Ceritasilat Novel Online

Jago Pedang Tak Bernama 2

Jago Pedang Tak Bernama Bu Beng Kiam Hiap Karya Kho Ping Hoo Bagian 2 dan untuk sejenak seakan-akan napasnya berhenti. Bu beng bukanlah seorang pemuda yang mudah saja terpesona oleh paras cantik. Tapi ketika matanya memandang gadis berpakaian putih yang berdiri dihadapannya sambil bertolak pinggang dan matanya bercahaya tajam dan marah itu, ia rasakan semangatnya melayang-layang. Wajah dan potongan tubuh gadis itu menarik hatinya benar dan diam-diam ia bandingkan gadis itu dengan gadis yang selalu memenuhi alam mimpinya. Karena sudah berusia lebih dari dua puluh lima tahun, sebagai seorang pemuda yang sehat, sering kali Bu Beng mengenangkan dan mimpikan seorang gadis yang sesuai dan cocok dengan selera hatinya. Dan gadis ini mememnuhi segala-galanya. Gadis itu berusia paling banyak sembilan belas tahun, tubuhnya ramping padat, sepasang matanya merupakan bintang bercahaya indah, hidungnya mancung mulutnya kecil dengan bibir bagaikan gendewa terpentang dan berwarna merah, rambutnya terurai ke belakang dan diikat dengan kain putih, sebagian rambut terurai kejidat menambah kemanisannya. Baju dan celana putih dari kain kasar dan sepatu putih pula menutupi tubuhnya. Sungguhpun ia berdandan sederhana sekali namun kesederhanaannya ini bahkan menonjolkan kejelitaan yang asli. Karena orang yang ditegurnyaa dari tadi bengong saja sambil memandang bagikan patung hidup, gadis itu merasa malu dan wajahnya menjadi merah. Ia marah sekali melihat kekurang ajaran orang. "He, bangsat ! akda apa kau pandang orang saja dan tak menjawab kata-kataku. Apakah kesalahan kedua adikku ini hingga kau seorang dewasa sampai mengajak mereka berkelahi" Pengecut besar, tidak malu berkelahi dengan anak-anak kecil." Bu Beng makin kagum, karena setelah marah, ternyata wajah itu makin cantik saja. Tapi kata-kata yang pedas itu membuatnya sadar. Segera ia rangkapkan tangan memberi hormat. "Siocia, maafkan aku seorang perantauan yang tak tahu adapt. Harap jangan salah sangka, kedua adikmu tadi bukan sedang berkelahi dengan aku, tapi kami bertiga hanya sedang main-main dan berlatih saja." Gadis itu memandang adik perempuannya. "Cin Lan, benarkan kalian tidak berkelahi tadi!" Dengan keringat di sekujur badan dan napas masih terengah-engah, Cin Lan menjebikan bibir kearah Bu Beng dan berkata. "Siapa yang main-main" Coba cici lihat, apakah aku kelihatan seperti orang main-main" Keringatku sampai mebasahi semua pakaian, dan lihat Han ko itu, ia masih terengah-engah kelelahan ! kalau cici tidak keburu datang memisah, sekarang kami berdua tentu telah dapat menggebuk mampus padanya!" "Huh !" gadis itu menegur, tapi mau tak mau ia terpaksa bersenyum mendengar kejumawaan adiknya itu. "Sungguh bukan maksudku mengajak mereka berkelahi nona. Coba kau Tanya siauw ko ini benar-benarkah kami tadi berkelahi?" Anak laki-laki itu memandang cicinya dengan matanya yang jujur dan berkata raguragu. "Aku sendiri tidak tahu, tapi dia ini memberi petunjuk-petunjuk dan membetulkan kesalahan-kesalahan gerakan kami." "Membetulkan kesalahan gerakanmu?" cicinya bertanya heran. "Ya, ci, bahkan kau sendiri juga dicelanya, juga supek dikatakannya salah mengajar!" kata nona cilik yang nakal itu. "Apa katamu"' gadis itu memandang marah kepada Bu Beng. "Ah, bukan begitu maksudku, nona ..." membela Bu Beng. "Jangan banyak cakap. Kalau kau ada kepandaian dan dapat mencela ilmu silatku, cobalah kau terima dan sambut seranganku ini!" Bu Beng hendak membantah, tapi gadis baju putih itu tak memberi kesempatan padanya untuk bicara, langsung maju menyerang secepat kilat. Pukulannya selain cepat juga berat dan antep sekali hingga Bu Beng buru-buru berkelit. Dalam gerakan-gerakan pertama gadisitu gunakan ilmu silat Kim liong pai hingga ia makin heran. Ternyata gadis itu walaupun gerakannya gesit dan tenaganya besar, juga membuat kesalahan-kesalahan dalam gerakannya atau mungkin juga, ilmu silat Kim liong pai telah tercampu aduk dengan ilmu silat lain yang tidak kalah lihainya. Menghadapi ilmu silat cabang sendiri, Bu Beng dengan mudah sekali dapat memunahkan setiap serangan. Gadis itu menjadi penasaran dan segera merobah gerakannya. Kini ia menyerang dengan lebih cepat dan tahulah kini Bu Beng bahwa sebenarnya gadis itu mahir sekali ilmu silat Bie jin kun yang gerakan-gerakannya lemas tapi mengandung tenaga dalam yang berbahaya. Mungkin gadis ini baru sedikit mempelajari ilmu silat Kim liong pai dan kepandaian aslinya ialah Bie jin kun itu. Karena dalam hal ilmu silat Bu Beng sudah digembleng oleh gurunya dan ia mempelajari pula segala macam ilmu silat, maka menghadapi seranganserangan inipun ia hanya tersenyum sambil berkelit dengan gesitnya. Tak pernah ia menangkis atau balas menyerang, seakan-akan hatinya tidak tega melukai gadis itu. Diam-diam ia gembira karena iapun ingin sekali menjajal kepandaian gadis itu. Kini ia mendapat kenyaraan bahwa gadis itu memiliki ilmu silat yang lumayan juga. Gadis baju putih itu ketika menyerang berpuluh jurus tapi belum juga dapat menyentuh ujung baju Bu Beng, dan mendengar sorakan-sorakan adik-adiknya yang memang gemar menonton orang bersilat, dengan dibarengi teriakanteriakan "Pukul, ci! Robohkan ia ! ah, meleset lagi! Sayang, tidak kena lagi, ci! Hayo pukul roboh!" maka ia menjadi marah dan gemas bukan main. Dengan seruan keras ia cabut sepasang pedangnya yang terselip di punggung dan gunakan siang kiam itu menyerang hebat!. "Tahan pedangmu, nona. Aku tidak ingin berkelahi," mencegah Bu Beng. "Hm, kalau dengan kanak-kanak berani ya" Kalau benar-benar laki-laki keluarkan senjatamu." Bu Beng buka kedua lengannya sambil angkat pundak. "Aku tidak ingin berkelahi nona." "Jangan banyak cakap. Kalau kau tidak mau melayaniku maka kau akan kuanggap laki-laki pengecut." Bu Beng tersenyum. "Kau memaksa nona. Apa boleh buat aku bukan pengecut. Majulah!" gadis itu segera buka serangannya dengan gerakan Burung Kepinis Menyambar Ikan. Pedang kanannya menusuk kearah tenggorokan Bu Beng sedangkan pedang kiri terputar mengancam untuk membingungkan lawan. Tapi Bu Beng ganda tertawa saja, dan loncat berkelit. Gadis itu merangsek maju dengan hati panas, dan Bu Beng terpaksa gunakan ilmu ginkangnya yang hebat untuk melayaninya dengan tangan kosong. Pemuda itu mengandalkan keringan tubuh dan kegesitan gerakannya untuk meloloskan diri dari bayangan pedang. Sebenarnya permainan siang kiam gadis itu hebat dan telengas sekali. Kalau bukan Bu Beng, jangankan bertangan kosong biar bersenjatapun , tidak sembrangan orang dapat menangkan gadis itu. Tapi kali ini ia bertemu dengan Bu Beng Kiamhiap yang tingkatnya masih jauh diatasnya, maka dengan mudah saja ia dipermainkan. Pada saat itu dari jauh datang berlari seorang wanita tua yang membawa tongkat. Tindakan kakinya ringan dan larinya cepat sekali hingga diam-diam Bu Beng terkejut. Ia melihat orang tua itu duduk diatas sebuah akar pohon di dekat mereka dan diam saja menonton perkelahian itu. Gadis yang menyerangnya dengan sengit itu agaknya tak melihat kedatangan orang tua itu karena gerakannya memang ringan sekali. Tapi kedua anak kecil itu ketika melihat perempuan tua bertongkat tahu-tahu duduk disitu segera lari menghampiri dan memeluknya. Hati Bu Beng bimbang juga. Ternyata perempuan tua yang berkepandaian tinggi itu masih keluarga mereka. Ah, ia harus menyimpan tenaga untuk menghadapinya jika hal itu terjadi nanti. Pada saat ia berpikir demikian, tiba-tiba gadis baju putih itu menggerakkan kedua pedangnya menusuk dada dengan tipu Wanita Cantik Tawarkan Arak. Sepasang pedangnya yang meluncur ke dada Bu Beng, sebuah ditusukkan dan yang satu lagi dibacokkan kebawah!. Menghadapi serangan ini, Bu Beng berlaku cepat. Tubuhnya berkelit kesamping dan sekali menggerakkan tangan kearah pergelangan gadis itu, sekejap kemudian pedang kanan gadis itu pindah tangan!. "Bagus, bagus!" terdengan wanita tua itu memuji. Tapi gadis itu menjadi penasaran sekali. Dengan nekat ia gunakan sebilah pedangnya untuk menyerang kembali. Bu Beng menggunakan pedang yang dirampasnya untuk menangkis dengan main mundur. Tiba-tiba sebuah sinar hitam menyela diantara mereka dengan membawa angina keras dibarengi bentakan orang. "Cin Eng, mundurlah. Seharusnya kau tahu diri dan tidak berlaku nekat!" mendengar bentakan ini, gadis itu berloncat mundur dan berdiri dengan tunduk dan wajah merah. Melihat keadaannya itu, timbul rasa iba di hati Bu Beng, maka segera ia maju menghampiri dan memberi hormat, lalu sambil mengangsurkan pedang yang dirampasnya kepada pemiliknya, ia berkata halus, "Nona, maafkan aku yang rendah telah berlaku kurang ajar. Terimalah pedangmu kembali , nona." Cin Eng mengangkat kepala memandangnya, tapi ia tertunduk kembali dengan muka merah dan mulut cemberut. "Ha, ha !" wanita tua itu tertawa terkekeh-kekeh. "Cin Eng, orang telah berlaku mengalah dan baik kepadamu, hayo terima kembali pedangmu!" dan gadis itu kembali mentaati perintah itu dan terima kembali pedangnya dari tangan Bu Beng tanpa berani memandang pemuda itu. "Anak muda, kau gagah juga dan kepandaianmu lumayan. Majulah dancoba kau tahan tongkatku yang lapuk ini." bu Beng menjuru hormat. "Aku yang muda mana berani berlaku tidak sopan." "Hm, jangan sungkan-sungkan, anak muda. Dengan mudah kau dapat mengalahkan puteriku. Maka, mau tak mau kau harus melayani aku yang tua ini beberapa jurus. Aku hanya ingin mengukur dalamnya kepandaianmu, jangan kau takut. Aku takkan berlaku kejam padamu." Panas juga hati Bu Beng karena terang sekali orang memandang ringan kepadanya, bahkan ia disangka takut! Maka ia majukan kaki selangkah dan setelah berkata, "Maaf," ia cabut pedang pendeknya yang disembunyikan di belakang punggung dalam bajunya. Pedang pendek ini bukanlah pedang sembarangan. Ia dapat merampasnya dari seorang kepala perampok kenamaan setelah mengadu jiwa mati-matian. Pedang ini disebut Hwee hong kiam dan tajamnya luar biasa serta terbuat daripada logam yang jarang terdapat dank eras melebihi baja tulen. Kalau tidak terpakasa, jarang sekali Bu Beng keluarkan senjata ini. tapi kali ini ia tahu bahwa wanita tua ini bukanlah orang sembarangan dan bahwa tongkatnya itu tentu lihai sekali. "Ha, bagus! Nah sambutlah tongkatku!" wanita tua itu tak sungkan lagi maju menyerang. Tongkatnya yang berwarna hitam menyambar berat mendatangkan angin dingin. Bu Beng gunakan pedangnya menangkis dan merasa betapa berat tenaga dalam wanita tua itu. Namun wanita itupun diam-diam terkejut karena anak muda itu ternyata bertenaga tidak lebih bawah darinya. Wanita itu gunakan tipu-tipu ilmu toya Siauw lim si yang hebat dicampur dengan gerakan ilmu golok Kun lun. Biarpun ia mempunyai ilmu silat yang hebat sekali dan pengalamannya yang berpuluh tahun itu mebuat gerakannya tetap dan kuat, namun baru bergebrak beberapa jurus saja ia merasa heran dan kaget. Karena ilmu pedang Bu Beng sangat membingungkannya. Bu Beng keluarkan tipu-tipu Kim liong pai yang sudah dikombinasikan sedemikian rupa dengan tipu-tipu Hoa san pai hingga merupakan gerakan-gerakan tersendiri yang sangat lihai dan tak terduga datangnya! Tak heran bahwa sebentar saja perempuan itu terdesak dan hanya dapat menangkis saja. Pada suatu desakan, Bu Beng menggunkan pedang pndeknya menusuk dada lawan. Tusukan ini cepat sekali, tapi biarpun terdesak, nenek itu masih dapat memutar tongkatnya menangkis pedang yang ujungnya sudah hampir mengenai kulitnya itu. Tak tersangka-sangka Bu Beng cepat sekali merobah arah pedangnya ke kiri dan membabat lengan lawan! Nenek itu menjerit kaget dan menggunakan jaln satusatunya yang masih mungkin ia lakukan , yakni melepaskan tongkat dan menggelinding pergi sejauh dua tombak lebih. Bu Beng rangkapkan kedua tangan. "Maaf, maaf." Nenek itu berdiri cepat dengan muka pucat. Ia belum bebas sama sekali dari rasa terkejut. Tiba-tiba wajahnya berubah girang dan dengan terkekeh-kekeh ia jemput tongkatnya lalu menghampiri Bu Beng. "Anak muda, kau sungguh gagah perkasa. Ketahuilah, aku adalah Hun Gwat Go yang disebut orang si Tongkat Terbang. Tapi sekarang aku sudah tua hingga tak pandai memainkan tongkat lagi, buktinya dengan begitu saja aku terpaksa melepaskan tongkatku. Hi, hi hi !" Bu Beng tak senang mendengar suara tertawa terkekeh-kekeh ini, tapi karena orang berkata dengan ramah, ia terpaksa tersenyum juga. "Dan ini adalah Cin Eng, anakku. Kedua anak kecil itu Cin Land an Cin Hai. Dan kau sendiri siapakah anak muda?" "Saya bernama Bu Beng." Kedua anak kecil itu tertawa mendengar nama Tak Benama ini dan nenek sendiri memandang heran. Tapi karena Bu Beng memandangnya dengan wajah bersungguhsungguh dan sinar matanya menyambar tajam, ia tak berani bertanya lagi. "Bu Beng Taihiap, kami persilakan mampir dipondok kami," katanya kemudian, "Perkenalan ini harus kita pererat. Sudah lama aku ingin berjumpa dengan seorang hohan di jaman ini. dan kebetulan ini hari berjumpa dengan kau yang pantas sekali kami hormati." Sebenarnya Bu Beng tidak suka mampir, tapi demi melihat kearah Cin Eng yang menggunakan mata burung hongnya memandang dengan tajam padanya, ia menyanggupi dan beramai-ramai mereka menuju ke rumah nenek itu yang berada di sebelah kampong tak jauh dari situ. Ketiak mereka memasuki sebuah rumah pondok besar tapi yang keadaanya miskin, si nenek berkata kedalam rumah. "Tianglo silakan keluar, ini ada tamu agung datang!" Bu Beng memandang ke pintu tengah dengan tajam dan waspada. Ia tetap belum percaya kepada nenek aneh ini dan siap menghadapi lain lawan. Tapi ketika tampak tubuh seorang pendeta yang tinggi kurus keluar dari pintu itu, ia segera meloncat menghampiri dan memberi hormat. "Suheng!" katanya heran dan gembira. "Eh, eh, kau sute" Pantas saja ada orang yang dengan mudah dapat mengetahui kesalahan-kesalahan Cin Lan dan Cin Han , tak tahu kaulah orangnya!" "Bagaimana suheng dapat tahu?" Kim Kong Tianglo tertawa lebar. "Kau sangka aku tidak tahu juga bagaimana kau berhasil membuat Hun toanio lepaskan tongkatnya?" Karena semua pendengarnya merasa heran, Kim Kong Tianglo bercerita bahwa tadi karena khawatir akan keselamatan tuan rumahnya yang lama tidak kembali, ia menyusul ke hutan dan sembunyi sambil menonton pertempuran-pertempuran itu. Hun Gwat Go tertawa dengan suara terkekeh-kekeh yang tak disuka oleh Bu Beng itu, lalu berkata. "Ha, ha, kukira siapa, tidak tahunya orang sendiri. Jadi Bu Beng Taihiap ini sutemu sendiri" Ah, aku makin tidak penasaran telah jatuh dalam tangannya." Kemudian nenek yang aneh itu setelah perinthkan Cin Eng keluarkan areak, meninggalkan kedua saudara seperguruan itu di ruang tamu. Setelah berada berdua saja. Bu Beng melampiaskan rasa kangennya dan memeluk suhengnya. Ia memang menganggap suhengnya ini sebagai kakak sendiri. Mereka berbicara asyik sekali dan saling menuturkan pengalaman semenjak berpisah. Kemudian Bu Beng bertanya mengapa Kim Kong Tianglo dapat tinggal di rumah nenek itu. Kim Kong Tianglo menarik napas dalam dan menuturkan pengalamannya dan keadaaan yang aneh itu. Menurut cerita Kim Kong Tianglo, nenek itu bernama Hun Gwat Go berasal dari Kilam. Sebelum kawin, ia adalah seorang puteri seorang bajak laut yang terkenal kejam. Agaknya adat ayahnya menurun, karena Hun Gwat Go juga beradat jelek sekali, tapi ia sangat cantik hingga menarik banyak rasa cinta pemuda. Diantaranya terdapat seorang pendkar yang menjalankan tugas menolong sesamanya dengan cara menjadi pencuri budiman. Ia bernama Liu Pa San. Rumah hartawanhartawan kikir dan pembesar-pembesar jahat ia santroni dan banyak harta haram ia curi untuk kemudian dibagi-bagikan kepada petani miskin. Karena ia berkepandaian tinggi dan cakap juga, maka pilihan Gwat Go jatuh padanya. Sebenarnya ketika kawin dengan Gwat Go, Lui Pa San telah menjadi duda dengan seorang perempuan, karena belum lama istrinya meninggal dunia karena sakit. Anak perempuannya itu ialah Cin Eng yang tadi dikagumi oleh Bu Beng. Dengan Gwat Go. Liu Pa San setelah kawin puluhan tahun, barulah mempunyai anak, seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan, yakni Cin Han dan Cin Lan. Cin Eng mendapat didikan ilmu silat dari ayahnya, dan biarpun adatnya buruk, namun Gwat Go tidak merupakan seorang ibu tiri yang kejam. Ia sayang Cin Eng seperti anak sendiri, hanya adatnya yang kasar dank eras membuat gadis itu takut padanya. Bahkan ibu tiri inipun mendidik Cin Eng mempunyai kepandaian yang lihai juga. Kim Kong Tianglo kenal baik dengan Liu Pa San. Beberapa bulan yang lalu, ketika Kim Kong Tianglo sedang merantau di kota Hiebun, pada suatu malam ia mendengar suara rebut-ribut diatas genteng tikoan di kota itu. Ia segera loncat keatas dan melihat betapa Liu Pa San dikeroyok beberapaorang jagoan yang sengaja diundang oleh tikoan itu untuk menjaga harta bendanya. Ternyata diantara jagoan-jagoan terdapat Ngo houw atau lima hariamau dari Tiang san yang terkenal kosen. Ketika Kim Kong Tianglo tiba di tempat pertempuran. Liu Pa San telah terluka hebat tapi masih melakukan perlawanan dengan gigih. Kim Kong Tianglo berhasil menologn dan Jago Pedang Tak Bernama Bu Beng Kiam Hiap Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo membawanya pergi. Tapi malam hari itu juga Liu Pa San si maling budiman menghembuskan napas terakhir dihadapan Kim Kong Tianglo. Hwesio ini terharu sekali karena ia tahu benar akan sepak terjang dan kebaikan hati maling perkasa itu. Sebelum mati, Liu Pa San meninggalkan permohonan kepadanya untuk mendidik ilmu silat kepada anak-anaknya. Ia minta Kim Kong Tianglo bersumpah untuk memenuhi permohonannya ini, dan sebagai seorang suci dan seorang sahabat baik, hwesio ini tidak tega untuk menolak permintaan seorang yang telah berada diambang pintu kematiannya. Demikianlah, setelah mengubur jenazah Liu Pa San baik-baik, Kim Kong Tianglo mencari rumah Liu Pa San. Ia sangat kecewa dan tidak senang melihat sikap janda Liu Pa San yaitu Hun Gwat Go, tapi setelah melihat Cin Eng, Cin Han dan Cin Lan, timbul kegembiraannya karena Cin Eng merupakan seorang gadis yang baik hati, sedangkan Cin Han dan Cin Lan mempunyai bakat baik. Semenjak itu ia tinggal di rumah itu untuk memenuhi permintaan mendiang sahabatnya. Rencananya, setelah mendidik Cin Eng beberapa lama, maka gadis itu akan dapat mewakilkan ia mendidik kedua adiknya. "Sute", berkata Kim Kong Tianglo setelah sudah selesai bercerita, "Umur berapakah kau sekarang?" tiba-tiba saja pertanyaan ini hingga Bu Beng memandang suhengnya dngan heran karena tidak mengerti maksudnya. Tapi ia menjawab juga. "Dua puluh enam tahun, suheng. Ada apakah?" Kim Kong Tianglo tertawa. "Tidakkah kau piker usia sedemikian itu sudah cukup untuk menjadi seorang suami?" Untuk sejenak Bu Beng memandang muka suhengnya, kemudian ia tunduk dan mukanya menjadi merah. Kim Kong Tianglo tertawa geli melihat laku pemuda itu. "Sebenarnya memang sukar mendapatkan jodoh yang sesuai, sute. Tapi percayalah, aku adalah seorang yang telah cukup pengalaman, dan menurut penglihatanku, Cin Eng adalah seorang gadis yang baik sekali, baik mengenai rupa dan tabiatnya maupun mengenai ilmu silatnya. Bagaimana pikiranmu sute, kalau aku berlaku lancing menjadi wakilmu untuk mengajukan lamaran?" Dengan masih tunduk dan hati berdebar-debar Bu Beng berkata. "Suhen, beribu terima kasih kuhaturkan untuk budi kecintaanmu ini. Memang , bagiku di dunia ini setelah suhu meninggal dunia, hanya suhenglah yang menjadi orang tuaku, saudaraku dan juga guruku. Aku ini orag macam apakah untuk menampik seorang seperti nona Cin Eng itu" Tapi, yang menjadi persoalan ialah, sudikah dia atau ibunya menerima aku orang sebatang kara yang miskin dan hina dina ini menjadi suami dan mantu" Kalau sampai ditolak, aku akan merasa malu dan rendah sekali, suheng. Baiknya janganlah coba-coba, karena sembilan bagian pasti akan ditolak!" Kim Kong Tianlo berdiri dan menepuk-nepuk pundak sutenya. "Jadi kau suka padanya" Baik, baik, sute. Soal yang lain serahkan saja padaku. Ketahuilah olehmu, Hun Gwat Go pernah menyatkan padaku bahwa ia dan gadisnya itu hanya ingin mndapatkan seorang yang berkepandaian melebihi si gadis sendiri dan melebihi ibunya pula! Dan sekarang kaulah orangnya! Tahukah kau mengapa Hun toanio mengundang kau mampir di rumahnya" Biasanya tidak sembarangan ia mengundang seseorang begitu saja. Tentu ada maksudnya. Ha, ha!" Bu Beng hanya menyerahkan saja urusan itu kepada suhengnya dan ketika Kim Kong Tianglo pergi kedalam untuk menjumpai Hun Gwat Go dan membicarakan urusan ini, ia hanya menanti di ruang tamu sambil saban-saban minum araknya untuk memenangkan hatinya yang bergoncang. Ia bangkit dengan segera dan berdebar-debar ketika tak lama kemudian suhengnya balik kembali bersama Hun Gwat Go dengan tersenyum girang. "Selamat, sute. Kionghi, kionghi," kata hwesio itu dengan gembira dan wajah berseri-seri. Bu Beng angkat tangan membalas ucapan selamat itu. Setelah Hun wat Go duduk diatas sebuah bangku, Kim Kong Tianglo segera berkata. "Eh, sue, tunggu apa lagi" Hayo beri hormat kepada gakbomu." Dengan muka merah karena malu Bu Beng segera berlutut dan memberi hormat kepada calon ibu mertuanya yang diterima oleh Gwat Go dengan terkekeh-kekeh kegirangan. "Ah, tercapai kini cita-citaku dan keinginan anakku Cin Eng, dapat seorang mantu yang gagah melebihi ayahnya." Sampai disini, tiba-tiba Gwat Go menangis tersedusedu dan air mata membasahi kedua pipinya yang kempot karena ia eringat suaminya yang telah mati. "Kau ..... kau harus balaskan sakit hati ini ..." katanya kepada Bu Beng yang hanya mengangguk sambil tundukkan kepala. Tiba-tiba kegembiraan Gwat Go timbul kembali, ia berkaok memanggil Cin Eng dan ketika gadis itu datang, Bu BEng segera tundukkan kepala lebih dalam dan tak berani berkutik. Cin Eng berdiri bingung karena melihat wajah ibunya dan gurunya Kim Kong Tianglo tampak berseri-seri gembira. Ia mengerling kearah Bu Beng dan bertambah keheranannya melihat pemuda itu tunduk saja dengan malu. Tiba-tiba ia teringat sesuatu dan diam-diam ia dapat menduga hingga tak terasa lagi warna merah menjalar keseluruh muka dan telinganya. "Ada apa, ibu?" tanyanya. "Eng, sediakan makanan lezat. Ini hari kita harus berpesta sepuasnya. Tambah lagi arak wangi kepada ... gurumu .. eh, sekarang kau tak boleh panggil guru lagi, tapi suheng dan beri hormat juga kepada calon suamimu," berkata demikian ini sambil menunjuk kepada Bu Beng yang makin berdebar dan duduk dengan serba tidak enak. Cin Eng yang biasanya sangat takut dan taat kepada ibunya, kini terpaksa membangkang. Ia hanya memberi hormat kepada Kim Kong Tianglo saja, sedangkan kepada Bu Beng ketika ia telah berdiri dihadapan pemuda itu yang memandangnya dengan malu, tiba-tiba ia membalikkan tubuh dan lari masuk sambil gunakan kedua tangan menutupi mukanya! Gwat Go tertawa terkekeh-kekeh dan Kim Kong Tianglo tertawa tergelak-gelak hingga tinggal Bu Beng sendiri yang duduk diam dengan muka merah. Tak lama kemudian, meraka semua, tak ketinggalan Cin Han dan Cin Lan, menghadapi meja dan makan bersama. Cin Lan yang nakal tiada hentinya menggoda cicinya, karena iapun sudah mendengar perihal pertunangan itu. Beberapa kali ia melirik kerah cicinya dan mengejap-ngejapkan mata sambil menggunakan sumpit menuding kearah Bu Beng, hingga Cin Eng menjadi gemas dan mencubitnya. Cin Lan berteriak. "Ah, ah, cici nakal sekali, awas nanti kuberitahukan kepada cihu!" semua orang tertawa dan Cin Eng makin malu hingga sukar rasanya baginya untuk menelan makanan. Bu Beng juga hampir tak dapat makan karena malu. Sebenarnya didalam hatinya terbit dua macam perasaan pada saat itu. Rasa bahagia dan rasa sedih. Ia merasa girang dan berbahagia sekali karena di dalam hati ia cinta adan kagum kepada Cin Eng. Tapi karena teringat akan kedua orang tuanya yang telah tidak ada, ia menjadi sedih dan merasa bahwa ia benar-benar sebatang kara di dunia ini. Menurut keputusan perundingan antara Gwat Go dan Kim Kong Tianglo, perkawinan akan dilangsungkan sebulan lagi, yaitu menanti sampai Cin Eng menghabikan mata perkabungannya atas kematian ayahnya. Pesta kecil itu berjalan dengan gembira sampai jauh malam dan berakhir dengan mabuknya Kim Kong Tianglo dan Gwat Go yang lalu pergi ke kamar masing-masing. Cin Han dan Cin Lan pergi tidur dan Cin Eng sibuk membersihkan sisa persta, sedangkan Bu Beng yang diharuskan tidusr bersama suhengnya, tidak pergi ke kamar itu tapi lalu keluar seorang diri membawa sulingnya. Ketika hendak keluar dari rumah itu ia bertemu dengan Cin Eng. Mereka saling pandang dan gadis itu tertunduk lebih dulu. "Nona, kalau suheng mencariku tolong beritahu bahwa aku hendak pergi mencari hawa sejuk di hutan." Cin Eng hanya mengangguk tapi diam-diam ia mengerling karena mendengar suara Bu Beng yang terdengar parau seperti suara orang bersedih. Setelah tiba di hutan, Bu Beng jatuhkan diri diatas rumput hijau dengan hati sedih. "Aku tak dapat kawin, tak mungkin ..." keluhnya. Tapi tiada seorangpun mendengar keluhan itu, hanya angina malam saja berbisik diantara daun-daun seakan-akan menjawab keluhannya itu. "Aku seorang diri di dunia ini, sebatang kara, miskin dan sengsara. Kalau Cin Eng menjadi isteriku, apakah ia juga harus hidup sengsara seperti aku" Ah, tidak, kasihan kalau ia hidup tak tentu tempat tingal seperti aku ini. pula, aku belum tahu siapa orang tuaku, dimana tempat makamnya dan belum dapat membalas sakit hati mereka. Beban yang sudah berat ini apakah hendak kutambah pula dengan merusak dan membikin sengsara gadis yang kucinta sepenuh jiwa ini" tidak tidak." Bu Beng berdongak memandang Dewi Malam yang pada saat itu tengah tersenyum simpul diantara gulungan awan. Ia bangun dan duduk tanpa pedulikan pakaiannya yang menjadi basah karena ruput. Setelah duduk melamun beberapa lama, ia mencabut sulingnya dari ikat pinggang dan mulai meniup suling itu dalam lagu merayu dan sedih, Bu Beng memang ahli dalam main suling, ditambah pula perasaannya sedang perih oleh rasa duka, maka suara sulingnya menjadi halus dan penuh getaran jiwanya, seakan-akan merupakan jeritan bathinnya minta perlindungan dan pembelaan Tuhan. Tiba-tiba terdengar suara lemah dibelakangnya, "Koko ...." Bu Beng yang sedang tenggelam di dalam suara sulingnya yang dimainkan sepenuh jiwa dan hatinya, tak mndengar suara ini tapi terus menyuling dengan asyiknya. Lambat laun suara sulingnya merendah dan perlahan-lahan berhenti. Kedua lengannya terkulai dan sulingnya terpegang dalam tangan kanan yang gemetar. "Kokko .... " suara ini terdengar halus dibarengi isak. Bu Beng segera sadar dari lamunannya dan sulingnya jatuh terlepas dari tangannya. Ia berdiri dan menengok ke belakang. Di depannya berdiri Cin Eng yang dalam pakaian putihnya tersinar bulan purnama merupakan dewi yang baru turun dari kayangan. Bu Beng memandang kagum dan perlahan-lahan ia bertindak maju. "Moi-moi ... " katanya berbisik dan Cin Eng tundukan kepala. Sebetulnya Bu Beng masih ragu-ragu untuk menyebut "adik" pada gadis itu, tapi karena mendengar gadis itu menyebutnya "kanda", ia jadi berani merobah sebutan "nona" menjadi "dinda". "Adik Eng ... mengapa kaupun berada disini?" tanyanya halus. "Aku ... aku ... mengapa suara sulingmu demikian sedih, koko?" Bu Beng menghela napas. "Mungkinkah sulingku dapat terdengar dari rumah?" "Tidak, koko. Hanya saja, tadi kau bicara dengan suara demikian sedih, maka aku merasa tak enak hati lalu menyusul disini .." "Duduklah adik Eng," kata Bu Beng dan mereka duduk diatas rumput hijau yang merupakan permadani indah dimalam terang bulan ini. "Sebenarnya aku terkenang kepada orang tuaku adik Eng," katanya dan ia lalu menceritakan riwayat hidupnya yang penuh kepahitan. Cin Eng mendengar dengan terharu dan tak terasa matanya mengalirkan air mata ketika mendengar betapa Bu Beng sampai lupa akan nama sendiri!. "Jadi itukah yang membuatmu sedih" Kukira ....." "Kau kira apa, adikku?" "Kukira bahwa kau ... tak suka dengan perkawinan kita yang akan datang ini ..." bu Beng menggerakkan tangan dan pegang tangan Cin Eng. Gadis itu terkejut tapi ia tidak menarik tangannya, hanya membiarkan tangan itu digenggam oleh Bu Beng yang merasa betapa tangan itu bergemetar. "Jangan sangka yang tidak-tidak , adik Eng. Ketahuilah, ketika suheng majukan usul ini, aku hampir berjingkrak kegirangan karena sesungguhnya semenjak kita berjumpa, aku ... aku .. suka sekali kepadamu ...." Cin Eng hanya tundukkan kepala. "Dan kau bagaimana adikku" Sukakah kau akan pilihan ibumu ini ?" Cin Eng mengangkat wajahnya yang jelita memandang mesra, kemudian ia tundukkan kepala sambil berkata lemah. "Koko, semenjak pertempuran kita tadi, aku terpikat oleh ilmu silatmu dan oleh kesopananmu. Aku sebagai seorang anak yang puthauw tentu saja menurut segala kehendak ibu, dan pilihan ibu .... Tentu saja aku setuju sekali ...." "Apakah kalau pilhan ibumu jatuh pada seorang yang kau tidak suka, kau juga akan menurut" Tanya Bu Beng. Cin Eng gelengkan kepala keras-keras. "Tidak ! dalam hal ini biarpun ibu sendiri akan kutentang." "Kalau begitu kau suka padaku" Tanya Bu Beng dan pegangan tangannya dipererat. Cin Eng hanya tunduk. "Entahlah ..." kemudian ia berkata. "Cin Eng adiku, bilanglah terus terang. Cintakah kau padaku" Jawab saja dengan geleng atau angguk." Cin Eng mengangkat mukanya dan mengangguk. "Betul betul kau cinta padaku" Ingat , aku seorang miskin. Lihat saja bajuku, penuh tambalan. Aku hidup sebatang kara, dan ingatlah, bahwa jika kau menjadi istriku,maka kau akan hidup serba kekurangan dan sengsara." Cin Eng pandang wajah Bu Beng dengan tajam. "Koko, jangan kau berkata begitu. Kau anggap aku ini gadis apa" Biarpun akan menderita hidup miskin, disampingmu aku akan berbahagia!" Saking girangnya rasa hati Bu Beng, ia menarik tangan Cin Eng hingga gadis itu tersentak dan jatuh bersandar kedadanya. "Adikku yang jelita, adikku yang tercinta! Tahukah kau bahwa brusan aku merasa sedih sekali dan bahkan mengambil keputusan untuk tidak kawin denganmu karena takut kalau-kalau kau akan menjadi sengsara" Kini hatiku puas. Aku menjadi berani, karena dengan kau disampingku aku berani menempuh gelombang penderitaan yang bagaimana hebatpun." Cin Eng meramkan matanya dan bersandar di dada yang bidang itu dengan hati memukul penuh kebahagiaan. Untuk beberapa lama mereka tenggelam dalam ombak asmara, mabuk alunan mesra. Sengguhpun kedua taruna itu diam saja tak bergerak, yang wanita bersandar ke dada dengan meramkan mata, yang pria duduk memegang kedua lengan dengan berdongak memandang dewi malam yang gemilang, dilamun pikiran penuh keindahan, tiba-tiba Cin Eng tersentak bangun. Ia berdiri memandang Bu Beng dengan mata dibuka lebar lalu berkata hampir berteriak. "Tidak ... ! tidak ....! Tidak mungkin ... !" kemudian sebelum Bu Beng sadar dari terkejutnya gadis itu lari cepat masuk hutan. "Adik Eng ... adik Eng ...!' Bu Beng loncat mengejar dengan cepat dan sebentar saja gadis itu telah berada dalam pelukannya. "Adikku sayang ... ada apa" Mengapa kau lari" Apa yang kau susahkan?" cin Eng menangis sedih dan geleng-gelengkan kepala bagaikan orang gila. Ia berontak-rontak dalam pelukan Bu Beng, tapi pemuda itu tak mau melepaskannya. "Adik Eng, kalau ada kesukaran, beritahulah aku. Mari kita pecahkan bersamasama." Tapi Cin Eng hanya geleng-geleng kepala dengan sedih. Tiba-tiba Bu Beng lepaskan pelukannya. "Hm, agaknya ternyata bahwa kau tidak cinta padaku, ya" Memang lebih baik begitu aku orang miskin tak berharga. Nah, aku takkan mencegah dan menahanmu. Kau bebas, biar aku cinta sepenuh hati dan jiwaku padamu tapi aku sebagai orang laki-laki tak kan gunakan kekerasan untuk memilikimu." Mata Cin Eng terbelalak, ia lalu menangis makin sedih. "Tidak, koko, bukan demikian, kau salah sangka! Dengarlah, koko kita tak mungkin menjadi suami-istri .. karena ... karena ..." Bu Beng pegang pundaknya. "Karena apa" Siapa yang melarang " katakanlah ... katakanlah !" "Tidak adayang melarang, koko ..... tapi ... tapi .... Kalau kita kawin, maka ... itu berarti aku akan menjadi pembunuh ...!" bu Beng terkejut dan tak mengerti. "Apa katamu" Pembunuh" Siapa yang akan kau bunuh?" "Aku akan menjadi pembunuh ... anakku .... Anak kita ....!" Bu Beng makin heran. Ia mulai bersngsi. Gilakah gadis ini" "Cin Eng tenanglah. Apa maksudmu" Aku tidak mengerti sama sekali. Jelaskanlah dan bicaralah dengan tenang. Kau kan wanita gagah" Mengapa begini lemah?" "Begini koko" kata Cin Eng setelah susut air matanya, "Sebenarnya aku ... aku mempunyai semacam penyakit dalam tubuh ... kata ayah dulu, akibat penyakitku ini walaupun tidak mengganggu badanku sendiri, tapi akan merusak anak dalam kandungan. Anak yang kukandung akan dimakan penyakit itu dan akan lahir tak bernyawa lagi ..." Bu Beng terkejut dan untuk sejenak ia berdiri bagaikan patung dengan hati tak karuan rasa. "Tak dapatkah diobati?" Cin Eng menahan isaknya. "Inilah soalnya yang sukar. Inilah mengapa ibu inginkan mantu yang mempunyai kegagahan diatas dia sendiri. Obat penyakit ini sukar sekali dicarinya. Obat ini hanya jantung seekor ular yang telah bertapa dan mempunyai mustika didalam kepalanya! Nah, bayangkan, betapa sukarnya mencari obat ini!" Bu Beng benar-benar terpukul hatinya dan ia pandang wajah kekasihnya dengan putus asa. "Dimana ... dimanakah orang bisa dapatkan ular demikian itu ...?" Cin Eng melihat wajah pemuda yang suram dan bersedih itu menjadi kasihan, maka buru-buru ia menerangkan. "Koko, dulu pernah ayah dan ibu berdua pergi ke tempat dimana terdapat ular macam itu, tapi ternyata mereka gagal dan bahkan hampir saja ayah dan ibu terbinasa karenanya, karena tempat gua dimana ular itu bersembunyi adalah sangat berbahaya. Biarpun ayah ibu berkepandaian tinggi, mereka tak berdaya. Maka, akhirnya kami putuss asa dan aku hidup mengandung kedukaan dan kecemasan. Ibu dan aku sendiri lalu memutuskan bahwa orang yang diterima lamarannya Jago Pedang Tak Bernama Bu Beng Kiam Hiap Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo terhadap diriku harus orang yang berkepandaian tinggi dan yang kiranya cukup kuat untuk dapat mencari obat itu. Bu Beng mengangguk-angguk dan wajahnya menjadi gembira kembali. Ia yakin bahwa ia tentu akan dapat mencari obat itu. Segera ia berkata. "Adikku, tenangkan hatimu. Aku pasti dapat mencari obat itu. Katakanlah dimana tempat itu" Aku akan segera berangkat mencarinya." Cin Eng, pegang erat lengan Bu Beng, "Jangan, koko .... Jangan ...." "Eh, mengapa jangan?" Tanya Bu Beng heran. "Tempat itu sangat jauh dan berbahaya. Aku khawatir ... kau ... kau ....!" "Khawatir aku menemui bahaya" Ah, betapa besar bahayanya membunuh seekor ular" Jangankan baru harus menghadapi ular, biarpun disuruh menghadapi seekor naga sakti sekalipun, demi kebahagianmu, akan kutempuh juga dengan berani." Cin Eng sandarkan kepalanya ke dada Bu Beng. "Koko, kau .... Kau seorang mulia. Sebenarnya aku akan bahagia sekali dapat hidup bersamamu di dunia ini yang penuh kegetiran ini. tapi .... Kalau kau pergi dan mendapat bencana di tempat berbahaya itu, ah ... lalu aku bagaimana koko?" air matanya menitik turun. "Jangan khawatir, adikku. Rasa sedih dan doamu akan membuat aku tidak mempan oleh segala bahaya. Aku pasti akan kembali. Katakanlah dimana tempat ular itu?" "Menurut kata ibu, tempatnya jauh sekali, karena bukan di daratan Tiongkok, tapi disebuah pulau sebelah timur pantai Tiongkok, yaitu di pulau Ang coat ho. Disitu terdapat sebuah gua di dalam gunung dan disitulah telah bertahun-tahun duduk bertapa seekor ular yang besar sekali. Kepalanya mengeluarkan cahaya dan ia berbahaya serta ganas. Hawa dari mulutnya saja dapat membakar kulit kita, kata ibu. Tapi, lebih baik kita Tanya ibu, karena ia tentu dapat memberi petunjuk yang lebih nyata lagi." Tanpa membuang waktu lagi, Bu Beng menggandeng tangan Cin Eng dan mereka kembali ke kampong. Cin Eng langsung menuju kerumahnya dan Bu Beng duduk bersamadhi di ruang tamu karena untuk tidur sudah kepalang baginya. Pagi-pagi sebelum fajar menyingsing, Bu Beng segera menjumpai Hun toanio yangternyata sudah bangun pula. Kim Kong Tianglo juga sudah bagun, maka mereka bertiga bercakap-cakap. Bu Beng langsung majukan pertanyaan kepada Hun toanio tentang pulau Ang coat ho. "Ah, kau sudah tahu" Tentu dari Cin Eng! Memang hari ini aku hendak ceritakan padamu, mantuku. Entah dosa apa yang dilakukan oleh ayah atau ibu Cin Eng di waktu mudanya, maka Cin Eng menderita sakit terkutuk itu. Pulau yang kau tanyakan itu terletak di sebelah timur. Aku sendiri tidak tahu jelas. Tapi ada satu jalan yang takkan membawamu tersesat, yahni, dari sini kau menuju ke utara. Terus saja, setelah kira-kira empat lima ratus li, kau akan bertemu dengan sungai besar yang mengalir ke timur. Nah, dari situ kau bisa menggunakan perahu menurut aliran sungai sampai ke laut. Kau harus hati-hati, air sungai itu setelah mendakati laut menjadi sangat besar dan berbahaya. Setelah perahu sampai di permukaan laut, tepat dimana air sungai itu terjun, maka dari situ kau dapat melihat sebuah pulau yang panjang dan kecil bentuknya, agak arah timur laut dan warnanya hitam kehijau-hijauan. Pulau itu mudah dikenal diantara pulau-pulau lain, karena pulau-pulau panjang kecil hanya sebuah itu saja. Nah, dari situ kau dapat berlayar ke pulau itu. Di Ang coat ho terdapat sebuah bukit yang puncaknya meruncing keatas. Kau boleh mendarat disebelah selatan pulau itu dan naik bukit melalui sebuah hutan pohon siong yang terdapat di sebelah selatan bukit. Setelah melewati tiga buah hutan yang berbahaya, maka akan sampailah kau di mulut gua ular yang kumaksudkan itu. Nah, disitu kau harus bertindak hati-hati dan segala=galanya terserah kepada pertimbagnan dan kewaspadaanmu sendiri." Bu Beng mendengarkan dengan penuh perhatian sambil mengangguk-anggukkan kepala. "Sue, Hun toanio dan suaminya yang terkenal gagahpun tidak berhasil membunuh ular itu. Kau harus tahu bahwa usahamu kali ini adalah berbahaya sekali dan bukan tidak mungkin jiwamu dalam bahaya pula. Maka, sudah bulat benar-benarkah hatimu untuk pergi kesana?" Bu Beng memandaang suhengnya dengan sinar mata tetap, "Suheng, kau sendiri yang mengajar padaku supaya menjadi seorang laki-laki jantan dan memegang teguh kepercayaan. Kini, suheng begitu mencinta kepadaku dan mencarikan pasangan hidup. Maka setelah orang menaruh kepercayaan kepadaku sedemikian besarnya hingga rela menjadi istriku, pantaskah kalau aku mundur hanya karena rintangan ini" pantaskah kalau aku menjadi takut untuk berkorban, biar dengan jiwaku sekalipun" Tidak, suheng sendiri tentu akan mencelaku habis-habisan kalau aku mundur dan takut." Kim Kong Tianglo berdiri dan memegang pundak sutenya. "Bagus, bagus! Beginilah seharusnya sikap seorang jantan, kau pantas menjadi murid terkasih dari guru kita yang bijaksana. Dan dengan kata-katamu ini terbayanglah betapa besarnya cintamu terhadap calon istrimu. Sayang aku sudah tua dan lemah, sute. Kalau tidak tentu aku akan turut dan membantumu." "Terima kasih suheng. Aku tidak berani membawamu kedalam bahaya ini. Pula ini adalah tanggung jawab dan kewajibanku sendiri. Disamping itu, akupun ingin meluaskan pengalaman dan menjelajah tempat-tempat yang asing untuk menambah pengetahuanku." "Bilakah kau akan berangkat, anakku?" Tanya Hun toanio dengan suara halus dan ramah. "Sekarang juga, jawab Bu Beng dengan suara tetap. Hun Gwat Go berteriak memanggil Cin Eng. Baru saja ia menutup mulutnya, gadis itu telah muncul dari pintu karena semenjak tadi telah mendengarkan di balik daun pintu. Sepasang matanya yang bagus itu berwarna kemerahmerahan bekas tangis dan tangannya membawa sebuah bungkusan. Hun toanio berkata, "Anakku, kokomu hendak berangkat mencari obat untukmu, hayo haturkan selamat jalan!" Cin Eng tak menjawab tapi menghampri Bu Beng tanpa kata-kata apa-apa hanya mengangsurkan bungkusan itu sambil memandang wajah pemuda itu dengan mata sayu. "Apakah ini, adik Eng?" Tanya Bu Beng dengan terharu. "Pakaian dan selimut penahan dingin," jawab gadis itu perlahan sambil tundukkan kepala, lalu ia membalikkan tubuh lari ke pintu. Tapi setiba di ambang pintu, ia menengok memandang sekilas lagi kepada Bu Beng dan bibirnya berbisik perlahan, "Hati-hatilah koko ... ..... " Hun Gwat Go dan Kim Kong Tianglo ikut terharu melihat perpisahan ini dan diamdiam mereka heran mengapa kedua taruna itu nampak telah demikian mesra seakanakan sudah tak asing lagi. Bu Beng berjalan cepat tiada hentinya sehari penuh. Karena daerah yang dilaluinya itu masih asing baginya, maka ia sendiri tidak tahu kemana ia sedang menuju! Ia hanya tahu bahwa ia harus mengambil jalan langsung kearah utara. Maka ia menjadi bingung juga ketika matahari telah tenggelam dan cuaca sudah mulai gelap, masih saja ia belum keluar dari sebuah hutan. Ketika ia melihat dua ekor burung mendekam diatas dahan pohon yan rendah, maka tiba-tiba ia merasa letih. Tadi semangatnya yang berkobar-kobar hendak lekas-lekas tiba di tempat yang ditujunya membuat ia tak kenal lelah, tapi dua ekor kurung yang sedang beristirahat dengan nikmatnya itu membuat kedua kakinya terasa lemas dan tiba-tiba ia ingat pula bahwa sehari itu ia belum makan apa-apa. Ia pasang mata dan telinga kalau-kalau di dekat situ terdapat rumah makan atau runah perkampungan. Tapi ternyata hutan itu liar dan hanya penuh dengan pohon-pohon besar. Bu Beng loncat keatas, dari mana ia memandang kesana kemari kalau-kalau ada, tentu ia akan dapat melihat sinar api pelita rumah orang. Betul saja, di jurusan selatan ia melihat sinar api berkelap-kelip. Segera ia meloncat turun dan menuju ke tempat itu. Ternyata sinar pelita itu keluar dari sebuah pondok kecil yang sederhana. Pintu pondok itu tertutup rapat. Bu Beng maju mengetuk tapi tiada terdengar jawaban. Bu Beng mengetuk lagi sambil memanggil-manggil. Tetap tiada jawaban. Ia menjadi curiga dan segera mengintip dari celah-celah bilik dan daum jendela. Ia melihat rumah itu kosong dan tidak ada penghuninya, tpi diatas meja tampak makanan didalam beberapa buah mangkuk. Dan timbullah seleranya. Tanpa memperdulikan bahwa tindakannya itu tidak sopan, ia gunakan tenaganya untuk mendobrak daun pintu. Ketika ia memasuki rumah itu, bau arak wangi menambah laparnya dan langsung ia menuju ke meja yang penuh makanan itu. Tiba-tiba terdengar suara dan seperti ada sesuatu bergerak-gerak di ruang sebelah kamar itu. Bu Beng segera berlaku waspada. Sekali meloncat ia lewati pintu tembusan dan berada dalam kamar sebelah itu. Alangkah kagetnya ketika melihat seorang tua rebah di lantai tak berdaya. Ketika ia melihat lebih cermat, ternyata bahwa orang lakilaki tua itu tidak lain adalah Lui Im si Golok Setan, ketua Cung lim pang yang telah ditemuinya di rumah Lim San dulu itu. Orang tua gagah itu tak berdaya dan Bu Beng maklum Lui Im terkena totokan jari tangan seorang pendekar ulung. Ia segera mengulurkan tangannya dan menggunakan jari tengah untuk memulihkan jalan darah Lui Im. Setelah jalan darahnya baik kembali, Lui Im menggerak-gerakkan kaki dan tangannya, lalu meloncat berdiri. Ia memandang Bu Beng dan merasa girang bercampur terkejut ketika menganalnya. Segera ia menjuru. "Ah, terima kasih, Bu Beng Taihiap. Sungguh hebat totokan yang membuatku tak berdaya tadi sehingga setelah mengumpulkan semangat, aku hanya mampu menggerakgerakkan kakiku saja untuk menarik perhatian orang. Ternyata yang masuk rumah ini tadi adalah kau sendiri. Sukurlah, kalau tidak entah bagaimana jadinya dengan diriku." Bu Beng balas menghormat, "Aku juga girang sekali dapat berjumpa dengan loenghiong disini. Bagaimanakah erjadinya maka loenghiong sampai dalam keadaan begini dan ini rumah siapa?" Lui Im menghela napas. "Kalau diceritakan, sungguh membuat aku malu. Kali ini hancurlah nama si Golok Setan dan sekaligus tercemar dan hina pulalah nama perkumpulanku," kemudian ia bercerita. Lui Im yang terkenal dengan sebutan Golok Setan karena memang permainan goloknya sangat ditakuti kaum persilatan, meminpin sebuah perkumpulan yang berpengaruh yaitu perkumpulan Cung lim pang. Telah lama perkumpulannya menanam bibit permusuhan dengan perkumpulan Hong bu pang yang berada di kota itu juga. Permusuhan itu sebenarnya dibangkitkan oleh soal yang kecil saja. Mula-mula terjadi perkelahian pribadi antara seorang anggota perkupulan Cung lim pang dan seorang anggota Hong bu pang. Tentu saja rasa setia kawan dari masing-masing pihak mudah saja terbakar oleh perkelahian ini dan rasa permusuhan menjalar begitu dalam hingga Lui Im sendiri dan ketua Hong bu pang yang bernama Tan tek Seng seorang jagoan cabang atas, ikut-ikut terseret. Kedua jago tua ini sebenarnya memiliki kepandaian tinggi dan mempunyai kesabaran yang besar, tapi desakan api permusuhan yang dikobarkan oleh anak buah masing-masing demikian besar hingga pada suatu hari kedua jago-jago tua itu bertemu untuk mengadu tenaga!. Dalam perkelahian yang hebat itu Tan Tek Seng dapat dikalahkan oleh Lui Im. Tentu saja kekalahan ini tidak ditelan mentah-menatah oleh pangcu dari Hong bu pang itu. Ia menaruh dendam hati yang ditahan-tahan. Beberapa bulan kemudian. Lui Im menerima surat tantangan dari Tan Tek Seng untuk mengadu tenaga di hutan Hek san lim di luar kota. Dalam surat itu disebutkan bahwa masing-masing tidak boleh membawa teman. Lui Im adalah seorang jagoan tua yang gagah berani. Menerima surat itu, walaupun dalam hatinya terbit curiga, namun ia merasa malu jika ia tidak berani datang ke hutan itu seorang diri. Demikianlah, pada hari itu ia pergi seorang diri ke hutan tersebut. Di tengah hutan telah menanti Tan Tek Seng, tapi pangcu yang licik itu ternyata tidak datang seorang diri. Ia mempunyai seorang kawan yang disembunyikan. Maka, ketiak mereka sedang berkelahi mati-matian, tiba-tiba daja muncul seorang pendeta memelihara rambut panjang memisahkan mereka dan pura-pura menanya persoalan mereka. Sebenarnya imam itu adalah orang bawaan Tan Tek Seng. Untuk membuktikan bahwa Tan Tek Seng datang seorang diri, maka imam itu diminta datang belakangan. Dalam keputusan dan pengadilan yang berat sebelah Lui Im menjadi marah dan akhirnya ia bertarung dengan imam itu yang mengaku bernama Ang Hwat Tojin. Ternyata imam itu hebat sekali hingga akhirnya Lui Im kena totok roboh dan tak berdaya. Tahu-tahu ia telah dibawa oleh lawannya kedalam pondok itu, sedangkan kedua lawannya makan minum hidangan yang telah disediakan dalam pondok. Dalam keadaan tidak berdaya inilah Lui Im dapat menangkap pembicaraan mereka dan tahu bahwa Ang Hwat Tojin memang sengaja diundang oleh Tan Tek Seng untuk menjatuhkannya. Sehabis bercerita. Lui Im menghela napas lagi. "Bu Beng hiante, mereka sangat menghinaku. Ketika hendak pergi, imam itu berkata bahwa jika aku hendak menuntut balas aku boleh datang ke rumah Tan Tek Seng pangcu karena ia akan berdiam disana selama satu bulan. Sungguh sakit sekali hatiku. Biarpun aku harus mengakui bahwa ia lebih unggul dariku, tapi aku lebih baik mati daripada menerima hinaan ini. sekarang juag aku harus pergi kesana mengadu tenaga!" Sambil mengucapkan kata-kata ini, Lui Im berdiri dan dengan tangan mengepal ia kertakan gigi, kedua matanya bersinar menyala-nyala. Bu Beng juga merasa panas akan kecurangan Tan pangcu. Lebih-lebih jika diingat bahwa Lui Im adalah sahabat baik suhengnya, Kim Kong Tianglo. Sebelum ia berkata sesuatu, Lui Im berkata lagi dengan suara sedih. "Ah sayang sekali, kalau saja sahabatku Kim Kong Tianglo berada disini, belum tentu aku yang tua ini sampai terhina demikian rupa!" Bu Beng merasa akan sindiran ini, ia maklum bahwa bagaimanapun juga, Lui Im tidak percaya bahwa ia cukup kuat untuk membelanya. Maka dengan tenang ia berkata. "Loenghiong, aku sebagai sute dari Kim Kong Tianglo, mana dapat berpeluk tangan melihat saja semua kejadian ini" maka jika kau sudi menerimanya, aku tawarkan tenagaku yang tak beranti ini untuk mewakili suhengku membantumu dalam persoalan ini." Lui Im berdiri dengan wajah girang. "Terima kasih hiante, terima kasih. Kalau kau suka membantu, pasti sakit hatiku ini dapat dicuci bersih." "Jangan terlalu berbesar harap, loenghiong, tapi aku akan bekerja sekuat tenaga. Bilakah kita akan kesana?" "Mari kita makan dulu, hiante. Bangsat-bangsat itu sengaja meninggalkan makanan diatas meja agar aku merasa sengsara dan menderita. Mari kita beristirahat dulu semalam ini. besok pagi=pagi kita berangkat." Keduanya lalu makan dan Bu Beng yang telah merasa lapar sekali makan dengan lahapnya. Kemudian mereka mengaso dalam kamar itu dimana terdapat sebuah tempat tidur bata. Pada keesokan harinya, pagi-pagi mereka berangkat dan langsung manuju ke kampong Hong bu pang. Perkampungan itu terdiri dari beberapa petak rumah yang semuanya milik anggota-anggota perkumpulan itu. Kampong itu dikelilingi oleh tembok tinggi yang dipasang besi-besi runcing diatasnya. Empat pintu besar di tiap penjuru dibuka lebar-lebar dan beberapa gerobak hilir mudik melaluinya. Pintu itu masing-masing dijaga oleh enam orang bersenjata tombak dan golok. Sikap mereka galak dan angkuh. Lui Im dan Bu Beng menghampiri pintu selatan. Mereka dihentikan oleh penjagapenjaga disitu dan ditanya keperluan mereka. "Kami berdua hendak menjumpai Tan pangsu." Ketika penjaga-penjaga itu mendengar bahwa yang datang adalah pangcu dari Cung lim pang, berubahlah wajah mereka dan dua orang diantaranya segera lari masuk memberi laporan. Tak lama kemudian, dari dalam perkampungan kecil itu keluar orang setengah tua yang bertubuh tegap dengan tindakan kaki tetap, menandakan bahwa ia adalah seorang ahli silat. Ketika melihat Lui Im, ia menjuru dengan hormat. "Maafkan, Lui pangcu, pangcu kami kebetulan sedang keluar kampong. Tapi ia tadi memberi pesan padaku, bahwa jika ada orang datang mencarinya, diminta agar kembali lagi malam nanti." Lui Im kenal bahwa yang datang itu adalah seorang jagoan di Hong bu pang yang bernama A Liat si Angin Ribut. Maka ia balas menjuru dan berkata kecewa. "Ah, sayang sekali. Sebenarnya aku datang memenuhi undangan Ang Hwat Tojin." "Ang Hwat Tojin juga keluar bersama-sama pangcu. Sebaiknya Lui Im pangcu kembali saja malam nanti." Ketika berkata demikian A Liat mengerling kearah Bu Beng sambil mengamat-amati, seakan-akan sedang mengukur-ukur kekuatan orang itu. Ketika itu Lui Im duduk diatas sebuah bangku yang terdapat ditempat jaga itu dan melihat Bu Beng berdiri saja, si Angin Ribut segera menghampiri bangku batu di sudut dan dengan sekali congkel dengan kaki bangku itu melayang keatas dan diterima olehnya seakan-akan bangku batu yang beratnya ada seratus kati itu hanya merupakan bangku bamboo saja. Kemudian ia membawa bangku itu kepada Bu Beng dan berkata. "Silakan duduk, tuan muda," ucapan "tuan muda" ini mengandung sindiran, karena Bu Beng yang ketika itu belum mengganti pakaian kuning penuh tambalan sesungguhnya sebutan "tuan muda" itu tidak pantas dan menggelikan. Bu Beng maklum bahwa orang itu sedang menunjukkan kekuatan tenaganya. Maka ia pura-pura kaget dan termangu. "Ah, tenaga tuan sungguh mengkagumkan! Terima kasih!" kemudian ia duduk di bangku batu yang tebal itu, tapi diam-diam ia kerahkan tenaga dalamnya dan "krak!" kaki bangku itu patah menjadi empat. "Sayang bangkumu lapuk sekali, tuan," kata Bu Beng tersenyum dan berdiri tegak. Bukan main kaget A Liat Jago Pedang Tak Bernama Bu Beng Kiam Hiap Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo melihat hal ini. diam-diam ia kagum sekali, maka ia menjuru dan berkata, "Maaf." "Nah, kalau begitu, biarlah kami kembali malam nanti pada kentungan sembilan kali. Katakanlah kepada pangcumu agar ia bersikap demikian pula kepada Ang Hwat Tojin," kata Lui Im yang segera mengajak Bu Beng pergi. Mereka berdua lalu menuju ke kampong Lui Im. Semua anggota perkumpulan Cung Lim pang yang tadinya telah merasa cemas dan khawatir karena pangcu mereka semalam tidak pulang, kini menjadi girang melihat pangcu mereka kembali dalam keadaaan sehat. Istri Lui Im dan Kui hwa anak gadisnya menyambut kedatangan mereka dengan ramah tamah. Lui Im membuat perjamuan untuk menghormati tamunya. Ketika mendengar bahwa anak muda yang berpakaian kuning penuh tambalan itu adalah sute dari Kim Kong Tianglo yang mereka kenal baik, nyonya Lui Im makin manis sikapnya dan lebih-lebih Kui hwa. Lui Im merasa gembira sekali, karena ia yakin bahwa Bu Beng pasti dapat membersihkan namanya. Maka ia makan minum sepuas-puasnya sampai mabuk. Di tengah-tengah perjamuan ia berkata kepada tamunya. "Bu Beng hiante, maafkan kalau aku berlaku lancing. Berapakah usia hiante tahun ini dan apakah sudah mempunyai hujin?" Merah wajah Bu Beng mendengar pertanyaan ini. karena pertanyaan dari seorang yang mempunyai anak gadis yang diajukan seperti ini bukannya tak mengandung arti. Maka dengan malu-malu ia berkata. "Siauwte berusia dua puluh enam tahun dan belum kawin, tapi ...." Ia menyambung cepat, "siauwte sudah bertunangan." Biarpun ditahan-tahan, nampak juga kekecewaan menggores wajah Lui Im. "Siapakah nona tunanganmu itum hiante?" "Ia adalah puteri dari mendiang Lui Pa San loenghiong." Katanya dan tiba-tiba ia teringat akan penyakit yang diderita Cin Eng hingga tak terasa menghela napas. Demikianlah, hari itu mereka lewati dengan makan minum dan bercakap-cakap. Lui Im suka sekali kepada pemuda yang bersikap sopan dan pandai membawa diri itu. Bu Beng mendapat sebuah kamar istimewa dan ketika ia dipersilakan mengaso, ia buka bungkusan pemberian Cin Eng. Ternyata bungkusan itu berisi dua stel pakaian warna kuning yang masih baru dan sehelai selimut. Bu Beng kagum sekali betapa cepatnya gadis pujaannya itu mempersiapkan pakaian untuknya. Ah, tentu sepulangnya dari hutan itu, tunangannya terus menjahit hingga pagi! Ia lepaskan pakaiannya yang lapuk dan mengenakan pakaian baru itu. Ternyata pas benar! Ia makin kagum kepada kekasihnya. Kemudian ia berbaring dan tidur. Pada kira-kira pukul tujuh malam, ia jaga dari tidurnya dan terus duduk bersemedhi menentramkan semangat karena ia harus menghadapi kemungkinan bertempur melawan orang-orang lihai. Beberapa jan kemudian terdengar panggilan Lui Im perlahan. Bu Beng yang sudah siap lalu membuka pintu. Orang tua itu telah berpakaian ringkas dan pinggangnya tergantung goloknya. Ia nampak gagah dan sigap. "Sudah siap, hiante?" tanyanya perlahan. "Sudah , marilah." Ternyata Lui Im tidak memberitahukan persoalannya kepada anak istrinya agar mereka jangan merasa khawatir. Maka diam-diam kedua orang itu meninggalkan kampong dan menuju kearah Hong bu pang. Ketika mereka tiba di depan pintu gerbang Hong bu pang, ternyata pintu itu tertutup rapat. Bu Beng mencoba mendorongnya, tapi pintu itu terbuat daripada besi tebal dan terkunci dari dalam, kuat sekali. "Eh, kenapa mereka menutup pintu" Takutkah mereka?" Tanya Bu Beng. "Tidak mungkin mereka demikian pengecut!" seru Lui Im keras-keras dengan sengaja agar dapat terdengar dari balik tembok. Tiba-tiba Bu Beng memperingatkan. "Awas senjata gelap!" tapi Lui Im dapat mendengar juga suara angin menyambar kearah mereka. Ia meloncat dan tiga batang piauw menyambar lewat. Bu Beng mengulurkan kedua tangannya menangkap dua batang pelor yang menyambar kearahnya. "Ha, ha, ha ! Lui Im ! kau berani datang mencari mampus! Masuklah kalau kau dapat dan berani." Terdengar suara Tan Tek Seng menertawakan mereka dari atas tembok. "Orang she Tan pengecut! Biar kukejar sampai dimana juga!" teriak Lui Im dengan marah dan ia siap meloncat keatas, tapi tiba-tiba lengannya dipegang oleh Bu Beng. Lui Im merasakan pegangan itu kuat sekali hingga tak mungkin baginya untuk melepaskan diri dan meloncat. "Sabar, Lui loenghiong biarlah siauwte yang naik dulu untuk melihat suasana. Aku khawatir mereka memasang jebakan diatas, sebagaimana yang telah mereka lakukan dengan mengirim senjata gelap tadi." Sebelum Lui Im dapat menjawab, anak muda itu mengayunkan tubuhnya dan melayang keatas tembok. Bagi orang lain, biarpun ia mempunyai kepandaian tinggi, jika meloncat tembok itu tentu sesampainya diatas akan berpegangan kepada besi runcing. Tapi Bu Beng mempunyai ginkang atau ilmu meringankan tubuh yang sempurna dan gerakannya gesit sekali. Maka dengan sengaja ia perkeras loncatannya hingga tubuhnya melayang keatas besi-besi itu dan menginjakkan kedua kakinya diujung besi! Tubuhnya dengan tetap dan ringan bagaikan seekor burung berdiri diatas besi itu sambil memandang kebawah dengan tajam. Benar saja, dari bawah menyambar beberapa belas piauw dan pelor besi kearahnya. Secepat kilat Bu Beng mencabut pedang pendek wee liong kiam dari punggungnya dan memutarnya untuk melindungi tubuh. Semua senjata rahasia itu terpental kembali dengan suara berderincingan. Maka pemuda yang tajam itu melihat beberapa bayangan tubuh di bawah tembok. Ia segera mengayunkan tangannya dan melepaskan dua buah pelor yang tadi disautnya ketika ia mula-mula mendapat serangan. Terdengar suara teriakan orang kesakitan dibawah tembok. "Tan pangcu! Ang Hwat Tojin! Tidakkah sambutan ini sangat memalukan dan bukan perbuatan orang-orang gagah" Atau kalian takut kepada Lui pangcu?" seru Bu Beng dari atas. "Orang gagah darimana yang datang ini. turunlah dan bawa orang she Mui itu masuk. Kami ingin memandang mukamu dan mempersilakan kamu masuk," terdengar suara Tan Tek Seng. Bu Beng segera memberi isyarat kepada Lui Im yang masih berdiri dibawah. Lui Im menggerakkan kakinya dan meloncat keatas. Ia tidak berani meniru perbuatan dan gerakan Bu Beng tadi, tapi menggunakan tangan kirinya memegang sebuah besi untuk menahan tubuhnya. Kemudian dengan Bu Beng mendahuluinya, mereka turun ke dalam. Mereka disambut oleh tiga orang yang berdiri di tengah-tengah lapangan. Di sekitarlapangan itu ditaruh obor yang membuat tempat itu terang sekali bagaikan siang. Di belakang obor-obor itu berdiri berpuluh orang dengan pakaian ringkas dan senjata di pinggang merupakan barisan. Keadaan mereka kelihatan perkasa sekali dan rupa-rupanya mereka telah melakukan persiapan sejak tadi. Tan Tek Seng yang bertubuh gemuk pendek melangkah maju, dan menjuru kepada Lui Im. "Lui pangcu. Sungguh beruntung hari ini aku dapat bertemu kembali dengan kau dalam keadaan sehat." "Aku tidak ada urusan apa-apa lagi dengan kau, Tan pangcu. Bukankah kau adalah pecundangku" Aku datang menagih janji dan memenuhi undangan Ang Hwat Tojin." Ia melirik kearah orang pendeta kurus tinggi yang memegang kebutan putih berdiri tenang sambil memandang kearah tamu-tamu itu dengan acuh tak acuh. "Siancai, siancai!" pendeta itu berkata dengan lagak seorang alim. "Rupanya Lui pangcu mendapat bantuan orang pandai hingga berani berlagak setelah pinto ampuni jiwanya." "Hm, pendeta jahat! Selama hidupku belum pernah bermusuhan dengan orang seperti kau. Tapi mengapa kau berani-berani mencampuri urusan kami tanpa mengetahui duduk perkaranya" Apakah ini pantas disebut perbuatan seorang yang mencucikan diri dan telah memakai jubah pendeta" Kau bilang aku membawa teman, memang betul, tapi siapakah yang melanggar perjanjian lebih dahulu" Aku datang seorang diri di hutan malam tadi, tapi ternyata Tan pangcu diam-diam mengundang kau. Sekarang aku datang membawa seorang kawanku, bukankah ini cukup adil?" "Orang she Lui! Jangan kau lancing mulut menyebut-nyebut tentang kedudukanku. Kau sudah nyata bukan tandinganku, apakah kau mencari mampus" Tentang kawanmu, janganlah hanya seorang, biar kau bawa beberapa orang lagi, aku tidak ambil pusing. Jangan kira kami takaut padamu dan pada kawan-kawanmu," jawab Ang Hwat Tojin sambil menuding-nudingkan kebutannya. "Lui loenghiong," kata Bu Beng dengan suara mengandung ejekan, "mereka bilang tidak takut kepada kita yang tak mempunyai kepandaian apa-apa, tapi lihatlah dia itu, bukankah dia itu agaknya orang yang siang tadi mereka cari untuk diminta bantuannya?" Lui Im memandang kearah orang yang dituding pemuda itu dan melihat seorang kate yang berpakaian seperti penegmis sambil memegang tongkat. Oran itu duduk diatas tanah dengan tak acuh sama sekali tentang pembicaraan mereka, tapi hanya menggunakan tongkatnya menggaris-garis tanah. Bu Beng tertarik sekali oleh goresan tongkat itu karena biarpun hanya ditekan lemah tapi goresannya dalam sekali menunjukkan adanya tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat tinggi. Ia jadi memperhatikan apa yang dituliskan oleh si kate itu. Teernyata dibaris pertama adalah ujar-ujar nabi Khong Hu Cu yang bernunyi "Su Hai Lwee Kai Heng Tee Ya" yang artinya, "Di empat penjuru lautan semua orang adalah saudara," lalu dibawa kedua disambung uajar-ujar lain yang berbunyi. Janganlah kau lakukan kepada orang lain sesuatu yang kau sendiri tidak mau dilakukan oleh orang lain kepadamu." Orang kate itu berusia kurang lebih lima puluh tahun, rambutnya terdapat banyak uban dan awut-awutan tak terurus. Mukanya kotor penuh daki dan wajahnya menunjukkan watak sembarangan dan tidak pedulian, tapi sepasang matanya mengeluarkan sinar tajam berpengaruh yang tertutup oleh pelupuk mata yang selalu tampak seperti orang mengantuk. Bu Beng diam-diam herean dan menduga-duga siapakah pengemis tua yang luar biasa ini. Sementara itu, mendengar ejekan Bu Beng, ANg Hwat Tojin menjadi malu dan mukanya berubah merah. Ia kibas-kibaskan kebutannya dan berkata. "Sudahlah jangan banyak mengobrol kata-kata busuk yang tak berharga. Sekarang kalian sebagai tamu yang sudah datang maka kami sebagai tuan rumah hendak bertanya apakah kehendak kalian" Apakah kau masih sakit hati dan hendak mengadu tenaga dengan pinto, orang she Lui?" ia menantang sikapnya sombong dan memandang rendah. Bu Beng mewakili Lui Im menjawab, "Ang Hwat Tojin maafkan aku yang muda ikut bicara. Kalau dipikir dalam dalam kau sebenarnya tidak mempunyai hubungan sesuatu dengan Lui Im. Maka, jika kiranya Tan pangcu masih belum puas, ia boleh ada tenaga dengan Lui pangcu. Tetapi sebenarnya menurut pikiranku yang bodoh, tak perlu permusuhan ini dilanjutkan berlarut-larut, mengingat bahwa keduaduanya adalah ketua dari perkumpulan besar yang seharusnya dapat memberi teladan baik bagi semua anggotanya dan mejauhi pertikaian yang tiada guna. Adapun kau sendiri karena kau menjadi orang undangan Tan pangcu, jika kau hendak main-main, sudah terang bahwa Lui pangcu bukan tandinganmu. Bukannya aku yang muda mau berlaku sombong, tapi kasihan kalau Lui pangcu yan sudah tua itu harus menjadi korban totokanmu lagi, biarlah ia kuwakili denan tubuhku yang lebih muda." "Sudah kusangka, sudah kusangka. Lui Im takkan berani datang kesini kalau tidak ada orang yang diandalkan. Tentu kau mempunyai kepandaian yang lebih tinggi daripada orang she Lui itu. Nah, majulah, majulah anak muda biar kita main-main sebentar." Bu Beng maju dua langkah dan setelah menjuru kepada lawannya, ia mencabut pedang pendeknya dari punggung. Ang Hwat Tojin melihat pedang itu menjadi kaget dan berseru, "Tahan dulu ! siapakah namamu?" "Orang sebut aku Bu Beng." "Bu Beng Kiamhiap" Kaukah ini" ha, ha , ha ! ini namanya ular dicari-cari kemana-mana tidak terdapat, tahu-tahu ular itu merayap kearah kaki! Hm, jadi kaukah yang telah membinasakan suteku dan merampas pedangnya" Hayo kembalikan Hwe hong kiam itu padaku!" Bu Beng memutar-mutar pedang pendeknya dan tersenyum. "Gampang saja kau mau minta pedang ini. jadi kau ini suheng dari Kong Bouw " sungguh heran, seorang pendeta mempunyai sute kepala penjahat yang kejam dan ganas! Ketahuilah, Ang Hwat Tojin, sutemu biarpun mati di tanganku tapi sebenarnya ia mati karena kejahatan dan dosanya sendiri. Kalau ia tidak jahat dan penuh dosa, masakan dia dapat bertempur dengan aku" Dan kalau tidak bertempur dengan aku, masakan dia dapat tewas" Tenang Hwe hong kiam ini, aku dapatkan setelah bertempur mati-matian dikeroyok oleh Kong Bouw dan komplotannya. Maka sekarang, kalau kau hendak memilikinya, ambillah dari tanganku. Pedang ini tidak pantas dimiliki untuk melakukan kejahatan. Sudah cukup pedang ini menderita karena siraman darah orang-orang yang tidak berdosa, kini aku harus mencuci segala noda itu dengan darah orang-orang jahat yang layak menjadi korbannya." Bukan main marahnya Ang Hwat Tojin mendengar uraian itu. Ia menggerakkan tangan kanan mencabut pedang yang terselip di punggungnya. Kemudian sambil menggeram keras ia maju menyerang. Bu Beng berlaku hati-hati karena dulu ia telah bertanding dengan Kong Bouw yang ternyata ilmu silatnya hebat juga. Kini berhadapan dengan suheng kepala penjahat itu, ia harus berhati-hati kareena tentu saja suhengnya lebih hebat daripada sutenya. Serangan lawan itu ditangkisnya dan cepat ia balas menyerang dengan tipu berbahaya dari Kim liong kiam hoat. Pedang Hwe hong kiamnya berkilat seperti kilat menusuk dada lawan. Ang Hwat Tojin terkejut melihat ini dan cepat cepat ia gunakan kebutannya yang dipegang tangan kiri untuk menyabet pedang itu dengan gerakan "ular putih melilit dahan". Kebutan itu benar saja telah melilit peadang Bu Beng dengan kuatnya. Bu Beng kaget juga melihat kehebatan imam itu. Ia mencoba manarik pedangnya, tapi makin ditarik makin keras saja libatan itu. Mereka berdua mengerahkan tenaga, Bu Beng menarik dan lawannya menahan. Tibatiba Ang Hwat Tojin menusukkan pedangnya ketenggorokan Bu Beng. Bukan main hebat dan berbahayanya serangan ini justru pada saat Bu Beng sedang mengerahkan tenaga kearah pedangnya yang terlibat! Anak muda itu memutar pergelangan tangannya untuk membalikkan mata pedang dengan maksud menggunakan mata pedang itu membabat kebutan itu sambil ia berkelit merendahkan tubuhnya menghindari tusukan lawan. Ang Hwat Tojin merasakan lilitan kebutannya tiba-tiba mengendur dan ketika ia lihat, bukan main rasa panas dan marahnya kaarena ternyata kebutannya telah putus oleh tajamnya pedang hwe hong kiam. Dengan marah ia ayunkan gagang kebutan yang erbuat dari besi itu kearah Bu Beng. Bu Beng maklum akan kerasnya ayunan itu, maka ia tidak berani menerimanya, dan mengelakkannya. Gagang kebutan itu terlempar kesisi dan menancap diatas tanah hingga tak kelihatan lagi. Demikian hebatnya tenaga imam itu, hingga kalau gagang kebutan itu mengenai tubuh, maka dapat dibayangkan betapa hebat akibatnya. "Bangsat kecil lihat pedang!" Ang Hwat Tojin berseru marah. Ia memutar pedangnya demikian rupa sehingga sinarnya berkilauan karena cahaya api obor. Ia menggunakan ilmu pedangnya "Halilintar mengamuk" menyerang dengan tiba-tiba dan mematikan. Tapi Bu Beng menghadapinya dengan gagah. Pemuda ini memainkan Kim liong kiam hoat dicampur denagn tipu-tipu pedang dari Hoa san pai yang hebat hingga sinar pedangnya bergulung-gulung menindih sinar pedang imam itu, pertempuran berjalan ramai sekali, mereka merupakan sepasang naga yang sedang bercanda, mendatangkan angina dingin bersiutan karena gerakan mereka yang didorong oleh tenaga iweekang yang tinggi. Semua orang melihat jalannya pertempuran dengan bengong dan kagum. Bahkan orang tua kate yang kini berdiri dengan tongkat terjepit dibawah lengan turut menonton. Berkali-kali terdengar bisikan di mulutnya yang kecil. "Bagus, bagus ..." Pada satu saat, ketika Ang Hwat Tojin menusuk karah ulu hati Bu Beng, pemuda itu menggerakkan pedangnya menangkis, tapi ia terus gunakan tenaga iweekangnya menempel pedang lawan, memutar lenganya dengan cepat hingga Ang Hwat Tojin terpaksa mengikuti gerak putaran itu dan sekali menyenakkan pedang pendeknya keatas, Ang Hwat Tojin berteriak kaget dan pedangnya terlepas dari tangannya terbang ke udara. Ketika pedangnya mengikuti putaran tadi, Ang Hwat Tojin merasa telapak tangannya kesemutan dan pedangnya seakan-akan menempel ke pedang lawan, dan ketika ia sedang kebingungan untuk melepaskan pedangnya dri tempelan, tiba-tiba tenga keras menarik pedangnya dan sentakan lawan membuat ia tak dapat menahan lagi hingga pedangnya terpelanting keatas. Sebelum Ang Hwat Tojin hilang kagetnya, jari tangan Bu Beng secepat kilat menusuk dan menotok jalan darah di pundaknya. Pendeta itu jatuh terduduk dan tak dapat bangun kembali, karena totokan yang hebat itu membuatnya lumpuh dan mati setengah tubuhnya. "Bangunlah, Ang Hwat ojin, bangunlah," tiba-tiba pengemis kate itu berkata dan menggunakan tangannya memegang pundak Ang Hwat Tojin sambil membantunya bangun. Tapi diam-diam orang kate itu menggunakan tangannya menekan pundak dengan gerakan capung melayang memukul air untuk menyembuhkan totokan Bu Beng. Ang Hwat Tojin segera dapat bangun berdiri dengan wajah merah dan sepasang matanya memandang lawan yang muda itu dengan melotot. Orang kate itu menghadapai Bu Beng dan bertindak maju sampai hanya tiga kaki terpisah dari Bu Beng. Ia masih mengempit tongkatnya dan menjuru sambil merangkapkan kedua tangan. "Bu Beng Taihiap, kau sungguh hebat dan membuat aku sangat kagum." Katanya Jago Pedang Tak Bernama Bu Beng Kiam Hiap Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo dengan senyum. Bu Beng merasa ketapa dari kedua lengan itu menyambar tenaga besar hingga ia sangat terkejut. Buru-buru ia rangkapkan kedua tangan sambil mengerahkan iweekangnya dan balas menjuru. "Losuhu terlalu memuji. Mohon keterangan siapakah losuhu ini?" si kate yang sedang mencoba kehebatan anak muda itu merasa tenaganya terpukul kembali hingga diam-diam ia makin mengagumi Bu Beng. "Ha, ha, sungguh hebat. Sungguh hebat. Masih semuda ini, tapi memiliki kepandaian yang tak tercela. Dengarlah anak muda, lohu disebut orang Pengemis Kecil tongkat Wasiat. Namaku Lo Sam dan pekerjaanku mengemis." Kembali Bu Beng terkejut. Tak heran bahwa pengemis kate ini demikian hebat, sebab ia adalah ketua perkumpulan pengemis dari daerah barat yang sangat terkenal namanya! Tapi, menurut Kim Kong Tianglo, suhengnya, Lo Sam adalah seorang yang sangat mengutamakan budi kebaikan, bahkan ia berlaku sangat bengis terhadap anggota-anggota perkumpulannya, karenanya iaa sangat dipuji kaum persilatan. Tapi kini ia membantu orang semacam Ang Hwat Tojin dan Tan Tek Seng. Bu Beng menjuru dengan hormat. "Tidak kusangka Lo enghiong yang kuhdapi. Maaf, maaf, kalau aku yang muda berlaku kurang hormat. Dengan adanya loenghiong disini, siauwte yakin bahwa urusan ini pasti dapat diselesaikan dengan damai dan sempurna, karena siauwte sudah mendengar tentang keadilan loenghiong." "Hm, hm, kau pandai membawa diri, anak muda. Bolehkah aku mengetahui siapa gurumu yang mulia"' "Kiranyaakan cukup jika siauwte katakana bahwa siauwte adalah adik seperguruan dari Kim Kong tianglo." "Oo ... begitukah" Tak heran kau begitu hebat! Tak kusangka kau adalah murid dari Hun San Tojin almarhum." Sementara itu Ang Hwat Tojin pun terkejut ketika mengetahui bahwa pemuda itu adalah sute dari Kim Kong Tianglo, karena ia sendiri pernah jatuh dalam tangan hwesio yang lihai itu. "Bu Beng Taihiap, karena kau masih muda, maka biarpun sifat-sifatmu baik, namun kau masih juga dikuasai oleh nafsu berkelahi. Ketahuilah kedatanganku ini walaupun memenuhi undangan Ang Hwat Tojin tapi bukan sekali-kali untuk mengadu kepandaian. Aku sengaja datang untuk mendamaikan urusan ini. sebetulnya telah kuketahui bahwa Tan pangcu maupun Lui pangcu kedua-duanya adalah orang-orang baik dan jujur. Sayang mereka berdua kurang luas pandangannya dan mudah saja terbakar oleh murid-murid atau anggota-anggota mereka hingga terjadi bentrokan ini. sebenarnya apakah untungnya untuk berkelahi antara kita sendiri" Kita sikurniai kepandaian bukanlah dimaksudkan untuk mencari permusuhan, tapi bahkan sebaliknya, membinasakan segala kejahatan, bukankah demikian" Kalau permusuhan didendamkan makin mendalam hingga terjadi balas membalas, siapakah yang rugi" Tak lain kita sendiri karena di dunia ini tidak ada orang terpandai!" bu Beng heran mendengar kata-kata yang lancer dan berisi itu, karena melihat orangnya yang kecil pendek itu tak tersangka dapat bicara demikian panjang lebar dan penuh isi. Dan terpaksa ia membenarkan uraian tadi dan berkata. "Loenghiong benar sekali, siauwte juga akan merasa gembira sekali jika hal ini dapat dibereskan secara damai." Melihat perkembangan urusan ini hati Tan Tek Seng menjadi lemah. Sejak tadipun, setelah melihat betapa Ang Hwat Tojin yang ia andalkan dapat dijatuhkan oleh tangan kawan Lui Im, ia sudah merasa putus harapan untuk mempertahankan namanya. Harapan satu-satunya tinggal kepada Lo Sam yang ia tahu betul kehebatannya. Tapi kini mendengar kata-kata pengemis pendek kecil itu, lenyaplah harapan satusatunya. Ia tahu diri maka segera ia maju dan menjuru kepada Lo Sam sambil berkata, "Memang ucapan loenghiong tadi sangat tepat. Aku mengaku salah telah terlibat dalam pertempuran anggota-anggotaku yang tak berarti hingga terjadi bentrokan dengan Lui pangcu. Tapi karena kesalahan terletak dikedua pihak yang tidak mau mengalah hingga aku meminta bantuan Ang Hwat Tojin dan loenghiong sendiri sedangkan di pihak Lui pangcu juga minta bantuan Bu Beng Taihiap yang tinggi ilmu kepandaiannya ini, hatiku merasa sangat penasaran sebelum menyaksikan pihak manakah yang lebih hebat kawannya. Ang Hwat Tojin sudah terkalahkan tapi aku masih ada loenghiong yang datang kesini atas undanganku. Maka aku yang bodoh mohon dengan sangat untuk menambah pengetahuanku yang rendah, sudilah loenghiong melayani Bu Beng Tahiap bermain-main sebentar secara sahabat. Jika Bu Beng Tahiap yang masih muda tapi sangat hebat ini ternyata lebih unggul daripada loenghiong, maka denan rela aku akan minta maaf lebih dulu kepada Lui pangcu. Sebaliknya jika Bu Beng Taihiap tak dapat mengalahkan kepandaian loenghiong, sudah sewajarnya kalau Lui pangcu yang minta maaf lebih dulu dan kami berdua selanjutnya menghabiskan permusuhan ini dan melanjutkan persahabatan semula. Bagaimana pendapatmu Lui pangcu?" Lui Im yang sejak tadi sangat kagum melihat kehebatan Bu Beng, dan ia mengerti pula bahwa Lo Sam bukanlah orang sembarangan, maka iapun ingin sekali melihat kedua orang ini mengadu ilmu agar ia dapat menyaksikan untuk menambah pengalaman. Melihat sikap tan Tek Seng yang tiba-tiba berubah manis, iapun bergembira dan sambil tersenyum ia berkata, "Setuju, setuju! Tapi tentu saja saya tidak dapat dan tidak berani memaksa Bu Beng Taihiap saya hanya mengharapkan persetujuannya saja." Lo Sam tertawa tergelak-gelak. "Ah, ah memang kedua pangcu ini jahat dan usilan! Memaksa aku yang tua dan Bu Beng Taihiap yang hebat ini akan dijadikan jago aduan dan mereka berdua dengan enak bertaruhan" Ah, tak beres, tak beres!" Bu Beng tersenyum dan sambil menggeleng-gelengkan kepala berkata, "Ah, mana berani siauwte berlawan tangan dngan Lo Sam loenghiong" Sudah lama siauwte mendengar kehebatannya, bagaimana siaute dapat menandinginya" Lui pangcu sebaiknya kau saja yang mengalah dan minta maaf lebih dulu untuk menjaga mukaku!" "Ha, ha kau sungguh tahu diri dan pandai merendahkan diri, sobat muda," kata Lo Sam. "belum tentu lohu dapat mengalahkanmu. Kulihat kepandaianmu lebih tinggi daripada Kim Kong Tianglo suhengmu itu. Mari, biarlah kita menjadi dua pelawak sebentar dan memenuhi kehendak kedua pangcu yang jahat ini." bu Beng terpaksa maju menghampiri dan memasang bheksi pertahanan dengan sikap mempersilakan orang tua itu bergerak dulu. tapi Lo Sam sambil memperdengarkan suaranya yan nyaring menggoyang-goyangkan tongkatnya dan berkata, "Anak muda, kiam hoatmu tadi kulihat hebat sekali, kalau tidak salah itu adalah Kim liong kiamhoat maka cabutlah pedangmu, biar kucoba dengan tongkat usangku ini.'" Bu Beng terpaksa mengeluarkan pokiamnya dan lagi-lagi memasang kuda-kuda pertahanan. Lo Sam tidak sungkan-sungkan lagi, dengan seruan "awas" ia ayun tongkatnya menyerang, dengan cepat Bu Beng memperlihatkan kelincahannya, dan berkelit kesamping sambil menggunakan pedangnya mengait ujung tongkat dan pedang saling serang bagaikan menjadi satu bundaran hingga menyilaukan mereka yang menonton. Tak percuma Lo Sam digelari orang Tongkat Wasiat, karena permainan tongkatnya betul-betul hebat. Dan Bu Beng harus mengeluarkan seluruh kegesitan dan keahliannya untuk dapat mengimbangi permainan pengemis kate ini. tapi sambaran tongkat mendatangkan angina tajam mengiris kulit. Setelah bertempur lebih lima puluh jurus dengan tak tentu siapa yang lebih unggul Bu Beng segera mrubah gerakannya dan kini mencampur ilmu pedangnya dengan pukulan-pukulan Hoa san oai. Dalam menyerang ia gunakan Kim liong pai dengan denagn campuran Hoa san pai, sedangkan ketika menangkis ia gunakan campuran Kim liong paid an Go bi pai. Lo Sam mengeluarkan seruan "hebat" karena kagum dan heran. Ia kagum sekali melihat ilmu pedang campuran yang hebat dan tak terduga gerakan-gerakannya itu dan heran bagaimana cara menggabungkan ilmu-ilmu itu demikian mahirnya. Tak ia sangka bahwa pemuda itu akan dapat bertahan demikian lamanya melawan ilmu tongkat tunggalnya yang telah menjagoi di seluruh daratan Tiongkok berpuluh-puluh tahun lamanya. Lo Sam merasa penasaran juga, maka kalau tadinya ia hanya menggunakan ilmu tangkisan dengan gerakan Dinding Tebal Ribuan Laksa hingga tongkatnya berputar menutupi seluruh tubuhnya hingga tak memungkinkan pedang Bu Beng dapat melukainya, kini ia robah gerakannya bersilat dengan ilmu toya dan tongkat Pat kwa mui yang diandalkan. Gerakan-gerakannya tidak kalah hebatnya ddari gerakan Bu Beng, bahkan serangan-serangannya berubah=ubah dari delapan penjuru sambil menangkis serangan pemuda itu dari manapun. Namun biaroun Bu Beng masih muda tapi sudah terlatih hebat dan ilmu silat Pat kwa mui itupun pernah ia pelajari jalan-jalannya di bawah petunjuk gurunya, hingga kini setelah menghadapi ilmu itu ia tak menjadi gentar dan dapat menduga gerakan-gerakan lawan. Hanya saja, belum pernah ia menemukan seorang lawan yang demikian mahir dalam ilmu ini dan gerakan-gerakannya banyak terdapat kembangan-kembangannya yang diciptakannya sendiri, maka tak heran kalau Bu Beng harus berlaku hati-hati agar jangan sampai tertipu. Makin lama pertempuran berjalan makin hebat hingga ratusan jurus. Pada suatu saat, ketika pedangnya ditangkis oleh Lo Sam dengan gerakan Dewa Arak Keluar dari Pintu selatan. Bu Beng teruskan ujung pedangnya yang tergempur kesamping itu untuk membabat pinggang lawan dengan sepenuh tenaga. Serangan ini hebatsekali karena pemuda itu menggunakan tenaga dalamnya diiringi bentakan "lihat pokoam" untuk menambah tenaga semangatnya. Melihat datangnya serangan hebat ini Lo Sam terkejut sekali karena saat itu tongkatnya sedang terdorong maju dalam melakukan gerakan tangkisan tadi, maka secepat kilat ia membalikkan tangannya hingga tongkatnya menyambar kesamping, terus ia gunakan tenaga sekuatnya untuk menangkis pergi pedang lawan. Dua buah senjata pusaka yang apuh digerakkan oleh dua tangan raksasa yang mengandung tenaga iweekang tinggi beradu di tengah-tengah udara. Terdengar suara keras sekali dan kedua lawan itu masingmasing merasakan telapak tangan mereka tergetar hebat hingga kedua-duanya tak dapat menahan pula, dan kedua senjata itu terlepas dari pegangan! Pada saat itu pula masing-masing meloncat mundur beberapa kaki dan berdiri diam untuk menarik napas. Lo Sam masih berdiri diam sambil memejamkan mata ketika pemuda itu berjalan maju untuk memungut kedua senjata itu. Ketika pengemis kate itu membuka matanya, ia melihat pemuda lawannya telah brdiri di hadapananya sambil menyerahkan tongkatnya dengan sikap hormat sekali. "Loenghiong sungguh gagah, siauwte tunduk sekali." Lo Sam menghela napas. "Memang gurunya naga muridnyapun naga. Seumur hidupku dalam perantauan beribu-ribu li belum pernah aku menjumpai lawan semuda dan sehebat kau, anak muda. Kau betul-betul membuat lohu merasa seperti seekor katak melawan ular. Kiam hoatmu luar biasa sekali. Nah, kini berlakulah murah untuk melayaniku dalam ilmu silat tangan kosong beberapa jurus saja." Bu Beng menjuru "Siauwte bersedia melayanimu, loenghiong." Demikianlah, jago tua itu kembali bertanding dengan Bu Beng, dan hanya menggunakan kepalan dan tendangan. Tapi dalam ilmu silat tangan kosong, setelah bertempur kurang lebih lima puluh jurus dengan hebat, ternyata bagi Bu Beng bahwa Lo Sam tak berapa kuat dan gerakan-gerakannya tidak semahir ilmu tongkatnya. Hanya orang tua itu memiliki kuletan dan kematangan berlatih saja. Kalau ia mau, dengan mudah ia dapat melanjutkan serangan maut dan menjatuhkan pengemis kate itu, tapi Bu Beng tidak tega berlaku kejam terhadap orang tua itu. Maka, ia hanya melayani saja permainan Lo Sam sambil mengunakan ginkangnya yang luar biasa sehingga lama-lama Lo Sam merasa lelah dan pening. Dalam keadaan lelah Lo Sam menggunakan kedua telapak tangannya memukul dada Bu Beng dengan tipu dewa menyuguh dua buah tho, ialah gerakan sederhana tapi mengandung tenaga dalam yang kuat sekali. Bu Beng yang melihat bahwa lawannya telah lelah, mengambil keputusan untuk mengakhiri pertandingan ini. dan mereka lalu mengeluarkan kedua tangan mereka dengan kepalan terbuka dan bejabat. Empat tangan beradu tanpa mengeluarkan apa-apa, tapi karena gerakan itu mengandung tenaga dalam, Lo Sam terhuyung ke belakang sampai lima langkah! Raja pengemis kate itu menjuru kearah Bu Beng dan berkata, "Bu Beng Taihiap sungguh hebat, lohu mengaku kalah." Bu Beng segera membalas memberi hormat. "Loenghiong sengaja mengalaj, siauwte yang sebenarnya kalah." Mendengar kata-kata kedua orang itu. Tan pangcu dan Lui Im saling pandang, karena mereka sesungguhnya tidak mengerti siapakah yang lebih unggul. Di waktu Lo Sam terhuyung lima langkah tadi, Bu Beng sengaja mundur juga sampai lima langkah! Maka kedua pangcu itu segera saling menjuru menyatakan maaf dan damailah kedua pihak. "Ha, ha ha ! puas hatiku melihat hal ini dapat dibereskan secara damai! Lebih puas lagi karena aku telah menemukan seorang pendekar muda yang gagah perkasa. Cuwi, contohlah Bu Beng Taihiap yang masih muda ini tapi yang patut dibuat teladan. Ia demikian hebat tapi selalu berlaku mengalah menjauhi permusuhan. Biarlah dengan jalan ini lohu mengundang cuwi sekalian untuk pada permulaan musim Cun tahun depan ini mengunjungi pondokku di Lok Leng Ceng, turut merayakan pesta kecil yang akan lohu adakan guna memperingati tahun ketiga belas dari pendirian perserikatan pengemis seluruh daratan timur. Waktu itu sungai Yang ce sedang tenang dan cuwi tentu akan menikmati pemandangan indah disana." Semua orang menjuru menyatakan terima kasih. "Kini taihiap hendak pergi kemanakah?" tiba-tiba Lo Sam bertanya. Dengan singkat Bu Beng menuturkan maksudnya hendak ke pulau Ang coat ho atau pulau ular merah. Lo Sam mengerutkan jidat dan menggeleng-gelengkan kepala. "Perjalanan berbahaya. Ah, betapa[un juga lohu percaya bahwa kau pasti akan berhasil mendapatkan obat itu. Tahukah taihiap cara pengobatan dengan mustika ular itu?" mendapat pertanyaan itu Bu Beng menjadi bingung karena sesungguhnya ia belum tahu cara bagaimana menggunakan obat yang tengah dicari-carinya itu. "Baiknya lohu pernah mendengar tentang penggunaan obat mustika ular untuk menyembuhkan berbagai penyakit beracun. Baiklah lohu tuliskan resepnya untuk dicampur dengan obat itu." Tan pangcu segera mengambil kertas dan alat tulis dan Lo Sam segera menulis resep itu. "Taihiap belilah obat menurut resep ini di took obat dan campurkan dengan mustika ular itu untuk dimakan oleh yang sakit." Bu Beng menerima resep sambil mengaturkan terima kasih. Kemudian Lo Sam meninggalkan tempat itu sungguhpun ditahan oleh pangcu dari Hong bu pang , Bu Beng juga bermohon diri untuk melanjutkan perjalanannya. Karena menghadapi urusan Lui Im tadi, Bu Beng terlambat dan tertahan tiga hari. Maka kini ia percepat tindakan kakinya. Ia berjalan langsung kearah utara dan dua hari kemudian tibalah ia di kampong Po Teng dimana mengalir sungai Yang ce kiang yang lebar dan melintasi kampong itu bagaikan seekor naga raksasa. Airnya mengalir perlahan tapi jika musim hujan tiba, air itu akan berubah besar dan deras sekali, merupakan bencana yang dalam beratus-ratus tahun telah membinasakan entah berapa ratus ribu jiwa rakyat. Beberapa perahu tampak hilir mudik, karena di dalam air telah terkenal menjadi gudang ikan yang menjadi sumber penghasilan para nelayan. Ketika mencari perahu, ternyata Bu Beng tak bisa mendapatkan seorangpun yang sanggup membawanya ke samudra. "Ke laut" Ah, tuan muda siapa yang berani menempuh perjalanan demikian jauh" Jaman sekarang sedang kacau balau dan dimana-mana ada orang jahat. Perjalanan itu jauh sekali dan memakan waktu berminggu-minggu. Semua perahu disini hanya sanggup menyeberangkan ke tepi sana atau mengantarkan ke kampong yang berdekatan saja. Biar dibayar berapapun, saya rasa tiada seorangpun yang akan berani harus menempuh segala macam bahaya dan meninggalkan keluarga untuk berminggu-minggu," demikian keterangan yang ia dapat dari seorang nelayan tua itu. "Habis, apa yang harus kulakukan untuk dapat mencapai laut?" Tanya Bu Beng dengan suara sedih dan perlahan, seakan-akan tengah berbicara kepada diri sendriri. Nelayan tua itu agaknya kasihan melihat Bu Beng. "Tuan muda, kalau saja kau bisa membujuk Hek Houw barangkali kau dapat melanjutkan niatmu. Kalau tidak jangan harap kau bisa berlayar ke samudra." "Hek Houw" Siapakah dia?" Tanya Bu Beng yang mendapat harapan baru. "Hek Houw nelayan muda. Tapi adatnya sukar diladeni. Sekarang ia tentu sedang membuang-buang uangnya di kedai arak lagi," kata orang tua itu sambil menggeleng-gelengkan kepala. Setelah mengetahui dimana letak kedai arak itu, Bu Beng segera menujukan langkahnya kesitu. Ketika tiba di luar kedai, ia mendengar suara seorang yang kasar dan parau tapi cukup nyaring tengah berteriak-teriak marah. "Kalian ini semua orang apa! Tak lain dari orang-orang lemah penjilat, dan tak tahu arti hidup! Lihat aku, biar namaku Hek Houw, tapi hatiku tidak kalah tabahnya dengan seekor Hek houw (harimau hitam) tulen. Aku cari uang untuk minum arak, aku bekerja dengan tenaga tak mengandalkan kelicikan seperti kalian. Apakah kalau tidak mencampur arak dengan air kalian tidak bisa hidup kaya" Apakah kalau tidak kaya karena uang tipuan kalian tidak puas" Hayo jawab, kalau tidak akan kuhancurkan kepalamu seorang demi seorang!" "Jangan marah, Hek twako," terdengar suara lemah. "Kami tidak menipumu. Arak ini memang arak tulen yang kami beli dari Lo bee chung di barat sana. Entah kalau arak ini dicampur air oleh perbuatnya, karena bukan kami yang membikinnya." "Ah, alasan saja! Dulu pernah aku beli arak dari sana tapi semua arak tulen, Jago Pedang Tak Bernama Bu Beng Kiam Hiap Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo tidak seperti ini. arak palsu, apakah uangku ini juga palsu?" Bu Beng bertindak masuk dan melihat seorang tinggi besar yang bermuka hitam tengah berdiri bertolak pinggang sambil memandang ke kanan kiri dengan mata melotot. Beberapa orang berdiri di sudut dengan takut-takut. Si muka hitam itu masih muda, paling banyak berusia dua puluh tahun. "Sekarang begini saja. Ganti arakku ini dan keluarkan arak yang tulen, kalau tidak, kalian enam orang ini harus keluar dengan aku dan berkelahi mengeroyokku agar dapat kupersen pukulan satu-satu." "Kami tidak punya arak tulen selain ini Hek twako." "Bohong!" dan kepalan tangan di hitam itu memukul meja hingga meja kayu itu menjadi pecah. "Sabar, saudara, tidak sepatutnya orang beli dengan main paksa?" Hek Houw berpaling cepat dan memandang penegurnya dengan mata melotot. Bu Beng kini dapat melihat wajah orang hitam itu dengan jelas. Wajah yang jujur tapi bodoh, pikiranya. "Apa" Siapa kau berani menegurku?" Bu Beng tidak menyahut, tapi menghampiri tempat arak dan menggunakan telunjuknya untuk mencoba rasanya. "Hm, benar-benar bercampur air," katanya sambil memandang kepada tukang warung. "Tidak adakah yang lebih baik?" Tukang warung yang setengah tua berkata perlahan. "Ada sih ada, tapi Hek Houw hanya mempunyai uang dua chi sedangkan hutangnya yang kemarinpun belum dibayar. Bagaimana ia dapat kami beri arak tulen yang mahal harganya?" Bu Beng tersenyum. "Keluarkan arak tulen satu guci biar aku yang bayar. Ini uangnya." Dilemparnya potongan uang perak diatas meja. Dengan tindakan lebar Hek Houw menghampiri Bu Beng. "Eh, orang sombong! Kau juga orang kaya yang jumawa ya" Kau kira aku sudi minum arakmu" Kau mau andalkan uangmu untuk bertingkah?" tinjunya yang segede buah kelepa diayun-ayunkan di depan hidung Bu Beng. "Siapa yang menyombong" Aku sengaja datang kesini untuk mejumpaimu dan mengajak minum arak. Apakah itu sombong namanya?" "Sabar, Hek twako," kata tukang kedai, "tuan ini rupanya mengajak bersahabat denganmu. Bukankah itu baik sekali?" "Hm, hm," Hek Houw mengeluarkan suara ejekan dari hidung. "apa maksudmu mencari aku" Ingin membeli ikan" Menyewa perahu?" Bu Beng mengangguk. "Aku hendak menyewa perahumu." "Tidak bisa!" Bu Beng heran mendengar jawaban tegas dan singkat ini. benar-benar seorang yang aneh adatnya, ia pikir. "Mengapa tidak bisa?" "Tidak bisa, habis perkara. Jangan banyak cakap seperti perempuan!" Tiba-tiba Bu Beng tertawa. Hek houw memandang mukanya dengan tercengang. "Menhapa kau tertawa?" "Karena melihat kekhawatiranmu. Kau khawatir aku tak dapat membayar sewanya" Jangan takut, kawan, berapa saja uang sewanya akan kubayar." "Hm, aku tak butuh uang!" Bu Beng makin heran tapi ia tertwa lagi, kini lebih keras. Hek Houw maju setindak. "Hati-hati, kawan, kalau sekali lagi kau ketawa, alamat hancur kepalamu kutinju. Mengapa kau tertawa lagi?" "Karena ternyata kau penakut. Kau takut bertemu bajak sungai." "Kenapa begitu?" "Karena aku hendak menyewa perahumu menuju ke laut." Hek Houw terkejut. "ke laut ?" kau ....?"" Ia maju lagi selangkah, kini tepat di depan Bu Beng. "Jangan main-main kawan, aku Hek Houw tidak takut siappun juga. Aku tidak takut bajak sungai atau bajak laut yang manapun juga. Tapi ..............kau sendiri, orang kurus kering dan lemah ini, berani mengatakan aku takut, apakah kau sendiri berani menghadapi bajak sungai?" Bu Beng angkat dada. "Mengapa aku tidak berani?" "Ha, agaknya kau mengerti ilmu silat maka berani menghadapi bajak sungai!" "Sedikit-sedikit aku mengerti," jawab Bu Beng dengan hati geli. Tiba-tiba Hek Houw menepuk-nepuk pundaknya. "Bagus, bagus! Nah, mari kita adakan perjanjian. Kau yang kurus kering ini mengadu tenaga dengan aku, kalau kau kalah, maka bawalah kesombonganmu itu ke lain tempat dengan segera." "Kalau kau yang kalah?" "Aku " kalah olehmu" Ha ha ha kalau aku kalah, baiklah kuantar kau. Jangankan ke laut, ke neraka jahanampun akan kuantar. Dan semua itu tanpa ongkos satu chipun!" "Baik, mari kita keluar," tantang Bu Beng. Mereka keluar kedaiitu, dibuntuti oleh enam orang tadi yang memandang Bu Beng dengan keheranan. Apakah orang itu mencari mampus" Pikir mereka. Bu Beng berdiri sambil bertolak pinggang. "Bagaimana kita harus mengadu tenaga" Berkelahi?" "Tidak. Kalau berkelahi kau akan mampus. Begini saja kita saling pukul tiga kali. Kau pukul dulu padaku tiga kali dan kemudian aku akan memukulmu tigakali. Siapa yang jatuh ia kalah." Bu Beng maju dan menggunakan tangan kanannya meraba-raba dada Hek Houw yang bulat dank eras. "ah, dadamu begini lunak. Lebih baik kau saja yang memukul aku dulu. kalau aku memukul dulu, maka kau tentu takkan kuat membalas lagi." Hek Houw terheran-heran, demikian juga enam oranag itu yang memperdengarkan suara ketawa. Hek Houw menengok kearah mereka. "Ada apa kau tertawa" Orang ini berhati tabah, tidak seperti kamu!" lalu ia menghadapi Bu Beng lagi. "jangan kau sungkan begitu kawan. Lebih baik kau yang memukul dulu." "Tidak , kalau kau tidak mau memukul dulu, tidak jadi saja dan kuanggap kau takut." "Apa katamu" Baik, kalau kau mencari mampus sendiri. Mari bersiaplah!" Bu Beng memasang kuda-kuda dan pasang dadanya. "Nah, pukullah yag keras." Hek Houw mengayunkan pukulan kanannya kearah dada Bu Beng. Ia hanya menggunakan sebagian tenaganya karena khawatir kalau-kalau orang itu terpukul mampus. "Duk!" dan Hek Houw heran sekali karena ia rasakan bagaikan memukul karet hingga kepalanya terpental kembali. "Ah, puulanmu seperti bakpauw saja. Empuk dan lunak," Bu Beng mengejek. Enam orang itu tertawa ditahan. Muka Hek Houw merah dan ia kepalkan tangannya makin keras. "Awas, terimalah pukulan kedua." Hek Houw memukul lagi, kini sepenuh tenaga. "Bluk!" dan orang muka hitam ini makin heran karena dada yang terpukul itu bagaikan kapas hingga oukulannya tak berbekas! Ia memandang heran dan menyangka orang itu menggunakan ilmu sihir. Tapi ia masih penasaran dan berkata, "Hm, coba rasakan pukulan ketiga ini!" Kini ia mengerahkan seluruh tenaga tubuhnya dan memukul sekuatnya. "Duk!" dan heran sekali, pemuda muka hitam itu meringis-ringis kesakitan sambil memegangi tangan kananya karena ia melihat seakan-akan memukul besi! Ketika ia melihat tangannya ternyata tangan itu menjadi merah biru!. "Sudah puas?" Tanya Bu Beng. "Nah, kini tiba giliranku memukul, tidak tiga kali, cukup sekali saja." Mendengar kata-kata sombong ini Hek Houw menjadi marah. "Boleh, boleh!" kata Hek Houw menahan sakit tangannya. "Pukullah , pukullah dadaku dengan kepalan tahumu! Jangan tiga kali, boleh kau pukul enam kali." Hek Houw membuka kancing bajunya memperlihatkan dada yang bidang dan berotot, nampak kuat sekali. Sambil tersenyum Bu Beng maju selangkah dan menggunakan tangan kanannya memukul kearah dada kanan pemuda muka hitam itu perlahan. Semua orang yang kini pada datang menonton pada heran karena seketika itu juga Hek Houw menjerit kesakitan dan jatuh terguling. Kedua tangannya memegang dadanya dan ia mengerang-erang kesakitan. "Aduh .....aduh...." kemudian sambil menahan sakitnya, Hek Houw merangkak dan berlutut di depan Bu Beng. "Suhu ....ampunkan aku yang tak mengenal orang pandai. Suhu akan kuantar kemana saja, biarlah aku korbankan jiwa kalau perlu, asal suhu suka memberi pelajaran padaku tentang cara memukul tadi!." Bu Beng tertawa gelid an merasa kasihan, ia menggunakan telapak tangannya menepuk pundak kanan pemuda hitam itu yang segera membuat sembuh sakit dadanya. Kemudian Bu Beng mengurut tangan yang bengkak matang biru itu hingga perlahanlahan tangan itu sembuh kembali. "Nah , jadi orang janganlah sombong. Hayo kita minum dulu sepuasnya, baru berangkat menuju ke laut." Hek Houw tak berani membantah lagi. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, "Baik suhu." Ia mengikuti Bu Beng masuk ke dalam kedai lalu makan minum sepuasnya. Ternyata Hek Houw adalah seorang yatim piatu tak bersanak dan hidup sebatang kara. Ia memiliki sebuah perahu yang sederhana tapi kuat. Maka setelah makan minum berangkatlah mereka berdua diikuti pandang mata kagum oleh para nelayan di kampong itu. Air sungai Yang ce kiang pada waktu itu tenang. Perahu terbawa aliran air ditambah dengan tenaga pendayung yang kuat dari Hek Houw, maka perahu yang berujung runcing itu meluncur cepat sekali. Lima hari lima malam mereka berlayar dengan cepat, hanya berhenti untuk membeli makanan dan bermalam di kampongkampong sepanjang sungai. Pada hari kelima mereka tiba di kampong Cin hu chung! Kampong itu besar juga, terlihat dari banyaknya perahu-perahu besar yang berlabuh di tepi sungai. Ketika perahu mereka sampai di situ. Bu Beng tertarik melihat keadaan disitu seakan-akan orang tengah berpesta. Rumah-rumah di tepi sungai dihias dan orangorang nampak gembira. Bu Beng menyuruh Hek Houw berhenti. "Kalau suhu sering berhenti, kapankah kita bisa sampai ke laut?" Hek Houw mengomel panjang pendek, tapi Bu Beng tersenyum saja. Mereka mendarat dan Hek Houw menambatkan perahunya pada sebuah tonggakl. Bu Beng lalu bertanya kepada seorang nelayan yangsedang menggulung jala apakah yang sedang dirayakan di kampong itu. "Kongcu tidak tahu, kami sedang bergembira ria menyambut kedatangan seorang pendekar wanita yang telah berhasil membunuh harimau besar yang sering mengganggu penduduk kampong Cin hu chung. Bahkan chungcu sendiri mengeluarkan semua biaya keramaian ini. lihat panggung itu, sebentar lagi nona pendekar kita akan diarak kesitu menerima penghormatan." Bu Beng makin tertarik dan ingin sekali melihat wajah lihiap yang gagah perkasa itu. "Siapakah lihiap itu" Darimana datangnya" Tanyanya. "Namanya kami tidak tahu, karena ia hanya seorang yang sedang lewat disini. Tapi tentang kehebatannya." Nelayan itu memperlihatkan ibu jarinya. "Ia membunuh harimau ganas itu hanya dengan dua buah uang tembaga dan beberapa pukulan dan tendangan saja. Ketika lihiap lewat di hutan sebelah barat kampong ini, tibatiba terdengar deruman hebat dan harimau itu menerkam tanpa permisi." Nelayan itu meniru gerakan harimau dan dengan kedua tangan merupakan cakar ia hendak menubruk kearah Hek Houw yang mendelikkan matanya hingga nelayan itu terkejut dan mengurungkan gerakannya. "api lihiap waspada, ia berkelit kesamping. Harimau yang terkenal jahat dan berkulit keras dapat menahan senjata tajam itu, kemudian menubruk lagi secepat kilat hingga lihiap sibuk juga meloncat kesana kemari menghindari terkaman harimau. Kemudia lihiap menjadi marah dan meloncat pergi beberapa tombak jauhnya dan ketika harimau menubruk kembali, lihiap telah siap dengan dua butir uang tembaga di tangan. Dua kali tangannya terayun dan butalah harimau itu. Kedua matanya ditembusi peluru uang. Nah, setelah buta, harimau itu dengan buas menerkam kekanan kekiri secara serampangan. Saat itu digunakan oleh lihiap untuk memperlihatkan tenaganya. Dua kali tendangan and dua kali pukulan cukup membikin harimau itu roboh tak bergerak dan mampus ! bukan main hebatnya!" ketika Bu Beng akan mengajukan pertanyaan lagi, tiba-tiba terdengar tambur riuh berbunyi dan dari arah barat datang serombongan orang mengarak seorang gadis, berbaju putih. Kalau yang mengarak rata-rata berwajah gembira dan tertawa-tawa riang, adalah gadis yang diarak itu berwajah muram dan tampak berduka. "Eng moi!" Bu Beng tiba-tiba berseru keras dan lari ke rombongan itu. "Ko ko!" gadis itu yang ternyata tidak lain adalah Cin Eng sendiri, lari pula kearah pemuda itu dan mereka saling pegang tangan dengan penuh perasaan haru. "Eng moi, mengapa kau sampai datang kesini?" tiba-tiba Cin Eng menangis dengan sedih. Orang-orang kampong yang tadinya mengarak gadis itu menjadi terheran-heran dan mereka merasa tidak senang kepada pemuda baju kuning itu. Lebih-lebih melihat gadis itu kini menangis, mereka menyangka tentu pemuda itu telah mengganggu pahlawan wanita mereka. Maka dengan muka mengancam mereka menghampiri Bu Beng yang masih memegangi tangan Kesatria Baju Putih 21 Pedang Pusaka Naga Putih Karya Kho Ping Hoo Si Pemanah Gadis 11

Cari Blog Ini