Ceritasilat Novel Online

Candi Murca 4

Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi Bagian 4 "Peristiwa kemarin masih berlanjut hari ini, Mahdasari diculik." Berita itu sungguh mengagetkan. Yogi Sutisna merasa kakinya seperti dipatuk ular paling berbisa. Dengan terbelalak Yogi Sutisna memandang sahabatnya, mata yang bulat melotot itu serasa akan lepas dari kelopaknya. Yogi Sutisna nyaris tidak bisa berbicara. "Bagaimana kejadiannya?" itulah pertanyaan yang terlontar dengan mulut gemetar. Dari balik kacamata hitamnya Rayana Suriatmaja memerhatikan wajah orang-orang yang berdatangan semakin lama semakin banyak, didorong oleh rasa ingin tahu. Berita tentang kejadian hari sebelumnya sudah menyebar merata dan hari ini bahkan muncul di halaman pertama koran yang terbit di kota Malang dan Surabaya. Peristiwa lanjutan yang menimpa Mahdasari pagi tadi sungguh menjadi magnet yang menyedot banyak orang. Issu pun merebak dan bahkan bias. "Kejadiannya tadi pagi, saat di luar masih gelap," kata Rayana, "sebuah mobil yang tidak jelas plat nomornya berhenti di sana itu. Seorang saksi mata menyebut, mobil jenis van itu dinaiki enam orang yang semua berpakaian serba hitam. Enam orang itu lima di antaranya turun sementara yang seorang menunggu di dalam mobil. Lima orang itulah yang menculik Mahdasari dan hingga sekarang tidak diketahui bagaimana keadaannya di mana pula keberadaannya. Polisi saat ini sedang menelusuri kejadian ini." Melalui tarikan napas pelan dan sangat berat Yogi Sutisna mengisi paru-parunya sampai penuh. Ke depan Yogi Sutisna melihat, persoalan yang dihadapi sahabatnya akan semakin ruwet. "Bagaimana keadaan Hirkam?" tanya Yogi Sutisna. Pertanyaan itu menyebabkan Rayana merasa tak nyaman. "Pagi ini masuk Rumah Sakit!" jawab Rayana. Betapa terkejutnya Yogi Sutisna. "Kenapa?" Rayana balas memandang. "Melalui telepon Hirkam sudah bercerita kejadian kemarian?" Yogi Sutisna mengangguk. "Ya!" jawabnya. Rayana bersandar pagar, Yogi Sutisna melakukan hal serupa. "Ketika berusaha menolong Parra Hiswara yang terperosok ke dalam tanah," kata Rayana, "Hirkam mendapati kenyataan di bawah tanah terdapat sebuah lobang sumur yang amat dalam. Menggunakan tali carmentel statis Hirkam turun. Akan tetapi ia harus buru-buru keluar dari sumur bawah tanah itu karena ada sesuatu yang menakutkannya. Hirkam terkena cakaran di punggungnya yang agaknya menjadi masalah. Pagi tadi badannya panas, ia harus dilarikan ke Rumah Sakit." Yogi Sutisna menyimak penuturan itu dengan napas serasa tercekik. Apa yang telah menimpa sahabatnya rupanya juga memberi imbas tak hanya pada Parra Hiswara sendiri. Pagi ini istrinya diculik orang yang masih ditambah dengan keadaan buruk yang menyapa Hirkam. Segera saja dalam benak Yogi Sutisna muncul pertanyaan, bagaimana kalau luka 101 itu berasal dari cakaran yang beracun. Sebagaimana dikatakan Parra Hiswara, makhluk itu mungkin kelelawar berkulit putih yang membayangi perjalanan semalam. "Apa yang harus kita lakukan?" tanya Yogi Sutisna. Rayana Suriatmaja menggeleng. "Ini kasus aneh," katanya, "sejujurnya aku tak tahu apa yang harus dilakukan. Aku telah mencoba menghubungkan adakah penculikan yang menimpa Mahdasari pagi tadi ada hubungannya dengan kejadian kemarin" Akan tetapi aku tidak menemukan hubungan dalam bentuk apa pun. Sulit memahami penculik itu, mengapa mereka harus menculik orang yang sedang kena musibah?" Yogi Sutisna mengangguk. "Ya," jawabnya, "kaubenar." Ditemani oleh Rayana Suriatmaja Yogi Sutisna menemui orang tua Mahdasari yang sedang mendaki puncak bingungnya. Yogi Sutisna juga mengunjungi Hirkam di Rumah Sakit, akan tetapi tidak ada yang bisa dilakukan karena sejak di bawa ke rumah sakit Hirkam kehilangan kesadarannya. Dokter yang merawatnya bingung, lebih-lebih ketika dokter itu telah mendapatkan sebagian data latar belakang luka aneh itu. 13. Apa yang disampaikan Yogi Sutisna ketika kembali ke hotel sangat mengagetkan Parra Hiswara karena bagaimanapun penculikan itu menyangkut keselamatan istrinya. Terkatup mulut Parra Hiswara mengiring dadanya yang tak lagi mengayun. Kecemasan yang timbul sulit dibendung, bahkan menggiring Parra Hiswara untuk merasa panik. Istri adalah belahan hati, ketika istri diculik dan menghadapi banyak kemungkinan yang buruk suami mana pun akan langsung menggapai puncak kegelisahannya. "Istriku diculik?" Parra Hiswara menegaskan. Yogi Sutisna mengangguk sambil menyerahkan dua koran terbitan berbeda yang dipegangnya. "Itu menyangkut beritamu kemarin," kata Yogi, "koran yang terbit di Surabaya dan Malang menempatkan kasusmu sebagai berita utama." Parra Hiswara sama sekali tidak tertarik pada berita apa pun yang ditulis koran pada hari itu, pusat perhatiannya tertuju pada istrinya. Parra Hiswara tiba-tiba merasa harus segera berkemas. "He, apa yang akan kaulakukan?" Parra Hiswara membalas tajam pandangan mata sahabatnya. "Apa aku harus tinggal diam?" balasnya. Yogi berdiri di belakang pintu. "Benar," jawab Yogi Sutisna, "akan tetapi langkah apa yang akan kauambil" Kau akan pulang ke rumahmu dan bikin heboh" Aku jamin orang sekampung kamu akan lari tunggang-langgang berhamburan karena ketakutan. Aku yang jauh di Prambanan saja ketakutan setengah mati saat semalam kaudatang, apalagi para tetanggamu. Bagaimana kau menjelaskan kehadiranmu?" 102 Logika yang layak direnungkan. Parra Hiswara memang harus mengakui kebenaran apa yang dikatakan sahabatnya. Namun di sisi lain, keselamatan istrinya harus mendapat perhatian. Parra Hiswara harus berkejaran dengan waktu. "Siang ini tak ada apa pun yang bisa kaulakukan, kalau kau mau keluyuran, kau harus mengubah penampilanmu. Kau harus menggunakan rambut palsu. Di dahsboard mobil aku ada wig yang bisa kaupakai. Pun agaknya kau juga harus mengubah wajah, kaubutuh kumis palsu. Malam nanti kau baru bisa keluyuran." Parra Hiswara berjalan mondar-mandir sambil menyangga rasa bingungnya. Lelaki yang mendadak harus berhadapan dengan masalah amat aneh itu merasa kepalanya sakit sebelah. "Dengan pamrih apa pihak tertentu menculik istriku" Minta tebusan?" Yogi yang telah menimbang kemungkinan itu merasa juga tidak tahu jawabnya. Ia menggeleng. HP bergetar tanpa suara. Karena HP diletakkan di saku celana di tempat yang peka Yogi langsung bisa menandainya. "Hallo," jawab Yogi. Parra Hiswara ikut menyimak. "Yogi?" terdengar suara dari seberang. "Ya," balas Yogi Sutisna. "Ini aku, Rayana, Aku harus mengabarkan sebuah berita yang sangat aneh, Hirkam hilang." Yogi Sutisna terkejut. "Apa?" Rupanya di seberang sana Rayana juga dalam keadaan panik luar biasa. "Baru saja," balas Rayana. "Perawat dan dokter yang akan melakukan pemeriksaan secara berkala tak menemukan Hirkam, padahal lima menit sebelumnya ada. Menurutmu apa yang terjadi pada Hirkam?" Pelahan Yogi Sutisna melirik ke sahabat di sebelahnya dengan mata yang melotot. "Aku tidak punya pendapat apa pun," jawab Yogi Sutisna. Berita itu menambah rasa panik yang dialami Parra Hiswara juga menyumbang derajad bingung yang lumayan signifikan pada Yogi. Migrain yang sedang mengganggu kepala dirasakan Parra Hiswara semakin berdenyut, sedikit saja sentuhan pada rambutnya menyebabkan rasa sakit yang luar biasa. Menghadapi migrain yang parah, penderitanya bahkan beranggapan, kepala perlu dipecah untuk mengambil semacam cacing penyebab migrain itu. Bila cacing yang menggeliat itu bisa diambil, migrain itu pasti lenyap. "Aku harus mengurusi isteriku," ucap Parra Hiswara, "akan tetapi keadaanku kini seperti terpenjara. Aku bahkan tak bisa keluar dari kamar ini karena banyak sekali orang yang mengenalku. Belakangan kusadari, sebuah kebetulan pegawai hotel ini tidak ada yang mengenalku." Yogi Sutisna bisa memahami keadaan itu. Dari jendela kaca ia bisa melihat lalu lalang di luar. Di arah selatan tampak kereta api merayap naik menuju Malang sementara di jalan raya, kemacetan sedang terjadi entah apa penyebabnya. Udara rupanya sedang panas dan berangin, debu-debu berhamburan dan daun-daun kuning luruh dari tangkai. Sebagian rumput hias di samping hotel tampak kuning meranggas. Parra Hiswara merasa gatal di telapak tangan kanannya, gatal yang mengganggu itu tidak ia ketahui sejak kapan mulainya. Namun Parra Hiswara tidak menganggap gatal itu 103 sebagai sesuatu yang luar biasa. Parra Hiswara beranggapan gatal yang mengganggu itu nantinya akan sembuh bila diolesi obat yang sesuai. Angin sedang deras dan memilin, debu-debu berputar. Dari dalam kamar Yogi Sutisna memerhatikan pusaran angin itu sebagai tontonan yang menarik. Ia perhatikan udara yang membelit itu sampai bubar dengan sendirinya. Yogi Sutisna beranjak duduk di kursi. Namun Yogi Sutisna terkejut melihat ekspresi wajah temannya. Mata Parra Hiswara nyaris lepas memerhatikan jejak pusaran angin yang membelit benda apa pun itu. "Ada apa?" tanya Yogi. Parra Hiswara tak sekadar memejamkan mata dan menggerangi kepala, ada sesuatu yang agaknya menyita perhatiannya. Yogi Sutisna mengarahkan pandang matanya pada jejak pusaran angin yang sedang menyita perhatian sahabatnya. Akan tetapi meski angin berputar itu sungguh mencuri perhatian Yogi Sutisna tidak harus menganggapnya sebagai suatu hal yang luar biasa. Pusaran angin yang demikian bisa terjadi di mana-mana dan bukan hal yang aneh. "Kau kenapa?" pancing Yogi agar Parra Hiswara berbicara. Parra Hiswara masih tetap pada sikap anehnya. Terpaksa Yogi Sutisna bergegas bangkit dan menyentuh lengannya. Yogi Sutisna terkejut mendapati sahabatnya dalam keadaan tegang, mata setengah terbelalak dan napas sedikit tersengal. "Sakit kepala?" tanya Yogi Sutisna sekali lagi. Parra Hiswara memejam itu akhirnya membuka mata. Pandang matanya ditujukan ke luar jendela tembus melalui kaca. Namun yang dicari sudah tidak ada, berlalu bersama mobil-mobil, bersama bus dan truk yang kembali bergerak. "Angin lesus," desis suami Mahdasari. Yogi Sutisna terheran-heran. Angin berputar bukanlah hal yang aneh. Di kampung halamannya tak jauh dari candi Prambanan ia sering melihat kejadian macam itu. Akan tetapi agaknya pusaran angin itu telah menjilma menjadi semacam pembuka simpul yang terkunci. Parra Hiswara mengerutkan dahi dalam rangka berpikir keras, apalagi sejenak kemudian Parra Hiswara memejam mata. "Apa?" ulang dan tegas Yogi. Parra Hiswara saling mengaitkan jari tangannya. "Aku merasa bisa membangunkan angin macam itu," bisik Parra Hiswara serius. Yogi Sutisna tidak segera memahami apa maksud sahabatnya. "Bisa membangunkan bagaimana?" tanya Yogi. Parra Hiswara membuka mata. "Dalam mimpiku semalam saat aku bertemu dengan perempuan mata tiga itu, aku menggunakan pusaran angin untuk menghadapi ribuan ekor kelelawar yang berubah menjadi binatang ganas itu." Yogi Sutisna menyimak dengan penuh perhatian. Sejalan dengan banyak peristiwa aneh yang telah dilihatnya Yogi Sutisna menempatkan diri untuk tidak perlu terkaget- kaget lagi bila harus mengalami lagi. Yogi Sutisna bangkit dan menempatkan diri tepat di depan sahabatnya. "Ya, lalu?" tanya laki-laki yang bertempat tinggal sudut wilayah Prambanan itu. Parra Hiswara memandang sahabatnya dengan tak berkedip. "Aku bisa, aku akan mencobanya," jawab Parra Hiswara seperti berdesis. Parra Hiswara tidak sekadar menjawab dengan mulut akan tetapi ia juga menjawab dengan perbuatan. Melalui jendela yang tidak terbuka tetapi bisa melihat keluar lewat 104 bingkai kacanya Parra Hiswara bermain-main sesuatu yang tidak masuk akal. Melalui ketajaman mata hati dan pemusatan pikiran Parra Hiswara mencoba mempengaruhi udara yang mengalir bergejolak. Parra Hiswara terkejut mendapati dirinya benar mampu melakukan. Udara di luar jendela tiba-tiba terkejut oleh kekuatan yang berusaha masuk menguasai mereka. Meski udara itu bermaksud bergerak sesuai kodratnya, akan tetapi dorongan untuk berputar itu benar-benar tidak bisa dilawan. Debu-debu mulai bergerak menyesuaikan diri, bahkan semut yang ikut terbang termasuk seekor kupu-kupu yang melintas dalam jarak yang amat dekat. Yogi Sutisna yang terkejut bukan kepalang. "Gila," letupnya amat kaget. Tak hanya satu, Yogi Sutisna melihat dua. "Bagaimana kaubisa melakukan itu?" desis laki-laki nyaris menduda berasal tak jauh dari Candi Rara Jonggrang itu. Parra Hiswara tidak menjawab karena sedang berkonsentrasi dengan mainannya. Udara yang saling membelit itu semakin besar dan membesar. Dua pusaran angin yang menghamburkan debu-debu, sampah daun-daun dan pembungkus plastik terus bergerak memutar meliuk-liuk seperti tarian penyanyi dangdut yang lupa diri. Apa yang terjadi di luar jendela halaman samping hotel di tepi jalan raya dan membelakangi sawah itu tidak hanya membuat Yogi Sutisna terbelalak namun nyaris semua orang yang menyaksikan terkejut. Tak ada hujan tak ada mendung tak ada angin deras tiba-tiba muncul dua batang pusaran angin yang saling tersinggung, masing-masing siap melabrak pesaingnya. Mobil-mobil berhenti seketika didorong rasa ingin tahu. Sopir truk, sopir bus, sopir tronton dan pengayuh becak semua menginjak pedal rem. Kemunculan pusaran angin adalah merupakan sesuatu yang langka apalagi bila terjadi bukan di waktu yang tepat. Umumnya pusaran angin terjadi pada saat hujan dan badai dan bila hal itu terjadi menjadi bahaya yang mengancam keselamatan. Rumah-rumah bisa hancur dan pepohonan Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo bisa ambruk dan tumbang. Namun yang kali ini, lesus itu tampil bagai dengan sengaja untuk menyita perhatian. Parra Hiswara masih mengendalikan itu dan bahkan mempertajam permainannya. Pusaran angin itu makin lama makin besar, apabila ukurannya semula hanya kecil saja makin lama pusaran angin itu meraksasa dan terus membesar hingga akhirnya berukuran sebesar paha. Akibat dari putarannya benar-benar luar biasa, semburat debu yang terjadi bagai tebalnya kabut apalagi pusaran angin itu melintas tanah kering. Setelah beberapa waktu berlalu akhirnya tiba saatnya Parra Hiswara menyatukan dua pusaran angin itu. Dengan kendali otaknya Parra Hiswara saling mendekatkan kedua pusaran angin. Ketika lesus itu saling berbenturan langsung bubar menyemburatkan sampah ke mana-mana. "Gila," ucap Yogi Sutisna sangat takjub, "kurasa tak ada orang di dunia ini yang memiliki kemampuan langka seperti yang kaupunya." Parra Hiswara tidak menjawab. Parra Hiswara sedang berada dalam keadaan sama takjubnya meski dengan latar belakang berbeda. Sementara di jalan raya yang mendadak macet, jejak pusaran angin itu masih menyita perhatian. Semua orang menjadi bingung, semua orang memerlukan waktu yang lebih lapang untuk menenangkan diri setelah digilas takjub yang amat mendera. Pemilik warung kecil tidak jauh dari tempat itu kebingungan karena mendapati warungnya yang kotor sekali. 105 14. (Rangkaian peristiwa tahun 1136 saka.) Setelah hingar bingar oleh ulah Ki Ajar Taji Gading yang tak terduga dan apa yang dilakukan orang bertopeng yang tak pernah diketahui bagaimana wajahnya kecuali hanya namanya, Kuda Rangsang. Di sudut ruang bilik pribadi Ki Ajar Kembang Ayun, Mahisa Branjang duduk terpaku bersandar saka. Demikian juga Dyah Narasari menempatkan diri menunggu apa yang akan disampaikan ayahnya kepada Parameswara. Sedikit agak jauh duduk bersila Ki Ajar Pratonggopati juga bersikap menyimak sementara Parameswara yang tengah menjadi pusat perhatian merasa betapa tidak nyaman keadaan itu. "Parameswara," Ki Ajar Kembang Ayun membuka percakapan. Parameswara mengangguk. "Ya, ayah," jawab Parameswara. Tidak berkedip dan penuh keprihatinan pimpinan Kembang Ayun memerhatikan sikap salah tingkah anaknya. "Apakah kau masih tetap pada pendirianmu untuk pergi?" Parameswara menunduk. Pertanyaan itu membuat Parameswara semakin serba salah. Parameswara tidak segera menjawab karena untuk yang sekadar membuka mulut kini ia rasakan sangat sulit luar biasa. Ribuan ekor semut bagai merayapi punggungnya, bukan di permukaan kulitnya akan tetapi berjalan bersama darah sambil mengkili-kili menimbulkan rasa risih dan gatal. "Jawablah Parameswara," bisik Ki Ajar. Akhirnya sebuah anggukan pelahan dilakukan dengan penuh keyakinan diberikan Parameswara. Tidak hanya itu, Parameswara yang duduk bersila itu mengangguk nyaris seluruh tubuhnya. Pontang-panting Parameswara berusaha menguasai diri agar jangan sampai menitikkan air mata. "Ya, ayah," jawab Parameswara setelah membulatkan hati, "aku memang akan pergi untuk sesuatu yang akan menyiksa batinku bila aku tidak melakukan. Mohon ayah berkenan merestui perjalananku." Pelahan Ki Ajar Kembang Ayun menebar pandang. Napasnya yang tua teramat kembang kempis. Tatapan lelaki tua itu singgah sejenak kepada Mahisa Branjang namun sesaat kemudian Ki Ajar kembali mengarahkan pandang matanya pada anak lelakinya yang amat disayanginya itu. "Akhirnya memang telah tiba saatnya aku akan membeber jati dirimu Parameswara. Benar apa yang dikatakan Taji Gading padamu, kau bukanlah anak kandungku. Dengan demikian memang tidak ada halangan bagimu untuk menjalin hubungan dengan Ken Rahastri karena bagimu Ken Rahastri itu orang lain sebagaimana Mahisa Branjang itu bagimu juga orang lain." Parameswara merasa bagai dibelit seekor ular raksasa. Apa yang diucapkan Ki Ajar itu benar-benar janggal dan tidak masuk akal. Mahisa Branjang yang menunduk juga mendongak nyaris bersamaan dengan Parameswara. Parameswara bergegas menunduk kembali, hatinya bergolak. Apa yang disampaikan ayahnya bagai sebuah sindiran yang amat menikam, menusuk langsung ke tengah dadanya tembus ke pusat jantungnya. 106 "Mahisa Branjang," kata Ki Ajar sambil menoleh pelahan pada Branjang, "apakah kau akan menolak jika aku mempunyai sebuah permintaan?" Mahisa Branjang yang mengetahui ke mana arah pertanyaan ayahnya itu menjadi gelisah. Ia merasa yakin tebakannya benar. "Permintaan apa ayah?" tanya Mahisa Branjang. Tiyang Ageng Ajar Kembang Ayun tersenyum sambil mengumbar teka-teki yang mengundang gelisah. Ki Ajar Pratonggopati berwajah datar menyembunyikan dengan amat rapat warna hatinya. "Ambil Parameswara sebagai menantumu," kata Ki Ajar Kembang Ayun. Mahisa Branjang benar-benar merasa dihimpit, disudutkan ke tempat yang paling tidak menyenangkan. Mahisa Branjang berbalik kepada Narasari adiknya akan tetapi Narasari pun tak kalah bingung. Juga ketika Mahisa Branjang menoleh kepada Ki Ajar Pratonggopati, pamannya itu juga tidak bisa memberikan pendapat apa-apa. Apa boleh buat Mahisa Branjang harus melemparkan wajah bingungnya kembali kepada Ki Ajar Kembang Ayun. Namun Ki Ajar Kembang Kembang Ayun sedang memerhatikan wajah anak bungsunya dengan tatap mata amat penuh minat. "Bagaimana Mahisa Branjang?" kata Ki Ajar, "apakah kau merasa tidak mungkin mengambil Parameswara sebagai menantumu" Kau tidak perlu menyimpan ganjalan apa pun karena Parameswara tak mempunyai hubungan darah denganmu." Mahisa Branjang tidak punya pilihan lain. Meski Mahisa Branjang telah merasa membuat kesepakatan dengan seorang sahabatnya untuk menjodohkan anak-anak mereka, kesepakatan itu terpaksa harus diubah karena permintaan ayahnya. Bagi Mahisa Branjang merupakan sebuah dosa yang besar dan tak termaafkan jika tak bisa memenuhi permintaan Ki Ajar yang usianya sudah sangat tua itu. Pelahan Mahisa Branjang mengangguk. "Baik ayah. Aku tidak keberatan," jawab Mahisa Branjang. Suara Mahisa Branjang itu terdengar serak dan bergetar menyebabkan ruangan itu bagai teraduk oleh jawaban Branjang itu. Dyah Narasari mendadak merasa ada sesuatu yang menggelembung di perutnya membuat sesak napasnya. Namun Narasari bingung tak tahu menggunakan cara pandang yang bagaimana. Semua orang kini memandang ke arah Parameswara. Parameswara yang menunduk itu tidak bisa menguasai diri. Meski Parameswara sudah berusaha namun tetap saja mata membasah. Bahkan air mata itu kemudian bergulir melewati pipi jatuh di pangkuannya. Tidak pernah terjadi sebelumnya pada Parameswara, dalam ingatan Narasari, baru kali inilah ia melihat kakaknya itu menitikkan air mata. "Tidak ayah," jawab Parameswara serak, "aku memang anak yang tidak tahu diri bagi ayah juga seorang adik yang keterlaluan bagi kakang Mahisa Branjang. Kini aku telah sadar memang tak pantas bagiku untuk mencintai dan memiliki Ken Rahastri. Aku mohon maaf ayah." Leher Dyah Narasari tercekik oleh suara kakaknya yang tersendat itu. Parameswara yang menengadah menampakkan matanya yang merah basah dan bibir gemetar bagaikan orang yang buyutan. Tak hanya bibirnya yang luput dari kendali juga jemari tangannya. Parameswara membungkuk bersudut di depan ayahnya sampai menyentuh tanah. "Aku merestuimu Parameswara. Pun Juga Branjang tidak keberatan mengambilmu sebagai menantu. Kini tidak perlu ada ganjalan lagi," ulang Tiyang Ageng Ajar Kembang Ayun. 107 Hati Parameswara teriris oleh ucapan Ki Ajar karena bagi Parameswara sungguh itulah sindiran yang terasa paling ngeres di permukaan hatinya. Jangankan Parameswara, bahkan Ki Ajar Pratonggopati yang telah sekian tahun merasa amat mengenal semua sifat dan perilaku saudara tuanya kebingungan karena tidak tahu akan menuju ke arah mana pembicaraan Ki Ajar itu. Benarkah permintaan Ki Ajar pada Branjang agar mengambil Parameswara sebagai menantunya itu bersungguh-sungguh atau hanya sekadar sebuah cara untuk menggelitik hati Parameswara" "Bagaimana Parameswara?" suara Ki Ajar tenang. Parameswara belum juga mampu menguasai gelisahnya. Air matanya masih menggenang di kelopak matanya, beberapa tetes bahkan terlanjur bergulir jatuh di pangkuannya sejalan dengan ingus yang menggoda dari lobang hidungnya. Wajah Tiyang Ageng menjadi tidak jelas karena air mata. "Aku mohon maaf ayah. Atas seijin ayah dan kakang Mahisa Branjang juga atas ijin dan restu paman Pratonggopati aku memilih pergi. Bagiku, untuk menemukan ayah kandungku saat ini merupakan persoalan yang paling mendesak. Mohon Tiyang Ageng Ajar Kembang Ayun berkenan memberi petunjuk arah mana yang harus aku tempuh untuk menemukan mereka?" Rupanya, Parameswara memang telah bulat pada keputusannya. Tiyang Ageng Ajar Kembang Ayun tahu tidak ada gunanya mencegah Parameswara pergi lebih dari itu menghalang-halangi keinginan Parameswara bertemu dengan orang tua kandungnya merupakan hal yang tidak mungkin karena memang menjadi hak mutlak pemuda itu jika berniat mengetahui jati dirinya, untuk mengetahui siapa orang tua kandungnya, untuk mengertahui siapa orang yang telah mengukir dan melukis jiwa raganya. "Baiklah," kata Ki Ajar. "Kurestui kaupergi." Parameswara menggigil mendengar jawaban itu. Keputusan Ki Ajar itu seperti sebuah hentakan palu yang menyentakkan ruang itu. Di samping merasa lega, Parameswara merasakan keputusan yang diambil Ki Ajar sekaligus sebuah dosa besar yang harus disangganya. Parameswara yang merasa amat bersalah menghirup udara dengan tarikan napas panjang seolah udara yang ada di ruang itu belum cukup untuk mengisi paru-parunya. "Pergilah kau ke Kediri, ayah kandungmu bernama Panji Ragamurti." Sebuah palu pahat bergerak kasar di permukaan otak pemuda itu. "Panji Ragamurti?" Parameswara mengulang nama itu dengan berbisik. Ki Ajar Kembang Ayun mengangguk. "Ya. Itulah nama ayahmu." Parameswara mengulang menyebut nama itu beberapa kali dalam hati, bagaikan memahatkan nama itu ke dinding benaknya agar jangan sampai lupa. "Panji Ragamurti," ucapnya dengan amat lirih didukung isi dada yang bergetar kasar. Itulah untuk pertama kalinya ia menyebut sebuah nama dengan gemetar karena nama yang disebutnya itu bukan sembarang nama. Lewat perantara Panji Ragamurti itulah ia lahir ke dunia ini. Itulah nama yang belakangan sangat mengganggu hatinya dan menumbuhkan berbagai pertanyaan yang tidak kunjung ada jawabnya. Tak kurang Dyah Narasari dan Mahisa Branjang terimbas wibawa yang besar dari penyebutan nama itu. Sebenarnya, Parameswara ingin menanyakan lebih jauh kepada Ki Ajar Kembang Ayun itu, oleh alasan apakah Panji Ragamurti itu tidak mengasuh dan membesarkan anak 108 kandungnya sendiri atau mengapa Parameswara sampai bisa berada di tempat di mana ia tumbuh dan berkembang itu. Akan tetapi meski pertanyaan itu begitu menggoda hatinya Parameswara memilih untuk tidak mempersoalkan. Parameswara yakin kelak ia akan menemukan semua jawaban dari teka-teki yang menyesakkan dadanya itu tidak perlu harus menanyakan hal itu pada Ki Ajar saat itu juga. "Adakah keterangan lain yang bisa kuperoleh, ayah?" Agaknya Parameswara membayangkan bakal sulit baginya menemukan sebuah nama Panji Ragamurti di Kediri. Mencari sebuah nama Panji Ragamurti dari sekian banyak orang tentu bukan pekerjaan gampang. Tiyang Ageng Ajar Kembang Ayun kemudian membuka sebuah peti. Sudah sekian lama Parameswara dan juga Branjang atau Dyah Narasari tahu di dalam sebuah peti itu tentu terdapat sesuatu yang sangat penting. Selama ini Ki Ajar Kembang Ayun membuat aturan aneh yang sangat ketat tidak seorang pun diijinkan membuka peti kayu itu. Ki Ajar ternyata mengambil sebuah lencana berukir terbuat dari logam sejenis perunggu. Lencana itu diserahkan pada Parameswara. Parameswara menerima dan mengamat-amati benda itu. Rasanya tidak ada sesuatu yang aneh atau luar biasa. "Lencana itu milikmu," kata Ki Ajar. Parameswara merasa telapak tangannya dingin. "Milikku?" Parameswara merasa heran. Ki Ajar Kembang Ayun mengangguk pelan. "Lencana itu yang melekat pada tubuhmu ketika saat pertama aku menemukanmu, lencana itu nantinya yang akan mempertemukanmu dengan orang yang kaucari," terang Ki Ajar Kembang Ayun. Beberapa buah wejangan masih diberikan Padmanaba atau Ki Ajar Kembang Ayun pada Parameswara. Dengan takjim dan penuh perhatian Parameswara menyimak semua sesorah 48 itu. Amat larut jiwa Parameswara sejalan air matanya yang terus menetes dan membasahi pipinya. Sang waktu bergulir mendekati arah pagi. Rupanya Ki Ajar Kembang Ayun tidak tega melepas Parameswara begitu saja. Untuk perjalanan jauh yang akan ditempuhnya, Ki Ajar membekalinya dengan uang secukupnya. Untuk agar perjalanannya bisa ia tempuh dengan mudah Parameswara membawa kuda jantan kesayangannya. Kuda itu berwarna abu-abu dan merupakan kuda yang bukan sembarangan karena induknya berasal dari timur Pulau Bali. Kuda itu diberi nama Sapu Angin karena derap larinya yang kencang bagai angin. Ketika matahari akan terbit, saat mana langit sebelah timur semburat oleh warna merah saga, segenap murid perguruan Kembang Ayun bersiap diri melepas Parameswara. "Apakah kau tidak akan kembali ke tempat ini, kakang Parameswara?" tanya Dyah Narasari dengan suara serak. Parameswara tidak memberi jawaban dan hanya dipeluknya Dyah Narasari dengan sangat lekat. Hati Mahisa Branjang agak gronjalan saat adiknya minta diri pula dengan mencium tangannya. Ki Ajar Kembang Ayun mengelus kepalanya ketika Parameswara pamit dengan melakukan sujut di depannya pun tak kurang Pratonggopati melimpahinya dengan gumpalan restu. Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Beberapa jenak kemudian, Kuda Sapu Angin telah melesat cepat membelah kabut dini hari meninggalkan perguruan Kembang Ayun. Suara derap itu makin lama makin 48 Sesorah, jawa, wejangan 109 jauh tidak hanya memantul-mantul di dinding pagar dan pepohonan namun juga di setiap dada para penghuni padepokan perguruan Kembang Ayun. Sebenarnyalah sepeninggal Parameswara seperti ada sesuatu yang hilang, sungguh rasa kehilangan yang benarbenar menyedihkan. Sejalan dengan waktu yang bergeser Ki Ajar Kembang Ayun memanggil segenap murid perguruan yang diminta berkumpul di pendapa. Adalah bersamaan dengan langit timur semburat merah ketika Ki Ajar Kembang Ayun atau Padmanaba mulai berbicara. "Anak-anakku semua," Ki Ajar Kembang Ayun mengawali dengan suara yang amat tenang dan sejuk. "Sebagaimana kalian semua telah mengetahui, anakku Parameswara telah pergi meninggalkan perguruan untuk sebuah keperluan yang tak mungkin dicegah. Kita semua harus ikhlas melepas keberangkatannya ke Kediri mencari ayah kandungnya. Kita berharap semoga apa yang diinginkan Parameswara itu bisa terpenuhi." Suasana senyap. Segenap yang hadir menyimak pembicaraan Ki Ajar dengan penuh perhatian. "Manusia berencana, akan tetapi Dewa di langit punya ketetapan," lanjut Tiyang Ageng Ajar Kembang Ayun. "Semula kita berharap Parameswara bersedia memimpin perguruan ini setelah aku semakin tua dan tidak mampu. Akan tetapi ternyata pagi ini kita semua melepas keberangkatan Parameswara yang teguh pada keputusannya mencari dua orang tua kandungnya. Untuk yang diinginkannya itu, kita semua tak berhak mencegah karena memang menjadi haknya." Ki Ajar Kembang Ayun menebar tatap mata. Dengan kepergian Parameswara itu memang muncul beberapa pertanyaan siapakah orang yang akan ditunjuk Ki Ajar untuk memimpin perguruan apalagi setelah semua mengetahui bagaimana sikap Ki Ajar Taji Gading yang ternyata masih setia kepada kakak kandungnya yang sekaligus pemimpin perguruan yang lama, Kuda Rangsang. Pertanyaan lain yang juga sangat mengganggu adalah peringatan yang diberikan Kuda Rangsang pada Ki Ajar tentang perjanjian di Air Terjun Seribu Angsa yang tinggal beberapa purnama lagi. Perjanjian apakah itu" Nyaris sebagian besar para siswa perguruan tak seorang pun tahu di manakah letak Air Terjun Seribu Angsa itu juga tidak ada seorang pun yang tahu ada persoalan apakah di tempat itu. Ki Ajar Kembang Ayun kembali siap melanjutkan ucapannya. "Anak-anakku semua. Setelah hari ini Parameswara tidak lagi berada di antara kita, untuk jangka waktu yang panjang pula, dimulai sejak besok aku akan pergi untuk sebuah keperluan yang amat penting. Oleh karena itu segala hal yang menyangkut kelangsungan perguruan ini aku serahkan kepada Ajar Pratonggopati. Tegasnya aku mengangkat Ajar Pratonggopati sebagai pimpinan perguruan." Semua yang mendengar kaget. Pratonggopati sendiri tak menyangka. Orang kedua di Kembang Ayun itu bergeser mendekat. "Kuharap kau mau menerima tugas yang aku berikan ini, Pratonggopati, karena aku tak melihat ada orang lain lagi. Branjang tentu saja sibuk dengan perguruannya sendiri di Badran Arus. Jangan khawatir untuk jenis pekerjaanmu, kau hanya memimpin perguruan agar bisa berjalan sebagaimana mestinya sementara tugas yang paling tak menyenangkan yaitu yang berkaitan dengan penjagaan atas mantra-mantra pembuka tabir pelindung air terjun seribu angsa, itu tetap menjadi tanggung-jawabku. Ke depan aku akan berusaha memutus mata rantai tugas aneh itu sehingga Kembang Ayun tak perlu terbebani. Setelah 110 aku pikir lebih jauh, mengapa pula aku harus mewariskan tugas tidak masuk akal itu pada Parameswara, tugas menjaga datangnya purnama selama puluhan tahun." Ki Ajar Pratonggopati mengangguk. Ki Ajar Kembang Ayun agaknya tidak ingin berlarut-larut dengan keputusannya itu. Sebuah umbul-umbul lambang perguruan segera diserahkan kepada Pratonggopati. Ki Ajar Pratonggopati tak bisa menolak. Akan tetapi jika ada kecemasan di dalam hati Dyah Narasari adalah ketika memikirkan usia ayahnya yang sudah tua namun masih harus menempuh perjalanan jauh. Tentu Ki Ajar akan mengalami banyak kesulitan dengan perjalanan yang akan ditempuhnya itu. "Mohon maaf Tiyang Ageng. Kalau aku boleh tahu, Tiyang Ageng akan pergi ke mana?" tanya salah seorang murid. Pertanyaan itu sebenarnya juga akan dilontarkan Dyah Narasari. Ki Ajar seperti termangu, tatapan matanya sejuk. "Aku akan pergi ke sebuah tempat. Letak tempat itu di salah satu lereng Gunung Kampud 49 pada bagian lereng yang oleh banyak orang disebut Air Terjun Seribu Angsa. Disebut Seribu Angsa karena di sekitar air terjun itu hidup banyak sekali angsa, beratus-ratus dan mungkin bahkan lebih dari seribu." Murid perguruan yang penasaran itu kembali bertanya. Ia mengajukan sebuah pertanyaan yang amat mendesar mengingat Ki Ajar Kembang Ayun sudah sangat tua. "Ada keperluan apakah Ki Ajar pergi ke tempat itu" Mengapa harus Ki Ajar sendiri yang berangkat" Bukankah Ki Ajar dapat memberikan perintah kepada kami, tanpa harus Ki Ajar sendiri yang pergi?" Ki Ajar tersenyum. Ki Ajar tahu, semua siswa perguruan itu mencemaskannya. Pertanyaan itu mewakili wajah semua yang hadir, pertanyaan itu juga mewakili Dyah Narasari dan Mahisa Branjang. "Anak-anakku semua," Ki Ajar berbicara dengan nada sejuk, "untuk perjalananku ini tidak bisa tidak memang harus aku sendiri yang pergi. Aku tak mungkin mewakilkan pada siapa pun." Serentak para siswa perguruan itu saling pandang antara satu dengan lainnya. Keadaan kesehatan Ki Ajar kali ini, benar-benar mencemaskan mereka. Ki Ajar sangat memaklumi kecemasan yang bersumber dari rasa cinta para murid perguruan itu, maka itulah sebabnya Padmanaba itu perlu menjelaskan mengapa ia harus datang ke Air Terjun Seribu Angsa. Gunung Raung dibalut kabut amat tebal, bumi Bondowoso di arah barat sedikit ke utara dari arah Gunung itu rupanya sedang terancam oleh turunnya hujan deras. 15. (Rangkaian peristiwa tahun 2011) 49 Kampud, di zaman Majapahit, Gunung Kampud sangat terkenal yang amat mungkin berubah menjadi Gunung Kelud di zaman sekarang. Kelahiran Raden Tetep yang ketika dewasa berubah nama menjadi Hayam Wuruk, ditandai dengan meletusnya Gunung Kampud dan gempa bumi di sebuah wilayah bernama Pabanju Pindah, demikian berita Pararaton maupun Desa Wernana (Nekarakrtagama) menyampaikan hal yang sama. 111 Amnesia yang dialami Elang Bayu Bismara menyebabkan Tantri Praba merasa sudah kehilangan anak laki-laki kesayangannya, namun rupanya kehilangan itu tidak hanya sampai itu. Bingung Tantri Praba mendapati semua hilang, bahkan ganjal pintu ikut-ikutan hilang, hanya warna cat dinding yang tersisa sementara jendela yang terbuka menyisakan rasa bingung yang tak bakal berkesudahan. Pohon belimbing yang sedang berbunga terlihat dari jendela mengayun-ayun dipermainkan angin yang tak begitu deras, di seberang jalan terlihat sebuah truk melaju dengan meninggalkan asap hitam yang kelewatan. Menghadapi asap macam itu kendaraan yang berada di belakangnya pasti riuh sesak dengan segala serapah. "Ya Tuhan, apa yang terjadi?" letup perempuan itu dengan mata terbelalak. Tantri Praba tidak cukup punya persediaan akal waras untuk berusaha memahami semua benda yang hilang dari kamar anaknya. Tempat tidur lenyap, komputer lenyap, almari lenyap dan bahkan kain korden jendela ikut-ikutan lenyap. Di sejengkal waktu yang bergeser, keanehan itu meraja-lela di benak Tantri Praba menyebabkan lehernya tercekik dan diyakini bakal menyebabkan kesulitan bernapas. Kesadaran yang tersisa hanya bisa digunakan untuk meratap, sebuah tingkah yang biasanya menjadi pelengkap bingung. Tangannya terjulur akan tetapi tidak dengan niat menyentuh apa pun. Di kamar yang mendadak kosong itu mau menyentuh apa" "Bayu, kamu di mana?" letup pertanyaan itu dari mulutnya. Sebuah pertanyaan yang sia-sia dan terasa aneh karena kamar itu jelas-jelas telah kosong tak ada isinya. Tempat tidur hilang, almari hilang. Yang sulit dipahami siapa yang melakukan pekerjaan aneh itu dan untuk apa pula harus melakukan, padahal untuk mengeluarkan semua perabotan dalam kamar di lantai atas itu harus dilakukan oleh paling tidak dua orang, untuk menggotong tempat tidur tak mungkin dilakukan sendiri dan pasti butuh waktu lama. Maka mendadak Tantri Praba merasa kakinya gemetar. "Bayu!" teriak Tantri Praba dengan volume lebih tinggi. Namun teriakan itu berjenis tertahan dan karenanya tak memperoleh jawaban. Apa yang terjadi itu jelas bukan persoalan yang sepele dan mungkin bisa dianggap sebuah penculikan dan perampokan. Penculikan karena anaknya yang semula berada di kamar hilang, disebut perampokan karena semua perabotan di kamar lantai atas lenyap tidak ada jejaknya. Bahkan ternyata keset pun ikut hilang. Perampok macam apa yang juga mengambil pembersih telapak kaki itu" Tantri Praba bergegas turun untuk berbagi kepanikan namun tidak ada siapa pun di rumah. Yu Rusila pembantunya sejak kemarin pamit pulang karena anak perempuannya hamil dan harus ada yang bertanggung-jawab. Menghadapi keadaannya yang demikian permintaan ijin Yu Rusila untuk mudik dan menyelesaikan masalahnya tidak mungkin ditolak. Suaminya belum pulang menyebabkan rumah itu terasa begitu senyap. Sejak pagi Widyaksa disibukkan oleh urusan kantor. Lantas siapa yang bisa dimintai bantuan menghadapi keadaan yang demikian" Demikian panik dan demikian lemah kakinya dalam menyangga tubuhnya hampir saja Tantri Praba jatuh di turunan tangga ke lima. Akan tetapi sesampai anak tangga yang paling bawah Tantri Praba tertegun. Suara batuk berasal dari lantai atas itu menyebabkan ayunan kakinya terhenti. Suara Bayukah itu" Tantri Praba merasa perlu meyakinkan ketajaman pendengarannya. Bergegas tergesa Tantri Praba kembali ke kamar anak lelaki semata wayangnya. Tertegunlah amat tertegun Tantri Praba ketika membuka daun pintu, 112 dikucalnya mata dan dikucalnya kembali untuk memastikan apa yang dilihatnya sungguh nyata. "Sudah gilakah aku?" Tantri Praba bingung. Darahnya berhenti mengalir. Sisa tenaga yang dimiliki benar- benar terkuras yang membuatnya harus bersusah-payah untuk tetap berdiri. Matanya yang terbelalak bagai nyaris lepas dari kelopaknya. Bibir yang terkendali adalah bibir yang indah, apalagi bila ada polesan gincu tipis mewarnainya akan tetapi apabila bibir itu bergetar tak terkendali terlihat jelek sekali. Dan meski waktu sejengkal berlalu, perempuan cantik masih juga bingung. Kepalanya berdenyut keras atas nama keanehan yang tersaji di depannya. Bayu yang hilang diculik meringkuk di pembaringannya sementara semua perabotan yang dirampok masing-masing kembali ada di tempatnya, termasuk keset, termasuk korden, termasuk meja komputer, piano dan poster-poster yang melekat di dinding. Semua berada di tempat masing-masing, pun sepiring donat kegemaran bocah itu, tetap berada di atas meja. Tantri Praba merasa kepalanya layak pecah. "Ya Tuhan," desisnya. "Sudah gilakah aku" Tadi aku tidak melihat apa pun. Kini semua kembali di tempat masing-masing." Terbelalak Tantri Praba memerhatikan semua yang telah kembali. Tantri Praba memerhatikan anaknya yang dengan amat pelahan memejamkan mata, tatapan mata bocah itu tak lagi bercahaya seolah ada sesuatu yang hilang dari kedalaman jiwanya sementara Ibu mana yang tidak remuk hatinya mendapati keadaan anaknya yang seperti itu" Tantri Praba bergegas beralih memerhatikan kulit bocah itu. Jejak alergi yang merajalela di sekujur kulitnya telah hilang akan tetapi meninggalkan beberapa luka bekas cakaran karena begitu hebatnya rasa gatal yang terjadi bagai tidak tertanggungkan. Tantri Praba tak mungkin lupa bagaimana mata anaknya menjadi kemerahan membeliak-beliak sementara sesuatu yang diyakini sebagai sumber alergi itu masih meringkuk diam di tempatnya, di telapak tangannya. Benda yang meringkuk di balik kulit di atas daging dan nyata-nyata sebagai benda hidup itu telah meninggalkan banyak keanehan, namun agaknya semua itu masih belum cukup. Baru saja keanehan itu terjadi lagi, bahkan sangat luar biasa. Adakah semua itu berkaitan dengan benda tak dikenal di balik kulit itu" Tantri Praba selanjutnya memberi perhatian pada semua benda yang semula ikut-ikutan menghilang. Di sentuhnya sudut meja yang terasa amat nyata, juga cangkir teh yang masih berisi separuh. "Apa yang kaurasakan Bayu?" tanya Tantri Praba dengan nada berbisik. Namun pandang mata bocah itu mewakili adanya sesuatu yang hilang. Bocah itu membuka mata dan balas menatap. "Ini mama sayang," ucap Tantri Praba yang mulai benci pada kata amnesia. Bayu balas menatap kegelisahan perempuan yang duduk di sudut pembaringannya. Bocah itu mengerutkan kening seperti berpikir, seperti berusaha mengingat namun tidak berhasil, seperti mencari sebuah jawab dari pertanyaan yang ternyata tidak ia peroleh. Akan tetapi Bayu tahu, siapa pun perempuan itu, ia sungguh sangat menyayanginya. "Kamu masih tidak ingat apa pun?" tanya Tantri Praba lagi dengan berbisik. Bayu tidak mengangguk dan tidak menggeleng. Dengan penuh perhatian bocah itu memerhatikan telapak tangannya, mencermati sesuatu dalam genggamannya. Tanpa alasan yang jelas atau hanya ia sendiri yang tahu mengapa, bocah itu tersenyum. Itulah 113 senyum yang memporak-porandakan hati ibunya. Bagi Bayu, rupanya benda melekat di telapak tangan itu telah berubah menjadi sesuatu yang menyenangkan. "Ya Tuhan," letup Tantri Praba. "Aku benar-benar kehilangan anakku!" Mondar-mandir Tantri Praba memerhatikan semua benda, menatap wajah-wajah dalam poster yang tiba-tiba tampak aneh, menatap permukaan meja belajar yang penuh dengan buku-buku yang sebagian di antaranya tidak teratur rapi, menatap komputer dan bola basket yang berdampingan dan semua pernik benda yang menjadi kesayangan anaknya. Semua benda apa pun di ruangan itu dari yang paling sederhana sekalipun mampu menyumbang biang kengerian yang sanggup merontokkan jantungnya. Namun meski menghadapi keadaan anaknya yang mengalami peristiwa luar biasa Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo semalam dan masih berlanjut dengan apa yang baru terjadi, Tantri Praba masih mampu mengikat jantungnya dengan kuat, setidaknya sampai sekarang, dan entah sampai kapan. Andaikata keanehan-keanehan itu muncul bertubi-tubi, bisa jadi otot-otot pengikat jantungnya benar-benar akan rontok. Tantri Praba kembali duduk di bibir pembaringan dan mengulurkan tangan dengan niat membusai rambut ikal anaknya. Namun Tantri membatalkan. Telepon genggam bergetar di saku bajunya menyita perhatian. Wajah suaminya muncul di layar. Gerak bibirnya selalu terlambat seperkian detik dari suara yang didengar. "Bagaimana keadaan Bayu?" tanya Yudawastu Widhiyaksa di layar monitor itu. Jawaban seperti apa yang akan diberikan pada suaminya. Tantri Praba mengarahkan kameranya ke pembaringan dan memutar ke seluruh sudut ruangan dengan harapan suaminya bisa melihat secara langsung keadaan anaknya. "Kalau bisa cepat pulang!" ucap Tantri Praba gelisah. Yudawastu Widhiyaksa di seberang sana rupanya sedang terjebak pada pekerjaan yang tidak bisa segera ditinggalkan. Sebenarnya Tantri Praba sangat memahami itu. "Aku upayakan," jawab Yudawastu Widhiyaksa, "aku akan pulang diam-diam. Tetapi tidak terjadi apa pun bukan?" Tantri Praba tidak menggeleng juga tidak mengangguk. "Baiklah," jawab suaminya. "Aku akan pulang lebih awal. Aku sudah membuat janji dengan seseorang yang mungkin bisa membantu kita menolong Bayu." Tantri Praba segera mengerutkan keningnya. "Siapa?" tanya Tantri Praba. "Seseorang yang memiliki kemampuan supranatural." Jawaban suaminya menyebabkan Tantri Praba tertegun. Berurusan dengan seseorang berkemampuan supranatural atau mengaku-ngaku berkemampuan supranatural adalah hal yang tidak mungkin ia lakukan kemarin dan sebelumnya. Namun sejak Bayu mengalami masalah yang sangat serius dan aneh, meminta bantuan pada mereka merupakan kemungkinan yang paling masuk akal. Mana dan apa yang bisa dilakukan ketika sikap dan cara pandang ilmiah tidak mampu menjelaskan kejadian yang menimpa anaknya kecuali menggunakan cara pandang metafisika" "Baik, semakin cepat semakin baik!" Di seberang sana, Yudawastu Widhiyaksa yang sedang memegang telepon selulernya terdiam seperti ada yang direnungkan. Tiba-tiba saja Yudawastu Widhiyaksa merasa curiga. "Benar tidak terjadi sesuatu?" tanya laki-laki itu sambil memerhatikan raut wajah istrinya yang begitu sedih di layar. 114 Bagaimana tidak terjadi sesuatu" Seisi kamar anaknya bahkan debu-debunya lenyap hilang dari pandang mata. Bagaimana yang demikian bisa dikatakan tidak terjadi sesuatu" Akan tetapi Tantri tidak punya cukup kekuatan untuk bersikap tenang menyikapi hingar- bingar yang sedang dialaminya. "Memang ada sesuatu," jawabnya. "Nantilah kalau kau sudah pulang." Hubungan telepon itu kemudian berakhir. Tantri Praba bergegas turun ketika dari lantai atas itu melihat mobil yang menurunkan kecepatan dan kemudian berbelok masuk ke halaman rumahnya. Tantri Praba mengenali siapa yang berkunjung, ia sosok yang memang diharapkan kedatangannya, setidaknya dengan orang yang datang itu ia bisa berbincang tentang keadaan anak lelakinya. "Selamat siang," sapa Dokter Wisnu. Tantri Praba mengangguk sambil membuka pintu lebih lebar. Agak canggung Tantri Praba mempersilahkan tamunya untuk duduk bila mengenang hubungan yang pernah terjalin di masa silam. Sebaliknya Dokter Wisnu melihat wajah tuan rumah sedang dalam keadaan amat tegang. "Aku sudah menemukannya!" ucap Dokter Wisnu langsung pada pokok persoalan yang dibawanya. Berbinar raut wajah Tantri Praba. "Sudah ditemukan cara mengatasinya?" Tantri Praba terkejut melihat tamunya menggeleng. "Bukan itu yang aku maksud," jawab Dokter Wisnu. "Aku berhasil menemukan orang yang memiliki kasus seperti anakmu yang mengakibatkan Dokter Rustamaji mati. Aku ingin kau bertemu dengannya dan membandingkan keadaan anakmu dengan keadaannya. Namanya Anak Agung Budayasa." Tantri Praba termangu. Nama yang baru disebut itu mengingatkan Tantri Praba pada dari mana ia berasal. "Orang Bali?" tanya Tantri Praba. Dokter Wisnu mengangguk. "Bagaimana?" tanya Dokter yang masih membujang itu. "Kau tidak berminat untuk menemuinya" Aku pikir dengan kau menemuinya maka akan ada semacam pembanding yang bisa dikaji." Tantri Praba merapatkan kedua telapak tangannya sambil matanya tidak berkedip dalam memandang lawan bicaranya, tatapan yang kemudian menyebabkan ia merasa serba salah. Hampir lima belas tahun yang lalu, Dokter Wisnu yang ketika itu masih seorang mahasiswa pernah mengutarakan rasa suka kepadanya, pengungkapan rasa cinta yang ditolaknya. Belakangan ketika ada indikasi suaminya menduakannya Tantri Praba menyimpan penyesalan, apalagi ketika dari teman-temannya ia mengtahui Dokter Wisnu mengambil pilihan hidup sendiri tanpa mementingkan kehadiran seorang pendamping. "Selama ini," kata Tantri Praba. "Aku menempatkan sikap ilmiah tidak ubahnya sebuah agama. Aku tidak percaya hal-hal yang berada di koridor metafisika. Aku tidak percaya supranatural, aku tidak percaya pada dukun. Namun kali ini, aku tak tahu harus berkata apa. Apakah aku masih boleh meyakini apa yang baru terjadi ada penjelasan ilmiahnya seperti yang dulu kau pernah bilang" bahkan orang kesurupan pun masih ada penjelasan ilmiahnya!" Dokter Wisnu memandang Tantri Praba dengan tidak berkedip. Dokter Wisnu bisa menakar seberapa besar beban yang disangga mantan teman akrabnya melihat dari 115 bahasa wajahnya, dari bibirnya yang gemetar, dari tarikan napasnya yang mengombak dan dari tangannya yang mendadak menunjukkan gejala buyutan. "Apa yang terjadi?" Dengan ringkas padat dan jelas, Tantri Praba menumpahkan pengalamannya. Terbelalak Dokter Wisnu. Akan tetapi Tantri Praba melihat keraguan di mata sahabatnya. "Aku memang sedang mengalami tekanan luar biasa!" kata Tantri Praba. "Akan tetapi aku masih bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang mimpi. Ketika aku masuk ke kamarnya, semua yang ada di kamar itu hilang. Kursi hilang, meja hilang, tak ada satu benda pun yang tersisa. Bahkan pembungkus permen ikutikutan menghilang. Meja menghilang maka donat di atas piring juga ikut-ikutan menghilang. Bagaimana penjelasan ilmiahnya Dok?" Dokter Wisnu bingung tak bisa memberi sumbangan komentar. Melihat kepanikan Tantri Praba, dokter Wisnu akhirnya curiga peristiwa aneh itu memang nyata. "Ilmiah atau tidak akhirnya tidak penting," lanjut Tantri Praba. "Menurutku, apa yang sekarang dilakukan suamiku sudah benar. Ia sedang mencari bantuan dari orang yang kami harapkan bisa menolong anakku. Dari dukun sekalipun atau apa pun namanya asal bisa menolong anakku." Dokter Wisnu mengangguk dalam rangka berusaha memahami. "Boleh aku memeriksa keadaan anakmu?" tanya Dokter Wisnu. Tantri Praba mengangguk dan bergegas bangkit mengantar tamunya naik ke lantai atas. Berdebar Tantri Praba ketika membuka pintu oleh curiga akankah peristiwa itu terulang kembali. Tarikan napas panjang dilepas kembali ketika mendapati semua benda masih utuh dan lengkap di ruang itu. Tantri Praba bergegas duduk di sebelah anaknya yang tiba-tiba tersenyum dengan arti yang tidak jelas. Namun hubungan kasih sayang itu masih terlihat jejaknya. Bocah itu tiba-tiba meringkuk memeluk tangan Ibunya. Sudah lenyapkah amnesia itu" Melihat sikap bocah itu, pertanyaan itu mengganggu benak Dokter Wisnu. Meski semua kenangan terhapus dari benaknya dan dengan demikian Bayu tidak lagi mengenal Ibunya namun jejak kasih sayang yang diberikan Tantri Praba masih bisa dikenali dengan baik. "Jangan-jangan bukan amnesia, atau keadaan amnesia yang tidak permanen!" pikir Dokter Wisnu. Dengan ragu Dokter Wisnu menempatkan diri duduk di pembaringan pula. Tak jelas apakah Bayu bisa membaca pikirannya, Bayu mengangsurkan telapak tangannya. "Boleh aku periksa?" tanya Dokter Wisnu. Bayu mengangguk. Dengan tanpa menyentuh dan hanya memerhatikan Dokter Wisnu melihat benda tak dikenal itu meringkuk. Mrinding Dokter Wisnu menyadari benda apa pun itu benar- benar hidup layaknya ular kecil. Meringkuk dengan kebutuhan makan tidak ubahnya parasit, sudah begitu benda itu masih memunculkan banyak masalah. Semalam kondisi alergi yang dialaminya demikian dahsyat. Dalam kasus serupa Dokter Rustamaji terpaksa harus kehilangan nyawanya ketika berniat mengeluarkan paksa benda aneh itu. Rupanya keadaan itu pun masih belum cukup, baru saja Tantri Praba mengalami keadaan yang tak masuk akal. Mungkinkah kejadian mustahil yang terjadi itu masih karena benda yang sama" Dari dalam tasnya Dokter Wisnu mengeluarkan stetuskup dan melakukan tindakan 116 standart. Dokter Wisnu tidak menemukan kejanggalan apa pun pada detak jantung bocah itu demikian juga dengan suasana dalam perutnya. Berdesir tajam punggung dokter yang berwajah tampan itu mendapati irama aneh ketika stetuskup ditujukan pada benda tidak dikenal di telapak tangan itu. Denyut nadi di telapak tangan itu terasa amat kuat, seolah di tempat itulah letak jantung. Tantri Praba mengikuti apa yang dikerjakan Dokter Wisnu dari bahasa wajahnya. "Bagaimana?" bisik Tantri Praba. Dokter Wisnu hanya bisa menarik napas, wajah cemasnya dengan segera menulari. "Apa yang berada di tangan anakmu itu makhluk hidup, ia numpang tinggal dan hidup dengan cara seperti yang dilakukan parasit dengan kebutuhan makanan mengambil dari darah anakmu. Aku tak mampu memberi jawaban melalui cara bagaimana makhluk tak dikenal itu masuk ke dalam tubuh anakmu, apakah lewat makanan atau melalui kulit. Kalau melalui kulit pasti ada bekas luka yang digunakan untuk masuk. Makhluk apa pun itu ia berbahaya, bisa membahayakan Bayu sendiri atau orang lain sebagaimana apa yang terjadi pada Dokter Rustam." Keterangan yang diberikan oleh Dokter Wisnu sebenarnya telah menjadi pemikiran Tantri Praba dan suaminya, itulah sebabnya semalam ketika reaksi alergi itu telah mereda pasangan suami istri itu memeriksa sekujur tubuh bocah itu bahkan termasuk dengan menyibak helai demi helai rambut kepalanya. Akan tetapi memang terlalu banyak bekas luka terutama di bagian tangan dan kaki bocah itu karena garukan tangan yang dilakukan dalam keadaan gatal luar biasa. "Semalam aku telah memeriksanya," kata Tantri Praba, "yang ada hanya bekas luka macam ini. Tidak ada jenis luka yang aneh. Aku juga tak yakin bila luka macam itu ada mengingat Bayu memperolehnya saat tidur. Dalam mimpinya ia mengalami pergulatan luar biasa yang buahnya seperti kita lihat semalam saat alergi dan sekarang." Dokter Wisnu mengalihkan perhatiannya dengan memerhatikan semua perabotan yang ada di kamar lantai atas itu. Menyisir gambar-gambar poster yang nyaris memenuhi semua sudut ruang, lalu komputer, almari, kulkas berukuran kecil. "Semua menghilang," kata Tantri Praba menjelaskan apa yang dialami. Dokter Wisnu mengangguk sambil tangan kirinya memegang dagu dan tangan kanan disilangkan di perut, khas gaya orang sedang berpikir. Dokter Wisnu menemukan pendapatnya sendiri. Dokter tampan itu berusaha menghitung-hitung kemungkinan penjelasan ilmiahnya. "Semua hilang dan kembali?" Tantri Praba mengangguk. Dokter Wisnu mengikuti dengan manggut-manggut. "Mungkin kata yang tepat adalah menghilang, bukan hilang," kata Dokter Wisnu, "semua benda masih ada di tempatnya hanya saja halusinasi menyebabkan kau tidak bisa melihatnya." Tantri Praba tahu, Dokter Wisnu sedang berusaha memberikan jawaban ilmiah, hal yang juga sempat direnungkannya. Namun Tantri Praba yakin, apa yang terjadi itu bukan halusinasi. Semua benda di kamar anaknya lenyap, termasuk Bayu juga ikut lenyap, semua yang terjadi itu sangat nyata. Semua benda termasuk anaknya disebut menghilang hal itu bisa diterima, namun apabila dituduh ia berhalusinasi ia tidak terima. Tantri Praba sangat yakin apa yang ia alami itu benar. Itulah sebabnya Tantri Praba menggeleng. "Aku tidak sedang berhalusinasi," ucapnya amat tegas. "Apa yang aku ceritakan 117 tadi benar-benar terjadi." Meski ragu, Dokter Wisnu mengangguk. Tiba-tiba Tantri Praba merasa perlu menanyai anaknya. "Bayu sayang," ucapnya dengan suara amat memelas. "Kamu masih belum ingat mama?" Meski Bayu memandang dengan tatapan mata amat larut namun tidak secuil kata pun yang terlontar dari mulutnya. "Bayu," ulang Tantri Praba dalam bisikan, "ceritakan pada mama, mengapa semua benda tadi menghilang" Apa yang terjadi" Berceritalah." Bayu memberikan tatapan mata amat aneh dan sulit untuk ditebak. Sebagai Ibu yang melahirkannya Tantri Praba amat mengenali bahasa tubuh anaknya namun untuk kali ini Bayu benar-benar berubah menjadi sosok yang tak lagi dikenalnya. Pelahan Bayu menoleh mengarahkan pandang matanya ke cangkir di atas meja yang disusul dengan mengarahkan jari telunjuknya. Tantri Praba dan Dokter Wisnu mencermati apa yang dilakukan bocah itu. Dokter Wisnu layak terjengkang melihat akibat dari perbuatan bocah itu. Tak hanya Dokter Wisnu, Tantri Praba terbelalak dan tak mampu bicara. Meringkuk sambil memeluk lengan Ibunya, Bayu tersenyum aneh, bagai menikmati rasa geli yang hanya ia sendiri yang bisa memahami. Bayu tidak peduli meskipun akibat perbuatannya menjadi sebuah gonjang-ganjing di dada Ibunya. Tantri Praba sulit memahami. Dokter Wisnu bingung tuntas. Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Ya Tuhan," letup Dokter Wisnu. "Bagaimana caramu melakukan?" Tak ada penjelasan apa pun yang diberikan Elang Bayu Bismara, namun keanehan itu rupanya masih harus berlanjut karena cangkir yang menghilang itu kemudian muncul lagi dengan cara pelahan melalui sebuah proses yang bisa diikuti kejab demi kejab. Saat lenyap, cangkir itu menghilang dengan cara seketika dan meninggalkan jejak asap yang amat tipis nyaris tidak kentara, namun ketika muncul kembali melalui cara sebaliknya. Cangkir itu menampak pelan dari tiada menuju ada, dari samar tak jelas dan mengombak menuju ke ujut nyata, hingga akhirnya cangkir itu kembali ke tempatnya semula. Dengan demikian Dokter Wisnu tak bisa membantah apa yang diutarakan oleh tuan rumah pun dengan demikian Tantri Praba akhirnya tahu melalui cara macam apa semua isi kamar itu menghilang. Butuh waktu lama bagi Tantri Praba untuk menenangkan diri sebagaimana tak terlalu mudah bagi Dokter Wisnu untuk mendamaikan diri, itu sebabnya ruang di lantai atas itu mendadak menjadi hening. Seumur-umur, Dokter Wisnu harus mengakui baru kali ini bulu kuduknya bangkit. Mrinding oleh kesadaran yang mencuat kasar, bahwa wilayah metafisika itu benar-benar ada. Di luar hal hal yang masuk akal ada daerah yang tidak masuk akal. Tantri Praba melongok melalui jendela ketika mendengar suara mobil masuk ke halaman. "Suamiku pulang, aku turun dulu!" kata Tantri Praba. Dokter Wisnu mengangguk. Tak ada yang bisa dilakukan Dokter Wisnu kecuali diam. Dokter Wisnu membalas tersenyum saat tiba-tiba Elang Bayu Bismara tersenyum. Di depan pintu Tantri Praba menjemput suaminya. "Siapa tamunya?" tanya Yudawastu Widhiyaksa ketika pintu dibukakan untuknya. Tantri Praba memberi senyum untuk tamu yang datang bersama suaminya. Dari cara berpakaian orang itu Tantri Praba langsung bisa menebak apa profesi orang itu. 118 "Dokter Wisnu, sekarang di kamar Bayu!" jawab Tantri Praba. Tantri Praba merasa aneh ketika harus berurusan dengan dukun, namun ia tidak punya pilihan lain kecuali harus menerima kenyataan itu sebagai sebuah hal yang tidak bisa dihindari. Ketika dokter tidak bisa menolong, meminta bantuan dukun merupakan hal yang paling masuk akal untuk dilakukan. Di kamar, sebagaimana yang biasa ia lakukan, Tantri Praba membantu melepas dasi suaminya. Yudawastu Widhiyaksa membaca masalah yang amat serius di raut wajah istrinya. "Terjadi sesuatu?" tanya Yudawastu Widhiyaksa. Tantri Praba mengangguk. "Ya," jawabnya. "Persoalan anak kita rupanya amat sangat sangat serius. Tak ada cara pandang masuk akal dalam bentuk apa pun yang bisa menjelaskan. Tadi anak kita menghilang. Semua benda yang ada dalam kamarnya ikut-ikutan lenyap menghilang." Raut wajah Yudawastu Widhiyaksa berubah sangat tegang. Yudawastu Widhiyaksa merasa apa yang dikatakan istrinya sudah cukup jelas dan tidak perlu diulang, akan tetapi ada bergumpal rasa tak mengerti yang segera butuh penjelasan. "Aku berharap tamu yang kaubawa pulang itu bisa membantu mengatasi," lanjut Tantri dengan arah pembicaraan yang agak berubah. Yudawastu Widhiyaksa memandang tajam istrinya dan bahkan agak mengguncang lengannya. "Apa yang kaumaksud dengan anak kita menghilang?" Dengan pelan dan dalam bisikan, Tantri Praba berusaha menjelaskan apa yang terjadi. Tak sebagaimana ketika menjelaskan kejadian itu pada Dokter Wisnu yang sulit percaya dan jelas menyangsikan sebaliknya tak terlampau sulit meyakinkan suaminya. "Bayu lenyap?" ulang Yudawastu Widhiyaksa. Tantri Praba mengangguk sambil menempatkan diri dipeluk suaminya. "Apa yang terjadi itu sangat mengerikan," bisik Tantri Praba, "aku tidak melihat benda apa pun ketika masuk ke kamarnya. Tempat tidur tidak ada, meja, komputer dan semua perabotan, seolah kamar itu baru saja dikosongkan. Aku amat panik, takut terjadi sesuatu pada anak kita. Ketika aku berniat meminta pertolongan, aku mendengar suara batuk ditahan. Aku kembali ke atas dan mendapatkan kembali semua yang menghilang itu. Dokter Wisnu kemudian datang, ia tidak percaya dengan apa yang aku ceritakan akan tetapi Bayu membuktikan sesuatu." Yudawastu Widhiyaksa segera mengambil jarak dari wajah istrinya agar bisa menatap dengan lebih jelas. "Bayu membuktikan sesuatu apa?" tanya Yudawastu Widhiyaksa. Tantri Praba membuat jeda waktu sebelum menjawab, dari pintu yang agak terbuka ia mengintip tamu yang duduk dengan mata jelalatan memerhatikan semua benda di ruang tamu. Melihat sikap orang itu Tantri Praba merasa tidak nyaman. "Cangkir di atas meja," kata Tantri Praba, "cangkir berisi teh itu lenyap saat Bayu mengarahkan jari tangannya. Dengan demikian dalang keanehan itu adalah Bayu sendiri. Melihat kejadian itu secara langsung maka Dokter Wisnu tidak bisa membantah. Dokter Wisnu datang karena berhasil menemukan jejak orang dengan kasus sama seperti anak kita. Orang Bali yang dibernama Anak Agung Budayasa." Yudawastu Widhiyaksa merasa ayunan jantungnya berhenti. Tidak disangkanya keadaan Bayu akan berkembang demikian jauh, melebar dari sekadar mengalami alergi 119 parah bergerak ka amnesia. Yudawastu Widhiyaksa keluar dari kamar setelah berganti pakaian dan mengajak tamunya ikut naik ke lantai dua. Dokter Wisnu yang sedang memegang lengan Bayu bangkit menjemput mereka yang datang. "Sesuatu yang luar biasa baru saja terjadi," ucap Dokter Wisnu. Yudawastu Widhiyaksa mengangguk. "Ya," jawab Yudawastu Widhiyaksa, "istriku sudah bercerita." Dokter Wisnu menyempatkan memerhatikan laki-laki berdandan berlebihan yang datang bersama Yudawastu Widhiyaksa. Celana panjang yang dikenakan orang itu berwarna hitam dan amat longgar seperti pakaian yang umumnya digunakan oleh orang Madura dalam adegan film maupun sinetron. Pakaiannya berwarna hijau tua dengan lengan yang berukuran besar dan ikat kepala dari kain batik yang diikatkan pada kepala yang aneh. Orang itu boleh bangga memiliki kepala besar mirip kasus hydrocepallus dengan mata bagai melotot dikelilingi daerah mata yang serba gelap mirip dipulas menggunakan celak berwarna hitam. Penampilannya sebagai dukun terasa lebih meyakinkan dengan rambutnya yang gondrong dengan warna jujur, paduan antara hitam kusam dan uban kelabu, jujur karena tidak disemir. Rambut gondrong itu hanya di bagian pinggirnya sementara bagian tengah justru botak. Anak-anak akan ketakutan melihat penampilan macam itu. Jangankan yang anakanak, bahkan para ibu umumnya sudah mrinding berada pada jarak cukup dekat. Gaya yang aneh itu sudah cukup menjadi alasan membayangkan macam-macam, misalnya bila diperkosa oleh orang itu, tak ada yang lebih mengerikan dari mengalami itu. Dan reaksi tidak suka itu langsung datang dari Bayu. Bocah itu tiba-tiba duduk dan memberikan tatapan mata gambaran amat tidak suka. Tantri Praba terkejut melihat reaksi anaknya. Tantri Praba bergegas mendekatinya. Namun Tantri Praba terlambat sekaligus dalam waktu sekejab itu memberi ruang cukup lapang pada Yudawastu Widhiyaksa untuk kaget bukan alang-kepalang. Dalam hitungan kejab, Bayu melenyap dari mata. Dengan jelas sangat jelas Tanti Praba melihat jejak bayangan asap yang dengan segera lenyap digoyang udara. "Bayu," letup Yudawastu Widhiyaksa. Yudawastu Widhiyaksa benar-benar mendapati kebenaran apa yang dikatakan istrinya. Dokter Wisnu yang seratus persen percaya pada keganjilan itu ternyata masih harus terkejut-kejut, andai Bayu memamerkan kemampuan anehnya itu seratus kali, maka seratus kali pula Dokter Wisnu akan tetap terkejut. Namun yang paling terbelalak adalah dukun berkepala besar itu. Yudawastu Widhiyaksa yang berbalik bingung melihat orang itu bingung, padahal justru dari orang berkepala besar itu sangat diharapkan bantuannya. Orang itu tentu punya alasan untuk pucat pasi. "Bagaimana pak?" tanya Yudawastu Widhiyaksa. Yudawastu Widhiyaksa sama sekali tidak menduga dan tak pernah membayangkan orang yang diundangnya dan telah menerima uang panjar itu akan melakukan sesuatu yang tidak terduga. Orang berwajah sangar dan berpenampilan sangar itu rupanya berhati kerdil, hatinya kecil lebih kecil dari menir. Kecurigaan Tantri Praba selama ini pada orang-orang yang menggeluti profesi sebagai dukun, para normal atau ahli metafisika bahwa mereka bohong belaka ternyata benar. Ketika orang berkepala besar itu dihadapkan pada kasus yang ternyata tak bisa dianggap main-main maka kecemasan yang 120 muncul mendorong mengambil keputusan untuk bergegas hengkang mencari selamat meninggalkan tempat itu. Bergegas orang itu pergi bahkan tanpa pamit. Untuk segera minggat sejauh-jauhnya dari tempat itu orang itu tahu jalannya, ia tahu anak tangga untuk turun ke lantai bawah dan tahu harus bergerak ke mana untuk menuju halaman. Sesampai di tepi jalan orang itu bahkan lari. Rupanya ia benar-benar takut ketahuan belangnya. Berhadapan dengan bocah yang bisa menghilang, ia tahu tak mungkin bisa mengatasi, atau janganjangan ia akan terseret ikut hilang. Hilang bisa kembali boleh disebut beruntung sebaliknya bagaimana dengan hilang tak bisa kembali" Tinggallah Tantri Praba bertiga dengan suami dan Dokter Wisnu, masing-masing kehilangan mulut tak bisa berucap. Dari tiada menuju ke ada, dari kabur bergerak makin jelas, anaknya yang lenyap menampak lagi namun tidak di atas pembaringannya. Bocah itu telah berada di sudut kamar dan bergerak beranjak naik ke pembaringan. Tantri Praba mendekat anaknya. Sebuah pertanyaan cerdas tiba-tiba muncul dari mulutnya. "Namamu siapa?" tanya Tantri Praba. Bayu tersenyum aneh sambil memerhatikan telapak tangannya. "Badra!" jawabnya. Tantri Praba terkejut. Nama Badra jelas bukan nama bocah itu. Maka Dokter Wisnu segera curiga karena munculnya dugaan kasus yang dihadapinya bukan amnesia akan tetapi kepribadian ganda. Ketika kepribadian yang lain yang sedang menguasai bocah itu maka jiwa pemilik tubuh yang sesungguhnya tersisih. Jawaban itu menyebabkan Tantri Praba merasa amat terluka, jawaban itu berarti menganggap diri dan perannya sebagai ibu tiada. Sesuatu yang asing dan tak dikenal merampas dan menempati raga anak lelakinya. Di sisi lain, setelah sekian lama membungkam itulah saat pertama kali anaknya kembali bersuara. Dokter Wisnu mendekat dengan sikap bersahabat. "Kamu merasa namamu Badra?" ulang Dokter Wisnu. "Badrawati," jawab Bayu lebih lengkap. Jawaban yang memaksa Tantri Praba dan Dokter Wisnu saling lirik. Yudawastu Widhiyaksa yang tak kalah panik ikut mendekat. Yudawastu Widhiyaksa membusai kepala anaknya memaksa bocah itu menoleh. "Kamu tahu siapa aku?" tanya Yudawastu Widhiyaksa. Elang Bayu Bismara mengerutkan kening berusama menemukan jawaban yang pas untuk pertanyaan sederhana itu. Akan tetapi semua kenangan memang sedang terhapus dari benaknya. Bayu merasa tidak tahu siapa orang yang berada di depannya. Maka pelahan Bayu menggeleng. Tantri Praba merasa semakin tinggi dan memuncak dalam menggapai kegelisahannya. "Dan kamu tahu siapa aku?" tanya Tantri Praba. Bayu menoleh dan memejamkan mata untuk mencari jawaban yang pas untuk pertanyaan jenis itu. Namun meski telah berusaha sedemikian rupa, Bayu tetap tidak tahu siapa perempuan yang amat ia sukai itu. Yang ia tahu, perempuan itu telah menangisinya, telah menunjukkan kepanikan dan kasih sayangnya. Bayu merasakan adanya hubungan batin yang amat kuat. Bayu menggeleng dan memberikan raut muka yang mewakili penyesalan karena merasa benar-benar tidak mengenali orang-orang di depannya. 121 "Ini mama sayang," kata Tantri Praba dengan separuh hati serasa kosong, "kenapa kau merasa dirimu bernama lain" Namamu Elang Bayu Bismara. Aku Ibumu dan ini ayahmu!" Bayu menatap amat larut dan disusul menggeleng pelahan. "Namaku Badrawati," jawab Elang Bayu Bismara sangat ringan gambaran bentuk penolakan yang dilakukan. Rupanya Bayu ingin mengakhiri pembicaraan yang terjadi itu dengan melakukan sesuatu yang sulit memahami. Retak isi kepala Yudawastu Widhiyaksa melihat ujut anaknya tiba-tiba kabur dan semakin kabur untuk kemudian lenyap tidak ada jejaknya. Tantri Praba segera mengulurkan tangannya untuk menangkap lengannya akan tetapi tidak berhasil menangkap apa pun. "Bayu," Tantri Praba meratap. Widhiaksa jelalatan sebaliknya Dokter Wisnu mampu bersikap cerdas, ia bergegas menuju ke pintu dan menutupnya. Dokter Wisnu memejamkan mata dan menggunakan ketajaman telinga untuk menangkap suara barangkali ada jejak langkah bocah itu. Akan tetapi harapan Dokter Wisnu itu sia-sia. "Bayu, menampaklah sayang, jangan menghilang seperti ini," Tantri Praba meratap dengan sangat menghiba. Namun Bayu tidak memenuhi permintaan itu. Ia pilih murca. Dibenturkan pada keadaan yang demikian aneh Yudawastu Widhiyaksa merasa mati langkah, menghadapi sikap anaknya macam itu tidak ada pilihan lain kecuali membiarkan apa maunya. Namun Tantri Praba adalah ibu yang sungguh takut kehilangan anaknya, ia tetap bertahan menunggu sampai anaknya muncul lagi. Tantri Praba bergegas membuka pintu untuk suami dan tamunya dan mempersilahkan mereka turun. Tersisa di ruang atas itu Tantri Praba masih merasa berdua dengan anaknya namun secara kasat mata ia merasa hanya sendiri. "Bayu, menampaklah sayang," katanya, "kasihanilah mama sayang, menampaklah dan jangan bermain-main petak umpet seperti ini." Tantri Praba kaget ketika sebuah tangan menyentuh tangannya. Dengan panik Tantri Praba balas menggenggam tangan itu. Tantri Praba menuruti ketika ajakan dari sesuatu yang tidak tampak itu membawanya ke bibir pembaringan. "Jangan seperti ini, menampaklah sayang, please!" 16. Dokter Wisnu diam di tempat duduknya, diam lama, demikian juga dengan Tuan rumah berubah menjadi arca batu yang masing-masing tak memiliki bahan pembicaraan berbentuk apa pun. Namun akhirnya Yudawastu Widhiyaksa merasa sudah waktunya untuk membuka mulut. "Kaupunya penjelasan yang masuk akal?" tanya Yudawastu Widhiyaksa. Dokter Wisnu sedang saling menyilangkan jari-jari tangannya. Ia menggeleng. "Ini kasus luar biasa," kata Dokter Wisnu, "aku sama sekali tidak memiliki Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo bentuk kerangka pikir macam apa pun yang bisa digunakan menjelaskan kasus ini." 122 Yudawastu Widhiyaksa menengadah memandang langit-langit ruang yang penuh ornamen sambil bertumpu pada tangan yang disilangkan di belakang kepala. "Menurutmu, adakah orang yang bisa menjelaskan kasus yang dialami anakku" Aku harus menemui siapa?" Dokter Wisnu memerlukan berpikir sebelum menjawab. Dokter Wisnu menggeleng namun sejenak kemudian ia segera meralat. "Aku menawarkan untuk bertemu dengan korban yang lain dalam kasus yang sama, orang Bali bernama Anak Agung Budayasa. Siapa tahu dengan menemuinya kau akan mendapatkan keterangan yang kaubutuhkan. Telah terbukti untuk urusan seperti ini kau tidak bisa mengandalkan dukun maka sebaiknya kau berhubungan dengan orang yang memiliki kasus sama. " Yudawastu Widhiyaksa duduk rapi sambil mengurut betisnya yang ngilu. "Di mana dia tinggal" Masih di Yogyakarta?" Dokter Wisnu mengangguk. "Ya," jawabnya. "Aku punya alamatnya." Dokter Wisnu mengeluarkan selembar kertas berisi catatan dari dalam dompetnya dan menyerahkan lembar kertas itu. "Okey," jawab Yudawastu Widhiyaksa sambil menghela desah resah. "Kapan pun aku siap, masalahnya kapan kamu bisa?" Dokter Wisnu tidak mungkin memenuhi rencana itu saat ini juga karena benar apa yang dikatakan Yudawastu Widhiyaksa ia harus mencari waktu di sela kesibukannya yang amat padat di rumah sakit dan beberapa tempat praktek yang tersebar di daerah Yogyakarta bagian utara. "Aku tidak bisa menentukan sekarang dan sebaiknya begitu aku mendapat waktu kosong, aku akan mengabari," jawab Dokter Wisnu. Yudawastu Widhiyaksa mengangguk menerima keputusan itu. Meski tidak sabar untuk segera mencari jawab keanehan kasus anaknya, Yudawastu Widhiyaksa tidak mungkin memaksa Dokter Wisnu untuk berangkat saat itu juga. Dokter Wisnu beranjak berdiri setelah berpamitan akan tetapi Tantri Praba turun dari lantai dua dengan bergegas mencuri perhatiannya. Sesuatu yang amat serius terbaca dari roman mukanya, namun setelah berhadapan dengan suami dan tamunya Tantri Praba malah tidak bisa berbicara. "Ada apa?" tanya Yudawastu Widhiyaksa. Tantri Praba bergegas mendekat ke dispenser dan menuangkan air dingin ke dalam gelas. Seperti orang kehausan, Tantri Praba minum sampai habis. "Ada apa?" pertanyaan itu diulang oleh suaminya. Tantri Praba memandang suami dan tamunya bergantian. "Ada seorang perempuan hamil tua membutuhkan bantuan," jawab Tantri Praba dengan tegas. Apa yang disampaikan Tantri Praba membingungkan suaminya, sebagaimana Dokter Wisnu tidak dengan segera memahami ucapan itu apalagi Tantri Praba berbicara tanpa prolog, ucapan yang seolah tanpa ujung dan pangkal. "Perempuan hamil siapa yang butuh bantuan itu?" tanya Dokter Wisnu heran pada dari mana Tantri mendapat informasi itu. Tantri Praba menutup mulut dengan kedua tangan dalam sikap seperti menyembah. "Aku tidak tahu siapa dia, akan tetapi sekelompok orang sedang bersiap-siap akan membakarnya. Aku melihat secara langsung." 123 Yudawastu Widhiyaksa dan Dokter Wisnu benar-benar terkejut. "Kamu melihat secara langsung, apa yang kaumaksud?" tanya Dokter Wisnu. Tantri Praba berbalik menempatkan diri berdiri berhadapan secara langsung. "Aku melihat," ucapnya dengan napas agak tersengal, "ada sebuah gapura aneh, mirip ornamen bangunan cina. Lalu aku juga melihat ada cerobong asap, terus aku juga melihat lagi seorang perempuan dimasukkan ke dalam sebuah ruang yang sempit dan gelap. Di ruang itu, api akan disemburkan." Yudawastu Widhiyaksa memandang istrinya amat larut dan nyaris tak berkedip. Meski Tantri Praba telah menjelaskan panjang lebar, tetap ada bagian yang belum juga dipahami. Tantri Praba sendiri memamerkan kegelisahan orang yang bagai tidak punya waktu padahal di depan mata seseorang harus ditolong, jika tidak orang itu pasti akan mati. "Kau melihat sendiri?" tanya Yudawastu Widhiyaksa. Tantri Praba menenteramkan hati menata degup jantungnya namun akhirnya Tantri Praba mengangguk. Yudawastu Widhiyaksa merasa belum puas pada jawaban itu. "Kau melihat sendiri di mana dengan cara bagaimana?" Tantri Praba menoleh ke anak tangga dan pelahan bergerak ke atas, tepat di atas anak tangga adalah kamar Bayu. "Aku baru saja mengalami hal yang luar biasa," ucapnya pelahan akan tetapi amat sangat tegas, "Elang Bayu Bismara menunjukkan sesuatu yang luar biasa. Entah dengan cara bagaimana ia bisa menuntunku melihat kejadian di tempat lain dengan secara live. Semula Bayu memintaku memejamkan mata, kuturuti permintaan Bayu dan ketika aku diminta membuka mata, aku berada di sebuah tempat entah di mana, aku melihat gerbang sebuah bangunan yang sangat khas, mirip bangunan kelenteng cina. Aku memejam mata lagi dan ketika aku membuka mata aku telah berada di tempat berbeda yang berbeda lagi. Aku melihat cerobong asap dari bangunan entah apa." Baik Dokter Wisnu maupun Yudawastu Widhiyaksa menyimak dengan cermat, serasa tak boleh ada satu kalimat pun yang boleh lepas dari perhatiannya. "Yang kaumaksud ornamen cina adalah ornamen seperti yang ada di klenteng?" tanya Dokter Wisnu. Tantri Praba mengangguk tegas. Dokter Wisnu masih menyimpan bergumpal rasa penasaran. "Cerobong asap seperti cerobong sebuah pabrik" Misalnya pada pabrik gula?" Tantri Praba berpikir keras sambil membayangkan bagaimana bentuk cerobong asap pabrik gula. Ketika masih tinggal di Surakarta Tantri Praba pernah indekost tidak jauh dari Pabrik gula Tasikmadu dan sering pula melintas tak jauh dari Colomadu dan punya gambaran amat jelas bagaimana bentuk cerobongnya. Dengan penuh keyakinan ia menggeleng. "Bukan," jawabnya. "Hanya saja aku memastikan, asap yang keluar dari cerobong itu bisa berbentuk aneh-aneh. Asap itu bisa membentuk mirip manusia yang menggeliat kesakitan yang lalu bubar diterpa angin. Demikian kejadian itu susul-menyusul adakanya asap muncul amat tebal dan membubung tinggi, macam-macam bentuk yang muncul ketika asap itu menggeliat." Yudawastu Widhiyaksa dan Dokter Wisnu saling lirik. Sebagaimana biasa, reaksi akal waras selalu menganggap hal yang demikian tidak masuk akal dan jangan diterima. 124 Akan tetapi telah berulang kali terjadi dan terbukti peristiwa aneh di rumah itu membuat Dokter Wisnu tak berani menganggap sebagai sesuatu yang tidak benar. Yudawastu Widhiyaksa memandang istrinya dan ketularan rasa bingung. "Coba kauulang, melalui cara apa Bayu menuntumu melihat semua itu?" Tantri Praba meraih telapak tangan suaminya dan digenggamnya, sebuah contoh yang diberikan Tantri Praba saat Bayu meminta ibunya menggenggam telapak tangannya. "Setelah begini," jelasnya, "langsung aku terlempar ke dimensi lain dan melihat peristiwa-peristiwa aneh itu." Bagai bersepakat, Dokter Wisnu dan Yudawastu Widhiyaksa pun mengangguk pelahan. "Aku harus menolong perempuan itu," ucap Tantri Praba serasa membelok dengan tiba-tiba. Yudawastu Widhiyaksa kaget. "Bayu menunjukkan adegan aneh itu adalah agar aku menolong perempuan yang akan dibakar itu. Kalau aku terlambat, ia benar-benar bisa mati." Raut wajah Yudawastu Widhiyaksa yang tegang beranjak lebih tegang lagi. Yudawastu Widhiyaksa tersadar persoalan anaknya rupanya bisa berkembang ke manamana. "Aku harus menolong perempuan itu!" bisik Tantri Praba. Yudawastu Widhiyaksa menyentuh tangan istrinya agar Tantri Praba menoleh. "Kau mengira tempat itu ada di mana?" Tantri Praba menggeleng. "Tempat itu harus dicari," balasnya. Keadaan menjadi amat rumit karena bagaimana cara mencari sebuah tempat tanpa tahu alamatnya dengan jelas. "Mungkin yang paling masuk akal adalah, membawa Bayu pergi mencari tempattempat aneh itu, sekaligus hanya dengan cara itu kita bisa menolong Bayu dari keadaan yang membuatnya kehilangan ingatan." Hening merampok ruang itu dan hanya menyisakan suara detak jam dinding yang terus mengayunkan lengannya. Gerak tingkah jam yang satu lagi berbeda. Jam kuno itu berdiri tegak di sudut ruang dengan tubuh terbuat dari kayu jati pilihan dan dipelitur mengkilat. Di dalamnya, tembus terlihat di balik kaca beberapa buah rantai dan lengan ayun yang terus bergerak tanpa pernah lelah. Setiap kali mengayun, ukurannya disebut satu detik. "Kalau saja ada gambarnya atau apalagi ada namanya," kata Dokter Wisnu, "kita bisa mencarinya di internet." Tantri Praba tertegun, jawaban itu benar-benar memberinya pencerahan. Berubah wajah Tantri Praba mendengar usulan yang sangat masuk akal itu. "Kaubenar," ucap Tantri Praba, "Aku akan melacaknya di internet. Aku harus tahu di mana bangunan itu berada." 17. 125 (Rangkaian peristiwa tahun 1136 saka) Parameswara dengan kuda Sapu Angin yang dinaikinya melaju kencang ke arah barat. Sesekali Parameswara memerlukan menoleh ke arah belakang, untuk mengukur seberapa jauh ia telah meninggalkan kampung halamannya. Bentuk bukit-bukit dan lekuk gunung-gunung yang dikenalinya semakin kabur. Namun dari tempatnya puncak Srawet masih kelihatan. Konon katanya puncak bukit Srawet berasal dari puncak Gunung Raung yang melesat terlempar ketika gunung itu meledak, akan tetapi ada juga yang menuduh puncak bikit Srawet lahir dari kemarahan Bima yang menendang gunung Raung hingga puncaknya menjadi sebuah bukit tak jauh dari perguruan Kembang Ayun. Udara benar-benar sejuk menerpa tubuhnya. Kuda Sapu Angin yang dalam seharihari digunakan Parameswara benar-benar kuda yang kuat dan kekar. Apabila kudakuda itu diberi kesempatan untuk berpacu, maka binatang itu berderap laksana terbang. Begitu akrabnya Sapu Angin dengan penunggangnya hingga ada kalanya Parameswara tidak perlu memberikan perintah melalui tali kekang kudanya, namun cukup dengan katakata. Kali ini Sapu Angin terlihat gembira karena perjalanan panjang yang akan ditempuhnya, akan memberi ruang jelajah dan pengalaman yang lebih luas bagi kuda itu tidak sekadar seluas wilayah Blambangan. Parameswara telah berkuda cukup jauh melintasi datangnya pagi dan kemudian tiba di waktu siang. Beberapa tempat telah dilewati, perguruan Caluring belum lama dilewati dan akan membawa Parameswara memasuki padukuhan Jajag di mana di sana sahabat ayahnya, Ki Jajag Brajamala tinggal. Tiba-tiba saja, kuda tunggangan itu memperlambat langkahnya. Kuda itu kemudian bahkan berhenti. "Ada apa, Sapu Angin?" tanya Parameswara. Sapu Angin menjawab dengan ringkik panjang. Parameswara tahu, di sekitar tempat itu telah terjadi sesuatu. Ketajaman indera pendengar maupun penciuman yang dimiliki Kuda Sapu Angin benar-benar sangat tajam. Parameswara segera mengetrapkan kemampuan aji Sapta pangrungu yang dimilikinya. Lamat-lamat telinga Parameswara menangkap jejak gaduh sebuah perkelahian. Parameswara segera meloncat turun. "Terimakasih kau telah memberitahuku Sapu Angin. Kautunggulah aku di sini. Aku akan mendekati perkelahian itu. Susul aku jika kaudengar isyarat." Sapu Angin itu hanya meringkik. Ujung hidungnya mekar. Parameswara mengelus kulit lehernya dan kemudian berlari meninggalkannya. Dengan gerakan jauh lebih gesit dari seekor kijang Parameswara mendekati perkelahian terjadi. Dari persembunyiannya Parameswara melihat perkelahian yang menggunakan ilmu kanuragan tingkat tinggi. Namun yang menarik perhatian Parameswara adalah, salah seorang dari mereka yang tengah bertarung itu seorang perempuan. Bahkan mungkin masih seorang gadis. "Seorang pemuda, berambut gimbal, bertarung dengan seorang gadis. Kelihatannya mereka benar-benar mengadu nyawa terlihat dari setiap serangan yang dilontarkan sangat mematikan. Serangan pemuda itu amat bernafsu. Siapakah mereka dan persoalan apa yang menyebabkan mereka harus menyabung nyawa seperti itu?" Perkelahian itu terus berlangsung dengan amat seru dan sesuai dengan kodratnya. Jika pemuda itu begitu tangguh dan setiap serangan yang dilontarkannya penuh tenaga, sebaliknya gadis yang menjadi lawannya benar-benar gesit dan lincah. Gerakannya meliuk-liuk seperti sedang menari akan tetapi sambaran pedang tipis di tangan kiri dan 126 kanannya sungguh amat berbahaya. Sepasang pedang itu bahkan berhasil mengukir luka dipunggung lawannya sehingga punggung itu pun berdarah. Akan tetapi meski demikian bukan berarti telah ada tanda-tanda gadis itu akan mengalahkan lawannya karena pada sebuah benturan yang terjadi menyebabkan gadis itu terlempar. Untung dengan cekatan gadis itu mampu mengapung pelahan di udara dan kembali hinggap di atas tanah dengan gerakan yang indah. Parameswara melihat, gadis itu tersengal sibuk mengendalikan napasnya. "Sebaiknya menyerahlah," kata pemuda berambut gimbal itu. Lawan bicaranya jengkel balas memandang dengan penuh kebencian. "Kalau aku menyerah, apa yang akan kaulakukan padaku?" gadis yang menjadi lawannya balas bertanya. "Aku akan memperlakukanmu dengan baik. Bahkan kau akan menyenangi permainan yang kita lakukan." Gadis yang menjadi lawannya memandang pemuda berambut gimbal itu dengan tatapan amat tidak senang dan sirik. Sebaliknya pemuda berambut gimbal itu tersenyum- senyum gembira. Akan halnya Parameswara yang masih bersembunyi di balik rimbunnya semak dan perdu sudah tahu harus membela siapa jika terpaksa melibatkan diri. Dengan tidak menarik perhatian, Parameswara mampu menempatkan diri pada jarak yang cukup dekat dengan mereka yang sedang mengadu tingginya ilmu kanuragan. "Kebetulan sekali aku bertemu denganmu," kata gadis itu. Pemuda berambut gimbal itu mencuatkan alis. Apa yang dikatakan gadis itu terasa aneh di telinganya. "Kenapa kau merasa kebetulan sekali bertemu denganku?" tanyanya. Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Gadis bersenjata pedang itu mengibaskan jubahnya dan meluruskan pedang di tangan kirinya sejajar dengan kaki. "Karena aku sangat benci pada laki-laki sepertimu yang mempermainkan wanita seperti barang mainan saja. Apa kaulupa he laki-laki bangsat, bahwa keberadaanmu di dunia ini juga lahir dari seorang wanita?" Namun pemuda berambut gimbal itu hanya tertawa tergelak memamerkan giginya yang kekuning-kuningan. Pemuda itu amat jorok karena tidak pernah membersihkan gigi. Gadis dengan sepasang pedang itu makin jijik, bukan saja karena perangainya, tetapi juga karena ujutnya. Dari tempat persembunyiannya Parameswara terus memerhatikan. Dari perkelahian yang berlangsung itu Parameswara bisa mengukur, baik pemuda yang nampaknya liar itu, maupun gadis yang menjadi lawannya sama-sama memiliki kemampuan kanuragan yang tinggi. Parameswara memerhatikan dengan seksama bagaimana gadis dengan sepasang pedang itu menggerakkan senjatanya silang-menyilang, mempersiapkan sebuah serangan. Sebaliknya pemuda dengan rambut gimbal itu juga mempersiapkan diri. Kembangan silatnya mantab dan kuat. Dengan teriakan melengking gadis dengan sepasang pedang itu mengapung dan mengayunkan serangan dahsyat. Sepasang pedang yang tajam berkilat-kilat itu bergerak saling mengayun menyebabkan lawannya harus berjumpalitan menghindar. Akan tetapi dengan gerakan yang lincah bagai burung sikatan gadis itu terus memburunya. Kali ini ayunan pedangnya lagi-lagi membuahkan hasil meskipun sekadar menyobek lengan baju pemuda itu. Hal yang cukup memberi alasan bagi pemuda itu untuk melepas serapah. 127 Tampaknya pemuda berambut gimbal itu mulai marah. Dengan berjumpalitan beberapa kali ia melenting mengambil jarak. Tidak diketahui bagaimana caranya tiba-tiba saja di tangan kirinya telah tergenggam sebuah cakram dengan gerigi yang tajam. Gerigi itu bisa berputar bertumpu pada jari sebagai poros. Gadis yang menjadi lawannya itu memerhatikan gerak gerigi itu dengan cermat dan seksama. Tiba-tiba pemuda berambut gimbal itu mengayunkan senjatanya yang aneh itu. Gerigi itu berputar dengan suara berpusing melengking tinggi. Dengan cekatan gadis itu melenting ke udara dan mengayunkan salah satu pedangnya. Sebuah benturan terjadi memuncratkan bunga api. Parameswara barulah terbelalak ketika melihat gerigi itu terus berputar dan bergerak dan kembali kepada majikannya. Pemuda berambut gimbal itu menyeringai kembali memamerkan gigi-gigi yang kekuningan menjijikkan. Tidak ada selisih waktu dengan kembalinya gerigi yang berada di tangan kanannya seketika itu pula tangan kirinya mengayun deras melepas serangan susulan. Maka dengan cepat gerigi itu menyambar. Gadis cantik dengan sepasang pedang itu hanya punya waktu sekejab untuk melenting menghindar. Dengan menggunakan ujung pedang sebagai tumpuan di tanah dengan lincah ia melenting dan kemudian melayang berputar dengan gerakan melengkung dari arah kanan ke kiri dengan gerakan membentuk sebuah lingkaran. Dengan serangan macam itu gadis yang menjadi lawannya itu tiba-tiba saja muncul dengan serangan dari arah belakangnya. Pemuda berambut gimbal itu sama sekali tak menyangka lawannya sanggup melakukan gerakan dengan tingkat kesulitan yang luar biasa seperti itu. Dengan cepat pemuda itu menjatuhkan diri serta bergulingguling di tanah. Namun sambaran pedang tipis di tangan gadis itu mampu mengait ikat kepala yang dikenakannya sementara pedang di tangan kirinya meninggalkan jejak luka memanjang. "Diangklek 50," umpat pemuda berambut gimbal itu dengan amat kasar. Melalui gerakan pelahan gadis itu melayang turun dan menginjak tanah bertumpu pada kaki kirinya memaksa Parameswara harus merasa kagum. Perang tanding antara gadis dengan sepasang pedang melawan pemuda berambut gimbal itu terus berlangsung dengan serunya. Keduanya saling serang silih berganti. Dengan beruntun susul-menyusul pemuda itu melancarkan serangan melalui gerigigerigi besinya membuat gadis yang menjadi lawannya kelabakan menghindar sebaliknya gadis itu tidak jarang membuat pengeram-eram51 dengan gerakan tak terduga. Sebuah serangan dengan tubuh berputar mengapung di udara dan sepasang pedang yang ikut berputar pula dalam mencari celah membuat pemuda itu gugup bukan alang kepalang. Dalam hal jejak luka yang tertinggal gadis dengan sepasang pedang itu justru memiliki lebih banyak yang terlihat itu dari beberapa bagian tubuh lawannya yang mengeluarkan darah. Seiring dengan waktu yang terus bergerak, Parameswara terus memerhatikan apa yang terjadi. Akan tetapi mendadak ketajaman telinganya menangkap sesuatu. Dengan bergegas Parameswara meredam semua suara yang timbul dari gerak tubuhnya bahkan tarikan napasnya. Dari tempatnya Parameswara melihat gerakan yang cepat bagaikan bayangan angin. Parameswara kaget melihat siapa yang datang karena Parameswara mengenal orang itu dengan sebaik-baiknya sebagaimana orang itu juga mengenalnya dengan baik. "Hentikan!" bentaknya. 50 Diangklek, jawa, umpatan khas Banyuwangi 51 Pangeram-eram, jawa, tindakan perbuatan yang mengagetkan 128 Pemuda dan gadis yang bertarung berebut hidup itu segera berjumpalitan untuk mengambil jarak. Gadis itu bersiaga penuh dengan tetap menyilangkan kedua pedangnya di depan dada. Sebaliknya pemuda berambut gimbal itu mengumbar tawa yang terdengar menjijikkan. Meski dari jauh Parameswara bisa menandai gigi-giginya yang kuning. Tentu dari jarak yang dekat gadis itu bisa melihat dengan lebih jelas. Tak hanya giginya yang kotor yang menyebabkan gadis itu mau muntah, pada jarak yang cukup jelas ia bisa melihat ada banyak jamur yang tumbuh di bagian leher. "Ada apa paman?" tanya pemuda itu. Orang yang dipanggil dengan sebutan paman itu memerhatikan gadis yang menjadi lawan keponakannya dengan penuh minat. "Apa yang sedang kaulakukan Ranggasura?" suara orang itu terdengar parau. Adalah Parameswara yang terkejut saat mana nama itu disebut. Nama Ranggasura jelas mempunyai kesan yang tak bisa diabaikan sebab orang yang baru datang itu adalah Ki Ajar Taji Gading. Nama Ranggasura disebutnya sebagai anak dari Kuda Rangsang yang berhak merasa mewarisi perguruan Kembang Ayun. Jadi pemuda macam itukah Ranggasura yang disebut-sebut akan merebut perguruan Kembang Ayun" Dengan rasa ingin tahu yang besar Parameswara terus memerhatikan apa yang terjadi. "Kebetulan kaudatang paman. Aku sedang bermain-main dengan perempuan itu. Tetapi ternyata ia jenis kuda liar yang sulit dijinakkan," jawab Ranggasura. Taji Gading terdiam sejenak. Bagi gadis bersenjata pedang itu, amat sulit baginya untuk membaca raut muka datar macam itu. "Kau menginginkannya?" tanya Taji Gading sambil menoleh kepada gadis yang diinginkan Ranggasura itu. Gadis yang merasa dirinya dilecehkan itu benar-benar tak senang. Matanya melotot nyaris lepas dan dengan tajam menantang pandangan orang tua yang baru datang itu. Di tempat persembunyiannya Parameswara merasa jantungnya mulai dipacu. Parameswara yang selama ini mengenal Taji Gading dan bergaul dengan baiknya sama sekali tidak menduga orang itu sanggup melakukan perbuatan yang amat melecehkan wanita. Maka ternyata benar sekian tahun lamanya berada di perguruan Kembang Ayun Ki Ajar Taji Gading mengenakan topeng. Apa boleh buat jika gadis itu berada dalam bahaya dan mengalami kesulitan maka Parameswara sudah berketetapan hati untuk muncul dan membantunya. Bukannya mencegah perbuatan Ranggasura yang tidak terpuji Taji Gading justru melangkah mendekati gadis dengan sepasang pedang yang melintang di depan dadanya. "Siapakah kau nduk?" tanya Taji Gading. Gadis itu malas menjawab. Bagi gadis itu, orang-orang yang mengganggunya itu sama sekali tak punya hak untuk menanyainya. "He, kaudengar pertanyaanku?" ulang Taji Gading. Gadis dengan sepasang pedang itu benar-benar tidak suka diperlakukan seperti itu. Kemarahannya telah sampai di ubun-ubun, Sebenarnyalah hanya ada sebuah hal yang menyebabkan Gadis itu akan marah luar biasa yaitu bila bertemu dengan laki-laki yang gemar mempermainkan dan melecehkan wanita. Beberapa waktu yang lewat gadis itu memergoki seorang lelaki yang memerkosa gadis maka dibantainya lelaki itu tanpa ampun. Kini ia justru bertemu dengan lelaki yang malah melecehkan dirinya berniat menjadikan tubuhnya sebagai sebuah santapan yang lezat. Dengan tangan bergetar menahan amarah gadis itu mengacungkan pedang di tangan kanannya. 129 "Siapa kau?" Gadis itu balik bertanya. Taji Gading merasa aneh karena pertanyaannya belum dijawab justru gadis itu telah balik bertanya. "Kau belum menjawab pertanyaanku," kata Taji Gading. Gadis dengan sepasang pedang itu tersenyum sinis. "Aku tak merasa terhormat dengan menjawab pertanyaanmu. Sebaliknya sebaiknya kau dan keponakanmu itu segera menyebut nama agar nanti aku bisa menjelaskan kepada anak warismu kenapa aku membunuhmu." Parameswara tersenyum mendengar kalimat yang diucapkan gadis yang usianya sebaya dengan dirinya itu. Kata-katanya begitu bernas serta menyiratkan sikapnya yang tegas dan gagah, setia berpihak pada mereka yang tertindas terutama pihak wanita yang selalu dipermainkan pria. Akan tetapi Parameswara juga melihat jika Taji Gading itu bertindak maka bencana akan menimpa gadis itu. Meski sebelumnya Taji Gading itu telah terluka bagian dalam tubuhnya dalam berperang tanding melawan Ki Ajar Kembang Ayun namun tampaknya dalam waktu yang singkat luka itu tidak tampak jejaknya atau boleh jadi luka itu masih ada dan Ki Ajar Taji Gading mengabaikannya. Itu sebabnya Parameswara telah bersiap untuk melibatkan diri. Melihat kenyataan di depannya itu Parameswara masih sulit percaya. Parameswara benar-benar tidak mengira Taji Gading akan sanggup melakukan perbuatan jahat seperti itu. Perilaku Taji Gading itu benar-benar jauh berbeda dari sikap lembut dan sabar dan bijaknya ketika berada di Kembang Ayun. "Ranggasura," kata Taji Gading meminta perhatian. Ranggasura menyeringai. Ranggasura yakin pamannya pasti mampu mengatasi gadis liar itu. "Bagaimana paman?" jawab Ranggasura. "Apakah kau belum memperkenalkan dirimu kepadanya?" kembali Taji Gading bertanya. "Belum," jawab Ranggasura pendek saja. Taji Gading manggut-manggut. "Lalu apa yang kauinginkan darinya?" Ranggasura tersenyum. Maksudnya tersenyum tetapi gadis itu melihatnya sebagai sebuah seringai yang membuat mual. Gigi-giginya yang tidak bersih kuning kehitaman bisa dibayangkan macam apa baunya. Gadis itu bahkan membayangkan bangkai. "Aku menginginkannya paman Taji Gading." Ranggasura mengucapkan kalimat itu dengan sikap agak manja. Menggigil anak ki Ajar Kembang Ayun karena sulit membayangkan apa dan bagaimana jadinya perguruan Kembang Ayun berada dalam genggaman pemuda yang kelihatannya mempunyai jiwa yang terganggu macam itu apalagi secara nyata pemuda itu mempunyai kegemaran buruk menempatkan kaum wanita sebagai makhluk yang akan terhina. "Kaudengar apa katanya?" tanya Taji Gading pada gadis dengan sepasang pedang di depannya. Gadis itu benar-benar menelan kemarahannya, seperti mengganjal tenggorokannya. Pagi ini, gadis itu sungguh tidak mengira akan bertemu dengan orang yang benarbenar tidak menghargainya. Dengan teriakan melengking tidak kuasa menahan amarah yang menggelegak gadis berpedang sepasang itu menyerang dengan ganas. Tubuhnya melejit 130 cepat dalam gerakan melengkung melampaui tempat di mana Taji Gading berada dan secepat itu pula sepasang pedangnya berputar mengebor udara. Jika Taji Gading tidak bergeser dari tempatnya maka sepasang pedang itu tentu akan melobangi kepalanya. Namun Taji Gading bukanlah orang sembarangan. Taji Gading hanya melangkah bergeser sedikit, sebuah gerak langkah yang tampak sederhana saja akan tetapi karena gerakan itu dilakukan dengan penuh perhitungan menyebabkan serangan gadis itu tidak berhasil menggapai sasaran. Bahkan sebuah ayunan tangan yang dilakukan Taji Gading dengan amat telak mengenai pundaknya. Rasa ngilu yang luar biasa menyengat. Gadis itu pun melenting menjauh mengambil jarak. "Gila," umpatnya. Tahulah gadis dengan sepasang pedang itu, bahwa orang yang baru datang dan dipanggil dengan nama Taji Gading itu bukan orang sembarangan dan tidak mungkin diremehkan. Rasa ngilu di pangkal lengannya itu terasa sakit sekali. Namun gadis cantik itu kembali mempersiapkan diri dengan menggerakkan pedangnya saling silang. Taji Gading rupanya benar-benar ingin menangkap gadis itu hidup-hidup dan akan dijadikan permainan oleh Ranggasura. Itu sebabnya saat Taji Gading bergerak melintas ke kiri dan kanan, tubuhnya mulai timbul tenggelam. Untuk merambah ke panglimunan Taji Gading rupanya tak perlu menimbang terlampau jauh. Gadis dengan sepasang pedang itu terperanjat oleh pameran ilmu kanuragan aneh itu. Lebih kaget lagi ketika tubuh yang timbul tenggelam itu makin samar bergerak ke bentuk bayangan. Dengan cekatan gadis itu segera mengubah gerak kembangan silatnya menjadi sebuah pertahanan yang amat rapat. Pedangnya digerakkan silang menyilang dalam kecepatan tinggi membentuk pagar perlindungan yang rapat. Tiba-tiba Taji Gading meloncat cepat. Dengan cepat dan gugup gadis itu segera melenting dan mengayunkan pedangnya silang-menyilang seperti gerakan ngawur. Namun pertahanannya yang rapat itu masih bisa diterobos oleh Taji Gading. Sebuah sentuhan lagi-lagi mengenai pangkal pundaknya menyebabkan tangan kirinya terasa ngilu dan tak mampu lagi memegang pedang. Pedang tipis itu pun terjatuh. Ranggasura tertawa terkekeh melihat apa yang dilakukan pamannya. Gadis cantik itu benar-benar berada dalam bahaya karena Taji Gading telah pasang aji Panglimunan dengan sempurna serta lenyap dari pandangan mata. Meski gadis itu mencari-cari tetapi lawannya telah menghilang tidak menyisakan jejak. Candi Murca Karya Langit Kresna Hariyadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Dengan gerakan ngawur gadis itu memutar pedangnya membuat penjagaan yang rapat namun dengan mudah Taji Gading menerobosnya. Sebuah hantaman mengenai siku tangan membuat Gadis itu terjengkang dan berguling-guling. Gadis itu segera melenting menjauh. Akan tetapi karena gerakannya tidak sempurna gadis itu akan terjatuh. Pada saat yang demikian Parameswara segera meloncat cepat dan menangkap tubuh yang melayang itu. Parameswara membawanya mengapung di udara untuk kemudian turun pelahan bertumpu pada kaki kiri. Gadis itu kebingungan, nyaris ia curiga Parameswara akan bermaksud jahat pula. Dengan tenang Parameswara menurunkan tubuh yang dipondongnya. Parameswara segera mengambil sikap dengan menyilangkan tangan kiri ke depan dada, tangan kanan diangkat tinggi. Sebuah sikap yang mendebarkan jantung yang memaksa Taji Gading harus menimbang ulang segala tindakan yang akan dilakukan. "Menampaklah, paman," kata Parameswara itu. 131 Taji Gading rupanya masih terpengaruh oleh luka yang dialaminya ketika bertarung di pendapa perguruan Kembang Ayun. Meski Taji Gading menyelubungi diri dengan aji Panglimunan dengan mudah Parameswara mengetahui di mana Taji Gading berada. Saat Taji Gading yang membungkus diri di balik Aji Panglimunan itu bergeser ke arah kanan Parameswara juga ikut bergeser ke arahnya, siap melindungi gadis yang berada dalam bahaya itu. Bahkan Parameswara kemudian tidak ingin kedahuluan. Sebuah ayunan serangan jarak jauh yang dilontarkan ke permukaan tanah menyebabkan tanah itu meledak. Di tempat itulah Taji Gading berada. Taji Gading yang semula menghilang itu mulai menampakkan dirinya kembali. "Kau mau apa Parameswara?" tanya Taji Gading dengan perasaan tak senang. Parameswara memandang pamannya dengan tatapan mata kecewa. "Justru aku yang ingin bertanya, apa yang akan paman lakukan kepada gadis ini?" Taji Gading tidak menjawab. Di dalam keseharian, ilmu olah kanuragan Parameswara yang digembleng terus menerus oleh Padmanaba itu masih bisa diatasinya. Namun dengan keadaan terluka dan belum sembuh seperti itu tentu bukanlah pekerjaan mudah untuk bisa mengalahkannya. Apalagi manakala Parameswara kemudian bersiul panjang, Taji Gading menjadi cemas. Lamat-lamat dari jauh terdengar seekor kuda datang berderap. "Ranggasura, kita tinggalkan tempat ini!" teriak Taji Gading sambil meloncat menjauh dan berlari cepat. Meski kecewa Ranggasura tidak punya pilihan lain kecuali menuruti perintah pamannya itu. Ranggasura mengepalkan tangan diarahkan pada Parameswara yang dijawab Parameswara dengan meraih sebuah batu di dekat kakinya. Dengan ayunan yang kuat Parameswara melemparkan batu itu ke arah Ranggasura. Tentu saja serangan itu bukanlah serangan sembarangan. Melihat batu melayang deras kearahnya memaksa Ranggasura menjatuhkan diri berguling-guling di atas tanah dan kemudian melenting menghindar dari batu berikutnya. "Diangklek! Keparat!" umpatnya dengan kasar sambil melarikan diri. Parameswara merasa lega karena pada dasarnya Parameswara memang tidak ingin berurusan dengan bekas pamannya itu. Setelah Taji Gading dan Ranggasura lenyap dari pandangan Parameswara memerhatikan gadis yang berdiri di belakangnya. Meringkuk tanpa daya, gadis cantik itu tidak bisa berbuat apa-apa. "Kau tidak apa-apa?" tanya Parameswara. Gadis itu tidak menjawab. Parameswara melihat tangan kirinya lumpuh. Serangan yang dilakukan Taji Gading pada gadis itu memang sebuah serangan yang melumpuhkan, dengan sasaran simpul simpul syaraf tertentu yang menyebabkan bagian tubuhnya tidak bisa digerakkan. Gadis yang masih belum dikenalnya itu berusaha menggerakkan tangan, namun dari pangkal lengan asal kelumpuhan itu yang dengan telak menempatkan gadis itu tak berdaya. Parameswara segera bertindak, tangan kiri gadis itu dipegang dan diurut untuk membuka kembali simpul syaraf yang terkunci dan kaku. Pekerjaan itu rupanya bukan pekerjaan yang sulit bagi Parameswara terlihat dari sejenak kemudian gadis itu tersenyum sebagai tanda terbebas. "Terimakasih telah menolongku," ucap gadis itu, "semoga kelak aku bisa membalas budi baikmu." Parameswara mengangguk. 132 "Kaukenal mereka?" tanya gadis itu. Parameswara kembali mengangguk. "Tentu aku mengenal paman Ajar Taji Gading karena ia bekas paman perguruanku yang berkhianat. Sedang pemuda yang bermaksud jahat itu, namanya Ranggasura. Aku sudah pernah mendengar namanya namun baru kali ini aku melihatnya." Gadis itu itu termangu. "Namamu Parameswara?" tanyanya. "Ya. Itulah namaku," jawab Parameswara. Gadis itu tersenyum. "Sebuah nama yang bagus," lanjut gadis itu. "Kalau aku tidak salah, Parameswara itu adalah sebutan Batara Guru. Agaknya orang tuamu memberimu nama Parameswara, agar kaubisa seperti Betara Guru." Parameswara tertegun karena itulah untuk pertama kali ada orang yang menjelaskan apa arti kata Parameswara. Sesungguhnyalah Parameswara yang menyandang nama itu sama sekali tidak tahu itulah makna yang melekat di balik nama yang di sandangnya. "Jadi itu artinya," Parameswara tersenyum. "Kalau kau tak keberatan, aku ingin tahu siapa kau, dari mana kau berasal, serta mengapa kau berada di tempat ini?" Pertanyaan yang dilontarkan dengan lugas dan tanpa basa-basi itu rupanya sangat menyentuh menyebabkan gadis itu mendadak terlihat murung. Dengan sangat jelas pula Parameswara bisa membaca perubahan rona wajahnya. Gadis itu memungut pedangnya yang terjatuh di tanah dan menyarungkannya. Dari pandangan sekilas Parameswara bisa menilai betapa sepasang pedang itu bukan jenis senjata yang layak diremehken. Dari bilahnya yang mengkilat pedang itu pasti sering diasah. "Namaku Swasti Prabawati. Aku akan menghadap Ki Ajar Kembang Ayun," ucap gadis itu. Mendengar nama guru dan sekaligus ayahnya itu disebut Parameswara kaget. Raut muka yang dengan mudah bisa dibaca oleh Swasti Prabawati. Gadis itu terheran Kain Pusaka Setan 1 Mustika Lidah Naga 6 Ilmu Silat Pengejar Angin 2

Cari Blog Ini