Ceritasilat Novel Online

Ching Ching 5

Ching Ching Karya ??? Bagian 5 Tan Piawsu terdiam sejenak. "Pasti!" katanya kemudian. "Pasti A-bun diguna-gunai oleh keluarga Kwan!" "Diguna-guna?" "Aku mesti ke sana sekarang. Kwan Piawsu mesti menyembuhkan anakku. Kalau tidak ...." Tan Piawsu menggumam sembari bergegas pergi. Tan Hai Cong memperhatikan adiknya yang tampak sudah tenang dan sekarang sedang duduk bengong di lantai. Hai Cong memberanikan diri membuka pintu kamar Hai Bun. Ia bertindak pelan sekali, takut kalau adiknya mengamuk, melempari dengan barang-barang seperti waktu a-thianya masuk pagi tadi. "Bun-tee!" panggilnya lirih. Hai Bun seperti tidak mendengar, terus saja menekuri lantai. "Bun-tee!" panggil Hai Cong lebih keras, barulah Hai Bun menoleh. Melihat orang masuk tiba-tiba dia kumat lagi. "Aaah, jangan! Jangan! Tolooong!" "Bun-tee, ini aku!" kata Hai Cong. Tapi, Hai Bun tak mengenali abangnya sendiri, terus saja menjerit-jerit. "Jangan! Jangan! Ampun! Jangan ganggu aku! Bukan aku yang bunuh Chin Wei. Suhu yang meracuninya." "Bun-tee, kau ngomong apa?" "Kau ... kau A-ying. Aah! Jangan mendekat!" Hai Bun lari menjauhi kakaknya. "Ini aku, Hai Cong, abangmu!" Hai Cong mencoba menghampiri. "Hai Cong" Siapa itu" Kau pasti orang suruhan A-ying. Ampun! Jangan bunuh aku. Jangan!" Hai Bun menggelengkan kepala dan menggoyangkan tangan dengan keras. Hai Cong sudah takut saja kepala adiknya copot menggelinding ke tanah. Ia cepat-cepat keluar. Hatinya tergiris melihat keadaan Hai Bun yang menyedihkan. Datang ke rumah keluarga Kwan, Tan Piawsu langsung mengamuk dan menuduh Kwan Piawsu mencelakai anaknya. Keluarga yang berduka itu jadi marah melihat kelakuannya yang tidak sopan di depan meja sembahyang. Hampir saja pegawai-pegawai Kwan Piawsu menghajar si gendut she Than. Untung, mereka keburu dicegah majikan mereka,yang tak mau cari ribut lagi. "Tan Piawsu, ada urusan bolehkah diselesaikan baik-baik" Tak perlu marah-marah," tegur Sun Chai. "Tak marah bagaimana" Anakku dicelakai orang, kau bilang aku tak usah marah?" "Sebenarnya, ada apakah dengan anakmu?" "Berlagak tidak tahu. Baiklah, kusebutkan supaya semua orang di sini mengetahui keburukanmu. "Tan Piawsu menghadap kepada para tamu yang datang melayat. "Cuwi, orang ini sudah menggunakan ilmu jahat untuk meneluh anakku sehingga jiwanya terganggu!" Sejenak orang-orang di sana ramai berbisik. "Tan Piawsu, sungguh keji tuduhanmu. Aku tak pernah menggunakan ilmu apa pun untuk meneluh orang. Bukan aku yang melakukannya. Tan Piawsu terus saja menuduh. Sun Chai jadi panas hatinya. "Tan Piawsu, bukti apa kau menuduh kami?" "Kau sendiri, bukti apa menyangkal?" "Aku ada surat yang boleh membuktikan bahwa bukan kami yang mencelakai anakmu!" Ching Ching 134 Sun Chai mengeluarkan surat dari Ching-ching. "Sun Siawtee, jangan membawa orang lain dalam urusan ini!" tegur Kwan Piawsu. "Kwan Koko, rupanya kejadian ini sudah diramalkan A-ying dan surat ini adalah untuk menyelamatkan nama kita." Sun Chai memberikan seruat itu kepada Wan-gwe yang dapat dipercaya, minta tolong dibacakan. Wan-gwee membacakannya dengan suara keras di hadapan setiap orang. Surat Ching-ching menceritakan semua persoalan, mulai dari perkelahian Kwan Chin Wei dan Tan Hai Bun, terus sampai saat Chin Wei dicelakai, dan masih berlanjut hingg terbukti Kwan Piawsu tidak punya salah dalam hal ini. Ching-ching mengatakan ia melakukannya sendirian, tanpa sepengetahuan siapa pun. Ia akan membalas dendam pada Tan Piawsu dan anaknya. Bukan main malu hati Tan Piawsu. Apalagi waktus emua orang melihatnya dengan pandangan menuduh. Tanpa pamitan lagi, ia pulang dengan langkah bergegas. Di jalan ke rumah, ia bertemu dengan anaknya yang sulung. Hai Cong menghampirinya dengan muka pucat bagai mayat dan napas terengah. Matanya membelalak panik. "A-thia! Bun-tee ...." Hai Cong menunjuk ke arah rumah mereka. "Ia keluar, menyelinap ke dapur, dan mengambil pisau. Tahu-tahu ia mengamuk seperti orang kesetanan. Banyak pelayan kita yang terluka." Tergopoh-gopoh Tan Piawsu pulang ke rumahnya. Benar apa yang dikabarkan Hai Cong. Baru sampai pintu depan saja, sudah ada tiga sosok mayat yang menyambut. Di ruang tengah ada enam. Di kebun belakang Tan Piawsu melihat Hai Bun baru saja mencabut pisau dari badan seorang yang kini sudah tak bererak lagi. Orang itu tak lain adalah Tan Hujin! Tan Piawsu begitu kaget sampai tak dapat berbuat apa-apa. Hanya matanya saja melotot memandang istrinya kinit erkapar. Ia bahkan tak bergerak waktu Hai Bun mendekati dengan mata nyalang dan pisau di tangan. Barulah setela pisau itu menancap ke jantungnya, ia menjerit lirih. Sedetik kemudian nyawanya terbang menyusul istrinya yang mendului. Tan Hai Cong terpana melihat itu semua. Hampir ia tak menyadari adiknya yang mendekat sambil senyum-senyum. Untung ia cepat pulih. Ia mundur-mundur, menghindari adiknya yang bersikap mengancam. "Hehe, semua teman Chin Wei harus kuhabisi. Kau juga!" kata Hai Bun, menuding kakaknya. Lalu ia menyerang. Hai Cong sedapat mungkin menangkis pisau yang bergerak ke jantungnya. Tapi, entah kenapa tenaga Hai Bun seolah bertambah sepuluh kali lipat. Kakaknya sudah tak kuat adu tenaga dengannya. Nyawa Hai Cong sudah dalam tangan adiknya. Pemuda itu sudah memejamkan matanya, pasrah! Tahu-tahu Hai Bun melepas pisaunya, memegangi kepala dan berputar-putar. Sebentar kemudian ia ambruk ke tanah, tak berkutik lagi. "Sungguh menyedihkan. Satu keluarga hampir tak bersisa." Hai Cong menoleh. Ia mengenali orang yang baru datang. See-cong Shakwa! "Anak muda, keluargamu terbasmi karena seorang gadis cilik. Kau tahu! Dan kau tak akan dapat membalas dendam kecuali kau ikut denganku." Suara pendeta Tibet itu seolah menyihir Hai Cong. Ia menurut waktu diajak pergi. Di otaknya cuma ada kata balas dendam! Padahal, waktu itu Hai Cong tak tahu kepada siapa ia membalaskan sakit hatinya. Chin Wei memperlihatkan surat itu kepada Sun Pao dan Ching-ching. "Wei-ko, apakah kau akan menjawab tantangan ini?" tanya Sun Pao kuatir. "Tentu saja. Aku bukan pengecut. Pasti kuhadapi si Tan Hai Bun itu. Pao-pao, Ching Ching 135 kali ini kau harus berjanji padaku, tak akan mengadukan hal ini kepada Thia-thia. Berjanjilah. Kalau tidak, aku tak mau bicara denganmu seumur hidup." "Wei-ko, jangan berkata begitu. Baiklah, aku berjanji." "Nah, begitu lebih baik." Chin Wei tersenyum lega. Soalnya, celaka kalau ayahnya sampai melarang. Bisa-bisa Tan Hai Bun mencapnya pengecut dan ia harus menerima ejekan teman-temannya. "Saoya, apakah kau betul-betul akan datang sendiri" Bagaimana kalau aku menemanimu?" kata Ching-ching. Ia agak khawatir juga. "Hai Bun menyuruh aku datang sendirian. Aku akan memenuhi tantangannya," Chin Wei bersikeras. Ching-ching tahu, akan percuma membujuknya lagi. Tapi, ia betul-betul kuatir kalau Chin Wei celaka. Bagaimana baiknya" Mestikah ia membuntuti dan melindungi Chin Wei diam-diam" "A-ying, apa yang kaupikirkan?" "Tidak, bukan apa-apa." "Kalian jangan terlalu kuatir," Chin Wei menenangkan. "Paling juga aku akan menghajar si Hai Bun sekali lagi." Justru itu, pikir Ching-ching. Kalau satu lawan satu, sudah pasti Hai Bun babak belur. Sekarang ia berani menantang, pasti ada apa-apanya. Chin Wei menghadapi hari pertarungannya dengan bersemangat. Ia bahkan rela mengorbankan waktu bermainnya untuk berlatih silat. Kwan Piawsu sampai heran akan kelakuan anaknya. Ia baru mengetahui sebabnya kemudian, semalam sebelum pertandingan Chin Wei dan Hai Bun. Malam itu, Kwan Piawsu baru pulang mengantar barang. Ia tergesa-gesa pulang mendului pegawainya yang lain. Begitu sampai di rumah, ia mencari anaknya. Chin Wei ditemuinya sedang bersama Ching-ching dan Sun Pao. Chin Wei sedang berlatih, ditonton kedua gadis itu. "A-wei, apa betul kau akan bertanding dengan Tan Hai Bun?" ayahnya langsung bertanya. "Tapi ... tapi Thia tahu dari mana?" Chin Wei menatap Ching-ching dan Sun Pao curiga. "Betul tidak?" "Be-betul." "Kapan?" "Besok. Thia ...." "Pantas! Besok kau tak boleh keluar seharian!" "Tapi, Thia ...." "Tidak ada alasan! Untuk memastikan kau tidak kabur, mulai malam ini kau akan kukurung di kamar belajar." Kwan Piawsu menyeret anaknya ke kamar belajar yang layaknya penjara kecil bagi Chin Wei. Kwan Piawsu sendiri yang mengunci pintu dan mengantongi anak kuncinya. Tak ada jalan bagi Chin Wei untuk kabur. "Thia, sebelum Thia pergi, beri tahukan dulu kepadaku, siapa yang mengabarkan pertandinganku dengan Hai Bun." "Aku bertemu dengan Tan Piawsu di jalan." Jawaban singkat Kwan Piawsu sudah cukup memuaskan Chin Wei. Berarti teman-temannya tak ada yang mengkhianati dia. Begitu Kwan Piawsu pergi, Ching-ching dan Sun Pao buru-buru mendekat. "Payah! Kalian bantu aku cari jalan!" Ching-ching sebenarnya sudah punya banyak jalan. Dulu di Sha Ie, soal kabur dia nomor satu. Tapi, karena memikirkan keselamatan Chin Wei, ia berlagak bodoh. "Tidak ada," katanya. Ching Ching 136 Chin Wei kecewa. Malam ini ia terpaksa tidak enak tidur. Dan besok pagi ... tak ada apa pun yang bisa dilakukan untuk kabur. Setidaknya untuk malam ini. Esoknya Chin Wei bangun pagi-pagi sekali. Pintu masih terkunci. Ia masih mencari jalan keluar lain. Bagaimana kalau lewat atap" Tapi bagaimana caranya" Chin Wei gelisah. Ia harus bisa keluar. Harus! Kalau tidak, ia akan diejek Hai Bun habishabisan. Sayangnya, sampai siang hari, kesempatan untuk kabur tidak ada. Kwan Hujin kasihan melihat anaknya dikurung. Ia memohon pada suaminya supaya diizinkan membawa makanan untuk Chin Wei. "Baiklah," kata suaminya. "Akan kusuruh A-ying mengantarkan." "Tidak. Jangan A-ying. Jangan pula Sun Pao. Yang lain saja." Dari jauh Chin Wei sudah melihat pelayan yang membawakan makanan untuknya dikawal salah seorang pegawai ayahnya. Pemuda itu langsung tahu apa yang mesti dilakukan. Ia berbaring di lantai. Pura-pura pingsan. Pelayan yang membawa makanan itu kaget melihat Chin Wei terkapar. Ia memanggil yang mengawalnya untuk menolong. Pintu dibiarkan tidak terkunci. Begitu kedua pegawai ini membungkuk untuk memeriksa keadaan majikannya, Chin Wei melompat berdiri dan menotok jalan dari kedua orang itu sehingga tak dapat bergerak. "Maafkan aku," Chin Wei menjura. Aku cuma terpaksa. Jangan bilang sama Thia-thia, ya." Sudah itu, Chin Wei langsung minggat. Chin Wei berlari ke Hek-cio-leng (Bukit Batu Hitam) yang letaknya lumayan jauh dari rumah. Di sana sudah menunggu Tan Hai Bun dengan empat orang pegawa penandunya dan seorang pendeta yang aneh dandanannya. "Kwan Chin Wei, kau datang juga akhirnya. Kupikir nyalimu sudah terbang entah ke mana." "Tan Hai Bun, pembohong, kau bilang akan datang sendiri-sendiri." "Aku tidak bilang begitu. Kataku, kau datanglah sendiri kalau berani. Aku tak tahu apakah nyalimu begitu besar atau kau terlalu tolol sehingga berani menghadapi aku sendirian." Hai Bun tertawa. "Serang!" Empat orang maju bebareng, siap meneroyok Chin Wei yang sendirian! Sun Pao bosan diam di kamar. Semua buku sudah dibaca. Sulamannya sudah selesai. Apa lagi yang bisa dikerjakan" Ah, baiknya ia bercakap-cakap dengan Chin Wei. Siapa tahu bisa menghibur pemuda itu. Ia berjalan ke ruang belajar dan mengetuk pintu. "Wei-ko, kau tidak tidur, kan" Wei-ko, aku mau berbincang-bincang denganmu." Tapi, tak ada jawaban dari dalam. Setelah beberapa lama memanggil belum juga disahuti, Sun Pao jadi kuatir. Ia mengintip dari jendela. Yang ia lihat bukannya Chin Wei, tapi dua orang yang membungkuk tanpa bergerak. "Siocia" Ngintip apa?" tanya Ching-ching, yang juga datang ke tempat itu untuk melihat apa yang terjadi pada pelayan yang bertugas membawakan makanan. "A-ying, celaka! Wei-ko kabur!" "Wah, gawat. Dai bisa babak-belur. Biar kususul! Siocia, kau tunggulah di sini." Sun Pao yang ditinggalkan Ching-ching meremas-remas tangannya karena bingung dan cemas. Ia berjalan bolak-balik, tak tahu apa yang mesti dilakukan. "Ah, ya, betul. Aku lapor Thia-thia dan Peh-peh. Mereka pasti bisa mencegah Wei-ko berkelahi." Ia belrari mencari ayah dan pamanya. Ia harus melaporkan semua. Barangkali Chin Wei akan ketolongan. Paling tidak, tak akan sampai babak-belur dihajar orang. Sampai di Hek-cio-leng, Ching-ching melihat Chin Wei sudah keteteran dihajar keempat pengeroyoknya. Darah mengucur dari mulut dan hidung, bahkan juga dari Ching Ching 137 kuping.! Rupa Chin Wei sudah tak bisa dikenali lagi, bengkak semua. Biarpun sudah kepayahan, para pengeroyoknya tidak juga mau mengampuni. Melihat itu semua, darah Ching-ching mendidih. Ia marah. Marah sekali. Disertai khikang, ia bereriak gusar. "Hentikan!" Mendengar suara menggelegar yang mengandung amarah, seketika pertempuran terhenti. Semua berpaling ke asal suara, tercengang melihat siapa yang datang, tak terkecuali Chin Wei. "Sungguh tak tahu malu! Mengeroyok orang! Kalau berani, majulah satu-satu!" "Pelayan bau, jaga mulutmu!" bentak Hai Bun. "Kaupikir kau ini siapa, berani menasihati aku?" "Tan Hai Bun, kau sungguh busuk. Aku paling benci binatang macammu yang bersembunyi di belakang orang upahan untuk menghadapi lawan." "Eh, berani kau menyembut namaku dengan tidak hormat" Kau mesti dikasih pelajaran!" Hai Bun melompat menerjang, hendak menggampar mulut Ching-ching yang dianggapnya ceriwis. Tapi, kepandaian bocah itu terlalu rendah. Gampang saja dilecehkan. Ching-ching tidak menghindari serangan Hai Bun. Ia menggunakan tenaga dalam untuk melindungi diri. Tan Hai Bun tak tahu hal ini. Ketika tangannya belum sampai seinci di hadapan Ching-ching, tahu-tahu tangannya balik menggampar muka sendiri. "Ha, rupanya kau sudah tahu salah dan menghukum diri sendiri." Ching-ching tertawa. Hai Bun makin marah, menyerang lagi. Kali ini tidak dibiarkan oleh Ching-ching. Jauh-jauh ia sudah menangkis dengan satu bagian tenaga dalamnya. Tapi ini pun sudah cukup membuat Hai Bun terpental dua tombak jauhnya dan terbanting di kaki pendeta yang aneh dandanannya. "Suhu," teriak Hai Bun. "Muridmu dihinakan berarti engkau juga dihina." "Aku tak akan membiarkan muridku dihajar orang," kata pendeta itu dengan logat aneh. "Ini gurumu" Pantas kau tak becus berkelahi," kata Ching-ching melecehkan. "Berani kau menghina See-cong-shak-wa?" pendeta itu membentak. Ching-ching tertawa. "Tuh kan, namanya saja sudah See-cong-sa-kwa (Si Goblok dari Tibet)." "See-cong-shak-wa," pendeta itu meralat. "Dalam bahasa Tibet, shakwa artinya ayam hutan." "Pedulia pa" Dalam bahasa Han, sa-kwa artinya tak punya otak alias goblok." "Bocah kecil, berani kau hinakan aku" Kau harus dikasih pelajaran." Pendeta itu menyerang. "Bocah besar, kau yang emsti diajar karena tak becus mendidik murid," sahut Ching-ching sambil menangkis. Di antara keduanya terjadi pertempuran seru. Yang melihat keheranan. Apalagi Chin Wei. Ia tak tahu kalau A-ying bisa sehebat itu. Ching-ching sendiri, saking marah, lupa akan perannya sebagai A-ying, gadis dusun yang lugu. Ia terlalu bersemangat memberi pelajaran pada Hai Bun dan gurunya. Setelah bertempur belasan jurus, pendeta Tibet yang mengaku bernama See-cong-shakwa itu sadar kalau kepandaiannya tidak selihay Ching-ching. Ia mencari jalan untuk kabur. Matanya jelalatan ke sana kemari. "Mau lari, eh?" Ching-ching mengetahui maksud orang itu. "Jangan harpa aku Ching Ching Karya ??? di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo lepaskan kau begitu gampang. Paling tidak, tinggalkan dulu sebelah kaki atau tanganmu untuk kenang-kenangan." Ching Ching 138 See-cong Shakwa tahu, ancaman Ching-ching tidak main-main. Ia mencari siasat lain. Pelan-pelan ia mundur mendekati Chin Wei yang berdiri sempoyongan, nyaris pingsan. Ketika sudah dekat, secepat kilat dirangkulnya pemuda itu dan diancamnya dengan sebatang jarum halus warna putih. "Jangan mendekat," ancamnya, "atau kutusuk anak ini dengan jarumku." "Apa takutnya sama jarum," kata Ching-ching, tapi ia menghentikan juga tindakannya. "Gadis tolol, ini bukan jarum biasa. Ini jarum beracun yang paling ditakuti di Tibet, Sie-tok-ciam (Jarum racun salju). Kalau kena racun ini sedikit saja, maka akan kedinginan sehingga darah membeku dan lumpuh. Maka, mati tidak, hidup juga susah. Kau mau dia mati merana?" "See-cong Sha ... Sha-anu, kau mau apa?" tanya Ching-ching yang tak berani salah sebut, takut kalau pendeta Tibet ini marah dan mencelakai Chin Wei. "Mau pergi. Kau jangan coba mengikuti, atau anak ini celaka!" "Baik, kau pergilah. Tapi jangan celakai majikanku." See-cong Shakwa mundur-mundur menuruni bukit. Pada saat bersamaan, datang Kwan Piawsu dan Sun Chai, ayah Sun Pao. Mereka tak tahu apa yang terjadi. Yang terlihat cuma seorang pendeta aneh menculik Chin Wei. "Hoat-ceng (paderi asing), kauapakan anakku?" Kwan Piawsu melompat, menghadang See-cong Shakwa. "Looya, jangan!" cegah Ching-ching. Terlambat. Karena kaget, See-cong Shakwa tak sengaja menggores Chin Wei dengan jarumnya. Chin Wei menjerit keras, merasakan pedih di pundaknya dan semaput seketika itu juga! See-cong Shakwa melepaskan pemuda itu dan lari menyelamatkan diri. Ching-ching yang sudah waspada tidak tinggal diam. Ia melompat tinggi melewati kepala Kwan Piawsu dan Sun Chai untuk mengejar penjahat. "Padri botak, mau lari ke mana kau?" serunya, mencegat si pendeta Tibet. See-cong Shakwa tak mau menyerahkan diri begitu saja. Ia mencoba melawan. Tapi, pada dasarnya, ia memang sudah kalah tingkat. Ditambah kemarahan Ching-ching yang sudah sampai pada puncaknya, belum sampai sepuluh jurus, ia sudah kena ditotok dan diseret kembali ke tempat Chin Wei terkapar. "Mana obat pemudahnya?" tanya gadis itu. "Aku ... aku ... aku tidak ... tidak punya," See-cong Shakwa menjawab tergagap-gagap. Ching-ching tak sabar dan mengeluarkan belatinya. "Mana, cepat keluarkan! Kau mau jiwamu terbang?" "Tapi ... tapi aku sungguh ... sungguh tak punya." "Oh ya?" Ching-ching menggeledah pendeta itu. Memang tak ada penawar racun di sana. "Huh, tak berguna. Mestinya kubunuh saja kau. Tapi aku masih membutuhkanmu untuk menyembuhkan Saoya." "A-ying, eh, maksudku, Kouwnio, tidakkah lebih baik kita bawa dulu keduanya ini ke rumah?" Kwan Piawsu buka suara, tak berani sembarangan menyebut nama bekas pelayannya ini. Ching-ching mengangguk. Beriiringan mereka pulang. Di jalan, gadis itu menceritakan semua yang ia tahu, tapi selalu mengelak kalau ditanya mengenai dirinya. "Looya, namaku yang sebenarnya tidaklah penting. Sekarang, yang mesti dipikirkan adalah keselamatan Saoya." "Mana boleh begitu" Aku ..." Kwan Piawsu membantah. "Sudahlah, jangan ributkan soal segala macam basa-basi. Looya, setelah kejadian ini, masih bolehkah aku tinggal di rumah, setidaknya sampai Saoya sembuh?" Ching Ching 139 "Tentu saja. Bahkan ..." "Itu sudah cukup," potong Ching-ching. Ia tak mau berkata-kata lagi. Mulai hari itu, perlakuan keluarga Kwan pada Ching-ching berubah sama sekali. Ia dianggap sebagai tamu terhormat, dilayani dan diberi pakaian bagus. Ching-ching sendiri tak ambil pusing. Ia sudah sibuk dengan See-cong Shakwa yang bandel bukan main. Diancam bagaimana pun, tetapi ngotot tak punya obat dan tak mau memberi tahu cara pengobatan. Racun Sie-tok-ciam mulai berpengaruh pada Chin Wei. Pemuda itu mulai kedinginan terus, berapa pun banyaknya selimut membungkusnya. Ching-ching yang sudah pernah pengalaman tinggal di puncak gunung yang dingin malah sudah menyuruh orang membuat tempat tidur batu dengan tungku di kolongnya. Tapi, itu pun tidak banyak menolong. Hari kedua sudah lewat. Malamnya Ching-ching mendatangi lagi See-cong Shakwa yang digantung terbalik di gudang. "Sudah puas belum jadi kelelawar?" tanya Ching-ching begitu datang. Yang ditanya tak menjawab, cuma mengerang saja. Dua hari digantung terbalik bukan penderitaan enteng. See-cong Shakwa sudah merasa darahnya naik ke otak semua. "Kau sudah tobat belum" Kalau sudah, akan kuturunkan kau. Tapi janji bantu sembuhkan Saoya." "Aku janji, aku janji," kata See-cong Shakwa buru-buru. Ching-ching mengambil belati dan memutuskan tapi penggantung. "Nah, kau bilang tak punya obat. Tahu cara menyembuhkannya tidak" Saoya kedinginan terus. Aku kasihan melihatnya." "Soal dingin sih gampang. Pakai saja tenaga dalam." "Ah ya, aku kok bisa lupa. Aku beri tahu Looya." Sesudah diberi tahu, Kwan Piawsu cepat menyalurkan tenaga dalam ke badan anaknya. Hal ini memang berhasil sementara. Waktu Kwan Piawsu berhenti untuk istirahat, Chin Wei menggigil lagi. "Celaka. Tenagaku tak kuat menolongnya terus-terusan." "Gantian saja," kata Ching-ching. Ia langsung duduk bersila dan menggantikan Kwan Piawsu. Tapi, kali ini bukannya ketolongan, Chin Wei malah makin gemetaran. "Gawat, kenapa jadi begini?" Ching-ching menghentikan tenaganya. "Ah, pasti Setan Tibet itu salah memberi petunjuk." Ching-ching langsung menemui See-cong Shakwa. "Hey, Ayam Tibet, aku menggunakan tenaga dalamku, kenapa Saoya malah tambah kedinginan?" "Itu karena kau perempuan." "Apa bedanya perempuan dan laki-laki?" "Racun salju itu berhawa dingin. Tenaga perempuan adalah tenaga im yang juga dingin. Tentu saja - " "Sudah tahu, kenapa tak ngomong dari dulu?" Ching-ching menggetok kepala pendeta Tibet itu dengan gagang belatinya. "Cara lain bagaimana?" "Direbus!" Ching-ching melapor pada Kwan Piawsu, yang cepat mencari periuk besar untuk merebus anaknya. Tapi, yang terjadi Chin Wei bukannya mendingan, malah badannya melepuh semua. Ching-ching ngamuk, mendatangi lagi See-cong Shakwa. "Kau mau membunuh majikanku?" bentaknya. "Badannya matang semua. Kau sengan menipu aku ya" Baik, kuberi kau sedikit pelajaran." Dengan belatinya, Ching-ching mengukir tulisan See-cong Shakwa di kepala si Ching Ching 140 pendeta yang gundul. Sudah itu, diberinya obat yang cepat menyembuhkan luka, tapi meninggalkan bekas yang tak bisa hilang. Si Botak yang memang tertotok itu tak dapat melawan. "Nah, dengan hiasan dariku, gundulmu itu tampak lebih bagus." Ching-ching melepaskan totokan, tanpa takut si pendeta kabur. Tali yang mengikat badan pendeta itu sudah cukup membuatnya tidak berkutik. "Hayo, kau bilang padaku cara menyembuhkan penyakit Saoya!" "Tak sudi!" sahut See-cong Shakwa. "Biar saja saoyamu tersayang itu mati sengsara." "Berani kau bilang begitu" Kepingin kutambah 'kumis abadi' di bawah hidungmu?" Ching-ching menggerakkan belatinya ke atas bibir See-cong Shakwa. Sebenarnya ia tak ingin melukai benar-benar, cuma sekadar menggertak. Mana tahu si pendeta malah bergerak menghindar. Ssrrtt! Darah muncrat dari muka See-cong Shakwa yang menjerit. "Ih!" Ching-ching melompat mundur dengan ngeri. Hidung See-cong Shakwa sudah terbabat putus! Gerakannya menghindar malah membuat pisau Ching-ching yang tajam bukan main membeset hidungnya sehingga tak bersisa lagi! Sakitnya bukan alang kepalang. See-cong Shakwa pingsan seketika. "Nah lho, hidungnya copot!" kata Ching-ching bingung. Tapi, sejenak kemudian, kemarahannya timbul kembali. "Berani melawan aku" Coba begini, masih tidak mau memberi tahu caranya?" Ching-ching menusukkan jarum Sie-tok-ciam ke badan Seecong Shakwa. "Coba saja kita lihat. Bagaimana caramu menyembuhkan diri, begitu juga aku menyembuhan Saoya." Sesudah itu, ia menyuruh beberapa orang pegawai Kwan Piawsu untuk mengikat See-cong Shakwa ke pilar. Tapi, betapa terkejut Ching-ching ketika esok harinya tidak mendapati See-cong Shakwa di gudang. Yang ditemukan cuma secarik kain bertuliskan tinta darah. Bocah kejam, aku tak kenal namamu, tapi aku punya dendam padamu. Suatu saat aku akan kembali menagih utang dendam. Ada baiknya juga kau tahu, kalau saoyamu tidak ditolong dalam tiga puluh hari sesudah terkena racun, ia akan mati. Aku rasa, tak ada yang dapat menolongnya. Lebih baik kau siapkan peti mati dan lubang kubur untuk saoyamu itu. Kwan Piawsu cuma bisa bengong saja membaca surat itu, tak tahu lagi apa yang bisa dilakukan. "Anakku. Putraku satu-satunya akan mati sia-sia," ratap Kwan Hujin. "Belum tentu," kata Ching-ching tiba-tiba. "Aku ada kenalan seorang tabib. Barangkali ia bisa menoong. "Tak ada gunanya. Sudah puluhan tabib kita coba, tak satu pun sanggup menyembuhkan A-wei." Kwan Piawsu tampak putus asa. "Tak ada salahnya mencoba sekali lagi. Jangan patah semangat dulu. Looya, tahukah kau, seberapa jauhnya desa Chu-khe-cung dari sini?" "Kira-kira sembilan hari perjalanan. Tunggu, tunggu. Chu-khe-cung" Bukankah di sana tempat tinggal Yok Ong-phoa (Raja obat)?" "Betul sekali. Aku akan minta Kongkong kemari." Kwan Piawsu mulai bersemangat lagi. "Tapi, apakah keburu" Sakitnya A-wei sudah dua belas hari. Berarti waktunya tinggal delapan belas hari lagi. Padahal, dari sini ke Chu-khe-cung bolak-balik sudah butuh delapan hari." "Benar," kata Ching-ching. "Kalau begitu, baiknya aku berangkat hari ini juga." "Aku berangkat bersamamu," kata Kwan Piawsu. "Toa-heng, anakmu membutuhkan engkau. Lebih baik aku saja yang pergi." Sun Chai mengajukan diri. Setelah berbantahan sebentar, Kwan Piawsu setuju juga. Ching-ching cepat mengemas barang-barang yang akan dibawanya. Saat sedang Ching Ching 141 beberes, Sun Pao masuk ke kamarmu. "A-ying, Wei-ko ingin bertemu denganmu sebelum kau pergi. Barangmu biar aku saja yang bereskan." Ching-ching langsung lari ke kamar Chin Wei. Pemuda itu sudah terbungkus selimut-selimut tebal, tapi masih juga kedinginan. Bibirnya berwarna kebiruan dan bergetar waktu berbicara. "A-ying, kata Pau-pau, kau mau pergi?" "Ya, Saoya, aku akan mencari tabib untukmu." "Buat apa?" kata Chin Wei lemah. "Aku sudah tahu, aku tak akan sembuh lagi. Lebih baik kita senang-senang sebelum ajalku tiba. Tak perlu kau merepotkan diri." "Saoya, mana boleh kau ngomong begitu. Aku tak akan membiarkan kau mati. Janji, kau tak akan bicara begitu di depanku!" "Baik, baik, aku janji, aku tak akan mati kalau katu tidak di sampingku." Chin Wei masih ingin bicara banyak, tapi rasa dingin yang menyerangnya menghalanginya. Ching-ching cepat tangap. Ia langsung mengalirkan sinkang berhawa Yang ke tubuh tuan mudanya. Lalu ia menotok dua jalan darah di tengkuk pemuda itu supaya bisa tidur nyenyak dan tidak merasakan dingin untuk sementara. Sesudah membereskan semua, barulah Ching-ching berangkat bersama Sun Chai. Sebenarnya, dengan menggunakan ginkang dan ilmu lari cepat Thian-li-hiap-beng (Bidadari mengejar angin(, Ching-ching akan sampai ke Chu-khe-cung paling lama ?" hari. Tapi ginkang Sun Chai tidak sebaik Ching-ching. Gadis itu tak berani mendului karena ia tak tahu jalan. Kalau kessasar, bisa berabe. Tapi mereka sampai juga setelah delapan hari perjalanan. Waktu itu hari sudah malam. Mereka tak keburu mendaki bukit untuk mencari rumah Tabib Yuk yang agak memencil. Terpaksa mereka tidur di kaki bukit, di udara terbuka. Pagi harinya barulah mereka mulai bergerak. Bersemangat ingin bertemu Gie-ko dan kong-kongnya, Ching-ching melesat mendului Sun Chai. Laki-laki itu cukup mengerti. Ia memandangi saja bayangan yang bergerak lincah. Hmm, bukan ginkang sembarangan. Gadis A-ying ini mestinya murid serorang sakti. Heran, kenapa bisa nyasar jadi pelayan di rumah keluarga Kwan" Sun Chai menemukan Ching-ching berdiri bengong memandangi sesuati. Ia cepat mendekat, ingin tahu ada apa dengan gadis itu. Ketika sampai di tempat Ching-ching, Sun Chai segera mengerti. Ia melihat sebuah rumah yang kini tinggalpuing. Semuanya habis seperti bekas terbakar. Hanya tanah persegi yang mendandakan bahwa di sana pernah ada rumah tinggal. "Kong-kong tidak ada," kata Ching-ching dengan suara bergetar. Sun Chai menepuk-nepuk pundaknya. Lelaki itu mengerti apa yang dirasakan Ching-ching. Ia pun kecewa. Apakah Chin Wei, kemenakannya, tak akan ketolongan lagi jiwanya" "Barangkali Kongkong sekarang tinggal di rumah Jieko," kata Ching-ching. Ia langas menarik Sun Chai menuruni bukit lewat sisi yang lain. Apa yang ditemuinya di desa Chu-khe-cung malah membuat hati gadis itu tambah kuatir. Desa itu sudah mati. Rumah-rumah sudah bobrok semua. Mereka tak bertemu siapa-siapa di sana, bahkan tidak seekor binatang pun. Semuanya sepi. Mati. Agak jauh, Ching-ching melihat kuburan berderet-deret. Ia cepat mendekat. Berbagai perasaan campur aduk di dadanya. Bagaimana kalau Gie-heng dan kong-kongnya mati" Apa yang akan terjadi pada Chin Wei" Ia mengharap tidak ada nama mereka di antara kuburan itu. Tapi, kalaupun demikian, ke mana ia harus mencari kerabatnya tersebut" "Sun Looya, maukah kau menolong aku mencarikan nama she Yuk dan she Chow?" Ching Ching 142 Sun Chai mengangguk. Berdua mereka mencari dua nama keluarga itu. "A-ying, di sini!" seru Sun Chai yang menemukan duluan. Buru-buru Ching-ching mendekat. Melihat nama-nama yang tertera di sana, ia langsung merasa lemas sehingga jatuh berlutut. "Yuk Pehpeh, Pehbo, Chow Pehpeh, Pehbo, dan Chow Fei," gumamnya. "Tapi mana nama Toako, Jieko, dan Kongkong?" "Mungkin mereka selamat." "Sun Looya, Kongkong tidak ada di sini. Apa yang mesti kita lakukan?" "Barangkali sudah taktir kita tak boleh menemuinya. Sekarang, tak lain yang bisa kita lakukan cumapulang." Dengan lesu Ching-ching berdiri, mengikuti langkah Sun Chai pulang. Mereka melewati kampung tetangga. Kebetulan matahari terik dan perut mereka sudah minta diisi pula. Keduanya singgah dis ebuah kedai kecil. Ketika pelayan datang mengantar pesanan mereka. Sun Chai menanyakan keadaan kampung Chu-khe-cung yang baru mereka tinggalka. "Oooh, kampung itu. Semua penduduknya sudah pergi meninggalkan desa. Pindah, berpencar entah ke mana." Cuma begitu yang diketahui si pelayan. Ia tak dapat memberi keterangan lain. Ching-ching menunduk sedih. Sekarang ia tak tahu bagaimana mencari kedua gie-heng dan kong-kongnya. Semenjak perginya Ching-ching, keadaan Chin Wei semakin gawat saja. Kedinginannya tidak berkurang. Ia sampai tak bisa tidur karenanya. Ayahnya, yang mencoba membantu dengan mengalirkan sinkang, malah terluka sendiri karena telah memaksa diri. Ia mencoba mengajari anaknya mengatur hawa di dalam tubuh, tapi Chin Wei tak dapat berkonsentrasi, sehingga hal itut ak mungkin dilaksanakan. Enam hari sudah lewat sejak Ching-ching pergi. Ada dua kejadian di rumah keluarga Kwan. Hari itu Kwan Hujin membawakan bubur panas untuk anaknya. Ia akan menyuapi putra tunggalnya. Tanpa disengaja, bubur yang amat panas itu tumpah mengenai tangan Chin Wei. Tapi, pemuda itu seperti tidak merasa. Ia malah heran waktu ibunya menanyakan apakah tangannya sakit. Kwan Hujin lari mendapati suaminya dan melaporkan apa yang terjadi. Kwan Piawsu cepat mendapati anaknya. "A-wei, sungguhkah kau tidak merasakan panas di tanganmu?" "Tidak, Thia." Kwan Piawsu tidak yakin. Ia menyuruh orang mengambil air panas dan dingin. Dengan saputangan, diusapkannya dua macam air itu ke tangan Chin Wei bergantian. Tapi Chin Wei tak merasa apa-apa. Kwan Piawsu masih tidak puas. Ia mengambil belati dan menggoreskan ke tangan Chin Wei. Keluar darah, agak kusam warnanya, tapi Chin Wei tidak merasakan sakit sama sekali! Kemudian datang laporan pada Kwan Piawsu. Salah seorang anak buahnya melihat Ching Ching Karya ??? di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo See-cong Shakwa ada di rumah Tan Piawsu. Demi anaknya, Kwan Piawsu lekas datang ke rumah saingannya supaya anaknya ditolong. "Sebenarnya aku tak mau repot dalam urusan ini," jawab Tan Piawsu. "Ini adalah urusan anak-anak. Urusan anak kecil, baiknya orang tua tidak ikut campur. Begitu bukan, Kwan Piawsu?" katanya mengejek. "Tapi kau beruntung, kawan. Guru silat anakku memberikan pemunah ini untuk anakmu." Tan Piawsu mengambil sebuah botol dari sakunya. "Dengan sayarat." "Apa syaratnya?" "Pelayanmu. Yang galak itu. Kau mesti usir dia!" "Tidak bisa. Ia sudah mati-matian mencoba menolong anakku. Mana boleh aku tak tahu budi orang?" "Yah, aku tak memaksa. Begini saja. Kuberikan obat ini kepadamu tanpa Ching Ching 143 sepengetahuan See-cong Shakwa. Tapi kau harus berjanji, tak akan rewel lagi soal urusan ini." "Baiklah. Asal anakku sembuh, janji itu akan kutepati." Setelah berterima kasih, Kwan Piawsu pulang ke rumahnya sendiri. Memang ada perubahan pada Kwan Chin Wei. Ia tak lagi kedinginan, tapi ia malah kesakitan terus. Dua malam seisi rumah pedih hatinya mendengar rintihan remaja tanggung itu. Hari berikutnya Chin Wei tak bersuara sama sekali. Ibunya sudah ketakutan anak itu mati. Ternyata tidak. Chin Wei masih hidup. Dadanya masih naik-turun, tanda napasnya belum putus. Tapi anak itu tak sadar berhari-hari lamanya. Ketika Ching-ching dan Sun Chai datang, tak heran mereka mendapati rumah yang sepi diselimuti duka. Keduanya tahu. Penyakit Chin Wei membuat suasana dirundung mendung, tapi tak menyangka seberapa parah Chin Wei. Ching-ching marah sewaktu tahu pemuda itu diberi obat yang didapat dari Tan Piawsu. "Si Gendut itu pasti sengaja memberikan obat yang salah. Kwan Piawsu, kita mesti menatangi dia dan meminta dia bertanggung jawab." Kwan Piawsu menghela napas. "Tak mungkin. Aku sudah berjanji tak akan mengganggunya lagi dalam soal ini." "Kau berjanji. Aku tidak! Akan kudatangi ...." Bicaranya Ching-ching terputus oleh seruan Sun Pao. "Lihat, Wei-ko membuka mata!" Benar, Chin Wei membuka matanya. Ketika melihat Ching-ching, pelan sekali kedua sudut bibir pemuda itu tertarik ke atas. Ia tersenyum. Kemudian ia memejamkan lagi matanya. Menghembuskan napas panjang. Dan cuma sampai di situlah mur pemuda Kwan Chin Wei. Sun Pao menjerit memanggil nama Chin Wei. Kwan Hujin tak tahan melihat itu semua. Ia jatuh pingsan. Untung keburu dipegangi Sun Chai dan segera dipapah keluar. Kwan Piawsu cuma berdiri tegak dengan mata berkaca-kaca. Ching-ching menggigit bibir, sebisa mungkin menahan air mata yang hendak meluncur ke pipinya. Chin Wei tak suka gadis cengeng. Ia tak boleh berlaku cengeng di depan pemuda itu. Ching-ching mengepalkan jemari tangannya. Tapi, kemudian ia tak kuat lagi dan berlari keluar. Ia berlari terus, dan terus, sampai di pinggiran kali tempat ia dan Chin Wei biasa bertemu. Gadis itu menatap air bening. Ada bayangan wajahnya di air. Kemudian bayangan itu berganti muka Chin Wei yang tersenyum. Lantas berubah lagi menjadi bayang-bayang Tan Hai Bun dan ayahnya berganti-ganti. Dengan gemas, Ching-ching memukul bayangan di air itu, tapi seolah bayangan ayah-beranak she Tan menempel di pelupuk mata, tak bisa hilang. Gadis itu makin marah. Dipukulnya air dengan lweekang. Air tersibak. Terlihat dasar yang lembap berbatu. Tapi Ching-ching belum puas. Ia mengamuk ke segala penjuru, di mana terdapat bayangan orang she Tan ayah-beranak. Batu-batu berpecahan, pohon-pohon tumbang, angin berkesiuran. Air sungai bahkan bergolak akibat tenaga yang dikerahkan Ching-ching. Sebentar saja tempat itu hancur berantakan. Setelah capek, barulah Ching-ching duduk di tanah dan melampiaskan sedih hatinya dengan menangis. Malam itu tak seorang pun terlelap di rumah keluarga Kwan. Mereka semua sedang menyembahyangi Kwan Chin Wei. Ching-ching yang dianggap orang luar tidak ikut dalam upacara itu. Tak jadi masalah. Gadis itu sudah punya rencana lain. Ia akan menyambangi rumah keluarga Tan malam ini! Sebelum pergi, Ching-ching meninggalkan surat untuk Kwan Piawsu, berisikan terima kasih atas tumpangannya dan menjelaskan rencananya, agar kelak kalau Ching Ching 144 keluarga Kwan dituduh membalas dendam kepada keluarga Dan, surat itu dapat ditunjukkan untuk membersihkan nama. Ching-ching sudah bertekad tak akan kembali lagi. Rumah Tan Piawsu tampak sunyi. Rupanya semua sudah bermimpi. Agak kerepotan Ching-ching mencari kamar Tan Piawsu di antara sekian banyak kamar di sana. Yang ditemukan malah kamar Tan Hai Bun. Mau balas pada ayahnya, tak ketemu, anaknya pun jadi, pikir Ching-ching. Dihampirinya Tan Hai Bun. Ditotoknya urat di leher sebelah kiri pemuda itu. Pemuda itu terbangun, merasakan totokan di lehernya. Melihat orang di kamarnya, ia membuka mulut untuk menjerit minta tolong, tapi yang keluar cuma suara bebisik saja. Ching-ching mengangkat tangannya, hendak memukul. Hai Bun melotot ketakutan, sampai pingsan saking takutnya. Ching-ching mendengus. Tak ada perlawanan sama sekali. Sekali tangannya bergerak, kepala Hai Bun akan pecah dan tamat riwayatnya. Tan Piawsu akan merasakan hal yang sama seperti keluarga Kwan. Tapi, tunggu dulu! Tan Hai Bun tak boleh mati bersamaan dengan Kwan Chin Wei. Kedua pemuda itu selalu bertengkar. Kalau mereka ketemu lagi, pasti berkelahi lagi. Itu tak boleh dibiarkan. "Tan Hai Bun, kau belum layak untuk mati. Tapi, dendam tetap mesti dibalas. Aku akan pakai cara lain!" Ching-ching menempelkan telapak tangannya pada dahi Hai Bun, lantas menyalurkan lweekang untuk merusak otak pemuda itu. "Rasakan!" desis gadis itu puas. "Sekarang kau mati tidak, hidup juga tidak. Salahmu sendiri, mencelakakan tuan mudaku lewat tangan gurumu." Setelah dendamnya punah, Ching-ching keluar dari kota itu. Ia tak punya urusan lagi di sana. Waktunya sudah tiba untuk berkelana lagi mencari A-thianya. Esok harinya sisi rumah Tan Piawsu gempar. Tan Hai Bun tidak mengenali orang. Ia tak mengenal ayahnya, ibunya, kakaknya, bahkan dirinya sendiri. Sepanjang hari kerjanya cuma ketawa-ketawa sendiri di kamar sambil teriak-teriak. "Chin Wei mati! Aku tak punya saingan lagi! Semua harus tunduk padaku! Tunggu dulu ... siapa aku" Aku siapa" Tentunya aku jagoan nomor satu di kolong langit. Semuanya! Hahaha." Tan Piawsu bingung melihat anak kesayangannya menjadi sedemikian rupa. Istrinya menangis terus-terusan. Dan anaknya yang sulung cuma bisa memandangi adiknya dari jendela karena Hai Bun tak memperbolehkan seorang pun masuk. "A-thia, kenapa Bun-tee jadi begitu?" tanya Hai Cong. Tan Piawsu terdiam sejenak. "Pasti!" katanya kemudian. "Pasti A-bun diguna-gunai oleh keluarga Kwan!" "Diguna-guna?" "Aku mesti ke sana sekarang. Kwan Piawsu mesti menyembuhkan anakku. Kalau tidak ...." Tan Piawsu menggumam sembari bergegas pergi. Tan Hai Cong memperhatikan adiknya yang tampak sudah tenang dan sekarang sedang duduk bengong di lantai. Hai Cong memberanikan diri membuka pintu kamar Hai Bun. Ia bertindak pelan sekali, takut kalau adiknya mengamuk, melempari dengan barang-barang seperti waktu a-thianya masuk pagi tadi. "Bun-tee!" panggilnya lirih. Hai Bun seperti tidak mendengar, terus saja menekuri lantai. "Bun-tee!" panggil Hai Cong lebih keras, barulah Hai Bun menoleh. Melihat orang masuk tiba-tiba dia kumat lagi. "Aaah, jangan! Jangan! Tolooong!" "Bun-tee, ini aku!" kata Hai Cong. Tapi, Hai Bun tak mengenali abangnya sendiri, terus saja menjerit-jerit. Ching Ching 145 "Jangan! Jangan! Ampun! Jangan ganggu aku! Bukan aku yang bunuh Chin Wei. Suhu yang meracuninya." "Bun-tee, kau ngomong apa?" "Kau ... kau A-ying. Aah! Jangan mendekat!" Hai Bun lari menjauhi kakaknya. "Ini aku, Hai Cong, abangmu!" Hai Cong mencoba menghampiri. "Hai Cong" Siapa itu" Kau pasti orang suruhan A-ying. Ampun! Jangan bunuh aku. Jangan!" Hai Bun menggelengkan kepala dan menggoyangkan tangan dengan keras. Hai Cong sudah takut saja kepala adiknya copot menggelinding ke tanah. Ia cepat-cepat keluar. Hatinya tergiris melihat keadaan Hai Bun yang menyedihkan. Datang ke rumah keluarga Kwan, Tan Piawsu langsung mengamuk dan menuduh Kwan Piawsu mencelakai anaknya. Keluarga yang berduka itu jadi marah melihat kelakuannya yang tidak sopan di depan meja sembahyang. Hampir saja pegawai-pegawai Kwan Piawsu menghajar si gendut she Than. Untung, mereka keburu dicegah majikan mereka,yang tak mau cari ribut lagi. "Tan Piawsu, ada urusan bolehkah diselesaikan baik-baik" Tak perlu marah-marah," tegur Sun Chai. "Tak marah bagaimana" Anakku dicelakai orang, kau bilang aku tak usah marah?" "Sebenarnya, ada apakah dengan anakmu?" "Berlagak tidak tahu. Baiklah, kusebutkan supaya semua orang di sini mengetahui keburukanmu. "Tan Piawsu menghadap kepada para tamu yang datang melayat. "Cuwi, orang ini sudah menggunakan ilmu jahat untuk meneluh anakku sehingga jiwanya terganggu!" Sejenak orang-orang di sana ramai berbisik. "Tan Piawsu, sungguh keji tuduhanmu. Aku tak pernah menggunakan ilmu apa pun untuk meneluh orang. Bukan aku yang melakukannya. Tan Piawsu terus saja menuduh. Sun Chai jadi panas hatinya. "Tan Piawsu, bukti apa kau menuduh kami?" "Kau sendiri, bukti apa menyangkal?" "Aku ada surat yang boleh membuktikan bahwa bukan kami yang mencelakai anakmu!" Sun Chai mengeluarkan surat dari Ching-ching. "Sun Siawtee, jangan membawa orang lain dalam urusan ini!" tegur Kwan Piawsu. "Kwan Koko, rupanya kejadian ini sudah diramalkan A-ying dan surat ini adalah untuk menyelamatkan nama kita." Sun Chai memberikan seruat itu kepada Wan-gwe yang dapat dipercaya, minta tolong dibacakan. Wan-gwee membacakannya dengan suara keras di hadapan setiap orang. Surat Ching-ching menceritakan semua persoalan, mulai dari perkelahian Kwan Chin Wei dan Tan Hai Bun, terus sampai saat Chin Wei dicelakai, dan masih berlanjut hingg terbukti Kwan Piawsu tidak punya salah dalam hal ini. Ching-ching mengatakan ia melakukannya sendirian, tanpa sepengetahuan siapa pun. Ia akan membalas dendam pada Tan Piawsu dan anaknya. Bukan main malu hati Tan Piawsu. Apalagi waktus emua orang melihatnya dengan pandangan menuduh. Tanpa pamitan lagi, ia pulang dengan langkah bergegas. Di jalan ke rumah, ia bertemu dengan anaknya yang sulung. Hai Cong menghampirinya dengan muka pucat bagai mayat dan napas terengah. Matanya membelalak panik. "A-thia! Bun-tee ...." Hai Cong menunjuk ke arah rumah mereka. "Ia keluar, menyelinap ke dapur, dan mengambil pisau. Tahu-tahu ia mengamuk seperti orang kesetanan. Banyak pelayan kita yang terluka." Tergopoh-gopoh Tan Piawsu pulang ke rumahnya. Benar apa yang dikabarkan Hai Cong. Baru sampai pintu depan saja, sudah ada tiga sosok mayat yang menyambut. Ching Ching 146 Di ruang tengah ada enam. Di kebun belakang Tan Piawsu melihat Hai Bun baru saja mencabut pisau dari badan seorang yang kini sudah tak bererak lagi. Orang itu tak lain adalah Tan Hujin! Tan Piawsu begitu kaget sampai tak dapat berbuat apa-apa. Hanya matanya saja melotot memandang istrinya kinit erkapar. Ia bahkan tak bergerak waktu Hai Bun mendekati dengan mata nyalang dan pisau di tangan. Barulah setela pisau itu menancap ke jantungnya, ia menjerit lirih. Sedetik kemudian nyawanya terbang menyusul istrinya yang mendului. Tan Hai Cong terpana melihat itu semua. Hampir ia tak menyadari adiknya yang mendekat sambil senyum-senyum. Untung ia cepat pulih. Ia mundur-mundur, menghindari adiknya yang bersikap mengancam. "Hehe, semua teman Chin Wei harus kuhabisi. Kau juga!" kata Hai Bun, menuding kakaknya. Lalu ia menyerang. Hai Cong sedapat mungkin menangkis pisau yang bergerak ke jantungnya. Tapi, entah kenapa tenaga Hai Bun seolah bertambah sepuluh kali lipat. Kakaknya sudah tak kuat adu tenaga dengannya. Nyawa Hai Cong sudah dalam tangan adiknya. Pemuda itu sudah memejamkan matanya, pasrah! Tahu-tahu Hai Bun melepas pisaunya, memegangi kepala dan berputar-putar. Sebentar kemudian ia ambruk ke tanah, tak berkutik lagi. "Sungguh menyedihkan. Satu keluarga hampir tak bersisa." Hai Cong menoleh. Ia mengenali orang yang baru datang. See-cong Shakwa! "Anak muda, keluargamu terbasmi karena seorang gadis cilik. Kau tahu! Dan kau tak akan dapat membalas dendam kecuali kau ikut denganku." Suara pendeta Tibet itu seolah menyihir Hai Cong. Ia menurut waktu diajak pergi. Di otaknya cuma ada kata balas dendam! Padahal, waktu itu Hai Cong tak tahu kepada siapa ia membalaskan sakit hatinya. Setelah berhasil membalaskan dendam dan pergi dari kediaman Piauw-kiok Kwan, Ching-ching mengembara luntang-lantung ke sana ke mari. Persediaan uangnya semakin menipis dipakai membayar makan dan tidur di perjalanan. Hari ini pun uangnya sudah tinggal sedikit. Paling-paling hanya cukup untuk makan sekali lagi saja. Lalu bagaimana aku membayar penginapan nanti malam" pikir Ching-ching. Tapi perutnya yang keroncongan memaksanya untuk tidak lama-lama berpikir. Yah, bagaimana nanti saja, katanya dalam hati. Kemudian ia segera memasuki rumah makan besar. Tengah Ching-ching menikmati hidangan yang dia pesan, datang serombongan orang berpakaian indah memasuki rumah makan itu. Tampang mereka yang menyeramkan dan pedang-pedang yang besar tergantung di pinggang orang-orang itu membuat ngeri para pengunjung rumah makan tersebut. Para pengunjung itu mempercepat makannya. Beberapa orang bahkan membatalkan pesanan dan terbirit-birit keluar sementara rombongan yang baru datang dengan santainya menempati meja-kursi yang ditinggalkan. Sebentar saja rumah makan itu menjadi sepi. Hanya Ching-ching yang tidak peduli. Ia hanya melirik sekilas lalu melanjutkan makannya. Setelah menghabiskan makanannya, Ching-ching berjalan keluar. Ia berjalan santai dengan kepala menunduk. Orang-orang itu membiarkannya lewat tanpa berbicara sepatah kata pun. Sedari tadi mereka memang membisu. Tiba-tiba Ching-ching iseng lagi. Sekarang ia butuh uang. Orang-orang ini kelihatannya kaya. Bagaimana kalau ia mencopet seorang dari mereka. Ching-ching melirik. Nah, anak muda di dekat pintu itu merupakan korban yang Ching Ching 147 empuk. Ia berjalan menghampiri pemuda yang sedang asyik meneguk secawan arak. Ketika melewati pemuda itu, tangannya bergerak cepat. Ia hanya menyenggol sedikit saja. "Maaf!" gumam Ching-ching. Ia terus saja melangkah. Ha, sekarang dompet pemuda itu ada padanya. Sebelum mereka selesai makan, tak seorang pun akan menyadari. Gadis itu berjalan memasuki gang kecil di antara dua gedung. Ia ingin tahu berapa banyak uang yang berhasil dicopetnya. Tiba-tiba ia tertegun. Kantung uang itu, dia mengenali kantung uang itu! Kantung uang yang dijahitnya sendiri, bersulam gambar naga dengan benang keperakan! Kantung uang yang diberikannya pada Fei Yung, pangeran kerajaan Mongol! Jadi pemuda tadi .... Didengarnya suara banyak orang berlari dan berteriak. Dari tempatnya bersembunyi, ia lihat rombongan dari rumah makan tadi lewat. Dan pemuda yang memimpin adalah Fei Yung! Ching-ching keluar dari persembunyiannya. Ia tidak mau mengambil barang Fei Yung. Tapi ... bagaimana cara mengembalikannya" Rombongan tadi entah belok ke mana, ia tak tahu lagi. Ia jadi terpaku di tengah jalan. Tak dipedulikannya orang-orang yang lewat memperhatikan dia. "Itu orangnya!" teriak seseorang. Ternyata rombongan tadi kembali lagi. Tapi, tak terlihat Fei Yung di antara mereka. Jumlahnya pun berkurang. Mungkin mereka berpisah di tengah jalan. Kalau tidak ada Fei Yung, gawat. Bisa-bisa ia disangka copet biasa. Ching-ching memutuskan untuk lari. Ia tak mau ditangkap di depan orang banyak. Urusan dengan Fei Yung lain kali saja. Ching-ching membalikkan tubuhnya dan berlari. Rombongan di belakangnya mengejar. Ching-ching menyelinap di antara orang-orang. Di jalan yang ramai ini ia tak dapat gunakan ginkang untuk melarikan diri. Tapi, musuh pun akan sulit mengejar. Ching Ching Karya ??? di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Brukk!! Ching-ching terguling. Kakinya tersandung sebuah keranjang yang tergeletak di tengah jalan. Celaka! Lututnya sakit sekali. Pergelangan kakinya sakit juga. Barangkali terkilir. Sekarang untuk berdiri pun rasanya tak sanggup, apalagi berlari. Pasrah sajalah. Pengejarnya semakin dekat. Jumlahnya dua kali lipat. Tapi kali ini Fei Yung ada di antara mereka. "Putri Lung Ching!" seru Fei Yung. "Ternyata aku tidak salah mengenali orang. Eh, kenapa kau duduk di tengah jalan?" "Sialan, aku tak bisa berdiri, kau malah meledek!" sergah Ching-ching dalam bahasa Mongol. Fei Yung membantunya berdiri. "Terkilir, ya?" tanyanya dalam bahasa yang sama. "Siapa suruh, dikejar malah lari. Padahal kami hanya mau buktikan kalau aku tak salah lihat waktu di rumah makan." Ching-ching melotot. "Jadi kalian mengejar-ngejar cuma gara-gara itu?" Fei Yung mengangguk. "Bukan gara-gara ini?" Ching-ching menyodorkan kantung uang yang dicopetnya. "Lho, bagaimana itu ada padamu?" tanya Fei Yung keheranan. "Tadinya tergantung di sini." Ia menunjuk pinggangnya. "Sudah, nih, kukembalikan padamu. Aduh, gara-gara kau dan para pengawalmu, kakiku jadi sakit." "Lalu bagaimana?" Ching Ching 148 "Bagaimana, bagaimana! Bawa aku ke tabib untuk menyembuhkan kakiku. Dan kau harus menanggung biayanya!" "Tentu, tentu. Biar kusuruh pengawalku membuat tandu untukmu." Keisengan Ching-ching muncul lagi. Biar kukerjai dia, katanya dalam hati. "Tidak mau!" tolaknya. "Lantas bagaimana?" "Kau gendong aku!" "Aku?" Fei Yung terkejut. "Menggendongmu?" "Kalau tidak mau, ya sudah," Ching-ching merajuk. "Biar aku di sini saja." Fei Yung kebingungan. Ia tidak menyadari para pengawalnya kerepotan menahan tawa di belakang pangeran mereka. "Baiklah, baiklah, naiklah ke punggungku, kita ke rumah tabib sekarang." Ching-ching digendong di punggung Fei Yung. Ia tertawa-tawa gembira sementara Fei Yung berasa kesal. Apalagi semua orang yang ditemui menertawakan mereka. Perjalanan ke tempat tabib dirasanya jauuh sekali. Akhirnya mereka sampai juga. Dengan lega Fei Yung menurunkan Ching-ching. Tabib segera memeriksa. "Bagaimana?" tanya Fei Yung dan Ching-ching bebareng. "Tidak apa-apa, tidak apa-apa," jawab tabib itu. "Nona, akan kubalut kakimu. Sebentar lagi akan sembuh dan tidak sakit lagi. Tapi ingat, jangan dulu dipakai berjalan selama dua hari." "Bagus!" kata Ching-ching. "Berarti ada kesempatan digendong lagi. Paling tidak sampai ke penginapan." "Tidak mau!" kata Fei Yung buru-buru. "Punggungku sudah pegal." "Harus!" Ching-ching memaksa. Sebenarnya ia tidak sungguh-sungguh, hanya sekedar ingin melihat reaksi Fei Yung. Salah seorang pengawal Fei Yung maju dan membisiki pangerannya. Fei Yung meringis. "Baiklah," katanya. Terpaksa digendongnya lagi Ching-ching ke penginapan. "Aduh, pundakku sakit," keluh Fei Yung setelah mengantar Ching-ching ke kamarnya. "Aduuh, kasihan," kata Ching-ching. "Sudah, jangan meringis-ringis lagi. Sini, kupijiti." "Nah, begitu lebih baik. Eh, Ching-ching, tanganmu kecil-kecil sih?" "Kalau besar-besar, aku kerepotan dong membawanya. Kan berat," canda Ching-ching. "Fei Yung, omong-omong, kenapa kau keluyuran di sini?" "Aku mencarimu." "Mencariku" Ada urusan apa?" "Mau mengajakmu pulang." "Aku tidak mau pulang," kata Ching-ching. "Aku lebih suka di sini. Lagipula aku belum lupa untuk mencari A Thiaku." "Dengarkan, Ching-ching," Fei Yung memandang lekat-lekat gadis manis di hadapannya. "Kakekku mulai sakit-sakitan. Ia takut ajalnya segera tiba. Dan sebelum mati, ia ingin melihat janjinya untuk mempersatukan dua negara terpenuhi." "Kalau begitu, kau tunangan sama Chin Yee saja, kan sama." "Mana bisa sama, kau dan dia berbeda." "Huuh!" keluh Ching-ching. "Umurku baru 14 tahun lebih sedikit, sudah disuruh kawin." "Ibu dan ayahku kawin waktu umur 14 juga." Ching Ching 149 "Itu kan ibu dan ayahmu. Aku lain!" "Tapi Ching-ching, perjanjian antara kakekku dan kakekmu diadakan jauh sebelum kita lahir." "Sudahlah," Ching-ching mengibaskan tangan, "besok-besok saja kita bicarakan lagi. Aku mau tidur." "Baiklah, selamat malam." Fei Yung keluar kamar. Ching-ching membaringkan diri di atas ranjangnya. Ia betul-betul lelah. Beberapa saat kemudian ia sudah tertidur lelap. Dua hari berlalu. Ching-ching sudah dapat berjalan lagi. Fei Yung membawanya ke luar untuk melihat-lihat keramaian. "Ching-ching, hari sudah siang. Mari kita makan dan kemudian berkemas." "Memang mau ke mana?" "Pulang." Ching-ching menghela napas. Dua hari ia menghindar untuk membicarakan soal kepulangan dan pertunangan. Sekarang Fei Yung malah langsung mengajak pulang. "Fei Yung, kau pulang sendiri saja, aku tidak ikut." "Tapi Ching-ching - " "Fei Yung, kau tahu tidak kalau Chin Yee menyukaimu?" potong Ching-ching. Pipi Fei Yung bersemu merah sebelum kemudian ia menjawab, "Tahu." "Bagus kalau sudah tahu, lalu apa pendapatmu akan Chin Yee?" "Eh ...," Fei Yung gelagapan. "Baik, dia anak baik, manis, lemah lembut ...." "Nah, apa lagi?" kata Ching-ching. "Lagipula dia sebaya denganmu. Kalau aku sih cuma pantas jadi adikmu saja." "Memangnya kalau umurmu lebih muda, kenapa?" "Yaaa, tidak apa-apa, tapi kan lebih cocok kalau kau dengan Chin Yee." "Tapi aku dijodohkan denganmu. Keturunan langsung raja Sha-ie, Ching-ching. Kalau Chin Yee kan anak sepupu ibumu." Ching-ching mendengus. "Baiklah, aku terus terang saja. Aku bukan keturunan raja Sha-ie." "Aku tak percaya," kata Fei Yung. "Sudah, kau dengar saja aku cerita. Sambil makan." "Begitulah," Ching-ching selesai bercerita tepat ketika hidangan di hadapan mereka tandas. "Lalu Soe-cie membawaku ke Sha-ie. Selebihnya kau tahu sendiri." Fei Yung menggeleng-geleng. "Ching-ching, aku sering kena kau tipu, tapi kali ini tidak lagi. Ayolah, kau bohong, bukan" Kakekmu sendiri mengatakan kau betulbetul mirip ibumu. Mana mungkin ada dua orang yang tidak berhubungan darah bisa begitu persis." "Kalau tidak percaya, ya sudah!" bentak Ching-ching kesal. "Pokoknya aku tidak mau pulang. Tahu tidak, aku minggat dulu itu karena tak mau kawin denganmu!" "Ching-ching, katakan, apakah aku pernah berbuat salah padamu?" "Tidak." "Apakah aku kurang baik padamu?" "Tidak juga." "Ataaau karena wajahku jelek?" Ching-ching cekikikan sebelum menjawab. "Siapa bilang. Buktinya Chin Yee tergila-gila padamu." "Lalu apa kekuranganku sehingga kau tak mau pulang bersamaku"!" Fei Yung membentak seraya menggebrak meja, membuat seisi rumah makan menoleh kepada mereka. Ching Ching 150 "Ssst, tenang dulu," desis Ching-ching setelah hilang kagetnya. "Kita bicara di luar saja." Mereka pergi dari tempat itu. Di jalan, mereka tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Fei Yung karena kesal, Ching-ching karena sedang memutar otak mencari akal. Tiba-tiba ia mendapat ide. Fei Yung sangat patuh pada adat istiadat. Biar kuakali lewat kebiasaan juga, katanya dalam hati. "Fei Yung, apakah kau percaya, kalau orang melanggar sumpah, maka ia akan termakan sumpah sendiri?" "Percaya," sahut Fei Yung pendek. "Baiklah, aku katakan kepadamu. Duluuuu waktu ibuku sedang mengandung aku, A Thia menjodohkan aku dengan orang lain ...." "Mana bisa, kau sudah dijodohkan denganku, ibumu tentu tahu itu," cetus Fei Yung. "Mungkin, tapi ayahku mana tahu. Pokoknya ia sudah bersumpah pada sahabatnya yang sudah punya seorang anak laki-laki. Kalau kelak anak ayahku laki-laki juga, maka akan dijadikan saudara, dan kalau perempuan, akan dijodohkan. Dan yang melanggar akan mati tersambar petir." "Betapa keji sumpah itu. Tapiii kenapa ayahmu mau bersumpah sedemikian?" "Eh, soalnya ... soalnya," Ching-ching mencari alsaan yang masuk akal, "soalnya ayahku pernah berhutang budi dan tak dapat membalasnya." "Oh, begitu." Fei Yung tampak berpikir. "Kau pernah menemui jodohmu itu" Kalau tidak, seandainya kau kawin dengan orang lain, itu bukan salahmu atau ayahmu." "Siapa bilang belum pernah," kata Ching-ching nekad. "Pernah saja." "Katakan padaku, berapa kira-kira umurnya?" "Eh, kira-kira 2 tahun lebih tua dariku." "Apakah dia tampan?" "Lumayan," jawab Ching-ching sekenanya. "Kau tahu di mana dia tinggal?" Ching-ching terdiam. "Bawa aku padanya. Kok rasanya aku tidak percaya kalau belum melihat orangnya," kata Fei Yung. Ching-ching kaget. Mati aku, pikirnya. Di mana aku harus mencarinya dalam waktu singkat kalau berita itu kukarang sendiri" "Bagaimana?" tantang Fei Yung. Ditantang begitu, Ching-ching jadi nekad. "Baik, kubawa kau ke sana. Tapi tempatnya jauh dari sini." "Tidak mengapa, aku ingin meyakini kebenaran ceritamu." Ching-ching mengangkat bahu. Tapi dalam hati ia berkata, Bagaimana nanti saja. Sekalian cari di jalan. Kalau tidak ketemu pun, setidaknya menangguhkan kepulangan ke Sha-ie. "Ching-ching, sudah berhari-hari kita berkuda, belum juga sampai. Sebenarnya di mana sih tempat tinggal jodohmu itu?" tanya Fei Yung. "Sebentar lagi," kata Ching-ching. Padahal dalam hati ia pun bingung. Tiap anak laki-laki yang ditemui di jalan tidak ada yang cocok dengan ceritanya pada Fei Yung. Umur mereka rata-rata lebih 3 tahun darinya, sebaya dengan Fei Yung. Atau malah sebaya dengannya. Banyak pula yang lebih kecil. Uf, ternyata sulit juga mencari anak laki-laki yang tepat 2 tahun lebih tua. Padahal kalau tidak dicari, rasanya banyaaaak sekali. Mereka melewati sebuah sungai berbatu yang jernih airnya. "Kita istirahat di sini," kata Fei Yung pada para pengawalnya. Ching Ching 151 "Hei, Fei Yung, lihat, sungai ini banyak ikannya. Kita tangkap, yuk. Lalu dibakar. Seperti waktu di Sha-ie dulu. Mau?" kata Ching-ching. "Boleh," jawab Fei Yung. "Jangan menangkap di sini, airnya terlalu deras. Banyak batu besar lagi. Sebelah sana saja." Ching-ching berlari mendului. Fei Yung memerintahkan rombongannya untuk menunggu sementara dia pergi. Kemudian dikejarnya Ching-ching. Dengan lincah Ching-ching melompati batu-batuan dan akar-akaran yang melintang di jalan. Fei Yung yang tidak terbiasa harus berjalan lebih hati-hati. Akibatnya ia tertinggal agak jauh di belakang. Ching-ching sampai ke bagian sungai yang dangkal dan lebar. Di sana airnya nampak lebih jernih sehingga ikan yang berenang kian-kemari terlihat lebih jelas. Ching-ching menggulung lengan bajunya. Ia menyibak air dan bermain-main membuat ikan yang tadinya tenang jadi berenang serabutan. "Hey, jangan kecipukan di situ, ikannya pada ketakutan nih!" seseorang berseru mengejutkan Ching-ching. Nyaris gadis itu terjungkal masuk dalam air. "Maaf, aku tidak tahu," ujar Ching-ching. "Lagi buat apa kau di situ?" "Memancing," jawab yang ditanya, singkat. Ching-ching berjalan mendekati arah suara itu. Dari tempatnya barusan ia tak dapat jelas karena sinar matahari yang menyilaukan. Dari suara yang didengar, dapat diketahuinya dengan pasti asal suara tersebut, tapi tak ada orang di tempat ia memperkirakan menjumpai si pemilik suara. Yang ada cuma batu menjulang lebih tinggi dari batu di sekutarnya. "He, jangan bengong di situ. Kalau terpeleset, kecebur kau," kata suara itu lagi. Ching-ching maju lebih dekat. Agak menyimpang dari sorot matahari barulah terlihat bahwa batu yang menjulang tadi ternyata seorang anak laki-laki yang sedang duduk memegang joran. Ching-ching ikut naik ke batu yang diduduki anak itu. "Sudah dapat banyak?" tanyanya. "Belum," jawab anak itu. "Sedari pagi aku duduk di sini, tak seekor ikan pun nyangkut ke kailku." Sesaat mereka terdiam. Keduanya memperhatikan tali pancing yang lemas. "He, ada yang nyangkut, ada yang nyangkut!" seru anak laki-laki itu girang. "Tarik dong," desak Ching-ching. Anak laki-laki itu betul-betul menarik pancingnya. Tapi sentakannya terlalu keras. Ikan yang menyangkut terlempar tinggi ke udara lalu jatuh lagi ke dalam sungai. Anak itu tak dapat menahan sentakannya sendiri. Badannya terjengkang dan ikut tercebur. Ching-ching menertawakan ketika anak itu kembali duduk di batu. "Sial, sungguh sial," gerutu anak itu. "Sedari pagi menunggu, begitu dapat, lepas lagi. Tali pancingku putus pula, tinggal tangkainya saja!" Ching-ching masih cekikikan. Anak laki-laki itu tampak kesal. "Sudah, jangan sedih-sedih," ujar Ching-ching. "Sinikan joran itu. Kuperlihatkan padamu bagaimana seharusnya memancing ikan." Gadis itu menarik belatinya yang diikatkan ke kakinya. Ia memotong bagian tangkai pancing yang tipis. Sisanya diraut hingga berujung runcing. "Sekarang lihat!" Ching-ching melompat ke udara. Berjumpalitan, lalu meluncur ke air dengan kepala lebih dulu. Tap, tap, tap! Ia menusukkan tangkai pancing tiga kali ke air. Ching Ching 152 Ching-ching melompat berdiri sambil meminjam tenaga air. Ia sampai ke tepian tanpa setetes air pun membasahi tubuhnya. Tiga ekor ikan menancap di joran. Anak laki-laki di hadapannya terbengong-bengong. Matanya melotot dan mulutnya terbuka. Ching-ching menjadi geli melihat tampangnya. "Kenapa kau?" tanyanya. Tiba-tiba anak laki-laki itu berlutut dan menyembah sampai mencium tanah lalu pay-kui berkali-kali. "Hei, apa-apaan kau" Bangun! Hayo bangun!" Ching-ching kaget. Ia malah ikut-ikutan berlutut. "Kau ini dewi air atau apa?" tanya anak di hadapannya dengan wajah pucat. "Aku manusia. Kenapa?" "Kok bisa terbang dan berjalan di air?" "Itu sih berkat latihan." Ching-ching tersenyum. Tiba-tiba namanya dipanggil orang. "Ching-ching! Kau di mana?" "Brengsek! Aku lupa dia ikut," gumam Ching-ching. "Siapa?" tanya si anak laki-laki. "Temanku," jawab Ching-ching. Tiba-tiba sebuah ide melintas di kepalanya. Anak laki-laki di hadapannya cocok dengan gambaran yang diberikan pada Fei Yung. He, bagaimana kalau .... Ching Ching Karya ??? di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Kau mau bantu aku, tidak?" tiba-tiba Ching-ching bertanya. "Bantu apa?" "Pokoknya mau, tidak?" "Mau, tapiii . . . ." "Pokoknya kau jangan membantah apa pun yang kukatakan. Nanti kujelaskan." Tidak ada waktu untuk menjelaskan lagi. Fei Yung sudah sampai di hadapan mereka. "Ching-ching, kau berjalan cepat sekali. Aku tak dapat mengikuti. Nyaris aku tersesat tadi." Ching-ching tidak menjawab. Fei Yung menoleh ke arah anak laki-laki di sampingnya. "Inii ...," ia memandang bertanya. "Oh, ini calon suamiku yang pernah kuceritakan padamu, ingat?" potong Ching-ching cepat. Wajah Fei Yung mendadak pucat. Ia memperhatikan anak yang setahun lebih muda darinya itu, yang nyengir dengan wajah merahnya. Tapi segera ia berubah sikap. Pandangannya meremehkan anak ceking yang bertampang bloon itu. Dengan sedikit usaha saja ia yakin dapat merebut hati Ching-ching. Huh, anak gembel begini saja, mana bisa dibandungkan denganku, pikirnya angkuh. "Oooh, ini orangnya," Fei Yung berkata dengan nada sinis. Ching-ching menangkap kesan merendahkan itu. "Siapa namanya?" tanya Fei Yung pada Ching-ching. Ia menganggap tak ada anak laki-laki itu, saingannya. "Namanya ... namanya ...," Ching-ching kelabakan. Sedari tadi ia belum sempat bertanya. Diliriknya anak yang masih cengar-cengir itu dengan pandangan bertanya. Tapi entah berlagak tidak tahu, atau betul-betul bego, yang dilirik tetap saja pamer cengiran di wajahnya. "Eh, namanya Yuk Lau." Dalam bingung, Ching-ching menyebut nama kakak angkatnya. Anak laki-laki itu tidak menyangkal. Ia malah mengangguk mengiyakan. "Ching-ching, katanya kau mau menangkap ikan. Ayo!" ajak Fei Yung. "Sudah," jawab Ching-ching dan mengacungkan ikan-ikan yang ditangkapnya. "Kita bakar di sini saja." Mereka menikmati ikan bakar di tepi sungai. Selama mereka makan, Fei Yung dan Yuk Lau gadungan tidak bercakap-cakap. Ching-ching yang berceloteh riang pun tak Ching Ching 153 berhasil mencairkan kebekuan di antara keduanya. Hari itu mereka bermalam di tengah hutan. Yuk Lau ikut karena ia kepingin tahu tentang Ching-ching lebih banyak. Ching-ching sendiri malah senang, dengan demikian Fei Yung akan lebih yakin akan kebenaran ceritanya. Sayangnya, Fei Yung tak pernah beranjak dari sisi Ching-ching sehingga Yuk Lau tak dapat buru-buru minta penjelasan. Baru ketika Fei Yung berbincang-bincang mengenai rencana kepulangan dengan para pengawalnya, Yuk Lau dapat mengobrol berdua saja dengan gadis itu. "Ching-ching," Yuk Lau membuka pembicaraan. "Aku sudah turuti kemauanmu. Sekarang ...." "Tahu, tahu," potong Ching-ching seperti kebiasaannya mendahului orang. "Aku juga sudah mau cerita. Kau mau bertanya kenapa aku melibatkanmu untuk membohongi orang, bukan" Gara-garanya si Fei Yung itu ngebet tunangan denganku." "Asyik!" komentar Yuk Lau. "Asyik apanya!" Ching-ching melotot. "Aku tak mau sama dia." "Lebih mau sama aku, ya. Aduh, kejatuhan bulan aku. Punya jasa apa orang tuaku hingga anaknya sedemikian beruntung." "Huh, kan cuma sementara, terpaksa lagi." "Duh, sengitnya. Padahal dalam hati - Aduh!" Ching-ching menggetok lawan bicaranya. "Sadis amat!" gerutu Yuk Lau sambil mengusap-usap kepalanya yang sakit. "Ngomong-ngomong, kenapa kau tak mau ... eh, kawin sama dia" Kelihatannya orangnya baik, pintar, kaya, cakep lagi." "Biar baik, pintar, kaya, cakep, kalau aku tak suka, mau apa?" tantang Ching-ching. "Harus ada alasannya." "Pokoknya tak suka!" "Aku tahu, aku tahu. Kau beralih suka padaku begitu bertemu. Sekarang aku tahu artinya cinta pada pandangan pertama seperti yang sering dikatakan pamanku." "Cinta kepalamu!" tukas Ching-ching sengit. "Umurku baru empat belas dan aku ... ah, sudahlah." Dengan marah, Ching-ching bangkit dan pergi. Yang ditinggal malah tersenyum. Anak laki-laki itu senang melihat Ching-ching marah-marah. Lucu! Apalagi dengan bibir mencibir. Ah, ia suka gadis itu. "Pssst, namamu sebenarnya siapa?" tahu-tahu Ching-ching menyapa dari belakang. "Naaah, sudah pakai tanya-tanya nama lagi." Ching-ching mencibir lagi. "Aku tak mau terus-terusan memanggilmu Yuk Lau. Huh, terlalu bagus untukmu." "Kenapa" Aku suka nama yang kauberikan." "Aku yang tidak suka. Ayo katakan, siapa namamu!" "Yuk Lau," kata anak itu ngotot. "Brengsek!" maki Ching-ching. "Kalau begitu, aku akan memanggilmu sesuka hatiku." "Apa misalnya?" "Terserah aku. Mau si Bego, si Tolol, si Bloon, si Dungu, si - " "Baiklah, baiklah. Namaku ... terserah kaulah." Bukan main dongkolnya Ching-ching dipermainkan begitu. Sifat manjanya timbul lagi. Setelah membanting kaki, ia berbalik dan pergi diiringi senyum Yuk Lau. Yuk Lau menengadah memandang bintang yang bertebaran di langit. Ia ingat masa lalu bersama pamannya. Seorang petani yang rajin. Dia juga yang mengasuh dan memberinya nama. Sayang umur orang baik itu tidak panjang. Ia meninggal karena Ching Ching 154 suatu penyakit. Setelah itu, keponakannya itu memutuskan untuk pergi daripada sebatang kara di desanya. Anak laki-laki itu menggelengkan kepala, mengusir kenangan sedih. Ia bangkit dan mendekati Ching-ching yang merenung di depan api unggun di tengah perkemahan yang didirikan di sana. "Hei," tegurnya pada gadis itu. "Marah, ya?" Ching-ching melengos ke arah lain. "Baik, aku kasih tahu namaku. Tapi aku tak yakin kau akan percaya." Ching-ching diam saja. "Namaku Siauw Kui!" kata anak laki-laki itu. Ching-ching menoleh cepat tapi segera membuang muka sambil mencibir sinis. "Tuh benar, kau tak percaya, padahal aku sudah berkata sejujur-jujurnya." Suara memelas itu membuat Ching-ching kembali menoleh. "Betul?" tanyanya sangsi. Siauw Kui mengangguk tegas. "Itu nama panggilanmu, kan" Aku tanya namamu yang sesungguhnya," kata Ching-ching. Sikapnya agak lunak sekarang. "Aku tak pernah dipanggil dengan nama lain kecuali hari ini. Namaku mendadak bagus." "Apa iya?" Ching-ching tercekikik. "Pantas tadi tidak mau mengaku, namamu jelek sih." Siauw Kui mengangkat bahu. "Sudah tidak marah?" Ching-ching menggeleng. "Cuma aku masih belum percaya. Mana ada orang tua memberi nama anakmu begitu rupa." "Itulah, aku tidak punya orang tua," kata Siauw Kui. Wajahnya berubah murung. Tetapi hanya sesaat saja. "Lalu, siapa yang mengasuhmu" Dan kenapa kau dinamai Siauw Kui?" "Aku diasuh pamanku ... ah, bukan paman sebetulnya. Ia menemukan aku sedang menangis. Waktu itu aku masih bayi, tergeletak di tepi jalan. Tepat ketika paman menggendongku, aku ngompol. Paman memaki, 'Siauw Kui!' Karena ia tak tahu namaku sebenarnya, maka aku dipanggil Siauw Kui." "Oh," hanya itu yang keluar dari mulut Ching-ching. Ia terharu juga mendengar riwayat Siauw Kui sehingga bisu untuk beberapa saat. "Pamanmu tidak mencari kalau kau tak pulang malam ini?" tanya gadis itu setelah rasa harunya hilang. "Dia tak bisa mencariku lagi. Sudah mati." "Dibunuh?" Mata Ching-ching melebar. Siauw Kui tertawa. "Kau ini sadis!" katanya disela gelak. "Pikir yang bukan-bukan. Pamanku sakit. Entah apa penyakitnya. Cuma bertahan tiga hari lalu ... wusss!" Siauw Kui mengibaskan tangan. "Kau tidak sedih?" "Aku sempat menangis seharian sampai mata dan hidungku bengkak. Tetapi sesudah itu ya sudah." Fei Yung mendekati mereka. Ia ikut duduk di seberang Ching-ching. "Besok kita kembali ke kapal, lalu pulang." "Aku tidak mau pulang," kata Ching-ching. "Tapiii ... kakekmu ...." "Kau bilang saja padanya, aku masih betah di Tiong-goan." "Pokoknya kau harus pulang dulu. Aku sudah janji - " "A-bun, jangan kuatir. Thia-thia akan membantu kau memberi pelajaran pada anak ini." sokong Tan Piawsu. "Aku akan sabar menunggu tantanganmu, Tan Kongcu." Ching Ching 155 Dibalas begitu, Tan Hai Bun dan ayahnya pegi, tak menengok lagi. Chin Wei tak usah lama-lama menunggu. Tiga hari sesudah kejadian itu, sebuah surat sampai padanya. Tertancap di pintu kamar dengan sebauh pisau. Surat itu berbunyi: Kwan Chin Wei, sakit hatiku akan terbalas. Baiknya kau bersiap-siap. Dua hari sesudah surat ini sampai di tanganmu, temui aku di Hek-cio-leng di utara kota. Kalau berani, kau datanglah sendiri. Urusannya tinggal antara kau dan aku. Tan Hai Bun Chin Wei memperlihatkan surat itu kepada Sun Pao dan Ching-ching. "Wei-ko, apakah kau akan menjawab tantangan ini?" tanya Sun Pao kuatir. "Tentu saja. Aku bukan pengecut. Pasti kuhadapi si Tan Hai Bun itu. Pao-pao, kali ini kau harus berjanji padaku, tak akan mengadukan hal ini kepada Thia-thia. Berjanjilah. Kalau tidak, aku tak mau bicara denganmu seumur hidup." "Wei-ko, jangan berkata begitu. Baiklah, aku berjanji." "Nah, begitu lebih baik." Chin Wei tersenyum lega. Soalnya, celaka kalau ayahnya sampai melarang. Bisa-bisa Tan Hai Bun mencapnya pengecut dan ia harus menerima ejekan teman-temannya. "Saoya, apakah kau betul-betul akan datang sendiri" Bagaimana kalau aku menemanimu?" kata Ching-ching. Ia agak khawatir juga. "Hai Bun menyuruh aku datang sendirian. Aku akan memenuhi tantangannya," Chin Wei bersikeras. Ching-ching tahu, akan percuma membujuknya lagi. Tapi, ia betul-betul kuatir kalau Chin Wei celaka. Bagaimana baiknya" Mestikah ia membuntuti dan melindungi Chin Wei diam-diam" "A-ying, apa yang kaupikirkan?" "Tidak, bukan apa-apa." "Kalian jangan terlalu kuatir," Chin Wei menenangkan. "Paling juga aku akan menghajar si Hai Bun sekali lagi." "Pokoknya, pokoknya," Ching-ching mendengus. "Pokoknya tidak mau. Sudah! Aku mau tidur." Ching-ching meninggalkan kedua pemuda itu. "Anak manja," kata Fei Yung pelan. "Tapi kau suka, kan?" goda Siauw Kui. Fei Yung menoleh ke arah pemuda itu. Diperhatikannya baik-baik. Hmm, wajahnya lumayan. Kocak, dengan bibir yang seolah tersenyum terus-menerus. Matanya dalam bercahaya menandakan kecerdasan pemiliknya. Rahangnya kokoh dengan garis-garis tegas. Dengan cahaya api yang mulai meredup, Fei Yung tidak menghadapi wajah bloon yang dilihatnya di tepian kali tadi siang. Tapi saat berikutnya lagi-lagi ia menatap wajah polos yang tolol. Sebaliknya Siauw Kui pun sedang memperhatikan Fei Yung. Wajah yang tampan. Alisnya tebal, matanya memandang tajam, bibirnya tipis, mengesankan keangkuhan. Dagunya persegi, tegas, dan asing. Mereka saling pandang seolah saling menilai. Tiba-tiba Siauw Kui memperlihatkan lagi cengirannya. "Ada yang aneh di wajahku?" tanyanya. Fei Yung tidak menjawab. Ia masih berpikir, apa kelebihan anak yang kurus kering itu sampai Ching-ching ngotot tak mau pulang ke Sha-ie bersamanya. Rasanya anak ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dia. Atau ... barangkali diam-diam pemuda ini punya ilmu silat yang tinggi" Biar kuuji, pikirnya. "He, jangan pandangi aku seperti itu!" kata Siauw Kui. "Aku jadi takut." Fei Yung berlagak menoleh ke arah lain. "Kau kenal baik dengan Ching-ching?" tanyanya. Ching Ching 156 "Jelas, ia calon istriku." "Apa ia pernah cerita padamu?" "Tentang apa?" "Bahwa ia putri kerajaan Sha-ie." Fei Yung memperhatikan reaksi pemuda di depannya. Dia kecewa ketika dilihatnya anak itu tenang-tenang saja. Mestinya ia terkejut menyadari Ching-ching seorang putri, pikirnya, atau minder, sedikitnya. "Lalu?" Siauw Kui malah balas bertanya dengan wajah polosnya. "Tidak apa-apa," jawab Fei Yung dongkol. "Huaah," Siauw Kui menguap. "Kalau begitu, aku mau tidur saja." Ia bangkit dan berjalan ke arah tendanya. Kesempatan! pikir Fei Yung. Ia menjentikkan sebutir kerikil ke arah sebuah pohon tak jauh dari sana. Kerikil itu mental, tepat menuju kepala Siauw Kui. Bila ia berkelit, berarti ia memiliki sedikit ilmu, paling tidak, pikir Fei Yung. Tapi Siauw Kui tidak berkalit. Kerikil itu mengenai belakang kepalanya. "Aduh!" pekik Siauw Kui. Tapi bukannya menoleh ke belakang, ia malah mendongak ke atas. "Pohon apa yang buahnya sebegitu keras!" gumamnya. Tapi kemudian ia mengangkat bahu tak peduli. Fei Yung yang sejak kecil dididik untuk tidak lekas percaya, jadi curiga. Tapi ia tak tahu, orang yang diincarnya benar-benar goblok atau sekedar pura-pura saja. Dia memutuskan untuk menguji sekali lagi. Biar, malam nanti, aku akan masuk dan menyerang dia di dalam tenda. Fei Yung menyuruh pengawalnya diam di tempat kalau nanti ada sedikit ribut-ribut, kecuali kalau ia berteriak. Diam-diam Fei Yung takut juga kalau dihajar babak-belur oleh Yuk Lau. Dikenakannya pakaian hitam dan secarik kain menutupi wajahnya. Bersenjatakan sebilah golok, perlahan-lahan ia masuk ke dalam tenda. Dilihatnya Siauw Kui yang sedang tertidur lelap, meringkuk di bawah selimut. Brakk! Fei Yung sengaja menendang meja kayu yang ada di situ. Siauw Kui terbangun, matanya masih terpejam. "Hei, ini tendaku. Kau salah masuk!" gumamnya setengah bermimpi. Tanpa berkata apa-apa Fei Yung menyerang. Goloknya meluncur lurus ke arah leher Siauw Kui! Melihat Siauw Kui tidak mengelak, Fei Yung terkejut. Tapi senjatanya terlanjur bergerak, tak dapat ditarik pulang. Ia cuma sempat melencengkan arahnya, namun gagang golok telah menghantam wajah Siauw Kui. "Waaaa!" anak itu menjerit. Ia benar-benar bangun sekarang dan buru-buru menghindar ke kolong. Fei Yung menyerang lagi. Sekarang tidak terlalu sungguh-sungguh. Siauw Kui berjingkrakan sambil teriak-teriak. Ia heran serangan makhluk hitam-hitam itu tak satu pun mampir di tubuhnya, tetapi ia terkurung, tak dapat juga menyusup keluar tenda. "Hiaaat!" teriakan yang lantang terdengar. Siauw Kui maupun penyerangnya terkesiap. Keduanya serempak menengok. Mereka melihat Ching-ching menyerbu masuk. Orang berpakaian hitam itu kelabakan menangkis dan menghindari serangan Ching-ching. Tak berani ia melawan karena takut melukai gadis yang menyerang bertubi-tubi itu. Sekali dilihatnya kesempatan kabur, dalam sesaat ia sudah keluar dari tenda. "Aduh, ada orang mau bunuh aku," keluh Siauw Kui. "Siapa bilang," tukas Ching-ching. "Kalau ia hendaki kau mampus, sudah sedari Ching Ching 157 tadi jiwamu melayang." "Lantas mau apa dia" Aku tak punya barang untuk dirampok." "Mana tahu," kata Ching-ching ketus. "Kau tanya saja pada orangnya." Gadis itu keluar tenda setelah meyakinkan Siauw Kui bahwa takkan ada orang lagi yang berani mengganggunya. Siauw Kui masih ketakutan. Ia minta ditemani tidur. Jelas saja Ching-ching menolak mentah-mentah dan buru-buru pergi. Di luar, pandangannya menyapu para penjaga yang menunduk tak berani balas menatap, tapi terutama pada Fi Yung yang duduk di dekat api, ia memandang marah. Ching Ching Karya ??? di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Fei Yung menunduk semakin dalam. Rasa bersalah memenuhi dadanya, tetapi hati kecilnya membantah. Ia toh tak melukai anak lakilaki tadi, bahkan tak punya niatan untuk itu. Ching-ching tak mau menegur Fei Yung di depan bawahannya. Ia memberi isyarat supaya pemuda itu mengikuti. Agak jauh, barulah Ching-ching angkat bicara. "Kau mengecewakan aku," katanya dingin. "Lung Ching, aku tak bermaksud - " "Besok pagi aku pergi," potong Ching-ching. "Aku tak mau kau ikuti." "Tapi - " "Pokoknya kalau aku pergi dan kau ketahuan menguntit, aku tak mau kenal lagi seumur hidup." Sehabis berkata demikian, Ching-ching kembali ke tendanya. Tinggallah Fei Yung menyesali diri. Esok paginya Fei Yung tak menemukan Ching-ching maupun pemuda yang bersamanya itu. Keduanya sudah pergi sebelum ia bangun. Saking kesal Fei Yung menendang pasak tenda hingga tenda itu roboh. Kurang ajar! Ching-ching benar-benar pergi tanpa pamitan padanya. Fei Yung tak mau mengejar lagi. Kesombongan dan keangkuhannya melarang. Lagipula ia tak mau kalau Ching-ching memusuhinya seumur hidup. Fei Yung memandang ke kejauhan. Dalam hatinya ia masih berharap bertemu gadis lincah bernama Ching-ching itu. Ching-ching dan Siauw Kui sudah cukup jauh dari hutan yang mereka tinggalkan. Kini mereka sampai di sebuah desa. "Perutku keroncongan, kita makan dulu du rumah makan di sana," Ching-ching membuka suara. "Aku tidak punya uang," kata Siauw Kui. "Aku yang mengajak, aku yang bayar," sahut Ching-ching. Ditariknya tangan Siauw Kui memasuki rumah makan yang cukup ramai itu. Mereka duduk di meja yang paling pojok. Ching-ching memesan makanan, dan sambil menunggu mereka bercakap-cakap. "Siauw Kui, setelah ini kau mau ke mana?" "Terserah," jawab yang ditanya singkat. "Kok, terserah?" "Ya, terserah, dari kemarin juga ke mana kita pergi terserah padamu." "Iya, tapi setelah ini kita harus berpisah." "Harus" Kenapa harus" Aku mau ikut kau saja. Enak, setiap hari makan kenyang. Gratis lagi." "Enak saja. Aku tak mau ke mana-mana diikuti manusia macammu." "Kok begitu" Kau kan istriku." "Permainan sandiawara kita sudah berakhir kemarin." Muka Ching-ching agak memerah ketika mengatakan hal itu." "Sayang," kata Siauw Kui, "padahal kalau berlanjut pun aku tidak keberatan." Ching-ching memonyongkan mulutnya, siap mendamprat, tapi saat itu makanan mereka datang. Perut yang lapar menunda perang mulut mereka. Ching Ching 158 Selesai makan, Ching-ching meletakkan satu tael di meja. Tanpa berkata apa-apa ia meninggalkan Siauw Kui yang masih menikmati santapannya. Dalam pikiran gadis itu, kalau ia cepat-cepat pergi, Siauw Kui pasti malas mengikuti. "Hei, Ching-ching, mau ke mana?" "Pergi." "Tunggu aku, makanannya belum habis, kan sayang." Ching-ching tidak peduli, ia terus saja berjalan. Siauw Kui memandangi gadis itu, lalu menoleh ke hidangan di hadapannya. Sayang, makanan sedemikian banyak ditinggal. Padahal lain kali belum tentu bisa makan makanan selezat ini. Tapi ia cepat ambil keputusan. Setelah menyambar ikan bakar yang masih sisa separuh, ia berlari mengejar. "Tega-teganya kau tinggalkan aku," kata Siauw Kui dengan napas terengah ketika berhasil menjajari langkah Ching-ching. "Kenapa kau ikut" Makananmu belum habis, kan?" "Belum, tapi aku tak mau kau tinggalkan." "Aku tak mau kau ikuti!" bentak Ching-ching. "Aku yang mau ikut," Siauw Kui ngotot. Ching-ching tidak berkata apa-apa lagi. Ia percepat jalannya, bahkan dikerahkannya pula ginkang. Siauw Kui terpaksa berlari untuk tetap menjejeri, tapi lama-lama tenaganya berkurang juga, apalagi membawa perut yang berat oleh makanan. Akibatnya sebentar saja ia sudah ketinggalan jauh oleh Ching-ching yang melesat cepat. * Ching-ching duduk mengaso di bawah sebuah pohon. Rasanya ia sudah cukup jauh meninggalkan Siauw Kui, tidak apa-apa kalau ia beristirahat sebentar, mengatur napas sambil menikmati angin sepoi-sepoi. Tak berapa lama, ia pun terlena, tertidur di bawah pohon rindang itu. * Siauw Kui terengah-engah. Matanya memandang ke depan, tapi sejauh mata memandang yang terlihat hanya jalan tanah dan pepohonan di sepanjang tepi. "Brengsek!" umpatnya. "Cepat-cepat amat si Ching-ching berjalan. Aku sampai tak bisa mengejar. Coba kalau dia tinggal di kampungku, boleh diadu lari sama si Tek Hui, kepingin tahu siapa yang lebih cepat." Sambil berjalan, Siauw Kui mengomel. Teril matahari yang tepat di atas kepala membuatnya pusing, maka semakin gencarlah gerutuan anak itu. Ia terus berjalan, sekalipun tidak secepat sebelumnya. Masih untung dulu di kampung ia sering naik-turun bukit. Setidak-tidaknya ia sudah terlatih berjalan jauh. Kalau tidak .... Siauw Kui menangkap bayangan putih di bawah pohon, agak terlewat di belakangnya. Seketika jantungnya berdetak lebih cepat. Apa itu" Jangan-jangan mayat! Mendengar cerita Ching-ching kemarin, seolah-olah begitu mudahnya orang saling bunuh. Jangan-jangan ini salah satu dari mereka. Anak itu ketakutan. Siap untuk berlari, tapi rasa ingin tahu menahannya. Ia ingin melihat, tapi tak berani menoleh. Kepalanya seolah terpaku tak dapat digerakkan. Tapi ia ingin tahu, apakah mayat di tepi jalan sama seperti yang diceritakan Ching-ching. Matanya melotot, mulutnya menganga, lidahnya keluar, hiiiy. Tetapi ia benar-benar ingin tahu. Akhirnya ia berjalan, mundur, sampai tepat di tempat mayat itu tergeletak. Ia tak berani langsung memandang. Ditutupnya kedua mata dengan tangan, baru kemudian mengintip dari sela-sela jari. Coba lihat matanya, melotot" Ah, tidak, matanya terpejam. Siauw Kui menutup lagi Ching Ching 159 matanya. Sekarang bagaimana mulutnya, terbuka dengan lidah menjulur" Siauw Kui mengintip lagi. Tidak juga, mulutnya tertutup, dan lidahnya pun jangankan menjulur, terlihat pun tidak, tersembunyi di balik bibirnya yang mungil. Siauw Kui menyingkirkan kedua belah telapak tangan yang menghalangi pandangan. Seketika matanya terbelalak. Itu Ching-ching! Celaka, dia mati! Barangkali dibunuh orang! Tiba-tiba Siauw Kui merasa sedih. Ingin menangis rasanya. Baru saja berkenalan beberapa hari, rasanya sudah bersahabat bertahun-tahun. Baru menjadi teman sekian lama, sekarang sudah harus berpisah. Mati, lagi! Mata Siauw Kui berkaca-kaca. Tangisnya nyaris meledak. Tapiii ... tunggu, ia melihat perut Ching-ching bergerak teratur naik-turun. Ia masih bernapas, hidup! Siauw Kui memperhatikan baik-baik. Tubuh Ching-ching bersih, tidak berdarah. Berarti tidak ada yang membunuhnya. Jadi .... Siauw Kui merasakan wajahnya panas, malu. Sialan, rupanya Ching-ching ketiduran di pinggir jalan. Dan dia, Siauw Kui, gara-gara dengar sedikit cerita yang seram kemarin, sudah memikirkan yang tidak-tidak. Untung Ching-ching tidak tahu. Kalau tidak, dia pasti ketawa ngakak. Pemuda itu memandang wajah tenang yang sedang bermimpi di hadapannya. Tiba-tiba timbul rasa iseng. Enak saja ia tidur! Padahal yang mengejar setengah mati. Harus dikerjai, hitung-hitung balas dendam! Dicabutnya sebatang rumput. Dengan benda itu digelitiknya Ching-ching. Gadis itu mengebaskan tangan. Keisengan Siauw Kui semakain menjadi, digelitiknya pula lubang hidung Ching-ching. Tiba-tiba gadis itu bersin tiga kali berturut-turut. "Siapa berani menggangguku!" teriaknya seraya melompat berdiri. "Aku," sahut Siauw Kui sambil meluruskan kaki. "Huh," dengus Ching-ching. Segera ditinggalkannya tempat itu. "He, tunggu, aku belum sempat beristirahat!" teriak Siauw Kui, tapi bangkit juga menyusul. "Kau sempat tidur, aku kan belum. Tunggu aku!" Tetapi lagi-lagi ia tertinggal jauh dari gadis yang dikejarnya. * Hari menjelang petang. Matahari sudah bergulir ke barat. Sesaat lagi ia akan tenggelam, hari akan menjadi gelap. Ching-ching mulai kuatir. Ia tak tahu harus tidur di mana malam ini. Di sekitarnya tidak tampak tanda-tanda adanya desa yang dapat disinggahi. Ia tidak mau juga tidur di pinggir jalan. Atau berjalan sendirian malam-malam. Sesiang ini saja ia sudah kesepian. Berjalan sendiri tanpa teman bicara sangatlah tidak menyenangkan. Ah, dia jadi menyesal, mengapa meninggalkan Siauw Kui tadi. "Mudah-mudahan Siauw Kui masih membuntutiku," gumam Ching-ching berharap. Dilambatkannya langkah supaya Siauw Kui sempat menyusul. Tetapi setelah sekian lama tidak juga terdengar langkah orang, Ching-ching tidak mengharap lagi. Barangkali dia sudah bosan mengikutiku, keluhnya dalam hati. Gadis itu duduk di pinggir jalan, merenung. Sebenarnya ia suka pada Siauw Kui. Mereka sama-sama periang, cerewet, dan jahil. Cocok sebagai kawan. Tapi entah kenapa tadi ia ngotot meninggalkan pemuda kocak itu. Dan semakin bersemangat Siauw Kui ikut, makin kuat pula keinginannya menginggalkan. Sayang sebenarnya. Teman seperjalanan yang menyenangkan begitu kok disia-siakan. Padahal Ching-ching suka mendengarkan Siauw Kui berbicara dengan gayanya yang kocak, senang melihat tingkahnya yang suka aneh-aneh. Gemas melihat cengirannya atau wajahnya yang ketakutan begitu dibentak, atau caranya menggoda, atau .... Ching-ching tersentak. Ada suara derap kuda yang dibedal dari arah ia datang. Ching Ching 160 Dalam merahnya matahari senja, di kejauhan Ching-ching melihat seekor kuda yang lari lari bagai kesurupan. Penunggangnya tampak tak dapat menguasai kudanya, ia berteriak-teriak ketakutan. Dengan cepat kuda itu menghampiri tempat Ching-ching duduk dan dengan cepat pula ia lewat. Saat itulah penunggangnya sempat menoleh dan berteriak minta tolong. "Tolong! Kudaku ngamuk! Tolooong!" Cukan main kagetnya Ching-ching. Penunggang kuda itu dikenalnya. Bahkan baru saja ia pikirkan. "Siauw Kui!" teriak Ching-ching tanpa sadar. Tanpa buang waktu lagi, ia kerahkan tenaganya untuk mengejar. Dibantu dengan ginkang yang cukup tinggi, Ching-ching dapat berlari sangat cepat, tetapi masih kalah dengan kuda kekar yang kesurupan. "Siauw Kui, tahan, aku datang!" seru Ching-ching. "Toloooooong!" Rupanya Siauw Kui tidak melihat lagi siapa yang mengejar. Ia memejamkan mata dan hanya ingat untuk berteriak minta tolong. "Siauw Kui, pegangan yang kuat, aku susul!" "Iya, dari tadi juga sudah pegangan, tanganku sudah pegal! Tolooong!" Ching-ching mengempos semangat. Dikerahkannya seluruh tenaga dan kemampuannya mengentengkan tubuh. Jaraknya dengan Siauw Kui semakin dekat. Ia dapat menjejeri kuda itu. "Siauw Kui, ini tanganku, tarik!" serunya. Tapi, karena berbicara, tenaganya hilang sebagian, ia ketinggalan lagi. Kini Siauw Kui hanya berpegang pada satu tangan, satunya lagi menjulur ke arah Chingching, ia tak melihat Ching-ching tertinggal. Ching-ching tahu, akan sulit untuk mengejar lagi. Sebelum itu, mungkin Siauw Kui akan terjatuh dari kuda. Makanya ia nekat, melompat menyambar lengan Siauw Kui. Meleset! Tapi untung Siauw Kui sempat mencengkeran pergelangan tangan Ching-ching. Beberapa saat gadis itu terseret. Pegangan Siauw Kui pun mengendor, kini hanya telapak tangan yang saling cengkeram. Bertaut, kuat. Dengan mengumpulkan segenap tenaga, Ching-ching mengentakkan tangan, lengan Siauw Kui ikut tertarik, pada saat itu pegangannya pada surai kuda terlepas. Ia terbanting, tepat menimpa Ching-ching. Keduanya bergulingan di tanah sampai kemudian membentur sebuah pohon di tepi jalan. "Aaaaagh," Siauw Kui mengerang. Ching-ching yang masih kaget bangkit pelan-pelan. Dirabanya seluruh tubuh. Syukurlah, tak ada yang patah atau terkilir. Hanya saja bajunya robek di beberapa tempat dan lecet-lecet pada tangan dan wajahnya. "Aduuuuuuh," Siauw Kui mengerang lagi. Ching-ching menoleh ke arahnya. "Siauw Kui," panggilnya dengan suara bergetar. Napasnya masih memburu. "Siauw Kui, kau kenapa?" Siauw Kui membuka matanya. "Ini di sorga atau di neraka?" "Di neraka! Sialan!" Ching-ching mengumpat. Ia kesal, dalam keadaan demikian, Siauw Kui masih juga bercanda. Tapi kalau Siauw Kui masih bisa bercanda, berarti dia tidak apa-apa. Diam-diam Ching-ching merasa lega. Siauw Kui bangkit duduk sambil meringis-ringis. "Kau sendiri bagaimana?" tanyanya. Ching-ching tidak menjawab. Ia berdiri dan mengebas-ngebaskan debu dari bajunya. "Hei, masa sudah mau pergi lagi" Tega meninggalkan aku sendirian" Padahal tadi kau menunggu aku di pinggir jalan. Iya, kan" Akui sajalah," Siauw Kui mulai mengoceh lagi. Ching Ching 161 Ching-ching membuang muka dan melangkah pergi. Huh, ngaku. Enak saja! "He, tunggu," Siauw Kui hendak menyusul, tapi segera ia terjatuh lagi. "Adududududuh!" jeritnya kesakitan. Ching-ching yang sudah mau pergi jadi tertahan. Ia menoleh. Kasihan juga dia melihat Siauw Kui yang pringas-pringis. "Kenapa kau?" "Kakiku, aduh! Keseleo barangkali. Dan tanganku, sakiit!" Ching-ching membungkuk dan memeriksa. Ketika tinggal di rumah Yuk Toahu dulu, ia pernah mempelajari cara mengobati urat-urat yang keseleo atau tulang yang patah. Mula-mula Siauw Kui cuma meringis-ringis ketika Ching-ching meraba kakinya. Tapi kemudian ia menjerit kuat-kuat waktu tangannya tersenggol. "AAAAAW! Pelan-pelan sedikit!" bentaknya. "Diam!" Ching-ching balas membentak. "Diperiksa malah jerit-jerit. Kakimu cuma terkilir sedikit, dikompres sebentar juga sudah baik. Tapi di sini tak ada air, paling-paling kakimu besok bengkak." "Tanganku terkilir juga?" "Tulangnya retak! Makanya jangan banyak tingkah!" "Pasti gara-gara ditarik tadi. Kau sih, kasar," Siauw Kui mencela. "Lain kali jangan kasar-kasar." "Tidak akan ada lain kali!" hardik Ching-ching tersinggung. "Kalau kelak kau dibawa kabur kuda edan, aku akan biarkan saja. Paling kepalamu bocor kalau terbanting." Siauw Kui cuma nyengir dibentak-bentak begitu. Tapi berapa lama ia mengaduh-aduh lagi. "Jangan berisik!" Ching-ching membentak. "Cengeng! Lebih baik tidur sana, ini sudah malam." "Malam apaan. Matahari baru saja tenggelam, bulan belum lagi muncul. Belum malam namanya." "Masa bodo! Aku mau tidur, jadi jangan berisik!" "Aduuuuuuh!" Siauw Kui sengaja mengeluh keras-keras. "Apa lagi?" tanya Ching-ching kesal. "Tanganku, sakit." Ching-ching bangkit. Dipatahkannya dua cabang pohon yang kecil, namun kuat. Diapitnya tangan Siauw Kui yang sakit dengan benda itu, lalu diikat dengan sapu tangannya kuat-kuat. "Dengar," kata Ching-ching. "Kalau tak mau tanganmu patah sekalian, jangan banyak bergerak. Supaya tidak banyak bergerak, paling baik kau tidur." Siauw Kui diam. Tetapi begitu mata Ching-ching terpejam, ia mulai mengeluh lagi. "Aduh, kakiku." "Kakimu tidak apa-apa," kata Ching-ching mengantuk. "Besok saja diurus." Siauw Kui diam, tapi ia masih ingin menggoda Ching-ching. Makanya ia mulai mengaduh-aduh lagi. Diliriknya Ching-ching yang mulai terlelap. Melihat itu, jeritannya semakin keras. Ching-ching pura-pura tidak mendengar. Ia diamkan saja Siauw Kui yang berkeluh-kesah. Tapi lama-lama ia tak tahan juga. Dengan gusar ia bangkit duduk. "Apa lagi sekarang?" "Lapar, hari ini aku baru makan sekali." "Kau pikir aku tidak lapar?" Ching-ching mendelik. "Aku juga lapar, lelah, ngantuk." "Makanya, ayo cari makan." "Cari makan ke mana" Ini sudah gelap, mana di sekitar sini tidak ada Ching Ching Ching Ching Karya ??? di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo 162 perkampungan. Sudah, tahan saja laparmu. Tidur sajalah." "Mana bisa tidur dengan perut lapar." "Huh," Ching-ching mendengus kesal. Ia melompat, menyambar sebatang cabang pohon yang cukup besar, dibersihkannya cabang pohon itu dari ranting-ranting kecil dan dedaunan. "Buat apa?" tanya Siauw Kui yang keheranan melihat kelakukan gadis itu. "Aku tidak doyan dahan pohon. Ching-ching tidak menjawab. Ia malah berbaring di sisi Siauw Kui. "Ching-ching . . . ." "Diam!" bentak Ching-ching. "Kalau macam-macam, kupukul kau dengan dahan ini." "Wah, jangan ...," Siauw Kui hendak menggoda, tapi tidak jadi kerna kepalanya digetok. "Aku tidak main-main!" kata Ching-ching. Siauw Kui pun tidak berani lagi menggoda. Sesaat kemudian keduanya sudah terlelap. "Siauw Kui! Siauw Kui, bangun!" Ching-ching mengguncang-guncang tubuh kawannya itu pada keesokan harinya. "Emmh, entar dulu, ah, masih ngantuk," Siauw Kui tertidur lagi. "Siauw Kui, kalau kau tak mau bangun, kutinggal kau!" Ching-ching mengancam. Siauw Kui buru-buru duduk. Sambil mengucek-ucek mata, ia mengejek, "Jadi dari tadi kau belum pergi, ya. Baik hati betul." "Brengsek, mana tega aku. Kalau kutinggal, kau akan mati kelaparan di sini. Kau kan tak bisa ke mana-mana. Kakimu terkilir, tanganmu juga rusak." "Iya, iya, kau memang gadis yang paling baik yang pernah kujumpai," Siauw Kui memuji. Ching-ching tersenyum. "Tapi paling galak." Lanjutan kalimat Siauw Kui membuat Ching-ching cemberut lagi. "Sudah, jangan macam-macam. Kutinggal betul-betul kau nanti." "Bantu aku berdiri," Siauw Kui mengulurkan tangan. Ching-ching terpaksa menyambut. Ia juga memapah Siauw Kui yang berjalan sambil mendesis-desis kesakitan. "Sayang sebetulnya," cetus Siauw Kui ketika mereka sudah berjalan cukup jauh. "Apanya yang sayang?" "Kuda yang kemarin itu. Padahal kalau kau tangkap sekalian, kan hari ini bisa kita tunggangi. Kau juga tak perlu cape-cape." "Sudah ditolong, masih menyalahkan juga. Coba kalau kau dibawa kabur kuda kesurupan itu, mau ngomong apa" Lagipula, apa kau sanggup mengurus kuda edan macam itu?" Siauw Kui meringis. "Ngomong-ngomong, dari mana kau dapat kuda itu?" "Kutemukan di jalan, terikat di pohon." "Tidak ada pemiliknya?" "Pemiliknya sedang tidur, jadi ...." Ching-ching tertawa. "Namanya mencuri, goblok! Bukan menemukan." "Biar, yang penting pemiliknya tidak tahu." "Ya, tapi akibatnya kau nyaris dibawa lari kuda itu." "Barangkali dia balas dendam karena dilarikan dari pemiliknya. Lantas ia larikan pula aku. Impas!" Ching-ching tertawa lagi. Siauw Kui senang, gadis itu sudah tidak marah-marah. Sepanjang hari itu mereka bercanda dan bergurau dengan gembira. "Sepi, ya," kata Siauw Kui di antara senda-tawa mereka. "Sedari kemarin, tidak Ching Ching 163 kujumpai orang yang lewat di jalan ini." "Iya, aku juga heran. He, lihat, di sana ada hutan. Ke sana, yuk." "Buat apa" Di hutan mana ada orang." "Setidaknya di sana lebih teduh daripada jalanan yang kering berdebu ini." "Iya, iya kita ke sana." Agak jauh ke tengah hutan, mereka beristirahat. Siauw Kui duduk bersandar di bawah sebuah pohon yang lebat daunnya, sementara Ching-ching memeriksa kakinya yang semakin membengkak. "Kau tunggu di sini, jangan ke mana-mana," kata Ching-ching setelah melihat keadaan kaki Siauw Kui. "Kau mau ke mana?" "Aku dengar suara mengalir di sebelah sana. Aku mau ambil air untuk minum dan untuk mengompres kakimu." "Suara air mengalir?" Siauw Kui menajamkan telinga. "Aku tidak dengar apa-apa." "Maklum, kau budek sih," Ching-ching menggoda seraya berlari mebjauh, menuju arah suara yang didengarnya. Ternyata sungai yang melalui hutan itu lebih jauh dari dugaan Ching-ching, namun lebih deras dari perkiraannya. Tetapi itu bukan masalah. Ching-ching yang kehausan segera meminum air sungai yang jernih dan sejuk. Setelah rasa hausnya hilang, Ching-ching mulai bingung. Ia tak membawa mangkuk atau alat untuk membawa air itu kepada Siauw Kui. Ia juga tak melihat apa-apa di sekitarnya yang dapat dipergunakan. Pepohonan di hutan itu berdaun kecil, kalau saja lebih besar, mungkin bisa dibuat tabung. "Sayang, sapu tanganku sudah dipakai untuk membebat lengan Siauw Kui, padahal kalau dibasahi, lumayan buat minum," gumam Ching-ching. "Atau ... ah, kupapah saja Siauw Kui ke sini, sekalian supaya tidak repot-repot boalk-balik ambil air." Ching-ching berlari kembali ke tempat Siauw Kui. Ketika ia berbalik, tiba-tiba dilihatnya sebuah batu yang kebiru-biruan. Dengan heran, Ching-ching menghampiri batu yang cukup besar itu. Diperhatikannya batu itu dari dekat. Rupanya hanya batu biasa, hanya saja ada semacam tumbuhan merambat yang menutupi seluruh permukaan batu tersebut. Warna daunnya yang biru-hijau menyamrkan warna batu itu sendiri. Ching-ching mencabut sebatang. Rasa-rasanya ia pernah melihat tumbuhan macam ini. Kalau tidak salah, di rumah Yuk Toahu. Tapi nama tumbuhan itu sendiri ia sudah lupa. Gadis itu berjalan pelan-pelan sambil mengingat-ingat. Beberapa kali ia tersandung karena tidak melihat jalan. Tahu-tahu ia berhenti dan menepuk dahinya sendiri. "Rupanya sudah pikun aku," katanya pada diri sendiri. "Ini kan Siok-kut-co. Kalau ditumbuk dan ditempelkan ke bagian yang patah, dalam satu minggu tulang yang patah itu akan sembuh. He, ini bisa digunakan untuk mengobati Siauw Kui." Ching-ching mempercepat jalannya. Dia begitu gembira. Jauh-jauh, ia sudah memanggil-manggil Siauw Kui saking senangnya. Siauw Kui yang hampir terlelap, membuka matanya mendengar suara Ching-ching. "Brengsek, baru saja mau bermimpi indah, sudah diganggu," ia menggerutu, lalu berseru, "Ya, aku di sini!" "Siauw Kui, aku temukan obat buat tanganmu," kata Ching-ching begitu melihat kawannya. Tapi kemudian ia terpaku. Matanya memandang melotot ke satu arah. Siauw Kui yang melihatnya jadi bingung sekaligus geli. "Kenapa kau tiba-tiba beku?" tanyanya. Ching Ching 164 "Diam, jangan bergerak," desis Ching-ching sambil menggenggam belatinya. "Apa-apaan kau?" Siauw Kui terkejut. "Buat apa belati itu" Jangan main-main. Lagi kenapa aku tak boleh bergerak" Aku bisa bergerak sesukaku." Anak itu sengaja menggoyang-goyangkan badan. Detik berikutnya ia merasakan sendiri akibat tindakan itu. Tiba-tiba bahunya yang kiri terasa sakit seolah dihunjam dia batang paku. Siauw Kui berteriak. Pada saat bersamaan, belati milik Ching-ching melayang dan menancap di pohon tempat Siauw Kui bersandar. Dan sesuatu menimpa tubuh pemuda itu. Siauw Kui menjerit ngeri melihat tubuh ular tanpa kepala yang menimpanya. Cepat-cepat dilemparnya jauh-jauh bangkai binatang itu. Sesudahnya ia merasa lemas sekujur tubuh. "Makanya, kalau kusuruh, menurut saja," omel Ching-ching seraya mendekat. Siauw Kui diam saja. Untuk bicara pun rasanya tak kuat. "Aduh, lihat! Ular yang menggigitmu berbisa. Itu, darah yang keluar dari lukamu hitam warnanya," kata Ching-ching agak panik. "Tamat riwayatku," keluh Siauw Kui. "Ching-ching, sampai jumpa di sorga." "Makhluk jelek macam kau belum pantas pergi ke sorga," kata Ching-ching. Tanpa berkata apa-apa ia berlutut dan menyedot darah yang keluar dari bahu Siauw Kui. "Ching-ching, apa yang kau lakukan?" Ching-ching meludahkan darah di mulutnya. "Menyedot kaluar racun itu, tolol," sahutnya. Ia menyedot beberapa kali sampai darah yang keluar tidak lagi kehitaman. "Sekali lagi," gumamnya. "He, Ching-ching, aku jadi ingin tahu, mendingan mana, digigit ular, ata digigit gadis galak macam dirimu." Ching-ching nyaris menelan cairan merah di mulutnya, untung masih sempat buru-buru diludahkan. Dengan kesal ia menanggapi ocehan Siauw Kui. "Kau akan segera tahu!" Digigitnya bahu Siauw Kui tepat di bagian sekeliling lukanya. "Aaaw! Ching-ching! Gila kau, ganas! Lepaskan!" "Wueeekh, dagingmu tipis. Ceking, sih!" Ching-ching meludah lagi. "Nah, sudah kaurasakan. Mendingan mana?" "Aduuuh!" Siauw Kui meringis menahan sakit. "Gawat dua-duanya. Sama-sama berbahaya! Aduh!" "Rasakan!" kata Ching-ching gemas. "Lain kali, kalau ngomong dipikir dulu!" "Iya, kalau ingat," jawab Siauw Kui ketus. "Sekarang pindah ke pinggir sungai, sekalian mencuci lukamu," Ching-ching mengulurkan tangan hendak membantu. "Ayo!" Siauw Kui malah membuang muka. Ia masih kesal gara-gara digigit barusan. "Kesal, ya?" Ching-ching menggoda, tetapi Siauw Kui tak menjawab. Setelah beberapa saat keduanya berdiam diri, kesabaran Ching-ching habis. Disentakkannya tangan kiri Siauw Kui sampai pemuda itu berdiri. "Aku tak mau tahu," kata Chingching galak. "Ayo, kalau tidak kuseret kau!" Dan ia benar-benar melakukan ancamannya ketika Siauw Kui tidak bergeming. Siauw Kui mendengus. Ia terpaksa melangkah. "Awas kau, kubalas nanti," ancamnya. "Kita lihat saja nanti, apa yang bisa kaulakukan," balas Ching-ching. Begitu sampai di tepian sungai, Ching-ching langsung meraup air jernih dan membawanya ke mulut untung menghilangkan bau darah dalam mulutnya. Siauw Kui memperhatikan dari belakang. Sebuah ide melintas. Kesempatan. Ini saatnya balas dendam. Dihampirinya Ching-ching pelan-pelan lalu didorongnya anak itu ke sungai. Ching-ching yang tidak bersiaga terlontar dan mencebur agak jauh ke tengah. Siauw Kui tertawa-tawa. Ching Ching 165 "Aku sudah bilang akan balas dendam. Sekarang impas," serunya. Ia duduk di tepian dan minum air sungai itu, kemudian baru matanya mencari-cari. "Mana itu anak?" gumamnya. "Dari tadi tidak muncul." "Tolong!" ia mendengar jeritan panik agak jauh dari tempatnya berdiri. Sebuah tangan muncul disusul kepala yang megap-megap. Kemudian hilang. "Gawat, Ching-ching terbawa arus!" Siauw Kui baru menyadari. "Aku harus tolong." Detik berikutnya ia sendiri sudah mencebur dan berenang cepat-cepat mengikuti arah arus sungai. Tangannya yang kiri sakit sekali, tapi ia paksakan juga menggunakannya. "Ching-ching, tunggu! Aku ke situ!" Siauw Kui berseru. "Siauw Kui, berenangnya jangan jauh-jauh, ya," terdengar sahutan di belakangnya. Siauw Kui menoleh. Ia melotot melihat Ching-ching berdiri berkacak pinggang. Ternyata dalamnya air hanya sebatas dada saja. "Kenapa kau bisa ada di sini" Lalu siapa yang terseret arus tadi?" "Aku," kata Ching-ching sambil tersenyum lebar. "Cuma siasat. Kalau tidak begitu, mana mau kau ikutan mandi di sini." Siauw Kui memukul air dengan kesalnya. "Kalau mau suruh mandi, bilang-bilang supaya bajuku tidak basah semua." "Sekalian dicuci," jawab Ching-ching ringan. Siauw Kui mencipratkan air ke arah gadis itu. Ching-ching membalas. Jadilah mereka bermain air sampai puas. Matahari mulai bergulir ke barat ketika mereka maik ke darat. Keduanya langsung merebahkan diri kelelahan. "Pakaian kita basah semua, bisa-bisa masuk angin," kata Ching-ching. "Siauw Kui, kau nyalakanlah api." "Buat apa" Matahari belum tenggelam." "Supaya bajumu lebih cepat kering." "Nanti juga kering sendiri." "Masa bodoh, pokoknya nyalakan api." Ching-ching berdiri. "Nyalakan saja sendiri," gumam Siauw Kui sebelum terlelap. Siauw Kui terbangun ketika hidungnya mengendus harum daging dipanggang. Yang pertama dilihatnya adalah bintang di angkasa. Rupanya matahari sudah tenggelam. Ia menoleh, dilihatnya Ching-ching yang sedang duduk menghadap api. "Wah, setelah dua hari kelaparan, akhirnya malam ini kita makan enak," katanya. "Kita" Aku, maksudmu," kata Ching-ching. "Kok begitu?" "Itu sudah terang. Aku yang berburu, aku yang nyalakan api, aku yang memanggang, aku yang makan! Kau cari makan saja sendiri." "Yaaa, tega-teganya. Lihat, kakiku keseleo, tanganku patah, perutku lapar, mana sanggup aku berburu sendiri." "Aku suruh kau nyalakan api tadi, kau tidak mau bantu. Dan karena semuanya kukerjakan sendiri, aku saja yang makan." Ching-ching makan sendirian. Siauw Kui cuma bisa bengong sambil menahan lapar. Diam-diam Ching-ching merasa kasihan. Tapi ia perlu diberi pelajaran! katanya dalam hati. Tapi sekalipun sikapnya galak dan berangasan, sebenarnya Ching-ching memiliki hati yang lembut. Segera saja ia lupakan kekesalannya. "Nih," ia lemparkan daging yang masih hangat. Siauw Kui segera menyambut dan makan dengan lahap. "Lain kali kalau kau malas-malasan lagi, kubiarkan kau mati kelaparan!" Selesai makan, Ching-ching mengambil daun obat yang ditemukannya tadi siang. Di atas bati yang agak rata, ia menumbuk tumbuhan tersebut. Kemudian diletakkannya Ching Ching 166 di tangan Siauw Kui yang luka dan dibalut supaya tetap di tempatnya. "Obat apa ini?" tanya Siauw Kui. "Baunya aneh." "Jangan pedulikan baunya. Yang penting manjur." "Baiklah. Selamat tidur!" Seminggu telah berlalu. Tangan Siauw Kui semakin membaik. Hari itu mereka akan melanjutkan perjalanan. "Siauw Kui, bagaimana tanganmu" Sudah tidak apa-apa kalau kita pergi hari ini?" "Jangan kuatir, sudah tak sakit lagi." "Jelas, siapa dulu yang merawat." "Ya, ya, semuanya berkat perawatan istriku yang baik." "Huuh," Ching-ching melengus sinis. "Punya suami semacammu, aku bisa cepat tua." "Biar sudah tua, aku suka." Ching-ching tersipu, tetapi cepat ditutupi dengan membentak, "Jangan macam-macam! Ayo berangkat!" Mereka keluar dari hutan itu. "Ching-ching, ke mana kita akan mencari A Thiamu?" tanya Siauw Kui yang sudah tahu riwayat hidup Ching-ching. "Ke mana saja. Tapi mula-mula kita harus mencari kabar tentang si nenek jelek. Kalau ia belum mampus, A Thiaku pasti takkan berhenti mengejarnya." Jalan yang dilalui membawa mereka ke jalan lain yang lebih besar. Di jalan besar itu, lebih banyak orang yang lewat. Kebanyakan adalah pedagang yang membawa gerobak yang dihela kuda. Untung bagi Ching-ching dan Siauw Kui, mereka dapat menumpang satu di antaranya. "Di depan sana ada kota. Mau ke sana?" tanya pemilik gerobak. "Yaa, bolehlah," sahut Siauw Kui. Di dalam kota, mereka melihat banyak orang yang hilir mudik dengan membawa segala senjata. Wajah mereka terlihat keras dan sangar. Ada juga beberapa yang nampak ramah, dengan senyum yang terlalu dibuat-buat di bibir mereka. "Rame, yah," komentar Siauw Kui. "Namanya juga kota," sahut si pemilik gerobak. "Siok-siok, memang ada apakah" Banyak betul yang bersenjata." "Kabarnya akan diadakan pie-boe untuk meramaikan ulang tahun Un Khoa Jin, orang terkaya yang paling berpengaruh di kota ini." "Asyik," sorak Ching-ching. "Bakal ada tontonan seru!" "Asyik sih asyik," dengus Siauw Kui, "tapi aku lapar." "Kalau begitu, kita turun saja, cari makan." Mereka berpamitan setelah berterima kasih kepada si pemilik gerobak. "Ya, ya, pergilah," kata orang yang baik hati itu. "Tetapi hati-hati, jaga lidah dan sikap kalian. Terutama kalau sedang menonton nanti. Jangan bikin masalah." Pukulan Naga Sakti 16 Pendekar Rajawali Sakti 158 Pasukan Alis Kuning Rahasia Kalung Keramat 1

Cari Blog Ini