Ceritasilat Novel Online

Dewi Maut 6

Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo Bagian 6


dan mengumpulkan persekutuan untuk menghadapi Cin-ling-pai, dia segera
mengajukan diri. In Hong memandang tajam penuh selidik ketika kedatangan mereka bertiga
disambut dengan ramah oleh empat orang yang kelihatannya saja sudah sebagai
orang-orang yang lihai. Hek I Sinkouw yang mengenal baik Go-bi Sin-kouw, segera
memperkenalkan tiga orang itu kepada tokoh Go-bi ini, kemudian In Hong
diperkenalkan sebagai seorang tokoh muda yang amat lihai oleh Go-bi Sin-kouw.
In Hong menyambut perkenalan itu dengan mengangkat kedua tangan di depan
dadanya. Betapapun juga, mereka itu adalah orang-orang tua sekali, kecuali Toatbeng-kouw Bu Sit yang kurus seperti monyet dan yang pandang matanya penuh gairah
ditujukan kepadanya itu. "Nona Yap In Hong, saat ini engkau berhadapan dengan tokoh-tokoh puncak!"
demikian Go-bi Sin-kouw memperkenalkan. "Sahabatku ini adalah Hek I Siankouw dan
kaulihat, kesukaannya dalam hal warna pakaian sama seperti aku, sejak kami masih
muda, heh-heh-heh, yaitu warna hitam mulus. Dulu dia cantik sekali, dengan
kulitnya yang halus putih seperti kulitmu itu, sehingga menonjol sekali dengan
pakaian hitamnya. Dan kepandaiannyapun hebat! Dan ini, seperti diperkenalkan
tadi, adalah Hwa Hwa Cinjin, tokoh besar karena dia adalah sute dari mendiang
Toat-beng Hoatsu yang pernah menjadi datuk golongan hitam. Kakek yang baru
kukenal ini adalah Bouw Thaisu, pertapa di pantai Po-hai yang tinggi ilmunya.
Dan dia ini biarpun masih muda, akan tetapi namanya sudah menggetarkan langit
dengan para suhengnya. Dia adalah Toat-beng-kauw Bu Sit, orang termuda dari Lima
Bayangan Dewa." Diam-diam In Hong terkejut dan memperhatikan. Hemm, kelihatannya tidak
seberapa, pikirnya. Seorang laki-laki kecil kurus seperti monyet, usianya empat
puluhan tahun, mukanya kuning pucat. Jadi inikah seorang di antara Lima Bayankah
Dewa yang sudah menggegerkan dunia persilatan karena telah berani mengacau Cinling-pai dan mencuri Siang-bhok-kiam"
Sambil menyeringai Toat-beng-kauw Bu Sit menjura kepadanya dan berkata,
"Nona Yap, sungguhpun saya belum pernah mendengar nama nona, akan tetapi saya
percaya bahwa sebagai sababat Go-bi Sin-kouw, none memiliki kepandaian yang amat
hebat," mulutnya bicara dengan In Hong, akan tetapi matanya yang kecil mengincar
Yalima! "Bu-sicu, engkau mungkin tidak dapat menduga!" Go-bi Sin-kouw terkekeh,
"Nona Yap ini adalah adik kandung dari Yap Kun Liong di Leng-kok."
"Aihhh...!" Tidak saja Toat-beng-kauw Bu Sit yang berseru terkejut, akan
tetapi yang lain-lain memandang kaget, menoleh kepada Go-bi Sin-kouw dengan
heran. "Biarpun dia kakak kandungku, di antara kami tidak ada urusan apa-apa." In
Hong cepat berkata. "Sejak kecil tidak pernah ada hubungan."
Mereka semua mengangguk-angguk dan tidak berani menyinggung urusan itu lagi,
akan tetapi diam-diam mereka bersikap hati-hati karena mereka semua tahu bahwa
Yap Kun Liong adalah seorang pendekar yang memiliki kepandaian hebat sekali dan
merupakan "orang dekat" dengan Cin-ling-pai!
"Siapakah nona manis ini, Sin-kouw" Mengapa tidak diperkenalkan?" Tiba-tiba
Bu Sit bertanya kepada Go-bi Sin-kouw sambil memandang kepada Yalima.
Go-bi Sin-kouw terkekeh bangga. "Cantik jelita dan hebat, ya" Dia ini adalah
muridku yang baru, namanya Yalima, kembang dari Tibet."
"Wah, sungguh beruntung engkau mempunyai murid secantik ini!" Bu Sit memuji
dan semua orang tersenyum, hanya Yalima yang menundukkan mukanya dengan hati
tidak enak melihat sinar mata Bu Sit demikian liar dan ganas menggerayanginya!
In Hong juga melihat hal ini dan otomatis dia merasa tidak suka kepada Toatbeng-kauw Bu Sit. Adapun karena desakan Yalima maka dia mau ikut bersama Go-bi
Sin-kouw, dan dia sudah mengambil keputusan untuk segera meninggalkan nenek yang
tidak menyenangkan itu, akan tetapi begitu bertemu dengan orang termuda dari
Lima Bayangan Dewa ini, hatinya tertarik untuk menyelidiki tentang pedang Siangbhok-kiam! Pantas saja Jeng-ci Sin-touw Can Pouw pernah mengatakan bahwa Lima
Bayangan Dewa tidak berada di sarangnya di muara lembah Huang-ho, kiranya mereka
itu yang seorang berada di sini untuk mengumpulkan orang-orang lihai dari
golongan hitam! Hal ini menarik perhatian In Hong dan dia ingin tahu apa yang
hendak dilakukan orang-orang yang dia menduga amat benci dan memusuhi Cin-lingpai ini. Malam itu In Hong berkesempatan untuk bercakap-cakap berdua saja dengan
Yalima selagi Go-bi Sin-kouw dan empat orang tokoh itu mengadakan perundingan di
dalam ruangan belakang. Agaknya nnemang sengaja In Hong ditinggalkan, karena
setelah makan malam. Yalima diperintah oleh subonya untuk mengajak In Hong
berjalan-jalan dan menikmati malam indah di luar pondok itu. Malam itu penuh
bintang, sungguhpun di udara nampak awan hitam berkelompok.
"Sin-kouw, sungguh engkau aneh sekali. Biarpun dia mengaku tidak ada
hubungan dengan kakak kandungnya, akan tetapi kalau dia itu adik Yap Kun Liong,
sungguh berbahaya sekali engkau mengajaknya ke sini! Siapa tahu dia itu sengaja
menjadi mata-mata Cin-ling-pai!" Toat-beng-kauw Bu Sit menegur nenek itu.
"Heh-heh, kaukira aku sebodoh itu" Aku pertama-tama tertarik kepadanya
ketika di Wu-han dalam sebuah pesta dia menghina puteri ketua Cin-ling-pai!"
"Ahhh...!" Semua orang tertarik, terutama sekali Toat-beng-kauw Bu Sit yang
menjadi musuh besar keluarga Cin-ling-pai.
Nenek dari Go-bi itu lalu menceritakan semua yang dilihatnya di dalam pesta
itu, bahkan lalu menuturkan apa yang didengarnya dari In Hong sendiri betapa
dara itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan Yap Kun Liong, kakak
kendungnya itu. Mereka mendengarken penuturan ini dengan heran, akan tetapi dengan suara
ragu-ragu, Toat-beng-kauw Bu Sit mencela. "Betapapun juga, hal itu masih belum
menjadi jaminan penuh bahwa dia bukan mata-mata Cin-ling-pai. Siapa tahu kalau
sikapnya dengan puteri Cin-ling-pai itu hanya permainan sandiwara belaka."
Wajah nenek Go-bi menjadi merah dan dia melotot. "Tidakkah kalian melihat
burung hong di rambutnya?"
"Ah, Giok-hong-pang...?" Hek I Sian-kouw bertanya.
Go-bi Sin-kouw mengangguk. "Murid tunggal dari ketuanya, dan aku sudah
melihat sendiri kepandaiannya hebat. Nah, seorang murid ketua Giok-hong-pang,
apakah masih belum meyakinkan" Kalau masih belum, Toat-beng-kauw Bu Sit, ada
satu lagi yang membuat aku berani mengajaknya ke sini. Dia mungkin telah
membunuh isteri Yap Kun Liong malam tadi di Leng-kok, atau setidaknya, dia
melihat kematian kakan iparnya itu dengan sikap dingin dan tidak peduli!"
"Huhh...?" Berita ini benar-benar mengejutkan semua orang. Ketika nenek itu
menceritakan tentang kematian nyonya Yap Kun Liong, semua orang menjadi girang.
"Aha, Go-bi Sin-kouw, engkau telah berjasa besar masih pura-pura merendahkan
diri!" Hwa Hwa Cinjin berkata. "Siapa lagi kalau bukan engkau yang membunuhnya?"
Go-bi Sin-kouw memainkan senyumnya yang nyaprut. "Mungkin aku, mungkin Yap
In Hong, aku sendiri sampai bingung memikirkan. In Hong telah menyangkal. Nah,
Bu-sicu, apakah kau masih belum yakin?"
Bu Sit bangkit berdiri dan menjura sampai dalam ke arah nenek itu. "Atas
nama Lima Bayangan Dewa, aku menghaturkan terima kasih atas semua jasamu, Sinkouw! Dan sekarang, apa maksudmu mengajak dia ke sini?"
Go-bi Sin-kouw lalu menceritakan tentang kemarahan In Hong terhadap Cie Bun
Houw, putera Cin-ling-pai yang ditunangkan dengan dia. Dia tidak mau, bahkan
marah-marah, apalagi setelah melihat bahwa Yalima adalah pacar Bun Houw di
Tibet. "Kalau dia bisa dipancing agar mendatangi puteri ketua Cin-ling-pai di Sinyang, kemudian mereka itu yang sama keras hatinya cekcok sampai bermusuhan,
bukankah ini hebat sekali" Itulah sebabnya maka dia kuajak ke sini."
"Wah, engkau memang hebat, Sin-kouw! Dan dara mulus muridmu itu kalau dia
benar pacar putera ketua Cin-ling-pai, dapat kita jadikan sandera yang amat
berharga. Dia harus dapat dibujuk untuk membantu kita," kata Toat-beng-kauw Bu
Sit. Nenek itu menggeleng kepala. "Hemm, bocah itu tidak pandai ilmu silat dan
baru kuajari, akan tetapi hatinya keras sekali dan dia tidak mungkin dapat
dibujuk. Dia mau ikut denganku ke mana saja hanya karena aku berjanji akan
mempertemukan dia dengan pecarnya."
Toat-beng-kauw Bu Sit mengerutken ailsnya, dan tiba-tiba dia memukul
tangannya sendiri. "Ah, jalan satu-satunya hanya... kalau saja kau setuju, Sinkouw!" Dua orang itu saling pandang, lalu Go-bi Sin-kouw terkekeh-kekeh.
"Heh-heh-heh, engkau nakal sekali dan amat cerdik seperti monyet! Memang
orang cerdik seperti engkau pantas menerima untung itu, dia cantik manis bukan
main. Aku menyerahkan dia malam ini kepadamu, Bu Sit, asal engkau suka berlutut
tiga kali di depan kakiku sambil mengucapkan terima kasih."
Tentu saja Toat-beng-kauw Bu Sit girang bukan main. Dia memang cerdik dan
dari penuturan Go-bi Sin-kouw tentang Yalima tadi, dia sudah menduga bahwa murid
baru itu tentu tidak begitu dihiraukan oleh gurunya, pula, di samping dia sudah
tergila-gila melihat dara remaja yang cantik molek itu, juga dia melihat
pentingnya dara yang memegang peran penting itu ditundukkan dan dipaksa menjadi
kaki tangan Lima Bayangan Dewa. Dia tidak tahu bahwa bukan karena itulah Go-bi
Sin-kouw menyerahkan murldnya itu kepada Bu Sit. Justeru karena dia tidak ingin
kehilangan muridnya itu maka dia mengorbankan muridnya kepada orang termuda dari
Lima Bayangan Dewa ini! Memang watak nenek ini luar biasa aneh dan sadisnya!
Saking girangnya, Bu Sit yang sudah hampir menitikkan air liur teringat akan
calon mangsanya itu, segera menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Go-bi Sinkouw dan mengangguk-angguk tiga kali sambil berkata, "Terima kasih, terima
kasih, terima kasih!" Go-bi Sin-kouw tertawa bergelak dan semua orang juga
tersenyum. Mereka adalah orang-orang tua yang tidak perduli lagi akan urusan
seperti itu, yang penting bagi mereka adalah dapat berhasil membasmi Cin-lingpai untuk membalas dendam mereka yang sudah ditahan bertahun-tahun.
Sementara itu, In Hong berjalan-jalan dengan Yalima di luar pondok. Setelah
kini memperoleh kesempatan berdua saja dengan nona yang gagah perkasa itu,
Yalima merasa dekat sekali dengan In Hong dan tanpa disadarinya dia sudah
menggandeng lengan In Hong dan menggenggam tangannya. Tangan In Hong terasa
hangat olehnya, dan kehangatan ini menjalar terus ke dalam dadanya terhadap
pendekar wanita itu. Mereka lalu duduk di atas batu agak jauh dari pondok, di tempat yang sunyi
sekali dan dari situ nampak berkelap-kelip lampu-lampu yang menyorot keluar dari
dusun di bawah. Angkasa penuh bintang sedangkan di utara kadang-kadang nampak
kilat menyambar di antara awan-awan gelap, membuat bintang-bintang kehilangan
cahayanya dan baru berseri-seri lagi setelah kilat berlalu.
"In Hong, aku hendak bertanya sesuatu kepadamu, jangan kau marah ya?" Yalima
berkata sambil mengelus tangan pendekar wanita itu dengan penuh kekaguman betapa
tangan yang amat halus itu mengandung tenaga yang amat kuat dan luar biasa.
In Hong tesenyum memandang wajah manis yang berada di depannya. Biarpun
cuaca hanya remang-remang saja, hanya diterangi oleh cahaya bintang-bintang yang
lembut, namun masih mudah menangkap kecantikan bentuk muka dara remaja itu,
wajah yang agaknya serasi benar dengan alam terbuka dan hawa pegunungan. Angin
semilir membuat sedikit rambut yang terlepas dari kelabangnya itu melambailambai. "Tanyalah, mengapa aku harus marah?"
"Enci In Hong... sungguh sukar bagiku untuk percaya ketika engkau mengatakan
bahwa engkau menolak pertalian jodoh dengan Houw-ko! Mengapa, enci?"
In Hong memandang wajah itu, melihat sepasang mata Yalima menatapnya penuh
selidik dan cahaya bintang terpantul dari manik sepasang mata indah itu.
Pertanyaan yang polos dan jujur tanpa maksud apa-apa tersembunyi di baliknya.
Dia tersenyum lagi dan merasa heran sendiri karena dia merasa betapa baru dua
kali ini dia merasa senang bercakap-cakap, yang pertama dengan Si Malaikan Copet
dan yang kedua dengan Yalima.
"Mengapa" Tentu saja aku menolak, Yalima. Selama hidupku belum pernah aku
bertemu dengan dia, bagaimana aku sudi dijodohkan dengan orang yang sama sekali
belum pernah kulihat" Pula aku kira... agaknya... aku tidak akan suka dijodohkan
selama hidupku." Yalima memandang heran melihat kesungguhan membayang di muka yang cantik
sekali dan yang mengagumkan hatinya itu. Memang sesungguhnya Yap In Hong
mempunyai wajah yang amat cantik, yang agak tertutup oleh sikapnya yang dingin.
Wajahnya sama dengan mendiang ibunya, yaitu Gui Yan Cu, seorang wanita yang
sudah terkenal sekali akan kecantikannya.
"Akan tetapi engkau agaknya... amat membenci Houw-ko. Padahal engkau belum
pernah jumpa denganya. Bagaimana ini, enci" Aku sungguh tidak mengerti. Memang
amat aneh bagi dara yang sedang dimabok cinta ini melihat ada orang sampai bisa
membenci Bun Hou! Pemuda yang baginya tidak ada cacat celanya itu tidak mungkin
menimbulkan benci di hati orang lain, sehingga kebencian In Hong selain
mengherankan juga menimbulkan curiga.
"Aku membenci semua pria yang mempermainkan wanita, dan dia itu telah
mempermainkan aku, telah menghina aku atau engkau, maka aku membencinya!"
"Eh, aku tidak mengerti, enci."
"Tergantung mana lebih dulu, dia mengenalmu atau dia ditunangkan dengan aku.
Kalau dia sudah tahu babwa dia bertunangan dengan aku, maka berarti dia telah
mempermainkan dan menghinamu, sebaliknya kalau lebih dulu dia mengenalmu baru
dia bertunangan dengan aku, berarti dia mempermainkan dan menghina aku!"
Yalima masih bingung. "Seharuanya dia bersikap bagaimana, enci?"
"Kalau dia lebih dulu mengenalmu, dia harus menolak semua ikatan jodoh
dengan orang lain! Dan kalau dia sudah bertunangan, tidak semestinya dia
menggodamu!" Hening sejenak ketika Yalima mencoba untuk memaklumi pendapat In Hong itu.
Lalu dia bertanya lagi, "Enci, apakah engkau cemburu?"
In Hong terkejut dan memandang dara remaja itu. "Apa maksudmu" Aku cemburu"
Cemburu bagaimana dan kepada siapa?"
"Cemburu kepadaku, enci In Hong, karena aku... aku dan Houw-ko..."
"Hushh, sembarangan saja kau bicara! Engkau manis, sudah sepatutnya kalau
ada orang jatuh cinta kepadamu. Akan tetapi hati-hatilah, Yalima, laki-laki
sukar untuk dapat dipercaya. Aku khawatir kalau seorang semanis engkau sampai
kelak harus mengalami patah hati seperti yang lain..."
"Seperti yang lain siapa, enci?"
In Hong tidak menjawab, mengenang kehidupan gurunya dan para bibi anggauta
Giok-hong-pang. "Seperti siapa, enci" Apakah engkau pernah patah hati karena cinta, enci?"
"Hushh!" In Hong tersenyum dan mencubit dagu yang meruncing manis itu.
"Jangan bicara yang bukan-bukan. Aku tidak akan jatuh cinta karenanya aku tidak
akan bisa patah hati."
Aku tidak percaya, enci. Orang secantik engkau, seperti Kwan Im Pouwsat...
mana mungkin... pasti banyak yang akan jatuh cinta kepadamu, dan kalau... kalau
kau berjumpa dengan Houw-ko aku yakin..." Dara itu memandang penuh khawatiran.
"Hemm, kaurasa bagaimana?" In Hong sudah siap untuk mendampratnya kalau dara
itu berani mengatakan bahwa dia akan jatuh cinta kepada Bun Houw.
"Kurasa enci tidak akan bisa membencinya. Dia begitu baik, begitu gagah..."
In Hong tersenyum lebar. "Tentu saja, karena itu engkau mencintanya.
Sudahlah, kau tidurlah. Aku sudah mengambil keputusan untuk segera pergi dari
sini, terus terang saja aku tidak suka bersama-sama dengan gurumu, Yalima."
"Aku juga sebenarnya tidak suka padanya, enci."
"Eh?" Apa ini" Kau tidak suka kepada gurumu" Kalau begitu, kau pergi
bersamaku saja!" "Mengapa enci ingin pergi mengajak aku?"
"Entahlah, aku suka padamu dan... agaknya aku membutuhkan seorang sahabat."
"Sayang, aku tidak bisa meninggalkan guruku, enci."
"Mengapa" Aku bisa mencarikan pacarmu itu untukmu, aku tanggung dapat
kutemukan dia dan kupaksa dia menikah denganmu."
"Bukan itu, enci. Subo pernah menyelamatkan aku dari ancaman maut. Aku
melarikan diri dari rumah ayah karena tidak sudi dibawa ke Lhasa untuk
dipersembahkan kepada pangeran dan di dalam hutan, aku hampir menjadi korban
harimau. Subo datang menyelamatkan aku dan aku lalu diambil murid, diajak pergi
setelah kuceritakan riwayatku kepadanya. Aku telah hutang budi, bahkan hutang
nyawa, begaimana aku dapat meninggalkannya begitu saja, sungguhpun aku...
amat... tidak suka kepadanya?"
Yalima menundukkan muka dengan sedih dan In Hong diam-diam memuji gadis yang
biarpun tidak terpelajar dan hanya seorang dusun namun telah tahu apa artinya
hutang budi. Mereka lalu kembali ke pondok karena hawa makin dingin dan In Hong melihat
Yalima mulai kedinginan. Tanpa disengaja lagi, mereka bergandeng tangan kembali
ke pondok dan memasuki kamar masing-masing, In Hong di kamarnya sendiri dan
Yalima di sebuah kamar besar bersama subonya yang masih bercakep-cakap dengan
orang-orang itu. Sukar bagi In Hong untuk pulas. Bermacam-macam hal mengaduk pikirannya.
Teringat dia akan kakaknya dan sukar dia membayangkan bagaimana keadaan kakaknya
yang kematian isteri. Dia tidak perduli akan kematian isteri kakaknya itu, hanya
ingin sekali melihat bagaimana keadaan kakak kandungnya itu setelah isterinya
meninggal dunia. Diapun diganggu dengan persoalan Lima Bayangan Dewa yang kini


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seorang daripada mereka berada di pondok ini. Dia ingin sekali tahu di mana
mereka menyembunyikan pedeng Siang-bhok-kiam dan ingin melihat pedang itu,
bahkan kalau ada kesempatan dia ingin merampas pedang itu untuk dirinya sendiri!
Yang terakhir dia terkenang kepada Yalima, terngiang semua pertanyaan Yalima dan
dia merasa suka dan kasihan kepada dara ini. Dia membanding-bandingkan dirinya
sendiri dengan Yalima. Ada persamaannya. Biarpun Yalima masih mempunyai ayah
bunda, namun dia tahu bahwa ayah bundanya itu seolah-olah sudah mati baginya
karena dia tentu tidak akan berani pulang selama hidupnya. Seperti juga dia,
Yalima seorang diri saja. Hanya sedikit perbedaannya, kalau dia masih ada
subonya dan Giok-hong-pang yang selalu bersikap baik kepadanya, Yalima hanya
mempunyai satu harapan, yaitu pada diri kekasihnya itu, Cia Bun Houw.
"Aku harus membantunya bertemu dengan pemuda itu," dengan keputusan hati ini
In Hong mulai tertidur. Lapat-lapat masih terdengar suara Go-bi Sin-kouw dan
yang lain-lain bercakap-cakap, kadang-kadang terus tertawa sambil minum arak di
ruangan tengah. "Tidak... tidak... ah, teecu tidak mau, subo..."
"Bocah tolol! Engkau muridku dan engkau harus menurut perintahku. Hayo
keluar!" In Hong lapat-lapat mendengar suara ini, disusul suara lirih, "...enci In
Hong!" dan kalau sekiranya tidak ada suara Yalima yang memanggil namanya dengan
lirih itu, bukan memanggil bahkan seperti orang mengeluh kepadanya saja, agaknya
dia tidak akan terbangun. Namun suara Yalima lirih menyebut namanya itu, cukup
membuat semua urat syaraf di tubuhnya menegang. Dia bangkit duduk, mengenakan
sepatunya dan mendengarkan dengan penuh perhatian. Dengan pendengarannya, dia
dapat mengikuti gerakan guru dan murid itu keluar dari kamar sebelah dan
kemudian dia mendengar Go-bi Sin-kouw sudah tertawa-tawa lagi dengan temantemannya di ruangan tengah.
Dia terheran. Apa yang terjadi" Agaknya, melihat suara orang-orang tua itu
di ruangan tengah, tidak terjadi sesuatu yang mencurigakan. Akan tetapi ke mana
perginya Yalima" Mengapa dara itu tadi keluar dari kamar bersama gurunya dan
tidak kembali lagi ke kamar sebelah"
"...jangan...! Tidak mau...!"
Suara ini lirih, agaknya mulut yang mengeluarkan bunyi ini dibungkam dan
terdengar jauh, bukan dari kamar sebelah. Namun cukuplah bagi In Hong untuk
melompat turun dari bangkunya, membuka jendela dan bagaikan seekor burung walet
saja tubuhnya sudah melayang keluar, lalu dia berindap-indap ke arah dari mana
datangnya suara yang tidak jelas tadi.
Suara napas terengah-engah terdengar dari sebuah kamar, disusul bisikan seorang
laki-laki. "Diamlah, manis, menurutlah saja... subomu sudah memberikan engkau
kepadaku... heh"heh, diamlah..."
Suara Toat-beng-kauw Bu Sit! In Hong merasa betapa mukanya panas seperti
dibakar, menjalar dari dada terus ke atas, sampai ke telinganya dan tubuhnya
tiba-tiba saja menerjang jendela kamar itu.
"Bruukkkk!" Daun jendela jebol dan dia melihat Bu Sit sedang menindih dan
merobek baju Yalima sehingga nampak dada gadis itu tidak tertutup lagi.
"Keparat busuk!"
Toat-beng-kauw Bu Sit terkejut, mengutuk dan meloncat turun, kemudian
menghadapi tamparan In Hong dia cepat merendahkan tubuh sambil menangkis.
"Desss... plakkk...!" Biarpun sudah ditangkis, tetap saja tangan In Hong
berhasil membobolkan tangkisan itu dan tamparannya masih hinggap di pundak Bu
Sit sehingga orang termuda dari Lima Bayangan Dewa ini terlempar dan tubuhnya
terbanting pada dinding. "Brukkkk!" Toat-beng-kauw Bu Sit terkejut setengah mati. Tak disangkanya bahwa serangan
tamparan yang dilakukan seenaknya saja itu mampu membobolkan tangkisannya,
bahkan tamparan itu membuat tubuhnya yang kebal itu terasa panas dan membuat dia
terlempar dan terbanting!
"Engkau layak mampus!" In Hong berkata, suaranya dingin sekali, mulutnya
tersenyum den tertimpa sinar lampu membuat Bu Sit ketakutan dan ngeri. Tiba-tiba
dia berseru keras dan tubuhnya sudah melesat keluar dari kamar itu melalui
pintu. Cepat sekali gerakannya ini sehingga In Hong tidak sempat mencegahnya.
Namun dengan kemarahan meluap In Hong mengejar keluar dari kamar itu menuju ke
ruangan tengah ke mana Bu Sit tadi melarikan diri. Dengan mata berapi-api In
Hong sudah mencabut pedangnya dan kini dia menudingkan pedangnya ke arah muka Bu
Sit yang berlindung di belakang orang-orang tua itu sambil membentak, "Jahanam
busuk Bu Sit, majulah untuk menerima kematian!"
"Eh, eh, nona In Hong. Apakah yang terjadi?" Go-bi Sin-kouw bertanya,
tongkat melintang di depan dada.
In Hong tersenyum mengejek. "Apa yang terjadi" Seperti kalian tidak tahu
saja! Monyet busuk itu hendak memperkosa Yalima! Karena itu dia harus mampus di
tanganku!" "Yap-kouwnio, aku tidak memperkosa... aku... aku..." Toat-beng-kauw Bu Sit
adalah orang kelima dari Lima Bayangan Dewa, ilmu kepandaiannya tinggi dan dia
malah terkenal sebagi iblis pencabut nyawa, malah julukannya Toat-beng-kauw
(Monyet Pencabut Nyawa), akan tetapi kini menghadapi gadis yang sikapnya begitu
dingin membayangkan maut sendiri, dan melihat betapa dalam satu gebrakan saja
gadis itu mampu membuatnya terbanting di tembok, dia menjadi gentar.
"Sabarlah, nona Yap In Hong!" Go-bi Sin-kouw berkata. "Dia tidak memperkosa,
tidak ada perkosaan di sini. Yalima memang melayaninya atas permintaanku dan
muridku yang baik itu sudah mau."
"Bohong! Mana ada guru menyuruh muridnya berlaku sehina itu!"
"Heh-heh-heh, kau anak kecil tahu apa, nona" Ketahuilah, dahulu aku
mempunyai dua orang murid perempuan yang kucinta seperti anak-anakku sendiri,
akan tetapi apa jadinya" Yang seorang menyerahkan diri tanpa seijinku kepada
Ouwyang Bouw bocah setan itu, yang kedua menyerahkan diri di luar kehendakku,
kepada Yap Kun Liong, kakakmu! Sekarang aku mempunyai murid ini dan aku tidak
ingin terjadi seperti dulu, kini aku yang mengatur dia harus menyerahkan diri
kepada siapa, dan malam ini untuk merayakan perkenalanku dengan Toat-beng-kauw
Bu Sit, aku menyuruh muridku menyerahkan diri kepadanya, mengapa engkau
mencampuri urusan antara guru dan murid?"
"Bagus, nenek iblis! Wanita jalang dan kotor! Kalau begitu engkaupun akan
mampus di tanganku bersama monyet tengik itu!"
In Hong sudah menerjang maju, Go-bi Sin-kouw marah sekali, tongkatnya juga
bergerak dan menangkis. Juga Toat-beng-kauw Bu Sit sudah menndapat hati melihat
ada yang membantunya. Dia bukan pengecut, dan tadi dia hanya terkejut saja. Kini
dia berseru keras, mengeluarkan senjatanya, sebatang joan-pian (pecut baja) yang
panjang dan terdengar suara meledak-ledak ketika dia menggerakkan senjatanya
itu. "Tar-tar-tarrrr... cring-trakkk-singg...!" Toat-beng-kauw Bu Sit dan Go-bi
Sin-kauw terkejut bukan main. Ternyata dalam bantrokan pertama itu, sinar pedang
di tangan In Hong meluncur kuat bukan main, membuat tongkat di tangan Go-bi Sinkauw tergetar hebat dan pecut baja di tangan Bu Sit membalik, sedangkan gulungan
sinar pedang masih terus meluncur ke arah leher mereka.
"Plak! Plakk!" Sinar pedang itu bertemu dengan sinar putih dua kali dan
ternyata Bouw Thiasu telah menangkis sinar pedang itu denan ujung lengan bajunya
yang mengandung getaran hawa kuat sekali.
"Tahan dulu, nona...!" Bouw Thaisu berseru.
In Hong meloncat ke belakang, pedangya melintang di dada, tangan kiri dengan
jari terbuka dipasang di atas kepala. "Aku akan membunuh Go-bi Sin-kouw dan
Toat-beng-kauw Bu Sit. Siapa yang hendek melindungi mereka boleh maju sekalian!"
"Enci In Hong...! Jangan bunuh dia...!" Tiba-tiba Yalima lari dari dalam dan
dia sudah membetulkan bajunya yang robek, mengikatnya dengan saputangan dan
kemudian menyusul keluar.
In Hong mengerutjan alisnya, heran sekali mendengar ini, "Siapa maksudmu?"
"Go-bi Sin-kouw itu, jangan dibunuh. Dia pernah berbuat baik sekali dengan
menolongku, kini dia melakukan perbuatan jahat sekali dengan mengumpankan aku
kepada manusia yang lebib ganas dari harimau, berarti sudah tidak ada hutang
budi lagi. Kalau dia dibunuh, berarti aku masih hutang budi. Sekarang aku bisa
ikut bersamamu, enci."
In Hong memandang ke depan dengan muka dingin, dan suaranya juga dingin
mengiris jantung ketika dia berkata, "Engkau sudah mendengarg Go-bi Sin-kouw!
Boleh kalian pilih, aku melupakan perkara tadi akan tetapi Yalima ikut
bersamaku, atau kalian boleh maju semua untuk mati di ujung pedangku!"
"Siancai... bocah bermulut lancang! Pinto tidak boleh membiarkan engkau
menantang kami!" Hwa Hwa Cinjin berkata halus dan sebuah kebutan kuning telah
berada di tangannya. "Bocah sombong, kaukira kami takut kepadamu?" Hek I Siankouw juga sudah
mengeluarkan pedangnya yang berkilauan tajam.
"Tidak perlu banyak cakap, majulah kalian semua orang-orang berhati busuk!"
In Hong menantang lagi, siap dengan pedangnya, berdiri tegak den bersikap
tenang, akan tetapi matanya melirik ke arah calon-calon lawannya dengan penuh
kewaspadaan. Sedikitpun dara ini tidak merasa jerih sungguhpun dia maklum bahwa
dia menghadapi lima orang yang ilmu kepandaiannya tinggi.
Akan tetapi Go-bi Sin-kouw tertawa den memberi isyarat kepada teman-temannya
untuk tidak turun tangan. "Heh-heh-heh, nona In Hong. Di antara kita orang-orang
sendiri, perlu apa ribut-ribut hanya untuk urusan kosong belaka" Kita menghadapi
urusan yang lebih besar, kalau saling gempur sendiri, bukankah merugikan kita
sendiri" Yalima ini belum mempelajari sejuruspun ilmu dariku, maka kalau dia
memang tidak suka menjadi muridku dan lebih suka denganmu, silakan. Akupun tidak
perlu memperebutkannya."
Melihat sikap mongalah dan ucapan yang nadanya ramah itu, In Hong merasa
tidak enak sendiri. Betapapun juga, yang menyelamatkan nyawa Yalima adalah nenek
ini dan dara itu telah diambil murid oleh nenek ini. Jadi sesungguhnya dialah
yang melanggar aturan, mencampuri urusan guru dan murid yang tidak ada bedanya
dengan mencampuri urusan antara anak dan orang tuanya.
"Akupun tidak mempunyai permusuhan dengan kalian," katanya dengan teguran
halus. "Dan andaikata urusan antara Yalima dan engkau baik-baik saja, akupun
tidak akan berani mencampuri, Go-bi Sin-kouw. Akan tetapi melihat seorang dara
hendak diperkosa oleh seorang laki-laki, sampai matipun aku tidak rela dan
siapapun laki-laki itu, pasti akan kutentang!"
"Heh-heh-heh, Toat-beng-kauw, sekali ini engkau harus mengglah!" Go-bi Sinkouw berkata sambil tertawa. "Kita lupa bahwa di sini hadir seorang tokoh Giokhong-pang yang terkenal sebagai pembenci kaum pria. Sudahlah, nona In Hong. Aku
mengalah dan menyerahkan Yalima kepadamu, akan tetapi engkaupun harus berjanji
bahwa kita adalah segolongan dan kalau kelak kita membutuhkan bantuan, kuharap
engkau tidak menolak membantu kami menghadapi lawan-lawan tangguh."
"Aku tidak akan berjanji apa-apa, Sin-kouw. Akan tetapi akan kuingat bahwa
kalian bukan musuh-musuhku di saat ini dan telah memperlibatkan sikap
bersahabat. Mudah-mudahan kelak kalianpun akan tetap bersikap demikian. Nah, aku
hendak pergi bersama Yalima sekarang."
"Aih, nona muda yang gagah perkasa. Urusan kecil itu mengapa masih membuat
nona marah" Maafkanlah aku yang tidak tahan melihat gadis cantik jelita yang
telah diserahkan oleh gurunya kepadaku ini. Harap engkau dan nona Yalima
bermalam di sini dan besok baru melanjutkan perjalanan." Toat-beng-kauw Bu Sit
juga berkata membujuk. Orang termuda dari Ngo-sian Eng-cu (Lima Bayangan Dewa)
ini cukup cerdik untuk mengerti maksud hati Go-bi Sin-kouw, maka dia mengalah
pula, menghapuskan kekecewaan hatinya, karena urusan kehilangan calon korban
gadis itu hanyalah merupakan hal kecil saja kalau dibandingkan dengan urusan
permusuhan mereka terhadap golongan Cin-ling-pai yang amat kuat. Gadis ini lihai
sekali dan andaikata mereka berlima dapat mengalahkannya dan membunuhnya, hal
itu hanya akan membikin mereka rugi besar saja. Menurut cerita nenek itu, gadis
ini biarpun menjadi adik kandung Yap Kun Liong, bahkan tadinya hendak dijadikan
calon mantu oleh ketua Cin-ling-pai, akan tetapi gadis ini tidak mau bahkan
telah memperlihatkan sikap bermusuhan dengan Cin-ling-pai, sudah bentrok pula
dengan puteri ketua Cin-ling-pai, maka dapat dijadikan sebagai sekutu untuk
kelak jika mereka telah berhadapan langsung melawan Cin-ling-pai.
Akan tetapi In Hong masih merasa panas hatinya sehingga bujukan dan sikap
manis dari Bu Sit ini diterimanya dengan senyum mengejek dan dia menngeleng
kepala. "Kami berdua harus pergi sekarang juga. Selamat tinggal. Mari, Yalima!"
Setelah berkata demikian, In Hong menyarungkan pedangnya, menyambar lengan
Yalima dan dara Tibet ini menjerit ngeri ketika tiba-tiba tubuhnya dibawa
"terbang" keluar dari tempat itu dan menghilang di dalam kegelapan.
Setelah In Hong bersama Yalima menghilang, nenek berpakaian serba hitam Hek
I Siankow menyarungkan pedang sambil bersungut-sungut, "Ihh, Sin-kouw, sungguh
keterlaluan sekali. Tentu kita dianggap takut melawan dia! Betapa memalukan!"
Go-bi Sin-kouw terkekeh-kekeh dan memukul-mukul tongkatnya di atas lantai.
"Siankouw, sabar dan tenanglah, pikir baik-baik. Siapa takut terhadap anak ayam
itu" Akan tetapi kita harus bersikap cerdik. Urusan antara dia dan kita, hanya
mengenai diri Yalima yang belum menjadi muridku dan kalau Toat-beng-kouw
menghendaki gadis cantik, apa sih sukar nya bagi dia" Mengapa urusan perawan
Tibet, bocah dusun itu, harus merugikan kita semua" Yap In Hong adalah murid
terkasih dari ketua Giok-hong-pang, sebaiknya bersahabat dengan dia daripada
bermusuh. Cin-ling-pai saja sudah merupakan musuh yang harus kita hadapi dengan
pengerahan tenaga kita yang bergabung, apalagi kalau harus ditambah dengan Giokhong-pang sebagai musuh, betapa akan beratnya bagi kita."
"Go-bi Sin-kouw sungguh benar, dan tepat sekali!" Toat-beng-kauw berkata.
"Nona itu memang lihai sekali, kalau kita bisa menarik dia, apalagi gurunya dan
seluruh Giok-hong-pang berdiri di fihak kita untuk menghadapi Cin-ling-pai,
tentu kedudukan kita akan menjadi jauh lebih kuat lagi."
"Hemmm, kalau begitu biarlah aku bersabar hati. Besok kalau kita tidak
membutuhkan dia lagi, aku pasti akan mencarinya untuk membalas tantangannya yang
amat merendahkan hati ini, baru hatiku akan puas!" Hek I Siankouw mengomel dan
mereka lalu kembali ke ruangan untuk menyiram hati yang panas dengan arak
sebelum pergi beristirahat.
Sementara itu, setelah keluar dari Giok-kee-san, In Hong mengajak Yalima
melanjutkan perjalanan dan baru mereka berhenti setelah tiba di sebuah tempat
perhentian di pinggir jalan yang kecil dan atapnya sudah banyak rusak. Mereka
duduk di atas bangku kayu yang sudah reyot pula.
"Enci In Hong, engkau telah menjadi banyak repot karena diriku," kata
Yalima. Tempat itu amat gelap dan mereka hanya saling dapat melihat bayangen
mereka di dalam penerangan remang-remang dari cahaya bintang-bintang di langit.
In Hong menghela napas panjang. "Yang membikin aku repot bukanlah engkau,
Yalima, melainkan kaum pria macam Toat-beng-kauw itulah. Selama dunia masih
terdapat banyak laki-laki macam dia, aku akan selalu repot karena aku akan
berusaha untuk menentang den membasmi mereka."
"Enci In Hong, sekarang kita hendak pergi ke mana?"
"Kita beristirahat di sini sampai malam lewat. Besok kita ke Cin-ling-san
menyusul pacarmu dan engkau akan kuserahkan pada mereka."
"Dan engkau...?"
"Aku akan pergi. Sudahlah, kau boleh tidur melepaskan lelah di lantai ini,
dan jangan ganggu aku."
In Hong lalu duduk bersila di sudut tempat itu, tidak bicara lagi. Yalima
juga tidak berani mengganggu dan dara Tibet ini lalu rebah melingkar di atas
lantai mencoba untuk monidurkah tubuhnya yang sudah amat lelah itu. In Hong
melamun. Sebetulnya, hanya pada lahirnya saja dia kelihatan tidak perduli akan
keadaan kakaknya, karena dia memang sejak kecil dilatih untuk bersikap dingin.
Namun, di lubuk hatinya, dia merasa amat kasihan kepada kakak iparnya, dan
kasihan kepada kakak kandungnya yang tentu akan hancur hatinya kalau melihat
isterinya tewas secara menyedihkan itu. Maka dia sudah mengambil keputusan, di
dalam hatinya. Setelah dia mengantar Yalima ke Cin-ling-pai, menyerahkan dara
itu kepada Cia Bun Houw yang sudah sepatutnya mengawini gadis ini, dia akan
pergi untuk melakukan penyelidikan, mencari pembunuh kakak iparnya yang tadinya
dia sangka tentulah Go-bi Sin-kouw akan tetapi yang belum ada buktinya itu. Dia
akan mencari pembunuh itu sampai ketemu, dan membalaskan dendam kematian kakak
iparnya. Dan diapun akan menyelidiki Lima Bayangan Dewa, yaitu Toat-beng-kauw Bu
Sit yang dibencinya, bersama kawan-kawannya, dan mencoba untuk merampas pedang
Siang-bhok-kiam dan menyerahkan pedang pusaka itu kepada gurunya. Dengan
demikian barulah dia akan mengangkat nama gurunya, dan gurunya tentu akan merasa
bangga sekali. *** Dara remaja yang belum dewasa benar itu berjalan seorang diri di dalam hutan
yang amat lebat. Wajahnya yang cantik jelita, terutama bentuk mulutnya yang
manis, kini nampak pucat dan layu, matanya agak kemerahan karena terlalu banyak
menangis, rambutnya yang hitam panjang dan halus itu kusut, demikian pula
pakaiannya yang agaknya sudah beberapa hari tidak pernah diganti. Langkahlangkahnya gontai dan pandang matanya sayu, kosong memandang ke depan, Kadangkadang dia menarik napas panjang yang bercampur isak.
Dara remaja ini adalah Yap Mei Lan, puteri Yap Kun Liong yang melarikan diri
dari rumah orang tuanya dengan hati hancur. Dia bukan anak kandung ibunya!
Kenyataan yang amat menyakitkan hati ini membuat dia lari pada malam hari itu,


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lari begitu saja tanpa membawa apa-apa, tanpa tujuan karena dia hanya menurutkan
dorongan hati yang kecewa, penasaran dan berduka. Ibunya adalah orang pertama di
dunia ini yang dicintainya, yang dibanggakannya sebagai wanita tercantik di
dunia, barulah ayahnya yang hanya menjadi orang kedua baginya. Akan tetapi
ibunya, orang yang dicintanya, dan dihormatinya, dijunjungnya dan dibanggakannya
itu ternyata bukan ibu kandungnya! Dia tidak mau pulang lagi! Biar dia mati di
jalan daripada harus menghadapi ibunya yang kini tidak lagi menjadi ibunya! Dia
anak haram, dia anak pungut, anak tidak sah. Rasa marah dan penasaran terhadap
ayahnya timbul. Mengapa ayahnya menipunya" Mengapa tidak sejak kecil memberi
tahu bahwa ibunya tercinta itu bukan ibu kandungnya!
Tubuhnya sudah lemas. Biarpun sejak kecil Mei Lan telah digembleng secara
tekun oleh ayah bundanya yang memiliki kepandaian tinggi, dan tubuhnya yang
bagaikan bunga mulai mekar, bagaikan buah mulai meranum itu amat kuat dan
memiliki daya tahan yang luar biasa, menyembunyikan tenaga sin-kang yang kuat
sekali, namun karena dia menghadapi pukulan batin yanj hebat, ditambah selama
empat hari terus malakukah perjalanan sambil menangis tanpa makan atau minum,
bahkan tidak pernah tidur, kini tubuhnya hampir tidak kuat lagi dan dia
melangkah seperti boneka hidup, kedua kakinya bergerak otomatis memasuki hutan
yang besar dan lebat itu.
Teringat dia betapa ibunya juga amat mencintainya. Ibunya tidak mempunyai
anak lain, dan kalau dia bukan anak kandung ibunya, berarti ibunya memang tidak
mempunyai anak dan tentu saja dia amat disayang, tidak perduli bahwa dia bukan
anak kandung ibunya. "Ibuuu...!" Mei Lan tersandung, jatuh di bawah sebatang pohon dan teringat
ibunya, hatinya perih seperti ditusuk dan dia menangis, menelungkup di atas
rumput. Tiba-tiba terdengar suara ketawa terkekeh-kekeh dan cekikikan di atas
pohon. Biarpun tubuhnya lemas sekali, berkat latihan ilmu silat sejak kecil, secara
tiba-tiba saja tubuh Mei Lan dapat meloncat bangkit dan dia sudah duduk dan
memandang ke atas. Matanya yang masih basah air mata, itu terbelalak, wajahnya
yang sudah pucat menjadi makin pucat ketika dia melihat mahluk-mahluk seperti
setan dan iblis ternyata memenuhi pohon besar itu, ada yang berjongkok di atas
cabang, ada yang bergantungan dengan kepala di bawah. Tubuh mereka itu seperti
manusia, akan tetapi muka mereka mengerikan, ada yang merah seperti darah, ada
yang putih seperti kapas, dengan mata lebar dan mulut penuh gigi besar-besar
bertaring! Jantung Mei Lan berdebar seperti hendak melarikan diri dari dalam
dadanya ketika dia melihat pemandangan yang mengerikan itu, dan sejenak hanya
dapat memandang terbelalak ke atas, berganti-ganti memandang tujuh mahluk aneh
yang mengeluarkan suara tertawa-tawa itu.
Tujuh mahluk yang bertubuh manusia bermuka setan itu kini berloncatan ke
bawah, gerakan mereka ringan dan mereka sudah mengepung Mei Lan sambil
berjingkrak menari-nari dan tertawa-tawa. Di balik rasa ngeri dan takutnya yang
hebat, timbul kemarahan di hati Mei Lan. Setan atau bukan, mereka ini datang
menggodaku, pikirnya marah dan tiba-tiba dara remaja ini mengeluarkan suara
melengking nyaring, tubuhnya menerjang ke depan dan dia sudah menghantamkan
tangan kanannya dengan jari-jari terbuka ke arah seorang iblis berwajah biru.
Iblis itu tertawa dan menangkis.
"Plakkk! Desss...!"
Iblis muka biru itu terpelanting dan berteriak kesakitan, sedangkan enam
iblis lainnya mengeluarkan seruan aneh karena terkejut. Mereka agaknya sama
sekali tidak menyangka bahwa gadis cilik ini telah memiliki kesaktian sedemikian
hebatnya sehingga seorang di antara mereka sampai terpukul roboh! Seorang di
antara mereka yang berwajah merah mengeluarkan suara aneh dan kini enam orang
itu yang berdiri mengurung Mei Lan, kemudian mereka mengangkat kedua lengan ke
atas, jari-jari tangan mereka bergerak-gerak dan mulut mereka mengeluarkan suara
perlahan dengan bibir berkemak-kemik seperti orang membaca mantera, mata mereka
yang melotot lebar itu mengeluarkan sinar yang berpengaruh dan aneh.
Mei Lan berdiri di tengah-tengah, memutar-mutar tubuh memandang mereka
dengan mata terbelalak penuh kengerian dan ketakutan, kemudian pandang matanya
terpikat oleh gerakan-gerakan jari tangan mereka dan telinganya penub dengan
suara mereka yang tidak dia mengerti maknanya. Kemudian ketika enam orang itu
bergerak mengelilinginya dengan jari-jari tangan masih bergerak-gerak, dia
merasa kepalanya pening dan
pandang matanya berkunang. Beberapa kali matanya terpejam dan dibukanya
kembali dengen paksa, kepalanya diguncang keras untuk mengusir kepeningan karena
dalam keadaan pening dan mengantuk, amat berbahaya menghadapi lawan, apalagi
lawan-lawan yang aneh dan menyeramkan ini.
Akan tetapi tiba-tiba di antara suara perlahan seperti membaca mantera itu
terdengar suara yang jelas, perlahan akan tetapi berwibawa, "Nona kecil, engkau
amat lelah dan mengantuk, mengapa tidak tidur" Tidurlah!"
Mei Lan mendengar suara ini dan memang dia amat lelah dan mengantuk, maka
anjuran itu amat menyenangkan dan otomatis dia menjawab, "Aku mau tidur."
"Ya, tidurlah! Rebahlah di atas rumput halus. Tidurlah...!"
Di sudut hatinya Mei Lan merasa aneh sekali dan tidak semestinya kalau dia
tidur padahal menghadapi orang-orang atau setan-setan aneh ini, akan tetapi rasa
kantuknya tak dapat dilawannya lagi dan seluruh tubuhnya sudah lelah seperti
kehabisan tenaga. Maka dia lalu menjatuhkah diri berlutut, dan menggulingkan
diri rebah miring dan suara itu masih terus mengiang di telinganya,
"...tidurlah... tidurlah dengan nyenyak... tidurlah...!"
Selanjutnya Mei Lan sudah tidak tahu apa-apa lagi. Dia tidur sedemikian
nyenyaknya seperti orang pingsan atau mati hingga dia tidak merasa lagi betapa
dia digotong oleh setan-setan berwajah menyeramkan itu, dibawa ke sebuah lereng
bukit yang menyambung hutan itu, dibawa ke sebuah perkampungan kecil yang hanya
terdiri dari beberapa buah pondok.
"Nona, bangunlah...!"
Suara ini terdengar amat jauh, akan tetapi begitu jelas memasuki telinga Mei
Lan dan dia membuka kedua matanya. Tubuhnya terasa nyaman den pikirannya tenang,
dia tidak ingat apa-apa lagi, yang teringat hanya bahwa dia harus bangun! Ketika
dia bangkit den duduk, ternyata dia berada di sebuah kamar den tadi tidur di
atas pembaringan. Beberapa orang yang mukanya mengerikan berada di kamar itu,
dan seorang di antara mereka duduk tak jauh dari pembaringannya, yaitu si muka
merah yang matanya mengeluarkan sinar penuh kekuatan mujijat.
"Nona, perutmu lapar sekali, engkau makanlah. Makanan sudah tersedia di meja
makan dan minumlah sekenyangnya, nona. Tidak ada perasaan sungkan dan takut
dalam hatimu. Makanlah."
Perut Mei Lan berkeruyuk. Memang sudah empat lima hari dia tidak makan dan
tidak minum. Dan matanya melihat nasi dan masakan berada di atas meja dekat
pembaringan, masih mengepulkan uap den baunya sedap sekali. Seperti dalam mimpi
rasanya, dan tanpa sungkan-sungkan lagi, Mei Lan lalu turun dari pembaringan,
duduk di atas bangku menghadapi meja makan dan makanlah dara remaja ini
sekenyangnya. Pulih kembali tenaganya dan wajahnya yang tadinya pucat kembali
menjadi kemerahan. Akan tetapi ketika dia yang tidak biasa minum arak itu hanya
minum air teh yang tersedia di situ, terdengar suara si muka merah. "Arak wangi
berada di depanmu itu dapat menambah tenaga. Kauminumlah arak itu, nona."
Suara itu meresap ke dalam hatinya dan tak dapat dilawannya lagi, otomatis
tangannya meraih cawan terisi arak dan diminumnya arak itu. Akan tetapi, baru
saja cawan itu menempel di bibirnya, bibir dan lidahnya merasakan sesuatu yang
membuatnya terkejut. Tidak percuma Mei Lan menjadi puteri Pendekar Sakti Yap Kun
Liong yang sejak kecil selain sudah menerima gemblengan ilmu silat, juga oleh
ibunya telah diberi tahu akan tanda-tanda makanan maupun minuman yang mengandung
racun. Begitu bibir dan lidahnya merasai bahwa arak itu mengandung racun
pembius, seketika dia teringat akan ayah ibunya dan teringat akan kesemuanya.
Bukan main kaget dan herannya melihat betapa dia menurut saja kepada suara yang
menyuruhnya itu, makan sampai kenyang dan hampir saja minum arak beracun. Adanya
racun dalam arak yang disuruh minum oleh si muka merah itu, sekaligus
menyadarkannya bahwa dia berada di dalam cengkeraman orang-orang jahat!
Teringatlah dia betapa di dalam hutan dia telah merobohkan seorang di antara
mereka, betapa kemudian enam orang itu dengan cara aneh telah membuat dia tidak
dapat melawan, bahkan dia lalu tidak ingat apa-apa lagi. Dia tentu telah kena
sihir! Ingatan ini membuat Mei Lan menjadi marah dan tiba-tiba dia bangkit
berdiri, membalik dan memandang si muka merah dan tiga orang lain yang agaknya
menjaga di situ. "Ehh...!" tiga orang penjaga yang mukanya juga mengerikan sudah bangkit dan
menghampirinya, sedangkan si muka merah dengan mengangkat tangannya ke arah muka
Mei Lan membuat gerakan-gerakan dengan jari tangannya.
"Nona... kauminumlah arak itu... minumlah... minumlah...!" Suaranya
mengandung getaran yang amat berpengaruh dan hampir saja Mei Lan menggerakkan
tangan yang memegang cawan itu ke mulutnya. Akan tetapi karena dia sudah
teringat dan sadar, dia maklum bahwa suara berpengaruh itu adalah suara musuh
yang tidak seharuanya diturut, maka dengan marah dia lalu melemparkan cawan arak
itu ke arah si muka merah sambil membentak, "Minumlah sendiri!"
Si muka merah terkejut, cepat mengelak akan tetapi tetap saja arak yang
muncrat dari cawan itu mengenai mukanya. Tiga orang lainnya sudah menubruk maju
karena melihat bahwa dara itu telah dapat melepaskan diri dari ikatan sihir.
Akan tetapi kini Mei Lan sudah sadar benar dan dia menggerakkan kaki tangannya
menghadapi tigia orang itu.
Kaki dan tangan Mei Lan berukuran kecil saja, akan tetapi mengandung tenaga
yang amat dahsyst karena dia menggerakkannya dengan pengerahan tenaga sin-kang.
Dua orang roboh oleh tamparan kedua tangannya dan orang ketiga yang menubruk
dari belakangnya, bertemu dengan kaki Mei Lan yang melakukan tendangan sambil
memutar tubuh. Kakinya melayang tinggi ke atas, tepat menghantam muka orang
ketiga itu. "Desss... auughhh...!" Orang itu terpelanting dan roboh terguling dan Mei
Lan melihat betapa tendangannya yang tepat mengenai dagu orang itu membuat
topeng orang itu terbuka! Kiranya wajah-wajah menyeramkan itu hanyalah topeng
belaka, topeng yang amat baik buatannya sehingga kalau dipakai hampir tidak
kelihatan seperti topeng dan di balik topeng itu adalah wajah seorang laki-laki
yang biasa saja! Hal ini membesarkan hati Mei Lan dan dia sudah meloncat ke depan ketika
melihat si muka merah menyambar sebatang toya kuningan dari sudut kamar. Toya
itu memapakinya dan menyambar secepat kilat ke arah leher. Mei Lan menundukkan
muka, merendahkan sedikit tubuhnya dan dari bawah tangan kirinya yang dikepal
menyambar ke depan, kakinya bergerak maju dan pukulan tangan kirt itu mengarah
dada lawan. Akan tetapi si muka merah itu agaknya pandai juga ilmu silat. Dia
cepat meloncat ke samping dan toyanya kembali sudah menyambar ke arah kaki Mei
Lan dengan serampangan yang kuat sekali. Akan tetapi tiba-tiba si muka merah
terkejut setengah mati karena dara itu lenyap dari depannya! Dia adalah seorang
yang biasa menyamar seperti setan akan tetapi kini dia menjadi ngeri melihat
dara itu bisa "menghilang" seperti setan pula!
"Setan muka merah, aku di sini!" Mei Lan mengejek dan memang anak ini pada
dasarnya berwatak jenaka. Kini setelah dia sadar benar dan dapat mengussai
keadaan, timbul kenakalannya sehingga dia mempermainkan si muka merah atau si
topeng merah. Lawannya menggereng marah, membalik sambil menggerakkan toyanya
yang kini dimainkan dengan cepat, diputar-putar dan secara bertubi-tubi
menerjang ke arah Mei Lan yang meloncat dan mengelak ke sana ke mari dengan enak
dan mudah saja. "Sialan!" Mei Lan mengejek. "Kiranya kalian hanya setan-setan palsu saja!
Aku tidak membunuh kalian hanya karena mengingat bahwa kalian sudah memberi
makan kepadaku. Hayo buka kedok merahmu itu!"
Akan tetapi si muka merah yang menjadi makin marah itu menyerang terus, dan
Mei Lan menjadi repot juga. Cepat dia meloncat tinggi ke atas dan seperti tadi,
dia hendak melewati kepala lawan. Akan tetapt sekali ini si muka merah sudah
maklum bahwa gadis cilik itu lihai sekali gin-kangnya, maka dia sudah
mengejarnya dengan sodokan toya dari bawah. Melihat ini, Mei Lan menangkap ujung
toya dan kakinya menotok ke bawah.
"Aduhhh...!" Si muka merah berteriak, toyanya terlepas dan dia menggunakan
kedua tangan untuk menutupi muka karena hidungnya yang tercium ujung kaki kiri
Mei Lan telah remuk tulang mudanya dan berdarah!
Pada seat Mei Lan meloncat turun ke bawah dan membalik, ternyata di pintu
telah muncul sembilan orang bertopeng setan dan dipimpin oleh seorang kakek
bermuka putih yang cepat berkata, "Tangkap dia dan jangan lukai dia! Pangcu
(ketua) menghendaki dia dalam keadaan utuh dan segar!"
Sembilan orang itu menubruk. Mei Lan melawan sekuatnya dan membagi-bagi
pukulan akan tetapi karena sembilan orang itu maju berbareng dan meringkusnya,
apalagi kakek muka putih itu lihai sekali dan telah berhasil menotok pundaknya,
akhirnya gadis cilik ini dapat diringkus dan dibelenggu kaki tangannya, kemudian
digotong keluar dari kamar itu, menuju ke sebuah ruangan yang besar dan dia
dibaringkan di atas sebuah dipan kayu.
Mei Lan berusaha untuk mengerahkan tenaga membebaskan diri dari belenggu
itu, namun sia-sia belaka. Belenggu yang mengikat kedua kaki dan tangannya itu
terbuat dari kulit kerbau yang amat kuat sehingga memaksanya putus sama dengan
melukai kulit kaki tangannya. Maka dia bersikap tenang dan memutar leher
memandang ke ruangan itu. Ruangan itu luas sekali dan tak jauh dari situ, di
tengah ruangan, dia melihat beberapa orang duduk mengitari meja besar dan
bercakap-cakap. Mereka terdiri dari lima orang, agaknya merupakan pimpinan dari
perkumpulan manusia setan itu. Kakek tua bermuka putih yang tadi memimpin anak
buah menangkapnya juga duduk di situ, bersama tiga orang yang lain menghadap
seorang kakek yang membuat Mei Lan menggigil karena ngeri. Kakek ini memang luar
biasa sekali. Tubuhnya bongkok, punggungya menonjol, pakaiannya serba putih dan
mukanya mengerikah sekali. Kepalanya gundul, matanya hanya tampak putihnya saja,
tidak ada manik matanya, hidungnya bengkok dan mulutnya yang tidak bergigi lagi
itu kelihatan mengejek, mukanya sudah penuh keriput dan dia kelihatan sudah tua
sekali, terlalu tua untuk hidup! Dan ternyata bahwa kakek gundul ini adalah
ketua mereka, karena terdengar kakek bermuka putih bertanya. "Pangcu, apa yang
akan kita lakukan terhadap gadis cilik yang liar itu?"
Kakek gundul itu menoleh ke arah Mei Lan dan kembali Mei Lan menggigil.
Setelah kini kakek itu menoleh dan wajahnya nampak jelas, benar-benar amat
menjijikkan dan menyeramkan. Mata itu benar-benar tidak ada hitamnya, putih
semua dan bergerak-gerak. Mata dan wajah seperti itu tidak pantas menjadi wajah
manusia, pantasnya menjadi wajah setan di neraka! Akan tetapi jangan-jangan dia
memakai topeng seperti anak buahnya, pikir Mei Lan.
"Heh-heh, kalian tidak tahu. Bocah seperti inilah yang selalu kucari-cari.
Kebetulan sekali kalian menemukan dia di hutan pada saat kita hendak mengadakan
upacara sembahyang di bulan purnama. Selain dia ini seorang perawan yang
berdarah bersih, juga tubuhnya terlatih dan hawa murni yang dilatih mengitari
tubuhnya membuat darahnya lebih bermanfaat lagi. Tunggu saja kalian malam nanti,
beberapa tetes darahnya akan memperkuat tenaga batin kalian dan akan
meningkatkan kekuatan sihir kalian."
Mereka tertawa-tawa dengan girang sambil menoleh ke arah Mei Lan. Mendengar
percakapan itu, tentu saja Mei Lan menjadi terkejut dan juga takut sekali.
Mereka itu bukan manusia! Mereka adalah iblis-iblis yang ingin menghisap
darahnya! "Lepaskan aku...!" Mei Lan tiba-tiba menjerit dengan keras.
Lima orang itu bangkit dari bangku mereka dan memandang ke arah Mei Lan yang
meronta-ronta. Kakek gundul berkata. "Biarkan dia mengerahkan tenaganya, itu
baik sekali untuk memperkuat jalan darahnya sehingga kita akan memperoleh darah
segar malam nanti." Makin takutlah hati Mei Lan. Wajah lima orang kakek itu benar-benar
menyeramkan sekali, dan membayangkan betapa darahnya akan disedot oleh iblisiblis ini, dia merasa ngeri dan tak tertahankan lagi dia menjerit dengan
pengerahan khi-kangnya. Jerit melengking yang terdengar sampai jauh dan bergema
di seluruh bukit. Ketua itu terkejut dan sekali dia meloncat, tubuhnya sudah
melayang dekat Mei Lan, tangan yang kasar dan seperti penuh koreng dan penyakit
gatal, kemerahan dan bernanah itu bergerak menotok jalan darah di leher Mei Lan.
Seketika gadis itu kehilangan suaranya dan dia memandang penuh kengerian kepada
kakek ini, kemudian memejamkan mata karena tidak tahan saking jijiknya.
Kakek itu lalu berjalan kembali ke meja di tengah ruangan dan berkata,
"Malam nanti kumpulkan semua anggauta. Setelah upacara sembahyang kita berpesta
semeriah mungkin untuk menghormati para arwah yang kita undang malam nanti.
Apakah untuk keperluan hidangan dan lain-lain sudah cukup semua?"
"Sudah, pangcu. Para hartawan di Liong-si-jung sekali ini menyumbang sepuluh
ekor babi di samping uang untuk segala keperluan makanan, sedangkan lurah dan
hartawan dusun Beng-nam-jung di sebelah utara bukit menyumbangkan uang
secukupnya dan lima puluh guci besar arak wangi."
"Bagus... tidak percuma kita melindungi kedua dusun itu." Kakek gundul
berkata dan selanjutnya mereka bercakap-cakap mengatur rencana pesta malam
nanti, akan tetapi Mei Lan sudah tidak mendengarkan lagi karena gadis ini sibuk
dengan kekhawatirannya sendiri. Dia adalah seorang gadis yang pemberani, akan
tetapi sekali ini, berada di dalam cengkeraman manusia-manusia seperti iblis
itu, dia merasa ngeri dan takut sekali. Air matanya mengalir dan diam-diam dia


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyesal mengapa dia telah meninggalkan rumah ayahnya yang aman dan tenteram.
Hatinya kini menjerit-jerit memanggil ayah dan ibunya, dan kenyataan bahwa
ibunya bukanlah ibu kandungnya tidak teringat lagi pada saat seperti itu. Kalau
ada ayahnya dan ibunya, iblis-iblis ini tentu akan dibasmi habis dan dia akan
dapat diselamatkan! "Ayah...! Ibu...! Tolonglah aku... tolonglah...!" hatinya menjerit-jerit
karena mulutnya sudah tidak dapat mengeluarkan suara lagi.
Orang-orang macam apakah yang mendirikan perkumpulan aneh ini" Kakek gundul
itu adalah seorang bekas tokoh dari perkumpulan rahasia Pek-lian-kauw. Semua
tokoh Pek-lian-kauw mempelajari ilmu sihir dan kakek ini tadinya juga seorang
tosu Pek-lian-kauw yang diusir dari perkumpulan kebatinan itu karena dia telah
menyeleweng dari peraturan Pek-lian-kauw dan menggunakan kepandaian demi
keuntungan diri pribadi. Setelah terusir dari Pek-lian-kauw dan tidak diakui
lagi, tosu ini lain menggunduli rambut kepalanya dan dia lalu menggunakan
kepandaian silat dan sihirnya untuk mendirikan perkumpulan baru, perkumpulan
kebatinan yang memuja roh-roh dan melatih sihir yang katanya akan membuat batin
menjadi kuat dan dengan bantuan roh-roh itu kelak akan dapat memperoleh tempat
yang menyenangkan setelah mati! Dengan kepandaian silat dan sihirnya, bekas
tokoh Pek-lian-kauw yang kini menggunakan nama julukan Jeng-hwa Sian-jin
(Manusia Dewa Beribu Bunga) itu dapat mengelabui rakyat di dusun-dusun sehingga
banyaklah yang menjadi murid dan anak buahnya, banyak pula suami isteri dari
dusun-dusun yang suka menyumbangkan segala milik mereka untuk mengalami
kenikmatan "sorga dunia" di bawah pimpinan kakek yang kini mukanya seperti iblis
itu. Sebetulnya, sebelum keluar dari Pek-lian-kauw, tokoh ini telah dihukum oleh
para pimpinan Pek-lian-kauw sehingga mukanya menjadi rusak, punggungnya bongkok
dan kedua matanya buta. Akan tetapi, berkat kepandaiannya yang tinggi, dia masih
dapat menggunakan keburukan mukanya ini sebagai modal sehingga menimbulkan
kepercayaan kepada orang-orang yang selalu mengejar keanehan-keanehan di dunia
ini. Sedikit pelajaran sihir dan sulap, juga ilmu silat, membuat para anggotanya
makin tunduk dan percaya kepada kakek ini yang membentuk perkumpulan yang diberi
nama Jeng-hwa-pang (Perkumpulan Seribu Bunga). Satu di antara kepercayaan yang
disebarkan oleh Jeng-hwa Sian-jin adalah bahwa untuk dapat "bersahabat" dengan
para roh, setan dan iblis yang kelak akan menjadi pembantu-pembantu mereka, muka
para anggota itu harus menggunakan topeng yang seburuk-buruknya, makin buruk
makin baik sehingga para iblis dan setan tidak merasa rendah bercampuran dengan
manusia-manusia yang mukanya buruk itu. Inilah sebabnya maka semua anggauta yang
aktip membantu kakek itu, semua memakai topeng setan dan si ketua sendiri karena
memang mukanya sudah buruk, tanpa topeng pun sudah paling jelek dan menakutkan
diantara mereka semua. Dan memang sebab terutama yang menggerakkan ketua itu
mengeluarkan kepercayaan aneh ini adalah untuk mengangkat harga dirinya yang
dirasa menurun karena mukanya yang buruk.
Akan tetapi, bukan hanya karena sekedar menerima ilmu-ilmu sihir dan sulap
saja yang menarik hati para anggauta pembantu dan anggauta luar yang terdiri
dari orang-orang dusun. Berbondong-bondong mereka datang dan masuk menjadi
anggauta, bukan hanya sendirian melainkan membawa pula isteri-isteri mereka.
Yang amat menarik hati mereka adalah setiap kali diadakan pasta di waktu bulan
purnama, sebulan sekali pesta berlangsung setelah diadakan upacara sembahyang
kepada para roh dan dewa termasuk iblis-iblis yang berkeliaran di permukaan
bumi. Pesta itulah yang menarik hati mereka karena dalam saat-saat pesta
berlangsung, mereka benar-benar merasakan "sorga dunia" yang amat luar biasa.
Pesta yang bagi orang-orang biasa tentu dianggap mesum dan kotor akan tetapi
bagi mereka yang melakukan semua itu di luar kesadaran mereka karena mereka
sudah berada di bawah pengaruh sihir mujijat, sama sekali bukan mesum dan kotor,
melainkan merupakan tanda betapa roh-roh itu benar-benar telah menjadi sahabatsahabat mereka dan mereka merasa terjamin kelak setelah merekapun menjadi rohroh tanpa jasmani lagi. Di dalam pesta itu, setelah mereka semua berada dalam
keadaan tidak sadar, roh-roh itu "meminjam" tubuh mereka untuk bersenang-senang
dan terjadilah kemesuman di antara mereka, di tempat terbuka dan terjadi
permainan cinta yang kotor, bertukar isteri dan suami begitu saja tanpa ada yang
merasa tersinggung, tanpa ada rasa malu karena yang melakukan itu adalah "rohroh" yang bersenang-senang dan mereka itu hanya "meminjamkan" tubuh mereka saja
untuk menyenangkan roh-roh dan setan-setan itu agar kelak mereka suka membantu
mereka sesudah mereka meninggal dunia!
Malam itu bulan purnama muncul dengan cerahnya, tanpa ada awan yang
menghalang, dan sinarnya sejuk menerangi seluruh ruangan terbuka yang menjadi
tempat pesta dari perkumpulan Jeng-hwa-pang itu. Mei Lan masih terikat kaki
tangannya dan kini dia dibaringkan terlentang di atas dipan yang diletakkan di
pinggir lapangan terbuka itu. Ketua Jeng-hwa-pang telah duduk di atas sebuah
kursi, tersenyum-senyum dan wajahnya yang putih pucat itu bersinar-sinar,
kelihatan girang sekali, akan tetapi dalam pemandangan Mei Lan kelihatan makin
mengerikan. Para pembantu kakek itu, si kakek muka putih dan beberapa belas
orang yang mukanya bermacam-macam warnanya, sudah hadir pula di situ, jumlah
mereka ada tujuh belas orang. Ada beberapa orang yang memukul tambur dan canang
dan sebagian dari mereka membereskan meja-meja yang penuh dengan hidangan dan
minuman arak. Dari luar datang berbondong-bondong anggauta-anggauta luar, yaitu
para penduduk dua buah dusun di selatan dan di utara bukit yaitu dusun Liong-sijung di selatan dan dusun Beng-nam-jung di utara. Tentu saja tidak semua
penduduk yanq tertarik dan memasuki perkumpulan kebatinan ini, akan tetapi
mereka yang tidak setuju tidak berani menentang setelah tahu bahwa Jeng-hwa-pang
yang hanya terdiri dari belasan orang pimpinan itu ternyata mempunyai ketua yang
amat lihai. Lebih-lebih lagi setelah para penjahat di kedua dusun itu semua
ditundukkan oleh Jeng-hwa-pang, maka tidak ada orang yang berani menentangnya.
Lebih dari tiga puluh pasang suami isteri, sebagian besar masih muda-muda
karena orang-orang yang terlalu tua tidak diperkenankan menjadi anggauta, kini
berbondong datang. Muka mereka semua tertutup topeng sehingga mereka itu tidak
saling mengenal dan inipun merupakan akal dari Jeng-hwa Sian-jin karena dengan
muka bertopeng, mereka dapat melakukan perbuatan mesum tanpa malu-malu atau
takut-takut akan dikenal oleh tetangga atau teman-teman sedusun mereka! Kalau
pesta yang gila sudah memuncak dan tidak ada tubuh yang tertutup pakaian
sedangkan semua wajah barsembunyi di balik topeng yang sama anehnya, siapakah
yang akan saling mengenal" Biarkan para "roh" yang menguasai mereka dan memilih
pasangan masing-masing! Dan dalam kesempatan itu, tentu saja tujuh belas
anggauta pembantu Jeng-hwa Sian-jin kebagian pasangan dalam pasta gila ini,
karena mereka semua akan melakukan perbuatan mesum secara bergantian dan berapa
kali saja sepuas hati mereka. Hanya Jeng-hwa Sian-jin yang tidak ikut-ikut dalam
pasta mesum ini, karena dia sendiri sudah tidak lagi tertarik melakukan
kemesuman itu, lebih senang menonton sambil memanfaatkan keadaan itu untuk
mengumpulkan hawa mujijat dari semua kemesuman yang tiada taranya itu, di mana
membubung tinggi hawa-hawa mujijat dari kemaksiatan yang dapat ditampungnya dan
dipergunakan untuk memperkuat ilmu hitamnya.
Setelah semua orang berkumpul dan duduk bersila di atas lantai yang luas
itu, semua menghadap ke arah Jeng-hwa Sian-jin yang duduk di atas bangkunya,
kakek gundul ini bangkit berdiri dan mengangkat kedua lengan ke atas.
Berhentilah semua suara, para pemukul tambur dan canang juga berhenti dan mereka
semua menekuk tubuh ke depan memberi hormat kepada ketua mereka yang kini
berdiri dengan punggung bongkok seperti iblis itu.
Mei Lan menoleh dan memandang dengan jantung berdebar penuh rasa ngeri.
Kakek gundul itu mengucapkan kata-kata yang tidak dimengertinya, yang merupakan
kata-kata rahasia perkumpulan itu sebagai isyarat kepada para anggauta untuk
memuja atau bersembahyang kepada dewa bulan. Kini semua orang mengangkat kedua
lengan dengan tangan terbuka dan telapak tangan menghadap bulan purnama,
kemudian mereka semua mengeluarkan nyanyian yang pendek dan aneh, dengan jarijari tangan digerak-gerakkan. Mei Lan terbelalak memandang jari-jari tangan yang
menyeramkan itu dan melirik ke arah bulan. Kebetulan ada awan putih lewat di
bawah bulan dan entah mengapa pemandangan ini amat menyeramkan, seolah-olah awan
yang berbentuk aneh itu muncul tidak sewajarnya, seolah-olah ada hubungannya
dengan gerak jari-jari tangan dan suara nyanyian pujian itu! Suasana menjadi
penuh hikmat dan orang-orang yang berlutut sambil bernyanyi memuja bulan itu
seperti orang-orang kesurupan, tubuh mereka mulai menggigil dan jari-jari tangan
mereka seperti hidup di luar kekuasaan mereka. Wajah-wajah bertopeng menyeramkan
menambah suasana menjadi makin aneh.
Sang ketua menurunkan kedua lengannya sambil berseru keras dan semua orang
kini juga menurunkan lengang mereka kini kembali merighadap dan memandang kakek
gundul itu. "Anak-anakku semua...!" Suara kakek itu halus dan perlahan, akan tetapi
karena dikeluarkan dengan dorongan tenaga khi-kang maka terdengar jelas oleh
mereka semua dan suara itu menjadi penuh kekuatan yang bergetar. "Pada malam
hari ini kita semua patut bergembira karene malam ini para dewa dan roh-roh
halus telah menurunkan berkahnya yang berlimpah kepada kita. Tandanya, lihat
betapa dewi bulan tersenyum ramah kepada kita dan kedua, roh-roh halus yang
mencintai kita malam ini telah sengaja mengirim seorang anak dara yang berdarah
murni kepada kita." Kakek itu menuding ke arah Mei Lan dan semua mata memandang kepada gadis
ini. Banyak di antara mereka, terutama yang pria, bersorak gembira, akan tetapi
ada beberapa orang, sebagian besar wanita, kelihatan meragu dan memandang dengan
mata mengandung kegelisahan.
"Anak-anakku yang tercinta, harap jangan khawatir." Jeng-hwa Sian-jin yang
entah bagaimana dengan kedua matanya yang seperti buta itu dapat mengerti akan
kekhawatiran ini, berkata pula. "Roh-roh halus yang menjadi sahabat-sahabat kita
selalu senang dengan korban, dan sekali ini mereka telah memilih sendiri korban
yang berupa dara cantik jelita dan darahnya murni ini. Darah anak ini akan
mengangkat kalian setingkat lebih tinggi dan lebih dekat dengan roh-roh halus
yang malam ini pasti akan berdatangan dengan bahagia."
"Akan tetapi... saya takut dengan pembunuhan..." Terdengar suara seorang
wanita di antara mereka itu.
"Saya juga takut..." Dan dua tiga orang wanita mengeluarkan suaranya yang
semua menyatakan ngeri dan takut.
Jeng-hwa Sian-jin tertawa dan mengangkat kedua lengannya ke atas. "Apa
artinya mati dan hidup bagi roh-roh halus dan bagi kita yang telah bersahabat
baik dengan mereka" Ahh, apakah selama ini menerima ajaran-ajaranku kalian masih
belum mengerti" Tidak ada yang membunuh atau dibunuh... anak dara ini hanya
menyumbangkan darahnya kepada kita. Andaikata dia kemudian menjadi roh halus
juga, jasanya besar dan dia akan memperoleh tempat baik dan kelak juga akan
menjadi sahabat kita di antara roh-roh halus lainnya. Nah, bersyukurlah untuk
kemurahan roh-roh halus itu!"
Tujuh belas orang anak buah Jeng-hwa Sian-jin bersorak dan segera diikuti
oleh mereka semua. Agaknya jalan pikiran orang-orang dusun itu sudah demikian
dikuasai oleh Jeng-hwa Sian-jin sehingga apapun yang diucapkan oleh kakek itu
mudah saja mereka telan dan percaya bulat-bulat.
"Sekarang marilah kita mulai dengan mengundang roh-roh yang kita cintai
untuk berpesta malam ini."
Ucapan kakek ini disambut dengan sorak gembira oleh mereka semua. Dengan
bantuan beberapa orang anggota dalam, kakek itu lalu memasang lilin di empat
penjuru sebuah meja yang sudah dipersiapkan, kemudian memasang dupa dan
bersembahyang. Setelah menaruh hio (dupa) di atas tempat dupa di meja itu,
delapan orang pembantunya duduk mengelilingi meja dan menaruh tangan mereka di
atas meja. Kakek gundul itu membaca mantera berulang-ulang, mengacungkan kedua
tangan ke atas dan delapan orang pembantunya itu memejamkan mata. Tak lama
kemudian, meja itu mulai bergerak-gerak, keempat kakinya tergetar dan perlahanlahan mulai terangkat dari atas lantai!
Seorang pembantu lain, kakek berambut dan bermuka pucat yang merupakan
pembantu utama dari Jeng-hwa Sian-jin, maju sambil membawa sebuah keranjang yang
sudah diperlengkapi seperti kalau orang membuat jailangkung. Keranjang itu sudah
dipasangi kayu melintang seperti dua lengan, diberi baju dan di tengahnya
dipasangi sebatang pensil bulu.
Jeng-hwa Sian-jin mengambil keranjang ini dan meletakkan keranjang di atas
meja yang sudah bergerak-gerak itu, kemudian dia menyalakan dupa, bersembahyang
dan menancapkan dupa di bagian atas keranjang. Dua orang pembantu maju memegangi
keranjang dari kanan kiri dan setelah mereka membaca mantera, keranjang itupun
mulai bergoyang-goyang! Para anggota memandang semua ini dengan sinar mata penuh takjub dan kagum,
dan kini mereka diperbolehkan maju seorang demi seorang untuk minta kepada setan
keranjang itu memanggilkan roh seorang yang mereka cintai, yaitu orang-orang
yang telah mati. Ada yang memanggil roh ayahnya, ibunya atau saudara atau temanteman mereka yang sudah mati. Setiap kali seorang anggauta memanggil roh,
keranjang itu bergerak-gerak, pensil di tengahnya ikut bergerak dan setelah
dicelupkan tinta lalu pensil itu menuliskan sebuah nama, yaitu nama roh orang
yang dipanggil, ke atas kain putih yang sudah disediakan di depannya!
Kini sudah dipanggil berpuluh-puluh roh halus dan mulailah ada yang
kesurupan. Ada yang tiba-tiba jatuh dan berkelojotan, ada yang tertawa-tawa dan
keadaan di situ tak lama kemudian menjadi amat menyeramkan bagi Mei Lan yang
sejak tadi menonton sambil terlentang. Semua orang itu telah kesurupan atau
kemasukan roh! Kacau-balau di situ, tingkah laku mereka seperti orang-orang
gila. "Dipersilakan sahabat-sahabat roh halus yang hadir untuk menikmati
hidangan!" Terdengar Jeng-hwa Sian-jin berseru dan mulailah para anggota itu
menyerbu hidangan-hidangan di atas meja-meja tadi dengan tingkah laku kasar,
seolah-olah mereka itu sudah lama sekali tidak pernah makan. Mereka makan dengan
lahap, menuang arak ke dalam mulut dan tempat itu menjadi kacau tidak karuan.
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring seorang laki-laki. "Penjahat-penjahat
keji, bebaskan gadis itu!"
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu muncul seorang pemuda yang gagah
perkasa gerakannya, berpakaian sederhana berwarna kuning, dan pemuda ini
langsung melangkah ke arah Mei Lan yang terikat di atas dipan.
"Berhenti!" Tiba-tiba para pembantu Jeng-hwa Sian-jin bergerak dan sudah
menghadang di depan pemuda itu. Delapan orang sudah mengurungnya dipimpin oleh
kakek berambut putih, karena para pembantu yang lain masih berada di sekeliling
meja tadi dalam keadaan tidak sadar.
"Siapakah engkau berani mengotori tempat upecara kami yang suci?" Bentak
kakek berambut putih tadi sambil memandang dengan mata melotot kepada pemuda
itu. "Aku siapa bukan soal penting. Akan tetapi kalian telah menawan seorang
gadis yang tidak berdosa dan aku mendengar tadi hendak dijadikan korban dalam
upacara sembahyang setan ini. Lepaskan dia, kalau tidak terpaksa aku akan turun
tangan dan membasmi perkumpulan setan ini!"
"Tangkap dia!" Tiba-tiba Jeng-hwa Sian-jin yang sejak tadi hanya menonton,
kini berteriak marah. Delapan orang itu menubruk maju akan tetapi terdengar suara mereka mengaduh
berturut-turut dan tubuh mereja terlempar ke belakang ketika pemuda itu sudah
menggerakkan kaki tangannya, cepat dan kuat bukan main gerakannya sehingga dalam
segebrakan saja delapan orang itu telah mendapat bagian pukulan atau tendangan.
Kemudian dia meloncat mendekati dipan di mana Mei Lan rebah terlentang.
"Bocah lancang...!" Terdengar suara kakek berambut putih dan tubuhnya
menerjang maju. Mendengar datangnya angin pukulan yang dahsyat juga, pemuda itu membalik,
lalu menggunakan tangan menangkis pukulan kakek itu.
"Dukkkk!" Kakek itu terkejut karena tangan itu kuat sekali, dan si pemuda
sudah cepat menggerakkan kaki menendang, akan tetapi dapat ditangkis pula oleh
si kakek rambut putih. Sementara itu, delapan orang yang tadi roboh sudah bangun
kembali dan bahkan mereka yang tadi bertugas memanggil roh telah disadarkan oleh
ketua mereka dan kini ikut mengepung pemuda itu. Bahkan mereka telah memegang
senjata masing-masing dengan sikap mengancam. Anehnya, para penduduk dusun lakilaki dan wanita melihat ini seperti tidak perduli atau tidak melihat saja dan
mereka itu masih makan minum dengan gembira dan dengan sikap kasar seperti
orang-orang yang tidak waras lagi otaknya.
"Tahan... jangan bunuh dia...!" Tiba-tiba Jeng-hwa Sian-jin berseru dan
dengan beberapa loncatan saja dia sudah tiba di tempat itu, membuka kepungan dan
menghadapi pemuda itu. Sejenak kedua orang itu saling pandang den jelas bahwa wajah kakek itu
membuat si pemuda perkasa menjadi ngeri dan jijik.
"Orang muda, aku adalah Jeng-hwa Sian-jin, ketua dari Jeng-hwa-pang yang
saat ini sedang mengadakan upacara sembahyangan. Siapa engkau orang muda yang
berani mengganggu upacara suci kami?" tanyanya, suaranya halus dan penuh wibawa.
"Namaku Tio Sun dan aku kebetulan saja lewat di tempat ini. Pangcu, aku sama
sekali tidak akan mencampuri urusan orang lain, apalagi mengganggu upacara
sembahyanganmu betapapun anehnya itu. Akan tetapi melihat bahwa engkau telah
menawan seorang gadis, tentu saja aku tidak dapat mendiamkannya dan aku menuntut
agar gadis ini dibebaskan sekarang juga!"
"Ha-ha-ha, engkau tidak tahu, orang muda. Eh, Tio Sun, ketahuilah bahwa


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gadis ini memang dipilih oleh roh-roh halus untuk menjadi korban, dan engkau
sendiri, Tio Sun, kedatanganmu ini adalah atas kehendak roh-roh halus yang malam
ini datang sebagai undangan kami. Engkau seorang pemuda perkasa, seorang perjaka
murni yang tentu akan menggembirakan roh-roh wanita yang malam ini hadir."
Pemuda itu mengerutkan alisnya yang tebal dan memandang tajam. "Apa... apa
maksudmu...?" Dia bertanya bingung den melihat kakek itu kini menggerakkan kedua
tangan ke atas, dengan jari-jari tangan bergerak cepat den mulut berkemak-kemik,
dia bertanya lagi, "Apa... yang kaulakukan itu...?"
Pemuda itu boleh jadi seorang yang gagah perkasa dan berkepandaian tinggi,
akan tetapi agaknya dia belum berpengalaman menghadapi ahli-ahli sihir seperti
Jeng-hwa-pang ini. Tanpa disadarinya, perhatiannya itu membuat dia terjebak
dalam perangkap kakek lihai itu.
"Tio Sun... berlututlah... engkau pemuda pilihan roh-roh halus...
berlututlah, karena engkau tak mungkin melawan kekuatan roh-roh halus yang
memancar melalui sinar bulan purnama... berlututlah engkau...!"
Sungguh luar biasa sekali. Pemuda itu menjatuhkan dirinya berlutut! Melihat
ini, Mei Lan yang tadinya sudah merasa girang karena ada orang datang hendak
menolongnya, tiba-tiba menjerit, "Jangaaannn...!" Akan tetapi terlambat karena
pemuda itu telah tunduk dan dicengkeram kekuatan gaib yang pada saat itu
memenuhi suasana tempat itu.
"Tio Sun, engkau tidak akan melawan, engkau telah dipilih untuk menyenangkan
hati para roh halus. Engkau layani mereka bersenang-senang dan engkau tidak
ingat apa-apa lagi kecuali hanya menjadi pelayan mereka..." Suara ketua yang
berkepala gundul itu penuh getaran. "Engkau mengerti...?"
Tio Sun yang masih berlutut menjawab dengan anggukan, "Aku mengerti..."
Jeng-hwa Sian-jin tertawa dan meninggalkan Tio Sun yang masih berlutut di tempat
itu. "Dia tidak berbahaya lagi dan akan menambah kemeriahan pesta nanti."
katanya kepada anak buahnya. Pesta makan minum dilanjutkan sampai habis semua
masakan dan minuman di atas meja.
Atas isyarat ketua gundul itu, dua orang anak buahnya menabuh tambur dan
canang, dan dengan mata terbelalak Mei Lan melihat mereka semua kini bangkit dan
menari-nari! Tarian lenggak-lenggok tidak karuan, hanya mengikuti irama tambur
dan canang, akan tetapi makin lama makin bersemangat mereka menari-nari, dan
sebagian besar menari dengan mata terpejam. Kemudian mulailah baju-baju
beterbangan karena mereka itu mulai menanggalkan baju mereka sambil menari terus
dan terdengar syara ketawa cekikikan ketika beberapa orang wanita yang hampir
telanjang menghampiri Tio Sun yang masih berlutut, kemudian lima enam orang
wanita itu sambil tertawa cekikikan mengeroyok pemuda ini, ada yang menciumi,
memeluk dan ada yang mulai merenggut-renggut pakaian pemuda itu. Dan yang lainlain juga sudah memilih pasangan masing-masing dan terjadilah hal-hal mengeriken
di tempat itu. Mei Lan tidak kuat memandang terus karena mereka itu ada yang
mulai menanggalkan seluruh pakaiannya bertelanjang bulat tanpa malu-malu lagi
dan di atas semua kebisingan suara mereka, terdengar suara ketawa Jeng-hwa Sianjin! "Siancai... siancai... betapa kotornya tempat ini...! Hai manusia-manusia
tersesat, ingatlah akan kemanusiaan kalian...!" Ucapan yang tiba-tiba terdengar
ini disusul pekik melengking yang amat dahsyat, yang mengejutkan semua orang
bahkan membuat mereka roboh terguling seperti disambar petir.
Tio Sun juga terkejut dan lebih kaget lagi ketika dia baru sekarang sadar
akan keadaannya, di-"keroyok" oleh enam orang wanita yang setengah telanjang,
bahkan ada yang telanjang bulat sama sekali, sedangkan dia sendiripun hampir
telanjang. "Aihhhh...!" Dia berteriak keras dan enam orang wanita itu terjangkang ke
kanan kiri ketika pemuda itu meronta dan mendorong, kemudian sambil membereskan
pakaiannya, Tio Sun meloncat dan menyambar pedangya yang tadi menggeletak tak
jauh dari situ. Ketika pemuda itu menoleh ke arah gadis yang tadi terbelenggu di atas dipan,
dia melihat seorang kakek tua renta berpakaian putih, rambut, kumis dan
jenggotnya sudah putih semua, menghampiri dipan itu. Dia dapat menduga bahwa
tentu kakek aneh inilah yang tadi mengeluarkan teriakan-teriakan dahsyat itu.
Dia melihat betapa kakek gundul Jeng-hwa Sian-jin, mengeluarkan seruan keras
sekali menerjang kakek berpakaian putih, sambil menggerakkan tongkat ular di
tangannya. "Plakk... krekkk... desssss!" Kakek berpakaian putih ini hanya mengangkat
lengannya menangkis dan... tongkat ular itu patah-patah dan Jeng-hwa Sian-jin
terlempar ke belakang. "Si keparat laknat!" Jeng-hwa Sian-jin berseru dan kini dia berdiri
berhadapan dengan kakek berpakaian putih yang kelihatan tenang-tenang saja itu.
"Sababat, kau insyaflah betapa kedua kakimu sudah berada di lumpur
kesesatan! Masih belum terlambat bagi siapapun untuk keluar dari lumpur
kesesatan, kembali ke jalan kebenaran," kakek itu berkata, suaranya halus dan
lembut. Akan tetapi Jeng-hwa Sian-jin mengeluarkan suara gerengan, seperti seekor
srigala terluka. "Manusia sombong, lihatlah ini... dan engkau akan mati menjadi
setan penasaran!" Tio Sun mengeluarken seruan kaget dan Mei Lan menjerit ketakutan ketika dari
kedua tangan kakek itu kini muncul seekor binatang seperti naga, matanya
bercahaya, mulutnya mengeluarkan api bernyala-nyala dan naga itu menerkam ke
arah si kakek yang menghadapinya dengan tenang. Kembali kakek itu hanya
mengangkat tangannya menangkis, menyambut naga yang dahsyat itu sambil berseru,
"Siancai...! Segala kepalsuan akan menghancurkan diri sendiri, orang murtad!"
"Darrr...!" Naga itu meledak dan lenyap, dan Jeng-hwa Sian-jin terbanting ke
atas tanah, dari mulut, hidung dan telinganya mengalir darah dan dia
berkelojotan seperti orang sekarat! Kakek itu menggeleng kepalanya dan menarik
napas panjang, kemudian dia membalikkan tubuhnya dan sekali raba saja belenggu
kaki dan tangan Mei Lan patah semua.
"Lociainpwe, teecu Yap Mei Lan menghaturkan terima kasih..." Dara remaja itu
menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu yang memandangnya dengan tersenyum.
Sementara itu, orang-orang dusun yang tadi sekaligus sadar kembali dan
seolah-olah semua ibils dan roh jahat yang memasuki tubuh mereka lari minggat
terusir oleh pekik dahsyat dari kakek tadi, kini kelihatan panik, mencari
pasangan atau suami isteri masing-masing, menyambar pakaian mereka dan lari
pontang-panting meninggalkan tempat itu untuk pulang ke rumah mereka masingmasing. Setelah berada dalam keadaan sadar, tentu saja mereka menjadi ketakutan
melihat pertempuran tadi. Apalagi ketika anak buah Jeng-hwa-pang yang tujuh
orang itu kini sudah berteriak-teriak marah melihat ketua mereka roboh dan
dengan senjata di tangan mereka sudah maju untuk menerjang kakek berpakaian
putih itu. Akan tetapi tiba-tiba tampak sinar pedang berkelebat den robohlah empat
orang anggota Jeng-hwa-pang. Semua orang terkejut memandang dan kiranya Tio Sun
yang sudah menghadang di depan mereka. Serentak mereka maju mengeroyok dan
mengamuklah pemuda itu. Kini setelah dia tidak berada di bawah pengaruh sihir,
jelas kelihatan betapa hebatnya pemuda ini memainkan pedangnya. Tubuhnya
berkelebatan ke sana-sini dan pedangnya yang tertimpa sinar bulan itu bergulunggulung seperti seekor naga mengamuk. Tangan kirinyapun tidak tinggal diam dan
setiap kali pukulan tangan kirinya mengenai tubuh seorang pengeroyok, tentu yang
terpukul itu roboh dan tak dapat bangun kembali karena pemuda itu memukul dengan
pengerahan lwee-kang yang amat kuat. Baru tampak, bahwa pemuda itu sesungguhnya
adalah seorang pendekar muda yang amat lihai sehingga gentarlah hati semua
pengeroyoknya. Setelah dua belas orang roboh dan tewas, yang lima orang cepat
melarikan diri tunggang-langgang.
Keparat keji hendak lari ke mana kalian?" Pemuda itu hendak mengejar, akan
tetapi terdengar suara halus mencegahnya,
"Cukup, sicu. Cukup mengerikan pembunuhan-pembunuhan ini...!"
Tio Sun menghentikan pengejarannya dan menengok. Dia hanya melihat kakek tua
renta tadi menuntun Mei Lan dan sekali berkelebat kakek itu lenyap dari tempat
itu, tangan kanan menuntun gadis tadi, tangan kiri membawa sebuah peti hitam
yang tadi berada di atas meja dekat ketua Jeng-hwa-pang.
Tio Sun maklum bahwa kakek tadi adalah seorang yang amat sakti, maka dia
cepat berlutut dan berseru ke arah menghilangnya kakek itu, "Teecu mohon tanya
nama locianpwe yang mulia!"
Hening sejenak, kemudian, seperti terbawa angin bersilir, terdengarlah
olehnya jawaban halus. "Aihh... apa artinya nama" Jangan khawatir, sicu, gadis
ini berada di bawah perlindungan Bun Hoat Tosu..."
"Ahhh...!" Tio Sun terkejut dan sampai lama dia berlutut di situ. Pernah dia
mendengar dari ayahnya bahwa yang bernama Bun Hoat Tosu dan sampai kini tidak
ada orang tahu di mana tempat tinggalnya, entah masih hidup ataukah sudah mati,
adalah seorang yang memiliki kesaktian luar biasa, den kakek itu adalah bekas
ketua Hoa-san-pai, satu di antara tokoh-tokoh besar sejak puluhan tahun yang
lalu! Pemuda ini adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi dia
masih hijau dan belum ada nama dalam dunia kang-ouw, karena baru sekarang dia
diperkenankan oleh ayahnya yang menjadi gurunya sendiri untuk merantau. Tio Sun
adalah putera tunggal dari Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan, bekas pengawal Panglima The
Hoo yang mendapat kepercayaan penuh dan yang memiliki kepandaian tinggi. Seperti
telah diceritakan di bagian depan dari cerita ini, bekas pengawal Ban-kin-kwi
(Setan Bertenaga Selaksa Kati) Tio Hok Gwan itu bersama Hong Khi Hoatsu
kebetulan sedang bersama-sama mengunjungi Cin-ling-san ketika mereka melihat
tokoh-tokoh Cin-ling-pai, yaitu tujuh orang dari Cap-it Ho-han telah tewas oleh
mereka yang menamakan dirinya Lima Bayangan Dewa. Tio Hok Gwan ikut merasa
berduka dan marah, akan tetapi karena dia sendiri merasa bahwa dirinya sudah
terlalu tua untuk turun tangan sendiri, maka dia lalu pulang ke rumahnya dan
mengutus putera tunggalnya itu untuk mewakili dia membantu Cin-ling-pai dan
mencari Lima Bayangan Dewa dan membasmi orang-orang jahat itu.
Tio Sun adalah seorang pemuda berusia dua puluh tahun, berperawakan tegap
dan bersikap gagah. Wajahnya tidak terlalu tampan, matanya terlalu sipit seperti
mata ayahnya, akan tetapi mata yang kecil itu bersinar tajam dan wajahnya yang
biasa saja itu membayangkan kegagahan, kejujuran, sikapnya halus akan tetapi
tegas dan terbuka. Setelah dapat menenteramkan hatinya yang terguncang karena kagum mendengar
bahwa kakek yang menolong dara remaja tadi ternyata adalah manusia sakti Bun
Hoat Tosu, Tio Sun lalu bangkit berdiri dan memeriksa keadaan di tempat itu.
Kakek gundul yang seperti iblis itu, Jeng-hwa Sian-jin telah tewas karena ilmu
sihirnya yang membalik dan menyerang dirinya sendiri tadi, dan amukannya tadi
telah membuat dua belas orang pembantu kakek gundul itu tewas semua. Teringatlah
dia akan cara persembahyangan mereka yang menyeramkan tadi, dan dia heran apakah
roh tiga belas orang ini benar-benar akan diterima oleh roh-roh halus itu dan
diberi tempat yang enak, yang jelas mereka itu mati dalam keadaan yang tidak
enak dilihat dari perbuatan mereka sendiri. Tio Sun lalu menyalakan api dan
membakar bangunan-bangunan di perkampungan penuh kemaksiatan ini sehingga api
berkobar tinggi membakar bangunan-bangunan itu berikut mayat tiga belas orang
Jeng-hwa-pang. Dia sendiri lalu pergi dari situ.
Pada keesokan harinya, Tio Sun mengunjungi dua buah dusun di sebelah selatan
dan utara bukit, yaitu dusun Liong-si-jung dan Beng-nam-jung. Ditemuinya kepalakepala dusun itu dan diceritakannya tentang penduduk yang terpikat menjadi
anggota perkumpulan pemuja iblis itu. Dianjurkan kepada kepala-kepala dusun itu
untuk memperingatkan penduduknya agar jangan sampai mudah terpikat lagi oleh
orang-orang jahat yang berlindung di belakang perkumpulan-perkumpulan kebatinan
yang menyesatkan dengan membonceng kebodohan dan ketahyulan para penduduk dusun.
Setelah pemuda itu menceritakan bahwa perkumpulan itu telah dibasmi dan dibakar,
dua orang kepala dusun menghaturkan terima kasih dan tentu saja mereka lalu
berani bertindak. Para penduduk dusun dikumpulkan dan mereka yang pernah menjadi
anggota Jeng-hwa-pang ditegur dan diancam hukuman kalau berani melanjutkan
upacara sembahyangan yang menyesatkan itu.
Tio Sun lalu melanjutkan perjalanannya, memasuki dunia kang-ouw dan mencaricari di mana adanya Lima Bayangan Dewa yang telah mengacau Cin-ling-pai dan
telah mencuri pedang Siang-bhok-kiam.
*** Dengan pakaian kotor terkena lumpur yang basah dan kini sudah kering lagi,
Kun Liong duduk bersila di depan kuburan isterinya tercinta. Dia sudah dapat
menekan kedukaannya yang amat hebat, wajahnya pucat sekali, matanya kehilangan
gairah hidup dan dalam waktu tiga hari saja rambut di kepalanya sudah banyak
yang menjadi putih! Duka maupun suka timbul dari pikiran. Segala sesuatu yang terjadi di dalam
dunia ini, yang menimpa diri manusia, adalah peristiwa yang telah terjadi, yang
merupakan fakta dan yang setelah terjadi tidak lagi dapat dirubah oleh siapapun
juga. Apakah peristiwa itu mandatangkan duka maupun suka, tergantung sepenuhnya
kepada penanggapan manusia terhadap fakta itu. Jika pikiran yang menangapi, maka
timbullah duka atau suka. Pikiran mengingat-ingat, membanding-bandingkan keadaan
sebelum dan sesudah peristiwa terjadi, kerugian bagi dirinya sendiri, yang
menyenangkan dan yang menyedihkan, yang kesemuanya itu berpusat pada diri
pribadi. Menenggelamkan diri ke dalam gelombang suka duka yang diakibatkan oleh
permainan pikiran yang mengingat-ingat, sama sekali tidak ada gunanya. Di dalam
hal kematian seorang yang kita cinta, kalau memang benar kita mencinta orang
yang mati itu, mencinta demi dia, bukan demi diri sendiri, kiranya berduka demi
si mati adalah tidak wajar, karena kita tidak tahu apakah benar keadaannya itu
patut kita dukakan. Kita tidak tahu bagaimana keadaannya sesudah mati, agaknya
tidak akan lebih buruk daripada waktu hidup di dalam dunia yang penuh dengan
kesengsaraan ini, maka kedukaan kita biasanya ditujukan kepada rasa iba diri
karena kita ditinggalkan orang yang kita cinta, karena kita kehilangan seorang
yang memberi kesenangan pada kita. Dan biasanya, sudah menjadi pendapat umum
bahwa rasa duka semacam ini, yang sesungguhnya mendukakan diri sendiri, dianggap
sebagai tanda cinta terhadap si mati! Padahal, faktanya si mati tetap mati dan
tidak akan berobah oleh tangis air mata darah kita! Betapapun pahit kenyataan
ini, akan tetapi sudah sepatutnya kalau kita membuka mata akan kenyataan hidup
yang serba palsu ini sehingga kita sadar apa yang kita lakukan.
Yap Kun Liong adalah seorang pendekar yang memiliki kepandaian dan memiliki
batin yang kuat. Akan tetapi malapetaka yang menimpa dirinya terlalu hebat
baginya. isterinya yang terkasih tewas terbunuh orang, dan puterinya yang
tercinta melarikan diri tanpa ada yang tahu apa yang menyebabkannya. Maka
pukulan batin itu membuat dia seperti lumpuh dan kehilangan semangat. Pada saat
itu, dia sudah berhasil menekan kehancuran hatinya dan sudah mengambil keputusan
untuk meninggalkan kuburan isterinya dan pergi mencari Mei Lan dulu sebelum
menyelidiki tentang kematian isterinya yang amat aneh, karena betapapun juga,
dia masih sangsi apakah benar Giok Keng sampai hati membunuh isterinya. Dan
andaikata benar Giok Keng yang membunuh Hong Ing, apa pula yang menjadi sebabnya
karena sepanjang pangetahuannya, isterinya tidak ada hubungan dengan puteri
ketua Cin-ling-pai itu. "Yap Kun Liong, apa yang kaulakukan di sini?"
Pertanyaan yang tiba-tiba dengan suara besar dan nyaring serta mengandung
getaran amat kuat ini mengejutkan Kun Liong. Cepat dia meloncat berdiri
membalikkan tubuhnya, akan tetapi betapa kaget dan herannya ketika dia melihat
bahwa yang menegurnya itu bukan lain adalah Kok Beng Lama pendeta sakti dari
Tibet yang menjadi ayah mertuanya itu! Tentu saja kehadiran orang ini seolaholah merobek lagi luka di hatinya yang sudah mulai mengering dan dia lalu
menjatuhkan diri berlutut sambil
"Gak-hu... gak-hu... ahhh... Hong Ing... isteriku...!" Dia tidak dapat
melanjutkan kata-katanya karena pendekar ini saking sedihnya sudah terguling dan
roboh pingsan lagi! "Huh, cengeng dan lemah...!" Kok Beng Lama bersungut-sungut, dengan langkah
lebar dia menghampiri Kun Liong, memeriksa detik jantung dan pernapasan dan dia
kaget juga memperoleh kenyataan bahwa mantunya itu ternyata mengalami tekanan
batin yang amat hebat. Cepat dia lalu menotok beberapa jalan darah di tengkuk
dan punggung dan Kun Liong siuman kembali.
"Bocah lemah, hayo katakan kenapa engkau menjadi begini cengeng dan lemah,
menangis di kuburan! Kuburan siapa yang kautangisi ini?" Kakek itu menuding ke
arah gundukan tanah yang masih baru itu.
"Gak-hu (ayah mertua)... ini... ini adalah kuburan... Hong Ing..."
Sepasang mata yang lebar itu terbelalak dan alis yang tebal itu terangkat ke
atas. "Hahh..." Apa kau bilang" Hong Ing...?"
"Dia... dia tewas terbunuh orang ketika saya sedang pergi..." Run Liong
berlutut dan menutupi mukanya.
"Dan kau sudah membalas kematiannya" Sudah kautangkap pembunuhnya?"
"Saya... saya belum tahu siapa dia..."
"Bodoh! Cengeng! Hentikan tangismu dan ceritakan apa yang telah terjadi atas
diri anakku, Hong Ing!"
Suara kakek raksasa itu seperti petir menyambar-nyambar, nyaring dan
menggetarkan jantung sehingga mengejutkan Kun Liong yang maklum betapa marah


Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hati ayah mertuanya ini. "Saya sedang pergi meninggalkan rumah untuk menemui adik saya," dia
bercerita dan menguatkan hatinya sedapat mungkin, "ketika saya pulang, saya
mendapatkan isteri saya... telah tewas. Menurut penuturan dua orang pelayan di
rumah, Hong Ing kedatangan seorang tamu, yaitu puteri ketua Cin-ling-pai, Cia
Giok Keng kakak dari Cia Bun Houw murid gak-hu sendiri... dan menurut dua orang
pelayan, terjadi pertengkaran bahkan kemudian perkelahien antara isteri saya dan
Giok Keng, dan... dan dua orang pelayan itu yang hendak melerai juga dipukul
pingsan... Ketika mereka siuman Giok Keng sudah tidak ada dan... den Hong Ing
sudah tewas dengan dada terluka tusukan pedang..."
"Dan engkau menangis di sini" Keparat, percuma saja kuberikan anakku menjadi
isterimu!" "Gak-hu...!" "Desss...!" Tubuh Kun Liong mencelat den bergulingan di atas tanah terkena
tendangan ayah mertuanya itu. "Keparat engkau! Isterinya dibunuh orang, hanya
menangis saja di depan kuburan seperti anak kecil, dan pembunuhnya kaubiarkan
saja! Hem, manusia lemah macam engkau ini pantasnya kubunuh sekalian!"
Kok Beng Lama yang sudah seperti gila saking marahnya mendengar puterinya
dibunuh orang dan anak mantunya diam saja dan hanya berkabung di situ tanpa
membalas kematian itu, sudah meloncat dekat dan mengirim pukulan ke arah kepala
Kun Liong. Kalau dibiarkan saja pukulan ini dan mengenai kepala Kun Liong, tak
dapat disangsikan lagi pendekar itu tentu akan tewas seketika, menyusul nyawa
isterinya. Betapa akan senangnya kalau begitu, pikir Kun Liong. Akan tetapi dia
teringat akan puterinya, Mei Lan, maka cepat dia mengangkat lengannya menangkis
Kembali dia terpental den bergulingan, akan tetapi tubuh Kok Bang Lama
tergetar juga. "Tahan dulu, gak-hu. Bukannya saya tidak mau membalas kematian isteri saya
yang tercinta. Akan tetapi urusan ini amat aneh dan mencurigakan. Saya mengenal
betul Giok Keng, kiranya mustahil kalau dia membunuh Hong Ing. Dan juga anak
saya, Mei Lan, pada malam hari itu lenyap pula meninggalkan rumah. Karena hati
saya masih terlalu berduka atas kematian Hong Ing, maka sampai ini hari saya
berada di sini..." "Cukup, apa gunanya tangis-tangisan ini. Hayo, kita ajak saksi-saksi itu
pergi mengambil Cia Giok Keng dan minta pengadilan kepada ketua Cin-ling-pai!"
Kok Bang Lama lalu memegang pergelangan tangen Kun Liong dan menyeret pendekar
itu pulang ke rumahnya. Kun Liong menahan air matanya ketika dia menoleh dan
meninggalkan kuburan isterinya, kemudian terpaksa diapun harus mengerahkan ilmu
berlari cepat karena mertuanya itu berlari cepat sekali.
Giam Tun dan Khiu-ma, dua orang pelayan dan pembantu di rumah Kun Liong,
menjadi terkejut dan ketakutan ketika secara kasar kakek raksasa itu memaksa
mereka untuk ikut pergi dan pada seat itu juga, hampir tidak memberi waktu
kepada mereka untuk berganti pakaian den membawa bekal. Kun Liong juga segera
membersihkan diri dan berganti pakaian, kemudian mereka berangkat pada hari itu
juga, menuju ke kota Sin-yang yang terletak di kaki Pegunungan Tapie-san. Di
dalam perjalanan, dua orang pelayan itu diminta oleh Kok Beng Lama menceritakan
lagi pengalaman mereka pada malam hari terbunuhnya Hong Ing itu.
Karena melakukan perjalanan bersama Giam Tun dan Khiu-ma, tentu saja
perjalanan itu tidak dapat dilakukan dengan cepat dan hal ini membuat Kok Beng
Lama menjadi tidak sabar dan seringkali dia mengomel. Pendeta tua ini semenjak
ditinggal pergi muridnya, Cia Bun Houw, yang dipanggil pulang oleh ayahnya ke
Cin-ling-san merasa kesepian sekali di Tibet. Dia merasa gelisah dan disiksa
oleh kesunyian yang ditimbulkan oleh pikirannya sendiri. Kesunyian timbul
apabila kita terikat oleh sesuatu atau seseorang kemudian kita berpisah dari
sesuatu atau seseorang itu. Memang beratlah akibatnya apabila kita terikat yang
sama halnya dengan kebiasaan sehingga membuat kita terbius dan sukar melepaskan
diri atau berjauhan dengan yang telah mengikat kita. Terpisah dari seseorang
yang mengikat kita membuat kita merasa kesenangan dan derita dari kesepian ini
memang amat hebat, tak tertahankan oleh seorang sakti saperti Kok Beng Lama
sekalipun! Pikirannya tiada hentinya mengenangkan orang yang telah mengikat
hatinya, yang kini pergi, membayangkan waktu Bun Houw masih berada di dekatnya.
membayangkan segala perasaan gembira dan senang di waktu pemuda itu masih
menjadi muridaya dan dekat dengan dia. Kenangan dan bayangan akan semua ini
membuat hidupnya menjadi sunyi dan kosong, dan dia merasa tidak kerasan lagi
berada di Tibet. Maka dia lalu turun gunung den pergi ke timur, tidak kuat
melawan kesunyian yang melanda hatinya. Dan muncullah dia di Leng-kok, tempat
tinggal Yap Kun Liong, mantunya.
Bahagia hanya dapat dirasakan oleh orang yang bebas dari segala ikatan, baik
ikatan lahir maupun ikatan batin. Bukan berarti bahwa kita harus acuh atau tidak
perduli, sama sekali tidak. Bahkan sebaliknya, orang yang bebas dari segala
ikatan memperhatikan apapun yang terjadi di luar dan dalam dirinya tidak dapat
memilih-milih dan pilih kasih. Orang yang bebas dari ikatan adalah orang yang
sendirian, bukan berarti mengasingkan diri. Ikatan hanya memperbudak diri.
Cia Giok Keng tinggal di Sin-yang, dekat Sungai Huai, di kaki Pegunungan
Tapie-san, bersama suaminya, Lie Kong Tek den dua orang anaknya. Mereka
mempunyai dua orang anak, yang pertama adalah seorang anak laki-laki bernama Lie
Seng, sedangkan yang kedua adalah seorang perempuan yang diberi name Lie Ciauw
Si. Lie Seng barusia dua belas tahun sedangkan adiknya berusia sepuluh tahun.
Selama belasan tahun berumahtangga, suami isteri ini hidup dengan rukun dan
tenteram di kota itu. Lie Kong Tek bekerja sebagai pedagang kayu bangunan yang
banyak terdapat di Tapie-san dan seringkali mengirimkan kayu-kayu balok melalui
Sungai Huai ke kota-kota lain. Kebidupan keluarga Lie ini tenteram dan cukup,
dan barulah timbul gelombang dalam kehidupan mereka ketika mereka menerima
undangan tokoh Go-bi-pai, yaitu Phoa Lee It, piauwsu di Wu-han. Di tempat ini,
tanpa disangka-sangka, Giok Keng bentrok dengan Yap In Hong, adik Kun Liong yang
telah bersikap keras dan dianggap menghina adik kandungnya di depan umum. Maka
sepulangnya dari kota itu, Giok Keng yang memang berwatak keras itu segera pergi
ke Leng-kok dengan maksud mengunjungi Kun Liong den menegur adik pendeker ini.
Akan tetapi Kun Liong kebetulan tidak ada dan terjadilah peristiwa hebat di
rumah pendekar itu yang mengakibatkan kematian Hong Ing.
Ketika Kun Liong, Kok Bang Lama, dan dua orang pembantu rumah tangga Kun
Liong tiba di depan rumah mereka, Giok Keng den suaminya cepat keluar menyambut.
Wajah Giok Keng merah sekali tanda bahwa dia merasa terguncang hatinya karena
dia maklum bahwa tentu Kun Liong datang untuk menegurnya yang pernah marah-marah
kepada isterinya, bahkan telah memukul pingsan isteri Kun Liong di dalam
pertempuran antara mereka. Akan tetapi karena hatinya masih panas teringat akan
sikap adik pendekar ini di dalam pesta, dia tidak merasa menyesal, bahkan begitu
berjumpa dia lantas menudingkan telunjuknya kepada Kun Liong sambil berkata.
"Yap Kun Liong, bagus sekali ya perbuatan adikmu yang bernama In Hong itu...!"
Akan tetapi sebelum Kun Liong menjawab, Kok Beng Lama sudah melangkah maju
dan berkata dengan suara nyaring, matanya terbelalak lebar, "Apakah engkau yang
bernama Cia Giok Keng?"
Giok Keng terkejut, memandang pendeta berbaju Lama berwarna merah ini,
meragu, kemudian bertanya, "Siapakah locianpwe ini?"
"Dia adalah ayah mertuaku, Kok Beng Lama..."
"Guru Bun Houw...?" Giok Keng terkejut dan memberi hormat, juga suaminya
memberi hormat. Tidak perlu banyak penghormatan yang palsu itu. Cia Giok Keng, engkau tentu pernah mendengar bahwa Pek Hong Ing adalah anakku, bukan?" Pendeta itu
bertanya, suaranya kaku dan dingin.
Giok Keng mengangguk dan tahulah dia sekarang mengapa kakek yang dia dengar
adalah guru dari Bun Houw, seorang pendeta Lama di Tibet yang sakti ini, datang
bersama Kun Liong. Agaknya kakek inipun hendak mencampuri urusan itu!
"Cia Giok Keng, demi Tuhan dan segala dewa, mengapa engkau membunuh anakku?"
Giok Keng terkejut sekali dan menoleh kepada Kun Liong dengan penuh
pertanyaan. Juga Lie Kong Tek yang sejak tadi hanya mendengarkan, mendengar
bentakan kakek itu menjadi kaget sekali dan dia sudah melangkah maju dan
bertanya kepada Kun Liong. "Saudara Kun Liong, apa artinya semua itu" Siapa
membunuh siapa?" Kun Liong menjawab sambil memandang kepada Giok Keng dengan sinar mata penuh
selidik. "Yang terbunuh adalah isteriku, Hong Ing. Dan yang membunuh agaknya
adalah Giok Keng..."
"Ihhh...!" Giok Keng berseru kaget sekali, matanya terbelalak memandang Kun
Liong. "Ahhh...?" Lie Kong Tek sebaliknya kini menoleh dan memandang isterinya
dengan alis berkerut. Isterinya telah menceritakan kepadanya tentang
kunjungannya ke Leng-kok dan tentang percekcokannya dengan isteri Kun Liong.
Isterinya yang jujur menceritakan segalanya, betapa dalam kemarahannya dia
membuka rahasia Mei Lan sehingga nyonya Kun Liong marah dan mereka bertanding
sampai akhirnya dia merobohkan Hong Ing sehingga pingsan bersama dua orang
pelayannya. Untuk itu, Lie Kong Tek telah menegur isterinya dengan keras den dia
bersedia untuk minta maaf kepada Kun Liong. Siapa tahu sekarang kenyataannya
bahkan lebih hebat lagi. Isteri Kun Liong tewas den yang disangka menjadi
pembunuhnya adalah Giok Keng.
"Bukan agaknya lagi!" Kok Beng Lama berkata. "Jelas bahwa nyonya muda yang
keras hati inilah yang membunuh anakku. Cia Giok Keng, hayo jawab mengapa engkau
membunuh anakku?" "Tidak...! Tidak...! Aku tidak membunuhnya!" Wajah Giok Keng menjadi pucat
sekali karena dia tidak mengira bahwa Hong Ing akan dibunuh orang pada malam
hari itu juga setelah dia pergi meninggalkan rumahnya.
"Hemm, membohongpun tidak ada gunanya, lebih baik berterus terang!" Kok Beng
Lama berkata lagi dengan nada penuh ancaman.
Melihat ayah mertuanya kelihatan tak sabar lagi itu, Kun Liong merasa
khawatir dan dia cepat berkata, "Giok Keng, di antara kita semua terdapat
hubungan yang amat erat, bahkan ayah mertuaku adalah guru dari adikmu. Oleh
karena itu, sebaiknya kalau engkau ceritakan dengan jelas apa yang telah terjadi
antara engkau dan mendiang isteriku."
Lie Kong Tek melihat kebijaksanaan ini, maka diapun menjura ke arah Kok Beng
Lama sambil berkata, "Harap locianpwe dan saudara Kun Liong suka duduk di dalam
agar dapat kita membicarakan urusan ini dengan baik."
Akan tetapi dengan mata melotot dan lambaian tangan tidak sabar, Kok Beng
Lama membentak, "Tidak perlu! Hayo cepat ceritakan!"
Giok Keng adalah seorang wanita yang berhati keras dan tidak mengenal takut.
Melihat sikap kakek itu, diapun menjadi penasaran dan segera dia menceritakan
tentang pertemuannya dengan Yap In Hong di tempat pesta dari Phoa Lee It. Setdah
menuturkan peristiwa itu panjang lebar, dia mengakhiri dengan ucapan marah
kepada Kun Liong, "Kaupikir saja, Kun Liong. Adikmu menghina aku di muka umum,
menghina Bun Houw seperti itu. Kalau tidak ada suamiku yang mencegah, tentu
antara aku dan adikmu sudah terjadi pertempuran di tempat pesta itu! Hati siapa
yang tidak menjadi marah" Adikku, Cia Bun Houw direncanakan akan dijodohkan
dengan adikmu, akan tetapi adikmu itu menghina adikku di muka umum. Maka aku
lalu mengunjungimu di Leng-kok dengan maksud untuk menegur agar kau dapat
menghukum adikmu yang lancang mulut itu. Akan tetapi engkau tidak ada, dan aku
dalam kemarahanku memaki-maki engkau dan adikmu. Isterimu membela dan kami
bertempur." "Hemmm... dan kau mengandalkan kepandaianmu membunuh anakku!" Kok Beng Lama
membentak. "Tidak, aku tidak membunuhnya!" Giok Keng membalik, menghadapi kakek itu dan
balas membentak. "Giok Keng, dua orang pelayan ini menjadi saksi betapa engkau dan Hong Ing
bertanding, bahkan merekapun roboh pingsan kaupukul... dan anakku, Mei Lan,
mengapa pula dia lari dan sampai sekarang belum kembali?" Kun Liong menuntut.
Giok Keng teringat akan hal itu. Dia merasa bersalah akan tetapi dengan
terus terang dia berkata lantang, "Karena hatiku panas sekali dan engkau yang
manjadi orang yang kucari tidak ada, maka ketika anakmu itu hendak membela
ibunya, aku terlanjur mengeluarkan kata-kata bahwa dia bukanlah anak kandung
isterimu. Anak itu lalu melarikan diri..."
"Ahhh...!" Kun Liong berseru dan mukanya menjadi merah. "Kau sungguh
keterlaluan sekali, Giok Keng! Anak itu tidak bersalah apa-apa dan isterikupun
tidak berdosa, mengapa engkau..."
"Aku tidak membunuhnya! Dia memang roboh dan pingsan, aku lalu pergi... aku
tidak membunuhnya." Dia bohong...!" Khiu-ma menudingkan telunjuknya. "Tidak ada orang lain di
rumah itu, dan setelah kami berdua pingsan, begitu kami sadar kami melihat
nyonya telah tewas...! Siapa lagi kalau bukan dia yang membunuhnya" Engkau
wanita kejam sekali!" Khiu-ma lalu menangis.
"Cia Giok Keng, engkau telah membunuh anakku, maka sudah selayaknya kalau
aku sekarang membunuh engkau!"
"Locianpwe, harap jangan sembarangan menuduh! Aku memang telah merobohkannya
sampai pingsan, akan tetapi aku tidak membunuh Hong Ing! Sampai matipun aku
tidak akan mengaku, karena aku memang tidak membunuhnya."
Kok Beng Lama sudah bergerak ke depan, akan tetapi Kun Liong cepat
menghadang di depan ayah mertuanya itu sambil berkata, "Harap gak-hu
bersabar..." "Keparat! Anakku dibunuh orang dan kau minta aku bersabar?"
"Gak-hu, saya percaya bahwa gak-hu tidak akan bertindak ceroboh dan
mempersulit persoalan ini. Biarpun saksi-saksi memberatkan dan keadaannya
seolah-olah Giok Keng yang membunuh isteri saya, akan tetapi Giok Keng tidak
mengaku dan buktipun tidak ada. Kalau sekarang gak-hu membunuh dia, bukankah
keadaan menjadi berlarut-larut" Ingatlah, dia adalah puteri ketua Cin-lingpai..." "Aku tidak takut! Biar ketua Cin-ling-pai dan senenek moyangnya maju, aku
tidak takut membalas kematian anakku!"
"Gak-hu, ingatlah. Locianpwe Cia Keng Hong adalah seorang yang berjiwa
besar, seorang pendekar yang terkenal bijaksana dan budiman. Sedangkan Bun Houw
adalah murid gak-hu sendiri, bagaimana gak-hu kini akan membunuh kakaknya begitu
saja" Sebaiknya kita besikap bijaksana, mengajak Giok Keng untuk menghadap ke
Cin-ling-pai. Di sana kita minta keadilan dan saya pereaya bahwa Cia-locianpwe
tentu akan memberi keputusan yang seadil-adilnya."
Reda juga kemarahan Kok Beng Lama. Dia mangangguk dan menarik napas panjang.
Kisah Para Pendekar Pulau Es 2 Raja Naga 10 Misteri Labah-labah Perak Pedang Naga Kemala 4

Cari Blog Ini