Ceritasilat Novel Online

Suling Pusaka Kumala 7

Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo Bagian 7 Hayo tertawa. Ha ha-ha-ha-ha!" Toa Ok tertawa bergelak sampai tubuhnya bergoyang-goyang. Han Lin merasa betapa ada dorongan yang kuat sekali memaksanya untuk tertawa, akan tetapi dia maklum pula bahwa ini-pun pengaruh ilmu sihir, maka dia menahan napas dan mengerahkan sin-kangnya untuk menolak pengaruh itu. "Hauuungggg....., engkaulah yang tertawa sepuasmu, Toa Ok!" katanya setelah mengeluarkan suara auman singa. Dan Toa Ok terus tertawa, sampai terguncang-guncang dia tertawa. Dia merasa terkejut sendiri dan cepat tangan kirinyamenotok tiga kali ke dadanya. Baru suara tawanya berhenti dan dia menarik napas panjang. Tak disangkanya bahwa pemuda itu sedemikian lihainya. Kenyataan ini membuat dia menjadi marah. Demikianlah watak datuk sesat itu. Dia tidak dapat menerima kenyataan bahwa ada orang yang dapat mengalahkannya!! Apalagi seorang yang masih demikian muda. Karena itulah, melihat kenyataan yang menjadi kebalikan dari keinginannya itu dia menjadi marah dan otaknya yang cerdik dan curang itupun bekerja keras. Dia membentak dan mengirim serangan, kini bukan dengan tangan melainkan dengan pedang. Demikian cepat dia mencabut pedang dan menyerang sehingga yang nampak hanyalah sinar emas yang menyambar panjang ke arah tubuh Han Lin. Itulah pedang milik Toa Ok yang disebut Kim-liongkiam (Pedang Naga Emas). Pedang itu terbuat dari baja akan tetapi dibalut emas sehingga tampaknya seperti pedang emas. Pedang itu menyambar dengan dahsyatnya sehingga Han Lin cepat melompat ke belakang. Sama sekali tidak disangkanya bahwa Toa Ok juga melompat ke dekat Kiok Hwa dan sekali sambar dia telah memegang lengan gadis itu dan menempelkan pedangnya di leher Kiok Hwa! "Toa Ok!" seru Han Lin kaget. "Apa yang kau lakukan itu?" "Ha-ha-ha-ha, orang muda. Engkau tinggal pilih. Serahkan Im-yang-kiam kepadaku dan gadis ini kubebaskan atau engkau lebih suka melihat gadis ini mampus di depan hidungmu?" "Kakek curang!" bentak Han Lin akan tetapi dia merasa tidak berdaya. Dia melihat betapa Kiok Hwa tampak tenangtenang saja walaupun lehernya telah ditodong pedang dan gadis ini memandangnya dengan mata bersinar-sinar penuh selidik. Dia tidak tahu mengapa dalam keadaan terancam nyawanya, gadis itu masih tetap tenang dan memandangnya seperti itu. Dia menoleh ke kiri, memandang kepada sepotong bambu yang menggeletak di atas tanah. "Hayo cepat serahkan Im-yang-kiam, itu kepadaku atau akan kupenggal kepala gadis ini!" Ancam Toa Ok dan Han Lin tidak ragu lagi bahwa kakek itu bukan hanya menggertak kosong belaka. Bukan Toa Ok julukannya kalau dia tidak kejam dan curang jahat. "Baiklah, akan tetapi engkau harus berjanji untuk membebaskan gadis itu setelah menerima Im-yang-kiam." Toa Ok tidak bodoh. Dia berpikir sejenak. Kalau Im-yangkiam dan Kim liong-kiam berada di tangannya, bocah itu dapat berbuat apakah" Memang dalam ilmu tangan kosong pemuda itu mampu mengimbanginya, akan tetapi kalau kedua pedang pusaka itu berada di tangannya, pemuda itu tentu tidak akan mampu menandinginya. Pula, kalau pedang sudah diberikan kepadanya, diapun tidak akan melepaskan mereka begitu saja! Mereka berdua itu harus dibunuh agar di kemudian hari tidak mendatangkan kerepotan kepadanya. Demikianlah jalan pikirannya, maka tanpa ragu dia menjawab dengan suara lantang. "Aku berjanji akan membebaskan gadis ini setelah Imyangkiam kauserahkan kepadaku!" Han Lin lalu mjengambil buntalan pakaiannya yang terletak di atas tanah, membukanya dan mengeluarkan Im-yang-kiam dari dalamnya. Sambil lalu dia melirik ke arah potongan bambu itu dan dengan girang mendapat kenyataan bambu itu masih utuh dan baik, dan panjangnya tepat untuk dia pakai sebagai senjata tongkat. Dia bangkit berdiri dan menjulurkan tangannya menyerahkan pedang Im-yang-kiam kepada Toa Ok sambil berkata dengan tenang. "Inilah Im-yang-kiam, boleh kau terima. Akan tetapi bebaskan Nona Tan dengan segera." katanya. Toa Ok melepaskan tangannya yang menangkap lengan Kiok Hwa dan menggunakan tangan kiri itu untuk menerima Im-yang-kiam sambil tertawa. Akan tetapi tiba-tiba dia berseru, "Mampuslah!" Dan pedangnya dengan cepat sekali telah menyerang Kiok Hwa yang baru saja dilepas lengannya. Pedang menyambar ke arah leher gadis itu. Akan tetapi tibatiba dengan cepatnya Kiok Hwa dapat mengelak sambil menggeser kakinya. "Ehhh.....?" Toa Ok menjadi heran dan terkejut. Pedangnya menyambar lagi berturut-turut, akan tetapi sampai tiga kali pedangnya menyerang, tetap saja Kiok Hwa dapat mengelakkan diri dengan cepatnya. "Tua bangka curang!" Han Lin membentak dan dia sudah menyambar tongkat bambu tadi. Dengan tongkat itu dia menyerang ke arah Toa Ok sehingga kakek itu terpaksa meninggalkan Kiok Hwa dan menghadapi Han Lin dengan dua pedang di tangan! Han Lin segera mainkan Sin-kek -tung (Tongkat Bambu Sakti) dan tongkatnya bergerak seperti seekor naga bermain di antara gelombang yang menekan lawan. Toa Ok terkejut dan cepat memainkan sepasang pedangnya. Akan tetapi karena dia tidak biasa memainkan sepasang pedangnya, permainannya agak kaku dan pedang di tangan kiri itu hanya membantu saja, sedangkan yang benar-benar melakukan penyerangan adalah pedang di tangan kanan, yaitu pedang Kim-liong-kiam. Terjadi perkelahian yang amat hebat. Kini Han Lin mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan kepandaiannya. Bukan hanya tongkatnya yang bergelombang dimainkan dengan ilmu tongkat Sin-tek-tung, akan tetapi juga kadang kalau ada kesempatan, tangan kirinya melepaskan tongkat dan melakukan penyerangan dengan It-yang-ci yang ampuh. Diserang seperti ini, Toa Ok menjadi repot. Ilmu tongkat lawannya yang masih muda itu sudah membingungkannya, apalagi ditambah lagi dengan penyerangan It-yang-ci yang membuat dia gentar karena ilmu totok itu benar-benar dahsyat sekali dan amat berbahaya baginya. Dia merasa kecelik sekali. Tadinya dia mengira bahwa kalau pedang Im-yang-kiam sudah berada di tangannya, dia akan dengan mudah dapat membunuh Han Lin dan gadis itu. Sekarang ternyata bahwa pemuda itu menemukan sebuah senjata sederhana, sebatang tongkat bambu yang dapat di-mainkannya sedemikian hebatnya sehingga dia mulai terdesak. Jangankan membunuh kedua orang muda itu, mendesak Han Lin pun dia tidak mampu! Setelah lewat lima puluh jurus, Toa Ok menjadi benarbenar repot dan terdesak hebat. Pedangnya seolah bertemu dengan dinding baja, ke manapun pedangnya menyerang selalu bertemu dengan gulungan sinar tongkat bambu yang demikian kuatnya. Sebaliknya, ujung tongkat bambu itu beberapa kali mengancam jalan darahnya. Tiba-tiba Han Lin memutar tongkatnya secara aneh dan tahu-tahu tongkat itu sudah menyambar ke arah tenggorokan Toa Ok. Kakek ini terkejut sekali, cepat menarik tubuh atasnya ke belakang dan menggerakkan pedangnya menangkis. Pada saat itu, tangan kiri Han Lin menyerang dengan totokan It-yang-ci ke arah lengan kirinya. "Cusss....!" Siku lengan kiri Toa Ok terlanggar totokan dan seketika lengannya lumpuh dan pedang Im-yang-kiam terlepas dari pegangannya. Sebelum dia hilang kagetnya, pedang pusaka itu telah berpindah ke tangan kiri Han Lin! Biarpun dia kaget dan marah sekali, namun kakek yang licik ini maklum bahwa kalau dilanjutkan, dia akan celaka, maka sambil mengeluarkan suara melengking panjang, tubuhnya melayang jauh ke depan dan dia melarikan diri, lenyap di antara pohon-pohon. Han Lin yang sudah berhasil merampas kembali Im-yang-kiam, tidak melakukan pengejaran. Dia tersenyum senang dan memutar tubuhnya untuk menghadapi Kiok Hwa. Akan tetapi gadis itu tidak berada ditempat di mana ia tadi berdiri. Han Lin celingukan mencari-cari dengan pandang matanya akan tetapi tetap saja tidak dapat menemukan gadis itu. Akhirnya dia melihat coret-coretan di atas tanah di mana Kiok Hwa tadi berdiri. Cepat dihampirinya tempat itu dan tak lama kemudian dia sudah berjongkok membaca tulisan yang ditinggalkan Kiok Hwa di atas tanah itu. "Aku pergi karena tidak ingin terlibat ke dalam perkelahianperkelahian dan permusuhan yang tiada habisnya." Han Lin tertegun, merasa betapa hatinya kosong dan kesepian. Dia merasa kehilangan sekali dengan kepergian gadis itu dan merasa ngelangsa. Kenyataan ini membuat dia merasa heran sendiri. Meng apa dia merasa begitu bersedih ditinggal pergi Kiok Hwa" Merasa kesepian dan keadaan sekelilingnya terasa tidak menarik lagi" Tiba-tiba dia teringat. Tadi, ketika ditawan Toa Ok, gadis itu memandangnya dengan mata bersinar-sinar dan aneh, kemudian dia teringat pula betapa gadis itu diserang beberapa kali oleh pedang Toa Ok namun selalu dapat menghindarkan diri. Kenapa ketika ditangkap Kiok Hwa tidak menghindarkan diri" Dan pandang mata itu Han Lin termangu-mangu. Agaknya baru sekarang dia dapat memahami apa artinya pandang mata gadis itu. Kiok Hwa ingin mengujinya! Kiok Hwa ingin melihat apakah dia mau menukar pedang Im-yang-kiam untuk membebaskan dirinya. Kiok Hwa sengaja membiarkan dirinya ditawan untuk melihat sampai di mana pembelaannya terhadap gadis itu! Dan dia merasa girang sekali bahwa dia telah mengambil keputusan yang tepat, yaitu menyerahkan pedang untuk ditukar dengan kebebasan Kiok Hwa. Hal ini saja sedikitnya sudah menunjukkan bahwa dia memberatkan keselamatan gadis itu dari pada pedang Im-yang-kiam. Akan tetapi setelah mengetahui perasaannya terhadap dirinya, kenapa gadis itu meninggalkannya" Dalam waktu singkat itu, terbayanglah semua yang terjadi ketika gadis itu masih melakukan perjalanan bersamanya, ketika gadis itu masih dekat dengannya. Dan dalam bayangan ini, terasa olehnya betapa segala gerak-gerik gadis itu, setiap tutur katanya, setiap pandang matanya, selalu amat menyenangkan hatinya. Biarpun Han Lin belum pernah selamanya jatuh cinta kepada seorang wanita, namun dia merasakan betapa dia rindu terhadap Kiok Hwa, betapa di dalam hatinya hanya ada rasa suka dan selalu ingin berdekatan dengan gadis itu. Maka diam-diam diapun harus mengakui bahwa dia telah jatuh hati kepada gadis ahli pengobatan itu. Bukan hanya tertarik karena wajahnya yang cantik jelita, akan tetapi terutama sekali karena tertarik oleh wataknya yang amat bijaksana dan berbudi mulia. "Kiok-moi......!" Dia mengeluh lalu menggendong buntalannya dan melanjutkan perjalanan dengan hati terasa hampa. Terasa benar himpitan cinta di dalam, hatinya pada saat itu. Dengan penuh kewaspadaan dia meneliti perasaannya sendiri dan dapat merasakan bahwa cinta asmara membuat dia rindu kepada wanita yang dicintanya. Rindu, ingin bertemu, ingin berkumpul, ingin mendekati, ingin menyenangkan, ingin menghibur dan ingin melindungi. "Kiok-moi.....!" kembali dia mengeluh dan mempercepat langkahnya untuk mengusir pikiran yang mengganggu itu, akan tetapi juga dengan harapan mudah-mudahan dia akan dapat mengejar dan menyusul gadis itu! Senja telah tiba dan Han Lin belum juga bertemu dengan dusun. Dia berjalan menyusuri Sungai Huang-ho. Matahari telah condong ke barat dan sinarnya membuat garis merah memanjang di permukaan sungai. Burung-burung yang sehari sibuk mencari makan sudah berbondong-bondong terbang pulang ke sarang. Cuaca mulai gelap. Han Lin mengeluh. Agaknya tidak terdapat dusun di dekat situ. Tidak tampak sebuahpun perahu, dan tidak ada pula penggembala ternak yang menggiring ternak mereka pulang kandang. Agaknya terpaksa dia harus melewatkan malam di alam terbuka. Baginya sudah terbiasa melewatkan malam di tempat terbuka, akan tetapi entah mengapa. Setelah ditinggalkan Kiok Hwa, dia merindukan kehadiran orang-orang lain dan dia akan merasa senang dan terhibur kalau dapat bermalam di rumah keluarga dusun. Akan tetapi agaknya dia harus melewatkan malam di tepi sungai seorang diri. Tidak akan ada makanan dan minuman hangat seperti kalau dia bermalam di rumah seorang dusun dengan keluarganya yang ramah. Padahal perutnya terasa lapar sekali. Terakhir kali perutnya terisi adalah ketika pergi tadi dia sarapan di sungai bersama Kiok Hwa. Gadis itu masih membawa bekal roti kering dan dia menangkap ikan besar yang banyak berkeliaran di tepi sungai, kemudian ikan itu dibumbui oleh Kiok Hwa dan dipanggang. Betapa lezatnya makan roti kering dengan panggang ikan! Apalagi makan bersama Kiok Hwa. Dan semenjak pagi tadi dia belum makan apa-apa, maka sekarang perutnya terasa lapar sekali. Dia harus cepat mencari makanan, sebelum malam tiba, pikirnya. Dia melepaskan buntalan pakaiannya dan meletakkan di bawah sebatang pohon yang tumbuh di tepi sungai. Lalu dia mendekat ke tepi sungai, membawa sepotong bambu yang tadi dia pakai melawan Toa Ok. Maksudnya hendak mencari kalau-kalau ada ikan berenang di tepi, akan ditangkapnya dengan tongkat bambu itu. Akan tetapi hatinya kecewa karena di tepi sungai itu tidak ada ikan yang berenang. Untuk mencari ke tengah tentu saja dia tidak mampu karena tidak ada perahunya. Maka dia lalu meninggalkan tepi sungai dan mencari-cari di antara semak belukar. Akhirnya dia melihat apa yang dicarinya. Seekor kelenci bergerak hendak lari dari semak-semak. Cepat Han Lin melemparkan tongkat bambunya dan tepat tongkat bam bu itu mengenai kelenci dan tewaslah binatang itu. Han Lin cepat mengambilnya. Kalau ada Kiok Hwa, gadis itu mempunyai persediaan yang lengkap. Pisau dan bumbu-bumbu. Akan tetapi dia sama sekali tidak mempunyai perlengkapan. Pisaupun tidak punya. Terpaksa dia menggunakan Im-yang-kiam, bagian mata pedang yang putih, untuk menguliti kelenci itu! Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Tiba-tiba terdengar suara orang bernyanyi, Suaranya merdu dan Han Lin mengira bahwa yang bernyanyi itu seorang wanita, akan tetapi ternyata penyanyi itu seorang pemuda yang mendayung perahu ke tepi, dekat tempat dia duduk menguliti kelenci. Dia memandang dan melihat seorang pemuda remaja yang pakaiannya seperti seorang petani, wajahnya tampan dan tersenyum-senyum, mata nya bersinarsinar nakal. "Aihh, menguliti kelenci menggunakan pedang! Ha-ha, betapa lucu dan canggung nya!" pemuda itu berkata sambil tertawa ketika menarik perahunya ke pinggir dan mengikat tali perahunya pada pohon di bawah mana Han Lin duduk. Han Lin memperhatikan pemuda remaja itu. Seorang pemuda biasa saja, pemuda dusun, agaknya nelayan atau petani. Tampan dan gembira sikapnya. "Terpaksa, kawan. Aku tidak mempunyai pisau, maka terpaksa menggunakan pedang." jawab Han Lin sambil tersenyum juga. "Pedang yang begitu indah lagi. Sayang dipergunakan untuk menguliti kelenci. Aku mempunyai pisau kalau engkau membutuhkannya." kata pemuda itu dan dia mengambil sebuah pisau dari dalam perahunya, menyerahkannya kepada Han Lin. Han Lin tersenyum senang. "Engkau baik sekali, sobat. Terima kasih. Maukah engkau menemani aku memanggang kelen ci ini dan makan bersamaku?" Dia menawarkan. Pemuda remaja itu mengernyitkan hidungnya, seperti memandang rendah. "Panggang kelenci" Pakai bumbu apa?" Han Lin menjadi rikuh. "Aku tidak mempunyai bumbu, jadi dipanggang begitu saja." "Ih, mana bisa dimakan" Daging apapun tidak enak rasanya tanpa bumbu. Aku tidak suka makan panggang daging tanpa bumbu, tentu rasanya hambar dan tidak enak. Kulitilah sampai bersih, buang isi perutnya. Nanti akan kuberi bumbu dan baru dipanggang." "Engkau mempunyai bumbunya?" "Jangan khawatir. Aku mempunyai persediaan lengkap." kata pemuda remaja itu. "Bahkan aku mempunyai sepuluh buah bakpau yang masih baru, dan tadi aku menangkap enam ekor udang besar. Biarkan aku yang memanggang daging kelenci dan udang itu, ditanggung lezat!" Han Lin merasa girang sekali. Harus diakui bahwa dia tidak begitu pandai memanggang daging, apalagi tanpa bumbu. Rasanya memang tidak enak dan tidak karuan, hambar seperti dikatakan pemuda remaja itu. "Terima kasih. Engkau baik sekali. Aku sungguh beruntung dapat bertemu dan berkawan denganmu. Kenalkan, nama ku Han Lin. Engkau siapa?" "Aku Eng-ji." kawab pemuda remaja itu dengan singkat dan dia mengeluarkan sebuah buntalan dari dalam perahunya, juga enam ekor udang besar yang masih hidup. Dibukanya buntalan itu dan ternyata dia membawa perlengkapan masak yang lebih lengkap dibanding perlengkapan yang dibawa Kiok Hwa. Bahkan terdapat pula panci, mangkok dan sumpit! "Sudah selesai membersihkan kelenci itu" Ke sinikan dagingnya dan buatkanlah api unggun yang besar." kata Engji dengan suara memerintah. Han Lin tidak membantah atau menjawab, melainkan memberikan daging kelenci dan pisaunya, mencuci tangannya lalu mencari dan mengumpulkan daun dan kayu kering untuk membuat api unggun. Dengan cekatan dan trampil sekali Eng-ji memotong begini kelenci, memilih dagingnya dan membuang tulangnya, kemudian menusuk daging-daging itu dengan dua potong kayu. Setelah itu, dia menyayat enam ekor udang itu, memberinya bumbu seperti juga daging kelenci tadi, bumbunya sederhana saja, garam, mrica dan bawang, lalu dia membungkus udang itu dengan tanah liat! Han Lin memandang dengan heran dan tak dapat menahan dirinya untuk tidak bertanya. "Kenapa udang-udang itu dibungkus dengan tanah liat seperti itu" Apakah tidak menjadi kotor dan bagaimana memanggangnya?" Eng-ji memandang kepadanya, matanya bersinar dan mulutnya tersenyum. Han Lin melihat betapa manisnya pemuda remaja itu kalau tersenyum. Giginya putih kecil-kecil dan rata. "Engkau belum pernah makan udang panggang bungkus tanah liat" Hem kau lihat dan coba saja nanti. Tidak ada masakan udang yang lebih lezat daripada di panggang dalam tanah liat begini." Mulailah Eng-ji memanggang dua tu-suk daging kelenci dan enam ekor udang yang dibungkus tanah liat itu. Sibuk dia bekerja, dan ketika Han Lin hendak membantunya, ditolaknya dengan keras. "Memanggang begini memerlukan ke-ahlian dan perhitungan yang tepat. Kalau tidak, dapat hangus dan berbau sangit. Biarkan aku yang memanggangnya. Lebih baik engkau mencari air jernih di panci untuk dimasak dan untuk membuat air teh nanti." "Air teh?" "Habis kita mau minum apa" Aku ada membawa teh harum." Han Lin terheran-heran. Pemuda remaja ini sungguh luar biasa! Akan tetapi hatinya menjadi senang sekali. Dia mendapatkan seorang kenalan yang cekatan dan pandai masak. Dia lalu mencari air jernih dalam panci, lalu membuat api unggun lagi untuk memasak air dalam panci. Setelah airnya mendidih, Eng-ji menyuruh Han Lin mengambil bungkusan teh dari dalam buntalannya. Nadanya memerintah, akan tetapi Han Lin menaati perintah itu dan jadilah air teh yang berbau harum! Daging kelenci sudah masak pula. "Nah, daging ini sudah masak! Nih, untuk kau setusuk. Ini bakpaunya. Bakpau dimakan dengan daging kelenci ini tentu enak." kata Eng-ji sambil mengambil buntalan bakpau yang sepuluh buah banyaknya itu. Bakpau itu masih baru dan lunak Mereka mulai makan bakpau dan daging kelenci yang rasanya amat gurih. "Dan udangnya?" tanya Han Lin sambil memandang kepada enam ekor udang bungkus tanah liat yang masih dipanggang itu. "Belum matang. Dan memang sebaiknya kita makan daging kelenci lebih dulu, karena kalau kita makan udangnya dulu, nanti daging kelencinya akan terasa kurang enak." "Kenapa begitu?" "Karena udangnya luar biasa lezatnya sih!" kata Eng-ji sambil menggigit daging kelenci dengan giginya yang putih berkilau. Sementara itu, malam telah tiba dan cuaca mulai gelap. Nyamuk mulai berdatangan. Akan tetapi mereka aman dari gangguan nyamuk dan hawa udara yang mulai dingin karena adanya api unggun yang mengusir nyamuk dan hawa dingin, Agaknya Eng-ji juga lapar benar seperti halnya Han Lin. Akan tetapi dia tidak dapat menghabiskan lima buah bakpau. Setelah habis empat buah, dia memberikan yang sebuah lagi untuk Han Lin. "Nih, satu lagi untukmu. Aku sudah kenyang. Apalagi nanti masih harus makan tiga ekor udang panggang!" kata Eng-ji. Han Lin juga tidak sungkan-sungkan dan menerima tambahan sebuah bakpau itu. Dia merasa berterima kasih sekali kepada sahabat barunya yang demikian ramah dan baik. Akhirnya semua bakpau dan daging kelenci itu habis. Han Lin harus diam-diam memuji pemuda remaja itu. Masakan nya daging kelenci walaupun hanya dipanggang, demikian lezat. Daging kelenci gemuk itu lemaknya terasa gurih bukan main dan memanggangnya pun pas sekali, bagian luarnya agak kering dan bagian dalamnya lunak. Rasa asinnya tepat dan merica serta bawangnya mendatangkan aroma amat sedap. Han Lin menjilat-jilati bibirnya dan merasa puas. "Enakkah panggang kelenci tadi?" tanya Eng-ji sambil tersenyum lebar melihat Han Lin menjilat bibir sendiri. "Luar biasa sekali! Biarpun aku sering makan daging kelenci panggang, namun selamanya belum pernah makan yang selezat tadi. Engkau benar-benar hebat dan pandai sekali masak, Eng-ji. Kalau engkau membuka warung makan, tentu akan laku sekali." "Itu belum seberapa. Coba rasakan sekarang udang ini!" Dia mengambil seekor udang dari api, lalu menggunakan pisau untuk memukul tanah liat yang sudah menjadi kering. Tanah liat itu pecah dan ternyata kulit udang besar itu ikut pula terbuka bersama tanah liat, meninggalkan dagingnya yang tampak kemerahan sebesar ibu jari kaki! Eng-ji mengambil daging yang sudah terkelupas kulitnya itu dengan sepasang sumpit. "Nah, terimalah ini dengan sumpit dan coba makan bagaimana rasanya!" kata Eng-ji dengan suara gembira. Han Lin mengambil sepasang sumpit dan menerima daging udang itu. Baru melihatnya saja sudah menimbulkan selera. Daging putih kemerahan yang menghamburkan aroma yang khas udang. Sedap dan gurih. Dia meniup daging itu agar jangan terlalu panas, lalu mencoba menggigitnya. Hebat! Bukan main enaknya. Gurih, manis dan sedap! Han Lin sampai terbelalak saking heran dan kagum, lalu makan daging udang itu tergesa-gesa sampai mulutnya kepanasan dan melihat ini Eng-ji tertawa geli. Diapun memecahkan lagi seekor udang lalu memakannya, sedikit demi sedikit tidak seperti Han Lin. "Kalau menggigitnya sedikit demi sedikit, dikunyah lembut, tentu akan lebih lezat." katanya. Tanpa ditawari lagi, setelah udang pertama habis, Han Lin mengambil udang kedua dan memecah tanah liatnya dengan pisau, lalu mengambil daging udangnya dengan sumpit. Dia menurut nasehat Eng ji, menggigit dan makan sedikit-sedikit dan memang makin terasa benar lezatnya! Air teh dituang dalam mangkok dan makan udang panggang sambil minum air, teh harum sungguh merupakan kenikmatan yang belum pernah dialami Han Lin. Seperti juga tadi ketika makan bakpau, Eng-ji hanya makan dua ekor udang, yang satu dia berikan kepada Han Lin sehingga pemuda ini makan empat ekor. Han Lin menerima dengan senang hati karena memang udang itu lezat sekali dan orang memberinya dengan ikhlas. Setelah kenyang mereka mencuci tangan dan mulut. Han Lin melihat betapa Eng-ji teliti sekali dalam membersihkan tangan dan mulut, bahkan pemuda remaja itu berkumur dan menggosok gigi. "Sehabis makan malam orang harus membersihkan gigi dan mulut sampai bersih benar agar jangan mudah terkena penyakit." demikian pemuda remaja itu berkata dan Han Lin teringat akan nasihat Kiok Hwa yang sama benar. Diapun mencontoh perbuatan Eng-ji dan membersihkan mulutnya. Kemudian mereka duduk dekat api unggun dan bercakapcakap. "Engkau datang dari manakah, twako (kakak besar)?" tanya Lng-ji sambil meng amati wajah Han Lin yang tertimpa cahaya api unggun. Sepasang mata pemuda remaja itu berkilauan terkena cahaya api. "Aku seorang perantau, datang dari tempat jauh sekali di utara." jawab Han Lin. "Dan engkau sendiri, datang dari manakah, Eng-ji?" "Aku juga seorang perantau, datang dari Cin-ling-san. Engkau dari mana?" "Dari Thai-san." "Wah, kita ini sama-sama perantau, sama-sama datang dari gunung yang jauh. Kita sama-sama pemuda gunung!" kata Eng-ji gembira. "Engkau ini masih kecil bagaimana merantau seorang diri" Di manakah orang tuamu?" tanya Han Lin dengan perasaan iba. "Di dunia yang begini luas dan berbahaya, banyak orang jahat, tentu penghidupanmu akan terancam sekali." "Ayahku meninggalkan aku, dan ibuku..... sudah tidak ada. Engkau mengatakan aku masih kecil" Apa kaukira engkau ini sudah tua renta" Kalau aku masih kecil, engkaupun masih kecil, sobat!" "Hemm, aku sudah hampir dua puluh satu tahun! Aku sudah dewasa dan aku dapat menjaga diriku sendiri dari bahaya." "Huh! Hanya dua tahun lebih tua dari ku dan engkau berlagak seperti orang tua renta!" "Benarkah?" kata Han Lin sambil mengamati wajah yang tampan itu. "Tadi nya kukira engkau baru berusia empat belas atau lima belas tahun! Akan tetapi biarpun usia kita tidak terpaut banyak, aku pandai menjaga diri dari bahaya!" "Hemm, akupun manusia hidup dan sehat kuat. Apa kau kira hanya engkau saja yang mampu menjaga diri" Akupun mampu, buktinya sampai sekarang semenjak aku meninggalkan Cin-ling-san, aku berada dalam keadaan selamat!" Berkata demikian, ia mencoba untuk menutup bungkusan pakaiannya, akan tetapi terlambat karena Han Lin sudah dapat melihat sebatang pedang dengan sarungnya yang indah tersembul keluar. "Ah, kiranya selain pandai memasak, agaknya engkau pandai bermain pedang pula, Eng-ji!" katanya kagum. Eng-ji tersenyum. "Siapa yang bermain pedang" Aku hanya dapat menjaga diri, seperti juga engkau. Sudahlah, aku lelah dan mengantuk. Aku mau mandi dulu lalu terus tidur." "Mandi" Sudah malam begini?" "Apa salahnya" Aku tidak akan dapat tidur kalau belum membersihkan badan dan berganti pakaian. Di sana ada air sumber yang jernih, aku mau mandi dulu. Tolong jagakan buntalan pakaianku, ya?" Tanpa menanti jawaban, Eng-ji sudah pergi membawa satu pasang pakaian pengganti dan menghilang di dalam kegelapan. Han Lin membesarkan api unggun, duduk melamun dan teringat akan sahabat barunya itu. Seorang yang lebih muda darinya dan hidupnya tampak demikian gembira. Juga seorang perantau dan seorang yang terpisah dari ayahnya, sudah kehilangan ibunya pula. Seperti dirinya! Akan tetapi pemuda remaja itu tampaknya selalu gembira dan besar hati, pandai membawa dan menyesuaikan diri. Ingin sekali dia melihat sampai di mana tingkat kepandaian pemuda remaja itu. Agaknya tidak mungkin ilmu kepandaiannya cukup tinggi Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo melihat dia masih begitu muda. Dia masih berpendapat bahwa usia pemuda itu tidak akan lebih dari lima belas tahun. Akan tetapi kalau ilmu silatnya rendah, bagaimana dia berani merantau sampai demikian jauhnya" Sungguh seorang pemuda yang menarik hati dan mengandung rahasia. Akan tetapi bukan seorang sahabat yang tidak menyenangkan. Sebaliknya, sikapnya menyenangkan sekali. Begitu ramah dan sebentar saja jika dia sudah merasa akrab. "Lin-ko, engkau tidak mandi?" tiba-tiba dia mendengar suara dan ketika dia menengok, dia melihat Eng-ji sudah mandi dan wajahnya tampak segar, rambutnya basah digelung ke atas dan di kat dengan sehelai kain hitam. "Aku hanya akan mencuci muka saja." kata Han Lin. "Harap engkau ganti berjaga di sini, aku hendak pergi ke sumber air itu." Dia lalu bangkit dan berjalan pergi. Dia merasa heran kepada dirinya sendiri. Kenapa dia begitu percaya kepada pemuda remaja itu" Dalam buntalan-nya terdapat Im-yangkiam! Bagaimana kalau pemuda itu mengambil Im-yang-kiam dan membawanya lari" Dia menjadi ragu dan hatinya agak was-was. Akan tetapi untuk kembali dan mengambil pedangnya itu dia merasa tidak enak, bukankah pemuda tadi juga meninggalkan semua isi buntalannya ketika pergi mandi" Dia melanjutkan langkahnya menuju ke sumber air. Sambil meraba-raba, diterangi sinar api unggun yang masih dapat mencapai tempat itu, dia membasuh muka, kaki dan lengannya. Kemudian kembali ke tempat semula. Hatinya lega melihat Eng-ji masih duduk mengeringkan rambut dekat api unggun dan buntalannya masih berada di tempat semula, tidak terusik. Dia merasa malu kepada diri sen diri yang tadi telah meragukan kejujuran pemuda remaja itu! "Aku mau tidur. Tadi makan terlalu kenyang sehingga sekarang amat mengantuk." kata Eng-ji dan dia lalu bangkit berdiri, menghampiri perahunya yang sudah ditarik ke pinggir, memasuki perahu lalu merebahkan diri membujur di dalam perahunya, berbantalkan buntalan pakaian nya, tidak mengeluarkan kata-kata lagi. Han Lin masih duduk di dekat api unggun dan beberapa kali dia menengok, memandang ke arah Eng-ji, akan tetapi agaknya pemuda itu telah tertidur karena sama sekali tidak bergerak atau bersuara. Karena ingin tahu, Han Lin bangkit berdiri dan menghampiri ke dalam perahu. Dia melihat pemuda itu tidur miring dengan menarik kedua kakinya ke dada, tanda bahwa dia kedinginan. Memang hawa malam itu amat dingin dan pemuda itu tidurnya agak jauh dari api unggun. Han Lin merasa kasihan juga. Dia mengambil sehelai baju luarnya dan mempergunakan baju luar itu untuk menyelimuti Eng-ji. Yang diselimutinya tidak bergerak, agaknya memang sudah tidur nyenyak. Han Lin tidak tidur. Dia berjaga di dekat api unggun sambil menjaga agar api unggun tidak padam, bahkan dia menggeser api unggun itu agar lebih mendekati perahu yang berada di tepi sungai agar Eng-ji mendapatkan kehangatannya. Dia tidak berani tidur karena selain harus menjaga keselamatan mereka berdua, dia juga harus menjaga agar pedang mereka tidak diambil oleh orang. Dia duduk sambil melamun. Ketika dia melamun dengan pikiran kosong itu, mendadak muncul Kiok Hwa dalam lamunannya. Dia tetap merindukan gadis itu dan mengharapkan akan dapat bertemu. Akan tetapi kini tidak ada rasa kesepian tadi. Bagaimanapun juga, dia sudah memperoleh seorang teman yang baik untuk menerima pembagian perhatiannya. Tengah malam telah lewat dan Han Lin masih duduk melamun di dekat api unggun sambil memandang nyala api yang bergoyang-goyang ditiup angin. "Lin-ko.....!" Dia cepat menengok dan melihat Eng-ji sudah berdiri di situ, memegangi baju luar yang tadi diselimutkannya. "Eh, kenapa terbangun Eng ji" Tidurlah." "Tidak, aku sudah cukup lama tidur. Sekarang giliranmu beristirahat, twako. Biar aku yang berjaga di sini menggantikanmu. Ini bajumu, terima kasih bahwa engkau telah menyelimutiku. Pakailah agar engkau tidak kedinginan." Dalam suara Eng-ji terdapat ketegasan yang memerintah sehingga Han Lin tidak dapat membantah lagi. Dan dia merasa aneh. Pemuda remaja itu memang luar biasa, kadang dalam suaranya dan sikapnya seperti orang yang suka memimpin! "Baiklah, Eng-ji." katanya dan dia menerima bajunya lalu memasuki perahu itu dan merebahkan diri membujur di dalam perahu. Karena dia memang perlu beristirahat untuk memulihkan tenaganya, maka tak lama kemudian diapun tertidur nyenyak. Ketika ayam hutan jantan mulai berkokok dan burungburung berkicau, Han Lin terbangun. Malam baru saja bersiapsiap untuk meninggalkan bumi dan cuaca masih remangremang ketika dia keluar dari dalam perahu yang menjadi tempat tidurnya itu. Api unggun telah padam dan dia mendapatkan Eng-ji tertidur melengut sambil duduk di bawah pohon. Pagi itu dingin sekali. Han Lin menanggalkan baju luarnya yang semalam dia pakai untuk menyelimuti dirinya dan menyelimutkannya pada tubuh Eng-ji. Lalu dia menyalakan lagi api unggun. Dilihatnya Eng-ji tertidur nyenyak dan wajah pemuda remaja itu seperti wajah seorang kanakkanak. Dia tersenyum. Memang dia masih kanak-kanak, pikirnya. Akan tetapi seorang anak yang luar biasa! Nyala api unggun itu agaknya membangunkan Eng-ji. Dia terbangun dan menggosok-gosok matanya, melihat baju luar yang menyelimutinya dan diapun mengambil baju itu dan memandang kepada Han Lin yang duduk di dekat api unggun. "Ah, celaka! Apakah aku tertidur" Wah, membikin engkau repot saja, Lin-ko. Nih bajumu, terima kasih." "Kalau masih mengantuk, tidurlah, Eng-ji. Hari masih terlalu pagi." "Apa" Tidur lagi" Tidak, aku sudah kenyang tidur, aku hendak mandi!" Dan diapun bangkit berdiri, membawa kain penyeka badan lalu setengah berlari menuju ke sumber air yang berada tak berapa jauh dari situ dan terhalang batu besar. Han Lin tersenyum. Anak itu demikian suka mandi! Lalu teringatlah dia akan nasihat Kiok Hwa yang juga menganjurTiraikasih Website http://kangzusi.com/ kan agar orang sering mandi karena hal itu akan mendatangkan kesehatan. Tal lama kemudian Eng-ji sudah selesai mandi dan Han Lin juga segera mandi untuk membersihkan diri. Dia merasa sejuk dan segar sekali. Ketika dia kembali ke tempat tadi, dia melihat Eng-ji sudah memegang dua batang pedang, yaitu pedangnya sendiri dan pedang Im-yang-kiam, dan pemuda remaja itu kelihatan tegang. "Eh, Eng-ji, ada apakah?" tanyanya! Akan tetapi Eng-ji sudah melemparkan Imyang-kiam yang telanjang itu kepadanya. Han Lin menerimanya dan pemudi itu berkata lirih. "Ada orang datang! Kita harus berhati hati." katanya menuding ke arah sungai! Han Lin menengok dan benar saja. Dari tengah sungai tampak sebuah perahu meluncur ke pinggir, ke tempat mereka dan perahu itu ditumpangi dua orang. Masih terlalu jauh untuk dapat melihat siapa adanya dua orang itu. Hati Han Lin menjadi tegang karena dia melihat sikap Eng-ji yang juga tegang dan penuh kekhawatiran. Setelah perahu itu datang dekat. Han Lin terbelalak kaget bukan main karena dia mengenal dua orang itu. "Hati-hati, Lin-ko. Mereka itu adalah Toa Ok dan Sam Ok, dua orang datuk yang amat lihai dan jahat!" terdengar Eng-ji berkata kepadanya dan Han Lin terkejut bukan main. Bagaimana pemuda remaja ini dapat mengenal dua orang datuk sesat itu" Dia menjadi semakin heran saja melihat Eng ji, apalagi melihat betapa Eng-ji sama sekali tidak kelihatan takut walaupun Lelah mengenal siapa ada nya dua orang itu. "Mereka itu tentu datang untuk merampas pedangku ini," kata Han Lin. "Jangan khawatir. Lin-ko. Serahkan saja mereka kepadaku!" kata Eng-ji sambil mencabut pedangnya. Han Lin melihat sinar kehijauan dari pedang yang terhunus itu dan dia menjadi semakin kagum. Kiranya pemuda remaja itupun memiliki sebatang pedang yang ampuh. Akan tetapi ketenangannya dan keberaniannya yang membuat dia terheran-heran. Hanya orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi saja yang dapat bersikap demikian berani dan tenang menghadapi ancaman orang berbahaya seperti Toa Ok dan Sam Ok! Toa Ok dan Sam Ok telah tiba di sungai dan mereka segera menarik perahu ke pinggir dan setelah mengikatkan perahu, mereka berdua berloncatan ke depan dua orang pemuda yang telah berdiri menanti dengan pedang di tangan itu! Toa Ok telah bertemu dengan Sam Ok dan dia mengajak rekannya itu untuk mengejar Han Lin. Dengan ditemani Sam Ok dia yakin bahwa dia tentu akan dapat mengalahkan Han Lin dan merampas Im-yang-kiam. Dia terheran-heran melihat Han Lin sudah menantinya dengan Im-yang-kiam di tangan dan di sampingnya berdiri seorang pemuda remaja lain yang juga memegang sebatang pedang yang sinarnya kehijauan dan pemuda ini memandang kepadanya dengan mata bersinarsinar penuh kemarahan! "Wah, engkau benar, Toa Ok. Dia adalah pemuda yang dulu itu. Kini telah menjadi seorang pemuda yang amat ganteng! Pedangnya boleh untukmu, akan tetapi pemudanya berikan kepadaku, Toa Ok!" terdengar Sam Ok berkata. Han Lin melihat betapa wanita itu masih tampak cantik saja seperti dulu, cantik dan genit pesolek, padahal usianya tentu telah mendekati enam puluh tahun! "Sam Ok, cepat engkau bunuh pemuda yang lain itu agar kita dapat sama-sama menghadapi dia dan merampas Imyangkiam!" kata Toa Ok. Sam Ok memandang kepada Eng-ji. "Wah, yang ini juga ganteng sekali! Pedangnya juga merupakan pusaka yang baik. Orang muda, marilah engkau menyerah saja kepadaku, anak manis!" Sambil berkata demikian, Sum Ok mencoba untuk menangkap lengan tangan Eng-ji. Akan tetapi Eng-ji sudah mengelebatkan pedangnya yang bersinar hijau untuk membacok lengan tangan Sam Ok sehingga Sam Ok terkejut setengah mati dan cepat menarik kembali tangannya. "Sam Ok, perempuan tua bangka yang tidak tahu malu! Kematianmu sudah di depan mata dan engkau masih berani banyak berlagak" Hari ini engkau akan mampus di tanganku!" bentak Eng-ji dengan garang dan Han Lin menjadi semakin terkejut. Pemuda remaja itu berani mengeluarkan ucapan sesombong itu! Terhadap seorang datuk sesat seperti Sam Ok yang amat lihai lagi! Sam Ok marah sekali mendengar penghinaan itu. "Bocah lancang mulut. Aku akan membuat engkau merangkakrangkak minta ampun dan menjilati kakiku!" katanya dan iapun sudah menerjang maju sambil menggunakan jari-jarinya untuk mencengkeram dan menotok. Itulah Ban-tok-ci (Jari Selaksa Racun) yang amat berbahaya sehingga Han Lin menjadi khawatir dan hendak maju melindungi Eng-ji. Akan tetapi Eng-ji bergerak cepat sekali dan sudah memutar pedangnya sehingga bukan Sam Ok yang mengancam, bahkan jari-jari tangannya kini terancam oleh sinar pedang kehijauan! Han Lin bernapas lega melihat betapa Eng-ji benarbenar mampu menjaga diri sendiri, maka perhatiannya kini tertuju kepada Toa Ok. Toa Ok merasa terkejut juga melihat betapa pemuda remaja itu mampu menandingi Sam Ok, bahkan kini mereka sudah bertanding hebat karena Sam Ok juga sudah mencabut pedangnya, yaitu Hek-kong-kiam (Pedang Sinar Hitam) yang beracun. Kalau Sam Ok menggunakan pedang, hal itu berarti bahwa lawannya tentu tangguh sekali. Toa Ok merasa kecelik sekali. Tadinya dia membawa Sam Ok untuk membantunya mengeroyok Han Lin, tidak tahunya di situ ada seorang pemuda remaja yang demikian tangguhnya, mampu menandingi Sam Ok! Karena sudah kepalang dan diapun ingin sekali dapat memiliki Im-yang-kiam, maka tanpa banyak cakap lagi dia sudah mencabut Kim-liong-kiam (Pedang Naga Emas) miliknya dan menyerang Han Lin yang sudah memegang Im-yangkiam. Han Lin menangkis dan membalas menyerang. Terjadi perkelahian yang amat seru. Yang mengagumkan adalah Eng-ji. Biarpun masih amat muda, namun ternyata ilmu pedangnya amat hebat gerakannya. Hal ini sebetulnya tidak mengherankan karena Eng-ji sebetulnya adalah Suma Eng! Dengan ilmu pedang Coatok Sin-kiam-sut (Ilmu Pedang Sakti Racun Ular) ia dapat mengimbangi permainan pedang Sam Ok. Bahkan pedangnya yang bergerak dengan lenggang-lenggok seperti seekor ular itu membuat Sam Ok kewalahan! Dengan penasaran sekali Sam Ok membantu pedang di tangan kanannya dengan tangan kiri yang menyerang dengan Ban-tok-ci. Akan tetapi hal ini bahkan merugikannya karena Eng-ji kini juga membantu pedangnya dengan pukulan tangan kiri yang amat ampuh. Tangan kiri itu mendorong dengan telapak tangan dan serangkum hawa panas sekali menyambar Sam Ok. Itulah pukulan Toat-beng Tok-ciang (Tangan Beracun Pencabut Nyawa), sebuah pukulan jarak jauh yang mengandung racun panas yang ampuh sekali. Sam Ok terhuyung dan ia terdesak terus. Keadaan Toa Ok tidak lebih baik dari pada Sam Ok. Diapun terdesak hebat oleh pedang Im-yang-kiam di tangan Han Lin. Toa Ok kecewa sekali. Dia memang sudah tahu bahwa ilmu kepandaian pemuda ini hebat sekali dan dia tidak mampu menandinginya. Akan tetapi Sam Ok sama sekali tidak dapat membantunya bahkan ketika dia melirik ke arah rekannya itu, Sam Ok juga terdesak hebat oleh lawannya. Melihat ini Sam Ok lalu mengambil sesuatu dari saku jubahnya dan membantingnya ke atas tanah. Terdengar ledakan dan asap hitam tebal mengepul tinggi. "Awas, mundur!" Seru Han Lin dan Eng-ji juga melompat ke belakang karena khawatir kalau-kalau asap hitam itu beracun. Setelah asap hitam membuyar dan menipis, ternyata dua orang itu telah lenyap bersama perahu mereka. "Kita kejar mereka!" kata Eng-ji sam bil menghampiri perahunya siap untuk melakukan pengejaran. Akan tetapi Han Lin mencegahnya. "Tidak baik kita mengejar. Mereka itu licik dan curang Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo sekali, amat berbahaya mengejar mereka. Apalagi di atas air di mana kita tidak berdaya. Kecuali kalau engkau mahir bermain di air, Eng-ji." Eng-ji bergidik, dan menggeleng kepalanya. Dia teringat akan pengalamannya dengan para bajak sungai. "Tidak, aku tidak pandai renang." "Kalau begitu, jangan kejar. Eng-ji, aku kagum sekali kepadamu. Sama sekali tidak kusangka bahwa engkau akan mampu menandingi orang yang demikian lihai dan berbahaya seperti Sam Ok!" kata Han Lin sambil memandang kagum. Eng-ji tersenyum. "Akupun kagum dan heran melihatmu. Engkau Bahkan dapat menandingi Toa Ok, raja datuk sesat yang sakti itu! Kepandaianmu hebat sekali, Lin-ko!" "Engkau juga sudah mengenal mereka, Eng-ji. Bagaimana engkau dapat mengenal orang-orang macam itu?" "Mereka adalah musuh besarku. Masih ada seorang lagi, yaitu Ji Ok. Mereka bertiga merupakan Thian-te Sam-ok yang menjadi musuh besarku karena mereka telah melukai guruku dan menyebab kan kematian guruku." "Ah, begitukah" Melihat kelihaianmu, gurumu tentu seorang yang sakti. Kalau boleh aku mengetahui, siapakah gurumu itu, Eng-ji?" "Guruku seorang pertapa di Cin-ling-san, julukannya adalah Hwa Hwa Cinjin. Pada suatu hari dia didatangi Thian-te Samok dan dikeroyok. Suhu mampu mengusir mereka akan tetapi dia terluka dan akhirnya tewas." "Hemm, Thian-te Sam-ok itu jahat sekali. Dulu di waktu aku masih kecil merekapun sudah berusaha untuk membunuhku. Sekarang selelah aku dewasa, mereka masih mencoba untuk merampas Im-yang-kiam dan membunuhku." "Baru sekarang aku menyadari bahwa kiranya engkau yang telah berhasil memiliki Im-yang-kiam, Lin-ko. Ayahku pernah bercerita tentang Im-yang-kiam itu, bahkan ayah sendiri tidak berhasil mencabutnya. Kiranya engkau yang berhasil mencabutnya. Tidak heran kalau Toa Ok datang hendak merampasnya. Kabarnya Im-yang-kiam itu merupakan pedang pusaka yang amat ampuh sekali." "Eng-ji, melihat kepandaianmu, aku yakin bahwa ayahmu juga tentu seorang gagah yang berilmu tinggi. Boleh aku mengetahui siapa ayahmu?" Eng-ji menghela napas panjang. "Ayahku juga seorang perantau. Dia berjuluk Huang-ho Sin-liong bernama Suma Kiang." Dapat dibayangkan betapa terkejutnya hati Han Lin mendengar ini. Suma Kiang adalah musuh besarnya yang mengakibatkan tewasnya ibunya! Suma Kiang yang berusaha untuk membunuhnya di waktu dia masih kecil, yang menculik dia dan ibunya dari perkampungan Mongol! Ternyata pemuda remaja ini, yang dalam waktu semalam telah menjadi sahabat baiknya, bahkan yang telah membantunya dalam menghadapi Toa Ok dan Sam Ok, adalah putera Suma Kiang, musuh besarnya! Biarpun Han Lin dapat menekan perasaannya dan tidak memperlihatkan sesuatu pada wajahnya, namun dia tertegun dan memandang Eng-ji dengan diam tak berkedip. "Engkau kenapakah, Lin-ko" Engkau memandangku seperti orang merasa heran. Mengapa?" Bocah ini memiliki pandang mata yang tajam dan amat cerdik, pikir Han Lin. Dia sadar dan pandang matanya men jadi biasa lagi. "Ah, aku hanya terheran-heran melihat engkau yang masih begini muda ternyata telah memiliki ilmu kepan daian tinggi sekali. Mengagumkan dan mengherankan, Eng-ji!" "Hemm, kepandaianmu lebih tinggi lagi, Lin-ko. Aku dapat menandingi Sam Ok, akan tetapi kalau aku harus menandingi Toa Ok, agaknya sukar bagiku untuk mencapai kemenangan. Engkau sudah mengetahui nama guruku. Aku yakin bahwa gurumu tentu juga .seorang yang sakti seperti guruku. Siapakah gurumu, Lin-ko?" Karena pemuda itu sudah berterus terang kepadanya, walaupun dia putera musuh besarnya, Han Lin merasa tidak enak kalau tidak berterus terang pula. Akan tetapi mengingat bahwa Go-bi Sam sian, tiga orang gurunya yang pertama, pernah bentrok dengan Suma Kiang, dia tidak menyebut tiga orang gurunya itu, melainkan dua orang gurunya yang terakhir. "Guruku ada dua orang. Yang pertama bernama Cheng Hian Hwesio dan yang ke dua berjuluk Bu-beng Lo-jin." "Ah, mereka tentu orang-orang sakti." kata Eng-ji. "Sekarang engkau hendak melanjutkan perjalanan ke manakah, Lin-ko?" "Aku hendak melanjutkan perjalanan ke selatan, ke kota raja untuk mencari pengalaman dan menambah pengetahuan. Dan engkau sendiri, Eng-te (adik laki-laki Eng)?" "Aku juga hendak merantau ke selatan. Kebetulan aku sendiri juga ingin sekali berkunjung ke kota raja untuk melihat kebesaran kota raja dan keramaiannya, maka kuharap engkau tidak keberatan kalau kita melakukan perjalanan bersama, Linko!" Tentu saja Han Lin tidak merasa keberatan walaupun hatinya ragu mengingat bahwa pemuda ini adalah putera Suma Kiang. Bagaimana kalau dalam perjalanan mereka berjumpa dengan Suma Kiang" Dia tentu akan menentang datuk itu! Dia merasa tidak enak sendiri. "Aku tidak keberatan, Eng-ji. Akan tetapi bukankah engkau katakan hendak mencari ayahmu" Di manakah ayahmu itu sekarang?" "Aku tidak tahu. Dia meninggalkan aku pada mendiang suhu dan tidak mem-beritahu ke mana akan pergi. Katanya dia akan menjemput di Puncak Ekor Naga di Cin-ling-san. Akan tetapi sampai suhu meninggal dunia dia tidak muncul. Terpaksa aku meninggalkan tempat itu. A-kan tetapi aku pernah mendengar ayahku menyatakan bahwa dia ingin sekali pergi ke kota raja. Karena itu, kebetulan sekali kita pergi ke sana, siapa tahu aku akan bertemu dengan ayahku di sana." "Akan tetapi untuk melakukan perjalanan ke selatan sebaiknya kita melakukan perjalanan darat. Terpaksa kita harus meninggalkan perahumu." Eng-ji tertawa. "Tentu saja! Untuk apa perahu macam itu" Aku sendiri juga sudah bosan berperahu, pula, aku tidak berani mendayung perahu ke tengah, selalu jalan di tepi." "Kenapa?" "Aku mengalami hal yang pahit sekali dan hampir membuat aku mati tenggelam. Aku bertemu bajak sungai. Kami berkelahi dan aku mengamuk dengan berloncatan dari satu perahu ke perahu yang lain. Akan tetapi bajak-bajak sungai yang curang itu menenggelamkan perahu sehingga aku tercebur ke dalam air dan nyaris tenggelam!" "Ah, lalu bagaimana?" Han Lin terkejut juga mendengar cerita pemuda itu. "Untung muncul seorang pendekar dari Kun-lun-pai yang pandai renang. Dialah yang menyelamatkan aku dari mati tenggelam. Namanya Gui Song Cin dan orang nya baik sekali." "Untung muncul seorang pendekar yang baik hati. Aku sendiripun tidak pandai renang. Itulah sebabnya aku mencegahmu ketika engkau hendak melakukan pengejaran terhadap Toa Ok dan Sam Ok yang melarikan diri dengan perahu mereka." "Aku dapat memahami maksud baikmu, Lin-ko. Karena itu akupun tidak berkeras untuk mengejar mereka. Akan tetapi kalau saja perahu ini dapat kita jual, tentu akan dapat untuk menambah uang biaya perjalanan kita." Dia berhenti sebentar lalu menoleh kepada Han Lin. "Engkau membawa bekal uang untuk biaya, Lin-ko?" Han Lin menggeleng kepalanya. Dia memang sudah tidak mempunyai uang. "Jangan khawatir, Lin-ko. Aku masih mempunyai sisa uang cukup banyak. Lihat ini!" Eng-ji memperlihatkan sisa uang nya dan memang cukup banyak. "Lagi Pula, kalau kita kehabisan, apa sukarnya" Kita dapat mengambil uang dari para hartawan atau bangsawan yang kelebihan uang yang mereka dapatkan dengan tidak halal." "Mencuri?" tanya Han Lin kaget. "Apa salahnya" Kita mengambil uang mereka bukan untuk bersenang-senang, mengambil secukupnya saja untuk keperluan hidup dalam perjalanan kita. Atau kalau engkau tidak tega mengambil uang mereka, kita mengambil uang dari para perampok dan penjahat!" kata pula Eng-ji dengan suara gembira. Han Lin terpaksa hanya tersenyum saja karena diapun tidak melihat cara lain untuk mendapatkan uang bekal perjalanan. "Mari kita lanjutkan perjalanan, Eng-te." katanya dan kedua orang muda itu lalu melangkah pergi meninggalkan tempat itu. Han Lin merasa tetap tidak enak melakukan perjalanan bersama putera musuh besarnya, akan tetapi dia tidak mempunyai alasan untuk memisahkan diri. Pula, ayahnya jadi boleh jahat,. menyebabkan ibunya hidup menderita, tidak dapat bicara bahkan akhirnya menyebabkan kematian ibunya. Ayahnya memang jahat sekali, akan tetapi hal itu apa hubungannya dengan anaknya" Kalau anaknya tidak jahat, tidak semestinya dia menentangnya. Dia hendak melihat saja nanti bagaimana perangai Eng-ji yang sebenarnya. Dia belum dapat menilai watak pemuda remaja itu yang baru dikenalnya semalam. Melihat dia menentang orang-orang macam Thiante Sam-ok saja sudah menimbulkan kesan baik di hatinya. Ternyata kemudian oleh Han Lin bahwa Eng-ji bersikap amat ramah dan baik kepadanya. Bahkan terlalu baik. Kalau mereka kemalaman di hutan, Eng-ji selalu sibuk melayani segala keperluan Han Lin. Membuatkan masakan dan ternyata pemuda itu pandai sekali masak. Walaupun alat masak dan bumbunya sederhana, namun dia dapat membuatkan masakan yang enak-enak. Bahkan ketika dia mencuci pakaian kotornya, dia minta pakaian Han Lin yang kotor untuk dicucikan sekalian. Kalau mereka tiba di sebuah dusun atau kota, Eng-ji menggunakan uangnya untuk berbelanja dan selalu berusaha untuk menyenangkan hati Han Lin. Han Lin sampai merasa canggung dan rikuh sekali melihat pelayanan Eng-ji. Seolaholah Eng-ji menganggap dia sebagai majikannya. Karena sikap ini, Han Lin merasa semakin suka kepada pemuda putera musuh besarnya itu. Akan tetapi ada kalanya Eng-ji bersikap seperti seorang anak yang nakal dan bandel. Pada suatu hari ketika mereka memasuki sebuah rumah makan di sebuah kota, Han Lin melihat sebuah keluarga duduk menghadapi meja makan dan di antara mereka terdapat dua orang gadisnya yang cantik. Dia hanya memandang biasa saja, akan tetapi Eng-ji menggodanya ketika mereka duduk menghadapi meja. Godaan yang lebih bersifat tuduhan. "Lin-ko, ternyata engkau seorang pemuda yang mata keranjang!" demikian katanya. Jilid XIII "HAH?""Mengapa engkau berkata demikian, Eng-ji?" "Kau kira aku tidak melihatnya ketika kita lewat di depan meja keluarga itu" Matamu seperti hendak meloncat keluar ketika engkau memperhatikan dua orang gadis itu. Engkau tergila-gila kepada mereka, bukan?" "Ah, aku hanya memandang biasa saja, Eng-ji." "Memandang biasa" Engkau memandang mereka seperti seekor srigala melihat dua ekor domba! Aku paling benci melihat laki-laki yang mata keranjang! Memalukan sekali!" Eng-ji tiba-tiba tampak marah dan bersungut-sungut. Han Lin merasa lucu, lalu timbul niatnya untuk menggoda. "Eh, Eng-te, jangan pura-pura. Kurasa engkaupun tentu senang melihat seorang gadis yang cantik." Eng-ji memandang Han Lin dan matanya berapi-api. "Tidak sudi aku! Aku bukan seorang yang mata keranjang, melainkan seorang yang gagah! Sudahlah, kalau engkau mata keranjang, aku tidak sudi berdekatan denganmu!" Setelah berkata demikian, dengan gerakan marah Eng-ji menyambar buntalannya dan duduk di meja lain! Han Lin merasa terkejut juga. Tidak disangkanya bahwa Eng-ji bersungguh-sungguh dan benar-benar menjadi marah besar kepadanya karena dia memandangi kedua orang gadis cantik itu. Benarkah Eng-ji seorang pemuda yang tidak suka kepada gadis cantik" Dan memandang rendah kepada pria yang suka melihat gadis cantik" Dia mengalah, lalu bangkit berdiri dan menghampiri sahabatnya itu. "Maafkan aku, Eng-te, aku telah membuat engkau marah." katanya sambil duduk di meja itu. Akan tetapi Eng-ji tidak menjawab, hanya bersungut-sungut sambil melambaikan tangan memanggil pelayan, lalu memesan nasi dan masakan dengan singkat. Biasanya dia mesti bertanya kepada Han Lin, masakan apa yang hendak dipesannya. Sekali ini dia memesan sendiri, dengan sikap sembarangan saja. Eng-ji bersikap dingin dan marah, tidak pernah memandang kepada Han Lin, bahkan ketika masakan datang, dia lalu makan tanpa mempersilakan Han Lin makan. Han Lin merasa tidak enak sekali, akan tetapi diapun makan dan bersikap seperti biasa saja. Melihat pemuda itu makan dalam keadaan tidak enak dan terpaksa, Han Lin merasa menyesal telah membikin marah sahabat yang biasanya bersikap baik itu maka sambil makan dia pun berkata, "Eng-te, aku merasa menyesal sekali telah membuat engkau marah. Maafkanlah aku, demi persahabatan kita." Eng-ji menunda sumpitnya dan menatap wajah Han Lin. Matanya basah! Dan suaranya terdengar parau ketika dia berkata agak ketus, "Berjanjilah bahwa engkau tidak akan bersikap mata keranjang kalau melihat wanita cantik!" Han Lin menelan ludahnya, diam-diam merasa geli, akan tetapi juga penasaran. Sekarang dia melihat watak yang lain dari pemuda remaja yang mempunyai segi-segi yang aneh itu. "Baiklah, aku berjanji!" katanya sambil mengangguk. Dan seketika sikap Eng-ji berubah! Kembali ramah seperti biasa, bahkan memilihkan dan menyumpitkan daging pilihan dari masakan itu untuk Han Lin! Ketika mereka selesai makan dan Eng-ji sudah membayar harga makanan, mereka meninggalkan rumah makan itu dan untuk menyenangkan hati sahabatnya itu, Han Lin menengokpun tidak ketika lewat dekat rombongan keluarga yang ada dua orang gadis cantiknya itu. Atas ajakan Eng-ji, mereka langsung meninggalkan kota itu menuju ke selatan. Sebentar saja mereka sudah meninggalkan Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo kota dan tiba di tempat sunyi di luar kota sebelah selatan. Han Lin menimbang-nimbang. Akan diteruskan perjalanannya bersama Eng-ji ini" Ataukah dia akan memisahkan dirinya" Akan lebih enak kalau melakukan perjalanan seorang diri, dia dapat bebas sesuka hatinya dan tidak menyinggung atau membuat tidak senang hati sahabatnya itu. Akan tetapi kalau dia teringat akan keramahan Eng-ji, akan sikapnya yang teramat baik dan ramah kepadanya, dia merasa tidak tega. Bagaimana Eng-ji akan menerimanya kalau dia mengajak berpisahan" Agaknya pemuda remaja itu sudah melekat kepadanya, dan agaknya Eng-ji akan berduka kalau diharuskan berpisah. Eng-ji sudah dia anggap dia lebih dari pada sahabat biasa, bahkan menganggap seperti kakaknya sendiri. Mencucikan pakaiannya! Mempersiapkan makanan yang enak-enak. Bahkan pernah ketika mereka bermalam di kamar sebuah rumah penginapan di kota, pada malam hari ketika dia terbangun, dia melihat Eng-ji tertidur di atas lantai, tidak disampingnya di atas tempat tidur! Ketika pada pagi harinya dia menegur, pemuda remaja itu mengatakan bahwa dia merasa gerah sekali maka berpindah tidur di bawah, tidak berani membangunkannya! Dalam segala hal pemuda remaja itu mengalah kepadanya dan menyediakan yang terbaik untuknya. Dan dalam perjalanan selama beberapa hari itu dia merasa betapa perkenalan mereka telah menjadi persahabatan yang amat akrab. Bagaimana dia akan tega untuk mengatakan kepada Eng-ji bahwa dia ingin memisahkan diri" "Lin-ko, mengapa engkau melamun" Apa yang kaulakukan?" Han Lin tertegun. Pemuda remaja itu begitu penuh perhatian terhadap dirinya, seperti biasa! "Tidak apa-apa, Engte." "Sejak tadi engkau berdiam diri saja. Apakah ada yang mengganggu pikiranmu?" "Ah, tidak ada." "Sukurlah kalau begitu. Aku khawatir bahwa aku telah membuat hatimu tidak senang." "Tidak, tidak ada apa-apa, Eng-te." "Sttt.... dari depan ada orang-orang yang mencurigakan. Mereka mempergunakan ilmu berlari cepat!" tiba-tiba Eng-ji memperingatkan. Han Lin mengangkat muka memandang dan benar saja. Jauh di depan di atas jalan yang lurus itu tampak bayangan enam orang menuju ke tempat mereka dengan gerakan cepat sekali seperti terbang. Jelas mereka itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu berlari cepat dan sedang menghampiri mereka. Han Lin bersikap waspada dan berhenti melangkah, memandang kepada mereka dengan sikap tenang walaupun hatinya merasa tegang. "Wah, mereka datang lagi! Kini langkah mereka bertiga ditambah tiga orang lagi. Gawat keadaannya, Lin-ko!" bisik Lng-ji yang sudah cepat mengeluarkan Ceng-liong-kiam (Pedang Naga Hijau) dari buntalan pakaiannya! Han Lin juga segera dapat mengenal mereka. Dia mengenal Toa Ok dan Sam Ok. Akan tetapi dia tidak mengenal Ji Ok, dan dari jarak jauh itu diapun tidak mengenal tiga orang lain yang datang bersama mereka. Karena maklum bahwa munculnya orang-orang itu tentu dengan niat buruk, yaitu hendak merampas Im-yang-kiam, maka Han Lin juga membuat persiapan dan diapun sudah melolos Im-yang-kiam dari buntalan pakaiannya. Akan tetapi setelah enam orang itu tiba di depan mereka dan Han Lin memandangi mereka satu demi satu, tiba-tiba wajahnya menjadi pucat sekali, matanya terbelalak dan mulutnya ternganga. Dia memandang kepada seorang wanita dan merasa bagaikan mimpi. Wanita yang berusia kurang lebih empat puluh tahun, masih cantik jelita, wanita yang selama hidupnya tidak akan pernah terlupakan oleh Han Lin karena wanita itu adalah ibunya! "Ibuuuu.....! Engkau adalah ibuku......!!" Han Lin melompat di depan wanita itu sambil berteriak memanggil. Wanita itu memang Chai Li adanya. Seperti telah di ceritakan di bagian depan, Chai Li menjadi tawanan Ji Ok setelah diselamatkan oleh datuk sesat itu. Ji Ok jatuh cinta kepada Chai Li dan dengan kekuatan sihirnya dia membuat Chai Li tunduk dan menyerah kepadanya menjadi isterinya. Ternyata bagaimanapun juga, Ji Ok merupakan suami yang baik dan amat mencinta isterinya sehingga walaupun Chai Li berada dalam keadaan di bawah pengaruh sihir, namun ia hidup cukup bahagia dengan suaminya yang mencinta. Juga Ji Ok telah menggembleng dan mendidiknya dengan ilmu silat sehingga Chai Li berubah menjadi seorang wanita yang lihai, akan tetapi wataknya juga sesuai dengan watak suaminya, keras dan kejam terhadap lawan. Ketika Han Lin melompat ke depannya dan menyebutnya ibu, Chai Li mundur-mundur dengan wajah berubah pucat dan matanya terbelalak. Ia tampak bingung sekali, seperti tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Melihat ibunya mundur-mundur dan memandang kepadanya dengan bingung, Han Lin melangkah maju. "Ibu, aku adalah anakmu. Aku adalah Han Lin anakmu.......!!" Chai Li menjadi semakin bingung. Mulutnya menggerakkan nama "Han Lin" tanpa mengeluarkan suara dan ia seperti orang yang kehilangan ingatan. "Isteriku, serang bocah itu!" tiba-tiba Ji Ok berseru dengan suara mengandung penuh wibawa dan mendengar teriakan Ji Ok ini, tiba-tiba Chai Li menyerangnya dengan ganas, menggunakan tangan kanan untuk memukul dengan telapak tangan yang mengeluarkan hawa panas. Itulah pukulan Bantokciang yang amat berbahaya. Han Lin terkejut sekali dan cepat dia mengerahkan sinkang pada dadanya yang terkena pukulan itu sehingga dia terjengkang. "Ibuuuu..... kenapa engkau memukul aku, anakmu?" Han Lin bangkit lagi. untung sinkangnya amat kuat sehingga pukulan itu tidak melukainya. Mendengar seruan ini, kembali Chai Li ragu-ragu dan bingung sehingga tidak menyerang lagi, melainkan memandang dengan mata terbelalak. Melihat kembali Chai Li- ragu-ragu dan bingung, Ji Ok berseru lagi, kini lebih berwibawa suaranya, mengandung kekuatan sihir yang menguasai Chai Li. "Isteriku, pemuda ini musuh kita. Bunuh dia!" Mendengar suara itu, Chai Li mencabut pedang yang berada di punggungnya dan menyerang Han Lin dengan tusukan maut. Han Lin cepat mengelak dan dia menjadi bingung sekali. Sementara itu, ketika melihat betapa Han Lin mengakui wanita cantik itu sebagai ibunya akan tetapi malah diserang oleh wanita itu atas perintah Ji Ok, Eng-ji menjadi marah sekali kepada Ji Ok. "Jahanam terkutuk engkau!" bentaknya dan ia sudah menggunakan Ceng-liong-kiam untuk menyerang Ji Ok dengan dahsyatnya. Menghadapi serangan Eng-ji yang hebat ini, Ji Ok cepat mempergunakan senjatanya yang istimewa, yaitu sabuk sutera putih, untuk melawannya.-Akan tetapi Sam Ok segera terjun ke dalam perkelahian itu sambil memutar Hek-kong-kiam di tangannya sambil berseru. "Ji Ok, engkau bantu Toa Ok merampas Im-yang-kiam!" dan Sam Ok segera menyerang Eng-ji, dibantu oleh seorang kakek yang berpakaian seperti tosu yang tadi datang bersama mereka. Mendengar ini, Ji Ok lalu melompat keluar dan mendekati Chai Li yang masih menyerang Han Lin. "Terus serang dia, bunuh musuh kita ini, isteriku!" katanya dan diapun segera menggunakan sabuk sutera putihnya untuk membantu Chai Li menyerang Han Lin. Melihat ini, Toa Ok tidak tinggal diam dan diapun sudah menggerakkan Kim-liong-kiamnya untuk mengeroyok Han Lin. Tosu kedua yang datang bersama mereka, tanpa di minta juga mengeroyok Han Lin, Han Lin masih kebingungan melihat sikap ibunya yang menyerangnya dengan hebat itu, menjadi marah bukan main. Tahulah dia bahwa ibunya berada dalam keadaan tidak wajar. Berada di bawah pengaruh sihir. Akan tetapi biarpun dia marah sekali, dia masih bingung dan sedih menghadapi ibunya seperti itu sehing ga karena perhatiannya tercurah kepada ibunya, dia menjadi kurang waspada dan ketika dia memutar pedang Im-yang-kiam untuk melindungi tubuhnya dari hujan serangan, tendangan kaki kiri Ji Ok mengenai dadanya dan diapun terjengkang dan terbanting roboh! Dadanya terasa nyeri akan tetapi tidak dirasakannya karena pada saat itu dia melihat Chai Li udah menusukkan pedangnya ke arah lehernya. Han Lin terpaksa menggulingkan dirinya agar terhindar dari tusukan maut itu dan kembali dia berseru, "Ibuuu.....!" Ini aku, Han Lin anakmu....!!" Kembali Chai Li tersentak kaget, akan tetapi Ji Ok kembali berkata kepadanya, "Jangan dengarkan ocehannya, isteriku. Dia musuh besar kita, serang dan bunuh dia!" Kembali Chai Li menggerakkan pedangnya menusuk, disusul oleh Ji Ok yang mengelebatkan sabuk suteranya. Bagai ikan seekor ular sabuk sutera putih itu meluncur dan ujungnya menotok ke arah tubuh Han Lin! Pemuda ini menjadi penasaran sekali melihat ibunya. Dia melompat berdiri dan menangkis pedang ibunya dan sabuk sutera putih yang menotoknya, akan tetapi dari belakang menyambar pedang Kim-liong-kiam di tangan Toa Ok dan sebatang pedang lain di tangan tosu pembantu Toa Ok. Han Lin memutar pedangnya ke belakang. "Ibu.......!" Dia mencoba untuk memanggil lagi. "Desss.....!" Hebat sekali tamparan tangan kiri Toa Ok yang disertai ilmu pukulan Ban-tok-ciang. Kalau bukan Han Lin yang punggungnya terkena pukulan itu, tentu akan roboh tewas atau setidaknya terluka parah. Akan tetapi pemuda itu telah melindungi tubuhnya dengan sin-kang, maka biarpun dia terpelanting roboh, dia tidak terluka parah dan sudah melompat kembali sambil memutar pedang Im-yang-kiam melindungi dirinya. Bukan pengeroyokan empat orang itu yang membuat Han Lin kewalahan, melainkan karena dia bingung dan sedih melihat keadaan ibunya yang tidak mengenalnya. Kenyataan ini membuat dia lengah dan lemah sehingga beberapa kali dia terkena tendangan dan hantaman. Masih untung bahwa dia tidak lupa untuk melindungi dirinya dengan sin-kang yang membuat tubuhnya kebal dan tidak dapat ditembusi oleh hawa beracun dari pukulan Ban-tok-ciang. "Ibuuu.... ingatlah, ibuuu.....!" Kembali dia berseru. "Desss.....!" Kembali dia terkena tendangan, sekali ini kaki Toa Ok yang menendangnya, keras sekali sehingga tubuhnya terpental sampai lima meter! Empat orang pengeroyoknya itu mengejarnya dan kembali pedang ibunya menusuk ke arah dadanya. Dia menangkap pedang itu dengan tangan kirinya. "Ibu, aku Han Lin.....!" Dia memperingatkan ibunya. Akan tetapi Chai Li mengerahkan tenaga dan mencabut pedangnya. Ia kini telah memiliki tenaga sin-kang cukup kuat sehingga Han Lin yang tidak mencengkeram pedang dengan sungguhsungguh itu melepaskan pedang yang mengakibatkan telapak tangan kirinya tergores pedang dan berdarah! "lbuuuu.....! Desss.....!" Kembali tubuh Han Lin terkena tendangan Ji Ok sehingga terpelanting dan terguling-guling. Kepalanya terasa pening dan pada saat itu sadarlah dia bahwa kalau dia terus terbenam dalam kebingungan dan kedukaan, dia dapat tewas di tangan para pengeroyok itu. Bangkitlah semangat Han Lin dan dia menjadi marah sekali, marah kepada mereka yang telah membuat ibunya seperti itu. "Aaaaauuuungggg......!" Tiba-tiba dia mengeluarkan pekik semacam auman yang melengking-lengking dan empat orang pengeroyoknya terpental mundur seperti dilanda angin bddai. Itulah Sai-cu Ho-kang (Ilmu Auman Singa) yang dikeluarkannya dengan pengerahan tenaga sekuatnya sehingga akibatnya amat hebat, membuat para pengeroyoknya terhuyung-huyung ke belakang. Juga sekaligus getaran suara itu menghancurkan semua kekuatan sihir sehingga pada saat itu Chai Li seolah-olah terbebas dari pengaruh sihir. Ia terbelalak pucat, memandang kepada Han Lin. "Kau..... kau.....?" katanya dengan suara tidak jelas. Wanita itu masih dapat bicara walaupun kalau mengeluarkan suara tidak jelas karena lidahnya tinggal separuh. Melihat dan mendengar suara ibunya, Han Lin menjadi timbul harapannya lagi dan diapun mendekati ibunya. "Ibu, ini aku anakmu, Han Lin!" Akan tetapi pada saat itu, kembali serangan datang bertubi. Han Lin yang mencurahkan perhatiannya kepada ibunya, memutar pedang menangkis, akan tetapi dari belakang dia menerima hantaman tangan kiri Ji Ok. "Plakk....!" Punggungnya kena dihantam ilmu pukulan Bantok-ciang dan kembali Han Lin terpelanting jatuh. Pedang KimTiraikasih Website http://kangzusi.com/ liong-kiam di tangan Toa Ok menyambar dengan tusukan ke arah dadanya pada saat dia jatuh itu. Han Lin masih sempat menggulingkan dirinya ke samping sehingga pedang itu menusuk dan menancap di atas tanah. Han Lin menggulingkan tubuhnya menjauh dan pada saat itu, pedang tosu pembantu Toa Ok sudah membacok ke arah perut Han Lin. Melihat datangnya pedang yang dibacokkan ke arah perutnya, Han Lin cepat menggerakkan kedua kakinya menendang. Kaki kiri menendang pergelangan tangan yang memegang pedang sehingga pedang itu terlepas, dan kaki kanan menendang ke arah dada lawan. Tosu itu mengelak namun tetap saja dadanya tertendang sehingga dia terjengkang roboh. Han Lin meloncat bangun dan sudah memutar Im-yang-kiam lagi untuk melindungi dirinya. Yang amat menyedihkan hatinya adalah ketika dia melihat ibunya kembali sudah menyerangnya dengan ganas! Sementara itu, Eng-ji yang dikeroyok oleh Sam Ok dan seorang tosu pembantu menjadi repot sekali. Menghadapi Sam Ok seorang dia masih mampu menandingi bahkan mengungguli wanita datuk sesat itu, akan tetapi tosu yang mengeroyoknya itu lihai juga ilmu pedangnya sehingga dia mulai terdesak. Apa lagi ketika dia melihat berulang kali Han Lin terpelanting roboh dan pemuda itu tampak bingung sekali memanggil-manggil ibunya dia sendiri menjadi kacau dan Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo pada suatu saat, ujung pedang Sam Ok telah menyerempet paha kirinya sehingga celananya robek berikut kulitnya dan mengeluarkan banyak darah. Akan tetapi hal ini tidak membuat Eng-ji menjadi gentar atau lemah, bahkan membuat dia menjadi marah sekali dan gerakan pedangnya menjadi semakin hebat! "Hai i ttt....!" Eng-ji mengeluarkan teriakan melengking dan hampir saja pedangnya membabat pundak Sam Ok yang menjadi terkejut sekali. Akan tetapi datuk wanita itu masih mampu mengelak dan sebelum Eng-ji dapat mendesaknya, tosu yang mengeroyoknya telah datang membantu sehingga kembali Eng-ji menghadapi dua orang yang menyerangnya dengan bertubi-tubi. Eng-ji memutar Ceng-liong-kiam di tangannya dan dia tidak hanya melindungi dirinya, akan tetapi dapat juga membalas serangan dua orang pengeroyoknya dengan tusukan atau bacokan yang berbahaya. Ilmu pedang Coa-tok Sin-kiam yang dimainkannya memang merupakan ilmu pedang yang hebat dan ganas sekali. Pedangnya seolah menjadi seekor ular yang melenggang-lenggok dan mematukmatuk sehingga dua orang pengeroyoknya harus berlaku hatihati sekali. Han Lin yang selalu masih merisaukan ibunya kini terkepung dan terdesak hebat. Terutama sekali pedang Toa Ok dan sabuk sutera putih Ji Ok amat mendesak nya sehingga dia menjadi repot. Hal ini adalah karena perhatiannya lebih banyak ditujukan kepada ibunya yang juga ikut menyerangnya dengan ganas. Han Lin merasa hatinya seperti ditusuk-tusuk melihat ibunya mati-matian menyerangnya dengan tusukantusukan maut itu. Tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan sebatang tongkat kayu sederhana menyambar dan menangkis pedang Toa Ok yang mengancam Han Lin. Ternyata yang datang membantu Han Lin itu adalah seorang gadis berpakaian putih yang bukan lain adalah Tan Kiok Hwa! Melihat gadis ini membantu, Han Lin khawatir sekali kalaukalau gadis itu celaka. Maka dia lalu kembali mengeluarkan pekik aumannya yang dahsyat dan Han Lin kini mengamuk! Sambil menghin darkan diri dari serangan ibunya, dia mengamuk dan melakukan penyerangan yang hebat terhadap Toa Ok, Ji Ok dan tosu pembantu mereka. Pedangnya berubah menjadi seperti kilat yang menyambar-nyambar, amat dahsyatnya. Dia sudah marah sekali. Bukan marah karena dirinya dikeroyok dan diserang, melainkan marah karena melihat keadaan ibunya yang tidak mengenal dirinya lagi. Dia mengamuk dan melihat ini. Toa Ok menjadi terkejut sekali. Datuk sesat ini merasa amat penasaran. Dia ingin sekali merampas Imyang-kiam. Tadinya dia yakin bahwa dia akan mampu mengalahkan Han Lin. Akan tetapi, ternyata bertanding satu lawan satu dia tidak mampu menang. Kemudian dia minta bantuan Sam Ok. Juga gagal. Sekarang dia dibantu Sam Ok dan Ji Ok bersama dua orang tosu lihai lagi, akan tetapi ternyata kembali dia gagal. Han Lin dibantu pemuda remaja yang amat lihai itu dan kini bahkan dibantu pula oleh gadis berpakaian putih yang juga memiliki ilmu tongkat yang amat aneh dan gerakannya demikian luar biasa sehingga sukar disambar pedangnya. Gadis berpakaian putih itu memiliki ilmu langkah yang ajaib sekali. Maklum bahwa sekali inipun dia gagal, bahkan setelah Han Lin mengamuk keadaan dia dan kawan-kawannya berbalik terancam bahaya, Toa Ok lalu melempar bahan peledak. Ledakan itu menimbulkan asap hitam tebal dan tanpa diberitahu, ledakan itu merupakan isarat kepada kawankawannya untuk melarikan diri. Akan tetapi Han Lin tidak memperdulikan asap hitam tebal itu. Dia menerjangnya sambil menahan napas. "Ibuuu....! Jangan pergi, ibu.....!" Dia berseru lalu berlari melakukan pengejaran. Akan tetapi para pengeroyok itu telah lenyap dan Han Lin terus mengejar ke depan dengan nekat sambil memanggil-manggil ibunya. Sementara itu, setelah terjadi ledakan dan timbulnya asap hitam tebal, Eng-ji melompat ke belakang. Setelah para pengeroyoknya pergi, barulah terasa oleh nya betapa luka di pahanya perih dan nyeri. Dia terhuyung. "Engkau terluka.....!" terdengar teguran dan ketika dia menoleh, dia berhadapan dengan seorang gadis berpakaian serba putih yang cantik jelita. Gadis itu membawa sebatang tongkat kayu di tangan kanannya dan sebuah buntalan besar tergendong di punggungnya. Eng-ji melihat betapa gadis itu tadi menggunakan tongkat untuk membantu Han Lin. Dia memandang tajam penuh perhatian, akan tetapi rasa nyeri di pahanya membuat dia menjatuhkan diri terduduk dan sambil memijati pahanya yang terluka dia bertanya, "Kalau aku terluka mengapa?" Kiok Hwa tersenyum mendengar jawaban yang ketus itu. Ia tadi melihat betapa pemuda remaja itu amat lihainya, mampu menandingi Sam Ok dan seorang tosu yang mengeroyoknya. "Adik yang baik, kalau engkau terluka, aku dapat mengobatimu. Aku adalah seorang ahli pengobatan. Aku khawatir kalau lukamu itu mengandung racun." Eng-ji terkejut dan juga girang. Dia memandang kepada luka di pahanya dan melihat betapa luka itu tidak dalam akan tetapi di sekitar lukanya terdapat warna menghitam! Itulah merupakan tanda bahwa luka itu memang mengandung racun! "Ah, kalau begitu, periksalah lukaku dan obati, enci!" katanya khawatir. Kiok Hwa tersenyum lalu menghampiri Eng-ji. Ia berjongkok dan merobek celana itu agar terbuka lebih lebar dan memeriksa lukanya. Ketika melihat bentuk paha dan kaki Eng-ji, Kiok-hwa berseru heran dan kaget. "Engkau..... engkau seorang wanita....!" "Hushh, enci. Ini rahasiaku dan jangan kaukatakan kepada pemuda tadi." "Maksudmu koko Han Lin?" tanya Kiok Hwa. Eng-ji memandang tajam. "Engkau sudah mengenal Linko?" "Aku pernah bertemu dengannya dan kami saling mengenal." "Hemm. Sekali lagi, harap engkau tidak membuka rahasiaku ini kepada Lin-ko. Dia tetap menganggap aku sebagai seorang pemuda yang bernama Eng-ji." Kiok Hwa tersenyum heran. Akan tetapi ia mengangguk. "Jangan khawatir, aku tidak membuka rahasiamu." Ia memeriksa lagi dan berkata. "Tahanlah, aku akan menotok dan memijat untuk mengeluarkan racun dari lukamu, agak nyeri sedikit." "Cepat lakukan, aku akan bertahan. Cepat, jangan sampai Lin-ko melihat keadaanku ini." Kiok Hwa lalu menotok ke jalan darah di sekitar luka, lalu memijit-mijit sehingga darah yang keracunan keluar dari luka. Memang terasa nyeri, akan tetapi, Eng-ji menggigit bibirnya dan tidak mengeluarkan keluhan sehingga mengagumkan hati Kiok Hwa. Gadis ini ternyata tabah dan tahan nyeri, seorang yang gagah sekali. Setelah racunnya keluar semua, ia menaburkan bubuk obat kepada luka itu dan membalut paha itu dengan sehelai kain bersih. Kemudian ia membantu Eng-ji menukar celananya yang robek. Mereka bekerja cepat dan untung Eng-ji telah menukar celananya karena tak lama kemudian Han Lin muncul. Melihat wajah pemuda itu yang muram, Eng-ji segera menyongsongnya dan jalannya agak terpincang. "Bagaimana, Lin-ko" Apakah engkau dapat mengejar dan menyusul mereka?" Han Lin menggeleng kepalanya dan menghela napas panjang. "Tidak. Mereka menghilang dalam sebuah hutan. Aku menyesal sekali tidak dapat menyusul mereka..... ibuku..... ahhh....." Han Lin menjatuhkan diri duduk di bawah pohon dan menutupi mukanya dengan kedua tangannya. Kedua matanya basah dan dia menahan isak tangisnya, mengeraskan hatinya sehingga kedua tangannya menjadi tegang dan kaku karena dia mengerahkan tenaganya untuk menahan tangisnya. Kiok Hwa dan Eng-ji saling pandang sambil mengerutkan alisnya. Kiok Hwa menggeleng kepalanya perlahan seolah hendak melarang Eng-ji berbuat sesuatu dan membiarkan Han Lin tenggelam ke dalam kesedihannya. Akan tetapi Eng-ji tidak perduli dan dengan kaki terpincang dia menghampiri Han Lin dan menjatuhkan diri berlutut dekat pemuda itu, menaruh tangannya dengan lembut kepundak Han Lin. "Lin-ko," katanya lembut, "Sudahlah jangan bersedih, Linko. Benarkah wanita tadi ibumu?" Tanpa menurunkan kedua tangannya dari depan mukanya, Han Lin. menjawab dengan suara lirih dan parau, "Aku yakin bahwa ia itu ibuku....." "Akan tetapi kenapa ia.... tidak mengakuimu dan seperti tidak mengenalmu, bahkan menyerangmu dengan dahsyat?" Eng-ji bertanya penasaran sekali. Han Lin menggeleng kepalanya lalu menghela napas panjang. "Agaknya ia terpengaruh sihir laki-laki yang bersenjata sabuk sutera putih itu...." "Dia adalah Ji Ok, Si Jahat Nomor Dua, jahanam keparat itu!" kata Eng-ji. "Melihat keadaan bibi itu, kemungkinan besar ia telah minum racun perampas ingatan." kata Kiok Hwa dengan suara lembut. Mendengar suara ini, Han Lin melepaskan kedua tangannya dari depan mukanya dan menoleh, memandang kepada Kiok Hwa. Mukanya masih pucat dan kedua pipinya basah air mata. "Kiok-moi! Aku sampai lupa kepadamu. Terima kasih, Kiokmoi, engkau tadi telah membantuku menghadapi iblis-iblis itu." "Ah, tidak perlu dibicarakan lagi itu, Lin-ko. Aku ikut prihatin melihat ibumu." Han Lin memandang kepada Eng-ji. Pandang matanya menuju ke pahanya. "Dan engkau tadi agaknya terluka, Engji" Aku khawatir sekali karena pedang di tangan Sam Ok itu tentu mengandung racun dan kalau melukaimu....." "Memang ia yang melukai pahaku dan memang luka itu mengandung racun yang berbahaya. Akan tetapi untung ada enci ini yang mengobatiku. Eh, enci yang baik, sampai lupa aku bertanya. Siapakah namamu?" Kiok Hwa tersenyum. "Namaku Tan Kiok Hwa, adik Eng-ji." "Untung ada Enci Kiok, kalau tidak mungkin kakiku harus dipotong!" Han Lin memandang kepada Kiok Hwa. "Kiok-moi, benarkah pendapatmu tadi bahwa mungkin ibuku telah minum racun perampas ingatan?" "Besar sekali kemungkinannya, Lin-ko. Kalau ia hanya terpengaruh sihir, teriakanmu yang mengandung tenaga khikang sepenuhnya tadi tentu akan mampu membuyarkan sihir dan mengembalikan ingatannya. Akan tetapi kalau ia minum racun perampas ingatan, tentu saja tidak dapat disembuhkan dengan teriakanmu tadi." Han Lin menggangguk-angguk lalu bangkit berdiri. Eng-ji juga bangkit berdiri, akan tetapi dia terhuyung dan tentu akan roboh kalau saja Kiok Hwa tidak cepat merangkulnya. Eng-ji juga merangkul gadis itu sehingga keduanya saling rangkul. Eng-ji tertawa. "Ah, ternyata masih terasa nyeri juga pahaku ini!" katanya, tanpa menyadari bahwa dia saling rangkul dengan Kiok Hwa. Melihat sikap yang demikian mesra, saling rangkul dan tidak segera melepaskan rangkulan antara pemuda remaja dan gadis itu, tiba-tiba saja Han Lin merasa jantungnya seperti dicengkeram. Sakit dan panas! Tanpa dia sadari, dia telah dicengkeram oleh rasa cemburu yang besar. Kiok Hwa dirangkul Eng-ji, demikian suara hatinya berteriak dengan marah! Cemburu! Suatu perasaan yang membuat orang merasa tidak enak sekali. Panas, pedih dan menimbulkan sakit hati dan kemarahan besar. Orang bilang bahwa cemburu adalah kembangnya cinta. Bahwa adanya cinta harus ada cemburu, bahkan katanya cinta tidak sungguh-sungguh tanpa adanya cemburu! Benarkah itu" Cemburu menimbulkan kemarahan, membuat cinta berbalik menjadi benci! Cemburu timbul karena perasaan bahwa orang yang dicintanya, yang dimilikinya, direbut orang. Bahwa yang dicintanya itu ternyata mencinta orang lain. Cemburu hanya timbul kalau cinta itu sifatnya ingin memiliki, ingin menguasai, ingin memonopoli orang yang dicintainya. Cemburu timbul dari cinta yang ingin menyenangkan diri sendiri, sehingga menjadi marah dan benci kalau diri sendiri tidak disenangkan lagi. Cemburu timbul dari cinta yang bergelimang nafsu berahi, nafsu memiliki dan nafsu ingin disenangkan. Cinta sejati tidak akan menimbulkan cemburu! Cinta sejati mendorong orang ingin menyenangkan hati orang yang dicintanya, ingin membahagiakan dan mengesampingkan keinginan untuk senang sendiri. Kebahagiaan orang yang dicintanya mendatangkan kebahagiaan padanya juga. Cinta sejati tidak ingin mengikat atau di kat, memberi kebebasan kepada orang yang dicintanya. Akan tetapi Han Lin adalah seorang manusia biasa dan semua manusia tidak akan terlepas dari cengkeraman nafsunya sendiri. Melihat Kiok Hwa berangkulan bersama Engji, hatinya terasa seperti dibakar dan hal ini tampak dari pandang matanya yang berapi-api! Kiok Hwa dapat melihat pandang mata itu dan seketika ia melepaskan rangkulannya kepada Eng-ji. Ia baru sadar bahwa ia saling berangkulan dengan seorang "pemuda" menurut pandangan Han Lin. Wajahnya berubah kemerahan, namun jantungnya berdebar tegang. Kenapa Han Lin tampak marah melihat ia berangkulan dengan seorang "pemuda?" Tentu hanya berarti satu, yaitu bahwa Han Lin tidak suka ia berangkulan dengan pemuda lain! Untuk menutupi rasa rikuh ini, Kiok Hwa menegur Eng-ji. "Engkau berhati-hatilah kalau berdiri Engkau bisa terjatuh. Racun di lukamu memang sudah hilang, akan tetapi luka itu sendiri belum sembuh benar." Eng-ji sendiri tidak melihat pandang mata Han Lin yang berapi-api melihat dia berangkulan dengan Kiok Hwa tadi. Dia sendiri lupa bahwa tidak sepatutnya dia sebagai seorang "pemuda" berangkulan dengan Kiok Hwa demikian mesranya. Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Pada saat itu memang dia lupa bahwa dia seorang pemuda. "Lin-ko, orang bersenjata sabuk sutera putih tadi adalah Ji Ok. Tadi mereka bertiga muncul dengan lengkap, yaitu Thiante Sam-ok dan bersama wanita tadilah mereka menyerang guruku ketika itu." kata Eng-ji. "Dan dua orang tosu tadi adalah tosu dari Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih), tampak dari gambar teratai putih di balik jubah mereka." kata Kiok Hwa. "Hemm, ternyata ibuku masih hidup dan ia telah terjatuh ke tangan Thian-te Sam-ok. Bagaimanapun juga aku harus membebaskan ibuku dari tangan mereka." kata Han Lin sambil mengepal tinjunya. "Jangan khawatir, Lin-ko. Aku akan membantumu membebaskan ibumu!" kata Eng-ji penuh semangat. "Akupun akan suka membantumu, Lin-ko," kata Kiok Hwa. "Akan tetapi bagaimana" Ke mana kita harus mencari mereka?" "Enci Kiok Hwa, benarkah kata-katamu tadi bahwa dua orang tosu itu adalah tosu-tosu Pek-lian-kauw?" tanya Eng-ji kepada Kiok Hwa. "Benar sekali, Eng-ji. Aku melihat gambar teratai putih itu di balik jubah mereka." "Kalau begitu, Thian-te Sam-ok agaknya tentu berdiam di sarang Pek-lian-kauw dan aku tahu bahwa di balik gunung di sana itu terdapat sebuah bukit yang disebut Bukit Perahu dan di sana terdapat sarang cabang Pek-lian-kauw. Tentu mereka melarikan diri ke sana." "Bagus kalau begitu!" kata Han Lin. "Aku akan menyusul ke sana!" "Aku ikut, Lin-ko!" kata Eng-ji. "Akupun akan membantumu, Lin-ko." kata Kiok Hwa. "Sebaiknya kalian tidak ikut, apalagi engkau, Kiok-moi. Perjalananku ini adalah untuk berusaha membebaskan ibuku dari cengkeraman Thian-te Sam-ok dan ini berbahaya sekali. Selain mereka bertiga itu sakti, juga Pek-lian-kauw memiliki tosu-tosu yang lihai. Aku tidak ingin kalian terancam bahaya kalau ikut denganku." "Aku tidak takut bahaya, Lin-ko. Enci Kiok Hwa lebih baik tidak ikut, akan tetapi aku akan ikut denganmu. Aku tidak takut mati!" kata Eng-ji kukuh. "Akan tetapi yakinkah engkau bahwa bibi tadi ibumu, Linko?" tanya Kiok Hwa. "Akupun heran, Lin-ko. Bukankah dulu engkau pernah mengatakan kepadaku hahwa ibumu telah meninggal dunia?" tanya pula Eng-ji. Han Lin menghela napas panjang. Teringat dia akan peristiwa ketika dia berusia sepuluh tahun dan mereka dikejar Uejar Suma Kiang itu. "Aku melihat sendiri ketika ibuku dikejar-kejar seorang jahat, ibu terjatuh ke dalam jurang yang teramat dalam. Tak mungkin kiranya orang yang terjatuh ke dalam jurang tak berdasar seperti itu akan tinggal hidup. Akan tetapi aku yakin benar bahwa wanita tadi adalah ibuku! Akan tetapi sungguh aneh dan mengherankan sekali bagaimana ia muncul sebagai isteri Ji Ok dan sama sekali tidak mengenalku. Dan ibu yang dahulu tidak pandai ilmu silat itu sekarang menjadi demikian lihai." Kembali dia menghela napas panjang dengan wajah muram. "Sudahlah, Lin-ko, tidak perlu engkau bersedih terus. Yang penting sekarang marilah cepat mencari ibumu di sarang Peklian-kauw di Bukit Perahu!" kata Eng-ji penuh semangat. Mendengar ini, timbul pula semangat di hati Han Lin. "Baiklah, mari kita berangkat. Sebaiknya engkau tidak ikut, Kiok-moi. Aku khawatir kalau-kalau engkau terancam bahaya." kata-kata ini keluar dari hati Han Lin yang mengkhawatirkan dara yang dicintanya itu. "Jangan khawatir, aku dapat menjaga diriku, Lin-ko. Mari kita berangkat." kata Kiok Hwa. Mereka lalu pergi dari situ menuju ke gunung yang tampak menghadang di depan. Malam itu terang bulan. Akan tetapi karena terhalang hutan yang lebat di gunung itu, terpaksa Han Lin, Eng-ji dan Kiok Hwa menghentikan perjalanan mereka dan melewatkan malam di tengah hutan. Han Lin yang tampak murung dan berduka mendatangkan suasana sunyi dan diam. Bahkan Engji yang biasanya lincah itu tampak pendiam, mengetahui akan kedukaan yang mengganggu hati Han Lin. Akan tetapi diamdiam diapun memperiapkan makanan malam untuk mereka bertiga, dibantu Kiok Hwa. Mereka berdua menyambit jatuh tiga ekor burung yang cukup besar dan memanggang daging burung itu untuk menjadi teman roti kering yang dibawa Kiok Hwa. "Lin-ko, mari makanlah. Kami telah memanggang daging burung untukmu." kata Eng-ji menawarkan. Han Lin memandang tak acuh. Hatinya sedang tertindih perasaan duka yang mendalam. Mana mungkin ada selera makan dalam keadaan seperti itu" Maka dia hanya menggeleng kepalanya. "Lin-ko, makanlah dulu. Mari kita bertiga makan bersama, tidak baik perut dibiarkan kosong. Engkau bisa masuk angin." kembali Eng-ji membujuk sambil menarik-narik tangan Han Lin. Kiok Hwa memandang ulah Eng-ji dan diam-diam ia merasa kasihan kepada Eng-ji. Dari sikap Eng-ji, ia maklum bahwa yang menyamar pria itu sebenarnya mencinta Han Lin! Hal ini mudah diduganya dari gerak-gerik dan pandang mata Eng-ji kepada pemuda itu. Melihat Eng-ji tidak berhasil membujuk Han Lin untuk makan, padaha Eng-ji sudah susah payah memanggangkan daging burung untuk pemuda itu, Kiok Hwa menjadi kasihan juga. "Eng-ji benar, Lin-ko. Engkau harus makan malam bersama kami. Tidak baik membiarkan hati berduka dan perut kosong. Engkau dapat jatuh sakit." "Ah, aku tidak ada selera makan Kiok-moi." "Harus dipaksa, Lin-ko. Bukan demi selera, melainkan demi kesehatan dan Eng-ji sudah bersusah payah membuatkan panggang daging burung untukmu." Han Lin merasa tidak enak menolak terus, maka dengan sikap apa boleh buat diapun duduk di dekat api unggun dan mereka bertiga makan roti kering dan panggang daging burung sambil minum air teh. Akan tetapi Han Lin hanya makan sedikit. Malam terang bulan. Bulan sepotonp itu cukup terang karena tidak terhalang awan. Langit amat bersih dan cahaya bulan sepotong mendatangkan cahaya kebiruan yang mendatangkan suasana romantis. Han Lin bangkit berdiri dan pergi menjauhi api unggun, menghampiri sebuah batu besar dan duduk di atas batu, melamun. Eng-ji saling pandang dengan Kiok Hwa dan melihat wajah Eng-ji yang demikian muram dan nelangsa, ia merasa kasihan. Ia menggunakan mukanya memberi isarat kepada Eng-ji untuk mendekati dan menemani Han Lin sedangkan ia sendiri menjaga agar api unggun tidak menjadi padam. Eng-ji maklum akan isarat itu dan dia lalu bangkit dan menghampiri batu besar di mana Han Lin duduk melamun. "Lin-ko......!" katanya lirih. Tanpa menoleh Han Lin berkata kepadanya, "Eng-ji, kuminta dengan sangat agar engkau tidak menggangguku pada saat ini. Aku ingin bersendiri, tinggalkanlah aku dan beristirahatlah." "Lin-ko, aku ingin menemanimu, menghiburmu....." kata pula Eng-ji dengan suara membujuk. "Sudah kukatakan, jangan ganggu aku Eng-ji!" kata Han Lin dan suaranya terdengar agak ketus. Eng-ji mundur dar meninggalkannya. Dia duduk dekat apj unggun, di mana Kiok Hwa juga duduk. "Enci Kiok, dia marah kepadaku." kata Eng-ji, penasaran dan kecewa, bahkan suaranya agak parau seperti orang mau menangis. Kiok Hwa merasa kasihan kepadanya. "Dia sedang berduka, Eng-ji. Sebaiknya dalam keadaan seperti itu biarkan saja dia seorang diri sampai kedukaannya mereda. Lebih baik engkau istirahat saja, tidur, biar aku yang berjaga di sini." Eng-ji memandang ke langit, ke arah bulan sepotong. Ada awan-awan tipis datang dan lewat, menipu penglihatan seolaholah bulannya yang bergerak, bukan awannya. "Kau lihat bulan itu, enci Kiok. Aku merasa seperti bulan itu." Kiok Hwa menegadah. "Eh, seperti bulan itu" Mengapa?" "Menyendiri, kesepian!" jawab Eng-ji yang lalu bangkit dan menyambung katakatanya. "Sebaiknya aku tidur saja, untuk apa berjaga kalau tidak diperdulikan orang?" Diapun pergi ke bawah pohon, membersihkan tanah di bawahnya, menaburkan daun-daun kering lalu dia merebahkan diri miring, berbantalkan buntalannya. Sebentar saja dia tidak bergerak-gerak lagi dan pernapasannya halui tanda bahwa dia telah tidur pulas. Kiok Hwa memandang kepadanya, tersenyum, lalu menoleh ke arah Han Lin. Pemuda itu masih duduk termenung memandang ke langit, agaknya juga memandangi bulan. Berulang kali dia menarik napas panjang. Kiok Hwa merasa iba kepada pemuda itu. Ia sendiri sudah tidak mempunyai ayah bunda sehingga tidak ada yang diharapkannya lagi, tidak ada yang disusahkannya. Akan tetapi ia dapat merasakan betapa bingung dan hancur hati Han Lin yang menemukan kembali ibunya yang tadinya disangka telah mati itu dalam keadaan seperti itu. Kiok Hwa menengok lagi ke arah Eng-ji. Gadis yang menyamar pemuda itu masih tidur nyenyak. Watak Engji yang masih muda itu demikian mudah berubah. Sebentar susah sebentar senang! Orang yang lincah seperti dia itu tidak dapat berlamalama dalam kesusahan. Sebentar saja apa yang mengganjal hatinya akan lewat dan terlupa. Kalau tadi kelihatan kecewa dan bersedih karena merasa diabaikan oleh Han Lin, kini dia sudah tidur dan terbuai di alam mimpi! Sampai hampir tengah malam, Kiok Hwa melihat bahwa Han Lin masih saja duduk melamun seperti telah berubah menjadi arca batu, duduk diam tidak bergerak sama sekali di atas batu besar itu. Ia merasa kasihan sekali dan perlahanlahan ia bangkit berdiri setelah menaruh kayu-kayu bakar kedalam api unggun. Lalu ia melangkah perlahan menghampiri batu besar dari arah belakang Han Lin. Setelah tangannya menyentuh batu besar itu iapun berkata lirih seperti kepada diri sendiri. "Susah dan senang datang silih berganti seperti ombak samudera yang bergerak ke kanan dan ke kiri. Yang satu tidak dapat berada tanpa yang lain, silih berganti saling menguasai singgasan hati. Membiarkan diri hanyut terlalu dalam ke dalam gelombang susah senang bukanlah perbuatan bijaksana." Han Lin tersadar dari lamunannya merasa seolah ditarik oleh suara itu kembali ke dunia nyata. Dia merasa seolah mendengar suara Bu-beng Lo-jin, karena pernah gurunya itu mengeluarkan kata-kata yang sama artinya dengan yang baru saja terdengar olehnya itu. Dia menoleh dan melihat Kiok Hwa berdiri di bawah, di dekat batu besar yang didudukinya. "Ah, engkau itu, Kiok-moi" Kata-katamu menyadarkan aku dari alam lamunan. Engkau benar. Aku terlalu membiarkan diriku terseret dan hanyut ke dalam duka. Kiok-moi, maukah engkau naik ke sini, duduk dan bercakap-cakap denganku untuk memberi kesadaran sepenuhnya kepadaku" Hatiku sedang merana, dan aku merasa kehilangan kepribadianku." Kiok Hwa meragu, menoleh ke arah di mana Eng-ji tertidur. Ia melihat betapa Eng-ji masih pulas tidak bergerak-gerak, dan ia merasa kasihan kepada pemuda yang amat dikaguminya itu. "Baiklah." katanya dan iapun melompat ke atas batu besar itu dengan gerakan ringan sekali. "Aku akan menemanimu bercakap-cakap sebentar,, akan tetapi Engkau perlu istirahat, Lin-ko." Mereka duduk saling berhadapan di atas batu besar itu. Batu itu mempunyai permukaan yang rata, maka mereka dapat duduk bersila dengan enak di atasnya. Setelah duduk saling berhadapan di bawah sinar bulan itu, Han Lin mengamati dengan tajam wajah gadis yang diam-diam telah menjatuhkan hatinya itu. "Kiok-moi, kata-katamu tadi menyadarkan aku, seolah aku ditarik kembali kealam kenyataan oleh suaramu. Dan katakatamu tadi tidak asing bagiku karena kelima orang guruku sudah sering membicarakannya. Aku tahu bahwa susah senang adalah dua hal yang tak terpisahkan mempengaruhi kehidupan manusia, bahwa itu adalah dua sifat yang saling bertentangan akan tetapi saling mengis dari Im dan Yang, dua kekuatan yan membuat alam semesta ini berputar, du kekuatan yang kalau bertemu dapat me nimbulkan kehidupan di alam semesta ini Aku tahu akan semua itu dan bahka hafal akan pelajaran tentang Im dan Yang itu. Orang tidak akan mengenal Yan kalau tidak mengenal Im. Orang tida akan mengenal kesusahan kalau tidak mengenal kesenangan dan sebaliknya Menurut ujar-ujar para bijaksana, manusia baru akan dapat membebaskan dirinya secara penuh kalau dia tidak terseret oleh gelombang yang diakibatkan oleh Im dan Yang (Positif dan Negatif) itu. Aka tetapi, Kiok-moi, aku manusia biasa. Kedukaan yang menyelubungi hatiku ini tidak kubuatbuat, melainkan datang dengan sendirinya sebagai akibat daripada kenyataan yang kuhadapi. Betapa hatiku tidak akan hancur melihat ibuku seperi itu" Ah, engkau tidak tahu apa yang pernah diderita ibuku tercinta! Ibuku ditinggal ayah kandungku, kemudian ibu dan aku diculik penjahat, hampir saja ibuku diperkosa sehingga ia menggigit putus lidahnya sendiri. Kami dikejar-kejar penjahat sehingga hidup penuh penderitaan lahir batin. Kemudian aku melihat dengan mata kepalaku sendiri betapa ibuku terjungkal ke dalam jurang yang tak berdasar sehingga tadinya aku yakin bahwa ibuku telah meninggal dunia. Kalau ibu meninggal dunia ketika terjatuh itu, berarti ia telah terbebas dari kesengsaraan hidup di dunia. Akan tetapi ternyata ia masih hidup dan berada dalam cengkeraman manusia-manusia iblis seperti Thian-te Sam-ok! Ah, dapat kubayangkan betapa hebat penderitaan ibuku yang tercinta itu! Bagaimana aku dapat menahan kedukaan yang begini besar, Kiok-moi" Ahhh, kasihan ibuku.....!" Han Lin tidak dapat menahan kesedihan hatinya lagi dan teringat akan keadaan ibunya, kedua matanya basah dan dia menundukkan mukanya. Sudah sejak pertemuan pertama, hati Kiok Hwa terpikat oleh Han Lin dan gadis yang bijaksana ini paham betul bahwa diam-diam ia jatuh cinta kepada pemuda itu. Kini, melihat wajah pemuda itu diliputi kedukaan, kedua matanya basah dan seluruh tarikan mukanya menunjukkan kepedihan hati yang amat besar, hati Kiok Hwa terasa seperti diremas-remas. Ia merasa kasihan sekali dan ingin ia menghibur hati pemuda itu sedapatnya. Karena ia merasa terharu sekali, perasaan Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo hatinya mendorongnya untuk menyentuh pundak Han Lin dengan tangannya. "Lin-ko, kita memang manusia lemah Tak mungkin kita dapat menguasai hati kita sendiri. Karena itu, satu-satunya jalan hanyalah menyerah kepada Thian Yang Maha Kasih." Suara gadis itu menggetar penuh keharuan. Sentuhan tangan Kiok Hwa pada pundaknya mendatangkan getaran yang terasa menyusup ke seluruh dirinya. Seakan mencari pegangan bagi hatinya yang sedang limbung itu Han Lin menangkap tangan itu, memegang dan meremasnya lembut. Dua pasang mata saling bertemu dan bertaut. "Kiok-moi.....!" "Lin-ko.....!" Entahlah siapa yang bergerak lebih dahulu, akan tetapi tahu-tahu Kiok Hwa telah rebah dalam pelukan Han Lin dan gadis itu menyandarkan kepalanya di dada pemuda itu. Han Lin mendekap kepala itu dengan kuat, seolah takut akan kehilangan sebuah mustika. Sampai lama sekali mereka berdua tenggelam dalam keadaan seperti itu. tak sepatahpun kata keluar dari mulut mereka, akan tetapi detak jantung mereka seperti bicara dalam seribu bahasa. Seluruh tubuh mereka tergetar oleh kekuatan ajaib yang menyusup ke dalam diri mereka. Pernapasan mereka seolah telah menjadi satu, detak jantung mereka pun menjadi seirama. Akhirnya Han Lin yang berbisik, suaranya penuh getaran karena keharuan dan kebahagiaan menyelubungi hatinya. "Terima kasih, Kiok-moi..... terima kasih.... engkau telah memberi kekuatan hidup kembali kepadaku....." Han Lin menunduk dan mencium rambut kepala gadis itu. Kiok Hwa terisak. Air matanya bercucuran membasahi baju Han Lin dan menembus membasahi kulit dadanya, menembus lagi menyirami jantungnya. Terasa sejuk segar mendatangkan gairah hidup baru, membangkitkan semangatnya. Han Lin memperkuat rangkulannya. "Engkau... engkau menangis, Kiok-moi...,?" Perlahan dengan lembut Kiok Hwa melepaskan kedua lengan Han Lin yang merangkulnya. Dengan mata basah ia memandang wajah pemuda itu dan tersenyum. Di bawah sinar bulan, wajah yang tersenyum dengan kedua mata basah itu tampak demikian cantik menggairahkan. "Aku..... aku bahagia, Lin-ko....." Tiba tiba ia menoleh kepada Eng-ji. Gadis yang menyamar sebagai pemuda itu telah membalikkan tubuhnya dan kini mukanya menghadap kepada mereka, akan tetapi kedua matanya masih terpejam dan tidak bergerak sama sekali. "Akan tetapi..... disana ada Eng-ji....." Han Lin juga baru teringat bahwa ada Eng-ji di situ. "Apa hubungannya dengan dia, Kiok-moi" Kita saling mencinta dan dia..... eh, Kiok-moi, apakah..... apakah dia..... juga mencintamu?" Kiok Hwa tersenyum. "Bagaimana engkau dapat menduga begitu, Lin-ko?" "Kulihat hubungan antara kalian demikian akrab dan mesra......!" kata Han Lin, cemburu mulai menggerogoti hatinya. "Ah, kami memang saling menyayang, akan tetapi menyayang seperti saudara." Kiok Hwa lalu melompat turun dari atas batu besar. "Lin-ko, sekarang engkau harus beristirahat, biar aku yang menjaga api unggunnya." Api unggun itu sudah mengecil karena hampir kehabisan kayu bakar. Kiok Hwa menghampiri dan menambahkan kayu bakar. Han Lin masih duduk di atas batu besar. Seluruh tubuhnya masih gemetar karena gelora perasaannya ketika berpelukan dengan Kiok Hwa tadi. "Engkau yang harus beristirahat, Kiok moi. Biar aku yang berjaga." katanya sambil melompat turun dari atas batu besar. Dia menghampiri Kiok Hwa di dekat api unggun, duduk di dekatnya dan hendak merangkul lagi. Akan tetapi dengan lembut Kiok Hwa mengelak dan menjauhkan diri. "Sudahlah, Lin-ko. Kita harus merahasiakan perasaan hati kita." katanya sambil menoleh kepada Eng-ji. "Dan engkau tidurlah dulu, engkau perlu beristirahat untuk mengusir pergi semua perasaan dukamu." Han Lin merasa heran ketika tiba-tiba teringat betapa dia sama sekali sudah tidak merasa berduka, bahkan sama sekali telah melupakan ibunya! Kini dia seperti di ngatkan dan kemuraman mulai menyelubungi wajahnya kembali. "Baiklah, Kiok-moi. Aku beristirahat lebih dulu, nanti kugantikan engkau berjaga." Han Lin menjauhi api unggun dan duduk bersila. Begitulah caranya beristirahat dan dia tidak memerlukan tidur karena dengan bersila dia dapat mengendurkan semua urat syarafnya dan mengaso. Dua orang itu sama sekali tidak tahu, tadi telah terlena oleh gelombang asmara sehingga tidak tahu bahwa Eng-ji membuka matanya dan melihat mereka saling berangkulan! Hampir saja Eng-ji melompat bangun saking marahnya. Akan tetapi dia menahan diri dan pura pura tertidur. Padahal setelah melihat dan menyaksikan sendiri betapa Han Li dan Kiok Hwa saling mencinta, dia sama sekali tidak dapat tidur lagi dan diam diam, tanpa suara dia menangis. Air matanya bercucuran dan dia mengepal kedua tangannya kuatkuat, seolah hendak menahan dirinya melakukan sesuatu yan merusak. Pada keesokan harinya, Eng-ji tidak berkata apa-apa dan tidak menyinggung tentang peristiwa yang dilihatnya semalam. Akan tetapi dia bersikap pendiam tidak seperti biasanya, bahkan setiap kali dia memandang kepada Kiok Hwa, sinar matanya seperti mengeluarkan sinar kilat Kiok Hwa adalah seorang gadis yang berperasaan halus dan peka sekali. Ia sudah melihat perubahan sikap Eng-ji dan menduga-duga apa yang menyebabkan dia bersikap seperti itu. Diam-diam timbul kekhawatiran di dalam hatinya. Janganingar Eng-ji telah mengetahui tentang hubungan cintanya dengan Han Lin! Ia terasa khawatir sekali karena ia dapat menduga bahwa gadis yang menyamar sebagai pria itu mencinta Han Lin! Pada suatu hari tibalah mereka di kota Tai-goan yang besar dan ramai. Mereka menyewa dua buah kamar. Sebuah untuk Kiok Hwa seorang diri dan sebuah kamar lagi untuk Han Lin dan Eng-ji. Kiok Hwa merasa tidak enak sekali melihat Han Lin tidur sekamar dengan Eng-ji akan tetapi karena mengingat bahwa Eng-ji dianggap pria oleh Han Lin, maka iapun menyingkirkan perasaan tidak enak itu. Malam itu tanpa banyak cakap mereka makan di rumah makan, kemudian memasuki kamar masing-masing untuk mengaso. Han Lin yang melihat Eng-ji diam saja tidak mengusik, maklum akan keanehan watak "pemuda" remaja itu. Dianggapnya Eng-ji sedang mengambek, entah karena apa. Tak lama kemudian Han Lin sudah tidur pulas. Dia tidak tahu betapa Eng-ji turun dari pembaringannya, ada dua pembaringan di kamar itu, dan Eng-ji keluar dari kamar itu dengan hati-hati sambil membawa pedangnya! Kiok Hwa sudah tidur pulas akan tetapi ia dapat menangkap suara yang tidak wajar pada jendela kamarnya. Ketika bayangan itu berkelebat memasuki kamar, ia sudah melihatnya, bahkan dari sinar penerangan yang menerobos dari luar, ia mengenal bayangan itu yang bukan lain adalah Eng-ji! Kiok Hwa terkejut, akan tetapi ia pura-pura tidak tahu dan tetap tidur pulas, akan tetapi setiap urat syarafnya tegang berjaga-jaga menghadapi segala kemungkinan. Ia tidak dapat melihat dengan jelas wajah Eng-ji, akan tetapi dengan melihat bahwa Eng-ji membawa sebatang pedang terhunus! Kiok Hwa sudah berjaga-jaga. Kalau Eng-ji menyerang dengan pedangnya, tentu ia akan mengelak. Ia sudah bersiap siaga untuk menghadapi serangan itu. Ia melihat Eng-ji melangkah maju menghampiri pembaringan di mana ia rebah telentang. Di depan pembaringan ia berdiri mematung, tak bergerak seolah merasa ragu apa yang akan dilakukannya. Tiba-tiba ia mengangkat pedangnya ke atas, siap untuk membacok.Kiok Hwa juga sudah siap untuk menghindar. Akan tetapi setelah pedang tiba di atas kepala, pedang itu berhenti dan tidak segera dibacokkan, bahkan pedang itu turun kembali, tergantung di sisi tubuh Eng-ji. Kembali dia berdiri seperti berubah menjadi patung, sampai lama. Kiok juga berdiam diri, sama sekali tidak bergerak. Kembali pedang diangkat, siap membacok. Kembali Kiok Hwa bersiap untuk mengelak. Sampai lama pedang diangkat ke atas, tidak juga dibacokkan. "Kau merebutnya dariku...... kau merebutnya dariku....." Eng-ji berbisik-bisik dan kembali pedangnya bergerak, seperti hendak membacok, akan tetapi ditahannya. Akhirnya dia terisak, memutar tubuhnya dan membacokkan pedangnya pada sebuah bangku. "Crokkk!!" Bangku itu pecah menjad dua potong. Eng-ji melempar pedangnya di atas meja dan diapun menjatuhkan dirinya duduk di atas bangku dekat meja itu dan menangis. Kiok Hwa bangkit dari pembaringan lalu turun. "Eh, engkaukah itu, adik Eng ji" Engkau menangis" Kenapakah, dan apa maksudmu malam-malam begini datang berkunjung?" Kiok Hwa menghampir dan merangkul pundak Eng-ji. Sambil terisak Eng-ji merenggutkar tangan Kiok Hwa yang memegang pundaknya. "Jangan sentuh aku!" "Aih, Eng-ji! Engkau kenapakah" Kenapa engkau marahmarah kepadaku" Apa kesalahanku kepadamu?" Akan tetapi mendengar pertanyaan ini, tangis Eng-ji semakin mengguguk sampai pundaknya bergoyang-goyang Kiok Hwa membiarkannya menangis. Setelah tangis itu mereda, ia bertanya lagi "Sekarang ceritakanlah, Eng-ji. Kenapa engkau begini marah dan berduka. Apa yang telah terjadi?" tanya Kiok Hwa padahal di dalam hatinya ia sudah dapat menduga mengapa Eng-ji bersikap seperti itu. Tentu karena peristiwa beberapa hari yang lalu, di malam hari itu ketika ia saling menumpahkan rasa kasih sayangnya dengan Han Lin. Tentu Eng-ji telah melihatnya! "Engkau.... engkau pengkhianat!" Eng-li akhirnya dapat mengeluarkan kata-kata. "Apa..... apa maksudmu, Eng-ji?" Kiok Hwa bertanya, hatinya berdebar keras. "Engkau mengkhianatiku! Engkau merebut Lin-ko dariku......!" kata Eng-ji sambil bangkit dan menatap wajah Kiok Hwa dengan mata mencorong marah. "Ah, itukah" Eng-ji, jadi engkau mencinta Lin-ko?" "Aku mencintanya dengan sepenuh jiwa ragaku. Aku mencintanya lama sebelum engkau muncul. Dan engkau mencoba untuk merebut dia dariku. Karena itu, ingin aku membunuhmu...... akan tetapi...ah, aku benci kamu! Benci kamu!" Eng-ji menangis lagi. "Adik Eng-ji, kalau engkau memang demikian mencintanya......, engkau memang jauh lebih cocok dengan dia. Kalian sama-sama pendekar gagah perkasa, tukang berkelahi, sedangkan aku.,.," "Awas, enci Kiok Hwa......!!" Tiba-tiba Eng-Ji berseru. Akan tetapi pada saat itu, sebuah benda dilemparkan orang dari jendela dan benda itu meledak, menimbulkan asap hitam yang tebal memenuhi kamar itu. Eng-ji menahan napas dan dia masih dapat melihat beberapa sosok bayangan berkelebatan memasuk kamar itu dan seorang di antara bayangan itu melompat ke dekatnya. Dengan hati marah sekali Eng-ji lalu mengerahkan tenaganya dan memukul dengan ilmu Toatbeng Tok-ciang, dengan jari-jari tangan terbuka. "Wuuuttt..... desss.....!!" karena keadaannya gelap, pukulannya mengenai sasaran, tepat mengenai pundak orang itu. Orang itu terpelanting, akan tetapi karena kamar itu penuh asap tebal, Eng-ji tidak melihat apa-apa. Dia lalu melompat ke arah pintu kamar dan mendorong daun pintu terbuka. Suara ribut-ribut itu menarik perhatian para tamu losmen yang lain. Mereka keluar dari kamar dan terkejut melihat asap tebal keluar dari kamar Kiok Hwa. Han Lin juga sudah berada di situ dan melihat Eng-ji keluar dari kamar itu sambil membawa pedang, Han Lin terkejut. "Eng-ji, apa yang telah terjadi" Mana Kiok Hwa?" tanya Han Lin. Dendam Iblis Seribu Wajah 9 Senja Jatuh Di Pajajaran Trilogi Pajajaran Karya Aan Merdeka Sepasang Naga Penakluk Iblis 7

Cari Blog Ini