Ceritasilat Novel Online

Anjing Kematian 4

Anjing Kematian The Hound Of Death And Other Stories 1933 Karya Agatha Christie Bagian 4 diadakan oleh Bernard Seldcn, spesialis saraf itu. Tidak seperti biasanya, Borrow banyak berdiam diri, dan Silas Hamer bertanya dengan perasaan ingin tahu, apa yang sedang dipikirkan temannya itu. Jawaban Borrow sungguh tak terduga. "Aku sedang berpikir, bahwa dari antara semua orang dalam acara makan malam tadi, hanya dua orang yang bisa mengatakan dirinya bahagia. Dan anehnya kedua orang itu adalah kau dan aku!" Kata "anehnya" itu sangat tepat, sebab kedua pn" itu memang sangat berbeda. Richard Borrow, pendeta east end yang pekerja keras, dan Silas Hamer, pria kelimis yang merasa puas din, yang kekayaannya sudah diketahui orang di manamana. "Aneh, bukan," Borrow merenungkan, "aku yakin kau satu-satunya jutawan yang merasa puas, yang pernah kukenal." Sesaat Hamer terdiam. Ketika ia berbicara, nadanya sudah berubah 246 "Dulu aku hanyalah anak penjual koran yang malang dan selalu kedinginan. Waktu itu aku menginginkan apa-apa yang sekarang telah kuperoleh perasaan nyaman dan?kemewahan yang bisa diberikan oleh uang, bukan kekuasaan yang ada pada uang. Aku memang menginginkan uang, bukan untuk menggunakannya sebagai suatu kekuatan, tapi untuk ku-belanjakan habis-habisan bagi diriku sendiri. Aku terus terang ?saja tentang hal itu. Kata orang, uang tak bisa membeli segalanya. Benar sekali. Tapi uang bisa membeli segala sesuatu yang kuinginkan karena itulah aku merasa ?puas. Aku seorang materialis, Borrow, luar-dalam." Penerangan benderang di jalanan lebar itu mengkonfirmasikan pernyataan Silas Hamer. Sosoknya yang elegan terbungkus oleh mantel berat dari bulu binatang dan cahaya lampu yang putih semakin memperjelas lipatan-lipatan daging tebal di bawah dagunya. Kontras sekali dengan Dick Borrow yang berjalan di sampingnya, dengan wajatinva yang tirus dan tenang, serta sepasang matanya yang berkesan pemimpi dan fanatik. "Aflwlah yang tak bisa kumengerti," kata Hamer dengan nada menekankan. Borrow tersenyum. "Aku hidup di tengah penderitaan, kekurangan, kelaparan segala penyakit fisik! ?Tapi aku ditopang oleh sebuah Visi yang sangat kuat. Tidak mudah memahami hal ini. kecuali kau percaya akan Visi, sementara aku yakin kau tidak percaya " "Aku memang tidak percaya akan apa pun yang tidak bisa kulihat, kudengar, dan kusentuh," kata Silas Hamer dengan tegas. 247 "Karena itulah. Itu perbedaan di antara kita. Nah, sampai jumpa, aku akan segera turun ke bawah tanah." Mereka sudah tiba di ambang pintu stasiun kereta bawah tanah yang diterangi lampu. Kereta dengan rute menuju rumah Borrow. Hamer melanjutkan perjalanan seorang diri. Ia senang telah menyuruh pulang sopirnya malam ini. Ia memilih untuk berjalan kaki saja. Udara terasa dingin dan tajam, keseluruhan indranya terasa peka akan kehangatan yang diberikan mantel bulunya. Ia berhenti sejenak di trotoar, sebelum menyeberangi jalan. Sebuah bus besar sedang bergerak dengan berat ke arahnya. Hamer, yang merasa sangat santai, menunggu sampai bus itu lewat. Kalau hendak menyeberang mendahului bus itu, ia mesti bergegas padahal ia tidak suka bergegas. Di sampingnya, seorang laki-laki compang-camping yang lusuh melangkah mabuk dari trotoar. Hamer mendengar seseorang berteriak, melihat bus besar itu meliuk menghindar tanpa guna, lalu... dengan tertegun, disusul rasa ngeri yang timbul perlahan-lahan, ia menatap sosok compang-camping yang tergeletak tak bergerak di tengah jalan itu. Orang-orang bermunculan secara ajaib, dengan dua orang polisi dan si pengemudi bus di tengah-tengah. Namun Hamer masih juga terpaku, dengan perasaan takjub bercampur ngeri, pada onggokan tak bernyawa yang tadi masih merupakan seorang manusia-manusia hidup, seperti dirinya! Ia merinding, seperti merasakan sesuatu yang jahat. "Tidak usah menyalahkan diri sendiri, Bung," kata seorang laki-laki yang tampak kasar di sampingnya. "Kau tidak mungkin bisa berbuat apa-apa. Lagi pula, dia sudah mati." Hamer terpaku menatapnya. Sejujurnya, tak pernah terpikir olehnya bahwa tadi ia bisa saja menyelamatkan orang itu. Sekarang ia menepiskan pikiran itu sebagai sesuatu yang tidak masuk akal. Wah, kalau tadi ia setolol itu, saat ini mungkin ia... Cepat-cepat ia menghentikan berpikir demikian, dan berlalu meninggalkan kerumunan orang itu. Ia merasa tubuhnya gemetar oleh rasa takut tak terkira yang tak bisa dijelaskan. Ia terpaksa mengakui pada dirinya sendiri bahwa ia takut amat sangat takut terhadap Kematian... Kematian yang datang dengan ? ?kecepatan dan kepastian tak kenal ampun yang mengerikan, tak pandang bulu, pada yang miskin ataupun kaya... Ia mempercepat langkahnya, tapi rasa takut itu masih tetap dirasakannya, menyelimutinya dalam cengkeramannya yang dingin membekukan. Ia merasa heran akan dirinya, sebab ia tahu bahwa ia bukanlah pengecut. Ia merenungkan, lima tahun yang lalu, rasa takut ini tidak bakal menyerangnya Sebab lima tahun yang lalu. Hidup belumlah semanis ini... Ya, itu dia; kecintaan akan Hidup, itulah kunci misterinya. Semangat hidupnya sedang berada pada puncaknya, dan hanya satu yang menjadi ancaman baginya, Kematian, sang perusak! Ia berbelok dari trotoar yang terang benderang. Ada sebuah lorong sempit, diapit tembok-tembok tinggi, yang menawarkan jalan pintas ke Square, tempat rumahnya berada, rumahnya, yang terkenal akan koleksi benda-benda seninya. 248 249 Kebisingan jalanan di belakangnya berkurang dan mereda, satu-satunya suara yang terdengar hanyalah detak pelan langkah-langkah kakinya sendiri. Kemudian, dari keremangan cahaya di depannya, terdengar suara lain. Seorang laki-laki duduk bersandar di tembok, memainkan seruling. Pasti dia salah satu dari sekian banyak pemusik jalanan di kota ini, tapi kenapa dia memilih tempat yang begitu aneh untuk duduk" Tentunya pada malam selarut ini, polisi... namun segala pikiran di dalam benak Hamer terhenti dengan mendadak, saat ia dengan terkejut menyadari bahwa laki-laki itu tidak mempunyai kaki. Sepasang tongkat penyangga tersandar di tembok, di sampingnya. Sekarang Hamer bisa melihat bahwa bukan seruling yang dimainkannya, melainkan sebuah alat musik yang aneh, yang nada-nadanya jauh lebih tinggi dan lebih jernih daripada nada-nada seruling. Laki-lpki itu terus memainkan alat musiknya, ia tidak mengacuhkan kedatangan Hamer. Kepalanya tertengadah jauh ke belakang, seakan terangkat oleh kebahagiaan yang ia rasakah dari musiknya sendiri, dan nada-nada musik itu mengalir dengan jemih dan gembira, semakin tinggi dan semakin tinggi... Nada itu aneh sekali sebenarnya sama sekali tak bisa disebut nada, melainkan ?sebuah frasa tunggal, mirip dengan nada-nada peralihan yang lamban dalam gesekan biola-biola pada Ricnzi, diulangi berkali-kali, beralih dari satu kunci nada ke kunci nada lainnya, dari satu harmoni ke harmoni lainnya, tapi selalu makin tinggi, dan setiap kali melengking ke kebebasan yang lebih besar dan lebih tak berbatas. Belum pernah Hamer mendengar yang seperti itu. Ada kesan aneh dalam nada-nada itu, sesuatu yang menimbulkan inspirasi dan ?melegakan jiwa... nada itu... Dengan panik ia mencengkeram sebuah tonjolan di tembok di sampingnya. Ia sadar akan satu hal ia mesti tetap di tanah apa pun yang ? ?terjadi, ia mesti tetap berada di tanah. Sekonyong-konyong ia menyadari bahwa musik itu telah berhenti. Laki-laki yang tidak berkaki itu sedang mengambil tongkat-tongkat penyangganya. Sementara ia, Silas Hamer, sedang mencengkeram sebuah tonjolan batu seperti orang sinting, hanya karena ia diliputi perasaan yang benar-benar tidak masuk akal amat sangat ?absurd bahwa ia tengah terangkat dari tanah bahwa musik itu membawanya ? ?melayang naik... la tertawa. Benar-benar pikiran sinting! Kakinya jelas-jelas tidak terangkat dari tanah sedikit pun, tapi aneh sekali halusinasi yang dialaminya itu! Bunyi detak cepat kayu yang beradu dengan tanah memberitahunya bahwa laki-laki cacat itu tengah berjalan pergi. Hamer memandanginya, sampai sosok orang itu tertelan kegelapan. Orang aneh! la melanjutkan perjalanan dengan langkah lebih perlahan; ia tak bisa menepiskan dari benaknya, pikiran akan perasaan aneh yang luar biasa tadi. ketika tanah di bawah kakinya serasa lenyap... Kemudian, berdasarkan dorongan hati semata-mata, ia berbalik dan cepat-cepat berjalan ke arah yang diambil laki-laki tadi. Tak mungkin orang itu sudah jauh ia pasti bisa menyusulnya.?Hamer berseru begitu melihat sosok cacat itu bergerak perlahan-lahan 250 251 "Hei, tunggu sebentar." Orang itu berhenti, dan diam tak bergerak sampai Hamer berhasil menyusulnya. Sebuah lampu menyala tepat di atas kepalanya, memperlihatkan keseluruhan wajahnya. Silas Hamer tercekat terkejut. Laki-laki itu memiliki kepala paling indah yang pernah dilihatnya. Umurnya bisa berapa saja; jelas ia bukan anak kecil lagi, tapi wajahnya tampak begitu muda muda dan penuh vitalitas. ?Aneh sekali. Hamer merasa sangat sulit membuka percakapan dengan orang itu. "Coba dengar," katanya dengan canggung. "Aku ingin tahu, musik apa yang kaumainkan tadi itu?" Laki-laki itu tersenyum... bersama senyumannya, sekonyong-konyong seluruh dunia ikut melonjak gembira... "Itu sebuah nada lama sudah sangat tua... sudah bertahun-tahun berabad-abad ? ?umurnya." Suaranya menyimpan kejernihan dan ketegasan yang aneh, memberikan nilai yang sama pada masing-masing suku katanya. Ia jelas bukan orang Inggris, tapi Hamer tak bisa menebak kebangsaannya. "Kau bukan orang Inggris" Dari mana asalmu?" Lagi-lagi orang itu menyunggingkan senyum lebar dan gembira. "Dari seberang lautan, Sir. Aku datang lama berselang... sudah lama sekali berselang." "Kau pasti pernah mengalami kecelakaan parah. Apakah terjadinya belum lama ini?" "Sudah agak lama sekarang, Sir." "Malang sekali, kehilangan dua kaki." 'Tidak apa-apa," kata orang itu dengan sangat 252 tenang. Dengan keseriusan yang tak dapat ditebak, ia mengalihkan tatapannya pada Hamer. "Kaki-kaki itu membawa kejahatan." Hamer memberikan satu shilling padanya, lalu berbalik pergi, la merasa bingung dan agak gelisah. "Kaki-kaki itu membawa kejahatan!" Aneh sekali, mengatakan itu! Mungkin kedua kakinya diamputasi karena penyakit, tapi... aneh sekali ucapannya itu. Hamer pulang ke rumahnya, masih sambil berpikir. Sia-sia ia mencoba mengenyahkan peristiwa tadi dari benaknya, la berbaring di tempat tidur, dan ketika rasa kantuk mulai menyelimutinya, ia mendengar jam berdentang satu kali. Satu dentang jernih, lalu sunyi... kesunyian yang kemudian dipecahkan oleh sebuah suara samar yang sudah dikenalnya... hatinya serasa melonjak mengenali suara itu. Hamer merasa jantungnya berdebar kencang. Itu suara laki-laki di lorong tadi, tengah memainkan musiknya, di suatu tempat yang tidak terlalu jauh... Nada-nada musik itu menari-nari gembira, berganti perlahan dengan panggilan yang membawa kegembiraan, frasa kecil yang sama, yang tak bisa ia lupakan... "Aneh," gumam Hamer, "aneh. Nada-nada itu seakan memiliki sayap..." Semakin jernih dan semakin jernih, semakin tinggi dan semakin tinggi setiap ?gelombang naik lebih tinggi daripada yang sebelumnya, membawa dirinya ikut naik bersama. Kali ini ia tidak berusaha bertahan, dibiarkannya dirinya lepas... Naik... naik... gelombang-gelombang nada itu membawanya lebih tinggi dan lebih tinggi... Penuh kemenangan dan bebas, nada-nada itu bagai menyapunya. 253 Semakin tinggi dan semakin tinggi... sekarang nada-nada itu telah melewati batas nada-nada manusia, tapi masih terus berlanjut... terus dan terus meninggi... akankah mereka mencapai titik akhir, ketinggian yang sepenuhnya sempurna" Terus meninggi... Ada sesuatu yang menariknya menariknya ke bawah. Sesuatu yang besar, berat, dan ?memaksa. Menariknya tanpa ampun menariknya kembali, turun... turun... Ia berbaring di tempat tidurnya, memandangi jendela di seberang. Kemudian, sambil menarik napas dengan berat dan susah payah, ia mengulurkan satu lengannya melewati tepi tempat tidur. Aneh, gerakan itu terasa berat sekali baginya. Kelembutan tempat tidurnya terasa menekan, begitu pula tirai-tirai tebal di jendela, yang menutupi cahaya dan udara. Langit-langit kamar ini juga terasa menekan. Ia merasa tercekik dan tak bisa bernapas. Ia bergerak sedikit di bawah selimutnya, dan berat tubuhnya terasa paling menekan dan antara semuanya... II "Aku perlu nasihatmu. Seldom" Seldon mendorong kursinya sedikit menjauhi meja. Ia sudah bertanya-tanya, apa sebenarnya tujuan obrolan basa-basi ini. la jarang bertemu Hamer sejak musim dingin, dan malam ini ia merasa ada perubahan yang tak bisa dijelaskan dalam diri temannya ini. 254 "Cuma ini," kata jutawan itu, "aku cemas akan diriku sendiri." Seldon tersenyum sambil memandang ke seberang meja. "Tampaknya kau sehat-sehat saja." "Bukan itu." Hamer diam sejenak, lalu menambahkan pelan, "Aku khawatir aku sudah sinting." Spesialis saraf itu mengangkat wajah dengan minat besar yang muncul tiba-tiba. Dengan gerakan agak pelan ia menuang segelas anggur untuk dirinya sendiri, kemudian ia berkata pelan, dengan tatapan tajam ke arah teman bicaranya, "Kenapa kau berpikir begitu?" "Sesuatu telah terjadi padaku. Sesuatu yang tak bisa dijelaskan dan sulit dipercaya. Tapi itu tak mungkin benar-benar terjadi, berarti akulah yang mulai sinting." "Pelan-pelan saja," kata Seldon, "dan ceritakan padaku, apa yang terjadi." "Aku tidak percaya akan hal-hal yang bersifat supranatural," Hamer memulai. "Sejak dulu pun tidak. Tapi yang satu ini... yah, sebaiknya kuceritakan keseluruhan kisahnya sejak dari awal. Dimulai pada suatu malam di musim dingin yang lalu, sesudah aku makan malam bersamamu." Kemudian dengan singkat dan ringkas ia memaparkan apa-apa yang dialaminya dalam perjalanan pulang, serta kelanjutannya yang aneh. "Itulah awal dari semuanya. Aku tak bisa menjelaskan dengan semestinya padamu maksudku tentang perasaanku tapi apa yang kurasakan itu sungguh luar biasa! ?Belum pernah aku merasakan atau bermimpi seperti itu. Yah, dan perasaan itu terus berlanjut. Tidak setiap malam, hanya sesekali. Musik itu, perasaan 255 terangkat dari tanah, terbang jauh ke ketinggian... lalu perasaan tertekan yang tak tertahankan, ditarik kembali ke bumi, dan sesudahnya rasa sakit itu. rasa sakit fisik saat terbangun. Rasanya seperti baru turun dari gunung tinggi kau ?tahu, kan, rasa sakit di telinga, yang dirasakan orang setelah turun gunung" Nah, ini sama, tapi lebih intens diiringi dengan perasaan berat yang amat ?sangat perasaan terkurung, tak bisa bernapas..." ?Ia berhenti bicara. Sejenak hening di antara mereka "Para pelayan sudah menganggap aku sinting. Aku tidak tahan terkurung oleh atap dan tembok-tembok rumah aku sudah membuat tempat di bagian puncak rumah, ?terbuka ke arah langit, tanpa perabot atau karpet, atau apa pun yang membuat sesak napas... tapi melihat rumah-rumah di sekitarku pun aku tidak tahan. Aku ingin tempat terbuka, di mana aku bisa bernapas..." Ia menatap Seldon. "Nah, bagaimana menurutmu" Bisakah kau memberi penjelasan?" "Hm," kata Seldon. "Banyak penjelasannya. Kau sudah terhipnotis, atau kau menghipnotis dirimu sendiri. Saraf-sarafmu sudah tak beres. Atau barangkali yang kaualami itu hanya mimpi." Hamer menggelengkan kepala. 'Tidak ada penjelasanmu yang tepat." "Masih ada lagi," kata Seldon perlahan-lahan, "tapi biasanya penjelasan ini tidak diakui." "Kau sendiri siap mengakuinya?" "Secara keseluruhan, ya! Banyak sekali hal-hal yang tidak bisa kita pahami, dan tidak bisa dijelaskan secara normal. Masih banyak yang mesti kita cari tahu kebenarannya, dan aku selalu berusaha berpikiran terbuka." 256 "Kau menyarankan aku berbuat apa?" tanya Hamer setelah diam sejenak. Seldon mencondongkan tubuh dengan gerakan sigap. "Salah satunya saja Tinggalkan London, carilah 'tempat terbuka' yang kauimpikan. Mimpi-mimpimu itu mungkin akan berhenti." "Tidak bisa," kata Hamer cepat. "Masalahnya, aku tidak bisa hidup tanpa mimpimimpi itu. Aku tidak mau." "Ah, sudah kuduga. Alternatif lainnya, cari orang itu, laki-laki cacat itu. Kau telah mengaitkan banyak unsur supranatural terhadap dirinya. Bicaralah dengannya. Hancurkan pesona itu." Hamer kembali menggelengkan kepala. "Kenapa tidak?" Anjing Kematian The Hound Of Death And Other Stories 1933 Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Aku takut." sahut Hamer singkat saja. Seldon membuat gerakan tak sabar. "Jangan percaya bulat-bulat begitu saja! Nada yang dia mainkan itu, yang memulai semua ini, seperti apa bunyinya?" Hamer menggumamkannya, dan Seldon mendengarkan sambil mengernyit bingung. "Mirip penggalan nada Overture Rienri Memang ada kesan melegakan pada nada itu seakan-akan nada itu bersayap. Tapi aku toh tidak sampai terbawa terbang ?olehnya. Nah, penerbangan-penerbanganmu itu, apa semuanya persis sama?" "Tidak, tidak." Hamer mencondongkan mbuh dengan bersemangat. "Mereka berkembang Setiap kali, aku melihat lebih banyak. Sulit menjelaskannya. Aku selalu sadar telah mencapai titik tertentu musik itu membawaku ke sana tidak secara ? ?langsung, tapi melalui serangkaian gelombang, masing-masing lebih 257 tinggi daripada yang sebelumnya, sampai di suatu titik tertinggi, di mana orang tidak bisa naik lebih jauh lagi. Aku tetap di sana sampai aku diseret pulang. Aku tidak mengacu pada tempat, tapi lebih pada... suasana hati. Yah, mulanya tidak begitu, tapi setelah beberapa lama, aku mulai menyadari bahwa di sekitarku ada hal-hal lain yang menunggu, sampai aku sanggup memahaminya. Bayangkan seekor anak kucing. Anak kucing itu punya mata, tapi mulanya dia tidak bisa melihat. Dia buta, dan mesti belajar melihat. Nah, seperti itulah yang kualami. Mata dan telinga manusia tidak ada gunanya bagiku, tapi ada sesuatu yang berkaitan dengan mata dan telinga itu. yang belum dikembangkan sesuatu yang sama sekali tidak ?bersifat fisik. Dan sedikit demi sedikit, sesuatu itu berkembang... ada sensasisensasi akan cahaya... lalu suara-suara... lalu warna... semuanya sangat samar dan tidak terumuskan. Lebih pada mengetahui keberadaan semua itu, daripada melihat atau mendengarnya. Mulanya aku melihat cahaya, cahaya yang semakin terang dan semakin jelas. - lalu pasir, bentangan luar pasir kemerahan... dan di sana-sini ada garis-garis air yang panjang dan lurus, seperti kanal-kanal..." Seldon menarik napas dengan tajam. "Kanal! Itu menarik. Teruskan." "Tapi semua itu tidak penting tidak penting lagi. Yang penting adalah apa-apa ?yang belum bisa kulihat tapi aku bisa mendengarnya... bunyinya seperti desir ?kepak sayap... entah bagaimana, aku tak bisa menjelaskan, tapi perasaan itu sungguh luar biasa! Tak ada yang bisa menyamainya di sini. Lalu muncul 258 perasaan menakjubkan lainnya aku bisa melihat mereka Sayap-sayap itu! Oh, ? ?Seldon, Sayap-sayap itu!" "Tapi apa sebenarnya sayap-sayap itu" Manusia malaikat burung-burung?" ? ?"Aku tidak tahu. Aku tak bisa melihatnya belum bisa. Tapi warna mereka! Warna ?sayap kita tidak memilikinya di sini warna yang sangat indah." ? ? "Warna sayap?" ulang Seldon. "Seperti apa?" Hamer mengibaskan kedua tangannya dengan tak sabar. "Mana bisa kugambarkan" Seperti menjelaskan warna biru pada orang buta. Warna itu warna yang tak pernah kaulihat warna Sayap!"?"Lalu?" "Lalu" Itu saja. Hanya sejauh itulah yang kualami. Tapi setiap kali aku kembali, rasanya jadi lebih berat lebih menyakitkan. Aku tak mengerti. Aku yakin ragaku ?tak pernah meninggalkan tempat tidur. Di tempat yang kudatangi itu, aku yakin aku tidak punya badan fisik. Lalu kenapa rasanya begitu menyakitkan?" Seldon menggelengkan kepala, tanpa mengatakan apa-apa. "Menyakitkan sekali proses kembali itu. Aku serasa ditarik lalu rasa sakit ? ?itu, rasa sakit di setiap anggota tubuhku dan setiap saraf, telingaku serasa akan meledak. Segalanya begitu menekan, berat sekali, perasaan terkurung yang amat sangat. Aku merindukan cahaya, udara, ruang terutama ruang untuk bernapas! ?Dan aku menginginkan kebebasan." "Lalu bagaimana dengan hal-hal lain yang biasanya begitu berarti bagimu?" tanya Seldon. "Itulah yang paling menyedihkan. Aku masih tetap 259 menyukai hal-hal lama ini, malah bisa dikatakan melebihi semula. Tapi hal-h"l itu kenyamanan, kemewahan, kesenangan sepertinya menarikku ke arah yang ? ?berlawanan dengan Sayap-sayap itu. Seperti tarik-menarik abadi di antara keduanya dan aku tak tahu kapan itu akan berakhir." ?Seldon duduk dalam diam. Kisah aneh yang didengarnya ini cukup fantastis dalam semua kebenarannya. Apakah semua itu hanya delusi, halusinasi liar atau adakah ?kemungkinan bahwa semua itu benar" Dan kalau ya, kenapa Hamer, dari sekian banyak orang..." Mestinya pria materialis ini, yang mencintai kesenangan fisik dan mengingkari kehidupan spiritual, bukanlah orang yang bakal mendapat penglihatan ke dunia lain. Di hadapannya, Hamer memandanginya dengan harap-harap cemas. "Kurasa kau hanya bisa menunggu," kata Seldon perlahan-lahan. "Menunggu dan melihat apa yang terjadi." "Aku tak bisa. Sungguh, aku tak bisa. Dengan berkata begitu, berarti kau tidak mengerti. Aku terbelah dua dalam tarik-menarik mengerikan ini perUrungan ?mematikan yang terus-menerus antara... antara..." Ia ragu-ragu. "Raga dan jiwa?" Seldon membantu. Hamer menatap tajam ke depan. "Mungkin seperti itulah. Yang jelas, rasanya tak tertahankan... aku tak bisa bebas..." Sekali lagi Bernard Seldon menggelengkan kepala. Ia terjebak dalam cengkeraman sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Ia memberikan satu saran lagi. 260 "Kalau aku jadi kau," katanya, "aku akan mencari laki-laki itu." Tapi dalam perjalanan pulang ia bergumam sendiri, "Kanal... aneh." III Keesokan paginya, Silas Hamer keluar dari rumah dengan tekad baru dalam langkahnya. Ia telah memutuskan untuk mengikuti saran Seldon, menemui laki-laki tak berkaki itu. Namun dalam hati ia yakin pencariannya akan sia-sia; laki-laki itu pasti sudah menghilang bagai ditelan bumi. Gedung-gedung gelap di kedua sisi lorong tersebut menutupi sinar matahari, membuat lorong itu gelap dan misterius. Hanya di satu tempat, di tengah lorong, ada celah di antara tembok, dan dari sana jatuh seberkas cahaya keemasan yang menyinari sosok yang duduk di tanah itu dengan sangat terang. Sosok itu... ya, laki-laki tak berkaki itu! Alat musiknya tersandar di tembok, di samping tongkat-tongkat penyangganya, dan ia sedang menggambari trotoar dengan pola-pola dari kapur berwarna. Sudah dua gambar diselesaikannya, pemandangan berhutan yang amat ifcngat indah dan halus, pepohonan yang bergoyang diembus angin, dan anak sungai yang kelihatan begitu nyata. Lagi-lagi Hamer merasa ragu. Apakah orang ini hanya seorang pemusik jalanan, seniman pelukis trotoar" Ataukah ia lebih dari... 261 Sekonyong-konyong sang jutawan tak bisa mengendalikan diri lagi. Ia berseru dengan garang dan marah, "Siapa kau" Demi Tuhan, siapa kau?" Laki-laki itu menatapnya, dan tersenyum. "Kenapa kau tidak menjawab" Bicaralah, bicaralah!" Kemudian ia memperhatikan bahwa orang itu tengah menggambar dengan kecepatan luar biasa di sebongkah batu yang masih kosong. Hamer mengikuti gerakan tangannya dengan matanya... beberapa sapuan tegas, dan pepohonan raksasa pun jadilah. Kemudian, duduk di sebuah batu besar... sosok seorang pria... memainkan alat musik pipa. Seorang pria dengan wajah yang begitu indah dan berkaki ?kambing... Tangan laki-laki itu membuat satu gerakan cepat. Gambar laki-laki yang duduk di batu besar itu masih ada, tapi kaki-kaki kambingnya sudah lenyap Sekali lagi matanya bertemu pandang dengan mata Hamer. "Kaki-kaki itu membawa petaka," katanya. Hamer tertegun terpesona. Sebab wajah di hadapannya ini adalah wajah pria dalam gambar itu, tapi jauh lebih indah, amat lebih indah... wajah yang telah disucikan dari segala sesuatu, kecuali kegembiraan hidup yang luar biasa dan menyentuh hati. Hamer berbalik dan hampir-hampir berlari terbang di lorong itu, menuju cahaya matahari yang terang, sambil mengulangi sendiri tanpa henti, "Mustahil. Mustahil... Aku sudah sinting aku bermimpi!" Tapi wajah laki-laki itu ?menghantuinya wajah Pan... ?la masuk ke taman dan duduk di bangku. Jam itu adalah jam sepi. Beberapa pengasuh bersama anak-anak jagaan mereka duduk di keteduhan pepohonan, dan di sana-sini, di bentangan kehijauan yang bagaikan pulau-pulau di tengah laut, tampak sosok beberapa laki-laki sedang berbaring-baring... Bagi Hamer, kata-kata "pengemis malang" melambangkan puncak segala ketidakbahagiaan. Tapi sekonyong-konyong hari ini ia merasa iri pada mereka. . Di matanya, merekalah satu-satunya makhluk yang benar-benar bebas, dari antara makhluk-makhluk lainnya. Bumi tempat berpijak, bentangan langit di ata^ kepala, dunia untuk tempat mengembara... mereka tidak terkungkung ataupun terbelenggu. Bagai sapuan kilat, mendadak ia menyadari bahwa apa yang telah membelenggunya selama ini adalah sesuatu yang telah ia puja dan hargai, melebihi hal-hal lainnya kekayaan! Ia telah menganggap kekayaan sebagai sesuatu yang paling ?berkuasa di bumi, dan sekarang, terbungkus oleh kekuasaannya yang berkilauan, ia melihat kebenaran kata-katanya sendiri. Uangnyalah yang telah membuatnya terbelenggu... Tapi benarkah" Benarkah uangnya yang telah mengikat dirinya" Ataukah ada kebenaran yang lebih dalam dan lebih jelas, yang tidak dilihatnya" Uang ataukah kecintaannya pada uang" Ia terbelenggu dalam rantai yang telah diciptakannya sendiri; bukan kekayaan itu yang menjadi masalah, melainkan kecintaannya akan kekayaan itu. Kini ia tahu pasti dua kekuatan yang merobek-robeknya, kekuatan hangat materialisme yang melingkupi dan mengelilinginya, melawan panggilan jernih bernada memerintah itu ia menyebutnya Panggilan Sayap-Sayap. ?262 263 Sementara kekuatan yang satu berjuang menariknya, kekuatan satunya lagi tak mau bergulat mempertahankan melainkan hanya memanggilnya... memanggil tanpa henti... Ia ?mendengar panggilan itu begitu jelas, hingga serasa panggilan itu disuarakan dalam kata-kata. "Kau tak bisa membuat kesepakatan denganku," sepertinya suara itu berkata. "Sebab aku melebihi hal-hal lainnya. Kalau kau menuruti panggilanku, kau mesti merelakan yang lain-lainnya dan melepaskan kekuatan-kekuatan yang menahanmu. Sebab hanya orang Bebas yang bisa mengikutiku ke tempat aku akan membawanya..." "Aku tak bisa," seru Hamer. "Aku tak bisa..." Beberapa orang menoleh memandangi pria bertubuh besar itu, yang duduk berbicara sendiri. Jadi, ia diminta berkorban, mengorbankan sesuatu yang paling disayanginya, yang merupakan bagian dirinya sendiri. Bagian dirinya ia teringat laki-laki tak berkaki itu... ?IV "Apa yang membawamu kemari?" tanya Borrow. Memang, gereja di East End itu merupakan tempat yang asing bagi Hamer. "Aku sudah mendengarkan banyak khotbah yang bagus," kata Hamer, "semuanya menggambarkan apa-apa yang bisa dilakukan kalau kalian punya dana. 264 Aku datang untuk mengatakan ini: kalian akan punya dana." "Baik sekali kau," kata Borrow, agak terkejut. "Mau memberi sumbangan besar, ya?" Hamer tersenyum tanpa ekspresi. "Begitulah. Setiap sen yang kumiliki." "Apa?" Hamer memaparkan detail-detailnya dengan sikap formal dan ringkas. Borrow merasa kepalanya berpusing. "Maksudmu... maksudmu kau ingin menghibahkan seluruh kekayaanmu untuk membantu orang-orang miskin di East End, dan menunjuk aku sebagai pelaksananya?" "Begitulah." "Tapi kenapa... kenapa?" "Aku tak bisa menjelaskan," kata Hamer perlahan-lahan. "Kau ingat pembicaraan kita tentang visi pada bulan Februari yang lalu" Yah, aku telah mendapat sebuah visi." "Luar biasa sekali!" Borrow mencondongkan tubuh, sepasang matanya berbinarbinar. "Sama sekali tidak ada yang luar biasa tentang itu," kata Hamer dengan murung. "Aku tak peduli sedikit pun dengan kemiskinan di East End. Orang-orang di sana itu perlu tekad baja, itu saja. Aku dulu juga miskin tapi aku berhasil keluar ?dari kemiskinan. Sekarang aku perlu menyingkirkan kekayaanku, tapi aku tidak bakal memberikannya pada masyarakat bodoh ini. Kau bisa dipercaya. Pakai uangku untuk memberi makan jiwa atau raga sebaiknya raga. Aku dulu pernah kelaparan ... ?tapi terserah kau sajalah." 265 "Belum pernah ada yang berbuat seperti ini," kata Borrow terbata-bata. "Urusannya sudah dibereskan," Hamer melanjutkan. "Para pengacara sudah mengurus semuanya, dan aku telah menandatangani segalanya. Aku sibuk sekali selama dua minggu belakangan ini. Menyingkirkan kekayaan hampir sama susahnya dengan memperolehnya." 'Tapi kau... tentunya kau menyisakan sesuatu untuk dirimu sendiri?" "Tidak sesen pun," sahut Hamer dengan riang. "Tapi... itu tidak sepenuhnya benar. Aku punya dua sen di sakuku." Ia tertawa. Lalu ia mengucapkan selamat tinggal pada temannya yang kebingungan, dan keluar ke jalanan sempit yang berbau memuakkan. Kata-kata yang tadi diucapkannya dengan begitu ringan sekarang kembali kepadanya dengan gaung memedihkan. "Tidak sesen pun." Dari kekayaannya yang luar biasa, ia tidak menyisakan apa pun untuk dirinya sendiri. Ia takut sekarang takut akan kemiskinan, kelaparan, dan ?kedinginan. Pengorbanan ini sama sekali tidak memberikan sedikit pun rasa manis padanya. Namun di balik semua itu, ia sadar bahwa beban dan ancaman dari harta bendanya telah terangkat, ia tidak lagi tertekan dan terikat. Memutuskan belenggu itu telah melukai dan mengoyak-ngoyaknya, namun ia dikuatkan oleh visi akan kebebasan yang bakal.diperolehnya. Kebutuhan-kebutuhan materialnya mungkin telah menyamarkan suara Panggilan itu. tapi tak bisa mematikannya, sebab ia tahu bahwa Panggilan itu adalah sesuatu yang imortal dan tak bisa mati. 266 Terasa sentuhan musim gugur di udara, angin bertiup dingin. Ia merasakan hawa dingin itu. dan menggigil, kemudian ia pun merasa lapar ia lupa makan siang ?tadi. Masa depan yang bakal dialaminya terasa begitu dekat kini. Sungguh mengherankan, ia melepaskan semua itu; kemudahan, kenyamanan, kehangatan! Tubuhnya berseru tak berdaya... Lalu sekali lagi terasa olehnya sentuhan kebebasan yang menggembirakan dan menguatkan. Hamer ragu-ragu. Ia sudah dekat stasiun kereta bawah tanah. Ia punya dua sen di sakunya. Muncul gagasan dalam benaknya untuk naik kereta ke taman, tempat ia melihat para tunawisma itu dua minggu yang lalu. Di luar itu, ia tak punya rencana apa pun untuk masa depan. Sekarang ia cukup yakin bahwa ia sudah sinting orang waras tidak akan berbuat seperti dirinya. Namun, kalau memang ia ?sudah sinting, betapa menakjubkan dan indah kesintingan itu. Ya, ia akan pergi sekarang, ke taman terbuka itu, dan ia merasa mesti pergi ke sana dengan naik kereta bawah tanah. Sebab baginya kereta bawah tanah melambangkan segala kengerian hidup yang terkubur dan terkurung... ia akan naik dari kungkungan itu ke alam hijau yang luas dan bebas, ke pepohonan yang menyembunyikan ketidakramahan rumah-rumah yang terasa menekan. Dengan lift ia turun begitu cepat dan lancar ke bawah sana. Udara terasa berat dan mati. Ia berdiri di ujung pinggir peron, jauh dari kerumunan orang. Di sebelah kirinya adalah bukaan terowongan tempat kereta bawah tanah akan muncul sebentar lagi, merayap bagaikan ular. Ia merasa keseluruhan tempat 267 itu menebarkan aura jahat. Di dekatnya hanya ada seorang anak muda duduk di bangku, terpuruk mabuk. Di kejauhan terdengar samar-samar gemuruh kereta mendatangi. Anak muda itu bangkit dari duduknya dan terseok-seok dengan langkah goyah ke samping Hamer, lalu berdiri di tepi peron, melongok ke arah terowongan. Sekonyong-konyong si anak muda kehilangan keseimbangan dan terjatuh kejadiannya ?begitu cepat, hingga hampir-hampir mengagetkan... Beratus pikiran menyerbu bersamaan di dalam benak Hamer Ia teringat onggokan orang yang ditabrak bus waktu itu, dan suara serak seseorang berkata kepadanya, "Tak usah menyalahkan diri sendiri, Bung. Kau tak mungkin bisa berbuat apa-apa." Bersamaan dengan itu, datang kesadaran bahwa hidup anak muda ini hanya bisa diselamatkan kalau ada yang mau menyelamatkan oleh dirinya sendiri. Tak ada ? ?orang lain di dekat sana, dan kereta itu sudah begitu dekat... pikiran-pikiran itu berkelebat dengan kecepatan kilat dalam kepalanya. Aneh, perasaannya begitu tenang dan pikirannya begitu jemih. Ia punya satu detik yang singkat untuk mengambil keputusan, dan ia tahu pada detik itu bahwa rasa takutnya akan Kematian sama sekali tidak mereda. Ia amat sangat takut. Kemudian kereta itu melaju berbelok di terowongan, tak mungkin berhenti pada waktunya. Dengan cepat Hamer menyambar lengan anak muda itu. Bukan dorongan untuk menjadi pahlawan yang membuatnya berbuat demikian, tubuhnya gemetar mengikuti perintah Anjing Kematian The Hound Of Death And Other Stories 1933 Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo panggilan asing yang meminta 268 nya memberikan pengorbanan. Dengan satu usaha terakhir disentakkannya anak muda itu ke atas peron, sementara ia sendiri terjatuh... Lalu sekonyong-konyong rasa takutnya lenyap. Dunia fana ini tak lagi mengungkungnya. Ia bebas dari belenggunya. Sesaat ia merasa mendengar alunan gembira pipa Pan. Kemudian semakin dekat dan semakin keras, menelan suara-suara?lainnya terdengar olehnya suara kepak Sayap-Sayap yang tak terhingga banyaknya... ?menyelimuti dan mengelilinginya... 269 Yang Terakhir Raoul Daubreuil menyeberangi Sungai Seine sambil bersenandung kecil pada dirinya sendiri. Ia seorang pria Prancis muda yang tampan, berusia sekitar tiga puluh dua tahun, dengan wajah segar dan kumis hitam kecil. Ia seorang insinyur. Tak lama kemudian ia tiba di Cardonet dan berbelok di pintu No. 17. Sang concierge melongok dari tempatnya bersarang, dan memberikan sapaan "Selamat pagi" dengan setengah hati. Raoul menjawab dengan ceria. Lalu ia naik tangga yang menuju apartemen di lantai tiga. Ia memencet bel, dan sambil menunggu pintu dibukakan, sekali lagi ia menyenandungkan nada kecilnya tadi. Pagi ini Raoul Daubreuil merasa sangat riang. Pintu dibuka oleh seorang wanita Prancis yang sudah agak tua. Wajah keriputnya menyunggingkan senyum cerah ketika melihat siapa yang datang. "Selamat pagi, Monsieur." "Selamat pagi, Elise," kata Raoul. Raoul melangkah masuk ke lorong, sambil melepaskan sarung tangannya. "Madame sudah menunggu kedatanganku, bukan?" tanyanya seraya menoleh. 270 "Ah, ya, tentu saja, Monsieur." Elise menutup pintu dan berbalik ke arah Raoul. "Mungkin Monsieur mau masuk ke salon dulu. Madame akan menemui Anda beberapa menit lagi. Saat ini Madame sedang beristirahat." Raoul mengangkat wajah dengan tersentak. "Apa dia sedang tidak sehat?" "Sehat!" Elise mendengus sedikit. Ia melewati Raoul dan membukakan pintu salon kecil untuknya. Raoul masuk, diikuti oleh Elise. "Sehat!" kata Elise lagi. "Mana mungkin dia bisa sehat, anak malang itu" Memanggil roh, memanggil roh, selalu memanggil roh\ Itu tidak benar tidak ?wajar, tidak seperti yang dimaksudkan Tuhan untuk kita. Menurut saya pribadi, saya bilang terus terang, itu sama saja berurusan dengan setan." Raoul menepuk-nepuk bahu Elise untuk menenangkan "Sudah, sudah, Elise," katanya menyabarkan, "jangan marah-marah begitu, dan jangan terlalu cepat menuduh ada iCtan dalam segala sesuatu yang tidak kaupahami." Elise menggelengkan kepala dengan ragu. "Ah, terserahlah," gerutunya pelan, "Monsieur boleh bicara sesukanya, tapi saya tidak suka. Coba lihat Madame, setiap hari dia makin pucat dan kurus, dan sakit kepalanya itu!" Ia mengangkat kedua tangannya. "Ah, tidak, tidak bagus, segala urusan dengan roh ini. Roh! Semua roh yang baik ada di Surga, dan selebihnya ada di Api Pencucian." "Pandanganmu mengenai kehidupan setelah mati 271 amat sangat sederhana, Elise," kata Raoul sambil duduk di kursi. Wanita tua itu menegakkan tubuh. "Saya penganut Katolik yang taat, Monsieur." Ia membuat tanda salib, lalu beranjak ke pintu, namun berhenti sejenak, tangannya pada pegangan pintu. "Nanti, kalau Anda sudah menikah dengan Madame, Monsieur, semua ini tidak akan berlanjut lagi, bukan?" tanyanya dengan nada memohon. Raoul tersenyum sayang padanya. "Kau orang yang baik dan setia, Elise," katanya, "dan berbakti pada nyonyamu. Tak usah khawatir, begitu dia menjadi istriku, segala 'urusan dengan roh' ini, seperti katamu, akan berhenti. Tidak akan ada lagi pemanggilan roh bagi Madame Daubreuil." Elise tersenyum lebar. "Benarkah yang Anda katakan itu?" tanyanya bersemangat. Raoul mengangguk dengan sungguh-sungguh. "Ya," katanya, hampir-hampir berbicara pada dirinya sendiri, daripada pada Elise. "Ya, semua ini mesti diakhiri. Simone memiliki bakat yang sangat menakjubkan, dan dia telah menggunakannya dengan bebas, tapi sekarang sudah cukup. Seperti kaulihat sendiri, Elise, hari demi hari dia semakin pucat dan kurus. Kehidupan seorang medium memang sangat berat dan sulit, dan melibatkan ketegangan saraf yang luar biasa. Tapi, Elise, nyonyamu itu adalah medium paling hebat di Paris di Prancis malah. Orang-orang dari seluruh dunia datang ?kepadanya, sebab mereka tahu bahwa dengannya tidak ada tipuan atau siasat." 272 Elise mendengus sebal. 'Tipuan! Ah, tentu saja tidak. Madame tidak akan bisa menipu anak kecil sekalipun " "Dia memang malaikat," kata Raoul dengan penuh perasaan. "Dan aku... aku akan berusaha semampuku untuk membuatnya bahagia. Kau percaya itu?" Elise menegakkan tubuh, dan bicara dengan nada berwibawa. "Saya sudah bertahun-tahun melayani Madame, Monsieur. Dengan segala hormat, bisa saya katakan bahwa saya menyayanginya. Kalau saya tidak yakin Anda memuja dia dengan selayaknya... eh bien, Monsieur! Saya akan merobek-robek Anda sampai habis." Raoul tertawa. "Bravo, Elise! Kau seorang teman yang setia, dan sekarang kau pasti senang karena aku sudah bilang padamu bahwa Madame akan melepaskan kegiatan ?memanggil roh ini." Raoul mengira wanita tua itu akan menanggapi omongannya dengan tertawa, tapi ia agak terkejut karena Elise tetap bersikap serius. "Monsieur," kata Elise dengan agak ragu, "bagaimana seandainya roh-roh itu tidak mau melepaskan Madame?" Raoul terperangah menatapnya. "Eh! Apa maksudmu?" "Saya bilang," Elise mengulangi, "bagaimana seandainya roh-roh itu tidak mau melepaskan Madame?"" "Kupikir kau tidak percaya pada roh-roh, Elise?" "Memang tidak," kata Elise dengan keras kepala. "Bodoh sekali percaya pada mereka. Tapi tetap saja..." 273 "Apa?" "Sulit bagi saya untuk menjelaskannya. Monsieur. Begini, sejak dulu saya mengira para medium ini hanyalah penipu-penipu yang cerdik, yang mencari mangsa pada orang-orang malang yang telah kehilangan mereka-mereka yang disayangi. Tapi Madame tidak seperti itu. Madame orang baik. Madame orang yang jujur dan..." Ia memelankan suaranya, dan berbicara dengan nada takjub. "Ada hal-hal yang terjadi. Bukan tipuan, tapi benar-benar terjadi. Itu sebabnya saya takut. Sebab saya yakin bahwa ini tidak benar, Monsieur. Ini bertentangan dengan alam dan le bon Dieuy dan mesti ada yang membayar untuk ini.** Raoul bangkit dari kursinya, menghampiri Elise dan menepuk-nepuk bahunya. 'Tenangkan dirimu, Elise yang baik," katanya sambil tersenyum. "Dengar, aku akan mengabarkan berita baik untukmu. Hari ini adalah hari terakhir pemanggilan roh; setelah hari ini, tidak akan ada lagi pemanggilan." "Berarti hari ini ada satu?" tanya wanita tua itu dengan curiga. "Yang terakhir, Elise, yang terakhir." Elise menggelengkan kepala dengan sedih. "Madame tidak sehat...," ia memulai. Namun kalimatnya terinterupsi, sebab pintu terbuka, dan seorang wanita jangkung dan pirang masuk. Tubuhnya ramping dan luwes, dan wajahnya seperti lukisan sang Madonna dalam karya Botticelli. Wajah Raoul menjadi cerah, sementara Elise cepat-cepat mengundurkan diri tanpa kentara. 274 "Simone!" Raoul meraih kedua tangan Simone yang putih dan panjang, dan memberinya kecupan. Simone menggumamkan namanya dengan sangat pelan. "Raoul tersayang." Sekali lagi Raoul mengecup kedua tangan itu, lalu menatap wajah Simone lekatlekat. "Simone, betapa pucatnya wajahmu! Kata Elise kau sedang beristirahat. Kau tidak sakit, bukan, sayangku?" 'Tidak, tidak sakit...," Simone terdengar ragu-ragu Raoul membawanya ke sofa, lalu duduk di sampingnya. "Ceritakan ada apa." Sang medium tersenyum samar. "Kau pasti akan menganggap aku bodoh," gumamnya. "Aku" Menganggapmu bodoh" Tidak pernah " Simone menarik tangannya dari genggaman Raoul. Ia duduk diam selama beberapa saat, memandangi karpet. Kemudian ia berkata dengan suara pelan tergesa. "Aku takut, Raoul." Raoul menunggu sejenak, mengira Simone akan melanjutkan kata-katanya, tapi berhubung wanita itu diam saja, ia berkata memberi semangat, "Ya, takut pada apa?" "Cuma takut saja." "Tapi..." Raoul menatapnya dengan bingung, dan Simone membalas tatapannya dengan cepat. "Ya, memang tak masuk akal, bukan" Tapi itulah 275 yang kurasakan. Takut, Itu saja. Aku tidak tahu takut pada apa, atau kenapa, tapi aku dihantui bayangan bahwa sesuatu yang mengerikan... mengerikan, akan terjadi padaku...." Ia terpaku menatap ke depan. Dengan lembut Raoul merangkulnya. "Sayangku," katanya, "ayolah, kau tidak boleh mundur. Aku tahu apa yang kaurasakan. Ketegangan, Simone, ketegangan dalam kehidupan seorang medium. Kau cuma butuh istirahat... istirahat dan ketenangan." Simone menatapnya dengan penuh rasa terima kasih. "Ya, Raoul, kau benar. Memang itulah yang kubutuhkan, istirahat dan ketenangan." Ia memejamkan mata dan bersandar sedikit di lengan Raoul. "Dan kebahagiaan," gumam Raoul di telinganya. Ia merengkuh Simone lebih dekat. Simone menarik napas panjang, kedua matanya masih tetap terpejam. "Ya," gumamnya, "ya. Kalau kau memelukku, aku merasa aman. Aku lupa akan kehidupanku kehidupan mengerikan sebagai medium. Kau tahu banyak, Raoul, tapi ? ?bahkan kau pun tidak memahami keseluruhannya " Raoul merasa tubuh Simone menjadi kaku dalam pelukannya. Kedua mata Simone kembali membuka, menatap terpaku ke depan. "Duduk di ruang kecil dalam gelap, menunggu, dan kegelapan itu sangat mengerikan. Raoul, sebab kegelapan itu adalah kegelapan yang kosong, hampa. Dan dengan sengaja kubiarkan diriku terhanyut di 276 dalamnya. Setelah itu aku tidak tahu apa-apa lagi, tidak merasakan apa-apa lagi, namun akhirnya datanglah proses kembali yang pelan dan menyakitkan itu, terbangun dari tidur, namun begitu lelah... amat sangat lelah." "Aku tahu," gumam Raoul, "aku tahu " "Begitu lelah," gumam Simone lagi. Seluruh tubuhnya seakan terkulai saat ia mengulangi kata-kata itu. 'Tapi kau sangat luar biasa, Simone." Raoul meraih kedua tangan Simone, mencoba mendorongnya untuk ikut merasakan kegembiraannya. "Kau begitu unik... medium paling hebat yang pernah dikenal dunia." Simone menggelengkan kepala, tersenyum sedikit mendengar kata-kata Raoul itu. "Ya, ya," Raoul bersikeras. Ia mengambil dua pucuk surat dari sakunya. "Lihat ini, dari Profesor Roche dari Salpctriere. dan yang satu ini dari Dr. Genir di Nancy, keduanya meminta agar kau mau terus memberikan jasamu pada mereka sesekali." "Ah, tidak!" Simone bangkit berdiri. "Aku tidak mau, aku tidak mau. Semuanya sudah selesai... sudah selesai. Kau sudah berjanji padaku Raoul." Raoul menatapnya dengan heran, sementara Simone berdiri limbung, menghadap ke arahnya, hampir-hampir seperti makhluk yang terpojok. Raoul bangkit dan meraih tangan wanita itu. "Ya, ya," katanya. "Memang tidak akan lagi, kita 277 mengerti itu. Tapi aku begitu bangga terhadap dirimu, Simone. Itu sebabnya aku menyebutkan tentang surat-surat itu." Simone meliriknya dengan tatapan curiga. "Jadi, bukan karena kau ingin aku memberikan jasa memanggil roh lagi?" 'Tidak, tidak," kata Raoul, "kecuali barangkali kau sendiri memang ingin melakukannya, hanya sesekali, untuk teman-teman lama ini..." Namun Simone sudah menyela ucapannya dengan menggebu-gebu. "Tidak, tidak akan pernah lagi. Ada bahaya mengintai. Sungguh, aku bisa merasakannya, bahaya besar." Ia menangkupkan kedua tangannya di dahi sejenak, kemudian beranjak ke jendela. "Berjanjilah aku tak perlu melakukannya lagi," katanya dengan suara lebih pelan, sambil menoleh. Raoul mengikutinya dan merangkul kedua bahunya. "Sayangku," kalanya dengan lembut, "aku janji, setelah hari ini, kau tidak akan pernah mengadakan pemanggilan arwah lagi." Ia bisa merasakan keterkejutan Simone. "Hari ini," gumam Simone. "Ah, ya... aku hampir lupa pada Madame Exe." Raoul melihat arlojinya. "Dia bisa datang setiap saat; tapi, barangkali, Simone, kalau kau merasa tidak enak badan..." Simone sepertinya hampir-hampir tidak mendengarkan ucapan Raoul. Wanita itu sibuk dengan pikirannya sendiri. "Dia... wanita yang aneh, Raoul, wanita yang 278 sangat aneh. Kau tahu, aku . aku hampir-hampir merasa ngeri terhadapnya." "Simone!" Suara Raoul bernada tak setuju, dan Simone bisa merasakannya. "Ya, ya, aku tahu, kau memang seperti umumnya laki-laki Prancis, Raoul. Bagimu seorang ibu adalah sosok yang suci, dan tidak baik kalau aku punya perasaan seperti itu terhadapnya, padahal dia sangat sedih karena kehilangan anaknya. Tapi... aku tak bisa menjelaskannya. Dia begitu besar dan hitam, dan kedua tangannya pernahkah kau memperhatikan tangannya, Raoul" Besar ^ekali, dan kuat,?sekuat tangan laki-laki. Ah!" Simone merinding sedikit dan memejamkan mata. Raoul melepaskan pelukannya/dan suaranya hampir-hampir bernada dingin ketika ia berbicara. "Aku benar-benar tak bisa memahamimu, Simone. Sebagai wanita, mestinya kau bisa merasa simpati pada sesamamu, seorang ibu yang sedih karena kehilangan anak tunggalnya." Simone membuat gerakan tak sabar "Ah, justru kaulah yang tidak mengerti, sahabatku! Perasaan ini tak bisa kuhindari Ketika pertama kali melihatnya, aku merasa..." Ia mengibaskan kedua tangannya. "Takut' Kau ingat, baru lama sesudahnya aku bersedia melayaninya" Aku yakin, entah bagaimana, dia ikan membawa malapetaka bagiku." Raoul angkat bahu. "Padahal kenyataannya justru sebaliknya," kata Raoul dengan nada datar. "Semua pemanggilan roh 279 yang kaulakukan untuknya berhasil dengan sangat sukses. Roh si kecil Amclie bisa langsung memasuki dirimu, dan materialisasinya benar-benar menakjubkan. Mestinya Profesor Roche ikut hadir pada pemanggilan yang paling akhir waktu itu." "Materialisasi," kata Simone dengan suara pelan. "Coba katakan, Raoul (kau tahu bahwa aku tidak tahu apa yang terjadi saat aku sedang dirasuki), apakah matcrialisasi-materialisasi itu memang sangat menakjubkan?" Raoul mengangguk dengan antusias. "Pada beberapa pemanggilan yang pertama, sosok anak itu cuma berupa kabut samarsamar," ia menjelaskan, "tapi pada pemanggilan yang paling akhir..." Anjing Kematian The Hound Of Death And Other Stories 1933 Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Ya?" Raoul berbicara dengan sangat pelan. "Simone, anak yang berdiri di sana itu benar-benar seperti anak kecil yang hidup. Aku bahkan menyentuhnya, tapi ketika kulihat sentuhan itu menimbulkan rasa sakit yang amat sangat terhadap dirimu, aku tidak mengizinkan Madame Exe ikut menyentuhnya. Aku takut dia tak bisa mengendalikan diri, dan akibatnya kau yang celaka." Simone kembali memalingkan wajah ke jendela. "Aku lelah sekali ketika tersadar," gumamnya. "Raoul, apa kau yakin... apa kau benar-benar yakin bahwa semua ini bisa dibenarkan" Kau tahu kan, apa pendapat Elise. Dia bilang aku berurusan dengan setan." la tertawa dengan tidak yakin. "Kau tahu apa yang kuyakini," kata Raoul dengan serius. "Dalam berurusan dengan hal-hal yang tidak kita ketahui, selalu ada bahaya, tapi kau melakukan ini dengan alasan yang mulia, demi Ilmu Pengetahuan. Di seluruh dunia banyak orang menjadi martir demi Ilmu Pengetahuan, para pionir yang membayar harga mahal, agar orang-orang lain bisa mengikuti jejak mereka dengan aman. Selama sepuluh tahun kau telah bekerja demi Ilmu Pengetahuan, dengan bayaran ketegangan saraf yang luar biasa. Sekarang kau sudah selesai dengan tugasmu. Sesudah hari ini, kau bebas untuk merasa bahagia." Simone tersenyum sayang padanya, ketenangannya pulih kembali. Kemudian tatapannya cepat beralih ke jam dinding. "Madame Exe terlambat," gumamnya. "Mungkin saja dia tidak datang." "Kurasa dia akan datang," kata Raoul. "Jammu agak kecepatan, Simone." Simone mondar-mandir di ruangan tersebut, membereskan ini dan itu. "Aku penasaran, siapa Madame Exe ini?" katanya. "Dari mana asalnya, siapa keluarganya" Aneh bahwa kita tidak tahu apa-apa tentang dirinya." Raoul angkat bahu. "Kebanyakan orang tak ingin identitasnya diketahui, kalau mungkin, saat mengunjungi medium," katanya. "Itu sudah sikap hati-hati paling mendasar." "Benar juga," Simone menyetujui tanpa semangat. Vas porselen kecil yang tengah dipegangnya terlepas dan pecah berkeping-keping di lantai perapian. Ia berbalik dengan tajam pada Raoul. "Kaulihat," gumamnya. "Aku bukan diriku sendiri. Raoul, menurutmu apakah aku akan sangat... sangat 281 280 pengecut kalau kukatakan pada Madame Exe bahwa aku tak bisa menemuinya hari ini?" Ekspresi tercengang di wajah Raoul membuat ia tersipu malu. "Kau sudah berjanji, Simone...," kata Raoul dengan lembut. Simone mundur hingga terhalang dinding. "Aku tidak mau melakukannya, Raoul. Aku tidak mau." Namun sekali lagi sorot lembut di mata Raoul yang menyiratkan teguran membuatnya tercekat. "Bukan masalah bayarannya yang kupikirkan, Simone, walau tentunya kau menyadari bahwa jumlah uang yang ditawarkan wanita ini untuk pemanggilan terakhirnya sangat besar amat sangat besar."?Simone menyela dengan menantang. "Ada hal-hal yang lebih penting daripada uang." "Memang." Raoul menyetujui dengan hangat "Justru itu yang kumaksud Coba pertimbangkan wanita ini seorang ibu, seorang ibu yang telah kehilangan anak ?satu-satunya. Kalau kau tidak benar-benar sakit, kalau kau hanya enggan bolehlah kau menolak sekadar seorang wanita kaya, tapi tegakah kau ?menolak seorang ibu yang ingin melihat anaknya untuk terakhir kali?" Sang medium mengibaskan kedua tangannya dengan putus asa di depannya. "Oh. kau menyiksaku," gumamnya. "Tapi kau memang benar. Aku akan menuruti keinginanmu, tapi sekarang aku tahu apa yang kutakuti kata 'ibu1 itu." ?"Simone!" 282 "Ada kekuatan-kekuatan elementer primitif tertentu, Raoul. Sebagian besar dari mereka sudah dihancurkan oleh peradaban, tapi insting sebagai ibu masih tetap tidak mengalami perubahan, seperti pada permulaan zaman. Binatang manusia, ?mereka semua sama. Cinta seorang ibu terhadap anaknya tak ada bandingannya di dunia ini. Cinta itu tidak mengenal hukum atau belas kasihan, berani menantang segalanya dan menghancurkan tanpa ampun segala sesuatu yang menghalangi jalannya." Ia terdiam, terengah-engah sejenak, kemudian berbalik pada Raoul dengan seulas senyuman singkat yang memikat. "Hari ini aku konyol sekali, Raoul. Aku tahu itu " Raoul meraih tangannya. "Berbaringlah sejenak." katanya. "Istirahat sampai dia datang." "Baiklah." Simone tersenyum padanya, kemudian keluar dari ruangan tersebut. Raoul masih terhanyut dalam pikirannya sendiri selama beberapa saat, kemudian ia beranjak ke pintu, membukanya, dan melintasi lorong yang kecil, la pergi ke ruangan di sebelah, sebuah ruang duduk yang sangat mirip dengan ruangan yang baru saja ditinggalkannya, namun di salah satu ujung mangan ini ada sebuah sudut kecil dengan kursi besar berlengan. Tirai-tirai beledu hitam yang berat dipasang untuk menutupi sudut tersebut. Elise sedang sibuk di situ. Dekat sudut itu ia sudah menyiapkan dua buah kursi dan sebuah meja bundar kecil. Di meja itu ada sebuah genderang, sebuah terompet, serta kertas dan beberapa batang pensil. 283 'Terakhir kali," gumam Elise dengan perasaan puas. "Ah, Monsieur, saya harap semua urusan ini segera selesai." Terdengar denting bel nyaring. "Dia sudah datang, perempuan bertubuh besar itu," Elise melanjutkan. "Kenapa dia tidak berdoa baik-baik saja di gereja untuk jiwa anak tersayangnya, dan memasang lilin untuk Perawan Maria" Bukankah Tuhan yang baik tahu apa yang terbaik bagi kita?" "Bukakan pintu, Elise," kata Raoul dengan tegas. Elise menatap tak senang, namun mematuhi perintahnya. Tak lama kemudian, ia masuk kembali bersama sang tamu. "Akan saya beritahu nyonya saya bahwa Anda sudah tiba, Madame." Raoul maju untuk berjabat tangan dengan Madame Exe. Kata-kata Simone kembali terngiang dalam benaknya. "Begitu besar dan hitam." Wanita itu memang besar, dan gaun berkabungnya yang berat tampak begitu berlebihan pada sosoknya. Ketika ia berbicara, suaranya pun sangat berat. "Saya khawatir saya agak terlambat, Monsieur." "Hanya terlambat sedikit," kata Raoul sambil tersenyum. "Madame Simone sedang beristirahat. Dengan menyesal saya beritahu Anda, bahwa dia jauh dari sehat, dia sangat gugup dan tegang." Madame Exe, yang baru saja melepaskan genggaman tangan Raoul, sekonyong-konyong menggenggamnya kembali dengan erat. "Tapi dia bersedia mengadakan pemanggilan?" tuntutnya dengan tajam. 284 "Oh, tentu, Madame." Madame Exe mendesah lega, lalu mengempaskan diri di salah satu kursi, sambil melonggarkan salah satu cadar hitam berat yang menutupi wajahnya. "Ah. Monsieur," gumamnya, "Anda takkan bisa membayangkan, Anda takkan bisa menghayati keajaiban dan kebahagiaan yang saya rasakan dari pemanggilanpemanggilan ini! Anakku tersayang! Amelie-ku! Bisa melihatnya, mendengar suaranya, bahkan barangkali ya, bahkan bisa... mengulurkan tangan dan ? ?menyentuhnya." Raoul seketika berkata dengan tegas. "Madame Exe... bagaimana saya bisa menjelaskan ini pada Anda" Anda sama sekali tak boleh melakukan apa pun, kecuali di bawah pengarahan langsung saya. Kalau tidak, akan sangat berbahaya." "Berbahaya bagi saya?" "Bukan, Madame," kata Raoul, "bagi sang medium. Anda mesti mengerti, bahwa fenomena yang terjadi ini bisa dijelaskan oleh Ilmu Pengetahuan dengan cara tertentu. Saya akan menjelaskannya dengan sangat sederhana, tanpa menggunakan istilah-istilah teknis. Sebuah roh, untuk memanifestasikan dirinya, mesti menggunakan substansi tisik sesungguhnya dari sang medium. Anda telah melihat uap asap yang keluar dari bibir sang medium. Uap ini akhirnya membeku dan membentuk diri menjadi sosok fisik roh yang sudah mati itu. Tapi ektoplasma ini kami yakini sebagai substansi aktual sang medium. Kami berharap bisa membuktikan ini suatu hari nanti, melalui pengujian dan penimbangan saksama namun kesulitan?terbesarnya adalah bahaya dan rasa sakit 285 yang dialami sang medium saat menjalani fenomena tersebut. Kalau ada yang memegang materialisasi itu dengan kasar, sang medium akan mati." Madame Exe mendengarkan dengan penuh perhatian. "Penjelasan itu sangat menarik, Monsieur. Coba katakan, suatu saat nanti, mungkinkah materialisasi itu berkembang begitu jauh, hingga sanggup melepaskan diri dari induknya, sang medium?" "Itu spekulasi yang fantastis, Madame." Madame Exe mendesak ingin tahu. "Tapi. bukan tidak mungkin, kalau melihat fakta-faktanya?" "Pada masa ini sangat tidak mungkin." "Tapi barangkali di masa depan?" Raoul tak perlu menjawab kali ini, sebab pada saat itu Simone masuk. Ia tampak lemah dan pucat, namun jelas telah berhasil mengendalikan diri sepenuhnya. Ia menjabat tangan Madame Exe, walau Raoul melihat tubuhnya agak gemetar saat berjabat tangan itu. "Saya ikut simpati, Madame, mendengar Anda kurang sehat," kata Madame Exe. 'Tidak apa-apa," kata Simone dengan agak ketus. "Bisa kita mulai sekarang?" Ia beranjak ke sudut kecil itu, dan duduk di kursi berlengan. Sekonyong-konyong kali ini Raoul-Iah yang dihinggapi gelombang rasa takut. "Kau tidak begitu sehat." serunya. "Sebaiknya kita batalkan saja pemanggilan ini. Madame Exe pasti mau mengerti." "Monsieur!" Madame Exe bangkit berdiri dengan marah. 286 "Ya, ya, sebaiknya dibatalkan saja, saya yakin itu." "Madame Simone sudah menjanjikan pemanggilan terakhir pada saya." "Memang benar," kata Simone dengan suara pelan, "dan saya siap memenuhi janji saya." "Saya berpegang pada janji Anda, Madame," kata Madame Exe. "Saya tidak akan ingkar janji," sahut Simone dengan nada dingin. 'Tak usah takut, Raoul," tambahnya dengan lembut. "Toh ini untuk terakhir kali terakhir ?kali, syukurlah." Setelah ia memberi tanda, Raoul pun memasang tirai hitam yang berat itu menutupi sudut tersebut. Ia juga menarik tirai-tirai jendela, sehingga ruangan itu setengah gelap. Ia menyuruh Madame Exe duduk di salah satu kursi, dan ia sendiri bersiap-siap duduk di kursi satunya. Namun Madame Exe tampak ragu-ragu. "Maatkan saya. Monsieur, tapi... Anda tentunya mengerti bahwa saya percaya sepenuhnya akan integritas Anda dan Madame Simone. Tapi agar kesaksian saya jadi lebih berharga, maafkan kalau saya lancang membawa ini." Dari tas tangannya ia mengeluarkan seutas tali tipis. "Madame!" teriak Raoul. "Ini penghinaan!" "Cuma untuk berjaga-jaga." "Saya ulangi, ini penghinaan." "Saya tidak mengerti keberatan Anda, Monsieur," kata Madame Exe dengan dingin. "Kalau memang tidak ada tipuan, seharusnya Anda tak perlu takut" Raoul tertawa mencemooh. 287 "Bisa saya yakinkan Anda bahwa saya sama sekali tidak takut. Madame. Ikat saja tangan dan kaki saya, kalau itu yang Anda inginkan." Ucapannya tidak memberikan efek yang diharapkannya, sebab Madame Exe hanya bergumam tanpa emosi, 'Terima kasih, Monsieur," lalu ia mendekati Raoul dengan gulungan talinya itu. Sekonyong-konyong Simone berseru dari balik tirai. "Tidak, tidak, Raoul, jangan biarkan dia berbuat begitu." Madame Exe tertawa tajam. "Madame takut rupanya," katanya dengan sarkastis. "Ya, saya takut." "Ingat apa katamu. Simone," seru Raoul. "Madame Exe rupanya mengira kita hanya menipu." "Saya mesti memastikan," kata Madame Exe dengan nada jahat. Ia melakukan tugasnya dengan cekatan, mengikat Raoul erat-erat di kursinya. "Saya mesti mengacungkan jempol untuk ikatan-ikatan ini, Madame," kata Raoul dengan nada ironis, setelah Madame Exe selesai mengikatnya. "Anda puas sekarang?" Madame Exe tidak menjawab. Ia mengitari mangan itu, memeriksa panel dinding dengan saksama. Kemudian ia mengunci pintu yang menuju lorong, mengambil kuncinya, dan baru kembali ke kursinya. "Sekarang saya siap," katanya dengan suara yang entah menyimpan apa. Menit-menit berlalu. Dari balik tirai, suara napas Simone terdengar semakin berat dan keras. Kemudian 288 suara napas itu menghilang sepenuhnya, digantikan oleh serangkaian erangan. Setelah itu hening sejenak, hanya diselingi oleh tabuhan genderang yang terdengar tiba-tiba. Terompet diangkat dari meja dan jatuh ke lantai. Terdengar tawa ironis. Tirai-tirai sudut tempat Simone berada seperti terangkat sedikit, dan sosok sang medium tampak dari bukaan tersebut, kepalanya terkulai ke dadanya. Sekonyong-konyong Madame Exe menarik napas dengan tajam. Sebuah aliran pita uap keluar dari mulut sang medium. Uap itu memadat, dan lambat-laun mulai mengambil bentuk menjadi sosok seorang gadis kecil.?"Amclie! Amelie-ku tersayang!" Bisikan serak itu keluar dari mulut Madame Exe. Sosok samar-samar itu semakin memadat. Raoul terpaku, hampir-hampir tak percaya. Belum pernah ada materialisasi yang lebih menakjubkan daripada yang satu ini. Sosok itu benarbenar seorang anak sungguhan, anak manusia dari darah dan daging, berdiri di sana. "Mamanr Suara halus kekanak-kanakan itu berbicara. "Anakku!" seru Madame Exe. "Anakku!" Ia setengah bangkit dari kursinya. "Hati-hati, Madame," Raoul berseru memperingatkan. Materialisasi itu maju dengan ragu-ragu menembus tirai. Seorang anak kecil. Ia berdiri di sana, dengan kedua lengan diulurkan. "Mamanl" "Ah!" seru Madame Exe. Ia kembali setengah bangkit dari kursinya. 289 "Madame," seru Raoul dengan panik, "sang medium..." "Aku harus menyentuhnya," seru Madame Exe dengan suara serak, la maju selangkah. "Demi Tuhan, Madame, kendalikan diri Anda," seru Raoul. Sekarang ia benar-benar panik. "Duduklah!" "Anakku, aku harus menyentuhnya." "Madame, saya perintahkan, duduk!" Ia bergerak-gerak putus asa dalam ikatannya, tapi Madame Exe telah mengikatnya dengan baik; ia benar-benar tak berdaya. Perasaan ngeri meliputi dirinya, membayangkan malapetaka yang bakal menimpa "Dalam nama Tuhan, Madame, duduklah!" ia berteriak. "Ingat nasib sang medium!" Madame Exe menoleh kepadanya dengan tawa kasar. "Apa peduliku dengan medium Anda itu?" serunya. "Aku ingin anakku." "Kau sinting!" "Anakku. Anakku! Anakku sendiri! Darah dagingku sendiri! Anakku yang kembali dari dunia orang mati, hidup dan bernapas." Raoul membuka mulutnya, tapi tak ada kata-kata yang keluar. Wanita ini sungguh mengerikan. Tak punya nurani, liar, terhanyut oleh emosinya sendiri. Sepasang bibir anak kecil itu merekah, dan untuk ketiga kalinya kembali terdengar suaranya. "Mamdnr 290 "Kemarilah, anakku," seru Madame T"xe. Dengan satu gerakan cepat ia meraih anak itu ke dalam pelukannya. Dari balik tirai terdengar jeritan kesakitan yang panjang. "Simone!" teriak Raoul. "Simone!" Samar-samar ia merasa sosok Madame Exe bergegas melewatinya, membuka pintu, dan menuruni tangga Dari balik tirai masih terdengar jeritan nyaring yang panjang dan mengerikan itu belum pernah Raoul mendengar jeritan seperti itu. Jeritan itu berakhir ?dengan semacam suara deguk mengerikan, kemudian disusul debuk tubuh yang jatuh... Seperti orang gila. Raoul berusaha melepaskan diri dari ikatannya. Dalam Anjing Kematian The Hound Of Death And Other Stories 1933 Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo kepanikannya, ia berhasil memutuskan tali itu dengan kekuatannya semata-mata. Saat ia berjuang untuk berdiri, Elise menyerbu masuk sambil meneriakkan, "Madame!" "Simone!" teriak Raoul. Bersama-sama mereka menyerbu masuk dan menyingkap tirai itu. Raoul mundur terhuyung-huyung. "Ya Tuhan!" gumamnya. "Merah... semuanya merah..." Suara Elise terdengar di belakangnya, serak dan gemetar. "Jadi, Madame tewas. Sudah berakhir. Tapi coba katakan, Monsieur, apa yang telah terjadi. Kenapa tubuh Madame mengerut seperti itu kenapa dia hanya setengah ?dari ukurannya yang biasa" Apa yang telah terjadi di sini?" 291 "Aku tidak tahu," kata Raoul. Suaranya meninggi menjadi jeritan. "Aku tidak tahu. Aku tidak tahu. Tapi kurasa, aku akan gila... Simone! Simone!" 292 SOS "Ah!" Mr. Dinsmcad berkata dengan senang. Ia mundur dan memandangi meja bundar itu dengan perasaan puas. Cahaya dari perapian berkilauan di taplak meja putih yang terbuat dari bahan kasar, juga pada pisau-pisau dan garpu-garpu, serta perangkat makan lainnya. "Apa... apa segalanya sudah siap?" Mrs. Dinsmead bertanya dengan ragu-Tagu. la seorang wanita mungil yang sudah tidak segar lagi, dengan wajah pucat, rambut tipis yang disisir ke belakang, dan gerak-gerik yang selalu berkesan gugup. "Segalanya sudah siap," sahut suaminya dengan keriangan berlebihan. Mr. Dinsmead bertubuh besar, dengan bahu melandai dan wajah merah yang lebar. Kedua matanya yang kecil seperti mata seekor babi berbinar-binar di bawah sepasang alisnya yang lebat, sementara janggutnya sama sekali kelimis. "Limun?" tanya Mrs. Dinsmead, hampir-hampir dengan berbisik. Suaminya menggelengkan kepala. 'Teh saja. Jauh lebih baik. Coba lihat udara di 293 luar sana, hujan dan angin kencang. Secangkir teh panas yang enak sangat tepat untuk makan malam pada cuaca seperti ini." la mengedipkan mata dengan bercanda, lalu kembali mengamati meja. "Sepiring telur yang enak, daging panggang dingin, keju dan roti. Itulah urutan yang tepat untuk makan malamku. Jadi, siapkan semuanya, Ma. Charlotte ada di dapur, sudah menunggu untuk membantu." Mrs. Dinsmead bangkit berdiri, sambil menggulung bola benang rajutnya dengan hati-hati. "Dia sudah menjadi gadis yang sangat cantik," gumamnya. "Manis dan cantik, menurutku." "Ah!" kata Mr. Dinsmead. "Dan sangat mirip dengan ibunya! Ayo, pergilah ke dapur, jangan buang-buang waktu lagi." Lalu ia mondar-mandir sejenak di ruangan itu, sambil bersenandung sendiri." Sekali ia mendekati jendela dan memandang ke luar. "Cuaca buruk," gumamnya pada diri sendiri. "Sepertinya kecil kemungkinan kita kedatangan tamu malam ini." Setelah itu ia pun keluar dari ruangan tersebut. Sekitar sepuluh menit kemudian, Mrs. Dinsmead masuk dengan membawa sepiring telur goreng. Kedua anak perempuannya mengikuti, membawa piring-piring makan malam yang lain. Mr. Dinsmead dan anak lelakinya, Johnnie, masuk paling belakang. Mr. Dinsmead duduk di ujung meja. "Dan berkatilah kami, dan sebagainya." katanya dengan nada bercanda. "Juga diberkatilah orang yang pertama kali menciptakan makanan kaleng. Coba bayangkan, apa yang akan kita lakukan kalau kita tidak 294 punya makanan kaleng untuk dibuka sesekali, kalau tukang daging lupa mengirimkan pesanan mingguannya, sementara kita tinggal bermil-mil jauhnya dari mana-mana?" Ia mulai memotong daging panggang itu dengan cekatan. "Aku heran, siapa yang terpikir membangun rumah di sini, bermil-mil dari manamana," kata anak perempuannya, Magdalen, dengan kesal. "Kita tidak pernah melihat siapa-siapa di sini." "Memang," sahut ayahnya. 'Tidak pernah ada siapa-siapa." "Aku tidak mengerti, kenapa Ayah membeli rumah ini," kata Charlotte. "Masa, Nak" Yah, aku punya alasan-alasan sendiri begitulah."? Mata Mr. Dinsmead memandang mata istrinya dengan diam-diam, namun istrinya mengerutkan kening. "Dan berhantu, lagi," kata Charlotte. "Aku tidak bakal mau tidur sendirian di sini." "Omong kosong," kata ayahnya. "Kau belum pernah melihat apa pun di sini, bukan" Coba katakan." "Memang barangkali belum pernah melihat apa pun. tapi..." "Tapi apa?" Charlotte tidak menjawab, namun ia merinding sedikit. Terpaan hujan deras menghantam kaca jendela, dan Mrs. Dinsmead tanpa sengaja menjatuhkan sendok hingga menimbulkan bunyi denting di nampan. "Gugup, Ma" Tidak, kan?" kata Mr. Dinsmead. "Malam ini memang cuacanya jelek sekali, itu saja. Tak usah khawatir, kita aman di sini, di perapian kita, 295 dan sepertinya takkan ada siapa pun yang datang mengganggu kita. Wah, sungguh ajaib kalau ada yang datang. Dan keajaiban tidak bakal terjadi. Tidak," ia menambahkan dengan nada puas, seolah-olah pada dirinya sendiri. "Keajaiban tidak bakal terjadi." Tapi begitu ia selesai mengucapkan kalimatnya, sekonyong-konyong terdengar ketukan di pintu. Mr. Dinsmead terpaku, seakan-akan tak percaya. "Siapa itu?" gerutunya. Mulutnya ternganga. Mrs. Dinsmead memekik pelan dan mempererat lilitan syalnya. Wajah Magdalen jadi bersemu merah, dan ia mencondongkan tubuh kepada ayahnya "Keajaiban telah terjadi," katanya. "Sebaiknya Ayah lihat, siapa yang datang itu." II Dua puluh menit sebelumnya, Mortimer Cleveland telah berdiri di tengah hujan lebat dan kabut, memeriksa keadaan mobilnya. Ia benar-benar sedang sial. Dua ban mobilnya kempes dalam jarak sepuluh menit, dan di sinilah ia, terdampar bermilmil jauhnya dari mana pun, di tengah-tengah bentangan daerah Wiltshire yang gersang ini, sementara malam akan segera turun dan ia tak punya tempat berteduh. Semuanya gara-gara ia mencoba mengambil jalan pintas. Kalau saja ia bertahan mengemudi di jalan utama! Sekarang sepertinya ia tersesat di sebuah jalur gerobak, dan tak punya bayangan sedikit pun, apakah di dekat-dekat sini ada desa. 296 la melayangkan pandang dengan bingung ke sekitarnya, dan tatapannya tertuju pada seberkas cahaya di punggung bukit di atasnya. Tak lama kemudian cahaya itu lenyap tersapu kabut, tapi ia menunggu dengan sabar, dan kemudian melihat cahaya itu kembali. Setelah menimbang-nimbang sejenak, ia meninggalkan mobilnya dan mendaki punggung bukit tersebut. Dengan segera ia sudah keluar dari tengah kabut, dan ia melihat cahaya itu berasal dari jendela sebuah cottage kecil. Setidaknya ia bisa menumpang berteduh di sana. Mortimer Cleveland mempercepat langkahnya, sambil menundukkan kepala untuk melawan terpaan angin dan hujan yang sepertinya berusaha menyuruhnya mundur kembali. Cleveland cukup terkenal dalam bidangnya, walau kebanyakan orang mungkin sama sekali tidak mengenal nama dan prestasi-prestasinya. Ia seorang ahli dalam ilmu pengetahuan kejiwaan, dan sudah menulis dua buku teks yang sangat bagus mengenai alam bawah sadar. Ia juga anggota Psychical Research Society dan mempelajari okultisme yang banyak mempengaruhi kesimpulan-kesimpulan serta arah penelitian yang dibuatnya. Ia sangat peka terhadap atmosfer sekitarnya, dan melalui pelatihan yang rajin, ia telah berhasil meningkatkan bakat alamnya itu Ketika tiba di cottage tersebut dan mengetuk pintunya, ia merasa berdebar-debar dan minatnya semakin terpicu, seakan-akan seluruh indranya sekonyong-konyong telah dipertajam. Gumam suara-suara di dalam cottage itu semula terdengar cukup jelas olehnya. Tapi begitu ia mengetuk 297 pintu, suasana mendadak jadi hening. Lalu terdengar bunyi kursi yang didorong ke belakang, menggaruk lantai. Tak lama kemudian, pintu dibuka oleh seorang anak laki laki berusia sekitar lima belas tahun. Cleveland menatap pemandangan di dalam rumah itu. Pemandangan itu mengingatkannya pada lukisan karya seorang seniman Belanda. Ada meja bundar dengan berbagai makanan yang sudah siap disantap, para anggota keluarga dudi mengelilinginya, ada satu-dua batang lilin yang menyau. bergoyanggoyang, dan cahaya dari perapian menyinari keseluruhan rumah. Sang ayah, seorang pria bertubuh besar, duduk di salah satu sisi meja, di hadapannya duduk seorang wanita mungil berambut kelabu, dengan wajah ketakutan. Menghadap ke pintu, dan menatap langsung pada Cleveland, duduk seorang gadis. Sepasang matanya yang terkejut menatap mata Cleveland dengan tajam, satu tangannya yang memegang cangkir setengah terangkat ke bibirnya. Gadis itu sangat cantik, dengan kecantikan yang amat tidak biasa. Rambutnya yang berwarna merah keemasan membingkai wajahnya, seperti kabut; kedua matanya, yang terletak berjauhan, berwarna kelabu jernih. Mulut dan dagunya seperti seorang Madonna Italia dari zaman kuno. Sejenak keheningan yang timbul begitu tajam. Kemudian Cleveland melangkah masuk dan menjelaskan situasinya. Setelah ia mengakhiri ceritanya, kembali terasa keheningan yang semakin sulit dipahami. Namun, akhirnya, sang ayah bangkit, seolah-olah dengan susah payah. "Masuklah, Sir... Mr. Cleveland nama Anda9" 298 "Benar, itu nama saya," sahut Mortimer dengan tersenyum. "Ah! Ya. Masuklah, Mr. Cleveland. Bukan cuaca bagus untuk berada di luar, bukan" Mendekatlah ke perapian. Tutup pintunya, Johnnie, jangan berdiri saja di situ." Cleveland melangkah ke dekat perapian dan duduk di sebuah kursi kecil dari kayu. Johnnie menutup pintu. "Dinsmead, itu nama saya," kata Mr. Dinsmead. Sekarang sikapnya ramah sekali. "Ini istri saya, dan yang dua itu anak-anak perempuan saya, Charlotte dan Magdalen." Untuk pertama kalinya, Cleveland melihat wajah gadis satunya, yang duduk membelakanginya. Gadis itu sama cantik dengan saudara perempuannya, namun dalam cara yang sama sekali berbeda. Kulitnya sangat gelap, dengan wajah seputih pualam, hidung indah yang mancung, dan mulut serius. Kecantikannya dingin, tenang, dan hampir-hampir menakutkan. Ia menanggapi ucapan perkenalan ayahnya dengan menundukkan kepala, dan ia menatap Cleveland dengan tatapan tajam seperti mereka-reka. Seakan-akan ia tengah menilai pria itu, menimbang-nimbang dengan penilaiannya yang muda. "Mau minum sesuatu, eh, Mr. Cleveland?" "Terima kasih," sahut Mortimer. "Secangkir teh pasti nikmat sekali." Mr. Dinsmead ragu-ragu sejenak, kemudian ia mengambil kelima cangkir yang ada di meja, satu demi satu, dan mengosongkan isinya ke dalam sebuah mangkuk. 299 "Teh ini sudah dingin," katanya cepat. "Coba buatkan teh baru, ya, Ma?" Mrs. Dinsmead cepat-cepat bangkit, dan berlalu dengan membawa poci teh. Mortimer mendapat kesan bahwa wanita itu senang bisa keluar dari ruangan tersebut. Teh baru siap dengan segera, dan sang tamu pun segera ditawari makanan. Mr. Dinsmead bicara tanpa henti. Ia cerewet sekali, ramah, dan sangat terbuka. Ia menceritakan segala sesuatu tentang dirinya. Katanya belum lama ini ia pensiun dari usaha bangunan ya, usahanya berjalan sangat baik selama itu. la ?dan istrinya merasa ingin menghirup sedikit udara pedesaan sebab mereka belum ?pernah tinggal di desa. Tapi rupanya mereka memilih bulan yang salah, Oktober dan November, namun mereka tak mau menunggu. "Hidup ini kan tidak pasti, Sir," maka mereka pun membeli cottage ini. Delapan mil dari mana-mana, dan sembilan belas mil dari kota terdekat. Tidak, mereka tidak mengeluh. Kedua anak perempuannya menganggap tempat ini agak membosankan, tapi ia dan istrinya menikmati suasana tenang di sini. Ia terus berbicara, membuat Mortimer hampir-hampir terhipnotis oleh celotehannya. Tentu saja tak ada apa-apa di tempat ini, selain suasana rumah tangga yang biasa saja. Namun, sejak pertama kali melihat sekilas bagian dalam rumah itu, Mortimer merasa mendeteksi sesuatu yang lain, semacam ketegangan, tekanan, yang dipancarkan oleh salah satu dari kelima orang tersebut ia tidak ?tahu yang mana. Pasti ini sekadar kekonyolannya saja, seluruh sarafnya 300 kacau balau! Mereka semua terkejut dengan kemunculannya yang mendadak itu saja. ?Ia memaparkan masalah perlunya mencari tempat berteduh malam itu, dan langsung mendapatkan tanggapan ramah. "Anda mesti menginap di sini, Mr. Cleveland. Tidak ada rumah lainnya sejauh bermil-mil lagi. Kami bisa menyediakan kamar untuk Anda. Piama saya mungkin agak longgar untuk Anda, tapi itu lebih baik daripada tidak ada. Sementara itu, pakaian Anda pasti sudah kering besok pagi." "Anda baik sekali." "Ah, bukan apa-apa," sahut tuan rumahnya dengan ramah. "Seperti saya katakan tadi, cuaca di luar terlalu buruk. Magdalen, Charlotte, pergilah menyiapkan kamar." Kedua gadis itu meninggalkan ruangan tersebut. Tak lama kemudian, Mortimer mendengar mereka sibuk di lantai atas. "Saya bisa mengerti kalau kedua anak perempuan Anda yang menarik itu menganggap tempat ini membosankan," kata Cleveland. "Mereka cantik-cantik, ya?" kata Mr. Dinsmead dengan kebanggaan seorang ayah. 'Tidak terlalu mirip dengan ibu mereka atau dengan saya sendiri. Kami pasangan yang biasa-biasa saja, tapi sangat saling menyayangi. Itu Anda boleh yakin, Mr. Cleveland. Eh, Maggie, benar kan?" Mrs. Dinsmead tersenyum malu. Ia sudah mulai merajut kembali. Jarum-jarum rajutnya bergerak sibuk. Ia bisa merajut cepat sekali. Tak lama ^emu^^"^|^Jt^|c Mortimer dinyata MENGKOM&RSILKAN!!! =kiageng80= kan sudah siap. Sekali lagi Mortimer mengucapkan terima kasih, lalu mengatakan bahwa ia ingin segera tidur. "Apa kau sudah menaruh botol air panas di tempat tidurnya?" tanya Mrs. Dinsmead. yang sekonyong-konyong merasa perlu mempertahankan reputasi rumah tangganya. "Ya, Ibu, ada dua." "Bagus," kata Dinsmead. "Antar dia ke atas, anak-anak, dan pastikan dia tidak memerlukan apa-apa ligi." Magdalen beranjak ke jendela, untuk memeriksa apakah kaitan-kaitannya terpasang erat. Charlotte melayangkan pandang untuk terakhir kali pada segala keperluan mandi. Lalu mereka berdua berdiri sebentar di pintu. "Selamat malam, Mr. Cleveland. Anda yakin Anda tidak memerlukan apa-apa lagi?" "Ya, terima kasih. Miss Magdalen. Saya tidak enak telah sangat merepotkan Anda berdua. Selamat malam." "Selamat malam." Kedua gadis itu keluar, dan menutup pintu. Kini Mortimer Cleveland hanya seorang diri. Ia melepaskan pakaian dengan perlahan-lahan, sambil berpikir. Setelah mengenakan piama merah muda Mr. Dinsmead, ia mengumpulkan pakaian-pakaiannya sendiri yang basah dan menaruh semuanya di luar pintu, seperti sudah diinstruksikan oleh tuan rumahnya. Dari lantai bawah terdengar olehnya suara keras Dinsmead. Cerewet sekali orang itu! Pribadinya pun aneh tapi memang ada kesan aneh pada ?seluruh keluarga itu Atau ini sekadar imajinasinya belaka" 302 Perlahan-lahan ia kembali ke kamarnya dan menutup pintu. Ia berdiri di dekat tempat tidur, sibuk dengan pikirannya sendiri. Kemudian ia terperanjat... Meja mahoni di sisi tempat tidur tertutup debu, dan di atas debu itu tampak jelas tiga huruf, SOS. Mortimer memandangi tulisan itu, seakan tak bisa mempercayai penglihatannya. Tulisan itu telah menegaskan segala pikiran dan perasaan tak menyenangkan yang samar-samar dirasakannya sejauh ini. Rupanya perasaannya benar. Ada yang tidak beres di rumah ini. SOS. Tanda minta pertolongan. Tapi jari siapa yang telah menuliskannya dalam debu" Magdalen atau Charlotte" Mereka berdua tadi berdiri di situ sejenak, sebelum keluar. Tangan siapa yang diam-diam menerakan ketiga huruf itu di meja" Terbayang olehnya wajah kedua gadis itu. Magdalen yang berkulit gelap dan menjaga jarak, dan Charlotte yang menatapnya terkejut, dengan sorot mata tak bisa ditebak, ketika ia pertama kali melihat gadis itu... Ia kembali ke pintu dan membukanya. Suara keras Mr Dinsmead tidak terdengar lagi. Rumah itu sunyi sepi. Ia berpikir sendiri. "Malam ini aku tak bisa berbuat apa-apa. Besok... yah, kita lihat saja." Anjing Kematian The Hound Of Death And Other Stories 1933 Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo III Cleveland bangun pagi-pagi Ia turun ke ruang tamu, kemudian keluar ke kebun. Pagi itu udara segar dan 303 indah, setelah hujan semalam. Ada orang lain yang juga bangun pagi-pagi rupanya. Di ujung kebun, tampak Charlotte sedang bersandar di pagar, memandang ke arah the Downs. Denyut nadi Mortimer menjadi lebih cepat saat ia melangkah mendekati gadis itu. Selama ini diam-diam ia merasa yakin Charlote-lah yang telah menuliskan pesan tersebut. Saat ia sudah dekat, gadis itu menoleh dan mengucapkan "Selamat pagi". Sepasang matanya tampak polos dan kekanak-kanakan, tanpa sedikit pun sorot pemahaman penuh rahasia di dalamnya. "Pagi yang sangat indah," kata Mortimer dengan tersenyum. "Cuaca pagi ini kontras sekali dengan cuaca semalam." "Memang benar." Mortimer mematahkan sebatang ranting dari pohon di dekatnya. Dengan ranting itu ia mulai menggambar di tanah berpasir halus di kakinya. Ia menuliskan huruf S, lalu O, lalu S lagi, sambil mengawasi Charlotte dengan saksama. Tapi lagi-lagi tidak tampak sorot pemahaman apa pun di mata gadis itu. "Anda tahu maksud huruf-huruf ini?" tanyanya dengan mendadak. Charlotte mengerutkan kening sedikit. Ttu tanda yang biasa dikirimkan kapalkapal kalau mereka butuh pertolongan, bukan?" tanya Charlotte. Mortimer mengangguk. "Seseorang menuliskan huruf-huruf ini di meja samping tempat tidur saya semalam," katanya pelan. "Saya pikir, barangkali Andalah yang telah menuliskannya." Charlotte menatapnya dengan terbelalak. "Saya" Oh, tidak." 304 Berarti aku salah, pikir Mortimer. Sebersit rasa kecewa meliputi dirinya Ia sudah begitu yakin amat sangat yakin. Tidak sering intuisinya salah ?menuntunnya. "Anda yakin sekali?" desaknya. "Oh, ya." Mereka berbalik dan perlahan-lahan berjalan bersama-sama ke arah rumah. Charlotte tampak sibuk memikirkan sesuatu. Ia hanya menjawab sesekali pada pernyataan-pernyataan Mortimer. Sekonyong-konyong ia berkata dengan suara pelan tergesa-gesa, "Aneh... aneh sekali Anda menanyakan tentang huruf-huruf SOS itu. Memang bukan saya yang menuliskannya, tapi... bisa saja saya telah melakukannya." Mortimer berhenti berjalan dan menatapnya. Charlotte cepat-cepat melanjutkan, "Memang kedengarannya konyol, tapi selama ini saya begitu ketakutan, amat sangat ketakutan, dan ketika Anda datang kemarin malam, rasanya seperti... seperti jawaban atas sesuatu." "Apa yang Anda takuti?" tanya Mortimer cepat. "Entahlah." "Anda tidak tahu." "Saya rasa... rumah itu penyebabnya. Sejak kami datang kemari, perasaan takut itu semakin bertambah. Entah bagaimana, semua orang terasa berbeda. Ayah, Ibu, Magdalen, mereka semua tampak berbeda." Mortimer tidak langsung menanggapi, dan sebelum ia sempat membuka suara, Charlotte sudah melanjutkan. "Anda tahu rumah itu katanya berhantu?" 305 "Apa?" minat Mortimer semakin meningkat. "Ya, seorang pria membunuh istrinya di situ, oh, peristiwa itu sudah beberapa tahun yang lalu. Kami baru mengetahuinya setelah kami tinggal di sini. Kata Ayah, semua omongan tentang hantu itu omong kosong belaka, tapi saya... entahlah." Mortimer berpikir cepat. "Coba katakan," katanya dengan nada resmi, "apakah pembunuhan itu dilakukan di kamar yang saya tempati semalam?" "Saya tidak tahu tentang itu," sahut Charlotte. . "Saya jadi bertanya-tanya" kata Mortimer, setengah pada dirinya sendiri. "Ya, mungkin saja begitu." Charlotte memandanginya tak mengerti. "Miss Dinsmead," kata Mortimer dengan lembut, ','apa Anda pernah merasa bahwa Anda berbakat menjadi medium?" Charlotte terpaku menatapnya. "Saya rasa Anda tahu bahwa Anda memang menuliskan SOS itu semalam," kata Mortimer pelan "Oh, tentu saja Anda menuliskannya tanpa sadar. Bisa dikatakan ada kejahatan yang mengambang di udara. Pikiran yang sensitif seperti pikiran Anda mungkin saja menangkap atmosfer itu. Anda merasakan segala sensasi dan kesan yang dialami si korban. Bertahun-tahun yang lalu, mungkin dia pun telah menuliskan SOS di meja itu, dan Anda tanpa sadar melakukan hal yang sama semalam." Wajah Charlotte menjadi cerah. "Begitu," katanya. "Menurut Anda, seperti itulah penjelasannya?" 306 Seseorang memanggilnya dari dalam rumah, dan ia pun masuk, meninggalkan Mortimer yang masih mondar-mandir di jalan setapak di kebun. Puaskah ia dengan penjelasannya sendiri" Apakah penjelasan itu bisa menerangkan fakta-fakta yang telah diketahuinya" Juga bisa menjelaskan ketegangan yang telah ia rasakan sejak memasuki rumah itu kemarin malam" Barangkali bisa, namun ia tetap saja merasa bahwa kemunculannya yang sekonyongkonyong itu telah menimbulkan semacam ketakutan yang amat sangat, sampai-sampai ia berpikir begini, "Aku tidak boleh terhanyut oleh penjelasan psikis itu. Penjelasan itu mungkin berlaku untuk Charlotte... tapi tidak untuk para anggota keluarga yang lainnya. Kedatanganku telah membuat mereka sangat tidak nyaman, kecuali Johnnie. Apa pun yang terjadi di sini, Johnnie tidak terlibat." Ia yakin sekali akan hal itu. Memang aneh bahwa ia bisa begitu yakin, tapi demikianlah adanya. Pada saat itu, Johnnie muncul dari dalam rumah dan mendekatinya. "Sarapan sudah siap," katanya dengan canggung. "Anda mau masuk?" Mortimer memperhatikan bahwa jemari anak itu penuh dengan noda. Johnnie bisa merasakan tatapannya, dan ia tertawa agak malu. "Aku suka coba-coba dengan bahan-bahan kimia," katanya. "Kadang-kadang Ayah jadi marah sekali kalau tahu. Dia ingin aku masuk ke bisnis bangunan, tapi aku tertarik pada kimia dan penelitian." Mr. Dinsmead muncul di jendela di depan mereka. Wajahnya yang lebar dan ramah itu menyunggingkan 307 senyum. Melihatnya, segala rasa tak percaya dan kecurigaan Mortimer bangkit kembali. Mrs. Dinsmead sudah duduk di depan meja. Ia mengucapkan selamat pagi pada Mortimer dengan suaranya yang datar. Sekali lagi Mortimer mendapat kesan bahwa, entah karena apa, wanita itu takut terhadapnya. Magdalen masuk paling akhir. Ia mengangguk singkat pada Mortimer, dan duduk berseberangan dengannya. "Anda bisa tidur nyenyak?" tanyanya sekonyong-konyong. "Apa tempat tidur Anda nyaman?" Ia menatap Mortimer dengan penuh harap, dan ketika Mortimer menjawab "Ya" dengan sopan, ia menangkap kilasan rasa kecewa di wajah gadis itu. Dia berharap aku menjawab apa" pikir Mortimer. Ia beralih pada tuan rumahnya. "Anak laki-laki Anda rupanya tertarik pada kimia, ya?" katanya dengan ramah. Terdengar suara benda pecah. Mrs. Dinsmead rupanya menjatuhkan cangkir tehnya. "Hati-hati, Maggie, hati-hati," kata suaminya. Mortimer merasa suara Mr. Dinsmead mengandung nada menegur dan memperingatkan. Lalu ia berpaling pada Mortimer dan bicara dengan lancarnya tentang keuntungankeuntungan berkecimpung dalam bisnis bangunan, dan bahwa anak-anak muda tidak boleh dibiarkan menentukan pilihan seenaknya saja. Selesai sarapan, Mortimer keluar seorang diri ke kebun, untuk merokok. Jelas sudah waktunya ia meninggalkan cottage itu. Meminta tumpangan untuk semalam boleh-boleh saja, tapi memperpanjang niat untuk tinggal di situ akan sulit tanpa alasan yang 308 tepat, dan alasan apa yang bisa ia berikan" Namun ia benar-benar tak ingin pergi. Sambil memikirkan hal tersebut, ia mengambil jalan setapak yang mengarah ke sisi lain rumah itu. Alas sepatunya terbuat dari karet, dan hampir-hampir tidak menimbulkan bunyi. Ketika melewati jendela dapur, ia mendengar suara Dinsmead dari dalam, dan kata-kata yang diucapkan orang itu seketika memicu perhatian Mortimer. "Uangnya cukup banyak juga." Lalu suara Mrs. Dinsmead menjawab. Suaranya terlalu samar, sehingga Mortimer tidak menangkap kata-kata yang diucapkannya, namun Dinsmead menjawab, "Hampir 60.000 pound, kata pengacara itu." Mortimer sama sekali tidak berniat menguping, tapi ia jadi berpikir keras saat melangkah kembali. Mendengar soal uang disebut-sebut, sepertinya situasinya jadi semakin jelas. Entah bagaimana, ada urusan tentang uang sejumlah 60.000 pound situasinya jadi lebih jelas, dan semakin tidak menggembirakan.?Magdalen keluar dari rumah, tapi hampir seketika itu juga terdengar suara ayahnya memanggil, dan ia kembali masuk. Tak lama kemudian, Dinsmead sendiri keluar untuk bergabung dengan tamunya. "Jarang pagi cerah seperti ini," katanya ramah. "Saya harap mobil Anda tidak semakin parah kondisinya." "Dia ingin tahu, kapan aku akan pergi," pikir Mortimer. Ia mengucapkan terima kasih sekali lagi pada Mr. Dinsmead, atas keramahtamahannya semalam. 309 "Bukan apa-apa, bukan apa-apa," sahut Dinsmead. Magdalen dan Charlotte keluar dari rumah bersama-sama, dan berjalan bergandengan tangan ke sebuah bangku yang sudah karatan, yang agak jauh letaknya. Yang satu berambut gelap, dan satunya lagi berambut pirang; bersama-sama, keduanya menimbulkan pemandangan kontras yang menyenangkan, dan Mortimer terdorong untuk berkata, "Kedua anak perempuan Anda sangat tidak mirip satu sama lain, Mr. Dinsmead." Dinsmead, yang baru saja menyalakan pipanya, tersentak dan menjatuhkan korek apinya. "Menurut Anda begitu?" tanyanya. "Ya, saya rasa begitulah." Sekelebat intuisi hinggap di kepala Mortimer. "Tapi tentu saja salah satu dari mereka bukan anak kandung Anda," katanya. Ia melihat Dinsmead menatapnya, ragu-ragu sejenak, lalu pria itu rupanya membulatkan pikiran. 'Tajam sekali penglihatan Anda, Sir," katanya. "Memang, salah satu dari mereka adalah anak angkat. Kami mengambilnya ketika dia masih bayi, dan membesarkannya seperti anak kami sendiri. Dia sendiri tidak menyadari sedikit pun kenyataan itu, tapi tak lama lagi dia harus tahu juga." Ia mendesah. "Karena ada masalah warisan?" tanya Mortimer pelan. Dinsmead melayangkan tatapan curiga padanya. Kemudian sepertinya ia memutuskan bahwa lebih baik berterus terang; setelah itu sikapnya jadi hampir-hampir terlalu terbuka dan blak-blakan. "Aneh, Anda berkata begitu, Sir." 310 "Sekadar telepati, mungkin," kata Mortimer sambil tersenyum. "Begini ceritanya, Sir Kami mengangkatnya sebagai anak untuk menolong ibunya waktu itu saya baru mulai berkecimpung dalam bisnis bangunan. Beberapa ?bulan yang lalu. saya melihat iklan di surat kabar, dan sepertinya anak yang disebutkan di iklan itu adalah Magdalen kami. Saya berangkat menemui para pengacara itu, dan banyak pembicaraan begini-begitu. Mereka curiga wajarlah, ?tapi sekarang segala sesuatunya sudah beres. Minggu depan, saya sendiri yang akan mengajak anak itu ke London. Sejauh ini dia belum tahu apa-apa. Sepertinya ayah kandungnya adalah seorang pria Yahudi yang kaya. Dia baru tahu tentang keberadaan anaknya itu beberapa bulan sebelum kematiannya. Dia menyuruh orang mencoba menemukan jejaknya, dan mewariskan seluruh uangnya pada anak itu kalau dia ditemukan." Mortimer mendengarkan dengan penuh perhatian. Ia tak punya alasan untuk meragukan cerita Mr. Dinsmead. Cerita itu menjelaskan kenapa Magdalen berkulit gelap, dan barangkali juga menjelaskan sikapnya yang menjaga jarak itu. Namun, walau cerita itu sendiri mungkin benar, ada sesuatu vang masih belum terungkap di baliknya. Namun Mortimer tidak berniat membangkitkan kecurigaan Dinsmead. Sebaliknya, ia justru mesti berusaha memblokir segala kecurigaan tersebut. "Cerita yang sangat menarik, Mr. Dinsmead," katanya. "Saya ucapkan selamat pada Miss Magdalen. Sebagai seorang pewaris yang cantik, dia akan memiliki masa depan yang cerah." 311 "Memang," ayahnya menyetujui dengan hangat. "Dan juga jarang ada anak sebaik dia, Mr. Cleveland." Sikap Dinsmead jelas-jelas sangat hangat ketika mengatakan itu. "Yah," kata Mortimer, "rasanya saya harus berangkat sekarang. Sekali lagi saya ingin mengucapkan terima kasih atas segala keramahtamahan Anda, Mr. Dinsmead." Ditemani oleh tuan rumahnya, ia masuk ke dalam rumah untuk berpamitan pada Mrs. Dinsmead. Wanita itu sedang berdiri di dekat jendela, membelakangi mereka, dan tidak mendengar mereka masuk. Ketika mendengar suara riang suaminya, "Ini Mr. Cleveland ingin berpamitan," ia terlonjak kaget dan membalikkan badan, menjatuhkan benda yang sedang dipegangnya Mortimer memungut benda itu. Foto Charlotte dalam gaya sekitar dua puluh lima tahun yang lalu. Mortimer sekali lagi mengucapkan terima kasih, dan kembali ia melihat kesan takut dan tatapantatapan sembunyi-sembunyi yang diarahkan Mrs. Dinsmead padanya dari balik kelopak matanya. Kedua gadis itu tidak kelihatan, tapi Mortimer tak ingin tampak terlalu ingin bertemu mereka. Selain itu, ia juga mempunyai gagasan sendiri, yang kemudian terbukti benar. Ketika ia sudah berada sekitar setengah mil dari rumah, dalam perjalanan ke tempat ia meninggalkan mobilnya semalam, semak-semak di sisi jalan setapak itu terkuak dan Magdalen muncul di hadapannya. "Saya mesti bertemu dengan Anda," katanya. "Saya sudah menduga," kata Mortimer. "Andalah 312 yang menuliskan SOS di meja kamar saya semalam, bukan?" Magdalen mengangguk. "Kenapa?" tanya Mortimer dengan lembut. Gadis itu membalikkan badan dan mulai mencabuti dedaunan dari sebuah semaksemak. "Entahlah," katanya, "sejujurnya, saya tidak tahu " "Katakan saja," kata Mortimer. Magdalen menarik napas panjang. "Saya orang yang praktis," katanya, "bukan jenis orang yang suka membayangkan macam-macam atau mengkhayalkannya. Saya tahu Anda percaya pada hantu-hantu dan roh-roh. Saya tidak, dan kalau saya katakan pada Anda bahwa ada yang sangat tidak beres pada rumah itu," ia menunjuk ke atas bukit, "yang saya maksudkan adalah benar-benar ada yang sangat tidak beres: bukan sekadar gaung dari masa lalu. Perasaan ini sudah saya rasakan sejak kami tinggal di sana. Semakin hari semakin parah. Ayah terasa berbeda, Ibu juga, Charlotte juga." Mortimer berpikir-pikir "Apakah Johnnie juga berbeda?" tanyanya. Magdalen menatapnya, sepasang matanya menyorotkan kesadaran yang mulai bangkit. 'Tidak," katanya, "setelah saya pikir-pikir, Johnnie tidak berbeda. Dia satusatunya yang... yang tidak tersentuh oleh semua itu. Dia juga tidak terpengaruh semalam, saat minum teh." "Dan Anda?" tanya Mortimer. "Saya takut... sangat takut, seperti anak kecil... tidak tahu apa yang ditakutkan. Dan ayah juga... aneh, tak ada kata lain untuk menjelaskannya. Aneh. 313 Dia suka bicara tentang keajaiban, dan saya berdoa benar-benar berdoa memohon ?keajaiban, lalu Anda mengetuk pintu rumah kami." Ia berhenti bicara dengan sekonyong-konyong, terpaku menatap Mortimer. "Saya rasa Anda menganggap saya sinting," katanya dengan menantang. "Tidak," sahut Mortimer. "Justru sebaliknya Anda tampak sangat waras. Semua orang waras bisa merasakan bahaya yang mengintai mereka." "Anda tidak mengerti," kata Magdalen. "Saya bukannya mengkhawatirkan... diri saya sendiri." "Lalu Anda mengkhawatirkan siapa?" Namun lagi-lagi Magdalen menggelengkan kepala dengan bingung. "Saya tidak tahu." la melanjutkan, * "Saya menuliskan SOS itu berdasarkan dorongan seketika. Saya punya perasaan... konyol sekali, tentunya... bahwa mereka tidak akan membiarkan saya bicara pada Anjing Kematian The Hound Of Death And Other Stories 1933 Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Anda - mereka semua, maksud saya. Saya tidak tahu, apa yang ingin saya minta dari Anda. Sekarang pun saya tidak tahu." "Tidak usah cemas," kata Mortimer. "Saya akan melakukannya." "Apa yang bisa Anda lakukan?" Mortimer tersenyum sedikit. "Saya bisa berpikir." Magdalen memandanginya dengan ragu "Ya." kata Mortimer, "banyak yang bisa dilakukan dengan berpikir, lebih banyak daripada yang Anda yakini. Coba katakan, pernahkah ada kata atau kalimat yang diucapkan secara kebetulan, yang menarik 314 perhatian Anda sebelum makan malam dimulai kemarin?" Magdalen mengerutkan kening. "Rasanya tidak," sahutnya. "Tapi saya mendengar Ayah mengatakan sesuatu pada Ibu tentang Charlotte yang katanya mirip sekali dengannya, lalu dia tertawa dengan cara yang sangat aneh, tapi... tidak ada yang aneh di situ, bukan?" 'Tidak," kata Mortimer perlahan-lahan, "kecuali bahwa Charlotte tidak mirip dengan ibu Anda." Selama sesaat ia sibuk dengan pikirannya sendiri. Ketika ia mengangkat wajah, Magdalen tengah menatapnya dengan tidak yakin. "Pulanglah, Nak," kata Mortimer, "dan jangan khawatir; serahkan saja urusan ini pada saya." Dengan patuh Magdalen beranjak ke jalan setapak yang menuju cottage. Mortimer masih berjalan agak jauh, kemudian ia membaringkan diri di rumput yang hijau. Dipejamkannya matanya, melepaskan diri dan segala pikiran dan usaha sadar, dan dibiarkannya serangkaian gambaran berkelebat begitu saja dalam benaknya. Johnnie! Ia selalu kembali pada Johnnie. Johnnie, sepenuhnya polos, sepenuhnya bebas dari segala rangkaian kecurigaan dan intrik itu, namun anak itu justru merupakan pusat dari segala sesuatunya. Ia teringat bagaimana Mrs. Dinsmead menjatuhkan cangkir tehnya ketika sarapan pagi itu. Apa yang menyebabkan keterkejutannya" Karena Mortimer kebetulan menyebutkan tentang kesukaan Johnnie pada kimia" Waktu itu ia tidak menyadari reaksi Mr. Dinsmead, namun sekarang ia dapat membayangkan orang itu dengan jelas, 315 bagaimana ia duduk dengan cangkir teh setengah terangkat ke bibirnya. Ingatan tersebut membawanya kembali pada Charlotte saat ia melihat gadis itu semalam, ketika pintu dibuka. Charlotte duduk menatapnya dari atas tepi cangkir tehnya. Dan segera kemudian menyusul ingatan lainnya. Mr. Dinsmead membuang isi cangkir-cangkir teh itu satu demi satu, sambil mengatakan bahwa teh itu sudah dingin. Ia ingat uap yang mengepul dari cangkir-cangkir tersebut. Tentunya teh itu sebenarnya belum terlalu dingin, bukan" Sesuatu mulai menggeliat di dalam benaknya. Ingatan akan sesuatu yang dibacanya belum lama berselang, barangkali baru sebulan yang lalu. Berita tentang sebuah keluarga yang keracunan akibat kecerobohan seorang anak remaja. Sekantong arsenik yang tertinggal di lemari makanan telah menetes ke roti yang disimpan di bawahnya. Ia membaca itu di surat kabar. Kemungkinan Mr. Dinsmead juga sudah membacanya. Segala sesuatunya mulai menjadi jelas... Setengah jam kemudian, Mortimer Cleveland bangkit berdiri dengan sigap. IV Senja kembali turun di cottage tersebut. Malam ini hidangannya adalah telurtelur rebus dan daging kaleng Tak lama kemudian, Mrs. Dinsmead datang 316 dari dapur, membawa sebuah poci teh besar Keluarga itu duduk mengelilingi meja. "Cuacanya beda sekali dengan cuaca semalam," kata Mrs. Dinsmead sambil memandang ke luar jendela. "Ya," kata Mr. Dinsmead, "malam ini begitu hc-* ning, sampai-sampai kalau ada jarum jatuh pun akan terdengar. Nah, Ma, tolong tuangkan tehnya." Mrs. Dinsmead menuangkan teh ke cangkir-cangkir dan mengedarkannya ke seputar meja. Kemudian, saat menaruh poci teh itu, sekonyong-konyong ia memekik pelan dan menekankan satu tangan ke dadanya. Mr. Dinsmead berputar di kursinya, mengikuti pandang ketakutan istrinya. Mortimer Cleveland berdiri di ambang pintu. la melangkah maju. Sikapnya menyenangkan dan menyiratkan permohonan maaf. "Maaf saya mengejutkan Anda," katanya. "Ada sesuatu yang ketinggalan di sini." "Ketinggalan," seru Mr. Dinsmead. Wajahnya menjadi ungu, urat-urat darahnya membesar. "Apa yang ketinggalan itu, saya ingin tahu." "Sedikit teh," sahut Mortimer. Dengan satu gerakan cepat ia mengambil sesuatu dari sakunya, kemudian ia mengambil salah satu cangkir teh dari meja, mengosongkan sedikit isinya ke sebuah tabung tes kecil yang ia pegang di tangan kirinya. "Apa... apa yang Anda lakukan?" Mr. Dinsmead terkesiap. Wajahnya sekarang pucat pasi. warna ungunya sudah hilang begitu saja. Mrs. Dinsmead mengeluarkan jeritan ketakutan pelan dan nyaring. "Saya rasa Anda sudah membaca koran, Mr. Dinsmead" Saya yakin begitu. Kadang kita membaca 317 berita tentanc **Kfruh keluarga yang keracunan, beberapa di ^taranya pulih kembali. Dalam kasus ini, satu orp*" tidak akan pulih. Penjelasan pertama tentu sajj" adalah daging kaleng yang kalian makan, tapi "Seandainya sang dokter merasa curiga, dan tidak mudah percaya dengan teori daging kaleng itu" Ada sebungkus arsenik di lemari makanan Anda. Di rak bawahnya ada sebungkus teh. Dan ada lubang di rak paling atas, jadi apa lagi yang lebih wajar selain alasan bahwa arsenik itu masuk ke dalam teh secara tidak sengaja" Anak Anda, Johnnie, akan disalahkan karena ceroboh, tidak lebih dari itu." "Saya... saya tidak mengerti maksud Anda," Dinsmead tergagap. "Saya rasa Anda mengerti." Mortimer mengambil cangkir teh kedua dan mengisi tabung tes kedua. Ia memasang label merah pada satu tabung dan label biru pada tabung lainnya. "Tabung berlabel merah ini berisi teh dari cangkir anak perempuan Anda, Charlotte," katanya. "Dan yang satunya lagi dari cangkir Magdalen. Saya siap bersumpah bahwa dalam tabung pertama saya akan menemukan arsenik yang kadarnya empat-lima kali lebih besar daripada di dalam tabung kedua." "Anda sudah sinting," kata Dinsmead. "Oh, tidak. Sama sekali tidak. Hari ini Anda mengatakan pada saya, Mr. Dinsmead, bahwa Magdalen adalah anak kandung Anda. Charlotte adalah anak yang Anda adopsi, anak yang begitu mirip dengan ibunya, sampai-sampai ketika saya memegang foto si ibu di tangan saya hari ini, saya mengira itu foto Charlotte sendiri. Anda ingin anak kandung Anda yang 318 mendapatkan warisan itu, dan berhubung tak mungkin Anda menyembunyikan Charlotte dari pandangan umum, dan seseorang yang mengenal ibunya mungkin menyadari kemiripannya dengan ibunya, maka Anda memutuskan... yah. menaruh sedikit arsenik di dasar cangkir teh itu." Mrs. Dinsmead mendadak tertawa nyaring, sambil bergoyang-goyang histeris di kursinya. 'Teh," katanya dengan suara melengking. "Itu yang dia katakan, teh, bukan limun." "Apa kau tidak bisa diam?" bentak suaminya dengan suara menggelegar. Mortimer melihat Charlotte menatapnya dari seberang meja dengan mata terbelalak, bertanya-tanya. Kemudian ia merasakan sebuah tangan menyentuh lengannya, dan Magdalen menariknya keluar, agar tidak ada yang bisa mendengar. "Itu," katanya sambil menunjuk tabung-tabung tersebut. "Ayah. Anda tidak akan..." Mortimer menyentuh bahu gadis itu. "Anakku," katanya, "kau tidak percaya pada masa lalu, tapi aku percaya. Aku percaya akan atmosfer rumah ini. Kalau ayahmu tidak tinggal di sini, barangkali kataku barangkali ayahmu tidak akan membuat ? ?rencana semacam itu. Aku akan menyimpan kedua tabung ini untuk menjaga Charlotte, sekarang dan di masa depan. Di luar itu, aku tidak akan berbuat apaapa, sebagai rasa terima kasih pada tangan yang telah menuliskan SOS itu." 319 Sepasang Pedang Iblis 13 Wisang Geni Pendekar Tanpa Tanding Karya John Halmahera Anak Berandalan 2

Cari Blog Ini