Suling Pusaka Kumala 3
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo Bagian 3 duduk, lapm memegang tangan itu. Phoa Li Seng mendekatkan mukanya dan mencium pipi Chai Li. Wanita itu menerima ciuman bahkan membalasnya Chai Li telah benar-benar jatuh ke dalam pengaruh sihir pria itu. "Sekarang kulatih engkau menerima hawa sakti dan mengendalikannya." kata Phoa Li Seng yang lalu duduk bersila di depan Chai Li yang disuruhnya duduk bersila pula. "Luruskan kedua lenganmu," perintahnya. Chai Li menurut tanpa ragu. Pria itu lalu menyambut dengan kedua tangan nya sehingga dua pasang telapak tangan bertemu. "Terima saja, jangan melawan!" katanya dan diapun mengerahkan sin-kangnya. Tenagd yang hangat menjalar dari kedua telapak tangannya memasuki tubuh Chai li melalui telapak tangan pula. Chai Li merasakan ini dan dengan patuh ia menerima tanpa meronta atau melawan. "Sekarang coba kerahkan tenaga dari bawah pusar dan kendalikan hawa hangat itu di seluruh tubuhmu." Chai Li menaati. Biarpun pada mulanya ia mengalami kesukaran untuk menguasai hawa liangat itu, namun lambat laun ia dapat pula menguasainya dan mengendalikannya. "Bagus! Terus kendalikan, dorong keseluruh bagian tubuh sampai ujung jari kaki dan tanganmu." kata Phoa Li Seng sambil perlahan-lahan melepaskan kedua tangannya. Sejam lamanya Chai Li berlatih. "Cukup, tarik napas dalamdalam lalu turunkan tanganmu. Kelak akan kuajarkan engkau bagaimana untuk menghimpun hawa murni untuk memperkuat tenaga saktimu." Chui Li tersenyum dan mengangguk-angguk dengan wajah memperlihat kan kegembiraan. Hatinya memang merasa senang sekali kepada pria ini, dan ia suka diajar ilmu silat. Phoa Li Seng merangkulnya dan membelainya, menciumnya. "Kelak engkau akan menjadi seorang wanita sakti, menjadi pembantu utamaku, Chai Li." Dan wanita itu merebahkan kepalanya di atas dada pria itu dengan wajah bahagia! Tak lama kemudian Phoa Li Seng memondong tubuh Chai Li dan dibawanya mendaki tebing itu, naik ke atas. Chai Li memejamkan matanya, ngeri melihat ke bawah karena pendakian tebing yang amat terjal itu memang berbahaya sekali. Kalau orang tidak memiliki ilmu gin-kang (meringankan tubuh) yang lihai, tidak mungkin dapat mendaki tebing seperti itu, apalagi dengan memondong tubuh seorang wanita dewasa! Dari kenyataan ini saja mudah diketahui bahwa Phoa Li Seng adalah seorang yang memiliki ilrnu kepandaian tinggi. Akhirnya Phoa Li Seng dapat sampai di puncak yang berbatu-batu. Di situ terdapat hanya sebatang pohon dan dia melepaskan tubuh Chai Li di bawah pohon itu. "Mengasolah di sini Sebentar, kita nanti akan melakukan perjalanan jauh. Akupun ingin mengaso," katanya dan dia pun mengambil tempat duduk di atas sebuah batu datar, bersila dan duduk melakukan siu-lian (samadhi). Chai Li yang merasa tubuhnya lelah sekali setelah tadi berlatih sin-kang, menyandarkan kepalanya di batang pohon lalu memejamkan mata mencoba untuk tidur, la sama sekali tidak ingat lagi kepada Han Lin, tidak ingat akan semua hal yang telah lalu. Yang memenuhi ingatannya hanyalah Phoa Li Seng yang dianggapnya sebagai kekasih, suami dan juga guru yang harus ditaatinya, disayang dan mencintainya! Tiba-tiba terdengar suara orang yang lembut. "Bagus! Kiranya engkau bersenang-senang dengan seorang wanita cantik di sini!" Yang bicara itu adalah seorang laki-laki tinggi besar. Orang kedua, seorang wanita cantik juga berkata mencemooh, "Orang tak tahu diri! Orang lain sedang repot membutuhkan bantuan, engkau malah enak-enak dan bersenang-senang dengan seorang wanita di sini. Rekan macam apa engkau ini?" Phoa Li Seng membuka matanya dan memandang kepada dua orang itu sambil tersenyum. "Toa Ok dan Sani Ok, jangan salah mengerti. Wanita ini adalah kekasihku, isteriku dan juga muridku! Ada urusan apakah kalian berdua marah-marah kepadaku?" "Ji Ok, kami bertemu dengan lawan yang amat tangguh. Kalau engkau muncul tadi, setidaknya dengan bertiga kami akan mampu melawannya." Phoa Li Seng, atau lebih terkenal dengan julukan Ji Ok (si Jahat Kedua) tertegun dan terkejut mendengar ada orang yang mampu membuat dua orang rekannya itu kewalahan. Dia menoleh kepada Toa Ok dan terbelalak melihat Ton Ok menggerakkan tangan kirinya. Sinar hitam meluncur dari tangan kiri itu ke arah Chai Li yang masih bersandar di pohon. "Crottt....!!" Darah mengalir di leher yang berkulit putih mulus itu. Ji Ok melompat turun dari atas batunya dan tangannya sudah melolos sabuk sutera putihnya. "Toa Ok, berani engkau mengganggu kekasihku, isteriku dan juga muridku?" Sekali tangannya bergerak, sabuk sutera putih itu meluncur dan menyerang dengan totokan ke arah tubuh Toa Ok. Sabuk sutera putih ini sama sekali tidak boleh dipandang ringan, kaiena di tangan Ji Ok, sabuk yang lunak dan lemas itu dapat berubah menjadi kaku menegang sehingga dapat dipakai menotok jalan darah yang mematikan. Toa Ok maklum akan bahayanya serangan sabuk itu, maka dia melompat kesamping menghindarkan diri dan berseru marah, "Ji Ok, cinta telah membuat matamu menjadi buta! Lihat dulu baik-baik keadaan kekasihmu!" Ji Ok menarik sabuk suteranya dan sekali melompat dia sudah berada dekat pohon di mana Chai Li masih bersandar sambil tertidur. Dia melihat dengan mata terbelalak kepada seekor ular yang berada di pohon itu, tepat di atas Chai Li dan moncong ular itu berada dekat sekali dengan lehernya. Kepala ular itu kini meneteskan darah dan sudah ditembusi se-batang paku yang menancap di pohon. Kiranya darah yang mengalir di leher Chai Li itu adalah darah ular itu. "Toa Ok, kau maafkanlah aku!" kat Ji Ok dengan muka berubah merah. Tadi nya dia mengira bahwa Toa Ok membunuh Chai Li. "Apakah aku sudah gila membunuh wanita yang menjadi isterimu?" kata Toa Ok mengejek, sedangkan Sam Ok tertawatawa cekikikan. Agaknya kekuasaan sihir masih amat menguasainya dan membuatnya seperti orang mabok sehingga dalam keadaan seperti itu Chai Li masih saja tertidur pulas! Ji Ok lalu menggunakan daun membersihkan darah dari lehernya, kemudian membangunkan Chai Li. "Bangunlah, Chai Li." Chai Li terbangun dan ia memandang kepada Toa Ok dan Sam Ok dengan alis berkerut karena ia tidak mengenal dua orang itu. la menengok dan memandang kepada Ji Ok dengan mata mengandung pertanyaan. "Perkenalkan, Chai Li. Ini adalah Toa Ok dan yang ini adalah Sam Ok. Mereka berdua ini adalah rekan-rekan dan sahabat-sahabatku, juga sahabatmu. Aku sendiri disebut Ji Ok." Karena pada dasarnya Chai Li memang wanita sopan, maka setelah diperkenalkan, ia lalu memberi hormat dan mengangkat kedua tangan depan dada. "Toa Ok dan Sam Ok, ketahuilah bahwa Chai Li ini tidak dapat bicara, akan tetapi ia pandai menuliskan kata-kata yang akan ia ucapkan. Telah kuperiksa dan ternyata lidahnya tinggal sepotong, Entah siapa yang telah memotong lidahnya sehingga ia tidak bisa bicara, ia belum sempat menceritakan kepadaku." "Ji Ok, kalau engkau mengambilnya sebagai isteri dan murid, engkau harus mengetahui benar riwayatnya agar kelak tidak menyesal." Ji Ok mengangguk angguk. "Kata-katamu itu benar juga, Toa Ok." Setelah berkata demikian, dia memegang pundak Chai Li dengan sikap lembut dan mesra, dan berkata dengan halus namun mengandung wibawa, "Chai Li, sekarang ceritakanlah semuanya. Untuk itu, rebahlah di atas tanah ini dan tidurlah." Chai Li menurut saja. la merebahkan dirinya telentang dan memejamkan kedua matanya. "Sekarang engkau tertidur, tidur yang nyenyak, tubuhmu terasa lelah sekali dan membutuhkan tidur. Tidurlah yang pulas dan nikmat....." Ji Ok menggerak-gerakkan kedua tangannya dekat wajah dan tubuh Chai Li dan dalam waktu singkat saja Chai Li telah tertidur nyenyak dan napasnya menjadi halus. "Chai L i, sekarang engkau ingat akan semua riwayatmu, sejak engkau masih gadis. Dari mana engkau berasal, siapa pula yang memotong lidahmu." "Hi-hi-hi-hik, aku tahu siapa ia!" Tiba-tiba Sam Ok berkata, sementara itu Chai Li dalam tidurnya menangis terisak-isak. "Sarn Ok, biarkan ia bercerita sendiri!" kata Toa Ok menegur. "Chai Li, ingat di sini ada aku, kekasihmu, suamimu, gurumu dan penolongmu. Engkau ingat semua peristiwa itu dan dengan singkat tuliskanlah semua itu agar aku mengerti. Bangkit dan tuliskanlah semua riwayatmu!" perintah Ji Ok. Masih dalam keadaan trrsihir Chai Li bangkit duduk, kemudian menerima sepotong batu runcing dari tangan Ji Ok dan mulailah ia menulis.. Tulisannya cepat namun indah dan cukup jelas, dibaca oleh tiga orang itu. "Aku bernama Chai Li, keponakan Kapokai Kham kepala suku Mongol. Aku diperisteri Kaisar Cheng Tung ketika dia menjadi tawanan paman. Akan tetapi dia meninggalkan aku, kembali ke selatan. ketika aku mengandung, dengan janji akan menjemputku kelak. Anakku terlahir bernama Cheng Lin dan kuberi nama panggilan Han Lin agar tidak ada yang tahu bahwa dia keturunan Kaisar Ceng-tiauw (kerajaan Beng). Lalu muncul si jahat Suma Kiang. Dia menculik aku dan Han Lin, membawa kami pergi meninggalkan perkampungan Mongol. Dia hendak memperkosaku dan aku menggigit lidahku sendiri untuk membunuh diri. Kami ditolong oleh Gobi Sam-sian dan Han Lin menjadi muridnya dan kami pindah tinggal di kota Pao-tow. Akan tetapi Suma Kiang yang jahat dapat mengejar kami beberapa tahun kemudian dan dia mengejar-ngejar kami. Aku dan anakku melarikan diri sampai di tepi jurang. Suma Kiang mendesakku dan hendak menangkapku, maka aku lalu meloncat terjun ke dalam jurang ......" Chai Li berhenti menulis dan menangis. Ji Ok memegang kedua pundak Chai Li dan berkata lembut, "Akan tetapi aku telah menolongmu. Tidurlah kembali, Chai Li." Seperti binatang peliharaan yang jinak sekali Chai Li menurut dan tidur telentang, seketika tidur nyenyak. "Sekarang dengar baik-baik, Chai Li. Setelah engkau bangun dari tidurmu, engkau tidak ingat apa-apa lagi kecuali bahwa aku adalah penolongmu, kekasihmu dan suamimu, juga gurumu. Engkau hanya menaati semua kata dan perintahku." Dia mengulang ucapan ini sampai tujuh kali, setiap kali menambah tekanan dalam suaranya. Kemudian dia membiarkan wanita itu tidur pulas. "Nah, sekarang ceritakan bagaimana engkau bisa tahu siapa ia!" kata Ji Ok sambil memandang kepada Sam Ok. Wanita ini cekikikan dan kalau ia tertawa seperti itu, keadaannya sungguh menyeramkan, seperti bukan manusia lagi. "Aku ditemui Suma Kiang dan diajak untuk menandingi Gobi Sam-sian, untuk merampas ibu dan anak. Dia bilang padaku bahwa ibu itu adalah seorang puteri Mongol yang hendak diperisteri, dan anak itu adalah seorang pangeran, putera Kaisar kerajaan Beng. Untuk bantuan itu, dia menjanjikan untuk menyerahkan bocah itu kepadaku. Bocah itu sudah berada di tanganku, akan tetapi celaka sekali, muncul Bu-beng Lo-jin itu yang merampasnya dari tangan kami berdua. Kami menanti-nantimu untuk membantu, akan tetapi engkau tidak kunjung muncul, Ji Ok!" "Hemm, siapakah Bu-beng Lo-jin itu?" tanya Ji Ok penasaran kepada Toa Ok. Kalau ada orang mampu mengalahkan pengeroyokan Toa Ok dan Sam Ok, orang itu tentu memiliki kesaktian luar biasa sekali. Mengalahkan Toa Ok dan Sam Ok saja sudah merupakan suatu hal yang amat sukar, apalagi mengalahkan pengeroyokan mereka berdua! Siapakah tokoh di dunia ini yang sanggup melakukan hal ini" "Kami juga tidak tahu dan tidak mengenalnya. Dia merupakan tokoh sakti yang sama sekali tidak terkenal, mungkin seorang tokoh yang selama ini bertapa di pegunungan sebelah utara. Akan tetapi ilmu kepandaiannya sungguh luar biasa," kata Toa Ok. "Aha, baru sekarang aku mendengar Toa Ok menyatakan rasa jerihnya terhadap seseorang!" kata Ji Ok sambil tertawa mengejek. "Tidak perlu saling mengejek dan main-main. Sekali ini aku bersungguh-sungguh. Kita bertiga tidak mendapat kemajuan selama ini karena kita selalu mengandalkan kerja sama. Karena itu, karena kini muncul lawan yang amat tangguhnya, bahkan Suma Kiang itupun merupakan lawan yang tangguh sekali, sebaiknya kita berpencar untuk mencari tambahan pengetahuan masing-masing. Setahun sekali kita mengadakan pertemuan bersama untuk memperlihatkan kemajuan masingmasing." "Bagus!" Sam Ok tertawa genit. "Pertemuan itu sekaligus untuk menentukan siapa yang berhak disebut Toa Ok, siapa yang menjadi Ji Ok dan Sam Ok." "Ha-ha-ha, Sam Ok agaknya sudah rindu sekali untuk menjadi Toa Ok. Agak nya ilmumu Ban tok-ci kini sudah maju pesat karena banyak darah dan sumsum anak remaja yang kauhisap!" Sam Ok tertawa genit. "Untuk menjadi Toa Ok, aku harus lebih dulu menjadi Ji Ok, dan setahun kemudian engkaulah yang menjadi Sam Ok, Phoa Li Seng!" "Ha-ha-ha, kita sama lihat saja! Dalam setahun ini, aku juga tidak akan tinggal diam untuk memajukan ilmu kepandaianku." kata Ji Ok. "Sudahlah jangan bertengkar. Kita tentukan waktunya. Setahun kemudian pada bulan dan hari seperti ini kita mengadakan pertemuan di tepi Huang-ho, di luar kota Paotow. Setuju?" "Setuju, dan bersiap-siaplah kalian, karena kalau aku tidak dapat menjadi Toa Ok, setidaknya menjadi Ji Ok. Sudahi bosan aku menjadi orang nomor tiga, ha-ha-ha!" Sambil tertawa-tawa Sam Ok menggerakkan tubuhnya dan ia sudah melesat cepat sekali lenyap dari situ. Diam-diam Ji Ok terkejut dan kagum. Kalau Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo dia tidak berhati-hati dan memajukan ilmunya, bukan tidak boleh jadi kedudukan Ji Ok akan direbut wanita itu. "Ji Ok, kalau engkau hanya tenggelam dalam pelukan kekasihmu, setahun kemudian engkau akan menjadi Sam Ok dan kedudukanmu akan digeser oleh Ban-tok-ci! Ha-ha-ha!" Setelah berkata demikian, tubuh Toa Ok berkelebat lenyap dari situ sedangkan suara tawanya masih bergema. Ji Ok tersenyum, lalu menghela napas dan menghampiri Chai Li. "Chai Li, bangunlah. Engkau tidak akan menghalangi kemajuanku, bahkan engkau akan menjadi pembantuku yang baik dan kita bersama akan mempelajari ilmu-ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu yang dikuasai Sam Ok, bahkan Toa Ok. Marilah, kekasihku, kita pergi dari sini." Dia menggandeng tangan Chai Li dan wanita itu tampak gembira, tersenyum girang dan mereka pergi sambil bergandeng tangan seperti dua orang kekasih yang saling mencinta. Pegunungan Thai-san adalah sebuah pegunungan yang luas dan memiliki banyak gunung yang puncaknya tinggi menembus awan. Juga pegunungan itu kaya akan bukit-bukit dan hutan-hutan. Para pemburu binatang hanya berani berburu binatang di bukit-bukit yang tidak terlalu tinggi. Banyak puncak yang belum pernah dikunjungi manusia karena merupakan daerah berbahaya dan amat sukarlah untuk mendaki puncak itu. Akan tetapi pada suatu pagi yang cerah, di sebuah diantara puncak-puncak yang menembus awan itu, tampak sinar bergulung-gulung dibarengi suara mendesing-desing. Kalau orang melihat ini, dia tentu akan merasa heran sekali dan tidak tahu sinar apa itu yang bergulung-gulung karena selain sinar bergulung itu tidak tampak apa-apa. Sinar yang mengeluarkan suara mendesing-desing itu berwarna kehijauan dan ketika sinar itu menyambar-nyambar ke bawah sebatang pohon, tampak daun-daun pohon berguguran. Bukan hanya daun kuning, juga tampak daun hijau ikut berguguran. Namun gerakan sinar itu makin melambat dan mulai tampaklah kaki tangan orang diantara gulungan sinar itu, kemudian bahkan tampak bahwa gulungan sinar kehijauan itu adalah sebatang pedang yang dimainkan secara hebat sekali oleh seorang anak perempuan. Anak itu masih remaja, usianya kurang lebih tiga belas tahun. Sungguh menakjubkan sekali betapa seorang anak berusia tiga belas tahun dapat memainkan ilmu silat pedang sedemikian hebatnya! Kalau orang mengetahui siapa yang memberi pelajaran ilmu silat kepada si gadis cilik ini, tentu orang tidak merasa heran lagi melihat bahwa ia masih begitu muda sudah memiliki ilmu kepandaian yang demikian hebat. Gurunya adalah ayahnya sendiri dan ayahnya itu bukan lain adalah Huang-ho Sin-liong Suma Kiang! Bagaimana pula ini" Bagaimana Suma Kiang yang kita ketahui hidup menyendiri itu memiliki seorang puteri" Sebetulnya bukan anak kandmgnya sendiri dan peristiwanya terjadi kurang lebih sepuluh tahun yang lalu. Ketika itu, Suma Kiang sedang dalam perjalanan dari kota raja menuju ke utara untuk mendatangi perkampungan orang Mongol yang dikepalai Kapokai Khan, mencari keturunan Kaisar Cheng Tung dan membunuhnya seperti ditugaskan kepadanya oleh Pangeran Cheng Boan. Dalan perjalanan itu, pada suatu pagi di luar sebuah dusun, Suma Kiang melihat seorang wanita muda bersama seorang anak perempuannya yang berusia tiga tahun sedang mandi berdua di anak sungai yang airnya jernih. Melihat wanita yang usianya dua puluh tahun lebih itu mandi, hanya mengenakan pakaian dalam yang tipis, jantung Suma Kiang bergejolak dan bangkitlah nafsu berahinya. Wanita muda itu memang cantik dun memiliki tubuh yang padat menggairahkan. Jilid V DIHAMPIRINYA wanita yang sedang mandi bersama anaknya itu. Anak dan ibu tampak gembira sekali, sama sekali tidak tahu bahwa ada seorang laki-laki datang menghampiri mereka. "Nyonya manis, tampaknya segar dan senang sekali engkau mandi di sini." Suma Kiang duduk di atas batu di tepi sungai dan menegur dengan suara lembut dan pandang matanya seolah hendak menelan bulat-bulat tubuh yang berkulit putih kuning mulus itu. Wanita itu terkejut dan memandang ke arah suara. Ia terbelalak lalu cepat merendam tubuhnya sampai ke leher. "Siapa kau" Pergilah, dan jangan ganggu orang yang sedang mandi!" tegurnya dengan alis berkerut. Suma Kiang tertawa. "Jangan takut, manis. Keluarlah dari air dan ke sinilah, aku ingin bicara denganmu." "Tidak, tidak!!" Wanita itu menggeleng kepalanya dan memandang ke kanan kiri untuk melihat kalau-kalau ada orang yang dapat dimintai tolong. "Pergilah dan jangan ganggu aku!" Suma Kiang mengerutkan alisnya dan sekali tubuhnya bergerak, dia sudah menyambar anak itu dan memegangnya dengan tangan kirinya. Anak itu terkejut dan menangis. "Kembalikan anakku.....! Jangan ganggu anakku.....!" Wanita itu berteriak dan karena khawatirnya, ia sampai lupa diri dan bangkit berdiri tidak perduli betapa tubuhnya tampak jelas membayang di balik pakaian dalam yang tipis dan basah. "Boleh, ambil ah ke sini." kata Suma Kiang sambil melompat dari atas batu ke tepi sungai. Khawatir akan keadaan anaknya, wanita itu tersaruk-saruk keluar dari sungai dan menghampiri Suma Kiang sambil menjulurkan kedua tangannya. "Kembalikan anakku....!" Anak perempuan itu ketakutan dan menangis makin keras. "Ibu....! Ibu....!" "Sini...., berikan anakku kepadaku....!" Ibu itu mengejar. "Baik, aku bebaskan anakmu, akan tetapi engkau harus menuruti kehendakku," kata Suma Kiang dan ia menurunkan anak itu ke atas tanah, melepaskan tongkat ularnya dan tibatiba saja ia sudah menangkap lengan wanita itu, menarik dan mendekapnya. "Tidak...., tidak...., jangan....!!" Wanita Itu meronta-ronta. Akan tetapi apa dayanya seorang wanita seperti dia dalam tangan seorang jagoan seperti Suma Kiang" la tidak dapat meronta lagi dan banya dapat menangis tersedu-sedu ketika dirinya digagahi Suma Kiang yang tidak mengenal kasihan sedikitpun. Tangis ibu dan anak itu memecah kesunyian, dan menarik perhatian empat orang laki-laki yang kebetulan lewat di dekat sungai itu. "Hei, apa yang terjadi?" Empat orang itu berseru. Rada saat itu, Suma Kiang telah selesai memperkosa wanita itu dan dia bangkit berdiri, membereskan pakaian nya. Melihat ada empat orang laki-laki dusun berlari mendatangi, dia menyeringai, menyambar tongkatnya dan begitu empat orang itu tiba dekat, dia melompat dan menyambut mereka dengan serangan tongkat ular hitamnya. Kasihan empat orang itu. Mereka adalah orang-orang dusun. Bagaimana mungkin mereka dapat bertahan diserang oleh Suma Kiang dengan tongkatnya. Merekapun mengaduh dan roboh satu demi satu. Tiba-tiba terdengar jeritan mengerikan dan ibu muda yang baru saja diperkosa itu, dalam keadaan setengah telanjang telah lari dan menubrukkan dirinya kepada batu besar. Kepalanya beradu dengan kerasnya menghantam batu besar dan kepala itu pecah dan ia tewas seketika! Melihat wanita itu telah tewas dan empat orang laki-laki itupun sudah dibunuhnya, Suma Kiang tersenyum. Dia mendengar tangis anak itu dan dengan beringas dia memutar tubuh laiu menghampirinya. Pandang matanya sudah bengis sekali karena timbul niat di hatinya untuk sekalian membunuh anak itu. Akan tetapi terjadilah keanehan. Hati Suma Kiang yang biasanya keras seperti baja dan tidak pernah mengenal kasihan Itu, tiba-tiba saja mencair ketika dia melihat wajah anak yang menangis itu. Entah dari mana dan bagaimana, timbul rasa sayang dan kasihan dalam hatinya terhadap anak itu. Dijulurkan tangannya lalu dipondongnya anak perempuan yang baru berusia tiga tahun itu. "Sayang, diamlah sayang. Mari ikut dengan aku, ikut ayah pergi." kata Suma Kiang dengan lembut. Dan sungguh aneh. Anak itu berhenti menangis setelah dipondong oleh Suma Kiang. Tanpa menoleh lagi kepada lima orang yang menggeletak sebagai mayat itu, Suma Kiang lalu melompat pergi sambil memondong anak tu. Dia tidak tahu bahwa seorang diantara empat orang laki-laki tadi, tidak sampai tewas oleh tongkatnya, melainkan hanya terluka parah pundaknya dan dia pura pura mati. Laki-laki itu melihat semua apa yang terjadi dan setelah lama Suma Kiang pergi membawa anak perempuan itu, barulah dia bangkit, terhuyung-huyung memasuki dusun dan minta pertolongan waiga dusun. Sementara itu, Suma Kiang membawa anak itu sampai amat jauh meninggalkan dusun itu. Anak ituptin tidak menangis. "Anak baik, siapa namamu?" "Eng Eng..... Eng Eng.....I" kata anak itu. "Bagus" Namamu Suma Eng!" Suma Kiang tertawa bergelak dan anak itu pun tertawa. Agaknya sikap Suma Kiang menyenangkan hati anak yang belum tahu apa-apa ini. Setelah tiba di sebuah dusun yang besar, Suma Kiang menemukan seorang janda berusia empat puluhan tahun tanpa anak. Dia menyerahkan Suma Eng kepada janda itu. "Ibu anak ini sudah meninggal dunia dan aku sebagai ayahnya tidak dapat memeliharanya karena aku mempunyai tugas yang amat penting dan makan waktu lama. Kau peliharalah anak ini dan ini uang boleh kaupakai secukupnya. Beberapa tahun lagi mungkin, setelah tugasku selesai, aku akan mengambil anak ini." Janda Cia menerima tawaran Ini dengan senang hati karena Suma Kiang memberinya uang emas yang cukup banyak, arpun harus merawat anak itu selama bertahun tahun, uang itu cukup, bahkan berleblhan. Setelah memesan dengan disertai ancaman agar Bibi Cia memelihara Suma Eng dengan baik-baik, Suma Kiang alu meninggalkan dusun itu dan melanjutkan perjalanannya ke perkampungan Mongol di utara. Demikianlah, selama lima tahun dia meninggalkan anak itu untuk mengurus tugasnya untuk membunuh keturunan Kaisar Cheng Tung di Mongol. Akan tetapi tugasnya itu ternyata gagal, bahkan Chai Li tewas dalam jurang dan Han Lin, puteranya itu terjatuh ke tangan Toa Ok dan Sam Ok. Setelah Itu, dia teringat kepada Suma Eng dan dijemputnya anak itu dari dusun. Suma Eng telah menjadi seorang anak perempuan yang mungil berusia delapan tahun ketika Suma Kiang menjemputnya. Oleh Bibi Cia, Suma Kiang diperkenalkan sebagai ayahnya. Suma Eng menyambut ayahnya dengan gembira, walaupun agak malu-malu. Akan tetapi karena Suma Kiang bersikap ramah dan lemah-lembut kepadanya, sebentar saja hubungan mereka menjadi akrab. Ternyata Bibi Cia tidak menyia-nyia-kan tugas yang dipikulnya. Bukan saja ia memelihara Suma Eng dengan baik, bahkan anak itu di kutkan belajar membaca dan menulis dari guru di dusun itu dan ternyata Suma Eng adalah seorang anak yang cerdik dan pintar. Dengan hati penuh kebanggaan dan kegirangan Suma Kiang mengajak "puteri-nya" itu pergi dan membawanya tinggal di sebuah puncak dari Pegunungan Thai-san di mana dia menggembleng gadis cilik itu dengan ilmu silat. Suma Eng juga menganggapnya sebagai ayah kandung dan gadis itu ternyata amat sayang kepadanya. Hal ini mendatangkan rasa kasih sayang yang besar sekali dalam hati Suma Kiang. Dia mencurahkan seluruh perhatiannya untuk mengajarkan ilmu silat kepada Suma Eng sehingga lima tahun kemudian, dalam usia tiga belas tahun, Suma Eng telah menjadi seorang gadis remaja yang pandai sekali dalam ilmu silat. Selain berbakat dan pandai sekali, juga Suma Eng menyukai pelajaran silat dan ia rajin sekali. Setiap pagi ia berlatih seorang diri di bawah pohon besar itu dan ilmu pedangnya telah mencapai tingkat yang lumayan tingginya. Kalau hanya jago pedang yang biasa saja jangan harap akan mampu menandinginya! Setelah selesai memainkan ilmu pedangnya, Suma Eng mengaso di bawah pohon. Ia menyeka keringat yang membasahi lehernya. Ia seorang gadis remaja yang cantik manis. Rambutnya hitam panjang dikuncir dua dan pada ujung kuncirnya di kat dengan tali sutera merah. Yang paling kuat daya tariknya adalah sepasang matanya dan mulutnya. Sepasang matanya cemerlang dan bentuknya indah, dengan kedua ujung agak menjungat ke atas dan kerlingnya seperti pedang pusaka tajamnya. Hidungnya kecil mancung dan mulutnya memiliki sepasang bibir yang selalu merah segar. Seorang gadis remaja yang telah memiliki daya pikat yang kuat sekali, bagaikan setangkai bunga yang sedang berkuncup namun sudah semerbak wangi. Biarpun tubuh itu masih kekanak-kanakan karena sedang bertumbuh, namun sudah tampak betapa pinggang itu ramping sekali dan kulit tubuhnya putih mulus kekuningan. Sepasang pipinya yang jarang bertemu bedak itu selalu putih halus dan kemerahan seperti diberi yanci (pemerah pipi). Selagi Suma Eng duduk beristirahat setelah latihan pedang tadi, ia tiba-tiba melihat tiga orang berjalan mendaki puncak di depan. Puncak itu letaknya tidak berapa jauh dari puncak di mana ia berada, maka ia dapat melihat dengan jelas tiga orang itu. Yang berjalan di depan adalah seorang hwesio tua berjubah kuning dan berkepala gundul, memegang sebatang tongkat bambu. Sedangkan yang berjalan di belakang hwesio itu adalah seorang laki-laki tinggi besar dan seorang lagi tinggi kurus. Yang tinggi besar membawa sebatang tongkat seperti liyung bentuknya dan yang tinggi kurus memanggul sebatang cangkul bergagang panjang. Peristiwa ini merupakan hal yang umat menarik hati Suma Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Eng. Selama lima tahun ia tinggal di puncak itu bersama ayahnya, tidak pernah ada orang berani naik ke puncak di mana ia berada maupun di puncak sebelah depan itu. Ia berhubungan dengan orang lain hanya kalau ia turun dari puncak ke lereng-lereng bagian bawah di mana terdapat dusun-dusun para petani. Siapakah mereka" Ia tahu bahwa peristiwa ini akan merupakan berita menarik bagi ayahnya. Ayahnya pernah berkata kepadanya bahwa kalau ia melihat ada orang naik ke puncak, agar cepat memberitahu kepadanya. "Kita berdua sedang menyepi di sini, sedangkan engkau sedang mempelajari Ilmu silat. Tidak boleh ada orang lain melihat kita." Demikian kata ayahnya. Suma Eng menyimpan kembali pedang nya di sarung pedang yang berada dipunggungnya dan iapun berlari mendak puncak menuju ke pondok di mana ayah nya berada. Ketika ia tiba di pondok, ayahnya sedang duduk di depan pondok dan tersenyum ketika memandangiya. Suma Kian amat mencinta puterinya ini dan di selalu memandang puterinya dengan sinar mata penuh kebanggaan dan kasih sayang. Dia bahkan lupa bahwa Suma Rng buka anaknya, dia menganggapnya sebagi anak kandungnya sendiri. Naluri yan membangkitkan cinta kasih seorang ayah terhadap anaknya telah menggerakkai hatinya dan dia sungguh mencinta gadis itu seperti mencinta puterinya sendiri. "Engkau sudah berlatih pedang denga baik-baik, anakku?" "Ayah, ada berita penting sekali. Aku melihat ada tiga orang mendaki puncak Awan Putih di depan sana." Suma Kiang terbelalak. "Tiga orang?" Benarkah yang kaukatakan Itu?" Otomatis Suma Kiang teringat kepada Gobi Sam sian dan juga kepada Thian-te Sam Ok (Tiga Jahat Langit dan Bumi). Entah yang mana dari kedua kelompok itu yang mendaki puncak dan keduanya merupakan musuh-musuhnya. "Bagaimana macam mereka?" "Yang pertama berpakaian seperti seorang hwesio berjubah kuning dan memegang sebatang tongkat. Orang kedua bertubuh tinggi besar dan memegang sebatang tombak seperti dayung, sedangkan orang ketiga tinggi kurus dan memanggul sebatang cangkul gagang panjang." Suma Kiang bernapas lega. Ternyata bukan dua kelompok yang diduganya itu. Dia tersenyum dan berkata, "Kalau begitu aku harus mengunjungi mereka untuk menanyakan keperluan mereka datang ke wilayah kita ini. Aku tidak mau tempat kita diganggu orang-orang iseng." Suma Kiang bangkit berdiri. "Ayah, aku ikut!" Suma Kiang tersenyum memandang puterinya. Biarpun baru berusia tiga belas tahun, anaknya ini telah memiliki ilmu kepandaian silat yang cukup memadai untuk melindungi diri sendiri. "Mau apa engkau ikut?" tanyanya ingin menjenguk isi hati anaknya. "Aku ingin melihat bagaimana ayah akan mengusir mereka. Kalau perlu aku ingin membantu!" kata Sumn Eng penuh semangat dan ia membusungkan dadanya yang masih agak kerempeng. Suma Kiang tertawa bergelak. Hatinya senang sekali. Anaknya ini bukan hanya mewarisi ilmunya, akan tetapi juga mewarisi keberaniannya. "Ha-ha-ha, boleh-boleh. Engkau boieh ikut dan lihat betapa ayahmu mengusir tiga orang yang mengganggu ketenangan hidup kita itu!" Mereka berdua meninggalkan pondok dan menuruni puncak itu untuk pergi ke puncak di depan menyusul ketiga orang yang tadi tampak oleh Suma Eng. Perjalanan itu tidak mudah. Pendakian yang terjal. Namun agaknya Sumo Eng telah terlatih dengan baik karena ia dapat mendaki puncak dengan cepat mengikuti ayahnya yang sengaja bergerak cepat untuk menguji kepandaian anaknya. Diam-diam dia semakin bangga. Dalam hal gin-kang (ilmu meringankan tubuh) dan berlari cepat anaknyapun tidak mengecewakan! Setelah melakukan pendakian yang melelahkan itu, tibalah mereka di puncak. ternyata puncak itu tidak kalah indahnya dengan puncak di mana mereka tinggal. di puncak itu juga terdapat lapangan yang rata dan di tengah-tengah lapangan Itu tampak seorang hwesio berusia sekitar enam puluh tahun duduk bersila di atas ratu besar. Dia tampaknya sedang bersamadhi, meletakkan kedua tangan di atas paha yang duduk bersila dan kedua matanya terpejam. Terdengar suara ketuk-ini-ketukan dan ketika mereka melihat kesebelah kiri, di sana terdapat dua orang yang sedang bekerja membuat rangka pondok dari kayu. "Kalian tidak boleh membuat pondok di sini!" Suma Kiang berseru dan dua orang itu berhenti bekerja. Ketika mereka melihat Suma Kiang dan Suma Eng berdiri di situ, mereka lalu meninggalkan pekerjaan mereka dan menghampiri Suma Kiang dan puterinya. Seorang diantara mereka, yang bertubuh tinggi besar, membawa sebuah dayung baja dan orang yang tinggi kurus membawa sebatang cangku bergagang panjang. Si pembawa dayung berpakaian seperti seorang nelayan dan 3 pembawa cangkul berpakaian sepert seorang petani. Mereka menghampiri dan memandang kepada Suma Kiang dengan penuh perhatian, kemudian si Nelayan berkata dengan suaranya yang lantang. "Siapakah engkau dan ada hak apakah engkau melarang kami mendirikan pondok di sini?" Biarpun dia berpakaian sebaga seorang nelayan sederhana, namun kata katanya teratur dan tegas. "Ha-ha-ha, kuberitahupun engkau tidak akan mengenal siapa aku. Aku disebut orang Huang-ho Sin-liong din bernama Suma Kiang. Dan siapakah kalian yang berani hendak mendirikan pondok di sini Ketahuilah bahwa semua puncak di Pegunungan Thai - san merupakan wilayahku dan tidak seorangpun boleh tinggal di satu puncak tanpa seijinku!" Suma Kiang berkata dengan garang sambil menggerakkan tongkat ular hitamnya. "Aku she (bermarga) Gu akan tetap boleh disebut Si Nelayan atau Nelayan Gu," jawab yang tinggi besar. "Dan ini adalah si Petani atau Petani Lai. Kami berdua sedang mendirikan sebuah pondok untuk suhu kami yang mulia. Harap engkau tidak mengganggu kami." "Ha-ha-ha, siapa yang mengganggu, lupa" Kalianlah yang datang mengganggu ketenangan kami. Hayo cepat pergi dari sini kalau kalian tidak ingin aku mempergunakan kekerasan untuk mengusir kalian!" Dua orang yang berusia kurang lebih lima puluh tahun itu saling pandang, kemudian Petani Lai yang tinggi kurus itu berkata dengan suaranya yang lembut. "Hemm, nama Huangho Sin-liong sudah lama kami dengar. Kalau engkau hendak menguasai sekitar lembah Huang-ho, hal Itu masih pantas mengingat bahwa engkau adalah datuk lembah sungai itu. Akan tetapi kalau engkau menganggap Thai-San ini wilayahmu, sungguh lucu sekali. Apakah lembah sungai itu sudah kekurangan makan maka engkau mengungsi ke pergunungan?" Suma Kiang mengerutkan alisnya. "Tidak perlu banyak cakap. Kalian tinggal memilih ingin hidup atau ingin mat Kalau ingin hidup, cepat pergi dan aja hwesio itu meninggalkan tempat ini sekarang juga!" "Hemm, kita berada di alam terbuka bukan milik siapasiapa. Kami tidak akan pergi dari sini!" kata Nelayan Gu, suaranya keras dan tegas. Tiba-tiba Suma Eng meloncat ke depan, dan ia sudah mencabut pedangnya. Pedang itu adalah sebatang pedang yang ampuh pemberian ayahnya, yaitu Ceng-liong kiam (Pedang Naga Hijau) yang mengeluarkan sinar kehijauan. Sambil menudingkan pedangnya ke arah muka Nelayan Gu ia berkata, "Ayahku sudah menyuruh kalian pergi, mengapa kalian tidak lekas pergi melainkan banyak membantah. Jangan salahkan aku kalau pedangku yang bicara!" Gadis cilik itu memandang dengan mata menantang kepada Nelayan Gu. Melihat lagak anak perempuan itu danmendengar suaranya, Nelayan Gu tersenyum. Dia tidak merasa heran. Kalau ayahnya seperti Huang-ho Sin-liong, tentu anaknya berlagak jagoan pula! "Anak yang baik, lebih baik engkau pulanglah kepada ibumu dan belajar menyulam memainkan jarum daripada memegang pedang. Tidak baik seorang anak perempuan bermain pedang, salah-salah luka menggores tanganmu sendiri!" Nelayan Gu mengeluarkan kata-kata itu sama sekali bukan untuk mengejek, melainkan benar-benar memberi nasihat. Akan tetapi Suma Eng menjadi marah. "Jangan banyak cakap! Sambut permainan pedangku kalau engkau memang rnampu!" Dan iapun menerjang dengan pedangnya. Begitu menerjang, iapun menusukkan pedangnya ke arah lambung Nelayan Gu dan gerakannya amat cepat dan bertenaga. "Wutttt...... singggg.....!" Nelayan Gu terkejut juga melihat serangan yang hebat itu. Cukup hebat serangan itu maka diapun tidak berani memandang rendah dan cepat mengelak, kemudian dia memutar dayungnya untuk menyambut serangan lanjutan. Suma Eng memutar pergelangan tangannya, pedangnya yang tadi luput menusuk membuat gerakan balik yang cepat sekali dan kini menyambar ke arah pinggang orang dengan bacokan yang kuat "Bagus......1" Nelayan Gu memuji dan diapun menggetarkan dayungnya untuk menangkis sambil mengerahkan tenaga, karena dia ingin membuat pedang itu terlepas dari pegangan Suma Eng. Akan tetapi Suma Eng lincah sekali. Agaknya gadis cilik inipun maklum bahwa kalau mengadu tenaga, mungkin ia kalah kuat, maka cepat ia menarik kembali pedangnya dan sambil melangkah maju, pedang itu kini menusuk ke arah ulu hati lawan! Sekali ini Nelayan Gu benar-benar terkejut. Ternyata bocah itu telah memiliki ilmu pedang yang dahsyat dan gerakannya juga gesit sekali. Dia memalangkan dayungnya dan sekali ini dapat menangkis pedang. "Trangggg......!" Biarpun tangan Suma Eng terpental, namun pedang itu tidak terlepas dari pegangannya. Pedangpun terpental, akan tetapi cepat sekali pedang itu meluncur lagi dan kini menyerampang kearah kedua kaki Nelayan Gu! Begitu cepat gerakan itu sehingga yang tampak hanya sinar kehijauan menyambar kearah kaki. "Hebat....!" Nelayan Gu memuji dan terpaksa melompat ke atas. Pedang itu menyambar lewat bawah kakinya. Melihat bahwa kalau dia membiarkan dirinya maka gadis cilik itu akan terus menyerangnya, kini Nelayan Gu lalu balas menyerang dengan dayung bajanya. Dayung itu menyambar dahsyat dan mendatangkan angin yang kuat. Namun, Suma Eng lebih cepat dan iapun sudah mengelak, gerakannya bagaikan seekor burung walet. Dayung baja itu terus menyerang bertubi-tubi dan Suma Eng hanya mampu menghindarkan diri dengan loncatan-loncatan ringan. Melihat puterinya terdesak dan tidak mampu membalas serangan lawan, Suma Kiang melompat ke depan sambil menggarukkan tongkatnya dan berseru kepada puterinya. "Eng Eng, mundur kau!" "Tranggg...!" Dayung baja itu bertemu dengan tongkat ular hitam yang menangkisnya dan Nelayan Gu terhuyung ke belakang. Demikian kuatnya tongkat itu menangkis dayungnya. Ketika melawan Suma Eng tadi, jelas bahwa Nelayan Gu banyak mengalah dan tidak berniat mencelakai atau melukai gadis cilik itu. Hal ini saja sudah menunjukkan bahwa dia bukan seorang yang berwatak kejam dan tidak berniat melukai seorang anak-anak. Serangannya tadi seperti gertakan saja. Akan tetapi Suma Kiang tidak mau tahu akan kenyataan ini. Begitu dia maju dia mulai menyerang dengan tongkat ular hitamnya dan serangannya dahsyat sekali. Nelayan Gu maklum bahwa lawannya adalah seorang yang lihai, maka diapun memutar dayung bajanya dengan hati hati melindungi diri sendiri. "Mampuslah!" bentak Suma Kiang dan tongkat ular hitamnya menyambar dari atas ke bawah memukul ke arah kepala Nelayan Gu. Orang yang diserang ini memegangi dayungnya dengan kedua tangan dan memalangkannya di atas kepala untuk menangkis. "Tranggg.....!" Nelayan Gu harus mengerahkan seluruh tenaganya karena tongkat ular hitam itu menghantamnya dengan tenaga yang dahsyat. Setelah berhasil menangkis tongkat, dayung itu diputar turun kini sebelah ujungnya menyambar ke arah iga kiri Suma Kiang. Namun, datuk sesat ini sudah memutar tongkatnya lagi menyambut. Terdengar suara tang-tung tang-tung- berapa kali ketika tongkat bertemu dayung dan akibatnya, Nelayan Gu terhuyung mundur. Ternyata dalam hal tenaga lakti, Nelayan Gu masih kalah kuat setingkat dibandingkan lawannya. Akan tetapi, dengan seluruh tenaga yang dimilikinya, dia mengadakan perlawanan dengan gigih sehingga terjadilah perkelahian yang amat seru. Biarpun dia menang dalam hal tenaga sin kang, namun ilmu tongkat dayung Nelayan Gu sungguh hebat sehingga Suma Kiang mengalami kesukaran untuk merobohkan lawan ini. Diam-diam dia terkejut. Kalau orang yang memegang cangkul dan disebut Petani Lai itu maju mengeroyoknya, tentu dia menjadi repot. Apalagi kalau hwesio itu yang maju pula mengeroyok, mungkin akan sukar baginya untuk menang. Oleh karena itu, dia berseru nyaring dan tongkatnya kini menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Ternyata dia telah mainkan Ciu-sian-tung-hoat (Ilmu Tongkat Dewa Arak) yang kalau dimainkan, yang memainkannya seperti orang mabok, akan tetapi gerakan tongkat itu sukar di kuti lawan. "BukkkM" Karena bingung melihat perubahan ilmu tongkat lawan, akhirnya punggung Nelayan Gu terkena hantaman tongkat. Dia terhuyung dan melompat ke belakang. Namun tongkat itu mengejarnya dan menyambar ke aral kepalanya. "Trakkk!" Cangkul bergagang panjang itu menangkis dan selamatlah Nelayan Gu. Dia melompat ke pinggir dan kini Petani Lai yang bertanding hebat melawan Suma Kiang. Melihat betapa Petani Lai melawan Suma Kiang seorang Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo diri, dan Nelayan Gu tidak ikut mengeroyok, dapat pula diketahui watak gagah kedua orang itu Mereka tidak mau main keroyok walaupun lawan amat tangguhnya. Ini menunjukkan watak pendekar. Petani Lai juga amat lihai memainkan cangkul gagang panjangnya. Namun, setelah lewat lima puluh jurus dalam perkelahian yang seru, akhirnya harus mengakui keunggulan lawan. Dalam pertemui antara dua senjata mereka, gagang cangkul itu patah dan terpaksa Petani Lui. harus melompat ke belakang karena keadaannya berbahaya sekali. Akan tetapi Suma Kiang yang merasa penasaran karena belum dapat merobohkan seorang diantara mereka, melompat dan mengejar dengan pukulan tongkatnya yang menyambar ke arah punggung Petani Lai dengan totokan maut. Kalau ujung tongkat itu mengenai punggung, maka Petani Lai akan tertotok tewas! Demikian kejamnya hati Suma Kiang. "Wuuuuttt..... plakk!" Suma Kiang terpental ke belakang dan dia terpaksa membuat pok-sai (jungkir balik) di udara sampai tiga kali barulah dia dapat turun ke atas tanah dengan baik. Dia terkejut Bukan main karena tadi hanya melihat bayangan kuning berkelebat menangkis tongkatnya. Kiranya hwesio berkepala gundul berjubah kuning itu kini telah berdiri di depannya sambil merangkap kedua tangan di depan dada. "Omitohud.....! Hwesio itu berdoa. "Mengapa begitu kejam untuk membunuh lawan yang sudah kalah" Sicu (tuan yang gagah), membunuh merupakan dosa yang amat besar!" Suma Kiang mengerutkan alisnya. "Hwesioo , siapakah nama julukanmu?" Dia bertanya secara tidak menghormat sama sekali. "Orang menyebut pinceng (saya) Cheng Hian Hwesio." jawab hwesio itu dengan sikap tetap sopan. "Kenapa tidak kembali saja ke kuilmu dan berkeliaran di sini?" "Omitohud! Pinceng tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, tidak mempunyai kuil. Kuil pinceng adalah tubuh ini dan tempat tinggal pinceng adalah alam ini, atapnya langit dan dindingnya gunung-gunung." "Pergilah dari sini, hwesio, karena di sini merupakan wilayahku. Jangan ganggu ketenangan hidupku di sini. Pergilah!" "Omitohud! Tidak ada manusia yang memiliki gununggunung. Melihat tempat ini tidak dihuni orang maka pinceng menetapkan untuk tinggal di sjni. Pinceng dan dua orang murid tidak mengganggu siapa-siapa. Sebaliknya, siculah yang mengganggu kami yang sedang membuat pondok." "Hwesio, kalau engkau tidak mau pergi, terpaksa aku akan menggunakan kekerasan!" bentak Suma Kiang sambil menggerakkan tongkat ulat hitamnya. "Omitohud, yang menggunakan kekerasan akan menjadi korban kekerasan itu sendiri." kata hwesio itu sambil merangkapkan kedua tangan di depan dada. "Mampuslah!" bentak Suma Kiang dan dia langsung saja menerjang maju, menggerakkan tongkatnya untuk menusuk ke arah ulu hati hwesio itu. Hwesio yang mengaku bernama Cheng Hian Hwesio itu tidak mengelak, melainkan membuka kedua tangan yang dirangkap di depan dada dan menyambut ujung tongkat itu yang segera terjepit oleh kedua tangannya. Suma Kiang terkejut dan mencoba untuk menarik tongkatnya, namun tidak dapat tongkat itu ditarik, seolah-olah telah melekat pada kedua telapak tangan itu. Suma Kiang mengerahkan seluruh sin-kangnya untuk melepaskan tongkatnya, namun tetap saja dia tidak mampu. Selagi dia bersitegang hendak melepaskan tongkatnya, tiba-tiba Cheng Hian Hwesio melepaskan tongkat itu sambil mendorong dan tubuh Suma Kiang terdorong ke belakang sampai terhuyung-huyung! Suma Kiang bukan hanya terkejut, akan tetapi juga marah sekali. Dia masih belum dapat menerima kenyataan dan tidak mau percaya bahwa ada orang mampu mengalahkannya dalam segebrakan saja! Ditancapkannya tongkatnya di atas tanah dan sekali kedua tangannya bergerak ke punggung dia telah mencabut sepasang pedangnya. Tampak dua sinar hitam menyambar ketika dia mencabut Tok-coa Siang kian (Sepasang Pedang Racun Ular) yang ampuh itu. "Omitohud, pinceng tidak ingin berkelahi, Suma sicu!" Hwesio itu berseru. Akan tetapi sia-sia saja ucapannya in karena Suma Kiang sudah bergerak maju, sepasang pedangnya diputar cepat dan dia sudah menyerang dengan dahsyat sekali. Sepasang pedang itu menyambar dari arah yang berlawanan, yang kanan menyambar ke arah leher dan yang kiri menyambar ke arah pinggang. Suatu serangan berganda yang amat berbahaya karena pedang itu selain tajam dan kuat, juga mengandung racun yang kalau menggores kulit lawan, dapat mematikan seketika! "Omitohud......!" Cheng Hian Hwesi o berkata lagi dan dia menggerakkan tubuhnya mengelak sambil mengebutkan kedua ujung lengan bajunya untuk menangkis sepasang pedang itu. Suma Kiang merasa betapa kuatnya ujung lengan baju itu membentur pedangnya sehingga kedua tangannya tergetar hebat, akan tetapi datuk yang keras kepala dan selalu memandang rendah orang lain ini terus menyerang dengan hebatnya, mengirim serangan - serangan hebat. Cheng Hian Hwesio bergerak mengelak yang tampaknya lambat, namun semua serangan itu dapat dielakkan dan yang tidak terelakkan dia tangkis dengan ujung lengan baju. Betapapun saktinya Cheng Hian Hwesio, kalau dia hanya mengelak dan menangkis saja dan membiarkan Suma Kiang terus menghujaninya dengan erangan, akhirnya dia terdesak juga. "Omitohud.....! Terpaksa pinceng melawan!" Setelah berkata demikian, tubuhnya bergerak lebih cepat dan kedua ujung bajunya juga menyambar-nyambar dengan tmat cepatnya. Belum sampai tiga puluh jurus kakek ini bergerak cepat, tiba-tiba saja sepasang lengan bajunya telah menotok secara istimewa sekali dan menyentuh kedua pundak Suma Kiang. Seketika Suma Kiang tidak mampu menggerakkan tubuhnya dan berdiri seperti patung! "Sudah cukup, Suma sicu!" kata Cheng Hian Hwesio dan secepat kilat jari tangannya bergerak dua kali ke arah pundak Suma Kiang dan datuk Lembah Sunga Huang-ho ini sudah mampu bergerak kembali! Akan tetapi dasar orang jahat yang berkepala batu, begitu dapat bergerak dia sudah menubruk ke depan dan menyerang dengan sepasang pedangnya Serangan itu tiba-tiba datangnya dan amat cepat. Akan tetapi tiba-tiba dia kehilangan kakek itu. Ternyata, dalam keadaan gawat itu Cheng Hian Hwesio sudah mencelat ke atas dan kini tubuhnya turun dengan jungkir balik, tangan kanannya lurus dengan jari telunjuk menyerang ke bawah. Suma Kiang coba menghindar, namun serangan dengan satu jari itu bukan main hebatnya. Hawa serangan itu saja sudah membuat Suma Kiang tertegun dan sebelum dia sempat mengelak, jari telunjuk kakek itu sudah menyentuh pundak kirinya dan seketika tubuhnya menjadi lemas dan dia terkulai roboh! Masih untung baginya bahwa kakek itu menotok pundaknya, kalau jari itu menyentuh ubun-ubun kepalanya, tentu dia akan tewas seketika. Dia tidak tahu bahwa itulah ilmu totok It-yang-ci (Totok Satu Jari) yang amat ampuh dari Siauwlim-pai! "Omitohud, pinceng harap engkau tidak akan menggunakan kekerasan lagi, Suma sicu!" kata Cheng Hian Hwesio setelah dia turun ke atas tanah. "Berani engkau membunuh ayahku!" Tiba-tiba Suma Eng berseru dan ia menerjang maju menyerang Cheng Hian Hwesio dengan pedang Ceng-liong-kiam yang bersinar hijau. Cheng Hian Hwesio menyambut serangan ini dengan menyentil pedang itu menggunakan jari tangannya. "Tringgg.....!" Tubuh Suma Eng terbawa pedang itu terputar-putar mundur! "Omitohud, ayahmu tidak mati, anak yang u-hauw (berbakti)!" kata Cheng Hian Hwesio dan sekali tangannya bergerak menotok, Suma Kiang dapat bergerak kembali. Sekali ini, biarpun hatinya masih penuh dengan penasaran dan marah, Suma Kiang maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang yang sakti dan memiliki kepandaian jauh lebih tinggi daripada kepandaiannya. Maka diapun lalu menyimpan sepasang pedangnya di punggung, mencabut tongkat ular hitamnya dan menggandeng tangan Suma Eng sambil berkata, suaranya penuh dengan kekecewaan dan kemurungan. "Mari kita pergi dari sini, Eng Eng!" Suma Eng mengerutkan alisnya dan ia merasa penasaran dan kecewa sekali! Ayahnya yang dianggapnya orang paling jagoan di dunia ini, sama sekali tidak berdaya melawan seorang hwesio tua yang lemah! Hampir ia tidak dapat percaya kalau tidak melihat dengan mata kepalanya sendiri! Setelah mulai mendaki puncak mereka sendiri, Suma Eng tidak tahan lagi untuk berdiam diri. "Ayah, kenapa ayah kalah oleh hwesio tua yang lemah itu?" Suma Kiang menghela napas panjangi sebelum menjawab. "Eng Eng, engkau tidak tahu. Hwesio itu sama sekali tidak lemah. Dia adalah seorang sakti yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Dua orang muridnya itupun lihai, akan tetapi dibandingkan guru mereka, sangat jauh selisihnya. Sama sekali aku tidak pernah mimpi akan bertemu dengan serang yang demikian lihainya. Ini berarti kita tidak dapat lebih lama tinggal di tempat ini, Eng Eng." "Akan tetapi kenapa, ayah?" "Orang telah mengalahkan aku dan tinggal di puncak sebelah, bagaimana mungkin aku lebih lama tinggal di sini" Tentu dia akan datang menggangguku. Pula, melihat ada orang yang lebih lihai dariku, engkau harus mendapat pendidikan dari seorang sakti, karena itu engkau akan kubawa menghadap supek-ku (uwa guruku) yang bertapa di puncak Cin-ling-an." Mendengar ini wajah yang manis itu menjadi berseri. "Ah, apakah kepandaian supek-kong (kakek uwa guru) itu hebat sekali, ayah" Bagaimana kalau dibandingkan dengan hwesio tadi?" "Kalau bertanding melawan supek, Hwesio tadi pasti kalah. Di dunia ini tidak ada orang yang mampu menandingi kesaktian supek!" Suma Kiang menyombong dan puterinya tersenyum puas. "Kalau begitu aku ingin sekali belajar ilmu silat darinya." Setelah tiba di pondok mereka di puncak, mereka berkemas dan hari itu juga mereka berangkat meninggalkan Thai-san. Melihat Suma Kiang dan Suma Eng sudah pergi jauh turun dari puncak Awan Putih, Nelayan Cu dan Petani Lai lalu menghadap Cheng Hian Hwesio dan mereka menjatuhkan diri berlutut di depan hwesio itu yang masih berdiri tegak memandang ke arah perginya Suma Kiang. "Mohon paduka memberi ampun kepada hamba berdua yang tidak mampu mengusir datuk sesat itu." kata Nelayan Gu dengan sikap hormat sekali. "Sudahlah, jangan pikirkan itu. Dia memang lihai sekali, dan kalian hentikan sikap kalian ini. Ingat, telah puluhan tahun aku menjadi Cheng Hian Hwesio yang juga menjadi guru kalian. Pinceng lebih suka disebut suhu daripada sebutan muluk lainnya. Ingatlah, hanya orang bodoh yang suka berenang di lautan masa lalu. Masa lalu sudah lewat, sudah mati, saat inilah yang penting. Karena itu, rubahlah sikapmu agar jangan sampai orang lain mengetahui masa lalu pinceng." "Harap suhu sudi memaafkan kami." kata kedua orang itu hampir berbareng. "Sekarang lanjutkanlah membuat pondok untuk kita." Hwesio itu kembali duduk di atas batu besar dan melanjutkan samadhinya yang tadi terganggu dan dua orang pembantunya itupun melanjutkan pekerjaan mereka membuat pondok bambu yang sederhana. Siapakah hwesio yang sakti itu" Dan mengapa kedua orang murrdnya itu bersikap seolah berhadapan dengan seorang yang tinggi kedudukannya" Hwesio yang mengaku bernama Cheng Hian Hwesio itu bukan lain adalah Kaisar Hui Ti yang telah dinyatakan hilang ketika kota raja Nan-king diserbu oleh pamannya, yaitu Pangeran Yen yang kemudian menjadi Kaisar Yung Lo. Dia melarikan diri dan dinyatakan hilang tak tentu rimbanya. Peristiwa itu terjadi kurang lebih empat puluh tahun yang lalu. Ketika itu pendiri Kerajaan Beng, Kaisar Hong Bi atau lebih terkenal dengan nama Goan Ciang, meninggal dunia. Karena puteranya telah lebih dulu meninggal dunia karena sakit, maka yang menggantikan menjadi kaisar adalah cucunya yang bernama Hui Ti. Kaisar Hui Ti memerintah dalam usia muda, baru kurang lebih dua puluh tahun. Hal ini mendatangkan kemarahan kepada Pangeran Yen, putera Cu Goan Ciang yang lain dan yang menjadi panglima besar berkedudukan di Peking. Pangeran Yen menganggap bahwa setelah kakaknya meninggal dunia, sudah sepatutnya kalau dia yang menggantikan menjadi kaisar, bukan keponakannya, Hui Ti. Karena kemarahan ini dia lalu menggerakkan pasukannya, dari Peking menyerbu ke selatan. Dalam perang saudara ini pasukan Nan-king kalah dan pasukan Pangeran Yen menyerbu ke istana. Istana Kaisar Hui Ti terbakar sehingga ketika orang tidak menemukan Kaisar Hui Ti, dikabarkan bahwa kaisar muda Itu mati terbakar di dalamistana. Padahal, sebetulnya Kaisar Hui Ti yang muda itu tidak mati terbakar dalam istananya, melainkan berhasil lolos bersama para pengawalnya yang setia. Kaisar Hui Ti menggunduli kepalanya dan menyamar sebagai seorang hwesio perantau dan melakukan perjalanan di seluruh Tiongkok. Akhirnya dia benar-benar menjadi hwesio yang mendalami pelajaran agama. Bahkan dia bertemu dengan serang hwesio perantau yang sakti, kemudian mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi dari hwesio itu. Setelah dia menjadi tua, yang mengikutinya hanya tinggal dua orang yang sejak muda menjadi pengawalnya dan juga menjadi sahabat-sahabatnya. Dua orang pengawal itupun memiliki ilmu alat yang tinggi dan akhirnya belajar dari Cheng Hian Hwesio yang Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo telah menjadi seorang hwesio sakti. Mereka menyamar sebagai seorang nelayan dan seorang petani, kemudian disebut Nelayan Gu dan Petani Lai. Demikianlah mengapa dua orang itu bersikap seperti itu, menghormati Cheng Hian Hwesio sebagai seorang kaisar! Mereka tidak pernah melupakan bahwa hwesio itu adalah Kaisar Hui Ti. Kini dalam hati Cheng Hian Hwesio sudah bersih dari pamrih untuk kembali ke kota raja. Biarpun Kaisar Yung Lo sudah lama meninggal dunia dan dia tidak dikejar-kejar lagi, namun dia memilih menjadi hwesio yang hidup tenang dan penuh damai, mengajarkan keagamaan kepada para hwesio muda di kuil-kuil dan memilih tempat-tempat indah dan sunyi di puncak gunung gunung. Ketika melihat puncak Awan Putih d Thai-san, dia merasa suka sekali dan mengambil keputusan untuk membuat pondok di situ dan untuk sebentar" menikmati keindahan alam yang berada di tempat itu. Sama sekali tidak pernah tersangka oleh Cheng Hian Hwesio bahwa di tempat itu dia akan diganggu oleh, Huang-ho Sin-liong Suma Kiang. Akan tetapi dia telah berhasil membuat datuk sesat itu menjadi jerih dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi. Sebulan kemudian, pondok yang dibuat oleh dua orang pengawal itu telah rampung. Sebuah pondok yang cukup besar dan kokoh walaupun bentuknya sederhana. Cheng Hian Hwesio sudah duduk di atas batu besar depan rumah, dan dua orang pembantunya duduk di atas batu-batu yang lebih kecil, di kanan kiri hwesio itu. Mereka tidak bicara, namun mereka bertiga sadar sepenuhnya dan waspada akan keadaan sekeliling mereka. Betapa indahnya saat itu tidak dapat mereka gambarkan. Mereka merasa seolah-olah berada di alam lain. Awan putih seperti domba berarak di atas, ber gerak perlahan seperti sekumpulan domba yang taat dan jinak digembala oleh Sang Gembala yang tidak nampak. Sinar matahari pagi menembus awan-awan putih yang tipis, mendatangkan kehangatan di permukaan puncak Awan Putih, mengusir kabut yang masih enggan meninggalkan tanah, memaksa kabut membubung ke atas bercampur dengan awan. Permukaan puncak tampak terang dan segala yang berada di situ mulai hidup menyambut cahaya matahari pemberi kehidupan Burung-burung berkicau riang menyambut sinar matahari pagi, siap untuk mulai dengan pekerjaan mereka sehari-har mencari makan. Kuncup-kuncup bunga mulai mekar tersentuh kehangatan matahari dan ujung-ujung daun pohon masih menahan embun yang bergantungan bagaikan mutiara. Angin pagi yang sejuk segar bersilir ringan, dan tiga orang itu seperti tenggelam dalam keadaan itu. Mereka merasa menjadi bagian dari keheninga dan keindahan itu. Kebesaran dan Kekuasaan Tuhan terasa sekali dalam keadaan seperti itu dan hidup merupakan kebahagiaan, terlepas dari kesenangan dan kesusahan. Alam menjadi satu dengan kita, dan perasaan si-aku yang membuat kita hidup terpisah dari segala sesuatu, juga terikat dengan segala sesuatu, tidak terasa lagi pada saat itu. Memandang awan berarak di atas, memandang rumput-rumput hijau segar, bunga-bunga aneka warna yang indah, daun-daun pohon yang dihias mutiara embun, sudah merupakan kebahagiaan tersendiri. Bahkan menghirup udara yang bersih sejuk memenuhi rongga dada dan perut merupakan kebahagiaan tersendiri pula. Nafsu-nafsu yang biasanya meliar, dalam keadaan seperti itu menjadi jinak, tidak mengejar-ngejar, tidak menguasai diri, tidak merajalela. Nafsu yang biasanya meniadakan kebahagiaan, karena nafsu hanya mengejar kesenangan, selalu ingin mendapatkan yang lebih daripada apa adanya. Akan tetapi kita tidak mungkin hidup tanpa nafsu karena nafsu yang membuat kita mencukupi semua kebutuhan hidup. Akan tetapi kalau nafsu menguasai kita, nafsu pula yang menyeret kita ke dalam duka dan perbuatan dosa. "Suhu, mengapa hanya dalam keadaan seperti sekarang ini saja teecu (murid) merasakan suatu keadaan yang amat hahagia" Mengapa perasaan seperti ini tidak dapat terus tinggal di dalam hati tecu?" tanya Petani Lai kepada hweaio itu. Cheng Hian Hwesio tersenyum. "Omitohud! Segala macam perasaan yang meniadakan kebahagiaan adalah kalau hati akal pikiran mulai bekerja. Hati aku pikiran kita sudah bergelimang nafsu karena itu begitu hati akal pikiran mulai bekerja, yang dicarinya hanya kesenangan. Pikiran mulai membanding-bandingkan antara senang dan tidak senang, antara indah dan buruk dan selalu merindukan yang baik-baik, yang Indah-indah, yang menyenangkan saja. Sebaliknya, dalam keadaan seperti yang kau katakan itu, hati akal pikiran tidak bekerja dan apa pun yang ada diterima dengan apa ada nya dan sewajarnya, tanpa baik buruk tanpa menyenangkan atau menyusahkan dan itulah menimbulkan kebahagiaan sejati." "Kalau begitu, suhu. Apakah kita tidak boleh mempergunakan hati akal pikiran dan menyerahkan segala sesuatu, kepada keadaan saja, menerima sebulatnya?" tanya Nelayan Gu. "Omitohud, sama sekali tidak demikian. Sejak lahir kita sudah disertai akal pikiran, sudah disertai nafsu, akan tetapi semua peserta ini harus menjadi alat, jangan sampai memperalat kita. Kita berkewajiban untuk mempergunakan hati akal pikiran dan nafsu, demi kelangsungan hidup kita. Kalau matahari bersinar terlampau terik, kita dapat berusaha untuk mencari tempat teduh, sebaliknya kalau hawa udara terlampau dingin, kita wajib berusaha untuk mencari kehangatan melawan dingin. Akan tetapi kita harus menerima segala sesuatu seperti apa adanya dan bertindak sesuai dengan ke-adaan itu, tanpa mengeluh, tanpa merasa berduka, tanpa dipengaruhi untung rugi dan baik buruk. Itulah yang dinamakan hidup sesuai dengan kodrat alam." "Akan tetapi, suhu. Kalau yang mendatangkan duka itu nafsu adanya, mengapa kita tidak mematikan nafsu itu saja agar terbebas daripada duka?" "Omitohud! Tidak mungkin manusia mematikan nafsunya, karena mematikan nafsu berarti mematikan dirinya. Yang mungkin adalah mengendalikan nafsu se-hingga nafsu-nafsu kita menjadi seperti beberapa ekor kuda yang jinak dan taat agar dapat menarik kereta kita dengan benar. Kereta itu di baratkan kehidupan kita. Kalau kita dapat mengendalika nafsu, maka nafsu akan menjadi seperti kuda yang jinak dan penurut, sebaliknya kalau kita tidak mampu mengendalikan nafsu, maka nafsu akan menjadi kuda kuda liar dan akan membawa kabur kereta dengan kemungkinan masuk ke jurang dan menghancurkan kereta itu." "Akan tetapi bagaimana caranya mengendalikan nafsu yang sudah menggelimangi hati akal pikiran kita, suhu?" tanya pula Petani Lai. "Dengan menyerahkan diri kepada Yang Maha Kuasa, seikhlas-ikhlasnya mohon bimbingan dari Yang Maha Kuasa agar kita dapat terbebas dari pengaruh nafsu dan mampu mengendalikannya. Namun hal ini tidaklah mudah, perlu latihan terus menerus selama hidup kita." "Akan tetapi, suhu....." Petani Lai hendak bertanya lagi, akan tetapi Chen Hian Hwesio mengangkat tangan kirinya, ke atas dan berkata lembut, "Sudahlah,jangan bicara lagi. Tengoklah ke sekelilingmu, buka mata batinmu dan pandanglah mata pelajaran tentang hidup yang diberikan alam. Pelajaran rahasia yang tidak dapat diterima hati akal pikiran, karena kalau sudah diterima pikiran tentu diselewengkan, melainkan terimalah dengan hati dan sanubarimu. Kalau sudah begitu, segala macam pembicaraan tidak ada gunanya lapi. Sekarang, sambutlah datangnya tamu yang mendaki puncak. Tidak ada kebahagiaan yang lebih mendalam laripada menerima seorang sahabat dari jauh yang sudah lama tidak bertemu." Dua orang murid itu mengangkat muka memandang ke bawah puncak dan mereka kini melihat pula dua orang yang sedang mendaki puncak itu. Seorang kakek bertubuh pendek katai dengan rambut, sampai di pinggang dan jenggot sampai ke dada, bersama seorang pemuda remaja berusia sekitar lima belas tahun. Pemuda itu bertubuh tinggi tegap dan berwajah tampan dan anggur, pandang matanya mencorong seperti mata seekor naga! Dua orang bekas pengawal itu lalu bangkit berdiri dan cepat menyambut kakek pendek dan pemuda remaja itu. Keduanya tidak menghendaki kalau ada orang mengganggu ketenteraman guru dan junjungan mereka. Dan biarpun Cheng Hian Hwesio tadi mengatakan kedatangan sahabat, akan tetapi mereka tahu bahwa guru mereka itu menganggap semua orang sahabat. Mereka sendiri harus berhati-hati. Siapa tahu kakek yang datang itu seorang jahat seperti halnya Huang-ho Sin-liong Suma Kiang! Akan tetapi melihat kakek itu sudah tua, tidak kurang dari tujuh puluh tahun usianya, Nelayan Gu dan petani Lai segera mengangkat kedua tangan depan dada. "Selamat datang di Puncak Awan Putih, locianpwe (orang tua yang gagah). Siapakah locianpwe dan ada keperluan apakah locianpwe mendatangi tempat kami ini?" Kakek itu bukan lain adalah Bu-beng Lo-jin (Orang Tua Tanpa Nama). Dan anak remaja itu adalah Han Lin. Seperti kita ketahui, ketika Bu-beng Lo-jin berhasil mengusir Toa Ok dan Sam Ok dan menolong Han Lin, kakek itu membawa Han Lin kepada Gobi Sam-sian, tiga orang murid keponakannya itu. Dia minta agar Gobi Sam-sian menggembleng Han Lin selama lima tahun. Baru setelah lewat lima tahun, tiga orang tokoh itu diminta mengantarkan Han Lin kepadanya di puncak Thai-san. Baru beberapa hari yang lalu, Gobi Sam-sian mengantarkan Han Lin kepada supek mereka. di sebuah diantara puncakpuncak di Thai-san. Setelah menyerahkan Han Lin yang telah mereka gembleng selama lima tahun itu kepada Bu-beng Lojin, Gobi Sam-sian lalu meninggalkan Han Lin dan supek mereka. Han Lin kini telah menjadi seorang pemuda berusia lima belas tahun yang gagah. Dia telah menguasai ilmu-ilmu yang diajarkan ketiga orang gurunya. bukan hanya ilmu silat tinggi yang dipelajarinya dari Gobi Sam-sian, melainkan juga ilmu sastera dan filsafat. Dia telah menjadi seorang pemuda remaja yang pendiam, cerdik dan pandai membawa diri. Setelah Gobi Sam-sian meninggalkan puncak di mana Bubeng Lo-jin bertapa, kakek ini lalu berkata kepada Han Lin "Han Lin, sebelum aku mulai dengan mengajarkan ilmu kepadamu, terlebih dulu aku akan membawamu menghadap seorang sahabat baikku yang baru saja datang di Puncak Awan Putih dan agaknya hendak menetap di sana. Engkau perlu kuperkenalkan karena dari orang itu engkau akan dapat mempelajari berbagai ilmu kesaktian yang tinggi." Demikianlah, pada keesokan harinya! Han Lin berkunjung ke puncak di sebelah yaitu Puncak Awan Putih yang menjadi tempat tinggal Cheng Hian Hwesio. Dalam perjalanan yang sukar ini, diapun menguji ilmu meringankan tubuh dari pemuda itu dan melihat bahwa apa yang diajarkan ketiga Gobi Sam-sian ternyata tidak mengecewakan. Ketika Nelayan Gu menyambutnya dengan pertanyaan siapa dia dan ada keperluan apa datang ke tempat itu, Bu Beng Lo-jin memandang kepada dua orang Itu dan tertawa. "Ha-ha-ha, kalian berpakaian sebagai Nelayan dan petani, memegang dayung dan cangkul, akan tetapi sikap kalian seperti pengawal-pengawal yang setia kepada junjungannya! Aku adalah Kakek tanpa Nama dan aku datang hendak bertemu dengan sahabat baikku, Cheng hian Hwesio." Nelayan Gu dan Petani Lai saling pandang dan mengerutkan alisnya. Mereka merasa belum pernah bertemu dengan kakek ini, akan tetapi kakek ini telah pagi-pagi sekali Bu-beng Lo-jin mengejek dan menyindir mereka sebagai pengawal-pengawal! "Suhu sedang beristirahat dan tidak mau diganggu. Katakan dulu apa keperluanmu sebelum menghadap suhu." kata Nelayan Gu. "Ha-ha, aku tidak mempunyai keperluan apapun. Akan tetapi melihat Cheng Hian Hwesio memilih tempat tinggal di puncak Awan Putih, tidak dapat tidak ku harus mengunjunginya." "Bagaimana kalau kami berdua melarangmu?" tanya pula Nelayan Gu mencoba dan hendak melihat bagaimana sikap tamu aneh ini. Bu-beng Lo-jin tersenyum. "Ji-Ciangkun (Panglima Berdua), aku tahu benar siapa kalian dan aku tahu pula siapa junjungan kalian. Bukankah kenyataan ini sudah merupakan tanda persahabatan yang akrab" Apakah kalian masih tidak percaya kepadaku?" Terdengar suara dari atas puncak "Nelayan Gu dan Petani Lai, harap jangan memakai banyak peraturan dan persilahkan sahabat pinceng itu naik ke sini!" Dua orang murid itu menjawab, "Baik suhu. Silakan, locianpwe." "Mari, Han Lin, kita temui orang yang paling aneh dan paling baik di dunia ini." ajak si kakek katai itu dan Han Lin berjalan di belakangnya dengan sikap hormat. Bu-beng Lo-jin melangkah cepat menghampiri batu besar di mana Cheng Hian Hwesio sudah duduk menanti sambil tersenyum lebar. "Sobat, bagaimana engkau tahu bahwa pinceng berada di sini?" tanya Cheng Hian Hwesio sambil tersenyum dan kemudian sepasang matanya yang lembut memandang ke arah Han Lin dan mata itu mengeluarkan sinar kagum. "Heh-heh, sudah hampir lima tahun aku tinggal di puncak sebelah selat itu. Tentu saja aku tahu semua yang terjadi di Puncak Awan Putih. Termasuk ketika engkau mengusir Huangho Sin liong Suma Kiang dari sini." kata Bu beng Lo-jin sambil tertawa. "Omitohud! Pinceng sama sekali tidak mengusirnya." bantah Cheng Hian Hwesio. "Aku tahu! Seorang suci seperti engkau yang membunuh seekor semut pun tidak mau, bagaimana tega hati untuk mengusir seorang manusia walaupun manusia itu sejahat Suma Kiang" Akan tetapi dia telah pergi sendiri dari puncak yang selama ini menjadi tempat tinggalnya. Puterinya itu seorang vang memiliki bakat baik sekali, sayang seorang yang seperti itu dididik seorang datuk macam Suma Kiang." "Omitohud, hal itu tidak bergantung kepada pendidikan Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo seseorang, melainkan atas karma anak itu sendiri. Mudah mudahan saja ia berkarma baik dan tidak akan mewarisi watak yang jahat dari pendidiknya." "Ha-ha-ha, selamanya engkau berpengharapan baik, Cheng Hian Hwesio." "Tentu saja. Tanpa harapan-harapan haik dalam kehidupan, lalu apa isinya" Tidak mungkin hanya di si dengan keluh kesah belaka. Akan tetapi siapakah anak yang datang bersamamu, Lo-jin?" Bu-beng Lo-jin menoleh kepada Han lin dan berkata, "Dia adalah muridku." "Bagus, pinceng ikut gembira melihat engkau memiliki seorang murid yang baik, Lo-jin." "Aku membawanya menghadapmu agar engkau sudi menjulurkan tangan menolongnya dengan membimbingnya dan mengajarnya satu dua macam ilmu yang kau kuasai, Cheng Hian Hwesio." "Omitohud......! Setelah mempunyai guru seperti engkau, ilmu apa lagi yang dapat diajarkan orang lain kepada muridmu?" "Aku bicara sungguh-sungguh, hwesio tua! Aku menginginkan agar engkau mengajarkan ilmumu kepada anak ini. Sebaiknya kalau dua orang muridmu itu menguji dulu sampai di mana tingkat kepandaian anak ini sehingga kelak mudah bagimu untuk mengajarnya. Nelayan Gu Petani Lai, ajaklah muridku ke belakang dan ujilah sampai di mana tingkat kemampuannya!" Dua orang itu hendak membantah akan tetapi Cheng Hian Hwesio menggerakkan tangan kepada mereka sambil berkata. "Lakukanlah apa yang mintanya. Kalian tidak akan mampu membantah kemauannya!" Dan hwesio itu tertawa lembut. Nelayan Gu dan Petani Lai saling pandang, lalu dengan sikap apa boleh buat mereka mengajak Han Lin. "Anak muda, marilah engkau ikut dengan kami ke belakang pondok!" Han Lin adalah seorang anak yang cerdik. Tanpa dijelaskanpun dia sudah maklum akan apa yang dimaksudkan oleh dua orang tua itu, maka diapun bangkit berdiri dan mengikuti dua orang itu tanpa bertanya apalagi membantah. Setelah Han Lin pergi bersama dua orang itu, Cheng Hian Hwesio berkata kepada Bu-beng Lo-jin sambil tersenyum. "Lojin, engkau agaknya hendak bicara padaku tanpa didengar anak itu. Nah, katakanlah, apa yang hendak kaubicara-kan itu?" "Ha-ha-ha, siapa yang akan dapat membohongimu" Agaknya engkau dapat membaca isi hati dan pikiran orang! Memang sesungguhnya aku ingin bicara denganmu mengenai anak itu dan kalau aku sudah bicara, aku tanggung engkau tidak akan ragu lagi untuk menurunkan ilmu-ilmu mu kepadanya." "Katakanlah, tidak baik menyimpan rahasia." "Ceng Hian Hwesio, engkau tentu mengetahui siapa adanya Kaisar Cheng Tung, bukan?" Hwesio itu tersenyum. "Apakah engkau hendak menggoda pinceng, Lo-jin" Tentu saja pinceng tahu siapa adanya Kaisar Cheng Tung, karena dia masih terhitung cucu-keponakan pinceng sendiri." "Dan tahukah engkau bahwa Kaisar Cheng Tung pernah ditawan selama hampir dua tahun oleh seorang kepala suku Mongol?" "Kekalahan pasukan Beng di Hu lai itu" Suatu perbuatan yang bodoh sekali dari Kaisar Cheng Tung'" kata Cheng Hian Hwesio. "Akan tetapi akhirnya dia dibebask dan ini merupakan suatu kebijaksanaa dari kaisar itu sehingga dia tidak dibunuh bahkan di sana dia telah menikah dengan seorang Puteri Mongol!" "Ah, benarkah itu?" "Dan anak yang dilahirkan Puteri Mongol itu seorang anak laki-laki, bernama Cheng Lin yang kemudian disebut Han Lin agar jangan diketahui orang bahwa dia keturunan Kaisar Cheng Tung. Dan pangeran berdarah Mongol itu adalah anak yang menjadi muridku itu." "Omitohud.......' Cheng Hian Hwesi tertegun lalu termenung. "Ya, dia adalah putera Kaisar Cheng Tung dan kalau kaisar itu masih terhitung cucu-keponakanmu sendiri, berarti Han Lin adalah cucu-buyut-keponakanmu." "Omitohud! Bagaimana bisa begini kebetulan" Bagaimana dia dapat menjadi muridmu dan di manakah ibunya?" "Panjang ceritanya," kata Bu-beng Lo-jin sambil menarik napas panjang. "Setelah melahirkan, tiga tahun lamanya Puteri Mongol itu menanti-nanti penjemputan dari Kaisar Cheng Tung, namun tidak kunjung tiba jemputan itu. Kemudian, muncul datuk sesat Huang-ho Sin-liong Suma Kiang yang menculik ibu dan anak itu dan membawa mereka keluar dari perkampungan Mongol. Agaknya Suma Kiang itu merupakan utusan dari kota raja, mungkin dari para pangeran lain untuk membunuh ibu dan anak itu. Kebetulan sekali murid keponakanku, Gobi Sam-sian, melihatnya dan mereka bertiga menolong dan menyelamatkan ibu dan sejak itu, membawanya mengungsi ke selatan. Akan tetapi tujuh tahun kemudian, Suma Kiang muncul lagi bersama Sam Ok dan mereka berhasil merampas anak Itu. Sedangkan ibunya terpukul oleh Suma Kiang dan jatuh ke dalam jurang yang amat dalam. Ketika aku datang, anak itu diperebutkan antara Sam Ok dan Toa Ok maka aku turun tangan menyelamatkannya. Kemudian aku membawanya menyusul Gobi Sam-sian. Kiranya mereka tek luka-luka oleh Suma Kiang dan Sam Ok bahkan It-kiam-sian buntung lengan kanannya oleh Sam Ok. Setelah mengobati mereka aku lalu menyerahkan Han Lin kepada mereka untuk digembleng lagi selama lima tahun. Setelah lewat lima tahun beberapa hari yang lalu mereka mengantarkan Han Lin kepadaku untuk menjadi muridku. Aku lalu teringat bahwa engkau berada di Puncak Awan Putih ini, maka aku membawanya ke sini agar engkau membantu aku menggemblengnya dengan ilmu-ilmu yang kau kuasai." "Omitohud......Kasihan sekali anak itu. Baiklah, Lo-jin. Setelah pinceng memilih tinggal di sini, pinceng akan mendidik anak itu bersamamu." Sementara itu, Han Lin mengiringi Nelayan Gu dan Petani Lai menuju belakang pondok di mana terdapat sebuah taman yang baru dibuat sehingga tumbuh-tumbuhannya belum banyak. Dua orang itu berhenti di petak rumput bawah pohon lalu Nelayan Gu berkata kepada Han Lin. "Anak muda, engkau mendengar sendiri tadi betapa gurumu menyuruh kami untuk menguji kepandaianmu. Karena itu, keluarkan senjatamu dan cobalah engkau melawan aku selama beberapa jurus, hadapi tongkat dayungku ini!" Han Lin memandang dengan sinar mata tajam, kemudian dia berkata dengan sikap hormat. "Locianpwe......" "Jangan sebut aku locianpwe. Cukup sebut aku Paman Nelayan dan dia itu Paman Petani." kata Nelayan Gu. "Baiklah, paman. Karena saya tidak memiliki senjata, bolehkah kalau saya mengambil dari pohon ini?" Dia menuding ke atas, ke arah pohon besar yang tumbuh di situ. "Tentu saja boleh!" jawab Nelayan Han Lin segera mengangkat mukanya, matanya mencaricari kemudian sekali dia menggerakkan tubuhnya, dia telah meloncat ke atas dan menghilang ke dahan pohon yang daunnya lebat itu. Tak lama kemudian terdengar suara kayu patah dan dia sudah melompat turun lagi sambil membawa sebatang cabang pohon sebesar lengan dan panjangnya satu meter lebih Dia membuangi ranting dan daun pada cabang itu dan jadilah sebatang tongkal kayu yang akan dipergunakan sebagai senjata! Jilid VI MELIHAT ini, Nelayan Gu merasa tidak enak sekali. Dayung bajanya akan dihadapi oleh pemuda remaja itu hanya dengan sebatang kayu! Dia sejak mudanya telah mempelajari ilmu silat dan bekerja sebagai seorang pengawal. Kemudian dia bahkan memperdalam ilmunya, bersama Petani Lai, dibawah bimbingan Cheng Hian Hwesio sendiri yang sudah menjadi orang sakti setelah berguru kepada seorang hwesio perantau dari siauw-lim-pai. Bagaimana mungkin kini dia harus menghadapi seorang pemuda remaja yang hanya bersenjatakan sebatang kayu sedangkan dia mempergunakan dayung bajanya yang ampuh" "Anak muda, aku menggunakan dayung baja, bagaimana mungkin engkau akan melawanku hanya menggunakan sebatang tongkat kayu?" "Maaf, Paman Nelayan. Hanya ini senjata yang saya kenal." "Apakah kakek yang menjadi gurumu itu tidak mengajarkan ilmu menggunakan senjata lain kepadamu?" "Kakek itu baru saja menjadi guru dan belum mengajarkan apa-apa. Ketiga guruku yang dahulu mengajarkan saya menggunakan tongkat seperti ini yang dapat dipergunakan sebagai tongkat, sebagai pedang, dan juga sebagai gagang kebutan. Saya tidak mengenal senjata lain, paman." "Hemm, baiklah kalau begitu. Akupun hanya bertugas untuk mengukur sampai di mana kemampuanmu. Sekarang, lihat seranganku dan sambutlah!" Setelah berkata demikian, Nelayan Gu menggerakkan dayungnya. Dayung itu berat dan digerakkan dengan tenaga yang kuat, maka dayung itu menyambar dan mengeluarkan suara mendengung! Dayung itu menyambar ke arah kepala Han Lin. Anak ini selama lima tahun telah digembleng oleh Gobi Sam-sian dan tiga orang tokoh itu telah menurunkan ilmu-ilmu mereka kepada Han Lin. Biarpun usianya baru lima belas tahun namun Han Lin sudah menguasai ilmu-ilmu yang tinggi. Melihat sambaran dayung yang dahsyat ini, Han Lin mempergunakan keringanan tubuhnya dan mengelak dengan cepat sambil menekuk kedua lututnya sehingga ubuhnya merendah dan dayung itu lewat di atas kepalanya. Menggunakan kesempatan yang amat singkat itu, Han Lin sudah menusukkan tongkatnya ke arah ulu hati lawan. "Hemm....!" Nelayan Gu kagum juga. baru segebrakan saja anak muda Itu sudah mampu membalas serangannya! Dia meemutar tongkatnya dengan kuat untuk menangkis tongkat kayu dan sekaligus mengukur kekuatan pemuda itu. Demikian cepatnya tangkisan itu sehingga Han Lin ndak sempat lagi untuk menghindarkan tongkatnya dari benturan dengan dayung baja. "Tunggg.....'!" Han Lin merasa lengannya tergetar akan tetapi dia sudah memutar tubuhnya untuk mematahkan getaran itu dan meloncat ke kiri ketika dayung itu menyambar ke arah pinggangnya. Akan tetapi dayung itu dengan cepat dan hebatnya sudah menyambar lagi, kini menyerampang kedua kakinya. Dengan gerakan amat ringan dan cepat, ginkang yang dilatihnya dari Pek-tim-sian, Han Lin melompat ke atas dan dayung itu menyambar ke bawah kakinya. Dan dari atas itu kaki kanan Han Lin mencuat dan sudah menyambar ke arah dagu Nelayan Gu! Nelayan Gu terkejut sekali dan tahu bahwa anak itu telah memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang hebat. Terpaksa dia mengelak ke belakang katau tidak ingin dagunya tertendang! Mereka sudah bergerak lagi saling serang. Hebatnya, Han Lin tidak terdesak hebat, bahkan dapat membalas serangan lawan. Tentu saja Nelayan Gu tidak berkelahi dengan sungguh-sungguh karena diapun hanya ingin menguji saja. Setelah tiga puluh jurus mereka bertanding, Petani Lai berseru sambil melompat ke depan. "Biarkan aku mengujinya!" Mendengar ini, Nelayan Gu melompat kebelakang dan Petani Lai sudah menggerakkan cangkul gagang panjangnya, menyerang dan serangannya memang aneh. serangan itu digerakkan seperti orang mencangkul. Cangkul menyerang ke arah kepala Han Lin dan ketika Han Lin mengelak, cangkul itu membuat gerakan membalik dan menyerang lagi seperti mengungkit! Han Lin terkejut. Serangan senjata cangkul itu asing baginya, namun dengan menggunakan gin-kangnya, dia selalu dapat mengelak dan kadang dia menangis dengan tongkatnya. Dia tahu bahwa menghadapi lawan inipun dia kalah kuat dalam hal tenaga sakti, akan tetapi bagaimanapun juga dia masih menang dalam hal kecepatan gerakan. Karena itu dia mengandalkan kecepatan gerakan tubuhnya untuk mengelak dan membalas serangan lawan. Diam-diam Petani Lai, seperti juga Nelayan Gu, merasa kagum sekali. Biarpun kalau dalam perkelahian yang sungguh-sungguh anak ini belum dapat mengalahkannya, akan tetapi tingkat kepandaiannya sudah demikian tinggi sehingga mampu menandinginya selama tiga puluh jurus lebih. Kalau anak ini memiliki tenaga sin-kang lebih hebat sedikit saja, tentu dia akan sukar mengalahkannya. Setelah lewat tiga puluh jurus, dia pun merasa cukup dan melompat ke belakang sambil berseru, "Cukup!" Han Lin juga menghentikan gerakannya dan membuang tongkatnya lalu menjura kepada mereka berdua. "Banyak terima kasih atas petunjuk yang paman berdua berikan kepada saya." Dua orang itu merasa senang. Seorang anak yang pandai membawa diri dan sopan sekali, seperti seorang anak yang terpelajar baik. "Mari kita kembali menghadap suhu" kata Nelayan Gu dan mereka bertiga kembali ke depan pondok. Di sana mereka melihat betapa Bu-beng Lo-jin kini sedang asyik bermain catur melawan-Cheng Hian Hwesio. Dua orang kakek itu berhenti berma catur dan Cheng Hian Hwesio memandang kepada Han Lin, kemudian kepada dua orang pembantunya lalu bertanya. "Bagaimana dengan hasil ujian kalian terhadap anak ini?" "Suhu, dia sudah memiliki dasar yang kuat, dapat menandingi teecu (murid) berdua lebih dari tiga puluh jurus dengan bersenjatakan sebatang kayu. Biarpun tecu masih menang dalam hal tenaga Sin-kang, namun ilmu gin-kang yang dimilikinya sudah lebih tinggi dari yang tecu kuasai." Nelayan Gu melapor. Mendengar ini, wajah Cheng Hian Hwesio tampak berseri. "Bagus! Han Lin, maukah engkau mempelajari ilmu silat dari pinceng?" Mendengar ini, Han Lin yang cerdik segera menjatuhkan dirinya berlutut di depan kakek itu. "Sebelumnya teecu Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo menghaturkan terima kasih atas budi kebaikan suhu." "Omitohud, pinceng senang sekali. Akan tetapi ingatlah bahwa engkau adaan murid Bu-beng Lo-jin dan bahwa pinceng hanya ikut memberi beberapa macam ilmu yang kiranya berguna bagimu. Setiap bulan sekali engkau boleh endaki puncak ini untuk menerima bimbingan beberapa macam ilmu dari pinceng." "Cepat haturkan terima kasih, Han Lin!" kata Bu-beng Lojin sambil tertawa, "sebelum hwesio yang aneh ini balik pikir!" Han Lin memberi hormat kepada Cheng Hian Hwesio. "banyak terima kasih teecu haturkan dan teecu berjanji akan menaati semua petunjuk suhu." Pada saat itu, terdengar teriak orang. "Losuhu, tolonglah saya.....!" Semua orang menengok dan tampaklah seorang pemuda remaja dengan wajah pucat, rambut awut-awutan dan pakai cabik-cabik, napas terengah-engah mendaki puncak itu lalu menjatuhkan diri dan berlutut di depan batu yang diduduki Ceng Hian Hwesio. Cheng Hian Hwesio mengamati wajah pemuda itu dengan penuh perhatian. Pemuda itu berusia sekitar enam belas tahun, bentuk tubuhnya tinggi besar dan gagah, wajahnya juga tampan sekali, walaupun pakaiannya seperti pakaian seorang petani dan sudah compang-camping pula. Kedua lengannya tampak luka-luka Berdarah. Nelayan Gu dan Petani Lai mengerutkan alisnya dan sudah hendak menegur anak muda yang berani mendaki puncak itu, mengganggu ketenangan guru mereka. akan tetapi Cheng Hian Hwesio mendahului mereka. "Omitohud, anak muda, siapakah engkau dan mengapa pula engkau berlari lari minta tolong kepada pinceng?" Ditanya demikian, pemuda itu lalu menangis. "Celaka, losuhu (guru tua, sebutan untuk pendeta). Seluruh keluarga saya mereka bunuh.....! Dan saya nyaris dibunuh juga, maka saya melarikan diri ke puncak ini.... mohon pertolongan losuhu......" Anak itu menengok ke belakang, agaknya khawatir kalau ada yang mengejarnya dari belakang. "Omitohud, siapakah mereka yang membunuh dan mengapa pula keluargamu dibunuh?" "Saya..... saya tidak tahu, losuhu. mereka serombongan terdiri dari lima utau enam orang, datang-datang mengamuk dan membunuhi orang. Ayah dan ibu saya, dua orang saudara saya dan dan seorang paman saya mereka bunuh. empat orang tetangga sebelah yang datang hendak menolong kami mereka bunuh. Saya telah melawan mati-matian namun mereka itu demikian ganas kejam. Akhirnya saya mampu meloloskan diri dan mereka kejar-kejar dan sampai melarikan diri naik ke puncak ini." "Di mana engkau tinggal?" "Kami tinggal di dusun bawah lereng sana, losuhu.....'" Pemuda remaja itu menuding ke bawah, dan air matanya mas bercucuran. "Nelayan Gu, obati luka-lukanya dan kemudian bersama Petani Lai kalian lihatlah apa yang terjadi di dusun anak ini. Ajak dia untuk menjadi petunjuk jalan," kata Cheng Hian Hwesio. Nelayan Gu dan Petani Lai mengajak anak itu memasuki pondok, mengobati luka-luka di lengannya, kemudian mengajaknya turun dari puncak. Ternyata anak muda itupun pandai berlari cepat dan tak lama kemudian tibalah mereka di sebuah dusun yang terpencil. Sebetulnya bukan dusun karena hanya terdiri dari tiga rumah yang sederhana! Ketika mereka menghampiri rumah itu, Nelayan Gu dan petani Lai segera melihat mayat beberapa orang berserakan di situ. Ketika mereka sedang memeriksa mayat-mayat itu, terdengar rintihan dan pemuda itu lalu melompat dan menubruk seorang laki-laki yang agaknya belum tewas. "Ayah.....!" Pemuda itu berseru dan dia mencabut sebatang pisau yang masih menancap di dada orang itu. Nelayan Gu dan Petani Lai melompat. "Jangan cabut....." Akan tetapi terlambat. Pemuda itu sudah mencabutnya dan dia memanggilmanggil ayahnya, mengguncang-guncang tubuhnya dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya memegang pisau yang masih berlumuran darah itu. "Ayah.....! Ayah....U" teriaknya sambil menangis. Laki-laki berusia lima puluh tahun itu masih mampu bergerak, mengangkat mukanya memandang pemuda itu, menggerakkan tangan dengan lemah mencoba meraih kepala anak itu. "Kau..... kau.....!" Diapun terkulai tewas. Nelayan Gu dan Petani Lai meloncat mendekat, akan tetapi ketika mereka memeriksa, laki-laki itu telah meninggal dunia. "Ayah.....! Ayah.....!" Anak itu memanggil-manggil terus. "Lepaskan dia. Dia telah tiada." ka Petani Lai. "Ayah....!!!" Pemuda Itu melempar pisau yang berlumur darah, menubruk ayahnya dan menangis tersedu-sedu atas dada ayahnya sehingga darah ayahnya mengenai baju dan dagunya. "Cukup! Yang mati tidak perlu ditangisi lagi. Tidak ada gunanya!" Nelaya Gu membentak dan pemuda itu melepaskan rangkulannya, berhenti menangis akan tetapi masih sesenggukan menahan tangisnya. Nelayan Gu dan Petani Lai lalu mengadakan pemeriksaan. Mereka memeriksa mayat itu satu demi satu dan semuanya tewas karena tusukan pisau belati itu. Ayah dan ibu anak itu, lalu dua orang kakak dan adiknya, dua orang pamannya dan empat orang laki-laki lain yang menurut pemuda itu adalah tetangganya. semua ada sepuluh orang yang terbantai di tempat itu secara kejam sekali. Dua orang bekas pengawal itu mengadakan pemeriksaan dengan teliti dan mendapat kenyataan bahwa rumah itu tidak diganggu barang-barangnya. "Apakah ada barangnya yang hilang?" tanya Petani Lai kepada pemuda itu. Pemuda itu seperti orang yang ling-lung Karena duka mengadakan pemeriksaan. Tidak banyak yang dimilikinya dan dia menggeleng kepala. "Tidak ada barang yang hilang." katanya lirih, dan air matanya kembali mengalir bila mana dia menoleh kepada mayat ayah dan ibunya. "Hemm, berarti para pembunuhnya bukan golongan perampok. Keadaan tiga keluarga ini sederhana saja, tidak memiliki barang-barang berharga, juga tidak kehilangan sesuatu. Lalu apa yang menyebabkan pembunuhan begini banyak orang ini?" kata Nelayan Gu. "Anak malang, siapakah namamu?" "Saya she (marga) Coa, bernama Se akan tetapi panggilan sehari-hari adalah A-seng," jawab pemuda remaja itu. "Seluruh keluargamu terbunuh akan tetapi engkau mampu membebaskan diri juga tadi engkau pandai berlari cepat. Siapakah gurumu dalam ilmu silat?" "Seorang tosu pengembara yang kebetulan lewat di tempat tinggal kami mengajarkan ilmu silat kepada saya, akan tetapi dia tidak mengatakan siapa naman dan bahkan tidak ingin diketahui siapa namanya. Saya sempat dilatih selama beberapa tahun kemudian disuruh latihan seorang diri. Dengan segala kemampuan saya, saya melawan ketika hendak dibunuh dan akhirnya dapat melarikan diri walaupun luka-luka pada lengan saya." "Siapakah orang-orang yang membunuh keluargamu" Apakah engkau mengenal mereka?" tanya Petani Lai yang juga tertarik sekali ingin mengetahui siapa pembunuhpembunuh sadis yang membantai sepuluh orang dusun yang tak berdosa Itu. "Saya tidak mengenal mereka, akan tetapi di baju mereka bagian dada ada gambar seekor harimau hitam." "Seekor harimau hitam" Apa engkau tahu apa artinya itu?" Nelayan Gu bertanya. A-seng menggeleng kepalanya. "Saya hanya pernah mendengar bahwa di balik puncak ini terdapat sebuah perkampungan yang menjadi tempat tinggal Hek-houw-pang (Perkumpulan Harimau Hitam) yang kabarnya ditakuti semua orang karena mereka bersikap ugal-ugalan. Akan tetapi saya sendiri tidak pernah pergi ke sana, apa lagi bertemu dengan mereka." "Hek-houw-pang....." Petani Lai, pernahkah engkau mendengar tentang Hek-houw-pang?" tanya Nelayan Gu kepada Petani Lai yang dijawab dengan gelengan kepala. "Sekarang lebih baik kita mengurus mayat-mayat ini terlebih dulu. Karena di sini tidak ada orang lain, terpaksa kita bertiga yang harus menguburnya dan setelah itu baru kita melapor kepada suhu" kata Petani Lai. Mereka bertiga lalu bekerja. Menggunakan cangkul gagang panjang yang selalu dibawa Petani Lai, dia menggali tanah belakang rumah-rumah itu dengan cepat Nelayan Gu dan Aseng membantunya dengan menggunakan cangkul yang mereka temukan di pondok ketiga orang tani itu. Kalau tidak dikerjakan oleh Petani Lai dan Nelayan Gu, tentu akan makan waktu lama menggali sepuluh buah lubang kuburan itu. Akan tetapi kedua orang adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi dan memiliki tenaga sakti yang membuat pekerjaan itu dapat dilakukan cepat sekali. Apalagi A-seng ternyata juga merupakan seorang pemuda yang kuat dan dapat menggali dengan cepat walaupun dilakukan dengan kadang diselingi tangisnya karena kematian keluarganya. Setelah selesai mengubur sepuluh jenazah itu dan membiarkan A-seng berlutut sambil menangis menyebut ayah ibunya nelayan Gu lalu menyentuh pundaknya, "Sudahlah, cukup engkau menangis. Sekarang mari kita menghadap suhu untuk mendapatkan petunjuk beliau selanjutnya." A-seng bangkit dan sambil menundukkan mukanya dengan sedih diapun mengikuti kedua orang itu mendaki Puncak Awan utih. Setelah Nelayan Gu, Petani Lai dan A-seng pergi meninggalkan puncak, Bung Lo-jin berkata kepada Han Lin. "Han Lin, sekarang tunjukkanlah kepada kami apa saja yang sudah diajarkan Gobi Sam-sian kepadamu. Bersilatlah menggunakan tongkat seperti ketika engkau melawan Nelayan Gu dan Petani Lai tadi. Aku sendiri juga ingin mengetahui sampai di mana kemampuanmu." Han Lin mematuhi permintaan Bu-Beng Lo-jin. Dia mencari lagi sebatang kayu cabang pohon, dijadikannya tongkat lalu mulailah dia bersilat. Tongkat itu dimainkan sesuai dengan ilmu tongkat yang dipelajarinya dari Ang-bin-sian, kemudian dia mainkan seperti pedang sesuai dengan ajaran It-kiam-sian, kemudian dia mainkan sebagai gagang kebutan yang melakukan totokan-totokan seperti yang diajarkan Pek-timsian. Dua orang kakek itu menonton dengan senang dan mengangguk-anggukkan kepalanya. "Cheng Hian Hwesio, apakah engkau hendak menerima pemuda tadi sebar muridmu?" "Kalau perlu, mengapa tidak" Ayah ibunya telah tewas dan dia hidup sebatang kara, perlu ditolong, bukan?" "Akan tetapi aku melihat bahwa anak itu terlalu cerdik, hal ini dapat dilihat dari gerakan matanya. Engkau belum mengenal benar asal-usulnya, bagaimana demikian mudah menerimanya sebaga murid" Bagaimana kalau engkau salah pilih?" "Omitohud, pinceng bermaksud baik. Kalau ternyata keliru, hal itu adalah sudah menjadi karma masing-masing. Kenapa engkau menaruh curiga kepada orang anak malang yang belum kau kenal keadaannya?" Bu-beng Lo-jin tertawa. "Ha-ha bukan curiga, Cheng Hian Hwesio. Hanya aku teringat bahwa ilmu silat yang kau Ajarkan tentulah ilmu silat tingkat tinggi dan ilmu itu akan berbahaya sekali kalau sampai dimiliki seorang yang pada dasar-nya memang jahat. Kalau engkau salah memilih murid, berarti engkau mencipta-kan bencana bagi dunia di kemudian hari." "Omitohud, maksudmu memang baik, Bu-beng Lo-jin. Akan tetapi engkau kurang tebal kepasrahanmu kepada Yang Maha Kuasa. Yang terpenting bagi kita adalah meneliti dengan waspada bahwa apa yang kita lakukan tidak menyimpang daripada kebenaran. Adapun hasilnya bagaimana, hal itu terserah kepada Yang Maha Kuasa. Bukankah begitu seharusnya?" "Ha-ha-ha, aku tidak hendak berbantahan denganmu, Cheng Hian Hwesio. Aku hanya memperingatkan, karena kalau engkau salah pilih, kelak engkau sendiri akan terseret ke dalam kesulitan." "Omitohud, terima kasih atas perhatianmu, Lo-jin. Akan tetapi tentu saja pinceng bertanggung jawab sepenuhnya atas segala yang pinceng lakukan." "Bagus kalau begitu. Sekarang, perkenankan kami untuk pulang lebih dulu. sebulan sekali aku akan menyuruh Lin datang ke Puncak Awan Putih untuk menerima petunjuk darimu." "Baiklah, Lo-jin. Dan engkau, Han Lin. Setiap malam bulan purnama, datanglah ke sini. Nelayan Gu dan Petani Lai tentu akan membiarkanmu masuk karena mereka berdua sudah tahu bahwa engkau akan belajar ilmu dari pinceng." "Baik, losuhu dan terima kasih atas budi kebaikan losuhu." kata Han Lin sambil memberi hormat. Kemudian, dia dan Bubeng Lo-jin meninggalkan puncak itu, kembali ke puncak tempat kediama mereka sendiri. Ketika Nelayan Gu, Petani Lai da A-seng kembali ke puncak, mereka melihat Cheng Hian Hwesio masih duduk di atas batu sambil memejamkan kedua matanya. Melihat hwesio tua itu sedang bersamadhi, mereka tidak berani mengganggunya. Akan tetapi A-seng menangis dan isak tangisnya agaknya membangunkan hwesio itu. Dia bergerak menoleh dan melihat mereka bertiga, maka dia lalu menegur. "Nelayan Gu, Petani Lai, apa yang telah terjadi di sana?" Dua orang itu menghadap guru mereka, sambil berlutut, di kuti pula oleh A-seng, mereka bercerita. "Seluruh keluarga A-seng, juga empat orang tetangganya, berjumlah sepuluh orang semua terbantai dan tewas, suhu. Pembantaian yang kejam karena agaknya sepuluh orang itu tidak mampu melawan sama sekali. Para pembunuh itu tidak mengambil apa-apa dan tidak meninggalkan bekas. Akan tetapi menurut keterangan A-seng ini, dia melihat bahwa di Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo baju bagian dada para pembunuh itu terdapat lukisan seekor harimau hitam, dan dia pernah mendengar tentang gerombolan yang menamakan diri mereka Hek-houw-ang dan tinggal di balik puncak." "Omitohud! Begitu kejam mereka itu. Nelayan Gu dan Petani Lai, kalian harus menyelidiki ke balik puncak dan bertanya mengapa mereka membunuhi warga dusun yang tidak berdosa. Kalau perlu mereka itu pantas dihukumi" Meskipun sudah menjadi hwesio selama puluhan tahu namun watak adil seorang kaisar masih melekat di hati Cheng Hian Hwesio "Engkaupun ikutlah dengan mereka, kalau perlu menjadi saksi mata terhadap para pembunuh itu!" Sambungnya kepada A-seng. Berangkatlah ketiga orang itu menuruni Puncak Awan Putih dan Cheng Hian Hwesio melanjutkan samadhinya. Mereka turun dari puncak melalui timur dan belum pernah mereka melalui jalan ini maka mereka mencari jalan yang amat sukar itu. Namun kedua orang pembanti atau murid Cheng Hian Hwesio itu adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi, maka mereka dapat maju terus menuruni puncak yang sukar itu. Yang membuat mereka kagum adalah ketika mereka melihat kenyataan betapa A-seng juga mampu mengikuti mereka walaupun perjalanan itu kadang-kadang amat sukar, harus menuruni tebing dan memanjat sambil berpegangan kepada akar-akar dan hatu-batu gunung. Matahari telah condong ke barat ketika mereka tiba di lereng puncak yang ditumbuhi hutan. Mereka memasuki hutan itu dan di tengah hutan mereka melihat buah perkampungan. Ketika mereka tiba di pintu gerbang perkampungan itu, di depan pintu gerbang terdapat papan nama yang berbunyi "Hek Houw Pang" (Perkumpulan Harimau Hitam). Mereka berhenti dan tiba-tiba saja tampak banyak tubuh berkelebatan dan di lain saat mereka telah dikepung oleh belasan orang yang memegang golok di tangan dan sikap mereka garang sekali. Seorang di antara mereka yang mukanya penuh brewok dan bertubuh tinggi besar mengelebatkan goloknya dan bertanya dengan suaranya yang parau. "Siapakah kalian bertiga yang berani datang ke tempat kami tanpa ijin?" Nelayan Gu dan Petani Lai bersikap tenang. Nelayan Gu melihat bahwa pada baju bagian dada orang-orang itu memang terdapat sulaman gambar seekor harimau hitam. Cocok dengan keterangan A-seng maka dia berpendapat tentu mereka inilah yang telah melakukan pembantaian terhadap sepuluh orang dusun itu. "Aku disebut Nelayan Gu, dan rekanku ini adalah Petani Lai, sedangkan anak ini bernama A-seng. Kami datang untuk bicara dengan pimpinan kalian, maka kami minta menghadap Ketua Hek-houw pang." kata Nelayan Gu dengan sikap tenang. "Ha-ha-ha, tidak begitu mudah untuk dapat bertemu dengan ketua kami. Kalau engkau ada urusan, cukup bicara dengan aku saja sebagai wakil ketua di sini." "Kami membawa urusan besar dan hanya ingin bicara dengan ketua kalian. Harap bawa kami menghadap." kata pula Nelayan Gu. "Hemm, untuk dapat bertemu dengan ketua kami, engkau harus mendapatkan kuncinya!" "Bagaimana kami mendapatkan kuncinya?" "Kuncinya ada padaku! Kalau engkau dapat menandingi aku Tiat-ciang Hek-houw (Harimau Hitam Tangan Besi) baru engkau boleh bertemu dengan ketua kami." Setelah berkata demikian, Tiat-ciang -houw itu lalu memutar goloknya di depan dada dengan sikap menantang sekali. "Bagus, kalau begitu biar aku yang akan menandingimu. Apakah engkau hendak berjanji bahwa kalau aku dapat menangkan engkau, kami bertiga boleh langsung menghadap ketua kalian?" "Ha-ha-ha, tidak mungkin engkau akan mampu mengalahkan Tiat-ciang Hek-houw! Baik, kalau engkau mampu menangkan aku, kalian boleh bertemu dengan ketua kami, Toat-beng Hek-houw (Harimau Hitam Pencabut Nyawa)!" Kemudian dia berseru kepada teman-temannya yang masih mengerumuni mereka. "Minggir kalian, beri kami lapangan yang luas untuk bertanding!" Semua orang mundur dan kini dua orang itu berhadapan, sama-sama tinggi besar bagaikan dua orang raksasa yang sedang berlagak hendak mengadu kesaktian. Petani Lai juga membawa A-seng untuk mundur dan hanya menonton dari pinggiran. Dia percaya penuh akan kemampuan kawannya, maka dia menonton dengan sikap tenang saja. Sebaliknya A-seng yang kelihatan gelisah. "Coba amati, siapa di antara mereka yang membunuh keluargamu?" tanya Petani Lai perlahan kepada A-seng. Aseng memandangi mereka itu lalu menggeleng kepalanya. "Saya tidak tahu, Paman. Saya rasa para pembunuh itu tidak berada di antara mereka walaupun baju mereka sama." Jawaban ini membuat alis Petani Lai berkerut dan dia merasa kecewa. Akan tetapi mungkin gerombolan pembunuh itu masih berada di dalam perkampungan itu. Nelayan Gu bertindak benar untuk minta bertemu kepalanya saja agar dapat bicara dengan ketua mereka, karena kalau harus mencari sendiri, tentu akan suka apalagi kalau para pembunuh itu menyembunyikan diri. "Aku sudah siap, engkau mulai lah Tiat-ciang Hek-houwl" kata Nelayan yang telah melintangkan dayung bajanya di depan dada. "Bagus! Lihat golokku!" bentak wakil ketua Hek-houw-pang itu dan diapun sudah menerjang ke depan, goloknya membacok miring ke arah leher lawan. Tenaganya besar sekali, hal ini dapat di-lihat dari gerakan golok besar yang amat cepat dan mengeluarkan suara berdesing. "Singggg.....!" Golok meluncur dan menyambar ke arah leher. Namun Nelayan Gu dengan tenangnya mengelak ke belakang dan melintangkan dayung bajanya Menangkis. "Trangggg.....!" Tampak bunga api berpijar ketika golok bertemu dengan dayung baja. Kedua orang itu merasa tapak tangan mereka yang memegang senjata tergetar hebat. Ini menandakan bahwa kekuatan mereka seimbang. Keduanya melompat mundur dan memeriksa senjata masing-masing. Ternyata senjata mereka tidak rusak dan Tiat-ciang Hek-uw sudah menerjang maju lagi, kini goloknya membacok ke arah kepala Nelayan Gu dari atas. Nelayan Gu melihat datangnya golok yang berat dan tajam itu, cepat mengelak dengan miringkan tubuhnya, sambil memutar dayung bajanya balas menyerang dengan pukulan dari samping ke arah leher. Wakil ketua Hek-houw-pang itu menangkis dengan goloknya. "Tranggg.....!" Kembali bunga api berpijar dari pertemuan kedua senjata ini. Nelayan Gu menjadi penasaran dia mainkan dayung bajanya dengan dassyat, dayung itu berubah menjadi seperti kitiran angin, menyambar-nyambar dengan ganasnya. Tiat-ciang Hek -houw terkejut dan diapun memutar golok untuk melindungi diri sehingga tampak gulungan sinar goloknya membentuk dinding menangkis, setiap ujung dayung baja itu menyambar dekat. "Trakk!" Golok itu tertahan oleh dayung dan seperti melekat. Melihat kesempatan ini, Tiat-ciang Hek-houw menggunakan tangan kirinya, dengan telapak tang terbuka dia menghantam sambil mengerahkan ilmu dan tenaga Tiat-ciang (Tangan Besi) yang kuat sekali. Melihat Nelayan Gu melepaskan tangan kanan yang bersama tangan kiri memegang dayung dan tangan kanan itu menyambut hantaman tangan kiri lawan. "Wuuutttt..... plakkk.....I!" Dua telapak tangan saling bertumbukan di udara dan akibatnya, tubuh Tiat-ciang Hekhouw huyung ke belakang. Dari pertemuan telapak tangan ini saja dapat diketahui bahwa dalam hal tenaga sin-kang (tenaga sakti) wakil ketua Hek-houw-pang itu masih kalah setingkat! Melihat pimpinan mereka terhuyung, lima belas orang anak buah Hek-houw-pang segera melompat maju dan mengeroyok dengan golok mereka! Petani Lai dan Nelayan Gu tidak menjadi gentar dan mereka mengamuk sambil mencoba untuk melindungi A-seng. Akan tetapi ternyata A-seng tidak membutuhkan perlindungan. Ketika seorang pengeroyok membacokkan goloknya ke arah kepalanya, dengan gerakan yang gesit A-seng mengelak dan ketika golok menyambar ke bawah, dia menggunakan tangan kanannya yang dimiringkan untuk memukul pergelangan tangan lawan yang memegang golok. "Wuuttt..... plakk..... tranggg..!" Golok itu terlepas dari pegangan dan cepat sekali A-seng sudah menyambar golok itu dan diapun menangkis sambaran golok yang ditujukan kepadanya. Pemuda remaja itu segera berkelahi melawan seora anggauta Hek-houw-pang dan ternyata dia mampu menandinginya. Nelayan Gu dan Petani Lai mengamuk dan para pengeroyoknya terdesak mundur. Namun mereka berdua tetap bersikap sebagai orang gagah yang tidak mau sembarangan membunuh sebelum tahu benar kesalahan orang. Kesalahan Hek-houw-pa belum jelas, maka mereka tidak mau membunuh atau membuat para pengeroyoknya terluka parah, hanya menggertak saja dengan dayung baja dan cangkul mereka. Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring "Berhenti! Tahan semua senjata!" Mendengar bentakan ini, Tiat-cia Hek-houw dan anak buahnya berlompat ke belakang. Nelayan Gu dan Petani Lui juga menahan gerakan senjata mereka A-seng melompat ke belakang mereka-sambil masih memegang golok rampasan. Diam-diam Nelayan Gu dan Petani Lai merasa kagum juga kepada pemuda remaja itu yang ternyata gagah dan memiliki keberanian. Mereka memandang kepada orang yang membentak tadi dan melihat seorang laki-laki berusia lima puluh tahunn berdiri di situ dengan sikap berwibawa. Laki-laki ini bertubuh tegap senang, mukanya yang persegi itu tampak gagah, jenggotnya pendek dan rambutnya digelung ke atas dan di kat dengan pita biru. Di punggungnya tergantung sebatang pedang dan pandangan matanya tajam sekali dan kini mengamati Nelayan Gu dan petani Lai dengan penuh selidik. . Dengan sikap gagah, pria itu mengangkat kedua tangan didepan dada lalu bertanya kepada Nelayan Gu dan Petani Lai. "Siapakah sam-wi (kalian bertiga) dan mengapa pula berkelahi dengan anak buah kami?" Tahulah Nelayan Gu bahwa dia berhadapan dengan ketua Hek-houw-pang, maka diapun membalas penghormatan itu dan menjawab, "Maafkan kalau kami menimbulkan keributan di sini, pangcu (ketua). Akan tetapi sesungguhnya kami tidak bermaksud menimbulkan perkelahian. Kami datang untuk bertemu dengan pangcu karena ada sesuatu yang penting sekali ingin kami bicarakan dengan pangcu akan tetapi saudara-saudara ini memaksa kami untuk beradu kepandaian." Hek-houw Pang-cu (Ketua Hek-hou pang) itu kelihatan marah kepada anak buahnya. Dia bahkan menegur wakilnya "Tiat-ciang (Tangan Besi), kenapa engkau bersikap demikian terhadap tamu" Sepantasnya engkau persilakan mereka bertemu dan bicara denganku. Maafkan, jikalau Kalau kalian hendak bicara dengan aku, silakan masuk perkampungan kami." Biarpun mereka tahu bahwa tawaran masuk ke perkampungan ini dapat berbahaya bagi mereka, namun Nelayan Gu dan Petani Lai lidak merasa gentar dan dengan gagah mereka mengikuti Ketua Hek-houw-pang yang berjuluk Toat-bei Hek-houw (Harimau Hitam Pencabut Nyawa) itu memasuki perkampungan. A-seng juga masuk dan pemuda remaja ini tampak tabah dan tidak memperlihatkan rasa takut, sehingga semakin senanglah hati Nelayan Gu dan Petani Lai kepadanya. Mereka dipersilakan duduk di ruangan dalam dan segera hidangan makan minum dikeluarkan. Karena memang sehari itu mereka bertiga belum makan, maka suguhan itu tentu saja mereka terima dengan senang hati. "Sebelum kita bicara, mari kita makan dulu sebagai sambutan kami terhadap tamu yang kami hormati." kata ketua hek-houw pang yang tadi melihat betapa tiga orang tamunya, terutama dua orang laki-laki gagah itu, memiliki ilmu kepandaian tinggi dan dia sendiri belum tentu akan mampu menandingi mereka. Inilah sebabnya mengapa dia bersikap hormat sekali. Tanpa curiga Nelayan Gu dan Petani Lai makan minum bersama tuan rumah. Mereka adalah orang-orang kang-ouw yang sudah berpengalaman dan mereka akan tahu apabila pihak tuan rumah bertindak curang, misalnya menggunakan racun. Mereka yakin bahwa tuan rumah tidak akan melakukaan kecurangan itu, karena mereka semua makan dari tempat makanan yang sama, dan minum dari guci arak yang sama pula. Setelah mereka selesai makan minum, ketua Hekhouw Pang segera bertanya kepada para tamunya. "Nah, sekarang tiba saatnya bagi kita untuk bicara." Dia memberi isarat kepada pelayan untuk membersihkan meja dan mereka siap untuk bercakap-cakap. Setelah meja dibersihkan, Nelayan Gu berkata sambil menatap tajam wajah rumah. "Pangcu, kami datang untuk minta keterangan kepadamu tentang sepak terjang lima atau enam orang anggautamu yang telah membantai sepuluh orang petani yang tidak berdosa. Mengapa anak buahmu melakukan perbuatan yang kejam tak berprikemanusiaan itu?" Kisah Para Pendekar Pulau Es 9 Gento Guyon 12 Ki Anjeng Laknat Panji Sakti ( Jit Goat Seng Sim Ki) 6