu, delapan pengawal istana sudah loncat keluar dari barisan dan maju
mengurung dari kiri
dan kanan. Mendadak, Boe-sie Hengtee juga loncat keluar dari dalam barisan dan
seperti angin puyuh mereka mendahului delapan pengawal istana. Di belakang mereka ikut belasan
orang gagah dari Utara barat.
Dengan anggapan bahwa Pengtjoan Thianlie adalah orang kalangan sendiri, sembari
pegang gagang pedangnya, Boe-sie Hengtee memberi hormat dan berkata: "Terima kasih
banyak buat bantuan Liehiap (pendekar wanita). Harap serahkan guci emas itu kepadaku.
Sekarang pekerjaan
kita sudah selesai dan Liehiap boleh mundur bersama-sama rombongan kita." Dengan
berkata begitu, kedua saudara Boe mempunyai maksud yang baik sekali. Melihat delapan
pengawal istana
sudah bersiap buat mengepung, mereka berkuatir Pengtjoan Thianlie tidak gampang
dapat loloskan diri, lantaran tangannya memegang guci emas yang menjadi bulan-bulanan
perebutan. Maka itu, mereka minta si jelita serahkan guci tersebut kepadanya, supaya kawankawannya dapat melindungi ia mengundurkan diri.
Tapi tak dinyana, Pengtjoan Thianlie hanya kerutkan kedua alisnya dan menanya:
"Siapa kau?"
Sementara itu tentara Tjeng sudah mulai maju mengurung. Boe-sie Hengtee jadi bingung sekali
dan menyahut dengan pendek: "Kami adalah kawan-kawan yang mau rebut guci itu.
Segala omongan yang tidak perlu bisa ditunda sampai sebentar." Sehabis berkata begitu,
mereka angsurkan tangan buat sambuti guci emas itu.
"Kau orang mau minggir atau tidak?" kata Pengtjoan Thianlie sembari mementil
dengan jerijinya dan lepaskan dua butir Pengpok Sintan. Kedua saudara Boe lantas saja
rasakan hawa dingin yang meresap sampai ke tulang dan roboh seketika itu juga. Kawan-kawannya
jadi terkejut dan memburu. Pengtjoan Thianlie mementil lagi beberapa kali dan lima enam orang
lantas turut terjungkal. Kawan-kawannya yang lain jadi keder dan pada loncat minggir, sedang
Pengtjoan Thianlie terus bertindak maju.
Bek Eng Beng kaget tercampur gusar, sedang pemimpin tentara Tjeng jadi bukan
main girangnya. Mereka sama sekali tidak mengimpi, bahwa Pengtjoan Thianlie berdiri
di pihaknya. Tjiauw Tjoen Loei keprak kudanya dan memberi hormat sembari peluk senjatanya.
"Liehiap benarbenar
mengerti kesetiaan kepada negara dan sudah membantu kerajaan dalam merebut
pulang guci emas itu," katanya dengan sikap hormat. "Pahala itu bukannya kecil dan
dengan jalan ini, aku
Tjiauw Tjoen Loei memberi hormat. Aku adalah tongleng (pemimpin) dari pengawalpengawal istana dan mohon Liehiap serahkan guci itu kepadaku." Ia lantas angsurkan
tangannya buat ambil
guci tersebut. Tapi seperti tadi, di luar dugaan, Pengtjoan Thianlie cuma kerutkan alisnya dan
berkata dengan suara tawar: "Aku tak perduli tongleng atau bukan tongleng. Aku tidak mempunyai
tempo buat saling menghormat denganmu!" Dengan sekali mementil, Tjiauw Tjoen Loei bergidik
dan lantas jatuh terguling dari kudanya. Semua pengawal istana terkesiap, beberapa
antaranya buru-buru
menolong pemimpinnya, sedang yang lain serang Pengtjoan Thianlie. Sembari mesem
tawar, Pengtjoan Thianlie mementil beberapa kali dan beberapa pengawal istana lantas
roboh kejengkang. Melihat itu semua, tentara Tjeng jadi seperti orang kesima. Mereka tidak
menduga, bahwa wanita yang begitu cantik bisa mempunyai kepandaian yang begitu tinggi. Mereka
berdiri bengong
dan tidak berani bergerak buat melepaskan anak panah atau angkat senjata.
Bek Eng Beng jadi kaget berbareng girang. Tiba-tiba Tong Keng Thian menghampiri
dan berkata sembari rangkap kedua tangannya: "Bek Tayhiap, hari ini biar
bagaimanapun juga kita
tidak boleh rampas guci emas itu. Mohon Bek Tayhiap keluarkan perintah supaya
semua saudarasaudara
lantas undurkan diri."
"Hm!" menggerendeng Bek Eng Beng dengan berdongkol sekali. "Aku tak nyana kau
sekarang jadi kaki tangan kerajaan Tjeng." Ia angkat tangannya buat menghantam Keng
Thian, yang buruburu
gunakan tiga jerijinya buat tekan kepalannya Bek Eng Beng dan berkata dengan
suara perlahan: "Antara dua mara bahaya, kita harus pilih yang lebih enteng. Lebih
baik kerajaan Tjeng
yang menguasai Tibet daripada satu negara asing. Guci emas itu benar-benar tidak
boleh diganggu."
Bek Eng Beng terkesiap, sehingga keringat dingin mengucur di seluruh badannya.
"Tapi, Boesie
Hengtee sudah kena senjata rahasianya perempuan itu. Sakit hati ini bagaimana
boleh tidak dibalas?" kata ia.
"Serahkan padaku, aku akan sembuhkan mereka," kata Tong Keng Thian. "Lekas
mundur! Lekas mundur!"
Bek Eng Beng berdiam beberapa saat dan memikir bulak-balik. Dalam usaha merampas
guci emas, tujuan mereka adalah buat tentangkan keinginan bangsa Boan untuk berkuasa
di Tibet. Tapi tidak dinyana, urusan itu mempunyai latar belakang yang sedemikian ruwet.
Nepal dan Kalimpong juga ingin pentang pengaruh di Tibet dan coba merampas guci tersebut.
Dilihat dari sudut itu, sikapnya Keng Thian yang lebih suka Tibet dikuasai oleh bangsa Boan
daripada bangsa
lain, agaknya cukup beralasan. Sesudah menimbang-nimbang beberapa saat, ia
lantas saja berkata: "Baiklah, aku setujui pendapatmu. Kami tunggu kau di gunung depan."
Dengan sekali memberi tanda, orang-orang gagah dari Lima Propinsi Utara lantas pada mundur ke
gunung depan sambil mendukung Boe-sie Hengtee.
Pada waktu Keng Thian sedang membujuk Bek Eng Beng, Liong Leng Kiauw juga lagi
bujuk Hosek Tjin-ong supaya ia tahan majunya Gielimkoen dan biarkan Pengtjoan Thianlie
masuk ke dalam barisan. Melihat liehaynya wanita itu dan juga sebab sekarang guci emas
berada dalam tangannya, sehingga andaikata ia dapat dibekuk atau dibinasakan, tapi kalau guci
itu sampai menjadi rusak, semua pengantarnya akan turut berdosa, maka, sesudah memikir
beberapa saat, ia
segera menyetujui perkataannya Liong Leng Kiauw dan memberi perintah supaya
semua serdadu jangan bergerak.
Thian Oe dan Yoe Peng yang berdiri di dalam barisan tiba-tiba lihat sayap
depannya pasukan
Tjeng mendadak terpencar dan membuka satu jalanan buat Pengtjoan Thianlie.
"Dilihat begini, barisan Tjeng seperti benar-benar sedang menyambut seorang
Paduka Puteri,"
kata Thian Oe sembari tertawa.
"Ia toh memang seorang puteri," sahut Yoe Peng. "Ah, ia kelihatannya sedang cari
orang." Dengan satu tangan memegang guci emas, perlahan-lahan Pengtjoan Thianlie masuk
ke dalam barisan Tjeng dengan sikap agung sekali. Dengan kedua matanya yang angker, ia
menyapu segala orang yang berada disitu. Mendadak ia hentikan tindakannya dan mengawasi satu
orang yang berdiri disitu. Thian Oe kegirangan dan berbisik di kupingnya Yoe Peng: "Ah,
kalau begitu ia
sedang cari dia!"
"Siapa?" tanya Yoe Peng.
"Pemuda baju putih," sahut Thian Oe.
Benar saja Yoe Peng lihat majikannya sedang mengawasi si pemuda baju putih. Ia
sebenarnya mau teriaki majikannya itu, tapi sudah ditahan oleh suasana yang tegang dan
sunyi senyap. "Hm! Kau juga berada disini?" kata Peijgtjoan Thianlie sembari mesem.
"Jah, kau pun sudah turun gunung," jawab Keng Thian. Dua pasang mata kebentrok
dan paras mukanya Pengtjoan Thianlie segera bersemu dadu.
"Aku tak mempunyai perkataan yang tepat buat menyatakan rasa terima kasih," kata
Keng Thian sambil tertawa. "Sungguh beruntung, guci emas sudah dapat direbut pulang.
Buat bantuanmu di ini hari, bukan saja aku, tapi semua pembesar di Tibet juga ingin
haturkan banyak
terima kasih."
Pengtjoan Thianlie juga tertawa dan kemudian berkata dengan sikap acuh tak acuh:
"Ada hubungan apa guci emas ini dengan diriku" Aku juga merampas ini bukan untuk
mereka. Siapa mau mereka haturkan terima kasih. Berapa harganya guci ini, sehingga dijadikan
barang rebutan oleh semua orang" Aku sendiri tak kesudian. Pada beberapa bulan berselang, kau
pernah bantu menyusun beberapa toeilian untuk keraton es. Mengetahui bahwa kau juga sangat
inginkan guci emas ini, maka aku mau serahkan kepadamu sebagai tanda terima kasih. Mulai dari
sekarang, kedua belah pihak tidak berhutang budi lagi. Kau juga tidak perlu banyak rewelrewel lagi."
Sembari tertawa Keng Thian sambuti guci emas itu yang diangsurkan kepadanya.
"Eh," ia kata.
"Kau lupakan satu urusan. Janji kita buat adu pedang di kakinya Puncak Es, belum
dipenuhi!"
Pengtjoan Thianlie kerutkan alis. "Kau masih mau bertanding?" tanya ia.
"Baiklah, malam ini
jam tiga kau boleh datang ke atas gunung ini."
Ia kembali menyapu dengan matanya dan kali ini ia lihat Thian Oe dan Yoe Peng
yang berdiri di
antara orang banyak. Pertemuan yang tidak diduga-duga membikin ia agak kaget dan
lalu gapekan tangannya buat memanggil mereka.
"Kenapa kau berada disini?" ia tanya Yoe Peng.
"Hari itu, ketika aku antar Tjia Kouwkouw memetik daun obat, Puncak Es mendadak
roboh dan gunung berapi meledak," menerangkan Yoe Peng. "Terhalang dengan lahar panas, aku


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jadi tidak bisa pulang dan belakangan datang kesini."
"Dan kau?" tanya Pengtjoan Thianlie sembari mengawasi Thian Oe.
Thian Oe yang tidak tahu mesti mulai dari mana, lantas menyahut dengan suara
gugup: "Aku
sebenarnya belum dilepaskan olehmu. Cuma saja lantaran terjadinya gempa bumi,
aku terpaksa lari keluar juga. Kalau kau mau menghukum, boleh hukum sekarang. Kejadian yang
lain-lainnya semuanya diketahui oleh dayangmu."
"Baiklah," kata Pengtjoan Thianlie. "Buat bicara sebenar-benarnya, aku kuatir
kau tidak dapat
loloskan diri. Kau sudah langgar peraturanku, sebenarnya harus dipenjarakan
seumur hidup. Akan
tetapi, sesudah lewati bencana itu, kau seperti juga sudah mati satu kali. Semua
kedosaanmu yang sudah-sudah aku sudah coret dan sekarang kau merdeka buat pergi kemana
juga." Ia berpaling pada Yoe Peng dan berkata pula: "Kau sekarang boleh ikut aku pulang ke
gunung." Mendengar perkataan majikannya, hatinya Yoe Peng mencelos. Sedari turun gunung,
ia telah dapat banyak kegembiraan, terutama sesudah bertemu Thian Oe yang merupakan
sahabat baik sekali. Hatinya merasa sangat berat buat segera berpisahan, akan tetapi, ia
tentu saja tidak berani
membantah perintah majikannya, sehingga ia lantas saja menyanggupi sembari
tundukkan kepalanya. Pengtjoan Thianlie lihat itu semua, tapi ia tidak berkata apa-apa dan lantas
tuntun tangannya
Yoe Peng buat diajak pergi.
"Tahan!" kata Tong Keng Thian.
"Apa?" menegasi Pengtjoan Thianlie. "Kau terlalu tidak sabar dan mau bertempur
disini?" "Bukan," sahut Keng Thian sembari tertawa. "Pengpok Sintan-mu terlalu hebat!"
Pengtjoan Thianlie merasa bangga sekali dan lalu berkata: "Kalau kau takut, aku
berjanji tidak akan gunakan Sintan."
"Kau salah tangkap maksudku," kata Keng Thian. "Pengpok Sintan telah lukakan
banyak sahabatku. Aku mau minta obat buat mengobati mereka."
"Oh begitu" Baiklah, ambil obat ini," kata si jelita sembari angsurkan sebungkus
obat, yang diterima oleh Keng Thian sambil menghaturkan banyak terima kasih.
"Manusia dalam dunia memang banyak rewel," menggerendeng Pengtjoan Thianlie
seorang diri. "Aku mau rewel lagi sekali. Jangan lupa janjian malam ini," kata Keng Thian
sembari tertawa.
Pengtjoan Thianlie juga jadi turut tertawa dan kemudian, dengan sikap kemalumaluan ia berlalu sembari menuntun Yoe Peng.
Tiba-tiba, dari dalam barisan loncat keluar enam boesoe Nepal yang lantas
berlutut di hadapan
Pengtjoan Thianlie sembari acungkan kedua tangannya di atasan kepala dan
mulutnya keluarkan
suara ratapan. Hosek Tjin-ong heran dan tanya Liong Leng Kiauw: "Apa perlu kita
bekuk itu beberapa penjahat?"
"Urusan hari ini kita harus serahkan kepada putusannya Pengtjoan Thianlie,"
berbisik Leng Kiauw. "Kalau bertindak salah, bisa terjadi perobahan yang kurang enak."
Hosek Tjin-ong merasa jengah, tapi lantaran sudah dapat pulang guci emas itu,
hatinya sudah merasa sangat puas dan tidak membantah nasehat itu. "Apa wanita itu dipanggil
Pengtjoan Thianlie" Namanya luar biasa betul," ia akhirnya kata sembari tertawa.
Pembicaraan antara Pengtjoan Thianlie dan enam boesoe Nepal cuma dapat
dimengerti oleh
Liong Leng Kiauw, Tong Keng Thian dan Yoe Peng. Mereka itu memohon supaya sang
puteri suka pulang ke negerinya.
"Apa yang aku sudah bilang, aku tak akan robah," sahut sang puteri dengan suara
tawar. "Pergi
pulang dan beritahukan rajamu, supaya ia baik-baik saja mengurus negara."
Enam boesoe itu tidak berani buka suara lagi.
"Mana Koksoe-mu?" tanya Pengtjoan Thianlie.
"Ia sudah binasa," jawab satu boesoe sembari mengawasi Thian Oe.
"Aku yang bunuh ia," Yoe Peng menyelak.
"Dia memang suka cari urusan," kata Pengtjoan Thianlie. "Buat apa rebut-rebut
guci emas"
Pergi beritahukan rajamu, mengurus negeri sendiri saja sudah cukup meminta
tenaga dan pikiran,
buat apa mengaduk di Tibet" Koksoe-nya binasa memang ada baiknya, supaya ia
dapat sedikit pelajaran."
Mendengar perkataan itu, Liong Leng Kiauw terkejut, sedang Tong Keng Thian
bergirang. Leng
Kiauw terkejut lantaran Pengtjoan Thianlie yang ilmu silatnya begitu tinggi,
adalah seorang puteri
dari negara Nepal, sedang Keng Thian bergirang, sebab, biarpun si jelita sudah
mengatakan tidak
mau campur urusan dunia, sekarang ia toh telah membantu usahanya.
Sesudah berkata begitu, Pengtjoan Thianlie kebas tangannya dan enam boesoe Nepal
itu, seperti orang baru dibebaskan dari hukuman, lantas buru-buru undurkan diri
dengan sikap hormat
sekali, akan kemudian kabur secepat mungkin. Atas perintah panglimanya, pasukan
Tjeng membuka satu jalan untuk mereka.
"Hayolah kita berangkat!" kata Pengtjoan Thianlie sembari menengok kepada
dayangnya dan mereka berlalu dengan tindakan perlahan. Ribuan tentara Gielimkoen tahan
napasnya, mata mereka mengawasi bayangannya kedua wanita cantik itu dengan perasaan agak
menyesal, bahwa
mereka berdua sudah berlalu sedemikian cepat.
Hatinya Thian Oe berdebar-debar dan perasaannya sukar dilukiskan. Seperti
kehilangan semangat, dengan mata mendelong ia mengawasi sang puteri bersama dayangnya yang
sedang berjalan keluar dari selat gunung. Mendadak Yoe Peng menengok sembari tertawa
dan kedua matanya yang bagus kebentrok dengan matanya Thian Oe. Si anak muda goncang
hatinya, tapi saat itu juga ia ingat Chena, itu gadis Tsang yang aneh dan yang sudah tarik
seluruh perhatiannya. Chena yang pendiam adalah ibarat lembah gunung yang sunyi senyap,
sedang Yoe Peng yang nakal dan lincah adalah seakan-akan bunga mawar di musim panas.
Hatinya Thian Oe
jadi merasa sangat terharu, ia meramkan kedua matanya dan berdoa kepada Tuhan
Yang Maha Kuasa, agar Chena masih hidup dalam dunia ini.
Beberapa saat kemudian, Pengtjoan Thianlie dan Yoe Peng sudah berada di lereng
gunung dan kemudian mereka menghilang di antara pohon-pohon yang rindang.
Hosek Tjin-ong tarik napas lega dan lantas bereskan pasukannya yang telah jadi
sedikit kacau akibat pertempuran. Sesudah itu, ia hampiri Tong Keng Thian dengan niat
mengambil pulang guci
emas itu dari tangannya si pemuda. Tapi ia jadi sangat kecele, lantaran Keng
Thian cuma manggutkan sedikit kepalanya secara tawar dan berbalik serahkan guci emas itu
kepada Liong Leng Kiauw. "Jagalah hati-hati, jangan hilang lagi," katanya sembari tertawa.
Leng Kiauw sambuti
barang berharga itu, yang kemudian lalu dipasrahkan kepada Hosek Tjin-ong.
"Bolehkah aku mendapat tahu Hiapsoe (pendekar) empunya she dan nama yang mulia?"
tanya Hosek Tjin-ong dengan sikap menghormat. "Kali ini Hiapsoe sudah membuat pahala
yang sangat besar dan Siauw-ong (raja muda, bahasakan dirinya sendiri) akan melaporkan
kepada Hongsiang
(kaizar) yang tentu akan memberi hadiah sepantasnya."
"Aku adalah rakyat kecil dari pegunungan yang sudah biasa dengan hidup merdeka
dan tidak inginkan nama maupun harta," jawab Keng Thian dengan suara tawar. "Jika ada
hadiah apa-apa,
tolong bagikan saja hadiah itu kepada para serdadu yang bantu mengawal guci emas
itu." Ia keluarkan beberapa butir yowan (pel) yang lalu diserahkan kepada Liong Leng
Kiauw seraya berkata; "Inilah obat buat orang-orang yang kena Pengpok Sintan. Telan saja
dengan air matang
dan orang itu akan segera sembuh. Liong-heng, aku mau berangkat lebih dahulu,
biarlah kita bertemu pula di lain kali."
Melihat sikapnya pemuda itu yang sangat tawar terhadap dirinya, tapi sedemikian
hangat terhadap Liong Leng Kiauw, hatinya Hosek Tjin-ong jadi merasa sangat tidak
senang. Baru saja Keng Thian berjalan beberapa tindak, Leng Kiauw mendadak berseru:
"Tong-heng,
tunggu dahulu!"
"Ada apa?" tanya Keng Thian sembari berbalik.
Liong Leng Kiauw keluarkan satu kotak batu pualam yang besarnya lima tjoen
pesegi dan angsurkan itu kepada Keng Thian sembari berkata: "Harap Tong-heng suka ambil
barang ini."
Parasnya Keng Thian lantas saja berobah kurang senang dan ia berkata dengan
suara kaku: "Apakah aku membayar pulang guci emas dengan mengharap hadiah?"
"Ini bukanlah hadiah dari aku sendiri," sahut Leng Kiauw sembari tertawa. "Ini
adalah barang lama milik keluargamu, yang secara kebetulan sudah jatuh ke dalam tanganku.
Puluhan tahun aku
tolong simpan dan sekarang mau dibayar pulang. Jika kau merasa sangsi, tanyalah
ayahmu." Keng Thian jadi merasa sangat bimbang. "Didengar dari omongannya, barang ini
bukanlah barang biasa," kata ia dalam hatinya. "Ilmu silatnya ayahku, dalam jaman ini
sukar dicari tandingannya. Apakah mungkin, barangnya sendiri jatuh ke dalam tangan lain
orang" Ilmu
silatnya Liong Leng Kiauw tidak berada di sebelah bawahku, sedang gerak-geriknya
aneh sekali. Apa mungkin orang yang berkepandaian seperti ia, sudi bekerja di bawah
perintahnya Hok Kong
An dengan satu pangkat yang tidak besar dan tidak kecil" Apakah tidak bisa jadi
ia ada seorang yang mempunyai asal-usul besar?" Dengan hati yang penuh pertanyaan, akhirnya
Keng Thian mengambil putusan buat terima kotak batu pualam itu.
Saat itu, di sebelah belakang mendadak terdengar tiga dentuman meriam, dan
ketika Keng Thian menengok, ia lihat satu pasukan tentara yang kelihatannya angker sekali,
sedang masuk ke
dalam selat gunung.
"Utusan istimewa buat menyambut guci emas sudah tiba," kata Liong Leng Kiauw.
"Siapa utusan itu?" tanya Keng Thian.
Leng Kiauw menggape dan Thian Oe lantas keluar dari dalam barisan. "Utusan itu
adalah ayahnya," kata Leng Kiauw.
Thian Oe segera maju menghampiri dan menghaturkan terima kasih buat pertolongan
Keng Thian yang tempo hari sudah tolong jiwanya.
"Ilmu silatmu sudah maju jauh sekali," kata Keng Thian sembari tertawa. "Dengan
adanya kau dan Liong Loosam, guci emas itu pasti akan dapat diantar sampai di Lhasa dengan
selamat. Aku jadi tak usah buat pikiran dan sekarang aku mau berlalu saja." Ia manggutkan
kepalanya kepada
Liong Leng Kiauw dan lalu berjalan pergi. Hosek Tjin-ong jadi merasa lebih tidak
senang, tapi sebab harus buruburu menyambut utusan, ia jadi tidak mempunyai tempo buat
perhatikan Tong
Keng Thian lagi.
Setibanya di gunung depan, Keng Thian segera bertemu dengan Bek Eng Beng dan
lain-lain orang gagah dari Utara barat. Semua orang merasa sangat mendongkol dan mereka
ramai-ramai sesalkan pemuda itu. Keng Thian lalu memberi penjelasan berulang-ulang kenapa
mereka sekarang tidak boleh rampas guci emas itu dan kemudian lalu keluarkan yowan
pemberiannya Pengtjoan Thainli buat mengobati orang-orang yang kena Pengpok Sintan.
Boe-sie Hengtee adalah orang-orang yang sangat terbuka dan sesudah mendengar
penjelasannya Keng Thian yang dianggap beralasan, lantas saja mereka berkata
sembari tertawa:
"Tong Sieheng benar berpemandangan sangat jauh yang tidak dipunyai oleh orangorang seperti kami. Dalam urusan di ini hari, kamilah yang bertindak salah."
Keng Thian merasa senang dalam hatinya dan lalu berkata sembari membungkuk:
"Buat luka
yang sudah diderita oleh saudara, dengan jalan ini aku menghaturkan maaf."
"Cara bagaimana kami dapat sesalkan Ioohcng?" kata Boe-sie Hengtee sembari
tertawa. "Pernah apakah wanita itu dengan Tong heng" Sehingga Tong-heng sudah haturkan
maaf guna ianya?" Mukanya Reng Thian lantas jadi berobah merah.
"Biarpun dalam bantuannya kepada Tong-heng, maksudnya wanita itu adalah sangat
baik, tapi tangannya terlalu kejam," kata Boe-sie Hengtee. "Jika ada kesempatan, kami ingin
minta pengajaran lagi dari ianya. Kita semua adalah turunannya Thiansan Tjitkiam
(Tujuh Pendekar
Pedang dari Thiansan), maka itu kalau temponya tiba, Tong-heng tak boleh


Bidadari Dari Sungai Es Peng Tjoan Thian Lie Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membantu orang luar!" "Ah, janganlah kau main-main, saudaraku," berkata Keng Thian, yang merasa geli
dan berkata dalam hatinya: "Inilah yang dinamakan sang air mau rendam kelenteng Raja Naga.
Kau tidak tahu, semuanya orang sendiri. Ia adalah cucu perempuannya Koei Tiong Beng dan
kalau dihitunghitung
tingkatannya masih lebih atas dari kau berdua."
Sesudah berpisahan dengan kawanan orang gagah dari Utara barat, seorang diri
Keng Thian mendaki gunung. Sembari jalan, ia ingat halnya Liong Leng Kiauw yang membikin
hatinya jadi penuh dengan kesangsian. Ia buka kotak batu pualam itu yang didalamnya ternyata
terisi sepotong batu giok (batu pualam) yang luar biasa indah dan berwarna biru hijau.
Di tengahtengah
giok itu terdapat sebuah cap merah dengan ukiran huruf-huruf kuno yang berbunyi:
"Sioe Beng Ie
Thian, Kok Oen Kioe Tiang (Terima firman dari Langit, rejeki negara kekal
abadi). Membaca itu,
Keng Thian jadi seperti orang terkesima. Harganya giok itu yang sukar ditaksir
berapa besarnya
tidaklah cukup buat membikin ia menjadi heran, akan tetapi, huruf-huruf itulah
yang keja Keng Thian jadi bukan main terkejutnya, sebab tak bisa salah lagi, barang itu adalah
miliknya kaizar.
"Kenapa Liong Loosam bilang, barang ini adalah barang keluargaku?" tanya ia
dalam hatinya. Mendadakan saja, ia ingat cerita ibunya (Phang Eng) yang sering tuturkan sepak
terjang ayahnya
waktu masih muda. Ibunya pernah ceritakan, bahwa dahulu sang ayah pernah
dihadiahkan sepotong batu giok oleh Kaizar Konghie. Apakah giok itu adalah giok hadiah
Konghie" Tong Siauw Lan (ayahnya Keng Thian) sebenarnya adalah putera (tidak resmi)
Kaizar Konghie.
Pada ketika Tong Siauw Lan masuk ke dalam keraton buat menemui ibunya, Konghie
pernah hadiahkan giok itu kepadanya. Oleh karena tidak ingin sang putera mengetahui
urusan itu yang
cuma dapat menambahkan kejengkelan, maka saban-saban ceritakan halnya giok
tersebut, Tong Siauw Lan dan Phang Eng cuma mengatakan, bahwa lantaran secara kebetulan sudah
menolong Konghie dalam peristiwa perebutan tahta antara putera-putera kaizar, maka kaizar
tersebut telah hadiahkan giok itu kepadanya. Latar belakang yang sebenarnya sama sekali tidak
pernah disebutsebut.
Sebab-sebab hilangnya giok tersebut, Keng Thian juga belum pernah dengar dari
kedua orang tuanya. Maka itulah, ia jadi merasa sangat heran dan terutama merasa
sangat tidak mengerti, kenapa barang itu bisa jatuh kedalam tangannya Liong Leng Kiauw.
Keng Thian putar otaknya sampai ia jadi uring-uringan, tapi lekas juga ia
menjadi sadar dan
berkata seorang diri sembari tertawa: "Ah, kenapa juga aku jadi begitu tolol"
Dengan menanyakan
ayah dan ibu, segala apa tentu akan menjadi terang. Buat apa aku capaikan
pikiran?" Ia lantas
masukkan kotak itu ke dalam sakunya dan terus mendaki gunung.
Sesudah lewat magrib, sang rembulan mulai naik dan mengintip dari antara selasela puncak gunung. Di gunung itu juga terdapat satu sungai es, yang meskipun tidak seindah
sungai es pegunungan Nyenchin Dangla, toh sudah memberi suatu pemandangan yang
menggetarkan jiwanya Keng Thian. Bagaikan seekor naga perak, sungai es itu
putari lereng gunung dan dengan sinar es dan sinar rembulan yang saling menyoroti, keindahan
pemandangan alam itu benar-benar mempengaruhi orang yang sedang menanggung rindu.
Mengingat Pengtjoan Thianlie, Keng Thian mendapat suatu perasaan yang sukar
dilukiskan dan tanpa merasa mulutnya ucapkan suatu syair:
"Sinar rembulan atas sungai es, dewi rembulan turun, bidadari menyebar bunga,
sang penyair datang. Ah, walaupun bagaimana juga, aku akan undang dewi rembulan turun ke atas bumi."
Tiba-tiba, dari puncak gunung, sayup-sayup terdengar suara khim yang dibawa
angin masuk ke dalam kupingnya Keng Thian. Di antara suara tabuh-tabuhan yang merdu itu, lapatlapat terdengar suara nyanyian Yoe Peng:
Lilin pendek di belakang sekosol akan padam dalam sekejap. Bintang pagi kelakkelik akan segera mengundurkan diri, Sang bidadari menyesal sudah curi obat mustajab,
Lautan blau, langit
biru, saban malam dipikiri.
Nyanyian itu adalah berdasarkan Syair Dewi Rembulan, buah kalamnya Lie Sian
Djin, satu penyair dari ahala Tong. Ketika naik di keraton es, Keng Thian pernah petik
baris terakhir dari
syair tersebut buat menggubah toeilian untuk namanya Yoe Peng. Mendengar sang
majikan mementil khim, sedang sang dayang nyanyikan syair tersebut, Keng Thian jadi
tertawa dan berkata dalam hatinya: "Ah, Konghan Siantjoe sekarang sudah ingin turun ke
dunia." Ia pentang
langkahnya dan berlari-lari menuju ke arah suara khim itu.
Selagi enak lari, tiba-tiba saja ia dengar suara kresekan di sebelah depannya,
pada jarak belasan tombak, dan berbareng dengan itu, dua bayangan manusia yang pakai
pakaian hijau kelihatan berkelebat dengan gunakan ilmu entengi badan yang paling tinggi, yaitu
Tengpeng touwsoei (Menyeberangi sungai dengan menginjak rumput). Dengan ilmu tersebut,
mereka dapat berlari-lari di atas rumput-rumput yang tinggi. Di lain saat, kedua orang itu
sudah menghilang di
antara pepohonan. Keng Thian terkejut, sebab ia dapat kenyataan, bahwa ilmu
entengi badannya
kedua orang itu sedikitnya tidak berada di sebelah bawah ia. Kenapa malam-malam
mereka berada di gunung belukar itu"
Dengan cepat dan hati-hati Keng Thian menguntit dari belakang. Jauh-jauh ia
lihat kedua orang
itu sedang mengumpat di antara alang-alang dan saling berbisik. Keng Thian
menghampiri lebih
dekat dan tahan napasnya buat mendengari apa yang dibicarakan oleh mereka.
"Aku dengar hari ini semua orang dari Utara barat pada turun tangan buat rampas
guci emas,"
demikian dengar suaranya seorang lelaki tua. "Tjiauw Tjoen Loei dan kawankawannya hampirhampir
dapat malu besar, kalau tidak ditolong oleh Liong Loosam yang keluarkan
kepandaiannya, sehingga guci yang hilang dapat dirampas kembali. Dilihat begitu, Liong Loosam
benar-benar tidak
boleh dipandang rendah."
Keng Thian tertawa dalam hatinya. Hal yang menarik perhatiannya, adalah disebutsebutnya nama Liong Leng Kiauw.
"Yah, memang juga mencurigakan," kata seorang perempuan. "Kenapa Liong Loosam
yang begitu tinggi kepandaiannya rela bekerja sebagai Tjamtjan di bawah perintahnya
Hok Kong An"
Memang mencurigakan. Tak heran jika Hoei Tjongkoan minta kita keluar buat
selidiki asal-usulnya.
Kiranya Hongsiang pun sudah merasa curiga."
Keng Thian sekarang mengerti, bahwa kedua orang itu adalah kaki tangannya
keraton Tjeng yang ilmu silatnya lebih tinggi dari delapan pengawal istana.
Beberapa saat kemudian, di atas gunung kembali terdengar suara khim dan kali
ini, lagu yang dimainkan berdasarkan sajak Souw Tong Po yang berbunyi seperti berikut:
Antara dahan pohon Tong mengintip sang rembulan.
Larut malam, keadaaan penuh dengan kesunyian.
Kadang-kadang terlihat orang pertapaan mundar-mandir sendirian.
Atau sang burung Hong yang melayang-layang tanpa juntrungan.
Dalam kagetnya, sang burung menengok ke belakang.
Hatinya sedih, tiada manusia mengetahui perasaannya.
Mencari-cari, belum juga dapat sang cabang.
Lebih baik menclok di pulau mencil dengan air di seputarnya.
Arti sajak yang mengharukan membikin suara khim penuh dengan kesedihan, sehingga
Keng Thian jadi terpesona.
"Besok malam kita sudah mesti tiba di Lhasa, tapi kau mau juga dengari orang
main khim,"
kata si wanita. "Apakah maksudmu yang sebenarnya?"
"Aku dengar hari ini ada seorang wanita yang bantu turun tangan," sahut yang
lelaki. "Mungkin
sekali, yang dimaksudkan adalah orang yang sedang mementil khim. Sudah
ketelanjur lewat disini,
kita tidak boleh tidak menyelidiki."
"Hm!" kata si wanita dengan suara di hidung. "Kalau yang pentil khim segala
lelaki bau, kau
tentu tidak kesudian naik kesini!"
Cara bicaranya kedua orang itu yang mengunjuk, bahwa mereka adalah suami isteri,
sudah membikin Keng Thian jadi terkejut. "Di daerah perbatasan sebelah barat, suami
isteri kenamaan
yang berusia seperti mereka, kecuali lethio dan Iebo (Lie Tie dan Phang Lin) dan
ayah ibuku, cuma
ada pasangan In Leng Tjoe dari Lengsan pay di Tjenghay," kata ia dalam hatinya.
"Apakah mereka
itu benar-benar suami isteri In Leng Tjoe yang sudah kena ditarik oleh bangsa
Boan?" "Ah, kau orang apa!" si lelaki membentak. "Wanita yang sedang pentil khim itu,
kalau bukannya Pengtjoan Thianlie, tentulah juga seorang yang mempunyai asal-usul besar.
Sesudah menerima
firmannya Hongsiang, kita harus bertindak secara hati-hati sekali. Kebetulan
lewat disini, tidak
dapat tidak kita mesti menyelidiki sampai terang betul."
"Hongsiang perintah kau selidiki asal-usulnya Liong Loosam dan bukannya wanita
itu," sahut si
wanita dengan suara berdongkol.
"Liong Loosam sekarang sedang repot melindungi guci emas dan tentu tak duga
diam-diam ada orang yang incar padanya," kata yang lelaki dengan suara membujuk. "Begitu tiba
di Lhasa, kita tentu akan berhasil. Apalagi Lootoa sudah mendahului kita. Sudahlah, kau tak
usah kuatir. Aku
rasa perlu kita tengok wanita itu, mungkin sekali kita dapat beberapa keterangan
penting tentang
Liong Loosam dari mulutnya." Sehabis berkata begitu, ia lantas loncat keluar
dari tempat sembunyinya, diikuti oleh si wanita.
Pengtjoan Thianlie yang sudah mulai berdongkol lantaran sehabis mainkan dua
lagu, Keng Thian belum juga kelihatan muncul, merasa terkejut melihat munculnya sepasang
lelaki dan perempuan yang beroman jelek sekali. Yang lelaki nyengir-nyengir sembari
perlihatkan giginya
yang tonggos, sehingga si nona jadi gusar sekali.
Melihat kecantikannya Pengtjoan Thianlie dan lagak suaminya, si wanita naik
darahnya dan lantas menanya dengan suara kaku: "Hei! Apakah kau yang hari ini membantu Liong
Kisah Si Rase Terbang 3 Raja Naga 04 Rahasia Taman Kematian Gerbang Siluman 1

Cari Blog Ini