Ceritasilat Novel Online

Golok Kelembutan 7

Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id Bagian 7 ini, inilah pertempuran wajib yang harus kita hadapi, berhasil menggetarkan dunia persilatan atau lenyap dari muka bumi, semuanya tergantung pada hasil pertarungan nanti," kata Pek Jau-hui, kemudian kepada Lui Tun dan Thio Than katanya, "Cuma sebelum kita turun tangan, harus diper?jelas dulu duduknya persoalan, dia datang sebagai musuh kita atau datang sebagai sahabat?" "Mi-thian-jit bertujuan menangkap aku, kalian tak perlu turun tangan," kata Lui Tun. "Sayang demi Kim-hong-si-yu-lau, aku tak akan memberi kesempatan kepada Kwan Jit untuk mengumbar kejumawaan-nya di tempat ini," kata Pek Jau-hui angkuh. "Baik, dalam kondisi harus menghadapi musuh yang sama, tentu saja kita harus bersahabat," kata Lui Tun. "Kita memang selamanya bersahabat," tukas Ong Siau-sik cepat, "sahabat karib!" "Tapi kalian mesti menjelaskan dulu, sebetulnya Mi-thian-jit itu terdiri dari berapa orang?" tanya Un Ji keheranan. "Hanya satu orang! Tapi anak buahnya terdiri dari enam orang jago tangguh, baik ilmu silat maupun kecerdasan mereka terhitung luar biasa." "Seperti Ci Thian-ciu?" tanya Un Ji sambil mencibir. "Dia?" Lui Tun mendengus sinis, "jangan lagi menjadi ja?goan tangguh, mau masuk lingkaran dalam perkumpulan Mi-thian-jit-seng saja sudah tak mampu" Sambil mendengus Un Ji segera mengayunkan goloknya, ia berkata, "Aku jadi ingin membuktikan, sebetulnya dia seorang memiliki berapa banyak batok kepala Mendadak seperti teringat akan sesuatu, kembali serunya, "Sialan, perempuan yang bernama Lui Moay itu, dia telah mencuri sarung golokku!" "Aku yang mencuri sarung golokmu," tiba-tiba Thio Than mengakui. "Kau?" teriak Un Ji marah. Lekas Lui Tun menghiburnya, ia berkata, "Sebetulnya Lui Kun berniat menangkapmu, karena tak berhasil membujuknya, maka aku suruh Thio kecil dengan mencatut nama Lui Moay pergi mencuri sarung golokmu, maksudku adalah memberi peringatan agar kau secepatnya meninggalkan kotaraja, tak usah mencampuri urusan ruwet di sini." Setelah berhenti sejenak, ia menambahkan, "Thio kecil pandai menggunakan delapan cara ilmu mencuri serta delapan besar dunia persilatan, dia terhitung salah satu copet paling unggul di antara tiga jagoan lainnya." "Terlalu memuji," Thio Than tertawa merendah. "Hmmm, jangan keburu senang," sindir Tong Po-gou sam?bil mendengus dingin, "kehebatanmu paling hanya bisa menco?pet barang orang lain." "Hahaha," Thio Than tertawa terbahak-bahak, "kalau bu?kan gara-gara mempunyai ilmu mencopet, darimana aku bisa tahu kalau dalam saku seorang lelaki ternyata menyimpan selembar saputangan milik kaum wanita." Tong Po-gou segera meraba sakunya, tapi dengan cepat ia naik darah. Melihat Thio Than sedang mengendus sebuah saputangan kain sutera, ia menjadi jengah bercampur gusar, hardiknya, "Ce?pat kembalikan padaku!" Dengan cepat ia menyambar ke depan. Sekali mengegos Thio Than berputar ke arah lain, cengke?raman Tong Po-gou pun mengenai sasaran kosong. Pada saat itulah dari arah depan, belakang dan sekeliling jalan raya itu bergema suara seruling dan gembreng yang dibunyikan bertalu-talu. Pada mulanya hanya terdengar dua pekikan nyaring yang menusuk pendengaran, menyusul kemudian suara itu saling bersahut-sahutan hingga makin ramai. Akhirnya dari empat penjuru bergemalah suara pekikan seperti tiupan seruling yang gegap gempita. "Jangan berisik!" Lui Tun maupun Un Ji segera menghar?dik Tong Po-gou dan Thio Than. Kedua orang jago itu serentak menghentikan keributannya. Cuaca makin lama semakin bertambah gelap, awan pun makin lama semakin menyelimuti langit. Suara seruling itu makin lama semakin nyaring, bagaikan sebilah pisau yang sudah lama dibakar di atas api kemudian dihujamkan ke atas dada. ooOOoo 32. Bukan bertanya pada Rakyat, tapi pada Setan Irama seruling menggema di angkasa, tinggi tajam serasa menyayat telinga. "Tampaknya kita sudah kedatangan banyak tamu tak di?undang," bisik Pek Jau-hui. Biarpun cuaca di luar berubah hebat, paras mukanya sama sekali tak berubah. "Perkumpulan Mi-thian-jit -seng telah mengerahkan begitu banyak jago, tampaknya mereka bertujuan menangkan perta?rungan ini," kata Ong Siau-sik. "Makin banyak orang semakin baik, malah jadi ramai!" sela Thio Than sambil tertawa. "He, pencuri yang tak tahu malu, cepat kembalikan barang milikku!" terdengar Tong Po-gou masih ribut. "Kalau punya kepandaian, ambil saja sendiri!" Tong Po-gou sangat gusar, ia segera mengejar, tapi Thio Than kembali mengegos, kejar-mengejar pun segera berlang?sung, tanpa terasa jarak mereka berdua dengan daun jendela tinggal tujuh langkah. Baru saja Un Ji hendak menghardik Tong Po-gou untuk menghentikan ulahnya, tibatiba terlihat Tong Po-gou serta Thio Than berdua telah menjebol dinding kayu yang menghadap ke arah jalan raya, kemudian dengan gaya monyet sakti menju?lurkan lengan dan naga emas menunjukkan cakar, mereka men?cengkeram seseorang dan melayang balik ke dalam ruangan. Ternyata orang itu adalah sang pelayan rumah makan. Pelayan itu dijepit di bawah ketiak Tong Po-gou, sementara jalan darahnya ditotok Thio Than, dengan saling membetot, mereka menyeret pelayan itu menuju ke ruang tengah. Karena dijadikan barang rebutan, pelayan itu jadi tersiksa setengah mati, nyaris tak bisa menghembuskan napas. Tampak paras mukanya berubah hebat. Dengan wajah garang Thio Than segera menegur, "Meng?gunakan kesempatan ketika mereka berdua melayang masuk ke dalam rudngan, kau menyelinap ke bawah jendela dan mencuri dengar semua pembicaraan kami, hmm! Kau sangka aku tidak tahu" Kalau ingin membandingkan ilmu cakar kucingmu de?ngan ilmu copet saktiku, huhh ... masih selisih jauh." "Sejak masih bersantap di bawah loteng tadi, aku sudah menaruh curiga pada tampangnya, aku tahu dengan tampang malingnya itu, dia pasti bukan orang baikbaik," sambung Tong Po-gou. "Hmm, siapa bilang kau yang mengetahui duluan" Sudah jelas aku yang tahu terlebih dulu" "Ada apa" Ingin berkelahi?" teriak Tong Po-gou dengan mata melotot, "kalau tidak kau kembalikan barang milikku, ja?ngan harap aku Tong Ki-hiap akan melepaskan dirimu." Pek Jau-hui tahu, dagelan kedua orang itu tak bakal ada habisnya, cepat dia menukas, "Cepat jawab, kau berasal dari aliran mana?" "Sebentar lagi kalian bakal mampus, buat apa menanyakan persoalan ini?" biar sudah ditangkap, sikap pelayan itu masih angkuh dan jumawa, dalam pandangannya, seolah semua yang ada dalam ruang loteng itu sebentar lagi bakal mampus. "Ooh, kalau begitu kau adalah anggota Perkumpulan Mi-thian-jit-seng," kata Pek Jau-hui sambil manggut-manggut. "Baiklah, jika kalian tetap ingin tahu, akan kukatakan terus terang, aku adalah wakil Toucu Perkumpulan Mi-thian-jit-seng, daerah pengawasanku adalah seputar Sam-hap-lau." "Setahuku Sam-hap-lau masih termasuk wilayah kekuasa?an Kim-hong-si-yu-lau dan perkumpulan Lak-hun-poan-tong, tidak aneh kalau kalian pun menyebar mata-mata di sekitar sini, boleh tahu siapa namamu?" "Hmmm, hanya mengandalkan posisimu sekarang, masih belum pantas untuk mengetahui namaku," kembali pelayan itu mendengus sinis. Mendengar jawaban itu, Tong Po-gou maupun Un Ji seke?tika tertawa geli, sementara Pek Jau-hui mulai berkerut kening, sekilas hawa membunuh terlintas di wajahnya, tapi hanya se?jenak, kemudian sambil tersenyum ujarnya, "Dalam pandangan?mu, kami adalah orang yang bakal mampus, sementara iden?titasmu juga sudah ketahuan, berarti jika kami tidak jadi mati, kau pun jangan harap bisa melakukan pengintaian lagi di wilayah ini. Kalau toh begitu, kenapa kau masih menjadi kura-kura yang takut menyebut nama sendiri?" "Baik, akan kukatakan terus terang. Hari ini orang-orang dari Rasul keenam bakal datang semua kemari, bahkan bisa jadi Jit-seng-ya Rasul ketujuh akan hadir sendiri di sini, kalian bakal mampus semua!" Kemudian setelah berhenti sejenak, tambahnya, "Aku disebut orang Kalajengking air Tan Cian-kui!" Diam-diam Pek Jau-hui terkesiap, batinnya, "Tampaknya Perkumpulan Mi-thian-jitseng sudah mulai memukul gende?rang mengumpulkan kekuatan, mereka menggunakan kesem?patan di saat Kim-hong-si-yu-lau dan perkumpulan Lak-hun-poan-tong saling berebut kekuatan, secara diam-diam menghim?pun kawanan jago persilatan untuk bergabung dengan mereka. Si Kalajengking air adalah seorang perampok ulung dari ka?langan liok-lim, dia tersohor di seputar wilayah Si-sui, sungguh tak nyana sekarang sudah menjadi anggota perkumpulan Mi-thian-jit, kelihatannya pengaruh mereka sudah makin melebar." Sementara berpikir, dengan senyum tak senyum ia menya?hut, "Ah, rupanya Tantoucu, sudah lama kudengar nama besar?mu, sungguh tak disangka kini telah bergabung dengan per?kumpulan Mi-thian-jit-seng, boleh tahu dari pihak kalian siapa saja yang bakal datang?" Belum sempat pelayan itu menjawab, mendadak terdengar seseorang menyahut dengan suara dingin menyeramkan, "Kami semua telah tiba di sini, bukannya bertanya langsung kepadaku, apa gunanya kau bertanya kepada dia?" Ucapan itu seolah bergema di sisi telinga mereka yang ada dalam ruangan, hal ini membuat Tong Po-gou dan Thio Than jadi amat terperanjat. Terdengar Pek Jau-hui segera menyahut, "Bukan bertanya kepada Rakyat (Congseng), bertanya pada setan (Kui-sin). Liu Cong-seng, Jin Kui-sin, kebetulan sekali kedatangan kalian." Tampak seseorang berjalan naik ke atas loteng dengan langkah lebar, sementara seorang lagi menerobos masuk lewat daun jendela. Begitu tiba dalam ruang loteng, kedua orang itu langsung bertarung sengit melawan Tong Po-gou serta Thio Than, dalam waktu singkat mereka sudah saling menyerang sebanyak tujuh gebrakan lebih. Begitu dahsyat serangan yang dilancarkan, membuat Tong Po-gou berdua tak sanggup lagi mempertahankan cengkeraman?nya pada tubuh pelayan itu, tak kuasa lagi mereka melepaskan Tan Cian-kui. Dalam waktu singkat Tan Cian-kui telah beralih tangan, kini dia sudah berada di tangan kedua orang penerobos itu. Dalam pada itu paras muka Tan Cian-kui telah berubah hebat, dia memang pantas kaget sebab dia sendiri pun tidak tahu siapa nama sebentarnya dari Rasul ketiga serta Rasul keempat, tapi Pek Jau-hui dapat menyebutnya sekaligus. Darimana anak muda itu bisa mengetahui identitas mereka yang sebenarnya" Yang membuat Tan Cian-kui lebih kaget lagi adalah ter?nyata Rasul ketiga dan Rasul keempat adalah Liu Cong-seng serta Jin Kui-sin, setahunya, kedua orang itu merupakan gem?bong iblis paling kosen dalam kalangan hek-to, bahkan terkenal sebagai dua orang pembunuh kelas atas. Mereka berdua terkenal karena kemampuannya membu?nuh, malah sejajar nama besarnya dengan organisasi pembunuh lainnya seperti kelompok Chin-si-beng-gwehan-si-kwan (saat Chin terang bulan saat Han buka gerbang), Boan-thian-seng, Liang-cing-cing (bintang bertaburan di angkasa, berkelap-kelip), Sin-put-ci, Kui-put-kak (dewa tak tahu, setan tak merasa). Orang persilatan memberi julukan kepada mereka berdua sebagai Yu-hoat-yu-thian (ada hukum ada langit). Konon dikarenakan dua alasan maka mereka memperoleh julukan itu. Pertama, karena mereka yang satu mewakili hukum dan satu lagi mewakili langit. Kedua, karena mereka pernah bertarung melawan kelom?pok 'Berbuat onar semau sendiri' pimpinan Mo Pak-sin. Kelompok 'Berbuat onar semau sendiri' merupakan pasu?kan andalan Kim-hong-si-yulau, dulunya terdiri dari tiga puluh tiga orang dan kini tersisa dua puluh sembilan orang karena ada empat orang sudah gugur dalam tugas. Namun pengorbanan mereka sama sekali tak sia sia, setiap pengorbanan selalu ditukar dengan satu nilai prestasi yang luar biasa, yang membuat Kim-hong-si-yulau memperoleh manfaat yang amat besar. Liu Cong-seng serta Jin Kui-sin pernah bertarung melawan tiga puluh satu orang jago kelompok 'Berbuat onar semau sen?diri', bukan saja mereka berhasil mundur dalam keadaan sela?mat, bahkan berhasil membunuh dua anggota pasukan lawan. Sejak itulah mereka berdua mendapat julukan 'ada hukum ada langit'. Sejak pertarungan itu, konon hampir setengah tahun lama?nya Liu Cong-seng dan Jin Kui-sin tak pernah muncul lagi dalam dunia persilatan, katanya mereka sempat menderita luka yang cukup parah dalam pertarungan itu. Tan Cian-kui masih ingat dengan jelas, selama setengah tahun lamanya, Rasul ketiga dan Rasul keempat memang belum pernah tampil dalam perkumpulan Mi-thianjit-seng. Tapi benarkah mereka tak pernah menampilkan wajahnya" Tan Cian-kui sendiri pun tidak tahu, karena Mi-thian-jit memang tak punya wajah. Kecuali Rasul ketujuh, setiap kali menampilkan diri, ke?enam Rasul yang lain selalu muncul dengan mengenakan cadar, belum pernah satu kali pun tampil dengan wajah aslinya. Bahkan Kwan Siau-te, adik kandung ketua mereka sendiri pun baru secara kebetulan dapat menjumpai wajah asli saudara kandungnya itu setelah ia menikah dengan Lui Sun. Dari ketujuh Rasul pembius langit, hanya Rasul ketujuh Jit-seng-ya yang benarbenar merupakan 'Seng-cu', sementara keenam orang lainnya kendatipun menyandang julukan Rasul, sesungguhnya hanya merupakan jago tangguh pelindung kese?lamatan Rasul ketujuh, sementara urusan lain sama sekali tak punya kekuasaan untuk menentukannya. Oleh sebab itu begitu Pek Jau-hui berhasil menyebut nama asli mereka, semua orang jadi tertegun dibuatnya. Diam-diam Tan Cian-kui menghembuskan napas lega, ber?untung dia sendiri pun tidak tahu identitas sebenarnya dari Rasul ketiga serta Rasul keempat ini, kalau tidak, kedua orang jago tangguh itu pasti menaruh curiga kepadanya, menyangka dia yang telah membocorkan rahasia itu. Ia tak tahu apa yang sedang dipikirkan kedua orang jagoannya, sebab wajah Rasul ketiga tertutup oleh sebuah caping lebar yang terbuat dari bambu, sementara wajah Rasul keempat ditutup dengan topeng wajah malaikat bengis. Ong Siau-sik juga tak bisa melihat bagaimana perubahan mimik muka Jin Kui-sin maupun Liu Cong-seng saat itu. Dia hanya bisa melihat orang yang berperawakan tinggi itu mengenakan baju warna biru dengan kancing warna kuning, wajahnya ditutup dengan topi caping yang terbuat dari bambu, hanya dua lubang kecil saja yang tampak di atas caping itu, dari balik lubang terpancar sinar mata yang menggidikkan hati. Sementara yang satu lagi berjubah putih, sepatunya bersih lagi necis, kaus kakinya putih dengan alas sepatu terbuat dari kain, dari balik topeng yang dikenakan terlihat juga sorot ma?tanya yang jauh lebih tajam ketimbang rekannya. Kendatipun Ong Siau-sik tak dapat melihat perubahan wajahnya, tapi dia tahu tebakan Pek Jau-hui tadi pasti benar. Jelas kedua orang jago tangguh itu amat terperanjat dibu?atnya. Begitu muncul dan turun tangan, secara gampang kedua orang itu berhasil merampas balik Tan Cian-kui dari tangan lawan, siapa sangka justru karena itu identitas mereka malah ketahuan Pek Jau-hui. Padahal perasaaan yang dialami Jin Kui-sin dan Liu Cong-seng waktu itu bukan cuma tercengang, mereka benar-benar terperangah dibuatnya. Seingat mereka berdua, sewaktu turun tangan melancarkan serangan tadi, mereka sama sekali tidak menggunakan jurus andalan masing-masing, darimana anak muda itu bisa menge?tahui rahasia identitas mereka yang sebenarnya" Lagi pula mana mungkin dari satu gerak serangan saja, orang itu sudah dapat menebak identitas mereka secara benar" Liu Cong-seng dan Jin Kui-sin segera saling bertukar pan?dang sekejap, mereka sadar, pertarungan yang bakal berlang?sung tampaknya tidak segampang dan seringan apa yang mere?ka duga sebelumnya. Sebenarnya kedatangan mereka berdua hanya punya satu tujuan, dan untuk mencapai tujuan itu ada dua cara yang tersedia. Pertama, membantai habis semua orang yang hadir, atau kedua, menakut-nakuti semua orang yang hadir hingga semua?nya melarikan diri. Oleh karena itu Jin Kui-sin segera memutuskan untuk men?coba dulu cara yang kedua. "Kami datang kemari karena ketua ingin bertemu dengan nona Lui, asal dia bersedia pergi bersama kami, maka orang lain tak akan kami jamah," kata Jin Kuisin dengan suara nyaring, "akan tetapi jika ada yang tak takut mati, berani maju mengha?langi, terpaksa Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo akan kukirim mereka menuju ke neraka." Sejak awal dia memang tak siap membuat pihak lawan ketakutan lantaran perkataannya itu, khususnya terhadap bebe?rapa orang anak muda yang kelihatan acuh dan suka mencari gara-gara itu, dia sadar, biasanya manusia semacam ini paling tidak takut mati, biar langit ambruk di hadapan mereka pun belum tentu bisa membuat mereka ketakutan. Dia memang paling tak suka dengan anak muda. Biasanya anak muda paling tak takut mati. Mungkin bukannya mereka tak takut mati, tapi lantaran jarak mereka dengan saat kematian masih terlalu jauh, maka mereka belum tahu bagaimana menakutkannya menanti saat kematian. Benar saja, terdengar anak muda yang hitam bulat seperti tiang bundar itu sudah menegur dengan suara keras, "Hei, kau yang bernama Liu Cong-seng atau Jin Kuisin?" "Aku Jin Kui-sin!" "Hahaha, bagus sekali," seru Thio Than sambil bertepuk tangan, "kalau ada setan yang jadi pengiringnya, biar mati pun pasti mati dalam suasana ramai." Jin Kui-sin merasa anak muda jaman sekarang bukan saja tak takut mati, pada hakikatnya sama sekali tak mengerti bagai?mana bersikap hormat kepada kalangan tua dunia persilatan, apalagi dengan satu serangannya tadi ia berhasil memukul mun?dur orang ini, dalam anggapannya kungfu yang dimiliki orang ini tidak terlalu tangguh, maka dengan nada keras serunya, "Kau tahu, andaikata seranganku tadi tidak kutahan separuh tenaganya, sekarang kau sudah tak sanggup mengoceh lagi di sini." "Wah, kalau begitu kau sudah mengampuni jiwaku?" ejek Thio Than. "Tadi aku hanya bertujuan menolong orang, bukan untuk membunuhmu, kalau tidak, mungkin sekarang kau sudah dalam perjalanan menuju ke alam baka." "Padahal aku sendiri pun sudah mengampuni nyawamu," ejek Thio Than sambil membuka telapak tangannya, dalam genggamannya terlihat ada sebiji kancing tembaga berwarna kuning. Sekilas pandang Jin Kui-sin segera mengenali kalau kan?cing itu adalah kancing baju miliknya yang telah berkurang satu, diam-diam hatinya tercekat. Terdengar Thio Than berkata lagi sambil tertawa terkekeh, "Coba kalau aku tidak ingat bahwa Thian itu maha pengasih, sedari tadi aku sudah mengantar kau untuk bertemu dengan nenek moyang setanmu." "Kau ... !" teriak Jin Kui-sin penuh amarah, tapi ia tak melanjutkan debatannya, dengan langkah lebar mendadak ia berjalan menghampiri Lui Tun. "Mau apa kau?" Thio Than segera melakukan pengha?dangan. "Berani menghadang berarti mati." "Kau ingin mampus" Silakan." Jin Kui-sin tidak banyak bicara, dia membalik ujung baju?nya lalu melepaskan sebuah bacokan. Thio Than menyambut serangan itu dengan keras lawan keras, benturan keras membuat tubuhnya bergetar keras. "Kenapa tidak segera menggelinding pergi?" bentak Jin Kui-sin sambil melepaskan sebuah pukulan lagi. Kembali Thio Than menyambut serangan itu dengan keras lawan keras, kali ini tubuhnya mundur satu langkah, wajahnya yang semula hitam pekat kini berubah jadi pucat pias. Menyaksikan hal itu Tong Po-gou segera mengejek, "He, Gentong nasi, kalau sudah tak mampu, biar aku yang mela?kukan penghadangan." Tapi belum sempat dia bergerak maju, Liu Cong-seng sudah berjalan menghampirinya. Jangan dilihat orang itu berpakaian necis, bersepatu bersih dan berjalan santai, begitu dia melangkah maju, menerjang ke depan dengan kecepatan luar biasa. Tong Po-gou tak berani ayal, dia ikut melangkah ke depan, menghadang jalan pergi lawan. Menyaksikan jalan lewatnya terhadang, Liu Cong-seng segera menggelengkan kepala berulang kali, namun Tong Po-gou tidak menggubris, dia malah ikut menggelengkan pula kepalanya. Kembali Liu Cong-seng menggoyangkan tangannya, mak?sudnya agar dia segera menyingkir dari hadapannya. Tong Po-gou tertawa menyengir, dia ikut menggoyangkan juga tangannya, bermaksud agar kau saja yang pergi dari ha?dapannya. Kali ini Liu Cong-seng tidak melakukan gerakan apa-apa lagi, ia berdiri tenang. Melihat itu Tong Po-gou ikut berdiri tanpa bergerak. Ketika Liu cong-seng menghela napas, Tong Po-gou meni?ru dengan menghela napas pula. Tiba-tiba Liu cong-seng merangsek ke depan sambil me?lancarkan serangan, lima jari tangannya dipentang lebar bagai?kan sebuah sekop, dia langsung menusuk dada lawannya. "Cepat menghindar!" teriak Ong Siau-sik yang menyaksi?kan serangan itu. Tak usah disuruh pun Tong Po-gou sudah menyingkir lebih dulu, jangan dilihat badannya gede seperti raksasa, ter?nyata gerakannya berkelit jauh lebih cepat dari suara. "Braaaak!", tusukan jari tangan Liu Cong-seng segera menghujam di atas tiang kayu besar. Sebelum Tong Po-gou sempat membalikkan badan sambil melancarkan serangan, ia sudah mencabut kembali jari tangan?nya. Seandainya dalam genggamannya memegang sebilah go?blok, tentu saja peristiwa ini bukan suatu kejadian yang aneh, tapi dia hanya bertangan kosong. Sebuah tangan yang terdiri dari darah daging ternyata sanggup menusuk tiang kayu sebesar itu secara gampang, bah?kan sewaktu mencabut keluar pun dilakukan secara mudah, seolah menarik tangannya dari selembar kertas saja, kontan saja kejadian ini membuat hati Tong Po-gou terkesiap. Belum sempat ingatan kedua melintas dalam benaknya, Liu Cong-seng sudah merangsek maju ke hadapan Lui Tun. Jangan dilihat ia berjalan santai, kenyataan cepatnya bukan kepalang, dalam waktu singkat ia sudah tiba di hadapan Lui Tun. Tapi belum sempat melancarkan serangan, keempat orang dayang yang berada di belakang Lui Tun sudah menerjang maju sambil melepaskan tusukan dengan pedangnya. Biarpun tusukan dilakukan empat bilah pedang sekalius, ternyata hanya satu desingan angin tajam yang terdengar. Kerja sama keempat orang dayang itu memang luar biasa, jelas sudah melalui latihan yang tekun dan ketat, oleh sebab itu bukan saja serangan yang dilontarkan tertuju pada sasaran yang sama, bahkan dilakukan secara bersamaan dan rapi. Empat bilah pedang dari empat sudut yang berbeda me?nusuk empat buah jalan darah penting di tubuh lawan. Di sinilah letak kehebatan kerja sama ini, karena serangan yang dilancarkan empat orang hanya menampilkan sepasang tangan, sepasang mata dan sebuah hati yang sama. Jarang ada orang bisa menggunakan empat bilah pedang pada saat dan keadaan yang sama, menggunakan empat jenis ilmu pedang yang berbeda dan menyerang dari empat sudut yang berbeda. Namun serangan semacam ini ternyata tidak menyulitkan Liu Cong-seng untuk menghadapinya. ooOOoo 33. Tolong Entah apa yang terjadi, tahu-tahu empat bilah pedang itu patah jadi dua. Sepintas tampaknya keempat bilah pedang itu patah pada saat yang bersamaan, sesungguhnya tidak. Liu Cong-seng sekaligus telah melancarkan empat buah serangan, keempat buah serangan itu semuanya menggunakan gerakan empat buah jari tangan, ketika disentilkan pada jarak tiga inci dari ujung mata pedang lawan, seketika itu juga ujung pedang patah jadi dua. Posisi tiga inci dari ujung pedang memang merupakan bagian terlemah dari sebilah pedang, sama seperti bagian tujuh inci dari tubuh ular yang menjadi titik kematian, ternyata semua serangan yang dilancarkan Liu Cong-seng ditujukan ke arah situ. Berhasil menghajar keempat bilah pedang tadi, kembali dia melanjutkan langkahnya mendekati Lui Tun. Tong Po-gou segera menyusul dari belakang, tampaknya dia hendak melancarkan serangan ke punggung lawan. Liu Cong-seng sama sekali tidak bereaksi, dia tetap melanjutkan langkahnya, seakan dia memang sedang menunggu hingga Tong Po-gou melancarkan serangannya terlebih dahulu. Siapa tahu ketika Tong Po-gou mengejar hingga tiga langkah di belakang punggungnya, tiba-tiba ia menghentikan langkahnya, ternyata sewaktu berlarian tadi ia dapat merasakan goncangan keras yang timbul di lantai ruangan itu, dia kuatir lantai loteng itu ambruk, maka selain menghentikan pengejaran, dengan sendirinya dia pun tak sanggup melancarkan serangan. Waktu itu sebenarnya Liu Cong-seng sudah meningkatkan kewaspadaannya dengan menghimpun seluruh kekuatannya, dia sudah siap menahan gempuran dari Tong Po-gou dengan punggungnya. Siapa tahu serangan tidak jadi dilancarkan lawan, ini membuat tenaganya yang terhimpun jadi sia-sia, ketika ditunggu sekejap lagi serangan tetap tak muncul, dengan penuh kegusaran ia membalikkan tubuh. Tapi sebelum sempat mengucapkan sesuatu, Tong Po-gou sudah berseru duluan, "Kau sudah kalah." Sekali lagi Liu Cong-seng tertegun, agaknya ia tak mengerti apa yang dimaksud. "Kau sudah kalah secara mengenaskan, sedemikian mengenaskan sampai aku tak tega untuk melancarkan serangan lagi terhadapmu," kata Tong Po-gou lagi sambil menggeleng kepala. Liu Cong-seng merupakan seorang jago yang tak pandai bicara, dia pun segan banyak bicara, namun setelah mendengar ejekan itu, tak urung teriaknya juga, "Apa kau bilang?" "Habis sudah, ternyata sampai suaramu pun ikut jadi parau." "Kau merah padam wajah Liu Cong-seng, dengan penuh amarah ia menyilangkan tangannya di depan dada siap melancarkan serangan lagi. "Ah, betul, bukankah ilmu yang kau latih adalah Cong-seng-ci (tusukan rakyat) sedang ilmu andalan Jin Kui-sin adalah bacokan setan?" Liu Cong-seng melengak, tapi segera mengangguk, dia benar-benar curiga bercampur tak habis mengerti, padahal kepandaian yang mereka latih merupakan kepandaian khusus yang jarang diketahui umat persilatan, darimana bocah itu bisa mengetahuinya" Terdengar Tong Po-gou berkata lagi sehabis menghela napas, "Ai, ternyata ilmu yang kalian berdua pelajari benar-benar merupakan ilmu pukulan sakti yang mempunyai daya penghancur luar biasa ....... tapi tahukah kalian apa sebabnya banyak jago berbakat dalam dunia persilatan yang gagal mempelajari ilmu duri rakyat dan bacokan setan?" Sebenarnya Liu Cong-seng enggan memberikan tanggapan, tapi ucapan Tong Po-gou yang terakhir terasa sangat menggelitik rasa ingin tahunya sehingga tanpa sadar ia bertanya, "Kenapa?" "Nah, itulah dia, jadi kau belum tahu" Di sinilah letak kesalahanmu," kata Tong Po-gou sambil berlagak serius, "kau tahu, apa sebabnya ilmu pukulan Cong-sin-ci gagal mencapai puncak kesempurnaan" Ini disebabkan Jin-meh serta Tok-meh di tubuhmu belum tembus jadi satu, apalagi bila tidak memiliki bakat alam yang bagus, salah-salah kau bisa Cau-hwe-jip-mo (jalan api menuju neraka), paling enteng kau kehabisan tenaga, kalau sampai parah bisa gila jadinya. Coba bayangkan sendiri betapa hebatnya Si-hun-to, si Golok pelenyap sukma Tiau Siauhong serta si Harimau bermuka senyum Thio Seng-cong, mereka adalah jago sangat tangguh di kolong langit, tapi akhirnya ... mereka semua jadi orang idiot!" Sejak kecil Liu Cong-seng memang sudah gemar belajar silat, banyak pengetahuan yang ia peroleh dari berbagai pergaulan, maka setelah mendengar keterangan Tong Po-gou itu dan dirasakan apa yang diucapkan ada benarnya juga, ia jadi kesemsem dan mendengarkan dengan lebih seksama. Tapi ketika dirasakan ada yang tidak pas dengan apa yang didengar, ia pun segera berseru, "Eh, tampaknya Tiau Siau-hong bukan gila lantaran urusan itu, dan lagi siapa itu Harimau bermuka senyum Thio Seng-cong" Kenapa aku belum pernah mendengar namanya?" "Thio Seng-cong?" Tong Po-gou melirik sekejap ke arah Thio Than yang masih bertarung sengit di tengah arena, kemudian setelah pura-pura menghela napas, terusnya, "jadi kau belum pernah mendengar nama itu" Berarti pengetahuanmu betul-betul dangkal." Liu Cong-seng kontan meradang, ia meraung keras. . "He, jangan meraung, begitu kau menjerit, akan ketahuan semua titik kelemahanmu." Liu Cong-seng agak tertegun, ternyata ia benar-benar tidak meraung lagi, namun berbagai pertanyaan melintas di benaknya. "Belakangan, setiap mendung atau hujan, bukankah jalan darah Siang-ci, Toa-ho, Yu-bun dan Sin-hong di tubuhmu terasa sakit seperti ada hawa yang tersumbat bukan" Bahkan kau pasti sering panas dalam bahkan batuk keluar darah?" kembali Tong Po-gou bertanya. "Ya, benar, darimana kau tahu?" "Berarti semua yang aku katakan betul?" "Jalan darah Toa-ho, Sin-hong sih tidak apa apa, tapi Yu-bun dan Siang-ci memang sakit seperti ditusuk, waktu batuk juga ada darahnya. Sebenarnya apa yang terjadi?" "Gawat, wah, gawat sekali, jika kau berani berkelahi lagi, jiwamu bisa terancam." Jin Kui-sin yang sedang bertarung melawan Thio Than lekas berteriak, "Lotoa, jangan percaya dengan omongan orang itu, dia sedang berbohong, cepat singkirkan dia lalu bantu aku." "Hahaha, hahaha," beberapa kali Thio Than ingin turut mengejek, akan tetapi tekanan Jin Kui-sin yang begitu gencar membuat dia tak mampu mengucapkan katakata. Beberapa saat kemudian ia baru berteriak dengan suara terbata-bata, "Kau ...... ce ......... cepat panggil ........ panggil bala bantuan........ hahaha Sadar dirinya sedang dipermainkan orang, Liu Cong-seng jadi sangat berang, kelima jari tangannya yang tajam bagai jepitan baja segera direntangkan lebarlebar, kemudian sambil menatap Tong Po-gou dengan mata tajam, hardiknya, "Kau berani mempermainkan aku?" Lekas Tong Po-gou mundur selangkah, sahutnya sambil menggoyangkan tangan berulang kali, "Dengarkan dulu perkataanku, aku bukan sedang membohongimu, kalau tidak percaya, coba himpun tenaga dalammu, bukankah jalan darah di seputar pinggang terasa agak sakit?" "Benar," sahut Liu Cong-seng setelah tertegun sejenak. "Kalau memang benar, kenapa mesti marah-marah" Cepat obati dulu luka dalammu." Liu Cong-seng tidak banyak bicara, dia benar-benar mem?buyarkan tenaga dalamnya yang telah terhimpun. Diam-diam Tong Po-gou menghembuskan napas lega, tapi ia kembali berkata, "Tahukah kau apa sebabnya sampai begitu?" "Apa sebabnya?" "Sebab caramu berlatih menyimpang." "Apa?" kembali Liu Cong-seng mencak-mencak gusar. "Jika cara latihanmu tidak menyimpang, dengan mengandalkan tenaga murnimu yang terhimpun dari Kun-goan-it-khi-sin-kang tak mungkin akan timbul perasaan sakit di beberapa bagian tubuhmu, bukankah begitu?" Liu Cong-seng tertegun, untuk beberapa saat lamanya dia tak berbicara lagi. "Lotoa," Jin Kui-sin kembali berteriak keras, "jangan percaya dengan obrolan ngawurnya itu, cepat bunuh orang itu dan segera bantu aku menangkap orang." Kali ini Liu Cong-seng tak menggubris, malah tanyanya pada Tong Po-gou, "Darimana kau tahu cara latihanku salah?" "Yang kau latih adalah ilmu mengerahkan tenaga putaran kecil, Jin-meh serta Tokmeh mesti dibuat tembus dulu, hawa murni baru bisa berputar lancar, dengan lancarnya hawa murni, maka kau bisa menggunakan sistim latihan satu putaran besar "Tapi aku sudah melampaui taraf itu, kenapa bisa terjadi hal semacam ini?" Agak berubah paras muka Tong Po-gou, tapi segera sahutnya, "Sekalipun kau berhasil mencapai tingkatan itu, namun ada beberapa jalan darah penting yang belum kau tembus, seperti misalnya jalan darah Cian-keng, Thian-lian ..." "Tunggu, tunggu sebentar, jangan terlalu cepat kalau bicara," seru Liu Cong-seng dengan peluh bercucuran, "tadi kau mengatakan ada jalan darah tertentu yang harus dilalui, tapi apa hubungannya dengan cara latihanku?" "Ah, kau hanya tahu satu tak tahu dua, jika ingin berhasil dengan ilmu Congseng-ci, maka jalan darah tadi perlu ditembus terlebih dulu...." Seperti orang sinting, Liu Cong-seng malah berdiri melongo, sampai lama sekali dia berdiri kebingungan. "Be ... benarkah yang kau katakan "Tentu saja aku bicara sejujurnya, bahkan masih ada bebe?rapa buah jalan darah lagi yang mesti diperhatikan." "Masih ada jalan darah apa lagi?" Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Misalnya Tong-cu-lian, Sian-lian "Lotoa, kau sedang dibodohi orang, jangan percaya teriak Jin Kui-sin makin keras. "Tutup mulut!" hardik Liu Cong-seng memotong teriakan rekannya itu, kemudian kepada Tong Pogou tanyanya lagi, "Kau bilang jalan darah apa lagi?" "Jalan darah apa" Hmmm, jika ingin minta petunjuk, seharusnya kau bersikap lebih sopan, kau seharusnya memanggil aku dengan sebutan Tong Ki-hiap lebih dulu ..." Tampaknya Liu Cong-seng sudah makin percaya pada obrolan orang. Tan Cian-kui yang mengikuti jalannya tanya jawab itu jadi tak kuasa menahan diri, mendadak serunya, "Sam-seng, kau jangan percaya dengan omongan bangsat itu, kau sedang ditipu habis-habisan, bagaimana jika hamba menghajarnya lebih dulu?" "Minggir kau dari situ," hardik Liu Cong-seng marah. Tan Cian-kui tak berani melawan perintah, ia segera me?nyingkir ke samping. Dengan suara berat, kembali Liu Cong-seng bertanya, "Tong Ki-hiap, kau bilang caraku berlatih menyimpang, boleh tahu dimana letak penyimpangan itu?" "Aku tahu setelah melihat caramu turun tangan, kemudian mendengar suaramu berbicara,oleh karena itu kuanjurkan agar kau jangan turun tangan, coba bayangkan sendiri, kalau aku sudah tahu titik kelemahanmu, apa jadinya bila kau tetap nekat menyerang?" Sebenarnya Liu Cong-seng terhitung orang yang lugu, berangasan tapi lurus, saking gelisahnya ia segera melepaskan topeng yang dikenakan sehingga terlihat wajahnya yang lebar dengan hidung besar mulut lebar, kemudian tanyanya lagi, "Tadi kau menyebut beberapa tempat jalan darah yang ada di bagian leher, tengkuk dan dada, boleh tahu bagaimana caraku berlatih agar tidak menyimpang?" "Kau ingin tahu caranya" Baiklah, segera akan kuberitahu sambil berkata Tong Pogou segera berjalan mendekat, be?gitu sudah tiba di hadapan Liu Cong-thian mendadak ia melancarkan sebuah pukulan kilat ke wajah lawan. Mimpi pun Liu Cong-thian tidak menyangka kalau dirinya akan diserang dengan cara begitu, untuk menghindar tak sempat lagi, tahu-tahu terdengar suara tulang yang retak, batang hidungnya sudah terhajar telak hingga hancur remuk, sementara tubuhnya mencelat ke udara dan terlempar keluar jendela. Sambil tertawa terbahak seru Tong Po-gou, "Hahaha, apa kataku" Untung aku cuma memukul dengan tenaga sebesar dua bagian, coba kalau kuhajar dengan sekuat tenaga, mungkin habis sudah nyawamu." Belum selesai ia berkata, terasa segulung desingan angin tajam menyergap, ternyata Liu Cong-seng telah muncul kembali di hadapannya. Biarpun batang hidungnya terhajar hingga tulang hidungnya retak, pukulan itu tidak sampai membuat badannya terbanting jatuh ke bawah loteng. Begitu tubuhnya terlempar, lekas dia menghimpun tenaga dalam dan kembali melompat naik ke lantai dua. Wajahnya saat ini jauh lebih menakutkan ketimbang wajah singa yang sedang marah, kalau ada seekor singa yang sedang marah, paling dia hanya akan menggigit orang, tapi tampang Liu Cong-seng saat ini seakan ingin menelan musuhnya kulit berikut tulangnya, kemudian ditumpahkan lagi dan ditelan lagi. Kini Tong Po-gou baru menyesal, menyesal kenapa hanya menggunakan tenaga sebesar dua bagian sewaktu menghajar tulang hidung lawan tadi. Tahu begini, dia akan mengerahkan tenaganya sebesar enam bagian untuk menghajar wajah lawan, sayang, menyesal saat ini tak ada gunanya sebab keadaan sudah terlambat. "Kau berani menipu aku teriak Liu Cong-seng penuh amarah, begitu buka suara, darah segera menyembur keluar dari lubang hidung, telinga serta mulutnya. Lekas Tong Po-gou menggoyangkan tangan berulang kali, serunya, "Liu Cong-kui ... eh salah, kakek Liu, Liu-locianpwee, dengarkan dulu perkataanku, aku Kali ini Liu Cong-seng tidak memberi kesempatan lagi kepadanya untuk bicara, ilmu Cong-seng-ci segera digunakan untuk melancarkan serangan. Dalam keadaan begini, terpaksa Tong Po-gou harus mengayunkan kepalannya untuk menyambut datangnya serangan itu. Jangan dilihat kepalannya lebih besar dari sebuah mangkuk, namun ketika membentur jari tangan lawan, ia merasa kepalannya itu seolah sedang menghantam selapis dinding baja. Tong Po-gou menjerit kesakitan, saking sakitnya ia sampai melompat-lompat, ia merasa tangannya seolah sedang menghajar sebatang paku baja yang tajamnya luar biasa, membuat permukaan tangannya robek, terluka dan berdarah. Bukan cuma sebatang paku baja, bahkan empat batang paku sekaligus. Belum hilang rasa sakit di tangannya, Liu Cong-seng telah melancarkan tusukan yang kedua. Tong Po-gou berusaha menghindar, dia ingin menghindar, ingin bersembunyi, sayang semuanya sudah terlambat. Merasa jiwanya mulai terancam, ia berteriak keras, sambil merogoh sakunya dia mengancam, "Jika kau berani mendekat lagi, jangan salahkan kalau aku lemparkan Yan-hi-bong-bong (hujan asap menyelimuti angkasa), senjata rahasia paling ampuh dari keluarga Tong!" Yan-hi-bong-bong adalah senjata rahasia khas keluarga Tong, keluarga yang tersohor ilmu senjata rahasianya di wilayah Suchuan, senjata rahasia ini memang amat sulit di hadapi. Liu Cong-seng cukup tahu kehebatan ilmu senjata rahasia keluarga Tong ini, tentu saja ia tak berani bertindak secara gegabah. Begitu ia sedikit merandek, Tong Po-gou segera melejit ke samping dengan gerakan ikan Le-hi meletik. Siapa sangka belum lagi badannya berdiri tegak, "Sreeet!", benda yang berada dalam genggamannya tahu-tahu sudah direbut orang. Entah sedari kapan tahu-tahu di samping tubuhnya telah berdiri seseorang yang mengenakan sebuah topi rumput yang sangat lebar, topi itu dikenakan amat rendah hingga tak nampak raut wajahnya. Setelah merampas benda di tangan Tong Po-gou, dengusnya dingin, "Hmmm, benda beginipun disebut senjata rahasia keluarga Tong?" Ternyata benda yang direbut hanya sebuah kantung uang. Begitu melihat kemunculan orang itu, dengan wajah girang Liu Cong-seng segera menyapa, "Ji-seng (Rasul kedua), rupanya kau pun sudah datang!" "Hmmm, kalau Jit-sengcu sendiri ikut hadir pada hari ini, masa Lohu hanya berpangku tangan?" sahut orang itu dingin, tampaknya ia merasa sangat tak puas, "sudah sejak tadi kau dan Lo-su berusaha meringkus dua orang bocah busuk itu, namun belum juga berhasil, bagaimana nantinya kalian akan bertanggung jawab di hadapan Sengcu?" Dengan perasaan malu Liu Seng-seng menundukkan kepala, tapi kembali dia menatap wajah Tong Po-gou dengan sorot mata buas. Sementara itu Tong Po-gou telah berteriak keras, "He, siapa bocah busuk yang dimaksud" Aku adalah jago nomor wahid yang tak terkalahkan di kolong langit, Tong Po-gou!" Tahu gelagat semakin tidak menguntungkan, ia berusaha mengulur waktu. "Baik," kata orang bertopi rumput itu bengis, "akan kubunuh dirimu lebih dulu!" Begitu selesai berkata, sepasang tangannya langsung menyambar tenggorokan Tong Po-gou. Kendati Tong Po-gou sudah bersiap, namun ia tak menyangka kalau serangan bakal datang secepat itu, lekas ia menangkis dengan lengan kirinya. Baru saja ia menggerakkan tangan kirinya, kembali ancaman orang itu berubah sasaran, kali ini dia mencengkeram bahunya. Kontan saja Tong Po-gou merasakan separuh badan sebelah kirinya kesemutan dan menjadi kaku, lekas dia menangkis dengan lengan kanannya. Tapi baru saja dia menggerakkan lengan kanannya, lagi-lagi tangan orang itu menekan bahu kanannya, tangan Tong Po-gou seketika menjadi lemas dan tak bisa digunakan lagi. Menyusul kemudian tangan orang itu melanjutkan gerakannya mencengkeram tenggorokan Tong Po-gou. Beberapa jurus serangan yang dilancarkan secepat kilat ini nyaris hanya menggunakan sebelah tangan saja, tangan kanan, bahkan boleh dibilang tak pernah terlihat ia menggerakkan tangan kirinya. Orang itu seakan tidak memiliki tangan kiri, seperti juga dia memang tak butuh tangan kirinya itu. Karena cukup mengandalkan tangan kanannya, semua gerakan dapat dilakukan amat cepat, sedemikian cepatnya hingga tak bisa diikuti dengan mata, bahkan bagaikan besi semberani, kemana pun dia bergerak, semuanya terbelenggu dan tak mampu bergerak bebas lagi. Kini tangan yang keras bagaikan baja, cepat bagaikan bayangan setan itu sudah mengancam tenggorokan Tong Po-gou, kelihatannya sulit bagi pemuda itu untuk menghindarkan diri lagi. Menyaksikan ancaman maut yang muncul di depan mata, Tong Po-gou kaget setengah mati, saking kaget dan ngerinya, nyaris dia hendak berteriak minta tolong. Siapa tahu belum lagi teriakan itu meluncur dari mulutnya, seseorang yang lain sudah berteriak duluan, "Tolong!" ooOOoo 34. Karena lapar Thio Than tak punya pilihan lain. Mau tak mau dia harus berteriak minta tolong. Ketika bertarung untuk pertama kalinya melawan Jin Kui-sin tadi, dia masih percaya penuh dengan kemampuan yang dimilikinya, tapi setelah Jin Kui-sin melancarkan pukulannya yang ketiga, Thio Than mulai putus asa, rasa percaya dirinya mulai goyah. Ketika Jin Kui-sin mulai melepaskan pukulannya yang kelima, rasa percaya diri yang dimiliki Thio Than sudah hancur berantakan tak keruan. Kehilangan rasa percaya diri bukan berarti dia bisa lepas tangan dan mundur dari arena pertarungan. Ada sementara orang kerap kali lantaran nasib, lingkungan, keadaan atau karena sebab musabab lain yang tak bisa ditanggulangi, menyebabkan rasa percaya dirinya goyah, tapi asal mereka mendapat kesempatan untuk beristirahat sejenak, biasanya rasa percaya dirinya akan pulih kembali. Siapa pun di dunia ini pasti ada saatnya kehilangan rasa percaya diri, terutama dalam kondisi ditimpa berbagai kemalangan dan kegagalan. Rasa percaya diri mirip dengan sebatang lilin, ketika bertemu angin kencang yang meniupnya, bibit api terkadang meredup seolah hendak padam, tapi seringkah dia akan menyala dan menjadi terang kembali. Terkadang ada hal-hal yang tetap harus dikerjakan, sekalipun telah kehilangan rasa percaya diri. Thio Than adalah manusia macam begini, dia seringkali harus melakukan pekerjaan seperti ini. Setelah menerima lima buah pukulan dari Jin Kui-sin secara beruntun, bukan saja tubuhnya terdesak mundur dengan sempoyongan, paras mukanya juga telah berubah pucat pias, padahal paras muka hitamnya jarang sekali berganti warna. Begitu melihat musuhnya sudah dibuat tercecar, Jin Kui-sin tidak mempedulikan Thio Than lagi, dia seakan sudah tak sudi memandang lawannya itu, dengan langkah cepat dia menghampiri Lui Tun. "Berhenti!" bentak Thio Than setelah menarik napas panjang. Jin Kui-sin mendengus dingin, ia sama sekali tak menggubris, langkahnya dilanjutkan menuju ke hadapan si nona. "Berhenti, monyet!" sekali lagi Thio Than membentak gu?sar. "Hmmm, panglima yang sudah kalah bertarung masih berani melarang aku untuk melangkah?" "He, panglima yang kalah perang, aku melarang kau maju selangkah lagi!" Tiba-tiba Jin Kui-sin membalikkan badan, topi caping bambunya nampak bergetar keras, teriaknya penuh amarah, "Apa kau bilang?" "Coba lihat, apakah benda ini milikmu?" ejek Thio Than sambil memperlihatkan sebuah lencana yang terbuat dari bambu. Hanya sekilas pandang, Jin Kui-sin sudah dapat mengenali lencana itu sebagai leng-pay dari Sengcu perkumpulan Mi-thian-jit-seng, lekas dia memeriksa sakunya, ternyata benda yang semula tersimpan rapi di situ, kini sudah hilang. "Bagaimana?" ejek Thio Than lagi sambil tertawa dingin, "kehilangan barang pusaka bukan" Nah, itulah keampuhan jurus tangan kosong penggeledah saku, jangan lupa, aku menguasai ilmu pencuri sakti, jadi kalau aku ingin mencomot nyawamu, kau bakal segera kehilangan nyawamu." Pada mulanya Jin Kui-sin sama sekali tidak memandang sebelah mata terhadap kemampuan Thio Than, tapi setelah bertarung beberapa gebrakan dan kenyataannya dua kali dia harus kehilangan barang, pertama kancing bajunya kena dicomot dan kali ini leng-pay perkumpulannya diambil tanpa dia sadari, diam-diam peluh dingin mulai membasahi tubuhnya. "Bocah keparat," serunya kemudian, "tak kusangka kau begitu hebat, siapa namamu?" "Aku she Thio," sahut Thio Than sambil tertawa, "kau pun boleh menyebut aku sebagai Thio Tay-ki-hiap." Ternyata kali ini Jin Kui-sin tidak marah, hanya ujarnya, "Aku merasa sangat kagum dengan kehebatanmu, tak kusangka kau mampu mencopet kancing bajuku dan leng-pay milikku tanpa kusadari, tolong kembalikan leng-pay itu, selama kau tak akan mencampuri urusan ini lagi, aku pun tak bakal mengganggumu lagi." "Kau menginginkan leng-pay ini?" kembali Thio Than mengejek, dia tahu kalau tidak mengejeknya, pertarungan ini pasti gagal dilanjutkan, "Bukankah barang itu berada dalam sakumu" Kalau sekarang telah berpindah tangan, itu berarti sudah menjadi milikku. Hehehe, kalau menginginkan kembali benda ini, gunakan kepandaianmu untuk merebutnya lagi. Tapi kalau kancing baju ini sih tak berguna bagiku, nih, aku kembalikan!" Seraya berkata segera dia sentilkan kedua jari tangannya ke depan, diiringi suara desingan yang amat nyaring, kancing baju itu melesat ke depan menghajar mata lawan. Thio Than tahu, sehebat apa pun serangan yang dia lancarkan, mustahil sambitan itu dapat melukai lawannya, maka dia pun tidak berharap banyak, begitu Jin Kuisin bergerak, dia berniat mendekati tubuhnya, menyingkap topi caping yang ia kenakan dan mencuri lihat paras muka aslinya. Siapa sangka Jin Kui-sin sama sekali tidak menghindar, ketika kancing baju itu tiba setengah langkah di hadapannya, mendadak benda itu bergetar keras, kemudian mencelat ke sisi kiri dan menghajar tiang penyangga ruangan. Lamat-lamat Thio Than sempat melihat janggut Jin Sin-kui yang tersembunyi di balik topi caping bambunya, janggutnya berwarna kehijauan. "Kau mau mengembalikan benda itu atau tidak?" teriak Jin Kui-sin lagi. Thio Than tidak menjawab, sebaliknya malah melanjutkan ejekannya, "Wah, wah, kau memang tak malu bernama Jin Kui-sin, ternyata seranganku dengan jurus tiupan setan pun dapat kau hindari secara mulus "Tutup mulutmu! Cepat kembalikan leng-pay itu, atau aku tak akan berlaku sungkan lagi," ancam Jin Kui-sin. "Kau tak perlu berteriak macam monyet yang ditulup kacang kedelai, kau mesti ingat, kalau leng-pay yang tersimpan dalam saku pun dapat kucomot, berarti aku pun sanggup menyingkap caping bambumu itu "Hmmm, mencuri barang milik orang tak lebih cuma pekerjaaan seorang copet, coba kalau benar-benar bertarung, kau bakal mempertaruhkan nyawamu." "Hmmm, jadi kau anggap kepandaian terhebatku cuma mencopet" Kalau memang kau ingin menjajal kehebatanku, silakan saja maju menyerang, aku ingin tahu sampai dimana kehebatan kungfumu itu." Mendadak Jin Kui-sin tertawa tergelak. "Berapa sih usiamu tahun ini?" tegurnya, "lagakmu macam orang berpengalaman saja, tampaknya kau sudah merasa bakal mampus di bawah telapak tanganku?" "Hmmm, kau tak usah menjilat pantat, kalau memang punya kemampuan, ayo, buktikan saja, nih, batok kepalaku ada di sini, kalau merasa mampu, ambil saja sekarang." "Baik," napsu membunuh seketika menyelimuti seluruh tubuh Jin Kui-sin, "tadinya aku berniat mengampuni nyawamu, ternyata kau tak tahu diri, jangan kau anggap aku bisa dipermainkan sesuka hatimu." Sementara berbicara, tubuhnya merangsek ke depan, tangan kirinya menyambar ke muka mencengkeram ke arah leng-pay miliknya. Selama ini tangan kiri Jin Kui-sin selalu dibiarkan terkulai tanpa bergerak, tapi begitu digerakkan sekarang, tahu-tahu ia sudah mencengkeram leng-pay miliknya. Sejak awal Thio Than sudah membuat persiapan, tapi mimpi pun dia tak menyangka kalau gerak tubuh Jin Kui-sin sedemikian cepatnya, belum habis ingatan kedua melintas, bagaikan bayangan setan saja tahu-tahu tubuhnya sudah muncul persis di hadapannya. Melihat Jin Kui-sin berhasil mencengkeram leng-pay itu, lekas Thio Than memperkuat cengkeramannya, dia tak sudi melepaskan benda itu begitu saja. Dalam waktu singkat dia melancarkan sebelas jurus serangan ke tubuh lawan. Kesebelas jurus serangan itu dilancarkan secara beriring bahkan terbentuk satu rangkaian serangan yang sambung menyambung. "Bagus!" puji Ong Siau-sik yang menyaksikan serangan itu. Di dalam sebelas jurus serangan yang dilancarkan, diantaranya terdapat ilmu Shia-tan-keng (pukulan keras menyerong) dari ilmu pukulan macan kumbang emas, Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo jurus Say-cu-yau-tau (singa emas geleng kepala) dari ilmu pukulan Pat-kwa-yusin-ciang, jurus Beng-hau-hu-cong (harimau ganas mendekam) dari ilmu Siau-limhu-hau-ciang, jurus Thiu-gou-keng-te (sapi besi membajak sawah) dari Siau-limcap-pwe-lo-han-jiu, sementara kakinya menendang dengan jurus Cu-bo-yan-yang-tui (tendangan burung Yan-yang) dari ilmu langkah Lian-ci-poh, mengunci ketiak lawan dengan Thiat-bun-tau, kemudian menyelinap maju dengan gerakan Ki-hwe-sau-thian (mengangkat obor membakar langit), menerjang dengan gerakan Hong-hqng-taijr, cian-ci (burung Hong?pentang sayap). "............ Seandainya kesebelas jurus serangan itu dilancarkan oleh sebelas orang yang berbeda, hal ini tidak aneh, tapi kesebelas jurus serangan itu dilancarkan oleh orang yang sama, bahkan menggunakan sebelas jurus dasar dari sebelas perguruan yang berbeda, ini baru aneh dan hebat. Yang luar biasa lagi adalah orang yang melancarkan serangan itu baru berusia dua puluh tahunan. Thio Than memang tak sudi mengalah pada musuhnya, sementara dia melancarkan sebelas jurus serangan sekaligus, tangan yang lain masih tetap mencengkeram leng-pay itu dengan kencang. Baik dia maupun Jin Kui-sin sama-sama tak ingin melepaskan cengkeramannya terlebih dulu. Ternyata Jin Kui-sin memang luar biasa hebatnya, bukan saja ia harus menghadapi kesebelas jurus serangan itu sekaligus, tangan yang lain pun tetap mencengkeram leng-pay miliknya. Begitu berhasil mematahkan ancaman yang tiba, dengan cepat dia balas melancarkan sebuah pukulan. Serangan itu sepintas kelihatan amat sederhana dan biasa, tapi ketepatan, kedahsyatan, kehebatan dan kekuatan yang ter?kandung di balik serangan itu benar-benar menggidikkan hati. Tak selang berapa saat kemudian, semua serangan yang dilancarkan Thio Than sudah terbendung habis, tapi pemuda ini tak patah semangat, dia memang tak boleh patah semangat, dia harus melancarkan serangan lagi sebelum pihak lawan menda?huluinya, dia harus merobohkan lawannya secepat mungkin. Pemuda ini sadar, bila ia tak sanggup merobohkan lawannya, maka dialah yang segera akan roboh terjungkal. Kejadian dalam dunia ini memang sering kali begitu, bila gagal merobohkan lawan, biasanya dia sendiri yang akan mendapat giliran untuk dirobohkan, maka selama tak yakin bisa menangkan musuh, lebih baik janganlah menyerang secara sembarangan. Bagi Thio Than, selama hidup ia tak pernah kenal dengan kata tidak berhasil. Dia hanya tahu, jika gempuran tidak berhasil mengenai sasaran maka cepatlah mundur. Kemudian selama masih bisa bernapas, dia akan maju lagi dan kembali melancarkan serangan yang lebih hebat. Maka kini lagi-lagi dia menerjang maju ke depan, sekuat tenaga dia menghajar leng-pay itu, maksudnya akan memotong benda itu menjadi dua bagian hingga masing-masing pihak mendapat setengah bagian. Tentu saja Jin Kui-sin tak ingin leng-pay miliknya hancur berantakan, menghadapi ancaman seperti ini terpaksa ia lepas tangan. Berhasil merampas kembali leng-pay itu, Thio Than segera merangsek maju lebih ke depan, serangan yang dilancarkan pun semakin ganas, kali ini dia menyerang dengan menggunakan ilmu kim-na-jiu-hoat. Jin Kui-sin mendengus dingin, dengan taktik berdiam untuk menghadapi perubahan, ia menyambut datangnya serangan lawan. Dia menunggu sampai lawan bergerak lebih dekat, kemudian baru melancarkan serangan balasan. Setiap kali dia melepaskan pukulan, jurus serangan yang dilancarkan Thio Than seketika buyar. Betapapun Thio Than sudah mengeluarkan segenap ilmu Kim-na-jiu yang paling ganas, begitu bacokan setan dilepaskan lawan, ancaman yang dia lancarkan segera punah begitu saja. Dalam keadaan begini, Thio Than hanya bisa mengeluh dalam hati, kini dia sadar, musuh yang sedang dihadapi benar-benar seorang lawan tangguh. Baru saja ia bersiap mengundurkan diri, mendadak Jin Kui-sin mendesak maju lagi ke depan, sekali menyambar, tahu-tahu ia berhasil mencengkeram lagi leng-pay itu. Dengan demikian kedua belah pihak sama-sama mempertahankan diri, siapa pun tak ingin melepaskan leng-pay itu, akibatnya siapa pun jangan harap bisa mundur dari arena. Jin Kui-sin sendiri pun mulai panik bercampur gelisah, ia tahu cara bertarung seperti ini tak akan menyelesaikan masalah. Pada saat itulah ia mendengar Tong Po-gou membual dengan berbagai teori yang membuat rekannya, Liu Cong-thian terbuai, ia sadar rekannya sedang dikerjai musuh tanpa ia sadari, karena itulah cepat Jin Kui-sin berteriak memberi peringatan. Pada mulanya Liu Cong-seng masih mau menuruti peringatannya, tapi lama kelamaan dia semakin terpesona oleh ucapan Tong Po-gou hingga akhirnya lupa diri. Melihat rekannya semakin terjebak oleh tipuan lawan, Jin Kui-sin menjadi panik, apa daya dia pun tak bisa melepaskan diri dari posisinya, hal ini membuat hatinya makin gelisah. Sebaliknya Thio Than yang menyaksikan Jin Kui-sin masih bisa mengikuti situasi di sekitarnya dengan jelas, kendatipun ia sedang menghadapi serangan yang bertubi-tubi, diam-diam ia terperanjat, dia anggap kejadian ini membuatnya kehilangan muka, maka dalam jengkelnya, lekas dia gunakan ilmu Huan-huan-sin-kang untuk menghajar lawan. Jin Kui-sin sendiri tak kalah kagetnya ketika pukulan yang semula disangka dapat memaksa Thio Than lepas tangan ternyata tidak membuahkan hasil, dia semakin kaget lagi ketika terasa munculnya segulung tenaga pantulan yang menggiring tenaga serangannya miring ke samping lalu lenyap tak berbekas, bukan hanya begitu, bahkan tenaga pukulan yang dipunahkan itu justru bergabung dengan tenaga musuh berbalik menerjang ke tubuhnya dengan kekuatan luar biasa. Dalam keadaan begini, Jin Kui-sin tak berani gegabah, begitu merasa pukulannya mengenai sasaran kosong, lekas dia menggetarkan sepasang tangannya dengan jurus Ing-siu-that-khong (menyambut semu menginjak kosong), kemudian balik membabat ke depan menyongsong datangnya tenaga pantulan yang sangat aneh itu. "Blaaaam!", satu benturan dahsyat menggelegar memenuhi seluruh ruangan. Betapa sempurnanya tenaga dalam yang dimiliki Jin Kui-sin, tak urung tubuhnya tergetar mundur juga dengan sempoyongan. Berhasil mendesak mundur musuhnya, Thio Than tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini, lagi-lagi dia menggunakan ilmu Huan-huan-sin-kang dengan jurus Un-sim-buhui (bertanya ke hati tanpa menyesal) untuk menyerang lawan. Setiap kali Jin Kui-sin melepaskan serangan balasan maka sama halnya dengan dia mesti melawan tenaga pukulan yang dilontarkan sebelumnya ditambah tenaga pukulan lawan, makin lama tekanan yang berbalik makin bertambah berat. Kendatipun dia sudah mengeluarkan ilmu pukulan andalannya hingga semaksimal mungkin, namun setelah menerima tujuh delapan pukulan kemudian, ia mulai kedodoran, bukan saja hawa darah di rongga dadanya bergolak, bahkan kepala terasa mulai pening dan mata mulai berkunang-kunang. Yang membuatnya lebih jengkel lagi adalah peringatan yang diteriakkan berulang kali sama sekali tidak mendapat tanggapan dari Liu Cong-thian, seolah teriakannya sama sekali tak ada. Menggunakan kesempatan ini Thio Than menekan lebih keras, serangan demi serangan dilancarkan makin gencar dan rapat. Tapi sepuluh gebrakan kemudian, jurus serangan yang dilancarkan bukannya bertambah ketat dan ganas, sebaliknya makin lama semakin mengendor dan lemah. Padahal jika dia menekan lebih jauh, dengan tenaga pantulan yang dihasilkan ditambah tekanan dari dirinya, Jin Kui-sin pasti akan semakin tercecar sebelum akhirnya keok. Lalu mengapa Thio Than malah mengendorkan serangannya" Mengapa tenaga pukulannya makin lama malah semakin melemah" Ternyata alasannya sederhana. Dia mulai kelaparan!! ooOOoo 35. Enyah atau mampus Ilmu Huan-huan-sin-kang milik Thio Than memang termasuk sejenis kepandaian yang sangat aneh, setiap gempuran yang dilancarkan selalu menguras banyak tenaga, ilmu ini tiga puluh kali lipat lebih boros energi ketimbang ilmu Tay-lek-kikong-jiu. Itulah alasannya mengapa setiap hari dia butuh makan nasi berpuluh mangkuk banyaknya. Dia selalu beranggapan, makan nasi jauh lebih bersih ketimbang makan segala jenis makanan lainnya. Itulah sebabnya sumber energi yang terutama bagi ilmu Huan-huan-sin-kang berasal dari nasi. Hari ini dia memang sudah makan berpuluh mangkuk nasi, akan tetapi setelah melepaskan serangan yang kesepuluh, dia mulai merasa kehabisan tenaga, kekuatan yang diperlukan untuk melancarkan serangan makin menipis. Menyusul menipisnya tenaga yang dimiliki, kemampuannya untuk memantulkan tenaga serangan musuh semakin kedodoran dan muncul banyak titik kelemahan. Dengan semakin bertambah lemahnya tenaga pantulan yang dihasilkan, ditambah lagi tenaga serangan yang ia lancarkan juga bertambah lemah, otomatis ancaman yang datang dari Jin Kui-sin makin lama semakin bertambah tangguh, bila keadaan seperti ini dibiarkan berlangsung terus, bila terkena sebuah pukulan telak tentu bisa merenggut nyawanya. Thio Than sadar akan kondisinya yang makin gawat, jangan kan mencecar lawan, leng-pay yang semula berada dalam genggamannya pun kini berhasil dirampas balik oleh Jin Kui-sin. Saat itulah hidung Liu Cong-seng kena dihajar oleh Tong Po-gou hingga retak dan berdarah, menyaksikan itu, lekas dia melompat mundur sambil berseru, "Tunggu, tunggu sebentar." "Ada apa" Hendak meninggalkan pesan terakhir?" jengek Jin Kui-sin sambil tertawa dingin. "Bukan begitu," kata Thio Than cepat, memanfaatkan kesempatan itu dia menarik napas panjang panjang, ketika merasa perutnya bertambah lapar, semaya kemudian, "Tadi aku telah mengalah kepadamu, sekarang kau pun harus mengalah kepadaku, toh kita bukan bertarung lantaran ada bini yang diserobot orang, bagaimana kalau kita sudahi sampai di sini saja?" "Hahaha, kau tak usah bicara manis," Jin Kui-sin tertawa tergelak, "kalau mengaku kalah, cepat sembah aku sambil me memanggil Yaya, kalau tidak, pasti akan kusuruh kau tergeletak bermandikan darah di Sam-hap-lau ini." "Wah, rugi, rugi kalau begitu," seru Thio Than sambil berkerut kening. "Apanya yang rugi?" "Apa susahnya memanggil Yaya tiga kali" Suruh menyembah" Paling anggap saja menganggukkan kepala kepada langit, apanya yang rugi" Itu sih bukan hukuman, terlalu menguntungkan pihak lain." "Lantas apa maumu?" "Hahaha, kelihatannya aku jauh lebih diuntungkan," sambil berkata Thio Than membalikkan tangannya dan memperlihatkan sebuah kantung uang, dalam kantung itu masih berisikan beberapa tahil perak. Begitu melihat kantung uang itu, Jin Kui-sin langsung berteriak marah, ternyata walaupun ia berhasil merebut kembali leng-paynya, akan tetapi kantung uangnya lagi-lagi berhasil dicomot lawan. "Nah, apa aku bilang," ejek Thio Than kemudian, "seandainya aku tak ingin banyak melakukan pembunuhan sehingga mengampuni nyawamu, sejak tadi nyawa anjingmu sudah kucabut. Kalau kau masih tahu diri, lebih baik cepatlah mundur dari sini." Tentu saja keberhasilannya mencomot barang orang adalah karena dia memiliki ilmu mencopet yang luar biasa, namun bila bicara soal pertarungan dengan mengandalkan ilmu silat, jelas dia masih ketinggalan jauh bila dibandingkan lawan. Tadinya dia hanya bermaksud menakut-nakuti Jin Kui-sin dengan ilmu copetnya itu, menakuti dirinya agar tidak menyerang lagi, siapa sangka Jin Kui-sin yang berangasan itu jadi semakin sewot, setelah dipermainkan berulang kali dia menjadi makin mendendam. Mendadak sambil membentak nyaring, tubuhnya menubruk ke depan, kali ini dia membabat dengan mengerahkan segenap tenaga yang dimilikinya. Thio Than tidak menyangka karena main-main malah mengundang bencana bagi dirinya. Setelah menyambut dua tiga jurus serangan lawan, ia mulai sadar gelagat tidak menguntungkan, karena itu dia mencoba kabur melalui jendela, siapa sangka muncul seorang lelaki bertopi lebar yang memotong jalan mundurnya, bahkan mengunci semua serangan yang dilancarkan Thio Than. Dalam keadaan begini, Thio Than benar-benar terkesiap setengah mati, tanpa sadar dia pun menjerit minta tolong. Sejak awal, Jin Kui-sin memang tidak berniat membunuh anak muda yang kelihatannya tak takut mati ini, niat itu semakin bertambah kuat setelah melihat pemuda yang tampaknya tak takut mati itu ternyata begitu takut menghadapi kematian. Bila seseorang tidak takut mati, tak nanti dia akan berteriak minta tolong. Jika seseorang tidak takut menghadapi kematian, buat apa dia minta orang lain menolong jiwanya" Oleh karena itu dia hanya berniat melukai anak muda itu saja, memberi pelajaran yang setimpal kepada orang ini karena berani mempermainkan dirinya, cukup asalkan dia berbaring selama dua tiga bulan. Sekalipun tak ada niat membunuh, bukan berarti serangan yang dilancarkan menjadi ringan, kekuatan yang terhimpun dalam serangan itu sama dahsyat dan hebatnya. Namun lagi-lagi dia dibuat kaget, seorang pemuda yang jauh tua dari Thio Than ternyata mampu menyambut serangannya tanpa menderita luka. Pemuda itu masih muda, mengenakan pakaian sutera yang perlente. Kalau dipandang sepintas, usia orang ini sedikit lebih tua dari Thio Than, namun keangkuhannya justru sepuluh kali lipat dibanding Thio Than. Orang ini bukan saja angkuh dan jumawa, bahkan sangat menakutkan, menakutkan karena hawa membunuh yang menyelimuti wajahnya membuat hati orang bergidik. Tapi yang lebih menakutkan lagi adalah caranya turun tangan, cukup menggunakan jari tangannya, serangan maut yang dilancarkan Jin Kui-sin berhasil dipunahkan, bahkan dia masih mampu melepaskan sebuah ancaman yang memaksa Jin Kui-sin harus menarik kembali pukulan berikutnya. Jika Jin Kui-sin tidak segera menarik kembali pukulannya, maka telapak tangan itu akan segera tertembus oleh totokan jari tangannya. Tentu saja pemuda angkuh yang sangat menakutkan itu tak lain adalah Pek Jau-hui. "Terima kasih atas pertolonganmu," seru Thio Than. "Hmm, aku tidak suka dengan dirimu," dengus Pek Jau-hui. "Kenapa?" "Sebab kau tak bernyali, yang dihormati orang persilatan adalah Hohan yang bernyali, tapi kenyataan kau adalah manusia pengecut yang takut mampus." "Keliru, keliru besar," ujar Thio Than segera, "siapa bilang aku takut mati" Siapa bilang aku pengecut" Mati ada yang berat bagaikan bukit Thay-san, ada pula yang ringan bagai bulu angsa. Jika kita berkorban demi negara, demi bangsa, siapa yang takut mati" Tapi sekarang aku harus mati konyol di tangan manusia macam dia, harus mati pada saat yang tak tepat, tempat yang tak tepat, kenapa aku tak boleh takut mati" Kalau memang takut, kenapa tak berani berteriak" Kalau ada orang takut mati tapi tak berani mengaku, dia adalah lelaki konyol. Jika tak tahu masalah lalu bertepuk dada mengatakan tak takut mati, dia adalah lelaki dungu, manusia semacam ini tidak pantas disebut lelaki sejati, tak pantas disebut Enghiong Hohan! Aku tak ingin mati, aku takut mati karena itu aku berteriak minta tolong, kalau menginginkan pertolongan dari orang, teriaklah minta tolong, memangnya ini keliru" Memangnya aku mesti membungkam macam kerbau dungu, agar dibunuh orang, dan manusia macam begini baru pantas disebut lelaki bernyali" Bila manusia macam begitu yang kau inginkan ... hehehe ... kamsia, ambil saja untukmu! Kita hidup di dunia ini berkat perawatan dari orang tua, siapa sih yang tidak sayang dengan nyawa sendiri" Jika seseorang belum saatnya untuk mati, tidak seharusnya mati, tapi secara dungu dia pergi mencari mati, manusia beginilah baru benar-benar pantas mati! Karena takut mati, maka aku berteriak minta tolong, karena takut sakit maka aku menjerit aduh, karena takut sedih maka aku melelehkan air mata, kejadian macam begini adalah lumrah, lumrah dilakukan setiap manusia, lalu apa salahnya" Berteriak minta tolong bukan berarti aku minta diampuni, bukan menjual naluri demi sisa hidup, teriak adalah teriak, menangis adalah menangis, takut mati adalah takut mati, kalau suruh aku melakukan hal yang tak kuinginkan, hmmm, sekali aku bilang tak mau, sampai mati pun tetap tidak mau!" Setelah berhenti sejenak, tambahnya, "Jadi, kau telah salah menilai aku si Raja Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo nasi!" Pek Jau-hui tidak menyangka kalau sepatah katanya bisa mengundang penjabaran yang panjang lebar, ia jadi tertegun, terpana, lama kemudian baru ujarnya, "Masuk akal, sangat masuk akal, rupanya aku memang salah menilaimu." "Tak apa-apa, kumaafkan kesalahanmu," senyuman kembali menghiasi wajah Thio Than. Mendadak terdengar orang bertopi bambu yang baru melayang masuk ke dalam ruangan itu berkata, "Peduli siapa benar siapa salah, kalian hanya ada satu pilihan." Lalu dengan suara yang lebih keras dan nyaring, dia mengulang sekali lagi, "Pilihan yang terakhir!" Nada ucapannya memang dingin menyeramkan, setiap patah kata yang ia ucapkan seolah mencantumkan sebuah nama dalam kitab kematian, bila seseorang tidak terbiasa mempunyai kekuasaan besar dalam menentukan mati hidup orang lain, tak mungkin setiap perkataannya terselip hawa pembunuhan yang begitu besar. "Pilihan apa?" tanya Thio Than kemudian. "Enyah atau mati." "Apakah aku boleh memilih yang lain?" Orang itu segera menggeleng. Terpaksa Thio Than berpaling ke arah Pek Jau-hui sambil bertanya, "Bagaimana dengan kau" Apa yang kau pilih?" "Aku tak akan memilih, biar dia yang memilih," kata Pek Jau-hui sambil menatap orang bertopi bambu itu, kemudian dengan menirukan gayanya, ia berkata, "Enyah atau mampus?" Dalam pada itu Tong Po-gou sebenarnya sudah siap berteriak minta tolong, ia jadi lupa diri ketika mendengar orang lain berteriak duluan, begitu teledor, tangan yang lembut halus itu tahu-tahu sudah tiba di depan tenggorokannya. Menyusul kemudian ia melihat tangan yang halus lembut itu mendadak berubah jadi kaku., membeku bagaikan sebuah bongkahan es, seperti sebuah tangan yang terukir dari bongkahan salju. Tangan itu tidak pernah maju lagi biar satu inci pun, tak pernah berhasil mencengkeram tenggorokan Tong Po-gou, anehnya tangan itupun tidak ditarik balik. Sepasang mata orang bertopi rumput itu sebenarnya sedang mengawasi tenggorokan Tong Pogou dengan sorot matanya yang lebih beracun dari mata ular, tapi sekarang pandangannya telah ditarik balik, dia sedang mengawasi tangan Ong Siau-sik. Tangan Ong Siau-sik berada di atas gagang pedang, gagang pedang yang berupa sebilah golok. Sebilah golok bulan sabit yang kecil dan mungil. Entah sejak kapan tahu-tahu Ong Siau-sik sudah berdiri di samping Tong Po-gou, bukan saja lelaki raksasa ini tidak tahu, bahkan dia sama sekali tidak merasa. Tempat dimana ia berdiri, posisi dimana ia bersiap membuat orang bertopi rumput itu percaya, andaikata tangannya yang lebih beracun dari ular itu dilanjutkan gerakannya untuk mencekik leher Tong Po-gou, maka golok atau pedang itu seke?tika akan memenggal tangannya. Tentu saja dia tak ingin menyerempet bahaya, karenanya ia langsung menghentikan semua gerakannya. Tong Po-gou dengan sepasang matanya yang besar celi-ngukan sekejap ke sekeliling tempat itu, kemudian ia menarik tengkuknya, membungkukkan pinggangnya, miringkan badan dan seinci demi seinci menggeser tenggorokannya dari hadapan jari tangan musuh yang siap mencekik itu. Menanti dia benar-benar sudah lolos dari ancaman dan sanggup berdiri tegak kembali, baru katanya, "Berbahaya, sungguh berbahaya, masih untung aku sanggup menenangkan diri." Sementara itu tangan Ong Siau-sik yang menggenggam pedang pun perlahan-lahan dikendorkan kembali. Tampaknya tangan yang kaku itupun tak ingin bertindak gegabah, dia ikut menarik kembali tangannya. Ia menarik sangat perlahan, amat berhati-hati, dengan penuh kewaspadaan menariknya kembali ke balik baju. Sepasang mata yang lebih berbisa dari ular itu kini sudah dialihkan ke tubuh Ong Siau-sik, yang aneh, biarpun sorot mata itu amat ganas, amat beracun tapi justru memberi kesan indah bagi yang memandang. "Betul," terdengar Ong Siau-sik berkata sambil tertawa, "beruntung kau cukup tenang. Bila kau tak cukup tenang, aku pun pasti ikut gugup, takutnya begitu hatiku gugup, terkadang mau mencabut golok malah keliru mencabut pedang, ada kalanya ingin mencabut pedang malah keliru mencabut golok." "Wah, gawat kalau begitu," Tong Po-gou menjulurkan lidahnya, "jangan-jangan begitu kau mulai gugup, maksud hati ingin membacok tangannya, salah-salah malah kepalaku yang kau tebas?" "Untung aku tidak jadi menebas." "Ya, untung cepat-cepat kutarik kembali kepalaku," sambung Tong Po-gou. Ong Siau-sik tertawa geli. "Eh, tahukah kau makhluk apa yang paling cepat menarik kepalanya?" "Tentu saja kepalaku," jawab Tong Po-gou cepat, "tak usah ditebak lagi, sudah pasti bukan kepala kura-kura, kepalaku yang paling cepat ditarik." "Apakah kalian semua ingin menyelamatkan kepalamu itu?" tiba-tiba Rasul kedua, orang bertopi rumput itu bertanya. "Ingin!" sahut Ong Siau-sik berdua serentak. "Kalau menginginkan kepala, cepat gerakkan kaki dan segera enyah dari sini," perkataan itu disampaikan secara enteng, rendah dan santai. "Kalau aku tak ingin kepalaku?" tanya Ong Siau-sik. "Kalau tak menginginkan kepalamu lagi, silakan menggerakkan tangan," setelah berhenti sejenak, tambahnya, "kalau harus menunggu sampai kedatangan Jit-sengcu, aku kuatir bukan saja kalian tak berkepala, sepasang kaki pun bisa turut lenyap." Diam-diam Ong Siau-sik merasa heran, biasanya anak buah yang sedang berada di lapangan selalu berusaha menyanjung dan mengagungkan pemimpinnya, sekalipun dia berniat jahat atau ada rencana lain, paling dia hanya akan mendompleng nama pemimpinnya atau memalsukan perintah ketuanya untuk melakukan perbuatan yang menguntungkan diri sendiri. Tapi selama ini belum pernah ada anak buah yang melimpahkan semua kesalahan dan kebusukan yang dilakukannya kepada atasannya, bukan saja berlagak sok suci bahkan mencari keuntungan di atas penderitaan orang, bukankah tindakan semacam ini jauh lebih menakutkan daripada berkhianat" Kalau membunuh satu orang, paling satu orang yang terbunuh, tapi kalau mencelakai seseorang dengan menggunakan kata busuk, bukan saja yang terluka hanya satu orang, paling tidak si pembicara dan pendengar akan turut dicelakai, masih untung kalau hanya satu orang pendengarnya, kalau sampai banyak yang ikut mendengar, bukankah bencana yang diciptakan akan bertambah besar" Tiba-tiba Ong Siau-sik merasakan ngerinya mempekerjakan orang, ternyata menggunakan orang jauh lebih susah ketimbang mempercayai orang atau memaafkan orang. Memaafkan orang saja sudah susahnya setengah mati, bukan saja harus bisa mengendalikan diri, harus pula menyamakan pendapat dengan orang lain. Mempercayai orang lebih sukar lagi, siapa yang tak ingin dipercaya orang" Siapa yang tak ingin mempercayai orang" Mempercayai orang berarti tak usah curiga, kalau curiga tak usah percaya. Tapi seringkah mempercayai orang tak punya lan-dasan yang kuat, bila kau mempercayai seseorang, besar ke?mungkinan dapat membuat dirimu tak dipercaya orang, salah mempercayai orang. Menggunakan, orang jauh lebih susah lagi. Kalau ingin menggunakan orang, gunakanlah orang yang berguna, tapi sering kali orang yang berguna susah digunakan, orang yang tak berguna justru tak bisa digunakan. Contohnya seperti perkumpulan Lak-hun-poan-tong, mereka telah menggu?nakan orang yang tak bisa digunakan, akibatnya semakin ba?nyak orang persilatan yang disalahi, semakin banyak permusuhan yang terjalin. Seperti juga perkumpulan Mi-thian-jit-seng, mungkin saja persoalan mereka pun terletak pada masalah penggunaan orang, ini berakibat kekuatan mereka tak pernah bisa seimbang dengan kekuatan dari perkumpulan Lak-hun-poan-tong maupun Kimhong-si-yu-lau. Bagaimana pula dengan Kim-hong-si-yu-lau" Bagaimana dengan tokoh-tokoh penting perkumpulan Mi-thian-jit-seng yang selalu mengatasnamakan diri sendiri setiap kali melakukan pekerjaan yang menguntungkan dan mengatasnamakan ketuanya setiap kali melakukan kejahatan" Membayangkan semua itu, diam-diam timbul kewaspadaan dalam hati Ong Siau-sik. Dia tidak sadar, gara-gara timbulnya kewaspadaan ini, di kemudian hari pikiran itu sangat mempengaruhi sepak terjangnya bahkan mendatangkan manfaai besar baginya. Banyak kejadian penting dalam kehidupan manusia seringkah terjadi berubah dalam waktu sekejap atau dalam pemikiran sekejap sebuah keputusan yang diambil secara tak sengaja. Banyak pula manusia yang memahami atau berhasil mengambil suatu kesimpulan tentang kehidupan karena suatu ketidak sengajaan. Sayang Tong Po-gou tak pernah merasakan hal semacam ini. Padahal ada baiknya juga bagi seseorang yang tidak kele-wat sensitip perasaannya, paling tidak dia tak usah merasakan belenggu cinta atau siksaan batin. Terdengar lelaki raksasa itu bertanya, "Kenapa sih orang-orang perkumpulan Mithian-jit-seng selalu tampil sok rahasia, sok misterius" Kenapa wajah kalian selalu ditutup dengan kain cadar, topeng atau topi lebar" Apakah wajah kalian memang malu diperlihatkan kepada umum?" Pertanyaan ini amat sinis, gampang menimbulkan gara-gara. Ternyata kali ini si Rasul kedua tidak marah. "Kalian masih mempunyai satu pilihan lagi," katanya. Berbinar sepasang mata Tong Po-gou, teriaknya, "Bagus sekali, sebab kami tetap menginginkan kepala, tetap ingin memiliki kaki tapi belum ingin segera pergi meninggalkan tempat mi. "Boleh saja bila kalian tak ingin meninggalkan tempat ini, kami akan mengajak pergi nona Lui, dan aku harap kalian tak usah mencampuri urusan ini lagi." Setelah berhenti sejenak, tambahnya, "Mengenai ulahmu yang telah melukai Rasul ketiga, untuk sementara waktu tak akan kami persoalkan dulu." "Soal ini...." "Kenapa?" "Aku "Kau tak usah peduli bagaimana keputusan orang lain, yang penting kau segera menyingkir ke sana dan tak usah ikut campur urusan ini lagi." "Aku hanya ingin berkata "Katakan saja!" seru Rasul kedua keheranan. "Aku benar-benar boleh bicara?" "Katakan saja terus terang!" "Aku ... aku cinta kamu!" Begitu perkataan itu diucapkan, bukan saja Rasul kedua jadi amat terperanjat hingga mundur satu langkah, bahkan Ong Siau-sik pun ikut terpana, bahkan Liu Cong-thian yang sedang marah-marah pun ikut melongo, Lui Tun, Un Ji dan keempat orang dayang itupun ikut berdiri melenggong. Sementara semua orang masih termangu karena kaget, Tong Po-gou sudah tertawa terpingkal-pingkal, sambil membungkukkan badannya karena kegelian serunya terbata-bata, "Hahaha, aku ... geli aku ... setiap ... setiap kali dalam ... dalam keadaan kepepet... dalam suasana yang ... yang kepepet, aku ... ....hahaha ....... aku selalu melanturkan kata-kata yang ... yang konyol ... hingga ... hingga membikin orang ... orang jadi melenggong ... hahaha ... sungguh geli... sungguh menggelikan Mendengar itu Ong Siau-sik ikut tertawa, dia merasa Tong Po-gou maupun Thio Than adalah tokoh yang lucu, tokoh yang menyenangkan dan menarik-hati. Sayang sekali dia tak dapat melihat perubahan mimik muka Rasul kedua saat itu. Tapi ia bisa membayangkan, hidung si Rasul kedua pasti sedang kembang-kempis lantaran menahan rasa dongkolnya. ooOOoo 36. Cu Siau-yau, guguran bunga dalam impian Hidung Rasul kedua tidak kembang-kempis, Ong Siau-sik tidak tahu akan hal itu. Tapi ia bisa mendengar nada suaranya telah berubah. "Baik! Kalau memang arak kehormatan kau tampik, arak hukuman justru kau cari, jangan salahkan kalau kau harus membayar mahal untuk banyolanmu tadi," Tiba-tiba perkataannya berubah jadi tinggi meruncing, tajam bagaikan mata sebilah pisau. Setelah berhenti sejenak, ia baru mendehem dengan suara rendah dan katanya lagi, "Bila kalian memang sudah bosan hidup ... baiklah, Lohu akan mengabulkan permintaan kalian." Ia sengaja menandaskan istilah "Lohu" dengan suara tajam. Sayang musuhnya saat ini adalah Tong Po-gou yang suka membanyol. Dengan tabiat lelaki raksasa ini, sekali dia mulai bergurau, maka banyolannya tiada habisnya, cepat dia menyahut, "Oohh ... rupanya Lo-hujin (nyonya tua), kalau begitu kabulkanlah permintaan kami." Begitu perkataan itu diucapkan, Tong Po-gou sudah mampus sebanyak dua belas kali andaikata Ong Siau-sik tidak berdiri di sampingnya. Mendadak tubuh Rasul kedua melompat ke udara, sepa?sang jari tangannya langsung mencongkel mata Tong Po-gou. Ia tidak ingin mencongkel keluar biji mata milik pemuda itu, tapi ingin menghujamkan jari tangannya ke atas bola ma?tanya hingga tembus ke belakang otaknya. Kuku jari tangannya nampak tajam berkilauan seperti mata pisau, dari desingan angin yang menderu bisa diketahui bahwa Rasul kedua benar-benar sudah mendendam pada Tong Po-gou hingga merasuk ke tulang sumsum. Mengapa ia begitu gusar" Mengapa ia begitu keji dan tega melancarkan serangan mematikan" Mengapa ia begitu mendendam" Ong Siau-sik sendiri pun merasa gurauan Tong Po-gou sudah kelewatan, sekalipun begitu, tidak seharusnya gurauan itu dihadapi secara begitu marah dan dendam. Dalam keadaan seperti ini, tak ada waktu lagi baginya untuk berpikir panjang, ia segera menghadang di hadapan pemuda raksasa itu. Tiga kali sang rasul kedua berusaha menjojoh bola mata Tong Po-gou, tiga kali pula Ong Siau-sik menghadang dan menghalau ancamannya. Ketika serangan yang keempat kalinya dilancarkan, Ong Siau-sik mulai merasa kewalahan, ia mulai merasa tak sanggup membendung lebih jauh. Serangan dari Rasul kedua memang luar biasa dahsyatnya, begitu hebat dan mengerikan seakan dia hanya tahu bagaimana menghabisi lawannya, ia sudah tak peduli lagi dengan kesela?matan diri sendiri. Dari balik mata Tong Po-gou muncul perasaan ngeri, namun dia masih membelalakkan matanya lebar-lebar, mengawasi datangnya serangan dengan perasaan ingin tahu. Semakin besar Tong Po-gou membelalakkan matanya, semakin benci si Rasul kedua, kalau bisa dia ingin sekali mencongkel keluar sepasang biji matanya, dia ingin mencongkel mata itu lalu diinjak-injak sampai hancur, dia ingin melampiaskan rasa benci dan jengkelnya yang tak terhingga. Sekali lagi Ong Siau-sik segera menghadang di depannya, "Breeet!", kali ini baju bagian bahunya kena tersambar hingga muncul sebuah robekan panjang. Ketika menerjang untuk kelima kalinya, Rasul kedua membentak nyaring, "Enyah kau dari situ, tak ada urusan dengan dirimu!" Ong Siau-sik menghela napas panjang, sambil menarik napas ia melolos goloknya. Cahaya golok memancar bagai satu bait syair yang menggetarkan sukma. Sambaran golok bagai sebuah impian. Guguran bunga di dalam impian, berapa banyak bunga yang telah gugur" "Guguran bunga dalam impian" adalah nama golok itu. Topi lebar terbuat dari rumput itu terbelah dua, terbelah persis di bagian tengah. Di balik topi terlihat selembar wajah yang sayu bagaikan sukma gentayangan, selembar paras cantik bagai sekuntum bunga yang sedang mekar. Tapi sayang ia'mempunyai sepasang mata yang menakutkan, sepasang mata penuh kebencian yang menggidikkan hati. Sambaran golok Ong Siau-sik hanya membelah topi rumput itu jadi dua, sama sekali tidak melukai raut mukanya yang cantik jelita itu. Begitu berhasil dengan serangannya, Ong Siau-sik malah terkesima dibuatnya, sekarang dia sudah paham. Dia paham apa sebabnya Rasul kedua begitu marah setelah mendengar perkataan Tong Po-gou tadi. Sementara itu Tong Po-gou sendiri pun terperangah dibuatnya, tiba-tiba ia berteriak keras, ternyata pemuda itu sedang bersin berulang kali. Wajah cantik yang pucat, bentuk muka yang bulat telur kelihatan agak mengejang, perempuan itu menggigit bibirnya kencang, tidak membiarkan suaranya meloncat keluar. Pada saat itulah Tong Po-gou tak kuasa menahan diri, tiba-tiba pujinya, "Wow, Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo kau sungguh cantik, wajah secantik ini sayang kalau selalu tertutup topi lebar ... kau hanya menyia-nyiakan kecantikanmu saja!" Seraya berkata ia bersin berulang kali. Mula-mula semua orang agak tertegun setelah mendengar ucapan itu, menyusul kemudian sebagian besar orang mempunyai perasaan yang sama. Sebetulnya gadis itu nyaris hendak menangis, tapi setelah mendengar perkataan itu, dari wajahnya segera muncul perubahan mimik muka yang aneh, perubahan dari menangis menjadi tersenyum. Perubahan semacam ini sulit digambarkan dengan ucapan, tapi yang jelas cantik sekali. Saat seorang wanita kelihatan amat cantik, sering kali justru terjadi di saat mimik mukanya sedang mengalami perubahan yang aneh. Mungkin setiap gadis selalu menggambarkan perasaannya bagaikan sebuah syair, padahal perasaan bagaikan syair adalah perasaan yang paling susah dijabarkan dengan perkataan, oleh sebab itu syair adalah darah yang paling berharga dari sebuah ucapan. Sebenarnya gadis itu ingin menangis, namun setelah mendengar kata pujian itu, dari sedih berubah menjadi cemberut, namun dia tak berani tertawa maka dari perasaan benci berubah jadi agak marah, dari agak marah jadi cemberut, pada hakikatnya semua perubahan itu membuat Tong Po-gou benar-benar berdiri melenggong. Begitu melihat wanita cantik, secara kejiwaan segera timbul keinginannya untuk mendekati gadis itu, tapi secara fisik dia segera bersin berulang kali. Tiba-tiba terdengar Lui Tun berkata, "Ternyata Rasul kedua perkumpulan Mi-thianjit-seng adalah I-tiong-bo-jin (dalam ingatan tak ada manusia) Cu Siau-yau!" Semua orang terperanjat dibuatnya, khususnya Un Ji. Tujuan kedatangannya ke daratan Tionggoan antara lain adalah ingin berjumpa dengan seseorang, orang itu tak lain adalah Cu Siau-yau. Ia dengar gadis yang bernama Cu Siau-yau ini memiliki empat kelebihan, Amat cantik, amat garang, amat angkuh dan pinggangnya amat langsing (Siau-yau). Kini Un Ji telah bertemu dengannya. Dia memang cantik, caranya turun tangan amat telengas, orangnya pun amat angkuh. Tapi sayang seluruh tubuhnya terbungkus di balik jubahnya yang lebar sehingga sulit untuk mengetahui apakah pinggangnya memang langsing. "Ooh, jadi kau adalah Cu Siau-yau?" sapa Un Ji dengan suara lembut, "buat apa kau mengenakan jubah longgar yang tak sedap dipandang" Cepat gantilah dengan gaun dan baju, aku ingin tahu apakah pinggangmu betul-betul amat ramping." "Nona Lui," terdengar orang bertopi bambu itu menegur, "tajam benar matamu, coba kau tebak siapakah Lohu?" Lui Tun termenung sambil memutar otak. Pek Jau-hui sendiri pun tak bisa menebak siapa gerangan orang ini, sebab dari tujuh rasul yang ada, empat rasul di antaranya belum pernah bertarung melawan siapa pun. "Aku bisa menebaknya," mendadak Thio Than berteriak, "kau adalah Put-lo Sinsian (dewa yang tak pernah tua)!" Seperti anak kecil yang baru pertama kali berhasil menaikkan layang-layang, ia bersorak sorai kegirangan, kembali serunya, "Kau adalah Put-lo Thongcu, Gan Hokhoat, betul bukan" Pasti betul! Kau malah Toa-seng si Rasul pertama." "Da ... darimana kau bisa tahu?" tanya orang bertopi bambu itu dengan badan bergetar. Kali ini mau tak mau Pek Jau-hui harus merasa kagum akan kehebatan rekannya itu. Perlahan-lahan Gan Hok-hoat melepas caping bambunya sehingga kelihatan rambut, jenggot dan kumisnya yang telah memutih, hanya alis matanya yang kelihatan masih hitam lebat, kulit wajahnya berkilat persis seperti wajah seorang bocah. Sambil memutar biji matanya berulang kali dengan penuh tanda tanya, ia bertanya, "Sampai sekarang aku belum lagi turun tangan ... darimana kau bisa tahu?" Dari dalam sakunya Thio Than segera mengeluarkan dua lembar cap yang segera dikibarkan ke tengah udara, katanya sambil tertawa terkekeh, "Di dalam sakumu terdapat dua buah cap, yang satu bertuliskan Mi-thian-su-seng (rasul utama pembius langit) sementara yang lain bertuliskan Put-lo Sinsian Gan Hok-hoat. Jika kau bukan Gan Hok-hoat, lantas siapa yang bernama Gan Hok-hoat?" Begitu tahu cap yang disimpan dalam sakunya dicuri Thio Than, tak terlukiskan rasa gusar Gan Hok-hoat, umpatnya, "Dasar copet, kau ... akan kubunuh kau!" Lekas Pek Jau-hui maju satu langkah, setelah menarik napas dan berseru, "Bagus!", lima jari tangan kanannya segera disentilkan perlahan di punggung tangan kirinya. Melihat gerakan itu Ong Siau-sik segera tahu kalau rekannya siap melancarkan serangan dengan ilmu jari pengejut dewa. Dia tahu, jika Pek Jau-hui sampai dipaksa turun tangan, maka korban yang berjatuhan pasti amat banyak, lekas tanyanya, "Apakah kalian bersikeras hendak membawa nona Lui pergi dari sini?" "Selain itu, aku tetap akan membunuhnya!" sahut Liu Cong-seng sambil menuding ke arah Tong Po-gou. "Aku pun bersumpah akan membunuh copet ini," sambung Gan Hok-hoat sambil melotot ke arah Thio Than. "Keliru kau, masa aku cuma bangsa copet" Aku ini perampok tahu!" sambung Thio Than cepat. Mereka telah menderita kerugian besar di tangan kedua orang itu, karenanya mereka bersumpah akan membunuh Thio Than dan Tong Po-gou untuk melampiaskan rasa benci dan dendamnya, termasuk Jin Kui-sin sendiri pun punya niat demikian, di antara sekian jago, hanya Cu Siau-yau seorang yang tidak berkomentar. "Baik," kata Ong Siau-sik kemudian, "bila kalian ingin membunuh atau menangkap orang, tanyakan dulu kepadaku, aku sudah memutuskan untuk turut campur dalam persoalan ini." "Kalau begitu kau cari mampus," seru Gan Hok-hoat. "Di antara kita toh tak terikat dendam sakit hati, buat apa sih begitu bertemu lantas saling bunuh" Lebih baik kita cari sebuah cara lain yang lebih baik, kalau bisa tak usah saling membunuh bukankah jauh lebih baik?" "Hmm, jika kau takut, cepat sipat ekormu dan menyingkir dari situ." "Aku memang takut, takut kalau pedangku tak bermata sehingga karena kurang hatihati membuat kalian semua terbunuh, bukankah aku jadi tak enak?" Keempat orang rasul itu jadi marah, tapi sebelum mereka melakukan suatu aksi, kembali Ong Siau-sik berkata, "Lebih baik begini saja, kalian mencari sebuah cara untuk maju bersama-sama, sementara aku akan menghadapi kalian berempat secara bersama-sama, seandainya aku beruntung, maka kumohon kalian berempat sudi membuka sebuah jalan untuk mereka semua, sebaliknya bila aku yang kalah sehingga harus mampus di tangan kalian, tak akan ada orang yang menuntut balas gara-gara urusan ini." Menyaksikan kejumawaan Ong Siau-sik yang berani menantang mereka berempat untuk bertarung satu melawan empat, satu ingatan segera melintas dalam benak mereka, pikir mereka, kalau dilihat dari kemampuannya membelah topi rumput yang dikenakan Cu Siau-yau dalam sekali tebasan saja, jelas kungfu yang dimiliki orang ini sangat hebat, mungkin malah orang terhebat dalam Sam-hap-lau saat ini. Jika mereka harus menghadapi satu lawan satu, belum tentu kemampuan mereka bisa menangkan lawannya ini, sebaliknya bila mereka berempat maju bersama dan berhasil merobohkan dia, paling di kemudian hari orang hanya mengejek mereka sebagai orang tak tahu diri yang beraninya mengembut seorang anak muda, namun hasil yang diperoleh justru lebih dari itu, yakni menggunakan peluang ini untuk menyingkirkan seorang musuh tangguh. Berpikir begitu Gan Hok-hoat segera berseru, "Anak muda, kau sendiri yang cari mati, jangan salahkan kami." "Aku tak bakal menyalahkan orang lain, anggap saja aku memang sudah bosan hidup." Takut lawannya menyesal, kembali Gan Hok-hoat berseru, "Jika kau tak sanggup, cepat lepaskan kentutmu sekarang juga, kami tak akan mempermasalahkan lagi." "Hahaha, sekalipun perkataanku ibarat orang melepaskan ....... hawa itu, aku tahu kalian pun bukan hawa semacam itu, jangan kuatir, aku tak bakal mungkir dari ucapanku sendiri!" Kini keempat orang jago itu benar-benar sudah naik pitam. Dengan suara berat Liu Cong-seng berseru, "Bocah muda, kau ingin bertanding apa?" Ong Siau-sik segera berpikir, lebih baik dia yang membuat jengkel keempat orang itu hingga meradang ketimbang membiarkan Pek Jau-hui yang turun tangan, sebab rekannya selalu menghabisi nyawa lawannya secara telengas, sahutnya cepat, "Terserah apa maumu!" Liu Cong-seng adalah orang yang jujur dan polos, dia tahu pemuda yang muncul di kotaraja dengan membawa senjata pedang tak mirip pedang, golok tak mirip golok ini memiliki kungfu yang sangat hebat, maka katanya, "Kami ada empat orang sementara kau hanya seorang, jika ingin menggunakan golok atau pedangmu, silakan saja, kami akan menghadapimu dengan tangan kosong." "Aku tahu, kalian berempat, seorang pandai ilmu Cong-seng-ci yang bisa membelah dada orang dari jarak sepuluh langkah, yang seorang lagi bisa membunuh orang dari jarak berapa langkah dengan ilmu bacokan setannya." Kemudian kepada Cu Siau-yau dan Gan Hok-hoat katanya lagi sembari tertawa, "Sedang kalian berdua, yang satu konon bisa memadamkan api lilin dari jarak ratusan langkah dengan mengandalkan ilmu pukulan lembek Im-un-bian-ciang, sementara yang lain adalah ahli waris Eng-jiau-ong yang mampu menotok jalan darah orang dari jarak jauh. Justru karena amat mengagumi kemampuan kalian, maka aku ingin mengandalkan sedikit kepandaian yang kumiliki ini untuk minta pelajaran dari kalian. Perkataan ini bernada setengah menyanjung, kontan saja membuat keempat rasul itu merasa segar dalam hati. Terdengar Ong Siau-sik berkata lebih jauh, "Dengan kemampuan silat yang kalian berempat miliki, bukan halangan untuk melukai seseorang dari jarak jauh, bagaimana kalau kita tentukan sebuah garis batas dan masing-masing hanya boleh melancarkan serangan dari jarak tujuh langkah" Pertama bisa menambah pengetahuanku, kedua Cayhe agak takut mati, karena kuatir pertarungan jarak dekat bisa berakibat fatal, maka kalau kita bertarung dari jarak jauh, paling lukaku tak akan seberapa berat. Ini untuk mencegah adanya dendam kesumat di kemudian hari, karena tujuanku bertarung saat ini tak lebih hanya ingin menjajal kehebatan ilmu silat kalian saja." Perkataan Ong Siau-sik ini boleh dibilang merupakan ucapan merendah, tapi terselip juga kejumawaan, kontan paras muka keempat orang rasul itu berubah hebat, dasar bocah kepala ubi, jumawa amat, beraninya menantang mereka berempat untuk bertarung empat lawan satu" Jin Kui-sin kontan berseru sambil tertawa, "Daripada kami berempat yang maju bersama, lebih baik kalian saja yang maju berbareng, biar kubereskan kalian semua seorang diri." "Tidak bisa," Ong Siau-sik menggeleng. "Kenapa?" "Sebab kau tak bakal sanggup menghadapi kami." "Kurangajar!" umpat Jin Kui-sin teramat gusar, "cabut pedangmu!" Kembali Ong Siau-sik menggeleng. "Cabut golokmu atau pedangmu, aku ingin memberi pelajaran kepadamu," kembali Jin Kui-sin membentak gusar. Tiba-tiba Ong Siau-sik tidak menggeleng lagi, sinar tajam memancar dari matanya, sinar mata yang jauh lebih tajam dari sebilah pedang. Jin Kui-sin agak tertegun, tapi serunya kemudian, "Ayo, cabut golokmu, buat apa kau pelototi aku?" "Kau keliru besar!" ucap Ong Siau-sik sepatah demi sepatah. Tampaknya Jin Kui-sin tergetar perasaannya oleh ucapan itu, tak sadar tanyanya, "Kenapa?" "Pertama, kau bukan bapakku, kedua, kau belum pantas memaksaku mencabut golok." "Aku belum pantas?" Jin Kui-sin mundur setengah langkah sambil tertawa seram, "sialan kau Baru bicara sampai di situ, mendadak ia saksikan tangan Ong Siau-sik sudah menempel di atas gagang pedangnya. Jin Kui-sin segera bersiap melakukan aksinya. Ia berniat turun tangan lebih dulu, mengincar gerak serangan lawan, siap menghindar, menangkis lalu mundur ... tapi ingatan itu hanya melintas secepat kilat dalam benaknya, tahu-tahu pandangan matanya silau. Ternyata topi bambu yang menutupi wajahnya telah terbelah dua dan jatuh ke tanah. Terbelah oleh senjata tajam! Ong Siau-sik sudah turun tangan, bahkan dalam sekali gebrakan telah membuahkan hasil. Ia telah mencabut gagang pedangnya, gagang pedang miliknya berupa golok. Begitu goloknya berhasil menebas topi bambu, senjata itu sudah disarungkan kembali sebagai gagang pedangnya. Sekarang semua orang dapat melihat, seandainya tebasan itu diarahkan ke tengkuk Jin Kui-sin, dia sudah berhasil memenggal batok kepala jagoan itu secara gampang. Tiada yang berani memandang enteng anak muda itu lagi. Tak ada orang yang tidak memandang serius dirinya lagi. Seperti juga banyak kejadian lain, bila seseorang ingin me?nonjol, bila seseorang ingin punya nama, dia harus menunjukkan dulu prestasi kerjanya, dia harus mengeluarkan dulu ke?mampuan dan kehebatannya. Begitu juga dengan anak muda ini. Babatan golok Ong Siau-sik itu hanya sekali babatan, namun di balik babatan itu justru terkandung hasil latihan gigihnya selama bertahun-tahun, terkandung semua kehebatan yang diperolehnya dari petunjuk seorang guru yang hebat, juga terlihat betapa hebatnya bakat alam yang dimilikinya. Manusia bisa saja berteduh di bawah sebatang pohon yang sama, dapat duduk di atas batu yang sama, tapi keberhasilan bacokan golok itu sudah mencerminkan berapa banyak pengorbanan, berapa banyak cucuran keringat dan darah yang telah dikeluarkan anak muda itu. Bacokan golok Ong Siau-sik ini seketika mendapat penilaian yang tinggi dari setiap jago yang hadir di situ. Terdengar Gan Hok-hoat berdehem, kemudian ujarnya, "Apa kami dapat mengunggulimu" Apa pula yang bisa kami peroleh setelah berhasil membunuhmu?" "Bukankah tadi sudah kujelaskan, jika kalian sanggup membereskan Cayhe, aku tak akan mencampuri urusan ini lagi, dia pun tak akan melibatkan diri dalam urusan ini." Bicara sampai di sini, ia segera menuding ke arah Pek Jau-hui yang berdiri di sisinya, kemudian lanjutnya, "Sebaliknya bila kalian tak mampu mengungguli kami, ini membuktikan kemam?puan kalian belum mencapai tingkat kesempurnaan, jadi ... ya, selamat jalan!" "Baik," seru Gan Hok-hoat kemudian sambil mengertak gigi, "jika kami berempat tak mampu mengatasimu, anggap saja kami yang kalah." "Ucapan Gan-sengcu terlalu serius," Ong Siau-sik tersenyum. Pek Jau-hui tahu, senjata yang diandalkan Ong Siau-sik adalah senjata golok pedangnya, bukan pukulan jarak jauh, sementara empat orang jago yang akan dihadapinya adalah jagoan yang punya nama besar, bila dia harus satu lawan empat, jelas tak ada keuntungan yang bisa diraihnya, berpikir sampai di situ timbul perasaan kuatirnya atas keselamatan jiwa rekannya ini. "He, sebetulnya kau mampu tidak?" bisiknya, "bagaimana kalau aku saja yang menerima tantangan mereka ini" Ilmu jari sam-ci-tan-thian (tiga jari menyentil langit) andalanku sangat cocok untuk pertarungan jarak jauh." Setelah beberapa kali bentrok dengan keempat rasul dari perkumpulan Mi-thianjit-seng, Ong Siau-sik dapat menyimpulkan bahwa mereka bukan terhitung tokoh silat berhati buas bertangan telengas seperti apa yang dibayangkan semula, dia tak menyangka kalau mereka tak pernah mau membunuh orang secara sembarangan, justru dia sengaja mengajukan diri untuk tampil dalam pertarungan ini, tujuannya tak lain agar tidak terjadi pembantaian yang dilakukan Pek Jau-hui. Oleh sebab itu lekas sahutnya, "Kalau cuma pertarungan semacam ini saja tak sanggup, sungguh membikin malu orang saja, Jiko, bila aku sampai kalah nanti, tolong buang saja badanku di luar kota, biar disantap anjing liar." "Omonganmu ngawur ..." umpat Pek Jau-hui cepat, tapi ia segera bungkam dan tak banyak bicara lagi. Dalam pada itu keempat rasul dari perkumpulan Mi-thian-jit-seng sudah mengambil posisi, Jin Kui-sin kelihatan paling jengkel, sepasang tangannya diputar kencang bagaikan dua sekop baja yang segera dilontarkan ke depan. Sementara Cu Siau-yau tidak langsung melancarkan serangan, dengan santainya dia mengikat dulu rambutnya dengan seutas tali, kemudian dia mengencangkan pula jubah lebarnya sehingga pinggangnya yang ramping kelihatan amat jelas. Gan Hok-hoat juga sudah menggulung ujung bajunya, wajahnya lambat-laun berubah jadi merah padam, entah dikarenakan sedang menghimpun hawa murninya atau karena naik darah. Liu Cong-seng yang menyaksikan hal itu jadi habis kesabarannya, dengan jengkel teriaknya, "He, bagaimana ini" Kalau memang ingin mengantar kematian, kenapa Golok Kelembutan Wen Rou Yi Dao Karya Tjan Id di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo tidak segera bertindak?" Ong Siau-sik segera melompat masuk ke tengah arena, berdiri di tengah kepungan keempat orang itu, lalu katanya seraya menjura, "Silakan!" ooOOoo 37. Tangan golok telapak pedang. Liu Cong-seng merupakan orang pertama yang tak mampu mengendalikan diri. Dari sekian banyak jago, kerugian yang ia derita terhitung paling besar, baginya kalau bisa, secepat mungkin membereskan bocah muda itu lebih dulu kemudian ia akan menghancur-lumatkan Tong Po-gou. Sepasang telapak tangannya dirangkap menjadi satu lalu digosokkan ke atas turun ke bawah dan tiba-tiba direntangkan ke samping, desingan angin tajam menderu, gulungan angin serangan yang tajam langsung menerjang bahu kiri Ong Siau-sik. Pada saat yang bersamaan Jin Kui-sin dengan bacokan setannya telah melancarkan serangan terlebih dulu, pukulan jarak jauh itu menghajar bahu kanan lawan. Gan Hok-hoat tak mau ketinggalan, ia membentak pula, "Terima seranganku ini!" Ong Siau-sik mendengus dingin, dia incar datangnya arah sasaran, lalu tubuhnya mendadak merendah ke bawah. Gerakan ini dilakukan tepat pada saatnya, akibatnya serangan Cong-seng-ci dan bacokan setan yang sedang meluncur ke depan saling bertumbukan sendiri di udara, "Blaaam!", diiringi suara benturan nyaring tubuh Liu Cong-seng maupun Jin Kuisin sama-sama tergetar mundur satu langkah. Tapi di saat Ong Siau-sik merendahkan tubuhnya itulah segulung tenaga lembek, tanpa menimbulkan sedikit suara pun telah menggulung tiba. Serangan tenaga lembek itu berasal dari sentilan jari tangan Cu Siau-yau. Jarang sekali ada orang persilatan yang mampu melancarkan serangan jarak jauh dengan tenaga lembek, lebih jarang lagi ada yang bisa menyerang dengan ilmu Imji-bian-ciang, tapi sekarang Cu Siau-yau melancarkan serangan tenaga lembek melalui ujung jarinya, kejadian semacam ini boleh dibilang merupakan satu kejadian langka. Sekilas pandang, serangan itu sangat lembek seolah sama sekali tak bertenaga, padahal tenaga paipghancur yang terkandung di balik -ajncaman itu justru jauh lebih dahsyat dan menakutkan ketimbang serangan yang'di:epaskan Jin Kui-sin maupun Liu Cong-seng. Mendadak Ong Siau-sik menggulung sepasang tangannya, menarik dari atas menuju ke bawah dengan gerakan menggulung, begitu tenaga musuh tersapu, kembali dia merentangkan tangannya ke samping. Setelah itu badannya setengah berjongkok ke bawah, kuda-kuda sejajar lantai, gerakannya aneh sekali, dia seakan hendak menyongsong datangnya ancaman dari Cu Siau-yau itu dengan dadanya. Bukan saja tidak menghindar, dia malah diam di tempat, mungkinkah anak muda itu hendak menyerah kalah" Angin serangan yang dilancarkan Cu Siau-yau sungguh dahsyat, jangan kan Ong Siau-sik yang langsung saling berhadapan, Tong Po-gou yang berdiri di luar arena pertarungan pun dapat merasakan betapa tajamnya hawa dingin yang menyelimuti angkasa, Thio Than yang ada pada jarak lebih jauh malah tergetar mundur sampai beberapa langkah. Mereka berdua jadi tercengang setelah menyaksikan sikap Ong Siau-sik, baru saja tubuhnya siap bergerak untuk ikut terjun ke arena pertarungan, maksudnya memberi pertolongan, tiba-tiba bahunya terasa ditahan orang sehingga tubuh mereka sama sekali tak mampu bergerak. Dengan perasaan kaget mereka berpaling, rupanya Pek Jau-hui yang telah memegang bahu mereka dengan ujung jarinya sehingga tak mampu bergerak Jangan dilihat hanya ujung jari yang menempel di atas bahu, kekuatan yang terkandung justru mencapai ribuan kati lebih, jangan kan maju ke depan, mau berkutik pun Thio Than maupun Tong Po-gou tak mampu. Kali ini kedua orang jago itu benar-benar terkesiap, pikirnya hampir bersamaan, "Masih untung dia hanya teman bukan musuh, kalau tidak, bukankah nyawaku sudah melayang sejak tadi?" Dalam pada itu sorot mata Pek Jau-hui mulai berbinar, menyaksikan jurus serangan yang diperlihatkan Ong Siau-sik, hatinya mulai terasa panas, kepalannya panas, wajahnya panas bahkan sorot matanya pun ikut menjadi panas. "Jurus serangan yang hebat!" pekiknya dalam hati. Wasiat Sang Ratu 3 Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl Makam Bunga Mawar 14

Cari Blog Ini