Ceritasilat Novel Online

Candi Murca 11

Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi Bagian 11 tubuh ayahnya yang tergolek. Prabawati semakin cemas ketika melihat tubuh itu tidak terlihat bernapas. "Apa yang terjadi?" suara Prabawati serak. Prabawati disergap cemas yang tiada terkira. Gugup buncah gadis itu. Hantu Laut menghela napas panjang. "Kau harus menerima kenyataan ini dengan ikhlas Prabawati. Kuatkan hatimu dan kuatkan perasaanmu karena ayahmu telah pergi untuk selamanya." Berderak hancur isi dada Prabawati. Gadis dari kaki Gunung Penanggungan itu terbelalak memandangi tubuh ayahnya yang telah berbaring beku tak bernapas lagi. 330 Sesaat Prabawati mencoba ingkar, bahwa apa yang dilihatnya itu hanya semu palsu, akan tetapi tetap saja yang ia lihat tidak berubah. Biku Sambu tetap berbaring tidak bernapas lagi. Prabawati berusaha mengumpulkan sisa kekuatan yang ia miliki. Sesaat kemudian gadis itu berteriak keras sambil mengguncang tubuh ayahnya. Biku Paraban hanya bisa menghela napas. Kenyataan yang dihadapi Prabawati itu memang terlampau pahit untuk diterima, amat berat untuk disangga. Berhari-hari gadis itu pergi meninggalkan Perguruan Pasir Wutah di kaki Gunung Penanggungan mencari ayahnya hingga harus menempuh perjalanan jauh ke Perguruan Kembang Ayun di kaki Gunung Raung ujung timur Pulau Jawa lalu dilanjutkan perjalanan kembali ke barat hingga ke Panjaringan di Pesisir Laut Selatan, semua itu hanya untuk menemukan sang ayah terbujur beku tidak bernapas lagi. Prabawati merasa lehernya tercekik. Isi dadanya membuncah menggelegak butuh penyaluran. Tatapan mata gadis itu mendadak menjadi amat liar, jelalatan memerhatikan keadaan di sekitarnya. Prabawati bangkit. "Mana dia?" teriak gadis itu. " Mana orang itu, paman?" Biku Paraban diam. Biku Paraban bingung harus bersikap bagaimana terhadap gadis itu. Haruskah Biku Paraban membujuk Prabawati agar tenang menerima kenyataan sementara Biku Paraban sendiri merasa isi dadanya bergolak" Prabawati meledak. "Akan aku bunuh orang laknat itu. Aku akan mempertaruhkan nyawaku untuk melawannya. Mana dia paman" Mana Narasinga itu?" Prabawati menggigil. "Orang itu sudah pergi Prabawati," jawab Biku Paraban dengan nada suara nyaris tertelan. "Tak ada gunanya kau menyusul orang itu. Narasinga telah pergi cukup lama. Sekarang tenangkan hatimu." Bagaimana Prabawati bisa tenang" Tidak mungkin bisa tenang. Hasrat hatinya hanyanya menumpahkan kemarahan. Hutang pati bayar pati. Apalagi Narasinga itu berhutang amat banyak kepadanya. Perbuatan Narasinga terhadap Ibunya menyebabkan Prabawati tidak bisa mengampuninya, apalagi kini Narasinga malah membunuh ayahnya pula. Maka pontang-panting Prabawati berusaha menenangkan diri. Tangis yang semula masih bisa ditahannya itu akhirnya meledak seperti puncak gunung tak mampu menahan desakan lahar dari dalam kepundan. Paraban membiarkan Swasti Prabawati menangis sejadi-jadinya. Dengan menangis akan membantu gadis itu melarutkan beban perasannya. Manakala sejenak kemudian pagi pun datang menyapa pantai laut selatan itu, seolah menjadi awal dari hidup baru bagi Prabawati. Hidup dengan hanya satu tujuan membalas kematian ayahnya. Ke mana pun Narasinga pergi, bahkan seandainya bersembunyi di balik liang semut sekalipun, orang itu akan dikejarnya. "Tenanglah ayah," bisik Prabawati setelah berhasil menguasai diri, "aku akan membalaskan dendammu. Akan kutagih dengan bunganya sekalian." Manakala fajar kemudian menyingsing, Biku Paraban membopong jasad saudara kembarnya ke pusara di mana Luh Saras dimakamkan. Tanpa banyak berbicara Biku Paraban menggali tanah untuk kuburan saudara kembarnya itu. Prabawati sudah tidak menangis lagi, akhirnya gadis itu memang merasa tidak ada gunanya menangis. Ditangisi sampai keluar air mata darah sekalipun tak akan membangkitkan kembali yang telah pergi menghadap Sang Maha Pencipta. Prabawati yang termangu seperti terjebak di alam 331 lamunan itu mendongakkan kepala ketika mendengar suara langkah yang bergegas mendekati tempat itu. Melihat siapa yang datang, Prabawati bergegas menjemputnya. "Ada apa?" Nyai Perakin bertanya lengkap dengan segala kecemasannya. "Apa yang terjadi?" Swasti Prabawati tidak menjawab. Bahkan semangat untuk berbicara, Prabawati seperti tidak memiliki lagi. Nyai Sedah Perakin memegang tangan gadis itu. Melalui tatapan matanya Nyai Perakin menuntut penjelasan. Prabawati menghela napas. "Setelah sekian lama aku mencarinya," kata Prabawati dengan suara serak dan tersendat, "akhirnya aku temukan ayahku di tempat ini Bibi, meski yang aku temukan hanya jasadnya." "Apa?" Nyai Perakin terbelalak kaget. Dengan jelas dan gamblang Prabawati kemudian menceritakan apa yang terjadi. Nyai Perakin menyimak dengan seksama serta penuh perhatian. Nyai Perakin terkaget- kaget mendengar penuturan Swasti Prabawati, tetapi Nyai Perakin memaklumi mengapa bisa terjadi peristiwa itu. Sebagai salah seorang saksi yang pernah hidup bersama di lingkungan yang sama pada masa dua puluhan tahun yang lampau, Nyai Perakin yakin bahwa persoalan di antara Biku Sambu dan Narasinga tidak bisa dihapus sekadar dengan menganggapnya sebagai cerita yang telah lewat hingga layak untuk dilupakan. Nasib mengenaskan yang menimpa Ni Luh Saras dan pertikaian yang terjadi antara Narasinga dan ke dua adik kembarnya, tidak mungkin dihapus dengan bergulirnya waktu. Dendam di antara mereka tetap tumbuh dan mekar. Perkampungan Panjaringan yang dihuni oleh beberapa nelayan, menjadi gempar mendengar apa yang terjadi. Mereka datang berbondong-bondong untuk menyampaikan duka dan sungkawa. Penduduk yang berusia lima puluhan tahun ke atas, pada umumnya mengenal dengan baik tiga bersaudara Narasinga, Sambu dan Paraban. Kesempatan itu mereka pergunakan untuk saling menanyakan kabar keselamatan kepada Biku Paraban. Berbagai pertanyaan pun mereka lontarkan. Menghadapi pertanyaan-pertanyaan itu Biku Paraban menjawab sebisanya. Prabawati yang amat terpukul, tidak mau bergeser dari pusara ayahnya. Semakin larut Prabawati memuja mantra doa mengiringi kepergian ayahnya, maka semakin bulat keputusannya untuk menuntut balas. Hutang nyawa bayar nyawa. X Dengan tubuh yang compang-camping tidak keruan, penuh lumpur dan kotor sekali, Narasinga yang duduk lunglai di atas kudanya memandang dengan tatapan mata kosong ke arah depan. Ia tidak peduli dengan arah yang diambil oleh kudanya. Namun kuda tunggangan itu rupanya termasuk jenis kuda tunggangan yang cerdik. Meski Narasinga tidak perlu memegang tali kekang, kuda itu terus berderap pelahan menyusur jalan setapak kembali ke arah semula. Kuda itu agaknya juga tahu tuannya sedang terluka 332 parah. Lebih dari itu, jalan untuk pergi ke Panjaringan dari tempat tinggalnya di Kediri Narasinga hanya memiliki satu pilihan jalan. Benturan aji pamungkas dari perguruan yang sama, antara aji Pasir Wutah dengan aji Pasir Wutah telah benar-benar mengguncang isi dada Narasinga. Selama ini Narasinga telah malang melintang di dunia olah kanuragan, jarang menemukan orang yang mampu mengimbanginya, tetapi Biku Sambu benar-benar membuatnya kalangkabut. Semakin ia merenungkan Narasinga semakin yakin, bahwa sebenarnya ia tidak akan bisa mengatasi Biku Sambu. Kalau kemudian Biku Sambu berhasil ia bunuh, itu karena Biku Sambu yang memang memilih mengalah. Jika Biku Sambu mau besar kemungkinan Narasinga tidak akan bisa keluar dari arena perang tanding itu hidup-hidup. Tatapan mata Narasinga makin berkunang-kunang. Pangkal lengan kanannya serasa lumpuh karena serat-serat pinang banyak menancap di telapak tangannya. Cahaya surya pagi mengikuti kemana pun kuda jantan itu membawanya, akan tetapi Narasinga tidak mungkin meminta tolong pada siapa pun, karena tempat itu sepi dan terpencil. Narasinga menggelengkan kepala dengan keras, sebuah usaha untuk mempertahankan kesadaran agar jangan sampai pingsan. Akan tetapi Narasinga memang tidak punya kemampuan untuk bertahan. Dengan pelan Narasinga menelungkupkan diri di atas kudanya. Kuda itu terus berlari membawa tubuh yang telah tidak sadarkan diri. Barangkali telah menjadi garis perjalanan hidup, barangkali para Dewa di langit telah menggariskan rangkaian perjalanan manusia antara satu dengan lainnya. Kuda yang membawa Narasinga itu berpapasan dengan kuda Sapu Angin yang membawa majikannya yang menempuh perjalanan menuju Panjaringan. "Kenapa orang itu, kakang?" tanya Narasari. Parameswara memerhatikan. "Tampaknya orang yang membutuhkan pertolongan, Narasari." Dengan bergegas Parameswara melecut kudanya menyongsong orang yang ia lihat tengah membutuhkan pertolongan. Manakala telah dekat, Parameswara segera melenting menyongsong dan menangkap kendali kuda yang ditunggangi Narasinga. Kuda itu pun berhenti. Parameswara bergegas memeriksa keadaan orang itu dengan cermat. Melalui pergelangan tangan yang dipegangnya Parameswara bisa mengetahui bagaimana keadaan orang itu. "Bagaimana?" tanya Narasari. Parameswara bergegas menempelkan jari tangannya di leher kiri dan kanannya, Narasinga menggeliat. "Orang ini terluka parah. Kita harus menolong," Parameswara menjawab. Dengan cekatan Dyah Narasari membantu kakaknya menurunkan tubuh orang tak dikenal itu dan dibaringkannya di atas rumput. Kembali Parameswara memeriksa denyut nadi di lengan orang itu. Parameswara dan Narasari saling pandang melihat ada yang aneh pada telapak tangan kanan orang itu. Dyah Narasari mencabut selembar dan dengan cermat mengamatinya. Parameswara melakukan hal yang sama, darah pun dengan deras keluar dari luka yang terjadi. "Benda apa ini, kakang?" tanya Narasari. Parameswara memerhatikan serat-serat yang banyak menancap di telapak tangan kanan lelaki yang belum dikenalnya itu. Parameswara memperhatikan benda aneh itu namun ia tidak dengan segera menemukan jawabnya. Di samping luka-luka di telapak tangan itu Parameswara dan Dyah Narasari menemukan beberapa luka yang lain, luka 333 berjenis lebam-lebam dan sobekan senjata tajam. Di bibirnya ada banyak darah yang mengering dengan bau anyir yang menyengat. "Luka parah yang diderita orang ini jelas karena bertarung, Narasari. Aku tak tahu, ilmu apa yang dipergunakan lawannya hingga mampu melukai orang ini dengan cara yang aneh, melalui banyak serat yang menancap di telapak tangannya. Serat apakah ini, dan dengan cara bagaimana benda ini bisa menancap di telapak tangan, aku tidak tahu." Dyah Narasari bertindak cekatan. Gadis itu segera menekan beberapa simpul syaraf tertentu pada lengan dan leher untuk mengunci darah yang terus mengalir. Dengan hati- hati gadis itu mencabuti serat-serat di telapak tangannya. Parameswara memeriksa serat itu dan berpikir keras. Namun tetap saja Parameswara tidak menemukan gambaran peristiwa apa yang terjadi. "Aku akan menolongnya melalui cara pintas, mari kita dudukkan orang ini," kata Parameswara. Didorong oleh rasa kemanusiaan dan harus menolong siapa pun yang mengalami kesulitan, Parameswara segera bertindak. Dibantu Dyah Narasari, orang yang belum dikenalnya itu didudukkan di atas rumput. Narasari memegang ke dua lengannya agar tubuh itu tidak terguling sementara Parameswara menempatkan diri duduk di depan orang itu. Mata pemuda itu terpejam. Kedua tangan Parameswara bergerak dengan jemari menunjuk dan menempel pada keningnya sendiri Parameswara adalah sosok hasil gemblengan orang sakti yang ketinggian ilmunya mustahil diukur. Ki Ajar Kembang Ayun yang bernama asli Padmanaba telah menggenjot kemampuan kanuragan Parameswara habis-habisan untuk mempersiapkan Parameswara dengan harapan kelak akan memimpin perguruan Kembang Ayun Pesanggaran. Berbagai kemampuan yang dimiliki Ki Ajar Kembang Ayun telah diwariskan kepada pemuda itu, apalagi selama di Pesanggaran Ki Ajar Pratonggopati juga ikut menempanya maka yang tercipta adalah sosok Parameswara yang walaupun masih berusia muda, kemampuan kanuragan nya tidak bisa diremehkan oleh siapa pun. Apalagi kemudian, selama setengah bulan lamanya di dalam goa pantai Ywangga di Parabalingga, Parameswara digenjot habis-habisan oleh Biku Paraban atau Hantu Laut yang juga memiliki kemampuan olah kanuragan nyaris tidak terukur, utamanya bagaimana memanfaatkan kekuatan bawah sadar untuk berbagai kepentingan. Parameswara yang telah membangunkan kekuatan berasal dari bawah sadarnya itu segera menyalurkannya ke tubuh orang yang terluka parah dan belum dikenalnya itu. Narasinga menggeliat ketika telapak tangan Parameswara menyentuh dadanya. Sebuah kekuatan yang besar dan deras menerobos mengalir dan membuka semua simpul-simpul syaraf yang terkunci dan melemah. Narasinga yang masih berada dalam keadaan pingsan itu menggeliat seperti orang yang menyangga beban berat. Melihat apa yang dilakukan kakaknya Dyah Narasari terheran-heran. Selama ini Dyah Narasari tidak tahu kakaknya menguasai sejenis ilmu pengobatan dengan memanfaatkan tenaga yang berasal dari alam bawah sadar itu. Ketika Dyah Narasari masih merasa ragu, namun perubahan yang terjadi pada lelaki yang ditolong yang tiba-tiba menggeliat dan berdesis kesakitan merupakan petunjuk bagi Narasari bahwa apa yang dilakukan kakaknya itu tidak main-main. Beberapa saat berlalu, bergeser sejengkal demi sejengkal. Parameswara yang telah Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo merasa cukup segera menghentikan pekerjaannya. Narasinga yang semula tidak sadarkan diri kembali siuman. Parameswara pun tersenyum ramah kepada orang itu. Narasinga tahu, pemuda yang berada di depannya telah menolongnya, sadar akan hal itu maka 334 Narasinga kembali memejamkan mata dan memusatkan perhatian untuk mengenali perubahan-perubahan yang telah terjadi pada dirinya. Narasinga merasa, keadaan tubuhnya benar-benar jauh lebih baik dari sebelumnya. "Terimakasih anak muda kau telah menolongku," kata Narasinga. Parameswara mengangguk. Narasinga memandang penolongnya. "Apa yang telah terjadi, paman?" tanya Parameswara, "luka yang paman alami ini karena sebuah perang tanding?" Narasinga memandang pemuda yang telah menolongnya itu lebih lekat. Dengan seksama diperhatikan wajah pemuda itu dengan penuh perhatian. Ada sesuatu yang terasa aneh dirasakan oleh Narasinga. Wajah pemuda itu mengingatkannya pada seseorang akan tetapi entah siapa. Bentuk alis pemuda itu dan bentuk rahang dan dagunya mengingatkan pada seseorang. "Ada apa paman?" tanya Parameswara yang merasa heran membaca bahasa tubuh orang terluka itu. Narasinga sangat tidak ingin berbagi masalahnya dengan bercerita pada orang lain yang baru saja dikenalnya, meski orang itu telah menolong dengan menyelamatkan jiwa agar jangan sampai keburu oncat dari raganya. "Tidak, tidak ada apa-apa," jawab Narasinga seperti orang yang bingung. Dyah Narasari menatap dengan penuh iba. "Kalau aku boleh tahu, paman," Narasari menyela, "benarkah paman baru saja berperang tanding melawan seseorang?" Narasinga memandang Narasari sejenak. Narasinga seperti orang yang menyimpan beban berat setiap bersirobok pandang dengan Parameswara. Ada sesuatu pada wajah pemuda itu yang membuat gelisah. Mengapa harus gelisah" Untuk pertanyaan itu pun Narasinga bingung karena tidak tahu jawabnya. "Maafkan aku anak muda," jawab Narasinga, "aku tidak mempunyai cerita apa pun untuk kalian. Akan tetapi aku benar-benar merasa berhutang budi pada kalian yang telah menolong menyelamatkan nyawaku. Aku berharap kelak aku akan berkesempatan untuk membalas." Jawaban itu membuat Parameswara maupun Dyah Narasari saling pandang, seperti bersepakat keduanya manggut-manggut. Kakak beradik itu bisa memahami sikap itu karena ada wilayah-wilayah pribadi yang bukan urusan dan tak layak diketahui orang lain. Narasinga menerawang. Parameswara dan Dyah Narasari yang memerhatikan bahasa tubuh yang tersirat di wajah lelaki tua itu bisa melihat, betapa orang itu menyangga beban yang sungguh amat berat. Tatapan matanya kosong, ada kalanya malah tidak bergairah. Bahkan sampai pada kadar tertentu Parameswara juga melihat, betapa hidup bagi orang itu seperti tidak ada artinya. "Ada apa dengan orang ini?" Parameswara penasaran. Sebenarnyalah, setelah segalanya mulai larut, Narasinga mulai dililit penyesalan. Menyesal karena harus bertikai dengan adiknya yang membawa kematian Biku Sambu, menyesal karena di masa mudanya ia senang mengumbar nafsu, di antaranya ia telah menjarah dengan paksa seorang gadis bernama Luh Saras. Anak yang terlahir dari buah pemerkosaan itu kini memburunya. Semua beban itu membuat Narasinga kehilangan 335 gairah. Bahkan untuk pulang menemui anak dan isterinya yang saat ini mungkin sedang menunggunya, Narasinga tak bergairah. "Baiklah paman," kata Parameswara, "kami berdua merasa, kami telah melakukan kewajiban untuk menolong orang yang membutuhkan pertolongan. Jika paman keberatan kami mengetahi apa yang menyebabkan paman terluka seperti ini, kami tak memaksa untuk mengetahui. Kami memang harus menghormati urusan orang lain dengan tidak mencampuri bahkan sekadar ingin tahu sekalipun. Selanjutnya karena kami mempunyai urusan, kami akan melanjutkan perjalanan. Silahkan paman juga kembali melanjutkan perjalanan." Orang itu mengangguk dan berusaha tersenyum. Dengan cekatan Narasari dan Parameswara membimbing orang itu untuk berdiri. Akan tetapi ada sesuatu yang terlihat oleh Parameswara. Sesuatu yang membuat jantung pemuda berdenyut. "Tunggu," kata Parameswara dengan nada agak lain. Narasri terkejut membaca sikap kakaknya yang berubah. Apalagi Parameswara tiba-tiba mengambil jarak dan memberikan pandang mata tidak senang. "Ada apa kakang?" tanya Narasari dengan alis mencuat. Parameswara memerhatikan lebih cermat lagi. Parameswara akhirnya telah buat pada simpulan yang diperolehnya. "Kau Panji Ragamurti?" Parameswara bertanya. Parameswara menggigil seperti orang yang kedinginan. Dyah Narasari kaget. Namun yang lebih kaget lagi adalah orang yang baru saja disebut dengan nama Panji Ragamurti itu. Dengan sangat heran Narasinga memandang wajah Parameswara. Matanya yang semula sayu berubah tajam. "Bagaimana kautahu aku adalah Panji Ragamurti, anak muda?" Parameswara benar-benar berubah. Manakala semula pemuda itu bersikap ramah. Kini sikap pemuda itu berubah menjadi sikap yang tak bersahabat bahkan sangat lugas dalam menunjukkan sikap bermusuhan. Narasari terheran-heran sebagaimana Narasinga juga terheran-heran. Parameswara segera merenggut bandul kalung yang dipakai orang yang baru saja disebut Panji Ragamurti itu. Parameswara kemudian merenggut kalung yang juga dikenakannya sendiri. Dua buah lencana itu disandingkan. Benar-benar mirip. Melihat itu, Narasinga atau Panji Ragamurti menggigil. "Bagaimana kaubisa mendapatkan benda itu?" tanya Panji Ragamurti dengan tak sabar. Parameswara seperti akan meledak, sesak di dadanya tidak bisa ditahannya lagi dan sesak macam itu membutuhkan penyaluran. Parameswara mengepalkan tangan memberi sikap yang dengan mudah bisa dibaca, permusuhan. "Jadi kaulah orangnya," desis Parameswara dengan penuh tekanan dan bahkan amarah yang tertahan. Narasinga atau yang oleh Parameswara dituduh bernama Panji Ragamurti terheranheran. "Kau siapa anak muda?" desak Narasinga sekali lagi. "Namaku Parameswara," jawab pemuda itu dengan suara lantang dan sangar. "Kau membuangku di saat aku baru saja lahir karena aku adalah buah dari buah perselingkuhan isterimu." 336 Parameswara meledakkan isi dada itu dengan hingar-bingar menyebabkan Panji Ragamurti gemetar. Panji Ragamurti memerhatikan wajah Parameswara dengan lebih lekat lagi. Apabila semula Panji Ragamurti merasa seperti pernah mengenal wajah itu maka kini Panji Ragamurti telah menemukan jawabnya. Wajah itu tak ubahnya wajahnya sendiri di saat masih muda. Remuk redam hati Panji Ragamurti atau yang juga memiliki nama Narasinga melihat kenyataan yang tidak terduga itu. Belum lama yang lampau, Ia dihujani beban yang sungguh sangat berat dengan kematian Biku Sambu dan kemunculan seorang gadis bernama Prabawati yang ternyata anak gadisnya kini muncul lagi seorang pemuda yang juga mengaku anaknya. Pohon yang di saat ia berusia muda itu ditanam di mana-mana, kini ia panen buahnya. Buah pohon itu ternyata terasa amat pahit. Kini seorang pemuda bernama Parameswara, yang wajahnya amat mirip dengannya muncul menemuinya dan mengaku sebagai anaknya. Padahal anak itu dulu telah dibuangnya karena ia tak bisa menerima kehadirannya yang diyakininya bukan keturunannya. Sekarang, setelah dewasa, ia datang menghujatnya. "Jadi, kau anakku?" suara Panji Ragamurti gemetar. Parameswara menggigil. Dyah Narasari yang akhirnya mengerti atas duduk persoalan yang terjadi segera mendekati kakaknya, memegang pundaknya untuk meredakan kemarahannya. Namun Parameswara segera menepis tangan adiknya. "Kenanglah wahai Patih Panji Ragamurti orang yang paling ditakuti di Kediri. Coba kenanglah karena barangkali usia tua bangkamu ini menyebabkan kau pikun dan tak ingat lagi. Kau membuangku karena kau menuduh aku adalah bayi dari hasil seorang istri yang tidak setia pada suaminya. Lalu kaucampakkan bayi itu ke tempat pembuangan sampah-sampah yang tidak ada nilainya. Perhatikanlah aku, inilah aku bayi yang kaubuang itu." Meletup Parameswara mengakhiri rangkaian kalimatnya. Panji Ragamurti tertunduk dan bahkan memejamkan mata. Manakala Panji Ragamurti kembali membuka matanya, sebuah senyum tersungging di sudut mulutnya. Senyum yang sebenarnya amat getir. "Jadi kau mau apa?" tanya Panji Ragamurti. Pertanyaan itu benar-benar memancing kemarahan Parameswara. "Kau tak terima dengan semua yang telah terjadi" Kaudatang untuk menghujatku, atau akan membunuhku?" Parameswara benar-benar marah. Namun justru karena itu mulutnya terkunci. "Kaubenar anak muda," kembali Panji Ragamurti atau Narasinga itu berkata, "bahwa aku tentu masih ingat semua yang terjadi. Aku mengetahui isteriku selingkuh dengan lelaki lain. Dari perselingkuhan itu kemudian lahir kamu. Aku tentu tidak bisa menerima kehadiran bayi yang bukan keturunanku. Masih untung aku hanya sekadar membuangmu karena ada cara yang lebih kejam dari itu. Seharusnya saat itu kubuang kau ke hutan agar jadi mangsa serigala. Serigala tentu amat suka dengan daging bayi." Meledak Parameswara. "Iblis," umpatnya, "ternyata kau memang bukan manusia." Parameswara menggigil gemetar. Dyah Narasari bingung oleh perkembangan keadaan yang sama sekali tidak diduganya. "Kau tidak terima?" teriak Panji Ragamurti dengan suara yang tidak kalah keras. "Kau bermaksud membalas dendam" Kau tak terima anak muda" Kalau kau tidak terima ayo aku layani apa pun kemauanmu. Mari kita selesaikan masalah ini dengan cara lelaki." 337 Parameswara semakin menggigil. Kali ini pemuda itu benar-benar terpancing kemarahannya, tersentuh telak simpul syaraf harga dirinya yang dengan segera mengubahnya menjadi dahana. Parameswara tidak perlu menimbang terlalu jauh untuk segera menyingsingkan lengan melayani apa yang menjadi keinginan lelaki yang seharusnya dipanggilnya ayah itu. Panji Ragamurti segera mempersiapkan diri. Sebagaimana Parameswara tiba-tiba telah mempersiapkan kembangan gerakan silat dari jalur perguruan Kembang Ayun. Dyah Narasari tiba-tiba seperti tersadar dan segera mencegah Parameswara melakukan kekeliruan. Panji Ragamurti mempersiapkan diri dengan baik, siap menghadapi apa pun yang akan dilakukan pemuda yang mengaku-aku anaknya itu. "Tunggu," teriak Narasari. Akan tetapi Parameswara mendorong adiknya menjauh. "Minggir kau Narasari," teriak Parameswara. Dyah Narasari memegangi lengan baju kakaknya. "Kau gelap mata kakang Parameswara," teriak Naraswari berusaha mencegah. Narasari bahkan telah meloncat berdiri tegak di antara Panji Ragamurti dan Parameswara. Parameswara tersengal namun Panji Ragamurti itu justru tertawa. "Sebaiknya jangan kaucegah apa yang diinginkan, nduk," kata Narasinga lantang. "Minggirlah dan jangan kauhalangi keinginannya membunuhku. Kalau dia tidak berhasil membunuh, maka ia yang akan mati terkapar di tempat ini. Peduli setan dengan segala macam haram jadah yang lahir dari perselingkuhan, aku tidak keberatan untuk menambah jumlah angka orang yang akan mati di tanganku." Parameswara benar-benar terpancing. Sebutan haram jadah itu membelah dadanya, merobek jantungnya, sangat menyakitinya. Gugup dan pontang-panting Dyah Narasari berusaha menenangkan kakaknya. "Kakang tenanglah, merenunglah," teriak Narasari yang berusaha mencegah dan mengingatkan. Akan tetapi Parameswara benar-benar telah terbakar. Matanya melotot dengan cara pandang amat sirik. Telah bulat keputusan pemuda itu untuk menempatkan diri menjadi pembuka pintu gerbang kematian Panji Ragamurti. Caci maki haram jadah itu sangat melukai hati dan tidak ada penebusnya sama sekali kecuali merobek mulut orang yang mengucapkannya. "Minggir kau, jangan ikut campur persoalan ini," bentak Parameswara. Namun Prabawati bergeming mencegah jangan sampai perkelahian itu terjadi. "Benar apa yang dikatakannya," Panji Ragamurti menambahkan, "sebaiknya jangan halangi keinginannya. Ini masalah lelaki yang tak bisa diselesaikan dengan cara wanita. Ayo, aku sudah siap menghadapi apa pun yang kauinginkan." Panji Ragamurti berdiri tegak. Sikap tubuhnya merupakan pertahanan yang kukuh yang siap menghadapi gempuran macam apa pun. Sebaliknya Parameswara yang telah mata gelap itu juga telah mempersiapkan serangan. Dalam hati Narasinga yang ternyata adalah patih Panji Ragamurti yang memiliki kekuasaan amat besar di Kediri itu, merasa kagum dan bahkan bangga terhadap sosok yang sekarang dihadapinya. Panji Ragamurti ingin sekali melihat seberarapa tinggi kemampuan pemuda itu yang ia yakini pasti telah mewarisi kemampuan pemilik padepokan olah kanuragan yang paling berwibawa di wilayah kekuasaan Kediri yang membentang sampai ke ujung timur Jawa, Kembang Ayun. 338 Ujut pemuda itu yang sungguh amat mirip dengan dirinya sendiri, menjadi bukti yang amat kuat bahwa dugaan atau prasangka yang selama ini membelenggunya ternyata salah. Anak yang pada mulanya diduga buah penyelewengan isterinya itu ternyata anak kandungnya. Andai keadaan yang ada itu bisa dibalik, betapa senang menerima kehadiran pemuda itu sebagai anak kandungnya sebagaimana menerima kehadiran Prabawati sebagai anaknya pula. Sungguh amat disayang, anak-anak yang terlahir dari buah petualangannya itu kini berdatangan menghujatnya dan mencaci-maki. Mereka hadir tidak sebagai anak-anak yang menyampaikan sembah dan baktinya akan tetapi justru memburunya seperti memburu binatang buruan. Parameswara yang merasa dadanya terbelah itu segera mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya. Dyah Narasari ingin mencegah, akan tetapi gadis itu merasa tidak berdaya menghadapi keadaan itu. Apa boleh buat Dyah Narasari terpaksa menepi dan menempatkan diri hanya sebagai penonton. Panji Ragamurti yang keadaan tubuhnya mulai membaik karena pertolongan pemuda itu, segera mempersiapkan diri pula menghadapi segala macam kemungkinan yang akan terjadi. Didahului dengan teriakan yang sangat keras, Parameswara Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo melenting cepat dan menawarkan sebuah serangan dadakan. Dengan cekatan Patih Panji Ragamurti menyongsong serangan itu dengan serangan pula. Sebuah benturan terjadi menyebabkan Panji Ragamurti harus melenting berjumpalitan menjauh. Dari benturan itu Patih Panji Ragamurti mampu mengukur, kemampuan pemuda itu ternyata tidak bisa diremehkan. Sebaliknya dengan Parameswara. Pemuda itu memanfaatkan benturan yang terjadi sebagai tambahan dorongan tenaga. Pemuda itu justru melenting dan berjumpalitan di udara. Tiba-tiba pemuda itu menggeliatkan tubuh terbang berbalik arah. Bagaikan burung sikatan tengah dilanda birahi, tubuhnya melesat dengan cepat dengan dua telapak tangan langsung terjulur ke arah Panji Ragamurti. Panji Ragamurti atau Narasinga segera melenting. Tubuhnya bergulung di tanah berputar ke arah berlawanan. Melihat lawannya menghindar dengan cara yang tidak lazim, Parameswara segera menggeliat kembali mengubah arah, kakinya mengayun deras ke depan menghajar pohon nyamplung yang menghadangnya. Pohon nyamplung raksasa itu bergetar keras, daun-daunnya berguguran. Parameswara memanfaatkan benturan dengan pohon itu untuk melejit ke arah semula dan mengayunkan serangan beruntun. Panji Ragamurti terbelalak. Pemuda yang dihadapinya itu benar-benar pemuda yang tangkas. Serangan yang dilakukannya susul-menyusul tiada henti. Serangan yang pertama belum lagi rampung telah dikejar oleh serangan berikutnya. "Bukan main," desis Panji Ragamurti yang tidak kuasa menahan rasa kagumnya. Panji Ragamurti melenting dan mengayunkan tangan menebas. Kembali sebuah benturan terjadi. Parameswara meningkatkan kekuatan yang bertumpu dari alam bawah sadarnya menyebabkan ayunan serangannya tidak seperti yang terlihat oleh mata telanjang. Karena bila ayunan tangan itu menjamah bongkahan batu, maka batu itu akan pecah berantakan. Sebaliknya Narasinga atau Panji Ragamurti yang telah mengukur kemampuan lawannya tak perlu merasa sungkan lagi. Kemampuan yang berasal dari alam bawahnya, ia pertajam selapis demi selapis. Bila sentuhan tangan Parameswara bisa menyebabkan batu pecah berantakan sebaliknya sentuhan tangan Panji Ragamurti yang bernama lain Narasinga pada tebing padas, akan jugruk 116 tebing padas itu. 116 Jugruk, jawa, runtuh berguguran 339 Benturan yang terjadi memaksa udara bergetar. Meski tak terdengar ledakan namun Narasari bisa merasakan betapa udara bagai dikoyak dan diaduk. Benturan itu memaksa masing-masing yang melakukan bandayuda 117 terlontar jauh. Namun Panji Ragamurti masih mampu menguasai diri, dengan lincahnya ia melenting dan berdiri dengan tegak sebagaimana Parameswara juga mampu mengatasi akibat benturan itu dengan baik pula. Parameswara memandang lawannya dengan tatapan mata tajam. Panji Ragamurti tersenyum, jenis senyum yang melecehkan dan amat mengina. "Kau berpikir akan bisa memenangkan pertarungan ini, wahai anak haram jadah?" teriak Panji Ragamurti. Umpatan itu benar-benar menyakiti perasaan Parameswara, merobek dadanya dan meremas jantungnya. Tidak ada yang bisa dijadikan imbangan untuk menyembuhkan sakit hati itu selain memecah kepala lawannya meski orang itu adalah Panji Ragamurti. Parameswara lagi-lagi melenting, serangan berikutnya benar-benar merupakan serangan banjir bandang. Panji Ragamurti yang masih menyimpan rasa nyeri di dadanya benar- benar dibuat kalang-kabut. Panji Ragamurti melenting menjauh berjumpalitan beberapa kali. Manakala tubuh Panji Ragamurti mendarat pelahan di tanah, tangan kanannya telah menggenggam seuntai cambuk bergerigi besi. Dengan senjata cambuk yang dipasangi gelang-gelang besi pada helai juntainya itu pula sehari sebelumnya Panji Ragamurti melayani saudara kandungnya dalam perang tanding antara hidup dan mati. "Kau hebat anak muda," Panji Ragamurti menyempatkan berbicara di antara napas yang tersengal. "Kalau aku perhatikan ciri-ciri khusus pada ilmu kanuragan yang kaugunakan aku memang melihat sentuhan tangan Ki Ajar Kembang Ayun sahabatku." Parameswara menggeretakkan gigi. "Ayahku Ki Ajar Kembang Ayun tidak pernah bersahabat dengan iblis," jawab Parameswara dengan lantang. Parameswara tiba-tiba mengubah gerakan kembangan silat yang dipergunakannya. Panji Ragamurti agak terperanjat ketika melihat kembangan silat itu jelas menunjukkan ciri-ciri khusus dari perguruan Pasir Wutah. Apalagi gerakan kembangan tangan yang silang-menyilang itu didorong dengan tenaga bawah sadar yang telah sampai pada tingkat yang tidak bisa diremehkan. "Gila!" Panji Ragamurti melepas rasa kagetnya. "Bagaimana kaubisa menguasai ilmu Pasir Wutah, anak muda" Siapa yang telah menurunkan ilmu itu padamu?" Parameswara tak menjawab. Pemuda itu mengangkat kaki kanannya ke belakang dan hanya bertumpu pada kaki kiri. Tubuhnya agak doyong ke depan. Pelahan-lahan tubuhnya mengapung di udara dan sejenak kemudian melesat dengan cepat memburu lawannya. Melihat itu Panji Ragamurti melecut cambuknya, meledak menggelegar membentuk sebuah bendung yang akan menghadang serangan bentuk apa pun. Akan tetapi yang dihadapinya adalah Parameswara yang benar-benar kalap berlepotan amarah. Parameswara menggeliat di udara dan terus melesat berusaha mencari celah yang bisa dilewati. Patih Panji Ragamurti berjumpalitan dan melecutkan cambuknya beruntun untuk menutup semua celah. Panji Ragamurti yang merasa miris itu berjumpalitan menghindar. Parameswara kembali mempersiapkan diri. 117 Bandayuda, jawa, bertarung. Dalam kehidupan sehari-hari kosa kata ini sudah jarang digunakan. 340 "Sebagai orang yang terlahir sebagai anak haram jadah. Kau ternyata luar biasa," ucap Panji Ragamurti kembali membuat panas telinga. Sentuhan pada persoalan yang amat dibencinya itu menyebabkan Parameswara benar-benar terbakar. Matanya menyiratkan rasa muak yang tidak tertahankan, rasa jijik yang tak bisa dibasuh dengan apa pun. "Bukan main," ucap Patih Panji Ragamurti di dalam hati. "Kemampuan kanuragan pemuda ini yang bertumpu dari perguruan Pasir Wutah benar-benar luar biasa. Hanya ada tiga orang yang menguasai ilmu kanuragan dari jalur Pasir Wutah. Mereka adalah aku, Biku Sambu dan Biku Paraban. Tidak ada orang lain di luar kami bertiga. Jika sekarang aku bertemu dengan pemuda yang luar biasa dengan penguasaan Pasir Wutah seperti ini, maka semua ini pasti kerjaan Sambu atau Paraban. Mereka melakukan semua ini dengan sengaja untuk dihadapkan padaku." Namun Panji Ragamurti tidak bisa berpikir lebih lama lagi karena Parameswara segera menghujaninya dengan serangan banjir bandang yang susul-menyusul tiada henti- hentinya. Pontang-panting Panji Ragamurti harus melayani gerakan-gerakan yang tak terduga. Walaupun jelas ilmu kanuragan yang digunakan pemuda itu berasal dari Pasir Wutah, namun kembangan dan kemungkinan gerak yang dilakukan pemuda itu benar-benar tidak terduga dan telah diperkaya. Pertarungan itu segera berlangsung dengan sangat sengit. Parameswara mencecar lawannya bagai ombak laut selatan yang menghajar tebing susul menyusul akan halnya Panji Ragamurti dengan perasaan hancur dan hati yang berantakan harus meladeni kemarahan anaknya. Benturan beban yang dialaminya membuat Panji Ragamurti seperti tidak tahu lagi arah hidup yang akan ditempuhnya. Oleh sebab itu, pada akhirnya Panji Ragamurti pun terpancing kesetanan. "Ayo haram jadah, yang lahir dari perempuan pelacur, kalau kaumampu, bunuhlah aku," teriak Panji Ragamurti. Parameswara telah berubah menjadi harimau yang terluka. Maka yang dilakukan pemuda itu adalah gambaran dari hatinya yang juga terluka. Sesekali pemuda itu melepas serangan dengan teriakan melengking, menerjang bagai lahar. Sebaliknya yang dihadapi adalah sosok yang hatinya berantakan. Sedemikian berantakan hati Panji Ragamurti hingga tak peduli lagi dengan kematian. Bahkan jika kematian itu datang menjemputnya, itulah yang diharapkan. Dyah Narasari yang menyaksikan pertempuran itu dari jarak dekat dibuat terkagumkagum oleh kemampuan Parameswara yang telah mengalami lompatan jauh ke depan itu. Polesan yang dilakukan Biku Paraban selama di pantai Ywangga, telah mengubah sosok Parameswara menjadi sosok yang lain sama sekali. "Bukan main," desis Dyah Narasari. "Aku tidak tahu pengalaman apa yang telah mengubah kemampuan kakang Parameswara seperti itu. Beberapa bulan yang lampau, aku masih bisa mengenali tingkat kemampuan kanuragan yang dikuasainya, sekarang tidak lagi kukenali. Lagi pula olah kanuragan yang digunakan sekarang, jelas bukan dari Kembang Ayun di Pesanggaran. Lawan kakang Parameswara itu menyebut ilmu kanuragan Pasir Wutah. Rupanya dalam perjalanannya kakang Parameswara telah menemukan seorang guru yang mengajari ilmu itu. Tenaga yang berasal alam bawah sadarnya benar-benar jauh meningkat." Waktu terus merambat bergerak. Pertarungan hidup mati antara Parameswara dan Panji Ragamurti itu berlangsung dengan diwarnai umpatan umpatan kasar, utamanya 341 Panji Ragamurti yang selalu menyentuh perasaan Parameswara sebagai anak haram jadah. Parameswara mengamuk bagai singa terluka, Panji Ragamurti atau Narasinga mengimbanginya dengan tidak kalah ganasnya. Tempat di mana mereka bertarung, tidak seberapa jauh dari ladang yang diolah penduduk. Di dekat tempat itu memang tidak terlihat perkampungan, akan tetapi di balik bukit terdapat beberapa rumah penduduk yang dihuni hanya oleh beberapa keluarga saja. Beberapa orang lelaki penduduk perkampungan kecil di balik bukit itu kaget ketika mereka pergi ke ladang untuk merawat tanaman jagung mendengar teriakan-teriakan orang berkelahi. "Ada orang berkelahi," kata orang yang berkumis. Keduanya saling pandang. Orang yang tak memiliki rambut segera menggelandangnya. Mereka mengendapendap di balik rimbun dedaunan semak dan perdu. Akhirnya kedua lelaki itu melihat apa yang terjadi. Dari bayangan pohon jati mereka mengintip apa yang terjadi. Terbelalak kedua orang itu melihat bagaimana dua orang yang bertarung itu menggunakan ilmu kanuragan yang aneh-aneh. "Siapa mereka?" tanya orang yang berkumis dengan berbisik. Orang yang berkepala gundul tidak menoleh, perhatiannya benar-benar tersita. "Aku sama tidak tahunya denganmu," jawab orang itu. "Apa yang kita lakukan" Apakah sebaiknya kita memisah mereka supaya jangan berkelahi?" Terbelalak orang yang berkumis mendapatkan usulan itu. "Gila," jawab orang yang berkumis. "Kau akan memisah mereka" kauberani melakukan itu?" Namun orang yang berkepala gundul memiliki pendapat. "Bukankah berkelahi itu tidak baik" Hidup ini harus diwarnai dengan kerukunan. Mengapa harus berkelahi" Jika ada masalah dibicarakan, dirembug," jawabnya. Dari tempat persembunyiannya mereka terus memerhatikan. Pertarungan yang terjadi telah meningkat menjamah tataran kian tinggi, kekuatan yang tersalur melalui serangan-serangan yang dilontarkan benar-benar menjadi tontonan yang menakjubkan. Menghadapi lawannya yang telah gelap mata hal itu mendorong Panji Ragamurti gelap mata pula. Panji Ragamurti tidak peduli apa pun dan tidak perlu mempertimbangkan apa pun. Kekuatan yang berasal dari alam bawah sadarnya tersalur melalui cambuk yang meledak-ledak memekakkan telinga. Setiap ayunan cambuk itu mampu membelah batu sebesar anak sapi yang berserakan. Compang-camping pakaian yang dikenakan anak angkat Ki Ageng Kembang Ayun oleh ayunan demi ayunan cambuk bergerigi besi itu. Akan tetapi yang dihadapinya Panji Ragamurti adalah Parameswara. Meskipun pakaian yang dikenakannya bagai terbakar dihajar cambuk, namun Parameswara tak perlu merasa takut menghadapi cambuk Panji Ragamurti itu. Selapis demi selapis pemuda dari lereng Gunung Raung itu telah melindungi tubuhnya dengan aji Topeng Wojo, ajian yang baru saja diturunkan ayah angkatnya. Sebaliknya setiap serangan yang diayunkan pemuda itu juga bermuatan kekuatan raksasa. Setiap sentuhan tangan pemuda itu menyebabkan Panji Ragamurti harus menahan nyeri luar biasa. Setelah sekian lama pertarungan itu berlalu akhirnya Ragamurti bersimpulan perang tanding itu harus segera diakhiri, itulah sebabnya Panji Ragamurti tiba-tiba berteriak amat keras meletupkan beban di dadanya. Patih Panji Ragamurti meloncat mundur mengambil 342 jarak sambil membuang cambuknya. Rupanya Patih Panji Ragamurti atau Narasinga tak percaya lagi pada manfaat senjata yang bersifat lentur itu. Sikap yang diambil oleh Panji Ragamurti kemudian adalah sikap yang mendebarkan jantung. Berdebar Narasari menyaksikan peningkatan kemampuan ilmu kanuragan yang bergerak amat kasar itu. Parameswara yang selama setengah bulan lamanya mesubudi di pesisir Ywangga di bawah bimbingan Biku Paraban bisa mengenali dengan baik persiapan yang dilakukan Panji Ragamurti yang pasti akan melontarkan puncak dari kemampuannya, aji Pasir Wutah. Mata gelap dan kemarahan menyebabkan Parameswara tak pernah berpikir dan curiga, kenapa Panji Ragamurti menguasai aji itu. Melihat perkembangan keadaan yang semakin tidak keruan itu menempatkan Dyah Narasari berdebar tegang. Parameswara segera mengambil sikap serupa. "Kau akan menggunakan Aji Pasir Wutah?" teriak Parameswara dengan lantang. "akan kuimbangi apa yang kaulakukan dengan aji Pasir Wutah pula. Tetapi janganlah kau merasa kaget melihat bentuk aji Pasir Wutah yang berbeda." Panji Ragamurti terpaku. Parameswara mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya. Parameswara berdiri tegak siap untuk membangkitkan Pasir Wutah. Angin yang mendadak bertiup kencang menyebabkan rambut pemuda itu berkibar-kibar. Panji Ragamurti yang tidak menyimpan gairah hidup merasa seperti dikelilingi oleh orang-orang yang selama ini telah ia sakiti. Panji Ragamurti atau Narasinga itu merasa pertarungan itu seolah disaksikan oleh Luh Saras dan Biku Sambu, mereka seperti menunggunya di gerbang kematian. Persoalan yang ada, hutang piutang yang ada nantinya akan diselesaikan di pintu gerbang kematian itu. Panji Ragamurti benar-benar telah menggenggam ajian pamungkasnya, aji Pasir Wutah, ajian itulah yang telah digunakan menyempurnakan kematian adik kandungnya. Pada saat yang sama Parameswara juga telah menggenggam aji Pasir Wutah meski dalam bentuk yang berbeda karena cara pengembangan yang berbeda. Manakala Patih Panji Ragamurti berdiri tegak dengan tangan mengepal diangkat ke belakang serta tangan kiri ditekuk di depan dada dengan kuda-kuda kaki yang amat kukuh, sebaliknya Parameswara Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo berdiri tegak dengan tangan bersedekap. Kedua orang petarung itu tuntas siap mengakhiri pertempuran dengan cara masing-masing. Pada saat yang telah dipastikan Panji Ragamurti meloncat sangat cepat dengan tangan kanan terjulur langsung mengarah dada Parameswara. Namun Parameswara memang bersiap diri menghadapi serangan itu. Parameswara segera melenting menghindar mengambil jarak. Panji Ragamurti yang sama sekali tidak mengira Parameswara menghindarinya. Panji Ragamurti mengira pemuda itu tidak akan lari menghindarinya. Panji Ragamurti segera memburunya dengan tubuh melenting cepat dan tangan masih menggengam aji Pasir Wutah. Namun lagi-lagi Parameswara meloncat menghindar, dengan cepat pemuda itu melenting mengambil jarak dan melenting lagi untuk kemudian sekali lagi berjumpalitan di udara. Yang menyebabkan Panji Ragamurti heran adalah sikap Parameswara yang aneh. Kedua tangan pemuda itu masih bersilang di depan dada, mata pemuda itu tetap terpejam. Melihat sikap yang aneh itu, Panji Ragamurti akhirnya berhenti. Justru karena itu Panji Ragamurti memerhatikan lebih seksama dan menunggu apa yang dilakukan pemuda yang mengaku bernama Parameswara itu. 343 Akhirnya Panji Ragamurti memang melihat, sebagaimana Narasari juga melihat. Pada awalnya hanya sebuah pusingan angin kecil yang muncul dari balik semak. Putaran itu semakin besar dan semakin membesar. Dengan gesit pusingan biang cleret tahun itu bergerak meliuk-liuk, lincah seperti seorang penari. Terbelalak Narasari yang takjub bukan kepalang, selebihnya ia merasa bingung tak bisa memahami bagaimana kakaknya bisa menguasai ajian aneh itu. "Gila," Dyah Narasari terkejut, "bagaimana kakang Parameswara bisa menguasai kemampuan macam ini?" Sebaliknya Panji Ragamurti tidak berkedip memandang gejala ganjil yang amat sulit diterima nalas. Panji Ragamurti bahkan sulit untuk bisa percaya apa yang dilihatnya itu bertumpu pada kekuatan aji Pasir Wutah. Jika benar Parameswara menyebut ajian itu berasal dari kekuatan aji Pasir Wutah, maka perubahan yang telah terjadi benar-benar terlalu jauh. Kekuatan dahsyat yang mestinya terlontar dari ayunan tangan itu ternyata bisa hadir dalam bentuk putaran angin, yang biasanya disebut cleret tahun. "Benarkah itu aji Pasir Wutah?" tanya Panji Ragamurti di dalam hati. Narasari benar-benar takjub, matanya terbelalak melihat ukuran pusaran angin itu terus menanjak. "Bukan main, bukan main, bukan main," desis Narasari. Seolah mengetahui apa yang ada di dalam benak lawannya Parameswara berkata, "inilah aji Pasir Wutah dalam bentuknya yang lain, aku menamainya cleret tahun. Panji Ragamurti aku siap menghadapimu." Panji Ragamurti tak berpikir terlampau panjang. Panji Ragamurti segera meloncat. Akan tetapi biang lesus cleret tahun itu benar-benar luar biasa. Melalui pikirannya Parameswara bisa mengendalikannya untuk menghadang apa yang dilakukan lawannya. Cleret tahun itu meliuk kencang menyongsong Panji Ragamurti. Putaran cleret tahun itu begitu cepat dan kuatnya sehingga menimbulkan suara berpusing yang mencicit dengan nada tinggi memekakkan telinga. Dengan kekuatan penuh tanpa sisa, Panji Ragamurti atau yang juga menggunakan nama Narasinga itu melepas aji Pasir Wutah menghantam pusaran cleret tahun yang menghadangnya membuahkan ledakan menggemuruh yang mengacak pusaran angin ribut itu. Apa yang dilakukan Panji Ragamurti berhasil memecah biang cleret tahun itu sesaat, hingga bubar mawut tak berbentuk. Jejak pusaran angin itu menyebar ke segala penjuru menerjang pepohonan dan merontokkan daun-daunnya menjadi pertanda betapa kuat kekuatan angin memilin itu. Akan tetapi Parameswara tidak tinggal diam dan segera membangkitkan ajiannya kembali. Kali ini dari arah yang lain, seperti muncul dari celah batu yang berhimpitan, pusaran angin berdesing keras menyebar berbagai sampah dedaunan semakin lama kian membesar dan bergerak cepat menerjang Panji Ragamurti. Panji Ragamurti yang tersita perhatiannya oleh rasa takjub dan heran terlambat menghindar. Cleret tahun itu meliuk kencang mengurung tubuhnya. Udara yang terputar bersama-sama dedaunan terasa amat padat menghimpit dadanya, semakin lama semakin mampat. Meski udara yang membelit amat berlimpah namun akibat yang terjadi justru berbalikan, Narasinga yang ternyata memiliki nama lain Panji Ragamurti mengalami sesak napas yang luar biasa. Panji Ragamurti terpaksa memejamkan mata karena debu-debu berhamburan sangat mengganggu pandang mata. Panji Ragamurti yang marah berteriak keras dan melenting menjauh mengambil jarak. Namun cleret tahun itu terus mengejarnya dan mengurung 344 tanpa memberi ruang gerak sama sekali. Sekali lagi Panji Ragamurti harus memejamkan mata karena debu-debu berpasir bisa melumpuhkan pandang matanya. Matanya rupanya merupakan titik terlemah dari segenap pertahanan tubuhnya, apalagi sejalan dengan waktu yang terus bergeser Panji Ragamurti merasakan betapa padat dan mampat udara yang mengurungnya. Maka sekali lagi Panji Ragamurti berteriak keras dan meloncat menjauh mengambil jarak. Masalahnya cleret tahun yang berasal dari ajian Pasir Wutah itu makin membesar dan berusaha mengejar dan bahkan berhasil mengurung kembali, tak ada ruang untuk melarikan diri ke mana pun ia mencoba menjauh. Panji Ragamurti benar-benar dibuat kalang-kabut oleh ajian itu. Akan halnya Parameswara tetap berdiri tegak dengan ke dua tangan bersedekap di depan dada, dipandanginya terus Panji Ragamurti yang berusaha berloncatan ke sana kemari menghindari cleret tahun itu. Dengan kemampuan bawah sadar yang telah ia kuasai dengan baik itu Parameswara terus memburu ke mana pun patih Kediri berusaha menghindar. Udara yang melilit bukan sekadar menganggu, tetapi meremas dengan amat ganas. Panji Ragamurti benar-benar kehilangan kesabaran. Patih Kediri yang mempunyai kekuasaan amat besar di Kediri itu menggeram keras dan berdiri tegak, tangan kanannya mengacung ke langit dengan bertumpu pada ke dua kakinya yang kukuh. Dalam sikap yang demikian aji cleret tahun yang berasal dari pengembangan aji Pasir Wutah dengan ganas melilit dan membelitnya. Namun Panji Ragamurti tentu tidak mau menjadi bulan-bulanan. Dengan sepenuh tenaga Panji Ragamurti menghimpun kekuatan bawah sadarnya dan disalurkan ke telapak tangan kiri. Sekali sentak Aji Pasir Wutah itu segera tersalur dan lepas di udara. Sebuah ledakan gemuruh terjadi. Narasari melihat betapa tumburan itu menyebabkan cleret tahun yang mengurung tubuh Panji Ragamurti itu bubar mawut kembali tidak berbentuk. Patih Panji Ragamurti memanfaatkan kesempatan di saat terbebas dari belitan angin ribut itu untuk melenting dengan cepat dan meluncur deras. Parameswara yang tak menduga terlambat menyadari keadaan. Dengan amat kuat kaki Panji Ragamurti menghajar dadanya dan mengguncang isinya. Parameswara jatuh berguling-guling di tanah akan tetapi dengan amat cekatan ia segera melenting mengambil jarak, jejak hantaman yang diterimanya menyebabkan anak angkat ki Ajar Kembang Ayun terhuyung-huyung. "Keparat," teriak Panji Ragamurti. "Kau akan membunuhku menggunakan cara yang licik seperti itu?" Sejenak Parameswara meredakan isi dadanya yang terguncang. Ketika pemuda itu telah merasa siap maka sekali lagi Parameswara menyilangkan ke dua tangannya di depan dada dan kembali membangunkan aji cleret tahun. Pusaran angin kembali muncul. Kali ini Dyah Narasari terhenyak karena pusaran angin itu muncul justru dari belakang tubuhnya. Daun-daun berhamburan. Debu-debu beterbangan. Suara mendesis menyayat dengan nada tinggi. Cleret tahun itu meliuk deras menggeliat seperti perempuan genit yang tengah dilanda birahi. Melihat itu Panji Ragamurti menggeretakkan gigi. Namun luka yang dialami Panji Ragamurti pada pertempuran menghadapi adiknya, sangat mengganggunya. Setiap kali Panji Ragamurti mulai memusatkan nalar budi membangkitkan tenaga yang 345 berasal dari alam bawah sadarnya, maka rasa nyeri itu muncul mengganggu. Rasa pedih di telapak tangannya bisa diabaikan, namun tidak dengan luka di dadanya. Panji Ragamurti pun tersengal. "Haram jadah pengecut," teriak Panji Ragamurti, "Ayo bunuhlah aku menggunakan ajian lambang jiwa pengecut itu. Aku tidak akan menghindar sejengkal pun." Dimaki haram jadah pengecut membuat Parameswara makin murka. Sejalan dengan itu cleret tahun yang berpusing deras itu makin menggila. Pusingan itu semakin deras dan mampat padat, bahkan makin membesar sebesar pohon kelapa. Debu berpasir dan daun-daun berhamburan. Menyaksikan keadaan yang demikian Dyah Narasari amat tegang. Dyah Narasari bisa mengukur betapa kuat kekuatan yang tersimpan pada pusingan udara itu. Pakaian yang dikenakan Patih Ragamurti berkibar-kibar. Jika dibiarkan Parameswara bisa mempermalukannya dengan menelanjanginya. "Apakah karena kakang Parameswara pernah disambar cleret tahun dan petir yang menyebabkan kakang Parameswara menguasai kemampuan aneh dan tidak masuk akal ini?" pikir Narasari dalam hati. Bukan hanya Dyah Narasari yang merasa degup jantungnya akan berhenti. Dua orang penduduk yang tinggal di balik bukit dan mengintip kejadian itu dari kejauhan juga mengalami kesulitan untuk menjaga agar jantungnya tidak berlarian. "Bukan main," desis orang yang berkepala gundul. "Barangkali mereka itu bukan manusia." Lelaki berkumis melintang mengerutkan dahi atas nama resahnya. "Bukan manusia?" tanya lelaki berkumis itu. Temannya mengangguk. "Cobalah bayangkan bagaimana cara memanggil Angin Ribut itu" Bukankah hanya Dewa Bayu, dewanya angin yang mempunyai kemampuan memanggil cleret tahun dan petir?" Orang yang berkumis melintang terbungkam. Pendapat temannya itu memang amat masuk akal. Pertempuran yang terjadi itu merupakan sebuah tontonan yang tidak masuk akal dan sulit untuk dinalar. Suara cambuk yang semula hadir mewarnai pertarungan menggemuruh seolah hadirnya suara geluduk, hal itu sudah membuat kedua orang itu berpikir macam-macam, mengira mereka yang bertarung bukan manusia lumrah. Kini kebingungan itu masih ditambah dengan kemampuan yang tidak kalah menakjubkan sekaligus menghadirkan rasa miris. Hanya Dewa Bayu yang mampu menghadirkan cleret tahun, badai banjir bandang dan petir. Dengan leher terkunci dan seperti tercekik, kedua orang lelaki yang mengintip itu terus mengamati perkembangan keadaan. Sebenarnyalah pada saat itu, pertarungan yang terjadi mulai menggapai puncak. Panji Ragamurti atau Narasinga tak berusaha menghindar atau meloncat mengambil jarak lagi. Panji Ragamurti bersikap menunggu cleret tahun biang angin lesus itu datang mendekatinya. Panji Ragamurti tetap berdiri dengan tegak, tangan kanan diacungkan tinggi-tinggi ke udara. Cleret tahun yang meliuk-liuk itu seperti memanas-manasi Panji Ragamurti. Cleret tahun itu tidak segera melibas dan meringkus yang pada akhirnya meremasnya hingga tidak bernapas, akan tetapi lebih dulu menyempatkan berputar mengelilinginya, menari, menggeliat dengan genitnya. Akhirnya cleret tahun yang semakin besar itu meringkus tubuh Ragamarti. Pusaran angin ribut itu semakin menjadi. Udara yang menjadi bahan 346 bakunya terasa amat padat dan mampat. Panji Ragamurti merasa tercekik dan dihimpit tekanan yang luar biasa. Dengan sekuat tenaga Panji Ragamurti berusaha bertahan, walau rasa nyeri benar-benar mencekik. "Anak haram jadah keparat," teriak Panji Ragamurti. Sekali lagi dirangsang dengan kata-kata yang amat menyinggung perasaan itu mendorong Parameswara menggenjot kemampuannya. Pusingan cleret tahun itu kian menjadi menggencet orang yang akan dibunuhnya. Panji Ragamurti bermaksud membangkitkan sisa tenaga yang masih ada namun kemampuannya bukanlah air yang mengalir tiada hentinya. Kemampuan seseorang ada batasnya. Panji Ragamurti akhirnya bahkan telah sampai pada kesadaran ia tidak akan mampu memenangkan pertarungan itu dan seperti yang ia harapkan pemuda itulah yang akan menghantarkannya menjenguk gerbang kematian. Maka oleh karenanya Panji Ragamurti diam, tidak melakukan apa pun. Kekuatan aji Pasir Wutah yang tersalur di telapak tangannya segera terurai. Panji Ragamurti pasrah. Namun pada saat yang demikian itu, tiba-tiba terdengar suara membentak yang menyentakkan Parameswara. "Parameswara, hentikan perbuatanmu!" Parameswara terperanjat melihat siapa yang datang, akan tetapi Parameswara tak hendak menghentikan pusaran angin yang telah dibangkitkan. Dengan sepenuh hati anak angkat Ki Ageng Kembang Ayun memberikan tekanan. Pusaran angin itu membelit Panji Ragamurti semakin kuat dan ganas. "Hentikan!" orang yang baru datang itu kembali berteriak mencegah Parameswara bertindak lebih jauh. Akhirnya Parameswara terpaksa harus mengurainya. Cleret tahun itu meliuk cepat membebaskan Panji Ragamurti dari himpitan yang menyesakkan napas dan nyaris merontokkan segenap isi dadanya. Cleret tahun itu melesat dengan meninggalkan suara menggemuruh menerjang lebatnya pepohonan untuk kemudian lenyap entah di mana. Narasari benar-benar kaget dan merasa senang melihat siapa yang datang. "Paman Ajar Pratonggopati!" Narasari menyebut nama orang itu dengan perasaan meluap. Ajar Pratonggopati meloncat panjang dan menempatkan diri di antara mereka yang bertarung. Dengan bertolak pinggang Pratonggopati mengarahkan pandang matanya pada Parameswara. Parameswara membutuhkan waktu beberapa saat untuk meredakan diri, bukan saja meredakan detak jantungnya yang berlarian setelah melakukan perang tanding akan tetapi juga harus meredakan kemarahan yang nyaris memecahkan ubunubunnya. Tatap matanya tertuju kepada Panji Ragamurti yang terduduk di tanah kehilangan tenaga, sejenak kemudian beralih pada Ki Ajar Pratonggopati. Parameswara Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo terpaksa menunduk manakala Ki Ajar Pratonggopati balas menatapnya dengan tajam. "Apa yang akan kaulakukan, Parameswara?" tanya Ki Ajar Pratonggopati dengan nada berat. "Kau akan membunuh ayahmu sendiri?" Parameswara menggigil. Parameswara tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Dengan tatapan mata tajam serta berwibawa Ki Ajar Pratonggopati memandang Parameswara. Parameswara terpaksa membuang wajah ke arah adiknya. "Apa yang akan kaulakukan?" sekali lagi Ki Ajar Pratonggopati mendesak. 347 Parameswara menjawab datar, "sebagaimana yang paman lihat, aku berperang tanding dengan orang itu." Ki Ajar Pratongopati rupanya merasa sangat kecewa. "Dan kau bertindak seolah-olah kau Dewa kematian yang berhak mencabut nyawa seseorang?" desak Ki Ajar Pratonggopati. Parameswara berusaha menenangkan diri, pekerjaan yang ternyata susahnya tidak kepalang. "Yang terjadi perang tanding paman dan aku menimbang orang itu memang layak mati di tanganku," jawab Parameswara dengan tak kalah sengit. Ki Ajar Pratonggopati manggut-manggut. Patih Panji Ragamurti yang terbebas dari belitan angin lesus masih terduduk di tanah. Patih Kediri itu menggunakan kekuatan tangannya untuk menyangga agar tidak jatuh. Panji Ragamurti berbinar-binar melihat siapa yang datang. Ki Ajar Pratonggopati melangkah lebih mendekat. Parameswara bergeming. "Kaupergi meninggalkan Perguruan Kembang Ayun di Pesanggaran dengan niat mencari orang tua kandungmu. Sekarang setelah berhasil menemukannya, kau akan membunuhnya. Kau ini manusia atau binatang, Parameswara?" Parameswara menggeretakkan gigi. Betapa ingin Parameswara berteriak meneriakkan semua beban yang mengganjal dadanya. Meneriakkan cerita menjijikkan yang terjadi atas dirinya. Betapa menyakitkan semua itu dirasakan oleh Parameswara, karena ternyata ternyata ia tidak mempunyai cukup kemampuan untuk meneriakkannya. Namun Parameswara bukanlah jenis orang yang pintar bicara, mulutnya terkunci dengan dua rahang yang saling terkatup. "Anak haram jadah itu datang menemuiku," tiba-tiba Panji Ragamurti menyela di antara percakapan yang terjadi," ia datang menemuiku dan memperkenalkan diri seolah ia anakku. Menggelikan sekali, bukankah hal itu menggelikan sekali Pratonggopati?" Parameswara bergetar. Dyah Narasari mendekat kakaknya dan segera memeluknya untuk membantu meredakan kemarahan pemuda itu. Ajar Pratonggopati berbalik dan memandang Panji Ragamurti yang malah tertawa. "Mengapa kauingkari pemuda itu sebagai anakmu, Panji Ragamurti" Mengapa kautega mengucapkan kata-kata yang bisa membangkitkan amarahnya" Mengapa kauingkari dia sebagai anakmu?" Panji Ragamurti tersenyum, napasnya tersengal. "Dia anak haram jadah," jawab Panji Ragamurti. Pandang mata Pratonggopati benar-benar pandang mata kecewa. Parameswara telah membuatnya kecewa, namun Panji Ragamurti juga membuatnya kecewa. "Itu bukan jawaban yang sebenarnya. Kau bagai mengingkari kenyataan Ragamurti. Dari awal kau bertemu dengannya itu, kau tidak bisa ingkar lagi dari kenyataan bahwa ia memang anakmu, karena ujut bapak menurun kepada anaknya. Ujut pemuda itu menjadi bayangan ujutmu di saat kau masih muda." Suasana menjadi senyap. Parameswara masih belum mampu meredakan kemarahan. Gejolak api di dadanya masih berkobar dan sewaktu-waktu siap untuk kembali membakar. Ajar Pratonggopati bergeser membelakangi Parameswara dan Narasari, namun perhatiannya tak beralih dari Patih Panji Ragamurti. 348 "Aku tahu," ucap Pratonggopati, "kau tengah dilanda berbagai kemelut yang datang bertubi-tubi menghajarmu. Barangkali kau merasa tak ada gunanya lagi hidup di dunia ini, akan tetapi mengapa kau harus bunuh diri, dan lebih-lebih menggunakan tangan Parameswara untuk mengakhiri kematianmu?" Dyah Narasari terperanjat. Namun lebih terperanjat lagi adalah Parameswara. Benarkah Panji Ragamurti bermaksud bunuh diri dan tengah meminjam tangannya untuk menggapai kematian" Rupanya apa yang diucapkan Pratonggopati itu sungguh menyentuh perasaan Panji Ragamurti. Lelaki yang dihajar beban bertubi-tubi itu mendekap wajah dan bahkan terjatuh bersujud di tanah. Dyah Narasari bergegas menata isi hatinya melihat keadaan itu. Maka seketika suasana menjadi hening. Parameswara tak mampu bersuara. Dyah Narasari tidak bisa berbicara, bahkan suara gesekan pohon bambu yang ditiup angin berhenti sejenak ikut memerhatikan apa yang berlangsung. Panji Ragamurti bangkit bertumpu pada lututnya. Suara Patih atau orang kedua setelah Raja Kediri itu terdengar amat parau. "Tolong aku Pratonggopati." Pratonggopati mendekat. "Apa yang bisa aku lakukan untukmu, Panji Ragamurti?" Panji Ragamurti mengulurkan tangannya. "Bantulah aku. Bunuh aku." Parameswara dan adiknya saling berpandangan. Kini terjawablah sudah ujung dan pangkal dari pertarungan yang terjadi itu. Parameswara manggut-manggut dan kemudian tersenyum sinis. "Paman," kata Parameswara kepada Pratonggopati Pratonggopati berbalik. "Ada apa?" tanya pamannya. Pratonggopati melihat betapa sinis tatapan mata Parameswara. "Telah kuperoleh jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang selama ini menghantui. Yang kuperoleh antara lain, aku jijik pada diriku sendiri. Ternyata aku tidak bernilai lebih tinggi dari kotoran di comberan. Kini paman sendiri melihat, ternyata orang itu sejenis lelaki pengecut." Parameswara tidak berbicara lagi. Pemuda itu melangkah mendekati Sapu Angin. Kuda itu meringkik pelahan. "Parameswara, tunggu," cegah Pratonggopati. Namun Parameswara tidak peduli. Parameswara meloncat ke atas punggung Sapu Angin. Tanpa banyak bicara pemuda itu memacunya berderap meninggalkan Ki Ajar Pratonggopati yang termangu, meninggalkan Narasari adiknya yang bingung dan meninggalkan Panji Ragamurti yang semakin robek dadanya. Derap kuda Parameswara semakin jauh meninggalkan debu yang mengepul tebal, untuk kemudian lenyap pada jalanan yang membelok. Di langit mendung mulai berarak ke utara. Ki Ajar Pratonggopati mendekati Patih Panji Ragamurti. Tatapan lelaki yang juga bernama Narasinga itu kosong, tanpa gairah dan tanpa keinginan, bahkan tanpa semangat untuk melanjutkan hidup. Ki Ajar Pratonggopati menyentuh pundaknya. 349 "Apa sebenarnya yang terjadi padamu, Panji Ragamurti?" tanya saudara muda Ki Ajar Pratonggopati. Panji Ragamurti bagai orang yang tidak mendengar. Dyah Narasari bergeser lebih mendekat untuk memenuhi rasa ingin tahunya. "Bagaimana keadaanmu?" Ki Ajar Pratonggopati memancing perhatian. Tetap saja Panji Ragamurti membisu. Pratonggopati menghela napas datar. Di masa muda Pratonggopati mengenal dengan baik lelaki bernama Narasinga yang kemudian mengubah nama menjadi Panji Ragamurti itu. Narasinga yang brangasan dan mempunyai kegemaran kurang terpuji. Rupanya inilah saatnya lelaki itu harus memetik buah dari perbuatannya, ternyata Panji Ragamurti bukanlah lelaki yang mempunyai ketegaran hati untuk menghadapi segala akibatnya. Terbukti Panji Ragamurti hanya berpikir, kematian adalah penyelesaian yang terbaik. Bibir Panji Ragamurti bergetar seperti akan berbicara. "Berbicaralah, kalau kauingin berbicara," pancing Pratonggopati. Panji Ragamurti menoleh, mata lelaki tua itu mulai berkaca-kaca. "Benar apa yang dikatakan anak itu. Aku ini iblis." Pratonggopati bergegas menepuk pundaknya. "Hanya iblis yang berkesanggupan melakukan perbuatan keji. Aku memerkosa calon isteri adikku sendiri. Wanita itu hamil karena perbuatanku dan ia mati pada saat melahirkan. Perbuatan itu benar-benar melukai hati Sambu. Betapa sempurna kekejian yang kubuat dengan menyempurnakan kematiannya, dengan tanganku ini kubunuh Biku Sambu. Lalu datanglah seorang gadis bernama Prabawati. Kemudian datang pula seorang pemuda bernama Parameswara." Tersendat-sendat Panji Ragamurti berbicara berusaha mengurai sebagian bebannya. "Aku layak mendapatkan hukuman yang setimpal dengan kekejian perbuatanku." Pratonggopati menebar pandang berkeliling. Langit agak redup dikemuli mendung. Bekas-bekas pertarungan yang terjadi benar-benar luar biasa, tanah bagai diaduk dibalik-balik dengan bajak. Beberapa bongkahan batu retak-retak dihajar tangan mereka yang semula bertarung. "Aku tidak tahu bagaimana aku harus menolongmu," kata Pratonggopati. "Yang aku bisa katakan, tentu saja aku keberatan untuk menjadi jagal atas kematianmu. Jika sekarang kaualami keadaan yang seperti ini, ngundhuh wohing penggawe 118. Kau tengah memetik buah dari perbuatanmu sendiri. Siapa yang menanam akan memetik buahnya. Siapa yang berbuat baik akan memetik kebaikan, sebaliknya siapa menanam buah keburukan, akan memetik keburukan." Panji Ragamurti menyimak rangkaian ucapan Ki Ajar Pratonggopati itu dengan dada sesak. Panji Ragamurti yang selama ini mengabaikan hal-hal seperti itu, seperti dipaksa untuk membuka mata melihat sudut-sudut yang selama ini diabaikannya, merenungkan beberapa hal yang selama ini tidak sempat diperhatikannya. Dengan tertatih, Panji Ragamurti kemudian bangkit. "Anakku yang tampan itu berbicara benar. Sebaiknya aku memang tidak menjadi laki-laki pengecut. Aku harus menghadapi kenyataan apa pun sebagai buah dari apa yang aku lakukan masa lalu." Pratonggopati jongkok tak jauh dari Patih Kediri. 118 Ngundhuh wohing penggawe, jawa, memetik buah hasil perbuatan 350 "Bagus," Pratonggopati memuji. Mata Panji Ragamurti tiba-tiba berbinar-binar. "Dia anak yang luar biasa. Ajian cleret tahun yang digunakan melawanku benarbenar luar biasa. Meski Mahisa Medari tidak menganggapku sebagai ayahnya, akan tetapi aku sungguh bangga dengan kemampuannya." Dyah Narasari yang sebelumnya belum pernah mendengar nama Mahisa Medari, terlihat agak kebingungan. Namun Dyah Narasari segera mendapatkan sebuah simpulan. "Jadi kakang Parameswara itu bernama Mahisa Medari?" pikir gadis itu di dalam hati. Dengan tertatih Panji Ragamurti berusaha bangkit dan mengulurkan tangan pada Ki Ajar Pratonggopati yang segera membantunya. "Aku akan kembali ke Kediri. Tolong bantu aku untuk naik ke atas kuda." Manakala matahari memanjat semakin tinggi dan kemudian bergulir ke arah barat, kuda yang ditunggangi Panji Ragamurti berderap pelahan membawa majikannya yang menelungkup di punggungnya. Ajar Pratonggopati dan Dyah Narasari terus mengikuti bayangannya sampai kemudian lenyap saat membelok di sebuah tikungan. Dalam hati Dyah Narasari mencemaskan keadaan orang itu. "Aku tidak mengira, paman berada di sini," kata Dyah Narasari yang merasa bersalah. Ajar Pratonggopati memandang wajah keponakannya. "Aku mengaku salah paman. Aku minta maaf." Ki Ajar Pratonggopati bermaksud memarahi keponakannya yang pergi tanpa pamit meninggalkan perguruan Kembang Ayun hanya bisa menggeleng-geleng. Dyah Narasari telah meminta maaf tidak ada gunanya memarahinya. Sebenarnyalah setelah berturut-turut setelah Ken Rahastri anak Mahisa Branjang pergi meninggalkan perguruan Badran Arus, disusul Ki Ajar Kembang Ayun pergi pula meninggalkan Pesanggaran dengan tujuan Air Terjun Seribu Angsa dikawal oleh Mahisa Branjang. Hati Ki Ajar Pratonggopati menjadi tidak tenang hatinya manakala Narasari juga pergi tanpa pamit meninggalkan perguruan Kembang Ayun. Ki Ajar Pratonggopati yang semula mendapat mandat untuk memimpin perguruan terpaksa pergi menyusul dan membayang-bayangi perjalanan Dyah Narasari. Dengan singkat dan jelas, Narasari menceritakan semua pengalamannya kepada pamannya. Pengalamannya saat menjadi tawanan Ranggasura di Padang Karautan dan pertemuannya dengan Parameswara termasuk yang menarik perhatian Ajar Pratonggopati adalah saat Narasari bercerita keberingasan seorang pemuda bernama Ken Arok yang tinggal di Karautan. Pratonggopati merasa aneh jika Parameswara sampai memintakan ampunan untuk Kuda Rangsang dan Ki Ajar Taji Gading yang diketahuinya memiliki kemampuan olah kanuragan yang tidak bisa diremehkan. Ketinggian ilmu kanuragan Ki Ajar Taji Gading nyaris setingkat dengan dirinya, sebaliknya Kuda Rangsang mungkin bisa disejajarkan dengan saudaranya, Ki Ajar Kembang Ayun. Andaikata ada seorang pemuda yang mampu mengalahkan keduanya sekaligus, maka pemuda itu benar-benar luar biasa. "Banyak hal yang mengejutkan, paman," lanjut Narasari, "sebagaimana paman lihat kemampuan aneh yang dimiliki kakang Parameswara, aji cleret tahun. Menurut paman, apakah ada orang yang telah mewariskan ajian itu kepadanya?" 351 Pratonggopati terdiam. Pratonggopati tak tahu jawabnya. Namun sebenarnya, kenyataan yang dilihatnya itu memaksa Ki Ajar Pratonggopati berpikir tentang seseorang yang mempunyai kemampuan mendebarkan. Seseorang yang keberadaannya bagaikan dongeng. Sebagian ada yang percaya sosok yang dimaksud itu ada sebagian lagi ada yang menganggapnya sebagai dongeng yang tidak perlu dipercaya. "Jika seorang pemuda bernama Ken Arok mampu mengalahkan Kuda Rangsang dan Taji Gading sekaligus, maka Ken Arok tentu memiliki ilmu kanuragan yang sundul langit. Namun sebenarnya, ada sebuah nama lagi yang lebih mengerikan. Ilmu kanuragan yang dikuasainya bercampur ilmu hitam. Untuk menyempurnakannya harus dilengkapi dengan syarat-syarat tertentu, misalnya persembahan korban manusia. Semakin banyak orang yang dibunuhnya, maka kesaktiannya akan makin membubung. Menurut yang aku dengar, orang itu juga menguasai kemampuan seperti yang baru saja dipamerkan oleh Parameswara. Angin Ribut." Dyah Narasari merasa ada bagian dari tuturan pamannya yang aneh dan membuat gadis itu terheran-heran. "Bagaimana bisa demikian, paman" makin banyak orang yang dibunuhnya maka kesaktiannya makin membubung" Apa maksudnya?" Pratonggopati memandang raut muka keponakannya. "Ilmu kanuragan orang yang dibunuh akan berpindah kepadanya, Jika kau yang dibunuh, maka segala macam kemampuan kanuragan yang kaumiliki, akan menjadi miliknya. Padahal mereka yang mati di tangan Sabalangit umumnya orang-orang yang pinunjul 119, dengan kesaktian yang tak terukur," Ki Ajar Pratonggopati menjelaskan. Dyah Narasari terkejut dan bulu kuduknya bangkit. "Gila," gadis itu tidak bisa menahan ngeri. "Siapa orang itu, paman?" Ki Ajar Pratonggopati menghela desah agak panjang. Dari wajahnya tersirat Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo keprihatinan. "Namanya Sabalangit. Menurut perhitunganku, orang itu bakal hadir pula di Air Terjun Seribu Angsa." Dyah Narasari memandang wajah Ki Ajar Pratonggopati dengan tidak berkedip. Jika pamannya sampai menyimpan rasa cemas, maka bisa dibayangkan, pertemuan di Air Terjun itu nantinya akan menjadi pertemuan bermuatan beban sangat berat yang harus disangga oleh ayahnya, apalagi jika harus berurusan dengan orang yang baru diceritakan pamannya. Namun Pratonggopati memang layak cemas. Tokoh sakti yang diperkirakan akan hadir di Air Terjun Seribu Angsa bukan hanya Sabalangit. Ada lagi seseorang yang harus menjadi perhatian dan diperhitungkan, ia seorang perempuan tua dengan kebesaran nama sejajar dengan Sabalangit, perempuan yang keberadaannya diselubungi teka-teki. "Kita tinggalkan tempat ini, Narasari," ucap Pratonggopati. Narasari menoleh. "Kita ke mana, paman?" tanya Narasari. Pratonggopati mengayunkan langkah menempatkan Dyah Narasari bergegas. "Kita intip, apa yang terjadi di Air Terjun Seribu Angsa itu," jawab Pratonggopati. Dyah Narasari terlonjak senang. Dalam hati memang itulah yang diinginkan, siapa mengira pamannya justru mengajaknya menempuh perjalanan ke sana. Dyah Narasari yang semula menempuh perjalanan bersama Parameswara, kini ia berganti pengawal, pamannya sendiri. Dengan berjalan kaki mereka melangkah ke sebuah arah di mana di 119 Pinunjul, jawa, memiliki keunggulan 352 sana terletak Gunung Kampud, gunung dengan puncak selalu dikemuli mendung dan acap berulah mengeluarkan lahar dan batuk-batuk. Ketika akhirnya tidak ada siapa-siapa lagi, dua orang lelaki penduduk yang tinggal di balik bukit, keluar dari persembunyiannya dan berlari-lari turun. Dengan pandang mata terbelalak, takjub dan bergolak mereka memperhatikan bekas-bekas pertarungan. Bagi mereka bekas-bekas yang ada itu sungguh luar biasa, sangat dahsyat dan tak masuk akal, hanya para Dewa yang memiliki kesaktian yang mampu meninggalkan jejak batu percah menjadi serpihan dan berhamburan. Ketika nantinya ke dua orang itu pulang untuk mewartakan apa yang dilihatnya maka gemparlah para penduduk yang tinggal di tempat terpencil itu. Mereka berbondong- bondong turun dari bukit untuk ikut menonton. Batu-batu yang retak pecah berhamburan menjadi bukti cerita tentang pertarungan hidup dan mati itu benar-benar nyata, tidak bohong. Sang waktu pun kemudian bergulir. Matahari timbul tenggelam dipeluk mendung dan mega. Matahari telah doyong ke barat. X Parameswara duduk terpaku di atas kudanya yang berderap pelahan. Mata pemuda itu berkaca-kaca. Kenyataan yang baru saja didapatnya merupakan hal yang teramat pahit, memang bukan racun, tetapi sama pahitnya. Semakin larut Parameswara merenung, Parameswara merasa dirinya kotor dan menjijikkan. Seolah tubuhnya berlepotan dengan kama kental, yang berbau pesing beraroma birahi. Parameswara berusaha menepis dan mengenyahkan akan tetapi wajah seorang perempuan yang ditemuinya saat di Kediri itu melekat di kelopak matanya. Perempuan yang gemetar ketika melihatnya, perempuan yang amat gugup saat menerima kehadirannya. Kemudian sosok wajah yang tidak mungkin dienyahkan itulah wajah Patih Panji Ragamurti. Menggigil Parameswara tiap kali menyebut nama orang itu, seseorang yang rupanya akan menjadi bagian dari mimpi buruknya sepanjang masa. Tanpa ada Panji Ragamurti dan tanpa ada Rara Datin tidak mungkin ada Parameswara, tetapi apakah karena itu Parameswara harus mengucapkan terimakasih kepada mereka orang-orang yang menjadi perantara kelahiran dirinya ke dunia" "Kalau boleh memilih, aku lebih senang tidak ada, tidak perlu ada Parameswara. Menjijikkan," gumam Parameswara. Sapu Angin adalah kuda yang cerdas. Di tempat yang lapang dengan pandangan mata luas, jika memandang jauh ke arah selatan terlihat laut yang sangat luas, di tempat itulah kuda itu berhenti seolah mempersilahkan Parameswara untuk melarutkan galau hatinya di tempat yang indah itu. Parameswara meloncat turun. Sapu Angin meringkik dan berderap entah ke mana. Parameswara tidak perlu mencemaskan kuda itu, karena nantinya pasti akan kembali. "Lebih baik, malam ini aku beristirahat di sini," berbicara Parameswara itu kepada dirinya sendiri. 353 Parameswara kemudian mengumpulkan ranting-ranting yang tersedia sangat banyak di tempat itu. Saat senja kemudian membayang di kaki langit Sapu Angin telah kembali dengan badan basah kuyup. Rupanya kuda itu baru saja berendam di air, ia lakukan itu untuk mendinginkan tubuhnya yang panas. "Apa yang akan kulakukan setelah semua ini?" Pertanyaan sederhana yang terlontar dari lubuk hatinya itu ternyata sangat sulit dijawabnya. Apakah kembali ke Pesanggaran untuk memangku tugas yang diberikan Ki Ajar menjadi pucuk pimpinan perguruan Kembang Ayun" Membayangkan hal itu Parameswara menjadi risih. Di sana ada Ken Rahastri, gadis yang ia cintai dan rindukan. Parameswara merasa jika ia kembali justru akan memperburuk keadaan. "Aku akan menyusul Prabawati ke Panjaringan, aku berkewajiban membantunya memecahkan permasalahan yang tengah dihadapinya. Lalu, barangkali ada baiknya aku mengintip apa yang sedang terjadi di Air Terjun Seribu Angsa, setelah itu apa yang akan kukerjakan" Itu urusan nanti." Dengan cepat waktu menjamah petang, malam pun kemudian telah datang. Bukit yang menghadap laut selatan itu mulai riuh oleh suara binatang-binatang malam. Bahkan lolong serigala mulai terdengar dari kejauhan. Langit di arah laut sebagian gelap oleh tebalnya mendung, dari arah sana kilat terlihat muncrat menjamah permukaan ombak. Parameswara membaringkan diri di dekat perapian. Kuda Sapu Angin berdiri tidak jauh di dekatnya. "Kita bergantian berjaga, Sapu Angin," kata Parameswara kepada kudanya. "Paruh malam kau yang berjaga, separuh sisanya aku yang akan menjagamu, nanti kauboleh tidur sepuasmu." Kuda Sapu Angin meringkik seperti paham atas apa yang diucapkan Parameswara. Malam itu Parameswara menghabiskan waktu untuk istirahat sekaligus memberi kesempatan kepada Sapu Angin untuk juga beristirahat. Udara malam tak begitu dingin namun nyamuk-nyamuk yang beterbangan amat mengganggu mendorong Parameswara membuat perapian lagi di arah yang lain. Waktu terus bergerak hingga kemudian menjamah wilayah dini hari. Parameswara tengah tidur pulas dibuai mimpi saat tiba-tiba Sapu Angin meringkik. Sapu Angin yang tengah berbaring itu bangkit. Kuda itu kembali meringkik pelahan. Parameswara yang tanggap atas isyarat itu segera bangkit dan memerhatikan suasana. "Ada apa?" tanya Parameswara. Kembali Sapu Angin meringkik kecil. (BERSAMBUNG) Kisah Si Rase Terbang 2 Walet Emas 08 Siluman Kedung Brantas Makhluk Haus Darah 1

Cari Blog Ini