Pembakaran Kuil Thian Lok Si Karya Kho Ping Hoo Bagian 5
situ ada pula seorang hwesio ayah angkat Cin Pau yang menyatakan bahwa ia adalah
anak Ma Gi. "Bagaimana muka hwesio itu ?"
"Sikapnya lemah lembut dan halus tutur sapanya, mukanya pucat, halus dan tampan,
usianya sebaya dengan ayah."
Kwei Lan mengangguk-angguk, "Siapa namanya ?"
"Sian Kong Hosiang ..........."
"Hm, memang benar dia ! Tentu Kong Sian, siapa lagi," nyonya itu berkata dengan
suara perlahan. "Ibu, betulkah semua itu " Betulkah katanya bahwa aku bukan puteri ayah yang
sekarang dan bahwa aku adalah anak Ma Gi ?"
Ibunya dengan wajah pucat dan air mata mulai berlinang di kedua matanya yang
indah, lalu memeluk anaknya dan berkata perlahan,
"Eng-ji, anakku yang tersayang. Dengarlah, akan tetapi kau harus tetapkan
hatimu, nak. Kau tahu bahwa ayahmu amat baik kepadamu, amat mulia terhadap kita.
Dengarlah ....... memang ketika aku bertemu dengan ayahmu, aku sedang mengandung
engkau. Dulu .... ketika kau masih dalam kandungan, aku adalah isteri Ma Gi,
putera dari sasterawan besar Ma Eng. Kemudian, karena menuliskan kitab yang
menghina kaisar, maka kakekmu bersama sasterawan besar Khu Liok serumah tangga
telah dijatuhi hukuman oleh kaisar. Sekeluarga dibunuh semua. Ma Gi atau ayahmu
itu, bersama Khu Tiong putera Khu Liok, lalu mengamuk hebat dan mereka berdua
akhirnya juga dibunuh oleh para perwira yang menjalankan tugas perintah kaisar.
Ketika pembunuhan terjadi, ayahmu yang sekarang, perwira Gak Song Ki ini, merasa
kasihan melihat aku yang sedang mengandung, maka ia lalu membawa lari aku ke
rumahnya ini. Di sini aku dirawat dengan baik sekali sampai kau lahir dengan
selamat. Kemudian ......... kemudian ia meminangku, nak, dan ... dan terpaksa
aku menerimanya hingga aku menjadi isterinya sampai sekarang ini ......"
Dengan kedua mata terbelalak dan wajah pucat sekali, sedangkan air matanya mulai
turun lagi membasahi pipinya, Siauw Eng mendengarkan penuturan ibunya. Ia
memandang kepada wajah ibunya tanpa berkedip,
"Mengapa kau merahasiakan hal ini kepadaku, ibu ?"
"Untuk kebaikanmu sendiri, Eng-ji, dan juga atas permintaan ayahmu yang amat
mencintaimu seperti anak sendiri."
Koleksi Kang Zusi Tiba-tiba Siauw Eng menarik tangannya dari pegangan ibunya. "Jadi seluruh
keluarga Khu dan ma dibunuh dan ditumpas habis oleh para perwira sedangkan ibu
sendiri enak-enak menjadi isteri seorang perwira dan hidup mewah ?"
"Siauw Eng .... !!" ibunya menjerit sambil menutup mukanya lalu menangis.
"Jadi ....... kakek dibunuh, ayah dibunuh, nenek dibunuh, semua anggauta
keluargaku dibunuh oleh para perwira, akan tetapi ibu ......, ibu tidak bersakit
hati, tidak menaruh dendam bahkan lalu menjadi nyonya perwira Gak ..... " Ah,
aku ...... aku merasa terhina dan rendah sekali ! Lebih baik pada waktu itupun
aku ikut mati dalam kandungan ibu bersama seluruh keluarga Ma !"
"Siauw Eng ..... !" kata-kata ini merupakan tikaman hebat sekali yang membuat
nyonya itu serentak bangun dan hendak menampar muka anaknya, akan tetapi
tubuhnya menjadi lemas dan akhirnya ia roboh pingsan di atas pembaringan.
Pada saat itu Gak Song Ki berlari mendatangi dari luar. Perwira ini baru saja
datang dari istana untuk membuat laporan kepada kaisar tentang penyerbuan kuil
Thian Lok Si, dan begitu tiba di rumah, ia mendengar tentang sikap Siauw Eng
yang ganjil. Ia segera berlari masuk dengan hati penuh kekuatiran, dan ketika
mendengar suara Siauw Eng yang keras sedang berkata-kata kepada ibunya, ia
segera menuju ke kamar isterinya. Alangkah terkejutnya ketika ia melihat
isterinya telah roboh pingsan di atas ranjang sedangkan anaknya itu berdiri
dengan muka merah dan air mata bercucuran.
"Siauw Eng .... ibumu kenapakah ..... ?" tanya Gak Song Ki sambil menubruk
isterinya dengan kuatir. Akan tetapi Siauw Eng tidak menjawab, hanya memandang dengan sinar mata tak
senang. Gak Song Ki tidak memperdulikan anaknya, lalu memijit-mijit kepala dan
leher isterinya. Setelah ditarik urat pada lehernya, maka siumanlah Kwei Lan
sambil mengeluh perlahan. Ketika ia membuka mata dan melihat suaminya telah
berada di situ dengan muka kuatir, sedangkan Siauw Eng masih berdiri bagaikan
patung, ia lalu menangis sedih.
Gak Song Ki merasa lega bahwa isterinya telah siuman dan dapat menangis, maka ia
lalu memandang kepada Siauw eng dengan mata penuh cela dan tegur, "Siauw Eng,
apa yang telah kau lakukan kepada ibumu ?"
Dan jawaban yang keluar dari mulut Siauw Eng membuat ia merasa seakan-akan ada
kilat menyambar dari luar kamar. "Gak-ciangkun, aku bicara dengan ibuku sendiri,
harap kau jangan ikut campur dan suka keluar dari kamar !"
Gak Song Ki memandang wajah Siauw Eng seakan-akan gadis itu adalah makhluk aneh
yang baru saja datang dari lain dunia.
"Siauw Eng, kau ... kau adalah anakku, mengapa kau bicara seperti itu " Aku
ayahmu !" Dengan suara tanpa irama Siauw Eng menjawab, "Ayahku adalah Ma Gi dan sudah
tewas dikeroyok oleh perwira-perwira, mungkin kau sendiripun ikut mengeroyok !"
Maka tahulah Gak Song Ki bahwa anak ini telah mengetahui akan rahasia yang
ditutupinya rapat-rapat itu, "Betapapun juga, Eng-ji, aku telah menganggapmu
seperti anak sendiri dan memelihara serta mendidikmu sejak kau lahir."
Ucapan yang penuh tuntutan ini bahkan makin memperbesar api kemarahan yang
berkobar di dada Siauw Eng. "Orang she Gak !" katanya sambil menuding muka Gak
Song Ki, "Kau baik kepadaku oleh karena itu termasuk siasatmu untuk memikat hati
ibuku ! Kau bunuh ayahku dan kau pikat ibuku ! Bagus
.... !! Anehkah itu kalau sekarang aku mencabut pedang dan menganggap kau
sebagai musuh besarku ?" "Siauw Eng ...." Kwei Lan mengeluh panjang mendengar ucapan anaknya ini.
Gak Song Ki mulai marah melihat sikap Siauw Eng ini. Timbul perlawanan di dalam
hatinya, karena betapun ia sayang kepada gadis ini, akan tetapi ia tetap adalah
seorang perwira tinggi yang tentu saja tidak mau dihina orang sedemikian rupa.
Koleksi Kang Zusi "Siauw Eng !! Ucapan dan sikapmu ini hanya menunjukkan bahwa jiwa pemberontak
ayahmu tetap mempengaruhimu. Kau berdarah pemberontak dan tak kenal budi orang.
Habis, kalau betul kau adalah puteri Ma Gi, kalau betul bahwa aku telah
mengawini ibumu, sekarang kau mau berbuat apakah" Kau mau bunuh aku " Boleh,
boleh, kau kira aku takut mati."
Kenyataan-kenyataan dan terbongkarnya rahasia itu secara hebat telah melukai
batin Siauw Eng dan menekan jiwanya hingga gadis ini seakan-akan menjadi mata
gelap dan bingung. Pertimbangannya telah patah dan ia tidak dapat berpikir
secara sehat pula. Yang memenuhi benaknya pada saat itu hanyalah marah, kecewa,
dendam, malu, dan sakit hati.
Mendengar ucapan Gak Song Ki, ia bergerak cepat dan tahu-tahu ia mencabut keluar
pedangnya. "Orang she Gak ! Kau kira aku tidak berani menusukkan pedang ini di dadamu "
Katakanlah bahwa kau telah ikut membunuh ayahku, ikut membunuh kakekku, ikut
membunuh seluruh keluargaku kecuali ibuku yang cantik !" Sambil berkata
demikian, Siauw Eng memandang dengan mata berapi dan pedangnya sudah siap
menusuk. "Siauw Eng, aku adalah seorang perwira yang telah bersumpah setia kepada
kaisar !" kata Gak Song Ki sambil mengangkat dada, "betapapun juga, aku hanya
menjalankan tugas kewajibanku dengan setia.
Aku tidak membunuh siapa-siapa dengan hati membenci, akan tetapi hanya
menjalankan tugas semata ! Jangankan keluarga Khu dan Ma, biarpun kausendiri atau orang tuaku sendiri
apabila memberontak, sudah menjadi tugasku untuk membasminya !"
"Bagus, sekarang lawanlah ! Aku juga pemberontak .... ingat ! Aku anak
pemberontak !!" Sambil berkata demikian, Siauw Eng lalu menyerang dengan
pedangnya. Gak Song Ki bukanlah orang lemah, dan cepat perwira ini lalu mengelak dan
mencabut pedangnya. Perang tanding antara ayah tiri dan anak yang tadinya saling mencinta seperti
ayah dan anak tulen itu terjadi dengan hebatnya di dalam kamar, sedangkan Kwei
Lan hanya memandang dengan mata terbelalak dan tubuh menggigil.
Akan tetapi, Gak Song Ki yang pada dasar hatinya amat menyayang Siauw Eng, tentu
saja tidak tega untuk melawan dengan sungguh-sungguh dan ia tadi mencabut pedang
hanya untuk menangkis saja.
Selain dari pada itu, memang ilmu pedangnya masih kalah setingkat jika
dibandingkan dengan anak tirinya ini, maka setelah bertempur di tempat sempit
itu beberapa lamanya, sebuah tendangan Siauw Eng telah mengenai lututnya dengan
tepat hingga ia roboh terguling. Siauw Eng bagaikan seekor harimau betina yang
marah, segera menubruk untuk memberi tikaman terakhir.
"Siauw Eng ....!" ibunya menjerit ngeri dan tiba-tiba melihat betapa wajah ayah
tirinya yang berada di bawah ini tersenyum tenang menanti datangnya tusukan,
Siauw Eng menggigil seluruh tubuhnya dan tangannya menjadi lemas. Bagaimana ia
bisa membunuh orang yang selalu baik kepadanya, yang dulu sering menggendongnya,
menimang-nimangnya, bahkan mendidiknya ilmu silat dengan penuh kesayangan "
Dengan hati hancur dara itu lalu melarikan diri keluar sambil menahan sedu
sedannya. "Siauw Eng .....!" terdengar ibunya memanggil.
"Siauw Eng .....!" suara Gak Song Ki terdengar pula.
Akan tetapi, Siauw Eng tidak memperdulikan mereka dan berlari terus dengan
cepatnya. Bagian 16. Penangkapan Keluarga Gak-ciangkun
Pada saat itu, terlihat serombongan orang yang dipimpin oleh Can Kok mendatangi
dengan cepat dan ketika mereka melihat Siauw Eng, Can Kok lalu memberi aba-aba
dan semua orang yang ternyata adalah tentara-tentara kerajaan itu lalu maju
mengejar dan mengurung. "Tangkap pemberontak !" seru mereka.
Koleksi Kang Zusi Siauw Eng menjadi marah sekali. Dengan pedang di tangan ia menanti kedatangan
mereka dan setelah dekat ia lalu berseru keras, "Ya, akulah anak pemberontak Ma
Gi ! Ayoh maju, siapa yang berani, cobalah tangkap aku, Gobi Ang Sianli !"
Beberapa orang anak buah Can Kok maju menyerbu akan tetapi begitu tubuh Siauw
Eng berkelebat merupakan cahaya merah, dua orang pengeroyok telah roboh mandi
darah. "Ayoo, pembunuh-pembunuh ayahku, pembunuh kakekku dan sekeluargaku ! Majulah
menerima pembalasan keturunan keluarga Ma !" Siauw Eng dengan nekad menyerbu dan
mengamuk. Setiap lawan yang mencoba menyambutnya, baru beberapa gebrakan saja
terus roboh tak kuat menghadapi dara yang gagah dan sedang marah, hebat itu.
Can Kok terpaksa maju dengan senjata kongce yang diandalkan di tangan, lalu
membantu mengeroyok dengan hebat. Siauw Eng tidak menjadi gentar, bahkan lalu
mengamuk lebih hebat lagi.
Ternyata bahwa Can Kok mendengar berita dari Gu Liong dan ibunya. Memang
semenjak dulu, ibu Gu Liong, yakni nyonya janda Gu Keng Siu itu, menaruh dendam
hebat kepada keluarga Khu dan Ma dan selalu mengharapkan untuk dapat membalas
dendam itu kepada keturunan kedua keluarga yang telah membunuh suaminya itu.
Kini ia mendengar dari Gu Liong bahwa keturunan keluarga yang dibencinya itu
masih ada, yakni Cin Pau dan Siauw Eng, maka segera ia mengadakan hubungan
dengan Can Kok yang serta merta memimpin beberapa orang anak buahnya untuk
menawan Siauw Eng. Gu Liong sendiri tidak ikut mengeroyok karena ia dan ibunya mempunyai tugas lain
yang lebih mengerikan dan kejam, yakni Gu Liong dipaksa oleh ibunya untuk
mengantarkannya pergi ke makam kedua musuh besar itu.
Telah lama Can Kok memang menaruh hati iri terhadap Gak Song Ki yang mempunyai
kedudukan lebih tinggi darinya. Biarpun di luarnya ia selalu bersikap ramah
tamah dan hormat, akan tetapi di dalam hati ia merasa iri dan dengki. Kini
mendengar bahwa puteri Gak Song Ki itu ternyata adalah anak tiri dan adalah
keturunan langsung dari Ma Gi, ia menjadi girang dan segera pergi dengan maksud
membikin cemar dan malu nama perwira itu, dan menawan Siauw Eng. Kebetulan
sekali rombongan bertemu dengan Siauw Eng yang hendak melarikan diri, maka
segera ia maju menyerang.
Namun, ia menghadapi perlawanan yang tak disangka-sangka semula. Pedang Siauw
Eng ganas sekali dan dara itu sukar didekati. Siapa berani mendekati tentu
menjadi kurban pedang. Bahkan kongce dari perwira itu sendiri tak banyak berdaya
menghadapi pedang Siauw Eng. Karena bencinya kepada perwira ini, Siauw Eng lalu
mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk melakukan serangan bertubi-tubi. Kalau
saja tidak banyak anak buahnya yang membantu, pasti perwira she Can itupun tidak
kuat menahan serbuan Siauw Eng yang hebat ini.
Pada saat itu, terdengar bentakan. "Pemberontak kecil sungguh ganas." Suara ini
adalah suara Kim-i Lokai, pengemis tua yang masih berada di kota raja yang
datang bersama-sama Pauw Su Kam, suheng dari Can Kok itu. Dengan datangnya dua
orang lihai itu, keadaan menjadi berubah dan kini Siauw Eng terkurung rapat dan
terdesak hebat sekali. Siauw Eng melawan dengan nekat dan mati-matian,
mengeluarkan kedua ilmu pedangnya Sin-Coa Kiamhwat dan Pek-Tiauw Kiamhwat
berganti-ganti. Akan tetapi, ia menghadapai Kim-i Lokai yang tingkat ilmu
kepandaiannya sudah sejajar dengan kedua guru nona itu sendiri, sedangkan Pauw
Su Kam juga memiliki ilmu kepandaian yang tak boleh dipandang ringan, maka tentu
saja makin lama ia makin terkurung rapat oleh senjata-senjata lawan.
"Siauw Eng, jangan takut, aku datang membantu !" terdengar seruan garang dan
berkelebatlah bayangan putih yang gesit sekali. Cin Pau yang menyusul telah tiba
pada saat yang tepat dan membantu Siauw Eng menghadapi lawannya yang banyak dan
lihai itu. Hebat sekali sepak terjang kedua anak muda itu yang bertempur saling
membelakangi hingga tidak ada lawan dapat berlaku curang. Seorang diri Cin Pau
dikeroyok oleh Kim-i Lokai, Pauw Su Kam, dan Can Kok yang merasa girang sekali
dengan datangnya Cin Pau.
"Bagus, kedua turunan pemberontak telah masuk perangkap. Kita tawan keduanya !"
kata Can Kok yang segera memberi perintah kepada seorang pembantunya untuk
mendatangkan bala bantuan dari istana.
Cin Pau maklum akan berbahayanya keadaan mereka, maka sambil memutar-mutar
pedangnya dan memainkan jurus-jurus paling istimewa dari Kui Hwa Koan Kiamhwat
hingga Kim-i Lokai dan kawan-Koleksi Kang Zusi
kawannya dapat didesak mundur. "Siauw Eng, mari kita pergi dari sini !" kata Cin
Pau sambil menarik tangan gadis itu.
Siauw Eng juga insaf akan keadaan yang amat berbahaya, apalagi kalau jago-jago
tua yang lain datang, terutama ia takut sekali kalau-kalau kedua orang gurunya
datang. Ia tidak tahu bahwa semua jago-jago silat yang membantu pembasmian kuil
Thian Lok Si telah pulang dan hanya Kim-i Lokai dan Pauw Su Kam saja yang masih
berada di situ. Maka dengan cepat ia lalu melompat keluar kepungan sambil
memutar-mutar pedangnya. Para anak buah tentara kerajaan tidak berani menghalangi mereka karena setiap
orang yang berani mencoba menghalangi dengan mudah dirobohkan oleh kedua pemuda
pemudi lihai itu. Mereka berdua lalu melarikan diri dengan cepat, dikejar oleh
musuh-musuhnya yang berteriak-teriak sambil mengacung-acungkan senjata. Akan
tetapi ilmu lari cepat kedua anak muda itu sudah mencapai tingkat tinggi
hinggahanya Kim-i Lokai saja yang dapat menyamai kepandaian mereka, akan tetapi,
seorang diri saja, pengemis tua itu tidak berani turun tangan karena maklum
bahwa ia takkan menang menghadapi kedua jago muda itu.
Setelah tiba di dalam hutan dan melihat bahwa tidak ada musuh yang berani
mengejar lagi, Siauw Eng tiba-tiba lalu menangis sedih. Cin Pau menghela napas
panjang dan ia maklum apa yang disedihkan gadis ini, maka ia lalu menghibur
dengan halus. "Siauw Eng, janganlah kau berduka. Ketahuilah bahwa kita bernasib sama, akan
tetapi baru sekarang kau mengalami kesedihan dan penderitaan. Sedangkan aku, aku
dan ibuku, semenjak peristiwa menyedihkan itu terjadi, kami berdua telah
menderita hebat." Ia menghela napas lagi. "Semenjak ayah meninggal karena
keroyokan para perwira atas perintah kaisar, maka ibuku hidup terasing dan
bertapa di puncak Kunlun-san, tidak pernah turun gunung dan melihat dunia ramai
lagi." "Lebih baik begitu !" kata Siauw Eng dengan tiba-tiba merasa mendongkol sekali
terhadap ibunya sendiri. "Jauh lebih baik hidup sengsara seperti itu dari pada
seperti .... seperti ibuku ...."
Cin Pau sudah mendengar dari Sian Kong Hosiang tentang riwayat ibu Siauw Eng,
maka ia lalu berkata menghibur, "Jangan terlalu menyalahkan ibumu, Siauw Eng.
Ingatlah bahwa ketika ia ditinggal mati oleh ayahmu, ia masih muda dan sedang
mengandung. Mungkin sekali, ini hanya pendapat dan dugaanku, ia menerima
pinangan perwira she Gak itu karena ia menjaga nasibmu atau .... atau .... siapa
tahu karena pada waktu itu ia masih muda sekali."
Mereka lalu saling menuturkan riwayat semenjak kecil dan ketika mendengar
tentang pembelaan Un Kong Sian yang sekarang telah menjadi Sian Kong Hosiang
itu, Siauw Eng merasa menyesal sekali mengapa tadinya iapun ikut kena ditipu dan
menganggap bahwa kuil Thian Lok Si adalah sarang penjahat.
"Mereka itu bohong belaka !" kata Cin Pau dengan mata berapi. "Kuil Thian Lok Si
Pembakaran Kuil Thian Lok Si Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tak pernah menjadi sarang penjahat dan hwesio-hwesio di kuil itu tak pernah
melakukan kejahatan. Ini adalah bujukan dan gosokan dari Can Kok, perwira yang
berhati busuk itu. Kita harus berhati-hati terhadap perwira itu, karena kalau
dipikir-pikir musuh kita yang terbesar adalah Can-ciangkun itu."
"Akan tetapi ... ayah .... ayah tiriku juga ikut menyerbu Thian Lok Si dan
mungkin dulu ikut pula membasmi keluarga kita," kata Siauw Eng dengan gemas,
akan tetapi suaranya mengandung kesedihan dan kekecewaan.
"Tentu saja, ayahmu adalah seorang perwira kerajaan, maka setiap perintah raja
harus dikerjakannya dengan setia dan taat."
"Cin Pau, pernah kau melihat ayahku ?"
Pemuda itu memandang heran. "Aneh sekali pertanyaanmu ini. Tadi telah
kuceritakan bahwa ketika ayah kita gugur, akupun masih berada dalam kandungan
ibu. Bagaimana aku bisa melihat ayahmu atau ayahku ?"
"aku .... aku ingin melihat wajah ayahku .... ," kata Siauw Eng dengan suara
lemah dan seperti anak kecil yang merengek ingin sesuatu. Cin Pau maklum bahwa
gadis ini sedang bingung sekali dan hal ini tak perlu dibuat heran. Gadis ini
semenjak kecil hidup mewah dan dimanjakan, dalam keadaan kaya Koleksi Kang Zusi
raya, disayangi ayah bundanya. Sekarang, tiba-tiba saja, ia mendapat kenyataan
bahwa ayah yang biasanya menyayanginya itu adalah seorang musuh besar, bahwa
ayahnya yang tulen adalah seorang pemberontak yang selama ini ia benci. Dan
kini, ia telah melarikan diri dari rumah, berpisah dari ayah bundanya, bahkan
dikejar-kejar oleh para perwira dan mungkin selanjutnya akan menjadi orang
buruan. Tentu saja peristiwa ini merupakan tekanan yang hebat sekali pada hati dan
perasaan Siauw eng. "Siauw Eng, mulai saat ini, pandanglah aku sebagai sahabatmu satu-satunya yang
bersedia membelamu dengan jiwa dan raga," kata Cin Pau dengan sungguh-sungguh
hingga Siauw Eng merasa terharu dan memandangnya dengan kedua mata basah.
"Cin Pau .... antarkanlah aku ke makam ayahku .... "
Cin Pau mengangguk dan keduanya lalu berjalan perlahan menuju ke hutan di mana
terdapat dua makam Khu Tiong dan Ma Gi, ayah mereka itu.
****** Ketika mendengar dari Gu Liong dan ibunya bahwa Siauw Eng adalah anak Ma Gi dan
Cin Pau anak Khu Tiong, maka Can Kok selain merasa girang dan berusaha menangkap
mereka, juga merasa kuatir karena kedua anak muda yang gagah perkasa itu
merupakan musuh-musuh yang tangguh dan yang masih berkeliaran bebas hingga
membahayakan keselamatannya.
Oleh karena itu, setelah Siauw Eng dan Cin Pau yang dikepungnya itu dapat
melepaskan diri, Can Kok segera memberi kabar ke istana, memberi laporan kepada
kaisar bahwa dua orang pemberontak muda, keturunan keluarga Khu dan Ma, mengacau
dan hendak melanjutkan pemberontakan kakek mereka.
Kaisar terkejut sekali, apalagi ketika mendengar bahwa seorang di antara kedua
orang pemberontak itu adalah Gobi Ang Sianli yang telah terkenal namanya di kota
raja, dan alangkah marahnya ketika ia mendengar bahwa pemberontak ini semenjak
kecil telah dipelihara dan dididik oleh Gak Song Ki, perwiranya yang setia itu.
Ia lalu mengeluarkan perintah kepada Can Kok untuk menangkap Gak Song Ki dan
isteri pemberontak Ma Gi yang kini menjadi isterinya itu. Juga perintah itu
mengharuskan ditangkapnya Siauw Eng dan Cin Pau serta Sian Kong Hosiang, ketua
Thian Lok Si yang dapat lolos itu.
Semua itu berkat kelicinan dan kecerdikan Can Kok hingga sekali gus ia mendapat
surat kuasa dari Kaisar untuk menawan atau membunuh musuh-musuh dan orang-orang
yang tidak disukainya. Kemudian Can Kok menyatakan kekhawatirannya karena pihak musuh adalah orangorang yang berkepandaian tinggi, maka ia mohon diberi bantuan perwira-perwira
yang pandai. Kaisar lalu memerintahkan kepada tiga orang perwira yang merupakan
panglima besar dan tokoh tertinggi, yakni yang bernama Mau Kun Liong, Oey Houw,
dan Oey See In. Selain mendapat bantuan ketiga panglima ini, Can Kok juga memberi kabar kepada
kawan-kawan lamanya, yakni Kongsan Hong-te dan kedua tosu dari Gobi-san, Cin San
Cu dan Bok San Cu, oleh karena ia maklum bahwa biarpun Siauw Eng dan Gak Song Ki
adalah murid-murid kedua orang tosu ini, akan tetapi Cin San Cu dan Bok San Cu
adalah tosu-tosu yang taat dan setia kepada Kaisar. Dengan senjata surat
perintah Kaisar, maka ia yakin bahwa kedua orang tosu itu tentu akan suka
membantu untuk menawan murid-murid sendiri.
Setelah membawa surat perintah penangkapan dari kaisar, Can Kok tanpa membuang
waktu lagi lalu membawa sepasukan pengawal dan ketiga orang panglima itu,
langsung menuju ke gedung Gak Song Ki untuk menangkap perwira ini beserta
isterinya. "Gak Song Ki, kau dan nyonya Ma Gi menyerahlah untuk menjadi tawanan. Kami
datang atas perintah kaisar !" kata Can Kok dengan sombong sambil memperlihatkan
surat perintah itu. Gak Song Ki adalah seorang perwira yang setia, maka setelah berlutut terhadap
surat perintah kaisar itu dan menyatakan ketaatannya, ia lalu menggandeng tangan
Kwei Lan dan mengikuti rombongan yang menangkapnya itu. Seluruh isi rumah
menangis sedih karena peristiwa ini dan orang-orang menjadi ribut mendengar
betapa perwira Gak Song Ki beserta isterinya telah ditawan oleh kaisar.
"Can-ciangkun, aku telah dapat menduga bahwa kau lah yang berdiri di belakang
semua ini," kata Gak Song Ki ketika ia mulai berjalan meninggalkan rumahnya
untuk dibawa ke tempat tahanan.
Koleksi Kang Zusi "Pengkhianat jangan banyak membuka mulut !" bentak Can Kok. "kau telah
melindungi anak isteri pemberontak besar, percuma saja hendak menyangkal dosadosamu yang pantas mendapat hukuman mati !"
Gak Song Ki hanya menggigit bibir saja karena ia maklum bahwa dalam keadaan tak
berdaya ini, makin banyak ia bicara, makin hebat pula Can Kok akan menghina.
Karena urusan kali ini menyangkut diri seorang perwira tinggi, maka yang akan
menjadi hakim adalah kaisar sendiri dan sementara menanti pengadilan, kedua
suami isteri yang malang itu dimasukkan ke dalam sebuah tempat tahanan yang
kokoh kuat dan terjaga oleh anak buah Can Kok sendiri.
Sementara itu, kalangan perwira geger ketika mendengar tentang penangkapan ini.
Gak Song Ki adalah seorang perwira yang telah banyak membuat jasa, selain ini,
telah beberapa keturunan nenek moyangnya menjadi panglima-panglima yang setia
kepada raja, bahkan ayahnya dulu adalah seorang panglima besar yang telah
terkenal sebagai pembela kaisar yang paling gagah dan setia, maka penangkapan
ini dianggap kurang adil dan menimbulkan gelisah di kalangan mereka.
Terutama sekali Gan Hok, ayah tiri Hwee Lian. Ketika mendengar dari puterinya
yang datang-datang menangis dan menuturkan bagaimana ia telah mengalami hal-hal
yang mengejutkan di depan kedua makam pemberontak dan mendapat kenyataan yang
mengagetkan bahwa Siauw Eng adalah anak pemberontak Ma Gi, lalu berkata kepada
isterinya dan anaknya, "Sudahlah, kalian jangan ikut campur dalam urusan ini. Ingat bahwa biarpun ayah
Hwee Lian tewas dalam tangan kedua orang pemberontak Khu dan Ma, akan tetapi
mereka berdua juga sudah tewas pula di tangan petugas-petugas hingga boleh
dibilang segala perhitungan telah beres dan lunas. Perlu apa kita harus ikut
mencampuri urusan ini pula " Sekarang kalian berdua adalah keluargaku, bukan
keluarga Gu lagi, dan aku tidak suka kalau harus mengotorkan tangan menanam
bibit permusuhan dengan keluarga Khu dan Ma !"
Hwee Lian menjawab ucapan ayahnya dengan hati terharu, "Kau benar, ayah. Memang,
aku sendiri tidak bisa memusuhi Siauw Eng, tidak hanya karena ilmu kepandaiannya
yang tinggi, akan tetapi juga karena ia begitu baik dan telah kuanggap seperti
saudara sendiri. Bagaimana aku sanggup untuk menjadi musuhnya, biarpun ayah kami
dulu bermusuhan ?" "Sebetulnya ayahmu dulu pun tidak bermusuh dengan Khu Tiong dan Ma Gi, anakku,'
kata nyonya Gan Hok yang berhati sabar hingga nyonya inipun telah lama menanam
rasa sakit hatinya, "bahkan ketika kakekmu pangeran Gu dan kedua orang
sasterawan tua she Khu dan Ma itu masih bersahabat bahkan mengangkat saudara,
ayahmu dan kedua orang itu hidup rukun dan damai bagaikan sekeluarga.
Ayahmu hanya terbawa-bawa, demikianpun Khu Tiong dan Ma Gi, terbawa-bawa oleh
persoalan yang timbul antara pengeran Gu kakekmu itu dan kedua orang sasterawan
tua, dan ayahmu menjadi kurban dari pada kedua saudara yang sedang mata gelap
dan mengamuk itu." Demikianlah, ketiga orang ini dengan penuh kesadaran telah dapat menolak godaan
nafsu dendam hingga mereka tidak mau ikut mencampuri urusan balas dendam yang
turun temurun ini. Akan tetapi ketika Gan Hok mendengar tentang ditawannya Gak
Song Ki dengan isterinya, ia menjadi terkejut sekali dan perwira ini segera
keluar dari gedungnya untuk mencari tahu dan kalau mungkin menolong sahabatnya
itu. ****** Siauw Eng dan Cin Pau dengan perlahan berjalan menuju ke makam orang tua mereka.
Mereka tidak banyak bercakap, terbenam dalam lamunan masing-masing. Tak pernah
disangkanya bahwa kini mereka berjalan berdua di dalam hutan sebagai dua orang
yang dikejar-kejar dan dimusuhi kaisar.
Perbedaan keadaan mereka yang amat besar dulu itu kini musnah sama sekali dan
membuat mereka senasib sependeritaan, saling dekat saling membela, seperti
halnya kedua orang ayah mereka yang sampai matipun berada dalam keadaan
berkumpul dan berjajar. Ketika mereka masuk ke dalam hutan yang mereka tuju, senja telah mulai
mendatang, maka mereka lalu mempercepat langkah untuk tiba di makam itu sebelum
gelap. Akan tetapi ketika mereka telah tiba tak jauh dari makam, tiba-tiba
mereka mendengar suara orang dan ringkik kuda. Mereka mempercepat lari sambil
mengintai dan alangkah kaget kedua orang muda itu ketika melihat bahwa yang
berada di situ adalah serombongan orang yang menggali kuburan ayah mereka. Dan
orang-orang ini dikepalai oleh Can Kok sendiri, bersama tiga orang panglima. Gu
Liong juga nampak berada di situ, bersama seorang wanita yang Siauw Eng kenal
sebagai ibu pemuda itu. Koleksi Kang Zusi "Kejam ..........!" Siauw Eng berbisik kepada Cin Pau sambil memandang dengan
mata terbelalak. "Agaknya nyonya Gu Keng Siu hendak membalas dendam kepada kerangka kedua ayah
kita ...." saking merasa ngeri dan marah, Siauw Eng memegang lengan Cin Pau yang
juga menegang karena pemuda ini mengepal tinjunya.
"Ingat baik-baik," terdengar Can Kok berkata kepada para pencangkul itu yang
telah mulai menemukan kedua kerangka yang dikubur di situ, "yang tertusuk panah
tulang-tulang iganya adalah kerangka pemberontak Khu Tiong. Ia mampus dengan
anak panah tertancap di dada.
Sedangkan rangka Ma Gi kalau tidak salah tentu tulang pahanya telah patah,
karena dulu ketika ia mampus, beberapa bacokan mengenai pahanya dengan keras
sekali. Kita kumpulkan tulang-tulang mereka itu untuk dipertontonkan kepada
rakyat agar tidak ada yang berani main berontak-berontakan lagi !"
"Sesudah itu kita berikan tulang-tulang itu kepada anjing-anjing kelaparan
supaya dimakan !" tiba-tiba terdengar suara seorang wanita, yakni suara nyonya
Gu Keng Siu. Suara ini biarpun halus dan merdu akan tetapi terdengar amat
menyeramkan sehingga Siauw Eng merasa bergidik. Juga Cin Pau menggertakkan gigi
mendengar betapa tulang-tulang ayahnya hendak diberikan kepada anjing. Can Kok
mendengar ucapan ini, tertawa bergelak dan berkata,
"Alangkah bencimu kepada mereka, Gu-hujin."
"Kalau mereka masih hidup, aku sanggup minum darah mereka !" terdengar pula
suara yang halus itu berkata lagi. "Dan aku takkan berhenti sebelum dapat
membunuh keturunan pemberontak-pemberontak jahat yang telah membunuh suamiku ini
!" Tiba-tiba seorang di antara para pencangkul itu berkata, "Nah, inilah kerangka
Khu Tiong ! Ada anak panah menembus tulang-tulang iganya."
"Yang satu ini tentu tulang kerangka Ma Gi kata pencangkul yang lain.
Tulang-tulang itu lalu diangkat dan dipisahkan menjadi dua bungkus. Dan pada
saat itu, Siauw Eng dan Cin Pau tak kuat menahan kemarahan hati mereka lebih
lama lagi. Dengan pedang terhunus mereka keluar dari tempat persembunyian dan
berseru, "Orang-orang rendah berhati binatang !"
Secepat kilat mereka lalu menyambar ke arah para pencangkul yang sedang
membungkus tulang-tulang itu dan, beberapa tendangan mereka membuat para
pencangkul itu jatuh bangun dan ada pula yang terlempar ke dalam lubang kuburan
yang mereka gali tadi. Cin Pau lalu mengambil bungkusan tulang ayahnya yang tadi
telah dilihatnya dari tempat persembunyian, sedangkan Siauw Eng lalu menyambar
bungkusan tulang ayahnya pula.
Dengan amarah yang meluap-luap, Siauw Eng menerjang kepada nyonya Gu Keng Siu
sedangkan Cin Pau lalu menerjang Can Kok. Akan tetapi, tiba-tiba ketiga orang
panglima itu membentak keras. Ketika Siauw Eng menyerang ibunya, Gu Liong cepat
menangkis dan terjadi pertempuran di antara kedua orang muda ini, akan tetapi
oleh karena kepandaian Gu Liong memang jauh berada di bawah tingkat kepandaian
Siauw Eng, sebentar saja pedangnya telah terpental.
Seorang panglima yang bertubuh tinggi besar lalu maju dengan golok di tangan.
Ini adalah panglima pilihan dari kaisar, yang bernama Mau Kun Liong. Tenaganya
besar dan kepandaiannya tinggi sehingga ketika ia menangkis pedang Siauw Eng,
gadis ini menjadi terkejut karena ternyata bahwa tangkisan itu telah membuat
telapak tangannya terasa pedas. Ia berlaku hati-hati sekali dan melawan dengan
ilmu pedang Sin-coa Kiamhwat yang lihai, namun perwira tinggi besar itu dapat
melawannya dengan baik. Sementara itu, Can Kok yang diserang oleh Cin Pau, melompat mundur dengan
ketakutan. Perwira yang licik ini sudah pernah melihat kehebatan sepak terjang
Cin Pau, maka sekarang tentu saja ia tidak berani menghadapi pemuda gagah
perkasa ini seorang diri. Cin Pau mendesak terus, akan tetapi tiba-tiba dua
orang perwira yang gagah maju menyambutnya dengan golok mereka. Dua orang ini
adalah Oey Houw dan Oey See In yang mendapat julukan Tiang-an Ji-Koai-To atau
Dua Golok Setan dari Tiang-an. Memang permainan golok kedua orang she Oey ini
hebat sekali. Golok mereka lebar dan Koleksi Kang Zusi
tipis, tajamnya bukan main dan karena golok mereka amat ringan sedangkan
tenaganya amat besar, maka gerakan mereka juga cepat sekali hingga golok yang
lebar itu merupakan sinar putih yang berkelebatan bagaikan dua ekor naga berebut
mustika. Cin Pau diam-diam terkejut melihat kegagahan dua orang panglima kaisar ini dan
tahulah dia bahwa Can Kok telah mendapat bantuan panglima-panglima berkepandaian
tinggi dari istana. Ketika ia mengerling ke arah Siauw Eng, ia mendapat
kenyataan bahwa dara baju merah itupun sedang menghadapi seorang panglima tinggi
besar bersenjata golok pula. Melihat permainan golok lawan Siauw Eng itu, diamdiam ia mengeluh karena ketiga orang ini benar-benar merupakan lawan tangguh,
sedangkan di situ masih terdapat Can Kok, Gu Liong, dan banyak anggauta tentara.
"Eng-moi, mari pergi !!" serunya keras dan oleh karena keadaan telah mulai gelap
dan ternyata lawannya amat tangguh, Siauw Eng juga merasa bahwa lebih baik
melarikan diri oleh karena sekarang tulang rangka ayahnya telah berada di
tangannya. Ia lalu mengeluarkan jurus berbahaya dari Sin-coa Kiamhwat dan
pedangnya menyapu ke arah pinggang dan terus dibalikkan pula menyapu kaki lawan.
Gerakan ini cepat dan dahsyat, maka Mau-ciangkun tidak berani menangkis dan
melompat tinggi ke belakang hingga Siauw Eng mendapat kesempatan untuk melompat
jauh dan hendak melarikan diri.
Akan tetapi, karena ia tidak menduganya dan berlaku kurang hati-hati, tiba-tiba
ia merasa punggungnya sakit sekali. Untung ia telah mengerahkan tenaganya untuk
menolak serangan ini dan piauw yang menyerang punggungnya itu hanya menancap
sedikit, akan tetapi cukup untuk membuat ia merasa sakit dan pundaknya terasa
kaku. Cin Pau telah dapat melompat jauh, akan tetapi, ketika ia melihat betapa Siauw
Eng telah terkena piauw yang dilepas oleh Mau-ciangkun, ia menjadi terkejut
sekali. Cepat ia mengeluarkan biji-biji caturnya dan ketika ia mengayun tangan,
dua buah biji catur melayang ke arah pelepas piauw yang melukai Siauw Eng itu.
Mau Kun Liong cepat berkelit, akan tetapi sebuah biji catur lagi tetap saja
melanggar lehernya hingga ia roboh sambil berteriak ngeri. Kembali Cin Pau
mengayunkan tangannya empat biji catur melayang ke arah dua orang lawannya tadi
yang juga hendak mengejar. Akan tetapi kedua saudara Oey ini sudah tahu akan
kelihaian biji catur Cin Pau, maka dengan golok di tangan diputar cepat mereka
berhasil menyampok biji-biji catur itu.
"Kejar mereka ! Kejar pemberontak-pemberontak itu !" Can Kok berseru marah,
hatinya mendongkol sekali melihat betapa kedua orang muda itu kembali berani
muncul, bahkan telah mencuri tulang kerangka yang ia suruh gali tadi.
Akan tetapi, Cin pau telah mempergunakan kesempatan itu untuk menghampiri Siauw
Eng yang berlari sambil terhuyung-huyung, lalu ia memegang tangan gadis itu dan
terus diajak lari cepat. Kawanan perwira mencoba untuk mengejar, akan tetapi
malam telah menjelang datang dan keadaan di hutan itu mulai menjadi gelap.
Mereka merasa ngeri terhadap biji-biji catur Cin Pau yang berbahaya itu, maka
mereka membatalkan maksud hendak mengejar terus, bahkan kedua saudara Oey lalu
menolong Mau Kun Liong yang menjadi kurban biji catur Cin Pau yang ganas itu.
Untung sekali biji catur itu hanya mendatangkan luka dan memutuskan urat kecil
Pembakaran Kuil Thian Lok Si Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
saja, kalau dilepas dengan maksud membunuh, tentu jiwa Mau-ciangkun takkan
tertolong lagi. Setelah berlari jauh Siauw Eng mengeluh dan Cin Pau lalu mengajaknya berhenti.
"Kau terluka, Siauw Eng ?" tanyanya, karena biarpun tadi ia melihat gadis itu
terhuyung-huyung setelah panglima tinggi besar itu melepas piauw, akan tetapi di
dalam gelap ia tidak melihat bagian mana yang terluka.
"Punggungku ..... aku kurang hati-hati dan piauw itu sama sekali tidak
bersuara ..... " kata Siauw Eng yang melepaskan buntalan kerangka di atas tanah
dan ia sendiripun lalu menjatuhkan diri duduk di atas rumput. Cin Pau juga
meletakkan bungkusan kerangka ayahnya pula dan berlutut di dekat Siauw Eng.
"Di Punggung " Bagaimana rasanya ?"
"Tidak apa-apa, hanya ........ piauw itu masih menancap agaknya."
"Jangan kau bergerak, biar aku mencabutnya." Sambil berkata demikian, di dalam
gelap Cin Pau meraba punggung gadis itu. "Benar saja, sebatang piauw yang licin
dan kecil menancap di punggung, dekat pundak kanannya.
"Biar aku membuat api dulu, jangan kau banyak bergerak !" kata Cin Pau yang lalu
membuat api dari kayu-kayu kering.
Koleksi Kang Zusi "Jangan, Cin Pau, nanti mereka tahu tempat kita."
"Tidak apa, biar mereka datang kalau berani. Mengobati lukamu lebih penting lagi
dan bagaimana aku bisa mengobatinya di tempat yang gelap ?"
Setelah api unggun itu menyala, Cin pau lalu memeriksa punggung Siauw Eng dan
ternyata bahwa piauw itu bentuknya licin, kecil dan panjang bulat. Oleh karena
piauw ini licin dan bulat, maka ketika dilontarkan tidak mendatangkan banyak
suara, laju lurus seperti ular menyambar.
"Siauw Eng, terpaksa aku merobek bajumu di bagian punggung ini," kata Cin Pau
agak ragu-ragu dan malu. Gadis itu hanya mengangguk sambil menggigit bibir.
Setelah pemuda itu merobek pakaian Siauw Eng di bagian yang terluka, maka
terlihat betapa piauw itu menancap di kulit gadis yang halus dan putih itu.
"Awas, aku mencabutnya, jangan banyak bergerak !" Siauw Eng menahan sakit sambil menggigit bibirnya dan peluh memenuhi
keningnya karena Cin Pau harus berlaku hati-hati sekali dalam mencabut piauw itu
karena ternyata bahwa ujung senjata rahasia ini dipasangi kaitan kecil. Kalau
saja ia kurang hati-hati mencabutnya, tentu kaitan itu akan terlepas dan
tertinggal di dalam daging hingga membahayakan luka di punggung itu.
Sebagaimana diketahui, ibu Cin Pau, yaitu Lin Hwa adalah puteri seorang ahli
pengobatan yang juga mewarisi kepandaian ayahnya itu, maka Cin Pau juga mengerti
tentang pengobatan, mendapat pelajaran dari ibunya hingga ia selalu membawa
bekal obat bubuk untuk menjaga kalau-kalau ia terluka, terutama sekali membawa
obat-obat yang khusus digunakan sebagai penolak dan penyembuh luka terkena
senjata beracun. Akan tetapi, setelah memeriksa dengan teliti, ia mendapat kenyataan bahwa
biarpun piauw dari perwira tinggi besar itu bisa membahayakan jiwanya namun
tidak mengandung racun hingga luka itu hanya nampak merah karena keluarnya
darah. Ia menjadi lega dan setelah menaruh obat pada luka itu, ia lalu
memberikan mantelnya kepada Siauw Eng untuk dipakai menutupi bajunya yang bolong
di bagian punggung itu. Setelah diberi obat, dan piauw itu dicabut dari punggungnya. Siauw Eng merasa
enak dan tidak sakit lagi, maka gadis ini lalu menyandarkan tubuhnya pada
sebatang pohon di dekat api unggun dan tak lama kemudiania tertidur pulas. Cin
Pau tidak mau mengganggu, bahkan ia lalu menyelimutkan ujung mantel yang panjang
itu pada kedua kaki Siauw Eng, lalu duduk menjaga dekat api unggun. Entah
mengapa, semenjak saat bertemu dengan Siauw Eng yang dikeroyok oleh perwiraperwira, ia merasa seakan-akan ia mempunyai tugas untuk membela dan melindungi
gadis ini. Pada keesokkan harinya, Cin Pau menyatakan bahwa ia hendak membakar tulangtulang kerangka kedua ayah mereka itu.
"Tulang-tulang ini tidak baik dibawa kemana-mana, bahkan berbahaya sekali. Dulu
ibu pernah bercerita bahwa tulang-tulang manusia yang sudah lama terkubur di
dalam tanah apabila dikeluarkan kadang-kadang mengandung racun yang jahat dan
berbahaya bagi manusia hidup. Maka, lebih baik kita sempurnakan tulang-tulang
kerangka kedua ayah kita ini, kemudian abunya kita bawa ke Kunlun-san untuk
memberitahukan dan memberikannya kepada ibuku dan selanjutnya mengubur abu ini
secara baik-baik. Sebelum kita bertindak lebih jauh, aku hendak minta nasehat
suhu dan ibu." "Terserah kepadamu, Cin Pau, akan tetapi, aku takkan bisa hidup bahagia sebelum
membalas dendam kepada semua perwira jahat itu dan membunuh kaisar yang telah
menghukum keluarga kita !" Gadis ini masih merasa sakit hati dan marah sekali
hingga cita-cita satu-satunya yang terkandung dalam hatinya hanya membalas
dendam. "Memang, kita harus membalas dendam, akan tetapi kurang baik kalau kita
bertindak secara sembrono dan menuruti hawa nafsu belaka. Dalam pandanganku,
tidak semua perwira busuk dan jahat belaka, di antaranya banyak pula yang baik,
seperti ayah tirimu itu, kurasa tak patut kalau ia dimasukkan daftar perwiraperwira jahat." Siauw Eng menggigit bibirnya, "Ia ..... ia telah membawa lari ibu, ia .... ia
telah membujuk ibuku ...."
Koleksi Kang Zusi Cin Pau menarik napas panjang. Ia tahu bahwa gadis ini terlalu terluka hatinya
dan terlalu keras kepala, hingga kurang baik kalau terlalu didesak dan dibantah.
"Betapapun juga, harus diingat bahwa keadaan mereka itu kuat sekali. Baru tiga
orang perwira yang membantu Can Kok tadi saja sudah merupakan lawan-lawan yang
tangguh, apalagi kalau ditambah Kim-i Lokai dan yang lain-lain. Kita harus minta
bantuan suhu dan juga ayah angkatku."
"Kau takut ?" tiba-tiba timbul pula kekerasan hati Siauw Eng. Memang gadis ini
pemberani sekali dan boleh dikata ia tidak kenal arti takut dalam melaksanakan
cita-citanya. Cin Pau menggeleng-geleng kepala. "Aku tidak takut, Siauw Eng, hanya berhatihati. Apa artinya kalau kita bergerak akan tetapi tidak berhasil bahkan terkena
celaka pula " Bukankah itu berarti usaha kita akan kandas dan sia-sia belaka "
Akan tetapi, biarlah kita rundingkan hal itu nanti saja. Sekarang paling perlu
kita menyempurnakan tulang-tulang kedua ayah kita ini."
Kali ini Siauw Eng tidak membantah. Ia lalu membantu Cin Pau mengumpulkan banyak
kayu kering yang mudah didapat dan dikumpulkan dari dalam hutan itu, lalu
menumpuk kayu itu menjadi dua bagian. Setelah itu, atas petunjuk-petunjuk
Cinpau, mereka lalu mengatur tulang-tulang itu sedapat-dapatnya di tempat yang
betul hingga merupakan kerangka yang utuh, dibaringkan telentang dan berjajar.
Siauw Eng melakukan pekerjaan ini sambil menangis terisak-isak hingga Cin Pau
juga tidak dapat menahan keluarnya air mata.
"Siauw Eng ...... hati-hatilah kau, jangan menggunakan tanganmu untuk meraba
mukamu. Biarkan saja air matamu mengalir turun, dan sekali-kali kau tidak boleh
menggunakan tanganmu untuk menjamah mukamu. Perhatikan ini baik-baik, Siauw Eng,
demi keselamatanmu sendiri !"
Siauw Eng mengangguk-angguk dan menahan mengalirnya air mata seberapa dapat.
Akhirnya selesailah pekerjaan itu dan Cin Pau lalu mencampurkan semacam obat
bubuk putih dengan air dan mereka lalu mencuci tangan dengan campuran obat itu
untuk membersihkan dan membinasakan kuman-kuman yang mungkin menempel di tangan
mereka dari tulang-tulang itu.
Keduanya lalu berlutut di depan tumpukan tulang itu sambil mengheningkan cipta,
memohon berkah dari roh ayah masing-masing. Setelah itu, mereka lalu menyalakan
api yang membakar kayu-kayu kering itu dengan cepat.. Oleh karena kayu-kayu yang
ditumpuk di bawah, di pinggir dan di atas tulang-tulang itu kering sekali, maka
dengan mudah kayu-kayu itu dimakan api hingga sebentar saja api berkobar hebat
dan asapnya bergulung-gulung ke atas.
Angin bertiup perlahan seakan-akan tangan-tangan yang tidak kelihatan membantu
mengipasi api itu hingga menjadi makin hebat dan panas. Kedua anak muda itu
berlutut lagi sambil memandang api yang membakar tulang-tulang ayah mereka.
Setelah api yang membakar tulang-tulang itu padam, maka semua tulang rangka
telah menjadi abu. Dengan hati-hati, teliti, dan penuh hormat kedua orang muda itu lalu
mengumpulkan abu ayah mereka ke dalam kain membungkus tulang tadi. Mereka begitu
asyik dalam pekerjaan itu hingga tidak tahu bahwa sepasang mata memandang mereka
dari balik pohon dengan penuh perhatian. Kemudian pemilik sepasang mata itu,
seorang pengembala, keluar dari tempat mengintainya dan menghampiri mereka lalu
menegur, "Jiwi ini sedang mengapakah " Apakah yang jiwi bakar dan itu abu apakah ?"
Cin Pau dan Siauw Eng menengok, dan ketika Siauw Eng melihat bahwa yang datang
adalah pengembala penanam jenazah ayahnya, ia lalu berkata kepada Cin Pau.
"Inilah dia orangnya yang telah begitu baik hati untuk mengubur jenazah kedua
orang tua kita." Cin Pau segera berdiri dan menjura kepada orang itu dengan hormat. "Ah,
kebetulan sekali. Telah lama siauwte ingin sekali bertemu dengan orang budiman
yang telah mengubur jenazah ayah dan pamanku untuk menyampaikan penghargaan dan
pernyataan terima kasihku."
Pengembala itu tersenyum. "Hal yang kecil itu apa artinya untuk disebut-sebut "
Setiap orangpun tentu akan melakukan hal itu apabila ia melihat jenazah sesama
manusia terlantar di tengah hutan. Jadi mereka itu adalah ayah kalian " Bagus,
bagus, aku merasa girang sekali bahwa akhirnya mereka ada juga yang mengaku. Tak
ada yang lebih menyedihkan bagi orang yang telah mati kecuali kalau tidak ada
orang yang mau mengakui namanya lagi. Dan jiwi ini membakar apakah ?"
Koleksi Kang Zusi "Kami telah membakar tulang-tulang rangka ayah kami dan ini adalah abu mereka,"
kata Siauw Eng. Pengembala itu mengangguk-angguk. "Kalian orang-orang muda yang berbakti."
Kemudian ia memandang sekeliling seakan-akan takut kalau kata-kata yang hendak
diucapkannya ini terdengar oleh orang lain. "Jiwi aku telah tahu bahwa kedua
kuburan itu telah dibongkar orang. Hal ini membuat aku merasa penasaran dan
heran, maka aku lalu mencari keterangan dan ..... ternyata bahwa kuburan itu
adalah kuburan kedua orang she Khu dan Ma yang namanya telah menggemparkan
seluruh dunia. Orang-orang boleh menyebutnya pemberontak, akan tetapi bagiku tetap mereka itu
orang-orang gagah yang gugur dengan pedang di tangan. Makin banggalah hatiku
karena akulah orangnya yang telah menguburkan mereka. Di kota raja aku telah
mendengar hal yang aneh-aneh."
"Apalagi yang kau dengar ?" tanya Cin Pau tertarik.
"Aku mendengar banyak sekali hal-hal aneh, diantaranya bahwa kabarnya kedua
orang gagah yang jenazahnya kukubur itu masih mempunyai keturunan, bahkan
keturunan yang seorang adalah seorang gadis muda yang semenjak kecil dipelihara
oleh seorang perwira ! Kiranya kaulah nona, anak itu !! Dan anak yang seorang
lagi, yang dikabarkan sebagai pemuda baju putih yang gagah perkasa, tentu kau
sendiri ! Ah, ah, dan sekarang secara kebetulan sekali aku bertemu dengan jiwi
dan menyaksikan betapa tulang-tulang suci kedua enghiong (orang gagah) ini
diabukan. Sungguh aku seorang yang beruntung sekali, tidak seperti perwira she
Gak yang malang ....." Ia menarik napas panjang.
"Perwira she Gak yang malang " Ada apakah dengan dia ?" tanya Cin Pau penuh
perhatian, sedangkan biarpun ia diam saja, namun hati Siauw Eng berdebar
mendengar nama ayah tirinya disebut-sebut.
Kembali pengembala itu menghela napas, "Memang dunia ini aneh dan kadang-kadang
perbuatan baik dan benar tidak mendapat upah dan hadiah, bahkan mendatangkan
malapetaka. Oleh karena menolong ibu nona ini dan memelihara nona sampai besar,
sekarang perwira she Gak itu ditangkap oleh kaisar, beserta isterinya, diseretseret di sepanjang jalan dan diperlakukan dengan penuh hinaan oleh perwira
Can ......" Bagian 17. Penyelesaian Dendam Turunan (Tamat)
Tiba-tiba Siauw Eng melompat berdiri, lalu mengikatkan buntalan abu di atas
punggungnya dan secepat kilat ia lalu lari menuju ke Tiang-an. Mendengar betapa
ibu dan ayah tirinya ditangkap dan diseret-seret oleh Can Kok, ia tak dapat
menahan gelora dan kemarahan hatinya lagi, lalu pada saat itu juga melompat
pergi hendak menolong ayah tirinya, terutama ibunya dan menghukum kepada perwira
Can yang menghina orang tuanya itu.
"Siauw Eng, tunggu .... !" Cin Pau berseru sambil mengikatkan pula buntalan abu
tulang-tulang ayahnya dipunggungnya dan berlari mengejar. Oleh karena memang
ilmu berlari cepat dari Cin Pau masih lebih tinggi tingkatnya, maka ia berhasil
menyusul gadis itu dan memegang tangannya.
"Nanti dulu, Eng-moi. Kau mau kemana ?"
"Kemana lagi " Apakah aku harus membiarkan saja ibuku ditawan dan dihina orang "
Akan membunuh anjing she Can itu dan berusaha menolong ibu !" jawabnya dengan
marah sekali. Cin Pau maklum bahwa kehendak gadis ini takkan dapat ditahan atau dihalanginya
lagi, maka terpaksa ia lalu berkata sungguh-sungguh, "Marilah, adikku, mari kita
pergi bersama. Biar kita berdua memberi pelajaran kepada penjahat-penjahat kejam
itu. Akan tetapi, menurut pendapatku, soal membalas dendam kepada Can Kok adalah
soal kedua. Yang terpenting sekarang ialah kita harus berusaha membebaskan dan
menolong Gak-ciangkun dan ibumu !"
Biarpun baru sebentar berkumpul dengan pemuda itu, namun Siauw Eng telah
mendapat keyakinan betapa luas pandangan Cin Pau dan betapa cerdiknya pemuda
itu, maka ia lalu menurut saja.
Demikianlah, mereka berlari-lari cepat menuju ke kota raja.
Cin Pau maklum bahwa mereka berdua sedang dicari-cari dan pintu gerbang dijaga
keras sekali, maka ia mengajak Siauw Eng bersembunyi di dekat tembok kota dan
menanti datangnya malam. Koleksi Kang Zusi ****** Malam itu gelap gulita, karena udara tertutup awan tebal. Keadaan di rumah
tahanan di mana Gak Song Ki dan Kwei Lan dikeram, sunyi sekali. Beberapa orang
penjaga dengan golok terhunus menjaga di sekeliling rumah itu, dan tiga orang
penjaga lain duduk di ruang dalam depan pintu kamar tahanan sambil main dadu.
Dua bayangan yang gesit sekali gerakannya mengintai dari jauh, memandang ke arah
rumah tahanan itu dengan mata tajam. Mereka ini adalah Cin Pau dan Siauw Eng
yang telah berhasil melewati tembok kota tanpa terlihat oleh penjaga.
Ketika dua orang penjaga sedang berjalan agak jauh dari rumah tahanan itu, tibatiba mereka roboh tanpa dapat mengeluarkan teriakan sedikitpun karena jalan
darah thian-hu-hiat mereka telah tertotok oleh jari-jari tangan Cin Pau dan
Siauw Eng yang cepat dan tepat gerakannya. Dengan kaki mereka, kedua orang muda
itu menyepak tubuh para penjaga yang telah menjadi lemas dan pingsan itu ke
tempat gelap. Kemudian mereka terus maju ke dekat pintu gerbang di mana duduk
pula tiga orang penjaga di atas bangku sambil bercakap-cakap.
"Siapa ?" seorang di antaranya membentak ketika melihat dua bayangan berkelebat
di dekat mereka, akan tetapi sebagai jawaban, tangan Cin Pau dan Siauw Eng
bergerak cepat dan ketiga orang itu pun telah tertotok, seorang oleh Siauw Eng
dan dua orang oleh Cin Pau. Kemudian kedua anak muda yang gagah itu terus masuk
ke dalam. Tiga orang penjaga yang sedang main dadu terkejut sekali melihat
kedatangan mereka yang tiba-tiba itu, akan tetapi dengan cepat Cin Pau dan Siauw
Eng dengan pedang di tangan telah melompat dan menodong dengan ujung pedang.
"Jangan bergerak dan banyak ribut !" kata Cin Pau dan sebelum ketiga orang
penjaga itu sempat melawan, ia mengulurkan tangan kirinya dan menotok pula. Ilmu
totok dari Cin Pau memang ajaib karena ia memperoleh didikan khusus dari Tiauw
It Lojin yang menjadi ahli dalam ilmu kepandaian ini.
Mereka lalu membuka pintu kamar tahanan, mempergunakan kunci yang berada dalam
kantong seorang di antara ketiga penjaga itu. Ketika pintu terbuka, Siauw Eng
menubruk maju dan ia menangis sambil memeluk ibunya yang duduk menyandar tembok
dengan wajah pucat dan tubuh lemas.
Sedangkan ayah tirinya ternyata telah mengalami pukulan-pukulan karena mukanya
bengkak-bengkak dan iapun duduk di atas lantai menyandar tembok dengan tubuh
lemas. "Siauw Eng .... " Kwei Lan berbisik lemah sambil menangis melihat puterinya
datang. "Ibu ...... ibu, ampunkan anakmu ibu ......... mari ibu dan ayah ikut aku pergi
dari sini !" "Tak usah, Siauw Eng, tinggalkan kami, " kata Gak Song Ki dengan angkuh.
Mendengar ucapan ayah tirinya ini, Siauw Eng lalu menjatuhkan diri dan memeluk
ayah tirinya. "Ayah .... ayahku..... ampunkanlah aku. Aku marah kepada ayah dalam keadaan tak
sadar dan gelap pikiran. Mari aku tolong kau ayah, mari kita keluar dan
mengamuk, kita bunuh anjing Can Kok itu. Kalau perlu kita menyerbu ke istana dan
membunuh Kaisar agar orang-orang tahu bahwa ayah dan anak perwira Gak bukanlah
orang-orang lemah yang boleh dihina sesukanya."
Runtuhlah air mata Gak Song Ki mendengar ucapan anak tiri yang amat disayangnya
ini. "Jangan berkata demikian, anakku, kau tahu bahwa aku adalah seorang perwira
yang setia." "Akan tetapi kau difitnah orang, ayah !"
Pembakaran Kuil Thian Lok Si Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gak Song Ki menggeleng-gelengkan kepala sambil menghela napas.
"Biarlah, memang aku pantas mendapat hukuman ini. Aku pantas mendapat hukuman
mati. Siauw Eng, kau tidak tahu, sekarang lebih baik aku terus terang
saja ...... aku .... akulah yang dulu diberi tugas memimpin penyerbuan pada
keluarga Ma, dan .... dan aku pernah menendang ibu mertua Kwei Lan ketika nenek
itu hendak membela menantunya. Aku masih ingat baik-baik hal ini ....dan ... dan
penyesalan saja tiada artinya. Aku harus terhukum ..... aku berdosa, nak ....."
Koleksi Kang Zusi Terdengar isak tangis dari Siauw Eng dan Kwei Lan. Pada saat itu para penjaga
lain telah dapat menemukan tubuh kawan-kawan mereka yang tertotok, maka ramailah
para penjaga itu menyerbu ke dalam kamar tahanan.
Cin Pau dengan pedang di tangan menjaga di pintu dan segera pertempuran hebat
terjadi. Pemuda ini dikeroyok oleh belasan orang penjaga, akan tetapi pedangnya
yang bergerak bagaikan seekor naga sakti mengamuk itu membuat belasan
pengeroyoknya tidak berdaya. Bahkan beberapa orang telah roboh kena tendang,
kena pukul, atau tertusuk pedang.
"Siauw Eng, cepat !" kata Cin Pau. "Bawa ayah ibumu keluar dari sini !"
Siauw Eng membujuk-bujuk sambil menangis, akan tetapi Gak Song Ki berkata tegas,
"Tidak anakku. Kalau kami ikut keluar, kami hanya akan menjadi perintang saja dan akhirnya
kalian berdua akan mendapat celaka. Keluarlah kau bersama Cin Pau, ia .... ia
pemuda yang baik dan gagah. Kalau kau memang hendak membalas dendam, bunuhlah
Can Kok. Dia orang jahat dan hatiku akan puas dan biarpun mati, mataku akan
meram karena kau, anakku yang baik, telah dapat membalaskan dendam hatiku
terhadap Can Kok yang khianat dan jahat !"
Siauw Eng menubruk ibunya sambil menangis, "Ibu, ibu ..... kalau kau tidak mau
keluar, bagaimana aku dapat meninggalkan kau dalam keadaan begini ?"
Ibu yang mencintai anaknya itu mendekap kepala Siauw Eng pada dadanya. "Anakku,
aku tak dapat meninggalkan suamiku. Ia amat baik kepadaku dan juga kepadamu,
maka biarlah aku juga menyatakan kesetiaanku dan mengawaninya sampai mati. Kau
pergilah nak, lihat, kawanmu itu terdesak dan dikeroyok, apakah kau tidak mau
membantunya ?" Siauw Eng menengok dan benar saja, sekarang para pengeroyok bertambah banyak
karena seorang penjaga telah lari memberi laporan, bahkan di antara mereka
terdapat beberapa orang perwira. Siauw Eng berseru keras dan segera melompat
membantu Cin Pau dan mengamuk hebat. Makin banyaklah jatuhnya kurban dan tibatiba dari luar terdengar bentakan suara Can Kok yang memberi aba-aba untuk
mengurung makin rapat. "Siauw Eng, terpaksa kita harus pergi," kata Cin Pau dengan kuatir. Siauw Eng
sebetulnya tidak mau pergi, akan tetapi dengan suara memilukan, ibunya berseru,
"Eng-ji, pergilah kau. Kalau sampai kau mendapat celaka di sini, aku takkan mau
mengampunkan kau !!" "Ibu ...." Siauw Eng menahan isaknya dan terpaksa ia lalu menyerbu hebat bersama
Cin Pau membuka jalan keluar. Kemudian, sebelum Can Kok dan perwira-perwira lain
sempat masuk membantu karena tempat itu sudah penuh sesak dengan para tentara
yang datang mengurung. Cin Pau dan Siauw Eng telah dapat keluar dan melompat ke
atas genteng. Ketiga orang panglima yang membantu Can Kok, yakni Mau Kun Liong, Oey Houw dan
Oey See In, mengejar, akan tetapi Cin Pau menghajar mereka dengan biji-biji
caturnya hingga mereka itu terpaksa melompat turun kembali karena mereka merasa
takut terhadap serangan biji-biji catur yang istimewa itu.
Kesempatan ini digunakan oleh Cin Pau dan Siauw Eng untuk menghilang di dalam
gelap. Dengan marah sekali Can Kok lalu membawa kedua orang tawanannya pindah tempat,
dan tempat tahanan baru ini terjaga keras sekali sampai tiba saatnya keputusan
hukuman dijatuhkan oleh Kaisar.
Sedangkan Siauw Eng sambil menangis sedih pergi mengikuti Cin Pau dan lari
keluar dari kota Tiang-an.
"Cin Pau, apakah yang harus kita lakukan sekarang " Ayah dan ibu tidak mau
keluar dari tempat tahanan. "Ah, ....... apakah yang harus kulakukan ?"
Cin Pau menarik napas panjang. Ia merasa kasihan sekali kepada Siauw Eng, dan
dengan suara menghibur ia berkata, "Ayah tirimu benar-benar seorang jantan yang
jujur. Benar bahwa ia dulu telah melakukan kesalahan, akan tetapi itu adalah
karena terdorong oleh rasa sukanya kepada ibumu dan karena kini ia telah membuat
pengakuan dan menyesalkan kesalahannya, maka ia dapat disebut seorang gagah.
Juga kesetiaannya terhadap Kaisar patut dihormati karena memang demikianlah
Koleksi Kang Zusi seharusnya seorang perwira. Kita hanya dapat berdoasemoga Kaisar akan dapat
membedakan mana perwira yang setia dan mana yang curang. Orang yang paling jahat
dalam hal ini adalah Can Kok. Dia yang memusuhi keluarga kita, dia yang membasmi
dan membakar kuil Thian Lok Si, dan sekarang dia pula yang menjadi gara-gara
hingga ayah ibumu tertawan !"
"Kita harus membunuhnya sekarang juga !" kata Siauw Eng dengan marah sekali.
"Memang, kita harus berusaha membinasakan penjahat ini, sesuai dengan permintaan
ayah tirimu tadi." Dan pada keesokkan harinya, dengan kepandaiannya tentang obat-obatan, Cin Pau
melumuri mukanya dengan semacam bedak hingga kulitnya menjadi kekuning-kuningan.
Ia mengganti model ikatan rambutnya dan mengganti pakaiannya pula, sedang Siauw
Eng lalu berpakaian sebagai seorang anak muda pelajar yang tampan sekali. Pedang
mereka, mereka sembunyikan di dalam baju yang lebar dan longgar. Dengan dandanan
seperti ini, siang-siang mereka dapat masuk melalui pintu gerbang kota tanpa
menimbulkan kecurigaan. Mereka langsung menuju ke gedung Can Kok.
Cin Pau dan Siauw Eng terlalu memandang rendah kepada perwira ini. Sebetulnya
dalam siasat dan tipu muslihat, kedua anak muda ini bukanlah lawan Can Kok yang
sudah berpengalaman dan yang memang pada dasarnya cerdik dan penuh akal. Ia
sudah dapat menduga akan hal ini, maka diam-diam ia menaruh mata-mata di tiap
pintu gerbang, bahkan di seluruh kota ia menyebar mata-mata. Oleh karena itu,
ketika Cin Pau dan Siauw Eng memasuki pintu gerbang, biarpun mereka menyamar,
namun mereka ini hanya dapat mengelabuhi mata para penjaga saja. Mata para matamata yang cerdik tak dapat mereka tipu dan mereka telah tahu bahwa kedua orang
muda ini adalah orang-orang yang harus mereka cari dan awasi. Maka sebelum Cin
Pau dan Siauw Eng tiba di depan rumah gedung Can-ciangkun, perwira ini telah
lebih dahulu mengetahuinya.
Ketika Cin Pau dan Siauw Eng melihat betapa rumah gedung itu sunyi sekali,
bahkan di luar rumah juga tidak terlihat adanya orang atau penjaga, mereka
menjadi girang sekali dan dengan cepat mereka lalu masuk ke dalam halaman depan.
Mereka bermaksud untuk berpura-pura mencari Can-ciangkun dan percaya bahwa
penjaga-penjaga tentu takkan mengenal mereka. Akan tetapi oleh karena tidak
melihat adanya orang di situ, mereka terus maju sampai di pintu depan yang
terbuka lebar. Dari pintu ini mereka melihat Can Kok duduk di ruang depan, duduk
seorang diri. Ketika mendengar suara tindakan mereka, perwira itu menengok dan
pada mukanya terbayang keheranan seperti biasanya orang melihat datangnya tamutamu yang tak dikenal. "Jiwi siapakah " Dan ada keperluan apa ?" tanyanya dengan suara biasa dan
berdiri dari bangkunya. "Kami hendak mohon bertemu dengan Can-ciangkun," kata Cin Pau sedangkan Siauw
Eng menahan marahnya sedapat mungkin. Mereka melangkah maju mendekati perwira
itu. "Can-ciangkun tidak berada di rumah," jawab Can Kok sambil menjura dan pada saat
ia menjura itu, dari tangannya melayang dua batang piauw yang semenjak tadi
telah disediakan. Cin Pau cepat mengelak, demikianpun Siauw Eng dan kedua orang
muda ini cepat-cepat mencabut keluar pedang mereka dan menyerang. Akan tetapi,
sambil tertawa Can Kok melarikan diri ke dalam, dikejar oleh Cin Pau dan Siauw
Eng. Mereka kini berada di ruang dalam yang luas dan tiba-tiba dari seluruh
penjuru muncul Mau Kun Liong, Oey Houw, Oey See In, dan beberapa orang perwira
lain. Mereka ini serentak mengurungnya dengan serangan-serangan hebat.
Bukan main terkejut hati Siauw Eng dan Cin Pau melihat hal ini. Ternyata bahwa
perwira she Can itu benar-benar luar biasa cerdiknya. Akan tetapi, hal ini
mereka ketahui setelah terlambat karena perwira-perwira itu tidak memberi
kesempatan kepada mereka untuk banyak berpikir dan menyesali kesembronoan
sendiri. Senjata mereka bergerak cepat bagaikan hujan menyerang secara bertubitubi kepada dua orang muda itu.
Cin Pau dan Siauw Eng menggigit bibir dan memutar-mutar pedang dengan hebatnya.
Mereka mengerti bahwa keadaan mereka berbahaya sekali, akan tetapi mereka tidak
mau menyerah begitu saja dan melakukan perlawanan nekad dan mati-matian. Akan
tetapi, kepandaian ketiga orang panglima itu yang khusus diperbantukan untuk
menghadapi lawan-lawan tangguh ini, cukup cekatan dan dengan bantuan perwiraperwira lain, keadaan Cin Pau dan Siauw Eng benar-benar berbahaya dan terdesak
sekali. Adapun Can Kok yang maklum bahwa kedua orang muda itu sengaja datang hendak
mencari dan membunuhnya, telah pergi bersembunyi dan mengintai pertempuran itu
dengan hati girang. Koleksi Kang Zusi Cin Pau dan Siauw Eng segera mencari jalan keluar karena kedua anak muda itu
maklum bahwa kalau mereka tidak dapat melarikan diri, akhirnya mereka tentu akan
binasa. Maka dengan mengerahkan tenaga dan kepandaian, Cin Pau dan Siauw Eng
dapat merobohkan masing-masing seorang lawan.
Kegagahan ini membuat perwira-perwira lain menjadi gentar, kecuali tiga orang
panglima itu yang masih mendesak dan mengurung dengan rapatnya.
Sementara itu, diam-diam Can Kok mengerahkan banyak sekali tentara mencegat di
halaman depan sehingga jalan keluar bagi Cin Pau dan Siauw Eng tertutup. Hal ini
diketahui pula oleh Cin Pau dan Siauw Eng karena para tentara itu berteriakteriak di luar rumah, maka tentu saja kedua orang muda ini menjadi makin
gelisah. Tiba-tiba Cin Pau memutar pedangnya dengan gerak tipu Hing Sau Chian
Kun atau serampang bersih ribuan tentara. Diputar-putar pedangnya terus ke bawah
hingga beberapa kali pedangnya menyerampang ke arah lawan-lawannya yang terpaksa
mengelak mundur, dan kesempatan ini dipergunakan oleh Cin Pau untuk memegang
lengan kiri Siauw Eng dan menariknya lari ke dalam. Ia maklum bahwa jalan keluar
telah tertutup, maka jalan satu-satunya ialah lari ke dalam dan mencoba untuk
keluar dari pintu belakang.
Ketiga orang panglima dan lima orang perwira mengejar mereka. Cin Pau dan Siauw
Eng yang berlari secara membuta karena tidak tahu harus mengambil jalan ke mana,
memasuki pintu dan tiba di dalam sebuah kamar yang mewah dan indah dan di kamar
ini kembali mereka mengalami hal yang mengejutkan lagi betapa lihainya orang she
Can itu. Kamar itu cukup lebar dan mempunyai jendela yang lebar pula. Dari
lubang jendela, Cin Pau dan Siauw Eng dapat melihat bahwa di luar kamar itu
adalah taman bunga yang indah. Maka mereka menjadi girang sekali dan cepat
berlari ke arah jendela itu. Akan tetapi, ketika mereka berlari di atas lantai
yang bertilamkan permadani tebal dan indah itu, tiba-tiba tubuh mereka terjeblos
ke bawah, ke dalam lubang besar yang tertutup permadani. Cin Pau dan Siauw Eng
berseru keras karena terkejut, akan tetapi mereka tidak keburu melompat pergi
dan berikut permadani tebal itu, tubuh mereka melayang ke bawah.
Untung sekali mereka memiliki ginkang yang tinggi hingga mereka bisa
menggerakkan tubuh ketika melayang dan bisa mengatur hingga jatuh mereka dengan
kaki di bawah dan tidak mengalami luka-luka. Akan tetapi, baru saja mereka
terjatuh di dalam sebuah kamar yang berbentuk bulat, tiba-tiba dari kanan kiri
masuk asap putih bergulung-gulung yang tebal. Asap ini berbau pedas sekali dan
biarpun mereka mencoba untuk menahan napas namun asap itu telah membuat mata
mereka pedas dan panas hingga tak dapat dibuka dan hidung telah terasa perih,
Akhirnya Cin Pau dan Siauw Eng tak tahan lagi, sekali saja mereka bernapas dan
menyedot asap putih yang telah memenuhi kamar itu, mereka terguling dalam
keadaan pingsan. Ketika tersadar dan siuman kembali, Cin Pau dan Siauw Eng mendapatkan bahwa
mereka telah terpisah satu sama lain, keduanya berada dalam sebuah kamar
terpisah dan kamar itu terbuat dari pada batu yang kuat dan kokoh sekali. Pintu
tunggal yang terdapat di situ berjeruji besa tebal dan kuat sebesar lengan,
hingga ketika mereka mencoba untuk membetotnya, mereka maklum bahwa tenaga
mereka takkan dapat mematahkan atau menarik besi itu. Mereka telah terkurung
bagaikan burung dalam sangkar, tak berdaya sama sekali. Isi kantong mereka,
pedang, dan bahkan bungkusan abu telah lenyap dirampas orang.
Biarpun mereka tidak terikat kaki tangannya, namun dengan tangan kosong, apakah
daya mereka menghadapi perwira-perwira yang tangguh, terutama Can Kok yang
banyak tipu muslihatnya itu "
Mereka hanya dapat menunggu dan mengambil keputusan untuk melawan mati-matian
apabila mereka datang hendak menangkapnya.
Biarpun kamar mereka terpisah, namun berdekatan sehingga dengan berdiri di dekat
jeruji besi yang merupakan pintu, mereka dapat saling pandang dan dapat pula
bercakap-cakap. Akan tetapi, kini mereka hanya dapat saling pandang saja tanpa
dapat mengeluarkan kata-kata. Akhirnya Cin Pau dapat juga berkata dengan suara
menghibur, "Siauw Eng, baiknya kita masih belum tewas. Dan lebih baik lagi, kita berada di
sini berdua hingga betapapun juga, kita dapat saling membantu. Kalau mereka
datang hendak menangkap, kita melawan dengan mati-matian mengadu jiwa."
"Tentu, aku lebih baik mati dari pada menjadi tawanan di tangan mereka," jawab
Siauw Eng dengan gagah dan sedikitpun gadis ini tidak kelihatan takut hingga
menimbulkan kagum dalam hati Cin Pau.
Tiba-tiba pintu kamar di luar kedua kurungan itu terbuka dan masuklah
berbondong-bondong beberapa orang perwira, dikepalai oleh Can Kok yang tertewa
gembira. Koleksi Kang Zusi "Lihatlah, cuwi, lihatlah ! Pemberontak-pemberontak liar dan ganas ini akhirnya
harus tunduk dan menyerah ditanganku. Ha, ha, ha !"
Yang masuk ternyata selain ketiga orang panglima, juga nampak Gu Liong, Hwee
Lian, dan nyonya Gu Keng Siu. Nyonya Gu Keng Siu nampak gembira sekali dan
sambil menuding kepada kedua orang muda dalam kurungan itu, ia berkata dengan
suaranya yang halus dan nyaring, "Hm, akhirnya kalian tertangkap juga. Baru
puaslah hatiku melihat dua orang keturunan terakhir dari keparat-keparat she Khu
dan Ma mampus dalam keadaan rendah dan sebagai pemberontak-pemberontak jahat !"
Cin Pau dan Siauw Eng cepat membalikkan tubuh dan berdiri membelakangi mereka
dengan tubuh tegak lurus seakan-akan menganggap tidak ada harganya untuk
berhadapan dengan mereka. Mereka tidak melihat betapa mata Hwee Lian menjadi
merah dan juga Gu Liong memandang ke arah Siauw Eng dengan tertegun dan susah.
Sebenarnya Gu Liong amat sayang dan mencintai Siauw Eng dan gadis ini telah lama
dirindukannya. Hanya sikap Siauw Eng yang angkuh dan tinggi hati itulah yang
membuat ia ragu-ragu dan tidak berani menyatakan perasaannya. Ketika mendengar
bahwa Siauw Eng adalah puteri dari Ma Gi, musuh besar yang telah membunuh
ayahnya, timbul kemarahan di dalam hatinya, akan tetapi ia tidak bisa membenci
gadis ini bahkan kini setelah melihat betapa gadis itu tertawan dan maut
menantinya, ia merasa kasihan sekali. Ia tidak tahu bahwa juga Hwee Lian, gadis
yang pendiam dan halus itu, hampir tak dapat menahan air matanya melihat Siauw
Eng dan Cin Pau tertawan. Gadis ini kebetulan saja berada di situ karena diamdiam iapun ingin mendengar nasib kedua orang ini dan karenanya ia selalu
mengikuti Gu Liong. Ia merasa suka sekali kepada Siauw Eng dan kepada Cin Pau
yang baru beberapa kali dilihatnya itu, ia merasa kagum dan juga suka, karena
belum pernah ia melihat seorang pemuda yang gagah perkasa, halus dan sopan serta
tampan akan tetapi sederhana seperti Cin Pau.
"Nah, cuwi sekalian, sekarang amanlah kota raja dengan tertangkapnya dua orang
pemberontak muda ini. Akan tetapi, masih ada bahaya besar mengancam kedudukan
Kaisar selama ketua kuil Thian Lok Si yang jahat itu belum tertawan pula."
Kemudian ia lalu mengajak semua kawannya keluar dari tempat itu.
Tiba-tiba Gu Liong berkata kepada Can Kok dengan suara gemas dan marah, "Canciangkun, perkenankanlah aku membunuh dua orang keparat ini untuk melampiaskan
rasa dendam dan sakit hatiku!" sambil berkata demikian, Gu Liong mencabut
pedangnya dan mendekati pagar besi.
"Benar, biar anakku yang membunuh mereka seperti ayah mereka dulu membunuh
ayahnya !" kata nyonya Gu Keng Siu dengan suara penuh nafsu.
Can Kok tersenyum dan mencegah Gu Liong. "Jangan, jangan terburu nafsu.
Bersabarlah, karena mereka ini harus dibawa menghadap untuk diperiksa perkaranya
oleh Kaisar sendiri. Kalau sudah ada keputusan dari Kaisar, boleh saja kau
hendak menjadi algojonya." Tak seorang pun di antara mereka itu dapat menduga
bahwa Gu Liong yang kelihatan kasar itu sebenarnya sedang menjalankan aksi yang
amat cerdiknya. Ia sengaja memperlihatkan kebencian besar kepada dua orang muda
itu agar mendapat kepercayaan dari Can Kok.
Setelah mereka keluar, Siauw Eng berkata kepada Cin Pau sambil menghela napas
panjang. "Kalau aku dapat lolos, yang hendak kupenggal batang lehernya selain Can Kok si
keparat, juga Gu Liong dan ibunya."
Cin Pau hanya tersenyum dan Siauw Eng merasa heran sekali melihat ketenangan
pemuda ini yang masih dapat tersenyum dalam keadaan seperti ini.
Pembakaran Kuil Thian Lok Si Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Biarpun kau telah berubah menjadi seorang pemuda, namun tetap saja kau masih
galak dan cantik," Cin Pau menggoda dan baru ingatlah Siauw Eng bahwa ia masih dalam keadaan
menyamar sebagai seorang pemuda. Maka iapun ikut tersenyum dan berkata,
"Cin Pau, mati bersama kau membuat aku sedikitpun tidak merasa gentar oleh
karena di mana kau berada, tentu aku akan selalu terhibur." Biarpun kata-kata
ini diucapkan dengan sejujurnya, namun bagi Cin Pau merupakan pengakuan perasaan
hati gadis itu. ****** Koleksi Kang Zusi Malam hari itu, Cin Pau dan Siauw Eng sedikitpun tidak mau tidur. Mereka
khawatir kalau-kalau di waktu tidur, musuh datang menyerang dan menangkap
mereka. Semenjak siang tadi mereka bercakap-cakap hingga kini merasa lelah dan
beristirahat sambil duduk bersamadhi.
Pintu terbuka perlahan dan Siauw Eng yang berada lebih dekat dengan pintu itu
segera membuka matanya. Ia melihat bahwa yang masuk adalah Gu Liong. Ternyata
pemuda ini telah mendapat kepercayaan dan perkenan Can Kok untuk masuk ke situ
dengan alasan hendak menghina dan memperolok-olok kedua tawanan itu.
"Boleh," kata Can Kok sambil tertawa, "Asal kau jangan mengganggu dan melukai
mereka, karena kalau sampai mereka tewas, pahalaku terhadap Kaisar berkurang
besarnya." Siauw Eng ketika melihat Gu Liong masuk, menjadi marah sekali dan memandang
dengan mata berapi. "Ha, ha, ha !" Gu Liong tertawa keras, bahkan terlalu keras dari pada suara
biasanya menurut pendengaran Siauw Eng, "Siauw Eng, Cin Pau ! Kau dua ekor tikus
kecil, akhirnya aku bisa melihat kalian di dalam kurungan, persis seperti dua
ekor tikus masuk jebakan ! Ha, ha, ha!" Kemudian, dengan heran sekali Siauw Eng
melihat Gu Liong mendekati pintu kurungannya dan berbisik, "Siauw Eng,
katakanlah ! Apa yang dapat kulakukan untuk menolongmu ?"
Bukan main terkejut dan terheran hati Siauw Eng. Tak pernah disangkanya bahwa
pemuda ini sebenarnya hendak menolongnya dan bahwa semua lagak yang dibuatnya
tadi semata-mata untuk membodohi Can Kok. Untuk beberapa lama ia hanya memandang
dengan heran dan tak dapat berkata-kata, akhirnya dengan wajah berseri ia
berkata, "Gu Liong, kau baik sekali. Kau carikan pedang untukku!"
Gu Liong berseru lagi keras-keras, "Siauw Eng, perempuan busuk. Kalau saja aku
diberi kesempatan, akan ku tusuk dadamu dengan pedang tajam agar puas rasa
hatiku." Lalu disambungnya dengan bisikan pula, "Baik, Siauw Eng, aku akan
mencarikan pedang untukmu. Ketahuilah, aku ... aku cinta padamu, Siauw Eng,
dan ... dan kau berjanjilah bahwa kelak kalau kau sudah bebas, kau akan ... akan
suka menjadi ... isteriku ... "
"Apa ......?"!!" Siauw Eng bertanya keras-keras sambil membelalakkan kedua
matanya, memandang kepada Gu Liong dengan heran dan marah.
"Berjanjilah, Siauw Eng, dan aku akan mencarikan pedang untukmu, kita tidak
mempunyai banyak waktu ...."
"Tidak, tidak! Bangsat rendah ! Pergi kau dari sini ! Kau kira aku demikian
takut mati hingga sudi berjanji sedemikan rendah " Tidak, lebih baik aku mati !"
Gu Liong membujuk-bujuk lagi akan tetapi Siauw Eng bahkan menjadi makin marah
dan memaki-makinya hingga akhirnya Gu Liong menjadi marah pula.
"Baik, baik ! Kau matilah, matilah tanpa kepala ! Aku ingin melihat kepalamu
yang cantik dan angkuh itu menggelundung di depan kakiku !" Setelah berkata
demikian, Gu Liong lalu meninggalkan tempat itu.
Sunyi keadaan di kamar kurungan itu setelah Gu Liong pergi.
"Bedebah !" tiba-tiba Cin Pau berkata perlahan. "Ku kira tadinya betul-betul
bangsat itu hendak berbuat kebaikan menolong kita."
"Semenjak ia masuk, aku pun telah merasacuriga, tentu ia mempunyai maksud
buruk," kata Siauw Eng dengan mulut cemberut.
Tak lama kemudian, pintu itu terbuka lagi dan kini ..... Hwee Lian lah yang
masuk dengan perlahan. "Apa pula kehendaknya ?" Siauw Eng berpikir sambil tetap menutup matanya dan
mengintai dari balik bulu mata. Hwee Lian memandang ke arahnya, kemudian lalu
terus menghampiri kurungan Cin Pau.
Tanpa berkata apa-apa, gadis itu lalu mengeluarkan sebilah pedang dari balik
lipatan bajunya dan memberikan itu kepada Cin Pau yang menerimanya dengan mata
terbuka karena heran. Koleksi Kang Zusi "Nona .... mengapa kau begini baik hati ........... ?"
Hwee Lian tidak menjawab, hanya sambil menahan isaknya ia lalu membalikkan tubuh
dan berkata perlahan. "Hati-hatilah ....!"
Akan tetapi pada saat itu, Can Kok menerobos masuk dengan muka merah karena
marahnya. "Kau .... pengkhianat !" katanya sambil menyerang Hwee Lian. Gadis itu terkejut dan
melompat sambil mengelak.
"Can-ciangkun, mereka .... mereka adalah sahabat-sahabat baikku semenjak
kecil ... " ia membela diri dan sekali lagi mengelakkan pukulan Can Kok yang
marah. Kemudian Can Kok menarik kembali tangannya yang hendak menyerang terus.
"Biarlah, apa gunanya aku menyerang kau " Kalau aku tidak ingat bahwa kau adalah
puteri Gan-ciangkun dan cucu pangeran Gu, tentu sekarang juga aku binasakan
kau ! Tidak apa kau memberi pedang kepadanya, karena apa artinya pedang itu
baginya dalam keadaan sekarang " Kau pergilah !"
Sambil menahan isaknya, Hwee Lian lalu pergi dari situ dan Can Kok menutupkan
pintu ruangan itu dengan marah sekali. Terdengar ia memaki-maki penjaga pintu
yang dikatakan lancang dan memesan agar siapa saja jangan diperkenankan masuk
kalau tidak bersama dia. Cin Pau yang telah menerima pedang dari Hwee Lian, memandang pedang itu dengan
termenung. Mengapa gadis itu demikian baik kepadanya "
"Cin Pau, benar seperti dugaan ku dulu. Gadis itu mencintaimu, mencinta dengan
suci dan ia berani berkorban pula !" tiba-tiba Siauw Eng berkata.
"Apa katamu " Baru saja beberapa kali dia melihatku."
"Apakah salahnya " Untuk mencintai orang, sekali saja melihat sudah cukup. Ia
pernah menyatakan kepadaku betapa ia kagum dan kasihan melihatmu."
"Celaka ! Rupa-rupanya ada dua orang penggoda yang mengganggu kita," kata Cin
Pau. "Bukankah hal itu baik sekali " Dia cantik dan baik budi," Siauw Eng menggoda.
Terdengar Cin Pau menghela napas. "Hm, jadi tiga sekarang penggoda-penggoda itu.
Tiga orang dengan engkau sendiri ! Sudahlah, Siauw Eng, jangan kita bicarakan
urusan itu. Mencintai atau tidak, aku sama sekali tidak menaruh perhatian
kepadanya dan pedang ini tetap pedang. Mungkin aku dapat membuka pintu ini
dengan pedang !" Ia lalu membacok dengan sekuat tenaga ke arah jari-jari pintu
itu, akan tetapi bukan jari-jari besi itu yang putus, bahkan pedangnya menjadi
somplak. Ternyata bahwa jari-jari itu bukan terbuat dari pada besi biasa, tetapi
dari baja yang tulen yang keras dan memang khusus dibikin dengan kuat dan tahan
bacokan pedang. Cin Pau melempar pedang itu ke bawah dengan hati kecewa.
"He, jangan kau menyia-nyiakan cinta seorang gadis !" tegur Siauw Eng.
"Apa pula maksudmu ?" tanya Cin Pau kesal.
"Pedang itu adalah pedang hadiah yang dimaksudkan untuk tanda mata, mengapa kau
buang-buang " Itu berarti bahwa kau tidak menghargai cinta kasihnya !"
Mendengar godaan itu, dengan hati merasa sebal Cin Pau lalu menjatuhkan diri dan
bersandar pada dinding. Ia mulai hilang harapan untuk dapat lolos dari kurungan
yang kokoh kuat ini. Menjelang pagi, penjaga-penjaga pintu kamar kurungan itu melihat tiga orang
laki-laki tua dan seorang wanita berjalan menuju ke kamar kurungan. Oleh karena
mereka melihat Can Kok berada ditengah, berjalan dan bergandeng tangan dengan
seorang tua dan nampaknya sebagai sahabat-sahabat baik, mereka diam saja dan
tidak merasa curiga. Ketika mereka itu telah masuk ke dalam ruangan, alangkah
girang dan terkejut hati Cin Pau melihat bahwa yang masuk itu adalah Tiauw It
Lojin, Sian Kong Hosiang, dan Lin Hwa, Ibunya. Hampir saja ia berseru girang,
akan tetapi Tiauw It Lojin telah memberi Koleksi Kang Zusi
isyarat sehingga ia menahan kegembiraannya. Ketika Tiauw It Lojin melepaskan
tangannya yang tadi menggandeng lengan Can Kok, perwira itu jatuh lemas bagaikan
sehelai kain. Ternyata bahwa perwira ini telah ditotok sedemikian rupa oleh Bu
Eng Cu sehingga tak dapat berteriak maupun bergerak, dan ketika tadi digandeng,
ia sebetulnya tidak berjalan sendiri, hanya didorong oleh Tiauw It Lojin
sehingga para penjaga tidak tahu bahwa sebenarnya majikan mereka itu berada di
bawah kekuasaan ketiga orang tua itu.
Malam itu, dengan mempergunakan ilmu ginkang yang luar biasa, ketiga orang tua
itu berhasil memasuki gedung Can Kok dan Bu Eng Cu lalu mempergunakan ilmu
kepandaiannya, memasuki kamar Can Kok dan membuat perwira itu tidak berdaya
dengan totokannya. Para panglima dan perwira lain yang tidur di lain kamar,
tidak ada yang mendengar oleh karena sebelumnya, Lin Hwa telah mempergunakan
semacam hio yang dibakar dan asapnya ditiupkan di jendela mereka hingga mereka
tidur dengan amat nyenyaknya.
Setelah membuat Can Kok tidak berdaya, dengan akal yang licin, yakni menggandeng
lengan Can Kok yang tidak berdaya dan mempergunakannya sebagai surat jalan,
mereka berhasil masuk ke dalam kamar kurungan. Oleh karena yang memegang kunci
kurungan itu adalah Can Kok sendiri, maka dengan mudah mereka dapat merampas
kunci dari kantong perwira itu dan membuka kedua kurungan.
Cin Pau lalu berlutut di depan ketiga orang itu, dan Siauw Eng juga berlutut
tanpa mengucapkan sesuatu karena mereka maklum bahwa di luar masih ada penjagapenjaga. Akan tetapi, sebelum ketiga orang itu sempat mencegah, tiba-tiba Siauw
Eng dan Cin Pau yang melihat tubuh Can Kok menggeletak di situ dalam keadaan
tertotok dan tak berdaya, keduanya lalu melompat dan mengirim pukulan dengan
hebat. Tubuh Can Kok berkelonjot sekali dan nyawanya melayang ke akhirat.
"Omitohud ....." Sian Kong Hosiang menyebut nama Buddha, dan Tiauw It Lojin
hanya tersenyum. "Memang dosa-dosanya telah melewati ukuran," katanya perlahan, kemudian ia lalu
mengajak semua orang keluar dari situ dengan cepat. Empat orang penjaga di luar
pintu ketika melihat bahwa dua orang tawanan mereka telah keluar, merasa
terkejut sekali dan mereka mencari-cari Can Kok dengan mata mereka.
"Di mana Can-ciangkun ?" tegur mereka dengan curiga.
"Dia berada di dalam," kata Tiauw It Lojin dan ketika keempat orang itu menuju
ke pintu, dengan cepat sekali Tiauw It Lojin mendorong mereka ke dalam kamar dan
menutup pintunya. Sambil berlari, kelima orang itu lalu keluar dari rumah Can
Kok. Akan tetapi, ketika mereka keluar dari rumah, di halaman depan telah menanti Mau
Kun Liong, Oey Houw, Oey See In, bahkan nampak juga Kim I Lokai dan Pauw Su Kam.
Mereka ini telah mendapat tahu dari seorang penjaga dan segera menyadarkan
ketiga panglima dan perwira-perwira lain yang segera menanti di situ, mencegat
keluarnya kelima orang buronan itu. Tak dapat dicegah lagi, di waktu fajar mulai
menyingsing itu, di halaman rumah Can Kok yang luas, terjadilah pertempuran yang
luar biasa hebatnya. Namun sepak terjang kelima orang yang dikeroyok itu terlalu hebat hingga para
pengeroyok tak berdaya mengurung dan mendesak mereka. Tiauw It Lojin dan Sian
Kong Hosiang dengan kedua tangan kosong menangkap-nangkapi para pengeroyoknya
dan melempar-lemparkan mereka dengan mudah saja. Kim I Lokai merasa terkejut
sekali hingga ia dan para perwira menjadi was-was menghadapi dua orang tua yang
gagah perkasa ini. Tiba-tiba, setelah fajar menyingsing pagi, datanglah dua orang tosu yang bukan
lain adalah tosu Gobi-san, Cin San Cu dan Bok San Cu. Ketika melihat bahwa yang
membela para pemberontak adalah Tiauw It Lojin, Bok San Cu berkata,
"Bu Eng Cu, mengapa kau orang tua ikut-ikut campur membela pemberontak " Sudah
lenyapkah kesetiaanmu terhadap kerajaan dan apakah kau orang tua hendak menjadi
pemberontak pula " Serahkan Siauw Eng kepadaku, dia adalah murid kami dan kami yang berhak
memutuskan perkaranya !" "Ha, ha, ha ! Enak saja kau bicara ! Siapa yang memberontak dan siapa yang
mengkhianati raja " Perwira-perwira palsu macam Can Kok itulah yang sebenarnya memberontak dan
mengacaukan keamanan negara !"
Koleksi Kang Zusi "Kau pandai memutar lidah ! Serahkan Siauw Eng kepada kami !"
Akan tetapi permintaan ini diganda tertawa saja oleh Bu Eng Cu, sedangkan Cin
Pau lalu maju menghalang di depan Siauw Eng dengan pedang di tangan.
"Kalau begitu, terpaksa kami harus membela kehormatan nama Gobi-pai !" seru Cin
San Cu yang lalu menyerang dengan hebat, dan disambut oleh Bu Eng Cu.
Pertempuran menjadi makin sengit dan ramai sekali.
Tiba-tiba datang dua orang tua yang gagah yang bukan lain ialah Pek Seng Hwesio
dan Beng Hong Tosu. Mereka ini berjalan dengan cepat dan ketika tiba di tempat
pertempuran, Pek seng Hwesio membentak, "Berhenti semua !"
Bentakan ini dikeluarkan dengan tenaga khikang luar biasa sekali hingga
terdengar amat berpengaruh dan semua orang segera menahan senjata mereka.
"Pek Seng Hwesio dan Beng Hong Tosu, mengapa kalian berdua meninggalkan tempat
pertapaan pula dan datang ke tempat ini " Apakah kalian juga hendak membela
pemberontak ?" tanya Bok San Cu yang berangasan.
Pek Seng Hwesio tersenyum. "Kalian harus belajar bersabar, sahabat. Semua adalah
menjadi kurban kesalahpahaman yang ditimbulkan oleh seorang jahat bernama Can
Kok itu. Bahkan kaisar sendiri juga merasa menyesal karena terlalu percaya
kepada orang she Can yang berhati busuk. Lihatlah, pinceng membawa surat
perintah dan keputusan dari Kaisar sendiri !"
Para panglima dan kedua tosu serta para perwira segera menghampiri dan benar
saja, yang dipegang oleh Pek Seng Hwesio itu adalah surat perintah dari Kaisar
yang tidak saja mengampuni Gak Song Ki dan isterinya, bahkan juga mengampuni Cin
Pau dan Siauw Eng, kemudian menjatuhkan keputusan hukuman mati kepada Can Kok
yang dianggapnya sengaja menipu Kaisar dan menimbulkan kekacauan dan permusuhan.
Juga di situ disebut dan dinyatakan bahwa Kuil Thian Lok Si adalah kuil suci
yang akan dibangun lagi atas biaya pemerintah. Tentu saja semua orang merasa
gembira oleh karena memang amat berat menghadapi dan melawan orang-orang tua
yang gagah perkasa itu. Juga Cin San Cu dan Bok San Cu menjadi lega oleh karena
mereka tak usah menghukum murid yang disayanginya itu yang terpaksa hendak
dilakukannya karena kesetiaan mereka terhadap Kaisar.
Bukan main girangnya hati Siauw Eng ketika bertemu dengan ibu dan ayah tirinya
lagi dalam keadaan selamat. Hal-hal yang telah lalu dilupakan dan semua merasa
berbahagia sekali. Terutama perjumpaan antara Lin Hwa ibu Cin Pau dan Kwei Lan,
mendatangkan keharuan besar. Mereka saling peluk dan saling menangis dengan
terharu, akan tetapi di dalam itu terdapat kebahagiaan besar oleh karena mereka
dapat mengikat tali perjodohan antara anak mereka, keturunan langsung dari Khu
Tiong dan Ma Gi. Yang paling merasa kecewa dan tidak berbahagia adalah Gu Liong dan Hwee Lian
oleh karena kedua orang muda ini merasa kecewa, akan tetapi, Hwee Lian terhibur
hatinya ketika mendengar bahwa Cin Pau dijodohkan dengan Siauw Eng, gadis yang
ia kagumi dan sukai itu. Sedangkan Gu Liong beserta ibunya, yang menaruh dendam
besar terhadap keluarga Khu dan Ma, pada suatu hari dengan tak tersangka-sangka
telah didatangi oleh Kwei Lan dan Lin Hwa. Kedua nyonya Khu dan nyonya Ma ini
mengadakan kunjungan setelah mendengar cerita anak mereka betapa nyonya Gu Keng
Siu itu membenci mereka dengan hebat. Dengan sikapnya yang halus dan lemah
lembut, Lin Hwa berkata, "Adikku, sebelum peristiwa hebat itu terjadi, kita telah menjadi kenalan baik,
bahkan bukan kenalan biasa, boleh dikatakan seperti keluarga sendiri. Lalu
terjadilah hal-hal yang amat buruk dan yang mendatangkan kesedihan besar itu.
Bagi kita sekarang, tak perlu mempersoalkan mana betul mana salah. Yang penting
ialah bahwa kita harus ingat akan keadaan kita sendiri. Apakah peristiwa yang
terjadi itu kita kehendaki " Tidak, hal itu datang dan terjadi secara dipaksakan
kepada kita yang tak berdaya. Kalau kedua kakek Khu dan Ma dianggap bersalah,
mereka sudah mendapat hukuman dan tewas. Kalau kedua suami kami itu
dipersalahkan mereka juga sudah terhukum dan tewas. Mengapa kau masih menaruh
dendam " Yang berbuat sudah meninggal, sedangkan kita dan anak kita ini hanyalah
merupakan keturunan yang tidak tahu menahu dalam persoalan itu. Kalau kau
membalas, kemudian anak kita saling bermusuhan, lalu anak mereka bermusuhan
pula, dilanjutkan dengan cucu mereka, bukankah itu berarti bahwa kita ini hanya
hendak mengacaukan keadaan dan hidup kita terdorong oleh nafsu dendam yang tiada
habisnya, yang membuat kita menjadi liar seperti serigala saling makan kawan
sendiri " Insaflah, adik dan kalau memang kau anggap kami bersalah, maafkanlah
kami." Koleksi Kang Zusi Mendengar uraian panjang lebar dan melihat sikap Lin Hwa yang halus ini,
luluhlah kekerasan hati nyonya Gu Keng Siu. Dipeluknya Lin Hwa dan Kwei Lan dan
ia menangis dengan sedihnya.
Pembakaran Kuil Thian Lok Si Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Berbeda dengan nyonya Keng Siu, ibu yang dulu menjadi nyonya Leng Siu, telah
dapat menginsafi keadaan dan tidak menaruh dendam. Maka berkat kebijaksanaan Lin
Hwa, berakhirlah permusuhan hebat itu. Juga Siauw Eng merasa tunduk dan kagum
kepada calon ibu mertuanya yang bijaksana.
Kuil Thian Lok Si dibangun kembali atas biaya Kaisar dan kini bahkan dibangun
dengan hebat, jauh lebih megah dan besar dari pada dulu. Sian Kong Hosiang
menjadi pemimpin kuil itu lagi, sedangkan Pek Seng Hwesio bersama Beng Hong Tosu
dan Tiauw It Lojin lalu naik ke Kunlun-san, di mana Pek Seng Hwesio lalu
mendirikan sebuah kuil kecil untuk tempat ia bertapa.
Demikianlah, permusuhan hebat itu diakhiri dengan baik dan damai, dan akibat
hasutan dan kejahatan hati Can Kok yang telah mengurbankan banyak jiwa dan
bahkan telah memusnahkan kuil Thian Lok Si itu telah dilupakan orang. Memang
tepat pendapat Lin Hwa bahwa dendam hati hanya dapat diakhiri dengan kesadaran
dan kebijaksanaan, karena kalau dituruti saja nafsu dendam ini, akan
berkepanjangan dan tiada akan ada habisnya.
Cerita ini ditutup dengan peristiwa bahagia, yakni ditemukannya sepasang
mempelai, Khu Cin Pau dan Ma Siauw Eng yang selanjutnya hidup penuh kebahagiaan
dan kerukunan. Lebih menggembirakan lagi bahwa Gu Liong dan Gu Hwee Lan lambat
laun dapat melupakan pula kekecewaan hati mereka dan akhirnya pun mendapat jodoh
masing-masing. TAMAT Warisan Berdarah 5 Wiro Sableng 085 Wasiat Sang Ratu Pendekar Pedang Dari Bu Tong 17
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama