Ceritasilat Novel Online

Mushasi 24

Mushasi Karya Eiji Yoshikawa Bagian 24


Baiken. Tapi melihat senjata itu lain sekali dengan menghadapinya.
Baiken bermegah-megah kini. Ia menyeringai lebar dan jahat. Musashi tahu, tinggal satu
kesempatan terbuka baginya: ia harus membebaskan pedang panjangnya. Dan ia mencari saat
yang tepat. Sambil melolong garang, Baiken melompat dan menyapukan sabitnya ke arah kepala Musashi.
Serambut lagi, pasti sabit itu mengenai sasaran. Musashi berhasil melepaskan pedangnya,
diiringi geraman keras. Baru saja sabit selesai ditarik, bola sudah datang mendesing di
udara. Kemudian ganti sabit, bola, sabit....
Menghindari sabit berarti menempatkan diri langsung di arah gerak bola. Musashi tak
dapat mendekat untuk melakukan pukulan. Dengan kalut ia bertanya pada diri sendiri,
berapa lama ia dapat bertahan dengan cara demikian. "Jadi, begini ini rupanya?"
tanyanya. Pertanyaan itu adalah pertanyaan sadar, tapi karena ketegangan yang makin
meningkat, tubuhnya jadi sukar dikendalikan, dan reaksinya jadi bersifat psikologis
semata. Tidak hanya otot-ototnya, melainkan juga kulitnya kini hanya berkelahi secara
naluriah. la begitu ketat memusatkan perhatian, hingga aliran keringat berminyak itu
terhenti. Seluruh bulu tubuhnya tegak.
Terlambat sudah untuk lari ke balik pohon. Kalau sekarang ia lari ke sana, barangkali
ia akan bertemu dengan musuh lain.
Terdengar olehnya suara teriakan yang jelas dan sayu, dan ia pun berpikir, "Hah" Iori?"
la ingin melihat, walaupun dalam hatinya ia sudah merelakan anak itu.
"Mati kau! Bajingan!" Teriakan itu datang dari belakang Musashi. Kemudian, "Musashi,
kenapa begitu lama" Saya sedang membereskan kutu di belakang ini."
Musashi tidak mengenali suara itu, tapi kini ia merasa dapat memusatkan perhatian pada
Baiken. Bagi Baiken, faktor terpenting adalah jarak dengan lawan. Keunggulannya terletak dalam
memanfaatkan panjangnya rantai. Kalau Musashi dapat bergerak satu kaki saja ke luar
jangkauan rantai, atau menghampiri satu kaki saja lebih dekat, Baiken akan mengalami
kesulitan. Ia harus berusaha sebaik-baiknya agar Musashi tidak melakukan kedua hat itu.
Musashi kagum akan teknik rahasia orang itu, tapi sambil kagum, tibatiba terpikir
olehnya bahwa itulah prinsip dua pedang. Rantai menjadi panjang, bola berfungsi sebagai
pedang kanan, sabit pedang kiri.
"Ya! Tentu!" serunya penuh kemenangan. "Itulah dia Gaya Yaegaki!" Dan dengan keyakinan
akan menang, ia melompat mundur, membuat jarak dua meter dengan musuhnya. Ia pindahkan
pedangnya ke tangan kanan, lalu ia lontarkan lurus ke depan, seperti anak panah.
Baiken berkelit dan pedang pun melesat, menghunjam ke akar sebatang pohon, tak jauh
dari situ. Tapi ketika la berkelit, rantai membelit tubuhnya.
Belum lagi ia sempat berteriak, Musashi sudah mengempaskan seluruh berat tubuhnya ke
atasnya. Baiken mengulurkan tangan sampai sejauh gagang pedangnya, tapi Musashi
mematahkan usahanya dengan tetakan tajam ke atas pergelangannya. Sebagai kelanjutan
gerakan tersebut, ia tarik senjata itu hingga membelah tubuh Baiken, seperti kilat
membelah pohon. Sambil menurunkan pedang, ia berkelit sedikit.
"Sayang," pikir Musashi. Menurut cerita orang kemudian, ia bahkan mengeluh iba, ketika
penemu Gaya Yaegaki itu mengembuskan napas terakhir.
"Irisan karatake," terdengar suara kagum. "Langsung menyusur tubuh. Tak beda dengan
bambu dibelah. Ini pertama kali saya lihat."
Musashi menoleh, katanya, "Oh, kalau tak salah... Gonnosuke dari Kiso. Apa kerja Anda
di sini?" "Lama tak jumpa, ya" Tentunya Dewa Mitsumine yang sudah mengatur, dan barangkali dengan
bantuan ibu saya, yang sudah banyak mengajar saya sebelum meninggal."
Mereka mulai mengobrol, tapi tiba-tiba Musashi berhenti bicara dan berseru, "Iori!"
"Dia baik-baik saja. Saya selamatkan dia dari si pendeta babi itu, kemudian saya suruh
naik pohon." Iori, yang memperhatikan mereka dari cabang tinggi itu, hendak mulai berbicara, tapi
tiba-tiba ia memayungi matanya dan memandang ke arah dataran kecil di ujung hutan.
Kuro, yang terikat pada sebatang pohon, telah berhasil menggigit lengan kimono Oko. Oko
mati-matian menyentakkannya. Dalam sekejap mata lengan kimono itu sobek, dan Oko lari.
Satu-satunya orang yang selamat, yaitu pendeta kedua itu, berjalan terpincang-pincang
bertongkatkan lembing. Darah mengalir dari luka di kepalanya. Anjing yang barangkali
sudah menggila oleh bau darah itu mulai ribut luar biasa. Sejenak suaranya terpantul ke
sana kemari, tapi kemudian tali itu putus, dan anjing itu pun mengejar Oko. Sampai di
dekat pendeta, si pendeta mengangkat lembing dan membidik kepala anjing itu. Kena
lehernya, dan binatang itu lari masuk hutan.
"Perempuan itu lari," teriak Iori.
"Tak apa-apa. Kau boleh turun sekarang."
"Ada pendeta yang luka di sana. Apa tidak ditangkap?"
"Lupakan. Tak ada lagi artinya."
"Perempuan itu barangkali orang dari Warung Teh Oinu itu," kata Gonnosuke. Ia
menjelaskan alasan kedatangannya, juga peristiwa kebetulan yang memungkinkan ia datang
membantu Musashi. Dengan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya, Musashi berkata, "Anda membunuh orang
yang menembakkan senapan itu?"
"Tidak," kata Gonnosuke, tersenyum. "Bukan saya, tapi tongkat saya. Saya tahu biasanya
Anda dapat melayani orang-orang macam itu, tapi karena mereka mulai menggunakan
senapan, terpaksa saya bertindak. Jadi, saya datang kemari mendahului mereka dan
menyelinap ke belakang orang itu, ketika hari masih gelap."
Mereka memeriksa mayat-mayat itu. Tujuh orang terbunuh dengan tongkat, hanya lima yang
dengan pedang. Musashi berkata, "Yang saya lakukan tadi tak lain dari mempertahankan
diri. Daerah ini termasuk tempat suci. Saya rasa, saya mesti menjelaskan segala
sesuatunya kepada pejabat pemerintah yang bertugas. Kemudian dia dapat mengajukan
pertanyaan-pertanyaan dan membereskan peristiwa ini."
Dalam perjalanan turun gunung, mereka berpapasan dengan kesatuan pejabat bersenjata di
jembatan Kosaruzawa. Musashi menyampaikan laporannya. Kapten yang bertugas itu
mendengarkan, agaknya dengan perasaan heran, namun ia perintahkan juga mengikat
Musashi. Musashi jadi terkejut, dan ia bertanya kenapa ia ditindak, padahal ia bermaksud
melaporkan hal itu pada mereka.
"Jalan!" perintah kapten itu.
Musashi marah, karena diperlakukan sebagai penjahat biasa, tapi masih ada hal lain yang
mengejutkan. Di bawah sana ternyata ada lebih banyak lagi pejabat. Ketika mereka sampai
di kota, orang yang mengawalnya tak kurang jumlahnya dari seratus orang.
*** 91. Sesama Murid "AYOLAH, tak usah menangis lagi!" Gonnosuke mendekap Iori ke dadanya. "Kau lelaki,kan?"
"Justru karena saya lelaki... saya menangis." Iori mengangkat kepalanya, membuka mulut
lebar-lebar, dan menangis sambil menengadah.
"Bukan mereka yang menahan Musashi. Dia yang menyerahkan diri." Kata-kata lunak
Gonnosuke itu menyembunyikan keprihatinannya sendiri yang dalam. "Ayolah, kita pergi
sekarang." "Tidak, sebelum mereka mengembalikan dia!"
"Tak lama lagi mereka akan melepaskannya. Harus! Apa kau mau kutinggalkan di sini
sendirian?" Gonnosuke menjauh beberapa langkah.
Iori tak bergerak. Justru pada waktu itu anjing Baiken datang menyerbu dari dalam
hutan, dengan moncong merah berdarah. "Tolong!" jerit Iori sambil berlari ke samping
Gonnosuke. "Kau capek, ya" Mau digendong?"
Iori dengan senang bergumam menyatakan terima kasih, lalu naik ke punggung yang
ditawarkan kepadanya, dan mendekapkan kedua tangannya ke bahu yang lebar itu.
Habis pesta malam kemarin, para tamu pergi. Angin lembut meniupkan sisa-sisa bungkusan
dari daun bambu dan carik-carik kertas di sepanjang jalanan sepi itu.
Lewat Warung Teh Oinu, Gonnosuke menoleh ke dalam, maksudnya hendak lewat saja, tanpa
diperhatikan orang. Tapi Iori berseru, "Itu perempuan yang lari tadi!"
"Aku bisa mengerti, mestinya memang dia di sini." Gonnosuke berhenti, dan menyatakan
keheranannya, "Kalau para pejabat bisa menyeret Musashi, kenapa mereka tidak menahan
orang ini?" Melihat Gonnosuke, mata Oko menyala-nyala karena marah.
Melihat perempuan itu terburu-buru mengumpulkan barang miliknya, Gonnosuke tertawa.
"Mau bepergian, ya?" tanyanya.
"Bukan urusanmu. Jangan sangka aku tidak kenal kau, bajingan tukang campur tangan! Kau
sudah membunuh suamiku!"
"Kalian sendiri penyebabnya."
"Hari-hari ini juga kubalas kau."
"Iblis perempuan!" seru Iori dari atas kepala Gonnosuke.
Sambil mengundurkan diri ke kamar belakang, Oko tertawa menghina,
"Apa kalian pikir kalian orang baik-baik, berani-berani mengata-ngatai aku" Kan kalian
pencuri yang masuk gedung harta?"
"Apa?" Gonnosuke segera menurunkan Iori ke tanah, dan masuk ke dalam warung. "Siapa
yang kausebut pencuri?"
"Tak bisa kau membohongi aku!"
"Katakan sekali lagi, dan..."
"Pencuri!' Gonnosuke mencengkeram tangan Oko, tapi waktu itu juga Oko membalikkan badan dan
menusukkan belati ke arahnya. Tanpa mengusik tongkatnya, Gonnosuke mencoba merebut
belati dari tangan Oko dan menyurukkan perempuan itu lewat pintu depan.
Oko cepat berdiri dan menjerit, "Tolong! Pencuri! Aku dikeroyok!"
Gonnosuke membidik, dan melontarkan belatinya. Menancap di punggung Oko, ujungnya
menyembul di dada. Oko jatuh tertelungkup.
Entah dari mana datangnya, Kuro langsung muncul dan mengangkangi tubuh itu. Pertama, ia
menghirup darahnya dengan lapar, kemudian mengangkat kepala dan melolong ke langit.
"Lihat matanya itu!" seru Iori ngeri.
Teriakan Oko tadi sampai ke telinga orang-orang kampung yang sedang heboh. Sesaat
sebelum fajar, memang ada orang menyerobot masuk gedung harta kuil. Jelas perbuatan itu
dilakukan oleh orang luar, karena harta keagamaan seperti pedang-pedang tua, cermin,
dan barang lain semacam itu tidak dijamah, sedangkan kekayaan dalam bentuk emas urai,
emas lantakan, dan uang tunai yang disimpan bertahun-tahun lamanya, hilang. Berita itu
lambat sekali bocornya, dan belum ditegaskan kebenarannya. Akibat jeritan Oko, yang
sedemikian jauh merupakan bukti paling nyata itu, sungguh cepat.
"Itu mereka!" "Dalam Warung Oinu!"
Teriakan-teriakan itu memikat lebih banyak lagi orang yang bersenjatakan bambu runcing,
senapan babi hutan, tongkat, dan batu. Dalam sekejap mata saja seluruh kampung sudah
mengepung warung teh itu dengan sikap haus darah.
Gonnosuke dan Iori lari dari pintu belakang, dan beberapa jam berikutnya berturut-turut
mereka terusir dari persembunyian yang satu ke persembunyian yang lain. Tapi kini
mereka mendapat kejelasan: Musashi ditahan bukan karena "kejahatan" yang akan
diakuinya, melainkan karena pencurian. Baru sesudah sampai di Celah Shomaru mereka
berhasil melepaskan diri dari rombongan pencari yang terakhir.
"Bapak dapat melihat Dataran Musashino dari sini," kata Iori. "Ingin tahu juga rasanya,
apa guru saya selamat."
"Hmm. Kukira dia ada di penjara sekarang, dan sedang diperiksa."
"Apa tak ada jalan menyelamatkan dia?"
"Harusnya ada."
"Saya mohon, tolonglah."
"Tak perlu kau memohon. Dia semacam guru juga buatku. Tapi, Iori, tak banyak yang bisa
kaulakukan di sini. Apa kau bisa pulang sendiri?"
"Saya kira bisa, kalau memang terpaksa." "Bagus."
"Bapak sendiri bagaimana?"
"Aku akan kembali ke Chichibu. Kalau mereka menolak melepaskan Musashi, akan
kukeluarkan dia, entah dengan cara bagaimana, biar mesti meruntuhkan penjara." Untuk
menekankan kata-katanya, ia hantamkan tongkatnya satu kali ke tanah. Iori sudah
menyaksikan tenaga senjata itu, dan ia cepat mengangguk menyetujui. "Kau anak baik.
Pulanglah dan urus segalanya, sampai aku membawa Musashi pulang dalam keadaan sehat tak
kurang suatu apa." Sambil mengepit tongkatnya, Gonnosuke berbalik menuju Chichibu.
Iori tidak merasa kesepian atau takut. Ia juga tidak kuatir akan tersesat. Tapi ia
mengantuk bukan main. Sementara berjalan di bawah matahari panas itu, ia hampir tak
dapat membuka matanya. Di Sakamoto, ia melihat patung Budha di tepi jalan, dan
berbaringlah ia di bawah bayangannya.
Ketika sinar matahari sore makin menggelap, ia terbangun mendengar suara-suara pelan di
sebelah patting. Karena merasa agak bersalah mendengarkan percakapan orang, ia berpurapura masih tidur.
Ada dua orang-yang satu duduk di atas tunggul potion, yang lain di atas batu. Tidak
jauh dari situ, ada dua ekor kuda tertambat pada pohon, dengan peti-peti pernis
tergantung di kedua sisi pelananya. Label kayu yang tertera pada salah satu peti itu
bertuliskan: Dari Provinsi Shimotsuke. Untuk pembangunan lingkar barat. Leveransir
Bahan Pernis untuk Shogun.
Bagi Iori, yang sekarang menoleh ke sekitar patung, kedua orang itu tidak mirip kawanan
pejabat kuil yang makmur. Mata mereka terlalu tajam, dan tubuh mereka terlalu berotot.
Yang lebih tua tampak tegap, umurnya lebih dari lima puluh tahun. Sinar matahari
terakhir terpantul tajam dari topi yang menutupi kedua telinganya, dan topi itu
menjorok ke depan, menutupi wajahnya.
Temannya seorang pemuda ramping dan kokoh, dengan jambul yang cocok untuk wajahnya yang
kekanak-kanakan. Kepalanya tertutup saputangan bercelup Suo dan diikatkan di bawah
dagu. "Bagaimana peti-peti pernis itu?" tanya yang muda. "Bagus juga, kan?"
"Ya, bagus. Orang bisa menduga kita ada hubungan dengan pekerjaan yang sedang
berlangsung di kuil. Takkan terpikir olehku hal itu."
"Terpaksa saya mengajarkan soal-soal ini pada Bapak, sedikit demi sedikit."
"Hati-hati kau! Jangan menertawakan orang tua. Tapi siapa tahu" Barangkali dalam empat
atau lima tahun, Daizo tua ini akan menerima perintah darimu!"
"Ya, orang muda tumbuh dewasa. Orang tua terus tambah tua, tak peduli berapa keras
mereka berusaha untuk tetap muda."
"Kaupikir, itu yang kulakukan?"
"Jelas, kan" Bapak selalu berpikir tentang umur Bapak, dan itu yang menyebabkan Bapak
berusaha keras agar misi Bapak itu terlaksana."
"Rupanya kau sudah betul-betul mengenal diriku."
"Apa kita tidak berangkat?"
"Ya, jangan sampai keburu malam."
"Saya tak mau sampai tertangkap."
"Ha, ha. Kalau kau begitu cepat takut, kau tak bisa punya keyakinan penuh akan apa yang
kaulakukan." "Saya belum lama terjun dalam urusan ini. Bunyi angin pun kadang-kadang membuat saya
gugup." "Itu karena kau masih berpikir tentang dirimu sebagai pencuri biasa. Kalau kau berpikir
bahwa yang kaulakukan adalah untuk kebaikan negerimu, perasaanmu akan tenang."
"Bapak selalu bilang begitu. Saya percaya pada Bapak, tapi ada yang selalu mengingatkan
saya, bahwa yang saya lakukan ini tidak benar."
"Kau mesti punya keberanian berpendirian!" Namun nasihat itu terdengar kurang
meyakinkan, seakan-akan Daizo sedang meyakinkan dirinya sendiri.
Pemuda itu melompat ringan ke atas pelana, dan berjalan mendahului. "Bapak perhatikan
saya," serunya sambil menoleh ke belakang. "Kalau saya melihat apa-apa, akan saya beri
isyarat." Jalan itu turun melandai ke selatan. Iori memperhatikan dari balik patung Budha
sejenak, kemudian memutuskan untuk mengikuti mereka. Bagaimanapun, ia yakin mereka
itulah pencuri-pencuri gedung harta.
Sekali-dua kali, mereka menoleh ke belakang dengan hati-hati. Karena merasa tak ada
tanda-tanda bahaya, sebentar kemudian mereka sepertinya sudah tampak melupakan Iori.
Tak lama sesudah itu, cahaya petang lenyap, dan keadaan pun jadi terlalu gelap, hingga
susah melihat beberapa meter ke depan.
Kedua penunggang kuda hampir sampai ke ujung Dataran Musashino, ketika pemuda itu
menuding dan berkata, "Nah, di sana Pak Kepala bisa melihat lampu Ogimachiya." Jalanan
jadi mendatar. Tidak berapa jauh di depan, tampak Sungai Iruma berkilauan seperti perak
oleh sinar bulan, berkelok-kelok seperti obi yang tercecer.
Iori kini bersikap hati-hati, agar tetap tidak menjadi perhatian. Dugaannya bahwa
orang-orang itu pencuri telah semakin besar, dan ia kenal segala sesuatu tentang
bandit, semenjak ia tinggal di Hotengahara. Bandit adalah orang-orang jahat yang tega
berbuat aniaya hanya karena sebutir telur atau secuil buncis merah. Pembunuhan tanpa
alasan bukanlah apa-apa bagi mereka.
Segera mereka masuk kota Ogimachiya. Daizo mengangkat satu tangannya dan berkata,
"Jota, kita berhenti di sini buat makan. Kuda mesti diberi makan, dan aku ingin
merokok." Mereka mengikatkan kuda di depan warung yang lampunya remangremang, dan masuk. Jota
menempatkan diri di dekat pintu, dan terns menatapkan matanya ke peti-peti itu, selama
ia makan. Begitu selesai, ia keluar dan memberi makan kudanya.
Ion masuk warung makanan di seberang jalan, dan ketika kedua orang itu berangkat lagi,
ia sambar gumpalan terakhir nasinya, dan ia makan seraya berjalan.
Kedua orang itu kini berjalan berdampingan. Jalanan gelap, tapi rata. "Apa kau sudah
kirim kurir ke Kiso, Jota?" "Ya, sudah."
"Kapan kausebutkan waktunya?"
"Tengah malam. Kita mesti sampai di sana menurut jadwal."
Di malam tenang itu, Iori cukup dapat menangkap percakapan mereka, hingga ia pun tahu


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahwa Daizo memanggil temannya dengan nama anak-anak, sedangkan Jota menyebut orang
yang lebih tua itu dengan "Kepala". Artinya tidak lain bahwa orang itu kepala
gerombolannya. Tetapi, bagaimanapun, Iori mendapat kesan bahwa mereka itu bapak dan
anak. Ini berarti mereka bukan sekadar bandit, melainkan bandit turunan, yang tidak
dapat ia tangkap sendirian. Tapi kalau ia dapat menghampiri mereka cukup dekat, ia
dapat melaporkan tempat mereka kepada pejabat.
Kota Kawagoe sedang tertidur lelap, tenang seperti rawa-rawa di tengah malam buta.
Sesudah melewati baris-baris rumah yang sudah gelap, kedua penunggang kuda itu
meninggalkan jalan raya dan mulai mendaki bukit. Sebuah tanda dari batu di bawah kuil
menyatakan: Hutan Bukit Kuburan Kepala-di Atas.
Iori mendaki lewat semak-semak di sepanjang jalan setapak, dan sampal lebih dahulu di
puncak. Di sana ada sebatang pohon pinus besar. Seekor kuda tertambat pada pohon itu.
Tiga orang berpakaian ronin jongkok di bawah, dengan tangan dilipat di atas lutut.
Mereka memandang penuh harapan ke arah jalan setapak.
Baru saja Iori menyembunyikan diri, salah seorang dari orang-orang itu menegakkan
badan, katanya, "Itu Daizo." Ketiga orang itu berlari ke depan, dan bertukar salam
gembira dengan Daizo. Daizo dan sekongkolnya memang sudah hampir empat tahun lamanya
tidak berjumpa. Sebentar kemudian, mereka mulai bekerja. Atas petunjuk Daizo, mereka menggelindingkan
sebuah batu besar ke sisi, dan mulai menggali. Tanah ditumpuk di satu sisi, sedangkan
timbunan emas dan perak di sisi lain. Jota menurunkan peti-peti itu dari punggung kuda
dan mengeluarkan isinya yang, seperti diduga Iori, terdiri atas harta Kuil Mitsumine
yang hilang itu. Kalau ditambahkan pada simpanan sebelumnya, barang rampokan itu
tentunya bernilai puluhan ribu ryo.
Barang logam berharga itu dituangkan ke dalam karung-karung
dimuatkan ke punggung tiga ekor kuda. Peti-peti pernis yang
barang lain yang sudah memenuhi tugasnya itu, dimasukkan ke
diratakan kembali, dan batu pun dikembalikan pada kedudukan
jerami biasa, kemudian sudah kosong, bersama-sama
dalam lubang. Tanah semula. "Cukuplah ini," kata Daizo. "Sekarang waktunya merokok." Ia duduk di samping pohon
pinus dan mengeluarkan pipanya. Yang lain-lain mengibaskan pakaian dan menggabungkan
diri dengannya. Selama empat tahun melakukan apa
Dataran Kanto secara menyeluruh.
memiliki piagam yang menyebutkan
Namun aneh juga, tak seorang pun
seluruh uang itu. yang dinamakan ziarah itu, Daizo telah menjelajahi
Hanya sedikit kuil atau tempat suci yang tidak
kedermawanannya yang sudah tidak lagi menjadi rahasia.
terpikir untuk menanyakan, bagaimana ia memperoleh
Daizo, Jotaro, dan ketiga orang dari Kiso itu duduk melingkar sekitar satu jam lamanya,
membicarakan rencana-rencana masa depan. Tak sangsi lagi, sekarang ini berbahaya bagi
Daizo untuk kembali ke Edo, namun seorang dari mereka harus pergi ke sana. Dalam gudang
di Shibaura ada emas yang mesti diambil dan dokumen-dokumen yang mesti dibakar. Dan ada
yang mesti dilakukan untuk mengurus Akemi.
Tepat sebelum matahari terbit, Daizo dan ketiga orang itu mulai menuruni jalan raya
Koshu, menuju Kiso. Jotaro berjalan kaki menuju arah berlawanan.
Bintang-bintang yang ditatap Iori tidak memberikan jawaban atas pertanyaannya, "Siapa
yang harus dikuntit?"
Di bawah langit musim gugur yang biru cerah, sinar tegas matahari petang seakan-akan
tenggelam langsung ke dalam kulit Jotaro. Dengan kepala dipenuhi pikiran mengenai
perannya di masa mendatang, ia melangkah santai melintasi Dataran Musashino, seakanakan dialah pemiliknya.
Sambil melontarkan pandang agak kuatir ke belakang, pikirnya, "Dia masih di sana."
Karena mengira anak lelaki itu ingin bicara dengannya, beberapa kali ia berhenti, tapi
anak itu tidak berusaha menyusulnya.
Jotaro memutuskan untuk mengetahui apa yang sedang terjadi. Ia bersembunyi di balik
serumpun elalia. Sampai di bagian jalan tempat ia terakhir kali melihat Jotaro, mulailah Iori menoleh ke
sekelilingnya dengan gelisah.
Sekonyong-konyong Jotaro berdiri dan berseru, "Hei, orang kerdil!"
Iori tergagap, tapi sekejap kemudian sudah pulih kembali. Karena merasa tak dapat
meloloskan diri, ia berjalan terus dan bertanya acuh tak acuh. "Apa maumu?"
"Kau mengikuti aku, kan?"
"Tidak!" Ion menggelengkan kepala dengan sikap tak bersalah. "Aku mau pergi ke Juniso
Nakano." "Bohong! Kau tadi mengikuti aku."
"Aku tak mengerti apa yang kaubicarakan itu." Iori mulai angkat kaki dan lari, tapi
Jotaro menangkap belakang kimononya. "Katakan!"
"Tapi... aku... aku tidak tahu apa-apa!"
"Pembohong!" kata Jotaro sambil mengetatkan cengkeramannya. "Ada yang menyuruhmu
mengikuti aku. Kau mata-mata."
"Dan kau... kau pencuri jelek!"
"Apa?" pekik Jotaro dengan muka hampir menyentuh muka Iori.
Iori membungkukkan badan sampai hampir menyentuh tanah, bebas, dan lari.
Sejenak Jotaro ragu-ragu, tapi kemudian mengejarnya.
Iori membelok ke samping, dan dari situ terlihat olehnya atap lalang tersebar di sanasini, seperti sarang lebah. Ia melintasi ladang yang ditumbuhi rumput musim gugur
kemerahan. Beberapa timbunan tanah tempat tikus mondok tertendang olehnya.
"Tolong! Tolong! Pencuri!" teriak Iori.
Kampung kecil yang dimasukinya itu dihuni sejumlah keluarga yang bertugas memadamkan
kebakaran di dataran itu. Iori dapat mendengar bunyi palu dan paron seorang pandai
besi. Orang banyak datang berlarian dari dalam kandang dan rumah yang gelap. Di rumahrumah itu bergantung buah kesemek dikeringkan. Sambil melambai-lambaikan tangan, Iori
berteriak terengah-engah, "Orang yang pakai ikat kepala... dan mengejar saya... itu
pencuri. Tangkap dia! Ayolah! ... Oh, oh! Ini dia kemari!"
Orang-orang kampung menatap kebingungan, Sebagian memandang takut pada kedua pemuda
itu, tapi Iori kecewa karena mereka tidak bergerak menangkap Jotaro.
Di tengah kampung, Iori berhenti karena sadar bahwa ternyata satu-satunya yang
mengganggu suasana damai itu adalah teriakannya. Kemudian ia berlari lagi, dan
menemukan tempat untuk bersembunyi dan mengambil napas.
Jotaro pelan-pelan menenangkan diri, sampai akhirnya dapat kembali berjalan normal,
sebagai orang yang bermartabat. Orang-orang kampung memperhatikannya tanpa mengatakan
apa-apa. Ia memang tidak mirip perampok atau ronin yang bermaksud jahat. Sesungguhnya
ia tampak seperti pemuda baik-baik, yang tak mungkin melakukan kejahatan.
Karena merasa muak bahwa orang-orang kampung-orang-orang dewasa itu tak hendak menindak
pencuri, Iori memutuskan untuk segera kembali ke Nakano. Di sana, setidaknya ia dapat
menyampaikan urusannya pada orang-orang yang dikenalnya.
Ia meninggalkan jalan, lalu memotong dataran. Begitu melihat rumpun kriptomeria di
belakang rumah, berarti tinggal satu kilometer lagi jarak yang mesti ditempuhnya.
Dengan perasaan puas, Ia ubah langkahnya, dari menderap jadi berlari penuh.
Tiba-tiba ia melihat jalannya dihalangi oleh seorang lelaki yang merentangkan kedua
tangannya. Tak sempat ia membayangkan, bagaimana Jotaro bisa mendahuluinya, tapi sekarang ia
berada di daerah sendiri. Ia melompat mundur dan menarik pedangnya.
"Bajingan!" pekiknya.
Jotaro menyerbu ke depan dengan tangan kosong dan menangkap kerah Iori, tapi anak itu
berhasil membebaskan diri dan melompat sepuluh kaki ke samping.
"Bangsat!" gumam Jotaro, yang merasa darah hangat mengalir turun di tangan kanannya,
oleh luka sepanjang lima sentimeter.
Iori mengambil jurus, dan memusatkan pikiran pada pelajaran yang dulu didengungdengungkan Musashi kepadanya: Mata... Mata... Mata. Kekuatannya terpusat dalam kedua
bola matanya. Keseluruhan dirinya seperti tersalur ke dalam sepasang matanya yang
berapi-api. Karena kalah beradu pandang, Jotaro menebaskan pedangnya sendiri. "Terpaksa aku
membunuhmu!" gertaknya.
Kembali mendapat keberanian karena kemenangan yang baru didapatnya, Iori menyerang.
Itulah serangan yang selalu dipergunakannya terhadap Musashi.
Jotaro terpaksa berpikir sekali lagi. Tadinya ia tak percaya Iori dapat mempergunakan
pedang. Kini ia kerahkan seluruh kekuatannya untuk berkelahi. Demi kawan-kawannya, ia
harus menyingkirkan anak yang suka campur tangan ini. Ia mendesak maju, agaknya tanpa
memperhatikan serangan Iori, dan ia mengayunkan pedang dengan ganas, namun meleset.
Sesudah dua-tiga kali menangkis, Iori membalik, kemudian lari, berhenti, dan menyerang
lagi. Apabila Jotaro menghadapinya, ia mundur lagi. Ia senang melihat taktiknya
berhasil. Dengan cara itu, ia memikat lawan memasuki wilayahnya.
Sambil beristirahat untuk menarik napas, Jotaro menoleh ke sekitar semak yang gelap,
lalu berteriak, "Ke mana kau, bajingan bodoh?" Jawabannya ternyata hujan dari pohon dan
daun. Jotaro menegakkan kepala, dan berteriak, "Aku melihatmu!" sekalipun yang ia lihat
di tengah dedaunan itu sebenarnya hanyalah sepasang bintang.
Jotaro memanjat ke arah bunyi gemeresik yang ditimbulkan Iori, ketika Iori berpindah
tempat ke cabang lain. Sayang sekali, dari sana tak ada lagi jalan untuk lari.
"Kena kau sekarang! Lebih baik kau menyerah, kecuali kalau kau punya sayap. Kalau
tidak, mati kau!" Diam-diam Iori kembali ke sebuah titik percabangan dua batang, pelan, hati-hati. Ketika
Jotaro menggapai untuk menangkapnya, kembali Iori berpindah tempat ke salah satu
batang. Sambil menggeram, Jotaro menangkap sebuah cabang dengan kedua tangannya dan
mengangkat badannya ke atas. Dengan demikian, ia memberikan kesempatan kepada Iori,
kesempatan yang memang dinantikan anak itu. Dengan bunyi berderak, pedangnya menetak
cabang yang digantungi Jotaro. Cabang itu patah, dan Jotaro jatuh terjerembap ke tanah.
"Bagaimana rasanya, pencuri?" tanya Iori dengan bangga.
Jotaro jatuh terhalang dahan-dahan di bawah, karena itu ia tidak terluka parah, hanya
terluka harga dirinya. Ia memaki-maki dan mulai memanjat lagi, kali ini dengan
kecepatan seekor macan tutul. Sampai di kaki Iori lagi, Iori menebaskan pedangnya ke
sana kemari, agar Jotaro tidak sempat mendekat.
Sementara mereka terkunci dalam jalan buntu, nada-nada sendu shakuhachi terdengar oleh
telinga mereka. Sesaat mereka berdua berhenti dan mendengarkan.
Kemudian Jotaro memutuskan untuk mencoba bicara baik-baik dengan lawannya. "Baiklah,"
katanya, "kau sudah menunjukkan kemampuan berkelahi lebih baik dari yang kuduga. Aku
kagum padamu. Kalau kau mengatakan siapa yang memerintahkanmu mengikutiku, akan
kulepaskan kau." "Akui, kau kalah!"
"Kau gila, ya?"
"Mungkin saja aku belum besar, tapi namaku Misawa Iori, satu-satunya murid Miyamoto
Musashi. Minta belas kasihan itu hinaan buat nama baik guruku. Menyerahlah kau!"
"A-apa?" tanya Jotaro tak percaya. "K-katakan itu sekali lagi!" suaranya nyaring dan
tidak mantap. "Dengar baik-baik," kata Iori bangga. "Aku Misawa Iori, satu-satunya murid Miyamoto
Musashi. Apa itu membuatmu heran?"
Jotaro kini bersedia mengakui kekalahan. Dengan rasa sangsi, bercampur ingin tahu, ia
bertanya, "Bagaimana guruku itu" Apa dia baik-baik saja" Di mana dia?"
Dengan kaget Iori menjawab, namun tetap menjaga jarak dari Jotaro, yang sementara itu
terus mendekat. "Ha! Sensei tak akan punya murid seorang pencuri."
"Jangan sebut aku pencuri. Apa Musashi tak pernah menyebut Jotaro?"
"Jotaro?" "Kalau kau betul-betul murid Musashi, pasti kau pernah mendengar dia menyebut namaku
sekali-sekali. Aku seumurmu waktu itu."
"Bohong!" "Tidak bohong! Betul!"
Penuh dengan rasa nostalgia, Jotaro mengulurkan tangan kepada Iori, dan mencoba
menjelaskan bahwa mereka berdua mesti bersahabat, karena mereka murid dari guru yang
sama. Namun Iori tetap bersikap waspada, dan melayangkan pukulan ke arah rusuk Jotaro.
Karena terjepit antara dua dahan, hampir Jotaro tak berhasil mencengkeramkan tangannya
ke pergelangan Iori. Entah karena apa, Iori melepaskan cabang yang selama itu
dipegangnya. Mereka pun jatuh bersama, satu di atas yang lain, dan kedua-duanya
pingsan. Cahaya di rumah baru Musashi itu tampak dari segala jurusan, karena sekalipun atapnya
sudah terpasang, dinding-dindingnya belum dibuat.
Takuan datang sehari sebelumnya, untuk melakukan kunjungan seusai badai, dan ia
memutuskan untuk menanti kembalinya Musashi. Tepat malam tadi, kenikmatan yang
diperolehnya dari lingkungan sepi itu diganggu oleh seorang pendeta pengemis yang minta
air panas untuk makan malam.
Pendeta tua itu makan kue berasnya yang sederhana, lalu mulai bermain shakuhachi untuk
Takuan. Dengan gerak tertegun-tegun dan gaya amatiran, ia mainkan alat itu dengan jarijarinya. Mendengar permainannya, Takuan merasa bahwa musik yang didengarnya itu
mengandung nada-nada murni, sekalipun terdengar juga nada-nada klise, seperti sering
terungkap dalam sajak orang-orang yang bukan penyair. Ia merasa juga, bahwa ia dapat
menangkap emosi yang hendak dinyatakan oleh si pemain dengan alatnya. Musik itu murung.
Dari nada sumbang yang pertama sampai yang terakhir, terasa lolongan penyesalan.
Terasa oleh Takuan, semua itu seperti cerita tentang kehidupan orang itu sendiri, dan
ia bayangkan bahwa cerita itu tentunya tidak jauh berbeda dari hidupnya sendiri. Besar
atau kecil seseorang, tidak banyak beda pengalaman hidup rohaninya. Perbedaannya
hanyalah bagaimana masing-masing dari mereka menangani kelemahan-kelemahan manusia yang
umum sifatnya. Bagi Takuan, ia dan orang lain itu pada dasarnya hanyalah seikat khayal
yang terbungkus daging manusia.
"Saya yakin pernah melihat Anda, entah di mana," gumam Takuan merenung.
Pendeta itu mengedip-ngedipkan matanya yang hampir tak melihat, dan katanya, "Sesudah
Anda mengucapkan kata itu, saya jadi kenal suara Anda. Bukankah Anda Takuan Soho dari
Tajima?" Ingatan Takuan menjadi terang kini. Sambil mendekaikan lampu ke wajah orang itu,
katanya, "Anda Aoki Tanzaemon, kan:
"Kalau begitu, Anda betul Takuan. Oh, alangkah ingin saya merangkak ke dalam lubang,
dan menyembunyikan diri saya yang celaka ini."
"Aneh sekali, kita berjumpa di tempat semacam ini. Sudah hampir sepuluh tahun berlalu,
sejak peristiwa di Kuil Shippoji itu, kan?"
"Oh, menggigil saya, kalau memikirkan masa itu." Kemudian katanya kaku, "Sesudah
menjadi pengembara dalam kegelapan, onggokan tulang sial ini hanya punya satu penunjang
semangat hidupnya, yaitu kenangan akan anak."
"Anda punya anak?"
"Orang bilang, anak saya hidup bersama orang yang diikat pada pohon kriptomeria tua
dulu itu. Takezo namanya, kan" Saya dengar namanya sekarang Miyamoto Musashi. Kata
orang, keduanya pergi ke timur."
"Maksud Anda, anak Anda itu murid Musashi?"
"Begitulah kata orang. Saya malu sekali. Tak mungkin saya menghadapi Musashi, karena
itu saya putuskan untuk menghilangkan saja anak itu dari pikiran saya. Tapi... ah,
umurnya sudah tujuh belas tahun sekarang. Sekiranya saya dapat melihatnya sekali saja,
dan tahu akan menjadi orang macam apa dia nanti, siaplah dan maulah saya mati."
"Jadi, Jotaro itu anak Anda" Saya tidak tahu," kata Takuan.
Tanzaemon mengangguk. Tak ada tanda-tanda pada tubuhnya yang mengeriput itu, bahwa ia
kapten angkuh yang bernafsu terhadap Otsu dulu. Takuan memandangnya dengan perasaan
iba, dan sedih melihat Tanzaemon yang demikian tersiksa oleh kesalahannya sendiri.
Sekalipun mengenakan pakaian pendeta, orang itu jelas tidak mendapatkan ketenangan
dalam keyakinan keagamaan, maka Takuan memutuskan langkah pertama yang harus diambilnya
adalah menghadapkan pendeta itu kepada Budha Amida, yang dengan keampunan tanpa batas
dapat menyelamatkan mereka yang telah bersalah melakukan sepuluh tindak kejahatan dan
lima dosa tak berampun. Sesudah ia sembuh dari rasa putus asanya, masih akan cukup
waktu untuk mencari Jotaro.
Takuan memberikan kepadanya nama sebuah kuil Zen di Edo. "Kalau Anda katakan pada
mereka bahwa saya yang mengirim Anda ke sana, mereka akan mengizinkan Anda tinggal di
sana berapa lama pun Anda suka. Begitu ada waktu nanti, saya akan datang, dan kita akan
berbicara panjang-lebar. Saya dapat menduga di mana anak Anda berada. Akan saya
usahakan sebisa-bisanya agar Anda dapat bertemu dengannya tidak lama lagi. Sementara
itu, tinggalkan pengembaraan Anda. Sesudah berumur lima puluh atau enam puluh tahun
pun, orang masih bisa mengenal kebahagiaan, bahkan juga melakukan kerja yang
bermanfaat. Anda bisa hidup bertahuntahun lagi. Bicarakan soal ini dengan pendetapendeta di sana, kalau Anda sampai di kuil itu."
Takuan mengusir Tanzaemon ke luar pintu, tanpa banyak upacara dan rasa simpati, tapi
Tanzaemon rupanya menghargai sikapnya yang tanpa perasaan itu. Sesudah beberapa kali
membungkuk sebagai tanda terima kasih, ia memungut topi buluh dan shakuhachi-nya, lalu
pergi. Karena takut tergelincir, Tanzaemon memilih jalan lewat hutan, di mana jalan setapak
lebih melandai. Akhirnya tongkatnya menyinggung suatu rintangan. Ketika ia meraba-raba
dengan kedua tangannya, terkejutlah ia menepuk dua tubuh yang terbaring tak bergerakgerak di tanah lembap itu.
Ia lekas-lekas kembali ke pondok tadi. "Takuan! Apa Anda bisa membantu saya" Saya
menemukan dua anak lelaki pingsan di hutan." Takuan bangkit dan pergi ke luar. Sambung
Tanzaemon, "Saya tidak bawa obat, dan penglihatan saya tidak begitu baik untuk
mengambilkan mereka air."
Takuan mengenakan sandalnya dan berseru ke arah dasar bukit. Suaranya mengalun lepas.
Seorang petani menjawab dan bertanya kepadanya, apa yang dikehendakinya. Takuan minta
ia membawa obor, juga beberapa orang lelaki dan sedikit air. Sambil menanti, ia
menyatakan pada Tanzaemon bahwa jalan itu adalah jalan yang sebaik-baiknya untuk
ditempuh. la lukiskan jalan itu dengan terperinci, dan ia anjurkan Tanzaemon jalan
terus. Di tengah jalan menuruni bukit, Tanzaemon berpapasan dengan orang-orang yang


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

naik. Ketika Takuan tiba dengan petani itu, Jotaro sudah tersadar dan duduk di bawah pohon,
tampaknya bingung. Sebelah tangannya terletak di atas tangan Iori, dan ia bimbang:
menyadarkan Iori dan mencoba mengetahui apa yang dikehendakinya, ataukah pergi dart
sana" Melihat obor datang, ia bereaksi seperti binatang malam, menegangkan otot-otot,
siap untuk lari. "Apa yang terjadi di sini?" tanya Takuan. la memperhatikan segalanya lebih teliti, dan
minatnya yang bercampur rasa ingin tahu berubah menjadi sikap heran, sama seperti
Jotaro. Anak muda itu jauh lebih tinggi dari anak yang pernah dikenal Takuan, dan
wajahnya berubah sedikit.
"Kau Jotaro, kan?"
Pemuda itu meletakkan kedua tangannya ke tanah, membungkuk. "Betul," katanya tertegun,
hampir-hampir dengan sikap takut. Ia mengenal Takuan seketika itu juga.
"Oh, kau memang sudah tumbuh menjadi pemuda tampan." Sambil mengalihkan perhatian
kepada Iori, Takuan merangkulnya dan memastikan bahwa anak,itu masih hidup.
Iori sadar kembali. Sesudah menoleh sekeliling beberapa detik lamanya dengan keheranan,
ia pun menangis. "Ada apa?" tanya Takuan dengan nada menghibur. "Apa kau luka?"
Iori menggelengkan kepala, menangis, "Saya tidak luka. Tapi mereka membawa guru saya.
Dia di penjara Chichibu sekarang." Karena tangisnya itu, sukar Takuan menangkap maksud
kata-katanya, tapi kemudian ceritanya pun menjadi jelas. Sadar akan seriusnya keadaan
itu, Takuan jadi hampir sama sedihnya dengan Iori.
Jotaro pun sangat gelisah. Dengan suara bergetar, katanya tiba-tiba, "Pak Takuan, ada
yang hendak saya sampaikan pada Bapak. Apa kita bisa pergi ke tempat lain untuk
bicara?" "Dialah salah seorang pencuri itu," kata Iori. "Bapak jangan percaya dia. Apa saja yang
dikatakannya pasti bohong." Ia menunjuk Jotaro dengan nada menuduh, dan mereka saling
tatap. "Diam kalian berdua! Biar kuputuskan siapa yang benar dan siapa yang salah." Takuan
membawa mereka kembali ke rumah, dan memerintahkan mereka membuat api di luar.
Takuan duduk di samping api, dan ia perintahkan mereka untuk berbuat demikian juga.
Iori ragu-ragu. Air mukanya jelas-jelas menyatakan bahwa ia tak ingin bersahabat dengan
pencuri. Tapi, melihat Takuan dan Jotaro berbicara akrab mengenai masa lalu, ia merasa
iri, dan sambil menggerutu mengambil tempat duduk di dekat mereka.
Jotaro merendahkan suaranya, dan seperti perempuan yang sedang mengaku dosa kepada sang
Budha, ia menjadi sangat sungguh-sungguh.
"Selama empat tahun ini saya menerima latihan dari orang bernama Daizo. Dia berasal
dari Narai di Kiso. Saya sudah tahu apa yang menjadi keinginannya, dan apa yang dia
kehendaki untuk dunia ini. Kalau perlu, saya bersedia mati untuk dia. Itu sebabnya saya
mencoba membantu pekerjaannya... Yah, memang sakit disebut pencuri, tapi saya masih
menjadi murid Musashi. Biarpun saya terpisah darinya, dalam semangat saya tak pernah
terpisah, sehari pun tidak."
Ia bicara terus dengan tergesa-gesa, tak mau menanti diberi pertanyaan. "Daizo dan saya
sudah bersumpah kepada dewa-dewa di langit dan di bumi, tidak akan mengatakan pada
orang lain, apa tujuan hidup kami. Kepada Bapak pun tak dapat saya sampaikan. Tapi saya
tak bisa tinggal diam kalau Musashi dijebloskan dalam penjara. Saya akan pergi ke
Chichibu besok, dan mengaku."
Takuan berkata, "Jadi, kamu dan Daizo yang merampok gedung harta itu."
"Ya," jawab Jotaro tanpa sedikit pun nada bersalah.
"Kalau begitu, kau memang pencuri," kata Takuan.
Jotaro menundukkan kepala untuk menghindari mata Takuan.
"Tidak... tidak," gumamnya tertegun-tegun. "Kami bukan pencuri biasa."
"Aku tidak tahu bahwa pencuri ada macam-macam jenisnya."
"Tapi, maksud saya, kami lakukan ini bukan untuk keuntungan sendiri. Kami lakukan semua
ini untuk orang banyak. Soalnya adalah memindahkan kekayaan umum untuk kepentingan
umum." "Aku tak mengerti jalan pikiran macam itu. Maksudmu, perampokan yang kalian lakukan itu
kejahatan yang bisa dibenarkan" Maksudmu, kalian ini sejenis pahlawan bandit dalam
novel-novel Cina" Kalau memang demikian, sungguh tiruan yang jelek!"
"Tak bisa saya menjawab pertanyaan itu tanpa membuka persetujuan rahasia dengan Daizo."
"Ha, ha. Jadi, kau tak mau mengakui dirimu ditipu, kan?"
"Tak peduli saya, apa yang Bapak katakan. Saya akan mengaku, cuma untuk menyelamatkan
Musashi. Saya harap Bapak menyatakan hal yang baik tentang saya kepadanya nanti."
"Aku takkan dapat menemukan kata yang baik untuk disampaikan. Musashi tidak bersalah.
Kau mengaku atau tidak, dia akan bebas juga. Menurutku, jauh lebih baik bagimu datang
kepada sang Budha. Gunakan diriku sebagai perantara, dan akui segalanya kepadanya."
"Budha?" "Betul. Katamu kau melakukan sesuatu yang besar untuk kepentingan orang lain. Jadi, kau
menempatkan dirimu di hadapan orang lain. Apa tak terpikir olehmu bahwa kau
mengakibatkan sejumlah orang tidak bahagia?"
"Orang tak mungkin memikirkan dirinya, kalau dia bekerja demi masyarakat."
"Tolol!" Takuan memukul pipi Jotaro keras-keras dengan tinjunya. "Diri seseorang itu
adalah dasar segalanya. Setiap tindakan adalah ungkapan diri seseorang. Orang yang
tidak kenal dirinya tak dapat melakukan apa pun buat orang lain."
"Maksud saya... saya bertindak bukan buat memuaskan keinginan saya sendiri."
"Tutup mulut! Apa kau tidak lihat, dirimu itu baru saja dewasa" Tak ada yang lebih
mengerikan daripada orang sok pahlawan yang baru setengah matang, yang tak tahu apa-apa
tentang dunia ini, tapi berani mengatakan pada dunia apa yang baik untuk dunia itu. Tak
perlu lagi kau bercerita tentang apa yang kau dan Daizo lakukan. Aku mendapat gagasan
yang sangat bagus... Apa yang kautangiskan" Buang ingusmu itu!"
Jotaro diperintahkan pergi tidur, dan dengan patuhnya ia membaringkan diri, tapi la tak
dapat tidur karena memikirkan Musashi. Ia tangkupkan kedua tangannya di dada, dan diamdiam ia memohon pengampunan. Air mata mengalir masuk telinganya. Ia miringkan badan,
dan mulailah ia memikirkan Otsu. Pipinya terasa sakit, tapi air mata Otsu tentulah
lebih menyakitkan lagi. Namun membukakan janji rahasianya kepada Daizo tidaklah mungkin
baginya, sekalipun Takuan akan mencoba mengoreknya dari dirinya pagi nanti. Hal itu ia
yakini benar. Ia berdiri tanpa bersuara, kemudian pergi ke luar, memandang bintang-bintang. Ia mesti
cepat bertindak. Malam hampir lewat.
"Berhenti!" Suara itu membuat Jotaro berdiri mematung di tempatnya. Di belakang
menyusul bayangan Takuan yang sangat besar.
Pendeta itu datang ke sisinya dan merangkulnya. "Apa kau bertekad pergi mengaku?"
Jotaro mengangguk. "Perbuatan yang tidak begitu pintar!" kata Takuan dengan nada bersimpati. "Kau bisa
mati seperti anjing. Rupanya kau mengira kalau kau menyerahkan diri, Musashi akan
dilepaskan, padahal soalnya tidak sesederhana itu. Pejabat-pejabat itu akan tetap
menahan Musashi di penjara, sampai kau menceritakan semuanya yang kausembunyikan
dariku. Dan kau... kau akan disiksa sampai kau bicara, tak peduli akan makan waktu
setahun, dua tahun, atau lebih."
Jotaro menundukkan kepala.
"Apa kau ingin mati seperti anjing" Kau tak punya pilihan lain sekarang: kau mengakui
segalanya dengan siksaan, atau kau menceritakan segalanya padaku. Sebagai murid sang
Budha, aku takkan ikut mengadili. Aku akan menyampaikannya kepada Amida."
Jotaro tidak mengatakan apa-apa.
"Tapi ada cara lain lagi. Kebetulan sekali semalam aku bertemu ayahmu. Dia sekarang
menjadi pendeta pengemis. Tentu saja aku tak menyangka kau ada di sini juga. Kusuruh
dia pergi ke kuil di Edo. Kalau kau sudah mantap untuk mati, sebaiknya kau menjumpai
dia dulu. Dan kalau bertemu dengannya, kau dapat bertanya padanya, apakah tidak betul
pendapatku ini. "Jotaro, ada tiga jalan terbuka buatmu. Kau mesti memilih sendiri, yang mana akan
kautempuh." Takuan membalikkan badan, dan kembali masuk ke rumah.
Sadarlah Jotaro bahwa shakuhachi yang didengarnya kemarin malam itu tentu shakuhachi
ayahnya. Tanpa diberitahu, ia dapat membayangkan sendiri wajah dan perasaan ayahnya,
sementara ia mengembara dari tempat yang satu ke tempat lain.
"Takuan, tunggu! Saya akan bicara. Akan saya sampaikan semuanya kepada sang Budha,
termasuk janji saya pada Daizo." Jotaro mencengkeram lengan baju pendeta itu, dan
keduanya masuk ke dalam belukar.
Jotaro mengaku dalam bentuk monolog panjang. Tak ada yag dilewatkannya. Takuan tak
bergerak ataupun berbicara.
"Hanya itu," kata Jotaro.
"Sudah semuanya?"
"Sudah semuanya."
"Bagus." Takuan tetap diam, sampai satu jam penuh. Fajar merekah. Burung gagak mulai berkaokkaok. Embun berkilauan di mana-mana. Takuan duduk di pangkal pohon kriptomeria. Jotaro
menyandarkan diri ke pohon lain dengan kepala tertunduk, menanti makian yang pasti
datang. Ketika akhirnya Takuan berbicara, tampak ia tak ragu lagi, "Mesti kukatakan, kau sudah
terlibat dengan orang-orang yang bukan main! Semoga Tuhan membantu mereka. Mereka tak
mengerti, ke mana arah dunia berputar. Baik sekali kau sudah menceritakannya sebelum
keadaan menjadi lebih buruk." Ia merogohkan tangan ke dalam kimono. Mengherankan juga,
dari situ la mengeluarkan dua keping uang emas dan memberikannya pada Jotaro. "Lebih
baik kau pergi selekas-lekasnya. Sedikit saja tertunda, bisa mendatangkan bencana,
tidak hanya buat dirimu, tapi juga buat ayahmu dan gurumu. Pergilah sejauh-jauhnya,
tapi jangan mendekati jalan raya Koshu atau Nakasendo. Tengah hari ini mereka melakukan
pemeriksaan ketat pada semua orang yang lewat."
"Apa yang akan terjadi dengan Sensei nanti" Tak bisa saya pergi meninggalkan dia di
tempatnya sekarang."
"Serahkan padaku. Setahun-dua tahun lagi, kalau segalanya mereda, kau bisa datang
bertemu dengannya, meminta maaf. Waktu itulah akan kusampaikan berita baik buatmu."
"Selamat tinggal."
"Tunggu sebentar."
Ya?" "Pergilah ke Edo dulu.
sekarang. Bawa materai Minta untuk dirimu dan yang diperlukan. Sudah Di Azabu ada kuil Zen bernama Shojuan. Ayahmu mestinya di sana
yang kuterima dari Daitokuji ini. Mereka akan tahu, ini milikku.
ayahmu topi dan pakaian pendeta, juga surat-surat kepercayaan
itu, kau dapat berjalan dengan menyamar."
"Kenapa saya mesti pura-pura jadi pendeta?"
"Kau benar-benar bodoh, ya" Dengar, sahabat muda yang konyol, kau ini agen suatu
kelompok yang punya rencana membunuh shogun, membakar benteng di Suruga, mengacaukan
seluruh daerah Kanto, dan mengambil alih pemerintahan. Singkatnya, kau ini seorang
pengkhianat. Kalau kau tertangkap, hukuman yang pasti adalah mati digantung."
Jotaro ternganga. "Sekarang pergilah!"
"Boleh saya mengajukan pertanyaan" Kenapa orang yang hendak menggulingkan Keluarga
Tokugawa mesti dianggap pengkhianat" Kenapa orang-orang yang sudah menggulingkan
Keluarga Toyotomi dan merebut kekuasaan atas negeri ini bukan pengkhianat?"
"Jangan tanya aku," jawab Takuan dengan pandangan dingin.
*** 92. Buah Delima TAKUAN dan Iori tiba di tempat semayam Yang Dipertuan Hoko Ujikatsu di Ushigome, hari
itu juga. Seorang abdi muda yang bertugas di pintu gerbang menyampaikan kedatangan
Takuan, dan beberapa menit kemudian Shinzo keluar.
"Ayah saya sedang di Benteng Edo," kata Shinzo. "Apa tak ingin Anda masuk dan
menunggu?" "Di benteng?" tanya Takuan. "Kalau begitu saya terus saja, karena itulah tujuan saya.
Bagaimana kalau saya tinggalkan Iori ini pada Anda?"
"Boleh saja," jawab Shinzo, disertai senyuman dan pandangan cepat ke arah Iori. "Boleh
saya pesankan joli untuk Anda?"
"Kalau tidak keberatan."
Baru saja joli berpernis itu hilang dari pandangan, Iori sudah berada di kandang kuda,
memperhatikan satu demi satu kuda-kuda cokelat dan kelabu berbintik-bintik yang
terpelihara baik, milik Yang Dipertuan Ujikatsu. la terutama mengagumi wajah kuda-kuda
itu. Menurut pendapatnya, wajah kuda-kuda itu jauh lebih bangsawan daripada wajah kudakuda kerja para kenalannya. Namun di sini tersembunyi tanda tanya besar; bagaimana
mungkin golongan prajurit menyimpan kuda dalam jumlah besar, dan semua kuda itu hanya
menganggur, dan tidak digunakan untuk kerja di ladang"
Baru saja ia mulai membayangkan tentara berkuda berbaris menuju pertempuran, suara
Shinzo yang keras mengalihkan perhatiannya. Ia memandang ke arah rumah, dengan dugaan
akan dicaci maki, tapi ternyata terlihat olehnya bahwa sasaran kemarahan Shinzo adalah
seorang perempuan tua kurus yang bertongkat, dan wajahnya tampak keras kepala.
"Pura-pura keluar?" teriak Shinzo. "Buat apa ayah saya berpura-pura pada seorang
perempuan tua yang jelek dan tak dikenalnya?"
"Oh, jadi Anda marah?" kata Osugi, menyindir tajam. "Kalau tak salah. Anda anak Yang
Dipertuan. Apa Anda tahu, berapa kali sudah saya datang kemari untuk bertemu ayah Anda"
Percayalah, bukan hanya beberapa kali, tapi tiap kali saya diberitahu dia pergi!"
Shinzo sedikit bingung, tapi katanya, "Tak peduli sudah berapa kali Nyonya datang. Ayah
saya tak suka menerima tamu. Kalau dia tak suka menemui Nyonya, kenapa pula Nyonya
terus datang?" Tanpa rasa takut, Osugi mengoceh, "Tak suka menerima tamu! Kalau begitu, kenapa dia
hidup di tengah orang banyak?" Dan ia menyeringai.
Terpikir oleh Shinzo untuk memaki-maki perempuan itu, dan memberikan kesempatan padanya
mendengar detak pedang dilepas dari sarungnya, tapi ia tak ingin memperlihatkan
kemarahan yang tidak pada tempatnya, lagi pula ia tak yakin sikap itu akan mencapai
sasaran. "Ayah saya tak ada di sini," katanya dengan nada biasa. "Bagaimana kalau Nyonya duduk
di sini, dan menceritakan apa persoalannya?"
"Yah, saya pikir akan saya terima tawaran Anda yang baik itu. Sudah jauh saya berjalan,
dan kaki saya sudah lelah." Ia duduk di ujung tangga dan mulai menggosok-gosok
lututnya. "Karena Anda bicara lembut pada saya, saya jadi malu telah bicara keras. Nah,
tolong sampaikan apa yang akan saya katakan pada ayah Anda, kalau dia pulang nanti."
"Dengan senang hati akan saya sampaikan."
"Saya datang untuk menceritakan kepadanya soal Miyamoto Musashi."
Dengan wajah bertanya-tanya, Shinzo berkata, "Ada apa dengannya?"
"Tidak, saya hanya ingin ayah Anda tahu, orang macam apa dia itu. Ketika berumur tujuh
belas tahun, Musashi pergi ke Sekigahara dan ikut bertempur melawan orang Tokugawa.
Melawan orang Tokugawa! Tuan dengar itu" Dan lebih dari itu, dia sudah melakukan banyak
kejahatan di Mimasaka, sampai tak seorang pun di sana bicara baik tentangnya. Dia sudah
membunuh beberapa orang, dan dia melarikan diri dari saya bertahun-tahun lamanya,
karena itu saya berusaha membalas dendam kepadanya, yang memang menjadi hak sava.
Musashi itu gelandangan yang tak ada gunanya, dan dia berbahava!"
"Tunggu..." "Tidak, Anda dengarlah dulu! Musashi itu main-main dengan perempuan yang menjadi
tunangan anak sava. Dia mencuri tunangan anak saya itu dan lari dengannya."
"Berhenti dulu," kata Shinzo, mengangkat satu tangan sebagai protes. "Buat apa Nyonya
berkata begitu tentang Musashi?"'
"Saya lakukan ini untuk kepentingan negeri ini," kata Osugi puas diri.
"Apa gunanya memfitnah Musashi buat negeri ini?"
Osugi membenahi dirinya kembali, katanya, 'Saya dengar bajingan berlidah licin itu akan
segera ditunjuk menjadi instruktur keluarga shogun."
"Di mana Nyonya dengar itu?"
"Dari seorang lelaki di dojo Ono. Saya dengar dengan telinga saya sendiri."
"Begitu?" "Babi macam Musashi itu tidak boleh dibiarkan ada dekat shogun, apalagi ditunjuk jadi
guru. Guru Keluarga Tokugawa berarti guru seluruh bangsa. Memikirkan hal itu saja saya
sudah muak. Saya ada di sini buat memperingatkan Yang Dipertuan Hojo, karena saya
dengar dia yang mengusulkan Musashi. Anda mengerti sekarang?" Ia mengisap air liur dari
sudut-sudut mulutnya, dan lanjutnya, "Memperingatkan ayah Anda itu saya yakin balk buat
negeri ini. Dan ada baiknya saya peringatkan Anda juga. Hati-hatilah, supaya Anda tidak
terkecoh mulut manis Musashi."
Karena takut Osugi akan terus bicara seperti itu berjam-jam lamanva. Shinzo mengerahkan
kesabarannya yang terakhir, kemudian menarik napas berat, dan katanya, "Terima kasih.
Saya mengerti maksud Nyonya. Akan saya sampaikan semua itu pada ayah saya."
"Ya, tolonglah sampaikan!"
Dengan wajah puas, karena akhirnya mencapai tujuan yang diidamidamkan, Osugi pun
bangkit dan menuju pintu gerbang dengan sandalnya yang mendetap-detap di jalan.
"Perempuan tua jelek kotor!" terdengar teriakan kekanak-kanakan.
Osugi terperanjat, dan langsung menyalak, "Apa"... Apa?" sambil menoleiu ke sekitar,
hingga akhirnya ia melihat Iori di antara pepohonan, sedang menyeringai seperti kuda.
"Makan ini!" seru Iori, dan melemparkan buah delima ke Osugi. Buah itu begitu keras
menghantamnva, hingga pecah.
"Ow-w-w!" jerit Osugi, mencengkeram dadanya.
Ia membungkuk memungut benda itu, untuk dilemparkan pada Iori. tapi Iori sudah lari dan
tidak kelihatan lagi. Kini Osugi lari ke kandang. Baru saja ia memandang ke dalam,
seonggok tahi kuda yang masih lunak tepat menimpa wajahnya.
Sambil menggerutu dan meludah, ia hapus kotoran itu dari mukanva dengan jari-jarinya.
Air matanya mulai mengalir. Sungguh menyedihkan bahwa sesudah menjelajahi negeri untuk
kepentingan anaknya, akhirnva beginilah kesudahannya!
Iori memperhatikan dari jarak yang cukup aman, di belakang sebatang pohon. Melihat


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Osugi menangis seperti anak kecil, tiba-tiba ia merasa malu sekali pada dirinya. Ia
setengah ingin pergi meminta maaf kepada Osugi. sebelum Osugi keluar pintu gerbang,
tapi rasa marah mendengar perempuan itu memfitnah Musashi belum lagi reda. Ia berdiri
saja beberapa waktu lamanya, sambil menggigit kuku, terombang-ambing antara rasa
kasihan dan dendam. "Coba sini, Iori. Sekarang kau bisa lihat Gunung Fuji yang merah itu." Suara Shinzo
datang dari sebuah ruangan di atas bukit.
Iori berlari ke sana dengan perasaan lega luar biasa. "Gunung Fuji." Bayangan tentang
puncak gunung yang tercelup warna merah akibat cahaya petang itu mengosongkan kepalanya
dari segala macam pikiran lain.
Shinzo pun kelihatannya sudah lupa akan percakapannya dengan Osugi.
*** 93. Negeri Impian IEYASU menyerahkan kekuasaan ke-shogun-an kepada Hidetada pada tahun 1605, tapi ia
masih terus memerintah dari bentengnya di Suruga. Kini usaha meletakkan dasar-dasar
bagi kekuasaan baru sudah sebagian besar terlaksana, dan ia minta Hidetada mengambil
alih kewajiban-kewajiban yang memang menjadi haknya.
Ketika menyerahkan kekuasaan itu, Ieyasu bertanya kepada anaknya, apa yang hendak
dilakukannya. Jawaban Hidetada, "Saya akan membangun!" Kabarnya, jawaban tersebut sangat menyenangkan
hati shogun tua itu. Berlawanan dengan di Edo, Osaka masih sibuk melakukan persiapan-persiapan menghadapi
pertempuran terakhir. Jenderal-jenderal terkenal menyusun persekongkolan-persekongkolan
rahasia, kurir-kurir membawa pesan ke tanah-tanah perdikan tertentu, pemimpin-pemimpin
militer dan para ronin yang sudah dipecat, diberi tempat berlindung dan upah. Amunisi
ditimbun, lembing-lembing dipoles, dan parit-parit didalamkan.
Makin lama makin banyak orang kota meninggalkan kota-kota di barat, menuju kota yang
sedang menanjak di timur itu. Mereka acap kali berganti kesetiaan, karena takut
kemenangan Toyotomi akan berarti kembalinya permusuhan yang tak henti-hentinya.
Bagi para daimyo dan pengikut yang tinggi kedudukannya, yang harus menentukan sikap
apakah merek a mempercayakan nasib anak cucu mereka kepada Edo atau Osaka, progam
pembangunan yang mengesankan di Edo itu merupakan alasan kuat untuk mendukung Keluarga
Tokugawa. Hari ini, seperti hari-hari lainnya, Hidetada sedang sibuk dengan hiburan yang
disukainya. Dengan pakaian seperti hendak pesiar ke pedesaan, ia tinggalkan daerah
lingkaran utama, dan pergi ke bukit di Fukiage untuk memeriksa pekerjaan pembangunan.
Kira-kira waktu shogun beserta pengiringnya yang terdiri atas para menteri, ajudan
pribadi, dan para pendeta Budha berhenti untuk beristirahat, pecah keributan di kaki
Bukit Momiji. "Hentikan bajingan itu!"
"Tangkap dia!" Seorang penggali sumur berlari berputar-putar, mencoba melepaskan diri dari beberapa
tukang kayu yang mengejarnya. la meluncur seperti kelinci di antara timbunan balok.
Sejenak ia bersembunyi di belakang gubuk para tukang plester, kemudian melejit ke arah
perancah dinding luar, dan mulai memanjat.
Sambil memaki keras-keras, beberapa tukang kayu ikut memanjat dan berhasil menangkap
kakinya. Sambil mengayun-ayunkan kedua tangannya, dengan kalut penggali sumur itu
menjatuhkan diri ke dalam onggokan serutan.
Tukang-tukang menerkamnya, menendangi, dan memukulinya dari segala penjuru. Sungguh
mengherankan, ia tidak berteriak atau melawan, tapi mencengkeram erat-erat ke tanah,
seakan-akan hanya itulah harapan satusatunya.
Samurai yang bertanggung jawab atas para tukang dan pengawas buruh datang berlari-lari.
"Ada apa di sini?" tanya samurai itu.
"Dia menginjak siku-siku saya, babi kotor ini!" dengking seorang tukang kayu. "Sikusiku itu jiwa tukang kayu!"
"Sabar kamu!" "Coba, apa tindakan Bapak, misalnya dia menginjak pedang Bapak?" tanya si tukang kayu.
"Baiklah, cukup! Shogun sedang beristirahat di bukit sana."
Mendengar kata shogun, tukang kayu yang pertama pun tenang, tapi yang lain mengatakan,
"Dia mesti membersihkan diri. Dan dia mesti membungkuk kepada siku-siku, minta maafl"
"Kami nanti yang akan mengurus hukumannya," kata si pengawas. "Kalian kembali kerja di
sana!" Kemudian ditangkapnya kerah orang yang sudah letih itu, dan katanya, "Perlihatkan
mukamu!" "Ya, Pak." "Kau salah seorang penggali sumur, kan?"
"Betul, Pak." "Apa kerjamu di sini" Ini bukan tempat kerjamu."
"Kemarin juga dia di sini!" kata tukang kayu.
"Betul?" tanya si pengawas, sambil menatap wajah pucat Matahachi. Dilihatnya wajah itu
terlalu lembut, terlalu halus untuk seorang tukang gali sumur.
Ia berunding dengan si samurai sebentar, kemudian membawa Matahachi pergi. Matahachi
disekap dalam gudang kayu di belakang Kantor Pengawas Buruh, dan selama beberapa hari
sesudah itu, tak ada yang dilihatnya kecuali kayu api, sekarung-dua karung arang, dan
tong-tong pembuat acar. Kemungkinan terbongkarnya komplotan itu segera membuatnya
ketakutan. Sebetulnya, begitu berada di dalam benteng, ia telah menimbang-nimbang dan memutuskan
bahwa kalaupun mesti menjadi penggali sumur sepanjang sisa hidupnya, ia tak akan
menjadi pembunuh. Ia sudah melihat Shogun dan rombongannya beberapa kali, namun tidak
melakukan apa-apa. Yang mendorongnya datang ke kaki Bukit Momiji, setiap kali ada kesempatan di tengah
waktu istirahat, adalah kerumitan yang tak terduga-duga. Menurut rencana, sebuah
perpustakaan mesti dibangun, dan kalau selesai dibangun, pohon lokus itu akan
disingkirkan. Matahachi, dengan perasaan bersalah, menduga senapan itu pasti akan
ditemukan orang, dan itu berarti dirinya akan langsung dilibatkan dalam komplotan.
Namun ia belum mendapatkan waktu yang tepat"yaitu ketika tak ada orang di sana"untuk
menggali senapan dan menyingkirkannya.
Sedang tidur pun keringatnya bercucuran. Sekali ia bermimpi berada di negeri orang
mati, dan ke mana pun ia memandang, yang tampak olehnya adalah pohon lokus. Beberapa
malam sesudah disekap dalam gudang kayu itu, ia bermimpi ibunya. Begitu nyata mimpi
itu, seperti siang hari. Osugi bukannya kasihan kepadanya, melainkan berteriak marah
dan melemparkan sekeranjang kepompong ke arahnya. Ketika kepompong itu menghujani
kepalanya, ia mencoba melarikan diri. Osugi mengejarnya, dan secara ajaib rambutnya
berubah menjadi kepompong-kepompong putih. la berlari terus, tapi Osugi selalu ada di
belakangnya. Basah kuyup oleh keringat, ia meloncat dari karang terjal dan jatuh
menembus kegelapan neraka, menuju kegelapan yang tak ada akhirnya.
"Ibu! Maafkan aku!" teriaknya seperti anak terluka, dan la terbangun oleh suaranya
sendiri. Kini kenyataan yang dihadapinya, yaitu kemungkinan datangnya maut, terasa
lebih mengerikan daripada mimpi itu sendiri.
Ia mencoba membuka pintu, meskipun tahu pintu itu terkunci. Dengan putus asa ia panjat
tong acar, ia pecahkan jendela kecil di dekat atap, lalu menerobos ke luar. Ia
menyelinap di antara timbunan kayu, batu, dan onggok-onggokan tanah galian, lalu lari
ke dekat gerbang belakang sebelah barat. Pohon lokus itu masih ada! la menarik napas
puas. Kebetulan ia menemukan sebuah cangkul, dan ia pun mulai menggali, seakan-akan di situ
la berharap akan menemukan hidupnya sendiri. Gentar oleh bunyi yang ditimbulkannya, ia
berhenti dan memandang ke sekitar. Melihat tak ada orang, mulai lagi ia menggali.
Kuatir orang lain telah menemukan senapan itu, cangkul diayunkannya dengan kalut.
Napasnya menderu dan tidak tetap. Keringat dan debu bercampur menjadi satu, membuatnya
tampak seakan baru mandi lumpur. la mulai pening, tapi ia tak dapat berhenti.
Mata cangkul terantuk suatu benda panjang. Cangkul ditepiskannya, lalu ia mengulurkan
tangan untuk mengeluarkan benda itu, dan pikirnya, "Kutemukan!"
Tapi perasaan lega itu hanya berlangsung singkat. Benda itu ternyata tidak dibungkus
kertas minyak, tanpa kotak, dan tidak dingin seperti logam. la pegang benda itu, ia
angkat, kemudian ia jatuhkan. Cuma tulang lengan atau tulang kering yang putih ramping.
Matahachi tak punya semangat lagi untuk mengangkat cangkul. Rasanya seperti mimpi buruk
lain lagi. Padahal ia tahu dirinya sadar. Ia dapat menghitung seluruh daun yang ada di
pohon lokus itu. "Untuk apa Daizo berbohong?" pikirnya terheran-heran. la kitari pohon itu, sambil
menendang-nendang tanah. Ia masih melingkari pohon itu, ketika sesosok tubuh mendekatinya diam-diam dari
belakang, dan menepuk pelan punggungnya. Sambil tertawa keras, tepat di samping telinga
Matahachi, kata orang itu, "Tak bakal kau menemukannya!"
Sekujur tubuh Matahachi lemas. Hampir ia jatuh ke dalam lubang. Sambil menoleh ke arah
itu, ia memandang kosong beberapa menit lamanya, kemudian memperdengarkan suara parau
heran. "Ayo ikut aku!" kata Takuan, menggandeng tangannya.
Matahachi tak dapat bergerak. Jari-jarinya jadi mati rasa. Ia mencengkeram tangan
pendeta itu. Perasaan ngeri bercampur hina merayapi tubuhnya, dari tumit ke atas.
"Kau tidak dengar, ya" Ayo ikut aku!" kata Takuan, memaki dengan matanya.
Lidah Matahachi hampir sama kelunya dengan lidah orang bisu. "I-ni... saya bereskan...
tanah... saya..." Tanpa nada kasihan, Takuan berkata, "Tinggalkan! Buang-buang waktu. Apa yang dilakukan
manusia di bumi ini, baik atau buruk, seperti tinta di atas kertas. Semuanya itu tak
dapat dihapus, biar seribu tahun! Kaukira dengan menendang-nendang sedikit tanah itu,
apa yang telah kauperbuat akan hapus" Karena pikiran macam itulah, hidupmu begitu
berantakan. Sekarang ayo ikut aku. Kau ini penjahat, dan kejahatanmu keji sekali. Akan
kupotong kepalamu dengan gergaji bambu, dan kulemparkan kau ke Kolam Darah di neraka."
Ia jewer telinga Matahachi, dan ia tarik pergi.
Takuan mengetuk pintu gubuk tempat para pekerja dapur tidur.
"Coba satu orang keluar sini!" katanya.
Seorang anak lelaki keluar sambil menggosok matanya yang mengantuk. Ketika mengenali
orang itu sebagai pendeta yang tadi dilihatnya berbicara dengan shogun, barulah ia
bangun dan katanya, "Ya, Pak" Apa yang harus saya lakukan?"
"Buka gudang kayu itu."
"Ada penggali sumur yang disekap di sana."
"Tidak ada lagi di sana. Dia ada di sini. Tak ada gunanya memasukkannya kembali lewat
jendela, karena itu buka pintunya."
Anak itu bergegas memanggil pengawas. Pengawas berlari ke luar dan minta maaf, memohon
Takuan tidak melaporkan soal itu.
Takuan mendorong Matahachi masuk gudang, kemudian ia sendiri masuk gudang juga, dan
menutup pintunya. Beberapa menit kemudian, ia menjulurkan kepala, katanya, "Kau
tentunya punya pisau cukur. Tajamkan pisau itu, dan bawa kemari."
Pengawas dan pekerja dapur saling pandang, tak berani bertanya kepada pendeta, kenapa
pendeta menghendaki pisau cukur. Mereka mengasah pisau itu dan menyerahkannya kepada
pendeta. "Terima kasih," kata Takuan. "Sekarang kalian boleh kembali tidur."
Di dalam gudang itu gelap gulita, hanya secercah cahaya bintang yang mengintip dari
jendela yang rusak. Takuan duduk di atas onggokan kayu bakar. Matahachi memerosotkan
diri di tikar bambu. Kepalanya tunduk penuh rasa malu. Lama tak ada yang berbicara.
Karena tak melihat pisau cukur itu, Matahachi pun bertanya-tanya dengan gelisah, apakah
Takuan memegang pisau itu.
Akhirnya Takuan membuka mulut. "Matahachi, apa yang kaugali di bawah pohon lokus itu?"
Diam. "Aku bisa menunjukkan padamu, bagaimana cara menggali sesuatu. Artinya, mengambil
sesuatu dari ketiadaan, memperoleh kembali dunia nyata dari negeri impian."
"Ya, Pak." "Kau sedikit pun tak mengerti kenyataan yang kumaksud. Tak sangsi lagi, kau masih ada
di dunia khayalmu. Nah, karena kau ini sama naifnya dengan bayi, terpaksa aku
mengunyahkan makanan otak untukmu.... Berapa tahun umurmu?"
"Dua puluh delapan."
"Sama dengan Musashi."
Matahachi menangkupkan tangan ke wajahnya, dan tersedu-sedu.
Takuan tidak bicara, sampai Matahachi puas menangis. Kemudian katanya, "Sungguh
mengerikan, kalau dipikirkan bahwa pohon lokus itu hampir menjadi tanda kuburan seorang
tolol. Kau menggali kuburanmu sendiri. Kau betul-betul sudah hampir memasukkan dirimu
ke dalamnya." Matahachi merangkul kaki Takuan, dan mohonnya, "Selamatkan saya! Oh, selamatkan saya.
Mata saya... mata saya terbuka sekarang. Saya sudah ditipu Daizo dari Narai."
"Tidak, matamu tidak terbuka. Daizo juga tidak menipumu. Dia cuma mencoba memanfaatkan
orang paling tolol di dunia ini, orang tolol yang serakah, tidak punya pengalaman,
berpikiran sempit, tapi berani-berani menerima tugas yang akan ditolak oleh siapa pun
yang berakal sehat."
"Ya... ya... saya memang orang tolol."
"Lalu menurutmu siapa Daizo itu?"
"Saya tidak tahu."
"Nama aslinya Mizoguchi Shinano. Dia abdi Otani Yoshitsugu, teman akrab Ishida
Mitsunari. Kau tentunya ingat bahwa Mitsunari adalah salah satu pihak yang kalah di
Sekigahara." "Oh," gagap Matahachi. "Jadi, salah seorang prajurit yang sedang dilacak shogun?"
"Siapa lagi orang yang hendak membunuh shogun" Kebodohanmu betul-betul keterlaluan."
"Dia tidak mengatakan begitu pada saya. Dia cuma mengatakan benci Keluarga Tokugawa.
Menurutnya, akan baik buat negeri ini kalau Keluarga Toyotomi pegang kekuasaan. Yang
dibicarakannya cuma kerja demi kepentingan semua orang."
"Dan kau tidak lagi bertanya pada diri sendiri, siapa sesungguhnya dia, kan" Tanpa
menggunakan kepalamu lagi, dengan berani kau menerima tugas darinya, menggali kuburanmu
sendiri! Jenis keberanianmu itu mengerikan, Matahachi."
"Apa yang mesti saya lakukan sekarang?"
"Lakukan?" "Ayolah, Takuan, ayolah, tolong saya!"
"Lepaskan aku!"
"Tapi... tapi saya tidak benar-benar menggunakan senapan itu. Saya bahkan tidak
menemukannya!" "Tentu saja kau tidak menemukannya. Senapan itu tidak datang pada waktunya. Kalau
Jotaro, yang dikecoh untuk menjadi bagian persekongkolan mengerikan ini, sudah sampai
Edo seperti direncanakan, senapan itu kemungkinan sudah dikuburkan di bawah pohon itu."
"Jotaro" Maksud Anda, anak lelaki..."
"Sudahlah! Tak ada urusannya denganmu. Yang ada hubungannya denganmu adalah kejahatan
pengkhianatan yang telah kaulakukan dan tak dapat diampuni, termasuk oleh dewa-dewa dan
sang Budha. Dan tak perlu kau berpikir dapat diselamatkan."
"Apa tak ada jalan...?"
"Tentu saja tak ada!"
"Kasihani saya," Matahachi tersedu-sedu sambil bergayut pada lutut Takuan.
Takuan berdiri dan menendangnya. "Goblok!" bentaknya dengan suara seolah akan
menerbangkan atap gudang itu. Kegarangan matanya tak dapat dilukiskan lagi-seperti
Budha yang menolak digayuti, seorang Budha yang mengerikan dan tak berkenan
menyelamatkan manusia, walaupun manusia itu sudah menyesal.
Sekejap-dua kejap Matahachi menatap pandangan itu dengan sikap benci. Kemudian
kepalanya tertunduk menverah, dan tubuhnya diguncang sedu-sedan.
Takuan mengambil pisau cukur dari atas timbunan kavu, dan menyentuh kepala Matahachi
sedikit dengan pisau itu.
"Karena kau akan mati, bolehlah kau mati seperti murid sang Budha. Atas dasar
persahabatan, akan kubantu kau melakukannya. Tutup matamu dan duduk diam dengan kaki
disilangkan. Garis yang membatasi hidup dan man tidak lebih tebal dari kelopak mata.
Tak ada yang menakutkan dalam kematian. Tak ada yang mesti ditangiskan. Jangan
menangis, Nak, jangan menangis. Takuan menyiapkan akhir hayatmu."
Ruang tempat berkumpulnya Dewan Sesepuh Shogun untuk membicarakan soal-soal negara itu
letaknya terpencil dari bagian-bagian lain Benteng Edo. Ruang rahasia ini sepenuhnya
tertutup oleh ruangan-ruangan dan pendopo-pendopo lain. Apabila para menteri diperlukan
untuk menerima keputusan shogun, mereka menghadap ke ruang audiensi atau mengirimkan
petisi dalam kotak berpernis. Surat-surat dan jawabannya terus mondar-mandir dengan
kecepatan luar biasa, dan Takuan beserta Yang Dipertuan Hojo sudah beberapa kali
diizinkan masuk ruangan itu. Acap kali mereka tinggal di sana sepanjang hari, kalau
diperlukan menimbang-nimbang soal secara mendalam.
Pada hari khusus itu, di dalam ruangan lain yang tidak terlalu terpencil, namun tetap
dijaga ketat, para menteri mendengarkan laporan dari utusan yang dikirimkan ke Kiso.
Utusan itu mengatakan bahwa sekalipun tidak ada penundaan dalam melaksanakan perintah
untuk menangkap Daizo, namun Daizo berhasil meloloskan diri sesudah menutup kediamannya
di Narai, dengan membawa serta seluruh rumah tangganya. Penggeledahan yang dilakukan
mengungkapkan adanya persediaan senjata dan amunisi dalam jumlah besar, juga sejumlah
dokumen yang lolos dari penghancuran. Termasuk juga dalam dokumen itu surat-surat
kepada dan dari para pendukung Toyotomi di Osaka. Utusan itu telah mengatur pengapalan
barang bukti tersebut ke ibu kota shogun, dan kemudian lekas kembali ke Edo dengan kuda
cepat. Para menteri merasa seperti nelayan yang telah menebarkan jaring besar, namun tak
berhasil menangkap ikan, kecuali seekor ikan teri.
Hari berikutnya, seorang abdi Yang Dipertuan Sakai, yang menjadi anggota Dewan Sesepuh,
membuat laporan lain: "Sesuai dengan perintah Yang Dipertuan, Miyamoto Musashi sudah
dikeluarkan dari penjara. Ia diserahkan kepada orang bernama Muso Gonnosuke. Kepada
Gonnosuke telah kami jelaskan secara terperinci mengenai salah pengertian yang telah


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terjadi." Yang Dipertuan Sakai segera memberitahukan hal itu kepada Takuan, dan Takuan menyahut
ringan, "Terima kasih atas kebaikan Anda."
"Anda mintalah kepada sahabat Anda, Musashi itu, untuk tidak terlalu buruk sangka
terhadap kami," Yang Dipertuan Sakai meminta maaf. Ia merasa kurang enak melihat
kekeliruan yang terjadi di wilayah kekuasaannya.
Salah satu masalah yang cepat sekali dipecahkan adalah masalah pangkalan operasi Daizo
di Edo. Para pejabat, dengan pimpinan Komisaris Edo, turun ke toko gadai di Shibaura,
dan dengan gerak cepat menyita segalanya, baik berupa harta milik maupun dokumendokumen rahasia. Dalam peristiwa itu, Akemi yang sial ditangkap, sekalipun ia
sepenuhnya buta mengenai rencana-rencana pengkhianatan pelindungnya.
Pada suatu malam, Takuan diterima untuk beraudiensi dengan shogun, dan kepada shogun ia
menguraikan segala peristiwa yang diketahuinya dan bagaimana kesudahannya. Ia menutup
uraiannya dengan mengatakan, "Hendaknya Anda tidak melupakan sedikit pun, bahwa di
dunia ini masih lebih banyak lagi Daizo dari Narai."
Hidetada menerima peringatan itu dengan anggukan keras.
"Kalau Anda mencoba mencari semua orang itu dan menyeretnya ke pengadilan," sambung
Takuan, "seluruh waktu dan usaha Anda akan habis hanya untuk urusan para pembangkang
itu. Anda takkan dapat melaksanakan kerja besar yang diharapkan dari Anda sebagai
pengganti ayah Anda."
Shogun dapat memahami kebenaran kata-kata Takuan itu, dan memasukkannya ke dalam hati.
"Biarlah hukuman itu ringan saja," demikian ia memberikan pengarahan. "Karena Anda yang
telah melaporkan adanya persekongkolan itu, saya serahkan pada Anda untuk memutuskan
hukumannya." Sesudah mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya, Takuan berkata, "Tanpa saya
sadari, sudah lebih dari sebulan saya tinggal di benteng ini. Sudah waktunya saya
meneruskan perjalanan. Saya akan pergi ke Koyagyu di Yamato, untuk menjenguk Yang
Dipertuan Sekishusai. Kemudian saya akan kembali ke Daitokuji, melalui daerah Senshu."
Mendengar nama Sekishusai agaknya menimbulkan kenangan yang menyenangkan pada Hidetada.
"Bagaimana dengan kesehatan Pak Tua Yagyu itu?" tanyanya.
"Sayang sekali, saya mendapat berita bahwa menurut Yang Dipertuan Munenori, ajal sudah
dekat." Hidetada mengenang peristiwa ketika ia berada di perkemahan Shokokuji, dan Sekishusai
diterima oleh Ieyasu. Waktu itu Hidetada masih kanak-kanak, dan sikap Sekishusai yang
jantan menimbulkan kesan mendalam baginya.
Takuan memecahkan kesunyian. "Ada satu hal lain," katanya. "Sesudah berunding dengan
Dewan Sesepuh, dan dengan izin para anggota Dewan, Yang Dipertuan Hojo dari Awa dan
saya mengusulkan samurai bernama Miyamoto Musashi untuk menjadi guru dalam rumah tangga
Yang Mulia. Saya berharap Anda akan memberikan penilaian baik pada usul kami ini."
"Saya sudah mendapat pemberitahuan teptang itu. Kabarnya Keluarga Hosokawa berminat
juga kepadanya, dan sangat cocok dengannya. Saya sudah memutuskan untuk menyetujui
pengangkatan seorang guru lagi."
Sehari-dua hari sebelum Takuan meninggalkan benteng, ia memperoleh seorang murid baru.
Ia pergi ke gudang kayu di belakang kantor pengawas, dan minta salah seorang pekerja
dapur membukakan pintu baginya. Cahaya dari luar mengenai kepala yang baru dicukur.
Untuk sesaat, murid baru itu tak dapat melihat. Ia, yang merasa sebagai orang hukuman,
pelan-pelan mengangkat matanya yang sejak tadi menunduk, dan katanya,
"Ayo!" kata Takuan.
Mengenakan jubah pendeta kiriman Takuan, Matahachi berdiri gontai dengan kaki yang
terasa seolah mulai membusuk. Takuan pelan-pelan merangkul bahunya dan membantunya
keluar dari gudang. Hari pembalasan telah tiba. Dari balik kelopak matanya yang tertutup pasrah, Matahachi
dapat melihat tikar buluh. Di tikar itulah ia akan dipaksa berlutut, sebelum algojo
mengangkat pedang. Jelaslah, ia sudah lupa bahwa para pengkhianat biasanya menjumpai
maut secara memalukan, dengan digantung. Air mata bercucuran di pipinya yang tercukur
bersih. "Kau bisa jalan?" tanya Takuan.
Matahachi merasa memberikan jawaban, padahal tak ada suara yang keluar dari mulutnya.
Secara hampir tak sadar ia lewati gerbang-gerbang benteng, dan ia seberangi jembatanjembatan yang melengkungi parit-parit dalam dan luar. Murung, ia melangkah di samping
Takuan, persis seperti domba dituntun ke pembantaian. "Terpujilah sang Budha Amida,
terpujilah sang Budha Amida..." Dengan diam ia mengulang-ulang doa bagi sang Budha
Terang Abadi itu. Matahachi menyipitkan mata, melihat ke seberang parit di luar, ke arah kediaman daimyo
yang anggun. Lebih jauh ke timur sana terletak Kampung Hibiya. Di sebelahnya tampak
jalan-jalan daerah pusat kota.
Dunia yang mengambang itu kini serasa baru baginya, dan bersamaan dengan timbulnya
hasrat akan dunia itu, air matanya kembali bercucuran. Ia pejamkan kedua mata itu, dan
ulangnya cepat-cepat, "Terpujilah sang Budha Amida, terpujilah sang Budha Amida...."
Permohonan itu mulai kedengaran oleh telinga, kemudian terdengar makin keras, dan makin
cepat. "Lekas!" kata Takuan garang.
Dari parit itu, mereka membelok ke arah Otemachi dan melintasi sebuah tempat terbuka
yang luas dan kosong. Matahachi merasa sudah menempuh jarak seribu kilometer. Apakah
jalan ini akan terus begini sampai di neraka, sementara sinar terang perlahan-lahan
didesak gelap gulita"
"Tunggu di sini!" perintah Takuan. Mereka berada di tengah tempat terbuka yang datar.
Di sebelah kiri, air berlumpur mengalir menuruni parit dari Jembatan Tokiwa.
Tepat di seberang jalan, ada sebuah dinding tanah yang barn saja selesai diplester
putih. Di sebelahnya tembok penjara baru, dan sekelompok gedung hitam yang tampak
seperti rumah-rumah kota yang biasa, meskipun sebetulnya adalah kediaman resmi
Komisaris Edo. Kaki Matahachi gemetar, tak dapat lagi menopang tubuhnya. la roboh ke tanah. Di rumput,
entah di mana, terdengar suara burung yang seolah membayangkan jalan menuju negeri
orang mati. Lari" Kedua kakinya tak siap untuk itu, juga kedua tangannya. Tidak, ia tak dapat lari,
pikirnya. Kalau shogun sudah menetapkan ia perlu ditangkap, tak ada selembar daun atau
rumput pun yang bisa menjadi tempat ia menyembunyikan diri.
Dalam hati ia berteriak memanggil ibunya, yang waktu itu terasa sangat dekat olehnya.
Sekiranya dulu ia tidak meninggalkan ibunya, ia tak akan ada di sini sekarang. Ia
teringat akan perempuan-perempuan lain: Oko, Akemi, Otsu, dan perempuan-perempuan lain
lagi yang disukainya, atau pernah diajaknya bermain-main. Namun ibunyalah satu-satunya
perempuan yang betul-betul ingin dijumpainya. Sekiranya ia mendapat kesempatan hidup
terus, ia tak man lagi menentang kemauan ibunya, takkan lagi ia menjadi anak durhaka.
Tengkuknya terasa dingin. Ia menengadah ke arah tiga ekor angsa liar yang sedang
terbang ke arah teluk, dan ia iri pada mereka.
Dorongan untuk lari kini terasa sangat kuat. Kenapa tidak" Ia takkan kehilangan apaapa. Kalau ia tertangkap, nasibnya takkan lebih buruk daripada sekarang. Dengan
pandangan putus asa, ia menatap pintu gerbang di seberang jalan. Tak ada tanda-tanda
Takuan. Maka ia lompat berdiri dan lari.
"Berhenti!" Kerasnya suara itu sudah cukup mematahkan semangatnya. Ia menoleh ke
sekitar, dan tampak olehnya salah seorang algojo komisaris. Orang itu melangkah maju
dan menjatuhkan tongkat panjangnya ke bahu Matahachi. Dengan satu pukulan saja ia
berhasil menjatuhkan Matahachi, kemudian mengimpitnya dengan tongkat, seperti anak-anak
mengimpit katak dengan kayu.
Takuan keluar dari rumah kediaman komisaris, disertai beberapa pengawal, termasuk
seorang kapten. Mereka menuntun tahanan lain ke luar, dalam keadaan terikat tali.
Si kapten memilih tempat untuk melaksanakan hukuman, dan dua lembar tikar buluh yang
baru selesai dianyam dihamparkan di tanah.
"Kita mulai?" tanyanya pada Takuan, dan Takuan mengangguk tanda mengiakan.
Ketika si kapten dan pendeta sudah duduk di bangku, algojo berteriak, "Berdiri!" dan
mengangkat tongkatnya. Matahachi mencoba sebisa-bisanya mengangkat dirinya, tapi la
terlampau lemah untuk berjalan. Algojo dengan marah menangkap bagian belakang jubahnya,
dan setengah menyeretnya ke salah satu tikar.
Ia duduk. Kepalanya tertunduk. Ia tak dapat lagi mendengar suara burung itu. Ia sadar
akan suara-suara itu, tapi begitu tak jelas, seakan-akan terpisahkan oleh sebuah
dinding. Tiba-tiba terdengar olehnya namanya dibisikkan orang, dan ia menengadah heran.
"Akemi!" gagapnya. "Apa kerjamu di sini?"
Akemi berlutut di tikar yang lain.
"Dilarang bicara!" Dua pengawal menggunakan tongkat untuk memisahkan mereka.
Si kapten berdiri dan mulai membacakan keputusan dan hukuman resmi dengan nada garang
bermartabat. Akemi menahan air matanya, tapi Matahachi menangis tanpa kenal malu.
Kapten selesai membaca, duduk, dan berseru, "Pukul!"
Dua pengawal berpangkat rendah yang membawa bilah-bilah bambu panjang berjingkrak
mengambil posisi, dan mulai mencambuk punggung kedua tahanan itu.
"Satu. Dua. Tiga," mereka menghitung. Matahachi merintih. Akemi, dengan muka tertunduk
pucat pasi, mengatupkan gigi sekuat-kuatnya untuk menahan rasa sakit.
"Tujuh. Delapan. Sembilan." Cambuk bambu jadi berumbai-rumbai, dan asap seolah mengepul
dari ujung-ujungnya. Beberapa pejalan kaki berhenti di tepi lapangan, untuk melihat. "Ada apa?"
"Dua tahanan sedang dihukum rupanya."
"Seratus cambukan barangkali."
"Belum lagi lima puluh."
"Tentunya sakit."
Seorang pengawal datang mendekat dan mengejutkan mereka dengan menghantamkan tongkat
keras-keras ke tanah. "Pergi sana! Dilarang berdiri di sini."
Orang-orang yang suka ingin tahu itu pun mencari tempat yang lebih aman, dan ketika
mereka menoleh ke belakang, mereka lihat hukuman sudah selesai. Para pengawal membuang
cambuk yang kini tinggal lembar-lembar lembut, dan menghapus keringat dari wajah.
Takuan berdiri. Kapten juga sudah berdiri. Mereka bertukar basa-basi, kemudian Kapten
membawa anak buahnya kembali ke kediaman komisaris. Takuan masih berdiri beberapa menit
lamanya, memandangi kedua tubuh yang membungkuk di tikar itu. Ia tidak mengatakan apaapa, dan pergi meninggalkan tempat itu.
Shogun memberikan sejumlah hadiah kepadanya, yang kemudian disumbangkannya kepada
berbagai kuil Zen di kota itu. Namun gunjingan orang Edo segera mulai lagi. Menurut
desas-desus, ia pendeta ambisius yang suka ikut campur politik. Desas-desus lain
mengatakan ia orang yang ditugaskan Keluarga Tokugawa untuk memata-matai golongan
Osaka. Lain lagi mengatakan ia anggota komplotan "berjubah hitam".
Gunjingan-gunjingan itu tidak dihiraukan sama sekali oleh Takuan. Memang ia sangat
prihatin mengenai kesejahteraan bangsa, tapi tidak banyak bedanya baginya, apakah
bunga-bunga zaman yang sedang mencolok waktu itu-yaitu benteng di Edo dan Osakaberkembang atau gugur.
Beberapa berkas sinar tipis menerobos awan, dan suara burung terdengar kembali. Kedua
sosok itu tidak juga bergerak, walau sudah beberapa waktu berlalu, dan mereka sedikit
pun tidak kehilangan kesadaran.
Akhirnya Akemi bergumam, "Matahachi, lihat"air!" Di depan mereka terdapat dua ember
kayu berisi air, masing-masing ada ciduknya, suatu bukti bahwa kantor komisaris itu
tidak sepenuhnya kejam. Akemi meminum beberapa teguk air, kemudian menawarkan ciduk pada Matahachi. Tapi
Matahachi tidak menjawab, maka tanya Akemi, "Ada apa" Kau tidak mau?"
Pelan-pelan Matahachi mengulurkan tangan dan menerima ciduk. Begitu ciduk menyentuh
bibir, ia minum dengan rakusnya.
"Matahachi, apa kau menjadi pendeta?"
"Hah" ... Apa sudah selesai?"
"Apanya yang sudah selesai?"
"Hukuman itu" Mereka belum memotong kepala kita."
"Bukan itu tugas mereka. Apa kau tidak dengar orang itu membacakan hukumannya?"
"Apa katanya?" "Katanya, kita mesti dibuang dari Edo."
"Lho, aku hidup!" jerit Matahachi. Ia hampir sinting karena gembira. Ia melompat
meninggalkan tempat itu, tanpa menoleh lagi pada Akemi.
Akemi memegang kepalanya dan mulai sibuk dengan rambutnya. Kemudian ia membenahi kimono
dan mengetatkan obi-nya. "Tak kenal malu!" gumamnya dengan bibir perot. Kini Matahachi
hanya tampak sebagai titik di kaki langit.
*** 94. Tantangan BEBERAPA hari saja Iori sudah bosan tinggal di kediaman Hojo. Tak ada yang
dilakukannya, kecuali bermain.
"Kapan Takuan kembali?" tanyanya pada Shinzo pada suatu pagi, karena ia memang ingin
mengetahui kabar Musashi.
"Ayahku masih ada di benteng, jadi kukira Takuan masih disana juga," kata Shinzo.
"Nantilah, mereka pasti kembali. Bagaimana kalau kau menghibur diri dengan main bersama
kuda-kuda itu?" Maka Iori berlari ke kandang, dan segera melemparkan pelana berpernis dan berindung
mutiara ke punggung kuda jantan yang disukainya. Ia sudah mengendarai kuda itu hari
sebelumnya dan sebelumnya lagi, tanpa memberitahu Shinzo. Izin itu membuatnya merasa
bangga. Ia pun naik, lalu melintas ke luar gerbang belakang dengan mencongklang penuh.
Rumah-rumah daimyo, jalan-jalan yang melintasi perladangan, sawahsawah, hutan-hutansemuanya dengan cepat ia lintasi bergantian, dan ia tinggalkan di belakang. Labu ular
yang merah cemerlang dan rumput yang cokelat muda menandakan bahwa musim gugur sedang
memuncak sehebathebatnya. Punggung Gunung Chichibu menjulang di sebelah Dataran
Musashino. "Tentunya dia di pegunungan sana itu," pikir Iori. Ia membayangkan guru yang
dicintainya itu dalam penjara, dan air mata di pipinya membuat angin terasa dingin
menyejukkan. Apa salahnya bertemu dengan Musashi" Tanpa memikirkan lebih lanjut, ia melecut kudanya,
dan kuda beserta pengendaranya terbang menempuh lautan perak elalia lembut.
Sesudah menempuh jarak satu kilometer dengan kecepatan penuh, ia mengekang kudanya,
pikirnya, "Barangkali dia kembali ke rumah itu."
Ia mendapati rumah baru itu sudati selesai, tapi tidak ditinggali. Di sawah terdekat,
ia berseru kepada para petani yang sedang menuai padi, "Apa ada di antara bapak-bapak
yang melihat guru saya?" Mereka menjawab dengan gelengan sedih.
Kalau begitu, mestinya di Chichibu. Dengan kuda ia dapat menempuh jarak itu dalam
sehari. Sebentar kemudian, ia sampai di Kampung Nobidome. Jalan masuk ke kampung sesak
dipenuhi kuda tunggang samurai, kuda beban, peti perjalanan, joli, dan sekitar empat
puluh sampai lima puluh samurai yang sedang makan siang. Ia memandang ke sekitar, untuk
mencari jalan kampung. Tiga-empat orang membantu samurai berlari mengejarnya.
"Hai, bajingan! Tunggu!"
"Kalian sebut apa aku?" tanya Iori marah.
"Turun dari kuda itu!" Mereka sudah ada di kedua sisinya sekarang.
"Kenapa begitu" Aku tidak kenal kalian."
"Pokoknya tutup mulutmu, dan turun!"
"Tidak! Mana bisa!"
Belum lagi Iori tahu apa yang terjadi, salah seorang dari mereka sudah menangkap kaki
kanannya tinggi-tinggi, hingga ia terjungkal ke sisi lain kudanya.
"Ada yang mau ketemu denganmu. Ayo ikut aku." Dipegangnya kerah Iori, dan diseretnya
anak itu ke warung teh di pinggir jalan.
Osugi berdiri di luar warung, memegang tongkat. Ia suruh pergi para
pembantu dengan gerakan tangannya yang tidak memegang tongkat. Ia mengenakan pakaian
perjalanan, dan berada di tengah semua samurai itu. Iori tidak tahu mesti berbuat apa,
dan ia tak punya waktu buat memikirkannya.
"Anak bandel!" kata Osugi, lalu dipukulnya bahu Iori keras-keras dengan tongkatnya.
Iori membuat gerakan pasang kuda-kuda, walaupun tahu ia betul-betul kalah jumlah.
"Musashi cuma punya murid terbaik. Ha! Kudengar kau seorang dari muridnya."
"Ah... Saya takkan bicara begitu, seandainya saya ini Nenek."
"Oh, takkan bicara, ya?"
"Saya... saya tak punya urusan dengan Nenek."
"Oh, ada! Kau mesti mengatakan beberapa hal pada kami. Siapa yang menyuruhmu mengikuti
kami?" "Mengikuti kalian?" dengus Iori menghina.
"Berani amat kau bicara begitu!" pekik perempuan tua itu. "Apa Musashi tak pernah
mengajarkan kesopanan padamu?"
"Saya tidak butuh pelajaran dari Nenek. Saya mau pergi sekarang."
"Kau takkan pergi!" teriak Osugi yang segera memukul tulang kering Iori dengan
tongkatnya. "O-w-w!" Iori runtuh ke tanah.
Para pembantu mencekal anak itu, dan menyeretnya ke bengkel kilang di dekat gerbang
kampung. Di situ duduk seorang samurai yang agaknya berpangkat tinggi. Ia baru selesai
makan, dan sedang menghirup air panas. Melihat keadaan Iori, ia menyeringai.
"Berbahaya," pikir anak itu, ketika matanya bertemu dengan mata Kojiro.
Dengan tampang penuh kemenangan, Osugi mendongakkan dagunya, katanya, "Lihat! Tepat
seperti yang kuduga"Iori! Apa yang mau dilakukan Musashi sekarang" Siapa lagi kalau
bukan dia yang mengirim anak ini buat mengikuti kita?"
"Ya," gumam Kojiro sambil mengangguk, lalu menyuruh para pembantu pergi. Seorang
pembantu bertanya, apakah ia menghendaki anak itu diikat. Kojiro tersenyum dan
menggelengkan kepala. Ia tak dapat berdiri tegak, apalagi lari.
Kata Kojiro, "Kau dengar apa kata Nenek. Apa itu betul?"
"Tidak. Saya cuma jalan-jalan berkuda. Saya tidak mengikuti kalian atau siapa pun."
"Hmm, mungkin juga. Kalau Musashi memang seorang samurai, dia tak akan menggunakan tipu
daya murahan." Kemudian ia mulai bersoal-jawab sendiri. "Sebaliknya, kalau dia dengar
kami tiba-tiba berangkat dengan serombongan samurai Hosokawa, dia mungkin curiga dan
mengirimkan orang untuk memeriksa gerakan kami. Itu wajar sekali."
Perubahan yang terjadi pada Kojiro sungguh mencolok. Ia tidak lagi mengenakan jambul,
sebaliknya kepalanya tercukur seperti wajarnya seorang samurai. Dan sebagai ganti
pakaian mencolok yang biasa dikenakannya, kini ia mengenakan kimono hitam. Hakama kasar


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang dikenakannya menimbulkan kesan amat konservatif. Galah Pengering disandangnya di
sisi. Keinginannya untuk menjadi pengikut Keluaarga Hosokawa telah terlaksana"bukan
dengan imbalan lima ribu gantang seperti dikehendakinya, melainkan imbalan sekitar
separuh jumlah itu. Rombongan yang dipimpin Kakubei itu rombongan pendahuluan yang sedang dalam perjalanan
ke Buzen, untuk mempersiapkan kembalinya Hosokawa Tadatoshi. Karena prihatin akan umur
ayahnya, ia menyampaikan permohonan kepada shogun beberapa waktu sebelumnya. Izin
akhirnya diberikan, suatu petunjuk bahwa shogun tidak memiliki prasangka apa pun
terhadap kesetiaan Keluarga Hosokawa.
Osugi minta ikut serta, karena ia memang merasa harus pulang. Ia tidak melepaskan
kedudukannya sebagai kepala keluarga, namun sudah hampir sepuluh tahun ia tidak hadir
di tempat. Paman Gon-lah yang mestinya mengurus segala sesuatu atas namanya, jika orang
itu masih hidup. Karena Paman Gon sudah meninggal, ia menduga kini banyak soal keluarga
yang butuh perhatiannya. Mereka akan melewati Osaka , di mana ia meninggalkan abu Paman Gon. Ia akan dapat
membawa abu itu ke Mimasaka dan mengadakan upacara doa. Sudah lama juga ia
menelantarkan upacara doa untuk nenek moyangnya. Ia dapat kembali mengadakan pencarian
nanti, sesudah membereskan soal-soal di rumah.
Baru-baru ini ia merasa senang-dengan dirinya, karena menurut keyakinannya ia telah
menjatuhkan pukulan keras terhadap Musashi. Mula-mula, ketika mendengar tentang usulan
itu dari Kojiro, ia merasa semangatnya akan runtuh. Kalau Musashi memperoleh
pengangkatan, berarti Musashi akan semakin tak terjangkau olehnya.
Maka ia memutuskan untuk mencegah agar tidak terjadi bencana pada shogun dan seluruh
bangsa. Ia belum bertemu dengan Takuan, tapi ia telah mengunjungi keluarga Yagyu maupun
Hojo, untuk mencela Musashi dan menyatakan bahwa mengangkat Musashi untuk kedudukan
tinggi berarti kebodohan berbahaya. Belum puas dengan hal itu, ia mengulangi fitnahfitnahnya di rumah setiap menteri pemerintah yang mengizinkan ia masuk pintu gerbang.
Tentu saja Kojiro tidak berusaha mencegahnya, namun tidak pula memberikan dorongan
khusus kepadanya, karena ia tahu Osugi takkan mau berhenti sebelum menuntaskan misinya.
Dan ia amat serius menjalaninya: ia bahkan menulis surat-surat jahat tentang masa lalu
Musashi, dan melemparkan surat-surat itu ke pekarangan Komisaris Edo dan para anggota
Dewan Sesepuh. Sebelum ia selesai dengan pekerjaannya, Kojiro sendiri sampai bertanyatanya, apakah perempuan itu tidak melangkah terlalu jauh.
Kojiro mendorong Osugi ikut dalam perjalanan itu, karena ia percaya akan lebih baik
kalau Osugi kembali ke kampung. Di sana ia tidak akan terlalu menimbulkan kerugian.
Kalaupun ada yang disesali Osugi, itu karena Matahachi tidak pergi bersamanya; ia masih
yakin bahwa suatu hari nanti, Matahachi akan sadar dan kembali kepadanya.
Iori sendiri tak mungkin tahu keadaan yang melingkunginya. Ia tak dapat melarikan diri,
dan segan menangis, karena takut hal itu merusak nama Musashi. Kini ia merasa
tertangkap di tengah musuh.
Kojiro dengan sengaja memandang langsung mata itu, dan alangkah herannya ia, karena
tatapan matanya mendapat balasan. Tak sekali pun mata Iori goyah.
"Ibu punya kuas dan tinta?" tanya Kojiro pada Osugi.
"Ya, tapi tintanya sudah kering. Kenapa?"
"Saya mau menulis surat. Papan pengumuman yang dipasang anak buah Yajibei itu tidak
membuat Musashi keluar, dan saya tidak tahu di mana dia berada sekarang. Di sini Iori
bisa menjadi utusan terbaik. Saya akan kirim surat pada Musashi, berkenaan dengan
keberangkatan saya dari Edo."
"Apa yang hendak kautuliskan?"
"Biasa saja. Akan saya minta dia berlatih pedang dan mengunjungi saya di Buzen harihari ini. Akan saya beritahukan padanya, saya bersedia menunggunya sepanjang sisa hidup
saya. Dia bisa datang kapan saja, kalau dia sudah merasakan keyakinan yang
dibutuhkannya." Osugi melambungkan tangannya dengan ngeri. "Bagaimana mungkin kau bicara begitu"
Seluruh sisa hidupmu! Ya, ya! Aku tak punya waktu sebanyak itu buat menunggu. Aku harus
lihat Musashi mati, paling lama dalam dua atau tiga tahun ini."
"Serahkan soal itu pada saya. Akan saya urus, sementara saya mengurus urusan saya."
"Apa kau tidak lihat, aku bertambah tua" Mesti dilakukan selagi aku masih hidup."
"Kalau Ibu bisa menjaga diri, Ibu akan hadir waktu pedang saya yang tak terkalahkan ini
melakukan tugasnya."
Kojiro mengeluarkan kantung tulisnya dan pergi ke sungai terdekat. Di situ ia basahi
jarinya untuk membasahi potongan tinta. Sambil berdiri, ia keluarkan kertas dari
kimononya. Ia menulis cepat, namun tulisan dan susunan kata-katanya benar-benar goresan
seorang ahli. "Kau bisa pakai ini buat lem," kata Osugi, mengeluarkan beberapa butir nasi dan
meletakkannya di selembar daun. Kojiro meremas nasi itu dengan jari-jarinya,
mengoleskannya sepanjang tepi surat, dan menutup surat itu. Di belakang ditulisnya:
Dari Sasaki Ganryu. Abdi Keluarga Hosokawa.
"Hei, sini kau! Kau takkan diapa-apakan. Tapi bawa surat ini pada Musashi, dan jaga
betul supaya sampai, karena surat ini penting."
Iori mundur sejenak, tapi kemudian bergumam menyatakan kesediaannya, dan mengambil
surat itu dari tangan Kojiro. "Apa isinya?"
"Seperti kukatakan pada ibu tua tadi."
"Boleh saya lihat?"
"Kau tak boleh membuka lemnya."
"Kalau tulisanmu menghina, saya tak mau membawanya."
"Tak ada yang kasar dalam surat itu. Kuminta dia ingat pada janji kami untuk masa
depan, dan kukatakan padanya, aku menanti bertemu lagi dengan dia, barangkali di Buzen,
kalau kebetulan dia datang ke sana."
"Apa maksudmu dengan bertemu lagi dengan dia?"
"Maksudku, bertemu dengan dia di batas antara hidup dan mati." Pipi Kojiro memerah
sedikit. Sambil memasukkan surat itu ke dalam kimononya, Iori berkata, "Baik, akan saya
sampaikan," lalu ia berlari pergi. Baru sekitar tiga puluh meter ia berhenti, menoleh,
dan menjulurkan lidahnya kepada Osugi, "Tukang sihir tua gila!" teriaknya.
"A-apa?" kata Osugi, yang lalu siap mengejarnya, tapi Kojiro memegang tangannya dan
menahannya. "Biarlah," kata Kojiro disertai senyum sedih. "Dia cuma anak kecil." Kemudian teriaknya
pada Iori, "Apa tak bisa kau mengatakan yang lebih baik dari itu?"
"Tak bisa...." Air mata marah menggejolak dari dalam dada Iori. "Tapi kau akan
menyesal. Musashi tidak bakal kalah dengan orang macam kau."
"Kau mirip dia rupanya" Pantang menyerah. Tapi aku senang melihat caramu membela dia.
Kalau nanti dia mati, datanglah padaku. Akan kuberi kau kerja menyapu halaman, atau
yang lain." Iori tak mengerti bahwa Kojiro hanya bergurau, dan ia pun merasa sangat terhina.
Dipungutnya batu. Tapi, ketika ia mengangkat tangan untuk melemparkannya, Kojiro
menatapnya. "Jangan lakukan itu!" katanya dengan suara tenang, tapi mantap.
Iori merasa kedua mata itu menembusnya seperti dua butir peluru; ia menjatuhkan batu
itu dan lari. Ia lari terus, sampai akhirnya ia kehabisan tenaga dan roboh di tengah
Dataran Musashino. Dua jam lamanya ia duduk di sana, memikirkan orang yang ia anggap sebagai gurunya.
Walaupun ia tahu Musashi punya banyak musuh, ia menganggap Musashi orang besar, dan ia
ingin dirinya menjadi orang besar juga. Karena merasa mesti melakukan sesuatu untuk
memenuhi kewajiban kepada gurunya dan menjamin keselamatannya, ia memutuskan untuk
mengembangkan kekuatannya sendiri secepat mungkin.
Kemudian kenangan tentang sorot mata Kojiro yang mengerikan kembali menghantuinya. Ia
bertanya-tanya, dapatkah Musashi mengalahkan orang sekuat itu. Dengan kecil hati ia
menyimpulkan, bahkan gurunya pun akan terpaksa belajar dan berlatih lebih keras. Ia
berdiri. Kabut putih yang turun dari pegunungan itu menyebar ke seluruh dataran. Ia putuskan
untuk jalan terus ke Chichibu, menyampaikan surat Kojiro itu, tapi tiba-tiba ia
teringat kudanya. Ia kuatir para bandit sudah menguasai kuda itu, karena itu ia
setengah mati mencarinya, memanggil dan menyiulinya setiap dua kali melangkah.
Ia merasa mendengar suara sepatu kuda dari arah yang menurutnya sebuah kolam. Ia lari
ke sana. Tapi ternyata tak ada kuda, juga tak ada kolam. Kabut yang berkelap-kelip
menarik diri ke kejauhan.
Dilihatnya benda hitam bergerak, dan didekatinya. Seekor babi hutan berhenti menggusur
makanan dan mengamuk ganas di dekatnya. Kemudian babi hutan itu tertelan rumpun buluh,
dan sesudah itu membentuk garis putih, seolah-olah ditaburkan lewat tongkat tukang
sulap. Begitu ditatapnya benda itu, sadarlah ia bahwa ada suara gemercik air. Ia
mendekat, dan tampak olehnya bayangan bulan di sungai gunung.
Sejak dulu ia selalu peka terhadap misteri yang ada di dataran terbuka. Ia yakin benar
bahwa kumbang tutul yang sekecil-kecilnya pun memiliki kekuatan spiritual dewa-dewa.
Dalam pandangannya, tak ada suatu pun yang tak berjiwa, termasuk dedaunan yang
bergoyang, air yang memberi isyarat, atau angin yang bertiup. Kini, di tengah alam, ia
dapat merasakan sepinya musim gugur yang hampir lewat, juga kekecewaan muram yang
tentunya dirasakan oleh rumput, serangga, dan air.
Ia tersedu-sedan demikian keras, hingga bahunya berguncang-tapi air matanya air mata
manis, bukan air mata pahit. Sekiranya waktu itu ada makhluk lain yang bukan manusiabarangkali sebuah bintang atau roh dataran-bertanya kepadanya kenapa ia menangis, pasti
ia tak dapat menjawabnya. Tapi kalau roh yang selalu ingin tahu itu berkeras bertanya,
diiringi belaian dan bujukan, akhirnya ia akan mengatakan, "Aku sering menangis kalau
berada di tempat terbuka. Aku selalu merasa rumah di Hotengahara itu ada di dekatku."
Menangis merupakan penyegar jiwanya. Sesudah ia menangis sepuaspuasnya, langit dan bumi
akan menghiburnya. Apabila air matanya sudah kering, semangatnya akan muncul kembali
dari tengah awan, bersih dan segar.
"Itu Iori, kan?"
"Saya kira begitu."
Iori menoleh ke arah suara-suara iru. Kedua sosok itu berdiri tegak, hitam, dengan
latar belakang langit petang.
"Sensei!" teriaknya. Iori lalu mendapatkan orang yang duduk di pelana itu. "Bapak!" Tak
tahan lagi karena gembira, ia bergayut ke sanggurdi untuk meyakinkan dirinya bahwa ia
tidak bermimpi. "Ada apa?" tanya Musashi. "Apa kerjamu di sini sendirian?" Wajah Musashi tampak kurus
sekali"apakah karena cahaya bulan" Tapi kehangatan suaranya itulah yang selama
berminggu-minggu ingin sekali didengar Iori. "Saya bermaksud pergi ke Chichibu..."
Sampai di situ, Iori melihat sadel kuda itu. "Lho, ini kuda yang saya naiki tadi!"
Sambil tertawa, kata Gonnosuke, "Ini kudamu?"
"Ya." "Kami tidak tahu milik siapa kuda ini. Dia berkelana dekat Sungai Iruma, maka saya
anggap dia hadiah dari langit untuk Musashi."
"Dewa dataran ini yang tentunya mengirimkan kuda ini buat menjemput Bapak," kata Iori
penuh ketulusan. "Kaubilang ini kudamu" Pelananya ini tak mungkin milik seorang samurai yang
penghasilannya kurang dari lima ribu gantang."
"Memang kuda ini milik Shinzo."
Sambil turun, tanya Musashi, "Kalau begitu, kau tinggal di rumahnya?"
"Ya, Takuan yang membawa saya ke situ."
"Bagaimana dengan rumah baru kita?"
"Sudah selesai."
"Bagus. Kita bisa kembali ke sana."
"Sensei." "Ya." "Bapak begitu kurus. Kenapa?"
"Aku cukup lama bersemadi."
"Bagaimana Bapak keluar dari penjara?"
"Nanti kau dapat mendengarnya dari Gonnosuke. Untuk sementara, kita anggap saja dewadewa ada di pihakku."
"Kau tak perlu kuatir, Iori," kata Gonnosuke. "Tak ada yang menyangsikan bahwa dia tak
bersalah." Karena merasa lega, Iori jadi suka bicara. Ia bercerita tentang pertemuannya dengan
Jotaro, dan tentang kepergian Jotaro ke Edo. Ketika ceritanya sampai pada "perempuan
tua menjijikkan" yang datang ke kediaman Hojo itu, ingatlah ia akan surat Kojiro.
"Oh, saya sampai lupa!" serunya, lalu menyerahkan surat itu kepada Musashi.
"Surat dari Kojiro?" Dengan heran Musashi memegang surat itu beberapa saat, seolah-olah
surat itu dari seorang sahabat yang lama hilang.
"Di mana kau ketemu dia?" tanyanya.
"Di Kampung Nobidome. Perempuan tua jelek itu ada bersamanya. Kojiro bilang, dia akan
pergi ke Buzen." "Oh?" "Dia bersama banyak samurai Hosokawa... Sensei, lebih baik Bapak hati-hati, dan jangan
ambil risiko." Musashi memasukkan surat itu, tanpa dibuka, ke dalam kimononya dan mengangguk.
Karena merasa belum pasti, apakah maksudnya dimengerti, Iori berkata lagi, "Kojiro itu
kuat sekali, kan" Apa dia punya masalah dengan Bapak?" Lalu ia bercerita pada Musashi
sampai sekecil-kecilnya tentang perjumpaannya dengan musuh itu.
Sesampai mereka di pondok, Iori turun ke kaki bukit, mencari makanan, sementara
Gonnosuke mengumpulkan kayu dan mengambil air.
Mereka duduk melingkar sekitar api yang menyala terang di perapian. Mereka menikmati
kegembiraan itu, karena masing-masing dari mereka sehat tak kurang suatu apa. Justru
waktu itulah Iori melihat bekas-bekas luka yang masih baru, dan tanda-tanda memar di
tangan dan leher Musashi.
"Bagaimana Bapak mendapat tanda-tanda itu?" tanyanya. "Sekujur tubuh Bapak penuh tanda
itu." "Ah, ini tidak begitu penting. Apa kuda sudah kauberi makan?"
"Sudah." "Besok mesti kaukembalikan."
Hari berikutnya, pagi-pagi Iori sudah menaiki kuda itu dan mencongklang sebentar
menjelang makan pagi. Begitu matahari sudah di atas kaki langit, ia hentikan kuda itu,
dan ia terperangah kagum. Ia pacu kudanya pulang ke pondok, pekiknya, "Sensei! Bangun!
Cepat! Mataharinya seperti waktu kita melihatnya dan atas gunung di Chichibu. Matahari
itu... besar sekali, seperti mau menggelinding di atas dataran. Bangun, Gonnosuke!"
"Selamat pagi!" kata Musashi dari belukar tempat ia berjalan-jalan. Karena terlalu
girang, Iori lupa makan pagi, katanya, "Saya pergi sekarang," lalu berangkat.
Musashi memperhatikan ketika anak itu, bersama kudanya, akhirnya tinggal seperti sosok
burung gagak di pusat matahari. Noda hitam itu makin lama makin kecil, sampai akhirnya
tertelan oleh bulatan menyala yang mahabesar.
*** BUKU VII: CAHAYA SEMPURNA
*** 95. Sapi yang Lari BAYANGAN cabang pohon prem yang jatuh ke dinding berplester putih akibat sorotan
matahari pucat itu indah dan tenang, bagai lukisan tinta hitam-putih. Waktu itu awal
musim semi di Koyagyu. Keadaan sunyi, dan cabang-cabang pohon prem seolah menunjuk ke
arah selatan, pada burungburung bulbul yang segera berkumpul ke dalam lembah.
Tidak seperti burung, para shugyosha yang datang ke pintu gerbang benteng itu tidak
kenal musim. Mereka selalu datang berduyun-duyun kesana, untuk mencoba memperoleh
pelajaran dari Sekishusai, atau untuk mengadu kekuatan dengannya. Kalimat yang mereka
perdengarkan tidak jauh berbeda,
"Izinkanlah, satu pertarungan saja."
"Izinkanlah saya bertemu dengannya,"
"Saya satu-satunya murid si ini atau si itu, yang mengajar di tempat ini atau itu".
Selama sepuluh tahun yang lalu, para pengawal memberikan jawaban yang sama: karena
majikan mereka sudah lanjut usia, beliau tidak dapat menerima siapa pun. Hanya sedikit
pemain pedang atau calon pemain pedang yang mau menerima begitu saja. Ada yang
melancarkan kecaman pedas mengenai makna Jalan sejati. Menurut mereka, tidak boleh ada
perbedaan antara tua dan muda, antara kaya dan miskin, antara, pemula dan ahli. Yang
lain sekadar memohon-mohon, ada pula yang mencoba menyogok. Banyak yang meninggalkan
tempat itu sambil menghamburkan kutukan kemarahan.
Sekiranya orang banyak itu mengetahui keadaan sebenarnya, yaitu bahwa Sekishusai sudah
Tusuk Kondai Pusaka 2 Pendekar Naga Putih 05 Jari Maut Pencabut Nyawa Tiga Dara Pendekar 12

Cari Blog Ini