Ceritasilat Novel Online

Anjing Kematian 2

Anjing Kematian The Hound Of Death And Other Stories 1933 Karya Agatha Christie Bagian 2 ganti. Dia langsung bersedia menerima kedatangan saya. "'Ah, Raoul/ serunya, sambil mengulurkan kedua tangannya yang putih pada saya. 'Sungguh menyenangkan. Ke mana saja kau selama ini"' "Saya ingin bercerita padanya, tapi dia tidak benar-benar ingin mendengarkan. '"Kaulihat, aku hampir mencapai cita-citaku!' "Dia membuat gerakan penuh kemenangan dengan tangannya, menunjuk ruangan yang penuh buket-buket bunga. '"Miss Slater yang baik itu pasti bangga dengan keberhasilanmu.' "'Si tua itu" Tidak. Dia mengarahkanku untuk menjadi penyanyi Konservatorie. Penyanyi konser yang anggun. Tapi aku seorang seniman. Di panggung campuran inilah aku bisa mengekspresikan diri.' "Pada saat itu, seorang pria tampan setengah baya masuk. Penampilannya sangat berwibawa. Dari sikapnya, dengan segera saya mengerti bahwa dia pelindung Annette. Dia melirik saya, dan Annette menjelaskan. '"Ini teman masa kecilku Dia sedang lewat Paris, dan melihat fotoku di poster... et voila\v 85 "Setelah itu, pria tersebut jadi sangat ramah dan sopan. Di depan saya dia mengeluarkan sebuah gelang bertatahkan batu rubi dan berlian, dan memakaikannya di pergelangan tangan Annette. Ketika saya bangkit untuk pergi, Annette melemparkan pandangan penuh kemenangan pada saya, dan berbisik, "'Aku berhasil, bukan" Kaulihat" Seluruh dunia terbentang di hadapanku.' "Tapi ketika saya keluar dari ruangan itu, saya dengar dia terbatuk-batuk; batuk kering yang tajam. Saya tahu apa artinya batuk itu Warisan dan ibunya yang menderita radang paru-paru. "Saya bertemu lagi dengannya dua tahun kemudian. Dia sudah kembali pada Miss Slater. Kariernya telah hancur. Radang paru-parunya sudah mencapai tahap lanjut, dan dokter-dokter mengatakan tak ada yang bisa dilakukan untuk menyembuhkannya. "Ah! Saya takkan pemah melupakan keadaannya saat itu! Dia berbaring di semacam tempat berteduh di kebun. Dia sengaja ditaruh di luar. siang dan malam. Kedua pipinya cekung dan merah, matanya berkilat-kilat oleh demam, dan dia batuk berkali-kali. "Dia menyapa saya dengan semacam sikap putus asa yang membuat saya terperanjat. "'Senang bisa melihatmu lagi, Raoul. Kau tahu apa kata mereka bahwa aku tidak ?akan sembuh" Mereka mengatakannya di belakang punggungku, tahu" Di depanku mereka menunjukkan sikap menghibur dan menenangkan. Tapi itu tidak benar, Raoul. itu tidak benar! Takkan kubiarkan diriku mati. Mati! sementara hidup yang indah terbentang di hadapanku" Yang penting adalah tekad untuk hidup. Itulah yang 86 dikatakan dokter-dokter yang hebat sekarang ini Aku bukan jenis orang lemah yang akan mati begitu saja. Sekarang ini pun aku sudah merasa jauh lebih baik... jauh lebih baik, kaudengar"' "Dia menopang tubuhnya di satu siku, untuk menegaskan kata-katanya tadi, tapi lalu terjatuh oleh serangan batuk yang mengguncang tubuhnya yang kurus. "'Batuk ini... bukan apa-apa,' katanya tersengal-sengal. 'Dan perdarahanperdarahan itu tidak membuatku takut. Aku akan memberikan kejutan pada dokterdokter itu Tekad hiduplah yang penting. Ingat, Raoul, aku akan tetap hidup.' "Sungguh menyedihkan, amat sangat menyedihkan. "Pada saat itu Felicie Bault masuk membawa nampan, dengan segelas susu panas. Dia memberikannya pada Annette dan mengawasi Annette meminumnya, dengan ekspresi yang tidak dapat saya pahami. Semacam ekspresi puas dan sombong. "Annette menangkap tatapan Felicie. Dia melemparkan gelas itu dengan marah, hingga gelas itu pecah berkeping-keping. '"Kaulihat dia" Seperti itulah dia selalu menatapku. Dia senang aku akan mati! Ya, dia senang sekali. Sebab dia sendiri sehat dan kuat. Coba lihat dia, tak pemah sakit sehan pun! Padahal apa gunanya kesehatannya itu. Apa gunanya tubuhnya yang kuat itu" Apa dia bisa memanfaatkannya"' "Felicie membungkuk dan memunguti pecahan-pecahan gelas tersebut. '"Aku tidak keberatan dengan ucapannya,' katanya dengan suara merdu. 'Apa pentingnya" Aku gadis 87 baik-baik. Dia sendiri... tak lama lagi dia akan merasakan terbakar di Api Pencucian. Aku orang Kristen yang baik, aku tidak akan bilang apa-apa.' '"Kau benci padaku', teriak Annette. 'Sejak dulu kau membenciku. Ah! Tapi aku tetap bisa membuatmu terpesona. Aku bisa mcmbuamiu melakukan perintahku. Coba lihat sekarang, kalau kuminta, kau akan berlutut di rumput, di hadapanku.' '"Omonganmu tidak masuk akal,' kata Felicie dengan gelisah. "'Ya, kau akan melakukannya. Kau akan melakukannya. Untuk membuatku senang. Berlututlah Kuminta kau berlutut. Aku, Annette. Berlututlah, Felicie.* "Entah karena nada memohon yang menggugah dalam suara Annette, atau karena motif yang lebih dalam, Felicie mematuhinya. Dia berlutut perlahan-lahan kedua lengannya terentang lebar, wajahnya kosong dan bodoh. "Annette tertawa terbahak-bahak berderai-derai.?"'Coba lihat dia, dengan wajahnya yang tolol itu! Betapa konyol ekspresinya. Kau boleh bangkit berdiri sekarang, Felicie, terima kasih! Tak perlu cemberut begitu padaku. Aku majikanmu. Kau mesti mematuhi perintahku.' "Lalu Annette berbaring kembali di bantalnya, kelelahan. Felicie mengangkat nampannya dan beranjak pergi perlahan-lahan. Satu kali dia menoleh, dan sorot kebencian yang amal sangat di matanya membuat saya terperanjat. "Saya tidak ada di sana ketika Annette meninggal. Tapi sepertinya keadaannya sangat menyedihkan. Dia berjuang mempertahan hidupnya. Dia berjuang melawan kematian, seperti wanita sinting. Berkali-kali dia berkata dengan tersengalsengal, 'Aku tidak akan mati... kaudengar itu" Aku tidak akan mati. Aku akan tetap hidup... hidup...' "Miss Slater menceritakan semua itu pada saya ketika saya datang menemuinya enam bulan kemudian. "'Raoul yang malang.' katanya dengan ramah. 'Kau mencintainya, bukan"' '"Selalu... selalu. Tapi apa gunanya saya bagi dia" Tak usahlah kita membicarakannya. Dia sudah tiada... dia yang begitu cemerlang, begitu penuh semangat hidup yang membara...' "Miss Slater wanita yang simpatik. Dia mengalihkan pembicaraan pada hal-hal lain. Dia sangat cemas tentang Felicie, katanya. Gadis itu telah mengalami semacam keruntuhan saraf yang aneh, dan sejak saat itu tingkah lakunya juga sangat aneh. '"Kau tahu bahwa dia sedang belajar main piano"' kata Miss Slater setelah raguragu sejenak. "Saya tidak mengetahuinya, dan sangat terkejut mendengarnya. Felicie... belajar main piano! Saya berani menyatakan bahwa gadis itu tidak bisa' membedakan nada sama sekali. '"Mereka bilang, dia berbakat,' Miss Slater melanjutkan. 'Aku tidak mengerti. Sejak dulu aku menganggap dia yah, Raoul, kau tahu sendiri sejak dulu dia ? ?bodoh, kan"' "Saya mengangguk. '"Kadang-kadang perilakunya begitu aneh... aku benar-benar tidak mengerti.' "Beberapa menit kemudian, saya melangkah ke 89 88 Salle de Lecture. Felicie sedang memainkan piano. Dia membawakan nada-nada yang pernah saya dengar dinyanyikan oleh Annette di Paris. Anda tentunya mengerti. Tuan-tuan, kalau saya jadi sangat terkejut. Mendengar saya datang, dia berhenti main dengan mendadak, dan memutar tubuh melihat saya. sorot matanya penuh ejekan dan kecerdasan. Sesaat saya berpikir... ah, saya tidak akan mengatakan pada Anda. apa yang terlintas di benak saya. "'TiensP katanya. 'Jadi, kau rupanya... Monsieur Raoul.' "Saya tak bisa menggambarkan cara dia mengatakannya. Sejak dulu Annette selalu menyebut saya Raoul. Tapi Felicie, sejak kami bertemu sebagai orang dewasa, selalu menyebut saya dengan Monsieur Raoul. Tapi cara dia mengucapkannya saat itu berbeda... seolah-olah kata Monsieur itu terdengar sangat lucu, dengan diberi sedikit tekanan. "'Wali, Felicie,' kata saya terbata-bata 'Kau tampak berbeda sekali hari ini.' "'O ya"' tanyanya sambil merenung. 'Aneh sekali Tapi jangan serius begitu, Raoul aku memanggilmu Raoul saja bukankah kita pemah menjadi teman bermain ? ?ketika masih kecil" Hidup ini mesti diisi dengan tawa. Mari kita membicarakan ?Annette yang malang... yang sudah meninggal dan dikuburkan. Apa dia berada di Api Pencucian" Atau di mana"' "Lalu dia menggumamkan sepotong lagu nadanya tidak terlalu bagus, tipi kata?katanya menarik perhatian saya. "'Felicie!' saya berseru 'Kau bisa bicara bahasa Italia"' 90 "'Kenapa tidak, Raoul" Barangkali aku tidak sebodoh yang pura-pura kuperlihatkan.' Dia tertawa melihat kebingungan saya. '"Aku tidak mengerti,' saya memulai. '"Akan kuberitahukan padamu. Aku aktris yang sangat hebat, walau tak seorang pun tahu itu. Aku bisa memainkan banyak peran... dengan sangat baik pula.' "Dia tertawa lagi dan lari keluar dari ruangan itu. sebelum saya sempat menghentikannya. "Saya bertemu lagi dengannya sebelum berangkat. Dia sedang tertidur di kursi, mendengkur sangat keras. Saya berdiri memandanginya, terpesona, tapi juga dengan perasaan muak. Sekonyong-konyong dia bangun dengan kaget. Kedua matanya yang kosong dan tidak bercahaya bertemu pandang dengan mata saya. '"Monsieur Raoul,' gumamnya otomatis. '"Ya, Felicie, aku akan pergi sekarang. Maukah kau main piano lagi untukku sebelum aku berangkat"' '"Aku" Main piano" Kau mengolok-olokku, Monsieur Raoul.' "Dia menggelengkan kepala. "Aku main piano" Mana mungkin gadis bodoh seperti aku ini main piano"' "Dia diam sejenak, seperti sedang berpikir, kemudian dia memanggil saya agar lebih mendekat. '"Monsieur Raoul, ada peristiwa-peristiwa aneh terjadi di rumah ini! Mereka sengaja mempermainkan aku. Menghentikan jam-jam di sini. Ya, ya, aku tahu betul apa yang kukatakan ini. Dan semua ini adalah ulahnya.' 91 "'Ulah siapa"' tanya saya, terperanjat. '"Ulah Annette. Si jahat itu. Ketika masih hidup, dia selalu menyiksaku. Sekarang, sesudah mati pun, dia datang dari dunia orang mati untuk menyiksaku.' "Saya terpaku menatap Felicie. Bisa saya lihat bahwa dia benar-benar ketakutan, kedua matanya melotot lebar. "'Dia memang jahat. Ya, dia jahat. Dia akan mengambil roti dari mulutmu, pakaian dari punggungmu, jiwa dari dalam tubuhmu...' "Sekonyong-konyong dia mencengkeram saya. "'Aku takut... takut. Aku mendengar suaranya bukan di telingaku tidak, bukan di? ?telingaku. Di sini, di dalam kepalaku...' Dia mengetuk dahinya. 'Dia akan mengusirku pergi mengusirku pergi sepenuhnya, lalu apa yang mesti kulakukan, ?apa yang akan terjadi denganku"' "Suaranya meninggi, hampir-hampir melengking. Matanya menyorotkan ketakutan seekor binatang buas yang tengah terpojok... "Sekonyong-konyong dia tersenyum, senyum manis yang licik. Ada sesuatu yang membuat saya merinding dalam senyumnya itu. '"Kalau terpaksa. Monsieur Raoul, kedua tanganku ini sangat kuat - amat sangat kuat.' "Sebelumnya saya tidak pemah memperhatikan tangannya. Saat itu saya memperhatikannya, dan mau tak mau saya merinding. Jemarinya yang persegi tampak brutal, dan seperti kata Felicie, sangat kuat... saya tak bisa menjelaskan pada Anda sekalian rasa mual yang menyapu diri saya. Pasti dengan kedua tangan seperti itulah ayahnya dulu mencekik ibunya... 92 "Itulah terakhir kalinya saya melihat Felicie Bault. Tak lama kemudian, saya berangkat ke luar negeri ke Amerika Selatan. Saya pulang dari sana dua tahun ?setelah kematiannya. Karena berita yang saya baca di surat-surat kabar, tentang kehidupannya dan kematiannya yang mendadak. Malam ini saya telah mendengar detail-detail yang lebih lengkap dari Anda sekalian. Tuan-tuan. Felicie 3 dan ?Felicie 4 saya jadi bertanya-tanya. Dia aktris yang hebat, tahu?" Kereta sekonyong-konyong mengurangi kecepatan. Pria di sudut keempat itu duduk tegak dan mengancingkan mantelnya lebih rapat. "Apa teori Anda?" tanya Sir George sambil mencondongkan tubuh ke depan. "Aku hampir-hampir tak percaya...," Canon Parfitt memulai, namun lalu terdiam. Sang dokter tidak mengatakan apa-apa. Ia tengah memandangi Raoul Letardcau dengan tajam. "Pakaian dari punggungmu jma dari dalam tubuhmu" kata orang Prancis itu dengan nada ringan. Lalu ia berdiri dari duduknya. "Menurut saya, Messiuers, sejarah kehidupan Felicie Bault adalah juga sejarah kehidupan-Annette Ravel. Anda tidak mengenal dia. Tuan-tuan. Tapi saya mengenalnya Dia sangat mencintai kehidupan..." Dengan satu tangan di pintu, siap melompat keluar, ia berbalik dengan tiba-tiba, dan membungkuk sambil mengetuk dada Canon Parfitt. "M. le docteur di sana itu, tadi dia berkata bahwa semua ini" tangannya menyapu ?perut sang Canon, dan sang Canon berjengit "hanyalah sebuah tempat hunian. Coba ?katakan, kalau Anda mendapati ada 93 pencuri di rumah Anda, apa yang Anda lakukan" Menembaknya, bukan?" "Tidak," seru sang Canon. 'Tidak, tentu saja maksud saya... tidak di negara ?ini." Tapi ia berbicara pada udara kosong belaka. Pintu gerbang terbanting membuka. Sang Canon, sang pengacara, dan sang dokter hanya bertiga. Sudut keempat itu sudah kosong. 94 Sang Gipsi Macfarlane sudah senng memperhatikan bahwa sahabatnya, Dickie Carpenter, punya perasaan tak suka yang aneh terhadap kaum gipsi. Ia tak pernah tahu alasannya. Namun ketika pertunangan Dickie dengan Esther Lawes putus, sesaat kedua lakilaki ini menjadi lebih dekat. Macfarlane telah bertunangan dengan Rachel, adik Esther, selama kurang-lebih setahun. Ia sudah mengenal kedua gadis bersaudara ini sejak masih kanak-kanak. Sebagai orang yang lamban dan selalu hati-hati dalam segala hal, ia semula enggan mengakui rasa tertariknya yang semakin meningkat terhadap diri Rachel, yang memiliki wajah kekanak-kanakan dan sepasang mata cokelat yang jujur. Memang Rachel tidak cantik seperti Esther, tapi ia jauh lebih tulus dan manis. Karena Dickie bertunangan dengan Esther, maka hubungan antara kedua laki-laki ini sepertinya menjadi lebih akrab. Dan sekarang, setelah beberapa minggu yang singkat, pertunangan itu putus. Dickie Dickie yang sederhana sangat terpukul karenanya. Sejauh ini. dalam ? ? usianya yang masih muda, segala sesuatu dalam hidupnya selalu lancar. Kariernya di Angkatan Laut 95 sesuai sekali dengan dirinya. Kecintaannya pada laut sudah ada semenjak ia dilahirkan. Ada darah Viking yang primitif dan blak-blakan dalam dirinya, yang menyebabkan ia tidak menghargai kehalusan-kchalus-an pikiran. Ia termasuk golongan pemuda Inggris yang tidak pandai bicara, yang tidak suka memperlihatkan emosi, dan merasa sangat sulit untuk menjelaskan apa-apa yang mereka rasakan dalam kata-kata Macfarlane, orang Skot yang keras itu, yang memiliki imajinasi Celtic di dalam dirinya, mendengarkan sambil merokok sementara sahabatnya berkutat mencari katakata. Ia sudah tahu Dickie ingin menceritakan sesuatu padanya. Tapi ia mengira bukan ini yang bakal disampaikan. Dickie sama sekali tidak menyebut-nyebut Esther Lawes. Ia hanya menceritakan kisah tentang ketakutan masa kecilnya. "Segalanya bermula dari mimpi yang kualami ketika masih kecil. Bukan mimpi buruk, sebenarnya. Perempuan itu dia orang gipsi suka muncul dalam setiap ? ?mimpi lamaku bahkan dalam mimpi yang indah (atau setidaknya indah menurut ?ukuran anak kecil mimpi tentang pesta, kembang api, dan semacamnya). Dalam ?mimpi itu biasanya aku sedang senang-senang, lalu aku merasa aku tahu bahwa ? ?kalau aku mengangkat wajah, perempuan itu akan ada di sana, berdiri seperti biasanya, mengamatiku... dengan sepasang mata sedih, seakan-akan dia memahami sesuatu yang tidak kumengerti... tak bisa kujelaskan, kenapa aku jadi sangat gelisah dibuatnya tapi begitulah! Setiap kalinya! Aku akan terbangun sambil ?menjerit-jerit ketakutan, dan pengasuhku yang 96 setia suka berkata, 'Nah, Master Dickie bermimpi lagi tentang orang gipsi.'" "Apa kau pernah merasa takut terhadap orang gipsi sungguhan?" "Baru beberapa waktu kemudian aku melihatnya. Peristiwanya juga aneh. Aku sedang mengejar anak anjingku yang kabur. Aku melewati pintu kebun, dan menyusuri salah satu jalan setapak di hutan. Waktu itu kami tinggal di New Forest. Di ujung jalan itu ada semacam tempat terbuka, dengan jembatan kayu melintasi sebuah sungai kecil. Dan persis di samping jembatan itu berdiri seorang perempuan gipsi memakai saputangan merah di kepalanya tepat seperti yang kulihat dalam ? ?mimpiku. Aku langsung ketakutan. Dia menatapku... tatapannya sama seakan-akan dia Anjing Kematian The Hound Of Death And Other Stories 1933 Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo ?mengetahui sesuatu yang tidak kuketahui, dan merasa kasihan padaku... lalu dia berkata dengan suara perlahan, sambil menganggukkan kepala padaku, 'Kalau aku jadi kau, aku tidak akan lewat sana* Entah kenapa, aku jadi ketakutan setengah mati. Aku lari melewatinya, menuju jembatan. Tapi rupanya jembatan itu sudah lapuk, sebab dia roboh dan aku jatuh ke sungai. Aliran sungai itu cukup deras, dan aku hampir tenggelam. Ngeri sekali rasanya, hampir tenggelam seperti itu. Aku tak pemah melupakannya. Dan aku merasa semua itu gara-gara perempuan gipsi tersebut..." "Tapi sebenarnya kan dia memperingatkanmu supaya tidak lewat jembatan itu?" "Bisa dibilang begitu." Dickie diam sejenak, lalu melanjutkan. "Aku menceritakan mimpi ini padamu bukan karena mimpi itu ada kaitannya dengan apa 97 yang terjadi kemudian (setidaknya, kurasa tidak ada kaitannya), tapi karena itulah pemicunya. Sekarang kau mengerti, kan, apa yang kumaksud dengan 'perasaan ngeri pada gipsi'" Nah, akan kulanjutkan dengan malam pertama di rumah keluarga Lawes. Waktu itu aku baru saja kembali dari daerah pantai barat. Senang sekali rasanya, berada di Inggris lagi. Keluarga Lawes adalah teman-teman lama keluargaku. Aku tidak pemah bertemu lagi dengan kedua gadis keluarga itu sejak aku berumur sekitar tujuh tahun, tapi Arthur adalah sahabat baikku. Setelah dia meninggal, Esther suka menulis surat padaku dan mengirimiku surat kabar. Bagus sekali surat-surat yang ditulisnya! Sangat membangkitkan semangatku. Aku menyesali, kenapa aku tidak bisa balas menulis surat yang bagus untuknya. Aku sangat ingin bertemu dengannya. Aneh rasanya, mengenal baik seorang gadis cuma dari surat-suratnya, tanpa pernah bertemu. Nah, maka begitu pulang aku langsung pergi ke rumah keluarga Lawes. Esther sedang pergi ketika aku datang, tapi akan kembali malam itu. Aku duduk di samping Rachel saat makan malam, dan ketika aku memandang ke ujung meja panjang itu suatu perasaan aneh menyelimutiku. Aku merasa seseorang sedang mengawasiku, dan aku jadi merasa tidak nyaman. Lalu aku melihat wanita itu..." "Melihat siapa?" "Mrs. Haworth wanita yang kuceritakan padamu itu."?Macfarlane hampir-hampir berkata. "Tadi kupikir kau sedang bercerita tentang Esther Lawes." Tapi ia diam saja, dan Dickie melanjutkan. 98 "Ada sesuatu dalam dirinya, yang membuat dia sangat berbeda dari yang lainnya. Dia duduk di samping Mr. Lawes mendengarkan dengan sangat serius, kepalanya ?tertunduk. Dia memakai semacam syal merah dari bahan tulle di lehernya Syal itu sudah sobek, kurasa; pokoknya syal itu tegak di belakang kepalanya, seperti lidah api kecil... Aku berkata pada Rachel, 'Siapa wanita di sana itu" Yang berkulit gelap, dengan syal merah di lehernya"' '"Maksudmu Alistair Haworth" Dia memang memakai syal merah. Tapi kulitnya terang. Sangat terang.' "Dan ternyata benar. Rambutnya berwarna kuning pucat keemasan yang indah. Tapi aku berani sumpah dia berkulit gelap tadi. Aneh sekali, betapa mata bisa menipu... setelah makan malam, Rachel memperkenalkan kami, dan kami berjalan-jalan di kebun. Kami bercakap-cakap tentang reinkarnasi..." "Topik yang agak tidak biasa untukmu, Dickie." "Memang. Aku ingat, aku berkata reinkarnasi tampaknya merupakan alasan yang masuk akal untuk menjelaskan mengapa kadang kita merasa sudah kenal lama pada seseorang seolah-olah kita pernah bertemu dengan mereka. Lalu dia berkata. ?'Maksud Anda pasangan kekasih...* Ada yang aneh dalam cara dia mengatakannya nadanya lembut dan antusias. Mengingatkanku pada sesuatu, tapi ?entah apa. Kami melanjutkan bercakap-cakap, lalu Mr. Lawes memanggil dari teras. Katanya Esther sudah datang dan ingin menemuiku. Mrs. Haworth menaruh satu tangannya di lenganku dan berkata, 'Anda akan masuk"' 'Ya,' sahutku. 'Kurasa sebaiknya kita,' lalu... lalu..." 99 "Lalu apa?" "Kedengarannya konyol sekali. Mrs. Haworth berkata, "Kalau aku jadi Anda, aku tidak akan masuk ke dalam..."' Dickie diam sejenak. "Aku jadi ketakutan. Amat sangat ketakutan. Itu sebabnya aku menceritakan tentang mimpiku itu padamu... sebab dia mengatakannya dengan cara yang persis sama dengan sungguh-sungguh, ?seakan-akan dia tahu sesuatu yang tidak kuketahui. Saat itu dia bukan sekadar wanita cantik yang ingin aku tetap berada di kebun bersamanya. Suaranya bernada ramah .. dan sangat iba. Sepertinya dia tahu apa yang bakal terjadi... Kurasa apa yang kulakukan selanjutnya sangat kasar, tapi aku langsung berbalik dan meninggalkannya hampir-hampir lari ke dalam rumah. Sepertinya rumah itu ?menawarkan rasa aman bagiku. Saat itulah kusadari bahwa aku takut padanya sejak semula. Aku lega sekali bertemu dengan Mr. Lawes. Esther ada bersamanya..." Dickie ragu-ragu sejenak, lalu bergumam agak tidak jelas, "Jelas sudah... begitu melihatnya, aku tahu aku terpikat." Pikiran Macfarlane dengan cepat beralih pada Esther Lawes la pemah mendengar Esther digambarkan sebagai Kesempurnaan Yahudi setinggi enam kaki. Gambaran yang pintar, pikirnya, sambil teringat tinggi badan Esther yang tidak biasa, kerampingan tubuhnya, wajahnya yang seputih pualam, dengan hidung berbentuk halus, serta mata dan rambutnya " yang hitam indah. Ya, ia tidak heran kalau Dickie yang sederhana ini jadi terpikat Ia sendiri tidak akan pemah bisa berdebar-debar melihat Esther, tapi ia mengakui pesona penampilan gadis itu. 100 "Lalu kami bertunangan," Dickie melanjutkan. "Langsung?" "Yah, setelah sekitar satu minggu. Dua minggu kemudian, dia baru menyadari bahwa dia sama sekali tidak mencintaiku..." Dickie tertawa pahit. "Hari itu malam terakhir sebelum aku kembali ke kapal. Aku pulang dari desa melalui hutan dan saat itulah aku melihatnya Mrs. Haworth, maksudku. Dia ? ?mengenakan topi merah, dan sebentar... aku terperanjat! Aku sudah menceritakan ?mimpiku, jadi kau tentu mengerti... lalu kami berjalan bersama sedikit. Bukan berarti kami ingin merahasiakan apa-apa dari Esther..." "O ya?" Macfarlane menatap sahabatnya itu dengan heran. Aneh, orang suka menceritakan hal-hal yang mereka sendiri tidak menyadarinya! "Lalu, ketika aku berbalik untuk kembali ke rumah, dia menghentikanku. Katanya, "Tak lama lagi kau tiba di rumah. Kalau aku jadi kau. aku tidak akan cepat-cepat kembali..." lalu tahulah aku... bahwa ada sesuatu yang tidak menyenangkan menungguku... dan... begitu aku pulang, Esther mendatangiku dan mengatakan... bahwa dia ternyata tidak mencintaiku..." Macfarlane bergumam simpati. "Dan Mrs. Haworth?" tanyanya. "Aku tidak pemah bertemu lagi dengannya... sampai malam ini." "Malam ini?" "Ya. Di panti perawatan Dokter Johnny. Mereka memeriksa kakiku yang terluka gara-gara torpedo itu. Aku agak cemas belakangan ini. Si dokter DILARANG MENGKOMBRSILKAN!!! =kiageng80= menyarankan aku dioperasi cuma operasi kecil. Saat keluar dari sana, aku ?bertumbukan dengan seorang gadis yang mengenakan celemek merah menutupi seragam perawatnya, dan dia berkata, "Kalau aku jadi kau aku tidak akan menjalani operasi itu..." lalu kulihat ternyata gadis itu Mrs. Haworth. Dia lewat begitu cepat, sampai-sampai aku tak sempat menghentikannya. Aku berpapasan dengan perawat lain, dan kutanyakan tentangnya. Tapi kata perawat itu tidak ada suster bernama Haworth... Aneh..." "Kau yakin itu memang dia?" "Ya. Dia sangat cantik..." Dickie diam sejenak, kemudian menambahkan, "Aku tentu saja akan menjalani operasi itu, tapi... tapi seandainya aku mesti mati..." "Omong kosong." "Memang omong kosong. Tapi pokoknya aku senang sudah menceritakan padamu tentang masalah orang gipsi ini... sebenarnya masih ada lagi, kalau saja aku bisa mengingatnya..." II Macfarlane menapaki jalanan padang tandus yang curam itu Ia berbelok di gerbang rumah yang terletak di dekat puncak bukit. Sambil mengatupkan rahang, ia menarik bel pintu. ' "Apa Mrs. Haworth ada di rumah?" "Ya, Sir. Akan saya panggilkan beliau." Si gadis pelayan meninggalkannya di sebuah mangan rendah 102 dan panjang, dengan jendela-jendela yang memberikan pemandangan ke padang belantara yang liar. Macfarlane mengerutkan kening sedikit. Apa ia telah berbuat bodoh dengan datang kemari" Kemudian ia tersentak. Sebuah suara pelan tengah menyanyi di atas sana: "Si wanita gipsi Tinggal di padang belantara..." Lalu suara itu terhenti. Jantung Macfarlane berdetak sedikit lebih cepat. Pintu dibuka. Sosok putih mengagumkan wanita itu yang hampir-hampir berkesan ?Skandinavia membuat Macfarlene shock. Walau Dickie telah memberikan gambaran ?tentangnya, ia toh membayangkan wanita itu berkulit gelap seperti orang gipsi... dan sekonyong-konyong ia teringat apa yang dikatakan Dickie, serta nada aneh yang menyertainya "Dia sangat cantik. " Kecantikan yang sempurna dan tak perlu dipertanyakan lagi sangatlah jarang, dan kecantikan semacam itulah yang dimiliki Alistair Haworth. Macfarlene mengendalikan diri, dan melangkah ke arah wanita itu. "Saya rasa Anda tidak mengenal saya. Saya mendapatkan alamat Anda dari keluarga Lawes, tapi... saya teman Dickie Carpenter." Mrs. Haworth menatapnya lekat-lekat sesaat, kemudian berkata, "Saya hendak keluar. Ke padang belantara. Anda mau ikut?" Ia membuka jendela dan melangkah ke lereng . bukit. Macfarlene mengikutinya. Seorang pria gemuk 103 yang tampak agak bodoh sedang duduk di kursi rotan, sambil merokok. "Itu suami saya. Kami mau ke padang, Maurice, lalu Mr. Macfarlane akan ikut makan siang bersama kita. Anda bersedia, bukan?" 'Terima kasih banyak." Macfarlane mengikuti langkah ringan wanita itu mendaki bukit, dan ia berpikir dalam hati, "Kenapa" Astaga, kenapa dia menikah dengan orang seperti i/w?" Mrs. Haworth menghampiri sekumpulan batu karang. "Kita duduk di sini. Dan Anda bisa menyampaikan pada saya... apa yang ingin Anda sampaikan." "Anda sudah tahu?" "Saya selalu tahu kalau sesuatu yang buruk akan terjadi. Berita jelek, bukan" Tentang Dickie?" "Dia menjalani operasi kecil operasinya berhasil dengan baik. Tapi jantungnya ?rupanya lemah. Dia meninggal ketika masih di bawah pengaruh anestesi." Macfarlane tidak tahu pasti, ekspresi apa yang ia kira akan dilihatnya di wajah wanita itu yang jelas, bukan ekspresi kelelahan yang amat sangat itu... ?Didengarnya wanita itu bergumam, "Lagi-lagi menunggu begitu lama begitu ? ? ?lama..." Lalu ia mengangkat wajah. "Ya. Anda hendak mengatakan apa tadi?" "Hanya ini. Seseorang memperingatkannya untuk tidak menjalani operasi itu. Seorang perawat. Dia mengira perawat itu Anda. Benarkah?" Mrs. Haworth menggelengkan kepala. "Tidak, bukan saya. Tapi saya punya sepupu yang menjadi perawat. Dia agak mirip saya kalau dilihat dalam cahaya remangremang. Saya yakin dialah perawat 104 itu." Ia kembali menatap Macfarlane. "Itu tidak penting, bukan?" Kemudian sekonyong-konyong ia terbelalak, dan terkesiap. "Oh!" katanya. "Oh! Aneh sekali! Anda tidak mengerti..." Macfarlane merasa bingung. Mrs. Haworth masih terbelalak menatapnya. "Saya pikir Anda... Mestinya begitu. Sepertinya Anda juga memilikinya..." "Memiliki apa?" "Bakat itu kutukan itu terserah apa sebutannya. Saya yakin Anda memilikinya. ? ?Coba pandangi cekungan di batu-batu karang itu. Tak usah memikirkan apa-apa. pandangi saja... Ah!" Ia memperhatikan ekspresi kaget Macfarlane. "Nah... Anda melihat sesuatu?" "Pasti cuma imajinasi saya. Tadi sesaat saya melihat cekungan itu penuh darah!" Mrs. Haworth mengangguk. "Saya memang sudah yakin Anda mempunyai bakat itu Di tempat ini, para pemuja matahari dulu biasa mempersembahkan korban. Saya sudah tahu itu, sebelum ada orang yang mengatakannya pada saya Dan adakalanya saya tahu apa yang mereka rasakan tentang itu hampir-hampir seakan saya sendiri ?pemah berada di sana... dan ada sesuatu tentang padang belantara ini, yang membuat saya merasa seolah-olah saya telah kembali ke rumah... Tentu saja wajar kalau saya mempunyai bakat itu. Saya seorang Ferguesson. Keluarga saya punya bakat supranatural. Ibu saya seorang medium, sampai saat menikah dengan ayah saya. Namanya Cristing. Dia cukup terkenal." "Apakah yang Anda maksud 'bakat' itu adalah 105 kemampuan untuk melihat peristiwa sebelum mereka benar-benar terjadi?" "Ya, ke depan atau ke belakang sama saja. Misalnya, saya melihat Anda bertanya?tanya, kenapa saya menikah dengan Maurice ya, Anda memang bertanya?tanya sederhana saja. karena saya sudah tahu sejak dulu, bahwa ada bahaya ?mengerikan yang mengancam hidupnya... saya ingin menyelamatkan dia dari bahaya itu... wanita memang seperti itu. Dengan bakat saya, mestinya saya bisa mencegah bahaya itu terjadi., kalau memang bisa... tapi saya tak bisa menolong Dickie. Dan Dickie tidak akan mengerti... dia ketakutan. Dia masih sangat muda." "Dua puluh dua tahun " "Dan saya tiga puluh tahun. Tapi bukan itu maksud saya. Begitu banyak cara untuk terbagi, melalui panjang, tinggi, dan lebar... tapi terbagi oleh waktu adalah yang paling menyedihkan..." la terdiam lama dan muram. Suara berat gong dari arah rumah di bawah menyadai kan mereka. Saat makan siang, Macfarlane memandangi Maurice Haworth. Pria itu jelas-jelas sangat mencintai istrinya. Ada pancaran sayang dan bahagia yang tulus di matanya, seperti seekor anjing. Macfarlane juga memperhatikan kelembutan respons Mrs. Haworth terhadap suaminya, yang agak berkesan keibuan. Setelah makan siang, ia mohon diri. "Saya menginap di losmen untuk sehari-dua hari. Boleh saya datang menemui Anda lagi" Besok, barangkali?" 'Tentu boleh. Tapi..." 106 Mrs. Haworth menyapukan tangan dengan cepat di matanya. "Entahlah. Saya... saya merasa kita seharusnya tidak bertemu lagi itu saja... Sampai jumpa."?Macfarlane berjalan perlahan-lahan. Entah kenapa, sebuah tangan yang terasa dingin seakan-akan mempererat cengkeraman di hatinya. Tidak ada maksud apa-apa dalam ucapan wanita itu, tapi... Sebuah motor melaju dari sudut jalan. Macfarlane merapatkan diri di tanaman pagar... tepat pada waktunya. Wajahnya menjadi pucat... III "Ya Tuhan, sarafku tegang sekali," gerutu Macfarlane ketika terbangun keesokan paginya. Ia mengingat-ingat kembali berbagai peristiwa siang sebelumnya dengan kepala dingin. Motor yang hampir menabraknya, jalan pintas menuju losmen, dan kabut yang turun mendadak, yang membuat ia kehilangan arah dan menyadari bahwa ada rawa berbahaya tidak jauh di depannya. Kemudian pipa cerobong asap >ang jatuh di losmen, dan bau terbakar di malam hari, yang ternyata berasal dari bara api di keselnya. Itu bukan pertanda apa-apa! Sama sekali bukan tapi ucapan ?wanita itu, dan kepastian mendalam yang tak ingin ia akui di hatinya bahwa wanita itu tahu Macfarlane menyibakkan selimutnya dengan semangat yang muncul tiba-tiba. la hams bangun dan segera menemui wanita itu. Agar kutukan itu lepas 107 darinya. Itu kalau ia bisa tiba di sana dengan selamat... Ya Tuhan, betapa bodohnya ia! Ia hanya sarapan sedikit. Pukul sepuluh pagi ia sudah menyusuri jalanan. Pukul setengah sebelas tangannya sudah hendak memencet bel pintu rumah wanita itu. Kemudian, baru pada saat itulah ia mengizinkan dirinya menarik napas panjang penuh kelegaan. "Apa Mr. Haworth ada di rumah?" Yang membukakan pintu adalah wanita tua yang sama itu, tapi wajahnya berbeda wajahnya dipenuhi kesedihan yang amat sangat. ?"Oh, Sir, oh. Sir, kalau begitu, Anda belum dengar?" "Dengar apa?" "Miss Alistair yang cantik. Semua gara-gara obatnya. Dia meminumnya setiap malam. Kapten yang malang itu sangat kalut, dia hampir-hampir jadi sinting. Kapten mengambil botol yang salah dari rak, karena gelap. Mereka memanggil dokter, tapi sudah terlambat..." Seketika Macfarlane teringat ucapan Mrs. Haworth kemarin, "Saya sudah tahu sejak dulu, bahwa ada bahaya mengerikan yang mengancam hidupnya. Mestinya saya bisa mencegah bahaya itu terjadi kalau memang bisa..." Ah, tapi orang tak bisa menipu?Takdir... Kefatalan visi yang aneh, yang menghancurkan saat hendak menyelamatkan... Pelayan tua itu melanjutkan, "Nyonya saya yang cantik! Dia begitu manis dan lembut, dan selalu merasa iba pada siapa pun yang mendapat kesusahan. Dia tak pemah bisa melihat orang lain menderita." Ia ragu-ragu, kemudian menambahkan, "Anda mau 108 masuk melihatnya, Sir" Saya rasa, dari apa yang dikatakannya, Anda pasti sudah mengenalnya lama berselang. Dulu, dulu sekali, katanya..." Macfarlane mengikuti wanita tua itu naik tangga, masuk ke mangan di atas ruang Anjing Kematian The Hound Of Death And Other Stories 1933 Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo duduk tempat ia mendengar suara yang menyanyi itu kemarin. Ada kaca berwarna di bagian atas jendela-jendela. Kaca itu memantulkan cahaya merah di bagian kepala tempat tidur... seorang gipsi dengan saputangan merah di kepalanya... Omong kosong, saraf-sarafnya lagi-lagi mempermainkan dirinya. Macfarlane menatap lama sosok Alistair Haworth untuk terakhir kali. IV "Ada seorang wanita ingin menemui Anda, Sir." "Eh?" Macfarlane menatap kosong pada induk semangnya. "Oh, maaf, Mrs. Rowse, saya suka melihat hantu belakangan ini." "Benarkah, Sir" Saya tahu, banyak hal-hal aneh yang bisa dilihat di padang belantara sesudah malam turun. Ada wanita bergaun putih, pandai besi Setan, si pelaut dan orang gipsi..." "Apa" Pelaut dan orang gipsi?" "Begitulah kata orang, Sir. Cerita itu cukup terkenal pada zaman saya masih muda. Kabarnya mereka saling jatuh cinta, lama berselang.. Tapi mereka sudah lama tidak gentayangan lagi sekarang." 'Tidak lagi" Saya jadi ingin tahu, barangkali... sekarang mereka akan mulai muncul lagi..." 109 "Astaga, Sir, ada-ada saja Anda ini! Tentang wanita muda itu..." "Wanita muda apa?" "Yang menunggu untuk menemui Anda. Dia ada di mang duduk. Katanya namanya Miss Lawes." "Oh!" Rachel! Macfarlane merasakan suatu kontraksi yang aneh, pergeseran perspektif. Sejauh ini ia telah memandang ke sebuah dunia lain. Ia telah melupakan Rachel, sebab tempat Rachel hanyalah dalam kehidupan ini... Lagi-lagi pergeseran perspektif yang aneh itu, perpindahan kembali ke dalam dunia yang hanya berupa tiga dimensi. la membuka pintu mang duduk. Rachel dengan sepasang mata cokelatnya yang jujur. ? Dan sekonyong-konyong, seperti orang terbangun dari mimpi, perasaan bahagia yang hangat menyapu dirinya. Ia hidup hidup! Ia berpikir. "Hanya satu kehidupan ?yang bisa dipastikan manusia. Kehidupan yang sedang dijalani ini!" "Rachel!" katanya, lalu diangkatnya dagu gadis itu dan dikecupnya bibirnya. 110 Lampu Rumah itu jelas sebuah rumah tua. Lingkungan sekitarnya pun tua, dengan kesan "lama" berwibawa yang angkuh, seperti sering dijumpai di sebuah kota katedral. Tapi rumah No. 19 memberi kesan lebih tua di antara yang tua; rumah itu menampilkan keseriusan patriarkat yang sangat menonjol; bangunannya menjulang paling kelabu di antara yang kelabu, paling angkuh dari yang angkuh, paling dingin dari yang dingin. Tenang, menciutkan, dan menampilkan kesan sunyi yang umum melekat pada rumah-rumah yang sudah lama tidak dihuni, rumah itu mendominasi rumah-rumah lainnya. Di kota lain, rumah itu pasti akan diberi label "berhantu", namun di Weyminster hantu-hantu dianggap tabu, dan sama sekali tidak pantas disebutkan, kecuali kalau berkaitan dengan sebuah "keluarga terhormat di desa." Maka No. 19 tak pemah disebut-sebut sebagai rumah berhantu, namun tahun demi tahun rumah itu tetap belum laku disewa ataupun dijual. Mrs. Lancaster memandangi rumah itu dengan perasaan senang, saat ia tiba bersama agen rumah yang 111 cerewet itu. Si agen lebih ceria daripada biasanya, membayangkan kali ini ia berkesempatan menyingkirkan rumah No. 19 ini dari daftarnya. Sambil memasukkan kunci ke lubang pintu, ia tak juga berhenti mencelotehkan puji-pujiannya atas rumah tersebut. "Sudah berapa lama rumah ini tak berpenghuni?" tanya Mrs. Lancaster, memotong celotehan si agen dengan agak ketus. Mr. Raddish (dari Raddish and Foplow) menjadi agak bingung. "Eh... eh... sudah beberapa lama," sahutnya dengan halus. "Sudah saya duga," kata Mrs. Lancaster dengan nada biasa. Lorong yang diterangi cahaya remang-remang terasa dingin, dengan aura tak menyenangkan. Wanita yang lebih imajinatif mungkin akan merinding, tapi Mrs. Lancaster kebetulan orang yang sangat praktis. Ia bertubuh jangkung, dengan rambut cokelat tebal yang sudah sedikit kelabu, dan sepasang mata biru yang agak dingin. Ia memeriksa rumah itu dari loteng hingga ke mang bawah tanahnya, sesekali mengajukan pertanyaan yang relevan. Selesai memeriksa, ia kembali ke salah satu mang depan yang menghadap ke jalan, dan menatap sang agen dengan sikap tegas. "Ada apa dengan mmah ini?" Mr. Raddish terperanjat oleh pertanyaan itu. "Rumah tanpa perabotan memang selalu berkesan agak suram." sahutnya dengan tidak meyakinkan. "Omong kosong," kata Mrs. Lancaster. "Sewanya terlalu murah untuk mmah semacam ini benar-benar ? 112 murah. Pasti ada sebabnya. Saya rasa mmah ini berhantu?" Mr. Raddish agak tersentak, tapi tidak mengatakan apa-apa. Mrs. Lancaster memandanginya dengan tajam. Beberapa saat kemudian, ia kembali bicara. "Tentu saja semua itu cuma omong kosong. Saya tidak percaya pada hantu dan semacamnya. Dan terus terang, itu tidak akan menghalangi saya untuk menyewa mmah ini: tapi sayangnya para pelayan mudah percaya pada cerita-cerita semacam itu, dan gampang sekali ketakutan. Saya mohon Anda menceritakan pada saya, apa adanya... apa sebenarnya yang menghantui tempat ini." "Saya... eh... saya benar-benar tidak tahu," si agen rumah menjawab terbata-bata. "Saya yakin Anda tahu," kata Mrs. Lancaster dengan suara pelan. "Saya tidak bisa menyewa mmah ini tanpa mengetahui kisahnya. Ada peristiwa apa dulu di sini" Pembunuhan?" "Oh! Bukan," seru Mr. Raddish, yang sangat terkejut mendengar hal seperti itu dituduhkan pada lingkungan terhormat ini. "Rumah ini... cuma... ada anak kecilnya." "Anak kecil?" "Ya." "Saya tidak tahu persis ceritanya," ia melanjutkan dengan enggan. "Banyak versi cerita yang beredar, tapi saya dengar sekitar tiga puluh tahun yang lalu. seorang laki-laki bernama Williams tinggal di No. 19 ini. Tidak ada yang tahu asal-usulnya; dia tidak punya pelayan, tidak punya teman, dan jarang keluar 113 rumah pada siang hari. Dia punya seorang anak laki-laki. Setelah tinggal di rumah ini sekitar dua bulan, dia berangkat ke London. Belum lama berada di kota itu, dia dikenali sebagai orang yang 'dicari-can* oleh polisi, untuk tuduhan tertentu entah apa persisnya, saya tidak tahu. Tapi pasti tuduhan yang ?ditimpakan padanya berat, sebab dia memilih menembak dirinya sendiri daripada menyerahkan diri. Sementara itu, anaknya masih tinggal di rumah ini, sendirian. Untuk sementara, dia masih punya makanan. Hari demi hari dia menunggu ayahnya kembali. Sialnya, dia sudah diajari untuk tidak boleh keluar mmah atau bicara dengan siapa pun, dalam keadaan apa pun. Anak itu lemah, sakit-sakitan, dan kecil sekali, dan dia tidak berani melanggar perintah ayahnya itu. Di malam hari, para tetangga yang tidak tahu ayahnya sudah pergi, sering mendengar si anak terisak-isak di mmah kosong yang sunyi dan hampa ini." Mr. Raddish diam sejenak "Dan... eh... anak itu akhirnya mati kelaparan," ia mengakhiri ceritanya dengan nada yang sama seperti kalau hendak mengatakan bahwa hujan baru saja turun. "Dan menurut cerita, hantu anak itulah yang menghantui mmah ini?" tanya Mrs. Lancaster. "Tapi itu tidak penting," Mr. Raddish lekas-lekas meyakinkan Mrs. Lancaster. "Belum pemah ada yang melihat apa pun. cuma omongan orang saja; konyol, memang, lapi mereka bilang mereka suka mendengar... anak itu... menangis." Mrs. Lancaster beranjak ke arah pintu depan. 114 "Saya sangat menyukai mmah ini." katanya. "Dan sewanya pun murah sekali. Saya akan pikir-pikir dulu, nanti saya akan memberi kabar pada Anda." "Sekarang sudah kelihatan ceria, bukan. Papa?" Mrs. Lancaster memandangi mmah barunya dengan senang. Keset-keset berwarna cerah, perabot yang dipoles mengilap, dan banyak pemak-pemik lainnya, telah sangat mengubah kesan suram di mmah No. 19 ini. Yang diajak bicara olehnya adalah seorang laki-laki tua kurus dan bungkuk, dengan bahu landai serta wajah halus berkesan mistis. Mr. Winbum sama sekali tidak mirip dengan anak perempuannya ini. Rasanya tak ada yang lebih kontras daripada sifat tegas dan praktis Mrs. Lancaster dengan sifat pemimpi ayahnya itu. "Ya," Mr. Winbum menjawab dengan tersenyum "Tidak akan ada yang mengira mmah ini berhantu." "Papa. jangan bicara yang tidak-tidak' Apalagi pada hari pertama kita di sini." Mr. Winbum tersenyum. "Baiklah, Sayang, kita sepakat saja, bahwa yang namanya hantu itu tidak ada." "Dan tolong jangan bilang apa pun di depan Geoff," Mrs. Lancaster melanjutkan "Anak itu sangat imajinatif." Geoff adalah anak laki-laki Mrs. Lancaster. Keluarga mereka terdiri atas Mr. Winburn. Mrs. Lancaster yang sudah menjanda, dan Geoffrey. Hujan mulai tumn menerpa jendela -lik tik tik tik tik tik. 115 "Dengar," kata Mr. Winburn. "Bunyinya seperti langkah-langkah kaki kecil, ya?" "Lebih seperti suara hujan," kata Mrs. Lancaster dengan tersenyum. "Tapi itu, itu suara langkah kaki," seru ayahnya, mencondongkan tubuh untuk mendengarkan. Mrs. Lancaster tertawa keras. Mr. Winbum jadi tertawa juga. Waktu itu mereka sedang minum teh di mang utama, dan Mr. Winbum duduk bersandar pada tangga. Sekarang ia memutar kursinya menghadap tangga itu. Si kecil Geoffrey turun dari mang atas, dengan langkah agak pelan dan hati-hati, sikapnya khas sikap anak kecil yang terpesona pada tempat baru. Anak-anak tangga itu terbuat dan kayu ck berpelitur, dan tidak dialasi karpet. Geoff berjalan sedikit dan berdiri di samping ibunya. Mr. Winbum tersentak sedikit. Saat Geoff melintasi mangan, samar-samar ia mendengar suara langkah kaki lain di anak tangga, seperti ada yang mengikuti Geoffrey. Langkah-langkah kaki yang terseretseret, dan kedengaran sangat menyedihkan. Lalu Mr. Winbum angkat bahu, seperti hendak menepiskan kesan itu. "Pasti cuma suara hujan," pikirnya. "Aku sedang lihat-lihat kue." kata Geoff dengan gaya sambil lalu, seperti orang yang sekadar menyampaikan sebuah fakta yang menarik. Ibunya lekas-lekas menyambut ucapannya itu. "Nah, Nak, kau suka, tidak, dengan mmah bammu ini?" tanyanya "Suka sekali," sahut Geoffrey dengan mulut penuh kue. "Suka amat sangat suka." Setelah mengucapkan 116 kalimat terakhir itu, yang rupanya menyatakan perasaan puas yang amat sangat, ia terdiam, sibuk berusaha memasukkan seluruh kue itu ke mulutnya secepat mungkin. Setelah menelan suapan terakhir, ia berceloteh lagi. "Oh, Mummy, kata Jane di sini ada loteng; aku boleh naik lihat-lihat, ya" Dan mungkin ada pintu rahasia. Kata Jane tidak ada, tapi kupikir pasti ada. Dan aku yakin ada pipa, pipa-pipa air (wajahnya senang sekali). Aku boleh main-main dengan pipa-pipa itu, ya, dan... oh! Boleh aku lihat tangki pemanasnya?" Ia mengucapkan kata terakhir itu dengan sangat gembira, hingga kakeknya merasa malu karena saat mendengar antusiasme anak kecil itu, yang muncul dalam bayangannya justru air panas yang tidak panas, serta tagihan tukang ledeng yang mahal dan banyak. "Besok kita melihat-lihat loteng, Sayang," kata Mrs. Lancaster. "Sekarang bagaimana kalau kau mengambil kotak-kotak mainanmu, dan membuat mmah, atau mobil?" 'Tidak mau bikin umah." "flumah." "Rumah, atau mobil juga tidak mau " "Buat tangki pemanas saja, kalau begitu," kakeknya menyarankan. Wajah Geoffrey menjadi cerah. "Dengan pipa-pipa sekalian?" "Ya, dengan banyak pipa." Dengan gembira Geoffrey lan untuk mengambil kotak-kotak mainannya. 117 Hujan masih terns turun. Mr. Winbum memasang telinga. Ya, pasti yang didengarnya tadi itu suara hujan, tapi kedengarannya seperti suara langkah kaki. Malam itu ia bermimpi aneh. Ia bermimpi tengah berjalan di sebuah kota, sepertinya kota besar. Tapi kota itu hanya dihuni oleh anak-anak; tidak ada orang dewasa di sana, hanya ada anakanak, banyak sekali. Dalam mimpinya, mereka semua lari menghampirinya sambil berseru, "Anda sudah membawa dia?" Sepertinya ia memahami maksud mereka, dan ia menggelengkan kepala dengan sedih. Melihat ini, anak-anak itu berbalik dan mulai menangis, terisak-isak sangat sedih. Kemudian kota dan anak-anak itu mengabur, dan ia terbangun, mendapati dirinya berada di tempat tidur, namun suara isakan itu masih terngiang-ngiang di telinganya. Meski sudah benar-benar terjaga, ia masih mendengar suara isakan itu dengan sangat jelas; lalu ia ingat bahwa Geoffrey tidur di lantai bawah, sementara suara isakan anak kecil ini berasal dari atas. Mr. Winbum duduk tegak dan menyalakan korek api. Dengan segera suara isakan itu berhenti. Mr. Winbum tidak menceritakan mimpinya ataupun kejadian berikutnya pada anak perempuannya. Ia yakin, apa yang didengarnya itu bukan sekadar imajinasinya belaka; bahkan tak lama kemudian ia kembali mendengar suara isakan itu pada siang hari. Angin tengah melolong melalui cerobong asap, tapi suara isakan itu sama sekali berbeda sangat jelas, tak mungkin keliru; suara isakan anak kecil ?yang menyedihkan dan memilukan. 118 Mr. Winbum juga mendapati bahwa ia bukan satu-satunya orang yang mendengar suara-suara tersebut. Ia mendengar pelayan mmah berkata pada pelayan satunya bahwa ia menganggap pengasuh anak tidak terlalu ramah pada Master Geoffrey, sebab ia mendengar anak itu menangis sedih sekali tadi pagi. Padahal Geoffrey turun untuk sarapan dan makan siang dalam keadaan sehat dan berseri-seri. Mr. Winbum tahu, bukan Geoff yang menangis, melainkan anak satunya itu, yang telah mengejutkannya lebih dari sekali, dengan langkah-langkah kakinya yang terseretseret itu. Hanya Mrs. Lancaster yang tidak pernah mendengar apa-apa. Barangkali telinganya tidak peka untuk menangkap suara-suara dari dunia lain. Tapi suatu hari ia pun mendapat kejutan. "Mummy," kata Geoff dengan nada sedih. "Aku boleh ya, main dengan anak lelaki itu." Mrs. Lancaster mengangkat wajah dari mejanya dengan tersenyum. "Anak lelaki yang mana. Sayang?" "Aku tidak tahu namanya. Dia ada di loteng duduk sambil menangis di lantai, tapi dia lari waktu melihatku. Mungkin dia malu (nadanya agak mencemooh), tidak seperti anak yang sudah besar, lalu waktu aku sedang main di kamarku, kulihat dia berdiri di pintu, mengawasiku. Dia kelihatannya kesepian sekali, dan sepertinya dia ingin main denganku. Aku bilang, 'Sini, kita bikin mobil,' tapi dia tidak menjawab, cuma memandangiku seperti... seperti melihat cokelat yang banyak, tapi tidak berani pegang karena dilarang Mummy-nya." Geoff mendesah, tampaknya tengah membayangkan pemandangan-pe-119 mandangan menyedihkan yang dilihatnya. "Tapi waktu aku tanya pada Jane, siapa dia, dan kubilang aku ingin main dengannya, Jane bilang tidak ada anak kecil di mmah ini, dan katanya aku tidak boleh cerita yang tidak-tidak. Aku tidak suka Jane." Mrs. Lancaster bangkit dari kursinya. "Jane benar. Tidak ada anak kecil di sini." 'Tapi aku melihatnya. Oh! Mummy, boleh ya aku main dengan dia, dia kesepian sekali, dan sedih. Aku ingin membantu dia supaya dia lebih senang." Mrs. Lancaster hendak berbicara lagi, tapi ayahnya menggelengkan kepala. "Geoff," kata Mr. Winburn dengan lembut, "anak kecil yang malang itu memang kesepian, dan barangkali kau bisa menolong menghiburnya; tapi kau mesti menemukan sendiri caranya seperti memecahkan teka-teki... kau mengerti?" ?"Apa karena aku sudah mulai besar, aku mesti melakukannya sendirian?" "Ya, karena kau sudah mulai besar." Setelah Geoff keluar dari mangan itu, Mrs. Lancaster menoleh pada ayahnya dengan sikap tak sabar. "Papa, ini keterlaluan sekali. Mendorong anak itu untuk percaya cerita para pelayan yang tidak-tidak." 'Tidak ada pelayan yang bicara tidak-tidak padanya," kata Mr. Winbum dengan lembut. "Dia telah melihat., apa yang pemah kudengar, apa yang mungkin bisa kulihat kalau aku masih seusianya." Anjing Kematian The Hound Of Death And Other Stories 1933 Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo 'Tapi ini sangat tidak masuk akal! Kenapa aku tidak melihat atau mendengar apa pun?" Mr. Winbum tersenyum, senyum lelah yang aneh, tapi tidak menjawab. 120 "Kenapa?" ulang Mrs. Lancaster. "Dan kenapa Papa bilang dia bisa menolong... makhluk itu" Itu... itu sungguh tidak masuk akal" Mr. Winbum yang tua itu menatap anak perempuannya dengan penuh perhatian. "Kenapa tidak?" katanya "Apa kau ingat kata-kata ini: 'Lampu apa vang dimiliki sang Takdir untuk membimbing Anak-anaknya yang tersandung-sandung dalam Gelap" 'Pemahaman Buta.' sahut Langit "Geoffrey memiliki hal yang satu itu pemahaman buta. Semua anak kecil ?memilikinya. Kita kehilangan kemampuan itu setelah dewasa, sebab kita menepiskannya. Kadang, kalau kita sudah sangat tua, secercah cahaya samar kembali pada kita, namun Lampu itu menyala paling terang saat kita masih kanakkanak. Itu sebabnya kupikir Geoffrey mungkin bisa membantu." "Aku tidak mengerti," gumam Mrs. Lancaster dengan suara pelan. "Aku pun tidak. Anak itu sedang mendapat kesulitan, dan ingin... ingin minta dibebaskan. Tapi bagaimana caranya" Aku tidak tahu, tapi... menyedihkan sekali membayangkan dia... terisak-isak begitu memilukan seorang anak kecil.?" ?Sebulan setelah percakapan tersebut, Geoffrey sakit parah. Angin yang berembus dari timur memang 121 sangat keras, dan ia bukan anak yang kuat Dokter menggeleng-gelengkan kepala, dan mengatakan kasus ini berat. Kepada Mr. Winbum sang dokter bicara lebih banyak, dan mengakui bahwa sepertinya sudah tidak ada harapan lagi. "Anak itu memang tidak akan berumur panjang, dalam keadaan apa pun," tambahnya. "Paru-parunya sudah lama bermasalah." Pada saat sedang merawat Gcoff-lah Mrs. Lancaster bam menyadari keberadaan... anak satunya itu. Mulanya suara isakan-isakannya hanya terdengar samar-samar di tengah deru angin, tapi lambat laun suara itu jadi semakin jelas, semakin tak mungkin tersamarkan. Akhirnya ia mendengarnya pada saat suasana benar-benar sunyi: suara isakan seorang anak kecil monoton, sedih, memilukan. ?Keadaan GeotT semakin parah, dan dalam tidurnya ia berkali-kali mengigau tentang "anak lelaki kecil itu" "Aku ingin menolongnya pergi, aku ingin menolongnya!" serunya. Igauan itu diikuti oleh keadaan apatis. Geoffrey berbaring sangat diam, hampirhampir tak bernapas, tatapannya menerawang. Tak ada yang bisa dilakukan, selain menunggu dan mengawasi. Lalu suatu malam angin berhenti bertiup; suasana sunyi, jernih dan tenang. Sekonyong-konyong Geoffrey bergerak. Kedua matanya membuka. Ia memandang ke arah pintu yang terbuka, melewati ibunya. Ia mencoba berbicara, dan ibunya membungkuk untuk menangkap kata-katanya yang diucapkan dengan setengah berbisik. "Baik, aku datang," bisiknya, lalu terkulai kembali di tempat tidurnya. Sekonyong-konyong ibunya merasa sangat takut. Ia mendatangi ayahnya. Di suatu tempat di dekat mereka, seorang anak lain tertawa. Suara tawanya begitu bahagia, puas, penuh kemenangan, dan jernih, menggema di seluruh mangan. "Aku takut, aku takut," erang Mrs. Lancaster. Ayahnya merangkulnya dengan sikap protektif. Embusan angin kencang yang datang mendadak, mengejutkan mereka, tapi angin itu berlalu cepat, dan udara kembali tenang, seperti sebelumnya. Suara tawa tadi sudah berhenti, dan samar-samar mereka mendengar suara samar, begitu samar hingga nyaris tak terdengar, namun kemudian semakin keras, hingga mereka bisa menangkapnya. Suara langkah-langkah kaki ringan, pergi bergegas.?Tik tik tik, tik tik tik, bunyinya bunyi langkah-langkah kaki kecil yang ragu?ragu dan sudah amat dikenal itu. Namun sekarang ada suara langkah-langkah kaki lain yang sekonyong-konyong mengikutinya, bergerak dengan langkah lebih cepat dan lebih ringan. Bersamaan keduanya menuju pintu. Terus, terus, terus, melewati pintu, mendekati Mrs Lancaster dan ayahnya, tik tik tik, tik tik tik, langkah-langkah kaki kedua anak itu bersama-sama Mrs. Lancaster mengangkat wajah dengan panik "Mereka berdua berduaV ?Pucat oleh perasaan ngeri, ia berbalik ke arah tempat tidur kecil di sudut sana, namun ayahnya mt nahannya dengan lembut, dan menunjuk. "Di sana," katanya. 122 123 Tik tik tik, tik tik tik semakin pelan dan semakin pelan. ?Sesudah itu... tak terdengar apa pun lagi. 124 Radio "Terutama hindari merasa cemas dan terlalu tegang," kata Dr. Meynell, dengan gaya santai yang umum diperlihatkan para dokter. Seperti umumnya orang-orang yang mendengar ucapan menenangkan yang tidak ada manfaatnya itu, Mrs. Hartcr malah jadi tampak semakin ragu, bukannya lega. "Anda punya kelemahan kardiak," sang dokter melanjutkan dengan lancarnya, "tapi tak usah cemas. Anda boleh yakin itu." Lalu ia menambahkan, "Tapi sebaiknya Anda memasang lift saja. Eh" Bagaimana?" Mrs. Harter tampak cemas. Sebaliknya, Dr. Meynell tampak senang dengan sarannya sendiri. Ia lebih suka melayani pasien-pasien kaya daripada yang miskin, sebab pada pasien-pasien kaya ia bisa memuaskan imajinasinya yang aktif, sambil memberikan resep untuk penyakit mereka, "Ya, lift," kata Dr. Meynell. sambil mencoba memikirkan saran lain yang lebih hebat lagi lapi gagal. "Dengan begitu, Anda bisa menghindari kelelahan yang tidak perlu. Boleh berolahraga sedikit pada hari 125 cerah, tapi hindari jalan-jalan mendaki bukit Dan terutama," ia menambahkan dengan senang, "mesti banyak-banyak mengalihkan pikiran pada hal-hal yang menyenangkan. Jangan terus memikirkan kesehatan \nda." Sang dokter bicara agak lebih eksplisit pada Charles Ridgeway, keponakan wanita tua itu. "Jangan salah paham," katanya. "Bibi Anda bisa dan mungkin akan hidup bertahuntahun lagi. Tapi dia juga bisa meninggal mendadak kalau mengalami shock atau kelelahan berlebihan" Ia menjentikkan jemarinya. "Dia mesti menjalani kehidupan yang sangat tenang. Tidak boleh banyak kegiatan. Tidak boleh capek. Tapi, terutama, dia tidak boleh dibiarkan bermurung-murung. Dia mesti selalu dibuat ceria dan pikirannya senang." "Senang?" kata Charles Ridgeway dengan penuh perhatian. Charles memang pemuda yang penuh perhatian. Ia juga pemuda yang suka mencari jalan untuk memenuhi tujuan-tujuannya sendin, setiap ada kesempatan. Sore itu ia menyarankan memasang radio di mmah tersebut. Mrs. Harter, yang sudah merasa cemas memikirkan saran dokter untuk memasang lift, merasa tak senang dan tidak bersedia Tapi Charles pintar bicara dan membujuk. "Aku tidak suka dengan benda-benda modem ini," kata Mrs. Harter dengan nada mengiba. "Gelombangnya, kau tahu kan gelombang listriknya. Bisa saja gelombang?itu mempengaruhiku." 126 Dengan sikap superior dan ramali, Charles menegaskan betapa tidak masuk akal alasan bibinya itu. Mrs. Harter tidak tahu banyak tentang benda yang menjadi topik pembicaraan mereka, tapi ia bersikeras mempertahankan pendapatnya sendiri, dan ia tetap merasa tidak yakin. Segala gelombang listrik itu," gumamnya takut-takut. "Kau boleh bicara sesukamu. Charles, tapi ado orang-orang yang mengalami akibat gelombang listrik itu. Aku selalu merasakan sakit kepala hebat kalau akan ada hujan badai. Aku tahu itu." Ia mengangguk-anggukkan kepala dengan sikap penuh kemenangan. Tapi Charles adalah pemuda yang sabar. Juga berkemauan keras. "Bibi Mary tersayang," katanya, "biar kujelaskan hal ini pada Bibi." Ia tahu banyak tentang subjek tersebut, dan sekarang ia memberikan kuliah panjang lebar, dengan penuh semangat ia bicara tentang katup-katup pemancar, frekuensi tinggi dan frekuensi rendah, amplifier dan kondenser. Mrs. Harter, diserang bertubi-tubi oleh berbagai kata yang tidak dipahaminya, akhirnya menyerah. "Baiklah, Charles," gumamnya, "kalau kaupikir..." "Bibi Mary tersayang," kata Charles dengan antusias, "benda itu cocok sekali untuk Bibi, bisa membantu Bibi merasa gembira." Lift yang disarankan oleh Dr. Meynell dipasang tak lama kemudian, dan hampir saja membawa ke matian pada Mrs Harter. Seperti banyak wanita tua lainnya, ia sangat tidak suka melihat orang-orang tak 127 dikenal mondar-mandir di dalam rumahnya. Ia mencurigai mereka semua, mengira mereka berniat mencuri perlengkapan peraknya yang berharga. Setelah lift dipasang, giliran radio datang. Mrs. Harter ditinggalkan sendirian untuk mengamat-amati benda memuakkan itu memuakkan baginya. Sebuah kotak besar ?yang jelek bentuknya, dan penuh dengan tombol-tombol. Dengan penuh semangat, Charles berusaha membuat bibinya menerima benda itu. Charles begitu antusias. Ia memutar-mutar tombol-tombol itu, sambil terus berceloteh dengan riangnya. Mrs. Harter duduk di kursinya yang berpunggung tinggi, sabar dan sopan, namun dengan keyakinan tak tergoyahkan bahwa segala penemuan baru yang konyol ini tidak lebih dari gangguan-gangguan belaka. "Dengar, Bibi Mary, kita sedang mendengarkan Berlin. Hebat, bukan" Bibi bisa mendengar orang ini?" "Aku tidak bisa mendengar apa-apa. kecuali suara dengung dan derak," sahut Mrs. Harter. Charles masih terus memutar-mutar tombol-tombol. "Brussels," katanya dengan antusias. "Masa?" kata Mrs. Harter dengan sedikit sekali minat dalam suaranya. "Sekarang tampaknya kita sedang mendengarkan Dogs' Home, ya?" kata Mrs. Harter, yang walaupun sudah tua namun punya rasa humor juga "Ha ha!" kata Charles, "Bibi bisa bercanda juga rupanva, ya" Bagus sekali!" Mrs. Harter mau tak mau tersenyum padanya. Ia sangat suka pada Charles. Selama beberapa tahun 128 yang lalu. seorang keponakan perempuan. Miriam Harter, tinggal bersamanya. Ia bermaksud menjadikan gadis itu ahli warisnya, tapi Miriam ternyata tidak memuaskan. Ia tak sabaran dan jelas-jelas merasa bosan dengan lingkungan pergaulan bibinya. Ia selalu keluar mmah, "keluyuran", menurut istilah Mi s. Harter. Akhirnya ia terlibat hubungan cinta dengan seorang pemuda yang sama sekali tidak disetujui Mrs. Harter. Maka Miriam pun dikembalikan pada ibunya, dengan sepucuk catatan singkat, seakan-akan gadis itu adalah barang yang dikirim untuk dinilai. Miriam menikah dengan pemuda itu, dan Mrs. Harter biasanya mengirimkan kotak saputangan atau hiasan meja pada hari Natal. Merasa kecewa pada keponakan perempuan, Mrs. Harter mengalihkan perhatian pada keponakan laki-laki. Sejak awal, Charles sudah merupakan calon tak tertandingi. Ia selalu bersikap hormat, mau mendengarkan dengan sikap penuh minat kalau bibinya sedang menceritakan masa mudanya. Dalam hal ini, ia sangat berbeda dengan Miriam, yang jelas-jelas merasa bosan dan tak segan-segan menunjukkannya. Charles tak pemah bosan, ia selalu tenang, selalu riang. Dalam sehari, berkalikali ia mengatakan pada bibinya, bahwa bibinya itu seorang wanita tua yang amat sangat luar biasa Merasa sangat puas dengan keponakan yang satu ini. Mrs. Harter menulis surat pada pengacaranya, memberi instruksi untuk membuat surat wasiat bani. Maka surat itu pun dikirimkan padanya, disetujui, dan ditandatangani olehnya. Dan sekarang, dalam hal radio ini pun, terbukti 129 bahwa sekali lagi Charles berhasil membuat bibinya terkesan. Mrs. Harter, yang mulanya menentang pemasangan radio itu, akhirnya bisa menerima dan bahkan merasa terpesona. Ia terutama sangat menikmati mendengar radio itu kalau Charles sedang tidak ada. Masalahnya, Charles selalu mengotak-atik benda itu. Mrs. Harter bisa duduk tenang di kursinya, mendengarkan konser simfoni atau percakapan tentang Lucrczia Borgia atau Pond Life, merasa sangat senang dan damai. Tapi tidak demikian halnya dengan Charles. Ketenangan suasana itu akan pecah oleh berbagai suara nyaring yang sumbang saat ia dengan antusias berusaha mencari gelombang radio-radio asing. Tapi kahu Charles sedang makan di luar bersama teman-temannya, Mrs. Harter bisa menikmati radio tersebut. Ia akan menyalakan dua tombol, duduk di kursinya, dan menikmati acara malam itu. Tiga bulan setelah radio tersebut dipasang, terjadi sesuatu yang menyeramkan. Waktu itu Charles sedang keluar main bridge. Acara malam itu adalah konser balada. Seorang penyanyi soprano terkenal tengah membawakan "Annie Laurie", dan di tengah-tengah nyanyian tersebut, sesuatu yang aneh terjadi. Mendadak nyanyian itu terhenti, musik juga berhenti sejenak, suara dengung dan derak masih terdengar, tapi kemudian suara itu pun kian samar. Hening sepenuhnya, kemudian terdengar suara dengung pelan yang sangat samar. Entah kenapa. Mrs. Harter mendapat kesan bahwa radio itu tersambung ke suatu tempat yang sangat jauh 130 Lalu sebuah suara berbicara dengan sangat jelas dan tegas, suara seorang pria dengan aksen Irlandia samar. "Mary... kau bisa mendengarku, Mary" Ini Patrick... aku akan segera menjemputmu. Kau akan siap, bukan, Mary?" Kemudian, hampir seketika itu juga, sekali lagi nyanyian "Annie Laurie" berkumandang di mangan tersebut. Mrs. Harter duduk kaku di kursinya, kedua tangannya mencengkeram lengan kursi. Apa tadi ia bermimpi" Patrick! Suara Patrick! Suara Patrick di mangan ini, berbicara kepadanya. Tidak, tadi itu pasti hanya mimpi, halusinasi barangkali. Ia pasti tertidur semenit-dua menit lamanya. Aneh sekali, bermimpi seperti itu suara suaminya berbicara dari alam baka. Ia ?merasa agak takut. Apa tadi yang dikatakan Patrick" "Aku akan segera menjemputmu, Mary. Kau akan siap, bukan?" Apakah itu suatu pertanda" Mungkinkah itu" Kelemahan kardiak. Jantungnya. Bagaimanapun, ia sudah semakin tua. "Itu suatu peringatan hanya itu," kata Mrs. Harter. Dengan perlahan dan susah ?payah ia bangkit dari kursinya, dan menambahkan, seperti sudah merupakan sifat khasnya, "Buang-buang uang saja. memasang lift." Ia tidak memberitahukan pengalamannya itu pada siapa pun, tapi selama satu-dua hari berikutnya ia agak pendiam dan banyak berpikir. Lalu terjadi peristiwa kedua. Waktu itu lagi-lagi ia sendirian di mangan tersebut. Radio itu, yang tengah memperdengarkan orkestra, mendadak semakin pelan. 131 seperti pada peristiwa sebelumnya. Lalu sekali lagi hening, muncul perasaan seakan benda itu tersambung ke tempat yang sangat jauh, dan akhirnya suara Patrick, bukan seperti suaranya ketika masih hidup) suaranya ini agak samar, ?jauh, dengan kesan alam baka yang aneh. Patrick berbicara padamu, Mary. Tak lama lagi aku akan datang menjemputmu... Lalu klik, bunyi derak, dan siaran orkestra tadi terdengar kembali. Mrs. Harter melihat jam dinding. Tidak, kali ini ia tidak tertidur. Ia bangun sepenuhnya dan sadar betul akan apa yang terjadi. Ia telah mendengar suara Patrick berbicara. Itu bukan halusinasi, ia yakin. Dengan agak bingung, ia mencoba mengingat-ingat segala penjelasan Charles padanva tentang teori gelombang ether. Mungkinkah Patrick benar-benar telah berbicara padanya" Bahwa suara aslinya telah disampaikan melalui udara" Ada arus gelombang yang hilang atau semacamnya. Ia ingat Charles pemah menyebut-nyebut "mang dalam skala". Barangkali gelombang yang hilang itu bisa menjelaskan fenomena psikologis ini" Tidak, tak ada yang mustahil dengan gagasan ini. Patrick memang telah berbicara padanya. Patrick telah menggunakan sarana ilmu pengetahuan modem untuk mempersiapkan dirinya akan apa yang bakal terjadi segera Mrs. Harter memencet bel, memanggil Elizabeth, pelayannya. Elizabeth adalah seorang wanita jangkung dan kurus berusia enam puluh tahun. Di balik sikap luarnya yang kaku tersembunyi perasaan sayang dan lembut yang amat besar untuk nyonyanya ini. 132 "Elizabeth," kata Mrs. Harter, setelah pelayan setianya itu muncul. "Kau ingat apa yang kukatakan padamu dulu" Laci kiri atas lemariku. Laci itu dikunci, kunci panjang berlabel putih. Segalanya sudah disiapkan di situ." "Disiapkan, Ma'am?" "Untuk pemakamanku," dengus Mrs. Harter. "Kau tahu persis maksudku, Elizabeth. Kau sendiri yang membantuku memasukkan segala perlengkapan itu di sana." Wajah Elizabeth mulai mengerut aneh. "Oh, Ma'am," ratapnya, "jangan punya pikiran seperti itu. Saya pikir Anda sudah lebih baik." Anjing Kematian The Hound Of Death And Other Stories 1933 Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Kita semua mesti mati suatu saat," kata Mrs. Harter dengan sikap praktis. "Aku sudah tua, Elizabeth. Sudah, sudah, jangan konyol begitu. Kalau mau menangis, pergilah menangis di tempat lain." Elizabeth pergi dengan terisak-isak. Mrs. Harter menatap sosoknya dengan perasaan sayang. "Dasar konyol, tapi dia setia," katanya. "Sangat setia. Coba kuingat-ingat. aku mewariskan seratus pound atau cuma lima puluh pound untuknya" Mestinya seratus. Dia sudah lama melayaniku." Masalah ini membuat Mrs. Harter gelisah. Keesokan harinya ia menulis surat pada pengacaranya, menanyakan apakah ia bisa minta dikirimi surat wasiatnya, sebab ia ingin memeriksanya. Pada hari yang sama itu, Charles membuatnya terkejut dengan ucapannya saat makan siang. "Omong-omong, Bibi Mary," kata Charles, "Siapa sih pria tua yang aneh di kamar kosong itu" 133 Maksudku foto di atas perapian itu. Foto pria tua yang memakai topi dan cambang?" Mrs. Harter menatapnya dengan tenang. "Itu Paman Patrick-mu ketika masih muda," sahutnya. "Oh, aduh, maaf sekali, bibi Mary. Aku tidak bermaksud untuk kasar." Mrs. Harter menerima permintaan maaf itu dengan anggukan kepala berwibawa. Charles meneruskan dengan nada agak ragu, "Aku cuma heran. Begini..." Ia berhenti bicara karena ragu, dan Mrs. Harter berkata dengan tajam, "Apa" Apa yang akan kaukatakan itu?" "Tidak apa-apa," kata Charles lekas-lekas. "Cuma sesuatu yang tidak masuk akal, maksudku." Sesaat Mrs. Harter tidak mengatakan apa-apa, tapi agak sore, ketika mereka hanya berdua saja, ia kembali pada topik siang tadi. "Kuharap kau mau mengatakan padaku, Charles, kenapa kau bertanya tentang foto pamanmu itu " Charles tampak malu. "Sudah kubilang, Bibi Mary, bukan apa-apa, cuma bayangan konyolku saja benar-?benar tidak masuk akal." "Charles," kata Mrs. Harter dengan nadanya yang paling berwibawa, "aku minta diberitahu." "Yah, kalau Bibi memaksa... aku merasa melihat pria itu maksudku pria di foto ?itu memandang ke luar jendela ujung sana, waktu aku sedang memasuki jalan mobil ?semalam. Kurasa itu cuma pengaruh cahaya. Aku bertanya-tanya, siapa dia, wajahnya begitu... 134 khas zaman Victoria awal, kalau Bibi mengerti maksudku. Tapi kata Elizabeth tidak ada siapa-siapa di mmah, baik tamu maupun orang asing. Dan agak malamnya, aku kebetulan masuk ke kamar kosong itu. Aku melihat foto di atas perapian itu. Persis seperti pria yang kulihat Tapi kurasa mudah sekali menjelaskannya. Pasti karena alam bawah sadarku atau semacamnya. Pasti aku telah melihat foto itu sebelumnya, tanpa menyadari bahwa aku memperhatikannya, lalu aku membayangkan melihat wajah di jendela itu." "Jendela ujung?" kata Mrs. Harter dengan tajam. "Ya, kenapa?" "Tidak apa-apa," sahut Mrs. Harter. Tapi tetap saja ia merasa terkejut. Dulu mangan itu adalah kamar ganti suaminya. Malam itu, Charles kembali tidak berada di mmah. Mrs. Harter duduk mendengarkan radio dengan perasaan tak sabar dan berdebar-debar. Kalau untuk ketiga kalinya ia mendengar suara misterius itu lagi, ia akan percaya sepenuhnya, tanpa keraguan sedikit pun. bahwa ia benar-benar telah berkomunikasi dengan dunia lain. Walau jantungnya berdebar lebih cepat, ia tidak terkejut ketika siaran radio kembali terhenti, dan setelah keheningan yang menyesakkan selama beberapa saat, suara beraksen Irlandia yang terdengar samar dan jauh itu kembali berbicara. "Mary... kau sudah siap sekarang... Hari Jumat aku akan datang menjemputmu... Jumat jam setengah sepuluh... Jangan takut... kau tidak akan merasa sakit... Siap-siaplah..." Lalu siaran musik orkestra kembali terdengar?135 riuh dan sumbang hampir-hampir memotong kata terakhir suara tersebut. ?Selama semenit-dua menit Mrs. Harter duduk terpaku. Wajahnya pucat pasi, bibirnya membiru dan mengerut Kemudian ia bangkit berdiri dan duduk di depan meja tulisnya. Dengan tangan agak gemetar, ia menulis baris-baris berikut ini: Malam ini, pada pukul 21.15, aku telah mendengar dengan jelas suara almarhum suamiku. Dia mengatakan akan menjemputku pada hari Jumat malam jam 21.30. Kalau aku meninggal pada hari dan jam tersebut, aku ingin fakta-faktanya diketahui, di luar keraguan sedikit pun, bahwa aku kemungkinan telah berkomunikasi dengan dunia arwah. MARY HARTER Mrs. Harter membaca kembali apa yang telah ditulisnya, lalu memasukkan kertas itu ke dalam amplop, dan menuliskan nama orang yang dituju di amplop tersebut. Setelah itu ia memencet bel, dan Elizabeth segera datang. Mrs. Harter bangkit dari balik mejanya dan memberikan surat yang baru saja ditulisnya itu pada Elizabeth. "Elizabeth," katanya, "kalau aku meninggal pada hari Jumat malam, aku ingin surat ini diberikan pada Dr. Meynell. Tidak...," katanya ketika Elizabeth seperti hendak memprotes, "... jangan mendebatku. Kau sudah sering bilang padaku, bahwa kau percaya pada pertanda. Sekarang aku sudah mendapat per-136 tanda. Ada satu hal lagi. Aku mewariskan 50 pound untukmu dalam surat wasiatku. Aku ingin kau mendapatkan 100 pound. Kalau aku tak sempat pergi sendiri ke bank sebelum meninggal, Mr. Charles yang akan mengurusnya." Seperti sebelumnya, Mrs. Harter tidak mau mendengar protes-protes Elizabeth yang bemrai air mata. Ia sudah bertekad menjalankan niatnya, dan keesokan paginya ia bicara tentang hal tersebut pada keponakannya. "Ingat, Charles, kalau terjadi apa-apa padaku, Elizabeth mesti diberi 50 pound lagi." "Bibi sangat murung akhir-akhir ini. Bibi Mary," kata Charles dengan riang. "Apa sih yang akan terjadi pada Bibi" Menumt Dr. Meynell, kita akan merayakan ulang tahun Bibi yang keseratus sekitar dua puluh tahun lagi!" Mrs. Haiter tersenyum sayang padanya, tapi tidak menjawab. Setelah beberapa saat, ia berkata, "Kau ada acara apa pada han Jumat malam, Charles?" Charles tampak agak terperanjat. "Sebenarnya keluarga Ewing mengundangku main bridge, tapi kalau Bibi ingin aku tinggal di mmah..." "Tidak," kata Mrs. Harter dengan tegas. 'Tentu tidak. Aku sungguh-sungguh, Charles. Tcmtama pada malam itu, aku sangat ingin ditinggalkan sendirian " Charles menatapnya dengan agak heran, tapi Mrs. Harter tidak bersedia memberikan informasi lebih lanjut. Ia seorang wanita tua yang berani dan penuh tekad. Ia merasa mesti menghadapi pengalamannya yang aneh ini seorang diri. 137 Hari Jumat malam, suasana di mmah itu sangat sunyi. Mrs. Harter, seperti biasa, duduk di kursinya yang berpunggung tinggi, yang didekatkan ke perapian. Segala persiapannya sudah selesai. Pagi itu ia sudah pergi ke bank, mengambil 50 pound dalam lembar-lembar uang kertas, dan menyerahkannya pada Elizabeth, walau Elizabeth memprotes dan menangis. Ia juga telah memilah-milah dan menyusun segala barang-barang pribadinya, dan telah memisahkan satu-dua perhiasan untuk diberikan pada teman-teman atau kerabat. Ia juga telah menuliskan daftar instmksi untuk Charles. Perangkat minum Worcester itu mesti diberikan pada Sepupu Emma. Stoples-stoples Sevres diberikan pada William, dan setemsnya. Sekarang Mrs. Harter memandangi amplop panjang di tangannya, dan dari dalamnya ia mengeluarkan sehelai dokumen terlipat. Dokumen tersebut adalah surat wasiatnya, yang dikirimkan oleh Mr. Hopkinson sesuai dengan instmksiinstmksinya. Ia sudah membaca isinya dengan saksama, tapi sekarang ia memeriksanya sekali lagi, untuk menyegarkan ingatannya. Isi surat wasiat itu singkat dan sederhana. Warisan sebesar 50 pound untuk Elizabeth Marshall yang telah memberikan pelayanannya yang setia selama ini, u arisan masing-masing sebesar 500 pound untuk seorang saudara perempuan dan sepupu pertama, dan sisanya dihibahkan pada keponakannya tercinta, Charles Ridgeway. Mrs. Harter mengangguk-anggukkan kepalanya beberapa kali. Charles akan menjadi sangat kaya setelah ia meninggal. Yah, anak itu sudah begitu manis padanya selama ini. Selalu baik hati, selalu penuh 138 sayang, dan ada saja ucapannya yang membuat hatinya senang. Mrs. Harter menatap jam dinding. Tiga menit lagi. Yah, ia sudah siap. Dan ia merasa tenang sangat tenang. Walau ia mengulangi kata-kata terakhir itu ?beberapa kali pada dirinya sendiri, jantungnya berdebar aneh dan tidak teratur, la sendiri hampir-hampir tidak menyadarinya, tapi saraf-sarafnya sebenarnya sudah amat sangat tegang. Pukul setengah sepuluh. Radio sudah dinyalakan. Apa yang akan didengarnya" Suara akrab si penyiar ramalan cuaca, atau suara samar-samar itu, yang berasal dari seorang pria yang sudah meninggal dua puluh lima tahun yang lalu" Tapi ia tidak mendengar keduanya. Yang sampai ke telinganya malah suatu suara yang sudah dikenalnya, suara yang telah ia kenal dengan baik. namun malam ini membuatnya merasa seakan ada tangan dingin yang menyentuh jantungnya. Suara orang yang mencoba membuka pintu... Suara itu terdengar lagi. Lalu sapuan angin dingin seakan menyerbu masuk ke dalam mangan itu. Sekarang Mrs. Harter tidak ragu lagi akan apa-apa yang dirasakannya. Ia merasa takut... lebih dari takut malah... ia merasa ngeri... Dan sekonyong-konyong pikiran ini terlintas dalam benaknya: dua puluh lima tahun adalah jangka waktu yang sangat lama. Aku sudah tidak mengena/ Patrick lagi sekarang. Kengerian yang amat sangat. Itulah yang mulai merayapi dirinya. Terdengar suara langkah pelan di luar pintu?139 langkah kaki pelan yang ragu-ragu. Kemudian pintu terbuka tanpa suara. Mrs. Harter terhuyung-huyung bangkit, tubuhnya agak limbung, matanya terpaku pada ambang pintu, sesuatu tergelincir jatuh dari genggaman jemarinya, melayang ke perapian. la mengeluarkan jeritan tertahan yang tercekat di kerongkongannya. Dalam cahaya remang-remang dari ambang pintu berdiri sebuah sosok yang telah dikenalnya, dengan janggut dan kumis cokelal serta mantel kuno bergaya Victoria. Patrick sudah datang menjemputnya' Jantungnya melompat ketakutan satu kali, lalu tak berdetak lagi. Mrs. Harter merosot ke tanah dan terpuruk di sana Di situlah Elizabeth menemukannya, satu jam kemudian. Dr. Meynell segera dihubungi, dan Charles Ridgeway lekas-lekas dipanggil dari acara main bridge-nya. Tapi tak ada yang bisa dilakukan. Mrs. Harter sudah tidak tertolong lagi. Baru dua hari kemudian Elizabeth teringat surat yang diberikan almarhumah nyonyanya kepadanya. Dr. Meynell membaca surat tersebut dengan penuh minat, lalu menunjukkannya pada Charles Ridgeway. "Kebetulan yang sangat aneh," katanya. "Jelas sekali bibi Anda telah mengalami halusinasi tentang suara almarhum suaminya. Sarafnya pasti sudah begitu tegang, hingga membawa akibat fatal baginya, dan ketika saatnya tiba, dia meninggal karena shock." "Auto-sugesti?" kata Charles. 140 "Semacam itulah. Saya akan memberitahukan hasil autopsinya secepat mungkin, walau saya sendiri sudah tidak ragu lagi." Dalam keadaan tersebut, autopsi memang diperlukan, walau sepenuhnya sebagai formalitas belaka. Charles mengangguk-angguk mengerti. Semalam sebelumnya, ketika seisi mmah itu sudah tidur, ia telah mengambil seutas kabel yang disambungkan dari bagian belakang lemari radio ke kamar tidurnya di lantai atas. Selain itu, berhubung malam itu udara dingin, ia telah meminta Elizabeth menyalakan perapian di kamarnya, dan di perapian itulah ia membakar kumis dan janggut berwarna cokelat yang dikenakannya. Mantel bergaya Victoria milik almarhum pamannya ia kembalikan ke lemari beraroma kamper di loteng. Sejauh yang diperkirakannya, ia benar-benar aman. Rencananya, yang garis besarnya mulai terbentuk samar-samar ketika Dr. Meynell mengatakan bahwa bibinya bisa hidup bertahun-tahun lagi kalau mendapatkan perawatan semestinya, telah berhasil dengan sukses. Kejutan mendadak, kata Dr. Meynell waktu itu. Charles, pemuda yang penuh sayang itu, yang menjadi kecintaan para wanita tua, tersenyumsenyum sendiri. Setelah sang dokter pergi. Charles mulai mengerjakan tugas-tugasnya dengan rapi. Rencana pemakaman mesti dibuat. Para kerabat yang datang dari jauh mesti dicarikan karcis kereta Dalam satu-dua kasus, mereka mesti menginap. Charles mengerjakan semua urusan itu dengan efisien dan metodis, sementara pikirannya sibuk sendiri. Suatu kebetulan yang amat sangat bagus! Itulah 141 masalahnya. Tak seorang pun, terutama almarhumah bibinya, tahu keadaan genting yang tengah dialami Charles. Berbagai kegiatannya, yang selama ini ia sembunyikan dengan hati-hati dari seluruh dunia, telah membawanya pada posisi?yang mungkin akan mengirimnya ke penjara. Aib dan kehancuran telah menantinya, kecuali kalau ia bisa menyediakan uang dalam jumlah besar dalam beberapa bulan. Yah... sekarang semua masalahnya sudah beres. Charles tersenyum sendiri. Ya, berkat lelucon konyolnya itu tidak bisa ?disebut tindakan kriminal ia selamat. Sekarang ia telah menjadi orang yang ?sangat kaya. Ia tidak merasa cemas akan hal ini, sebab Mrs. Harter tak pemah menutup-nutupi niat untuk menjadikannya ahli waris. Saat Charles sedang sibuk dengan pikiran-pikiran tersebut, Elizabeth melongokkan kepala dari pintu, dan memberitahukan bahwa Mr. Hopkinson sudah datang, dan ingin bertemu dengan Charles. Sudah waktunya, pikir Charles. Sambil menahan dorongan untuk bersiul, ia memasang wajah sedih yang sesuai, lalu beranjak ke perpustakaan. Di sana ia menyapa pria tua yang sudah menjadi penasihat hukum Mrs. Harter selama lebih duri seperempat abad itu. Mr. Hopkinson duduk setelah dipersilakan oleh Charles, dan setelah batuk-batuk sedikit, ia langsung ke pokok permasalahannya. "Saya tidak begitu mengerti surat Anda pada saya, Mr. Ridgeway. Sepertinya Anda mengira bahwa surat wasiat almarhumah Mrs. Harter berada di tangan kami." 142 Charles melongo menatapnya "Tapi... saya sudah mendengar bibi saya mengatakan demikian." "Oh! Benar, memang benar. Dulu surat itu memang kami yang menyimpan." "Dulu?" "Begitulah. Tapi lalu Mrs. Harter menulis pada kami, meminta surat tersebut dikirimkan padanya pada hari Selasa yang lalu " Perasaan gelisah merayapi Charles. Ia bisa merasakan penanda datangnya sesuaUi yang tidak menyenangkan. "Pasti surat itu ada di antara dokumen-dokumen lainnya," sang pengacara melanjutkan dengan halus. Charles tidak mengatakan apa-apa. Ia takut mengucapkan apa pun. Ia sudah memeriksa dokumen-dokumen Mrs. Harter dengan saksama, amat sangat saksama, dan ia yakin tidak ada surat wasiat di antaranya. Semenit-dua menit kemudian, setelah bisa kembali menguasai diri, ia menyampaikan hal tersebut. Suaranya terasa tidak nyata di telinganya sendiri, dan ia merasa seperti ada air dingin yang menetes-netes di punggungnya. "Apa ada yang sudah memeriksa barang-barang pribadinya?" tanya pengacara itu. Charles menjawab bahwa pelayan bibinya, Elizabeth, telah memeriksa semuanya. Atas saran Mr. Hopkinson, Elizabeth pun dipanggil. Ia datang dengan segera, serius dan tegas, dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan padanya. Ia sudah memeriksa pakaian-pakaian dan barang-barang pribadi almarhumah nyonyanya. Ia yakin 143 sekali, tidak ada dokumen resmi bempa surat wasiat di antaranya. Ia tahu seperti apa bentuk surat wasiat itu nyonyanya masih memegangnya di tangan, pada pagi ?hari kematiannya. "Kau yakin itu?" tanya si pengacara dengan tajam. "Ya, Sir. Beliau sendiri yang mengatakannya pada saya, dan dia menyuruh saya mengambil uang lima puluh pound, dalam lembar-lembar uang kertas. Surat wasiat itu ada di dalam sebuah amplop panjang berwarna biru." "Benar sekali," kata Mr. Hopkinson. "Setelah saya ingat-ingat lagi" kata Eli/abe-th, "amplop biru itu tergeletak di meja ini, pada pagi setelahnya... tapi sudah kosong. Saya menaruhnya di meja." "Aku ingat melihatnya di situ," kata Charles. Ia bangkit berdiri dan beranjak ke meja. Tak lama kemudian, ia membalikkan tubuh dengan sebuah amplop di tangannya, yang lalu ia serahkan pada Mr Hopkinson. Mr. Hopkinson memeriksanya, dan menganggukkan kepala. Anjing Kematian The Hound Of Death And Other Stories 1933 Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Memang ini amplop berisi surat wasiat yang saya kirimkan pada hari Selasa yang lalu." Kedua pria itu menatap tajam pada Elizabeth. "Masih ada lagi, Sir?" Elizabeth bertanya dengan hormat. "Untuk saat ini tidak, terima kasih." Elizabeth beranjak ke pintu. "Tunggu sebentar," kata Mr. Hopkinson. "Apakah malam itu ada api di perapian?" "Ya, Sir, selalu ada api di situ." "Terima kasih, itu saja." 144 Elizabeth keluar dan mangan tersebut Charles mencondongkan tubuh dengan satu tangan gemetar bertumpu di meja. "Bagaimana menurut Anda" Apa maksud Anda tadi?" Mr. Hopkinson menggelengkan kepala. "Kita mesti tetap berharap surat wasiat itu bisa ditemukan. Kalau tidak..." "Bagaimana kalau tidak?" "Saya khawatir hanya ada satu kesimpulan yang mungkin Bibi Anda minta surat wasiat itu dikirimkan padanya karena dia ingin memusnahkannya. Berhubung dia tak ingin Elizabeth kehilangan haknya, dia memberikan uang tunai pada pelayannya itu." "Tapi kenapa?" teriak Charles dengan panik. "Kenapa?" Mr. Hopkinson batuk-batuk dengan nada datar. "Anda tidak... eh... bertengkar dengan bibi Anda. bukan, Mr. Ridgeway?" gumamnya. Charles terkesiap. 'Tentu saja tidak," teriaknya. "Hubungan kami baik sekali, dan penuh sayang, sampai akhir." "Ah!" kata Mr. Hopkinson. tanpa menatapnya. Charles merasa sangat terperanjat karena pengacara ini tidak mempercayainya. Siapa tahu, apa yang telah didengar oleh si tua ini" Gosip-gosip tentang sepakterjang Charles mungkin sudah sampai ke telinganya. Wajar saja kalau ia juga beranggapan bahwa gosip-gosip ini pun sudah sampai ke telinga Mrs. Harter, sehingga bibi dan keponakan ini bertengkar karenanya. Tapi bukan demikian kenyataannya! Saat ini benar 145 benar saat paling pahit dalam kehidupan Charles. Sejauh ini segala kebohongannya telah dipercayai. Tapi sekarang, saat ia mengatakan yang sebenarnya, ia justru tidak dipercayai. Ironis sekali! Tentu saja bibinya tak pemah membakar surat wasiat itu! Tentu saja... Sekonyong-konvong pikirannya yang berkecamuk terhenti sejenak. Terbayang olehnya gambaran berikut ini... seorang wanita tua, dengan satu tangan memegangi jantungnya... sesuatu tergelincir dari genggamannya... sehelai kertas... jatuh ke bara api perapian... Wajah Charles pucat pasi. Ia mendengar suaranya sendiri bertanya dengan serak, "Kalau surat wasiat itu tak bisa ditemukan...?" "Ada surat wasiat terdahulu yang dibuat oleh Mrs. Harter. Bertanggal September 1920. Di dalamnya, Mrs. Harter mewariskan segalanya pada keponakan perempuannya, Miriam Harter, yang sekarang telah menjadi Miriam Robinson." Apa kata pengacara tolol ini" Miriam" Miriam dan suaminya yang tidak bisa apaapa, dan keempat anak mereka yang cengeng. Segala kecerdikannya selama ini... untuk Miriam! Telepon berdering nyaring di dekatnya. Charles menjawabnya. Suara Dr. Meynell, penuh semangat dan ramah. "Ini Anda, Ridgeway" Saya pikir mungkin Anda ingin tahu. Hasil autopsi sudah diperoleh. Penyebab kematian seperti yang saya perkirakan. Tapi sebenarnya masalah jantung bibi Anda lebih serius daripada yang saya kira ketika dia masih hidup. Walau dengan 146 perawatan paling saksama pun, dia takkan mungkin hidup lebih lama dari dua bulan. Mungkin Anda ingin tahu itu. Sedikit-banyak bisa menghibur Anda " "Sebentar," kata Charles, "bisa diulangi lagi?" "Bibi Anda tak mungkin bisa hidup lebih lama dari dua bulan," kata sang dokter dengan suara agak lebih keras. "Segala yang terjadi itu memang sudah yang terbaik, sahabatku..." Tapi Charles sudah membanting telepon ke tempatnya. Ia mendengar suara Mr. Hopkinson berbicara dari jauh. "Astaga, Mr. Ridgeway, apa Anda sakit?" Persetan mereka semua! Pengacara berwajah sok itu! Meynell sialan yang licik itu! Tak ada harapan yang tersisa sekarang... kecuali bayang-bayang tembok penjara... Ia merasa Seseorang telah mempermainkannya seperti kucing mempermainkan tikus.?Pasti ada seseorang yang tertawa di sana... 2-147 Saksi Peristiwa Mr. mayhkrnl memperbaiki letak pince-nez-nya dan berdeham sedikit dengan gayanya yang khas. Kemudian ia kembali menatap laki-laki yang duduk di hadapannya, orang yang dikenai tuduhan pembunuhan terencana. Mr. Mayherne adalah pria bertubuh kecil dengan sikap tegas, dan pakaiannya sangat rapi, bahkan bisa dikatakan terlalu perlente. Sepasang mata kelabunya sangat pintar dan tajam. Jelas menunjukkan bahwa ia bukan orang bodoh. Memang, sebagai pengacara, reputasi Mr. Mayherne sangat bagus. Kalau ia berbicara dengan kliennya, suaranya datar, tapi bukannya tidak simpatik. "Saya sekali lagi mesti menegaskan pada Anda, bahwa A da berada dalam bahaya yang sangat besar, dan penting sekali bagi Anda untuk berbicara setems terang mungkin." Leonard Vole, yang selama itu hanya memandangi tembok kosong di hadapannya dengan tatapan bingung, mengalihkan matanya pada sang pengacara. "Saya tahu," katanya dengan nada putus asa. "Anda sudah berkali-kali mengatakan itu pada saya. Tapi 148 sepertinya saya belum bisa menerima kenyataan bahwa saya dikenai tuduhan pembunuhan pembunuhan. Tindak kejahatan yang sangat mengerikan." ?Mr. Mayherne adalah orang yang praktis, tidak emosional. Ia berdeham lagi, melepaskan pince-nez-nya, membersihkannya dengan hati-hati, lalu memasangnya kembali di hidungnya. Setelah itu barulah ia berkata, "Ya, ya, ya. Nah, sekarang, Mr. Vole, kita akan bemsaha sedapat mungkin membebaskan Anda dari tuduhan itu dan kita akan berhasil kita pasti berhasil. ? ?Tapi saya mesti mengetahui semua faktanya. Saya mesti tahu, seberapa berat kirakira kasus yang mesti kita hadapi ini. Setelah itu, bamlah kita bisa menyusun strategi pembelaan terbaik." Namun anak muda itu masih juga menatapnya dengan sorot mata bingung din tak berdaya Menumt pendapat Mr. Mayherne sendiri, kasus ini tampaknva sudah cukup berat, dan kesalahan si tertuduh sudah jelas. Namun sekarang, untuk pertama kalinya, ia merasakan setitik keraguan "Anda menganggap saya bersalah," kata Leonard Vole dengan suara pelan. 'Tapi, demi Tuhan, saya berani sumpah, saya tidak bersalah. Saya tahu, kasus ini tampaknya sangat memberatkan bagi saya. Saya seperti orang terperangkap di dalam jala terkumng dari semua arah, tak bisa lari ke mana pun saya menoleh. Tapi ?saya tidak melakukan pembunuhan itu, Mr. Mayherne, tidak!" Dalam posisi seperti itu. tersangka cendemng bersikeras bahwa ia tidak bersalah. Mr. Mayherne tahu itu, namun, entah kenapa, ia merasa terkesan. Mungkin 149 saja Leonard Vole sebenarnya memang tidak bersalah. "Anda benar, Mr. Vole," katanya dengan sungguh-sungguh. "Kasus ini memang sangat memberatkan Anda. Namun demikian, saya menerima pernyataan Anda bahwa Anda tidak bersalah. Sekarang marilah kita membicarakan fakta-faktanya. Saya minta Anda menceritakan pada saya, dengan kata-kata Anda sendiri, bagaimana persisnya Anda berkenalan dengan Miss Emily French." "Terjadinya pada suatu hari di Oxford Street. Saya melihat seorang wanita tua hendak menyeberang jalan. Dia membawa banyak sekali bungkusan. Di tengah jalan, bungkusan-bungkusannya jatuh, dia mencoba memungutinya. Dia nyaris ditabrak bus, tapi berhasil mencapai trotoar dengan selamat. Dia terkejut dan takut melihat orang-orang meneriakinya. Saya mengambilkan bungkusan-bungkusannya, membersihkannya dari lumpur sedapat mungkin, mengikatkan kembali tali salah satu bungkusan itu. lalu mengembalikan semuanya padanya." "Jadi, Anda bukan menyelamatkan dia?" "Oh, tidak. Saya cuma menolongnya sedikit. Dia sangat berterima kasih. Dia mengucapkan terima kasih dengan hangat, katanya kebanyakan generasi muda sekarang tidak menunjukkan sikap seperti saya saya tidak ingat persis kata-?katanya. Lalu saya mengangkat topi dan melanjutkan perjalanan. Saya tidak mengira akan bertemu lagi dengannya. Tapi hidup ini memang penuh dengan berbagai peristiwa kebetulan. Malam itu juga saya kembali bertemu dengannya, di pesta seorang teman. Dia langsung mengenali saya, dan minta agar saya diperkenalkan 150 padanya. Di situlah saya ketahui namanya Miss Emily French, dan dia tinggal di Cricklewood. Saya berbincang-bincang sedikit dengannya. Saya rasa dia jenis wanita tua yang mudah merasa terpikat pada orang. Dia langsung menyukai saya, hanya karena saya memberikan sedikit pertolongan padanya, yang siapa pun bisa melakukannya. Ketika akan pulang, dia menjabat tangan saya dengan hangat, dan minta saya datang menemuinya. Saya tentu saja menjawab bahwa dengan senang hati saya bersedia. Lalu dia mendesak saya untuk menyebutkan harinya. Saya sebenarnya tidak terlalu ingin datang, tapi rasanya tidak sopan menolak, maka saya tetapkan akan datang hari Sabtu berikutnya. Setelah dia pulang, saya mendapat sedikit informasi tentang dia dari teman-teman saya. Ternyata dia kaya, eksentrik, tinggal hanya dengan seorang pelayannya, dan punya kucing tidak kurang dari delapan ekor." "Begitu," kata Mr. Mayherne. "Jadi, fakta bahwa dia kaya sudah Anda ketahui sejak semula?" "Kalau Anda maksud apakah saya bertanya-tanya...." kata Leonard Vole dengan nada panas, namun Mr. Mayherne menghentikan kalimatnya dengan gerakan tangannya. "Saya mesti memandang kasus ini seperti kelak ditampilkan oleh penuntut. Orang awam tidak akan mengira bahwa Miss French seorang wanita kaya. Dia hidup sangat biasa, hampir-hampir seperti orang miskin. Kalau bukan karena ada yang memberitahukan, kemungkinan Anda akan mengira dia miskin setidaknya begitulah. ?Siapa persisnya yang memberi tahu Anda bahwa dia kaya?" 151 "Teman saya. George Harvey, yang mengadakan pesta itu." "Apa kemungkinan dia ingat telah mengatakan itu pada Anda?" "Saya benar-benar tidak tahu itu. Tentu saja itu sudah agak lama berlalu." "Memang, Mr. Vole. Begini, sasaran pertama pihak penuntut adalah memberi kesan bahwa secara finansial, keadaan Anda sedang bumk itu benar, bukan?"?Wajah Leonard Vole memerah. "Ya," katanya dengan suara pelan. "Belum lama ini saya memang mengalami nasib bumk beruntun." "Begitu." kata Mr. Mayherne lagi. "Dan dalam keadaan finansial seperti itu. Anda bertemu dengan wanita kaya ini, dan Anda sengaja memupuk kesempatan tersebut. Sekarang, seandainya kita berada dalam posisi untuk mengatakan bahwa Anda sama sekali tidak tahu bahwa dia kaya. dan bahwa Anda mengunjunginya hanya karena ingin berbuat baik semata-mata..." "Memang begitu maksud saya " "Saya percaya. Saya tidak memperdebatkan soal itu. Saya sekadar melihat ini dari sudut pandang orang luar. Banyak hal akan tergantung pada daya ingat Mr. Harvey. Apakah ada kemungkinan dia ingat tentang apa yang dikatakannya pada Anda atau tidak" Mungkinkah kalau diarahkan dia menjad bingung dan yakin bahwa ucapannya itu terjadi belakangan?" Leonard Vole berpikir selama beberapa menit. Kemudian ia berkata dengan nada cukup yakin, walaupun wajahnya agak lebih pucat. 152 "Saya rasa cara itu tidak. akan berhasil, Mr. Mayherne. Beberapa orang yang hadir di pesta itu mendengar ucapannya, dan satu-dua di antaranya menggoda saya tentang keberhasilan saya menaklukkan seorang wanita tua yang kaya." Sang pengacara berusaha menyembunyikan kekecewaannya dengan satu kibasan tangannya "Sayang sekali," katanya. 'Tapi saya salut atas keterusteran i"an Anda. Mr. Vole. Hanya Andalah yang bisa menuntun saya. Penilaian Anda benar sekali. Akan membahayakan kalau kita bertahan dengan cara seperti yang saya usulkan tadi. Kita mesti lupakan cara itu. Jadi. Anda berkenalan dengan Miss French, Anda mengunjunginya, hubungan kalian berlanjut. Kita perlu alasan yang jelas untuk semua ini. Kenapa Anda, pria muda tampan bemsia tiga puluh tiga tahun, suka olah raga, populer di kalangan teman-teman Anda, mau mengorbankan begitu banyak waktu untuk seorang wanita tua yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan Anda?" Leonard Vole mengibaskan kedua tangannya dalam gerakan gugup. "Tak bisa saya katakan benar-benar tak bisa. Setelah kunjungan pertama itu. dia ?mendesak saya untuk datang lagi. katanya dia kesepian dan tidak bahagia. Dia membuat saya susah menolak. Dia jelas-jelas menunjukkan rasa suka dan sayangnya pada saya, hingga saya berada pada posisi sulit Begini, Mr. Mayherne, saya ini bersifat lemah saya mudah terbawa ams saya jenis orang yang tidak bisa berkata ? ?'tidak'. Dan Anda boleh percaya atau tidak, setelah kunjungan ketiga atau keempat, saya 153 ternyata benar-benar menyukai wanita tua itu. Ibu saya meninggal ketika saya masih kecil, saya dibesarkan oleh seorang bibi saya, tapi dia pun meninggal sebelum saya berumur lima belas tahun. Kalau saya katakan pada Anda bahwa saya benar-benar senang dimanjakan dan diperhatikan, saya yakin Anda bakal menertawakan saya." Tapi Mr. Mayherne tidak tertawa. Ia justru melepaskan pince-nez-nya. lagi dan membersihkannya, seperti biasa kalau ia sedang berpikir keras. "Saya terima penjelasan Anda, Mr. Vole," katanya akhirnya. "Saya percaya bahwa secara psikologis, hal itu mungkin saja. Entah para juri akan menerimanya atau tidak, itu masalah lain. Coba lanjutkan cerita Anda. Kapan Miss French mula-mula meminta Anda menangani urusan bisnisnya?" "Setelah kunjungan ketiga atau keempat saya padanya. Dia tidak banyak mengerti urusan uang, dan merasa cemas tentang beberapa investasi yang dibuatnya." Mr. Mayherne mengangkat wajah dengan kaget. "Hati-hati, Mr. Vole. Pelayan itu, Janet Mackenzie, menyatakan bahwa nyonyanya sangat pintar berbisnis, dan dia menangani sendiri segala urusannya. Ini juga diperkuat oleh pernyataan para bankirnya." "Mau bagaimana lagi," kata Vole dengan emosi. "Itulah yang d "a katakan pada saya." Sesaat Mr. Mayherne memandanginya dalam diam. Ia tak ingin mengatakannya, namun pada saat itu keyakinannya bahwa Leonard Vole tidak bersalah jadi semakin kuat. Ia tahu sedikit tentang mentalitas wanita-wanita tua. la bisa membayangkan Miss 154 French, yang terpikat pada anak muda tampan ini, sengaja mencari-cari alasan yang bisa membuat Vole mau datang ke rumahnya. Alasan apa lagi yang lebih tepat selain bahwa ia tidak tahu-menahu tentang bisnis, dan meminta anak muda ini membantunya menangani urusan-urusan keuangannya" Wanita itu cukup cerdik untuk menyadari bahwa laki-laki mana pun akan merasa tersanjung kalau diberi kesempatan menunjukkan superioritasnya. Dan Leonard Vole merasa tersanjung. Barangkali juga wanita itu memang sengaja membiarkan anak muda ini tahu bahwa ia kaya. Emily French adalah wanita tua yang berkemauan keras, dan ia bersedia membayar untuk apa yang diinginkannya. Semua ini berkelebat cepat dalam benak Mr. Mayherne, tapi ia sengaja tidak memperlihatkannya. Sebaliknya, ia mengajukan pertanyaan lebih lanjut. "Dan atas permintaannya, Anda menangani segala urusannya?" "Begitulah." "Mr. Vole," kata sang pengacara, "saya akan mengajukan satu pertanyaan yang sangat serius, dan untuk yang satu ini, penting sekali bagi saya untuk mendapat jawaban sejujurnya. Keadaan keuangan Anda sedang bumk. Anda menangani segala urusan wanita itu wanita tua yang. berdasarkan pernyataannya sendiri, hanya ?tahu sedikit atau bahkan tidak tahu apa-apa tentang umsan bisnis. Pernahkah Anda, pada saat kapan pun, dengan cara apa pun, memanfaatkan saham-saham yang Anda tangani itu untuk kepentingan Anda sendiri" Pernahkah Anda melakukan transaksi untuk kepentingan keuangan Anda sendiri yang 155 sengaja Anda rahasiakan?" Leonard Vole hendak langsung menjawab, namun Mr. Mayherne menahannya. "Tunggu sebentar sebelum Anda menjawab. Ada dua cara yang bisa kita gunakan. Kita bisa menyatakan ketulusan dan kejujuran Anda dalam melaksanakan segala umsan wanita itu, sekaligus menunjukkan bahwa tak mungkin Anda akan melakukan pembunuhan untuk mendapatkan uang yang bisa Anda peroleh dengan cara-cara yang jelas lebih mudah. Namun, sebaliknya, kalau ada di antara tindak-tanduk Anda yang bisa dijadikan senjata untuk melawan Anda oleh pihak penuntut jelasnya, kalau terbukti bahwa Anda menipu wanita tua itu dengan cara ?apa pun, kita mesti memberikan argumentasi bahwa Anda tidak mempunyai motif untuk melakukan pembunuhan tersebut, sebab wanita itu sudah mempakan sumber penghasilan yang bagus bagi Anda Anda mengerti perbedaannya tentu Sekarang saya minta Anda berpikir dulu dengan saksama sebelum menjawab." Tapi Leonard Vole tidak perlu waktu lama sama sekali. "Segala umsan Miss French saya tangani dengan jujur dan adil sepenuhnya. Saya Anjing Kematian The Hound Of Death And Other Stories 1933 Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo bertindak demi kepentingannya, sejauh kemampuan saya. Siapa pun yang memeriksa hal ini akan melihatnya." "Terima kasih," kata Mr. Mayherne. "Anda telah membuat saya sangat lega. Saya berani menyatakan pada Anda, bahwa saya percaya Anda terlalu pandai untuk berbohong pada saya mengenai masalah sepenting itu." 'Tentunya unsur yang paling kuat memihak saya adalah tidak adanya motif," kata Vole dengan emosi. 156 "Kalau mempertimbangkan bahwa saya sengaja menjalin persahabatan dengan wanita tua yang kaya itu, dengan harapan bisa memperoleh uang darinya itu, kan, inti ?yang ingin Anda sampaikan sejauh ini tentunya kematian wanita itu telah ?menghancurkan semua harapan saya?" Sang pengacara menatapnya dengan tajam. Kemudian, dengan sangat sengaja, ia mengulangi kebiasaan bawah sadarnya itu dengan pince-nez-nya. Setelah pince-nez itu kembali bertengger mantap di hidungnya, barulah ia berbicara. "Apakah Anda tidak menyadari, Mr. Vole, bahwa Miss French meninggalkan surat wasiat yang isinya menunjuk Anda sebagai ahli waris utama?" "Apa?" Leonard Vole melompat bangkit. Keterkejutannya begitu jelas dan tidak dibuat-buat. "Ya Tuhan! Apa kata Anda" Dia mewariskan uangnya pada saya?" Mr. Mayherne mengangguk perlahan-lahan. Vole terenyak kembali di kursinya, memegangi kepalanya dengan dua tangan. "Anda pura-pura tidak tahu apa-apa tentang surat wasiat ini?" "Pura-pura" Saya sama sekali tidak berpura-pura. Saya memang tidak tahu apa-apa tentang surat wasiat itu." "Apa kata Anda seandainya saya beritahukan pada Anda bahwa pelayan itu. Janet Mackenzie, bersumpah bahwa sebenarnya Anda tahu" Bahwa nyonyanya telah dengan jelas mengatakan padanya bahwa dia telah membicarakan hal tersebut dengan Anda, dan telah memberitahukan maksudnya itu pada Anda?" 157 "Apa" Dia bohong! Tidak, saya terlalu cepat menuduh. Janet sudah berumur. Dia itu seperti anjing penjaga yang sangat setia terhadap nyonyanya, dan dia tidak menyukai saya. Dia iri dan curiga pada saya. Saya berani bilang bahwa Miss French telah memberitahukan rencana-rencananya pada Janet, lalu entah Janet salah mengartikan sesuatu dalam ucapan nyonyanya, atau dia yakin saya telah membujuk nyonyanya untuk menghibahkan warisan itu pada saya. Saya berani bilang bahwa sekarang dia yakin sekali bahwa itulah yang dikatakan Miss French padanya." "Anda tidak menganggap dia sengaja berbohong tentang hal tersebut karena dia tidak menyukai Anda?" Leonard Vole tampak shock dan terperanjat 'Tentu saja tidak! Buat apa dia berbuat begitu?" "Saya tidak tahu," kata Mr. Mayheme sambil berpikir-pikir. "Tapi dia sangat getir terhadap Anda." Anak muda yang malang itu mengeluh kembali. "Saya mulai mengerti," gerutunya. "Mengerikan. Mereka akan bilang bahwa saya sengaja mencari muka pada wanita tua itu. Saya membujuknya untuk membuat surat wasiat yang isinya mewariskan uangnya pada saya, lalu malam itu saya datang ke rumahnya, dan tidak ada seorang pun di sana mereka menemukan dia keesokan ?harinya oh! Ya Tuhan, mengerikan sekali." ?"Anda salah tentang tidak ada orang di rumah itu," kata Mr. Mayheme. "Anda tentunya ingat bahwa Janet akan pergi keluar malam itu. Dan dia memang pergi, tapi sekitar jam setengah sepuluh dia kembali untuk mengambil pola lengan baju yang sudah di-158 janjikannya pada temannya. Dia masuk lewat pintu belakang, naik ke ruang atas, mengambil pola itu, lalu keluar kembali. Dia mendengar suara-suara di ruang tamu, tapi tidak bisa menangkap apa-apa yang diucapkan. Tapi dia berani bersumpah bahwa salah satu suara itu adalah suara Miss French, dan satunya lagi suara pria." "Jam setengah sepuluh," kata Leonard Vole. "Jam setengah sepuluh..." Ia melompat bangkit. "Berarti saya selamat... saya selamat..." "Apa maksud Anda, selamat?" seru Mr. Mayheme terperanjat. '"Pada jam setengah sepuluh, saya sudah berada di rumah kembali! Istri saya bisa membuktikan hal itu. Saya keluar dari rumah Miss French sekitar jam sembilan kurang lima. Saya tiba di rumah sekitar jam sembilan lewat dua puluh. Istri saya ada di rumah, menunggu saya. Oh! Terima kasih, Tuhan terima kasih, Tuhan! Syukurlah Janet Mackenzie pulang untuk mengambil pola lengan bajunya itu." Dalam kegembiraannya. Vole hampir-hampir tidak memperhatikan bahwa ekspresi serius di wajah pengacaranya belum lenyap. Namun kemudian ia kembali terempas ke bumi kala mendengar pertanyaan Mr. Mayherne. "Kalau begitu, menurut pendapat Anda, siapa yang membunuh Miss French?" "Yah. pencuri, tentunya, seperti dugaan semula. Anda ingat, jendela rumah itu dibuka paksa. Dia tewas karena dihantam dengan batangan besi, dan batangan besi itu ditemukan tergeletak di lantai, di samping jenazahnya. Ada beberapa barang yang 159 hilang. Kalau bukan karena kecurigaan Janet yang tidak masuk akal dan perasaan tak sukanya pada saya, polisi tidak akan menyimpang dari jalur yang sudah benar." "Itu sama sekali tidak meyakinkan, Mr. Vole," kata si pengacara. "Barang-barang yang hilang itu tidak ada harganya, diambil secara asal saja. Dan bekas-bekas di jendela tidak bisa dijadikan pegangan. Selain itu, coba pikirkan. Kata Anda, Anda sudah tidak berada di rumah itu lagi pada jam setengah sepuluh. Kalau begitu, siapa laki-laki yang didengar Janet berbicara dengan Miss French di ruang duduk" Tak mungkin wanita itu bercakap-cakap akrab dengan pencuri?" "Tidak," kata Vole. "Memang tidak..." Ia tampak bingung dan patah semangat. Namun kemudian ia menambahkan dengan gairah baru, "Tapi tetap saja saya bebas. Saya punya alibi. Anda mesti bertemu dengan Romaine istri saya dengan segera." ? ?'Tentu," sang pengacara setuju. "Saya memang mestinya sudah bertemu dengan Mrs. Vole, tapi dia sedang tidak ada ketika Anda ditangkap. Saya langsung mengirim telegram ke Scotland, dan saya mendapat kabar bahwa dia akan kembali malam ini. Saya akan langsung mendatanginya begitu saya keluar dari sini." Vole mengangguk, wajahnya menunjukkan ekspresi puas yang amat sangat. "Ya, Romaine akan menceritakan pada Anda. Ya Tuhan, benar-benar suatu kebetulan yang menguntungkan." "Sebentar, Mr. Vole, tapi apakah Anda sangat suka pada istri Anda?" 160 'Tentu saja." "Dan dia pada Anda?" "Romaine sangat memuja saya. Dia bersedia melakukan apa pun demi saya." Ia bicara dengan antusias, tapi semangat sang pengacara jadi agak menurun. Kesaksian seorang istri yang setia... bisakah dianggap sah" "Adakah orang lain yang melihat Anda pulang pada jam sembilan lewat dua puluh" Seorang pelayan, misalnya?" "Kami tidak punya pelayan." "Apakah Anda bertemu dengan siapa pun di jalan, dalam perjalanan pulang?" "Tidak ada yang saya kenal. Saya menempuh setengah perjalanan dengan naik bus. Kondekturnya mungkin ingat." Mr. Mayheme menggelengkan kepala dengan ragu. "Kalau begitu, tidak ada seorang pun yang bisa mengkonfirmasikan kesaksian istri Anda?" "Tidak. Tapi itu tidak penting, bukan?" "Saya rasa tidak, saya rasa tidak," kata Mr. Mayheme tergesa-gesa. "Nah, satu hal lagi Apakah Miss French tahu Anda sudah menikah?" "Oh, ya." 'Tapi Anda tidak pernah mengajak istri Anda menemuinya. Kenapa?" Untuk pertama kalinya, Leonard Vole menjawab dengan ragu-ragu dan tidak yakin. "Yah... saya tidak tahu." "Apakah Anda sadar bahwa menurut Janet Mackenzie, nyonyanya yakin Anda masih lajang, dan dia berniat menikah dengan Anda kelak?" 161 Vole tertawa. "Omong kosong! Usia kami berbeda empat puluh tahun." "Tapi yang seperti itu bisa terjadi," kata sang pengacara dengan nada datar. "Fakta-faktanya demikian. Istri Anda tidak pernah bertemu dengan Miss French?" "Tidak..." Lagi-lagi anak muda itu terdengar tegang. "Izinkan saya menyatakan bahwa saya boleh dikatakan tak bisa memahami sikap Anda dalam hal ini," kata Mr. Mayheme. Wajah Vole memerah. Ia tampak ragu-ragu, kemudian berkata, "Saya terus terang saja. Seperti Anda ketahui, saya sangat membutuhkan uang. Saya berharap Miss French mau meminjamkan sedikit uang pada saya. Dia menyukai saya. tapi dia sama sekali tidak peduli dengan perjuangan berat saya dan istri saya sebagai pasangan muda. Sejak awal saya mendapati dia menyimpulkan bahwa hubungan istri saya dan saya tidak baik lagi bahwa kami hidup berpisah. Mr. ?Mayheme, saya menginginkan uang itu... demi Romaine. Maka saya tidak mengatakan apa-apa. Saya biarkan saja wanita tua itu menyimpulkan sesukanya. Dia pernah menyinggung ingin mengangkat saya sebagai anaknya. Tidak pernah ada pembicaraan tentang menikah itu pasti hanya imajinasi Janet belaka." "Hanya itu?" "Ya, ?hanya itu." Adakah tersirat sedikit keraguan dalam kata-kata anak muda itu" begitulah yang dirasakan sang peng - 162 acara. Lalu ia bangkit berdiri dan mengulurkan tangan "Sampai jumpa, Mr. Vole." Ia menatap wajah anak muda yang kurus itu, d"n berkata dengan nada emosinal yang tidak biasa, "Saya percaya Anda tidak bersalah, meski banyak sekali fakta yang memberatkan Anda. Saya berharap bisa membuktikannya dan membebaskan Anda sepenuhnya " Vole membalas senyumnya. "Anda akan mendapati alibi saya benar adanya," katanya dengan nada riang. Lagi-lagi ia tidak memperhatikan bahwa Mr. Mayheme tidak berkomentar. "Keseluruhan kasus ini akan sangat bergantung pada kesaksian Janet Mackenzie," kata Mr. Mayheme. "Dia benci pada Anda. Itu sudah jelas." "Dia tak punya alasan untuk membenci saya," protes anak muda itu. Sang pengacara menggelengkan kepala sambil beranjak keluar. "Sekarang menemui Mrs. Vole," katanya pnda diri sendiri. Ia merasa sangat terganggu dengan perkembangan kasus ini. Suami-istri Vole tinggal di sebuah rumah kecil yang lusuh di dekat Paddington Green. Ke sanalah Mr. Mayheme menuju. Bel pintu dijawab oleh seorang wanita bertubuh besar yang kumuh. Jelas ia seorang pelayan bersih-bersih. "Mrs. Vole" Apa dia sudah kembali?" 163 "Sudah pulang satu jam yang lalu, tapi tidak tahu Anda bisa ketemu dia atau tidak." "Kalau Anda mau menyampaikan kartu nama saya padanya, saya yakin dia bersedia menemui saya," kata Mr. Mayheme pelan. Wanita itu menatapnya ragu-ragu, lalu menyapukan tangan di celemeknya, dan mengambil kartu nama yang disodorkan Mr. Mayheme. Kemudian ia menutup pintu dan membiarkan pengacara itu berdiri di undak-undak di luar. Namun beberapa menit kemudian ia kembali dengan sikap lebih ramah. "Silakan masuk." Ia membawa Mr. Mayheme ke sebuah ruang duduk yang sangat kecil. Mr. Mayheme melihat-lihat lukisan di dinding, dan ketika mengangkat wajah, ia terkejut karena tahu-tahu sudah berhadapan dengan seorang wanita jangkung yang pucat. Wanita itu masuk tanpa suara, hingga Mr. Mayheme tidak mendengar langkahnya. "Mr. Mayheme" Anda pengacara suami saya, bukan" Anda datang setelah menjenguknya" Silakan duduk." Setelah wanita itu membuka suara, barulah Mr. Mayheme menyadari bahwa ia bukan orang Inggris. Setelah mengamati dengan lebih saksama, ia memperhatikan tulang pipi tinggi wanita itu, rambutnya yang hitam pekat, dan sesekali gerakan tangannya yang berkesan asing. Wanita yang aneh, sangat tenang. Begitu tenang, hingga membuat orang gelisah. Sejak pertama melihatnya, Mr. Mayheme menyadari bahwa ia tengah menghadapi sesuatu yang tidak ia pahami. 164 "Mrs. Vole yang baik," katanya, "Anda tidak boleh panik..." Namun ia menghentikan kalimatnya. Jelas tampak bahwa Romaine Vole sama sekali tidak kelihatan panik. Ia benar-benar tenang dan bisa menguasai diri sepenuhnya. "Bisakah Anda menceritakan keseluruhan peristiwanya pada saya?" tanyanya. "Saya mesti tahu segala-galanya. Tak usah menutupi apa pun dari saya. Saya ingin tahu yang paling buruk." Ia ragu-ragu, kemudian mengulangi dengan nada lebih pelan, dengan tekanan aneh yang tidak dimengerti Mr. Mayheme. "Saya ingin tahu yang terburuk." Mr. Mayheme menyampaikan percakapannya dengan Leonard Vole. Wanita itu mendengarkan dengan penuh perhatian, sambil menganggukkan kepala sesekali. "Begitu," katanya setelah Mr. Mayheme selesai. "Dia ingin saya mengatakan bahwa dia pulang pada jam sembilan lewat dua puluh malam itu?" "Sebenarnya dia tidak pulang pada jam itu?" tanya Mr. Mayheme dengan tajam. "Bukan itu yang penting," sahut Romaine Vole dengan nada dingin. "Apakah dia akan dibebaskan kalau saya mengatakan itu" Apakah mereka akan mempercayai saya?" Mr. Mayheme terperanjat. Wanita ini sudah langsung ke pokok permasalahannya. "Itu yang ingin saya ketahui," kata Romaine. "Apakah itu cukup" Adakah orang lain yang, bisa mendukung pernyataan saya?" Ada kesan bernafsu yang sengaja ditahan dalam 165 sikapnya, yang membuat Mr. Mayheme merasa agak gelisah. "Sejauh ini tidak ada," sahutnya enggan "Begitu." kata Romaine Vole. Selama semenit-dua menit ia duduk tak bergerak. Seulas senyum samar bermain di bibirnya. Perasaan cemas Mr. Mayheme semakin memuncak. "Mrs. Vole...," katanya. "Saya tahu apa yang Anda rasakan..." "Benarkah?" kata Romaine. "Saya tidak yakin." "Dalam situasi ini..." "Dalam situasi ini... saya berniat bertindak seorang diri." Mr. Mayheme menatapnya dengan khawatir. "Tapi, Mrs. Vole... beban Anda terlalu berat. Berhubung Anda sangat memuja suami Anda..." "Apa kata Anda?" Nada tajam dalam suaranya membuat Mr. Mayheme terenyak. Ia mengulangi dengan sikap ragu-ragu. "Berhubung Anda sangat memuja suami Anda..." Romaine Vole mengangguk perlahan-lahan, bibirnya masih menyunggingkan senyum aneh yang sama. "Dia mengatakan pada Anda bahwa saya memujanya?" tanyanya pelan. "Ah, ya, Orang Orang Lapar 1 Pendekar Rajawali Sakti 20 Penyair Maut Pusaka Goa Naga 1

Cari Blog Ini