Kubah 2
Kubah Karya Ahmad Thohari Bagian 2 belakang merah. Namun orang segera mendapat kesan; si pemilik perpustakaan itu seorang yang gemar membaca. Tak kelihatan sebuah buku pun yang masih bersih. Semuanya sudah berminyak karena sering dijamah oleh tangan pemiliknya. Brosur-brosur stensilan tertumpuk di sebelah bawah, kelihatan sudah lecek. Dua orang berada di dalam ruangan itu. Margo sedang memberikan laporan rutin kepada atasannya. Sekali ini laporan yang menyangkut Karman menjadi titik pusat pembicaraan. Laki-laki bergigi besi itu seperti biasanya, jarang tersenyum. Ia tidak bergembira meskipun laporan yang sedang dibacanya memuaskan. Bahkan sekali pun ia belum pernah memberi pujian kepada Margo. Sesungguhnya Margo layak mendapat pujian itu. Karena sebagai kader partai, hasil kerjanya dapat diukur pada peristiwa Pemilihan Umum tahun 1955. Pada saat itu di Pegaten hanya ada tujuh suara yang memilih partainya. Tetapi pada pemilihan untuk penentuan anggota konstituante yang diadakan setahun kemudian, jumlah 45 pemilih partainya menjadi tiga ratus lima puluh tiga. Kenaikan lebih dari lima puluh kali. "Belum genap dua tahun Kawan Margo membina anak muda itu, dan Kawan telah merasa yakin?" "Ya, saya sudah merasa yakin. Sudah saatnya Karman disumpah menjadi anggota partai," kata Margo. "Tidak terlalu tergesa-gesa?" "Oh, itu hanya usul saya. Akhirnya Kawan yang akan memutuskan." "Nanti dulu," ujar si Gigi Besi lagi. "Kawan Margo belum melaporkan kelemahankelemahan yang ada pada diri Karman. Nah, Bung bisa menyebutkannya sekarang." Margo tersenyum teringat keteledorannya. Kemudian ia mengusap dahinya yang lebar. "Karman memiliki sifat terlalu perasa. Juga sedikit gampang terpengaruh, dan sewaktu-waktu bisa marah." "Kecakapannya?" "Dia sangat berbakat. Otaknya boleh." "Saat ini umurnya menjejang dua puluh dua tahun?" "Benar." Laki-laki itu diam. Urat nadi yang melentang pada dahinya menegang. Sambil menyalakan rokok ia meneruskan, "Masih terlalu muda. Apalagi dengan watak-watak yang kaukatakan tadi. Karman belum bisa kita sumpah. Yang penting, kendalikan selalu anak itu. Dan. ." Si Gigi Besi menjadi bersungguh-sungguh untuk memberi tekanan kepada kalimat yang akan dikatakannya, "Kawan Margo masih ingat Rifah?" "Ya, dia bekas pacar Karman," jawab Margo sungguh-sungguh. "Suaminya meninggal sebulan yang lalu, bukan" Kudengar Harley-nya menabrak pohon." "Memang begitu." "Sekali lagi Kawan kurang teliti, dan teledor. Triman mengatakan kepadaku bahwa terlihat gejala cinta Karman kepada Rifah kambuh kembali. Bagaimana pendapat Kawan?" "Terlalu riskan membiarkan Karman berhubungan kembali dengan bekas pacarnya. Memang, partai bisa mengambil keuntungan apabila Karman mampu memberi warna merah pada keluarga Haji Bakir. Tetapi tampaknya mustahil." "Bila demikian Kawan telah siap mencegahnya, bukan?" "Maafkan saya, belum!" "Oh ya, saya lupa Kawan bujangan. Barangkali Triman lebih cocok untuk menangani masalah ini. Tetapi dengarlah, seorang yang menginginkan sate kambing, 46 keinginannya agak berkurang bila kepadanya kita sodorkan sesuatu sebagai gantinya. Sate daging sapi misalnya. Kawan bisa mengerti apa yang saya maksud?" Margo tertawa. "Dan partai mempunyai seorang perempuan yang punya bakat menjadi sate sapi seperti itu." * * * Kematian Abdul Rahman tidak pernah mengusik hati Karman. Tetapi akibatnya, Rifah menjadi janda. Dan itulah masalahnya. Sudah dua tahun Karman berusaha keras melupakan anak Haji Bakir itu. Hampir berhasil. Karman sudah mengenal gadis lain yang bila sekaya Rifah pasti ia lebih cantik. Marni mempunyai lekuk di sudut bibir yang amat menarik. Selalu jantung Karman terpacu bila terpandang kelebihan gadis yang ramping, berlengan kecil serta bening suaranya itu. Marni selalu tampak tenang dan lembut. Karman tidak memutuskan segera mengawini Marni, sebab ia takut mengalami kegagalan untuk kali yang kedua. Atau kalau Karman mau berkata sejujur-jujurnya, ia belum bisa melupakan Rifah sama sekali. Tetapi bekas pacarnya itu kini menjadi janda. Garis waktu yang dilalui Karman terasa mundur dua tahun. Kenangan dan harapan yang hampir terkubur itu perlahanlahan tumbuh kembali. Rifah masih tetap menarik meskipun sedang hamil, bahkan kelihatan lebih matang. Karman dapat melihat dengan pasti ketika ia datang melayat almarhum Abdul Rahman. Memang Karman tetap merasa enggan atau malu terhadap keluarga Haji Bakir, sehingga ia tidak mengambil peran apa pun dalam kesibukan merawat jenazah. Namun ia sempat melihat, bahkan berdekatan dengan Rifah, yang berpakaian acak-acakan dan menangis. Pinggulnya rata karena janin yang dikandungnya sudah berusia lima bulan. Tangisnya menyebabkan pipi dan ujung hidungnya merah. Pokoknya pesona masih terkesan kuat pada tiap bagian tubuh Rifah. "Akan terjadi banyak pemuda berebut melamar janda muda itu," kata Karman dalam hati. "Lalu, mengapa aku harus diam" Tak ada harta yang dapat kubanggakan memang, tetapi aku dapat memberi kesempatan kepada Rifah bergaul dengan kalangan terhormat. Bila mau jadi istriku, Rifah akan duduk bersama Bu Camat, Bu Wedana, Bu Penilik dalam resepsi tujuh belasan misalnya. Tidak mustahil pada suatu ketika Rifah akan kugandeng sampai ke pendopo Kabupaten untuk ikut menghadiri resepsi para pegawai pamongpraja." Kemudian Karman tersenyum sendiri ketika teringat Rifah hanya melirik genit bila dicubit tengkuknya. Itu dulu. 47 Tetapi lamunan Karman yang melangit selalu dibuat tawar oleh kenyataan yang terpapar di depannya. Bagaimana pun sudah tergelar padang perbedaan di antara dirinya dengan keluarga Haji Bakir. Karman sadar, sudah lama ia membenci keluarga itu. Bukan mengada-ada bila ia menganggap Haji Bakir sebagai orang kaya yang telah menguasai satu setengah hektar sawah orangtuanya secara tidak sah. Seorang tuan tanah yang jahat, penuh kemunafikan. "Contoh nyata dari kelas penindas," pikir Karman mengulangi ajaran gurunya, Margo. Berhari-hari Karman terombang-ambing oleh pikiran sendiri. Pergulatan batinnya semakin seru. Namun sampai kelopak matanya cekung karena kurang tidur, Karman belum bisa memutuskan apakah ia akan melamar kembali Rifah atau tidak. Yang jelas, ingatannya kepada anak Haji Bakir itu bukannya semakin surut. Malah sebaliknya. Pada hari-hari yang membingungkan itu, Triman datang. Sikapnya khas, senyumnya khas, seperti seorang ayah yang sangat bijaksana, yang selalu memahami suasana hati anaknya. Melihat keadaan Karman, Triman tertawa kecil. "Wah, kau kelihatan amat letih, Karman. Kukira apa yang kauperlukan sekarang adalah istirahat barang beberapa hari. Rupanya kau terlalu banyak melek, bukan" Yah. . janda muda itu bekas pacar pula! Aku tahu karena aku pun pernah jadi anak muda." Merasa tertebak isi hatinya, Karman tersipu. Ia tertawa meskipun hambar kedengarannya. "Rupanya tak berguna lagi saya berpura-pura," katanya. "Memang kau tak perlu berpura-pura. Masalahnya, mengapa kau sampai membiarkan dirimu menjadi kurus seperti itu. Tenang dan bersabarlah. Kulihat tak ada lakilaki di Pegaten ini yang berani melamar Rifah. Jadi sekali lagi, bersabarlah. Kau takkan ketinggalan kereta!" "Kesulitan yang saya hadapi bukan hanya masalah sabar atau tidak," jawab Karman. Mukanya beku. "Ya, saya mengerti. Justru dengan bersikap sabar persoalannya menjadi agak ringan. Jangan paksakan dirimu, sakit kau nanti. Sekarang dengarlah usulku. Ambil cuti tahunanmu supaya kau dapat pergi berlibur bersamaku. Ada sebuah jip pinjaman yang bisa kita bawa ke Semarang. Gunakan kesempatan ini untuk menenangkan pikiranmu. Langkah apa yang akan kauambil terhadap Rifah dapat kautentukan sesudah badan serta pikiranmu segar, sepulang kita dari Semarang. Bagaimana?" Terlalu mendadak tawaran yang menyenangkan itu schingga Karman memerlukan waktu sesaat untuk memikirkannya. Sementara itu ia bangkit mengambil minuman ke belakang. Bu Mantri mempunyai kecakapan istimewa dalam membuat tepung kopi, seakan-akan ia menyimpan resep rahasia. Triman 48 selalu puas atas hidangan segelas kopi di rumah Karman. Setelah duduk kembali, malah Triman yang menyambung pembicaraan. "Saya tahu kau hanya mengenal ibu kota propinsi lewat lagu Gambang Semarang, bukan" Seorang pegawai pamongpraja selayaknya mempunyai pengalaman yang nyata atas keadaan pusat pemerintahan Jawa Tengah ini." "Besok saya sudah dapat memberi jawaban yang pasti. Mari kita minum kopi ini dulu, nanti dingin." Apa yang mendorong Karman memutuskan ikut berlibur ke Semarang, ia sendiri tidak dapat memastikan. Boleh jadi ia benar-benar ingin melihat kota itu, atau karena ia selama ini tidak mampu menolak kehendak Triman. Jip itu milik Tan Oen Sok, orang Baperki, organisasi kelompok Cina yang prokomunis. Tan mempunyai dua pabrik tapioka dalam wilayah Kecamatan Kokosan. Kegiatan perdagangan serta cadangan modal yang beredar di daerah itu sebagian besar berada di tangan Tan, yang ternyata bisa kebal terhadap peraturan Pemerintah. Tan tetap mempertahankan kewarganegaraan Cina, berarti melanggar ketentuan Pemerintah yang melarang Cina asing tinggal di kota kecamatan. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1958 dilangkahinya. Kelak akan terbukti, beberapa bulan sebelum terjadi geger Oktober 1965, Tan melakukan kegiatan perdagangan yang aneh. Ia membeli mancung dalam jumlah besar dari para penduduk. Bunga kelapa yang belum mekar itu hampir memenuhi gudangnya. Selain bunga kelapa, Tan juga mau membeli jantung pisang yang belum mekar. Pen-duduk memang terlalu bodoh untuk berpikir apa yang dikehendaki oleh Cina itu sebenarnya. Belakangan saja orang sadar bahwa kegiatan tokoh Baperki itu sebenarnya bermakna politis. Dengan membeli mancung dalam jumlah sangat banyak, maka penduduk yang sebagian besar bergantung kepada produksi gula kelapa, akan kehilangan sumber penghasilan. Itulah, Tan ingin melaksanakan politik memiskinkan rakyat agar gampang dihasut. Hebatnya ia mampu hidup di segala zaman. Setelah peristiwa tahun 1965, ia lari ke Bandung dengan meninggalkan banyak harta. Tak apa, pokoknya ia sejahtera di tempatnya yang baru sampai matinya kelak. Hari Minggu, pagi sekali Karman dijemput. Selain sopirnya, hanya ada Triman di dalam jip itu. Tetapi di luar desa Pegaten, Margo naik bersama seorang perempuan. Karman sudah mengenal Suti, perempuan yang dekat dengan kelompok Margo dan lumayan istimewa. Artinya perempuan itu dikenal pandai menjinakkan suami. Sering suami Suti tinggal di dapur selagi istrinya sibuk berdiskusi dengan para kamerad. Selalu ada acara lain sesudah diskusi itu selesai. Kalaulah Suti bukan perempuan istimewa, tentu suaminya akan membawa pentungan, masuk ke kamar dan menangkap basah istrinya yang sering melayani orang-orang seperti Triman, konon demi partai. 49 Jadi antara Suti dan suaminya telah terjadi keseimbangan yang aneh. Mereka mempertahankan status quo dalam rumah tangga mereka. Yang tidak tahan melihat maksiat semacam itu adalah mertua Suti sendiri. Perempuan tua itu mati lantaran tekanan batin. Dalam perjalanan itu Margo dan Triman mengambil tempat di belakang. Di depan Suti mendampingi Karman yang mabuk. Perempuan itu mengolesi tengkuk, dada, serta perut Karman dengan balsem cap Macan. Rabaannya menunjukkan keahliannya. Terkadang ia mencubit paha Karman. "Ayolah, bocah bagus, jangan mabuk terus." Sebelum matahari terbenam rombongan itu tiba di Semarang. Mereka mencari losmen. Malam pertama di kota im tidak menyenangkan Karman. Badannya lesu. Pusing. Lemas. Dan urat-uratnya kaku. Karman masuk angin. Suti menjadi perawat, menyediakan air hangar untuk menyeka dan membelikan Aspirin. "Buka bajumu, kau perlu kerokan." Pada malam kedua Karman merasa sehat kembali. Margo memimpin rombongannya menghadiri suatu pertemuan kecil. Diskusi. Kemudian Karman diperkenalkan kepada pengurus partai tingkat propinsi. Agak terkejut juga dia ketika pagi-pagi berikutnya Margo dan Triman pulang ke Pegaten dengan jip itu. "Kau sebaiknya mengenal kota Semarang ini dengan lebih baik. Suti akan menemanimu," kata mereka sebelum berangkat. Suti berusia tigga puluh dua tahun. Di sebuah losmen yang hanya mementingkan banyaknya tamu, ia mendapat mainan sebuah boneka. Segar dan perjaka pula. Suti menggunakan partai untuk berahinya, atau ia menyalurkan berahi demi partai. Sama saja. Sebatang pohon kopi yang tumbuh di belakang rumah Karman sudah berbunga. Warnanya putih. Harumnya menyebar ke mana-mana, terutama pada pagi dan malam hari. Inilah pertanda awal kemarau. Rumpun bambu menguning, kemudian meranggas. Kebanyakan orang Pegaten mulai bekerja membuat oyek. Panenan baru akan tiba sepuluh bulan kemudian. Anak-anak pergi ke sawah yang telah kerontang. Mereka menangkap belalang, kemudian dibakar dalam bara yang terbuat dari tai sapi kering yang dinyalakan. Atau mereka menaikkan layang-layang daun gadung kering yang diberi kerangka lidi. Talinya serat batang pisang. Sepulang dari Semarang, kekalutan di hati Karman mereda. Hanya sebentar. Begitu ia menghirup udara Pegaten, ingatannya terhadap Rifah mengusik kembali. Apa yang pernah dikatakan oleh laki-laki bergigi besi itu tentang "sate kambing" tidak mutlak benar. Bahkan Karman tidak bisa mengatakan apa-apa tentang pengalamannya bersama Suti di Semarang kecuali apa lagi kalau bukan berahi semata-mata. 50 Sudah tiga kali Karman mencoba memberanikan diri menghadap Haji Bakir, dan selalu dibatalkannya. Pada saat seperti itu ia bingung karena menemukan dirinya telah lama memusuhi ayah Rifah itu. Dan sampailah Karman pada puncak kegelisahannya. Malam itu bulan muda hanya sebentar memberikan sinar temaram. Tetapi rasi Bima Sakti tampak jelas seperti gugusan pasir yang bercahaya, menyebar di langit, membujur dari selatan ke utara. Karman tetap duduk sendiri di beranda meskipun malam telah larut dan dingin. Harum bunga kopi tercium oleh pemuda yang sedang resah itu. Kelembutannya memancing perasaan halus Karman. Ia bangkit. Ia mendengar nalurinya berbisik, makin lama makin nyata: "Temui Rifah, temui Rifah! Sekarang, sekarang!" Karman termangu, lalu berjalan masuk ke dalam kamar. Dipakainya kain sarung, dicarinya kopiah yang sudah lama tersimpan di rak lemari paling bawah. Tiba-tiba ia berhenti bergerak, seperti sedang memikirkan sesuatu. Kemudian diambilnya sebuah pulpen dan sehelai kertas, dan keluar. Pegaten sedang tidur lelap. Seekor kampret mengirapkan sayapnya di antara daundaun jambu. Burung bence melintas dari utara. Suaranya nyaring. Seorang tetangga terbatuk dalam tidurnya. Karman mengangkat ujung kain sarungnya, lalu berjalan. Sandal yang berlapis karet mentah membuat langkah-langkah Karman hampir tak bersuara. Tetapi hatinya terasa demikian kacau ketika kakinya mulai menginjak pekarangan rumah Haji Bakir. Karman berhenti, hampir berbalik. Ketika itulah suara dalam dirinya kembali terdengar dengan jelas: "Terus, terus! Kau harus bertemu Rifah sekarang!" Dan Karman kembali melangkah. Sampai dekat serambi mesjid Karman berhenti, duduk di jenjang tangga. Masa kanak-kanak sebagian besar dilewatkannya di tempat itu. Namun sudah hampir dua tahun ia tidak menginjaknya. "Bagaimanapun mesjid ini adalah tempat yang netral. Misalnya aku kepergok seseorang, aku masih dapat berdalih hendak bersembahyang." Lama sekali Karman terdiam di tempat itu. Dari dalam serambi mesjid ia mendengar dengkur anak-anak yang sudah lama lelap dalam tidur mereka. Semenjak kematian suaminya, Rifah kembali ke rumah orangtuanya. Karman tahu betul letak kamar tidur Rifah. Ya. Dan Karman bangkit perlahan-lahan, berjalan berjingkat menuju arah samping rumah Haji Bakir dari sisi mana ia dapat mendekati kamar itu. Karman harus melewati emper gudang padi dan tempat penimbunan kelapa. Andaikan Hafi Bakir terbangun dan memergokinya, Karman sudah menyediakan jawaban yang gila: ingin bertemu Rifah! Jadilah. Karman yang sudah nekat kini mencapai jendela kamar bekas pacar yang sedang digilainya. Ia berhenti untuk mengamati keadaan sekeliling. Terdengar ribut-ribut kecil di kandang ayam, dan jantung Karman berdenyut lebih cepat. 51 Nanum suasana jadi lengang kembali. Karman ingin mengintip tetapi ia tidak Kubah Karya Ahmad Thohari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo menemukan seberkas sinar pun yang keluar dari celah jendela. Ah, Karman mujur karena kamar itu masih tetap berdinding papan jati tebal, ciri khas rumah orang kaya di Pegaten. Oh, Karman harus berterima kasih kepada serangga-serangga halus yang telah mengikis sebuah celah sambungan dua buah papan. Hati-hati sekali mata kanan dipasangnya pada celah kecil itu. Napasnya dikendalikan agar tidak menimbulkan suara. Tidak gampang menemukan kalimat yang pantas untuk melukiskan perasaan Karman ketika ia melihat pemandangan di dalam sana. Seorang perempuan muda sedang duduk berdoa di atas sajadah yang digelar di lantai. Rifah masih dalam pakaian sembahyang. Wajah itu dibatasi oleh kain putih yang melingkari wajahnya dengan ketat. Mata itu setengah terpejam. Bibir kecil itu meruncing di kedua ujungnya, bergerakgerak menggetarkan doa. Wajah yang damai, alami, nyaris tanpa ekspresi apa pun. Tetapi ada sepasang intan air mata yang membiaskan sinar lampu di depannya. Hingga beberapa saat lamanya Karman memasang sebelah matanya pada celah itu. Lalu tegak kembali, bersedekap. Kesejukan terasa mengguyur hatinya, setidaknya untuk sementara. Dan setelah detak jantungnya kembali normal, sadarlah ia bahwa sesuatu yang agak luar biasa baru saja dilihatnya. Pasti waktu itu sudah lewat tengah malam, dan Rifah masih duduk berdoa. Karman dapat merasakan kesedihan seorang istri yang ditinggal suami buat selama-lamanya, dengan kandungan lima bulan pula. Kesedihan, doa, dan keheningan tengah malam. Hubungan antara ketiga hal itu terasa begitu kudus dan alami. Karman pun dapat merasakannya, tetapi ia sudah lama tidak berdoa. Untuk kedua kalinya Karman mengintip. Ia masih melihat pemandangan yang sama. Bahkan ia sekarang merasakan pantulan keikhlasan dan kedamaian dari wajah Rifah. Jiwa Karman tergetar. Kalau boleh rasanya ia mau menangis. Pelan-pelan ia mundur. Terbayang olehnya seorang perempuan lain, Suti. Liarnya. Berahinya. "Kalau Rifah dan Suti sama-sama perempuan, apanya yang beda?" pikir Karman. Ia melihat dan merasakan perbedaan antara keduanya, tetapi ia takkan memperincinya satu-satu. Terlalu banyak. Akhirnya Karman mengeluarkan pulpen dan kertas. Ditulisnya: Rif, aku Karman. Tolong, bukalah jendelamu, sedikit saja. Aku hanya ingin melihatmu dengan nyata. Percayalah, aku hanya ingin melihatmu. Aku amat rindu padamu. Tulisan yang dibuat hanya dengan bantuan seberkas sinar itu pasti acak-acakan. Lalu Karman menjepitkan kertas itu pada pulpen Parker-nya. Melalui celah antara lantai dan dinding papan, surat itu diselorokkan ke dalam. Sebelum berbuat demikian Karman menirukan bunyi seekor kucing. Lirih saja. Mudah-mudahan Rifah ingat semasa kecil Karman sering menggodanya dengan suara seperti itu. Hening. Karman dapat mendengar suara napasnya sendiri. Karman dapat merasakan denyut jantungnya sendiri. Ia hampir jatuh lemas ketika mengintip ke 52 dalam. Rifah tak bergerak sedikit pun, meski ia melihat sesuatu yang diselorokkan ke hadapannya. Rifah juga mendengar suara kucing. Nalurinya sudah memberitahu bahwa Karman ada di luar kamarnya. Seandainya tidak malu kepada dirinya sendiri, tentu Karman akan berdoa, "Ya Tuhan, suruhlah Rifah memungut surat itu. Mati aku kalau ia diam saja." Ternyata Rifah bergerak mengambil surat itu. Dibacanya sejenak, lalu ditatapnya satu-satunya celah yang pasti digunakan Karman untuk mengintip. Walaupun dibatasi oleh dinding kayu jati yang tebal, jantung Karman berdebar keras ketika melihat bola mata Rifah diarahkan kepadanya. Tenang dan sayu. Kemudian Rifah bangkit dan menulis jawaban. Kertas dan pulpen itu kembali menerobos tampat yang sama di baw Masih dengan bantuan sinar seberkas, Karman membaca tulisan Rifah: Tuhan hanya menyuruhku menghormati tamu yang datang dengan cara baik-baik. Bertamulah besok pagi kepada Ayah. Insya Allah aku akan menemuimu juga. Sekarang jangan kauganggu aku. Pulanglah, atau kubangunkan Ayah! Tiba-tiba Karman merasa dirinya susut menjadi binatang kecil. Malu dan sedih. Anehnya, Karman masih mampu menangkap keanggunan sikap Rifah. Untuk sekian lama Karman termangu. Namun akhirnya ia merasa tak punya pilihan lain kecuali pulang. Di luar, udara makin dingin mencekam. Burung bence kembali melintas di udara malam sambil berteriak-teriak. Kampret-kampret masih mengirapkan sayap mereka di antara daun-daun jambu. Terdengar suara tangis bayi. Barangkali orok itu kedinginan oleh udara musim kemarau atau oleh kencingnya sendiri. Sampai ke kamarnya Karman tidak segera tidur. Dibacanya kembali tulisan Rifah itu, diciumnya. Sebenarnya ia mengharapkan bau wangi. Tetapi yang masuk ke hidungnya adalah uap tinta yang apek. Dalam tidurnya yang hanya sesaat, Karman digeluti mimpi yang melelahkan, seakanakan ia berkelahi dengan kambing Haji Bakir. Bedanya, dalam mimpi itu ada Margo, Triman, dan Suti. Mereka mengepalkan tinju sambil berteriak-teriak seperti orang gila. Mereka tidak datang menolong. Juga dalam mimpi itu Rifah tidak berterima kasih sama sekali. Ketika terbangun dada Karman terasa sakit, sakit sekali. Peringatan seratus hari meninggalnya Abdul Rahman sudah lewat. Kandungan Rifah makin besar, makin besar. Ia berharap bulan depan akan melahirkan anaknya yang pertama. "Andaikata anakku lahir laki-laki, tentu ia gagah seperti ayahnya. Hidungnya manis, matanya galak," demikian harapan calon ibu yang masih amat muda itu. Bila malam tiba Rifah sudah tidak menangis lagi. Ia sudah dapat menerima ketentuan Tuhan dengan hati ikhlas. Ayahnya selalu berkata, "Takdir Tuhan adalah 53 hal yang paling baik bagimu, betapapun getir rasanya. Bertakwa kepada-Nya akan membuat segala penderitaan ringan." Tetapi lepas dari nasihat ayahnya, Rifah merasa ada kekosongan dalam hatinya. Ada sesuatu yang hilang, bukan hanya hilangnya Abdul Rahman dari sisinya. Oh ya, lama-lama Rifah dapat menemukan apa yang hilang itu: suara laki-laki. Jenuh rasanya selalu mendengar kata-kata ibunya, "Hati-hatilah, Nak, ingat kandunganmu." Atau, "Zamannya Ibu dulu, perempuan hamil harus sangat teliti. Jangan sampai menaruh sesuatu terbalik. Nanti bayi yang dikandung lahir sungsang." Tetapi Rifah tidak pernah mendengar suara laki-laki kecuali suara ayahnya, Itu pun jarang. Haji Bakir tidak biasa bercakap-cakap dengan anaknya, apalagi setelah Rifah bersuami. Dulu ketika Rifah masih kanak-kanak, Karman selalu melayani apa pun yang diinginkannya. Dan mana laki-laki itu sekarang" Mengapa setelah mengintipku ia tidak muncul juga" Karman, aku belum pernah memikirkan kau bakal menjadi suamiku yang baru. Aku belum membutuhkan seorang suami. Tetapi semenjak kecil kau menjadi kawanku, bukan" Selagi aku kecil kau mau pergi ke hutan mencari daun kemangi untuk mengobati kutil di jariku. Sekarang mengapa kau tidak datang melihatku yang ditinggal sendiri dengan perut besar" Kukira tak mengapa kita bercakap-cakap sesaat. Aku ingin mendengar suaramu, suara laki-laki. Abdul Rahman sudah tidak mungkin mengajakku berbicara, bukan?" Andaikata Karman dapat mendengar keluhan Rifah ini, cerita pun habis. Barangkali ia akan berbaik kembali dengan Haji Bakir meskipun harus berpisah dengan ideologi dan kawan-kawan separtai. Pokoknya demi Rifah, Karman mau melakukan apa saja. Ia tidak akan keberatan kembali menjadi jamaah mesjid. Selesai. Tetapi kenyataan yang terjadi tidak demikian. Karman ternyata tidak cukup berani bertamu ke rumah Haji Bakir. Ia tidak pernah berhasil mengatasi keraguan yang menggeluti dirinya. Di rumah, di jalan, di kantor, ia selalu bingung. Padahal ia merasa kerinduannya pada Rifah ada pada setiap tarikan napasnya. Dalam keadaan seperti itu lagi-lagi Karman tidak tahu bahwa seorang yang bergigi besi siap menggerakkan pionnya. Suti sering berkunjung ke rumah Karman. Memang, bisa saja tidak terjadi kemaksiatan di rumah Bu Mantri itu. Kelompok Margo tidak menghendaki hirukpikuk, sebab rumah Bu Mantri dekat mesjid, dekat rumah Haji Bakir. Mereka hanya ingin memberi kesan yang baru tentang diri Karman, terutama kepada keluarga Haji Bakir. Sekali pernah, di hadapan banyak orang Suti mencubit pipi Karman. Pernah juga Suti datang sebelum fajar, dan keluar lagi ketika para tetangga Karman pulang dari mesjid. Tak ayal lagi orang-orang menuduh Karman telah menempuh hidup yang berwarna perzinahan. Walaupun Karman membela diri sekuat tenaga ketika Paman Hasyim menuduhnya demikian, namun sia-sia. Martabat Karman telah jatuh di mata para tetanaga, juga di mata keluarga Haji Bakir. 54 Tidaklah sekali-sekali Margo menjadi kader partai bila otaknya tidak gemilang. Dalam kemelut ini ia melihat keuntungan yang bisa diperolehnya, dengan menyuruh Karman langsung melamar Rifah! Margo dengan cermat telah menghitung apa jawaban Haji Bakir. "Wah, Nak Karman," kata Haji Bakir memulai jawabannya atas lamaran yang diajukan Karman. "Sulit sekali rasanya. Tetapi aku mempunyai pedoman yang teguh; aku hanya rela menjodohkan Rifah dengan laki-laki yang dapat membimbing Rifah di dunia sampai ke akhirat. Kulihat keadaanmu telah jauh berubah. Kini rasanya kau bukan laki-laki yang cocok dengan persyaratan yang kumaksud. Bagiku setiap orang sama derajatnya selagi penilaian itu tidak menyangkut iman dan takwa kepada Tuhan. Orang-orang Pegaten, termasuk diriku, menganggap kau pemuda yang baik. Masih muda dan berpangkat. Tetapi marilah, kita tetap berhubungan baik seperti dahulu, tanpa melalui ikatan perkawinan antara dirimu dengan Rifah. Aku percaya kau dapat menemukan calon istri lain." Itulah jawaban Haji Bakir yang telah diramalkan dengan tepat oleh Margo. Dua kali batin Karman dihancurkan oleh orang yang sama. Sempurnalah kebenciannya terhadap Haji Bakir, hal mana sangat diinginkan oleh Margo dan kelompoknya. Dalam perkembangannya nanti, Karman bukan hanya benci kepada ayah Rifah, tetapi juga terhadap para haji dan orang-orang kaya lainnya. Dulu Karman telah diberi buku-buku teori pertentangan kelas. Sekarang Margo ingin memperagakan pertentangan-pertentangan itu dalam kehidupan nyata. * * * Dalam wilayah Kecamatan Kokosan, desa Pegaten letaknya paling terpencil. Di sebelah selatan terdapat hutan jati yang luas. Sementara bagian barat dibatasi oleh perkebunan karet dan rawa-rawa. Tanah sawah serta ladangnya subur. Kalaulah sebagian penduduknya hidup miskin, pastilah bukan keadaan tanah Pegaten yang menyebabkannya. Salah satu kenyataan yang telah menyebarkan kesengsaraan di daerah itu adalah pergolakan-pergolakan yang diawali oleh masuknya tentara Jepang. Kemudian menyusul perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang praktis berlangsung sampai awal tahun lima puluhan. Kehidupan yang tenteram hanya berlangsung beberapa tahun, menjelang akhir dasawarsa itu. Orang yang teliti dan cukup berbesar jiwa, bisa memahami pada saat itu sedang terjadi persaingan antara tiga kekuatan. Masing-masing memiliki laskar bersenjata, masing-masing menaruh kepentingan atas wilayah Pegaten dan sekitarnya. Salah satu kekuatan sedang surut, yaitu kekuatan laskar yang dipimpin oleh Ahmad Juhdi. Pada dasarnya kekuatan itu sudah mundur menyeberang Sungai Citanduy, ke wilayah Jawa Barat. Tetapi topeng Ahmad Juhdi sering dipakai oleh kekuatan kedua yang sedang tumbuh. Kekuatan itu secara rahasia dikendalikan oleh seorang laki-55 taki ubanan yang bergigi besi. Perampok-perampok itu, yang sering menjarah harta atau membunuh penduduk Pegaten selalu mengaku anak buah Ahmad Juhdi. Mungkin benar, tetapi naiflah orang yang memastikan kebenaran itu. Rumah Haji Bakir pernah dirampok sampai dua kali. Nyawanya selamat karena Tuhan membutakan mata orang-orang buas itu. Ironisnya keesokan harinya Haji Bakir ditahan dengan tuduhan bersekongkol dengan para perampok itu. Kejadian malam itu didakwakan sebagai semacam permainan sabun. Kelak orang tahu bahwa orang yang mengusulkan penahanan terhadap Haji Bakir adalah seorang pegawai kecamatan yang bernama Karman. Lebih dari sebulan Haji Bakir tinggal dalam tahanan. Sementara itu terjadi perampokan di tempat lain. Polisi bertindak cepat dan berhasil menguasai para pelaku penggarongan tersebut, yang ternyata dipimpin oleh Riwut. Semua orang tahu siapa Riwut itu. Dia adalah orang yang sangat dekat dengan Margo. Kekuatan yang ketiga adalah alat-alat keamanan milik negara, polisi, dan tentara. Jiwa-jiwa yang dewasa, yang berani melihat kesalahan masa lalu demi perbaikan masa yang akan datang, akan mampu dengan kepala dingin membicarakan keadaan polisi dan tentara pada waktu itu, terbatas di daerah Pegaten dan sekitarnya. Kepentingan-kepentingan amat bersimpang-siur. Di tempat yang terencil itu, urusan golongan, urusan politik bahkan urusan perorangan dapat mempengaruhi sikap-sikap para petugas keamanan. Urusan semacam itu sering terbaur dalam hutan jati dan hutan karet. Siapa menembak siapa, siapa menuduh siapa, amat sering terjadi. Kisah-kisah ini akan memperjelas gambaran desa Pegaten pada sekitar tahun 1958 sampai dengan tahun 1960. Penduduk desa itu, semuanya, pernah menjadi orang-orang kurungan. Sesungguhnya! Untuk mencegah perampok masuk ke Pegaten, desa itu pernah ditutup rapat dengan pagar bambu yang berlapis-lapis. Tingginya tiga meter. Setiap mata pagar merupakan bambu runcing yang tajam. Pada malam hari, seregu OPR atau Organisasi Pertahanan Rakyat menjaga tiap-tiap pintu. Namum entah bagaimana, tak urung terjadi lagi perampokan di rumah Haji Bakir. Delapan orang anggota OPR yang dipimpin oleh Lurah Pegaten menyiapkan pencegatan. Mereka bersiap di sebuah lorong yang menurut perhitungan harus dilewati para perampok. Benar, beberapa waktu kemudian terdengar letupan-letupan yang ramai. Di pagi hari orang melihat selongsong peluru bertebaran di tempat itu. Kebun kedelai rusak hebat. Tetapi tidak terlihat darah setetes pun, kecuali seekor kambing mati terkena peluru nyasar. Orang Pegaten yang berotak paling degil pun seharusnya mengatakan: mustahil! Pencegatan yang dilakukan di tempat yang sesungguhnya menguntungkan, dengan sembilan batang bedil, tanpa mengena atau dikenai" Namun orang Pegaten segera puas oleh cerita Lurah: "Para perampok itu adalah anak buah Ahmad Juhdi. Mereka mempunyai kekuatan sakti, dapat 56 melompati pagar bambu setinggi tiga meter. Pasti mereka juga kebal terhadap peluru!" Di lain waktu, dua orang polisi berpatroli malam hari di luar desa Pegaten. Kemudian mereka beristirahat di sebuah rumah yang telah dikosongkan oleh penghuninya. Pemilik rumah itu menyingkir ke Pegaten yang telah dikelilingi pagar bambu. Kedua orang petugas itu sedang memeriksa lampu senter yang macet ketika terdengar beberapa orang yang mengucapkan salam dalam bahasa Arab secara fasih. Tetapi kemudian terdengar suara takbir yang disusul dengan ledakan bedil. Kedua polisi itu tewas seketika. Seorang tentara anggota BR atau Banteng Raiders mendengar suara tembakantembakan itu. Ia lari melalui jalan pintas menuju tepi hutan jati, seorang diri. Beberapa orang yang ingin menemani, ditolaknya. Hasil pencegatan yang dilakukan oleh tentara yang berani itu mengungkapkan siapa yang telah membunuh dua orang polisi. Mereka anggota-anggota OPR desa Cilangit. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka tidak pernah mengucapkan uluk salam. Apalagi takbir. Mereka adalah orangorang komunis. Walaupun dalam keadaan surut, laskar-laskar Ahmad Juhdi bukan tidak membutuhkan makanan dan peluru. Untuk memperoleh persediaan makanan mereka tidak mempunyai cara yang lebih mudah daripada menjarah harta penduduk. Rupanya Ahmad Juhdi sudah tidak dapat mengendalikan pasukannya. Jadilah mereka gerombolan-gerombolan yang kehilangan tujuan perjuangan. Sama sekali liar. Pada tahun 1959 mereka mengalami kesulitan besar. Cadangan amunisi habis. Mereka harus mengumpulkan emas permata. Kekerasan meningkat kembali karena laskar Ahmad Juhdi ingin merampas lebih banyak emas milik penduduk. Satu gram emas berarti sebutir peluru. Begitulah para perampok melakukan barter. Emas yang berhasil mereka rampas ditukar dengan peluru. Kepada siapa para petualang itu menyerahkan emas" Kepada siapa saja yang mau memberi mereka peluru. Kata seorang bekas anggota laskar Ahmad Juhdi, "Kemudian terjadilah pertempuran seru antara kami dengan Kompi P, dari batalyon QRS Divisi T. Kami memenangkan pertempuran. Berpeti-peti peluru serta berpuluh-puluh senapan kami dapat, seorang korban pun tak ada, baik di pihak kami atau pihak mereka." Bila ada yang bertanya tentang kebenaran cerita bekas anak buah Ahmad Juhdi itu, jawabannya sudah tersedia pada hati sendiri, yang harus rela membiarkan sejarah menulis menurut kehendaknya. Kerelaan pula yang diperlukan bila sejarah telanjur mencatat kisah ini: Letnan D dan Letnan L, yang berperan sangat aktif pada peristiwa Lubang Buaya, Oktober 1965, tentu sudah menjadi anggota tentara pada tahun 1959 itu. Di mana mereka bertugas saat itu, arsip tentara bisa memberi jawaban. Di Pegaten. Karman menjadi sekretaris Partindo mendampingi Triman. Tentu hanya kalangan mereka yang tahu bahwa hal itu hanya sebuah samaran. Huhungan antara 57 Margo dan Karman tetap terselubung. Orang Pegaten tak ada yang tahu bahwa Karman sering terlibat dalam diskusi-diskusi dengan Margo dan kawan-kawannya. Di kamar Karman tersusun buku-buku yang hampir semuanya didapat secara cumacuma. Tiga orang menjadi pemberi bacaan teratur: Triman, Margo, atau orang yang bergigi besi itu. Sementara itu secara pasti Marni telah mendapat tempat di hati Karman. Pemuda itu tahu sekarang, dunia perempuan ternyata tidak hanya Rifah. Kalau Rifah dibesarkan dalam kalangan yang memanjakannya, tak demikian halnya dengan Marni. Ia anak orang kebanyakan, dan tidak bisa menamatkan SKP karena kekurangan biaya. Ada keuntungan bagi Marni, karena dengan keadaan yang demikian ia bahkan memiliki sikap dewasa. Sepanjang hubungan antara Karman dan Marni, kelompok Kubah Karya Ahmad Thohari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo orang-orang partai itu tidak merasa perlu berbuat sesuatu. Mereka tahu keluarga Marni dalam segala hal tidak sekokoh keluarga Rifah. Karman pasti mampu membuat keluarga Marni menjadi orang-orang yang berpikiran "maju". Perkawinan dilangsungkan. Kehampaan di hati Karman cepat terisi oleh sikap istrinya yang mantap, penuh pengertian. Seperti mendapat tempat berteduh, setelah lama berjalan di bawah matahari, demikian perasaan Karman. Karman tidak tahu mengapa Marni mencoba membahagiakan suami dengan menganggapnya sebagai ayah, suami, bahkan anaknya sekaligus. Tidak berbeda dengan garis fitrah setiap laki-laki yang merasa kecil apabila berhadapan dengan kepribadian seorang istri yang matang, Karman tidak hanya mencintai Marni, bahkan menghormatinya. Pada tahun pertama perkawinan mereka, Rudio lahir. Kehidupan keluarga muda itu mantap. Sebidang tanah dapat mereka beli. Di atas tanah itu, setahun kemudian mereka mendirikan rumah. Yang tidak bersesuaian di antara mereka hanya satu hal. Sementara Marni merasa tidak bisa meninggalkan ibadahnya, Karman bahkan terang-terangan mengaku sebagai seorang ateis. Maka apabila Marni merasa kebahagiaannya kurang utuh, itulah dia. Sering ia memohon kepada Tuhan agar keberuntungannya disempurnakan. Tidak heran kalau Marni sering bermimpi bersembahyang berjamaah bersama suaminya. Sekali pernah ketika jiwa dan badan Marni amat berdekatan dengan Karman, ia bertanya, "Apakah kau tak tahu bahwa apabila kau tidak melupakan kewajiban terhadap Tuhan aku akan sangat bahagia?" Karman sudah menduga pada suatu ketika pasti istrinya akan bertanya seperti itu. Walaupun begitu ia tidak segera menjawab, bahkan berbalik bertanya, "Jadi dengan keadaanku yang demikian kau merasa kurang beruntung?" "Tidak sedemikian jauh maksudku, Kak, tetapi. ." 58 "Cukuplah. Cukup bila kukatakan agama adalah urusan pribadi. Seharusnya kau senang aku tidak melarangmu beribadah." Marni diam meskipun ada rasa kecewa di hatinya. Tanpa mengurangi kelembutan kata-katanya, ia meneruskan, "Tetapi kau tidak mempunyai maksud pada suatu saat akan memaksaku memutuskan hubungan dengan Tuhan, bukan?" Suami itu makin kikuk karena istrinya makin rapat memeluknya. "Oh. ." Dan begitu. Karman tidak pernah melarang istrinya beribadah, meskipun hal yang demikian bertentangan dengan ajaran partainya. Bukan Karman juga tidak ingin mengajak istrinya ingkar, bukan! Karman tidak berani melakukannya! Dari kepribadian Marni, ketenangannya, terpancar wibawa. Seorang revolusioner muda seperti Karman ternyata mandul ketika berhadapan dengan keanggunan istrinya. Karena kelemahan Karman ini, dalam suatu diskusi yang dihadiri oleh banyak orang, Margo pernah menyindirnya dengan tajam. "Kita heran. Mengapa di antara kita ada yang membiarkan istrinya menjadi pengisap candu, suatu perbuatan yang hanya dilakukan oleh kaum reaksioner!" Karman tersentak. Ia tahu apa yang dimaksud dengan mengisap candu seperti yang diucapkan Margo. Ia masih ingat bahwa bagi kaum Marxis, agama adalah candu untuk meninabobokkan kaum tertindas agar tertidur dari rasa ingin menuntut hak-hak mereka. Merah padam mukanya. Karman bangkit menggedor meja. Bangkit untuk membela seorang perempuan yang baginya adalah kesejukan hidup. Bangkit untuk membela seorang perempuan yang mempunyai lekuk ujung bibir paling bagus di dunia. Karman bukan menggedor meja karena ingin berpihak pada kaum reaksioner. Tetapi demi Marni, hanya Marni. "Kawan Margo! Perjuangan kita belum sampai ke taraf habis-habisan. Itu kenyataan. Apabila Kawan menganggap kehidupan pribadi sebagai kemunafikan terhadap sikap hidup revolusioner, kita semua munafik! Kuakui, istriku tetap taat kepada agamanya hingga kini. Tetapi ingat, Kawan sendiri mempunyai saudara yang jadi tengkulak gula kelapa. Kita semua tahu praktek apa yang dijalankan oleh tengkulak semacam itu. Praktek-praktek kapitalisme murni! Kita tahu juga, bahkan saudara kandung Marx, bapak ideologi komunis, ternyata tinggal di negara kampiun kapitalis: Amerika. Karl Marx sendiri tidak meninggalkan wasiat agar tulang-belulangnya kelak dipindahkan ke negara yang telah menjalankan semua doktrinnya, Rusia misalnya. Ia dikubur di negara cikal bakal imperialisme dan kapitalisme, Inggris!" "Ya!" jawab Margo tidak kalah keras. "Kawan tidak lupa revolusi akan selalu melalap anak-anaknya?" "Ingat betul. Siapa yang menjamin kita sendiri tidak akan ditelan oleh revolusi yang ingin kita kobarkan?" 59 Karman tetap menggigil karena amarah. Tetapi Margo segera sadar debat semacam itu tidak bisa dilanjutkan. Kader partai itu juga amat terkejut karena dibantah dengan cara yang ia sendiri ajarkan. Alis Lenin-nya turun-naik. Jidatnya berkerut-kerut. Kemudian ia tersenyum. Sekali lagi terbukti bahwa ia tidak hanya licik, tetapi juga sabar. "Kawan-kawan," kata Margo kemudian. "Kita lihat Kawan Karman telah memiliki kecakapan berdiskusi yang luar biasa. Kepandaian semacam itu amat penting. Apa yang baru saja kulakukan hanya sekadar ujian. Ternyata Kawan Karman memang gemilang. Hadiah untuk Karman kali ini adalah tepuk tangan bersama. Mari!" Yang terjadi di Pegaten pada awal tahun enam puluhan, sama seperti yang terjadi di mana-mana. Boleh jadi orang tidak senang mengingat masa itu kembali karena kepahitan hidup yang terjadi waktu itu. Orang Pegaten tidak tahu apa arti inflasi. Mereka hanya bisa merasakan akibatnya yang sangat pahit. Penghidupan sehari-hari pada umumnya dirasakan amat berat. Minyak tanah dijatah, gula pasir diantrekan. Keadaan alam sendiri menambah penderitaan penduduk. Kemarau sering amat panjang. Hama tikus dan walang sangit menggagalkan panen. Tidak sedikit penduduk Pegaten yang terpaksa mengisi perut mereka dengan gaber. Ampas singkong itu dikukus, dan dimakan dengan daun-daunan. Busung lapar berjangkit di Pegaten. Pencuri-pencuri menjadi sangat berani. Hutan jati di sebelah selatan Pegaten rusak hebat oleh penduduk sekelilingnya. Bahkan para pekerja perkebunan karet mulai melancarkan kerusuhan-kerusuhan. Tanaman karet ditebangi, tanahnya digarap menurut kemauan mereka. Terpaksa polisi didatangkan, tetapi mereka malah melawan para petugas itu sampai ada yang tewas. Di hutan jati, seorang mandor juga meninggal tertindih balok kayu yang besar. Ketika peristiwa itu sampai ke pengadilan, yang menjadi hakim adalah politik. Keputusannya berbunyi: Mandor jati itu sudah menerima hukuman yang patut, karena tidak berpihak pada "rakyat". Akibatnya, nasib hutan jati itu makin menyedihkan. Penduduk yang termakan hasutan politik membakar hutan milik negara itu. Ironis memang, dalam keadaan penghidupan yang sulit orang Pegaten sering meninggalkan pekerjaan guna menghadiri rapat-rapat umum. Pawai-pawai sering diadakan dan memakan waktu sehari penuh. Panasnya politik saat itu juga memanggang desa terpencil, Pegaten. Pada suatu rapat yang penuh hiruk-pikuk, Margo menganjurkan semua orang makan tikus. Memang, saat itu jumlah tikus di sawah-sawah Pegaten puluhan kali lebih banyak daripada jumlah penduduk desa itu. Dari atas mimbar rapat itu, Margo berbicara tentang gizi yang terkandung dalam daging tikus. "Apa pun yang dapat mengenyangkan perut kita, jadilah! Dan tikus-tikus itu! Rakyat harus tangguh, berbadan sehat, dan kuat untuk memenangkan revolusi!" 60 Sesungguhnya Margo tidak bermaksud membuat penduduk Pegaten menjadi sehat dengan menyuruh mereka makan tikus. Ia sekadar ingin menghancurkan nilai yang telah mapan. Orang Pegaten mengharamkan tikus. Jadi Margo hanya ingin mengajari orang Pegaten menghalalkan sesuatu yang diharamkan. Tidak lebih. Margo sendiri ternyata lebih suka gulai kambing daripada panggang daging binatang yang menjijikkan itu. Seperti biasa sehabis rapat orang-orang berpawai. Mereka berteriak-teriak. Dentuman drumband serasa hendak meledakkan telinga. Untung, barangkali tidak ada orang tahu bahwa mars yang dilagukan oleh barisan drumband itu adalah mars-mars marinir. . Amerika, sebuah nama yang selalu diteriakkan sebagai musuh urutan pertama. Hampir dua tahun keadaan demikian berlangsung di Pegaten. Segala hiruk-pikuk itu ternyata berakhir dengan diselenggarakannya sebuah pasar malam di lapangan desa. Kalau bisa dikatakan sebagai pasar malam. Ada pementasan wayang kulit yang menggelar lakon-lakon gubahan baru yang revolusioner, misalnya si jelata Petruk mengganyang si feodal Dwipayana, dan sebagainya. Anak gadis Tan Liong Pek menjadi ledhek. Oey Fen Mai malah menjadi ronggeng, mengajak pemuda-pemuda Pegaten berjoget. Tariannya tidak bagus, yang penting erotis. Pegaten panas, dan anehnya Pegaten juga terlena. Ketika terjaga, Pegaten terkejut luar biasa. Sesuatu yang dahsyat telah terjadi pada dini hari menjelang 1 Oktober 1965. * * * Marni baru tiga bulan melahirkan Tono, anaknya yang ketiga. Tubuhnya sudah segar kembali. Bayinya sehat. Apa yang didambakannya sekarang adalah kemesraan suaminya yang baru berumur tiga puluh tahun dan kuat. Sungguh, Marni tidak ingin yang lain. Ia tidak mau tahu bahwa kabar yang besar dan membingungkan telah tersebar ke mana-mana, tak terkecuali di Pegaten. Ia hanya ingin pagi-pagi menyediakan sarapan, lalu melepas suaminya di pintu. Setelah menyiapkan makan siang enam jam kemudian, ia akan duduk membopong Tono sambil menunggu Karman pulang. Biasanya Karman lebih dulu menyentil si Buyung sebelum menaruh sepeda di tempatnya. Atau Karman akan mencubit tengkuk ibu si Buyung. Tetapi keinginan Marni tinggal menjadi harapan khayali. Sejak tersiar kabar yang dahsyat itu Karman berubah menjadi pendiam. Tampaknya ia tidak tertarik kepada hal apa pun; Tono tidak pernah lagi dibopongnya, senyum Marni tidak lagi dibalasnya. Bahkan sudah tiga kali hidangan makan siang dibiarkan sampai sore. Karman menjadi mudah terkejut. Sebuah sendok yang jatuh dari atas meja sudah 61 cukup membuatnya terperanjat. Pohing yang datang mengetuk pintu hampir saja membuat Karman pingsan ketakutan. Marni berpikir. Memang sudah banyak orang yang ditangkap. Bahkan ia mendengar ada pula yang dibunuh. Margo dan tiga orang lainnya dikubur dekat jembatan Kali Benda. "Lalu mengapa suamiku menjadi begitu ketakutan?" pikir Marni. Marni teringat beberapa bulan sebelum terjadi perubahan pada Karman, suaminya itu pernah membuat poster-poster. Merah, dan ada gambar palu- arit. Setahu Marni, suaminya menjadi anggota Partindo. Di saku Karman selalu terdapat kartu tanda anggota partai ini. Maka ia meminta penjelasan. "Memang. Dan poster-poster itu kukerjakan karena aku senang membuat gambargambar." "Mendapat upah kalau begitu." "Wah, tidak." "Aku jadi tidak mengerti. Cobalah terangkan dengan jujur." Karman merasa terdesak. Ia ingin tetap bersandiwara, tetapi kemudian didapatnya cara mengelak yang lebih baik. "Marni, kau pernah mendengar samen bundeling van alle revolutionaire krachten?" "Oh ya, anak-anak sekolah sering berucap demikian." "Itulah. Semua kekuatan revolusioner mesti bersatu. Meskipun aku jelas anggota Partindo, tetapi aku juga seorang revolusioner. Jadi aku wajib membantu semua orang yang secita-cita. Yang sedang kukerjakan itu tidak lain kecuali posterposter revolusioner." Marni percaya. Jadi bagaimanapun suamiku seorang Partindo. Tentu ia tidak tersangkut paut dengan penyebab hura-hara, yang beritanya tersiar sekarang, pikir Marni. Apabila Karman ikut bergabung dengan orang-orang Pegaten yang tiba-tiba belajar bersembahyang kembali, hal itu pun tidak dapat menghilangkan kegelisahannya. Tetapi Marni merasa bersyukur melihat perubahan suaminya. Bayangkan, Karman bersembahyang - satu hal yang telah lama sekali diinginkan Marni. Namun Marni tidak pernah tahu persis apa yang menyebabkan suaminya tibatiba melempar keenganannya datang ke mesjid Haji Bakir. Entahlah, yang jelas Marni senang melihat Karman bersembahyang. Sementara penangkapan terhadap orang-orang komunis yang telah mendalangi makar berdarah terus berlanjut. Dan polisi serta tentara ternyata tidak bodoh. Yang mereka tangkap bukan hanya orang-orang yang resmi terdaftar menjadi anggota partai komunis seperti Margo dan si Gigi Besi. Tan Cie Hong yang menjadi anggota Baperki dikubur bersama-sama dengan Riwut di pinggir desa Pegaten. Tetapi kakaknya, Tan Oen Sok, lari ke Bandung. 62 Kegelisahan Karman tidak mungkin tertahan lebih lama. Sudah beberapa malam ia tidak bisa tidur. Bila malam tiba, ia bersembunyi di rumah ibunya atau berkerumun dengan orang lain di mesjid Haji Bakir. Pada saat ia merasa sesuatu yang mengerikan bakal tiba, ia menemui istrinya. Pukul delapan malam saat itu. Suaranya serak, terbata-bata ketika mengatakan, "Marni, aku mau pergi ke rumah Triman. Bila sesuatu terjadi pada diriku, Marni, jagalah dirimu sendiri bersama anak-anak. Kupercayakan Radio, Tini, dan Tono padamu." Marni terbelalak sebentar, kemudian tertunduk dan menangis. Ia pun sudah mendapat firasat: sesuatu bakal terjadi. Hatinya kosong dan mengambang. Di dada suaminya ia menghabiskan air mata tanpa sepatah kata pun dapat diucapkan. Sebelum melepas dekapannya, Karman mencium kening Marni. Tangannya bergetar ketika mengusap kedua belah pipi istrinya, "Cobalah tersenyum, aku ingin melihat lekuk bibirmu." Kemudian Karman keluar, naik sepeda. Marni terkesima, lalu lari ke kamar merangkaki ketiga anaknya sambil menangis. Rumah Triman satu kilometer jauhnya. Karman harus melewati bulak sebelum sampai ke sana. Ketika Karman membelok ke jalan yang lurus, menuju tujuannya, ia terbelalak. Dari jauh, ia melihat empat-lima lampu senter menyala bergantiganti. Laki-laki yang berjalan paling depan membawa lampu pompa. Cepat Karman menuntun sepedanya ke sebuah pekarangan kosong, lalu mencari tempat yang baik untuk bersembunyi sambil mengintip. Rombongan kecil itu lewat. Bunyi langkah sepatu lars. Telinga Karman berdenging. Sesudah dekat benar, Karman melihat jelas siapa yang berjalan di belakang lampu pompa itu. Kepala tertunduk. Tangannya terikat ke belakang. Bajunya bergaris-garis, jalannya bungkuk. Triman! Karman sungguh-sungguh menggigil. Ingin kencing. Tengkuk berkeringat. Matanya nanar berkunang-kunang. Akhirnya Karman lunglai, terduduk di bawah pohon. Ia berada dalam keadaan antara pingsan dan sadar. Lengang. Dari jauh terdengar kambing mengembik di kandangnya. Lalu, rentetan tembakan. Seekor gangsir jantan bernyanyi memanggil betinanya, dan diam apabila yang diundang telah tiba. Mereka kemudian masuk ke dalam liangnya untuk bercinta. Sepi. Seekor kelabang merambat ke kaki Karman. Laki-laki itu terkejut dan mengibaskan kakinya. Kesadarannya kembali, tetapi segera melayang pula. Dalam otaknya, segala macam gambaran jungkir-balik, tumpang-tindih tidak keruan, Pertama Karman melihat seolah-olah Paman Hasyim muncul, berkopiah dan berkain sarung. Ia menudingkan tangannya lurus-lurus. "Rasakan, anak durhaka! Kau akan mati seperti matinya seekor kucing!" Kemudian muncul ingatan itu, ketika ia sendiri menghancurkan bambu pancuran air sembahyang. Bayangan Rifah menyusul. Seakan-akan Karman sedang mengintip melalui celah dinding papan. Wajah Rifah ayu, saleh. Cantik luar biasa. 63 Tiba-tiba Karman siap berlari ketika bayangan Margo datang sambil berteriak, "Revolusi memakan anak kandungnya! Revolusi melalap anak kandungnya sendiri! Revolusi. .!" Terakhir muncul halimun yang membawa gambar Suti. Perempuan budak berahi itu cantik juga, tetapi dalam puncak syahwatnya ia mengerikan! Menjijikkan! Kemudian Karman benar-benar pingsan ketika dalam khayalannya Marni datang sambil menggendong Tono yang masih bayi. Tini dan Rudio dituntunnya sambil berlari pontang-panting. Nama istrinyalah yang pertama terlontar dari mulut Karman ketika ia tersadar kembali, "Oh, Marni, pastilah polisi dan tentara sedang menanyaimu di mana aku berada sekarang. Rumah kita digeledah. Marni, barangkali kau sekarang sedang bersimpuh di tanah. Menangis dan digelayuti oleh tiga anak kecil yang belum tahu apa-apa. Katakanlah sejujur-jujurnya. Bahwa aku baru sesaat yang lalu keluar menuju rumah Triman. Katakanlah begitu, karena aku tahu kau adalah perempuan yang paling jujur. Dengar, Marni. Supaya polisi dan tentara tidak usah berlaku kasar kepadamu, jangan kaubela aku, jangan kaututup-tutupi aku. Mungkin dengan demikian aku tertangkap, tak mengapa, asal mereka memperlakukanmu dengan baik." Para petugas itu tidak menemukan Karman di rumahnya. Mereka tahu Karman meninggalkan rumah dengan sepeda. Pengejaran mereka lakukan di jalan-jalan yang meninggalkan Pegaten. Larut malam Karman bangkit dari persembunyiannya. Celananya basah. Sepedanya dituntun melalui jalan setapak yang membelah pekarangan kosong itu. Kubah Karya Ahmad Thohari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Tiba-tiba ia sadar, sepeda yang dituntunnya tidak ada gunanya lagi. Tetapi dengan meninggalkannya begitu saja, barang ini akan menjadi petunjuk bagi para petugas yang sedang mengejarnya. Karman melihat sebuah sumur. Tentulah milik penghuni rumah yang terdekat itu. Diam-diam ia ke sana. Dengan bantuan tali timba, sepeda Karman tersembunyi di dasar sumur, jaub di bawah permukaan air. Karman meninggalkan tempat itu menurut arah yang makin menjauhi jalan umum. Ya, Karman sadar dirinya kini jadi manusia buruan, sebuah sebutan yang amat rendah dan tak pernah terbayangkan bisa terjadi atas dirinya. Buruan. Dan pelarian yang harus ditempuhnya kini akan menembus kebun singkong, parit-parit kering, dan tanah-tanah kosong yang penuh belukar. Naluri menuntun Karman pergi menuju Lubuk Waru. Lubuk itu terletak dekat hutan jati dan di sana ada makam yang dikeramatkan. Pohon-pohon tua yang besar dan sangat rimbun tumbuh mengelilingi cungkup makam itu. "Aku akan bersembunyi di Lubuk Waru, paling tidak untuk sementara waktu," pikir Karman sambil terus berjalan. Setelah berjalan hampir dua jam, Karman sampai ke tujuan. Tenaganya hampir habis. Maka Karman segera merebahkan diri di atas bantaran berpasir di tepi Lubuk Waru. Ia tergeletak menengadah berbantalkan tangan. Malam terasa begitu dingin. 64 Bintang-bintang bertebaran hampir merata di langit. Lengang, sehingga suara berbagai serangga amat jelas terdengar. Juga suara burung celepuk dari atas pohon besar di dekat makam. "Ya, beginilah aku sekarang. Di sinilah aku sekarang," ujar Karman demi menghayati kesadaran akan dirinya. "Tentara, polisi, apakah kalian sedang mencari seorang yang bernama Karman" Datanglah kemari, ke Lubuk Waru. Aku, Karman, sekretaris Partindo yang sebenarnya anggota partai komunis, ada di sini, terkulai di atas hamparan pasir." Mungkin karena kepatuhannya terhadap doktrin partai, Karman ternyata mampu bertahan dua hari dua malam dalam kelebatan tetumbuhan di sekitar Lubuk Waru. Untuk bertahan hidup, Karman makan pisang mentah, jagung, atau apa saja yang bisa dicuri dari ladang penduduk. Bila hendak tidur, Karman keluar dari semak menuju bantaran berpasir di tepi sungai. Di sana ia menggali lubang sedalam tiga jengkal, memanjang sesuai dengan ukuran tubuhnya. Karman memendam dirinya sendiri dalam pasir yang kering dan hangat, hanya kepalanya yang muncul ke permukaan. Dengan cara itu Karman bisa lelap karena terbebas dari udara dingin serta gigitan nyamuk. Pengetahuan tentang cara tidur yang ganjil itu diperolehnya ketika Karman sering menggembala kambing Haji Bakir pada masa kanak-kanak. Namun pada malam kedua Karman memperoleh pengalaman yang amat mengesankan. Ketika sedang tidur dalam pelukan pasir yang hangat itu Karman merasa ada tiupan napas pada wajahnya. Karman membuka mata dan melihat moncong anjing hanya beberapa senti dari ujung hidungnya. Untung, hanya dengan dengan cara membentaknya anjing liar itu lari menjauh. Dua hari dua malam. Itulah saat-saat yang paling berkesan dalam hidup Karman. Dalam usianya yang tiga puluhan tahun Karman belum pernah merasa begitu dekat dengan dirinya sendiri seperti saat itu. Demikian, di tempat terpencil sekitar Lubuk Waru pada saat-saat yang lengang, Karman dapat melihat dirinya sendiri dengan jujur dan telanjang. Karman melihat pemutaran rekaman riwayat hidupnya; sejak anak-anak, kemudian ikut menjadi bagian keluarga Haji Bakir, disekolahkan oleh Paman Hasyim, lain ditampik ketika hendak mengawini Rifah, terakhir, menggabungkan diri dengan kelompok orang-orang komunis yang dipimpin Margo. Ya, lintasan panjang dan berliku itu kini berujung di sekitar Lubuk Waru; terpencil, diburu, dan entah apa yang akan terjadi atas dirinya besok atau lusa. Yang jelas, ketika berada dalam persembunyian itu Karman sering mendengar bunyi letusan senjata. Dan mengapa air sungai ini berbau agak anyir" Darah" Apakah semua kawan-kawan separtai seperti Margo, Triman, dan si Gigi Besi sudah dihukum mati" "Dan sesungguhnya aku kini sedang menunggu giliran menyusul mereka?" Tiba-tiba tiba Karman merasa pertanyaan ini berubah menjadi hantu besar yang amat mengerikan, Karman merinding dan merasakan dirinya susut menjadi makhluk kecil yang tak berguna. Atau malah menyusahkan masyarakat dan karenanya harus diburu dan dihukum" 65 Atau entahlah. Yang pasti, pada ujung kebimbangannya Karman bertemu dan berhadap-hadapan dengan bayangan dirinya sendiri. Bayangan itu menuding Karman dan kata-katanya sangat jelas terdengar: "Apa yang terjadi atas diri kamu sekarang merupakan dialektika sejarah, dalam hal ini adalah sejarah politik. Kamu tidak mungkin bisa lari dari cengkeramannya. Kamu akan habis dikoyaknya." "Aku tidak ingin membantah kata-katamu. Ya, apa yang sedang kurasakan adalah wujud dialektika sejarah. Tetapi nanti dulu. Sekarang aku sedang bimbang, apakah benar kehidupan ini sepenuhnya berjalan menurut garis dialektika itu. Tentang diriku misalnya; apakah ketakutan yang sedang kurasakan bukan karena kesalahanku juga?" "Jadi kamu menyesal" Kalau begitu kamu patut mendapat sebutan kader yang tidak bertanggung jawab dan pengecut." "Pengecut atau bukan, kini bukan saat yang patut untuk memikirkannya. Aku, Karman, adalah manusia seperti manusia-manusia lain di dunia. Selain punya keyakinan ideologis, aku juga punya rasa, punya ikatan keluarga, punya naluri, dan akal budi. Ya, akal budi. Kini aku ingin mendengar suara akal budiku sendiri." "Kini jelas, kamu seorang kader partai yang munafik." "Aku tak peduli." "Tetapi sejarah telanjur mencatat, kamu adalah pengikut Margo. Kenapa bisa begitu?" "Pertama, karena sakit hati. Aku jengkel karena Haji Bakir tak rela anaknya kukawini. Kedua, aku jengkel karena sawah orangtuaku dikuasai oleh Haji Bakir dengan cara yang tidak adil. Dengan masuk ke dalam lingkaran Margo aku bermaksud membalaskan sakit hatiku. Atau kalau bisa, aku mendapatkan kembali sawah itu. Ah, aku tidak mengerti bahwa akhirnya aku harus terbawa dalam situasi yang sangat menakutkan ini. Aku tak mengerti. Atau kamu bisa menerkanya?" Hening. Karman tidak mendengar apa pun dari bayangannya sendiri. Malah dalam rongga matanya Karman melihat Marni berlari kian kemari sambil menangis ketakutan. Sambil bergerak pontang-panting Marni membimbing ketiga anaknya yang juga menjerit dengan wajah penuh kengerian. Karman menangis. Tetapi kelengangan Lubuk Waru tak peduli. Apabila bilik sempit yang bertutup atap ilalang dan tertopang oleh empat tiang bambu itu bisa disebut rumah, maka Kastagethek pernah memilikinya. Rumah kecil yang lebih pantas disebut gubuk itu terletak di tempat terpencil di bantaran Kali Sikura di kampung Pangkalan. Kastagethek menempuh hidup dengan caranya sendiri. Lelaki berperawakan kecil dan berkulit gelap itu mempunyai keahlian membawa puluhan, bahkan ratusan batang bambu yang diikat menjadi gethek, semacam rakit darurat. Dari kampung Pangkalan, lelaki itu menghanyutkan rakit bambunya mengikuti aliran Kali Sikura menuju desa Muara, puluhan kilometer 66 jauhnya di pantai Selatan. Perjalanan di atas air itu bisa ditempuh selama dua hari dua malam. Maka Kastagethek selalu menyediakan perapian di atas rakitnya, lengkap dengan kuali untuk menanak nasi. Sampai di tujuan, rakit dibongkar kembali dan dijual sebagai bambu batangan. Tetapi Kastagethek tak perlu mengurusi penjualannya karena bambu-bambu itu bukan miliknya. Kasta hanya memburuh membawakan dagangan itu dari kampung Pangkalan sampai ke Muara. Dari Muara, Kastagethek pulang ke Pangkalan dengan berjalan kaki menyusuri bantaran Kali Sikura. Perjalanan itu bisa menghabiskan waktu sampai dua hari. Tetapi sambil berjalan pulang itu Kastagethek melakukan pekerjaan lain, menjala ikan. Menarik rakit bambu dan menjala ikan adalah dua pekerjaan yang telah ditekuninya turun-temurun. Demikian, maka ayah Kasta yang bernama Wirya dan kakeknya yang bernama Truna, semuanya punya sebutan tambahan gethek. Sayang, garis keturunan dinasti gethek tidak akan berlanjut karena Kasta tak punya anak. Air Kali Sikura sudah lama surut. Inilah masa sulit bagi Kastagethek karena ia tak bisa menghanyutkan lebih dari satu rakit bambu. Perjalanan ke hilir sering mengalami kesulitan ketika rakitnya harus melewati bagian sungai yang dangkal. Tidak jarang Kastagethek harus terjun ke sungai dan mendorong rakitnya yang kandas. Tetapi pada sisi lain musim kemarau juga memberi keuntungan kepada anak Kali Sikura itu. Pada musim ini beberapa jenis ikan mengalami masa-kawin. Menjebak ikan-ikan yang sedang berahi beramai-ramai di malam hari adalah keahlian lain yang dimiliki Kastagethek. Dan hasilnya bisa mencapai belasan kilo ikan segar. Kehidupan Kastagethek terus bergulir, hilir-mudik sepanjang Kali Sikura antara Pangkalan dan Muara. Demikian, maka hampir semua orang yang tinggal pada lintasan kehidupan Kastagethek mengenalnya. Bagi orang-orang yang gemar mengail di Kali Sikura, Kastagethek pun bukan lelaki asing bagi mereka. Bahkan anak-anak selalu berteriak gembira apabila mereka melihat rakit bambu lewat. Mereka terjun ke sungai dan ramai-ramai naik ke atas rakit. Kasta akan menyambut mereka dengan keramahan seorang ayah yang telah lama merindukan anak. Ya, bagi Kasta, anak-anak adalah manusia-manusia kecil yang manis dan lucu. Tengah malam, akhir tahun 1965. Bulan yang pucat dan kesepian telah mencapai pertengahan juring langit sebelah barat. Malam yang sepi mencekam. Hampir tak terasa pertanda kehidupan kecuali suara kentongan yang dibunyikan di pos-pos jaga setiap jam. Atau suara langkah-langkah berat para peronda, polisi, dan tentara. Kadang terdengar juga lolongan anjing dan suara burung hantu. Namun di tengah malam yang nyaris mati itu sebuah rakit bambu meluncur lambat mengikuti arus Kali Sikura. Ada perapian berkelap-kelip di atasnya. Dan ada Kastagethek yang sedang duduk mencangkung dan sesekali bangkit untuk mengatur arah rakitnya. Ketika sampai ke Lubuk Waru, Kastagethek menghentikan rakitnya. Sebatang bambu pengayuh dibuatnya sebagai tambatan. Kasta memang biasa berhenti di 67 tempat itu untuk beristirahat. Namun selama kemarau, Kasta punya acara lain di tempat itu; menjebak gerombolan ikan yang tengah kawin, yang biasanya berlangsung menjelang fajar. Selesai menambatkan rakitnya Kasta turun ke hilir, agak menjauh dari Lubuk Waru. Pada bagian sungai yang agak dangkal tukang rakit itu menyusun batu-batu kali menjadi pematang yang melingkar dengan garis tengah lima atau enam meter. Masing-masing pada bagian hulu dan hilirnya dibuat pintu-pintu. Dasar sungai yang sudah terkalang itu diratakan. Kemudian Kasta naik ke darat. Dicarinya bongkahan-bongkahan tanah kering, dihancurkan lalu ditebarkan ke tengah kalangan tadi. Entahlah, ikan-ikan mempunyai naluri yang aneh. Mereka lebih tertarik melakukan perkawinan di dalam air yang lapisan dasarnya baru terkena sinar matahari. Pekerjaan membuat jebakan selesai. Sebelum naik kembali ke rakitnya, Kasta membersihkan badan. Air yang begitu dingin sudah terbiasa baginya. Sebuah lampu kecil dinyalakan. Kini Kasta tinggal menanti fajar setelah bulan tenggelam. Pada saat inilah, seperti telah dialami Kasta selama bertahun-tahun, ikan-ikan akan keluar dan mencari tempat yang baik untuk kawin. Dan Kasta telah menyediakan tempat itu. Dari kampung, jauh di seberang sungai, terdengar kentongan dipukul dua kali. Fajar akan menjelang dua jam lagi. Bulan hampir tenggelam. Bumi dan seisinya seakan sedang tidur. Langit pun sepi, tak ada sesuatu yang bergerak. Tetapi di atas rakitnya, Kastagethek masih sibuk. Setelah berganti pakaian, Kasta menggelar tikar kecil, lalu berdiri menghadap ke barat. Di puncak malam yang amat hening, seorang diri Kastagethek menegakkan shalat. Zikirnya khusyuk. Dipandang dari ketinggian langit, Kasta larut dalam tasbih semesta. Bersama dengan air Kali Sikura yang mengalir hening, bersama dengan bebatuan yang membisu di tebing lubuk, dan bersama serangga yang berderik hampir tak terdengar, Kastagethek menyekutukan pujian terhadap Gusti Kang Akarya Jagat, Tuhan yang mencipta semesta alam; Gusti, Engkaulah yang terpuji dan suci dari segala prakira dan syak-wasangka. Masih dalam keheningan yang pekat, di barat bulan sudah menyentuh cakrawala. Tiba-tiba angin bertiup lemah dan hanya mampu menggoyang pucuk-pucuk ilalang di sekitar Lubuk Waru. Dari kesunyian yang temaram, seekor burung hantu muncul tanpa bunyi dan hinggap di pucuk dahan tepat di atas jebakan yang dibuat Kastagethek. Seperti Kasta, burung malam itu datang untuk menangkap ikan. Tetapi karena melihat ada manusia di sana ia terbang kembali dan lenyap dalam kegelapan. Sesaat kemudian terdengar suaranya yang berat dan bergaung seperti hendak menyadarkan alam sekitar Lubuk Waru yang sedang lelap. Dari tempat persembunyiannya yang hanya terpisah jarak beberapa belas meter, Karman dapat melihat seluruh kegiatan Kastagethek. Karman memang tak bisa tidur meskipun malam hampir menjelang fajar. Perutnya terasa sangat lapar dan 68 hatinya amat gelisah. Namun dalam kegelisahan itu Karman merasa terkesan ketika diam-diam ia memperhatikan Kasta bersujud kepada Tuhan. Seorang anak manusia, sendiri di tengah alam terbuka yang sedang lelap dan sunyi, merunduk di hadapan Gusti. Entahlah, kesan itu terasa sangat mendalam. Padahal sebagai orang komunis seharusnya Karman berseru, "Kang Kasta, buat apa kamu lakukan semua itu" Kamu selalu menyembah Tuhan yang konon Mahaadil; tetapi mengapa kamu tetap miskin karena dicengkeram oleh ketidakadilan?" Tidak. Pada malam yang hening itu Karman tidak bisa bilang apa-apa. Jiwanya telah terguncang oleh peristiwa yang terjadi pada hari-hari terakhir ini; tentang makar berdarah di Jakarta; tentang teman-teman separtai yang dihukum mati; tentang rumah-rumah yang dibakar; atau tentang air Kali Sikura yang bau anyir darah. Demikian dahsyat guncangan itu sehingga Karman tidak bisa lain kecuali justru mempertanyakan nasib dirinya; Apakah ajaran partai akan membawanya juga ke depan regu tembak seperti yang dialami Triman" Karman merinding karena jawaban yang muncul di hati sendiri adalah "Ya" yang amat niscaya. Dan di sana, Kastagethek masih duduk dengan khusyuk. Dalam kesadaran ketika bayangan regu tembak sudah muncul di depan mata, Karman merasa sangat iri terhadap Kastagethek dengan segala perilakunya yang amat tenang, mengalir, dan pasrah. Karman dapat memastikan bahwa ketenangan hidup Kastagethek berkaitan dengan shalatnya, dengan zikirnya, dengan tasbihnya. "Ah, ketiga ritus itu telah lama kuingkari dan kucampakkan." Kastagethek tampak bangkit kemudian menghidupkan perapian. Panci dijerang karena Kasta hendak merebus air untuk kemudian menanak nasi. Perapian di atas rakit itu telah menyala dan di tempat persembunyiannya, Karman menegakkan kepala karena mendengar Kastagethek melantunkan kidung Sangkan-paraning dumadi; dari mana dan mau ke mana segala keterjadian. Aku mbiyen ora ana Saiki dadi ana Mbesuk maneh ora ana Padha bali marang rahmatullah Dulu aku tiada Kini aku meng-ada Kelak aku lagi tiada Kembali ke rahmat ilahi Hanya sebuah syair yang biasa dilantunkan anak-anak ketika menunggu saat sembahyang tiba. Hampir semua anak di Pegaten bisa menyanyikannya. Ketika kecil Karman pun tiap menjelang magrib ramai-ramai melantunkan syair yang menurut Haji Bakir merupakan saduran atas adagium yang berbunyi innalillahi wa innailaihi raji'un. 69 Ya. Semasa kecil Karman beriman penuh terhadap ajaran bahwa segala yang maujud berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan pula. Namun setelah menjadi orang partai, keimanan semacam itu dibuang jauh atas pengaruh Margo dan kawankawan. Bagi Margo, yang kemudian diikuti Karman, segala yang maujudmengada-memang harus ada, dan sama sekali tak perlu dipertanyakan dari mana datang dan mau ke mana mereka kembali. "Segala sesuatu jadi ada dan kemudian jadi tiada, semuanya karena dialektika sejarah." Begitu pernah dikatakan Margo. Tetapi malam ini hati dan jiwa Karman terbang kembali ke masa lalu, ketika bersama teman-teman sebaya melantunkan syair itu di mesjid Haji Bakir. Bahkan pada masa anak-anak Karman dapat merasakan kedamaian dan keteguhan hati setiap kali mengucapkan syair pendek itu. Ya, masa-masa indah dan penuh kenangan; dunia damai yang penuh keimanan tetapi telah lama ditinggalkannya dan rasanya sudah terlambat untuk kembali. Sesungguhnya Karman sudah tidak tahan, ingin segera keluar dari persembunyiannya dan berbicara dengan Kastagethek. Oh, berhari-hari menyembunyikan diri dan tidak berbicara dengan siapa pun sungguh terasa amat menyiksa. Lagi pula perut Karman kosong. Tetapi setiap kali hendak bangkit, rasa takut menahan dia tetap membeku di tempat. Di atas perapian, air yang direbus Kastagethek telah mendidih. Kasta mengeluarkan sebuah cangkir kaleng. Kemudian Karman mencium bau kopi diseduh. Usus-ususnya terasa menggeliat. Liurnya bangkit. Namun Karman hanya bisa menelan ludah. Karman juga hanya bisa menatap dari jauh ketika Kastagethek memanggang Kubah Karya Ahmad Thohari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo ikan lele di atas perapian. Bau ikan bakar benar-benar menggoda perut Karman yang sudah beberapa hari hanya berisi singkong atau pisang mentah. Dan ketika melihat Kastagethek membuka periuk berisi nasi, Karman tak tahan lagi. Ia bangkit dan berjalan perlahan dalam keremangan. Makin dekat ke rakit yang tertambat itu sosok Karman makin jelas karena tertangkap cahaya lampu. Karman mengeluarkan aba-aba dengan suara seperti orang terbatuk. "Kastagethek di situ?" tanya Karman dengan suara ragu dan parau, Kasta menoleh. Lelaki itu menatap arah datangnya suara yang menyerunya. Tetapi sebelum dekat benar Kastagethek tak bisa mengenali siapa yang datang. Ya, meski tidak tinggal sekampung, tetapi siapa yang tidak kenal pegawai kantor Keeamatan yang bernama Karman" "Lho, Pak Karman" Tengah malam begini sampeyan berada di sini." "Biasa, Kang Kasta, mengail ikan moa," jawab Karman. Entahlah, tiba-tiba rasa lega menyiram hatinya. Karena dari tatapan mata dan gayanya bicara, Kastagethek sama sekali tidak tampak curiga. Ah, seorang penarik rakit bambu seperti Kastagethek mungkin tidak tahu bahwa Karman adalah komunis yang kini harus diburu. Rakit bambu itu sedikit oleng ketika Karman melompat dan naik. Kini ada dua lelaki di atas rakit bambu yang tertambat itu. 70 "Ya, Pak. Ikan moa memang hanya keluar dan cari makan pada malam hari, terutama pada saat magrib dan menjelang fajar." "Itulah, maka saat ini saya berada di sini. Tetapi kali ini sedang sial. Tali kail saya tersangkut dan macet di tengah lubuk. Sudah satu jam saya berusaba mendapatkannya kembali tetapi gagal." Cerita rekaan Karman termakan sepenuhnya oleh Kasta. Maka kemudian dia menawarkan jasa. "Itu gampang, Pak. Nanti bisa saya selami. Siapa tahu ikan moa yang membawa kail sampeyan berukuran besar." "Wah, tidak usah, Kang. Saya sudah rela kail saya hilang. Dan, Kang Kasta, Lubuk Waru kini seram, bukan?" "Maksud Pak Karman, mungkin banyak mayat mengendap di dasar lubuk?" "Ah, kamu pasti lebih tahu." "Memang, Pak. Sungai ini sekarang jadi seram. Untung, saya sudah terbiasa. Eh, Pak Karman mau dengar cerita soal hantu?" "Kang, saya tidak percaya bahwa hantu memang ada." "Itu terserah pada sampeyan. Yang jelas kemarin malam saya melihatnya. Kemarin ada sesuatu yang tiba-tiba melompat dari air dan mendarat di rakit ini. Saya kira ikan gabus karena ikan itu memang biasa melompat-lompat seperti itu. Eh, Pak Karman ingin tahu ternyata apa?" "Apa?" "Potongan kaki manusia. Darah masih menetes pada bekas potongannya." Ketika menceritakan pengalaman itu Kasta tampak tetap tenang, amat tenang. Tetapi Karman mengerutkan kening. Ketakutan muncul jelas pada layar wajahnya. "Tetapi, Pak, potongan kaki manusia yang semula tampak begitu nyata itu tibatiba gaib. Anehnya, kemudian muncul kepala manusia. Hanya kepala dan giginya menyeringai persis orang tertawa. Dan kepala itu tiba-tiba gaib pula. Nah, mau dibilang apa benda-benda tadi kecuali hantu. Iya, kan, Pak?" Karman membisu dan napasnya tertahan-tahan. Apabila bisa memandang dengan saksama, maka Kastagethek akan melihat wajah Karman yang makin pucat. Tetapi Kasta memang lugu. Kata-kata yang kemudian diucapkan membuktikan Kasta tidak menangkap perubahan pada wajah lawan bicaranya. "Eh, Pak. Ada untungnya juga di Kali Sikura ini sekarang banyak mayat. Semua ikan jadi tambah gemuk." Kastagethek tertawa ringan. Karman juga tertawa, tetapi kemudian tertegun. Aneh, siapa menertawakan siapa" Kemudian sepi. Mulut Karman bergerak-gerak, namun suaranya tak kunjung keluar. 71 "Kang Kasta, kamu punya nasi, bukan?" ujar Karman mengalihkan pokok pembicaraan dengan sangat hati-hati. Tiba-tiba lambungnya terasa perih. Kasta menegakkan kepala, mungkin karena merasa ada sesuatu yang mengejutkan dia. "Oh, nasi" Di atas rakit ini selalu tersedia nasi. Tetapi apakah Pak Karman sudi makan nasi seorang tukang rakit?" Karman hanya mengangguk dan tersenyum. Lambungnya kembali perih. Rasa lapar menggerus usus-ususnya. Dan Kastagethek sibuk menyiapkan nasi dengan piring seng. "Dan ini, panggang lele. Sayang bumbunya hanya garam dan cabe. Mari. Wah, tak saya sangka ada priyayi mau dijamu di atas rakit di tengah malam seperti ini. Dan kopi panas, Pak?" Sekali lagi Karman hanya mengangguk. Kini ada nasi dengan panggang lele serta secangkir kopi di hadapannya. Mula-mula Karman meneguk kopi panas itu. Terasa ada tenaga mengalir ke dalam lambungnya. Kemudian tanpa malu-malu Karman makan nasi yang disuguhkan Kastagethek. Lahap seperti itik dua hari tak diberi makan dan menyerbu jemuran gabah. Selesai makan, wajah Karman terlihat lebih segar. Lelaki itu berkali-kali mengucapkan terima kasih sehingga Kastagethek merasa sikap Karman berlebihan. "Yang baru sampeyan santap hanya nasi dan panggang lele. Itulah hidangan yang biasa saya makan karena memang paling mudah diolah di atas rakit ini. Jadi sampeyan tidak perlu merasa berutang budi. Lagi pula sampeyan mungkin lupa, air yang saya rebus untuk menyeduh kopi dan untuk menanak nasi saya ciduk begitu saja dari Kali Sikura ini." "Maksudmu, Kali Sikura yang kini sering mengapungkan mayat, bukan" Ah, aku tak peduli. Karena saya lapar dan masakanmu memang enak." Bulan sudah tenggelam dan langit hanya diterangi cahaya gemintang. Karman dan Kasta masih asyik bercakap. Mereka menggulung tembakau. Sebenarnya Karman bukan jenis manusia yang pandai bersandiwara. Tetapi entahlah, malam itu Karman bisa menyembunyikan perasaannya dengan baik. Ia bisa mengajak Kastagethek bicara soal macam-macam. "Kang, bila kamu sedang menjalankan rakit seperti ini, bersama siapa istrimu di rumah" Apakah dia sendiri?" "Ah, tentu tidak, Pak. Bila istriku tinggal sendiri di rumah, mana mungkin saya bisa pergi berhari-hari dengan tenang." "Tetapi kudengar kamu tak punya anak, bukan?" "Benar." "Lalu?" "Di rumah, istriku selalu tinggal berdua." "Sama?" 72 "Sama Tuhan," jawab Kasta sambil tersenyum. "Kutitipkan dia kepada Tuhan sehingga saya bisa pergi cari makan dengan perasaan enak." Karman diam dan menelan ludah. Hatinya rasa tersodok. "Ya, ya. Tetapi bagaimana andai kata istrimu merasa kesepian?" Kastagethek tertawa. Karman juga tertawa tetapi suaranya hambar. "Lho bagaimana, Kang?" "Ah, saya sendiri sering merasa kesepian. Namun saya tidak berbuat macam-macam. Saya menerima keadaan saya ini apa adanya. Lho, kalau nyatanya saya harus jadi tukang rakit, ya, saya menerimanya. Nrimo ing pandum. Dengan cara begitu saya selalu merasa tenang. Dan. ." Tiba-tiba Kastaaethek berhenti, menegakkan kepala dan memasang telinga. Samar-samar terdengar suara air berkecipak. Kastagethek tersenyum dan siap bangkit. "Pak Karman bisa mendengar suara itu" Ikan-ikan yang kutunggu sudah datang dan mulai ramai-ramai kawin. Saya akan menangkap mereka dengan jala, sampeyan menunggu di sini." Kasta bergerak cekatan. Kain sarung dilepas lalu disambarnya jala. Bagaimana ahlinya dia terbukti dari caranya melangkah dalam air; tak sedikit pun menimbulkan suara. Sunyi. Dan sesaat kemudian terdengar suara jala ditebarkan. Ditinggal seorang diri di atas rakit, Karman tiba-tiba diamuk rasa takut. Tengkuknya terasa dingin. Suara tikus busuk yang berlari di atas daun kering terdengar sebagai langkah sepatu tentara. Ya, siapa tahu tiba-tiba muncul orangorang bersenjata; "Angkat tangan!" Ketika rasa takut masih mencengkeram hatinya, Karman sempat berpikir tentang Kastagethek. Ketenangannya. Dan keikhlasannya menjalani hidup. Karman iri. Dulu, dalam diskusi-diskusi yang diselenggarakan oleh partai, orang seperti Kastagethek sering dipakai sebagai contoh manusia yang tertidas oleh kelas pengisap. Aku dapat mengatakan bahwa kemiskinan yang dialami Kasta dan jutaan orang seperti dia disebabkan oleh sistem kemasyarakatan yang tidak adil. Karena miskin, mereka jadi lemah dan bodoh. Selanjutnya, kebodohan kembali melahirkan kemiskinan. Dengan demikian, kemiskinan, kebodohan, serta kelemahan telah membentuk rantai tertutup sehingga terjadilah lingkaran setan yang tidak bisa lagi dilihat ujungpangkalnya. Dan kelas penindas menggunakan agama sebagai candu untuk meninabobokkan orang-orang tertindas agar terlena dan tidak menuntut hak-hak sosial mereka. "Aku juga sudah mempelajari teori-teori yang membicarakan bagaimana cara menghapus kemiskinan di tengah masyarakat. Kuncinya, keadilan harus ditegakkan. Dan caranya, menurut ajaran partai, masyarakat miskin harus bersatu dan merebut kendali atas sistem yang mengatur mekanisme kehidupan masyarakat. Dan, kira-73 kira itulah yang telah dilakukan oleh kawan-kawan separtai di Jakarta awal Oktober lalu. Aku tahu, meskipun untuk mencapai tujuannya partai membenarkan segala cara, namun usaha itu ternyata gagal. Dan penggunaan cara yang tidak mempertimbangkan harkat kemanusiaan itu, sebenarnya kesadaranku tak bisa menerimanya. Andaikan sejak semula aku menyadari bahwa partai bisa melakukan makar yang begitu berlumuran darah seperti yang terjadi kemarin, sekali-kali aku tak ingin jadi anggota." "Ah, aku mengerti kesadaran ini datang terlambat. Masalahnya aku takut menghadapi regu tembak. Aku. ." "Alhamdulillah, Pak Karman," tiba-tiba suara Kastagethek menghancurkan lamunan Karman. Kasta muncul dengan jala penuh ikan. "Tuhan bermurah dengan rezeki-Nya malam ini. Lihat, paling tidak tiga kilo ikan yang saya dapat. Nah, Pak Karman tidak mendapat seekor pun ikan moa, bukan" Tak usah takut dimarahi istri. Bawalah barang beberapa ekor ikan yang saya jala ini, yang besar-besar. Itu rezeki Pak Karman." Karman terdiam karena bingung. Dan juga terkejut. Untung Kastagethek sedang sibuk membenahi ikan-ikannya, sehingga ia tidak melihat perubahan pada wajah Karman. Tetapi Karman hampir gagal menguasai diri ketika Kastagethek berkata, "Pak Karman, kukira sebentar lagi akan terdengar ayam berkokok. Maaf, sebaiknya Pak Karman segera pulang. Tentu istri Pak Karman sudah menunggu. Saya sendiri akan tidur sebentar di sini sampai subuh. Selanjutnya saya akan meneruskan perjalanan ke Muara. Nah, sarapan Pak Karman besok pagi pasti enak. Pasti istri Pak Karman pintar membuat pecak ikan kuah santan, bukan?" Tanpa kesadaran penuh, Karman menerima lima ekor ikan yang direnteng dengan tali. Mulutnya bergumam. Barangkali Karman bermaksud mengucapkan terima kasih, tetapi suara yang keluar tidak jelas. Kemudian Karman menjabat tangan tukang rakit itu, lalu berbalik. Tetapi baru beberapa langkah menjauh Karman kembali. "Dengar, Kasta. Kamu tahu, aku seorang pegawai kantor Kecamatan. Malulah rasanya bila sampai ada orang tahu aku mengail ikan sampai hampir pagi seperti ini. Jadi kuminta kamu rahasiakan perjumpaan kita. Ingat, ini amanat yang kupercayakan kepadamu!" "Oh, ya. Setiap amanat, bagaimanapun kecilnya harus ditunaikan dengan sempurna. Begitu perintah Tuhan. Percayalah." Selagi tubuh Karman masih terkena sinar lampu kecil di atas rakit, sosoknya masih tampak. Lama-lama lenyap. Kastagethek bernapas lega. "Malam ini aku telah membagi rezekiku dengan seorang priyayi. Semoga istri Pak Karman dapat menyenangkan suaminya dengan membuat sarapan pagi yang hebat besok. Oh, memang tidak pantas seorang seperti Pak Karman mencari ikan sampai dini hari. 74 Dan aku bersyukur telah membuat Pak Karman tidak pulang dengan tangan hampa." Lepas dari pandangan Kasta, Karman berhenti termangu-mangu. Ia sudah mendengar ayam jantan berkokok. Karman makin termangu. "Mau ke mana aku sekarang?" Untuk sekian lama tetap terpaku di tempatnya. Kokok ayam makin ramai. Ketika menengok ke timur, Karman melihat langit mulai terang. Dan ia merasa ada sesuatu yang amat mengerikan sedang mengejarnya. Waktu sudah amat mendesak, maka Karman harus segera memutuskan ke mana ia harus bersembunyi lagi. Astana Lopajang. Sebuah makam yang dikeramatkan dan terletak di atas sebuah bukit kecil yang dikelilingi hutan puring. Cungkup nya tidak pernah dibuka orang kecuali setahun sekali pada bulan Maulud. Pada bulan tersebut, makam dan tanah di sekelilingnya dibersihkan. Kelambu yang mengelilingi pesarean diganti atau hanya dicuci. Karman teringat tempat yang sangat baik untuk bersembunyi itu, dan bergegas ke sana. Kalau ia berjalan cepat, dalam waktu satu jam saja ia akan sampai ke tujuan. Kunci cungkup selamanya ada pada juru kunci. Oh, Karman tidak akan mencoba merusak kunci itu. Dengan tenaga tangannya ia dapat membuka dinding bambu bagian belakang cungkup makam. Menutupnya kembali baik-baik, dan masuk. Yang pertama dikerjakannya di dalam cungkup itu adalah menyalakan geretan. Seekor tikus lari ketakutan. Disingkapnya kelambu dan: ini dia! "Kukira aku tidak akan lagi sempat tidur di suatu tempat dengan kelambu," pikir Karman. Di samping depan batu nisan sebelah selatan, bekas kemenyan menggumpal sebesar kelapa. Tetapi di dekat nisan sebelah utara, seekor ular sanca sebesar lengan sedang bergelung nyenyak. Dengan kakinya Karman mengusir binatang itu yang kemudian menggeliat pergi. "Jangan jauh-jauh! Besok atau lusa bila aku masih hidup kau akan kupanggang," ujar Karman dalam hati. Tidak terpikirkan sebelumnya, ternyata Karman dapat bersembunyi di tempat itu selama tiga puluh empat hari. Ia hanya keluar di waktu malam untuk mencari makanan dan air. Kadang-kadang mandi. Di siang hari ia tidur atau memikirkan cara untuk melarikan diri lebih lanjut. Atau lagi, berperang dengan sekuat tenaga untuk mengusir kenangan pada istri dan ketiga anaknya. Hal ini yang dirasakan amat berat olehnya, karena dalam mimpinya Marni selalu hadir, tersenyum. Lekuk ujung bibirnya masih tetap indah. Lari ke kota besar adalah rencana yang sudah dipikirkannya dengan sungguhsungguh. Beberapa cara untuk sampai ke kota dipelajarinya, dengan tidak melupakan teori-teori yang telah diterimanya dari Margo almarhum. Sekarang Karman hanya tinggal menunggu saat yang baik. "Satu atau dua bulan lagi tentulah keadaan sudah agak mereda. Aku bisa berjalan mengikuti bantaran Kali Sikura, 75 sepanjang malam. Di Muara ada truk-truk yang selalu mengangkut buah kelapa ke Bandung atau Jakarta. Bila aku mau mencuci ban-ban kendaraan itu, sopir tentu bisa kumintai tolong. Wah, pelarian menjadi aman bila aku dapat memiliki kartu bukti diri palsu. Tetapi siapa yang tahu aku akan memperolehnya." Rencana pelarian Karman terus dikembangkan dengan penuh optimisme. Tetapi sejarah menuntut lain. Karman tidak pernah bisa melaksanakan rencana pelariannya. Keadaan hidupnya selama tinggal di cungkup itu amat buruk. Apa yang dimakan, diminum, semuanya kotor dan mentah. Mula-mula Karman terserang malaria. Masih untung, malam hari ia dapat menemukan buah oyong yang kering. Bijinya bisa menggantikan pil kina, bahkan rasanya lebih pahit. Hilang penyakit yang pertama, datang penyakit lainnya. Karman terkena sakit perut. Diare. Suatu ketika di siang hari Karman diamuk rasa haus. Tetapi air yang biasa ditampungnya dengan daun keladi telah habis. Haus, sangat haus. Maka dikumpulkan sisa kekuatannya, lalu ia keluar merangkak menuruni bukit. Sampai di tepi Kali Sikura ia minum seperti kambing. Dan tamat sudah kisah pelariannya, karena seorang gembala kerbau melihat segala gerak-geriknya. Di siang itu beberapa orang pamong desa datang ke Astana Lopajang. Karman ditangkap dalam keadaan sakit payah. Boleh jadi karena keadaannya itulah orang tidak tega menghabisi nyawanya. Dari dulu desa itu bernama Pegaten, juga pada bulan Agustus 1977 dan entah sampai kapan lagi. Tadi malam ada hujan walaupun sebentar. Cukuplah untuk melunturkan debu yang melapisi dedaunan. Tanah berwarna cokelat kembali setelah beberapa bulan memutih karena tiada kandungan air. Tini bersama Jabir keluar dari rumah Bu Mantri. Mereka baru menjemput Karman dari kota. Ayah Tini yang baru pulang dari Pulau B itu sekarang berada di rumah Bu Mantri, nenek Tini. "Pantas ada gadis manis di Pegaten ini," kata Jabir memulai urakannya. "Ternyata ayahmu gagah juga." Tini tersenyum ketika mendengar pujian Jabir. Namun ia tetap menunduk. Jalannya diperlambat. "Nah, kamu sekarang tahu ayahku seorang bekas tahanan. Kamu tidak malu menghadapi kenyataan ini?" "Kok kamu bertanya seperti itu" Malah aku senang dan harus berterima kasih kepada ayahmu. Tetapi tadi mulutku sulit dibuka." Kubah Karya Ahmad Thohari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Berterima kasih?" "Iya, bukankah karena ayahmu itu maka lahir si manis yang bernama Tini?" "Ah, kamu terlalu. Eh, tetapi benar juga, ya" Bila tak ada Ayah, aku juga tidak akan pernah ada." 76 "Yang kedua; aku merasa malu kepada ayahmu karena sebuah cerita lama. Dengar, kamu tidak melupakan nama calon ibu mertua kamu?" Yang ditanya diam sebentar, malu dan gondok. Calon mertua" "Nggak pakai sebutan calon mertua; pokoknya saya tahu nama ibu kamu. Syarifah." "Betul. Lain kamu juga tahu dulu ibuku hampir jadi istri ayahmu?" Tini tertawa lirih. Jabir gemas, karena tawa itu membuat Tini tambah manis saja. "Kira-kira aku tahu juga. Mengapa?" "Keterlaluan kalau kamu tidak mengerti ada hal yang lucu. Bukankah kita mau kawin" Kalau kelak ibuku bertemu dengan ayahmu, apa mereka tidak akan salah tingkah?" Kedua anak muda itu tertawa. "Ah, mereka sudah tua. Kita menganjurkan agar ibumu dan ayahku sama-sama merasa malu kepada kita." "Kalau mereka tidak malu kepada kita, kita akan berpura-pura malu kepada mereka," sambung Jabir. Tini menghentikan pembicaraan itu. Perubahan wajahnya membuktikan ada sesuatu yang mengganjal pikirannya. Ia berjalan sambil menggigit sapu tangan. Ketika Jabir bertanya mengapa, Tini terisak. Jabir jadi kikuk. "Ibuku," kata Tini akhirnya. "Kamu dapat membayangkan perasaan ibuku sekarang. Ibu sering berkata kepadaku bahwa sesungguhnya ia belum pernah bercerai dengan Ayah dalam arti yang lumrah. Orangtuaku bercerai karena keadaan yang memaksa. Ibu juga mengaku dengan jujur, sesungguhnya ia tidak bisa melupakan Ayah. Tetapi, oh Ibu, ketika Ayah pulang sekarang ini, Ibu telah bersuami. Bahkan sudah beranak dua orang." Jabir membisu dan membiarkan Tini melangkah sambil menghapus air matanya. Mereka mencoba kekuatan akal masing-masing untuk memahami masalah yang rumit itu. Jabir menggeleng-gelengkan kepala. "Tini, aku bisa mengira-ngira bagaimana perasaan ibumu. Tetapi kita tidak bisa berbuat apa-apa. Siapa pun tak bisa berbuat apa-apa. Jadi biarlah apa yang telah terjadi." "Tak salah kamu berkata demikian. Tetapi lain halnya denganku. Apa ada anak yang tidak menginginkan kedua orangtuanya bersatu dalam sebuah rumah tangga yang rukun dan utuh" Mana mungkin aku tega melihat Ibu berperang dengan perasaan sendiri ketika ia meladeni suami baru sementara ia masih selalu teringat kepada suami pertama, ayahku. Ketika Ayah tidak tampak di mata, masalahnya mungkin lain. Tetapi sekarang?" "Apakah ayahmu juga masih ingin kembali kepada ibumu?" 77 "Tadi, Ayah tidak terang-terangan berkata demikian. Tidak akan pernah. Namun dapat kita duga apa yang paling diinginkan oleh seorang yang pulang dari pengasingan selama dua belas tahun. Atau, tak tahulah. Boleh jadi Ayah telah dapat menguasai perasaannya, dengan demikian ia tabah." "Bukan main, kalau begitu. Namun, Tini, paling tidak aku berani minta kepadamu; janganlah memaksakan keinginanmu agar ayah dan ibumu bersatu kembali." "Yah, aku sendiri bisa mengerti masalahnya sudah sulit. Aneh pula, aku merasa kasihan kepada kedua adik tiriku. Mereka manis-manis, mereka anak-anak ibuku juga. Jadi sesungguhnya aku tidak pernah berpikir untuk mendesak Ibu bercerai dengan suami yang sekarang. Rumit?" "Ya, rumit. Sebaiknya kita jadi penonton saja." "Hanya menonton?" tanya Tini bersungguh-sungguh. "Habis mau apa lagi?" "Maksudku, paling tidak kita harus mengambil pelajaran dari kisah kedua orangtuaku ini. Supaya hal yang sama tidak terjadi pada kita. Kau setuju?" "Hm, seperti seorang ibu yang arif kau ini, tapi. ." Jabir merasa sulit meneruskan kata-katanya. "Tapi apa?" desak Tini. "Kalau aku yang mengalami nasib seperti ayahmu?" "Oh, aku tahu. Seandainya kamu harus pergi selama dua belas tahun atau seratus tahun, aku. . Atau sebaliknya tak usah berkhayal yang bukan-bukan. Aku takut." Dalam hati Jabir tersenyum. Ketika mengucapkan aku takut, Tini menggoyangkan kedua pundaknya. Gerakan yang biasa saja seandainya Jabir tidak sedang dirayapi rasa cinta. Ternyata gerak sederhana yang dilakukan Tini telah membuat ombak besar dalam jantung Jabir. Mereka sampai ke depan rumah Tini. Atau persisnya rumah Parta, tempat Tini ikut tinggal bersama ibunya. Gadis itu menghambur meninggalkan Jabir di belakang. Sampai di dalam Tini terus memeluk dan mencium ibunya. Kata-katanya berhambur seperti buah duku tumpah dari keranjang. "Ibu. Benar Ayah telah pulang! Sekarang Ayah ada di rumah Nenek. Wah, Bu. Orangnya tegap dan gagah meski agak kurus. Ada kumis, ada jenggot, ada cambang. Pokoknya banyak bulunya. Pokoknya aku senang, ternyata aku mempunyai seorang ayah yang gagah. Dan tidak setua seperti yang kuduga semula. Eh, Bu, kapan Ibu bisa menemui Ayah?" Marni tegak terpaku. Pandangannya menerawang dan kosong. Ia tetap diam meskipun Tini menggoyang-goyangkan tangannya. Kemudian Tini sadar, ia tak boleh terus mendesak ibunya yang sedang bimbang. Apalagi kemudian ia melihat ada genangan di mata ibunya. 78 "Tini, aku pasti menengok ayahmu. Besok atau lusa, sekarang aku belum bisa." "Wah, besok atau lusa, Bu" Tidak pantas. Semua orang sudah kelihatan datang ke rumah Nenek. Bahkan Haji Bakir suami-istri sudah di sana. Ibu sebaiknya ke sana sekarang." Marni termangu lagi. "Kalau begitu, kau bisa tinggal di rumah menjaga adik-adik?" "Wah, aku harus ikut, Bu. Di sana banyak orang dan tak ada yang mengurus minuman. Masa Nenek yang setua itu seorang diri harus mengurus para tamu?" "Tetapi kamu kan sedang punya tamu?" "Oh, tak mengapa, Bu," kata Jabir dari ruang tamu. "Saya hanya mengantar Tini. Sekarang saya siap pulang." Marni masih ragu-ragu juga, sehingga Tini merasa perlu meyakinkannya. "Ayolah, Bu, anak-anak kita bawa." Akhirnya Marni bergerak masuk ke kamarnya. Di sana Parta terbaring lemah karena bengeknya kambuh. Kata orang, pengidap sakit bengek seperti Parta pantang mengalami tekanan perasaan. Memang tak ada orang yang sengaja menekan perasaan laki-laki itu, tidak juga Karman. Bahwa kedatangan Karman di Pegaten membuat Parta gelisah dan sangat tertekan adalah perkara lain. Ketika Marni minta izin hendak menengok bekas suaminya, Parta diam. Melihat pun tidak. Namun ketika ia mendengar Marni terisak, Parta menoleh. Kemudian dengan aba-aba anggukan yang lemah, Parta mengabulkan permintaan Marni. Masih dengan mata basah, Marni berganti pakaian. Kerudungnya biru muda. Tetapi kalung dan giwang dilepasnya. Sekali lagi ia minta diri kepada suaminya, lalu berangkat bersama Tini dan kedua anaknya. Mereka tidak tahu bahwa beberapa saat kemudian Parta turun dari tempat tidur. Pelan-pelan ia juga berganti pakaian dan menyusul istrinya. Sepanjang jalan ia bersusah payah menata napasnya. Di rumah orangtuanya, Karman sedang dirubung oleh para tamu, tetangga-tetangga yang sudah amat lama ditinggalkan. Ia merasa heran dan terharu, ternyata orangorang Pegaten tetap pada watak mereka yang asli. Ramah, bersaudara, dan yang penting: gampang melupakan kesalahan orang lain. Padahal yang sangat dikhawatirkan oleh Karman adalah sikap membenci dan dendam yang mungkin diterimanya begitu ia muncul kembali di Pegaten. Haji Bakir datang berdua dengan istrinya meski-pun ia harus dibantu dengan tongkat yang menopang tubuhnya yang sudah bungkuk. Apabila Karman menyambut tamu-tamu yang lain secara wajar, tidak demikian halnya ketika ia menerima kedatangan haji yang sudah sangat tua itu. Begitu Haji Bakir masuk ke rumah Bu Mantri itu, Karman berlari menjemputnya, lalu menjatuhkan diri. Dengan bertumpu pada kedua lututnya, Karman memeluk 79 orang tua itu pada pinggangnya. Ia menangis seperti anak kecil. Haji Bakir yang merasa tidak bisa berbuat apa-apa membiarkan Karman memuaskan tangisnya. Marni yang muncul bersama Tini dan kedua adik tirinya sudah sampai ke halaman rumah Bu Mantri. Ia berjalan menunduk. Marni segera menjadi pusat perhatian. Semua orang yang berada di sana diam. Hening. Dan suasana tiba-tiba berubah mencekam. Seolah-olah mereka menunggu sesuatu yang luar biasa akan terjadi. Di pintu Marni mengucapkan salam. Pelan sekali. Kemudian matanya berkeliling mencari laki-laki yang baru pulang dari pengasingan di Pulau B itu. Karman bangkit dari duduknya. Gerakannya tenang saja, tetapi nyata sekali tangannya bergetar. Perempuan yang selama dua belas tahun dirindukan sekarang berada di hadapannya. Yang selama itu pula menjadi angan-angannya. Yang tanpa dia Karman hampir bertekad memusnahkan dirinya sendiri. Di mata Karman Marni tetap cantik, atau bahkan lebih cantik karena kini sudah matang. Apa yang sedang menyapu perasan Karman demikian pula yang dirasakan oleh Marni. Dan apabila Karman berhasil menguasai perasannya, Marni tidak. Bagaimana juga ia seorang perempuan. Ada sesuatu yang terasa mendidih dan meluap dalam dada Marni. Tubuhnya bergoyang. Lalu ia bergerak ke arah Karman. Mulutnya terbuka. Tetapi ada kekuatan yang mencegahnya bergerak lebih lanjut. Dari mulut Marni terdengar suara tertahan, "Mas. . Mmmmas Karman!" Hanya itu. Karena kemudian Marni tidak lagi bergerak. Ia berhenti dalam keadaan yang ganjil. Tangannya seakan-akan hendak menggapai ke depan, tetapi tubuhnya condong ke belakang. Beberapa detik Marni tetap demikian. Lama-lama tubuhnya goyang. Karman cepat menangkap tubuh Marni sebelum perempuan itu roboh ke tanah. Orang tak usah mencari kata-kata yang berlebihan, karena yang kemudian terjadi memang sulit dilukiskan dengan bahasa. Perempuan-perempuan yang menahan isak. Lelaki-lelaki yang tiba-tiba jadi gagu. Dan suasana yang mendadak bisu tetapi penuh haru-biru. Tubuh Marni diangkat ke atas balai-balai. Banyak perempuan yang tak tahan melihat adegan itu, lain menangis dan menyingkir ke belakang, lebih-lebih Tini. Gadis itu menelungkupi tubuh ibunya sambil menjerit-jerit. Tangis kedua adik tirinya menambah suasana di rumah Bu Mantri itu makin membingungkan. Seorang perempuan melonggarkan pakaian yang dikenakan Marni, dan ia mengalami kesulitan ketika berusaha melepas setagen. Yang pingsan belum siuman ketika Parta tiba di tempat itu. Dari jarak beberapa langkah orang sudah mendengar suara napasnya. Kedua bahunya turun-naik dengan berat. Sebelum masuk ia berhenti, bertelekan pada daun pintu. Siapa pun tidak dipedulikannya. Parta sedang berusaha agar tidak kehabisan udara. Wajahnya sudah merona biru. Tetapi ketika mendengar ribut-ribut di dalam, Parta masuk. 80 Tergagap-gagap manakala ia tahu siapa yang tergeletak tak sadarkan diri. Suaranya terputus-putus antara tarikan napasnya. "Oh. . kenapa istriku" Diapakan dia" Kenapa. .?" "Bersabarlah Parta, sabar," sela Haji Bakir. "Istrimu pingsan. Nanti ia segera siuman." Tetapi orang tua itu tidak berhasil menahan Parta yang terus berkata-kata seperti orang kesurupan. "Marni itu istriku. Bagaimana juga ia istriku. Sah! Kami menik. . ah di hadap. . an penghu. . lu." "Yah, Marni adalah istrimu tentu saja," kata Karman. "Tetapi bersabarlah sampai dia siuman kembali." "Tetapi diapakan dia" Diapakan" Marni. . Mmmmmari pulang! Ini buk. . an rumahmu. Mmmmmari pulang!" Seorang laki-laki bangkit dan memaksa Parta duduk di sebuah kursi. Sesungguhnya laki-laki itu tidak perlu bertindak sekasar itu. Parta sudah lemas kehabisan tenaga. Ia terkulai, hanya bola matanya yang bergulir-gulir melihat kesibukan yang sedang terjadi. Melihat Marni tidak juga siuman, Karman mengambil sebaskom air hangat. Kaki Marni direndamnya. Kemudian perlahan-lahan mata Marni terbuka. Berangsur-angsur napasnya normal kembali. "Astaghfirullah," desis Marni. Orang-orang yang merubungnya menarik napas lega. "Syukurlah, Marni sudah siuman," ujar seorang perempuan. Sambil duduk kembali, Marni membenahi pakaiannya. Meskipun air matanya menetes kembali, tetapi ia kelihatan lebih tenang. Dipandangnya Karman yang masih berdiri di ujung dipan. Keduanya saling tatap dengan mata, dengan hati masingmasing. Pada saat seperti itu baik Karman maupun Marni, tak mungkin berbohong dan memungkiri perasan masing-masing. Namun keduanya hanya bisa menekan perasaan yang tiba-tiba menusuk dada. Dan menelan ludah. Melalui tatapan dan air matanya, sejuta pesan hendak disampaikan Marni kepada Karman. "Oh, kau laki-laki yang pernah mengisi kesejukan di waktu mudaku. Dulu ketika aku menyerahkan diri-ku padamu, kamu telah membayarnya dengan kehangatan hidup yang membuatku merasa sangat beruntung. Kauikatkan diriku kepadamu dengan tiga orang anak, dengan tawa riang, dengan kedamaian. Oh, Karman, aku tahu kau tak pernah menginginkan perpisahan. Aku pun tidak, tetapi kita telah berpisah sekarang. Bahkan aku tidak bisa menyambut kepulanganmu kecuali dengan keadaanku yang memalukan, yang hanya menambah kegetiran hatimu. Maafkan aku, Karman, seperti dulu kau selalu berlaku demikian kepadaku. Maafkan aku." 81 Sekali lagi Marni menatap bekas suaminya. Meskipun jantung Karman terpacu, tetapi ia dapat menangkap ucapan Marni. "Kau baik-baik saja, Paknya Tini?" "Hm" Yah seperti yang kaulihat, aku sehat. Oh ya, kau keliliatan awut-awutan. Pergilah sebentar ke sumur, bersihkan dirimu." Karman terkejut sendiri. Mengapa ia bisa memberi perintah kepada Marni yang bukan lagi istrinya. Ia lupa dirinya sudah tidak berhak mengatur perempuan itu. Tetapi Karman tidak meralat tindakannya, malah mengikuti Marni dengan tatapan matanya. Kepanikan sudah mereda. Marni sudah bercakap-cakap dengan Bu Mantri di ruang tengah. Ia menoleh kepada bekas suaminya yang datang mendekat. "Marni, kulihat suamimu sakit. Tidak baik ia terus berada di tempat yang banyak orang seperti ini. Kukira lebih baik bila ia kauantarkan pulang dulu. Kapan-kapan aku akan datang ke rumahmu." *** Sudah tiga bulan desa Pegaten menerima kembali seorang warganya yang selama dua belas tahun tinggal di pengasingan. Pegaten yang lugu, Pegaten yang tidak mengenal rasa kesumat. Dia membuka pintu yang lapang bagi Karman untuk menata kembali martabat dirinya di tengah pergaulan sesama warga desa. Dalam upaya ini Karman hampir tak mendapat kesulitan. Apalagi Haji Bakir, orang yang terpandang di Pegaten, tidak berubah sikap. Karman sungguh-sungguh telah berbaur kembali dengan tiap gerak kehidupan di Pegaten. Ia tampak pada tiap kenduri yang diadakan orang, ia ikut kerja bakti membersihkan saluran irigasi yang sudah dibangun di desa itu. Dan Karman merasa bangga sekali ketika ia diberi kesempatan memperbaiki sumur masjid Haji Bakir. Ada sebuah berita yang makin lama makin makin santer diterima Karman. Tini, anaknya yang dulu baru berusia lima tahun ketika ditinggal ke tanah pengasingan, akan dilamar oleh Jabir. Bukan karena Jabir adalah cucu Haji Bakir yang membuat Karman termenung-menung. Tetapi karena Jabir adalah anak Syarifah dengan almarhum Abdul Rahman. Sesungguhnya Karman ingin memperoleh penjelasan. Setidak-tidaknya ia dapat menanyakan hal itu kepada bekas istrinya. Namun ia malu. Di Pegaten, pihak calon pengantin perempuan hanya layak menunggu berita dari pihak laki-laki. Ketika orang-orang Pegaten selesai panen, kepastian yang ditunggu-tunggu Karman datang juga. Suatu malam Marni datang ke rumah Bu Mantri bersama Tini dan kedua adiknya. Agak terkejut juga Karman menerima kedatangan mereka. Namun Marni segera menerangkan. 82 "Tadi siang Haji Bakir menyuruh seseorang ke rumahku. Malam ini kami dimintanya berkumpul di rumah Bu Mantri ini. Sebentar lagi beliau menyusul kemari. Paknya Tini, kamu mau menata kursi-kursi?" "Soal menata kursi adalah pekerjaan gampang. Masalahnya. ." Karman tidak meneruskan kata-katanya. Naluri menyuruhnya melihat anak gadisnya yang sudah menginjak usia delapan belas tahun. Tini menunduk, di punggung ibunya ia menangis. Mengertilah Karman sekarang. Mendadak ia merasa umurnya maju puluhan tahun ke depan. Marni memandang bekas suaminya yang sedang terpana. Perempuan itu merasa ada kekuatan batin yang mendekatkan dirinya dengan Karman. Walaupun ia berusaha keras, tak urung air matanya menetes juga. "Ya, ya. Baiklah, kita tunggu kedatangan mereka. Tini yang harus pergi ke dapur. Oh ya, harus tersedia kopi yang enak untuk Haji Bakir. Kalau tak salah, beliau gemar kopi pahit. Di sini belum tersedia apa pun." Kubah Karya Ahmad Thohari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Aku telah membawa segala keperluan." kata Marni. "Juga sirih dan pinang?" tanya Bu Mantri kepada bekas menantunya. "Ya, Bu." Kesibukan kecil terjadi di rumah itu. Karman masuk ke kamar. Ia merasa perlu bertukar pakaian yang agak pantas. Mana" "Untung istri Gono memberiku baju dan kain sarung, meskipun bekas, tetapi lumayan." Marni membersihkan meja. Karman menata kursi-kursi. Dan yang paling bingung adalah Tini. Memang ia sudah berdiri di dapur, namun ia ragu-ragu. Akhirnya ia mengambil seikat daun kelapa kering untuk menyalakan tungku. Tangannya yang gemetaran menumpahkan minyak tanah. Seandainya Haji Bakir masih setia dengan terompah kayunya, kehadirannya dapat segera dikenali. Tetapi sudah lama terompah ber- bungkul kuningan yang dibubut halus itu tergeletak di bawah lumbung padi. Sepasang sandal jepit yang terbuat dari karet menggantikannya. Maka langkah-langkah Haji Bakir bersama istrinya tak dapat didengar sebelum ia mengucapkan, "Assalamualaikum." Seisi rumah menghentikan pekerjaan masing-masing. Karman dan Marni keluar menjemput tamunya. Bu Mantri masih berdiam diri. Nenek itu sedang mengingatingat bagaimana sikap yang anggun yang harus dilakukannya. "Tak pernah kulupakan, bagaimana juga aku bekas istri seorang mantri," bisik Bu Mantri meyakinkan diri sendiri.Ternyata Paman Hasyim beserta istrinya menyusul di belakang Haji Bakir. Rupanya dia juga diundang oleh Haji Bakir. Maka makin sibuklah keadaan di rumah Bu Mantri. 83 Di dapur, dekat tungku api, Tini duduk diam menggigit bibir. Matanya basah. Ia mendengar kedatangan para tamu, dan tahu betul maksud kedatangan mereka. Jadi Tini gemetar. Denyut nadinya cepat. Dan berkeringat. Keringat di pipi, keringat di ujung hidung. Pokoknya Tini gerah. Se-cangkir kopi telah tumpah. Sebelumnya, secara tak sadar Tini memegang cuping panci yang panas. Di ruang depan, Haji Bakir dihadapi olah Karman dan Paman Hasyim. Mereka berbincang-bincang dari masalah panen yang kurang menguntungkan sampai ke cerita ketika Haji Bakir masih muda. Dengan gaya berseloroh Hasyim bertanya kepada Haji Bakir apa syaratnya agar orang dapat mencapai usia setua dia. "Soal umur sematamata urusan Tuhan. Usiaku pasti sudah lewat delapan puluh tahun sekarang, karena ketika Gunung Merapi meletus pada tahun 1901 aku sudah ingat. Cicitku sudah empat orang. Boleh jadi Jabir sebentar lagi akan menambah jumlah cicitku." Percakapan mereka terhenti sojenak ketika Tini keluar membawa makanan dan minuman. Sesungguhnya ia sudah sering menghadapi Haji Bakir. Tetapi saat itu Tini menganggap Haji Bakir seorang kaisar yang sedang membawa pesan cucunya, seorang pangeran. Tini merasa dirinya menjadi sebutir debu di hadapan kakek Jabir itu. "Jangan-jangan kopi itu berbau sangit karena kuseduh dengan air panas yang kumasak dengan api daun kelapa. Jangan-jang-an tempe goreng itu terlalu kering, terlalu keras bagi Haji Bakir. Jangan-jangan. ." Bila kemudian Haji Bakir mengutarakan maksudnya dengan gaya bahasa lama, itu karena ia tidak tahu cara yang lain. Ia hanya tahu begitulah bahasa yang dipakai orang Pegaten sejak dulu bila hendak melamar seorang gadis. Kalimat-kalimatnya berbumbu, bersayap di samping, beremper di depan, dan berekor di belakang. Karman sendiri pasti tidak bisa menirukan gaya bahasa Haji Bakir yang digunakan malam itu. "Tuan rumah sekalian, serta segenap yang hadir di sini. Adalah kami berdua telah berjalan terlunta-lunta meninggalkan gubuk kami demi hendak menghadap Tuan-Tuan sekalian. Di tempat yang penuh hikmah ini, di hadapan Tuan-Tuan sekalian, kami ingin mengutarakan maksud kandungan kami. Benarlah, kami bukan seorang lurah apa pula seorang mantri juru periksa. Tetapi bolehlah kami bertanya mengapa pagar pekarangan di rumah ini dibiarkan rusak-rusak. Atau mengapa dinding lumbung itu dibiarkan menjadi lapuk dan tidak diganti. Apakah belum ada seorang bujang yang datang meminta atau menawarkan diri hendak membereskan semua yang tampak kurang rapi itu" Bilamana belum ada bujang yang datang, bilamana Tuan-Tuan berkenan di hati, kami ada mempunyai seorang cucu yang buruk rupa, Jabir namanya. Dapatlah kiranya cucu kami itu Tuan jadikan bujang di rumah ini. Dia sudah menginjak usia dua puluh dua tahun, Selasa Wage adalah hari kelahirannya. Demikian, kami telah sampaikan maksud kehadiran kami. 84 Maka sekarang giliran kami yang menanti kata apa yang hendak Tuan jatuhkan kepada kami." Sepi. Karman kelihatan tegang. Paman Hasyim senyum-senyum. Bu Mantri dalam posisi duduknya yang anggun kelihatan menghitung dengan cara melipat-lipat jemarinya. Dicegahnya Karman yang tampak ingin berkata sesuatu. Lalu Bu Mantri menoleh kepada Paman Hasyim, adiknya. "Wah, baik sekali hasil perhitungannya. Ketemu pendaringan penuh. Jabir sangat cocok buat Tini." Semua yang hadir tersenyum melihat tingkah Bu Mantri. Karman menegakkan punggung dan siap menjawab lamaran yang diucapkan Haji Bakir. "Terima kasih atas segala hal yang telah disampaikan oleh Pak Haji. Selanjutnya, karena yang mewakili pihak lelaki adalah kakek Jabir, maka pihak kami akan diwakili Paman Hasyim. Dia kakek Tini juga." "Kok saya?" kata Paman Hasyim agak terkejut. "Memang harus Paman Hasyim. Kalau tidak, siapa?" "Baiklah. Tetapi saya tidak bisa berbicara dalam bahasa tinggi. Bagaimana kalau saya bicara seperti biasa?" "Jangan!" potong Bu Mantri. "Kamu harus mengimbangi tata cara yang sudah dilakukan oleh Pak Haji." "Baik, akan saya coba sebisa-bisanya. Bapak dan Ibu Haji, adalah sudah tersedia pada kami: kayu dan bambu, serta segala alat pertukangannya. Tetapi keadaan di rumah ini masih kacau-balau, sebab belum ada seorang anak muda yang datang untuk membereskan segala yang tidak rapi itu. Kami sedang menanti ibarat orang memasang bubu, ikan apa gerangan yang bakal masuk. Itulah keadaan kami yang sebenarnya." "Wah, syukurlah," timpal Haji Bakir, "Apabila demikian maka cucuku si Jabir yang akan datang, bila Tuan-Tuan sudi menerimanya. Suruhlah anak gadis di rumah ini menyediakan makan dan minumnya. Kami melihat anak gadis itu sudah cukup usia dan cantik pula." "Sesungguhnya tiada keberatan pada pihak kami. Masalahnya, apakah sudah diketahui bahwa tidak ada anak gadis di rumah ini kecuali dia yang lahir dari kedua orangtua yang tidak bermilik tanah barang sejengkal atau padi barang seikat" Lagi pula, rupanya anak gadis itu belum pandai masak-memasak bahkan mencuci periuk-belanga?" Tengah malam perundingan itu berakhir. Semua pihak bangkit dari tempat duduk dengan rasa lega dan puas. Sebelum meninggalkan rumah Bu Mantri, Ibu Haji Bakir menyerahkan kain kebaya untuk diberikan kepada Tini sebagai tanda pengikat. Telah disepakati pula hari dan bulan untuk melaksanakan perkawinan antara Tini dan Jabir. 85 Setelah semua tamu pergi, Karman tidak segera masuk ke kamar tidur. Ia duduk seorang diri dengan perasaan yang galau. Karman merasa senang karena anak gadisnya akan menikah dengan perjaka dari keluarga baik-baik. Tetapi Karman juga merasa gelisah. Ia teringat masa belasan tahun lalu ketika ia bersama ajaran partainya menganggap Haji Bakir adalah manusia penindas yang jahat, sekaligus menjadi musuh kaum progresif-revolusioner. Dan kini ternyata orang tua itu akan menjadi besannya. Dan lebih dari itu, Karman sungguh tidak lagi bisa melihat sesuatu pada Haji Bakir yang membuatnya pantas dibenci. Bahkan Karman merasa kecil dan hina ketika kelak, sesudah perkawinan itu diselenggarakan, Haji Bakir memberi hadiah kepada Tini. "Tini, untuk bekal hidupmu bersama Jabir, kuberikan kepadamu sawah yang terletak di sebelah utara Kali Mundu itu. Luasnya satu setengah hektar. Peliharalah baikbaik pemberianku itu. Barangkali engkau tidak tahu bahwa dahulu sawah itu adalah milik nenekmu." Mesjid Haji Bakir makin tua seperti usia pemiliknya. Temboknya rapuh dan tampak retak-retak di sana-sini. Ubin di serambi banyak yang lepas. Langit-langit yang terbuat dari bilik bambu banyak yang sudah kendur, keropos oleh air yang menetes dari genting yang pecah. Serta kubah mesjid itu. Bila angin bertiup, akan terdengar suara derit seng yang saling bergesekan. Rupanya seng yang membentuk kubah banyak yang lepas dari patrinya, atau aus termakan karat. Para jamah sepakat hendak memugar mesjid itu. Pikiran demikian makin mendesak karena jumlah jamaah terus bertambah hanyak. Tanpa membentuk sebuah panitia, pekerjaan itu dimulai. Semua orang mendapat bagian menurut kecakapan masing-masing. Karman memberanikan diri meminta bagiannya. Ia menyanggupi membuat kubah yang baru bila tersedia bahan dan perkakasnya. Ketika tinggal dalam pengasingan Karman pernah belajar mematri dan mengelas. Keinginan Karman mendapat sambutan. Hasyim menjual tiga ekor kambing untuk membeli bahan-bahan pembuat kubah serta biaya sewa alat-alat las dan patri. Hanya membuat sebuah kubah yang tidak terlalu besar. Berkerangka besi pelat, berkulitkan seng tebal. Semua orang tahu bagaimana bentuk sebuah kubah. Dengan upah tak seberapa besar, seorang las di pinggir jalan dapat menyelesaikan pekerjaan itu. Bilamana upah yang diterimanya lebih banyak, ia akan bekerja lebih hati-hati, lebih saksama. Jika kubah itu sudah dipasang menjadi mahkota mesjid, habislah segala urusan. Orang tak akan membicarakannya lagi, tidak juga tukang las itu. Tetapi Karman menganggap pekerjaan membuat kubah itu sebagai kesempatan yang istimewa. Sesen pun ia tak mengharapkan upah. Bahkan dengan menyanggupi pekerjaan itu ia hanya ingin memberi jasa. Bagaimana juga sepulang dari pengasingan ia merasa ada yang hilang pada dirinya. Ia ingin memperoleh kembali 86 bagian yang hilang itu. Bila ia dapat memberi sebuah kubah yang bagus kepada orang-orang Pegaten, ia berharap akan memperoleh apa yang hilang itu. Atau setidaknya Karman bisa membuktikan bahwa dari seorang bekas tahanan politik seperti dia masih dapat diharapkan sesuatu! Maka Karman bekerja dengan sangat hati-hati. Ia menggabungkan kesempurnaan teknik, keindahan estetika, serta ketekunan. Hasilnya adalah sebuah mahkota mesjid yang sempurna. Tidak ada kerutan-kerutan. Setiap sambungan terpatri rapi. Kerangkanya kokoh dengan pengelasan saksama. Leher kubah dihiasi kaligrafi dengan teralis. Empat ayat terakhir dari Surat Al Fajr terbaca di sana: Hai jiwa yang tentram, yang telah sampai kepada kebenaran hakiki. Kembalilah engkau kepada Tuhanmu. Maka masuklah engkau ke dalam barisan hamba-hamba-Ku. Dan masuklah engkau ke dalam kedamaian abadi, di surga-Ku. "Luar biasa bagusnya," kata seseorang ketika kubah mesjid hasil kerja Karman selesai dipasang menjadi puncak bangunan mesjid. "Beruntung," sambung yang lain, "kita mendapatkan Karman kembali. Kalau tidak, niscaya kita tidak bisa bersembahyang di dalam mesjid sebagus ini." Karman mendengar puji-pujian itu. Rasanya dia yakin bahwa dirinya tidak berhak menerima semua pujian itu. Tetapi wajah orang-orang Pegaten yang berhias senyum, sikap mereka yang makin ramah, membuat Karman merasa sangat bahagia. Karman sudah melihat jalan kembali menuju kebersamaan dan kesetaraan dalam pergaulan yang hingga hari-hari kemarin terasa mengucilkan dirinya. Oh, kubah yang sederhana itu. Dalam kebisuannya, mahkota mesjid itu terasa terus mengumandangkan janji akan memberikan harga asasi kepada setiap manusia yang sadar akan kemanusiaannya. Dan Karman merasa tidak terkecuali. - - the end - - Collected by. Ismahfudi MH 87 Pedang Golok Yang Menggetarkan 12 Wiro Sableng 027 Khianat Seorang Pendekar Bara Naga 7