Ceritasilat Novel Online

Kasus Kasus Perdana Poirot 2

Kasus Kasus Perdana Poirot Poirots Early Cases Karya Agatha Christie Bagian 2 terdengar deru motor dan teriakan. Saya menoleh. Sebuah mobil abu-abu yang rendah dan panjang melintas dengan kecepatan tinggi, menuruni jalan mobil menuju pondok sebelah selatan. Pengemudi mobil itulah yang berteriak. Tapi, bukan itu yang membuat saya terperanjat ketakutan, melainkan karena melihat rambut ikal Johnnie yang berwarna jerami. Johnnie ada di dalam mobil, di sebelah pengemudi. "Inspektur McNeil menyumpah-nyumpah. 'Anak itu ada di sini semenit yang lalu,' teriaknya. Pandangan matanya menyapu kami. Kami semua ada di situ: saya sendiri, Tredwell, Nona Collins. 'Kapan Anda terakhir kali melihat anak itu, Tuan Waverly"' "Saya mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi. Ketika polisi di luar memanggil kami, saya dan Inspektur berlari ke luar, melupakan Johnnie sama sekali. "Lalu terdengarlah suara yang mengagetkan kami. Dentang jam gereja dari desa. Sambil berseru Inspektur mengeluarkan arlojinya. Pukul 12.00 tepat! Serentak kami berlari masuk ke ruang dewan; jam di sana menunjukkan angka 12.10. Pasti seseorang sengaja mengacaukan jam itu karena setahu saya jam itu belum pernah tidak tepat sampai saat itu." Tuan Waverly berhenti sejenak. Poirot tersenyum kepada dirinya sendiri lalu meluruskan alas kaki kecil yang terdorong kaki ayah yang cemas itu. "Masalah kecil yang menyenangkan, tidak jelas dan menarik," Poirot bergumam. "Dengan senang hati saya akan menyelidikinya. Sungguh, penculikan itu direncanakan ? merveille." Nyonya Waverly memandang Poirot dengan tatapan memelas. "Tapi, anak saya," ratapnya. Tergesa-gesa Poirot mengubah wajahnya dan memperlihatkan pandangan simpati yang tulus lagi. "Putra Nyonya selamat. Dia tidak berada dalam bahaya. Yakinlah bahwa orang-orang licik itu akan menjaganya sebaik mungkin. Bukankah bagi mereka anak itu serupa kalkun - bukan angsa - yang menghasilkan telur emas?" "M. Poirot, saya yakin hanya ada satu hal yang harus dilakukan - memenuhi tuntutan penculik. Mula-mula saya tidak setuju - tapi sekarang! Perasaan seorang ibu - " "Kita sudah menyela cerita Monsieur," sergah Poirot buru-buru. "Saya kira Anda sudah mengetahui kisah selanjutnya dari berbagai surat kabar," ujar Tuan Waverly. "Tentu saja Inspektur McNeil segera menelepon ke pusat. Gambaran tentang mobil dan orang itu disebarluaskan. Mula-mula kelihatannya semua akan beres. Sebuah mobil yang sesuai dengan gambaran itu, dengan seorang laki-laki dan anak kecil di dalamnya melintasi beberapa desa. Rupanya akan menuju London Di suatu tempat mereka berhenti dan terlihat bahwa anak itu menangis serta jelas-jelas takut kepada teman semobilnya. Inspektur McNeil memberitahu bahwa mobil itu sudah dihentikan dan penumpangnya ditahan. Saya sangat lega mendengarnya. Anda tahu selanjutnya. Anak laki-laki itu bukan Johnnie dan pria itu adalah seorang yang gemar mengemudi yang sangat menyukai anak-anak. Ia mengajak seorang anak kecil yang sedang bermain-main di jalan di Edenswell, desa yang terletak kira-kira lima belas mil dari tempat tinggal kami, dan dengan ramah memberi anak itu tumpangan. Gara-gara kesalahan besar polisi yang terlalu yakin, semua jejak hilang. Andaikata polisi tidak terus-menerus membuntuti mobil yang salah, mungkin sekarang Johnnie sudah ditemukan." "Tenanglah, Monsieur. Polisi merupakan kesatuan yang berani dan pandai. Kesalahan yang mereka perbuat wajar sekali. Lagi pula, penculikan itu direncanakan dengan luar biasa cerdiknya. Akan halnya laki-laki yang ditangkap di halaman itu, saya mengerti bahwa dia akan terus menerus menyangkal untuk membela diri. Dia mengatakan bahwa surat dan bungkusan itu diberikan kepadanya untuk disampaikan ke Waverly Court. Orang yang menyerahkan barang memberinya upah sepuluh shilling dan menjanjikan sepuluh shilling tambahan kalau benda itu disampaikan tepat pukul 11.50. Untuk melakukannya dia harus mendekati rumah melalui halaman dan mengetuk pintu samping." "Saya sama sekali tidak percaya," kata Nyonya Waverly berapi-api. "Kisah itu cuma isapan jempol." "En verit?, peristiwa ini jarang terjadi," ujar Poirot merenung. "Sebegitu jauh polisi belum mengutak-atik. Saya tahu pemuda itu melemparkan tuduhan?" Poirot menoleh seraya menanyai Tuan Waverly, yang wajahnya menjadi agak merah lagi. "Pemuda itu kurang ajar dengan berpura-pura mengenali Tredwell sebagai orang yang memberinya bungkusan. 'Hanya saja orang itu sekarang sudah mencukur kumisnya,' katanya. Tredwell yang dilahirkan di sini!" Poirot tersenyum simpul melihat kedongkolan hati laki-laki itu. "Bukankah Anda sendiri mencurigai salah seorang penghuni rumah menjadi kaki tangan komplotan penculik?" "Memang, tapi bukan Tredwell." "Bagaimana dengan Anda, Madame?" Poirot bertanya tiba-tiba seraya menoleh kepada Nyonya Waverly. "Tidak mungkin Tredwell memberi pemuda gembel itu surat dan bungkusan - kalau memang ada yang melakukannya, saya tidak percaya. Barang itu diserahkan kepadanya pada pukul 10.00, begitu pengakuannya. Padahal pada waktu itu Tredwell bersama suami saya berada di ruang merokok." "Anda dapat melihat wajah orang di dalam mobil itu, Monsieur" Apakah ia mirip Tredwell?" "Terlalu jauh bagi saya untuk melihat wajahnya." "Tahukah Anda kalau-kalau Tredwell mempunyai saudara laki-laki?" "Dia punya beberapa saudara laki-laki, tapi semua sudah meninggal. Yang terakhir terbunuh dalam perang." "Saya belum jelas tentang keadaan halaman Waverly Court. Mobil itu mengarah ke pos pintu selatan. Ada jalan masuk lainnya?" "Ada, yang kami namakan pos pintu timur. Pos itu dapat dilihat dari sisi rumah yang satunya." "Anehnya, tidak seorang pun mendengar mobil itu memasuki halaman." "Ada jalan langsung melintasi halaman dan menuju kapel kecil. Banyak sekali mobil yang melewati jalan itu. Pasti laki-laki itu menghentikan mobilnya di tempat yang menguntungkan dan mengemudikannya ke rumah bersamaan dengan tanda bahaya berbunyi, sehingga perhatian terpusat ke hal lain." "Kalau tidak dia sudah bersembunyi di dalam rumah," kata Poirot sambil merenung. "Ada tempat yang dapat dipakai untuk bersembunyi?" "Well, kami memang tidak memeriksa rumah secara menyeluruh sebelumnya. Kelihatannya tidak perlu. Saya kira dia mungkin bersembunyi dulu. Tetapi, siapa yang memperbolehkannya masuk?" "Kita akan membicarakan masalah ini kemudian. Satu per satu - mari kita mengikuti metode. Tidak ada tempat persembunyian di dalam rumah" Waverly Court adalah bangunan kuno dan kadang-kadang ada tempat yang dinamakan 'lubang perlindungan' atau priests' holes. "Ya Tuhan! Memang ada satu lubang yang dibuka dari salah satu lantai papan di aula." "Dekat ruang dewan?" "Persis di depan pintu." "Voil?." "Tapi tidak ada yang tahu mengenai lubang itu kecuali saya dan istri saya." "Tredwell?" "Mungkin dia pernah mendengarnya." "Nona Collins?" "Saya belum pernah memberitahunya." Patriot merenung sebentar. "Well, Monsieur, langkah berikutnya adalah saya harus pergi ke Waverly Court. Kalau saya datang ke sana siang ini, apakah Anda keberatan?" "Oh, secepat mungkin, Monsieur Poirot!" seru Nyonya Waverly. "Bacalah surat ini sekali lagi." Nyonya Waverly meletakkan surat penculik yang diterima keluarga Waverly pagi itu yang menyebabkan mereka datang kepada Poirot. Isinya penjelasan yang cerdik dan terang-terangan tentang cara menyerahkan uang dan diakhiri dengan ancaman bahwa pengkhianatan dalam bentuk apa pun akan dibayar dengan nyawa anak itu. Jelas bahwa rasa cinta akan uang berperang melawan kasih seorang ibu, dan yang terakhir inilah yang menang. Poirot menahan wanita itu di belakang suaminya sebentar. "Madame, jika Anda tidak keberatan, katakanlah yang sebenarnya. Apakah Anda juga mempercayai kepala pelayan, Tredwell, seperti suami Anda?" "Saya tidak mempunyai alasan apa pun untuk menentang dia, Monsieur Poirot. Saya tidak melihat alasan mengapa dia dapat terlibat dalam penculikan ini, tapi - hmm, saya tidak pernah menyukai dia - tidak pernah!" "Satu lagi, Madame. Dapatkah Anda memberikan alamat pengasuh Johnnie?" "Netherall Road 149, Hammersmith. Anda tidak membayangkan - " "Saya tidak pernah membayangkan. Hanya saja saya menggunakan otak saya. Dan kadang-kadang saja, muncul sedikit ide." Ketika pintu ditutup, Poirot menghampiriku. "Jadi Madame tidak pernah menyukai kepala pelayan itu. Menarik bukan, eh, Hastings?" Aku menolak untuk berkomentar. Sudah berulang kali Poirot memperdayaku sehingga aku sekarang bosan. Selalu saja ada kejutan. Setelah selesai berdandan, kami berangkat ke Netherall Road. Beruntung kami menjumpai Jessica Withers di rumahnya. Ia perempuan yang berwajah menyenangkan, berumur tiga puluh lima tahun, cakap, dan baik. Aku tidak akan percaya kalau dia terlibat dalam penculikan Johnnie. Jessica sangat menyesalkan karena dirinya diberhentikan, tapi mengakui kesalahan yang telah diperbuatnya. Ia mau menikah dengan seorang pelukis sekaligus dekorator yang kebetulan bertempat tinggal di daerah itu. Ketika itu dia keluar untuk menemui tunangannya. Kelihatannya tindakannya ini wajar saja. Yang tidak sungguh-sungguh kumengerti adalah Poirot. Bagiku, semua pertanyaan yang diajukannya tidak sesuai sama sekali. Hanya berkisar pada kehidupan rutin Jessica di Waverly Court. Terus terang aku bosan, dan gembira ketika Poirot mengajakku meninggalkan tempat itu. "Menculik itu gampang, Kawan," katanya seraya memanggil taksi di Hammersmith Road dan meminta pengemudi menuju Waterloo. "Anak itu dapat diculik dengan gampangnya kapan saja selama tiga hari terakhir ia berada di rumah." "Aku tidak melihat informasi ini menguntungkan kita," kataku dingin. "Sebaliknya, keterangan ini sangat membantu kita. Sangat membantu! Hastings, kalau engkau mengenakan jepit dasi, sebaiknyalah jepit itu berada tepat di tengah-tengah dasimu. Sekarang ini jepit itu terlalu ke kanan satu inci." Waverly Court adalah bangunan kuno yang menyenangkan dan baru saja diperbaiki dengan selera yang tinggi. Tuan Waverly menunjukkan ruang dewan, teras, dan berbagai tempat lainnya yang berkaitan dengan penculikan anaknya kepada kami. Akhirnya, atas permintaan Poirot, tuan rumah menekan per di dinding, lalu sebilah papan meluncur ke samping, dan sebuah jalan pendek membawa kami ke lubang perlindungan. "Anda lihat," kata Tuan Waverly, "tidak ada apa-apa di sini." Ruangan kecil itu cukup bersih, bahkan tidak nampak tanda-tanda adanya jejak kaki di lantai. Kuhampiri Poirot yang tengah membungkuk, mengawasi jejak di sudut dengan penuh perhatian. "Apa pendapatmu tentang jejak ini, Sobat?" Terlihat jejak empat kaki yang saling berdekatan. "Jejak anjing," seruku. "Anjing yang kecil sekali, Hastings. Anjing Pom. Lebih kecil dari Pom." "Anjing griffon?" aku mengemukakan pendapatku dengan ragu-ragu. "Malahan lebih kecil daripada griffon. Jenis yang tidak ada di tempat karantina anjing." Kupandang Poirot. Wajahnya memancarkan rasa gembira dan puas. "Aku benar," gumamnya. "Aku yakin aku benar. Ayo, Hastings!" Pada waktu kami keluar untuk masuk ke ruang besar dan papan di belakang kami menutup, seorang wanita yang masih muda keluar dari pintu yang terletak lebih rendah di jalan pendek itu. Tuan Waverly memperkenalkannya kepada kami. "Nona Collins." Nona Collins berumur kira-kira tiga puluh tahun, gerak-geriknya cepat dan penuh kewaspadaan. Rambutnya berwarna terang, agak suram, dan ia mengenakan kacamata yang menggantung di hidung. Atas permintaan Poirot kami masuk ke ruang duduk untuk pagi hari yang kecil dan menanyai Nona Collins dengan saksama mengenai para pelayan, khususnya Tredwell. Ia mengaku tidak menyukai Tredwell. "Dia angkuh," Nona Collins menjelaskan alasannya. Selanjutnya Poirot menanyakan makanan yang disantap Nyonya Waverly pada malam tanggal 28 itu. Nona Collins menyatakan bahwa ia makan makanan yang sama di ruang duduknya di lantai atas dan tidak menderita sakit apa pun. Ketika wanita itu akan berlalu, aku mengingatkan Poirot. "Anjing," bisikku. "Ah, ya. Tentang anjing!" Poirot tersenyum lebar. "Apakah kebetulan ada anjing di sini, Mademoiselle?" "Ada dua anjing pencari jejak di kandangnya di luar." "Bukan. Maksud saya anjing kecil, anjing untuk mainan." "Tidak ada." Poirot menyilakannya pergi. Kemudian, sambil membunyikan bel Poirot berkata kepadaku, "Mademoiselle Collins itu bohong. Mungkin aku harus berbuat begitu juga seandainya aku dalam posisinya. Sekarang waktu untuk si kepala pelayan." Tredwell adalah orang yang memiliki rasa penuh percaya diri. Dia menceritakan kisahnya dengan mantap. Pada dasarnya ceritanya sama dengan cerita Tuan Waverly. Ia mengaku mengetahui rahasia lubang persembunyian. Ketika Tredwell yang selalu berbicara dengan sikap memerintah dan angkuhnya berlalu, pandanganku bertemu dengan pandangan aneh Poirot. "Apa pendapatmu tentang semua ini, Hastings?" "Apa pendapatmu sendiri?" aku mengelak. "Bukan main berhati-hatinya engkau sekarang. Otak tidak akan pernah berfungsi kalau tidak kaurangsang untuk berpikir. Ah, aku tidak akan menggodamu! Ayo, kita menarik kesimpulan bersama-sama. Apa saja yang menarik perhatianmu, terutama yang kelihatan tidak wajar?" "Satu hal yang menarik perhatianku. Mengapa penculik Johnnie keluar melalui pos pintu selatan dan bukannya yang timur, sehingga tidak ada orang yang akan melihatnya?" "Pendapat yang bagus sekali, Hastings. Luar biasa. Aku akan menambahnya. Mengapa keluarga Waverly diperingatkan sebelumnya" Mengapa penculik tidak menculik anak itu saja dan menyanderanya untuk mendapatkan uang tebusan?" "Karena mereka mengharapkan uang itu tanpa harus bertindak." "Tentunya hampir tidak mungkin tuntutan uang akan dipenuhi hanya karena ancaman belaka." "Mereka juga ingin memusatkan perhatian pada pukul 12.00. Jadi, pada waktu gelandangan itu ditangkap, yang lain dapat muncul dari tempat persembunyiannya dan keluar bersama Johnnie tanpa dilihat." "Itu pun tidak mengubah kenyataan bahwa komplotan penculik mempersulit sesuatu yang sebenarnya gampang sekali. Kalau saja mereka tidak menentukan waktu, kan gampang sekali bagi mereka daripada menunggu saat yang tepat lalu melarikan anak itu dengan mobil pada waktu ia keluar bersama pengasuhnya." "Ya... ya," dengan ragu-ragu aku mengakui. "Sebenarnya ada unsur kesengajaan untuk membuat lelucon! Ayolah, kita pandang masalah ini dari sisi lain. Semua peristiwa terjadi untuk menunjukkan ada kaki tangan penculik di rumah itu. Pertama, peracunan Nyonya Waverly. Kedua, penyematan surat di bantal. Ketiga, jam yang dicepatkan sepuluh menit secara misterius - semua terjadi di dalam rumah. Dan kenyataan yang mungkin tidak kaulihat. Tidak ada debu di dalam lubang perlindungan. Tempat itu sudah disapu!" "Sekarang ada empat orang di dalam rumah. Pengasuh Johnnie dapat kita kecualikan karena tidak mungkin dia menyapu lubang perlindungan, biarpun mungkin saja dia melakukan tiga hal lainnya. Empat orang itu Tuan Waverly dan istrinya, Tredwell si kepala pelayan, dan Nona Collins. Pertama, kita bicarakan Nona Collins. Tidak banyak kecurigaan pada dirinya, walaupun sedikit saja yang kita ketahui tentang dia. Jelas dia cerdas dan baru setahun di sini." "Dia berbohong tentang anjing itu," aku mengingatkan. "Ah, ya, anjing itu," kata Poirot seraya melemparkan senyuman yang ganjil. "Biarlah kita lewatkan saja dan melanjutkan dengan Tredwell. Beberapa keterangan tentang dirinya mencurigakan. Satu hal, gelandangan itu mengatakan Tredwell-lah orang yang memberinya bungkusan di desa." "Tapi Tredwell dapat memberikan alibi berkenaan dengan tuduhan ini." "Bahkan, dia bisa juga meracuni Nyonya Waverly, menyematkan surat ke bantal, mempercepat jam, dan menyapu lubang perlindungan. Di pihak lain, dia dilahirkan dan dibesarkan sebagai pelayan keluarga Waverly. Kelihatannya sama sekali tidak mungkin dia berkomplot dengan penculik. Tredwell tidak masuk hitungan." "Well, lalu?" "Kita harus meneruskan secara logis - walaupun kelihatannya tidak mungkin. Secara singkat kita pertimbangkan Nyonya Waverly. Tapi, wanita ini kaya dan uang adalah miliknya. Uangnyalah yang digunakan untuk memugar tanah milik keluarga yang Kasus Kasus Perdana Poirot Poirots Early Cases Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo sudah suram ini. Dia tidak mempunyai alasan untuk menculik putranya dan membayarkan uangnya kepada dirinya sendiri. Sebaliknya, posisi suaminya berbeda. Istrinya kaya, dan ini tidak berarti sama dengan menjadi kaya dengan sendirinya sebenarnya aku berpikiran bahwa Nyonya Waverly tidak terlalu suka kehilangan uang, kecuali dengan dalih yang sangat beralasan. Namun Tuan Waverly, engkau dapat segera mengetahui, adalah seorang bon viveur. Dia suka hidup enak." "Tidak mungkin," kataku meradang. "Bukan tidak mungkin sama sekali. Siapa yang menyuruh para pelayan pergi" Tuan Waverly. Dia dapat menulis surat-surat kaleng itu, meracuni istrinya, mempercepat jam, dan memberikan alibi yang luar biasa untuk pelayannya yang setia, Tredwell. Tredwell tidak pernah menyukai Nyonya Waverly. Dia mengabdi kepada tuannya dan bersedia mematuhi perintah-perintah tuannya secara mutlak. Tiga pihak terlibat. Waverly, Tredwell, dan beberapa teman Waverly. Inilah kesalahan polisi. Mereka tidak menyelidiki lebih jauh pengemudi mobil abu-abu dengan anak di dalamnya itu. Pengemudi inilah orang ketiga. Diambilnya seorang anak di desa tetangga, anak laki-laki berambut pirang dan ikal. Dia masuk melalui pintu timur dan keluar melalui pintu selatan pada waktu yang tepat, melambaikan tangannya, dan berteriak. Wajah maupun nomor mobilnya tidak dapat dilihat. Jadi, jelas wajah anak itu juga tidak terlihat. Lalu, dia memberikan jejak palsu menuju London. Sementara itu Tredwell telah merampungkan tugasnya dalam mengatur penyerahan bungkusan dan surat untuk disampaikan oleh pemuda yang berpenampilan kasar. Tuannya dapat memberikan alibi seandainya pemuda itu mengenali Tredwell - lepas dari kumis palsu yang dikenakan si kepala pelayan. Segera setelah terjadi keributan di luar dan Inspektur menerobos ke luar, Tuan Waverly cepat-cepat menyembunyikan anaknya di lubang perlindungan lalu mengikuti Inspektur. Setelah Inspektur pergi dan Nona Collins tidak kelihatan, tidaklah sulit untuk membawa Johnnie ke tempat yang aman dengan mobilnya sendiri." "Lalu, bagaimana dengan anjing itu?" tanyaku. "Dan kebohongan Nona Collins?" "Itu lelucon kecilku. Aku menanyainya kalau-kalau ada anjing mainan di rumah itu dan dia menjawab tidak ada - tapi, jelas ada beberapa - di ruang anak-anak! Engkau tahu, Tuan Waverly meletakkan beberapa mainan di lubang perlindungan supaya Johnnie tetap tenang dan asyik bermain." "M. Poirot" - Tuan Waverly memasuki ruangan tempat kami berbicara - "sudahkah Anda menemukan sesuatu" Adakah Anda temukan petunjuk ke mana putra saya dibawa?" Poirot menyerahkan selembar kertas. "Ini alamatnya." "Tapi, kertas ini kosong." "Karena saya menunggu Anda menuliskan alamat itu untuk saya." "Apa?"" wajah Tuan Waverly berubah menjadi merah-padam. "Saya tahu semuanya, Monsieur. Saya beri Anda waktu dua puluh empat jam untuk mengembalikan anak itu. Kepandaian Anda sebanding dengan tugas untuk mengembalikan anak itu. Kalau tidak, istri Anda akan diberitahu urutan peristiwanya dengan tepat." Tuan Waverly menenggelamkan tubuhnya ke kursi dan menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. "Johnnie bersama pengasuh saya yang lama, sepuluh mil dari sini. Dia bahagia dan dirawat dengan baik." "Saya tidak meragukannya. Kalau saya tidak mempercayai Anda sebagai ayah yang sebenarnya baik, saya tidak akan memberi Anda kesempatan." "Skandal ini - " "Tepat. Nama Anda sudah lama dikenal dan terhormat. Jangan mempertaruhkannya lagi. Selamat malam, Tuan Waverly. Ah, omong-omong, saya punya satu nasihat. Bersihkanlah selalu sudut-sudut ruangan!" V PETUNJUK GANDA "YANG paling penting - tidak ada pemberitaan pers," kata Marcus Hardman mungkin untuk keempat belas kalinya. Kata pemberitaan pers diucapkan dengan gaya seorang leitmotif di sepanjang bicaranya. Hardman bertubuh kecil, agak gemuk, kedua tangannya terawat baik, dan suara tenornya terdengar sayu. Dengan caranya seperti ini, dia menjadi agak terkenal dan profesinya adalah kehidupan yang gaya. Laki-laki itu kaya, tetapi tidak terlalu kaya, dan membelanjakan uangnya dengan berani demi mengejar kesenangan sosial. Mengoleksi benda-benda antik adalah kegemarannya. Dia memang berjiwa kolektor. Lencana kuno, kipas kuno, permata antik - tidak ada barang sederhana atau modern yang dimiliki Marcus Hardman. Aku dan Poirot datang untuk memenuhi panggilan penting dan menjumpai laki-laki itu sedang menderita karena ketidakpastian. Dalam keadaan seperti itu, memanggil polisi merupakan perbuatan yang menjijikkan baginya. Di pihak lain, tidak memanggil polisi berarti diam-diam dia menyetujui hilangnya beberapa permata dari koleksinya. Poirot dianggapnya sebagai jalan tengah. "Batu delima saya, Monsieur Poirot, dan kalung jamrud - kata orang dulu milik Catherine de' Medici. Oh, kalung jamrud itu!" "Bagaimana kalau Anda ceritakan hilangnya permata-permata itu?" Poirot menyarankan dengan lembut. "Akan saya coba. Kemarin siang saya mengadakan jamuan kecil minum teh - tidak terlalu resmi sifatnya. Kurang lebih enam orang yang saya undang. Selama musim ini sudah dua kali saya mengundang mereka. Meskipun mungkin ini tidak perlu saya beritahukan, jamuan-jamuan itu sukses sekali. Musik yang menyenangkan - Nacora si pianis, dan Katherine Bird, penyanyi Australia bersuara rendah - di studio besar. Awal siang itu saya menunjukkan koleksi permata abad pertengahan saya kepada para tamu. Permata-permata itu saya simpan dalam lemari besi kecil di dinding sebelah sana. Bagian dalam lemari itu diatur seperti lemari dinding dengan latar belakang beludru berwarna untuk memamerkan isinya. Setelah itu kami melihatlihat kipas - dalam kotak di dinding itu. Lalu kami kembali ke studio untuk mendengarkan musik. Baru setelah semua tamu pulang, saya mendapatkan lemari besi itu dibongkar! Pasti saya tidak menutupnya dengan benar dan seseorang memanfaatkan kesempatan untuk menguras isinya. Batu-batu delima itu, Monsieur Poirot, kalung jamrud itu - koleksi itu - koleksi seumur hidup! Apa pun akan saya berikan untuk mengembalikan permata-permata itu! Tetapi, tidak boleh ada pemberitaan pers! Anda memahami sepenuhnya bukan, Monsieur Poirot" Tamu-tamu saya sendiri. Kawan-kawan pribadi saya! Kejadian ini akan menimbulkan skandal yang mengerikan!" "Siapa orang terakhir yang meninggalkan ruangan ini ketika Anda menuju studio?" "Johnston. Mungkin Anda mengenalnya. Milyuner Afrika Selatan. Dia baru saja menyewa rumah milik Abbotbury di Park Lane. Dia berlambat-lambat sebentar di belakang, saya ingat ini. Tapi, pasti, tidak mungkin dia yang mengambilnya!" "Selama siang itu, adakah tamu Anda yang kembali ke ruang ini dengan suatu alasan?" "Saya siap menjawab pertanyaan ini, Monsieur Poirot. Tiga orang yang kembali ke sini. Countess Vera Rossakoff, Bernard Parker, dan Lady Runcorn." "Mari kita bicarakan mereka." "Countess Vera Rossakoff adalah wanita berkebangsaan Rusia yang amat mempesona, termasuk orang rezim lama. Dia baru saja datang ke Inggris. Sebenarnya Countess Rossakoff sudah berpamitan, oleh karena itu agak kaget juga saya menjumpainya di ruang ini dan memandang kotak kipas saya dengan tatapan terpesona. Anda mengerti, Monsieur Poirot, semakin saya memikirkannya, semakin mencurigakan rasanya. Tidakkah Anda sependapat?" "Sangat mencurigakan; tapi biarkan kami mendengar tentang yang lain." "Well, Parker datang hanya untuk mengambil kotak-kotak miniatur yang ingin saya perlihatkan kepada Lady Runcorn." "Dan Lady Runcorn sendiri?" "Saya yakin Anda tahu. Lady Runcorn berumur setengah baya, pribadinya sangat mantap, dan mengabdikan sebagian besar waktunya untuk berbagai kegiatan sosial. Dia kembali semata-mata untuk mengambil tas tangannya." "Nah, Monsieur, ada empat orang yang patut dicurigai. Putri Rusia itu, grande dame Inggris itu, milyuner Afrika Selatan, dan Bernard Parker. Omong-omong, siapa Bernard Parker ini?" Kelihatannya pertanyaan ini membuat Hardman malu. "Dia - er - dia masih muda. Well, sebenarnya dia pemuda yang saya kenal." "Saya sudah menyimpulkan sejauh itu," kata Poirot dengan wajah muram. "Apa pekerjaan Parker ini?" "Dia pemuda modern yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bersenangsenang - tidak mungkin ia benar-benar terlibat dalam kejadian ini, kalau boleh saya mengemukakan pendapat pribadi saya." "Bagaimana dia dapat berkawan dengan Anda" Boleh saya tahu?" "Eh, sekali atau lebih dia - melakukan pekerjaan kecil untuk saya." "Teruskan, Monsieur," ujar Poirot. Hardman menatap Poirot dengan pandangan mengiba. Jelas dia tidak ingin meneruskan ceritanya. Akan tetapi, karena Poirot mempertahankan keheningan yang tidak dapat ditawar, laki-laki itu akhirnya menyerah. "Anda tahu, Monsieur Poirot - orang-orang tahu benar bahwa saya tertarik akan permata-permata antik. Kadang-kadang ada pusaka keluarga yang akan dijual - yang tidak akan pernah dijual ke pasar terbuka atau ke agen. Namun, menjual kepada saya pribadi lain sama sekali. Parker mengatur rincian penjualan seperti ini. Dia menghubungi kedua belah pihak. Dengan demikian, tidak akan ada rasa malu sekecil apa pun. Diperlihatkannya kepada saya segala macam benda yang termasuk permata antik. Misalnya, sekarang Countess Rossakoff membawa beberapa permata keluarga dari Rusia dan ingin menjualnya. Nah, Bernard Parker harus mengatur transaksi ini." "Saya mengerti," ujar Poirot hati-hati. "Dan Anda mempercayainya seratus persen?" "Saya tidak mempunyai alasan untuk tidak bersikap demikian." "Tuan Hardman, dari keempat orang ini, siapa yang Anda curigai?" "Oh, Monsieur Poirot, bukan main sulitnya pertanyaan ini! Mereka kawan-kawan saya, seperti tadi saya katakan. Tidak seorang pun yang saya curigai - atau semuanya, terserah pernyataan mana yang Anda sukai." "Saya tidak setuju. Anda mencurigai salah seorang. Bukan Countess Rossakoff, bukan pula Bernard Parker. Orang itu Lady Runcorn atau Johnston?" "Anda memojokkan saya, Monsieur Poirot. Betul-betul memojokkan saya. Saya sangat berharap tidak akan terjadi skandal. Lady Runcorn berasal dari salah satu keluarga tertua di Inggris, tapi sayang sekali bibinya, Lady Caroline, menderita gangguan jiwa yang parah. Tentu saja semua kawannya memahami keadaan ini dan pelayannya mengembalikan sendok teh atau apa saja secepat mungkin. Anda mengerti kesulitan saya!" "Jadi, Lady Runcorn mempunyai bibi yang menderita kleptomania. Menarik sekali. Boleh saya memeriksa lemari besi itu?" Hardman mengiyakan. Poirot mendorong pintu lemari besi ke belakang dan memeriksa bagian dalamnya. Rak berlapis beludru itu menganga di hadapan kami. "Bahkan pintu ini tidak dapat ditutup rapat," gumam Poirot seraya mengayunkan pintu itu ke kanan dan kiri. "Saya heran, mengapa" Ah, apa ini" Sarung tangan. Tersangkut di engsel. Sarung tangan pria." Diangsurkannya benda itu kepada tuan rumah. "Bukan sarung tangan saya," komentar Hardman. "Aha! Ada lagi!" Dengan cekatan Poirot membungkuk dan memungut benda kecil dari dasar lemari besi. Sebuah kotak sigaret yang pipih dan terbuat dari moir? hitam. "Kotak sigaret saya!" seru Hardman. "Milik Anda" Tentunya bukan, Monsieur. Ini bukan inisial nama Anda." Poirot menunjuk pada pahatan dua huruf yang ditatah dalam platina. Hardman mengambil benda itu. "Anda benar," katanya. "Kotak ini mirip sekali dengan kepunyaan saya, tapi inisialnya berbeda. "B" dan "P". Ya Tuhan - Parker!" "Kelihatannya begitu," Poirot menimpali. "Pemuda yang agak ceroboh - terutama bila sarung tangan ini juga kepunyaannya. Dengan demikian ada petunjuk ganda, bukankah begitu?" "Bernard Parker!" gumam Hardman. "Betapa leganya! Well, Monsieur Poirot, saya serahkan kepada Anda usaha untuk mengembalikan permata itu. Serahkanlah perkara ini ke tangan polisi jika Anda memandangnya tepat - yaitu kalau Anda benar-benar yakin bahwa dia bersalah." *** "Engkau mengerti, Sobat," kata Poirot kepadaku ketika kami meninggalkan rumah itu. "Hardman ini mempunyai peraturan tersendiri untuk orang-orang bangsawan dan peraturan lainnya untuk orang biasa. Aku, aku belum jadi bangsawan, maka aku berada di pihak orang biasa. Aku menaruh simpati kepada pemuda ini. Seluruh peristiwa ini cukup menimbulkan rasa ingin tahu, bukankah begitu" Hardman mencurigai Lady Runcorn; aku mencurigai Countess dan Johnston; dan Parker yang tidak jelas asal-usulnya inilah yang kita cari." "Mengapa engkau mencurigai kedua orang itu?" "Parbleu! Gampang sekali menjadi pengungsi Rusia atau milyuner Afrika Selatan. Setiap wanita dapat mengaku sebagai putri Rusia; siapa saja dapat membeli rumah di Park Lane dan mengaku sebagai milyuner Afrika Selatan. Siapa yang akan mempersoalkan mereka" Tapi, kita sekarang melewati Bury Street. Pemuda ceroboh itu tinggal di sini. Ayo kita, seperti usulmu, bertindak cepat selagi kesempatan memungkinkan." Bernard Parker ada di rumah. Kami menjumpainya tengah bersandar di bantalan kursi, mengenakan kimono warna ungu dan oranye menyolok. Aku sangat tidak menyukai pemuda ini, yang wajahnya putih dan feminin dan bicaranya dibuat pelat. "Selamat pagi, Monsieur," sapa Poirot dingin. "Saya datang atas permintaan Tuan Hardman. Kemarin, dalam jamuan minum teh seseorang mencuri permata-permatanya. Izinkan saya menanyai Anda, Monsieur. Apakah ini sarung tangan Anda?" Proses mental Parker kelihatannya agak lambat. Ditatapnya sarung tangan itu, seakan-akan dia tengah mengumpulkan seluruh kecerdikannya. "Di mana Anda menemukannya," akhirnya dia bertanya. "Apakah ini sarung tangan Anda, Monsieur?" Nampaknya Parker telah mengambil keputusan. "Bukan," sahutnya. "Dan kotak sigaret ini, apakah ini kepunyaan Anda?" "Tentu saja bukan. Saya selalu membawa kotak yang terbuat dari perak." "Baiklah, Monsieur, akan saya serahkan perkara ini ke tangan polisi." "Oh, saya tidak akan melakukannya seandainya saya adalah Anda," teriak Parker penuh perhatian. "Polisi-polisi itu sangat tidak simpatik. Tunggu sebentar. Saya akan menemui Hardman. Oh, - tunggu sebentar." Tetapi Poirot tidak menghiraukannya. "Kita sudah memberikan bahan pemikiran kepadanya, bukankah begitu?" Poirot tertawa kecil. "Besok kita lihat apa yang terjadi." Akan tetapi, siang itu kami diingatkan akan kasus Hardman. Tanpa suara apa pun sebelumnya, pintu terbuka, dan desiran angin dalam sosok manusia mengusik ketenangan kami. Seseorang terbungkus mantel bulu (saat itu udara begitu dingin seperti biasanya udara bulan Juni di Inggris) dan topi yang penuh dengan hiasan bulu burung yang indah. Countess Vera Rossakoff adalah pribadi yang agak membingungkan. "Anda Monsieur Poirot" Apa yang sudah Anda lakukan" Anda menuduh pemuda malang itu! Perbuatan keji! Skandal. Saya kenal dia. Orang yang seperti anak ayam, domba - tidak akan dia mencuri. Dia sudah melakukan semuanya untuk saya. Haruskah saya berdiri di sampingnya dan menontonnya dibantai?" "Madame, apakah ini kotak sigaretnya?" Poirot mengangsurkan kotak moir? hitam itu. Sejenak Countess Rossakoff berdiam diri sambil memeriksa kotak itu. "Betul, ini kepunyaannya. Saya tahu pasti. Ada apa dengan kotak ini" Anda menemukannya di ruang itu" Kami semua ada di sana pada waktu itu. Dia menjatuhkannya saya kira. Ah, Anda polisi - Anda lebih brengsek dari Pengawal Merah - " "Dan apakah ini sarung tangannya?" "Bagaimana saya tahu" Sarung tangan yang satu mirip dengan yang lain. Jangan menghalangi saya - dia harus dibebaskan. Nama baiknya harus dipulihkan. Kalian akan melakukannya. Saya akan menjual permata-permata saya dan membayar kalian." "Madame - " "Jadi, tawaran ini disetujui" Tidak, tidak. Jangan membantah. Pemuda yang malang! Dia datang kepada saya dengan berurai air mata. 'Saya akan menyelamatkan Anda,' begitu saya katakan kepadanya. 'Akan saya temui orang-orang itu - raksasa itu, monster itu! Serahkan perkara ini kepada Vera.' Sekarang sudah selesai. Saya permisi." Seperti pada waktu datangnya wanita itu berlalu, meninggalkan bau parfum eksotis yang kuat. "Bukan main wanita itu!" seruku. "Dan bukan main indahnya mantel bulunya." "Ah, ya. Bulu-bulu itu asli. Dapatkah putri palsu mempunyai bulu sejati" Gurauan saja, Hastings.... Dia benar-benar orang Rusia, kukira. Well, well, jadi Master Bernard menangis-nangis di hadapannya." "Kotak sigaret ini kepunyaan Parker. Aku jadi ingin tahu apakah sarung tangan ini miliknya juga." Sambil tersenyum Poirot mengeluarkan sarung tangan kedua dari sakunya dan meletakkan benda itu di dekat sarung tangan yang pertama. Tidak diragukan lagi kedua sarung tangan itu sepasang. Kasus Kasus Perdana Poirot Poirots Early Cases Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Di mana engkau menemukan pasangannya ini, Poirot?" "Sarung ini dilemparkan dengan tangkai kayu di meja aula di Bury Street. Benarbenar ceroboh Monsieur Parker ini. Kawan, kita harus mengadakan penyelidikan yang tuntas. Aku akan pergi ke Park Lane untuk memastikan." Tentu saja aku menemani sahabatku ini. Johnston tidak ada di tempat, tetapi kami bertemu dengan sekretaris pribadinya. Ternyata Johnston baru saja tiba dari Afrika Selatan dan belum pernah berkunjung ke Inggris sebelumnya. "Majikan Anda tertarik akan batu-batu berharga, bukankah demikian?" Poirot mencoba menebak. "Tambang emas lebih tepatnya," sahut sekretaris itu sambil tertawa. Poirot keluar dengan wajah serius. Betapa terkejutnya aku ketika malam itu kudapati Poirot tengah mempelajari tata bahasa Rusia dengan sungguh-sungguh. "Masya Allah, Poirot!" seruku. "Engkau mempelajari bahasa Rusia untuk mengobrol dengan Countess Rossakoff dalam bahasa ibunya?" "Dia tentu tidak akan mendengarkan bahasa Inggrisku, Sobat." "Tapi, Poirot, semua orang Rusia yang terhormat pasti dapat berbahasa Prancis." "Engkau sumber informasi, Hastings! Aku tidak usah bingung lagi dengan selukbeluk aksara Rusia." Dilemparkannya buku itu dengan gerak yang dramatis. Aku sungguh-sungguh tidak puas. Matanya melemparkan kedipan yang amat kukenal. Itulah tanda yang tidak dapat ditawar lagi bahwa Hercule Poirot merasa puas. "Mungkin," kataku penuh pengertian, "engkau meragukan keberadaannya sebagai seorang Rusia. Engkau akan mengujinya?" "Ah, tidak, tidak, dia benar-benar orang Rusia." "Lalu - " "Kalau engkau sungguh-sungguh ingin menjadi terkenal karena perkara ini, Hastings, kuanjurkan buku First Steps in Russians ini sebagai alat bantu yang amat berharga." Poirot lalu tertawa tanpa mengatakan apa-apa lagi. Aku memungut buku itu dan membacanya dengan penuh rasa ingin tahu. Tapi, kata-kata Poirot tidak dapat kumengerti. Pada hari berikutnya kami tidak menerima berita apapun, tetapi tampaknya tidak mencemaskan sahabatku yang bertubuh kecil ini. Sewaktu sarapan Poirot menyampaikan keinginannya untuk menemui Hardman pagi-pagi itu juga. Kami menemui kupu-kupu masyarakat ini di rumahnya. Kelihatannya ia agak lebih tenang dibanding hari sebelumnya. "Monsieur Poirot, ada kabar apa?" tanyanya penuh semangat. Poirot menyerahkan sehelai kertas. "Inilah orang yang mengambil permata-permata itu, Monsieur. Haruskah saya menyerahkannya ke tangan polisi" Atau, Anda lebih suka saya mengembalikan permata itu tanpa membawa-bawa polisi dalam persoalan ini?" Hardman menatap kertas di tangannya. Akhirnya dia dapat bersuara juga. "Mengejutkan sekali. Sebaiknya saya memilih tidak membuat skandal. Saya beri Anda carte blanche, Monsieur Poirot. Saya percaya Anda akan bersikap hati-hati." Langkah kami berikutnya adalah memanggil taksi yang diperintahkan Poirot untuk menuju Carlton. Di sana Poirot menanyakan Countess Vera Rossakoff. Beberapa menit kemudian kami diantar ke kamar mewah bangsawan Rusia itu. Countess keluar menemui kami dengan kedua tangan terulur, berdandan dalam pakaian rumah dengan disain Barbar yang mempesona. "Monsieur Poirot!" serunya. "Anda sudah berhasil" Nama baik pemuda malang itu sudah Anda pulihkan?" "Madame la Comtesse, sahabat Anda Parker benar-benar tidak akan ditahan." "Ah, Anda laki-laki bertubuh kecil yang pintar! Hebat! Dan luar biasa cepat pula." "Di pihak lain saya berjanji kepada Hardman untuk mengembalikan permata-permata itu kepadanya hari ini." "Jadi?" "Karena itu, Madame, saya akan sangat berterima kasih apabila Anda bersedia meletakkan permata-permata itu di tangan saya tanpa membuang waktu lagi. Maaf, saya memburu-buru Anda; saya ditunggu taksi - kalau tidak berarti kami perlu menemui Scotland Yard; dan kami, orang Belgia, Madame, menganut pola hidup hemat." Countess sudah menyalakan sigaret. Dia duduk tak bergerak selama beberapa detik, mengembuskan lingkaran-lingkaran asap dan menatap pasti ke arah Poirot. Lalu tawanya meledak dan ia berdiri. Countess Rossakoff berjalan menuju lemari pakaian, membuka satu laci, dan mengeluarkan tas tangan sutra berwarna hitam. Dilemparkannya tas tangan itu dengan perlahan kepada Poirot. Ketika berbicara, nada suaranya benar-benar ringan dan tidak berubah. "Sebaliknya kami, orang-orang Rusia, boros," katanya. "Sayangnya, untuk itu kami harus punya uang. Anda tidak perlu melihat isi tas tangan itu. Semua ada di dalamnya." Poirot berdiri. "Selamat, Madame. Untuk kemampuan berpikir Anda yang cepat dalam menangkap arti dan sikap Anda yang tidak menunda-nunda." "Ah! Anda membiarkan taksi itu menunggu, jadi apa lagi yang dapat saya perbuat?" "Anda terlalu baik, Madame. Anda akan lama tinggal di London?" "Saya kira tidak - karena Anda." "Maafkan saya kalau begitu." "Kita akan bertemu di tempat lain - mungkin." "Saya harap demikian." "Dan - saya tidak!" seru Countess sambil tertawa. "Saya sangat memuji Anda - sedikit sekali laki-laki di dunia ini yang saya segani. Selamat tinggal, Monsieur Poirot." "Selamat tinggal, Madame la Comtesse. Ah, maaf, saya lupa! Izinkan saya mengembalikan kotak sigaret Anda." Sambil membungkuk Poirot menyerahkan kotak kecil moir? hitam yang dia temukan dalam lemari besi permata itu. Countess menerima benda itu tanpa perubahan ekspresi wajah - hanya alisnya yang terangkat dan ia bergumam, "Saya mengerti!" *** "Bukan main wanita itu!" seru Poirot penuh semangat pada waktu kami menuruni anak tangga. "Mon Dieu, quelle femme! Tidak membantah sedikit pun - juga tidak memprotes atau berpura-pura. Hanya sebuah kerlingan singkat; dan dia dapat mengira-ngira posisinya dengan tepat. Hastings, wanita yang dapat menerima kekalahan seperti itu - dengan tersenyum ringan - akan melangkah jauh! Dia bahagia karena bersaraf baja; dia - " Poirot jatuh tergelincir. "Kalau engkau dapat mengurangi panjang ayun langkahmu dan melihat arah, engkau tidak akan tergelincir," saranku. "Kapan engkau pertama kali mencurigai Countess?" "Sobat, sarung tangan dan kotak sigaret itulah penyebabnya - petunjuk ganda, bagaimana kalau kita sebut begitu" - itulah yang membuatku khawatir. Mungkin sekali Bernard Parker menjatuhkan salah satu benda itu - tapi hampir tidak mungkin kedua-duanya. Itu berarti terlalu ceroboh! Demikian juga kalau orang lain meletakkan kedua barang itu di sana untuk memberatkan Parker, toh satu saja sudah cukup - kotak sigaret atau sarung tangan - sekali lagi tidak keduanya. Oleh karena itu aku dipaksa untuk menyimpulkan salah satu benda itu bukan kepunyaan Parker. Mula-mula kukira kotak sigaret itu miliknya dan sarung tanganlah yang bukan. Tapi, begitu mengetahui bahwa sarung tangan itu kepunyaannya, aku menyadari yang benar adalah sebaliknya. Lalu, milik siapa kotak sigaret itu" Jelas, kotak itu tidak mungkin kepunyaan Lady Runcorn. Inisialnya tidak cocok. Johnston" Hanya kalau dia memakai nama samaran. Waktu aku mewawancarai sekretarisnya, segera kelihatan bahwa segala sesuatunya jelas dan jujur. Tidak ada sikap tutup mulut tentang masa lalunya. Kemudian Countess. Dia diharapkan sudah membawa serta permata-permata keluarganya dari Rusia. Dia cuma perlu mengambil batu-batu itu dari tempatnya - dan sangat diragukan apabila batu-batu itu dapat dikenali lagi sebagai milik Hardman. Apa yang lebih gampang daripada memungut salah satu sarung tangan Parker dari aula dan memasukkannya ke lemari besi" Tapi, bien s?r, dia tentunya tidak merencanakan untuk menjatuhkan kotak sigaretnya sendiri." "Kalau kotak sigaret itu kepunyaannya, mengapa inisialnya B.P." Seharusnya inisial Countess adalah V.R." Poirot tersenyum lembut. "Persis, Sobat. Tapi, dalam aksara Rusia B adalah V dan P sama dengan R." "Well, tentu saja engkau tidak dapat mengharapku menebak begitu. Aku kan tidak paham bahasa Rusia." "Aku juga tidak, Hastings. Itulah sebabnya kubeli buku kecil itu - dan kuanjurkan engkau untuk memperhatikannya." Poirot menghela napas. "Wanita yang luar biasa. Sobat, aku merasa - sangat yakin - akan bertemu lagi dengannya. Hanya saja di mana, ya?" VI RAJA KLAVER "KEBENARAN," kataku seraya meletakkan Daily Newsmonger ke samping, "lebih sukar dimengerti daripada fiksi!" Kata-kata ini mungkin tidak untuk pertama kalinya diperdengarkan. Dan kelihatannya ucapanku membuat sahabatku marah. Sambil memiringkan kepalanya yang bulat telur itu, dengan hati-hati jari-jari Poirot menjentikkan debu-debu khayalan dari celana panjangnya yang disetrika rapi dan cermat, lalu ia menimpali, "Bukan main dalamnya arti kata-kata itu! Benar-benar pemikir yang hebat sahabatku Hastings ini!" Tanpa memperlihatkan rasa jengkel akan cemoohnya yang tidak diminta ini, aku menepuk-nepuk surat kabar yang tadi kusingkirkan itu. "Engkau sudah membaca koran pagi ini?" "Sudah. Selesai membaca, aku melipatnya lagi secara simetris. Tidak melemparkannya ke lantai seperti yang engkau lakukan, sikapmu yang menyedihkan tanpa aturan dan metode." (Itulah sisi terburuk Poirot Baginya aturan dan metode adalah dewa. Seakan-akan kedua hal itulah yang menyebabkan keberhasilannya.) "Kalau begitu engkau membaca laporan pembunuhan Henry Reedburn, si impresario itu" Itulah yang mendorongku mengucapkan kata-kata tadi. Kebenaran tidak cuma lebih sukar dimengerti daripada fiksi - juga lebih dramatis. Bayangkan, keluarga kelas menengah Inggris yang mapan, keluarga Oglander. Ayah, ibu, putra, dan putri; ciri khas ribuan keluarga di negeri ini. Yang laki-laki pergi ke kota setiap harinya, wanitanya mengurus rumah tangga. Kehidupan mereka benar-benar tenteram dan monoton. Semalam mereka duduk-duduk di ruang duduk mereka yang rapi di pinggiran kota di Daisymead, Streatham, sambil bermain bridge. Tiba-tiba tanpa suara apa pun sebelumnya, pintu merangkap jendela yang menghadap taman terbuka dan seorang perempuan terhuyung-huyung masuk. Ada noda berwarna merah tua di pakaian satin abu-abu perempuan itu. Dia mengucapkan sepatah kata, 'Pembunuhan!', sebelum jatuh tidak sadarkan diri Dari foto-foto perempuan itu, mereka mengenalinya sebagai Valerie Saintclair, penari termasyhur yang baru-baru ini mengguncangkan London!" "Itu kepandaianmu bercerita atau laporan Daily Newsmonger?" tanya Poirot. "Daily Newsmonger kan dicetak buru-buru dan puas dengan fakta-fakta belaka. Tapi, kemungkinan-kemungkinan dramatis kejadian itu langsung menarik perhatianku." Poirot mengangguk serius. "Di mana saja ada hakikat manusia, di situ terjadi drama. Tetapi - tidak selalu hanya di tempat yang engkau duga. Ingatlah ini. Bagaimanapun juga, aku juga tertarik karena besar kemungkinannya aku harus berhubungan dengan kasus ini." "Sungguh?" "Ya. Seorang laki-laki meneleponku pagi tadi dan mengadakan perjanjian denganku atas nama Pangeran Paul dari Maurania." "Tapi, apa hubungannya dengan kasus ini?" "Engkau tidak membaca koran-koran gosip, harian yang memuat cerita-cerita jenaka dan ungkapan-ungkapan 'ada yang mendengar....' atau 'ada yang ingin tahu apakah....'. Lihatlah ini." Kuikuti jari-jarinya yang pendek dan gemuk itu bergerak di sepanjang paragraf - 'apakah pangeran asing dan penari kenamaan itu benar-benar terikat dalam tali pernikahan! Dan apakah si penari menyukai cincin berlian barunya!' "Nah, untuk meringkas ceritamu yang begitu dramatis tadi, Mademoiselle Saintclair pingsan di atas karpet ruang duduk di Daisymead. Engkau ingat?" Aku mengangkat bahu. "Akibat kata-kata yang pertama kali digumamkan oleh Mademoiselle ketika dia terhuyung-huyung masuk, dua laki-laki keluarga Oglander segera bertindak. Yang seorang menjemput dokter untuk menolong wanita yang jelas-jelas terguncang batinnya itu, dan yang lain menuju kantor polisi - yang setelah menceritakan peristiwa itu, menemani polisi ke Mon D?sir, vila Tuan Reedburn yang luar biasa indahnya, tidak jauh dari Daisymead. Di sana mereka mendapatkan orang besar itu, yang reputasinya buruk, terbaring di perpustakaan dengan bagian belakang kepalanya menganga seperti kulit telur yang pecah!" "Aku telah memotong ceritamu," kata Poirot ramah. "Kuminta engkau memaafkanku.... Ah, ini dia M. le Prince!" Tamu kami yang terkemuka ini disebut dengan gelar Count Feodor. Ia seorang pemuda berwajah aneh, bertubuh tinggi, penuh semangat, dengan dagu yang tidak kokoh, mulut seperti Mauranberg yang terkenal itu, dan bola mata yang gelap berapi-api seperti mata seorang fanatik. "M. Poirot?" Sahabatku membungkukkan badan. "Monsieur, saya dalam kesulitan besar. Lebih besar dari yang dapat saya ungkapkan." Poirot melambaikan tangannya. "Saya memahami kecemasan Anda. Mademoiselle Saintclair adalah sahabat Anda yang sangat tersayang, bukankah begitu?" Pangeran menjawab singkat, "Saya berharap dapat memperistri dia." Poirot duduk tegak-tegak di kursinya. Kedua matanya terbuka lebar. Pangeran melanjutkan bicaranya. "Saya bukanlah orang pertama dalam keluarga yang menikah dengan orang biasa dan anak-anak saya akan kehilangan hak-hak istimewa sebagai anak pangeran. Saudara laki-laki saya, Alexander, juga menentang kaisar. Sekarang kita hidup dalam dunia yang lebih luas, bebas dari prasangka kelaskelas sosial. Selain itu, sebenarnya Mademoiselle Saintclair sungguh-sungguh sederajat dengan saya. Anda sudah mendengar tentang riwayatnya?" "Banyak cerita romantis tentang dia - bukan sesuatu yang aneh dalam kehidupan penari-penari terkenal. Saya dengar dia putri wanita Irlandia yang bekerja di bagian kebersihan di kantor; juga kisah yang menjadikan ibunya seorang bangsawan agung Rusia." "Cerita pertama tentu saja omong kosong," kata pangeran itu. "Tetapi, cerita kedua benar. Walaupun menjaga kerahasiaan asal-usulnya, Valerie membiarkan saya menduga sejauh itu. Lagi pula, secara tak sadar dia membuktikannya dalam berbagai cara. Saya percaya pada asal-usul, M Poirot." "Saya juga demikian," Poirot menimpali dengan sungguh-sungguh. "Saya melihat beberapa keanehan sehubungan dengan persoalan ini - moi qui vous parle.... Langsung pada masalah, M. Ie Prince. Apa yang Anda inginkan dari saya" Apa yang Anda khawatirkan" Saya diperkenankan berbicara bebas atau tidak" Adakah sesuatu yang menghubungkan Mademoiselle Saintclair dengan perbuatan kriminal ini" Tentunya dia mengenal Reedburn?" "Ya, almarhum mengaku mencintai Valerie." "Dan si wanita?" "Dia tidak mengatakan apa-apa kepada almarhum." Poirot memandang pangeran itu tajam-tajam. "Adakah alasan bagi Mademoiselle Saintclair untuk takut kepada almarhum?" Pangeran terlihat ragu-ragu. "Ada insiden. Anda tahu Zara, si ahli tenung?" "Tidak." "Dia hebat. Sekali waktu Anda perlu berkonsultasi dengannya. Minggu lalu saya dan Valerie pergi ke sana. Zara membacakan kartu-kartu kepada kami. Kepada Valerie dia berbicara tentang kesulitan - tentang awan yang menumpuk; kemudian dibukanya kartu terakhir - kartu penutup, begitu namanya. Raja klaver. Lalu Zara berkata kepada Valerie, 'Berhati-hatilah. Ada laki-laki yang menguasai Anda. Anda takut kepadanya - Anda dalam bahaya besar, bahaya melalui orang itu. Anda mengerti orang yang saya maksud"' Bibir Valerie pucat-pasi. Dia mengangguk dan berkata, 'Ya, ya, saya tahu.' Tak lama kemudian kami meninggalkan tempat itu. Kata-kata terakhir Zara kepada Valerie adalah, 'Hati-hati terhadap raja klaver. Bahaya mengancam Anda!' Saya tanyai Valerie, tetapi dia tidak mau mengatakan apa-apa - malah ia meyakinkan saya bahwa semuanya baik-baik saja. Sekarang, setelah peristiwa semalam, saya semakin yakin bahwa dalam kartu raja klaver itu Valerie melihat Reedburn dan dialah orang yang ditakuti Valerie." Mendadak pangeran itu berhenti. "Sekarang Anda mengerti pergolakan batin saya ketika saya membuka surat kabar pagi tadi. Andaikan saja Valerie, dalam luapan emosi yang tiba-tiba - Oh, tidak mungkin!" Poirot berdiri dan menekan lembut bahu pangeran muda itu. "Jangan biarkan diri Anda menderita. Serahkanlah perkara ini ke tangan saya." "Anda akan ke Streatham" Saya kira Valerie masih berada di sana, di Daisymead dalam keadaan tidak berdaya karena batinnya guncang." "Saya akan segera ke sana." Kasus Kasus Perdana Poirot Poirots Early Cases Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Saya sudah mengatur semuanya - melalui kedutaan. Anda diizinkan untuk masuk ke mana saja." "Kalau begitu kami akan berangkat - Hastings, maukah kau menemaniku" Selamat tinggal, M. le Prince." *** Mon Desir adalah vila yang luar biasa indahnya, benar-benar modern dan nyaman. Ada jalan pendek yang menghubungkan jalan raya dengan bangunan itu dan kebun yang indah, yang membentang di belakang rumah seluas beberapa hektar. Begitu kami menyebut nama Pangeran Paul, kepala pelayan yang membukakan pintu segera membawa kami ke tempat tragedi itu terjadi. Perpustakaan itu benar-benar luar biasa, memanjang dari depan hingga belakang bangunan, dengan jendela di setiap ujung, yang satu menghadap jalan di depan dan yang lain menghadap taman. Di ceruk jendela taman itulah tubuh korban terbaring. Jenazah belum lama disingkirkan dan polisi sudah menyimpulkan hasil pemeriksaan mereka. "Menjengkelkan," gerutuku kepada Poirot. "Siapa tahu ada petunjuk yang telah mereka obrak-abrik?" Poirot tersenyum. "Eh - eh! Berapa kali aku harus memberitahumu bahwa petunjukpetunjuk itu berasal dari dalam" Yaitu dari dalam sel-sel kecil otak kita, di situlah terletak jawaban setiap misteri." Poirot menoleh kepada kepala pelayan. "Saya kira ruangan ini belum disentuh, kecuali untuk keperluan memindahkan jenazah. Benar begitu?" "Benar, Tuan. Keadaan ruangan ini persis sama dengan ketika polisi datang semalam." "Tirai-tirai ini - saya lihat ditarik tepat melintasi ceruk dinding. Demikian pula di jendela satunya. Semalam, apakah tirai-tirai ditutup?" "Benar, Sir. Saya yang menutupnya setiap malam." "Kalau begitu, tentunya Reedburn menariknya kembali?" "Saya kira demikian, Sir." "Tahukah Anda kalau semalam majikan Anda menantikan tamu?" "Tuan tidak mengatakan demikian. Tetapi, Tuan berpesan agar dia tidak diganggu seusai makan malam. Anda tahu, ada pintu keluar dari perpustakaan menuju teras di samping rumah. Tuan dapat menerima tamu lewat pintu itu." "Apakah majikan Anda biasa melakukannya?" Kepala pelayan itu batuk dengan diam-diam. "Saya kira begitu." Poirot melangkah ke pintu yang dibicarakan itu. Tidak terkunci. Ia berjalan menuju teras, yang berhubungan dengan jalan kereta di sebelah kanan; sebelah kiri teras itu menuju dinding bata. "Kebun buah, Sir. Ada pintu masuknya, tetapi selalu dikunci pada pukul enam sore." Poirot mengangguk dan masuk ke perpustakaan kembali. Kepala pelayan itu mengikuti. "Anda tidak mendengar apa-apa semalam?" "Well, Sir, kami mendengar suara-suara di perpustakaan, beberapa saat sebelum pukul 21.00. Tapi, kejadian ini tidaklah aneh, terutama karena itu suara wanita. Akan tetapi, begitu kami semua berada di ruang pelayan, tepat di sisi sebelah sana, tentu saja kami tidak mendengar apa-apa. Kemudian, kira-kira pukul 23.00 polisi datang." "Berapa suara yang Anda dengar?" "Saya tidak dapat memastikannya, Sir. Yang saya tangkap hanya suara si wanita." "Ah!" "Maaf, Sir. Dr. Ryan masih ada di dalam. Mungkin Anda ingin menjumpainya?" Kami menerima baik saran itu. Dalam beberapa menit saja dokter itu, yang berumur setengah baya dan berwajah riang, bergabung dengan kami dan memberikan semua keterangan yang diperlukan Poirot. Reedburn terbaring di dekat jendela, kepalanya terletak di dekat tempat duduk pualam di bawah jendela. Ada dua luka di tubuhnya; satu di antara kedua mata dan yang lain - yang mematikan - di kepala bagian belakang. "Dia tergeletak dalam posisi terlentang?" "Ya, ada bekasnya." Dr. Ryan menunjuk noda kecil berwarna gelap di lantai. "Tidak mungkinkah pukulan di kepala bagian belakang itu disebabkan oleh benturan dengan lantai?" "Mustahil. Apa pun senjata yang digunakan, benda itu menembus tengkorak sedikit." Poirot nampak berpikir di hadapan Dokter Ryan. Di sudut siku setiap jendela terletak kursi pualam berukir, yang sandarannya dipermodern dalam bentuk kepala singa. Sepercik sinar nampak di mata Poirot. "Andaikan saja dia jatuh terlentang membentur kepala singa yang menonjol ini lalu jatuh ke lantai. Tidakkah kemungkinan ini menimbulkan luka seperti yang Anda jelaskan tadi?" "Memang. Tapi, posisi tergeletaknya menjadikan teori itu tidak mungkin. Selain itu, pasti ada noda darah di atas kursi." "Kalau noda darah itu sudah dicuci?" Dokter Ryan mengangkat bahu. "Nampaknya tidak mungkin. Membuat kecelakaan kelihatan sebagai pembunuhan tidaklah menguntungkan siapa pun juga." "Benar sekali," Poirot mengiyakan tanpa membantah. "Mungkinkah kedua serangan itu dilakukan oleh seorang wanita" Bagaimana pendapat Anda?" "Oh, sangat tidak mungkin saya kira. Anda berpikir tentang Mademoiselle Saintclair?" "Saya tidak memikirkan seseorang secara khusus sampai saya benar-benar yakin," Poirot menjawab lembut. Poirot mengalihkan perhatian pada jendela yang merangkap sebagai pintu yang didapati dalam keadaan terbuka. Dokter Ryan melanjutkan keterangannya. "Melalui jendela inilah Mademoiselle Saintclair melarikan diri. Anda dapat langsung melihat sekilas Daisymead di antara pepohonan. Tentu saja banyak rumah di depannya. Tapi, nyatanya Daisymead adalah satu-satunya rumah yang kelihatan dari sini, biarpun letaknya agak jauh." "Terima kasih untuk kebaikan Anda, Dokter," kata Poirot. "Ayolah, Hastings, kita ikuti jejak Mademoiselle." *** Poirot menuruni jalan yang melintasi kebun, keluar melalui pintu gerbang besi, melewati sebidang tanah berpohon, dan masuk melalui pintu gerbang kebun Daisymead, rumah sederhana di atas tanah seluas kira-kira setengah hektar. Ada jejak langkah orang berlari ke arah pintu yang merangkap jendela. Poirot mengangguk-anggukkan kepala sambil mengikuti jejak-jejak itu. "Itulah jalan yang dilalui Mademoiselle Saintclair. Kita yang tidak tergesa-gesa untuk mencari pertolongan lebih baik mengambil jalan putar, menuju pintu depan." Seorang pelayan wanita menerima dan membawa kami ke ruang duduk. Kemudian, dia masuk mencari Nyonya Oglander. Jelas ruangan ini belum disentuh sejak tadi malam. Abu masih berada di perapian. Meja bridge masih terletak di tengahtengah, serta terlihat ada sebuah patung yang tangan-tangannya terlempar ke bawah. Tempat itu agak sesak dengan barang-barang yang tidak berharga. Sejumlah potret keluarga yang luar biasa jeleknya menghiasi dinding. Poirot menatap foto-foto itu dengan sikap lebih toleran daripada aku. Ditegakkannya beberapa potret yang tergantung miring. "La famille. Ikatan keluarga yang kuat, bukankah begitu, Hastings. Perasaan, lebih penting dari keindahan." Aku setuju. Bola mataku terpaku pada keluarga yang terdiri atas seorang lakilaki berewok, seorang wanita dengan rambut depan menjulang tinggi, seorang anak laki-laki pendiam yang mengenakan setelan tebal, dan dua anak perempuan yang rambutnya diikat dengan banyak pita. Aku menyimpulkan foto ini adalah wajah keluarga Oglander pada masa lalu dan mempelajarinya dengan penuh minat. Pintu terbuka dan seorang wanita muda masuk. Rambutnya yang gelap ditata rapi. Dia mengenakan mantel olahraga berwarna abu-abu kemerahan dan rok bawah dari bahan wol. Ditatapnya kami dengan penuh selidik. Poirot melangkah maju. "Nona Oglander" Maafkan kami karena mengganggu Anda - terutama setelah peristiwa yang Anda alami ini. Kejadian semalam pasti amat mengganggu." "Kejadian itu agak membingungkan kami," perempuan muda itu mengaku dengan hatihati. Aku mulai berpikir bahwa drama ini tidak berarti apa-apa bagi Nona Oglander, bahwa daya imajinasinya yang lemah mengalahkan tragedi apa pun juga. Keyakinanku diperkuat karena ia berkata, "Maaf, ruangan ini masih kacau Bodoh benar para pelayan; mereka terbenam dalam peristiwa semalam." "Semalam Anda duduk di sini, n'est-ce pas?" "Betul Kami tengah bermain bridge sesudah makan malam ketika - " "Maaf, berapa lama kalian sudah bermain waktu itu?" "Well - " Nona Oglander berpikir-pikir. "Saya sungguh-sungguh tidak dapat memastikannya. Saya kira waktu itu sekitar pukul 22.00. Kami sudah menjalani beberapa ronde." "Anda sendiri duduk - di mana?" "Menghadap jendela. Saya berpasangan dengan Ibu dan sudah menjalankan satu kartu, bukan kartu truf. Mendadak, tanpa tanda-tanda apa pun, jendela terbuka dan Nona Saintclair terhuyung-huyung masuk." "Anda mengenalinya?" "Samar-samar saya ingat, wajahnya tidak asing lagi." "Dia masih di sini, kan?" "Ya. Tapi dia tidak mau bertemu siapa pun. Ia masih sangat terguncang." "Saya kira Nona Saintclair akan bersedia menemui kami. Maukah Anda memberitahu dia bahwa kami datang atas permintaan Pangeran Paul dari Maurania?" Kulihat nama pangeran itu agak mengguncangkan ketenangan Nona Oglander. Namun, dia memenuhi permintaan Poirot tanpa berkata-kata lagi, dan segera kembali untuk memberitahu bahwa Mademoiselle Saintclair akan menerima kami di kamarnya. Kami ikuti Nona Oglander menaiki tangga, menuju kamar tidur berukuran sedang yang terang. Di dipan di dekat jendela terbaring seorang wanita yang menoleh pada waktu kami masuk. Perbedaan mencolok kedua perempuan itu segera menarik perhatianku; semakin mencolok karena wajah dan warna kulit keduanya sebenarnya sama - tapi, mereka amat berbeda! Semua pandangan atau gerak Valerie Saintclair menampakkan keguncangan batinnya. Kelihatannya ia tengah melamun. Gaun rumah berwarna merah tua dari bahan flanel menutupi kakinya - benar-benar gaun rumah. Akan tetapi, pesona pribadinya memberikan sentuhan eksotik pada pakaian yang dikenakannya, sehingga nampak seperti jubah Timur dengan warna berkilauan. Bola matanya yang gelap terpaku pada Poirot. "Anda datang atas permintaan Paul?" suaranya serasi dengan penampilannya - penuh dan tidak bersemangat. "Benar, Mademoiselle. Saya berada di sini untuk membantu dia - dan Anda." "Apa yang ingin Anda ketahui?" "Segala sesuatu yang terjadi semalam. Segala sesuatu!" Valerie melemparkan senyuman yang agak letih. "Anda kira saya akan berbohong" Saya tidak bodoh. Saya tahu tidak ada tempat untuk bersembunyi. Laki-laki yang sudah mati itu mengetahui rahasia saya. Diancamnya saya. Demi Paul, saya berusaha keras untuk mengadakan persetujuan dengannya. Saya tidak dapat mengambil risiko kehilangan Paul. Sekarang dia sudah mati dan saya selamat. Tetapi, saya tidak membunuh dia karena hal itu." Poirot menggeleng seraya tersenyum. "Itu tidak perlu Anda katakan kepada saya, Mademoiselle. Ceritakanlah apa yang terjadi semalam." "Saya tawarkan sejumlah uang kepadanya. Kelihatannya dia bersedia membicarakannya. Dia menetapkan waktu tadi malam, pukul 21.00. Saya harus pergi ke Mon Desir. Tempat itu tidak asing buat saya karena saya pernah ke sana. Saya dipesannya untuk masuk ke perpustakaan lewat pintu samping supaya para pelayan tidak melihat kedatangan saya." "Maaf, Mademoiselle. Apakah Anda tidak takut seorang diri ke sana?" Bayanganku sajakah atau benar-benar ada sela sejenak sebelum Nona Saintclair menjawab" "Mungkin saya memang takut. Tapi, Anda tahu, tidak ada yang dapat menemani saya. Dan saya dalam keadaan putus asa. Reedburn mempersilakan saya masuk ke perpustakaan. Oh, laki-laki itu! Saya senang dia sudah mati! Dia mempermainkan saya, seperti kucing mempermainkan tikus. Diejeknya saya, padahal saya begitu memohon kepadanya. Saya tawarkan semua permata yang saya punyai. Sia-sia saja. Kemudian, dia menyebut syarat-syarat yang ditetapkannya sendiri. Mungkin Anda dapat menebak syarat-syarat itu. Tentu saja saya menolak. Saya mengutarakan pendapat saya tentang dirinya. Saya maki-maki dia. Dia tetap saja tersenyum tenang. Lalu, pada waktu saya berhenti mencercanya, terdengar suara - dari balik tirai jendela.... Dia mendengar juga. Dia menuju tirai dan dibukanya lebarlebar. Seorang laki-laki bersembunyi di sana - wajahnya menakutkan, seperti gelandangan. Orang itu memukul Reedburn - sekali lagi, dan Reedburn jatuh. Gelandangan itu mencengkeram saya dengan tangannya yang ternoda darah. Saya berhasil melepaskan diri, menyelinap lewat jendela, dan lari menyelamatkan diri. Lalu, saya melihat sinar dari dalam rumah ini dan lari kemari. Tirai tergulung ke atas. Saya lihat beberapa orang tengah bermain bridge. Hampir saja saya jatuh ketika masuk ruangan itu. Saya hanya dapat menggumamkan 'Pembunuhan'. Lalu semuanya gelap - " "Terima kasih, Mademoiselle. Kejadian itu pasti mengguncangkan Anda. Dapatkah Anda menggambarkan gelandangan itu" Anda ingat pakaian yang dikenakannya waktu itu?" "Tidak. Kejadiannya begitu cepat. Tetapi, saya pasti mengenali orang itu kalau bertemu. Wajahnya sudah tertanam di benak saya." "Satu pertanyaan lagi saja, Mademoiselle. Tirai jendela yang lain, jendela yang menghadap jalan, tertutup atau terbuka?" Untuk pertama kalinya kebingungan merayapi wajah penari itu. Kelihatannya ia berusaha untuk mengingat-ingat. "Bagaimana, Mademoiselle?" "Saya kira, hampir pasti - ya, saya yakin! Tirai itu tidak tertutup." "Ini mencurigakan karena tirai yang lain tertutup. Tidak mengapa. Tidak terlalu penting. Anda akan lama tinggal di sini, Mademoiselle?" "Menurut dokter saya sudah cukup sehat untuk pulang besok." Nona Saintclair menatap sekeliling kamar. Nona Oglander sudah keluar. "Keluarga ini, mereka baik sekali - tetapi mereka lain dari dunia saya. Saya membuat mereka terguncang. Dan bagi saya - well, saya tidak suka orang-orang borjuis." Samar-samar nada kepahitan mendasari ucapannya. Poirot mengangguk. "Saya mengerti. Semoga pertanyaan-pertanyaan ini tidak terlalu melelahkan Anda." "Sama sekali tidak, Monsieur. Saya cuma sangat mengharapkan Paul mengetahui semua ini secepatnya." "Kalau begitu, selamat siang, Mademoiselle." Pada waktu akan meninggalkan kamar, Poirot berhenti sejenak dan memungut sepasang selop yang terbuat dari kulit. "Selop Anda, Mademoiselle?" "Benar, Monsieur. Baru saja dibersihkan dan diantarkan kemari." "Ah!" kata Poirot selagi kami menuruni anak tangga. "Kelihatannya para pelayan tidak terlalu bergairah untuk mencuci sepatu, meskipun mereka mau saja bila disuruh. Nah, Sobat, rupanya ada satu atau dua hal yang menarik, tapi aku khawatir - khawatir sekali - kita harus menganggap kasus ini selesai. Semua nampaknya cukup jelas." "Dan si pembunuh?" "Hercule Poirot tidak mengejar gelandangan," jawabnya dengan kata-kata yang muluk. *** Nona Oglander menemui kami di gang. "Kalau Anda mau menunggu sebentar di ruang duduk, Mama ingin bicara dengan Anda berdua." Ruang duduk itu belum juga disentuh. Dengan malas-malasan Poirot mengumpulkan dan mengocok kartu-kartu bridge yang ada dengan tangannya yang kecil dan terawat baik. "Kau tahu apa yang kupikirkan, Sobat?" "Tidak," sahutku penuh semangat. "Kukira Nona Oglander keliru waktu mengatakan ia sudah menjalankan satu kartu tapi bukan kartu truf. Seharusnya ia sudah menjalankan tiga kartu sekop." "Poirot! Engkau terlalu!" "Mon Dieu, aku toh tidak harus selalu berbicara tentang darah dan masalah." Tiba-tiba Poirot menegang. "Hastings - Hastings. Lihat! Kartu raja klaver itu tidak ada!" "Zara!" teriakku. "Eh?" Rupanya Poirot tidak memahami peringatanku. Dengan cekatan ditumpuknya kartu-kartu itu dan dimasukkannya ke dalam kotaknya. Wajahnya serius sekali. "Hastings," akhirnya ia bersuara, "aku, Hercule Poirot, hampir saja membuat kesalahan besar - kesalahan yang besar sekali." Kutatap dia dengan pandangan terpana, tanpa tahu apa maksudnya. "Kita harus mulai lagi, Hastings. Ya, kita harus mulai lagi. Tapi, kali ini kita tidak boleh membuat kesalahan." Kata-kata Poirot terputus karena seorang wanita setengah baya yang cantik memasuki ruangan. Di tangannya terdapat beberapa buku mengenai rumah tangga. "Anda kawan - eh - Nona Saintclair?" "Saya datang atas permintaan kawannya, Madame." "Oh, saya mengerti. Saya kira mungkin - " Kasus Kasus Perdana Poirot Poirots Early Cases Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Mendadak Poirot menunjuk ke jendela. "Tirai jendela itu tidak ditutup semalam?" "Tidak - saya kira karena itulah Nona Saintclair melihat cahaya dalam rumah ini dengan jelas." "Semalam bulan bersinar terang. Saya jadi bertanya-tanya apakah Anda tidak melihat Nona Saintclair dari tempat duduk Anda yang menghadap jendela?" "Kami asyik bermain kartu. Kejadian seperti semalam belum pernah kami alami." "Saya tahu, Madame. Dan saya akan membuat Anda tenang. Besok Nona Saintclair akan meninggalkan tempat ini." "Oh!" Wajah cantik itu berubah cerah. "Dan, selamat pagi, Madame." Seorang pelayan tengah membersihkan tangga ketika kami melewati pintu depan. Poirot menyapanya. "Anda membersihkan sepatu wanita di lantai atas?" Yang ditanya menggeleng. "Tidak, Sir. Setahu saya sepatu itu tidak dibersihkan." "Lalu, siapa yang membersihkan," tanyaku sewaktu kami sampai di jalan. "Tidak seorang pun. Sepatu itu memang tidak perlu dibersihkan." "Aku tahu kalau cuma berjalan di jalan atau jalan setapak pada malam yang terang memang tidak akan mengotorkan sepatu. Tapi, sepatu itu pasti kotor kalau dipakai melewati rumput-rumput di kebun yang tinggi." "Betul," Poirot menimpali sambil tersenyum ingin tahu. "Aku setuju. Sepatu itu pasti kotor." "Tapi - " "Sabar sebentar, Hastings. Kita kembali ke Mon D?sir." *** Kepala pelayan terperanjat melihat kami lagi, namun ia tidak menolak keinginan kami untuk kembali ke perpustakaan. "Hai! Bukan jendela yang itu, Poirot!" Aku berseru melihat Poirot melangkah ke jendela yang menghadap jalan. "Kukira tidak, Sobat. Kemarilah." Poirot menunjuk kepala singa dari pualam. Di atasnya ada noda yang sudah samar-samar warnanya. Dialihkannya jarinya ke noda serupa di lantai. "Seseorang menghantam di antara kedua mata Reedburn dengan tangan tergenggam. Reedburn jatuh ke belakang, menimpa pualam ini dan merosot ke lantai. Setelah itu, ia diseret ke jendela satunya dan dibaringkan di sana, tapi tidak dalam posisi seperti yang dijelaskan Dokter Ryan." "Mengapa" Hal itu toh tidak perlu." "Justru sebaliknya, tindakan ini penting sekali. Di sinilah kunci bagi identitas pembunuh - biarpun sebenarnya ia tidak berniat membunuh Reedburn. Jadi, lebih baik tidak menyebutnya pembunuh. Orang itu pasti kuat sekali." "Karena menyeret mayat Reedburn?" "Sama sekali tidak. Perkara ini menarik. Walaupun begitu hampir saja aku menjadi orang tolol." "Engkau mau mengatakan bahwa kasus ini sudah selesai dan engkau sudah mengetahui semuanya?" "Ya." Satu ingatan mengentakku. "Tidak!" seruku. "Satu hal yang tidak kauketahui." "Apa itu?" "Di mana kartu raja klaver yang hilang itu?" "Eh" Pertanyaan yang menggelikan, Sobat. Menggelikan." "Kenapa?" "Karena kartu itu ada di sakuku." Dikeluarkannya kartu itu dan dilambaikannya. "Ooo...." kataku kecewa. "Di mana kautemukan itu" Di sini?" "Tidak ada yang luar biasa. Kartu itu cuma tidak dikeluarkan bersama kartu-kartu lainnya. Ada di dalam kotaknya." "Hmm! Tapi, kartu itu memberimu ilham, kan?" "Betul, Sobat. Aku berterima kasih kepada Yang Kuasa." "Dan kepada Madame Zara!" "Ah, ya, kepada perempuan itu juga." "Lalu, apa yang kita perbuat sekarang?" "Kembali ke kota. Tapi, aku harus berbicara dulu kepada seorang wanita di Daisymead." Pelayan wanita yang bertubuh kecil itu lagi yang membuka pintu. "Mereka sedang makan siang, Sir. Kalau Nona Saintclair yang ingin Anda temui, ia tengah beristirahat." "Bisa saya bertemu Nyonya Oglander sebentar" Tolong beritahu dia." Kami dipersilakan menunggu di ruang duduk. Sekilas aku melihat keluarga Oglander di kamar makan pada waktu kami lewat. Sekarang, dua orang laki-laki yang kelihatannya kuat dan pendiam melengkapi keluarga itu. Seorang berkumis, yang satunya selain berkumis berjenggot pula. Dalam beberapa menit Nyonya Oglander muncul dan memandang Poirot dengan mata bertanya-tanya. Poirot membungkuk. "Madame, di negara kami orang sangat bersimpati dan menghormati para ibu. Mere de famille, ibu adalah segalanya." Nampaknya Nyonya Oglander terkejut mendengar kata-kata ini. "Karena itulah saya datang - untuk menenteramkan hati seorang ibu. Pembunuh Reedburn tidak akan diketahui. Jangan khawatir. Saya, Hercule Poirot, yang mengatakannya, Saya benar, bukan" Atau, seorang istri yang harus saya tenangkan?" Hening sejenak. Nyonya Oglander menyelidiki Poirot dengan pandangannya. Akhirnya, ia berkata lirih, "Saya tidak mengerti bagaimana Anda bisa tahu - tapi, Anda memang benar." Poirot mengangguk dengan wajah muram. "Ini saja, Madame. Jangan gelisah. Polisipolisi Inggris tidak memiliki mata Hercule Poirot." Diketuknya potret keluarga itu dengan kukunya. "Dulu Anda punya anak perempuan yang lain. Dia sudah meninggal, Madame?" Lagi-lagi hening sebentar, ketika pandangan nyonya rumah menyelidiki Poirot. Lalu Nyonya Oglander menjawab, "Ya, sudah meninggal." "Ah!" komentar Poirot cepat. "Well, kami harus kembali ke kota. Boleh saya mengembalikan kartu raja klaver ini" Di sinilah kekhilafan Anda. Anda mengerti, bermain bridge selama lebih kurang satu jam, hanya dengan 51 kartu - bagi orang yang tahu permainan ini pasti tidak akan percaya sedikit pun! Selamat siang." "Sekarang, Sobatku, engkau mengerti semuanya," kata Poirot dalam perjalanan kami menuju stasiun. "Aku tidak mengerti apa-apa! Siapa yang membunuh Reedburn?" "John Oglander muda. Tadinya aku tidak begitu yakin siapa pembunuhnya, si ayah atau anak. Tapi, aku memusatkan perhatian pada si anak karena ia lebih muda dan kuat. Pelakunya pasti salah seorang dari mereka karena jendela itu." "Mengapa begitu?" "Ada empat jalan keluar dari perpustakaan - dua pintu dan dua jendela. Jelas satu saja cukup. Sedangkan tiga di antaranya menuju ke depan, baik langsung ataupun tak langsung. Tragedi itu pasti terjadi di jendela belakang supaya seakan-akan Valerie Saintclair datang ke Daisymead secara kebetulan. Tentu saja Nona Saintclair benar-benar pingsan dan John Oglander memondongnya pulang. Itu sebabnya kukatakan ia kuat sekali." "Kalau begitu, apakah mereka pergi bersama-sama?" "Betul. Engkau ingat keragu-raguan Nona Saintclair ketika kutanyai apakah dia tidak takut pergi sendiri" John Oglander menemaninya - tapi kukira ini tidak mengubah kekerasan hati Reedburn. Mereka bertengkar. Mungkin kata-kata menyakitkan yang dilontarkan kepada Nona Saintclair itu membuat John Oglander menghantam Reedburn. Selanjutnya engkau tahu." "Mengapa bridge yang dipilih?" "Bridge memerlukan empat pemain. Sederhana tapi sangat meyakinkan. Siapa yang akan mengira bahwa hanya ada tiga orang di ruangan itu sepanjang malam?" Aku masih bingung. "Satu yang tidak kumengerti. Apa hubungan keluarga Oglander dengan si penari, Valerie Saintclair?" "Ah, aku heran engkau tidak tahu. Padahal engkau melihat foto keluarga di dinding itu cukup lama - lebih lama dariku. Putri Nyonya Oglander yang lain mungkin sudah mati bagi keluarganya, tapi dunia mengenalnya sebagai Valerie Saintclair!" "Apa?" "Apa engkau tidak melihat kemiripan mereka sewaktu melihat dua perempuan bersaudara itu bersama-sama?" "Tidak," aku mengakui. "Aku cuma melihat betapa berbedanya mereka." "Itu karena pikiranmu hanya dipengaruhi penampilan luar, Hastings. Wajah mereka hampir sama. Begitu juga warna kulit. Yang menarik adalah Valerie malu akan keluarganya dan keluarganya juga malu akan Valerie. Biarpun begitu, dalam bahaya Valerie minta tolong saudara laki-lakinya. Dan sewaktu ada masalah, mereka bersatu secara mengagumkan. Kekuatan keluarga memang menakjubkan. Seluruh anggota keluarga itu dapat berakting. Di sanalah Valerie mendapatkan bakat seni dramanya. Aku, seperti Pangeran Paul, percaya akan sifat-sifat turunan. Mereka mengelabuiku! Tanpa adanya kekhilafan yang menguntungkanku dan pertanyaan yang berhasil kupakai untuk menyudutkan Nyonya Oglander serta keterangan putrinya mengenai posisi duduk mereka yang bertentangan, keluarga Oglander akan mengalahkan Hercule Poirot." "Apa yang akan kaukatakan kepada Pangeran?" "Valerie Saintclair tidak mungkin melakukan pembunuhan itu dan aku rasa gelandangan itu tidak akan pernah diketemukan. Selain itu, aku akan menyatakan pujianku kepada Zara. Kebetulan yang menimbulkan rasa ingin tahu! Bagaimana kalau kasus kecil ini kujuluki Petualangan Kartu Raja Klaver, Sobat?" VII WARISAN DINASTI LEMESURIER BERSAMA Poirot, aku sudah menyelidiki berbagai perkara yang aneh. Tapi, kukira semuanya itu belum apa-apa dibandingkan dengan serangkaian kejadian aneh yang selama bertahun-tahun menarik perhatian kami, dan mencapai puncaknya ketika masalah itu disodorkan untuk ditangani oleh Poirot. Perhatian kami pada sejarah dinasti Lemesurier muncul pertama kali pada masa perang. Aku dan Poirot belum lama berkumpul lagi, mengulang saat-saat perkenalan kami di Belgia. Waktu itu Poirot sudah menangani beberapa perkara kecil dari Departemen Angkatan Bersenjata - yang hasilnya sangat memuaskan - dan kami sedang makan malam di Carlton bersama seorang perwira tinggi yang berulang kali memuji Poirot. Perwira tinggi itu terpaksa buru-buru pergi karena ada janji dengan orang lain. Dengan santai kami mereguk habis kopi kami, sebelum mengikuti jejak perwira tinggi kawan kami itu. Pada waktu kami meninggalkan ruangan, sebuah suara yang kukenal memanggilku. Aku menoleh dan kulihat Kapten Vincent Lemesurier, pemuda yang kukenal di Prancis. Ia bersama seorang laki-laki yang lebih tua. Kemiripan keduanya menunjukkan bahwa mereka bersaudara. Memang begitulah adanya; karena laki-laki yang bersamanya itu diperkenalkan kepada kami sebagai Hugo Lemesurier, paman kawan kami yang masih muda ini. Aku tidak begitu mengenal Kapten Lemesurier, tapi dia pemuda yang menyenangkan dan agak melankolis. Orang-orang mengatakan Kapten Lemesurier adalah keturunan sebuah keluarga yang eksklusif, keluarga yang mempunyai tanah di Northumberland semenjak sebelum masa Reformasi. Karena udak tergesa-gesa, atas undangan pemuda itu, kami duduk bersama mereka dan membicarakan berbagai hal yang cukup menyenangkan. Hugo Lemesurier berumur kira-kira 40 tahun. Bahunya yang bungkuk menandakan kesarjanaannya. Rupanya waktu itu dia terlibat dalam beberapa proyek penelitian kimia pemerintah. Percakapan kami terputus dengan kedatangan seorang pemuda bertubuh tinggi dan berkulit gelap yang jelas-jelas sedang kebingungan. "Syukurlah! Akhirnya kutemukan juga kalian!" serunya. "Ada apa, Roger?" "Boss-mu, Vincent. Jatuh. Dari kuda." Kata-kata berikutnya tidak jelas karena ia pindah ke samping. Beberapa menit kemudian kedua kawan kami ini buru-buru meninggalkan kami. Ayah Vincent Lemesurier mengalami kecelakaan parah ketika ia mencoba menunggang seekor kuda. Diperkirakan ia tidak akan bertahan hidup sampai besok. Mendengar berita ini, Vincent pucat-pasi dan kelihatannya hampir tidak dapat berkata apaapa. Aku agak terkejut - karena dari perbincangan kami di Paris dulu, aku menyimpulkan hubungan Vincent dengan ayahnya tidaklah harmonis. Karena itulah perasaan kasih seorang anak yang diperlihatkannya membuatku sedikit heran. Roger Lemesurier, pemuda berkulit gelap yang diperkenalkan kepada kami sebagai sepupu, tetap tinggal. Bertiga kami keluar. "Peristiwa ini agak mencurigakan," Roger membuka pembicaraan. "Mungkin menarik bagi Anda, M. Poirot. Saya sudah mendengar tentang Anda - dari Higginson (Higginson adalah perwira tinggi kawan kami tadi). Katanya, psikologi Anda hebat." "Saya memang mempelajari psikologi," kata Poirot hati-hati. "Anda lihat wajah sepupu saya tadi" Dia benar-benar terpukul, kan" Anda tahu alasannya" Kutukan keluarga yang kuno! Anda mau mendengar kisahnya?" "Anda baik sekali mau menceritakannya kepada kami." Roger Lemesurier melihat arlojinya. "Cukup banyak waktu. Akan saya temui mereka nanti di King's Cross. Nah, M. Poirot, dinasti Lemesurier sudah lama ada. Pada abad pertengahan, seorang Lemesurier mencurigai istrinya. Dia memergoki istrinya dalam keadaan yang mencurigakan. Si istri bersumpah bahwa ia tidak bersalah, tapi Baron Hugo tidak peduli. Mereka mempunyai seorang anak laki-laki dan Baron Hugo bersikeras bahwa anak itu bukanlah darah dagingnya, sehingga tidak akan menerima warisan. Saya lupa apa yang dilakukan Baron Hugo - semacam hukuman abad pertengahan seperti mengurung ibu dan anak itu hidup-hidup; pokoknya Baron membunuh mereka berdua Ibu itu meninggal sambil meneriakkan kesucian hatinya dan mengutuk keluarga Lemesurier untuk selama-lamanya. Tak satu pun putra pertama keluarga Lemesurier akan menerima warisan - begitulah bunyi kutukan itu. Waktu berlalu dan kesucian wanita itu ternyata benar. Saya percaya Hugo menebus kesalahannya dengan berdoa di biara hingga akhir hayatnya. Tapi, yang mencurigakan, sampai sekarang tidak ada putra pertama yang mendapat warisan. Warisan jatuh ke tangan saudara lakilakinya, keponakan laki-laki, atau putra kedua - tidak pernah ke tangan putra sulung. Ayah Vincent adalah putra kedua dari lima laki-laki bersaudara. Yang sulung meninggal sewaktu masih bayi. Tentu saja selama ini Vincent yakin bahwa dirinyalah yang akan terkena kutukan berikutnya. Anehnya, kedua adik lakilakinya sudah mati terbunuh, sedangkan dia sendiri masih terhindar." "Sejarah keluarga yang menarik," komentar Poirot serius. "Sekarang ayahnya menyongsong maut dan dia, sebagai putra sulung, tetap tidak apa-apa." "Tepat. Kutukan itu sudah usang. Tidak mempan lagi di zaman modern." Poirot menggeleng, seakan-akan mencela nada olok-olok itu. Roger Lemesurier melihat arlojinya dan mengatakan ia harus pergi sekarang juga. Kisah itu berlanjut keesokan harinya, ketika kami mendengar tentang kematian tragis Vincent Lemesurier. Ia mengadakan perjalanan ke utara dengan kereta api pos Skotlandia. Malam itu pasti ia membuka pintu kamar tidur kereta lalu melompat ke luar. Rasa terpukul atas kecelakaan ayahnya, yang berkembang menjadi perasaan kacau sementara ini diperkirakan menjadi penyebabnya. Segi takhayul keluarga Lemesurier yang mencurigakan itu disebut-sebut, dalam hubungannya dengan ahli waris yang baru, yaitu saudara laki-laki ayah Vincent - Ronald Lemesurier - yang putra tunggalnya gugur di Somme. Kukira, pertemuan kami terjadi secara kebetulan dengan almarhum Kapten Vincent Lemesurier membuat kami tertarik dengan segala sesuatu yang ada hubungannya dengan keluarga Lemesurier. Dua tahun kemudian kami mencatat kematian Ronald Lemesurier, yang pada waktu menjadi pewaris pusaka keluarga telah cacat seumur hidup. Adiknya, John, mewarisi haknya. John ini seorang yang sehat, segar, dan mempunyai seorang putra di Eton. Jelas nasib buruk melingkupi keluarga Lemesurier. Pada liburan sekolah berikutnya anak laki-laki John bunuh diri dengan menembak dirinya sendiri. John sendiri mati mendadak setelah disengat lebah, sehingga tanah milik keluarga Lemesurier jatuh ke tangan si bungsu dari lima laki-laki bersaudara - Hugo, yang bertemu dengan kami di Carlton pada malam naas itu. Selama ini kami hanya mengomentari serangkaian musibah aneh yang menimpa keluarga Lemesurier, karena tidak ada kepentingan pribadi kami dengan persoalan ini. Tapi, kini tiba saatnya kami harus menangani kasus ini. *** Suatu pagi, kami diberi tahu akan kedatangan "Nyonya. Lemesurier". Orangnya tinggi, aktif, berumur sekitar tiga puluh tahun. Sikapnya menunjukkan ketegasan dan akal sehatnya yang kuat. Sedikit aksen transatlantik mewarnai bicaranya. "M. Poirot" Saya senang bertemu Anda. Beberapa tahun yang lalu suami saya, Hugo Lemesurier, bertemu Anda. Mungkin Anda sudah lupa." "Saya ingat sekali, Madame. Pertemuan itu terjadi di Carlton." "Anda hebat, M. Poirot. Saya khawatir sekali." "Tentang apa, Madame." "Putra pertama saya - putra saya ada dua, Ronald delapan tahun dan Gerald enam tahun." Kasus Kasus Perdana Poirot Poirots Early Cases Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Teruskan, Madame. Mengapa Anda khawatir akan si kecil Ronald?" "M. Poirot, enam bulan terakhir ini Ronald sudah tiga kali lolos dari maut. Suatu kali dia hampir tenggelam - waktu kami di Cornwall musim panas ini; kali lainnya dia jatuh dari jendela ruang anak-anak; dan kali lainnya lagi dia keracunan zat lemas." Rupanya wajah Poirot terlalu jelas mencerminkan apa yang ada di benaknya karena Nyonya Lemesurier buru-buru melanjutkan perkataannya. "Ya, saya tahu Anda menganggap ini ketololan wanita saja, membesar-besarkan persoalan kecil." "Sama sekali tidak, Madame. Ibu mana pun bisa dimaafkan kalau gelisah akan kejadian-kejadian seperti itu. Tapi, saya mungkin tidak bisa menolong Anda. Saya bukan le bon Dieu yang dapat mengendalikan gelombang laut. Dan jendela ruang anak-anak, sebaiknya dipasangi teralis besi; kemudian tentang makanan - apa yang dapat menandingi perawatan seorang ibu?" "Tapi, mengapa semua ini menimpa Ronald, bukan Gerald?" "Kesempatan, Madame - le hasard!" "Anda berpendapat begitu?" "Bagaimana pendapat Anda, Madame - Anda dan suami Anda?" Mendung melintas di wajah Nyonya Lemesurier. "Tidak ada gunanya mengadu kepada Hugo - dia tidak akan percaya. Mungkin Anda sudah mendengar kutukan keluarga Lemesurier - tidak seorang putra sulung pun yang akan mendapat warisan. Hugo percaya pada kutukan ini. Ia terbenam dalam sejarah keluarga dan percaya sekali pada takhayul. Setiap kali saya ceritakan kekhawatiran saya, dia cuma berkomentar bahwa itu kutukan dan kami tidak dapat melepaskan diri dari kutukan itu. Namun, saya berasal dari Amerika Serikat, M. Poirot. Di sana orang tidak terlalu percaya pada kutukan. Kami menganggap kutukan sebagai milik keluarga-keluarga elit kuno - dan sikap ini memberikan semacam cachet. Apakah Anda tidak tahu" Pada waktu bertemu Hugo, saya cuma seorang aktris komedi musikal - dan saat itu saya menganggap kutukan keluarga Lemesurier terlalu manis untuk dirumuskan dengan kata-kata, yang cocok dibicarakan pada senja musim dingin Sambil mengelilingi perapian. Tapi, kalau kutukan itu menimpa anak sendiri - saya sangat sayang kepada anak-anak saya, M. Poirot. Akan saya lakukan apa saja untuk mereka." "Jadi Anda tidak percaya pada legenda keluarga itu?" "Bisakah legenda melihat melalui batang tanaman merambat?" "Apa maksud Anda, Madame?" Poirot berseru dengan penuh keheranan. "Saya katakan, dapatkah legenda - atau hantu, kalau Anda lebih senang menyebutnya demikian - melihat melalui batang tanaman merambat" Saya tidak membicarakan kecelakaan di Cornwall. Setiap anak laki-laki mungkin saja berenang terlalu jauh ke tengah dan mendapat kesulitan - biarpun Ronald sudah bisa berenang sejak umur empat tahun. Tanaman merambat ini soal lain. Kedua anak saya memang nakal sekali. Mereka mengetahui bahwa mereka dapat naik dan turun melalui tanaman itu. Dan keduanya naik dan turun berulang kali. Suatu hari - waktu itu Gerald sedang pergi - Ronald memanjat berkali-kali. Tanaman menjalar itu akhirnya tidak kuat dan Ronald jatuh. Untung ia tidak cedera. Saya keluar untuk memeriksa tanaman itu. Ternyata tanaman itu dipotong, M. Poirot - sengaja dipotong." "Yang Anda ceritakan ini serius sekali, Madame. Anda mengatakan waktu itu adiknya tidak di rumah?" "Benar." "Pada waktu keracunan zat lemas itu, apakah adiknya tidak di rumah juga?" "Keduanya ada." "Mencurigakan," gumam Poirot. "Madame, siapa saja yang tinggal di rumah Anda?" "Nona Saunders, guru pribadi anak-anak dan John Gardiner, sekretaris suami saya - " Sejenak Nyonya Lemesurier berhenti, seakan-akan ia agak malu. "Siapa lagi, Madame?" "Mayor Roger Lemesurier, yang juga Anda temui malam itu, lama tinggal bersama kami." "Ah, ya, dia saudara sepupu, kan?" "Sepupu jauh. Dia tidak termasuk anggota keluarga kami. Meskipun begitu, kini dia menjadi famili terdekat suami saya. Pemuda itu cepat sekali akrab dan kami semua menyukainya. Anak-anak senang sekali kepadanya." "Apakah dia yang mengajar anak-anak memanjat tanaman menjalar itu?" "Mungkin saja. Cukup sering Roger mendorong anak-anak berbuat usil." "Madame, maafkan perkataan saya tadi. Ternyata ada bahaya dan saya yakin saya dapat membantu. Saya minta Anda mengundang kami berdua tinggal bersama Anda. Keberatankah suami Anda?" "Oh, tidak. Tapi dia yakin usaha ini akan sia-sia. Sikapnya yang cuma dudukduduk dan mengharapkan Ronald mati membuat saya marah sekali." "Tenanglah, Madame. Mari kita atur rencana kita secara metodik." *** Rencana kami susun sebagaimana mestinya. Keesokan harinya kami terbang ke utara. Poirot tenggelam dalam lamunan. Dia tersentak dari lamunannya lalu berkata cepat-cepat, "Bukankah Vincent Lemesurier jatuh dari kereta api seperti ini?" Ditekankannya ucapan kata "jatuh". "Engkau tidak curiga ada permainan kotor, kan?" "Pernahkah engkau berpikir, Hastings, kematian beberapa anggota keluarga Lemesurier itu diatur" Misalnya, kematian Vincent. Lalu anak laki-laki di Eton itu - kecelakaan akibat senapan selalu membingungkan. Andaikan Ronald jatuh dari jendela kamar anak-anak dan terempas sampai mati - kan tidak mencurigakan" Mengapa cuma seorang anak saja, Hastings" Siapa yang mendapat keuntungan dari kematian anak pertama" Adiknya anak ketujuh! Tidak masuk akal!" "Mereka bermaksud melenyapkan yang lain setelah itu," aku mengemukakan gagasan, walaupun hanya secara samar-samar menyebut siapa "mereka" itu. Poirot menggeleng, seakan-akan tidak puas. "Keracunan zat lemas," gumamnya. "Atropine menimbulkan gejala yang sama. Betul, kehadiran kita diperlukan." Nyonya Lemesurier menyambut kami dengan antusias. Dibawanya kami ke ruang kerja suaminya dan ditinggalkannya kami di sana. Hugo banyak berubah dibandingkan terakhir kali aku melihatnya. Sekarang bahunya jauh lebih bungkuk dan wajahnya pucat secara aneh. Ia mendengarkan saja ketika Poirot menjelaskan maksud kedatangan kami ke rumahnya. "Persis seperti pemikiran Sadie yang praktis!" akhirnya ia bersuara. "Tapi, tentu saja, M. Poirot - terima kasih atas kehadiran kalian; tapi - yang sudah tertulis tidak dapat dihapus. Jalan orang berdosa itu berat. Kami, keluarga Lemesurier tahu - tak seorang pun dari kami dapat menyelamatkan diri dari kutukan itu." Poirot menyebut tanaman menjalar yang digergaji, namun Hugo nampaknya tidak terlalu terkesan. "Jelas kecerobohan tukang kebun - memang, memang, itu bisa menjadi sarana, tapi tujuannya jelas. Saya beritahu Anda, M. Poirot, waktunya tidak dapat ditunda lama-lama." Poirot memandangnya dengan penuh perhatian. "Mengapa Anda berkata begitu?" "Karena saya sendiri terkutuk. Tahun lalu saya ke dokter. Penyakit yang saya idap tidak dapat diobati - akhir hidup saya tidak lama lagi. Tapi, sebelum saya meninggal, Ronald akan diambil lebih dulu. Gerald yang akan mendapatkan warisan." "Bagaimana kalau terjadi sesuatu padanya?" "Tidak akan terjadi apa pun pada Gerald. Dia tidak kena kutukan." "Umpama itu terjadi?" Poirot bersikeras. "Sepupu saya, Roger, adalah ahli waris berikutnya." Pembicaraan kami disela. Seorang laki-laki dengan postur tubuh yang bagus serta rambut ikal berwarna merah masuk membawa berkas-berkas. "Biarkan saja dulu berkas-berkas itu, Gardiner," kata Hugo Lemesurier. Lalu ia menambahkan, "Sekretaris saya, John Gardiner." Sekretaris itu membungkukkan badan, berbasa-basi sebentar, lalu keluar. Biarpun ganteng, ada sesuatu yang menjijikkan dalam dirinya. Beberapa saat kemudian kukatakan perasaanku ini kepada Poirot, ketika kami berjalan-jalan mengelilingi bangunan kuno yang indah itu. Aku agak terkejut karena Poirot sependapat. "Ya, ya, Hastings, engkau benar. Aku tidak menyukainya. Orangnya terlalu tampan. Dia lebih cocok untuk pekerjaan ringan yang dibayar mahal. Ah, itu dia anakanak." Nyonya Lemesurier menghampiri kami, kedua anaknya berada di sampingnya. Anakanak itu tampan, yang kecil berkulit gelap seperti ibunya, sedangkan kakaknya berambut ikal kemerah-merahan. Mereka berjabat tangan dengan kami dengan sikap yang cukup mengesankan. Segera saja mereka menunjukkan rasa sayang yang tulus kepada Poirot. Kemudian kami diperkenalkan kepada Nona Saunders, seorang wanita yang biasa-biasa saja. *** Beberapa hari kami melewati saat-saat yang menyenangkan, tanpa kesulitan - tetap waspada, namun tanpa hasil. Anak-anak itu menjalani kehidupan normal yang bahagia dan kelihatannya semua beres. Pada hari keempat kehadiran kami, Mayor Roger Lemesurier datang untuk menginap. Dia tidak banyak berubah, masih riang gembira dan sopan seperti dulu dan menganggap enteng semua masalah. Jelas sekali dia amat disukai oleh kedua bocah itu. Keduanya menyambut kedatangannya dengan seruan kegembiraan dan segera menyeretnya ke kebun untuk bermain Indian liar. Kulihat Poirot mengikuti mereka dengan diam-diam! *** Hari berikutnya kami semua diundang minum teh oleh Lady Claygate, tetangga sebelah keluarga Lemesurier. Nyonya rumah menyarankan agar kami datang juga, tapi ia kelihatan sedikit lega ketika Poirot menolak dan mengatakan lebih suka tinggal di rumah. Begitu mereka berangkat, Poirot bekerja. Gerak-geriknya mengingatkanku pada anjing terier yang cerdas. Aku percaya tidak ada sudut rumah itu yang luput dari penyelidikannya. Walaupun begitu, semua ini dilakukannya secara diam-diam dan metodik sehingga gerak-geriknya sama sekali tidak menarik perhatian. Akhirnya, Poirot tetap tidak puas. Kemudian kami minum teh bersama Nona Saunders, yang juga tidak ikut ke jamuan minum teh. "Anak-anak pasti menikmati jamuan minum teh itu," katanya lirih. "Saya harap mereka bersikap manis dan tidak merusakkan tempat persemaian bunga atau bermainmain di dekat lebah - " Poirot berhenti mereguk minumannya. Wajahnya seperti orang melihat hantu. "Lebah?" tanyanya dalam suara yang menggeledek. "Betul, M. Poirot. Lebah. Tiga sarangnya. Lady Claygate bangga sekali dengan lebah-lebahnya - " "Lebah?" seru Poirot lagi. Kemudian ia meninggalkan meja dan mondar-mandir di teras sambil memegangi kepalanya dengan kedua tangannya. Aku tidak dapat menebak mengapa laki-laki bertubuh kecil ini begitu gelisah hanya karena mendengar kata "lebah". Waktu itulah kami mendengar suara mobil. Poirot berdiri di pintu masuk ketika rombongan itu turun. "Ronald disengat lebah!" teriak Gerald penuh semangat. "Tidak apa-apa," kata Nyonya Lemesurier. "Lukanya juga belum membengkak. Kami bubuhkan amonia di lukanya." "Boleh saya melihatnya, sayang?" pinta Poirot. "Mana yang luka?" "Di sini, di leher bagian samping," Ronald menjawab dengan gaya orang penting. "Tapi, sengatan itu tidak melukai. Ayah mengatakan, 'Jangan bergerak - ada lebah di badanmu.' Saya tidak bergerak dan Ayah mengambilnya. Binatang itu sudah menyengat saya dulu, walaupun tidak melukai. Cuma seperti ditusuk peniti. Saya juga tidak menangis karena sudah besar. Lagi pula, tahun depan saya masuk sekolah." Poirot memeriksa leher Ronald, dan berlalu. Digamitnya lenganku, lalu ia berbisik. "Malam nanti, Sobat. Malam nanti akan ada peristiwa kecil! Jangan katakan ini kepada siapa pun." Poirot tidak mau berbicara lebih jauh. Kulewati petang itu dengan penuh rasa ingin tahu. Sore-sore ia masuk ke kamar dan aku mengikutinya. Sewaktu menaiki tangga, ia memegang lenganku dan menyampaikan perintah-perintahnya. "Jangan ganti pakaian dulu. Matikan lampu dan susullah aku di sini." Aku menurut. Kudapatkan dia tengah menungguku. Dengan gerak isyarat Poirot memintaku diam. Kami merangkak tanpa bersuara sepanjang sayap kamar anak-anak. Ronald menempati kamarnya sendiri yang kecil. Kami masuk lalu mengambil posisi di sudut yang paling gelap. Napas Ronald terdengar berat. Ia tidak terganggu oleh kehadiran kami. "Dia tidur nyenyak sekali, kan?" bisikku. Poirot mengangguk. "Dibius," bisiknya. "Mengapa?" tanyaku heran. "Supaya dia tidak berteriak kalau - " "Kalau apa?" aku menuntut jawaban melihat Poirot menghentikan perkataannya. "Kalau nanti disuntik, Sobat! Diam. Kita jangan bicara lagi - kuharap sesuatu terjadi beberapa saat lagi." *** Kali ini Poirot keliru. Hampir sepuluh menit berlalu, barulah pintu dibuka pelan-pelan dan seseorang masuk. Kudengar dengus napas memburu dan langkahlangkah menuju tempat tidur. Tiba-tiba terdengar bunyi "klik". Sinar lentera elektris kecil menyoroti anak itu - pemegangnya masih tidak terlihat dalam bayang kegelapan. Sosok itu meletakkan lentera. Dengan tangan kanannya ia mengeluarkan alat suntik; tangan kirinya menyentuh leher Ronald Berbarengan aku dan Poirot melompat. Lentera kecil itu terguling di lantai dan kami bergumul dalam kegelapan. Kekuatannya benar-benar luar biasa. Akhirnya kami berhasil mengalahkannya juga. "Lampu, Hastings. Aku harus melihat wajahnya - biarpun aku yakin wajahnya kukenal baik." "Begitu juga aku," pikirku sambil meraba-raba, mencari lentera itu. Sejenak aku sempat mencurigai sekretaris Hugo, terpengaruh rasa tidak senangku kepadanya. Tapi sekarang aku yakin bahwa pria yang ingin mendapatkan keuntungan dari kematian dua sepupunya yang masih kecil adalah orang tidak waras yang sedang kami ikuti jejaknya. Kakiku menendang lentera. Kupungut benda itu dan kunyalakan. Benda itu bersinar penuh pada wajah - Hugo Lemesurier, ayah si bocah! "Tidak mungkin!" bisikku parau. "Tidak mungkin!" *** Lemesurier tidak sadarkan diri. Kami memondongnya ke kamarnya lalu membaringkannya di tempat tidurnya. Poirot membungkuk. Dengan hati-hati dilepaskannya sesuatu dari tangan kanan Hugo. Diperlihatkannya benda itu kepadaku. Jarum suntik. Aku merasa ngeri. "Apa isinya" Racun?" "Asam semut, kukira." "Asam semut?" "Ya. Mungkin didapat dengan cara menyaring semut. Dia ahli kimia, engkau ingat" Kematian akan dihubungkan dengan sengatan lebah." "Ya, Tuhan," aku berkomat-kamit. "Anaknya sendiri! Dan engkau sudah menduganya?" Poirot mengangguk sedih. "Ya. Tentu saja dia gila. Kukira sejarah keluarga itu sudah membuatnya tidak waras. Keinginannya yang kuat untuk mewarisi tanah keluarga mendorongnya melakukan serangkaian perbuatan kriminal. Mungkin saja pikiran ini muncul pertama kali dalam benaknya ketika ia melakukan perjalanan ke utara bersama Vincent. Dia tidak dapat menerima kalau kutukan itu nantinya tidak terbukti. Anak Ronald sudah tiada dan Ronald sendiri tengah menyongsong maut - orang-orang yang bernasib jelek. Diaturnya kematian dengan senapan - yang tidak kucurigai sampai sekarang - direncanakannya kematian saudaranya, John, dengan cara yang sama dengan menyuntikkan asam semut ke dalam urat leher. Dengan demikian ambisinya menjadi kenyataan dan dia menjadi tuan dari berhektar-hektar tanah keluarga. Tapi, sorak kemenangannya tidak berumur panjang karena didapatinya dirinya mengidap penyakit yang tidak dapat diobati. Dan timbullah gagasan gila - putra sulung Lemesurier tidak akan menjadi ahli waris. Aku kira kecelakaan sewaktu mandi di laut itu disengajanya - dia mendorong Ronald berenang terlalu ke tengah. Gagal. Lalu dia memotong tanaman menjalar. Setelah itu meracuni makanan si kecil Ronald." "Kejam!" bisikku sambil menggigil ngeri. "Dan direncanakan dengan begitu rapi!" "Betul, Sobat. Tidak ada yang lebih mengherankan dari gagasan orang gila! Atau, sikap eksentrik orang waras yang luar biasa! Kukira akhir-akhir ini dia bertindak kelewat batas. Ada penyebab kegilaannya." "Aku ingat aku mencurigai Roger - pemuda yang baik itu." "Itu wajar, Sobat. Kita tahu, ia juga bersama Vincent dalam perjalanan malam itu. Kita tahu pula, dialah ahli waris setelah Hugo serta kedua anaknya. Tapi, kenyataan tidak mendukung dugaan kita. Tanaman menjalar itu dipotong pada waktu hanya Ronald yang berada di rumah - padahal Roger pasti menghendaki kematian kedua anak itu. Begitu pula, hanya makanan Ronald yang diracuni. Dan ketika itu, aku Kasus Kasus Perdana Poirot Poirots Early Cases Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo tahu hanya ayah Ronald yang mengatakan anaknya disengat lebah. Aku pernah melihat orang lain mati karena sengatan lebah - itulah sebabnya aku jadi mengerti semua ini." *** Beberapa bulan kemudian Hugo Lemesurier meninggal di rumah sakit jiwa swasta, tempat ia tinggal setelah peristiwa malam itu. Tahun berikutnya, jandanya menikah kembali dengan John Gardiner, sekretaris yang berambut merah itu. Ronald mewarisi tanah ayahnya yang luas dan terus mengembangkannya. "Well, well," kataku kepada Poirot. "Hilang lagi satu pandangan yang menyesatkan. Engkau berhasil mengalahkan kutukan keluarga Lemesurier dengan gemilang." "Aku jadi bertanya-tanya sendiri," ujar Poirot serius. "Sungguh, aku jadi bertanya-tanya sendiri." "Apa maksudmu?" "Sobat, kujawab pertanyaanmu dengan satu kata kunci - 'merah'!" "Darah?" aku sangsi, sehingga suaraku hanya terdengar sebagai bisikan. "Imajinasimu selalu saja bernada sensasional, Hastings! Yang kumaksudkan adalah sesuatu yang tidak begitu mengerikan - warna rambut si kecil Ronald Lemesurier!" VIII TAMBANG YANG HILANG SAMBIL menghela napas, kuletakkan buku tabunganku. "Aneh," kataku, "saldo rekeningku di bank tak pernah bertambah sedikit pun." "Itu membuatmu gelisah" Astaga, Hastings! Kalau aku yang mengalaminya, aku tidak akan bisa tidur sepanjang malam." "Neraca keuanganmu cukup seimbang, ya," komentarku pedas. "Empat ratus empat puluh empat pound, empat puluh empat penny," lapor Poirot dengan nada puas terhadap dirinya sendiri. "Angka yang rapi, bukan?" "Pasti itu kebijaksanaan manajer bankmu. Dia tentunya tahu akan kesenanganmu pada detil-detil yang simetris. Bagaimana kalau kita menanamkan, katakanlah, tiga ratus dolar untuk ladang minyak Procupine" Iklan berbagai surat kabar hari ini mengatakan mereka akan membayar keuntungan saham seratus persen tahun depan." "Tidak kalau aku," sahut Poirot sambil menggeleng. "Aku tidak suka segala sesuatu yang sensasional. Buatku tabungan sama dengan penanaman dengan cermat les rentes - simpanan untuk hari tua - apa istilahmu" - konversi." "Engkau pernah melakukan investasi yang spekulatif?" "Tidak, Sobatku," jawabnya enggan. "Tidak akan pernah. Satu-satunya saham yang kupunyai, itu pun tanpa risiko apa pun, besarnya empat belas ribu pound di Burma Mines Ltd." Poirot menghentikan perkataannya sebentar, dengan nada menunggu aku meminta ia melanjutkan kisahnya. "Ya?" aku mendesak. "Dan saham itu kudapat tanpa membayar sepeser pun - saham itu imbalan kerja otakku. Mau mendengar kisahnya" Ya?" "Tentu saja mau." "Tambang itu terletak di pedalaman Birma, kira-kira dua ratus mil dari Rangoon ke arah pedalaman. Ditemukan abad kelima belas oleh orang-orang Cina dan digali sampai masa pemberontakan orang-orang Islam. Akhirnya, tambang itu ditinggalkan tahun 1868. Orang-orang Cina mengambil bijih perak timah yang banyak terdapat di bagian atas badan bijih itu, lalu meleburnya untuk mengambil peraknya, sehingga meninggalkan ampas bijih yang mengandung timah. Kemudian tambang ini ditemukan oleh pekerja-pekerja Birma. Tapi, galian-galian itu sudah dipenuhi air dan batubatu urukan. Akibatnya, usaha untuk menemukan sumber bijih itu sia-sia belaka. Banyak regu yang dikirim oleh sindikat-sindikat dan mereka sudah menggali secara luas, tapi timah yang menggiurkan ini belum ada yang mendapatkannya. Kemudian, salah seorang wakil sindikat mencium jejak keluarga Cina yang diperkirakan masih menyimpan catatan situasi tambang. Waktu itu yang menjadi kepala keluarga adalah Wu Ling." "Cerita roman komersial yang menarik sekali," komentarku. "Ya, kan" Hastings, kisah roman dapat tercipta tanpa gadis-gadis pirang yang cantik jelita - maaf aku salah; rambut merahlah yang selalu membuatmu begitu bergairah. Engkau ingat - " "Teruslah bercerita," sergahku buru-buru. "Nah, Sobat, mereka mendekati Wu Ling. Dia saudagar yang patut dihargai dan sangat dihormati di propinsi tempat tinggalnya. Segera dia mengaku mempunyai dokumen-dokumen yang ditanyakan itu dan siap mengadakan transaksi penjualan surat berharga itu. Tapi Wu Ling hanya mau berurusan dengan para pimpinan perusahaan. Akhirnya diputuskan Wu Ling harus ke Inggris untuk menemui direksi sebuah perusahaan penting. "Wu Ling berangkat dengan kapal uap Assunta, yang berlabuh di dermaga Southampton pada pagi bulan November yang dingin dan berkabut. Salah seorang direktur, Tuan Pearson, menjemputnya. Pada waktu Pearson tiba, Wu Ling sudah tiba sebelumnya dan berangkat ke London sendiri naik kereta khusus. Pearson kembali dengan agak mendongkol karena ia tidak tahu sama sekali di mana orang Cina itu menginap. Siangnya kantor perusahaan dihubungi Wu Ling, yang menginap di Hotel Russel Square. Setelah pelayaran itu ia sedikit tidak enak badan, tapi pasti dapat menghadiri pertemuan dewan yang diadakan keesokan harinya. "Pertemuan akan dimulai pukul 11.00. Pukul 11.30 Wu Ling belum muncul juga. Karena itu, sekretaris dewan menghubungi Hotel Russell Square dan diberitahu bahwa Wu Ling keluar bersama seorang kawannya pada pukul 10.30. Kelihatannya orang Cina itu pergi untuk menghadiri rapat. Pagi berlalu tanpa kehadiran Wu Ling. Mungkin saja dia tersesat karena ia buta mengenai kota London. Namun, hingga larut malam ia tidak kembali ke hotel. Sekarang, karena khawatir sekali, Pearson menyerahkan persoalan ini ke tangan polisi. Hari berikutnya masih belum ada jejak orang yang hilang ini. Menjelang malam hari berikutnya, sesosok mayat ditemukan terapung di Sungai Thames, dan dikenali sebagai mayat Wu Ling yang malang itu. Baik di jenazah korban maupun di kamar hotel, tidak diketemukan berkas-berkas yang berkaitan dengan tambang timah itu. "Ketika itulah aku dilibatkan dalam perkara itu. Pearson menghubungiku. Sementara ia masih sangat terguncang dengan kematian Wu Ling, ia ingin sekali mendapatkan dokumen-dokumen yang menjadi tujuan kunjungan almarhum ke Inggris. Keinginan utama polisi, tentu saja, adalah melacak jejak pembunuh - dokumen menjadi pertimbangan kedua. Pearson menginginkan aku bekerja sama dengan polisi sambil bertindak untuk kepentingan perusahaan. "Tanpa banyak bertanya aku setuju. Ada dua bidang yang harus kuselidiki. Aku dapat memeriksa karyawan perusahaan yang mengetahui kedatangan orang Cina ini dan penumpang kapal yang mungkin mengetahui misi Wu Ling. Aku mulai dengan yang terakhir, sebagai ruang lingkup penyelidikan yang lebih sempit. Aku bertemu dengan Inspektur Miller yang bertugas menangani pembunuhan ini - orangnya lain sama sekali dengan kawan kita Japp; angkuh, sikapnya tidak terpuji, dan tak tertahankan. Bersama-sama kami mewawancarai awak kapal. Hanya sedikit yang dapat mereka sampaikan. Selama berlayar, korban lebih banyak menyendiri dan hanya akrab dengan dua penumpang - yang satu seorang Eropa yang berandalan, namanya Dyer, dan kelihatannya punya reputasi yang kurang baik; yang lain karyawan bank yang masih muda, Charles Lester, yang sedang dalam perjalanan kembali dari Hong Kong. Kami beruntung mendapatkan potret kedua orang ini. Waktu itu keyakinan bahwa andaikan salah seorang terlibat, pasti Dyer orangnya. Didapat informasi dia menjadi anggota kelompok penjahat Cina, sehingga dia paling pantas Bidadari Dari Sungai Es 7 Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo Kaki Tiga Menjangan 6

Cari Blog Ini