Ceritasilat Novel Online

Pembunuh Di Balik Kabut 1

Pembunuh Di Balik Kabut Why Didn't They Ask Evans Karya Agatha Christie Bagian 1


Agatha Christie PEMBUNUH DI BALIK KABUT Scanned book (sbook) ini hanya untuk koleksi pribadi.
DILARANG MENGKOMERSILKAN atau hidup anda mengalami ketidakbahagiaan dan ketidakberuntungan BBSC
Convert to WORD,LIT, PDF , PRC BY ben99
Penerbit PT Gramedia Jakarta, 1989
WHY DIDN'T THEY ASK EVANS"
by Agatha Christie Copyright " 1933, 1934 Agatha Christie Mallow in
PEMBUNUH DI BALIK KABUT Alihbahasa: Mareta GM 402 89.588
Hak cipta terjemahan Indonesia
PT Gramedia, Jakarta Hak cipta dilindungi oleh undang-undang
Perwajahan oleh Sofnir Ali
Sampul dikerjakan kembali oleh Suryadi
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit PT Gramedia, anggota IKAPI
Jakarta, Mei 1989 Perpustakaan Nasional : katalog dalam terbitan (KDT)
CHRISTIE, Agatha Pembunuh Di Balik Kabut / Agatha Christie ; alih-bahasa, Mareta. Jakarta : ?Gramedia, 1989.
320 hal. j 18 cm. Judul asli : Why didn't they ask evans" ISBN 979-403-588-2.
1. Fiksi Inggris. I. Judul. II. Mareta.
823 Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta
DAFTAR ISI 1. Kecelakaan 2. Kekhawatiran Ayah 3. Perjalanan dengan Kereta Api
4. Pemeriksaan 5. Tuan dan Nyonya Cayman
6. Akhir Sebuah Piknik 7. Terhindar dari Maut 8. Teka-teki Foto 9. Tuan Bassingtonffrench
10. Persiapan Sebuah Kecelakaan
11. Kecelakaan Itu Terjadi
12. Di Kemah Musuh 13. Alan Carstairs 14. Dokter Nicholson 15. Sebuah Penemuan 16. Bobby Menjadi Penasihat Hukum
17. Nyonya Rivington bicara
18. Gadis Dalam Foto 19. Pertemuan Tiga Orang 20. Pertemuan Dua Orang 21. Roger Menjawab Sebuah Pertanyaan
22. Korban yang Lain 23. Moira Lenyap 24. Mencari Jejak Cayman 25. Tuan Spragge Bicara 26. Petualangan Tengah Malam
27. "Saudara Saya Dibunuh"
28. Pada Jam Kesebelas 29. Cerita Badger 30. Lari 31. Frankie Bertanya 32. Evans 33, Keributan di Oriental Cafe
34. Surat dari Amerika Selatan
35-Kabar dari Wisma Pendeta
1. KECELAKAAN BOBBY JONES akan memukul bolanya dari teebox. Dia mengambil ancang-ancang,
mengayunkan tongkat golfnya ke atas perlahan-lahan, lalu memukul ke bawah dengan
kecepatan penuh. Apakah bola itu melayang ke atas dan langsung masuk ke dalam lubang di dalam
green keempat belas"
Tidak. Pukulannya tidak sebagus itu. Bola itu 5 menggelinding masuk bunker dan
tersangkut di situ. Tak terdengar teriakan kecewa penonton. Satu-satunya penonton yang melihat pun
tidak merasa heran. Itu bisa dimaklumi karena yang sedang main golf bukanlah
pemain top kelahiran Ameri"ka" tetapi hanya anak lakilaki keempat seorang
pendeta di Marchbolt, sebuah kota kecil di tepi pantai daerah Wales.
Bobby berteriak kesal. Dia seorang pemuda ramah bertubuh jangkung. Teman baiknya
tak akan mengatakan bahwa dia seorang pemuda ganteng, tapi wajahnya adalah wajah
yang disukai orang dengan mata cokiat yang jujur seperti mau anjing. "Tambah
lama tambah payah," katanya kecewa.
"Kau terlalu memforsir diri,'* kata teman mainnya. Dokter Thomas adalah seorang
lakilaki setengah baya dengan rambut abu-abu dan muka berseri kemerahan. Dia
sendiri tak pernah memu"kul dengan sekuat tenaga. Dia memukul bolanya pendekpendek ke tengah dan biasanya dia me"ngalahkan pemain yang pandai tetapi terlalu
bersemangat dan sering membuat kesalahan.
Bobby kemudian memukul bolanya dengan kuat. Pada pukulan ketiga dia berhasil.
Bola itu jatuh di dekat green yang telah dicapai bola Dokter Thomas dengan
pukulan langsung. "Lubang Anda," kata Bobby. Mereka melanjutkan ke tee
berikutnya. Pak Dokter memukul duluan?pukulan langsung yang manis dengan jarak yang tak terlalu jauh. Bobby menarik
?napas panjang. Dia meletakkan bola di tee-nya, mengayun-ayunkan tongkat
be"berapa kali, mengangkat tongkatnya dengan kaku, menutup matanya, mengangkat
kepalanya, me"rendahkan bahu kanannya, melakukan semua vang seharusnya tidak
dilakukannya dan memu"kul bolanya sampai ke tengah lapangan!
?Dia bernapas lega. Wajahnya yang murung karena kecewa, sekarang menjadi cerah.
Aku sekarang tahu apa yang harus kulaku-" kata Bobby walaupun sebenarnya dia
tidak tahu. Sebuah pukulan langsung yang mftiis, sebuah pukulan pendek lainnya, lalu matilah
langkahnya. Bobby mendapat birdie four dan Dokter Thomas kurang satu.
Dengan penuh percaya diri, Bobby berjalan ke tee enam belas. Lagi, dia melakukan
apa yang seharusnya tidak dia lakukan. Dan kali ini tak ada keajaiban. Sebuah
pukulan luar biasa yang hampir tak bisa dipercaya terjadi! Bola itu melayang ke
sudut kanan. "Kalau saja dia melayang lurus wah!" kata Dokter Thomas.?"Kalau " kata Bobby jengkel. "He, kedengarannya ada orang berteriak! Mudah?mudahan bola itu tidak kena orang."
Dia memandang ke kanan. Sulit melihatnya. Pada saat itu matahari hampir
tenggelam dan Bobby tak bisa memandang ke arah situ dengan jelas. Di samping itu
ada kabut naik dari laut.
Ujung tebing karang itu beberapa ratus yard jauhnya dari situ.
"Di sana ada jalan setapak," kata Bobby. "Tapi bola itu tak mungkin melayang
sejauh itu. Saya merasa mendengar orang berteriak. Anda?"
Tapi Dokter Thomas tidak mendengar apa-apa.
Bobby pergi mencari bolanya. Tidak mudah mencarinya. Tapi akhirnya ketemu juga
walaupun s.dah rusak dan tak dapat dipakai lagi karena tersangkut dalam rumpun
tanaman berduri. Bob"by mengambil bola itu dan memanggil kawan mainnya. Dia berkata tak akan
memakai lubang itu lagi Dokter itu datang mendekati karena tee ber"ikutnya tepat
di tepi tebing karang, di atas jurang. Tee ketujuh belas merupakan momok bagi
Bob"by. Pada tee itu dia harus memutari jurang. Jaraknya sebetulnya tidak
terlalu jauh, tetapi kedalaman jurang itu sangat mengerikan.
Mereka menyeberangi jalan setapak yang kini berbelok ke daratan di sebelah kiri
mereka, melingkari pinggir jurang. Dokter Thomas meng"ayunkan tongkatnya dan
bola pun melambung lalu mendarat di sisi lain.
Bobby menghela napas panjang dan memukul bolanya. Bola itu menggelinding ke
depan dan lenyap di bibir jurang.
"Setiap kali aku memukul, pasti gagal " katanya sebal. Dia mengitari pinggir
jurang sambil mencari bolanya.
Jauh di bawah, air lam berkilau-kilauan. Tapi tidak setiap bola hilang
ditelannya. Bola itu tidak keras jatuhnya. Tapi permukaan tanah di tebing memang
turun berlapis-lapis. Bobby berjalan pelan. Dia tahu ada semacam jalan setapak di mana orang bisa
turun dengan mudah. Banyak caddy yang dengan cepat bisa mengambil bola yang
jatuh Tce bawah. Tiba-tiba Bobby terpaku dan memanggil te"mannya. "Dokter, coba ke sini. Anda
lihat ku?" Kirakira empat puluh kaki di bawah terlihat onggokan hitam yang kelihatan
seperti baju. Dokter itu menarik napas. "Ya, Tuhan!" katanya. "Ada yang jatuh ke jurang. Kita
harus turun." Mereka berdua menuruni jurang. Bobby yang lebih gesit menolong kawannya.
Akhirnya mereka pun sampai pada onggokan hitam itu. Ternyata seorang lakilaki
berumur kirakira empat puluh tahun dan dia masih bernapas walaupun pingsan.
?Dokter itu memeriksanya. Dia meraba perut orang itu, nadi tangannya, dan membuka
kelopak matanya. Dia berlutut dan selesailah pemeriksaan"nya. Dia memandang
Bobby yang berdiri saja dan merasa mual, lalu menggelengkan kepala,
"Tak ada yang bisa dilakukan," kata Dokter Thomas. "Tulang belakangnya patah.
Yah, aku rasa dia tidak kenal baik dengan jalan setapak ini dan ketika kabut
datang dia terperosok. Aku sudah berkali-kali mengatakan pada walikota supaya
dibuat pagar di situ." Dia berdiri. "Aku akan pergi cari bantuan," katanya.
"Supaya orang ini bisa dibawa naik. Sebentar lagi gelap. Kau bisa tinggal di
sini?" Bobby mengangguk. "Tak ada apa-apa yang perlu dilakukan untuknya, kan?"
tanyanya. Dokter itu menggelengkan kepala. '*Tak ada. Dia tak merasa sakit lagi."
Kemudian dia berpaling dan mendaki tebing dengan cepat. Bobby memandangnya terus
sampai dia ada di atas dan melambaikan tangannya.
Bobby berjalan satu-dua langkah di jurang sempit itu, lalu duduk di sebuah
karang yang menonjol dan menyalakan rokoknya. Peristiwa ini membuatnya sedih.
Sebelum itu dia tak pernah berurusan dengan kematian atau kesakitan.Kenapa ada
nasib buruk seperti ini" Selembar kabut pada sore yang cerah, sebuah langkah
yang salah dan hidup pun habislah. Lakilaki itu ganteng dan gagah. Kelihatan ?sehat- barangkali bahkan tak pernah sakit dalam hidupnya.
?Walaupun dalam keadaan kritis seperti itu, tubuh kecoklatan yang begitu sehat
tak bisa disembunyikan. Orang ini pasti sering melakukan kegiatan di udara
ter"buka mungkin ke luar negeri bertualang. Bob"by memperhatikan dia baik? ?baik rambutnya yang agak berombak itu dihiasi beberapa helai warna putih di
?pelipisnya. Hidungnya besar, dagu"nya kuat, dan giginya yang putih kelihatan di
antara bibirnya yang agak terbuka. Bahunya lebar, tangannya kuat. Kakinya
tertekuk aneh. Bobby gemetar. Dia memandang wajahnya . Wajah yang menarik, penuh
humor, kuat, dan kelihatan cerdas. Matanya mungkin berwarna biru...
Dan pada saat itulah mata orang itu terbuka. Benar, matanya jernih dan berwarna
biru. Mata itu memandang Bobby. Tak ada kepura-puraan atau kesangsian di
dalamnya. Mata itu kelihatan sadar. Mata itu waspada, tapi kelihatan bertanya.
Bobby cepat berdiri mendekati dia. Sebelum sampai, orang itu sudah bicara.
Suaranya tidak lemas jelas, dan enak didengar.
?"Mengapa mereka tidak memanggil Evans?" katanya.
Kemudian dia gemetar sedikit. Kelopak matanya menutup, dan dagunya turun.
Lakilaki itu mati. 2. KEKHAWATIRAN AYAH BOBBY berjongkok di dekatnya. Tak salah lagi. Orang itu sudah mati. Dia sadar
sebentar, lalu menutup mata untuk selamanya.
Dengan agak segan Bobby menarik saputangan orang itu" dari sakunya dan
ditutupkannya di mukanya. Tak ada lagi yang bisa dilakukannya.
Bobby kemudian melihat, bahwa ada barang lain yang ikut tertarik ketika dia
menarik sapu"tangan orang itu. Benda itu adalah sebuah foto. Bobby melihatnya
sekilas. Foto itu adalah foto wajah seorang wanita cantik dengan mata yang agak berjauhan
letaknya. Wajah itu adalah tipe wajah yang menarik dan sulit dilupakan. Pasti usianya
kirakira belum tiga puluh tahun. Dan bukan kecantikannya sendiri, tapi kualitas
kecantikannya yang begitu memikat, yang menimbulkan berbagai imajinasi dalam
diri Bobby. Sungguh, pikir Bobby, ini wajah yang tak mudah dilupakan.
Pelan-pelan dimasukkannya lagi foto itu ke dalam saku orang itu, lalu dia duduk
menunggu kedatangan Dokter Thomas. Waktu terasa berjalan amat lambat setidaknya?itulah yang dirasakan Bobby. Kemudian ia teringat sesuatu. Dia telah berjanji
kepada ayahnya untuk bermain organ dalam kebaktian sore pukul enam ini. Dan
sekarang sudah pukul enam kurang sepuluh. Ayahnya tentu akan memaklumi situasi
yang dihadapinya tapi dia lupa untuk menitip"kan pesan pada Dokter Thomas.
?Pendeta Thomas Jones adalah orang yang mudah gugup. Dia juga orang yang cerewet
dan kalau dia marah, dia akan sakit perut. Walaupun Bobby sering dibuat jengkel,
dia sangat sayang pada ayahnya. Sedang1 Pendeta Thomas Jones menganggap anaknya
yang nomor empat itu perlu dikasihani. Dia mengha"rapkan Bobby berkembang dan
bisa menjadi orang . Kasihan Ayah, pikir Bobby. Dia pasti mondar-mandir kebingungan. Tak tabu apakah
mau memulai kebaktian atau tidak. Dia pasti marah sekali sehingga perutnya sakit
dan tidak bisa makan malam. Dia tak akan berpikir bahwa aku tak akan
mengecewakannya kecuali kalau terpak"sa sekali. Tapi apa untungnya" Dia tak akan
berpikir seperti itu. Tak seorang pun dari mereka yang berumur di atas lima
puluh mau mengerti. Mereka selalu mengkhawatirkan halhal yang kecil dan remeh.
Kelihatannya mereka salah didik, dan sekarang tak bisa diubah lagi.
Kasihan Ayah. Anak ayam pun rasanya bisa lebih mengerti Bobby duduk memikirkan
ayahnya dengan perasaan jengkel bercampur sayang. Hidupnya rasanya hanya sebagai
pengorbanan untuk ayah"nya saja. Sedang bagi Tuan Jones, hidup adalah
pengorbanan dirinya tidak dimengerti dan tidak dihatgai oleh generasi muda. Dan
?pandangan tentang hal yang sama pun begitu berbeda.
Lama benar dokter iru! Seharusnya dia sudah kembali sekarang!
Bobby berdiri dan mengentakkan kaki. Pada saat itu dia mendengar suara di atas.
Untunglah bantuan segera datang.
Tapi yang datang ternyata bukan dokter. Dia adalah seorang lelaki yang tak
dikenalnya. "Ada apa?",tanya orang itu. "Apa ada kecela"kaan" Ada yang bisa kubantu?" Orang
itu jangkung dan suaranya menyenangkan.
Bobby tidak bisa melihat dia dengan jelas karena hari sudah mulai gelap. Dia
menjelaskan apa yang terjadi dan orang itu memberikan reaksi-reaksi seperti
orang terkejut. *Tak ada yang perlu saya bantu" Barangkali minta bantuan?"
Bobby menjelaskan bahwa bantuan sedang diusahakan dan meminta dia memperhatikan
dari jauh apakah mereka sudah kelihatan.
'*Tak kelihatan apa-apa," katanya.
"Wah, bagaimana, ya?" kata Bobby. "Saya ada janji jam enam."
"Dan Anda mei asa tidak enak untuk mening"galkannya sendirian?"
"Ya, tentu saja. Dia memang sudah meninggal, dan tak akan ada yang
mengganggu tapi, rasanya kok tidak enak n kata Bobby. Dia tidak dapat
? ? mengekspresikan pikirannya yang kacau.
Tapi orang itu rupanya mengerti.
"Saya mengerti," katanya. "Saya akan turun kalau bisa dan menunggu sampai ? ?orangorang itu datang."
"Oh, terima kasih," kata Bobby lega. "Saya ada janji dengan ayah saya. Dia bukan
orang yang tak mau mengerti, tapi dia suka bingung. Anda bisa cari jalan turun"
Agak ke kiri sedikit. Sekarang k"3 kanan. Ya. Tidak terlalu sulit, kok."
Bobby menunjukkan arah sampai dia berha"dapan muka dengan orang tersebut.
Lakilaki itu kirakira berumur tiga puluh iimaan dan berkumis tipis.
"Saya bukan penduduk sini," katanya. "Nama saya Bassingtonffrench, Saya sedang
mencari rumah. Menyedihkan sekali. Apa dia tergelincir?"
Bobby mengangguk. "Ada kabut tipis. Dan jalan setapak itu memang berbahaya.
Maaf, saya harus cepat pergi. Terima kasih banyak. Anda baik sekali."
"Ah, setiap orang akan berbuat sama. Kita tak bisa meninggalkan dia begitu saja,
kan?" Bobby menaiki lereng yang curam itu. Sesam"pai di atas dia melambaikan tangan
pada lakilaki itu lalu berlari ke arah gereja. Untuk mengejar waktu dia
meloncati pagar gereja. Ayahnya yang kebetulan melihat dari jendela merasa sedih


Pembunuh Di Balik Kabut Why Didn't They Ask Evans Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melihat kelakuannya. Saat itu sudah pukul enam lewat lima menit. Tapi lonceng gereja masih berbunyi
terus. Penje"lasan dan nasihat terpaksa ditunda sampai selesai kebaktian, Bobby
menghenyakkan diri di depan organ tanpa sempat bernapas. Tanpa sadar dia
memainkan lagu pemakaman karya Chopin.
Setelah selesai, dengan sedih Pak Pendeta menasihati anaknya.
"Kalau kau tidak bisa melakukan sesuatu dengan sungguhsungguh, lebih baik tidak
usah kaulakukan. Aku tahu bahwa kau dan kawan-kawanmu tidak terlalu peduli pada
waktu. Tapi ada saru yang tidak boleh kita biarkan menunggu. Kau sendiri
menawarkan jasa untuk memainkan organ. Aku tidak memaksamu. Tapi ternyata kau
lebih suka bermain-main."
Bobby berpikir, sebaiknya dia menyela saja sebelum ayahnya berkhotbah lebih
panjang lagi. "Maaf, Yah," katanya dengan suara ringan. **Bukan salah saya kali ini. Saya tadi
menunggui mayat." "Menunggui mayat orang yang jatuh ke dalam jurang. Ayah tahu jurang di bawah
tebing karang yang terjal itu, kan" Dekat tee ketujuh belas" Ada kabut tipis
tadi. Dia pasti terperosok."
"Ya, Tuhan. Alangkah tragisnya. Apa dia langsung mati?"
"Tidak. Dia sempat pingsan. Dan mati setelah Dokter Thomas pergi. Tentu saja
saya terpaksa tinggal di situ menunggui dia. Lalu ada orang lewat dan dia
menggantikan kedudukan saya.
Saya langsung terbang ke gereja."
"Bobty, Bobby," kata Pak Pendeta. "Kapan kau akan sadar. Menghadapi kematian
serius seperti itu kok masih bisa main-main. Apa tak ada hal yang bisa menyentuh
perasaanmu" Semuanya dibuat main-main. Baik yang serius, yang suci, yang
menyedihkan -semua dianggap lelucon oleh generasimu."?Bobby menyeret kakinya. Ayahnya rupanya tidak bisa mengerti bahwa dia bercanda
karena hal itu terlalu menyedihkan. Hal itu bukanlah sesuatu yang bisa
diterangkan dengan sederhana.
Meng"hadapi sebuah tragedi orang harus mengatupkan bibir rapat-rapat. Tapi apa
yang bisa diharapkan"nya" Semua orang di atas lima puluh tidak bisa mengerti
apa-apa sama sekali. Pikiran mereka berbeda. Mungkin gara-gara Perangi pikir Bobby de"ngan rasa kasihan. Mereka jadi
berubah tak mungkin normal kembali.
?"Maaf, Yah," katanya ketika jelas baginya bahwa keterangannya akan sia-sia.
Pendeta itu merasa kasihan pada anak"nya yang kelihatan begitu malu. Tapi dia
?sendiri juga merasa malu. Anak itu tak bisa menghadapi hidup dengan sikap
serius. Caranya meminta maaf pun dilakukan dengan ringan dan tanpa hormat.
Mereka berjalan ke arah Wisma Pendeta, ma"sing-masing berusaha mengomentari yang
Jam ?-dalam hati. Pak Pendeta berpikir, Kapan si Bobby ini bisa bertanggung jawab bisa
?bersungguhsungguh f Bobby berpikir, Sampai kapan aku masih bisa betah di sini"
Tapi, bagaimanapun juga mereka saling menyayangi.
3. PERJALANAN DENGAN KERETA API
BOBBY tidak bisa segera melihat akibat dari petualangannya. Keesokan paginya dia
pergi ke kota untuk menemui seorang teman yang punya rencana untuk membuka
bengkel. Dia ingin mengajak Bobby bekerja sama dengannya. Dua hari kemudian,
setelah urusannya selesai, Bobby pulang dengan kereta api pukul 11.30. Hampir
saja dia ketinggalan. Dia tiba di Stasiun Paddington pukul 11.28, berlari
menyeberangi Peron 3 ketika kereta mulai berjalan dan meloncat ke * gerbong yang
ada di depannya tanpa mempeduli-kan pemeriksa karcis maupun kuli-kuli yang
melotot di belakangnya. Bobby jatuh, ke dalam gerbong. Berusaha membuka pintu kabin, Jatuh terduduk
dalam kabin itu, lalu berdiri dan memandang pada satu* satunya penumpang dalam
kabin itu. Di dalam kabin kelas satu itu duduk seorang gadis berkulit gelap yang
sedang merokok. Dia memakai rok merah, jaket pendek berwarna hijau, dan baret
biru manyala. Walaupun warn a-warna itu meng"ingatkannya pada boneka monyet
pemusik ja-I a nan, wajah gadis itu kelihatan manis dan menarik. Matanya sedih
dan berwarna gelap. Sedangkan wajahnya berkerut.
Bobby bergumam meminta maaf. Tapi belum selesai sudah berteriak, "He, Frankie,
ya"!" katanya. "Sudah lama kita nggak ketemu."
"Ya. Duduklah. Kita ngobrol."
Bobby menyeringai. "Karcisku bukan untuk duduk di sini,"
"Sudahlah," kata Frankie. "Kubayar nanti kekurangannya."
"Wah, harga diriku sebagai lelaki naik begitu mendengar tawaranmu," kata Bobby.
"Bagaima"na mungkin aku membiarkan seorang wanita membayari aku?"
"Di zaman seperti ini kita kan harus saling menolong," kata Frankie. Biar
kubayar sendiri kekurangannya," kata Bobby ketika dia melihat sesosok tubuh
besar berseragam biru muncul di pintu.
"Biar aku yang membereskan," kata Frankie.
Dia tersenyum manis pada kondektur yang memberi hormat padanya ketika menerima
karcis putih dari tangannya.
"Tuan Jones baru saja datang untuk mengobrol dengan saya. Tidak apa-apa, kan?"
"Tidak, Nona. Saya rasa beliau tidak akan lama + duduk di sini, bukan?" Dia
berdehem sopan "Saya tak akan berkeliling lagi sampai kita jpelewati Bristol/*
tambahnya dengan penuh pengertian.
Heran, begitu hebat pengaruh sebuah senyum!" kata Bobby ketika kondektur itu
telah keluar. Lady Frances Derwent menggelengkan kepak sambil merenung, "Aku rasa bukan senyum
itu sendiri, tetapi kebiasaan Ayah yang suka memberi tip lima shilling pada
setiap orang apabila bepergian.
"Aku pikir kau sudah bosan tinggal di Wales, Frankie."
Frances menarik napas. "Ah, kau kan tahu. Apa yang bisa kulakukan" Tak ada yang
kukerjakan, tak ada yang kukunjungi, dan orangorang tak lagi berpikir untuk
berakhir minggu atau berlibur ke luar kota dengan alasan penghematan, jadi mau
apa?" Bobby hanya menggeleng sedih.
**Tapi setelah ke pesta tadi malam, rumah rasanya masih menyenangkan," kata
Frankie. "Kenapa sih pestanya?" *Ttdak apa-apa. Seperti pesta-pesta lainnya saja. Pesta
itu dimulai jam delapan tiga puluh di Savoy. Ada juga yang datang jam sembilan
kurang seperempat. Akibatnya kami terpaksa campur dengan orangorang lain. Tapi akhirnya bisa kumpul
juga. Kami makan malam. Setelah itu pergi ke Marionette lalu kami mendengar gosip
bahwa tempat itu akan digerebek. Tapi ternyata tak ada apa-apa. Lalu kami minumminum seben"tar. Terus ke Bullring tapi ternyata di sana jau^ lebih membosankan.
Lalu kami ke warung kopi*
Lalu kami ke warung ikan goreng. Lalu kami rencana makan pagi di tempat paman si
Angela karena ingin tahu apakah dia terkejut. Ternyata tidak. Dia hanya
kelihatan bosan. Akhirnya kami pulang. Pokoknya tidak menyenangkan."
"Ya," kata Bobby dengan sedikit rasa iri. Dia tak pernah bermimpi menjadi
anggota Marionette * maupun Bullring.
Hubungannya dengan Frankie memang aneh. Ketika masih kecil, Bobby dan
saudarasaudara "nya biasa bermain dengan anak-anak dari Kastil. Setelah besar
mereka jarang bertemu. Tapi kalau bertemu, mereka masih saling menyapa dan memanggil dengan nama kecil
mereka. Kadangkadang kalau Frankie ada di rumah, Bobby dan kakak-kakaknya datang bermain
tenis. Tapi Frankie dan kedua saudara laki lakinya tak pernah diundang ke rumah Bobby.
Mereka seolaholah mengerti bahwa hal itu tak akan menyenangkan. Tapi keluarga
kaya itu memerlukan kawan lakilaki. Dan walaupun mereka saling memanggil dengan
nama kecil, masih juga terasa perbedaan itu. Keluarga Derwent kelihatan agak
lebih ramah dari yang seharusnya, seolaholah untuk menun"jukkan "tidak ada
perbedaan". Sebaliknya, keluarga Jones kelihatan lebih tormal, seolaholah untuk
menunjukkan bahwa mereka tahu diri. Tak Q
ada ikatan apa-apa di-antara dua keluarga itu kecuali kenangan masa kecil. Tapi
Bobby sangat ing pada Frankie, juga dalam pertemuan-lemuan yang tak terduga
seperti ini. Aku merasa bosan dan sebal," kata Frankie. Kau juga?"
Bobby tidak segera menjawab. "Rasanya ti"dak."
"Hebat kau!" kata Frankie. "Aku tidak bilang bahwa aku senang," kata Bobby
dengan hatihati. Dia mencoba untuk tidak menunjukkan bahwa keadaannya tak terlalu menggembirakan.
"Aku hany tidak tahan melihat orang yang serakah."
Frankie merasa merinding mendengar kata itu. "Ya, aku tahu," katanya. Mereka
berpandangan, saling mengerti. "O, ya," kata Frankie tiba-tiba. "Bagaimana sih
cerita orang yang jatuh ke jurang itu?"
"Dokter Thomas dan aku menemukannya," kata Bobby. "Kok kamu tahu?"
"Baca di koran. Ini." Dia menunjuk sebuah artikel kecil berjudul "Kecelakaan
Fatal dalam Kabut Laut".
Korban tragedi di Marchbolt dikenali tadi nutlam melalui foto yang ditemukan di
saku baju korban. Foto tersebut adalah foto Nyonya Leo Cayman. Nyonya Cayman
segera dihubungi dan segera datang ke Marchbolt. Almarhum dikenali sebagai Alex
Pritcbard, saudara laki-ldkinya yang baru pulang dari Muangthai Dia tinggal di
luar negeri selama sepuluh tahun dan bermaksmd berjalan-jalan di daerah itu.
Pemeriksaan akan dilakukan di Marchbolt besok.
Bobby teringat wajah yang pernah dilihatnya di foto. Wajah yang tak mudah
dilupakan. "Kalau begitu aku harus memberi kesaksian," katanya.
"Wah, hebat! Aku akan datang mendengarmu."
"Aku rasa tak ada yang hebat," kata Bobby. "Kami hanya menemukan dia saja." "Apa
dia mati?" "Belum waktu kami temukan belum. Seper"empat jam kemudian dia meninggal. Aku ?sendiri"an dengan dia." Bobby diam.
"Menyedihkan," kata Frankie penuh pengerti"an pengertian yang tidak dimiliki
?ayah Bobby. "Tentu saja dia tidak merasa apa-apa "
? "Tidak merasa?"
"Orang itu kelihatan begitu segar dan energe-tik. Tapi meninggal dengan cara
yang begitu konyol. Terperosok ke dalam jurang karena kabut"!"
"Aku mengerti," kata Frankie penuh simpati. "Kau ketemu saudara perempuannya?"
"Tidak, Dua hari ini aku di kota. Menemui teman. Kami akan buka usaha bengkel.
Kau ingat dia, barangkali. Badger Be adon
"Yang mana, ya?"
"Masa lupa" Yang matanya juling."
Frankie mengernyitkan alisnya.
"Kalau tertawa lucu haw, haw, haw seperti kata Bobby. Frankie masih ? ?mengernyitkan alisnya.
"Pernah Jatuh dari kuda ketika kita masih kecil," lanjut Bobby. "Dia jatuh dan
kepalanya masuk lumpur. Kita terpaksa menarik kedua kakinya."
"Oh!" kata Frankie. "Ya ya, aku tahu. Dia
?gagap-" "Benar," kata Bobby.
"Dia pernah mengusahakan peternakan ayam tapi bangkrut, kan?" tanya Frankie
"Benar." "Lalu dia kerja di kantor pedagang saham dan dipecat setelah sebulan"**
"Ya/* "Lalu dia dikirim ke Australia dan kembali lagi?" **Ya."
"Bobby," kau Frankie, "kau tidak ikut-ikutan menanam modal dalam usaha ini,
kan?" "Aku tak punya uang sesen pun," kata Bobby. "Itu lebih baik.**
"Tentu saja Badger telah berusaha mendapat pinjaman modal untuk usahanya. Tapi
itu tidak mudah." "Kalau kau melihat sekitarmu, kau pasti heran mengira bahwa orangorang itu tak
punya otak, tapi sebetulnya mereka punya."
Katakata Frankie akhirnya kena juga pada Bobby. "Frankie, Badger itu pintar. Dia
justru sangat pintai salah satu yang terbaik." "Mereka siapa?" "Mereka yang
?pergi ke Australia lalu kembali lagi. Bagaimana Badger mendapat modal?"
"Bibinya atau apanya meninggal dan mewaris"kan sebuah bengkel yang muat enam
mobil dan punya tiga kamar di atasnya. Keluarganya meng"hadiahi seratus pound
untuk membeli mobilmobil bekas. Kau pasti heran kalau tahu keun"tungan yang bisa
diperoleh dengan usaha jualbeli mobil bekas."
"Aku pernah membeli satu,*' kata Frankie. "Tapi keadaannya menyedihkan. Kita tak
usah bicara tentang itu. Kenapa kau keluar dari Angkatan Laut" Mereka tak
menggorokmu, kan" Kau masih muda." Muka Bobby menjadi merah "Mata," katanya serak.
"Ah, ya. Aku ingat. Kau selalu punya kesulitan dengan matamu."
"Ya. Tapi aku bisa mengatasinya. Lalu tugas ke luar cahaya yang kuat itu yang
? membuat mataku tak tahan. Jadi yah aku harus keluar."? ?"Sayang benar," kata Frankie sambil meman"dang ke luar jendela.
Mereka sama-sama diam. "Sayang," cetus Bobby. "Mataku sebenarnya tak separah itu. Mereka bilang tak
akan jadi lebih parah. Sebetulnya aku masih bisa bertahan."
"Kelihatannya tidak apa-apa," kata Frankie.
Ia memandang lurus pada mata coklat yang jujur
"Jadi, aku mau kerja pada Badger," kata Bobby.
Frankie mengangguk. Seorang petugas membuka pintu dan berkata, "Makan siang pertama."
"Ayo," kata Frankie.
Mereka masuk ke gerbong makan.
Bobby berusaha menghindari kondektur. "Kita tak akan membiarkan dia merasa
terlalu bersalah, kan?" katanya.
Tapi Frankie berkata bahwa dia tak yakin kondektur punya rasa bersalah.
Pukul lima lewat sedikit mereka sampai di Sileham, stasiun terdekat dengan
Marchbolt. "Aku dijemput. Kau boleh numpang," kata Frankie.
"Terima kasih. Lumayan, aku tak perlu meng"angkat benda ini sejauh dua mil."
Bobby me"nyepak kopernya.
"Tiga mil, bukan dua mil," kata Frankie.
"Dua mil kalau lewat jalan pintas."
"Jalan setapak yang "
"Ya yang dilewati orang yang jatuh itu*
"Tidak ada orang yang mendorongnya jatuh, kan?" tanya Frankie sambil memberikan
tas kosmetik pada pelayannya,
"Mendorongnya" Ya, Tuhan, tentu saja tidak. Mengapa?"
"Ya kan akan lebih seru jadinya, kau Frankie santai.
4-PEMERIKSAAN PEMERIKSAAN mayat Alex Pritchard dilakukan hari berikutnya. Dokter Thomas
memberi kesak"sian tentang penemuan mayat itu.
"Dia belum meninggal waktu Anda datang?" tanya Pemeriksa.
"Belum. Dia masih bernapas. Walaupun demi"kian, tak ada harapan sembuh " Sampai
?di situ Pak Dokter lalu memberikan penjelasan yang bersifat teknis.
Pemeriksa tu bertany , 'Dengan bahasa awam, tulang belakang korban patah?"
"Kalau Anda ingin mengatakannya demikian," kata Dokter Thomas dengan sedih.
Dia menjelaskan bagaimana dia mencari bantu"an dan bahwa dia meninggalkan korban
dengan Bobby. "Sekarang, tentang sebab kecelakaan ini. Apa pendapat Anda, Dokter Thomas?"
"Dengan asumsi bahwa kesehatan mental yang bersangkutan dalam keadaan normal,
saya sim"pulkan bahwa kecelakaan itu terjadi karena kor-osn melangkah dan
terperosok di tepi jurang.
Pada saat itu ada kabut yang datang dari laut, dan di tempat itu, jalan setapak
itu tiba-tiba saja berbelok ke daratan. Karena ada kabut, korban mungkin tidak
dapat melihat belokan itu, sehing"ga terjadilah kecelakaan itu/*
*'Anda tidak melihat tanda-tanda kekerasan" Yang mungkin dilakukan pihak
ketiga?" "Saya hanya dapat mengatakan bahwa luka-luka yang terlihat disebabkan oleh tubuh
yang terempas ke karang sejauh lima atitii enam puluh kaki di bawahnya.*'
"Ada kemungkinan bunuh diri"'*
"Kemungkinan itu ada. Tapi saya tidak dapat mengatakan apakah korban jatuh
terperosok atau sengaja meloncat ke jurang.*'
Robert Jones kemudian dipanggil. Bobby me"nerangkan bahwa dia bermain golf
dengan Pak Dokter dan memukul mencong bolanya ke arah laut. Pada saat itu kabut
mulai naik dari laut dan dia tak dapat melihat dengan jelas. Dia merasa
mendengar teriakan dan mengira bahwa bolanya mengenai orang yang sedang berjalan
di jalan setapak. Tapi dia pun ragu-ragu karena bola itu tak mungkin melayang
sejauh itu. "Bola itu Anda temukan?"


Pembunuh Di Balik Kabut Why Didn't They Ask Evans Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya. Kirakira seratus yard sebelum jalan setapak."
Kemudian dia menjelaskan bagaimana mereka beranjak dari satu tee ke tee lainnya
dan bagaima"na dia sendiri sampai*di tepi jurang.
Sampai di situ Pemeriksa menyuruhnya ber"henti, karena ceritanya akan berupa
pengulangan cerita Pak Dokter. Tetapi Pemeriksa minta agar Bobby menceritakan
lebih lanjut tentang teriakan yang didengarnya.
Saya mendengar teriakan biasa."
"Teriakan minta tolong?"
"Bukan. Teriakan biasa saja. Saya bahkan tidak begitu yakin telah mendengarnya."
"Teriakan terkejut?"
"Ya, lebih seperti itu. Seperu suara orang yang terkejut karena tiba-tiba kena
bola," kata Bobby. "Atau, seperti orang terkejut karena kakinya tiba-tiba tidak menginjak bumi
lagi^' "Ya," kata Bobby. Setelah menjelaskan apa yang terjadi kemudian selama lima
belas menit, tugas Bobby pun selesai.
Pemeriksa ingin membereskan semuanya de"ngan segera. Nyonya Leo Cayman pun
dipanggil. Bobby menarik napas tersendat karena terkejut. Ke mana wajah cantik yang
dilihatnya di foto itu" Tukang foto memang seperti penipu saja. Tentu"nya foto
itu dibuat beberapa tahun yang lalu. Namun demikian, Bobby sama sekali tidak
meli"hat sisa-sisa kecantikan yang pernah dilihatnya di foto itu. Wanita yang
kini dia lihat adalah wanita yang tidak dapat dikatakan cantik. Dahinya
berkerut-kerut dan rambutnya dicat. Waktu me"mang kadang-kadang menakutkan.
Bagaimana rupa Frankie dua puluh tahun lagi" Bobby merinding.
Setelah itu Amelia Cayman dari St. Leomard's
Gardens nomor 17, Paddington, memberikan kesaksian. Korban adalah satu-satunya
saudara lelakinya. Dia terakhir kali bertemu korban sehari sebelum kejadian itu.
Alexander Pritchard hanya memberi tahu bahwa dia akan jalanjalan ke Whiles. Dia
baru saja kembali dari Timur.
"Apakah dia dalam keadaan senang dan normal ketika datang?"
"Ya. Alex adalah orang yang periang."
"Apa dia tak punya kesulitan apa-apa?"
"Saya yakin tidak. Dia sudah lama merencana"kan perjalanan ini/'
"Tak ada kesulitan keuangan, atau kesulitan lain akhir-akhir ini?"
"Saya tidak dapat mengatakan apa-apa tentang hal itu," kata Nyonya Cayman. "Dia
baru saja pulang, dan sudah sepuluh tahun kami tidak bertemu. Dan dia bukanlah
orang yang suka menulis surat. Tapi dia mengajak saya nonton film dan makan
siang beberapa kali. Jadi saya rasa dia tak punya kesulitan keuangan. Dan dia
begitu gembira saya rasa tak ada kesulitan apa-apa dengannya."?"Apa pekerjaan saudara Anda, Nyonya Cayman?"
Wanita itu kelihatan agak malu. "Sebetulnya saya tidak terlalu mengerti. Katanya
menambang. Dia jarang pulang ke Inggris."
"Barangkali Anda tahu hal-hal yang mungkin menyebabkannya bunuh diri?"
?"Oh, tidak. Saya tak percaya dia melakukan tindakan seperti itu. Kematiannya
pasti disebab"kan kecelakaan."
"Mengapa dia tak membawa apa-apa, bahkan ransel pun tidak?"
"Dia tidak suka membawa-bawa ransel. Du bermaksud mengirimkan barang-barangn> a
tiap dua hari sekali. Dia mengirim satu paket sebelum berangkat, dan hanya
membawa pakaian tidur dan sepasang kaus kaki. Tapi dia mengakmatkannya k^
Derbyshire, bukan Denbighshire. Jadi saya baru bisa menerimanya hari ini."
"Ah, kalau begitu bisa dimengerti."
Nyonya Cayman menjelaskan bahwa dia dihu"bungi melalui foto yang bertuliskan
namanya dan yang dibawa-bawa saudaranya. Dia segera datang ke Marchbolt dengan
suaminya dan langsung mengenali korban ketika melihatnya. Wanita itu menangis
setelah mengucapkan katakata terakhirnya.
Pemeriksa mengucapkan katakata penghibur lalu menyuruhnya duduk kembali.
Kemudian dia berkata kepada para juri. Mereka harus menyata"kan apa yang
menyebabkan kematian korban.
Untunglah soal itu sangat sederhana. Tak ada pernyataan bahwa Tuan Pritchard
mengalami depresi yang membuatnya nekat bunuh diri. Sebaliknya, dia adalah
seorang pria yang sehat dan periang, dan telah lama menunggu-nunggu perja"lanan
pulangnya. Tapi pada hari nahas itu kabut naik dari laut dan jalan setapak di
sepanjang bibir jurang merna*ng berbahaya. Juri juga mengat
wa sudah saatnya memperbaiki jalan yang berbahaya itu.
Keputusan juri singkat. "Kami menyatakan korban meninggal karena kecelakaan dan
kami ingin menambahkan egar dewan kotapraja segera memberi pagar di bagian yang
menghadap jurang." Pemeriksa menganggukkan kepala. Pemeriksa"an pun selesai.
5. TUAN DAN NYONYA CAYMAN
KFTTKA tiba di rumah Bobby baru tahu bahwa urusan Alex Pritchard belumlah
selesai. Dia diberi tahu bahwa Tuan dan Nyonya Cayman datang untuk bicara dengan
dia. Mereka menunggunya di ruang kerja ayahnya. Bobby masuk ke ruangan itu. Dia
melihat ayahnya mengawasi tamunya dengan sikap kurang senang
"Ah!" katanya lega. "Ini Bobby."
Tuan Cayman berdiri dan mendekati Bobby dengan tangan terulur. Tuan Cayman
adalah seorang lakilaki berbadan besar, kelihatan baik, tapi bila diamati tajamtajam nyatalah bahwa bermata dingin dan licik. Dan walaupun Nyonya Cayman tidak
dapat dikatakan jelek, wajahnya tidak menunjukkan kemiripan dengan wajah orang
yang ada di foto itu. Dan Bobby berpikir apabila nyonya itu tidak
mengenali^otonya sendiri, orang lain pun tidak, "Saya ke sini dengan istri
saya," kata Tuan Cayman. "Harus mendampingi dia karena Amelia masih terguncang."
Nyonya Cayman terisak. "Kami ingin menemui Anda," kata Tuan Cayman, "karena Andalah orang yang menemani
saudara istri saya waktu dia meninggal. Istri saya ingin tahu saat-saat
terakhirnya." "Ya, ya, tentu saja," kata Bobby ikut bersedih. Kemudian dia menyeringai. Tapi
segera menutup mulutnya kembali ketika mendengar ayahnya menarik napas
panjang tarikan napas seorang Kristen yang pasrah.?"Alex yang malang," isak Nyonya Cayman sambil menyeka matanya. "Alex yang
malang!" "Ya, menyedihkan," kata Bobby sambil memainkan
ujung kakinya dengan perasaan tidak enak. "Seandainya dia meninggalkan suatu
pesan, katakan pada saya," kata Nyonya Cayman penuh harap.
"Oh, tentu," kata Bobby. "Tapi dia tidak meninggalkan pesan apa-apa."
"Sama sekali tidak?" tanya Nyonya Cayman kecewa dan tidak percaya.
"Sama sekali tidak ada," kata Bobby dengan nada agak menyesal.
"Aku rasa ada baiknya begitu," kata Tuan Cayman tenang. "Dia meninggal dengan
tenang, tanpa sadar kembali, tanpa merasa sakit. Itu suatu berkat Paginya,
Amelia." "Ya, aku rasa kau benar," kata Nyonya Caymmn. "Apa kirakira dia merasa
kesakitan?" "Saya yakin tidak," kata Bobby. Nyonya Cayman menarik napas panjang.
"Ya, syukurlah. Aku rasa kamu benar. Lebih baik begitu. Kasihan. Alex yang
malang. Dia begitu senang bertualang di luar."
"Ya," kata Bobby. Dia teringat wajah yang kecoklatan dan mata yang biru.
Kepribadiannya sangat menarik walaupun dalam keadaan kritis, hampir meninggal.
Rasanya dia tidak pantas menjadi saudara Nyonya Cayman dan ipar Tuan Cayman.
Seharusnya anggota keluarganya keli"hatan lebih menarik dan lebih baik.
"Kami sangat berterima kasih pada Anda," kata Nyonya Cayman.
"Ah, itu bukan apa-apa," kata Bobby. "Mak"sud saya,,saya kan tidak bisa apaapa maksud saya " Dia tidak bisa melanjutkan kata-katanya lagi.? ?"Kami tak akan melupakannya," kata Tuan Cayman.
Bobby merasakan lagi genggaman tangan Tuan Cayman yang menyakitkan. Lalu dia
menerima tangan Nyonya Cayman yang lembek. Ayah Bobby mengucapkan salam
perpisahan dan Bob"by mengantar tamunya ke pintu depan.
"Dan apa yang Anda lakukan di sini sekarang" Sedang cuti?" tanya Tuan Cayman.
"Saya menghabiskan waktu dengan mencari pekerjaan," kata Bobby. "Saya pernah
dinas di Angkatan Laut."
"Ya memang sulit sekarang ini," kataTuan Cayman, sambil menggelengkan
?kepalanya. "Mu"dah-mudahan Anda segera mendapatkannya."
"Terima kasih," kata Bobby dengan sopan. Dia memandang keduanya berjalan ke
luar. Pikiran Bobby kacau melayang-layang. Ter"bayang olehnya wajah cantik di
dalam foto itu. Mata yang agak berjauhan letaknya dan rambut yang indah dan
?sepuluh atau lima belas tahun kemudian berubah menjadi lain sama sekali. Wajah
cantik itu kini tertutup make-up yang tebal dan mata yang berjauhan serta indah
itu tertutup lipatan kulit yang berlebihan seperti mata seekor babi, sedangkan
rambutnya kelihatan kusam. Sisa-sisa kecantikan yang pernah dimilikinya tak
kelihatan lagi. Sayang! Ini barangkali akibat pernikahannya dengan pria konyol
seperti Tuan Cayman itu. Seandainya dia menikah dengan orang lain barangkali
akan lain lagi. Mungkin rambutnya akan berubah jadi kelabu dan matanya akan
tetap indah, menghiasi wajah pucat yang halus. Tapi barangkali
?Bobby menggelengkan kepalanya. "Itu adalah akibat buruk suatu perkawinan,"
gumamnya sedih. "Apa kauhilang?"
Bobby sadar dari lamunannya. Dia melihat Frankie yang mendekat tanpa
diketahuinya. "Halo,"
katanya. "Ada apa dengan perkawinan" Perkawinan siapa?"
"Aku sedang membayangkan suatu hal yang umum."
"Yaitu- "Mengenai akibat buruk sebuah perkawinan
"Perkawinan siapa?"
Bobby memberi keterangan. Tapi reaksi Fran kie tidak simpatik.
"Omong kosong. Wanita itu kan seperti foto"nya."
"Di mana kaulihat dia, Frankie" Apa kau datang di pemeriksaan?"
"Tentu saja aku datang di pemeriksaan. Kau kan tahu bahwa tak banyak yang bisa
dilakukan di sini. Sebuah pemeriksaan merupakan selingan yang menyenangkan. Aku
memang belum pernah melihat pemeriksaan. Dan itu membuatku merasa seru. Tentu
saja akan lebih menarik kalau ada laporan analisa keracunan. Tapi kita tak boleh
terlalu menginginkan hal-hal sederhana seperti itu. Sampai akhir pemeriksaan aku
berharap ditemukannya sesuatu yang mencurigakan. Tetapi semua berjalan lurus
saja." "Kau kok begitu haus darah, sih?"
"Iya, ya. Barangkali ini atavisme, yar-eh, kau menyebutnya begitu" Aku pasti
orang yang atavistis. Di sekolah anak-anak menyebutku si Tampang Monyet.**
"Apa monyet suka pembunuhan"**
"Kau seperti wartawan koran minggu saja, kata Frankie. "Pendapat wattawan kita
dalam soal ini sangat diminati.**
"Aku tak sependapat denganmu tentang Nyo nya Cayman itu. Wajahnya di foto sangat
cantik.' "Itu sih polesan saja," jawab Frankie.
"Kalau begitu polesannya terlalu banyak, se"hingga kita tidak mengenali yang
asli." "Kau buta rupanya-Tukang foto kan bisa menggunakan seni fotografi."
"Aku masih belum bisa menerima pendapatmu," kata Bobby. "Kau lihat fotonya di
mana, sih?" "Di Evening Echo" "Barangkali reproduksinya jelek." "Aneh. Kau jadi cerewet amat
mengurusi muka wanita jelek itu. Kalau jelek ya jelek saja. Persetan dengan
make-up dan... dan..."
"He, ingat. Kau ada di Wisma Pendeta. Ini tempat suci, lho. Jaga bicararqp."
"Kalau begitu kau jangan konyol, dong." Mereka diam sejenak, dan kemarahan
Frankie pun reda. "Nggak lucu, ah. Nggak ada gunanya kita bertengkar tentang wanita itu. Aku ke
sini karena mau ngajak kau main golf. Mau?"
"Oke, Bos," kata Bobby gembira.
Mereka akur lagi dan bicara tentang pukulan-pukulan yang melenceng dan cara
memukul yang sempurna sehingga bola bisa masuk green. Mere"ka melupakan tragedi
kecelakaan itu sampai Bobby memukul bolanya ke bole sebelas. Dia berseru.
"Ada apa?" 'Tidak ada apa-apa. Aku hanya teringat sesua"Itu, si Cayman. Mereka kan datang untuk menanyakan apa saudaranya meninggalkan
pesan sebelum mati. Aku bilang tidak."
"Lalu?" "Aku ingat ada yang dikatakannya sebelum dia meninggal."
"Kau linglung juga pagi tadi."
"Karena yang dikatakan sebeTlarnya bukan sesuatu yang mereka harapkan, aku rasa.
Karena itu aku tidak memikirkannya."
"Apa sih yang dikatakan?" tanya Frankie ingin tahu.
"Dia mengatakan, 'Mengapa mereka tidak memanggil Evans?"
"Lucu juga. Cuma itu?"
"Ya. Dia hanya membuka matanya dan tiba-tiba mengatakan itu lalu mati. ? ?Kasihan."
"Oh, aku rasa kau tak perlu khawatir. Kelihat"annya tidak penting," kata Frankie
setelah berpi"kir sebentar.
"Ya, memang. Bagaimanapun juga aku me"nyesal tidak menceritakan hal itu pada
mereka. Aku bilang dia tidak berkata apa-apa."
"Itu kan sama saja," kata Frankie. "Maksudku, kata-katanya sama sekali tidak
mirip dengan suatu pesan, misalnya, 'Katakan pada Gladys aku selalu mencintainya
atau Surat wasiat itu ada di dalam laci,* atau pesan-pesan akhir lainnya yang
romantis." "Bagaimana kalau kutulis surat saja pada mereka
"Aku sih tak akan repot-repot. Itu kan bukan sesuatu yang penting."
"Aku rasa kau benar," kata Bobby. Dia mengalihkan perhatiannya pada
permainannya. Tapi soal kecil itu rupanya tidak bisa hilang begitu saja dari
pikirannya. Dia merasa tidak enak.
Pendapat Frankie memang benar dan masuk al. lupakan saja itu bukan hal yang
?penting. Tapi hati kecilnya tak mau diam. Dia bilang bahwa orang itu tidak
mengatakan apa-apa. Itu tidak benar. Hal itu memang kecil dan remeh. Tapi dia
merasa tidak enak. Akhirnya malam itu Bobby menulis surat pada
Tuan Cayman. Yth. Tuan Cayman, Saya baru saja teringat bahwa saudara ipar Anda mengatakan
sesuatu sebelum menmggal.
Saya rasa kata-katanya berbunyi demikian, "Me"ngapa mereka tidak memanggil
Evans?" Saya minta maaf sebab tidak mengatakannya tadipagt Karena saya pikir
katakata itu tidak terlalu berarti, saya melupakannya.
Hormat kamit Robert Jones
Keesokan harinya Bobby mendapat jawaban:
Yth. Tuan Jones, Surat Anda telah saya terima. Terima kasih
untuk kesediaan Anda menyebutkan kata-kjtta akhir saudara ipar saya dengan
tepat, walaupun tidak penting.
Yang diharapkan istri saya adalah pesan-pesan akhir saudaranya. Bagaimanapun,
kami berterima kasih pada Anda yang begitu teliti.
Hormat kami, Leo Cayman Bobby merasa terhina. ESOK paginya Bobby menerima sebuah surat yang lain dari yang kemarin: Semua
sudah siap, Bung (tulis Badger dalam tulisan tangan yang sulit dibaca dan tidak
men"cerminkan hasil kerja keras yang telah dilakukan sekolah-sekolah negeri yang
mendidiknya). Ke"marin dapat lima mobil seharga lima belas pound. Sebuah Austin,
dua Moris, dan dua Rovers,. Kondisinya tidak jalan semua. Tapi bisa kita utakatik. Kita coba saja. Yang penting mobil itu bisa jalan membawa pembelinya. Aku rencana buka Senin
pagi dan benarbenar meng"harapkan bantuanmu. Jadi jangan kecewakan aku, ya" Bibi
Carrie benarbenar baik. Aku pernah memecahkan kaca jendela tetangganya yang
tidak suka kucing Bibi. Dia mengirim sedikit uang tiap Natal, dan sekarang aku men"dapat hadiah ini.
Aku rasa kita akan berhasil. Apa yang kita lakukan sudah pasti. Mobil adalah
mobil. Poles sedikit dengan cat. Nah, orangorang pasti terta"rik. Kita akan
berhasil. Jangan lupa, hari Senm.
Aku menunggumu. Selalu, Badger Bobby memberi tahu ayahnya bahw d a akan ke kota untuk bekerja hari Senin nanti.
Penjelas"annya mengenai pekerjaan yang akan dilakukan"nya tidak terlalu menarik
perhatian Pak Pendeta. Dia pernah bertemu dengan Badger Beadon sebelumnya, dan
kawan Bobby itu tidak terlalu mengesankan. Dia menasihati Bobby agar tidak
men^mbil tanggung jawab apa pun. Karena Pak Pendeta, bukan orang yang
berkecimpung dalam dunia bisnis atau keuangan, dia tidak mengata"kannya dengan
jelas dan dengan istilah teknis, tetapi maksudnya tak diragukan lagi.
Pada hai i Rabu minggu itu Bobby menerima sebuah surat lagi. Tulisannya asing
dan miring. Isinya mengejutkan dia. Surat itu dari perusahaan Henriquez & Dalio di Buenos
Aires dan mena"warkan pekerjaan dengan gaji seribu pound setahun.


Pembunuh Di Balik Kabut Why Didn't They Ask Evans Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Satu dua menit setelah membaca surat itu Bobby mengira dia bermimpi. Seribu
setahun"! Dia membaca kembali surat itu. Memang surat itu menyebutnyebut
memerlukan bekas anggota Angkatan Laut dan suatu rekomendasi oleh seseorang yang
tak disebut namanya. Bila dia menerima tawaran itu dia harus siap berangkat
dalam waktu satu minggu. "Ah, gila!" kata Bobby sebal. "Bobby!"
"Maaf, Yah. Lupa kalau Ayali di situ," Tuan Jones siap berkhotbah. "Aku ingin
kamu mengerti " Bobby merasa bahwa khotbah yang biasanya?lama itu perlu distop. Dia melakukannya dengan
berkata, "Ada orang menawarkan pekerjaan dengan gaji seribu setahun."
Pak Pendeta tetap membuka mulut karena tak bisa berkata apa-apa.
Nah, rasakan, pikir Bobby dengan puas.
"Bobby, apa kau mengatakan adaorang mena"wanmu pekerjaan dengan gaji serrou
setahun" Seribu}" "Betul, Yah," kata Bobby.
"Tidak mungkin," kata Pak Pendeta.
Bobby tidak tersinggung dengan ketidakper"cayaan ini. Pandangannya tentang soal
keuangan tak beda jauh dengan ayahnya. "Mereka pasti orang konyol," katanya
"Siapa Cr siapa sih mereka?"? ?Bobby memberikan suratnya. Setelah menemu"kan kacamatanya, Pak Pendeta membaca
dengan penuh rasa ingin tahu. Akhirnya dia membaca dua kali.
"Luar biasa," katanya. "Luar biasa." "Gila," kata Bobby.
"Nak," kata Pak Pendeta, "memang cukup membanggakan jadi orang Inggris.
Kejujuran. Itulah ciri khas kira. Dan Angkatan Laut kita telah membawanya ke mana-mana.
Janji orang Inggris! Perusahaan ini menyadari nilai seorang pemuda yang
integritasnya tak tergoyahkan dan yang loyalitasnya bisa dibanggakan. Kau selalu
bisa mempercayai seorang Inggris untuk bermain " "Dan mengharapkan pukulan yang
?lurus," kau Bobby. Pak Pendeta memandang anaknya dengan ragu-ragu. Katakata itu kalimat yang bagus
?itu ?su"dah ada di ujung lidahnya, tapi dia mendengar nada suara Bobby yang tidak
tulus. Tapi Bobby sendiri kelihatan serius.
"Sama saja, Yah," katanya. "Kenapa saya"'
"Apa maksudmu kenapa kamu?"
?"Banyak orang Inggris," kata Bobby. "Orangorang yang lebih baik dan lebih mampu
dari saya. Kenapa memilih saya?"
"Barangkali bekas atasanmu yang memberi rekomendasi."
"Barangkali begitu," kata Bobby ragu-ragu. "Tapi tak ada bedanya, karena saya
tidak bisa menerima tawaran itu."
"Tidak bisa menerima" Apa maksudmu, Nak?"
"Ya karena saya sudah janji. Dengan Badger."
?"Badger" Badger Beadon" Ali jangan main-main."
?"Memang sulit," kau Bobby, menarik napas. "Apa pun yang telah kaurencanakan
dengan dia tak ada lagi artinya sekarang ini."
"Ada bagi saya."
"Si Bcadon itu tidak bertanggung jawab. Aku dengar dia selalu menimbulkan
persoalan dan menghabiskan uang orang tuanya."
"Dia memang belum bernasib mujur. Habis terlalu percaya pada orang/*
"Nasib mujur mujuri Aku rasa anak itu belum berusaha apa-apa seumur hidupnya/*?**Itu tidak benar, Yah. Dia biasa bangun jam lima pagj untuk memberi makan ayamayam brengsek itu. Dan bukan salahnya kalau ayam-ayam itu kena bengek atau
teler." "Aku tidak suka urusan bengkel ini. Usaha konyol. Kau harus meninggalkan*!"."
'Tidak bisa, Yah. Saya sudah janji. Saya tak btsa mengecewakan dia. Dan dia
mengharap bantuan saya."
Percakapan itu berlanjut. Pak Pendeta yang tidak begitu suka pada Badger tidak
dapat menganggap bahwa janji itu mengikat. Dia meng"anggap Bobby keras kepala
dan hanya ingin hidup malas-malasan dengan seorang teman yang tak bisa
dibanggakan. Sebaliknya, Bobby berkali-kali mengatakan dengan keras kepala bahwa
dia tidak btsa mengecewakan Badger.
Akhirnya Pak Pendeta meninggalkan ruangan itu dengan marah, sedangkan Bobby
duduk dan menulis surat kepada perusahaan Henriquez & Dalio, menolak tawaran
mereka. Dia menulis sambil menarik napas. Dia telah menolak suatu kesempatan yang tak
akan datang lagi. Tapi dia tidak melihat alternatif lain.
Tak lama kemudian, ketika sedang main golf, dia menceritakan hal itu pada
Frankie. Gadis itu mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Seandainya kau belum terlanjur janji, kau akan ke Amerika Selatan?"
"Ya." "Apa kau suka?" "Ya, mengapa tidak?"
Frankie menarik napas panjang. Kemudian dia berkata dengan tegas. "Aku rasa
putusanmu benar." "Maksudmu tentang Badger?" *Ta,"
"Aku tak bisa mengecewakan dia, kan?"
'Tentu saja tidak. Tapi hatihati, jangan sampai kau yang dikecewakan/*
"Ya. Tapi rasanya aku tak perlu khawatir. Dan lagi aku tidak menanam modal apaapa." 'Tentu menyenangkan, ya/'
"Mengapa?" "Aku tak tahu mengapa. Tapi rasanya kau nanti cukup bebas dan tak perlu terlalu
bertanggung jawab. Kalau kupikir-pikir aku juga tidak punya modal apa-apa.
Memang Ayah* memberiku uang saku dan banyak rumah yang bisa kutempati, bajubaju, pembantu, perhiasan, dan sebagainya. Tapi semua itu bukanlah punyaku, tapi
milik keluarga." "Memang, tapi sama saja," kata Bobby.
"Tentu saja tidak sama."
"Ya, tidak sama," kau Bobby membeo. Tiba-tiba saja dia merasa sangat sedih.
Mereka berjalan ke tee berikutnya.
"Aku akan ke kota besok," kau Frankie ketika Bobby memukul bolanya.
"Besok" Oh, aku baru mau mengajak kau piknik besok."
"Aku akan senang. Tapi sayang, aku harus pergi. Rematik Ayah kambuh lagi."
"Kau harus temani dan urus dia," kata Bobby.
"Dia tidak suka diurus. Aku akan membuatnya marah. Dia lebih suka diurus
pelayan. Karena pelayan itu tidak membantah dan tidak peduli kalau dilempari
apa-apa, dan tidak marah kalau dimaki-maki."
Bobby memukul bola dengan kekuaun berli"pat, upi bola itu masuk ke bunker.
"Sulit," kata Frankie sambil memukul. Bola itu meluncur lurus dengan manis ke
sasarannya. "Aku rasa kita bisa melakukan sesuatu bersa"ma-sama di London. Kau akan segera
ke sana?" "Han Senin. Nggak enak, ya?"
"Apa maksudmu nggak enak?"
"Ya aku akan menggunakan sebagian besar waktuku untuk bekerja sebagai mekanik.?Maksudku "
?"Ali. Kau kan punya waktu untuk datang ke pesta koktil dan bertemu dengan
temante "manku."
Bobby menggelengkan kepala.
"Kalau begitu pesta bir dan sosis saja, ya"
"Frankie, apa gunanya, sih" Teman-temanku lain dengan temantemanmu."
'Teman-temanku bukan dari satu golongan saja, upi campuran. Percayalah."
"Kau berpurapura tidak mengerti."
"Kau bisa mengajak Badger kalau mau. Kelom"pokku sangat terbuka."
"Kau kan tidak suka Badger."
"Aku tidak suka gagapnya saja. Karena mem"buatku ikut-ikutan gagap."
"Aku rasa tak perlu, Frankie. Di sini memang tak apa-apa. Tak banyak yang bisa
dilakukan. Kau selalu sangat baik padaku, dan aku berterima kasih untuk itu. Tapi aku tahu
bahwa aku orang biasa saja maksudku "
? ?"Kalau kau sudah selesai mengucapkan perasa"an mmder-mu barangkali kau bisa
mengeluarkan bolamu dari bunker itu dengan niblick, jangan dengan putter."
"Apa aku oh, sialan!" Dia memasukkan put"ter yang dipegangnya ke dalam tas dan ?menge"luarkan niblick-nya. Frankie yang jail dengan senang memperhatikan ketika
Bobby memukul lima kali berturut-turut. Mereka diselimuti oleh kabut pasir hasil
pukulan Bobby. "Giliranmu," kata Bobby sambil mengambil bola.
"Nah, ini tandinganku," kata Frankie. "Kiu main bye}" "Nggak, ah. Banyak yang
harus kukerjakan." Mereka berjalan ke bangunan kecil untuk berteduh.
Frankie mengulurkan tangan. 'Terima kasih, Bobby. Aku senang kau bisa menemaniku
pada waktu aku di sini. Sampai ketemu lagi kapan-kapan nanti, kalau aku lagi
nganggur." "Frankie"
"Barangkali kau berkenan menghadiri pesta. Aku yakin kau akan bisa membeli
kancingkancing mutiara yang murali di Wooiworth."
"Fiankie " ?Kata-katanya tenggelam dalam deru mesin Bendey yang baru saja dihidupkan
Frankie. Dia meluncur sambil melambaikan tangan.
"Sialan!" kata Bobby.
Dia menganggap Frankie keterlaluan. Barang"kali dia memang kurang bisa menyusun
katakata yang baik. Tapi, peduli amat. Apa yang dikata"kannya semua benar.
Barangkali, sebaiknya dia tak usah berkata apa-apa.
Tiga hari berikutnya terasa amat lama. Pak Pendeta sakit tenggorokan dan dia
terpaksa bicara dengan suara berbisik. Dia tak banyak bicara dan menerima
kehadiran anaknya yang keempat itu sebagaimana layaknya seorang Kristen. Kadang
kadang dia mengutip katakata Shakespeare.
Pada hari Sabtu Bobby merasa tak tahan lagi tinggal di rumah. Dia minta pada
Nyonya Roberts, yang bersama suaminya "mengurus?" Wisma Pendeta, untuk
menyiapkan roti. Dan dengan tambahan sebotol bir yang dibelinya di
archbolt, dia berjalan-jalan ke hutan, berpin i sendiri.
Dia merasa sangat kehilangan Frankie beberapa hari ini. Dan orangorang tua yang
dihadapinya bahkan membuatnya meiasa tertekan. Dia tak tahan lagi.
Bobby menyandarkan diri di dataran berpakis * tebal. Dia berpikirpikir apakah
sebaiknya makan dulu lalu tidur ataukah tidur dulu baru makan. Tanpa perlu
memikirkan keputusannya lebih lanjut, tahu-tahu Bobby sudah memejamkan matanya
dan terlelap. Ketika bangun, sudah pukul tiga tiga puluh! Bobby menyeringai membayangkan
reaksi ayah"nya kalau dia tahu apa yang diperbuat anaknya. Berjalan-jalan di
desa kirakira dua belas mil itulah seharusnya yang dilakukan oleh seorang
? ? ?pemuda yang sehat, "Sekarang, setelah capek berjalan-jalan, barulah aku makan
hasil keringat ku." Bobby tersenyum sendiri, ingat akan kalimat itu.
Bodoh, pikir Bobby. Kenapa makan setelah capek berjalan-jalan begitu jauh kalau
kau me"mang tidak suka melakukannya" Apa gunanya" Kalau kau senang melakukannya,
kau memanja"kan dirimu. Tapi kalau tidak, kau adalah orang yang bodoh.
Akhirnya Bobby makan bekal makan siangnya dengan lahap. Dengan rasa puas dia
membuka botolnya. Rasanya sangat pahit, tapi menyegar"kan.
Dia menidurkan diri lagi setelah melemparkan botol kosongnya ke semak-semak.
Dia merasa senang di situ. Rasanya seperti raja. Dia dapat melakukan apa
saja apa saja kalau dia mau mencoba! Bayangan macammacam hal me"menuhi otaknya.?Kemudian dia merasa mengantuk lagi. Dia merasa lemas. Dia tidur dengan sangat
?lelap ?7. TERHINDAR DARI MAUT FRANKIE membelokkan Bentley-nya ke halaman sebuah rumah kuno besar yang
bertuliskan St. Asapb's. Dia meloncat ke luar lalu menarik seikat besar bunga lili dari mobilnya. Dia
membunyikan bel, dan seorang perawat keluar membukakan pintu.
"Saya bisa menjenguk Tuan Jones?" tanya Frankie.
Mata perawat itu memandang pada Bentley, bunga lili, dan pada Frankie dengan
penuh perhatian. "Nama Anda?" "Lady Frances Derwent.
Perawat itu terkejut dan pasien yang mendapa kunjungan tamu itu menjadi
bertambah nilainya. Dia membawa Frankie naik ke kamar pasiennya.
"Ada tamu, Tuan Jones. Bisa tebak, enggak" Ini kejutan yang menyenangkan Anda,"
kata perawat dengan keramahan khas rumah sakit.
"He, Frankie, ya!" seru Bobby.
"Halo, Bobby. Aku bawakan bunga yang biasa. Sebetulnya kurang cocok juga, karena
mengingatkan kita pada bunga kuburan. Tapi aku tak punya pilihan lain."
"O, Lady Frances indah sekali. Mari saya taruh di jarribangan." Perawat
?mengambil bunga itu lalu keluar.
Frankie duduk di kursi yang disediakan untuk tamu. "Nah, Bobby, coba ceritakan
apa yang terjadi." "Kau memang perlu dengar ceritanya. Aku menjadi berita yang sangat sensasional.
Delapan butir morfin. Tak kurang dari itu. Mereka akan menulis kasusku di Lancet
dan BMJ" "Apa sih, BMJ}'* tanya Frankie
"British Medical Journal"
"Hm. Teruskan."
"Tahukah kau bahwa setengah butir saja sudah merupakan suatu dosis yang fatal"
Seharusnya aku mati enam belas kali. Memang orang masih bisa selamat jika
menelan enam belas. Bagaimana"pun, delapan butir cukup keras. Aku adalah pahlawan di sini. Mereka
tak pernah punya kasus seperti ini sebelumnya.*'
"Mereka pasti senang!"
"Ya. Bisa jadi bahan omongan pasien-pasien."
Perawat masuk lagi membawa lili di dalam jambangan.
"Benar kan, Suster?" kata Bobby. "Anda belum pernah mendapat kasus seperti kasus
saya, kan?" "Oh, Anda seharusnya tidak di sini, tapi di halaman gereja, di kuburan. Tapi kan
hanya orangorang baik saja yang mati muda." Perawat itu tertawa mendengar
leluconnya sendiri, "Nah, dengar sendiri, kan?" kata Bobby. "Aku akan jadi
terkenal di Inggris.** Dia terus bicara. Tanda-tanda rasa rendah diri yang terlihat dalam pertemuan
terakhir dengan Frankie telah lenyap. Dia menceritakan kasusnya dengan rasa puas
diri yang kentara dan mendetil.
"Cakup, cukup," kata Frankie. "Aku tak ingin dengar cerita orang memompa keluar
isi perutmu. Aku sudah pernah dengar cerita orang yang diracun/*
"Tapi cuma sedikit orang yang diracun dengan delapan butir morfin," kata Bobby.
"Ah, ceritaku tak terlalu mengesankan kelihatannya."
"Pasti kesal orang yang mencoba mera-cunimu," kata Frankie.
"Ya. Buang-buang morfin saja."
**Morfin itu di dalam bir, kan?"
"Ya, Ada orang menemukan aku tidur seperti orang mati. Dia mencoba membangunkan,
tapi tidak bisa. Lalu dia menjadi curiga dan khawatir. Aku dibawa ke sebuah
rumah dan dipanggilkan dokter "?"Aku tahu sambungannya," kata Frankie ce"pat-cepat.
"Mula-mula mereka mengira aku makan obat itu dengan sengaja. Lalu ketika mereka
mende"ngar ceritaku, mereka pergi mencari botol yang kulempar. Mereka
menemukannya dan mengana"lisa sisa bir di dalamnya."
"Tak ada tanda-tanda bagaimana morfin itu bisa masuk ke botol?"
'Tidak. Mereka telah menanyai penjual bir itu dan membuka beberapa botol lain
dan ternyata tidak apa-apa."
"Orang itu pasti memasukkan morfin ke dalam, botolmu ketika kau tidur."
"Persis. Aku ingat kertas di atas tutup botol itu tidak tertempel rapi."
Frankie mengangguk. "Kalau begitu apa yang kukatakan di kereta api itu betul."
"Apa yang kaukatakan?" "Orang itu Pritchard pasti didorong masuk jurang.
? ?"Kau tidak mengatakannya di kereta api, tapi di stasiun," kata Bobby. "Sama
saja." 'Tapi mengapa "
?"Itu jelas. Kenapa ada orang yang ingin menyingkirkan kau" Kau bukan pewaris
kerajaan atau apa." "Mungkin saja. Seorang bibi kaya-raya yang tinggal di New Zealand atau di mana
saja, meninggalkan sejumlah warisan yang besar."
"Tak mungkin. Orang tak akan melakukannya kecuali dia kenal kau. Kenapa orang
memberi warisan pada anak keempat" Pada zaman susah seperti ini seorang pendeta
pun mungkin tak punya empat anak. Tak ada yang beruntung dengan kematianmu. Jadi
alasan itu bisa dikesam"pingkan. Lalu ada kemungkinan balas dendam Apa kau
pernah memperkosa anak perempuan pemilik toko obat?"
"Seingatku tidak," kata Bobby dengan penuh wibawa.
"Ya, aku tahu. Kalau orang sering berbuat sesuatu, dia tidak akan bisa ingat
satu per satu. Tapi aku rasa kau memang belum pernah mem"perkosa anak gadis."
"Kau membuatku malu saja, Frankie. Kenapa ^kau memilih anak pemilik toko obat?"
"Karena dia bisa bebas menggunakan morfin Tidak mudah memperoleh morfin."


Pembunuh Di Balik Kabut Why Didn't They Ask Evans Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya, tapi aku belum pernah memperkosa anak pemilik toko obat."
"Dan kau tidak punya musuh?"
Bobby menggelengkan kepala.
"Kalau begitu dugaanku benar," kata Frankie dengan nada penuh kemenangan.
"Pasti karena lakilaki yang jatuh itu. Apa kata polisi?"
"Mereka pikir itu dilakukan orang gila."
'Tak mungkin. Orang gila tak akan keluyuran membawa morfin begitu banyak dan
mencari-cari botol bir untuk diberi morfin. Tidak. Ada orang yang mendorong
Pritchard ke jurang. Satu-dua menit kemudian kau datang dan dia mengira kau
melihat perbuatannya. Karena itu dia ingin sekali meny ingklrkanmu."
"Aku rasa teorimu tidak benar, Frankie."
"Mengapa?" "Karena aku tidak melihat apa-apa."
"Ya, tapi dia tidak tahu."
"Kalau toh aku melihat sesuatu, aku akan mengatakannya dalam pemeriksaan."
"Ya, aku rasa begitu," kata Frankie dengan se"gan. Dia diam sejenak. "Barangkali
dia mengira kau melihat sesuatu yang menurutmu bukan hal penting tapi sebenarnya
penting. Ah, omonganku memang berbelit. Tapi kau mengerti maksudku, kan?"
Bobby mengangguk. "Ya, aku mengerti. Tapi rasanya kok sulit dipercaya."
"Aku yakin soal jurang itu i*erhubungan de"ngan kasusmu. Kau ada di tempat
itu orang pertama yang ada di situ "? ?"Thomas juga ke situ," kata Bobby mengingat"kan. "Tapi tak ada orang yang
mencoba meracuni dia."
"Barangkah mereka belum melakukannya," kata Frankie penuh harap. "Atau sudah,
tetapi gagal." "Rasanya kok terlalu dibuat-buat."
"Aku pikir cukup logis. Kalau ada dua hal yang tidak biasa terjadi di kolam
tenang seperti March"bolt he, aku melihat tiga hal, bukan dua."
? "Apa?" "Pekerjaan yang ditawarkan padamu. Itu me"mang hal yang kecil tapi aneh. Kau
harus mengakuinya. Aku belum pernah dengar sebuah perusahaan asing yang khusus
mencari bekas perwira Angkatan Laut yang tidak terkenal."
"Kau bilang apa" Tidak terkenal?"
"Kau kan belum masuk BMJ waktu itu. Tapi kau mengerti apa yang kumaksud. Kau
melihat sesuatu yang seharusnya tidak kaulihat paling tidak begitulah pikir ?mereka. Pertamatama mereka mencoba menyingkirkanmu dengan menawarkan pekerjaan
di luar negeri. Setelah gagal, mereka terpaksa menyingkirkanmu dengan cara
UU- "Agak drastis rasanya. Dan risikonya besar. Iya, kan?"
"Tapi pembunuh sih biasanya begitu. Semakin banyak pembunuhan mereka lakukan,
semakin bertambah keinginan mereka untuk membunuh."
"Seperti Noda Darah Ketiga" kata Bobby, teringat salah satu buku favoritnya.
"Ya. Dan dalam hidup pun begitu Smith dan istri-istrinya, dan Armstrong, dan
?lainlainnya?" "Tapi apa yang telah kulihat?"
"Itulah kesulitannya," kata Frankie. "Aku pun berpendapat bahwa persoalannya
bukanlah tin"dakan mendorong korban, karena kau pasti akan menceritakannya kalau
memang itu persoalan"nya. Pasti sesuatu tentang orang itu sendiri. Barangkali
dia punya tanda atau ciri-ciri tertentu, misalnya dua jarinya lengket, dan
sebagainya." "Wah, kau seperti Dokter Thorndyke saja. Tapi aku tidak melihat hal semacam
itu." "Ya, tentu saja. Tadi kan hanya contoh. Susah, ya?"
"Tapi teorimu menyenangkan. Dan membuatku merasa penting. Tapi sama saja. Itu
cuma teori." "Aku tahu bahwa aku benar." Frankie berdiri. "Aku harus pergi sekarang. Apa aku
perlu ke sini lagi besok?"
"Tentu, datang saja. Ocehan para perawat lama-lama membuatku bosan. Kenapa kau
kem"bali dari London begitu cepat?"
"Begitu aku dengar beritamu, aku langsung lari ke sini. Seru rasanya punya teman
yang diracun dengan cara yang amat romantis."
"Aku tak tahu apakah morfin itu romantis," kata Bobby.
"Aku akan datang besok. Aku perlu mencium"mu atau tidak?"
"Penyakitku kan nggak menular.*'
"Kalau begitu aku akan melakukan tugasku." Frankie mencium ringan. "Sampai
besok." Perawat masuk membawa teh Bobby ketika Frankie sudah keluar. "Saya sering
melihat foto beliau di koran. Tapi beliau tidak seperti yang lain. Dan saya
pernah lihat beliau mengendarai mobilnya. Tapi saya belum pernah lihat beliau
dari dekat. Beliau tidak sombong, ya?"
"Oh, tidak sama sekali tidak sombong."?"Oh, saya bilang pada Suster kalau beliau biasa saja, wajar. Tidak sombong.
Seperti kita-kita inilah."
Bobby tidak menjawab apa-apa. Karena tidak mendapat tanggapan, perawat itu
keluar. Bobby menghabiskan tehnya. Kemudian dia berpikir tenung kemungkinan
teori Frankie. Dengan agak segan akhirnya dia menolak kemungkinan itu. Lalu dia
memandang sekelilingnya. Matanya memandang jambangan berisi lili. Manis sekali. Frankie membawakan bungabunga itu untuknya. Memang indah. Tapi dia akan lebih senang bila dibawakan
buku-buku detektif. Bobby melayangkan pandangannya ke meja di dekat tempat tidurnya. Ada sebuah
novel Ouida, sebuah buku John Halifax, Gentleman dan koran Marchbolt Weekly
Times terbitan minggu kemarin. Dia mengambil John Halifax, Gentleman.
Setelah lima menit diletakkannya lagi. Bagi Bobby yang sudah terbiasa membaca
Noda Darah Ketiga, Kasus Pembunuhan Archduket dan Petualangan Aneh Pedang
Florentine, John Halifax karangan Nyonya Murlock Craik's rasanya kurang seru.
Sambil menarik napas dia mengambil Weekly Times terbitan minggu lalu.
Tak lama kemudian, dia menekan bel di bawah bantalnya kuat-kuat, sehingga
seorang perawat datang dengan berlari-lari.
"Ada apa, Tuan Jones" Anda merasa sakit?"
"Tolong telepon KastU," seru Bobby. "Kata"kan pada Lady Frances bahwa dia harus
segera ke sini." "Oh, Tuan Jones, Anda tak bisa meninggalkan pesan seperti itu."
"Tak bisa?" kata Bobby. "Kalau saya boleh turun dari tempat tidur sialan ini,
Anda akan melihat apa yang bisa dan tidak bisa saya lakukan
Karena saya harus terap di sini, Andalah yang harus menelepon untuk saya."
"Saya rasa beliau belum sampai di rumah."
"Anda tak tahu bagaimana Bentley itu."
"Saya rasa beliau belum sempat minum teh."
"Sudahlah. Jangan berdebat dengan saya. Telepon saja dia. Katakan bahwa dia
harus segera datang karena ada hal yang sangat penting untuk diceritakan."
Dengan segan perawat itu pergi. Dia menelepon, tapi memperhalus permintaan
Bobby. Sean"dainya tidak mengganggu, Tuan Jones mengharap kedatangan Lady Frances.
Tentu saja Lady Frances tak perlu datang jika tak bisa. Lady Frances menjawab
singkat bahwa dia akan segera datang.
"Dia sangat manis kepadanya," kata perawat itu pada temannya.
Frankie datang penuh antusias. "Ada apa?" tanyanya ingin tahu.
Bobby duduk di tempat tidur. Tangannya melambaikan Marchbolt Weekly Times.
"Lihat ini," katanya.
Frankie melihat. "Ada apa"* tanyanya.
"Ini gambar yang kaumaksud ketika kau me"ngatakan foto itu dipoles tapi masih
kelihatan seperti Nyonya Cayman?" Tangan Bobby menunjuk sebuah reproduksi yang
agak buram. Di bawahnya tertulis: Foto yang ditemukan di saku korban: Nyonya
Amelia Cayman, saudara korban.
"Ya, itulah yang kukatakan dan memang begitu. Aku tak melihat sesuatu yang ?aneh." "Aku juga."
"Tapi kau tadi mengatakan -"
?**Ya, betul. Tapi, Frankie " suara Bobby berubah impresif "ini bukan foto
? ?yang kulihat dan kukembalikan ke saku korban "
?Mereka saling berpandangan.
"Kalau begitu " kata Frankie perlahan.
?"Mungkin ada dua foto "
?" suatu kemungkinan yang tipis "
? ?" atau " ? ?Mereka diam. "Orang itu siapa namanya?" kata Frankie. "Bassingtonffrench!" kata Bobby.
?8. TEKA-TEKI FOTO MEREKA saling berpandangan sambil menyesuai"kan diri dengan situasi baru itu.
"Tak mungkin orang lain yang melakukan"nya," kata Bobby. "Dialah satu-satunya
orang yang punya kesempatan."
"Kecuali ada dua foto."
"Kita kan sudah memutuskan bahwa hal itu kecil kemungkinannya. Kalau ada dua
foto, mereka akan mencarinya melalui keduanya bu"kan hanya satu."
?"Ya itu gampang dicari," kata Frankie. "Kita bisa tanya polisi. Kita asumsikan
?saja sekarang bahwa hanya ada satu foto foto yang kaulihat. Foto itu di situ
?pada waktu kau menungguinya dan foto itu tidak di situ ketika polisi datang.
Karena itu satu-satunya orang yang bisa mengam"bil dan menggantinya adalah
si si Bassingtonffrench. Seperti apa rupanya?"
?Bobb mengernyitkan muka menoba meng"ingat. "Biasa saja. Suaranya enak. Orang
terpela"jar. Aku tidak terlalu memperhatikan dia. Kata"nya dia bukan orang sini dan sedang
?mencari rumah di daerah ini."
"Kita bisa mengecek hal itu," kata Frankie. "Agen rumah kan hanya dua, Wheeler
dan Owen." Tiba-tiba Frankie gemetar. "Bobby, kau pernah pikir ini" Seandainya Pritchard
itu dido"rong masuk jurang -pasti si Bassington-ffrencb ini yang melakukannya"?"Ah, menyedihkan," kata Bobby. "Dia kelihat"an seperti orang baik-baik. Tapi
kita kan belum bisa membuktikan bahwa Pritchard didorong orang."
"Aku sangat yakin,'"
"Kau memang berpikir begitu dari mula."
"Tidak. Aku ingin kejadiannya begitu karena ceritanya akan jadi seru. Tapi
sekarang paling tidak kan terbukti. Seandainya kejadian itu me"mang pembunuhan,
semua cocok. Pemunculan"mu merusak rencana pembunuh itu. Penemuan atas foto itu
dan konsekuensinya adalah keha"rusan untuk menyingkirkanmu."
?"Ada yang nggak klop," kata Bobby.
"Yang mana" Kau adalah satu-satunya orang .yang melihaj foto itu. Begitu si
Bassingtonffrench kautinggal sendiri, dia lalu mengganti foto itu."
Bobby menggelengkan kepalanya. "Itu tidak cocok. Sekarang, misalkan saja foto
itu memang begitu penting, jadi aku harus disingkirkan. Kedengaran aneh, tapi
memang mungkin. Nah, apa pun yang akan mereka lakukan, harus dilakukan segera.
Sedangkan kenyataan bahwa aku pergi ke I^ondon atau tidak baca Weekly Times atau
koran lain yang memuat foto itu hanyalah suatu kebetulan. Kemungkinannya ada"lah
bahwa aku akan berkata, 'Foto ini bukan foto yang kulihat.' Nah, kenapa mereka
harus me"nunggu setelah pemeriksaan di mana segalanya sudah terselesaikan?"
"Memang betul," kata Frankie.
"Dan ada satu hal lagi. Aku memang tak tahu apakah benar atau tidak. Tapi aku
merasa pasti bahwa ketika aku mengembalikan foto itu ke saku, si
Bassingtonffrench tak ada di situ. Dia baru datang lima atau sepuluh menit
kemudian." "Barangkali saja dia memperhatikanmu dari jauh," kata Frankie.
"Aku rasa itu tidak mungkin," kau Bobby pelan. "Hanya ada satu tempat di mana
orang bisa melihat ke bawah, ke tempatku itu. Di tempat lain, karang itu
membengkak dan menutup bagian bawah sehingga orang tak bisa melihat dari situ.
Hanya ada satu tempat, dan ketika Bassingtonffrench datang, aku segera mendengar
langkah"nya. Langkah kaki di atas terdengar bergema dari bawal., Bisa saja dia
ada di dekat situ, tapi dia tidak melongok ke bawah sampai saat itu aku yakin
?itu," "Dan kaupikir dia tak tahu bahwa kau melihat foto itu?"
"Aku tak tahu bagaimana dia bisa tahu." "Dan pembunuh itu tak mungkin takut
ketahu"an melakukan pembunuhan itu, karena, seperti kaumu tadi, itu tidak
mungkin. Kau pasti akan buka suara. Pasti ada hal lain."
"Tapi aku tak tahu apa."
"Sesuatu yang baru mereka ketahui setelah pemeriksaan. He kenapa aku selalu
?mengatakan mereka "
?"Kenapa tidak" Suami-istri Cayman itu pasti terlibat juga. Barangkali mereka
sebuah komplot"an. Aku suka komplotan."
"Ah, itu sih selera rendah," kata Frankie Unpa sadar. "Pembunuhan yang dilakukan
oleh perorangan lebih gaya! O, ya, Bob!"
"Apa?" ' "Apa sih yang dikatakan Pritchard sebelum dia mari" Kau pernah mengatakannya
padaku, kan?" "'Mengapa mereka tidak memanggil Evans}'" "Ya. Barangkali itu
kuncinya?" "Ah, aneh rasanya."
"Kedengarannya begitu. Tapi bisa sangat pen"ting. Bobby, aku yakin itulah penyebabnya. Oh.
tidak, aku memang bodoh. Kau kan tidak bilang pada suami-istri Cayman itu,"
"Sebenarnya aku bilang pada mereka," kau Bobby pelan.
"Kau bilang}" "Ya. Aku kirim surat pada mereka malam itu dan mengatakan bahwa hal itu tentunya
tidak penting." "Lalu bagaimana terusnya?"
"Mereka membalas mengucapkan terima kasih, walaupun hal itu memang tak berarti
apa-apa. Aku merasa agak terhina."
"Dan dua hari kemudian kau dapat surat dari perusahaan asing yang menyuapmu
untuk pergi ke Amerika Selatan?"
"Betul." "Nah," kata Frankie. "Aku tak tahu apa lagi yang kauinginkan. Mereka mencoba itu
dulu. Kau menolaknya. Lalu mereka memata-mataimu. Pada saat yang baik mereka
memasukkan morfin ke dalam botol birmu."
"Kalau begitu suami-istri Cayman itu terlibat di dalamnya?"
"Tentu saja!" "Ya," kata Bobby. "Kalau rekonstruksimu itu betul, mereka pasti terlibat. Sesuai
dengan teori kita sekarang, kejadian itu begini. Si" korban X sengaja didorong
masuk jurang kemungkinan oleh BF. Nggak apa-apa ya, pakai inisial. Hal yang ?sangat penting* ialah, identitas si X jangan sampai diketahui. Jadi foto Nyonya
C diletakkan dalam saku bajunya, sedang foto si Cantik Tak Dikenal diambil.
Siapa ya, dia?" "Jangan berbelok-belok," kata Frankie tegas.
"Nyonya C menunggu sampai fotonya mun"cul. Lalu dia nongol sebagai saudara koi
ban yang sedih dan berkabung dan bilang bahwa X memang saudaranya yang datang
dari luar negeri." "Kau yakin mereka tidak bersaudara?"
"Seratus persen! Hal itu membuatku berpikirpikir terus. Si Cayman itu kelasnya
berbeda dengan korban. Kalau korban ya bisa dibilang gentleman sejati seperti
? ?perwira Inggris yang pensiun setelah bertugas di India pukka sahib." "Sedang si
?Cavman kebalikannya?"
"Persis." "Lalu, ketika segalanya berjalan lancar dan rapi dari sudut pandang si Cayman?korban dikenali. Pemeriksa memutuskan bahwa yang terjadi ada"lah kecelakaan.
Semua beres sampai tiba-tiba kau muncul merusak suasana," lanjut Frankie.
?"Mengapa mereka tidak memanggil Evans}" Bobby mengulang kalimat itu sambil
berpikirpikir. "Rasanya tak ada sesuatu yang luar biasa dengan kalimat itu."
"Ab! Itu karena kau tidak tahu. Ini sepetti membuat teka-teki silang saja. Kau
menulis suatu petunjuk dan kau berpikir bahwa hal itu sangat sederhana,sehingga setiap orang akan bisa menja"wabnya dengan Anudah. Tapi kau heran
ketika ternyata bahwa mereka tidak dapat menjawabnya. Mengapa mereka tidak
memanggil Evans" pasti merupakan kalimat yang sangat mereka pahami, dan mereka
tidak bisa mengerti bahwa hal itu tak berarti apa-apa bagimu."
"Bodoh mereka."
"Benar. Tapi mungkin saja mereka berpikir bahwa bila Pritchard mengatakan
kalimat itu, dia mungkin saja mengatakan hal-hal lain yang mung"kin akan
kauingat pada suatu waktu nanti.
Pendeknya mereka tak mau ambil risiko. Mereka akan lebih aman kalau kau tak
ada." "Mereka ambil risiko terlalu banyak. Kenapa mereka tidak membuat kecelakaan lagi
saja?" "Tidak, tidak Itu tolol namanya. Dua kecela"kaan dalam seminggu" Bisa
mencurigakan. Mem"buat orang bertanyatanya akan hubungan satu dengan lainnya. Dan orang akan
berpikirpikir tentang kecelakaan yang pertama. Aku rasa cara mereka yang
sederhana tapi berani ini justru agak berbobot."
"Tapi kau baru mengatakan bahwa tidak gam"pang memperoleh morfin."
"Memang benar. Kau harus menandatangani buku racun sebelum membeli. Tentu saja


Pembunuh Di Balik Kabut Why Didn't They Ask Evans Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ini suatu petunjuk! Siapa pun yang melakukannya, dia adalah orang yang bisa
mendapat morfin dengan mudah."
"Dokter, perawat rumah sakit, atau pemilik toko obat," kata Bobby.
"Hm aku berpikir tentang obat-obat impor?gelap." #
"Jangan mencampuradukkan terlalu banyak tindakan kriminal, dong!" kata Bobby.
"Sebab, yang paling jelas dalam kasus ini adalah tidak adanya motif yang kuat.
Kematianmu tidak menguntungkan siapa pun. Jadi, apa yang diperki"rakan polisi?"
"Orang gila," kata Bobby. "Dan mereka memang memperhitungkan begitu."
"Kaulihat sendiri, kan" Begitu sederhana."
Tiba-tiba Bobby tertawa. "Ada apa"*' "Aku cuma membayangkan betapa gemasnya mereka. Morfin itu cukup untuk lima atau
enam orang tapi aku ternyata masih segar-bugar di sini.
?"Ya. Ironi hidup yang tak bisa diramalkan," kata Frankie.
"Pertanyaannya ialah, apa yang akan kita lakukan sekarang?" kata Bobby bersikap
praktis. "Oh, banyak," kata Frankie cepat.
"Misalnya?" "Ya memastikan bahwa ada satu foto pada saku si korban. Juga tentang
? Bassingtonffrench yang mencari rumah."
"Barangkali hasilnya tak ada."
"Kenapa?" "Coba pikir. Bassingtonffrench harus tidak mencurigakan. Dia harus bersih. Dia
tidak hanya bersih dari hubungan dengan korban, tapi juga harus punya bukti yang
memadai tentang keda"tangannya ke tempat ini. Bisa saja dia memberi alasan cari
rumah pada saat terpojok.
Tapi dia pasti melakukan apa yang dikatakannya itu. Dia akan menghindari kesan
'orang asing misterius yang terlihat pada waktu kecelakaan'. Aku rasa
Bassingtonffrench memang nama aslinya dan dia bukan orang yang mencurigakan."
"Ya. Itu memang deduksi yang bagus. Tak ada hubungan antara Bassingtonffrench
dengan Alex Pritcliard. Seandainya saja kita tahu siapa sebenar"nya si korban
itu "?"Situasinya agak lain."
'Jadi penting sekali agar mayat itu tak dikenali. Dan di sini si Cayman pegang
peranan. Dia mengambil risiko yang besar."
"Kau lupa bahwa Nyonya Cayman segera mengenali korban. Dan setelah itu, walaupun
ada beberapa gambarnya di koran biasanya gambar-gambar itu tidak jelas orang
? ?akan berkata, 'Aneh, ya. Si Pitchard yang jatuh ke jurang itu kok mirip Tuan X.'
" "Ah, tidak sesederhana itu persoalannya," kata Frankie kritis. "Si X haruslah
orang yang tak begitu banyak dikenal. Maksudku, dia bukan tipe lakilaki yang
istri atau kenalannya segera mela"por polisi karena dia hilang."
"Bagus, Frankie. Ya, dia adalah orang yang baru pergi ke-luar negeri atau baru
datang dari luar negeri. Orang itu berkulit kecoklatan seper"ti seorang
?pemburu dan kelihatannya dia bukan tipe orang yang punya keluarga dekat yang
?mengetahui setiap gerak-geriknya."
"Kita membuat deduksi yang bagus," kata Frankie. "Mudah-mudahan tidak keliru."
"Ya. Aku harap begitu," kata Bobby. "Tapi aku rasa apa yang kita katakan sangat
masuk akal ?asalkan tak ada kemungkinan aneh atau luar biasa."
Frankie hanya mengibaskan tangannya meno"lak kemungkinan itu. "Persoalannya
sekarang, apa yang akan kita lakukan berikutnya?" tanya"nya. "Rasanya ada tiga
titik serangan yang bisa kita lakukan."
'Teruskan, Sherlock."
"Pertama adalah Kau. Mereka telah mencoba menyingkirkanmu. Mungkin mereka akan
mencoba lagi. Nah, kita bisa menyerang dari sini. Maksudku dengan memakai kau
sebagai umpan. 'Tidak, terima kasih, Frankie," kata Bobby. "Kali ini aku masih beruntung. Tapi
kalau mereka mengganti taktik serangannya, barangkali nasibku tak sebaik
sekarang. Aku berjanji untuk menjaga diri dengan lebih hatihati lagi. Lupakan
saja rencana umpanmu itu."
"Aku memang sudah menduga kau akan menolak rencana itu," kata Frankie sambil
menarik napas. "Anak muda zaman sekarang memang tak sebaik dulu lagi, kata Ayah.
Mereka tidak suka bersusah-payah dan tidak mau melakukan hal yang tidak
menyenangkan lagi. Sayang."
"Ya, sayang," kata Bobby. Tapi dia melanjut"kan dengan tegas. "Apa rencanamu
yang kedua?" "Mulai dengan petunjuk, Mengapa mereka ti"dak memanggil Evans}" kata Frankie.
"Mungkin korban kemari untuk bertemu dengan Evans siapa pun dia. Sekarang, ? ?kalau kita bisa bertemu dengan Evans "
?"Ada berapa Evans?" kata Bobby. "Apa di Marchbolt ini ada Evans?"
"Ratusan, barangkali," kata Frankie.
"Nahl Memang rencana ini bisa saja dilakukan. Tapi aku tak terlalu yakin."
"Kita bisa membuat daftar semua nama Evans dan mendatangi yang punya kemungkinan
besar." "Dan menanyai mereka. Apa yang akan kita tanyakan?"
"Itulah kesulitannya," kata Frankie.
"Kita masih memerlukan informasi tambahan lagi sebelum bisa memulai rencana
nomor dua ini. Apa rencana ketiga?"
"Si Bassingtonffrench. Ini sesuatu vang jelas. Namanya aneh. Aku akan tanya
Ayah. Dia tahu banyak nama-nama seperti itu."
"Ya," kata Bobby. "Kita bisa memulai dari sini."
"Setidaknya kita berbuat sesuatu?"
"Tentu saja. Kaukira aku akan diam saja setelah diberi delapan butir morfin?"
"Bagus!" kata Frankie.
"Kecuali itu," tambah Bobby, "penghinaan terhadap perut yang dipompa tak bisa
didiamkan saja." "Cukup, cukup," kata Frankie. "Tak perlu berkepanjangan."
"Kau sama sekali tak punya rasa simpatik yang feminin," kata Bobby menggerutu.
9, TUAN BASSINGTON-FFRENCH
FRANKIE tidak mau buang-buang waktu. Malam itu juga dia menyerang ayahnya. "Ayah
kenal dengan salah seorang Bassingtonffrench?"
Lord March ington yang sedang membaca arti"kel politik tidak terlalu
memperhatikan pertanya"annya. "Ini sama saja. Nggak Prancis nggak Amerika.
Konferensi dan macammacam begini kan buang-buang uang serta waktu saja "
?Frankie menunggu ayahnya sampai selesai.
"Bassingtonffrench," ulang Frankie.
"Kenapa?" tanya Lord Marchington.
Frankie tidak tahu apa-apa tentang mereka. Tapi dia mengucapkan sebuah kalimat
juga, karena dia tahu bahwa ayahnya suka mengkontra-diksi.
"Mereka dari Yorkshire, kan"*'
"Bukan Hampshire. Tentu saja ada yang di Shropshire. Juga di Irlandia. Yang ?mana temantemanmu?"
"Tidak tahu," kata Frankie, seolaholah berte"man dengan, orang yang belum
diketahui asalusulnya. "Tidak tahu. Apa maksudmu" Kau harus uhu."
"Orang kan sering pindah-pindah sekarang," kata Frankie.
"Pindah pindah itu saja yang mereka laku"kan. Dulu orang saling bertanya dan
? ?kita tahu asalusul seseorang. Ada orang bilang dia dari Hampshire nah, nenekmu
?menikah dengan se"orang sepupu jauh. Jadi ada hubungan."
"Pasti menyenangkan," kata Frankie "Tapi sekarang ini kita tak punya waktu untuk
riset tentang silsilah dan geografi."
"Betul. Kau memang tak punya waktu. Semua"nya habis untuk minum koktil beracun
itu." Lord Marchington mengaduh ketika dia menggerakkan kakinya yang rematik itu.
"Apa mereka kaya?" tanya Frankie.
"Bassingtonffrench" Tak tahu. Yang di Shop-shire aku rasa tidak. Pajak kematian
dan lainlainnya. Salah seorang yang di Hampshire meni"kah dengan ahli waris kaya. Seorang wanita
Amerika/* "Salah seorang dari mereka kemari beberapa hari yang lalu," kata Frankie.
"Mencari rumah."
"Aneh. Apa maunya membeli lumah di sini?"
Itulah persoalannya, pikir Frankie.
Besok paginya Frankie ke kantor Wheeler & Owen agen real estate dan sewa?menyewa rumah. Tuan Owen sampai terlompat menyambutnva, Frankie tersenyum manis dan duduk di
kursi. "Apa yang bisa kami lakukan untuk Anda, Lady Frances" Anda tidak akan menjual
Kastil, kan" Ha, ha!" Tuan Owen tertawa.
"Kalau saja kami bisa," kata Frankie. "Ah, sava rasa ada seorang teman saya yang
datang kemari beberapa hati yang lalu. Namanya Bassiugton-ffrench. Dia mencari
rumah." "Ah, ya. Saya ingat namanya. Dengan dua huruf / kecil."
"Ya, betul," kata Frankie.
"Dia menanyakan rumahrumah yang tidak terlalu mahal untuk dibeli. Dia harus ke
kota besok paginya, jadi tidak bisa melihat-lihat terlalu banyak. Tapi dia
memang tidak terburuburu. Sejak dia kemari ada satu atau dua rumah yang dijual
dan saya sudah mengirimkan data rumahrumah itu. Tapi dia belum menjawab."
"Apa Anda mengirimkannya ke London atau ke rumahnya yang di luar kota?"
? ? "Sebentar," dia memanggil seorang pegawai. "Frank, coba berikan alamat Tuan
Bassingtonffrench." "Roger Bassingtonffrench, Esq, Merroway Court, Staverley, Hants," kata pegawai
itu. "Ah!" kata Frankie. "Kalau begitu dia bukan teman saya. Ini pasti saudara
sepupunya. Sava agak merasa aneh, karena dia ke sini tapi tidak mampir ke tempat
saya." "Ya ya, tentu saja," kata Tuan Owen.?"Sebentar dia datang hari Rabu, ya?"
?"Betul. Sebelum jam enam tiga puluh. Kami tutup jam enam tiga puluh. Dan saya
ingat sekali waktu kedatangannya, karena pada hari itu terja"di kecelakaan yang
mengerikan itu. Orang jatuh ke jurang. Tuan Bassingtonffrench menunggui mayat
orang itu sampai polisi datang. Dia keli"hatan bingung waktu masuk ke sini.
Tragedi yang menyedihkan. Sudah waktunya kita mela"kukan sesuatu untuk
menghindari kecelakaan seperti itu. Walikota dikritik habis-habisan.
Sangat berbahaya. Saya tak mengerti kenapa tak banyak kecelakaan yang terjadi/*
"Luar biasa," kata Frankie.
Dia keluar dari kantor itu dengan pikiran macammacam. Seperti telah diramalkan
Bobby, semua tindakan Tuan Bassingtonffrench kelihat"annya tidak patut
dicurigai. Dia adalah salah seorang Bassingtonffrench di Hampshire, mem"beri
alamat lengkap, dan dia menceritakan peng"alamannya daiam tragedi itu pada agen
rumah itu. Apakah Tuan Bassingtonffrench memang bersih"
Frankie ragu-ragu. Kemudian dia menolak kemungkinan itu.
Tidak, kata hatinya. Orang yang benarbenar ingin membeli rumah pasti akan datang
pagi-pagt atau dia akan bermalam di sini supaya keesokan paginya punya
kesempatan untuk meli"hatlihat Orang tak akan datang ke agen rumah jam enam tiga
puluh sore lalu kembali lagi ke London besok paginya. Kenapa susah-susah da"tang
sendiri" Kenapa tidak menulis surat saja f Tidak. Dia mengambil keputusan.
Bassingtonffrench bukan orang yang bersih.
Kunjungan berikutnya adalah kantor polisi. Frankie kenal Inspektur Williams. Dia
pernah berhasil membantu menemukan jejak seorang pelayan yang mencuri
perhiasannya. "Selamat siang, Inspektur."
"Selamat siang, your ladyship. Saya harap tak ada Derita buruk."
"Belum, belum. Tapi saya sedang berpikir untuk merampok sebuah bank karena sudah
tak punya uang lagi."
Inspektur itu tertawa mendengar lelucon Frankie.
Sebetulnya saya cuma datang ke sini karena ingin tahu saja," kata Frankie, "Ah,
benarkah begitu, Lady Frances?"
"Saya ingin tahu tentang hal ini, Inspektur. Orang yang jatuh ke jurang
itu siapa nama"nya ? ?Pritchard atau siapa "
? "Ya, betul. Pritchard."
"Dia cuma bawa satu foto di sakunya, kan" Ada yang bilang dia bawa tigaV*
"Satu yang betul," kata Inspektur. "Foto saudara perempuannya. Dia datang
melihat kor"ban."
"Oh, ada-ada saja orangorang itu. Masa mere"ka bilang tiga!"
"Ah, memang biasa, your ladyship. ParaQrarta-wan biasa membesar-besarkan cerita.
Balikan sering kali malah memuat cerita yang salah."
"Ya," kata Frankie. "Saya pernah dengar hal-hal seperti itu." Dia diam sejenak,
lalu berkata, "Saya juga mendengar bahwa saku si korban penuh dengan obat bius
dan uang palsu." Inspektur itu tertawa. "Bagus sekali." "Padahal sakunya cuma berisi barangbarang yang biasa dikantongi?"
"Hanya sedikit isinya. Saputangan tanpa tanda. Beberapa lembar uang, sebungkus
rokok, dan dua lembar surat berharga. Tak ada surat-surat. Kami pasti akan
kesulitan mengenali dia kalau tak ada foto itu. Dasar nasib baik."
"Hm," kata Frankie. Dia menganggap "nasib baik" bukan kata yang tepat untuk itu.
Dia mengganti pokok pembicaraan.
"Kemarin saya menengok Tuan Jones, anak Pak Pendeta. Yang keracunan itu.
Benarbenar luar biasa!" *
"Ah!" kata Inspektur. "Itu memang luar biasa. Tak pernah ada kejadian seperti
itu sebelumnya. Heran. Orang baik-baik seperti dia kok jadi korban. Memang ada orangorang asing
berkeliar"an waktu itu. Tapi saya belum pernah lihat orang gila seperti itu
berkeliaran." "Apa ada tanda-tanda yang menunjukkan pela"kunya?" tanya Frankie dengan
antusias. "Saya senang mengikuti cerita seperti ini."
Inspektur itu serasa mengembang dadanya. Dia senang beramah-tamah dengan anak
seorang bangsawan. Lagi pula Lady Frances memang bukan orang yang sombong dan
munafik. "Memang terlihat sebuah mobil asing di sekitar sini," katanya. "Talbot biru tua.
Ada orang dari Lock's Corner melapor bahwa sebuah Talbot biru tua bernomor GG
8282 lewat ke arah St. Botolph." "Dan Anda pikir "?"GG 8282 adalah nomor mobil pendeta di St. Botolph,"
Frankie membayangkan kemungkinan seorang pendeta gila yang mempersembahkan
korban anak lelaki. Tapi dia menolak gagasan itu dengan menarik napas. "Anda
tidak mencurigai pendeta itu, kan?" tanyanya.
"Kami sudah menyelidiki dan yakin bahwa mobilnya tidak keluar siang itu."
"Kalau begitu nomor palsu?"
"Ya, saya yakin begitu."
Dengan ekspresi senang Frankie meninggalkan tempat itu. Dia tidak memberi
komentar apaapa. Tapi dia berpikir. Pasti banyak mobil Talbot biru tua di Inggris.
Setelah sampai di rumah Frankie mencari buku petunjuk tentang Marchbolt di
perpustakaan dan membawanya ke kamar. Dia mempelajari buku itu berjamjam.
Hasilnya tidak memuaskan.
Ada empat ratus delapan puluh dua Evans di March"bolt.
"Brengsek!" makinya
Dia mulai membuat rencana lain
10. PERSIAPAN SEBUAH KECELAKAAN
SEMINGGU kemudian, Bobby bergabung dengan Badger di London. Dia menerima
beberapa surat dari Frankie dengan tulisan cakar ayam, sehingga dia hanya bisa
mengira-ngira isinya. Garis besar pesan-pesan Frankie adalah bahwa dia punya rencana tertentu dan
Bobby diminta menunggu. Ini bukan apa-apa bagi Bobby, karena dia me"mang sedang
sibuk dengan pekerjaan yang diberi"kan Badger kepadanya.
Tapi Bobby tetap waspada. Pengalaman morfin itu membuatnya curiga terhadap
makanan dan minuman. Dia bahkan berjaga-jaga dengan sebuah pistol.
Bobby merasa cemas ketika dia melihat Bentley Frankie menggeram dan berhenti di
depan beng"kelnya. Dengan baju kumal dan tangan penuh oli Bobby mendekati mobil
itu. Dia melihat seorang pemuda berwajah sedih di samping Frankie.
"Halo, Bobby," kata Frankie. "Kenalkan, ini George Arbuthnot. Dia dokter, dan
kita akan memerlukan bantuannya."
Bobby menyeringai ketika dia berjabat tangan.
"Apa kita memerlukan seorang dokter?" tam a-nya. "Kok kelihatannya kau pesimis
amat." "Maksudku kita memerlukan dia bukan untuk hal-hal seperti itu," jawab Frankie.
"Aku punya rencana. Kau punya tempat untuk bicara?"


Pembunuh Di Balik Kabut Why Didn't They Ask Evans Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bobby memandang sekelilingnya dengan ragu-ragu. "Ada kamar tidurku di situ."
"Bagus," kata Frankie. Dia keluar dari mobil. Bersama George Arbuthnot, Frankie
mengikuti Bobby menuju sebuah kamar sempit.
"Wah," kau Bobby ragu-ragu. "Kelihaunnya tak ada tempat untuk duduk."
Memang uk ada tempat duduk di kamar itu. Satu-satunya kursi penuh dengan
tumpukan baju Bobby. "Kita bisa duduk di sini," kata Frankie sambil menghenyakkan din di aus tempat
tidur. George Arbuthnot ikut duduk dan tempat tidur itu berteriak memprotes.
"Aku sudah punya rencana," kau Frankie. "Pertamatama kiu perlu mobil. Aku rasa
salah satu mobilmu bisa dipakai."
"Maksudmu kau mau membedalah satu mobil itu?"
"Ya." "Kau memang baik, Frankie," kata Bobby terharu. **Tapi kau tak perlu berbuat
begitu, uk perlu mengasihani kami."
"Kau salah mengerti, Bobby," kata Frankie. "Bukan itu maksudku. Aku mengerti
pikiranmu. Kau berpikir aku seperti orang yang membeli baju jelek dari teman seorang teman
yang baru saja memulai bisnis jual baju. Menyebalkan memang. Tapi ini bukanlah
cerita seperti itu. Aku benarbenar memerlukan sebuah mobil."
"Kau kan punya Bentley/*
"Tidak bagus." "Kau gila," kata Bobby.
"Tidak. Bentley itu tidak cukup bagus-untuk rencanaku."
"Kau perlu untuk apa?"
"Dihancurkan," Bobby mengeluh memegangi kepalanya. "Aku tak enak badan rasanya pagi ini."
George Arbuthnot untuk pertama kali buka mulut. Suaranya berat dan melankolis.
"Maksud"nya dia akan mendapat kecelakaan."
"Bagaimana dia tahu?" tanya Bobby tanpa berpikir panjang.
Frankie menarik napas panjang. "Kita salah mulai rupanya. Sekarang dengar baikbaik, Bob"by, dan coba mengerti. Aku tahu bahwa otakmu mampu mencerna asal kau
berkonsentrasi." Dia diam lalu berkata. "Aku sedang melacak Bassing"tonffrench/*
Pendekar Mata Keranjang 16 Pendekar Naga Putih 57 Pemburu Nyawa Pusaka Pedang Naga 1

Cari Blog Ini