Mr Quin Yang Misterius The Mysterious Mr. Quin Karya Agatha Christie Bagian 3
Mr. Satterthwaite, yang tanpa sadar mencerminkan penyimpangan ciri egoisme
manusia yang selalu berkeras menganggap setiap manifestasi kehidupan sebagai
sesuatu yang telah dirancang untuk kenikmatan atau kesengsaraan. Ia tidak
menyahut, dan akhirnya pemuda itu berkata lagi sambil tertawa lirih dengan nada
minta maaf. "Saya pernah mendengar bahwa setiap laki-laki haruslah membangun rumahnya,
menanam benih, dan berputra." Ia berhenti, kemudian meneruskan, "Saya yakin
pernah menanam sebutir benih, dulu...."
Mr. Satterthwaite bergerak sedikit. Rasa ingin tahunya tergugah, minatnya
terhadap masalah orang lain seperti yang disebut-sebut oleh duchess tadi mulai
timbul. Itu tidaklah sulit. Mr. Satterthwaite memiliki sisi yang feminin sekali
dalam sikapnya. Ia seorang pendengar yang baik dan ia tahu kapan harus menyahut
dengan menggunakan kata-kata yang tepat. Sekarang ia akan mendengar seluruh
kisah pemuda itu. Anthony Cosden, begitulah nama pemuda itu, mempunyai kehidupan tepat seperti
yang telah dibayangkan Mr. Satterthwaite. Caranya bercerita memang buruk, tapi
pendengarnya dengan pandai menuntunnya menjadi lancar. Sebuah kehidupan yang
sangat biasa - pendapatan lumayan, bergabung sebentar dalam ketentaraan, banyak
berolahraga setiap kali mendapatkan kesempatan, banyak teman, banyak hobi
menyenangkan, dan cukup banyak wanita. Jenis kehidupan yang biasa-biasa saja
dengan banyak kesenangan. Sejujurnya bisa dibilang seperti kehidupan seekor
binatang. "Tapi ada yang lebih buruk dari itu," pikir Mr. Satterthwaite
berdasarkan pengalamannya yang segudang. "Oh! jauh lebih banyak yang buruk dari
itu." Dunia ini tampaknya tempat yang bagus sekali bagi Anthony Cosden. Ia
menggerutu karena semua orang memang selalu menggerutu, tapi gerutuannya itu
tidaklah serius. Kemudian - ini.
Akhirnya ia menceritakannya juga - agak samar-samar dan tidak jelas. Tidak terlalu
yakin tentang hal itu - tidak banyak. Ia memeriksakan diri pada dokternya, dan
dokter itu telah menyuruhnya pergi ke seorang dokter di Harley Street.
Kemudian... kebenaran yang mencekam. Mereka mencoba menutup-nutupinya, dengan
hati-hati mengemukakan padanya tentang perlunya menjaga diri dan menjalani
sebuah kehidupan tenang, tapi mereka tak dapat menipunya dengan gampang. Dan
puncaknya - enam bulan. Itulah yang mereka berikan padanya. Enam bulan.
Ia berpaling dengan mata cokelat kebingungan pada Mr. Satterthwaite. Tentu saja
hal itu akan mengejutkan siapa pun. Orang jadi... jadi tidak tahu apa yang harus
dilakukan. Mr. Satterthwaite mengangguk dengan serius dan penuh pengertian.
Susah sekali menerima segalanya sekaligus, lanjut Anthony Cosden. Bagaimana
menghabiskan waktu yang tersisa. Memang ini masalah buruk, menunggu saat
datangnya ajal. Ia sebenarnya tidak merasa sakit - belum. Tapi mungkin saja rasa
sakit itu baru datang kemudian, begitulah kata dokter spesialis tersebut - dan itu
sudah pasti. Rasanya tidak masuk akal kalau kita harus mati, padahal kita sama
sekali tidak menginginkannya. Menurutnya, yang terbaik yang bisa dilakukannya
adalah menghadapi segalanya seperti biasa. Tapi entah kenapa ia tak bisa.
Di sini Mr. Satterthwaite menyelanya. Dengan hati-hati ia bertanya, apakah tidak
ada wanita yang terlibat"
Tapi tampaknya tidak ada. Memang ada sejumlah wanita, tapi bulan jenis itu.
Teman-temannya adalah orang-orang yang suka hura-hura. Mereka tidak suka dengan
orang penyakitan, begitulah katanya. Ia sendiri tidak mau orang lain tahu
tentang nasibnya. Pasti akan membuat semua orang tidak enak. Jadi, ia pergi ke
luar negeri. "Anda datang mengunjungi pulau ini" Kenapa?" Mr. Satterthwaite sedang berusaha
mengetahui sesuatu, sesuatu yang tidak tampak dan tersamar, yang sementara ini
masih belum diketahuinya, tapi ia yakin ada sesuatu. "Mungkin Anda dulu pernah
kemari?" "Ya," Cosden mengaku dengan segan. "Bertahun-tahun yang lalu, ketika saya masih
muda belia." Dan tiba-tiba, hampir tanpa sadar ia melirik sekilas ke belakang, ke arah rumah
itu. "Saya. ingat tempat ini," katanya, mengangguk ke arah laut. "Selangkah menuju
keabadian!" "Dan itu sebabnya Anda datang kemari kemarin malam," kata Mr. Satterthwaite
tenang. Anthony Cosden menatapnya bingung.
"Oh! Saya tidak... sungguh...," ia membantah.
"Kemarin malam Anda menemukan seseorang di sini. Sore ini Anda menemukan saya.
Hidup Anda telah tertolong - dua kali."
"Anda bisa saja bilang begitu - tapi peduli apa, ini toh hidup saya. Saya berhak
melakukan apa saja terhadapnya."
"Istilah yang umum," kata Mr. Satterthwaite bosan.
"Saya mengerti maksud Anda," kata Anthony Cosden dengan ramah. "Tentu saja Anda
akan menasihati saya. Saya sendiri pernah menolong seseorang, meskipun dalam
hati saya tahu dia benar. Dan Anda juga tahu saya benar. Akhir yang cepat dan
bersih lebih baik daripada yang berlama-lama - merepotkan, menghabiskan biaya, dan
menyusahkan orang lain. Toh bisa dibilang saya ini tidak punya siapa-siapa di
dunia." "Tapi misalkan Anda punya...?" tanya Mr. Satterthwaite tajam.
Cosden menarik napas panjang.
"Saya tidak tahu. Dari dulu saya selalu menganggap ini yang terbaik.
Bagaimanapun... saya tidak punya...."
Ia berhenti tiba-tiba. Mr. Satterthwaite menatapnya dengan rasa ingin tahu.
Betul-betul romantis. Dalam hati ia merasa ini pasti ada hubungannya dengan
seorang wanita. Tapi Cosden menyangkalnya. Ia berkata ia tidak boleh mengeluh.
Pada dasarnya ia telah memiliki kehidupan yang sangat baik. Sayangnya itu akan
segera berlalu dengan cepat, itu saja. Tapi menurutnya, ia senang dengan segala
yang telah dirasakannya dalam hidup ini.
Kecuali seorang putra. Ia ingin memiliki seorang putra. Hatinya pasti tenang
seandainya ia punya seorang putra yang dapat meneruskan keturunannya. Tapi, ia
membantah angan-angannya sendiri, bagaimanapun ia telah memiliki kehidupan yang
sangat baik.... Pada saat inilah Mr. Satterthwaite kehilangan kesabaran. Tak seorang pun yang
masih terbungkus kepompong boleh mengaku bahwa ia tahu segala-galanya tentang
kehidupan. Karena kata-kata terbungkus kepompong jelas-jelas tidak dipahami oleh
Cosden, ia melanjutkan lagi perkataannya untuk memperjelas maksudnya.
"Anda boleh dibilang belum memulai kehidupan ini. Anda masih berada pada
awalnya." Cosden tertawa. "Astaga, rambut saya sudah ubanan. Saya berumur empat puluh..."
Mr. Satterthwaite menyelanya.
"Ini tidak ada sangkut-pautnya dengan umur. Kehidupan terbentuk dari pengalamanpengalaman jasmani dan rohani. Contohnya, saya berumur 69, dan saya sungguhsungguh 69. Saya sudah mengetahui, baik secara langsung maupun tidak, hampir
semua pengalaman yang ditawarkan oleh kehidupan. Anda seperti orang yang
membicarakan musim, tapi sebenarnya cuma melihat salju dan esnya saja! Bungabunga musim semi, hari-hari santai musim panas, daun-daun musim gugur yang
berjatuhan - Anda tidak melihat semua itu, bahkan tidak tahu kalau mereka ada. Dan
sekarang Anda mau berpaling dari kesempatan untuk mengetahui semuanya itu."
"Anda kelihatannya lupa," kata Anthony Cosden dengan getir, "bahwa bagaimanapun,
saya hanya mempunyai waktu enam bulan."
"Waktu, seperti segalanya, adalah relatif," kata Mr. Satterthwaite. "Enam bulan
itu mungkin akan jadi waktu terpanjang dan paling mengesankan dalam seluruh
kehidupan Anda" Cosden tampaknya tidak yakin.
"Kalau Anda jadi saya," katanya, "Anda juga akan melakukan hal yang sama."
Mr. Satterthwaite menggeleng.
"Tidak," katanya singkat. "Pertama-tama saya tahu saya tidak punya keberanian.
Perbuatan itu membutuhkan keberanian, dan saya sama sekali bukan orang yang
berani. Kedua..." "Yah?" "Saya selalu ingin tahu apa yang akan terjadi besok."
Cosden tiba-tiba berdiri dan tertawa.
"Yah, Sir, Anda baik sekali mau mengajak saya bercakap-cakap. Saya tidak tahu
kenapa, tapi... yah, sudah terjadi. Saya terlalu banyak omong. Lupakan
semuanya." "Dan besok, kalau ada yang melaporkan tentang kecelakaan itu, apakah saya harus
berpura-pura tidak tahu" Tidak memberitahukan bahwa itu adalah bunuh diri?"
"Terserah Anda. Saya senang Anda menyadari satu hal, yaitu Anda tak bisa
mencegah saya." "Anak muda yang baik," kata Mr. Satterthwaite tenang, "saya memang tidak bisa
terus-terusan menempel pada Anda seperti lintah. Cepat atau lambat Anda akan
melompat dan melaksanakan tujuan Anda. Tapi Anda sedang merasa frustrasi sore
ini Anda pasti tidak tega membiarkan orang-orang menganggap saya telah mendorong
Anda." "Itu benar," kata Cosden. "Jadi, kalau Anda berkeras untuk tetap di sini..."
"Saya memang berkeras," kata Mr. Satterthwaite tegas.
Cosden tertawa riang. "Kalau begitu, rencana saya harus ditunda dulu. Saya akan kembali ke hotel.
Sampai jumpa, mungkin."
Mr. Satterthwaite ditinggal sendirian menatap laut.
"Dan sekarang," katanya pada diri sendiri dengan lirih, "harus bagaimana" Pasti
ada sesuatu yang harus dilakukan. Aku ingin tahu...."
Ia berdiri. Beberapa saat lamanya ia berdiri di tepi dataran itu, memandang air
yang berombak-ombak di bawah sana. Tapi ia tidak menemukan inspirasi apa pun,
dan dengan pelan ia berbalik menyusuri jalan setapak berpagarkan pohon-pohon
cemara dan memasuki kebun yang sunyi itu. Ia memandang rumah yang damai dan
tertutup itu, dan ia jadi ingin tahu, seperti sering kali sebelumnya. siapa yang
pernah tinggal di sana dan apa yang berlangsung di balik dinding-dinding yang
tenang itu. Tiba-tiba tanpa sadar ia berjalan menaiki anak-anak tangga dari batu
yang mulai runtuh tersebut dan memegang kerai hijau yang pudar itu.
Ia kaget ketika jendela itu terbuka. Ia ragu-ragu sejenak, kemudian menyibak
kerainya lebar-lebar. Detik berikutnya ia melangkah mundur sambil berteriak
lirih. Seorang wanita berdiri di balik jendela itu, menatapnya. Ia mengenakan
gaun hitam dan sehelai kerudung hitam menutupi kepalanya.
Mr. Satterthwaite dengan terbata-bata meminta maaf dalam bahasa Itali bercampur
Jerman - yang dengan buru-buru dirasanya paling mendekati bahasa Spanyol. Ia
merasa kepergok dan malu, begitulah ia meminta maaf. Signora harus memaafkannya.
Kemudian dengan buru-buru ia melangkah mundur. Wanita itu tidak berkata apa-apa.
Ia sudah setengah jalan melintasi kebun ketika wanita itu berbicara - sebuah kata
tajam yang terdengar seperti bunyi pistol.
"Kembali!" Itu adalah perintah yang biasa diserukan kepada seekor anjing, tapi terdengar
begitu tegas dan penuh kuasa, sehingga Mr. Satterthwaite berbalik cepat dan
berjalan menuju rumah itu lagi, nyaris secara otomatis, tak sempat merasa
tersinggung. Ia menurut seperti seekor anjing. Wanita itu masih berdiri tak
bergerak di depan jendela, menatapnya dari atas ke bawah, menilai dirinya dengan
ketenangan yang luar biasa.
"Anda orang Inggris," katanya. "Saya sudah menduganya."
Mr. Satterthwaite mengucapkan permintaan maaf yang kedua.
"Kalau saya tahu Anda juga orang Inggris," katanya, "saya akan dapat menjelaskan
semuanya dengan lebih baik tadi. Saya betul-betul minta maaf sebesar-besarnya
karena telah membuka kerai rumah Anda dengan tidak sopan. Saya khawatir saya
memang tidak punya alasan apa pun untuk melakukannya selain rasa ingin tahu.
Saya ingin sekali mengetahui, apa yang ada di balik rumah yang cantik ini."
Wanita itu tiba-tiba tertawa, tulus dan geli.
"Kalau memang ingin melihatnya," katanya, "lebih baik Anda masuk."
Ia memberi jalan, dan Mr. Satterthwaite, yang merasa betul-betul bersemangat,
melangkah masuk ke dalam. Rumah itu gelap karena kerai-kerai jendela lainnya
tertutup, tapi ia bisa melihat bahwa di sana hanya ada sedikit perabot yang agak
usang modelnya: debu tampak tebal di mana-mana.
"Bukan di sini," kata wanita itu. "Saya tidak memakai ruangan ini."
Ia memimpin jalan dan Mr. Satterthwaite mengikutinya, keluar dari ruangan itu,
melintasi sebuah gang, dan masuk ke sebuah ruangan di sisi lain. Di sini
jendela-jendelanya menghadap ke laut dan sinar matahari menerobos masuk.
Perabotannya, seperti di ruangan satunya tadi, betul-betul jelek kualitasnya,
tapi ada beberapa permadani usang yang dulunya pasti indah sekali, sebuah layar
Spanyol dari kulit yang lebar sekali, dan vas-vas berisi bunga segar.
"Mari minum teh dengan saya," undang sang nyonya rumah. Ia menambahkan untuk
meyakinkan, "Tehnya betul-betul enak dan diseduh dengan air mendidih."
Ia keluar pintu, memanggil seseorang dengan menggunakan bahasa Spanyol, kemudian
berbalik dan duduk di sofa, berhadap-hadapan dengan tamunya. Untuk pertama
kalinya Mr. Satterthwaite bisa mengamat-amati penampilannya.
Kesan pertama yang diperolehnya membuatnya semakin merasa kelabu, kusut, dan tua
bila dibandingkan dengan kepribadian tegas wanita itu. Ia bertubuh jangkung,
berpenampilan segar, kulitnya sangat cokelat, dan ia cantik, meskipun usianya
tidak lagi muda. Ketika ia berada di ruangan, matahari serasa bersinar dua kali
lebih terang ketimbang ketika ia tidak ada di ruangan itu, dan lambat-laun Mr.
Satterthwaite pun turut merasa hangat dan bersemangat. Rasanya seperti
menjulurkan kedua tangannya yang kurus dan keriput pada api yang hangat membara.
Ia berpikir, "Vitalitasnya begitu tinggi; sehingga orang lain pun bisa turut
merasakannya." Ia teringat pada nada perintah dalam suara wanita itu ketika menyuruhnya kembali
tadi, dan ia berharap anak asuhnya, Olga, bisa memiliki sedikit saja dari
ketegasan itu. Ia berpikir, "Dia pasti akan menjadi Isold? yang hebat! Tapi
mungkin saja dia tak bisa menyanyi. Hidup memang tidak selalu tepat dalam
pengaturan seperti itu." Sebenarnya ia agak takut pada wanita itu, karena pada
dasarnya ia tidak menyukai wanita yang tegas.
Wanita itu jelas telah mengamat-amati dirinya juga sambil duduk bertopang dagu
dengan kedua tangannya, tanpa sungkan-sungkan. Akhirnya ia mengangguk, seolaholah telah memutuskan sesuatu.
"Saya senang Anda kemari," katanya. "Saya sangat membutuhkan seseorang untuk
diajak bicara sore ini. Dan Anda sudah terbiasa dengan itu, bukan?"
"Saya tidak mengerti."
"Maksud saya, orang sering bercerita pada Anda. Anda pasti mengerti maksud saya!
Kenapa berpura-pura?"
"Yah... mungkin..."
Ia meneruskan, tidak mengacuhkan apa yang hendak dikatakan Mr. Satterthwaite.
"Orang bisa mengatakan apa pun pada Anda. Itu karena Anda mempunyai perasaan
seperti wanita. Anda tahu apa yang kami rasakan, apa yang kami pikirkan - hal-hal
aneh yang kami lakukan."
Ia berhenti. Teh dihidangkan oleh seorang gadis Spanyol berperawakan besar yang
tersenyum. Memang teh yang enak - teh Cina. Mr. Satterthwaite menghirupnya dengan
nikmat. "Anda tinggal di sini?" tanyanya berbasa-basi.
"Ya." "Tapi tidak terus-terusan. Rumah ini biasanya tertutup, bukan" Paling tidak,
begitulah yang saya dengar."
"Saya sering tinggal di sini, lebih dari yang diketahui orang-orang. Saya hanya
memakai ruangan-ruangan ini."
"Apakah Anda sudah lama memiliki rumah ini?"
"Sudah 22 tahun - dan saya pernah tinggal di sini selama setahun sebelumnya."
Mr. Satterthwaite berkata dengan agak konyol (begitulah perasaannya), "Itu lama
sekali." "Setahun" Atau yang 22 tahun?"
Minatnya tergugah, Mr. Satterthwaite berkata dengan serius, "Itu tergantung."
Wanita itu mengangguk. "Ya, itu memang tergantung. Sebab itu adalah dua periode waktu yang terpisah.
Satu sama lain tidak saling terkait. Mana yang lebih lama" Yang mana lebih
pendek" Bahkan saya sendiri tidak tahu."
Ia diam sejenak, murung. Kemudian ia berkata sambil tersenyum simpul,
"Sudah lama sekali saya tidak bercakap-cakap dengan seseorang - lama sekali! Saya
tidak menyesal. Anda sendiri yang datang menghampiri kerai jendela saya. Anda
ingin mengintip melalui jendela saya. Dan itulah yang selalu Anda lakukan,
bukan" Menyibakkan kerai dan melihat melalui jendela kebenaran yang ada dalam
hidup orang-orang lain, kalau mereka memang mengizinkan Anda. Dan sering kali
mereka malah mengundang Anda! Saya rasa sulit untuk menyembunyikan sesuatu dari
Anda. Anda bisa menebak - dengan benar."
Entah kenapa Mr. Satterthwaite merasa harus menjawab dengan jujur.
"Saya berumur 69," katanya. "Segala yang saya ketahui tentang kehidupan saya
peroleh secara tak langsung. Kadang-kadang memang terasa pahit bagi saya. Tapi
Mr Quin Yang Misterius The Mysterious Mr. Quin Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
di lain pihak, dengan cara itu saya jadi mengetahui banyak hal."
Ia mengangguk serius. "Saya tahu. Hidup memang aneh sekali. Saya tak bisa membayangkan bagaimana
rasanya menjadi... selalu menjadi pengamat."
Nadanya terdengar ingin tahu. Mr. Satterthwaite tersenyum.
"Tidak, Anda takkan tahu. Tempat Anda adalah di tengah-tengah panggung. Anda
akan selalu menjadi sang Prima Dona."
"Betapa lucunya perkataan Anda."
"Tapi saya benar. Banyak hal telah terjadi pada diri Anda - dan akan selalu
terjadi. Kadang-kadang, saya rasa, hal-hal itu tragis. Benar, bukan?"
Mata wanita itu menyipit. Ia menatap Mr. Satterthwaite lurus-lurus.
"Kalau Anda pernah tinggal di sini untuk waktu lama, Anda pasti mendengar
tentang seorang perenang Inggris yang tenggelam di kaki tebing. Orang-orang
pasti akan mengatakan pada Anda betapa dia masih muda dan kuat, betapa tampan
dan betapa istrinya yang masih muda hanya bisa menatapnya dari puncak tebing dan
melihatnya tenggelam."
"Ya, saya sudah pernah mendengar cerita itu."
"Perenang itu adalah suami saya. Ini rumahnya. Dia membawa saya kemari
bersamanya ketika saya masih delapan belas tahun, dan setahun kemudian dia
meninggal - diempaskan ombak pada batu-batu karang hitam itu, badannya hancur
tersayat dan tergores, sampai meninggal."
Mr. Satterthwaite berteriak kaget. Wanita itu mencondongkan badan ke depan,
matanya membara menatap wajah Mr. Satterthwaite.
"Anda tadi berkata tentang tragedi. Bisakah Anda membayangkan tragedi yang lebih
buruk dari itu" Seorang istri yang masih belia, baru setahun menikah, berdiri
tanpa daya sementara suami yang dikasihinya berjuang mati-matian untuk hidupnya,
kemudian meninggal - tragis, bukan?"
"Tragis sekali," ujar Mr. Satterthwaite. Ia berbicara dengan penuh perasaan.
"Tragis sekali. Saya setuju dengan Anda. Tak ada yang lebih buruk dari itu."
Tiba-tiba wanita itu tertawa. Kepalanya terlempar ke belakang.
"Anda salah," katanya. "Ada yang lebih buruk, yaitu seorang istri yang masih
belia yang berdiri saja, berharap dan berdoa semoga suaminya tenggelam."
"Tapi demi Tuhan," teriak Mr. Satterthwaite, "Anda tidak sungguh-sungguh?"
"Ya, saya sungguh-sungguh. Itulah yang sebenarnya. Saya berlutut di sana berlutut di tepi tebing dan berdoa. Para pembantu Spanyol itu mengira saya
berdoa untuk keselamatannya. Tapi tidak, saya tidak berdoa agar dia
diselamatkan. Sebaliknya saya terus-terusan berdoa, 'Tuhan, tolonglah agar saya
tidak meminta dia mati. Tuhan, tolonglah agar saya tidak meminta dia mati.' Tapi
tak ada gunanya. Sepanjang waktu saya terus berharap - berharap - dan harapan saya
menjadi kenyataan." Ia terdiam selama beberapa saat, kemudian berkata dengan sangat lembut, nada
suaranya berbeda, "Buruk sekali, bukan" Saking buruknya, saya tak pernah bisa
melupakannya. Saya sangat bahagia ketika mengetahui dia benar-benar telah tewas
dan tak bisa kembali untuk menyiksa saya lagi."
"Astaga," kata Mr. Satterthwaite, kaget.
"Saya tahu. Saya terlalu muda untuk menerima perlakuannya. Apa yang saya alami
mestinya terjadi pada orang yang betul-betul sudah dewasa, yang sudah siap untuk
menghadapi keganasan itu. Tak seorang pun tahu bagaimana dia sesungguhnya. Saya
mengira dia hebat sekali ketika pertama kali bertemu dengannya. Saya sangat
bahagia dan bangga ketika dia meminang saya. Tapi segalanya langsung berantakan.
Dia marah pada saya - segala tingkah laku saya salah di matanya, padahal saya
sudah berusaha keras. Kemudian dia mulai menyakiti saya. Membuat saya ketakutan
setengah mati. Itu membuatnya senang. Dia memikirkan berbagai perbuatan... yang
mengerikan. Saya tidak akan menceritakannya pada Anda. Saya rasa, dia punya
kelainan jiwa. Saya sendirian di sini, dalam kekuasaannya, dan kesadisan mulai
menjadi hobinya." Matanya melebar dan gelap. "Yang terburuk adalah bayi saya.
Saya hamil. Tapi karena perbuatannya pada saya, bayi saya meninggal sewaktu
lahir. Bayi saya yang mungil. Saya sendiri nyaris meninggal juga - tapi ternyata
tidak. Padahal saya berharap bisa meninggal."
Mr. Satterthwaite mendecak-decak prihatin.
"Kemudian peristiwa itu terjadi - seperti yang saya ceritakan pada Anda tadi.
Beberapa gadis yang menginap di hotel menantangnya. Begitulah kejadiannya. Semua
orang Spanyol mengatakan padanya bahwa rencananya untuk berenang di laut itu
gila. Tapi dia memang sombong - dia suka pamer. Dan saya... saya melihatnya
tenggelam dan saya senang. Tuhan mestinya tidak boleh membiarkan hal seperti itu
terjadi." Mr. Satterthwaite mengulurkan tangannya yang kecil dan keriput itu, memegang
tangan si wanita. Wanita itu meremasnya dengan keras, seperti yang mungkin
dilakukan oleh seorang anak kecil. Kematangan telah hilang dari wajahnya. Mr.
Satterthwaite dengan gampang bisa melihatnya seperti ketika ia berumur delapan
belas tahun dulu. "Mula-mula rasanya peristiwa itu seperti mimpi indah. Rumah ini jadi milik saya dan saya
bisa tinggal di dalamnya. Tak seorang pun bisa menyakiti saya lagi! Saya yatim
piatu dan tidak punya sanak saudara. Tak ada yang peduli dengan nasib saya. Itu
membuat segalanya lebih mudah. Saya tinggal di sini - di rumah ini - dan rasanya
seperti di surga. Ya, seperti surga. Saya tak pernah sebahagia itu, dan takkan
pernah lagi. Bayangkan, saya bangun di pagi hari dan tahu segalanya akan baikbaik saja - tak ada lagi kesakitan dan teror, tak perlu lagi menebak-nebak apa
yang berikutnya akan dia lakukan pada saya. Ya, betul-betul surga."
Ia berdiam diri untuk waktu lama, dan akhirnya Mr. Satterthwaite berkata,
"Kemudian?" "Saya rasa manusia memang tak pernah puas. Mula-mula kebebasan itu sudah cukup
bagi saya. Tapi beberapa waktu kemudian saya mulai... yah, kesepian, saya rasa.
Saya mulai memikirkan tentang bayi saya yang meninggal. Kalau saja dia tidak
meninggal! Saya menginginkannya untuk diajak bermain-main. Saya ingin ada
seseorang atau sesuatu yang bisa saya ajak bermain-main. Kedengarannya konyol
dan kekanak-kanakan, tapi begitulah."
"Saya mengerti," kata Mr. Satterthwaite serius.
"Sulit menjelaskan kisah selanjutnya. Yah... pokoknya hal itu terjadi. Ada
seorang pemuda Inggris menginap di hotel itu. Suatu hari dia tersesat di kebun
saya tanpa sengaja. Saya sedang mengenakan baju Spanyol dan dia mengira saya
gadis Spanyol. Saya merasa geli dan memutuskan untuk berpura-pura menjadi gadis
Spanyol. Bahasa Spanyol-nya buruk sekali, tapi dia bisa bicara sedikit-sedikit.
Saya berkata padanya bahwa rumah ini milik seorang wanita Inggris yang kebetulan
sedang bepergian. Saya berkata wanita itu sempat mengajari saya bahasa Inggris
sedikit, dan saya lantas berpura-pura berbicara dalam bahasa Inggris terpatahpatah. Betul-betul lucu rasanya - menggelikan - bahkan sekarang pun saya masih bisa
merasakannya. Dia mulai merayu saya. Kami sepakat berpura-pura menganggap rumah
ini rumah kami, bahwa kami baru saja menikah dan tinggal di sini. Saya
mengusulkan untuk masuk melalui salah satu kerai jendela - jendela yang Anda coba
tadi sore. Jendela itu memang terbuka dan di dalamnya terdapat ruangan yang
berdebu dan tak terawat. Kami merangkak masuk. Betul-betul menegangkan dan
menyenangkan. Kami berpura-pura ini adalah rumah kami."
Ia berhenti dengan tiba-tiba, memandang iba pada Mr. Satterthwaite.
"Saat itu terasa indah - seperti dongeng. Dan yang lebih indah bagi saya adalah
karena kejadian itu tidaklah nyata. Memang tidak."
Mr. Satterthwaite mengangguk. Ia bisa melihat wanita itu, mungkin lebih jelas
ketimbang ia melihat dirinya sendiri - seorang anak yang ketakutan, kesepian, dan
menganggap khayalannya itu aman karena tidak nyata.
"Saya rasa dia Sebenarnya pemuda yang biasa-biasa saja. Cuma bertualang, tapi
dia betul-betul manis. Kami terus berpura-pura."
Ia berhenti, menatap Mr. Satterthwaite lagi dan meneruskan,
"Anda mengerti" Kami terus berpura-pura."
Ia melanjutkan lagi setelah diam selama semenit. "Dia muncul lagi di rumah ini
keesokan harinya. Saya melihatnya dari balik kerai jendela kamar tidur saya.
Tentu saja dia tidak tahu saya ada di dalam. Dia masih mengira saya gadis petani
Spanyol. Dia berdiri di sana, memandang ke sekelilingnya. Dia memang meminta
saya menemuinya. Saya bilang mau, tapi sesungguhnya saya tidak bermaksud
demikian." "Dia berdiri di sana dengan cemas. Saya kira dia mencemaskan saya. Sungguh baik
dia mau mencemaskan saya. Ah, dia memang baik."
Ia berhenti lagi. "Keesokan harinya dia pulang. Saya tak pernah bertemu dengannya lagi."
"Bayi saya lahir sembilan bulan kemudian. Saya senang sekali. Bisa memiliki bayi
dengan tenang, tanpa seorang pun yang bisa melukai atau menyengsarakan saya.
Saya berharap dulu sempat menanyakan nama pemuda Inggris itu. Saya akan menamai
anak saya dengan namanya. Rasanya tidak sopan kalau saya tidak melakukannya.
Tidak adil. Dia telah memberi saya sesuatu yang sangat saya idam-idamkan di
dunia ini, dan dia takkan pernah mengetahuinya! Tapi saya berkata dalam hati
bahwa dia tidak akan menganggapnya demikian. Kalau dia tahu, dia pasti akan
merasa kesal dan cemas. Saya ini cuma sekadar kesenangan belaka baginya, itu
saja." "Dan bayi itu?" tanya Mr. Satterthwaite.
"Dia betul-betul hebat. Saya menamainya John. Hebat. Saya harap Anda bisa
melihatnya sekarang. Dia sudah dua puluh tahun. Dia akan menjadi insinyur
pertambangan. Dia anak terbaik dan tersayang di dunia ini bagi saya. Saya
mengatakan padanya bahwa ayahnya telah meninggal sebelum dia dilahirkan."
Mr. Satterthwaite menatapnya. Kisah yang aneh. Dan rasanya belum diceritakan
dengan lengkap. Ia yakin masih ada lanjutannya.
"Dua puluh tahun adalah waktu yang lama," katanya sambil merenung. "Anda tidak
pernah berpikir untuk menikah lagi?"
Wanita itu menggeleng. Warna merah yang hangat pelan-pelan merayapi pipinya.
"Anak itu sudah cukup bagi Anda - selalu?"
Ia menatap Mr. Satterthwaite. Matanya terlihat lebih lembut daripada sebelumnya.
"Memang aneh!" gumamnya. "Aneh sekali. Anda mungkin takkan percaya - tidak, saya
salah, Anda mungkin menganggapnya begitu. Saya tidak mencintai ayah John, tidak
saat itu. Saya rasa saya bahkan tidak mengetahui apakah cinta itu. Saya
menganggap anak itu akan menjadi seperti saya. Tapi nyatanya dia bisa dibilang
seperti bukan anak saya sama sekali. Dia seperti ayahnya - betul-betul mirip. Saya
jadi belajar mengenal laki-laki itu - melalui anaknya. Melalui anak itu, saya
belajar mencintainya. Saya mencintainya sekarang. Dan akan selalu mencintainya.
Anda boleh berkata bahwa ini hanyalah imajinasi saya belaka, bahwa saya hanya
membayang-bayangkan sebuah sosok ideal, tapi tidak. Saya mencintainya, manusia
yang nyata. Saya pasti mengenalnya kalau saya menjumpainya besok pagi - meskipun
kami sudah berpisah selama dua puluh tahun. Mencintainya telah membuat saya
menjadi seorang wanita. Saya mencintainya seperti seorang wanita mencintai
seorang pria. Selama dua puluh tahun saya hidup dengan mencintainya. Dan saya
akan terus mencintainya sampai mati."
Ia berhenti dengan tiba-tiba - kemudian menantang pendengarnya.
"Menurut Anda, apakah saya sudah gila - mengatakan hal-hal itu?"
"Oh! anakku," kata Mr. Satterthwaite. Ia memegang tangan wanita itu lagi.
"Jadi, Anda mengerti?"
"Saya rasa ya. Tapi ada sesuatu yang lebih dari itu, bukan" Sesuatu yang belum
Anda ceritakan pada saya?"
Wanita itu mengerutkan dahi.
"Ya, ada sesuatu. Anda pintar sekali bisa menebaknya. Saya langsung tahu bahwa
orang tidak bisa menyembunyikan sesuatu dari Anda. Tapi saya tidak mau
menceritakannya pada Anda - dan alasannya karena ini adalah yang terbaik bagi
Anda." Mr. Satterthwaite menatapnya. Wanita itu membalas tatapan Mr. Satterthwaite
dengan berani dan teguh. Mr. Satterthwaite berkata dalam hati, "Ini suatu ujian. Semua petunjuk sudah ada
di tanganku. Aku mestinya tahu. Kalau aku menganalisisnya dengan tepat, aku
pasti tahu." Hening sejenak, kemudian ia berkata pelan,
"Ada yang tidak beres, bukan?" Ia melihat kelopak mata wanita itu bergetar
sekilas dan ia tahu ia berada pada jalur yang benar.
"Ada sesuatu yang tidak beres - tiba-tiba - setelah bertahun-tahun ini." Ia merasa
seperti sedang berusaha meraih sesuatu - dari dasar hati wanita itu, tempat ia
berusaha menyembunyikan sebuah rahasia dari dirinya.
"Anak itu - pasti ada kaitannya dengannya. Anda takkan memasalahkan lain-lainnya"
Ia mendengar napas wanita itu tersentak lirih dan tahu tebakannya benar.
Tindakan yang jahat, tapi perlu. Ini soal keteguhan hati. Wanita itu memiliki
keteguhan yang kuat dan keras, tapi Mr. Satterthwaite juga mempunyai keteguhan
di balik sikapnya yang lembut. Dan ia juga didukung oleh seorang laki-laki yang
dikirim dari surga, yang membantunya melakukan tindakan yang tepat. Urusan
detektif ini, menggabung-gabungkan petunjuk, menggali-gali kebenaran, kesenangan
luar biasa kalau berhasil. Keteguhan wanita itu untuk merahasiakan kebenarannya
itu malah menolongnya. Mr. Satterthwaite merasa wanita itu jadi semakin keras
hati, sementara ia berhasil menggali lebih dalam lagi.
"Anda berkata lebih baik kalau saya tidak tahu. Lebih baik untuk saya" Sikap
Anda tidaklah adil. Anda bukannya hendak membuat saya merasa tidak enak hati.
Masalahnya lebih dari itu, bukan" Saya merasa Anda telah menjadikan saya kakitangan Anda. Kedengarannya seperti suam tindak kejahatan. Hebat! Saya tidak mau
terlibat kejahatan apa pun dengan Anda. Kecuali satu jenis kejahatan saja
Kejahatan yang berkaitan dengan diri Anda sendiri."
Tanpa sadar wanita itu mengatupkan kelopak matanya, menutupi matanya. Mr.
Satterthwaite mencondongkan badan ke depan dan memegang pergelangan tangannya.
"Ternyata itu rahasianya! Anda berencana untuk bunuh diri."
Wanita itu berteriak kecil.
"Bagaimana Anda tahu" Bagaimana?"
"Tapi kenapa" Anda tidak bosan hidup. Saya tidak melihat kebosanan pada diri
Anda." Wanita itu berdiri, berjalan menuju jendela sambil mengibaskan rambutnya yang
hitam ke belakang. "Karena Anda telah menebaknya, lebih baik saya berterus terang. Saya seharusnya
tidak mengundang Anda masuk sore ini. Saya mestinya tahu Anda akan menebak
rencana saya. Anda orang seperti itu. Anda benar tentang alasannya. Memang anak
itu. Dia tidak tahu apa-apa. Tapi terakhir kali dia pulang, dia bercerita secara
tragis tentang temannya, dan saya jadi mengetahui sesuatu. Kalau dia tahu
dirinya anak haram, dia pasti hancur. Dia pemuda yang bergengsi tinggi - sangat
tinggi! Lalu ada gadis itu. Oh! Saya tidak akan menceritakannya dengan rinci.
Tapi dia akan segera kemari, dan dia pasti ingin tahu segalanya tentang ayahnya,
sampai serinci-rincinya. Kalau dia tahu yang sebenarnya, dia pasti memutuskan
hubungan dengan gadis itu, menutup diri, menghancurkan hidupnya. Oh! saya tahu
apa yang akan Anda katakan. Dia masih muda, konyol, dan keras hati kalau sampai
bertindak demikian! Mungkin itu benar. Tapi apakah masalah kalau dia memang
dilahirkan untuk bersikap demikian" Dia adalah dirinya. Hatinya akan terluka.
Tapi misalnya, sebelum dia datang kemari, terjadi suatu kecelakaan, semua orang
akan berduka untuk saya. Dia akan memeriksa surat-surat saya, tidak menemukan
apa-apa, jengkel karena saya tidak banyak bercerita padanya. Tapi dia tidak akan
mencurigai kebenarannya. Ini cara terbaik. Kita memang harus berkorban demi
kebahagiaan, dan saya sudah mendapatkan begitu banyak - oh! begitu banyak
kebahagiaan. Dan sesungguhnya harga yang harus saya tebus tidaklah sulit.
Sedikit keberanian - melompat - mungkin saya hanya sempat merasakan penderitaan
sedikit saja." "Tapi..." "Jangan menasihati saya." Ia menatap tegas pada Mr. Satterthwaite. "Saya tidak
mau mendengarnya. Hidup saya adalah milik saya sendiri. Sampai sekarang, saya
memang masih memerlukannya - demi John. Tapi dia sudah tidak membutuhkannya lagi
sekarang. Dia butuh pasangannya - seorang teman. Dia akan berpaling pada gadis itu
dengan lebih sukarela kalau saya tidak ada. Hidup saya sudah tidak berguna, tapi
kematian saya akan berguna. Dan saya berhak memperlakukan hidup saya sesuka
hati." "Apakah Anda yakin?"
Nada suara Mr. Satterthwaite yang keras membuatnya heran. Ia menyahut dengan
sedikit terbata-bata. "Kalau hidup saya memang sudah tidak berguna bagi siapa pun, tentunya saya yang
paling tahu tentang hal itu..."
Mr. Satterthwaite menyelanya lagi.
"Tidak mesti begitu."
"Apa maksud Anda?"
"Dengarkan. Saya akan mengemukakan suatu kasus pada Anda. Seorang laki-laki
datang ke suatu tempat tertentu - katakan, untuk bunuh diri. Tapi secara kebetulan
dia bertemu seseorang di sana, jadi dia gagal melaksanakan niatnya dan pergi untuk hidup. Orang kedua itu telah menyelamatkan hidup laki-laki itu, bukan
karena dia merasa perlu atau penting untuk melakukannya, tapi hanya karena dia
ada di sana pada suatu tempat tertentu dan pada saat tertentu pula. Anda bisa
bunuh diri hari ini, tapi misalkan lima. enam, atau tujuh tahun kemudian,
seseorang harus meninggal atau mengalami kecelakaan gara-gara Anda tidak ada di
Mr Quin Yang Misterius The Mysterious Mr. Quin Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sana pada suatu tempat tertentu... Mungkin ada seekor kuda, yang lari kencang di
jalanan, yang kemudian berbelok karena melihat Anda, sehingga tidak jadi
menabrak seorang anak kecil yang waktu itu sedang bermain-main di tepi jalan.
Anak itu mungkin akan tumbuh menjadi seorang musikus tenar, atau menemukan obat
untuk penyakit kanker. Atau mungkin tidak sedramatis itu. Anak itu mungkin
tumbuh dan mengalami kebahagiaan sehari-hari...."
Wanita itu menatapnya. "Anda orang yang aneh. Kata-kata Anda tadi - saya tak pernah memikirkannya."
"Anda berkata hidup Anda adalah milik Anda seorang," lanjut Mr. Satterthwaite.
"Tapi beranikah Anda menyangkal kenyataan bahwa Anda adalah bagian dari suatu
drama besar yang disutradarai oleh Tuhan Yang Mahakuasa" Peran bagi Anda mungkin
baru akan muncul pada babak akhir drama itu - mungkin hanya peran sepele,
sekelebat, tapi peran Anda. itu mungkin adalah bagian penting dalam drama
tersebut, karena Anda harus memberi tanda bagi pemain lainnya. Seluruh drama itu
bisa hancur berantakan. Anda sebagai Anda, mungkin tidak berarti bagi siapa pun
di dunia ini, tapi Anda sebagai orang pada suatu tempat tertentu mungkin sangat
besar artinya." Wanita itu duduk, masih terus menatap.
"Menurut Anda, saya harus bagaimana?" tanyanya.
Ini adalah saat kemenangan bagi Mr. Satterthwaite. Ia memberikan perintah.
"Saya ingin Anda berjanji pada saya, jangan mengambil tindakan sembrono dalam 24
jam ini." Wanita itu terdiam sejenak, kemudian berkata, "Saya berjanji."
"Ada satu hal lagi - saya butuh pertolongan."
"Ya?" "Biarkan kerai jendela ruangan yang saya masuki tadi tetap terbuka, dan berjagajagalah di sana." Wanita itu menatapnya heran, tapi kemudian mengangguk tanpa bertanya-tanya.
"Dan sekarang," kata Mr. Satterthwaite, sedikit sadar akan antiklimaksnya, "saya
harus minta diri. Tuhan memberkati Anda."
Mr. Satterthwaite keluar dengan agak tersipu-sipu. Gadis pelayan Spanyol
berperawakan kekar itu mengantarnya keluar dan membukakan pintu untuknya, sambil
terus menatapnya heran. Hari sudah menjelang gelap ketika Mr. Satterthwaite sampai di hotel. Ia melihat
sebuah sosok sedang duduk sendirian di teras. Mr. Satterthwaite langsung
mendekatinya. Ia merasa tegang dan jantungnya berdegup kencang. Ia tahu suatu
persoalan besar sekarang terletak dalam tangannya. Salah langkah sekali saja...
Tapi ia berusaha menyembunyikan ketegangannya dan berbicara dengan santai dan
wajar pada Anthony Cosden.
"Sore yang hangat, bukan?" sapanya. "Saya sampai lupa waktu, duduk terus di
puncak tebing itu." "Apakah Anda di sana terus sepanjang waktu?"
Mr. Satterthwaite mengangguk. Pintu putar hotel itu terbuka karena ada orang
yang hendak masuk; secercah sinar jatuh menimpa Anthony Cosden, menerangi
wajahnya yang tampak kusam, merana, dan jemu.
Mr. Satterthwaite berpikir dalam hati, "Ini lebih buruk baginya ketimbang
bagiku. Bayangan, perkiraan, dugaan - semuanya bisa berguna. Kita bisa melipur
penderitaan. Tapi penderitaan seekor binatang yang tak bisa memahami apa pun - itu
buruk sekali." Cosden tiba-tiba berkata dengan suara serak,
"Saya akan berjalan-jalan setelah makan malam. Anda... Anda mengerti" Saat yang
ketiga biasanya menguntungkan. Demi Tuhan, jangan ikut campur. Saya tahu Anda
bermaksud baik, tapi jangan lakukan itu terhadap saya. Tidak ada gunanya."
Mr. Satterthwaite menegakkan badan.
"Saya tidak pernah ikut campur," katanya, sudah jelas suatu dusta bagi tujuan
dan keberadaannya di dunia.
"Saya tahu apa yang Anda pikirkan...," Cosden melanjutkan, tapi Mr.
Satterthwaite menyelanya.
"Anda harus memaafkan saya, tapi saya tidak sependapat dengan Anda," katanya.
"Tak seorang pun tahu apa yang dipikirkan orang lain. Kita mungkin mengira
demikian, tapi sering kali kita salah."
"Yah, mungkin saja." Cosden tampak ragu, agak terkejut.
"Pikiran hanya menjadi milik orang yang bersangkutan," kata Mr. Satterthwaite.
"Tak seorang pun bisa mengubah atau mempengaruhinya, kecuali Anda sendiri. Mari
kita membicarakan topik lain yang lebih menyenangkan. Misalnya, rumah kuno itu.
Indah, tertutup, terkucil dari dunia luar, seolah-olah mengandung misteri. Saya
jadi tergoda untuk bertindak. Tadi saya mencoba membuka salah sebuah kerai
jendela." "O ya?" Cosden memalingkan wajahnya dengan tajam. "Tapi tertutup, bukan?"
"Tidak," sahut Mr. Satterthwaite. "Jendela itu terbuka." Ia menambahkan dengan
pelan, "Jendela ketiga dari ujung."
"Astaga," teriak Cosden, "itu kan jendela..."
Ia berhenti dengan tiba-tiba, tapi Mr. Satterthwaite telah melihat cahaya yang
memancar dari matanya. Ia berdiri - puas.
Sedikit rasa cemas masih menghantui dirinya.
Tapi dengan menggunakan kiasan favoritnya untuk drama, ia berharap telah
mengucapkan kata-katanya dengan tepat, karena kata-kata itu penting sekali
artinya. Ia menganalisis semuanya dan merasa puas. Ketika Cosden mendaki tebing itu, ia
pasti akan mencoba membuka kerai jendela tersebut. Naluri manusiawinya pasti
tergoda. Sebuah kenangan dua puluh tahun lalu telah membawanya ke tempat ini,
kenangan yang sama akan membawanya pada kerai jendela itu. Dan sesudahnya"
"Aku akan tahu besok pagi," kata Mr. Satterthwaite, dan ia melanjutkan makan
malamnya dengan nikmat. Baru sekitar pukul 10.00 pagi keesokan harinya Mr. Satterthwaite melangkahkan
kaki sekali lagi ke dalam kebun di La Paz. Sambil tersenyum Manuel menyapanya,
"Selamat pagi", dan memberinya sekuntum mawar yang dengan hati-hati diselipkan
oleh Mr. Satterthwaite pada kerah jasnya. Kemudian ia berjalan menuju rumah itu.
Ia berdiri di sana selama beberapa menit, memandang dinding-dinding putih yang
tenang itu, tanaman yang merambat, dan kerai hijau yang pudar tersebut. Begitu
tenang, begitu damai. Apakah segalanya hanya mimpi belaka"
Tapi tepat saat itu salah sebuah jendela terbuka dan wanita yang menghantui
pikiran Mr. Satterthwaite menghambur keluar Ia langsung menghampiri dirinya
dengan berlari girang, bagaikan orang yang hendak menyampaikan berita gembira.
Matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri-seri. Ia tampak seperti lukisan yang
ceria. Tak ada keraguan dalam sikapnya, tak ada kecemasan atau kepedihan. Ia
langsung menghampiri Mr. Satterthwaite, memegang bahunya, dan menciumnya - tidak
hanya sekali, melainkan berkali-kali. Bunga mawar merah, besar, dan berdaun
bunga lembut bak beludru - begitulah perasaan Mr. Satterthwaite tentang ciumanciumannya. Sinar matahari, musim panas, nyanyian burung - situlah suasana yang
dirasakan Mr. Satterthwaite. Hangat, bahagia, dan penuh semangat.
"Saya bahagia sekali," kata wanita itu. "Anda betul-betul baik! Bagaimana Anda
tahu" Bagaimana Anda bisa tahu" Anda seperti peri yang baik dalam dongengdongeng." Ia berhenti, agak terengah-engah karena kebahagiaannya.
"Hari ini kami akan pergi - ke Catatan Sipil - untuk menikah. Kalau John datang
nanti, ayahnya akan ada di sini. Kami akan bercerita padanya tentang
kesalahpahaman di masa lalu. Oh! Dia takkan bertanya apa-apa. Oh! Saya bahagia
sekali - bahagia sekali - bahagia sekali."
Kebahagiaan memang memancar dari dirinya, seperti sinar. Mr. Satterthwaite pun
turut merasakannya. "Anthony senang sekali mengetahui dia punya anak laki-laki. Saya tak pernah
membayangkan dia akan peduli." Ia menatap mata Mr. Satterthwaite. "Aneh, bukan,
betapa semuanya berakhir dengan benar dan indah?"
Mr. Satterthwaite bisa melihatnya dengan jelas. Seorang anak - memang masih anakanak - dengan khayalannya yang indah dan kisah dongengnya yang berakhir dengan
"dan mereka hidup bahagia sampai selama-lamanya".
Ia berkata lembut, "Kalau Anda memberikan kebahagiaan baginya dalam beberapa bulan berikut ini,
Anda sudah pasti telah melakukan sesuatu yang indah sekali."
Matanya membelalak heran.
"Oh!" katanya. "Anda tidak mengira saya akan membiarkannya meninggal, bukan"
Setelah bertahun-tahun ini - dan sekarang dia sudah di samping saya. Saya mengenal
banyak orang yang kata dokter sudah tidak berpengharapan lagi, tapi nyatanya
masih hidup sampai hari ini. Meninggal" Tentu saja dia takkan meninggal!"
Ia memandang Mr. Satterthwaite - kekuatannya, kecantikannya, semangatnya,
keberanian dan keteguhannya yang luar biasa. Mr. Satterthwaite sendiri tahu
dokter bisa saja salah. Faktor kepribadian itu - kita takkan pernah bisa
mengetahuinya dengan yakin.
Wanita itu berkata lagi dengan suara menyindir, tapi terdengar geli,
"Anda tidak mengira saya akan membiarkannya meninggal, bukan?"
"Tidak," sahut Mr. Satterthwaite pelan sekali. "Entah kenapa, saya tidak mengira
demikian." Akhirnya Mr. Satterthwaite menyusuri jalan setapak berpagarkan pohon-pohon
cemara itu, menuju bangku yang menghadap ke laut dan menemukan orang yang
diharap-harapkannya di sana. Mr. Quin berdiri dan menyapanya - sama seperti dulu,
gelap, serius, tersenyum, dan sedih.
"Anda mengharapkan saya?" tanyanya.
Dan Mr. Satterthwaite menyahut, "Ya, saya mengharapkan Anda."
Mereka duduk bersama di bangku itu.
"Saya dengar Anda telah memainkan peran Anda sekali lagi?" kata Mr. Quin.
Mr. Satterthwaite menatapnya sebal.
"Anda seperti tidak tahu sama sekali mengenainya."
"Anda selalu menuduh ketidakterlibatan saya," kata Mr. Quin, tersenyum.
"Kalau Anda tidak tahu apa-apa, lantas kenapa Anda berada di sini pada malam
kemarin dulu itu - menunggu?" tantang Mr. Satterthwaite.
"Oh, itu?" "Ya, itu." "Saya mendapat... tugas."
"Untuk siapa?" "Anda kadang-kadang menyebut saya perantara orang mati."
"Orang mati?" tanya Mr. Satterthwaite, sedikit bingung. "Saya tidak mengerti."
Mr. Quin menunjuk dengan jarinya yang kurus dan panjang pada laut biru di bawah
sana. "Seorang laki-laki tenggelam di sana 22 tahun yang lalu."
"Saya tahu, tapi saya tidak melihat..."
"Misalkan, bagaimanapun, laki-laki itu mencintai istrinya yang masih muda. Cinta
bisa membuat seorang laki-laki menjadi setan ataupun malaikat. Wanita itu
memujanya dengan cara kekanak-kanakan. Laki-laki itu tak pernah bisa menyentuh
sifat kewanitaan pada diri istrinya, dan itu membuatnya berang. Dia menyiksa
istrinya karena dia mencintainya. Hal itu bisa terjadi. Anda tahu itu, seperti
saya mengetahuinya."
"Ya," Mr. Satterthwaite mengakui, "saya pernah melihat kejadian seperti itu,
tapi jarang - jarang sekali."
"Dan Anda juga pernah melihat, lebih sering lagi, bahwa ada yang namanya
penyesalan - keinginan untuk memperbaiki dengan cara apa pun."
"Ya, tapi kematian datang terlalu cepat...."
"Kematian!" Suara Mr. Quin terdengar marah. "Anda percaya adanya kehidupan
setelah mati, bukan" Dan menurut Anda, apakah orang yang sudah mati tidak
memiliki keinginan, niat yang sama dengan mereka yang masih hidup" Kalau
keinginan itu cukup kuat, seorang perantara bisa didapat."
Suaranya menghilang. Mr. Satterthwaite berdiri, agak gemetar.
"Saya harus kembali ke hotel," katanya "Apakah Anda juga akan ke sana?"
Tapi Mr. Quin menggeleng.
"Tidak," katanya. "Saya akan kembali ke tempat mana saya datang."
Ketika Mr. Satterthwaite berpaling ke belakang, ia melihat temannya berjalan
menuju tepi tebing. Bab 7 SUARA DALAM KEGELAPAN I "AKU agak cemas terhadap Margery," kata Lady Stranleigh.
"Putriku, kau tahu," tambahnya.
Ia mengeluh sambil terpekur.
"Rasanya sudah tua sekali kalau kita punya putri yang sudah dewasa."
Mr. Satterthwaite, yang terbiasa menjadi penerima keluhan-keluhan seperti itu,
bangkit berdiri dengan sopan.
"Tak seorang pun bisa mempercayainya," katanya sambil membungkuk kecil.
"Dasar perayu," kata Lady Stranleigh, tapi ia mengatakannya dengan lirih, jelas
bahwa pikirannya sedang berada di tempat lain.
Mr. Satterthwaite memandang tubuh ramping yang terbungkus gaun putih ketat itu
dengan penuh kekaguman. Matahari Cannes yang terang benderang menyinarinya, tapi
Lady Stranleigh berhasil melalui ujian itu dengan baik sekali. Dari kejauhan, ia
betul-betul tampak seperti remaja. Orang bisa bertanya-tanya, apakah ia
sebenarnya sudah dewasa atau belum. Mr. Satterthwaite, yang mengetahui
segalanya, tahu bahwa Lady Stranleigh sebenarnya sudah pantas punya cucu-cucu
yang telah dewasa. Ia adalah simbol keberhasilan melawan alam. Tubuhnya betulbetul hebat, kulitnya halus sekali. Ia telah memperkaya banyak salon kecantikan
dan sudah jelas hasilnya juga betul-betul mencengangkan.
Lady Stranleigh menyalakan sebatang rokok, melipat kaki indahnya yang berbalut
stocking sutra tipis sekali dan menggumam, "Ya, aku memang agak cemas dengan
Margery." "Astaga," kata Mr. Satterthwaite, "apa sih masalahnya?"
Lady Stranleigh memutar matanya yang biru dan indah itu ke arahnya.
"Kau belum pernah bertemu dengannya, bukan" Dia putri Charles," tambahnya
menjelaskan. Kalau artikel tentang "Orang-orang Beken" bisa seratus persen dipercaya, maka
artikel yang menyangkut Lady Stranleigh mungkin akan berakhir sebagai berikut:
hobi: menikah. Ia sering berganti-ganti suami. Ia telah kehilangan tiga suami
karena perceraian dan satu karena kematian.
"Kalau dia putri Rudolf, aku pasti mengerti," kata Lady Stranleigh dengan geli.
"Kauingat Rudolf" Dia memang temperamental. Enam bulan setelah kami menikah, aku
harus membiasakan diri dengan hal-hal aneh itu - apa ya sebutannya" Pernikahan
unik, kau mengerti maksudku, kan" Syukur, zaman sekarang semuanya lebih gampang.
Aku ingat harus menulis surat yang konyol sekali padanya - boleh dibilang,
pengacaraku yang mendiktekannya padaku. Memintanya kembali, kau tahu, dan bahwa
aku akan melakukan semua yang bisa kulakukan, dan sebagainya. Tapi Rudolf tak
pernah bisa diharapkan. Dia begitu temperamental. Dia langsung pulang ke rumah
dengan terburu-buru, padahal itu salah, dan bukan itu yang dimaksud oleh para
pengacara itu." Ia mengeluh. "Bagaimana dengan Margery?" tanya Mr. Satterthwaite, dengan cerdik membimbingnya
kembali pada topik yang akan dibahasnya tadi.
"Oh ya. Aku baru saja mau cerita padamu, kan" Margery mulai melihat yang tidaktidak, atau mendengarnya. Hantu, kau tahu, dan sejenisnya. Aku tak pernah
membayangkan Margery bisa berkhayal seperti itu. Dia anak baik, selalu begitu
dari dulu, tapi biasa-biasa saja - membosankan."
"Tak mungkin," gumam Mr. Satterthwaite, bingung harus mengatakan apa.
"Sebenarnya malah sangat membosankan," kata Lady Stranleigh. "Tak peduli dengan
pesta, atau apa pun yang mestinya disukai remaja seumurnya. Dia jauh lebih suka
tinggal di rumah untuk berburu ketimbang datang kemari bersamaku."
"Yah, yah," kata Mr. Satterthwaite, "jadi dia tidak mau datang kemari
bersamamu?" "Yah, aku memang tidak terlalu memaksanya. Anak perempuan membuatku tertekan."
Mr. Satterthwaite mencoba membayangkan Lady Stranleigh datang dengan ditemani
seorang anak perempuan yang serius, tapi gagal.
"Aku jadi berpikir-pikir, apa Margery sudah gila," lanjut Lady Stranleigh dengan
suara riang. "Mendengar suara-suara adalah gejala buruk, begitu kata orang.
Abbot's Mede toh tidak berhantu. Bangunan pertama terbakar habis pada tahun
1836, kemudian mereka mendirikan sebuah kastil lagi dengan gaya Victoria, yang
sudah pasti tidak ada hantunya. Terlalu jelek dan biasa."
Mr. Satterthwaite terbatuk. Ia ingin tahu kenapa ia diceritai semua itu.
"Kupikir mungkin kau bisa menolongku," kata Lady Stranleigh sambil tersenyum
cerah padanya. "Aku?" "Ya. Kau akan pulang ke Inggris besok, bukan?"
"Ya, itu memang betul," Mr. Satterthwaite mengakui dengan waspada.
"Dan kau kenal para peneliti kejiwaan itu. Tentu saja kau kenal, kau kan kenal
setiap orang." Mr. Satterthwaite tersenyum kecil. Memang salah satu kelemahannya adalah
Mr Quin Yang Misterius The Mysterious Mr. Quin Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengenal setiap orang. "Jadi, gampang, bukan?" lanjut Lady Stranleigh. "Aku tak pernah bisa berhadapan
dengan orang-orang itu. Kau tahu - laki-laki serius berjanggut, yang biasanya juga
berkacamata. Mereka biasanya canggung bila berhadapan denganku, dan aku juga
tidak tahu harus bagaimana dengan mereka."
Mr. Satterthwaite agak terkejut, Lady Stranleigh terus tersenyum cerah padanya.
"Jadi, beres bukan?" tanyanya ceria. "Kau akan pergi ke Abbot's Mede, menemui
Margery, dan mengatur segalanya. Aku akan sangat berterima kasih padamu. Tentu
saja kalau Margery memang sudah gila, aku akan pulang. Ah! ini dia Bimbo."
Senyumnya berubah dari cerah menjadi memesona.
Seorang pemuda yang mengenakan celana tenis menghampiri mereka. Umurnya sekitar
25 tahun dan betul-betul ganteng.
Pemuda itu berkata singkat,
"Aku sudah mencarimu ke mana-mana, Yang."
"Bagaimana tenisnya tadi?"
"Buruk sekali."
Lady Stranleigh berdiri. Ia menoleh ke belakang dan menggumam manja pada Mr.
Satterthwaite. "Kau betul-betul baik hati mau menolongku. Aku takkan
melupakannya." Mr. Satterthwaite memandang pasangan yang menjauh itu.
"Aku ingin tahu," katanya dalam hati dengan geli, "apakah Bimbo akan menjadi
yang No. 5." II Kondektur Kereta Api de Luxe sedang menunjukkan pada Mr. Satterthwaite tempat
sebuah kecelakaan pernah terjadi beberapa tahun sebelumnya. Ketika ia selesai
menceritakan kisahnya itu, Mr. Satterthwaite mendongak dan melihat seraut wajah
yang telah begitu dikenalnya, sedang tersenyum ke arahnya dari balik bahu si
kondektur. "Mr. Quin," sapa Mr. Satterthwaite.
Wajahnya yang kecil dan berkeriput menampakkan senyuman.
"Kebetulan sekali! Bayangkan, kita berdua ada di kereta yang sama menuju
Inggris. Anda ke sana, bukan?"
"Ya," sahut Mr. Quin. "Saya punya urusan yang agak penting sifatnya di sana.
Apakah Anda akan mengambil giliran makan malam yang pertama?"
"Saya memang selalu mengambil giliran pertama. Waktunya agak aneh - 18.30, tapi
risiko masakannya lebih kecil."
Mr. Quin mengangguk menyetujui.
"Saya juga," katanya. "Mungkin bisa diatur agar kita bisa duduk bersama."
Pada pukul 18.30, Mr. Quin dan Mr. Satterthwaite duduk berhadap-hadapan di
sebuah meja kecil di gerbong restorasi. Mr. Satterthwaite membaca dengan saksama
daftar minuman anggur, kemudian beralih pada temannya.
"Saya tidak pernah bertemu dengan Anda sejak... ah, ya, sejak Corsica. Anda
berangkat dengan tiba-tiba hari itu."
Mr. Quin angkat bahu. "Seperti biasanya. Saya datang dan pergi, Anda tahu. Saya datang dan pergi."
Kata-kata itu serasa membangkitkan ingatan Mr. Satterthwaite. Bulu kuduknya
terasa merinding - bukan karena perasaan yang tidak menyenangkan, sebaliknya
malah. Ia senang sekali dan penuh harapan.
Mr. Quin sedang memegang sebotol anggur merah, memeriksa labelnya. Botol itu
terletak di antara dirinya dan lampu, dan selama beberapa menit sinar merah
menerangi wajahnya. Mr. Satterthwaite sekali lagi merasakan kegembiraan dalam hatinya.
"Saya juga punya misi di Inggris," katanya, tersenyum lebar mengingat hal itu.
"Anda mungkin mengenal Lady Stranleigh?"
Mr. Quin menggeleng. "Gelar itu sudah tua," kata Mr. Satterthwaite, "sangat tua. Salah satu yang bisa
diwariskan pada keturunan perempuan. Dia bangsawan sejati. Asal-usulnya agak
romantis memang." Mr. Quin mengatur duduknya agar lebih nyaman. Seorang pelayan yang berjalan
terhuyung-huyung meletakkan cangkir sup di depan mereka, seolah-olah muncul dari
langit. Mr. Quin menghirup sup itu dengan hati-hati.
"Anda baru saja akan bercerita pada saya dengan keahlian Anda dalam
menggambarkan sesuatu," gumamnya, "betul, kan?"
Mr. Satterthwaite jadi berseri-seri.
"Dia wanita yang mengagumkan," katanya. "Enam puluh tahun, Anda tahu - ya, saya
rasa paling tidak begitulah umurnya. Saya mengenal mereka semenjak masih gadis,
dia dan kakaknya, Beatrice. Beatrice dan Barbara. Saya mengingat mereka sebagai
gadis-gadis Barron. Keduanya cantik dan pada masa-masa itu sangat angkuh. Tapi
itu sudah bertahun-tahun yang lalu - dan saya juga masih muda sekali." Mr.
Satterthwaite mengeluh. "Ada beberapa sanak keluarga sebelum mereka mendapatkan
gelar itu. Lord Stranleigh yang tua itu adalah sepupu pertama yang
tersingkirkan, saya rasa. Kehidupan Lady Stranleigh lumayan romantis. Tiga
kematian mendadak - dua adik laki-laki orang tua itu dan seorang keponakan.
Kemudian ada peristiwa Uralia itu. Anda ingat peristiwa tenggelamnya Uralia"
Kapal itu tenggelam di perairan Selandia Baru. Gadis-gadis Barron itu berada di
kapal tersebut. Beatrice tenggelam. Tapi Barbara termasuk salah satu dari mereka
yang selamat. Enam bulan kemudian, Stranleigh tua itu meninggal dan dia mewarisi
gelar itu serta kekayaan yang lumayan jumlahnya. Sejak saat itu dia hidup untuk
satu hal saja - dirinya! Dia selalu tampak sama, cantik, tak bermoral, betul-betul
tak berperasaan, cuma tertarik pada dirinya sendiri. Dia punya empat suami, dan
saya yakin dia akan segera mendapatkan yang kelima."
Mr. Satterthwaite melanjutkan menjelaskan tentang misinya, yang dipercayakan
padanya oleh Lady Stranleigh.
"Saya berencana mengunjungi Abbot's Mede untuk menemui anak itu," katanya
menjelaskan. "Saya... saya merasa harus ada yang dilakukan tentang masalah itu.
Tak mungkin mengandalkan Lady Stranleigh sebagai ibu yang normal." Ia berhenti,
memandang Mr. Quin. "Saya harap Anda mau menemani saya ke sana," katanya penuh harap. "Apa itu
mungkin?" "Saya khawatir tidak," kata Mr. Quin. "Sebentar, Abbot's Mede itu terletak di
daerah Wiltshire, bukan?"
Mr. Satterthwaite mengangguk.
"Saya juga mengira begitu. Nah, kebetulan saya akan tinggal tidak jauh dari
Abbot's Mede, di suatu tempat yang kita kenal." Ia tersenyum. "Anda ingat
penginapan kecil itu, Bells and Motley?"
"Tentu saja," seru Mr. Satterthwaite, "Anda akan menginap di sana?"
Mr. Quin mengangguk. "Selama seminggu atau sepuluh hari. Mungkin juga lebih
lama. Kalau Anda mau datang dan menemui saya di sana, saya akan senang sekali."
Entah kenapa Mr. Satterthwaite merasa lega sekali setelah mendengar kata-katanya
itu. III "Miss... eh... Margery," kata Mr. Satterthwaite, "saya tidak akan
menertawakanmu." Margery Gale mengerutkan dahinya sedikit. Mereka sedang duduk-duduk di sebuah
ruang keluarga yang luas dan nyaman di Abbot's Mede. Margery Gale adalah gadis
berbadan tegap. Ia sama sekali tidak mirip ibunya, tapi betul-betul berciri
keluarga ayahnya, penunggang-penunggang kuda yang gagah.
Ia tampak segar, utuh, dan waras. Tapi Mr. Satterthwaite teringat bahwa keluarga
Lady Stranleigh punya sifat kecenderungan ketidakstabilan mental. Margery
mungkin mewarisi penampilan fisiknya dari ayahnya, tapi keadaan mentalnya dari
keluarga ibunya. "Saya harap," kata Margery, "saya bisa bebas dari wanita Casson itu. Saya tidak
mempercayai spiritualisme, dan saya juga tidak suka. Dia itu wanita konyol yang
tergila-gila pada kematian. Dia selalu mendesak saya untuk mengundang seorang
medium kemari." Mr. Satterthwaite terbatuk, gelisah sedikit di kursinya, kemudian berkata dengan
sikap resmi, "Tolong ceritakan pada saya semua fakta yang ada. Yang pertama adalah tentang...
eh... kejadian dua bulan yang lalu itu, betul begitu?"
"Sekitar itu," sahut Margery menyetujui. "Kadang-kadang cuma bisikan dan kadangkadang terdengar jelas, tapi yang diucapkan selalu sama."
"Apa itu?" "Kembalikan apa yang bukan milikmu. Kembalikan apa yang telah kaucuri. Setiap
kali suara itu terdengar, saya segera menyalakan lampu, tapi kamar itu selalu
kosong dan tidak ada siapa-siapa di sana. Akhirnya saya jadi senewen dan
menyuruh Clayton, pelayan Ibu, untuk tidur di sofa di kamar saya."
"Tapi suara itu kembali lagi seperti semula?"
"Ya, dan yang menakutkan saya, Clayton tidak mendengarnya."
Mr. Satterthwaite merenungkan hal itu sejenak.
"Suara itu berkata-kata dengan keras atau lembut malam itu?"
"Nyaris seperti bisikan," Margery mengakui. "Kalau Clayton tertidur nyenyak,
saya rasa dia tak mungkin bisa mendengarnya. Dia menyuruh saya menemui dokter."
Gadis itu tertawa kering.
"Tapi sejak kemarin malam Clayton percaya," katanya melanjutkan.
"Apa yang terjadi kemarin malam?"
"Saya baru saja mau bercerita pada Anda. Saya belum bercerita pada siapa-siapa.
Saya keluar seharian kemarin, untuk berburu, dan kami pergi jauh sekali. Saya
betul-betul capek, dan tidur nyenyak. Saya bermimpi - mimpi yang menyeramkan. Saya
bermimpi jatuh dari suatu pagar besi dan salah satu teralis besi itu menusuk
tenggorokan saya perlahan-lahan. Saya terbangun dan sadar bahwa itu memang
terjadi - ada suatu benda tajam menusuk leher saya dari pinggir, dan pada waktu
yang sama ada suara berbisik lirih, 'Kau telah mengambil milikku. Ini kematian.'
"Saya menjerit," Margery melanjutkan, "dan berusaha mencengkeramnya, tapi tidak
ada apa-apa di sana. Clayton mendengar saya menjerit dari kamar tidurnya di
samping kamar saya. Dia buru-buru keluar, dan dia jelas-jelas merasa ada sesuatu
menyentuhnya dalam kegelapan, tapi dia bilang apa pun itu, pokoknya bukan
manusia." Mr. Satterthwaite menatapnya. Gadis itu jelas-jelas sangat terguncang dan takut.
Ia memperhatikan sisi kiri lehernya yang tertempel sebuah plester kecil. Gadis
itu menangkap pandangannya dan mengangguk.
"Ya," katanya, "Anda lihat, ini bukan khayalan saya."
Mr. Satterthwaite bertanya dengan nada minta maaf, karena kedengarannya begitu
dramatis. "Kau tidak mengenal seseorang... eh... seseorang yang menaruh dendam
terhadapmu?" tanyanya.
"Tentu saja tidak," kata Margery. "Ide apa itu!"
Mr. Satterthwaite memulai lagi dari sisi lain.
"Siapa saja yang berkunjung kemari dalam dua bulan terakhir ini?"
"Maksud Anda pasti bukan orang yang cuma berakhir pekan di sini, saya rasa"
Marcia Keane tinggal di sini menemani saya. Dia teman baik saya, juga menyukai
kuda seperti saya. Lalu ada sepupu saya Roley Vavasour, yang sering kali datang
kemari." Mr. Satterthwaite mengangguk. Ia berkata ingin bertemu dengan Clayton, si
pelayan. "Dia sudah lama ikut denganmu, saya rasa?" tanyanya.
"Sudah lama sekali," sahut Margery. "Dia dulu pelayan Ibu dan Bibi Beatrice,
ketika mereka masih gadis. Itu sebabnya Ibu tetap mempekerjakannya, saya rasa,
meskipun dia sendiri mempunyai seorang pelayan Prancis. Clayton bertugas
menjahit dan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan kecil lainnya."
Margery mengajak Mr. Satterthwaite ke loteng dan akhirnya Clayton datang menemui
mereka. Ia bertubuh jangkung dan kurus. Seorang wanita tua berambut kelabu yang
terbelah rapi serta kelihatannya sangat terhormat.
"Tidak, Sir," katanya menjawab pertanyaan Mr. Satterthwaite. "Saya tidak pernah
mendengar kalau rumah ini ada hantunya. Terus terang, Sir, saya dulu mengira ini
cuma khayalan Miss Margery, sampai kemarin malam. Saya sungguh-sungguh merasakan
sesuatu... menyentuh saya dalam kegelapan. Dan menurut saya, Sir, apa pun itu,
pokoknya bukan manusia. Lagi pula ada luka di leher Miss Margery. Dia tak
mungkin melukai dirinya sendiri, anak malang."
Kata-katanya memberi gagasan pada Mr. Satterthwaite. Apa mungkin Margery
menimbulkan luka itu sendiri" Ia pernah mendengar kasus-kasus aneh di mana anakanak perempuan yang tampaknya waras dan seimbang seperti Margery, ternyata
melakukan perbuatan aneh-aneh.
"Luka itu akan segera sembuh," kata Clayton. "Tidak seperti bekas luka saya
ini." Ia menunjukkan bekas luka di dahinya.
"Ini terjadi empat puluh tahun yang lalu, Sir. Saya masih menanggung bekasnya."
"Itu saat Uralia tenggelam," Margery menyela. "Kepala Clayton terbentur tiang,
betul kan, Clayton?"
"Ya, Miss." "Menurutmu sendiri bagaimana, Clayton?" tanya Mr. Satterthwaite. "Menurutmu apa
arti dari penyerangan terhadap Miss Margery ini?"
"Saya tak ingin mengatakannya, Sir."
Mr. Satterthwaite tahu jawabannya adalah jawaban seorang pelayan yang terlatih.
"Sesungguhnya bagaimana menurutmu, Clayton?" desaknya terus.
"Saya rasa, Sir, ada sesuatu yang sangat keji yang pernah dilakukan di rumah
ini, dan kalau itu tidak dihapuskan, takkan ada kedamaian sama sekali."
Wanita itu berbicara dengan serius, matanya yang biru pucat menatap Mr.
Satterthwaite tak berkedip.
Mr. Satterthwaite turun ke bawah dengan agak kecewa. Sudah jelas Clayton
mempunyai pendapat kuno, ada "hantu gentayangan" di rumah itu sebagai akibat
suatu perbuatan keji di waktu lampau. Mr. Satterthwaite bukanlah orang yang
gampang puas. Kejadian ini baru terjadi dalam dua bulan terakhir, semenjak
Marcia Keane dan Roley Vavasour menginap di sana. Ia harus menyelidiki mereka
berdua. Mungkin seluruh kejadian ini cuma lelucon belaka. Tapi ia menggelenggelengkan kepalanya sendiri, tidak puas dengan pemecahan itu. Kejadian itu
terlalu jahat. Tukang pos baru saja datang; Margery segera membuka dan membaca
surat-suratnya. Tiba-tiba ia menjerit.
"Ibu memang konyol sekali," katanya. "Bacalah ini." Ia mengulurkan surat itu
pada Mr. Satterthwaite. Surat itu betul-betul khas Lady Stranleigh.
Sayangku Margery (tulisnya),
Aku senang sekali kau ditemani Mr. Satterthwaite yang kecil dan baik hati di
sana. Ia sangat pintar dan tahu semua tentang dukun-dukun itu. Kau harus
mengundang mereka semua dan menyelidiki kejadian itu dengan saksama. Aku yakin
kau akan senang sekali, dan aku cuma berharap bisa berada di sana, tapi aku
sakit parah beberapa hari terakhir ini. Dokter bilang aku telah menelan makanan
beracun. Aku sungguh-sungguh sakit.
Kau baik sekali mengirimiku cokelat-cokelat itu, Sayang, tapi bukankah itu agak
konyol" Maksudku, di sini juga ada toko makanan yang hebat.
Sampai jumpa, Sayang, dan bersenang-senanglah menangkap hantu keluarga kita.
Bimbo bilang permainan tenisku semakin bagus. Beribu-ribu cinta.
Salam manis, Barbara. "Ibu selalu menyuruh saya memanggilnya Barbara," kata Margery. "Sungguh konyol,
menurut saya." Mr. Satterthwaite tersenyum simpul. Ia sadar bahwa sikap konservatif sang putri
pastilah kadang-kadang membuat Lady Stranleigh putus asa. Isi surat itu menarik
perhatiannya dengan cara yang berbeda dari Margery.
"Apa kau memang mengirim sekotak cokelat untuk ibumu?" tanyanya.
Margery menggeleng. "Tidak, saya tidak mengiriminya, pasti orang lain."
Mr. Satterthwaite tampak serius. Ada dua hal penting menurutnya. Lady Stranleigh
telah menerima bingkisan sekotak cokelat dan ia menderita keracunan parah.
Tampaknya ia sendiri tidak menghubungkan kedua hal itu. Apa memang ada
hubungannya" Mr. Satterthwaite sendiri cenderung mengira ada.
Seorang gadis jangkung muncul dari dalam ruang kerja dan bergabung dengan
mereka. Ia diperkenalkan pada Mr. Satterthwaite sebagai Marcia Keane. Ia tersenyum pada
laki-laki kecil itu dengan gaya santai.
"Apakah Anda kemari untuk menangkap hantu peliharaan Margery?" tanyanya dengan
suara diulur-ulur. "Kami semua menggodanya habis-habisan tentang hantu itu. Nah,
itu pasti si Roley."
Sebuah mobil baru saja berhenti di pintu depan. Dari dalamnya keluar seorang
pemuda jangkung berambut pirang dengan semangat remaja yang menggebu-gebu.
"Halo, Margery," teriaknya. "Halo, Marcia! Aku datang membawa bala bantuan." Ia
berpaling pada dua wanita yang baru saja memasuki ruang keluarga itu. Mr.
Satterthwaite mengenali salah satunya sebagai Mrs. Casson, wanita yang tadi
disebut-sebut oleh Margery.
"Kau harus memaafkan aku, Margery sayang," katanya sambil tersenyum lebar. "Mr.
Vavasour mengatakan pada kami bahwa kau takkan keberatan. Ini betul-betul
gagasannya untuk mengajak Mrs. Lloyd kemari."
Mr Quin Yang Misterius The Mysterious Mr. Quin Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia menunjuk ke arah temannya.
"Ini Mrs. Lloyd," katanya dengan nada penuh kemenangan. "Medium paling hebat di
dunia." Mrs. Lloyd tidak membantah kata-katanya, cuma membungkuk dan berdiri dengan
kedua tangan terlipat rapi di depannya. Ia seorang wanita muda berkulit terang
dengan penampilan biasa-biasa saja. Pakaiannya tidak modis, tapi agak ramai
dengan perhiasan. Ia mengenakan seuntai kalung dari batu bulan dan beberapa
cincin. Margery Gale, menurut pandangan Mr. Satterthwaite, tidak terlalu senang dengan
gangguan itu. Ia memandang Roley Vavasour dengan jengkel, tapi yang dipandang
tampaknya tidak sadar bahwa dialah yang menyebabkan kejengkelan itu.
"Saya rasa makan siang sudah siap," kata Margery.
"Bagus," kata Mrs. Casson. "Kita akan menyelenggarakan seance - pertemuan dengan
roh orang mati - segera setelah makan siang. Kau punya buah-buahan untuk Mrs.
Lloyd" Dia tidak pernah makan makanan padat sebelum melakukan seance."
Mereka semua pergi menuju ruang makan. Medium itu memakan dua pisang dan sebuah
apel, dan menjawab dengan hati-hati serta singkat pertanyaan-pertanyaan sopan
Margery yang diajukan kepadanya dari waktu ke waktu. Tepat sebelum mereka
berdiri untuk meninggalkan meja, tiba-tiba ia melemparkan kepalanya ke belakang
dan mendengus-dengus udara.
"Ada sesuatu yang tidak beres dengan rumah ini. Saya bisa merasakannya."
"Dia hebat, bukan?" kata Mrs. Casson dengan suara rendah yang terdengar girang.
"Oh! tak diragukan lagi," sahut Mr. Satterthwaite datar.
Seance itu dilaksanakan di perpustakaan. Sang nona rumah, menurut pandangan Mr.
Satterthwaite, sebetulnya sangat keberatan, hanya semangat tamu-tamunyalah yang
membuatnya rela menjalaninya.
Mrs. Casson mengatur segalanya dengan cermat. Tampaknya ia sudah terbiasa dengan
hal-hal begini. Kursi-kursi diatur melingkar, gorden-gorden ditutup, dan
akhirnya si medium mengumumkan bahwa dirinya sudah siap untuk mulai.
"Enam orang," katanya, memandang ke sekeliling ruangan. "Itu tidak baik.
Mestinya jumlahnya ganjil. Tujuh akan cocok sekali. Saya biasanya memperoleh
hasil yang baik kalau lingkarannya terdiri atas tujuh orang."
"Salah seorang pelayan," usul Roley. Ia bangkit. "Aku akan memanggil kepala
pelayan." "Jangan, Clayton saja," bantah Margery.
Mr. Satterthwaite melihat pandangan sebal di wajah Roley Vavasour yang ganteng
itu. "Kenapa mesti Clayton?" tanyanya.
"Kau memang tidak pernah menyukai Clayton," kata Margery pelan.
Roley angkat bahu. "Clayton juga tidak pernah menyukaiku," katanya sebal.
"Kenyataannya dia menganggapku seperti racun." Ia menunggu beberapa menit, tapi
Margery tidak mau menyerah. "Baiklah," katanya, "akan kusuruh dia turun."
Lingkaran itu akhirnya terbentuk.
Beberapa saat yang ada cuma keheningan, diselingi batuk-batuk dan gerakangerakan gelisah seperti biasa. Kemudian terdengar beberapa suara ocehan dan
akhirnya suara penghuni tubuh si medium, seorang Indian merah bernama Cherokee.
"Prajurit Indian bilang selamat malam pada tuan-tuan dan nyonya-nyonya. Ada yang
ingin sekali bicara. Ada yang ingin memberi pesan untuk Nona. Saya pergi
sekarang. Roh itu akan menyatakan maksudnya."
Hening sejenak dan akhirnya sebuah suara baru, suara seorang wanita, berkata
lirih, "Apa Margery ada?"
Roley Vavasour dengan sukarela menjawabnya.
"Ya," katanya, "dia ada di sini. Siapa yang bicara?"
"Saya Beatrice."
"Beatrice" Beatrice siapa?"
Semua orang merasa gemas karena suara si Indian Merah Cherokee itu terdengar
lagi. "Saya punya pesan untuk kalian semua. Hidup di sini sangat indah dan ceria. Kami
semua bekerja keras. Bantulah mereka yang belum bisa melintas kemari."
Sekali lagi keheningan, kemudian suara wanita itu terdengar lagi.
"Ini Beatrice yang bicara."
"Beatrice siapa?"
"Beatrice Barron."
Mr. Satterthwaite mencondongkan badan ke depan. Ia betul-betul tegang.
"Beatrice Barron yang tenggelam bersama Uralia?"
"Ya, betul. Saya ingat Uralia. Saya punya pesan... untuk rumah ini. Kembalikan
apa yang bukan milikmu."
"Saya tidak mengerti," kata Margery putus asa. "Saya... oh, apakah Anda betulbetul Bibi Beatrice?"
"Ya, saya bibimu."
"Tentu saja dia bibimu," cela Mrs. Casson. "Kenapa kau bisa curiga seperti itu"
Roh tidak suka dicurigai."
Dan tiba-tiba Mr. Satterthwaite mendapat ide akan suatu ujian sederhana.
Suaranya bergetar ketika ia bicara.
"Apakah Anda ingat pada Mr. Botticetti?" tanyanya.
Suara itu tiba-tiba tertawa cekikikan.
"Boatsupsetty yang malang. Tentu saja saya ingat."
Mr. Satterthwaite tercengang sekali. Ujiannya berhasil dijawab oleh suara itu.
Ada suatu kejadian empat puluh tahun yang lalu, ketika ia dan gadis-gadis Barron
itu bersama-sama berlibur di tepi pantai. Seorang pemuda Itali kenalan mereka
telah pergi naik perahu, tapi kemudian perahunya terbalik. Beatrice Barron
segera menjulukinya Boatsupsetty - Perahu Terbalik. Tampaknya tidak mungkin ada
seseorang di ruangan itu yang bisa mengetahui kejadian tersebut selain dirinya.
Medium itu meregangkan badannya dan mengeluh.
"Dia sudah sadar," kata Mrs. Casson. "Cuma itu yang bisa kita peroleh darinya
hari ini, saya rasa."
Sinar matahari sekali lagi menyinari ruangan yang penuh dengan orang itu, dua di
antaranya betul-betul ketakutan.
Mr. Satterthwaite melihat muka Margery yang pucat pasi, pertanda ia betul-betul
terguncang. Ketika akhirnya Mrs. Casson dan medium itu sudah pergi, Mr.
Satterthwaite mengajak nona rumahnya berbicara empat mata.
"Saya ingin menanyakan beberapa hal, Miss Margery. Kalau kau dan ibumu meninggal
dunia, siapa yang mewarisi gelar dan rumah ini?"
"Saya kira Roley Vavasour. Ibunya adalah sepupu pertama Ibu."
Mr. Satterthwaite mengangguk.
"Dia tampaknya sering kali datang kemari musim dingin ini," katanya lembut.
"Maafkan pertanyaan saya... tapi apakah... apakah dia menyukaimu?"
"Dia meminang saya untuk menikah dengannya tiga minggu yang lalu," sahut Margery
pelan. "Saya menolaknya."
"Maafkan saya lagi, tapi kau sudah bertunangan dengan pemuda lain, bukan?"
Ia melihat wajah Margery menjadi merah.
"Betul," katanya tegas. "Saya akan menikah dengan Noel Barton. Ibu selalu
tertawa dan berkata saya sudah sinting. Dia tampaknya menganggap saya lucu
karena mau bertunangan dengan seorang pendeta. Di mana lucunya, saya ingin tahu!
Menjadi pendeta adalah hal yang umum, bukan" Anda harus melihat Noel menunggang
kuda." "Oh, begitu," kata Mr. Satterthwaite. "Tak diragukan lagi pasti hebat."
Seorang pelayan masuk dengan sepucuk telegram di atas baki. Margery merobek
amplopnya. "Ibu akan pulang besok," katanya. "Peduli amat. Saya lebih senang
kalau dia tetap di sana."
Mr. Satterthwaite tidak menanggapi hubungan ibu dan anak yang kurang harmonis
itu. Mungkin sebaiknya begitu, pikirnya. "Kalau begitu," gumamnya, "saya akan
segera kembali ke London."
IV Mr. Satterthwaite tidak terlalu puas dengan dirinya. Ia merasa telah
meninggalkan masalah itu tak terselesaikan. Memang betul, dengan kembalinya Lady
Stranleigh, tanggung jawabnya berakhir, tapi ia punya perasaan akan mendengar
lagi cerita tentang misteri di Abbot's Mede.
Tapi perkembangan berikutnya sungguh-sungguh mengagetkannya. Ia mengetahuinya
dari surat kabar yang dibacanya pagi itu. Bangsawan Meninggal Sewaktu Mandi,
begitulah yang ditulis Daily Megaphone. Surat kabar lainnya lebih sopan dan
halus dalam bahasa mereka, tapi kenyataannya tetap sama. Lady Stranleigh
ditemukan meninggal dalam bak mandinya dan kematiannya disebabkan karena
tenggelam. Asumsi yang ada mengatakan ia tiba-tiba jatuh pingsan dan kepalanya
melorot hingga terendam air.
Tapi Mr. Satterthwaite tidak puas dengan penjelasan itu. Sambil memanggil
pelayannya, ia tergesa-gesa mengenakan pakaiannya dan merapikan diri, dan
sepuluh menit kemudian Rolls-Royce-nya yang besar itu sudah membawanya keluar
dari London secepat mungkin.
Anehnya ia tidak menuju Abbot's Mede, melainkan ke sebuah penginapan kecil
sekitar lima belas mil jauhnya. Penginapan itu mempunyai nama lucu Bells and
Motley. Ia lega sekali ketika mendengar Mr. Harley Quin masih menginap di sana.
Dalam beberapa menit ia sudah berhadap-hadapan dengan temannya itu.
Mr. Satterthwaite menyalami tangan Mr. Quin erat-erat dan segera mulai berbicara
dengan bersemangat. "Saya betul-betul kacau. Anda harus menolong saya. Saya memang sudah punya
perasaan tidak enak, dan mungkin saja sudah terlambat - gadis manis itu mungkin
jadi korban berikutnya. Padahal dia betul-betul gadis yang manis, luar-dalam."
"Kalau Anda mau menceritakan semuanya pada saya," kata Mr. Quin sambil
tersenyum, "apa sih masalahnya?"
Mr. Satterthwaite memandangnya dengan tatapan mencela.
"Anda pasti sudah tahu. Saya yakin itu. Tapi saya tetap akan menceritakannya."
Mr. Satterthwaite menceritakan tentang kunjungannya ke Abbot's Mede dan, seperti
biasanya bila bercerita pada Mr. Quin, ia merasa bangga sekali. Ceritanya
lancar, jelas, dan terinci sekali.
"Jadi," katanya, "pasti ada penjelasan atas semuanya ini."
Ia memandang penuh harap pada Mr. Quin, seperti seekor anjing memandang tuannya.
"Tapi Andalah yang harus memecahkan masalah ini, bukan saya," kata Mr. Quin.
"Saya tidak mengenal orang-orang itu. Anda yang mengenal mereka."
"Saya mengenal gadis-gadis Barron itu empat puluh tahun yang lalu," kata Mr.
Satterthwaite bangga. Mr. Quin mengangguk dan tampak simpatik, sampai-sampai Mr. Satterthwaite jadi
terkenang-kenang pada masa itu.
"Waktu itu di Brighton, Botticetti-Boatsupsetty betul-betul lelucon konyol,
sampai kami tertawa terbahak-bahak karenanya. Yah, yah, saya memang masih muda.
Melakukan banyak hal yang konyol-konyol. Saya ingat pelayan mereka. Alice,
begitulah namanya, lumayan cantik dan sangat banyak akalnya. Saya pernah
menciumnya sekali di gang hotel. Saya ingat, dan salah seorang gadis itu
memergoki saya. Yah, yah, betapa lama semuanya itu."
Ia menggeleng-gelengkan kepala dan mengeluh. Kemudian ia memandang Mr. Quin.
"Jadi, Anda tidak bisa menolong saya?" tanyanya penuh harap. "Pada saat-saat
lainnya itu..." "Pada saat-saat lainnya itu Anda terbukti berhasil, semata-mata karena usaha
Anda sendiri," kata Mr. Quin serius. "Saya rasa kali ini juga akan begitu. Kalau
saya jadi Anda, saya akan segera pergi ke Abbot's Mede."
"Betul, betul," kata Mr. Satterthwaite. "Saya tadinya memang mau ke sana.
Mungkin Anda bisa menemani saya kali ini?"
Mr. Quin menggeleng. "Tidak," katanya, "pekerjaan saya di sini sudah selesai. Saya akan segera
berangkat." Di Abbot's Mede, Mr. Satterthwaite segera diantar menemui Margery Gale. Gadis
itu sedang duduk dengan mata merah di balik meja tulisnya di ruang kerja; di
situ tergeletak beberapa lembar kertas. Sapaannya menyentuh perasaan Mr.
Satterthwaite. Ia tampaknya senang sekali bisa bertemu dengannya.
"Roley dan Marcia baru saja pergi. Mr. Satterthwaite, penyebabnya bukanlah
seperti yang dikatakan dokter-dokter itu. Saya yakin, betul-betul yakin, Ibu
telah didorong masuk ke dalam air dan dibenamkan. Dia dibunuh, dan siapa pun
pembunuhnya pasti ingin membunuh saya juga. Saya yakin itu. Itu sebabnya..." ia
menunjuk dokumen di hadapannya.
"Saya sedang membuat surat wasiat," katanya menjelaskan. "Sebagian besar uang
dan beberapa rumah tidak bertalian dengan gelar itu, juga masih ada uang ayah
saya. Saya akan mewariskan sebanyak-banyaknya untuk Noel. Saya tahu dia akan
menggunakannya dengan sebaik-baiknya. Lagi pula saya tidak mempercayai Roley;
dia selalu berfoya-foya dengan uangnya. Maukah Anda menandatanganinya sebagai
saksi?" "Anakku sayang," kata Mr. Satterthwaite, "kau harus menandatangani surat
wasiatmu dengan disaksikan oleh dua orang saksi, dan mereka harus
menandatanganinya juga pada saat yang sama."
Margery mengabaikan nasihat tentang hukum itu.
"Saya rasa itu tidak jadi masalah," katanya tegas. "Clayton melihat saya
menandatanganinya, lalu dia sendiri menuliskan namanya di sini. Saya tadinya mau
memanggil kepala pelayan, tapi Anda pasti akan lebih cocok."
Mr. Satterthwaite tidak memprotes lagi; ia memutar pulpennya. Kemudian, ketika
hendak menuliskan tanda tangannya, tiba-tiba ia berhenti Nama itu, yang tertulis
di atas namanya, membangkitkan kenangannya. Alice Clayton.
Sesuatu dalam otak Mr. Satterthwaite tampaknya sedang berjuang keras untuk
menyadarkannya. Alice Clayton, rasanya ada sesuatu yang penting dalam nama itu.
Serasa ada hubungannya dengan Mr. Quin. Sesuatu yang baru saja diceritakannya
pada Mr. Quin. Ah, ia tahu sekarang. Alice Clayton, memang itulah namanya. Gadis yang lumayan
menarik. Orang memang berubah - ya, tapi tidak seperti itu. Dan Alice Clayton yang
dikenalnya dulu mempunyai mata berwarna cokelat. Ruangan itu serasa berputar. Ia
meraba-raba sebuah kursi dan akhirnya, seolah-olah dari kejauhan, ia mendengar
suara Margery berbicara padanya dengan cemas. "Apakah Anda sakit" Oh, ada apa"
Saya yakin Anda sakit."
Mr. Satterthwaite sudah pulih lagi sekarang. Ia memegang tangan Margery.
"Sayangku, saya sudah mengerti sekarang. Kau harus bersiap-siap untuk terkejut.
Wanita di loteng itu, yang kaupanggil Clayton, sama sekali bukan Clayton. Alice
Clayton yang asli sudah tenggelam bersama Uralia."
Margery menatapnya "Kalau begitu... kalau begitu, siapakah dia?"
"Saya tak mungkin salah, tak mungkin. Wanita yang kaupanggil Clayton itu adalah
kakak ibumu, Beatrice Barron. Kauingat pernah bercerita pada saya bahwa
kepalanya terbentur tiang" Saya rasa benturan itu merusak memorinya, dan oleh
karena itu, ibumu melihat kesempatan..."
"Untuk menggaet gelar itu, begitu maksud Anda?" tanya Margery pahit. "Ya, dia
bisa melakukan hal itu. Tampaknya tak sopan mengatakannya, karena dia sudah
meninggal sekarang, tapi dia memang orang seperti itu."
"Beatrice adalah kakaknya," kata Mr. Satterthwaite. "Dengan kematian pamanmu,
dia akan mewarisi segalanya dan ibumu takkan mendapat apa-apa. Ibumu lantas
mengatakan bahwa gadis yang terluka itu adalah pelayannya, bukan kakaknya. Gadis
itu sembuh dari luka-lukanya dan, tentu saja, percaya pada apa yang dikatakan
orang padanya, bahwa dia adalah Alice Clayton, pelayan ibumu. Saya kira akhirakhir ini memorinya mulai kembali, tapi benturan di kepalanya itu, setelah
bertahun-tahun, membuatnya kacau."
Margery menatapnya dengan mata memancarkan sinar ketakutan.
"Dia membunuh Ibu dan dia akan membunuh saya," katanya tercekat.
"Tampaknya begitu," kata Mr. Satterthwaite. "Dalam otaknya cuma ada sebuah
gagasan kacau - warisannya telah dicuri dan disingkirkan dari dirinya olehmu dan
oleh ibumu." "Tapi... tapi Clayton begitu tua."
Mr. Satterthwaite terdiam sejenak ketika sebuah bayangan muncul di benaknya seorang wanita tua dan rapuh serta berambut kelabu dan seorang wanita cantik
berambut pirang yang sedang duduk-duduk di bawah sinar matahari di Cannes.
Kakak-adik! Mungkinkah itu" Ia ingat gadis-gadis Barron itu dan kemiripan mereka
satu sama lain. Hanya karena dua kehidupan telah berkembang dengan cara
berbeda... Ia menggelengkan kepala dengan tegas, terpukau pada keanehan dan ketragisan
hidup ini. Ia berpaling pada Margery dan berkata lembut, "Kita sebaiknya naik ke loteng
untuk menemuinya." Mereka menemukan Clayton sedang duduk di ruang kerjanya yang kecil, yang sering
dipakainya untuk menjahit. Ia tidak memalingkan kepala ketika mereka masuk, dan
Mr. Satterthwaite segera mengetahui sebabnya.
"Serangan jantung," gumamnya ketika menyentuh bahu yang kaku dan dingin itu.
"Mungkin lebih baik begitu."
Bab 8 WAJAH HELEN I MR. SATTERTHWAITE sedang berada di Gedung Opera, duduk sendirian di boksnya yang
Mr Quin Yang Misterius The Mysterious Mr. Quin Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
besar di tingkat pertama. Di luar pintu terpampang kartu bertuliskan namanya.
Sebagai pengagum dan ahli seni, Mr. Satterthwaite sangat menggemari musik yang
bagus, dan ia merupakan pelanggan tetap Covent Garden setiap tahunnya, memesan
sebuah boks untuk hari Selasa dan Jumat sepanjang musim itu.
Tapi biasanya ia jarang duduk sendirian. Ia seorang gentleman yang suka
berteman, dan ia suka memenuhi boksnya dengan kaum elite dunia yang menjadi
golongannya, atau para bangsawan dengan gaya mereka yang sangat dikenalnya. Ia
sendirian malam ini, karena seorang countess telah mengecewakannya. Sang
Countess, selain cantik dan terkenal, juga seorang ibu yang baik. Anak-anaknya
telah terserang penyakit yang umum dan menjengkelkan, yaitu penyakit gondok,
jadi sang Countess memutuskan untuk tinggal di rumah saja, menemani anak-anaknya
yang rewel dengan dibantu oleh para perawat berseragam putih bersih dan kaku
kena kanji. Suaminya, yang telah memberinya anak-anak itu serta sebuah gelar
kebangsawanan, yang sesungguhnya bisa dibilang bukan siapa-siapa, telah
mengambil kesempatan untuk melarikan diri. Tak ada yang lebih menjemukannya
daripada musik. Jadi, Mr. Satterthwaite terpaksa duduk sendirian. Cavalleria Rusticana dan
Pagliacci akan dipertunjukkan malam ini, dan karena yang pertama tidak pernah
menarik perhatiannya, ia datang tepat setelah tirai diturunkan, pada adegan
kematian Santuzza, tepat waktunya untuk melirik ke seputar Gedung Opera itu
dengan mata terlatih, sebelum semua orang berbondong-bondong keluar untuk saling
bercengkerama atau antre untuk mendapatkan kopi atau limun. Mr. Satterthwaite
menyetel teropong operanya, memandang ke seputar gedung opera, menandai
mangsanya, dan segera merancang suatu rencana perkenalan dalam benaknya. Tapi
kenyataannya rencana itu tidak jadi dirancangnya, karena tepat di luar boksnya
pandangannya tertumbuk pada seorang laki-laki jangkung berkulit gelap, dan
dengan gembira sekali ia mengenalinya.
"Mr. Quin," teriak Mr. Satterthwaite.
Ia menyalami tangan temannya itu erat-erat, mencengkeramnya seolah-olah takut
temannya itu akan menghilang dengan tiba-tiba.
"Anda mesti bergabung dalam boks saya," desak Mr. Satterthwaite. "Anda tidak
bersama teman-teman, kan?"
"Tidak, saya datang sendirian," sahut Mr. Quin sambil tersenyum.
"Kalau begitu, beres," kata Mr. Satterthwaite, mengembuskan napas lega.
Kalau kebetulan ada orang yang mengamati, tingkah laku Mr. Satterthwaite pasti
kelihatan seperti anak kecil yang sedang gembira sekali.
"Anda sangat baik hati," kata Mr. Quin.
"Sama sekali tidak. Ini malah menyenangkan saya. Saya tidak tahu Anda menyukai
musik." "Ada alasan-alasan tertentu kenapa saya menyukai... Pagliacci."
"Ah! Tentu saja," sahut Mr. Satterthwaite sambil mengangguk-angguk mengerti,
meskipun kalau ditanya ia pasti sulit menjelaskan kenapa ia mengucapkan katakata itu. "Tentu saja Anda menyukainya."
Mereka kembali ke boks Mr. Satterthwaite pada panggilan bel pertama, dan sambil
bersandar pada pinggiran boks, mereka memperhatikan orang-orang yang kembali
duduk di kursi masing-masing.
"Itu ada kepala yang cantik," kata Mr. Satterthwaite tiba-tiba.
Ia menunjuk dengan teropongnya pada sebuah tempat tepat di bawah mereka, di
deretan kursi berbentuk lingkaran itu. Seorang gadis duduk di sana. Mereka tak
bisa melihat wajahnya - cuma rambutnya yang betul-betul keemasan dan melekat bagai
topi di kepalanya, terjuntai jatuh pada lehernya yang putih.
"Sebuah kepala Yunani," kata Mr. Satterthwaite kagum. "Betul-betul Yunani." Ia
mengembuskan napas gembira. "Memang luar biasa kalau dipikir-pikir, karena cuma
segelintir orang yang punya rambut pas dengan kepala mereka. Sekarang orangorang lainnya malah kelihatan seperti berambut asal tempel."
"Anda jeli sekali," kata Mr. Quin.
"Saya memang suka melihat-lihat," Mr. Satterthwaite mengakui. "Dan saya cukup
cermat. Contohnya, saya segera melihat kepala itu. Kita harus segera melihat
wajahnya. Tapi saya yakin wajahnya pasti tidak serasi. Itu cuma kemungkinan satu
dalam seribu." Baru saja kata-kata itu keluar dari mulutnya, sinar lampu berkedip-kedip serta
menyorot ke bawah, dan bunyi ketukan tongkat sang dirigen terdengar tajam, tanda
opera dimulai. Seorang penyanyi tenor baru, yang dikabarkan akan menjadi Caruso
kedua, akan menyanyi malam itu. Di koran-koran ia diberitakan sebagai orang
dengan kebangsaan Yugoslavia, Czekoslovakia, Albania, Hungaria, dan Bulgaria,
tanpa bermaksud untuk memihak siapa pun. Ia telah menyelenggarakan konser yang
hebat di Albert Hall, menyanyikan lagu-lagu rakyat negaranya dengan iringan
musik orkestra. Lagu-lagu itu didendangkan dengan not-not tengah yang aneh dan
si penyanyi yang bakal terkenal itu membawakannya dengan "hebat sekali". Para
musikus yang sesungguhnya, menahan diri untuk tidak memberikan komentar, sadar
bahwa mereka harus memiliki telinga yang betul-betul terlatih dan terbiasa
sebelum bisa melemparkan kritik apa pun.
Tapi bagi beberapa orang, merupakan suatu kelegaan kalau malam ini Yoaschbim
dapat bernyanyi dalam bahasa Itali dengan segala ratapan dan getaran seperti
biasanya. Tirai diturunkan setelah babak pertama dan para hadirin bertepuk tangan riuh
rendah. Mr. Satterthwaite berpaling pada Mr. Quin untuk mengemukakan pendapatnya
dengan sedikit berbangga hati. Bagaimanapun, ia memang tahu. Sebagai kritikus,
ia nyaris sempurna. Dengan sangat perlahan ia menganggukkan kepalanya.
"Ini memang yang asli," katanya.
"Begitu menurut Anda?"
"Sebagus suara Caruso. Orang-orang tidak akan menyadarinya pada kali pertama,
karena tekniknya belumlah sempurna. Ada nada-nada yang masih terdengar kasar,
kurang keyakinan dalam mendendangkannya. Tapi suara itu, bagaimanapun... luar
biasa." "Saya menghadiri konsernya di Albert Hall," kata Mr. Quin.
"O ya" Saya tidak bisa pergi waktu itu."
"Dia sukses sekali menyanyikan Lagu Si Gembala."
"Saya membaca di koran-koran," kata Mr. Satterthwaite, "bahwa setiap kali
refrennya berakhir dengan nada tinggi - seperti tangisan. Nada antara A dan B
minor. Betul-betul aneh."
Saat itu Yoaschbim sudah menerima tiga kali panggilan, membungkuk memberi hormat
dan tersenyum. Sorot lampu mengarah ke atas dan orang-orang mulai berbondongbondong keluar lagi. Mr. Satterthwaite membungkuk ke depan untuk memperhatikan
gadis berkepala keemasan itu. Ia berdiri, membetulkan letak syalnya, kemudian
berpaling. Napas Mr. Satterthwaite sampai tertahan. Ia tahu di dunia ini memang ada wajahwajah seperti itu - wajah-wajah yang membuat sejarah.
Gadis itu berjalan menyusuri deretan kursi, temannya, seorang pemuda, berjalan
di sampingnya. Mr. Satterthwaite memperhatikan betapa setiap laki-laki di
sekitar situ menoleh dan terus menatap gadis itu dengan diam-diam.
"Kecantikan!" kata Mr. Satterthwaite dalam hati. "Memang ada wajah seperti itu.
Bukan berdaya tarik, bukan berdaya pikat, bukan bermagnet, bukan hal-hal yang
sering kita bicarakan - melainkan kecantikan semata-mata. Bentuk seraut wajah,
garis-garis alisnya, lengkung rahangnya." Ia berdeklamasi dengan suara lirih,
"Wajah yang meluncurkan seribu kapal." Dan untuk pertama kalinya ia sadar akan
makna kata-kata itu. Ia melirik pada Mr. Quin yang sedang memperhatikannya dengan sikap yang bisa
dibilang penuh kekaguman, sampai-sampai Mr. Satterthwaite tidak tahu harus
berkata apa. "Saya selalu ingin tahu," katanya sederhana, "bagaimana sesungguhnya wanitawanita seperti itu."
"Maksud Anda?" "Wanita-wanita seperti Helen, Cleopatra, Mary Stuart."
Mr. Quin mengangguk serius.
"Kalau kita keluar," katanya mengusulkan, "kita mungkin... bisa melihatnya."
Mereka keluar bersama-sama, dan ternyata pencarian mereka berhasil. Pasangan
yang mereka cari itu ternyata sedang duduk di sebuah ruangan di tengah-tengah
tangga. Untuk pertama kalinya Mr. Satterthwaite memperhatikan teman gadis itu,
seorang pemuda berkulit gelap, tidak tampan, tapi ada kesan emosional pada
dirinya. Wajahnya penuh dengan sudut-sudut aneh; tulang pipi mencuat, rahang
kuat dan sedikit bengkok, mata dalam dengan sinar tajam di bawah dahi yang
menonjol. "Seraut wajah yang menarik," kata Mr. Satterthwaite dalam hati. "Seraut wajah
yang nyata. Pasti ada artinya."
Pemuda itu mencondongkan tubuh ke depan sambil berbicara dengan penuh semangat.
Gadis itu mendengarkannya. Keduanya bukan berasal dari golongan Mr.
Satterthwaite. Ia menganggap mereka dari golongan "eksentrik". Gadis itu
mengenakan gaun tak berbentuk dari sutra hijau murahan. Sepatunya dari satin
putih yang sudah pudar. Pemuda itu mengenakan setelan untuk malam hari dengan
sikap tak nyaman. Mereka melewati dan melewati pasangan itu berkali-kali. Pada kali keempat,
pasangan itu telah ditemani oleh orang ketiga, seorang pemuda ceria dengan
penampilan seperti pegawai kantoran. Kehadirannya kelihatannya telah menimbulkan
ketegangan. Pendatang baru itu menarik-narik dasinya dan tampaknya tidak enak,
wajah cantik si gadis menjadi suram menatapnya, dan temannya memberengut berang.
"Cerita biasa," kata Mr. Quin dengan sangat pelan, ketika mereka lewat lagi.
"Ya," sahut Mr. Satterthwaite dengan mengeluh. "Saya rasa itu memang tak bisa
dihindari. Dua anjing yang menggeram memperebutkan tulang. Dari dulu sudah
begitu, dan akan terus begitu. Padahal kita bisa berharap untuk sesuatu yang
lain. Kecantikan..." Ia berhenti. Kecantikan, bagi Mr. Satterthwaite, merupakan
sesuatu yang sangat indah. Ia merasa sulit untuk melukiskan maksudnya dengan
kata-kata. Ia memandang Mr. Quin yang mengangguk-anggukkan kepalanya dengan
serius, pertanda mengerti.
Mereka kembali ke tempat duduk mereka untuk menonton babak kedua.
Pada akhir pertunjukan, Mr. Satterthwaite berpaling dengan bersemangat pada
temannya. "Malam ini hujan. Mobil saya ada di sini. Anda mesti mengizinkan saya mengantar
Anda... eh... ke suatu tempat."
Kata terakhir itu merupakan bukti nyata dari kesopanan Mr. Satterthwaite.
"Mengantar Anda pulang", menurutnya, sebenarnya lebih tepat untuk mengatasi rasa
ingin tahunya. Dari dulu Mr. Quin tak pernah menyebut-nyebut tentang tempat
tinggalnya. Memang luar biasa, betapa sedikit yang diketahuinya tentang diri
temannya itu. "Tapi mungkin mobil Anda sendiri sudah menunggu?" lanjut Mr. Satterthwaite.
"Tidak," sahut Mr. Quin, "mobil saya tidak ada di sini."
"Kalau begitu..."
Tapi Mr. Quin menggelengkan kepala.
"Anda betul-betul baik hati," katanya, "tapi saya lebih suka pulang sendiri.
Lagi pula," katanya dengan senyum agak aneh, "kalau sesuatu akan... terjadi,
Anda bisa bertindak. Selamat malam dan terima kasih. Sekali lagi kita telah
menyaksikan suatu drama bersama-sama."
Ia pergi begitu cepat, sampai Mr. Satterthwaite tak punya waktu untuk membantah.
Malahan ia sekarang merasa sedikit tidak enak dalam hatinya. Drama apa yang
dimaksudkan oleh Mr. Quin" Pagliacci atau yang lainnya"
Masters, sopir Mr. Satterthwaite, punya kebiasaan untuk menunggu di jalan
samping. Majikannya itu tidak menyukai antrean panjang sementara mobil-mobil
berderet-deret di depan gedung Opera. Sekarang, seperti pada waktu-waktu
sebelumnya, Mr. Satterthwaite berjalan cepat mengitari tikungan dan di sepanjang
jalan menuju tempat ia tahu Masters sedang menunggunya. Tepat di depannya
berjalan seorang gadis dan seorang pemuda, dan ketika ia mengenali mereka,
seorang pemuda lain menggabungkan diri.
Semuanya terjadi dengan cepat. Suara seorang pemuda yang terdengar marah dan
berteriak. Suara pemuda lainnya terdengar membantah keras. Kemudian bunyi baku
hantam. Pukulan, napas memburu, pukulan lagi, sosok seorang polisi yang tibatiba muncul entah dari mana - dan pada detik berikutnya Mr. Satterthwaite sudah
berada di samping gadis yang mengerutkan diri di sisi tembok itu.
"Izinkan saya," katanya. "Anda tidak boleh tinggal di sini."
Ia memegang lengan gadis itu dan membimbingnya dengan pelan ke jalan. Gadis itu
menoleh ke belakang sekali.
"Apakah saya tidak harus...?" ia hendak bertanya dengan khawatir.
Mr. Satterthwaite menggeleng.
"Tidaklah baik bagi Anda untuk turut campur dalam kejadian itu. Anda mungkin
akan diminta ikut pergi ke kantor polisi bersama mereka. Saya yakin kedua teman
Anda tidak mengharapkannya."
Ia berhenti. "Ini mobil saya. Kalau Anda mengizinkan, saya akan senang sekali bisa mengantar
Anda pulang." Gadis itu memandangnya dengan saksama. Wajah Mr. Satterthwaite yang serius dan
terhormat itu sungguh-sungguh mengesankannya. Ia menundukkan kepala.
"Terima kasih," katanya, dan ia masuk ke dalam mobil, yang pintunya dibukakan
oleh Masters. Sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan Mr. Satterthwaite, gadis itu
memberikan sebuah alamat di Chelsea, kemudian Mr. Satterthwaite sendiri masuk
dan duduk di sampingnya. Gadis itu sedang merasa kecewa dan tak ingin bercakap-cakap. Mr. Satterthwaite,
yang memang selalu sopan, tidak mau mengusik renungannya.
Tapi akhirnya gadis itu berpaling kepadanya dan berbicara atas kemauannya
sendiri. "Saya harap mereka tidak sekonyol itu," katanya murung.
"Memang menjengkelkan," Mr. Satterthwaite menyetujui.
Sikapnya yang terus terang menenangkan gadis itu, yang melanjutkan
pembicaraannya seolah-olah ia butuh seseorang untuk mencurahkan perasaannya.
"Bukannya saya... maksud saya, yah, kejadiannya seperti ini. Mr. Eastney dan
saya sudah lama berteman - sejak saya datang ke London. Dia telah banyak membantu
saya membuka jalan sebagai penyanyi dan memperkenalkan saya pada orang-orang
yang tepat. Kebaikan hatinya pada saya tak terlukiskan. Dia sangat tergila-gila
pada musik, dan dia baik hati sekali mau mengajak saya malam ini. Saya tahu
sesungguhnya opera itu terlalu mahal baginya. Kemudian muncul Mr. Burns dan
bercakap-cakap dengan kami - menurut saya, sikapnya cukup sopan, tapi Phil (Mr.
Eastney) jadi jengkel padanya. Saya tidak mengerti kenapa dia harus begitu. Saya
yakin ini negara bebas. Lagi pula Mr. Burns selalu bersikap menyenangkan dan
sopan. Kemudian ketika kami sedang berjalan menuju stasiun kereta bawah tanah,
dia muncul lagi dan bergabung dengan kami, dan dia belum sempat mengatakan apaapa ketika Philip menerjangnya dengan marah seperti orang gila. Dan... oh! Saya
tidak menyukainya." "Masa?" tanya Mr. Satterthwaite sangat lirih.
Wajah gadis itu memerah, tapi sedikit sekali. Tak ada kesan wanita perayu pada
dirinya. Ia cuma senang ada pemuda yang memperebutkan dirinya - itu wajar, tapi
Mr. Satterthwaite memutuskan ada kecemasan yang melebihi rasa senang itu, dan ia
memperoleh kunci jawabannya ketika sejenak kemudian gadis itu berkata lagi
dengan tiba-tiba, "Saya harap dia tidak melukainya."
"Nah, 'nya' yang mana, maksudmu?" pikir Mr. Satterthwaite, tersenyum sendiri
dalam kegelapan. Untuk membuktikan kesimpulannya, ia berkata,
"Anda berharap Mr. - eh - Eastney tidak melukai Mr. Burns?"
Gadis itu mengangguk. "Ya, begitulah. Tampaknya tadi parah sekali. Saya harap bisa mengetahui
keadaannya." Mobil melaju terus. "Anda punya telepon?" tanya Mr. Satterthwaite.
"Ya." "Kalau Anda mau, saya bisa mencari tahu apa yang telah terjadi, kemudian
menelepon Anda." Wajah gadis itu menjadi cerah.
"Oh, Anda baik sekali. Anda yakin itu tidak akan merepotkan Anda?"
"Sama sekali tidak."
Gadis itu mengucapkan terima kasih lagi padanya dan memberinya nomor teleponnya,
sambil dengan malu-malu menambahkan, "Nama saya Gillian West."
Sambil melanjutkan perjalanannya malam itu menuju tempat pelaksanaan tugasnya,
senyuman ingin tahu muncul di bibir Mr. Satterthwaite.
Ia berpikir sendiri, "Jadi, begitu masalahnya. 'Bentuk seraut wajah, lengkungan
sebuah rahang!'" Tapi ia memenuhi janjinya.
II Pada Minggu sore keesokan harinya, Mr. Satterthwaite pergi ke Kew Gardens untuk
mengagumi bunga-bunga rhododendron. Dulu sekali (betul-betul dulu sekali,
begitulah menurut perasaan Mr. Satterthwaite) ia mengunjungi Kew Gardens dengan
Mr Quin Yang Misterius The Mysterious Mr. Quin Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seorang gadis untuk melihat-lihat bunga-bunga lonceng biru. Mr. Satterthwaite
telah mengatur dengan hati-hati sekali sebelumnya dalam otaknya, apa tepatnya
yang akan dikatakannya untuk meminta gadis itu menikah dengannya. Ia baru saja
selesai menyusun kata-kata itu dalam otaknya, sambil asal menyahut pada
komentar-komentar gadis itu tentang bunga-bunga lonceng biru, ketika pukulan itu
terjadi. Gadis itu berhenti mengagumi bunga-bunga lonceng biru tersebut, dan
tiba-tiba mencurahkan perasaannya pada Mr. Satterthwaite (sebagai seorang teman
sejati) tentang cintanya pada pemuda lain. Mr. Satterthwaite menyingkirkan
pidato kecil yang telah disiapkannya dan buru-buru mencari kata-kata penghibur
serta penenang yang tersimpan di dasar otaknya.
Begitulah kisah romantis dalam kehidupan Mr. Satterthwaite - agak bergaya Zaman
Victoria Awal, tapi membuatnya terikat secara romantis pada Kew Gardens,
sehingga ia sering pergi ke sana untuk melihat-lihat bunga-bunga lonceng biru,
atau kalau ia berada di luar negeri lebih lama daripada biasanya, bunga-bunga
rhododendron. Dan ia akan mengeluh sendiri dan merasa agak sentimental, sungguh-sungguh menikmati hidupnya sendiri dengan cara agak kuno dan
romantis. Sore hari ini ia sedang berjalan-jalan santai melewati restoran-restoran teh,
ketika ia mengenali dua orang yang sedang duduk di depan sebuah meja kecil di
tengah rerumputan. Mereka adalah Gillian West dan pemuda ceria itu, dan pada
saat yang sama mereka juga mengenalinya. Ia melihat wajah gadis itu memerah,
lalu ia bicara dengan penuh semangat pada temannya. Tak lama kemudian Mr.
Satterthwaite sudah berjabat tangan dengan mereka berdua dengan gayanya yang
sopan, agak resmi, dan menerima undangan malu-malu yang ditawarkan padanya untuk
minum teh dengan mereka. "Saya sangat berterima kasih pada Anda, Sir," kata Mr. Burns, "karena Anda telah
menolong Gillian malam itu. Dia menceritakan semuanya pada saya."
"Ya, sungguh," kata gadis itu. "Anda betul-betul baik hati."
Mr. Satterthwaite merasa senang dan tertarik dengan pasangan itu. Sikap mereka
yang polos dan tulus menyentuh perasaannya. Lagi pula, baginya hal itu adalah
suatu cara untuk melongok ke dalam sebuah dunia yang tidak terlalu dikenalnya.
Mereka berdua memang berasal dari golongan yang tidak diketahuinya.
Dengan caranya yang sedikit kuno, Mr. Satterthwaite bisa menjadi sangat
simpatik. Tak lama kemudian ia sudah mendengar semua hal tentang diri temanteman barunya itu. Ia memperhatikan Gillian kini menyebut Mr. Burns dengan
"Charlie", dan ia tidak heran ketika mereka mengatakan padanya bahwa mereka
berdua telah bertunangan.
"Sebenarnya," kata Mr. Burns terus terang, "baru sore ini kami meresmikannya,
bukan begitu, Gil?" Burns adalah pegawai kantor sebuah perusahaan pelayaran. Gajinya lumayan, dan ia
sendiri juga punya sedikit uang. Mereka berdua merencanakan untuk segera
menikah. Mr. Satterthwaite mendengarkan, mengangguk-angguk, dan memberi selamat.
"Seorang pemuda biasa," katanya dalam hati, "seorang pemuda yang biasa sekali.
Baik, berhati lurus, senang membicarakan dirinya sendiri, mempunyai pendapat
yang baik tentang dirinya sendiri tanpa kesan sombong, serta berwajah tampan
tanpa memberi kesan berlebihan. Tak ada yang istimewa pada dirinya, pokoknya
jenis pemuda yang takkan mencolok dan menggemparkan. Tapi gadis itu
mencintainya...." Dengan keras ia berkata, "Dan Mr. Eastney..."
Ia berhenti dengan sengaja, tapi kata-katanya telah cukup memberikan efek yang
sama sekali tidak disangkanya. Wajah Charlie Burns menjadi merah, dan Gillian
kelihatannya cemas. Lebih dari cemas, pikirnya. Ia kelihatan takut.
"Saya tidak menyukai keadaan ini," kata gadis itu dengan suara lirih. Katakatanya itu ditujukan pada Mr. Satterthwaite, seolah-olah berdasarkan insting ia
tahu Mr. Satterthwaite bisa memahami perasaan yang tak mungkin bisa dimengerti
oleh kekasihnya. "Anda tahu - dia sudah banyak menolong saya. Dia mendorong saya
untuk menyanyi, dan... dan menolong saya melakukannya. Tapi dari dulu saya tahu
suara saya sebenarnya tidak terlalu bagus - bukan suara kelas satu. Tentu saja
saya mendapat tawaran-tawaran...."
Ia berhenti. "Tapi kau juga sering mendapat kesulitan," sambung Burns. "Seorang gadis butuh
seseorang untuk menjaganya. Gillian punya banyak pengalaman yang tidak
menyenangkan, Mr. Satterthwaite. Boleh dibilang begitu. Dia memang cantik,
seperti yang dapat Anda lihat, dan... yah, sering kali itu malah menimbulkan
kesulitan baginya." Lalu, Mr. Satterthwaite mendengarkan cerita tentang berbagai peristiwa yang
samar-samar disebut-sebut oleh Burns sebagai pengalaman yang "tidak
menyenangkan" tadi. Seorang pemuda telah bunuh diri, tingkah laku tak senonoh
seorang manajer bank (padahal ia sudah beristri!), seorang asing yang jahat
(mungkin juga gila!), tingkah laku ganas seorang seniman. Semua itu adalah
serangkaian kejahatan dan tragedi yang telah dialami Gillian West dalam
hidupnya, yang diceritakan oleh Charles Buras dengan nada biasa-biasa saja "Dan
menurut saya," katanya mengakhiri, "pemuda Eastney ini juga sedikit sinting.
Gillian pasti akan mengalami kesulitan juga dengannya, kalau saya tidak segera
muncul untuk menjaganya."
Ia tertawa, dan menurut Mr. Satterthwaite suaranya terdengar sedikit konyol.
Wajah gadis itu tidak menunjukkan reaksi apa-apa. Ia melihat dengan sungguhsungguh pada Mr. Satterthwaite.
"Phil cukup lumayan," katanya pelan. "Dia sayang pada saya, saya tahu itu, dan
saya juga menyayanginya sebagai seorang teman, tapi... tapi tidak lebih dari
itu. Saya tidak tahu bagaimana sikapnya nanti kalau menerima kabar tentang
Charlie. Dia... saya takut sekali dia akan..."
Ia berhenti, tak bisa melukiskan bahaya yang samar-samar dirasakannya.
"Kalau saya bisa menolong Anda," kata Mr. Satterthwaite, "silakan katakan."
Ia merasa Charlie Burns kelihatan agak jengkel, tapi Gillian segera berkata,
"Terima kasih."
Mr. Satterthwaite meninggalkan teman-teman barunya setelah berjanji untuk minum
teh lagi dengan Gillian pada hari Kamis berikutnya.
Ketika hari Kamis tiba, Mr. Satterthwaite merasa sedikit bersemangat. Ia
berpikir, "Aku ini cuma seorang tua - tapi tidak terlalu tua sampai tidak bisa
tertarik dengan seraut wajah. Seraut wajah." Kemudian ia menggelengkan kepala
dengan khawatir. Gillian sendirian saja. Charlie Burns akan datang menyusul nanti. Ia tampak jauh
lebih bahagia, pikir Mr. Satterthwaite, seolah-olah sebuah beban telah terangkat
dari bahunya. Sungguh, ia sendiri juga mengakuinya.
"Saya tadinya takut sekali mengatakan pada Phil tentang Charles. Saya memang
konyol. Mestinya saya harus mengenal Phil lebih baik. Dia memang kecewa, tentu
saja, tapi tak mungkin ada orang lain yang bisa bersikap lebih manis dari
dirinya. Dia sungguh-sungguh manis. Lihat apa yang dikirimnya untuk saya pagi
ini - sebuah hadiah perkawinan. Hebat, bukan?"
Memang hadiah itu agak terlalu hebat untuk seorang pemuda dengan kondisi seperti
Philip Eastney. Sebuah pesawat radio empat-band dengan model mutakhir.
"Kami berdua sangat mencintai musik, Anda tahu," gadis itu menjelaskan. "Phil
berkata kalau saya sedang mendengarkan konser di radio ini, maka saya harus
memikirkannya sedikit. Dan saya yakin akan selalu memikirkannya, karena kami
teman akrab." "Anda pasti bangga punya teman seperti dia," kata Mr. Satterthwaite lembut.
"Tampaknya dia telah menerima pukulan itu dengan jantan."
Gillian mengangguk. Mr. Satterthwaite melihat air mata membayang di matanya.
"Dia meminta saya melakukan satu hal untuknya Malam ini menandai pertemuan kami
setahun yang lalu. Dia meminta saya tinggal di rumah sendirian saja malam ini
Pendekar Latah 25 Pendekar Muka Buruk Pendekar Berwajah Seribu Karya Tjan Id Pendekar Guntur 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama