Ceritasilat Novel Online

Mushasi 11

Mushasi Karya Eiji Yoshikawa Bagian 11


"Rasanya kau tak bisa pulang. Yah, tangan mencencang bahu memikul. Munisai tentu
menangis dalam kuburnya."
"Rasanya saya sudah cukup lama di sini," kata Musashi. "Saya pergi sekarang."
"Jangan!" kata Kaname marah. "Kau tinggal saja di sini! Kalau kau mondar-mandir sekitar
tempat ini, sebentar saja kau akan mendapat kesulitan. Perempuan tua tukang bantah dari
Keluarga Hon'iden itu muncul di sini kira-kira setengah tahun lalu. Baru-baru ini
beberapa kali dia datang. Dia terus bertanya pada kami apa kamu datang kemari, dan
mencoba mengetahui dari kami di mana kamu berada. Dia menguntitmu terus dengan nafsu
balas dendam yang mengerikan."
"Oh, Osugi. Dia pernah kemari?"
"Betul. Aku mendengar semua tentangmu dari dia. Kalau kau bukan sanakku, pasti kuikat
kau dan kuserahkan padanya, tapi karena keadaan... Paling tidak, tinggallah kau di sini
sekarang. Sebaiknya kau meninggalkan tempat ini tengah malam. Jadi, takkan ada
kesulitan dengan bibimu dan aku."
Sungguh memalukan bahwa bibi dan pamannya menelan setiap patah kata dalam fitnah Osugi.
Dengan perasaan betul-betul seorang diri, ia duduk diam menatap lantai. Akhirnya
bibinya kasihan kepadanya dan menyuruhnya pergi ke kamar lain untuk tidur.
Musashi menjatuhkan diri ke lantai dan mengendurkan sarung pedangnya. Sekali lagi ia
merasa bahwa di dunia ini tak ada tempat ia bergantung, kecuali diri sendiri.
Ia merenung. Barangkali benar, justru karena pertalian darahlah paman dan bibinya
menerimanya dengan terus terang dan keras. Kalau tadi ia begitu marah, hingga ingin
meludah di pintu dan pergi, maka sekarang ia mengambil sikap lebih toleran. Ia ingatkan
dirinya bahwa penting ia melepaskan mereka dari segala dakwaan.
Musashi memang terlalu naif, hingga tak dapat menilai secara tepat orang-orang yang ada
di sekitarnya. Sekiranya ia sudah kaya dan terkenal, perasaannya mengenai sanak
keluarganya pasti mengena. Sekarang ini begitu saja ia masuk dari tengah udara dingin,
dengan kimono kotor dan gombal, padahal malam itu malam Tahun Baru. Mengingat itu,
tidak mengherankan bahwa bibi dan pamannya tidak menunjukkan keakraban kekeluargaan.
Hal itu segera menyadarkan Musashi. Ia membaringkan badan dalam keadaan lapar, dan
merasa akan mendapat tawaran makan. Ia memang mencium bau makanan yang sedang dimasak
dan mendengar denting-denting pinggan-mangkuk di dapur, tapi tak seorang pun mendekati
kamarnya. Kelap-kelip api dalam anglo tidak lebih besar dari seekor kunang-kunang. Tak
lama kemudian ia menyimpulkan bahwa lapar dan dingin itu nomor dua. Yang paling penting
sekarang tidur, karena itu ia segera menidurkan diri.
Ia terbangun sekitar empat jam kemudian oleh dentang lonceng kuil yang menandakan
habisnya tahun lama. Tidur membuat badannya sehat. Ketika ia bangkit, terasa lelahnya
lenyap. Pikirannya segar dan jernih.
Di dalam dan di sekitar kota, lonceng besar berdentam-dentam dengan irama lambat dan
anggun, menandai berakhirnya kegelapan dan dimulainya terang. Seratus delapan dentangan
untuk seratus delapan angan-angan hidup, dan setiap dentangan merupakan seruan kepada
lelaki maupun perempuan untuk mengenangkan kesia-siaan cara hidup mereka.
Musashi bertanya-tanya pada diri sendiri, berapa banyak orang yang pada malam itu dapat
mengatakan, "Aku benar. Aku sudah melakukan apa yang harus kulakukan. Aku tidak
menyesal." Baginya sendiri, setiap dentang lonceng yang menggema itu membangkitkan
getar sesal yang dalam. Ia tak dapat menampilkan apa pun kecuali hal-hal salah yang
dilakukannya tahun lalu-tahun sebelumnya dan tahun sebelum itu pun, atau seluruh tahun
yang telah lewat itu, semuanya membawa penyesalan baginya. Tak satu tahun pun tanpa
penyesalan. Ya, boleh dikata tak satu hari pun tanpa penyesalan.
Menurut pandangannya yang terbatas atas dunia ini, tampaknya apa pun yang diperbuat
orang, segera kemudian akan mereka sesali. Orang misalnya mengambil istri dengan maksud
menjalani hidup bersama, tapi sering kemudian ia berubah pikiran. Kita dapat dengan
mudah memaafkan perubahan pikiran pada perempuan, tapi perempuan jarang memperdengarkan
keluhan, sedangkan lelaki sering. Berapa kali ia pernah mendengar lelaki memperolokolok istrinya, seolah istri itu sandal buangan yang usang.
Musashi memang tidak punya masalah perkawinan, tapi ia menjadi korban angan-angan, dan
sesal bukanlah perasaan yang asing baginya. Pada saat ini pun ia menyesal sekali telah
datang ke rumah bibinya. "Sekarang pun," demikian ratapnya, "aku tak bebas dari rasa
ketergantungan. Aku selalu mengatakan pada diriku bahwa aku harus berdiri di atas kaki
sendiri dan menjaga diri sendiri. Tapi kemudian tiba-tiba aku mundur dan bertopang
kepada orang lain. Ini sungguh dangkal! Sungguh bodoh!
"Tahulah aku apa yang mesti kulakukan!" pikirnya. "Aku mesti mengambil sikap dan
menuilskannya." Ia membuka bungkusan shugyosha-nya dan mengeluarkan buku tulis yang terbuat dari
lembar-lembar kertas lipat empat dan diikat dengan kertas gulung. Ia biasa
menggunakannya untuk mencatat pikiran-pikiran yang datang kepadanya selama
pengembaraannya, termasuk ungkapan-ungkapan Zen, catatan tentang ilmu bumi, nasihatnasihat untuk diri sendiri, dan kadang juga sketsa kasar tentang hal-hal menarik yang
dilihatnya. Dibukanya buku tulis itu di hadapannya, dikeluarkannya kuas, dan
dipandangnya kertas putih itu.
Ia menulis: Aku takkan menyesali apa pun.
Sering memang ia menuliskan sikap yang diambilnya. Menurutnya, dengan menuliskannya pun
ia dapat merasakan lega sedikit. Ia mesti mengulang-ulangnya untuk diri sendiri tiap
pagi dan malam, seperti orang membaca kitab suci. Akibatnya ia selalu mencoba memilih
kata-kata yang mudah diingat dan dibaca, seperti sajak.
Lalu sejenak ia menatap apa yang telah ditulisnya itu dan mengubahnya dengan: Aku
takkan menyesali perbuatan-perbuatanku.
Ia menggumamkan kata-kata itu pada diri sendiri, tapi masih terasa kurang memuaskan,
dan mengubahnya lagi: Aku takkan melakukan sesuatu yang akan kusesali.
Puas dengan usahanya yang ketiga, ia memainkan kuasnya. Sekalipun ketiga kalimat itu
ditulis dengan maksud sama, dua kalimat pertama bisa saja berarti ia takkan menyesal,
entah ia berbuat benar atau salah, sedangkan kalimat ketiga menekankan tekadnya untuk
bertindak demikian rupa, hingga tak perlu lagi kritik diri.
Musashi mengulangi ketetapan hati itu pada diri sendiri, karena sadar bahwa itu suatu
cita-cita yang takkan dapat tercapai kalau ia tidak mendisiplin hati dan pikirannya
semampu-mampunya. Namun demikian, berjuang untuk mencapai tingkat di mana tak ada
tindakannya yang akan menimbulkan penyesalan merupakan jalan yang harus ia tempuh.
"Pada suatu hari nanti aku akan mencapai cita-cita itu!" demikian sumpahnya. Ia
benamkan sumpah itu ke dasar hatinya, seperti membenamkan pancang.
Shoji di belakangnya menggeser terbuka dan bibinya menjenguk Dengan suara menggeletar
di sekitar akar giginya, bibinya berkata, "Sudah kuduga sebelumnya! Ada yang mengatakan
padaku, tak perlu aku menerimamu di sini, dan sekarang apa yang kutakutkan itu betulbetul terjadi. Osugi datang mengetuk dan melihat sandalmu di gang masuk. Dia yakin kamu
ada di sini dan mendesak aku menyerahkanmu kepadanya! Dengar itu! Kamu bisa
mendengarnya dari sini. Oh, Musashi, apa yang akan kau lakukan?"
"Osugi" Di sini!" tanya Musashi, enggan mempercayai telinganya. Tapi benar tak ada yang
salah. Ia mendengar suara Osugi yang parau itu menerobos celah-celah seperti angin
dingin, suara itu tertuju pada Kaname, dengan nada paling kaku dan paling congkak.
Osugi datang ketika dentang-dentang lonceng tengah malam baru saja berhenti dan bibi
Musashi baru saja akan pergi menimba air bersih untuk Tahun Baru. Bibi itu gelisah oleh
bayangannya sendiri bahwa Tahun Barunya akan kacau oleh pertumpahan darah yang tak
suci, karena itu la tidak berusaha menyembunyikan kesal hatinya.
"Larilah kamu secepat-cepatnya," mohonnya. "Pamanmu masih menahannya dengan mengatakan
kamu tidak datang kemari. Menyelinaplah, selagi ada waktu." Ia pungut topi dan
bungkusan Musashi, dan ia antar Musashi ke pintu belakang. Di situ ia telah meletakkan
kaus kaki kulit suaminya beserta beberapa pasang sandal jerami.
Sambil mengikatkan sandal, Musashi berkata tersipu-sipu, "Saya sebetulnya benci
mengganggu orang, tapi apa tak bisa Bibi berikan pada saya semangkuk bubur" Saya belum
makan apa pun malam ini."
"Ini bukan waktu makan! Tapi inilah, ambil ini! Dan pergi sana!" Ia ulurkan lima kue
betas dengan secarik kertas putih.
Musashi menerimanya dengan girang dan mengangkatnya ke depan dahi sebagai tanda terima
kasih. "Selamat tinggal," katanya.
Ia susuri jalanan yang licin oleh es pada hari pertama Tahun Baru yang gembira itu
dengan sedih, seperti seekor burung musim dingin yang bulunya berterbangan ke langit
hitam. Rambut dan kuku-kukunya terasa membeku. Yang tampak olehnya hanyalah napasnya sendiri
yang putih, yang cepat membeku pada bulu halus sekitar mulutnya. "Dingin," katanya
keras. Tujuh Neraka Beku pasti tak sedingin ini! Kalau biasanya ia mengibaskan rasa
dingin begitu saja, kenapa pagi ini ia rasakan dingin sehebat ini"
Dan ia menjawab pertanyaannya sendiri, "Tidak hanya tubuhku. Jiwaku pun dingin. Berarti
belum dapat diatur dengan baik. Demikianlah adanya. Aku masih ingin bergayut pada
daging hangat, seperti bayi, dan aku terlalu cepat menyerah pada sentimentalitas.
Karena aku sendirian, aku merasa kasihan pada diri sendiri dan iri kepada orang-orang
yang punya rumah bagus dan hangat. Dalam hal aku merasa hina dan tak berarti! Kenapakah
aku tak bisa berterima kasih atas kebebasan dan kemerdekaan untuk pergi ke mana kusuka"
Kenapakah aku tak dapat berpegang pada cita-cita dan harga diri?"
Sementara menikmati keunggulan nilai kemerdekaan, kakinya yang sakit bertambah hangar,
bahkan sampai ujung-ujung jarinya, dan napasnya berubah menjadi uap. "Seorang
pengembara tanpa cita-cita dan tanpa rasa syukur kepada kebebasan yang dimilikinya
tidak lebih dari seorang pengemis! Perbedaan besar antara seorang pengemis dan pendeta
pengembara menurut Saigyo terletak di dalam hati!"
Tiba-tiba ia melihat kilau putih di bawah kakinya. Ia menginjak lapisan es rapuh. Tanpa
diketahuinya, sejak tadi la berjalan menuju tepi Sungai Kamo yang membeku. Sungai
maupun langit masih hitam, dan di timur belum lagi tampak bayangan fajar. Kakinya
berhenti berjalan. Bagaimanapun, kaki itu telah membawanya dengan selamat melintasi
kegelapan Bukit Yoshida. Sekarang keduanya enggan berjalan terus.
Di balik tanggul ia kumpulkan ranting-ranting, pecah-pecahan kayu dan apa saja yang
dapat terbakar, kemudian ia menggoreskan batu api. Membuat nyala kecil yang pertama itu
menuntut kerja keras dan kesabaran, tapi akhirnya sejumlah daun kering mulai menyala.
Dengan ketekunan seorang tukang kayu, ia dapat mengonggokkan bilah-bilah kayu dan
cabang-cabang kecil. Pada taraf tertentu, api dengan cepat menyala, dan ketika angin
bertiup ia menjilat pembuatnya, hampir-hampir membakar wajahnya.
Musashi mengeluarkan kue betas pemberian bibinya dan membakarnya satu per satu dalam
nyala api. Kue itu menjadi cokelat dan membengkak seperti gelembung, mengingatkannya
pada perayaan Tahun Baru di masa kecilnya. Kue itu tidak memiliki rasa lain kecuali
rasanya sendiri, karena memang tidak digarami atau digulai.
Ketika ia mengunyahnya, terasa olehnya nasi putih itu sebagai rasa dunia nyata di
sekitarnya. "Aku merayakan Tahun Baru sendiri," pikirnya bahagia. Sesudah menghangatkan
muka dengan nyala api dan mengisi mulutnya, maka dunia pun terasa agak menarik.
"Ini perayaan Tahun Baru yang bagus! Kalau seorang pengembara seperti aku memiliki lima
biji kue nasi yang baik, mestinya surga memberikan kemungkinan pada tiap orang untuk
merayakan Tahun Baru dengan caranya masing-masing. Di sini ada Sungai Kamo yang akan
kuajak minum merayakan Tahun Baru. Tiga puluh puncak Gunung Higashiyama itulah hiasan
pinusku! Aku mesti membasuh tubuhku dan menantikan sinar matahari pertama."
Di tepi sungai yang membeku itu ia buka obi-nya, ia lepas kimono dan pakaian dalamnya,
kemudian ia mencemplungkan diri ke air, membasuh diri seluruhnya sambil berkecipak
seperti burung air. Ia sedang berdiri di tepi sungai sambil menggosok kulitnya kuat-kuat, ketika cahaya
fajar pertama memecah dari balik awan dan jatuh hangat ke punggungnya. Ia memandang ke
arah api dan tampaklah seseorang berdiri di tanggul di atas api itu. Seorang musafir
yang berbeda dalam umur dan penampilan, dan terbawa kemari oleh nasib. Osugi.
Perempuan tua itu melihatnya juga, dan dalam hatinya berseru, "Dia di sini! Perusuh itu
di sini!" Dilanda perasaan gembira sekaligus takut, hampir saja ia jatuh pingsan. Ia
ingin memanggil Musashi, tapi suaranya tertahan. Tubuhnya gemetar dan tak mau tunduk
pada perintahnya. Secara mendadak ia duduk dalam bayangan sebatang pinus kecil.
"Akhirnya!" ucapnya gembira. "Akhirnya kutemukan dia! Jisim Paman Gon yang memimpinku
menemukan dia." Dalam tas yang bergantung di pinggangnya ia simpan sebagian tulang
Paman Gon dan sejumlah rambutnya.
Tiap hari, semenjak kematian Paman Gon, ia bicara dengan orang mati itu. "Paman Gon,"
katanya, "biarpun kau sudah mati, aku tak merasa sendirian. Kau bersamaku. Aku
bersumpah takkan kembali ke desa sebelum menghukum Musashi dan Otsu. Dan kau masih
bersamaku sekarang. Boleh saja kau mati, tapi jisimmu selalu di sampingku. Kita akan
bersama selamanya. Pandanglah ke atas lewat rerumputan kepadaku, dan perhatikan! Tak
bakal aku membiarkan Musashi pergi tanpa hukuman!"
Paman Gon baru seminggu meninggal, tapi Osugi sudah berketetapan akan setia kepadanya,
sampai ia sendiri nanti berubah menjadi abu. Beberapa hari terakhir itu Ia
melipatgandakan usaha pencarian dengan kehebohan Kishimojin yang dahsyat. Sebelum
tunduk pada sang Budha, Kishimojin telah membunuhi anak-anak lain untuk memberi makan
anaknya sendiri kabarnya jumlahnya sampai lima ratus, atau seribu, atau sepuluh ribu.
Kabar nyata pertama yang didengar Osugi adalah omongan orang di jalan bahwa segera akan
terjadi pertarungan antara Musashi dan Yoshioka Seijuro. Kemudian, malam sebelumnya ia
berada di tengah orang-orang yang merubung papan pengumuman yang terpasang di Jembatan
Besar Jalan Gojo. Sungguh peristiwa itu membesarkan hatinya! Ia membaca papan itu
berulang kali sambil berpikir. "Jadi, ambisi Musashi itu akhirnya menguasainya. Oh,
mereka akan membuatnya seperti badut. Yoshioka akan membunuhnya. Oh! Kalau hal itu
terjadi, bagaimana mungkin aku menghadapi orang di desa" Aku bersumpah aku sendirilah
yang akan membunuhnya. Aku harus mendahului Yoshioka dan membawa wajah menangis itu
pulang ke rumah, menjinjingnya pada rambutnya supaya orang-orang desa dapat
melihatnya!" Kemudian ia berdoa kepada dewa-dewa, bodhisatwa, dan para leluhur, agar
mereka membantunya. Karena marah dan sengit, ia meninggalkan rumah Matsuo dengan kecewa. Pulang menyusuri
Sungai Kamo, semula la menyangka cahaya itu api unggun seorang pengemis. Tanpa suatu
sebab khusus ia berhenti di tanggul dan menanti. Ketika dilihatnya seorang lelaki
telanjang berotot muncul dari sungai tanpa memedulikan dingin, tahulah ia bahwa orang
itu Musashi. Karena Musashi tidak berpakaian, itulah saat yang paling baik untuk menangkapnya dengan
kejutan dan memotongnya, tetapi hatinya yang tua dan mengering itu tak tega berbuat
demikian. Ia mengatupkan tangan dan mengucapkan doa syukur, seolah-olah telah membawa kepala
Musashi. "Sungguh aku bahagia! Terima kasihku atas pertolongan dewa-dewa dan
bodhisatwa, bahwa sekarang aku melihat Musashi di depan mataku. Ini tak mungkin sekadar
kebetulan! Keyakinanku yang tak pernah kendur kini mendapat berkah. Musuh diserahkan ke
tanganku!" Ia menyembah surga, karena ia percaya sepenuhnya bahwa sekarang tibalah
baginya saat terbaik untuk menyempurnakan tugasnya.
Batu-batuan sepanjang tepi air kelihatan mengapung di atas tanah satu demi satu ketika
cahaya menimpanya. Musashi mengenakan kimono, mengikatkan obi erat-erat, dan
memasangkan kedua pedangnya. Ia bersujud diam kepada dewa-dewa langit dan bumi.
Jantung Osugi melompat ketika ia berbisik, "Sekarang!"
Tepat pada waktu itu Musashi melompat berdiri. Dengan gesitnya ia melompati air dan
berjalan cepat menyusuri tepi sungai. Osugi buru-buru berjalan menyusur tanggul,
berusaha tidak memancing perhatian Musashi.
Atap-atap dan jembatan-jembatan kota mulai membentuk garis-garis putih dalam kabut
pagi, tapi di atas sana bintang-bintang masih melayanglayang di angkasa, dan daerah
sepanjang kaki Gunung Higashiyama masih sehitam tinta. Ketika Musashi sampai jembatan
kayu di Jalan Sanjo, ia lewat di bawahnya dan muncul kembali di puncak tanggul di
seberangnya. Ia berjalan dengan langkah lelaki, panjang-panjang. Beberapa kali Osugi
sudah begitu dekat, hingga dapat memanggil Musashi, tapi ia menahan diri.
Musashi iahu la ada di belakang. Tapi ia pun tahu bahwa jika ia menoleh ke belakang,
Osugi akan menyerangnya, dan terpaksalah ia menghadiahi perempuan itu dengan pameran
cara bertahan, tanpa melukainya. "Lawan yang mengerikan!" pikirnya. Sekiranya ia masih
Takezo dulu di desa, tak akan ia memikirkan yang lain kecuali merobohkannya dan
menghantamnya sampai muntah darah. Sekarang tentu saja tak dapat lagi ia berbuat
demikian. Sebetulnya ia lebih punya hak membenci perempuan itu daripada sebaliknya, tapi ia ingin
perempuan itu sadar bahwa perasaan terhadap dirinya hanya berlandaskan salah pengertian
besar. Ia yakin bahwa kalau ia dapat menjelaskan duduk perkaranya, tidak akan lagi
perempuan itu bertahun-tahun lamanya menyimpan dendam kesumat, tapi kecil
kemungkinannya Musashi dapat meyakinkannya sekarang, kecuali kalau ia menjelaskannya
seribu kali. Hanya ada satu kemungkinan. Walaupun keras kepala, Osugi pasti percaya
kepada Matahachi. Kalau anaknya sendiri menceritakan dengan tepat apa yang telah
terjadi sebelum dan sesudah Sekigahara, mungkin ia tak lagi menganggap Musashi musuh
Keluarga Hon'iden, apalagi orang yang melarikan calon istri anaknya.
Kini ia mendekati jembatan di daerah yang pada akhir abad dua belas berkembang pesat,
yaitu ketika Keluarga Taira berada di puncak kejayaannya. Sesudah peperangan di abad
lima belas pun daerah itu tetap merupakan salah satu bagian Kyoto yang paling padat
penduduknya. Matahari baru saja mulai menyinari bagian depan rumah-rumah dan kebun.
Tanda-tanda bekas sapuan malam sebelumnya masih kelihatan, tapi pada waktu sepagi itu
tak satu pintu pun terbuka.
Osugi dapat menandai jejak kaki Musashi di lumpur. Jejak kaki itu pun dibencinya.
Seratus meter lagi, kemudian lima puluh.
"Musashi!" jerit perempuan tua itu. Sambil mengepalkan tinju ia menjulurkan kepalanya
dan berlari mengejar. "Setan jahat kamu!" serunya. "Apa kamu tak punya telinga?"
Musashi tidak menoleh. Osugi terus berlari. Sekalipun sudah tua, tekadnya yang tak kenal maut memberikan
keberanian dan kelelakian kepada langkah-langkahnya. Musashi terus membelakanginya,
gelisah menimbang-nimbang cara bertindak.
Tiba-tiba perempuan itu melompat ke hadapannya dan menjerit, "Berhenti!" Bahunya yang
lancip dan tulang rusuknya yang tipis kerempeng bergeser. Sesaat la berdiri dengan
napas terengah-engah sambil mengumpulkan ludah di mulut.
Musashi tak menyembunyikan sikap pasrahnya. Katanya dengan sikap tak acuh sebisanya,
"Oh, kalau tak salah ini Nyonya Hon'iden! Apa kerja Ibu di sini?"


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Anjing biadab kamu! Kenapa pula aku tak di sini" Aku yang mestinya bertanya. Aku sudah
membiarkanmu lepas di Bukit Sannen, tapi hari ini akan kumiliki kepalamu itu!" Lehernya
yang kurus kering mengingatkan Musashi kepada jago aduan, dan suaranya yang
menggeletar, yang seakan hendak melontarkan giginya yang merongos keluar dari mulut
itu, lebih mengerikan daripada teriakan perang.
Rasa takut Musashi kepada perempuan tua itu berakar dalam kenangan masa kanak-kanaknya,
ketika Osugi menangkap basah ia dan Matahachi melakukan suatu kenakalan di rumpun buah
mulberi atau di dapur Hon'iden. Waktu itu ia berumur delapan atau sembilan tahun, masa
ketika mereka berdua selalu saja melakukan kenakalan. Dan ia masih ingat dengan jelas,
bagaimana waktu itu Osugi memaki-makinya. Waktu itu ia lari ketakutan dan perutnya
terasa mual. Kenangan ini membuatnya menggigil. Ia sudah menganggap perempuan itu
tukang sihir tua yang bikin benci dan gampang marah. Sekarang pun ia benci pada Osugi
karena pernah mengkhianatinya, sewaktu ia pulang ke desa dari Sekigahara. Tapi aneh, ia
juga sudah terbiasa menganggap wanita itu sebagai orang yang takkan pernah dapat
dihadapinya dengan baik. Hanya bersama berlalunya waktu, perasaan terhadap perempuan
itu menjadi lunak. Pada Osugi, sebaliknya yang terjadi. Ia tak dapat melepaskan gambaran tentang Takezo
sebagai anak nakal yang menjengkelkan dan tak bisa diatur. Ia mengenalnya sejak bayi.
Seorang anak yang selalu meler hidungnya dan kepalanya luka-luka. Tangan dan kakinya
begitu panjang, hingga kelihatan tidak normal. Bukannya ia tak sadar akan jalannya
waktu, bahwa ia sudah tua sekarang. Ia sadar. Dan Musashi sudah dewasa. Tapi ia tak
dapat mengatasi dorongan hatinya untuk memperlakukan Musashi sebagai anak melarat yang
jahat. Apabila terpikir olehnya betapa anak kecil ini telah mempermalukannya, kontan ia
berniat membalas dendam! Soalnya bukanlah sekadar membersihkan diri di hadapan orang
desa. Ia mesti melihat Musashi masuk kubur sebelum ia sendiri mengakhiri hidupnya.
"Tak ada gunanya bicara!" pekiknya. "Serahkan kepalamu, atau siap-siaplah merasakan
pedangku! Siap kamu, Musashi!" Ia menghapus bibirnya dengan jari, meludah ke tangan
kiri, dan mencekal sarung pedangnya.
Ada peribahasa tentang seekor belalang betina yang menyerang kereta kaisar. Tentunya
peribahasa itu diciptakan orang untuk melukiskan Osugi yang pucat pasi itu, yang
menyerang Musashi dengan kakinya yang kurus panjang. Ia tampak benar-benar seperti
seekor belalang betina. Matanya, kulitnya, cara berdirinya yang aneh, semuanya sama.
Musashi berdiri waspada memperhatikan gerak Osugi, seperti terhadap anak yang sedang
bermain. Bahu dan dadanya tampak tak terkalahkan, seperti kereta besi yang kekar.
Walaupun situasinya tampak ganjil, ia tidak dapat tertawa, karena tiba-tiba ia merasa
sangat kasihan. "Tunggu dulu, Nek!" mohonnya sambil menangkap siku perempuan itu
sedikit, namun erat. "A... pa pula ini!" teriak Osugi. Tangannya yang tak berdaya dan giginya gemetar karena
terkejut. "P-p-pe-ngecut!" gagapnya. "Kaupikir kau bisa men-cegahku" Empat puluh Tahun
Baru lebih banyak telah kulihat daripada yang sudah kaulihat, karena itu tak bisa kau
memperdayakan aku. Terima hukumanmu!" Warna kulit Osugi seperti warna tanah liat merah,
sedangkan suaranya penuh kenekatan.
Sambil mengangguk bersemangat, Musashi berkata, "Saya mengerti; saya tahu perasaan
Nenek. Memang Nenek menyimpan semangat juang Keluarga Hon'iden. Saya lihat Nenek
memiliki darah yang sama dengan leluhur Keluarga Hon'iden, yang dengan berani pernah
mengabdi pada Shimmen Munetsura."
"Lepaskan aku...! Takkan kudengarkan jilatan orang yang semuda cucuku." "Tenanglah.
Kurang tepat kalau orang setua Nenek bersikap kasar. Ada yang mau saya katakan."
"Pernyataan terakhir sebelum menemui ajalmu?"
"Tidak; saya mau menjelaskan."
"Aku tak ingin penjelasan apa pun darimu!" Perempuan tua itu menegakkan diri setinggitingginya.
"Nah, kalau begitu saya cuma akan mengambil pedang Nenek itu. Nanti, kalau Matahachi
muncul, biar dia yang menjelaskan segalanya pada Nenek."
"Matahachi?" "Ya. Saya sudah kirim pesan padanya musim gugur lalu."
"Oh, begitu." "Saya minta dia menjumpai saya di sini pagi Tahun Baru ini."
"Bohong!" jerit Osugi sambil menggelengkan kepala dengan hebatnya. "Kamu mesti malu,
Musashi. Apa kamu bukan anak Munisai" Apa dia tidak mengajarkan padamu, bahwa kalau
tiba waktunya untuk mati, kau mesti mati seperti lelaki" Ini bukan waktunya bermain
kata-kata. Seluruh hidupku ada di belakang pedang ini, dan aku mendapat dukungan dewadewa dan bodhisatwa. Kalau kau berani menghadapinya, hadapilah!" Ia berusaha meloloskan
tangannya dari Musashi, sambil teriaknya, "Hidup sang Budha." Ia mencabut pedang dan
mencengkeramnya dengan kedua tangan, lalu menerjang dada Musashi.
Musashi mengelak. "Tenang, Nek, tenanglah!"
Musashi menepuk punggungnya sedikit, Osugi menjerit dan berpusing menghadapi Musashi.
Sambil bersiap menyerang ia menyerukan nama Kannon. "Puji bagi Kannon Bosatsu!" Ia
menyerang lagi. Ketika melewati Musashi, Musashi menangkap pergelangan tangannya. "Kalau Nenek terus
begini, Nenek cuma akan bikin capek diri sendiri. Lihat, jembatan ada di sana. Ayolah
kita sama-sama ke sana."
Osugi memutar kepalanya, menyeringai, dan mengerutkan bibir. "Fui!" Ia meludah dengan
segala kekuatannya yang masih tinggal.
Musashi melepaskannya dan menyingkir sambil menggosok mata kirinya. Mata itu terasa
terbakar, seolah telah terkena bunga api. Ia pandang tangan yang dipakainya menggosok
mata itu. Tak ada darah di situ, tapi ia tak dapat membuka mata. Melihat ia sedang
lengah, Osugi menyerang lagi dengan kekuatan baru, sambil menyerukan lagi nama Kannon.
Dua kali, tiga kali ia mengayunkan pedang ke arah Musashi.
Ketika pedang terayun ketiga kalinya, Musashi hanya membungkukkan badan sedikit dari
pinggang, karena sibuk dengan matanya. Pedang memotong lengan kimononya dan menggores
lengannya. Potongan lengan kimono itu jatuh, hingga Osugi mendapat kesempatan melihat darah pada
lapisan putih. "Aku sudah melukainya!" jeritnya gembira meluap-luap, dan terus
mengayun-ayunkan pedang membabi buta. Ia merasa bangga, seolah-olah telah menumbangkan
sebatang pohon besar sekali tebas. Sama sekali tak mengurangi kegembiraannya bahwa
Musashi tidak balik membalas. Terus juga ia meneriakkan nama Kannon dari Kiyomizudera
dan menyerukan dewa untuk turun ke bumi.
Dengan suara hiruk-pikuk luar biasa ia berlari-lari sekitar Musashi, menyerangnya dari
depan dan belakang. Musashi sendiri tidak berbuat lain kecuali mengubah-ubah letak
tubuhnya untuk menghindari tebasan.
Matanya mengganggunya dan lengannya terkena goresan. Walaupun melihat datangnya
tebasan, ia tak dapat bergerak cepat untuk menghindar. Belum pernah sebelumnya orang
sampai melompatinya atau melukainya biarpun sedikit. Karena ia tidak melayani serangan
Osugi secara sungguh-sungguh, tidak pernah terlintas dalam pikirannya siapa akan menang
dan siapa kalah. Tapi bukankah sudah ia biarkan dirinya terluka, karena tidak melayani secara sungguhsungguh" Menurut Seni Perang, betapapun kecilnya luka itu jelas ia kalah. Keyakinan
perempuan tua itu dan ujung pedangnya menunjukkan pada semua orang bahwa Musashi belum
matang. "Aku salah," demikian pikirnya. Sadar bahwa bersikap pasif itu bodoh. Ia pun melompat
menghindari pedang yang menyerangnya, kemudian menampar punggung Osugi dengan keras,
hingga perempuan itu terguling dan pedang terlepas dan tangannya.
Dengan lengan kiri, Musashi memungut pedang itu, dan dengan tangan kanan diangkatnya
Osugi ke dalam lekuk lengannya.
"Turunkan aku!" jerit Osugi menggapai-gapai. "Apa tak ada dewa-dewa" Tak ada
bodhisatwa" Aku sudah melukainya sekali! Apa dayaku, Musashi! Jangan permalukan aku
macam ini! Potong kepalaku! Bunuh aku sekarang!"
Musashi bungkam seribu bahasa. Ia menyusuri jalan setapak sambil mengepit perempuan
yang meronta-ronta itu. Sementara itu Osugi terus memprotes dengan suara seraknya,
"Inilah peruntungan perang! Ini nasib! Kalau memang ini kehendak dewa-dewa, aku takkan
bersikap pengecut!... Kalau Matahachi mendengar Paman Gon dan aku terbunuh dalam usaha
balas dendam, pasti bangkit marahnya dan akan dia balaskan dendam kami berdua. Itu obat
mujarab untuknya. Musashi, bunuh aku. Bunuh aku sekarang! ... Ke mana kamu pergi" Mau
kautambahkan lagi aib pada ajalku" Berhenti! Potong kepalaku sekarang!"
Musashi tidak juga menghiraukannya, tapi ketika sampai di jembatan ia mulai bertanyatanya dalam hati, apa yang mesti ia lakukan terhadap perempuan itu.
Kemudian datanglah ilham. Ketika turun ke sungai, ditemuinya di situ sebuah perahu
tertambat di salah satu tiang jembatan. Pelan-pelan diturunkannya perempuan itu ke
dalamnya. "Nah, sekarang Nenek mesti sabar dan tinggal di sini sebentar. Matahachi
sebentar lagi datang."
"Apa maumu?" teriak Osugi, mencoba menepiskan tangan Musashi dan sekaligus tikar-tikar
gelagah di dasar perahu itu. "Apa bedanya, Matahachi datang ke sini atau tidak" Dan
kenapa kaubilang dia akan datang" Aku tahu apa yang akan kaulakukan. Kau tak puas kalau
hanya membunuhku; kau mau menghinaku juga!"
"Terserah Nenek. Tak lama lagi Nenek akan lihat kebenaranmya."
"Bunuh aku!" "Ha, ha, ha!" "Apa yang lucu" Kau takkan sulit memotong leher tua ini dengan sekali tebas!"
Karena tak ada cara yang lebih baik, Musashi pun mengikatkannya ke bagian lunas perahu
yang menyembul ke atas air. Kemudian dimasukkannya pedang perempuan itu ke dalam
sarungnya dan diletakkan baik-baik di sampingnya.
Begitu Musashi pergi, Osugi mengejeknya, katanya, "Musashi! Menurutku kau ini tak
mengerti Jalan Samurai! Baik, kemari, akan kuajari kamu."
"Nanti." Musashi mulai mendaki tanggul, tapi Osugi demikian hebohnya, hingga terpaksa ia kembali
dan menimbunkan beberapa tikar gelagah di atasnya.
Matahari merah besar menyala-nyala di atas Gunung Higashiyama. Musashi memandang
terpesona ketika matahari itu naik dan merasakan cahayanya menembus ke dalam dirinya.
la pun jadi termenung. Pikirnya, hanya sekali setahun matahari barn ini naik, membikin
cacing ego yang mengikat manusia pada pikiran-pikiran kerdilnya mencair dan menghilang
oleh cahaya yang luar biasa. Dan Musashi dipenuhi kegembiraan karena masih hidup. Ia
berseru gembira di tengah fajar merekali itu, "Aku masih muda!"
*** 32. Jembatan Besar di Jalan Gojo
"LAPANGAN RENDAIJI... hari kesembilan bulan pertama...."
Membaca kata-kata itu membuat darah Musashi menggelegak.
Namun perhatiannya terganggu oleh rasa nyeri tajam dan menikam pada mata kirinya.
Ketika ia mengangkat tangan setinggi kelopak mata, kelihatan ada jarum kecil menancap
pada lengan kimononya, dan ketika lebih saksama diperhatikannya ternyata ada empat
ataulima lagi bersarang seperti potongan-potongan es kena cahaya pagi.
"Oh, ini dia!" serunya sambil mencabut satu di antaranya dan mengamat-amatinya.
Besarnya seperti jarum jahit kecil, tapi tak berlubang, dan bentuknya bukan bulat, tapi
segi tiga. "Anjing perempuan!" katanya jijik sambil menatap ke arah perahu. "Aku sudah
dengar tentang jarum semburan macam ini, tapi siapa sangka perempuan jelek tua itu yang
menembakkannya" Sungguh nyaris."
Rasa ingin tahu seperti biasa muncul. Ia kumpulkan jarum-jarum itu satu demi satu,
kemudian ia sisipkan baik-baik dalam kerahnya, dengan maksud mempelajarinya kemudian.
Ia mendengar bahwa di antara para prajurit terdapat dua aliran yang berlawanan mengenai
senjata kecil ini. Yang satu berpendapat bahwa jarum itu dapat dengan efektif
dipergunakan sebagai alat penangkis dengan menyemburkannya ke wajah lawan, sedangkan
yang lain menyatakan bahwa itu omong kosong.
Golongan pendukung senjata itu menyatakan bahwa cara yang sudah sangat tua dalam
menggunakan jarum itu dikembangkan dari permainan para penjahit dan pemintal yang
pindah dari Tiongkok ke Jepang pada abad enam atau tujuh. Sekalipun tidak dianggap
sebagai alat penyerang, menurut mereka senjata itu dipergunakan sampai zaman ke-shogunan Ashikaga sebagai alat persiapan untuk melindungi diri terhadap lawan.
Pihak lain bahkan sampai menyatakan tak pernah ada teknik kuno dalam hal itu, sekalipun
mereka membenarkan semburan jarum itu pernah dipergunakan untuk permainan. Mereka
membenarkan, orang-orang perempuan mungkin saja bermain-main dengan itu, tapi mereka
tetap menolak bahwa semburan jarum dapat dikembangkan sampai taraf dapat menimbulkan
luka. Mereka juga menyatakan bahwa air ludah memang dapat menahan panas, dingin, atau
keasaman tertentu, tapi sedikit saja dapat menahan rasa nyeri akibat jarum yang menusuk
bagian dalam mulut. Jawaban atas pertanyaan ini tentu saja bahwa dengan latihan yang
cukup, orang dapat menyimpan jarum-jarum dalam mulutnya tanpa merasa sakit dan
meluncurkannya dengan lidah, dengan ketepatan dan kekuatan tinggi. Itu cukup untuk
membutakan orang. Orang-orang yang tak percaya membantah. Mereka berpendapat bahwa sekalipun jarum itu
dapat disemburkan dengan keras dan cepat, kemungkinan untuk dapat melukai seseorang
sangat minim. Bagaimanapun, menurut mereka bagian wajah yang lemah terhadap serangan itu hanyalah
mata, sedangkan kemungkinan jarum itu mengenai mata tidak begitu besar, biarpun dalam
kondisi paling menguntungkan. Dan kerusakan yang ditimbulkannya tidaklah berarti.
Mendengar banyak argumentasi pada waktu yang berlain-lainan, Musashi cenderung memihak
orang-orang yang menyangsikannya. Tapi sesudah mendapat pengalaman sendiri, ia pun
sadar bahwa penilaiannya terlampau tergesa-gesa dan bahwa penggal-penggal pengetahuan
yang diperoleh secara sembarangan saja dapat terbukti sangat penting dan bermanfaat.
Jarum-jarum itu tidak mengenai biji matanya, tapi matanya kini berair. Ketika ia sedang
meraba-raba pakaiannya untuk mencari sesuatu yang dapat dipergunakannya
mengeringkannya, didengarnya bunyi kain disobek. Dan ketika ia menoleh, dilihatnya
seorang gadis sedang merobek secarik kain merah dari lengan baju dalamnya.
Akemi datang berlari kepadanya. Rambutnya tidak ditata untuk perayaan Tahun Baru dan
kimononya acak-acakan. Ia mengenakan sandal, tapi tanpa kaus. Musashi menyipitkan mata
memandang kepadanya dan bergurnam. Walau gadis itu tidak asing baginya, tapi tak dapat
ia mengenali wajahnya. "Ini aku, Takezo... eh, Musashi," kata Akemi ragu-ragu sambil menawarkan kain merah
itu. "Matamu kelilipan, ya" Jangan gosok. Bisa lebih sakit. Pakai ini."
Musashi menerima kebaikannya tanpa mengatakan sesuatu, lalu menutup matanya dengan kain
itu. Kemudian ia menatap wajah Akemi dengan saksama.
"Kau tak ingat aku?" tanya Akemi tak percaya. "Kau harus ingat!" Wajah Musashi betulbetul kosong.
"Harus!" Sikap diam Musashi itu membobol tanggul penahan emosi Akemi yang sudah lama terpendam.
Jiwanya yang sudah demikian terbiasa dengan kesedihan dan kekejaman itu telanjur
bergayut pada harapan terakhir ini, dan kini fajar sudah menyingsing, karena itu
semuanya jadi tak lebih dari khayal yang telah diciptakannya sendiri. Di dalam dadanya
terbentuk gumpalan keras, dan terdengarlah ia tercekik. Sekalipun ia menutup mulut dan
hidung untuk menindas sedu-sedannya, namun bahunya menggeletar tak terkendalikan lagi.
Caranya memandang sewaktu menangis itu mengingatkan Musashi kepada sikap gadis polos di
zaman Ibuki. Ketika itu anak itu menggantungkan giring-giring pada obi-nya. Musashi
melingkarkan tangannya ke bahu yang tipis dan lemah itu.
"Kamu Akemi, tentu saja. Ya, aku ingat. Bagaimana kau bisa sampai di sini" Apa yang
terjadi dengan ibumu?" Pertanyaan-pertanyaan Musashi itu seperti mata kail, dan yang
paling berat adalah penyebutan nama Oko, yang dengan sendirinya mengingatkannya pada
teman lamanya. "Apa kau masih tinggal dengan Matahachi" Dia mestinya datang kemari pagi
ini. Apa kebetulan kau tidak bertemu dengannya?"
Setiap patah kata itu menambah penderitaan Akemi. Di dalam pelukan Musashi, tak ada
lagi yang diperbuatnya selain menggeleng-gelengkan kepala sambil menangis.
"Apa Matahachi takkan datang?" tanya Musashi lagi. "Apa yang terjadi dengannya"
Bagaimana aku bisa mengerti, kalau kamu cuma menangis?"
"Dia... dia... dia takkan datang. Dia tak pernah... tak pernah terima pesan-mu." Dan
Akemi pun menekankan wajahnya ke dada Musashi dan kembali menangis mengejang-ngejang.
Ia ingin mengatakan... bercerita... tapi setiap gagasan mati dalam otaknya yang demam.
Bagaimana ia dapat menceritakan kepada Musashi nasib ngeri yang dideritanya karena
ibunya" Bagaimana mungkin ia mengutarakannya dalam kata-kata, apa yang telah terjadi di
Sumiyoshi atau pada hari-hari sesudah itu"
Jembatan itu bermandikan matahari Tahun Baru, dan semakin banyak orang berlalu lalang.
Gadis-gadis berkimono baru cemerlang pergi melakukan sembahyang Tahun Baru di Kuil
Kiyomizudera. Laki-laki berpakaian jubah resmi mulai melakukan kunjungan Tahun Baru.
Hampir tersembunyi di tengah mereka itu ada Jotaro dengan rambut awut-awutan seperti
biasa. Hampir sampai tengah jembatan, baru ia melihat Musashi dan Akemi.
"Apa pula ini?" tanyanya pada diri sendiri. "Kupikir dia bersama Otsu. Tapi itu bukan
Otsu!" Ia berhenti dan wajahnya berubah.
Ia betul-betul terpukau. Sebetulnya tidak apa-apa, kalau tak ada orang memperhatikan.
Tapi di sana mereka beradu dada dan saling peluk di jalan ramai. Seorang lelaki dan
seorang perempuan saling dekap di depan umum" Itu tak kenal malu. Ia tak dapat percaya
bahwa orang dewasa dapat berlaku demikian memalukan, lebih-lebih sensei-nya sendiri
yang dipujanya. Jantung Jotaro berdentam hebat. Ia merasa sedih dan sekaligus sedikit
cemburu. Dan marah, begitu marah, hingga ia ingin memungut batu dan melempar mereka.
"Aku pernah melihat perempuan itu," pikirnya. "Ah... ya, dialah yang menyampaikan pesan
Musashi untuk Matahachi. Ya... dia itu gadis warung teh, jadi tak heran. Tapi bagaimana
pula mereka bisa saling kenal" Rasanya ini mesti kusampaikan pada Otsu!"
Ia menengok ke sana kemari di jalan itu, mengintai dari susuran jembatan, tapi tak ada
tanda-tanda Otsu. Malam kemarin, karena yakin akan bertemu Musashi hari berikutnya, Otsu mengeramasi
rambutnya dan tetap jaga sampai jam-jam pertama Tahun Baru karena menata rambutnya
secara layak. Kemudian ia mengenakan kimono hadiah Keluarga Karasumaru, dan sebelum
fajar ia pergi memberikan penghormatan ke Kuil Gion dan Kiyomizudera, dan akhirnya
pergi ke Jalan Gojo. Jotaro ingin mengawaninya, tapi ia menolak.
Menurut Otsu, pada hari biasa tidak apalah, tapi hari ini Jotaro akan merupakan
gangguan. "Kamu diam di sini," katanya. "Pertama, aku mau bicara dengan Musashi
sendiri. Kamu boleh pergi ke jembatan sesudah hari terang, tapi tak perlu buru-buru.
Dan jangan kuatir; aku berjanji akan menantimu di sana dengan Musashi, waktu kamu
datang." Jotaro lebih dari sekadar jengkel. Tidak hanya ia merasa sudah cukup dewasa untuk
memahami perasaan Otsu, ia pun menghargai perasaan saling tertarik antara lelaki dan


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perempuan. Pengalaman berguling-guling di jerami dengan Kocha di Koyagyu itu belum
luntur dari kenangannya; sekalipun begitu, aneh baginya bahwa seorang perempuan dewasa
seperti Otsu pergi ke sana kemari bermuram durja dan menangisi seorang lelaki.
Walau sudah berusaha setengah mati, ia tak dapat menemukan Otsu. Sementara ia sedang
resah itu, Musashi dan Akemi pergi ke ujung jembatan, agaknya supaya tidak tampak
terlalu mencolok. Musashi melipatkan lengan dan bersandar pada susuran jembatan. Akemi
berdiri di sampingnya, memandang ke sungai. Mereka tidak melihat Jotaro ketika ia
menjelinap lewat di sisi lain jembatan itu.
"Kenapa begini lama" Berapa lama orang bisa berdoa buat Kannon?" Sambil menggerutu,
Jotaro berjingkat dan menatapkan pandangan ke ujung Jalan Gojo.
Sekitar sepuluh langkah dari tempat berdirinya terdapat empat atau lima pohon liu yang
tak berdaun. Sering kali kawanan bangau putih berkumpul sepanjang sungai itu, mencari
ikan, tapi hari ini tak seekor pun kelihatan. Seorang pemuda berkuncung panjang
bersandar pada cabang pohon liu yang menjulur ke tanah seperti naga yang sedang tidur.
Di jembatan, Musashi mengangguk ketika Akemi berbisik bergairah kepadanya. Akemi
membuang jauh-jauh harga dirinya dan sedang bercerita kepada Musashi tentang segalanya,
dengan harapan dapat meyakinkan Musashi agar menjadi miliknya seorang. Sukarlah
meneliti, apakah kata-kata yang diucapkannya menembus telinga Musashi. Musashi memang
terkadang mengangguk, tapi pandangan matanya bukan pandangan seorang kekasih yang
sedang mengucapkan kata-kata manis kosong kepada kekasihnya.
Sebaliknya biji matanya bersinar tanpa warna dan tanpa panas, dan terpusat terus pada
sesuatu. Akemi tak menyadari ini. Karena tenggelam sepenuhnya, ia sampai tercekik
sedikit ketika mencoba menguraikan perasaan yang dikandungnya.
"Nah," demikian keluhnya, "sudah kuceritakan padamu semua yang bisa kuceritakan. Tak
ada sama sekali yang kusembunyikan." Sambil beringsut mendekati Musashi, katanya
prihatin, "Empat tahun sudah lewat sejak Sekigahara itu. Tubuh dan jiwaku sudah
berubah." Kemudian sambil mencucurkan air mata, "Tapi tidak! Aku tidak betul-betul
berubah. Perasaanku padamu tak berubah sedikit pun. Aku yakin betul. Kau mengerti,
Musashi" Mengerti bagaimana perasaanku?"
"Mm. Mm." "Cobalah kau mengerti! Aku sudah menceritakan segalanya. Aku bukan bunga liar yang
tanpa dosa seperti ketika kita pertama bertemu di kaki Gunung Ibuki. Aku cuma perempuan
biasa yang sudah diperkosa.... Tapi kesucian itu persoalan tubuh atau pikiran" Apa
seorang perawan yang berpikiran cabul itu suci"... Aku sudah kehilangan keperawanan
gara-gara... tak dapat aku menyebut namanya, tapi gara-gara lelaki tertentu, tapi
hatiku masih murni."
"Mm. Mm." "Apa kau tidak menyimpan rasa tertentu padaku" Tak bisa aku menyimpan rahasia kepada
orang yang kucintai. Aku bertanya-tanya pada diri sendiri, apa yang akan kukatakan,
ketika aku melihatmu. Haruskah aku mengatakan semuanya atau tidak" Tapi kemudian jelas
soalnya buatku. Tak dapat aku menipumu, biarpun aku menghendakinya. Kuharap kau
mengerti! Katakanlah! Katakan kau memaafkan aku. Atau, apa menurut pendapatmu aku
tercela?" "Mm. Ah.... "Kalau kupikirkan hal itu lagi, aku jadi begitu marah!" Akemi pun menurunkan wajahnya
ke susuran jembatan. "Oh, malu aku memintamu mencintaiku. Aku tak punya hak berbuat
begitu. Tapi... tapi... dalam hatiku aku masih perawan. Aku masih menilai cinta
pertamaku ini seperti sebutir mutiara. Aku belum kehilangan kekayaan itu, dan aku tak
mau, tak peduli aku menjalani hidup macam apa, atau ke tengah laki-laki macam apa aku
tercebur!" Tiap helai rambut di kepalanya bergetar bersama sedu-sedannya. Di bawah jembatan tempat
jatuhnya air matanya, sungai yang berkilauan dalam matahari Tahun Baru itu mengalir
terus seperti impian Akemi tentang keabadian harapan.
"Mm. Mm." Kepedihan cerita Akemi sering kali mendapat anggukan dan sambutaan suara
rendah, tapi mata Musashi tetap terpusat pada titik di kejauhan. Ayahnya pernah
mengatakan, "Kau ini tidak seperti aku. Mataku hitam, sedang matamu cokelat tua. Orang
bilang, kakekmu, Hirata Shogen, matanya cokelat mengerikan, jadi barangkali kau meniru
dia." Pada waktu itu, dalam sinar matahari yang mencondong, mata Musashi seperti batu
koral murni tak bercacat.
"Tentunya dia," pikir Sasaki Kojiro, orang yang bersandar pada pohon liu itu. Berkalikali ia mendengar tentang Musashi, tapi inilah untuk pertama kali ia melihatnya.
Musashi bertanya-tanya, "Siapa gerangan orang itu?"
Semenjak mata mereka beradu, diam-diam mereka menyelidik. Masing-masing menaksir
dalamnya semangat pihak lain. Dalam melaksanakan Seni Perang, kata orang, kita harus
mengukur kemampuan musuh dari ujung pedangnya. Justru inilah yang dilakukan kedua orang
itu. Mereka seperti pegulat yang saling mengukur lawan sebelum akhirnya saling cekam.
Dan masing-masing punya alasan untuk memandang lawan dengan penuh kecurigaan.
"Aku tak suka," pikir Kojiro, mendidih darahnya oleh perasaan tak suka. Ia merawat
Akemi sejak menyelamatkannya dari Gunung Amida yang rusak itu. Percakapan intim antara
Akemi dan Musashi mengesalkannya. "Barangkali dia jenis orang yang biasa memangsa
perempuan-perempuan tak berdosa. Dan Akemi! Akemi tak mengatakan tadi ke mana perginya,
tapi sekarang dia ada di sana, menangis di bahu seorang lelaki!" Sedang ia sendiri ada
di sini karena mengikutinya.
Nada permusuhan dalam mata Kojiro itu tidak hilang begitu saja. Musashi menyadari
terjadinya konflik sesaat yang khas itu, yaitu konflik kemauan yang timbul apabila
seorang shugyosha bertemu dengan shugyosha lain. Dan tak ada keraguan pula bahwa Kojiro
merasakan semangat menantang yang terlontar dari ekspresi Musashi.
"Siapa dia gerangan?" pikir Musashi lagi. "Kelihatannya dia memang jagoan. Tapi kenapa
ada pandangan dengki pada matanya" Lebih baik aku mengamatinya."
Kehebatan kedua lelaki itu bukan bersumber pada mata mereka, tapi pada inti diri
mereka. Kembang api seperti akan meloncat dari biji mata mereka. Dilihat dari
penampilannya, Musashi tampak setahun atau dua tahun lebih muda dari Kojiro, tapi
mungkin juga sebaliknya. Apa pun kenyataannya, mereka berdua memiliki kesamaan:
keduanya dalam umur yang ditandai rasa sok, yaitu bahwa mereka merasa yakin tahu segala
yang mesti diketahui mengenai politik, masyarakat, Seni Perang, dan semua persoalan
lain. Seperti anjing galak yang menggeram apabila melihat anjing galak lainnya,
demikianlah Musashi maupun Kojiro. Secara naluriah masing-masing tahu bahwa pihak lain
berbahaya. Kojiro-lah yang pertama melepaskan pandangannya, dan itu dilakukannya disertai gerutu
kecil. Musashi yakin sekali bahwa ia menang, sekalipun ia merasakan ada nada ejekan
dalam profil Kojiro. Lawan menyerah kepada pandangan matanya, kepada daya kemampuannya,
dan ini membuat Musashi merasa bahagia.
"Akemi," katanya sambil meletakkan tangan ke bahu Akemi.
Akemi masih tersedu-sedu. Wajahnya menempel di susuran jembatan. la tak menjawab.
"Siapa lelaki di sana itu" Dia kenal kamu, kan" Maksudku pemuda yang tampak seperti
calon prajurit itu. Siapa dia?"
Akemi diam saja. Sampai waktu itu, ia belum melihat Kojiro. Ketika melihatnya, wajahnya
yang bengkak oleh air mata itu menjadi bingung. "Oh... maksudmu orang jangkung di sana
itu?" "Ya. Siapa dia?"
"Oh, dia... anu... dia... aku tidak begitu kenal dia."
"Tapi kamu kenal dia, kan?"
"Ya, ya." "Bawa pedang sebesar dan sepanjang itu, dan pakaiannya memikat perhatian orang-tentunya
dia merasa sudah pemain pedang besar! Bagaimana kamu bisa kenal?"
"Beberapa hari lalu," kata Akemi cepat, "aku digigit anjing, dan darah tak mau
berhenti, karena itu aku pergi ke dokter, dan di situ kebetulan dia tinggal. Dia
merawatku beberapa hari ini."
"Dengan kata lain, kamu tinggal serumah dengan dia?"
"Ya, ya, aku memang tinggal di sana, tapi itu tak ada artinya. Tak ada apa-apa antara
kami." Bicaranya lebih tegas sekarang.
"Kalau begitu, kukira kamu tak banyak tahu tentang dia. Apa kamu tahu namanya?"
"Namanya Sasaki Kojiro. Dipanggil juga Ganryu."
"Ganryu?" Musashi pernah mendengar nama itu.. Walaupun nama itu tidak terlalu terkenal,
tapi dikenal oleh para prajurit di sejumlah provinsi.
Ternyata ia lebih muda dari yang pernah dibayangkan Musashi, dan ia memandang orang itu
lagi sekarang. Kemudian terjadilah sesuatu yang ganjil. Sepasang lesung pipit muncul di pipi Kojiro.
Musashi membalas senyumnya. Namun komunikasi diam ini tidaklah penuh sinar perdamaian
dan persahabatan, seperti senyum yang dipertukarkan oleh sang Budha dan muridnya Ananda
selagi mereka meremas bunga dengan jemari mereka. Dalam senyuman Kojiro terasa cemooh
menantang dan unsur ironi.
Sementara itu, senyuman Musashi tidak hanya bersifat menerima tantangan Kojiro,
melainkan juga menyampaikan kehendak yang dashyat untuk bertempur.
Akemi terperangkap di antara dua orang yang berkemauan keras itu. Ia hendak mulai
mencurahkan perasaannya kembali, tapi sebelum terlaksana,Musashi sudah menyatakan,
"Nah, Akemi, kupikir lebih baik kamu kembali ke tempat penginapanmu dengan orang itu.
Sebentar lagi aku akan datang menemuimu. Jangan kuatir."
"Betul-betul kamu akan datang?"
"Ya, tentu." "Nama penginapan itu Zuzuya, di depan biara Jalan Rokujo!"
"Baik." Sikap sambil lalu dalam jawaban Musashi itu kurang memuaskan Akemi. Ia tarik tangan
Musashi dari susuran jembatan dan ia pilin penuh perasaan di belakang lengan kimononya.
"Kamu betul-betul akan datang, kan" Janji?"
Jawaban Musashi tenggelam dalam ledakan tawa yang memekakkan telinga. "Ha, ha, ha, ha,
ha! Oh! Ha, ha, ha, ha! Oh..." Kojiro membalikkan punggungnya dan pergi baik-baik,
membawa kegembiraannya yang tak terkendalikan itu.
Jotaro memandang masam dari ujung sana, pikirnya, "Tak ada yang seaneh itu!" Ia sendiri
muak dengan dunia ini, terutama dengan gurunya yang seenaknya, dan juga dengan Otsu.
"Ke mana pula perginya Otsu?" tanyanya lagi sambil melangkah marah ke arah kota. Baru
saja beberapa langkah, terlihat wajah Otsu yang putih di antara roda-roda kereta sapi
di pangkalan jalan itu. "Itu dia!" teriaknya. Karena tergesa-gesa hendak menangkap
Otsu, ia tertumbuk ke hidung sapi.
Lain dari biasanya, hari itu Otsu mengenakan sedikit gincu. Riasannya masih sedikit
amatir, tapi baunya enak, sedangkan kimononya merupakan setelan musim semi yang manis,
dengan sulaman pola putih dan hijau pada latar belakang merah muda. Jotaro mendekap
dari belakang. Ia tak peduli tindakannya mengacaukan rambut Otsu atau mengotorkan pupur
putih di lehernya. "Kenapa Kakak sembunyi di sini" Berjam-jam aku menunggu. Ayo ikut aku, cepat!"
Otsu tak menjawab. "Ayo, sekarang juga!" mohonnya sambil mengguncang-guncangkan bahu Otsu. "Musashi ada di
sini juga. Lihat, Kakak dapat melihat dari sini. Aku marah juga sama dia, tapi biar
bagaimana ayolah. Kalau kita tidak buru-buru, dia akan pergi!" Ia pegang pergelangan
Otsu dan mencoba menarik Otsu berdiri, tapi ia lihat tangan Otsu basah. "Wah! Kakak
menangis?" "Jo, sembunyilah di belakang kereta ini seperti aku. Ayolah!"
"Kenapa?" "Tak usah tanya kenapa."
"Nah, inilah..." Jotaro melontarkan kemarahannya. "Inilah yang kubenci pada perempuan.
Mereka suka bikin hal-hal yang aneh! Kakak selalu bilang ingin ketemu Musashi, dan di
mana-mana nangis mencari dia. Tapi sekarang, ketika dia ada di depan mata, Kakak
putuskan sembunyi. Malahan Kakak suruh aku sembunyi! Apa tidak aneh" Ha-oh, ketawa pun
aku tak bisa." Kata-kata itu menyengat seperti cambuk. Sambil mengangkat matanya yang merah bengkak,
Otsu berkata, "Jangan kamu bicara begitu, Jotaro. Aku mohon. Dan jangan kejam padaku
juga!" "Kenapa menuduh aku kejam" Apa yang kulakukan?"
"Diamlah. Dan rundukkan badan di sini denganku."
"Aku tak mau. Ada tahi sapi di tanah itu. Kakak tahu sendiri, kata orang, kalau kita
nangis pada Tahun Baru, burung gagak pun akan menertawakan kita."
"Oh, aku tak peduli. Aku cuma..."
"Nah, kalau begitu aku akan menertawakan Kakak! Tertawa macam samurai beberapa menit
lalu itu. Ini ketawaku yang pertama pada Tahun Baru. Cocok buat Kakak?"
"Ya. Tertawalah! Tertawalah keras-keras!"
"Tidak bisa," kata Jotaro sambil menghapus hidungnya. "Berani bertaruh, aku tahu apa
soalnya. Kakak cemburu, karena Musashi bicara dengan perempuan itu."
"Bukan... bukan itu! Sama sekali bukan!"
"Memang! Aku tahu, memang itu. Perbuatan itu bikin aku marah juga. Tapi kan masih
banyak alasan lain untuk datang dan bicara dengannya" Kakak kan belum mengerti apaapa."
Otsu tidak memperlihatkan tanda-tanda akan berdiri, tapi Jotaro menyentakkan
pergelangannya demikian keras, hingga akhirnya ia terpaksa berdiri.
"Berhenti!" teriak Otsu. "Sakit! Jangan dendam begitu. Kaubilang aku tak mengerti apaapa, padahal kau sama sekali tak mengerti perasaanku."
"Aku tahu betul apa yang Kakak rasakan. Kakak cemburu!"
"Bukan hanya itu."
"Diamlah. Ayo pergi!"
Otsu keluar dari belakang kereta, walau enggan. Anak itu menariknya, dan kaki Otsu
mencakar-cakar tanah. Jotaro terus menarik-narik dan menjulurkan leher, melihat ke arah
jembatan. "Lihat!" kata Jotaro. "Akemi tak ada lagi."
"Akemi" Siapa itu Akemi?"
"Gadis yang diajak bicara Musashi tadi.... Nah, nah! Musashi pergi sekarang. Kalau tak
dikejar, dia bisa hilang." Jotaro melepaskan Otsu dan berjalan ke arah jembatan.
"Tunggu!" teriak Otsu sambil melontarkan pandangan ke jembatan, untuk mendapatkan
kepastian bahwa Akemi tidak terlihat lagi. Setelah yakin bahwa saingannya benar-benar
sudah pergi, ia tampak puas sekali dan dahinya tidak mengerut lagi. Tapi ia kembali ke
belakang kereta untuk mengeringkan matanya yang bengkak dengan lengan kimono, merapikan
rambut, dan meluruskan kimono.
"Cepat, Otsu!" seru Jotaro tak sabar. "Musashi turun ke sungai. Ini bukan waktunya
berdandan!" "Ke mana?" "Turun ke sungai. Saya tak tahu kenapa, tapi dia ke sana." Keduanya berlari bersama ke
ujung jembatan. Sambil meminta-minta maaf, Jotaro merintis jalan di tengah orang
banyak, menuju susuran jembatan.
Musashi masih berdiri dekat perahu tempat Osugi menggeliat-geliat mencoba membebaskan
diri dari ikatan. "Maaf, Nek," katanya, "tapi rupanya Matahachi takkan datang sama sekali. Saya berharap
dapat ketemu dengannya tak lama lagi dan mencoba mengobarkan keberanianya. Sementara
itu, Nenek sendiri mesti mencoba menemukannya dan membawanya pulang sebagai anak yang
baik. Itu cara yang jauh lebih baik untuk menyatakan rasa terima kasih Nenek kepada
leluhur, daripada mencoba memotong kepala saya."
Ia selipkan tangannya ke bawah tikar, dan dengan pisau kecil diputuskannya talinya.
"Kau bicara terlalu banyak, Musashi! Aku tak butuh nasihatmu! Susun pikiranmu yang
bodoh itu, apa yang mau kaulakukan. Kau mau bunuh aku atau dibunuh?"
Nadi-nadi biru cemerlang muncul di seluruh wajah Osugi ketika ia meronta melepaskan
diri dari bawah tikar, tapi ketika ia berdiri, Musashi sudah menyeberang sungai,
melompat-lompat seperti kodok menyeberangi karang dan beting. Dalam waktu singkat ia
sudah mencapai seberang dan mendaki puncak tanggul.
Jotaro melihatnya dan berteriak, "Lihat, Otsu! Itu dia!" Anak itu langsung turun
tanggul dan Otsu mengikuti.
Bagi Jotaro yang cekatan, sungai dan pegunungan tak berarti apa-apa, tetapi Otsu yang
mengenakan kimono bagus itu tiba-tiba berhenti di tepi sungai. Musashi tak kelihatan
sekarang, tapi Otsu berdiri di situ, menjeritkan namanya berulang-ulang dengan sekuat
paru-parunya. "Otsu!" terdengar jawaban dari tempat yang tak diduga-duga. Osugi tak sampai seratus
kaki dari situ. Ketika Otsu melihat siapa orang itu, ia berteriak, sesaat menutup wajahnya dan lari.
Perempuan tua itu tak membuang-buang waktu, dan mengejar. Rambutnya yang putih
melambai-lambai oleh angin. "Otsu!" jeritnya dengan suara yang dapat membelah air
Sungai Kamo. "Tunggu! Aku ingin bicara denganmu!"
Perempuan tua yang curiga sifatnya itu mulai mereka-reka sendiri dalam pikirannya
tentang hadirnya Otsu. Ia yakin Musashi mengikatnya karena Musashi hendak bertemu
dengan gadis itu dan tak ingin kelihatan olehnya. Kemudian, demikian pikirnya, katakata Otsu menyinggung perasaannya dan Musashi meninggalkannya. Tidak sangsi lagi,
itulah sebabnya Otsu memanggil Musashi kembali.
"Gadis itu tak dapat diperbaiki lagi!" katanya. Kebenciannya pada Otsu jadi lebih besar
lagi daripada kebenciannya pada Musashi. Di dalam pikirannya, Otsu sudah sah menjadi
menantunya, tak peduli apakah perkawinan sudah berlangsung atau belum. Janji sudah
diberikan, dan kalau calon istri ini membenci anaknya, mestinya la membenci juga
mertuanya sendiri. "Tunggu!" jeritnya lagi, hingga mulutnya terbuka lebar dari telinga kiri ke telinga
kanan. Kerasnya jeritan itu mengagetkan Jotaro yang waktu itu berada di sampingnya, maka
dicengkeramnya perempuan itu, dan pekiknya, "Kamu mau apa, tukang sihir tua?"
"Menyingkir kamu!" teriak Osugi menepiskan Jotaro.
Jotaro tidak tahu siapa perempuan itu dan kenapa Otsu lari melihatnya, tapi ia merasa
bahaya mengancam darinya. Sebagai anak Aoki Tanzaemon dan murid satu-satunya Miyamoto
Musashi, ia tak mau disingkirkan dengan siku kurus seorang perempuan tua jelek.
"Oh, kau tak boleh memperlakukan aku begitu!" Dikejarnya perempuan tua itu dan
hinggaplah ia di punggungnya.
Osugi cepat mengibaskannya, dan sambil memitingnya dijatuhkannya tamparan keras
beberapa kali. "Setan kecil kamu! Ini pelajaran buat orang yang suka mengganggu!"
Sementara Jotaro berjuang melepaskan diri, Otsu berlari terus dengan pikiran kacau. Ia


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masih muda, dan seperti kebanyakan oang muda, ia masih penuh harapan dan tidak terbiasa
menangisi nasibnya yang sial. Ia melahap setiap hari baru, seakan-akan cahaya itu
bunga-bunga di kebun Yang disinari matahari. Kesedihan dan kekecewaan memang menjadi
kenyataan hidup, rapt semuanya itu tidak membebaninya terlalu lama. Begitu pula ia tak
dapat membayangkan kesenangan yang sepenuhnya terpisah dari rasa pedih.
Tapi hari ini ia dipaksa melepaskan optimismenya, bukan satu kali, melainkan dua kali.
Kenapa ia sampai datang kemari pagi ini" Demikianlah ia bertanya pada diri sendiri.
Tak ada air mata atau kemarahan yang dapat menghilangkan guncangan itu. Sepintas-lintas
terpikir olehnya untuk bunuh diri, kemudian dikutuknya semua lelaki sebagai pembohong
kejam. Berganti-ganti ia berang dan sengsara, benci kepada dunia, benci kepada diri
sendiri, terlalu tak berdaya untuk mencari kelegaan dalam air mata ataupun berpikir
dengan jelas tentang segala sesuatu. Darahnya mendidih karena cemburu, dan kegoyahan
yang ditimbulkannya membuat ia mencaci diri sendiri atas begitu banyak kekurangan yang
ia miliki, termasuk tak adanya sikap tenang pada waktu ini. Berulang-ulang ia menyuruh
dirinya tetap tenang dan sedikit demi sedikit ia menekan berbagai dorongan dari bawah
tabir harga dirt yang sewajarnya dimiliki kaum perempuan.
Selama gadis asing itu berada di samping Musashi, Otsu tidak dapat bergerak. Tapi
ketika Akemi pergi, kesabarannya habis. Otsu merasa harus bertemu Musashi dan
mencurahkan segala yang dirasakannya. Sekalipun tidak tahu di mana harus memulai, ia
sudah memutuskan untuk membukakan hatinya dan menceritakan segalanya kepada Musashi.
Tetapi hidup ini penuh dengan kecelakaan kecil. Satu langkah keliru saja"salah hitung
kecil yang dibuat di tengah gejolak peristiwa"dapat mengubah bentuk persoalan selama
berbulan-bulan atau bertahun-tahun mendatang. Justru karena membiarkan Musashi lepas
dari pandangan sedetik itu maka Otsu dapat ditemukan Osugi. Pada pagi Tahun Baru yang
mulia ini, kebun kegembiraan Otsu dilanda kawanan ular.
Ini sama dengan mimpi buruk yang menjadi kenyataan. Dalam banyak mimpinya yang kacau ia
sudah bertemu dengan wajah Osugi yang menatap jahat, dan inilah kini kenyataan
telanjang itu. Sesudah berlari beberapa ratus meter, Otsu kehabisan napas sama sekali. Ia berhenti dan
menoleh ke belakang. Untuk sesaat napasnya berhenti sama sekali. Osugi yang berada
sekitar seratus meter dari situ sedang memukuli dan mengayun-ayunkan Jotaro ke kiri dan
ke kanan. Jotaro melawan, menendang tanah, menendang udara, sekali-sekali memukul kepala
penangkapnya. Otsu melihat bahwa sebentar lagi Jotaro berhasil menarik pedang kayunya. Dan bila
demikian, pasti perempuan itu akan menghunus pedang pendeknya dan takkan menyesal
menggunakannya. Pada saat itu, Osugi bukan orang yang akan menunjukkan belas kasihan.
Jotaro bahkan bisa terbunuh.
Otsu dalam keadaan sulit luar biasa. Jotaro mesti diselamatkan, tapi ia tak berani
mendekati Osugi. Jotaro memang berhasil meloloskan pedang kayu dari obi-nya, tapi tidak berhasil
meloloskan kepalanya dari cengkeraman Osugi yang seperti catok itu. Segala tendangan
dan ayunan tangannya hanya merugikan dirinya, karena semua menambah keyakinan diri
perempuan tua itu. "Anak bandel!" teriaknya menghina. "Apa yang mau kaulakukan" Niru kodok?" Giginya yang
merongos membuat bibirnya tampak seperti bibir kelinci, tetapi air mukanya
memperlihatkan kemenangan tersembunyi. Selangkah demi selangkah ia mengingsut mendekati
Otsu. Melihat gadis yang ketakutan itu, sifat liciknya tampil. Dalam sekejap terpikir olehnya
bahwa ia menempuh jalan yang salah. Sekiranya lawannya itu Musashi, kecohan takkan
mempan. Musuh di depannya sekarang Otsu"yang halus, yang polos"yang barangkali dapat
dibuat percaya akan segalanya, asalkan disampaikan dengan lemah lembut dan dengan nada
tulus. Pertama ia mesti diikat dengan kata-kata, demikian pikir Osugi, dan kemudian
dipanggang untuk makan malam.
"Otsu!" panggilnya dengan nada betul-betul pedih. "Kenapa kau lari" Apa yang membuatmu
lari begitu melihatku" Kau lari juga waktu di dimaafkan, tapi masih ada Matahachi yang
mesti dipertimbangkan. Apa kau tak mau bertemu lagi dengannya dan bicara dengannya"
Sejak dia lari dengan perempuan lain atas kemauan sendiri, menurutku dia takkan minta
kamu kembali padanya. Sebetulnya aku tak suka dia melakukan sesuatu yang hanya
mementingkan diri sendiri, tapi..."
"Apa?" "Apa setidaknya kamu tak mau bertemu dengannya" Nanti, kalau kalian sudah berdua, akan
kuceritakan padanya bagaimana duduk perkaranya. Dengan begitu, aku dapat menunaikan
tugasku sebagai ibu. Aku akan merasa sudah melaksanakan segalanya semampuku."
"Saya mengerti," jawab Otsu. Dari pasir di sampingnya, seekor kepiting kecil merangkak
ke luar, lalu bergegas lari ke belakang batu. Jotaro menangkapnya, kemudian pergi ke
belakang Osugi dan menjatuhkannya ke atas kepalanya.
Kata Otsu, "Tapi biar bagaimana, saya merasa sesudah terjadi semua peristiwa itu, lebih
baik saya tidak bertemu Matahachi."
"Aku bersamamu. Apa tidak lebih baik untukmu kalau kamu bertemu dengannya dan
mengutarakan segalanya?"
"Ya, tapi..." "Nah, kalau begitu lakukanlah itu. Kukatakan ini demi masa depanmu sendiri."
"Kalau saya setuju... bagaimana kita bisa bertemu dengan Matahachi. Apa Nenek tahu di
mana dia?" "Aku dapat cepat menemukan dia. Cepat sekali... kau tahu, baru-baru ini aku bertemu
dengannya di Osaka. Lagi ngumbar napsu, dan ditinggalkannya aku di Sumiyoshi. Tapi
biasanya kalau dia berbuat seperti itu, dia akan menyesal. Tak lama lagi dia pasti
muncul di Kyoto mencariku."
Otsu merasa kurang enak, karena menurutnya Osugi berbohong. Tapi hanyut juga ia oleh
rasa sayang orang tua itu kepada anaknya yang brengsek. Namun yang menyebabkan ia
menyerah sepenuhnya adalah keyakinan bahwa yang diusulkan Osuugi itu benar dan wajar.
"Bagaimana kalau saya pergi membantu Nenek mencari Matahachi." demikian tanyanya.
"Oh, kau mau?" teriak Osugi, menggenggam tangan gadis itu.
"Ya, saya pikir saya mesti pergi."
"Baiklah, ikutlah denganku sekarang ke penginapan. Uh! Apa ini?" Sambil berdiri ia
meraba belakang kerahnya dan menangkap kepiting itu.
Ia gemetar, serunya, "Oh, bagaimana dia bisa sampai di sini?" Ia mengulurkan tangannya,
kemudian mengibaskan kepiting itu dari jari-jarinya.
Jotaro yang berada di belakangnya menahan gelaknya, tapi Osugi tak dapat dikibuli.
Dengan mata menyala ia menoleh dan menatap Jotaro. "Perbuatanmu itu, aku yakin!"
"Bukan aku. Aku tidak melakukannya." Jotaro lari mendekati tanggul menyelamatkan diri,
dan serunya, "Otsu, Kakak akan pergi dengan dia ke penginapan, ya?"
Sebelum Otsu dapat menjawab sendiri, Osugi sudah mengatakan, "Ya, dia ikut aku. Aku
tinggal di penginapan dekat kaki Bukit Sannen. Selamanya aku tinggal di sana jika
datang di Kyoto. Kami tak butuh kamu. Kembalilah kau ke tempatmu sendiri."
"Baik, aku tinggal di rumah Karasumaru. Kakak datang ke sana juga, kalau sudah selesai
urusannya." Waktu itu Otsu merasakan denyutan kekuatiran. "Jo, tunggu!" Ia berlari cepat naik
tanggul, karena enggan melepaskan Jotaro pergi. Karena takut gadis itu akan mengubah
pikiran dan melarikan diri, Osugi cepat mengikutinya, tapi beberapa saat lamanya Otsu
dan Jotaro sempat sendirian.
"Kupikir aku mesti pergi dengan dia," kata Otsu. "Tapi aku akan datang ke tempat Yang
Dipertuan Karasumaru, begitu ada kesempatan. Jelaskan semuanya pada mereka dan mohonlah
tinggal di sana sampai aku selesai dengan urusanku."
"Jangan kuatir. Aku akan menunggu Kakak."
"Cari Musashi selama kau menunggu, ya?"
"Nah, ke situ lagi Kakak ini maunya! Waktu Kakak menemukan dia, Kakak sembunyi. Dan
sekarang Kakak menyesal. Jangan Kakak bilang aku tidak memperingatkan."
Osugi datang dan berdiri di antara keduanya. Ketiganya berjalan kembali ke jembatan.
Pandangan Osugi yang seperti jarum itu berulang-ulang menghujam ke arah Otsu. Ia tak
berani mempercayai gadis itu. Walau tak sedikit pun menduga bencana yang menghadangnya,
namun Otsu merasa sudah terperangkap.
Sampai di jembatan, matahari sudah tinggi di atas pohon liu dan pinus, jalan-jalan
sudah penuh orang-orang yang berbondong-bondong merayakan Tahun Baru, Satu gerombolan
besar di antaranya berkerumun di depan papan yang terpasang di Jembatan.
"Aku tak pernah dengar tentang dia."
"Tentunya jagoan boleh juga, kalau berani menghadapi orang-orang Yoshioka. Menarik juga
untuk ditonton." Otsu berhenti dan memandang, Osugi dan Jotaro juga berhenti dan memandang sambil
mendengarkan bisik-bisik orang yang memantul-mantul pelan di sana-sini. Seperti riakriak air yang digerakkan ikan-ikan mino di bering, nama Musashi menyebar ke tengah
orang banyak itu. *** BUKU IV: ANGIN *** 33. Ladang yang Layu PARA pemain pedang Perguruan Yoshioka berkumpul di ladang tandus yang menghadap pintu
masuk Nagasaka ke jalan raya Tamba. Di balik pohonpohon yang membatasi ladang itu,
kilau salju pegunungan barat laut Kyoto menyergap mata seperti kilat.
Seorang dari mereka menyarankan membuat api, karena mata pedang mereka yang seolah
tersarung menjadi semacam penyalur dingin langsung ke tubuh mereka. Waktu itu awal
musim semi, hari kesembilan Tahun Baru. Angin dingin bertiup turun dari Gunung
Kinugasa. Bahkan suara burung-burung pun terdengar sedih.
"Bagus nyalanya, kan?"
"Tapi lebih baik hati-hati. Jangan sampai membakar semak."
Api yang berdetak-detak suaranya itu menghangatkan tangan dan wajah mereka, tapi tak
lama kemudian Ueda Ryohei menggerutu sambil mengipas-ngipas asap dari matanya. "Terlalu
panas!" Sambil menatap orang yang hendak memasukkan lebih banyak daun ke api, katanya,
"Cukup sudah! Berhenti!" Satu jam berlalu tanpa banyak kejadian. "Tentunya sudah jam
enam lebih." Tanpa pikir panjang lagi mereka semua mengangkat mata ke arah matahari.
"Hampir jam tujuh."
"Tuan Muda harus sudah di sini sekarang."
"Ah, dia datang sebentar lagi."
Dengan wajah tegang mereka memandang kuatir ke jalan dari kota. Tak sedikit di antara
mereka menelan ludah gelisah. "Apa yang terjadi dengannya?"
Seekor sapi menguak memecahkan ketenangan. Ladang itu memang pernah digunakan sebagai
tempat penggembalaan sapi-sapi Kaisar. Di sekitarnya masih ada sapi-sapi tak
terpelihara. Matahari naik lebih tinggi, membawa serta kehangatan serta bau tahi
binatang dan rumput kering.
"Apa menurutmu Musashi sudah ada di lapangan dekat Rendaiji?"
"Mungkin." "Mesti ada yang melihat ke sana. Cuma sekitar enam ratus meter dari sini."
Tapi tak seorang pun mau melakukannya. Mereka terdiam kembali. Wajah mereka menyala
dalam bayangan yang ditimbulkan asap.
"Tak ada salah pengertian tentang pengaturannya, kan?"
"Tidak. Ueda menerimanya langsung dari Tuan Muda tadi malam. Tak mungkin ada
kesalahan." Ryohei membenarkan. "Betul. Aku tak heran kalau Musashi sudah ada di sana. Barangkali
Tuan Muda sengaja terlambat untuk bikin Musashi gelisah. Mari kita tunggu dulu. Kalau
kita membuat gerakan keliru dan menimbulkan kesan pada orang banyak bahwa kita
memberikan bantuan kepada Tuan Muda, itu akan bikin malu perguruan. Kita tidak dapat
melakukan sesuatu sebelum dia datang. Apa sih Musashi itu" Cuma seorang ronin. Tak
mungkin dia hebat." Para murid yang telah menyaksikan aksi Musashi di dojo Yoshioka tahun sebelumnya lain
sikapnya. Tapi bagi mereka pun mustahil Seijuro akan kalah. Kesepakatan yang mereka
capai adalah bahwa sekalipun guru mereka pasti menang, kecelakaan bisa saja terjadi.
Dan lagi, karena pertarungan itu diumumkan luas, akan banyak penonton yang kehadirannya
menurut mereka tidak hanya akan menambah wibawa perguruan, melainkan juga meninggikan
nama baik guru mereka. Sekalipun ada perintah khusus dari Seijuro agar dalam keadaan apa pun mereka tidak
membantunya, empat puluh orang berkumpul di sini untuk menantikan kedatangannya, untuk
memberikan ucapan selamat jalan, dan berjaga-jaga, barangkali saja diperlukan.
Disamping Ueda ada lima dari Sepuluh Pemain Pedang Perguruan Yoshioka yang hadir.
Sekarang sudah lewat pukul tujuh. Ketenangan yang dianjurkan Ryohei pada mereka
berkembang menjadi kebosanan, dan mereka menggerutu tak senang.
Para penonton yang hendak melihat pertarungan, bertanya-tanya apakah telah terjadi
kekeliruan. "Di mana Musashi?"
"Di mana yang satunya itu " Seijuro?"
"Siapa saja samurai di sana itu?"
"Barangkali mereka datang buat mendukung salah satu pihak."
"Aneh juga pertarungan ini! Pendukungnya ada, tapi yang bertarung tak ada!"
Sekalipun penonton terus bertambah banyak dan dengung suara manusia terdengar semakin
keras, para penonton cukup berhati-hati dan tidak mendekati para pengikut Yoshioka,
sedangkan para murid sama sekali tidak memperhatikan kepala-kepala yang mengintip lewat
pohon miskantus yang layu atau menonton dari cabang-cabang pohon.
Jotaro berjalan ke sana kemari di tengah orang banyak, meninggalkan kepulan debu di
belakangnya. Dengan pedang kayunya yang amat besar dan sandal yang juga terlalu besar,
ia beralih dari perempuan yang satu ke perempuan lain, memeriksa wajahnya. "Tidak ada
di sini, tak ada di sini," bisiknya. "Apa yang terjadi dengan Otsu" Dia tahu
pertandingan hari ini." Dia mesti hadir di sini, demikian pikirnya. Musashi bisa dalam
bahaya. Apa yang membuat dia tidak datang"
Pencarian yang dilakukannya tidak membawa hasil, sekalipun ia sudah berjalan susah
payah, sampai capek setengah mati. "Aneh sekali," pikirnya. "Aku tak melihat dia sejak
Hari Tahun Baru. Apa dia sakit" Perempuan tua jelek itu bicaranya manis, tapi mungkin
juga tipuan. Barangkali dia melakukan tindakan mengerikan terhadap Otsu."
Soal itu menggelisahkannya bukan main, jauh lebih menggelisahkan daripada hasil
pertarungan hari itu. Sebelum itu tak ada padanya perasaan was-was. Dari beratus-ratus orang yang ada di
tempat itu, hampir tak seorang pun tidak mengharapkan kemenangan Seijuro. Hanya Jotaro
memiliki keyakinan yang tak tergoyahkan terhadap Musashi. Di matanya terbayang gurunya
ketika menghadapi lembing para
pendeta Hozoin di Dataran Hannya.
Akhirnya ia berhenti di tengah lapangan. "Dan ada satu lagi yang aneh," renungnya.
"Kenapa semua orang ini ada di sini" Menurut papan pengumuman itu, pertarungan
dilakukan di lapangan dekat Rendaiji." Rupanya hanya ia seorang yang merasa heran.
Dari tengah orang banyak yang berbondong-bondong terdengar suara mem-berengut, "Hei,
Nak! Coba sini!" Jotaro mengenal orang itu. Dialah yang memperhatikan Musashi dan Akemi ketika mereka
saling bisik di jembatan pada pagi Tahun Baru itu.
"Ada apa, Pak?" tanya Jotaro.
Sasaki Kojiro mendekati Jotaro, tapi sebelum bicara ia memandang Jotaro dulu pelanpelan dari kepala sampai jari kaki. "Apa bukan kamu yang kulihat di jalan Gojo barubaru ini?"
"Oh, jadi Bapak ingat, ya?"
"Waktu itu kau bersama seorang perempuan muda."
"Ya, perempuan itu Otsu."
"Oh, namanya Otsu. Coba katakan, apa dia itu ada hubungan dengan Musashi?"
"Saya rasa ada."
"Apa dia saudara sepupu Musashi?"
"Enggak." "Saudaranya?" "Enggak." "Jadi?" "Dia suka Musashi."
"Mereka saling cinta?"
"Itu saya tak tahu. Saya cuma muridnya." Jotaro mengangguk bangga.
"Jadi, itu sebabnya kamu ada di sini" Coba dengar, orang banyak itu mulai gelisah. Kau
tentu tahu di mana Musashi. Apa dia sudah meninggalkan penginapannya?"
"Kenapa tanya saya" Sudah lama saya tidak melihatnya."
Beberapa lelaki menerobos orang banyak dan mendekati Kojiro. Kojiro melontarkan
pandangan mata elang pada mereka. "Ah, jadi engkau di sini, Sasaki!"
"Oh, Ryohei." "Di mana engkau selama ini?" tanya Ryohei sambil mencengkeram tangan Kojiro, seakanakan menawannya. "Engkau tidak datang ke dojo lebih dari sepuluh hari. Tuan Muda ingin
latihan sedikit denganmu."
"Lalu apa salahnya kalau aku tidak datang" Hari ini aku di sini."
Ryohei dan rekan-rekannya mengelilingi Kojiro, kemudian membawanya ke api mereka.
Terdengar bisikan di tengah orang-orang yang melihat pedang panjang Kojiro dan
pakaiannya yang gemilang, "Orang itu pasti Musashi!"
"Apa itu dia?" "Tentunya." "Mencolok juga pakaiannya. Tapi kelihatannya bukan orang lemah."
"Itu bukan Musashi!" teriak Jotaro mencela. "Musashi sama sekali bukan macam itu! Tak
bakal kalian lihat dia pakai pakaian macam pemain Kabuki!"
Tak lama kemudian, bahkan orang-orang yang tidak mendengar protes anak itu pun
menyadari kesalahan mereka dan kembali bertanya-tanya dalam hati, apa yang sedang
terjadi. Kojiro berdiri dengan para murid Yoshioka dan memandang mereka dengan sikap
merendahkan. Mereka mendengarkannya tanpa mengucapkan sesuatu, tapi wajah mereka
cemberut. "Sungguh beruntung Perguruan Yoshioka, bahwa Seijuro dan Musashl tidak datang pada


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

waktunya," kata Kojiro. "Lebih baik kalian memecah diri dalam beberapa kelompok,
mencegat Seijuro, dan cepat-cepat membawanya pulang sebelum dia terluka."
Usul yang bersifat pengecut ini membikin mereka meradang, tapi Kojiro berkata lagi,
"Apa yang kunasihatkan ini lebih baik bagi Seijuro daripada bantuan apa pun yang
mungkin dia peroleh dari kalian." Kemudian dengan agak angkuh ia berkata, "Aku dikirim
dari surga kemari sebagai utusan, demi kepantingan Keluarga Yoshioka. Sekarang aku akan
menyampaikan ramalanku: kalau mereka jadi bertarung, Seijuro akan kalah. Maaf aku mesti
mengatakan ini, tapi Musashi pasti akan mengalahkan-nya, barangkali membunuhnya."
Miike Jurozaemon membusungkan dada ke dada pemuda itu, dan pekiknya, "Penghinaan!"
Dengan siku kanan terletak di antara wajah sendiri dan Kojiro, ia siap menarik pedang
dan memukul. Kojiro menunduk dan menyeringai, "Jadi, kalian tak suka dengan apa yang kukatakan."
"Ugh!" "Kalau begitu, maafkan," kata Kojiro gembira. "Aku takkan berusaha memberikan dukungan
lebih lanjut." "Pertama-tama, tak ada yang minta bantuanmu."
"Itu tidak benar. Kalau kalian tidak memerlukan dukunganku, kenapa kalian mendesak aku
datang dari Kema ke rumah kalian" Kenapa kalian berusaha keras membuatku senang"
Kalian, Seijuro, ya, kalian semua!"
"Kami hanya bersikap sopan pada tamu. Jadi, kau rupanya hanya memikirkan diri sendiri,
ya?" "Ha, ha, ha, ha! Mari kita hentikan semua ini, supaya akhirnya aku tidak terpaksa
melawan kalian semua. Tapi kuperingatkan, kalau kalian tidak menuruti nasihatku, kalian
akan menyesal! Aku sudah membandingkan kedua orang itu dengan mataku sendiri, dan
menurutku kemungkinan Seijuro kalah sangat besar, Musashi ada di jembatan Jalan Gojo
pada pagi Tahun Baru. Begitu melihatnya, aku tahu bahaya. Bagiku papan yang kalian
pasang itu tampak lebih sebagai pengumuman berkabung bagi keluarga Yoshioka. Ini
sungguh menyedihkan, tapi rupanya begitulah dunia ini: tak pernah orang menyadari bahwa
sesungguhnya zamannya sudah lewat."
"Cukup! Kenapa kau datang kemari kalau tujuanmu cuma bicara macam itu?"
Nada Kojiro jadi menyindir. "Juga, rupanya khas bagi orang yang sedang runtuh bahwa
mereka tak mau menerima uluran tangan dalam semangat seperti yang ditawarkan. Silakan
saja! Berpikirlah kalian semua! Kalian bahkan takkan perlu sampai menanti habisnya hari
ini. Dalam sejam kalian akan tahu, bagaimana kelirunya kalian."
"Juh!" Jurozaemon meludahi Kojiro. Empat puluh orang bergerak selangkah ke depan;
kemarahan mereka menyebar gelap ke seluruh lapangan.
Kojiro menanggapinya dengan penuh keyakinan diri. Ia cepat melompat ke sisi, dan dengan
jurusnya ia memperlihatkan bahwa jika mereka mencari perkelahian, ia siap. Kemauan baik
yang dinyatakannya kini kelihatan menjadi pura-pura. Orang luar pun bisa bertanyatanya, barangkali ia sengaja menggunakan psikologi massa untuk menciptakan kesempatan
mencuri pertunjukan dari Musashi dan Seijuro.
Keributan melanda orang-orang yang cukup dekat dengan kejadian itu. Ini bukan
pertarungan yang ingin mereka saksikan, tapi tampaknya bakal menarik.
Tiba-tiba seorang gadis muda menyerobot ke tengah suasana pembunuhan itu. Di
belakangnya mengejar pula seekor monyet kecil, seperti bola sedang bergulir. Gadis itu
menderas ke antara Kojiro dan jago-jago pedang Yoshioka, dan jeritnya, "Kojiro, di mana
Musashi" Tak ada di sini?"
Kojiro menoleh marah kepadanya. "Apa pula ini?" tanyanya.
"Akemi!" kata salah seorang samurai. "Apa kerjanya di sini?"
"Kenapa kamu datang kemari?" bentak Kojiro. "Aku sudah bilang jangan, kan?"
"Aku bukan milik pribadimu! Kenapa pula aku tak bisa datang kemari?"
"Diam! Dan pergi dari sini! Pulang sana ke Zuzuya," teriak Kojiro mendorong Akemi
pelan. Akemi yang terengah-engah hebat itu menggeleng-gelengkan kepala. "Jangan perintah aku
ke sana ke sini! Aku tinggal denganmu, tapi aku bukan milikmu, aku..." Sampai di situ
tercekiklah ia dan mulai tersedusedu, "Berani sekali kau menyuruh-nyuruh aku, sesudah
melakukan semuanya itu padaku" Sesudah mengikatku dan meninggalkan aku di tingkat dua
penginapan itu" Sesudah menggertak dan menyiksaku, ketika kubilang aku kuatir akan
Musashi?" Kojiro membuka mulut dan slap berbicara, tapi Akemi tidak memberinya kesempatan. "Salah
seorang tetangga mendengar aku menjerit dan datang melepaskan ikatanku. Dan aku ada di
sini buat melihat Musashi!"
"Apa kau gila" Apa kau tidak lihat orang banyak di sekitarmu" Diam!"
"Aku tak mau diam! Aku tak peduli siapa yang dengar. Kau bilang Musashi akan terbunuh
hari ini"kalau Seijuro tak dapat mengatasi, kau akan bertindak membantunya dan membunuh
Musashi sendiri. Barangkali aku gila, tapi Musashi satu-satunya lelaki di hatiku! Aku
mesti ketemu dia. Di mana dia?"
Kojiro mendecapkan lidah, tapi tak dapat mengatakan apa-apa menghadapi serangan tajam
Akemi itu. Bagi orang-orang Yoshioka, Akemi kelihatan terlalu bingung untuk dapat dipercayai katakatanya. Tapi barangkali ada benarnya juga yang dikatakannya itu. Dan kalau memang
benar, berarti Kojiro telah menggunakan kebaikan sebagai umpan, kemudian menyiksa Akemi
untuk kesenangannya sendiri.
Karena malu, Kojiro menatap Akemi dengan kebencian yang tak disembunyi-sembunyikan.
Tapi tiba-tiba perhatian mereka beralih kepada salah seorang pembantu Seijuro, seorang
pemuda bernama Tamihachi. Pembantu itu datang berlari seperti orang liar, sambil
melambai-lambaikan tangan dan berteriak-teriak. "Tolong!" Tuan Muda! Dia sudah ketemu
Musashi! Dia luka! Ngeri! Oh, ngeri-i-i!"
"Apa yang kamu ocehkan itu?"
"Tuan Muda" Musashi?"
"Di mana" Kapan?"
"Tamihachi, apa benar katamu itu?"
Pertanyaan-pertanyaan nyaring dimuntahkan oleh wajah-wajah yang tiba-tiba kehabisan
darah. Tamihachi terus menjerit-jerit tak jelas. Tanpa menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka
ataupun beristirahat untuk mengatur napas, ia lari terhuyung-huyung kembali ke jalan
raya Tamba. Setengah percaya setengah ragu, tak tahu benar apa yang hendak dipikirkan,
Ueda, jurozaemon dan yang lain-lain ikut berlari mengikutinya seperti binatang liar
melintasi dataran terbakar.
Sesudah berlari ke utara sekitar lima ratus meter jauhnya, sampailah mereka di lapangan
tandus yang menghampar di balik pepohonan ke sebelah kanan. Lapangan itu terjemur sinar
matahari musim semi. Permukaannya tenang tenteram. Burung murai dan jagal yang terus
berkicau, seakan tak ada yang baru terjadi, segera berterbangan ke udara ketika
Tamihachi kalang kabut menerjang rerumputan. Ia mendaki bukit kecil yang tampak seperti
kuburan kuno, dan jatuh berlutut. Sambil mencengkeram tanah ia mengerang dan menjerit,
"Tuan Muda!" Yang lain-lain sampai juga ke tempat itu, kemudian berdiri terpukau di tanah, ternganga
melihat pemandangan di hadapan mereka. Seijuro tergeletak dengan wajah terbenam di
rumput. Ia berkimono pola kembang biru. Tali kulit mengikat lengan kimono. Kepalanya
terikat kain putih. "Tuan Muda!" "Kami di sini! Apa yang terjadi?"
Tak ada titik darah pada ikat kepala putih itu, tidak juga pada lengan kimononya atau
pada rumput di sekitarnya, tapi mata dan dahi Seijuro rampak beku dalam rasa nyeri tak
terkira. Bibirnya sewarna dengan buah anggur liar.
"Apa ... masih ada napasnya?"
"Sedikit." "Cepat angkat!"
Satu orang berlutut dan memegang lengan kanan Seijuro, siap mengangkat. Seijuro
menjerit kesakitan. "Cari alat pengangkat! Apa saja!"
Tiga-empat orang berteriak-teriak bingung dan berlari ke jalan, menuju sebuah rumah
pertanian, dan kembali membawa daun jendela. Hati-hati mereka gulingkan Seijuro ke
atasnya. Tapi sekalipun kelihatannya cuma sadar sedikit, masih juga Seijuro merintih
kesakitan. Agar tenang letaknya, beberapa orang melepaskan obi-nya dan mengikatnya ke
daun jendela. Mereka mengangkatnya, seorang di masing-masing sudut, dan mereka berjalan diam seperti
pada upacara penguburan. Seijuro menendang-nendang hebat, hingga hampir-hampir memecahkan daun jendela.
"Musashi... apa dia sudah pergi" Oh sakit! ... Lengan kanan-bahu. Tulangnya... O-w-w-w!
Tak tahan. Potong saja!... Kalian tidak dengar" Potong lengan itu!"
Hebatnya rasa sakit yang dideritanya menyebabkan orang-orang yang memikul tandu darurat
itu memalingkan mata. Seijuro orang yang mereka hormati sebagai guru. Sungguh tak
pantas melihatnya dalam keadaan seperti itu.
Mereka berhenti dan memanggil Ueda dan Jurozaemon. "Dia kesakitan dan minta kami
memotong lengannya. Apa takkan lebih ringan untuknya kalau kita memenuhi
permintaannya?" "Jangan bicara macam orang tolol," raung Ryohei. "Tentu saja sakit, tapi dia takkan
mati karenanya. Kalau kita memotong lengannya dan tak bisa menghentikan aliran
darahnya, dia akan mati. Yang harus kita lakukan sekarang adalah membawa dia pulang dan
melihat seberapa besar lukanya. Kalau lengan itu memang harus dipotong, kita dapat
melakukannya sesudah diambil langkah-langkah lain agar dia tidak mengalami pendarahan
yang dapat mengakibatkan kematian. Sebagian dari kalian mesti jalan dulu memanggil
dokter ke perguruan."
Di mana-mana masih banyak orang yang diam berdiri di belakang pohon pinus di sepanjang
jalan. Dengan jengkel Ryohei memberengut suram dan menoleh kepada orang-orang di
belakang. "Usir orang-orang itu," perintahnya. "Tuan Muda bukan tontonan."
Kebanyakan dari samurai itu merasa beruntung mendapat kesempatan melampiaskan kemarahan
mereka. Lantas saja mereka berlari dan membuat gerakan-gerakan ganas terhadap para
penonton. Para penonton buyar seperti belalang.
"Tamihachi, sini!" Ryohei marah, seakan menyalahkan pembantu muda itu atas segala yang
telah terjadi. Pemuda yang dari tadi berjalan sambil menangis di samping tandu itu mengkerut
ketakutan. "Y y-ya?" gagapnya.
"Apa kamu bersama Tuan Muda ketika dia meninggalkan rumah?"
" Y- y-ya" "Di mana dia melakukan persiapan?"
"Di sini, sesudah sampai lapangan."
"Dia mestinya tahu di mana kami menunggu. Kenapa dia tidak ke sana dulu?"
"Saya tidak tahu."
"Apa Musashi sudah ada di sana?"
"Dia berdiri di bukit kecil di mana... di mana..."
"Apa dia sendirian?"
"Ya." "Bagaimana kejadiannya" Apa kamu cuma berdiri melihat?"
"Tuan Muda memandang langsung pada saya dan berkata... dia bilang, kalau misalnya dia
kalah, saya mesti memungut tubuhnya dan membawanya ke lapangan yang lain itu. Dia
bilang, Anda dan yang lain-lain sudah ada di sana sejak fajar. Tapi dalam keadaan apa
pun tak boleh saya menyampaikan pada siapa pun sampai pertarungan selesai. Dia bilang,
ada waktunya seorang murid Seni Perang tak punya pilihan lain kecuali menanggung risiko
kalah, dan dia tak ingin menang dengan cara-cara yang tidak terhormat, yang pengecut.
Sesudah itu dia maju menjumpai Musashi." Tamihachi bicara cepat, puas kerena telah
menceritakan hal itu. "Kemudian apa yang terjadi?"
"Saya bisa melihat wajah Musashi. Kelihatannya tersenyum sedikit. Mereka seperti
bertukar salam. Kemudian... kemudian terdengar jeritan. Suara itu terdengar dari ujung
lapangan yang satu ke ujung yang lain. Saya lihat pedang kayu Tuan Muda terbang ke
udara, dan kemudian... hanya Musashi yang berdiri. Dia memakai ikat kepala warna
jingga, tapi rambutnya tegak."
Jalan itu sudah dibersihkan dari orang-orang yang ingin tahu. Orangorang yang memikul
daun jendela merasa sedih dan tertekan, tetapi tetap melangkah dengan hati-hati untuk
menghindari bertambahnya rasa sakit pada orang yang luka itu.
"Apa itu?" Mereka berhenti, dan seorang dari yang ada di depan meletakkan tangannya yang bebas ke
leher. Yang lain menengadah. Daun pinus yang sudah kering berguguran menimpa Seijuro.
Monyet Kojiro bertengger dengan sebelah kakinya di atas mereka, memandang kosong dan
membuat gerakan-gerakan cabul.
"Uh!" teriak salah seorang ketika sebutir buah pinus jatuh ke wajahnya yang menengadah.
Sambil memaki ia mencabut belati dari sarungnya dan melemparkannya secepat kilat ke
arah si monyet, tapi tidak mengenai sasaran.
Mendengar siul tuannya, monyet itu berjungkir balik dan hinggap dengan ringan ke
bahunya. Kojiro berdiri dalam bayangan. Akemi ada di sampingnya. Orang-orang Yoshioka
melontarkan pandangan benci kepadanya. Kojiro menatap tajam ke tubuh Seijuro di atas
daun jendela. Senyuman congkak hilang dari wajahnya, dan sekarang wajah itu menampakkan
sikap takzim. Ia menyeringai mendengar rintihan keras Seijuro. Karena masih ingat benar
akan kuliahnya tadi, para samurai hanya bisa menyimpulkan bahwa Kojiro datang melulu
untuk menikmati kebenaran kata-katanya.
Ryohei memerintahkan pemikul tandu berjalan terus, katanya, "Cuma monyet, bukan
manusia. Ayo terus jalan."
"Tunggu," kata Kojiro, lalu pergi ke samping Seijuro dan bicara langsung dengannya.
"Apa yang terjadi?" tanyanya, tapi tanpa menantikan jawabannya. "Musashi mengalahkan
Anda, ya" Di mana dia memukul" Bahu kanan" Wah, berat ini. Tulangnya berantakan. Lengan
Anda seperti kantong kerikil. Anda tak boleh menelentang, melambung-lambung di atas
daun jendela. Darah bisa naik ke otak."
Sambil menoleh kepada yang lain-lain, ia memberikan perintah dengan angkuh, "Turunkan
dia! Ayo, turunkan dia! Apa yang kalian tunggu" Kerjakan seperti yang kukatakan!"
Seijuro kelihatan sudah hampir mati, tapi Kojiro memerintahkannya berdiri. "Anda bisa,
kalau Anda mencoba. Luka itu tidak begitu serius. Cuma lengan kanan Anda. Kalau Anda
mencoba jalan, Anda bisa. Anda masih bisa pakai tangan kiri. Lupakan diri Anda sendiri!
Pikirkan almarhum ayah Anda. Anda mesti lebih banyak menunjukkan hormat kepada beliau
daripada yang Anda tunjukkan sekarang, ya, lebih banyak lagi. Kalau Anda diangkut lewat
jalan-jalan Kyoto... seperti apa nanti kelihatannya. Coba pikir, bagaimana pengaruhnya
itu nanti pada nama baik ayah Anda?"
Seijuro menatapnya, matanya putih tak berdarah. Kemudian dengan satu gerakan cepat ia
angkat dirinya untuk berdiri. Lengan kanannya yang sudah tak berguna itu tampak sekali
lebih panjang daripada lengan kirinya.
"Mike!" teriak Seijuro.
"Ya, Tuan." "Potong ini!"
"Hah-hh!" "Jangan cuma berdiri! Potong tanganku!"
"Tapi... "Goblok. Sini, Ueda, potong ini! Sekarang juga!"
"Ya-ya-ya, Tuan."
Tapi sebelum Ueda bergerak Kojiro berkata, "Akan kulakukan, kalau Anda menghendakinya."
"Silakan!" kata Seijuro.
Kojiro pergi ke sisinya. Ia mencengkeram erat tangan Seijuro, mengangkatnya tinggitinggi, dan bersamaan dengan itu ia hunus pedang kecilnya. Dengan bunyi cepat
mengejutkan lengan itu jatuh ke tanah dan darah menyembur dari bonggolnya.
Seijuro terhuyung-huyung, dan para siswa datang serentak untuk membantu serta menutup
luka dengan kain, untuk menghentikan darahnya.
"Sekarang aku jalan," kata Seijuro. "Aku pulang dengan kedua kakiku sendiri." Wajahnya
pucat seperti lilin. Ia maju sepuluh langkah. Di belakangnya, darah yang menetes dari
lukanya merembes hitam ke tanah.
"Tuan Muda, hati-hati!"
Para murid terus mengerumuninya lekat-lekat. Suara mereka yang mengandung rasa kuatir
dengan cepat berubah menjadi kemarahan.
Seorang dari mereka mengutuk Kojiro, katanya, "Kenapa pula keledai congkak itu ikut
campur" Tuan lebih baik seperti tadi."
Tetapi Seijuro, yang sudah malu oleh kata-kata Kojiro, mengatakan, "Kukatakan aku
jalan, dan aku akan jalan!" Sesudah beristirahat sebentar, ia maju lagi dua puluh
langkah, tapi sesungguhnya ia lebih banyak digerakkan oleh daya kemauan daripada oleh
kedua kakinya. Ia tak dapat bertahan lama. Sesudah lima puluh atau enam puluh meter ia
pun roboh. "Cepat! Kita mesti membawanya ke tabib!"
Mereka mengangkatnya dan cepat membawanya ke Jalan Shijo. Seijuro tak punya lagi
kekuatan untuk melawan. Kojiro berdiri sejenak di bawah pohon, sambil mengawasi dengan wajah suram. Kemudian,
sambil menoleh kepada Akemi dan menyeringai, ia berkata, "Kaulihat" Kukira kau senang,
kan?" Akemi menerima cemoohan Kojiro itu dengan perasaan jijik. Wajahnya pucat pasi,
tapi Kojiro melanjutkan, "Bisamu cuma bicara akan balas dendam. Apa kau puas sekarang"
Apa itu cukup buat ganti keperawananmu yang hilang?"
Akemi terlampau bingung untuk bicara. Pada saat itu Kojiro kelihatan olehnya lebih
menakutkan, lebih penuh kebencian, dan lebih jahat daripada Seijuro. Walaupun Seijuro
penyebab penderitaannya, Seijuro bukan orang yang kejam. Ia tidak berhati hitam, dan
bukan bajingan yang sebenarbenarnya. Kojiro sebaliknya, jahat sejahat-jahatnya " bukan
sejenis pendosa yang bisa dibayangkan kebanyakan orang, melainkan jahanam yang licik
dan jahat. Ia bukannya ikut senang jika orang lain berbahagia, malah sebaliknya
bergembira dengan hadir dan menonton penderitaan orang lain. Ia takkan pernah mencuri
atau menipu, tapi ia lebih berbahaya daripada penjahat biasa.
"Mari kita pulang," katanya sambil mengembalikan monyetnya ke bahu. Akemi ingin sekali
melarikan diri, tapi tak bisa mengerahkan keberanian. "Tak ada gunanya kau terus
mencari Musashi," gumam Kojiro, sekaligus pada diri sendiri dan pada Akemi. "Tak ada
alasan baginya berlama-lama di sini.


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Akemi bertanya pada diri sendiri, kenapa ia tidak mengambil kesempatan ini untuk lari
ke alam bebas. Kenapa sepertinya ia tak mampu meninggalkan manusia kejam ini. Bahkan
sementara mengutuk kebodohannya sendiri, tidak dapat ia mencegah dirinya pergi dengan
Kojiro. Monyet itu memutar kepala dan memandangnya. Sambil mengoceh mengejek ia memamerkan
giginya yang putih dan menyeringai lebar.
Akemi ingin memakinya, tapi tak dapat. Ia merasa dirinya dan monyet itu terikat oleh
nasib yang sama. Ia ingat, kasihan sekali tampaknya Seijuro tadi. Sekalipun dirinya
sudah dirugikan, hatinya kasihan juga pada Seijuro. Ia benci pada lelaki seperti
Seijuro dan Kojiro, namun sekaligus tertarik pada mereka, seperti ngengat tertarik pada
nyala api. *** 34. Manusia Serba bisa MUSASHI meninggalkan lapangan itu sambil berpikir, "Aku menang," katanya pada dirinya
sendiri, "Sudah kukalahkan Yoshioka Seijuro; sudah kutundukkan benteng Gaya Kyoto!"
Tapi ia tahu hatinya tidak di situ. Matanya tertunduk dan kakinya seperti tenggelam
dalam dedaunan kering. Seekor burung kecil yang terbang membubung ke langit
memperlihatkan bagian bawah tubuhnya yang mengingatkan pada seekor ikan.
Ketika ia menoleh ke belakang, tampak olehnya pohon-pohon pinus yang ramping di atas
gundukan tempat ia menghadapi Seijuro. "Aku memukul cuma satu kali," pikirnya.
"Barangkali pukulan itu tidak membunuhnya." Ia memeriksa pedang kayunya untuk
memperoleh kepastian bahwa tidak ada sisa darah di situ.
Pagi itu, dalam perjalanan ke tempat yang telah ditentukan, ia menduga akan menjumpai
Seijuro ditemani rombongan muridnya, yang bisa saja menempuh jalan licik. Terus terang
ia sudah siap menghadapi kemungkinan terbunuh. Agar pada akhir hayatnya ia tidak tampak
berantakan, ia sudah menggosok giginya baik-baik dengan garam dan mencuci rambutnya.
Ternyata Seijuro jauh berada di bawah perkiraan Musashi. Musashi bertanya-tanya, apakah
Seijuro benar-benar anak Yoshioka Kempo. Di dalam diri Seijuro yang biasa hidup dikota
dan jelas berpendidikan baik itu tidak tampak penampilan seorang guru utama Gaya Kyoto.
Ia terlalu ramping, terlalu lunak, terlalu sopan santun untuk menjadi jagoan pedang
besar. Ketika mereka bertukar salam, Musashi sudah berpikir tak enak. "Mestinya tak usah aku
menjalani pertarungan ini."
Penyesalannya memang benar, kerena tujuannya adalah selalu menghadapi lawan yang lebih
baik dari dirinya. Sekali pandang cukuplah. Tidak ada gunanya berlatih setahun penuh
hanya untuk menghadapi pertarungan ini. Mata Seijuro tidak menampakkan keyakinan diri.
Api yang dibutuhkan itu tidak ada, tidak hanya pada wajahnya, melainkan juga pada
seluruh tubuhnya. "Kenapa dia datang kemari pagi ini," tanya Musashi sendiri, "kalau dia tak punya
keyakinan lebih di dalam dirinya?" Tapi Musashi sadar akan kesulitan lawannya, dan ia
bersimpati. Seijuro tak dapat membatalkan pertarungan itu, sekalipun meng-hendakinya.
Para murid yang diwarisinya dari ayahnya memandangnya sebagai penasihat dan pemimpin.
Tak ada pilihan lain baginya kecuali menghadapi peristiwa-peristiwa yang terjadi.
Ketika kedua orang itu berdiri dan siap bertempur, Musashi menoleh ke sana kemari untuk
mencari alasan membatalkan seluruh acara itu, tapi kesempatan untuk itu tidak juga
datang. Kini semuanya sudah berlalu, dan Musashi berpikir, "Berat, berat! Mestinya tidak
kulakukan itu." Dan dalam hati ia berdoa semoga luka Seijuro lekas sembuh.
Tetapi kerja hari itu sudah terlaksana. Tidak sewajarnya seorang prajurit matang
bermuram durja mengenai hal yang sudah lalu.
Ketika ia mempercepat langkahnya, seorang perempuan tua muncul di atas petak rumput
dengan wajah terkejut. Semula perempuan itu sedang menggaruk-garuk tanah mencari
sesuatu. Bunyi langkah Musashi membuatnya tersengal. Perempuan itu mengenakan kimono
polos tipis. Kalau tidak karena tali lembayung yang mengikat jubahnya, barangkali ia
hampir tak bisa dibedakan dari rumput yang diinjaknya. Sekalipun pakaiannya baju orang
awam, kerudungnya kerudung biarawati. Perempuan itu bertubuh kecil halus.
Musashi sama kagetnya dengan perempuan itu. Tiga atau empat langkah lagi, pasti ia
sudah menginjaknya. "Apa yang Ibu cari?" tanya Musashi ramah. Ia melontarkan pandang ke
tasbih yang tersangkut pada lengan perempuan itu di dalam lengan kimononya, dan
sekeranjang tumbuhan liar kecil-kecil pada tangan yang lain. Jemari dan tasbih itu
bergetar sedikit. Untuk menenangkannya, Musashi berkata ringan, "Saya heran melihat tumbuhan ini sudah
tumbuh. Saya pikir musim semi baru akan mulai. Oh, saya lihat Ibu sudah punya daun
seledri yang manis-manis, juga lobak dan bunga kering, Apa Ibu memetiknya sendiri?"
Tapi biarawati itu menjatuhkan keranjangnya dan lari berteriak-teriak, "Koetsu!
Koetsu!" Musashi memandang tertegun melihat sosok kecil itu menghilang ke arah tanjakan kecil di
tengah ladang yang umumnya datar. Di belakang tanjakan itu tampak asap mengepul.
Karena menurut pendapatnya sayang kalau perempuan itu kehilangan sayuran yang sudah
dengan susah payah dikumpulkannya, maka Musashi pun memungutnya dan pergi mengikutinya
sambil menjinjing keranjang. Kira-kira semenit kemudian, muncul dua lelaki.
Mereka telah menghamparkan permadani di sisi selatan yang kena sinar matahari, pada
lereng yang landai. Di situ terdapat juga macam-macam alat yang biasa dipergunakan oleh
pemeluk kultus teh, termasuk ketel besi di atas api dan cerek air di satu sisi. Mereka
membuat kamar teh di udara terbuka, dan menganggap lingkungan alam itu sebagai
kebunnya. Semuanya tampak sedikit bergaya dan anggun.
Seorang dari kedua lelaki itu rupanya pelayan, sedangkan yang satunya mengingatkan
orang pada boneka porselin besar yang menggambarkan aristokrat Kyoto karena kulitnya
yang putih lembut dan garis-garis wajahnya yang serasi. Ia berperut gendut. Keyakinan
diri tercermin pada pipi dan posturnya.
"Koetsu". Nama itu membangkitkan kenangan, karena pada waktu itu Hon'ami Koetsu sangat
terkenal dan tinggal di Kyoto. Orang mengatakan dengan nada iri bahwa upah tahunan
Koetsu, seribu gantang, diperoleh dari Yang Dipertuan Maeda Toshiie dari Kaga yang
sangat kaya. Sebagai penduduk kota biasa, ia dapat hidup mewah dari situ saja, tapi di
samping itu ia menikmati juga perkenan khusus dari Tokugawa Ieyasu dan sering diterima
di rumah kaum bangsawan tinggi. Kabarnya para prajurit terbesar negeri ini terpaksa
turun dari kuda dan berjalan kaki bila melewati tokonya, agar tidak memberikan kesan
merendahkannya. Nama keluarga itu dipakai karena mereka menetap di Jalan Hon'ami, dan usaha Koetsu di
bidang pembersihan, penyemiran, dan penaksiran pedang. Keluarga itu memperoleh nama
baik semenjak abad empat belas dan berkembang pesat di zaman Ashikaga. Di kemudian hari
mereka dilindungi daimyo-daimyo terkemuka seperti Imagawa Yoshimoto, Oda Nobunaga, dan
Toyotomi Hideyoshi. Koetsu dikenal sebagai orang yang punya banyak bakat. Ia pelukis, ternama sebagai ahli
keramik dan pembuat pernis, dan dianggap ahli seni. Ia sendiri beranggapan bahwa
kekuatannya adalah dalam kaligrafi. Di bidang ini umumnya ia disejajarkan dengan ahliahli yang sudah diakui seperti Shokado Shojo, Karasumaru Mitsuhiro, dan Konoe Nobutada,
pencipta Gaya Sammyakuin, yang demikian populer hari-hari itu.
Sekalipun terkenal, Koetsu merasa belum sepenuhnya dihargai orang, atau demikianlah
kelihatannya dari cerita yang beredar. Menurut cerita itu, ia sering mengunjungi tempat
kediaman sahabatnya, Konoe Nobutada, yang bukan hanya seorang bangsawan, melainkan
sekaligus juga Menteri Kiri dalam pemerintahan Kaisar. Dalam salah satu kunjungan,
demikian cerita orang, pembicaraan dengan sendirinya beralih ke kaligrafi, dan Nobutada
bertanya, "Koetsu, siapa kiranya yang akan Anda pilih sebagai tiga ahli kaligrafi
terbesar negeri ini?"
Tanpa keraguan sedikit pun Koetsu menjawab, "Yang kedua adalah Anda sendiri, dan
kemudian saya kira Shokado Shojo."
Sedikit heran, Nobutada bertanya, "Anda mulai dengan kedua terbaik, tapi siapa yang
pertama?" Tanpa senyum sama sekali Koetsu memandang langsung ke mata Nobutada dan menjawab,
"Tentu saja saya."
Tenggelam dalam lamunan itu, Musashi berhenti tak jauh dari tempat orang-orang itu.
Koeuu memegang kuas, dan di lututnya tergeletak beberapa lembar kertas. Dengan sangat
hati-hati ia membuat sketsa air yang mengalir tak jauh dari situ. Lukisan yang sedang
digarapnya maupun beberapa karya sebelumnya yang berserakan di tanah terdiri sematamata atas garis-garis pucat yang menurut penilaian Musashi bisa saja dibuat oleh setiap
pemula. Koetsu menengadah dan berkata tenang, "Ada apa?" Kemudian ia menatap adegan itu:
Musashi di satu sisi, dan di sisi lain ibunya yang gemetar di belakang pelayan. '
Musashi merasa lebih tenang dengan hadirnya orang itu. Ia jelas bukan macam orang yang
biasa ditemui Musashi tiap hari, tapi entah bagaimana orang itu menarik bagi Musashi.
Matanya memancarkan sinar yang dalam, yang sebentar kemudian mulai tersenyum kepada
Musashi, seakan-akan mereka kenalan lama.
"Selamat datang, anak muda. Apa ibuku berbuat salah" Umurku sendiri empat puluh
delapan, jadi bisa kaubayangkan sudah seberapa tua beliau. Dia memang sehat sekali,
tapi kadang-kadang beliau mengeluh tentang penglihatannya. Kalau beliau melakukan
sesuatu yang seharusnya tidak dilakukannya, kuharap engkau mau menerima permintaan maaf
dariku." Ia meletakkan kuas dan bloknot di permadani kecil tempat ia duduk, dan
meletakkan kedua tangannya ke tanah, bersujud.
Musashi buru-buru berlutut untuk menghalangi Koetsu. "Jadi, Anda putra beliau?"
tanyanya bingung. "Ya." "Sayalah yang mesti mohon maaf. Saya sebenarnya tak mengerti kenapa ibu Anda takut,
tapi begitu beliau melihat saya, beliau menjatuhkan keranjangnya dan lari. Melihat
sayuran beliau tumpah, saya jadi merasa bersalah. Dan ini saya bawa barang-barang yang
jatuh itu. Hanya itu. Tak perlu Anda menghormat begitu."
Sambil tertawa senang, Koetsu menoleh kepada biarawati itu, dan katanya "Sudah Ibu
dengar sendiri, kan" Kesan Ibu salah sama sekali."
Dengan perasaaan sangat lega, ibu itu keluar dari tempat sembunyinya di belakang
pelayan. "Maksudmu, ronin ini tak ada maksud mencelakaiku?"
"Mencelakai" Sama sekali tidak. Lihatlah, dia bahkan mengembalikan keranjang Ibu. Apa
dia tidak baik budi?"
"Oh, maaf," kata biarawati itu sambil membungkuk rendah hingga dahinya menyentuh tasbih
yang ada di pergelangan tangannya. Kini ia riang dan tertawa sambil menoleh kepada
anaknya. "Aku malu mengakuinya," katanya, "tapi ketika pertama kali kulihat anak muda
ini, kupikir aku mencium bau darah. Oh, mengerikan! Jadi tegak bulu romaku. Sekarang
aku tahu, betapa tololnya aku tadi."
Daya tinjau perempuan tua itu mengagumkan Musashi. Ia mampu melihat ke dalam diri
Musashi, dan tanpa benar-benar memahaminva sudah menyatakannya dengan terus terang.
Bagi perasaan perempuan yang lembut ini, pasti Musashi tampak seperti hantu yang
mengerikan dan berlumuran darah.
Koetsu tentunya telah menangkap pula dalam pandangan mata Musashi yang tajam menembus,
dari rambutnya yang tegak mengancam itu, sifatnya yang tajam bagai duri dan berbahaya,
yang menyatakan kesiapsiagaannya untuk menghantam gangguan yang bagaimanapun kecilnya.
Meskipun begitu tampaknya Koetsu cenderung mencari unsur yang baik padanya.
"Kalau engkau tidak terburu-buru," katanya, "tinggallah di sini dan istirahat sebentar.
Di sini sangat sepi dan tenang. Duduk di tengah lingkungan ini, aku merasa bersih dan
segar." "Kalau saya dapat memetik sedikit lagi sayuran, saya bisa membuat bubur yang enak nanti
untukmu," kata biarawati itu. "Dan juga teh. Atau engkau tak suka teh?"
Bersama ibu dan anak itu, Musashi merasa damai dengan dunia ini. Ia me-nyarungkan
semangat perangnya, seperti kucing memasukkan cakarnya. Di tengah suasana yang
menyenangkan ini, sukar ia mempercayai bahwa ia berada di tengah orang-orang asing sama
sekali. Sebelum menyadarinya, ia telah melepaskan sandal jeraminya dan mengambil tempat
duduk di atas permadani. Rumah Yang Terpencil 1 Goosebumps - Berburu Monster Semerah Darah 1

Cari Blog Ini