Misteri Kereta Api Biru The Mystery Of The Blue Train Karya Agatha Christie Bagian 2
kecepatan yang selalu diperlihatkan oleh perusahaan kereta api itu, dan
meletakkan dua mangkuk sup di hadapan mereka. Menjelang disuguhkannya kue dadar
yang menyusul sup, mereka sudah mulai mengobrol dengan cara bersahabat.
"Alangkah senangnya kita berada di tempat yang disinari matahari nanti," desah
Ruth. "Saya yakin itu akan menyenangkan."
"Apakah Anda sudah mengenal Riviera dengan baik."
"Tidak, inilah untuk pertama kalinya saya ke sana."
"Bayangkan." "Saya yakin, Anda ke sana setiap tahun, ya?"
"Boleh dikatakan begitu. Bulan-bulan Januari dan Februari di London sangat tak
enak." "Saya selalu tinggal di pedesaan. Di sana pun bulan-bulan itu memang tidak
begitu menyenangkan. Sering berlumpur."
"Apa yang membuat Anda tiba-tiba memutuskan untuk bepergian?"
"Uang," kata Katherine. "Sepuluh tahun lamanya saya bekerja sebagai pendamping
bayaran, yang hanya mempunyai uang pas-pasan untuk membeli sepasang sepatu
pedesaan yang kuat. Sekarang saya mendapat uang warisan yang bagi saya banyak
sekali jumlahnya, meskipun saya yakin bahwa jumlah itu bagi Anda tak seberapa."
"Saya heran mengapa Anda berkata begitu - bahwa jumlah uang itu tak seberapa
bagi saya." Katherine tertawa. "Sebenarnya saya tak tahu. Saya rasa kita menyimpulkan kesan
tanpa memikirkannya. Dalam bayangan saya, Anda saya gambarkan sebagai salah
seorang yang kaya sekali di bumi ini. Itu hanya suatu kesan. Mungkin saya
keliru." "Tidak," kata Ruth, "Anda tidak keliru." Tiba-tiba dia bersungguh-sungguh. "Saya
ingin Anda mengatakan pada saya, kesan-kesan lain yang Anda dapatkan mengenai
diri saya." "Saya - " Tanpa memperhatikan rasa tak enak yang mungkin dialami lawan bicaranya, Ruth
mendesak terus, "Sudahlah, jangan terlalu kaku. Saya ingin tahu. Waktu kita berangkat dari
Stasiun Victoria saya melihat Anda, dan saya punya semacam perasaan bahwa Anda katakanlah, mengerti apa yang sedang berkecamuk di dalam pikiran saya."
"Perlu benar Anda ketahui bahwa saya tak pandai membaca pikiran orang," kata
Katherine sambil tersenyum.
"Memang tidak, tapi tolonglah katakan bagaimana pendapat Anda." Demikian besar
dan sungguh-sungguhnya keinginan Ruth itu, hingga dia mendapatkan apa yang
diingininya. "Akan saya ceritakan kalau itu memang benar-benar keinginan Anda, tapi jangan
katakan saya kurang ajar. Saya rasa, Anda sedang bingung sekali, entah karena
apa, dan saya kasihan sekali pada Anda."
"Tepat. Anda memang benar. Saya sedang dalam kesulitan besar. Saya - saya ingin
menceritakan sesuatu mengenai hal itu pada Anda, kalau boleh."
"Aduh," pikir Katherine, "sama benar agaknya dunia ini di mana-mana! Orang-orang
selalu menceritakan macam-macam padaku di St. Mary Mead, dan di sini pun rupanya
sama saja. Padahal aku sebenarnya tak ingin mendengar kesulitan-kesulitan orang
lain!" Namun dia menjawab dengan sopan,
"Silakan cerita."
Mereka baru saja menyelesaikan makan mereka. Ruth langsung meneguk kopinya
sampai habis, bangkit dari tempat duduknya. Dan meskipun dilihatnya bahwa
Katherine sama sekali belum sempat meneguk kopinya, dia berkata, "Mari, ikut ke
kamar saya." Kamar itu merupakan dua buah kamar tunggal yang dihubungkan oleh sebuah pintu.
Di kamar yang di sebelah, seorang pelayan kurus yang telah dilihat Katherine di
stasiun Victoria, duduk tegak di bangkunya, sambil memeluk sebuah kopor besar
dari kulit kambing yang di atasnya bertuliskan huruf-huruf awal sebuah nama:
R.V.K. Nyonya Kettering menutup pintu penghubung itu lalu menghempaskan diri di
tempat duduknya. Katherine duduk di sampingnya.
"Saya sedang dalam kesulitan dan saya tak tahu apa yang harus saya perbuat. Ada
seorang laki-laki yang saya cintai - amat saya cintai. Sudah sejak muda kami
saling mencinta, tapi kami dipisahkan secara kasar dan tak adil. Sekarang kami
bersatu kembali." "Ya?" "Sekarang ini - saya - akan menemuinya. Oh! Saya yakin Anda berkata bahwa
semuanya itu salah, tapi Anda tak tahu keadaannya. Suami saya jahat sekali. Dia
memperlakukan saya dengan cara yang memalukan."
"Ya," kata Katherine lagi.
"Yang mengacaukan perasaan saya adalah ini. Saya telah menipu ayah saya beliaulah yang mengantar saya di Stasiun Victoria tadi itu. Ayah ingin agar saya
minta cerai dari suami saya, dan beliau tentulah tak tahu-menahu - bahwa saya
akan menemui laki-laki yang seorang lagi itu. Kalau beliau tahu tentu akan
dikatakannya saya bodoh sekali."
"Lalu, menurut Anda sendiri apakah tidak demikian?"
"Saya - saya rasa begitulah."
Ruth Kettering memandangi tangannya - tangan itu gemetar kuat.
"Tapi sekarang saya tak bisa menarik diri lagi."
"Mengapa tidak?"
"Saya - semuanya sudah diatur, dan dia akan patah hati."
"Jangan percaya," kata Katherine tegas, "hati itu alot."
"Dia akan berpikir bahwa saya tak punya keberanian, tak punya kekuatan dan
pendirian." "Saya rasa apa yang akan Anda lakukan memang bodoh," kata Katherine. "Dan saya
rasa Anda pun menyadarinya sendiri."
Ruth Kettering menutup mukanya dengan tangannya. "Entahlah - aku tak tahu. Sejak
meninggalkan Stasiun Victoria tadi saya punya perasaan yang mengerikan - sesuatu
yang akan terjadi atas diri saya dalam waktu dekat - sesuatu yang tak dapat saya
hindari." Dia mencengkam tangan Katherine kuat-kuat.
"Mungkin Anda berpikir bahwa saya ini gila, berbicara begini dengan Anda, tapi
ketahuilah, saya tahu sesuatu yang mengerikan akan terjadi."
"Jangan pikirkan itu," kata Katherine, "coba kuatkan hati Anda. Anda masih bisa
mengirim telegram pada Ayah Anda dari Paris bila Anda mau, dan dia pasti akan
segera datang pada Anda."
Yang diajak bicara menjadi cerah.
"Ya, saya bisa berbuat begitu. Ah, Ayah tersayang. Sungguh aneh - tapi sampai
hari ini saya tidak menyadari betapa amat sayangnya saya padanya." Dia duduk
tegak lalu menyeka matanya dengan sapu tangan. "Saya bodoh sekali. Terima kasih
banyak, Anda telah membiarkan saya berbicara dengan Anda. Saya tak mengerti
mengapa saya sampai berkeadaan aneh dan histeris begini."
Dia bangkit. "Saya sudah tak apa-apa sekarang. Saya rasa, saya memang benarbenar memerlukan seorang teman bicara. Sekarang saya tak mengerti mengapa saya
telah berbuat begitu bodoh." Katherine juga bangkit.
"Saya senang Anda telah merasa lebih baik," katanya, berusaha membuat supaya
suaranya terdengar biasa-biasa saja. Dia sadar sekali bahwa akibat dari
terbukanya rahasia diri, adalah perasaan malu. Lalu ditambahkannya dengan bijak,
"Saya harus kembali ke kamar saya sendiri." Dia keluar ke lorong kereta api
bersamaan dengan pelayan Nyonya Kettering yang juga keluar dari kamar
sebelahnya. Pelayan itu menoleh ke arah belakang Katherine - air mukanya
kelihatan sangat terkejut. Katherine juga menoleh - tetapi waktu itu, orang yang
tadi agaknya menarik perhatian pelayan itu telah masuk lagi ke dalam kamarnya,
dan lorong itu kosong. Katherine berjalan di sepanjang lorong itu untuk kembali
ke kamarnya, yang berada di gerbong berikutnya. Waktu dia melewati kamar yang
terujung, pintu kamar itu terbuka dan wajah seorang wanita melongok ke luar
sebentar, lalu menutup pintunya cepat-cepat. Wajah itu tak mudah dilupakan,
sebagaimana yang dialami Katherine waktu dia kemudian melihatnya lagi. Wajah
yang cantik, berbentuk bulat telur, dan dipolesi make up hebat sekali. Katherine
merasa bahwa dia pernah melihatnya di suatu tempat.
Dia sampai di kamarnya sendiri tanpa pengalaman lain dan duduk beberapa lamanya
memikirkan rahasia diri yang diceritakan padanya tadi. Dengan santai dia
berpikir, siapa gerangan wanita yang memakai mantel dari bulu binatang itu, dan
yang berpikir pula bahwa hidupnya akan berakhir.
"Kurasa aku telah berbuat suatu kebaikan, kalau aku memang telah berhasil
mencegah seseorang berbuat bodoh," pikirnya. "Tapi siapa tahu. Wanita itu
kelihatannya keras kepala dan sepanjang hidupnya hanya memikirkan dirinya
sendiri saja. Mungkin akan baik baginya melakukan sesuatu yang lain, sekedar
suatu perubahan. Ah, sudahlah - kurasa aku tidak akan pernah bertemu dengan dia
lagi. Dia pasti tak ingin bertemu denganku lagi. Itulah akibat yang paling buruk
bila kita membiarkan orang menceritakan tentang dirinya sendiri pada kita."
Dia berharap semoga dia tidak diberi tempat yang sama lagi pada waktu makan
malam nanti. Dibayangkannya, dengan rasa humor, bahwa kedua pihak akan merasa
tak enak. Dia menyandarkan kepalanya di bantal, dia merasa letih dan agak
tertekan. Mereka telah tiba di Paris, dan perjalanan yang lamban mengitari
daerah seputar Paris yang sering terhenti-henti dan banyak menunggu, meletihkan
sekali. Waktu mereka tiba di Gare de Lyon, Katherine merasa senang bisa keluar
dan berjalan-jalan hilir-mudik di peron. Udara yang dingin menusuk, sangat
menyegarkan, setelah udara panas beruap di dalam kereta api. Dengan tersenyum
dia melihat bahwa temannya yang bermantel dari bulu binatang tadi, telah
mencegah rasa tak enak yang mungkin timbul pada waktu makan malam dengan caranya
sendiri. Sebuah keranjang berisi makan malam sedang diulurkan dan disambut oleh
pelayannya melalui jendela.
Waktu kereta api mulai berjalan lagi, dan diberitahukan bahwa waktu makan malam
telah tiba dengan bunyi lonceng yang nyaring, Katherine pergi ke kereta
restorasi dengan perasaan lega. Orang yang duduk berhadapan dengan dia malam
itu, lain sekali macamnya - dia adalah seorang pria kecil, berpenampilan asing,
berkumis kaku seperti diberi lilin, dan kepalanya yang berbentuk telur itu
sering dimiringkannya. Waktu masuk ke ruang makan tadi, Katherine membawa sebuah
buku. Dilihatnya mata laki-laki kecil itu melekat pada buku itu, dan tampak mata
itu menyinarkan rasa senang.
"Saya lihat Anda memiliki buku roman kejahatan, Nyonya. Sukakah Anda pada buku
jenis itu?" "Buku-buku begini menghibur saya," Katherine mengaku.
Pria kecil itu mengangguk dengan air muka penuh pengertian. "Kata orang, bukubuku macam itu laku sekali. Mengapa, menurut Anda, Nona" Saya tanyakan itu
karena ingin tahu, mengapa sifat manusia begitu?"
Katherine makin merasa senang.
"Mungkin buku-buku itu memberikan kesan pada kita, seolah-olah kita menjalani
hidup yang penuh dengan peristiwa," Katherine berpendapat.
Pria itu mengangguk dengan tenang.
"Memang ada benarnya."
"Orang tentu tahu bahwa hal-hal seperti itu tidak benar-benar terjadi," sambung
Katherine, tetapi pria itu memotongnya dengan tajam,
"Kadang-kadang, Nona! Kadang-kadang! Saya sendiri - kejadian seperti itu telah
terjadi atas diri saya."
Katherine cepat melemparkan pandangannya pada pria itu karena merasa tertarik.
"Siapa tahu, pada suatu hari, Anda pun akan benar-benar terlibat dalam kejadian
seperti itu," katanya lagi. "Semuanya itu mungkin."
"Saya rasa tak mungkin," kata Katherine. "Tak pernah hal semacam itu terjadi
atas diri saya." Pria itu menyandarkan dirinya ke depan.
"Apakah Anda ingin hal itu terjadi?"
Pertanyaan itu mengejutkan Katherine, dan dia menahan napasnya.
"Mungkin hanya angan-angan saya," kata pria itu, sambil menggosok salah sebuah
garpu dengan cekatan, "tapi saya rasa Anda menginginkan terjadinya hal-hal yang
menarik. Eh bien, Nona, sepanjang hidup saya, saya mengamati satu hal - 'Semua
yang diingini seseorang tentu diperolehnya!' Siapa tahu?" Wajahnya berubah
menjadi lucu. "Kita bahkan bisa mendapatkan lebih daripada yang kita harapkan."
"Apakah itu suatu ramalan?" kata Katherine, tersenyum, sambil bangkit dari meja
makan itu. Pria kecil itu menggeleng.
"Saya tak pernah meramal," katanya menepuk dadanya. "Tapi kenyataannya, saya
selalu benar - tapi saya bukan membanggakannya. Selamat malam, Nona, mudahmudahan Anda bisa tidur nyenyak."
Katherine kembali berjalan di sepanjang kereta api dengan merasa senang dan
terhibur oleh teman semejanya yang kecil itu. Dia melewati pintu kamar temannya
tadi, dalam keadaan terbuka, dan dilihatnya kondektur sedang menyiapkan tempat
tidur. Wanita yang bermantel bulu binatang itu sedang berdiri di jendela,
memandang ke luar. Melalui pintu penghubung, Katherine melihat bahwa kamar di
sebelahnya kosong. Selimut-selimut dan tas-tas tertumpuk di tempat duduk.
Pelayannya tak ada di kamar itu.
Katherine mendapatkan tempat tidurnya sendiri sudah disiapkan, dan karena dia
letih, dia langsung bersiap-siap untuk tidur dan memadamkan lampu, kira-kira
pukul setengah sepuluh. Dia terbangun tersentak - dia tak tahu berapa lama waktu telah berlalu. Waktu
dia melihat arlojinya, didapatkannya arloji itu mati. Dia diserang rasa cemas
yang makin lama makin kuat. Akhirnya dia bangun, diselubungkan gaun kamarnya ke
bahu, lalu melangkah ke luar, ke lorong kereta api. Agaknya seluruh kereta api
sedang terselubung tidur. Katherine menurunkan jendela kamarnya, lalu duduk di
dekat jendela itu beberapa menit lamanya, menghirup udara malam yang sejuk dan
mencoba menenangkan rasa takut yang mengganggunya, namun gagal. Kemudian dia
memutuskan akan pergi ke ujung kereta api dan menanyakan jam pada kondektur,
supaya dia bisa mencocokkan jamnya. Namun Katherine menemukan kursi kondektur
kosong. Dia bimbang sebentar lalu berjalan terus ke kereta berikutnya. Dia
memandang ke sepanjang lorong yang samar-samar, dan merasa heran melihat seorang
laki-laki sedang berdiri dengan tangannya memegang pintu kamar yang ditempati
wanita bermantel bulu binatang itu. Artinya, menurut perkiraannya, itu adalah
kamar wanita itu. Tapi mungkin saja dia keliru. Laki-laki itu berdiri saja di
situ sesaat dengan membelakangi Katherine - dia kelihatan bimbang dan ragu akan
tindakannya sendiri. Lalu laki-laki itu berbalik, dan dengan perasaan terancam
bahaya, Katherine mengenalinya - dia adalah laki-laki yang telah dilihatnya dua
kali sebelumnya, sekali di lorong Hotel Savoy dan sekali lagi di kantor Cook.
Lalu dibukanya pintu kamar itu dan masuk, sambil menutup pintunya.
Terkilas suatu gagasan dalam pikiran Katherine. Mungkinkah ini laki-laki yang
dibicarakan wanita itu - laki-laki yang akan ditemuinya dalam perjalanan itu.
Lalu Katherine menegur dirinya, bahwa dia sedang mengangankan suatu roman. Besar
sekali kemungkinannya bahwa dia keliru mengenai kamar itu.
Dia kembali ke gerbongnya. Lima menit kemudian kereta api mengurangi
kecepatannya. Terdengar desis rem buatan Westinghouse yang seperti orang
mendesah, dan beberapa menit kemudian kereta api berhenti di Lyons.
Bab 11 PEMBUNUHAN Esok paginya Katherine bangun disambut sinar matahari yang cemerlang. Dia pergi
makan pagi awal-awal, tetapi tidak bertemu dengan kedua teman yang baru
dikenalnya sehari sebelumnya. Waktu dia kembali ke kamarnya, kamar itu sudah
dibenahi oleh kondektur, seorang laki-laki berambut hitam, berkumis melengkung
ke bawah, dan berwajah murung.
"Nyonya bernasib baik," katanya, "matahari bersinar cerah. Para penumpang selalu
merasa kecewa bila mereka tiba pada pagi hari yang kelabu."
"Saya pun pasti akan kecewa juga, kalau demikian halnya," kata Katherine.
Laki-laki itu bersiap-siap untuk pergi lagi.
"Kita agak terlambat, Nyonya," katanya. "Akan saya beritahu Anda kalau kita
hampir tiba di Nice."
Katherine mengangguk. Dia duduk di dekat jendela, terpesona oleh pemandangan
yang bermandikan sinar matahari. Pohon-pohon palma, air laut yang berwarna biru
tua, bunga-bunga mimosa yang berwarna kuning, semuanya punya daya tarik penuh
keindahan bagi wanita yang selama empat belas tahun hanya mengenal musim salju
yang membosankan di Inggris.
Waktu mereka tiba di Cannes, Katherine turun dan berjalan-jalan hilir-mudik di
peron. Ingin benar dia tahu tentang wanita yang bermantel bulu binatang, dan
menengadah melihat ke jendela kamarnya. Kerainya masih terpasang - satu-satunya
yang masih terpasang di seluruh kereta api. Katherine agak heran, dan ketika
masuk kembali ke kereta api dan berjalan di sepanjang lorong, dilihatnya bahwa
penutup kaca pintu dari kedua kamar itu masih tertutup pula. Wanita bermantel
bulu binatang itu rupanya tak biasa bangun pagi.
Kemudian kondektur datang padanya dan mengatakan bahwa beberapa menit lagi
kereta akan tiba di Nice. Katherine memberinya upah - laki-laki itu mengucapkan
terima kasih padanya, tetapi masih belum mau pergi. Ada sesuatu yang aneh pada
diri laki-laki itu. Katherine yang mula-mula menyangka bahwa upah yang
Misteri Kereta Api Biru The Mystery Of The Blue Train Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
diberikannya kurang banyak, kini yakin bahwa ada sesuatu yang lebih penting yang
kurang beres. Wajahnya pucat seperti orang sakit, seluruh tubuhnya gemetar, dan
dia tampak ketakutan setengah mati. Laki-laki itu memandangnya dengan cara yang
aneh. Akhirnya dia tiba-tiba berkata, "Maafkan saya, Nyonya, apakah ada temanteman yang akan menjemput di Nice?"
"Mungkin ada," kata Katherine. "Mengapa?"
Tetapi laki-laki itu hanya menggeleng dan menggumamkan sesuatu yang tak dapat
didengar oleh Katherine, lalu pergi, dan tak muncul lagi sampai kereta api
berhenti di stasiun. Laki-laki itu lalu mengulurkan barang-barang Katherine dari
jendela. Sesaat lamanya Katherine berdiri saja agak kebingungan di peron, lalu seorang
pria muda yang berambut pirang dan berwajah ramah mendatanginya dan berkata agak
ragu, "Apakah Anda Nona Grey?"
Katherine berkata bahwa dia benar, dan wajah anak muda itu menjadi cerah seperti
bidadari, lalu bergumam, "Saya Chubby - suami Lady Tamplin. Saya berharap dia
sudah menceritakan tentang saya, tapi mungkin dia lupa. Apakah kartu barangbarang Anda ada pada Anda" Waktu saya tiba di sini tahun lalu, kartu barangbarang saya hilang, dan Anda tidak akan bisa membayangkan betapa ributnya
petugas-petugas di sini karenanya. Biasa, urusan bea cukai Prancis!"
Katherine memberikan kartu itu, dan ketika baru saja akan melangkah berjalan
bersama laki-laki itu, suatu suara yang sangat halus dan bernada busuk bergumam
di telinganya, "Maaf sebentar, Nyonya."
Katherine menoleh dan melihat seseorang yang tubuhnya tidak begitu besar - dia
mengenakan pakaian seragam yang banyak sekali pita-pita keemasannya. Orang itu
menjelaskan, "Ada beberapa hal yang harus diselesaikan. Silakan Nyonya mengikuti
saya. Perintah kepolisian - " Dia mengangkat lengannya. "Memalukan memang, tapi
ya, begitulah." Tuan Chubby Evans ikut mendengarkan, tetapi tidak begitu mengerti, karena bahasa
Prancisnya sangat terbatas.
"Ciri khas orang Prancis," gumam Tuan Evans. Dia adalah seorang Inggris sejati
yang cinta tanah airnya, yang sudah tinggal di negeri asing seperti di tanah
airnya sendiri, tetapi sangat membenci penduduk asli negeri itu. "Selalu saja
mereka berbuat bodoh begini. Tapi mereka belum pernah mengganggu orang di
stasiun seperti ini. Ini sesuatu yang benar-benar baru. Saya rasa Anda harus
ikut dia." Katherine pergi mengikuti penunjuk jalannya. Dia heran karena dia diajak menuju
ke cabang jalan kereta api di mana sebuah gerbong kereta api yang sudah
berangkat dilansir. Penunjuk jalannya tadi mempersilakannya naik ke gerbong itu,
dan berjalan mendahuluinya di lorong, lalu membukakannya pintu sebuah kamar. Di
dalam kamar itu ada seorang pejabat yang kelihatannya angkuh, dan dia didampingi
oleh seseorang yang sukar dilukiskan, ternyata pembantunya. Orang yang tampak
angkuh itu bangkit dengan sopan, membungkuk pada Katherine, lalu berkata,
"Maafkan saya, Nyonya, ada beberapa hal yang harus kita selesaikan. Saya percaya
Nyonya pandai berbahasa Prancis?"
"Saya rasa cukup mampu, Monsieur," sahut Katherine dalam bahasa itu.
"Bagus. Silakan duduk, Nyonya. Saya M. Caux, komisaris polisi." Dia membusungkan
dadanya menyatakan pentingnya kedudukannya, dan Katherine berusaha supaya
kelihatan terkesan. "Apakah Anda ingin melihat paspor saya?" tanya Katherine. "Ini, silakan."
Komisaris itu memandangnya dengan tajam lalu bersungut sedikit.
"Terima kasih, Nyonya," katanya sambil mengambil paspor itu. Dia menelan air
liurnya. "Tapi yang saya inginkan adalah sedikit informasi."
"Informasi?" Komisaris mengangguk perlahan-lahan.
"Mengenai seorang wanita teman seperjalanan Anda. Anda makan siang bersamanya
kemarin." "Saya rasa saya tidak bisa menceritakan apa-apa tentang dirinya. Sambil makan
kami bercakap-cakap, tapi saya sama sekali tak kenal padanya. Saya tak pernah
berteman dengannya sebelumnya."
"Namun demikian," kata Komisaris tajam, "Anda mengikutinya kembali masuk ke
kamarnya setelah makan siang itu, dan duduk-duduk bercakap-cakap beberapa
lamanya." "Benar," kata Katherine.
Agaknya komisaris itu ingin Katherine mengatakan lebih banyak daripada itu. Dia
memandang Katherine dengan pandangan mendorong.
"Ya, Nyonya?" "Lalu, Monsieur?" Katherine balik bertanya.
"Dapatkah Anda menceritakan garis besar dari percakapan itu?"
"Bisa saja," kata Katherine, "tapi saya tidak melihat alasan untuk berbuat
begitu." Sebagai seorang Inggris dia merasa jengkel. Perwira polisi itu dianggapnya tak
sopan. "Tak ada alasan?" seru komisaris itu. "Oh ya, Nyonya, jelas ada alasannya."
"Kalau begitu berikan alasan itu."
Komisaris itu menggosok-gosok dagunya beberapa lamanya tanpa berkata apa-apa.
"Nyonya," katanya akhirnya, "alasannya sederhana sekali. Wanita yang saya maksud
itu kedapatan meninggal di dalam kamarnya pagi ini."
"Meninggal!" seru Katherine. "Karena apa - serangan jantungkah?"
"Bukan," kata Komisaris dengan suara seperti orang yang sedang termenung atau
bermimpi. "Tidak - dia terbunuh."
"Terbunuh!" seru Katherine.
"Nah, sekarang Anda tahu, Nyonya, mengapa kami sangat menginginkan informasi
yang bisa kami peroleh."
"Tapi pelayannya tentu - "
"Pelayannya telah menghilang."
"Oh!" Katherine diam sebentar untuk mengumpulkan ingatannya.
"Karena kondektur melihat Anda bercakap-cakap dengan wanita itu di dalam
kamarnya, wajarlah kalau dia melaporkannya pada polisi. Dan itulah sebabnya,
Nyonya, kami menahan Anda, dengan harapan mendapatkan informasi."
"Maaf," kata Katherine, "saya bahkan tak tahu siapa namanya."
"Namanya Kettering. Kami tahu itu dari paspornya dan dari kartu nama yang
tertempel pada barang-barang bagasinya. Kalau kami - "
Terdengar ketukan pada pintu kamar itu. M. Caux mengerutkan alisnya. Pintu itu
dibukanya kira-kira enam inci.
"Ada apa?" katanya tegas. "Saya tak bisa diganggu."
Di celah pintu yang terbuka itu tampak kepala orang yang berbentuk telur, orang
yang makan malam bersama Katherine di kereta api. Di wajahnya tampak senyum yang
cerah. "Nama saya Hercule Poirot," katanya.
"Bukankah," kata komisaris itu tergagap, "bukankah Hercule Poirot yang terkenal
itu?" "Ya, itulah dia," kata Poirot. "Saya ingat saya pernah bertemu dengan Anda, M.
Caux, di Markas Besar Kepolisian di Paris, meskipun Anda pasti sudah lupa pada
saya." "Sama sekali tidak, Monsieur, sama sekali tidak," kata komisaris itu dengan
ramah sekali. "Mari, silakan masuk. Apakah Anda tahu tentang - ?"
"Ya, saya tahu," kata Hercule Poirot. "Saya datang untuk melihat kalau-kalau
saya bisa membantu."
"Dengan segala senang hati," sahut Komisaris dengan cepat. "Saya perkenalkan
dulu, M. Poirot, pada - ." Dia melihat dulu ke paspor yang masih dipegangnya "pada Nyonya - eh - Nona Grey."
Poirot tersenyum pada Katherine.
"Aneh bukan," gumamnya, "bahwa kebenaran kata-kata saya terbukti begitu cepat?"
"Tetapi sayang! Sedikit sekali yang bisa diceritakan Nona ini kepada kita," kata
Komisaris. "Telah saya jelaskan," kata Katherine, "bahwa wanita malang itu benar-benar tak
saya kenal." Poirot mengangguk. "Padahal dia bercakap-cakap dengan Anda, bukan?" katanya dengan halus. "Anda
bisa mendapatkan kesan, bukan?"
"Ya" kata Katherine termangu. "Saya rasa begitu."
"Kesan apa - ?"
"Ya, Nona - " Komisaris itu tiba-tiba bergerak maju - "tolong katakan kesan
Anda." Katherine membalik-balik seluruh kejadian itu dalam pikirannya. Ada dirasakannya
bahwa dia mengkhianati suatu rahasia yang sudah dipercayakan kepadanya, tetapi
dengan mendengungnya kata 'pembunuhan' di telinganya, dia tak berani
menyembunyikan apa-apa lagi. Mungkin akan besar sekali akibatnya. Maka sedapatdapatnya, diulanginyalah percakapannya dengan wanita yang sudah meninggal itu,
kata demi kata. "Menarik sekali," kata Komisaris sambil memandang pada M. Poirot. "M. Poirot,
menarik bukan" Ada-tidaknya hubungannya dengan kejahatan itu - " Kalimat itu
tidak disudahinya. "Saya rasa itu mungkin perbuatan bunuh diri," kata Katherine agak ragu.
"Tidak," kata Komisaris, "itu tak mungkin bunuh diri. Dia dijerat dengan seutas
tali hitam." "Aduh!" kata Katherine, dia bergidik. M. Caux merentangkan tangannya bersikap
meminta maaf. "Memang tidak menyenangkan. Saya rasa perampok kereta api di sini
lebih kejam daripada yang di negeri Anda."
"Mengerikan sekali."
"Ya, ya - " Dia menenangkan Katherine dan bersikap minta maaf - "tapi Anda punya
keberanian besar, Nona. Segera setelah melihat Anda, saya berkata pada diri
sendiri, 'Nona ini punya keberanian besar.' Sebab itu, saya akan meminta Anda
berbuat sesuatu lagi - sesuatu yang tidak menyenangkan, tapi jelas sangat
penting." Katherine memandangnya dengan pengertian.
M. Caux merentangkan tangannya lagi seakan meminta maaf.
"Saya akan meminta Anda, Nona, untuk menyertai saya ke kamar sebelah."
"Haruskah itu?" tanya Katherine dengan suara halus.
"Harus ada seseorang yang mengenalinya," kata Komisaris. "Dan karena pelayannya
sudah menghilang - " dia mendehem nyaring - "agaknya Andalah yang paling banyak
melihatnya sejak dia naik kereta api ini."
"Baiklah," kata Katherine dengan tenang, "bila itu memang perlu - "
Katherine bangkit. Poirot mengangguk padanya tanda memuji.
"Nona memang bijak," katanya. "Bolehkah saya ikut kalian, M. Caux?"
"Tentu, M. Poirot."
Mereka berjalan ke luar, ke lorong gerbong, dan M. Caux membuka kunci pintu
kamar wanita yang sudah meninggal itu. Kerai di ujung sudah diangkat setengah
untuk mendapatkan cahaya matahari. Wanita itu terbaring di tempat tidur kereta,
di sebelah kiri mereka. Sikap tidurnya demikian wajarnya, hingga orang akan
menyangka bahwa dia benar-benar sedang tidur. Alas tempat tidur menutupi
tubuhnya, dan kepalanya berpaling ke dinding, hingga hanya rambutnya yang ikal
yang berwarna merah kecoklatan saja yang nampak. M. Caux menaruh tangannya di
pundak wanita yang sudah meninggal itu dengan lembut, lalu membalikkan tubuh itu
sehingga wajahnya kelihatan. Katherine mundur sedikit dan menekankan kukunya di telapak tangannya. Suatu pukulan hebat telah
merusak wajah wanita itu hingga hampir-hampir tak bisa dikenali. Poirot
mengucapkan kata seru. "Kapan pemukulan itu dilakukan?" tanyanya. "Sebelum atau sesudah kematian?"
"Menurut dokter, sesudah," kata M. Caux.
"Aneh," kata Poirot sambil mempertautkan alisnya. Dia berpaling pada Katherine.
"Kuatkan hati, Nona - perhatikan dia baik-baik. Apakah Anda yakin bahwa inilah
wanita yang bercakap-cakap dengan Anda dalam kereta api kemarin?"
Katherine memang punya syaraf yang kuat. Dikuatkannya lagi hatinya untuk
memperhatikan wajah yang sudah rusak itu lama-lama dan bersungguh-sungguh. Lalu
dia membungkuk ke depan dan mengambil tangan wanita yang sudah meninggal itu.
"Saya yakin sekali," katanya akhirnya. "Wajahnya sudah terlalu rusak untuk
dikenali, tapi bentuk tubuhnya, warna rambutnya sama benar, apalagi, saya
melihat ini - " Dia menunjuk sebuah tahi lalat kecil di pergelangan tangan wanita
itu - "sementara saya bercakap-cakap dengan dia."
"Bon," Poirot membenarkan. "Anda memang seorang saksi mata yang hebat, Nona.
Jadi, mengenai pengenalannya tak perlu diragukan lagi, tapi bagaimanapun juga,
aneh sekali." Dia memandangi wanita yang sudah meninggal itu dengan bingung
sambil mengerutkan alisnya.
M. Caux mengangkat bahunya.
"Pembunuhnya pasti diamuk rasa murka besar," katanya mengeluarkan pendapatnya.
"Bila kematiannya disebabkan pukulan, itu bisa dipahami," kata Poirot merenung.
"Tapi orang yang menjeratnya menyelinap dari belakang dan menangkapnya tanpa
disadarinya. Bunyi tercekik halus - bunyi seperti orang berkumur-kumur sedikit hanya itulah yang terdengar - dan sesudah itu, pukulan yang menghancurkan itu di
mukanya. Tapi, mengapa" Apakah dia berharap bahwa bila wajah itu tak dapat
dikenali lagi, maka orang tak tahu lagi siapa dia" Ataukah dia demikian bencinya
pada almarhumah hingga dia tak dapat menahan napsunya untuk menghantamkan
pukulan itu setelah wanita itu meninggal sekalipun?"
Katherine bergidik, dan Poirot segera berpaling padanya dengan ramah.
"Jangan Anda sampai merasa sengsara, Nona," katanya. "Bagi Anda semuanya ini
benar-benar baru dan mengerikan. Bagi saya - sayang sekali! - ini merupakan
cerita lama. Sebentar, saya minta pada Anda berdua."
Mereka berdiri di dekat pintu sambil memperhatikan dia berjalan cepat
berkeliling kamar itu. Dilihatnya bahwa pakaian wanita yang sudah meninggal itu
terlipat rapi di ujung tempat tidur kecil itu, mantel dari bulu binatang
tergantung pada cantelan, topi kecil yang dipernis merah terlempar di rak. Lalu
dia berjalan ke kamar sebelahnya, di mana Katherine waktu itu melihat si pelayan
duduk. Di situ tempat tidurnya belum dibenahi. Tiga atau empat helai selimut
bertumpuk sembarangan di tempat tidur - ada sebuah kotak topi dan beberapa buah
kopor. Tiba-tiba dia berpaling pada Katherine.
"Kemarin Anda berada di dalam sini," katanya. "Adakah Anda melihat suatu
perubahan atau sesuatu yang kurang sekarang?"
Dengan cermat Katherine melihat-lihat kedua kamar itu.
"Ya," katanya, "ada sesuatu yang hilang - sebuah peti kecil dari kulit kambing
berwarna merah tua. Di peti itu ada tulisan huruf-huruf awal sebuah nama
'R.V.K.'. Mungkin itu sebuah peti untuk alat-alat kecantikan atau sebuah peti
perhiasan besar. Saya melihat pelayannya sedang memegangnya."
"Ah!" kata Poirot.
"Ya, tentu," kata Katherine. "Saya - saya tentu tak tahu apa-apa tentang hal
begituan, tapi saya rasa jelas sudah, bila pelayan itu menghilang bersama peti
perhiasan itu." "Maksud Anda, pelayan itukah pencurinya" Tidak, Nona, ada alasan yang sangat
baik untuk menyanggah hal itu."
"Apa itu?" "Pelayan itu ditinggalkan di Paris."
Komisaris berpaling pada Poirot. "Saya ingin Anda mendengar sendiri cerita
kondektur kereta," gumamnya penuh rahasia. "Sangat membuat kita berpikir."
"Nona tentu ingin mendengarnya juga," kata Poirot. "Anda tidak keberatan, bukan,
Komisaris?" "Tidak," kata Komisaris yang memang tidak berkeberatan. "Tentu tidak, M. Poirot,
jika Anda yang berkata begitu. Sudah selesaikah Anda di sini?"
"Saya rasa sudah. Tapi - satu menit lagi."
Dia membalik-balik selimut, lalu membawa sehelai di antaranya ke jendela dan
memperhatikannya, dan mengambil sesuatu dari selimut itu.
"Apa itu?" tanya Komisaris tajam.
"Empat helai rambut berwarna merah kecoklatan." Dia membungkuk ke tubuh wanita
yang meninggal itu. "Ya, memang rambut dari kepala Nyonya ini."
"Lalu ada apa" Apakah menurut anggapan Anda ada pentingnya?"
Poirot menjatuhkan selimut itu ke bangku lagi.
"Apa yang penting" Apa yang tidak" Pada tahap ini kita tak bisa mengatakannya.
Tapi kita harus mencatat setiap bukti yang kecil dengan cermat."
Mereka kembali lagi ke kamar yang pertama, dan sebentar kemudian kondektur
kereta itu tiba untuk ditanyai.
"Nama Anda Pierre Michel?" tanya Komisaris.
"Benar, Tuan Komisaris."
"Saya ingin Anda mengulangi di hadapan tuan ini - " Dia menunjuk Poirot - "cerita
yang Anda kisahkan pada saya mengenai apa yang terjadi di Paris."
"Baiklah, Tuan Komisaris. Waktu itu kami baru meninggalkan Gare de Lyon dan saya
pergi menyiapkan tempat-tempat tidur. Saya sangka nyonya itu pergi makan malam,
tapi dia hanya memesan keranjang berisi makan malam di kamarnya. Dia berkata
bahwa dia terpaksa meninggalkan pelayannya di Paris, hingga saya hanya perlu
menyiapkan tempat tidur untuk satu orang saja. Keranjang makanannya dibawa ke
kamar sebelahnya - dia duduk di sana sementara saya menyiapkan tempat tidur, lalu
Misteri Kereta Api Biru The Mystery Of The Blue Train Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dikatakannya bahwa dia tak ingin dibangunkan pagi-pagi, bahwa dia ingin tidur
terus. Saya katakan saya mengerti, dan dia mengucapkan 'selamat tidur'."
"Apakah Anda sendiri tidak pergi ke kamar sebelah?"
"Tidak, Tuan." "Kalau begitu Anda tidak melihat bahwa di antara bagasi di sana ada sebuah peti
merah tua dari kulit kambing."
"Tidak, Tuan." "Apakah mungkin ada seseorang bersembunyi di kamar sebelah?"
Kondektur berpikir. "Pintunya setengah terbuka," katanya. "Sekiranya seseorang berdiri di belakang
pintu itu, saya tak akan bisa melihatnya, tapi dia tentu bisa dilihat jelas oleh
Nyonya waktu dia masuk ke situ."
"Benar," kata Poirot. "Adakah lagi yang dapat Anda ceritakan pada kami?"
"Saya rasa hanya itu, Tuan. Saya tak bisa ingat apa-apa lagi."
"Lalu pagi ini?" Poirot mendesak terus.
"Sebagaimana yang diperintahkan nyonya itu, saya tidak mengganggunya. Waktu
hampir tiba di Cannes saya baru memberanikan diri mengetuk pintu kamarnya.
Karena tak ada jawaban, saya membukanya. Kelihatannya wanita itu tidur di tempat
tidurnya. Saya mengguncang bahunya akan membangunkannya, lalu - "
"Lalu Anda melihat apa yang telah terjadi?" Poirot membantu. "Tres bien. Saya
rasa sudah cukuplah apa yang ingin saya ketahui."
"Saya harap, Tuan Komisaris, hal itu terjadi bukan karena kelalaian saya," kata
kondektur sendu. "Peristiwa begini sampai terjadi di Kereta Api Biru! Mengerikan
sekali." "Tenang sajalah," kata Komisaris. "Segalanya akan dilakukan setenang mungkin,
sekedar untuk keperluan pengadilan. Saya rasa Anda tak bisa dipersalahkan karena
lalai." "Lalu apakah Tuan Komisaris akan melapor demikian pula pada perusahaan kami?"
"Tentu, tentu," kata Komisaris Caux tak sabaran. "Sekian saja."
Kondektur itu pergi. "Berdasarkan bukti pemeriksaan medis," kata Komisaris, "wanita itu mungkin sudah
meninggal sebelum kereta api tiba di Lyons. Jadi siapa pembunuhnya" Dari cerita
nona ini, jelas agaknya bahwa dia akan menjumpai laki-laki yang dibicarakannya
itu, di suatu tempat dalam perjalanannya ini. Tindakannya yang menyuruh
pelayannya tinggal itu, menguatkan hal itu pula. Apakah laki-laki itu naik
kereta api ini di Paris, dan apakah wanita itu menyembunyikannya dalam kamar di
sebelahnya" Jika demikian mungkin mereka lalu bertengkar, lalu laki-laki itu
mungkin membunuhnya dalam kemarahan. Itu satu kemungkinan. Kemungkinan lain dan yang lebih masuk akal menurut saya - adalah bahwa si pembunuh itu seorang
perampok kereta api yang memang ikut bepergian dengan kereta api ini. Dia
berjalan menyelinap di lorong tanpa terlihat oleh kondektur, membunuh wanita
itu, lalu lari membawa peti dari kulit kambing itu, yang pasti berisi barangbarang perhiasan yang sangat berharga. Besar kemungkinannya dia meninggalkan
kereta api di Lyons. Kami telah mengirim telegram ke stasiun di sana minta
keterangan-keterangan terperinci mengenai siapa saja yang kelihatan meninggalkan
kereta api." "Atau mungkin juga dia ikut terus sampai ke Nice," Poirot berpendapat.
"Mungkin," Komisaris membenarkan, "tapi itu akan merupakan tindakan yang berani
sekali." Poirot tidak berkata apa-apa selama satu atau dua menit, lalu berkata lagi,
"Dalam kemungkinan yang kedua, Anda pikir bahwa orang itu adalah perampok kereta
api biasa?" Komisaris mengangkat bahunya.
"Itu tergantung. Kita harus mencari pelayan itu. Ada kemungkinan peti merah dari
kulit kambing itu ada padanya. Bila demikian, maka laki-laki yang diceritakannya
pada nona itu mungkin terlibat dalam perkara ini, dan perkaranya menjadi suatu
kejahatan berdasarkan napsu. Saya pribadi berpendapat bahwa penyelesaian tentang
perampok kereta api biasa, lebih mungkin. Akhir-akhir ini bandit-bandit itu
makin berani." Tiba-tiba Poirot memandang Katherine yang berdiri di seberangnya.
"Dan Anda, Nona," katanya, "tak adakah Anda mendengar atau melihat sesuatu malam
hari?" "Tidak," sahut Katherine.
Poirot berpaling pada Komisaris.
"Saya rasa kita tak perlu menahan Nona ini lebih lama," dia menyarankan.
Komisaris mengangguk. "Maukah Nona meninggalkan alamat Anda?" katanya.
Katherine menyebutkan nama vila milik Lady Tamplin. Poirot membungkuk padanya.
"Anda izinkankah saya untuk menemui Anda lagi?" tanyanya. "Atau akan terlalu
banyakkah sahabat Anda hingga waktu Anda akan habis tersita?"
"Sebaliknya," kata Katherine, "saya akan punya banyak sekali waktu luang, dan
saya senang sekali bertemu lagi dengan Anda."
"Bagus sekali," kata Poirot, dan mengangguk pada Katherine dengan sikap
bersahabat. "Ini akan merupakan 'roman kriminal' kita berdua. Kita akan
menyelidiki peristiwa ini bersama-sama."
Bab 12 DI VILA MARGUERITE "Jadi kau benar-benar terlibat di dalamnya!" kata Lady Tamplin dengan rasa iri.
"Aduh, menegangkan sekali!" Matanya yang biru seperti mata orang Cina dibukanya
lebar-lebar dan dia mendesah.
"Suatu pembunuhan sungguhan," kata Tuan Evans dengan gembira.
"Chubby tentu tidak mengerti apa-apa tentang hal-hal yang begitu," Lady Tamplin
melanjutkan, "dia sama sekali tak bisa membayangkan mengapa polisi memerlukan
kau. Ah, Sayang, suatu kesempatan yang baik! Kurasa - ya, kurasa pasti kita bisa
melakukan sesuatu dari kejadian ini."
Pandangan dengan penuh perhitungan agak merusak keramahan di mata biru itu.
Katherine merasa agak tak enak. Mereka baru saja selesai makan siang, dan dia
melihat pada ketiga orang yang duduk di sekeliling meja itu bergantian. Lady
Tamplin yang penuh dengan rencana-rencana yang bisa dilaksanakan, Tuan Evans
yang berseri-seri dipenuhi perasaan penghargaan yang polos, dan Lenox dengan
senyum masam yang aneh di wajahnya.
"Benar-benar nasib baik," gumam Chubby. "Maunya aku juga ikut denganmu - dan
melihat - semua barang-barang bukti." Nada bicaranya polos kekanakan.
Katherine tidak berkata apa-apa. Polisi memang tidak memerintahkannya untuk
merahasiakannya, dan jelas-jelas tak ada kemungkinan untuk tidak mengatakan
kenyataan-kenyataan yang ada atau menyembunyikannya dari nyonya rumah. Tapi dia
berkeinginan untuk bisa berbuat begitu.
"Ya," kata Lady Tamplin yang tiba-tiba terbangun dari impiannya, "aku benarbenar yakin bahwa kita bisa berbuat sesuatu. Kau tahu maksudku, suatu pernyataan
yang ditulis dengan bahasa yang bagus. Seorang saksi mata, suatu sentuhan
kewanitaan. 'Bagaimana aku mengobrol dengan wanita yang meninggal itu, siapa
yang menyangka - 'yah, kira-kira begitulah."
"Brengsek!" kata Lenox.
"Kau tak tahu," kata Lady Tamplin dengan suara halus dan murung, "berapa banyak
yang akan dibayar oleh surat-surat kabar untuk berita-berita kecil saja! Tentu
saja kalau ditulis oleh seseorang yang kedudukan sosialnya tak meragukan. Kau
tentu tak mau melakukannya sendiri ya, Katherine, tapi beri saja aku garis-garis
besarnya, dan aku yang akan mengatur semuanya untukmu. Tuan de Haviland adalah
sahabat baikku. Kami sudah ada saling pengertian. Laki-laki yang amat
menyenangkan - sama sekali tidak berlagak wartawan. Bagaimana gagasan itu
menurutmu, Katherine?"
"Aku lebih suka tidak berbuat begitu," kata Katherine apa adanya.
Lady Tamplin agak tak puas dengan penolakan tanpa tenggang rasa itu. Dia
mendesah lalu beralih meminta penjelasan mengenai hal-hal terperinci
selanjutnya. "Seorang wanita yang penampilannya menyolok, katamu" Aku jadi ingin tahu siapa
dia gerangan" Tidakkah kau mendengar namanya?"
"Ada disebut," Katherine mengakui, "tapi aku tak ingat. Aku agak kacau."
"Tentu saja," kata Tuan Evans, "kejadian seperti itu tentu merupakan suatu
guncangan hebat." Dapat diragukan apakah, kalaupun Katherine ingat nama itu, dia akan mau
mengatakannya. Tanya-jawab Lady Tamplin yang tak mengenal batas itu telah
membuatnya agak jengkel. Lenox yang tajam pengamatannya, melihat hal itu, dan
dia lalu menawarkan diri untuk mengantarkan Katherine naik ke lantai atas,
melihat kamarnya. Katherine ditinggalkannya di kamar itu, sambil memberi tahu
dengan baik-baik sebelum dia pergi, "Jangan ambil hati ibuku. Kalau bisa, dari
neneknya yang sedang sekarat pun dia ingin mencari keuntungan beberapa penny."
Lenox turun lagi dan mendapatkan ibu dan ayah tirinya sedang membahas pendatang
baru itu. "Bisa ditampilkan," kata Lady Tamplin, "benar-benar bisa ditampilkan. Pakaiannya
cukup baik. Stelan abu-abunya itu serupa dengan yang dipakai Gladys Cooper dalam
film Palm Trees in Egypt."
"Adakah kau melihat matanya?" sela Tuan Evans.
"Jangan pedulikan matanya, Chubby," kata Lady Tamplin tajam. "Kita sedang
membahas hal-hal yang benar-benar berarti."
"Ya, benar," kata Tuan Evans, dan berdiam diri lagi.
"Kelihatannya dia tidak terlalu penurut," kata Lady Tamplin, agak bimbang dalam
mencari kata-kata yang tepat.
"Dia memiliki naluri seorang wanita utama, seperti yang dikatakan dalam bukubuku," kata Lenox, tersenyum kecil.
"Picik," gumam Lady Tamplin, "kurasa memang tak dapat dielakkan begini."
"Kurasa Ibu akan berusaha keras untuk memperluas pandangannya," kata Lenox,
masih tersenyum. "Tapi Ibu akan gagal. Tadi saja Ibu tentu melihat, bagaimana
dia berusaha keras untuk mempertahankan pendiriannya."
"Bagaimanapun juga," kata Lady Tamplin dengan penuh harapan, "dia kelihatannya
sama sekali tidak kikir. Ada orang, yang bila mendapatkan uang, sangat
mengagung-agungkannya."
"Oh, Ibu akan mudah saja mendapatkan apa yang Ibu inginkan." kata Lenox.
"Apalagi, bukankah itu yang paling penting" Maksudku dengan kedatangannya
kemari." "Dia kan saudara sepupuku," kata Lady Tamplin mempertahankan harga dirinya.
"Saudara sepupu, ya?" tanya Tuan Evans, seperti baru sadar kembali. "Kalau
begitu kurasa aku bisa memanggilnya Katherine, ya?"
"Bagaimana kau memanggilnya itu sama sekali tak penting, Chubby," kata Lady
Tamplin. "Bagus," kata Tuan Evans. "Kalau begitu aku akan memanggilnya begitu. Apakah
menurutmu dia pandai main tenis?" ditambahkannya dengan penuh harapan.
"Tentu saja tidak," sahut Lady Tamplin. "Dia bekerja sebagai pendamping
seseorang, tahu. Pendamping-pendamping orang tak pernah main tenis - maupun
golf. Mungkin mereka main golf kriket, tapi sepanjang pengetahuanku kerja mereka
hanya menggulung benang wol dan memandikan anjing sepanjang hari."
"Ya, Tuhan!" seru Tuan Evans. "Benarkah begitu?"
Lenox pergi lagi ke lantai atas, ke kamar Katherine. "Bisakah aku membantumu?"
tanyanya sekedar berbasa-basi.
Karena Katherine menolak, Lenox duduk saja di tepi tempat tidur dan
memperhatikan tamunya. "Mengapa kau datang?" tanyanya akhirnya. "Maksudku, mendatangi kami. Kami lain
dari kau." "Ah, aku ingin sekali bergaul dalam masyarakat."
"Jangan tolol," kata Lenox berterus terang, dengan memandang lawan bicaranya
sambil tersenyum kecil. "Kau tahu betul apa maksudku. Kau sama sekali tak sama
dengan yang kubayangkan. Ngomong-ngomong, baju-bajumu memang bagus." Dia
mendesah. "Aku selamanya tak pantas berpakaian. Aku memang kaku sejak lahir.
Sayang memang, padahal aku suka pakaian."
"Aku juga," kata Katherine, "tapi sampai saat ini, tak ada gunanya aku menyukai
pakaian. Apakah menurutmu yang ini bagus?"
Katherine dan Lenox membahas beberapa model dengan selera seni.
"Aku suka padamu," kata Lenox tiba-tiba. "Aku tadi naik untuk memberi kau
peringatan agar tidak terpengaruh oleh Ibu, tapi sekarang kurasa tak ada
perlunya. Kau benar-benar tulus dan jujur, dan entah apa lagi yang aneh-aneh,
tapi kau tidak bodoh. Ah, sialan! apa lagi itu?"
Terdengar suara Lady Tamplin yang memanggil dari serambi,
"Lenox, Derek baru saja menelepon. Dia ingin datang untuk makan malam ini.
Bolehkah" Maksudku, makanan kita tidak ada yang memalukan seperti burung,
bukan?" Lenox meyakinkan ibunya bahwa semuanya beres, lalu kembali ke kamar Katherine.
Wajahnya tampak lebih cerah dan tidak begitu murung lagi.
"Aku senang Derek akan datang," katanya. "Kau akan suka padanya."
"Siapa Derek itu?"
"Dia putra Lord Leconbury, kawin dengan seorang wanita Amerika yang kaya-raya.
Orang-orang perempuan selalu tergila-gila padanya."
"Mengapa?" "Ah, alasan biasa - sangat tampan dan kumpulan orang-orang tak beres. Semua
orang suka padanya."
"Kau juga?" "Kadang-kadang," kata Lenox. "Tapi kadang-kadang aku ingin kawin dengan seorang
pendeta yang baik lalu tinggal di pinggiran kota dan bercocok tanam." Dia
berhenti sebentar, lalu menambahkan, "Sebaiknya seorang pendeta dari Irlandia,
maka aku akan berburu."
Beberapa saat kemudian dia berbalik pada pokok pembicaraannya semula.
"Ada sesuatu yang aneh pada diri Derek. Semua dari keluarga itu agak tak beres suka sekali berjudi. Zaman dahulu mereka bahkan biasa memperjudikan istri-istri
mereka atau tanah milik mereka, dan melakukan hal-hal yang tak benar hanya
karena kegemaran berjudi itu. Derek itu bisa saja menjadi penyamun yang sempurna
- dia ceria dan periang, sifat yang tepat benar untuk itu." Dia berjalan ke
pintu. "Turunlah, kalau kau mau."
Setelah ditinggalkan seorang diri, Katherine mulai berpikir-pikir. Pada saat itu
dia merasa benar-benar tak senang dan dikejutkan oleh lingkungannya. Guncangan
yang dialaminya gara-gara penemuannya di kereta api dan cara teman-teman barunya
menerima berita itu mengejutkan dia yang bersifat tanggap itu. Lama dan
bersungguh-sungguh dia memikirkan wanita yang terbunuh itu. Dia merasa kasihan
pada Ruth, tetapi dia tak dapat pula berkata bahwa dia menyukainya. Dia
mempunyai firasat kuat bahwa wanita itu punya sifat egois yang tak kenal batas,
yang merupakan kunci utama kepribadiannya, dan itu menimbulkan rasa tak suka
pada diri Katherine. Dia merasa geli dan agak tersinggung waktu wanita itu seenaknya saja menyuruhnya
pergi setelah dia selesai melayaninya. Katherine merasa yakin bahwa wanita itu
telah mengambil suatu keputusan, kini dia ingin tahu apa gerangan keputusan itu.
Apa pun keputusan itu, semuanya jadi tak berarti dengan terjadinya kematian itu.
Aneh bahwa kejadiannya jadi begitu, bahwa suatu kejahatan yang kejam telah
mengakhiri perjalanan yang berarti baginya itu. Tetapi tiba-tiba Katherine
teringat akan suatu kejadian yang mungkin seharusnya diceritakannya pada polisi
- suatu kejadian yang tadi tak diingatnya. Apakah hal itu benar-benar penting"
Dia yakin benar bahwa dia telah melihat seorang laki-laki masuk ke dalam kamar
itu, tetapi Katherine sadar bahwa dia mungkin keliru. Mungkin saja kamar yang di
sebelahnya, dan laki-laki itu pasti bukan perampok kereta api. Dia ingat betul
laki-laki itu karena dia telah bertemu dengannya pada dua kesempatan - sekali di
Savoy dan sekali di kantor Cook. Tidak, dia pasti keliru. Laki-laki itu tidak
masuk ke dalam kamar wanita yang sudah meninggal itu, dan baik juga dia tidak
menceritakan apa-apa pada polisi. Seandainya dia berbuat begitu, dia mungkin
menjadi penyebab suatu bencana yang tak terhingga besarnya.
Dia turun dan menggabungkan diri dengan yang lain-lain di teras depan. Melalui
dahan-dahan bunga mimosa, dia dapat melihat langsung ke Laut Mediterania yang
biru - dan sambil mendengarkan celoteh Lady Tamplin dengan sebelah telinga, dia
merasa senang bahwa dia sudah datang. Tempat ini lebih baik daripada St. Mary
Mead. Malam itu dia mengenakan baju yang berwarna merah muda bercampur biru kehijauhijauan yang oleh penjahitnya disebut desah di musim gugur, dan setelah
tersenyum melihat bayangan dirinya di cermin, dia menuruni tangga dengan
perasaan agak malu, yang pertama kali dialami dalam hidupnya.
Kebanyakan tamu Lady Tamplin telah tiba, dan karena ciri khas dari pesta-pesta
Lady Tamplin adalah keributan, maka hiruk-pikuknya bukan main. Chubby bergegas
mendatangi Katherine, memberinya segelas minuman cocktail, dan bertindak sebagai
pelindungnya. "Oh, ini Derek datang," seru Lady Tamplin, waktu pintu terbuka dan pendatang
yang terakhir masuk. "Sekarang akhirnya kita bisa makan. Aku sudah lapar
sekali." Katherine melihat ke seberang ruangan. Dia terkejut sekali. Jadi ini rupanya Derek, dan dia menyadari bahwa dia tidak merasa heran. Dia sudah tahu bahwa pada
suatu hari dia akan bertemu lagi dengan laki-laki yang telah tiga kali
Misteri Kereta Api Biru The Mystery Of The Blue Train Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dilihatnya dalam rangkaian keadaan aneh yang tak disangka-sangkanya itu. Dia
juga merasa bahwa laki-laki itu mengenalinya. Derek tiba-tiba berhenti ketika
dia mengatakan sesuatu pada Lady Tamplin, dan melanjutkan percakapannya dengan
susah payah. Mereka semua masuk untuk makan malam, dan Katherine melihat bahwa
Derek rupanya ditempatkan di sebelahnya. Dia langsung menoleh pada Katherine dan
tersenyum lebar. "Saya sudah tahu bahwa saya pasti akan segera bertemu dengan Anda lagi," kata
Derek, "tapi saya tak pernah menyangka bahwa itu akan terjadi di sini. Memang
biasanya begitu, bukan" Sekali di Savoy dan sekali di kantor Cook - tak pernah
ada dua kali tanpa ada yang ketiga kalinya. Jangan berkata bahwa Anda tak ingat
pada saya atau tak pernah melihat saya. Karena bagaimanapun juga saya akan
mendesak, sekurang-kurangnya agar Anda berpura-pura pernah bertemu dengan saya."
"Ah, saya tak perlu didesak," kata Katherine, "tapi ini bukan yang ketiga
kalinya. Ini yang keempat. Saya juga melihat Anda di Kereta Api Biru."
"Di Kereta Api Biru!" Derek lalu mengambil sikap yang tak dapat ditafsirkan Katherine benar-benar tak dapat mengatakan sikap apa itu. Derek seakan-akan
mengalami rintangan, tertahan. Kemudian dia berkata dengan tak acuh,
"Ada keributan apa tadi pagi" Ada orang yang meninggal, bukan?"
"Ya," kata Katherine lambat-lambat, "ada orang meninggal."
"Tak pantas meninggal di kereta api," kata Derek seenaknya. "Kurasa itu akan
menimbulkan bermacam-macam kerumitan internasional, dan itu akan merupakan
alasan yang baik bagi kereta api supaya datang lebih terlambat daripada
biasanya." "Tuan Kettering?" Seorang wanita Amerika gemuk, yang duduk di hadapannya,
menyandarkan tubuhnya ke depan dan berbicara pada Derek dengan logat yang
menunjukkan asalnya. "Tuan Kettering, saya yakin Anda sudah lupa pada saya,
padahal saya pikir Anda adalah pria yang begitu tampan."
Derek menyandarkan tubuhnya ke depan pula, menjawab wanita itu, dan Katherine
terpana. Kettering! Itulah nama itu! Sekarang dia ingat - tetapi alangkah aneh dan
ironisnya keadaan ini! Inilah laki-laki yang dilihatnya memasuki kamar istrinya
kemarin malam, yang telah meninggalkan istrinya dalam keadaan hidup dan sehatsehat saja, dan sekarang dia duduk makan di sini, tanpa menyadari nasib yang
telah menimpa istrinya. Tak dapat diragukan lagi. Laki-laki itu tak tahu.
Seorang pelayan mendekati Derek lalu membungkuk, dan membisikkan sesuatu sambil
menyampaikan sepucuk surat pendek. Setelah terlebih dahulu meminta izin dari
Lady Tamplin, surat itu dibukanya, dan di wajahnya terbayang keterkejutan yang
luar biasa waktu dia membacanya - kemudian dia memandang nyonya rumah.
"Sungguh tak disangka, Rosalie, maafkan saya harus pergi. Kepala polisi ingin
segera bertemu dengan saya. Saya tak tahu untuk apa."
"Dosa-dosamu sudah kedapatan rupanya," kata Lenox.
"Mungkin," kata Derek. "Mungkin suatu lelucon yang bodoh, tapi kurasa aku harus
segera pergi ke markas polisi. Berani benar pak tua itu menyuruhku meninggalkan
makan malam ini. Ini pasti sesuatu yang sangat serius." Dan dia tertawa sambil
mendorong kursinya ke belakang lalu bangkit untuk kemudian meninggalkan ruangan
itu. Bab 13 VAN ALDIN MENERIMA TELEGRAM
Petang hari tanggal lima belas Februari, London diselubungi kabut kuning yang
tebal. Rufus Van Aldin sedang berada dalam kamarnya di Savoy dan memanfaatkan
keadaan cuaca yang demikian itu untuk bekerja berlipat ganda. Knighton merasa
senang sekali. Akhir-akhir ini dia telah mengalami kesulitan untuk membuat
majikannya memusatkan pikirannya pada urusan-urusan yang sedang dihadapinya.
Bila dia memberanikan diri untuk memaksakan urusan tertentu, Van Aldin selalu
menolaknya dengan singkat. Tetapi kini Van Aldin agaknya membenamkan diri dalam
pekerjaannya dengan tenaga yang berlipat ganda, dan sekretaris itu benar-benar
memanfaatkan kesempatan itu. Dia yang selalu bijak, mendorong keadaan itu tanpa
kentara, hingga Van Aldin tak curiga.
Namun sedang asyik-asyiknya menyelesaikan pekerjaannya itu, ada satu hal yang
tetap tersembunyi dalam pikiran Van Aldin. Suatu ucapan Knighton tanpa disengaja
dan disadarinya, telah menjadi bahan pikirannya. Kini pikiran itu mendalam tanpa
kelihatan, makin lama makin jauh merasuki pikiran Van Aldin, hingga akhirnya,
tanpa maunya, dia menyerah pada desakan itu.
Didengarkannya apa yang dikatakan Knighton dengan sikapnya yang seperti biasanya
penuh perhatian, tetapi sebenarnya tak sepatah kata pun meresap ke dalam
pikirannya. Namun dia mengangguk dengan otomatis, dan sekretaris itu lalu
beralih ke surat-surat lainnya. Sedang dia menyortir surat-surat itu, majikannya
berkata, "Tolong ulangi lagi yang tadi, Knighton."
Sesaat Knighton kebingungan.
"Maksud Anda mengenai ini, Tuan?" Diangkatnya sehelai laporan yang ditik rapatrapat. "Bukan, bukan," kata Van Aldin, "tentang yang kaukatakan tadi bahwa kau melihat
pelayan Ruth di Paris kemarin malam. Aku tak mengerti. Mungkin kau keliru."
"Tak mungkin saya keliru, Tuan, saya benar-benar berbicara dengan dia."
"Yah, coba ceritakan lagi semuanya."
Knighton menurutinya. "Saya baru saja menyelesaikan urusan dengan Bartheimer," dia menjelaskan, "dan
saya kembali ke Ritz untuk membenahi barang-barang bawaan saya, makan malam,
lalu berusaha supaya bisa berangkat naik kereta api yang jam sembilan dari
stasiun Gare du Nord. Di meja resepsionis saya melihat seorang wanita, yang saya
yakin adalah pelayan Nyonya Kettering. Saya mendatanginya dan bertanya apakah
Nyonya Kettering juga menginap di sana."
"Ya, ya," kata Van Aldin, "tentu. Dan dia berkata bahwa Ruth telah melanjutkan
perjalanannya ke Riviera dan bahwa Ruth telah menyuruhnya tinggal di Paris dan
menunggu perintah-perintah selanjutnya?"
"Benar begitu, Tuan."
"Aneh sekali," kata Van Aldin. "Sungguh aneh sekali, atau mungkinkah pelayan itu
kurang ajar?" "Kalau demikian halnya," bantah Knighton, "tentulah Nyonya Kettering telah
membayarnya, dan menyuruhnya kembali ke Inggris. Tak mungkin beliau mengirimnya
ke Ritz." "Tidak," gumam jutawan itu, "benar katamu."
Dia hampir saja mengatakan sesuatu, tetapi tak jadi. Dia suka sekali pada
Knighton dan percaya padanya, tetapi dia tak mungkin bisa membahas soal pribadi
putrinya dengan sekretarisnya. Dia sudah merasa tersinggung oleh sikap Ruth yang
tak mau berterus terang, dan informasi tak disengaja yang diterimanya itu
menambah rasa was-wasnya.
Mengapa Ruth sampai menyuruh pelayannya tinggal di Paris" Apakah gerangan soal
atau alasannya berbuat demikian"
Beberapa saat lamanya dia merenungkan peristiwa aneh itu. Bagaimana Ruth, kalau
dia sampai tahu bahwa orang yang pertama-tama bertemu dengan pelayannya di Paris
itu kebetulan sekali adalah sekretaris ayahnya" Yah, begitulah biasanya
peristiwa-peristiwa terjadi. Begitulah caranya orang menemukan jejak suatu
kejahatan. Berdiri bulu kuduknya mengingat hal yang terakhir itu - pikiran itu muncul
begitu saja seperti wajar. Lalu apakah memang ada 'sesuatu yang jejaknya harus
ditemukan'" Dia tak suka menanyakan hal itu sendiri, dia tak meragukan jawabnya.
Dia yakin - jawabnya adalah - Armand de la Roche.
Van Aldin merasa getir bahwa putrinya sampai terperangkap oleh laki-laki seperti
itu, namun dia harus mengakui bahwa putrinya seperjalanan dengan orang baik-baik
- wanita berpendidikan dan tampak cerdas itu bisa saja dengan mudah terpesona
pula oleh Comte itu. Laki-laki memang bisa menghindarinya, tapi perempuan tidak.
Kini dia mencari kata-kata untuk menghilangkan semua kecurigaan yang mungkin
timbul pada sekretarisnya.
"Ruth memang selalu berubah pikiran pada saat terakhir," katanya, lalu
ditambahkannya lagi dengan nada yang maksudnya supaya terdengar tak acuh,
"Apakah pelayan itu tidak memberi tahu - eh - alasan berubahnya rencana?"
Knighton berusaha keras untuk menjadikan suaranya sewajar mungkin waktu dia
menyahut, "Katanya, Nyonya Kettering telah bertemu dengan seorang teman tanpa
disangkanya." "Begitukah?" Telinga sekretaris yang sudah terlatih itu menangkap nada tegang, di balik sikap
tak acuh itu. "Oh, begitu. Laki-laki atau perempuan?"
"Kalau tak salah, katanya laki-laki."
Van Aldin mengangguk. Apa yang paling ditakutinya telah menjadi kenyataan. Dia
bangkit dari kursinya, lalu berjalan hilir mudik di ruangan itu, suatu
kebiasaannya bila dia sedang marah. Karena tak bisa menahan perasaannya lagi,
dia menyembur, "Ada satu hal yang tak bisa dilakukan oleh laki-laki mana pun, yaitu membuat
perempuan menggunakan akal sehatnya. Mereka itu agaknya tak punya akal sehat.
Berbicara tentang naluri wanita - wanita paling tak bisa mengenali penipu yang
paling unggul. Di antara sepuluh orang perempuan, tak seorang pun tahu bahwa
seseorang itu penjahat bila dia bertemu dengan salah seorang di antaranya, dan
mereka bisa dijadikan mangsa oleh laki-laki mana pun yang tampan dan pandai
bermulut manis. Bila saja kehendakku terkabul - "
Dia terganggu. Seorang pelayan hotel masuk membawa sepucuk telegram. Van Aldin
menyobeknya, dan wajahnya tiba-tiba menjadi seputih kapur. Dia menangkap
sandaran kursi dan berpegang kuat-kuat, sedang pelayan itu disuruhnya pergi
dengan isyarat saja. "Ada apa, Tuan?"
Karena merasa kuatir, Knighton bangkit.
"Ruth!" kata Van Aldin serak.
"Nyonya Kettering?"
"Terbunuh!" "Kecelakaan kereta api?"
Van Aldin menggeleng. "Tidak. Menurut telegram ini, dia juga dirampok. Mereka memang tidak menggunakan
kata-kata itu, Knighton. Tapi anakku yang malang telah dibunuh orang."
"Ya, Tuhan!" Van Aldin menunjuk telegram itu.
"Ini dari polisi di Nice. Aku harus pergi ke sana dengan kereta api yang
pertama." Knighton menunjukkan sikap efisiennya seperti biasanya. Dia melihat ke jam.
"Berangkat jam lima dari Stasiun Victoria, Tuan."
"Baik. Kau ikut aku, Knighton. Katakan pada pelayanku, Archer, dan benahi
barang-barangmu sendiri. Beresi semuanya di sini. Aku ingin ke Curzon Street."
Telepon berdering nyaring dan sekretaris itu mengangkat gagangnya.
"Ya, siapa?" Lalu pada Van Aldin, "Tuan Goby, Tuan."
"Goby" Aku tak bisa menemuinya sekarang. Tidak - tunggu, kita masih banyak
waktu. Katakan pada mereka untuk menyuruhnya naik."
Van Aldin adalah seorang pria yang kuat. Kini dia sudah dapat mengembalikan
ketenangannya seperti biasa. Sedikit sekali orang yang bisa melihat adanya
sesuatu yang tak beres, waktu dia menyapa Tuan Goby.
"Aku sudah terdesak waktu, Goby. Adakah sesuatu yang penting yang akan
kauceritakan?" Tuan Goby mendehem. "Gerak-gerik Tuan Kettering, Tuan. Bukankah Anda ingin semuanya itu dilaporkan
pada Anda?" "Ya - lalu?" "Tuan Kettering telah meninggalkan London berangkat ke Riviera, kemarin pagi."
"Apa?" Sesuatu dalam suaranya pasti telah mengejutkan Tuan Goby. Laki-laki itu telah
melepaskan kebiasaannya untuk tidak melihat pada orang yang menjadi temannya
berbicara, dia mencuri pandang ke arah jutawan itu.
"Naik kereta api apa dia pergi?" tanya Van Aldin.
"Kereta Api Biru, Tuan."
Tuan Goby mendehem lagi, lalu berbicara pada jam di atas perapian.
"Nona Mirelle, penari dari Parthenon, pergi naik kereta api yang sama pula."
Bab 14 CERITA ADA MASON "Rasanya belum cukup saja kami menyatakan, betapa ngerinya, betapa terkejutnya,
dan betapa dalamnya rasa turut berduka kami terhadap Anda, Tuan."
Demikianlah Hakim M. Carrege berbicara pada Van Aldin. Komisaris M. Caux
mengucapkan pula kata-kata simpati. Van Aldin mengesampingkan rasa ngeri,
terkejut, dan simpati itu dengan isyarat singkat. Kejadian itu mengambil tempat
di Kantor Kejaksaan di Nice. Kecuali M. Carrege, Komisaris, dan Van Aldin, ada
lagi seseorang di dalam kamar itu. Orang itulah yang berbicara sekarang,
"Tuan Van Aldin menginginkan tindakan," katanya, "tindakan cepat."
"Oh!" seru Komisaris. "Saya belum memperkenalkan Anda. M. Van Aldin, ini M.
Hercule Poirot - Anda tentu pernah mendengar nama itu. Meskipun beliau sudah
beberapa tahun pensiun dari jabatannya, namanya masih sering disebut-sebut,
sebagai salah seorang detektif paling besar yang masih hidup."
"Saya senang bertemu dengan Anda, M. Poirot," kata Van Aldin, tanpa disadarinya
dia kembali pada tata cara lama yang sudah bertahun-tahun ditinggalkannya. "Anda
sudah pensiun dari jabatan Anda?"
"Benar, Monsieur. Sekarang saya bersenang-senang saja di dunia ini."
Pria kecil itu menggerak-gerakkan tangannya.
"M. Poirot kebetulan bepergian dengan Kereta Api Biru juga," Komisaris
menjelaskan, "dan beliau begitu baik hati mau membantu kita dengan pengalamannya
yang luas itu." Jutawan itu memandang Poirot dengan tajam. Lalu tanpa disangka-sangka dia
berkata, "Saya orang yang kaya sekali, M. Poirot. Orang bisa berkata bahwa seorang kaya
punya keyakinan bahwa dia bisa membeli apa saja dan siapa saja. Itu tak benar.
Saya ini seorang besar dengan caraku sendiri, dan seorang besar bisa meminta
bantuan dari orang besar lainnya."
Poirot mengangguk menyatakan pengertiannya.
"Bagus sekali kata-kata Anda, M. Van Aldin. Saya bersedia membantu Anda
sepenuhnya." "Terima kasih," kata Van Aldin. "Saya hanya bisa berkata, datanglah pada saya
setiap saat, dan Anda selalu akan menemukan saya yang penuh rasa terima kasih.
Nah, sekarang, Tuan-tuan, mari kita bicarakan urusan kita."
"Saya usulkan untuk menanyai pelayan, Ada Mason," kata M. Carrege. "Saya dengar
Anda membawanya kemari?"
"Benar," kata Van Aldin. "Kami menjemputnya di Paris sambil lalu tadi. Dia kacau
sekali mendengar kematian majikannya, tapi dia menceritakan kisahnya cukup masuk
akal." "Kalau begitu kita suruh dia masuk," kata M. Carrege.
Dia menekan bel yang ada di mejanya, dan beberapa menit kemudian Ada Mason masuk
ke dalam ruangan itu. Perempuan itu berpakaian hitam rapi, dan ujung hidungnya merah. Sarung tangan
untuk bepergian yang berwarna abu-abu telah digantinya dengan yang berwarna
hitam dari kulit. Dia melihat sekeliling kantor kejaksaan itu dengan agak
gentar, dan dia agaknya lega waktu melihat kehadiran ayah majikannya. Jaksa
Pemeriksa membanggakan sikapnya yang selalu baik, dan kini dia berusaha untuk
menenangkan perempuan itu. Dalam hal itu dia dibantu oleh Poirot, yang bertindak
sebagai penerjemah, dan yang sikap ramahnya meyakinkan wanita Inggris itu.
"Nama Anda Ada Mason, betulkah itu?"
"Saya dipermandikan dengan nama Ada Beatrice, Tuan," kata Mason dengan sopan.
"Oh, begitu. Kami mengerti, Mason, bahwa kejadian ini menyedihkan sekali."
"Oh, memang benar, Tuan. Saya sudah bekerja dengan banyak majikan dan saya
selalu memuaskan - saya harap demikian - dan saya tak pernah bermimpi sesuatu
seperti ini akan terjadi di mana saya berada."
"Tidak, tidak," kata M. Carrege.
"Saya hanya membaca kejadian-kejadian macam itu di dalam surat-surat kabar
Minggu. Dan saya dengar kereta api luar negeri ini - " Dia tiba-tiba menghentikan
arus kata-katanya, karena dia ingat bahwa para pria yang sedang berbicara
dengannya berkebangsaan sama dengan kereta api itu.
"Nah, mari kita bicarakan perkara ini," kata M. Carrege. "Saya dengar tak ada
rencana Anda untuk menginap di Paris waktu akan berangkat dari London?"
"Tidak ada, Tuan. Kami akan pergi langsung ke Nice."
"Pernahkah Anda bepergian ke luar negeri dengan majikan Anda?"
"Tidak pernah, Tuan. Saya baru dua bulan bekerja pada Nyonya."
"Waktu memulai perjalanan ini, apakah beliau seperti biasa saja?"
"Beliau seperti kuatir dan agak kacau, dan beliau agak menjengkelkan dan sulit
Misteri Kereta Api Biru The Mystery Of The Blue Train Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dihibur." M. Carrege mengangguk. "Nah, Mason, kapan Anda pertama kali mendengar bahwa Anda harus berhenti di
Paris?" "Ketika itu kami tiba di Gare de Lyon, Tuan. Majikan saya ingin turun dan
berjalan-jalan di peron. Baru saja dia keluar di lorong kereta api, dia tibatiba berseru, lalu kembali ke kamarnya dengan seorang pria. Ditutupnya pintu di
antara kamarnya dan kamar saya, hingga saya tidak melihat atau mendengar apaapa, sampai tiba-tiba beliau membuka pintu itu lagi dan mengatakan pada saya
bahwa beliau telah mengubah rencananya. Saya diberinya uang dan disuruhnya turun
dan pergi ke Hotel Ritz. Katanya, orang-orang di hotel itu kenal baik padanya,
dan pasti mau memberi kamar pada saya. Saya harus menunggu di sana sampai saya
mendapat berita dari beliau - beliau akan mengirim telegram pada saya untuk
mengatakan apa yang harus saya lakukan. Saya hanya sempat mengumpulkan barangbarang saya dan melompat ke luar, lalu kereta api pun berangkat lagi. Terburuburu sekali." "Waktu Nyonya Kettering mengatakan semua itu pada Anda, di mana pria itu?"
"Dia berdiri dalam kamar yang sebelah, sambil memandang ke luar jendela."
"Dapatkah Anda melukiskan orang itu pada kami?"
"Yah, saya boleh dikatakan tidak melihatnya, Tuan. Dia lebih banyak membelakangi
saya. Pria itu tinggi dan rambutnya hitam - hanya itu yang dapat saya katakan.
Dia berpakaian seperti pria lainnya, bermantel biru tua dan bertopi abu-abu."
"Apakah laki-laki itu salah seorang penumpang kereta api itu?"
"Saya rasa bukan, Tuan - saya rasa dia datang ke stasiun untuk menemui Nyonya
Kettering. Tapi tentu bisa juga dia salah seorang penumpang, saya tak terpikir
akan hal itu." Mason kelihatan agak gugup ketika mengucapkan pernyataan yang terakhir itu.
"Oh!" M. Carrege beralih dengan halus ke pokok soal yang lain. "Kemudian majikan
Anda meminta pada kondektur untuk tidak membangunkannya awal-awal esok paginya.
Apakah itu memang kebiasaannya?"
"Benar, Tuan. Nyonya tak pernah makan pagi dan beliau tidak tidur nyenyak malam
hari, jadi suka tidur sampai siang."
M. Carrege beralih lagi ke soal yang lain.
"Di antara bagasinya ada sebuah peti berwarna merah tua dari kulit kambing,
betul?" tanyanya. "Peti perhiasan majikan Andakah itu?"
"Benar, Tuan." "Apakah peti itu Anda bawa ke Ritz?"
"Saya, membawa peti perhiasan Nyonya ke Ritz! Tentu saja tidak, Tuan." Nada
bicara Mason penuh kengerian.
"Kautinggalkan dalam kereta api?"
"Ya, Tuan." "Banyakkah barang perhiasan majikan Anda, tahukah Anda?"
"Ya, Tuan. Kadang-kadang saya agak kuatir, apalagi dengan kisah-kisah ngeri yang
kita dengar tentang perampokan di negeri asing ini. Saya tahu bahwa semua
perhiasan itu diasuransikan, tetapi bagaimanapun juga, bahayanya besar sekali
tentu. Aduh, permata-permata delima itu saja, kata Nyonya kepada saya, berharga
beberapa ratus ribu pound."
"Permata delima! Delima apa?" sergah Van Aldin tiba-tiba.
Mason berpaling padanya. "Saya rasa Andalah yang memberikannya pada Nyonya,
Tuan, belum begitu lama."
"Tuhanku!" seru Van Aldin. "Permata delima itu ada padanya, katamu" Sudah
kusuruh dia meninggalkannya di bank."
Mason sekali lagi mendehem dengan sopan, suatu cara yang rupanya merupakan
bagian dari kebiasaannya sebagai pelayan. Kali ini agaknya banyak yang
dinyatakan dengan dehemnya itu. Hal itu menyatakan dengan jauh lebih jelas
daripada kata-kata, bahwa majikannya adalah wanita yang suka berbuat sesuka
hatinya. "Sudah gila rupanya si Ruth itu," gumam Van Aldin. "Kemasukan apa saja dia?"
Kini giliran M. Carrege yang mendehem, juga dehem yang punya arti. Hal itu
membuat Van Aldin jadi mengalihkan perhatiannya padanya.
"Untuk sementara, saya rasa cukup sekian dulu," kata M. Carrege, ditujukan pada
Mason. "Silakan masuk ke kamar sebelah, Nona. Di sana mereka akan membacakan
pada Anda pertanyaan-pertanyaan dan jawabnya, dan Anda nanti harus
menandatangani laporan itu."
Mason keluar, diiringi seorang petugas. Van Aldin segera berkata pada Jaksa,
"Lalu?" M Carrege membuka laci meja tulisnya, mengeluarkan sepucuk surat dari situ, lalu
memberikannya pada Van Aldin.
"Surat ini ditemukan di dalam tas putri Anda."
"Sahabatku sayang," (demikian surat itu dimulai) - "Aku akan mematuhimu, aku
akan berhati-hati, bijaksana - dan semua peringatan-peringatan yang dibenci
orang yang sedang bercinta. Paris mungkin memang berbahaya, tapi Kepulauan d'Or
jauh sekali dari dunia ini, dan kau boleh yakin bahwa tidak akan ada yang bocor.
Memang suatu ciri khas dirimu dan simpatimu yang begitu baik untuk menaruh
perhatian pada pekerjaan tulisanku mengenai permata-permata yang terkenal.
Memang akan merupakan suatu kesempatan istimewa yang luar biasa bila aku bisa
benar-benar melihat dan menangani permata-permata delima yang bersejarah itu.
Aku sedang menulis suatu bagian khusus mengenai Heart of Fire, Kekasihku!
Sebentar lagi aku akan mengganti rugi tahun-tahun perpisahan dan kesepian kita.
Pemujamu selalu, Armand" Bab 15 COMTE DE LA ROCHE Van Aldin membaca surat itu sampai selesai tanpa bersuara. Wajahnya berubah
menjadi merah padam karena marah. Orang-orang yang berada di situ yang
memperhatikannya, melihat urat-uratnya tersembul di dahinya, dan tangannya yang
besar tergenggam erat tanpa disadarinya. Surat itu dikembalikannya tanpa berkata
sepatah pun. M. Carrege menatap meja kerjanya terus, mata M. Caux menatap
loteng, sedang M. Hercule Poirot perlahan-lahan menghapus debu dari lengan
jasnya. Dengan bijaknya, tak seorang pun melihat ke arah Van Aldin.
M. Carrege yang menyadari kedudukan dan tugasnya, kemudian mulai membicarakan
bahan yang tak menyenangkan itu.
"Monsieur," gumamnya, "mungkin Anda tahu siapa - eh - yang menulis surat itu?"
"Ya, saya tahu," kata Van Aldin berat.
"Oh?" kata Jaksa dengan nada bertanya.
"Dia seorang penipu yang menamakan dirinya Comte de la Roche."
Sepi sejenak, lalu M. Poirot membungkuk, meluruskan letak penggaris yang ada di
meja Hakim, lalu berbicara langsung pada jutawan itu.
"M. Van Aldin, kami semua maklum, benar-benar maklum, akan rasa sakit hati Anda
dalam membicarakan soal ini - tapi percayalah, Monsieur, sekarang bukan waktunya
untuk menyembunyikan apa-apa. Bila hukum harus ditegakkan, kita harus tahu
semuanya. Bila Anda renungkan sebentar, Anda akan menyadari sendiri hal itu
semua dengan jelas."
Beberapa menit lamanya Van Aldin berdiam diri, kemudian dia mengangguk
membenarkan dengan setengah enggan.
"Anda benar, M. Poirot," katanya. "Betapapun menyakitkannya, saya tak punya hak
untuk menyembunyikan apa pun."
Komisaris menarik napas lega, dan Jaksa Pemeriksa bersandar kembali ke kursinya
serta membetulkan letak kaca matanya yang tanpa gagang di hidungnya yang panjang
dan kecil. "Barangkali Anda mau menceritakannya dengan kata-kata Anda sendiri, M. Van
Aldin," katanya, "segalanya yang Anda tahu tentang laki-laki itu."
"Peristiwa itu dimulai sebelas atau dua belas tahun yang lalu di Paris. Waktu
itu putri saya masih muda sekali, penuh dengan pikiran-pikiran romantis dan
bodoh, sebagaimana biasanya gadis-gadis muda. Tanpa setahu saya, dia berkenalan
dengan Comte de la Roche itu. Mungkin Anda pernah mendengar tentang dia?"
Komisaris dan Poirot sama-sama mengangguk.
"Dia menamakan dirinya Comte de la Roche," lanjut Van Aldin, "tapi saya
meragukan apakah dia benar-benar punya hak untuk memakai gelar itu."
"Anda tidak akan bisa menemukan namanya dalam buku petunjuk Almanac de Gotha,"
kata Komisaris membenarkan.
"Saya juga menemukan begitu," kata Van Aldin. "Laki-laki itu seorang bajingan
sejati yang tampan, yang punya daya tarik membahayakan bagi kaum wanita. Ruth
tergila-gila padanya, tapi saya segera menghentikan semua hubungan itu. Lakilaki itu tak lebih dari seorang penipu ulung."
"Anda benar," kata Komisaris. "Comte de la Roche itu sudah kami kenal dengan
baik. Kalau saja bisa, kami sudah menangkapnya sekarang, tapi - ma foi! - hal
itu tak mudah. Laki-laki itu cerdik, perkaranya selalu berkaitan dengan kaum
wanita yang berkedudukan sosial yang tinggi. Bila dia mendapatkan uang dari
mereka dengan alasan-alasan palsu atau sebagai hasil pemerasan eh bien! Mereka
tentu saja tak mau mengadukannya. Mereka tentu tak mau kelihatan goblok di mata
dunia, dan dia punya kekuatan luar biasa terhadap wanita."
"Memang begitu," kata jutawan itu dengan berat. "Nah, seperti kata saya tadi,
saya telah memutuskan hubungan itu dengan tegas. Saya katakan terus terang pada
Ruth siapa dia itu sebenarnya, dan dia terpaksa percaya. Kira-kira setahun
setelah itu, dia bertemu dengan suaminya yang sekarang dan lalu menikah
dengannya. Sejauh yang saya tahu, demikianlah persoalan itu berakhir - tapi baru
seminggu yang lalu, saya terkejut sekali karena saya dapati bahwa anak perempuan
saya itu memperbaharui hubungannya dengan Comte de la Roche itu. Rupanya dia
sering bertemu dengan laki-laki itu di London. Saya menegurnya atas perbuatannya
itu, karena bolehlah saya katakan pada Anda semua, Tuan-tuan, bahwa atas desakan
saya dia sedang menyiapkan tuntutan perceraian dari suaminya."
"Itu menarik," gumam Poirot dengan suara halus, sambil memandang ke loteng.
Van Aldin memandangnya dengan tajam, lalu melanjutkan,
"Saya jelaskan padanya bahwa dalam keadaan seperti ini, amatlah bodoh untuk
melanjutkan hubungan dengan Comte itu. Saya sangka dia sependapat dengan saya."
Jaksa Pemeriksa mendehem perlahan.
"Tapi kalau melihat surat ini - " dia mulai, lalu berhenti.
Rahang Van Aldin terkatup rapat.
"Saya maklum. Tak ada gunanya ditutup-tutupi. Bagaimanapun tak menyenangkan,
kita harus menghadapi kenyataannya. Sudah jelas bahwa Ruth telah mengatur untuk
pergi ke Paris dan bertemu dengan de la Roche di sana. Tapi, setelah saya beri
peringatan, dia rupanya menulis surat pada Comte itu dan mengusulkan perubahan
tempat pertemuan." "Kepulauan d'Or," kata Komisaris merenung, "terletak tepat di seberang Hyeres,
suatu tempat yang terpencil dan amat cocok untuk bercintaan."
Van Aldin mengangguk. "Ya, Tuhan! Bagaimana Ruth bisa sebodoh itu?" serunya dengan getir. "Penulisan
buku tentang batu-batu permata itu omong kosong belaka! Dia pasti mengincar
batu-batu delima itu sejak semula."
"Memang ada beberapa permata delima yang terkenal," kata Poirot, "yang asalnya
merupakan bagian dari permata-permata mahkota kerajaan Rusia. Bentuknya
istimewa, dan nilainya tak terkira mahalnya. Ada desas-desus bahwa permatapermata itu akhir-akhir ini telah menjadi milik seorang Amerika. Apakah benar
kesimpulan kami, Monsieur, bahwa Andalah pembeli barang itu?"
"Benar," kata Van Aldin. "Saya membelinya sepuluh hari yang lalu."
"Maafkan, Monsieur, apakah Anda telah beberapa lama merundingkan pembelian
barang-barang itu?" "Dua bulan lebih sedikit. Mengapa?"
"Hal-hal yang begituan cepat tersiar," kata Poirot. "Lalu lintas permata-permata
semacam itu selalu diikuti dengan cermat oleh banyak sekali orang."
Wajah Van Aldin jadi seakan-akan kejang dan jelek.
"Saya ingat," katanya terputus-putus, "suatu lelucon yang saya ucapkan pada Ruth
waktu saya memberikan permata itu padanya. Saya katakan padanya untuk tidak
membawanya ke Riviera, karena saya tak mau dia sampai dirampok atau bahkan
dibunuh gara-gara permata-permata itu. Tuhanku! siapa sangka - sama sekali tak
terpikir bahwa kata-kata yang kita ucapkan akan menjadi kenyataan."
Semuanya diam menunjukkan pengertian, kemudian Poirot berbicara tentang sesuatu
yang terlepas dari soal di atas.
"Mari kita susun fakta-faktanya secara berturut-turut dan teratur. Berdasarkan
teori kita yang sekarang, beginilah peristiwanya. Comte de la Roche tahu bahwa
Anda telah membeli permata-permata itu. Dengan siasat yang mudah saja dia
berhasil membujuk Nyonya Kettering untuk membawa permata-permata itu. Kalau
begitu, dialah laki-laki yang dilihat Mason dalam kereta api di Paris itu."
Ketiga pria yang lain mengangguk.
"Nyonya Kettering terkejut melihatnya, tapi dia mengatasi keadaan itu dengan
tegas. Mason disuruh menyingkir, makanan malam hanya dipesan saja. Kita dengar
dari kondektur bahwa hanya tempat tidur dalam kamar pertama saja yang disiapkan
untuk tidur, dia tidak pergi ke kamar yang kedua, dan bahwa orang dengan mudah
bisa bersembunyi di kamar itu supaya tidak dilihatnya. Sampai begitu jauh, Comte
itu secara ajaib bisa tersembunyi. Tak seorang pun tahu kehadirannya di kereta
api itu kecuali Nyonya Kettering - dia berhati-hati agar pelayannya tidak
melihat wajahnya. Wanita itu hanya bisa mengatakan bahwa dia jangkung dan
berambut hitam. Semuanya menguntungkan dirinya karena samar. Mereka hanya
berduaan - dan kereta api menderu terus membelah malam. Tentu tidak akan ada
jeritan, tak ada perkelahian, karena laki-laki itu, sepanjang pengetahuannya,
adalah kekasihnya." Dia berpaling dengan lembut pada Van Aldin.
"Kematiannya pasti terjadi seketika, Monsieur. Biarlah bagian itu kita lewati
saja cepat-cepat. Comte itu mengambil perhiasan yang sudah siap ambil itu.
Sebentar kemudian kereta api berhenti di Lyons."
M. Carrege mengangguk membenarkan.
"Tepat," katanya. "Kondektur tidak turun. Mudah sekali orang itu meninggalkan
kereta api tanpa dilihat - akan mudah pula baginya untuk naik kereta api lain
untuk pergi ke Paris atau ke mana pun yang disukainya. Dan kejahatan itu akan
ditentukan sebagai suatu perampokan kereta api biasa. Comte itu tidak akan
disebut-sebut, bila saja surat itu tidak ditemukan di dalam tas Nyonya
Kettering." "Itulah keteledorannya, dia tidak memeriksa tas itu," Komisaris menjelaskan.
"Dia pasti menyangka bahwa Nyonya Kettering telah memusnahkan surat itu. Memang
- maafkan saya, Monsieur - sangat ceroboh untuk menyimpannya."
"Tapi," gumam Poirot, "lebih ceroboh lagi karena Comte itu tidak terpikir akan
surat itu." "Maksud Anda?" "Maksud saya, kita semua sependapat mengenai satu hal, yaitu bahwa Comte de la
Roche benar-benar ahli dalam satu hal yaitu: wanita. Kalau dia memang tahu betul
tentang wanita, bagaimana mungkin dia tidak menduga bahwa Nyonya Kettering masih
menyimpan surat itu?"
"Ya - benar," kata Jaksa Pemeriksa ragu-ragu, "ada sesuatu dalam kata-kata Anda
itu. Tapi Anda pun tentu maklum bahwa dalam keadaan seperti itu, orang tak dapat
menguasai dirinya. Dia tidak berpikir dengan tenang. Mon Dieu!" Tambahnya dengan
perasaan, "Bila penjahat-penjahat kita bisa berpikiran dengan sehat dan
bertindak dengan bijak, bagaimana bisa kita menangkapnya?"
Poirot tersenyum sendiri.
"Saya lihat perkara ini sudah jelas," kata yang lain, "tapi sulit untuk
dibuktikan. Comte itu orang yang licik, dan bila pelayan itu tak bisa
mengenalinya - " "Hal mana memang mungkin sekali," sela Poirot.
"Benar, benar," kata Jaksa Pemeriksa sambil menggosok-gosok dagunya. "Akan
menjadi sulit." "Bila memang dia yang melakukan kejahatan itu - " Poirot memulai. M. Caux
menyelanya, "Bila - bila, kata Anda?"
"Benar, Komisaris, saya katakan bila."
Komisaris itu memandangnya dengan tajam. "Anda benar," katanya akhirnya, "kami
telah berpikir terlalu cepat. Mungkin saja Comte itu punya alibi. Maka kita akan
kelihatan bodoh." "Ah, ini lagi," sahut Poirot, "itu sama sekali tak penting. Kalau dia pelakunya,
dia tentu punya alibi. Laki-laki yang pengalamannya begitu banyak seperti Comte
itu tidak akan lengah mengambil langkah pencegahan. Tidak, saya tadi mengatakan
bila, dengan suatu alasan tertentu."
"Dan apakah itu?"
Poirot menggoyang-goyangkan telunjuknya kuat-kuat. "Psikologi."
"Apa?" kata Komisaris.
"Berlawanan dengan psikologi. Comte itu seorang bajingan - ya, dia seorang
penipu - benar. Comte itu menjadikan wanita mangsanya - betul. Dia berniat untuk
mencuri permata-permata Nyonya Kettering - sekali lagi benar. Apakah dia seorang
laki-laki yang melakukan pembunuhan" Saya katakan - tidak! Laki-laki semacam
Comte itu selalu penakut - dia tak mau mengambil risiko. Dia mau yang aman, yang
keji, apa yang disebut orang Inggris permainan rendah - tapi pembunuhan, seratus
Misteri Kereta Api Biru The Mystery Of The Blue Train Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kali tidak!" Dia menggeleng kuat-kuat.
Namun Jaksa Pemeriksa agaknya tak tertarik untuk sependapat dengannya.
"Selalu ada waktunya penjahat-penjahat seperti itu kehilangan akal sehatnya dan
bertindak terlalu jauh," katanya dengan bijak. "Pasti begitulah keadaannya
sekarang. Bukan maksud saya membantah Anda, M. Poirot - "
"Itu tadi hanya suatu pendapat," Poirot menjelaskan cepat-cepat. "Perkaranya
tentu berada di dalam tangan Anda, dan Anda akan melakukan apa yang menurut Anda
paling sesuai." "Saya sendiri berpendapat bahwa Comte de la Roche adalah orang yang harus kita
cari," kata M. Carrege. "Setujukah Anda dengan saya, Komisaris?"
"Setuju sekali."
"Dan Anda, M. Van Aldin?"
"Ya," sahut jutawan itu. "Ya, laki-laki itu adalah bajingan kawakan, tak
meragukan lagi." "Saya kuatir akan sulit menangkapnya," kata Jaksa, "tapi kami akan berusaha
sekuat tenaga. Instruksi melalui telegram akan segera dikirimkan."
"Izinkanlah saya membantu Anda," kata Poirot. "Tak perlu ada kesulitan dalam hal
itu." "Apa?" Orang-orang yang lain melihat padanya dengan terbelalak. Laki-laki kecil itu
membalas pandangan mereka dengan tersenyum ceria.
"Adalah urusan saya untuk mengetahui banyak hal," dia menjelaskan. "Count itu
adalah orang yang cerdas. Pada saat ini dia ada di vila yang disewanya, Vila
Marina di Antibes." Bab 16 POIROT MEMBAHAS PERKARA ITU
Semua melihat pada Poirot dengan rasa hormat. Nyata sekali bahwa pria kecil itu
telah berhasil merebut rasa hormat orang. Komisaris tertawa - meskipun dengan
nada sumbang. "Anda mengajar kami semua dalam pekerjaan kami," katanya. "M. Poirot tahu lebih
banyak daripada polisi."
Poirot menatap loteng dengan puas, dan berpura-pura rendah hati.
"Yah, mau apa lagi, itu hobi saya," gumamnya, "yaitu mencari tahu tentang banyak
hal. Tentu saja saya punya waktu untuk menuruti hobi itu. Saya tidak terlalu
dibebani oleh bermacam-macam urusan."
"Ah!" kata Komisaris sambil mengangguk tanda setuju benar. "Sedang saya ini - "
Isyarat hebat yang dilakukannya menunjukkan betapa banyak urusan yang terpikul
di pundaknya. Poirot tiba-tiba berpaling pada Van Aldin.
"Setujukah Anda dengan pandangan tadi, Monsieur" Yakinkah Anda bahwa Comte de la
Roche itu pembunuhnya?"
"Yah, agaknya begitulah - ya, pasti."
Sesuatu dalam jawaban itu yang terdengar seperti kewaspadaan, membuat Jaksa
Pemeriksa memandang penuh ingin tahu pada orang Amerika itu. Van Aldin
kelihatannya menyadari pandangan itu dan berbuat seolah-olah sedang berusaha
akan menghilangkan suatu pikiran.
"Bagaimana dengan menantu saya?" tanyanya. "Sudahkah Anda sampaikan berita ini
padanya" Saya dengar dia ada di Nice."
"Tentu, Monsieur." Komisaris merasa ragu-ragu, lalu berkata dengan sangat
berhati-hati, "Anda pasti tahu, M. Van Aldin, bahwa Tuan Kettering juga
merupakan salah seorang penumpang Kereta Api Biru malam itu?"
Jutawan itu mengangguk. "Saya baru mendengarnya waktu akan berangkat dari London," sahutnya tak acuh.
"Dia mengatakan pada kami," sambung Komisaris, "bahwa dia tak tahu istrinya
bepergian dengan kereta api itu juga."
"Pasti dia berkata begitu," kata Van Aldin ketus. "Pasti akan merupakan suatu
pukulan hebat baginya kalau dia bertemu dengan istrinya di situ."
Ketiga orang yang lain memandangnya dengan penuh pertanyaan.
"Saya tidak akan menyembunyikan apa-apa," kata Van Aldin. "Tak seorang pun tahu
apa yang harus diderita oleh anakku yang malang itu. Derek Kettering tidak
seorang diri. Dia bersama seorang wanita lain."
"Oh?" "Mirelle - penari itu."
M. Carrege dan Komisaris saling berpandangan dan mengangguk seolah-olah
membenarkan suatu percakapan terdahulu. M. Carrege bersandar di kursinya,
mempertemukan kedua belah telapak tangannya, dan menatap loteng.
"Ah!" katanya lagi. "Orang memang bertanya-tanya." Dia mendehem. "Orang memang
sudah mendengar desas-desus itu."
"Wanita itu sangat terkenal keburukannya," kata M. Caux.
"Dan juga sangat mahal," gumam Poirot dengan suara halus.
Wajah Van Aldin menjadi merah sekali. Dia bersandar ke depan lalu menghantam
meja dengan tinjunya. "Dengar," serunya, "menantu saya itu memang bajingan betul!"
Dia mendelik pada semua orang di situ satu demi satu.
"Ah, entahlah," lanjutnya. "Tampan dan berpembawaan yang menarik serta santai.
Saya sendiri pun pernah terpesona. Saya rasa dia berpura-pura patah hati waktu
Anda menyampaikan berita itu padanya, ya - itu pun kalau dia memang belum tahu."
"Berita itu memang mengejutkannya. Dia benar-benar terperanjat."
"Anak muda munafik sialan," kata Van Aldin. "Pasti dia berpura-pura sedih
sekali, ya?" "Ti - tidak," kata Komisaris dengan berhati-hati. "Saya tak bisa berkata begitu
- bukan M. Carrege?"
Jaksa mengatupkan jari-jari kedua belah tangannya, dan setengah menutup matanya.
"Terpukul, terkejut, merasa ngeri - hal itu memang ya," dia mengatakan apa
adanya. "Kesedihan yang dalam - tidak - saya tak bisa berkata begitu."
Sekali lagi Hercule Poirot angkat bicara.
"Izinkanlah saya bertanya, M. Van Aldin, apakah Tuan Kettering akan mendapatkan
keuntungan dengan kematian istrinya?"
"Dia akan mendapatkan beberapa juta," kata Van Aldin.
"Dolar?" "Pound. Jumlah itu sudah saya berikan pada Ruth pada hari pernikahannya. Ruth
tidak membuat surat wasiat dan tidak pula punya anak, maka uang itu akan jatuh
pada suaminya." "Yang akan diceraikannya," gumam Poirot. "Ah - tepat sekali."
Komisaris menoleh dan memandangnya dengan tajam.
"Apakah maksud Anda - " dia mulai.
"Saya tidak bermaksud apa-apa," kata Poirot. "Saya menyusun fakta-fakta, itu
saja." Van Aldin menatapnya dengan perhatian yang baru timbul.
Pria kecil itu bangkit. "Saya rasa, saya tidak akan bisa membantu lagi, Tuan Hakim," katanya dengan
hormat, sambil membungkuk pada M. Carrege. "Tentu Anda mau memberi tahu saya
mengenai kejadian-kejadian selanjutnya, bukan?"
"Tentu - pasti."
Van Aldin juga bangkit. "Anda tidak membutuhkan saya lagi sekarang?"
"Tidak, Monsieur, semua informasi yang kami butuhkan sementara ini sudah kami
peroleh." "Kalau begitu saya ingin ikut M. Poirot sebentar. Kalau Anda tidak
berkeberatan." "Senang sekali, Monsieur," kata pria kecil itu dengan membungkuk.
Van Aldin menyalakan sebatang cerutu besar, setelah menawarkan sebatang pada
Poirot. Poirot menolaknya lalu menyalakan sebatang rokoknya sendiri yang kecil.
Sebagai seorang yang berwatak kuat, Van Aldin sudah kembali seperti biasa lagi.
Setelah berjalan bersama beberapa saat tanpa berkata apa-apa, jutawan itu
berkata, "Tadi Anda sudah mengatakan bahwa Anda tidak lagi memegang jabatan Anda bukan,
M. Poirot?" "Benar, M. Van Aldin. Saya mau menikmati hidup."
"Tapi Anda tetap mau membantu polisi dalam perkara ini?"
"Monsieur, bila seorang dokter berjalan di jalan dan terjadi suatu kecelakaan,
apakah dia akan berkata, 'Saya tidak lagi memegang jabatan saya, saya mau
melanjutkan perjalanan saya,' padahal ada orang yang mengeluarkan darah sampai
akan mati di kakinya" Seandainya saya sudah berada di Nice, dan polisi meminta
saya datang dan meminta bantuan saya, saya akan menolaknya. Tapi peristiwa ini,
rupanya sudah diperuntukkan Tuhan bagi saya."
"Anda berada di tempat kejadian itu," kata Van Aldin merenung. "Adakah Anda
memeriksa kamar di kereta api itu?"
Poirot mengangguk. "Anda tentu menemukan hal-hal yang, katakanlah, memberi petunjuk pada Anda?"
"Mungkin," kata Poirot.
"Saya harap Anda mengerti ke mana arah pembicaraan saya," kata Van Aldin.
"Kelihatannya perkara terhadap Count de la Roche itu sudah jelas sekali, tapi
saya tidak bodoh. Selama jam terakhir ini saya memperhatikan Anda, dan saya
menyadari bahwa berdasarkan alasan Anda sendiri, Anda tidak sependapat dengan
teori itu." Poirot mengangkat bahunya.
"Saya mungkin keliru."
"Sekarang kita kembali pada soal bantuan yang saya harapkan dari Anda.
Bersediakah Anda bertindak untuk saya dalam perkara ini?"
"Untuk Anda, pribadi?"
"Itulah maksud saya."
Poirot diam beberapa lamanya. Kemudian dia berkata,
"Apakah Anda menyadari apa yang Anda minta?"
"Saya rasa begitu," kata Van Aldin.
"Baiklah," kata Poirot. "Saya terima. Tapi dengan demikian saya harus
mendapatkan jawaban-jawaban yang terus terang atas pertanyaan-pertanyaan saya."
"Tentu saja. Saya mengerti."
Sikap Poirot jadi berubah. Tiba-tiba dia jadi tegas dan praktis.
"Soal perceraian itu," katanya, "Andalah yang menasihatkan agar putri Anda
mengajukan permintaan itu, bukan?"
"Ya." "Kapan?" "Kira-kira sepuluh hari yang lalu. Saya menerima surat darinya yang mengadu
tentang ulah suaminya, dan saya tekankan padanya bahwa perceraianlah satusatunya jalan ke luar."
"Bagaimana sifat pengaduannya mengenai kelakuan suaminya?" "Orang melihatnya
bergandengan terus dengan seorang wanita yang terkenal jahat itu - yang sudah
kita bicarakan tadi - Mirelle."
"Si penari itu. Ah - ha! Dan Nyonya Kettering keberatan. Apakah dia sangat cinta
pada suaminya?" "Saya tak bisa berkata begitu," kata Van Aldin ragu.
"Bukan hatinya yang luka, tapi kehormatannya - itukah yang akan Anda katakan?"
"Ya, saya rasa bisa dikatakan begitu."
"Saya dengar perkawinan itu tidak bahagia sejak awal, betulkah begitu?"
"Derek Kettering itu memang benar-benar busuk," kata Van Aldin. "Dia tak bisa
membahagiakan wanita mana pun juga."
"Pokoknya dia itu orang jahat, begitu bukan?"
Van Aldin mengangguk. "Tres bien! Anda menasihati putri Anda supaya minta cerai, dia setuju - lalu
Anda membahasnya dengan penasihat hukum Anda. Kapan Tuan Kettering memperoleh
kabar tentang rencana itu?"
"Saya sendiri yang memanggilnya, dan menjelaskan tindakan apa yang akan saya
ambil." "Lalu apa katanya?" gumam Poirot perlahan.
Wajah Van Aldin memerah mengingat peristiwa itu.
"Dia kurang ajar sekali."
"Maafkan saya bertanya, Monsieur, tapi adakah dia menyebut-nyebut Count de la
Roche?" "Dia tidak menyebut nama," geram Van Aldin dengan enggan, "tapi dia menunjukkan
sikap bahwa dia tahu tentang hal itu."
"Kalau saya boleh bertanya, bagaimana keadaan keuangan Tuan Kettering sekarang
ini?" "Bagaimana saya bisa tahu?" kata Van Aldin setelah ragu-ragu sebentar.
"Mungkin saja Anda mencari informasi tentang hal itu."
"Yah - Anda memang benar, saya memang mencari informasi. Saya mendapat tahu
bahwa hutangnya melilit pinggang."
"Dan sekarang dia memperoleh warisan dua juta pound! La vie - aneh sekali
perkara ini, ya?" Van Aldin menatapnya dengan tajam.
"Apa maksud Anda?"
"Saya berbicara tentang akhlak," kata Poirot. "Saya merenung, saya berbicara
tentang falsafah. Tapi mari kita kembali pada soal pokok. Tuan Kettering tentu
tak mau diceraikan tanpa perlawanan?"
Beberapa saat lamanya Van Aldin tidak menjawab, lalu dia berkata,
"Saya tak begitu tahu apa niatnya."
"Apakah Anda mengadakan hubungan selanjutnya dengan dia?"
Tak ada jawaban sejenak, kemudian dia baru berkata,
"Tidak." Poirot menghentikan langkahnya, mengangkat topinya, lalu mengulurkan tangannya.
"Saya harus mengucapkan selamat berpisah, Monsieur. Saya tak bisa berbuat apaapa untuk Anda." "Apa maksud Anda?" tanya Van Aldin marah.
"Kalau Anda tidak mengatakan yang sebenarnya pada saya, maka saya tak bisa
berbuat apa-apa untuk Anda." "Saya tak mengerti maksud Anda."
"Saya rasa Anda mengerti. Anda harus yakin, M. Van Aldin, bahwa saya pandai
menyimpan rahasia." "Baik, kalau begitu," kata jutawan itu. "Saya akui bahwa saya tadi tidak
mengatakan yang sebenarnya. Saya memang mengadakan hubungan dengan menantu
saya." "Lalu?" "Sebenarnya, saya mengirim sekretaris saya, Mayor Knighton untuk menjumpainya,
dengan instruksi untuk menawarkan uang berjumlah seratus ribu pound kontan, bila
perkara perceraian berjalan tanpa perlawanan dari pihaknya."
"Besar sekali jumlah uang itu," kata Poirot menghargai, "lalu apa jawab menantu
Anda itu?" "Dijawabnya bahwa saya boleh pergi ke neraka," sahut jutawan itu singkat.
"Oh!" kata Poirot.
Dia sama sekali tidak menunjukkan perasaan apa-apa. Pada saat itu dia sedang
sibuk menyusun fakta-fakta secara teratur.
"Tuan Kettering mengatakan pada polisi bahwa dia tidak bertemu maupun berbicara
dengan istrinya dalam perjalanannya dari Inggris. Apakah Anda percaya akan
pernyataan itu, Monsieur?"
"Saya percaya," kata Van Aldin. "Saya rasa dia akan berusaha keras untuk tidak
bertemu dengan istrinya."
"Mengapa?" "Karena dia bersama perempuan itu."
"Mirelle?" "Ya." "Bagaimana Anda sampai tahu hal itu?"
"Ada orang bayaran saya yang saya suruh mengawasinya, melaporkan pada saya bahwa
mereka berdua berangkat dengan kereta api itu."
"Saya mengerti," kata Poirot. "Dalam hal itu, seperti kata Anda tadi, tak
mungkin dia berusaha untuk berhubungan dengan Nyonya Kettering."
Pria kecil itu berdiam diri beberapa lama. Van Aldin tidak mengganggu
renungannya. Bab 17 SEORANG PRIA BANGSAWAN "Pernahkah kau pergi ke Riviera, Georges?" tanya Poirot pada pelayannya esok
pagi. George adalah seorang Inggris sejati - pribadi yang berwajah agak kaku.
"Pernah, Tuan. Dua tahun yang lalu saya kemari, waktu saya bekerja pada Lord
Edward Frampton." "Dan hari ini," gumam majikannya, "kau berada di sini bersama Hercule Poirot.
Suatu peningkatan yang hebat!"
Pelayan itu tidak menjawab pernyataan itu. Setelah dirasanya sudah cukup lama
berdiam diri, dia bertanya,
"Stelan ber-kolber yang berwarna coklatkah, Tuan" Angin agak dingin hari ini."
"Ada noda minyak di rompinya," Poirot menyatakan keberatannya. "Sepotong daging
goreng jatuh di bajuku itu waktu aku makan siang di Ritz hari Selasa yang lalu."
"Sekarang tak ada lagi nodanya, Tuan," kata George memrotes. "Sudah saya
Misteri Kereta Api Biru The Mystery Of The Blue Train Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bersihkan." "Tres bien!" kata Poirot. "Aku senang dengan kau, Georges."
"Terima kasih, Tuan."
Mereka berdiaman, lalu Poirot menggumam sambil termangu,
"Seandainya, Georges yang baik, seandainya saja kau dilahirkan dalam kedudukan
sosial yang sama tingginya dengan almarhum majikanmu, Lord Edward Frampton seandainya kau tidak mempunyai uang, menikah dengan seorang istri yang luar
biasa kayanya, tapi istrimu itu lalu minta cerai darimu dengan alasan yang
tepat, apa yang akan kaulakukan?"
"Saya akan berusaha, Tuan," sahut George, "untuk membuatnya mengubah niatnya
itu." "Dengan cara baik-baik atau cara paksa?"
George tampak terkejut. "Maaf, Tuan," katanya, "tapi seorang pria bangsawan tidak akan berperilaku
seperti seorang penjaja jalanan biasa. Dia tidak akan melakukan sesuatu yang
rendah." "Tidak ya, Georges" Aku jadi berpikir. Yah, mungkin kau benar."
Terdengar pintu diketuk. George pergi ke pintu dan membukanya berhati-hati
selebar satu atau dua inci. Terdengar percakapan dengan suara rendah, lalu
pelayan itu kembali pada Poirot.
"Ada surat, Tuan."
Poirot mengambilnya. Surat itu dari M. Caux, komisaris polisi.
"Kami akan menanyai Comte de la Roche. Bapak Hakim meminta agar Anda mau hadir."
"Stelanku cepat, Georges! Aku harus bergegas."
Seperempat jam kemudian, Poirot memasuki ruangan Jaksa Pemeriksa, dengan
berpakaian stelan berwarna coklat lengkap dan rapi. M. Caux sudah ada di sana,
dan baik dia maupun M. Carrege menyapanya dengan sopan santun.
"Perkaranya agak melemahkan semangat," gumam M. Caux.
"Rupanya Comte itu tiba di Nice sehari sebelum pembunuhan itu terjadi."
"Bila itu benar, akan selesai dengan baiklah perkara itu bagi Anda," sahut
Poirot. M. Carrege meneguk liurnya.
"Kita tak bisa menerima alibinya itu begitu saja tanpa menanyai dengan teliti,"
katanya. Ditekannya bel di atas mejanya.
Semenit kemudian seorang laki-laki jangkung berambut hitam, berpakaian sempurna,
dengan air muka yang agak angkuh, memasuki ruangan itu. Comte itu tampak begitu
ningrat, hingga akan sangatlah bertentangan rasanya bila dibisikkan bahwa
ayahnya hanya seorang pedagang gandum yang tak dikenal di Nantes - hal mana
memang suatu kenyataan. Bila melihat Comte itu, orang akan mau bersumpah bahwa
tak terbilang banyaknya nenek moyangnya yang telah menjadi korban guillotine
dalam Revolusi Prancis. "Inilah saya, Tuan-tuan," kata Comte itu dengan angkuh. "Bolehkah saya bertanya
mengapa Anda ingin bertemu dengan saya?"
"Silakan duduk, M. Comte," kata jaksa Pemeriksa dengan sopan. "Kami sedang
menyelidiki perkara kematian Nyonya Kettering."
"Kematian Nyonya Kettering" Saya tak mengerti."
"Saya dengar Anda - ahem! - kenal baik dengan wanita itu, M. Comte?"
"Tentu saya kenal dengan dia. Apa hubungannya dengan perkara ini?"
Sambil memasang kaca di matanya, dia memandang berkeliling ruangan itu dengan
dingin, pandangannya paling lama berhenti pada Poirot, yang menatapnya dengan
rasa kagum yang polos dan terang-terangan, hingga membuat Comte yang perlente
itu senang sekali. M. Carrege bersandar di kursinya dan meneguk liurnya.
"Barangkali Anda tak tahu, M. Comte," - Dia berhenti sebentar, " - bahwa Nyonya
Kettering itu terbunuh?"
"Terbunuh" Mon Dieu, mengerikan sekali!"
Rasa terkejut dan sedihnya dinyatakannya dengan demikian baiknya - demikian
baiknya, hingga kelihatan tulus dan wajar.
"Nyonya Kettering dijerat lehernya antara Paris dan Lyons," M. Carrege
melanjutkan, "dan barang-barang perhiasannya dicuri."
"Sungguh kejam!" seru Comte hangat. "Polisi harus berbuat sesuatu terhadap
bandit-bandit kereta api itu. Tak ada seorang pun yang aman, zaman sekarang
ini." "Dalam tas tangan nyonya itu," sambung Hakim, "kami menemukan sepucuk surat dari
Anda kepadanya. Agaknya dia telah mengatur suatu pertemuan dengan Anda."
Comte itu mengangkat bahunya dan merentangkan kedua belah tangannya.
"Untuk apa disembunyikan," katanya berterus terang. "Bukankah kita sama-sama
laki-laki. Secara pribadi dan di antara kita, saya akui hubungan itu."
"Apakah Anda bertemu dengannya di Paris lalu pergi bersamanya?" tanya M.
Carrege. "Itu rencana semula, tapi diubah atas keinginan nyonya itu sendiri. Saya harus
menemuinya di Hyeres."
"Tidakkah Anda menemuinya di kereta api di Gare de Lyon pada malam hari tanggal
empat belas?" "Sebaliknya, saya tiba di Nice pada pagi hari itu, jadi apa yang Anda katakan
itu tak mungkin." "Memang begitu, memang begitu," kata M. Carrege. "Sekedar memenuhi formalitas,
mungkin Anda bisa menerangkan gerak-gerik Anda pada malam hari sampai tengah
malam tanggal empat belas itu."
Comte itu merenung sebentar.
"Saya makan malam di Monte Carlo di Cafe de Paris. Setelah itu saya pergi ke
tempat perjudian Le Sporting. Saya menang beberapa ribu franc." Dia mengangkat
pundaknya. "Saya pulang mungkin jam satu."
"Maafkan saya, Monsieur, bagaimana Anda pulang?"
"Naik mobil saya sendiri."
"Tak adakah orang lain bersama Anda?"
"Tak ada." "Dapatkah Anda memberikan saksi dalam menunjang pernyataan itu?"
"Banyak teman saya yang pasti melihat saya malam itu, di sana. Saya makan
seorang diri." "Apakah pembantu Anda membukakan Anda pintu waktu Anda kembali di vila Anda?"
"Saya masuk sendiri dengan kunci saya sendiri."
"Oh!" gumam Jaksa.
Dia menekan bel di mejanya lagi. Pintu terbuka dan seorang pesuruh masuk.
"Bawa pelayan wanita itu masuk," kata M. Carrege.
"Baik, Bapak Hakim."
Mason dibawa masuk. "Tolong, Nona lihat pria ini. Menurut ingatan Anda yang sebaik-baiknya, apakah
dia yang memasuki kamar majikan Anda di kereta api di Paris?"
Wanita itu memandang lama dan teliti pada Comte itu. Menurut penglihatan Poirot,
Comte itu gelisah ditatap begitu.
"Saya tak bisa memastikannya, Tuan, saya yakin saya tak bisa mengatakan dengan
pasti," kata Mason akhirnya. "Mungkin ya dan mungkin bukan. Mengingat saya hanya
melihat belakangnya saja, sulit untuk mengatakannya. Saya rasa dialah pria itu."
"Tapi Anda tak yakin?"
"Tidak - ," kata Mason dengan enggan, "ti - tidak, saya tak yakin."
"Pernahkah Anda melihat tuan ini di Curzon Street?"
Mason menggeleng. "Saya tak mungkin melihat seorang pun tamu yang datang di Curzon Street," dia
menerangkan, "kecuali kalau mereka menginap di rumah itu."
"Baiklah, cukup," kata Jaksa dengan tajam.
Jelas kelihatan bahwa dia kecewa.
"Sebentar," kata Poirot. "Kalau boleh saya ingin mengajukan satu pertanyaan pada
Nona?" "Silakan, M. Poirot - tentu saja boleh."
Poirot menanyai pelayan itu.
"Bagaimana dengan karcis-karcis kereta api?"
"Karcis, Tuan?"
"Ya, karcis dari London ke Nice. Apakah Anda atau majikan Anda yang
memegangnya?" "Nyonya memegang karcis Pullman-nya sendiri, Tuan, yang lain ada pada saya."
"Diapakan karcis-karcis itu?"
"Saya serahkan pada kondektur dari kereta api Prancis itu, Tuan. Katanya memang
biasanya begitu. Saya harap saya tidak berbuat salah, Tuan?"
"Oh benar, benar sekali. Sekedar ingin tahu secara terperinci."
Baik M. Caux maupun Jaksa Pemeriksa memandang Poirot dengan rasa ingin tahu.
Beberapa saat lamanya Mason berdiri tanpa tahu harus berbuat apa, lalu Jaksa
mengangguk singkat tanda dia boleh pergi dan dia keluar. Poirot menuliskan
sesuatu pada secarik kertas lalu memberikannya pada M. Carrege yang duduk di
seberangnya. M. Carrege membacanya dan kerut alisnya hilang.
"Bagaimana, Tuan-tuan," tanya Comte dengan angkuh, "apakah saya akan ditahan
lebih lama?" "Pasti tidak, tentu tidak," kata M. Carrege buru-buru dan ramah sekali.
"Sekarang semuanya sudah jelas mengenai kedudukan Anda dalam peristiwa ini.
Mengingat surat Anda pada Nyonya itu, tentulah kami tadi harus menanyai Anda."
Comte itu bangkit, mengambil tongkatnya yang bagus dari sudut, lalu meninggalkan
ruangan itu dengan anggukan singkat.
"Yah, begitulah," kata M. Carrege, "Anda benar, M. Poirot - lebih baik
membiarkan dia merasa bahwa dia tidak dicurigai. Dua orang anak buah saya akan
membayang-bayanginya siang-malam, dan sementara itu kita akan menyelidiki
tentang kebenaran alibinya. Saya lihat agaknya - kurang meyakinkan."
"Mungkin," Poirot membenarkan dengan merenung.
"Saya telah meminta Tuan Kettering untuk datang kemari pagi ini," sambung jaksa,
"meskipun sebenarnya saya meragukan apakah akan banyak yang kita dapat darinya.
Tapi ada satu-dua keadaan yang mencurigakan - " Dia berhenti sebentar sambil
menggosok-gosok hidungnya.
"Umpamanya?" tanya Poirot.
"Yah," Jaksa mendehem - "wanita itu, yang dikatakan bepergian bersama dia - Nona
Mirelle. Dia menginap di sebuah hotel dan Tuan Kettering di hotel lain. Rasanya
- eh - agak aneh."
"Kelihatannya," kata M. Caux, "mereka itu waspada."
"Tepat," kata M. Carrege dengan sikap kemenangan. "Lalu terhadap apa mereka
harus waspada?" "Kewaspadaan yang berlebihan mencurigakan, bukan?" kata Poirot.
"Benar." "Saya rasa," gumam Poirot, "kita menanyakan beberapa pertanyaan pada Tuan
Kettering." Jaksa memberikan perintah-perintah. Sebentar kemudian, Derek Kettering dengan
riang sebagaimana biasanya, memasuki ruangan.
"Selamat pagi, Monsieur," kata Hakim dengan hormat.
"Selamat pagi," kata Derek Kettering singkat. "Anda menyuruh saya datang. Adakah
perkembangan baru?" "Silakan duduk, Monsieur."
Derek duduk dan melemparkan topi dan tongkatnya ke atas meja.
"Bagaimana?" tanyanya tak sabar.
"Sampai sekarang kami belum mendapatkan petunjuk-petunjuk baru," kata M. Carrege
berhati-hati. "Menarik sekali," kata Derek datar. "Apakah Anda suruh saya kemari hanya untuk
mengatakan itu?" "Kami pikir, Monsieur, bahwa Anda tentu ingin diberi tahu tentang kemajuan
perkara ini," kata Jaksa agak marah.
"Meskipun kemajuan itu tak ada."
"Kami juga ingin menanyakan beberapa hal."
"Tanya saja." "Anda yakin bahwa Anda tidak bertemu maupun berbicara dengan istri Anda di
kereta api." "Itu sudah saya jawab. Tidak."
"Anda tentu punya alasan."
Derek menatapnya dengan curiga.
"Saya - tak - tahu - dia - ada - di - kereta api - itu," dijelaskannya dengan
memberi jarak yang jelas pada setiap kata, seolah-olah dia berbicara dengan
orang yang bodoh. "Itu kata Anda, memang." kata M. Carrege.
Wajah Derek berkerut dengan cepat.
"Saya ingin tahu ke mana arah pembicaraan Anda. Tahukah Anda apa yang saya
pikir, M. Carrege?" "Apa yang Anda pikir, Monsieur?"
"Saya pikir polisi di Prancis ini jauh ketinggalan. Anda seharusnya sudah
mempunyai petunjuk mengenai perampok-perampok kereta api ini. Sungguh
keterlaluan bahwa hal seperti itu sampai bisa terjadi di kereta api semewah itu,
dan bahwa polisi Prancis tak berdaya dalam menangani soal itu."
"Kami sedang menanganinya, Monsieur, jangan kuatir."
"Saya dengar Nyonya Kettering tidak meninggalkan surat wasiat," sela Poirot
tiba-tiba. Ujung-ujung jarinya dipertemukannya dan dia memandang lekat ke
loteng. "Saya rasa dia tak pernah membuatnya," kata Kettering. "Mengapa?"
"Besar juga harta yang Anda warisi, bukan?" kata Poirot. "Benar-benar besar."
Meskipun matanya menatap loteng, dia bisa melihat betapa marahnya wajah Derek
Kettering. "Apa maksud Anda, dan siapa Anda?"
Poirot dengan halus melepaskan lututnya yang tertumpu, mengalihkan pandangannya
dari loteng, dan memandang laki-laki muda itu tepat-tepat.
"Nama saya Hercule Poirot," katanya dengan tenang, "dan saya mungkin detektif
yang terbesar di dunia. Yakinkah Anda bahwa Anda tidak bertemu atau bercakapcakap dengan istri Anda di kereta api itu?"
"Apa maksud kata-kata Anda" Apakah - apakah Anda menyindir bahwa saya - saya
yang membunuhnya?" Dia tiba-tiba tertawa. "Saya tak boleh menjadi marah - ini jelas-jelas tak masuk akal. Bila saya
membunuhnya, saya tidak akan perlu mencuri barang-barang perhiasannya, bukan?"
"Itu benar," gumam Poirot, dengan sikap agak kecewa. "Saya tidak terpikir akan
hal itu." "Kalau ada suatu perkara pembunuhan dan perampokan yang sudah jelas, inilah
dia," kata Derek Kettering. "Kasihan Ruth, permata-permata delima terkutuk
itulah yang menjadi gara-gara. Pasti karena dia memilikinya. Saya rasa sebelum
ini pun sudah ada pula pembunuhan gara-gara permata-permata itu."
Tiba-tiba Poirot duduk tegak. Warna hijau yang samar-samar berkilat di matanya.
Dia benar-benar kelihatan seperti seekor kucing cerdik yang cukup makan.
"Satu lagi pertanyaan, M. Kettering," katanya. "Dapatkah Anda memberitahukan
tanggal berapa Anda terakhir bertemu dengan istri Anda?"
"Coba saya ingat-ingat," Kettering merenung. "Mestinya - ya lebih dari tiga
minggu yang lalu. Sayang saya tak bisa memberikan tanggal pastinya."
"Tak mengapa," kata Poirot datar, "hanya itu yang ingin saya ketahui."
"Nah," kata Derek Kettering tak sabar, "ada lagi?"
Dia melihat ke arah M. Carrege. Yang tersebut terakhir ini, seolah mencari ilham
dari M. Poirot, dan isyarat yang diterimanya adalah gelengan kepala yang tak
jelas. "Tidak ada lagi, M. Kettering," katanya dengan sopan. "Saya rasa kami tak perlu
mengganggu Anda lebih lama lagi. Selamat pagi."
"Selamat pagi," kata Kettering. Dia keluar sambil membanting pintu.
Poirot bersandar ke depan dan berbicara dengan tajam, segera setelah pria muda
itu keluar dari ruangan itu.
"Tolong katakan," katanya dengan tegas, "kapan Anda katakan tentang batu delima
itu pada M. Kettering?"
"Saya tidak mengatakannya," kata M. Carrege. "Baru kemarin petang kita
mendengarnya dari M. Van Aldin."
"Ya, tapi dalam surat Comte ada disebut tentang batu-batu itu."
M. Carrege kelihatan murung.
"Saya sama sekali tidak mengatakan tentang surat itu pada M. Kettering," katanya
dengan nada tersinggung. "Dalam perkembangan perkara seperti sekarang ini,
perbuatan seperti itu amat sembrono namanya."
Poirot membungkuk dan mengetuk-ngetuk meja.
"Lalu bagaimana dia sampai tahu tentang permata-permata itu?" tanyanya dengan
suara halus. "Istrinya tak mungkin menceritakannya padanya, karena mereka sudah
tiga minggu tak saling bertemu. Rasanya tak mungkin Van Aldin atau sekretarisnya
yang menceritakannya - percakapan mereka dengannya adalah mengenai hal yang lain
sekali, sedang dalam surat-surat kabar tak pula ada berita tentang barang-barang
itu." Dia bangkit lalu mengambil topi dan tongkatnya.
"Tapi," gumamnya pada dirinya sendiri, "laki-laki itu tahu semua tentang hal
itu. Aku jadi ingin tahu, ya, aku ingin tahu!"
Misteri Kereta Api Biru The Mystery Of The Blue Train Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bab 18 DEREK MAKAN SIANG Derek langsung pergi ke Negresco, di mana dia memesan beberapa gelas cocktail
dan menghabiskannya cepat - lalu dia menatap dengan rasa tak senang, jauh ke
laut yang biru berkilau. Orang-orang yang lalu-lalang hanya dilihatnya tanpa
kesadaran - orang-orang yang membosankan, berpakaian buruk, dan sama sekali tak
menarik; sulit benar akan melihat sesuatu yang bagus sekarang ini. Tetapi dia
lalu cepat-cepat mengubah kesannya yang terakhir itu, waktu seorang wanita
mengambil tempat duduk agak jauh dari dia. Wanita itu memakai baju yang bagus
sekali, berwarna jingga dan hitam, dan sebuah topi kecil yang melindungi
wajahnya. Derek memesan cocktail untuk ketiga kalinya; dia menatap ke laut lagi,
lalu dia tiba-tiba terkejut. Bau wangi-wangian yang dikenalnya tercium oleh
hidungnya, dan dia mengangkat mukanya dan terlihatlah olehnya wanita yang
berbaju jingga dan hitam itu berdiri di sampingnya. Kemudian dia melihat
wajahnya, dan mengenalinya. Dia adalah Mirelle. Senyumnya menantang dan menggoda
seperti yang biasa dikenalnya.
"Derek!" serunya. "Senangkah kau bertemu denganku, atau tidak?"
Dia duduk di kursi di seberang Derek.
"Sambutlah aku dengan baik-baik, Orang bodoh," oloknya.
"Sungguh tak disangka kesenangan ini," kata Derek. "Kapan kau datang dari
London?" Wanita itu mengangkat bahunya.
"Satu atau dua hari yang lalu."
"Lalu bagaimana dengan Parthenon?"
"Aku telah meninggalkannya!"
"Begitukah?" "Kau tidak begitu ramah, Derek."
"Apakah aku harus begitu?"
Mirelle menyalakan sebatang rokok dan mengisapnya beberapa lamanya baru berkata,
"Mungkin kau berpikir bahwa aku kurang berhati-hati, karena kejadian itu masih
terlalu baru?" Derek menatapnya lalu mengangkat bahunya dan bertanya dengan nada resmi,
"Apakah kau akan makan di sini?"
"Tentu saja. Aku akan makan bersamamu."
"Menyesal sekali," kata Derek, "aku ada janji yang penting sekali."
"Mon Dieu! Kalian laki-laki ini seperti anak-anak saja," seru penari itu.
"Sungguh, tindakanmu terhadapku seperti anak manja saja - sejak hari itu, waktu
kau lari meninggalkan flatku, Perajuk. Ah! Tak baik begitu!"
"Anak manis," kata Derek, "aku benar-benar tak tahu apa yang kaubicarakan itu.
Di London waktu itu kita sependapat bahwa tikus-tikus pasti meninggalkan kapal
yang akan tenggelam, hanya itu yang bisa kukatakan."
Kata-katanya memang seenaknya saja, tetapi wajahnya tampak letih dan tegang.
Mirelle tiba-tiba menyandarkan tubuhnya ke meja.
"Kau tak bisa membohongi aku," gumamnya. "Aku tahu - sungguh, aku tahu apa yang
telah kaulakukan demi aku."
Derek tiba-tiba mendongak memandangnya dengan tajam. Sesuatu dalam suara Mirelle
menarik perhatiannya. Wanita itu mengangguk padanya.
"Ah! tak usah takut - aku pandai menyimpan rahasia. Kau memang hebat!
Keberanianmu luar biasa, tapi, walau bagaimanapun akulah yang memberimu gagasan
hari itu, waktu kukatakan di London bahwa kadang-kadang kecelakaan terjadi. Lalu
tidakkah kau berada dalam bahaya" Tidakkah polisi mencurigaimu?"
"Setan, apa?" "Hush!" Diangkatnya tangannya yang kecil berwarna putih kuning dengan sebuah
permata zamrud di jari kelingkingnya.
"Kau benar, seharusnya aku tidak berbicara begini di tempat umum. Kita tidak
akan membicarakan soal itu lagi, tapi kesulitan-kesulitan kita sudah berakhir hidup kita berdua akan manis sekali - manis!"
Tiba-tiba Derek tertawa - tawanya keras dan sumbang.
"Jadi tikus-tikusnya rupanya kembali, ya" Dua juta memang bisa mengubah keadaan
- tentu bisa. Aku seharusnya tahu itu." Dia tertawa lagi. "Kau ingin membantuku
menghabiskan yang dua juta itu bukan, Mirelle" Kau memang tahu caranya, tak ada
perempuan yang lebih pandai." Dia tertawa lagi.
"Hush!" seru penari itu. "Apa-apaan kau ini, Derek. Lihat - orang-orang menoleh
ke arah kita." "Ada apa denganku" Akan kuceritakan soalnya. Aku sudah putus dengan kau,
Mirelle. Kau dengar itu" Putus!"
Mirelle tidak menyambutnya seperti yang diharapkan Derek. Mirelle memandangnya
beberapa lamanya, lalu tersenyum lembut.
"Benar-benar seperti anak kecil! Kau marah - kau jengkel, dan itu semua karena
aku bersikap praktis. Tidakkah aku selalu berkata bahwa aku memujamu?"
Dia membungkukkan tubuhnya ke arah Derek.
"Tapi aku kenal betul padamu, Derek. Pandanglah aku - lihat ini, Mirelle yang
berbicara denganmu ini. Kau tak bisa hidup tanpa dia, kau tahu itu. Aku pernah
mencintaimu, kini aku akan mencintaimu seratus kali lipat. Akan kubuat hidup ini
indah bagimu - indah sekali. Tak ada seorang pun seperti Mirelle."
Ditatapnya mata Derek dengan tatapan membara. Dilihatnya Derek menjadi pucat dan
menahan napasnya, dan dia tersenyum dengan perasaan puas. Dia yakin akan daya
tarik dan kekuatannya sendiri terhadap laki-laki.
"Nah, beres sudah," katanya lembut, dan tertawa kecil. "Sekarang, maukah kau
mengajakku makan siang, Derek?"
"Tidak." Dia menahan napasnya lalu bangkit.
"Maaf, tapi sudah kukatakan tadi - aku ada janji."
"Kau makan siang dengan orang lain" Bah! Aku tak percaya."
"Aku akan makan dengan wanita yang di sana itu."
Dia tiba-tiba menyeberang ke arah seorang wanita yang berbaju putih, yang baru
saja menaiki tangga. Dia berbicara dengan wanita itu dengan agak terengah.
"Nona Grey, maukah Anda - sudikah Anda makan siang dengan saya" Kita sudah
bertemu di tempat Lady Tamplin, Anda ingat, bukan?"
Beberapa saat lamanya Katherine memandanginya dengan matanya yang abu-abu, yang
merenung dan penuh arti. "Terima kasih," katanya, setelah berdiam diri beberapa lamanya, "saya suka
sekali." Bab 19 TAMU YANG TAK DIHARAPKAN Comte de la Roche baru saja selesai makan siang. Sambil menyeka halus kumisnya
yang hitam dan bagus dengan serbet, Comte bangkit. Dia melewati ruang tamu vila
itu, sambil lalu melihat dengan rasa kagum pada beberapa barang seni yang
berserakan sembarang saja. Botol sirup dari zaman Louis XV, sepatu satin yang
pernah dipakai Marie Antoinette, dan barang-barang kecil lain yang merupakan
bagian dari hiasan rumah Comte itu. Kepada para tamunya, dia akan menerangkan
bahwa barang-barang itu adalah barang-barang warisan keluarganya. Sambil
berjalan terus ke teras, Comte memandang jauh ke Laut Mediterania tanpa melihat
apa-apa. Suatu rencana yang sudah dimatangkannya benar-benar telah dikacaukan
sama sekali, dan dia harus membuat rencana baru lagi. Sambil meregangkan
tubuhnya di sebuah kursi rotan, dan memegang sebatang rokok di jarinya yang
putih, Comte berpikir dalam-dalam.
Lalu Hipolyte, pelayannya yang laki-laki, membawakannya kopi dan beberapa macam
minuman beralkohol. Comte itu memilih brendi tua yang enak sekali.
Waktu pelayan itu bersiap-siap akan pergi, Comte itu menahannya dengan isyarat
kecil. Hipolyte berdiri menunggu perintah dengan hormat. Wajahnya tidak menarik,
tetapi sikapnya yang tak bercacat menutupi kekurangan itu, bahkan lebih dari
itu. Dia kini merupakan tokoh yang penuh perhatian dan hormat.
"Ada kemungkinan," kata Comte. "bahwa dalam beberapa hari ini, beberapa orang
Pasukan Pembunuh 1 Joko Sableng Malaikat Penggali Kubur Suling Emas Dan Naga Siluman 14
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama