Ceritasilat Novel Online

Memanah Burung Rajawali 29

Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong Bagian 29 dan kitab ini sama saja?" Si anak muda mengawasi teliti dan memegang juga kedua kertas, yang tebal dan licinnya sama saja. "Benar sama. Habis bagaimana?" ia tanya. Si nona tidak menjawab, ia hanya memandang It Teng, untuk memperoleh jawaban. "Kitab ini dibawa oleh adik seperguruanku dari Wilayah Barat," berkata pendeta itu alias Toan Hongya. Semenjak semula, Kwee Ceng dan Oey Yong tidak memperhatikan si pendeta bangsa India itu, baru sekarang mereka menoleh dan mengawasi. Pendeta itu tetap duduk bersila, tidak bergerak atau menoleh, tidak memperdulikan orang bicara asyik di dekatnya. "Kitab ini juga terbuat dari kertas buatan Wilayah Barat, demikian juga kertas dari gambar ini," kemudian It Teng berkata pula. "Pernahkah kau mendengar namanya gunung Pek To San di Wilayah Barat itu?" Pek To San ialah gunung Unta Putih. "Gunungnya See Tok Auwyang Hong?" tanya Oey Yong terkejut. "Tidak salah," menyahut si pendeta perlahan. "Gambar ini pun dilukis oleh Auwyang Hong. Oey Yong dan Kwee Ceng kaget sampai mereka bungkam. It Teng Taysu bersenyum. "Auwyang Kongcu itu seorang yang pandai berpikir dan jauh pendengarannya," katanya. "Supee, aku tidak tahu kalau gambar ini dilukis oleh si bisa bangkotan itu!" kata Oey Yong. "Kalau begitu dia bermaksud tidak baik tentu...." It Teng bersenyum, tetapi kapan ia melihat parasnya si nona, yang merah, suatu tanda nona ini lagi menahan sakit, ia mengulur tangannya memegang pundak orang. "Baiklah belakangan saja kita bicara lebih jauh. Sekarang yang penting ialah mengobatimu," katanya. Lalu ia mengajak si nona pergi ke kamar samping. Belum lagi mereka memasuki kamar itu, si pelajar dan si petani, yang saling melirik, sudah mendahului lompat ke pintu kamar untuk menghalangi di situ. Keduanya lantas berlutut dan berkata: "Suhu, biarlah teecu saja yang mengobati nona ini." It Tent menggeleng kepala. "Apakah pelajaranmu telah cukup?" ia bertanya. "Apakah kau sanggup mengobati hingga sembuh?" "Teecu akan mencoba sebisa-bisanya," menyahut kedua murid itu. Si pendeta lantas mengasih lihat roman sungguh-sungguh. "Apakah nyawa manusia dapat dicoba-coba?" ia kata nyaring. "Dua orang ini datang ke mari atas petunjuk orang jahat," kata si pelajar, "Mereka pasti tidak mengandung maksud baik. Walaupun suhu bermaksud baik hendak menolongi orang tetapi tidak dapat suhu kena diperdayakan akal jahat!" It Teng menghela napas. "Apakah yang setiap hari aku mengajarkan kamu?" ia tanya perlahan-lahan. "Baiklah kau bawa gambar ini dan pergilah lihat-lihat." Guru ini menyerahkan gambarnya Auwyang Hong itu. Si petani mengangguk dalam. "Suhu, gambar ini dilukis See Tok," katanya. "Inilah akal busuk dari Auwyang Hong...." Kelihatannya murid ini bergelisah sekali, sampai air matanya turun mengalir. Oey Yong dan Kwee Ceng mengawasi dengan bingung. Mereka tidak menyangka, kenapa tindakannya It Teng Taysu untuk mengobati ada demikian rupa sangkut pautnya. Apakah yang menyebabkan sikapnya kedua murid itu" "Bangun, bangun," kata It Teng perlahan. "Jangan kamu menyebabkan hati tetamu kita menjadi tidak tenang." Suara itu sabar akan tetapi nadanya ialah nada dari putusan mutlak. Kedua murid itu rupanya mengerti, terpaksa mereka berdiam, mereka berbangkit untuk berdiri di pinggaran, kepala mereka tunduk. It Teng Taysu mengajak Oey Yong masuk. "Kau juga masuk!" ia memanggil Kwee ceng, yang berdiri diam. Pemuda itu bertindak masuk. Setelah itu, It Teng menarik turun sero bambu, terus ia menyulut sebatang hio, untuk ditancap di tempat abu di atas meja. Kamar itu berperabot kecuali sebuah meja bambu itu cuma dengan tiga buah tempat duduk dari tikar. Oey Yong diperintah duduk di tikar yang tengah. Kepada Kwee Ceng ia memesan: "Kau jagai hio itu, kalau sudah terbakar habis, kau beritahu aku." Pemuda itu menyahuti, "Ya!" Lantas It Teng duduk di tikar di samping si nona, matanya memandang ke sero, segera ia memesan pula kepada si anak muda; "Kau jagai pintu juga, jangan ijinkan orang lain masuk ke mari - tidak peduli adik seperguruanku atau muridmuridku, kau jangan kasih masuk!" Kwee ceng heran tetapi ia berikan janjinya. Habis itu It Teng merapatkan kedua matanya. Tapi tak lama, ia melek pula, ia berkata kepada si pemuda: "Jikalau mereka itu sampai menggunai kekerasan, kau lawan! Ingat, di sini ada bergantung jiwanya sumoymu!" Kwee Ceng mengangguk, ia jadi semakin heran, hatinya pun tegang. It Teng lalu berkata kepada Oey Yong: "Kau kedorkan seluruh tubuhmu, tidak peduli ada rasa nyeri atau gatal bagaimana hebat juga, jangan kau membuat perlawanan atasnya!" Si nona tertawa ketika ia menyahuti: "Aku menganggap diriku sudah mati...!" Mau tidak mau, It Teng pun tertawa. "Anak yang baik, kau benar-benar pintar!" ia memuji. Ia lantas menutup pula matanya untuk memusatkan pikirannya. Ketika hio sudah terbakar kira satu dim, mendadak ia berlompat bangun, tangan kirinya diangkat, diletaki di dadanya, tangan kanannya, dengan jari telunjuknya, diarahkan, ditotokan ke jalan darah pek-hwee-hiat di embun-embunan Oey Yong. Ketika ditotok itu, tanpa merasa, Oey Yong berjingkrak sendirinya, terus ia merasa dari embun-embunnya itu keluar hawa panas. Habis menotok, It Teng menarik pulang tangannya itu, hanya belum lewat sejenak, kembali ia sudah menotok, sekarang di jalan darah houw-teng-hiat di belakang jalan darah pek-hwee-hiat itu, terpisahnya cuma satu dim. Setelah itu, dengan saling susul ia menotok terus pelbagai jalan darah lainnya, seperti kiang-kianhiat, laohu-hiat, honghu-hiat, ah-bun-hiat, taytwie-hiat, totoo-hiat dan lainnya, maka ketika hio terbakar baru setengah batang, dia sudah menotok semua tigapuluh jalan darah. Kwee Ceng telah maju jauh, maka itu ia bisa menyaksikan cara menotok dari It Teng itu, hingga ia melihat tegas kelihayan si pendeta. Sesuatu gerakan beda satu dari lain. Ilmu totok semacam itu, ia belum dapat dari Kanglam Liok Koay, bahkan di dalam kitab bagian ilmu totok dari Kiu Im Cin-keng, tidak ada dicatat juga. Menyaksikan itu, ia kagum hingga mulutnya terbentang dan matanya hampir kabur. Selama itu ia tidak ingat yang It Teng lagi menggunai seluruh tenaga dalamnya guna menyalurkan semua jalan darah dan nadi Oey Yong. Habis menotok itu, It Teng duduk untuk beristirahat. Sesudah itu, sesudah Kwee Ceng menyulut sebatang hio yang lain, ia mulai bekerja pula. Kali ini dia menotok duapuluh lima jalan darah yang disebut bagian nadi dim-meh. Pula kali ini, totokan dilakukan dengan kesebatan, gerakannya bagaikan sesapung menyambarnyambar air, ia seperti menahan napas. Yang hebat, semua totokan itu tidak pernah gagal. "Sungguh hebat, di kolong langit ini ada kepandaian seperti ini," kata Kwee Ceng di dalam hatinya saking kagum. Kemudian It Teng Taysu menotok pula empatbelas jalan darah yang disebut im-wiemeh. Juga totokan itu dilakukan dengan lain cara, dengan gerak-gerik kaki "jalan naga" dan "tindakannya harimau", hingga sikapnya nampak sangat angker, hingga dimatanya Kwee Ceng, dia bukan lagi seorang pendeta suci dan alim, hanya seorang raja dari berlaksa rakyat negeri. Sekali ini It Teng tidak beristirahat lagi, ia meneruskan menotok tigapuluh dua jalan darah dari yang-wie-meh. Totokan ini dari jarak sedikit jauh. Umpama ketika ia menotok jalan darah hongtie-hiat di leher si nona, ia berlompatan dari jarak setombak, habis itu terus ia lompat mundur pula, demikian seterusnya. Menampak cara menotok itu, Kwee Ceng kata di dalam hatinya: "Kalau kita lagi bertempur sama musuh yang tangguh, apabila bertempur dengan rapat berbahaya, bolehlah kita pakai cara jauh ini. Dengan begitu, sambil menyerang untuk merebut kemenangan, kita juga dapat membela diri dengan sempurna." Demikian, sembari menonton, anak muda ini mengingati baik-baik setiap totokan itu, bagaimana sikapnya, dari bersiap sampai menotok dan sampai sesudahnya itu, untuk mulai dengan lain-lain totokan lagi. Diam-diam ia juga mengutuk dirinya, yang dikatakan bebal sekali, yang gampang lupa, hingga ada yang baru dilihat lalu tak teringat lagi. Setelah menukar lagi dua batang hio, It Teng sudah selesai menotok dua bagian jalan darah im-kiauw dan yang-kiauw. Ketika Kwee Ceng melihat totokan pada jalan darah kie-kut-hiat, mendadak ia ingat: "Ah, totokan ini ada termuat di dalam Kiu Im Cin-keng! Dasar aku yang tolol, aku tidak dapat menangkap maksudnya!" Sekarang ia melihat gerak-gerak It Teng sama dengan petunjuk-petunjuk dalam kitab Kiu Im Cin-keng itu. Hal ini menggampangi ia mengingat-ingat, hingga ia mengingat baik tempo It Teng menotok jalan darah ciong-meh. Paling belakang It Teng Taysu hendak menotok jalan darah tay-meh. Untuk itu, ia mesti jalan ke belakang Oey Yong. Pertama kali ia menotok ciangbun-hiat, sedang semuanya ada delapan jalan darah. Sekarang nampak gerakannya si pendeta sangat lambat, agaknya ia bergerak sukar sekali, sedang napasnya sudah memburu dan tubuhnya terhuyung, bagaikan ia tak kuat berdiri lebih lama pula. Kwee Ceng melihat semua itu, ia terkejut apapula kapan ia menampak peluh membasahi jidatnya pendeta itu, mengucur di alisnya yang putih dan panjang itu. Ia ingin maju menolongi tetapi ia khawatir mengganggu. Tempo ia mengawasi Oey Yong, si nona telah bermandikan keringat, pakaiannya basah. Dia pun mengerutkan alis dan menutup mulut rapat-rapat, rupanya ia melawan rasa nyeri yang hebat. Selagi anak muda ini terbengong, mendadak ia mendengar satu suara di sebelah belakang, ialah dari tersingkapnya sero bambu, suara mana disusul sama panggilan nyaring: "Suhu!" Disusul lagi sama masuknya orang yang berseru itu. Belum ia ingat itu, ia segera menyerang ke belakang, dengan salah satu totokannya It Teng barusan. Ia menyerang saling susul dengan cepat sekali hingga empat kali. Sebagai kesudahan dari itu, ia mendengar suara robohnya beberapa orang. Sekarang barulah ia menoleh ke belakang, tepat di saat satu orang, ialah si pelajar, berlomnpat ke belakang, hingga ia bebas dari totokan. Yang roboh ialah si tukang pancing, si tukang kayu dan si petani bertiga, mereka terus rebah di lantai. Ia bengong mengawasi mereka, sebab tak dipikirnya untuk menyerang mereka itu. Ketika ia memandang si pelajar itu, dia itu lagi mengawasi ia dengan bengis, satu tanda orang ada sangat gusar. "Habis sudah!" berseru si pelajar dalam murkanya. "Apalagi yang hendak dicegah?" Kwee Ceng menoleh, maka ia melihat It Teng Taysu lagi duduk bersila di atas tempat duduknya, mukanya pucat sekali, bajunya basah dengan peluhnya, sedang Oey Yong telah roboh dengan tubuh tak bergerak, entah dia sudah meninggal atau masih hidup. Maka dalam kagetnya, ia lompat menubruk, guna mengasih bangun. Paling dulu hidungnya mendapat cium bau amis. Muka nona itu pucat bercampur sinar biru, tak ada cahaya dari darahnya, hanyalah sinar hitamnya yang samar-samar sudah lenyap semua. Kwee Ceng mendengari napas orang di hidung, jalan napas itu berat sekali. Tapi dengan mendapat dengar suara napas itu, ia merasa lega sedikit. Ketika itu si pelajar sudah menolongi menotok bebas si tukang pancing, si tukang kayu dan si petani, bersama-sama mereka merubungi guru mereka, semua membungkam, roman mereka diliputi kedukaan dan kegelisahan. Kwee Ceng tidak memperhatikan mereka itu, ia terus menungggui si nona, muka siapa ia awasi. Maka hatinya menjadi bertambah lega kapan dengan perlahan-lahan ia mendapatkan paras nona itu berubah pula sedikit dadu. Hanya paras dadu itu, lama-lama berubah terus, lalu merah, habis mana kedua pipi nona itu terasa panas begitu pun dahinya, panasnya seperti api ketika dahi itu diraba. Lagi beberapa saat, butir-butir peluh yang besar turun dari jidatnya di nona lalu kembali parasnya berubah, dari merah menjadi putih pula. Kejadian ini terulang sampai tiga kali, tiga kali juga peluh keluar banyak sekali. Diakhirnya, Oey Yong mengeluarkan suara kaget dan kedua matanya dibuka, terus ia menanya: "Engko Ceng, mana dapur" Mana es?" Bukan kepalang girangnya Kwee Ceng mendengar orang dapat berbicara. "Apa dapur" ia bertanya. "Apa es?" Si nona melihat ke seputarnya, ia menggeleng kepala. Akhirnya ia tertawa. "Ah, aku bermimpi hebat sekali!" katanya. "Aku bermimpikan Auwyang Hong, Auwyang Kongcu dan Khiu Cian Jin. Mereka itu menjebloskan aku ke dalam dapur, untuk dipanggang, lalu mereka mengambil es, dengan apa aku dibikin dingin, setelah tubuhku dingin, dia membakar pula...Ah, sungguh menakutkan! Eh, bagaimana dengan It Teng Taysu?" It Teng membuka matanya, ia tertawa. "Lukamu sudah sembuh," katanya. "Sekarang kau perlu beristirahat satu atau dua hari. Jangan sembarang bergerak, supaya kau nanti sembuh seluruhnya." "Seluruh tubuhku rasanya tidak bertenaga sama sekali," berkata si nona, "Sampai pun jari tangan malas digeraki..." Ketika itu si petani mendelik pada si nona, dia agaknya sangat gusar. Oey Yong melihat itu, ia tidak mengambil mumat. Ia hanya kata kepada paman gurunya itu. "Supee tentulah sangat lelah sebab untuk mengobati aku, supee telah mengeluarkan banyak tenaga. Aku mempunyai obat Kiu-hoa Giok-louw-wan buatan ayahku, apa supee mau memakannya beberapa biji?" "Bagus!" kata It Teng gembira. "Aku tidak menyangka kau membawa obat mujarab buatan ayahmu itu. Itulah obat untuk menambah tenaga. Ketika kita merundingkan ilmu pedang di Hoa San, tempo semuanya sudah sangat letih, ayahmu membaginya kepada kami beramai, habis makan itu, kita semua menjadi segar sekali." Oey Yong lantas mengeluarkan kantong obatnya, untuk diserahkan pada si paman guru. Si petani lari ke dapur, untuk mengambil semangkok air, sedang si pelajar mengeluarkan obat itu, semuanya dikeluarkannya obat itu, lalu semuanya dikasihkan pada gurunya. "Tidak begini banyak!" berkata It Teng tertawa. "Obat ini sangat sukar dibuatnya. Cukup kita minta separuhnya saja." "Tetapi suhu!" berkata si pelajar, yang romannya cemas, "Meski obat di dalam dunia digotong semua ke mari, itu masih belum cukup!" Pendeta itu tidak tega menampik, maka ia lantas menelan beberapa puluh butir, yang ia bantu dengan air beberapa ceglukan. Kemudian ia kata kepada Kwee Ceng: "Kau pergi pimpin sumoymu ini untuk beristirahat dua hari, setelah itu kamu pergi turun gunung, tak usah kamu menemui aku lagi. Eh, ada satu urusan yang aku hendak minta dari kamu....." Kwee Ceng sudah lantas menjatuhkan dirinya berlutut seraya mengangguk empat kali hingga kepalanya membentur lantai. Oey Yong pun turut menjura, sambil berkata perlahan: "Supee telah menolongi jiwaku, budimu ini tidak nanti keponakanmu berani melupakannya." It Teng tertawa. "Lebih baik dilupakan, supaya tak usah diingat-ingat lagi," katanya, seraya ia terus menoleh kepada Kwee Ceng, untuk memberi pesannya: "Kamu telah naik ke gunung ini, hal itu segala kejadian di sini, jangan kamu omongkan kepada orang lain, juga tak usah kau menyebutkannya kepada gurmu." Kwee Ceng tercengang. Ia justru lagi memikirkan bagaimana harus membawa gurunya datang ke mari guna minta pertolongan paman guru ini. It Teng tertawa. Ia berkata pula: "Kamu juga lain kali tak usah datang pula ke mari, kami sekaligus hendka pindah." "Pindah?" tanya si anak muda heran. "Pindah ke mana, supee?" It Teng tersenyum, ia tidak menjawab. "Ah, engko tolol," kata Oey Yong tertawa. "Karena tempat supee ini telah ketahuan oleh kita maka supee mau pindah. Mana supee dapat memberi keterangan padamu?" Meski ia berkata begitu, nona ini sebenarnya berduka sekali. Itulah gara-garanya dia maka si supee mau pindah meninggalkan tempat kediamannya yang bagus ini. Mana bisa ia melupakan budi yang sangat besar itu" Mengingat begini, ia mengawasi empat murid orang, yang telah berkumpul semua. Ia ingin berkata-kata kepada mereka itu. Hanya belum lagi ia membuka mulutnya, mendadak paras It Teng menjadi pucat, tubuhnya terhuyung, lalu jatuh dari tempat duduknya! Bab 63. Sapu tangan sulam Bab ke-63 cersil Memanah Burung Rajawali, karya Jin Yong. Si pelajar berempat menjadi sangat terkejut begitu juga dengan Kwee Ceng. Bersama-sama mereka berlompat menubruk. Mereka melihat daging di mukanya pendeta itu bergerak-gerak, tandanya dia lagi melawan rasa nyeri yang hebat. Mereka menjadi bingung sekali, tak tahu mereka bagaimana harus menolongnya. Semua lantas berdiri diam di pinggiran. Tidak lama, It Teng bersenyum. "Anak, adakah obatmu ini buatan ayahmu sendiri?" ia tanya Oey Yong. "Bukan, supee. Inilah buatannya suko Liok Seng Hong, tetapi ia membuatnya Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo menurut surat obat ayah." "Pernahkah kau mendengarnya dari ayahmu, kalau obat ini dimakan terlalu banyak dapat berbalik menjadi bahaya?" si pendeta menanya pula, suaranya sabar. Oey Yong terkejut. "Mungkinkah ada yang tidak benar pada obatku ini?" pikirnya. Ia lantas menyahuti: "Ayah pernah membilang, semakin banyak dimakan semakin baik, hanya sebab pembuatannya sukar, ayah sendiri tidak berani makan banyakbanyak." It Teng berdiam, agaknya ia berpikir. Kemudian ia menggeleng kepala. "Ayahmu itu sangat cerdik dapan pandangannya sangat jauh," katanya, "Ia sangat sukar diterka hatinya hingga aku pun tidak dapat membilang apa-apa tentangnya. Mungkinkah ia hendak menghukum Liok Suhengmu maka dia diberikan surat obat yang dipalsukan" Atau mungkinkah Liok Suhengmu itu bermusuh dengan kau maka di dalam obatnya itu dicampuri beberapa biji yang ada racunnya?" Mendengar disebutnya racun, semua orang terkejut. "Suhu, apakah suhu telah keracunan?" di pelajar tanya. "Syukur di sini ada paman gurumu, maka biarnya racun yang lebih dahsyat lagi tidak akan membikin orang mati," sahut sang guru. Mukanya keempat muridnya itu lantas berubah, segera mereka menoleh kepada Oey Yong dan berkata dengan bengis: "Guru kami bermaksud baik menolongi kau, cara bagaimana kau begini besar hati berani meracuninya?" Segera mereka mengurung, agaknya mereka mau lantas menerjang. Kwee Ceng menjadi bingung sekali. Ia tidak nyana akan perkembangan semacam ini. Oey Yong pun bingung tetapi segera ia berpikir segala sesuatu mengenai obat itu, hingga ia menduga, pada ini tentu ada hubungannya dengan perbuatannya Eng Kouw di rumahnya di rawa lumpur hitam itu. Bukankah obat itu telah dibawa si nyonya ke lain kamar, untuk diperiksa, dan sampai sekian lama baru nyonya itu membawanya pula ke luar untuk diserahkan kembali kepadanya" "Supee, aku mengerti sekarang!" katanya. Sebab segera ia dapat menerka. "Inilah perbuatannya Eng Kouw!" "Benarkah Eng Kouw?" It Teng tanya. "Ya," sahut si nona, dan ia tuturkan apa yang terjadi di rumah Eng Kouw, hingga sekarang ia menjadi curiga. "Dia pun telah memesan wanta-wanti supaya aku sendiri jangan makan obat ini. Tentu teranglah sudah sebab ia mencampuri racun di dalamnya." "Hm!" mengejek si petani. "Dia perlakukan kau baik sekali maka itu ia khawatir membuatnya kamu mampus!" Nona ini sangat berduka yang paman gurunya terkena racun, maka itu ia tidak memikir untuk mengadu lidah dengan murid orang, bahkan dengan perlahan ia kata:" Sebenarnya dia bukannya berkhawatir untuk membikin aku mati, hanya ia khawatir, kalau aku memakannya, supee tidak nanti kena ia racuni...." "Dosa, dosa," berkata It Teng, yang menghela napas. Lantas sikapnya menjadi sangat tenang. Ia berkata perlahan kepada muda-mudi itu: "Inilah nasib dan dengan kamu berdua tidak ada hubungannya. Juga Eng Kouw sendiri, inilah terjadi karena karma. Sekarang pergi kamu beristirahat beberapa hari, habis itu baikbaik saja kamu turun gunung. Benar aku telah terluka tetapi adik seperguruanku pandai sekali mengobati racun, maka kamu tidak usah berkhawatir." Pendeta ini lantas menutup rapat matanya, ia tidak berkata-kata lagi. Berdua muda-mudi itu membungkuk, untuk pamitan. Mereka melihat It Teng bersenyum, tangannya dikibaskan, maka itu mereka tidak berani berdiam lebih lama lagi di situ, dengan perlahan mereka memutar tubuh dan mengundurkan diri. Si kacung menantikan mereka di luar kamar, lantas mereka diajak ke sebuah kamar di ruang belakang, kamar di mana tidak ada perabotannya kecuali dua pembaringan bambu. Tidak lama, di situ muncul dua orang pendeta tua dengan barang makanan sayur. "Silahkan dahar," mereka mengundang. "Apakah taysu baik?" tanya Oey Yong. Ia senantiasa memikirkan paman guru itu. "Siauwceng tidak tahu," sahut satu pendeta, suaranya tajam. Ia lantas memberi hormat, untuk segera mengundurkan diri. "Mendengar suara mereka, aku mengira wanita," kata Kwee Ceng. "Mereka thaykam," berkata Oey Yong. "Tentu mereka itu telah merawati taysu semenjak taysu masih menjadi raja." Kwee Ceng heran. Karena masing-masing berpikir, tidak ada nafsu dahar mereka. Terus mereka berdiam di dalam kamar yang sunyi itu, cuma kadang-kadang saja berkesiur suara angin lewat, membuatnya daun-daun bambu bersuara perlahan. "Yong-jie, kepandaian taysu hebat sekali," kemudian kata sang anak muda. "Begitu?" kata si pemudi perlahan dan singkat. "Guru kita," kata pula Kwee Ceng, "Dan ayahmu juga Ciu Toako, Auwyang Hong dan Khiu Cian Jin, walaupun mereka semua lihay tidak nanti mereka dapat melawan It Teng Supee...." "Coba bilang, di antara mereka berenam, siapa yang pantas mendapat sebutan jago nomor satu di kolong langit ini?" Kwee Ceng berpikir. "Sebenarnya sesuatunya dari mereka mempunyai keistimewaan masing-masing," sahutnya sesaat kemudian, "Dari itu tidak dapat dibilang siapa diantaranya yang paling lihay........" "Di dalam halnya bu bo coan cay?" si nona menanya pula, tentang kepandaian orang dua-dua di dalam ilmu surat dan ilmu silat. "Di dalam hal itu, tentulah ayahmu," menyahut di anak muda. Oey Yong girang, inilah kentara dari romannya. Hanya sebentar, ia lalu menghela napas. "Maka itu inilah anehnya!" katanya. "Apakah yang aneh?" tanya Kwee Ceng cepat. Ia heran. "Taysu begini lihay, keempat muridnya lihay juga," kata Oey Yong. "Tetapi kenapa mereka hidup bersembunyi di tempat sunyi begini" Kenapa asal mendengar ada orang datang, mereka nampak takut seperti juga bencana besar bakal mengancam mereka" Di antara keenam jagoan, cuma See Tok dan Khiu Cian Jin yang mungkin menjadi musuhnya, tetapi mereka itu berdua berkenamaan, apa mungkin mereka akan datang berdua untuk mengepung taysu?" "Tetapi, Yong-jie," kata Kwee Ceng. "Biarnya See Tok dan Khiu Cian Jin datang bersama, sekarang kita tidak usah takuti mereka." "Bagaimana begitu?" Kwee Ceng nampaknya likat, agaknya ia tak enak hati untuk menjawab. "Eh, kenapakah kau nampaknya sulit berbicara?" si nona menegur. "Kepandaiannya It Teng Taysu pasti tidak ada dibawahannya See Tok," kata si anak muda kemudian, "Atau sedikitnya, mereka berimbang. Menurut penglihatanku, ilmu menotok jalan darah dari taysu mungkin ada cara untuk meruntuhkan Kap Mo Kang dari See Tok itu...." "Bagaimana dengan Khiu Cian Jin?" Oey Yong tanya pula, "Apakah di tukang pancing, si tukang kayu, si petani dan si pelajar, bukannya tandingan dia seorang?" "Benar, selama di puncak Tiat Ciang Hong, di gunung Kun San, di telaga Tong Teng, pernah aku melayani Khiu Cian Jin. Kalau kita bertempur seratus jurus, mungkin aku dapat melawan seri padanya, tetapi lebih daripada seratus jurus, belum tentu aku dapat bertahan lebih lama pula. Ketika tadi aku menyaksikan Taysu menotok kau..." Mendadak Oey Yong menjadi girang, ia memotong: "Kalau begitu kau telah dapat mempelajari kepandaiannya Taysu! Dengan begitu, bukankah kau bakal dapat mengalahkan Khiu Tiat Ciang?" "Kau tahu sendiri, otakku puntul," berkata si anak muda, "Dan ilmu totok ini sangat dalam, mana bisa aku lantas berhasil memahamkannya" Hanya benar aku telah mendapatkan beberapa jurus. Aku pikir, untuk segera mengalahkan Khiu Cian Jin, itulah sukar, tetapi buat bertahan sampai satu jam atau tiga perempat, mungkin aku sanggup..." Oey Yong lantas menghela napas. "Dan kau melupakan satu hal," katanya masgul. "Apakah itu?" "Sekarang ini Taysu terkena racun, entah sampai kapan ia bakal sembuh..." Kwee Ceng berdiam, lantas ia menjadi sengit. "Kenapa si nenek Eng Kouw demikian kejam?" katanya mengeluh. Ia baru berkata demikian, atau ia ingat suatu apa, hingga ia berseru: "Ah, celaka!" Oey Yong kaget. "Apa?" ia menanya. "Kau telah berjanji dengan Eng Kouw!" si pemuda memberi ingat. "Setelah kau sembuh, kau mesti menemani dia satu tahun, bukan" Nah, habis bagaimana" Adakah janji itu mesti ditepati atau tidak?" "Kau sendiri?" "Jikalau tidak dapat petunjuknya, tidak dapat kita mencari It Teng Taysu. Itu waktu pasti lukamu..... Ah, tidak dapat dikatakan...." "Kenapa tidak dapat dikatakan" Bilang aja terus terang, jiwaku tidak dapat lagi ditolong! Kaulah satu laki-laki, maka tentunya kau ingin menepati janji itu, bukankah?" Si nona lantas menjadi berduka. Ia ingat Kwee Ceng pun tidak suka melanggar janji perjodohannya dengan putri Gochin Baki dari Mongolia. Air mukanya menjadi guram. Mengenai sifat wanita ini, Kwee Ceng asing, maka itu selagi Oey Yong berduka dan hendak menangis, ia tetap tidak sadar. Maka ia kata: "Dia membilang ayahmu lihay, menang seratus kali daripadanya, umpama kata kau suka mengajari dia, dia bilang dia tak bakal dapat menyamai kulit atau bulu ayahmu. Dia telah mengetahui itu, habis apa perlunya dia masih menghendaki kau menemani dia?" Oey Yong menutup mukanya, ia tidak menyahuti. Pemuda itu masih tidak sadar, ia mengulangi pertanyaanya. "Eh, engko tolol, benarkah kau tidak mengerti?" akhirnya tanya si nona gusar. Kwee Ceng heran orang gusar tidak karu-karuan. "Ya, Yong-jie aku memang dasarnya tolol," ia mengaku. "Maka itu juga aku minta kau suka memberikan keteranganmu." Oey Yong menyesal yang ia telah mengeluarkan perkataan keras itu, sekarang ia mendengar suara orang yang lemah lembut, orang yang telah mengaku ketololannya, ia menjadi sangat berduka, tak dapat ia menahan lagi, ia menangis di dalam rangkulan pemuda itu. Masih Kwee Ceng tidak mengerti, ia mengusut-usut pinggang orang seraya menghibur. Oey Yong menarik ujung baju orang, untuk mengusut air matanya. "Engko Ceng, aku yang salah," katanya. Mendadak ia tertawa. "Lain kali aku tidak bakal memaki pula kepadamu...." "Memang aku tolol, apakah halangannya untuk kau mengatakannya?" kata di tolol, tetap polos. Nona itu menghela napas. "Kau memang baik, akulah yang buruk," katanya kemudian. "Mari aku menjelaskannya padamu. Eng Kpuw itu bermusuh sama ayahku, dia mencari ilmu kepandaian untuk dia pakai menyantroni Tho Hoa To, guna menuntut balas, tetapi ia mendapat kenyataan, dalam ilmu silat ia kalah dari ayahku, maka karena putus asa, dia mengubah siasatnya. Dia sekarang hendak menjadikan aku sebagai manusia tanggungan, supaya ayahku datang menolongi aku. Dengan akal ini, ia jadi menang di atas angin, ia menjadi dapat jalan untuk mencelakai ayahku itu." Baru sekarang si tolol mengerti, maka ia menepuk pahanya. "OH, benar begitu! Kalau demikian adanya, janji itu tidak dapat ditepati!" ia kata. "Kenapa tidak?" tanya Oey Yong. "Pasti mesti ditepati." "Eh?" si anak muda heran. "Eng Kouw sangat lihay," berkata si nona, menerangkan. "Lihat saja bagaimana ia telah mencampuri racun di dalam obat Kiu-hoa Giok Louw Wan, dengan apa dia mencelakai It Teng Taysu. Maka jikalau dia tidak disingkirkan, dia akhirnya bakal jadi ancaman bencana untuk ayahku. Dia ingin aku menemani dia, aku nanti menemaninya. Sekarang aku telah siap sedia, tidak nanti aku kena diakali dia. Aku percaya, tidak peduli dia bakal menggunai tipu apa, aku merasa pasti bakal dapat memecahkannya!" "Tetapi itulah artinya kau menemani seekor harimau betina..." kata si anak muda masgul. Oey Yonng hendak berkata pula ketika kupingnya mendengar suara berisik dari sebelah depan, dari kamar sucinya It Teng Taysu. Itulah beberapa kali suara kaget atau seruan. Kwee Ceng pun mendengar itu, maka keduanya saling mengawasi. Selagi mereka memasang kuping, suara berisik itu lantas lenyap. "Entah bagaimana dengan taysu?" kata si pemuda. Si pemudi menggeleng kepala. "Nah, kau daharlah, lantas tidur," kata Kwee Ceng kemudian. Oey Yong masih menggeleng kepala. Atau mendadak. "Ada orang datang!" katanya. "Benar juga, lantas terdengar tindakan kaki beberapa orang, di antaranya ada yang berkata dengan suara sengit: "Budak itu banyak akalnya, baik mampusi dulu padanya!" Itulah suara si petani. Maka Kwee Ceng berdua terkejut. "Jangan sembarang," terdengar suara si tukang kayu. "Kita menanya jelas dulu." "Apa yang mau ditanyakan lagi?" kata si petani. "Sudah terang dua bangsat cilik itu disuruh musuh suhu datang ke mari! Kita bunuh yang satunya, biarkan yang satu lagi, untuk menanyakan keterangannya. Cukup kita memeriksa si tolol!" Selagi mereka berbicara, mereka sudah sampai di depan pintu kamar di mana Kwee Ceng dan Oey Yong berada. Nyata mereka tidak takut suara merea dapat didengar orang di dalam kamar itu. Kwee Ceng mengerti ancaman bahaya, tanpa bersangsi pula dengan pukulan "Hang liong ya hui", ia menghajar tembok belakangnya, hingga dengan suara sangat berisik tembok itu gempur, membuat sebuah liang. Setelah itu, dengan membungkuk, ia menggendong si nona, terus ia lompat melewati liang itu. Di sana terlihat si petani, yang sangat gesit, sebelah tangannya diulur, guna menyambar kaki kiri si anak muda. Oey Yong tidak berdiam saja, ia melihat sambaran itu, maka dengan tangan kirinya ia mengibas ke belakang, mengebut jalan darah yang -tie-hiat dari si petani. Itulah ilmu kebutan, atau totokan, warisan ayahnya. Itulah yang disebut "Lanhoat Hut-hiat-Ciu", atau Bunga Anggrek Mengebut Jalan Darah. Ilmu ini tidak selihay ilmu totoknya It Teng Taysu tetapi toh berbahaya untuk lawan. Si petani kaget, lekas-lekas ia menarik pulang sambarannya, ia membaliki itu, untuk menangkis, tetapi gerakan ini memperlambat gerakannya, maka Kwee Ceng telah berhasil melompati tembok belakang. Di sini ia baru lari beberapa tindak, atau ia menjerit sendirinya, berkeluh-kesah. Di depannya itu ada tumbuh pohon duri setinggi sependirian orang, lebat dan banyak durinya, hingga tak dapat dilewati orang. Ketika ia menoleh, ia menampak mendatanginya empat orang, yaitu si tukang pancing, si tukang kayu, si petani dan si pelajar. Mereka itu lantas berdiri menghadang. "Taysu memerintahkan kami turun gunung, tuan-tuan telah mendengarnya sendiri," berkata Kwee Ceng, "Kenapa kau sekarang menghalangi kami?" Si tukang pancing mendelik matanya. "Guru kami sangat baik hatinya, dia pemurah, dengan mengorbankan diri dia menolongi kamu, kenapa kamu..." kata dia, suaranya mengguntur. Dua-dua muda-mudi itu terkejut. "Dia mengorbankan diri?" tanya mereka berbareng. "Bagaimana itu...?" "Fui...!" berseru si tukang pancing dan petani. Si pelajar tertawa dingin, dia berkata: "Lukamu, nona telah ditolong diobati oleh guruku dengan guruku itu mengorbankan dirinya! Mustahil kau benar-benar tidak ketahui itu?" "Dengan sebenarnya, aku tidak tahu," menyahut Oey Yong. "Tolong kau menjelaskannya." Pelajar itu mengawasi. Ia melihat roman orang benar seperti tidak lagi mendusta, maka ia berpaling kepada si tukang kayu. Ia mengangguk. Lantas ia berkata: "Nona, kau telah mendapat luka yang sangat berbahaya, untuk menyembuhkannya kau mesti mendapat penyaluran pada pelbagai jalan darah dan nadimu. Untuk itu dibutuhkan ilmu It Yang Cie Siang-thian Kanghu. Ilmu itu, semenjak meninggalnya Ong Tiong Yang Cinjin, Kauwcu dari Coan Cin Pay, cuma guru kami satu orang yang mengerti itu. Meski begitu, kalau ilmu itu dipakai mengobati orang, dia sendiri mesti turut mendapat penyakit sebagai akibatnya, sebab ia mesti menggunai terlalu banyak tenaga terutama tenaga dalamnya. Untuk lima tahun, habislah semua kepandaian ilmu silatnya...." Oey Yong kaget hingga ia mengeluarkan seruan tertahan. Ia menyesal dan malu sekali. "Selama itu tempo lima tahun, untuk memulihkan diri, orang mesti berlatih dan bersemadhi setaip hari, siang dan malam, kalau dia salah berlatih, maka dia bakal nampak kegagalan dan kepandaiannya itu tidak akan pulih kembali. Orang yang menjadi korban begitu, entengnya ia cacad seumur hidup, hebatnya ia lantas mati. Guruku itu murah hati menolongi kau, kenapa kau begini jahat, kebaikan dibalas dengan kejahatan?" Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Mendadak Oey Yong melepaskan diri dari Kwee Ceng, lantas ia berlutut ke arah kamarnya It Teng Taysu, empat kali ia mengangguk, sembari menangis ia berkata: "Supee, sungguh keponakanmu tidak menyangka begini besar kau telah melepas budi menolong jiwaku..." Menyaksikan kelakukan si nona, roman si tukang pancing berempat nampak sedikit sabar. "Ayahmu menitahkan kau menjalankannya akalnya ini mencelakai guru kami, benarbenar kau sendiri tidak tahu?" tanya si tukang pancing. Ditanya begitu, Oey Yong menjadi gusar. "Mana dapat ayahku mencelekai supee?" katanya keras. "Ayahku itu orang macam apa" Mana dapat ayahku berlaku demikian hina-dina?" Si tukang pancing menjura. "Jikalau ini bukan titah ayahmu, nona, harap kau memberi maaf atas kelancanganku ini," ia berkata. "Hm!" berkata si nona. "Jikalau perkataanmu barusan dapat didengar ayahku, tidak peduli kau muridnya supee, kau pasti bakal diberi rasa sedikit !" "Hm!" berkata si tukang pancing, "Ayahmu digelarkan Tong Shia, si Sesat dari Timur, maka itu kami pikir, apa yang dapat diperbuat See Tok, si Bisa dari Barat, tentulah dapat dilakukan oleh ayahmu juga. Sekarang ini rupnaya soal adalah lain." "Mana dapat ayahku dibandingkan dengan See Tok"!" berkata si nona. "Auwyang Hong si bangsat tua itu, apa juga dapat dia lakukan! Apakah yang dia telah tidak perbuat"!" "Baik," si pelajar datang sama tengah. "Sekarang segala apa sudah jelas, mari kita kembali ke dalam untuk bicara lebih jauh." Maka berenam mereka masuk ke dalam kamar, untuk terus berduduk, akan tetapi empat orang itu duduk demikian rupa, hingga sendirinya seperti mereka memegat jalan keluar kedua muda-mudi itu. Oey Yong mengetahui itu, ia bersenyum, ia tidak mau membuka rahasia orang. "Apakah kamu ketahui tentang urusan Kiu Im Cin-keng?" si pelajar mulai bicara. "Aku ketahui itu. Apakah sangkutannya supee dengan kitab itu?" "Ketika diadakan pertemuan pertemuan pertama di Hoa San itu, soalnya ialah perebutan kitab Kui Im Cin-keng itu," berkata si pelajar. "Ketika itu Coan Cin Kauwcu adalah yang terlihay, kitab itu telah jatuh di tangannya. Bahwa semua orang takluk kepada kauwcu itu, itulah bukan soal lagi. Tiong Yang Cinjin sangat mengagumi ilmu Sian Thian Kang dari guru kami, maka juga di tahun kedua bersamasama adik seperguruannya dia datang mengunjungi guru kami di Taili, ketika itu mereka berbicara banyak tentang ilmu silat itu." "Adik seperguruannya Tiong Yang Cinjin?" tanya Oey Yong. "Itulah Loo Boan Tong Ciu Pek Thong?" "Benar," sahut si pelajar. "Nona masih begini muda tetapi banyak sekali orang yang nona kenal...." "Ah, jangan kau memuji aku," berkata si nona. "Paman Ciu itu seorang yang sangat jenaka, tetapi kami tidak tahu bahwa dia dipanggil Loon Boan Tong si bocah tua bangkotan yang nakal. Ketika itu guru kami masih belum menyucikan diri." "Oh, kalau begitu, ketika itu supee masih menjadi kaisar?" kata Oey Yong. "Benar. Coan Cin Kauwcu itu bersama adik seperguruannya tinggal di istana belasan hari, selama itu kami berempat senantiasa mendampingnya. Guru kami telah menjelaskan segala apa mengenai Sian Thian Kang itu. Hingga Tiong Yang Cinjin menjadi sangat girang, maka ia pun lantas mengajari ilmu silat It Yang Cie yang menjadi ilmu silatnya yang paling istimewa. Kami mendengari semua pembicaraan itu akan tetapi pelajaran kami masih sangat rendah dan kami pun tumpul sekali, tak dapat kami mempelajari itu." "Habis bagaimana dengan Loon Boan Tong?" Oey Yong tanya. "Kepandaiannya Loo Boan Tong tidak cetek." "Paman Ciu itu orangnya gemar bergerak, tak suka ia berdiam, setiap hari dia berputaran saja di seluruh istana. Dia pergi ke timur dan ke barat, ke segala tempat sampai pun dia tak pandang-pandang lagi keraton di mana permaisuri dan selir-selir bertinggal. Semua orang kebiri dan dayang mendapat tahu dialah tetamu agung kami, tidak ada di antaranya yang berani melarang." Oey Yong dan Kwee Ceng saling memandang dan tersenyum. Mereka tahu baik sifatnya itu engko atau kakak angkat. Cuma di dalam hatinya, mereka itu kata: "Itu dia sifatnya Loo Boan Tong!" "Ketika Tiong Yang meminta diri," si pelajar melanjuti, "Dia berkata kepada guru kami: 'Selama yang belakangan ini penyakit yang lama kembali kumat, maka mungkin aku tidak bakal berdiam lama lagi di dalam dunia ini, karena sekarang sudah ada ahli waris dari It Yang Cie, jadi di dalam dunia ini ada orang yang dapat menidih padanya, bolehlah tak usah dikhawatir yang dia nanti berani malangmelintang bermain gila.' Baru setelah itu guru kami mengetahui maksud utama kenapa Tiong Yang Cinjin melakoni perjalanan begitu jauh datang ke Taili mengunjungi guru kami, maksudnya ialah untuk mewariskan kepandaiannya itu, agara setelah ia menutup mata nanti, ada orang yang dapat mengekang Auwyang Hong, lima-limanya Tong Shia, See Tok, Lam Tee, Pak Kay dan Tiong Sin Thong adalah orang-orang yang namanya sama termashyurnya, kalau Tiong Yang Cinjin membilang terus-terang dia datang untuk memberi pelajaran, dia khawatir guru kami merasa dirinya dipandang enteng, dari itu lebih dulu ia minta pelajaran Sian Thian Kang, kemudian baru ia membalas mengajari It Yang Cie. Itulah artinya pertukaran. Guru kami mengetahui maksud baik dari Tiong Yang Cinjin, ia menjadi bersyukur, ia mengagumi kauwcu itu. Ia lantas memahamkan itu dengan bersungguhsungguh. Kemudian di negera Taili itu telah terjadi suatu hal yang malang, hati guru kami menjadi tawar, maka itu ia pergi mencukuri rambutnya dan masuk menjadi hweeshio." Mendengar itu Oey Yong berpikir, "Toan Hongya tidak mau menjadi kaisar, dia lebih suka menjadi pendeta, mestinya kejadian malang itu sangat melukai hatinya. Karena muridnya ini tidak mau menjelaskannya, tidak dapat aku minta keterangan atas kejadian itu..." Ia memandang kapada kawannya. Ia melihat Kwee Ceng seperti hendak membuka mulut, untuk menanya, ia lekas mencegah dengan kedipan matanya. Kwee Ceng mengerti kedipan itu, ia menunda membuka mulutnya. Air muka si pelajar nampak guram. Rupanya dia teringat akan peristiwa dulu itu. Ia berdiam beberapa saat baru ia berbicara pula. "Setahu bagaimana, kemudian hal guru kami mempelajari It Yang Cie itu telah bocor," katanya. "Pada suatu hari, ini suhengku..." ia menunjuk pada si petani "... telah menerima titah suhu, ialah guru kami itu, untuk pergi mencari daun obatobatan. Suhengku telah pergi ke gunung Tay Soat San di barat Inlam, di sana orang telah melukai dia dengan ilmu silat Kap Mo Kang." "Pastilah si penyerang itu si Bisa bangkotan!" berkata Oey Yong. "Siapa lagi kalau bukan dia?" berkata si petani gusar. "Mulanya seorang muda yang tidak karu-karuan yang telah mencari perkara denganku, dia membilangnya Tay Soat San itu miliknya dan dia melarang siapa juga mencari daun obat di situ. Aku telah menerima pengajaran suhu, aku berlaku sabar, tetapi justru aku mengalah, si anak muda semakin mendesak, dia menyuruh aku mengangguk tigaratus kali padanya, baru dia mau menginjikan aku turun gunung. Karena habis sabarku, aku menempur dia. Pemuda itu benar lihay, sekian lama kita bertempur, kita tetap seri. Itu waktu mendadak muncullah si tua berbisa itu, tanpa banyak omong, dia menghajar aku hingga aku terluka parah, setelah mana di anak muda menggendong aku, mengantari aku pulang sampai di luar kuil Liong Coan Sie, di mana suhu berdiam." "Kalau begitu sudah ada orang yang mewakilkan kau membalas sakit hatimu," berkata si nona. "Pemuda itu ialah Auwyang Kongcu, sudah ada yang membunuhnya." "Ah, dia telah mati?" kata si petani gusar. "Siapakah yang membunuh dia?" "Eh, heran!" kata Oey Yong. "Ada orang lain membunuh musuhmu, kenapa kau masih gusar?" "Musuhku mesti aku yang membalasnya sendiri!" sahut si petani. "Sayang kau tidak dapat membalasnya...." kata si nona menghela napas. "Sebenarnya siapakah yang membunuhnya?" "Dia juga orang busuk. Kepandaian dia itu kalah dari Auwyang Kongcu tetapi dia menggunai akal." "Bagus!" berkata si pelajar. "Nona, tahukah kau maksudnya Auwyang Hong melukai suhengku ini?" "Tidaklah sukar untuk menerka itu," menyahut Oey Yong. "Dengan kepandaian See Tok, dengan dua kali turun tangan, dapat dia membinasakan suhengmu, tetapi dia cuma melukai parah, lalu dia mengantarkannya pulang ke depan pintu rumah gurumu. Maksudnya ialah agar gurumu menghabiskan tenaga dalamnya untuk mengobati suhengmu itu. Barusan kau membilangnya, supee mesti membuang tempo lima tahun untuk memulihkan kepandaiannya, maka itu berarti, kalau nanti diadakan rapat yang kedua di gunung Hoa San, pasti gurumu tak keburu turut mengambil turut mengambil bagian." Pelajar itu menghela napas. "Nona sungguh cerdik, tetapi kali ini nona cuma dapat menerka separuhnya," dia berkata. "Kejahatan Auwyang Hong itu sukar diterka dari bermula. Justru di saat suhu mengobati suhengku ini, justru kesegaran suhu belum kembali, dia datang melakukan penyerangan, maksudnya untuk membikin mati pada suhu...." "It Teng Supee demikian murah hati, apakah benar dia menyebabkannya permusuhan dengan Auwyang Hong?" Kwee Ceng menanya. Anak muda ini heran. "Engko kecil, pertanyaanmu ini tidak tepat," menyahut si pelajar. "Pertama-tama, si orang murah hati itu justrulah musuh daripada si orang jahat. Si orang jahat tak suka hidup bersama di dalam dunia dengan orang baik hati. Kedua, kalau Auwyang Hong hendak mencelakai orang, dia tentu tidak sudi memperhatikan orang itu bermusuhan dengannya atau tidak. Karena dia ketahui ilmu silat It Yang Cie dari suhu adalah penumpas dari ilmu silatnya, maka itu dia dapat menggunai seratus atau seribu akal keji untuk membinasakan guru kami." Kwee Ceng mengerti, ia menganggauk beberapa kali. "Habis, apakah supee telah kena dia bikin celaka?" ia menanya pula. "Setelah suhu melihat lukanya suheng, lantas suhu dapat menerka maksudnya Auwyang Hong," si pelajar menerangkan pula. "Malam itu juga suhu pindah tempat, dan Auwyang Hong tidak berdaya mencari. Karena tahu Auwyang ong tidak bakala berhenti sampai di situ, kami mencari tempat-tempat sampai kami mendapatkan ini tempat suci. Setelah suhu pulih kesehatannya, kami berempat mengusulkan suhu pergi mencari See Tek di Pek To San, guna membuat perhitungan dengannya, akan tetapi suhu berpendirian, kalau dapat mengalah baiklah dia mengalah terus dan kami dilarang pergi menerbitkan gara-gara. Demikianlah untuk belasan tahun kami tinggal dengan aman di tempat ini. Siapa tahu sekarang kamu berdua datang kemari! Kami cuma tahu kau murid-muridnya Kiu Cie Sin Kay, kami menduga kamu tidak bermaksud jahat, maka itu kami merintanginya setengah hati, coba kami berbuat nekat, tidak nanti kami membiarkan kamu masuk ke kuil kami. Sungguh di luar dugaan, toh akhir-akhirnya guru kami telah terkena juga tangan jahat kamu..." Setelah berkata begitu, mendadak muka si pelajar menjadi bengis pula, bahkan sambil berbangkit bangun, ia menghunus pedangnya, yang lalu berkilau berkeredepan. Melihat demikian, si tukang pancing, si tukang kayu, dan si petani, turut berbangkit juga sambil menghunus senjata mereka, lantas mereka mengambil sikap mengurung. "Ketika aku datang mencari supee untuk minta diobati, aku tidak tahu bahwa pengobatannya itu bakal menghabiskan kepandaiannya selama lima tahun," berkata Oey Yong. "Bahwa obatku itu ada racunnya, itu juga aku tidak tahu, sebab itu ada perbuatannya lain orang. Supee telah melepas budi padaku, meskipun kami tidak punya hati, tidak nanti kami membalas kebaikannya dengan kejahatan." "Kalau begitu," menegur si tukang pancing, "Kenapa selagi kesehatan guru kami belum pulih dan dia pun terkena racun, kamu mengajak musuh mendaki gunung ini?" Ditanya begitu, Oey Yong dan Kwee Ceng kaget bukan kepalang. "Tidak ada sama sekali!" mereka menyangkal. "Masih menyangkal!" membentak si tukang pancing. "Begitu suhu terkena racun, kita lantas menerima gelang kumala dari pihak musuh. Kalau memangnya kamu tidak bersekongkol mana bisa terjadi peristiwa begini kebetulan?" "Gelang kumala apa itu?" Oey Yong tanya. Ia benar tidak mengerti. "Hm, masih berlagak pilon!" si tukang pancing mengejek. Mendadak ia menggeraki dua tangannya, maka kedua pengayauhnya lantas menghajar muda-mudi di depannya. Kwee Ceng duduk berendeng sama Oey Yong, begitu ia melihat datangnya pengayuh, ia berlompat bangun, kedua tangannya bergerak - tangan kanan menyambar satu pengayauh, untuk segera dirampas, tangan yang lain menangkap pengayuh yang kedua, yang terus ia gentak. Si tukang pancing kaget dan tangannya kesakitan, pengayuhnya itu terpaksa dilepaskan. Selagi begitu, Kwee Ceng meneruskan menangkis garunya si petani, hingga kedua senjata bentrok keras dan lelatu apinya muncrat berhamburan. Setelah itu, lekas-lekas ia mengansurkan, menyerahkan pulang pengayuhnya si tukang pancing, hingga dia ini heran dan tercengang, tetapi cuma sebentar, setelah menyambuti itu, berbareng bersama kampaknya si tukang kayu, ia menyerang pula. Kwee Ceng sementara itu berlaku sangat sebat, begitu ia mundur, begitu ia menolak, menampak mana si pelajar yang mengenali ilmu silat Hang Liong Sip-pat Ciang, segera ia meneriaki kedua saudara seperguruannya: "Lekas mundur!" Si tukang pancing dan si tukang kayu adalah murid-muridnya seorang guru yang lihay, mereka menginsyafi bahaya dengan cepat mereka menarik pulang senjata mereka sambil mengundurkan diri juga. Tapi biar bagaimana mereka sebat, mereka masih kalah gesit, mereka tidak dihajar hanya senjata mereka yang disambar, untuk dirampas pula! "Sambut ini!" berkata Kwee Ceng, yang kembali mengembalikan senjata orang sekarang pengayuh dan garuh!" "Bagus!" si pelajar memuji sambil ia menikam dengan pedangnya ke iga kanan. Melihat datangnya tikaman itu, Kwee Ceng terperanjat. Sekarang terbukti, dari keempat murid orang itu, adalah si pelajar ini, yang gerak-geriknya halus, justru yang ilmu silatnya paling lihay. Maka ia tak mau berlaku alpa. Untuk dapat melindungi Oey Yong, yang tidak boleh mengeluarkan banyak tenaga, ia membela diri dengan gerakannya barisan Thian Kong Pak-tauw-tin dari Coan Cin Cit Cu. Mula-mula ia hanya mengurung diri, kemudian perlahan-lahan ia memperlebar kurungannya, maka keempat lawan itu terpaksa mundur sendirinya, sampai mereka terdesak ke tembok. Disaat ini, asal ia mau turun tangan, dapat si anak muda melukai mereka itu, atau salah satu diantaranya. Selama itu Kwee Ceng mempertahankan diri, antaranya ia tidak menambha tenaganya. Dengan begini ia membuatnya mereka dua pihak tidak kalah dan tidak menang. Si pelajar agaknya penasaran, mendadak ia mengubah ilmu pedangnya: kali ini pedangnya itu mengasih dengan sambaran angin mengaung. Ia menyerang ke empat penjuru, setiap kalinya dengan enam tusukan atau sabetan beruntun. Itulah ilmu pedang Ay Lao Kiam Hoat dari Ay Lao San di Inlam, yang semuanya terdiri dari tigapuluh enam jurus. Tapi terhadap si anak muda, ilmu pedangnya tak mempan. Tenang-tenang seperti biasa, dengan tangan kanan pemuda ini melayani pedang, dengan tangan kirinya ia menghalau setiap senjatanya si tukang pancing, si tukang kayu dan si petani. Disaat datangnya tusukan pedang yang ketigapuluh enam, Kwee Ceng menyambut itu dengan sentilannya jari tengah. Itulah dia ilmu silat Tan Cie Sin Thong dari Oey Yok Su, ilmu silat yang tak ada duanya, sebagaimana terbukti ketika dengan Ciu Pek Thong, ia main-main menyentil batu, sedang selama di Kwie-in-chung, dia telah memberi petunjuknya kepada Bwee Tiauw Hong, sementara Kwee Ceng telah melihatnya di Gu-kee-cun, di Lim-an, selama Tong Shia melayani Coan Cin Cit Cu. Memang ia belum mencapai kemahiran seperti Oey Yok Su tetapi ketika pedang si pelajar kena tersentil, pedang itu berbunyi nyaring dan mental. Si pelajar merasai tangannya sakit hampir terlepas cekalannya. "Tahan!" pelajar itu berseru sambil ia lompat mundur. Si tukang pancing sudah lantas menurut, semuanya mengundurkan diri, tetapi mereka sudah terdesak ke tembok, tidak ada ruang lagi untuk mundur, maka itu, si tukang pancing mundur ke pintu, si petani lompat di liang tembok yang gempur, sedang si tukang kayu, yang terus menyelip kampaknya di pinggang, bukan menyingkir, hanya sambil tertawa dia kata: "Aku telah membilangnya kedua tetamu kita tidak mengandung maksud jahat tetapi kamu tidak percaya!" Ia bicara sama ketiga saudara seperguruannya. Si pelajar menyimpan pedangnya, ia menjura kepada Kwee Ceng. "Kau baik hati, kau suka mengalah, engko kecil," katanya. "Terima kasih!" Kwee Ceng lekas-lekas berbangkit untuk membalas hormat. Hanya karena kata-kata si tukang kayu, ia heran, ia kata di dalam hatinya: "Kami memang tidak mengandung maksud buruk, mengapa mereka berempat mulanya tidak mempercayainya" Kenapa baru sekarang mereka percaya?" Oey Yong melihat paras kawannya itu, ia tahu apa yang orang pikir, maka ia membisik: "Jikalau kau memikir buruk, kau tentunya telah melukai mereka. Sekarang ini, sekalipun It Teng Supee bukanlah tandinganmu." Kwee Ceng pikir itu benar, ia mengangguk. Si pelajar berempat telah berkumpul pula di dalam kamar. "Sebenarnya siapa musuh dari It Teng Supee?" Oey Yong tanya. "Apa itu yang disebut gelang kumala?" "Menyesal," menyahut si pelajar. "Bukannya kami tidak suka menjelaskannya hanya Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo sebenarnya kami sendiri tidak tahu duduknya hal. Apa yang kami tahu ialah suhu dan orang itu ada mempunyai kepentingan." Oey Yong masih mau menanya ketika si petani berlompat bangun seraya berkata keras: "Ah, inilah berbahaya!" "Bahaya apa?" tanya si tukang pancing. Si petani menunjuk si pelajar, ia menyahuti: "Suhu, sedang kehabisan tenaga, sekarang dia menutur segala apa, kalau kedua tetamu kita ini bermaksud tidak baik, kita sendiri tidak sanggup mencegahnya, apakah kau kira suhu masih dapat ditolongi?" Mendengar kekhawatiran itu, si tukang kayu berkata: "Paduka conggoan pandai berpikir, mustahil hal ini dia tidak dapat memikirkannya" Kalau begitu, mana bisa dia menjadi perdana menteri dari negara Taili" Sebenarnya dia ketahui dari siang-siang bahwa kita bukan tandingannya tetapi toh dia bertindak juga, itulah ke satu untuk mencoba kepandaiannya kedua tetamu kita ini dan kedua untuk membikinnya kau percaya habis!" Si pelajar bersenyum. Si petani dan si tukang pancing mendelik kepada saudaranya, mereka kagum, separuhnya lagi menyesali. Ketika itu terdengar tindakan kaki orang, lalu muncul seorang kacung pendeta, yang lantas memberi hormat seraya berkata: "Suhu menitahkan suheng berempat mengantarkan tetamu pulang." Atas itu semua orang berbangkit. Tapi Kwee Ceng segera berkata: "Supee lagi menghadapi musuh, mana dapat kita lantas berlalu dari sini" Bukannya siuawtee tidak tahu diri tetapi ingin aku bekerja sama suheng berempat untuk mengusir dulu musuh itu." Si Tukang pancing berempat saling melirik, mereka memperlihatkan roman girang. "Nanti aku pergi dulu menanyakan suhu," kata si pelajar, yang lantas berlalu diikuti ketiga saudaranya. Tidak lama mereka kembali, kali ini lenyap roman mereka yang gembira. Si pelajar lantas berkata: "Suhu mengucap terima kasih atas kebaikan jiewi, tetapi suhu membilang juga, segala apa biar terserah kepada karma, biar orang berbuatnya sendiri-sendiri, dari itu orang luar tidak dapat campur tangan." Tapi Oey Yong memikir lain. "Engko Ceng, mari kita bicara sendiri dengan supee!" katanya. Kwee Ceng menurut. Ketika mereka sampai di kamar It Teng Taysu, pintu kamar dikunci, percuma mereka mengetuk-ngetuk dan memanggil-manggil, tidak ada suara jawaban. Sebenarnya pintu itu bisa digempur tetapi mereka tidak berani berbuat demikian. "Suhu tidak mau menemui kamu pula, jiewi," berkata si tukang kayu, yang air mukanya guram. "Karena gunung itu tinggi dan air yang panjang, baiklah lain kali kita bertemu pula." Oey Yong belum pikir apa-apa, atau Kwee Ceng mendapat satu pikiran, maka ia lantas berkata dengan nyaring: "Yong-jie, mari kita pergi! Bukankah supee tidak sudi menemui kita" Sebentar di bawah gunung, supee mengasih ijin taua tidak, kalau kita bertemu orang dan orang itu banyak rewel, kita hajar padanya!" Si nona yang cerdik lantas dapat menerka maksud engko Cengnya itu, ia pun lantas menyahuti dengan nyaring: "Kau benar engko Ceng! Umpama kata musuhnya supee sangat lihay, dan kita mati di tangannya, kita puas, hitung-hitung kita berdua sudah membalas budi supee!" Dua-dua suara itu keras, pasti suara itu dapat terdengar sampai di dalam, maka juga, ketika si muda-mudi baru jalan beberapa tindak, mendadak daun pintu dipentang lalu terdengar suara tajam dari seorang pendeta tua: "Taysu mengundang jiewi!" Kwee Ceng girang sekali, bersama Oey Yong, ia jalan berendeng masuk ke dalam kamarnya It Teng Taysu. Di sana si pendeta bersama si pendeta dari India, masih duduk bersila. Mereka lantas menghampirkan, untuk memberi hormat sambil berlutut. Ketika kemudian mereka mengangkat kepala, mereka mendapatkan It Teng Taysu bermuka pucat kuning, beda daripada waktu semula mereka melihatnya. Mereka jadi bersyukur berbareng berduka, hingga mereka tidak tahu mesti membilang apa. It Teng Taysu bersenyum. "Semua masuk!" ia kata kepada keempat muridnya, yang menanti di luar pintu. "Aku hendak bicara." Si pelajar berempat menghampirkan, lebih dulu mereka memberi hormat kepada guru mereka itu, juga kepada si pendeta dari India. Dia cuma mengangguk, lantas dia tunduk dan berdiam, kembali tidak memperdulikan semua orang. It Teng Taysu mengawasi asap yang bergulung naik, tangannya membuat main sebuah gelang kumala. Oey Yong melihat itu, katanya dalam hatinya: "Terang itu ada gelang orang perempuan, entah apa maksudnya musuh supee bolehnya mengirimkan ini?" Untuk beberapa detik, semua orang berdiam, kemudian baru terdengar It Teng Taysu menghela napas dan mengatakan: "Setiap hari dahar nasi, tetapi pernahkah memakannya sebutir beras?" Ia lantas menoleh kepada si muda-mudi untuk melanjuti: "Kamu berdua mulia hati, aku si pendeta tua menerima itu dengan baik. Mengenai urusan ini, jikalau aku tidak menjelaskan, aku khawatirkan murid-murid atau sahabat-sahabat dari kedua pihak nanti menerbitkan gelombang yang tidak diingini. Itulah bukannya kehendakku. Tahukah kamu siapa sebenarnya aku ini?" "Supee adalah kaisar dari Taili di Inlam," menyahut Oey Yong. "Supee satusatunya kaisar di Selatan yang kesohor sekali, siapa yang tidak tahu?" It Teng tersenyum. "Kaisar palsu, pendeta juga palsu," ia berkata. "Kau nona kecil, kau juga palsu....." Oey Yong tidak menginsyafi si pendeta, ia mengawasi pula. It Teng berkata pula, dengan perlahan: "Negara Taili kami, semenjak Sri Baginda Sin Seng Bun Bu Tee Thay-couw membangun pemerintahan, ialah di tahun Teng-yoe, itulah yang lebih dulu duapuluh tiga tahun dari berdirinya kerajaan Song oleh Song Thay-couw Tio Kong In. Setelah tujuh turunan, kerajaan diturunkan kepada Baginda Peng Gie. Setelah empat tahun memerintah, Baginda Peng Gie mengundurkan diri dari kerajaan dan masuk menjadi pendeta. Tahta diserahkan kepada keponakannya ialah Baginda Seng Tek. Kemudian tahta diturunkan terus kepada Baginda-baginda Hin Cong Hauw Pek, Poo Teng, Hian Cong Soan Jin serta ayahku, Ken Cong Ceng Kong. Semua baginda telah itu menjadi pendeta juga. Dari Thay-couw sampai pada aku, delapanbelas turunan, ada tujuh raja yang menjadi menyucikan diri." Si tukang pancing berempat ada orang Taili, mereka semua tahu hal ikhwalnya raja-raja mereka itu, cuma Kwee Ceng berdua dengan Oey Yong, yang heran, hingga mereka mau memikir, apa mungkin menjadi pendeta lebih senang daripada menjadi raja... It Teng Taysu melanjuti keterangannya: "Kamu tahu keluarga Toan kami, dengan berkah kebijaksaan, leluhur kami, telah berhasil menjadi sebuah keluarga kaisar di sebuah negara kecil si Selatan. Semua mereka merasa tanggung jawab itu besar, maka juga hati mereka tidak tenang, tidak berani mereka melakukan apa-apa yang melewati batas. Biarnya begitu, siapa yang menjadi raja, bukankah dia dapat dahar tanpa meluku, dapat berpakaian tanpa menenun" Bukankah kalau keluar dia naik kereta, dan kalau pulang memasuki istana" Bukankah semua itu asalnya dari keringat rakyat" Oleh karena itu semua, disaat usianya lanjut, mereka menginsyafi capai lelah rakyatnya itu, mereka merasa menyesal, maka diakhirnya mereka telah menjadi pendeta...." Selagi mengucap begitu, si pendeta ini memandang keluar, mulutnya memperlihatkan senyuman, tetapi pada alisnya, nampak roman kedukaannya. Maka itu, entahlah dia bergirang atau berduka. Enam orang itu mendengar dengan terus berdiam. It Teng Taysu mengangkat gelang kumalanya, ia masuki itu ke dalam jari telunjuk dari tangannya, ia putar itu beberapa kali. Kemudian ia meneruskan: "Aku sendiri, aku bukannya mengikuti kebiasaan leluhurku itu. Tentang aku, sebabsebabnya ada sangkut pautnya dengan urusan rapat ilmu pedang di gunung Hoa San, ketika lima jago saling berebutan kitab. Ketika tahun itu Tiong Yang Ong Cinjin dari Coan Cin Kauw memperoleh kitab, dilain tahunnya dia datang sendiri ke Taili, dia mewariskan ilmu silat It Yang Cie padaku. Setengah tahun dia berdiam di dalam istanaku, merundingkan tentang ilmu silat. Kita cocok satu dengan lain, sedang adik seperguruannya, Ciu Pek Thong, dia ini ternyata tidak betah duduk berdiam saja, dia lantas pergi putar-kayun di seluruh istana. Diluar dugaan, dia telah menerbitkan peristiwa." Mendengar itu Oey Yong berkata di dalam hatinya: "Kalau Loo Boan Tong tidak menerbitkan gara-gara, itu baru namanya heran!" It Teng Taysu menghela napas. "Sebenarnya biang peristiwa adalah apad diriku sendiri," dia berkata pula. "Aku adalah satu raja kecil, kerajaanku tidak dapat disamakan dengan kerajaan Song, meski begitu, aku mempunyai permaisuri dan sedikit selir. Ya, inilah dosa. Aku gemar ilmu silat, jarang aku mendekati orang perempuan, bahkan permaisuri, aku menemuinya beberapa hari sekali, maka itu bisa dimengerti, mana ada tempo akan menemui segala selir?" Berkata sampai di situ, It Teng memandang keempat muridnya. "Kamu tidak mengetahui tentang hal ini, sekarang biarlah kamu mendapat tahu juga," ia menambahkan. Mendengar ini, Oey Yong kata di dalam hatinya: "Benar-benar mereka tidak tahu, mereka jadinya tidak mendustakan aku." "Sekalian selirku melihat aku setiap hari berlatih silat, di antaranya ada yang ketarik hatinya dan minta diajarkan," It Teng Taysu mulai pula. "Aku suka mengajari mereka. Aku pikir, pelajaran itu ada baiknya, untuk mereka menjadi bertambah sehat dan panjang umur. Di antaranya adalah Lauw Kui-hui, yang bakatnya paling baik. Selir ini, begitu diajari, begitu dia bisa. Dia masih muda, dia rajin belajar, dia memperoleh kemajuan pesat. Dasar mau terjadi urusan. Pada suatu hari dia tengah berlatih di taman, dia terlihat Ciu Suheng. Ciu Suheng gemar silat, dia polos, dia tidak menghiraukan perbedaan di antara pria dan wanita, begitu melihat Lauw Kui-hui, dia mengajaknya main-main. Tentu sekali Lauw Kui-hui bukanlah tandingannya...." Oey Yong terkejut. "Tentulah Loo Boan Tong tidak mengenal kira dan dia melukai Kui-hui..." katanya perlahan. "Melukai, itulah tidak," It Teng Taysu memberitahu. "Baru dua tiga jurus, dia telah menotok hingga kui-hui roboh, lantas ia menanya, kui-hui takluk atau tidak. Pasti sekali Lauw Kui-hui menyerah kalah. Ciu Suheng puas sekali, setelah menotok bebas kepada kui-hui, ia lantas bicara banyak tentang ilmu totok. Memangnya kui-hui sangat ketarik sama kepandaian itu, padaku ia telah minta diajari berulang-ulang. Coba kamu pikir, ilmu kepandaian macam itu mana dapat diturunkan kepada kui-hui" Sekarang ada ketikanya, ia lantas minta Ciu Suheng mengajarinya." "Kalau begitu, niscaya Loo Boan Tong puas sekali," kata si nona. "Apakah kau kenal Ciu Suheng?" It Teng tanya. "Kamilah sahabat-sahabat erat!" si nona menyahuti tertawa. "Dia pernah tinggal sepuluh tahun lamanya di Tho Hoa To, belum pernah dia pergi satu tindak juga!" "Dia dapat berdiam begitu lama sedang sifat dia tak suka diam?" "Sebab dia dipenjarakan ayah!" sahut si nona tertawa. "Baru belakangan ini dia dimerdekan!" It Teng mengangguk. "Begitu?" katanya. "Apa sekarang dia baik?" "Dia baik hanya tabiatnya makin tua makin jadi!" It Teng bersenyum. Kembali ia meneruskan: "Sebenarnya ilmu totok itu tidak dapat diajari kecuali ayah dengan anak gadisnya, ibu dengan putranya dan suami-istri. Biasanya guru lelaki tidak menurunkan kepada murid perempuannya dan guru perempuan tidak kepada murid laki-lakinya..." "Kenapa begitu supee?" "Itulah sebab lam lie siu siu put cin," menjawab It teng. "Pria dan wanita, tidak dapat bersentuh tangan. Coba pikir tanpa meraba jalan darah di seluruh tubuh, mana bisa ilmu itu diajari sempurna?" "Bukankah supee telah menotok sekujur tubuhku?" si nona tanya. Si tukang pancing dan petani sebal nona ini main potong cerita orang, mereka mengawasi nona itu dengan mata mendelik. Oey Yong melihat itu, ia balik mendeliki mereka, bahkan dia menegur: "Kenapa" Tak dapatkah aku bertanya?" It Teng tersenyum. "Dapat, dapat!" katanya lekas. "Kaulah satu bocah, jiwamu pun sangat perlu ditolong, kau mesti dipandang dari jurusan lain." "Baiklah, bagaimana selanjutnya?" "Selanjutnya yang satu mengajari, yang lain mempelajari," It Teng melanjuti ceritanya itu. "Ciu Suheng sedang gagahnya, Lauw Kui-hui sedang mudanya, tubuh mereka beradu tak hentinya, hari ketemu hari, tanpa merasa, hati mereka berubah, hingga akhirnya mereka mengacau sampai tidak dapat diurus lagi...." Oey Yong mau menanya atau mendadak ia dapat menahan hatinya. Ia pun segera mendengar kelanjutannya cerita: "Lantas ada orang yang memberi laporan padaku. Sebenarnya aku mendongkol, tetapi aku masih memandang Ong Cinjin, aku berpurapura pilon. Adalah belakangan hari, hal itu dapat diketahui oelh Ong Cinjin." "Urusan apakah sampai tak dapat diurus lagi" tanya Oey Yong akhirnya. Ia polos, ia tidak menyangka jelek. It Teng ragu-ragu sedikit. Rupanya sulit ia mencari kata-kata. "Mereka itu bukan suami-istri tetapi kenyataannya mereka mirip suami-istri," sahutnya kemudian. "Ah, aku tahu sekarang!" kata si nona. "Loo Boan Tong dan Lauw Kui-hui itu kemudian melahirkan anak?" "Itulah bukannya," berkata It Teng. "Mereka baru berkenalan kira sepuluh hari, mana bisa mereka mendapat anak" Ketika Ong Cinjin mendapat tahu itu, dia ringkus Ciu Suheng dan dihadapkan kepadaku, dia menyerahkannya untuk aku memberi hukuman. Kami kaum persilatan, kami menghargai kehormatan dan persahabatan lebih tinggi daripada urusan orang perempuan, maka aku lantas membebaskan Ciu Suheng, lantas aku memanggil Lauw Kui-hui, di situ aku menitahkan mereka menjadi suamiistri. Ciu Suheng menampik, dia mengatakan dia tidak tahu bahwa itulah perbuatan salah, bahwa kalau ia tahu itu perbuatan tidak bagus, dibunuh juga tidak nanti dia melakukannya. Dia keras menolak menikah dengan Lauw Kui-hui. Ong Cinjin menjadi masgul sekali. Dia kata kalau dia memang tidak tahu Ciu Suheng itu manusia tolol dan tak tahu selatan, tentulah dia telah membunuhnya." Oey Yong mengulur lidahnya keluar. "Sungguh Loo Boan Tong, dia menghadapi bahaya!" katanya. "Penampikannya itu membuat aku mendongkol," berkata It Teng, yang meneruskan ceritanya. "Dengan tandas aku kata kepadanya: ' Ciu Suheng, dengan ikhlas aku menyerahkan kui-hui padamu! Apakah kau menyangka aku mengandung maksud lain" Bukankah semenjak dulu ada dibilang, saudara ialah tangan dan kaki dan istri itu pakaian" Apakah artinya seorang perempuan?" "Ah, eh, supee, kau memandang enteng perempuan?" Oey Yong memotong. "Kata-kata supee mirip sama ngaco-belo!" Si petani menjadi gusar. "Tak dapatkah kau tidak memotong"!" dia tanya bengis. "Supee omong tidak tepat, itulah mesti dibantah!" berkata si nona membelar. Keempat murid itu melongo. Bagaimana mereka menghormati guru mereka, maka bagaimana "kurang ajarnya" bocah wanita ini. It Teng sabar luar biasa, dia tidak menggusari si nona. Dia meneruskan perkataannya: "Mendengar perkataanku itu, Ciu Suheng menggeleng kepala. Maka aku menjadi tambah gusar. Aku tanya padanya: 'Jikalau kau mencintai dia, kenapa sekarang kau menampik" Jikalau kau memang tidak mencintai, kenapa kau lakukan perbuatanmu itu" Negeriku memang negeri kecil, tetapi tidak nanti aku menginjinkan kau menghina kami!' Mendengar itu Ciu Suheng menjublak sekian lama, akhirnya ia menjatuhkan diri berlutut di depanku, mengangguk beberapa kali lalu berkata: 'Toan Hongya, aku salah! Aku pergi sekarang!' Aku tidak menyangka akan putusannya ini, aku tercengang karenanya. Dia lantas mengeluarkan sehelai sapu tangan sutra dari sakunya, dia berikan itu kepada Lauw Kui-hui seraya berkata: 'Ini aku pulangi padamu!' Lauw Kui-hui tahu orang bersusah hati, ia tertawa sedih. Dia tidak menyambuti sapu tangan itu, maka sapu tangan itu jatuh di dekat kakiku. Ciu Suheng tidak membilang apa-apa lagi, dia terus berlalu. Sejak itu sudah berselang puluhan tahun lebih, tentang dia aku tidak mendengar apa-apa lagi. Ong Cinjin menghanturkan maaf berulang-ulang kepadaku, habis itu ia pun berlalu, sampai kemudian aku mendengarnya ia telah meninggal dunia. Dia berhati mulia tidak ada tandingannya, sayang...." "Di dalam ilmu silat, mungkin Ong Cinjin lebih lihay daripada kau, supee," berkata Oey Yong. "Tetapi bicara tentang hati mulia, dia tidak bisa melawan supee sendiri. Habis bagaimana dengan sapu tangan sulam itu?" Si pelajar berempat tidak puas si nona mengingat selalu sapu tangan itu. Tapi guru mereka berbicara terus: "Aku melihat Lauw Kui-hui menjublak saja, seperti yang ditinggalkan arawahnya, aku jadi mendongkol. Aku menjumput sapu tangan itu. Di situ aku menampak sulaman sepasang burung wanyoh memain di air. Hm, tidak salah lagi, itulah barang Lauw Kui-hui untuk kekasihnya. Aku tertawa dingin. Lantas aku membalik sapu tangan itu. Kiranya di situ ada sebaris syairnya..." Oey Yong sangat tertarik hingga ia lantas menanya: "Apakah itu berbunyi........' Empat buah perkakas tenun.... maka tenunan burung wanyoh bakal terbang Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo berpasangan..." Si petani habis sabarnya, dia membentak: "Kami sendiri tidak tahu, bagaimana kau ketahui itu" Ha, kau ngaco saja. kau main potong tak hentinya!" Tetapi It Teng Taysu sendiri tidak gusar, ia menghela napas. "Benar begitu," sahutnya. "Kau juga ketahui itu?" Bab 64. Asmara di dalam keratin Bab ke-64 cersil Memanah Burung Rajawali. Mendengar suara guru mereka, keempat murid itu tercengang. Kwee Ceng berlompat seraya berseru: "Aku ingat sekarang! Ketika malam itu Oey Tocu meniup seruling, Ciu Toako tak kuat menahan hatinya, kemudian aku mendengar ia membacakan syairnya itu. Ialah: 'Empat buah perkakas tenun....maka tenunan burung wanyoh bakal terbang berpasangan....sayang, belum lagi tua tetapi kepala sudah putih....Gelombang musim semi, rumput hijau, di musim dingin, di dalam tempat tersembunyi, saling berhadapan baju merah...!" Ia menepuk paha kanannya, ia kata pula: "Tidak salah! Ketika itu aku heran sekali. Di dalam segala-gala, Ciu Toako lebih menang daripada aku tetapi selagi aku tidak terganggu serulingnya Oey Ytocu, ia sendiri kelabakan, tak kuat ia mempertahankan diri, tak tahunya ia dapat mengingat peristiwa lama itu hingga pemusatan pikirannya menjadi kacau. Pantaslah ia mencaci orang perempuan! Kau tahu, Yong-jie, dia sampai menasehati aku untuk aku jangan baik dengan kau..." "Hm, Loo Boan Tong!" kata si nona mendongkol. "Lihat kalau nanti aku bertemu dengannya, akan aku jewer kupingnya!" Mendadak ia tertawa dan menambahkan: "Ketika di Lim-an aku telah menggodai dia, aku telah mengatakan tidak ada wanita yang akan sudi menikah padanya, agaknya dia mendongkol, rupanya itu pun disebabkan peristiwa itu." "Ketika aku mendengar Eng Kouw membacakan itu, aku seperti telah pernah mendengarnya," kata pula Kwee Ceng, "Hanya itu waktu, biar bagaimana aku memikirkannya, tidak juga aku ingat. Eh, Yong-jie, mengapa Eng Kouw pun mengetahui syair itu?" Ditanya begitu, di nona menghela napas. "Karena Eng Kouw ialah Kui-hui," sahutnya. Di antara tukang pancing berempat, adalah si pelajar yang sudah menduga lima atau enam bagian, maka juga tiga yang lainnya menjadi heran, semua mengawasi guru mereka. "Kau sangat pintar, Nona," kata It Teng dengan perlahan, "Tidak kecewa kau menjadi putrinya saudara Yok. Lauw Kui-hui itu mempunyai nama kecil, ialah Eng. Aku pun mulanya tidak mengetahui itu. Itu waktu aku setelah melemparkan sapu tangan kepadanya, lantas aku tidak melihat pula padanya. Karena aku berduka sekali, aku tidak memperdulikan lagi urusan negara, aku menungkuli diri dengan setiap hari melatih ilmu silat." "Supee, itu waktu di dalam hatimu kau sangat mencintai dia," kata Oey Yong. "Kau tapinya tidak mengetahui. Kalau tidak, tidak nanti kau menjadi tidak gembira..." "Nona," berkata si pelajar berempat. Mereka ini tidak senang nona ini berani bicara demikian macam terhadap guru mereka. "Apa" Apakah aku salah omong?" Oey Yong balik menanya. "Supee, salahkah aku?" Air mukanya It Teng Taysu suram. Ia berkata: "Selama itu lebih dari setengah tahun tidak pernah aku panggil Lauw Kui-hui datang menghadap, tetapi di dalam impian, sering aku bertemu dengannya. Demikian pada suatu malam, habis memimpikan dia, tidak dapat aku melawan niat hatiku, aku mengambil keputusan untuk melihat padanya. Aku tidak memberitahukan niatku pada thaykam atau dayang, aku pergi sendirian dengan diam-diam. Aku ingin menyaksikan apa yang dia kerjakan. Ketika aku tiba di wuwungan kamarnya, aku mendengar suara anak kecil menangis keluar dari kamarnya itu. Ah....! Malam itu es turun banyak dan angin pun dingin sekali, tetapi di atas genting itu aku berdiri lama sekali, sampai fajar, barulah aku kembali ke kamarku. Habis itu aku mendapat sakit berat." Oey Yong heran. Seorang raja, dan di tengah malam buta rata, untuk selirnya, telah mesti menyiksa diri secara begitu. Sekarang barulah keempat murid itu ketahui kenapa guru mereka - ketika itu ialah junjungan mereka - yang tubuhnya demikian tangguh, telah mendapat sakit yang berat begitu. "Lauw Kui-hui telah mendapat anak, tidakkah itu bagus?" Oey Yong tanya pula. "Supee, kenapa kau tidak menjadi gembira?" "Anak tolol, anak itu ialah anaknya Ciu Suheng." "Ciu Suheng pun telah pergi sedari siang-siang, apakah dia telah datang pula secara diam-diam menemui kui-hui?" "Tidak. Apakah kau belum pernah dengar orang menyebutnya kandungan sembilan bulan?" Si nona agaknya sadar. "Ah, aku mengerti sekarang!" katanya. "Pasti anak itu terlahir mirip Loo Boan Tong, kupingnya lebar dan hidungnya mancung, kalau tidak, mana kau ketahui dialah anaknya Loo Boan Tong!" "Itulah bukannya. Sudah satu tahun lebih aku tidak mendekati kui-hui, maka anak itu pasti bukan anakku." Oey Yong berdiam, urusan itu gelap untuknya. "Aku jatuh sakit hingga setengah tahun lebih," kata It Teng kemudian. "Setelah sembuh, aku tidak suka memikirkan pula urusan itu. Kemudian lewat dua tahun lebih, pada suatu malam, selagi aku bersemedhi di dalam kamarku, mendadak Lauw Kui-hui datang, dia menyingkap gorden dan nerobos masuk. Thaykam dan dua siewi yang menjaga di luar mencegah, tetapi mereka kena dihajar. Ketika aku menoleh, aku melihat kui-hui menggendong anaknya itu. Aku mendapatkan dia bermuka pucat, dengan lantas dia bertekuk lutut di depanku dan menangis mengerung-gerung, sambil mengangguk-angguk, dia kata: 'Aku mohon belas kasihan Hongya, supaya anak ini dikasih ampun.' "Aku berbangkit, akan melihat anak itu. Dia bermuka merah, napasnya memburu. Ketika aku menggendong dan memeriksa, aku mendapatkan tulang iganya patah lima biji. Kui-hui masih menangis, dia kata: 'Hongya, aku bersalah, aku harus mati, tetapi aku mohon anak ini diberi ampun.' Aku tanya, anak itu kenapa. Dia mengangguk-angguk terus, dia tidak menjawab aku hanya tetap memohon aku mengampuni anak itu. 'Mohon hongya mengampuni dia,' katanya ketika aku menanya pula, hingga aku menjadi heran sekali. 'Kalau hongya menghendaki kematianku, aku tidak penasaran, hanya ini anak, ini anak...' "Siapa yang menghadiahkan kematian padamu"! Aku tanya pula. Sebenarnya kenapa anak ini terluka?" "Kui-hui mengangkat kepalanya, ia mengawasi aku. 'Apakah bukan hongya yang menitahkan siewi untuk menghajar mati anak ini"' Dia tanya. Aku menjadi heran. Mesti ada apa-apa pada kejadian itu. 'Jadi dia dilukai oleh siewi"' Aku tanya. 'Budak mana yang begitu bernyali besar"' Dia terkejut. 'Oh, jadi bukannya hongya yang menitahkan" Kalau begitu, anak ini bakal ketolongan...!' Habis berkata begitu, dia pingsan." "Aku heran sekali, aku pun merasa kasihan melihat keadaannya kui-hui itu. Aku mengangkat dia bangun, direbahkan di pembaringan. Selama sekian lama, baru dia sadar. Dia lantas menangis, sembari dia menuturkan duduknya kejadian. Katanya dia lagi menepuk-nepuk anaknya untuk ditiduri, mendadak dari luar jendela berlompat masuk satu orang, ialah satu siewi yang mukanya bertopeng, anaknya itu lantas dirampas dan diangkat, dihajar punggungnya. Kui-hui kaget, dia mencegah. Siewi itu menolak Kui-hui, lagi sekali dia menghajar anak itu, kemudian dia tertawa dan berlompat pergi. Kui-hui tidak mengejar, ke satu siewi itu kosen sekali, kedua dia menyangka siewi itu diperintah olehku. Itu pun sebabnya kuihui lantas membawa anaknya itu datang padaku, untuk minta ampun. Aku menjadi semakin heran. Aku memeriksa teliti anak itu, aku tidak mendapat tahu dia terlukan pukulan ilmu silat apa. Aku mendapatkan, ada otot anak itu yang putus. Aku lantas pergi ke kui-hui, untuk melakukan pemeriksaan, sebab aku percaya si penjahat bukan sembarang orang. Kemudian di atas genteng, aku melihat tapak kai. Aku lantas kata pada Kui-hui: 'Penjahat itu lihay sekali, terutama ilmu enteng tubuhnya. Di dalam negeri Taili ini, kecuali aku, tidak ada orang yang kedua yang lihay sebagai dia.' Kui-hui menjadi kaget, dia berkata: 'Mustahilkah dia" Perlu apa dia membinasakan anaknya sendiri"' Berkata begitu, mukanya menjadi pucat seperti muka mayat." Oey Yong terkejut. "Tidak nanti Loo Boan Tong berbuat demikan..." katanya perlahan. "Ketika itu aku justru menduga pada Ciu Suheng," berkata It Teng Taysu. "Kecuali dia, tidak ada orang yang segagah dia. Aku pun menduga, mungkin dia berbuat begitu sebab dia tidak mempunyai anak itu, yang bakal membuat dia malu. Ketika kui-hui mendengar dugaanku itu, dia malu dan cemas, ia kaget. Mendadak ia berkata: 'Tidak, pasti bukan dianya! Suara tertawanya orang itu bukan suara dia.' Aku berkata: 'Kau sedang kaget dan ketakutan, mungkin kau kurang jelas"' Tapi ia berkeras, ia kata: 'Suara tertawanya orang itu aku akan ingat buat selama-lamanya, meski aku menjadi setan, tidak nanti aku lupa! Bukan, bukannya dia!" Mendengar itu, semua orang menggigil sendirinya tanpa merasa. Kwee Ceng dan Oey Yong lantas membayangi roman Eng Kouw ketika nyonya itu menggertak gigi. "Mendengar perkataannya Kui-hui, aku jadi percaya," It Teng bercerita pula. "Hanya aku tidak bisa menerka si penjahat. Dia begitu kosen, kenapa dia hendak membinasakan seorang anak kecil" Aku sampai menduga kepada murid-muridnya Cinjin umpama Ma Giok, Khu Cie Kee dan lainnya. Mungkin mereka hendak melindungi nama baik partai mereka maka mereka melakukan perjalana jauh guna melakukan pembunuhan itu..." Kwee Ceng hendak membuka mulutnya atau ia mengurungkan niatnya itu. Ia tidak seberani Oey Yong, yang tak takut memotong pembicaraan orang suci itu. "Kau hendak membilang apa?" It Teng Taysu menanya kapan ia melihat orang batal bicara. "Ma Totiang, Khu Totiang dan lainnya itu adalah orang-orang suci dan gagah, tidak nanti mereka melakukan perbuatan serendah itu," Kwee Ceng bilang. "Ong Cie It itu pernah aku menemuinya di Hoa San, dia memang seorang laki-laki," kata It Teng, "Tentang yang lainnya, aku tidak tahu. Memang kalau benar mereka, dengan satu hajaran saja mereka dapat membinasakan anak itu, maka kenapa mereka menghajar hanya setengah mati?" Sembari berbicara, pendeta ini sembari berpikir. Sudah belasan tahun, ia masih belum dapat memecahkan keragu-raguannya itu. Ruang itu menjadi sunyai sekali. "Baiklah, nanti aku menuruskan terus," katanya kemudian. "Tiba-tiba Oey Yong berlompat. "Tidak salah lagi, dia pastilah Auwyang Hong!" katanya. "Belakangan aku juga pernah menduga dia," kata It Teng, "Hanya kemudian aku berpikir juga, mustahil juga yang berada jauh di wilayah Barat, sedang dia juga bertubuh tinggi dan besar. Menurut Kui-hui, si orang jahat ada terlebih kate dan kecil dari kebanyakan orang." "Benar-benar heran," kata si nona. "Ketika itu aku sangsi memikirkan anak itu," It Teng berkata pula. "Dia terlukkan tak lebih hebat daripada lukamu, nona, hanya dia masih kecil sekali, tubuhnya sangat lemah, maka untuk mengobati dia, aku mesti mengorbankan tenaga dalamku. Aku jadi bersangsi sebab aku tahu, di dalam rapat kedua di gunung Hoa San nanti, pasti aku tidak dapat turut mengambil bagian. Bebeapa kali aku hendak menampik, aku gagal. Aku gagal. Aku kasihan melihat kui-hui yang menangis saja. Ah, benarlah kata Ong Cinjin bahwa kitab itu bisa mendatangkan kegaduhan dan mencelakai banyak orang. Buktinya aku sendiri, karena memikirkan kitab itu, aku menjadi lain dari biasanya. Lama aku berpikir, baru aku mengambil keputusan untuk mengobati anak itu. Selama aku berpikir itu, aku merasa akulah seorang hina dina mirip seekor binatang. Aku pun masih tidak dapat mengubah kelakukanku meskipun aku sudah mengambil keputusan itu, aku menganggapnya aku menolong lantaran tidak bisa menolak permohonan sangat dari Lauw Kui-hui." "Supee, aku membilang kau sangat mencintai dia, sedikitpun aku tidak salah," berkata Oey Yong. It Teng seperti tidak mendengar perkataan si nona, dia terus berkata: "Ketika Kui-hui mendengar jawabanku, dia girang sampai dia pingsan. Lebih dulu aku uruti dia, untuk menyadarkannya, baru aku menolongi anaknya itu. Aku menguruti bocah itu dengan Sian Thian Kang. Ketika aku membuka otonya, aku terkejut. Oto itu memakai sulaman sepasang burung wanyoh serta syairnya itu. Oto itu terbuat dari sapu tangan yang Ciu Suheng dulu hari melemparkannya kepadanya. Selagi aku terbengong, Kui-hui rupanya melihat sikapku itu. Maka ia menggertak gigi, ia mengeluarkan pisau belati, yang ia tujukan ke dadanya. Ia kata: 'Hongya, aku tidak ingin pula di dunia ini, maka itu aku memohon belas kasihanmu, kau tolongilah anak ini. Aku menukar dia dengan jiwaku, nanti di lain dunia, aku akan menjadi anjing dan kuda guna membalas budimu ini.' Ia lantas menikan dadanya." Semua orang terkejut, meski mereka tahu Lauw Kui-hui toh masih hidup. Itulah sebab hebatnya suasana yang diciptakan penuturannya It Teng Taysu. Pendeta ini bercerita terus, tapi sekarang dia seperti berbicara seorang diri. Ia kata: "Segera aku mencegah perbuatan Kui-hui dengan merampas pisau belatinya itu. Aku berlaku cepat tetapi toh dadanya tergores juga hingga dia mengucurkan darah. Karena aku khawatir dia nanti mencoba membunuh diri lagi, aku totok jalan darah di tangan dan kakinya hingga dia tak bisa bergerak. Habis membalut lukanya, aku aksih dia duduk di kursi, untuk beristirahat. Dia tidak membilang apa-apa, dia cuma mengawasi aku, matanya menunjuki kedukaan yang sangat. Aku pun berdiam saja. Maka di situ cuma terdengar suara napasnya si anak kecil, napas yang mendesak. Mendengar napas bocah itu, aku jadi ingat segala kejadian yang berlalu. Aku ingat bagaimana mulanya dia masuk ke istana, bagaimana aku mengajari dia silat. Aku menyayangi padanya dan dia selalu menghormati aku, dai agak jeri, dengan teliti dia merawat aku, belum pernah dia membantah, hanya bahwa dia tidak pernah mencintai aku, inilah aku tidak tahu, baru aku menginsyafinya setelah datang hari yang dia jatuh hati kepada Ciu Suheng. Demikian sifatnya kalau seorang wanita mencintai seorang pria. Dia bengong mengawasi sapu tangannya itu, dia bengong mengawasi Ciu Suheng berlalu untuk selamanya. Sinar matanya itu membuat aku tidak tentram tidur dan tidak bernapsu dahar. Sekarang aku melihat pula sinar matanya itu, sekarang disaat dari hancurnya hatinya pula. Cuma sekarang bukan untuk kekasihnya, hanya untuk anaknya." It Teng berdiam sejenak. "Seorang laki-laki diperhina demikian, tidak dapat apapula aku, seorang raja! Maka itu, mengingat demikian, hatiku menjadi panas. Dengan tiba-tiba aku menendang bangku gadis di depanku hingga bangku itu rusak. Ketika aku kemudian menoleh pada kui-hui, aku terkejut, aku melengak: 'Eh, rambut...rambutmu itu kenapa' Aku tanya dia. Dia seperti tidak mendengar perkataanku, dia terus mengawasi anaknya. Dulu-dulu aku tidak mengerti orang mempunyai sinar mata demikian itu, baru sekarang aku menginsyafinya. Berapa besar dia harus dikasihani. Dia rupanya telah mengerti yang aku tidak sudi menolongi anaknya itu, maka selama dia masih hidup, ingin dia memandang anaknya itu, makin lama makin baik. Aku mengambil kaca, aku bawa itu kepadanya. 'Lihat rambutmu,' aku kata padanya. Dalam tempo yang sangat pendek itu, dia seperti menjadi lebih tua beberapa puluh tahun, sedang dia sebenarnya baru berumur sembilanbelas tahun. Disebabkan kaget, takut, berduka, menyesal, penasaran, putus harapan, mendadak rambutnya itu berubah menjadi uban!" "Dia tidak memperhatikan sedikit juga roman atau rambutnya itu. Dia menyangka aku pakai kaca untuk menghalangi dia mengawasi anaknya itu. Dia kata padaku: 'Angkat kaca itu!' Dia bicara tegas sekali, dia seperti lupa akulah raja, ialah junjungannya. Aku menjadi heran. Aku tahu biasanya dia sangat menyayangi paras mukanya. Aku menyingkirkan kaca itu, maka terus dia mengawasi anaknya itu. Ah, kalau dia ada seribu arwahnya, tentulah dia serahkan semua itu kepada anaknya, asal anaknya itu hidup. Aku mengerti bagaimana perasaannya itu. Dia ingin mati untuk anaknya itu." Kwee Ceng dan Oey Yong saling mengawasi. Di dalam hatinya, mereka saling mengatakan: "Kalau aku pun menampak kesukaran seperti itu, apakah kau juga dapat mengawasi aku demikian rupa?" Tanpa merasa mereka saling menyodorkan tangan, untuk saling memegang erat-erat, hati mereka berdenyutan, tubuh mereka dirasai hangat. "Sebenarnya aku merasa tidak tega," It Teng kemudian melanjuti ceritanya, "Aku berniat menolongi anak itu, apa mau, sapu tangan itu tetap berada di dadanya. Itulah sulaman sepasang burung wanyoh, yang saling menyenderkan leher mereka. Kepala burung itu putih. Itulah lambang untuk hidup bersama hingga di hari tua. Maka kenapakah, sebelum tua tetapi rambut sudah putih terlebih dulu" Maka melihat rambut putihnya itu, dengan sendirinya aku mengeluarkan keringat dingin. Mendadak hatiku menjadi keras. Aku kata padanya: 'Baiklah, kamu boleh menjadi tua bersama, biarlah aku bersia-sia sendiri di dalam istana sunyi ini sebagai kaisar! Dialah anak kamu berdua, kenapa aku mesti mengorbankan diri untuk menolong menghidupi dia"' Dia memandang aku. Itulah pandangannya yang terakhir. Pada mata itu terdapat sinar kedukaan, penasaran, bermusuhan. Semenjak itu, dia tidak pernah melihat aku lagi. Sebaliknya aku, tidak dapat melupakan sinar matanya itu. Dia kata dengan dingin: 'Kau lepaskan aku, aku hendak menggendong anakku!' Perkataannya itu mirip titah, membuatnya orang susah membantahnya. Maka aku membebaskan dia dari totokan. Dia menggendong anaknya itu. Anak itu pasti Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo terluka sangat parah hingga tidak dapat ia menangis, mukanya bersinar gelap, matanya mengawasi ibunya, mungin ia minta ditolongi. Aku sendiri sejenak itu, aku tidak mempunyai rasa kasihan sedikit juga. Aku hanya melihat, rambut hitamnnya berubah menjadi putih. Mungkin itulah perasaan belaka. Lalu aku mendengar dia berkata halus pada anaknya: 'Anak, ibumu tidak mempunyai kepandaian untuk menolongi kau, ibumu tidak dapat membiarkan kau tersiksa lebih lama, maka, anak kau tidurlah biar nyenyak......Tidur, anak tidur, untuk selamalamanya jangan kau mendusin pula!' Aku mendengar dia bernyanyi perlahan, menyanyikan lagu mengeloni anak tidur. Sedap nyanyian itu.... Ya, begini, nah kau dengarlah!" Orang heran. Si pendeta mengatakan demikian tetapi di situ tidak ada nyanyian. Mereka saling mengawasi, mereka terkejut. "Suhu!" kata si pelajar. "Kau telah berbicara terlalu banyak, kau lelah, baiklah kau beristirahat." It Teng seperti tidak mendengar. Dia berkata pula: "Anak itu tersenyum. Hanya sejenak, saking sakitnya, dia bergelisah. Lantas ibunya berkata pula padanya, halus sekali: 'Jantung hatiku, kau tidurlah, nanti lenyap semua rasa sakitmu, sedikit juga tidak sakit lagi....' Sekonyong-konyong terdengar suara menumblas dan pisau belati itu telah nancap di dada anaknya!" Oey Yong kaget hingga ia menjerit, kedua tangannya memeluk lengan Kwee Ceng. Si pelajar berempat pun kaget tidak terhingga, muka mereka menjadi pucat. Hebat penuturannya It Teng Taysu itu, yang sebaliknya berbicara terus: "Aku kaget, kau terhuyung, terus aku jatuh ke lantai. Dalam keadaan lapat-lapat aku tidak tahu memikir apa. Aku hanya ingat dia berbangkit dengan perlahan-lahan, dengan perlahan dia kata: 'Akhirnya akan ada satu hari yang aku, dengan pisau belatiku ini, nanti menumblas ulu hatim.' Dia menunjuk pada gelang kumala di tangannya, dia kata pula: 'Inilah gelang yang di hari aku masuk ke istana kau memberikannya kepadaku. Kau tunggu saja, di hari yang gelang kumala ini aku kembalikan padamu, maka itu hari juga pisau belati ini akan turut datang." Sambil berkata begitu, It Teng memutar gelang itu di jari tangannya. Ia bersenyum. "Inilah gelang kumala itu," katanya. "Aku telah menantikan belasan tahun ini hari tibalah harinya itu!" "Supee, dia membunuh sendiri anaknya, ada pula sangkutannya itu dengan kau?" Oey Yong tanya, "Pula dia telah mencelakai kau dengan racun, maka meskipun ada permusuhan dulu hari itu, bukankah itu sudah impas" Biarlah, sebentar di kaki gunung, akan kami menyuruh dia pergi, supaya dia jangan datang mengganggu pula..." Tepat selagi si nona berkata itu, satu kacung hweeshio datang masuk. "Suhu," katanya, "Di kaki gunung ada lagi yang mengantarkan ini..." Dengan kedua tangannya, kacung itu menyerahkan sebuah bungkusan kecil. It Teng menyambuti, untuk terus dibuka. Untuk kagetnya semua orang, hingga mereka berseru. Itulah sehelai oto bersulamkan burung wanyoh, sulaman burungnya hidup sekali, cuma suteranya sudah berubah kuning. Di antara kedua ekor burung itu ada satu liang bekas tusukan pisau, di samping liang ada bagian yang hitam, sisa darah. It Teng meletaki oto itu di lantai, ia bengong mengawasi. Sekian lama ia berdiam, romannya berduka, lalu dia berkata: "Inilah sulaman burung wanyoh yang mau terbang berpasangan. Hm, mau terbang berpasangan, tetapi akhirnya menjadi impian belaka. Dia menggendong anaknya, dia berlompat keluar jendela, sembari berlalu dia tertawa keras dan lama. Setibanya di luar, dia lompat ke atas genting, sekejap saja dia lenyap. Aku menjadi tidak dahar dan tidak minum, tiga hari tiga malam aku memikirkannya. Diakhirnya aku sadar, maka itu aku mewariskan mahkota kepada anakku yang sulung, aku sendiri lantas masuk menjadi pendeta." Dia menunjuk empat muridnya, akan menambahkan: "Mereka ini lama telah mengikuti aku, mereka tidak suka berpisahan, maka mereka turut aku pergi ke Inlam Barat, ke kuil Liong Coan Sie. Mulanya selama tiga tahun pertama, mereka membantu putraku memerintah. Mereka membantu dengan bergiliran. Kemudian setelah putraku sudah mengerti tugasnya, dan justru telah terjadi itu peristiwa di Tay Soat San, di mana Auwyang Hong melukai muridku ini, kita lantas pindah ke mari. Sejak itu kita tidak pernah kembali ke Taili. Hatiku keras, aku tidak suka menolong anak itu, maka itu selanjutnya, sampai belasan tahun hingga sekarang ini, siang dan malam, aku merasa hatiku tidak tenang. Aku memikir untuk lebih banyak menolongi orang, guna menebus dosaku yang besar itu. Mereka ini tidak mengerti kesengsaraan hatiku, mereka selalu mencegah. Ah, taruh kata aku dapat menolong selaksa jiwa, anak itu toh tetap mati. Kalau bukan aku membayarnya dengan nyawaku sendiri, mana dosa itu dapat ditebus" Maka setiap hari aku menanti-nanti kabar dari Eng Kouw, menanti dia membawa pisau belatinya untuk menumblas dadaku. Aku tadinya berkhawatir dia tidak keburu datang, nanti aku mati terlebih dulu,kalau begitu, hebat untukku. Tapi bagus, sekarang temponya telah tiba, harapanku bakal terkabul. Ah, sebenarnya buat apa dia menaruh racun di dalam obat Kiu Hoa Giok Louw Wan" Kalau aku tahu, dia bakal segera datang, tak usah suteku menolongi aku menyingkirkan racun itu." Oey Yong tapinya tidak senang. "Perempuan itu jahat!" dia kata sengit. "Rupanya dia telah ketahui tempat kediaman supee ini, karena khawatir tidak bisa melawan, dia menantikan ketikanya yang baik, maka kebetulan sekali aku terlukakan Khiu Cian Jin, dia sambar ketika ini, dia pakai aku sebagai perkakas. Pantas dia menunjuki aku tempat supee. Dia rupanya memikir untuk terlebih dulu membikin habis tenaga supee, baru dia mau turun tangan sendiri. Aku menyesal yang diriku kena dipermainkan dia! Supee, kenapa gambarnya Auwyang Hong itu bisa berada di tangannya" Ada apa hubungannya dia dengan gambar itu?" It Teng mengambil sebuah kitab dari atas mejanya dan membalik lembarannya. Ia berkata: "Gambar ini mempunyai lelakon seperti ini. Di sebuah kota di India ada seorang raja yang sujud. Pada suatu hari seekor burung dara terbang kepadanya meminta perlindungan. Burung dara ini dikejar seekor burung elang. Burung elang ini meminta burung dara itu, katanya, kalau tidak, dia bakal mati kelaparan. Sulit untuk raja itu, sebab menolong yang satu berarti mencelakai yang lain. Maka akhirnya ia mengambil pisau dan memotong dagingnya sendiri. Si burung elang meminta daging raja yang sama beratnya seperti burung dara itu, maka daging itu ditimbang. Kenyataannya burung dara itu berat luar biasa, daging raja itu tidak cukup kendati ia sudah memotong seluruh anggota tubuhnya. Ketika raja menimbangkan tubuhnya juga, maka bergoyanglah bumi, langit bergembira, bidadaribidadari menyebar bunga, harumlah semua jalan, maka juga naga langit dan setansetan yang berada di udara pada menghela napas dan berkata: 'Siancay, siancy'. Kegagahan seperti ini, sungguh belum pernah ada!" Itulah dongeng tetapi demikian rupa It Teng menuturnya, semua orang jadi tergerak hatinya. "Sekarang aku mengerti, supee," berkata Oey Yong. "Dia khawatir supee tidak suka menolong mengobati aku, dia sengaja menunjuki gambar itu untuk membikin hati supee tertarik." "Benar begitu," kata It Teng bersenyum. "Ketika dulu hari itu ia meninggalkan Taili, tentu hatinya gusar dan penasaran, tentu dia mencari orang gagah, entah bagaimana, dia bertemu sama Auwyang Hong. Pasti Auwyang Hong mengetahui maksud orang maka ia menolong melukis gambar itu. Kitab ini tersiar luas di Wilayah Barat dan Auwyang Hong ada orang sana, tentu dia mengetahuinya dengan baik." "Sungguh jahat!" kata Oey Yong sengit. "Si bisa bangkotan menggunai Eng Kouw dan Eng Kouw menggunai aku, ini dia akal jahat meminjam golok membunuh lain orang!" "Jangan kau gusar," berkata It Teng menghela napas. "Umpama kata dia tidak bertemu sama kau, mesti dia akan melukakan orang lain, yang dia menyuruhnya datang ke mari meminta aku menolonginya. Cumalah, siapa tidak mempunyai kepandaian, tidak dapat dia datang ke mari. Sudah lama Auwyang Hong melukis gambar ini, maka itu rencananya pasti telah diatur semenjak sepuluh tahun yang lampau. Bukankah ini pun semacam jodoh?" "Benar, supee. Tapi dia masih mempunyai satu maksud lain, yang lebih penting daripada urusannya dengan supee ini." It Teng heran. "Apakah itu?" ia tanya. "Loo Boan Tong kena dikurung ayahku di Tho Hoa To, dia hendak pergi menolongi," si nona menerangkan. Ia menerangkan bagaimana Eng Kouw mencoba mempelajari Kiebun-sat, supaya bisa memasuki Tho Hoa To. Kemudian ia menambahkan: "Kemudian Eng Kouw ketahui, dia belajar lagi seratus tahun juga tidak nanti dia dapat melawan ayahku, maka justru ia melihat aku terluka, lantas dia..." Mendengar itu It Teng tertawa panjang, lalu ia berbangkit. "Sudah, sudah!" katanya. "Segala apa terjadi secara kebetulan, maka sekarang tentulah dia sudah puas!" Dia berpaling kepada keempat muridnya, untuk memerintah: "Pergi kamu menyambut dengan baik pada Lauw Kui-hui! Eh, bukan! Kamu menyambut Eng Kouw, kau ajak dia datang ke mari. Sedikit juga kamu tidak boleh berlaku tidak hormat kepadanya." Tanpa berjanji, keempat murid itu menekuk lutut mendekam akan menangis menggerung-gerung. "Suhu!" kata mereka. It Teng menghela napas. Ia kata: "Kamu telah mengikuti aku untuk banyak tahun, mungkinkah kamu masih belum tahu hati gurumu?" Ia menoleh kepada Kwee Ceng dan Oey Yong, untuk mengatakan: "Aku hendak meminta sesuatu kepada kamu." "Titahkan saja, supee," menyahut si anak muda. "Bagus!" kata pendeta itu, "Sekarang pergilah kau turun gunung. Seumurku, aku banyak berhutang kepada Eng Kouw, maka itu kalau di belakang hari dia menemui sesuatu bahaya, aku minta dengan memandang aku si pendeta tua, haraplah kau membantui dia secara sungguh-sungguh. Umpama kata kamu dapat merangkap jodoh dia dengan Ciu Suheng, aku akan terlebih-lebih bersyukur." Dua muda-mudi itu tercengang, mereka saling mengawasi. Bukankah Eng Kouw datang untuk menuntut balas" Dengan perbuatannya ini, bukan saja It Teng menutup pintu bagi siapa yang hendak menuntut balas untuknya, dia pula mau membalas kejahatan dengan kebaikan. Menampak kedua orang itu berdiam, It Teng bertanya: "Apakah permintaanku si pendeta tua ini sulit untu kamu menjawabnya?" Oey Yong masih bersangsi tetapi ia menjawab: "Kalau supee minta begitu, baiklah, kami menerima baik." Ia lantas menarik ujung baju Kwee Ceng, untuk diajak bersama-sama memberi hormat, guna meminta diri. "Kamu tak usah bertemu muka sama Eng Kouw," It Teng kata pula. "Maka pergilah kamu turun dari gunung belakang." Oey Yong menyahuti, ia tarik Kwee Ceng untuk diajak berlalu. Keempat murid itu melihat wajah si nona tenang saja, diam-diam mereka mencaci nona iti tidak berbudi, sebab mereka anggap nona itu tidak memikirkan keselamatannya orang yang telah menolongi dia. Kwee Ceng mengikuti tanpa berbicara. Ia tidak percaya Oey Yong demikian tidak berbudi. Ia percaya si nona ada punya maksud lain. Ketika mereka sampai di muka pintu, si nona lantas berbisik kepadanya, atas mana ia mengangguk-angguk, terus ia bertindak kembali, tindakannya perlahan. It Teng berkata pada pemuda itu: "Kau jujur dan setia, di belakang hari kau pasti berhasil melakukan sesuatu yang besar. Maka itu urusan Eng Kouw pun aku serahkan padamu." Kwee Ceng menyahuti baik, akan tetapi berbareng dengan itu, dengan mendadak sekali, dengan kesebatannya yang luar biasa, ia menyambar lengannya si pendeta bangsa India di sisi It Teng Taysu, menyusul mana tangan kirinya menotok dua jalan darah hoa-kay dan thian-cu dari pendeta itu, hingga pendeta itu tidak dapat berkutik dalam detik itu juga. Kejadian ini membikin si pelajar berempat menjadi kaget dan heran. "He, kau bikin apa"!" mereka menehur. Tindakannya Kwee Ceng belum selesai. Ia tidak memberikan penyahutan kepada empat orang itu, sebaliknya tangan kirinya lantas menyambar pundaknya It Teng Taysu. Menampak sambaran itu, It Teng menggeraki tangan kanannya, gesit luar biasa, ia menyambut tangan kiri si anak muda, untuk ditangkap. Kwee Ceng menjadi kaget dan heran. Ia tidak menyangka pendeta itu masih bisa menghindarkan diri dari sambarannya. Itulah kepandaian dahsyat, yang ia baru pernah menyaksikannya. Hanya ia mendadapt kenyataan, ketika kedua tangan saling membentur, tenaganya si pendeta lemah sekali, maka ia lantas memutar tangannya untuk membalas menangkap. Berbareng dengan itu, dengan tangan kananya Kwee Ceng menggunai jrus "Naga sakti menggoyang ekor", guna memukul mundur si tukang pancing dan si tukang kayu, yang menyerang dia dari samping. Sebab kedua murid pendeta itu, dalam kagetnya, sudah lantas menerjang, untuk menolongi guru mereka. Mereka ini cuma bisa maju satu kali saja, lantas mereka dibikin tidak berdaya. Si anak muda meneruskan menotok dua jalan darah mereka, hong-bwee dan ceng-ciok. Ketika itu Oey Yong juga sudah turun tangan. Dengan tongkatnya ia mendesak mundur si petani sampai di muka pintu. Si pelajar menjadi kelabakan. "Berhenti, berhenti!" ia berseru berulang-ulang. "Mari kita bicara dulu!" Si petani seperti kalap, ia berkelahi nekat sekali hendak ia merangsak, akan tetapi dia dirintangi tongkat kaum Pengemis, saban-saban kena dipaksa mundur pula. Kwee Ceng sekarang menerjang keluar dari kamar suci, dia paksa memukul mundur kepada si tukang pancing, si tukang kayu dan si pelajar juga, hingga mereka ini dipaksa mundur setindak demi setindak. Oey Yong dalam melayani si petani telah menotok ke alis lawannya itu. Petani itu terkejut, dia berteriak, dengan terpaksa dia berkelit sambil berlenggak dan berlompat juga. "Bagus!" berseru si nona selagi orang mundur, lalu dengan sebat ia menutup pintu. Sekarang ia tertawa haha-hihi dan mengatakan: "Tuan-tuan, tahan, hendak aku bicara!" Si tukang kayu dan si tukang pancing telah menangkis serangan Kwee Ceng, mereka merasakan tangan mereka sakit, mereka terhuyung mundur beberapa tindak, meski begitu, ketika si anak muda maju, mereka pun maju pula dengan berbareng, guna melawan terus. Di dalam keadaan seperti itu, mereka tidak kenal takut. Kwee Ceng telah mendengar suara kawannya, ia berhenti untuk melayani terlebih jauh, cepat-cepat ia menarik pulang tangannya, sembari memberi hormat, ia kata: "Maaf! Maaf!" Keeempat murid It Teng menjadi heran dan melengak karenanya. Oey Yong segera berkata: "Kami telah menerima budi guru kamu, budi yang besar sekali, sekarang guru kamu berada dalam bahaya, cara bagaimana kami bisa berpeluk tangan dan menonton saja" Maafkan perbuatan kami ini ada hubungannya sama maksud kami untuk memberi pertolongan." Si pelajar menjura. "Musuh majikan kami ialah majikan kami juga," ia berkata. "Di antara kita orang ada tingkat tinggi dan rendah, karena itu, kalau majikan kami yang wanita itu datang ke mari, kami tidak berani turun tangan terhadapnya. Juga guru kami, karena kematiannya sang putra selama belasan tahun, tidak tentram hatinya, maka itu kalau sebentar Lauw Kui-hui datang, jangan kata memangnya telah lenyap kepandaiannya, walaupun ia masih gagah, ia tentu bakal mandah di bunuh Lauw Kuihui. Maka hal itu sangat menyulitkan kami, kami tidak berdaya. Dari itu nona, jikalau kamu bisa menunjuki jalan keluar kepada kami, meski tubuh kami hancur lebur, tidak nanti kami melupakan budimu yang besar itu." Melihat orang bicara demikian sungguh-sungguh, Oey Yong tidak mau bergurau pula. "Kami mulanya mengharap bantuannya si orang India yang menjadi paman guru kamu," ia berkata. "Kami tidak menyangka, dia sebenarnya tidak mengerti ilmu silat sama sekali, karena itu sekarang aku mesti menukar siasat. Tindakan ini luar biasa besar bahayanya. Umpama kata kita berhasil, di belakang hari tidak bakal ada ancaman bahaya lagi, Eng Kouw sangat licin, kepandaiannya juga tinggi, dari itu aku masih khawatir. Aku bodoh, aku tidak dapat memikir jalan lagi...." Si pelajar berempat mengawasi. "Ingin kami mendengar keterangan nona," kata si pelajar. Oey Yong menggeraki alisnya yang bagus, terus ia memberikan keterangannya, mendengar mana, keempat muridnya It Teng saling mengawasi, hingga sekian lama mereka tidak dapat membuka suara. * * * Ketika sang sore tiba, dengan perlahan-lahan, sang Batara Surya turun ke belakang gunung. Tinggal angin gunung, yang masih meniup-niup, membuatnya bergoyang-goyang pepohonan yang ada di depan kuil. Juga daun-daun kering di pengempang mengasih dengar suaranya yang halus. Tinggallah sinar layung, yang membuatnya puncak gunung berbayang, rebah bagaikan satu raksasa.... Si tukang pancing berempat duduk bersila di ujung jembatan batu, mata mereka diarahkan ke ujung lain dari jembatan itu. Hati mereka masing-masing tidak tentram. Lama mereka menanti, sampai sang magrib tiba. Beberapa ekor gagak terbang dengan suaranya yang berisik, terbang pergi ke selatan gunung. Masih di ujung jembatan sana tak nampak siapa juga. "Mudah-mudahan Lauw Kiu-hui mengubah pikirannya," berkata si tukang pancing di dalam hatinya. "Di dalam hal ini, suhu tidak dapat dipersalahkan. Biarlah dia tak datang untuk selama-lamanya...." "Lauw Kui-hui sangat cerdik, tentulah ia sekarang lagi memikirkan akal muslihatnya," si tukang kayu berpikir lain. Si petani adalah yang paling tidak sabaran. Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Biarlah dia datang lebih siang, supaya urusan pun beres lebih siang!" pikirnya. "Biar bahaya biar rejeki, biar baik biar jahat, biarlah lekas ada keputusannya! Dikatakan datang, dia tidak datang, apa itu tidak membikin orang bergelisah?" Si pelajar sebaliknya berpikir lain: "Makin lambat dia datang, makin berbahya ancaman bencananya. Sebenarnya soal sulit sekali......." Sebetulnya pelajar ini pintar dan pandai berpikir, belasan tahun ia menjadi perdana menteri negera Taili, pernah ia menghadapi banyak perkara besar dan peperangan juga, tetapi belum pernah ia menghadapi saat tegang seperti ini. Maka ia jadi berpikir keras, apapula ketika itu, cuaca jadi semakin gelap, di tempat jauh di sana, tak nampak suatu apa, kecuali suara menyeramkan dari di burung malam, si kokok beluk atau burung hantu. Tidak heran kalau kemudian dia ingat kepada dongeng semasa dia kecil. "Si kucing malam bersembunyi di tempat gelap, dia mencuri alisnya beberapa orang, alis yang dapat dia menghitungnya dengan tepat, maka dia itu tak menanti sampai fajar..." Dengan si kucing malam dimaksudkan si burung hantu. Dan cerita itu dogeng belaka, akan tetapi karena teringatnya di waktu sore, dalam suasana seperti itu, mau tidak mau, buulu romanya terbangun sendirinya. Hebat pengaruhnya suara si burung hantu itu.......... "Mungkinkah suhu tidak bakal lolos dari takdirnya ini, dan ia mesti mati ditangannya seorang wanita?" si pelajar berpikir. "Nah, dia datang itu!" mendadak terdengar suara si tukang akyu, suaranya perlahan dan bergemetar. Benar juga, di atas jembatan, terlihat berkelebatnya satu tubuh manusia. Tiba di bagian liang atau ceglokan, dengan pesat bayangan itu berlompat. Dia begitu gesit hingga si pelajar berempat menjadi heran, hingga mereka berpikir: "Ketika Tamu Aneh Bingkisan Unik 2 Pendekar Gagak Rimang 2 Genta Perebutan Kekuasaan Bidadari Kuil Neraka 1

Cari Blog Ini