Darah Pendekar 12
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo Bagian 12 sekeliling. Dan memang benar seperti yang dikatakan oleh Siok Eng tadi, air laut makin lama makin berobah war- na menjadi kebiruan dan bau yang masam tadi mulai berobah dengan bau yang wangi, wangi yang aneh seperti sari seribu bunga bercampur bau manis. Dan perlahan-lahan, di antara kabut yang masih remang-remang, nampaklah garis-garis daratan pulau. Tentu saja semua orang me-mandang dengan hati penuh ketegangan karena mereka semua tahu bahwa sebentar lagi mereka akan tiba di tempat yang penuh bahaya. Pulau Selaksa Setan terkenal sebagai pulau terlarang bagi orang luar dan kabarnya, siapapun juga tidak berani masuk karena siapa yang masuk tentu tidak akan dapat keluar kembali dalam keadaan hidup-hidup ! Anak buah Tai - bong - pai memang pem-berani, apa lagi mereka itu mengiringkan nona mereka yang mereka percaya penuh sebagai orang yang memiliki kepandaian luar biasa tingginya. Memang Siok Eng amat mengagumkan. Biar-pun usianya baru tujuhbelas tahun, masih remaja, namun" sikapnya sudah dewasa. Ia bersikap tenang dan berwibawa sebagai seorang yang bertingkat tinggi. Dengan hati - hati ia membagi - bagikan pel pencegah keracunan kepada semua orang, terma-suk Pek Lian. Ada pel anti hawa beracun, pel anti tanaman beracun, berikut minyak pelumurnya un-tuk mengobati luka - luka yang terkena racun. Ia-pun memimpin pendaratan perahu mereka, memi-lih tempat yang agak menonjol ke depan yang di-tumbuhi pohon - pohon rindang sehingga ketika mereka mendarat, mereka terlindung oleh pohon-pohon itu. Waktu itu, tengah malam telah lewat. Bulan tua itu tidak mampu menembusi daun - daun pohon yang rimbun sehingga tempat itu nampak gelap, sunyi dan menakutkan. Di dalam kesunyian itu seperti terasa oleh mereka adanya ancaman maut yang mengintai dari tempat - tempat gelap. Diam-diam Pek Lian sendiri bergidik. Ia adalah seorang gadis gemblengan yang semenjak ayahnya ditawan telah mengalami banyak hal - hal yang mengerikan dan membuat hatinya mengeras dan tabah. Akan tetapi, berada di pulau aneh ini, yang namanya sa-ja Pulau Selaksa Setan dan penghuninya adalah iblis iblis macam kakek dan nenek bergerobak itu, mau tidak mau hatinya gentar juga. Namun ia melihat betapa Siok Eng masih kelihatan te-nang - tenang saja. Dengan tenang dan penuh wibawa Siok Eng berkata kepada para anak buahnya, "Kalian semua tidak boleh turun dari perahu. Siap dan waspada-lah karena tempat ini benar - benar berbahaya. Sama sekali tidak boleh memegang benda - benda atau mahluk hidup di tempat ini karena semua itu mengandung racun yang ganas. Air itu, rumput itu semua mengandung racun. Kalian sudah me-makai obat penawar, akan tetapi, kalau kalian me-megang apa lagi memakannya, belum tentu obat penawar itu akan dapat melindungi kalian. Makan dan minum saja dari perbekalan sendiri. Tunggu di sini sampai tiga hari. Kalau sampai tiga hari ti-ga malam aku belum kembali, kalian pulanglah dan beri laporan kepada ayah. Nah, aku pergi. Hayo, Lian - ci !" Kecut juga rasa hati Pek Lian ketika ia digan-deng oleh Siok Eng meninggalkan perahu di mana semua anak buah Tai - bong - pai menanti itu. Bi-arpun pada waktu lain atau dalam keadaan umum, berada bersama orang - orang Tai - bong - pai yang berbau dupa dan pucat- pucat itu sudah merupakan hal yang menyeramkan, namun kalau dibandingkan dengan memasuki pulau setan itu, sungguh jauh le-bih senang tinggal bersama mereka! Akan tetapi, melihat ketabahan Siok Eng, Pek Lian lalu mene-kan perasaannya. Masa ia harus kalah berani di- bandingkan dengan dara remaja ini " "Mari, adik Eng, dan berhati - hatilah," kata-nya dengan sikap dewasa. "Kaupergunakan ini, enci. Lumurilah semua muka leher dan kedua tanganmu agar kulit - ku-litmu terlindung dari serangan racun," kata Siok Eng sambil menyerahkan sebuah poci kecil di ma-na tersimpan minyak membeku yang berwarna kuning dan berbau harum. Pek Lian lalu memakai minyak itu, dioleskan pada seluruh muka, telinga, leher dan kedua tangannya, pendeknya semua bagian tubuh yang tidak terlindung pakaian. Siok Eng agaknya sudah sejak tadi KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ memakainya dan da-ra ini membantu Pek Lian sampai pemakaian obat penawar itu rata benar. Kemudian merekapun melanjutkan perjalanan di malam remang - remang itu. Biarpun mereka berdua sama - sama belum pernah datang ke pulau ini, namun karena Siok Eng sudah banyak mencari keterangan dan mem-pelajari keadaan pulau ini, maka dara remaja inilah yang memimpin perjalanan. Mereka menyelinap dan menyusup di antara pohon - pohon menuju ke tengah pulau. Tak lama kemudian Siok Eng me-nunjuk ke depan karena sejak tadi mereka tidak mau mengeluarkan suara dan hanya memakai gerak tangan untuk saling memberi tahu. Pek Lian juga sudah melihat adanya lampu-lampu di kejauh-an. Mereka berdua mulai merasa tegang. Itulah sarang penghuni Ban - kwi - to yang amat terkenal itu. Dengan amat hati - hati keduanya menyelinap di antara pohon - pohon, hanya melanjutkan gerakan setelah meneliti lebih dulu dan merasa yakin bahwa tidak ada manusia lain di sekitar tempat itu. Tiba-tiba Siok Eng mengangkat tangan me-nyuruh kawannya berhenti. Mereka berdua ber- sembunyi di balik sebatang pohon besar, po-hon terakhir karena ternyata mereka tiba di tempat yang terbuka, tanah kosong yang tidak ditumbuhi pohon, bahkan tidak ditumbuhi rumput. Yang ada pada tanah kosong itu hanyalah kerikil dan batu-batuan berserakan, seperti dasar sebatang sungai yang sudah tidak ada airnya dan kering. Ditimpa sinar bulan tua dan bintang bintang, batu - batu di. tempat itu berwarna kehijauan, padahal tidak terdapat lumut atau rumput di situ. Dan seolah-olah ada uap tipis kehijauan yang melayang dari tempat itu. "Awas, Lian - ci. Inilah daerah dari Ceng - ya-kang atau Si Kelabang Hijau itu, orang yang ke lima dari Ban - kwi - to, di mana terdapat tujuh orang tokohnya. Batu - batuan di depan itu adalah tempat di mana dia memelihara kelabang - kela-bangnya," bisik Siok Eng kepada Pek Lian yang mau tidak mau bergidik ngeri membayangkan ke-labang - kelabang beracun. Baru kelabangnya saja ia sudah merasa jijik dan ngeri, apa lagi kalau yang beracun. "Lalu bagaimana kita harus melalui tempat ini " Lihat, di seberang sudah nampak genteng- genteng rumah mereka," bisiknya kembali sambil memandang ke arah batu-batuan itu dengan alis berkerut. "Enci Lian, lihat baik - baik. Kaulihat batu-batu di sebelah kanan itu " Lihat batu - batu besar yang bagian atasnya lebih mengkilap terkena sinar bulan dan yang menonjol di antara batu-batu lain " Batu-batu itu tentu biasa diinjak orang. Ha-yo kita lewat di sana, tidak perlu kuatir akan je- bakan." Pek Lian menelan ludah dan mengangguk, ti-dak berani menjawab karena khawatir kalau- ka-lau suaranya akan membayangkan rasa ngerinya. Siok Eng menekan tangannya lalu dara remaja itu melangkah dengan hati - hati, mengerahkan gin-kangnya dan Pek Lian mengikuti di belakangnya, mempergunakan jejak kaki kawannya sehingga ia tidak akan menginjak tempat lain yang mungkin mengandung jebakan. Dengan ringan Siok Eng lalu meloncat dari batu ke batu, memilih batu-batu yang puncaknya mengkilap, terus dibayangi oleh Pek Lian. Di tengah - tengah tempat itu, Pek Lian melihat sinar - sinar hijau merayap di an-tara batu - batu dan ia bergidik. Tentu itulah kela-bang - kelabang yang dimaksudkan oleh Siok Eng! Kalau sampai terpeleset dan jatuh lalu dikeroyok kelabang beracun! Hihh! Sungguh menyeramkan bayangan itu dan Pek Lian cepat - cepat mengum-pulkan kekuatan batinnya untuk melawan rasa ta-kutnya. Akhirnya Pek Lian mendaratkan kakinya di se-berang dengan hati lega. Mereka telah berhasil melewati daerah kelabang itu. Melihat sebuah ke-bun sayur di mana terdapat tanaman sayur kobis yang cukup subur dan sama sekali tidak memperli-hatkan tanda - tanda bahaya adanya racun, Pek Lian menghampirinya. Akan tetapi Siok Eng memegang lengannya. "Sstt, hati - hati, enci Lian. Lihat semut - semut itu !" Pek Lian terkejut dan menahan langkahnya. Ia melihat betapa kobis - kobis yang kelihatan segar itu penuh dengan semut-semut merah. "Semut - semut apakah itu ?" tanya- nya gagap. KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ "Semut - semut ini beracun. Binatang - binatang ini dipelihara untuk memberi makan kepada kela-bang - kelabang tadi. Dan kebun ini bukan kebun kobis seperti yang biasa kita makan, akan teta-pi sejenis tumbuh - tumbuhan yang mengandung inti racun hijau!" Pek Lian memandang dengan mata terbelalak kepada kobis - kobis itu dan meleletkan lidahnya. Kini, kobis-kobis yang tadinya nampak menggiur-kan dan segar itu seolah - olah berobah menjadi pe-mandangan yang menyeramkan, seolah - olah tadi ia melihat wajah bidadari yang tiba - tiba saja ber-ubah menjadi wajah iblis. Siok Eng menunjuk ke kiri. "Rumpun-rumpun bambu itulah yang merupakan daerah aman dan be-bas dari racun, begitu menurut keterangan ayah yang pernah satu kali datang ke sini. Nah, kita meng-ambil jalan melalui kebun bambu hijau itu." Mereka berdua dengan hati - hati menyelinap di antara rumpun bambu menuju ke sebuah ba-ngunan yang berada di tengah - tengah rumpun bambu itu. Mereka menyelinap ke samping ba-ngunan dan melihat adanya pintu yang terbuka. Dari pintu itu keluar bau bacin yang menyerang hidung mereka dan membuat mereka hampir mun-tah-muntah. Siok Eng mengeluarkan dua helai sapu-tangan merah dan menyerahkan sebuah kepada kawannya untuk menutupi hidung. Ketika Pek Lian menggunakan saputangan merah itu di de-pan hidungnya, tercium olehnya bau harum yang keras dan segera bau bacin itupun lenyap atau ka-lah oleh bau harum. Dengan isyarat tangannya, Siok Eng mengajak kawannya masuk karena dari luar nampak jelas betapa pondok yang pintunya terbuka itu kosong tidak ada orangnya. Mereka melihat sebuah panci yang penuh dengan air kehi-jau hijauan mendidih di atas tungku api dan uap air mendidih inilah yang menyebarkan bau bacin tadi. Di dalam almari tak jauh dari situ nampak banyak sekali botol - botol besar kecil. Dan di da-lam sebuah keranjang sampah di sudut nampak bangkai ***[All2Txt: Unregistered Filter ONLY Convert Part Of File! Read Help To Know How To Register.]*** dapat kelabang-kelabang yang besar, nampak berkilauan kulitnya tertimpa sinar lampu gantung. Uap yang keluar dari dalam guci itu menyambar hidungnya, mem-buat Pek Lian hampir tak dapat bernapas. "Cepat telan pel ini, kelabang - kelabang itu amat berbisa !" kata Siak Eng yang melihat keadaan Pek Lian. Gadis ini menurut dan cepat menelan sebutir pel kecil dan dadanya terasa lega kembali. Ia bergidik. Sungguh berbahaya sekali. Baru ha-wa atau uapnya saja sudah demikian berbahaya, apa lagi sengatannya ! Siok Eng mengajak mereka keluar dengan ce-pat dari tempat itu. Dengan berindap keduanya menuju ke gedung induk. Tempat itu kelihatan sepi sekali seolah - olah tidak ada penghuninya sa-ma sekali. Namun mereka berdua tidak pernah mengurangi kewaspadaan. Tak mungkin di situ ti-dak ada orang, karena buktinya terdapat lampu-lampu yang tentu dinyalakan dan dipasang orang. Mungkin para penghuninya sedang tidur. "Heh - heh - heh - heh !" Pek Lian terperanjat seperti disengat kelabang hijau. Suara ketawa kecil itu keluar dari sebuah kamar di bangunan sebelah kiri. Dua orang dara itu cepat menyelinap keluar dan menyusup ke balik rumpun barnjbu dengan hati berdebar tegang. Ki-ranya suara ketawa itu keluar dari sebuah jendela yang kini terbuka lebar. Sinar terang dari lampu di dalam kamar itu menyinari Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo halaman. Siok Eng menyentuh tangan kawannya dan mengajaknya berindap mendekati jendela, bersembunyi di antara daun-daun bambu yang tumbuh di luar jendela, mengintai ke dalam dengan hati - hati sekali. Mereka melihat ada dua orang pria duduk saling berhadapan, menghadapi meja sambil bercakap - ca-kap. Pria yang berkepala gundul dan tubuhnya ge-muk pendek berperut gendut duduk menghadap ke arah jendela sedangkan orang yang diajaknya bicara adalah seorang pria yang agaknya masih muda. Kamar itu cukup indah dengan lampu gan- tung yang mewah dan kain - kain sutera bergan-tungan. Si gendut pendek itu tersenyum lebar, nam-paknya amat ramah kepada tamunya, pemuda itu. Siok Eng mendekatkan bibirnya ke telinga ka-nan Pek Lian, lalu berbisik lirih sekali sehingga Pek Lian yang telinganya demikian dekat dengan mulutnyapun harus mengerahkan ketajaman pen-dengarannya untuk dapat menangkap apa yang di-katakan temannya. KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ "Kalau tidak salah si gundul itu adalah Ceng-ya - kang Si Kelabang Hijau. Awas kalau berha- dapan dengan dia. Orang itu licik dan kejam bu-kan main, suka menyiksa musuhnya sambil berke- lakar. Anehnya, apa yang dilakukannya lewat te-ngah malam mengobrol dengan tamunya?" Diam - diam Pek Lian terkejut mendengar bah-wa si gendut itu adalah Si Kelabang Hijau yang disohorkan sebagai tokoh Ban - kwi - to. Mereka berdua menahan napas dan mengintai. Makin dili-hat, makin heranlah hati mereka karena sikap si gendut itu sungguh teramat manis, bahkan terasa oleh mereka betapa sikap itu berlebihan manisnya, mendekati rayuan! "Kongcu, di tempat ini engkau tidak perlu kha-watir. Tidak akan ada seorangpun setan yang be-rani mengganggumu selama aku berada di dekat-mu. Dan apapun yang engkau kehendaki, tentu akan dapat kuadakan. Maka senangkanlah hatimu tinggal di sini, kongcu." "Terima kasih, locianpwe. Aku hanya ingin me-luaskan pengalaman dan menambah pengetahuan-ku saja," jawab pemuda itu dan dari suaranya, dua orang gadis itu dapat menduga bahwa pemuda ini bukan orang sembarangan dan juga bukan orang kasar, bahkan kata-katanya teratur dan halus se-perti ucapan seorang terpelajar. Maka, tentu saja mereka berdua menjadi semakin tertarik dan he-ran. Atas bujukan si gendut, mereka berdua itu lalu makan minum dengan gembira dan dua orang dara itu menjadi bingung melihat betapa kakek gendut itu makin lama makin gila omongannya. "Kongcu, selama ini banyak sudah kutemui pemuda-pemuda yang gagah dan tampan, akan tetapi baru sekarang aku bertemu dengan seorang ganteng seperti eng-kau. Ha - ha - ha, betapa senang hatiku dapat ber-kenalan denganmu!" Sambil berkata demikian, kakek itu mengajak si pemuda untuk minum lagi arak wangi dari cawan mereka. "Aku sudah cukup banyak minum arak, locian-pwe," pemuda itu agaknya segan juga untuk meno-lak. "Ha - ha - ha, makin banyak minum, makin ke-merahan pipimu, kongcu. Ha-ha, sungguh segar dan tampan sekali engkau!" Kakek gendut itu mengulur tangannya, mula mula tangan itu me-megang tangan si pemuda untuk dibelainya, akan tetapi tangan itu terus merayap ke atas, mengelus dagu! "Ah, jangan begitulah, locianpwe," pemuda itu nampak bingung seperti kehilangan akal mengha-dapi tingkah kakek yang makin genit itu. Pek Lian dan Siok Eng saling pandang dengan mata terbela-lak dan wajah mereka berobah merah karena jengah dan malu. Namun merekapun ingin sekali tahu ka--j rena mereka tidak mengerti mengapa ada seorang kakek begitu genit merayu dan membelai seorang pemuda! Akan tetapi, kakek gendut itu agaknya sudah terlalu banyak minum arak dan sudah setengah mabok karena penolakan pemuda itu bahkan membuat dia merayu semakin panas! "Kongcu, aku sungguh kagum dan tergila - gila kepadamu. Aku akan menurunkan semua ilmuku kepadamu, akan tetapi, jangan kecewakan hatiku, kau harus menjadi kekasihku !" Wajah dua orang dara itu menjadi semakin me-rah, akan tetapi hati merekapun diliputi keheranan besar mendengar seorang kakek hendak menjadi-kan seorang pemuda kekasihnya! Apakah kakek itu sudah gila ataukah memang pulau itu menjadi tempat orang-orang yang miring otaknya" Dua orang dara itu tidak tahu bahwa memang kakek Ceng-ya-kang atau Si Kelabang Hijau ini me-miliki sifat yang lain dari pada pria-pria biasa. Dia tidak suka atau tidak tertarik oleh kecantikan wanita, akan tetapi sejak muda dia suka bercinta dengan pria! Jasmaninya adalah pria, akan tetapi watak dan sifatnya cenderung kepada sifat dan wa-tak wanita. Memang banyak terdapat orang - orang seperti Si Kelabang Hijau ini. Alam telah memberi keadaan yang bertentangan antara badan dan ba-tin mereka dan mereka ini adalah oiang-orang yang patut dikasihani. Mereka suka bergaul dan berde-katan, bahkan bermesraan dan bermain cinta de-ngan pria dan hal ini sama sekali tidak mereka se-ngaja, dan bukan timbul dari watak yang buruk atau cabul. Sama sekali tidak, karena memang de-mikianlah keadaan batin mereka. Mereka kagum KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ melihat sifat jantan, mereka akan merasa bahagia kalau dikasihi oleh seorang pria yang jantan. Mere-ka tidak suka berdekatan dengan wanita sebagai kekasih, kecuali hanya sebagai teman, bahkan ada yang merasa muak kalau memikirkan bahwa mere-ka harus berkasih sayang dengan seorang wanita. Keadaan seperti ini dapat terjadi karena kesalahan keadaan jasmaniah yang mempengaruhi batin, akan tetapi juga mungkin diperkuat oleh keadaan ling-kungan hidupnya di waktu kecil sehingga batin yang mempengaruhi jasmani. Memang, antara ba-dan dan batin selalu terjadi isi-mengisi, saling mem-pengaruhi. Karena sifatnya inilah maka Si Kelabang Hijau itu sering kali meninggalkan Pulau Selaksa Setan dan merantau sampai jauh ke seluruh pelosok du-nia, dan sering mendekati pria - pria yang tampan dan gagah. Karena watak ini pula maka tokoh se-sat ini pernah menjadi sahabat dari Yap Kim, pute-ra kandung dari ketua Thian-kiam-pang yaitu Yap Cu Kiat, murid dari mendiang Sin - kun Bu - tek yang sakti. Kalau saja Pek Lian dan Siok Eng sudah tahu akan sifat dan watak seorang lakilaki seperti Ceng-ya - kang, tentu mereka akan segera pergi dan ti-dak sudi untuk nonton terus. Akan tetapi karena mereka belum tahu dan tidak mengerti, maka ke-inginan tahu membuat mereka bertahan untuk me nyaksikan adegan yang mereka anggap aneh dan luar biasa itu. Mereka melihat betapa kakek itu membujuk - bujuk dan berusaha untuk memegang tangan si pemuda yang berulang kali mengelak de-ngan menarik tangannya dan dengan halus minta agar kakek itu jangan melanjutkan sikapnya yang ganjil. Tiba - tiba dua orang dara itu terkejut melihat berkelebatnya bayangan dua orang yang dengan cepat sekali melayang masuk dari pintu dan tahu-tahu di situ telah berdiri dua orang wanita yang nampaknya masih muda, tidak lebih dari tigapuluh tahun usianya dan wajah mereka serupa benar. Se-pasang wanita kembar, hal ini mudah dilihat dari dandanan pakaian, gelung rambut, perhiasan dan wajah mereka yang serupa benar. Pakaian mereka itu ketat membayangkan dada, perut dan paha yang menonjol. Mereka berdiri dengan kaki agak terpentang, tangan kiri bertolak pinggang, dan si-kap mereka genit bukan main. Mereka berdiri se- perti pohon cemara tertiup angin saja, pinggul mereka agak bergoyang - goyang, mulut mereka yang digincu merah tebal itu tersenyum merekah, alis mereka bergerak - geiak diangkat - angkat, dan ma-ta mereka itu melirik - lirik genit ke arah si pemuda yang kebetulan berdiri membelakangi jendela dan menghadap ke arah dua orang wanita itu. Dua orang dara yang berada di luar jendela itu meman-dang penuh perhatian, agak terkejut melihat mun-culnya dua orang wanita yang demikian cepat gerakannya tanpa mengeluarkan sedikitpun suara itu. Biarpun dua orang wanita itu masuk ke ka-mar tanpa menimbulkan suara, namun kakek gen-dut yang tadinya berdiri dalam usahanya merayu si pemuda, kini tiba - tiba duduk kembali dan tan-pa menoleh diapun berkata, "Suci berdua kenapa malam - malam begini berkunjung ke daerahku " Apakah kalau ada keperluan tidak bisa datang di siang hari ?" Dari nada suaranya, jelas bahwa dia merasa marah dan terganggu, dan biarpun mulut-nya tersenyum, akan tetapi wajahnya masam. Mendengar ucapan si gendut itu, Siok Eng me-nempelkan bibirnya di dekat telinga kawannya dan berbisik, "Mereka itu orang ke tiga dan ke empat dari iblis - iblis Ban kwi - to. Mereka kembar dan pandai beralih rupa. Kelakuan mereka sangat ter-sohor buruknya, segala hal yang kotor - kotor mere-ka lakukan !" Suara bisikan Siok Eng mengandung rasa jijik. Dua orang wanita itu mencibirkan bibir mereka mendengar pertanyaan Ceng - ya kang tadi dengan sikap yang penuh kegenitan dan ejekan, lalu seorang di antara mereka berkata, suaranya nyaring dan genit, "Huh! Kami ke sini cuma ingin melihat apakah engkau sudah kembali ke rumah. Lupakah engkau bahwa esok pagi adalah hari perayaan wa-fatnya guru kita yang ke sepuluh " Toa - suheng mengharapkan agar semua orang dari Ban-kwi-to hadir di tempat toasuheng." Sambil berkata de-mikian, wanita itu dan saudara kembarnya tiada hentinya menatap ke arah wajah pemuda yang du-duk berhadapan dengan Ceng - ya - kang itu lirak-lirik dan senyum simpul penuh daya pikat. KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ "Aku sudah kembali sejak kemarin!" Kakek gendut itu mendengus dengan suara tak senang. "Aku telah datang, sekarang kalian pergilah. Kita bisa berkelahi kalau kalian tidak mau segera pergi dan jangan ganggu aku !" Pek Lian yang mengintai dan mendengarkan di luar jendela, merasa heran bukan main. Bagaima-na mungkin hari wafat seorang guru malah diraya-kan, bukan berkabung malah berpesta " Dan bu-kankah mereka itu saudara - saudara seperguruan, segolongan pula, sebagai saudara - saudara yang sama-sama menjadi penghuni Ban-kwi-to, akan tetapi kenapa sikap mereka satu sama lain begitu tidak bersahabat dan bahkan seperti bermusuhan saja " Pek Lian lupa bahwa mereka itu adalah go-longan hitam, kaum sesat, bahkan tokoh - tokoh be-sarnya yang sudah tidak lagi mengindahkan segala macam aturan dan sopan santun dan mengeluarkan semua isi hati melalui mulut tanpa disaring lagi. Merekapun sudah tidak sudi lagi untuk bermanis muka. Apa lagi hanya terhadap saudara seperguru-an, bahkan terhadap guru sendiripun mereka sudah tidak mau lagi bersopan santun atau menggunakan tata cara manusia beradab. Mereka tidak perduli terhadap orang - orang lain. Golongan mereka ha-nya mengenal pamrih seenaknya untuk diri sendiri. Yang ada hanya kepentingan diri pribadi, lahir ba-tin. Dan menghadapi orang lain, yang ada hanya dua perasaan, yaitu berani atau takut. Kalau mere-ka berani, nah, segala hal bisa saja mereka lakukan, sampai yang paling kurang ajar, yang paling kejam, sadis dan tidak tahu aturan sekalipun. Akan tetapi kalau mereka merasa kalah dan takut, mereka tidak malu malu untuk melakukan segala macam kecu-rangan atau melarikan diri. Dan untuk kepenting-an pribadi, segala cara dihalalkan, menipu, mem-bokong, bahkan membunuh kawan sendiri sekalipun. Pendeknya, mereka hidup tanpa adanya suatu ke-tertiban apapun, tiada bedanya dengan kehidupan binatang - binatang liar di dalam hutan dan hukum satu - satunya bagi mereka hanyalah hukum rimba raya, yaitu siapa kuat dia menang dan siapa me-nang dia benar dan harus dipatuhi dan ditaati. Seperti yang telah diterangkan oleh Siok Eng kepada Pek Lian, kakek gundul Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo gendut itu memang benar berjuluk Ceng - ya - kang atau Thian - te Tok - ong dan merupakan tokoh ke lima dari Ban-kwi - to. Terdapat tujuh orang tokoh Ban - kwi - to yang merupakan saudara - saudara seperguruan, juga merupakan saudara segolongan yang tinggal di kepulauan setan itu. Orang pertama terkenal dengan julukan Tikus Beracun Bumi, yang ke dua berjuluk Tiat siang - kwi (Setan Gajah Besi), orang ke tiga dan ke empat adalah dua orang wanita kembar yang masing - masing bernama Jeng - bin Sam - ni (Nyonya Ke Tiga Bermuka Seribu), dan Jeng bin Su - nio (Nyonya Ke Empat Bermuka Se-ribu). Mereka ini dikenal dengan julukan Jeng-bin (Muka Seribu) karena kepandaian mereka beralih rupa, walaupun mereka masih memiliki banyak macam keahlian lagi. Ceng - ya - kang atau Thian - te Tok-ong adalah tokoh yang ke lima. Tokoh ke enam dan ke tujuh adalah suami isteri Im - kan Siang-mo, yaitu Bouw Mo-ko dan Hoan Mo-li, kakek dan nenek yang selalu menggunakan gerobak itu. Mendengar ucapan adik seperguruan mereka yang kasar dan menantang itu, Jeng-bin Siang- kwi, yaitu sebutan bagi mereka berdua, hanya senyum-senyum saja dan tidak kelihatan marah. Tentu saja senyum itu bukan ditujukan kepada Ceng-ya-kang, melainkan kepada pemuda itu yang kelihatan du-duk dengan gelisah. "Hi - hi - hik, pantas saja engkau tidak mau muncul-muncul biarpun sudah kembali ke mari.... kiranya engkau telah memperoleh seorang korban baru yang ganteng!" kata Jeng-bin Su - nio. "Pergi kalian !" Tiba -tiba si gundul gendut itu mencelat dari kursinya. Gerakannya demikian ce-patnya, tidak sesuai dengan tubuhnya yang gendut pendek, dan tahu - tahu dia sudah meloncat sam-bil membalikkan tubuhnya, langsung saja menyerang kedua orang wanita itu dengan pukulan yang me-ngandung angin dahsyat. Akan tetapi, dua orang wanita itu mengeluarkan suara ketawa mengejek dan segera mengelak, menangkis dan balas menyerang dengan tak kalah cepat dan hebatnya. A-ngin pukulan menyambar - nyambar dan dua orang gadis yang mengintai di luar jendela itu mencium bau amis, tanda bahwa pukulan pukulan tiga o-rang yang saling hantam itu mengandung hawa beracun yang jahat sekali. Siok Eng menarik tangan Pek Lian, diajak per-gi menjauhi tempat itu. Setelah jauh, dara ini me-narik napas panjang. "Betapa ganas dan kejinya mereka itu. Mari kita segera mencari Hek - kui-hwa itu, enci Lian. Tak perlu kita mencampuri mereka yang berengsek itu." KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ "Ke mana kita mencari, adik Eng ?" Aku harus mencarinya. Bunga itu hanya dapat tumbuh di tempat terbuka, tidak boleh terlindung oleh benda atau tumbuh - tumbuhan lainnya, ha-rus sepenuhnya menerima sinar matahari dan bu-lan, dan terpisah dari tanam-tanaman lain. Bunga mawar hitam atau setan hitam itu bentuknya seper-ti mawar biasa, hanya tidak berbau sama sekali, warnanya hitam legam dan daunnya putih." "Mari kubantu engkau mencarinya, Eng-moi," kata Pek Lian dan mereka segera mulai mencari-cari di pulau itu. Akan tetapi mereka tidak berha-sil, apa lagi menemukan bunga itu, bahkan tidak menemukan daerah terbuka seperti yang dimak-sudkan oleh Siok Eng tadi. "Sungguh heran, kenapa pulau ini demikian ke-cil " Dan bangunannya juga hanya ada sebuah itu. Di mana para penghuninya yang lain ?" Pek Lian berkata dengan hati kecewa karena kegagalan mereka menemukan, bunga yang dicari sahabatnya itu. Enci Lian, Ban-kwi-to bukan terdiri dari se-buah pulau saja, melainkan terdiri dari lima buah pulau yang berpencar akan tetapi juga saling ber-dekatan. Tiap pulau dihuni oleh seorang tokoh, kecuali si kembar itu dan sepasang suami isteri yang masing-masing keduanya mendiami sebuah pulau. Kaulihatlah di seberang sana itu." "Ah, engkau benar! Itu adalah sebuah pulau yang lain. Akan tetapi, bagaimana kita dapat me-nyeberang ke sana " Apakah kita harus mengambil perahu kita " Tentu bunga itu berada di pulau yang lain, tidak mungkin di sini." "Agaknya benar, enci. Akan tetapi karena kita tidak tahu persis di mana tumbuhnya bunga itu, terpaksa kita harus mencarinya di semua pulau. Hanya, kita harus berhati hati sekali. Sungguh aneh, bagaimana dua orang wanita kembar tadi dapat datang ke sini " Tidak nampak adanya perahu mereka." Tiba - tiba mereka mfelihat bayangan berkele-bat keluar dari rumah Ceng - ya kang dan mereka berdua cepat menyelinap bersembunyi. Tak lama kemudian, nampaklah dua orang wanita kembar itu berjalan lewat lalu berhenti tak jauh dari tempat persembunyian mereka. "Bangsat gundul keparat jahanam!" terdengar seorang di antara mereka memaki maki sambil mengacungkan tinju ke arah rumah Ceng-ya-kang. "Anjing banci disambar geledek kamu !" Orang ke dua memaki pula dan keduanya lalu memaki-maki dengan kata - kata yang jorok dan cabul. A-gaknya mereka itu merasa mendongkol dan pena-saran, yang hendak mereka lampiaskan dengan caci maki dan sumpah serapah mereka terhadap kakek gundul gendut itu. "Sialan ! Bocah gundul itu telah mencapai titik kesempurnaan dalam menyerap Ilmu Racun Kela-bang Hijau yang lihai itu," kata Jeng-bin Sam-nio dengan suara penasaran. "Benar, sungguh jahanam ! Tak kusangka dalam pengembaraannya dia dapat meningkatkan ilmu-nya sampai ke titik mendekati kesempurnaan. Li-hat ini! Kantongku racun bunglon merah menjadi tawar terkena ilmunya ludah inti racun kelabang hijau. Sialan! Untung aku selalu dapat menghin-dari semburan ludahnya!" "Ludahnya yang bacin itu sungguh berbahaya," kata orang ke dua. "Sayang kita tidak membawa alat - alat rias kita. Hemm, ingin aku tahu, mana yang lebih hebat, ludah bacinnya ataukah bedak-bedak harum kita!" "Biarlah lain kali kita coba lagi. Hatiku pena-saran kalau sampai kalah oleh adik seperguruan kita." "Eh, ngomong - ngomong, pemuda tadi tampan benar, ya " Dan kelihatan jantan. Sayang, sudah lebih dulu disekap oleh si gundul gila itu '!" "Aih, sudahlah! Kita sendiri kan sudah mem-punyai simpanan yang tidak mengecewakan," kata. yang lain sambil tersenyum genit sekali. "Tidak rugi kita main kucing kucingan dengan perahu Si Harimau Gunung." "Sayang mereka belum mau tunduk . . . . . ." "Akhirnya akan tunduk juga, dan ingat, yang sukar ditundukkan itu sekali tunduk, waahhh hebat deh !" Mereka berdua cekikikan seperti kun-tianak dan dua orang gadis yang mendengarkan dalam tempat persembunyian mereka menjadi mu-ak. Pek Lian dan Siok Eng melihat betapa kedua orang wanita kembar itu memasuki sebuah rum-pun bambu kuning. Sampai KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ lama mereka tidak muncul kembali dan keadaan begitu sunyi senyap. Dua orang dara itu menjadi curiga lalu dengan ha-ti - hati merekapun memasuki rumpun bambu itu. Ternyata di tengah - tengah rumpun bambu itu ter-dapat sebuah lubang besar yang masuk ke dalam tanah. Ketika mereka memeriksa, ternyata lubang itu adalah terowongan di dalam tanah yang agak-nya lewat di bawah laut! Dua orang dara yang gagah perkasa itu dengan hati-hati sekali mengikuti terowongan itu. Jalan-nya gelap dan menurun sekali, akan tetapi mereka berdua adalah dua orang dara gemblengan yang ber-ilmu tinggi, maka mereka tidak merasa takut. Mere-ka merasa yakin bahwa dua orang wanita kembar itu tentu mengambil jalan ini dan mereka dapat menduga bahwa tentu inilah jalan yang menghubung-kan satu dengan lain pulau. Pantas saja dua orang wanita kembar tadi tidak menggunakan perahu. Kiranya mereka datang ke pulau daerah Si Kela-bang Hijau melalui sebuah terowongan bawah laut. Ketika dua orang dara itu muncul di pulau yang lain, kiranya mereka itu tiba di sebuah ruangan ke-cil di sudut taman, merupakan pondok kecil yang mungil. Cepat mereka meloncat keluar dan ber-sembunyi, meneliti keadaan sekeliling. Bulan tua telah condong ke barat, akan tetapi bintang-bin-tang di langit masih nampak terang. Tentu telah jauh lewat tengah malam. Dan agaknya semua orang yang berada di pulau ini sudah tidur. Tidak terdengar suara orang, tidak nampak seorangpun penjaga. Agaknya para penghuni kepulauan ini sudah begitu percaya akan keadaan tempat tinggal mereka yang penuh dengan racun sehingga orang luar yang berani memasuki daerah mereka tentu akan mati sendiri terkena racun. Dengan adanya racun-racun yang terkandung dalam tumbuh-tum-buhan, dalam gigitan binatang - binatang kecil, bahkan dalam udara, maka tidak diperlukan lagi penjaga. Orang luar tentu akan tewas kalau me-masuki daerah kepulauan Ban - kwi - to ini. Ketika dengan hati - hati Siok Eng dan Pek Lian mulai mencari - cari bunga Hek kui - hwa, mereka mendapat kenyataan bahwa keadaan pulau ini jauh sekali bedanya dengan pulau milik Si Ke-labang Hijau yang baru saja mereka tinggalkan. Pulau kecil milik wanita kembar ini penuh dengan taman bunga - bunga yang indah, keadaannya te-rawat dan bersih apik, tidak seperti keadaan pulau milik Si Kelabang Hijau yang penuh pohon belu-kar dan awut awutan. Akan tetapi, biarpun di situ terdapat banyak sekali bunga beraneka macam dan warna, dua orang dara itu tidak berhasil mene-mukan bunga mawar hitam berdaun putih. "Sungguh heran ! Sedemikian banyaknya bunga-bunga di sini, akan tetapi bunga yang kaucari itu tidak ada ! Adik Eng, tidak kelirukah keterangan yang kaudapat mengenai Hek - kui - hwa itu ?" Pek Lian berkata dengan nada suara meragu. "Tidak, enci Lian. Memang, menurut keterangan ayah, bunga itu langka sekali dan ayahpun tidak dapat memastikan apakah bunga itu ditanam di pulau - pulau ini. Hanya satu hal adalah pasti, yaitu bunga Hek - kui - hwa itu berada dalam kekuasaan Tujuh Iblis dari Pulau Selaksa Setan ini. Entah di mana mereka sembunyikan. Aku harus menemukannya. Heii, awas, enci Lian! jangan kausentuh bunga - bunga itu. Biarpun kelihatannya begitu bersih dan indah, akan tetapi bunga itu beracun. Bunga - bunga ini memang ditanam untuk memelihara dan mendapatkan racun-racunnya. Ssttt , itu ada perahu datang. Cepat sembunyi !" Mereka menyelinap lagi ke balik semak-semak beberapa rumpun alang-alang yang ditanam sebagai penghias dan pagar taman.Tiba-tiba bumi di sekitar tempat itu tergetar ketika seorang raksasa melangkahkan kakinya. Ber-dentam-dentam bunyinya, seolah-olah bumi di-timpa oleh benda yang amat berat setiap kali raksa-sa itu membanting kakinya. Anehnya, dia agaknya sengaja membanting kakinya ketika melangkah me-masuki taman ! Rambutnya gimbal dan kotor, ma-tanya lebar dan membelalak. KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ Jubah dan pakaiannya terbuat dari kain kotak - kotak yang dibelit-belitkan di tubuhnya. Bagian dadanya terbuka dan nampak betapa dada itu penuh bulu tebal. Mulutnya lebar dan seperti nampak ada taring di antara giginya yang besar-besar. Raksasa ini sungguh tinggi besar, tingginya tidak kurang dari dua meter, bahkan le-bih. Ada suara seperti ngorok ketika dia melang-kah memasuki taman. Ketika raksasa itu tiba di dekat tempat dua orang dara itu bersembunyi, tiba tiba saja dia menghentikan langkahnya. Dua orang dara itu mencium bau amis yang menusuk hidung, membu- at mereka hampir saja muntah-muntah. Dan rak-sasa itupun mengembangkempisikan hidungnya. Mu-lutnya menyeringai buas, matanya yang besar itu melotot dan mengamat-amati sekelilingnya, dan air liurnya menetes - netes dari ujung bibirnya, "Heh -heh bau daging segar ! Daging lunak! Hemm, alangkah sedapnya!" Matanya jela-latan ke kanan kiri, mencari - cari. Tentu saja dua orang dara itu seketika mandi keringat dingin! "Mereka bukan penakut, Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo bahkan Siok Eng telah mewarisi ilmu kepandaian yang he-bat. Akan tetapi bagaimanapun juga, mereka itu ha-nyalah dua orang gadis remaja dan keadaan manu-sia raksasa itu memang sungguh amat menyeram-kan. Apa lagi dalam perjalanan mereka dengan perahu, Siok Eng sudah pernah menceritakan ke-pada Pek Lian bahwa orang ke dua dari Tujuh Iblis ini, yang berjuluk Tiat - siang - kwi ( Setan Gajah Besi) kabarnya suka makan daging manusia. Biarpun seluruh urat syaraf mereka sudah me-negang dan bersiap siaga, akan tetapi ketika rak-sasa itu melangkah mendekati tempat mereka ber-sembunyi, mereka merasa tubuh mereka panas di-ngin ! Akan tetapi pada saat itu terdengar suara ke-tawa cekikikan yang nyaring dari arah gedung di tengah pulau. Suara cekikikan yang penuh kegenit-an, terkekeh - kekeh dibuat - buat. Mendengar sua-ra itu, si raksasa berhenti melangkah dan menoleh ke arah gedung. Agaknya suara itu mengingatkan dia akan maksud kedatangannya ke pulau itu. Mendadak dia lari tunggang-langgang menuju ke arah gedung. Tanah yang diinjaknya ketika dia berlari itu tergetar seperti gempa bumi dan dua orang dara itu bernapas lega. "Mari kita pergi !" Siok Eng menarik tangan Pek Lian. Sekali ini, Pek Lian yang biasanya berwibawa dan memimpin karena ia adalah seorang patriot di lembah, menurut saja karena ia maklum betapa berbahayanya tempat itu dan bah-wa Siok Eng lebih tahu dari pada ia sendiri me-ngenai kepulauan setan itu. Siok Eng mengajak Pek Lian menggunakan pe-rahu milik Tiat - siang - kwi itu. Ia ingin mencari bunga Hek - kui - hoa di pulau ke tiga setelah ga-gal mencari di kedua pulau pertama. Mereka men-dayung perahu itu dengan cepat. Di depan nampak dua buah pulau kecil berdampingan. Dari jauh, kedua pulau itu nampak gersang tidak ditumbuhi pohon sama sekali. Ketika mereka mendekat, ma-ka mereka melihat bahwa pulau yang satu terdiri dari batu - batu dan pasir melulu. Menurut penge-tahuan Siok Eng, pulau ini adalah tempat tinggal si raksasa, orang ke dua dari tujuh iblis. Kabar-nya, entah berapa ratus orang yang menjadi korban iblis raksasa ini di tempat itu, tulang - tulangnya berserakan dan terpendam dalam batu - batu dan pasir. Adapun pulau yang ke dua terdiri dari ra-wa-rawa dan di tengah rawa nampak sebuah gu- buk besar yang berdiri di atas tiang - tiang dari ka-yu yang tahan air. Itulah tempat tinggal suami is-teri Im - kan Siang - mo ( Sepasang Iblis Neraka ), yaitu kakek dan nenek yang selalu bergerobak dan tak tahu malu itu. "Eng-moi, pulau yang mana harus kita darati lebih dulu ?" tanya Pek Lian, melihat betapa ka- wannya itu hanya membawa perahu mereka ber-putar - putar tak menentu. "Kita terus saja, enci Lian. Pulau - pulau ini adalah tempat tinggal Tiat siang - kui dan Sepa-sang Iblis Neraka, yaitu orang ke dua, ke enam dan ke tujuh dari Tujuh Iblis. Melihat keadaan kedua pulau ini, juga melihat macamnya raksasa itu, tak mungkin dia yang menanam atau menyimpan Hek-kui - hwa. Juga suami isteri itu jarang berada di rumah, selalu mengembara dan pulaunya terdiri dari rawa - rawa pula, kiranya tidak mungkin berada di sana itu." "Lalu bagaimana " Ke mana kita harus men-cari ?" "Enci Lian, kepulauan mereka hanya ada lima buah. Yang empat telah kita ketahui dan agaknya bunga itu tidak berada di situ. Tinggal sebuah pu-lau lagi yang menjadi tempat tinggal tokoh perta-ma dari mereka, yaitu Te-tok-ci (Tikus Beracun Bumi). Ke sanalah kita menuju." KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ Pek Lian menutup mulut menahan ketawanya. "Sudah banyak kita melihat orang aneh. Ingin aku melihat bagaimana macamnya yang berjuluk Tikus Beracun itu. Apakah mukanya seperti tikus ?" Siok Eng tersenyum geli. "Mungkin saja. Aku sendiri belum pernah melihatnya. Akan tetapi ayah bilang bahwa dia mempunyai koleksi banyak ma-cam tikus yang aneh - aneh dan buas. Tikus - tikus itu dibuat beracun dan mereka ditempatkan di te-rowongan - terowongan yang banyak terdapat di pulau tempat tinggalnya." Pek Lian bergidik. Di antara binatang - bina-tang kecil, tikus merupakan binatang yang menji-jikkan baginya. Ara lagi kalau jumlahnya banyak, dan beracun lagi. "Mudahmudahan aku tidak ha-rus berhadapan dengan tikus-tikus lebih baik aku melawan Te - tok - ci itu sendiri," katanya. "Lebih baik kalau bisa jangan, enci. Kepandai-an iblis itu paling lihai dan diapun kabarnya pa- ling kejam di antara Tujuh Iblis." "Aku sungguh merasa heran, adik Eng. Engkau sudah tahu betapa lihainya Tuiuh Iblis dan betapa besarnya bahayanya mengunjungi Ban-kwi-to, akan tetapi mengapa engkau lakukan juga petua-langan ini " Apakah engkau tidak takut sedikitpun juga ?" Siok Eng tersenyum dan wajahnya yang pucat itu nampak manis sekali kalau tersenyum. "Enci, engkau tidak tahu. Kami orang-orang Tai-bong-pai mengutamakan kegagahan. Aku sendiri lebih menghargai kegagahan dari pada nyawa, maka un-tuk mematangkan ilmuku, biar harus menempuh bahaya yang mengancam nyawa sekalipun, akan kujalani tanpa rasa takut sedikitpun." Dan kini se-pasang mata yang bening itu mengeluarkan sinar yang dingin dan menyeramkan sehingga Pek Lian tidak mau bertanya lagi. Ia teringat akan ceritacerita yang pernah didengarnya bahwa Tai - bong-pai adalah golongan yang termasuk sesat dan hitam. Heran ia membayangkan bahwa seorang gadis yang begini ramah dan lemah lembut, begini cantik je-lita, adalah puteri dari ketua Tai - bong - pai! Pa-dahal, nama Tai - bong - pai di dunia persilatan tidak kalah seram dan menakutkannya dibandingkan dengan nama Pulau Selaksa Setan ini! Teringat ini, Pek Lian bergidik dan baru ia teringat bahwa dara yang menjadi kawan akrabnya ini sebenarnya datang dari dunia yang sama sekali berlainan de-ngan dunianya sendiri. Ia teringat bahwa Tai-bongpai adalah golongan yang ahli dalam hal racun, mungkin tidak kalah keji dan berbahayanya diban-dingkan dengan Tujuh Iblis penghuni kepulauan ini. Akhirnya mereka melihat pulau terakhir, sebu-ah pulau yang bulat dan berbentuk sebuah bukit kecil. Pulau ini banyak ditumbuhi pohon - pohon seperti pohon cemara yang kecil dan tinggi. Pada waktu itu, fajar telah menyingsing. Langit timur seperti terbakar, kemerahan oleh sinar matahari yang telah mendahului sang raja siang. Udara se-juk dan angkasa cerah. Indah dan nyaman, sungguh berlawanan dengan bahaya yang mengancam di pulau itu yang nampaknya begitu hening dan menyenangkan. Mereka mendarat dengan hati-hati, memilih celah - celah di mana terdapat semak-semak belukar. Baru saja mereka menarik perahu ke pinggir dan melangkahkan kaki, hampir saja Pek Lian men-jerit ketika tiba-tiba muncul seekor tikus berbulu hitam yang besarnya seperti kucing bunting. Tikus ini muncul di dekat kakinya, hampir terinjak. He-batnya, tikus itu tidak melarikan diri, bahkan ber-henti dan melotot ke arah Pek Lian, dan bibirnya ditarik ke atas, menyeringai memperlihatkan gigi-nya seperti seekor harimau kalau marah. Sikapnya seakan - akan hendak menyerang, dan bulu di bagian lehernya tegak, sedikitpun dia tidak kelihatan takut menghadapi manusia! "Ssttt ! Hushhhhttt!" Pek Lian mencoba mengusirnya dengan desisan suara. Akan tetapi tikus itu bukannya takut malah me-runcingkan moncongnya dan mengeluarkan bunyi menguik tajam, kepalanya diangkat dan lagaknya siap untuk menyerang. "Sudahlah, enci, lebih baik jangan kita usik dia. Mari kita pergi ke dalam pulau," kata Siok Eng yang merasa ngeri juga melihat ada tikus sebesar itu yang berani melawan manusia. "Hei, awas, Eng - moi! Lihat di belakangmu dan itu juga di sebelah kananmu. Awas!" Tiba- tiba Pek Lian berseru dan Siok Eng hampir me-loncat saking kagetnya. Ternyata kini bermunculan KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ tikus - tikus hitam yang besar - besar, seperti me-ngepung mereka dan tikustikus itu nampak me- nyeringai dan mengeluarkan bunyi, siap tempur ! Beberapa ekor lagi nampak datang dengan sikap mengancam. "Wah, wah hiiih, jijik aku. Mari kita cepat pergi, enci Lian!" kata Siok Eng yang sudah me-nyambar tangan Pek Lian dan kedua orang nona itu sudah berloncatan pergi menjauhi tikus - tikus yang melotot marah itu. Dengan bulu tengkuk me-remang keduanya sudah berlari cepat mengelilingi pulau. Mereka mencari - cari bunga mawar hitam di antara semua tanaman yang tumbuh di pulau dan mereka sengaja menjauhi bangunan - bangunan rumah yang nampak berdiri di tengah - tengah pulau. Akan tetapi sekian jauhnya mereka belum juga ber-hasil menemukan apa yang mereka cari dan akhir-nya mereka tiba di pantai yang landai dan penuh pasir. Dan tiba - tiba mereka menyelinap dan ber-sembunyi di balik batu karang. Mereka melihat banyak perahu besar kecil berlabuh di tempat itu. Bermacam- macam perahu yang agaknya datang dari tempat asing yang jauh. "Aihh, banyak benar tamu yang datang berkun-jung ke pulau ini, enci," kata Siok Eng dengan suara mengandung keheranan. "Lihat perahu-pe-rahu itu, ada yang berbendera asing pula. Yang kiri itu kelihatannya seperti bendera orang-orang Mo-ngol." Pek Lian mengangguk. "Tak salah lagi, itu memang bendera Mongol. Dan yang di kanan itu, pe-rahu bercat kuning itu. Bukankah orang - orangnya memakai pakaian seragam perajurit pemerintah " Hemm, apakah tempat ini diserbu pasukan pemerin-tah ?" "Ah, kurasa tidak, enci. Lihat saja perahu Mongol itu. Di sana juga terdapat pasukan asing dan mereka nampak bersahabat dengan pasukan pemerintah. Hemm, ada apa pula ini" Padahal, antara pasukan pemerintah dan para raja kecil Mongol selalu terjadi permusuhan. Mengapa kini kedua pihak nampak rukun dan bersama - sama berada di sini " Tidak nampak tanda - tanda pertempuran dan mereka itu agaknya datang ke sini dengan baik - baik " Pek Lian sebagai puteri menteri dan juga pe-mimpin pasukan patriot, sedikit banyak tahu akan hal itu, maka iapun berkata dengan alis berkerut, "Sungguh membingungkan. Kedua pasukan itu nampak bersahabat, padahal di perbatasan utara antara kedua pasukan selalu terjadi pertempuran. Tentu ada hal - hal yang aneh dan tidak beres di sini." Karena matahari mulai bersinar dan di tempat itu terdapat demikian banyaknya orang, dua orang dara itu lalu bersembunyi di antara pohon-pohon yang tumbuh di sepanjang pantai itu. Ketika me-lihat sebatang pohon besar yang daunnya lebat, ke-duanya lalu naik ke atas bersembunyi di dalam pohon itu, di antara daun-daun yang lebat. Karena mereka telah memakai olesan obat anti racun, maka mereka tidak takut menghadapi serangan bi-natangbinatang kecil. Dari tempat persembunyi-an ini mereka memandang ke arah pantai di mana terdanat perahu - perahu dan para perajurit itu. Tiba - tiba jantung Pek Lian berdebar tegang ketika ia melihat sebuah perahu besar yang baru saia meninggalkan pulau itu. Perahu besar itu berbendera asing dan ia mengenalnya sebagai pe-rahu di mana ia dan Bwee Hong pernah berkelahi melawan para penumpang perahu, dan di mana ia pernah mendengar suara ayahnya. Akan tetapi perahu itu agaknya baru saja meninggalkan pulau sehingga hati Pek Lian menjadi kecewa sekali. Ingin ia dapat menyelidiki keadaan perahu itu, untuk melihat apakah benar ayahnya berada di perahu besar itu. Di tempat persembunyian ini, mereka berdua merasa aman, danat melepaskan lelah sambil meng-atur rencana selanjutnya dalam usaha mereka men-cari Hek - kui - hwa. Tiba - tiba terdengar suara banyak orang. Mereka cepat menoleh dan dari arah tengah pulau nampak belasan orang berbondong-bondong menuju ke pantai. Pakaian mereka itu aneh - aneh dan dari sikap Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo mereka mudah diduga bahwa mereka adalah orang - orang dari dunia per-silatan. Di antara mereka terdapat orang - orang yang dari pakaiannya mudah diduga bersuku Bang-sa Mancu dan Mongol. Semua orang membawa KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ senjata dan sikap mereka gembira sekali ketika mereka menuju ke perahu - perahu itu. Di belakang mereka nampak belasan orang pula yang agaknya merupakan rombongan tuan rumah, sikap mereka seperti mengantar tamu itu menuju ke perahu - pe-rahu mereka. Mereka berjalan beriringan sambil tertawa - tawa gembira. (Bersambung jilid ke XVI.) xx - ? DARAH PENDEKAR " - xx Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo Jilid XVI * * * DENGAN penuh perhatian dua orang gadis itu memandang ke arah mereka. Kini matahari telah membuat mereka dapat meneliti wajah orang - orang itu dengan jelas. Yang berjalan pa-ling depan di dalam rombongan tuan rumah adalah seorang laki - laki pendek kecil yang pakaiannya mewah sekali. Orang ini mempunyai sepasang ma-ta yang kecil dan dalam, akan tetapi mata itu ber-kilat - kilat penuh kecerdikan dan kelicikan. Dari gerak - gerik dan pandang matanya saja mudah di-duga bahwa orang ini tentu lihai sekali. Rombongan tuan rumah itu mengantar para ta-munya sampai mereka semua naik ke perahu ma-sing - masing dan perahu - perahu itu berlayar me-ninggalkan pulau. Dapat dibayangkan betapa ka-getnya hati Siok Eng dan Pek Lian ketika melihat rombongan tuan rumah itu kini menuju ke arah pohon tempat mereka bersembunyi. Biarpun pohon itu besar dan daunnya lebat, akan tetapi kalau orang - orang itu berada di bawah pohon, tentu mereka berdua akan ketahuan. "Adik Eng, lihat, ada lubang besar di batang pohon ini!" Tiba - tiba Pek Lian berkata sambil menuding ke bawah. Memang benar. Pohon itu memiliki batang yang amat besar, sebesar pelukan tiga empat orang dewasa dan kini setelah Pek Lian menyingkap daun-daun yang rimbun, nampak ada lubang besar tepat di tengah - tengah batang pohon itu. "Bagus, kita bersembunyi saja di dalamnya!" kata Siok Eng yang mendahului Pek Lian mema-suki lubang itu. Pek Lian mengikuti dan ternyata lubang itu memang cukup besar untuk mereka ma-suki berdua. Akan tetapi, ternyata lubang itu terus menembus ke bawah, merupakan terowongan gelap yang terus ke dalam tanah ! Kiranya, itu merupakan sebuah jalan rahasia pula! Tentu saja keduanya yang takut ketahuan itu menjadi heran dan girang, lalu melanjutkan perjalanan mereka melalui tero-wongan. Di bawah tanah, mereka dapat berjalan sambil merunduk, akan tetapi cuacanya menjadi semakin gelap sehingga mereka harus meraba-raba ke atas dan ke depan agar kepala mereka tidak ter-bentur dan kaki mereka tidak terjeblos. Karena ma-kin lama lorong terowongan itu menjadi semakin dalam dan gelap, Pek Lian merasa khawatir juga. "Eng-moi, apakah tidak sebaiknya kita kem-bali saja " Guha ini gelap menyeramkan dan kita tidak mengenalnya sama sekali, tidak tahu ke mana terowongan ini menuju. Bagaimana kalau terowongan ini runtuh dan jalannya terputus " Kita tentu akan terkubur hidup hidup di sini, kita akan megap - megap kehabisan napas, seperti tikus-tikus tertimbun- aiiihhhh !" Pek Lian menjerit saking ngerinya ketika tiba-tiba saja kakinya meng-injak seekor tikus besar yang menggigit betisnya! Untung bahwa betisnya telah diolesi obat penawar dan juga dilindungi kaos kaki dan ia tadi mengerah-kan sinkang sehingga tidak sampai terluka. Sekali ia menggerakkan kaki menginjak, terdengar bunyi "cieeettt prakkk i" dan tikus itu mati dengan kepala dan tubuh pecah, isi tubuhnya dan darah-nya muncrat ke mana-mana. Tercium bau wangi bercampur amis yang memuakkan. "Ihhh ! Adik Eng, sungguh menjijikkan . . . ." KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ Pek Lian berseru. "Aku aku menginjak tikus dan kuinjak ia sampai lumat!" "Hihhh mengerikan ., I" Siok Eng juga bergidik jijik, akan tetapi ia segera menguatkan batinnya. "Akan tetapi terowongan ini agaknya sudah biasa dimasuki orang. Coba raba, tanahnya begini bersih dan kering dan terowongan ini agak-nya menuju ke tengah pula. Siapa tahu ini meru-pakan jalan rahasia yang akan membawa kita ke tempat Si Tikus Beracun ?" "Tapi tapi tikus - tikusnya " Pek Lian bergidik. Ia masih merasa ngeri membayang-kan tikus-tikus besar yang pernah menghadang mereka dan membayangkan tikus yang diinjaknya pecah tadi. "Adik Eng, aku bukan takut mati, akan tetapi siapa tahu terowongan ini penuh dengan tikus beribu - ribu banyaknya " Hiihh, kalau harus berhadapan dengan ribuan tikus, sebelum apa-apa aku mungkin sudah akan mati lemas karena jijik...!" "Baiklah, enci Lian, mari kita kembali saja eh, awas, ada orang datang!" Siok Eng berkata li-rih dan menarik tangan kawannya, diajak bersem-bunyi mepet di dinding terowongan, lalu mundur ke bagian yang berbelok. Tak lama kemudian, laki - laki pendek kecil yang tadi mereka lihat di luar, lewat di terowongan itu. Untung bahwa tempat itu gelap sehingga laki-laki itu tidak melihat dua orang gadis yang mepet di dinding. Tangan kanan laki - laki ini memegang sebatang cambuk. Setelah melewati tempat per-sembunyian dua orang dara itu sampai beberapa langkah, tiba - tiba dia berhenti dan hidungnya mendengus - dengus. "Hemm, ada bau asing di tempat ini! Apa yang dibawa anak - anak itu ke sini ?" terdengar dia menggerutu. Tentu saja hati kedua orang dara itu berdebar tegang. Apakah jejak mereka telah diketahui " Bukan main tajamnya daya cium manusia ini. Apa-kah dia ini yang berjuluk Tetok-ci, orang pertama dari Ban-kwi-to " Akan tetapi menurut keterang-an yang diperoleh Siok Eng, Tikus Beracun itu sudah berusia enampuluh tahun lebih, sedangkan orang pendek kecil ini usianya paling banyak tiga-puluh lima tahun. Pada saat orang itu dengan penuh keraguan hendak berbalik dan dua orang dara itu sudah siap siaga menghadapi segala kemungkinan, tiba - tiba terdengar suara riuh mencicit dari depan sana. De-mikian gaduh dan riuh suara itu, suara dari mungkin ratusan ekor tikus yang bercuitan, se-hingga orang pendek kecil itu tidak jadi kembali. "Kurang ajar! Ada apakah dengan anak - anak setan itu ?" gerutunya dengan suara geram. Dia meloncat ke depan dan tubuhnya meluncur dengan cepatnya. Dua orang gadis itu memandang ke de-pan dan tiba-tiba nampak cahaya terang di depan, seolah - olah ada pintu yang dibuka. Mereka ber-dua menjadi tertarik dan karena tidak ada jalan lain untuk keluar dari tempat itu, merekapun tidak jadi kembali, khawatir bertemu dengan orang-orang yang baru masuk, dan merekapun lalu berindap-indap melangkah maju dengan hati - hati. Kini terowongan menjadi tidak segelap tadi, remang - re-mang dan mereka dapat melihat ke depan. "Ah, di depan itu terang benar, agaknya kita menuju ke lubang keluar, Eng moi," kata Pek Lian dengan suara berbisik gembira. Ia merogoh saku hendak mengambil saputangan untuk meng-hapus keringatnya, akan tetapi ternyata kantongnya kosong. Agaknya saputangannya itu terjatuh ketika ia menginjak tikus tadi. Mereka berjalan terus ke depan, ke arah sinar terang. Akan tetapi ternyata mereka kecelik. Sinar te-rang itu sama sekali bukan datang dari lubang ke-luar, melainkan dari sebuah lampu minyak yang besar sekali, yang berdiri di atas meja batu. Di tem-pat ini, terowongan menjadi besar dan membentuk sebuah ruangan yang luas penuh dengan batu-batu besar berserakan. Dan di ruangan luas ini, terdapat pintu-pintu terowongan lain yang semuanya ber-jumlah delapan buah termasuk, terowongan dari mana mereka datang. Tentu saja dua orang dara itu menjadi bingung sekali. Tidak nampak laki-laki kecil pendek tadi, dan mereka KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ berdua tidak tahu ke mana mereka harus pergi, mulut terowongan mana yang harus mereka ambil untuk dapat keluar dari tempat itu. "Wah, enci Lian, sungguh aku menyesal sekali telah membawamu ke sini. Agaknya kita akan be-nar-benar terkubur hidup-hidup di sini," "Jangan sesalkan hal itu, adik Eng. Kalau bukan engkau yang menolong, bukankah aku juga sudah mati ditelan lautan " Sekarang kita belum mati, tidak boleh putus asa, walaupun aku aku seperti mendapat firasat bahwa kita telah memasuki tempat yang sangat mengerikan." Bayangan tikus yang diinjaknya tadi masih membuat nona ini ber-gidik ngeri dan jijik. "Bagus, enci. Engkau telah membangkitkan se-mangatku kembali. Kita memang tidak boleh putus asa dan kita hadapi bersama segala bahaya yang mungkin menimpa kita. Akan tetapi karena kita kehilangan jejak orang tadi, mari kita cari sendiri saja jalan keluar secara untung-untungan." "Lalu mulut terowongan mana yang harus kita pilih, Eng - moi ?" "Aku yakin bahwa satu di antara mulut - mulut terowongan itu tentu menuju ke istana Te - tok - ci. Karena kita baru saja keluar dari mulut terowongan yang di kanan, maka untuk menuju ke tengah pu-lau tentu harus mengambil jalan yang bertentangan, yaitu yang berada di lari. Akan tetapi, di sebelah kiri terdapat tiga buah mulut terowongan yang ha-rus kita pilih salah satunya. Enci Lian, berkali-kali engkau lolos dari cengkeraman maut, itu tandanya bahwa nasibmu masih baik. Oleh karena itu, biar aku membonceng nasib baikmu itu dan engkaulah yang memilih satu di antara tiga pintu terowongan itu." Pek Lian tersenyum.. "Mudah - mudahan saja nasibku akan selalu mujur dan tidak salah memilih terowongan ini. Bagaimanapun juga, andaikata sa-lah pilih, kita masih dapat kembali ke sini dan me-milih yang lain lagi, bukan " Nah, mari kita mema-suki lubang yang di tengah itu." Ternyata lubang ini tidaklah selebar yang mereka lalui tadi. Juga amat sukar dilaku karena di dalamnya banyak sekali batu - batu karang yang tajam dan runcing bertonjolan di kanan kiri atas dan bawah. Mereka harus berhati - hati, kadang-kadang meloncat dan harus selalu waspada karena kalau tidak hati - hati, kepala mereka dapat ter-tumbuk batu di atas. Apa lagi lubang itu tidak begitu terang, hanya remang - remang. Tiba - tiba terdengar suara ledakan cambuk di sebelah depan. Tentu saja dua orang gadis yang sejak tadi sudah merasa tegang dan amat berhati-hati itu, menjadi terkejut dan mereka berhenti melangkah, saling berpegang tangan dan meman-dang tajam ke depan. "Enci Lian, itu dia! Kiranya masuk juga ke terowongan ini," bisik Siok Eng. Mereka bergerak dengan hati - hati menuju ke depan. Dari depan ada angin bertiup lembut dan mereka menutupi hidung. Angin itu membawa bau yang menyengat hidung karena amis dan busuk. Tibalah mereka di sebuah ruangan yang luas dan pada dinding - dinding ruangan itu terdapat bebe-rapa buah lampu minyak yang terang. Ketika de-ngan hati - hati mereka mengintai ke ruangan itu, mereka bergidik dengan hati ngeri. Di atas lantai, di tengah tengah ruangan itu nampak bangkai ra-tusan ekor tikus berserakan dan bertumpuk-tumpuk! Dan di antara bangkai - bangkai itu berdiri seorang laki - laki memegang cambuk yang digerak - gerakkan ke kanan kiri seperti orang mengancam. Itulah laki-laki pendek kecil tadi. Pek Lian dan Siok Eng mengintai dari tempat sembunyi mereka dengan hati ngeri. Kini nampak jelas oleh mereka bahwa bangkai - bangkai tikus itu terdiri dari dua Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo macam tikus yang besar - besar, yang berbulu kemerahan dan kehitaman. Dan kini nampaklah oleh mereka bahwa di sebelah kiri nampak tikus berbulu merah, ratusan banyaknya, dengan sikap ganas dan siap menyerang. Sedang-kan di sebelah kanan orang pendek itupun ber-gerombol ratusan ekor tikus hitam yang berbin-tik-bintik putih, semua juga menyeringai buas se-perti tikus tikus merah. Mudah diduga bahwa dua macam gerombolan tikus ini telah mengadakan pe-rang, terbukti adanya bangkai - bangkai dua ma-cam tikus di tempat itu. Dua gerombolan tikus yang masih hidup itu, nampak buas dan marah, siap untuk saling serang akan tetapi mereka itu kelihatan tunduk dan takut kepada si kecil pendek yang berdiri dengan cambuk di tangan, di antara mereka. Agaknya si pendek inilah yang tadi menghentikan perang antar tikus ini. KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ "Bedebah busuk! Keparat jahanam! Tikus-tikus tengik yang tak tahu aturan ! Kenapa kamu saling serang dan saling bunuh " Kurang ajar ! Be-rani ya kalian menyerang tanpa diperintah " Uhh, percuma saja kamu dipelihara dan diberi makan. Tar - tar - tarrrr !!" Cambuknya meledak-ledak dan tikus-tikus kedua pihak itu undur ketakutan. "Binatang - binatang busuk, di mana pengasuh - pengasuh kalian " Ang - lojin ! Hek - lojin Di mana kalian" Kenapa bocah-bocah peliharaamnu kalian biarkan saling bunuh ?" Gema suaranya yang mengandung tenaga khi-kang itu menerobos ke seluruh lorong lorong ba-wah tanah itu, kemudian lenyap dan suasana men-jadi amat sepi. Dan di dalami kesunyian ini tiba-tiba terdengar suara rintihan dari lubang terowong-an sebelah kanan. Di ruangan itu terdapat empat buah lubang terowongan. Pulau kecil yang men-jadi tempat tinggal atau sarang Te - tok - ci atau Tikus Tanah Beracun ini memang merupakan tem-pat yang paling berbahaya. Di bawah tanah pulau ini penuh dengan jalur - jalur lalu lintas bawah ta-nah, terowongan - terowongan yang mempunyai banyak cabang dan ranting, penuh rahasia dan di- pasangi alat - alat rahasia pula, bahkan di situ terdapat tikus-tikus beracun peliharaan Te-tok-ci. Maka, dapat dibayangkan betapa berbahayanya keadaan di pulau ini. Dari atas memang nampak sebagai sebuah pulau yang indah dan menyenang-kan, namun di bawah pulau tersembunyi jebakan-jebakan dan binatang-binatang peliharaan yang kalau dikerahkan akan merupakan pasukan yang menyeramkan dan berbahaya. Apa lagi kalau sampai ada musuh yang terjebak ke dalam terowongan ini! Mendengar suara rintihan dari terowongan se-belah kanan ini, si pendek kecil berkelebat ke ka-nan dan lenyap ke dalam terowongan itu. Dan be-gitu orang itu pergi, tikus tikus kedua pihak yang sejak tadi memang sudah siap tempur itu sudah saling berlompatan menyerang lawan dengan ga-nasnya. Terdengar suara hiruk - pikuk menggiris-kan dan darah tikus berhamburan, udara menjadi amat busuk dan amis. Apa lagi ketika muncul see-kor tikus hitam berbintik putih yang sangat besar, dua kali besarnya dari pada teman - temannya. Ti-kus ini menyerang dengan buas dan biarpun dike-royok oleh lima ekor tikus merah, dia masih dapat mengungguli mereka. Darah makin banyak ber-hamburan dan bau amis membuat dua orang gadis yang menonton semua ini dari tempat persembunyian mereka itu hampir muntah. "Enci Lian, mari kita pergi " Suara Siok Eng agak menggigil karena ia merasa ngeri. "Kalau sampai kita yang dikeroyok ribuan atau laksaan tikus hihih, aku bisa jatuh pingsan karena jijik." Akan tetapi pada saat itu kembali terdengar bunyi cambuk meledak - ledak dan sungguh luar bia-sa sekali, tikus - tikus yang tadinya saling terkam, saling gigit dan saling bantai itu mendadak saja berhenti dan mereka mundur ke tempat masingmasing, bersatu dengan kawan-kawannya. Tikus-tikus yang mati menambah banyak bangkai yang berserakan, sedangkan tikus-tikus yang terluka pa-rah dengan susah payah beringsut-ingsut dan ter-saruk - saruk mencoba untuk berkumpul ke dalam barisan teman - temannya. Si pendek kecil itu datang lagi dan tangan kiri-nya menarik lengan seorang kakek yang berkulit hitam legam mengkilat. Kakek itu nampak keta-kutan dan tubuhnya agak gemetar. Dia berjalan setengah diseret dan kelihatan lemah dan terhu-yung seperti orang sakit. "Tar - tarrr !" Cambuk itu meledak di udara. "Jahanam-jahanam gila ! Apa yang telah terjadi" Apakah dunia telah kiamat dan neraka muncul di tempat ini " Agaknya setan - setan berkeliaran dan memasuki tubuh kalian semua ! Heh, Hek - lojin. Hayo katakan, apa yang telah terjadi di sini " Ke-napa engkau sampai menderita luka dalam akibat pukulan " Dan di mana adanya Ang - lojin ?" KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ Kakek berkulit hitam itu lalu menjatuhkan diri-nya berlutut dan kelihatan semakin ketakutan! Dengan suara lirih dan gemetar, kakek yang usia-nya sudah enampuluh tahun lebih itupun mulai bercerita. Dia dan Ang - lojin merupakan dua di antara delapan orang penjinak atau pawang tikus-tikus liar yang menjadi kaki tangan Te - tok - ci. Tentu saja keduanya, bersama enam orang lainnya, adalah sahabat - sahabat dan rekan - rekan yang mempunyai daerah - daerah sendiri di dalam dunia bawah tanah itu, mengepalai gerombolan tikus masing-masing. Akan tetapi, ketika rombongan pera-hu asing itu datang bertamu, muncul seorang pe-rempuan yang menjadi pelayan di sebuah di antara perahu - perahu itu. Ketika perempuan itu turun ke pulau untuk mencari air, Hek - lojin melihatnya, tertarik dan merayunya. Perempuan itu, seorang perempuan peranakan Mongol, mau menyambut dan melayani rayuannya. Akan tetapi celakanya, perempuan itu adalah seorang perempuan yang ti-dak puas dengan hanya seorang pria saja dan iapun melayani rayuan Ang-lojin. Tentu saja hal ini mengakibatkan cemburu dan persaingan. "Demikianlah, siauw - ya (tuan muda), kami berkelahi dan tentu saja kami berdua juga mengerahkan binatang-binatang peliharaan kamii untuk saling menyerang. Kami berdua sama-sama terluka " "Keparat tolol! Hanya untuk urusan perem-puan saja saling gasak dengan rekan sendiri " Ja- hanam ! Hayo. katakan, di mana sekarang Ang-lo-jin ?" Orang cebol yang galak itu membentak- ben-tak. "Dia dia bersama perempuan itu di gudang makanan " "Bangsat!" Si cebol itu memaki-maki dengan segala macam makian kotor dan tubuhnya sudah berkelebat pergi lagi. Tak lama kemudian, setelah menemukan Ang-lojin yang sedang dirawat karena luka - lukanya oleh seorang perempuan Mongol, dia menyeret kedua orang itu kembali ke tempat di mana Hek-lojin masih berlutut dengan takut-takut. Setelah tiba di situ, dengan kasar si cebol itu men-dorong Anglojin dan perempuan itu sehingga merekapun jatuh bersimpuh dan berlutut. Pek Lian dan Siok Eng mengintai dengan jan-tung berdebar. Ang-lojin bermuka merah dan memang dia itu beberapa tahun lebih muda dan kelihatan ganteng apa bila dibandingkan dengan Hek - lojin yang berkulit hitam legam ! Pantaslah kalau perempuan itu lebih condong hatinya kepada si muka merah ini. Dan wanita itu sendiri sebenar-nya bukan seorang wanita cantik. Usianya tentu sedikitnya tigapuluh lima tahun, bermuka kasar se-perti orangorang Mongol dan juga tubuhnya be-sar seperti pria. Akan tetapi dari pandang mata dan senyum mulutnya nampak jelas bahwa ia ada-lah seorang wanita yang "panas" dan besar nafsu berahinya. "Hek-lojin dan Ang-lojin, bagaimana seka-rang " Kalau kalian sudah menyadari kesalahan, minta maaf kepadaku dan saling memaafkan, me-lupakan semua permusuhan, baru aku akan mem-beri ampun. Kalau tidak, aku sendiri yang akan menghukum kalian !" bentak si cebol yang sudah nampak marah sekali. Hek - lojin dan Ang - lojin yang masih berlutut itu lalu berkata, hampir berbareng. "Harap siauw-ya sudi memaafkan saya." "Bagus, sekarang kalian berjabat tangan dan saling melupakan semua kesalahan masing- masing." Dua orang kakek itu saling pandang, kemudian mereka mengulurkan tangan dan saling berpegang-an dan pada saat itu juga habislah semua permu-suhan dan dendam di antara mereka karena mereka sadar bahwa permusuhan antara mereka hanya akan mencelakakan diri mereka sendiri. Tiba - tiba si cebol tertawa. Dua orang dara yang menonton semua itu, mengkirik. Si cebol ini sungguh mengerikan. Baru saja maki - maki dan marah - marah, tiba - tiba dapat tertawa segembira itu. Dan tiba - tiba si cebol sudah menubruk ke depan dan menangkap perempuan itu. Tentu saja perempuan itu menjerit kaget, akan tetapi si cebol sudah membenamkan mukanya pada leher perem-puan itu ! Terdengar jerit melengking mengerikan. KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ Pek Lian dan Siok Eng memandang dengan muka pucat. Mereka mengira bahwa si cebol itu melakukan hal yang kurang ajar dan cabul, men-cium leher perempuan itu. Akan tetapi ketika mereka melihat darah bercucuran, tahulah mereka bahwa si cebol bukannya mencium, melainkan menggigit putus urat darah di leher perempuan itu! Hampir saja Pek Lian meloncat ke depan, akan tetapi Siok Eng sudah memegang lengannya dan mencegahnya. Kini sambil tertawa, si cebol melepaskan gigit-annya dan perempuan itu kelihatan terbelalak dan terhuyung, lehernya mengucurkan darah seperti pancuran karena urat darah di lehernya putus. Si cebol menggerakkan cambuknya, terdengar suara meledak dan tubuh perempuan itu terlempar ke daerah gerombolan tikus. Dan terjadilah peman-dangan yang amat mengerikan hati dua orang dara itu. Tikus - tikus yang tadinya saling serang itu kini beramai ramai menyerang tubuh perempuan yang sudah terluka lehernya itu. Hanya sebentar saja perempuan itu meronta - ronta dan menjerit-jerit. Suaranya hilang dan tubuhnya berhenti me-ronta, mengejang sedikit lalu terdiam, dan dalam waktu singkat saja semua daging tubuhnya habis, tinggal tulang - tulangnya saja! Dan dua orang kakek itu hanya memandang dingin saja kepada bekas kekasih mereka yang terbunuh dalam keada-an yang demikian mengerikan. Pek Lian hampir pingsan. Ia memejamkan ma-tanya dan dipeluk oleh Siok Eng. Agaknya, dara yang lebih muda ini lebih tabah menghadapi pe-nyiksaan yang demikian sadis tadi. Hal ini tidak aneh karena gadis itu adalah seorang puteri Tai-bong-pai, perkumpulan yang oleh dunia kang-ouw dianggap sebagai perkumpulan iblis juga. Kini si cebol duduk di atas batu karang bundar di tengah - tengah ruangan itu. Tidak ada bangkai tikus lagi di situ karena semua telah habis "disi-kat" tikus - tikus yang liar tadi. Agaknya mereka telah menerima perintah atau ijin dari pamong atau pawang masing - masing dan mereka bukan hanya makan daging perempuan Mongol itu, melainkan juga bangkai - bangkai tikus yang berserakan itu mereka ganyang beramai - ramai. Kemudian tikus-tikus itupun pergi dan ruangan itu kembali bersih, bahkan darah yang tadinya berceceran di mana-mana telah bersih dijilati tikus - tikus itu. Yang ada hanya tinggal tulang - tulang besar tubuh perempu-an itu yang tidak dapat dihabiskan atau ditelan oleh tikus - tikus itu. Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Si cebol meraih ke atas di mana tergantung se-buah genta besar, lalu memukulnya. Terdengar su-ara nyaring yang bergemuruh dan gemanya mem-balik dari semua penjuru. Tak lama kemudian, panggilan ini telah mendapat sambutan dan terde-ngar suitan suitan dari lorong - lorong itu. Dan muncullah enam orang lain yang rata - rata memi-liki tampang yang menyeramkan. Bersama Ang-lojin dan Hek - lojin, mereka berdiri mengelilingi batu di mana si cebol yang mereka sebut siauw - ya itu duduk. Si cebol memandang kepada mereka semua, seorang demi seorang, dengan pandang mata tajam penuh wibawa. "Dengarlah kalian semua ! Ayah amat sibuk dan tidak ingin diganggu, maka kalian harus tidak me-nimbulkan keributan. Hari ini ayah menerima ba-nyak tamu. Akan tetapi ketahuilah, Selain kawan-kawan ayah dari dunia kang - ouw dan liok - lim yang berkunjung untuk bersahabat dan minta se-suatu dari ayah, ada pula seorang jago silat bekas musuh ayah yang datang untuk suatu keperluan yang belum kita ketahui. Karena itu, ayah menyu-ruhku menghubungi kalian agar kalian bersiap-siap dan berhati - hati. Semua peliharaan harus diper-siapkan agar sewaktu-waktu dibutuhkan, dapat segera dipergunakan. Periksa alat rahasia yang menghubungkan tempat ini dengan istana. Dan ingat baik - baik. Musuh yang datang sekarang ini bukanlah sembarang orang, akan tetapi dia adalah keturunan seorang datuk dari utara. Bukan musta-hil kalau ayah sendiri tidak akan mampu menun-dukkan. Maka kita harus bersiap - siap, kalau ter-paksa dia akan kujebak ke dalam terowongan." Setelah selesai menyampaikan berita penting itu, yang disambut oleh delapan orang pembantu yang mengangguk - angguk, si cebol yang ternyata adalah putera dari Te - tok - ci itu meloncat ke arah meja batu di mana terdapat sebuah lampu mi-nyak. Meja itu didorongnya ke samping sampai miring. Tiba-tiba di atas langit - langit ruangan itu terbuka sebuah lubang kecil dan secepat kilat si cebol sudah meloncat dan menerobos keluar ke atas. Tak lama kemudian meja itu tegak kembali seperti semula dan lubang di atas itupun tertutup kembali oleh sebongkah batu karang besar. Si cebol itu adalah putera Te - tok - ci dan dia memakai julukan Siauw - thian ci (Tikus Langit Kecil)! Agaknya, dalam hal julukan, dia tidak mau kalah oleh ayahnya yang berjuluk Tikus KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ Beracun Bumi. Dia berjuluk Tikus Langit! Hanya ditambah Kecil karena tentu saja dia tidak berani melampaui ayahnya. Dan semua anak buah Tikus Beracun menyebut siauw - ya (tuan muda). Setelah Siauw-thian-ci pergi, delapan orang itupun meninggalkan ruangan itu, kembali ke tem-pat tugas masing-masing. Sampai lama Pek Lian dan Siok Eng belum berani bergerak, sampai mere-ka merasa yakin benar bahwa tidak ada lagi orang yang kembali ke tempat itu. "Ke mana sekarang, Eng - moi " Menerobos lo-wat lubang langit - langit seperti dia tadi ?" "Itu sangat berbahaya, enci Lian. Siapa tahu dia masih berada di atas, sedangkan untuk kembali kita tidak mengenal alat rahasianya dari atas. Apa lagi kalau di sanapun masih terdapat pintu - pintu rahasia seperti ini." "Habis bagaimana " Tinggal di sini kita menjadi seperti tikus - tikus itu, tidak dapat keluar." "Mari kita ke sana saja." Siok Eng menunjuk ke arah lubang terowongan yang paling lebar. Me reka berjalan dengan hati - hati sekali dan bersikap waspada. Tiba - tiba keduanya menghentikan lang-kah dan mepet di dinding terowongan. Seorang di antara delapan anak buah yang tadi berkumpul se-dang berjalan membawa sebuah keranjang yang nampaknya berat. Orang itu bermuka putih pucat dan dia membelok ke kiri lalu menuruni anak tang-ga. Di dasar tangga itu terdapat sebuah ruangan berpintu baja. Dua orang dara perkasa itu meng-ikutinya dan mengintai ketika orang itu berdiri di depan pintu baja. Si muka putih mencabut setang-kai obor yang terpasang di atas pintu baja dan pin-tu itupun terbuka secara otomatis. Ketika pintu terbuka, hampir saja dua orang dara itu mengeluarkan teriakan kaget dan jijik. Di balik pintu baja itu terdapat sebuah guha yang luas dan di situ berkumpul tikus berbulu putih yang mungkin ribuan ekor banyaknya! Orang bermuka putih itu melontarkan isi keranjang besar ke dalam. Tikus - tikus putih berebutan sambil mengeluarkan suara bercicit riuh rendah. Sebentar saja isi keran-jang itupun habis dan agaknya tidak mencukupi. Tikus - tikus yang tidak mendapat bagian kelihatan menjadi buas dan marah. Mereka menyerbu ke arah pintu. Melihat ini, Pek Lian menangkap le-ngan Siok Eng dan mencengkeramnya dengan hati penuh kengerian. Kalau bukan puteri ketua Tai-bong-pai yang dicengkeramnya, tentu lengan itu akan terluka! Akan tetapi, dengan tenang saja si muka putih itu mencabut keluar sebuah tabung bambu besar lalu mengeluarkan isi tabung yang berupa bubuk putih. Tercium bau yang keras ketika bubuk putih itu digenggamnya dan aneh sekali, tikus - tikus yang tadinya buas menyerbu ke depan itu, seketika un-dur kembali ketakutan dan kembali ke tempat ma-singmasing. Si muka putih menyeringai gembira. "Nah, begitu baru anak - anak baik namanya. Nanti aku akan kembali membawa makanan lebih banyak lagi." Kakek itu lalu menutupkan kembali pintu baja dengan mengembalikan obor di tempat semula, lalu diapun pergilah dari situ. Ketika orang itu lewat, dua orang dara cepat bersembunyi di dalam lubang - lubang dan celah - celah batu. Ke-tika orang itu datang dekat, dia lalu memandang ke kanan kiri, cuping hidungnya kembang kempis. Akan tetapi dia lalu menciumi tangannya yang tadi menggenggam obat bubuk dan dia mengge-leng kepala lalu lewat pergi. "Aih, orang-orang di sini mempunyai pencium-an yang peka sekali, enci. Untung dia tidak mene-mukan kita. Mari kita ikuti dia !" Dengan hati-hati dua orang dara itu memba-yangi si muka putih. Ketika tiba di persimpangan jalan terowongan, muncul berturut - turut tujuh orang anak buah yang lain dan mereka semua juga memegang tabung bambu besar berisi obat bubuk putih yang merupakan obat yang ditakuti tikus itu. Mereka mengumpulkan tabung - tabung itu dan dua orang di antara mereka lalu membawa tabung - ta-bung itu ke sebuah ruangan besar setelah melalui jalan berbelak belok. Agaknya dua orang ini ber-tugas untuk mengumpulkan dan menyimpan ta-bung - tabung itu, karena isinya merupakan barang yang amat penting bagi mereka dan tidak boleh sampai terjatuh ke tangan musuh. Bubuk putih itu merupakan senjata ampuh untuk mengusir tikus-tikus liar. Ada dua buah pintu di ruangan itu, dan mereka berdua itu lalu membuka pintu hijau, menyimpan tabung itu ke dalam sebuah kamar di balik pintu hijau. Kemudian merekapun pergi melalui jalan terowongan di sebelah kiri, meninggalkan dua orang nona yang membayangi mereka. Setelah dua orang kakek itu pergi, Siok Eng berbisik, "Kita perlu sekali dengan bubuk KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ putih itu. Kita harus mengam-bil yang cukup untuk dipergunakan kalau perlu." Pek Lian mengangguk dan mereka lalu berindap-indap menghampiri pintu hijau, membuka daun pintu yang tidak dipasangi alat rahasia. Siok Eng yang sebagai puteri ketua Tai-bong-pai amat ahli tentang racun, mengambil bubuk putih, membung-kusnya dengan saputangan dan Pek Lian melakukan hal yang sama. Kemudian mereka berunding sam-bil bisik - bisik. "Sekarang lihat baik - baik pintu merah itu, enci Lian. Di atasnya ada tulisan yang melarang orang masuk. Kurasa itu menandakan bahwa di dalam kamar di balik pintu merah itu tentu ada rahasianya yang penting. Kita masuk ke situ!" "Tapi bagaimana kalau di dalamnya menanti jebakan - jebakan atau orang - orang yang sudah siap " Bukankah itu berarti kita seperti ularular mencari penggebuk ?" "Kita harus berani menghadapi resiko itu. Ku-rasa tulisan itu ditujukan kepada para anak buah dan ini berarti bahwa hanya orang - orang penting seperti ketuanya sendiri saja yang boleh masuk. Dan mustahil kalau jalan untuk sang ketua dipasangi jebakan. Mari, ikuti aku." Mereka berdua mendorong pintu merah yang terbuka dengan mudah. Keduanya tertegun. Di balik pintu itu terdapat sebuah kamar yang indah dan di dekat dindingnya terdapat sebuah tempat tidur yang besar. "Ehh !" Pek Lian menahan seruannya dan menghampiri meja, lalu mengambil benda yang ternyata adalah sebuah cincin. Cincin ayahnya ! Cincin stempel tanda kebesaran Menteri Ho ! "Cincin apakah itu, enci ?" "Cicin ayahku ! Ah, benar ! Tentu ayah terba-wa oleh perahu yang sekarang berlabuh di sini ! Ayahku berada di sini!" Pek Lian merasa gembira sekali dan matanya berkilat kilat. Ia menyimpan cincin itu di saku bajunya sebelah dalam. "Hemm, obat ini pentin ***[All2Txt: Unregistered Filter ONLY Convert Part Of File! Read Help To Know How To Register.]*** gu. Tiba-tiba Pek Lian melihat sekilat cahaya di balik lemari. "Eng - moi, lihat. Ada sinar dari belakang lemari. Ini berarti bahwa di belakang lemari itu tentu ada ruangan lain. Mari kita geser!" Mereka bekerja sama menggeser lemari itu dan setelah tergeser mereka melihat adanya sebuah lorong yang menuju ke atas. Akan tetapi lorong ini kemudian terpecah menjadi dua. Mereka lalu memilih yang kiri. Dengan hati - hati mereka me-langkah, takut kalau - kalau ada jebakan rahasia di depan. Lorong itu berakhir dengan sebuah pintu dan ketika mereka membuka dan mengintai, mere-ka melihat bahwa di luar daun pintu itu terdapat sebuah taman yang indah, dengan kolam renang di tengah - tengah dan pada saat itu terdapat belasan orang wanita cantik yang sedang mandi sambil bersendau - gurau. Kedua orang dara itu dapat menduga bahwa tempat ini tentu merupakan tem-pat tinggal para isteri atau selir pemilik pulau. Mereka tidak berani memasuki taman, menutupkan kembali daun pintu itu dan kembali sampai di lo-rong bercabang, lalu kini mengambil lorong yang kanan. Dan tidak lama mereka tiba di akhir lorong ini yang merupakan sebuah halaman terkurung pa-gar besi dan di tengah halaman itu tumbuh sebuah pohon bunga yang luar biasa. Daun - daunnya pu-tih dan bunganya hitam mengkilat! Itulah bunga yang dicari - cari oleh Siok Eng ! Melihat bunga ini, Siok Eng melompat kegirangan, hampir ia ber-sorak dan seperti seorang anak kecil mendapatkan sebuah mainan yang sudah lama diinginkannya, ia menghampiri pohon bunga itu. "Hati - hati, enci, kau jangan memegang bunga ini," katanya dan ia sendiri lalu mengeluarkan se-buah botol berisi cairan berwarna kuning, kemudian menggunakan cairan itu untuk melumuri semua bagian kedua lengannya dan jari - jari tangannya. Setelah itu, barulah ia memetik beberapa kuntum bunga hitam dan disimpannya baik - baik ke dalam guci kecil yang sudah ada airnya. "Aih, benar kata ayahku dan tidak sia-sialah perjalananku yang jauh dan berbahaya ini," kata Siok Eng sambil tersenyum manis. "Dan engkau juga berjasa atas hasil yang kuperoleh ini, enci. Terima kasih !" KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ "Adik Eng, bukan engkau yang harus berterima kasih, melainkan aku. Sekarang, bagaimana kita akan dapat keluar dari lubang tikus ini " Ingat, selama kita belum dapat meninggalkan pulau ini, belum berarti bahwa kita berhasil." "Engkau benar, cici. Lebih baik kita mengam-bil jalan lewat taman itu. Andaikata kita ketahuan, lebih baik kita melayani musuh di tempat terbuka dari pada di dalam terowongan ini. Kalau mereka menutup saja pintu rahasia terowongan ini, berarti kita akan terkubur hidup - hidup Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo dan menjadi san-tapan tikus - tikus menjijikkan itu !'' Membayangkan ini, Pek Lian sendiri bergidik. "Marilah, Eng - moi !'" Diingatkan tentang tikus-tikus itu, kedua orang dara ini lalu bersicepat me-nuju ke daun pintu yang berada di akhir terowong-an kiri. Mereka membuka daun pintu dan ternyata para wanita cantik tadi sudah selesai mandi dan ti-dak ada orangnya dan di situ mereka melihat ba-nyak pakaian wanita yang indah - indah. Kiranya itu adalah sebuah kamar pakaian yang serba leng-kap. "Adik Eng, aku mempunyai gagasan baik. Ba-gaimana kalau kita menyamar saja sebagai seorang di antara wanita-wanita itu" Dengan demikian, setidaknya memudahkan kita untuk mencari jalan keluar." "Bagus, enci Lian. Gagasanmu itu baik sekali!" kata Siok Eng sambil tertawa girang. Keduanya lalu memilih pakaian yang cocok untuk ukuran tu-buh mereka dan sambil cekikikan seperti dua orang anak nakal, mereka lalu berdandan. Dan karena keduanya memang cantik jelita, tentu saja setelah berdandan, mereka nampak makin menarik sehing-ga keduanya saling memuji. "Wah, adik Eng, kalau melihat engkau, agak-nya wanita - wanita itu takkan terpakai lagi oleh majikan pulau ! Engkau cantik seperti bidadari!" "Aih, tidak menang dibandingkan denganmu, enci. Pakaian itu pantas benar kaupakai!" Akan tetapi, tiba - tiba mereka waspada dan sa-ling pandang ketika ada langkah kaki menuju ke kamar itu. Pek Lian berkedip, lalu ia membuka pintu dan dengan suara berwibawa menegur, "Sia-pa berani menganggu kami?" Kiranya yang datang adalah seorang penjaga dan dibentak demikian, dia kelihatan ketakutan dan cepat menjatuhkan dirinya berlutut. "Maaf, sa-ya tidak tahu bahwa ji - wi (kalian berdua) berada di sini. Saya diperintahkan oleh tocu (majikan pulau) untuk minta kepada dua orang hujin dari puri ini sebagai wakil para hujin lain untuk mene-rima tamu." Pek Lian mengerutkan alisnya. Sebagai seorang pemimpin ia memiliki kecerdikan dan ia sudah dapat menduga apa yang terjadi, maka iapun meng-ambil sikap angkuh dan bertanya dengan lagak seorang nyonya besar bertanya kepada pelayannya. "Masa hanya kami berdua " Siapakah tamu - tamu-nya ?" "Bukan hanya ji - wi hujin (kedua nyonya) yang diharapkan hadir. Setiap puri diwakili oleh dua orang, jadi dari empat puri berjumlah delapan orang. Adapun yang menjadi tamu - tamunya ba-nyak sekali. Ada orang - orang Mongol, ada orang-orang kang - ouw, dan ada seorang datuk dari utara bersama murid-muridnya. Delapan orang hujin dari empat puri diminta mengatur dan mengepalai para pelayan untuk menghormat para tamu." Karena penjaga itu bicara sambil berlutut maka dua orang dara itu sempat untuk saling pandang dan Siok Eng memberi tanda setuju dengan meng-angguk sedikit kepada temannya. Mereka tidak mempunyai pilihan lain. Menolak berarti membu ka rahasia. Mereka akan menerima saja dan nanti akan dicari jalan terbaik kalau sudah tiba saatnya yang gawat. Apa lagi mendengar nama julukan da-tuk utara itu, membuat hati Pek Lian tertarik. "Apakah kaumaksudkan datuk utara itu adalah Yap - lojin ketua Thian - kiam pang ?" tanyanya. Pertanyaan yang tepat ini tidak mengherankan hati si penjaga. Sebagai isteri atau selir majikan-nya, tidak aneh kalau wanita cantik ini tahu akan nama tokoh - tokoh dunia persilatan. Maka diapun mengangguk. "Benar dugaan hujin yang mulia." Tentu saja Pek Lian menjadi girang bukan main. Bagaimanapun juga, Yap - lojin adalah seorang pendekar besar dan hal ini dapat diartikan bahwa mereka berdua mempunyai seorang kawan dalam sarang iblis ini. Apa lagi kalau Yap Kiong Lee, murid utama atau putera angkat Yap - lojin berada di situ. Pemuda perkasa itu sudah pasti tidak akan membiarkan ia dan Siok Eng celaka dan bantuan-nya sangat boleh diharapkan dan diandalkan. Be-sarlah hati Pek Lian mendengar KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ bahwa Yap - lojin dan murid - muridnya, para pendekar Thian - kiam-pang itu, berada pula di pulau iblis ini. Dua orang dara itu lalu mengikuti si pengawal dan akhirnya terkumpul delapan orang "nyonya" bersama mereka. Tentu saja para selir itu meman-dang kepada mereka dengan heran karena tidak mengenal mereka. Akan tetapi, karena mereka menghadapi tugas penting dan mereka sudah ter-biasa dengan adanya muka - muka baru di kalang-an mereka, yaitu selir - selir baru yang diambil oleh Tikus Beracun, merekapun tidak banyak bertanya, hanya memandang dengan alis berkerut seperti pandang mata seorang wanita terhadap madu baru yang dianggap saingan. Dengan iringan pengawal, mereka lalu menuju ke pendapa di mana telah ber-kumpul para tamu. Karena pakaian mereka serupa, maka kehadiran dua orang dara di antara para selir ini tidak terlalu menyolok dan sekelebatan mereka itu tidak ada bedanya dengan yang lain. Di ruangan pendapa itu terdapat lebih dari li-mapuluh orang tamu. Dengan bantuan pelayan- pelayan yang juga cantik - cantik akan tetapi pakaian mereka lebih sederhana, delapan orang selir ini lalu melayani para tamu, menyuguhkan hidang-an-hidangan dan minuman-minuman. Pek Lian mencari - cari dengan pandang matanya dan akhir-nya ia menemukan orang yang dicarinya. Mereka duduk di deretan depan. Seorang kakek yang usia-nya sudah tujuhpuluhan tahun, berpakaian putih-putih dengan jenggot putih panjang, sikapnya ga-gah. Di sebelahnya duduk seorang pemuda perkasa berusia tigapuluh tahun lebih, juga mengenakan pakaian serba putih dengan pedang di punggung. Di sebelah kiri kakek itu duduk seorang gadis yang luar biasa cantik jelitanya, berpakaian hitam dari sutera sehingga kulit leher dan tangannya nampak semakin putih mulus. Hampir semua mata para tamu pria, baik tua maupun muda, tiada hentinya mengerling ke arah gadis yang luar biasa cantik-nya ini. Melihat tiga orang ini, Pek Lian hampir berte-riak kegirangan. Tidak saja ia mengenal Yap - lojin dan Yap Kiong Lee, akan tetapi juga ia mengenal gadis berpakaian sutera hitam itu karena gadis itu bukan lain adalah Bu Bwee Hong atau lebih tepat lagi bermarga Chu, karena gadis ini adalah anak kandung dari Pangeran Chu Sin! Di samping rasa girang yang luar biasa melihat bekas teman seper-jalanan ini ternyata masih hidup, juga timbul rasa herannya bagaimana gadis yang terbawa hanyut oleh gelombang lautan dan terpisah darinya itu tahu-tahu berada di situ bersama Yap - lojin ketua Thian - kiam - pang dan murid pertamanya. Juga Siok Eng merasa girang bukan main ketika ia mengenal Bwee Hong, puteri dari keluarga Bu yang telah menolongnya, bahkan telah menyelamat-kan nyawanya dengan pengorbanan nyawa suami isteri Bu dan terbukanya putera mereka, kakak dari Bwee Hong. Akan tetapi, tiga orang itu sama se-kali tidak mengenal Pek Lian dan Siok Eng yang tidak mudah dibedakan dari selir - selir tuan rumah yang lain. Baru setelah Pek Lian melayani meja mereka dan sengaja menginjak kaki Bwee Hong, nona cantik jelita ini mengangkat muka memandang dan sinar mata mereka bertemu. Pek Lian berkedip dan memberi isyarat kepada Bwee Hong agar tidak mengeluarkan suara. Bwee Hong terkejut dan girang bukan main ketika mengenal Pek Lian, akan tetapi melihat isyarat itu, ia tidak berani ber-kata sesuatu, hanya memandang bengong. Apa lagi ketika Bwee Hong mengenal pula Siok Eng sebagai gadis Tai - bong - pai yang pernah diobati oleh ayah bundanya, ia terheran - heran dan juga amat girang. "Enci, kalian bertiga harus menelan pel ini un-tuk menjaga diri terhadap racun," bisik Siok Eng sambil memberikan tiga butir pel kepada Bwee Hong, akan tetapi gadis cantik jelita itu tersenyum. "Jangan khawatir, adik yang baik. Kami telah minum obat penawar racun," jawabnya dengan bi- sikan lirih. Siok Eng mengangguk dan iapun mera-sa tenang karena ia percaya bahwa nona cantik ini adalah puteri seorang datuk yang menjadi keturun-an Sin-yok-ong, Si Raja Tabib Sakti. Tentu saja dara ini seorang ahli pengobatan yang tidak takut akan segala macam racun ! Adapun Yap - lojin dan putera angkatnya yang belum begitu akrab dengan Pek Liari, tidak menge-nal nona ini. Baru setelah Bwee Hong berbisik-bisik kepada ketua Thian kiam - pang itu, Yap-lojin mengerutkan alisnya. Dia teringat kepada ga-dis yang menjadi tawanan isterinya, Siang Houw Nio - nio. Akan tetapi dia diam saja, hanya merasa heran apa lagi yang dikerjakan oleh gadis pembe-rani itu di tempat seperti ini. KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ Pek Lian dan Siok Eng juga tidak sempat bica-ra dengan Bwee Hong karena pada saat itu mun-cul tuan runyah, yaitu Tikus Beracun Bumi! Para tamu bangkit dani tempat duduk mereka untuk menghormati tuan rumah yang terkenal sebagai datuk pertama dari Tujuh Iblis Ban - kwi - to ! Ka-rena para tamu bangkit berdiri, Siok Eng dan Pek Lian merasa aman, mereka tertutup oleh para tamu sehingga tuan rumah yang bertubuh pendek kecil itu tidak dapat melihat mereka. Te - tok - ci atau Tikus Beracun Bumi itu ter-nyata memliliki tubuh yang sama sekali tidak serem seperti namanya. Kakek ini usianya sekitar enam-puluh lima tahun, tubuhnya pendek kecil nampak lemah, mengenakan pakaian mewah seperti seorang bangsawan saja. Mukanya kecil sempit dan pan-jang ke muka, memang dari samping wajahnya me-miliki bentuk seperti muka tikus. Di sebelah kanan-nya berjalan laki- laki berusia tigapuluh tahun le-bih yang juga bertubuh kecil pendek. Itulah Siauw - thian - ci, putera tunggal Tikus Beracun Bumi, yaitu pria kecil pendek kejam, yang pernah dilihat oleh Pek Lian dan Siok Eng di dalam tero-wongan bawah tanah itu. Setelah tiba di tempat duduk yang dipersiapkan untuknya, yaitu di antara kursi para tamu kehor-matan, tuan rumah yang pendek ini lalu berdiri di atas tangga, menjura ke empat penjuru dan suara-nya lantang ditujukan kepada semua tamu yang bangkit berdiri ketika dia datang. "Cu - wi sekalian, selamat datang dan silahkan duduk ! Semua dipersilahkan untuk menikmati hi-dangan yang kami suguhkan !" Setelah berkata demikian dia bersama Siauw-thian - ci duduk menghadapi meja yang penuh hi-dangan, kemudian tanpa banyak cakap lagi ayah dan anak ini lalu makan minum dengan lahapnya, sama sekali tidak memperdulikan kanan kiri lagi! Dan lucunya, biarpun di atas semua meja tamu te-lah tersedia hidangan yang nampaknya lezat dan mewah, namun tidak ada seorangpun yang berani menyentuhnya, apa lagi makan ! Hal inipun tidak mengherankan, karena siapakah yang akan berani menyentuh hidangan yang disuguhkan oleh datuk sesat ahli racun yang paling kejam dan berbahaya di dunia ini " Selain itu, agaknya para tamu yang sebagian besar terdiri dari tokoh - tokoh sesat itu memang sudah tahu akan adegan yang sudah diatur ini dan agaknya sikap tuan rumah itu memang ditu-jukan kepada para tamu yang bukan segolongan dengan mereka, terutama sekali ditujukan kepada ketua Thian - kiam - pang. Maka, para tokoh sesat yang hadir hanya tersenyum - senyum saja menon-ton pertunjukan yang mereka anggap sebagai lelu-con yang menarik. Mereka tersenyum - senyum geli dan gembira melihat aksi Te - tok - ci dan Siauw-thian - ci. Akan tetapi, bagi manusia sopan pada umum-nya, aksi ayah dan anak itu sungguh memuakkan, menjijikkan dan juga memanaskan perut! Mana ada pihak tuan rumah makan minum seenak perut-nya sendiri tanpa memperdulikan para tamu, bah-kan mereka makan minum dengan lahap, berdahak dan kadang-kadang meludahkan tulang-tulang ikan ke kanan kiri. Setengah jam lamanya para ta-mu disuguhi tontonan ini dan seperti orang baru tahu bahwa para tamu tidak ada yang makan hi-dangan di atas meja depan mereka, terdengar Te-tok-ci tertawa dan Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo bicara dengan puteranya. "Ha - ha - ha, dunia penuh penakut dan penge-cut, anakku yang gagah ! Lihat, tidak ada yang berani menyentuh hidangan di atas meja. He-hehe, siapa yang makan minum hidangan itu dan ti- dak mampus mendadak , aku sungguh kagum padanya dan akan kuangkat saudara!" Ucapan ini sungguh merupakan ejekan menghi-na yang sepatutnya hanya diucapkan orang gila. Seorang tamu yang usianya baru tigapuluh tahun lebih dan berwatak berangasan, dari golongan se-sat yang agaknya belum paham akan sikap tuan rumah dan. dia merasa tersinggung, bangkit dari tempat duduknya. Dia tidak berani menentang tuan rumah, akan tetapi merasa tidak senang de-ngan sikap itu dan diapun melangkah pergi hendak meninggalkan ruangan itu. Akan tetapi, beberapa orang pengawal, anak buah Si Tikus Beracun, su-dah menghadangnya dengan tombak melintang. "Sicu hendak pergi ke mana " Sebelum to - cu selesai makan minum, tidak ada yang boleh pergi kecuali seijin to - cu !" "Apa ?" Laki - laki bermuka hitam itu melotot. "Aku Tiat - pi Hek - kwi (Setan Hitam Lengan Be-si), datang dan pergi tidak pernah diatur orang lain. Aturan gila mana ini ?" Dia hendak memaksa pergi dan ketika tiga orang pengawal itu tetap mengha-dang, dia menggunakan kedua KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ lengannya untuk mendorong dan tiga orang pengawal itupun ter-jengkang. Ternyata Setan Hitam Lengan Besi ini memang memiliki sepasang lengan yang kuat sekali. Si Tikus Beracun yang sedang asik makan mi-num itu menoleh dan sepasang matanya yang kecil itu menyipit, akan tetapi mengeluarkan sinar ber-kilat. Marahlah dia melihat ada orang berani ber-sikap menentangnya. "Cuhh !" Dia meludah ke atas lantai yang sudah, kotor dengan ludah dan tulangtulang ikan itu. "Bunuh orang itu !" teriaknya bengis. Tiga orang kepala pengawal berloncatan datang dan mereka memegang alat semprotan dari bambu. Begitu mereka menggerakkan alat itu, ada benda cair yang amat lembut dan beruap menyambar ke arah Si Setan Hitam dari tiga jurusan. Tentu saja orang itu berusaha mengelak dan mtelawan, namun begitu uap mengenai tubuhnya, dia menjerit kesakitan. Kulit tubuhnya dan pakaian yang terkena uap itu hancur dan melepuh, seperti terbakar dan orang itupun tak dapat menahan lagi rasa nyerinya. Dia terguling dan berkelojotan di atas lantai, sekarat dan tewas seketika! Semua tamu memandang dengan muka pucat dan mereka bergidik. Akan tetapi, Yap lojin ketua Thian - kiam - pang yang melihat ini menjadi marah sekali. Mukanya berobah merah dan diapun bang-kit berdiri, diikuti oleh Yap Kiong Lee dan Chu Bwee Hong. Bagaimanapun juga, sebagai seorang tamu Yap - lojin tidak sudi mencampuri urusan orang, apa lagi urusan antara Setan Hitam dan tu-an rumah yang keduanya adalah orang - orang go-longan sesat. Dengan sikap hormat namun gagah. Yap - lojin menjura ke arah Tikus Beracun dan su-aranya terdengar lantang. "Te - tok - ci, aku datang ke sini untuk berjumpa dengan seorang di antara penghuni Ban - kwi - to, yaitu Thian - te Tok - ong atau yang juga dikenal sebagai Ceng - ya kang. Aku ingin bertanya kepa-danya tentang puteraku!" Yang ditanyakan Yap - lojin adalah tokoh ke li-ma dari Tujuh Iblis Ban - kwi to. yaitu si gendut pendek yang berjuluk Thian - te Tok - ong (Raja Racun Bumi Langit) atau juga terkenal dengan se-butan Ceng - ya - kang (Kelabang Hijau) karena dia suka mengumpulkan kelabang beracun. Seperti te-lah diceritakan di bagian depan, tokoh sesat ini nampak gulang - gulung dengan Yap Kim, putera kandung Yap Cu Kiat atau Yap - lojin itu yang kini lenyap dan sedang dicari oleh ayahnya dan suheng-nya. Tentu saja Tikus Beracun sudah tahu akan hal ini dan memang sejak tadi semua adegan yang di-suguhkan di situ hanya untuk memancing keturunan datuk utara ini. Sekarang, melihat tamu yang di-anggap musuh besar ini sudah bangkit dan menge-luarkan suara, pihak tuan rumah menemukan alasan untuk turun tangan, seperti yang telah dilakukan-nya terhadap Setan Hitam tadi. Pada saat itu, mulut Si Tikus Beracun penuh makanan. Dia mengangkat muka memandang ke arah Yap - lojin, lalu dia memuntahkan makanan itu ke atas lantai dan menudingkan telunjuknya ke-arah kakek itu sambil membentak, "Bunuh juga orang itu ! !" Tiga orang kepala pengawal itu sudah mengurung Yap - lojin dan dua orang muda itu, kemudian tanpa menanti perintah kedua kalinya lagi, tiga o-rang yang memang mempunyai hobby membunuh orang itu menyemprotkan alat semprot mereka yang mengandung racun amat jahat itu. Akan teta-pi, karena tadi mereka sudah menjaga diri dengan minum obat penolak racun yang diberikan oleh Bwee Hong, mereka tidak takut terhadap racun itu, dan untuk menjaga pakaian mereka, tiga orang ini lalu menggerakkan kedua tangan dikibaskan ke depan. Bahkan Yap Kiong Lee sudah mengerahkan tenaga Thian-hui Khong-ciang yang luar biasa, itu, yang menjadi ilmu keturunan dari datuk utara Sin-kun Bu-tek. Akibatnya luar biasa hebatnya karena tiga orang itu terjengkang dan tidak dapat bangkit kembali, napas mereka empas - empis dan muka mereka pucat, tubuh terasa lumpuh kehilang-an tenaga! Gegerlah ruangan itu ketika para anak buah Ti-kus Beracun maju mengeroyok. Bahkan Tikus Be-racun sudah berteriak-teriak minta bantuan para tamu. Para tamu yang sebagian besar adalah tokoh-tokoh kaum sesat itu dan menjadi sekutu Tujuh Iblis Ban - kwi - to tentu saja berpihak kepada Ti-kus Beracun dan terjadilah pengeroyokan atas diri tiga orang itu. Namun, KANG ZUSI website http://kangzusi.com/ mereka bukanlah orang-orang sembarangan ! Nona Chu Bwee Hong adalah keturunan dari datuk selatan Sin-yok-ong yang memiliki ilmu silat luar biasa tingginya. Yap - lojin adalah ketua Thian - kiam - pang yang merupakan keturunan datuk utara Sin-kun Bu-tek yang amat lihai, sedangkan Yap Kiong Lee, murid utama atau putera angkatnya, telah sedemikian maju dalam ilmunya sehingga tidak jauh selisihnya dengan ilmu kakek itu sendiri! Inilah sebabnya yang membuat para orang sesat itu seperti air bah membentur batu karang yang kokoh kuat. Bwee Hong mengan- dalkan ginkangnya yang istimewa. Tubuhnya ber-kelebatan seperti terbang saja di antara pengero-yokan banyak orang. Tidak ada sebuahpun senja-ta mampu menyentuhnya dan ia membagi-bagi pukulan dan tendangan secepat kilat. Dengan gin-kang keturunan datuk selatan Sin - yok - ong yang luar biasa, yaitu yang dinamakan Pek - in Gin-kang (Ilmu Meringankan Tubuh Awan Putih), tubuhnya berkelebatan seperti kilat dan Ilmu Silat Kim-hong-kun (Silat Burung Hong Emas) membingungkan para pengeroyoknya. Yap - lojin bersikap tenang - tenang saja meng-hadapi semua pengeroyokan. Kakek ini hanya menggerak - gerakkan kedua lengannya dan ujung jubahnya yang lebar itu mendatangkan angin keras, membuat para pengeroyoknya terpelanting atau terdorong mundur. Akan tetapi, sepak terjang Yap Kiong Lee lebih hebat lagi. Pemuda ini mengamuk dan kedua tangannya bergetar menimbulkan suara gemuruh seperti angin ribut. Itulah Hong-i Sin-kun (Ilmu Silat Sakti Angin Badai) yang hebat, d: sertai penggunaan tenaga sakti Thian-hui Khong-ciang yang mengeluarkan suara ledakan seperti pe-tir dan menghancurkan benda - benda di sekitar-nya. Semua orang terkejut ketakutan dan menjauh-kan diri, tidak kuat menahan pukulan - pukulan sakti ketiga orang itu. Semua orang menjadi kagum sekali, bahkan si kakek Yap - lojin juga diam diam amat kagum terhadap murid ini. "Kiong Lee, engkau cari adikmu, biar kuhadapi tikus - tikus ini!" kata Yap lolin yang menduga bahwa tentu puteranya, Yap Kim, disembunyikan di pulau itu. "Baik, suhu !" kata Kiong Lee yang sudah mulai membuka jalan dengan menghamburhamburkan pukulan saktinya ke kiri untuk keluar dari kepung-an. Akan tetapi tiba-tiba Pek Lian berteriak, "Locianpwe, puteramu tidak berada di sini. Mari ikut dengan kami!" Karena teriakan ini, Kiong Lee meragu dan tidak jadi keluar dari kepungan, dan sebaliknya, Pek Lian dan Siok Eng ketahuan dan dikeroyok pula. Karena ingin mencari kawan, Pek Lian dan Siok Eng mengamuk dan mendekati Yap - loiin bertiga sehingga kini mereka berlima mengamuk dan me-robohkan banyak pengeroyok yang berani menye-rang terlalu dekat. Melihat kehebatan lima orang musuh ini, Tikus Beracun dan puteranya menjadi marah. Mereka sibuk berteriak - teriak memberi komando kepada para pengawal. "Semprotkan darah maut!" "Taburkan bubuk pencabut nyawa!" "Bakar dupa setan sebanyaknya !" "Serang dengan jarum kalajengking!" Para pengawal sibuk melaksanakan perintah-perintah ini, namun karena lima orang itu semua telah melumuri tubuh dengan obat anti racun, juga sudah menelan obat mujijat dari Raja Obat Sakti atau juga terkenal dengan julukan Tabib Sakti, se-dangkan Pek Lian dan Siok Eng telah dilindungi obat anti racun dari Tai - bong - pai, maka semua racun yang mengerikan itu tidak dapat melukai mereka. Apa lagi dengan ilmu silat mereka yang amat hebat itu, semua senjata dan racun dapat ditolak dan yang celaka bahkan para tamu yang ikut me-ngeroyok. Yang terkena racun - racun itu berjatuh-an dan berkelojotan sekarat dan tewas seketika da-lam keadaan amat mengerikan. Melihat kehebatan lawan, Tikus Beracun dan puteranya lalu tiba - tiba menghilang. Mereka hen-dak mempersiapkan diri untuk menjebak musuh-musuh yang amat tangguh itu agar terperosok ke dalam terowongan rahasia mereka karena mereka maklum bahwa menghadapi mereka takkan mungkin menang kalau hanya mengandalkan ilmu silat dan pengeroyokan. Melihat mundurnya tuan rumah, para tamu yang memang sudah gentar menghadapi lima orang pendekar itu, juga banyak yang mulai menjauhkan diri sehingga pengepungan tidak begitu ketat lagi. Sementara itu, Pek Lian yang mencurigai kepergian Si Tikus Beracun dan puteranya, dengan cerdik su-dah dapat menduga apa yang akan dilakukan oleh tuan rumah yang licik dan amat curang itu. Tuan rumah telah menghilang, para pengawal juga mun-dur sehingga mereka berlima ditinggalkan di ruang-an depan itu. "Yap - locianpwe, harap hati - hati terhadap jeKANG ZUSI website http://kangzusi.com/ bakan rahasia. Jangan sembarangan menginjak lantai yang mencurigakan ahhhh !!" Ia yang memperingatkan, akan tetapi ia sendiri bersama Siok Eng yang berdiri di sebelahnya yang lebih dulu menjadi korban ketika lantai yang mere-ka pijak dan yang tadinya kokoh kuat itu tiba-tiba saja bergerak dan mereka berduapun terjeblos ke bawah tanpa dapat mereka hindarkan lagi. "Adik Lian, awas !!" Bwee Hong berteriak dan gadis yang memiliki ginkang luar biasa hebat-nya ini sudah melesat ke depan, maksudnya Untuk menolong Pek Lian dan Siok Eng, akan tetapi aki-batnya ia sendiripun ikut terjeblos bersama dua orang dara itu ! Melihat betapa tiga orang dara itu telah terje-blos dan lenyap ke bawah, sedangkan lantai itu te-lah menutup kembali, Yap - lojin menyambar tangan muridnya dan berkata, "Mari kita keluar!" Mereka berdua meloncat dengan cepatnya, melayang untuk keluar dari pintu. Akan tetapi tibatiba dari luar menyambar puluhan batang anak panah beracun ke arah mereka! Karena maklum Durjana Dan Ksatria 2 Pendekar Gila 33 Keris Naga Sakti Tiga Dara Pendekar 1