Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen Bagian 9
"Sekarang tidak aku sesalkan kau bahwa kau telah bunuh dia," ia tambahkan pada
Tan Hong "Nah, kau pergilah!"
Suara riuh rendah terdengar semakin mendekati. Dengan sebat Hong Hoe bungkus
pula kepalanya Khoan Tiong, yang terus ia gantung dipelananya. Selagi berbuat
demikian, dia membalik belakang terhadap Tan Hong dan In Loei.
Sekonyong-konyong Tan Hong hunus pedangnya yang terus ditikamkan kepada komandan
Kimie wie itu. In Loei kaget bukan main "Hai kau, bikin apa?" dia menegur.
Hong Hoe sementara itu telah perdengarkan jeritan keras, di waktu In Loei lihat
padanya, ia menjadi kaget. Hong Hoe berpaling dengan mata dibuka lebar, romannya
ketakutan. Tapi In Loei menjadi lega juga hatinya apabila ia dapat kenyataan orang cuma
terluka sedikit bahu kirinya, luka itu tidak berbahaya.
"Bagus!" teriak Hong Hoe, murka dan masih kaget.
Tapi Tan Hong, dengan suara perlahan, kata padanya:
"Lekas kau jumput golokmu, mari kau tempur aku!....."
Kata-kata ini menyadarkan komandan itu, dia lompat kepada goloknya, golok Bianto
untuk dipungut, lalu dengan golok itu dia terjang Thio Tan
Hong, siapa berikan perlawanan, maka mereka jadi bergumal hebat.
Luka di bahu kiri Hong Hoe itu tidak sempat dibalut, luka itu masih mengucurkan
darah hidup..... In Loei telah saksikan itu semua, akhirnya iapun insaf, maka seorang diri ia
tertawa geli. "Thio Tan Hong ini benar-benar licin!" katanya di dalam hati. "Tipu kouw djiok
kee-nya membikin aku kaget sekali..... Kalau Hong Hoe tidak "terlukakan" musuh,
dan apabila dia tidak telah dibokong, dosanya memang bukan kecil....."
Tan Hong masih melakukan perlawanan karena Hong Hoe masih terus serang ia secara
hebat, walaupun demikian, sambil tertawa, dengan perlahan, ia kata kepada
lawannya itu: "Tadi kau bacok aku
tapi gagal, sekarang aku menikam kau, dapat aku melukai padamu, maka sekarang
baiklah kau menyerah kalah....."
Hong Hoe mendongkol bukan main. Itulah godaan hebat untuknya sekalipun ia tahu
mereka sedang main sandiwara, karena itu, permainan goloknya menjadi kalut.
Tidak demikian dengan Tan Hong, yang bersilat separuh main-main, separuh benarbenar, hingga perlawanannya atau penyerangannya jadi berbahaya, hampir saja muka
si komandan kena tertikam pula. Sesudah ini baharu Hong Hoe takluk benarbenar..... Suara riuh yang mendatangi telah datang semakin dekat, di tikungan sudah lantas
tertampak terangnya api obor dan serombongan orang telah memburu, dan di antara
terangnya api itu kelihatan yang terdepan adalah Hek Pek Moko, di belakang
mereka satu toodjin atau imam berserta seorang tua, ialah kedua paman-paman guru
dari Tjongkoan Kong Tiauw Hay.
Hek Moko dan Pek Moko berkelahi sambil lari, mereka kelihatannya kalah, mereka
terdesak sangat, akan tetapi sekalipun demikian, permainan silat mereka tidak
menjadi kalut. Begitu sudah datang lebih dekat, Samhoa Kiam Hian Leng Tjoe telah dapat lihat
Thio Hong Hoe repot melayani satu anak muda dengan pakaian serba putih, ia jadi
lebih kaget karena tampak komandan Kimie wie itu sudah terluka, lengannya mandi
darah. "Ah, siapakah anak muda itu?" pikirnya. "Dia masih muda sekali tetapi sangat
gagah, hingga Thio Hong Hoe dapat dia buatnya menjadi kacau balau" Mungkinkah
Kong Tiauw Hay telah omong dilebih-lebihkan tentang kegagahannya Thio Hong Hoe
ini"....." Walaupun dia berpikir demikian, Samhoa Kiam toh tinggalkan Pek Moko yang
"terdesak" itu untuk memburu kepada si orang she Thio, malah sambil berseru dia
berkata: "Thio Thaydjin, kau mundurlah, nanti aku yang hajar padanya!"
Tidak kecewa Wan Leng Tjoe menjadi salah seorang kenamaan dari Thiamtjhong Pay,
permainan silatnya hebat sekali, begitu ia dekati Thio Tan Hong, sinar pedangnya
segera berkilau-kilau, ujung
pedangnya lantas menusuk ke kiri dan kanan dengan cahayanya bergemerlapan.
Rupanya itulah yang membuatnya ia peroleh gelarannya, Samhoa Kiam - Pedang
Berbunga Tiga. Begitu lekas ia dikepung Hian Leng Tjoe, begitu lekas juga Thio Tan Hong
menjerit-jerit: "Celaka, celaka!"
"Kau tahu celaka, itulah bagus!" teriak Hian Leng Tjoe dengan hinaannya. Dia
tertawa dingin. Dan diapun perhebat serangannya.
Thio Tan Hong bagaikan terputar-putar, tubuhnya lincah mendahului tikaman,
walaupun ia terdesak tetapi ia tidak dapat dilukai. Kejadian ini terulang sekian
lama, hingga akhirnya Hian Leng Tjoe menjadi heran.
"Hebat keentengan tubuhnya orang ini....." demikian dia berpikir. Karena ini, ia
jadi tidak berani lagi memandang enteng seperti bermula tadi. Sebaliknya, ia
gerakkan pedangnya lebih gencar, ke atas dan ke bawah, ke kiri dan ke kanan,
karenanya, ia membuat enam gerakan saling susul, sinar pedangnya berkilauan.
Di antara serbuan itu, tiba-tiba terdengar Thio Tan Hong tertawa terbahak-bahak,
menyusul mana, pedangnya juga bercahaya putih mulus, memain di antara sinar
pedang lawan yang liehay itu, tak kalah gesitnya.
Baharu saja Hian Leng Tjoe terkejut, karena ia dapat lihat tegas permainan
pedang lawan, atau ia telah terlambat, cuma terdengar saja jeritannya.
"Bagus!" teriak In Loei, yang masih saja menonton.....
Hian Leng Tjoe tidak berani tangkis bacokan Tan
Hong, tahu bahwa satu bentrokan antara kedua pedang, pedangnya sendiri akan
terpapas kutung, karenanya, ia unjuk kesebetannya, dengan satu gerakan, ia
tempel pedang lawan. Inilah yang menyebabkan pujian dari si Nona In itu.
Tan Hong juga terperanjat dapatkan lawan sanggup elakkan bahaya dan sebaliknya
dapat menempel pedangnya itu, oleh karena
ini insaflah ia bahwa lawan ini berkepandaian terlebih tinggi daripada Thio Hong
Hoe. Karena ini, tidak sudi ia berlaku sembarangan.
Bertempur terlebih jauh, Tan Hong unjuk kelonggaran, artinya, ia mengalah
terhadap desakan Sam Hoa Kiam, menggunai saatnya, sekonyong-konyong ia
membungkuk sedikit, ujung pedangnya menyambar ke arah pinggang lawan.
Hian Leng Tjoe tengah membabat kepala musuhnya ketika ia diserang di bahagian
bawah itu, tapi masih ia dapat ketika untuk berkelit dengan mundur satu tindak,
namun masih ia kurang sebat sedikit, walau pinggangnya terhindar sambaran
pedang, ujung bajunya kena terpapas kutung!
Bahaya pun sebenarnya mengancam Tan Hong, tapi karena ia keburu membungkuk, ia
lolos dari bencana, lalu sebaliknya, ia ancam lawannya itu.
Hian Leng Tjoe kaget berbareng gusar. Beberara kali ia gagal, ia menjadi
mendongkol sekali. Maka itu ia menyerang pula, ia jadi semakin sengit dan
penasaran sekali. Dalam menghadapi lawan biasa, cahaya pedangnya dapat membuat
mata lawan silau dan kabur.
"Dalam seratus jurus, masih aku bisa lawan seri padanya," Tan Hong berpikir,
"selewatnya itu, rahasiaku bisa bocor dihadapannya..... Karena ini segera ia
berseru nyaring: "Kita lawan satu sama satu sampai kapan kita bisa selesaikan
pertempuran ini" Kau masih ada punya kawan, suruhlah dia maju berbareng untuk
kepung aku! - Eh, Hek Pek Moko, kamu biarkan tua bangka itu, kamu tinggalkan dia
pergi!" Soeheng, atau kakak seperguruannya Samhoa Kiam Hian Leng Tjoe, yaitu Tiatpie
Kimwan Liong Tin Hong tengah dikepung Hek Pek Moko, satu melawan dua, dia telah
jadi sangat repot, napasnya sampai sengal-sengal, tubuhnya pun bermandikan
keringat dingin, maka bagaimana lega hatinya ketika dia lolos dari kepungan
hebat. Hek Moko dan Pek Moko tertawa dengan berbareng.
"Orang tua, kau berumur panjang!" kata dua hantu ini dengan riang gembira. "Kau
dengarlah, di sana sahabatku yang muda telah pertanggungkan jiwamu supaya jiwamu
ini tak mampus di tangan kami! Nah, kau pergilah, kami ijinkan padamu!"
Liong Tin Hong mendongkol bukan main, walaupun dia sudah lelah, masih hendak dia
maju menyerang. Akan tetapi dia didahului Hek Moko, yang rabu dia dengan
layangkan tongkatnya, hingga mau atau tidak, mesti dia mundur dua tindak! Tetapi
dia tak dapat lolos dengan selamat!
Hek Pe Moko biasa bertempur berdua dengan teratur, sempurna kerja sama mereka,
demikian juga kali ini. Ketika Hek Moko layangkan tongkatnya, Pek Moko tidak
berdiam diri, bagaikan sudah dijanji, dia membarengi merangsak, percuma Tiatpie
Kimwan si Kera Emas Berlengan Besi, selagi dia dapat berkelit ke kiri, tongkat
Pekgiok thung dari si Hantu Putih sudah mampir dibebokongnya!
"Hai, kera tak tahu diri, aku ajar adat padamu!" tertawa si iblis putih itu.
Hajaran itu tidak parah, tapi setelah itu, keduanya lantas saja memutar tubuh,
untuk berlalu sambil tertawa panjang.....
Tidak terhingga mendongkolnya Tiatpie Kimwan, hampir dia rubuh pingsan, masih
bagus, melainkan tubuhnya sedikit terhuyung. Dia punyakan Iweekang yang terlatih
baik, tidak urung dia merasakan sakit bekas hajaran tongkat lawan itu, terpaksa
dia empos semangatnya, untuk bertahan diri.
Thio Tan Hong lihat orang terhajar, sambil berkelahi, masih sempat ia memasang
mata. Maka juga ia tertawa besar.
"Hai, kera bangkotan, apakah tulang punggungmu terhajar patah?" demikian
godaannya. Tiatpie Kimwan adalah seorang kenamaan sejak puluhan tahun, belum pernah dia
terhina, sekarang dia dapat hinaan ini, sudah tentu dia tidak mau mengerti. Maka
juga dia berseru nyaring sekali.
"Bangsat kecil, kau sangat menghina?" teriaknya lalu dia berlompat maju
menghampirkan kawannya, untuk hajar anak muda
itu. Dan begitu dia sudah datang dekat, begitu juga dia menyerang, dengan
senjatanya yang luar biasa, yaitu tongkat panjang berkepala naga, sedang
ujungnya lancip mirip telapak tangan yang berjari lima, yang semuanya tajam
bagaikan gaetan, sedang batang tongkat penuh dengan cagak tajam seperti duri.
Maka, kecuali kepala naganya serta tempat pegangannya, bahagian-bahagian lainnya
tak kena tercekal atau terlanggar tangan kosong. Karena ini juga, selagi
digunakan, tongkat itu mirip dengan tangan-tangan kera yang berbulu.
Melayani satu Samhoa Kiam, Tan Hong sudah kewalahan, sekarang ditambah lagi satu
musuh yang tidak kurang tanggunya, segera dia menjadi repot. Tetapi dia tidak
jeri, karena musuh ini sengaja dia undang, hanya pada mulanya, hampir saja batok
kepalanya hancur luluh terkena kemplangan tongkat istimewa dari si Kera Emas
Bertangan Besi itu. Dalam kagetnya, dia lantas berkelit, terus dia bersilat
dengan jurus "Hoenhoa hoetlioe" - "Memecah bunga mengebut yanglioe," untuk
perlihatkan kegesitannya. Dia melawan kedua musuh seperti tidak keruan
juntrungannya tak tentu arahnya.
Tiatpie Kimwan, yang sedang mendongkol jadi semakin mendongkol, ia bersuit
dengan pelahan ketika ia mulai pula dengan serangannya. Dengan saling susul ia
mendesak tiga kali dengan gegamannya yang luar biasa itu.
"Tidak kecewa Tiatpie Kimwan peroleh nama besarnya." pikir Tan Hong, yang harus
memuji lawannya itu. "Dia telah berkutat dengan Hek Pek Moko dan telah rasai
juga senjata si iblis, sekarang dia masih begini tanggu....."
Pedang Samhoa Kiam dari Hian Leng Tjoe juga telah diperhebat, ujung pedang itu
selalu mencari tempat-tempat yang berbahaya, hingga Tan Hong jadi repot. Tapi si
mahasiswa ini tidak takut, bahkan sebaliknya, ia tertawa.
"Bagus, bagus!" serunya. "Dua tua bangka maju berbareng, mereka boleh di kirim
pulang sekalian saja! Eh, adik kecil, mari maju!"
In Loei tahu bahwa ia dipanggil, akan tetapi ia masih diam menonton.
Tiba-tiba Thio Tan Hong limbung hampir saja ujung pedang Hian Leng Tjoe mengenai
tubuhnya, sesudah mana dalam keadaan berbahaya itu, iapun hampir saja tertotok
toya-nya Tiatpie Kimwan, syukur ia masih bisa berkelit, hingga tenggorokannya
jadi bebas dari totokan itu.
Hebat pemandangan itu. Hong Hoe juga menonton, ia mundur kepinggiran.
In Loei tetap masih bersangsi, agaknya ia hendak membuka mulut akan tetapi
saban-saban urung. Tapi sekarang, mendadak pedangnya yang bersinar hijau telah
berkelebat, tubuhnya sudah lompat maju.
"Bagus!" seru Tan Hong kegirangan, sesudah mana, pedangnya yang bercahaya putih
mengkilap turut bersinar pula. Maka sejenak kemudian, kedua sinar hijau dan
putih itu bergabung menjadi satu, bergeraknya cepat, pengaruhnya tersebar.
Segera juga Tiatpie Kimwan dan Samhoa Kiam merasai pengaruhnya kedua pedang
lawan itu, hingga tidak lama mereka dapat desak Tan Hong, malah sebentar
kemudian mereka mesti terpaksa main mundur. Percuma Hian Leng Tjoe mencoba
mengintai lowongan, baginya kedua pedang hijau dan putih itu ada terlalu kerap,
tiada tempat lowong yang dapat ditoblos. Celakanya, asal ia mencoba maju, kontan
pedangnya kena terjepit. Demikian satu kali, ketika ia terlambat, pedangnya kena
tertabas pedang lawan hingga kutung menjadi empat potong, hampir saja jari
tangannya turut terbabat juga!
Tiatpie Kimwan terkejut menyaksikan bahaya yang mengancam kawannya itu, karena
itu ia juga lengah, maka begitu terdengar suara senjata-senjata beradu, ujung
tongkatnya kena ditabas kutung kedua pedang lawannya itu.
Syukur bagi Liong Tin Hong, walaupun ia terhuyung ke depan, ia tidak disusuli
tikaman oleh Thio Tan Hong, pemuda ini melainkan mentertawai ia sambil mengejek:
"Sungguh seekor kunyuk bangkotan yang tidak tahu diri!"
Akan tetapi, sebaliknya daripada menikam atau menahas, Tan Hong ulur sebelah
kakinya, dupakannya itu tepat mengenai lutut orang, karena mana tidak ampun
lagi, tubuh si Kera Emas Berlengan Besi lantas terpelanting jatuh jauhnya lima
enam tindak! Dengan mengeluarkan suara "Bruk!" ia jatuh terlentang, tubuh di
bawah, kaki di atas! Dan apes untuk dirinya, sudah bebas dari senjata musuh, ia
tidak lolos dari senjatanya sendiri, karena tergulingnya itu, pahanya membentur
tongkatnya hingga ia tertusuk duri cagak beberapa lobang!
Keduanya Hoasam Kiam dan Tiatpie Kimwan telah tersohor kosen untuk banyak waktu,
sekarang mereka dipecundangi dalam tempo belum ada sepuluh jurus, malah mereka
rubuh di tangan dua anak muda yang mereka anggap tidak ternama, bukan main
mendongkol dan malunya, karena ini, tidak tunggu sampai Tan Hong dan In Loei
terjang mereka lebih jauh, mereka segera ambil langkah panjang!
Thio Tan Hong tertawa hingga terlenggak.
"Adik kecil, lekas kejar!" dia serukan kawannya, tangannya pun dikibaskan. "Kau
bekuklah kedua kunyuk tua itu!....."
Bukan kepalang takutnya Hoasam Kiam dan Tiatpie Kimwan, mereka lari ngacir tanpa
berani menoleh pula. Sebenarnya Thio Tan Hong hanya menggertak mereka belaka,
kalau mereka dikejar betul-betul, dengan gampang mereka dapat dicandak, karena
mereka sedang terluka. Hong Hoe tunggu sampai orang sudah kabur jauh, lalu ia tertawa terpingkalpingkal, begitu juga In Loei yang saksikan pemandangan yang lucu itu.
"Aku harus haturkan terima kasih kepadamu," kata komandan Kimie wie itu kemudian
pada si pemuda she Thio. "Telah aku rasai pedangmu tapi itu ada harganya. Kalau
nanti kau datang ke kota raja, aku undang kau untuk berkunjung ke gubukku." Dan ia sebutkan alamatnya.
Lalu ia menambahkan: "Saudara Thio! Saudara In! Sungguh hebat ilmu pedangmu yang
tergabung itu, di kolong langit ini tidak ada tandingannya. Pedang kamu dapat
berkumpul tak dapat berpisah, maka di antara kamu, kedua sahabat, apabila ada
sesuatu pertentangan, haruslah dilenyapkan!"
Hong Hoe mengucap demikian tanpa ia ketahui di antara kedua anak muda itu
justeru ada "urusan hebat" yang mengganjali ia cuma menyangka hanya bentrok
kecil saja..... Iapun mengucap kata-katanya yang belakangan ini hanya sambil
mengawasi In Loei seorang.
Merah mukanya In Loei, ia tunduk, ia bungkam.
"Aneh In Siangkong ini," pikir Hong Hoe menampak orang likat. "Dia gagah, kenapa
dia jengah tidak keruan" Dia mirip dengan satu nona remaja....."
Sebenarnya komandan ini berniat memberi nasihat, atau "Lihat, mereka tengah
mendatangi!" seru Tan Hong, tangannya menunjuk.
Hong Hoe menoleh dengan segera, hingga ia tampak In Tiong bersama Hoan Tiong,
yang muncul dari tikungan bukit.
Tadi malam Hoan Tiong bawa San Bin pergi, baharu ia keluar dari pintu belakang,
di luar dugaannya, ia telah dibikin tak berdaya oleh Thio Tan Hong dan Hek Pek
Moko. Ketika Tan Hong pancing Hong Hoe, kedua iblis Putih dan Hitam itu lantas
gunakan obat pules mereka yang mustajab membikin tentara Gielim koen mati
kutunya, kemudian, mereka umpetkan diri, untuk bekerja terlebih jauh. Kebetulan bagi mereka berdua, mereka
ketemu Tiatpie Kimwan dan Hoasam Kiam, yang keluar dari hotel, maka mereka
pancing dua orang ini ke Tjeng Liong Kiap di mana mereka bertempur. Ketika itu
Hoan Tiong, yang kena mereka tawan, telah dibawa juga ke selat itu di mana dia
ditambat di atas sebuah pohon besar. Pertempuran itu sangat seru, sehingga
berlangsung sampai tengah malam, kekuatan mereka berimbang.
In Loei bersama In Tiong berada dipersimpangan tiga di mana mereka dengar suara
pertempuran berisik di sebelah kiri, ketika In Tiong menyusul kesana, hari sudah
terang tanah, di sana segera ia ketemukan Hoan Tiong yang masih, terikat
tergantung, sedang Hek Pek Moko bersama Tiatpie Kimwan dan Hoasam Kiam tengah
bertanding hebat. Ia tidak mau sembarang nyebur dalam pertempuran itu, ia hanya
Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perlukan menolongi Hoan Tiong. Orang she Hoan ini tidak terluka, dia cuma kaku
kaki tangannya bekas lama terikat dan tergantung, hingga In Tiong perlu
menguruti dia untuk membikin darahnya jalan kembali seperti biasa. Selama In
Tiong tolongi Gietjian siewie itu. Hek Pek Moko telah pancing Tiatpie Kimwan dan
Hoasam Kiam ke lain arah. Maka, ketika dua orang ini muncul, Hian Leng Tjoe dan
Liong Tin Hong telah dikalahkan Tan Hong dan In Loei, mereka sudah lari kabur.
Atas datangnya kedua orang itu, Hong Hoe lantas menyambut. Sebenarnya ia niat
memberi keterangan, tetapi In Tiong sudah lantas unjuk kemurkaannya yang sangat,
dia berseru keras kedua matanya bersinar bagaikan api marong itulah tanda
kebencian terhadap Tan Hong.
"Kau kenapa, In Tongnia?" Hong Hoe tanya "Kenapa kau sangat benci dia?"
In Tiong tidak menjawab, ia hanya hunus goloknya dengan apa ia terjang orang she
Thio itu, yang lantas dihantui juga oleh Hoan Tiong yang mainkan sepasang
gembolannya. Tan Hong melayani dengan kelincahan tubuhnya.
In Loei jadi sangat bersusah hati, hingga ia berdiri menyender saja di lamping
bukit, matanya mendelong mengawasi pertempuran. Ia sangat berkuatir.
"Tahan!" teriak Hong Hoe akhirnya sesudah ia tak berdaya menyabarkan In Tiong
dan Hoan Tiong. Hoan Tiong menurut, ia berhenti menyerang, tidak demikian dengan In Tiong, masih
dia menyerang dengan seru dengan golok
di tangan kiri dan tangan kanan yang tanpa senjata. Malah dia mendesak hebat.
"Toako1." serunya sambil berkelahi. "Dia ini adalah puteranya penghianat Thio
Tjong Tjioe! Tak dapat dia dikasih lolos"
Mendengar itu, Hoan Tiong maju pula, untuk mulai lagi dengan serangannya.
Thio Hong Hoe sudah lantas berlompat maju. "Shatee, jangan sembrono!" dia
berteriak. "Dalam kejadian tadi malam, dialah penolong kita! Tunggu dulu, hendak
aku tanyakan keterangannya!" Dia lantas ulapkan goloknya.
"Thio Tan Hong, benar atau tidak apa yang dikatakan In Tongnia?" dia tanya.
Thio Tan Hong melenggak, dia tertawa.
"Harus ditertawai yang manusia di dalam dunia banyak yang matanya putih, sedang
bunga teratai keluarnya dari dalam lumpur!....." dia bersenanjung.
"Kau telah saksikan sepak terjangku, apakah benar kau masih belum bisa
menginsafinya aku orang macam apa" Kenapa kau mesti ngoce tak sudahnya" Perlu
apa kau tanya lagi asal-usulku?"
Hong Hoe melengak. "Inilah benar," pikirnya. "Meski benar dia puteranya Thio Tjong Tjioe dengan dia
pribadi ada apakah sangkut pautnya?" Maka segera ia berseru pula: "In Tongnia
tahan! Dia benar kandung maksud baik terhadap kita! Jangan kita balas kebaikan
dengan kejahatan!" Masih In Tiong menyerang dua kali.
"Toako, kau tidak tahu!" dia berseru. "Dia adalah musuh besar dari keluargaku!
Sakit hati tidak dibalas, adakah itu perbuatannya satu taytianghoe?"
Dengan ilmu Taylek Kimkong Tjioe, In Tiong perhebat serangannya.
Thio Hong Hoe menjadi tidak senang. "Baik" serunya. "Kau balas sakit hatimu, aku
tidak peduli!" Mendadak terdengar satu suara nyaring, lalu tertampak goloknya In Tiong kena
dibabat kutung pedangnya Tan Hong!
In Loei kaget, dia lompat maju dengan pedangnya ia menghalau di tengah-tengah
kedua jago, ia halangi pedangnya si orang she Thio.
Tan Hong tidak niat melukai In Tiong, ia berhenti menyerang, malah lantas ia
lompat mundur keluar kalangan.
Hong Hoe terperanjat ketika ia tampak In Loei lompat maju dengan pedangnya, ia
menyangka orang hendak gunakan ilmu pedang gabungannya untuk kepung In Tiong, ia
juga lompat maju pula. Ia baharulah melengak tatkala ia dapati pemuda itu
justeru maju untuk memisahkan. Di akhirnya, ia tertawa.
"Bagus, bagus!" katanya. "Memang, permusuhan harus dibikin habis, tak mestinya
diperhebat! Bagus kau maju disama tengah!" Ia lantas tarik tangan In Tiong
sambil berkata: "Kau telah menyaksikannya, bukan" Apa masih kau tidak niat
undurkan diri?" In Tiong awasi Tan Hong dengan mata mendelik, nyata sekali kebenciannya. Ia
merasa sangat menyesal, sesudah belajar silat sepuluh tahun, masih ia tidak
mampu kalahkan anak musuhnya. Karena Hong Hoe menariknya, terpaksa ia menurut
diajak pergi. Menampak kakaknya berlalu, mendadak In Loei menangis, iapun jatuh di tanah.
In Tiong dengar suara itu, ia menoleh, ia menjadi heran.
Hong Hoe kuatir rekan ini kembali, ia mengajak terus.
"Untuk apa kau pedulikan urusan lain orang?" katanya, tertawa. Dan ia menarik
terus, membawa orang berlalu dari lembah.
Ketika kemudian In Loei angkat kepalanya, ia tak tampak kakaknya, tapi ini
membuatnya ia menangis terlebih sedih.
"Koko....." ia memanggil.
Tiba-tiba ia rasakan tangan yang halus mengusap-usap rambutnya, lalu suara yang
lemah lembut terdengar di kupingnya.
"Adik kecil, kau menangis, kau menangislah! Setelah menangis, hatimu baharu
lega....." Itulah suaranya Thio Tan Hong, yang telah menghampirinya.
In Loei berhenti menangis dan bangun berduduk. Ia tolak tangan si anak muda dari
rambutnya. "Aku menangis sendiri, siapa ingin kau campur tahu"....." katanya.
Tan Hong tertawa. "Adik kecil, kenapa kau bersikap begini?" katanya, manis. "Bukankah di kolong
langit ini ada sangat banyak urusan yang dapat membuat orang bersedih hati" Dan
kau..... kau punyakan berapa banyak air mata?"
In Loei menjadi terlebih sedih, air matanya bercucuran terlebih deras.
"Sebenarnya manusia hidup tak sampai seratus tahun," Tan Hong kata pula. "Urusan
besar bagaimanapun yang tak dapat dihabiskan" Apakah artinya budi dan permusuhan
itu" Kenapa kau memandangnya demikian hebat?"
Tiba-tiba In Loei mencelat bangun. Ia menjadi gusar.
"Enak benar kau bicara!" tegurnya, nyaring. Mendengar orang bicara, hatinya Tan
Hong sebaliknya menjadi lega.
"Ayahku memaksa engkong-mu mengembala kuda dua puluh tahun, kejadian itu
membuatnya aku menyesal," ia kata pula. "Akan tetapi kejadian sudah terjadi,
kejadian itu tak dapat ditarik
pulang..... Tentang meninggalnya engkong-mu itu, tiada sangkut pautnya dengan
keluargaku..... Berulangkah aku telah menjelaskannya, apakah kau tetap tidak percaya aku?"
In Loei ingat surat wasiat engkong-nya, itu surat kulit kambing yang bertuliskan
darah dan berbau bacin. Ingat itu ia berpendapat, meski engkong-nya bukan
terbinasa di tangan musuh, untuk itu iapun harus menuntut balas..... Hal ini
membuatnya ia bertambah sedih.
Tan Hong menghela napas. "Ilmu silat Taylek Kimkong Tjioe kakakmu itu lihay," ia bilang, untuk simpangi
pembicaraan. "Pernah aku dengar guruku mengatakan, di jaman ini, yang mengerti
ilmu silat itu cuma ada beberapa orang saja, di antaranya adalah Tang Soepee
yang paling lihay. Turut penglihatanku, kakakmu itu tentulah muridnya Tang
Soepee itu....." Setelah mengucapkan kata-kata itu, kembali Tan Hong menghela napas.
"Memang ilmu silat kakakku itu ada ajarannya Tang Soepee," sahut In Loei, yang
ketarik dengan pembicaraan itu. "Apakah itu ada hubungannya dengan kau" Kenapa
kau menghela napas?"
"Aku menyesal atas apa yang telah terjadi....." sahut Tan Hong. "Kita bertiga
adalah saudara seperguruan, kita bagaikan satu keluarga, tak disangka-sangkanya,
orang yang telah meninggal dunia telah membuatnya urusan bersangkut paut dengan
mereka yang masih hidup, hingga sekarang kita jadi berkedudukan sebagai musuh
satu dengan lain. Kita sekarang jadi tak dapat hidup damai, apakah itu tidak
menyedihkan?" In Loei merasakan seperti terpukul, ia lekas-lekas menyingkir dari pandangan
matanya si anak muda, yang mengawasinya dengan tajam. Pikirannya pun kusut,
tidak dapat ia mengucap sesuatu.
Sekian lama si anak muda mengawasi, lalu ia menghela napas pula.
"Oleh karena kau tidak dapat memaafkannya, baiklah kita berpisahan saja....." ia
kata pula, suaranya perlahan. "Secara begini maka tak usahlah kita saling
berduka....." "Eh, tunggu dulu....." mendadak In Loei mencegah.
Tan Hong sudah membalik tubuh, mendengar mana ia berpaling pula.
"Ah," katanya, "kau memangnya cerdas, otakmu bening bagaikan es dan salju.
Adakah kau telah dapat menginsyafinya?"
Kembali In Loei menyingkir dari mata orang yang tajam itu.
"Di antara kita sudah tak ada apa-apa lagi yang dapat diperkatakannya," kata si
pemuda tetiron kemudian. "Bagaimana dengan Tjioe Toako" Ke mana kau buang dia"
Bagaimana dengan Pit Lootjianpwee" Apakah kau telah ketemu dia?"
Di dalam hatinya, Tan Hong tertawa. Adakah itu yang dimaksudkan sudah "tidak ada
apa-apa lagi yang dapat diperkatakan?" Toh yang ditanyakan ada demikian
banyak..... Ia tertawa. "Tjioe Toako itu sangat memusuhi aku, telah aku hajar rubuh padanya," jawab Tan
Hong. "Apa katamu?" In Loei terkejut.
"Ketika dia dibawa keluar oleh Hoan Tiong, Tiatpie Kimwan dan Hoasam Kiam juga
hampir sampai kepadanya," si anak muda terangkan. "Aku kuatir dia kepergok,
itulah berbahaya, maka itu aku telah beri nasehat pada Pit Lootjianpwee supaya
dia ajak Tjioe Toako lekas-lekas menyingkirkan diri. Untuk itu aku telah berikan
kuda putihku. Tjioe Toako tidak sudi turut nasehatku. Dalam keadaan seperti itu,
terpaksa aku totok padanya hingga dia tidak berdaya. Selagi aku titahkan Hek Pek
Moko rintangi Tiatpie Kimwan dan Hoasam Kiam, aku ajak Pit Lootjianpwee membawa
dia menyingkir dari tempat yang berbahaya itu. Bertiga kami naik atas kuda putihku.
Sebentar saja, kami telah antar dia ke rumah keluarga Na. Ilmu totokku ada yang
berat, dan ada yang enteng, yang enteng itu membutuhkan tempo hanya satu jam,
orang akan sadar sendirinya, karena itu sekarang ini mungkin Tjioe Toako sedang
menghadapi perjamuan arak untuk bikin lenyap kagetnya....."
In Loei berdiam. Ia kagum berbareng heran.
"Sungguh hebat dalam satu malam saja kau telah lakukan demikian banyak," ia
kata, tawar. "Kuda putihku bisa lari seribu lie dalam satu hari, apakah artinya semua itu?"
sahut si anak muda, sikapnya tetap tenang.
Kembali In Loei tutup mulut. Kembali ia menyingkir dari pandangan matanya si
anak muda. Ketika itu sang matahari sudah berada di atas Tjengliong Kiap, memberikan
pemandangan pagi yang indah dari akhir musim ketiga, pelbagai bunga hutan sedang
mekar, segar dan indah, dan bunga lay putih bagaikan salju. Suasana pun tenteram
sekali. Dalam keadaan sebagai itu, tiba-tiba Tan Hong keluarkan sepucuk surat.
"Tolong kau sampaikan surat ini kepada Nona Tjoei Hong," ia minta.
In Loei menyambutinya tanpa berpaling. Ia insyaf tak dapat tidak, mesti ia
berpisah dari si anak muda, akan tetapi ia coba atasi diri, supaya tak usah ia
tengok pula wajah orang, hal mana cuma-cuma akan menambah kedukaannya.
Tan Hong menghela napas, suaranya terdengar si nona, terus ia naik atas kudanya
- si kuda putih - yang ia kasi jalan dengan ayal-ayalan keluar dari selat, kaki
kuda menginjak pelbagai lembaran bunga yang rontok.....
Dengan perlahan Tan Hong bernyanyi, menyanyikan syairnya Ong Pong Hoay di jaman
Song ketika dia ini mengenangkan isterinya yang telah menikah pula.
Berduka In Loei kapan ia dengar nyanyian itu, hingga ia kata di dalam hatinya:
"Walaupun aku jemu terhadapmu tetapi di jaman ini, tidak nanti aku nikah lain
orang!..... Oh, mengapakah Thian berlaku begini kejam terhadap aku"....."
Ketika kemudian suara nyanyian berhenti, maka lenyap juga Tan Hong serta
bayanganya, tinggal si nona seorang diri, matanya mengembeng air - air matanya
itu bersinar di antara sorotnya matahari. Setelah ini, iapun berlalu dari lembah
yang sunyi itu. Tepat di waktu tengah hari In Loei sampai di Imma tjoan di rumahnya Na Thian
Sek, di mana ia dapatkan San Bin benar seperti katanya Tan Hong, yaitu pemuda
she Tjioe itu baharu saja dijamu, diberi selamat yang dia telah lolos dari
ancaman bahaya, dan waktu itu dia tengah pasang omong bersama kawan-kawannya.
Melihat In Loei, Pit To Hoan tertawa besar. "Sebenarnya aku kuatir ketika tadi
malam aku tinggal pergi padamu seorang diri," berkata orang tua itu, "tetapi
begitu aku ingat ada Thio Tan Hong yang melindungi kau secara diam-diam, hatiku
lantas menjadi lega, aku tak berkuatir lagi."
Kata-kata itu membuktikan, jago tua ini percaya penuh pada Tan Hong.
"Kami telah berpikir keras, kami telah bekerja hebat, namun kami tak dapat
tolong orang," Thian Sek turut bicara, "akan tetapi Thio Tan Hong, begitu dia
datang, pertolongan telah dapat dilakukan secara sangat gampang. Sepak
terjangnya dia itu sungguh hebat, luar biasa, mengagumkan!"
"Teranglah dia satu laki-laki sejati," kata Tjek Po Tjiang, yang tadinya
berkesan jelek terhadap Tan Hong, malah memusuhinya. "Nyatalah bahwa kita telah
bersikap keliru terhadapnya."
San Bin dengar itu semua, ia lirik In Loei.
"Maka sayang sekali, dia adalah musuhnya In Siangkong," ia bilang. "Kalau tidak
demikian, sungguh harus sekali kita bersahabat erat dengannya....."
Bersemu dadu wajahnya In Loei, ia bungkam. "In Siangkong," kata Tjoei Hong,
"dalam hal menolong toako San Bin, kau juga berjasa, mengapa kau diam saja?"
"Apa jasaku?" In Loei sahuti. "Umpama permainan catur, aku adalah satu serdadu
yang menyerah untuk orang kendalikan sesuka-sukanya saja....."
Tjoei Hong nampaknya tidak senang.
"Siapakah yang berbuat sesukanya terhadap dirimu?" dia tanya.
Penyahutannya In Loei tadi hanya sekena-kenanya saja. Ditanya begitu, ia insyaf,
tapi lantas ia tertawa. "Aku maksudkan aku dipermainkan nasib, tak lagi aku berkuasa atas diriku," ia
menambahkan kemudian. Orang semua heran. Kenapa "pemuda" ini mengatakannya demikian putar balik.
"Kau benar!" berkata San Bin, yang tak heran seperti yang lain. "Mengenai
permusuhanmu dengan Thio Tan Hong, itu memang ada permainannya sang takdir!"
San Bin berduka kapan ia ingat permusuhan di antara dua orang itu, karena
terhadap Thio Tan Hong, ia berkesan baik. "Eh, mengapa kamu bicarakan urusan nasib saja?" Tjoei Hong campur bicara. "In
Siangkong, bukankah kau berniat pergi ke kota raja?"
Sebenarnya nona ini hendak mengutarakan maksudnya untuk turut serta tapi In Loei
segera memotong pembicaraannya.
"Ah, hampir aku lupa!" kata "pemuda" ini. "Ada sepucuk surat yang mesti
disampaikan kepadamu! Surat dari Tan Hong....."
"Untuk apa ia menyampaikan surat padaku?" tanya Tjoei Hong, heran. Terus ia
menambahkan: "Kau dengan dia bermusuhan, kenapa kamu nampaknya seperti sahabatsahabat kekal" Tidakkah ini aneh sekali?"
Sambil berkata begitu, Nona Tjio toh buka suratnya Tan Hong itu.
"Kiranya surat dari ayahku!" katanya kemudian. "Ah, ada urusan apakah maka ayah
minta aku lekas-lekas pulang" Eh, In Siangkong, dalam surat ini ada terlampirkan
sepucuk surat lain untuk disampaikan kepadamu..... bukan untuk kau sendiri.....
hanya ini diminta kau tolong sampaikan kepada Kokioo Ie Kiam. Ah, inilah bukan
tulisannya ayah!" Dan ia melihatnya dengan teliti. Lalu ia menambahkan: "Nyata
surat ini ditulis oleh lain orang..... Kenapa orang main minta surat-surat
saling disampaikan"....."
In Loei menyambuti surat yang dikatakan untuknya. Ia tampak tulisan yang
sifatnya bagaikan "naga terbang atau burung hong menari." Memang surat itu
diminta disampaikan kepada Ie Kiam. Berdenyut berulang kali hatinya In Loei
apabila ia telah kenali siapa yang membuat buah kalam itu. Itulah tulisan yang
bagus dari Thio Tan Hong. Mungkin Tan Hong kuatir orang menampik permintaan
tolongnya, atau dia ada kandung maksud lain.....
Tjoei Hong sendiri menjadi kecele apabila ia sudah baca habis surat dari ayahnya
itu. "Dalam surat ayahku menyatakan ada urusan penting sekali karena mana ia minta
aku lekas pulang," ia bilang, "dan kau hendak pergi ke kota raja. Entah kapan
kita bisa bertemu pula....."
In Loei sebaliknya girang bisa "lolos" dari Nona Tjio ini.
"Asal ada jodoh, dapat kita bertemu pula!" katanya sambil tertawa.
San Bin semua tertawa, mereka menyangka itulah sepasang suami isteri tengah
bergurau, karenanya, merah mukanya Tjoei Hong, yang menjadi likat sekali.
Pada keesokan harinya, orang semua ber-pisahan, masing-masing menuju kepada arah
tujuannya sendiri-sendiri. Pit To Hoan pergi menyingkirkan diri ke Hoasan. San
Bin tidak berani berdiam lama di Kwanlwee, siap ia untuk kembali ke sarangnya.
Dan In Loei, dengan menunggang kuda, menuju ke kota raja. Tjoei Hong bersama San
Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bin mengantar orang she In ini. Nampaknya berat sekali "isteri" ini mesti
berpisahan dari "suaminya" itu.....
Sekonyong-konyong, In Loei berkata: "Entjie
Hong, pergi kau pulang lebih dahulu, hendak aku bicara kepada Tjioe Toako....."
Merah matanya Nona Tjioe itu. Seandainya In Loei berkata demikian sebelum
pengalaman mereka yang paling belakang ini, tentu ia jadi tidak senang dan akan
beranggapan bahwa di mata In Loei cuma ada San Bin, tapi sekarang San Bin pernah
berkorban untuk menolong padanya, dapat ia bersabar, dengan terpaksa ia pulang
seorang diri. "Tadinya aku pandang Tan Hong sebagai penghianat," kata San Bin sesudah mereka
berada berduaan, "sekarang aku anggap dia sebagai satu pemuda gagah dan luar
biasa. Maka kalau nanti kau sampai di kota raja, kau selidikilah dengan seksama,
apabila benar engkong-mu bukan keluarga Thio yang menganiaya dan menyiksanya
hingga menderita selama dua puluh tahun, aku anggap tak usah kau bunuh dia untuk
menuntut balas." Satu malam sudah San Bin telah berpikir keras, tentang takdir, ia menjadi tawar
hatinya. Setelah pengalamannya ini, ia menjadi lebih terbuka pandangannya
perihal penghidupan. Begitulah, maka bisa ia mengucap demikian.
Tertarik hati In Loei mendengar perkataan orang itu.
"Baiklah hal ini kita bicarakan pula lain kali," ia bilang, "Aku punyakan serupa
barang untuk haturkan kepadamu..... bukan! Barang ini sebenarnya memang
kepunyaanmu!" Ia lantas keluarkan permata sanhoe, sambil menyerahkan itu, ia kata pula:
"Sekarang sanhoe ini harus dipulangkan kepada pemiliknya!"
Melihat batu itu, berubah parasnya San Bin.
"Kau..... kau maksudkan apakah?" dia tanya gugup.
-ooo00dw00ooo- BAB XIV Sanhoe itu adalah barang tanda mata, atau pesalin, dari In Loei untuk Tjoei
Hong, San Bin ketahui itu, maka cara bagaimana dapat ia menerimanya. Tapi In
Loei tertawa. "Memang benar sanhoe ini berasal kepunyaanmu, yang aku cuma pinjam," si "pemuda"
terangkan lebih jauh. "Apakah bukan selayaknya kalau barang kembali kepada
pemiliknya?" "Adik In," katanya dengan perlahan, "kita sekarang akan berpisah, mengapa kau
bergurau begini rupa terhadapku?" Dengan "adik" ia menyebutnya adik perempuan.
Iapun nampaknya sedikit tak puas.
In Loei mengawasi, ia unjuk roman sungguh-sungguh.
"Toako, hendak aku mohon sesuatu kepadamu, kau sudi meluluskannya atau tidak?"
ia tanya. "Kita adalah bagaikan kakak dan adik sejati," jawab San Bin, "segala apa yang
aku bisa pasti suka aku berbuat untukmu, tak peduli mesti aku serbu api!"
In Loei tertawa. "Tetapi permintaanku ini tidak meminta tenaga sedikitpun jua!" ia bilang.
San Bin bukannya seorang tolol, dalam sejenak itu sudah ia dapat menerka. Ia
jadi agak mendongkol berbareng berduka. Maka, di dalam hatinya ia kata: "Di
dalam hatimu sudah ada lain orang yang menempatinya, itulah tidak apa, kenapa
sekarang kau hendak menggunai akal memindahkan bunga ke lain pohon"....."
Tadinya hendak ia unjuk tak puasnya itu, atau In Loei telah dului ia.
"Nona Tjio menyintai aku secara membuta, ia harus dikasihani," demikian si nona.
"Tak dapat aku dustakan ia untuk selama-lamanya yang akan mensia-siakan usia
mudanya." "Itu ada sangkut paut apa dengan aku?" tanya San Bin, mendongkol.
Matanya In Loei menjadi merah.
"Aku sudah tidak punya ayah dan ibu, di waktu aku nampak kesulitan, jikalau aku
bukan minta pertolonganmu, kepada siapa lagi dapat aku memintanya?" dia tanya.
"Begitulah kesulitanku ini, melainkan kau yang dapat memecahkannya. Sioktjouw
dengan Hongthianloei Tjio Eng kenal baik satu pada lain, maka itu kaulah orang
yang paling tepat....."
"Apa" Bukankah dengan begini kau jadi memaksa aku?" San Bin tanya. "Kau desakkan
soal apa yang orang tak inginkan....."
"Kau ketahui apa yang hendak aku minta dari-mu?" balik tanya In Loei. "Aku juga
tidak minta kau segera menikah! Kenapa kau bimbang tidak keruan" Aku hanya minta
kau terima sanhoe ini untuk disimpan. Kau tunggu sampai nanti telah tiba
ketikanya, akan aku bicara kepada Nona Tjio untuk menjelaskan segala-galanya.
Apakah untuk ini kau tetap masih tak dapat menerimanya?"
San Bin berdiam, ia mengawasi. Ia merasa kasihan terhadap nona ini. Bukankah
permintaan itu tidak berat" Maka itu, dengan terpaksa, akhirnya ia terima juga.
Sepasang alis In Loei segera terbuka, dari masgul, hatinya menjadi rawan. Ia
lantas bersenyum. Segera ia lompat naik atas kudanya yang dilarikan pergi.....
Dengan mendelong San Bin awasi orang berlalu, pikirannya tidak keruan rasa. Tak
tahu ia mesti bersedih atau bagaimana.....
Tidak ada halangan bagi In Loei selama dalam perjalanannya itu, lewat beberapa
hari tibalah ia di kota raja, kota mana menjadi tempat kedudukan kaisar sejak
pertengahan kerajaan Kim. Dulu memang kota itu sudah indah, setelah pindahnya
Kaisar Beng Sengtjouw dari Lamkhia, segala apa telah diperbaiki dan ditambah,
hingga sekarang Pakkhia menjadi kota besar dan indah tanpa bandingan.
In Loei saksikan Tjiekim shia, Kota Terlarang, ia tampak jalan-jalan besar yang
lebar, ia lihat pelbagai toko yang besar-besar dan beraneka warna. Tapi tak
sempat ia menikmati keindahan kota, yang paling dulu ia lakukan ialah mencari
rumah penginapan. "Di kota raja ini aku tidak kenal seorangpun jua," ia berpikir, "Ie Kiam
sebaliknya adalah seorang menteri besar. Sudikah dia menemui aku" Aku juga belum
tahu alamatnya....."
Karena ini, ia jadi berpikir.
"Terang sudah si perwira muda adalah kakakku," pikir ia kemudian, "ia sekarang
berada di kota raja ini, mengapa aku tidak hendak cari ia saja"....."
Tiba-tiba berkelebat diotak In Loei halnya kakaknya itu bermusuh dengan Thio Tan
Hong. Ia jadi sangat mangui. Tanpa ia kehendaki ia menghela napas.
"Sayang itu hari, saking kesusu, tak bisa aku memberi keterangan kepada kakakku
itu," ia sesalkan diri. "Di dalam dunia ini, melainkan dia orang satu-satunya
yang terdekat denganku. Harus aku ketemui dia. Untuk ini aku tak hiraukan bahwa
aku bakal ditegur dan didamprat. Akan tetapi apabila kakakku itu mendesak aku
bantui ia mencari balas, bagaimana" Beberapa kali Thio Tan
Hong sudah tolongi aku dari marah bencana, cara bagaimana aku bisa binasakan
dia"..... Tidak bisa lain, aku mesti bisa melihat gelagat....."
Berupa-rupa perasaan memenuhi otak In Loei. Ia girang mengetahui tentang
kakaknya, ia berduka mengenai permusuhannya dengan Tan Hong. Ia terbenam dalam
keragu-raguan. Sampai sekian lama ia berpikir, tidak juga ia dapatkan
pemecahannya. "Di mana berdiamnya kakakku sekarang?" kemudian ia tanya dirinya sendiri. "Tidak
sukar! Lebih dahulu aku mesti cari Thio Hong Hoe!"
Ia ingat perkataannya Hong Hoe baru-baru ini, yaitu kalau ia dan Tan Hong datang
ke kota raja, dia hendak undang mereka berdua datang ke rumahnya sebagai tetamu.
Ia ingat juga alamatnya Hong Hoe, yang pernah memberitahukannya.
Tiga hari lamanya In Loei tinggal di hotel, selama itu ia sering keluar seorang
diri, hingga ia jadi kenal baik kota raja, di hari ke empat, ia langsung menuju
ke rumahnya Thio Hong Hoe.
Komandan Kimie wie itu bukannya seorang hartawan akan tetapi karena kedudukannya
baik, ia ada punya sebuah rumah yang besar pekarangannya dan terkurung tembok,
di dalamnya ditanami banyak rupa pohon-pohonan. Hanya aneh, di samping
pekarangan lebar itu, rumahnya adalah rumah biasa saja yang terdiri dari empat
lima ruang. Apakah perlunya pekarangan lebar dan kosong itu"
"Ah, dia sebagai komandan Kimie wie, sudah tentu dia membutuhkan lapangan luas
untuk melatih barisannya....." pikir si nona kemudian. Lantas ia hampirkan pintu
dan mengetoknya. Satu hamba, yang membukakan pintu, mengawasi sekian lama.
"Maaf, engko kecil," dia kata kemudian, "hari ini thaydjin kami tidak menerima
tetamu....." Bicaranya tidak lancar.
In Loei lantas jadi mendongkol.
"Cara bagaimana kau bisa ketahui dia tidak akan menemui aku?" dia tanya.
"Thio Thaydjin telah memerintahkannya, selama beberapa hari ini kecuali rekannya
dari Kimie wie, lain orang tak dapat ia menerimanya," sahut hamba itu.
"Tetapi aku adalah orang undangan thaydjin-mu, bagaimana dia tak terima aku?" In
Loei membandel. Hamba itu mengawasi pula tetamunya ini, ia menggelengkan kepala.
"Aku tidak percaya!" ia kata. Ia nampaknya memandang enteng. Di dalam hatinya
seperti hendak ia mengatakan "Kau orang macam apa sampai thaydjin-ku undang
padamu?" In Loei habis sabar. "Jikalau kau tidak wartakan kedatanganku, nanti aku masuk sendiri!" dia bilang,
suaranya keras. Dia cekal loneng besi dan menariknya, hingga jeruji sebesar jari
tangan lantas jadi melengkung.
Kaget juga si hamba. "Harap jangan gusar, engko kecil," katanya kemudian. "Kau tunggu, nanti aku
laporkan kedatanganmu ini. Bahwa thaydjin sudi terima kau atau tidak, itu
terserah kepada thaydjin....."
Ia lantas bertindak masuk. Ia keluar pula tak berselang lama.
"In Siangkong, thaydjin undang kau masuk," katanya sekarang sikapnya berbeda.
"Silakan kau ambil jalan sebelah kanan itu, lalu memutar ke kiri, setelah kau
tampak pintu batu yang hanya dirapatkan, kau tolak saja. Thaydjin kami ada di
lapangan di sana. Aku sendiri mesti terus menjaga pintu ini, maafkan aku, tidak
dapat aku antar kau."
Sambil berkata demikian, ia membukakan pintu loneng.
In Loei bertindak masuk tanpa bilang suatu apa, masih ia mendongkol.
"Banyak juga tingkahnya Hong Hoe!" ia pikir. "Selama di Tjengliong Kiap, ia
bersikap manis budi, kenapa sekarang, selagi aku mengunjungi padanya, dia tidak
sambut aku" Hm, dasar satu orang berpangkat!"
Sebentar kemudian sampailah In Loei di sebelah luar apa yang si hamba tadi
sebutkan sebagai lapangan, segera ia memikirkan kata-kata untuk diucapkan kepada
tuan rumah yang ia anggap besar kepala itu. Tiba-tiba ia dengan suara tertawa:
"Hihi! Haha! Hm! Awas!....."
Ia terkejut. Ia kenali, itulah suaranya Tantai Mie Ming! Tapi ingin ia lekas
mengetahuinya, maka tanpa berpikir lagi, ia tolak daun pintu. Maka untuk
herannya, ia tampak banyak anggota-anggota Gielim koen dan Kimie wie, di depan
mereka itu berdiri Thio Hong Hoe, sang komandan. Begitu ia lihat In Loei, Hong
Hoe lantas manggut. Di tengah lapangan tampak Tantai Mie Ming yang menghadapi satu pahlawan, mereka
saling lonjorkan tangan, yang menempel satu dengan lain, tiba-tiba si pahlawan
Mongolia itu tertawa, kaki kirinya menyambar. Dan..... "Bruk!" tergulinglah si
pahlawan. Tantai Mie Ming tertawa pula.
"Mari, mari, lagi satu kali!" katanya.
Satu pahlawan lain lompat maju.
"Ingin aku mencoba-coba Tantai TjiangkoenV pahlawan itu bilang. Ia membahasakan
"Tjiangkoen" - "jenderal."
"Bagus, bagus!" ada jawabannya Mie Ming.
Pahlawan itu sudah lantas pasang kuda-kudanya, lalu ia kirim serangannya yang
berupa kepalannya. Itulah suatu pukulan dari "Sippatlouw
Tiangkoen," atau "Kepalan Panjang Jurus Delapan belas." Dengan kuda-kuda yang
kokoh kuat, nampaknya hebat jurus ini.
Tantai Mie Ming menangkis dengan dua kali dorongan, ia cuma bikin tubuh si
pahlawan bergeming tetapi tidak rubuh.
In Loei jadi sangat heran. Bukankah Tantai Mie Ming pengantarnya pangeran Watzu
itu" Kenapa dia berada di rumahnya Thio Hong Hoe" Kenapa dia uji diri dengan
pahlawan-pahlawan kaisar"
Heran juga sikapnya Hong Hoe, yang agaknya sangat ketarik hati.
Karena ini In Loei tidak segera menghampirkan komandan itu, ia hanya campurkan
diri antara orang banyak, untuk menonton terus.....
Pelbagai pahlawan Gielim koen dan Kimie wie itu bicara satu dengan lain, tentang
Tantai Mie Ming, perihal latihan itu, maka kemudian, In Loei tahu juga duduknya
hal. Ialah Mie Ming sudah datang sekian lama di kota raja, dia sudah lantas
bergaul rapat dengan rombongan pahlawan, tidak heran apabila kedua pihak suka
bicara tentang ilmu silat. Karena Mie Ming adalah pahlawan nomor satu dari
Watzu, orang suka mencoba-coba dengannya. Mie Ming sendiri, yang gemar bergaul
dan manis budi, ingin juga ketahui kegagahan pihak pahlawan, maka ia telah minta
perantaraannya Hong Hoe untuk cari kenalan, katanya untuk "melatih diri sambil
main-main," hanya ia tidak sangka, di antara pahlawan ada orang-orang yang
benar-benar berniat merubuhkan padanya.....
Selama itu, latihan persahabatan sudah berjalan tiga hari, hari ini adalah hari
terakhir. Selama tiga hari, Tantai Mie Ming telah merubuhkan delapan pahlawan,
dan pada hari penghabisan ini, tetap ia menang terus. Karena pihak pahlawan
nampak kekalahan, akhirnya sikap mereka semua menjadi tegang sendirinya.
Lawan terakhir dari Tantai Mie Ming adalah Yo Wie, hoetongnia atau komandan
pembantu dari Gielim koen, dia kesohor dalam kepandaian Tiatpou san-nya, yaitu
ilmu "Baju Besi," yang termasuk
kalangan luar, Gwak.ee. Yo Wie percaya betul dia bakal sanggup bertahan, maka
itu, dia telah melayani dari sepuluh jurus hingga jurus kedua puluh. Benar-benar
pukulan-pukulan dari Sippatlouw Tiangkoen ada hebat.
Untuk melayani musuh yang tanggu ini, Tantai Mie Ming gunakan jurus-jurus dari
"Tiat Piepee" atau "Piepee Besi" yang biasa saja, meski begitu dengan leluasa ia
dapat "temani" pahlawan dari kota raja itu.
Adalah sesudah sampai pada jurus ke tiga puluh, Yo Wie mandi keringat
sendirinya. "Yo Tongnia, silakan beristirahat!" kata Mie Ming sambil tertawa. Walaupun ia
mengucap demikian, ia bukannya mundur, sebaliknya, ia lompat maju, ia menyerang
beruntun tiga kali, ketika ia menangkis kedua tangan lawannya, ia merangsak maju
dan membentur tubuh orang.
Dengan satu gebrakan saja, Yo Wie rubuh terguling.
"Maaf!" kata panglima Mongolia itu. Ia maju menghampiri, untuk membangunkan,
lalu sambil tertawa, ia menambahkan: "Ini adalah giliran yang ke sepuluh! Apakah
masih ada saudara lainnya yang sudi beri pengajaran padaku?"
Sampai di situ, Hong Hoe habis sabar. Ia maju.
"Suka aku menerima pelajaran dari Tantai Tjiangkoen1." ia kata sambil memberi
hormat, suaranya manis. Tantai Mie Ming tertawa lebar.
"Sudah lama aku dengar Thio Thaydjin adalah ahli nomor satu dari kota raja ini,"
dia berkata, "sekarang thaydjin sudi majukan diri, sungguh aku merasa sangat
beruntung!" Suara itu manis dan hormat tetapi nadanya agak tinggi, tanda dari kejumawaan
yang tak dapat dilenyapkan.
Kali ini benar-benar pertandingan adalah yang terakhir, umpama kata Hong Hoe
kalah, pahlawan lainnya tidak nanti ada yang berani maju lagi.
"Suka aku menerima pengajaranmu," Hong Hoe ulangi, yang terus berdiri berhadapan
dengan panglima Mongolia itu, setelah mana ia memberi hormat dengan tiatjoe,
dengan tangan kiri dikepal, tangan kanan dibuka, ditaruh di depan dadanya.
Sebenarnya itu bukan cuma tanda memberi hormat, berbareng itu ada persiapan
untuk mulai pertempuran. Tantai Mie Ming tahu diri, dengan bersenyum ia membalas hormat sambil merangkap
kedua tangannya, tapi setelah itu, sebat sekali, ia mulai dengan serangannya
tanpa membuka lagi kedua tangannya itu, karena ia menyerang dengan "Pekwan
tamlouw" atau "Lutung putih tanya jalan." Serangan dengan kedua tangan
dirangkapkan itu diarahkan ke atas, ke umbun-umbun, dari atas turun ke bawah.
Thio Hong Hoe buka kedua tangannya, tubuhnya digeser nyamping sedikit, tangan
kanan dipakai menangkis, tangan kiri membarengi menyabet, maka, sejenak saja,
keduanya sudah saling serang.
Tantai Mie Ming berlaku tenang. Ia tarik kembali kedua tangannya, untuk
menyingkir dari tangkisan, guna menangkis juga. Tapi ia tidak cuma menangkis,
dengan sebelah tangannya yang lain, dengan dua jari, ia menotok ke tulang lemas
di pinggang lawannya itu!
Kalau totokan ini mengenai tepat, mestinya Hong Hoe rubuh dengan segera,
disebabkan tenaganya habis dengan tiba-tiba. Tapi ia ada jago kenamaan, ia juga
telah banyak pengalamannya, tak dapat ia diperdayakan secara demikian gampang.
Kelihatannya ia majukan diri, tak tahunya, menyusuli serangan lawan yang
berbahaya itu, ia juga menyerang, sebelah kepalannya menuju ke uluhati!
Itu artinya, apabila kedua pihak sama-sama mengenai sasarannya, mereka bakal
terluka dan celaka, sebab Mie Ming akan muntahkan darah!
"Sungguh liehay!" berseru Tantai Mie Ming. "Inilah Toota Kimtjiong!"
"Toota Kimtjiong" berarti "Menggempur rubuh genta emas"
Sama sekali Mie Ming tidak lompat mundur, hanya berbareng dengan seruannya itu,
Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tubuhnya menggeser sedikit, sebelah kakinya menginjak "tiongkiong" (garis
tengah), sebelah tangannya "membacok" lengan Hong Hoe.
Semua pahlawan berseru bahkan kaget. Nyaring suaranya ketika kedua tangan
bentrok satu dengan lain, habis mana baharulah keduanya lompat mundur dengan
berbareng, sama-sama memasang kuda-kuda, untuk bersiap sedia kembali.
Menampak demikian, semua, penonton bernapas lega. Tapi mereka berlega hati tak
lama, atau mendadak mereka lihat tubuh besar dari Tantai Mie Ming merangsak ke
depan, seperti rubuh terpelanting, bagaikan runtuhnya sebuah balok besar, kedua
tangannya maju sambil menerbitkan angin. Sebab dengan cara luar biasa itu,
panglima Mongolia ini sudah mulai pula dengan serangannya!
Beda daripada serangan yang datangnya ganas, Hong Hoe sebaliknya berlaku ayalayalan, ia menangkis kedua tangan itu bagaikan ia telah kehabisan tenaga.
Semua orang heran, tak terkecuali In Loei.
Tapi Mie Ming segera berseru: "Inilah Biantjiang Kanghoe yang lihay!"
"Biantjiang Kanghoe" ialah ilmu silat "Tangan Kapas," yang lemas.
Lalu, sambil tertawa, Mie Ming elakkan dirinya, hingga ia bebas dari serangan
membalas dari komandan Gielim koen itu. Hingga
kembali mereka lewatkan tiga jurus dengan keduanya tak kurang suatu apa.
Hong Hoe tahu ia kalah tenaga akan tetapi ia adalah Lweek.ee, ahli dalam, ia
pandai "Biankoen," ilmu silat "Tangan Kapas", ia lawan kekerasan dengan
kelembekan. Namanya saja lembek, sebenarnya bukan tangan yang lembek atau tenaga
yang lemah, melainkan macamnya, sedang sebenarnya, siapa terkena Biankoen,
tangannya bisa remuk seperti batu terpukul hancur. Mie Ming insyaf akan ancaman
bahaya itu, tak mau ia menerjangnya.
Semua pihak Gielim koen gembira menyaksikan kesudahan itu, akan tetapi, setelak
pertempuran dilanjutkan, In Loei tak tenang hatinya. Ia telah tampak, makin lama
pertandingan berjalan, Hong Hoe makin tegang wajahnya, tidak demikian dengan
jago Mongolia, yang tenang sekali. Dia ini seolah-olah tidak menggunakan tenaga,
serangannya enteng, tapi cepat.
Pertandingan tidak segera memberikan kesudahan yang memutuskan, cuma Hong Hoe
mulai mandi keringat, suatu tanda bahwa ia telah bekerja sungguh-sungguh untuk
membela namanya. Kalau lain-lain orang tidak melihatnya, In Loei ketahui itu
dengan baik, maka itu, nona ini menjadi berkuatir.
"Kepandaian Hong Hoe dibanding dengan kepandaian Tan Hong, ada berimbang," nona
ini berpikir. "Selama pertandingan di dalam kuburan, Tan Hong cuma bisa melayani
Mie Ming sampai lima puluh jurus, maka itu, Hong Hoe pasti tidak dapat bertahan
sampai tujuh puluh jurus. Sekarang sudah lewat lima puluh jurus, mestinya tak
lama lagi, Hong Hoe bakal kena dikalahkan....."
Benar, baharu lewat lagi tujuh atau delapan jurus, tampak Hong Hoe sudah sulit
bernapas. "Jikalau aku kalah, tak apa untuk nama pribadiku," ia berpikir, "yang celaka
adalah nama Tionggoan runtuh karenanya....."
Karena ini, di saat terakhir itu, ia mencoba menggunakan ketikanya. Ia empos
semangatnya, ia kumpulkan tenaganya ke tangan, waktu Tantai Mie Ming dengan
dahsyat menyerang padanya, mendadak ia berseru, ia menyambuti dengan sekuat tenaganya.
Serangan membalas ini sangat berbahaya andaikata mengenai sasaran kosong. Mie
Ming adalah seorang yang cerdik, tak sudi ia membiarkan dirinya dipedayakan.
Maka walaupun ia sedang terancam, dapat ia menghindarkan diri. Ia membalas
dengan satu tangan yang berat.
Hong Hoe tidak menduga sama sekali lawannya ada demikian licin dan tanggu, ia
kaget sekali merasakan dadanya seperti tertindih keras, sampai napasnya sesak
dan tubuhnya berhawa panas. Syukur untuknya, ia masih dapat ketika akan mundur
teratur, dengan elakkan diri, ia membuatnya tenaga lawan tinggal separuh, hingga
ia tak terserang hebat. Dalam keadaan seperti itu, kedua lawan seolah-olah tengah menunggang harimau,
duduk terus salah, turun berbahaya. Mie Ming menang di atas angin, tapi ia kagum
akan Tangan Kapas yang liehay itu. Ia kaget ketika ia dapat kenyataan, tangannya
seperti dilihat, tak dapat segera ia loloskan tangannya itu.
"Inilah hebat....." ia mengeluh. Ia tidak berniat melukai lawannya itu, satu
jago, akan tetapi ia terancam bahaya. Daripada bercelaka sendiri, lebih baik ia
cari keselamatan. Karena ini, ia mencoba kerahkan tenaganya.
Semua penonton kembali menjadi tegang, semua berdiam dengan menahan napas.
Kedua lawan memasang kuda-kudanya masing-masing, kedua tangan mereka nempel satu
pada lain. Hong Hoe bertahan diri, walaupun napasnya terdengar nyata, keringatnya ngucur
dijidatnya. Sedapat-dapatnya ia terus melindungi dirinya.
Dalam sibuknya, In Loei berpikir keras.
"Bagaimana aku bisa memisahkan mereka?" demikian otaknya bekerja. Hong Hoe akan
terbinasa atau terluka parah. Hong Hoe
adalah hamba negara tapi dia ada satu laki-laki, jiwanya harus disayangi.
Sunyi sekali suasana waktu itu, hingga bila ada jarum jatuh, dapat orang
mendengarnya. Semua penonton mengawasi dengan mendelong, hati mereka tegang
sekali. Dalam keadaan yang sunyi senyap itu, tiba-tiba terdengar satu suara batuk yang
perlahan sekali. Itulah tanda bahwa di situ telah tambah satu orang lain.
Kemudian ternyata, tambahan satu orang itu adalah seorang yang mukanya kuning,
kumis jenggotnya panjang dan terpecah tiga, usianya lebih kurang lima puluh
tahun, bajunya panjang, tangannya menyekal sebuah kipas rusak.
Dari romannya dan dandanannya, teranglah ia adalah satu petani, atau seorang
yang baharu pulang dari ladang habis meluku.....
Semua orang memusatkan perhatiannya pada pertandingan, tidak ada yang lihat
datangnya orang baru ini sampai orang mendengar suara batuknya itu. Menyusul itu
terjadilah satu kejadian aneh, yang dilakukan orang asing ini. Dia sudah lantas
datang kepada kedua orang yang bertempur itu, untuk menyelak disama tengah.
"Tuan-tuan, kamu telah lelah, pergilah beristirahat!" demikian suaranya perlahan
tetapi nyata. Itulah lagu suaranya Tantai Mie Ming ketika tadi Mie Ming
merubuhkan lawan-lawan yang terdahulu.
Heran Mie Ming, apa pula ketika orang itu ketengahkan kipas rusaknya di antara
mereka berdua, hingga kipas itu hancur dan merosot turun bagaikan terikat
sutera..... Hong Hoe terperanjat, sambil berseru, dia lompat mundur.
Mie Ming pun terhuyung, lekas-lekas ia tarik kembali kedua tangannya, ia heran
sekali. Hebat orang tua itu, yang mengerahkan tenaganya dengan pinjam perantaraan kipas
rusak itu, hingga kedua orang yang tengah bertempur itu terpaksa memisahkan
diri. Begitu lekas ia telah sadar akan dirinya, Tantai
Mie Ming tertawa tergelak-gelak.
"Sungguh beruntung hari ini aku bertemu dengan orang pandai!" kata orang
Mongolia ini. "Aku Tantai Mie Ming, ingin menerima pengajaranmu!"
Sambil pegangi kipas rusak itu, si orang tua perlihatkan roman sibuk.
"Haraplah Tantai Tjiangkoen tidak berkelakar denganku," katanya, suaranya kurang
nyata. "Aku adalah seorang desa yang telah lanjut usianya, apakah yang aku
mengerti tentang ilmu silat?"
Mie Ming sebaliknya perlihatkan roman sungguh-sungguh, roman tak senang.
"Apakah benar-benar ioosianseng tidak suka memberi pengajaran padaku?" dia
tegaskan. Lalu dengan satu gerakan tangannya, dia membuat kutung tulang-tulang kipas rusak
dari si orang tua itu, seperti terpapas pisau tajam.
Semua orang menjadi kagum dan heran. Itu adalah kekuatan jari-jari tangan yang
istimewa. Orangpun heran, kenapa si orang tua membiarkannya, sedang tadi ia yang
memisahkan kedua lawan itu.
Ketika tadi ia memisahkan, orang tua itu menggunakan akal, yaitu waktu Mie Ming
dan Hong Hoe tidak bersiap sedia, dan barusan, Mie Ming juga bergerak secara
tiba-tiba, tak sempat si orang tua menolong kipasnya itu, ia cuma dapat
melindungi dirinya sendiri.
Hong Hoe ketahui semua itu, ia menjadi kagum, di dalam hatinya, ia berkata:
"Benar-benar kepandaian manusia tak ada batasnya. Sampai sebegitu jauh, aku
merasa puas dengan kepandaianku, sekarang terbukti, Mie Ming adalah terlebih
liehay daripadaku, siapa tahu, orang tua ini ada jauh terlebih liehay lagi.....
Mereka ini sama liehaynya, entah siapa yang terlebih liehay....."
Karena memikir demikian, hati komandan Kimie wie ini menjadi tidak tenteram. Ia
pun berkuatir dalam pertempuran selanjutnya akan meminta korban jiwa. Tidak apa
untuk si orang tua, ia tak dikenal, ia adalah rakyat jelata, tidak demikian
dengan Tantai Mie Ming. Umpama terbinasa, akibatnya bisa hebat, sebab dia adalah
utusan Watzu. Kalau si orang tua terbinasa, cuma Hong Hoe sendiri yang merasa
tidak enak, karena barusan ia berhutang budi, ia merasa kasihan terhadap orang
tua itu. Jikalau mereka bertempur, siapa sanggup memisahkan mereka?"
Semua pahlawan juga merasa heran dan bingungnya seperti Hong Hoe. Di satu pihak,
mereka ingin menyaksikan pertempuran, di lain pihak mereka kuatirkan akibatnya,
hingga mereka berbareng ingin pertempuran dibatalkan.....
Semua mata lantas diarahkan kepada Mie Ming dan si orang tua itu.
"Jangan, jangan bertempur....." achirnya Hong Hoe berkata dalam hati.
Tiba-tiba si orang tua mengangkat kipasnya.
"Kau telah rusakkan kipasku, tak ingin lagi aku akan kipasku ini!" kata ia
sambil mengangkat tangannya.
Kipas itu tinggal batangnya saja, ketika diangkat, gagangnya menuju kepada jidat
Tantai Mie Ming, pada jalan darah "thianleng niat" Tantai Mie Ming terkejut.
"Sentilan yang liehay!" dia berseru, saking cepatnya tangan si orang tua.
Selagi sekalian pahlawan kaget, Tantai Mie Ming mengangkat tangannya,
mengibaskan tangan bajanya, atas mana, tangan baju itu berlubang terkena gagang
kipas, dan gagangnya sendiri, yang dilepaskan dari tangan si orang tua, melesat
terus, mengenai sebuah pohon hingga menerbitkan suara!
"Telah aku saksikan kepandaian jari tanganmu," kata Mie Ming. "Sekarang ingin
aku saksikan lebih jauh tanganmu!....."
Menyusul itu, orang Mongolia ini lompat maju, beruntun ia menyerang dengan kedua
tangannya saling susul. Orang tua itu menangkis, sambil berseru: "Oh, oh, kenapa kau benar-benar hendak
serang aku si orang dusun yang tua?" Kedua tangannya dirapatkan, bagaikan ngempo
bayi, sambil menangkis, ia tambahkan: "Boleh, boleh kau patahkan tulang-tulangku
yang tua ini!....." Hong Hoe terkejut melihat bergeraknya tangan dari kedua orang itu. Mie Ming ada
bagaikan singa murka, si orang tua sebaliknya seperti ular air yang lincah,
tubuhnya setiap saat menyingkir dari serangan si panglima Mongolia.
Setelah beberapa kali gagal, Mie Ming berseru, ia menyerang pula berbareng
dengan kedua tangannya. "Ah!....." seru si orang tua, tubuhnya terhuyung tiga tindak.
Setelah itu, Tantai Mie Ming berseru: "Looenghiong, Taylek Kimkong Tjioe-mu tak
ada tandingannya di kolong langit ini, suka aku bersahabat denganmu!
Looenghiong, sudikah kau memberitahukan she dan namamu?"
"Ehrn!" si orang tua bersuara pula, suaranya dingin. "Tidak berani aku si orang
dusun bersahabat dengan seorang besar....." Sambil mengucap demikian, tangan
kirinya menangkis, kaki kanannya menendang, ke arah jalan darah pekhay hiat di
betis lawannya. Tiba-tiba Tantai Mie Ming menjadi gusar, hingga ia berseru: "Apakah kau sangka
aku benar-benar takut terhadapmu?" demikian suaranya yang nyaring, lalu tangan
kirinya dilonjorkan, tangan kanannya menyambar.
Si orang tua loloskan diri, ia tertawa dingin.
"Telah aku saksikan dua macam kepandaian Thian Ya Lookoay si orang tua aneh!"
katanya. "Sungguh ilmu Tiat Piepie Tjioe dan Loohan koen yang liehay!"
Mendengar itu, Tantai Mie Ming terkejut berbareng mendongkol. Memang, gurunya
adalah Siangkoan Thian Ya, dan guru itu liehay dalam lima macam ilmu kepandaian,
yaitu "tangan besi" Tiat Piepie Tjioe, jurus Loohan koen, pedang Gouwkauw kiam,
sentilan satu jari Ittjie sian, dan lima batang jarum Hoeihong tjiam, yang di
kalangan Boeiim, Rimba Persilatan, kesohor sebagai Boeiim Ngotjiat - lima macam
ilmu kepandaian silat yang istimewa. Ia mendongkol karena lagu suara orang, yang
seperti memandang enteng kepada gurunya. Maka juga, ia perhebat serangannya.
Nampaknya si orang tua jumawa akan tetapi selama berkelahi, ia berlaku sangat
hati-hati, tidak mau ia memandang enteng, semua gerakannya adalah penting untuk
pembelaan diri, dan dengan Taylek Kimkong tjioe ia layani Loohan koen dan Tiat
Piepee tjioe. Makin lama makin seru jalannya pertempuran kedua orang itu. sampai debu
mengepul, sambaran-sambaran angin membuat penonton terpaksa mundur sendirinya.
Loohan koen adalah ilmu silat biasa, Tiat Piepee tjioe juga tak susah untuk
dipelajarinya, hanya, di tangannya Tantai Mie Ming, kedua ilmu silat itu jadi
liehay luar biasa, dapat digabung jadi satu, hebat serangannya, sempurna
penjagaannya. Demikian juga liehaynya si orang tua, tubuh siapa sangat lincah,
hingga Tantai Mie Ming tidak pernah mengenai tubuh orang itu, hingga keduanya
bagaikan air banjir menerjang gili-gili panjang, yang tak berhasil
merubuhkannya. Di pihak lain, si orang tua juga tidak sanggup merubuhkan
panglima Watzu itu. Kalau tadi pertandingan antara Hong Hoe dan Tantai Mie Ming membuatnya semua
penonton kagum, sekarang mereka ini menyaksikan sambil menjublak, saking kagum
dan heran. Dua lawan ini hebat tapi mereka nampaknya lucu, bagaikan dua bocah
tengah bermain-main..... Sudah beberapa puluh jurus mereka itu mengadu kepandaian, kelihatannya Tantai
akan mengenai tubuh si orang tua, tahu-tahu orang tua itu dapat membebaskan
diri, atau nampaknya si orang tua menang di atas angin, atau si panglima
Mongolia mendadak bebas dari ancaman bahaya. Maka semua penonton seperti menahan napas.....
In Loei kagum seperti semua pahlawan lainnya.
"Hebat Taylek Kimkong tjioe si orang tua ini," demikian pikirnya. "Katanya
toasoepee liehay dalam ilmu silat itu, apakah orang tua ini toasoepee
adanya!....." Hian Kee Itsoe mempunyai lima murid, kecuali ayahnya In Loei, yang telah menutup
mata, ia masih punya empat murid yang masing-masing dapat mewariskan satu
kepandaian tersendiri. Dalam ilmu pedang, yang terliehay adalah muridnya yang
ketiga, Tjia Thian Hoa. Mengenai tenaga dalam, yang paling tanggu adalah murid
kepalanya yaitu Tang Gak dengan Taylek Kimkong Tjioe.
Pikir In Loei terlebih jauh: "Aku dengar toasoepee dan samsoepee pandai ilmu
silat dan pintar ilmu suratnya, wajah mereka luar biasa, kalau dia ini benar
toasoepee, mengapa dia hanya seorang desa yang tua" Pun katanya, untuk belasan
tahun dia pesiar di Mongolia dan Thibet, kenapa sekarang dia mendadak muncul di
kota raja ini"....."
Tengah In Loei berpikir keras, pertandingan pun sudah berganti rupa. Kalau tadi
mereka itu saling serang dengan hebat, sekarang gerakan kaki tangan mereka jadi
lambat, malah ada kalanya mereka seperti saling mengawasi saja, kaki tak
bergerak, tangan diam, cuma mata mereka memandang tajam. Mereka pun berhadapan
dekat. Tak lama keadaan ini, atau mendadak mereka berubah pula, keduanya lompat maju,
lantas mereka memisah diri. Nampaknya tak hebat serangan mereka, tetapi
sebenarnya, mereka mencoba mencari kemenangannya masing-masing.
Semua penonton tak tahu gerakan mereka itu, karena hebatnya dan anehnya.
Tidak lama, juga Tantai Mie Ming telah mandi keringat.
Menampak itu, Hong Hoe terperanjat, ia berkuatir. Kelihatannya mereka itu mesti
kalah kedua-duanya, sama-sama terluka..... Ia bingung sebab tak tahu ia,
bagaimana harus memisahkannya.
Seumurnya, Tantai Mie Ming belum pernah menghadapi lawan setanggu ini, ia pun
menjadi berkuatir sendirinya. Karena ini, ia nampaknya menjadi nekat. Maka ia
menyerang pula dengan sengit, dengan cepat. Ia berseru.
Si orang tua melayani sambil mundur, dengan teratur. Ia bertindak dengan gerakan
"kioekiong patkwa," sebelah tangannya menangkis, yang lain melindungi dadanya.
Tampaknya ia seperti tidak membalas menyerang, sedang sebenarnya, sambil
menangkis, ia pun membalas.
Dilihat dengan mata biasa, Tantai Mie Ming menyerang hebat sekali, akan tetapi
sebenarnya, setiap kali ia tertolak oleh tenaga dorongan Kimkong tjioe dari
lawannya itu. "Sudah dua puluh tahun lebih aku malang melintang, kecuali Tjia Thian Hoa,
inilah tandinganku yang terkuat," pikir Mie Ming. "Tjia Thian Hoa liehay ilmu
pedangnya, tak ada tandingannya di kolong langit ini tetapi bicara hal tenaga
dalam, orang tua ini menang daripadanya. Mungkinkah dia sama dengan Tjia Thian
Hoa, ialah salah satu murid lawannya guruku?"
Memang pada tiga puluh tahun yang lampau, gurunya Mie Ming ini, yaitu Siangkoan
Thian Ya, telah bentrok keras dengan Hian Kee Itsoe, bentrok dalam perebutan
kedudukan sebagai pemimpin kaum Rimba Persilatan, selama tiga hari dan tiga
malam, keduanya sudah bertempur hebat di atas gunung Ngobie San, tanpa ada yang
kalah atau menang, hingga kesudahannya Siangkoan Thian Ya pergi menyembunyikan
diri di Mongolia, di mana dengan menerima murid, ia mencoba mendirikan satu kaum
persilatan tersendiri.
Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Walaupun ia bercuriga demikian rupa, dalam keadaan seperti itu, di saat mati
atau hidup, Tantai Mie Ming tidak sempat berpikir lama-lama, ia harus terus
melayani si orang tua, siapa meski usianya lebih
tua belasan tahun, nyata, tenaga dalamnya ada terlebih tanggu. Orang tua ini
tetap membela diri sambil balas menyerang, menyabet atau mencengkram.
"Ah, hebat sekali....." Mie Ming menghela napas.
Ia menyedot hawa dingin. Diam-diam ia bergidik. Sia-sia belaka ia menyerang,
tangan kiri dengan Lohan koen, tangan kanan dengan Piepee tjioe. Terpaksa ia mesti jaga diri baikbaik, ia mesti keluarkan seluruh kepandaiannya yang ia peroleh dari Siangkoan
Thian Ya, yang telah mendidik ia dengan sungguh-sungguh hati, dengan susah
payah. Sekian lama ia percaya, tidak nanti ada lain orang yang sanggup
memecahkan Loohan koen dan Piepee tjioe-nya, tidak tahunya kali ini ia menemui
lawannya. "Biarlah, aku tidak akan serang hebat padamu, hendak aku lihat, apa yang kau
dapat berbuat terhadap diriku," pikir panglima Mongolia ini kemudian. Dengan
begitu ia telah mengambil keputusannya.
Jurus-jurus telah lewat, masih mereka sama tanggunya, cuma keringat yang
membasahi jidat, mereka masing-masing.
Para penonton tetap dalam ketegangan. Biar bagaimana, mereka, mengharapkan si
orang tua yang keluar sebagai pemenang, untuk nama baik persilatan Tionggoan.
Tentu sekali, mereka tidak tahu, Mie Ming pun asal orang Han sejati.
Tantai Mie Ming juga berkuatir akan akibatnya pertandingan ini. Pihak luar
niscaya tidak ketahui yang mereka bertanding hanya untuk mencoba kepandaian.
Akibat itu bisa mengenai urusan negara dengan negara, sebab ia adalah pahlawan
dari utusan Watzu, sedang pihak lainnya adalah pahlawan-pahlawan Beng.
Selagi para penonton meragu-ragukan akhirnya pertandingan itu, tiba-tiba si
orang tua membuat lagi satu gerakan baru. Tubuhnya tidak bergerak, adalah tangan
kirinya dibikin melengkung bundar, lalu tangan kanannya dikepal, dimajukan ke
depan. Menyusul tangan kanan itu baharulah tubuhnya turut maju sedikit, diturut dengan tindakan
kaki. Dengan satu gerakan, Tantai Mie Ming tangkis serangan itu.
Tiba-tiba si orang tua menarik kembali tangan kanannya, untuk dipakai melindungi
dadanya, sebaliknya, kepalan kirinya berbalik menyerang.
"Kena!" dia berteriak. Lalu tangan kanannya menyusul.
Itu adalah tiga serangan kepalan saling susul.
Tantai Mie Ming rasakan dorongan keras ketika ia tangkis pukulan yang pertama,
selagi ia hendak lawan dorongan itu, mendadak dorongan pihak lawan itu menjadi
kendor sendirinya, selagi tubuhnya hampir terjerunuk, mendadak datang dorongan
yang lain. Ia segera menangkis pula. Lalu ia tangkis serangan yang ketiga kali.
"Kecuali toasoepee, siapa lagi yang tenaga dalamnya begini hebat?" pikir In
Loei, yang menyaksikan sambil mendelong. Tanpa merasa, ia berseru dengan
kagumnya: "Bagus!"
Sekonyong-konyong terdengar satu suara "Duk!" yang keras. Nyata pundak Mie Ming
terkena jotosan yang ketiga kali itu.
"Celaka!" Thio Hong Hoe menjerit. Ia lantas lompat maju, maksudnya untuk datang
sama tengah. Bersama ia maju pula beberapa pahlawan lain.
Serangan si orang tua itu membuatnya pundak Mie Ming turun rendah, berbareng
itu, kepalan si orang tua seperti terbetot tenaga rahasia. Belum sempat orang
tua itu menarik kembali kepalannya, atau Mie Ming sudah membalas menyerang ke
arah pinggang si orang tua itu.
"Hm! Ha!" demikian terdengar si orang tua, yang tubuhnya mencelat mundur,
tinggi, sampai melewati kepalanya beberapa pahlawan, hingga di lain saat ia
telah lewati juga tembok pekarangan!
In Loei tidak sempat berbuat apa-apa, ia cuma melihat, sinar matanya si orang
tua menatap dengan tajam ke arahnya.
Tubuh Hong Hoe masih lemah, walaupun ia lompat, ia dapat disusul oleh dua
pahlawan yang lompat berbareng dengannya. Kedua pahlawan ini sudah lantas sampai
kepada Mie Ming, siapa hendak mereka tolongi. Karena serangannya itu, Mie Ming
jatuh duduk, tubuhnya tak lagi bergerak. Mereka ini cekal kedua pundaknya,
maksudnya untuk memimpin bangun, atau tiba-tiba di antara jeritan "Ayo!" dua
pahlawan itu mundur terhuyung, iga mereka dirasakan sakit.
"Ha!" mereka itu berseru.
Hong Hoe segera mengerti duduknya hal. Ia halangi kedua pahlawan itu, hingga
mereka tak terhuyung terlebih jauh.
"Biarkan Tantai Tjiangkoen1." Hong Hoe teriaki kedua pahlawan itu. "Dia tengah
empos tenaga dalamnya!....."
Hampir berbareng dengan itu, kelihatan Mie Ming bersenyum, terus ia manggutmanggut kepada si komandan, seperti ia hendak puji komandan itu.
Si orang tua turunkan tangannya yang terakhir, dia gunakan Taylek Kimkong tjioe,
untung tenaga dalam si panglima Watzu pun liehay, ia pun luas pengalamannya,
dari itu, dapat ia mengelakkan diri. Ia turunkan pundaknya untuk menyambut
serangan, kecuali mendak, tidak ada lain jalan lagi baginya. Berbareng dengan
itu, ia juga coba menyerang, guna meringankan pukulan si orang tua. Walaupun itu
semua, pakaian perangnya - lapis baja - telah menjadi korban, jikalau tidak,
tentu rusaklah anggota-anggota dalam tubuhnya.
Juga si orang tua tidak menyangka, dalam keadaan terancam seperti itu, Mie Ming
masih bisa mengelakkan diri, masih bisa membalas menyerang, ia terkejut ketika
ia merasa tubuhnya seperti terbetot lawan itu. Ia mencoba pula mengelakkan diri.
Syukur untuknya, serangan Mie Ming tak sekuat tenaganya - tenaga Mie Ming tengah
terbagi - jadi serangan itu, dalam sepuluh cuma dua
tiga bagian saja. Jikalau tidak, juga si orang tua mesti rubuh seperti lawannya
ini, yang jatuh duduk numprah. Tapi tidak urung, sekeluarnya dari rumah Hong
Hoe, ia mesti juga muntahkan diri, dan tempo ia kembali di pondoknya, ia mesti
duduk bersemedhi guna memulihkan kesehatannya.
Mie Ming tetap bercokol sekian lama. Ia lolos dari bahaya di dalam, ia tidak
bebas dari luka di luar. Tidak berani ia bicara. Ia juga empos semangatnya,
untuk mengalirkan jalan darahnya.
Hong Hoe mengawasi orang, terus ia berkata pada rekan-rekannya: "Pertandingan
sudah berakhir, sekarang silakan saudara-saudara pulang saja!"
Semua pahlawan itu juga kuatir nanti terlibat, maka itu, dengan segala senang
hati mereka lantas pamitan dan pergi, kecuali dua pahlawan, yang terus berdiri
diam, wajah mereka beda dari biasanya.
In Loei tak dapat berdiam lebih lama, hendak ia bicara kepada tuan rumahnya,
atau mendadak, dua pahlawan itu membuka mulutnya.
"Sekarang ini masih pagi, Tantai Tjiangkoen pun belum pulih kesehatannya, kami
berdua hendak berdiam dulu di sini," demikian kata mereka.
"Tidak berani aku mengganggu djiewie," kata Hong Hoe dengan cepat.
"Kami dua saudara pertama-tama ingin menemani Tantai Tjiangkoen, kedua kami
hendak gunakan ketika ini untuk melanjutkan pertandingan ini," kata pula mereka
itu, yang bicaranya mendesak, "ialah kami ingin belajar kenal sama ilmu golok
dari Thio Thaydjin. Karena ini ada latihan belaka, untuk kemajuan kedua pihak,
kami percaya Thio Thaydjin tentulah tak nanti sudi tak memberi petunjuk kepada
kami." Hong Hoe jadi berpikir keras. Kedua pahlawan itu adalah orang-orang
kepercayaannya Soeiee Thaykam Ong Tjin, si orang kebiri
yang besar pengaruhnya. Semasa kaisar masih menjadi putera mahkota, Ong Thaykam
ini pernah mengajarkan ilmu silat padanya, sekarang, sebagai Soeiee Thaykam, dia
jadi sangat berkuasa, dengan gampang dia dapat memfitnah menteri-menteri setia.
Dua pahlawan ini, yang bersaudara kandung, adalah Lou Beng dan Lou Liang,
kepandaian mereka yang utama adalah genggaman tameng yang bernama ilmu silat
Lakcapshalou Koengoanpay hoat, yang terdiri dari enam puluh tiga jurus. Tameng
itu istimewanya ialah bukan dikawani dengan golok, hanya dengan pedang, dan
kedua saudara ini, yang satu menyekal pedang, yang lain memegang tameng, biasa
mereka bertempur bersama. Sebenarnya Hong Hoe tidak mengundang mereka ini,
adalah mereka yang datang sendiri.
Bingung juga Hong Hoe. Terang sudah, kedua saudara she Lou ini tidak mempunyai
maksud baik. Yang hebat baginya ialah selagi ia masih lelah habis melayani Mie
Ming, tak dapat ia menampik dengan alasan masih letih itu. Akhirnya, terpaksa ia
ambil putusannya. "Oleh karena djiwie mempunyai kegembiraan itu, baiklah, suka aku yang rendah
menemaninya," demikianlah penyahutannya. "Tapi karena kita cuma melatih diri,
aku harap kita hanya saling menyentuh saja, jangan kita bicarakan urusan kalah
atau menang....." "Itulah pasti!" tertawa kedua saudara Lou itu. "Siapa kalah siapa menang, kita
sambut dengan tertawa saja!"
Lalu, dengan mengambil tempat di kiri dan kanan, kedua pahlawan itu segera siap
sedia dengan pedang dan tameng mereka.
In Loei menjadi tidak puas sekali.
"Tidak keruan-keruan, kembali orang hendak bertanding," pikirnya. Tapi ia ada
orang luar, tidak dapat ia menyelak di tengah untuk mencegah pertandingan itu,
terpaksa ia berdiri tetap di pinggiran.
Thio Hong Hoe hunus goloknya, golok Biantoo. "Silakan!" ia undang.
"Thio Thaydjin saja yang mulai!" Lou Beng jawab.
Hong Hoe mengerti persiapan kedua saudara itu, tak sudi ia hunjuk kelemahan
dirinya. "Baiklah!" ia jawab sambil tertawa. "Maaf!"
Dengan satu gerakan menyabet dari ilmu golok Ngohouw Toanboen too, komandan
Kimie wie sudah lantas menyerang lengannya Lou Beng.
"Trang!" demikian satu suara, ketika pahlawan Ong Tjin menangkis dengan
tamengnya. Itulah Lou Liang, yang mendalangi saudaranya.
Hong Hoe sudah menduga akan tangkisan itu, maka juga dengan menggunakan ketika
itu, ia luncurkan goloknya di antara tameng itu, dengan menerbitkan sinar hijau
yang menyilaukan mata, dengan jurus "Anghee toatbak," "Sinar layung menyilaukan
mata," ia menikam terus dengan ujung goloknya ke arah tenggorokan.
Justeru itu Lou Beng, dengan pedangnya yang tajam, majukan diri sambil memapas,
akan tabas kutung lengan si orang she Thio. Dengan cara ini ia berbareng
menolongi saudaranya. Dengan cepat Hong Hoe tarik pulang goloknya, untuk menangkis pedangnya.
Dalam tempo yang pendek itu Lou Liang dapat kenyataan, tamengnya pada bagian
yang terbacok lawan telah melesak, memberi bekas bacokan golok, karena mana, ia
terkejut. "Kusangka dia sudah lelah, tidak tahunya dia masih tetap tangguh," ia berpikir.
Karena ini, segera ia maju pula, guna membantu saudaranya. Ia mencoba mendesak.
Dengan lantas ia perlihatkan liehaynya ilmu silat tamengnya. Desakan ini ada
baiknya untuk Lou Beng, yang jadi leluasa dengan pedangnya, sebab dia senantiasa
terlindung tameng saudaranya itu.
Dalam keadaan biasa, dua saudara Lou itu bukan tandingannya Thio Hong Hoe,
sekarang ini komandan itu masih lelah hingga golok
yang tajam itu kurang lincah gerakkannya, dengan begitu, bertiga mereka jadi
berimbang. Lou Beng dan Lou Liang mencoba mendesak, sebentar saja mereka sudah bertempur
kira-kira lima puluh jurus, bagus kerja sama mereka berdua, sempurna serangan
dan pembelaan diri mereka, maka sulit bagi Hong Hoe untuk merubuhkan mereka,
tidak peduli goloknya itu istimewa tajamnya.
Dalam percobaannya mendesak itu Lou Liang kembali menyerang dengan tamengnya,
dengan jurus "Soenloei koanteng" atau "Geledek menyambar." Ia arah batok
kepalanya Thio Hong Hoe. Komandan Kimie wie itu menginsyafi bahaya tameng itu, yang beratnya sedikitnya
seratus kati. Coba ia masih segar, tidak usah ia pikirkan itu.
Sekarang adalah lain, tidak mau ia melayani keras dengan keras. Maka itu dengan
cepat ia berkelit. Karena ia mengalah, ia jadi terdesak, hingga segera ia berada
di bawah angin. Dilindungi tameng saudaranya, pedang Lou Beng mendesak berulang-ulang, bagaikan
ular berbisa yang tak hentinya menyemburkan bisanya.
In Loei lantas menginsyafi bahaya yang mengancam Thio Hong Hoe itu, ia menjadi
heran. "Ini bukan caranya orang berlatih," pikirnya.
Tiba-tiba tampak Lou Liang mendekam, tamengnya menutupi seluruh tubuhnya, habis
itu dengan cepat, ia lompat bangun, tamengnya itu menyambar, dalam gerakan
"Hengsaw tjiankoen" - "melintang menyapu ribuan serdadu." Tameng itu mengarah
kepinggang. Hong Hoe berkelit dengan gerakan "Liongheng hoeipou" atau "Naga terbang," ia
lolos di bawah tameng, sambil berkelit, ia membalas menyerang dengan bacokan.
"Tongleng tianpie" atau "Cengcorang pentang sayap." Kalau ia barusan diarah
pinggangnya, ia mengarah sepasang kaki orang.
Inilah yang dikatakan "Tong long pok sian, oey tjiak tjay houw," yaitu, sang
cengcorang menubruk sang tonggeret, sang burung gereja mengintai di belakangnya.
Selagi Hong Hoe membabat kaki Lou Liang, Lou Beng di sampingnya pun menikam
dengan pedangnya. Sebab Lou Beng hendak menolongi Lou Liang, sang saudara.
In Loei saksikan kejadian itu, ia kaget hingga ia menjerit. Tapi ia tidak hanya
menjerit, berbareng dengan itu, jari-jari tangannya menyentilkan Bweehoa Ouwtiap
piauw. Lou Beng percaya betul, pedangnya akan mengenai sasarannya. Ia tidak sangka,
berbareng dengan satu suara "trang!" ujung pedangnya telah meleset, karena piauw
menyampoknya hingga ujung pedang itu menggeser dari arahnya. Coba tidak
demikian, sudah tentu tubuh Hong Hoe bakal tertusuk bagaikan sate dipanggang.
Tak sempat berpaling lagi, untuk mencari tahu, siapa si pelepas piauw itu, Lou
Beng berlompat mundur, sesudah itu, baharu ia pikir hendak menanya.
Berbareng dengan itu, juga In Loei hendak lompat maju, untuk majukan diri, atau
ia telah didahului Tantai Mie Ming. Panglima Mongolia ini mencelat maju seraya
perdengarkan suaranya: "Aku hendak bertempur pula satu gebrakan! Djiewie, kamu
suka berdiam di sini, untuk temani aku, maka untuk membalas kebaikanmu ini, suka
aku mengorbankan diri untuk menemani kau! - Thio Thaydjin, silakan kau undurkan
diri!" Mie Ming bergerak terus menyusuli kata-katanya itu, ia tak tunggu lagi
jawabannya kedua saudara Lou itu atau Hong Hoe, tangan kirinya bekerja dibarengi
dengan tangan kanan. Kalau tangan kiri menyambar menangkap, tangan kanan
menggempur menyampok. Karena kagetnya, tameng Lou Liang sampai terlepas dari
cekalannya, terpental tinggi, dan pedangnya Lou Beng kena dirampas, terus
dibikin patah menjadi dua potong!
Maka melengaklah kedua saudara itu!
Tantai Mie Ming tidak berhenti sampai di situ. Dia bekerja terus, kedua
tangannya menyambar tubuh Lou Beng dan Lou Liang, yang terus dia angkat sambil
berseru "Pergi!"
Maka kedua tubuh itu yang bagaikan ditiup angin puyuh, terapung kurang lebih
satu tombak jauhnya, perdengarkan jeritan dari kesakitan, mata mereka berkunangkunang, sebab mereka terbanting keras, sejenak itu juga mereka pingsan!
Tantai Mie Ming melenggak, ia tertawa ber-kakakan.
"Selama hidupku, inilah hari pertandinganku yang paling memuaskan!" kata dia
dengan nyaring. Terus dia manggut terhadap Thio Hong Hoe, sedang terhadap In
Loei, dia usapkan tangannya dan berkata: "Aku hendak cari si orang tua tadi,
maaf, tak dapat aku temani kamu terlebih lama pula!....."
Dan dia buka tindakan lebar untuk berlalu dari rumah Hong Hoe.
Tuan rumah she Thio itu segera lari menghampiri Lou Beng dan Lou Liang, untuk
memeriksa keadaannya. Ia dapat kenyataan, tulang iga Lou Beng patah dua buah dan
gigi Lou Liang copot dua biji. Sama sekali mereka tidak peroleh luka di dalam
tubuh, hingga jiwa mereka tidak terancam bahaya. Maka dengan hati lega, Hong Hoe
lantas ambil obat dan obati mereka itu.
Habis itu, dengan keluarkan kata-kata tak tegas, dengan tindakan tidak tetap,
kedua pahlawan itu juga ngeloyor pergi.....
Akhir-akhirnya, Hong Hoe menghela napas.
"Sungguh aku tidak duga....." keluhnya.
"Apakah yang kau tidak duga?" In Loei tanya.
"Biasanya aku tidak pernah berhubungan dengan Ong Tjin," sahut komandan Kimie
wie itu. "Dua orang ini adalah pahlawan-pahlawan Ong Tjin, mereka rupanya
mendapat titah dari Ong Tjin untuk mencelakai aku. Mungkin ini disebabkan aku
tak sudi pernahkan diri di bawah pengaruh orang kebiri itu....."
In Loei berdiam. Baharu sekarang ia tahu, di kota raja ini, juga kaum pahlawan
terdiri dari berbagai golongan, bahwa mereka saling berdengki. Tentang ini,
tidak sudi ia mencari tahu, ia tidak menanyakannya lebih jauh.
"Eh, mana sahabatmu itu, Siangkong Thio Tan Hong?" tanya Hong Hoe kemudian.
Wajah In Loei menjadi bersemu merah.
"Sejak di Tjengliong Kiap, kita telah berpisah," ia menyahut, terpaksa.
"Sayang, sayang," mengeluh Hong Hoe. "Coba kamu berdua ada di sini, dengan
pedangmu bergabung menjadi satu, pasti sekali kamu dapat mengalahkan Tantai Mie
Ming itu! Selama tiga hari beruntun, terus menerus Mie Ming menangkan belasan
pertandingan, beruntung datang orang tua tidak dikenal itu yang membuatnya ia
tahu rasa, sayang mereka bertanding seri, sama-sama mereka memperoleh luka.....
Ah, sungguh, kali ini runtuhlah kaum pahlawan dari kota raja!....."
Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
In Loei mengerti orang sangat berduka dan menyesal. Tapi ia tertawa.
"Sebenarnya kau belum terkalahkan Tantai Mie Ming!" ia kata.
"Syukur datang si orang tua, kalau tidak, tetap aku bakal kalah," Hong Hoe akui.
"Malah mungkin jiwaku akan lenyap bersama! Tidak tahu aku bagaimana cara
datangnya orang tua itu, di sini banyak pahlawan, tidak seorang jua yang
mengetahuinya....." Ia berhenti sebentar, untuk menambahkan: "Tantai Mie Ming
juga ada seorang aneh. Kalau tadi dia tidak turun tangan, mungkin aku bercelaka
juga. Biar bagaimana, aku mesti haturkan terima kasihku untuk Bweehoa Ouwtiap
piauw-mu!" In Loei tak gubris pujian itu. Ia mempunyai urusan lain.
"Thio Thaydjin," katanya, "aku datang ke kota raja ini untuk satu urusan
penting. Hendak aku mohon bantuan kau!"
"Katakanlah," jawab Hong Hoe.
"Mana dia sebawahanmu, si perwira muda she In?" In Loei tanya. "Aku minta supaya
kau ajak dia menemui aku."
Hong Hoe mengawasi, nampaknya ia merasa heran.
"Adalah untuk ini saja kau datang ke kota raja ini?" dia tegaskan.
"Ya, untuk ini saja," In Loei pastikan. "Sebenarnya kau menpunyai hubungan apa
dengan In Tongnia itu?" Hong Hoe tanya pula.
"Belum pernah aku dengar ia menyebut-nyebut kau....."
"Kita adalah dari satu she, aku ingin berkenalan dengannya," sahut In Loei, yang
masih belum ingin menerangkan jelas.
"Di kolong langit ini banyak orang yang sama she-nya," pikir Hong Hoe, "maka itu
alasanmu tidak masuk diakal....."
In Loei tidak membiarkan orang bungkam.
"Jikalau Thaydjin ada punya urusan lain, tolong beritahukan saja alamatnya In
Tongnia itu," ia mendesak. "Aku sendiri dapat mencari dia."
Tiba-tiba saja komandan itu bersenyum.
"Inilah urusan gampang," katanya. "Sekarang silakan kau masuk dulu."
In Loei heran, di dalam hatinya, ia kata: "Kalau urusan ada gampang, untuk apa
kau undang aku masuk dulu" Tidakkah cukup bila kau beri tahu aku alamatnya
perwira muda itu"....."
Tapi ia adalah tetamu, tidak berani ia terlalu mendesak.
Hong Hoe pimpin tetamunya berlalu dari tanah lapang, untuk memasuki sebuah ruang
tetamu di mana paling dulu ia titahkan pelayannya menyiapkan dua cangkir terisi
teh wangi. "Maaf, ingin aku salin pakaian dulu," kata tuan rumah ini kemudian, lalu ia
terus masuk. Memang, setelah pertempuran hebat melawan Tantai Mie Ming, pakaian komandan
Kimie wie itu telah robek dan kotor, begitupun rambutnya. Mulanya In Loei,
karena urusannya, tidak memperhatikan, sesudah orang menyebutkannya, baharu ia
melihat terang. Benar-benar tidak pantas tuan rumah menemani tetamu dengan
pakaian tidak keruan macam itu. Maka ia jadi tertawa.
"Sungguh liehay Tantai Mie Ming itu!" ia kata. "Syukur kau yang melayani dia,
coba orang lain, sudah tentu dia tidak sanggup....."
Hong Hoe bersenyum, ia jalan terus.
Sebenarnya tidak lama, tapi In Loei menantikan dengan tidak sabaran, baharu
hatinya lega apabila ia tampak tuan rumah itu muncul pula.
"Thio Thaydjin, di mana tinggalnya In Tongnia itu?" ia tanya tanpa menanti lagi.
Ia seperti tak sanggup kuasai pula dirinya.
Hong Hoe berlaku ayal-ayalan, ia singkap bajunya untuk duduk dengan tenang. Ia
pun angkat dulu cawan tehnya, untuk menghirup teh yang wangi itu.
"Sukar untuk menemui In Tongnia itu!" sahutnya kemudian, tapi sambil bersenyum.
In Loei heran, hingga tak dapat ia tidak memperlihatkan roman kaget.
"Apa katamu?" tanyanya cepat. "Dia kena-pakah?"
Hong Hoe lihat tegas kelakuan orang yang luar biasa itu. Itu menyatakan bahwa di
antara kedua anak muda itu terdapat suatu hubungan yang erat, kembali ia
bersenyum. "Dia tengah menghadapi suatu kejadian di luar dugaan, hanya itu adalah kejadian
yang baik," jawabnya kemudian. "Dia telah disetujui oleh Sri
Baginda, dia telah diangkat menjadi siewie di dalam keraton. Karena ini dia
tidak dapat sembarang keluar, jadi sulit untuk menemui dia." In Loei jadi
bingung. "Apakah kau juga tak dapat memanggil dia keluar?" ia tanya.
"Sekarang ini dia bukan lagi sebawahanku, pasti tak dapat aku memanggil dia
keluar," sahut Hong Hoe.
In Loei jadi seperti putus asa.
"Habis bagaimana?" tanyanya, lenyap kegembiraannya.
"Jikalau kau berniat menemui dia, mungkin setengah bulan lagi baharu ada
ketikanya," Hong Hoe beritahu.
"Kenapa begitu?" In Loei tanya. "Apakah sebabnya?"
"Setengah bulan lagi tibalah waktunya Sri Baginda mengadakan ujian militer tahun
ini," komandan Kimie wie itu menerangkan. "Dengan ujian militer" dia maksudkan
ujian boe kiedjin. "Saudara Tjian Lie sudah mendaftarkan namanya. Dia pandai
ilmu silat, dia paham membaca kitab perang, ada harapan baginya lulus sebagai
Boe tjonggoan. Umpama kata dia menjadi Boe tjonggoan, sudah pasti Sri Baginda
akan berikan dia pangkat besar dan mendapat kedudukan lain hingga tak usah dia
tinggal lebih lama di dalam keraton sebagai pahlawan."
Benar-benar lenyap harapan In Loei. Ia jadi memikir untuk pamitan saja. Akan
tetapi Hong Hoe tanya ia ini dan itu, ia tetap diajak bicara. Dan bicara tentang
kejadian di Tjengliong Kiap, tuan rumah ini kembali puji Thio Tan Hong, ia kata,
karena tipu dayanya Tan Hong itu, puteranya Tjioe Kian dan ia sendiri jadi dapat
kebaikan. Hati In Loei berdenyut setiap kali ia dengar disebutnya nama Tan Hong.
Hong Hoe lihat keadaan orang itu, ia menjadi heran sekali.
"Apakah benar Thio Tan Hong itu puteranya Thio Tjong Tjioe?" tanyanya kemudian.
"Benar," jawab In Loei, terpaksa.
"Kalau benar begitu, benarlah, teratai keluar dari lumpur tetapi tidak kotor!"
kata Hong Hoe. "Melihat segala sepak terjangnya, terang dia adalah satu pemuda
penyinta negara, maka harus ditertawai saudara Tjian Lie, dia baik dalam semua
hal kecuali terhadap Tan Hong, dia sangat berkukuh, dia sangat benci Tan Hong
itu." In Loei berdiam, ia rasakan hatinya sakit.
"Apakah kau juga datang dari Mongolia?" kembali Hong Hoe menanya secara di luar
dugaan. "Di masa kecilku, pernah aku tinggal di Mongolia," In Loei akui.
"Kalau benar begitu, kau mirip dengan saudara Tjian Lie itu," kata Hong Hoe.
"Tahukah kau orang macam apa pangeran asing serta Tantai Mie Ming yang datang ke
Tionggoan ini?" "Aku meninggalkan Mongolia sebelum berumur tujuh tahun," sahut In Loei, "maka
itu mengenai Mongolia, sedikit sekali pengetahuanku. Kenapa
Thaydjin tanya tentang kedua orang asing itu?"
"Sekarang pemerintah kita menghadapi suatu urusan penting," jawab komandan itu.
"Itu adalah satu urusan aneh."
In Loei tidak menegaskan. Ia anggap ia adalah seorang rakyat jelata, tak ada
pentingnya baginya untuk mengetahui urusan negara itu.
Hong Hoe sebaliknya pandang "pemuda" ini sebagai sahabat karib, bagaikan saudara
kandung, tanpa kekuatiran, ia membicarakannya terlebih jauh.
"Pangeran asing itu bernama Atzu," ia berikan keterangan, "di negerinya dia
menjabat pangkat tiwan, yang berarti pejabat pemerintah, maka kekuasaannya
berada di atasnya lain-lain pangeran, dia cuma berada di bawahan thaysoe. Kali
ini dia datang ke negeri kita sebagai utusan, untuk membuat perundingan. Ada
tiga syarat yang telah dikemukakan. Pertama-tama dia minta supaya daerah seratus
lie di luar Ganboenkwan diserahkan pada negara Watzu, dan kota Ganboenkwan
menjadi tapal batas kedua negara
itu. Yang kedua dia minta diadakan penukaran antara barang-barang besi kita
dengan kuda Mongolia. Dan yang ketiga dia minta supaya puteri raja kita
dinikahkan dengan Toto Puhwa, putera raja Watzu itu. Ketiga permintaan itu
ditentang keras oleh Ie Kokioo, yang tak dapat menerimanya. Ie Kokioo bilang,
tanah daerah Tionggoan, satu dim juga panjangnya tak dapat diserahkan pada lain
negara. Kalau besi kita diserahkan pada negara Watzu, itu ada seumpama kita
pelihara harimau untuk mendatangkan ancaman
bencana di belakang hari, sebab sekarang saja negeri Watzu sudah kuat sekali.
Tentang pernikahan, meskipun itu ada urusan keraton, tetapi itu juga mengenai
kehormatan kebangsaan, maka itu pun tak dapat diterima."
"Ie Kiam adalah satu menteri besar yang jujur, dia sangat setia kepada negara,
sikapnya itu pasti tidak aneh," kata In Loei, yang turut juga bicara.
"Ie Kiam menentang keras, ia memang tidak aneh," Hong Hoe jawab, "yang aneh
adalah sikapnya Ong Tjin. Dia juga menentang, sedang dia secara diam-diam, telah
sekongkol dengan negeri Watzu itu, hal mana sudah dapat kita dengar semua. Pada
sikap Ong Tjin itu ada satu sebabnya. Daerah seratus lie di luar Ganboenkwan
berada dalam pengaruhnya Kimtoo Tjioe Kian, daerah itu tak lagi dapat
dikendalikan oleh pemerintah kita. Inilah sebabnya Ong Tjin sangat benci pada
Tjioe Kian, selama sepuluh tahun sudah sering dia kirim surat-surat rahasia pada
panglima kota Ganboenkwan, mengijinkan panglima itu berserikat dengan tentara
Watzu, untuk bersama menghajar dan memusnahkan Tjioe Kian. Karena sebab itu,
kita percaya, Ong Tjin tentunya setuju untuk menyerahkan daerah itu kepada
bangsa Watzu. Di luar dugaan, dia justeru menentangi! Tentang pertukaran besi
Tionggoan dengan kuda Mongolia, hal itu sudah berjalan selama sepuluh tahun,
yang melakukan itu, tentu saja secara diam-diam juga, adalah Ong Tjin sendiri."
"Mungkin Ong Tjin mainkan siasat, supaya orang tidak tahu jelas akal muslihatnya
itu," kata In Loei. "Rupanya dia tidak mau main terang-terangan." Thio Hong Hoe
tertawa. "Kenapa Ong Tjin tidak melakukan itu terang-terangan?" katanya. "Ong Tjin itu
sudah mempengaruhi Sri Baginda untuk membikin tunduk semua menteri. Di dalam
istana, dia telah berkoncoh, mengumpulkan kawan sekongkol, karena itu, ada
alasan apa maka ia tidak berani berterus terang" Kau tahu, sekalipun Sri Baginda
selalu pandang mata padanya. Sri Baginda sendiri ada seorang yang berhati kecil,
bila Ong Tjin menganjurkan perdamaian, tentu semua permintaan Watzu itu akan
sudah diterima baik....."
"Tentang keadaan pemerintah aku tidak tahu suatu apa," kata In Loei.
"Masih ada yang lebih aneh lagi daripada sikap Ong Tjin itu," Hong Hoe
tambahkan. "Sudah dia tentangi perdamaian, dia juga menganjurkan supaya utusan
Watzu itu ditahan. Mengenai ini, Ie Kiam tidak mupakat. Ong Tjin biasa membantu
Watzu, sekarang dia menganjurkan untuk menahan utusan negara itu, semua menteri
tak ada yang tidak merasa heran....."
Mendengar ini, panas hati In Loei. Kembali ia teringat pada urusan engkong-nya,
yang diutus ke negeri Watzu, lalu ditahan, disiksa sebagai pengembala kuda
selama dua puluh tahun, hidup menderita di tempat dingin, es dan salju.
"Walaupun kedua negara sedang berperang, tidak seharusnya utusan salah satu
negara dibunuh mati!" kata dia dengan sengit. "Karena itu, tidak selayaknya
utusan Watzu mesti ditahan!"
"Mengerti aku tentang kebiasaan antara negara itu, kata Hong Hoe. "Tapi usul
penahanan utusan Watzu itu keluar dari Ong Tjin sendiri, itulah yang membuatnya semua orang tidak mengerti....."
Tanpa merasa, mereka telah bicara banyak, tahu-tahu sang magrib telah tiba, maka
Thio Hong Hoe titahkan orangnya menyiapkan barang santapan untuk menjamu
tetamunya. "Di manakah In Siangkong ambil kamar?" tanya tuan rumah. "Jikalau kau tidak cela
rumahku yang kecil dan buruk ini, aku minta sukalah kau pindah saja pada aku di
sini." In Loei menampik dengan segera. Ia mengerti bahwa ia adalah satu gadis dan ia
tidak merdeka untuk menumpang di rumah komandan ini. Untuk itu ia menghaturkan
terima kasih. "Kenapa ia pemaluan sekali, tingka polanya mirip dengan satu nona remaja?" Hong
Hoe berpikir. "Dia beda jauh sekali daripada Thio Tan Hong."
Di waktu bersantap, In Loei tanyakan alamatnya Ie Kiam si menteri besar.
"Apakah kau berniat menemui Ie Thaydjin?" Hong Hoe tegaskan. "Dalam beberapa
hari ini ia ada sangat repot dengan urusan pemerintahan, umpama kata dia sendiri
sudi menemui kau, pengawal pintunya pasti akan tak mengijinkannya."
Walaupun ia menjawab demikian, Hong Hoe beritahukan juga alamat menteri yang
setia itu. Habis bersantap malam, In Loei pamitan tanpa tuan rumah mampu mencegah dia, maka
itu Hong Hoe antar tetamunya sampai di luar. Waktu hendak berpisah, sambil
tertawa komandan Kimie wie ini berkata: "Kalau nanti sahabatmu juga datang ke
kota raja" - ia maksudkan Thio Tan Hong - "dan bila saudara Tjian Lie, telah
lulus sebagai Boe tjonggoan, pasti aku akan jadi Lou Tiong Lian si juru
perantara, untuk menjamu saudara Tjian Lie itu pada waktu mana kau harus menjadi
tetamu yang mengawaninya....."
In Loei tertawa menyeringai, ia lihat sendirinya. "Kau baik sekali, Thio
Thaydjin," katanya. "Lebih dahulu aku haturkan terima kasih untuk perjamuan
itu." Lalu pemudi ini pamitan, akan pulang ke hotelnya.
Malam itu In Loei tidur gelisah, tak dapat ia lantas pulas. Sebentar ia ingat
akan kakaknya, di lain detik ia ingat Thio Tan Hong. Ia menyesal, begitu jauh ia
telah susul kakaknya itu, yang
satu-satunya, siapa tahu, sesampainya di kota raja ini, masih ia tak dapat
segera menemuinya. Siapa nyana kakak itu telah berada di dalam istana. Memang
dapat ia menunggu kakaknya itu, sampai selesai ujian militer, di waktu mana
mungkin si kakak akan ke luar sebagai pemenang, akan tetapi, sampai kapankah ia
mesti menanti" Pastikah si kakak bakal menang" Siapa tahu, sesudah itu, tidak
bakal menyusul lain urusan, yang dapat menghalangi pertemuan mereka"
Maka pada akhirnya, ia menghela napas seorang diri.
"Dasar nasibku buruk....." katanya dalam hatinya: "Sampai saudara sendiri, sulit
aku menemuinya....."
Ingat saudara sendiri, In Loei kembali teringat pada Tan Hong. Ada sesuatu yang
membikin ia selalu ingat pemuda itu. Teringat pula ia akan kata-katanya Thio
Hong Hoe tentang si anak muda. Dengan sendirinya, ia tertawa meringis.
"Mana kau ketahui keluargaku dengan keluarganya bermusuhan hebat, laksana
dalamnya lautan..." katanya di dalam hati. "Kau berniat memberi nasehat kepada
kakakku supaya dia akur dengan Tan Hong, pastilah percobaanmu itu, akan sia-sia
belaka akhirnya....."
Ingat Tan Hong, segera In Loei ingat Ie Kiam. Ia lantas rabah sakunya. Ia
keluarkan surat Tan Hong yang dititipkan padanya, untuk disampaikan kepada Ie
Kiam, menteri setia itu. Ia baca alamat surat itu. Itulah tulisan tangan yang
bagus, bagaikan "naga terbang atau burung hong menari." Itulah tulisan si
mahasiswa berkuda putih..... Mengawasi tulisan itu, ia bagaikan melihat wajahnya
si penulis surat sendiri.
"Inilah untuk pertama Thio Tan Hong memasuki Tionggoan, cara bagaimana ia kenal
Ie Kiam?" ia tanya dirinya sendiri. "Kenapa ia menulis surat kepada Ie Kiam
untuk memperkenalkan aku?"
In Loei berpikir Tan Hong itu agak jumawa tetapi orangnya sangat berhati-hati,
hingga sebegitu jauh ia tahu, belum pernah Tan Hong melakukan kekeliruan, dan
diapun belum pernah mendusta.
"Dia menulis surat kepada Ie Kiam, mesti ada sebab yang kuat alasannya," ia
pikir lebih jauh. "Tidak ada jalan untukku akan menghadap Ie Kiam, baiklah aku
pakai surat Tan Hong ini selaku pembuka jalan. Aku akan mencoba-coba saja! Ah,
bagaimana jikalau pengawal pintu tak sudi mengijinkan aku menghadap Ie Kokioo"
Apa aku mesti bertindak seperti di rumah keluarga Thio, untuk menyerbu saja" Ie
Kiam adalah menteri kelas satu, dialah menteri tertua dan agung, yang dihormati
di luar dan di dalam negara, bagaimana dapat aku berlaku lancang" Aku mempunyai
kepandaian enteng tubuh, ah, baiklah aku datang saja pada waktu malam, aku
datang secara diam-diam....."
Setelah malamnya ia mengambil keputusan, besok paginya In Loei sadar dengan
segar, akan tetapi hari itu ia keram diri di dalam kamar, untuk pelihara diri,
guna sebentar malam bekerja. Begitulah, kira-kira jam tiga, ia sudah lantas
salin pakaian, dengan yaheng ie, pakaian untuk keluar malam. Secara hati-hati ia
keluar dari hotelnya, lalu langsung mencari gedung Ie Kokioo.
Oleh karena Ie Kiam ada satu menteri, di mata In Loei, gedungnya mesti merupakan
sebuah istana, besar dan tinggi lotengnya, indah dan agung pemandangannya, akan
tetapi setelah ia dapat mencarinya, ia tercengang. Ia dapatkan bukan istana yang
bagaikan ia impikan, hanya sebuah rumah besar yang biasa saja, yang di
belakangnya terdapat taman kecil. Itulah rumah mirip dengan satu keluarga yang
cukup saja..... "Sungguh satu menteri setia," akhirnya si nona menghela napas. "Dengan melihat
tempat kediamannya ini dapatlah diduga dia orang macam apa....."
Dengan pesat In Loei lompat naik ke atas genteng, mulai dari payon, ia naik ke
atas. Benar-benar ia tampak sebuah rumah yang biasa saja. Ia dapatkan sebuah
kamar dengan taman, tiga penjuru jendelanya ditutupi gorden yang berkembang,
kembangnya kecil dan besar, tak rata.
Setiap jendela ada kacanya. Manis hiasan jendela itu, dari mana muncul sinar api
yang terang, hingga di atas meja kelihatan pohon bunga bwee, yang berbayang di
Dua Musuh Turunan Peng Tjong Hiap Eng Seri Ke 2 Thiansan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jendela. "Melihat cara menghiasnya, rumah ini tidak mirip dengan rumah seorang hartawan,"
In Loei berpikir terlebih jauh. "Kamar ini pasti kamar tulisnya Ie Kokioo.
Karena api belum padam, mungkin Kokioo belum tidur....."
Dengan tindakan perlahan sekali, In Loei menuju ke kamar itu. Begitu ia datang
dekat, segera ia dengar suara orang bicara. Ia lantas pasang kuping. Ia dapat
mendengar dengan nyata, hatinya lantas saja goncang. Ia kenali, itulah suaranya
Thio Tan Hong. "Bukankah aku tengah bermimpi?" ia tanya dirinya sendiri. Hatinya menjadi
bimbang. "Kenapa dia berada di sini" Kenapa dia datang secara begini tiba-tiba?"
Baharu malam kemarin In Loei mimpikan si anak muda atau sekarang ia dengar
suaranya. Ia memikir untuk tidak menemui pemuda itu..... Ia bersangsi.
Apakah benar ia tak hendak menemuinya" Tapi ia berdahaga sekali untuk menemui si
mahasiswa. Ah!..... "Biarlah aku intip dia....."
Dan In Loei bertindak lebih jauh, dengan tindakan sangat enteng ia mendekati
kamar tulisnya Ie Kokioo, untuk memasang mata. Dari kain gorden, ia segera dapat
melihat sepasang bayangan manusia. Benar saja, satu di antaranya, adalah
bayangannya Thio Tan Hong!
-ooo0dw00ooo- Bab XV Untuk sekian lama, In Loei berdiri tegak, tak bergeming. Ia bagaikan terpaku.
Syukur untuknya, berselang sesaat, ia sadar kembali. Segera ia menghela napas,
untuk melegakan hati. Ia hirup hawa yang berbau harumnya bunga di dalam taman
itu. Habis itu, dengan bersemangat, ia mendekam di jendela, untuk memasang kuping.
"Walaupun Toto Puhwa adalah raja Watzu, kekuasaan pemerintah berada ditangan
Yasian," demikian terdengar suaranya Tan Hong. "Di samping Yasian ini, pangeran
Atzu juga mempunyai sebagian kekuasaan atas tentara. Maka itu kenyataannya,
Watzu adalah negara yang diperintah tiga orang. Ong Tjin menyarankan untuk
menahan Pangeran Atzu, turut penglihatanku, inilah ada atas usulnya Yasian."
"Habis, bagaimana sekarang?" terdengar Ie Kiam menanya.
"Meminjam golok untuk membunuh orang, itulah suatu siasat untuk menyingkirkan
lawan yang tanggu," Tan Hong berkata pula. "Aku kenal baik, Yasian itu ada orang
macam apa. Dia bercita-cita sangat besar. Dia pandang dirinya sebagai pengganti
dari Djenghiz Khan. Maka itu, lambat laun, dia pasti akan merampas tachta
kerajaan. Dia dapat membedakan antara Toto Puhwa dan Atzu, di antara raja Watzu
dan pangerannya itu. Teranglah dia percaya, kalau dia sudah dapat menyingkirkan
Atzu, dengan gampang nanti dia dapat me- rampas tachta kerajaan."
"Mendengar kau, terbukalah hatiku yang cupat," kata Ie Kiam sambil menghela
napas. "Harus disayangi bahwa pihak kita sama sekali tak mengetahui keadaan
dalam dari musuh sebagaimana yang kau mengetahuinya....."
"Walaupun demikian, apabila benar terjadi perang saudara di dalam negara Watzu,
itu pun berarti rejekinya kerajaan Beng," kata Tan Hong.
Tiba-tiba anak muda ini tertawa menyeringai, matanya dialihkan ke arah jendela.
In Loei terkejut, dengan cepat ia umpetkan diri di antara pohon bunga. Ia
berpikir keras, saking tak mengertinya.
"Thio Tan Hong anggap kaisar Beng sebagai musuh turunan, kenapa sekarang dia
agaknya tengah bekerja untuk kerajaan Beng itu?" ia berpikir, heran.
Tidak sempat si nona berpikir lama, atau ia sudah dengar pula suaranya pemuda
she Thio itu, mengingat siapa senantiasa hatinya goncang.
"Ingin aku menjelaskan tentang Tantai Mie Ming." demikian si mahasiswa berkuda
putih. "Dia sebenarnya ada orang bangsa Han kelahiran negara Watzu. Dan dia
bersahabat sangat erat dengan tiwan Atzu. Baharu kemarin aku bertemu dengan
Tantai Mie Ming dan pasang omong dengannya, aku telah minta dia suka beri
nasihat dan anjurkan ayahku agar ayah membantu memperbesar gelombang, untuk
menyulut api dari sebelah dalam, supaya dengan begitu bisalah terjadi perang
saudara di dalam negeri Watzu."
"Maukah ayahmu berbuat demikian?" Ie Kiam tanya.
"Untuk tidak mendusta." kata Tan Hong, "ayahku itu mempunyai cita-cita untuk
merampas kerajaan Beng, akan tetapi di samping itu, ia tak lupa bahwa ia sendiri
adalah putera Han, maka itu, di dalam hal ini, sulit bagiku untuk mengatakan
dari sekarang bagaimana perkara ini nanti akan berakhir. Gagalkah atau
berhasil"....."
"Jikalau begitu, sieheng," tiba-tiba Ie Kiam berkata kepada Tan Hong. "kenapa
tidak kau sendiri saja yang menganjurkan ayahmu itu?"
"Sekarang ini belum dapat aku lekas-lekas pulang ke Watzu," Tan Hong akui terus
terang. "Kedatanganku ke Tionggoan ini adalah untuk satu tugas yang sangat
penting. Hendak aku mencari satu benda berharga yang mengenai nasibnya negara."
Ie Kiam sibuk juga. "Kekacauan di dalam negeri Watzu itu jadi boleh diharap dan boleh tidak," ia
kata, "sebaliknya tindakan Watzu untuk menerjang Tionggoan ada seumpama, alis
akan segera terbakar..... Bagaimana sekarang?"
"Sebenarnya tak usah kita berkuatir," Tan Hong jawab. "Tionggoan besarnya
berlipat puluh kali dibanding dengan negeri Watzu itu, bila semua rakyat dapat
bersatu hati, tak usah kita kuatirkan musuh yang tanggu itu!"
Arca Ikan Biru 1 Pendekar Romantis 07 Dendam Dalang Setan Pendekar Pemanah Rajawali 30
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama