Badik Buntung 18
Badik Buntung Karya Gkh Bagian 18 Terdengar Bian-hok Lojin berseru heran, pikirnya, "bocah ini terlalu takabur, badan masih terapung di tengah udara berani beradu kekuatan dengan Lohu. Soalnya ia tidak tahu bahwa Thian-hi adalah ahli waris Wi-thian-cit-ciat-sek, cara adu kekuatan macam ini benar-benar si orang tua minta gebuk dan harus diberi hajaran, seumpama Bu-bing Loni disini dia pun tidak akan berani mengadu kekuatan secara kekerasan begini, apalagi Bian-hok Lojin, meski Lwekangnya tidak lemah, namun mana dia kuasa bertahan diri menghadapi kedahsyatan tenaga Wi-thian-cit-ciat-sek yang tiada taranya ini. Bab 34 Begitu Bian-hok Lojin menyendal pedangnya, sementara Hun Thian-hi masih belum kerahkan tenaga pendamnya, sehingga seluruh tubuhnya ikut terangkat naik. Agaknya Bianhok Lojin sangat bangga, ia sudah kerahkan seluruh tenaganya untuk menjungkir balikkan tubuh Thian-hi berbareng kirim sebuah tusukan dengan getaran pedangnya yang dahsyat untuk mencelakai jiwa Hun Thian-hi. Thian-hi sudah meraba jalan pikiran Bian-hok Lojin, tapi ia pun segan mengerahkan kekuatan Wi-thian-cit-ciat-sek untuk menggetar balikkan kekuatan lawan supaya membinasakan jiwanya, seluruh batang pedangnya sudah gemetar dan melengkung, seluruh batang Cu-hongkiam memancarkan cahaya merah dadu, itulah pertanda bahwa kekuatan Wi-thian-cit-ciatsek sudah dikembangkan menggempur lang-sung ke arah Bian-hok Lojin. Sekonyong-konyong Bian-hok Lojin merasa segulung tenaga besar laksana gugur gunung meluruk ke arah dirinya dari berbagai jurusan yang berlawanan, keruan kejutnya bukan kepalang, baru sekarang ia menyadari kejadian apa yang bakal terjadi akan keselamatan jiwanya. Hawa pedang segera bergolak ditengah udara, tanpa kuasa pedang panjang kena tersedot dan terpental terbang ke tengah udara, terdengarlah suara gemeratak batang pedang itu tergempur putus berantakan ditengah udara menjadi beberapa potong, sementara tubuhnya juga terdorong pontang-panting oleh terjangan tenaga besar yang melandai. Belum lagi Bian-hok Lojin sempat berdiri dan bernapas Cu-hong-kiam di tangan Thian-hi sudah membabat tiba mengarah tenggorokannya. Tampak mata Bian-hok Lojin memancarkan rasa kejut dan ketakutan, tapi dalam kejap lain mendadak ujung mulutnya mengulum senyum kegirangan pula. Thian-hi jadi melengak, bersama itu terasa angin dingin menyampok tiba dari belakangnya, sigap sekali ia menggeser kaki seraya memutar tubuh, ternyata Ce-hun Totiang tengah meluncur datang, keruan ia jadi kaget, ia sadar dirinya telah tertipu lagi, waktu ia membalik lagi sementara Bian-hok Lojin sudah terbang keluar rumah seraya tertawa gelak-gelak. Thian-hi menghardik keras, badannya mencelat mengejar. Disaat badan Bian-hok Lojin melayang turun kebetulan Bun Cu-giok sedang memburu datang, ditengah gelak tawanya Bian-hok Lojin mengebutkan lengan bajunya, jaraknya dengan Bun Cugiok kira-kira setombak lebih, kontan Bun Cu-giok tergetar sempoyongan oleh tenaga kebutan lengan baju orang, dalam kejap lain si orang tua sudah menghilang pula di dalam rumah. Bagai terbang Hun Thian-hi mengejar dengan ketat, tapi ia tidak berhasil menyandak musuhnya, begitu mengejar masuk ke dalam rumah, keadaan gelap gulita, jejak Bian-hok Lojin sudah menghilang. Mau tak mau ia memuji dalam hati, mimpi juga tak terduga olehnya dikala Cehun Totiang mengejar datang malah dia mengunjuk senyum dikulum, daya pikiran dan ketenangan hatinya yang besar ini sungguh harus dipuji, serta merta ia menghela napas gegetun. Kejap lain Ce-hun Totiang juga telah tiba, dengan geregetan ia berkata, "Saking gugup Pinto sampai berbuat ceroboh, usaha Siauhiap yang mendekati hasil gemilang menjadi berantakan oleh kecerobohanku!" -saking sesal ia banting kaki. "Totiang tidak perlu salahkan diri sendiri, aku sendiripun belum tentu dapat berhasil mengalahkan dia, cuma ia salah perhitungan mau jajal adu kekuatan sehingga kena kecundang, kecerdikan otaknya betapa pun sangat mengagumkan, meski ia berhasil lolos pun tidak perlu dibuat getun, yang terang dia masih berada di dalam gedung ini! Cepat atau lambat kita akan menemukan dia pula!" Hari sudah terang tanah, Hun Thian-hi bertiga semalam suntuk ubek2an menjelajahi segala pelosok gedung besar itu tanpa menemukan jelak Bian-hok Lojin, mereka jadi gemes dongkol, kalau Bian-hok Lojin sengaja menyembunyikan diri tidak mau keluar, mereka tidak mampu berbuat apa-apa. Sinar matahari menerangi semua pelosok gedung itu, kata Hun Thian-hi kepada Cehun Totiang, "Cuaca terang benderang, kita bisa melihat dan memeriksa.lebih teliti, aku akan periksa sekali lagi, aku tidak percaya masa dia menyembunyikan diri tanpa bisa diketemukan." Ce-hun Totiang insaf dirinya sudah terluka, ilmu silat Bun Cu-giok terpaut jauh sekali dibanding Thian-hi, mereka cuma bakal merupakan beban saja, maka ia mengangguk setuju, katanya, "Kalau begitu menyulitkan Siauhiap saja, Siauhiap harus hati-hati jangan sampai dijebak!" Thian-hi manggut-manggut, di lain saat ia sudah mulai pencariannya dengan teliti. Di bawah penerangan sinar matahari, keadaan dalam gedung bobrok jelas sekali, kelihatannya seperti sudah ratusan tahun tidak pernah dihuni atau diperbaiki lagi, banyak tempat yang sudah keropos dan mulai gugur. Thian-hi memasuki sebuah serambi panjang dari serentetan kamar2 yang terdiri dari papan, sekian lama Thian-hi ubek2an dalam rumah papan ini tanpa menemukan sesuatu yang mencurigakan, lambat laun hatinya menjadi kecewa dan putus asa. Baru saja ia bergerak hendak kembali keluar, tiba-tiba didengarnya suara keresekan yang lirih sekali. Thianhi terkejut, cepat ia membalikkan tubuh, dilihatnya si tua Kelelawar sedang berdiri di belakangnya. Mengawasi orang tua di hadapannya Hun Thian-hi melongo dibuatnya, ia heran kenapa selama ini dirinya ubek2an Bian-hok Lojin sengaja menyembunyikan diri, sebaliknya kini muncul secara mendadak membuat kaget orang saja. Sekian lama mereka beradu pandang tanpa bergerak dan tidak bersuara, akhirnya Thian-hi jadi rikuh sendiri, katanya sambil menatap tajam si orang tua di depannya, "Kau harus segera membebaskan Nona Ciok Yan!" Pandangan Bian-hok Lojin dingin tanpa perasaan, sahutnya, "Kaukah Hun Thian-hi yang mulai menanjak namanya di Kangouw akhir2 ini?" "Ya, aku yang rendah memang Hun Thian-hi." "Bagus, memang tidak bernama kosong. semalam hampir saja aku terjungkal dalam tanganmu karena kurang hati-hati. Ternyata kau adalah ahli waris Wi-thian-cit-ciat-sek!" "Kalau kau tahu itulah baik," sahut Thian-hi dengan nada mengancam, suaranya berat, "Kau bukan kaum keroco yang tidak bernama, kenapa tanpa sebab menculik bini orang!" "Tiga puluh tahun lamanya belum pernah aku melakukan perbuatan yang mengotori nama dan mendurhakai sanubariku. Meski sudah ratusan manusia yang binasa di tanganku, tapi mereka mati bukan tanpa sebab atau alasan yang cukup setimpal." "Kalau begitu mohon keteranganmu, apa alasan dan tujuanmu kau menculik nona Ciok Yan?" "Ciok Yan" Hahaha, siapa yang bernama Ciok Yan hakikatnya aku tidak tahu, tiga puluh tahun lamanya aku belum pernah meninggalkan gedung ini setapakpun, orang yang kukerjain tiada seorang pun yang masih ketinggalan hidup dari mana aku menculik orang" Kau sedang kelakar agaknya!" "Apa benar-benar?" tanya Thian-hi terkejut. "Memangnya aku orang yang suka ngobrol?" jengek Bian-hok Lojin kurang senang. Waktu Thian-hi kebingungan, tiba-tiba didengarnya derap langkah mendatangi dari sebelah belakang, tahu ia bahwa Ce-hun Totiang dan Bun Cu-giok sudah menyusul tiba. Setelah mendengar percakapan mereka. Timbul pertanyaan dalam benak Thian-hi, ia berpaling hendak bertanya, tapi dilihatnya Ce-hun Totiang sudah menerjang masuk langsung menubruk ke arah Bian-hok Lojin. "Totiang nanti dulu!" teriak Thian-hi. Baru saja suaranya lenyap lantas dilihatnya air muka Ce-hun Totiang rada ganjil, kontan ia mendapat firasat jelek, seolah-olah sesuatu peristiwa bakal terjadi, cepat ia memutar tubuh lagi, tapi dalam sekejap itu bayangan Bian-hok Lojin sudah lenyap tak keruan parah. Ce-hun Totiang melesat kesamping menghindari rintangan sebelah tangan Thian-hi terus menggempur dinding papan disebelah depan sana. "Blum!" seluruh rumah menjadi hureg hampir ambruk, debu beterbangan memenuhi seluruh rumah. Tapi dinding papan yang kena pukulan itu sedikitpun tidak bergeming ambrol. Bercekat hati Thian-hi, ia tahu dikala Ce-hun Totiang menerjang masuk ke dalam rumah ini kebetulan melihat Bian-hok Lojin melarikan diri kebalik dinding papan ini, maka ia mengejar datang sambil mengirim pukulan, tak terduga gerak gerik Bian-hok Lojin jauh lebih cekatan. Tidak heran sekian lama tadi ia mencari ubek2kan tanpa menemukan jejak Bian-hok Lojin, kiranya rumah ini ada dipasang alat rahasia. Tapi yang peniting sekarang bukan cepat-cepat menyusul atau menemukan jejak musuh, ia harus mencari tahu dulu duduk perkara yang sebenarbenarnya. Maka tanyanya kepada Ce-hun Totiang, "Cian-pwe, tadi Bian-hok Lojin sudah bicara dengan Wanpwe, ada berbagai persoalan aku mohon penjelasan secara terperinci!" Bian-hok Lojin berhasil lari, hati Ce-hun jadi gegetun dan kecewa, kini mendengar pertanyaan Thian-hi lagi, ia jadi terkejut dan tegang, entah untuk persoalan apa. Dengan penuh tanda tanya ia pandang Thian-hi, katanya, "Ada urusan apa silakan Siau-hiap bicara saja?" "Totiang, aku ingin ketegasan, apakah benar-benar nona Ciok diculik oleh Bianhok Lojin?" Agaknya Ce-hun tidak menduga Thian-hi bakal mengajukan pertanyaan ini, dengan kurang mengerti ia balas bertanya, "Benar-benar! Adakah sesuatu yang kurang beres?" "Dari mana Totiang bisa tahu bahwa penculik itu adalah Bian-hok Lojin?" Ce-hun Totiang merasa urusan kurang beres, nada pertanyaan Thian-hi sudah mempertegas dugaannya bahwa peristiwa ini jauh menyimpang dari dugaan semula, sejenak ia berpikir lalu sahutnya, "Kami mendapat tahu dari penuturan Hoan-hu popo sebelum pingsan!" "Tadi Bian-hok Lojin berkata padaku, hakikatnya ia tidak tahu siapakah nona Ciok itu, ia tidak pernah menculik orang. Tiga puluh tahun lamanya belum pernah ia meninggalkan gedung ini setapak pun." Ce-hun Totiang melengak, sekian lama terlongong tak bicara. Sebaliknya Bun Cu-giok menjadi gusar dan uring-uringan, teriaknya, "Dia bohong!" "Cu-giok!" cegah Ce-hun, matanya menatap tajam pada Bun Cu-giok. Bun Cu-giok menjadi lemas dan tertunduk, air mata mengalir membasahi pipinya. "Wanpwe sendiri masih kabur akan duduk persoalan ini yang sebenar-benarnya, tapi dari raut mukanya waktu bicara aku yakin dia tidak membual, tapi bagaimana juga kupikir pasti urusan ini ada sangkut pautnya dengan dia. Jejak nona Ciok tentu dapat kita temukan dari keterangannya, untuk ini kalian tidak usah kuatir!" "Sungguh aku tidak menduga urusan bisa berlarut dan ruwet, aku cuma mengharap dapat menemukan Ciok Yan saja!" "Lebih baik Totiang dan saudara Cu-giok tetap diluar saja, biar aku sendiri mencari Bian-hok Lojin. "Tidak" sahut Ce-hun tegas, "ini adalah lurusan perguruan kami, membikin Siauhiap ikut bercapai lelah kami sudah rikuh dan tak enak hati, kalau Siauhiap boleh meski ilmu silat kami terlalu rendah. kami ingin ikut menerjang ke dalam lebih lanjut!" "Kenapa Totiang bicara begitu sungkan, aku cuma kuatir luka-luka Totiang yang perlu perawatan, gerak-gerik kurang leluasa lagi, kalau Totiang memang ingin meluruk ke dalam itulah memang amat baik!" Thian-hi melolos Cu-hong-kiam, tenaga dikerahkan terus menusuk ke dalam dinding papan, begitu ditekan pada ujung pedang pelan-pelan lalu menggores telak, pedangnya menusuk masuk Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo seketika Thian-hi dibuat terkejut heran, rumah papan ini kelihatannya sudah keropos dan hampir roboh kenyataan masih sedemikian kokoh dan kuat serta keras sekali dindingnya, mengandal ketajaman Cu-hong-kiam sudah mengerahkan setaker tenaganya lagi, hampir saja pedangnya tidak berhasil menusuk masuk. Dimana ia gerakkan tangannya, Cu-hong-kiam menggores sebuah lingkaran bundar sebesar mulut sumur akhirnya dengan sedikit tenaga sendalaan seketika papan yang tergores bundar itu jatuh di tanah mengeluarkan suara kerontangan yang nyaring, kiranya itulah papan hitam yang terbuat dari logam keras. Thian-hi melengak heran, waktu diraba tangannya menyentuh dinding keras yang dingin, kiranya terbuat dari papan besi, tak heran pukulan Ce-hun Totiang yang dahsyat tadi tidak membuatnya cebol berantakkan. Dilain kejap satu persatu mereka sudah masuk melewati lobang bundar itu, Thianhi berada paling depan sambil jalan ia celingukan ke kanan kiri, kiranya dalam lobang ini ada ruangan lain, terdapat tiga terowongan bersilang yang menembus ke tempat lain entah kemana! Thian-hi meneliti sekitarnya lalu memilih jalan tengah, didapati oleh Ce-hun dan Cu-giok bahwa sepanjang jalan lorong ini dibuat dari dinding besi semua, hati mereka jadi gundah dan was-was, selama mereka masuk ke dalam rumah gedung ini, Ban-hok Lojin selalu main bokong dan bertahan, belum pernah melancarkan serangan yang sesungguhnya kepada mereka, entah si orang tua apa benar-benar mempunyai kepandaian sejati. Jalan punya jalan mendadak Bian-hok Lojin muncul lagi disebuah tikungan tak jauh di depan sana, matanya berapi-api memandang ke arah mereka. desisnya geram, "Berani kalian meluruk sedemikian jauh kesini!" Bun Cu-giok menghardik keras terus menerjang ke arah musuh. Thian-hi tidak menduga Bun Cu-giok berlaku begitu gegabah, raihan tangannya luput, sementara Ce-hun Totiang juga berseru, "Cu-giok!" Tapi Bun Cu-giok sudah seperti serigala kelaparan terus menubruk dengan kalap, Thian-hi mengeluh celaka, sebat sekali ia melompat maju mengejar, Bian-hok Lojin mandah tersenyum dingin, kedua telapak tangannya dikembangkan lalu ditepukkan pula bersama, segulung tenaga kontan menyongsong kedada Bun Cu-giok. Keruan bukan kepalang kaget Bun Cu-giok, dengan menggembor sekeras-kerasnya ia dorong kedua telapak tangan balas menyerang. Thian-hi jadi keripukan lekas-lekas sebelah tangannya mengebas berbareng tangan kanan bergerak miring memotong ke depan, sekaligus ia punahkan terjangan dua tenaga yang bakal saling bentur, sementara tubuhnya ikut menubruk maju pula, tapi dalam kejap itu pula setelah ia berdiri tegak bayangan Bian-hok Lojin sudah lenyap entah kemana. Bun Cu-giok menjublek kesima, Ce-hun mengejar tiba, katanya menghela napas ringan, "Hunsiauhiap untung kau keburu menolong! Bikin susah kau pula!"-lalu ia geleng-geleng kepala. "Tak menjadi soal, mari kita kejar ke depan!" sahut Thian-hi sambil mendahului lari ke depan. Sesal dan haru pula Bun Cu-giok dibuatnya, sanubarinya terketuk dan hampa, sesaat ia terlongong tak bersuara. Urusan mengenai keselamatan istrinya, bukan saja ia main gagah2an, celakanya bukan saja tidak berhasil malah lebih malu lagi, Bian-hok Lojin berkesempatan melarikan diri pula. Entah berapa panjang mereka menyelusuri lorong gelap tiba-tiba di depan sana tampak cahaya terang, sebuah gedung besar yang lain bentuknya tiba-tiba menjulang tinggi dihadapan. mereka, Hun Thian-hi menghentikan langkah, hati-hati ia maju beberapa langkah, seraya melongok ke dalam. gedung yang terbuka lebar, seketika ia berjingkrak kaget dibuatnya. Seorang orang tua berambut uban tengah duduk samadi ditengah pendopo dalam gedung itu, tangan kanannya menyekal sebilah pedang panjang, dimana tangan kanannya bergerak ke atas, beruntun ia obat-abitkan pedangnya ditengah udara sebanyak puluhan jurus dengan tipu-tipu yang aneh dan menakjupkan, setiap kilasan sinar pedangnya mengeluarkan deru angin yang santer tanda betapa besar tenaga tabasan pedang itu, begitu cepat puluhan jurus itu dilancarkan, tahu-tahu dalam kejap lain sudah ditarik kembali, terlihat mukanya berseri-seri tawa, lalu menghela napas pula. Terkejut dan bertanya-tanya benak Thian-hi, di tempat yang tersembunyi ini sungguh tidak kira ia menjumpai seorang ahli pedang yang begitu lihay, entah siapakah si orang tua berambut uban ini, kepandaian Lwekangnya yang hebat itu kiranya tidak di bawah kemampuan Bianhok Lojin! Terutama permainan ilmu pedangnya yang aneh dan sulit diraba alirannya itu sungguh menakjupkan. Berulang kali si orang tua mengulangi latihannya, akhirnya ia letakkan pedangnya di pangkuannya lalu memejamkan mata. Tiba-tiba Bian-hok Lojin muncul dari pintu sebelah samping sana, katanya sambil memandang ke arah mereka, "Kalian sudah berani kemari, kenapa tidak keluar unjukan diri?" Thian-hi rada ragu-ragu, akhirnya melangkah keluar dan masuk ke dalam gedung itu. Si orang tua beruban membuka mata mengamati Thian-hi, katanya kalem, "Apa maksud kalian datang kemari?" - mendadak sorot matanya berubah setajam ujung pisau. Dari samping segera Bian-hok Lojin menanggapi dengan tersenyum ejek, "Untuk apa" Pasti untuk barang-barang itulah. Bocah itu mengagulkan diri sebagai ahli waris Withian-cit-ciat-sek, anggapnya ia tanpa tandingan dikolong langit, berani main terjang di tempat terlarang ini, masih pura-pura gunakan alasan menuduh aku menculik orangnya!" "Bohong!" tak tahan lagi Bun Cu-giok membentak gusar. semprotnya, "Terang kau yang menculik isteriku. masih pura-pura mungkir. Kami menyusul dari tempat jauh di gurun utara kemari, masa kami kau anggap kelakar belaka?" "Kalian menyusul dari gurun utara?" si orang tua beruban menegas dengan penuh perhatian. "Silakan kau tanya dia saja!" sahut Bun Cu-giok sambil menuding Bian-hok Lojin. "Begitu?" seringai Bian-hok Lojin, "Baik, tak peduli kalian sengaja meluruk kemari atau cuma kebetulan tidak menjadi soal, yang terang kalian sudah sampai disini, demi Suhengku ini, jangan harap kahan bertiga bisa keluar dengan nyawa masih hidup!" "Sute!" ujar si orang tua beruban, "kali ini tidak perlu kau bersitegang leher, kalau rekaanku tidak meleset, tuduhan mereka memang cukup beralasan!" "Apa!" teriak Bian-hok Lojin, "Suheng jadi kau anggap akulah yang menculik gadis itu?" "Bukan begitu," sahut si orang tua beruban sambil geleng kepala, "Gadis itu memang diculik orang kalau rabaanku benar-benar, tamu agung dari gurun besar tentu sudah menyelundup ke dalam gedung kita ini!" Mendengar uraian si orang tua beruban bercekat hati Ce-hun, teringat olehnya; 'mungkinkah si orang tua beruban ini adalah Sin-heng-siu Pek Kong-liang dari gurun besar yang kenamaan itu" Menurut berita yang pernah didengarnya dulu Sin-heng-siu Pek Kong-liang dari gurun besar merupakan jago silat nomor satu dari luar perbatasan pada jamannia dulu, tapi karena ia memiliki sebilah senjata pusaka yang menjadi incaran dari berbagai golongan sesat akhirnya ia dikepung dan dikeroyok puluhan musuhnya, sejak itu jejaknya menghilang peristiwa ini sudah terjadi puluhan tahun yang lalu, tak kira, hari ini ia bersua di tempat ini.' Baru saja suara si orang tua beruban lenyap, orang laki-laki pertengahan umur yang mengenakan pakaian sastrawan tiba-tiba muncul dari balik gedung sebelah lain, tangan kirinya mengempit Ciok Yan yang sedang dicari ubek2an itu. Seketika Bian-hok Lojin menggeram gusar, serentak ia melolos pedang. Bun Cu-giok juga sudah bergerak hendak melabrak kepada laki-laki pertengahan umur itu. Keburu sastrawan itu berkata, "Bocah gendeng, istrimu berada ditanganku, terima kasih kuucapkan kau telah bantu aku mendatangkan seorang pembantu yang berkepandaian tinggi!" "Cay Siu!" ujar si orang tua beruban dengan nada rendah, "Akhirnya kau datang juga!" Ce-hun Totiang sendiri sudah lama bersemajam di daerah gurun utara, bagitu mendengar nama 'Cay Siu' disebut seketika berubah air mukanya. Cay Siu, Leng-bin-siu-su Cay Siu. Dulu Cay Siu dan Pek Kong-liang merupakan dua tokoh tandingan yang paling lihay dari kalangan putih dan hitam, masing-masing tidak mencocoki satu sama lain, mereka sudah bentrok berulang kali, kaum persilatan umumnya mengira mereka sudah sama-sama mati, tak kira ke-dua2nya muncul bersama di tempat ini. Terdengar Leng-bin-siu-su Cay Siu tertawa sinis, sahutnya, "Benar-benar! Dulu aku ikut keroyok kau, untung kau dapat melarikan diri dan belum modar sampai sekarang.... Hari ini kebetulan hadir pula ahli waris Wi-thian-cit-ciat-sek disini, maka Kiam~hoan-kiam-boh milikmu itu harus kau serahkan kepadaku!" Mencelos hati Thian-hi, sungguh licik dan ganas pula hati sastrawan bermuka dingin ini. cara kerjanya cukup keji pula, dengan meringkus Ciok Yan, sebagai sandera ia mengancam kami bertiga untuk beKerja bagi kepentingannya. Dengan penuh kebanggaan Leng-bin-siu-su angkit alis.... katanya kepada Hun Thianhi, "Bagaimana" kalian bertiga bantu aku, setelah Kiam-hoan-kiam-boh itu dapat kurebut, gadis ini segera kubebaskan!" "Cay Siu, sungguh picik dan rendah amat perbuatanmu ini!" demikian maki si orang tua. "Picik dan rendah?" Leng-bin-siu-su menyeringai sadis, "Saudara Pek yang mulia apakah tidak keterlaluan kau maki aku! Ini kan cuma suatu usaha demi mencapai tujuan belaka." "Kau bicara begitu pengecut dan hina." demikian timbrung Thian-hi. jengeknya lebih lanjut, "Kau bukan tandingannya bukan?" "Siapa tahu mana yang lebih unggul?" demikian sahut Cay Siu dengan seringainya, "Mungkin kau belum pernah dengar nama besarku, lihatlah sepasang kaki Sin-heng-siu Pek Kong-liang sudah buntung, mengandal apa dia berani turun tangan dengan aku. sayang seorang diri aku tidak bisa membagi tubuh untuk melawan dua musuh!" "Sedemikian sombong kau mengandal lidahmu, seolah-olah mereka berdua sudah menjadi mangsa makan perutmu. Apakah kau tahu sudikah kami bantu kau?" Cay Siu pandang Hun Thian-hi lekat-lekat, katanya tawar, "Kau berani tidak tunduk pada perintahku." "Pikiranmu terlalu jenaka, kalau kejadian bisa terjadi menurut jalan pikiranmu, jangan karena kau menawan orang kami sebagai sandera lantas mau main perintah dan dapat menguasai Bulim, kalau begitu anggapanimu kenapa pula kau harus merebut Kim-hoan-kiam-boh itu?" Berubah paras putih Cay Siu. tapi sekilas saja wajahnya berubah wajar pula, serunya, "Apapun yang kau katakan tidak berguna lagi, kalau hari ini kau tidak bisa merebut Kimhoa-kiam-boh itu, gadis ini bakal mampus dihadapan kalian!" Amarah Bun Cu-giok kelihatannya sudah sukar berunding lagi, berulang kali ia sudah bergerak hendak melabrak musuh, tapi selalu dapat ditekan oleh Ce-hun Totiang, sebenarbenarnyalah jantung Ce-hun Totiang juga kebat-kebit, bila Hum Thian-hi tidak mampu menghadapi persoalan yang gawat ini, jiwa Ciok Yan pasti celaka, bagaimana juga mereka tidak mungkin bantu Cay Siu. tapi juga serba sulit untuk menggunakan kekerasan. "Jangan kau main gertak! Kami tidak perlu gentar!" sahut Thian-hi dengan suara tawar, diamdiam ia sudah menerawang situasi yang terjepit ini, terpikir olehnya suatu cara yang cukup sempurna, ia harus berusaha untuk mengendalikan situasi menjadi lebih tenang. Dalam berkata-kata diam-diam ia sudah kerahkan Pan-yok-hian-kang, tiba-tiba sebelah tangannya mencomot kedinding yang keras itu, dimana jari jemarinya mencengkeram dinding besi yang keras itu seketika menjadi remuk berhamburan, seperti meremas lempung saja, disusul ia gosokkan kedua telapak tangannya, secomiot besi ditangannya itu hancur lebur menjadi bubuk besi. Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Cay Siu dan lain-lain berubah pucat melihat demontrasi kekuatan yang hebat sekali, tiada seorang pun yang hadir menyangka bahwa Thian-hi membekali ilmu sakti yang tiada taranya ini. Thian-hi menenangkan hati dan mengatur pernapasan sebentar lalu berkata kepada Leng-binsiu- su Cay Siu, "Jangan kau lupa, akulah ahli waris dari Wi-thian-cit-ciat-sek." Tambah terkejut Cay Siu dibuatnya, nada Thian-hi secara tidak langsung balas mengancam padannya, betapapun ia tidak mandah diancam semena-mena, mengandal Lwekang Thian-hi yang mengejutkan itu, ditambah permainan pedang Wi-thian-cit-ciat-sek yang sakti pula, para hadirin tiada seorangpun yang menjadi tandingannya, menang atau kalah jelas tergenggam ditangannya. Cay Siu berusaha mengendalikan rasa Kejut dan takutnya, dengan tertawa dibuatbuat ia berkata, "Pembantu yang kuperlukan justru orang macam kau yang punya kepandaian tinggi, kalau kau yang menghadapi orang tua she Pek itu, persoalan pasti tidak akan berbuntut panjang." "Jadi ada persoalan kalau menghadapi kau?" "Kau berani!" bentak Cay Siu dengan muka pucat. "Darimana kau tahu aku tidak berani. Hari ini terhitung kau masuk ke dalam jala dan menempuh jalan buntu, seluruh hadirin kalau bekerja sama, meski ditambah lagi seorang Lengbin- siu-su juga bakal mampus dibuatnya!" Semakin pucat muka Cay Siu, ancamnya, "Sedikit kau berani bergerak, jiwa Ciok Yan segera kutamatkan!" "Eh, kenapa sih kau Leng-bin-siu-su! Sudah ketakutan ya?" demikian sindir Bianhok Lojin, "Sayang sampai hari ini luka-lukamu dulu baru sembuh, tapi begitu muncul lantas ketemu batunya." "Urusan masa begitu gampang sesuai dengan bacotmu," demikian balas jengek Cay Siu, "Persoalan Kim-hoan-kiam-boh itu hari ini harus dibikin penyelesaian." -lalu ia berpaling ke arah Thian-hi dan sambungnya, "Sekarang juga kau harus turun tangan atau jiwa Ciok Yan segera kubikin tamat!" Meski terkejut Thian-hi masih bisa berlaku tenang, sahutnya tertawa wajar, "Cukup sedetik saja jiwanya melayang, maka jiwamu juga segera akan menyusul ke akhirat. Cobalah kau pikir sekali lagi lebih masak, terserah bagaimana keputusanmu nanti!" Selamanya belum pernah Leng-bin-siu-su Cay Siu dibikin terdesak serba runyam begini, hatinya menjadi gundah pikirnya, "Apakah bantuan yang kupancing kemari dengan daya upaya yang memeras keringat ini menjadi hampa sama sekali?" - lalu terpikir pula, "Dengan jerih payah kuculik gadis ini, apakah harus kuserahkan kembali begitu saja" Tidak mungkin terjadi!" - pikir punya pikir gengsinya merasa terpukul, ia tidak percaya Hun Thian-hi punya nyali begitu besar, cepat ia angkat sebelah tangannya serta mengancam kepada Hun Thian-hi, "Apapun yang kau ucapkan tiada gunanya lagi, orang ini berada di tanganku, hidup atau mati akulah yang menentukan, sebelum aku menghitung sampai sepuluh kalau kau tidak turun tangan menggasak bangsat she Pek itu, akan kuhabisi jiwanya!" lalu ia mulai menghitung, "Satu.... dua.... tiga...." Thian-hi tidak menduga Cay Siu berani memilih jalan keras, kalau ancamannya ini berani dilaksanakan, pihak sendiri menjadi terdesak malah, biji matanya dipicingkan ia mencari akal, jalan satu-satunya yang harus ditempuh adalah menolong dulu Ciok Yan dari belenggu Cay Siu, urusan lain gampang diselesaikan. Kalau Hun Thian-hi kebat-kebit, adalah Bian-hok Lojin lebih gelisah, mendadak ia bersuit panjang, "sreng!" pedangnya terlolos keluar badannya lantas mencelat naik ke tengah udara, dimana sinar pedangnya terayun ia membacok dan menusuk, sekaligus ia lancarkan tiga serangan pedang yang hebat kepada Leng-bin-siu-su. Leng-bin-siu-su tertawa gelak-gelak, dimana tangannya membalik sebat sekali iapun sudah melolos pedangnya terus mencelat terbang pula memapak ditengah udara. Bian-hok Lojin berada di sebelah atas menyerang dengan musuh. Hun Thian-hi merasa takjup juga melihat permainan pedang kedua musuh yang sallng seiang itu, begitu lincah dan cukup ganas pula, selayang pandang sukar dinilai siapa lebih unggul dan asor. Tapi posisi Bian-hok Lojin lebih menguntungkan karena menyerang dari sebeiah atas, sehingga gebrak pertama ini sama kuat, jadi kalau dinilai secara wajar, dengan posisi yang lebih menguntungkan tapi ia tidak berhasil berada di atas angin, ini berarti ia sudah kalah seurat. Kejap lain mereka sudah melompat mundur dan hinggap di tanah pula. Tanpa menanti Bianhok Lojin menyerang lebih lanjut Leng-bin-siu-su membentak ke arah Hun Thian-hi, "Lekas turun tangan, kau dengar tidak?" "Begitu saja kau menghendaki aku turun tangan?" Thian-hi balas bertanya dengan suara datar, "Gampang saja bagi aku, cuma setelah mendapatkah Kim-hoan-kiam-boh itu lalu bagaimanaa penyelesaiannya" Kau inginkan Kiam-boh Wi-thian-cit-ciat-sek sekalian?" Sementara itu Bian-hok Lojin sudah melabrak pula kepada Leng-bin-siu-su, ia tahu persoalan ini tidak gampang diselesaikan, dalam waktu singkat ini tak mungkin tersimpul cara penyelesaian yang sempurna oleh Thian-hi. Melihat Bian-hok Lojin menerjang pula, Leng-bin-siu-su menjadi gusar, bentaknya, "Orang tua keparat, ingin modar kau!" - pedang panjangnya mendadak berputar memuntir laksana lembayung yang melingkar2 dengan cahaya yang menyala, "trang!" cukup sekali gentak ia berhasil menggetar lepas pedang panjang Bian-hok Lojin dan menancap di atas belandar. Si orang tua berubah tertawa dingin, selanya, "Selama tiga puluh tahun ini kiranya kau tidak buang-buang waktu, jurus Hwi-hong-kian-jit (lembayung terbang menggulung matahari) yang merupakan kebanggaanmu ini kiranya berhasil kau latih dengan sempurna!" Leng-bin-siu-su menyeringai bangga, sindirnya dengan sinis kepada Bian-hok Lojin, "Bagaimana, masih ingin coba-coba?" Diam-diam terkejut juga Hun Thian-hi melihat permainan pedang dengan jurus Hwihong-kianjit yang hebat itu. Kali ini Leng-bin-siu-su menghadapi Hun Thian-hi pula, katanya, "Jangan kau kira Wi-thiancit~ ciat-sekmu itu cukup berharga dan menjadi rebutan semua insan persilatan, ketahuilah meski ilmu pedangmu itu tinggi dan hebat, Kim-hoan-kiam-boh ini pun bukan kepalang lihaynya. Kimhoan itu sendiri dapat mengobati segala racun. kau kira aku sudi mengincar Wi-thiancit-ciatsekmu itu?" Thian-hi tertawa besar, ujamja, "Siapa tahu obrolanmu ini benar-benar atau tidak, Wi-thian-citciat- sek merupakan pelajaran pedang tingkat tinggi yang tiada bandingannya, masa kau rela kehilangan kesempatan yang baik ini?" "Sudah diangan cerewet." sentak Leng-bin-siu-su, "Apa yang kuperintahkan harus kau lakukan, kalau tidak diangan kau salahkan aku tidak sungkan-sungkan lagi!" Thian-hi menjadi naik darah, ancamnya, "Berani kau menyentuh seujung rambutnya akan segera kubuat badanmu dedel dowel." - Gagah dan penuh wibawa pula kata-katanya yang tandas itu, pelan-pelan ia pun sudah melolos Cu-hong-kiam. Mimpi pun Lengbin-siu-su tidak mengira reaksi Hun Thian-hi begitu ketus, melihat sikap Thianhi yang berapi-api, sesaat ia jadi kesima. dan mematung sekian saat, mau tidak mau ia harus berpikir kembali dua belas kali menghadapi sikap keras Hun Thian-hi ini, bila ia sembarangan bergerak bukan mustahil jiwanya bakal segera melayang di bawah ujung pedang Hun Thian-hi! Sin-heng-siu Pek Kong-liang memperdengarkan gelak tawa yang terkial-kial, serunya kepada Hun Thian-hi, "Hun-siauhiap harap kendalikan dulu amarahmu!" Leng-bin-siu-su berkesempatan mengendalikan ketenangannya.... dengan kebencian yang meluap-luap dia main ancam lagi, "Aku tidak percaya kau tidak akan tunduk padaku, jikalau Ciok Yan mampus, cara bagaimana kau ada muka bertemu dengan orang-orang gagah di seluruh kolong langit?" Thian-hi pun tidak mau kalah gertak, dengan lantang ia balas menyindir, "Aku cuma, merasa kalau aku bantu kau merebut Kim-hoan-kiam-boh itu, cara bagaimana aku harus memberi keadilan terhadap seluruh manusia dikolong langit ini!" Sin-heng-siu Pek Kong-liang menghela napas panjang, katanya kepada Hun Thian-hi, "Siauhiap sambutlah ini!" - Berbareng ia sambitkan tangan kanannya, dua butir bola emas sebesar telur angsa melesat terbang dari telapak tangannya langsung terbang ke arah Thian-hi. Semula Thian-hi tercengang, namun dalam sekilas itu lantas ia paham tentu bola emas yang ingin direbut Leng-bin-siu-su itulah, cepat ia ulur tangan kirinya meraih ketangah udara. Terdengar Leng-bin-siu-su menggertak gusar, tiba-tiba tubuhnya mencelat secepat kilat menubruk ke arah Thian-hi, berbareng pedang panjangnya menusuk dan menyontek kebawah ketiak kiri Hun Thian-hi. Begitu memgulurkan tangan kiri Thian-hi berhasil menyambut kedua bola emas itu, berbareng ia rasakan angin tajam sudah menerpa tiba, keruan bercekat hatinya secara reflek kedua kakinya menggeser kedudukan melesat kesamping, tepat ia meluputkan diri dari tusukan pedang musuh yang sangat ganas. Sudah tentu Leng-bin-siu-su tidak menyia-nyiakan kesempatan yang bagus dalam inisiatif penyerangan ini, lagi-lagi pedang panjangnya bergerak lebih lanjut, begitu membalik sinar pedangnya memetakan kuntum demi kuntum titik sinar kemilau yang merabu keseluruh badan Hun Thian-hi tujuannya hendak merebut bola emas yang digenggam ditangan kiri Thian-hi. Terdengar Bian-hok Lojin menggertak nyaring, sebat sekali ia meluruk pula ke dalam gelanggang pertempuran, kedua telapak tangannya menggablok dan menghantam dari dua jurusan. Baru saja Thian-hi berhasil menghindari tabasan pedang Leng-bin-siu-su, jurus kedua serangan lawan tahu-tahu sudah menggasak tiba pula, serangan jurus kedua ini jauh lebih keji ganas dan mematikan. Amarah Hun Thian-hi sudah berkobar, terdengar ia menggeram murka, laksana kilat mendadak badannya melambung tinggi ke tengah angkasa, disaat tubuhnya melesat keataa kaki kanannya menendang ke arah pergelangan tangan Leng-bin-siu-su. jurus ini dia lancarkan kepada musuh sehingga pihak lawan berbalik terdesak harus membela diri lebih dulu. Sementara kaki kirinya pun tidak tinggal diam mendepak kemuka orang. Cukup dengan menekuk dengkul dan menundukkan kepala Leng-bin-siu-su menghindari mukanya dari tendangan kaki lawan, berbareng pedangnya diputar untuk membabat kedua kaki Thian-hi. Hun Thian-hi sudah memperhitungkan jurus balasan Leng-bin-siu-su ini, sejak tadi ia sudah siaga. sementara pedang ditangannya pun tidak tinggal diam, laksana seutas sabuk panjang tibatiba pedangnya menukik turun menyapu kemuka Leng-bin-siu-su pula, maka terdengarlah lengking panjang laksana pekik naga, kontan pedang panjang Leng-bin-siu-su kena dipapas kutung menjadi dua potong, dimana lembayung merah melandai tiba pula, tersipusipu Leng-binsiu- su jejakkan kedua kakinya mencelat mundur sejauh mungkin. meski selamat tak urung mukanya pucat pias, terang ia sudah jeri. Dalam pada itu serangan Bian-hok Lojin kebetulan sudah menghantam tiba pula dari sebelah belakang. menghadapi serangan bokongan yang dahsyat dari arah belakang ini Lengbin-Siu-su memutar badan secepat gangsingan terus menerobos miring Ke arah kiri, untung ia berhasil menerobos lewat dari gencetan kilasan ujung pedang dan samberan pukulan telapak tangan. Meski jiwanya selamat, ujung pedang Thian-hi toh berhasil memapas kutung lengan bajunya. Dalam pada itu. menyusul Leng-bin-siu-su menjejakkan kedua kakinya menjulang tinggi kebetulan mencapai pedang Bian-hok Lojin yang menancap di atas belandar, waktu ia meluncur Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo turun lagi sambil menenteng pedang kebetulan ia hinggap pula ditempatnya semula.... Dengan beringas ia awasi Thian-hi. Serangan, jotos dan samberan pedang ketiga lawan ini terjadi dalam waktu yang teramat singkat Bun Cu-giok dan Ce-hun Totiang yang menonton disamping sampai berkeringat dingin dan berdebur jantungnya, baru pertama kali seumur hidup mereka menyaksikan pertempuran yang begitu dahsyat begitu mempesonakan dan tegang. Si-heng-siu Pek Kong-liang sijago kawakan dari gurun utara pun sulit menekan perasaan hatinya yang tegang dan takjup, alisnya yang putih bertaut dalam. Adalah Bianhok Lojin mau tidak mau harus mengakui kelihayan dan takjup pada Leng-bin-siu-Su yang berhasil meluputkan diri dari gencetan dua pukulan tingan dan sejurus serangan pedang yang hebat itu, setelah berputar-putar menjauh dan berdiri tegak lagi dengan waspada ia awasi Leng-binsiu-su, berjagajaga menghadapi sergapan balasan musuh yang jahat ini. Sementara Hun Thian-hi juga sudah meluncur turun, tak urung hatinya heran dan terperanjat juga, jurus pedangnya tadi meski lanjutan dari permainannya yang berhasil memapas kutung pedang lawan, tapi perbawanya bukan olah-olah hebatnya. Dari hasil adu kepandaian segebrak ini Thian-hi dapat menilai bahwa kepandaian Lengbin-siu-su agaknya tidak di bawah Tok-sim-sin-mo, Bahwa sergapannya tidak membawa hasil malah jiwa yang hampir saja dikorbankan, sunggun membuat Leng-bin-siu-su giusar tak terperikan. Saking marah mukanya sampai pucat bersemu hijau dan berdiri mematung. Ia harus memeras otak cara, bagaimana menghadapi Hun Thian-hi lebih lanjut. Sin-heng-siu Pek Kong-liang berkata kalem kepada Leng-bin-siu-su Cay Siu, "Kau tidak perlu menyebul jenggot mendelikkan mata, diantara kita tiada seorang pun yang menjadi tandingannya, menurut pendapatku kau terima takluk saja!" Leng-bin-isau-su Cay Siu menyeringai ejek, belum sempat ia membuka suara Pek Kong-liang sudah berkata pula, "Aku punya cara penyelesaian yang lebih menguntungkan bagi kau, bukankah kau pandang rendah diriku" Sekarang tibalah giliran kita untuk menyelesaikan urusan ini sendiri, kita tentukan satu babak pertempuran, pihak yang menang boleh mengambil Kimhoankiam-boh itu bagaimana pendapatmu?" Leng-bin-siu-su menyeringai iblis, katanya sambil menetap tadiam ke arah Pek Kong-liang, "Kau bukan berkelakar bukan!" - Agaknya ia belum yakin akan kebenar-benaran kata-kata Pek Kongliang. Pek Kong-liang tertawa besar, ujarnya, "Kapan kau pernah melihat aku guyonguyon, bicara terus terang mengandal kepandaian permainan pedangmu yang tidak berarti itu, tidak kupandang sebelah mataku, hayolah maju, kau tak usah kuatir!" "Jangan kau menyesal dan pungkir janji ya?" Leng-bin-siu-su menegas. "Pelajaran ilmu dari bola emas itu sudah tercetak dalam otakku, kenapa aku harus takut pada kau. Besarkan nyalimu, cuma aku kuatir kaulah nanti yang bakal terjungkal!" Mau tak mau termakan juga kata-kata Pek Kong-liang oleh Cay Siu. pikirnya, "Bola emas itu sudah tiga puluh tahun digembol olehnya, bukan mustahil dia sudah apal diluar kepala seluruh pelajaran silat itu. Aku harus waspada!" Menganalisa situasi yang dihadapi sekarang, pihak Hun Thian-hi jelas tidak kena digertak, kedua kaki Pek Kong-liang sudah cacat, seumpama ilmu silatnya maju berlipat ganda, perbawanya juga pasti banyak berkurang. Apalagi dirinya pun tidak pernah berhenti berlatih selama tiga puluh tahun terakhir ini, meskipun karena luka-lukanya dulu sehingga latihannya belum mencapai titik kesempurnaannya, tapi ia yakin bahwa hasil yang dicapainya pun cukup hebat, menghadapi seorang lawan yang cacat sepasang kakinya kiranya cukup berkelebihan bekal ilmu silatnya, dengan keyakinan yang teguh ini berlipat ganda pula keberaniannya!. Sambil menengadah Leng-bin-siu-su bergelak tawa. serunya, "Begitupun baik, urusan kami biar kami berdua yang menyelesaikan sendiri, tak perlu orang lain ikut campur dalam penyelesaian urusan ini. Kau sudah mempelajari ilmu dalam bola emas itu, begitupun tiada jeleknya, supaya orang tidak menyebar kabar angin mengatakan aku menghina seorang yang sudah buntung kakinya." - Lalu ia, tertawa lebih keras lagi. Mendengar Leng-bin-siu-su bernada menghina, tak tahan bergelora amarah Pek Kongliang, sambil mengeluarkan pedangnya ia menantang, "Jangan cerewet! Silakan mulai!" Leng-bin-siu-su terkial-kial, tawanya semakin menggila bernada dingin mengandung pada menghina, Ciok Yan yang dikempit ditangan kirinya tidak mau dilepaskan, begitu pedang panjangnya bergerak langsung ia menyerang kepada Pek Kong-liang. Diam-diam Hun Thian-hi kuatir bagi keselamatan Pek Kong-liang. tadi ia sudah mengukur sampai dimana tingkat kepandaian Leng-bin-siu-su, Sin-heng-su Pek Kong-liang sudah buntung kedua kakinya. untuk menghadapi rangsakan pedang lawan yang begitu hebat rasanya tidaklah mudah. Gebrak yang menentukan menang dan kalah, pertaruhan jiwa antara hidup dan mati ini. sulitlah dibayangkan bagaimana kesudahannya nanti. Dengan segala kekuatan dan kemampuannya Leng-bin-siu-su mulai lancarkan serangan pedangnya. tapi Sin-heng-su Pek Kong-liang mandah tertawa ejek, "Cay Siu, jangan kau takabur!" Sikap Leng-bin-siu-su tidak berubah hakikatnya ia anggap tidak dengar cemoohan lawan, pedang panjangnya malah bergerak semakin kencang dengan serbuan yang mematikan, menusuk menabas dan menggores dengan berbagai kembangan yang rumit, terakhir ujung pedangnya menyelonong keluar menusuk diantara kedua mata, Pek Kong-liang. Sin-heng-siu Pek Kong-liang cukup menegakkan pedangnya terus digentak kesamping, tapi pedang Cay Siu tidak berhenti sampai disitu, beruntun ia ganti pula dengan empat lima jurus tipu pedang yang lihay dan licik, namun semua serangannya menjadi kandas ditengah jalan dipatahkan oleh perlawanan Pek Kong-liang yang mainkan pedangnya tidak kalah lihay dan hebatnya, akhirnya ia jadi gugup dan kaget juga. Sungguh ia tidak nyana setelah kedua kakinya cacat Sinheng- siu masih membekal Lwekang yang begitu tinggi, perbawa ilmu pedangnya jauh lebih hebat dibanding masa mudanya dulu, rasanya malah setingkat lebih tinggi. Giris hati Leng-bin-siu-su, pedang panjangnya tidak bergerak selincah tadi, sekarang ia amat hati-hati pada setiap gerak pedangnya, setiap kali ia mengganti posisi dan kedudukan pedang panjang baru pelan-pelan ditusukkan, setiap tusukan dan tabasan pedangnya selalu mengarah tempat penting yang mematikan ditubuh Sin-heng-siu Pek Kong-liang. Hun Thian-hi menonton dengan cermat. Beberapa gebrak kemudian baru hatinya jadi tentram, didapatinya bahwa kepandaian silat Sin-heng-siu Pek Kong-liang dari gurun besar itu tidak kalah hebatnya dari Leng-sin-siu-su Cay Siu. Dalam hal ilmu pedang dan Lwekang malah setingkat lebih tinggi, terutama permainan ilmu pedangnya yang begitu ketat, rapat dan hebat itu terang Lengbin- siu-su tidak mungkin dapat menyamai. Tanpa bergerak dari tempat duduknya Sin-heng-siu Pek Kong-liang menggerakkan pedangnya melawan musuh, sekejap mata ratusan jurus sudah lewat, tiba-tiba tergerak hatinya, sambil bersuit nyaring panjang sebeiah telapak tangan kirinya menepuk tanah, kontan badannya melejit mumbul ke tengah udara, laksana bintang meteor langsung menubruk ke arah Lengbin-siu-su, pedang panjang ditangannya tergetar memetakan berlapis2 sinar pedang yang berkembang melebar laksana sapu jagat. Kiranya ia sudah kembangkan jurus Pat-hong-hong-hi (hujan angin didelapan penjuru angin) dari pelajaran Kim-hoan-kiam-boh itu. Lapisan sinar pedangnya semakin melebar besar laksana jala berkilauan menyilaukan mata, lalu merangsak bersama dari delapan penjuru angin ke arah Leng-bin-siu-su. Tercekat hati Leng-bin-siu-su, untung pengalaman tempurnya sudah matang, dalam keadaan yang kurang waspada dan tidak bersiap ini, seluruh tubuhnya sudah terkenang oleh jurus Pathong- hong-hi. Apa boleh buat demi keselamatan jiwa sendiri secara licik ia lemparkan tubuh Ciok Yan ke tengah udara. Dengan seksama Hun Thian-hi menonton dipinggir gelanggang, begitu tubuh Ciok Yan terlempar ke tengah udara, laksana naga meluncur tangkas sekali ia melesat terbang mengejar sekali raih tepat ia dapat mengempit tubuh orang. Dengan akal liciknya ini memang Leng-bin-siu-su berhasil menyelamatkan jiwanya. Sementara Thian-hi langsung menyerahkan Ciok Yan yang ditolongnya kepada Bun Cugiok, cepat Cu-giok membuka jalan darahnya serta mengurut urat2nya, melancarkan darah yang tersumbat sekian lamanya.... Kuatir melukai orang lain waktu lawan dengan akal licik melemparkan tubuh orang bagi umpan pedangnya, syukur Sin-heng-siu cukup cekatan dan waspada pula, luar biasa cepatnya ia tarik balik dan batalkan seluruh kembangan serangannya lalu melayang balik kembali ke tempat duduknya semula. Diam-diam girang hatinya, baru pertama kali ini ia mengembangkan pelajaran baru yang dipelajari dari Kim-hoan-kiam-boh, nyata hasilnya luar biasa sekali, cukup sejurus dengan mudah ia sudah memaksa Leng-bin-siu-su melemparkan Ciok-Yan. Setelah berdiri tegak dengan nanar Leng-bin-siu-su mengawasi Sin-heng-siu, sungguh ia tidak habis berpikir ternyata begitu gampang ia terjungkal di bawah tekanan pedang lawannya yang buntung ini, semakin dipikir semakin berkobar amarahnya, geram sekali ia membentak, "Pek-lothau, tak nyana selama tiga puluh tahun ini kiranya kau sudah menggembleng diri, pelajaran Kimhoan- kiam-boh itu terhitung sudah dapat kau curi belajar sebagian." Sin-heng-siu tertawa besar, ujarnya, "Jangan sungkan! Ilmu kebanggaanmu sendiri belum lagi kau kembangkan, kenapa begitu cepat mengaku asor?" "Jangan kau takabur", semprot Leng-bin-siu-su, "lihat saja nanti, aku masih berkelebihan dapat membereskan kau!" - ia insaf bahwa posisinya sudah mulai terdesak di bawah angin, Ciok Yan yang tadi dijadikan sandera kini sudah tertolong oleh Hun Thian-hi, harapan satu-satunya sekarang ia harus berhasil mengalahkan Pek Kong-liang, kalau tidak tiada jalan hidup bagi dirinya. Dalam pada itu Ciok Yan sudah pelan-pelan siuman, betapa girang ia melihat dirinya di dalam pelukan suaminya, BUn Cu-giok. Dipihak lain, Leng-bin-siu-su sudah tak sabar lagi, dengan memekik seperti kesetanan pedangnya dibolang balingkan mengeluarkan deru angin yang ribut, dengan kepandaian permainan pedangnya yang hebat ia menyerbu pula kepada Sin-heng-siu Pek Kongliang, Gebrak kedua ini ia betul-betul sudah kerahkan segala tenaga dan kemampuannya, bertekad untuk mengadu jiwa sampai titik darah penghabisan. Cukup sejurus ilmunya yang hebat tadi Sin-heng-siu memperoleh kemenangan, keyakinan hatinya semakin teguh, menghadapi rabuan pedang lawan ia mencelat naik keudara lagi, tak ketinggalan pedangnya pun berkelebat menyongsohg kemuka Leng-bin-siu-su. Leng-bin-siu-su sudah bertekad untuk gugur bersama, begitu Sin-heng-siu maju memapak justru sesuai dengan keinginannya, terdengar ia terkekeh dingin, seluruh tenaga dikerahkan di atas pedangnya, tanpa mau kalah wibawa iapun songsongkan pedangnya ke depan. Dua batang pedang saling bentrok ditengah udara, terdengarlah suara nyaring yang menusuk telinga bergema sekian lamanya, dua belah pihak mengerahkan setaker tenaga, kesudahannya tetap sama kuat. Sekonyong-konyong sebelum tubuh meluncur turun Sin-heng-Kiu percepat gerak pedangnya memberondong dengan serangan pedang yang cukup dahsyat, yang terlihay justru tiga jurus tabasan pedang terakhir yang mengarah muka tenggorokan dan dada Lengbin-siu-su. Semula Leng-bin-siu-su tidak mengira begitu dua pedang saling bentrok, Sin-hengsiu purapura menarik pedang dan meluncur turun, disaat ia tercengang itulah mendadak Pek Kong-liang sudah lancarkan tiga serangan pedangnya. Tiada tempo bagi Leng-bin-siu-su untuk memeras otak, sambil kertak gigi sebisa mungkin ia ayunkan pedangnya dengan jurus Hwi-hongkian-jit, inilah Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo jurus pedang kebanggaannya yang dilancarkan dengan tenaga besar dilandasi terbakarnya rongga dadanya, cuma satu harapannya berusaha menangkis atau menyelamatkan jiwa dari tabasan pedang Pek-Kong-liang yang hebat itu. Sebetulnya posisinya jauh lebih menguntungkan bagi Sin-heng-siu, sayang ditengah jalan ia ragu-ragu, kalau tidak tentu pedangnya sudah berhasil mencopot kepala Leng-binsiu-su dari badannya. Cuma sedikit merandek itulah kedua pedang paling bentrok lagi, tapi suaranya tidak senyaring tadi, sebaliknya malah terdengar suara "cras, cras!" lalu didengarnya pula gerungan mereka seperti babi disembelih. Kiranya jurus Hwi-hong-kian-jit Leng-bin-siu-su betapa pun tidak kuasa menandingi ilmu pedang lawan, keruan kejut hatinya bukan main, Lwenkang Sin-heng-siu bahwasanya sudah jauh melompat lebih tinggi dibanding beberapa tahun yang lalu, keruan bercekat sanubarinya. Tapi dasar licik sekilas dilihatnya kedua kaki Sin-heng-siu yang buntung itu. kontan ia mengulum senyum dingin diujung mulutnya. Bentrokan kedua pedang lawan sama-sama tidak mau mengalah, agaknya Sin-heng-siu juga sudah terhanyut dalam mengejar kemenangan, semangat diempos hawa murni dikerahkan tenaga dalam pun kontan melandai keluar. Sekali tekan kebawah ia bikin badan Leng-bin-siu-su terdesak turun kebawah. Tapi Leng-bin-siu-su sendiri sudah nekad dan melawan sekuat tenaga, ia insaf bila gebrak ini kalah, untuk meloloskan diri dengan selamat tidaklah mudah, mau tidak mau ia harus berusaha mati-matian. Karena sama-sama mau menang, kedua belah pihak sudah mempertaruhkan jiwa masingmasing, Hun Thian-hi yang menonton diluar gelanggang jadi kebat kebit dan kuatir, jikalau lintasan selanjutnya Sin-heng-siu Pek Kong-liang tidak berhasil memperbaiki posisinya yang lebih unggul, alhasil ia sendiri yang bakal terjungkal kalah, apalagi kedua kakinya sudah buntung, bagaimana juga ia tidak akan kuasa bertahan lama. Sudah tentu Pek Kong-liang sendiri juga sudah menginsafi kelemahannya ini, hatinya pun semakin gelisah, menurut perhitungannya saat itu ia pasti sudah berhasil mengalahkan Leng-binsiu- su, kenyataan sukar sekali diluar perhitungan. Dia sudah tidak mampu bertahan lebih lama lagi, pedang panjang ditangan kanannya ditekankan sekuat tenaga, lalu ia mengirup hawa mengganti napas, baru ia berusaha menarik pulang pedangnya, lalu disusul dengan melancarkan tipu Kim-in-ho-tong (bayangan emas berkelebatan) menggasak musuhnya. Tak nyana Leng-bin-siu-su sudah dapat meraba jalan pikirannya sekuat tenaga ia pun kerahkan tenaganya mendempel pedang lawan dan tidak dilepaskan sehingga lawan tak berkesempatan membebaskan diri merubah posisinya. Dalam perang batin dan pikiran ini Leng-bin-siu-su terang berada di atas angin, serta merta ia mengumbar rasa hatinya dengan tertawa panjang, pedang panjangnya masih bertahan sekuat2nya, sedikitpun ia tidak beri kesempatan Sin-heng-siu- Pek Kong-liang menghirup napas. Semakin gundah hati Pek Kong-liang, sekali kurang hati-hati atau lena jikalau sampai kena dikalahkan lawan, bagaimana baiknya nanti" Apakah secara rela menyerahkan Kimhoan-kiam-boh kepada Leng-bin-siu-su yang jahat ini" Tidak mungkin terjadi! Dalam keadaan bertahan adu kekuatan tenaga dalam ini, meski ia membekali tipu pedang yang beraneka ragam dan lihay juga tidak berguna lagi. Leng-bin-siu-su juga maklum dirinya tidak akan mampu balas menyerang, tapi ia pun tidak akan membiarkan Pek Hong-liang melepasKan diri, begitulah kedua musuh ini saling berkutat, kalau posisi begini berlangsung terus jelas pihak sendiri yang bakal menang. Beberapa saat sudah berselang, Pek Kong-liang jelas tidak kuasa lagi mempertahankan diri, otaknya diperas akhirnya tersimpul suatu cara, kecuali cara yang nekad ini ia tidak bakal memperoleh kemenangan. Setelah mantap tiba-tiba ia dorongkan pedangnya ke depan dengan sisa tenaganya, Leng-binsiu- su mandah menyeringai dingin, tanpa menanti Leng-bin-siu-su Cay Siu menduga-duga atau menyimpulkan pikiran lain, Sin-heng-siu Pek Kong-liang melanjutkan usahanya supaya orang menyangka bahwa dirinya berusaha meloloskan diri, secara tiba-tiba telapak tangan kirinya secepat kilat menggablok kebawah ketiak Leng-bin-siu-su, serangan kali ini ia lancarkan dengan seluruh sisa tenaganya. Mimpi juga Leng-bin-siu-su tidak menyangka bahwa Pek Kong-liang bakal berani menyerang dirinya dengan menempuh resiko besar. Keruan ia terkejut, tapi bagaimana juga ia pantang mundur, sekali ia tersurut mundur jelas dirinya pasti terjungkal, tapi bagaimana kalau tidak menyurut mundur meluputkan diri" Tiada tempo berkelebihan memberi kesempatan otaknya berpikir, dalam kejap yang hampir sama telapak tangan kirinya juga balas menggempur kelambung Pek Kong-liang, terpaksa ia harus menempuh cara adu jiwa. Kalau Pek Kong-liang masih sayang pada jiwanya sendiri pasti ia lekas-lekas batalkan serangannya. Terdengar Pek Kong-liang menggerung pendek, ia insaf bila ia batalkan serangannya pasti ia kalah, jelas Kim-hoan-kiam-boh harus terjatuh ketangan Leng-bin-siu-su, akibat apa yang bakal terjadi sungguh ia tidak berani bayangkan. Ia cukup bijaksana untuk memilih akibat yang berat dari pada yang ringan, demi kepentingan ribuan jiwa manusia ia rela mengorbankan jiwa sendiri, cepat ia kerahkan hawa pelindung badan menjaga tubuhnya, sementara telapak tangan kiri bukan saja tidak ditarik balik tidak kendor malah dipercepat dan kekuatan pun dilipat gandakan. Mata Leng-bin-siu-su memancarkan rasa takut dan jeri, sungguh ia tidak nyana bahwa akibatnya bakal begini fatal, apa boleh buat terpaksa ia harus menyambut dengan kekerasannya. Maka terdengar pula dua suara menguak yang keras seperti hampir muntah2, seketika bayangan dua orang terpental jauh lepas kedua jurusan, seluruh hadirin sama terkejut, tiada seorang pun menyangka pertempuran adu jiwa ini bakal berakibat begitu parah, sesaat saking kesima mereka jadi lupa memburu maju memberi pertolongan. Luka yang diderita Leng-bin-siu-su jauh lebih parah, terbanting lagi dengan keras di atas tanah, kontan ia semaput tak sadarkan diri. Pek Kong-liang sendiri juga muntah darah, setelah mengatur pernapasannya ia berkata tertawa, "Untung aku tidak sampai kalah!" habis berkata ia menyemburkan darah lagi, selanjutnya ia pejamkan mata istirahat. Dengan menggeram Bian-hok Lojin memburu maju ke arah Leng-bin-siu-su, kaki sudah terangkat hendak menginjak hancur batok kepala Cay Siu. Bab 35 Keburu Pek-kong-liang membuka mata, cepat ia berseru mencegah, "Sute, jangan lakukan." "Suheng!" seru Bian-hok Lojin, "Apakah perbuatan jahatnya masih kurang, kalau tidak dibunuh kelak bakal menimbulkan bencana lagi, mana boleh dia tetap hidup!" Sementara itu, Leng-bin-siu-su sudah siuman dari pingsannya, sekian saat ia menggape2 berusaha hendak merajap bangun, tapi ia sudah tidak kuasa bergerak lagi. Hun Thian-hi tidak tega, katanya kepada Bian-hok Lojin, "Lukanya sangat parah, tinggalkan saja jiwanya!" Sementara itu, Leng-bin-siu-su sudah berhasil merajap duduk, dengan gusar ia mendelik teriaknya serak, "Berani kalian melepas aku, kelak tunggulah pembalasanku!" "Kau ingin menuntut balas" Besar benar-benar tekadmu, mengandal kau sekarang masa kau mampu!" demikian cemooh Bian-hok Lojin. "Jangan kau takabur, jangan cuma kau ditambah sepuluh orang pun aku tidak gentar terhadap kau, soalnya aku kurang hati-hati sehingga terluka!" demikian maki Leng-bin-siusu dengan amarah yang meluap-luap. Mendengar ucapan orang Thian-hi tahu bahwa Leng-bin-siu-su tengah menggunakan akal pancingan supaya Bian-hok Lojin melepas dirinya. Tapi kelihatannya Bian-hok Lojin bukan kaum kroco, dengan tertawa panjang ia berkata, "Tiada gunanya kau membakar hatiku, ketahuilah aku punya caraku untuk menyelesaikan jiwamu!" habis berkata tubuhnya melejit maju kedua jari tengahnya terangkap telak sekali menutuk jalan darah Sam-kiau-hiat, Leng-binsiu-su berusaha menghindar tapi apa daya tenaga sudah lemas kontan ia mengeluarkan suara menguak mulut terpentang menyemburkan darah segar. Thian-hi terkejut, perbuatan Bian-hok Lojin cukup keji, tutukannya itu sekaligus memunahkan ilmu silat dan memecahkan tenaga dalamnya, selanjutnya Leng-bin-siu-su menjadi orang cacat dan tidak akan bisa mengganas pula. Sekuat tenaga ia berusaha merangkak bangun terus mengelojor pergi tanpa berani banyak cingcong lagi. Sampai tahap sekarang urusan menjadi beres, hati Hun Thian-hi menjadi lega ia kembalikan pula bola mas itu serta katanya, "Urusan sudah selesai. Karena terpaksa kami menerobos ke tempat terlarang ini, harap Lo-cianpwe suka memberi maaf. Sekarang kami mohon diri." Bian-hok Lojin menyambuti bola mas itu serta ujarnya, "Sudah, urusan tak perlu diungkat kembali. Selama tiga puluh tahun tiada seorang pun yang tinggal hidup bila berani masuk ke dalam gedung ini. Dan kalian pun tidak punya maksud jahat terhadap bola mas ini, bolehkah kalian silakan saja." Tiba-tiba Pek Kong-liang membuka mata, teriaknya, "Saudara-saudara, tunggu sebentar!" "Cianpwe ada petunjuk apa?" tanya Hun Thian-hi membalik. "Terhitung aku sudah ketemu dengan ahli waris Wi-thian-cit-ciat-sek, kelak pasti kau dapat mengembangkan ilmu pedang tiada taranya ini dan menjagoi seluruh Kangouw, untuk itu kau harus menandingi Hui-sim-kiam-hoat Bu-bing Loni, kuharap kau tidat sampai kalah." "Terima kasih akan petuah Cianpwe!" segera Thian-hi menjura hormat. Pek Kong-liang manggut-manggut lalu pejamkan mata pula. Setelah pamitan Thian-hi berempat segera keluar dari gedung kayu itu langsung melanjutkan perjalanan ke arah timur. Belum jauh mereka menempuh perjalanan, terdengar pekik suara burung kumandang di angkasa, tampak seekor burung dewata terbang menukik ke arah mereka. Thian-hi jadi kebat-kebit dan girang pula, entah Ham Gwat atau Bu-bing Loni yang datang. Kejap lain burung dewata sudah meluncur turun, sekilas pandang dilihat oleh Thian-hi, Bu-bing Lonilah yang bercokol di punggung burung dewata itu, suatu perasaan aneh yang menghantui sanubarinya timbul dalam benaknya. Wibawa Bu-bing Loni betapa pun masih berpengaruh dalam hatinya. Sambil menyeringai dingin Bu-bing Loni menatap Hun Thian-hi tanpa bersuara. Dengan berani Thian-hi pun balas menatap dengan tajam. "Akhirnya kita ketemu pula." akhirnya Bu-bing membuka kesunyian. Lalu ia menyapu pandang Ce-hun bertiga. "Benar, benar," sahut Thian-hi sinis, "Sayang tempo hari kau tidak berhasil mendapatkan Jianlian- hok-ling itu, sungguh sangat disesalkan." Sebetulnya Bu-bing sendiri juga rada gentar menghadapi Hun Thian-hi yang merupakan musuh paling tangguh satu-satunya pada masa itu. Ia insaf bahwa tingkat kepandaian silatnya tidak terpaut jauh dibanding kepandaian Hun Thian-hi sekarang. Dia harus bekerja cepat melenyapkan musuh besar ini sebelum orang tumbuh sayap dan unjuk gigi, dengan segala cara yang dapat ia gunakan. Maka Bu-bing Loni tertawa dingin, katanya, "Tidak menjadi soal. Sekarang tibalah saatnya untuk menentukan siapa menang dan siapa asor." "Tepat, kiranya hampir tiba saatnya untuk penentuan itu," demikian tantang Thian-hi sambil mengerut kening, "Aku harus membalas sakit hati para Cianpwe dari Soat-san, dan kau sudah cukup malang-melintang selama empat puluh tahun dengan ilmu pedangmu, hari ini aku harus jajal sampai dimana kehebatan ilmu pedangmu itu." lalu dilolos pedang di punggungnya. Begitu melihat pedang yang dipegang tangan Thian-hi, berkilat pandangan Bu-bing, seringainya, "Ternyata kau sudah ganti senjata menggunakan pedang, malah sebilah Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo pedang pusaka." "Jangan cerewet!" sentak Thian-hi gusar, "keluarkan pedangmu!" Diluar dugaan Bu-bing tidak keluarkan pedangnya, mulutnya malah menjengek dingin, "Kenapa ke-susu, aku sendiri tidak tergesa-gesa, apa pula yang kau ributkan?" "Aku tidak biasa membunuh orang yang tidak bersenjata." Berkobar amarah Bu-bing Loni mendengar cemooh orang, selamanya belum pernah ada manusia berani begitu kurang ajar terhadap dirinya, pelan-pelan ia sudah lolos pedangnya, tapi baru separo ia urungkan niatnya, katanya, "Dalam sepuluh hari ini kunanti kedatanganmu di Jianhud- tong!" - tanpa bicara lagi ia naik ke punggung burung dewata terus terbang pergi. Thian-hi tertegun, mulutnya menggumam, "Sepuluh hari kemudian di Jian-hud-tong!" tak perlu disangsikan lagi bahwa Bu-bing sudah sekongkol dengan Tok-sim-sin-mo untuk menghadapi dirinya, mau tak mau bergejolak pikirannya. Tengah ia menjublek di tempatnya, mendadak dari dalam hutan di depan sana muncul seorang gadis, pandangan Thian-hi menjadi terang, ia tersentak kaget dan berteriak girang, yang muncul ini bukan lain adalah Ham Gwat yang selalu dikenangnya itu. Sungguh tidak habis heran hatinya, bahwa Ham Gwat tiba-tiba muncul di tempat itu. Cepat ia berlari maju memapak. Sekian lama mereka berpandangan, akhirnya Ham Gwat membuka suara, "Bukankah kau sudah menemukan mereka" Dimana mereka sekarang?" Thian-hi tahu maksud pertanyaan orang, cepat ia menjawab, "Mereka telah ditolong seorang Cianpwe aneh yang berkepandaian tinggi." "Siapa dia?" "Beliau tidak mau menjelaskan...." Ham Gwat terbungkam sekian lamanya, akhirnya berkata, "Ucapan Bu-bing tadi kudengar semua, sepuluh hari kemudian, kau harus menghadapi bahaya yang paling besar selama hidupmu ini." Hun Thian-hi manggut-manggut. Tanyanya, "Apakah paman dan bibi baik?" Muka Ham Gwat jadi masam, lekas ia berpaling muka, sesaat baru terdengar jawabannya, "Mereka ditawan oleh Tok-sim-sin-mo dan Bu-bing Loni." Mencelos hati Thian-hi, perkembangan ini sungguh diluar dugaannya. Sekian lama mereka sama menjublek tak bersuara. Ce-hun Totiang bertiga juga mendengar kabar jelek ini, mereka sama ikut merasakan tekanan batin yang berat ini. Siapa akan menduga Bu-bing Loni yang congkak dan tinggi hati itu ternyata sudi merendahkan derajatnya bersekongkol dengan orang orang lain. "Marilah sekarang juga kita susul ke Jian-hud-tong." demikian ajak Thian-hi nekad. Ham Gwat menggeleng kepala, sahutnya, "Meluruk secara serampangan takkan ada gunanya." Thian-hi angkat pundak. Urusan berlarut semakin ruwet sulit ditanggulangi, ia jadi termenung memikirkan daya upaya. Sekonyong-konyong didengarnya langkah kaki yang lirih, Thian-hi terkejut cepat ia putar tubuh terlihat dari dalam hutan berjalan keluar dua Hwesio tua. Begitu melihat kedua Hwesio ini tiba-tiba Ciok Yan memburu ke depan seraya berteriak kegirangan, "Ajah! Kemana saja kau selama ini." Kedua Hwesio ini bukan lain adalah Go-cu Taysu dan Ciok Hou-bu, melihat Ciok Yan memburu tiba tersipu-sipu Ciok Hou-bu berkelit kesamping sambil bersabda buddha dan merangkap tangan. Ciok Yan lantas menubruk dan memeluk kedua kaki Ciok Hou-bu serta menangis sejadi2nya. Sementara Ciok Hou-bu sedang bicara dengan putri dan menantunya Bun Ciu-giok. Segera Thian-hi berdua unjuk hormat kepada Go-cu Taysu. "Jangan sungkan," cegah Go-cu, "Bisa jumpa dengan tunas muda yang gagah perwira sungguh Lolap sangat senang." Sudah lama Hun Thian-hi kenal nama Go-cu Taysu, baru sekarang ia sempat bertemu, tampak orang berperawakan kurus kecil, tapi sepasang matanya bersinar terang, jidatnya sudah berkeriut, selintas pandang orang akan menaruh hormat dan segan pada padri. yang kenamaan ini. Berkatalah Go-cu taysu, "Agaknya kalian punya jdoh dengan kalangan agama kami, baru pertama kali ini aku berkesempatan ketemu, sebetulnyalah sejak lama sudah kenal." Thian-hi merendah, katanya, "Wanpwe pun sudah lama mendengar kebesaran nama Taysu dan ingin bertemu, sayang tidak berjodoh, beruntung hari ini bisa ketemu disini, harap Cianpwe Sudi memberi petunjuk!" Go-cu menghela napas, ujarnya, "Bu-bing Loni dan Tok-sim-sin-mo ada intrik dan melakukan perbuatan kotor yang terkutuk, mereka bertekad mendapatkan Ni-hay-ki-tin, ayah bunda Ham-sicu ini juga ditawan dijadikan sandera dikurung di dalam istana sesat, mereka perlu segera diberi pertolongan...." Berubah pucat paras Ham Gwat, tubuhnya terhujung hampir roboh. Cepat Hun Thianhi memapah tubuhnya. Ham Gwat menenangkan pikiran dan membesarkan hati, ia berdiri tegak pula. Go-cu Taysu berkata lebih lanjut, "Tak berguna sekarang kalian meluruk kesana, yang penting kalian harus lekas-lekas melaksanakan urusan lain yang lebih penting. Sebab Bubing dan Toksim- sin-mo sudah mendapatkan gambar peta dari rahasia Ni-hay-ki-tin itu, cuma belum dapat memecahkan inti rahasianya, kalau tidak tentu Ni-hay-ki-tin sejak lama sudah berada di tangan mereka, keadaan pasti lebih runyam dan tak tertolong lagi." "Apakah Cianpwe punya cara untuk mengatasi?" tanya Hun Thian-hi. "Sekarang kalian harus memohon bantuan pada seseorang, bila beliau suka memberi petunjuk, urusan betapa sulit pun akan dapat dipecahkan." Hati Ham Gwat sedang gundah dan gelisah, ia hampir tidak percaya ada seseorang bisa mengatasi persoalan rumit ini sedemikian gampang. Agaknya Go-cu merasakan kesangsian Ham Gwat ini, ia tertawa, ujarnya, "Kusebut seseorang, mungkin kalian tidak akan mau percaya." "Siapa dia?" tanya Thian-hi. "I-lwe-tok-kun!" "Dia?" teriak Hun Thian-hi tercengang. Memang ia tidak menyangka bila Go-cu bisa menyebut I-lwe-tok-kun, itu gembong sesat nomor satu pada jamannya dulu. Go-cu manggut-manggut, katanya tersenyum, "Sedikit orang yang tahu bahwa dia sudah lama lolos keluar, malah sekarang sedang mawas diri dan mengasingkan diri di suatu tempat tersembunyi." "Betulkah dia?" Thian-hi menegas. "Kau tahu siapa dia sebenar-benarnya?" Go-cu melanjutkan, "Dia adalah majikan dari Jian-hudtong pada empat puluh tahun yang lampau, setelah dia terkalahkan oleh Ka-yap Cuncia dia masih menetap di dalam Jian-hud-tong itu. Banyak tempat gang orang lain belum pernah mencapainya ia sudah pernah pergi kesana, kuduga kepandaian ilmu silatnya yang tinggi itupun ia peroleh di tempat itu. Sebab dia tidak punya perguruan, menurut hemadku, mungkin dia pun pernah menjelajahi istana sesat itu.... Tempat pengasingannya tidak jauh dari tempat ini," demikian Go-cu menambahkan, "Aku bisa ajak kalian kesana, tapi dia menderita luka dalam yang tak mungkin disembuhkan lagi, belum tentu beliau suka membantu kesukaran kalian ini." Hun Thian-hi menepekur, I-lwe-tok-kun adalah guru Mo-bin Suseng, muridnya terbunuh olehnya entah bagaimana sikapnya nanti terhadap aku. Tapi dalam keadaan kepepet ini cuma akulah yang harus mohon bantuan padanya, terpaksa ku-coba-coba saja." Go-cu Taysu membawa Thian-hi berdua menyelinap ke dalam hutan yang semakin lebat, setelah melampaui sebidang tanah lapang di pengkolan sebelah hutan terdapat sebuah mulut gua yang teramat besar. Kata Go-cu Taysu pada Thian-hi berdua, "I-lwe-tok-kun menetap di dalam gua besar itu, bekerjalah menurut gelagat, semoga kalian berhasil, Lolap mohon diri" - lalu ia putar balik mengajak Ciok Hong-hu, Ce-hun Totiang, Bun Cu-giok dan Ciok Yan pergi. Thian-hi berdua terus maju sampai diambang gua, kata Thian-hi, "Nona Ham Gwat, silakan kau tunggu disini, biar aku saja yang masuk?" "Apakah tidak lebih baik kita masuk bersama?" usul Ham Gwat dengan suara lembut. Thian-hi tidak berani menyatakan apa-apa, terpaksa manggut-manggut. Pelan-pelan mereka langsung masuk, setelah berjalan beberapa kejap terasa bahwa gua ini sangat panjang, mengandal ketajaman mata mereka tidak kelihatan sampai dimana ujung pangkal dari gua besar ini. Semakin ke dalam gua semakin gelap, jantung Thian-hi jadi kebat-kebit dan tegang. Beberapa kejap kemudian terasa dari langit2 gua ada air menetes jatuh, jalan yang diinjak pun berlumut sangat licin. Keadaan gelap dan hening membuat hati mereka rada heran. Gua ini begini panjang lalu dimana I-lwe-tok-kun bersemajam, untungnya jalan gua ini cuma satu, kalau bercabang dua atau tiga entah kemana mereka harus mencari. Sekonyong-konyong dilihatnya dari sebelah dalam sana berkelebat dua sosok bayangan hitam menubruk datang ke arah mereka. Hun Thian-hi terperanjat, secara reflek ia tarik Ham Gwat ke belakangnya, sebelah tangannya cepat mengeluarkan pedang. Begitu menubruk dekat tanpa bersuara kedua bayangan itu lantas menyerang dengan kedua telapak tangan masing-masing. Hun Thian-hi menegakkan badan, kakinya memasang kuda-kuda yang kokoh, pedangnya teracung miring ke depan atas, sekali putar dan babat beruntun ia punahkan serangan kedua musuhnya yang hebat. Tapi kedua musuh beruntun lancarkan puluhan pukulan, agaknya mereka hendak mendesak Thian-hi berdua mundur keluar gua, maka serangan mereka tidak mengarah tempattempat penting yang mamatikan. Pedang Thian-hi beterbangan, setiap kali gerakan pedangnya selalu berhasil memunahkan daya pukulan musuh. Diam-diam hatinya menjadi heran dan girang pula, batinnya, "Entah siapa kedua orang ini, sedemikian ampuh dan tinggi Lwekang mereka." Melihat Thian-hi berdiri tak tergoyahkan, kedua penyerangnya itu semakin gugup, salah seorang sembari menyerang tiba-tiba bersuara. rendah tertahan, "Keluar!" Begitu mendengar suara itu Hun Thian-hi tertegun, pikirnya, "Suara yang amat kukenal!" - serta merta gerak pedangnya diperlambat kontan ia terdesak mundur satu tindak. Tanpa memberi kesempatan banyak pikir terdengar seorang yang lain juga membentak rendah tertahan, "Tidak mau mendengar kita ya?" Tergetar hati Thian-hi, sekarang baru ia sadar, "Ternyata kedua orang ini adalah Hwesio jenaka dan Siau-bin-mo-in, mengapa nada ucapan mereka begitu ketus dan begitu serius. Apakah terjadi sesuatu peristiwa yang luar biasa" Kalau tidak masa begitu tegang." Karena pikirannya ini tanpa ayal cepat ia tarik Hum Gwat, laksana meteor jatuh ia berlari terbang mundur kemulut gua. Hwesio jenaka seorang saja yang mengejar sampai diluar gua, mukanya sudah kehilangan senyum tawanya yang selalu berseri lucu itu, dengan nada sedih ia bertanya, "Untuk apa kau datang kemari?" Melihat sikap Hwesio jenaka ini heran Thian-hi dibuatnya, katanya tertawa, "Siausuhu, apakah I-lwe-tok-kun benar-benar ada di dalam gua!" Hwesio jenaka tersentak, matanya menatap tajam, sahutnya, "Benar-benar, darimana kau bisa tahu!" "Wanpwe ada urusan yang mendesak mohon petunjuknya." "Kau ada urusan apa?" tanya Hwesio jenaka penuh tanda tanya. Terpaksa Hun Thian-hi menceritakan kejadian belakangan ini, ia jelaskan pula maksud kedatangannya, iapun jelaskan sudah bertemu dan mendapat petunjuk dari Go cu Taysu. "Sudah tidak mungkin!" sahut Hwesio jenaka sesaat kemudian. "Kalian terlambat tiba." Thian-hi terkejut, teriaknya, "Apa! Datang terlambat" Maksudmu beliau sudah meninggal?" Hwesio jenaka menepekur, ia geleng-geleng kepala tanpa bicara. Thian-hi girang timbul setitik harapan, "Asal orang belum ajal saja." demikian batinnya. Setelah menghela napas Hwesio jenaka berkata, "Keadaannya seperti orang sudah mati, sekarang dia sudah gila, betapapun panjang usianya, takkan kuasa hidup beberapa hari lagi." Hun Thian-hi tertegun, katanya, "Siau suhu...." Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Aku tahu maksudmu," demikian tukas Hwesio jenaka, "Kau masih ingin bertemu dengan beliau?" Thian-hi manggut-manggut, tambahnya, "Urusian ini sangat penting, betapa pun aku harus bertemu dengan beliau." "Bukan aku tidak mengijinkan, yang benar-benar dia sudah tidak bisa membedakan orang, kami bersaudara pun dilarang mendekat, apalagi kalian." "Bagaimana juga aku mengharap bisa menemui beliau sebentar saja." "Baiklah. Tapi harapannya terlalu kecil, mengandal kalian tentu, tidak mudah terluka ditangannya, tapi harus berhati-hati," kembali ia bawa Hun Thian-hi berdua masuk ke dalam gua. Tak berapa lama mereka sudah tiba diujung gua. Dimana Siau-bin-mo-in sedang berjaga diambang pintu sebuah kamar batu, melihat Hwesio jenaka membawa Hun Thian-hi dan Ham Gwat ia mengerutkan alis, tapi tidak bicara. Hwesio jenaka berbisik-bisik dengan Siau-bin-mo-in, lalu Hwesio jenaka berbisik pula dipinggir telinga Thian-hi, "Tok-kun sedang tidur, mari kuajak masuk, kalian harus hatihati." Hum Thian-hi berdua dibawa masuk ke dalam kamar batu itu, lalu ia mengundurkan diri keluar. Begitu berada di dalam kamar batu Hun Thian-hi merasa hawanya sangat lembab, dinding sekelilingnya ada mengalir air, dari celah-celah sebelah depan sana ada lobang kecil selarik sinar menyorot masuk sehingga keadaan kamar batu rada terang. Ditengah membelakangi dinding sana terdapat sebuah dipan batu, dimana duduk bersila seorang tua kurus kering, kedua matanya terpejam, suara napasnya terlalu berat. Hun Thian-hi membatin orang inikah I-lwe-tok-kun, sekian saat ia amat-amati orang tua di hadapannya ini. Kedua biji matanya sudah cekung, mukanya pucat berpenyakitan, tak serupa sabagai seorang gembong iblis yang sangat ditakuti, yang terang tak lain sebagai kakek tua renta yang sudah loyo, berpenyakitan lagi, serta merta ia menghela napas. Bersama Ham Gwat, Thian-hi berdiri diam ditengah-tengah kamar. Suasana hening lelap cuma tetesan air yang tak-tik saja yang terdengar, tak lama kemudian cahaya matahari yang remakin dojong menyinari muka I-lwe-tok-kun, tiba-tiba terdengar tenggorokannya bersuara lirih, pelan-pelan ia mulai membuka mata. Hati Thian-hi dan Ham Gwat menjadi tegang, entah bagaimana sikap 1-lwe-tok-kun serta melihat kehadiran mereka di dalam kamar ini" Menyerang atau mencaci maki mereka" Sungguh mereka tidak berani membayangkan akibatnya, dengan rasa tegang mereka awasi gerak-gerik Ilwe- tok-kun. Begitu membuka mata, I-lwe-tok-kun seperti tidak melihat mereka, dengan pandangan redup ia menyapu keadaan sekelilingnya baru akhirnya pandangannya jatuh pada wajah mereka. Semula matanya mengunjuk rasa heran dan tak mengerti, mendadak sorot matanya berubah beringas dan mendelik tajam laksana ujung senjata menghunjam ke ulu hati mereka. Akhirnya tercetus pertanyaannya, "Kalian untuk apa datang kemari?" Hun Thian-hi jadi melenggong, bukankah tadi Hwesio jenaka mengatakan I-lwe-tokkun sudah gila" Kenapa bisa mengajukan pertanyaan yang genah ini. Desak I-lwe-tok-kun pula, "Siapa kalian adanya?" Melihat sikap orang yang kalem dan sadar, Hun Thian-hi tidak beragu lagi, cepat ia menyahut, "Wanpwe Hun Thian-hi bersama Ham Gwat, ada sesuatu urusan mohon petunjuk Cianpwe." I-lwe-tok-kun termangu sekian lama, pelan-pelan berkata, "Kau bernama Hun Thianhi" Kaukah murid Ka-yap Cuncia itu?" "Memang Wanpwe adanya." I-lwe-tok-kun menghela napas lalu menunduk, tak lama kemudian ia bersuara pula, "Jadi kau benar-benar adalah murid Ka-yap Cuncia, kalau begitu ada urusan apa silakan katakan saja." Hun Thian-hi semakin mendapat hati dan tabah, katanya, "Konon kabarnya Cianpwe dulu pernah menetap di dalam Jian-hud-tong, apakah kabar ini benar-benar?" Perlahan-lahan I-lwe-tok-kun manggut-manggut. "Ada sebuah urusan mohon Cianpwe suka bantu memecahkan. Sekarang Tok-sim-sin-mo dan Bu-bing Loni ada sekongkol dan menjadikan Jian-hud-tong sebagai markas mereka. Kami mohon petunjuk mengenai rahasia dari istana sesat itu. Cianpwe lama berdiam disana tentu sudah apal mengenai segala seluk beluk disana, harap suka memberi penjelasan." Terbayang senyum lebar dimuka I-lwe-tok-kun, katanya kalem, "Aku tahu aku bakal segera mati, aku kuatir tak mampu lagi bantu kalian." Hun Thian-hi terbungkam dan termangu tak bicara. "Tentu kau tidak mau percaya, ya bukan?" ujar I-lwe-tok-kun tertawa ringan, "Tapi aku sendiri punya perhitunganku, dalam sepuluh hari ini, baru sekarang aku sadar dan pulih ingatanku!" ia mendehem dan manggut-manggut lalu sambungnya, "Aku tahu ini cuma pertanda bahwa ajalku sudah semakin dekat." Thian-hi berdua masih bungkam tak bergerak. "Kau tidak perlu kubantu lagi," demikian I-lwetok- kun melanjutkan, "Dalam kolong langit sekarang kecuali aku mungkin tiada orang kedua yang pernah menjelajah istana sesat." "Dapatkah Cianpwe memberi petunjuk tentang cara keluar masuknya istana sesat itu." "Tidak! Apakah Tok-sim-sin-mo punya cara keluar masuk." ia tertawa-tawa, lalu sambungnya, "Siapa tahu jalan masuk ke dalam istana sesat, dia bakal mampus seketika...." Thian-hi tercengang tanpa bicara, tak terpikir olehnya kenapa I-lwe-tok-kun mengatakan begitu. "Mungkin kau tidak percaya," I-lwe-tok-kun melanjutkan, "Sebelum ajal biarlah kuberi tahu pada kau. Dulu aku sudah berdaya upaya menghabiskan tenaga dan memeras otak untuk masuk ke dalam istana sesat, Kupikir di dalam istana sesat itu pasti ada dipendam harta benda yang tak ternilai dan tak terhitung banyaknya, kalau tidak masa orang sudi membangun Istana sesat di tempat itu. Tapi setelah aku berada di dalam istana sesat kudapati tempat itu merupakan daerah mati, mungkin memang ada harta terpendam, tapi dibagian lebih dalam ada tersebar luas hawa beracun yang teramat jahat. Aku dijuluki Tok-kun, aku berani membanggakan diri segala racun pernah kuperoleh, tapi kalau dibanding hawa beracun disana bedanya antara langit dan bumi, sedikit kulitmu tersentuh hawa beracun itu, seketika kau akan mampus dan cara kematianmu adalah sedemikian mengerikan!" Sampai disini I-lwe-tok-kun tertawa-tawa lagi, katanya lebih lanjut, "Maka tadi kukatakan tak usah kau urus dan bercapek lelah mengenai istana sesat itu, tak usah kuatir Toksim-sin-mo berbuat apa-apa, sekali dia berani menerjang masuk kesana, kematian akan menunggunya." "Banyak terima kasih akan petunjuk Cianpwe!" tersipu-sipu Thian-hi menjura. "Sampai tahap sekarang ini baiklah kuberitahu kepada kau," demikian I-lwe-tokkun menambahkan, "Sebelum melakukan sesuatu sebelumnya harus dipikir biar masak, jangan kau menyesal sesudah kasep, itu tidak berguna!" Bercekat hati Thian-hi, ia tunduk diam mendengar petuah ini, banyak akibat dari perbuatannya yang harus disesalkan. "Dulu," demikian, ujar I-lwe-tok-kun sambil mengawasi muka mereka, "Aku malang melintang bersimaharaja anggapku akulah yang paling berkuasa melebihi raja. tapi kenyataan toh aku dikalah-kan oleh Ka-yap Cuncia. Sampai sekarang meski aku ingjn berjuang dan mencapai puncak kedigjayaan itu akhirnya toh mampus juga." "Cianpwe sekarang sudah insaf dan menyesal, bukankah ini suatu hal baik?" tanya Thian-hi. "Orang purba mengatakan, tahu salah dapat memperbaiki, betapa bahagia dan bijaksananya ini memang tidak salah, tapi jauh lebih baik kalau kau tidak berbuat kesalahan itu bukan" Cuma orang purba itu pun tidak menyadari bahwa nyawa, atau hidup manusia itu ada batasnya, adanya batas nyawa itu tidak mungkin ada batas penyesalan...." Thian-hi merenungkan petuah I-lwe-tok-kun yang mengandung arti yang dalam ini, ini merupakan suatu kritik yang mendalam pula bagi dirinya, jiwa mannsia memang cukup pendek dan terbatas, nyawa itu serdiri tidak akan membiarkan manusia berbuat penyesalan yang tiada batasnya, disadari olehnya apa pula yang harus segera dikerjakan sekarang, dia tidak boleh main lambat-lambat dan ragu-ragu lagi. Selama itu Ham Gwat diam saja, iapun tenggelam dalam pikirannya, banyak yang dapat ia simpulkan dari percakapan ini, dan pendapatannya justru yang paling banyak. "Aku sudah letih," tiba-tiba I-lwe-tok-kun mengeluh, "kalian boleh segera keluar!" - pelanpelan ia pejamkan mata. Waktu Hun Thian-hi dan Ham Gwat keluar Hwesio jenaka sudah menyongsongnya diambang pintu, katanya tertawa, "Sungguh beruntung nasib kalian." lalu, ia menghela napas serta ujarnya pula, "Dengan memejamkan mata, tentu Tok-kun tidak akan membuka mata lagi selamanya." Hun Thian-hi manggut-manggut, ia maklum kemana juntrungan ucapan orang. "Tujuan kalian sudah tercapai, mungkin kalian masih ada urusan lain, maaf, kami tidak mengantar kalian." Segera Hun Thian-hi nyatakan terima kasih terus keluar bersama Ham Gwat. Tanpa membuang waktu Hun Thian-hi dan Ham Gwat langsung menempuh perjalanan menuju ke Jian-hudtong. Sepandiang jalan itu mereka jarang bicara. Suatu ketika mereka kepergok dengan sebuah bayangan orang, tiba-tiba Hun Thianhi berjingkrak kegirangan dan memapak maju. Ternyata dilihatnya Sutouw Ci-ko muncul di tempat itu. "Sutouw cici bagaimana kau datang!" teriaknya. "Ya, aku datang bersama Gihu (ajah angkat), tapi beliau ada urusan nanti akan menyusul, kemari," lalu ia berpaling mengamati Ham Gwat, katanya berseri tawa. "Bukankah ini nona Ham Gwat! Sungguh cantik sekali, tak heran adik Hun terpincut kepada kau," demikian godanya. Ham Gwat tertunduk ke-malu-maluan, katanya lirih, "Cici tentu nona Sutouw adanya!" Melihat muka dan sikap Ham Gwat yang murung itu Sutouw Ci-ko hertanya kepada Thian-hi, "Eh. kenapakah kalian, kok tidak bicara." Setelah bersua dengan Sutouw Ci-ko perasaan Hun Thian-hi rada ringan, sahutnya tortawa, "Tidak apa-apa, cuma ayah bunda nona Ham Gwat kena tertawan oleh Tok-sim-sin-mo dan Bubing Loni." "O, Sungguh maaf," Sutouw Ci-ko tersipu-sipu minta maaf, "Aku tidak tahu ada kejadian ini." "Ci-ko cici!" Ham Gwat berkata sambil memandang ke arah Thian-hi. Sutouw Ci-ko maklum maka segera ia berkata,, "Adik Thian-hi, coba kau menyingkir, kami hendak bicara" Apa boleh buat terpaksa Hum Thian-hi menyingkir rada jauh. "Ci-ko cici." ujar Ham Gwat setelah Thian,-hi menyingkir, "Boleh aku panggil begitu?" "Sungguh aku senang mendapat adik secantik kau, entah siapa yang bakal beruntung dapat mempersunting putri secantik bidadari ini!" Ham Gwat tertunduk malu, ujarnya pula, "Ci-ko cici, apakah kau merasa seolaholah aku tidak punya perasaan?" Bercekat hati Sutouw Ci-ko, tapi ia tertawa dibuat-buat, sahutnya, "Adik Ham Gwat, kenapa kau berpikiran begitu" Sedikit pun aku tidak punya perasaan begitu." Dengan nanar Ham Gwat pandang rona wajah Sutouw Ci-ko, sesaat ujung mulutnya maengulum senyum manis, katanya pelan-pelan, "Perjalanan ke Jian-hud-tong ini, sungguh aku sangat kuatir bagi keselamatan Thian-hi. Dia harus bertempur untuk menentukan mati atau hidup melawan Bu-bing Loni, sedang ayah bundaku tertawan pula oleh mereka, menurut pendapatmu bagaimana aku harus bertindak!" Haru dan tersentuh sanubari Sutouw Ci-ko serta. mendengar curahan hati Ham Gwat yang penuh membawa perasaan hatinya. Terdengar Ham Gwat melanjutkan, "Kau tahu, dia terlalu ceroboh. gugup dan lalai lagi, bila sampai tertipu tak berani aku membayangkan akibatnya." "Kau tak usah kuatir." Sutouw Ci-ko coba menghibur, "Bukankah kau selalu mendampinginya" Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Aku dan Gihu juga akan kesana, kau tidak perlu kuatir!" "Tapi dia akan berpencar dengan kita, bagaimana baiknya." "Itu tergantung pada kau, asal kau dapat mengendalikan dia, kutanggung tidak akan ada persoalan" demikian ujar Sutouw Ci-ko sambil tertawa penuh arti. "Aku tahu sanubarimu penuh mengandung perasaan, tapi tak pernah kau tunjukkan dilahirmu. Hubunganmu dengan Thian-hi terasa sangat asing bagi dia, kalau kau bisa mengumbar sedikit perasaanmu aku percaya Thian-hi akan menyetujui segala perintahmu. Aku dapat menyelami isi hatinya, kalau huhungan kalian sudah erat dan terbuka hati kalian bisa saling mengisi, dia akan tanya padamu apa yang harus dia lakukan, yakinlah akan hal ini!" "Memang Thian-hi rada jerih terhadap kau," demikian Sutouw Ci-ko melanjutkan. "Tapi cuma kaulah yang kuasa mengendalikan dia, hal ini tak perlu disangsikan." "Aku kuatir aku tidak punya wibawa begitu besar," timbrung Ham Gwat tertawa. "Dihadapan orang lain biasanya Thian-hi terlalu bebas dan berani, tapi dihadapanmu seperti bicara pun tak berani keras. Kukira sejak mula kalian sudah sama-sama canggung dan risi sehingga sikap kalian sama-sama kurang wajar." Ham Gwat menjadi geli. Dalam hati ia mengakui akan kebenar-benaran ini, kini setelah ganjalan hati ini terbuka ia menjadi paham dan lapanglah dadanya, katanya, "Untuk selanjutnya kukira tidak akan terjadi pula!" "Itulah baik. Aku salut pada kalian!" demikian ujar Sutouw Ci-ko, lalu ia berpaling ke arah hutan serta berteriak, "Thian-hi, keluarlah!" Tapi berulang kali ia berkaok2 tanpa mendapat penyahutan, hati mereka menjadi tegang dan bertanya-tanya. Lekas mereka memburu ke dalam hutan, keadaan disitu sunyi dan melompong, agaknya Thian-hi sudah tinggal pergi lebih dulu. Sekilas pandangan Ham Gwat menjelajah sekitarnya dilihatnya sebaris tulisan didahan pohon yang berbunyi, "Paman Pek menghadapi bahaya, aku pergi menolong." Mereka maklum setalah berhasil menolong Pek Si-kiat tentu Thian-hi langsung menyusul ke Jian-hud-tong, maka mereka pun tidak banyak kata lagi, buru-buru mereka melanjutkan perjalanan. Ooo)*(ooO Melihat Ham Gwat berdua mau bicara segera Thian-hi menyingkir ke dalam hutan, tengah ia keisengan tiba-tiba dilihatnya tiga sosok bayangan orang berlari kencang saling kejar di kejauhan, jelas terlihat olehnya orang yang dikejar itu adalah Pek Si-kiat, sedang dua orang pengejarnya adalah Ciang-ho-it-koay dan Ce-han-it-ki. Cepat ia menulis beberapa patah kata di atas pohon terus lari mengejar dengan kencang, Kirakira sepul"uh li kemudian baru ia melihat tiga bayangan di depan, segera ia kerahkan tenaganya mengejar lebih pesat. Untung tiba-tiba dilihatnya ketiga orang yang saling kejar itu mendadak sama berhenti, sementara laksana terbang Hun Thian-hi sudah menyandak dekat, cuma sebelum tahu duduk persoalannya ia tak mau muncul unjukkan diri, lekas ia melesat naik kepuncak sebuah pohon lebat dan sembunyi disitu. Diam-diam heran dan bertanya-tanya benak Thian-hi, entah karena urusan apa ketiga tokoh kelas tinggi ini saling kejar. Tampak Pek Si-kiat membelakangi sebuah pohon besar menghadapi kedua pengejarnya, katanya, "Aku sudah bersabar, tapi kalian mendesak begini rupa, apa maksud kalian?" "Pek Si-kiat jangan banyak bacot lagi, persoalan empat puluh tahun yang lalu masa pura-pura kau lupakan?" demikian jengek Ce-han-it-ki' "Benar-benar, memang dulu tidak sedikit aku membunuh orang. tapi sekarang aku sudah sadar dan insaf, apa kalian masih mendesak sedemikian rupa?"' "Menyesal dan sadar apa?" demikian jengek Ciang-ho-it-koay, "Dengan menyesal dan sadar lantas cukup kau tebus jiwa orang-orang yang kau bunuh itu?" "Jadi maksud kalian aku Pek Si-kiat harus menembus dengan jiwaku?" "Dulu Pek-kut-sin-kangmu menggetarkan Bulim biar hari ini aku mencoba pukulan saktimu itu," demikian Ciang-ho-it-koay tampil ke depan terus menyerahg dengan kedua telapak tangannya. Pek Si-kiat. melejit mundur menghindar. Kalau dua lawan satu terang ia bukan tandingan, maka ia harus berusaha mencari kesempatan melarikan diri, segera ia kerahkan delapan kekuatan Pek-kutsin- kang balas menggempur. Begitu dua pukulan saling bentur, hawa bergolak debu dan pasir beterbangan memenuhi angkasa, kedua belah pihak sama tergetar mundur lima kaki. Begitu tersentak mundur Ciang-ho-it-koay segesit kera sudah melompat maju pula seraya kirim lagi tamparan maut. Sementara itu Pek Si-kiat berdiri tegak, ia sudah siap menghadapi rangsakan musuh lebih lanjut, tapi ia cukup cerdik untuk memancing kelengahan musuh, tibatiba ia melejit mundur lagi, Ciang-ho-it-koay menjadi gemas. tanpa. menghiraukan seruan Ce-hanit-ki ia mengejar maju seraya menjengek, "Iblis tulang putih hayo jangan lari!"' Kini persiapan Pek Si-kiat sudah sempurna, tanpa berkelit lagi ia songsongkan pukulan telapak tangan dengan dilandasi kekuatan Pek-kut-sin-kang. Waktu mendengar peringatan Ce-han-it-ki, paling tidak Ciang-ho-it-koay sudah waspada, begitu melihat lawan menyongsong pukulannya ia berusaha mengijak. hakikatnya sikap Pek Si-kiat ini tidak pandang sebelah mata dirinya, berani dia menyongsong gempuran pukulannya cuma dengan sebelah tangannya saja. Seketika berkobar amarahnya sambil kerahkan seluruh tenaganya, kedua telapak tangan menggempur ke arah Pek Si-kiat. Diluar tahunya siang-siang Pek Si-kiat sudah memperhitungkan dengan masak, begitu melihat lawan menggempur dengan kekerasan, cepat ia tarik pukulannya seraya berkelit kesamping. Memang Ciang-ho-it-koay menduga Pek Si-kiat tidak akan berani melawan secara kekerasan, begitu melihat lawan berkelit, tiba-tiba ia memutar setengah lingkaran berbareng kedua tangannya menyapu miring terus menggempur pula kehadapan Pek Si-kiat. Mimpi pun Pek Si-kiat tidak menduga bahwa lawan bisa tergerak begitu cepat dan tangkas, tak sempat berkelit atau merubah permainan, terpaksa ia angkat tangan menangkis dengan sisa tenaga yang masih terkerahkan. Suara gemuruh seketika menyentak mundur kedua pihak dua tindak ke belakang. Secara langsung dapatlah dinilai dalam adu kekuatan pukulan ini, bahwa Pek Ki-kiat setingkat lebih tinggi dari kepandaian Ciang-ho-it-koay, karena hasilnya seri, pada hal Pek Si-kiat cuma menggunakan sisa tenaga yang masih terkerahkan. "Lwekang yang hebat," derdengar Ce-han-it-ki memuji, "Cukat Lote! biar kucobacoba kepandaian sejati Iblis tulang putih ini!" Ciang-ho-it-koay maklum bahwa diri sendiri bukan tandingan orang, segera ia mengundurkan diri. Melihat Ce-han-it-ki tampil ke depan, bercekat hati Pek Si-kiat, ia maklum kepandaian orang jauh lebih tinggi dari Ciang-ho-it-koay, mau tak mau ia harus mengempos semangat dan meningkatkan kewaspadaan. Dalam pada itu Ce-han-it-ki sudah saling berhadapan, seperti dua jago aduan mereka saling pandang tak berani sembarangan bergerak, mereka menanti kesempatan yang paling baik untuk turun tangan. Sekonyong-konyong Ce-han-it-ki bergerak dulu, kakinya melangkah miring ke depan menduduki posisi yang menguntungkan terus menggempur berhadapan ke arah Pek Sikiat Mencelot hati Pek Si-kiat. Cara Ce-han-it-ki menyerang ini entah mengunakan tipu silat apa. Karena itu dia tidak berani gegabah sedikit angkat kedua tangannya cukup mebendung gempuran tenaga lawan, sementara sebelah kakinya menyurut selangkah. Tak duga gerakan Ce-han-it-ki ini merupakan pancingan belaka, melihat Pek Sikiat tidak berani balas menyerang, ia tertawa panjang, cepat sekali permainan pukulannya berubah, ia kembangkan Nu-hun-ciang-hoat (pukulan comot awan), gambaran telapak tangan berkelebatan menerbitkan gelombang angin yang menderu keras, jari-jari kedua telapak tangannya bagai cakar burung mencomot ketubuh Pek Si-kiat. Karena inisiatif penyerangan didahului lawan, kontan Pek Si-kat terdesak di bawah angin dan mati kutu, Pek-kut-ciang sulit dikembangkan lagi, paling-paling cukup untuk membela diri saja. Namun demikian ia kuat bertahan sampai ratusan jurus, sementara kedudukan Cehan-it-ki semakin unggul, permainan pukulan telapak tangannya semakin ganas dan deras. Dalam pengalaman bertempur untung Pek Si-kiat jauh lebih matang dari Ce-han-itki, detikdetik permulaan tadi lantas ia menginsafi kedudukannya yang kejepit ini, tanpa balas menyerang ia menjaga diri dengan rapat. Tapi setiap kali lawan mengunjuk setitik lobang kelemahan pasti ia menyergap dengan rangsakan yang cukup membuat lawan kelabakan. Kira-kira dua ratusan jurus mereka saling hantam, Pek Si-kiat jadi mengerutkan kening, sebaliknya Ce-han-it-ki semakin bernafsu. Mendadak Pek Si-kiat mengendorkan pukulan tangannya, Ce-han-it-ki segera menerjang dengan sebelah pukulan tangan, gesit sekali Pek Si-kiat miringkan tubuh sambil balas menggempur. Sudah tentu Ce-han-it-ki tidak sudi gugur bersama, terpaksa ia sampokan sebelah tangan menangkis, "blang!" dua musuh sama-sama tersurut mundur, sekarang mereka berdiri berhadapan lagi. Sekonyong-konyong eesosok bayangan orang meluncur turun dan hinggap ditengah gelanggang. Kedua belah pihak sama kaget Melihat Hun Thian-hi, Ce-han-it-ki semakin beringas, desisnya, "Apa kau ingin membela Pek Sikiat?" Hun Thian-hi manggut-manggut, sahutnya, "Aku cuma menuntut keadilan saja, harap Cianpwe tidak terbawa oleh perasaan hati." "Pek Si-kiat dulu terlalu banyak membunuh orang, berani kau menghadapi kemarahan kaum Bu-lim?" "Lain dulu lain sekarang, kenyataan sekarang ia tidak pernah membunuh orang." "Hun Thian-hi," sela Ciang-ho-it-koay, "Persoalan Giok-yan Cinjin belum beres, berani kau bertingkah disini?" "Kukira Cianpwe masih belum pikun. seseorang yang berlatih ilmu Lwekang dari aliran murni macam tokoh Giok-yap Cinjin apakah mungkin bisa tersesat latihannya?" Ciang-ho-it-koay jadi melengak, ia cuma percaya obrolan orang dan belum pernah memikirkan secara cermat. Kini baru ia jelas duduk persoalannya, jadi kematian Giok-yap memang bukan perbuatan Hun Thian-hi. Seketika ia bungkam seribu basa. "Sekarang kita tidak mempersoalkan kematian Giok-yap. Kami menagih hutang jiwa Pek Si-kiat pada empat puluh tahun yang lalu." Ce-han-it-ki mengembalikan persoalan semula. "Bagaimana kejadian empat puluh tahun yang lalu aku tidak tahu. Memang kudengar sepak terjang Si-gwa-sam-mo dulu terlalu ganas dan telengas. Tapi paman Pek sekarang sudah sadar dan bertobat, malah Ka-yap Cuncia sendiri yang membebaskan beliau. Masakah empat puluh tahun kemudian, hari ini kalian masih mengungkat2 urusan lama dan mendesak sedemikian rupa." Demikian debat Hun Thian-hi. "Baiklah, kami tidak usah menuntut balas pula padanya," demikian ujar Ce-han-itki menjadi sabar kembali, "Tapi seperti katamu tadi kau harus memberi keadilan bagi keluarga kami yang dibunuh olehnya, bagaimana penyeleaaiannya?" "Bagaimana menurut pendapat Cianpwe?" dasar cerdik Hun Thian-hi kembalikan persoalan ini supaya orang jawab sendiri. Ce-han-it-ki tidak menduga bahwa Hun Thian-hi mengembalikan peraoalan ini pada dirinya diam-diam ia mengumpat dalam hati, sekian lama ia berpikir dan tak kuasa mengambil kepastian. Tiba-tiba Ciang-ho-it-koay menimbrung dari samping, "Dalam jangka tiga bulan suruh dia datang kegunung Tiang-pek langsung minta maaf kepada kami." Hun Thi-hi tertegun. Pek Si-kiat pun menjadi marah, sungguh ia tidak ingat lagi siapa yang ia bunuh sehingga kedua orang ini menuntut balas pada dirinya, sekarang suruh aku datang ke Tiang-pek-san minta ampun pada mereka. Mana bisa jadi, hampir saja ia mengumbar amarahnya pula, tapi sekilas pikir, ia mengakui kesalahan terletak dipihak sendiri, mana Badik Buntung Karya Gkh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo boleh bekerja menurut adat sendiri. Bahwasanya kaum persilatan yang terjungkal jatuh pamor sudah umum dan biasa terjadi, tapi kalau minta orang minta ampun kerumah orang belum pernah terjadi. Kedengarannya pembicaraan mereka cukup ramah dan tanpa syarat apa-apa lagi, tapi pelaksanaannya bagi Pek Si-kiat justru sangat berat. Thian-hi maklum akan hal ini, ia, jadi bingung dan sulit ambil kepastian, seumpama dia sendiri pun belum pasti mau, tapi soalnya sekarang kalau ditolak mentah-mentah pertempuran sengit tentu berulang kembali, dan ini tidak ia kehendaki. Pek Si-kiat sendiri menjublek ditempatnya, terbayang penghidupan empat puluh tahun di dalam gua yang sunyi, kumandang nasehat dan petuah Ka-yap Cuncia dipinggir kupingnya, ia pun sudah berjanji tidak akan membunuh orang lagi. Sekilas dilihatnya sikap kebingungan Hun Thian-hi, tibatiba ia merasa persoalan adalah kesalahanku asal aku mengangguk kepala, segalanya menjadi beres, kalau dulu aku membunuh keluarga mereka, tuntutannya cuma mohon ampun belaka, imbalan ini terlalu ringan bagi dirinya. Mendadak ia bersuara, "Baik! Kululusi syarat kalian ini."' Keruan Hun Thian-hi bertiga menjadi terkejut. Ce-han-it-ki dan Ciang-ho-it-koay sama heran dan tak mengerti, mimpi juga mereka tidak menduga Pek Si-kiat begitu polos menerima syarat yang mereka ajukan. Kenyataan sudah mereka hadapi, sesaat menjadi bungkam. Mengandal kedudukan Pek Si-kiat di Bulim, kata-kata yang sudah diucapkan tidak bakal dijilat kembali, apalagi ada Hun Thian-hi menjadi saksi, untuk menyesalpun sudah kasep. "Kalau begitu, baiklah kami mohon diri, Kutunggu kedatanganmu." demikian ujar Ce-han-it-ki lalu mendahului berlari pergi. Setelah bayangan kedua orang ini menghilang tak tertahan lagi, Hun Thian-hi berseru haru, "Paman Pek!" Pek Si-kiat tersenyum, ujarnya, "Untung kaulah yang datang, kalau tidak entah bagaimana akibatnya tadi Kau sudah ketemu Sutouw Ci-ko belum?" "Tadi memang aku bersama mereka, tapi melihat paman Sedang dikejar mereka maka kususul kemari lebih dulu." "Mereka" Siapa saja yang kau maksudkan?" "Sekarang Ci-ko bersama nona Ham Gwat Kemungkinan mereka langsung menuju ke Jian-hudtong!" "Agaknya hubunganmu dengan Ham Gwat sudah lebih akrab. marilah kita pun menyusul kesana." Demikian ajak Pek Si-kiat. sambil berjalan ia menambahkan, "Kulihat kalian memang jodoh yang setimpal. ini soal besar yang menentukan hari depanmu. Nona Ham Gwat adalah gadis yang baik, berkobar perasaan di dalam sanuharinya, soalnya sejak kecil ia, dibimbing Bu-bing dalam suasana dingin dan mengikuti watak gurunya, sebetulnyalah riwayat hidupnya. harus dikasihani, maka perasaan hatinya sulit ia limpahkan dengan kata-kata." Hun Thian-hi tertunduk, ia renungkan setiap kata Pek Si-kiat yang banyak membawa manfaat besar bagi diranya. "Kau dapat memahami maksudnya tidak?" tanya Pek Si-kiat "Kurang begitu paham!" sahut Thian-hi terus terang. "Sedikitnya." Pek Si-kiat memberi petunjuk, "Setiap kali berhadapan dengan dia kau tidak boleh terlalu canggung dan kikuk, bawalah kewajaran dalam hubungan kalian. Kalau tidak perasaan dingin di dalam sanubarinya itu tidak akan luber, perasaan hatinya pun sulit dilimpahkan." Sementara Hun Thian-hi merenungkan kata-katanya, Pek Si-kiat menamhahkan, "Yang terpenting belum kututurkan kukira kau masih teringat akan Sin-jiu-mo-ih Lam In bukan?" Bercekat hati Thian-hi, sesaat ia tertegun, ia sendiri pernah saksikan sepak terjang tabib iblis bertangan sakti itu, adakah terjadi sesuatu diluar dugaan" Demikian ia bertanyatanya dalam hati. "Persoalan tidak terletak pada Lam In itu sendiri, sekarang dia berada di tempat Kim-eng Lojin, orang tua pemelihara burung rajawali mas besar itu." "Jadi maksudmu tentang obat2an ciptaannya yang menjadi persoalan?" Pek Si-kiat manggut-manggut, katanya, "Dulu Sin-jiu-mo-in pernah berjanji akan memberi bubuk obat Kiu-li-san, orang yang dicekoki obat ini akan kehilangan akal sehatnya, dia patuh segala perintah orang yang memberi obat beracun ini. Waktu dia pulang kerumah ternyata bahwa bubuk obat itu sudah jcuri oleh Tok-sim-sin-mo" "Dengan hasil obat curiannya ini, Tok-sim-sin-mo yang berhasil lolos itu meracun Bing-tiongmo, tho. Lam-bing-it-hiong dan lain-lain kaki tangannya dulu. Apalagi sekarang dia telah berintrik dengan Bu-bing Loni maka kekuatannya berlipat lebih besar." Bab 36 Thian-hi semakin terkejut, melawan Bu-bing saja sudah berat ditambah orang-orang yang dicekoki racun kena dipengaruhi itu, semakin sulit lagi dilawan "Kini dia lebih apal lagi keadaan dalam Jian-hud-tong, aku kuatir sulit untuk membekuk dan mengatasi mereka. Cuma untung dari Lam In sendiri atas prasaran Kim-eng Lojin aku mendapat obat pemunah racun Kiu-li-san itu." Thian-hi jadi berjingkrak girang, "Obat pemunah macam apakah?" tanyanya. "Berupa bubuk juga. Cukup ditebarkan saja, sekali mereka mengendus bau obat yang harum itu seketika mereka akan sadar, dan tidak terkendali lagi oleh Tok-sim-sin-mo." "Kalau begitu kita tidak perlu gentar menghadapi bangsat laknat itu." "Tapi obat itu cuma sebungkus, sebungkus ini harus sekaligus dapat mengobati sekian banyak orang. Untuk meramunya lagi waktunya terang tidak keburu lagi." Thian-hi terbungkam kuatir, ia terlongong sekian saat. "Kau simpanlah obat ini,' ujar Pek Si-kiat menyerahkan sebungkus obat, "jelas dia akan menghadapimu sekuat tenaganya." Thian-hi sambuti bungkusan obat itu, ujarnya, "Sebungkus ini lebih baik kubagi menjadi dua saja." - lalu ia membuka bungkusan itu dan dibagi menjadi dua lalu dibungkus lagi, sebungkus yang lain ia berikan kepada. Pek Si-kiat. "Nak, marilah percepat, mungkin Ci-ko dan Han Gwat sudah tiba disana." demikian ajak Pek Sikiat. Thian-hi mengiakan, mereka langsung menuju ke Jian-hud-tong. Waktu terang tanah Sotouw Ci-ko dan Ham Gwat sudah tiba diambang mulut gua seribu buddha. Sekian lama mereka berdiri menjublek susah ambil ketetapan. Akhirnya Sutouw Ci-ko berkata, "Adik Ham Gwat, kita terjang ke dalam atau menunggu kedatangan Hun Thian-hi." "Entah Thian-hi sudah tiba atau belum, mungkin sudah tiba dan langsung menerjang masuk maka kita pun tak perlu beragu lagi. Cuma untuk menjaga segala kemungkinan, lebih baik kita tinggalkan beberapa patah kata disini, umpama mereka terlambat segera bisa menerjang masuk." Sutouw Ci-ko manggut-manggut, dengan ujung pedang ia menggores beberapa huruf dibatang pohon. Tiba-tiba di belakang mereka terdengar suara dingin. Waktu berpaling seketika berubah air muka mereka, yang datang ini kiranya bukan lain Bu-bing Loni adanya, dengan dingin ia menatap muka Ham Gwat. Dengan dingin dan takabur Ham Gwat balas tatap Bu-bing Loni, saat mana sedikitpun ia tidak lagi merasa gentar menghadapi Bu-bing. Setelah dia jelas mengetahui riwayat hidupnya sendiri, lebih besar pula rasa bencinya terhadap Bu-bing musuh ayah bundanya. Hawa amarah bergejolak dirongga dadanya menggantikan perasaan takutnya. Semula Bu-bing tidak percaya bahwa Ham Gwat berani bersikap begitu garang dan kurang ajar terhadap dirinya. 'Ham Gwat,' jengeknya dingin, "Setelah berhadapan, kau masih berani melawan aku?" "Jangan toh melawan melihat kau, melihat musuh besarku, aku benci kau ketulang sungsummu, ingin rasanya kusayat dagingmu kubeset kulitmu." sembari berkata ia melolos pedang. Bu-bing menyeringai sadis, ia tahu Ham Gwat sudah terlalu benci padanya, Ham Gwat harus dilenyapkan dulu dari depan hidungnya, maka iapun melolos pedang, ejeknya, "Permainan pedangmu hasil ajaranku, kau berani melawan gurumu, agaknya kau sedang mimpi!" Ham Gwat mandah menyeringai dingin, setindak demi setindak ia menghampiri kehadapan Bubing Loni.... Sutouw Ci-ko menjadi Kuatir, murid mana bisa menang melawan guru, situasi membuat hatinya menjadi tabah, rasa takutnya terhadap Bu-bing sudah lenyap, pelan-pelan iapun keluarkan pedangnya ikut mendesak maju. Ham Gwat tahu juga akan tindakan Sutouw Ci-ko ini, cepat ia mencegah tanpa menoleh, "Ci-ko cici kau mundur saja, aku punya cara menghadapi dia!" Sutouw Ci-ko tertegun, sambil menyoreng pedang ia berdiri disamping. "Apa kemampuanmu kau berani melawan aku." demikian cemooh Bu-bing. Sementara pedangnya sudah terangkat lempang pelan-pelan menuding ke arah Ham Gwat Langkah Ham Gwat tak berhenti, kedua biji matanya sedingin es menatap Bu-bing, dalam hati ia sedang menerawang cara menghadapi musuh besar ini. Rasa gusar sudah menghayati keberaniannya. Adalah Bu-bing sendiri sebaliknya menjadi bersitegang leher, pandangan Ham Gwat yang dingin setajam sembilu menusuk sanubarinya, bertambah besar rasa jerinya. Tiba-tiba Ham Gwat tersenyum sinis, badannya pun melejit ke depan, pedangnya panjang menyampok miring terus menutul bergantian. sekaligus ia menutuk jalan darah Thay-yang-hiat dikedua pelipis Bu-bing Loni. Mencelos hati Bu-bing, tipu serangan ini bukan dia yang mengajarkan, bukan pula pelajaran dari ibu kandung Ham Gwat. Ong Ging-sia, belum pernah ia melihat jurus serangan aneh ini, begitu ganas dan cepat sekali, keruan bertambah kebat-kebit hatinya, serta merta meningkatkan perhatiannya. Mungkinkah Ham Gwat mendapatkan hasil kemujijadan" Kalau tidak dari mana ia peroleh jurus aneh ini. Tidak berani balas menyerang ia cuma gerakan pedangnya memunahkan serangan Ham Gwat ini ditengah jalan Benar-benar diluar tahunya, bahwa serangan pedang aneh yang dilancarkan seenaknya ini justru membawa pukulan batin yang teramat besar bagi Bu-bing Loni, hampir saja karena rasa curiganya itu Bu-bing sudah hendak berlari masuk ke dalam gua. Sebelum kedua batang pedang saling bentur, Ham Gwat memuntir pedangnya, seketika bianglala berkelebat melambung, dengan jurus permainan Hui-sim-kian-hoat ia menyerang secara ganas kepada Bu-bing. Melihat Ham Gwat tidak melancarkan jurus aneh lagi, rada lega hati Bubing, tapi hatinya sudah tertekan dan dihantui oleh kekuatiran sendiri, ia jadi waswas bila Ham Gwat melancarkan jurus pedang aneh, maka ia tidak berani balas menyerang setaker tenaganya. Dengan permainan pedang yang sama, mereka serang menyerang tak berkeputusan, tahu-tahu seratus jurus sudah lewat. Baru sekarang ia sadar bahwa jurus permulaan dari permainan pedang Ham Gwat tadi melulu cuma gertakan belaka, terang dirinya kena tipu belaka. Keruan ia naik Dewi Ular 3 Dewi Ular 67 Rahasia Anak Neraka Samurai Pengembara 5 1