Ceritasilat Novel Online

Lapangan Golf Maut 4

Lapangan Golf Maut Murder On The Links Karya Agatha Christie Bagian 4


dan naik kereta api berangkat ke Merlinville, dia pasti akan tiba di Villa
Genevi?ve kira-kira tepat pada waktu yang dikatakan Fran?oise. Apa yang
dilakukannya setelah dia meninggalkan rumah itu pukul sepuluh lewat sedikit"
Mungkin pergi ke sebuah hotel, atau kembali ke Calais. Kemudian" Pembunuhan itu
dilakukan pada malam Rabu. Pagi hari Kamis dia ada di Merlinville lagi. Apakah
dia sempat meninggalkan Prancis" Aku sangat meragukannya. Mengapa dia tetap
berada di Prancis" Apakah karena dia berharap akan bertemu dengan Jack Renauld"
Aku sudah mengatakan padanya, bahwa anak muda itu sudah berada di lautan luas
dalam perjalanannya ke Buenos Ayres. Mungkin dia tahu bahwa kapal Anzora tidak
berlayar. Apakah Poirot mengejarnya karena ingin tahu apakah dia telah menemui
Jack" Apakah Jack Renauld, yang kembali lagi untuk menjumpai Marthe Daubreuil,
malah bertemu muka dengan Bella Duveen, gadis yang sudah disia-siakannya"
Aku mulai melihat titik terang. Bila demikian halnya, itu akan merupakan alibi
yang dibutuhkan Jack. Namun dalam keadaan itu, karena dia bungkam saja, sulitlah
untuk menjelaskannya. Mengapa anak muda itu tak mau berbicara berterus terang"
Apakah dia takut kalau-kalau hubungan lamanya itu sampai ke telinga Marthe
Daubreuil" Aku menggeleng dengan perasaan tak puas. Persoalannya sebenarnya
wajar saja, suatu persoalan antara seorang anak laki-laki yang bodoh dengan
seorang gadis. Dan dengan sinis aku berpikir bahwa putra sang jutawan tidak akan
mungkin disia-siakan oleh seorang gadis Prancis yang tak punya uang. Apalagi
karena gadis itu benar-benar cinta padanya, tanpa alasan lain.
Kurasa seluruh persoalan itu benar-benar aneh dan tak memuaskan. Aku benar-benar
tak suka terlibat dengan Poirot dalam mengejar gadis itu. Tapi aku tak bisa
menemukan satu pun jalan untuk menghindarkan diri darinya tanpa membukakan
semuanya padanya, dan dengan beberapa alasan, aku sama sekali tak mau melakukan
hal itu. Poirot mendarat di Dover dalam keadaan bersemangat dan tersenyum terus, sedang
perjalanan kami ke London tak ada istimewanya. Kami tiba pukul sembilan lewat,
dan aku menyangka bahwa kami akan langsung kembali ke tempat tinggal kami dan
tidak akan berbuat apa-apa sampai esok paginya. Tapi Poirot punya rencana lain.
"Kita tak bisa membuang waktu, mon ami," katanya.
Aku kurang mengerti jalan pikirannya, tapi aku hanya bertanya bagaimana
rencananya untuk menemukan gadis itu.
"Apakah kauingat Joseph Aarons, agen teater itu" Tidak" Aku pernah membantunya
dalam suatu persoalan dengan seorang pegulat Jepang. Suatu persoalan yang
menarik; suatu hari kelak akan kuceritakan padamu. Aku yakin, dia akan bisa
memberi kita jalan untuk menemukan apa yang ingin kita ketahui."
Kami membutuhkan waktu agak lama untuk menemukan Tuan Aarons. Akhirnya, setelah
tengah malam kami baru berhasil. Dia menyambut Poirot dengan penuh kehangatan,
dan menyatakan dirinya siap untuk membantu kami dengan jalan apa pun juga.
"Tak banyak mengenai profesi ini yang saya tak tahu," katanya dengan ramah dan
berseri-seri. "Eh bien. Tuan Aarons, saya ingin menemukan seorang gadis yang bernama Bella
Duveen." "Bella Duveen. Saya tahu nama itu, tapi pada saat ini saya tak bisa
memastikannya. Apa bidangnya?"
"Saya tak tahu - tapi ini fotonya."
Tuan Aarons mempelajarinya sebentar, lalu wajahnya berseri.
"Saya tahu sekarang!" Dia menepuk pahanya. "The Dulcibella Kids, tentu saja!"
"The Dulcibella Kids?"
"Itulah dia. Mereka itu kakak-beradik. Mereka pemain akrobat, menari dan
menyanyi. Hiburan mereka cukup bagus. Saya rasa, mereka sedang berada di suatu
tempat di daerah - bila mereka tidak sedang beristirahat. Dalam dua atau tiga
minggu terakhir ini mereka mengadakan pertunjukan di Paris selama tiga minggu."
"Dapatkah Anda menolong saya untuk menemukannya dengan pasti di mana mereka
berada?" "Mudah sekali. Anda pulang saja, dan besok pagi akan saya kirimkan alamat mereka
kepada Anda." Setelah mendapatkan janji itu kami minta diri darinya. Pria itu tidak hanya
pandai berbicara, tapi pandai pula bekerja. Kira-kira pukul sebelas esok
harinya, kami menerima surat pendek yang berbunyi: The Dulcibella Sisters sedang
mengadakan pertunjukan di gedung Palace di Coventry. Semoga Anda berhasil.
Tanpa banyak macam-macam, kami berangkat ke Coventry. Poirot tidak bertanya apaapa di gedung pertunjukan itu, dia hanya membeli karcis tempat duduk untuk
menonton bermacam-macam pertunjukan malam itu.
Pertunjukan-pertunjukannya sangat membosankan - atau mungkin hanya karena
suasana hatiku saja maka kelihatannya seperti itu. Keluarga-keluarga Jepang
meniti di titian keseimbangan dengan cermat sekali, kaum pria yang akan menjadi
penentu model pakaian yang mengenakan pakaian malam berwarna kehijau-hijauan dan
rambut yang tersisir licin, yang tak sudah-sudahnya berceloteh tentang golongan
terkemuka dan menari dengan lincah, bintang pentas yang gemuk menyanyi dengan
suara yang nyaring sekali, dan seorang pelawak berusaha keras untuk menirukan
George Robey, tapi gagal total.
Akhirnya tibalah waktunya orang mengumumkan giliran The Dulcibella Kids.
Jantungku berdebar demikian kerasnya, hingga membuatku mual. Itulah dia - itulah
mereka berdua, mereka merupakan suatu pasangan, yang seorang berambut pirang,
yang seorang lagi rambutnya hitam, sesuai dengan ukurannya. Mereka mengenakan
rok pendek yang menggembung dan pita yang besar sekali model Buster Brown.
Mereka seperti sepasang anak-anak yang sangat menggairahkan. Mereka mulai
menyanyi. Suara mereka lantang dan bersih, agak halus dan kecil, namun menarik.
Pertunjukan mereka memang benar-benar merupakan angin segar. Mereka menari
dengan bagus dan diselingi dengan beberapa gerakan akrobatik. Lirik lagu-lagunya
tajam dan menarik. Waktu tirai ditutup, terdengar tepuk tangan yang gemuruh. The
Dulcibella Kids agaknya telah berhasil.
Aku tiba-tiba merasa bahwa aku tak tahan lagi tinggal lebih lama lagi. Aku ingin
keluar mencari udara segar. Kuajak Poirot keluar.
"Pergilah, mon ami, aku masih senang, dan akan tinggal sampai selesai. Aku akan
menyusulmu nanti." Jarak antara gedung kesenian itu dengan hotel kami hanya beberapa langkah. Aku
duduk di ruang tamu, memesan wiski-soda, dan meminumnya sambil menatap merenung
ke perapian yang kosong. Kudengar pintu dibuka, kusangka Poirot yang datang.
Kemudian aku terlompat. Cinderella berdiri di ambang pintu. Dia berbicara dengan
terengah, napasnya agak tersengal.
"Aku melihatmu duduk di depan tadi. Kau dan sahabatmu. Waktu kau berdiri akan
pergi, aku menunggu di luar dan aku menyusulmu. Mengapa kau berada di sini - di
Coventry" Apa yang kaulakukan di gedung kesenian itu tadi" Apakah laki-laki yang
bersamamu itu - detektif yang kauceritakan dulu itu?"
Mantel yang dipakainya untuk menutupi pakaian pentasnya terlepas dari bahunya.
Kulihat kulit pipinya yang pucat di balik warna pemerah, dan kudengar nada
ketakutan dalam suaranya. Dan saat itu mengertilah aku semuanya - aku mengerti
mengapa Poirot mencarinya, dan apa yang ditakutkan gadis ini, dan akhirnya aku
pun menyadari hatiku sendiri.
"Ya," kataku dengan lembut.
"Apakah dia mencari - aku?" tanyanya setengah berbisik.
Sebelum aku sempat menjawab, dia menjatuhkan dirinya di dekat kursi yang besar,
lalu meledaklah tangisnya yang amat sedih.
Aku berlutut di sampingnya, kurangkul dia dan kuperbaiki letak rambut yang
menutupi wajahnya. "Jangan menangis, Sayang, demi Tuhan, jangan menangis. Kau aman di sini. Aku
akan menjagamu. Jangan menangis, Kekasih. Jangan menangis, aku tahu - aku sudah
tahu semua." "Tidak, kau tak tahu apa-apa!"
"Kurasa aku tahu." Dan sebentar kemudian, setelah isak tangisnya agak mereda,
aku bertanya, "Kau yang telah mengambil pisau belati itu, bukan?"
"Ya." "Itukah sebabnya kauminta aku untuk membawamu berkeliling" Dan kau berpura-pura
pingsan?" Dia mengangguk lagi. Suatu pikiran yang aneh timbul dalam diriku pada saat itu.
Entah mengapa aku merasa senang bahwa alasannya memang itu - daripada bila itu
hanya karena untuk bersenang-senang dan ingin tahu saja, sebagaimana yang kuduga
semula. Betapa pandainya dia memainkan perannya hari itu, padahal di dalam
dirinya dia pasti ketakutan dan kacau. Kasihan benar kekasihku ini, dia harus
menanggung perasaan yang demikian beratnya.
"Mengapa kauambil pisau belati itu?" tanyaku lagi.
"Karena aku takut ada bekas sidik jari di situ," jawabnya sepolos anak kecil.
"Tapi tidakkah kauingat bahwa kau memakai sarung tangan?"
Dia menggeleng seperti kebingungan, lalu berkata lambat-lambat, "Apakah kau akan
menyerahkan aku - kepada polisi?"
"Ya Tuhan, tentu tidak!"
Dia menatapku lama dan serius, kemudian dengan suara halus dan tenang, seolaholah dia sendiri takut mendengarnya, dia bertanya, "Mengapa tidak?"
Tempat itu rasanya tak pantas untuk menjadi tempat menyatakan cinta - dan demi
Tuhan, dalam seluruh anganku, tak pernah kubayangkan cinta akan datang padaku
dalam bentuk ini. Namun demikian, dengan sederhana dan wajar, aku menjawab,
"Karena aku cinta padamu, Cinderella."
Dia menunduk seolah-olah dia malu, lalu berkata dengan suara terputus-putus,
"Tak mungkin - tak bisa - bila kau tahu - " Kemudian, seolah-olah dia telah
berhasil mengumpulkan tenaganya, ditatapnya aku tepat-tepat, dan bertanya, "Lalu
apa yang kauketahui?"
"Aku tahu bahwa kau datang menemui Tuan Renauld malam itu. Dia menawarkan
selembar cek padamu, tapi cek itu kausobek dengan marah. Kemudian kautinggalkan
rumah itu - " Aku berhenti.
"Teruskan - lalu apa lagi?"
"Aku tak yakin, apakah waktu itu kau tahu bahwa Jack Renauld akan datang malam
itu, atau kau hanya menunggu kesempatan saja untuk bertemu dengannya, kau hanya
menunggu saja. Mungkin kau sedang kesal, dan berjalan tanpa tujuan bagaimanapun juga, pukul dua belas kurang sedikit kau masih berada di sekitar
tempat itu, dan kau melihat seorang laki-laki di lapangan golf - "
Aku berhenti lagi. Waktu dia masuk ke kamar ini tadi, kebenaran keadaan itu baru
merupakan dugaan saja, tetapi kini gambaran itu jadi lebih meyakinkan. Terbayang
lagi dengan jelas potongan yang aneh dari mantel pada mayat Tuan Renauld, dan
aku teringat bahwa aku terkejut melihat betapa miripnya putranya dengan Tuan
Renauld sendiri, hingga waktu anak muda itu masuk ke ruang tamu utama tempat
kami berunding, sesaat aku sempat menyangka bahwa si mati telah hidup kembali.
"Teruskan," ulang gadis itu dengan mantap.
"Kurasa dia sedang membelakangimu - tapi kau mengenalinya, atau kau menyangka
bahwa kau mengenalinya. Potongan tubuh dan gaya geraknya kaukenal, juga potongan
mantelnya." Aku berhenti. "Di kereta api dalam perjalanan kita di Paris,
kaukatakan padaku bahwa dalam tubuhmu mengalir darah Itali, dan bahwa pada suatu
kali kau hampir mengalami kesulitan gara-gara darah panas itu. Dalam salah satu
suratmu kau mengancam Jack Renauld. Waktu kaulihat dia di sana, kemarahan dan
rasa cemburumu membuatmu mata gelap - dan kau lalu menyerangnya! Sedetik pun aku
tak percaya, bahwa kau berniat untuk membunuhnya. Tapi nyatanya kau telah
membunuhnya, Cinderella."
Diangkatnya tangannya lalu ditutupinya mukanya, dan dengan suara tersendat, dia
berkata, "Kau benar - kau memang benar - bisa kulihat semuanya sebagaimana yang
kauceritakan itu." Kemudian dia berbalik padaku dengan kasar. "Dan kau cinta
padaku" Kalau kau sudah tahu semuanya itu, bagaimana kau bisa mencintai diriku?"
"Entahlah," kataku dengan agak lemah. "Kurasa cinta memang begitu - sesuatu yang
terjadi tanpa bisa dicegah. Aku sudah mencoba mencegahnya - sejak hari pertama
aku bertemu denganmu dulu. Tapi cinta terlalu kuat bagiku."
Kemudian tiba-tiba, tanpa kusangka sama sekali, dia menangis lagi. Dijatuhkannya
dirinya ke lantai lalu terisak-isak dengan hebat.
"Aduh, aku tak sanggup!" tangisnya. "Aku tak tahu apa yang harus kuperbuat. Aku
tak tahu ke mana aku harus berpaling. Aduh, kasihani aku, kasihanilah aku ini,
seseorang, dan katakan apa yang harus kuperbuat!"
Aku berlutut di sampingnya lagi, dan membujuknya sebisa-bisanya.
"Jangan takut padaku, Bella. Demi Tuhan, jangan takut padaku. Aku cinta padamu,
sungguh - dan aku tidak mengharapkan imbalan apa-apa. Hanya beri aku kesempatan
untuk membantumu. Tetaplah mencintai dia kalau memang terpaksa, tapi izinkanlah
aku membantumu, karena dia tak bisa."
Dia seolah-olah berubah menjadi batu mendengar kata-kataku itu. Diangkatnya
wajahnya yang tadi ditutupinya dengan tangannya, lalu ditatapnya aku.
"Itukah dugaanmu?" bisiknya. "Kausangka bahwa aku mencintai Jack Renauld?"
Kemudian, dengan setengah tertawa dan setengah menangis, dirangkulkannya
lengannya dengan bernafsu ke leherku, lalu ditekankannya wajahnya yang manis dan
basah itu ke mukaku. "Tidak sebesar cintaku padamu," bisiknya lagi. "Tidak akan pernah sama dengan
cintaku padamu!" Bibirnya disapukannya ke pipiku, dan kemudian bibir itu mencari mulutku. Lalu
tanpa kusangka, diciuminya aku berulang kali dengan lembut tapi bernafsu. Aku
tidak akan lupa kehangatan dan - Keajaibannya selama hidupku!
Suatu bunyi di ambang pintu membuat kami berdua mengangkat muka kami. Poirot
berdiri di situ memandangi kami.
Aku tak ragu. Dengan suatu lompatan kudatangi Poirot lalu kutekan kedua belah
lengannya ke sisinya. "Cepat," kataku pada Bella. "Keluar. Cepat. Selagi aku menahannya."
Sambil menoleh sekali lagi padaku, gadis itu lari keluar dari kamar itu melewati
kami. Poirot kutahan dalam suatu cengkeraman besi.
"Mon ami," kata orang yang kucengkeram itu dengan halus, "pandai sekali kau
berbuat begini. Orang kuat menahanku dalam cengkeramannya dan aku tak berdaya
bagai anak kecil. Tapi ini tidak menyenangkan dan tak lucu. Coba kita duduk dan
tenang-tenang saja."
"Kau tidak akan mengejarnya?"
"Ya Tuhan, tentu tidak! Apakah aku ini Giraud" Lepaskanlah aku, Sahabat."
Aku menghargai Poirot karena dia menyadari bahwa aku bukan tandingannya dalam
hal kekuatan jasmaniah. Maka, sambil mengawasinya dengan curiga, kulepaskan
cengkeramanku, dan sahabatku itu membenamkan dirinya ke kursi, dan mengelus-elus
lengannya dengan lembut. "Kau jadi punya kekuatan seperti banteng kalau sedang bernafsu, Hastings! Pikirpikir, baguskah kelakuanmu itu terhadap sahabat lamamu" Aku yang memperlihatkan
foto gadis itu padamu dan kau mengenalinya, tapi kau sama sekali tidak berkata
sepatah pun." "Tak ada gunanya kau tahu bahwa aku mengenalinya," kataku dengan nada pahit.
Rupanya Poirot selama ini memang sudah tahu! Sedetik pun aku tak bisa
membohonginya. "Nah, kan! Kau tak tahu bahwa aku tahu. Dan malam ini kaubantu gadis itu lari
setelah kita menemukannya dengan begitu bersusah payah! Eh bien! Pokoknya begini
- apakah kau masih akan bersama denganku atau melawanku, Hastings?"
Aku tak menjawab beberapa lamanya. Akan sangat menyedihkan kalau aku harus
memutuskan hubunganku dengan sahabatku ini. Namun jelas, aku harus menempatkan
diriku menentang dia. Apakah akan pernah dia memaafkan aku, pikirku" Selama ini
dia begitu tenang, tapi aku tahu, bahwa dia memang memiliki kemampuan besar
untuk menguasai dirinya. "Poirot," kataku, "maafkan aku. Kuakui bahwa aku telah berkelakuan buruk
terhadapmu dalam hal ini. Tapi kadang-kadang orang tak punya pilihan lain. Dan
selanjutnya, aku akan harus mengambil jalanku sendiri."
Poirot mengangguk-angguk.
"Aku mengerti," katanya. Di matanya sudah tak tampak lagi bayangan mencemooh,
dan dia berbicara dengan tulus dan baik-baik, hingga aku merasa heran. "Yah, kau
sudah dilanda cinta, bukan,. Sahabatku" - Cinta yang tidak seperti yang
kaubayangkan - yang manis, melainkan yang membawa korban. Yah - aku sudah
memberikan peringatan. Waktu aku yakin bahwa pasti gadis itulah yang telah
mengambil pisau belati itu, aku memperingatkanmu. Mungkin kau ingat. Tapi sudah
terlambat. Tapi coba katakan, berapa banyak yang sudah kauketahui?"
Kupandangi dia tepat-tepat.
"Tak satu pun yang akan kauceritakan padaku akan mengejutkan aku, Poirot. Harap
kau mengerti itu. Tapi bila kau berniat untuk terus mengejar Nona Duveen, harap
kau tahu satu hal. Bila kau punya pikiran bahwa dia tersangkut dalam kejahatan
itu, atau bahwa dialah wanita misterius yang mengunjungi Tuan Renauld malam itu,
kau keliru. Aku sedang dalam perjalanan pulang ke Inggris bersama dia hari itu,
dan aku berpisah dengannya di stasiun Victoria malam itu, hingga jelas tidaklah
mungkin dia berada di Merlinville."
"Oh!" Poirot memandangku dengan merenung. "Dan maukah kau bersumpah di
pengadilan untuk itu nanti?"
"Tentu aku mau."
Poirot bangkit lalu membungkuk.
"Mon ami! Hiduplah cinta! Cinta bisa menciptakan suatu mukjizat. Memang benarbenar hebat cerita karanganmu itu. Hercule Poirot sendiri pun kalah olehnya!"


Lapangan Golf Maut Murder On The Links Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bab 23 MENGHADAPI KESULITAN SETELAH menghadapi tekanan seperti yang kulukiskan tadi, pasti akan terjadi
suatu reaksi. Malam itu aku pergi tidur dengan perasaan menang, tapi aku bangun
dengan kesadaran bahwa aku sama sekali belum terlepas dari kesulitan. Memang
benar, aku tidak melihat adanya kelemahan dalam alibi yang tiba-tiba saja bisa
kuciptakan. Asal aku bertahan saja pada ceritaku itu, dan aku tak melihat
kemungkinan Bella akan bisa ditahan dengan alibi yang sebaik itu. Tak dapat
diragukan lagi tentang lamanya sudah persahabatan antara aku dan Poirot,
sehingga orang tidak akan bisa curiga bahwa aku mengangkat sumpah palsu. Memang
bisa dibuktikan bahwa aku sebenarnya memang baru pada tiga kesempatan bertemu
dengan gadis itu. Tetapi, tidak, aku tetap merasa puas dengan gagasanku tidakkah Poirot sendiri sudah mengakui bahwa dia merasa kalah"
Tapi justru dalam hal itu aku merasa semangatku menjadi lemah. Memang sahabatku
yang kecil itu untuk sementara mengakui dirinya tak bisa berbuat apa-apa. Tapi
aku sudah terlalu mengenalnya dan mengakui kepandaiannya, hingga aku tak percaya
bahwa dia akan merasa puas untuk tetap berada dalam keadaan itu. Aku memang
mengakui bahwa kecerdasanku jauh kurangnya dan tidak akan bisa menandingi
kecerdasannya. Poirot tidak akan mau duduk berpangku tangan dan mengaku kalah.
Entah dengan cara bagaimana dia pasti akan berusaha mengadakan pembalasan atas
diriku, dan hal itu biasanya dilakukannya dengan cara serta pada saat yang sama
sekali tak kusangka. Esok paginya kami bertemu waktu sarapan seolah-olah tak terjadi apa-apa.
Sikapnya yang baik tak berubah, namun aku rasanya melihat suatu bayangan
keterbatasan dalam sikapnya. Itu suatu hal yang baru. Setelah sarapan
kuberitahukan padanya bahwa aku bermaksud untuk pergi berjalan-jalan. Suatu
pandangan yang jahat terpancar dari mata Poirot.
"Bila kau ingin mencari informasi, kau tak perlu bersusah-payah mengotori
dirimu. Aku bisa menceritakan apa saja yang ingin kauketahui. The Dulcibella
Sisters telah membatalkan kontrak mereka, dan telah pergi meninggalkan Coventry
untuk tujuan yang tak diketahui."
"Benarkah begitu, Poirot?"
"Percayalah padaku, Hastings. Aku mencari informasi pagi-pagi tadi. Habis, apa
lagi yang kauharapkan?"
Memang benar, dalam keadaan seperti ini tak ada lain yang dapat kuharapkan.
Cinderella telah memanfaatkan dengan baik jalan keluar yang telah kubukakan
sedikit baginya, dan dia tentu tak ingin kehilangan kesempatan barang sedikit
pun untuk melepaskan dirinya dari jangkauan orang yang mengejarnya. Memang
itulah niatku dan yang kurencanakan. Namun demikian, aku menyadari bahwa aku
telah terperangkap dalam jaringan kesulitan baru.
Sama sekali tak ada jalan bagiku untuk berhubungan dengan gadis itu, padahal dia
perlu sekali tahu cara pembelaan yang telah kurencanakan dan yang sudah siap
untuk kulaksanakan. Tentu saja ada kemungkinannya gadis itu mengirim berita
padaku dengan suatu cara, tapi rasanya juga tak mungkin. Dia tentu tahu
bahayanya pesan itu akan diserobot oleh Poirot. Dengan demikian Poirot akan bisa
mengetahui jejaknya lagi. Jelas sudah bahwa satu-satunya jalan keluar baginya
adalah menghilang sama sekali untuk sementara.
Tetapi sementara itu, apakah yang akan dilakukan Poirot" Kuamati dia dengan
saksama. Dia bersikap lugu sekali, dan dia menatap ke suatu tempat yang jauh
dengan merenung. Dia begitu tenang dan tak bergairah, hingga aku tak bisa
mendapatkan kesimpulan apa-apa. Mengenai Poirot ini aku sudah berpengalaman,
bahwa makin lugu dia kelihatannya makin berbahaya dia. Kediamannya membuatku
takut. Melihat pandanganku yang mengandung ketakutan, dia tersenyum dengan
ramah. "Kau merasa heran, Hastings" Kau ingin tahu mengapa aku tidak terbirit-birit
mengejarnya?" "Yah - begitulah."
"Kau pun akan berbuat demikian pula bila kau berada di tempatku. Aku mengerti
itu. Tapi aku bukan orang yang suka pergi hilir-mudik di seluruh negeri hanya
untuk mencari sebatang jarum dalam tumpukan rumput, kata pepatah Inggris. Tidak
- biarkanlah Nona Bella Duveen pergi. Aku pasti akan bisa menemukannya kembali
bila waktunya sudah tiba. Sampai waktu itu tiba, biarlah aku menunggu saja."
Aku menatapnya dengan penuh kesangsian. Apakah dia sedang menyesatkan aku. Pada
saat ini, aku punya perasaan jengkel, bahwa dia berada di tempat yang kuat.
Perasaan mengenai kelebihan diriku makin lama makin susut. Aku telah
mengusahakan pembebasan diri gadis itu, dan telah mengatur suatu rencana yang
cemerlang untuk, menyelamatkannya dari akibat-akibat perbuatannya yang gegabah namun pikiranku tak bisa tenang. Ketenangan Poirot itu menimbulkan kekuatiranku.
"Kurasa, Poirot," kataku agak malu-malu, "aku tak boleh menanyakan rencanamu,
bukan" Aku tentu telah kehilangan hakku untuk itu."
"Sama sekali tidak. Tak ada rahasianya sama sekali. Kita harus segera kembali ke
Prancis." "Kita?" "Benar - kita! Kau sendiri tahu betul bahwa kau sama sekali tak bisa melepaskan
Papa Poirot dari pandanganmu. Begitu, bukan, Sahabatku" Tapi kalau kau memang
ingin, tinggallah di Inggris ini."
Aku menggeleng. Dia telah mengatakan yang sebenarnya. Aku memang tak bisa dan
tak mau dia lepas dari pandanganku. Meskipun setelah apa yang terjadi, aku tak
bisa lagi mengharapkan keterbukaannya terhadap diriku, aku masih tetap bisa
membatasi geraknya. Satu-satunya bahaya yang mengancam Bella adalah Poirot. Baik
Giraud maupun polisi Prancis tak peduli akan kehadirannya. Apa pun yang terjadi,
aku harus tetap berada di dekat Poirot.
Poirot mengamati diriku sedang pikiran-pikiran itu memenuhi otakku, dan dia lalu
mengangguk tanda puas. "Aku benar, bukan" Dan karena besar kemungkinannya kau akan mengikuti diriku,
mungkin dengan menyamar dengan memakai macam-macam yang tak masuk akal, seperti
janggut palsu umpamanya - sebagaimana yang banyak dilakukan orang, bien entendu
- aku lebih suka kalau kita bepergian bersama-sama. Aku akan jengkel bila ada
orang mengejekmu. "Baiklah, kalau begitu. Tapi harus kuperingatkan padamu - "
"Aku tahu. Aku sudah tahu semua. Kau adalah musuhku! Baiklah, jadilah musuhku.
Aku sama sekali tak takut."
"Selama semuanya jujur dan bisa dipercaya, aku tak keberatan."
"Kau memang punya hasrat besar khas bangsa Inggris mengenai 'permainan yang
jujur'! Sekarang, setelah semua keberatan-keberatanmu diatasi, mari kita segera
berangkat. Kita tak boleh membuang-buang waktu. Kehadiran kita di Inggris ini
memang tak lama tapi memuaskan. Aku sudah tahu, apa yang ingin kuketahui."
Nada bicaranya memang ringan, tapi aku bisa mendengar suatu ancaman terselubung
dalam kata-kata itu. "Meskipun demikian - " aku mulai, lalu aku berhenti.
"Meskipun demikian - katamu! Kau pasti merasa puas dengan peran yang sudah
kaumainkan. Sedang aku, aku akan memusatkan pikiran dan perhatianku pada Jack
Renauld." Jack Renauld! Nama itu membuatku terkejut. Aku sudah lupa sama sekali pada segi
itu dalam perkara ini. Jack Renauld yang berada dalam penjara, dengan dibayangi
oleh kapak pemenggal kepala! Kini aku melihat peran yang kumainkan dari segi
yang lebih suram. Aku memang bisa menyelamatkan Bella, tapi dengan demikian aku
mungkin menyeret seseorang yang tak bersalah ke kematiannya.
Pikiran itu kusingkirkan dengan rasa ngeri. Tak mungkin. Dia akan dibebaskan.
Dia pasti akan dibebaskan! Namun rasa takut yang hebat itu melandaku lagi. Kalau
dia tidak dibebaskan" Bagaimana" Apakah akan demikian akhirnya" Harus ada suatu
pilihan. Bella atau Jack Renauld" Dengan setiap detak jantungku, aku memilih
untuk menyelamatkan gadis itu. Aku mencintainya apa pun yang terjadi atas
diriku. Tetapi bila yang akan menjadi korban itu orang lain, masalahnya akan
berubah. Apa yang akan dikatakan gadis itu sendiri" Aku ingat bahwa aku sama sekali tidak
mengatakan apa-apa tentang penahanan atas diri Jack Renauld. Jadi dia sama
sekali tak tahu bahwa bekas kekasihnya berada dalam penjara atas tuduhan
melakukan pembunuhan yang kejam, yang sebenarnya tidak dilakukannya. Bila dia
sampai tahu, apa yang akan dilakukannya" Akan dibiarkannyalah nyawanya sendiri
diselamatkan dengan mengorbankan pria itu" Jelas dia tak boleh melakukan sesuatu
dengan gegabah. Jack Renauld mungkin bisa dan barangkali akan dibebaskan tanpa
campur tangan gadis itu. Bila begitu keadaannya, baik sekali. Tapi bila Jack
Renauld tidak dibebaskan, itulah masalah yang mengerikan, yang tak ada jawabnya.
Kurasa Bella tidak terancam hukuman terlalu berat. Sifat kejahatan Bella lain
sekali. Dia bisa membela diri dengan mengajukan alasan rasa cemburu dan serangan
amarah yang hebat, sedang usia mudanya dan kecantikannya akan lebih banyak lagi
menolong. Bahwa gara-gara kekeliruan yang menyedihkan, Tuan Renauld tua yang
harus mendapat ganjarannya dan bukan putranya, tidak akan mengubah alasan
kejahatan itu. Tapi bagaimanapun juga, betapapun lunaknya putusan pengadilan,
masih tetap akan berarti hukuman penjara yang lama.
Tidak, Bella harus dilindungi. Dan, Jack Renauld pun harus diselamatkan pula.
Bagaimana keduanya itu harus dilaksanakan, aku masih belum melihat titik
terangnya. Tapi aku mendambakan kepercayaan pada Poirot. Dia pasti tahu. Apapun
yang mungkin terjadi, dia akan berhasil menyelamatkan seorang yang tak bersalah.
Dia pasti bisa menemukan suatu dalih yang lain dari keadaan sebenarnya. Itu
mungkin sulit, tapi dia pasti akan berhasil. Dan bila Bella bebas dari tuduhan,
sedang Jack Renauld dibebaskan, maka segalanya akan berakhir dengan
menyenangkan. Demikianlah aku berulang kali menenangkan diriku, tapi jauh di lubuk hatiku
masih tetap ada rasa takut yang mengerikan itu.
Bab 24 'SELAMATKAN DIA' KAMI menyeberang dari Inggris naik kapal malam, dan esok paginya kami tiba di
Saint-Omer, ke mana Jack Renauld telah dibawa. Tanpa membuang waktu Poirot
langsung mengunjungi Tuan Hautet. Karena dia kelihatannya tidak menunjukkan
keberatan bila aku ikut dengan dia, maka aku pun ikut.
Setelah melalui bermacam-macam formalitas dan pendahuluan, kami dibawa masuk ke
ruang Hakim Pemeriksa. Pria itu menyambut kami dengan ramah.
"Kata orang Anda kembali ke Inggris, Tuan Poirot. Saya senang bahwa hal itu tak
benar." "Memang benar saya pergi ke sana, Pak Hakim, tapi hanya merupakan kunjungan
singkat. Suatu usaha sampingan, tapi yang menurut saya mungkin bisa membantu
penyelidikan." "Lalu apakah ternyata memang membantu?"
Poirot mengangkat bahunya. Tuan Hautet mengangguk sambil mendesah.
"Saya rasa kita harus menarik diri. Giraud yang seperti binatang itu, tingkahlakunya tidak menyenangkan, tapi dia memang benar-benar pandai! Rasanya tak
banyak kemungkinannya dia akan membuat kesalahan."
"Menurut Anda tak mungkin, Pak Hakim?"
Kini Hakim Pemeriksalah yang mengangkat bahunya.
"Eh bien, secara jujur - antara kita saja - apakah Anda bisa membantahnya?"
"Terus terang, Pak Hakim, menurut saya masih banyak hal yang kabur."
"Seperti - ?" Tapi Poirot tak mau berbicara.
"Saya belum menyusunnya," katanya. "Yang ada pada saya baru merupakan suatu
pemikiran secara umum. Saya suka pada anak muda itu, dan saya juga merasa sayang
bila harus percaya bahwa dia telah bersalah melakukan kejahatan yang mengerikan
itu. Omong-omong, apa yang dikatakannya untuk membela dirinya?"
Hakim itu mengerutkan dahinya.
"Saya tak mengerti anak muda itu. Dia kelihatannya tak mampu membela dirinya.
Sulit sekali menyuruhnya menjawab pertanyaan-pertanyaan. Dia hanya bisa
menyangkal saja, dan selanjutnya menyatakan perlawanannya dengan cara menutup
mulut dengan keras kepala. Besok saya akan menanyainya lagi, apakah Anda ingin
ikut hadir?" Kami menerima ajakan itu dengan senang sekali.
"Suatu perkara yang membuat pusing," kata Hakim dengan mendesah. "Saya benarbenar kasihan pada Nyonya Renauld."
"Bagaimana Nyonya Renauld?"
"Beliau belum lagi siuman. Tapi syukurlah, wanita malang itu tidak mengalami
penderitaan yang lebih berat. Menurut kata dokter tak ada bahayanya. Tapi
katanya, bila dia siuman nanti dia akan harus benar-benar tenang. Saya dengar
keadaannya yang sekarang ini disebabkan oleh shock itu, ditambah lagi dengan
jatuhnya. Akan mengerikan sekali kalau otaknya jadi terganggu, tapi saya tidak
heran, sama sekali tak heran."
Tuan Hautet bersandar sambil menggeleng dengan murung, karena dia melihat masa
depan yang suram. Akhirnya dia bangkit, dan tiba-tiba berkata,
"Saya jadi ingat. Saya ada menyimpan surat untuk Anda, Tuan Poirot. Coba saya
lihat, di mana saya menyimpannya ya?"
Dia lalu membongkar surat-suratnya. Akhirnya ditemukannya surat itu, lalu
disampaikannya pada Poirot.
"Surat ini disampaikan melalui saya dengan permintaan supaya saya teruskan pada
Anda," katanya menjelaskan. "Tapi karena Anda tidak meninggalkan alamat, saya
tak bisa menyampaikannya."
Poirot memperhatikan surat itu dengan rasa ingin tahu. Alamat surat itu ditulis
tangan, tulisannya panjang dan miring dan jelas merupakan tulisan tangan wanita.
Poirot tidak membukanya. Dia memasukkannya ke dalam sakunya lalu bangkit.
"Sampai besok kalau begitu, Pak Hakim. Terima kasih banyak atas kebaikan hati
dan keramahan Anda."
"Terima kasih kembali. Saya selalu siap membantu Anda. Detektif-detektif muda
golongan Giraud itu, sama saja semuanya - mereka itu kasar dan pengejek. Mereka
tidak menyadari bahwa seorang hakim pemeriksa yang - eh - sudah berpengalaman
seperti saya tentu punya kebijaksanaan tersendiri, suatu - kelebihan. Pokoknya,
sopan-santun golongan tua jauh lebih saya sukai. Jadi, Sahabatku, perintah saja
saya sesuka hati Anda. Kita tahu lebih banyak, bukan?"
Dan sambil tertawa riang, karena merasa puas akan dirinya sendiri dan dengan
kami, Tuan Hautet melepas kami. Aku merasa tak senang mendengar kata-kata yang
pertama-tama diucapkan Poirot waktu kami melewati lorong gedung itu, "Si tua itu
terkenal gobloknya! Kasihan kita akan ketololannya!"
Baru saja kami akan meninggalkan gedung itu, kami bertemu dengan Giraud, yang
kelihatannya lebih bergaya, dan tampak merasa puas akan dirinya.
"Oh, Tuan Poirot," serunya seenaknya. "Sudah kembali dari Inggris Anda rupanya?"
"Sebagaimana Anda lihat," kata Poirot.
"Saya rasa perkara ini sudah mendekati penyelesaiannya."
"Saya rasa juga begitu, Tuan Giraud."
Poirot berbicara dengan halus. Sikapnya yang seolah-olah kurang percaya diri
agaknya menyenangkan lawan bicaranya.
"Dia benar-benar penjahat yang masih ingusan! Membela dirinya pun dia tak kuasa.
Luar biasa!" "Demikian luar biasanya, hingga membuat kita jadi berpikir, bukan?" kata Poirot
dengan halus. Tetapi Giraud mendengarkan pun tidak. Dia hanya memutar-mutarkan tongkatnya.
"Nah, selamat siang, Tuan Poirot. Saya senang bahwa Anda akhirnya puas dengan
dinyatakannya Jack Renauld bersalah."
"Maaf, saya sama sekali tidak puas! Jack Renauld tidak bersalah!"
Giraud terbelalak sebentar - lalu tertawa terbahak, sambil mengetuk-ngetuk
kepalanya dengan penuh arti, dia hanya berkata, "Tak beres!"
Sikap Poirot jadi penuh tantangan. Matanya berkilat berbahaya.
"Tuan Giraud, selama perkara ini sikap Anda terhadap saya selalu penuh
penghinaan! Anda perlu diberi pelajaran. Saya bersedia bertaruh lima ratus franc
dengan Anda, bahwa sayalah yang akan lebih dulu menemukan pembunuh yang
sebenarnya daripada Anda. Setuju?"
Giraud menatapnya tanpa berbuat apa-apa, lalu menggumam lagi, "Tak beres!"
"Ayolah," desak Poirot, "setuju atau tidak?"
"Saya tak ingin menerima uang Anda."
"Percayalah - Anda memang tidak akan mendapatkannya!"
"Oh, kalau begitu, saya setuju! Anda mengatakan bahwa sikap saya pada Anda penuh
penghinaan. Eh bien, sikap Anda pun kadang-kadang menjengkelkan saya."
"Saya senang mendengar itu," kata Poirot. "Selamat pagi, Tuan Giraud. Mari,
Hastings." Aku tak berkata apa-apa di sepanjang perjalanan. Hatiku gundah. Poirot telah
memperlihatkan niatnya dengan jelas. Aku makin meragukan kemampuanku untuk
menyelamatkan Bella dari akibat perbuatannya. Pertemuan yang tak menyenangkan
dengan Giraud tadi itu telah membuat hati Poirot panas dan menimbulkan
keberaniannya. Tiba-tiba aku merasa ada tangan diletakkan di pundakku, dan waktu berbalik aku
berhadapan dengan Gabriel Stonor. Kami berhenti lalu menyalaminya, dan dia
menyatakan keinginannya untuk berjalan bersama-sama kami kembali ke hotel kami.
"Apa yang Anda lakukan di sini, Tuan Stonor?" tanya Poirot.


Lapangan Golf Maut Murder On The Links Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bukankah kita harus mendampingi sahabat-sahabat kita?" sahut yang ditanya
dengan suara datar. "Terutama bila dia dituduh secara tak adil."
"Jadi, apakah Anda tak percaya bahwa Jack Renauld telah melakukan kejahatan
itu?" tanyaku dengan bernafsu.
"Tentu tidak. Saya kenal anak muda itu. Saya akui bahwa memang ada satu atau dua
hal yang benar-benar mengagetkan saya dalam urusan ini, namun demikian, meskipun
dia sudah pasrah dengan begitu bodoh, saya tidak akan pernah percaya bahwa Jack
Renauld adalah seorang pembunuh."
Aku sependapat dengan sekretaris itu. Kata-katanya rasanya telah mengangkat
beban yang tersimpan dalam hatiku.
"Saya yakin banyak orang yang beranggapan seperti Anda pula," aku berseru.
"Sedikit sekali kesaksian yang memberatkannya, itu pun tak masuk akal. Saya rasa
dia pasti akan dibebaskan - itu tidak diragukan lagi."
Tetapi reaksi Stonor tak sesuai dengan yang kuharapkan. "Saya ingin berpendirian
seperti Anda itu," katanya dengan serius. Dia berpaling pada Poirot. "Bagaimana
pendapat Anda, Tuan Poirot?"
"Kurasa dia tak banyak harapan," kata Poirot dengan tenang.
"Apakah Anda percaya bahwa dia bersalah?" tanya Stonor dengan tajam.
"Tidak. Tapi akan menemui kesulitan untuk membuktikan dirinya tak bersalah."
"Kelakuannya pun bukan main anehnya," gumam Stonor. "Saya tentu maklum bahwa
perkara ini lebih rumit daripada yang tampak. Giraud tak tahu itu, karena dia
orang luar, tapi semuanya ini memang benar-benar aneh. Mengenai hal itu, makin
sedikit kita berbicara makin baik. Bila Nyonya Renauld ingin menyembunyikan
sesuatu, saya tak dapat mendukungnya. Itu adalah urusan beliau, dan saya terlalu
menaruh hormat padanya untuk ikut mencampurinya, tapi saya tak bisa membenarkan
tindakan Jack itu. Orang akan beranggapan bahwa dia memang ingin disangka
bersalah." "Ah, itu tak masuk akal," seruku menyela. "Pertama-tama, pisau belati itu - " Aku
berhenti, aku tak yakin berapa banyak Poirot akan membiarkan aku membuka mulut.
Kemudian aku melanjutkan dengan memilih kata-kataku dengan berhati-hati, "Kita
tahu bahwa malam itu pisau belati itu tak mungkin ada pada Jack Renauld. Nyonya
Renauld tahu itu." "Benar," kata Stonor. "Bila beliau sudah sembuh, beliau pasti mau mengatakan
semuanya itu, bahkan juga yang lain-lain. Nah, saya harus pergi sekarang."
"Sebentar." Poirot menahan kepergiannya dengan menahan lengannya. "Bisakah Anda
mengatur untuk segera memberi tahu saya bila Nyonya Renauld sudah sadar
kembali?" "Tentu! Itu mudah diatur."
"Soal mengenai pisau belati itu tepat sekali, Poirot," kataku sambil naik ke
lantai atas. "Aku tadi tak bisa berbicara terang-terangan di hadapan Stonor."
"Kau memang benar. Sebaiknya pengetahuan itu kita simpan sendiri saja selama
mungkin. Mengenai pisau belati itu, pendapatmu tadi itu, boleh dikatakan tak
dapat membantu Jack Renauld. Ingatkah kau bahwa aku tidak berada di tempat satu
jam lamanya tadi pagi, sebelum kita berangkat dari London?"
"Ya?" "Aku tadi berusaha menemukan perusahaan tempat Jack Renauld minta dibuatkan
pisau tanda matanya itu. Itu tidak terlalu sulit. Eh bien, Hastings, mereka
tidak hanya mendapat pesanan untuk membuatkan dua buah pisau pembuka amplop,
melainkan tiga." "Jadi - ?" "Jadi setelah memberikan sebuah pada ibunya, dan sebuah pada Bella Duveen, ada
pula yang ketiga yang pasti disimpannya sendiri. Tidak, Hastings, kurasa
persoalan mengenai pisau belati itu tidak akan bisa membantu kita menyelamatkan
Jack dari kapak pemenggal kepalanya."
"Pasti tidak akan begitu jadinya!" seruku bagai tersengat.
Poirot menggeleng tak yakin.
"Kau pasti bisa menyelamatkannya," teriakku dengan yakin.
Poirot memandangiku dengan pandangan hampa.
"Ah! Sialan! Kau mengharapkan suatu mukjizat dari diriku. Jangan - jangan
berkata apa-apa lagi. Lebih baik kita melihat apa yang ada dalam surat ini."
Lalu dikeluarkannya sampul surat tadi dari saku atasnya.
Wajahnya berkerut waktu dia membacanya, lalu diberikannya kertas yang tipis itu
padaku. "Masih ada wanita lain di dunia ini yang juga menderita, Hastings."
Tulisannya kurang jelas, dan surat pendek itu pasti telah ditulis dengan hati
berdebar: Tuan Poirot yang terhormat,
Seterima surat ini, saya mohon agar Anda datang membantu saya. Tak ada seorang
pun tempat saya meminta bantuan, dan apa pun yang terjadi, Jack harus
diselamatkan. Saya mohon dengan segala kerendahan hati agar Anda membantu kami.
Marthe Daubreuil Aku mengembalikan surat itu dengan rasa haru.
"Apakah kau mau pergi?"
"Segera. Kita menyewa mobil."
Setengah jam kemudian kami sudah tiba di Villa Marguerite. Marthe sendiri yang
berada di pintu menyambut kami, dan mempersilakan Poirot masuk, sambil
menggenggam tangan Poirot dengan kedua belah tangannya.
"Oh, Anda datang - baik benar Anda. Saya hampir putus asa, tak tahu harus
berbuat apa. Mereka bahkan tak mau memberi saya izin untuk menjenguk Jack. Saya
menderita sekali, akan gila saya rasanya. Benarkah seperti kata mereka, bahwa
Jack tidak membantah telah melakukan kejahatan itu" Itu gila! Tak mungkin dia
yang melakukannya! Saya sama sekali tak mau percaya."
"Saya juga tak percaya, Nona," kata Poirot dengan halus.
"Tapi lalu mengapa Jack tak mau berbicara" Saya tak mengerti."
"Mungkin karena dia melindungi seseorang," kata Poirot sambil mengamatinya.
Marthe mengerutkan alisnya.
"Melindungi seseorang" Maksud Anda ibunya" Ya, sejak semula saya sudah
mencurigai wanita itu. Siapa yang akan mewarisi semua harta yang begitu banyak"
Dia. Memang mudah memerankan janda yang berduka, dan berbuat munafik. Dan kata
orang, waktu Jack ditangkap dia jatuh - begini." Dengan gerakan tangannya dia
menjelaskan kata-katanya itu. "Dan tentulah, Tuan Stonor, sekretarisnya itu,
membantunya. Mereka bekerja sama dengan baik, mereka berkomplot. Wanita itu
memang lebih tua daripada sekretaris itu - tapi apa peduli seorang laki-laki asal wanita itu kaya!"
Nada bicaranya terdengar pahit.
"Waktu itu Stonor berada di Inggris," aku menyela.
"Katanya memang begitu - tapi siapa tahu yang sebenarnya?"
"Nona," kata Poirot dengan tenang, "bila kita berdua memang akan bekerja sama
dengan baik, kita harus menjelaskan semua hal. Pertama, saya ingin menanyakan
satu hal." "Ya, Tuan?" "Tahukah Anda siapa nama ibu Anda yang sebenarnya?"
Gadis itu memandanginya sejenak, kemudian direbahkannya kepalanya ke depan
beralaskan lengannya, lalu dia menangis sedih.
"Sudahlah, sudahlah," kata Poirot, sambil menepuk-nepuk pundaknya. "Tenangkanlah
diri Anda, Anak manis, saya lihat Anda tahu. Sekarang pertanyaan kedua. Apakah
Anda tahu siapa Tuan Renauld itu sebenarnya?"
"Tuan Renauld?" Diangkatnya kepalanya, lalu dipandanginya Poirot dengan
keheranan. "Oh, saya lihat bahwa Anda tak tahu. Sekarang dengarkan baik-baik."
Selangkah demi selangkah diungkapkannya perkara itu, seperti yang telah
dilakukannya pada saya pada hari keberangkatan kami ke Inggris. Marthe
mendengarkan dengan terpesona. Setelah Poirot selesai, gadis itu menarik napas
panjang. "Bukan main hebatnya. Anda - luar biasa! Andalah detektif yang terbesar di dunia
ini." Dengan gerakan cepat gadis itu turun meluncur dari kursinya dan berlutut di
hadapan Poirot dengan cara khusyuk, khas Prancis.
"Selamatkanlah, Jack, Tuan," ratapnya. "Saya cinta sekali padanya. Oh,
selamatkanlah dia, selamatkan dia - selamatkan dia!"
Bab 25 PENYELESAIAN YANG TAK TERDUGA
ESOK PAGINYA kami hadir pada pemeriksaan Jack Renauld. Aku sangat terkejut
melihat perubahan pada diri tahanan muda itu, dalam waktu sesingkat itu. Pipinya
jadi cekung, sekeliling matanya berwarna hitam, dan dia pucat serta kelihatan
loyo, seperti seorang yang sudah beberapa malam tak berhasil dalam usahanya
untuk tidur. Dia tidak memperlihatkan emosi apa pun waktu melihat kami.
Orang tahanan itu dan pembelanya, Maltre Grosier, diberi kursi. Seorang pengawal
yang bertubuh besar lengkap dengan pedangnya berdiri di depan pintu. Juru tulis
duduk di mejanya dengan sabar. Pemeriksaan pun dimulai.
"Renauld," Hakim mulai, "apakah Anda menyangkal bahwa Anda berada di Merlinville
pada malam kejadian kejahatan itu?"
Jack tidak langsung menjawab, kemudian baru dia menjawab dengan ragu sekali, "Su
- sudah saya katakan bahwa - saya berada di Cherbourg."
Maitre Grosier mengerutkan alisnya dan mendesah. Aku segera menyadari bahwa Jack
Renauld akan mempertahankan niatnya untuk menjalani perkaranya menurut
kehendaknya sendiri. Hal itu membuat pembelanya merasa putus asa.
Hakim melihat padanya dengan tajam.
"Bawa kemari saksi dari stasiun."
Sebentar kemudian pintu terbuka dan masuklah seorang laki-laki yang sudah
kukenal sebagai kepala pekerja di stasiun Merlinville.
"Anda bertugas pada malam tanggal tujuh Juni?"
"Ya, Pak." "Lihatlah orang tahanan itu. Apakah Anda mengenalinya sebagai salah seorang
penumpang yang turun dari kereta api?"
"Ya, Pak Hakim."
"Apakah tak mungkin Anda keliru?"
"Tidak, Pak, saya kenal betul pada Tuan Jack Renauld."
"Juga tidak mungkin keliru mengenai tanggalnya?"
"Tidak, Pak. Karena esok paginya, tanggal delapan Juni, kami mendengar tentang
pembunuhan itu." Seorang pegawai kereta api lain dibawa masuk dan membenarkan kesaksian orang
yang pertama. Hautet melihat pada Jack Renauld.
"Kedua orang ini sudah mengenali Anda dengan positif. Bagaimana keterangan
Anda?" "Tak ada." Tuan Hautet berpandangan dengan juru tulis, sementara tangan juru tulis itu
terus menuliskan jawaban-jawaban.
"Renauld," sambung Hakim, "apakah Anda kenal benda ini?"
Dia mengambil sesuatu dari meja di sampingnya dan menunjukkannya pada tahanan
itu. Aku bergidik waktu mengenali pisau belati yang terbuat dari kawat pesawat
terbang itu. "Maaf," seru Maitre Grosier. "Saya minta waktu untuk berbicara dengan klien saya
sebelum dia menjawab pertanyaan itu."
Tetapi Jack Renauld tidak menimbang perasaan Grosier yang kebingungan itu. Jack
menepiskan pengacaranya itu, lalu menjawab dengan tenang, "Tentu saya kenal. Itu
hadiah yang saya berikan pada ibu saya, sebagai tanda mata."
"Apakah sepanjang pengetahuan Anda, ada duplikat pisau belati ini?"
Maitre Grosier sekali lagi terpekik, dan sekali lagi Jack mendahuluinya. "Saya
tak tahu. Bentuk pisau itu rancangan saya sendiri."
Hakim sendiri pun kelihatan terperanjat oleh keterusterangan jawaban itu. Memang
benar, bila dikatakan, bahwa Jack seolah-olah ingin mempercepat penentuan
nasibnya. Aku tentu mengerti, bahwa, demi Bella, dia merasa perlu sekali
menyembunyikan kenyataan adanya duplikat pisau belati itu. Selama orang masih
beranggapan bahwa hanya ada satu senjata itu, tidak akan ada kecurigaan yang
bisa ditujukan pada gadis yang memiliki pisau pembuka surat yang kedua. Dengan
penuh keberanian dia melindungi wanita yang pernah dicintainya itu - tapi betapa
hebatnya hal itu mengancam dirinya sendiri! Aku mulai menyadari betapa
pentingnya tugas Poirot, yang semula kuanggap remeh itu. Tidaklah akan mudah
untuk menjamin pembebasan Jack Renauld tanpa berdasarkan kebenaran.
Dengan nada suara yang tajam, Tuan Hautet berbicara lagi, "Nyonya Renauld
mengatakan pada kami bahwa pisau belati ini terletak di meja hiasnya pada malam
terjadinya kejahatan itu. Tapi Nyonya Renauld memang seorang ibu sejati! Anda
pasti akan terkejut sekali, Renauld, tapi saya rasa mungkin sekali Nyonya
Renauld keliru, dan mungkin pula karena kelalaian Anda, pisau itu lalu terbawa
oleh Anda ke Paris. Anda pasti akan menyangkal saya - "
Kulihat anak muda itu mengepalkan kedua belah tangannya yang terborgol kuatkuat. Keringat di dahinya besar-besar, dan dengan usaha yang luar biasa dia
memotong bicara Tuan Hautet dengan suara parau, "Saya tidak akan menyangkal
Anda. Itu mungkin saja terjadi."
Hal itu mencengangkan sekali. Maitre Grosier terlonjak bangkit, dia memprotes.
"Klien saya sedang mengalami ketegangan saraf yang cukup besar. Saya minta
supaya dicantumkan pada catatan Anda, bahwa menurut saya dia tak bisa
bertanggung jawab atas apa yang dikatakannya."
Hakim menatapnya dengan marah. Sesaat suatu keraguan muncul di benaknya sendiri.
Jack Renauld memang boleh dikatakan telah melampaui batas. Dia membungkuk dan
memandang orang tahanannya dengan penuh selidik,
"Apakah Anda mengerti betul, Renauld, bahwa berdasarkan jawaban yang Anda
berikan saya tak punya alasan lain kecuali menyeret Anda ke sidang pengadilan?"
Wajah Jack yang pucat menjadi merah padam. Dia membalas pandangan Hakim tanpa
berkedip. "Tuan Hautet, saya bersumpah bahwa saya tidak membunuh ayah saya."
Tapi keraguan Hakim yang sesaat tadi telah berlalu. Dia tertawa sebentar, tawa
yang tak enak didengar. "Tentu, tentu, - orang-orang tahanan kami selamanya tak bersalah. Gara-gara
mulut Anda sendiri, Anda dipersalahkan. Anda tak bisa lagi membela diri, Anda
tak ada alibi - sekadar suatu bantahan yang oleh seorang bayi sekalipun tak
dapat diyakini! - bahwa Anda tak bersalah. Anda telah membunuh ayah Anda,
Renauld - suatu pembunuhan kejam oleh seorang pengecut - demi uang yang menurut
sangka Anda akan menjadi milik Anda bila beliau meninggal. Ibu Anda ikut
bersalah dalam hal ini. Tapi menimbang, bahwa beliau telah bertindak sebagai
seorang ibu, maka pengadilan pasti akan bersikap lunak terhadapnya, dan tidak
akan mengaitkannya dengan Anda. Dan tindakan itu tepat sekali! Perbuatan Anda
itu kejam sekali - dan menjijikkan baik bagi dewa-dewa maupun bagi manusia!"
Tuan Hautet memanfaatkan waktunya dengan baik, didukung oleh suasana waktu itu,
dan perannya sendiri sebagai wakil dari keadilan. "Anda telah membunuh - dan
Anda harus mendapatkan ganjaran sebagai akibat perbuatan itu. Saya berbicara
dengan Anda, bukan sebagai laki-laki biasa, melainkan sebagai Badan keadilan,
keadilan abadi, yang - "
Kata-kata Tuan Hautet itu mendapat gangguan karena pintu terbuka - alangkah
jengkelnya dia. "Bapak Hakim, Bapak Hakim," kata seorang petugas dengan gugup, "di luar ada
seorang wanita yang berkata - yang berkata - "
"Yang berkata apa?" bentak Hakim dengan marah. "Ini benar-benar menyalahi
aturan. Saya tidak akan membiarkannya - "
Sesosok tubuh yang mungil mendesak agen polisi itu ke samping. Dengan berpakaian
hitam seluruhnya, dengan sehelai cadar panjang yang menyembunyikan wajahnya, dia
masuk ke dalam kamar. Jantungku berdebar demikian hebatnya hingga terasa nyeri. Rupanya dia datang
juga! Semua usaha sia-sia. Namun, mau tak mau aku mengagumi keberaniannya yang
menyebabkannya telah mengambil langkah ini tanpa ragu.
Diangkatnya cadarnya - dan napasku tersengal. Karena meskipun dia bagai pinang
dibelah dua, gadis ini bukanlah Cinderella! Kini, tanpa rambut palsunya yang
berwarna pirang yang dipakainya di pentas, aku mengenalinya sebagai gadis di
foto yang terdapat di kamar Jack Renauld.
"Apakah Anda hakim pemeriksanya, Tuan Hautet?" tanyanya.
"Benar, tapi saya melarang - "
"Nama saya Bella Duveen. Saya menyerahkan diri atas pembunuhan Tuan Renauld."
Bab 26 AKU MENERIMA SEPUCUK SURAT
SAHABATKU, Kau akan tahu semua setelah kaubaca surat ini. Tak satu pun yang kukatakan pada
Bella bisa mengubah niatnya. Dia telah pergi untuk menyerahkan dirinya. Aku
sudah letih berjuang. Kini kau akan tahu bahwa aku telah menipumu, bahwa kau yang telah memberikan
kepercayaanmu kubalas dengan kebohongan. Aku yakin bahwa kau akan berpikir,
bahwa tindakanku terhadapmu itu tak pantas. Tapi, sebelum aku lenyap dari
hidupmu untuk selama-lamanya, aku ingin menjelaskan mengapa sampai terjadi
demikian. Aku akan merasa hidup ini lebih nyaman, bila aku tahu bahwa kau mau
memaafkan diriku. Aku melakukan semuanya itu bukan untuk diriku sendiri - hanya


Lapangan Golf Maut Murder On The Links Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu yang dapat kukemukakan untuk menjelaskan perbuatanku.
Akan kumulai sejak hari aku bertemu denganmu dalam kereta api dari Paris. Waktu
itu aku sudah merasa kuatir. Bella sedang merasa putus asa mengenai Jack
Renauld. Bella, boleh dikatakan, sampai-sampai mau membaringkan dirinya di tanah
untuk diinjak-injak Jack, dan waktu laki-laki itu mulai berubah, dan mulai
berhenti menulis surat, Bella seperti akan gila. Dia membayangkan bahwa Jack
sudah tertarik pada gadis lain - dan kemudian ternyata bahwa itu memang benar.
Dia memutuskan untuk pergi ke villa mereka di Merlinville untuk mencoba menemui
Jack. Dia tahu bahwa aku menentang gagasan itu, lalu mencoba menyelinap.
Kudapati dia tak ada di kereta api di Calais, dan aku bertekad untuk tidak
meneruskan perjalananku ke Inggris tanpa dia. Aku sudah punya firasat tak enak,
bahwa sesuatu yang amat mengerikan akan terjadi bila aku tak bisa mencegahnya.
Aku menunggu kereta api berikutnya dari Paris. Dia ada di kereta api itu, dan
berniat untuk dari situ langsung pergi ke Merlinville. Aku menentangnya dengan
segala tenagaku, tapi tak ada gunanya. Dia sudah memutuskan dan bertekad untuk
melaksanakan niatnya. Ya, aku lalu lepas tangan dari semuanya itu. Aku sudah
berusaha sebisanya! Hari sudah mulai malam. Aku pergi ke hotel, dan Bella menuju
ke Merlinville. Aku masih belum dapat melepaskan diriku dari firasat burukku
mengenai bencana yang akan terjadi.
Sampai esok harinya pun Bella tak muncul. Dia telah berjanji untuk menemuiku di
hotel, tapi dia tidak menepatinya. Sepanjang hari itu tak tampak batang
hidungnya. Aku makin kuatir. Kemudian datang surat kabar dengan berita itu.
Sungguh mengerikan! Aku tentu tak yakin - tapi aku takut sekali. Kubayangkan
bahwa Bella telah menemui Papa Renauld, dan menceritakan pada orang tua itu
mengenai hubungannya dengan Jack dan bahwa laki-laki tua itu telah menghinanya.
Kami berdua memang sangat penaik darah.
Kemudian muncul kisah-kisah tentang orang-orang asing yang berkedok, dan aku
merasa agak tenang. Tapi aku masih kuatir, sebab Bella, tidak memenuhi janjinya
dengan aku. Esok paginya aku demikian tegangnya hingga aku pergi saja untuk melihat apa yang
bisa kulakukan. Maka yang pertama-tama kutemui adalah kau. Kau sudah tahu
semuanya itu. Waktu aku melihat pria yang meninggal itu serupa benar dengan
Jack, dan mengenakan mantel Jack pula, tahulah aku! Lalu ada pula di situ pisau
pembuka amplop, yang serupa benar dengan yang telah diberikan Jack pada Bella benda kecil yang jahat itu. Aku yakin benar bahwa pada gagang pisau itu ada
bekas sidik jari Bella. Tak sanggup aku melukiskan betapa hebat rasa ketakutanku
pada saat itu. Hanya satu hal yang jelas harus kulakukan - aku harus mendapatkan
pisau belati itu, dan segera lari sebelum orang tahu bahwa benda itu hilang. Aku
berpura-pura pingsan, dan sementara kau pergi untuk mengambilkan aku air, aku
mengambilnya lalu kusembunyikan di balik bajuku.
Kukatakan padamu bahwa aku menginap di hotel du Phare, padahal sebenarnya aku
kembali ke Calais dengan kereta api yang sama, dan terus ke Inggris naik kapal
yang pertama. Waktu tiba di tengah-tengah Selat Kanal, kubuang pisau belati sial
itu ke laut. Kemudian barulah aku bisa bernapas lega.
Bella sudah ada di rumah kos kami di London. Dia kelihatan aneh sekali.
Kuceritakan padanya apa yang telah kulakukan, dan bahwa untuk sementara dia
aman. Dia menatapku, lalu tertawa-tawa - dan tertawa - ngeri sekali
kedengarannya! Kupikir sebaiknya kami menyibukkan diri. Dia bisa gila kalau
dibiarkan termenung memikirkan apa yang telah dilakukannya. Untunglah kami
segera mendapatkan kontrak pekerjaan.
Lalu kulihat kau dan sahabatmu menonton kami malam itu. Aku jadi panik. Kau
tentu curiga, kalau tidak kalian tentu tidak akan membuntuti kami. Aku harus
mengetahui kemungkinan yang terburuk, maka aku menyusulmu. Aku putus asa.
Kemudian, sebelum aku sempat menceritakan apa-apa padamu, aku mendapatkan kesan
bahwa akulah yang kaucurigai, bukan Bella! Atau sekurang-kurangnya kau menyangka
bahwa aku adalah Bella, karena aku telah mencuri pisau belati itu.
Sebenarnya akan baik, bila kau bisa melihat ke dalam benakku waktu itu - maka
mungkin kau akan mau memaafkan aku - aku begitu ketakutan, aku kebingungan dan
aku putus asa. Aku hanya tahu bahwa kau akan mencoba menyelamatkan diriku. Aku
tak tahu apakah kau akan mau menyelamatkan Bella. Kurasa pasti tidak - itu tak
sama halnya! Dan aku tidak akan bisa menanggung akibatnya! Bella adalah saudara
kembarku - aku harus berbuat yang sebaik-baiknya untuknya. Maka aku pun terus
berbohong. Aku merasa diriku jahat - sekarang pun aku masih merasa jahat. Hanya
itu saja - dan mungkin kau pun akan mengatakan bahwa itu sudah cukup. Sebenarnya
aku bisa menaruh kepercayaan padamu. Bila saja aku bisa Segera setelah berita penahanan atas diri Jack Renauld muncul di surat-surat
kabar, habislah semuanya. Bella bahkan tak mau lagi menunggu untuk melihat
bagaimana kelanjutannya. Aku letih sekali. Aku tak bisa menulis lagi.
Tampak bahwa dia semula akan menandatangani surat itu dengan Cinderella, tapi
kemudian dicoretnya, dan digantinya dengan Dulcie Duveen.
Surat itu buruk tulisannya dan kabur, tapi masih kusimpan sampai sekarang.
Poirot ada bersamaku waktu aku membaca surat itu. Kertas-kertas itu terlepas
dari tanganku, dan aku melihat padanya yang duduk di seberangku.
"Apakah kau selama ini tahu bahwa yang terlibat adalah - yang seorang lagi?"
"Tahu, Sahabat."
"Mengapa tak kaukatakan padaku?"
"Pertama-tama, aku merasa sukar percaya bahwa kau bisa membuat kekeliruan itu.
Kau sudah melihat fotonya. Kedua bersaudara itu banyak kesamaannya, tapi
bukannya sama sekali tak bisa dibedakan."
"Tapi rambut pirang itu?"
"Adalah rambut palsu, yang dipakai untuk memberikan kesan kontras di pentas.
Apakah biasa bahwa bila sepasang anak kembar yang serupa benar yang seorang
harus berambut pirang dan yang seorang lagi berambut hitam?"
"Mengapa tak kaukatakan malam itu di hotel di Coventry?"
"Kau sedang berbuat sangat sewenang-wenang waktu itu, mon ami," kata Poirot
datar. "Kau tidak memberi aku kesempatan."
"Tapi setelah itu?"
"Oh, setelah itu" Yah, pertama-tama, aku tersinggung karena kau tidak menaruh
kepercayaan padaku. Dan aku ingin melihat apakah perasaan sentimentalmu akan
tahan uji terhadap waktu. Pokoknya aku ingin tahu, apakah itu cinta murni, atau
apakah kau sekadar tergila-gila saja. Aku memang tak boleh lama-lama membiarkan
kau dalam kekeliruanmu!"
Aku mengangguk. Nada suaranya terlalu banyak mengandung kebaikan hati, hingga
aku tak bisa merasa benci. Aku menunduk melihat ke kertas-kertas surat itu lagi.
Tiba-tiba kupungut kertas-kertas itu dari lantai dan kuberikan padanya.
"Bacalah," kataku. "Aku ingin kau membacanya."
Poirot membacanya tanpa berkata apa-apa, lalu dia mengangkat mukanya melihat
padaku. "Apa yang kaukuatirkan, Hastings?"
Caranya bertanya tak bisa begitu. Caranya yang mengejek seperti biasanya kali
ini tak kelihatan, hingga aku bisa mengatakan apa yang ingin kukatakan tanpa
kesulitan. "Dia tidak mengatakan - dia tidak mengatakan - pokoknya, tak ada bayangan apakah
dia suka atau tidak padaku!"
Poirot membalik-balik kertas-kertas itu.
"Kurasa kau keliru, Hastings."
"Mana?" aku berseru, sambil membungkuk dengan penuh keinginan.
Poirot tersenyum. "Setiap baris dari surat ini menyatakan hal itu, mon ami."
"Tapi di mana aku bisa menemukan dia" Surat itu tak ada alamat pengirimnya.
Hanya ada perangko Prancis."
"Jangan kuatir! Serahkan itu pada Papa Poirot. Aku akan menemukannya untukmu
hanya dalam waktu lima menit!"
Bab 27 KISAH JACK RENAULD "SELAMAT, Tuan Jack," kata Poirot sambil meremas tangan anak muda itu dengan
hangat. Renauld muda langsung mendatangi kami begitu dia dibebaskan - sebelum berangkat
ke Merlinville untuk menggabungkan diri dengan Marthe Daubreuil dan ibunya
sendiri. Stonor menyertainya. Keramahannya berlawanan sekali dengan air mukanya
yang pucat. Tampak jelas bahwa anak muda itu hampir saja mengalami gangguan
saraf. Meskipun dia sudah terlepas dari musibah yang mengancamnya, usaha
pembebasannya demikian menyakitkannya hingga dia tak bisa merasa lega
sepenuhnya. Dia tersenyum sedih pada Poirot, dan berkata dengan suara rendah,
"Saya menjalani semua ini demi dia, dan sekarang semuanya sia-sia saja."
"Anda tak bisa berharap gadis itu akan rela bila Anda sampai mengorbankan hidup
Anda," kata Stonor datar. "Begitu dilihatnya Anda terancam kapak pemenggal, dia
langsung tampil." "Eh ma foi! Anda memang benar-benar terancam!" Poirot menambahkan dengan
berkilat. "Anda bisa saja menjadi penyebab kematian Ma?tre Grosier karena
marahnya pada Anda, kalau Anda terus-menerus begitu."
"Saya rasa dia bermaksud baik," kata Jack. "Tapi dia sangat membuat saya pusing.
Saya tidak terlalu bisa mempercayakan hati saya padanya. Tapi, ya Tuhan! Apa
yang akan terjadi atas diri Bella?"
"Kalau saya berada di tempat Anda," kata Poirot berterus terang, "saya tidak
akan mau merasa sedih percuma. Pengadilan di Prancis ini sangat lunak pada anakanak muda, apalagi yang cantik, yang melakukan kejahatan karena cinta. Seorang
pengacara yang pandai akan bisa mengubah perkara itu hingga meringankan tuduhan
atas dirinya. Bagi Anda memang tidak akan menyenangkan - "
"Saya tak peduli mengenai hal itu. Bagaimanapun juga, Tuan Poirot, saya tetap
merasa bersalah atas kematian ayah saya. Kalau tidak gara-gara saya dan hubungan
saya dengan Marthe, beliau pasti masih hidup dan sehat sekarang. Tambahan lagi
keteledoran saya dalam mengambil mantel yang salah. Bagaimanapun, saya tetap
merasa bertanggung jawab atas kematian itu. Hal itu akan menghantui saya
selamanya!" "Jangan, jangan," kataku membujuknya.
"Tentu saya ngeri membayangkan Bella membunuh ayah saya," lanjut Jack, "tapi itu
karena saya telah memperlakukan gadis itu dengan cara yang memalukan, setelah
saya bertemu dengan Marthe, dan menyadari bahwa saya telah membuat kekeliruan.
Seharusnya saya menulis surat dan menyatakan hal itu padanya dengan berterus
terang. Tapi saya takut sekali dia mengamuk, dan takut pula hal itu sampai
didengar Marthe, dan Marthe akan menyangka bahwa hubungan kami lebih daripada
yang sebenarnya. Yah, pokoknya saya memang pengecut, dan terus berharap hal itu
akan mereda sendiri. Saya mengambang saja, tanpa menyadari bahwa dengan demikian
saya telah membuat gadis malang itu putus asa. Bila dia benar-benar menikam
saya, sebagaimana niatnya, itu memang sepantasnya. Dan betapa beraninya dia
tampil menyerahkan dirinya. Kalau saya berada di tempatnya, saya akan berdiam
diri saja - selamanya."
Dia diam sebentar, lalu melanjutkan celotehnya lagi.
"Yang mengherankan saya adalah, mengapa Ayah berkeliaran dengan hanya berpakaian
dalam dan mantel saya saja malam hari begitu. Mungkin beliau telah berhasil
melarikan diri dari orang-orang asing itu, dan ibu saya pasti keliru mengenai
jam itu waktu mereka datang. Atau - atau, itu semua kan bukan sekadar isapan
jempol saja, ya" Maksud saya, ibu saya kan tidak menyangka - tak mungkin
menyangka - bahwa - bahwa orang itu adalah saya?"
Poirot cepat-cepat meyakinkannya.
"Tidak, tidak Tuan Jack. Jangan kuatir mengenai hal itu. Mengenai selebihnya,
pada suatu hari kelak akan saya jelaskan pada Anda. Memang agak aneh. Tapi coba
Anda ceritakan apa sesungguhnya yang telah terjadi pada malam yang mengerikan
itu?" "Sedikit sekali yang dapat saya ceritakan. Saya kembali dari Cherbourg,
sebagaimana yang sudah saya ceritakan pada Anda, untuk menjumpai Marthe sebelum
saya berangkat ke bagian lain dari dunia ini. Kereta api terlambat, dan saya
memutuskan untuk mengambil jalan pintas melalui lapangan golf. Dari sana saya
akan bisa dengan mudah masuk ke pekarangan Villa Marguerite. Saya hampir tiba di
tempat itu, waktu - "
Dia berhenti lalu menelan ludahnya.
"Ya?" "Saya mendengar suatu teriakan yang mengerikan. Suara itu tak nyaring - seperti
suara orang tercekik, seperti tersekat - tapi membuat saya ketakutan. Saya berdiri
terpaku sebentar. Kemudian saya melewati serumpun semak-semak di sudut. Waktu
itu bulan sedang bersinar. Saya melihat kuburan, dan sesosok tubuh yang
terbaring tertelungkup dengan sebilah pisau belati tertancap di punggungnya. Dan
kemudian - saya melihat dia. Dia melihat saya seolah-olah melihat hantu - pasti
mula-mula dia menyangka saya demikian - air mukanya membeku karena ketakutan.
Lalu dia memekik, dan berbalik lalu lari."
Dia berhenti dan mencoba mengatasi emosinya.
"Lalu setelah itu?" tanya Poirot lembut.
"Saya benar-benar tak tahu apa-apa lagi. Saya berdiri saja di sana sebentar
lagi, terpana. Kemudian saya sadar sebaiknya saya pergi dari situ secepat
mungkin. Saya tak menyangka orang akan mencurigai saya, tapi saya takut saya
akan dipanggil untuk memberikan kesaksian yang memberatkannya. Sebagaimana sudah
saya ceritakan, saya berjalan ke St. Beauvais, dan menyewa mobil di sana untuk
kembali ke Cherbourg."
Pintu diketuk orang, seorang pesuruh masuk membawa sepucuk telegram yang
diserahkannya pada Stonor. Sekretaris itu merobeknya.
"Nyonya Renauld sudah siuman," katanya.
"Bagus!" Poirot bangkit dengan melompat. "Mari kita semua segera pergi ke
Merlinville!" Kami semua cepat-cepat berangkat. Atas permintaan Jack, Stonor bersedia tinggal
untuk mengusahakan apa saja yang bisa membantu Bella.
Poirot, Jack Renauld, dan aku berangkat naik mobil keluarga Renauld.
Perjalanan ke sana memerlukan waktu empat puluh menit lebih sedikit. Waktu kami
tiba di jalan masuk ke Villa Marguerite, Jack Renauld menoleh pada Poirot dengan
pandangan bertanya. "Bagaimana kalau kita pergi terus dulu - untuk memberi tahu ibu saya bahwa saya
sudah bebas - " "Anda tentu ingin memberitahukan hal itu dulu pada Nona Marthe, bukan?" lanjut
Poirot. Jack Renauld tidak menunggu lebih lama lagi. Setelah menghentikan mobil, dia
melompat ke luar, lalu berlari di sepanjang lorong ke pintu depan. Kami
melanjutkan perjalanan kami dengan mobil terus ke Villa Genevi?ve.
"Poirot," kataku, "ingatkah kau bagaimana kita tiba di tempat ini pada hari
pertama itu" Waktu itu kita disambut dengan berita tentang kematian Renauld,
bukan?" "Ya, benar. Belum begitu lama sebenarnya. Tapi alangkah banyaknya yang telah
terjadi sejak itu - terutama bagimu, mon ami!"
"Poirot, apa yang telah kaulakukan dalam usahamu untuk menemukan Bella maksudku Dulcie?" "Tenanglah, Hastings. Semuanya akan kuatur."
"Lama sekali kau bertindak," gerutuku.
Poirot mengubah bahan pembicaraan.
"Waktu kita datang itu, merupakan, awal, kini kita menjelang akhirnya," katanya,
sambil membunyikan lonceng. "Dan sebagai suatu perkara, akhir perkara itu
tidaklah memuaskan."
"Memang tidak," desahku.
"Kau mempertimbangkannya dari segi perasaan yang mendalam, Hastings. Bukan
begitu maksudku. Kita harap saja Nona Bella akan diperlakukan dengan lunak, dan
bagaimanapun juga, Jack Renauld tak bisa mengawini kedua gadis itu sekaligus.
Aku berbicara dari sudut pekerjaan. Kejahatan ini bukan kejahatan yang tersusun
rapi dan biasa, sebagaimana yang disukai oleh seorang detektif. Peristiwa penuh
sandiwara yang dirancang oleh Georges Conneau, memang sempurna, tapi
kesudahannya - ah! Seorang laki-laki yang terbunuh tanpa disengaja dalam
kemarahan seorang gadis - ah, susunan dan cara kerja apa itu?"
Sedang aku menertawakan keanehan kata-kata Poirot itu, pintu dibuka oleh
Fran?oise. Poirot mengatakan padanya bahwa dia harus segera bertemu dengan Nyonya Renauld,
dan pelayan itu mengantarnya naik ke lantai atas. Aku tinggal di dalam ruang
tamu utama. Agak lama Poirot baru muncul kembali.
"Lihat saja, Hastings! Bakal ada kekacauan hebat!"
"Apa maksudmu?" aku berseru.
"Aku sendiri tidak menyukainya," kata Poirot merenung, "tapi kaum wanita memang
sulit diramalkan." "Ini Jack dan Marthe Daubreuil datang," kataku sambil melihat ke luar jendela.
Poirot berjalan ke luar kamar dengan langkah-langkah panjang, lalu menyambut
pasangan muda itu di tangga luar. "Jangan masuk. Sebaiknya jangan. Ibu Anda
sedang risau." "Saya tahu, saya tahu," kata Jack Renauld. "Saya harus segera naik
menjumpainya."

Lapangan Golf Maut Murder On The Links Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan. Dengarlah kata-kata saya. Sebaiknya jangan."
"Tapi Marthe dan saya - "
"Bagaimanapun juga, jangan bawa nona ini serta. Naiklah kalau Anda mau, tapi
sebaiknya saya yang menyertai Anda."
Suatu suara di tangga membuat kami semua terkejut.
"Terima kasih atas jasa baik Anda, Tuan Poirot, tapi saya ingin menyatakan
sendiri isi hati saya."
Kami terbelalak keheranan. Dengan dituntun oleh Leonie, Nyonya Renauld menuruni
tangga, dengan kepala masih terbalut. Gadis Prancis itu meratap dan memohon
padanya untuk kembali ke tempat tidur.
"Nyonya akan membunuh dirinya sendiri. Ini semua melawan perintah dokter!"
Tetapi Nyonya Renauld berjalan terus.
"Ibu," seru Jack, sambil bergerak maju. Tapi ibunya mencegahnya mendekat dengan
gerak tangannya. "Aku bukan ibumu! Kau bukan anakku! Mulai hari dan jam ini aku tidak lagi
mengakuimu." "Ibu," pekik anak muda itu terperanjat.
Sesaat kelihatan bahwa wanita itu agak goyah, akan berubah sikap mendengar nada
ketakutan dalam suara anaknya. Poirot menunjukkan sikap akan melerai, tapi
wanita itu segera bisa menguasai dirinya.
"Kau menginginkan darah ayahmu. Secara moral kau bersalah dalam kematiannya. Kau
membangkang terhadapnya dan melawannya demi gadis ini, dan karena perlakuanmu
yang tanpa tenggang rasa terhadap gadis lain, kau lalu menjadi penyebab kematian
ayahmu. Keluar dari rumahku. Besok aku akan mengambil langkah-langkah yang tidak
akan pernah memungkinkan kau mendapatkan satu penny pun dari uangnya. Jalanilah
hidup di dunia ini sendiri dengan bantuan gadis yang tiada lain adalah anak
musuh bebuyutan ayahmu!"
Kemudian, perlahan-lahan dan dengan bersusah payah, dia kembali ke lantai atas.
Kami semua terpaku - benar-benar tak siap untuk melihat pemandangan seperti itu.
Jack Renauld yang sudah cukup letih karena semua yang sudah dialaminya,
terhuyung dan hampir jatuh. Poirot dan aku cepat-cepat membantunya.
"Dia terlalu letih," gumam Poirot pada Marthe. "Ke mana kita bisa membawanya?"
"Pulang tentu. Ke Villa Marguerite. Saya akan merawatnya bersama ibu saya.
Kasihan Jack!" Kami bawa anak muda itu ke villa itu, di mana dia menjatuhkan diri tanpa tenaga
ke sebuah kursi dalam keadaan setengah sadar. Poirot meraba kepala dan
tangannya. "Dia demam. Ketegangan-ketegangan yang terlalu banyak mulai memperlihatkan
akibatnya. Kini ditambah lagi dengan shock ini. Bawa dia ke tempat tidur,
Hastings dan saya akan memanggil dokter."
Kami segera pergi mencari bantuan dokter. Setelah memeriksa pasiennya, dokter
mengatakan bahwa itu tak lain adalah ketegangan saraf. Dengan istirahat dan
ketenangan sempurna, anak muda itu akan bisa sehat kembali esok harinya, tapi,
bila mengalami kekacauan lagi, maka dia mungkin mengalami demam otak.
Perlu sekali ada seseorang yang menjaganya sepanjang malam.
Akhirnya, setelah membantu sebisanya, kami tinggalkan dia di bawah pengawasan
Marthe dan ibunya, dan kami berangkat ke kota. Malam itu sudah lewat waktu makan
kami, dan kami berdua sudah kelaparan. Restoran yang pertama yang kami datangi
menghilangkan rasa lapar kami dengan omelette yang enak, dan disusul daging
rusuk yang enak sekali. "Sekarang mencari tempat untuk menginap," kata Poirot, setelah minum kopi tanpa
susu sebagai penutup makan malam itu. "Mari kita coba teman lama kita, Hotel des
Baines." Tanpa berlama-lama kami menuju ke tempat itu. Ya, Tuan-tuan bisa ditampung di
dua buah kamar yang menghadap ke laut. Kemudian Poirot menanyakan suatu
pertanyaan yang membuatku terkejut.
"Apakah seorang wanita Inggris yang bernama Nona Robinson sudah tiba?"
"Sudah, Tuan. Dia ada di ruang tamu kecil."
"Oh!" "Poirot," kataku sambil menyesuaikan langkahku dengan dia ketika dia menjalani
lorong rumah itu, "siapa lagi Nona Robinson itu?"
Poirot memandangku dengan ramah dan berseri.
"Aku kan sudah mengatakan akan mengatur perkawinan untukmu, Hastings."
"Tapi - " "Bah!" kata Poirot, sambil mendorongku dengan lembut melewati ambang pintu.
"Apakah kau mau aku mendengung-dengungkan nama Duveen di Merlinville ini"!"
Memang benar, Cinderella-lah yang bangkit menyambut kedatangan kami. Aku
menggenggam kedua belah tangannya. Aku berbicara dengan mataku.
Poirot meneguk ludahnya. "Anak-anakku," katanya, "saat ini kita tak sempat bermesra-mesraan dulu. Kita
harus bekerja! Nona, apakah Anda bisa melaksanakan apa yang saya instruksikan?"
Sebagai jawaban, Cinderella mengeluarkan sesuatu yang terbungkus dalam kertas
dari tasnya, dan memberikannya tanpa berkata apa-apa pada Poirot, yang langsung
membuka bungkusan itu. Aku terkejut sekali - karena benda itu adalah pisau
belati dari kawat pesawat terbang yang kusangka sudah dilemparkannya ke dalam
laut. Aneh, betapa enggannya kaum wanita memusnahkan benda-benda dan surat-surat
yang kelihatannya tak berarti!
"Tres bien, Gadisku," kata Poirot. "Saya senang sekali padamu. Sekarang pergilah
beristirahat. Hastings dan saya harus bekerja. Besok Anda baru akan bisa bertemu
dengannya." "Anda akan ke mana?" tanya gadis itu.
"Besok Anda akan mendengar semuanya."
"Ke mana pun Anda akan pergi, saya ikut."
Poirot menyadari bahwa akan percuma saja membantahnya.
"Kalau begitu marilah, Nona. Tapi ini tidak akan menyenangkan. Mungkin sekali
tidak akan terjadi apa-apa."
Gadis itu tak menyahut. Dua puluh menit kemudian kami berangkat. Sekarang hari sudah gelap sekali, malam
itu panas dan pengap. Poirot berjalan di depan menuju Villa Genevi?ve. Tapi
waktu kami tiba di Villa Marguerite, dia berhenti sebentar.
"Saya ingin melihat keadaan Jack Renauld. Mari ikut, Hastings. Nona sebaiknya
tinggal di luar. Mungkin Nyonya Daubreuil akan mengatakan sesuatu yang akan
menusuk perasaan." Kami membuka pintu pagar dan berjalan di sepanjang lorong masuk ke rumah. Waktu
kami membelok ke samping rumah, aku menunjukkan pada Poirot suatu jendela di
lantai atas. Pada kerai tampak jelas bayangan tubuh Marthe Daubreuil.
"Oh!" kata Poirot. "Saya sudah menduga bahwa di situlah kita akan menemui Jack
Renauld." Nyonya Daubreuil yang membukakan kami pintu. Dijelaskannya bahwa keadaan Jack
masih sama saja, tapi mungkin kami ingin melihatnya sendiri. Dia berjalan
mendahului kami naik ke lantai atas dan masuk ke kamar tidur. Marthe Daubreuil
sedang menyulam di dekat sebuah meja yang ada lampunya. Dia meletakkan
telunjuknya ke bibirnya waktu kami masuk.
Jack Renauld sedang tidur nyenyak tapi gelisah, kepalanya sebentar ke kiri,
sebentar ke kanan, dan mukanya masih merah.
"Apakah dokter akan datang lagi?" tanya Poirot berbisik.
"Tidak, kecuali kalau diminta. Dia sedang tidur - itu yang penting. Maman telah
membuatkannya tisane."
Gadis itu duduk lagi dengan sulamannya waktu kami meninggalkan kamar itu. Nyonya
Daubreuil mengantar kami turun. Sejak aku tahu sejarah masa lalu wanita itu, aku
memperhatikannya dengan perhatian yang lebih besar. Dia berdiri dengan mata
merunduk, dengan senyum kecil yang penuh teka-teki yang masih kuingat. Dan tibatiba aku merasa takut padanya, sebagaimana seseorang merasa takut akan seekor
ular cantik yang berbisa.
"Saya harap kami tadi tidak menyusahkan Anda, Nyonya," kata Poirot, waktu wanita
itu membukakan kami pintu untuk keluar.
"Sama sekali tidak, Tuan."
"Omong-omong," kata Poirot seolah-olah baru teringat, "Tuan Stonor belum tiba di
Merlinville hari ini ya?"
Aku sama sekali tak mengerti arah pertanyaan itu. Aku yakin pertanyaan itu sama
sekali tak ada artinya. Dengan tenang Nyonya Daubreuil menyahut, "Setahu saya, belum."
"Apakah dia belum berbicara dengan Nyonya Renauld?"
"Bagaimana mungkin saya tahu, Tuan?"
"Benar juga," kata Poirot. "Saya hanya menduga mungkin Anda ada melihatnya
datang dan pergi lagi. Selamat malam, Nyonya."
"Mengapa - " aku mulai bertanya,
"Jangan bertanya, Hastings. Nanti semuanya boleh."
Kami menggabungkan diri kembali dengan Cinderella dan berjalan ke arah Villa
Genevi?ve. Sekali lagi Poirot menoleh ke belakang ke jendela kamar yang
berlampu, dan tampak sosok tubuh Marthe yang duduk membungkuk menekuni
pekerjaannya. "Jack dijaga dengan baik," gumamnya.
Setiba di Villa Genevi?ve, Poirot mengambil tempat di balik semak-semak di
sebelah kiri jalan masuk ke rumah. Dari sana kami bisa melihat dengan mudah,
sementara kami sendiri benar-benar tersembunyi. Villa itu sendiri gelap
seluruhnya; pasti semua orang sudah tidur. Kami berada hampir tepat di bawah
jendela kamar tidur Nyonya Renauld, dan kulihat jendelanya terbuka. Kulihat mata
Poirot tertuju ke arah itu terus.
"Apa yang akan kita perbuat?" bisikku.
"Melihat." "Tapi - " "Selama sekurang-kurangnya satu jam, atau bahkan dua jam ini, kurasa tidak akan
terjadi apa-apa, tapi - "
Tapi kata-katanya itu terhenti oleh suatu teriakan panjang, "Tolooong!"
Lampu tiba-tiba menyala di kamar tingkat atas di sebelah kanan di sisi rumah.
Pekik itu berasal dari situ. Dan kami lalu melihat bayangan pada kerai, bayangbayang dua orang yang sedang bergumul.
"Terkutuk benar!" teriak Poirot. "Wanita itu pasti sudah pindah kamar."
Sambil berlari dia menggedor pintu depan kuat-kuat. Kemudian dia berlari ke
pohon yang tumbuh di bedeng bunga. Dipanjatnya pohon itu selincah kucing. Aku
menyusulnya. Dia melompat melewati jendela yang terbuka. Waktu aku menoleh,
kulihat Dulcie sudah mencapai sebuah cabang di belakangku.
"Hati-hati," teriakku.
"Hati-hati nenekmu!" balas gadis itu. "Ini seperti permainan saja bagiku."
Poirot sudah berlari melewati kamar yang kosong itu dan menggedor pintu yang
menuju ke lorong rumah. "Terkunci dan dipalang dari luar," geramnya. "Ini akan makan waktu yang
mendobraknya." Suara teriakan minta tolong makin melemah kedengarannya. Aku melihat bayangan
putus asa dalam mata Poirot. Kami berdua menghantamkan bahu kami ke pintu itu.
Kemudian dari dekat jendela terdengar suara Cinderella yang tenang-tenang dan
halus, "Kalian akan terlambat. Saya rasa, sayalah satu-satunya yang bisa berbuat
sesuatu." Sebelum aku sempat berbuat apa-apa untuk mencegahnya, dia kelihatan seolah-olah
melompat lalu melayang ke angkasa. Aku berlari mengejarnya dan melihat ke luar.
Aku ngeri melihat dia bergantung pada atap, bergerak dengan cara berputar-putar
dan sentakan-sentakan ke arah jendela yang terbuka.
"Oh, Tuhan! Dia bisa jatuh dan mati," aku berseru.
"Kau lupa. Dia seorang akrobat kawakan, Hastings. Adalah rahmat Tuhan dia tadi
berkeras untuk ikut kita malam ini. Aku hanya berdoa semoga dia tak terlambat!"
Suatu teriakan penuh ketakutan memenuhi suasana malam waktu gadis itu menghilang
melalui jendela di sebelah kanan; kemudian terdengar suara Cinderella berkata
dengan lantang, "Tidak, tidak akan bisa! Kau sudah berada dalam cengkeramanku dan genggamanku sekuat baja."
Pada saat yang sama pintu kamar tempat kami terkurung dibuka dengan berhati-hati
oleh Fran?oise. Poirot menyingkirkan wanita itu dengan kasar dan berlari di
sepanjang lorong rumah ke tempat di mana pelayan-pelayan yang lain sedang
berdiri berkelompok di dekat pintu di sebelah ujung.
"Terkunci dari dalam, Tuan."
Dari dalam terdengar sesuatu yang berat terbanting. Setelah beberapa lamanya
anak kunci berputar dan pintu dibuka perlahan-lahan. Cinderella yang tampak
pucat, mengisyaratkan supaya kami masuk.
"Selamatkah dia?" tanya Poirot.
"Ya, saya datang tepat pada waktunya. Beliau keletihan."
Nyonya Renauld setengah duduk dan setengah terbaring di tempat tidurnya. Dia
bernapas tersengal-sengal.
"Hampir saja saya mati dicekiknya," gumamnya menahan sakit.
Cinderella memungut sesuatu dari lantai dan memberikannya pada Poirot. Benda itu
adalah gulungan tali sutera yang sangat halus, tapi kuat sekali.
"Alat untuk melarikan diri," kata Poirot, "melalui jendela, sementara kita
menggedor pintu. Mana - yang lain?"
Gadis itu menyingkir sedikit lalu menunjuk. Di lantai tergeletak sesosok tubuh
yang terbungkus dalam bahan berwarna gelap yang wajahnya tertutup oleh lipatan
kain itu. "Meninggal?" Gadis itu mengangguk. "Saya rasa begitu."
Kepalanya pasti telah terbentur pada tepi pelindung perapian yang terbuat dari
batu pualam. "Siapa dia?" tanyaku berseru.
"Pembunuh Tuan Renauld, Hastings. Dan hampir saja menjadi pembunuh Nyonya
Renauld." Dengan rasa heran dan tak mengerti, aku berlutut, dan setelah mengangkat lipatan
kain itu, tampak olehku wajah cantik Marthe Daubreuil yang sudah meninggal.
Bab 28 AKHIR PERJALANAN KENANGANKU tentang kejadian-kejadian selanjutnya malam itu membingungkan. Poirot
seolah-olah tuli bila kutanya. Dia sedang asyik menghujani Fran?oise dengan
teguran-teguran karena tidak memberitahukan padanya tentang pergantian kamar
tidur Nyonya Renauld. Bahunya kucengkeram, untuk menarik perhatiannya, dan supaya dia mendengarkan
aku. "Tapi kau tentu tahu," seruku. "Kau menemuinya tadi sore."
Poirot mengalah, mau memberikan perhatiannya sebentar padaku.
"Dia tadi didorong dengan sofa, ke kamar yang di tengah - kamar tamunya," dia
menjelaskan. "Tapi, Tuan," seru Fran?oise, "Nyonya pindah dari kamarnya hampir segera setelah
kejadian itu! Kekalutan-kekalutan itu semua - telah menegangkannya!"
"Lalu mengapa saya tidak diberi tahu," bentak Poirot, sambil menghantam meja.
Dia makin lama makin mengamuk. "Saya bertanya - mengapa - saya - tidak - diberi
tahu" Kau perempuan tua tolol! Leonie dan Denise itu sama saja! Kalian bertiga
ini goblok semua! Kebodohan kalian hampir saja menyebabkan kematian majikan
kalian. Kalau bukan karena gadis pemberani ini - "
Poirot berhenti berbicara, lalu dia berjalan cepat ke seberang kamar di mana
gadis itu sedang membungkuk mengurus Nyonya Renauld. Poirot merangkul gadis itu
dengan penuh kasih sayang - hal mana agak menjengkelkan aku.
Aku merasa agak terbangun dari keadaanku yang seolah-olah diselubungi awan
mendengar Poirot memerintahku dengan tegas supaya segera memanggil seorang
dokter untuk kepentingan Nyonya Renauld. Setelah itu aku harus memanggil polisi.
Dan untuk menambah kemarahanku ditambahkannya, "Kau tak perlu kembali ke sini.
Aku akan terlalu sibuk hingga aku tidak akan bisa memberi perhatianku padamu,
dan Nona ini akan kujadikan perawat bagi si sakit."
Aku pergi dengan rasa harga diri yang tersisa. Setelah melakukan tugas-tugasku
tadi, aku kembali ke hotel. Aku tak mengerti apa yang telah terjadi. Peristiwa
malam itu luar biasa dan rasanya tak masuk akal. Tak seorang pun mau menjawab
pertanyaan-pertanyaanku. Seolah-olah tak seorang pun mendengarnya. Dengan marah
kuhempaskan diriku ke tempat tidur, lalu tertidur dengan rasa bingung dan letih.
Aku terbangun mendapatkan sinar matahari memancar melalui jendela-jendela yang
terbuka, sedang Poirot yang sudah rapi dan tersenyum, duduk di sampingku.
"Nah, kau sudah bangun! Memang benar-benar penidur kau, Hastings! Tahukah kau
bahwa hari sudah hampir pukul sebelas?"
Aku menggeram lalu memegang kepalaku.
"Aku pasti bermimpi," kataku. "Aku bermimpi bahwa kita menemukan mayat Marthe
Daubreuil di kamar Nyonya Renauld, dan bahwa kau menudingnya sebagai pembunuh
Tuan Renauld." "Kau tidak bermimpi. Semuanya itu benar."
"Tapi bukankah Bella Duveen yang telah membunuh Tuan Renauld?"
"Bukan, Hastings! Gadis itu memang berkata begitu - memang - tapi itu sematamata untuk membebaskan laki-laki yang dicintainya dari kapak pemenggal."
"Apa?"

Lapangan Golf Maut Murder On The Links Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ingatlah kisah Jack Renauld. Mereka berdua tiba di tempat kejadian itu pada
saat yang bersamaan, dan keduanya masing-masing menyangka bahwa yang dilihatnya
itulah pembunuhnya. Bella menatap Jack dengan ketakutan, lalu lari sambil
berteriak. Tapi waktu didengarnya bahwa orang menuduh Jack yang telah menuduhnya
dia tak tahan, lalu tampil ke depan, menuduh dirinya sendiri untuk menyelamatkan
Jack dari kematian."
Poirot bersandar di kursinya dan mempertemukan ujung-ujung jarinya seperti
biasa. "Perkara itu tidak memuaskan diriku," katanya seperti seorang hakim. "Aku terusmenerus mendapatkan kesan, bahwa kita sedang menghadapi suatu pembunuhan
berdarah dingin yang telah direncanakan lebih dulu oleh seseorang yang (dengan
cerdiknya) telah menggunakan cara kerja Tuan Renauld sendiri untuk menyesatkan
polisi. Aku pernah mengatakan padamu bahwa penjahat yang ulung selalu amat
sederhana." Aku mengangguk. "Nah, untuk menunjang teori itu, penjahat itu harus benar-benar mengenal rencana
Tuan Renauld. Hal itu membawa kita untuk mencurigai Nyonya Renauld. Tapi buktibukti tidak mendukung teori yang menyalahkan wanita itu. Adakah lagi orang lain
yang tahu rencana itu" Ada. Marthe Daubreuil sendiri mengatakan bahwa dia
mendengar pertengkaran Tuan Renauld dengan gelandangan itu. Bila dia mendengar
pertengkaran itu, maka dia pasti mendengar pula semua yang lain, terutama bila
Tuan dan Nyonya Renauld begitu ceroboh dan membahas rencana itu sambil duduk di
bangku di kebun itu. Ingat betapa mudahnya kau bisa mendengarkan percakapan
Marthe dengan Jack Renauld di tempat yang sama."
"Tapi apakah alasan pembunuhan Marthe atas diri Tuan Renauld?" bantahku.
"Alasan apa, tanyamu" Uang tentu! Tuan Renauld itu seorang jutawan, dan bila dia
meninggal separuh dari kekayaannya yang banyak itu akan jatuh ke tangan putranya
(begitulah persangkaan Marthe dan Jack). Mari kita rekonstruksikan kejadian itu
dari segi pandangan Marthe Daubreuil.
"Marthe Daubreuil mendengar apa yang dibicarakan Renauld dengan istrinya. Selama
ini dia merupakan sumber penghasilan kecil yang menyenangkan bagi dua beranak
Daubreuil itu, tapi kini Tuan Renauld akan melepaskan dirinya dari hal itu.
Mungkin, mula-mula adalah untuk mencegahnya melarikan diri. Tapi kemudian dia
mendapatkan gagasan yang lebih berani, dan gagasannya yang baru itu tidak
menimbulkan kengerian dalam hati putri Jeanne Beroldy itu! Selama ini Tuan
Renauld merupakan penghalang paling utama dalam pernikahannya dengan Jack. Bila
Jack melawan ayahnya, dia akan menjadi pengemis - hal yang sama sekali tidak
diingini Marthe. Aku bahkan ragu apakah gadis itu benar-benar cinta pada Jack
Renauld. Dia memang bisa saja berpura-pura sedih, tapi dia sebenarnya berdarah
sama dinginnya dan penuh perhitungannya seperti ibunya. Aku juga ragu apakah dia
meyakini cinta Jack pada dirinya. Dia telah memabukkan dan menjerat anak muda
itu, tapi bila anak muda itu dipisahkan dari dirinya, suatu hal yang dengan
mudah dapat dilakukan oleh ayahnya, maka dia akan kehilangan anak muda itu. Tapi
dengan meninggalnya Tuan Renauld, dan Jack menjadi pewaris separuh harta
kekayaannya, maka pernikahan mereka akan dapat dilaksanakan segera, dan dia akan
menjadi kaya mendadak. Mereka tak perlu lagi memeras yang jumlahnya hanya
beberapa ribu dari orang tua itu. Dan otaknya yang cerdas menangkap betapa
sederhananya semuanya itu. Semuanya mudah sekali. Tuan Renauld-lah yang telah
merencanakan kematiannya sendiri - dia hanya perlu melangkah masuk pada saat
yang tepat dan apa yang semula hanya pura-pura saja dijadikan kenyataan.
Sekarang tibalah titik kedua, yang tak dapat tidak, membawaku pada Marthe
Daubreuil - pisau belati itu! Jack Renauld telah menyuruh membuat tiga buah
tanda mata. Sebuah diberikannya pada ibunya, sebuah pada Bella Duveen, jadi
apakah tak mungkin dia memberikan pisau yang ketiga pada Marthe Daubreuil"
"Jadi kalau disimpulkan, terdapat empat hal yang memberatkan Marthe Daubreuil:
"(1) Mungkin Marthe Daubreuil telah mendengar apa yang direncanakan Tuan
Renauld. "(2) Marthe Daubreuil punya kepentingan langsung dalam menyebabkan kematian Tuan
Renauld. "(3) Marthe Daubreuil adalah putri Nyonya Beroldy yang terkenal jahat, yang
menurut pikiranku, baik secara moral maupun sebenarnya, adalah pembunuh
suaminya, meskipun mungkin tangan Georges Conneau yang melakukannya.
"(4) Marthe Daubreuil adalah satu-satunya orang yang mungkin memiliki pisau
belati yang ketiga, kecuali Jack Renauld sendiri."
Poirot berhenti dan menelan ludahnya.
"Ketika aku tahu tentang adanya seorang gadis lain, yaitu Bella Duveen, kupikir
mungkin gadis yang kedua inilah yang membunuh Tuan Renauld. Aku tak puas dengan
penyelesaiannya, karena seperti yang kukatakan padamu, Hastings, seorang ahli
seperti aku lebih suka bertemu dengan lawan yang tangguh. Tapi kita harus
menghadapi kejahatan sebagaimana adanya. Rasanya tak masuk akal Bella Duveen
berkeliaran membawa-bawa tanda mata yang berupa pisau pembuka amplop itu,
meskipun dia memang sudah punya rasa dendam terhadap Jack Renauld. Waktu dia
benar-benar tampil dan mengakui telah melakukan pembunuhan itu, kelihatannya
semuanya sudah selesai. Namun - aku tak puas, mon ami. Aku tak puas.
"Kuteliti lagi perkara itu, dan tibalah aku pada kesimpulan semula. Bila bukan
Bella Duveen, maka satu-satunya orang yang mungkin melakukan kejahatan itu
adalah Marthe Daubreuil. Tapi aku tak punya satu pun bukti yang memberatkan dia.
"Kemudian kau menunjukkan surat dari Nona Dulcie, dan aku lalu melihat suatu
kesempatan untuk menyelesaikan persoalan itu sampai tuntas. Pisau belati yang
asli telah dicuri oleh Dulcie Duveen dan dibuang ke laut - karena pada sangkanya
itu adalah milik saudara kembarnya. Tapi, kalau itu kebetulan bukan milik
saudara kembarnya, melainkan yang diberikan oleh Jack pada Marthe Daubreuil maka pisau belati milik Bella Duveen tentu masih ada! Aku tak berkata sepatah
pun padamu, Hastings (waktunya untuk roman belum tepat), tapi aku pergi menemui
Nona Dulcie. Kuceritakan padanya apa yang kuanggap perlu, dan kuminta supaya dia
menggeledah barang-barang saudara kembarnya. Dan bayangkan betapa senangnya aku
waktu dia mencari aku dengan nama Nona Robinson (sesuai dengan instruksiku)
dengan membawa tanda mata yang besar artinya itu!
"Sementara itu aku telah mengambil langkah-langkah untuk memaksa Marthe
Daubreuil berterus terang. Kuatur Nyonya Renauld untuk tidak mengakui putranya,
dan menyatakan niatnya untuk membuat surat wasiat esok harinya, yang tidak akan
memungkinkannya menikmati barang sedikit pun saja dari kekayaan ayahnya. Itu
merupakan langkah terakhir yang perlu sekali, dan Nyonya Renauld telah benarbenar siap untuk menghadapi akibat terburuk dari langkah itu - meskipun
malangnya dia pun lupa memberitahukan tentang pergantian kamarnya. Kurasa aku
dianggapnya sudah tahu sendiri. Semua terjadi menurut rencanaku. Marthe
Daubreuil mengambil langkah terakhir untuk mendapatkan uang Renauld - tapi dia
gagal!" "Yang benar-benar membingungkan aku," kataku, "bagaimana dia bisa masuk ke rumah
itu tanpa kita lihat. Kelihatannya seperti suatu keajaiban saja. Kita
meninggalkannya di Villa Marguerite, kita langsung pergi ke Villa Genevi?ve tapi dia sudah lebih dulu berada di sana!"
"Ah, kita tidak meninggalkannya di Villa Marguerite. Dia keluar lewat jalan
belakang ketika kita bercakap-cakap dengan ibunya di lorong rumah. Di situlah
dia mengelabui Hercule Poirot!"
"Tapi bayangan yang kita lihat di kerai itu" Bukankah kita melihatnya dari
jalan?" "Eh bien, waktu kita melihat ke atas, Nyonya Daubreuil masih sempat berlari ke
lantai atas dan menggantikannya."
"Nyonya Daubreuil?"
"Ya. Memang yang seorang tua, dan yang seorang lagi muda, yang seorang berambut
hitam, yang seorang lagi pirang, tapi kalau sekadar untuk bayangan di kerai,
bayangan mereka sama benar. Bahkan aku sendiri pun tak curiga - goblok benar
aku, kusangka aku masih banyak waktu - kusangka masih akan lama lagi dia bara
akan berusaha masuk ke villa itu. Marthe yang cantik itu benar-benar pandai."
"Dan tujuannya adalah membunuh Nyonya Renauld?"
"Ya. Supaya dengan demikian semua harta itu akan jatuh ke tangan putranya. Tapi
itu bisa juga merupakan bunuh diri, mon ami! Di lantai dekat mayat Marthe
Daubreuil, aku menemukan segumpal kapas dengan sebotol kecil obat bius dan
sebuah alat suntik yang berisi morfin dalam jumlah yang mematikan. Mengertikah
kau" Obat bius dulu yang dipakai - kemudian setelah korban tak sadar
ditusukkanlah jarum. Pagi hari esoknya bau obat bius sudah akan hilang sama
sekali, sedang alat suntiknya diletakkan sedemikian, hingga seolah-olah jatuh
dari tangan Nyonya Renauld. Apa yang akan dikatakan Tuan Hautet yang hebat itu"
'Kasihan wanita ini! Sekarang dia shock karena terlalu gembira, hingga tak
tertanggung olehnya! Sudah saya katakan bahwa saya tidak akan heran kalau dia
sampai berubah akal. Perkara Renauld ini merupakan perkara yang paling tragis!'
"Tapi, Hastings, kejadiannya jadi lain sekali dari rencana Marthe. Pertama-tama,
Nyonya Renauld ternyata masih bangun dan menyambut kedatangannya. Mereka
bergumul. Tapi Nyonya Renauld masih lemah sekali. Marthe Daubreuil masih punya
kesempatan terakhir. Rencananya untuk memberikan kesan seolah-olah itu adalah
bunuh diri sudah buyar. Tapi bila dia bisa mencekiknya dengan tangannya yang
kuat, melarikan diri dengan tali suteranya sementara kita sedang mencoba
mendobrak pintu kamar ujung dari sebelah dalam, dan kembali ke Villa Marguerite
sebelum kita pun kembali ke sana, akan sulit sekali bagi kita untuk memberikan
bukti yang memberatkan dia. Tapi dia kalah cepat - bukan oleh Hercule Poirot melainkan oleh akrobat cilik yang punya cengkeraman baja itu."
Aku termangu mendengarkan kisah itu.
"Kapan kau pertama kali mencurigai Marthe Daubreuil, Poirot" Apakah waktu dia
mengatakan pada kita, bahwa dia mendengar pertengkaran di kebun itu?"
Poirot tersenyum. "Sahabatku, ingatkah kau waktu kita pertama kali tiba di Merlinville" Dan gadis
cantik yang berdiri di pintu pagar itu" Kau bertanya apakah aku tidak melihat
seorang dewi muda, dan kujawab bahwa aku hanya melihat seorang gadis yang
bermata ketakutan. Demikianlah aku selalu mengingat Marthe Daubreuil sejak
semula. Gadis yang bermata ketakutan! Mengapa dia ketakutan" Bukan menguatirkan
Jack Renauld, karena waktu itu dia belum tahu bahwa Jack ada di Merlinville
malam sebelumnya." "Omong-omong," seruku, "bagaimana keadaan Jack Renauld?"
"Jauh lebih baik. Dia masih di Villa Marguerite. Tapi Nyonya Daubreuil sudah
menghilang. Polisi sedang mencarinya."
"Apakah menurut kau dia terlibat dalam perbuatan putrinya?"
"Kita tidak akan pernah tahu. Wanita itu adalah seorang wanita yang kuat, dia
pandai menyimpan rahasia. Dan aku sangat meragukan apakah polisi akan pernah
menemukannya." "Apakah Jack Renauld sudah - diberi tahu?"
"Belum." "Dia tentu akan terkejut sekali."
"Pasti. Tapi, tahukah kau, Hastings, aku ragu apakah hatinya benar-benar
terpikat. Selama ini kita menganggap Bella Duveen sebagai si penggoda, dan
Marthe Daubreuil sebagai gadis yang benar-benar dicintainya. Tapi pikirku bila
kita balikkan penamaan itu, kita akan lebih mendekati kebenarannya. Marthe
Daubreuil memang cantik sekali. Dia telah bertekad untuk memikat Jack, dan dia
telah berhasil. Tapi ingat betapa enggannya Jack memutuskan hubungannya dengan
gadis yang seorang lagi. Dan lihat pula betapa dia. lebih suka menyerahkan
dirinya ke kapak pemenggal daripada membiarkan gadis itu dituduh. Kurasa bila
dia mendengar tentang kejadian sebenarnya, dia akan merasa ngeri - jiwanya akan
memberontak, dan cinta palsunya akan sirna."
"Bagaimana dengan Giraud?"
"Dia mengalami guncangan saraf! Dia terpaksa kembali ke Paris."
Kami tersenyum. Poirot ternyata memang cukup pandai meramal. Ketika akhirnya dokter menyatakan
Jack sudah cukup kuat untuk mendengar kejadian yang sebenarnya, Poirot-lah yang
menceritakannya padanya. Dia memang sangat terkejut. Tapi dia lebih cepat pulih
daripada yang kuduga. Kasih sayang ibunya telah membantunya mengatasi masa-masa
sulit itu. Kini ibu dan anak tak terpisahkan lagi.
Kemudian terjadi lagi sesuatu yang tak terduga. Poirot mengatakan pada Nyonya
Renauld bahwa dia sudah mengetahui rahasianya, dan menganjurkan pada wanita itu
supaya rahasia masa lalu Tuan Renauld itu tidak dirahasiakan terus terhadap
Jack. "Menyembunyikan kebenaran itu tak pernah ada baiknya, Nyonya! Kuatkan hati Anda,
dan ceritakan semuanya pada anak itu."
Nyonya Renauld menyanggupinya dengan hati berat. Kemudian tahulah putranya bahwa
ayahnya yang dicintainya sebenarnya adalah seorang pelarian hukum. Atas
pertanyaannya, Poirot menjawab,
"Yakinlah, Tuan Jack. Dunia tak tahu apa-apa. Sepanjang pengetahuan saya, tak
ada keharusan pada saya untuk menceritakannya pada polisi. Dalam perkara ini,
saya bukannya bekerja untuk mereka, melainkan untuk ayah Anda. Akhirnya ayah
Anda dikalahkan oleh keadilan, tapi tak seorang pun perlu tahu bahwa dia
sebenarnya adalah Georges Conneau."
Tentu ada beberapa hal yang masih merupakan pertanyaan bagi polisi, tapi Poirot
menjelaskan semuanya itu demikian pandainya, hingga semua yang mengherankan lama
kelamaan menjadi jelas. Tak lama setelah kami kembali ke London, kulihat suatu tiruan anjing pemburu
yang besar menghiasi perapian Poirot. Menjawab pandanganku yang mengandung
pertanyaan, Poirot mengangguk.
"Mais, oui! Aku sudah menerima taruhanku sebanyak lima ratus franc itu! Dia
hebat, bukan" Dia kunamakan Giraud!"
Beberapa hari kemudian Jack Renauld datang mengunjungi kami dengan air muka
penuh keyakinan. "Tuan Poirot, saya datang untuk minta diri. Saya akan segera berlayar ke Amerika
Selatan. Ayah saya punya banyak usaha di benua itu, lagi pula saya ingin memulai
hidup baru di sana."
"Apakah Anda akan pergi seorang diri, Tuan Jack?"
"Ibu saya ikut - dan saya akan tetap mempertahankan Stonor sebagai sekretaris
kami. Dia suka bepergian ke ujung dunia."
"Tak ada lagikah yang lain?"
Muka Jack memerah. "Maksud Anda - ?"
"Seorang gadis yang sangat mencintai Anda - yang sudah mau mengorbankan nyawanya
untuk Anda." "Bagaimana mungkin saya mengajaknya serta?" gumam anak muda itu. "Setelah semua
kejadian ini, apakah mungkin saya pergi mendatanginya, dan - ah, kisah isapan
jempol apakah yang akan dapat saya ceritakan padanya?"
"Kaum wanita - punya kemampuan besar untuk menerima baik cerita-cerita semacam
itu." "Ya, tapi - saya sudah berbuat begitu goblok!"
"Kita semua, suatu saat tentu mengalami seperti itu," kata Poirot berfalsafah.
Tapi wajah Jack menjadi keras.
"Ada lagi sesuatu. Saya ini anak ayah saya. Apakah ada yang mau kawin dengan
saya, kalau dia tahu?"
"Anda memang putra ayah Anda. Hastings akan membenarkan bahwa saya percaya akan
sifat keturunan - "
"Ya, lalu - " "Saya tahu seorang wanita yang pemberani dan tabah, yang cintanya besar sekali,
yang mau mengorbankan diri - "
Anak muda itu mendongak. Pandangan matanya menjadi lembut. "Wanita itu adalah
ibuku!" "Benar. Anda bukan hanya putra ayah Anda, tapi juga putra ibu Anda. Jadi
pergilah jumpai Nona Bella. Ceritakan semuanya padanya. Jangan rahasiakan apaapa - kemudian lihat apa yang akan dikatakannya!"
Jack tampak bimbang. "Temui dia, jangan sebagai kanak-kanak, melainkan sebagai seorang pria dewasa seorang pria yang telah menjadi korban nasib masa lalu dan nasib masa kini. Tapi
yang mendambakan hidup baru yang indah. Mintalah dia untuk menyertai Anda.
Mungkin Anda tidak menyadarinya, tapi cinta Anda berdua telah diuji dalam
kesulitan besar, dan ternyata tidak goyah. Anda berdua telah bersedia
mengorbankan nyawa Anda masing-masing."
Lalu bagaimana halnya dengan Kapten Arthur Hastings yang menjadi pencatat
kejadian-kejadian ini"
Ada yang mengatakan bahwa dia menyertai keluarga Renauld ke tanah peternakan
mereka di seberang laut. Tapi sebagai penutup dari cerita ini, aku lebih suka
kembali ke suatu peristiwa pada suatu pagi di halaman Villa Genevi?ve.
"Aku tak bisa menyebutmu Bella," kataku, "karena itu bukan namamu. Dan Dulcie
rasanya kurang akrab. Jadi biarlah kupanggil kau Cinderella saja. Menurut
dongengnya, Cinderella menikah dengan pangerannya. Aku bukan pangeran, tapi - "
Dia memotong bicaraku. "Aku yakin Cinderella tentu telah memberinya peringatan! Soalnya, dia tak bisa
berjanji untuk menjadi seorang tuan putri. Dia hanya seorang gadis nakal - "
"Sekarang giliran pangeran untuk menyela," potongku. "Tahukah kau apa kata
pangeran itu?"

Lapangan Golf Maut Murder On The Links Karya Agatha Christie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak?" "Pangeran itu berkata, 'Sialan!' - lalu dia mencium gadis itu." Dan aku pun
melakukan apa yang merupakan penutup cerita itu.
Scan & DJVU: BBSC Konversi, Edit, Spell & Grammar Check:
clickers http://epublover.blogspot.com
http://facebook.com/epub.lover
(Pengeditan HANYA dengan metode pemeriksaan Spell & Grammar, bukan full-edited)
Pendekar Negeri Tayli 9 Pedang Siluman Darah 1 Rahasia Pedang Siluman Darah Rajawali Emas 7

Cari Blog Ini