Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen Bagian 16
menolak, maka itu, terpaksa ia tenggak araknya hingga tiga cawan. Habis minum,
baharu ia hendak bicara, atau kupingnya mendengar suara beradunya gelang tangan
dibarengi dengan tersingkapnya gorden, lalu muncul satu nona yang cantik, yaitu
puterinya, Topuhua. "Ah, Thio Toako, benar-benar kau!" berkata si nona sambil tertawa. Sama sekali
ia tidak tunjukkan sikap likat. "Aku tadinya menyangka ayah memperdayakan
aku!..." Nona ini berbicara dengan sungguh-sungguh. Ayahnya mengetahui rahasia hatinya,
ayah itu menjanjikan akan merekoki jodohnya dengan Tan Hong, untuk itu, ayahnya
hendak mencari Tan Hong, tetapi dia kalah perang, dia mesti berangkat pulang.
Topuhua sudah menyangka, seumurnya ia tidak akan bertemu pula dengan Tan Hong,
hal itu membuatnya ia berduka, lalu mendadak, malam itu ayahnya memberitahukan
padanya bahwa "orang yang ia hendak menemuinya itu akan datang menghadiri
pesta," hingga ia menjadi girang berbareng ragu-ragu, ia sangsi kalau-kalau ayah
itu mendustai padanya, tetapi buktinya sekarang, ia lihat si pemuda pujaannya
itu! Sebenarnya Yasian telah pesan puterinya, kalau nanti pesta mendekati akhirnya,
baharu si nona boleh muncul, akan tetapi
Topuhua tak sanggup mengendalikan hatinya, maka juga belum sampai waktunya, ia
sudah keluar. Tan Hong tidak terkejut dengan datangnya si nona, malah untuknya, inilah ketika
yang baik sekali. Selagi nona itu berlaku demikian polos, ia pun lekas-lekas
berbangkit, untuk memberikan hormatnya. Lalu ia berkata: "Sungguh beruntung yang
hari ini aku dapat bertemu pula dengan nona!
Terlebih dahulu aku mesti memberi selamat padamu dengan tiga cawan!"
Dan segera ia isikan cawannya.
Topuhua tertawa, wajahnya jadi sangat terang.
Dengan tidak malu-malu, ia terima pemberian selamat si anak muda itu, dengan
diiringi pemuda itu, ia minum araknya. Selama itu terus menerus ia bersenyum
manis. Tan Hong benar-benar gunakan ketikanya. Ia tidak berikan Yasian ketika untuk
membuka mulutnya, kemudian ia berkata pula: "Aku bersyukur untuk pelayanan kau
selama di Touwbokpo, maka untuk itu, silakan kau keringkan tiga cawan pula!"
"Tetapi kau mesti temani aku minum!" kata Topuhua dengan manis.
"Tentu!" sahut Tan Hong. Lantas ia isikan pula tiga cawan, bersama si nona, ia
keringkan cawannya sendiri.
Yasian kerutkan alisnya melihat kelakuan puterinya ini.
"Anakku, jangan minum terlalu banyak, nanti kau pusing," katanya. "Nanti toakomu
tertawai kau, kau akan dikatakan tidak tahu adat..."
Perdana menteri ini bicara kepada anaknya, tetapi maksud yang sebenarnya adalah
untuk menegur Tan Hong. Topuhua tak dapat menangkap maksud ayahnya itu, ia tertawa.
"Cuma beberapa cangkir arak, mana dapat membuatnya aku pusing!" katanya. "Aku
justeru girang sekali yang Thio Toako demikian baik hati..."
Tanpa malu-malu nona ini memanggil "toako" - artinya "engko" - kepada si anak
muda, terutama ayahnya pun menyebut "toako" juga.
Kembali Yasian kerutkan alisnya, ia masgul dan bingung.
"Ah, ayah!" kata Topuhua, ketika melihat roman ayahnya itu. "Baiklah, aku tidak
akan minum pula. Thio Toako, hendak aku membalas memberi selamat tiga cawan
kepadamu!" "Bagus, bagus!" kata Tan Hong tanpa menunggu orang menuangkan arak untuknya.
"Akan aku terima kebaikanmu ini!" Terus ia isi cawannya, terus ia minum, hingga
tiga cawan. Topuhua sangat girang hingga ia seperti melupakan dirinya.
"Sungguh kau manis, Thio Toako1." ia berkata. "Aku kata, kau mesti minum lagi
tiga cawan! Semasa di Touwbokpo kau berlalu tanpa pamitan. Tidakkah untuk itu
kau harus didenda?" "Memang! Memang aku harus didenda!" sahut Tan Hong, yang menerima salah... Ia
sambar poci arak, yang hendak diambil si nona, ia tuangkan isinya, lagi sekali
ia tenggak habis tiga cawan pula!
"Arak sudah cukup!" akhirnya Yasian campur bicara. Ia heran menampak sikap wajar
dari Tan Hong. Tidakkah pemuda dan pemudi itu berada dihadapannya"
"Mari kita dahar sup ikan untuk menghilangkan sedikit pengaruh arak!"
Mendadak Tan Hong buka kancing bajunya, terus ia tertawa besar.
"Jikalau arak bertemu penggemarnya, seribu cawan juga masih kurang!" katanya.
"Sebaliknya, kalau kata-kata tak cocok, setengah patah juga terlalu banyak! Ya,
ya, kalau kata-kata tidak cocok,
setengah patah juga terlalu banyak! Lihat, seribu cawan arak masih belum cukup,
apakah aku sudah hendak dilarang meminumnya terlebih jauh?"
"Ah, Thio Sieheng sudah mabuk!" berkata Yasian.
Tan Hong mainkan kaki tangannya.
"Siapa kata aku sudah mabuk?" katanya. "Siapa kata aku sudah mabuk" Lihat, akan
aku minum pula, kamu saksikan!"
Ia lantas sambar poci arak.
Yasian kedipkan matanya kepada pahlawannya, Ma I Tjan, atas mana, pahlawan itu
maju, untuk mencegah. "Kongtjoe sudah, jangan minum pula!" kata dia. Ia tekan tangan orang.
"Hai, kau berani melarang aku minum?" Tan Hong membentak, tangannya dipakai
mengibas, atas mana, pahlawan itu mesti mundur tiga tindak. Poci arak pun
terlepas dan jatuh. Karena ini merah muka dan kuping si pahlawan.
"Hiantit, hati-hati," kata Yasian. "Arak dapat merusak badan, baik kau jangan
minum pula!" Tan Hong tertawa berkakakan.
"Sejak jaman purbakala hingga sekarang ini," katanya, "aku cuma dengar tuan
rumah yang menganjurkan tetamunya minum arak tetapi belum pernah aku dengar tuan
rumah mencegah tetamunya minum! Inilah tidak ada aturannya! Haha-haha! Haha
nana!" "Ah, benar-benar Thio Sieheng sudah mabuk," berkata pula Yasian. "Lekas sajikan
hidangan yang dapat melenyapkan pengaruh arak itu!"
Tan Hong gerak-gerakkan kaki tangannya, seperti orang menari-nari, ia berlaku
berandalan. "Aku belum mabuk! Aku belum mabuk!" katanya berulang-ulang, akan tetapi lagaknya
seperti orang sinting. Mendadak pula ia rubuh, dari mulutnya keluar air liur,
lalu keluar juga arak yang tadi ia tenggak. Maka bau arak itu membuatnya orang
hendak muntah-muntah! Yasian menggeleng-gelengkan kepala.
"Ah, anak yang baik, kau berpura-pura mabuk!" katanya perlahan. "Apakah dengan
keadaanmu begini rupa akan aku lepaskan kau?"
"Eh, ayah, kau bilang apa?" tanya Topuhua.
"Inilah bukan urusanmu," sahut orang tua itu. "Bila dia suka dengar aku, tidak
nanti aku bunuh padanya!"
Si nona terkejut. "Walaupun dia tidak dengar kata, tidak selayaknya dia dibunuh!" katanya.
"Sudah, jangan banyak bicara!" berkata ayah itu. "Sekarang lekas kau suruh bawa
dia ke kamar belakang untuk beristirahat."
Tan Hong masih rebah di lantai, tubuhnya nampak lemas, mulutnya menganga, dari
situ tersiar baunya susu macan. Mukanya telah menjadi merah seluruhnya, hingga
mirip dengan setan arak yang lupa daratan... Tetapi, meskipun demikian, ia
sebenarnya sadar. Demikian ia dengar suara tindakan ketika Tjeng Kok Hoatsoe dengan perlahan-lahan
menghampiri padanya, tangan pendeta itu merabah nadinya. Ia lantas saja mainkan
ambekannya menurut pengajaran kitab "Hiankong Yauwkoat," dengan begitu, ia tutup
jalan napasnya, ia buat main, hingga nadinya jadi berdenyut tidak keruan, jalan
napasnya pun menjadi kacau.
"Ah, benar-benar bocah ini sudah mabuk!" berkata pendeta itu setelah ia periksa
nadinya. "Bocah ini sangat licin, aku lihat mungkin dia sengaja meloloh dirinya," berkata
si pahlawan Ma I Tjan. "Ayahnya berada dalam genggamanku, aku tidak kuatir dia nanti dapat terbang
pergi," berkata Yasian. "Sekarang dia mabuk, besok toh dia mesti memberi jawaban
padaku. Perintahkan dua orang gotong dia ke belakang! Anak Hua, pergilah kau
rawat dia..." "Baik, ayah," terdengar si nona berikan penyahutan.
Menyusul itu Tan Hong rasakan dua orang memegang kaki dan tangannya, untuk
mengangkat tubuhnya, untuk dibawa pergi. Diam-diam ia tertawa dalam hatinya. Ia
lantas sengaja membikin dirinya seperti tengah tidur nyenyak karena mabuknya
itu, ia perdengarkan suara menggeros yang keras.
"Tjeng Kok Hoatsoe, selama beberapa hari ini aku telah membuat kau cape,"
terdengar suara si perdana menteri. "Bukankah di dalam istana tidak ada apa-apa
yang menimbulkan kecurigaan?"
Tan Hong dengar itu, hendak ia mendengarkan terlebih jauh, maka ia lantas
mengerahkan kepandaiannya supaya tubuhnya menjadi berat. Itulah ilmu yang
dinamakan "Tjiankin twie = Jatuh seribu kati." Kesudahannya hebat bagi kedua
pahlawan yang menggotong tubuhnya itu, mereka sampai sukar bertindak, karena
malu terhadap Yasian dan kuatir nanti dikatai tidak berguna, mereka memaksa
menggotong terus, tapi tindakannya sangat ayal.
Tjeng Kok Hoatsoe menjawab perdana menteri itu. Ia kata: "Istana berada di bawah
pengawasanku, perhubungan antara dalam dan luar telah terputus, maka itu tidak
ada orang yang berani datang masuk untuk membuat pembicaraan rahasia dengan Sri
Baginda. Tentang itu, jangan Thaysoe kuatir."
Hati Tan Hong bercekat. "Nyata, benar-benar Yasian berniat merampas tahta kerajaan," pikirnya. "Dia
sampai berani bertindak begini macam, hingga raja Watzu pun dikekang
kemerdekaannya!" Lalu terdengar pula suara Yasian, sambil tertawa: "Aku percaya dia pun tidak
akan berani membuat perhubungan dengan pihak luar, tapi meskipun demikian,
berlaku hati-hati adalah terlebih baik.
Maka malam ini baiklah kau dan Ma I Tjan berdua yang bergilir menjaga istana. Eh, kenapa kamu jalan perlahan sekali" Apakah kamu kuatir nanti melukai dia?"
Perkataan yang belakangan ini merupakan teguran kepada kedua pahlawan yang
ditugaskan menggotong Tan Hong, yang masih saja sangat ayal tindakannya. Tapi
begitu lekas Yasian berhenti bicara, begitu lekas pula Tan Hong menghentikan
pengerahan tenaganya, maka tubuhnya menjadi enteng pula seperti biasa, hingga
kedua pahlawan itu menjadi lega hatinya. Mereka ini lantas menjawab perdana
menteri itu: "Benar, Thaysoe. Thio Kongtjoe sudah mabuk, kami kuatir nanti
melukai dia..." "Apa yang mesti dikuatirkan?" terdengar pula Yasian. "Dia pandai ilmu silat,
tubuhnya telah terlatih! Apakah kamu sangka dia bertubuh dari kertas?"
Kedua pahlawan itu menyatakan mengerti, lalu mereka berjalan dengan cepat,
membawa Tan Hong ke kamar belakang. Di dalam hati, mereka itu mencaci si anak
muda, yang dikatakan sudah main gila. Biar bagaimana, mereka adalah pahlawan
pilihan, kalau tidak, Yasian tidak akan pakai mereka, hanya mereka adalah yang
terendah, maka itu, meskipun mereka curigai Tan Hong, tidak berani mereka
membuka rahasia atau memberitahukan itu kepada Yasian. Mereka malu, mereka hanya
bisa mendongkol saja... Tan Hong merasa senang rebah di atas pembaringan di atas mana ia diletakkan.
Pembaringan itu empuk, sepre atau kelambunya menyiarkan bau harum. Ia pun
merasakan hangat. Maka di dalam hatinya, ia tertawa.
"Sungguh senang orang-orangnya Yasian," kata ia di dalam hatinya. "Kamar mereka
pun harum sekali." Belum lama Tan Hong rebah, atau Topuhua telah bertindak masuk ke dalam kamar
itu, si nona sudah lantas menghampiri pembaringan di tepi mana ia duduk.
"Apakah benar kau mabuk sampai begitu rupa?" katanya, dengan suara manis.
Tan Hong berpura-pura pules, tidak ia menyahuti, akan tetapi hidungnya telah
mencium bau harum yang hebat, hingga mau atau tidak, lantas saja ia berbangkis.
Si nona sudah memberikan ia semacam wangi-wangian buatan Mongolia, wangi-wangian
mana adalah untuk melenyapkan pengaruh air kata-kata.
"Bangun, bangun!" kata si nona sambil tertawa. "Aku akan suguhkan kau sup untuk
menghilangkan mabukmu."
Tan Hong telah membalik tubuhnya. Ia perdengarkan suara tidak nyata. Lalu ia
tertawa. "Ha, malam ini aku tidak dapat berangkat!" katanya seorang diri. "Di luar,
tulang-tulang manusia bertumpuk bagaikan gunung... Aku takut, aku takut!..."
"Eh, kau bangunlah!" si nona berkata pula. "Di sini bukannya Touwbokpo! Di sini
di mana ada tumpukan tulang-tulang manusia?"
"Siapa bilang ini bukannya Touwbokpo?" kata
Tan Hong, yang masih terus bersandiwara, "Kau dengar! Bukankah di luar orangorang sedang berperang dengan hebat?"
-ooo00dw00ooo- Bab XXV Topuhua tertawa. "Suara berisik itu adalah suaranya pahlawan-pahlawan yang sedang bekerja," ia
bilang. "Kau jangan takut." Ia merabah jidat orang untuk rasai kepalanya si anak
muda panas atau tidak. Sekonyong-konyong Tan Hong muntah, keluarlah barang makanan yang tadi ia dahar,
muntah itu mengenai pakaiannya si nona, justru pakaian baharu yang dia paling
sayang. Selagi muntah, tangannya menarik, memegang baju, hingga baju itu menjadi robek! Karena itu,
kotoran pun mengenai dada yang putih halus dan montok dari si nona itu.
Walau bagaimana, nona ini mengerutkan alisnya juga.
"Ah, mengapakah kau mabuk hingga begini?" katanya. Tak dapat ia gusar, ia
menjadi masgul. Ia pencet hidung orang, ia mencekoki adukan air jinsom.
Tan Hong menolak dengan mengibas-ngibaskan tangannya.
"Aku mabuk, ingin aku tidur, pergilah kau!" ia berkata. "Oh, oh, kalau kau tidak
hendak pergi, mari, mari kita minum pula tiga cawan!..."
Air jinsom kena tersampok, tumpah ke pakaiannya si nona, cangkirnya pun jatuh
pecah. Karena tangannya kena tersampok, Topuhua rasai tangannya itu sakit.
Tan Hong letakkan kepalanya di atas bantal, ia tidur secara sembarangan, kedua
tangannya rapa-repe ke tepi pembaringan.
"Hebat mabuknya dia, obat yang manjur pun masih tidak memberikan hasil..."
berkata si nona di dalam hatinya. Oleh karena pakaiannya pecah dan kotor, baunya
pun keras sekali, terpaksa akhirnya ia undurkan diri.
"Buka jendela!" terdengar suaranya Tan Hong, bagaikan ngelindur. "Jangan
padamkan api! Aku takut kepada gelap petang, kau tahu?"
Topuhua menoleh, justru Tan Hong muntah pula.
"Ah!..." mengeluh nona ini, yang terus bertindak keluar. Tapi ia suruh
pelayannya untuk bersihkan kotoran bekas muntah itu...
Bukan main leganya hati Tan Hong setelah ia dapat kenyataan ia sudah terlepas
dari libatannya nona puterinya perdana menteri Watzu itu, akan tetapi, begitu
lekas ia ingat sepak terjangnya Yasian, lenyap kegembiraannya itu. Ia berbalik
mesti berpikir keras. Sudah terang keras sekali minatnya Yasian untuk merampas negara. Itu pun berarti
ancaman bahaya juga bagi kerajaan Beng. Untuk sementara itu, tak dapat ia
memikir jalan guna menentangi tindakannya perdana menteri ini. Ia jadi berduka.
Ia pikir, mungkin tak sukar untuk ia bunuh Yasian, tetapi kesudahannya pasti itu
tidak akan membawa banyak perubahan, dan di antara kedua negeri, peperangan
tidak akan dapat dihindarkan. Lagipun dengan begitu, kaisar Beng yang tertawan
musuh, mungkin akan terlebih sukar untuk dimerdekakan. Tan Hong sendiri, begitu
juga Ie Kiam, bercita-cita supaya kedua negara hidup akur dan rukun. Karena ini,
tak sudi Tan Hong ambil peranan sebagai satu pembunuh terhadap Yasian itu.
Terus Tan Hong rebahkan dirinya sambil terus berpikir. Sama sekali tak dapat ia
tidur. Begitulah ketika kentongan berbunyi tiga kali, ia dengar pertanda waktu
itu. Ia memandang ke arah jendela, ia tampak si Puteri Malam yang baharu muncul.
Pada pepohonan ada gerakan dari angin halus. Masih ia tidak peroleh daya.
Tiba-tiba terlihat cabang pohon di muka jendela bergoyang, lalu satu bayangan
orang berkelebat, belum sempat si anak muda membuka mulutnya, untuk menegur,
bayangan itu sudah berdiri di depannya. Luar biasa sehatnya bayangan itu.
Akan tetapi ketika Tan Hong telah melihat roman orang, ia girang tak kepalang.
Bayangan itu adalah gurunya sendiri.
"Aku lihat tanda-tanda kau di dalam kota," berkata Tjia Thian Hoa dengan
perlahan, mendahului muridnya itu kepada siapa ia menggoyangkan tangan,
"menuruti tanda-tanda itu, aku dapat ketemui In Loei, dari dia tahulah aku ke
mana kau telah pergi, hingga aku ketahui juga kau sedang tertahan di sini.
Sekarang tidak dapat kita berayal pula, mari lekas kau turut aku!"
"Sebenarnya, asal aku menghendaki, sejak tadi sudah dapat aku berlalu dari
sini," Tan Hong bilang, agaknya ia ragu-ragu.
"Habis, apakah yang kau pikir?" gurunya tanya.
"Apakah soesoesiok sudah datang?" murid itu balik menanya. Dengan "soesoesiok,"
paman guru yang ke empat, ia maksudkan Hoeithian Lionglie Yap Eng Eng.
"Dia sudah datang, sekarang dia ada di rumah penginapan tengah menemani In
Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Loei," Thian Hoa jawab.
"Dan djiesoepee?" Tan Hong tanya pula. Thian Hoa menghela napas.
"Aku tak dapat bertemu dengannya," ia beri-tahu. Agaknya ia hendak bicara banyak
akan tetapi tak dapat ia mengutarakannya itu.
"Sekarang telah aku dapatkan akal untuk meloloskan diri," berkata Tan Hong
kemudian, "besok pasti aku akan keluar dari sini. Maka besok saja kita bicara
pula. Sekarang ini harap soehoe tidak berlambat lagi, akan bersama Yap Soesiok
segera berangkat ke istana raja!"
Tiba-tiba saja nampaknya pemuda ini menjadi gelisah.
Thian Hoa tidak mengerti.
"Untuk apakah?" dia tanya.
Tan Hong segera berbisik di kupingnya guru itu, setelah mana, dengan cepat Thian
Hoa angkat kaki. Seberlalunya guru itu, baharu Tan Hong merasa hatinya lega, demikianlah ketika
ia rebahkan diri, dapat ia tidur nyenyak. Ia tidak tahu berapa lama ia sudah
tidur, hanya tahu-tahu ia terbangun dengan terkejut disebabkan satu suara
nyaring. Ketika ia buka matanya, ia tampak Yasian telah berada di dalam kamarnya
itu. Maka lekas-lekas ia berbangkit, untuk berduduk. Ia lihat sinar matahari,
yang molos di jendela, maka tahulah ia, itulah di pagi keesokannya...
"Thaysoe bangun pagi-pagi sekali!" ia bilang.
"Ya, selamat pagi!" sahut perdana menteri itu. "Apakah telah lenyap mabukmu?"
"Tadi malam aku berlaku kurang hormat, harap Thaysoe memaafkannya," Tan Hong
minta. Dengan itu ia telah berikan jawabannya.
Perdana menteri itu perdengarkan suara di hidung.
"Apakah kau telah dapat memikir?" ia bertanya. "Apakah kamu, ayah dan anak,
sudah bersedia untuk bekerja sama dengan aku menyingkirkan Atzu, untuk sama-sama
kita hidup bahagia?"
"Aku telah dapat memikir," sahut Tan Hong. "Aku justeru hendak bicara kepada
Thaysoe." Tan Hong lihat wajahnya perdana menteri itu, yang sepasang alisnya dikerutkan,
romannya tawar bagaikan membeku. Diam-diam ia tertawa di dalam hatinya, karena
ia bisa duga apa yang tengah dipikirkan perdana menteri ini.
Tadi malam Tjeng Kok Hoatsoe dan Ma I Tjan, seperti biasanya, seperti ditugaskan
Yasian, sudah pergi melakukan pengawasan di istana. Kira jam tiga, tengah mereka
berjaga-jaga, mereka lihat berkelebatnya dua bayangan orang, yang mencelat
keluar dari dalam istana. Dengan lantas mereka keluar dari tempat sembunyinya
akan mencegat dan merintangi dua bayangan itu, guna ketahui siapa adanya kedua
bayangan itu. Kesudahannya adalah di luar dugaan mereka.
Dua bayangan itu sebat sekali, sebat kaki tangannya, kalau tadi mereka bisa
berlari dan berlompat dengan pesat, kali ini, gerakan tangan mereka bagaikan
kilat menyambar. Sebelum Ma I Tjan tahu apa-apa, kepalanya telah kena ditabas
kutung! Tjeng Kok Hoatsoe ada terlebih liehay daripada kawannya ini, akan tetap
baharu dia bertempur dua jurus, kupingnya telah kena dipapas kutung!
Bayangan itu, atau lebih benar lawannya, sambil tertawa terus berkata padanya:
"Suka aku memberi ampun kepada jiwamu! Sekarang pergilah kau melaporkan kepada
Yasian! Katakan padanya, jikalau dia hendak menjadi raja Watzu, kami tidak
menghiraukannya, tetapi jikalau setelah berhasil merampas tahta
dia hendak menyerang Tionggoan, maka tak dapat kami beri ampun kepadanya!"
Dari perkataannya bayangan itu, terang sudah bahwa mereka adalah orang-orang
Han. Sehabis berkata begitu, keduanya segera menghilang. Ketika Yasian telah
diberitahukan kejadian itu, ia kaget dan gusar sekali, di akhirnya, ia jadi
sangat masgul. Bagaimana ia tidak menjadi kaget karena ia tahu liehaynya Tjeng
Kok Hoatsoe, seorang Ihama dari Agama Merah yang kenamaan" Bagaimana ia tidak
jadi kaget akan dengar kebinasaannya Ma I Tjan, sebab pahlawan ini tak kurang
liehaynya, cuma berada di bawahan Ngochito" Kalau kedua pahlawan itu bisa secara
demikian gampang dirubuhkan musuh, yang tidak dikenal, umpama musuh itu datang
satroni ia di sianghoe, siapa sanggup rintangi mereka itu" Dengan perbuatannya
itu, terang sudah mereka itu secara diam-diam tengah melindungi raja Watzu.
Karena ini, ia jadi berduka. Kelihatan nyata, untuk ia mewujudkan niatnya
merampas kerajaan, ia pasti akan menghadapi kesulitan. Tentu saja ia jadi
mendongkol, ia jadi gusar.
Tan Hong awasi perdana menteri itu, ia tertawa.
"Thaysoe," katanya, "kau adalah seorang peperangan yang berpengalaman, kau
seharusnya mengarti baik ilmu perang..."
"Habis kenapa?" tanya Yasian heran.
"Sebab ilmu perang ada membilang," sahut Tan Hong: "Bersiap terlalu banyak,
menjadi terbagi, tenaga kurang, mestinya kalah. Yang paling dipantang ialah
berperang berbareng di beberapa garis perang. Lihat saja di jaman peperangan
Tjoen Tjioe di Tionggoan dahulu hari, sesuatu jago, sesuatu negeri, semua
memperebuti negara kawan, untuk bersekutu, semua memikir mendapatkan kawan
berbareng mengurangi musuh. Inilah sarinya ilmu perang itu."
"Mustahil aku tidak mengerti tentang itu?" berkata Yasian, yang tidak mau kalah.
"Itu juga sebabnya kenapa aku memikir untuk
bergandengan tangan denganmu. Aku pikir, paling dulu harus aku persatukan Watzu,
setelah itu baharu kita bicara pula."
Tan Hong tertawa. "Tetapi Thaysoe harus mengerti, tenaganya aku ayah dan anak ada sangat berbatas,
sebaliknya kekuatannya Tionggoan tiada batas habisnya!" ia kata.
Yasian bungkam. "Aku telah menyusup masuk ke Tionggoan, di sana aku telah melihat tegas,"
berkata pula Tan Hong, melanjutkan. "Melihat Tionggoan, aku jadi sangat tertarik
hatiku. Tionggoan itu luas sangat tanah daerahnya, banyak sekali rakyatnya. Maka
jikalau Tionggoan itu dapat digunai dengan tepat, jangankan baharu satu,
walaupun sepuluh negara Watzu sekalipun tidak nanti mampu menggoncangkan dia!"
Yasian awasi anak muda itu. "Apakah kau bicara untuk Tionggoan?" dia tanya.
Kembali Tan Hong tertawa.
"Apakah Thaysoe masih belum ketahui tentang diriku?" ia balik tanya. "Bagaimana
aku dapat bicara untuk Tionggoan" Jikalau aku sebagai wakilnya Tionggoan,
jikalau aku hendak bicara untuk Tionggoan, pasti aku akan bicara juga untuk
Watzu, tentu akulah yang terlebih dahulu membuka pembicaraan dengan Thaysoe1."
Agaknya Perdana Menteri itu kena terdesak.
"Baiklah," katanya kemudian. "Kau bicaralah!"
"Sekarang ini Ie Kiam memegang kekuasaan di
Tionggoan, dia telah atur kuat angkatan perangnya," berkata Tan Hong. "Pertama
kali Thaysoe menyerbu ke Tionggoan, Thaysoe masih dapat menyerang sampai di
Pakkhia, akan tetapi kalau satu kali lagi Thaysoe menyerbu pula, mungkin untuk
dapat sampai ditapal batas sajapun sukar. Itu masih belum semua. Umpama
Tionggoan mendapat tahu Thaysoe berniat merampas tahta kerajaan, untuk menjadi
jago, ada kemungkinan dia nanti majukan
tenteranya ke Utara, untuk berserikat dengan Pangeran Atzu, untuk sama-sama
menumpas pemberontakan di Watzu. Kalau itu sampai terjadi, Thaysoe hendak
berbuat apakah?" Hatinya Yasian bercekat. Apabila Tan Hong bicara begini pada setengah tahun yang
sudah lewat, pasti dia akan mentertawainya tak hentinya. Itu waktu Yasian
beranggapan dapat ia memastikan sembarang waktu untuk menakluki Tionggoan, ia
sangat tidak memandang mata terhadap angkatan perang Kerajaan Beng. Adalah
sesudah berperang di Pakkhia, baharu ia insyaf bahwa Tionggoan tak gampang untuk
ditelannya. Dan paling belakang ini, sesudah perlawanannya Ie Kiam yang dapat
mengatur tenteranya, yang juga mengandalkan peta bumi dari Pheng Hoosiang,
setelah beberapa kali bertempur, ia kena dipukul mundur, hingga ia mundur pulang
ke dalam negerinya, baharu ia terkejut. Sekarang ia insyaf, memang benar tentera
Tionggoan dapat berbalik mempengaruhi padanya. Dan sekarang mendengar
perkataannya Tan Hong itu, pada wajahnya ia tidak menunjukkan perubahan, seperti
juga ia tidak mempedulikannya, namun di hati ia kaget dan jeri.
Tan Hong biarkan orang berdiam, ia melanjutkan: "Setelah aku masuk dalam ke
Tionggoan, dapat aku menyaksikan semangat rakyat yang terbangun, hingga mereka
tak lagi dapat dipandang enteng. Raja mereka itu telah tertawan di Touwbokpo,
kejadian itu membuatnya mereka, yang di atas dan di bawah, merasa bahwa itulah
suatu hinaan besar, yang membuatnya mereka merasa sangat malu. Aku kuatir,
Thaysoe, belum lagi kau sempat memimpin angkatan perang untuk berangkat ke
Selatan, mereka sendiri akan mendahului maju ke Utara, guna menuntut balas.
Memang benar Thaysoe ada punya angkatan perang yang tangguh tetapi aku sangsikan
kau akan sanggup menangkis serbuan tentera Tionggoan itu, karena selain
penyerbuan dari luar itu, di dalampun ada perlawanan dari Pangeran Atzu..."
Dua kali Yasian batuk-batuk, kali ini wajahnya berubah sedikit. Tapi, masih ia
mencoba akan besarkan kepala.
"Aku masih punyakan tentera sepuluh laksa jiwa dan ribuan panglima perang!"
demikian katanya. "Umpama benar Tionggoan dan Atzu menyerang berbareng dari luar
dan dalam, akibatnya paling sedikitnya batu kemala dan batu koral akan musnah
bersama! Satu laki-laki, jikalau dia tidak dapat menjadi satu jago, jikalau dia
terbinasa, sedikitnya dia mesti terbinasa sebagai setan jagoan! Maka itu, ada
apa yang harus dibuat takut?"
Tan Hong tertawa gelak-gelak.
"Jikalau belum lagi orang keluar perang, lalu dia terbinasa tidak keruan, apa
jadinya?" ia tanya. "Bahwa orang berhasil dan menjadi raja, orang gagal dan
menjadi berandal, itulah sudah umum. Mengenai kau, Thaysoe, kau anggap dirimu
sebagai satu enghiong, tetapi orang lain, belum tentu dia mau mengakuinya kau
sebagai Tjo Beng Tek..."
Yasian kena terdesak. "Apakah benar kerajaan Beng ada demikian membenci aku hingga dia akan mengirim
algojonya untuk membunuh aku?" dia tanya.
"Menurut apa yang aku ketahui, pemerintah Beng memang benar ada kirim utusannya
yang berupa kiamkek," sahut Tan Hong, "hanya halnya kiamkek itu bisa atau tidak
membunuh kau, itulah bergantung daripada tindak tandukmu sendiri, Thaysoe..."
"Kiamkek" adalah jago yang bersenjatakan pedang.
Yasian lantas ingat kejadian tadi malam, tanpa merasa, bulu romanya pada bangun
berdiri. Tetapi ia masih tidak sudi tunjuk kelemahannya, ia paksakan diri untuk
tertawa wajar. "Pemerintah Beng ada punya kiamkek yang liehay, apakah kau sangka aku tidak
punya orang kosen yang sanggup membunuh ular naga dan menakluki harimau?" begitu
katanya. Kembali Tan Hong tertawa bergelak-gelak.
"Orang kosenmu itu, Thaysoe, adalah bangsa gentong arak dan kantong nasi!" ia
bilang dengan berani. "Aku kuatir, jikalau dia berhadapan dengan orang gagah
sejati, dalam satu jurus saja, dia akan dibikin terbang batok kepalanya!"
Yasian berjingkrak saking kagetnya.
"Eh! Apakah kau ketahui kejadian semalam?" tanyanya kaget.
"Kejadian apakah itu?" tanya Tan Hong, tenang. "Aku cuma bicara saja. Apakah
benar-benar pahlawan Thaysoe telah orang binasakan dalam satu jurus saja?"
Yasian masih ingat kejadian semalam itu, ia bergidik sendirinya.
"Tadi malam dia mabuk arak dan rebah bagaikan mayat, tidak pernah dia keluar
dari kamarnya ini, tidak setindakpun jua," ia berpikir, "mungkin benar dia cuma
bicara saja... Tetapi, apa yang dia katakan itu benar adanya..."
"Pahlawan yang mana itu yang telah kena dibinasakan?" Tan Hong tanya sambil
tertawa. "Ah tidak..." kata perdana menteri itu, separuh menghibur dirinya. "Tadi malam
ada datang orang jahat, tapi dia telah dapat diusir pergi. Dipihak kita cuma
satu dua orang terluka..."
Tan Hong tertawa pula. "Itulah untung kamu yang bagus!" katanya pula. Ia tertawa sebab apa yang tadi
malam terjadi di sianghoe, gedung perdana menteri, adalah menurut rencananya.
Kebinasaannya Ma I Tjan dan hilangnya kuping Tjeng Kok Hoatsoe adalah
perbuatannya Tjia Thian Hoa berdua Yap Eng Eng.
Di mulutnya, Yasian bicara makin lama makin keras, tanda bahwa ia bernyali
besar, akan tetapi, di dalam hatinya ia justeru makin jeri.
"Thaysoe, rencanamu sekarang ini bukannya suatu rencana yang baik," kata Tan
Hong kemudian. Dengan berani anak muda ini berikan pengutaraannya itu.
"Apakah kau mempunyai daya yang bagus?" perdana menteri itu tanya.
Tan Hong hendak buka mulutnya tatkala ia dengar suara berisik di luar gedung.
Yasian, dengan alis dikerutkan, perdengarkan suaranya, memanggil orang masuk.
"Ada kejadian apakah?" ia tanya. "Ada beberapa pengemis mencoba memaksa masuk ke
dalam gedung untuk meminta amal," sahut pengawal yang masuk atas panggilannya
majikan itu. "Mereka itu sangat menjemukan!"
Kembali Yasian kerutkan alisnya.
"Mereka toh boleh diberikan saja sedikit uang atau diusir," katanya, "perlu apa
sampai mesti menerbitkan keributan?" Dan ia kibaskan tangannya, akan beri tanda
supaya hambanya itu undurkan diri.
Tan Hong segera ingat sesuatu, ia lantas saja berpikir.
"Thio Sieheng, kau ada punya daya apa yang baik?" Yasian mengulangi
pertanyaannya selagi anak muda itu berdiam.
Tan Hong bersenyum, ia bawa sikap dengan tenang sekali.
"Thaysoe," katanya, "jikalau Thaysoe hendak mengamankan pihak dalam maka sudah
selayaknya terlebih dahulu Thaysoe membuat perdamaian dengan pihak luar. Secara
demikian baharulah Thaysoe akan terluput dari gencetan pihak luar dan dalam.
Tionggoan luas tanah daerahnya dan subur hasil buminya, jikalau Watzu tidak
terlebih dahulu serbu dia, tak mungkin dia akan datang menyerang kemari. Maka
itu, menurut pendapatku, baiklah Thaysoe antar rajanya pulang ke negerinya, lalu
Thaysoe membuat perjanjian persahabatan dengannya. Inilah daya yang paling
utama." Yasian bungkam, ia berpikir.
Tan Hong mengawasi, ia tertawa pula.
"Ketika baharu ini Thaysoe tawan raja Beng itu di Touwbokpo," katanya, "tak lain
tak bukan, Thaysoe hanya ingin bikin raja itu menjadi orang tawanan, supaya dia
bisa dijadikan perkakas untuk menuruti kehendak Thaysoe, supaya cita-cita
Thaysoe dapat terwujud. Demikian Thaysoe telah gunai segala macam tipu daya.
Tetapi sekarang adalah lain. Ie Kiam sudah angkat raja yang baru, dengan begitu
tidak ada gunanya lagi akan menahan terlebih lama kepada raja tawanan itu, malah
sebaliknya, itu justeru meninggalkan bencana di belakang hari bagi kedudukan
Thaysoe..." Yasian pikir kata-katanya pemuda ini benar.
"Telah beratus kali aku bertempur dengan pemerintah Beng, pertempuran besar dan
kecil, selamanya aku lebih banyak menang, sedikit kalahnya," berkata dia.
"Mungkinkah aku mengantarkan kaisar Beng itu ke negerinya sambil aku harus
memohon perdamaian dari Ie Kiam?"
Lagi-lagi Tan Hong tertawa. Perkataannya perdana menteri itu berarti dia telah
menyetujuinya perdamaian, tapi untuk muka terangnya, dia masih membawa lagak.
"Jikalau kedua negara membuat perdamaian, keduanya harus berhubungan sebagai
saudara di antara saudara," ia kata, "karena itu, ada apakah yang harus dibuat
malu" Jikalau Thaysoe tidak hendak memulai mengusulkan perdamaian itu, baiklah
Thaysoe minta supaya Tionggoan yang terlebih dahulu mengirimkan utusannya datang
kemari untuk membicarakan urusan itu. Ini toh boleh, bukan?"
Yasian menatap orang sambil biji matanya berputar.
"Sebenarnya siapa kau ini?" dia bertanya. "Kenapa kau agaknya berani mewakilkan
Ie Kiam merundingkan soal perdamaian ini?"
Tan Hong balik mengawasi, ia tertawa.
"Biarlah aku omong terus terang saja," ia menyahut. "Sebenarnya, sebelum aku
pulang ke Watzu ini, lebih dahulu aku telah bertemu Ie Kiam. Apa yang aku
katakan barusan adalah karena aku percaya aku tidak bakal bertentangan dengan pendapat Ie Kiam itu."
Yasian jatuhkan diri di kursi, ia nampaknya sangat lesu. Sekian lama ia berdiam
saja. Baharu kemudian ia angkat kepalanya, akan menatap si anak muda.
"Apakah benar kau telah lupa akan sakit hatimu yang turun temurun itu dan
sekarang hendak jual tenagamu terhadap keluarga Tjoe kaisar dari ahala Beng
itu?" dia tegaskan. Untuk kesekian lamanya, Tan Hong tertawa. Ia tertawa besar.
"Aku tidak jual tenagaku kepada siapa juga!" ia jawab, nyaring. "Aku hanya
bekerja untuk Tionggoan dan Watzu! Ingin aku tanya Thaysoe, umpama kata
perdamaian dapat dicapai, apakah itu bukan berarti keselamatannya kedua negara?"
Kembali Yasian bungkam. Ia mesti berpikir keras.
"Seandainya perdamaian telah dapat diwujudkan, kelak kau akan berdiam di mana?"
ia tanya kemudian. Rupanya perdana menteri ini memikir jauh dan ingin ia peroleh
kepastian. "Aku adalah orang Han, sudah tentu aku pulang ke Tionggoan," sahut Tan Hong
dengan terus terang. "Bukankah itu berarti kau hendak menjadi satruku?" Yasian menegaskan pula.
"Jikalau Thaysoe tidak pimpin angkatan perangmu menyerbu Tionggoan, tak mungkin
aku akan menjadi satrumu!" jawab si anak muda.
"Bagaimana dengan ayahmu?" masih perdana menteri itu tanya.
"Pasti aku akan bujuk ayah untuk pulang ke negerinya, untuk lewatkan hari-hari
selanjutnya," sahut pula si anak muda.
Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apakah kamu ayah dan anak tidak kuatir nanti dibunuh kaisar Beng?"
Tan Hong tertawa. "Jikalau itu sampai terjadi, ikhlas hatiku!" ia jawab. "Tentang itu tidak
usahlah Thaysoe memusingkan kepala!"
Yasian jalan mundar-mandir, ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia berpikir
terlebih keras pula. Ia merasa bahwa benarlah apa yang dikatakan Tan Hong itu.
Memang, jikalau ia hendak kangkangi Watzu untuk dipersatukan, tidak selayaknya
ia memusuhi Tionggoan. "Thio Tjong Tjioe ayah dan anak ini pintar dan gagah," ia berpikir terlebih
jauh. Sekarang ia ingat Tjong Tjioe dan anaknya ini. Jikalau mereka tinggal di
Watzu, percuma saja, mereka tak dapat aku gunai tenaganya untukku, bahkan
sebaliknya, mereka bisa menjadi penambah tenaga bagi pihak musuh. Oleh karena
itu, lebih baik aku biarkan mereka pulang ke negerinya, supaya di sana mereka
hidup tenang dan senang. Di kemudian hari, apabila aku berhasil mempersatukan
betul-betul negara Watzu ini serta sudah mempunyai angkatan perang yang kuat
serta rangsum cukup, perjanjian persahabatan itu boleh aku langgar sembarang
waktu, itu waktu aku ada merdeka untuk menyerbu pula Tionggoan. Sampai itu
waktu, perlu apa aku jeri lagi Thio Tan Hong menjadi musuhku" Hanya bagaimana
dengan jodohnya anakku?" Tan Hong lihat orang terus berpikir, ia memotong.
"Satu laki-laki harus dapat dengan sepatah katanya mengambil keputusan, karena
itu masih ada apa lagi yang Thaysoe ragu-ragukan?" ia mendesak.
Kedua matanya Yasian menjadi bersinar, rupanya ia telah dapat mengambil
keputusan. "Baik, akan aku turut perkataanmu!" katanya, nyaring. "Aku Yasian, aku bukannya
orang yang dapat diperhina sembarang orang! Kalau pemerintah Beng kirim orangnya
untuk membokong mati kepadaku, akan aku segera kerahkan seluruh kekuatanku, akan
aku titahkan angkatan perangku meluruk ke Selatan, supaya, tak peduli kemala
atau batu biasa, biar semuanya musnah bersama!"
Tan Hong bersenyum. Tahulah ia, Yasian tetap kuatirkan keselamatan dirinya.
"Orang Tionggoan paling hargakan kehormatannya," dia berkata, "maka kalau
Thaysoe hendak berdamai dan bersahabat dengan sesungguh hati, tak mungkin
Tionggoan akan kirim orangnya untuk membunuh Thaysoe1."
"Baiklah," kata Yasian akhirnya. "Dengan ini kita mengambil ketetapan. Akan aku
tunggu tibanya utusan dari kerajaan Beng, itu waktu aku nanti membuat perjanjian
perdamaian. Sekarang, coba bentangkan padaku, daya apa kau punya untuk menindas
Pangeran Atzu?" "Kami ayah dan anak sudah berketetapan untuk pulang ke negeri kami," jawab Tan
Hong, "oleh karena itu, mengenai urusan di dalam negeri Watzu, kami tidak hendak
campur tangan pula."
"Baik!" Yasian mengatakan pula. "Asal kamu pernahkan diri di luar kami, aku juga
tidak hendak mengganggu pula pada kamu. Sekarang pergilah kau pulang, boleh kau
anjurkan ayahmu untuk besok menghadap di istana, untuk dia sendiri yang majukan
permohonannya meletakkan jabatan."
Tan Hong girang sekali. Sekian lama ia memutar otak, baharu sekarang ia berhasil
"menundukkan" perdana menteri itu. Karena itu, ia berlaku hormat, ia undurkan
diri sebagai seorang yang usianya terlebih muda. Ia baharu melangkah di pintu
tempo ia ingat suatu apa, ia lantas merandek.
"Apakah kau masih hendak mohon sesuatu?" tanya Yasian, yang lihat sikap orang
itu. "Apakah itu?"
"Jikalau Thaysoe sudi memperkenankannya, aku ingin sekali ini saja menemui raja
Beng," ia jawab. Yasian berpikir sebelum ia berikan ijinnya.
"Baik," demikian sahutnya. "Kau boleh sekalian bicara kepadanya, untuk beritahu
sikapmu, supaya ia mengetahui maksud baik dari aku."
Perdana menteri ini sudah lantas panggil dua pahlawannya kelas satu, ia hendak
titahkan mereka antarkan anak muda ini, akan tetapi mendadak ia ubah pikirannya
itu. "Lebih baik kita pergi bersama!" ia bilang.
Kedua pahlawan itu heran atas sikapnya perdana menteri ini tetapi mereka tidak
berani bilang suatu apa. Tan Hong sendiri tak berkeberatan akan pergi bersama.
Kaisar Beng yang menjadi tawanan Yasian itu, yaitu Kaisar Eng Tjong yang bernama
Kie Tin, telah ditahan di dalam sebuah pagoda batu di dalam gedung perdana
menteri, pagoda mana diperuntukkan memuja Sang Buddha. Tangga dari pagoda itu
terdiri dari tiga undak, setiap undak terjaga oleh pahlawannya perdana menteri.
Bahwa tempat tahanan itu ada sangat dirahasiakan, sekalipun raja Watzu sendiri
tak mengetahuinya. Tiga bulan sudah sejak Kie Tin dikurung di dalam pagoda, dapat dibayangkan
penderitaannya itu. Ia adalah satu junjungan dari satu negara besar tetapi
sekarang ia kehilangan kemerdekaannya, ia hidup terkurung dan di bawah
pengawasan keras. Hari itu, kaisar ini tengah berduka sekali. Ia dengar
menderunya hebat angin Utara, ia lihat burung-burung belibis dari Utara terbang
ke Selatan, sambil terbang mereka itu perdengarkan suaranya yang mengharukan
hati, maka itu, ia pun bersedih sendirinya.
Memandang dirinya sendiri, sakit hatinya Kie Tin, bajunya telah robek, sedang
hawa udara di Utara itu dingin sekali. Ia kedinginan akan tetapi Yasian tidak
berikan ia baju baharu untuk salin. Maka ingatlah ia akan jaman jayanya, di
dalam keraton ia ada punya enam selir, hidupnya sangat mewah.
Selagi kaisar ini menungkuli diri, tiba-tiba ia dengar pintu dibuka, lantas ia
lihat Yasian bertindak masuk bersama Thio Tan Hong, keduanya jalan berendeng. Ia
menjadi sangat terperanjat.
"Kenalkah kau pada dia ini?" Yasian lantas menanya sambil menunjuk Tan Hong.
Kaisar Beng ini tidak tahu maksud kedatangan Tan Hong, ia ragu-ragu, iapun belum
hilang kagetnya, maka itu, ketika ia menyahut, suaranya tidak tegas.
Yasian mengawasi sambil tertawa.
"Dia ini adalah musuhmu, dia juga tuan penolongmu!" berkata perdana menteri ini.
"Tahukah kau?" Tidak tunggu sampai kaisar menjawab, Tan Hong kata pada perdana menteri itu:
"Aku mohon Thaysoe ijinkan aku bicara berduaan dengannya, sebentar saja."
"Baik, bicaralah," sahut Yasian. "Kamu orang-orang Tionghoa, apa yang kamu
lakukan, tak dapat aku menerkanya. Kamu berdua keluarga telah perebutkan dunia
tetapi sekarang kamu berdua hendak pasang omong!..."
Lantas perdana menteri ini undurkan diri pergi keluar, buat bicara dengan
pahlawan-pahlawannya. Kie Tin dibiarkan di dalam kamarnya itu bersama si anak
muda she Thio itu. Tidak tenang hatinya kaisar Beng itu berada berdua Tan Hong. Ia telah saksikan
bagaimana dengan sinar mata yang tajam, anak muda itu pandang ia pulang pergi.
Ia ditatap. Kemudian dengan tiba-tiba saja, Tan Hong tertawa.
"Kau biasa menjadi kaisar, kau belum pernah merasakan kegetiran hidupnya seorang
rakyat jelata!" kata Tan Hong kemudian. "Maka itu, baiklah yang kau satu kali
merasakannya!" Mendengar itu, raja ini menjadi gusar.
"Jadinya dahulu hari itu kau berpura-pura saja berbaik hati!" dia menegur. "Aku
memang tahu, permusuhan di antara rakyat jelata mudah dibereskan tetapi
pertentangan di antara raja sukar didamaikan! Karena kau adalah orang
kepercayaannya Yasian, tidak lain, aku cuma mau minta supaya aku diberikan mayat
lengkap dan utuh! Jikalau kau hendak bunuh aku, bunuhlah lekas! Kau harus
insyaf, raja tak dapat diperhina!"
Tan Hong mengawasi dengan air mukanya tertawa bukan tertawa, ia tidak gubris
permintaan itu. "Kau telah menderita begini rupa, maka di belakang hari, sebagai raja, layak kau
ketahui keharusanmu!" ia kata pula. "Kalau nanti kau kembali ke istanamu, jangan
sekali kau lupakan kesengsaraanmu hari ini!"
Kie Tin melengak. "Apa kau bilang?" ia tanya. Mendadak saja ia lompat mencelat.
"Paling lama tak beberapa bulan lagi, kau akan dapat pulang ke negerimu!" kata
Tan Hong, tawar. Kie Tin seperti juga tidak mempercayai kupingnya sendiri.
"Apa kau bilang?" ia tegaskan. "Adakah itu benar" Apakah Yasian sendiri yang
mengatakannya itu padamu" Benarkah dia hendak membiarkan aku pulang ke negeriku,
untuk aku naik pula atas tahtaku" Ha! Naik pula di atas tahta!..."
"Bukannya Yasian yang menginginkan kau kembali ke negerimu," Tan Hong terangkan,
tetap dengan sikapnya yang tawar. "Adalah Kokloo Ie Kiam yang akan sambut kau
pulang!" Kembali Kie Tin menjadi heran. Kalau tadi ia dapat bersenyum, sekarang lenyap
pula kegembiraannya. Ia seperti diguyur air dingin. Setelah itu, di antara roman
lesu dari putus asa, ia nampaknya jadi gusar sekali. Terus ia tuding anak muda
di depannya. "Walaupun aku terkurung, tetap aku adalah satu raja!" ia berseru. "Beranikah kau
berulangkah mempermainkan aku?"
Tan Hong awasi raja itu. Ia mendongkol berbareng merasa lucu dan kasihan.
"Jikalau kau mengharap musuh nanti merdeka-kanmu dan membiarkannya kau pulang ke
negerimu, seumur hidupmu, janganlah kau harap itu!" katanya, tegas-tegas. "Hanya
bila rakyat Tionggoan yang menghendaki kau pulang, baharulah ada ketikanya untuk
kau hidup terus! Apakah kau menyangka cuma Yasian
seorang yang mempunyai kekuasaan untuk hidup atau matimu" Mari aku katakan terus
terang padamu! Sekarang ini jiwamu berada di dalam genggamannya Kokloo Ie Kiam!
Asalkan Ie Kokloo bilang kau bisa pulang, lantas kau dapat pulang!"
Kie Tin awasi anak muda itu, sinar mata mereka bentrok satu pada lain. Lantas ia
dapat perasaan bahwa Tan Hong itu dapat dipercaya, bahwa perkataannya si anak
muda tak dapat disangsikan pula. Tanpa merasa, ia jadi kalah pengaruh.
"Sebenarnya, apakah artinya ini?" dia tanya akhirnya, suaranya tak tegas.
"Itulah sebab kau, jelek atau bagus, kau tetap raja dari satu negara!" berkata
Tan Hong dalam jawabannya.
"Sebab kau ada satu raja, jikalau kau tetap berada di tangan musuh, itu artinya
satu kehinaan untuk Tionggoan! Itupun sebabnya kenapa sekarang kami menghendaki
kau pulang ke negeri sendiri! Dengan ada Tionggoan yang menjadi tulang
punggungmu, cara bagaimana Yasian berani tidak melepaskan kau pulang?"
Kie Tin heran, ia tetap mengawasi. Ia ingin sangat satu penjelasan.
Sampai di situ, Tan Hong tuturkan raja ini tentang duduknya urusan.
Kie Tin menjadi girang berbareng heran.
"Jikalau aku bisa pulang dan naik pula di atas tahta kerajaan, akan aku
anugerahkan kau pangkat yang besar!" ia berkata. Hampir tanpa merasa, ia berikan
janji hadiahnya itu. "Katakanlah, kau ingin pangkat apa" Pangkat tongnia dari
Gielim koen atau Kioeboen Teetok" Atau pangkat Menteri Perang" Pasti sekali aku
akan membuat kau merasa puas, supaya tercapai segala cita-citamu!"
Tan Hong bawa sikap tenang.
"Jikalau nanti kau sudah pulang ke dalam negeri," ia berkata, tawar, "kau bisa
atau tidak tetap menjadi raja pula, itulah
tergantung kepada suasana di dalam istanamu dan urusan keluargamu sendiri,
mengenai itu aku bersama Ie Kiam tidak akan campur tahu! Aku sendiri tidak
mengharapkan pangkat dari kau!"
Kie Tin menjadi putus asa, hingga ia jadi seperti menggerutu.
"Bisa pulang, itulah baik! Bisa pulang, itulah baik..." demikian ia ngoce
sendiri, suaranya tidak tegas. Lalu ia ingat sesuatu, hingga ia nampaknya jadi
bersemangat. Maka berkatalah ia seorang diri dengan lebih keras: "Di dalam
istana, kebanyakan menteri boen dan boe adalah orang-orang kepercayaanku, tidak
nanti Kie Giok dapat rampas tahtaku! Kalau nanti aku telah pulang, dia akan
mengalah dan membiarkan aku menjadi yang dipertuan pula! Kau tidak hendak pangku
pangkat, tidak apa, aku bersedia akan iringi segala kehendakmu, akan aku
memberikan hadiah kepadamu!"
Tan Hong menjadi sangat sebal.
"Apa juga aku tidak menghendakinya!" katanya dengan dingin. "Aku hanya hendak
minta satu hal!" "Apakah itu?" Kie Tin tanya. "Semuanya akan aku meluluskannya!"
"Setelah nanti kau pulang, bilamana kau tetap menjadi raja, bagaimana sikapmu
terhadap Ie Kiam?" Tan Hong tanya.
Inilah pertanyaan yang Kie Tin tak sangka-sangka.
"Aku..." katanya, lalu terhenti, karena Tan Hong memotongnya: "Setelah kau kena
ditawan musuh, Ie Kiam telah angkat raja baru," Tan Hong menerangkan. "Kau
tentunya sangat benci dia karena perbuatannya itu! Benarkah itu?"
"Tidak, tidak!" sahut raja. "Begitu lekas aku pulang, akan aku naikkan
pangkatnya tiga tingkat!"
Dalam keadaan seperti itu, tengah terdesak, raja ini bicara tanpa berpikir pula.
Ie Kiam adalah Lweekok Haksoe, karena mana ia dipanggil Kokloo, kedudukannya itu
sudah mirip dengan perdana menteri, di samping itu, ia merangkap menjadi Pengpou
Siangsie, Menteri Perang, ia jadinya berada di tingkat tertinggi, dari itu, pada dasarnya,
ia tak dapat dinaikkan pula pangkatnya apapula sampai tiga tingkat. Maka itu,
mendengar kata-kata raja ini, Tan Hong mendongkol berbareng merasa lucu.
"Ie Kokloo bukanlah satu orang yang temaha akan pangkat tinggi atau keagungan,"
berkata anak muda ini. "Aku hanya menginginkan bila nanti kau sudah pulang, kau
berlaku murah hati terhadapnya, kau beri dia ampun dari kematian..."
"Itulah pasti, itulah pasti!" kata Kie Tin berulang-ulang. Kembali ia tidak
memikir-mikir lagi. "Adakah ini benar?" tanya Tan Hong. Mendadak saja ia keraskan suaranya, hingga
ia bentak raja itu. Kie Tin melengak. Inilah ia tidak sangka.
"Satu raja tidak bicara main-main!" ia jawab kemudian. Iapun segera menjawab
begitu lekas ia sadar. Tan Hong bersenyum. Tadinya ia hendak bicara pula tapi ia membatalkannya. Tibatiba terdengar suara berisik dari luar, suaranya pengemis yang menyanyikan lagu
"Lian Hoa Lok" = "Bunga Bwee Rontok." Tentu saja ia menjadi bercekat.
"Setangkai, secabang bunga teratai," demikian ia dengar nyanyian itu. "Raja pun
pernah dipanggilnya pengemis. Raja itu bergantian jadinya, maka juga lain tahun
ada gilirannya keluargaku. Di sini ada disimpan mustika yang indah, maka itu
hendak aku memohonnya!"
Nyanyian itu disusul oleh suara berisik, seperti juga orang tengah mengusir
pengemis yang bernyanyi-nyanyi itu.
Menyusuli suara berisik itu, lalu terdengar teriakan: "Ada orang jahat!" Lalu
menyusul pula suara nyaring dari rubuhnya tubuh manusia. Satu pahlawan, yang
lompat keluar jendela, belum sempat dia berlompat terus naik ke atas payon,
sudah kena dihajar rubuh!
Tan Hong terkejut. "Sungguh liehay pengemis itu!" pikirnya. Tapi iapun tak sempat berpikir lamalama. Dengan cepat telah terdengar pula satu suara keras dan nyaring, ternyata daun
jendela kamar kurungan kaisar Beng itu terhajar terpentang, disusul dengan
lompat masuknya satu pengemis, tangan kanannya memegang tongkat, dengan tangan
kirinya segera dia sambar Kie Tin.
"Aduh!" teriak raja itu yang kagetnya tidak terkira.
Tan Hong tidak sempat cabut pedangnya, dengan tangannya ia membacok tangannya si
pengemis. "Kau, Thio Tan Hong?" berseru pengemis itu, agaknya ia terkejut. Ia sudah lantas
tarik pulang tangan kirinya itu, tubuhnya pun berkelit ke samping. Tapi ia tidak
berhenti sampai di situ, dengan cepat ia ayun sebelah kakinya, menjejak ke arah
dengkulnya kaisar Beng. Tan Hong pun kaget.
"Ah, kiranya Pit Lootjianpwee]" ia berseru ketika segera dapat mengenali
pengemis itu, terutama dari suaranya. Tapi kaisar berada dalam bahaya, tidak
dapat ia diam saja, dari itu dengan terpaksa ia angsurkan tangannya, untuk
menekan dengan perlahan kakinya jago tua yang jejakannya hebat itu. Dalam
gerakannya ini, Tan Hong gunai tenaga Taylek Kimkong Tjioe.
Pit To Hoan lompat mundur, hingga ia menyender pada tembok, napasnyapun memburu
keras. "Thio Tan Hong, menyingkir kau!" ia berseru.
"Lootjianpwee, marilah kita bicara secara baik-baik," Tan Hong berkata, dengan
sabar. "Aku harap kau tidak membuatnya kaget pada raja yang tengah bersengsara
ini..." "Bagaimana hei?" bentak To Hoan. "Apakah kau menjadi anjing penjaga pintunya
Yasian?" Kali ini jago tua itu menyerang dengan genggaman ditangannya.
Tan Hong tahu tak sempat ia berbicara banyak, terpaksa ia hunus pedangnya pedang Pekin kiam - untuk menangkis. Ia telah gunai belakangnya pedang. Maka
kedua senjata bentrok dengan keras, sampai muncratlah lelatu apinya. Bentrokan
itu membuatnya kedua pihak kesemutan tangannya.
"Lootjianpwee, mohon kau berlalu dulu dari sini!" Tan Hong berkata pula. "Kau
boleh sebutkan satu tempat, nanti aku kunjungi padamu untuk menerima pengajaran
darimu!" Pit To Hoan tapinya seperti orang kalap, tanpa menjawab, ia menyerang pula
beruntun tiga kali, untuk mendesak anak muda itu, lalu setelah itu kembali
dengan tangan kirinya menyambar pula Kie Tin. Teranglah ia ingin sangat dapat
menyengkeram raja Beng itu.
Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Di luar, di bawah pagoda, ketika itu pun telah terdengar suara berisik sekali,
suara yang bercampurkan beradunya pelbagai alat senjata, hingga kuping rasanya
menjadi ketulian. Dari luar kamar juga terdengar teriakannya Yasian, akan tetapi
apa katanya itu, Tan Hong tidak dapat mendengar nyata. Lalu, menyusuli itu,
pintu kamar segera terpentang, dari mana terlihat masuknya dua pahlawan dengan
golok di tangan masing-masing.
Meninggalkan Tan Hong atau kaisar, Pit To Hoan papaki dua pahlawan itu. Ia maju
dengan gerakan "Poanliong djiauwpou" = "Naga mendekam menggerakkan kakinya
melingkar," sedang tangannya, ialah senjatanya, ia mainkan dari kiri ke kanan,
atas mana goloknya kedua pahlawan itu lantas saja kena dibikin terlepas dan
terbang! "Yang menyingkir selamat! Yang menghalang celaka!"
To Hoan kemudian berteriak dengan bengis, sepasang matanya lebar, terputar. Ia
bergelar "Tjinsamkay" = "Menggetarkan Tiga Dunia," tidak heran kalau bentakannya
itu dahsyat sekali. Dengan terpaksa kedua pahlawan itu undurkan diri, karena senjata mereka pun
sudah hilang. Dari luar masih terdengar suara berisik, kali ini dari tindakan kaki yang berat
dan kekar, disusuli bersama jeritan teraduh-aduh, dari bentroknya alat senjata.
Teranglah itu ada tanda dari orang yang dari bawah mendaki tangga pagoda sambil
menyerang naik. Pit To Hoan sudah mundurkan kedua musuhnya, kembali ia menghampirkan Kie Tin. Ia
dihalangi-halangi Tan Hong, karenanya, ia mencoba akan paksa melewati anak muda
itu. "Untuk apakah kau hendak menawan dia?" Tan Hong tanya.
"Apakah kau telah lupa akan sakit hatinya leluhurmu?" To Hoan membaliki.
"Jahanam ini tidak surup untuk menjadi raja! Untuk apa kau melindungi padanya"
Kita harus bekuk dia, untuk dibawa pulang ke Tionggoan, nanti di sana kita
bangunkan suatu pemerintah baru!"
Mendengar itu, Tan Hong melengak. Dengan begitu orang tua ini masih ada punya
semangat untuk mendirikan suatu pemerintah. Ia hendak berkata pula ketika
kembali terdengar satu suara keras, ialah dari terbukanya dengan paksa pintu
dari pagoda undakan ketiga. Dan suara itu disusul dengan munculnya satu orang,
yang segera pentang mulutnya yang lebar, akan perdengarkan suaranya yang
nyaring: "Ha, bagus benar! Kau juga ada di sini" Marilah rasai tiga ratus
tongkatku!" Untuk herannya Tan Hong, ia kenali Tiauw Im Hweeshio, sang soepee yang gurunya
dan Yap Eng Eng telah sia-sia saja mencarinya. Sementara itu ia masih sempat
melirik ke arah Yasian, yang umpetkan diri di satu pojok dari mana perdana
menteri itu sedang berikan titahnya kepada pahlawan-pahlawannya untuk mencegat
jalan mundur orang. "Inilah hebat..." pikir Tan Hong, yang menjadi berkuatir. "Djiesoepee sembrono,
urusan akan menjadi kacau kalau ia sampai kemplang mampus pada Yasian. Perdana
menteri ini ada punya putera dan perwira sebawahannya, ia masih punyakan
beberapa puluh laksa serdadu, kalau karena kejadian di sini jadi terbit perang
di antara kedua negara, itulah hebat, pasti akan terjadi darah tumpah mengalir
di daerah luasnya ribuan lie..."
Anak muda ini menjadi masgul. Hendak ia menerjang keluar, tapi ia dihalanghalangi Pit To Hoan dengan ruyung panjangnya - Hangliong pang. Sekarang meski ia
jauh terlebih gagah daripada jago tua itu, akan tetapi ia sungkan melawannya, ia
juga tidak hendak melukai orang. Dalam keadaan sangat tegang itu, mendadak ia
berseru dengan tegurannya: "Tjinsamkay, kau masih punya kehormatan kangouw atau
tidak?" Heran jago tua itu, hingga ia tercengang.
"Apa kau bilang?" ia berbalik menanya.
"Untuk merampas dunia, itulah bukannya tugasmu. Kau tidak tepat!" berkata anak
muda itu dengan jawabannya.
Di waktu Tan Hong pertama kali masuk ke Tionggoan, ia ada bawa warisan
leluhurnya - ialah peta dari tempat disimpannya harta pendaman leluhurnya itu di
Souwtjioe. Ketika itu, dalam pertandingan dengan Pit To Hoan, keduanya telah
membuat perjanjian, kalau Pit To Hoan kalah, untuk selanjutnya suka ia dengar
segala perkataannya si anak muda. Janji itu ada mengandung maksud, jikalau di
kemudian hari Thio Tan Hong hendak rampas negara dari tangan kerajaan Beng, Pit
To Hoan cuma harus membantu, tidak dapat ia menentanginya. Karena itulah maka
sekarang dalam keadaan sangat terpaksa itu, Tan Hong menagih janji.
Mendengar itu, walaupun sangat bertentangan dengan hatinya, Hangliong pang dari
Pit To Hoan menjadi bergerak dengan perlahan, lalu di akhirnya, sambil menghela
napas, ia berkata: "Baiklah, aku mengalah terhadapmu!..." Setelah mengucap
begitu, dengan gesit sekali ia lompat keluar jendela!
Kie Tin takut bukan main, mukanya pucat pasi hingga seperti tidak ada darahnya.
Ia mendekam di suatu pojok, napasnya memburu. Tan Hong tidak sempat perhatikan
lagi raja itu, dia lompat keluar kamar, hingga dia dapatkan Tiauw Im Hweeshio,
paman guru yang kedua itu, tengah kerahkan tenaganya, mengamuk hebat dengan
tongkatnya, yang menjadi lawannya adalah Ngochito serta dua pahlawan lainnya
Ngochito bukannya seorang yang lemah akan tetapi menghadapi pendeta itu,
walaupun ia dibantu dua pahlawan, ia kewalahan juga. Tiauw Im liehay dengan
gwakang-nya, ilmu bahagian luar, liehay juga ilmu tongkatnya, Hokmo Thunghoat,
yang terdiri dari seratus delapan jurus, dengan ilmu tongkat ini dia desak tiga
lawannya itu. Di akhirnya,
Ngochito cuma bisa bela diri, tak sanggup balas menyerang.
Beruntung bagi Tiauw Im Hweeshio, Yasian telah kehilangan dua pahlawannya yang
ia paling andalkan, ialah Tjeng Kok Hoatsoe dan Ma I Tjan, yang kepandaiannya
tidak ada di bawahannya pendeta ini, yang tadi malam telah rubuh di tangannya
Tjia Thian Hoa dan Yap Eng Eng yang liehay dengan cara bertempurnya siangkiam
happek, hingga yang satu terluka, yang lainnya binasa, bila tidak demikian,
pasti sekali Pit To Hoan dan Tiauw Im tak akan dapat bergerak dengan leluasa
seperti ini. Yasian lihat munculnya Tan Hong, segera ia perdengarkan suaranya yang dingin:
"Hm, bagus ya! Kamu orang-orang Han, kamu tidak punya kehormatan!"
Tan Hong dengar ejek-ejekan itu, ia tidak mempedulikannya, hanya terus ia lompat
kepada Tiauw Im, dengan ulur sebelah tangannya, ia sambar tongkatnya djiesoepee
itu, si paman guru yang kedua.
Tiauw Im lihat keponakan murid itu, ia jadi sangat gusar, hingga ia berteriak :
"Ya kamu berdua guru dan murid semua bukannya manusia benar!" Justeru itu ia
tengah menyerang Ngochito secara hebat sekali, sampai pahlawannya Yasian itu
putus asa. Maka beruntung bagi pahlawan ini, Tan Hong muncul di waktu yang
tepat, selagi si pendeta egoskan tongkatnya dari tangan si anak muda, ia lantas
lompat keluar kalangan, perbuatan ini ditelad dua kawannya.
"Tan Hong, kau berani lawan yang tuaan!" membentak Tiauw Im dalam murkanya.
"Lagi sekali kau merintangi aku! Lihat kalau-kalau aku tidak kemplang mampus
padamu dengan tongkatku ini!"
Tan Hong tapinya telah tetap dengan putusannya.
"Sekalipun kau bunuh aku, aku tetap menghendaki kau mundur dari sini!" demikian
jawabannya. Dalam kalapnya, Tiauw Im segera serang keponakan murid itu.
Tan Hong tidak berani layani paman guru ini terus dengan tangan kosong, terpaksa
ia cabut pedangnya, maka itu keduanya bertarung dalam ruang itu.
Pada waktu pertama kali Tan Hong masuk ke Tionggoan, kepandaiannya Tan Hong
berimbang dengan paman gurunya, akan tetapi setelah mempelajari Hiankang
Yauwkoat, ia telah peroleh kemajuan pesat sekali, maka sekarang ia sudah dapat
lampaui paman gurunya itu. Belasan kali sudah Tiauw Im mendesak dengan
tongkatnya yang liehay, yang tadi membuatnya Ngochito bertiga kewalahan, tapi
kali ini, tidak mampu ia membuat keponakan muridnya itu mundur setindak juga,
malah sebaliknya, setiap kali si anak muda menggerakkan pedangnya, ia seperti
tak sanggup gerakkan tongkatnya yang liehay itu!
Bukan kepalang mendongkolnya pendeta ini, hingga matanya jadi mendelik.
"Tan Hong, apakah masih ada orang yang tertua di depan matamu?" ia menegur
sambil berteriak sekeras-kerasnya.
Ditegur begitu, anak muda ini cuma bersenyum.
"Maaf, soepee. Walau bagaimanapun, sekarang aku minta soepee mundur dulu dari
sini! Untuk bicara, nanti lain kali saja, sekalian aku haturkan maafku!"
Perkataannya Tan Hong ini membuatnya semua pahlawan kaget dan heran.
"Ha, kiranya mereka adalah paman guru dan keponakan murid!..." seru mereka
sambil tertawa. "Hahaha, sungguh lucu! Di sini ada soepee yang tidak sanggup
lawan keponakan muridnya! Benar-benar tidak punya guna, sampai pengaruh si tua
dipakai untuk menindih si muda! Sungguh tidak tahu malu!"
Ejekan itu ditambahkan pula oleh tertawa dingin yang riuh.
Mukanya Tiauw Im menjadi merah padam, lalu pucat pias, Kegusarannya tak
terkirakan. "Binatang cilik, lain kali akan aku membuat perhitungan terhadapmu!" ia
berteriak, lalu dengan menyeret tongkatnya, ia lompat keluar kalangan, untuk
angkat kaki dari pagoda itu. Maka celakalah beberapa pahlawan yang berada
diundakan tangga, mereka telah dilabrak oleh pendeta yang sedang mungsangmangsing itu! Tan Hong lompat ke jendela, untuk melongok keluar. Ia tampak Pit To Hoan, dengan
memimpin tiga pengemis, tengah menerobos kepungan. Liehay tiga pengemis itu,
beberapa puluh pahlawan masih tidak sanggup merintangi mereka. Tiauw Im sudah
lantas gabungkan diri pada empat orang itu, berlima mereka membuka jalan untuk
menjauhkan diri. "Beberapa pengemis itu liehay," pikir Tan Hong. "Entah bagaimana caranya mereka
bekerja, sehingga mereka mendapat tahu raja dikurung di sini..."
Ketika itu, Yasian pun menghampirkan jendela, sambil menyender, ia melongok
keluar. Sekarang dapat ia bernapas lega. Ketika kemudian ia menoleh, ia lantas
dengar suaranya Tan Hong: "Aku minta Thaysoe suka memberi maaf padaku," demikian
anak muda itu. "Soepee-ku itu menyangka aku sedang terkurung di sini, maka itu
telah terbit salah paham. Akan aku cari dia, untuk memberi penjelasan. Aku
berani tanggung dia tidak akan datang pula mengacau kemari!"
Yasian dapat kesan baik terhadap anak muda ini. Ia telah saksikan sendiri
bagaimana hebatnya orang tahan desakannya si
pendeta serta kawan-kawannya itu, hingga ia jadi terbebas dari ancaman marah
bahaya. "Sudahlah!" katanya sambil tertawa. "Sekarang mari kita bekerja seperti apa yang
kita sudah damaikan tadi. Kau tidak usah kuatirkan apa-apa."
"Terima kasih," Tan Hong ucapkan.
"Nah silakan masuk pula, untuk tengok rajamu," Yasian berkata pula.
Meskipun ia mengatakan demikian, perdana menteri ini tapinya jalan berendeng
dengan pemuda itu masuk ke kamarnya Kie Tin.
Kaisar Beng terpucat-pucat mukanya, ia menyender di tembok, tubuhnya menggigil
keras. Nyata ia sangat ketakutan.
Yasian bersenyum melihat keadaannya raja musuh itu.
"Biarlah dia pulang untuk jadi raja pula, dia mungkin akan memberi kebaikan
terhadapku..." demikian ia pikir. Lantas ia tertawa dan kata: "Kau tentunya
dapat kekagetan! Inilah ada baiknya untukmu, sebab ini berarti, habis pahit,
datang manis! Kau tunggu saja, kalau nanti telah tiba utusan negaramu, kau boleh ikut pulang ke negerimu untuk hidup senang pula seperti biasa. Mudahmudahan kau tidak akan lupakan kebaikanku!..."
Hati Kie Tin lega, hingga ingin ia menghaturkan terima kasih kepada perdana
menteri Watzu itu. Tetapi Tan Hong telah mengedipkan mata padanya, atas mana
segera ia insyaf akan dirinya. Bukankah ia seorang raja dari suatu negara besar
dan Yasian tak lebih tak kurang sebagai perdana menteri dari Watzu" Jikalau ia
haturkan maafnya, ia jadi menghina diri sendiri. Maka ia lantas angkat dada.
"Tidak usah kau menyebutnya, budi kebaikanmu ini telah aku ingat!" demikian ia
berikan jawabannya. "Thaysoe, masih hendak aku memohon sesuatu darimu," Tan Hong berkata. Ia seperti
tidak menghiraukan pembicaraannya kedua orang itu.
"Apakah itu" Silakan sebutkan," Yasian jawab.
Tan Hong loloskan mantel kulit di pundaknya - itulah mantel kulit rase yang
halus dan enteng - sambil berbuat begitu, ia berkata: "Aku mohon Thaysoe ijinkan
aku kasihkan mantelku ini kepadanya."
Dengan "padanya" itu, pemuda ini maksudkan raja Beng.
Yasian segera perlihatkan roman terperanjat. "Ah, saking repot, aku sampai
melayaninya kurang sempurna!" katanya. "Orang-orangku pun alpa! Kami sampai lupa
untuk menyiapkan pakaian baharu untuk junjungan kamu! - Mana orang?"
Perdana menteri ini menjadi repot agaknya, ia perintah orangnya ukur tubuhnya
Kie Tin, untuk segera dibuatkan pakaian baru, pakaian dari kulit. Ia juga pesan,
barang hidangan harus dibikin lebihan, supaya sekalian dapat dihidangkan kepada
raja tawanan itu. Setelah itu, ia bertindak keluar.
Tan Hong mengikuti perdana menteri itu, tetapi mantel kulitnya ia tinggalkan di
situ. Selagi bertindak, ia melirik kepada raja, ia tampak matanya raja itu
mengembeng air. "Agaknya hatinya telah tergerak juga," pikir anak muda ini. "Semoga ia nanti
ingat pengalamannya yang pahit di sini, supaya nanti sepulangnya ke negerinya,
ia nanti tidak mendatangkan kesulitan bagi Ie Kokloo..."
Tan Hong lantas ingat Topuhoa, ia kuatir digerembengi pula oleh si nona, maka
itu, begitu keluar dari menara batu itu, ia lantas pamitan dari Yasian. Ia
segera menuju ke tempat penginapannya In Loei. Akan tetapi di sana ia tidak
dapat menemui si nona. In Loei cuma meninggalkan sehelai surat untuknya.
Ringkas saja suratnya In Loei itu. Ia pesan, kalau nanti Tan Hong sudah
selesaikan segala urusannya, anak muda itu harus segera
pergi kebukit Peklo San di luar pintu timur, untuk mereka bertemu di sana.
-ooo00dw00ooo- Bab XXVI Peklo San adalah bukit kenamaan, letaknya dekat dengan kota raja. Di atas bukit,
yang indah pemandangannya, ada berdiri beberapa rumah penduduk. Tan Hong ketahui
itu, makanya ia menjadi heran akan bunyinya surat kawannya itu.
"In Loei belum pernah datang ke kota raja bangsa Watzu ini, dia masih asing di
kota ini, kenapa dia dapat mendaki bukit Peklo San?" demikian ia berpikir. Ia
juga merasa pusing sedikit. Ia dipesan mencari ke atas bukit tetapi di dalam
surat tidak dituliskan alamat yang terang. Ke mana ia harus mencari" Tidakkah
itu sulit" Berbareng iapun menjadi berkuatir juga. In Loei pindah, agaknya
dengan cara kesusuh, apakah itu bukan disebabkan si nona hendak menyingkir dari
matanya Yasian" Oleh karena ia tidak dapat menemui si nona, terpaksa Tan Hong pulang dulu ke
rumahnya. Kali ini ia dapat kenyataan pahlawan-pahlawannya Yasian, yang
ditugaskan mengawasi rumahnya itu, sudah ditarik pulang. Adalah Tantai Mie Ming,
yang muncul membukakan pintu. Maka itu, girang keduanya akan pertemuan ini.
Mie Ming berkata: "Beberapa hari yang lalu kami telah dikurung di dalam gedung,
aku sebal sekali. Kalau menuruti adatku, pasti aku sudah menerjang keluar!
Tjoekong telah membujuki aku untuk jangan gunai kekerasan."
"Memang ada terlebih baik jangan menerjang keluar," kata Tan Hong sambil
tertawa. "Mana ayahku?"
"Tjoekong ada di kamar tulis," sahut Tantai Mie Ming. "Selama ini, hati tjoekong
pepat, bagus kau telah pulang."
Tan Hong lantas pergi ke kamar tulis. Perlahan tindakan kakinya. Ia tampak
ayahnya tengah berduduk diam seorang diri sambil bertopang dagu. Ayah itu
seperti sedang memikiri sesuatu.
"Ayah!" ia memanggil, dengan perlahan.
"Oh, kau telah kembali!" menyahut ayah itu. Ia menoleh. "Aku tadinya menyangka
bahwa kita sukar untuk dapat bertemu pula satu dengan lain..."
Air matanya orang tua itu lantas saja menetes turun.
"Anakmu yang poethauw pulang untuk memohon ampun," kata Tan Hong.
Ayah itu tidak pedulikan akan kebaktian anaknya itu.
"Aku dengar dari Tantai Tjiangkoen, benarkah kau telah tiba di Souwtjioe?"
tanyanya. "Justeru untuk itulah anakmu memohon ampun," jawab Tan Hong. "Harta pendaman dan
peta bumi simpanan leluhur kita sudah aku gali, semua itu aku telah berikan
kepada Ie Kiam dari kerajaan Beng, untuk digunakan membantu kaisar dari Keluarga
Tjoe memukul mundur angkatan perang Watzu..."
"Tentang sepak terjangmu itu, dari mulut Tantai Tjiangkoen telah aku dengar
sedikit," berkata sang ayah. "Dengan tindakanmu ini, terhadap Tionggoan kau
telah unjukkan jasamu, tetapi karena itu, kita kaum keluarga Thio, untuk selamalamanya akan tidak punya lagi ketika yang baik untuk memperebutkan dunia..."
Tan Hong bungkam. Ia dapat merasai kedukaannya ayah itu. Ketika ia memikir,
untuk menghibur ayahnya, ia dengar ayah itu menghela napas seraya terus berkata:
"Hidup tak ingin menjadi tihang negara, mati tak sudi menjadi Raja Akherat.
Sekalipun Raja Akherat, selagi ia memutuskan orang menjadi setan, hatinya sering
tak tega, sedang menjadi tihang negara, yang mencintai rakyatnya, kewajibannya
menjadi bertambah-tambah banyak... Setelah perubahan besar ini, dengan perlahanlahan habis sudah tergosok semangatku yang besar. Menjadi perdana menteri aku
tidak menghendaki lagi, apapula untuk menjadi raja yang pasti memusingkan kepala. Oleh
Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
karena kau sendiri sudah tak ingin menjadi raja yang memulai membangun negara,
aku juga ingin mengakhiri hidupku di negara asing ini. Semua yang kau telah
lakukan, tidak aku buat menyesal, tidak aku persalahkan kau!"
"Ayah," berkata putera itu. "Daun itu rontok jatuh ke akarnya, dari itu, aku
masih mengharap kau nanti pulang ke negeri kita..."
Thio Tjong Tjioe menghela napas, ia hempaskan tangannya.
"Selama ini kau banyak letih, pergilah kau beristirahat dulu," katanya.
"Sebentar malam nanti kita bicara pula."
Tan Hong tidak berani mendesak, ia lantas undurkan diri.
Sorenya, sehabis bersantap malam, anak ini bersama ayahnya jalan-jalan di dalam
taman. Di bawah sinarnya si Puteri Malam, pohon-pohon bunga menciptakan
bayangan-bayangan. Menarik hati memandang loneng-loneng yang terukir. Di dalam
keindahan sang malam itu, ayah dan anak berhadapan berdiri sambil mereka
menyenderkan tubuh di loneng. Sampai lama, mereka tak bicara satu pada lain.
Akhirnya, Tan Hong petik setangkai bunga bwee.
"Kali ini bunga bwee mekar terlebih indah daripada tahun yang lalu," kata dia.
Ia mulai pecahkan kesunyian.
"Benarkah itu?" tanya ayahnya. "Kau telah sampai di istana lama di Souwtjioe,
bagaimana kau lihat keadaan di sana?"
"Istana itu telah dijual oleh negara, telah dijadikan tamannya satu okpa," sahut
si anak. "Ukiran huruf-huruf di tembok pun sudah pada runtuh..."
Tjong Tjioe tidak bilang suata apa, ia cuma menghela napas.
"Tetapi ayah jangan berduka," Tan Hong menghibur. "Tempat kita itu telah anakmu
menangkan kembali." Tjong Tjioe heran. "Apa katamu?" ia tanya.
Tan Hong segera beri keterangan halnya itu hari ia menangkan pertaruhan dengan
Kioetauw Saytjoe hingga ia dapat pulang Koaywa Lim, tamannya itu, dan hal apa
yang ia telah lakukan terlebih jauh mengenai taman itu.
Ayah itu tengah berduka tetapi mendengar penuturan puteranya, ia tertawa
berkakakan. Itulah tanda ia setujui sikap anaknya itu.
"Anakmu poethauw, ayah," Tan Hong berkata pula. "Sekarang ini anakmu mengharap
ayah suka pulang, supaya di taman sendiri ayah bisa tinggal dengan damai dan
tenang..." Tjong Tjioe kembali tidak menyahuti, ia cuma menghela napas. Kelihatannya ia
sangat lesu. "Ayah, justeru adalah paling baik kau gunai ketika ini untuk keluar dari segala
keruwetan," Tan Hong membujuk pula. Lalu ia tuturkan apa yang ia bicarakan tadi
pagi dengan Yasian. Ia tambahkan: "Telah aku melancangi ayah menerima baik
sarannya Yasian itu, maka itu baiklah besok ayah ajukan permohonanmu untuk
meletakkan jabatan, supaya ayah tak usah lagi menjadi menterinya Watzu yang
memusingkan diri ini."
"Untuk undurkan diri, itulah memang cocok sama cita-citaku," berkata ayah itu.
"Sudah dua puluh tahun lebih aku menjadi menteri, aku telah merasa letih sekali.
Dahulu juga aku tidak punya niatan untuk menjadi menteri."
"Memang, ayah, mega itu tak ada niatnya untuk muncul dari antara puncak-puncak,
dan burung, setelah letih beterbangan, tahu akan pulang ke sarangnya," kata Tan
Hong. "Maka, ayah, untuk
kita adalah terlebih baik jikalau kita pulang ke kampung halaman kita."
Tjong Tjioe menghela napas. "Memang, mega itu tak ada niatnya untuk muncul dari
antara puncak-puncak, dan burung setelah letih beterbangan tahu akan pulang ke
sarangnya," ia ulangi kata-kata puteranya. "Itulah dua runtunan kata-kata yang
tepat sekali dari To Van Beng. Pulang, pergi, kembali! Ya, sekarang adalah waktunya untuk pergi
pulang..." Tan Hong menjadi sangat girang.
"Kalau begitu baiklah besok ayah ajukan permohonanmu meletakkan jabatan," ia
kata. "Sesudah itu kita menanti saja tibanya utusan kerajaan Beng, setelah
perdamaian beres selesai, kita lantas pulang ke negeri kita."
Tapi Tjong Tjioe menggeleng-geleng kepalanya.
"Apa yang aku katakan dengan pergi pulang itu bukanlah seperti yang kau
maksudkan pulang ke negeri kita sendiri!" katanya, dengan suaranya yang dalam.
Tan Hong heran, hingga ia tercengang.
"Bagaimana, ayah ?" ia tanya.
"Arak habis, perjamuan bubar, orang pergi pulang," sahut ayah itu. "Demikian
kemuliaan, kementerengan, itulah impian kosong belaka. Di dalam dunia ini aku
telah hidup enam puluh tahun, dari itu sudah seharusnya aku pergi pulang..."
Kali ini suaranya itu lain daripada biasanya. Nyata dengan "pergi pulang" itu ia
maksudkan pergi pulang ke alam baka. Karena ini, ketika sang anak berkata pula,
suaranya rada-rada menggetar.
"Ayah semakin sehat, masih jauh ayah ke usia seratus tahun, kenapa ayah
mengucapkan kata-kata yang tak beralamat baik ini?" ia tanya.
Tjong Tjioe tertawa meringis.
"Bukankah di dalam dunia ini tidak ada pesta yang tidak bubar?" ia balik tanya.
"Kanglam itu indah, itulah justeru tempat untuk ayah beristirahat!" kata Tan
Hong, gugup. Tapi sang ayah jawab: "Apakah aku masih ada muka untuk kembali ke Kanglam"
Dahulu hari Tjouw Pa Ong sungkan melintasi
sungai Ouw Kang, itu artinya dia tak ingin menjumpai pula penduduk Kangtong!"
Tan Hong menjadi sangat berduka, ia berkuatir.
"Ah, mengapakah ayah membuat bandingan ini?" ia kata. Ia masih berniat membujuk,
tetapi ayahnya telah menggoyangkan tangannya.
"Putusanku sudah tetap, tak usah kau banyak omong lagi!" kata orang tua itu.
"Boleh aku letakkan jabatanku sebagai menteri akan tetapi tanah daerah leluhurku
tak sudi aku menginjaknya pula!"
"Kalau begitu, ayah," tanya Tan Hong, "apakah ayah anggap keliru tentang
perjalananku ke Tionggoan ini?"
Tjong Tjioe berdongak memandang langit. Dari kejauhan, dengan lapat-lapat,
terdengar suaranya terompet huchia. Sekian lama ia membisu, baharu ia bersuara
pula. "Jikalau usiaku muda empat puluh tahun, aku juga dapat melakukan seperti apa
yang kau telah perbuat," ia berkata. "Mengandalkan orang untuk melakukan sesuatu
adalah sangat tak boleh diharap, sekarang insaflah aku bahwa pikiran akan pinjam
tenaga bangsa Watzu untuk membangunkan pula Kerajaan Tjioe kita yang besar
adalah suatu pikiran yang keliru."
Mendengar ini, Tan Hong girang berbareng berduka.
"Ayah..." katanya pula.
"Tak usah kau omong banyak lagi!" sang ayah memotong. "Hanya ingin aku
menyadarkan kau. Yasian itu adalah seorang yang sangat licik, terhadapnya kau
mesti waspada kalau-kalau dia berbalik berpikir. Dengan sesungguhnya aku
mengharap-harap lekas tibanya utusan dari pemerintah Beng! Bilamana aku menutup
mata di negara Watzu ini, tidak nanti aku melupakan Tionggoan... Turut katamu
itu, Ie Kiam adalah seorang menteri bijaksana yang sukar dicari keduanya selama
seratus tahun ini. Mudah-mudahan, sejak saat ini, Tionggoan kelak akan menjadi
makmur dan kuat. Aku merasa senang juga apabila aku dapat melihat utusannya."
Luar biasa perasaannya Tan Hong sesaat itu. Mereka berada dekat tapi mereka
seperti terpisah jauh satu dari lain... Tan Hong seperti merasakan bahwa jantung
ayahnya berdenyut keras, berdenyut dengan tak dapat diartikan maksudnya...
Karena ini, pikirannyapun menjadi kacau.
Sekonyong-konyong di antara kelompok pohon di depan mereka, satu bayangan orang
tampak berkelebat, berbareng dengan itu terdengar bentakannya Tantai Mie Ming:
"Siapa bernyali begini besar berani menyusup masuk ke dalam sianghoe?" Bentakan
itu disusul dengan serangan sebelah tangan, lalu menyusul satu suara berisik
dari rubuhnya sebuah pohon kembang, disusul pula dengan lompat keluarnya satu
orang mengenakan pakaian warna abu-abu. Tantai Mie Ming sendiri terlihat
terhuyung beberapa tindak, baharu dapat ia pertahankan tubuhnya.
Tan Hong kaget sekali. Siapa orang itu, yang demikian kosen sanggup membuat
Tantai Mie Ming terhuyung" Mendadak ia dengar tertawa yang nyaring diiringi
pertanyaan: "Ah, Tan Hong, kau telah kembali?"
Baharu sekarang Tan Hong melihat tegas, orang itu adalah toasoepee-nya, Tang
Gak. Maka itu, ia jadi girang luar biasa. Ia lantas memberi hormat pada paman
gurunya yang paling tua itu, siapa ia segera ajar kenal dengan ayahnya.
"Mari kita duduk di dalam," kemudian ia mengajak.
Demikianlah mereka pergi ke ruang tamu. Tang Gak irup air teh yang disuguhkan,
terus ia tertawa. "Tantai Tjiangkoen, kepandaian Tiat Piepee-mu telah menjadi terlebih liehay
daripada dulu-dulu!" ia memuji.
Tantai Mie Ming pun tertawa.
"Dan Taylek Kimkong Tjioe darimu pun sukar sekali untuk dilayani!" ia balik
memuji. Tjong Tjioe menghaturkan terima kasih pada tetamunya yang tidak diundang itu.
"Anakku telah dapat perlindunganmu, aku sangat berterima kasih," kata ia pada
paman guru puteranya itu.
"Dan akupun bersyukur kepada kau yang selama sepuluh tahun sudah melindungi
soetee-ku," Tang Gak pun berkata, ia maksudkan Thian Hoa. Kemudian, sambil
tertawa pula, ia menambahkan. "Sinsiang, baharu sekarang aku tahu hatimu! Nyata
tidaklah salah apa yang dikatakan soetee-ku itu! Aku merasa bersyukur yang aku
tidak sampai berlaku sembrono..."
Tan Hong pun dengan diam-diam bersyukur juga.
"Baiknya ia dapat dengar pembicaraan ayahku barusan," katanya di dalam hati.
"Kalau dia sebagai djiesoepee, entah apa yang akan terjadi... Apakah soepee
telah ketemu guruku?" ia terus tanya toasoepee itu.
"Ya, telah aku ketemu padanya," sahut Tang Gak.
"Tjia Sianseng sudah pergi untuk banyak hari," Tjong Tjioe turut bicara.
"Mulanya aku tidak tahu apa yang dia niat lakukan, aku berkuatir. Dia telah
kembali, mengapa dia tidak turut bersama datang kemari?"
Tang Gak irup pula tehnya, ia tidak lantas menjawab.
"Pahlawan-pahlawannya Yasian sudah dibubarkan, meski demikian sukar dijamin
bahwa ia tidak akan mengirim orang lagi untuk memata-matai kita," berkata Tantai
Mie Ming. "Nanti aku pergi ke depan untuk melihat-lihat."
Tan Hong tertawa atas kepergiannya jenderal itu.
"Tantai Tjiangkoen telah memikir terlalu banyak," katanya. "Dia kuatir di antara
kita mungkin hendak membicarakan sesuatu yang tak dapat dilakukan di depannya,
maka itu ia berlalu..."
"Ia benar," Tang Gak bilang. "Apa yang hendak aku bicarakan justeru adalah
urusan gurunya." Gurunya Tantai Mie Ming ialah Siangkoan Thian Ya, justeru adalah lawan dari Hian
Kee Itsoe. Maka mendengar soepee ini, Tan Hong menjadi heran.
"Apa?" tanyanya "Bukankah Siangkoan Thian Ya Si kepala iblis tua itu sudah lama
mengumpetkan diri" Mungkinkah sekarang dia muncul pula?"
"Dia tidak keluar dari gunungnya akan tetapi kita hendak pergi mengunjungi
padanya!" kata Tang Gak.
"Bagaimana sebenarnya soepee?" tanya pula Tan Hong, heran.
"Tak tahu bagaimana jalannya, iblis kepala yang tua itu telah mendengar yang
kami beberapa saudara telah datangi negara Watzu ini," Tang Gak beri keterangan,
"dan ia segera kirim orang untuk memberitahukan kami supaya kami pergi ke
gunungnya untuk menghadap padanya."
"Apakah maksudnya?" Tan Hong tanya pula.
"Aku juga tidak tahu. Mungkin dia hendak uji kepandaian kami. Dia adalah satu
lootjianpwee, dia telah berikan titahnya, tidak dapat kami tidak turut titahnya
itu." "Apakah Tantai Tjiangkoen tidak ketahui urusan ini?" Tan Hong tanya. Ia jadi
berpikir keras. "Jikalau dia tidak mengatakan apa-apa, jangan kau timbulkan urusan ini
kepadanya," Tang Gak pesan. Ia tidak jawab keponakan murid itu, ia bicara secara
sungguh-sungguh. Di dalam kalangan kaum Rimba Persilatan ada aturan yang harus dihormati, yaitu
jikalau pada kedua pihak kaum tertua ada perselisihan, maka murid-murid mereka
itu meskipun mereka bersahabat satu pada lain, harus si murid saling menjauhkan
diri. Tan Hong tahu aturan itu, ia sebenarnya kurang memperhatikannya, tetapi
sebab ia lihat soepee ini bicara demikian rupa terpaksa ia tidak berani banyak
omong. Tang Gak melanjutkan kata-katanya: "Begitulah pada kira-kira tiga puluh tahun
yang lalu, guru kami bersama Siangkoan Thian ya itu telah melakukan pertempuran
di atas gunung Ngobie San, sampai tiga hari tiga malam lamanya, mereka tidak
menang dan tidak kalah. Pertempuran itu telah disudahi dengan mereka saling
berjanji, bahwa lagi tiga puluh tahun kemudian mereka bertemu pula. Tidak lama
sehabisnya itu, keduanya menjauhkan diri dari muka umum, mereka menyembunyikan
diri, yang satu di Tionggoan, yang lain di tapal batas Mongolia. Sejak itu,
keduanya tidak pernah berhubungan lagi satu sama lain. Aku telah anggap urusan
akan sudah habis sampai di situ. Tak disangkanya pada tahun ini di permulaan
musin semi, aku dengar omongannya seorang sahabat kaum Rimba Persilatan, bahwa
katanya Siangkoan Thian Ya hendak mewujudkan janji dahulu hari itu. Oleh karena
ini, lekas-lekas aku berangkat untuk menyampaikan kabar kepada soetjouw-mu.
Soetjouw-mu itu tidak mengatakan, suka atau tidak ia menyambut Siangkoan Thian
ya itu, ia hanya titahkan kami pergi terlebih dahulu ke Watzu. Sampai sekarang
ini aku tetap belum tahu soetjouw-mu itu hendak datang atau tidak..."
"Turut apa yang aku dengar dari soehoe," berkata Tan Hong, "jurus silat pedang
siangkiam happek ciptaan soehoe adalah diperuntukkan melawan iblis tua itu.
Mungkin, karena itulah soetjouw tidak niat turun tangan sendiri."
"Tentang liehaynya siangkiam happek itu belum pernah aku saksikan," kata Tang
Gak. "Samsoetee dan soemoay memang cerdas sekali, mereka jauh lebih menang
daripada aku, akan tetapi jikalau mereka hendak diajukan untuk melayani iblis
tua itu, rasanya bedanya masih terlalu jauh..."
Tan Hong tahu liehaynya siangkiam happek, tak percaya ia akan kata-katanya paman
guru yang tertua itu, akan tetapi terhadap toasoepee ini ia tidak berani
sembarang omong, ia juga tidak hendak pertontonkan ilmu silat pedang gabungan
itu, maka ia membungkam. "Eh, Tan Hong, mana sahabatmu yang muda?" tiba-tiba Tang Gak tanya. Baharu
sekarang ia ingat In Loei.
Hatinya Tan Hong bercekat. Tentang In Loei, ia belum omong kepada ayahnya, ia
anggap belum tiba saatnya, tapi sekarang toasoepee itu menimbulkannya, hatinya
menjadi kebat-kebit. Lekas-lekas ia mengedipkan mata kepada paman guru itu.
"Apakah kau tidak memikiri dia?" tanya pula toasoepee itu, dia agaknya tak
mengerti tanda kedipan mata dari keponakan murid itu.
"Anak Hong," berkata Tjong Tjioe, setelah ia dengar perkataannya Tang Gak itu,
"kau datang bersama sahabatmu itu, ajaklah dia menemui aku."
"Ia ada urusan, ayah, dia telah pergi terlebih dahulu," Tan Hong terpaksa
mendusta. "Bukankah dia hendak pergi ke lembah selatan dari gunung Tangkula untuk cari
ibunya?" tanya lagi Tang Gak. Dengan "dia", paman guru ini maksudkan "dia"
wanita. Kembali Tan Hong bercekat.
"Ha, toasoepee ini!" katanya dalam hati kecilnya. "Rupanya toasoepee telah
ketemu In Loei, jikalau tidak, tidak nanti ia ketahui In Loei hendak cari ibunya
itu..." Di samping itu, girang juga Tan Hong, hingga sinar matanya menjadi bercahaya. Ia
ada seorang cerdas, tahulah ia bahwa Tang Gak tentunya campur dalam halnya In
Loei pergi mencari ibunya itu.
Tjong Tjioe sementara itu nampaknya heran. "Sahabat macam apa dia itu?" ia
tanya. "Satu sahabat yang jujur." sahut Tan Hong.
"Kalau begitu, lain hari mesti kau ajak dia ke rumah kita," kata ayah itu.
"Baik, ayah," sahut si anak. Di dalam hatinya, ia ada sangat berduka. Bukankah
In Loei telah menyatakan tak ingin menemui ayahnya itu"
Sampai di situ, Tang Gak berbicara pula.
"Si iblis Siangkoan itu berdiamnya di puncak tertinggi dari gunung Tangkula
sebelah utara," demikian katanya. "Jikalau dari lembah sebelah selatan, di mana
ada bertinggal suku bangsa Ngolo, kita pergi kesebelah utara, lalu mendaki
puncak utara yang tinggi itu, perjalanan ada sekira lamanya tiga hari. Tadi Thio
Thaydjin menanyakan halnya Thian Hoa, dia sebenarnya sudah pergi terlebih dahulu
kesana." "Kapan Siangkoan Thian Ya menyuruh soepee beramai pergi mengunjungi padanya?"
Tan Hong tanya. "Harinya masih belum ditetapkan," sahut Tang Gak. "Sebelumnya Tjengbeng, Thian
Hoa sudah berangkat. Akulah yang menyuruh dia pergi, sebab ia mesti sambangi
dulu satu sahabat Rimba Persilatan. Adalah kehendakku, di saat yang perlu,
sahabat itu harus muncul untuk menjadi si juru pemisah. Di mana djiesoepee-mu"
Aku dengar dia telah tiba juga. Bersama Thian Hoa, aku belum menemui dia."
"Djiesoepee ada bersama Tjinsamkay Pit To Hoan", Tan Hong beritahukan. Dan ia
tuturkan kejadian tadi malam.
Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mendengar itu, Tang Gak tertawa.
"Tabeatnya Tiauw Im masih tetap saja aseran seperti dulu-dulu," kata dia.
"Baiklah, akan aku berdiam di sini beberapa hari, untuk mencari dia, setelah
bertemu dengannya, baharu kita bicara pula."
"Kalau begitu, besok aku mesti berangkat?" berkata Tan Hong kemudian. Tjong
Tjioe terperanjat. "Eh, anak Hong!" katanya. "Kau baharu pulang, bagaimana kau sudah hendak
berangkat pula?" "Inilah perlu, ayah," anak itu jawab. "Di sini ada mengenai urusan penting dari
guruku, sebagai murid, layak aku berbuat sesuatu untuk soehoe. Kalau soehoe
pergi menghadapi bencana, layakkah aku tidak menyusulnya?"
Tjong Tjioe berdiam. Ia dapat membenarkan perkataan anaknya ini. Bukankah Tan
Hong telah dididik sempurna oleh Thian Hoa, gurunya itu" Maka tak dapat ia
mencegahnya. "Mana kudamu, Tjiauwya saytjoe ma?" kemudian ia tanya.
"Kuda itu dibawa oleh sahabatku yang disebutkan tadi," sahut Tan Hong.
"Ah!..." Tjong Tjioe berseru perlahan. Di dalam hatinya, ia kata: "Pasti
persahabatannya anak ini dengan sahabatnya itu bukan persahabatan biasa saja..."
Oleh karena ini semakin keraslah niatnya untuk bertemu dengan orang yang
dimaksud itu. Keesokan paginya, Tan Hong pamitan dari ayahnya, juga kepada Tang Gak, toasoepee
itu. "Mari aku antar kau keluar," berkata Tjong Tjioe, yang terus pegang tangan
anaknya. Mereka berjalan dengan perlahan-lahan.
Tantai Mie Ming ada bersama, ia menemani Tang Gak. Berdua mereka telah
mendahului tiba di pintu depan.
"Ayah, kau masuklah," Tan Hong minta. "Ayah masih harus pergi ke istana."
"Surat perletakan jabatan telah aku tulis selesai tadi malam, karenanya tak usah
aku kesusuh," sahut sang ayah. "Sejak sekarang ini, dengan tidak memangku
pangkat, aku jadi merdeka. Aku hanya harapkan kau lekas kembali."
"Jangan ayah pikirkan aku. Bersama-sama soehoe pasti aku akan kembali."
"Hanya aku kuatir, setelah kembali, kamu nanti pergi pula," menyatakan pula ayah
itu akan kesangsiannya. "Kalau nanti kau pulang, mungkin utusan kerajaan Beng
pun telah tiba." "Kenapa ayah tidak hendak bersama-sama pulang ke Tionggoan?" Tan Hong tanya
pula. Ia mengulangi. "Semalam telah kita bicarakan urusan itu, maka sekarang tak usah banyak
dibicarakan pula!" kata ayah itu, ringkas.
Tan Hong menurut, tetapi tiba-tiba ia tanyakan lainnya hal.
"Ayah," demikian katanya, "apakah ayah masih ingat In Tjeng, itu utusan kerajaan
Beng yang dahulu hari?"
Tjong Tjioe melengak. Tan Hong rasakan telapak tangan ayahnya basah tiba-tiba
dengan keringat, tangan itu gemetar.
Selang sesaat baharulah Tjong Tjioe seperti sadar, terus ia menghela napas.
"Ya, sudah tiga puluh tahun..." katanya, seperti kepada dirinya sendiri. "Urusan
dari tiga puluh tahun seperti terbayang di depan mata... Utusan In itu adalah
satu laki-laki yang seumurku baharu pernah menemuinya! Bagaimana aku tidak ingat
kepadanya" Kalau tidak salah, sejak dia pulang ke negerinya, sepuluh tahun sudah
berselang..." "Hanya nasibnya harus disayangkan," Tan Hong tambahkan. "Dia pulang ke
negerinya, baharu saja dia tiba di pintu negeri, dia sudah dianiaya hingga
binasa oleh Ong Tjin yang telah menggunakan firman palsu!"
Tjong Tjioe agaknya terkejut.
"Kejadian itu pernah aku mendengarnya," ia bilang. "Ah, itulah disebabkan
kesalahanku. Ketika itu aku masih bersemangat muda, aku sangat benci raja Beng,
karenanya, aku benci juga semua orang yang bersetia kepada kerajaan Beng itu.
Karena itu juga maka In Tjeng telah aku kirim ke tepi telaga yang seperti
berlangitkan es dan berbumikan salju, hingga lamanya dua puluh tahun dia mesti
mengembala kuda. Selama dua puluh tahun dia minum es dan mengemu salju, toh
selama itu tetap dia bersetia kepada kaisar dari Keluarga Tjoe itu. Dia adalah
musuhku tetapi aku sangat kagum terhadapnya. Selama tahun-tahun yang belakangan
ini, apabila aku ingat padanya, aku jadi bersusah hati. Inilah kesalahanku, ya
kedosaanku yang pertama-tama selama hidupku... Aku harap utusan kerajaan Beng
yang akan datang itu nanti ada sebagai In Tjeng jantannya!"
"Ayah tahu tidak," kata Tan Hong pula, "kabarnya In Tjeng itu ada punya dua
cucu, yang satu pria, yang lain wanita, keduanya usianya tak berjauhan dengan
usiaku." "Benarkah itu?" tanya Tjong Tjioe. "Aku harap yang aku bisa dapat bertemu dengan
mereka itu." "Ayah, umpama ada sesuatu yang mereka hendak mohon darimu, sudikah kau
menerimanya?" Tan Hong berkata pula.
"Kau adalah mustikaku," sahut orang tua itu, "kalau untuk mereka itu, meski aku
kehilangan kau, aku ikhlas sekali!" Tiba-tiba ia menghela napas. Ia menambahkan:
"Jikalau mereka itu masih hidup dan telah menjadi dewasa, pasti sekali mereka
ketahui peristiwa engkong-nya itu, pasti sekali mereka akan pandang aku sebagai
musuhnya. Oleh karena itu, cara bagaimana mereka hendak meminta sesuatu dari
aku?" Lega hatinya Tan Hong akan dengar kata-kata ayahnya ini. Ia tahu, itulah katakata yang keluar dari hati yang putih murni.
"Bagaimana caranya maka kau ketahui tentang dua anak itu?" kemudian Tjong Tjioe
tanya pula. Sebenarnya ingin Tan Hong tuturkan pergaulannya dengan In Loei, atau mendadak ia
pikir baiklah ia bersabar dulu.
"Aku dapat mendengar pembicaraan di antara sahabat-sahabat kaum kangouw,"
demikian ia jawab. "Kabarnya mereka itu sudah ikuti satu guru silat yang
terkenal dari siapa mereka telah pelajari kepandaian. Cucu lelaki dari In Tjeng
itu mungkin bekerja pada pemerintah."
"Kalau benar begitu, senang hatiku," berkata Tjong Tjioe. "Aku harap saja,
utusan Beng yang akan di kirim kemari itu adalah cucunya In Tjeng itu."
Tan Hong lihat ayahnya benar-benar bergembira.
Sementara itu, mereka sudah sampai di samping pintu.
"Ayah baik-baiklah di rumah," Tan Hong bilang. Lalu, bersama Tang Gak ia keluar
dari pintu belakang. Tjong Tjioe senderkan tubuh di pintu, ia masih mengawasi, sinar matanya suram.
"Sungguh soetee Thian Hoa sabar dan jauh pandangannya," berkata Tang Gak.
"Sekarang mengertilah aku kenapa dia sudi tinggal di rumahmu sampai sepuluh
tahun. Oleh karena ayahmu suka membantu Tionggoan, nampaknya Yasian tidak akan
mampu terbitkan sesuatu gelombang."
Atas ucapannya soepee itu, Tan Hong hanya angguk-anggukkan kepala.
"Sekarang kita menuju ke mana?" ia tanya.
"Tentu saja ke Peklo San!" sahut paman guru itu. "Adik kecilmu tengah
memikirkanmu..." "Oh, jadinya soepee adalah yang menitahkan dia pergi ke Peklo San?"
"Di atas Peklo San itu ada satu sahabatku," jawab Tang Gak. "In Loei tinggal di
rumah penginapan, itulah tidak sempurna, maka itu aku suruh dia pergi menumpang
di rumah sahabatku itu."
Keduanya berjalan dengan cepat, maka tidak lama sampailah mereka di kaki gunung
Peklo San itu. Hawa ada sangat dingin, daun-daun kuning seperti mengampari bukit
itu. Tan Hong sangat bergembira, pemandangan itu baginya adalah seperti
pemandangan di musim semi...
Di tengah gunung ada sebuah rumah, temboknya dari tanah liat. Kelihatan rumah
itu terawat baik. Di pintu depan, sambil menyender, ada satu nona. Dialah In
Loei. "Adik kecil! Adik kecil!" Tan Hong segera memanggil. "Adik kecil, aku sudah
kembali!" In Loei menyahuti dengan tawar, ia nampaknya lesu.
Tang Gak lihat sikap orang itu, ia menggeleng kepala, ia kata dengan perlahan:
"Kamu berdua adalah sepasang musuh..."
"Telah aku bicara dengan ayah perihal peristiwa dulu-dulu, ia sangat menyesal,"
kata Tan Hong. Ia ingin beritahukan In Loei perihal ayahnya mengharap sangat
bertemu dengan dia dan kakaknya, tapi In Loei dengan dingin mengatakannya lebih
dahulu, "Aku pun menyesal..."
"Menyesal" Apa yang kau sesahnya?"
"Kakekku dahulu mengembala kambing," jawab si nona. "Kalau nanti aku bersama kau
pergi melihat ibuku, tidak tahu apa yang harus aku katakan..."
Tan Hong menghela napas. Pantas kalau In Loei menyesal untuk ibunya itu - ibu
yang telah terlunta, sangat menderita.
Mengawasi sepasang anak muda itu, Tang Gak tertawa.
"Kamu anak-anak muda, kamu bertemu untuk saling menghela napas, kamu membuatnya
aku si tua bangka jadi sangat tidak mengerti!" katanya, Jenaka. "Kalau ada
omongan, mari masuk ke dalam, di sana kita membicarakannya."
Masih Tan Hong menghela napas. "Untukku, walaupun harus menginjak api, akan aku
turut kau mencari ibumu itu," ia kata pada In Loei. "Kalau nanti kita sudah
bertemu, apa juga kata ibumu, bagaimanapun ia tegur aku, akan aku terima
saja..." Tiba-tiba saja In Loei tertawa geli.
"Untuk apa ibuku tegur kau?" tanya dia. "Ibuku itu, seumurnya belum pernah
menegur orang!" Satu kali si nona tertawa, maka sang awan gelap seperti juga lantas tersapu
sinarnya Batara Surya! Maka dengan hati lega, mereka masuk ke dalam rumah.
Sahabatnya Tang Gak itu adalah seorang ahli silat suku bangsa Hui yang tinggal
di Mongolia ini, seorang yang ramah tamah sekali.
Begitu ia sambut tetamunya, lantas ia pergi ke belakang, untuk mencuci dan
mensesel dagingnya seekor kambing hutan yang kemarinnya ia dapat dari memburu,
untuk di matangi, dengan apa ia jamu tetamunya itu. Tak lupa ia menyediakan
araknya. "Samsoepee dan soehoe telah lewat di sini kemarin," kata In Loei selagi mereka
duduk bersama. "Tentang itu telah aku beritahukan Tan Hong," kata Tang Gak. "Sekarang aku masih
hendak berdiam beberapa hari di sini, untuk cari djiesoepee-mu serta Pit To
Hoan, setelah, menemukan mereka baharu aku akan langsung kepuncak selatan dari
gunung Tangkula, untuk menghadiri pertemuan. Kau, In Loei, setelah kau dapat
cari ibumu, harus kau lekas bersama Tan Hong menyusul ke sana. Mungkin sekali
kita, orang-orang tua dan muda dari dua tingkat turunan, akan bersama-sama
menempur iblis tua bangka itu!"
"Apakah benar si tua bangka iblis itu ada demikian liehay?" In Loei tanya.
"Sekalipun kita kepung padanya, aku sangsikan kemenangan ada di pihak kita!"
sahut Tang Gak. "Kalau begitu, bukankah dia jadi ada terlebih liehay daripada si wanita tua dari
hutan bambu?" tanya pula si nona.
Tang Gak heran, ia melengak.
"Wanita tua siapakah yang kau maksudkan itu?" ia menegaskan.
In Loei pun segera ingat perkataannya Thian Hoa bahwa kecuali cuma toasoepee ini
yang ketahui hal ihwalnya si wanita tua, maka itu ia lantas menjelaskannya.
"Dia adalah seorang tua yang tak sudi memberitahukan she dan namanya," demikian
penyahutannya. Dia pandai menggunai senjata rahasia yang berupa daun bambu.
Toasoepee, tahukah siapa dia itu?"
Nona ini lalu menjelaskan pertemuan di hutan bambu itu.
"Ah, aku tidak sangka lootjianpwee itu masih ada di dalam dunia ini" berkata si
paman guru setelah ia dengar semua. "Nyata dia masih tak melupai segala kejadian
dahulu hari itu. Oleh karena dia muncul, di belakang hari mungkin dia campur
tangan, dan itu artinya urusan bisa menjadi bertambah sulit..."
"Sebenarnya siapakah dia?" In Loei tanya pula.
"Dia itu bersama soetjouw-mu serta si tua bangka iblis ada punya suatu urusan,
hanya kita yang menjadi anak muda, tak tepat untuk kita membicarakan urusan
mereka itu. Di belakang hari kau akan ketahui sendiri."
Demikian jawaban Tang Gak. In Loei tidak berani mendesak untuk menanyakannya
terlebih jauh. Tentu saja, sendirinya ia jadi masgul. Sehabis bersantap, sang
waktu sudah tengah hari. Keras sekali niatnya In Loei untuk mencari ibunya, maka
ia desak Tan Hong untuk segera berangkat. Karena itu, sebentar kemudian keduanya
sudah pamitan dari tuan rumah serta toasoepee mereka, untuk berangkat terlebih
dahulu. Sudah sekian lama Tjiauwya saytjoe ma dibawa In Loei ke gunung Tangkula ini, dan
sekarang kuda itu melihat Tan Hong, lantas saja ia angkat kepalanya dan
meringkik keras dan panjang.
Tan Hong usap-usap lehernya binatang tunggangannya itu.
"Sekarang aku membutuhkan kau pula!" katanya sambil tertawa.
Kedua pemuda pemudi naik atas masing-masing kudanya. Lantas mereka mulai dengan
perjalanannya. Orang berada di dalam musim dingin yang dekat berakhir, merekapun membuat
perjalanan ke Utara, maka itu, mereka menghadapi angin Utara yang hebat. Jalan
penuh dengan salju, hingga jagat menjadi putih anteronya. Di tengah jalan juga
sedikit sekali orang yang berlalu lintas.
Namun dalam keadaan seperti itu, Tan Hong melakukan perjalanannya dengan hati
terbuka, di atas kudanya ia mainkan cambuknya, dengan nada tinggi ia
perdengarkan suaranya: "Cuma
terdengar denyutan dua hati, yang putih bagaikan salju, yang tak sedikit jua
dibiarkan dikotori debu!..."
"Hai, sioetjay tolol!" berkata In Loei sambil bersenyum. "Kau menyebut-nyebut
salju, kalau sebentar sang angin membawa datang salju itu, baharulah kau tahu
rasanya hawa dingin! Nanti kau sukar berjalan..."
Tan Hong bersenyum, ia tidak sahuti nona itu.
Manjur mulutnya In Loei, belum lama atau sang angin mulai meniup-niup, membawa
benda halus yang dingin rasanya itu. Beterbanganlah bunga salju, yang terbawa
angin yang meniupnya lantas menjadi menderu-deru.
Tan Hong tidak hiraukan gangguan salju itu, ia larikan kudanya yang diikuti In
Loei. Maka itu, basah kuyup tangan baju mereka, penuh saljulah pelana mereka.
Benar-benar Tan Hong tidak takut hawa dingin, ia pentang bajunya menyambut hawa
yang dingin itu dengan dadanya. Ia buat main cambuknya, berulang kali ia berseru
kegembiraan! Ia baharu berhenti ketika ia dengar suara nona kawannya: "Eh, kau
dengar!" demikian In Loei, yang rendengkan kuda mereka. "Kau dengar! Itu suara
angin atau suara siulan"..."
Tan Hong segera pasang kupingnya. Segera ia menjadi keheranan.
"Itulah suara siulan yang bercampuran suara angin...." katanya kemudian. "Eh,
ada juga suara kaki kuda yang berlari-lari seperti saling kejar... Orang yang
bersiul itu mestinya orang yang liehay ilmu dalamnya... Mari kita lihat!"
Dan ia segera kaburkan kudanya. In Loei mengikuti dibelakangnya.
Lari belum lama, jauh di depan mereka, di antara tanah datar bersalju, mereka
tampak dua orang tengah bertarung seru, keduanya bertubuh besar. Di samping
mereka, di pinggiran, ada tiga
ekor kuda yang bagus, penungganganya adalah dua wanita serta seorang pria yang
tubuhnya besar dan kekar juga.
"Rasanya mereka adalah orang-orang yang kukenal..." kata Tan Hong, yang terus
bedal kudanya, maka di lain saat, tibalah mereka di tempat pertempuran itu,
hingga ia melihat dengan tegas, benarlah terkaannya, mereka adalah orang-orang
yang dikenal olehnya, ialah Hek Pek Moko dengan isteri-isterinya bangsa Iran.
Dan yang sedang berkelahi itu adalah Hek Moko. Hanya, untuk keheranannya, ia
kenali juga lawannya Hek Moko itu, yang bukan lain daripada Kong Tiauw Hay,
bekas tjongkoan dari istana kaisar Beng, dari Kaisar Kie Tin!
Kong Tiauw Hay itu dandan sebagai seorang Mongolia, akan tetapi sekarang bajunya
telah compang-camping, romannyapun sudah tidak keruan macam, dia nampak lebih
perok. Dia memang kalah tenaga dari Hek Moko, maka itu setibanya Tan Hong belum
lama, ia telah kena dibikin terjungkal oleh lawannya!
Tan Hong pun heran, kenapa mereka itu berkelahi. Tengah keheranannya itu ia
lihat Kong Tiauw Hay, setelah berbangkit bangun telah menghunus sebatang golok,
yang dinamakan golok kuda - matoo, dengan bengisnya ia membacok musuhnya.
"Hai, begal jahat, kau berani turun tangan terhadap datomu !" demikian bekas
tjongkoan itu perdengarkan suaranya yang keras. "Bagaimana kau berani curi
barangku" Lekas kau kembalikan barangku, perkara ini aku akan bikin habis!"
Hek Moko tapinya tidak takut, dia malah tertawa gelak-gelak. Dengan sebat dia
keluarkan senjatanya, ruyung Lekgiok thung, dengan itu ia menangkis.
"Traang!" demikian satu suara nyaring, lelatu api pun berhamburan. Dan goloknya
Tiauw Hay kentop! "Belum pernah aku ketemu dato!" Hek Moko kata sambil tertawa
pula. "Kau bicaralah dengan aku secara baik-baik, kita mungkin masih dapat
berdamai. Jikalau kau tetap hendak berlagak kosen - hm! hm! - kau lihatlah,
kau dapat bacok aku mampus atau ruyungku akan mengemplang remuk paha anjingmu!"
Hek Moko bergurau tetapi ia pun berkelahi dengan hebat, sebab Tiauw Hay serang
ia bertubi-tubi, halmana menandakan bekas tjongkoan ini gusar bukan main.
Tan Hong kembali menjadi heran. Hek Pek Moko adalah "saudagar-saudagar besar,"
tak sudi mereka bekerja kecil, maka anehlah kenapa mereka mau curi barangnya
Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kong Tiauw Hay. Masih ada lagi satu keanehan, yaitu meski Hek Moko bertempur
hebat, nampak nyata dia tidak niat menurunkan tangan jahat terhadap lawannya
itu... Ini disebabkan Tiauw Hay bukanlah satu tandingan yang tepat.
Tan Hong lantas berpikir: "Kong Tiauw Hay ini memang satu manusia rendah, meski
demikian ia pernah aku kenal. Entah apa sebabnya yang utama maka kedua orang ini
jadi berkelahi... Baik aku memisahkannya."
Pikiran ini segera diwujudkan. Tan Hong majukan kudanya, untuk menyelak di
antara mereka. Justeru itu, Kong Tiauw Hay berteriak keras, tubuhnya terhuyung
mundur beberapa tindak. Sementara itu Pek Moko, yang sejak tadi menonton saja,
telah lihat Tan Hong yang ia kenali, ia menjadi girang luar biasa.
"Toako. Thio Kongtjoe datang!" ia serukan kakaknya.
"Bagus Thio Kongtjoe datang!" Hek Moko pun berseru. Lalu ia teruskan pada Tiauw
Hay: "Coba kau kasih lihat beberapa mustikamu itu padanya, dia dapat mengenali
atau tidak!" "Mustika apakah itu?" tanya Tan Hong, yang menjadi tertarik hati.
Menampak kedatangannya Tan Hong, Kong Tiauw Hay menjadi terkejut, tapi,
berbareng iapun mengharap anak muda itu nanti suka bantu ia. Ia lantas berseru:
"Dua penjahat ini telah curi mustikaku! Tan Hong, tolong kau berikan
pertimbanganmu yang adil!"
"Kau ada punya mustika apa?" tanya Tan Hong, sambil ia lompat turun dari
kudanya. Ia jadi semakin tertarik hati, hingga ia ingin sekali ketahui duduknya
hal. Sekonyong-konyong, Hek Moko tertawa.
"Benar, kau ada punya mustika apa?" katanya dengan keras. Pertanyaannya Tan Hong
membuat ia dapat pikiran. "Kemarin kau berkeras mengatakan bahwa kau tidak punya
mustika apa-apa, kenapa sekarang kau akui mempunyainya?"
Tiauw Hay melengak, tapi ia sadar lekas.
"Tan Hong, itu memang mustikaku!" ia berseru.
"Dari mana kau dapatkan mustika itu?" Tan Hong tanya pula.
Belum sempat bekas tjongkoan itu memberikan penyahutannya, Pek Moko telah
keluarkan satu bungkusan kuning, yang disodorkan kepada si anak muda.
"Kau lihat, semuanya ada di dalam bungkusan ini!" dia bilang. "Aku sangsikan
asal usulnya beberapa mustika ini! Mungkin jahanam ini dapat dari curian! Coba
kau periksa, kongtjoe, mungkin kau bisa memberikan keterangan kepada kami."
Hatinya Tan Hong tergerak. Pernah ia lihat bungkusan kuning itu. Ia lantas saja
ingat. Selama peperangan di Touwbokpo, selagi tentera Beng dikurung musuh, Kong
Tiauw Hay melarikan diri, Tiauw Hay menumpang bermalam di rumah seorang tani, di
situ dia ketemu Tan Hong dan In Loei. Ketika itu Tiauw Hay menggendol bungkusan
kuning itu di bebokongnya, bungkusan itu berisi uang goanpo emas. Pernah Tan
Hong lemparkan bungkusan itu, tapi Tiauw Hay memungutnya, terus dibawa kabur.
Maka berpikirlah Tan Hong: "Mustahil Hek Pek Moko kepincuk beberapa potong
goanpo itu?" Karena ini, ia lantas buka bungkusan itu, atau segera matanya menjadi silau. Di
dalam bungkusan itu, kecuali belasan potong goanpo emas, ada lagi beberapa
barang berharga lainnya! Ialah pekgiok sanhoe, yang sangat bercahaya, yang tak
ada cacatnya. Batu itu jauh terlebih bagus daripada sanhoe yang In Loei berikan kepada Tjio
Tjoei Hong sebagai pesalin. Yang satu lagi adalah sebatang tusuk konde dengan
dua batu permata yang dinamakan "mata kucing" yang emasnya berukirkan empat
huruf "Hauw Kim Honghouw," artinya "Permaisuri Hauw Kim." Yang lainnya lagi
adalah sebuah permata singa-singaan, yang terbungkus kertas. Tapi yang paling
berharga adalah sebuah cap terbuat dari batu kumala, yang berukirkan enam huruf
"Tjeng Tong Hong Tee Tjie In," atau artinya "Cap Kaisar Tjeng Tong." Itulah cap
yang hanya sebawahan sedikit dari gioksie, cap kerajaan. Lagi beberapa yang
lainnya adalah barang kuno dari jaman Siang serta serenceng rantai mutiara, yang
harganya tak ternilai, sebab semua itu adalah permata-permata dari dalam istana.
Mau atau tidak, Tan Hong menjadi tertawa tawar.
"Dari mana kau dapatkan semua ini?" akhirnya ia tanya bekas tjongkoan itu.
"Semua itu adalah hadiah bertahun-tahun dari Sri Baginda terhadapku," sahut
Tiauw Hay. "Ya, sampaipun cap pribadi kaisar dan tusuk konde permaisuri juga dihadiahkan
padamu!" katanya si anak muda, yang tertawa mengejek. Sekarang telah ia dapat
menduga, ketika Kong Tiauw Hay kabur dari Touwbokpo, dia tentunya kabur sambil
curi barang-barang berharga dari kaisar, berikut cap pribadi raja itu serta
tusuk konde permaisuri yang dikasihkan kepada kaisar selaku tanda mata. Rupanya,
di waktu dia ketemu si anak muda di rumah si orang tani, cap dan tusuk konde itu
belum berani ia bungkus jadi satu dalam bungkusan uang, karenanya Tan Hong tidak
lihat itu. Terkaan Tan Hong ini tidak keliru. Tapi Tiauw Hay bukan mencuri untuk
mendapatkan uang saja, iapun ada kandung satu maksud lain. Tiauw Hay duga
Tionggoan pasti bakal dirampas bangsa Watzu, bahwa negara tentu akan jadi kalut,
maka dia memikir untuk mencuri semua permata itu, supaya dia bisa lari dan
umpetkan diri, untuk hidup sebagai hartawan. Nyata sangkaannya negara akan
musnah itu meleset adanya. Yasian kalah dan mundur dan raja
baharu telah dinobatkan. Karena ini, hatinya jadi ciut. Justeru itu, kedua paman
gurunya, yaitu Tiatpie Kimwan dan Hoasam Kiam dapat ditakluki Thio Tan Hong,
mereka bekerja kepada Ie Kiam, dia menjadi terlebih kuatir pula. Dia takut nanti
kedua paman guru cari padanya, dia bisa dipersalahkan merat dari medan perang.
Kekuatiran yang lain adalah kalau-kalau raja yang baru nanti tarik panjang
mustika-mustika kaisar Tjeng Tong yang dia curi itu. Maka, nekatlah dia. Dia
kabur ke Mongolia. Dia bercita-cita membeli tanah di Mongolia, untuk membangun
suatu usaha peternakan, untuk hidup mewah dan aman. Tentu saja sulit untuk dia
mengeluarkan cap pribadi raja dan tusuk konde permaisuri, maka dia memikir
hendak menghadiahkannya kepada Yasian, supaya Yasian suka berikan dia suatu
pangkat. Banyak macam cita-citanya itu yang belum dapat dia wujudkan, maka dia
berada dalam keragu-raguan. Malang baginya, di tengah jalan dia berpapasan
dengan Hek Pek Moko, dua saudara saudagar yang matanya sangat liehay, yang telah
berpengalaman selama beberapa puluh tahun. Dua saudara Moko itu menjadi curiga.
Mulanya mereka niat membeli permata itu tetapi Tiauw Hay menyangkal keras bahwa
dia mempunyai barang permata, Hek Pek Moko penasaran dan mendongkol, maka
malamnya mereka satroni bekas tjongkoan itu dan curi bungkusannya. Tiauw Hay
kelabakan, tapi dia pun liehay, dia menduga jelek pada Hek Pek Moko, yang dia
Harpa Iblis Jari Sakti 30 Pendekar Gila 37 Petaka Seorang Pendekar Pendekar Sakti 17
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama