Ceritasilat Novel Online

Anak Naga 16

Anak Naga Bu Lim Hong Yun Karya Chin Yung Bagian 16 Di saat mereka berdua berbisik-bisik, kebetulan gadis itu mengarah pada Thio Han Liong, seketika wajah gadis itu tampak berseri-seri. "Gadis itu memperhatikan mu," bisik Dewi Kecapi sambil tersenyum. "Jangan-jangan dia tertarik pada mu. " "Jangan omong yang bukan-bukan" tegur Thio Han Liong. "Ayoh, mari kita pergi" Akan tetapi, di saat bersamaan gadis itu menyapa mereka sambil tersenyum-senyum. "Maaf." ucapnya. "Bolehkah aku duduk bersama kalian?" "Silakan" sahut Dewi Kecapi ramah. "Terima kasih," ucap gadis itu sambil duduk. "Kalian berdua adalah... suami isteri?" "Bukan," sahut Dewi Kecapi. "Kami berdua teman baik," "Oooh" gadis itu manggut-manggut. "Maaf, bolehkah aku tahu siapa kalian berdua?" "Aku Dewi Kecapi dan dia bernama Thio Han Liong." "Aku Tong Hai sianli (Bidadari Laut Timur)." gadis itu memperkenalkan diri sambil tersenyum. "Kami datang dari Tong Hai (Laut Timur)." "Pantas pakaian kalian agak aneh" ujar Dewi Kecapi sambil manggut-manggut dan menambahkan. "Tong Hai sianli, engkau sungguh cantik" "Sama-sama," sahut Tong Hai sianli. "Engkau bukan orang Tionggoan bukan?" "Memang bukan. Aku adalah Putri suku Hui." Dewi Kecapi memberitahukan. "Tak disangka engkau adalah Putri suku Hui." Tong Hai sianli memandang mereka. "Apakah kalian berdua sepasang kekasih?" "Bukan." Dewi Kecapi menggelengkan kepala. "Oooh" Tong Hai sianli menarik nafas lega, kemudian memandang Thio Han Liong seraya bertanya. "Saudara Thio Han Liong kenapa engkau diam saja?" "Aku lelaki, tentunya tidak pantas turut mengobrol. Ya kan?" sahut Thio Han Liong sungguh-sungguh . "Hi hi hi" Tong Hai sianli tertawa geli. "Engkau kaum rimba persilatan, tapi kenapa begitu menjaga peradaban?" "Peradaban memang harus dijaga," sahut Thio Han Liong. "oh ya, engkau tahu aku orang rimba persilatan?" "Tahu. "Tong Hai sianli tersenyum. "Bahkan aku juga tahu engkau berkepandaian tinggi." "Oh?" Thio Han Liong juga tersenyum seraya berkata. "Kepandaian Nona jauh lebih tinggi." "Tidak juga." Tong Hai sianli memandang Dewi Kecapi. "Kepandaianmupun juga tinggi sekali." "Tapi masih di bawah kepandaianmu," sahut Dewi Kecapi merendah, kemudian bertanya. "Engkau berasal dari Tong Hai, ada urusan apa kalian datang ke Tionggoan?" "Ada sedikit urusan penting, "jawab Tong Hai sianli, lalu memandang Thio Han Liong. "Kapan sempat aku ingin mohon petunjukmu." "Maaf" ucap Thio Han Liong menggelengkan kepala. "Aku tidak akan bertanding dengan siapa pun." "Aku tidak akan bertanding denganmu, melainkan hanya ingin mohon petunjuk" ujar Tong Hai sianli sambil tersenyum. "Tentunya engkau tidak akan berkeberatan memberi petunjuk kepadaku kan?" "Kepandaianku tidak begitu tinggi, bagaimana mungkin aku memberi petunjuk kepadamu?" "Hi hi hi" Tong Hai sianli tertawa cekikikan. "Engkau memang pandai merendah, itu membuat aku semakin merasa suka padamu." "Apa?" Wajah Thlo Han Llong langsung memerah. "Engkau...." "Apakah aku tidak boleh merasa suka padamu?" tanya Tong Hai sianli sambil menatapnya dalam-dalam. "Tong Hai sianli, dia tidak akan suka padamu, sebab dia sudah punya tunangan," ujar Dewi Kecapi. "Oh?" Tong Hai sianli tersenyum. "Itu tidak menjadi masalah. seperti engkau masih terus mendekatinya, aku pun boleh mendekatinya. Ya, kan?" "Eeeh?" Wajah Dewi Kecapi tampak kemerah-merahan. "Aku tahu bahwa engkau pun amat suka padanya, maka engkau masih menaruh harapan...." "Tong Hai sianli" Dewi Kecapi mengerutkan kening. "Mulutmu...." "Aku berkata sesungguhnya, kenapa engkau tidak berani mengaku?" Tong Hai sianli tertawa kecil. "Terus terang, aku sudah jatuh hati padanya." Mendengar itu Thio Han Liong menghela nafas panjang, lalu bangkit dari tempat duduknya. "Maaf, kami harus segera melanjutkan perjalanan" "Tidak apa-apa." Tong Hai sianli tersenyum. "Kelak kita pasti berjumpa kembali." "Tong Hai sianli, kami mohon pamit," ujar Thio Han Liong. "Sampai jumpa" "Selamat jalan" sahut Tong Hai sianli dan sekaligus memberi hormat. "Han Liong, kelak kita pasti berjumpa kembali." Thio Han Liong tidak menyahut, dan langsung meninggalkan kedai teh itu. Dewi Kecapi segera menaruh sepotong uang perak di atas meja, dan kemudian memberi hormat kepada Tong Hai sianli. "Sampai jumpa" ucapnya dan cepat-cepat menyusul Thio Han Liong. Tong Hai sianli terus memandang punggung Thio Han Liong sambil tersenyum-senyum. "Sianli..." panggil salah seorang wanita dari rombongan itu sambil mendekatinya. "Bibi Ciu, bagaimana menurutmu mengenai pemuda itu?" tanya Tong Hai sianli. "Aku yakin dia adalah pemuda baik yang berkepandaian tinggi," sahut Bibi Ciu sambil tersenyum. "Pemuda itu sungguh tampan. Tapi Nona yang bersamanya mungkin itu kekasihnya." "Bukan." ujar Tong Hai sianli. "Mereka berdua cuma merupakan teman baik saja." "Tapi...." Tong Hai sianli menghela nafas panjang. "Nona itu bilang dia sudah punya tunangan." "Punya tunangan bukanlah suatu masalah besar." Bibi Ciu tersenyum dan melanjutkan. "Engkau sudah jatuh hati padanya?" "Ya." Tong Hai sianli mengangguk. "Begini," ujar Bibi Ciu seakan mengusulkan. "Setelah urusan kami beres, kami akan pergi mencarinya." "Terima kasih, Bibi Ciu," ucap Tong Hai sianli dengan wajah agak kemerah-merahan. Ada urusan apa rombongan Tong Hai itu datang ke Tionggoan" Apa pula yang akan terjadi selanjutnya" Bab 56 Bu siam Hoatsu Tewas Thio Han Liong dan Dewi Kecapi terus melanjutkan perjalanan ke gunung cing san dengan menggunakan ilmu ginkang agur cepat tiba di tempat tujuan. Maka belum dua hari mereka sudah tiba di gunung tersebut. "Dewi Kecapi, kita harus ke arah Barat," ujar Thlo Han Liong. "Pelayan kedai teh itu memberitahukan, bahwa Gua Angin puyuh terletak di sebelah Barat gunung ini." "Kalau begitu mari kita ke arah Barat" ajak Dewi Kecapi. Mereka berdua melesat ke arah Barat, akan tetapi mereka tidak berhasil menemukan gua tersebut. "Heran?" gumam Thio Han Liong sambil duduk di bawah sebuah pohon. "Di mana gua yang kita cari itu?" "Apakah pelayan kedai teh itu omong sembarangan." Dewi Kecapi menggelengkan kepala. "Itu tidak mungkin," sahut Thio Han Liong. "Dia tidak akan berani omong sembarangan." "Tapi...." Dewi Kecapi yang duduk di samping Thio Han Liong mengerutkan kening. "Kita sudah mencari ke sana ke mari, tapi tidak menemukan gua itu." "Kita beristirahat sejenak. setelah itu barulah kita mulai mencari gua itu lagi." Dewi Kecapi manggut-manggut, lalu memandang Thio Han Liong seraya berkata dengan tersenyum. "Tong Hai sianli sungguh cantik, bahkan dia telah jatuh hati padamu. Tentu hatimu akan tergerak bukan?" Thio Han Liong menggeleng-gelengkan kepala. "Aku bukan pemuda semacam itu, lagi pula aku sudah punya tunangan." "Tapi...." Ketika Dewi Kecapi hendak mengatakan sesuatu, mendadak Thio Han Liong memberi isyarat agar diam. "Sssst" Wajah pemuda itu tampak serius. "Ada apa?" tanya Dewi Kecapi heran. "Aku mendengar suara tawa," jawab Thio Han Liong dengan kening berkerut. "Bagaimana mungkin ada orang di gunung yang amat sepi ini" Lagipula suara tawa itu mirip suara tawa orang gila." "Mungkinkah Bu sim Hoatsu?" tanya Dewi Kecapi sambil bangkit berdiri. "Mari kita kesana " Thio Han Liong melesat ke arah suara tawa itu dan Dewi Kecapi mengikutinya dari belakang. sepeminum teh kemudian, barulah Dewi Kecapi mendengar suara tawa itu, sehingga membuatnya merinding. "Han Liong, suara tawa itu mirip suara tawa setan iblis .Jangan, jangan...." Thio Han Liong tidak menyahut melainkan melesat ke belakang pohon. Dewi Kecapi mengikutinya, lalu mereka berdua mengintip ke arah suara tawa itu. Tampak seorang nenek sedang berjingkrak-jingkrak sambil tertawa seram. Begitu melihat nenek itu, tersentaklah Thio Han Liong. "Dia... dia Kwee In Loan" "Im Sie Popo?" tanya Dewi Kecapi tegang. "Ya." Thio Han Liong mengangguk. "Kalau begitu..." bisik Dewi Kecapi. "Bu sim Hoatsu pasti berada di situ." Thio Han Liong manggut-manggut. "Disitu memang terdapat sebuah gua, itu pasti Gua Angin Puyuh." "Mari kita ke sana" ajak Dewi Kecapi. "Sabar" sahut Thio Han Liong. "Kita harus mengintip dulu, setelah itu barulah kita ke sana." "Baik," Dewi Kecapi menurut. Mereka berdua terus mengintip ke arah Im Sie Popo-Kwee In Loan. Tak seberapa lama muncullah seorang pendeta, yang tidak lain adalah Bu sim Hoatsu. Begitu melihat pendeta itu, mata Dewi Kecapi langsung berapi-api. "Tenang" ujar Thio Han Liong dengan suara rendah. "Bu sim Hoatsu mahir ilmu hitam, maka kalau berhadapan dengannya janganlah engkau memandang matanya." "Ya." "Sekarang mari kita ke sana" ajak Thio Han Liong yang merasa yakin An Lok Kong cu berada di dalam gua itu. Dewi Kecapi mengangguk. Mereka berdua lalu berjalan ke sana dengan langkah ringan. Kemunculan mereka sungguh mencengangkan Bu sim Hoatsu. la menatap mereka dengan tajam sekali. "Siapa kalian berdua?" tanya Bu sim Hoatsu. "Aku ke mari untuk membunuhmu" sahut Dewi Kecapi. "Bu sim Hoatsu, bersiap-siaplah menerima kematianmu" "Hehe " Bu sim Hoatsu tertawa. "Siapa engkau?" "Aku adalah Dewi Kecapi, Putri suku Hui Engkau telah mencuri kitab pusaka milik ayahku, bahkan engkau pun membunuh ke dua orangtuaku oleh karena itu, hari ini aku akan membunuhmu juga" "He he he" Bu sim Hoatsu tertawa terkekeh-kekeh. "Kalau begitu justru engkau cari mati di sini" "Bu sim Hoatsu" bentak Thio Han Liong. "Di mana Cu An Lok" Cepat bebaskan dia" "Siapa engkau?" Bu sim Hoatsu balik bertanya dengan kening berkerut. "Aku.... Thio Han Liong" "Thio Han Liong?" Air muka Bu sim Hoatsu langsung berubah, kemudian ia tertawa terkekeh-kekeh. "He he he Aku justru sedang mencarimu, tak disangka engkau malah ke mari" "Ada urusan apa engkau mencariku?" tanya Thio Han Liong. "Hari ini engkau harus mampus" sahut Bu Sim Hoatsu. "Sebab engkau membunuh adik seperguruanku" "Aku membunuh adik seperguruanmu" Siapa adik seperguruanmu itu?" "Leng Leng Hoatsu. Engkau belum lupa bukan?" Thio Han Liong manggut-manggut. "Ternyata engkau kakak seperguruan Leng Leng Hoatsu, pendeta jahat itu" "Hm" dengus Bu sim Hoatsu. "Im Sie Popo, cepat bunuh pemuda itu" serunya. "Ya." Im Sie Popo mengangguk dan langsung menyerang Thio Han Liong. Thio Han Liong tahu Im Sie Popo di bawah pengaruh Bu sim Hoatsu, maka ia tidak menangkis serangannya, melainkan cuma berkelit ke sana ke mari dan diam-diam sebelah tangannya merogoh ke dalam kantong bajunya, ternyata ia mengambil sebutir obat pemunah racun. Sementara Bu sim Hoatsu dan Dewi Kecapi berdiri berhadapan, namun Dewi Kecapi sama sekali tidak berani memandang ke arah matanya dan itu membuat pendeta tersebut tertawa dingin. Anak Naga Bu Lim Hong Yun Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Walau engkau tidak memandang mataku, aku tetap bisa menundukkanmu dengan ilmu hitam" ujar Bu sim Hoatsu. "Sebab kini engkau telah terkurung ribuan ular berbisa" Dewi Kecapi memandang ke bawah. seketika ia menjerit karena melihat begitu banyak ular berbisa sedang merayap ke arahnya, "Dewi Kecapi" seru Thio Han Liong. "Jangan dengar itu. Di sekitarmu tidak ada ular berbisa" "Oh?" Dewi Kecapi memandang ke bawah lagi. Memang benar tak ada seekor pun ular berbisa di tempat itu. "He he he" Bu sim Hoatsu tertawa terkekeh-kekeh. "Dewi Kecapi, hati-hatilah. Ribuan tawon beracun sedang terbang ke arahmu dan akan menyengatmu" "Haah?" Betapa terkejutnya Dewi Kecapi, sebab ia mendengar suara ribuan tawon yang sedang terbang ke arahnya. "Han Liong Tolong..." "Dewi Kecapi" sahut Thio Han Liong yang sedang berkelit ke sana ke mari menghindari serangan-serangan Im Sie Popo. "Pusatkan pikiranmu dan bunyikan kecapimu itu" Dewi Kecapi segera memusatkan pikirannya, kemudian memetik kecapinya. "Ting Ting Ting..." Begitu kecapinya berbunyi, suara tawontawon itu lenyap seketika. "He he he" Bu sim Hoatsu tertawa terkekeh-kekeh. "Tak disangka engkau memiliki kecapi pusaka. Tapi Lweekang ku masih bisa menahan suara kecapimu" Usai berkata begitu, mendadak Bu sim Hoatsu menyerangnya dengan ilmu pukulan yang amat lihay dan hebat. Dewi Kecapi mengelak sekaligus balas menyerang dengan alat kecapinya. Maka, seketika terjadilah pertarungan yang amat seru, tegang dan sengit. Sementara Thio Han Liong terus berkelit, karena itu membuat Im Sie Popo tertawa terkekeh-kekeh. Kesempatan itu tidak disia-siakan Thio Han Liong. la langsung menyentilkan obat yang di tangannya ke dalam mulut Im Sie Popo yang sedang tertawa terkekeh-kekeh itu. Bagian 29 "Hup" obat pemunah racun itu masuk ke tenggorokan Im Sie Popo. Thio Han Liong segera meloncat ke belakang sedangkan nenek itu berdiri diam di tempatnya. Pertarungan Dewi Kecapi dan Bu Sim Hoatsu semakin seru. Tetapi puluhan jurus kemudian, Dewi Kecapi mulai berada di bawah angin. "Ha ha ha" Bu Sim Hoatsu tertawa gelak. Sebentar lagi engkau akan menyusul ke dua orangtuamu ke alam baka" "Hi hi hi" Mendadak terdengar suara tawa cekikikan "Asyik Ada orang berkelahi. Nonton ah" Yang tertawa cekikikan itu ternyata Im Sie Popo. obat yang masuk ke tenggorokannya telah memunahkan racun di dalam tubuhnya, maka ia bebas dari pengaruh Bu Sim Hoatsu. "Im Sie Popo" bentak Bu Sim Hoatsu. "Cepat bunuh pemuda itu" "Tak usah ya Pemuda itu tidak menggangguku," sahut Im Sie Popo sambil tertawa. "Asyik Ada tontonan yang menarik. Hi hi hi..." Betapa terkejutnya Bu Sim Hoatsu, namun juga merasa heran karena Im Sie Popo telah bebas dari pengaruhnya. "Berhenti" seru Thio Han Liong mendadak. Bu Sim Hoatsu dan Dewi Kecapi segera berhenti bertarung, dan ketika itu juga Dewi Kecapi melompat ke samping Thio Han Liong. "Dewi Kecapi, biarlah aku yang menghadapinya, engkau berdiri di sini saja." "Ya." Dewi Kecapi mengangguk. Thio Han Liong mendekati Bu sim Hoatsu dengan wajah dingin, sedangkan Bu sim Hoatsu menatapnya tajam sekali. "Thio Han Liong" bentakBu sim Hoatsu dengan suara berwibawa. "Engkau harus berlutut di hadapanku" "Bu sim Hoatsu Engkaulah yang harus berlutut di hadapanku" sahut Thio Han Liong sambil mengerahkan Ilmu Penakluk iblis. "Haaah...?" Bu sim Hoatsu tersentak, karena ia nyaris berlutut di hadapan pemuda itu. "Engkau memang hebat, mampu menangkis ilmu hitamku" "Bu sim Hoatsu Percuma engkau mengerahkan ilmu hitam, sebab aku tidak akan terpengaruh sama sekali" sahut Thio Han Liong. "Oh?" Bu sim Hoatsu tertawa dingin "He he Kalau begitu cobalah nikmati suara sulingku" Bu sim Hoatsu mengeluarkan sebatang suling pualam. Melihat suling itu, Thio Han Liong sudah tahu bahwa itu suling pusaka. Mulailah Bu sim Hoatsu meniup suling itu dan terdengar suara suling yang amat nyaring, merdu dan menggetarkan hati. Makin lama suara suling itu makin meninggi dan tajam. Cepat-cepat Dewi Kecapi menutup telinganya sambil mengerahkan Iweekangnya untuk menahan suara suling itu. sedangkan Im Sie Popo Kwee In Loan mulai berjingkrakjingkrak. Thio Han Liong terus bertahan, namun Dewi Kecapi kelihatan sudah tidak bisa bertahan lagi. Wajahnya pucat pias. Di saat itulah Thio Han Liong mengeluarkan lonceng saktinya, lalu dibunyikannya. Sungguh di luar dugaan, suara lonceng sakti itu dapat menekan suara suling pualam. Im Sie Popo sudah tidak berjingkrak-jingkrak lagi, sedangkan Dewi Kecapi mulai tenang. Akan tetapi, Bu sim Hoatsu justru merasa darahnya mulai bergolak. la mengempos semangat untuk meniup suling pualamnya, namun suara lonceng sakti itu terus menekan suara suling tersebut. Berselang sesaat, wajah Bu sim Hoatsu tampak memucat, dan ia segera berhenti meniup suling pualamnya. "Teng..." Lonceng sakti itu masih berbunyi. "Aaaakh..." pekik Bu sim Hoatsu. Tanpa sadar dilemparkannya suling pualam itu dan jatuh ke dalam Gua Angin Puyuh. Thio Han Liong pun berhenti membunyikan lonceng saktinya, lalu menyimpan lonceng itu ke dalam bajunya sambil menatap Bu Sim Hoatsu. "Thio Han Liong Pantas adik seperguruanku mati di tanganmu, ternyata engkau memang hebat" ujarnya. "Bu sim Hoatsu Cepat bebaskan cu An Lok" sahut Thio Han Liong. "He he he" Bu sim Hoatsu tertawa terkekeh-kekeh. "Cu An Lok memang berada di dalam gua, tapi aku tidak akan membebaskannya" "Engkau...." "He he" Bu Sim Hoatsu mendekati Thio Han Liong, kemudian mendadak menyerangnya dengan jurus-jurus yang mematikan. Thio Han Liong terus berkelit ke sana ke mari, namun Bu sim Hoatsu terus menyerangnya dengan gencar sekali. Puluhan jurus kemudian, tiba-tiba Bu Sim Hoatsu berhenti menyerang. la berdiri diam di tempat sambil menatap Thio Han Liong dengan tajam sekali. "Tak kusangka kepandaianmu begitu tinggi" ujarnya. "Namun engkau pasti akan mampus, sebab aku akan mengeluarkan ilmu simpananku" "Silakan" sahut Thio Han Liong. Bu sim Hoatsu mulai mengerahkan Iweekangnya. Tak lama sepasang telapak tangan pendeta itu tampak berubah putih bagaikan salju. Menyaksikan itu, Thio Han Liong segera menghimpun Kiu Yang sin Kang untuk melindungi diri, kemudian barulah mengerahkan Kian Kun Taylo sin Kang. Mendadak Bu sim Hoatsu memekik sambil menyerangnya. Bukan main dahsyatnya serangan itu, karena mengandung hawa dingin. Thio Han Liong berkelit, maka serangan itu mengenai rerumputan dan membuat rerumputan itu membeku bagaikan es. Terkejut juga Thio Han Liong menyaksikan ilmu pukulan itu. Lebih-lebih Dewi Kecapi. sedangkan Im Sie Popo malah bertepuk tangan kelihatan gembira sekali. "Han Liong, hati-hati" seru Dewi Kecapi. Thio Han Liong manggut-manggut sambil mengelak serangan-serangan Bu sim Hoatsu dan itu membuat pendeta tersebut makin penasaran. "Han Liong" seru Bu sim Hoatsu. "Jurusku ini akan merenggut nyawamu" Thio Han Liong tak menyahut. Tiba-tiba Bu sim Hoatsu berputar mengelilingi Thio Han Liong, namun pemuda itu tetap berdiri diam di tempat. "Hiyaaat" pekik Bu sim Hoatsu sambil menyerangnya. Thio Han Liong tidak berkelit, namun disambutnya serangan itu dengan jurus Kian Kun Taylo Hap It (segala galanya Menyatu Di Alam semesta). Blaaam. Terdengar suara benturan yang memekakkan telinga. Thio Han Liong terhuyung-huyung beberapa langkah, sedangkan Bu-Sim Hoatsu terpental belasan depa kearah Dewi Kecapi. Secara reflek Dewi Kecapi menghantam punggung pendeta itu dengan kecapinya. Buuk.. Bu sim Hoatsu roboh dan mulutnya menyemburkan darah segar. "uaaakh" Setelah itu, tubuh Bu sim Hoatsu tak bergerak lagi, ternyata pendeta itu telah binasa. Thio Han Liong langsung melesat ke dalam Gua Angin Puyuh. Dilihatnya An Lok Kong cu sedang duduk diam di sudut gua itu. "Adik An Lok" seru Thio Han Liong dengan girang. "Kakak Han Liong Kakak Han Liong" sahut An Lok Kong cu dengan suara lemah dan ia sama sekali tidak bangkit menyambut buah hatinya itu. "Adik An Lok...." Thio Han Liong heran. la memegang tangan An Lok Kong cu. Maksudnya ingin membangunkan gadis itu, tapi seketika juga wajah Thio Han Liong langsung berubah pucat pias, karena sekujur badan An Lok Kong cu lemas seperti tak bertulang. "Kakak Han Liong...." An Lok Kong cu memberitahukan. "Bu sim Hoatsu mencekoki aku dengan Jiu Kut Tok (Racun Pelemas Tulang)." "Ha ah?" Betapa terkejutnya Thio Han Liong. "Jiu Kut Tok?" "Ya." An Lok Kong cu mengangguk. Thio Han Liong segera mencari ke sana ke mari, namun tidak menemukan obat penawar racun itu. "Kakak Han Liong, engkau mencari apa?" tanya An Lok Kong cu. "Obat penawar racun itu," sahut Thio Han Liong dan terus mencari. "Percuma." An Lok Kong cu menggeleng-gelengkan kepala. "Bu sim Hoatsu telah memberitahukan, bahwa dia sendiri pun tidak punya obat penawar racun itu" "Oh?" Thio Han Liong cemas sekali. "Mungkin.. dia membohongimu. Aku tidak percaya dia tidak punya obat penawar racun itu." "Benar. Dia memang tidak punya." "Aaaah" keluh Thio Han Liong. "Kalau begitu...." la langsung membopong An Lok Kong cu meninggalkan gua itu. sampai di hadapan mayat Bu sim Hoatsu, An Lok Kong cu ditaruh ke bawah, ia lalu memeriksa sekujur mayat pendeta itu. "Han Liong...." Dewi Kecapi tercengang. "Apa yang engkau cari?" Thio Han Liong tidak manyahut. la terus menggeledah sekujur mayat itu, namun tidak menemukan obat penawar racun yang dicarinya. "Aaaah..."Thio Han Liong menghela nafas panjang, kemudian jatuh terduduk di samping mayat itu. "Kakak Han Liong, tahukah engkau siapa gadis itu?" tanya An Lok Kong cu. "Dewi Kecapi," sahut Thio Han Liong memberitahukan. "Dia adalah Putri suku Hui." "oooh" An Lok Kong cu manggut-manggut. "Aku pernah bertemu dia." "Aku tahu, dia telah menceritakan kepadaku," ujar Thio Han Liong sambil memandang An Lok Kong cu dengan wajah penuh kecemasan. "Adik An Lok." "Ada apa?" "Racun.. Jiu Kut Tok...." "Jangan cemas, Kakak Han Liong" An Lok Kong cu tersenyum. "Aku tidak akan mati...." "Adik An Lok...." Thio Han Liong memasukkan sebutir obat ke dalam mulut An Lok Kong Cu. "Kakak Han Liong, obat apa itu?" tanya An Lok Kong cu. "obat penawar racun." Thio Han Liong memberitahukan. "obat ini tidak dapat menawarkan racun Jiu Kut Tok, tapi bisa memperlambat menjalarnya racun tersebut di dalam tubuhmu." "oooh" An Lok Kong cu manggut-manggut. "Kalau begitu aku tidak akan cepat mati." "An Lok" Dewi Kecapi mendekatinya. "Ternyata engkau kenal Han Liong." "Bukankah hari itu aku telah memberitahukanmu?" sahut An Lok Kong cu sambil tersenyum. "oh ya sebetulnya engkau terkena racun apa?" tanya Dewi Kecapi. "Racun Jiu Kut Tok." jawab An Lok Kong cu dan menambahkan "Tiada obat penawarnya," "oh?" Dewi Kecapi mengerutkan kening. "Kalau begitu...." Mendadak Thio Han Liong membopong An Lok Kong cu, lalu melesat pergi tanpa berpamit kepada Dewi Kecapi. Anak Naga Bu Lim Hong Yun Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Han Liong Han Liong..." seru Dewi Kecapi memanggilnya. Namun Thio Han Liong sudah tidak kelihatan, dan itu membuat Dewi Kecapi termangu- mangu. Di saat itulah Im Sie Popo tertawa cekikikan dan perlahan-lahan mendekati mayat Bu sim Hoatsu. "Hei Pendeta malas" bentaknya sambil menendang mayat Bu sim Hoatsu. "Ayoh cepat bangun, jangan terus tidur di situ" "Im sie Popo," ujar Dewi Kecapi. "Bu sim Hoatsu telah binasa, dia bukan tidur." "Binasa?" Im sie Popo terheran-heran, kemudian tertawa cekikikan. "Hi hi hi Pendeta jahat itu telah binasa Pendeta jahat itu telah binasa...." Dewi Kecapi menggeleng-gelengkan kepala, lalu melesat pergi. Kini Bu sim Hoatsu telah binasa, maka Putri suku Hui itu pun pulang ke daerahnya di gurun pasir. Namun gadis itu sama sekali tidak bisa melupakan Thio Han Liong. Ternyata Thio Han Liong membopong An Lok Kong cu pulang ke Kota raja. Tujuh delapan hari kemudian, tibalah di Kota raja dan langsung membopong An Lok Kong cu ke dalam istana. Betapa cemasnya Cu Goan ciang menerima laporan itu Kaisar itu menyambut kedatangan Thio Han Liong dengan perasaan tercekam. "Han Liong" panggil Cu Goan ciang begitu melihat pemuda itu membopong An Lok Kong cu ke dalam ruang istirahat. "Kenapa Putriku?" "Yang Mulia, Adik An Lok terkena racun Jiu Kut Tok." Thio Han Liong memberitahukan sambil menaruh An Lok Kong cu di kursi. "Apakah membahayakan dirinya?" tanya Cu Goan ciang dengan cemas. "Memang bahaya sekali," jawab Thio Han Liong. "Sebab racun itu tiada obat penawarnya." "Apa?" Wajah Cu Goan ciang langsung berubah pucat. "Betulkah itu?" "Ya." Thio Han Liong mengangguk. "Kalau begitu...." Cu Goan ciang mendekati putrinya dengan mata basah. "Nak, engkau...." "Ananda tidak apa-apa." An Lok Kong cu tersenyum. "Ayahanda... tidak usah khawatir" "Nak...." Cu Goan ciang membelainya, lama sekali barulah memandang Thio Han Liong seraya bertanya. "Bagaimana akibat setelah terkena racun itu?" "Seluruh tulang akan jadi lemas tak bertenaga. Kalau dalam waktu setengah tahun tidak memperoleh obat penawarnya, maka Adik An Lok akan mati lemas seperti tak bertulang." Thio Han Liong memberitahukan. "Ha.. aah?" Wajah Cu Goan ciang bertambah pucat. "Han Liong, biar bagaimanapun engkau harus berusaha menolongnya" "Aaaah..." Thio Han Liong menghela nafas panjang. "Aku punya obat penawar racun, tapi tidak dapat menawarkan racun itu, hanya bisa dapat memperlambat menjalarnya saja." "Engkau yang meramu obat itu?" tanya Cu Goan ciang mendadak sambil menatapnya. "Bukan. Yang meramu obat penawar racun itu, BuBeng siansu...." Tiba-tiba Thio Han Liong berseru tak tertahan. "BuBeng siansu pun memberitahukan kepadaku tentang racun Jiu Kut Tok" "Ada obat penawarnya?" tanya Cu Goan ciang penuh harapan. "Ada." Thio Han Liong mengangguk. "obat penawar racun itu adalah Thian Ciok sin sui (Air sakti Dari Batu Langit)." "Kalau begitu, cepatlah engkau pergi mengambil Thian ciok sin sui itu" desak Cu Goan Ciang. "Aku...." Thio Han Liong menggelengkan- gelengkan kemala. "Aku tidak tahu harus ke mana mencari Air sakti Dari Batu Langit itu." "BuBeng siansu tidak memberitahukan kepadamu?" "Aku lupa." "Cobalah engkau ingat" desak Cu Goan ciang. "Itu menyangkut nyawa putriku atau tunanganmu. ... " "Ayahanda," potong An Lok Kong cu. "Jangan terus mendesaknya, sebab akan membuatnya tidak bisa berpikir sama sekali" "Aaah..." Cu Goan ciang menghela nafas panjang. "Nak...." Thio Han Liong terus mengingat sehingga keningnya berkerut-kerut. Namun tak lama kemudian, tiba-tiba ia berseru girang. "Aku sudah ingat. Aku sudah ingat" "Oh?" Cu Goan ciang menarik nafas lega. "Syukurlah" "BuBeng siansu pernah memberitahukan, bahwa Hiat Mo tahu mengenai Thian ciok sin sui itu," ujar Thio Han Liong. "Aku harus segera ke Kwan Gwa menemui Hiat Mo." "Sabar" sahut Cu Goan Ciang. "Aku harus tahu siapa yang meracuni putriku." "Bu sim Hoatsu." Thio Han Liong memberitahukan. "Pendeta jahat itu telah binasa.... oh ya Dia juga menculik Ouw Yang Hui sian putri Ouw Yang Bun, tapi gadis kecil itu tidak ada di dalam gua itu." "Kakak Han Liong, ketika aku bertemu Bu sim Hoatsu dan Im Sie Popo, aku tidak melihat mereka membawa gadis kecil," ujar An Lok Kong cu. "oh?" Thio Han Liong mengerutkan kening. "Apa-kah Bu sim Hoatsu telah membunuhnya?" "Entahlah." An Lok Kong cu menghela nafas panjang"Aaah..." Keluh Thio Han Liong. "Kenapa aku bisa lupa bertanya kepada Bu sim Hoatsu?" "Mungkin..." ujar An Lok Kong cu menduga. "Gadis itu telah diselamatkan orang." "Mudah-mudahan begitu" ucap Thio Han Liong. "Nak, kenapa Bu sim Hoatsu meracunimu?" tanya Cu Goan ciang sambil menatapnya. "Karena ananda menyebut nama Kakak Han Liong, maka dia menangkapku sekaligus mencekoki dengan racun itu," jawab An Lok Kong cu. "Ananda tidak sengaja menyebut nama Kakak Han Llong...." "Oh?" Cu Goan ciang mengerutkan kening. "Kalau begitu tentu dia punya dendam terhadap Han Liong." "Betul." Thio Han Liong mengangguk. "Sebab aku membunuh adik seperguruannya yang juga pendeta jahat." "Oooh" Cu Goan ciang manggut-manggut. "Han Liong, kapan engkau akan berangkat ke Kwan Gwa?" tanyanya. "Hari ini." jawab Thio Han Liong. "Kakak Han Liong, engkau jangan berangkat hari ini, esok saja" potong An Lok Kong cu. "Tapi...." "Han Liong" cu Goan ciang tersenyum. "Engkau berangkat esok saja. sebab engkau masih harus menemani putriku, lagi pula engkau pun harus beristirahat." "Baiklah." Thio Han Liong mengangguk. "Sekarang...." Cu Goan ciang memandangnya seraya berkata. "Engkau boleh membopongnya ke istana An Lok." "Ya." Thio Han Liong segera membopong An Lok Kong cu ke istana itu. Lan Lan, dayang pribadi An Lok Kong cu tersentak ketika melihat Thio Han Liong membopong gadis itu. "Tuan Muda, Kong cu kenapa?" tanyanya dengan cemas. "Terkena racun," sahut Thio Han Liong. "Lan Lan di mana kamar Adik An Lok" Aku harus membopongnya ke kamarnya." "Mari ikut aku ke dalam, Tuan Muda" ujar Lan Lan sambil berjalan ke dalam. Thio Han Liong mengikutinya dari belakang, sedangkan An Lok Kong cu tersenyum-senyum dalam bopongan pemuda itu "Kakak Han Liong, aku telah merepotkanmu," ujarnya dengan suara rendah. "Adik An Lok, jangan berkata begitu" Thio Han Liong tersenyum lembut. Tak seberapa lama kemudian sampailah mereka di kamar An Lok Kong cu. "Tuan Muda, ini kamar Kong cu," ujar Lan Lan sambil membuka pintu kamar itu. Thio Han Liong manggut-manggut, lalu melangkah ke dalam. la membaringkan An Lok Kong Cu ke tempat tidur, kemudian berdiri di sisi tempat tidur itu sambil memandangnya. "Kakak Han Liong, duduklah" "Adik An Lok, tidak baik aku berada di dalam kamarmu. Lebih baik aku menunggu di luar." "Kakak Han Liong...." An Lok Kong cu tersenyum. "Kalau engkau menunggu di luar itu sama juga bohong." "Tapi...." "Kita adalah calon suami isteri, jadi tidak apa-apa engkau berada di dalam kamarku." "Aku khawatir Yang Mulia akan memarahiku." "Itu tidak mungkin." An Lok Kong cu tersenyum lembut. "Ayahanda yang menyuruhmu menemaniku. Ya kan?" "Tapi...." "Kakak Han Liong, duduklah" ucap An Lok Kong cu sambil menatapnya dengan penuh harap. Itu membuat Thio Han Liong merasa tidak tega meninggalkannya. Maka ia lalu duduk di pinggir tempat tidur An Lok Kong cu. "Teirimakasih, Kakak Han Liong," ucap An Lok Kong cu. "Terimakasih...." "Adik An Lok...." Thio Han Liong membelainya dengan penuh cinta kasih. "Jangan banyak bicara, beristirahatlah" "Engkau akan berangkat esok, maka aku harus banyak bicara denganmu," sahut An Lok Kong Cu sungguh-sungguh. "Kakak Han Liong...." "Ada apa, Adik An Lok?" "Bagaimana seandainya engkau tidak berhasil memperoleh Thian ciok sin sui itu?" "Adik An Lok" Thio Han Liong menggenggam tangannya erat-erat. "Yakinlah bahwa aku akan memperoleh Thian ciok sin sui itu." "Seandainya engkau tidak berhasil, tentu aku akan mati. Ya kan?" An Lok Kong cu menatapnya dalam-dalam. "Adik An Lok, jangan bicara yang bukan-bukan" Thio Han Liong membelainya dan menambahkan. "Percayalah, aku pasti akan berhasil memperoleh Air sakti Dari Batu Langit itu Tenanglah" "Kakak Han Liong...." An Lok Kong cu menghela nafas panjang. "Seandainya aku mati, aku pun merasa puas karena engkau amat mencintaiku." "Adik An Lok...." Thio Han Liong memeluknya erat-erat. "Engkau tidak akan mati, karena aku akan berupaya memperoleh Thian ciok sin sui itu." Keesokan harinya, berangkatlah Thio Han Liong menuju Kwan Gwa (Luar Perbatasan) untuk menemui Hiat Mo. Bab 57 Aliran Bunga Teratai Thio Han Liong menggunakan ginkang dalam melakukan perjalanan menuju Lembah seratus Burung, tempat tinggal Hiat Mo di Kwan Gwa. Dalam perjalanan ini, ia sama sekali tidak pernah bermalam di penginapan, melainkan bermalam di dalam hutan rimba, lalu melanjutkan perjalanan lagi. Kira-kira tujuh delapan hari kemudian, ia telah tiba di Kwan Gwa dan langsung menuju ke Lembah seratus Burung. Kebetulan hari baru menjelang pagi, maka tidak heran kalau terdengar kicauan burung di sana sini. Tiba-tiba Thio Han Liong mendengar suara tawa yang riang gembira. la mengenali suara tawa itu, yang tidak lain adalah suara tawa Ciu Lan Nio sedang bercanda ria dengan Kwan Pek Him. "Adik Lan Nio" panggilnya. "Saudara Kwan" "Haaah...?" Ciu Lan Nio dan Kwan Pek Him terbelalak ketika melihat kemunculan Thio Han Liong. "Kakak Han Liong" "Saudara Thio" seru Kwan Pek Him sambil menyapanya, sekaligus memberi hormat. "Tak kusangka engkau akan ke mari." "Saudara Kwan...." Thio Han Liong balas memberi hormat kepadanya, kemudian memandang Ciu Lan Nio sambil tersenyum lembut. "Adik Lan Nio, bagaimana keadaanmu selama ini?" "Aku baik-baik saja. Bagaimana keadaan Kakak Han Liong?" "Aku pun baik-baik, tapi...." Thio Han Liong menggelenggelengkan kepala. "Kenapa?" tanya Ciu Lan Nio. "Apakah telah terjadi sesuatu?" "Ya." Thio Han Liong mengangguk. "oleh karena itu aku datang ke mari menemui Hiat Mo" "Kalau begitu, mari kedalam gua menemui kakekku" ajak Ciu Lan Nio. "Terimakasih," ucap Thio Han Liong. Mereka bertiga melesat ke dalam gua. Tampak Hiat Mo duduk bersila di situ dengan mata terpejam. Begitu mendengar suara langkah ia langsung membuka matanya. Betapa gembiranya ketika melihat Thio Han Liong, dan ia langsung tertawa gelak. "Ha ha ha" Dipandangnya Thio Han Liong, "Tak kusangka engkau akan berkunjung ke mari. sungguh menggembirakan" "Hiat Locianpwee" Thio Han Liong memberi hormat, lalu Anak Naga Bu Lim Hong Yun Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo duduk di hadapan Hiat Mo. Ciu Lan Nio dan Kwan Pek Him juga duduk. Mereka berdua terus memandang Thio Han Liong, namun tidak berani bertanya apa pun. "Han Liong, engkau datang ke mari pasti ada sesuatu yang penting. Ya kan?" tanya Hiat Mo. "Ya." Thio Han Liong mengangguk. "Aku ke mari ingin memohon penjelasan mengenai Thian ciok sin sui." "Apa?" Hiat Mo tertegun. "Mengenai Thian ciok sin sui?" "Ya." Thio Han Liong manggut-manggut. "BuBeng siansu pernah bilang, Hiat Locianpwee tahu berada di mana Thian ciok sin sui itu." "Aku memang tahu, tapi kenapa engkau ingin mengetahuinya?" tanya Hiat Mo heran. "An Lok Kong cu terkena racun Jiu Kut Tok." "Apa?" Hiat Mo terperanjat. "Jiu Kut Tok?" "Betul." Thio Han Liong mengangguk. "Than ciok sin sui memang merupakan obat penawar racun itu," ujar Hiat Mo dan bertanya. "Bagaimana An Lok Kong cu bisa terkena racun itu?" "Bu sim Hoatsu yang mencekoki nya..." jawab Thio Han Liong sekaligus menutur tentang kejadian itu. "Aku telah memberikannya obat penawar buatan Bu Beng Siansu, tapi itu cuma dapat memperlambat menjalarnya racun itu" Hiat Mo manggut-manggut. "Ternyata begitu, tapi...." "Kenapa?" "Tidak gampang engkau memperoleh Thian ciok sin sui itu," sahut Hiat Mo memberitahukan. "Sebab Than ciok sin sui itu berada di gunung Altai, dekat perbatasan Mongolia." "Itu tidak jadi masalah, aku akan segera berangkat ke sana," ujar Thio Han Liong dan menambahkan. "Apa pun rintangannya, aku pasti menerjangnya" "Aaaah..." Hiat Mo menghela nafas panjang. "Engkau harus tahu, Thian ciok sin sui itu ada pemiliknya." "Siapa pemiliknya?" "Kam Cun Goan dan anak cucunya." Hiat Mo memberitahukan. "orangtua itu boleh dikatakan makhluk aneh. la tak berperasaan, sadis, dan tak aturan." "Hiat Locianpwee kenal orangtua aneh itu?" "Kenal." Hiat Mo manggut-manggut. "Namun kami bukan teman baik, melainkan musuh." "Kenapa Hiat Locianpwee bermusuhan dengan orangtua aneh itu?" tanya Thio Han Liong. "Puluhan tahun lalu, aku pernah datang di puncak gunung Altai menemui Kam Cun ,Goan untuk minta setetes Thian ciok sin sui. Tapi... dia menolak mentah-mentah, bahkan mengusirku." "oh" Thio Han Liong terbelalak. "Sungguh tak tahu aturan orangtua itu Pantas Locianpwee mengatainya sebagai makhluk aneh." "Coba bayangkan...," lanjut Hiat Mo. "Betapa gusarnya aku, maka aku menantangnya bertarung. Dia menerima tantanganku, sehingga terjadilah pertarungan yang amat seru dan menegangkan. " "Locianpwee pasti menang," tukas Thio Han Liong yakin. "Aaaah..." Hiat Mo menghela nafas panjang. "Justru aku yang kalah, maka kami cuma bertarung lima puluh jurus." "Hah?" Thio Han Liong tersentak. "orangtua itu begitu lihay?" "Memang sungguh di luar dugaan, kepandaiannya begitu tinggi." Hiat Mo menggeleng-gelengkan kepala. "Ilmu silat orangtua itu berasal dari aliran mana?" tanya Thio Han Liong. "Terus terang, hingga saat ini aku masih belum tahu tentang itu" sahut Hiat Mo dan melanjutkan. "Setelah menderita kekalahan itu, aku mulai berlatih lagi. sepuluh tahun kemudian, aku datang lagi ke sana menantangnya. Akan tetapi, kepandaiannya pun bertambah tinggi." "Locianpwee kalah lagi?" "Ya." Hiat Mo mengangguk. "Sejak itu aku tidak pernah pergi menantangnya lagi." "Orangtua itu dan keluarganya tidak pernah ke Tionggoan?" "Setahuku memang tidak pernah. Kalau makhluk aneh itu ke Tionggoan, rimba persilatan Tionggoan pasti menjadi kacau balau." "Locianpwee, kenapa orangtua itu begitu pelit?" "Maksudmu?" "Cuma setetes Thian ciok sin sui, kok orangtua itu tidak mau memberikan kepada Locianpwee?" "Han Liong...." Hiat Mo menggeleng-gelengkan kepala. "Konon batu itu jatuh dari langit dan kebetulan jatuh di puncak gunung Altai dekat tempat tinggal Kam Cun ,Goan. sudah barang tentu batu itu menjadi milik keluarganya. Memang mengherankan, batu itu tiap setahun dua tahun pasti mengeluarkan setetes air yang amat berkhasiat, bahkan dapat memunahkan racun Jiu Kut Tok." "Haaah...?" Mulut Thio Han Liong ternganga lebar. "Setahun atau dua tahun cuma mengeluarkan setetes air?" "Ya." Hiat Mo mengangguk. "Maka Kam Cun Goan cian tidak mau memberiku setetes air sakti itu." "oooh" Thio Han Liong manggut-manggut. "Kalau begitu...." "Maka tadi kukatakan, tidak gampang bagimu memperoleh Thian ciok Sin Sui itu." Hiat Mo menggeleng-gelengkan kepala. "Tapi... aku yakin engkau dapat menandingi Kam Cun ,Goan itu, bahkan apabila perlu engkau harus memaksanya." "Ya." Thio Han Liong mengangguk. "Kakak Han Liong..." sela Ciu Lan Nio. "Lebih baik engkau jangan menggunakan cara paksa, tapi gunakanlah akal" "Akal apa yang harus kugunakan?" tanya Thio Han Liong. "Tantang orangtua itu bertanding. Kalau engkau bertanding seri dengannya, maka dia harus memberimu Thian ciok sin sui," sahut Ciu Lan Nio. "Betul." Thio Han Liong manggut-manggut. "Itu merupakan cara terbaik untuk memperoleh Thian ciok sin sui itu. Adik Lan Nio, terima kasih atas petunjukmu." "Tidak usah berterimakasih kepadaku, Kakak Han Liong" sahut Ciu Lan Nio sambil tersenyum. "Kami semua berhutang budi kepadamu." "Adik Lan Nio" Thio Han Liong menggeleng-gelengkan kepala. "Jangan mengungkit soal budi, sebab sesungguhnya kalian tidak berhutang budi kepadaku. sebaliknya kini aku malah berhutang budi kepada kakekmu." "Ha ha ha" Hiat Mo tertawa gelak. "Han Liong, engkau tidak membunuhku, itu sudah merupakan suatu budi." "Locianpwee," ujar Thio Han Liong sungguh-sungguh, "Kalau waktu itu aku membunuh Locianpwee, tentu aku tidak akan tahu tentang Thian ciok sin sui.Jadi berarti An Lok Kong Cu pasti mati." "Aaah..." Hiat Mo menghela nafas panjang. "Segala sesuatu memang sudah merupakan takdir dan suatu sebab. Di mana kita berbuat kebaikan, di situ kita akan menerima imbalannya. Tidak salah. Di kolong langit ini hanya aku seorang yang tahu mengenai Thian ciok sin sui itu. Maka kalau waktu itu engkau membunuhku, tentu engkau tidak akan tahu mengenai air sakti tersebut." "Oleh karena itu, kini aku malah yang berhutang budi kepada Locianpwee." ujar Thio Han Liong. "Ha ha ha" Hiat Mo tertawa gelak. "Han Liong, di antara kita jangan membicarakan budi" "Locianpwee...." "Oh ya" Hiat Mo memberitahukan. "Aku telah merestui mereka menjadi suami isteri, itu beberapa bulan yang lalu." "Oh?" Thio Han Liong langsung memberi selamat kepada Ciu Lan Nio dan Kwan Pek Him. "Terimakasih," ucap Ciu Lan Nib dengan wajah agak kemerah-merahan. "Terimakasih, saudara Thio," ucap Kwan Pek Him dan memberitahukan, "Isteriku telah hamil." "Oh, ya?" Thio Han Liong tersenyum. "Kalau begitu, aku harus mengucapkan selamat lagi kepada kalian." "Terimakasih," ucap Kwan Pek Him dan ciu Lan Nio. "Locianpwee, saudara Kwan dan Adik Lan Nio," ujar Thio Han Liong. "Aku mau mohon pamit." "Kakak Han Liong...." Wajah Ciu Lan Nio berubah muram. "Cucuku" Hiat Mo tersenyum. "Engkau tidak boleh menahannya, sebab dia harus segera berangkat ke gunung Altai. sedangkan dari sini ke sana membutuhkan waktu hampir sepuluh hari dan dari gunung Aitai ke Kotaraja membutuhkan waktu belasan hari. Maka, dia harus segera berangkat." Ciu Lan Nio manggut-manggut dan berpesan, "Kakak Han Liong, kalau An Lok Kong cu sudah sembuh, ajak ke mari ya." "Baik," Thio Han Liong mengangguk sambil bangkit berdiri la memberi hormat kepada mereka, lalu melesat pergi. "Mudah-mudahan dia memperoleh Thian ciok sin sui" ucap Hiat Mo, kemudian memejamkan matanya. "Lan Nio," bisik Kwan Pek Him. "Mari kita ke luar" Ciu Lan Nio mengangguk. lalu ke duanya meninggalkan gua itu. sampai di luar, barulah cucu Hiat Mo itu berkata. "Kakak Kwan, menurutmu apakah Kakak Han Liong akan memperoleh Thian ciok sin sui itu?" "Dia berhati bajik, tentu akan memperoleh Air sakti itu," sahut Kwan Pek Him. "Ketika Tan Giok Cu meninggal, hatinya terpukul hebat," ujar ciu Lan Nio. "Kini An Lok Kong Cu terkena racun Jiu Kut Tok. Apabila Kakak Han Liong tidak memperoleh Thian ciok sin sui, entah apa yang akan terjadi pula pada dirinya?" "Lan Nio...." Kwan Pek Him menghela nafas panjang. "Aku tidak berani membayangkan itu. seandainya An Lek Kong cu tidak tertolong, aku pikir... Thio Han Liong pun tidak akan hidup lagi." "Aaaah..." keluh ciu Lan Nio. "Kakak Han Liong begitu baik, tapi justru banyak sekali percobaannya " "Mudah-mudahan dia memperoleh Thian ciok sin sui itu" ucap Kwan Pek Him. "Ya." Ciu Lan Nio manggut-manggut. "Mudah-mudahan." Thio Han Liong terus melakukan perjalanan ke gunung Altai. Boleh dikatakan ia tidak beristirahat sama sekali, karena melakukan perjalanan siang dan malam. Dalam perjalanan ini, ia bersyukur dalam hati, karena tempo hari tidak membunuh Hiat Mo. Kalau pada waktu itu ia membunuh Hiat Mo, sudah jelas ia tidak akan tahu di mana Thian ciok sin sui itu. Tak sampai sepuluh hari, Thio Han Liong telah tiba di kaki gunung Altai. la menarik nafas lega sambil memandang ke atas. sungguh tinggi gunung itu dan amat indah pula. Thio Han Liong mengerahkan ginkang untuk melesat kecuncak gunung itu Namun ketika hendak mencapai puncak gunung tersebut, mendadak muncul beberapa wanita di hadapannya. "Berhenti" bentak salah seorang dari mereka. Thio Han Liong segera berhenti, lalu memberi hormat kepada mereka. "Maaf...." "Ini adalah tempat terlarang bagi siapa pun" potong wanita itu dingini "Maka engkau harus segera meninggalkan tempat ini" "Bibi" Thio Han Liong memberitahukan. "Aku ke mari ingin bertemu Kam Cun Goan Locianpwee." "Engkau kenal almarhum?" tanya wanita itu sambil mengerutkan kening. "Aku...." Thio Han Liong menggeleng-gelengkan kepala. "Aku tidak kenal." "Kalau begitu, cepatlah engkau pergi" bentak wanita itu dan menambahkan. "jangan sampai aku turun tangan mengusirmu" "Bibi, biar bagaimanapun aku harus ke atas. Kalau Bibi menghalangi, aku terpaksa berlaku kurang ajar." tegas Thio Han Liong. "oh?" Wanita itu tertawa dingin. "Kalau begitu, terimalah seranganku" Akan tetapi, mendadak terdengar suara seruan. "Berhenti" Muncul dua wanita yang tidak lain adalah Yen Yen dan Ing Ing, yaitu pelayan Kam siauw Cui. "Eeeh?" Thio Han Liong tercengang. "Bibi...." "Engkau...." Yen Yen dan Ing Ing terbelalak ketika melihat Thio Han Liong. "Thio siauhiap" "Kak" Wanita yang membentak Thio Han Liong tertegun. "Kalian kenal pemuda itu?" "Kenal." Yen Yen mengangguk sekaligus memberitahukan. "Dia yang menyelamatkan majikan kecil kita. Kalian harus segera minta maaf kepadanya" "Ya." Wanita-wanita itu mengangguk. lalu memberi hormat kepada Thio Han Liong. "Thio siauhiap, kami minta maaf" "Tidak apa-apa," sahut Thio Han Liong dan cepat-cepat balas memberi hormat kepada mereka. Anak Naga Bu Lim Hong Yun Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Thio siauhiap...." Wajah Yen Yen berseri. "Tak kusangka sama sekali kalau engkau akan muncul di sini. Nona siauw Cui amat rindu sekali kepadamu lho" "Oh?" Thio Han Liong tersenyum. "Dia baik-baik saja?" "Ya." Yen Yen mengangguk dan bertanya. "Oh ya, ada urusan apa Thio siauhiap datang ke mari?" "Aku datang ke mari ingin bertemu Kam Cun Goan Locianpwee," jawab Thio Han Liong. "Thio siauhiap kenal almarhum?" tanya Yen Yen sambil memandangnya. "Tidak kenal, tapi Hiat Mo yang memberitahukan kepadaku, maka aku ke mari." sahut Thio Han Liong jujur. "Thio siauhiap kenal Hiat Locianpwee?" Yen Yen agak terbelalak. "Kenal." Thio Han Liong mengangguk. "Thio siauhiap...." Yen Yen menatapnya dengan heran. "Ada urusan apa engkau ingin bertemu almarhum?" "Aku ingin minta Thian Ciok sin sui." "oh?" Yen Yen mengerutkan kening. "Apakah teman dekatmu terkena racun Jiu Kut Tok"^ tanyanya. "Ya." Thio Han Liong mengangguk. "Kalau begitu, mari ikut kami menemui majikan" ajak Yen Yen sambil tersenyum. "Memang kebetulan sekali, majikan kami ingin bertemu Thio siauhiap." "Terima kasih." Thio Han Liong mengikuti mereka kecuncak gunung itu. Sampai dipuncaki tampak sebuah bangunan yang amat besar dan indah. Yen Yen dan Ing Ing mengajak Thio Han Liong ke bangunan itu Di sana tampak beberapa orang penjaga. Begitu melihat Yen Yen dan Ing Ing, para penjaga itu segera memberi hormat. Yen Yen dan Ing Ing manggut-manggut sambil melangkah ke dalam, dan Thio Han Liong terus mengikuti mereka. "Silakan duduk Thio siauhiap" ujar Yen Yen setelah sampai di dalam. "Terima kasih," ucap Thio Han Liong sambil duduk. "Harap Thio siauhiap menunggu sebentar, kami akan ke dalam melapor" ujar Yen Yen, lalu bersama Ing Ing melangkah ke dalam. Thio Han Liong duduk diam. la bergirang dalam hati karena Kam siauw Cui adalah majikan kecil di tempat ini, jadi mungkin tiada masalah baginya untuk minta Thian ciok sin sui. Demikian pikirnya dan disaat bersamaan muncullah Yen Yen bersama majikannya, yang ternyata Kam Ek Thian dan Lie Hong SUang. "Ha ha ha" Kam Ek Thian tertawa gembira. "Thio siauhiap, selamat datang di tempat kami" Thio Han Liong segera bangkit berdiri sambil memberi hormat. "Jangan sungkan-sungkan, silakan duduk Thio siauhiap" ucap Kam Ek Thian ramah. "Terima kasih, Paman," ucap Thio Han Liong sambil duduk. Kam Ek Thian dan Lie Hong suan juga duduk. kemudian Kam Ek Thian memandangnya seraya berkata. "Thio siauhiap, kami berhutang budi kepadamu karena engkau telah menyelamatkan nyawa putri kami." "Paman, jangan berkata begitu Aku... aku merasa tidak enak." sahut Thio Han Liong dan menambahkan. "Paman panggil saja namaku" "Han Liong...." Kam Ek Thian tersenyum lembut. "Aku dengar engkau ingin menemui kakekku, benarkah itu?" "Ya." Thio Han Liong mengangguk. "Tapi sayang sekali...." Kam Ek Thian menggelenggelengkan kepala. "Kakek dan ayahku sudah lama meninggal." "Oh?" "Han Liong, kalau tidak salah engkau mau minta Thian ciok sin sui, bukan?" "Ya, Paman." Thio Han Liong memberitahukan. "Tunanganku terkena racun Jiu Kut Tok, hanya Thian Ciok sin sui yang dapat memunahkan racun itu." "Betul." Kam Ek Thiap manggut-manggut. "Terus terang, aku tidak berkeberatan memberikan Thian ciok sin sui. Tapi...." "Kenapa, Paman?" tanta Thio Han Liong bernada cemas. "Engkau harus mengabulkan dua permintaanku," sahut Kam Ek Thian sungguh-sungguh. "Apa ke dua permintaan Paman?" "Pertama, engkau harus bertanding sepuluh jurus denganku." Kam Ek Thiaii memberitahukan. "Ke dua akan dibicarakan nanti, sebab menyangkut urusan pribadiku." "Baiklah." Thio Han Liong manggut-manggut. "Han Liong" Kam Ek Thian bangkit berdiri "Mari kita ke tempat ruangan untuk bertanding" "Ya." Thio Han Liong mengangguk, lalu berjalan ke tengahtengah ruang itu. "Han Liong," ujar Lie Hong suang. "Suamiku hanya ingin menguji kepandaianmu saja, maka engkau tidak usah tegang." "Ya, Bibi." Thio Han uong tersenyum. "Terima kasih." Thio Han Liong dan Kam Ek Thian sudah berdiri berhadapan dengan saling memandang sambil tersenyum. "Han Liong, bersiap-siaplah" ujar Kam Ek Thian. "Aku akan mulai menyerangmu" "Ya." Thio Han Liong mengangguk sambil mengerahkan Kiu Yang sin Kang. "Hati-hati" seru Kam Ek Thian sambil menyerang. Thio Han Liong berkelit, namun serangan susulan telah mengarah kepadanya, membuatnya tidak sempat berkelit lagi. Maka ia terpaksa menangkis dengan ilmu pukulan Kiu im Pek Kut Jiauw. "Bagus Bagus" Kam Ek Thian tertawa gembira. "Tak kusangka kepandaianmu sedemikian tinggi." "Kepandaian Paman pun tinggi sekali," sahut Thio Han Liong sambil mengelak serangan yang dilancarkan Kam Ek Thian. Tak terasa sudah tujuh jurus mereka bertanding, namun masih belum tampak siapa yang unggul. Kam Ek Thian agak penasaran, kemudian mendadak meloncat ke belakang. "Han Liong" la tersenyum. "Engkau sungguh hebat, maka aku terpaksa harus mengeluarkan ilmu andalanku untuk menyerangmu. Hati-hati" Kam Ek Thian menarik nafas dalam-dalam. Tampaknya ia sedang menghimpun Iweekangnya. Menyaksikan itu, Thio Han Liong pun segera mengerahkan Kian Kun Taylo sin Kang, siap menangkis serangan yang akan dilancarkan Kam Ek Thian. Tiba-tiba Kam Ek Thian berseru, lalu menyerang Thio Han Liong dengan jurus yang amat aneh tapi lihay dan dahsyat sekali. Thio Han Liong merasa ada tenaga yang amat kuat menerjang ke arahnya dan itu membuatnya tidak sempat berkelit, sehingga secara reflek ia menangkis serangan itu dengan jurus Kian Kun Tyalo Bu Pien (Alam semesta Tiada Batas). Blaaam Terdengar suara benturan keras. Kam Ek Thian dan Thio Han Liong terhuyung-huyung ke belakang beberapa langkah, kemudian mereka berdua pun saling memandang dengan penuh keheranan. "Suamiku" seru Lie Hong suang mengingatkan. "Kalian cuma saling menguji kepandaian masing-masing, bukan bertanding mengadu nyawa lho" "Aku ingat itu, isteriku" sahut Kam Ek Thian. "Maaf, Paman" ucap Thio Han Liong. "Aku... aku terpaksa menangkis...." "Han Liong" Kam Ek Thian menatapnya kagum. "Engkau memang hebat sekali, sungguh di luar dugaanku" "Paman bermurah hati kepadaku, kalau tidak, aku pasti sudah roboh," ujar Thio Han Liong. "Ha ha ha" Kam Ek Thian tertawa gelak. "Justru engkau yang bermurah hati, Kalau tidak, aku pasti sudah terkapar di lantai. sudahlah Tidak usah dilanjutkan lagi pertandingan kita, sebab aku sudah tahu kepandaianmu memang amat luar biasa oleh karena itu, engkau pasti bisa melaksanakan permintaanku yang ke dua itu." "Paman...." Thio Han Liong tertegun. "Mari kita duduk" ajak Kam Ek Thian. Mereka kembali ke tempat duduk masing-masing. Lie Hong suang memandangnya dengan penuh kekaguman. "Han Liong, sungguh hebat ilmu silatmu Bolehkah kami tahu siapa gurumu?" Thio Han Liong memberitahukan. "Yang mengajarku ilmu silat adalah ke dua orangtuaku. setelah itu aku pun mendapat petunjuk dari sucouw Thio sam Hong, Tiga Tetua siauw Lim Pay dan BuBeng siansu." "Oooh" Lie Hong suang manggut-manggut. "Pantas kepandaianmu begitu hebat oh ya, siapa ke dua orang-tuamu?" "Ayah dan ibuku adalah Thio Bu Ki dan Tio Beng...." "Thio Bu Ki?" Lie Hong suang dan Kam Ek Thian terkejut. "Ketua Beng Kauw?" "Ya." Thio Han Liong mengangguk. "Tak terduga sama sekali. Ternyata engkau putra Thio Bu Ki. Tidak mengherankan kepandaianmu begitu hebat. Kami tahu tentang ayahmu dan Thio sam Hong, cikal bakal Bu Tong Pay itu," ujar Kam Ek Thian. "Paman pernah keTionggoan?" "Walau kami jarang ke Tionggoan, namun pelayan kami kadang-kadang ke Tionggoan juga, karena harus belanja ke sana." Kam Ek Thian memberitahukan. "Maka kami tahu tentang situasi rimba persilatan Tionggoan." "Oooh" Thio Han Liong manggut-manggut. "Oh ya" Lie Hong suang memandangnya seraya bertanya. "Betulkah Hiat Mo yang memberitahukanmu mengenai tempat tinggal kami?" "Ya." Thio Han Liong mengangguk. "Engkau kenal Hiat Mo itu?" tanya Kam Ek Thian dengan heran. "Kenal." Thio Han Liong tersenyum lalu menutur tentang semua itu. "Untung aku tidak jadi membunuhnya." "Tak kusangka engkau dapat mengalahkan makhluk aneh itu," ujar Kam Ek Thian sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Hiat Mo mengatai Kam Cun Goan Locianpwee adalah makhluk aneh, tapi justru Paman mengatainya sebagai makhluk aneh pula. Itu...." "Ha ha ha" Kam Ek Thian tertawa gelak. "Hiat Mo dan kakekku memang merupakan makhluk aneh. sesungguhnya mereka kawan baik, tapi... gara-gara setetes Thian ciok sin sui, mereka berdua malah bertarung." Thio Han Liong dan Kam Ek Thian saling berhadapan untuk mengadu kepandaian. "Hiat Mo menceritakan itu kepadaku. Katanya Kam Cun Goan Locianpwee menolak dan bahkan mengusirnya." "Terus terang, Hiat Mo juga bersalah dalam hal itu" Kam Ek Thian memberitahukan. "Sebab Hiat Mo bersikap agak kasar. Padahal kalau Hiat Mo minta secara baik-baik, tentu kakekku memberikannya." "Oooh" Thio Han Liong manggut-manggut. "Paman, kini Hiat Mo telah berubah sabar dan penuh pengertian." "Syukurlah" ucap Kam Ek Thian. Di saat bersamaan, muncul Kam siauw Cui bersama seorang gadis kecil dan pelayannya. "Kakak Han Liong Kakak Han Liong" seru Kam siauw Cui girang. "Siauw Cui" Thio Han Liong tersenyum dan mendadak terbelalak seraya berseru tak tertahan. "Hui sian" "Paman Thio Paman Thio" panggil gadis kecil itu yang ternyata Ouw Yang Hui sian, putri Ouw Yang Bun. "Hui sian...." Han Liong tercengang. "Han Liong" Kam Ek Thian dan Lie Hong suan terheranheran. "Engkau kenal gadis kecil itu?" "Bahkan aku kenal ke dua orangtuanya," sahut Thio Han Liong dengan wajah murung. "Ayahnya bernama Ouw Yang Bun dan ibunya bernama Tan Giok Cu, tapi sudah meninggal." "Oh?" Kam Ek Thian menghela nafas panjang dan memberitahukan. "Kami yang menyelamatkannya dari tangan Bu Sim Hoatsu." "ooooh" Thio Han Liong manggut-manggut. "Ternyata Paman dan Bibi yang menyelamatkannya " "Han Liong...." Lie Hong suang memandangnya seraya bertanya. "Bolehkah kami tahu bagaimana tunangan- mu terkena racun Jiu Kut Tok?" "Bu Sim Hoatsu...." Thio Han Liong memberitahukan. "Tapi Pendeta jahat itu telah binasa." "oooh" Lie Hong suang tersenyum. "Han Liong, kalau engkau bertemu ayah Hui sian, tolong beritahukan padanya bahwa putrinya belajar ilmu silat di sini Kelak Hui sian akan ke Tionggoan mencarinya." "Ya." Thio Han Liong mengangguk. "Aku pasti menyampaikannya." "Terima kasih." ucap Lie Hong suan. "Hui sian memang betah tinggal di sini." Thio Han Liong memandang gadis kecil itu, kemudian tersenyum seraya bertanya dengan lembut. "Engkau betah di sini?" "Betah." Ouw Yang Hui sian mengangguk. "Paman dan Bibi amat baik terhadapku, dan Kakak siauw Cuipun amat menyayangiku." Anak Naga Bu Lim Hong Yun Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Maka engkau tidak boleh nakal, harus menurut kepada Paman dan Bibi" pesan Thio Han Liong. "Ya, Paman Thio." Ouw Yang Hui sian mengangguk. "oh ya, Paman...." Thio Han Liong menatapnya seraya bertanya. "Apa permintaan paman yang ke dua itu?" "Han Liong...." Kam Ek Thian menghela nafas panjang. "Sebetulnya tidak pantas aku mengajukan permintaan yang ke dua, sebab menyangkut urusan pribadi. Tapi... berhubung aku tidak akan ke Tionggoan, maka terpaksa kumohon bantuanmu." "Apa yang dapat kubantu, Paman?" "Terus terang...," ujar Kam Ek Thian memberitahukan. "Sejak leluhur kami tinggal di sini, turun temurun boleh dikatakan jarang ke Tionggoan. oleh karena itu, kami tidak dikenal dirimba persilatan Tionggoan. Lagi-pula kami pun jarang berhubungan dengan orang luar. ilmu silat kami berasal dari aliran Bunga Teratai...." Thio Han Liong mendengarkan dengan penuh perhatian, Kam Ek Thian melanjutkan lagi. "Ayahku mempunyai seorang murid bernama Yo Ngie Kuang, yang kini baru berusia sekitar dua puluh tahun. Dia amat cerdas dan tampan sekali. sebelum ayahku meninggal, aku diberi sebuah kitab Lian Hoa Cin Kong (Kitab Pusaka Bunga Teratai), tapi ayahku pun berpesan jangan mempelajari kitab itu." "Memangnya kenapa?" "Ayahku bilang, kalau kaum lelaki yang mempelajari kitab itu, pasti akan berubah menjadi wanita." Kam Ek Thian memberitahukan. "Kok begitu?" tanya Thio Han Liong. "Itu memang keistimewaan kitab Lian Hoa Cin Kong. Lagipula ilmu silat yang tercantum di dalam kitab itu amat lihay dan dahsyat sekali," ujar Kam Ek Thian sambil menghela nafas panjang. "oleh karena itu, ayahku melarangku mempelajari kitab itu." "oooh" Thio Han Liong manggut-manggut. "Bagaimana kalau kaum wanita yang mempelajari kitab itu?" "Tentunya tidak apa-apa, namun harus gadis perawan," ujar Kam Ek Thian dan memberitahukan, "Kini kitab pusaka itu telah hilang...." "oh?" Thio Han Liong terkejut. "Siapa yang mencurinya?" "Yo Ngie Kuang, murid ayahku itu." Kam Ek Thian menghela nafas panjang. "Ketika kami pergi ke Tionggoan menyusul siauw Cui, dia justru memanfaatkan kesempatan itu untuk mencuri kitab Lian Hoa Cin Kong." "Paman tahu dia ke mana?" "Aku kira... dia ke Tionggoan, sebab dia tahu aku tidak akan ke Tionggoan mencarinya. oleh karena itu, aku mohon bantuanmu." "Mencari Yo Ngie Kuang?" "Ya." Kam Ek Thian manggut-manggut. "Han Liong, sudikah engkau membantuku dalam itu?" "Baik," sahut Thio Han Liong berjanji. "Aku pasti mencarinya, tapi bagaimana rupa Yo Ngie Kuang?" Kam Ek Thian memberitahukan rupa Yo Ngie Kuang tersebut. "oh?" Thio Han Liong mengerutkan kening. "Apakah pemuda yang berlatih di dalam rimba itu adalah Yo Ngie Kuang?" "Bagaimana gerakannya?" tanya Kam Ek Thian. "Kira-kira begini." Thio Han Liong menirukan gerakan pemuda itu dan seketika juga Kam Ek Thian berseru. "Tidak salah Dia pasti Yo Ngie Kuang" "Kalau begitu, setelah aku pulang ke Ketaraja, aku pasti pergi mencarinya." "Terimakasih," ucap Kam Ek Thian, kemudian berkata kepada Lie Hong suang. "isteriku, ambilkan Thian ciok sin sui yang di dalam kamar" "Ya, suamiku." Lie Hong suan segera masuk ke dalam. Kam Ek Thian memandang Thio Han Liong, lalu tersenyum seraya berkata sungguh-sungguh. "Engkau beruntung, sebab Thian ciok sin sui tersisa sedikit. Namun cukup untuk menyelamatkan tunanganmu." "Terimakasih, Paman," ucap Thio Han Liong sambil memberi hormat. "Ha ha ha" Kam Ek Thian tertawa gelak. "Engkau pernah menyelamatkan nyawa putriku, maka kami pun harus memberimu Thian ciok sin sui Hanya saja... aku merepotkanmu mencari Yo Ngie Kuang" "Itu tidak menjadi masalah, Paman." Thio Han Liong tersenyum. Lie Hong suan sudah kembali ke situ, tangannya membawa sebuah botol pualam kecil berisi Thian ciok sin sui. "Han Liong" Lie Hong suan memberikan botol pualam itu kepada Thio Han Liong. "Thian Ciok sin sui tersisa sebotol kecil ini, aku bagi dua, yang ini kuberikan kepadamu." "Terima kasih, Bibi." Thio Han Liong memberi hormat, setelah itu barulah menerima botol pualam itu. "Han Liong" Lie Hong suan tersenyum. "Engkau memang beruntung, sebab batu yang mengeluarkan air sakti sudah tidak ada." "Ke mana batu itu?" "Setahun lalu, batu itu disambar petir hingga hancur berkeping-keping." "oh?" Thio Han Liong mengerutkan kening. "Bibi, betulkah batu itu dari langit?" "Memang tidak salah," sahut Kam Ek Thian. "Kakekku menggunakan air sakti itu untuk diramu menjadi semacam obat, khususnya menambah Iweekang orang." "oh?" Thio Han Liong terbelalak. "Kalau begitu kakek Paman pasti mahir ilmu pengobatan." "Ya." Kam Ek Thian mengangguk. "Tapi aku tidak belajar ilmu pengobatan, maka ketika siauw Cui terkena racun, aku langsung memberikannya minum Thian ciok sin SuL." "Oooh"Thio Han Liong manggut-manggut. "Pantas ketika aku memeriksanya, jantungnya terlindung semacam obat, ternyata Thian ciok sin sui." "Han Liong...." Tiba-tiba Kam Ek Thian menatapnya da lamdalam seraya bertanya. "Tadi engkau menggunakan ilmu apa untuk menangkis seranganku?" "Kian Kun Taylo sin Kang," jawab Thio Han Liong dengan jujur. "Sungguh hebat ilmu itu, sebab dapat membalikkan serangan Iweekang orang. Kalau tadi aku tidak segera menarik kembali Iweekang ku, aku pasti terserang oleh Iweekang ku sendiri" "Paman, aku... mohon maaf" ucap Thio Han Liong. "Ha ha ha" Kam Ek Thian tertawa terbahak-bahak. "Engkau memang berhati bajik, karena engkau tidak menangkis dengan sepenuh tenaga." "Paman...." Wajah Thio Han Liong kemerah-me-rahan. "oh ya, bagaimana kalau Ouw Yang Bun mau ke mari menengok putrinya?" "Itu...." Kam Ek Thian mengerutkan kening. "Suamiku," ujar Lie Hong suan. "Ouw Yang Bun berhak ke mari menengok putrinya. Kalau dia mau ke mari, silakan saja" "Baiklah." Kam Ek Thian manggut-manggut, kemudian memandang Thio Han Liong seraya berkata. "Kalau bertemu Ouw Yang Bun, beritahukan kepadanya seandainya dia mau ke mari, silakan" "Ya." Thio Han Liong manggut-manggut. "Paman, Bibi, aku... mau mohon pamit...." "Besok pagi saja" sahut Kam Ek Thian. "sebab sekarang sudah gelap, lebih baik berangkat besok saja." "Baik," Thio Han Liong mengangguk. Bab 58 surat undangan Dari Tong Hai sianli Hari ini Thio Han Liong meninggalkan gunung Altai kembali ke Tionggoan. Justru sungguh di luar dugaan, di rimba persilatan Tionggoan telah terjadi sesuatu yang membingungkan. Ternyata para ketua partai menerima surat undangan dari Tong Hai sianli (Bidadari Laut Timur), agar terkumpul di kuil siauw Lim sie pada tanggal lima belas bulan delapan. Para ketua terheran-heran setelah menerima surat undangan itu, sebab mereka sama sekali tidak kenal Tong Hai sianli. Tak lama mulai tersebar tentang itu, maka kaum rimba persilatan terus menerus memperbincangkan surat undangan tersebut. Yang paling bingung adalah Kong Bun Hong Tio, ketua siauw Lim Pay dan Kong Ti seng Ceng. Ke dua padri tua itu tidak habis pikir tentang itu. "omitohud" ucap Kong Bun Hong Tio sambil menghela nafas panjang. "Siapa Tong Hai sianli itu dan kenapa dia mengundang para ketua berkumpul di sini?" "Suheng " sahut Kong Ti seng Ceng. "Aku yakin Tong Hai sianli berasal dari Tong Hai (Laut Timur), namun aku tidak tahu apa sebabnya dia mengundang para ketua untuk berkumpul di kuil kita. Itu... sungguh membingungkan" "Mungkinkah dia berniat jahat?" tanya Kong Bun Hong Tio sambil mengerutkan kening. "Aaaah..." Kong Ti seng Ceng menghela nafas panjang. "Itu sulit diduga. Namun yang jelas para ketua pasti akan berkumpul di sini." "omitohud" sahut Kong Bun Hong Tio. Mereka meninggalkan ruang itu dan menuju ruang depan. Tampak beberapa orang berdiri di ruang itu. "omitohud" ucap Kong Bun Hong Tio. "Apa pula yang akan terjadi" Rimba persilatan baru tenang, kini mulai bergelombang lagi." Mendadak muncul Goan Hian Hweeshio, yang setelah memberi hormat lalu melapor. "guru, di luar ada tamu" "Siapa tamu itu?" "Tong Hai sianli bersama beberapa orang yang terdiri dari lelaki dan wanita. Mereka menunggu di ruang depan." "Tong Hai sianli?" Kong Bun Hong Tio dan Kong Ti seng Ceng saling memandang. Mereka tidak menyangka kalau Tong Hai sianli akan berkunjung ke kuil siauw Lim. "Ya." Goan Hian Hweeshio mengangguk. "Baiklah." Kong Bun Hong Tio manggut-manggut. "Kami akan sebera pergi menemui mereka." Goan Hian Hweeshio meninggalkan ruang itu sedangkan Kong Bun Hong Tio dan Kong Ti seng Ceng saling memandang sambil menggeleng-gelengkan kepala, "Sutee," ujar Kong Bun Hong Tio. "Mari kita temui mereka" "suheng " Kong Tt seng Ceng mengingatkan. "Biar bagaimanapun kita harus berhati-hati" "omitohud" ucap Kong Bun Hong Tio setelah berada di ruang depan. Padri tua itu memandang para tamunya dengan penuh perhatian. "selamat bertemu, Kong Bun Hong Tio" sahut gadis cantik jelita yang tidak lain adalah Tong Hai sianli. "Maaf, kedatangan kami telah mengganggu ketenangan Kong Bun Hong Tio dan Kong Ti seng Ceng" "omitohud Tidak apa-apa," ucap Kong Bun Hong Tio. "silakan duduk" Tong Hai sianli dan lainnya lalu duduk. begitu pula Kong Bun Hong Tio dan Kong Ti seng ceng. "Maaf" Tong Hai sianli tersenyum. "Aku telah mengundang para ketua untuk berkumpul di sini pada tanggal lima belas bulan delapan, tanpa seijin Kong Bun Hong Tio" "Kalau begitu..." Kong Ti seng Ceng menatapnya tajam. "Nona pasti Tong Hai sianli. Ya, kan?" "Betul." Tong Hai sianli mengangguk. "Kami datang dari Laut Timur. Ayahku adalah Tong Hay sianjin." "Tong Hai sianli" Kong Ti seng ceng menggeleng gelengkan kepala. "Kenapa engkau berbuat begitu?" "Kong Ti seng Ceng" Tong Hai sianli member, hormat. "Tentunya mengandung suatu tujuan." "omitohud" ucap Kong Bun Hong Tio. "Apa tujuan mu, Tong Hai sianli?" "Kami ingin bertanding ilmu sastra, ilmu bahasa dan ilmu silat dengan para ketua." Tong Hai sianli mem beritahukan sambil tersenyum. "Kami pernah dengar tentang partai siauw Lim yang merupakan gudang ilmu silat di Tionggoan. Maka aku yakin Kong Bun Hong Tip dan Kong Ti seng ceng pasti berkepandaian tinggi sekali." "omitohud" sahut Kong Bun Hong Tio. "Di atas langit masih ada langit...." "Aku tahu itu." Tong Hai sianli manggut-manggut "oleh karena itu kami diutus ke mari untuk bertanding dengan para ketua." "Maka engkau mengundang para ketua untuk berkumpul di sini?" tanya Kong Ti seng Ceng tidak senang "Kenapa Nona begitu tak tahu aturan?" "Kong Ti seng Ceng," sahut Tong Hai sianli sambi tersenyum. "Bukankah tadi aku telah minta maaf" Kenapa sekarang Kong Ti seng Ceng malah menegurku" "omitohud" ucap Kong sun Hong Tio. "Mulut Nona sungguh tajam ingat, tempat ini adalah kuil siauw Lim" "Aku tahu." Tong Hai sianli tertawa. Anak Naga Bu Lim Hong Yun Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Hi hi hi Kelihatannya Kong Bun Hong Tio dan Kong Ti seng Ceng sangat beremosi" "omitohud" Kong Bun Hong Tio menghela nafas panjang. "Apa keperluan kalian berkunjung ke mari?" "Untuk minta maaf atas kelancanganku, sekaligus memberitahukan tentang tujuanku mengundang para ketua itu," sahut Tong Hai sianli dan menambahkan. "Tentunya Kong Bun Hong Tio tidak berkeberatan mewakili kami menjadi tuan rumah." "omitohud Tong Hai sianli...." wajah Kong Bun Hong Tio kemerah-merahan menahan kegusarannya. "Kong Bun Hong Tio" Tong Hai sianli tersenyum manis. "Tidak baik gusar lho" "omitohud...." Kong Bun Hong Tio betul-betul kewalahan menghadapi Tong Hai sianli. Kemudian padri tua itu menggeleng-gelengkan kepala. "Tong Hai sianli" tanya Kong Ti seng Ceng. "Apa tujuanmu ingin bertanding dengan para ketua?" "Untuk menguji ilmu surat dan ilmu silat para ketua." Tong Hai sianli memberitahukan. "siapa yang lulus, kami akan mengundangnya ke Tong Hai menemui ayahku." Bagian 30 "Oh?" Kong Ti Seng Ceng tercengang. "Kenapa harus begitu?" "Terus terang, ayahku berniat baik, Siapa yang diundang itu pasti akan memperoleh keuntungan, aku tidak bohong." "Bagaimana seandainya para ketua itu tidak hadir?" tanya Kong Ti Seng Ceng mendadak. "Berarti para ketua itu cari penyakit," sahut Tong Hai Sianli. "Kami pasti menyerbu ke tempat mereka." "Omitohud" ucap Kong Bun Hong Tio. "Kalau begitu, engkau ingin menimbulkan bencana dalam rimba persilatan Tionggoan?" "Aku mengundang mereka secara baik- baik, Jika mereka tidak hadir, itu berarti mereka yang cari gara-gara dengan kami. Nah, apa salahnya kami menyerbu ke tempat mereka?" tegas Tong Hai Sianli dengan wajah dingin. "Omitohud" ucap Kong Bun Hong Tio dan meng- gelenggelengkan kepala. "Kepandaian para ketua itu amat tinggi, Nona harus tahu itu." "Aku tahu." Tong Hai sianli manggut-manggut sambil tersenyum. "Namun apabila kami berkepandaian rendah, tentunya tidak berani memasuki daerah Tionggoan ini. Kong Bun Hong Tio pun harus tahu itu." "Omitohud" Kong Bun Hong Tio menghela nafas panjang. "Nona terlampau meremehkan para ketua itu." "Kong Bun Hong Tio jangan salah paham," ujar Tong Hai Sianli sungguh-sungguh. "Aku justru amat menghargai para ketua partai yang di Tionggoan, maka kami ingin bertanding dengan mereka dalam hal ilmu silat dan lain sebagainya." "omitohud" Kong Bun Hong Tio menggeleng-ge-lengkan kepala. "Itu malah akan menimbulkan hal-hal yang tak diinginkan. Harap Nona pikirkan secara baik-baik, jangan bertindak ceroboh." "Sebelum berangkat ke Tionggoan, aku sudah memikirkannya dengan matang, barulah berangkat ke mari," sahut Tong Hai sianli sambil tersenyum. "Kami pun mengucapkan terima kasih kepada Kong Bun Hong Tio yang bersedia menjadi tuan rumah." "Nona." Kong Ti Seng Ceng mengerutkan kening "Belum tentu kami bersedia menjadi tuan rumah." "Mau tidak mau harus menjadi tuan rumahi" tegas Tong Hai sianli dan menambahkan. "Sebab kami sudah menyebarkan surat undangan kepada para ketua partai di Tionggoan, kalau siauw lim Pay menolak, itu sungguh memalukan." "Omitohud" ucap Kong Bun Hong Tio. "Nona terlampau mendesak dan tidak menghargai kami." "Kong Bun Hong Tio," sahut Tong Hai sianli. "Kami justru amat menghargai siauw Lim Pay, maka memilih pihak siauw Lim Pay sebagai tuan rumah." "Nona...." Kong Bun Hong Tio menggeleng-geleng-kan kepala. "Kong Bun Hong Tio merasa berkeberatan?" tanya salah seorang lelaki berusia lima puluhan dengan nada dingin. "Omitohud" sahut Kong Bun Hong Tio. "Kami memang merasa berkeberatan, harap kalian membataikan itu" "Siauw Lim Pay amat terkenal di Tionggoan, itu membuat sepasang tanganku menjadi gatal," ujar lelaki itu dengan wajah dingin. "Tentunya Kong Bun Hong Tio tahu akan maksudku." "Omitohud" ucap Kong Bun Hong Tio sambil menatapnya. "Engkau menantang kami?" "Kira-kira begitulah." Lelaki itu manggut-manggut. "Bagaimana kalau begini..." ujar Kong Ti Seng Ceng seakan mengusulkan. "Kita berdua bertanding, kalau engkau kalah harus segera kembali ke Tong Hai. Apabila aku yang kalah, maka harus menjadi tuan rumah." "Baik," Lelaki itu mengangguk. "Kita bertanding dengan senjata atau tangan kosong?" "Cukup tangan kosong saja," sahut Kong Ti Seng Ceng. "Bagus" Lelaki itu manggut-manggut, kemudian memberi hormat kepada Tong Hai sianli. "Sianli, perbolehkanlah aku bertanding dengan Kong Ti Seng Ceng" "Ng" Tong Hai sianli mengangguk perlahan sambil tersenyum. "Tapi jangan melukai Kong Tiseng Ceng itu." "Ya," sahut lelaki itu. "Omitohud..." ucap Kong Ti Seng Ceng. Walau ia seorang padri tua, tapi tetap tersinggung oleh perkataan Tong Hai sianli tadi, yang bernada meremehkannya. la lalu berjalan ke tengah-tengah ruangan itu. "Paman Lie," pesan Tong Hai sianli. "Engkau harus mengalahkan Kong Ti Seng Ceng itu" "Ya, sianli." Paman Lie mengangguk kemudian melangkah ke tengah-tengah ruangan itu. "Kita bertanding sepuluh jurus saja," katanya setelah berhadapan dengan Kong Ti Seng Ceng. "Omitohud" Kong Ti Seng Ceng manggut-manggut sambil mengerahkan Lweekangnya. "Baik" sahutnya. Paman Lie tersenyum sekaligus mengerahkan Lweekangnya, mereka berdua saling memandang. "Omitohud" ucap Kong Ti Seng Ceng. "Aku tuan rumah, engkau boleh menyerang lebih dulu." "Kalau begitu... maaf" ucap Paman Lie dan langsung menyerangnya. Kong Ti Seng Ceng berkelit dan sekaligus balas menyerang menggunakan Tat mo Ciang Hoat (Ilmu Pukulan Dharmo), yaitu ilmu simpanan siauw Lim sie. "Ha ha ha" Paman Lie tertawa gelak. "Cukup hebat pukulanmu, Kong Tiseng Ceng Cobalah tangkis sin Hwee Ciang (Ilmu Pukulan Api sakti) ini" Mendadak Paman Lie menyerang padri tua itu dengan telapak tangan. Betapa terkejutnya Kong Tiseng Ceng, karena terasa ada hawa yang amat panas menerjang ke arahnya. "Paman Lie" seru Tong Hai sianli mengingatkan. "Jangan melukai Kong Ti seng Ceng" "Ya, sianli." Paman Lie mengangguk "Omitohud" ucap Kong Ti Seng Ceng. "Ilmu silat aliran Tong Hai memang hebat sekali" Tak terasa pertandingan mereka sudah melewati tujuh jurus. Kong Ti Seng Ceng tampak terdesaki namun tetap mengempos semangat untuk bertahan. "Kong Ti Seng Ceng" ujar paman Lie sungguh-sungguh. "Hati- hati" Mendadak Paman Lie menyerangnya dengan jurus andalan. Sepasang telapak tangan lelaki itu kelihatan seperti mengeluarkan api. Itu sungguh mengejutkan Kong Ti Seng Ceng. Maka padri tua itu cepat-cepat mengibaskan lengan bajunya. Blammm.. Terdengar suara benturan. Kong Ti Seng Ceng terhuyung-huyung ke belakang beberapa langkah, dan lengan jubahnya hangus. sedangkan Paman Lie tetap berdiri di tempat, dan memandang Kong Ti Seng Ceng sambil tersenyum. "Omitohud...." Wajah Kong Tiseng Ceng pucat pasi. "Terima kasih atas kemurahan hatimu, aku mengaku kalah." "Ha ha ha" Paman Lie tertawa. "Kepandaian Kong Ti Seng Ceng sungguh mengagumkan, bahkan mau mengalah pula padaku." "Omitohud" sahut Kong Bun Hong Tio. "Kami pasti menepati janji. Baiklah kami sanggup menjadi tuan rumah." "Terimakasih, Kong Bun Hong Tio," ucap Tong Hai sianli dan menambahkan, "Kong Bun Hong Tio tidak usah cemas. Kami sama sekali tidak mengandung niat jahat terhadap Siauw Lim Pay maupun partai lainnya. Percayalah" "Omitohud" Kong Bun Hong Tio manggut-manggut. " Kami percaya." "Baiklah." Tong Hai sianli bangkit berdiri "Cukup lama kami berada di sini mengganggu Kong Bun Hong Tio dan Kong Ti Seng -Ceng, sekarang kami mau mohon pamit." "Omitohud" sahut Kong Bun Hong Tio. "Tanggal lima belas nanti, aku harap Nona tidak menimbulkan hal-hal yang tak diinginkan" "Jangan khawatir, Kong Bun Hong Tio" Tong Hai sianli tersenyum. "sampaijumpa" "Sampai jumpa" Kong Bun Hong Tio dan Kong Ti Seng Ceng mengantar mereka sampai di depan kuil. Setelah mereka tidak kelihatan, barulah ke dua padri tua itu kembali ke dalam kuit. "Sutee," bisik Kong Bun Hong Tio. "Kenapa baru delapan jurus engkau sudah mengaku kalah?" "Suheng...." Kong Ti Seng Ceng menghela nafas panjang. "Kalau orang itu menyerangku dengan sepenuh tenaga, mungkin aku sudah terkapar jadi mayat." "Oh?" "Oleh karena itu, aku harus mengaku kalah." "Omitohud" Kong Bun Hong Tio menghela nafas panjang. "Mudah-mudahan Tong Hai sianli itu tidak berniat jahat" Partai Bu Tong Pay pun telah menerima surat undangan dari Tong Hai sianli. Itu amat membingungkan song Wan Kiau Jie Lian ciu Jie Thay Giam dan Thio song Kee. "Kita sama sekali tidak pernah mendengar tentang aliran Tong Hai, tapi kini mendadak muncul aliran tersebut, bahkan mengundang para ketua untuk berkumpul di kuil Siauw Lim sie. Itu... itu sungguh membingungkan" ujar song Wan Kiauw sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Memang membingungkan. Jie Lian ciu ketua Bu Tong Pay menghela nafas panjang. "Sesungguhnya apa tujuan Tong Hai sianli mengundang para ketua berkumpul di kuil siauw Lim sie?" "Bagaimana kalau kita memberitahukan kepada suhu?" tanya Jie Thay Giam. "Mungkin suhu tahu tentang aliran Tong Hai." "Lebih baik kita jangan memberitahukan kepada suhu, sebab suhu sudah tua sekali," sahut Jie Lian ciu. "Tidak baik kita mengganggunya." "Kalau begitu...." song wan Kiauw mengerutkan kening. "Kita harus ke kuil siauw Lim sie tanggal lima belas nanti?" "Kita harus ke sana," sahut Jie Lian ciu. "Sebab kalau tidak, pihak Tong Hai pasti akan ke mari membuat kekacauan." "Aaaah...." song wan Kiauw menghela nafas panjang. "Rimba persilatan baru tenang, kini mulai bergelombang lagi" "suhu kita semakin tua..." ujar Jie Thay Giam. "Bu Ki dan putranya tidak ke mari, sedangkan suhu amat rindu kepada mereka." "Bu Ki tinggal di pulau Hong Hoang To, tentu tidak bisa sering-sering ke mari. Jie Lian ciu menggeleng-gelengkan kepala. "Entah bagaimana Han Liong, kenapa dia tidak pernah ke mari?" "Mungkin dia berada dipulaU Hong Hoang To," sahut song wan Kiauw. "Kalau dia berada di Tionggoan, pasti ke mari." "Ngmm" Jie Lian ciu manggut-manggut. "Terus terang, kini yang kupikirkan adalah pihak Tong Hai. Apa sebabnya Tong Hai sianli mengundang para ketua berkumpul di kuil siauw Lim sie" Apakah Tong Hai sianli punya suatu niat jahat" Lalu bagaimana dengan pihak siauw Lim Pay?" "Aku yakin hal itu sudah mendapat persetujuan dari Kong Bun Hong Tio. Kalau tidak, tentunya Tong Hai sianli tidak berani begitu lancang menyebarkan surat undangan itu," ujar Jie Lian ciu. "Benar." song Wan Kiauw manggut-manggut. "Akupun yakin pihak Tong Haipasti berkepandaian tinggi. Kalau tidak, bagaimana mungkin mereka berani berbuat begitu?" "Itulah yang mencemaskan. Jie Thay Giam menghela nafas panjang. "Mungkinkah pihak Tong Hai berniat menundukkan semua partai besar di Tionggoan?" "Memang mungkin." Jie Lian ciu manggut-manggut. "Oleh- karena itu, kita harus berhati-hati sampai di siauw Anak Naga Bu Lim Hong Yun Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Lim sie nanti." "Perlukah kita berempat ke sana?" tanya song wan Kiauw. "Cukup bertiga saja," sahut Jie Lian ciu. "Song Kee tidak usah ikut, karena harus melayani suhu." "Ya." Thio song Kee mang angguk. "Aaaah..." Jie Lian ciu menghela nafas panjang. "Mudah-mudahan pihak Tong Hai tidak berniat jahat" -ooo00000oooTIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Sementara itu, Thio Han Liong sudah tiba di Kotaraja, la langsung ke istana menghadap Cu Goan Ciang. "Han Liong...." Cu Goan Ciang menatapnya seraya bertanya. "Bagaimana" Engkau memperoleh Thian ciok sin sui itu?" "Ya." Thio Han Liong mengangguk. "Oooh" Cu Goan Ciang menarik nafas lega. "Syukurlah Kalau begitu, mari kita ke istana An Lok" Mereka berdua lalu menuju istana An Lok diiringi para dayang yang berjalan di depan dan di belakang. Begitu melihat kedatangan mereka, Lan Lan segera berlari ke dalam untuk melapor kepada An Lok Kong cu. "Kong cu Tuan Muda Thio sudah datang" "Oh?" Wajah An Lok Kong cu yang pucat pasi itu langsung berseri, namun ia tak dapat bangun, tetap berbaring di tempat tidur. Tak seberapa lama kemudian, muncullah Cu Goan Ciang dan Thio Han Liong. Kaisar itu tersenyum-senyum sambil mendekatinya. "Nak, Han Liong berhasil mendapatkan Thian ciok sin sui itu" "Ayahanda...." Mata An Lok Kong cu bersimbah air, kemudian mengarah pada pemuda pujaan hatinya. "Kakak Han Liong... " "Adik An Lok" Thio Han Liong tersenyum lembut sambil membelainya. "Aku membawa Thian Ciok sin sui. Tak kusangka pemilik Thian ciok sin sui adalah orang tua siauw Cui...." "Engkau kenal siauw Cui?" An Lok Kong cu heran. "Kenal." Thio Han Liong manggut-manggut. "Aku pernah mengobatinya ketika ia terkena racun." "Dia... dia cantik sekali?" "Cantik," Thio Han Liong mengangguk sambil tersenyum. "Gadis itu baru berusia sekitar sebelas tahun." "Oooh" An Lok Kong cu menarik nafas lega. "Kukira dia sudah dewasa...." "Adik An Lok...." Thio Han Liong tersenyum. "Berhubung aku pernah menyelamatkan anak gadis itu, maka ke dua orangtuanya tidak begitu sulit memberiku setengah botol Thian ciok sin sui." "Oh?" "Tapi...." Thio Han Liong memberitahukan. "Engkau cukup minum dua tetes saja." "Hanya dua tetes?" An Lok Kong Cu terbelalak. "Ya." Thio Han Liong mengangguk. "Dua tetes Thian ciok Sin sui sudah cukup memunahkan racun Jiu Kut Tok itu" Thio Han Liong mengeluarkan sebuah botol pualam, kemudian berkata kepada An Lok Kong Cu. "Adik An Lok buka mulutmu" An Lok Kong cu sebera membuka mulutnya. Thio Han Liong langsung menuangkan dua tetes Thian ciok sin sui ke dalam mulut gadis itu lalu menaruh botolnya di atas meja. "Han Liong, apakah hari ini juga putriku akan sembuh?" tanya Cu Goan Ciang. "Maaf, aku pun tidak tahu, namun beberapa saat kemudian aku akan memeriksanya," sahut Thio Han Liong. Cu Goan Ciang manggut-manggut. "Mudah-mudahan putriku akan sembuh hari ini" "Mudah-mudahan" ucap Thio Han Liong. Beberapa saat kemudian, Thio Han Liong mulai memeriksa An Lok Kong cu. Sejenak kemudian barulah wajahnya tampak berseri-seri. "Sungguh mujarab Thian ciok sin sui" ujarnya sambil tersenyum. "Kini racun Jiu Kut Tok telah punah. Adik An Lok cobalah engkau bangun" An Lok Kong cu mencoba bangun. Betapa gembiranya karena ia sudah kuat bangun dan sudah bisa berjalan. "Aku... aku sudah sembuh" serunya girang dan langsung memeluk Thio Han Liong erat-erat. "Kakak Han Liong...." "Adik An Lok syukur lah engkau sudah sembuh bahkan mulai sekarang engkau kebal terhadap racun apa pun" ujar Thio Han Liong sambil membelainya. "Oh?" An Lok Keng cu tercengang. "Kok bisa begitu?" tanyanya. "Karena Thian ciok sin sui memunahkan racun Jiu Kut Tok di dalam tubuhmu, lalu menyatu pula dengan obat pemunah racun yang kuberikan kepadamu. Maka membuat dirimu kebal terhadap racun apa pun." "Oooh" Betapa girangnya An Lok Kong cu, kemudian berbisik-bisik di telinga Thio Han Liong. "Baik." Pemuda itu manggut-manggut, kemudian berkata kepada Cu Goan Ciang dengan serius. "Yang Mulia, siapa yang makan obat pemunah racun dan Thian ciok sin sui, maka orang itu pasti akan kebal terhadap racun." "Oh, ya?" Cu Goan Ciang tampak tertarik. "Adik An Lok mengusulkan agar Yang Mulia makan obat pemunah racunku dan setetes Thian ciok sin sui." Thio Han Liong memberitahukan. "Ngmm" Cu Goan Ciang manggut-manggut. "Agar diriku kebal terhadap racun, bukan?" "Ya." Thio Han Liong mengangguk. "Baiklah." Cu Goan Ciang tersenyum. Thio Han Liong mengeluarkan sebutir obat pemunah racun, lalu diberikan kepada Cu Goan Ciang. setelah menerima obat itu, Cu Goan Ciang pun segera memasukkan ke dalam mulut. Thio Han Liong mengambil botol pualam yang di atas meja, kemudian menuang setetes Thian ciok sin sui ke dalam mulut kaisar itu "Mulai sekarang Yang Mulia sudah kebal terhadap racun apa pun." katanya. "Terima kasih." Cu Goan Gang tersenyum. "Kalian berdua bercakap-cakaplah, aku harus kembali ke istana ku" Cu Goan Ciang meninggalkan istana An Lok diiringi para dayang. setelah kaisar itu pergi, Thio Han Liong dan An Lok Kong cu pergi ke taman bunga lalu duduk di situ sambil mengobrol. "Kakak Han Liong...." An Lok Keng cu memandangnya seraya bertanya, "Engkau rindu pada Dewi Kecapi?" "Adik An Lok" Thio Han Liong tersenyum. "Dia kawan kita, tentunya kita rindu padanya." "Kakak Han Liong...." An Lok Keng Cu tersenyum. "Engkau pintar menjawab." "Adik An Lok engkau harus tahu," ujar Thio Han Liong sungguh-sungguh. "Hanya engkau yang kucintai. Aku tidak akan mencintai gadis lain, percayalah" "Aku percaya." An Lok Kong cu tersenyum lembut, lalu menaruh kepalanya dibahu Thio Han Liong. "Adik An Lok...." Thio Han Liong memberitahukan. "Aku mengabulkan satu permintaan dari pemilik Thian ciok sin sui." "Oh?" An Lok Keng cu menatapnya. "Permintaan apa itu?" "Aku harus mencari Yo Ngie Kuang, murid ayahnya, karena Yo Ngie Kuang mencuri Kitab Lian Hoa cin Keng." Kalau begitu" An Lok Keng cu mengerutkan kening. "Engkau harus pergi lagi?" "Ya."Thio Han Liong mengangguk. "Sebab aku tidak boleh ingkar janji." "Kakak Han Liong...." Wajah An Lok Keng cu langsung berubah muram. "Engkau baru pulang, kok sudah mau pergi lagi?" "Adik An Lok" Thio Han Liong tersenyum. "Aku akan menemanimu beberapa hari, setelah itu barulah pergi mencari Yo Ngie Kuang." "Tapi...." "Kalau berhasil mencarinya, aku pasti segera kembali," ujar Thio Han Liong dan menambahkan. "Apabila aku belum kembali, engkau tidak boleh pergi menyusulku. Engkau harus ingat itu" "Bagaimana kalau engkau bertahun-tahun tidak kembali?" tanya An Lok Keng cu dengan wajah muram. "Itu tidak mungkin." Thio Han Liong tersenyum. "Percayalah aku pergi tidak akan begitu lama...." "Tapi tidak gampang mencari seseorang, sebab Tionggoan begitu luas." An Lok Keng cu menghela nafas panjang. "Aku khawatir,..." "Jangan khawatir" Thio Han Liong menggenggam tangannya. "Aku pasti kembali secepatnya." "Kakak Han Liong...." An Lok Keng cu menundukkan kepala. "Engkau... engkau tidak akan jatuh cinta lagi pada gadis lain, bukan?" "Tentu." Thio Han Liong manggut-manggut "Aku hanya mencintaimu, tentu tidak akan mencintai gadis lain lagi. Percayalah" "Ng" An Lok Keng Cu manggut-manggut. Beberapa hari kemudian, Thio Han Liong berpamit kepada Cu Goan Ciang. Gadis itu mengantarnya sampai di luar istana. Begitu sampai di luar istana, berderailah air matanya. "Kakak Han Liong...." "Adik An Lok" Thio Han Liong membelainya. "Engkau harus bersabar menunggu aku kembali, janganlah engkau pergi menyusulku" "Ya." An Lok Keng Cu mengangguk dengan air mata bercucuran membasahi pipinya. "Kakak Han Liong, aku harap engkau cepat kembali" "Ya." Thio Han Liong manggut-manggut, lalu berjalan pergi selangkah demi selangkah. An Lok Keng Cu terus memandang punggungnya dengan air mata berlinang-linang. setelah Thio Han Liong lenyap dari pandangannya, barulah ia kembali ke dalam istana. Thio Han Liong masih ingat di mana ia dan Dewi Kecapi pernah melihat pemuda berlatih ilmu silat di dalam rimba. Karena itu ia langsung berangkat ke rimba tersebut. Bab 59 Pertandingan Di Kuil siauw Lim sie Beberapa hari kemudian, Thio Han Liong telah tiba di rimba itu. Akan tetapi, ia tidak melihat pemuda tersebut. oleh karena itu, ia mencari ke sana ke mari dan akhirnya menemukan sebuah gubuk kecil. Perlahan-lahan Thio Han Liong memasuki gubuk itu, namun tidak tampak siapa pun. Di dalam, kosong sama sekali. Thio Han Liong berdiri termangu-mangu. la yakin pemuda itu telah meninggalkan gubuk tersebut. Lalu ia harus ke mana mencarinya" Thio Han Liong menghela nafas panjang, akhirnya meninggalkan gubuk itu Kini Thio Han Liong melakukan perjalanan tanpa arah tujuan. Dua hari kemudian ia tiba di sebuah kota kecil. la mampir di sebuah rumah makan dan memesan beberapa macam hidangan. Setelah hidangan-hidangan itu disajikan, ia pun mulai bersantap. Di saat bersamaan, tampak beberapa orang rimba persilatan memasuki rumah makan itu. Mereka duduk dekat meja Thio Han Liong, dan mulai bercakap-cakap sesudah memesan beberapa macam hidangan. "Tak disangka Tong Hai sianli begitu berani mengundang para ketua untuk berkumcul di kuil siauw Lim sie, sedangkan ketua siauw Lim Pay pun bersedia menjadi tuan rumah. Bukankah itu sungguh mengherankan?" "Betul. Lagipula... entah apa sebabnya Tong Hai sianli mengundang para ketua itu untuk berkumpul di kuil siauw Lim sie?" "Dengar-dengar... pihak Tong Hai ingin bertanding dengan para ketua partai Bu Tong, Go Bi, Kun Lun, Hwa san dan partai Khong Tong, bahkan Kay Pang pun diundang." "Dunia persilatan baru tenang, tapi kini justru muncul aliran Tong Hai. Jangan-jangan akan menimbulkan bencana...." "Memang mengherankan. Bagaimana mungkin pihak Tong Hai dapat mengalahkan para ketua itu?" "Kalau pihak Tong Hai tidak berkepandaian tinggi, tentunya tidak berani datang di Tionggoan. oh ya, aku dengar Tong Hai sianli merupakan gadis yang amat cantik jelita." Mendengar percakapan itu, Thio Han Liong segera menghampiri mereka sambil memberi hormat. "Maaf, aku mengganggu saudara-saudara sekalian" "ucapnya sopan. "Tidak apa-apa," sahut salah seorang dari mereka sambil tersenyum. "Apakah Anda ingin menanyakan sesuatu?" "Ya." Thio Han Liong mengangguk. "Betulkah Tong Hai sianli akan bertanding dengan para ketua?" "Betul." orang itu mengangguk. "Anda belum mengetahuinya?" Wajah Thio Han Liong tampak agak kemerah-merahan. "Kapan pertandingan itu akan dimulai?" "Tanggal lima belas bulan ini, masih empat hari lagi." "Di kuil siauw Lim sie?" "Betul. Tapi..." orang itu menatapnya. "Mungkin Anda tidak keburu ke sana, sebab kalau Anda naik kuda jempolan, harus membutuhkan waktu sekitar enam hari baru sampai di kuil siauw Lim sie." "Terimakasih," ucap Thio Han Liong, lalu cepat-cepat menaruh setael perak ke atas meja, dan meninggalkan rumah makan tersebut. Anak Naga Bu Lim Hong Yun Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Sampai di tempat sepi, ia mengerahkan ilmu ginkangnya, agar cepat tiba di kuil siauw Lim sie. Sementara itu, para ketua telah berkumpul di kuil siauw Lim Sie, di ruang Tay Hiong PoTian (Ruang Para orang Gagah). "Keng Bun Hong Tio, betulkah pihak Tong Hai akan bertanding ilmu silat dan ilmu surat dengan kita?" tanya ketua Kun Lun pay. "Betul." Keng Bun Hong Tio manggut-manggut. "Omitohud Kalian harus berhati-hati, sebab pihak Tong Hai berkepandaian amat tinggi" "Oh?" Ketua Kun Lun Pay tidak begitu percaya. "Omitohud" Keng Tiseng Ceng menghela nafas panjang. "Aku pernah bertanding dengan salah seorang dari pihak Tong Hai sebanyak sepuluh jurus, namun pada jurus kedelapan, aku terpaksa mengaku kalah." katanya. "Oh?" Para ketua terbelalak ketika mendengar pengakuan Keng Ti seng Ceng. Bahkan mulut mereka ternganga lebar. se jurus kemudian barulah ketua partai Bu Tong bertanya, "Keng Ti seng Ceng, betulkah begitu?" "Omitohud" Keng Ti seng ceng manggut-manggut. "Aku berkata sesungguhnya, sama sekali tidak membohong. Kepandaian pihak Tong Hai memang tinggi sekali." "Kong Ti seng Ceng, apakah Tong Hai sianli berniat jahat terhadap kita?" tanya ketua Hwa san Pay. "Kelihatannya tidak," jawab Kong Ti seng Ceng dan melanjutkan. "Kata Tong Hai sianli, siapa yang berhasil lulus dari pertandingan ilmu silat dan ilmu surat, maka akan diundang ke Tong Hai." "Itu dikarenakan apa?" tanya ketua Khong Tong Pay heran. "Kong Ti seng ceng mengetahuinya" " "Omitohud" Kong Ti seng ceng menggeleng kepala. "Kami sama sekali tidak mengetahuinya . " "Heran..." gumam ketua Hwa san Pay. "Apa sebab pihak Tong Hai menantang kita bertanding ilmu silat dan ilmu surat?" "Tentunya mengandung suatu tujuan," sahut ketua Kun Lun Pay. "Oleh karena itu, kita semua harus berhati-hati." Pada saat bersamaan, muncullah rombongan Tong Hai, yang dipimpin Tong Hai sianli. Para Hweeshio siauw Lim sie menyambut kedatangan mereka sambil merangkapkan tangan di dada, sedangkan Tong Hai sianli tersenyum-senyum. "Omitohud selamat datang" ucap para Hweeshio itu "Apakah para ketua sudah berkumpul di sini?" tanya Tong Hai sianli. "Sudah." Para Hweeshio itu mengangguk. "Sianli dan lainnya dipersilakan masuk" "Terima kasih," ucap Tong Hai sianli, lalu berjalan ke dalam dengan diikuti yang lainnya. Sampai di ruang Tay Hiong Po Tian, Keng Bun Hong Tio dan Keng Ti seng Ceng langsung bangkit berdiri menyambut kedatangan mereka. Begitu pula para ketua lainnya. "Omitohud" ucap Keng Bun Hong Tio sambil memberi hormat. "Selamat datang, Tong Hai sianli" "Selamat bertemu" sahut Tong Hai sianli sambil tersenyumsenyum. "Para ketua yang terhormat, terimalah hormatku" Tong Hai sianli memberi hormat kepada para ketua yang hadir di situ, dan para ketua itu segera membalas hormatnya. "Silakan duduk silakan duduk" ucap Keng Bun Hong Tio. Para ketua dan Tong Hai sianli duduki sedangkan para pengikut Tong Hai sianli tetap berdiri di belakangnya. "Omitohud" ucap Keng Bun Hong TioTIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ "Harap Tong Hai sianli memberitahukan kepada para ketua tentang tujuan pertemuan ini" Tong Hai sianli mengangguk kemudian bangkit berdiri sambil tersenyum. "Para ketua yang terhormat, pertemuan ini berdasarkan niat baik, oleh karena itu, aku harap para ketua jangan bercunga" katanya. "Tong Hai sianli" Ketua Hwa san menatapnya tajam. "Betulkah pihak kalian menantang kami bertanding ilmu silat dan ilmu surat?" tanyanya. "Betul." Tong Hai sianli mengangguk dan menambahkan. "Siapa yang lulus akan kami undang ke tempat tinggal kami." "Untuk apa yang lulus diundang ke tempat tinggal kalian?" tanya ketua Kun Lun Pay. "Menemui ayahku untuk membahas sesuatu," jawab Tong Hai sianli. "Pembahasan itu amat bermanfaat bagi siapa pun, maka kami harap para ketua jangan bercuriga apa-apa" "Apa yang akan dibahas di sana?" tanya ketua GoBiPay. "Bolehkah kami tahu?" "Ayahku amat mengagumi ilmu silat Tionggoan, itu mendorong kemauan ayahku untuk menguji ilmu silat Tionggoan. selain itu, ayahku memperoleh sebuah kitab ilmu silat, tapi ayahku tidak mengerti tulisannya." jawab Tong Hai sianli. "Ooh" Jie Liancu Ketua Bu Tong Pay manggut-manggut. "Maka Nona ingin menguji ilmu surat kami. Begitu, bukan?" "Ya." Tong Hai sianli manggut-manggut. "Siapa yang membahas besama ayahku, sudah jelas boleh belajar bersama ayahku pula." Para ketua amat tertarik. Mereka saling memandang, kemudian Kong Bun Hong Tio bertanya. "Omitohud Tulisan apa yang di dalam kitab itu?" "Ayah ku justru tidak mengerti, maka mengutusku ke Tionggoan.", "Omitohud..." Kong Bun Hong Tio manggut-manggut. "Tong Hai sianli, cara bagaimana engkau akan bertanding dengan para ketua?" "Itu akan kuatur," sahut Tong Hai sianli. "Yang penting tidak akan saling melukai." "Omitohud" Keng Bun Hong Tio manggut-manggut. "Kalau begitu, mari kita ke halaman" "Baik," Tong Hai sianli mengangguk. Mereka bangkit berdiri lalu menuju halaman kuil yang amat luas itu. Tong Hai sianli memandang para ketua, kemudian ujarnya sambil tersenyum. "Para ketua yang terhormat, pertandingan yang akan dimulai itu hanya menggunakan tangan kosong. Boleh saling menyentuh, tapi tidak boleh saling melukai." "Omitohud" ucap Keng Bun Hong Tio. "Para ketua pasti setuju, pertandingan boleh sebera dimulai." "Baik." Tong Hai sianli manggut-manggut. "Siapa yang maju lebih dulu?" "Aku," sahut ketua Hwa san Pay sambil berjalan ke tengahtengah halaman kuil itu, kemudian memberi hormat. "Aku harap pihak Tong Hai sudi memberi petunjuk kepadaku" "Paman Lie, majulah" perintah Tong Hai sianli. "Ya, sianli." Paman Lie itu langsung menghampiri ketua Hwa san Pay. Mereka saling memberi hormat dan setelah itu mulailah bertanding dengan mangan kosong. Kepandaian ketua Hwa san Pay memang hebat, tapi masih berada di bawah kepandaian Paman Lie. Maka puluhan jurus kemudian, ketua Hwa san Pay terpaksa mengaku kalah. Ketua Hwa san Pay kembali ke tempatnya dengan kepala tertunduk, sedangkan Paman Lie kembali ke tempatnya dengan wajah berseri. Setelah itu yang maju ketua Kun Lun Pay. Tong Hai sianli segera menyuruh Paman Tan menghadapi ketua Kun Lun pay itu seperti yang dialami ketua Hwa san Pay, puluhan jurus kemudian ketua Kun Lunpaypun harus mengaku kalah. Kemudian mereka kembali ke tempat masing-masing . Kini giliran ketua Go Bi Pay. Tong Hai sianli memandang Bibi Ciu. Wanita itu mengangguk lalu melangkah ke tengahtengah halaman. Tak lama terjadilah pertandingan yang amat seru, akan tetapi puluhan jurus kemudian, ketua Go Bi Pay tampak terpental tujuh delapan depa, sedangkan Bibi Ciu hanya terhuyung-huyung ke belakang beberapa langkah. "Aku mengaku kalah," ucap ketua GoBi Pay sambil memberi hormat, lalu kembali ke tempatnya dengan wajah kemerahmerahan. Setelah itu, ketua Khong Tong Pay maju ke depan. Yang maju dari pihak Tong Hai adalah Bibi Gouw menghadapi ketua Khong Tong Pay.setelah bertanding puluhan jurus, ketua Khong Tong Pay pun harus mengaku kalah. Kini hanya tinggal BuTong pay dan Kay Pang. Kedua ketua itu saling memandang, setelah itu barulah ketua Bu Tong Pay berjalan ke tengah-tengah halaman. Di saat bersamaan, tampak sosok bayangan melayang turun. Begitu enteng dan lamban, itu pertanda betapa tingginya ilmu ginkang pendatang itu. "Han Liong.. Han Liong" seru Jie Lian ciu, ketua Bu Tong Pay dengan girang sekali. "Han Liong" "Omitohud" ucap Kong Bun Hong Tio dengan wajah berseri-seri. Thio Han Liong sudah berdiri di situ. la memberi hormat kepada para ketua, kemudian memandang Tong Hai sianli seraya menegurnya. "Tong Hai sianli Kenapa engkau membuat onar di sini?" "Hi hi" Tong Hai sianli tertawa kecil. "Thio Han Liong, tak disangka kita berjumpa di sini sungguh menggembirakan" "Hmm" dengus Thio Han Liong dingin. "Tak terduga sama sekali, kedatanganmu justru membuat kacau rimba persilatan Tionggoan" "Eeeh?" Tong Hai Sianli tersenyum. "Jangan menuduh sembarangan. Cobalah engkau bertanya kepada para ketua yang berada di sini" "Baik" Thio Han Liong memandang Jie Lian Ciu. "Kakek Jie, apakah benar apa yang dikatakan Tong Hai Sianli?" "Benar. " Jie Lian Ciu manggut-manggut. "Pihak Tong Hai hanya ingin menguji ilmu silat dan ilmu surat para ketua. Siapa yang lulus akan diundang ke Tong Hai menemui ayahnya untuk membahas sesuatu." "Oh?" Thio Han Liong mengerutkan kening. "Membahas apa?" "Ayah nya memperoleh sebuah kitab, tapi tidak mengerti tulisan yang di dalamnya, maka mengutus Tong Hai sianli ke Tionggoan. " Jie Lian Ciu memberitahukan. "Oooh" Thio Han Liong manggut-manggut dan bertanya, "Kakek Jie, apakah sudah ada ketua yang lulus?" "Kini hanya tinggal aku dan ketua Kay Pang, ketua lain telah kalah," sahut Jie Lian Ciu sambil menghela nafas panjang. "Oh?" Thio Han Liong terkejut. "Kalau begitu, biar aku yang mewakili Bu Tong Pay." "Baiklah." Jie Lian ciu girang bukan main. la memandang Thio Han Liong sambil manggut-manggut, lalu kembali ke tempatnya. "Tong Hai sianli" Thio Han Liong memberitahukan "Aku akan mewakili Bu Tong Pay" "Oh?" Tong Hai Sianli menatapnya dengan mata berbinarbinar. "Baik Kalau begitu aku yang maju menghadapimu" "Sianli...." Bibi Ciu dan Bibi Gouw terperanjat. "Biar kami saja yang menghadapinya." "Kalian berdua bukan tandingannya," ujar Tong Hai sianli. "Maka harus aku yang maju." Usai berkata begitu, Tong Hai sianli maju ke hadapan Thio Han Liong, sekaligus memberi hormat. Thio Han Liong cepatcepat balas memberi hormat, kembdian berkata. "Sianli. Engkau boleh menyerang lebih dulu" "Baik" Tong Hai sianli mengangguk lalu mulai menyerangnya bertubi-tubi dengan sengit sekali. Thio Han Liong berkelit ke sana ke mari, kemudian balas menyerang dengan ilmu Thay Kek Kun. Akan tetapi, belasan jurus kemudian mendadak Tong Hai sianli mulai mengeluarkan jurus-jurus andalannya, sehingga membuat Thio Han Liong menjadi agak kewalahan. Itu sungguh mengejutkan para ketua, karena mereka tidak menyangka Tong Hai sianli berkepandaian begitu tinggi. "Maaf sianli" ucap Thio Han Liong. "Aku terpaksa harus menangkis seranganmu" "Silakan" sahut Tong Hai sianli sambil tersenyum manis. Thio Han Liong berkelit lagi. Di saat itulah ia mengerahkan Kian Kun Taylo sin Kang. Justru di saat itu juga Tong Hai sianli menyerangnya, oleh karena Thio Han Liong menangkis dengan jurus Kian Kun Taylo Hap It (segala Galanya Menyatu Di Alam semesta). Blaaam... Terdengar suara benturan keras. Tong Hai sianli terpental beberapa depa, sedangkan Thio Han Liong tetap berdiri tak bergeming. "Sianli" Betapa kagetnya Bibi Ciu dan Bibi Gouw. Mereka berdua langsung melesat ke arah Tong Hai sianli yang jatuh terduduk itu. "Engkau terluka?" "Tidak." Tong Hai sianli menggelengkan kepala sambil bangkit berdiri, lalu memandang Thio Han Liong dengan penuh kekaguman. "Maaf" ucap Thio Han Liong sambil menghampirinya. "Sianli tidak terluka, kan?" "Tidak," Tong Hai sianli tersenyum. "Terima kasih atas kemurahan hatimu tidak melukaiku." "Sianli...." Thio Han Liong menggeleng-gelengkan kepala. "Aku...." "Kepandaianmu amat tinggi sekali, aku mengaku kalah," ucap Tong Hai sianli dengan wajah agak kemerah-merahan. "Sianli terlampau mengalah kepadaku..." sahut Thio Han Liong sambil memberi hormat. "Padahal sianli berkepandaian tinggi sekali." "Han Liong...." Tong Hai sianli menatapnya dengan mata berbinar-binar. "Aku tak menyangka kepandaianmu begitu tinggi. Kini aku akan menguji ilmu suratmu." Anak Naga Bu Lim Hong Yun Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Ilmu surat?" Thio Han Liong tercengang mendengar ucapan itu. "Ya." Tong Hai sianli mengangguk kemudian berkata kepada Bibi Ciu. "Ambilkan pit (Pensil cina yang ujungnya dibuat dari semacam bulu) dan tinta hitam" "Ya." Bibi Ciu segera mengambil pit, tinta hitam dan selembar kertas, lalu ditaruh di atas meja. Tong Hai sianli segera menulis di kertas itu. Tak seberapa lama ia sudah usai menulis dan memperlihatkannya tulisan itu kepada para ketua. "Para ketua yang terhormat, apakah kalian tahu tulisan apa ini?" tanyanya. Para ketua menggeleng-gelengkan kepala. Tong Hai sianli lalu memperlihatkan tulisan itu kepada Thio Han Liong. "Engkau tahu tulisan apa ini?" "Tahu." Thio Han Liong mengangguk "Itu adalah tulisan Thian Tok (India)." "Engkau tahu apa artinya?" tanya Tong Hai sianli sambil menatapnya. "Tahu." Thio Han Liong mengangguk lagi. "Artinya adalah Ih Kin Keng (Kitab Pusaka Pemindahan Urat Nadi). Menurutku, itu merupakan semacam pelajaran ilmu silat." "Oh?" Tong Hai sianli semakin kagum kepadanya. "Kalau begitu, engkaulah orangnya yang sedang dicari-cari ayahku." "Sianli...." Thio Han Liong mengerutkan kening. "Maaf, bolehkah aku tahu siapa ayahmu?" "Tong Hai sianjin adalah ayahku." Tong Hai sianli memberitahukan. "Kami tidak mengerti tulisan Thian Tok maka ayahku mengutusku ke Tionggoan mencari orang yang mengerti tulisan Thian Tok." "Oooh" Thio Han Liong manggut-manggut. "Untuk menterjemahkan kitab itu?" "Kira-kira begitulah," sahut Tong Hai sianli sambil tersenyum. "Siapa yang dapat menterjemahkan kitab itu, dia pun boleh belajar bersama ayahku." "Tapi...." Thio Han Liong menatapnya tajam. "Kenapa engkau pun bertanding dengan para ketua partai besar di Tionggoan?" "Untuk membuktikan bahwa ilmu silat aliran Tong Hai lebih tinggi dari ilmu silat Tionggoan, namun...." Tong Hai sianli menggeleng-gelengkan kepala. "Tak disangka engkau dapat mengalahkanku." "Sianli, di atas langit masih ada langit. engkau...." "Tidak salah maka aku kalah bertanding denganmu," ujar Tong Hai sianli dan melanjutkan, "Oh ya, aku bernama Liang sok Ceng, engkau boleh memanggil namaku saja." "Itu...." Ragu Thio Han Liong. "Jangan ragu" desak Tong Hai sianli. "Panggillah namaku" "baik," Thio Han Liong mengangguk "Sok..sok Ceng" "Terima kasih, Han Liong," ucap Tong Hai sianli dengan tersenyum manis. "Engkau baik sekali." "Sok Ceng..." ujar Thio Han Liong. "Kini sudah tiada urusan di sini, kalian boleh kembali ke Tong Hai." "Sesuai dengan pesan ayahku, kami harus mengundangmu ke Tong Hai," sahut Tong Hai sianli. "Tentunya engkau tidak berkeberatan, bukan?" "Sesungguhnya tidak, tapi...." "Kenapa?" "Aku masih harus mencari seseorang, karena itu aku tidak bisa ikut kalian ke Tong Hai, aku mohon engkau sudi memaafkanku" "Kalau begitu..." pikir Tong Hai sianli sejenak dan melanjutkan. "Aku beri waktu kepadamu, dalam tiga bulan ini engkau harus datang di pulau Khong Khong To, di Tong Hai" "Itu...." Kemudian Thio Han Liong manggut-manggut. "Baiklah dalam waktu tiga bulan, aku pasti berkunjung ke sana. Tapi aku tidak tahu jalannya." "Engkau berangkat ke pesisir timur, di sana pasti ada orang mengantarmu ke pulau Khong Khong To," sahut Tong Hai sianli. "Aku tunggu engkau di sana." "Baik," Thio Han Liong mengangguk. "Terimakasih, Han Liong," ucap Tong Hai sianli dengan wajah berseri-seri. "Engkau tidak bohong, kan?" tanyanya. "Aku tidak akan bohong," jawab Thio Han Liong. "Apa yang kujanjikan, pasti kutepati." "Bagus, bagus" Tong Hai sianli tampak girang sekali, kemudian memberi hormat kepada para ketua. "Terimakasih atas kebaikan kalian yang telah memberi petunjuk kepada kami. Kami pun amat berterima kasih kepada Kong Bun Hong Tlo atas kesudiannya membantu kami." " omitohud" sahut Kong Bun Hong Tio sambil tersenyum lembut. "Tong Hai sianli, terimakasih atas kemurahan hatimu terhadap para ketua." "Sama-sama," ucap Tong Hai sianli lalu memandang Thio Han Liong. "Aku mohon pamit, sampai jumpa " "selamat jalan, sampai jumpa" sahut Thio Han Liong. Tong Hai sianli menatapnya dalam-dalam, setelah itu barulah meninggalkan kuil siauw Lim sie diikuti yang lain. "Han Liong...." Jie Lian ciu, song Wan Kiauw dan Jie Thay Giam menghampirinya dengan wajah berseri-seri. "Han Liong...." "Kakek.." Thio Han Liong bersujud di hadapan mereka. "Omitohud" Keng Bun Hong Tio menghampiri mereka sambil tersenyum lembut "Han Liong, engkau telah mempertahankan nama baik rimba persilatan Tionggoan." "Hong Tio..." Thio Han Liong menggeleng-gelengkan kepala. "Aku...." "Omitohud" ucap Keng Bun Hong Tio. "Aku tahu engkau merasa tidak enak terhadap para ketua, namun kalau engkau tidak muncul tepat pada waktunya, tentunya kami akan dipermalukan oleh pihak Tong Hai." "Betul." Jie Lian ciu manggut-manggut. "Sebab aku juga tidak sanggup mengalahkan mereka." "Kakek Jie...." Thio Han Liong menghela nafas panjang. "Dalam waktu tiga bulan, aku harus pergi ke pulau Khong Khong To." "Itu memang harus," tegas Jie Lian ciu. "Kalau tidak, namamu pasti akan rusak." "Ya." Thio Han Liong mengangguk "Han Liong," ujar song Wan Kiauw. "Sucouwmu sudah tua sekali. Beliau amat rindu padamu, maka alangkah baiknya... engkau ikut kami ke gunung Bu Hantu Wanita Berambut Putih 4 Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Pedang Dan Kitab Suci 6

Cari Blog Ini