Memanah Burung Rajawali 23
Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong Bagian 23 Guruku percaya pastilah Kwee Ceng mengetahui di mana adanya semua gurunya itu. Kau telah datang ke mari, saudara Liok, bukankah itu untuk urusan yang sama?" Lagi-lagi Koan Eng mengangguk. "Sekarang telah ternyata Kwee Ceng belum kembali ke kampung halamannya ini," berkata Cie Peng pula, "Meskipun begitu guruku telah melakukan kewajibannya terhadap Liok Koay itu, maka itu walaupun dia tidak dapat mencari mereka itu, itulah disebabkan habis daya. Melihat yang mereka dukar dicari, aku percaya, Oey Yok Su juga tentu tak akan dapat mencari mereka. Nah, saudara Liok, kau hendak memohon bantuanku, bukankah itu urusan mengenai urusan ini juga?" Untuk kesekian kalinya, Liok Koan Eng kembali mengangguk. Bab 50. Menikah! Bab ke-50 cersil Memanah Burung Rajawali. "Kau hendak menitahkan apa padaku, saudara Liok, silahkan kau mengatakannya," kata Cie Peng. "Di mana yang aku bisa, pasti aku akan memberikan bantuanku padamu." Atas ini, Liok Koan Eng membungkam. Yauw Kee tertawa. "In Suheng, kau lupa," katanya mengingati. "Saudara Liok tak dapat membuka mulutnya!" Cie Peng sadar, ia pun tertawa. "Benar!" ujarnya. "Bukankah saudara Liok hendak memohon aku berdiam terus disini untuk menanti sampai pulangnya sahabat Kwee Ceng itu?" Koan Eng menggeleng kepala. "Apakah kau menghendaki aku lekas pergi ke segala tempat untuk mencari Kanglam Liok Koay dan sahabat she Kwee itu?" Cie Peng tanya pula. Kembali Koan Eng menggeleng kepala. "Ah, aku mengerti sekarang!" kata Cie Peng, "Kau menghendaki aku menyampaikan kabar pada sahabat-sahabat di Kanglam, mereka terkenal, mereka pasti ada punya sahabat-sahabat kekal, yang nantinya akan mengisikinya mereka terlebih jauh. Benarkah begitu?" Lagi-lagi Koan Eng menggeleng kepalanya. Cie Peng mengutarakan pula beberapa dugaan akan tetapi Koan Eng tidak membenarkan, Yauw Kee turur dua kali menanya, ia pun dijawab dengan gelengan kepala. Maka itu, Oey Yong yang curi dengar turut menjadi bingung juga. Sekian lama mereka bertiga berdiam saja. "Thia Sumoy," akhirnya In Cie Peng berkata, "Perlahan saja kau bicara sama saudara Liok ini, aku tidak dapat main teka-teki terus-terusan, hendak aku keluar sebentar. Lagi satu jam, aku akan kembali." Habis berkata, benar-benar Cie Peng bertindak keluar. Maka itu di dalam ruangan, kecuali Hauw Thong Hay, tinggal Liok Koan Eng berdua dengan Thia Yauw Kee. Si nona bertunduk, ia berpikir. Ia tetap mendapati Koan Eng berdiam saja, diam-diam ia melirik, justru itu, Koan Eng pun memandang padanya, maka sinar mata mereka jadi saling bentrok. Ia jengah sendirinya, dengan muka merah, ia lekas-lekas melengos, terus ia tunduk, kedua tangannya membuat main runce gagang pedangnya. Setelah itu Koan Eng berbangkit dengan perlahan, untuk menghampirkan perapian. Di muka dapur itu ada gambarnya malaikat dapur, kepada malaikat itu ia berkata: "Touw Ongya, hambamu mempunyai satu urusan, yang sulit untukku memberitahukannya kepada lain orang, maka itu baiklah hambamu menjelaskannya pada ongya saja, dan hambamu mengharap semoga ongya suka memayunginya." Mendengar itu girang hatinya Yauw Kee. "Orang yang pintar!" ia memuji di dalam hatinya. Ia lantas mengangkat kepalanya untuk mendengar terlebih jauh. "Hambamu she Liok bernama Koan Eng," berkata pula si anak muda. "Hambamu ialah anak dari Chungcu Liok Seng Hong dari dusun Kwie-in-chung di tepi telaga Thay Ouw. Ayahku itu telah mengangkat Tocu Oey Yok Su dari Tho Hoa To sebagai gurunya. Beberapa hari yang lalu guru ayahku itu, ialah kakek guruku datang ke Kwie-in-chung, ia mengatakan ia hendak membinasakan semua keluarga Kanglam Liok Koay, maka itu ia menitahkan ayahku dan supee Bwee Tiauw Hong turut mencari Kanglam Liok Koay. Bwee supee bermusuhan dengan Kanglam Liok Koay, inilah hal yang sangat menggirangkan hatinya. Tidak demikian dengan ayahku, yang mengagumi kemuliaan Kanglam Liok Koay. Ayahku menganggap tidaklah pantas membinasakan orang-orang gagah seperti mereka itu. Karena itu, ayahku menjadi berduka. Ayah berniat menitahkan aku mengisiki Kanglam Liok Koay, untuk Liok Koay menyingkir, tetapi ayah tidak berani berbuat demikian sebab itu berarti mendurhaka kepada kakek guru. Maka juga pada suatu malam ayah menghadapi gambar yang dilukis Sukouw Oey Yong, yang menjadi putrinya kakek guru, untuk mengutarakan kesulitannya itu. Hambamu ini telah mendapat dengar pengutaraan ayahku itu, karenanya hamba segera berangkat mencari Kanglam Liok Koay, guna menyampaikan berita dari ancaman bahaya itu...." Mendengar itu, Yauw Kee dan Oey Yong kata dalam hatinya: "Dia cerdik juga, dengan kata-katanya ini dia ingin lain orang dapat mendengarnya. Dengan caranya ini, dia menjadi tidak berdurhaka kepada partainya." Lalu terdengar suara Koan Eng lebih lanjut: "Karena hambamu tidak dapat mencari Kanglam Liok Koay, hambamu lantas berangkat kemari. Hambamu ingat kepada muridnya mereka ialah Kwee Susiok. Siapa tahu, Kwee Susiok pun tak ketahuan dimana adanya, Kwee Susiok itu ialah menantu dari kakek guruku..." Yauw Kee menaruh hati kepada Kwee Ceng. Ia menaruh hati sendirinya. Maka ia terkesiap juga mendengar bahwa Kwee Ceng menantunya Oey Yok Su. Cuma sebentar perasaannya itu, lantas ia dapat melegakan hati. Bukankah sekarang perhatiannya telah ditumpleki kepada Liok Koan Eng, pemuda di hadapannya ini, yang lebih tampan daripada pemuda she Kwee itu" Koan Eng masih bicara seorang diri: "Asal hambamu dapat mencari Kwee Susiok, maka ia dapat bersama Oey Sukouw meminta kakek guru membatalkan niatannya itu. Kakek guru boleh keras hatinya tetapi tidak nanti ia dapat menolak permintaan anak mantunya. Hanya, dari suaranya ayahku, mungkin Kwee Susiok dan Oey Sukouw telah menampak suatu bencana... Di dalam hal ini, tidak dapat hambamu menanyakan keterangan ayah." Mendengar kata-kata ini, Oey Yong tanya dalam hatinya: "Mustahilkah ayah sudah ketahui engko Ceng telah terluka parah" Tidak, tidak nanti ia ketahui itu. Mungkinkah ayah ketahui yang kita terlunta-lunta di pulau kosong...?" "In Suheng ialah seorang yang sungguh-sungguh hati dan nona Thia cerdas dan lemah-lembut," terdengar suaranya Koan Eng, terlebih lanjut. Mendengar pujian ini Yauw Kee girang berbareng mukanya merah. "Meski demikian, mereka tidak dapat menebak apa yang aku pikir. Sulit adalah Kanglam Liok Koay. Mereka adalah orangorang gagah yang kenamaan, benar mereka bukan tandingan kakek guru, akan tetapi untuk meminta mereka menyingkir jauh-jauh, itulah rasanya tidak mungkin. Menyingkir bagi mereka berarti merusak nama baik mereka, itu tandanya mereka jeri. Pastilah mereka tidak akan melakukan itu. Bahkan hambamu percaya, kalau mereka mendengar kabar yang mereka lagi dicari, mungkin mereka justru akan berbalik menncari kakek guru!" Diam-diam Oey Yong memuji Koan Eng, yang tidak kecewa menjadi kepala perampok di Thay Ouw, sebab nyata ia berpandangan jauh. "Maka sekarang aku memikir lain," Koan Eng masih berkata-kata terus. "Coan Cin Cit Cu gagah dan mulia hatinya, nama mereka kesohor, ilmu silat mereka mahir, jikalau In Suheng dan nona Thia yang memohon bantuan guru mereka, suka mengajukan diri sebagai juru pendamai, mungkin kakek guruku sudi mendengar suara mereka. Tidak mungkin ada permusuhan hebat di antara kakek guru dan Kanglam Liok Koay, dan biarpun Kanglam Liok Koay umpama kata benar bersalah terhadapnya, jikalau ada orang kenamaan yang mendamaikan, hambamu percaya perdamaian bakal didapatkan. Touw Ongya, inilah kesulitan hambamu. Sia-sia belaka hambamu mempunya pikiran ini tetapi tidak dapat ia mengutarakannya kepada lain orang. Dari itu hambamu mohon sudi apakah ongya dapat mengaturnya..." Yauw Kee tahu pembicaraan orang akan berakhir, maka tidak nanti sampai Koan Eng berhenti bocara, ia sudah memutar tubuhnya bertindak keluar untuk mencari Cie Peng, guna menyampaikannya,hanya baru ia tiba di ambang pintu, kembali ia mendengar lagi suaranya pemuda she Liok ini. Kata dia ini: "Touw Ongya, jikalau Coan Cin Cit Cu suka membantu mendamaikan, sungguh ini suatu perbuatan sangat besar dan bagus, hanya hambamu berharap dengan sangat, kapan nanti Coan Cin Cit Cu bicara sama kakek guru, biarlah mereka tidak menyentuh hingga kakek guru merasa tersinggung. Kalau tidak, satu ombak belum sirap, lain gelombang datang menyusul, itulah artinya celaka. Ongya, sampai disinilah kata-kata hambamu, tidak ada lagi..." Mendengar itu Yauw Kee tertawa. Di dalam hatinya ia kata: "Kau sudah bicara habis, sekarang akulah yang akan bekerja untukmu!" Ia berjalan keluar untuk mencari In Cie Peng, tetapi telah ia memutari sekitar rumah makan, tidak ia melihat bayangan si kakak seperguruan itu. Terpaksa ia berjalan kembali. Atau tiba-tiba ia mendengar suaranya Cie Peng, perlahan sekali: "Thia Sumoy..." "Oh, kau di sini!" kata si nona girang. Cie Peng memberi tanda dengan tangannya agar si nona yang berisik. I apun segera menunjuk ke arah Barat, sambil berkata pula, tetap dengan perlahan sekali. "Di sana ada orang, tindakannya sebagai setan. Dia membawa senjata di tubuhnya..." "Mungkinkah dia orang yang tengah lewat di sini?" kata Yauw Kee, menghampirkan kakak seperguruannya itu. Ia mengatakan demikian karena perhatiannya terpengaruh kata-kata Koan Eng. In Cie Peng sebaliknya bersikap sungguh-sungguh. Katanya pula: "Di sana ada beberapa orang, lincah tubuh mereka, mestinya mereka lihay." Orang-orang yang ia lihat itu adalah rombongannya Pheng Lian Houw. Mereka itu menanti Thong Hay, yang lama tak kembali, mereka menjadi menduga kawan itu mendapat kecelakaan, tetapi walaupun demikian, karena mereka sangat mementingkan diri sendiri, mereka tidak berani pergi untuk mencari dan menolongi. Mereka jeri terhadap itu orang yang menyamar hantu di istana, yang sangat lihay....." In Cie Peng menanti sekian lama, setelah tidak dapat melihat bayangan orang, iabertindak menghampirkan ke tempat mereka itu tadi. Nyata mereka sudah tidak nampak lagi. Sampai di situ, Yauw Kee menuturkan ocehannya Koan Eng tadi kepada malaikat dapur. "Begitu rupanya yang ia pikir, mana dapat orang menerkanya," berkata Cie Peng. "Sekarang begini, sumoy. Pergi kau bicara sama Sun Susiok, aku sendiri akan minta bantuan guruku. Asal Coan Cin Cit Cu suka membantu, di kolong langit ini tak ada urusan yang tak dapat diselesaikan." "Hanya kita harus waspada agar urusan tidak berubah menjadi keonaran," kata nona Thia itu, yang menyampaikan kata-kata terakhir dari Koan Eng tadi. "Hm!" kata Cie Peng. "Oey Yok Su itu makhluk macam apa, mustahil dia dapat melebihkan Coan Cin Cit Cu?" Ia tertawa dingin. Yauw Kee ingin minta orang jangan takabur, tetapi melihat wajah orang muram, ia membatalkan niatnya itu. Bersama-sama mereka lantas kembali ke rumah makan. "Aku hendak meminta diri," kata Koan Eng kepada dua orang itu. "Lain hari, kalau kamu lewat di Thay Ouw, harap kamu berdua sudi mampir di Kwie-in-chung untuk singgah buat beberapa hari." Yauw Kee tercengang. Berat rasanya untuk segera berpisah dengan pemuda itu. In Cie Peng sendiri memutar tubuh menghadapi malaikat dapur, untuk berkata: "Touw Ongya, Coan Cin Cit Cu paling gemar mendamaikan segala persengketaan. Urusan tak adil bagaimana juga dalam kalangan kangouw, asal murid-murid Coan Cin mengetahuinya, pasti mereka tak nanti berpeluk tangan saja tak mengurusnya!" Koan Eng mengerti kata-kata itu ditujukan kepadanya, maka ia pun berkata: "Touw Ongya, semoga ongya dapat membereskan urusan ini dengan baik, dan hambamu sangat bersyukur kepada sekalian budiman untuk kebaikannya sudi mengeluarkan tenaganya." In Cie Peng pun berkata pula. "Touw Ongya, silahkan legakan hati. Coan Cin Cit Cu tersohor di kolong langit ini, asal mereka suka turun tangan, tidak ada urusan yang tidak dapat diselesaikan." Koan Eng melengak. Di dalam hatinya ia kata: "Kalau Coan Cin Cit Cu memaksakan perdamainan, mana kakek guruku puas?" Maka lekas-lekas ia berkata pula: "Touw Ongya, ongya mengetahui sendiri kakek guru biasa bawa maunya sendirinya, dia tidak suka memperdulikan orang lain, kalau lain orang sudi bersahabat dengannya, dia suka mendengarnya, tetapi bila orang bicara dari hal kepantasan, itulah yang ia paling sebal." Cie Peng lantas mengasih dengar pula suaranya: "Haha, Touw Ongya! Coan Cin Cit Cu mana pernah jerih terhadap lain orang" Urusan ini memang tidak ada sangkutannya sama pihak kami, guruku pun cuma menyuruh aku mengasih kabar saja kepada orang lain, tetapi kalau orang berani main gila terhadap Coan Cin Cit Cu, hm, biar dia Oey Yok Su atak Hek Yok Su, nanti Coan Cin Kauw memperlihatkan dia apa yang bagus!" Kata-kata Oey Yok Su dan Hek Yok Su itu berarti ejekan, karena disini "Oey" itu bukan diartikan she, hanya "oey - kuning" dan "hek - hitam" Mendengar itu, Liok Koan Eng menjadi tidak senang. Maka ia pun lantas berkata: "Touw Ongya, apa yang barusan hambamu telah mengatakannya, harap dipandang saja sebagai kata-kata ngelindur. Umpama kata ada orang tak melihat mata kepada kami, pasti kami tak sudi menerimanya!" Mereka itu masing-masing bicara kepada malaikat dapur, diluar dugaan, kata-kata mereka menjadikan bentrokan satu pada lain. Yauw Kee menjadi serba salah, mau ia datang sama tengah tetapi mereka itu sama-sama muda dan darahnya panas. Begitulah In Cie Peng telah berkata pula: "Touw Ongya, ilmu silat Coan Cin Pay adalah ilimu silat sejati di kolong langit ini, ilmunya orang lain kaum yang sesat, biar bagaimana luar biasa juga, tidak nanti dapat dibandingkannya!" "Touw Ongya," berkata Koan Eng, "Hambamu juga telah lama mendengar tentang ilmu silat Coan Cin Pay itu, bahwa banyak orangnya yang lihay, akan tetapi di antaranya tak mustahil tak ada si tukang ngobrol belaka!" Bukan main gusarnya Cie Peng, tangannya segera menyampok. Maka gempurlah sebelah kepalanya patung malaikat dapur itu. Dia berseru: "Binatang yang baik, kau berani mendamprat orang"!" Koan Eng pun menyampok membikin gempur sebelah yang lain dari kepala malaikat dapur itu, sambil ia berseru: "Mana aku berani mendamprat kau" Aku hanya mencaci manusia tak tahu diri, yang tak melihat orang!" In Cie Peng telah menyaksikan kepandaian orang, ia berada di sebelah atas, ia menjadi tidak takut, maka ia tertawa dingin dan berkata: "Baiklah, mari kita main-main, untuk melihat siapa sebenarnya yang tidak memandang orang!" Koan Eng menginsyafi bahwa ia kalah kosen tetapi ia tidak senang yang pihaknya dpandang enteng, ia menjadi tengah menunggang harimau hingga tak dapat turun, maka dengan tangan kanan menghunus golok, dengan tangan kirinya ia memberi hormat. Ia berkata: "Baiklah, siauwtee suka sekali menerima jurus-jurus yang lihay dari Coan Cin Pay!" Yauw Kee bertambah bingung. Beberapa kali ia hendak mencegah, saban-saban ia batal sendirinya, hingga cuma air matanya yang berlinang-linang. Ia tidak mempunyai keberanian untuk maju di tengah antara mereka itu. Cie Peng sudah lantas mengebut hudtimnya, ia bertindak maju. Mereka berdua sudah lantas bertempur. Koan Eng tidak mengharapi kemenangan, ia lebih mengutamakan pembelaan diri. Ia mainkan sungguh-sungguh ilmu golok warisan Kouw Bok Taysu, ilmu golok Lo Han Too-hoat. In Cie Peng memandnag enteng kepada lawannya, ia lancang maju, maka kagetlah ia ketika hampir saja lengan kirinya kena terbacok. Karena ini barulah ia berkaku waspada, kemudian barulah ia menang di angin. Oey Yong dari tempat sembunyinya mendengar dan menyaksikan itu semua. Ia terus menonton. Ia mendongkol juga kepada In Cie Peng, yang berani mengatai ayahnya yang dikatakan berilmu sesat. "Kalau bukan engko Ceng lagi sakit, akan aku kasih rasa padanya!" katanya dalam hati. Tiba-tiba saja, ia menjerit, "Ah, celaka!" Koan Eng membacok begitu hebat hingga ia kehilangan sasarannya. Golok itu terpancing hudtim Cie Peng, setelah mana orang she In ini menbalas menotok, dengan jitu, hingga golok lawan terlepas dan jatuh, setelah mana dia mengebut terus ke muka orang seraya berkata jumawa: "Ingat baik-baik, inilah jurus lihay dari Coan Cin Pay!" Diantara bulu hudtim itu ada tercampur kawat halus, kalau muka Koan Eng kena terkebut, pasti wajahnya yang tampan bakal penuh baret dan berlumuran darah. Koan Eng melihat bahaya, ia berkelit sambil tunduk. Cie tak mau sudah, ia menyusul dengan kebutannya itu. "In Suko!" Yauw Kee berseru. Kali ini si nona berlompat maju seraya menangkis dengan piasunya. Ketika ini dipakai oleh Koan Eng untuk memungut goloknya. "Bagus!" berseru Cie Peng, tertawa dingin. "Kau telah membantu orang luar, Thia Sumoy! Nah, kamu berdua, majulah bersama!" "Apa katamu!" menegur Yauw Kee murka. Cie Peng tidak menyahuti, ia hanya menyerang beruntun tiga kali, membuatnya si nona repot menangkis. Koan Eng mendongkol, ia maju pula. Dengan begitu Cie Peng benar-benar dikerubuti berdua. Tapi Yauw Kee tidak mau bertempur dengan kakak seperguruannya itu, ia lantas lompat mundur. "Mari maju!" Cie Peng menantang adik seperguruannya itu. "Dia sendiri tidak Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo dapat melawan aku. Dengan kau maju, tak usahlah sebentar kau membantui padanya!" Oey Yong merasa lucu menyaksikan tiga orang itu, dari kawan, menjadi lawan, malah mereak jadi bertempur. Ia memikir, bagaimana urusan mereka itu dapat diselesaikan. Justru itu ia mendengar satu suara di pintu dari terbukanya daun pintu, setelah mana terlihatlah masuknya rombongan Pheng Lian Houw yang mengiringi Wanyen Lieh dan Yo Kang. Mereka ini menanti sekian lama tanpa mendengar sesuatu, See Thong Thian jadi berkhawatir untuk saudara seperguruannya, dengan membesarkan nyali, ia masuk untuk membuat penyeledikan, diwaktu mengintai, ia melihat Cie Peng tengah bertempur sama Koan Eng. Seorang diri ia tidak berani lancang masuk, maka ia kembali untuk mengajak kawan-kawannya. Demikian mereka masuk dengan tiba-tiba. In Cie Peng dan Koan Eng melihat datangnya banyak orang itu dengan sendirinya, mereka berhenti berkelahi, dengan lantas keduanya berlompat mundur. Belum sempat mereka menjauhkan diri, sebat luar biasa, See tHong Thian menubruk mereka, akan menyambar masing-masing tangan mereka itu, Sedang Pheng Lian Houw dengan cepat pergi menolongi Hauw Thony Hay dengan melepaskan belunggunya dan membebaskna totokannya. Thong Hay susah bernapas, maka itu, tanpa menanti mengeluarkan sumbatannya itu, sambil mencoba berseru, ia menyerang Yauw Kee, tangannya menyerbu ke muka si nona. Nona Thia melihat serangan, ia dapat berkelit mendak. Thong Hay mendongkol bukan main, mukanya merah. Kembali ia maju, kali ini dengan dua kepalan berbareng. "Tahan!" Pheng Lian Houw berseru. "Mari kita menanya dulu!" Thong Hay tidak dapat mendengar cegahan itu, karena kedua kupingnya pun disumpal. Koan Eng dicekal keras oleh Thong Thian, separuh tubuhnya sampai tak bisa digeraki, akan tetapi menampak Thong Hay menyerang Yauw Kee seperti kesetanan, entah darimana datangnya, ia berontak hingga terlepas, terus ia lompat kepada si orang she Hauw. Akan tetapi Lian Houw awas dan sebat, kakinya melayang, karena mana, pemuda itu roboh terbanting, hingga batang lehernya kena dicekuk. "Kau siapa"!" Lian Houw membentak. "Kemana perginya itu manusia yang menyaru jadi hantu"!" Baru Lian ouw menutup mulutnya, atau mana daun pintu terdengar bersuara, terbuka dengan perlahan. Semua orang menoleh dengan lantas, akan tetapi mereka tak melihat orang masuk. Tanpa merasa, hati mereka ciut sendirinya. Hanya sejenak, di ambang pintu tertampak seorang wnaita muda dengan rambut kusut awut-awutan, mulanya kepalanya yang nongol. Nio Cu Ong bersama Leng Tie Siangjin lompat mencelat. "Celaka, iblis wanita!" mereka berseru, kaget. Tapi Pheng Lian Houw bermata jeli, ia melihatnya orang bukan setan. "Masuk!" ia memanggil. Sa Kouw, demikian wanita itu, bertindak masuk sambil tertawa haha-hihi. "Oh, begini banyak orang!" katanya seraya mengulur lidahnya. Nio Cu Ong yang menjeritkan iblis, menjadi gusar sekali. "Kau siapa"!" ia membentak sambil lompat maju, tangannya menyambar lengan orang. Ia menganggap orang adalah gadis desa yang tolol. Tapi ia ketemu batunya! Sa Kouw tidak sudi tangannya dicekuk, ia kelit seraya berbalik membalas menyerang, maka "plok!" tanganna Cu Ong kena dihajar keraas, hingga ia merasakan sakit. Tentu sekali, dia jadi gusar sekali. "Ha, kau berlagak tolol!" ia berseru. Dia maju denagn dua tinjunya berbareng. "Hahahaha!" mendadak si tolol tertawa seraya menuding kepala orang yang gundul licin. Semua orang heran mendengar tertawa itu, Cu Ong tidak menjadi terkecuali, tapi mereka melengak tidak lama, atau si orang she Nio sudah mengirim satu tinjunya tinju yang kanan. Sa Kouw menangkis, ia berhasil, akan tetapi tubuhnya terhuyung. Mengertilah ia yang ia bukan tandingannya lawan itu, maka tak ayal lagi, ia memutar tubuhnya untuk lari pergi. Cu Ong berlaku sebat, dengan satu loncatan ia sudah menghadang di depan si tolol itu, sikutnya dikerjakan, maka hidung si nona menjadi sasaran, hingga ia kesakitan, dan matanya kabur. Lantas ia berteriak-teriak: "Adik yang makan semangka, lekas kau kelluar menolongi aku! Ada orang memukul aku!" Oey Yong terkejut. "Jikalau anak tolol ini tidak dibinasakan, dia bakal menjadi bahaya untuk kami," pikirnya. Tapi belum lagi ia mengambil keputusan atau tindakan, mendadak ia mendengar satu suara "Hm!" perlahan, yang ia kenali dengan baik sekali. "Ah, ayah datang!" katanya dalam hatinya, sedang hatinya berdebaran. Ia segera mengintai pula. Benar-benar oey Yok Su muncul di situ dengan jubahnya yang panjang dan hujai warnanya, mukanya ditutup dengan topeng kulit manusia. Dia berdiri di ambang pintu! Tidak ada orang yang mengetahui kapan tibanya ini orang baru, tidak ada yang melihat datangnya, tidak ada yang mendengarnya, hingga mungkin ia baru tiba, mungkin juga ia masuk lebih dulu ke dalam situ. Dia berdiri tak bergerak. Benar mukanya tidak bercaling atau bengis, tetapi kulitnya bukan kulit orang hidup, hanya kulit mayat, maka siapa yang memandangnya, lekas-lekas ia melengos, tidak berani ia mengawasi terus. "Nona, kau siapa?" Oey Yok Su kemudian menanya. Ia heran melihat gerak-gerik si nona, ia tahu orang bersilat dengan ilmu silatnya sendiri. "Siapa gurumu" Mana gurumu?" Sa Kouw menggeleng kepala. Ketika ia mengawasi mukanya Oey Yok Su, ia menjublak. Tapi cuma sebentar, lantas ia tertawa berkakakan dan menepuk-nepuk tangan. Oey Yok Su mengerutkan keningnya, ia berpikir sejenak, lantas ia mengambil putusan nona ini pasti ada cucu muridnya, hanya entah dari muridnya yang mana. Ia memang paling sayang sama muridnya, tidak sudi ia orang menghinakan muridnya itu. Buktinya Bwee Tiauw Hong, muridnya yang murtad tetapi tempo murid itu dikalahkan oleh Kwee Ceng masih ia hendak melindungi. Apa pula Sa Kouw nona yang tolol dan polos ini. "Eh, anak!" tegurnya. "Orang telah serang kau, mengapa kau tidak membalas menghajarnya?" Ketika baru-baru ini Oey Yok Su pergi naik ke perahu mencari putrinya, ia tidak mengenakan topeng, tetapi kali ini lain, orang tidak segera mengenalinya, kali ini setelah ia membuka mulutnya, lantaslah Wanyen Lieh bertiga Yo Kang dan Pheng Lian Houw lantas menjadi ciut nyalinya. Bahkan ia menduga-duga, jangan-jangan adalah Oey Yok Su yang menyamar jadi hantu di dalam istana. Maka ia lantas memikir untuk tidak bertempur, hanya mencari ketika untuk mengulur langkah seribu. Untuk ia, jiwanya paling penting, nama wangi dan malu adalah urusan lain... "Aku tidak dapat menghajar dia," Sa Kouw menjawab. "Siapa bilang kau tidak dapat menghajar dia"!" bentak Oey Yok Su. "Kau hajar cecongornya seperti tadi ia memukul hidungmu! Dia memukul kau satu kali, kau membalas dia tiga kali lipat ganda!" Sa Kouw tertawa. "Bagus!" katanya. Dan ia menghampirkan Nio Cu Ong, tanpa memikir pula ia bukan tandingan jago itu. Ia kata, "Kau memukul hidungku satu kali, akan aku hajar hiudngmu tiga kali!" Dan ia mengangkat kepalannya, meninju hidung orang! Nio Cu Ong tidak sudi mandah dihajar, ia angkat tangannya, untuk menangkis, atau tiba-tiba ia merasakan jalan darah kiok-tie-hiat di lengannya menjadi mati sendirinya, hingga ia tak sanggup sekalipun untuk melonjorkan lengannya itu. Maka itu, "Buk!" kenalah hidungnya dihajar si nona tolol itu, hingga ia kaget bahna sakitnya. "Yang kedua!" berseru sa kouw tanpa mengasih hati. Nio Cu Ong memasang kuda-kudanya, tangan kirinya digeraki. Ia hendak menggunai tipu silat Kim-na-hoat, Menangkap untuk membikin lengan orang terlepas dari sambungannya. Tidak sudi ia terus-terusan kena dihajar. Hanya, belum lagi tangannya itu bentrok tangan si nona, ia merasakan jalan darahnya pek-jie-hoat lemas sendirinya, hingga habislah tenagany, Dilain pihak, "Buk!" kembali hidungnya kena dihajar untuk kedua kalinya, bahkan kali ini hajarannya jauh lebih hebat, sampai tubuhnya melengak ke belakang. Selagi Nio Cu Ong kaget dan kesakitan dan heran, semua hadirin lainnya tak kurang herannya, kecuali Pheng Lian Houw seorang ahli senjata rahasia. Ia mendengarnya, setiap kali Nio Cu Ong menggeraki tangan, untuk menangkis atau membalas, saban-saban ada suara halus berkesiar, maka itu ia menduga, tentulah Oey Yok Su sudah menggunakan semcama senjata rahasia, mungkin sebangsa jarum, ia hanya tak dapat melihatnya, tak tahu kapannya senjata rahasia itu dipakai menyerang. Tentu sekali ia tidak tahu Oey Yok Su sudah melepaskan jarum rahasia dari dalam tangan bajunya, jarum mana dapat menembusi tangan baju itu, untuk meleset kepada sasarannya. Siapa dapat berkelit dari serangan semcam itu?" "Yang ketiga!" terdengar suara pula Sa Kouw, nyaring. Nio Cu Ong terkejut. Oleh karena tangannya tidak sudi mendengar kata, sedang ia tidak ingin merasakan pula bogem netah, lekas-lekas ia bertindak mundur, untuk menghindarkan diri. Tapi, baru ia mengangkat kakinya itu, kaki kana atau betisnya, bagian jalan darah pek-hay-hiat, mati sendirinya. Ia kget tak terkira. Itu artinya ia tak dapat berkelit. Ia menjadi sangat menyesal, maka tiba-tiba saja matanya menjadi merah, air matanya mengembang, untuk meluncur keluar. Kalau sampai ia menangis, habis sudah nama besarnya, maka ia hendak menyusutnya. Celaka untuknya, tidak dapat ia menangangkat tangannya. Dari itu, akhirnya bercucuranlah air matanya itu! Sa Kouw tolol akan tetapi hatinya pemurah dan lemah, kapan ia melihat orang menangis, batal ia meninju, bahkan ia berkata nyaring. "Sudah, jangan kau menangis! Tidak, aku tidak akan menghajar pula padamu..." Hiburan ini tapinya begitu hebat daripada tinjuan yang ketiga itu. Nio Cu Ong menjadi terasa terlebih terhina pula. Begitu hebat mendongkolnya, mendadak ia muntahkan darah hidup! Tapi ia segera mengangkat kepalanya, memandang Oey Yok Su. "Tuan siapakah kau?" ia menanya. "Secara gelap kau melukai orang, apakah itu perbuatan satu enghiong, seorang gagah?" Oey Yok Su tertawa dingin. "Tepatkah orang semacam kau menanyakan namaku?" katanya dengan dingin mengejek, lalu dengan suara nyaring, ia memerintah: "Semua kamu menggelinding pergi dari sini!" Semua orang itu menjadi kaget berbareng lega hati. Mereka telah menyaksikan segala apa, walaupun mereka gagah, hati mereka toh ciut, jeri mereka terhadap orang lihay tak dikenal ini. Untuk menyerang, mereka tak berani, untuk mengangkat kaki mereka malu, dari itu mereka diam saja, sampai tiba-tiba datang seruan orang. Pheng Lian Houw si licik adalah yang bergerak paling dulu, hendak ia berlalu. Baru dua tindak ia berjalan, atau mendadak orang menghadang di depan pintu! Terpaksa ia menghentikan langkahnya, berdiri menjublak si situ. "Setan alas!" berseru Oey Yok Su. "Telah aku melepaskan kamu, untuk kamu pergi, kenapa kamu berdiam saja" Apakah kamu ingin aku membunuh mampus pada kamu semua"!" Pheng Lian ouw ketakutan, ia mengerti bahaya. "Locianpwee ini menitahkan kita pergi, marilah kita keluar!" ia mengajak kawankawannya. Tidak berani ia ngeloyor sendirian. See Thong Thian panas hatinya. Ia menyingkirkan sumbatan kepada mulutnya. "Minggir untukku!" ia berseru mendongkol. Ia pun maju ke depan Oey Yok Su, matanya bersinar merah saking gusarnya. Oey Yok Su tidak mengambil mumat suara orang yang bengis itu. Bahkan dengan tawar ia berkata: "Tidak dapat kau meminta aku membuka jalan! Siapa yang menyayangi jiwanya, lekas ia molos dari selangkanganku!" Thong Thian semua saling mengawasi, muka mereka merah saking mendongkol. Saking gusar, mereka menjadi nekat. Mereka pun berpikir, "Walaupun kau sangat lihay, dapatkah kau melawan kami?" Maka itu Hauw Thong Hay sudah lantas berseru sambil berlompat maju, menubruk itu perintang jalan yang jumawa. "Hm!" terdengar suaranya Oey Yok Su, yang tahu-tahu tangannya sudah mencekuk si orang she Hauw itu, tubuh siapa diangkat tinggi-tinggi, terus dengan mendadak, tangannya menyambar lengan kiri Thong Thay, untuk ditarik, menyusul mana, orang galak ini menjerit keras, sebab sebelah tangannya itu kena dipatahkan. Habis itu, tubuh korban ini lantas dilemparkan, dia sendirinya terus dongak memandang langit, sikapnya acuh tak acuh........ Thong Hay roboh setengah mati, sakitnya bukan main. Tangannya yang patah itu mengucurkan darah tak hentinya. Semua orang kaget, hati mereka ciut. Kemudian Oey Yok Su menggeraki kepalanya, dengan matanya perlahan-lahan ia menyapu muka semua orang. See Thong Thian dan Pheng Lian Houw semua, semua sebangsa iblis, merasakan tubuh mereka menggigil sendirinya. Bukan main kerennya sinar mata orang ini! Bulu roma mereka pada bangun ssendiri. "Kamu mao molos atau tidak?" tanya Oey Yok Su bengis karena orang pada tetap diam saja. Tidak ada seorang juga yang berani banyak mulut, tidak ada yang ebrani menerjang atau membangkang, bahkan Pheng Lian Houw, dengan kepala tunduk, sudah lantas molos mendahului yang lain-lain! See Thong Thian melepaskan In Cie Peng dan Liok Koan Eng, dengan menolong adik seperguruannya, ia molos menyusul Pheng Lian Houw, diturut oleh Wanyen Lieh bersama Yo Kang. Yang paling belakang molos adalah Nio Cu Ong bersama Leng Tie Siangjin. Sekeluarnya dari pintu rumah makan, mereka melekaskan tindakan mereka, bahkan tidak berani mereka menoleh ke belakang. Oey Yok Su tertawa sambil melengak. "Koan Eng dan kau nona, diam kamu!" ia berkata. Koan segera mengenali kakek gurunya itu, akan tetapi akan orang mengenakan topeng dan menduga kakek guru ini sengaja tidak hendak memperlihatkan diri, ia tidak berani memanggil, ia cuma bertekuk lutut mengasih hormat dengan mengangguk empat kali. Menyaksikan orang demikian lihay, In Cie Peng mennduga orang ini bukan sembarang orang, ia lantas memberikan hormatnya seraya memperkenalkan diri sambil menyebut nama gurunya, Tiang Cun Cu dari Coan Cin Kauw. "Semua orang telah mengangkat kaki!" berkata Oey Yok Su nyaring. "Aku pun tidak menahan kau, perlu apa kau masih berdiam di sini" Apakah kau sudah bosan hidup?" Cie Peng melengak. Inilah perlakuan yang ia tidak menyangkanya. "Teecu ialah muridnya Coan Cin Kauw, bukannya orang jahat," ia memberi keterangan. "Habis kalau Coan Cin Kauw, bagaimana"!" tanya Oey Yok Su sambil tangannya diulur ke meja di mana ada sepotong kayu, yang mana ia ayunkan ke arah Cie Peng. Nampaknya enteng potongan kayu itu dan melayang. In Cie Peng mengangkat kebutannya untuk menangkis. Akan tetapi, ketika keduanya bentrok, muridnya Khu Cie Kee ini terkejut. Ia merasakan serangan yang keras luar biasa, kebutannya itu kena tertolak sampai ujungnya mengenai mulutnya hingga ia merasakan sakit sekali dan mulutnya itu seperti tambah entah barang apa. Ketika ia telah memuntahkannya, nyatalah ada beberapa buah giginya yang copot serentak. Ia menjadi kaget dan bungkam. Sungguh hebat! "Akulah Oey Yok Su atah Hek Yok Su!" kata Tong Shia dingin. "Kamu kaum Coan Cin Kauw, kamu hendak memandang bagaimana kepadaku?" Mendengar itu, In Cie Peng kaget bukan main, hatinya berdebaran. Yauw Kee semenjak tadi diam saja menyaksikan tingkah pola orang, turut terkejut, hatinya kebat-kebit. Koan Eng turut berkhawatir, di dalam hatinya ia kata, "Tentulah kakek guruku ini dengar pembicaraanku dengan ini tosu muda. Kalau dia pun mendengar kata-kataku kepada malaikat dapur barusan, entah dia bakal menghukum bagaimana kepadaku..." In Cie Peng memegang pipinya. "Kaulah pemimpin suatu partai persilatan, mengapa perbuatanmu begini cupat?" kemudian Cie Peng menegur si Sesat dari Timur itu. "Kanglam Liok Koay adalah orang-orang gagah yang berhati mulia, mengapa kau mendesak mereka demikian rupa" Mengapakah" Jikalau bukan guruku yang memberikan kabar, bukankah mereka semua bakal bercelaka di tanganmu?" Oey Yok Su menjadi gusar. "Pantas tak ketemu aku cari mereka di mana-mana, kiranya ada orang bangsa campuran yang emngadu biru di antara kita!" katanya nyaring. Cie Peng menjadi berani, ia berjingkrak. "Jikalau kau hendak membunuh aku, bunuhlah!" ia menantang. "Aku tidak takut!" Oey Yok Su tertawa dingin. "Bukankah kau telah mencaci aku dibelakangku?" katanya. Imam muda itu menjadi nekat. "Di depanmu pun aku berani mencaci kau!" katanya sengit. "Kaulah si setan alas, si siluman!" Koan Eng berkecil hati mendengar keberanian Cie Peng itu. Semenjak ia menjadi Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo jago, Oey Yok Su ditakuti semua orang, dari kalangan Hitam dan Putih, tidak pernah ada orang yang berani berlaku kurang ajar terhadapnya, maka Cie Peng ini adalah orang yang pertama. "Hebat! Ini imam cilik bakal tak ketolongan jiwanya..." ia mengeluh. Tetapi anehnya, bukannya marah, Oey Yok Su justru tertawa. Nyata si Sesat dari Timur ini menghargai dan menyayangi hati besar bocah ini. Ia ingat pada masa mudanya, yang juga tidak kenal takut. "Jikalau kau berani, kau makilah pula padaku!" katanya bengis sambil ia bertindak menghampirkan. "Aku tidak takut, hendak aku memaki pula padamu!" jawab Cie Peng. "Kau iblis, kau siluman!" "Hai, binatang bernyali besar, kau berani menghina kakek guruku!" membentak Koan Eng, yang lantas membacok. Tapi ia bukan hendak mencelakai, sebaliknya, untuk melindungi. Karena ia mengerti baik sekali, kalau kakek gurunya yang turun tangan, celakalah imam muda ini. Ia pikir, bacokannya sendiri, ke arah alis, tidak meminta jiwa orang. Ia harap perbuatannya ini nanti merendahkan kegusarannya kakek guru itu. Cie Peng berkelit yang berlompat mundur dua tindak. Ia mendelik, kembali ia pentang mulutnya lebar-lebar. "Imam kamu yang muda ini hari ini dia tak menghendaki hidup lebih lama pula!" katanya nyaring dan sengit, "Hendak aku mencaci kau!" Koan Eng hendak membacok orang roboh, untuk menolongi jiwanya, maka tanpa membilang suatu apa, ia menyerang pula. "Traang!" demikian satu suara nyaring. Sebab yauw Kee menalangi Cie Peng menangkis. Nona ini pun segera berkata nyaring: "Aku pun orang Coan Cin Kauw! Jikalau kau hendak membunuhnya, nah bunuhlah kami berdua saudara seperguruan!" Perbuatan nona Thia ini membuatnya Cie Peng terkejut dan kagum. "Bagus, Thia Sumoy!" serunya. Berdua mereka berdiri berendang, mata mereka memandang tajam kepada Oey Yok Su. Sikap mereka ini membuatnya Koan Eng menghentikan sepak terjangnya. Oey Yok Su mengawasi sepasang muda-mudi ini, ia tertawa terbahak. "Bagus, kamu bersemangat!" katanya memuji. "Memang aku Oey Lao Shia, aku ada dari bangsa sesat, maka tepatlah kau memaki aku! Gurumu masih terhitung orang di bawahan tingkat derajatku, dari itu, mana bisa aku melayani kamu bangsa sebawahanku" Nah, kau pergilah!" Sambil berkata begitu, Oey Yok Su mengulurkan sebelah tangannya menjambak dada si imam muda, terus tangannya itu dikibaskan. Cie Peng kena terjambak tanpa ia berdaya dan tahu-tahu tubuhnya sudaha melayang, terlempar ke luar. Ia kaget bukan main. Ia percaya bahwa ia bakal jatuh terbanting keras. Kesudahannya ada diluar dugaannya. Ia jatuh dengan berdiri dengan kedua kakinya, ia seperti juga dipegangi Oey Yok Su dan diksaih turun dengan perlahan-lahan! Muridnya Tiang Cun Cu ini berdiri menjublak. "Sungguh berbahaya.." katanya dalam hatinya. Sekarang ini biar nyalinya lebih besar pula, tidak nanti ia berani mencaci pula si Sesat dari Timur itu, kepandaian siapa benar-benar luar biasa. Kemudian dengan pegangi pipinya yang bengkak-bengkak, ia memutar tubuhnya untuk ngeloyor pergi... Yauw Kee memasuki pedangnya ke dalam sarungnya, ia pun membalik tubuhnya untuk berlalu. "Perlahan dulu!" mencegah Oey Yok Su seraya ia mengangkat tangannya ke mukanya, untuk menyingkirkan topengnya. "Bukankah kau suka menikah dengannya untuk menjadi istrinya" Benarkah?" Ia menanya seraya menunjuk ke Koan Eng. Kaget nona Thia. Inilah ia tak sangka. Dengan sendirinya mukanya menjadi pucat dan kemudian berubah menjadi bersemu merah dadu... "Imam cilik yang menjadi kakak seperguruanmu itu, memang tetap caciannya padaku," berkata pula Oey Yok Su. "Bukankah ia mengatakan aku iblis dan siluman" Memang tocu dari Tho Hoa To, Tong Shia Oey Yok Su, siapakah orang kangouw yang tidak mengetahuinya" Seumurnya aku Oey Lao Shia, yang aku paling jemukan ialah segala hal wales asih dan pribadi, segala peradatan dan aturan, dan yang paling aku bencikan yakni segala nabi atau rasul, segala kehormatan atau kesucian diri! Semua itu adalah daya belaka untuk memperdayakan suami-istri tolol, dan manusia di kolong langit ini, turun menurun telah dibelesaki ke dalam situ tanpa mereka sadari! Tidakkah itu sangat menyedihakn, sangat harus dikasihani dan lucu juga" Oey Yok Su tidak percaya semua itu! Orang mengatakan Oey Yok Su sesat! Hm! Sebenarnya hatiku ada terlebih baik daripada segala nabi yang dipuja di dalam kuil!" Yauw Kee berdiam, tapi hatinya berdenyutan. Hebat kata-katanya Oey Yok Su ini. Ia tidak tahu, apa yang si sesat ini hendak perbuat atas dirinya.... "Kau omonglah terus terang kepadaku," berkata pula Oey Yok Su, "Benar bukan kau hendak menikah sama cucu muridku ini" aku paling sukai bocah yang bersemangat dan polos dan jujur! kau lihat imam cilik tadi, ia mencaci aku dibelakangku. Coba di depanku dia takut mencaci lebih jauh, coba dia justru bertekuk lutut memohon ampun, kau lihat, aku bunuh padanya atau tidak! Hm! Di saat yang sangat berbahaya kau membantu imam cilik itu, kau bersemangat, maka itu tepatlah kau dipasangi sama cucu muridkun ini! Nah, kau jawablah!" Yauw Kee girang bukan kepalang. Memang sangat ingin ia menikah sama Koan Eng. Akan tetapi cara bagaimana ia dapat membuka mulut dalam urusan yang mesti direcoki orang tua mereka" Kepada ayah ibunya sendiri ia malu untuk menjelaskannya, apa pula kepada orang asing ini, yang ia baru pertama kali menemuinya" Pula di situ Koan Eng ada beserta! Maka ia tetap berdiri diam, wajahnya tetap merah dadu... Oey Yok Su mengawasi Liok Koan Eng. Juga pemuda itu, cucu muridnya, berdiam sambil tunduk. Tiba-tiba ia ingat pada putrinya. Maka ia menghela napas. "Jikalau dihendaki kamu berdua, suka aku merecoki jodoh kamu," katanya perlahan. "Memang di dalam hal perjodohan, orang tua juga tiak dapat memaksanya...." Si Sesat dari Timur ini ingat kejadian kepada putrinya. Coba ia meluluskan anak darahnya itu menikah dengan Kwee Ceng, tidak nanti anak itu mati mengenaskan di dasar laut. Karena ini, ia menjadi uring-uringan. "Koan Eng!" katanya tiba-tiba nyaring. "Kau jawablah terus terang, sebenarnya kau menghendaki atau tidak dia ini menjadi istrimu"!" Pemuda she Liok itu kaget hingga ia mencelat. "Cauwsuya," sahutnya cepat, gugup, "Aku hanya khawatir aku tidak setimpal dengan ini..." "Tepat, cocok!" berseru Oey Yok Su. "Kaulah cuci muridku, sekalipun putri raja, tentu dia tepat, dia setimpal denganmu!" "Ya, cucu muridmu suka," Koan Eng menjawab dengan cepat. Ia mengerti kalau ia tidak omong polos dan terus terang, ia bisa celaka di tangan kakek guru yang tabiatnya aneh ini. Kalau tadi ia beroman beringis, sekarang Oey Yok Su tersenyum. "Bagus!" serunya. "Sekarang kau, nona?" ia terus tanya nona Thia. Bukan main girangnya yauw Kee, manis ia mendengar suaranya Koan Eng. Akan tetapi ia masih menunduki kepala. "Tentang hal ini haruslah ayahku yang memutuskannya..." sahutnya sesaat kemudian. "Ha, apakah itu segala titah orang tua, segala perkataan comblang?" kata Oey Yok Su keras. "Segala itu ialah angin busuknya anjing! Sekarang ini akulah yang hendak mengambil keputusan! Jikalau ayahmu tidak mupakat, suruh dia berurusan denganku!" Yauw Kee berdiam. "Kalau begitu, terang kau tidak suka!" berkata Oey Yok Su. "Kau ada merdeka! Kita harus omong terus terang, aku Oey Lao Shia, aku larang orang menyesal kemudian!" Yauw Kee tersenyum. "Ayahku cuma pandai berhitung dan menulis, dia tidak mengerti ilmu silat," katanya, menjelaskan. Oey Yok Su heran, melengak. "Biarlah mengadu menghitung dan menulis pun boleh!" katanya kemudian. "Lekas kau bilang, kau suka atau tidak menikah dengan cucu muridku ini?" Nona Thia melirik Koan Eng, roman siapa gelisah. Di dalam hatinya ia kata: "Ayahku paling sayang padaku, asal kau minta orang datang melamar aku, dia tentu akan menerimanya. Kenapa kau begini bergelisah?" Oey Yok Su mengawasi cucu muridnya. "Koan Eng, mari turut aku mencari Kanglam Liok Koay!" katanya nyaring. "Lain kali kalau kau dan nona ini bicara pula, sepatah kata saja, akan aku kuntungi lidah kamu!" Koan Eng kaget bukan main. Ia tahu benar, perkataannya si kakek guru tentu bakal diwujudkan. Maka lekas-lekas ia menghampirkan Yauw Kee, kepada siapa ia menjura seraya berkata: "Nona Thia, aku Liok Koan Eng, kepandaian ilmu silatku rendah sekali, aku pun tidak terpelajar, sebenarnya tidak setimpal aku denganmu, akan tetapi hari ini kita telah bertemu, itu tandanya kita berjodoh..." "Jangan terlalu merendah, kongcu," sahut Yauw Kee perlahan, "Aku...aku bukannya...." Koan Eng lekas memotong. Ia jadi ingat tadi si nona bicara dari hal mengangguk kepala untuk menggantikan jawaban. "Nona," demikian katanya. "Jikalau kau mencela aku si orang she Liok, kau goyanglah kepalamu..." Di mulut Koan Eng mengatakan demikian, hatinya sebenarnya goncang keras. Ia menatap si nona, ia khawatir nona itu benar-benar menggeleng kepala... Sekian lama, Yauw Kee berdiam saja. Di atas dari kepalanya, di bawah sampai kakinya, dia tidak bergerak sedikit juga. Bukan main girangnya Koan Eng. "Nona!" ia berseru, "Kalau kau setuju, kau menerima baik, sukalah kau mengangguk!" Tapi, nona Thia itu tetap tidak bergerak. menampak itu, Koan Eng bergelisah bukan main. Oey Yok Sun sendiri menjadi tidak sabaran. "Menggeleng kepala tidak, mengangguk pun tidak, habis bagaimana"!" katanya. Yauw Kee tunduk, ia bersenyum ketika ia berkata, "Tidak menggeleng kepala itu berarti mengangguk..." Mau tidak mau, Oey Yok Su tertawa berkakakan. "Hebat Ong Tiong Yang, dia menerima ini macam cucu murid! Sungguh lucu!" serunya. "Bagus, bagus! Sekarang juga aku akan menikahkan kamu!" Koan Eng dan Yauw Kee terkejut. Keduanya lantas mengawasi orang tua ini, mulut mereka bungkam. "Mana itu nona tolol?" kemudian Oey Yok Su menanya. "Hendak aku tanya dia, siapakah gurunya." Ketiganya menoleh ke sekitarnya, Sa Kouw tidak ada di antara mereka. Entah kapannya si tolol menghilang selagi orang berbicara. "Sudah, tidak usah repot mencari dia," kata Oey Yok Su kemudian, "Koan Eng, sekarang hayolah kau dan nona Thia sama-sama menghormati langit dan bumi, untuk menglangsungkan pernikahan kamu." "Cauwsuya," berkata Koan Eng. "Kau menyayang cucu muridmu ini, untuk itu walaupun tubuhku hancur lebur, sukar aku membalas budimu, akan tetapi dengan aku menikah di sini, nampaknya ini terlalu tergesa-gesa..." "Hus!" membentak Tong Shia. "Kamu murid Tho Hoa To, apakah kau juga hendak mengukuhi segala aturan umum" Mari, mari, berdirilah berendeng dan memberi hormatlah ke luar kepada langit!" Berpengaruh sekali suaranya pemilik dari pulau Tho Hoa To ini. Sampai di situ, Yauw Kee dan Koan Eng bertindak satu pada lain, untuk berdiri berendeng, untuk terus menjalankan kehormatan. "Sekarang menghadap ke dalam, menghormati bumi!" Oey Yok Su berkata pula, "Nah, kau menghormatilah couwsu kamu! Bagus, bagus, sungguh aku girang! Sekarang suami istri saling memberi hormat!" Demikian KoanEng dan Yuaw Kee seperti main sandiwara di bawah pimpinan Tong Shia, selama mana Oey Yong bersama Kwee Ceng terus mengikuti dari kamar rahasia. Mereka heran dan lucu atas sepak terjangnya orang tua ini. "Bagus!" terdengar pula suaranya Oey Yok Su. "Sekarang hendak aku menghadiahkan serupa barang kepada kamu suami-istri muda. Kamu lihat!" Seketika itu juga, di dalam ruangan ini terdengar suara angin menderu-deru, seumpama kata, tembok bergoyang-goyang... Oey Yong tidak mengintai tetapi ia tahu, ayahnya tengah menjalankan ilmu silat yang dinamakan Kong-piauw-kun atau Angin Ngamuk. Sekira semakanan the, angin berhenti menderu. "Kamu lihat, sekarang kamu turuti, untuk berlatih," berkata Oey Yok Su. "Mungkin kamu tidak dapat menangkap seluruh sarinya ilmu silat ini akan tetapi setelah menyakinkannya, meskipun cuma kulitnya saja, bila kemudian kamu bertemu pula orang sebangsa si orang she Hauw tadi, tak usah kau takut lagi. Koan Eng, pergi kau cari sepasang lilin, malam ini kamu boleh merayakan pernikahan kamu!" Koan Eng melengak. "Cauwsu," katanya tertahan. "Apa" Habis menghormati langit-bumi, apakah bukannya merayakan pernikahan di antara lilin di dalam kamar?" tanya kakek guru ini. "Kamu berdua ada orang-orang yang menyakinkan ilmu silat, mustahilkah untuk kamu masih dibutuhkan segala kamar yang dirias indah dan gubuk reot tak cukup?" Koan Eng terdesak. Tetapi diam-diam ia bergirang. Ia lantas pergi untuk membeli lilin sekalian membeli juga arak putih dan seekor ayam, bersama-sama Yauw Kee ia pergi ke dapur untuk mematangi itu, setelah mana mereka melayani sang kakek guru bersantap. Sejak itu Oey Yok Su tidak banyak omong lagi, bahkan ia melihat ke langit, otaknya memikirkan anak daranya. Oey Yong bersusah hati, beberapa kali hendak ia memanggil ayahnya itu, sabansaban ia membatalkannya. Ia khawatir ia nanti mengganggu lukanya Kwee Ceng. Pernah ia mengulur tangan ke pintu, lekas ia menariknya pulang. Yuaw Kee dan Koan Eng beberapa kali melirik Tong Shia, lalu mereka saling mengawasi. Mereka juga membungkam, tidak ada yang berani membuka mulut. Auwyang Kongcu rebah di atas rumput, ia merasa sangat lapar, tetapi ia menguati hatinya, untuk tak bersuara, tak bergerak. Maka itu ketika itu, di dalam tiga kamar, keenam orang itu sama-sama rapat mulutnya. Demikian cuca gelap. Dengan mulai gelapnya sang jagat, hati Yauw Kee berdebaran. "Ah, kenapa si tolol itu masih belum kembali?" berkata Oey Yok Su. "Kawanan jahanam itu tentulah tak berani mengganggu dia." Ia menoleh pada Koan Eng. Ia menanya. "Malam ini malam pengantin, mengapa kau tidak memasang lilin?" "Ya," menyahut Koan Eng cepat dan ia menyalakan api menyulut lilin. Maka itu di antar terangnya api ia dapat melihat wajahnya nona Thia dengan rambutnya yang bagus dan pipinya yang putih. Di luar rumah terdengar suara angin perlahan, dari memainnya daun-daun bambu. Oey Yok Su menngangkat sebuah bangku, ia lintai itu di depan pintu, lants di situ ia rebahkan dirinya. Tidak lama, dari hidungnya mulai terdengar suara menggeros perlahan, suatu tanda ia sudah tidur pulas. Yuaw Kee dan Koan Eng masih duduk tak bergeming. Sang tempo berjalan terus sampai sepasang lilin padam, habis manjadi cair beku dan sumbunya menjadi abu, hingga ruangan menadi gelap petang. Setelah ini mereka berbicara, seperti berbisik-bisik hingga Oey Yong yang memasang kuping, tidak dapat menangkap pembicaraan mereka itu. Nona Oey berhenti memasang kuping tatkala merasakan tubuh Kwee Ceng bergerak secara tiba-tiba, napasnya seperti memburu. Ia mengerti, itulah saat genting dari latihan mereka. Maka ia memusatkan perhatiannya, ia mengempos tenaga dalamnya, untuk menunjang kawan itu. Ia menanti sampai si anak muda tenang pula, baru ia mengintai keluar. Sekarang ini mulai tertampak sinar rembulan, yang molos masuk dari jendela butut. Dengan begitu kelihatan juga Koan Eng dan nona Thia duduk berbareng. Mereka duduk diatas sebuah bangku. "Tahukah kau hari ini hari apa?" kemudian terdengar si nona Thia, suaranya perlahan. "Inilah hari baik dari kita berdua," menyahut Koan Eng. "Itulah tak usah disebutkan lagi," kata si nona. "Hari ini bulan tujuh tanggal dua - hari ini ialah hari lahir aku." Koan girang. "Oh, sungguh kebetulan!" katanya. "Tidak ada hari sebaik hari ini!" Yauw Kee mengulur tangannya menutup mulut orang. "Sst, perlahan," ia memberi ingat. "Kau lupa daratan, eh?" Hampir Oey Yong tertawa mendengar pembicaraan mereka itu. Justru itu ia pun bagaikan sadar. "Hari ini tanggal dua, dan engko Ceng baru sembuh tanggal tujuh," demikian ia ingat. "Rapat partai Pengemis di kota Gakyang bakal dilakukan tanggal limabelas. Dalam tempo delapan hari, mana dapat kita sampai di sana?" Nona ini tengah berpikir ketika kupingnya mendengar siulan panjang di luar rumah makan, disusul tertawa nyaring yang seperti menggetarkan genteng rumah makan itu. Ia mengenali suaranya Ciu Pek Thong. "Hai, tua bangka berbisa bangkotan!" terdengar pula suaranya si orang tua berandalan itu. "Dari Lim-an kau mengubar ke Kee-hin, dari Kee-hin kau mengejar balik ke Lim-an, sudah satu hari satu malam kau mengejarnya, sampai diakhirnya, Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo kau masih tak dapat menyandak Loo Boan Tong! Sekarang ini sudah ada keputusannya tentang kepandaian kita berdua, apalagi hendak kau bilang?" Oey Yong terkejut. "Dari Lim-an ke Kee-hin toh perjalanan limaratus lie lebih?" pikirnya. "Ah, bagaimana cepat larinya mereka berdua?" Itu waktu terdengar suaranya Auwyang Hong: "Meski juga kau lari ke ujung langit, akan aku kejar kau sampai di sana!" Ciu Pek Thong tertawa terbahak. "Kalau begitu, biarlah kita jangan gegares jangan tidur!" dia berkata nyaring. "Biar kita terus kejar-kejaran untuk mendapat tahu, siapa yang larinya paling kencang, siapa yang paling ulet. Kau berani atau tidak"!" "Baik!" menyambut Auwyang Hong. "Mari kita lihat siapa yang akan lebih dulu mampus kecapaian!" Bab 51. Ajalnya Auwyang Kongcu Bab ke-51 cersil Memanah Burung Rajawali. Sebenta saja terdengar perkataan dan tertawanya Auwyang Hong dan Ciu Pek Thong berdua, atau sejenak kemudian, suara mereka terdengar sudah jauh mungkin di luar belasan tombak. Koan Eng dan Yauw Kee duduk menjublak. Tak tahu mereka siapa kedua orang itu, mereka heran. Apa perlunya dua orang itu muncul di tengah malam buta rata" Saking ingin tahu, mereka bangun berdiri, terus sambil berpegangan tangan mereka bertindak ke pintu. Oey Yong sendiri berpikir: "Mereka berdua hendak menguji kekuatan kaki mereka, mestinya ayah menyaksikan mereka itu." Benar saja, segeralah terdengar suaranya Koan Eng, "Ah, aneh! Mana Couwcu?" "Lihat di sana!" berkata Yauw Kee. "Bukankah di sana ada bayangan tiga orang" Bayangan yang paling belakang itu mirip sama bayangan couwsu." "Ya, benar!" berkata Koan Eng. "Kenapa dalam sekejap saja mereka itu sudah pergi begitu jauh" Siapakah itu dua orang yang lain" Mereka lihay sekali! Sang kita tidak dapat melihat mereka..." Kata Oey Yong dalam hatinya: "Tidak peduli kamu melihat si bisa bangkotan atau si bocah tua bangkotan berandalan, untuk kamu berdua tidak ada faedahnya..." Habis itu, dua-dua Koan Eng dan Yauw Kee lega hatinya. Dengan kepergian Oey Yok Su sang kakek guru, mereka menganggap berdua saja di rumah makan itu. Bukankah Sa Kouw pun pergi tidak karuan paran" Koan Eng lantas merangkul pinggang langsing dari istrinya si pengantin baru. "Adikku, apakah namamu?" ia menanya perlahan. Nona Thia tertawa. "Aku tidak hendak membilangi kamu. Kamu terkalah!" Koan Eng pun tertawa. "Kalau bukannya kucing kecil tentulah anjing cilik, !" katanya. "Semaunya bukan!" kata si nona, kembali tertawa. "Itulah si biang kutu gede!" Koan Eng tertawa pula. Dengan "biang kutu gede" dimaksudkan harimau. "Oh, kalau begitu tak dapat aku menangkapnya!" katanya. Nona Thia berontak, ia melompat ke meja. Koan Eng mengejar sambil tertawa-tawa. Demikian mereka main kejar-kejaran, berputar-putaran, suara tertawa mereka ramai. Samar-samar Oey Yong menanmpak bayangan mereka di antara sinar bintang-bintang, ia terus mengawasi, mulutnya tersenyum sendiri. "Eh, Yong-jie, coba kau terka, dapatkah dia menyandak nona Thia atau tidak?" tiba-tiba Kwee Ceng menanya. "Dia bakal pasti tercandak!" jawab si nona. "Kalau sudah kena ditangkap, bagaimana?" Kwee Ceng menanya pula. Oey Yong tidak dapat menjawab. Pertanyaan itu menggeraki hatinya. Justru itu terdengar suaranya Koan Eng, tandanya ia telah berhasil menyandak dan membekuk Yauw Kee, lalu keduanya saling merrangkul, kembali ke bangku mereka. Mereka bicara dan tertawa dengan perlahan. Bukan main gembiaranya mereka itu. Tangan kanan Oey Yong tetap beradu sama tangan kiri Kwee Ceng, ia merasakan telapakan tangannya si anak muda makin lama makin panas, tubuhnya pun bergoyang ke kiri dan ke kanan, bergoyangnya makin lama makin keras. Ia menjadi terkejut. "Engko Ceng, kau kenapa?" ia menanya. Kwee Ceng masih belum sembuh totol, bersenda guraunya Koan Eng dan Yuaw Kee mengganggu pemusatan pikirannya, lebih-lebih ia berada berduaan saja sama Oey Yong. Sulit untuk dia menguasai dirinya, maka itu tanganya menjadi panas, tubuhnya bergoyang. Ia tidak jawab si nona, hanya ia ulur tangan kanannya akan memegang pundak si nona. Oey Yong bertambah khawatir. Pemuda itu bernapas memburu keras, hawanya pun bertambah panas. "Engko Ceng, hati-hati!" ia memperingati, "Kau tenangkan dirimu, kau tetapkan hatimu!" "Aku gagal, Yong-jie," menyahut Kwee Ceng, yang hatinya goncang. "Aku...aku.." Habis berkata, ia mencoba bangun untuk berdiri. "Jangan bergerak!" Oey Yong berteriak saking bingungnya. Ia gugup. Kwee Ceng duduk pula, ia mainkan pernapasannya. Ia merasakan hatinya ruwet, dan dadanya pun seperti hendak meledak. "Yong-jie, kau tolongi aku, tolongi..." raratpnya. Kembali ia hendak berbangkit bangun. "Jangan bergerak!" Oey Yong melarang pula. "Begitu kau gerak, akan aku totoki padamu!" "Benar, lekaslah kau totok!" kata Kwee Ceng. "Aku tidak dapat menguasai diriku lagi..." Oey Yong menjadi sangat bingung. Ia tahu, kalau ia menotok, habis sudah latihan ,mereka berdua, yang telah dilakoni dengan susah payah, dikemudian hari mereka harus berlatih dari baru pula. Tapi Kwee Ceng menghadapi bahaya, asal ia berdiri, maka terancamlah jiwanya. Tapi ia tak dapat bersangsi, ia tidak boleh berayal lagi. Dengan menggertak gigi, ia geraki tangan kirinya, dengan tipu "Lan-hoat Hut-huat-ciu", ia menotoki jalan darah ciang-bun di tulang rusuk ke sebelas dari dada kiri si pemuda itu. Tenaga dalam dari Kwee Ceng telah terlatih sempurnya sekali, ia dapat menggunai itu secara wajar, maka tempo jari si nona hampir sampai pada sasarannya, ia berkelit sendirinya. Dua kali Oey Yong menotok, dua-dua kalinya gagal. Ketika ia hendak mengulangi untuk ketiga kalinya, mendadak lengan kirinya tercekal keras, lengan itu kena ditangkap Kwee Ceng. Cuaca ketika itu sudah mulai terang. Oey Yong berpaling, mengawasi si anak muda. Ia mendapatkan sepasang mata orang merah bagaikan api. Ia terkejut. Ia pun merasa tangannya ditarik. Mulut Kwee Ceng mengasih dengar suara tak tegas, terang ia kacau otaknya. Terpaksa ia menggeraki pundaknya, membentur tangan orang. Dengan begitu duri dari baju lapisnya mengenai daging si anak muda. Kwee Ceng kaget kesakitan, ia tertegun. Justru itu waktu, kupingnya dapat menangkap keruyuknya ayam jago. Mendadak saja, otaknya menjadi terang dan sadar. Dengan perlahan ia lepaskan cekalannya, ia mengasih turun tangannya. Ia pun malu hingga ia jengah sendirinya. Oey Yong mengawasi. Di jidat anak muda terlihat keringat mengetel. Kulit muka orang pun lesu dan pucat sekali. Tapi, meskipun itu semua, ancaman bahaya sudah lenyap. Maka legalah hatinya, ia menjadi girang. "Engko Ceng, kita sudah melewati dua hari!" katanya. "Plok!" demikian satu suara nyaring. Nyata Kwee Ceng telah menggaplok mukanya sendiri. "Sungguh berbahaya!" katanya. Ia maish hendak menggaplok lagi atau si nona mencegah. "Jangan, itulah tak ada artinya!" kata Oey Yong tertawa. "Kau ketahui lihaynya Loo Boan Tong, dia masih tak sanggup mempertahankan dri dari suara seruling ayahku, apapula kau tengah terluka parah?" Tanpa merasa, karena ancaman bahaya itu, Kwee Ceng dan Oey Yong sudah memasang omong. Mereka lupa keadaan mereka, mereka tidak ingat lagi untuk main berbisik saja. Koan Eng dan Yauw Kee tengah kelelep asmara, mereka tidak mendapat dengar, tetapi tidak demikian dengan Auwyang Kongcu di ruang dalam. Pemuda ini memasang kupingnya, hingga ia mengenali suaranya Oey Yong. Ia kaget berbareng heran. Ia masih mendengar lagi tapi suara lantas sirap. Ia menjadi sangat menyesal karena kedua kakinya luka parah hingga ia tak mampu berjalan. Tetapi ia ingin berjalan pula, maka terpaksa ia menggunai kedua tangannya, yang dijadikan seperti kaki, hingga tubuhnya terangkat ke atas, kakinya naik tinggi sedangakan kepalanya berada di bawah! Koan Eng bersama pengantinya berdiri berendeng, tangan kirinya merangkul leher istrinya itu, terletak di pundak istrinya. Ia terkejut ketika kupingnya dapat mendengar suara berkerisiknya rumput, segera ia menoleh. Maka terlihatlah olehnya seorang berjalan dengan kedua tangan di jadikan kaki. Ia segera berbangkit seraya mencabut goloknya. Auwyang Kongcu telah terluka parah, ia pun sudah kelaparan, tubuhnya menjadi sangat lemah, ketika ia lihat berkelebatnya sinar golok, kagetnya tak kepalang, tidak ampu lagi ia roboh pingsan. Koan Eng melihat orang tengah sakit, ia lompat maju untuk mengasih bangun, buat dikasih duduk di atas bangku, tubuhnya disenderkan pada meja. Selahi suaminya menolongi orang, Thia Yauw Kee menjerit kaget. Ia tidak uash mengawasi lama akan mengenali orang adalah Auwyang Kongcu, yang di Poo-ceng telah menangkap padanya. Koan Eng menoleh dengan lantas karena jeritan istrinya itu. Ia terkejut akan mendapatkan muka si istri, yang seperti orang ketakutan sangat. "Jangan takut," ia menghibur. "Dia telah patah kakinya." Tapi istrinya menyahut lain. "Dia orang jahat, aku kenali dia!" demikian sahutnya. "Oh!" seru Koan Eng tertahan. Auwyang Kongcu mendusin sendirinya. "Bagi aku nasi, aku lapar sekali," ia memohon. Yauw Kee mengawasi. Ia melihat orang bermata coleng dan beroman sangat kucel, timbul rasa kasihannya. Ia memang berperangai halus dan pemurah hati, ia menjadi tidak tega. Ia menghampirkan kuali untuk mengisikan satu mangkok nasi, yang mana ia angsurkan pada pemuda yang bercelaka itu. Auwyang Kongcu menyammbuti, terus ia makan. Habis satu mangkok, ia minta pula, maka habislah tiga mangkok, setelah mana ia merasa tenaganya pulih. Ia mengawasi Yauw Kee. Mendadak timbul pula pikiran yang buruk. "Mana nona Oey," ia tanya. "Nona Oey yang mana?" Oey Yong balik menanya. "Nona Oey putrinya Oey Yok Su dari Tho Hoa To," Auwyang Hong menjawab. "Oh, kau kenal nona Oey?" kata Koan Eng. "Kabarnya dia sudah menutup mata..." Pemuda itu tertawa. "Ah, kau hendak memperdayakan aku?" katanya. "Terus-terang aku telah mendengar suaranya barusan!" Terus dengan mendadak ia menekan meja dengan tangan kirinya, atas mana tubuhnya melesat, hingga dilain saat ia sudah berdiri pula dengan kedua tangannya. Ia berputaran di ruang itu, untuk mencari Oey Yong. Sia-sia ia mencari, maka ia memasang mata sambil memasang kupingnya. Ia mengawasi ke arah darimana datangnya suara Oey Yong datang, ialah arah timur. Tapi di situ ada tembok, tidak ada pintu. Ia sangat cerdas, tak usah berpikir lama, ia lantas mencurigai lemari. "Mesti ada rahasianya di situ," demikian pikirnya. Maka ia lantas menarik meja, dibawa ke depan lemari itu, habis mana ia naik ke atas meja itu, untuk segera membuka daun lemari. Ia menyangka ada pintu rahasia di situ, tapi ia kecele. Ia melihat bagian dalam lemari yang hitam dan kotor. Ia berputus asa akan tetapi pikirannya bekerja terus juga. Maka terlihatlah olehnya mangkok besi, bahkan di situ ia mendapatkan beberapa tapak jari tangan, yang masih baru. Mendadak hatinya tergerak. Segera ia mengulur tangannya, meraih mangkok itu. Ia menarik tetapi mangkok tidak bergeming. Ia tidak mau sudah, sekarang ia memutar. Mangkok itu terus bergerak, ia memutar terus. Maka segeralah terdengar suara apa-apa, disusul sama bergeraknya pintu rahasia hingga di sana terlihat Oey Yong dan Kwee Ceng lagi duduk di dalam kamar rahasia itu. Bukan main girangnya kongcu ini melihat si nona, hanya menampak Kwee Ceng ada beserta nona itu, ia berbalik menjadi kaget berbareng iri dan cemburunya lantas timbul, iri hatinya menyusul. "Adikku, apakah kau tengah berlatih?" ia menanya. Ia melihat dua orang itu berdiam saja. Semenjak tadi Oey Yong merasa pasti rahasianya bakal ketahuan. Ia telah mengawasi setiap gerak-geriknya Auwyang Kongcu itu, ketika orang membuka lemari, ia lantas berpikir. "Jangan bergerak," ia bisiki Kwee Ceng. "Aku akan pancing dia datang dekat, lalu kau hajar dia dengan ang Liong Sip-pat Ciang, untuk menghabiskan padanya." "Tetapi aku tidak dapat menggunai tenaga di tanganku," Kwee Ceng membilang, berbisik juga. Oey Yong masih hendak berbicara pula atau pintu sudah terbuka dan Auwyang Kongcu muncul di depan mereka, maka lekas-lekas ia mengasah otaknya: "Dengan cara bagaimana aku dapat menghalau dia hingga dia suka pergi jauh-jauh, supaya aku bisa melewatkan terus lima hari lima malam dengan tenang" Kalau aku membuka mulut, bisa celaka engko Ceng...Bagaimana sekarang?" Auwyang Kongcu jeri terhadap Kwee Ceng, melihat orang berdiam saja, ia mengawasi dengan tajam hingga ia dapat melihat roman yang lesu, mukanya pucat. Dia lantas ingat pembilangan pamannya bahwa Kwee Ceng itu pernah dihajar dengan Kuntauw Kodok di dalam istana, kalau tidak lantas mati, si anak muda mestinya terluka parah. Maka sekarang, ia melihat keadaannya Kwee Ceng dan menyaksikan sikapnya mereka berdua, sebagai orang cerdik, ia lantas dapat menduga duduknya hal. Untuk mendapat kepastian, ia hendak mencoba. "Adik, kau keluarlah," ia berkata. "Buat apa berdiam di dalam kamar ini, cumacuma pikiran menjadi pepat..." Sembari berkata, ia mengulur sebelah tangannya, berniat menarik ujung baju si nona. Oey Yong tidak menyahuti, hanya ia angkat tongkatnya dengan apa ia menghajar kepala orang. Auwyang Kongcu kaget, dengan lekas ia berkelit. Hebat serangan itu, sebagaimana anginnya pun berkesiur keras. Ia lompat jumpalitan, akan trun dari meja. Oey Yong menjadi sangat menyesal. Kalau dapat ia bergerak, ia bisa menyusuli dengan serangan yang kedua, yang pasti tidak bakal gagal. Sekarang ia cuma bisa numprah terus, jengkelnya bukan kepalang. Sementara itu Koan Eng dan Yauw Kee heran bukan main mendapatkan kamar rahasia itu serta di dalamnya ada orangnya, mereka sampai diam menjublak saja. Ketika kemudian mereka mengenali Oey Yong dan Kwee Ceng, itu waktu si nona Oey sudah menyerang Auwyang Kongcu, tetapi serangannya gagal. Setelah itu, pemuda itu naik pula ke meja, untuk beraksi. Ia jadi berani karena ia melihat Oey Yong tidak bergerak untuk menyusul padanya, dugaannya menjadi satu kepastian. Begitulah ia menyerang si nona, tangan siapa ia hendak tangkap untuk ditarik. Kalau Oey Yong menghajar dia dengan tongkat, ia senantiasa main berkelit. Kalau ada ketikanya, ia menotok. Oey Yong kewalahan, tidak peduli ilmu tongkatnya lihay. Ia tidak berani bangun, untuk meninggalkan Kwee Ceng. Karena ini, lama-lama ialah yang kena terdesak. Koan Eng dan istrinya melihat keadaan buruk untuk nona Oey itu, dengan serentak mereka maju untuk membantui. Mereka masing-masing menggunai golok dan pedang. Auwyang Kongcu melihat majunya suami-istri itu, ia tertawa lebar dan panjang, sambil tertawa tubuhnya bergerak, sebelah tangannya menyambar ke arah Kwee Ceng. Pemuda itu melihat bahaya mengancam, akan tetapi ia tidak dapat menangkis atau berkelit, terpaksa ia tutup rapat kedua matanya untuk menantikan maut datang. Oey Yong kaget bukan main, ia segera menyerang. Auwyang Kongcu sudah bersiap, begitu tongkat tiba, ia menanggapi, ia mencekal, lalu ia menarik keras. Dalam tenaga, tentu saja nona Oey kalah, sedang sebelah tangannya tidak dapat ia gunakan. Bahkan ia khawatir sekali tangannya itu lepas dari tangan Kwee Ceng. Sekalipun tubuhnya terhuyung, ia berdaya untuk mempertahankan diri. Tidak ada jalan lain, terpaksa ia lepaskan tongkatnya, untuk tangannya itu dipakai merogoh ke dalam sakunya, untuk meraup jarumnya, dengan apa ia menyerang ke arah musuh yang licik itu. Auwyang Kongcu terkejut. Jarak di antara mereka cukup dekat, ketika ia melihat barang berkeliauan, ia lantas menjatuhkan diiri rebah di atas meja. Tanpa berkelit secara demikian, pastilah ia celaka. Justru itu, Koan Eng datang dengan bacokannya. Kembali Kongcu itu kaget, terpaksa ia menggulingkan diri ke kanan. Golok Koan Eng mengenai meja, sebab sasarannya lenyap. Tengah Koan Eng membacok, jarumnya Oey Yong tiba, menggenai punggungnya. Ia kaget sebab dengan segera ia merasakan separuh tubuhnya tak dapat digeraki. Maka ketika Auwyang Hong menyambar, ia kena dicekuk tanpa berdaya. Sebat luar biasa, keponakannya Auwyang Hong mencekal tangan orang. "Bagus!" katanya. Itu waktu Yauw Kee pun menyerang. Si nona kaget dan hendak menolongi suaminya. Tapi Auwyang Kongcu ada terlalu lihay untuknya. Pemuda itu berkelit, sambil berkelit, sebelah tangannya menyambar ke dada orang. Ia kaget bukan main. Celaka kalau dadanya itu kena dipegang pemuda ceriwis itu. Lekas-lekas ia mambacok. Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Auwyang Kongcu menarik pulang tangannya itu, tetapi dia telah berhasil menjambret baju orang, yang kena dia robek. Saking kaget, hampir Yauw Kee membikin pedangnya terlepas, mukanya pucat. Karena ini, ia tidak dapat maju pula. Auwyang Kongcu duduk numprah di atas meja. Ketika itu, pintu lemari, atau lebih benar pintu rahasia, sudah tertutup pula. Ia bergidik sendirinya kapan ia ingat serangan jarum berbisa dari si nona tadi. "Budak ini benar-benar lihay," pikirnya. "Tapi biarlah dia, sekarang aku permainkan saja nona Thia, aku tanggung mereka berdua bakal jadi kacau pikirannya, rusak semadhinya. Sampai itu waktu, aku tentu sudah mempunyai daya untuk menguasai mereka..." Mengingat itu, bukan main girangnya pemuda itu. "Eh, nona Thia," ia berkata kepada Yauw Kee. "Kamu menghendaki dia mati atau hidup?" Ia maksudkan Koan Eng, yang sudah tidak berdaya itu. Ia sudah pikir, nona Thia tidak dapat dilawan dengan keras, mesti dengan halus, supaya ia suka menyerah sendirinya. Jalan itu ialah Koan Eng harus dipakai sebagai alat. Yauw Kee bingung bukan main. Ia lihat suaminya menutup kedua matanya, tubuhnya tak bergeming. "Auwyang Kongcu," katanya terpaksa. "Dia dengan kau tidak ada bermusuhan, aku minta sukalah kau merdekakan dia..." "Haha!" tertawa si anak muda. "Kiranya kamu kaum Coan Cin Pay juga ada harinya kamu minta-minta kepada lain orang!" "Dia...dialah murid dari Thoa hoa Ta, jangan kau celakai dia..." kata pula si nona. "Siapa suruh dia membacok aku?" kata si anak muda tetap tertawa. "Jikalau bukannya aku berkelit dengan cepat, apakah batok kepalaku masih ada di batang leherku" Jangan kau gertak aku dengan nama Tho Hoa To! Oey Yok Su itu ialah mertuaku!" Yauw Kee tidak tahu orang bicara benar atau mendusta. "Kalau begitulah kau yang terlebih tua, kau merdekakanlah dia," kata pula ia. "Biarlah dia menghanturkan maaf padamu." "Mana bisa gitu gampang, he?" Auwyang Kongcu pula. "Jikalau kau menghendaki juga aku melepaskan dia, kau mesti menerima baik permintaanku." Yauw Kee mengawasi paras orang, ia mendapat duga orang bermaksud tidak baik, maka itu ia lantas tunduk, ia tidak menyahuti. "Kau lihat!" berkata Auwyang Kongcu, tiba-tiba. Ia mengangkat tangannya menghajar ujung meja hingga ujung meja itu semplak seperti bekas dibacok. Yauw Kee terkejut. "Suhu juga tidak selihay dia ini," pikirnya. Auwyang Kongcu mewariskan kepandaiannya Auwyang Hong, sang paman, maka itu, dia menang banyak daripada Sun Put Jie. Ia senang mendapatkan si nona berkhawatir. "Begini permintaanku," kata dia. "Inilah apa yang aku titahkan kau lakukan, kau mesti lakukan, jikalau kau tidak menurut, kau mesti lakukan, jikalau kau tidak menurut, maka leher dia akan aku bikin macam begini!" Dia mengasih contoh dengan ancaman tangannya, seperti tadi ia membacok meja, tetapi kali ini ia tujukan kepada batang leher Koan Eng. Nona Thia kaget hingga ia menjerit. "Kau menurut atau tidak?" Auwyang Kongcu tanya. Dengan terpaksa Yauw Kee mengangguk. "Bagus!" seru keponakannya Auwyang Hong. "Begini barulah anak manis! Nah, pergilah kau menutup pintu!" Yauw Kee berdiri diam. "Kau dengar tidak kataku?" Auwyang Kongcu membentak. Takut Yauw Kee, maka dengan terpaksa, dengan hati berdebaran, ia menutup pintu. "Bagus!" anak muda itu tertawa grang. "Tadi malam kamu berdua menikah, aku mendengarnya dengan nyata, cuma anehnya, di dalam kamar pengantin, kamu tidak membuka pakaian. Di kolong langit ini tidak ada suami-istri seperti kamu! Sekarang kau loloskanlah semua pakaianmu, sepotong juga tak boleh ketinggalan. Jikalau kau tidak menurut, segera aku kirim suamimu ke alam baka, hingga kau lantas menjadi janda muda!" Koan Eng tidak dapat menggeraki kaki tangannya, tetapi kupingnya mendengar segala apa dengan nyata dan matanya melihat segala sesuatu, maka itu ia murka bukan main, hingga matanya seperti mau melompat keluar, hatinya seperti mau meledak. Ia hendak meneriaki istrinya buat jangan menuruti permintaan itu, supaya istri itu pun melarikan diri, apa celaka, ia tidak dapat membuka mulutnya. Sementara itu Oey Yong di dalam kamarnya telah siap sedia. Ialah yang mengunci pula pintu rahasia selagi Auwyang Kongcu merobohkan Liok Koan Eng. Ia mencekal pisaunya kalau-kalau si anak muda menyerang untuk kedua kalinya. Maka ia kaget, mendongkol berbareng gusar mendengar Auwyang Kongcu menitah Yauw Kee melepaskan pakaiannya untuk bertelanjang bulat. Dilain pihak, dasar sifatnya kekanakkanakan, ia ingin melihat Yauw Kee akan meluluskan atau tidak permintaan kongcu Auwyang itu.... Maka itu masih menantikan.... "Mengapa sulit untuk meloloskan pakaian?" berkata pula Auwyang Kongcu. "Ketika kau dilahirkan dari dalam perut ibumu, apakah kau pun berpakaian" kau bilang, kau hendak melindungi mukamu atau jiwanya dia?" Kembali ia menuding kepada Koan Eng. Nona Thia berdiam, otaknya bekerja keras. "Nah, kau bunuhlah dia!" kata dia akhirnya, suaranya dalam.? Auwyang Kongcu melengak. Sungguh dia tidak menyangka si nona dapat memberikan jawaban itu. Itu menjadi terlebih kaget ketika ia melihat nona itu mengayun pedangnya ke arah lehernya sendiri. Dengan lantas ia menimpuk dengan sebatang jarumnya, jarum Touw-kut-ciam, maka jatuhlah pedang di tangannya nona itu. Yauw Kee membungkuk, untuk menjumput pula pedangnya itu. Atau tiba-tiba: "Pengurus hotel! Pengurus hotel!" Itulah suaranya seorang wanita, yang memanggil pemilik hotel. Yauw Kee menjadi dapat harapan. Setelah mencekal pedangnya, ia lompat ke pintu, untuk segera membukai itu. Maka ia melihat seorang wanita muda, yang pakaiannya putih, berdiri di muka pintu, rambutnya dibungkus dengan kain putih juga dan dipinggangnya tersoren sebatang golok. Dia beroman kucel tetapi itu tidak menutupi kecantikannya. Ia tidak kenal nona itu tetapi dia mau anggap orang adalah penolongnya. "Silahkan masuk, nona!" katanya lekas. Nona itu berdiri bengong melihat "pemilik" rumah berpakaian mewah tetapi tangan mencekal pedang. Ia mengawasi sekian lama, baru ia berkata: "Di luar ada dua peti mati, bolehkah itu dibawa ke dalam?" Kalau di dalam rumah orang biasa, pasti sekali jenazah orang tidak dapat dibawa masuk, lain adalah dengan rumah penginapan, bahkan kali ini dalam suasana luar biasa itu. Untuk Yauw Kee, jangan kata baru dua buah, seratus pun ia akan mengijinkannya dibawa masuk. "Baik, baik!" sahutnya cepat. "Silahkan!" Nona itu heran mendapatkan pelayanan istimewa dari "pemilik" rumah penginapan ini akan tetapi ia lantas menoleh keluar, untuk menggapaikan. Maka lantas juga masuk delapan orang yang menggotong dua buah peti mati, di bawa ke ruang dalam. Ketika ia berpaling ke arah Auwyang Konngcu, ia kaget sekali, dengan segera ia menghunus golok dipinggangnya. Auwyang Kongcu sudah lantas tertawa lebar. "Inilah dia jodoh yang telah ditakdirkan Thian!" katanya nyaring. "Dari jodoh telah tertakdir itu, orang tidak dapat meloloskan diri! Inilah peruntungan baik yang diantarkan sendiri! Jikalau peruntungan ini tidak diterima, sungguh durhaka!" Nona itu bukan lain daripada Bok Liam Cu, yang pernah ia tawan. Sesudah bentrok hebat sama Yo Kang di Poo-eng, ludas sudah pengharapan nona Bok ini, hatinya menjadi tawar, cuma tinggal satu hal yang ia berati, maka itu ia lantas ke Tiong-touw (Peking) dimana ia ambil jenazah ayah dan ibunya untuk dibawa pulang ke dusun Gu-kee-cun di Lim-an, untuk dikubur di kampung halamannya itu. Hebat untuknya, seorang wanita, membawa-bawa peti mati orang tuanya disaat negara demikian kacau. Ketika itu tentara Mongolia tengah menyerang negara Kim. Ia pun, ketika ia meninggalkan kampung halamannya, usianya baru baru lima tahun, maka ia tidak ingat lagi kampung halamannya itu. Maka juga setibanya, begitu melihat pondokannya Sa Kouw, lantas ia memikir untuk singgah terlebih dahulu, sambil singgah, ia mencari keterangan. Maka adalah diluar sangkaannya, disini ia justru bertemu pula sama keponakannya Auwyang Hong itu. Tentu sekali ia tidak tahu nona itu dengan pakaian mewah itu tengah diperhina si anak muda. Ia belum pernah bertemu dangan nona Thia dan sekarang ia menyangka nona Thia itu ialah gula-gulanya pemuda itu. Dengan menghunus goloknya, ia lantas membacok si anak muda, habis mana ia berlompat untuk lari keluar. Atau ia merasakan angin menyambar, dari orang yang lompat lewat diatasan kepalanya. Ia lantas membacok ke atasan kepalanya itu. Auwyang Kongcu lihay sekali. Dengan tangan kanannya, dengan dua jeriji, dia menekan belakang golok, dengan tangan kiri, ia menangkap lengan si nona, maka sedetik itu juga, terlepaslah goloknya Liam Cu, hingga berbareng mereka jatuh ke atas sebuah peti mati. Keempat tukang gotong kaget hingga mereka berteriak, mereka roboh, peti matinya jatuh, mereka babak belur mukanya sebab terkena pikulan dan saling tubruk. Dengan tangan kanan merangkul nona Bok, dengan tangan kanan Auwyang Kongcu menghajar tukang-tukang gotong itu hingga mereka ini menjerit-jerit dan terus merayap, untuk lari keluar, diturut oleh empat tukang gotong lainnya, hingga mereka tidak memikir untuk meminta upah pula. Selama kejadian itu, Yauw Kee lompat kepada Koan Eng, yang rebah di lantai, untuk dikasih bangun. Ia bingung sekali, tidak tahu ia bagaimana harus menyingkirkan diri mereka. Auwyang Kongcu melihat sikapnya Yauw Kee, dengan sebelah tangan menekan peti mati, sambil terus merangkul Liam Cu, ia lompat kepada nona Thia itu, yang mana ia terus peluk dengan tangan kanannya, setelah mana ia duduk di atas kursi. Sambil tertawa lebar, ia berkata: "Adik Oey, kau juga datang ke mari!" Sedangnya pemuda ini kegirangan, mendadak ada bayangan yang berlompat dari luar, masuk ke dalam, maka dilain saat ketahuanlah dia adalah Yo Kang! Yo Kang ini, sehabisnya dihinakan Oey Yok Su, tidak meninggalkan Gu-kee-cun. ia bersakit hati dan ingin sangat dapat melampiaskannya. Karena kerasnya hati, ia dengan perkenan Wanyen Lieh, ia memisahkan diri. Di luar Gu-kee-cun, dia berdiam di dalam pepohonan yang lebat. Diwaktu malam, ia melihat Oey Yok Su, Auwyang Hong dan Ciu Pek Thong bertiga mondar-mandir, tentu sekali terhadap mereka ia tidak bisa berbuat apa-apa. Lantas paginya ia melihat Bok Liam Cu membawa jenazah orang tuanya. Diam-diam ia menguntit nona ini sampai di rumahnya Sa Kouw. Baru nona ini masuk ke dalam atau lantas tukang-tukang gotong peti itu lari serabutan. Ia menjadi heran, maka lantas ia memburu ke dalam. Di pintu ia mengintai, ia tidak melihat Oey Yok Su, sebaliknya ia mendapatkan Auwyang Kongcu duduk di kursi dengan air muka terang, dirangkulannya kiri kanan ada kedua nona cantik, ialah Bok Liam Cu dan Thia Yauw Kee, yang lagi dipermainkan. Tidak ayal lagi, ia melompat masuk. "Oh, siauw-ongya, kau telah kembali!" menegur Auwyang Kongcu kapan ia melihat pangeran itu. Yo Kang mengangguk. Auwyang Kongcu melihat muka orang muram, ia lantas menghibur. "Jangan kecil hati, jangan berduka, siauw-ongya," katanya. "Juga di jaman dulu Han Si pernah menerima penghinaan merangkak di bawah selangkangan orang: Seorang laki-laki dia harus dapat berlaku keras dan lunak. Itulah tidak ada artinya. Kau sabar saja, kau tunggu sampai kembalinya pamanku nanti kau boleh melampiaskan sakit hatimu ini!" Ia menduga pangeran ini berduka karena bekas diperhina. Yo Kang mengangguk pula, tetapi matanya mengawasi Liam Cu. Auwyang Kongcu tertawa. "Siauw-ongya," katanya, "Tidakkah kedua si cantik kepunyaanku ini tak ada kecelaannya?" Kembali pangeran ini mengangguk. Auwyang Kongcu tidak tahu ada hubungan apa di antara si pangeran dengan Liam Cu itu sebab tempo mereka itu berdua mengadu kepandaian di jalan besar di Tongtouw, ia tidak hadir bersama. Mulanya Yo Kang tidak memperhatikan si nona, sampai si nona itu mencintai dia dengan sungguh-sungguh hati, hingga ada janji untuk menikah, maka itu sekarang, melihat nona itu dalam rangkulan Auwyang Kongcu, hatinya panas. Ia dapat mengendalikan diri, dari itu ia tidak mengentarakan suatu apa. Lagi-lagi Auwyang Kongcu tertawa dan berkata: "Semalam ada orang menikah di sini, maka itu di dalam almari ada arak dan daging ayam! Siauw-ong tolong kau ambilkan itu, mari kita minum bersama. Nanti aku menyuruh kedua si cantik ini meloloskan semua pakaiannya, supaya mereka menari untuk menggembirakan kau minum arak!" "Itulah bagus!" sahut Yo Kang tertawa. Bukan main panasnya hati Liam Cu melihat sikapnya Yo Kang ini, karenanya hatinya menjadi dingin, ingin ia membunuh diri di depan kekasihnya itu, supaya ia bebas dari penderitaan ini. Segera juga ia melihat Yo Kang mengambil arak dan ayam dan kemudian duduk minum dan dahar bersama Auwyang Kongcu. Auwyang Kongcu mengisikan dua cawan arak, ia bawa itu ke depan mulutnya nona itu, sembari tertawa ia kata: "Mari minum arak dulu, baru kamu menari!" Kedua nona ini gusarnya bukan main, hampir mereka pingsan. Tapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa juga. Tubuh mereka sudah di totok pemuda itu. Ketika cawan arak ditempelkan ke mulut mereka, masih mereka tidak berdaya. Maka diakhirnya, mereka mesti menenggak air kata-kata itu. "Auwyang Sianseng," berkata Yo Kang, "Sungguh aku mengagumi kepandaian kau! Mari aku beri selamat padamu dengan secawan arak, habis itu baru kita menonton tarian!" Auwyang Kongcu tertawa bergelak, ia menyambuti araknya itu, untuk dihirup kering. Habis itu ia menotok bebas Yauw Kee dan Liam Cu, cuma kedua tangannya masih menekann jalan darah mereka yang dinamakan sintong-hiat, yang adanya dipunggung. Ia kata: "Baik-baik saja kamu mendengar perkataanku, dengan begitu kamu tidak bakal menderita, sebaliknya, kamu akan mendapat kesenangan!" Liam Cu menunjuk kepada kedua peti mati itu. "Yo Kang!" katanya, bengis, "Kau lihat, jenazah siapakah itu"!" Pangeran itu memandang ke peti mati yang ditunjuk itu. Yang pertama ia tampak ialah tulisan tinta merah yang berbunyi: "Tay Song Gie-su Yo Tiat Sim Sim cieleng". Artinya, "Jenazah dari Yo Tiat Sim, orang gagah dari jaman ahala Song". Sebenarnya hatinya terkesiap, tetapi ia menguatkan diri, ia menunjuki sikap acuh tak acuh. Bahkan ia kata kepada Auwyang Kongcu: "Auwyang Sianseng, kau pegangi kedua nona manis ini, hendak aku meraba-raba kaki mereka, untuk membuktikan siapakah yang kakinya terlebih mngil..." Auwyang Kongcu tertawa. "Siauw-ongya sungguh jenaka!" katanya. "Aku lihat tentulah kaki dia ini yang terlebih mungil!" Dan ia meraba kakinya Thia Yauw Kee. "Ah, belum tentu!" berkata Yo Kang, yang terus saja membungkuk hingga ke kolonng meja. Dua-dua Liam Cu dan Yauw Kee sudah mengambil putusan, begitu mereka diraba, mereka hendak menendang tempilingan pangeran itu. Yo Kang, tidak segera meraba, hanya ia tertawa. "Auwyang Sianseng, kau minum lagi satu cawan!" katanya, "Habis minum nanti aku beritahu, dugaanmu cocok atau tidak...." "Bagus!" sahut Auwyang Kongcu, seraya ia mengangkat cawannya. Yo Kang sambil membungkuk melirik di saat pemuda itu dongak untuk minum, kemudian ia mengeluarkan tombak buntung dari sakunya, dengan itu dengan sekuat tenaga - sambil ia mengertak gigi - ia menikam ke arah perut orang, hingga tombak itu nancap dalam lima atau enam dim, menyusul mana, ia membaliki meja! Kejadian ini mendadak sekali dan luar biasa juga, maka itu Oey Yong dan Kwee Ceng, juga Bok Liam Cu, Liok Koan Eng dan Thia Yauw Kee menjadi kaget dan heran sekali. Auwyang Kongcu menggeraki kedua tangannya, ia membuatnya Liam Cu dan Yauw Kee terbalik dari kursinya, sedang cawan arak di tangannya ditimpuki ke arah Yo Kang! Pangeran ini berkelit sambil mendak, maka jatuhlah cawan itu ke lantai, pecah hancur dengan mengasih dengar suara nyaring. Yo Kang berkelit dengan terus menjatuhkan diri, untuk bergulingan, maksudnya buat lari ke pintu, apa mau ia terhalang peti mati. Terpaksa ia berlompat bangun dan memutar tubuhnya, mengawasi Auwyang Kongcu. Hatinya menjadi ciut kapan ia melihat pemuda itu berdiri dengan tubuh doyong ke depan, kedua tangannya berpegangan pada kursi, sepasang matanya mendelik, wajahnya seperti tertawa dan bukannya tertawa. Ia menggigil sendirinya. Sebenarnya ia berniat lari menyingkir tetapi itu sepasang mata tajam dan bengis membuatnya kakinya seperti terpaku. Auwyang Kongcu melengak dan tertawa. "Aku si orang she Auwyang telah malang melintang seumur hidupku, aku tidak Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo menyangka bahwa hari ini aku mesti mati di tangan kau, binatang!" katanya bengis. "Cuma satu hal yang aku tidak mengerti! Siauw-ongya, mengapa kau mencoba membunuh aku?" Yo Kang tidak menjawab, hanya dengan menenjot diri, ia hendak berlompat ke pintu, guna melarikan diri. Ia telah pikir, setelah berada di luar pintu, baru ia hendak memberikan keterangannya. Selagi tubuhnya melayang, mendadak ia merasakan belakang lehernya kena dicengkram keras sekali, bagaikan terbangkol gaetan besi, hingga ia tak mampu berlompat lebih jauh, bahkan sebaliknya, ia jatuh ke atas peti mati - jatuh bersama-sama tubuhnya Auwyang Kongcu - yang telah melompat menyambar padanya. "Kau tidak mau bicara, apakah kau hendak membikin aku mati tak meram"!" kata Auwyang Kongcu sembari tertawa. Nyata ia masih kuat sekali. Yo Kang tahu ia ada bagian mati, hatinya menjadi besar. Ia tertawa dingin. "Baiklah, nanti aku memberi keterangan padamu!" sahutnya. "Tahukah kau, siapa dia?" Ia menunjuk kepada nona Bok. Auwyang Kongcu memandang Liam Cu. Nona ini memegang golok di tangan, siap untuk menerjang, guna menolongi si pangeran, cuma ia masih bersangsi sebab ia khawatir nanti melukai kekasihnya. "Dia...dia.." kata Auwyang Kongcu, yang terus terbatuk-batuk. "Dialah tunanganku!" Yo Kang meneruskan. "Dua kali kau menghina dia, mana aku dapat membiarkannya?" "Benar," kata Auwyang Kongcu. Dia masih tertawa. "Mari kita sama-sama pergi ke neraka...!" Dia mengangkat kepalannya, untuk di kasih turun ke batok kepalanya si pangeran....... Liam Cu kaget hingga ia berteriak, hendak ia menolong tetapi sudah tidak keburu. Yo Kang memeramkan kedua matanya, ia menantikan kebinasaannya. Tapi ia menanti sekian lama, ia tidak merasakan hajaran kepada batok kepalanya. Saking herannnya, ia membuka matanya. Auwyanng Kongcu mengasih lihat senyumannya, tapi tangannya yang mencekuk leher sudah terlepas, maka tempo si pangeran berontak, ia lantas jatuh menimpa peti mati. Sebab ia sudah putus jiwa........ Yo Kang melengak, Liam Cu melongo. Hanya sejenak, lantas keduanya lari saling menghampirkan, untuk terus saling berpegangan tangan. Dalam keadaan seperti itu banyak kata-kata yang hendak dikeluarkan tetapi tak sepatah yang dapat diucapkan. ketika mereka memandang mayat Auwyang Kongcu, lantas terbayang apa yang barusan terjadi, sendirinya mereka bergidik. Yauw Kee sendiri mengasih bangun pada Koan Eng, yang totokannya ia bebaskan. Koan Eng ketahui Yo Kang adalah pangeran Kim tetapi orang telah membinasakan Auwyang Kongcu, itu artinya orang telah menolongi padanya, mak aitu ia lantas memberi hormat sambil menjura, habis mana dengan membungkam, ia tuntun tangannya istrinya untuk diajak berlalu dari situ. Sebagai laki-laki, yang mengenal budi, taidak sudi ia menyerang pangeran itu untuk membunuhnya. Senang hatinya Oey Yong menyaksikan Yo Kang dan Liam Cu bertemu pula satu dengan lain dan bertemunya dengan itu cara luar biasa. Kwee Ceng pun mengharap-harap Yo Kang itu nanti mengubah kelakuannya. Dengan Oey Yong ia saling memandang, lalu keduanya tersenyum. Itu waktu terdengar suara Liam Cu. "Jenazah ayah dan ibumu telah aku bawa pulang," katanya kepada Yo Kang. "Sebenarnya itulah kewajibanku, maka aku hanya membuat kau bercapai lelah, adikku," Yo Kang bilang. Liam Cu tidak mau menimbulkan soal lama, ia lalu menanya bagaimana penguburan harus dilakukan. Yo Kang mencabut tombaknya dari perut Auwyang Kongcu. "Paling dulu, kita kubur mayat dia ini," katanya. "Kalau kejadian ini diketahui pamannya, walaupun dunia ini lebar, bai kita tak ada tempat untuk menyembunyikan diri..." Liam Cu menurut, dari itu keduanya lantas bekerja. Mayat Auwyang Kongcu dikubur begitu saja di dalam pekerangan rumah penginapan Sa Kouw itu. Sesudah beres, mereka pergi ke kampung, untuk meminta bantuan sejumlah penduduk guna menggotong dan mengubur jenazah itu dibelakang rumah. Di sini Yo Kang seperti tidak punya kenalan lagi, tidak ada orang yang yang menanyakan dia ini dan itu. Setelah penguburan, hari pun sudah malam. Untuk tidur, Liam Cu menumpang pada seorang penduduk sedang Yo kang mengambil tempat di pondokan. Besoknya pagi si nona pergi menyamperi ke rumah penginapan, ia mendapat Yo Kang justru lagi membanting-banting kaki dan menyesalkan diri tak hentinya. "Kau kenapa?" tanya si nona. "Aku menyesal yang kemaren kita tidak sekalian membinasakan itu dua orang," Yo Kang menyahuti. Ia maksudkan Yauw Kee dan Koan Eng. "Aku tolol, aku dibikin bingung tidak karuan. Mereka sudah pergi, ke mana mereka harus di cari?" Nona Bok heran. "Perlu apa kita membinasakan mereka?" tanyannya. "Sebab aku telah membunuh Auwyang Kongcu. Kalau mereka membuka rahasia, kita terancam bahaya...." Liam Cu berpikir lain. Ia mengerutkan alisnya. "Seorang laki-laki, dia mesti berani berbuat berani juga bertanggung jawab!" katanya. "Jikalau kau takut kemarin tak seharusnya kau membinaskan dia!" Yo Kang menutup mulutnya, akan tetapi hatinya memikirkan bagaimana ia harus mencari Koan Eng dan Yauw Kee itu, untuk membinasakan mereka. "Pamannya Auwyang Kongcu benar lihay," kata lagi Liam Cu, "Tetapi jikalau kita menyningkir jauh, musthail dia dapat mencari kita?" "Adikku, aku memikir lain," berkata Yo Kang. "Pamannya itu lihay sekali, aku hendak mengangkat dia menjadi guruku." "Oh, begitu!" kata si nona heran. "Sebenarnya sudah lama aku kandung niatku ini," Yo Kang menerangkan. "Hanya di pihak Auwyang Kongcu itu ada aturannya yang ditaati turun-temurun, ialah warisan saban-saban cuma diturunkan kepada satu orang. Sekarang Auwyang Kongcu telah mati, maka pasti pamannya itu suka menerima aku sebagai muridnya!" Pangeran ini berbicara dengan bangga sekali, tandanya ia sangat girang. Liam Cu berdiam, hatinya tawar. "Jadinya kau membunuh dia bukannya untuk menolongi aku?" tanyanya. "Kau jadinya ada maksudmu sendiri!" "Adikku, kau terlalu bercuriga!" kata Yo Kang tertawa. "Untukmu aku rela tubuhku hancur lebur!" "Tentang itu baiklah kita bicarakan di belakang hari saja," berkata si nona kemudian. "Sekarang apa yang kau pikir. kau suka menjadi rakyat yang bersetia dari kerajaan Song yang maha agung atau karena keserakahanmu untuk kedudukan mulia, kau tetap mengakui musuh sebagai ayahmu?" Yo Kang mengawasi nona itu, wajah yang cantik dan potongan tubuhnya yang bagus sangat menggiurkan hatinya. Hanya kata-kata yang tajam itu membuatnya tidak senang. "Kedudukan yang mulia?" katanya. "Kedudukan mulia apakah itu" Sekarang ini kota Tiong-touw dari kerajaan Kim telah diserang bangsa Mongolia! Setiap diserang, setiap kali bangsa Kim itu kalah! Di depan mataku sekarang ini ada bayangan dari kemusnahan negara Kim itu!" Tapi Liam Cu tidak senang mendengar urusan itu. "Negara Kim kalah, itulah yang paling kita harapkan!" katanya nyaring. "kau sebaliknya membuatnya sayang...." "Adikku, untuk apa kau menimbulkan urusan ini?" Yo Kang membujuk. "Kau tahu, semenjak kau pergi, hatiku bersengsara memikirkanmu..." Dengan tindakan perlahan ia mendekati si nona untuk mencekal tangnnya. Mendengar suara orang yang lemah, hatinya Liam Cu menjadi lemah juga, maka itu ia membiarkan tangannya dicekal, digenggam perlahan. Cuma karena itu, kulit mukanya menjadi merah. Yo Kang hendak merangkul nona itu dengan tangannya yang hendak ketika tiba-tiba kupingnya mendengar beberapa kali suara burung yang lagi terbang, suaranya sangat nyaring. Ia lantas mengangkat kepala, dongak. Maka ia melihat dua ekor rajawali putih yang besar terbang berputaran. Ketika dulu hari Wanyen Lieh mengejar Tuli, Yo Kang melihat dua ekor rajawali itu, yang kemudian dibawa pergi ke oleh Oey Yong. Maka itu ia jadi berpikir dan menanya dalam hatinya: "Kenapa burung ini sekarang berada disini?" Dengan mencekal terus tangan Liam Cu, ia pergi keluar. Ia melihat burung itu terbang berputaran di atasan mereka. Di dekat pohon yang besar sebaliknya terlihat seorang nona, yang duduk di atas seekor kuda bagus, lagi memandang ke tempat yang jauh. Nona itu memakai sepatu kulit, tangannya mencekal cambuk, dia dandan sebagai wanita Mongolia. Sesudah terbang berputaran, kedua burung itu terbang ke arah jalan besar, hanya tak lama mereka kembali. Tidak lama dari jalan besar itu terdengar riuh rendah tindakan kaki kuda, yang dikasih lari. "Rupanya burung itu memanggil orang," Yo Kang pikir. "Supaya mereka itu berkumpul sama ini nona Mongolia..." Segera juga terlihat debu mengepul naik, disusul sama mendatanginya tiga penunggang kuda. Selagi mereka itu mendatangi dekat, terdengarlah suara melesetnya sebatang anak panah, yang dilepaskan ke arah rumah penginapan. Si nona muda mengeluarkan busur dan anak panahnya, ia terus memanah. Kapan ketiga penunggang kuda itu mendengar suara panah tersebut, mereka berseru kegirangan, kudanya lantas dikasih lari lebih keras lagi. Si nona pun melarikan kudanya untuk memapaki. Kedua pihak sudah datang dekat sekira tiga tombak, kedua-duanya berseru berbareng, tubuh mereka mencelat turun dari kuda masing-masing, belum lagi tubuh mereka tiba di tanah, tangan mereka itu sudah saling menyambar, maka itu, akhirnya mereka turun di tanah berbareng. Menyaksikan kegesitan mereka itu, Yo Kang kaget dan kagum. "Bangsa Mongolia demikian pandai menunggang kuda dan menggunai panah, pantaslah kalau bangsa Kim kalah!" katanya dalam hati. Oey Yong dan Kwee Ceng di dalam kamar juga dapat mendengar suara burung dan kuda berlari-larian. Mereka tetap memasang kuping. Tidak lama dari bitu, mereka mendengar orang mendatangi rumah penginapan sambil berbicara. Kwee Ceng terperanjat bukan main. "Ah, kenapakah mereka datang ke mari?" katanya. Ia kenal baik suara mereka itu. Si nona Mongolia adalah putri Gochin Baki, yang oleh Jengiz Khan ditunangkan kepadanya, dan tiga lainnya ialah Tuli, Jebe dan Borchu. Putri itu berbicara samvil tertawa dengan kakaknya, Oey Yong tidak mengerti sepatah kata juga apa yang dibicarakan itu, sebab mereka menggunai bahasa Mongolia. Kwee Ceng sebaliknya, hingga kulit mukanya pucat dan ,erah bergantian. Di dalam hatinya pemuda ini berkata: "Di dalam hatiku sudah ada Yong-jie, pasti aku tidak dapat menikah dengannya, tetapi sekarang ia menyusul aku sampai di sini... Mana dapat aku merusak kepercayaannya. Bagaimana sekarang?" "Engko Ceng, siapakah itu nona?" Oey Yong tanya berbisik, "Apakah itu yang mereka bicarakan" Kenapa kelihatannya kau tidak tenang?" Kwee Ceng polos dan jujur, sudah beberapa kali ia hendak mengasih keterangan pada Oey Yong, setiap kali ia hendak membuka mulutnya, ia gagal selalu, dengan sendirinya ia menarik pulang apa yang ia pikir untuk diucapkan itu, tetapi sekarang ia ditanya, mana dapat ia berdusta" "Dialah putrinya Jenghiz Khan, Kha Khan dari Mongolia," menyahut dia. "Dialah tunanganku...." Oey Yong tercengang, lalu air matanya keluar mengucur. "Kenapa kau tidak pernah memberitahukan hal ini padaku?" ia menanya kemudian. "Pernah aku memikir untuk memberitahukan kau, tetapi selalu batal, sebab aku berkhawatir kau tidak senang," Kwee Ceng menyahut. "Pula ada waktunya aku tidak ingat urusan itu." "Dialah tunanganmu, kenapa kau boleh tidak ingat?" Oey Yong tanya. "Aku pun tidak tahu jelas. Aku hanya memikir dia sebagai saudara kandungku....Sebenarnya aku tidak ingin menikah dengannya." Oey Yong heran. "kenapa begitu?" ia menanya. "Karena pertunangan kami itu ditetapkan oleh Kha Khan sendiri. Ketika itu perasaanku tidak ketentuan, ada kalanya aku senang, ada kalanya tidak. Aku melainkan pikir bahwa perkataannya Kha Khan itu tidak salah. Sekarang ini Yongjie, mana dapat aku menyia-nyiakan kau untuk menikah dengan orang lain?" "Nah, habis bagaimana?" "Aku juga tidak tahu..." Oey Yong berdiam, lalu ia menghela napas. "Asal didalam hatimu kau selalu perlakukan baik padaku, biarnya kau menikah dengannya, aku tidak ambil peduli..." Katanya sesaat kemudian. Ia berhenti pula sejenak, untuk lantas menambahkan; "Hanya aku pikir, lebih baik kau tidak menikah dengannya. Aku tidak bergembira melihat lain wanita setiap hari mengintil saja padamu, hingga aku khawatir nanti satu waktu darahku naik hingga aku membuatnya lubang pedang di dalam dada dia! Kalau sampai itu terjadi, tentulah kau bakal mencaci aku...Coba dengar, apa saja yang mereka itu bicarakan?" Di luar kamar rahasia itu, keempat orang Mongolia itu memang asyik bicara terus. Putri Mongolia itu lagi bicara tentang perpisahan mereka sama saudara-saudara itu. Sebenarnya, setelah Kwee Ceng dan Oey Yong lenyap di hutan, kedua burung itu sia-sia mencari mereka, sebab di tengah laut itu tak ada tempat untuk menclok, akhirnya mereka terbang ke darat, karena mereka ingat majikan mereka yang lama, terus mereka terbang pulang ke Utara. Gochin Baki heran melihat pulangnya kedua burung itu. Ia melihat ada potongan kain diikat di kaki burung. Itulah robekan kain layar. Dirobekan kain itu ada tulisan hurunf Tionghoa. Ia tidak mengerti bahasa Tionghoa, ia lantas bawa itu kepada ibunya Kwee Ceng, Nyonya Kwee atau Lie Peng. Huruf-huruf itu bunyinya "Yoe Lan" artinya "Mendapat bahaya". Tentu saja sang putri menjadi berkhawatir, maka ia lantas berangkat ke Selatan. Itu waktu Jenghiz Khan lagi memimpin angkatan perangnya menyerang bangsa Kim dan pertempuran lagi berlangsung di luar dan di dalam Tembok Besar, maka itu, ke mana si putri mau pergi, tidak ada orang yang melarangnya. Kedua burung rajawali itu mengerti maksud nona majikannya itu, mereka membawa si nona ke Selatan, untuk mencari Kwee Ceng. Di dalam satu hari, mereka bisa terbang jauhnya beberapa ratus lie, siang mereka terbang pergi, malam mereka terbang kembali. Diakhirnya tibalah mereka di Liam-an. Di sini Gochin Baki tidak dapat menemui Kwee Ceng, sebaliknya ia bertemu dengan kakak ketiganya. Tuli ini lagi menerima tugas dari ayahnya. ia di utus ke Lim-an untuk berserikat sama kerajaan Song untuk sama-sama menyerang bangsa Kim. Raja Song - Song Selatan - merasa kedudukannya aman, ia pun jeri terhadap bangsa Kim, dari itu ia menyambutnya ajakan Tuli dengan tawar. Dia pernahkan Tuli di gedung tetamu, dia berlaku acuh tak acuh terhadap utusan Mongolia itu. Selama itu datang kabar baik yang pihak Mongolia menang terus-terusan, sampai pun kota Tiong-tpuw telah kena dipukul jatuh, itu waktu lantas berubahlah sikapnya menteri-menteri Song itu, lantas saja mereka berlaku manis kepada Tuli, pangeran Mongolia itu. Tuli tidak puas sekali, akan tetapi karena malang sama tugasnya, untuk berserikat sama negara Song, terpaksa ia melayani mereka itu. Demikian perserikatan dilangsungkan. Karena ini berangkatlah ia kembali ke Utara. Di luar kota Lim-an, kebetulan ia melihat burung rajawali adiknya, ia menyangka kepada Kwee Ceng, tidak tahunya ia bertemu sama adiknya itu. Karena ia ada bersama Jebe dan Borchu, mereka jadi ada berempat. Mereka terus singgah di tempatnya Sa Kouw itu. "Apakah kau bertemu sama anda Kwee Ceng?" sang adik menanya kakaknya. Tuli baru mau menjawab atau di luar terdengar suara berisik dari satu pasukan tentara, yang kemudian ternyata adalah satu barisan tentara Song yang ditugaskan mengantar pasukan Mongolia itu. Yo Kang melihat benderanya pasukan Song itu di mana dituliskan: "Dengan segala kehormatan mengantarkan Utusan Mongolia pulang ke Utara". Melihat itu hanya menjadi bimbang. Baru beberapa puluh hari yang lalu, dia pun pangeran yang menjadi utusan rajanya atau sekarang dia sebatang kara. Dapatkah ia menyianyiakan kedudukan yang mulia itu" Bab 52. Barisan bintang Bab ke-52 cersil Memanah Burung Rajawali, karya Jin Yong. Liam Cu mengawasi pemuda itu dengan tingkahnya yang tidak wajar, ia mengerti yang orang tidak dapat melupakan kedudukan mulia atau penghidupan yang mewah, ia menjadi berduka. Ketika itu punggawa perang yang mengepalai pasukan pengiring pihak Song itu masuk ke dalam rumah penginapan, dengan hormat sekali ia menghadap Tuli, dengan siapa ia berbicara. Tuli pun mengatakan sesuatu. Habis itu ia memutar tubuhnya, untuk dengan membentak memberikan titahnya: "Pergi kamu menanyakan setiap rumah di kampung ini, apa di rumah mereka ada Kwee Ceng Kwee Koanjin! Jikalau tidak ada, kamu pergi mencari ke lain tempat!" Titah itu diterima oleh pasukannya, setelah menyahuti, tentaranya itu bubar. Tidak lama setelah itu terdengarlah suara ayam ribut beterbangan atau anjing berlarian serta juga jeritan-jeritan dari laki-laki serta tangisan dari orangorang perempuan. Teranglah sudah kawanan serdadu itu telah menggunai ketikanya yang baik untuk melakukan perampasan. Mendengar suara berisik itu, Yo Kang mendapat pikiran. "Kenapa aku tidak mau menggunai ketika ini untuk bersahabat dengan pangeranpangeran Mongolia ini?" demikian pikirnya. "Dalam tempo beberapa hari pastilah Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo dapat aku membinasakan mereka itu. Kalau Kha Khan dari Mongolia mengetahui itu, pasti ia menyangka itulah perbuatannya pihak Song, dengan begitu dengan sendirinya perserikatan mereka bakal bubar. Dan itulah apsti menguntungkan pihak Kim...." Dengan cepat Yo Kang mengambil keputusan. "Adikku, kau tunggu sebentar," ia berkata kepada Liam Cu. Terus ia pergi menghampirkan si punggawa Song, ketika ia membentak, tangannya digeraki, dengan tangan kirinya ia membikin punggawa itu terguling jatuh celentang, hingga untuk sesaat dia tidak dapat merayap bangun. Tuli dan Gochin Baki menyaksikan itu, mereka heran. Yo Kang melihat keheranan orang itu, ia lantas bertindak ke ruang tengah. Di sini ia keluarkan tombak buntungnya, ia angkat itu tinggi melewati kepalanya untuk terus diletaki di atas meja. Lalu, setelah menekuk kedua lututnya, mendadak ia menangis menggerung-gerung. Ia segera mengeluh: "Oh, saudara Kwee Ceng, kau mati secara menyedihkan sekali.....Pasti aku membalas dendam untukmu! Oh, saudara Kwee Ceng......" Tuli dan saudaranya beramai tidak mengerti bahasa Tionghoa, tetapi mereka mendengar nama Kwee Ceng disebut-sebut, mereka menjadi heran, maka itu selagi punggawa merayap bangun, mereka menitahkan punggawa ini memberikan keterangan. Dengan suara terputus-putus Yo Kang kata: "Aku ialah saudara angkatnya Kwee Ceng. Saudara Kwee Ceng telah orang bunuh mati dengan ditikam dengan ujung tombak, aku hendak pergi mencari musuhnya guna membalaskan sakit hatinya itu." Kapan Tuli dan saudaranya dikasih mengerti, mereka berdiri menjublak. Jebe dan Borchu sebaliknya, mereka menangis sambil menumbuki dada. Mereka ini ingat benar persahabatannya dengan Kwee Ceng itu. Yo Kang mengarang cerita terlebih jauh dengan menuturkan halnya ia menghajar mundur bangsa Kim di Poo-eng. Cerita ini dpercayai Tuli beramai, bahkan mereka menanyakan penjelasan dan kebinasaannya Kwee Ceng itu. Yo Kang pandai sekali mengatur ceritanya, seperti juga itulah peristiwa benar. Kwee Ceng di dalam kamar rahasia mendengar ocehan itu, ia pun terbengong. Sebaliknya Gochin Baki, si putri Mongolia, mendadak ia menghunus golok di pinggangnya, untuk membunuh diri. Hanya ketika golok itu hampir mengenai lehernya, tiba-tiba ia memikir sesuatu, goloknya itu terus ia bacoki kepada meja sambil ia bersumpah: "Jikalau aku tidak membalaskan sakit hatinya anda Kwee Ceng, aku sumpah tidak sudi menjadi manusia!" Yo Kang senang sekali. Nyata akalnya sudah termakan. Ia terus tunduk, ia menangis pula. Karena ia tunduk, tiba-tiba matanya melihat tongkatnya Oey Yong, yang dirampas Auwyang Kongcu. Itulah tongkat yang bersinar hijau bagus. Ia ketarik hatinya, maka ia jumput tongkat itu. Oey Yong melihat tongkatnya diambil pemuda itu, ia mengeluh. Tentu sekali ia tidak bisa keluar untuk merampasnya. Tidak lama tentara datang dengan barang hidangan, Gochin Baki semua tak ada nafsunya untuk menangsal perut mereka. Bahkan mereka lantas minta Yo Kang mengantarkan mereka untuk mencari pembunuhnya Kwee Ceng. "Marilah!" jawab Yo Kang. Ia membawa tongkat Oey Yong serta terus bertindak ke pintu, diikuti rombongan orang Mongolia itu. "Siapakah yang Yo kang bakal cari?" Kwee Ceng berbisik pada Oey Yong. Si nona menggeleng kepala. "Aku tidak tahu," sahutnya. "Bukankah dia sendiri yang membacok padamu" Dia sangat licik, di dalam halnya kelicikan, aku kalah..." Justru itu di luar rumah terdengar suara orang bersenandung dengan nada tinggi, katanya: "Malang-melintang dengan mereka, tanpa ikatan, jikalau hati tidak kemaruk akan kemulian, diri sendiri taklah terhina...! Eh, nona Bok, kenapa kau ada di sini?" Itulah suaranya Tiang Cun Cu Khu Cie Kee. Dia menanya Bok Liam Cu selagi si nona baru muncul di ambang pintu. Belum lagi si nona menyahuti, Yo Kang pun bertindak keluar. Kaget ia melihat gurunya itu, hatinya berdenyutan. Tentu sekali ia tidak dapat ketika untuk menyingkirkan diri, maka dengan terpaksa dia menghampirkan guru itu, di depan siapa dia memberi hormat sambil berlutut dan mengangguk. Pendekar Binal 5 Pendekar Rajawali Sakti 9 Manusia Bertopeng Hitam Kembalinya Sang Pendekar Rajawali 37