Ceritasilat Novel Online

Mushasi 27

Mushasi Karya Eiji Yoshikawa Bagian 27


sebelumnya, batu itu tidak mengenai sasaran. Ia lari kembali, mengambil batu yang lain.
"Anjing!" Dengan dua lompatan saja, satu orang berhasil melepaskan diri dari Jotaro dan
memburu Otsu. Baru saja ia akan memukulkan punggung pedangnya ke punggung Otsu, Jotaro
sudah tiba di dekatnya. Jotaro menghunjamkan pedang demikian dalam ke belakang pinggang
orang itu, hingga hulu pedang menyembul dan pusarnya.
Orang yang lain, dalam keadaan luka dan linglung, mulai menyelinap dan lari
sempoyongan. Jotaro berdiri mengangkangi mayat itu, menarik pedangnya, dan berteriak, "Berhenti!"
Ia mulai mengejar, tapi Otsu menubruknya keras-keras, dan menjerit, "Jangan kejar! Tak
boleh menyerang orang luka parah yang sedang lari."
Hebatnya permohonan Otsu itu mengagetkan Jotaro. Ia tak dapat membayangkan, alasan
psikologis apa yang menggerakkan gadis itu untuk bersimpati kepada orang yang baru saja
menyiksanya. Kata Otsu, "Aku ingin tahu, apa yang kaulakukan bertahun-tahun ini. Aku pun punya
banyak cerita buatmu. Dan kita mesti keluar dari sini selekas mungkin."
Jotaro segera menyetujui, karena ia tahu bahwa kalau berita tentang peristiwa itu
sampai di Shimonosho, orang-orang Hon'iden akan mengerahkan seluruh kampung untuk
mengepung mereka. "Kakak bisa lari?"
"Ya. Jangan kuatir tentang aku."
Dan mereka pun berlari, terus lari melintasi kegelapan, sampai kehabisan napas. Bagi
keduanya, keadaan itu terasa seperti masa lalu, ketika mereka masih seorang gadis
remaja dan seorang anak, bepergian bersama.
DI Mikazuki, lampu yang tampak hanyalah yang ada di penginapan. Satu menyala dalam
bangunan utama, di mana sekelompok musafir tadi duduk melingkar, bercakap-cakap dan
tertawa-tawa. Mereka terdiri atas seorang pedagang logam yang, untuk kepentingan
usahanya, datang ke tambang-tambang setempat, seorang pedagang benang dari Tajima, dan
seorang pendeta pengembara. Kini mereka bertiga sudah berlayar di alam mimpi.
Jotaro dan Otsu duduk bercakap-cakap dekat lampu lain, di sebuah ruangan kecil yang
terpisah, di mana ibu pemilik penginapan tinggal bersama mesin pintal dan kuali-kuali
perebus ulat sutra. Pemilik penginapan sudah menduga pasangan yang diterimanya itu
sedang lari, tapi ia menyuruh juga orang menyiapkan ruangan untuk mereka.
Kata Otsu, "Jadi, kau juga tidak melihat Musashi di Edo." Dan ia menyampaikan cerita
selama beberapa tahun terakhir itu pada Jotaro.
Jotaro jadi susah bicara, karena sedih mendengar Otsu belum bertemu dengan Musashi
sejak peristiwa di jalan raya Kiso itu. Namun menurutnya ia dapat memberikan cahaya
harapan pada Otsu. "Memang tak bisa dijadikan pegangan," katanya, "tapi kudengar desas-desus di Himeji,
Musashi akan segera datang."
"Ke Himeji" Apa mungkin?" tanya Otsu, yang ingin sekali menangkap harapan sekecil apa
pun. "Itu cuma kata orang, tapi orang-orang di perdikan kami bilang sepertinya sudah
diputuskan. Kata mereka, dia akan lewat dalam perjalanan ke Kokura. Di situ dia
berjanji akan melayani tantangan Sasaki Kojiro, salah seorang abdi Yang Dipertuan
Hosokawa." "Pernah aku mendengar berita macam itu juga, tapi tak dapat aku menemukan orang yang
mendengar berita itu dari Musashi sendiri, atau tahu di mana dia berada."
"Nah, kabar yang beredar sekitar Benteng Himeji itu barangkali dapat dipercaya. Rupanya
Hanazono Myoshinji di Kyoto, yang mempunyai hubungan akrab dengan Keluarga Hosokawa
itu, menyampaikan pada Yang Dipertuan Hosokawa tentang tempat Musashi, dan Nagaoka Sado
yang menjadi abdi senior menyampaikan surat tantangan pada Musashi."
"Apa kira-kira pertarungan akan segera berlangsung?"
"Aku tidak tahu. Rupanya tak ada orang yang tahu pasti, tapi kalau tempatnya di Kokura,
dan kalau Musashi ada di Kyoto, dia pasti lewat Himeji."
"Tapi dia bisa naik perahu."
Jotaro menggeleng. "Kukira tidak. Daimyo di Himeji dan Okayama, dan lain-lain perdikan
sepanjang Laut Pedalaman, akan minta dia singgah semalam-dua malam. Mereka ingin
melihat, orang macam apa dia itu, dan mencoba mengetahui pendapatnya, apa dia tertarik
pada suatu kedudukan. Yang Dipertuan Ikeda menulis surat pada Takuan. Kemudian dia
mencari keterangan di Myoshinji, dan memerintahkan pada para pedagang besar di
daerahnya untuk lapor, kalau mereka melihat orang yang cocok dengan gambaran Musashi."
"Semakin kuat alasan untuk menduga Musashi takkan pergi lewat jalan darat. Dia paling
benci keributan. Kalau dia tahu itu, dia akan berusaha keras menghindarinya." Otsu
tampak tertekan, seolah-olah tiba-tiba ia kehilangan harapan. "Bagaimana menurutmu,
Jotaro?" tanyanya memohon. "Kalau aku pergi ke Myoshinji, apa menurutmu aku akan
mendapat keterangan?"
"Yah, barangkali, tapi Kakak mesti ingat, itu cuma kata orang."
"Tapi tentunya ada alasannya orang berkata begitu. Ya, tidak?"
"Apa Kakak mau ke Kyoto?"
"Oh, ya. Aku mau pergi sekarang juga.... Nah, besoklah."
"Jangan buru-buru begitu. Itu sebabnya Kakak selalu gagal bertemu Musashi. Begitu
mendengar desas-desus, Kakak terima itu sebagai kenyataan, dan langsung terbang. Kalau
Kakak mau tahu letak burung bulbul, Kakak mesti lihat tempat di depan sumber suaranya.
Kelihatannya Kakak ini selalu membuntuti Musashi, bukan mencegat tempat yang akan
didatanginya." "Yah, mungkin saja, tapi cinta memang tidak logis." Karena sebelumnya Otsu tidak
memikirkan kata-katanya, ia terkejut melihat wajah Jotaro yang memerah mendengar kata
"cinta" itu. Tapi dengan segera ia dapat memulihkan perasaannya, dan katanya, "Terima
kasih atas nasihat itu. Akan kupikirkan."
"Ya, pikirkanlah, tapi sementara itu ayo kembali ke Himeji denganku."
"Baiklah." "Kuminta Kakak datang ke rumah kami." Otsu terdiam.
"Kalau ditilik kata-kata ayahku, kukira dia kenal Kakak cukup baik sebelum Kakak
meninggalkan Shippoji.... Aku tidak tahu apa yang dipikirkannya, tapi dia bilang ingin
ketemu Kakak sekali lagi, dan bicara dengan Kakak."
Lilin hampir habis. Otsu menoleh dan memandang langit dari bawah tepian atap yang sudah
compang-camping. "Hujan," katanya.
"Hujan" Padahal kita mesti jalan ke Himeji besok."
"Ah, cuma hujan musim gugur. Kita pakai topi hujan." "Tapi aku lebih suka kalau langit
cerah." Mereka menutup tirai hujan dari kayu, dan segera kemudian kamar pun menjadi sangat
hangat dan lembap. Jotaro sadar benar akan semerbak wangi wanita dari tubuh Otsu.
"Tidurlah," katanya. "Aku akan tidur di sini." Ia letakkan bantal kayu di bawah
jendela, kemudian ia berbaring miring menghadap dinding.
"Kakak belum tidur?" gumam Jotaro. "Kakak mesti tidur." Ia tarik seprai tipis itu ke
atas kepalanya, tapi masih juga ia berguling dan bergolek beberapa waktu, sebelum
akhirnya tidur lelap. *** 103. Belas Kasihan Kannon
OTSU duduk mendengarkan tetesan air yang turun dari atap yang bocor. Karena terpaan
angin, hujan itu melecut masuk dari bawah ujung atap, dan berkecipak mengenai tirai.
Tapi kini musim gugur, karenanya tak dapat diramalkan apakah pagi akan merekah cerah
dan jernih. Kemudian Otsu berpikir akan Osugi. "Apakah dia ada di luar, dalam badai ini, basah dan
kedinginan" Dia sudah tua. Mungkin dia takkan hidup sampai pagi. Biarpun tetap hidup,
bisa berhari-hari lagi sebelum akhirnya dia ditemukan orang. Dia bisa mati kelaparan."
"Jotaro," panggilnya pelan. "Bangun." Ia kuatir Jotaro melakukan sesuatu yang kejam. Ia
mendengar sendiri Jotaro mengatakan kepada para kakitangan perempuan tua itu, bahwa ia
sedang menghukum perempuan itu, dan sambil lalu anak itu juga menyatakan hal serupa
dalam perjalanan ke penginapan.
"Hatinya sebetulnya tidak begitu jahat," pikir Otsu. "Kalau aku mau terus terang
padanya, dia pasti dapat memahami diriku.... Aku mesti menemui dia."
Ia buka daun pintu, sambil pikirnya, "Kalau Jotaro marah, apa boleh buat." Hujan tampak
putih pada latar belakang langit yang hitam. Ia singsingkan kimononya, lalu dari
dinding ia ambil topi anyaman dari kulit bambu, dan ia ikatkan pada kepalanya. Kemudian
ia tutupkan mantel besar dari jerami ke bahunya, ia kenakan sandal jerami, dan
berangkat menerobos cucuran hujan yang turun dari atap.
Dekat kuil tempat ia ditangkap Mambei, ia lihat tangga barn yang menuju kuil itu telah
menjadi air terjun bertingkat banyak. Di puncak tangga, angin jauh lebih kuat,
melolong, melintasi rumpun pohon kriptomeria, seperti kawanan anjing marah.
"Di mana dia kira-kira?" pikirnya sambil mencoba menatap ke dalam tempat suci. Ia
berseru ke dalam ruang gelap di bawahnya, tapi tak ada jawaban. Ia menikung ke belakang
bangunan, dan berdiri di sana beberapa menit lamanya. Angin yang melolong menerpanya
seperti ombak di laut yang menggila. Berangsur-angsur sadarlah ia akan adanya bunyi
lain, yang hampir-hampir tak dapat dibedakan dari bunyi badai. Bunyi itu berhenti, lalu
mulai lagi. "Oh-h-h! Dengarkan aku...! Ada orang di situ"... Oh-h-h!"
"Nenek!" seru Otsu. "Nek, di mana Nenek?" Karena boleh dikatakan ia hanya berteriak ke
dalam angin, suaranya tidak bisa terdengar jauh.
Tapi, entah bagaimana, perasaan itu membentuk hubungan sendiri. "Oh! Ada orang di sana.
Ya, aku tahu... Tolong aku! Aku di sini! Tolong!"
Potongan-potongan bunyi itu sampai ke telinga Otsu, dan ia mendengar nada putus asa di
dalamnya. "Nenek di mana?" jeritnya parau. "Nenek, di mana Nenek?" Ia berlari mengelilingi kuil,
berhenti sebentar, kemudian berlari lagi keliling. Secara kebetulan ia melihat semacam
gua beruang, sekitar dua puluh langkah jauhnya, dekat dasar jalan terjal yang menanjak
ke tempat suci bagian dalam.
Ketika ia semakin mendekat, ia tahu pasti bahwa suara perempuan tua itu datang dari
dalam. Sampai di pintu masuk. Ia berhenti dan menatap batu-batu besar yang
menghalanginya. "Siapa itu" Siapa di situ" Jelmaan Kannon, ya" Kupuja dia tiap hari. Kasihanilah aku.
Selamatkan perempuan tua malang yang sudah diperangkap musuh!" Permohonan Osugi bernada
histeris. Setengah menangis setengah memohon, di celah gelap antara hidup dan mati, ia
membayangkan Kannon yang menaruh belas kasihan, dan memanjatkan kepadanya doa berapiapi demi kelangsungan hidupnya.
"Oh, bahagiaku!" teriaknya lupa daratan. "Kannon yang maha pengasih sudah melihat
kebaikan hatiku dan kasihan kepadaku. Dia datang menyelamatkan diriku! Belas kasihan
yang agung! Hiduplah Bodhisatwa Kannon, hiduplah Bodhisatwa Kannon, hiduplah..."
Suara itu terhenti seketika. Barangkali ia merasa sudah cukup, karena sudah sewajarnya
bahwa pada waktu ia sangat membutuhkan, Kannon akan datang dalam bentuk tertentu untuk
menolongnya. Ia kepala keluarga yang baik, ibu yang baik, dan ia merasa dirinya adalah
manusia lurus tanpa cacat. Karena itu, apa pun yang ia lakukan tentu benar menurut
akhlak. Tapi kemudian, karena merasa bahwa orang yang ada di luar gua bukan hantu, melainkan
manusia yang nyata dan hidup, ia pun tenang, dan ketika sudah tenang, ia pun pingsan.
Karena tak mengerti kenapa tiba-tiba teriakan Osugi berhenti, Otsu jadi hilang
kesabaran. Bagaimanapun, pintu gua itu harus dibersihkan. Ia melipatgandakan usahanya,
hingga tali yang mengikat topi anyamannya lepas, dan topi serta jalinan rambutnya yang
hitam jadi berkibar-kibar ditiup angin.
Heran juga ia, bagaimana Jotaro bisa meletakkan batu-batuan itu sendirian. Ia dorong
dan ia tarik batu-batuan itu dengan seluruh kekuatannya, namun tak satu pun bergerak.
Karena kehabisan tenaga, ia merasa jengkel pada Jotaro. Perasaan lega yang semula
meliputinya karena menemukan tempat Osugi, kini berubah menjadi rasa gelisah yang
pedih. "Tahan dulu, Nek! Sebentar lagi. Akan kukeluarkan Nenek!" teriaknya. Biarpun
sudah menekankan bibirnya ke dalam celah di antara bebatuan itu, ia tak berhasil
memperoleh balasan. Segera kemudian ia perdengarkan nyanyian lirih dan sayup:
"Pada waktu berjumpa setan-setan pemakan manusia,
Naga berbisa atau iblis, Jika ia masih ingat akan kekuasaan Kannon,
Maka tak suatu pun berani mencederainya.
Jika pada waktu dikepung binatang jahat,
Dengan taring tajam dan cakar mengerikan,
ia masih ingat akan kekuasaan Kannon..."
Sementara itu, Osugi menyanyikan kitab Sutra tentang Kannon. Hanya suara bodhisatwa
yang dapat dipahaminya. Dengan tangan terkatup, kini ia berserah diri dengan air mata
menuruni pipi dan bibir bergetar, sementara kata-kata suci meluncur dari mulutnya.
Tiba-tiba merasa ganjil, Osugi berhenti menyanyi dan mengintip dari celah antara
bebatuan. "Siapa di sana?" teriaknya. "Aku tanya, siapa kamu?"
Angin sudah menerbangkan mantel Otsu. Dalam keadaan bingung, kehabisan tenaga, dan
berlumur lumpur, ia membungkuk dan berseru, "Nenek baik-baik saja" Ini Otsu!"
"Siapa, katamu?" terdengar pertanyaan curiga.
"Otsu!" "Begitu." Menyusul kediaman panjang, tapi akhirnya terdengar pertanyaan bernada tak
percaya. "Apa maksudmu, Otsu?"
Justru pada waktu itulah gelombang guncangan pertama menimpa Osugi, dan dengan kasar
memorakporandakan pikiran-pikiran keagamaannya. "Kkenapa kau datang kemari" Oh, aku
tahu. Kau mencari si setan Jotaro itu!"
"Tidak, saya datang buat menyelamatkan Nenek! Saya minta Nenek melupakan masa lalu.
Saya ingat, Nenek baik sekali pada saya, waktu saya masih gadis kecil. Tapi kemudian
Nenek memusuhi saya dan mencoba melukai saya. Saya tidak dendam pada Nenek. Saya akui,
saya memang keras kepala."
"Oh, jadi matamu terbuka sekarang, dan kau bisa melihat buruknya perbuatan-perbuatanmu.
Begitu, ya" Maksudmu, apa kau mau kembali pada Keluarga Hon'iden, sebagai istri
Matahachi?" "Oh, tidak, bukan itu," kata Otsu cepat.
"Nah, kalau begitu, kenapa kau di sini?"
"Saya kasihan pada Nenek, dan saya tidak tahan."
"Dan sekarang kau ingin aku berutang budi padamu. Itu yang kaucoba lakukan, ya?"
Otsu terlalu terguncang untuk mengatakan sesuatu.
"Siapa yang menyuruhmu datang menyelamatkan aku" Aku tak perlu bantuanmu sekarang.
Kalau kau menyangka dengan menolongku kau dapat membuatku tidak membencimu lagi, kau
keliru. Aku tak peduli betapa buruknya keadaanku, lebih baik aku mati daripada
kehilangan kebanggaan."
"Tapi, Nek, bagaimana bisa Nenek menyuruhku meninggalkan orang seumur Nenek di tempat
mengerikan semacam ini?"
"Begitulah bicaramu, enak dan manis. Kaukira aku tidak tahu, apa yang hendak dilakukan
olehmu dan Jotaro" Kalian berdua bersekongkol memasukkan aku ke dalam gua ini, buat
mempermainkan diriku. Kalau nanti aku keluar, aku mesti membalas dendam. Kalian boleh
yakin itu." "Saya yakin Nenek akan mengerti, bagaimana sesungguhnya perasaan saya. Biar bagaimana,
Nenek tak bisa tinggal di sini. Nenek akan sakit."
"Huh, aku bosan dengan omong kosong ini!"
Otsu berdiri. Tiba-tiba penghalang yang tak dapat digesernya dengan tenaga fisik itu
bergerak sendiri, seakan-akan digerakkan oleh air matanya. Sesudah batu teratas
berguling ke tanah, mengherankan bahwa ia tidak mengalami kesulitan lagi menggulingkan
batu di bawahnya ke samping.
Namun bukan air mata Otsu sendiri yang membuka gua itu, karena Osugi mendorongnya juga
dari dalam. Ia pun menyeruduk ke luar, wajahnya merah manyala.
Otsu memperdengarkan teriakan gembira, dan ia masih terhuyung-huyung karena mengerahkan
tenaga, tapi begitu Osugi berada di luar, ia langsung menangkap kerah Otsu. Dari
ganasnya serangan itu, seakan-akan tujuan Osugi bertahan hidup adalah untuk menyerang
penyelamatnya. "Oh! Apa yang Nenek lakukan" Ow!"
"Tutup mulut!" "Ken-napa!" "Apa maumu?" teriak Osugi sambil menjatuhkan Otsu ke tanah, dengan kemarahan seorang
perempuan liar. Otsu terkejut luar biasa.
"Ayo, sekarang kita pergi!" dengus Osugi sambil menyeret gadis itu di tanah basah.
Sambil mengatupkan tangan, kata Otsu, "Saya mohon, Nek. Hukumlah saya, kalau Nenek mau,
tapi jangan Nenek tinggal dalam hujan."
"Pandir! Tak kenal malu, ya" Apa pikirmu kau bisa bikin aku kasihan padamu?"
"Saya takkan lari. Tak akan... Oh! Sakit!"
"Tentu saja sakit."
"Biarkan saya...!" Tiba-tiba Otsu mengerahkan tenaga untuk meloloskan diri, dan
melompat berdiri. "Tak bakalan!" Seketika itu Osugi memperbarui serangannya dan mencengkeram segenggam
rambut Otsu . Wajah Otsu yang putih tertengadah ke langit, air hujan membasahinya. Ia
menutup mata. "Perempuan sial! Berapa banyak aku menderita bertahun-tahun ini karena kau!"
Setiap kali Otsu membuka mulut untuk berbicara atau berusaha meloloskan diri, perempuan
tua itu menyentakkan rambutnya dengan kejam. Tanpa melepaskan rambut itu, ia banting
Otsu ke tanah, ia injak, dan ia tendang.
Kemudian, tiba-tiba pada wajah Osugi muncul sebersit rasa terkejut, dan ia melepaskan
rambut itu. "Oh, apa yang kulakukan?" gagapnya ketakutan. "Otsu?" panggilnya kuatir, memandang
sosok lemas yang tergeletak di kakinya.
"Otsu!" Sambil membungkuk ia tatap baik-baik wajah yang basah oleh hujan dan sedingin
ikan mati itu. Gadis itu sepertinya sudah tidak bernapas.
"Dia... dia mati!"


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Osugi terperanjat. Walaupun ia tak rela memaafkan Otsu, tak ada maksudnya membunuh
gadis itu. Maka ia meluruskan badan, merintih sambil mundur.
Berangsur-angsur baru ia tenang, dan tak lama kemudian katanya, "Kukira tak ada yang
bisa dilakukan, kecuali pergi mencari pertolongan." Ia pun berangkat, tapi kemudian
ragu-ragu, menoleh, dan kembali. Ia gendong tubuh Otsu yang dingin itu dan ia bawa
masuk gua. Pintu masuk gua itu memang kecil, tapi bagian dalamnya luas. Di dekat dinding terdapat
tempat yang dulu dipakai para peziarah yang sedang mencari jalan untuk bersemadi
berlama-lama. Ketika hujan reda, ia pergi ke pintu dan mulai merangkak ke luar, tapi justru waktu itu
hujan mulai turun lagi. Air yang membanjiri mulut gua gemerecik hampir sampai ke bagian
terdalam gua. "Tak lama lagi pagi," pikirnya. Ia berjongkok acuh tak acuh, dan menanti badai reda
kembali. Keadaan gelap gulita. Tubuh Otsu pelan-pelan mulai mempengaruhi pikirannya. Ia merasa
wajah yang kelabu dingin itu menatap dirinya dengan nada menuduh. Mula-mula ia
menenteramkan dirinya dengan mengatakan, "Segalanya sudah ditakdirkan untuk terjadi.
Ambillah tempatmu di surga, sebagai Budha yang baru lahir. Jangan simpan dendam
terhadapku." Tapi, tak lama kemudian, rasa takut dan tanggung jawab yang hebat
mendorongnya untuk mencari perlindungan dalam kesalehan. Sambil memejamkan mata, ia
mulai menyanyikan sutra. Beberapa jam berlalu.
Ketika akhirnya bibirnya berhenti bergerak dan ia membuka mata, ia dengar burung-burung
mencicit. Udara tenang, hujan sudah berhenti. Lewat mulut gua, matahari keemasan
menjenguk kepadanya, mencurahkan cahayanya yang putih ke tanah kasar di dalam.
"Apa pula itu?" tanyanya keras, ketika la bangkit; matanya menatap sebuah prasasti
ukiran tangan tak dikenal pada dinding gua.
Ia berdiri di dekat prasasti itu, dan membaca, "Pada tahun 1544, saya kirimkan anak
saya yang berumur enam belas tahun, bernama Mori Kinsaku, untuk ikut pertempuran
Benteng Tenjinzan di pihak Yang Dipertuan Uragami. Sejak itu saya tak pernah
melihatnya. Karena sedih, saya mengembara ke berbagai tempat suci bagi sang Budha.
Sekarang saya tempatkan di gua ini patung Bodhisatwa Kannon. Saya doakan agar perbuatan
ini, disertai air mata seorang ibu, akan melindungi hidupnya di masa depan. Kalau di
kemudian hari ada orang lewat tempat ini, saya mohon dia menyerukan nama sang Budha.
Inilah tahun kedua puluh satu, sejak kematian Kinsaku. Penyumbang: Ibu Kinsaku, Kampung
Aita." Huruf-huruf yang sudah mengalami pengikisan di beberapa tempat itu sukar dibaca. Hampir
tujuh puluh tahun sudah kampung-kampung yang berdekatan, seperti Sanumo, Aita, dan
Katsuta, diserang oleh Keluarga Amako, dan Yang Dipertuan Uragami diusir dari
bentengnya. Kenangan masa kecil yang takkan terhapus dari pikiran Osugi adalah
pembakaran benteng itu. Ia sempat melihat asap hitam melayang ke langit, mayat-mayat
manusia dan kuda menyeraki perladangan dan jalan-jalan kecil, berhari-hari sesudahnya.
Pertempuran itu hampir mencapai rumah-rumah petani.
Memikirkan ibu-anak itu, termasuk kesedihannya, pengembaraannya, doanya, dan
persembahannya, Osugi merasa seperti ditikam. "Tentunya dia sedih sekali," katanya. Ia
berlutut dan mengatupkan tangannya.
"Hiduplah sang Budha Amida. Hiduplah sang Budha Amida..."
Ia tersedu-sedu, air mata jatuh ke tangannya, tapi belum lagi ia puas menangis,
pikirannya sudah tersadar kembali akan wajah Otsu yang dingin, tak peka terhadap sinar
pagi, di samping lututnya.
"Maafkan aku, Otsu. Sungguh aku kejam! Aku mohon, maafkanlah aku!" Dengan wajah
mengungkapkan sesal yang sangat, ia angkat tubuh Otsu disertai pelukan lembut.
"Mengerikan... mengerikan. Buta oleh cinta ibu. Gara-gara bakti kepada anak, aku
menjadi setan buat perempuan lain. Kau punya ibu juga. Kalau ibu itu mengenalku, pasti
dia memandangku sebagai... iblis yang kotor...! Aku yakin diriku benar, tapi buat orang
lain aku monster yang jahat."
Kata-kata itu seperti memenuhi gua, lalu meloncat kembali ke telinganya. Tak ada orang
di situ, tak ada mata mengawasi, tak ada telinga mendengar. Gelap malam telah berubah
menjadi sinar kebijaksanaan sang Budha.
"Kau sungguh baik selama ini, Otsu. Bertahun-tahun lamanya kau disiksa orang tua bodoh
yang mengerikan ini, tapi tak pernah kau mengembalikan dendamku. Kau datang mencoba
menyelamatkan diriku, menantang segalanya... Aku menyadarinya sekarang. Semula aku
salah mengerti. Semua kebaikan hatimu kupandang jahat. Kebaikanmu kubalas dengan
dendam. Pikiranku kacau, menyeleweng. Oh, maafkan aku, Otsu."
Ia tekankan wajahnya yang basah ke wajah Otsu. "Alangkah baiknya kalau anakku semanis
dan sebaik dirimu... Buka matamu, dan lihat aku memohon maaf padamu. Buka mulutmu, caci
diriku. Aku pantas diperlakukan begitu. Otsu... maafkan aku."
Sementara ia memandang wajah itu sambil mencucurkan air mata kesedihan, di depan
matanya melintas gambaran dirinya sendiri. Gambaran itulah yang kelihatan pada
pertemuan-pertemuannya yang lalu dengan Otsu. Kesadaran akan betapa kejam dirinya kini
mencekam hatinya. Berkalikali ia berbisik, "Maafkan aku... maafkan aku!" Bahkan
terpikir olehnya, apakah tidak lebih baik ia duduk di sana, sampai ia mati bersama
gadis itu. "Tidak!" serunya mantap. "Tak perlu lagi menangis dan merintih! Barangkali...
barangkali dia tidak mati. Kalau kucoba, barangkali aku dapat berusaha supaya dia
kembali hidup. Dia masih muda. Hidupnya masih terbentang di depannya."
Pelan-pelan ia letakkan kembali Otsu ke tanah, lalu ia merangkak keluar dari gua, ke
tengah sinar matahari yang menyilaukan. Ia tutup matanya, dan ia corongkan kedua
tangannya ke mulut. "Di mana orang-orang" Hei, orang-orang kampung! Sini! Tolong!" Ia
berlari ke depan beberapa langkah, sambil terus berseru-seru.
Terlihat gerakan di tengah semak kriptomeria, kemudian terdengar teriakan, "Dia di
sini! Ternyata selamat!"
Sekitar sepuluh orang anggota klan Hon'iden keluar dari semak. Mereka mendengar berita
dari orang yang masih selamat dan berlumuran darah akibat perkelahian dengan Jotaro
malam sebelumnya, lalu mereka menyusun kelompok pencari yang segera berangkat, walaupun
hujan turun membutakan mata. Mereka masih mengenakan mantel hujan, dan tampak basah
kuyup. "Jadi, ibu selamat!" seru orang pertama yang sampai pada Osugi, dengan gembira. Mereka
mengerumuni Osugi, wajah mereka mengungkapkan rasa lega luar biasa.
"Jangan kuatirkan diriku," perintah Osugi. "Cepat lihat sana, apa gadis dalam gua itu
masih bisa ditolong. Sudah berjam-jam tak sadar. Kalau tidak kita berikan obat sekarang
juga... " Suaranya pekat.
Seperti hampir kesurupan, ia menunjuk ke arah gua. Barangkali itu air mata kesedihan
yang pertama dicurahkannya sesudah kematian Paman Gon.
*** 104. Pasang-Surut Kehidupan
MUSIM gugur telah lewat. Juga musim dingin.
Pagi-pagi, pada suatu hari di bulan keempat tahun 1612, para penumpang menyiapkan diri
di atas dek kapal biasa yang berlayar dari Sakai di Provinsi Izumi ke Shimonoseki di
Nagato. Sesudah mendapat pemberitahuan bahwa kapal siap berangkat, Musashi bangkit dari bangku
toko Kobayashi Tarozaemon, dan membungkuk kepada orang-orang yang datang melepas
kepergiannya. "Pertahankan semangat," dorong mereka, sambil ikut bersamanya menuju dermaga.
Wajah Hon'ami Koetsu terdapat di antara orang-orang yang hadir. Teman karibnya, Haiya
Shoyu, tidak bisa datang karena sakit, tapi ia diwakili anaknya, Shoeki. Bersama Shoeki
ikut juga istrinya, seorang wanita yang kecantikannya menyilaukan, hingga ke mana saja
ia pergi, kepala orang menoleh.
"Itu Yoshino, kan?" seorang laki-laki berbisik sambil menarik lengan baju temannya.
"Dari Yanagimachi?"
"Umm. Yoshino Dayu dari Ogiya."
Shoeki memperkenalkan wanita itu pada Musashi, tanpa menyebutkan namanya. Wajahnya
tentu saja tak dikenal Musashi, karena ia adalah Yoshino Dayu yang kedua. Tak seorang
pun tahu apa yang terjadi dengan Yoshino yang pertama, di mana tinggalnya sekarang, dan
apakah sudah menikah atau masih sendiri. Orang banyak sudah lama tak lagi membicarakan
kecantikannya yang luar biasa. Bunga berkembang, dan kemudian gugur. Dan di dunia
lokalisasi yang serba tak tetap itu, waktu berlalu dengan cepat.
Yoshino Dayu. Nama itu pasti membangkitkan kenangan tentang malammalam bersaiju,
tentang api kayu peoni, dan tentang kecapi yang rusak. "Sudah delapan tahun berlalu,
sejak kita pertama bertemu," kata Koetsu.
"Ya, delapan tahun," sahut Musashi, yang juga heran, ke mana saja perginya tahun-tahun
itu. Ia merasa acara naik kapal hari ini menandai akhir satu tahap hidup baginya.
Matahachi termasuk salah seorang yang ikut mengantar, demikian juga beberapa samurai
dari tempat kediaman Hosokawa di Kyoto. Samurai-samurai lain menyampaikan ucapan
selamat dari Yang Dipertuan Karasumaru Mitsuhiro, dan ada pula satu rombongan, dua
sampai tiga puluh pemain pedang, yang karena pergaulan dengan Musashi di Kyoto,
menganggap diri mereka pengikut Musashi, sekalipun Musashi memprotes.
Musashi akan pergi ke Kokura di Provinsi Buzen. Di sana ia akan berhadapan dengan
Sasaki Kojiro, untuk menguji keterampilan dan kematangannya. Atas usaha Nagaoka Sado,
konfrontasi yang menentukan dan lama prosesnya itu akhirnya akan berlangsung juga.
Perundingan-perundingannya panjang dan sukar, memerlukan pengiriman banyak kurir dan
surat. Bahkan sesudah Sado pada musim gugur lalu memastikan bahwa Musashi ada di rumah
Hon'ami Koetsu, penyempurnaan persiapan masih membutuhkan waktu setengah tahun lagi.
Walaupun Musashi tahu pertarungan akan terjadi, tak pernah terbayang olehnya ia akan
berangkat sebagai bintang yang dipuja-puja sejumlah besar pengikut dan pengagum.
Besarnya jumlah pengantarnya itu membuatnya malu, juga tidak memungkinkan ia berbicara
dengan orang-orang tertentu, seperti yang diinginkannya.
Yang paling memukau dari acara pemberangkatan yang hebat ini adalah absurditasnya. Tak
ada keinginannya untuk menjadi idola siapa pun. Namun mereka datang untuk mengungkapkan
niat baik. Karena itu, tak kuasa ia menghentikan mereka.
Ia merasa sebagian dari mereka dapat memahami dirinya. Ia berterima kasih atas ucapan
selamat mereka. Kekaguman mereka menyuntikkan ke dalam dirinya rasa takzim. Bersamaan
dengan itu, ia tersapu juga oleh gelombang sentimen dangkal yang namanya popularitas.
Reaksinya terhadap hal ini hampir-hampir berupa rasa takut, kalau-kalau pujian
berlebihan itu akan membuatnya lupa daratan. Bagaimanapun, ia hanya manusia biasa.
Hal lain yang mengesalkannya adalah proses pendahuluan yang berteletele itu. Dapat
dikatakan bahwa baik dirinya maupun Kojiro sudah tahu ke mana arah hubungan mereka,
tapi sementara itu dapat juga dikatakan bahwa orang banyak telah memaksa mereka berdua
untuk saling berhadapan, dan menetapkan bahwa mereka harus mengadakan penentuan akhir,
siapa yang lebih baik. Dimulai dengan omongan orang, "Saya dengar mereka merundingkan itu." Kemudian, kata
mereka, "Ya, mereka sudah pasti akan berhadapan." Dan kemudian lagi, "Kapan pertarungan
itu?" Akhirnya, hari dan jamnya sekalian disebarkan orang, sebelum mereka sendiri secara
resmi memutuskannya. Musashi tak suka menjadi pujaan khalayak. Dilihat dari perbuatan besarnya, memang tak
dapat dihindari lagi, ia akan dijadikan pahlawan. Tapi ia sendiri tidak mengejar hal
itu. Yang diinginkannya adalah kesempatan lebih banyak untuk bersemadi. Ia perlu
mengembangkan keselarasan, untuk menjamin agar gagasan-gagasannya tidak melampaui
kemampuannya bertindak. Melalui pengalamannya yang baru dengan Gudo, ia telah maju
selangkah lagi di jalan menuju pencerahan. Dan ia mulai merasakan sukarnya mengikuti
Jalan itu dengan lebih peka Jalan panjang dalam menempuh hidup.
"Namun...," pikirnya. Di mana ia akan berada, kalau semua itu bukan demi kebaikan
orang-orang Zang mendukungnya" Apakah ia akan tetap hidup" Apakah ia akan mengenakan
pakaian" Kimono berlengan pendek hitam yang dikenakannya saat itu khusus dijahit
untuknya oleh ibu Koetsu. Sandal barunya, topi anyaman baru yang dipegangnya, dan semua
yang dibawanya sekarang, adalah pemberian orang yang menaruh penghargaan kepadanya.
Nasi yang ia makan ditanam orang lain. Ia hidup dari karunia kerja orang lain.
Bagaimana ia dapat membalas segala yang telah mereka perbuat baginya"
Apabila pikirannya menjurus ke arah ini, kebencian terhadap tuntutan para pendukungnya
jadi berkurang. Namun demikian, rasa kuatir akan mengecewakan mereka akan terus terasa.
Tibalah waktunya untuk berlayar. Terdengar doa-doa untuk keselamatan perjalanan, katakata terakhir sebagai ucapan selamat jalan. Sementara itu, waktu yang tak kelihatan
mulai memisahkan lelaki dan perempuan yang ada di atas dermaga dengan pahlawan mereka
yang berangkat. Tali penambat sudah dilontarkan, kapal bergerak ke taut terbuka, dan layar besar
mengembang seperti sayap, berlatar belakang langit biru.
Seorang lelaki berlari ke ujung dermaga, berhenti, dan mengentakkan kaki dengan
jengkel. "Terlambat!" geramnya. "Mestinya tadi aku tidak tidur siang.
Koetsu mendekatinya, bertanya, "Apa Anda bukan Muso Gonnosuke?"
"Ya," jawab yang ditanya sambil mengempit tongkatnya. "Saya pernah ketemu Anda di Kuil
Kongoji di Kawachi."
"Ya, tentu. Anda Hon'ami Koetsu."
"Saya senang sekali melihat Anda sehat walafiat. Dari apa yang saya dengar, sebetulnya
saya tak percaya Anda masih hidup."
"Dengar dari siapa itu?"
"Musashi." "Musashi?" "Ya, dia tinggal di rumah saya sampai kemarin. Dia menerima beberapa surat dari Kokura.
Dalam salah satu surat, Nagaoka Sado mengatakan Anda tertawan di Gunung Kudo. Menurut
dugaannya, Anda tentu terluka atau terbunuh."
"Semua itu salah."
"Kami mendengar juga bahwa Iori masih hidup di rumah Sado."
"Oh, jadi dia selamat!" seru Gonnosuke, dan perasaan lega membanjiri wajahnya.
"Ya. Mari kita duduk bercakap-cakap."
Ia ajak ahli tongkat yang tegap itu ke sebuah warung. Sambil minum teh, Gonnosuke
menyampaikan ceritanya. Ia beruntung, karena sesudah melihat sendiri, Sanada Yukimura
berkesimpulan bahwa Gonnosuke bukan mata-mata. Ia pun dilepaskan, dan kedua orang itu
jadi bersahabat. Yukimura tidak hanya minta maaf atas kekeliruan para anak buahnya,
tapi juga mengirimkan sejumlah anak buahnya untuk mencari Iori.
Karena mereka tak berhasil menemukan tubuh anak itu, Gonnosuke menyimpulkan anak itu
masih hidup. Sejak itu, ia menghabiskan waktunya untuk melakukan pencarian di provinsiprovinsi berdekatan. Ketika mendengar bahwa Musashi berada di Kyoto dan pertarungan
antara dia dan Kojiro akan berlangsung, Gonnosuke melipatgandakan usahanya. Kemudian,
sekembalinya ke Gunung Kudo kemarin, ia mendengar dari Yukimura bahwa Musashi akan
berlayar menuju Kokura hari ini. Ia takut bertemu dengan Musashi tanpa Iori di
sampingnya, atau tanpa berita apa pun tentang anak itu. Tapi, karena ia tak tahu apakah
akan pernah melihat gurunya lagi dalam keadaan hidup, ia memberanikan diri datang. Ia
minta maaf pada Koetsu, seakan-akan Koetsu itu korban keteledorannya.
"Tak usah kuatir," kata Koetsu. "Dalam beberapa hari akan ada kapal lain."
"Saya betul-betul ingin melakukan perjalanan dengan Musashi." Ia berhenti di situ,
kemudian lanjutnya sungguh-sungguh, "Saya pikir perjalanan ini bisa menjadi titik
menentukan dalam hidup Musashi. Dia hidup sangat disiplin. Kemungkinannya dia tak akan
kalah dengan Kojiro. Namun dalam pertempuran macam itu, siapa tahu" Di sini ada unsur
supramanusia yang ikut terlibat. Semua petarung harus menghadapinya; menang atau kalah,
sebagian merupakan soal keberuntungan."
"Saya pikir Anda tak perlu kuatir. Ketenangan Musashi sungguh sempurna. Dia kelihatan
betul-betul yakin." "Saya yakin memang demikian, tapi Kojiro punya reputasi tinggi juga. Dan orang bilang,
sejak bertugas pada Yang Dipertuan Tadatoshi, dia berlatih dan tetap menjaga kesiapan
dirinya." "Tapi ini akan menjadi ujian kekuatan antara seorang jenius yang betul-betul angkuh,
dengan seorang biasa yang sudah menggosok bakat-bakatnya sebaik-baiknya, kan?"
"Saya sendiri takkan menyebut Musashi orang biasa."
"Tapi dia memang orang biasa. Itulah yang luar biasa padanya. Dia tak puas dengan hanya
mengandalkan diri pada pemberian alam. Karena tahu dirinya orang biasa, maka dia selalu
mencoba meningkatkan diri. Tak seorang pun menghargai usaha mati-matian yang harus dia
lakukan. Tapi sekarang, ketika latihannya yang bertahun-tahun sudah memberikan hasil
demikian hebat, tiap orang lalu bicara bahwa dia memiliki 'bakat pemberian dewa'.
Begitulah cara orang yang tidak tekun berlatih menyenangkan diri."
"Terima kasih atas ucapan itu," kata Gonnosuke. Ia merasa kata-kata Koetsu ini mungkin
ditujukan pada dirinya juga, selain Musashi. Sambil memandang tampang orang tua yang
lebar dan menyenangkan itu, pikirnya, "Dia pun begitu."
Koetsu waktu itu tampak sebagaimana biasanya, sebagai orang yang suka bersenang-senang
dan dengan sengaja memisahkan dirinya dari bagian dunia lain. Pada waktu itu matanya
tidak memancarkan cahaya yang biasa diperlihatkannya apabila ia sedang memusatkan diri
pada cipta seni. Kim mata itu seperti lautan yang lembut, tenang, dan tak terusik, di
bawah langit yang jernih terang.
Seorang pemuda menjenguk ke pintu dan berkata pada Koetsu, "Kita kembali sekarang?"
"Ah, Matahachi!" jawab Koetsu bersahabat. Sambil menoleh pada Gonnosuke, katanya,
"Rasanya saya terpaksa meninggalkan Anda. Teman-teman saya rupanya menanti."
"Apa Anda kembali lewat Osaka?"
"Ya. Kalau kami bisa sampai di sana pada waktunya, saya ingin naik kapal malam ke
Kyoto." "Oh, kalau begitu saya berjalan bersama Anda saja sampai tempat itu." Demikianlah
Gonnosuke memutuskan melakukan perjalanan darat, bukannya menanti kapal berikutnya.
Ketiga orang itu berjalan berdampingan. Pembicaraan mereka jarang menyimpang dari
Musashi, tentang statusnya sekarang, dan perbuatan-perbuatan besarnya di masa lalu.
Pada suatu saat, Matahachi mengungkapkan keprihatinannya, katanya, "Saya berharap
Musashi menang, tapi Kojiro itu cerdik. Tekniknya bagus sekali." Namun dalam suaranya
tidak terasa kegairahan. Kenangannya tentang pertemuannya dengan Kojiro begitu
gamblang! Senja hari mereka sampai di jalan Osaka yang ramai. Secara bersamaan, Koetsu dan


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gonnosuke tiba-tiba sadar bahwa Matahachi tidak lagi bersama mereka.
"Ke mana perginya dia?" tanya Koetsu.
Ketika mereka menempuh kembali jalan itu, mereka lihat Matahachi sedang berdiri di
ujung jembatan, dengan asyik melihat ke arah tepi sungai. Di sana ibu-ibu dari
perkampungan gubuk-gubuk reyot yang atapnya hanva selembar itu sedang mencuci alat-alat
masak, gabah, dan sayuran.
"Aneh pancaran wajahnya," kata Gonnosuke. Ia dan Koetsu berdiri di tempat yang agak
jauh, dan memperhatikan. "Dia!" teriak Matahachi. "Akemi!"
Detik pertama Matahachi mengenalinya, ia dikagetkan oleh nasib yang tak terduga-duga.
Tapi, beberapa saat kemudian, nasib malah mulai tampak sebaliknya. Takdir tidak
memperdayakan dirinya"melainkan sekadar menghadapkannya pada masa lalunya. Akemi telah
menjadi istrinya tanpa menikah. Karma mereka berdua memang terjalin. Selama mendiami
bumi yang sama, mereka ditakdirkan untuk bersatu kembali, cepat atau lambat.
Tadi ia sukar mengenali Akemi. Pesona dan kegenitannya dua tahun lalu sudah hilang.
Wajahnya kurus luar biasa, rambutnya tidak dicuci, dan hanya disanggul asal saja di
bawah tengkuk. Ia mengenakan kimono katun berlengan bentuk pipa, yang panjangnya
sedikit di bawah lutut, pakaian kerja istri kelas rendahan yang tinggal di kota. Beda
sekali dengan sutra warna-warni yang dikenakannya ketika menjadi pelacur.
Ia berjongkok dalam posisi yang biasa dilakukan para penjaja, dan ia memegang keranjang
yang tampaknya berat. Di dalam keranjang itu ia menjual remis besar, tiram laut, dan
lumut laut. Dagangannya masih banyak, menunjukkan bahwa jualannya tidak begitu lancar.
Di punggungnya, ia menggendong bayi berumur sekitar setahun dengan selembar kain kotor.
Yang paling membuat jantung Matahachi berdentam lebih keras adalah anak itu. Ia hitung
jumlah bulan, sambil menekankan kedua telapak tangannya ke pipi. Kalau anak itu umurnya
jalan dua tahun, pasti terjadinya ketika mereka berdua tinggal di Edo... dan Akemi
sedang mengandung ketika mereka dicambuk di depan umum dulu.
Sinar matahari petang yang terpantul dari sungai menari-nari di wajah Matahachi, hingga
wajah itu seperti bermandikan air mata. Ia sudah tuli terhadap kesibukan lalu lintas di
jalan. Akemi berjalan pelan sepanjang sungai. Matahachi menghampirinya sambil melambailambaikan tangan dan berteriak-teriak. Koetsu dan Gonnosuke mengikuti.
"Matahachi, mau ke mana?"
Matahachi sudah lupa sama sekali akan dua orang itu. la berhenti, dan menanti mereka
menyusulnya. "Maaf," gumamnya. "Terus terang..." Terus terang" Bagaimana mungkin ia
menjelaskan pada mereka, apa yang akan dilakukannya sementara dirinya pun tak dapat
menjelaskannya pada diri sendiri" Pada waktu itu ia tidak dapat memilah-milah
perasaannya, namun akhirnya terlontar dari mulutnya, "Saya sudah memutuskan untuk tidak
menjadi pendeta... dan akan kembali menjalani hidup biasa. Saya belum ditakdirkan untuk
itu." "Kembali kepada hidup biasa?" seru Koetsu. "Begitu tiba-tiba" Hmm. Kau tampak aneh,
Matahachi." "Saya tidak bisa menjelaskan sekarang. Kalau saya jelaskan, barangkali akan kedengaran
gila. Baru saja saya lihat perempuan yang pernah hidup bersama saya. Dan dia
menggendong bayi. Saya pikir, itu pasti anak saya."
"Kau yakin itu?"
"Ya, yah...." "Nah, tenangkan hatimu, dan pikirkan. Apa itu betul-betul anakmu?"
"Ya! Saya sudah jadi ayah... Maaf. Saya tidak tahu.... Saya malu. Tak dapat saya
membiarkan dia menempuh hidup semacam itu"menjual dagangan dengan keranjang, macam
gelandangan biasa. Saya mesti kerja dan menolong anak saya."
Koetsu dan Gonnosuke saling pandang dengan cemas. Walau tidak yakin benar apakah
Matahachi masih lurus otaknya, kata Koetsu, "Kuharap kau sadar, apa yang sedang
kauperbuat." Matahachi melepaskan jubah pen
deta yang menutup kimononya yang biasa, dan
menyerahkannya kepada Koetsu, bersama tasbihnya. "Saya minta maaf karena menyusahkan
Bapak, tapi apa boleh saya minta tolong menyampaikan ini kepada Gudo di Kuil Myoshinji"
Saya akan berterima kasih kalau Bapak sudi menyampaikan kepadanya bahwa saya akan
tinggal di Osaka ini, mencari pekerjaan dan menjadi ayah yang baik."
"Kau betul-betul mau melakukan ini" Meninggalkan kependetaan begitu saj a?"
"Ya. Biar bagaimana, Guru mengatakan pada saya, saya dapat kembali pada kehidupan
biasa, kapan saja saya mau."
"Hmm." "Beliau mengatakan kita tidak mesti berada dalam kuil untuk mempraktekkan ajaran
keagamaan. Itu lebih sukar, tapi beliau mengatakan, yang lebih terpuji adalah mampu
mengendalikan diri dan menjaga iman di tengah kebohongan, kemesuman, dan pertentangansegala yang buruk di dunia luar itu-daripada di lingkungan kuil yang bersih dan murni."
"Saya yakin dia benar."
"Sampai sekarang ini, sudah setahun saya tinggal bersama beliau, tapi beliau belum
memberikan nama pendeta pada saya. Beliau selalu menyebut saya Matahachi. Barangkali
ada sesuatu yang bakal terjadi di masa depan, yang tidak saya mengerti. Waktu itulah
saya akan pergi menemuinya. Boleh saya minta tolong menyampaikan hal itu kepada
beliau?" Dan dengan kata-kata itu, Matahachi pergi.
*** 105. Kapal Perang SEGUMPAL awan merah yang tampak seperti pita besar menggantung rendah di atas kaki
langit. Di dekat dasar laut yang seperti kaca tak berombak itu ada seekor ikan gurita.
Sekitar tengah hari, sebuah perahu kecil menambatkan diri di muara Sungai Shikama, jauh
dari pandangan orang. Kini, ketika senja melarut, asap tipis naik dari anglo tanah liar
di atas geladaknya. Seorang perempuan tua mematah-matahkan kayu dan mengumpankannya ke
api. "Kau kedinginan?" tanyanya.
"Tidak," jawab gadis yang terbaring di dasar perahu, di balik sejenis tikar merah. Ia
menggeleng lemah, kemudian mengangkat kepalanya dan memandang perempuan itu. "Jangan
repot-repot buat saya, Nek. Nenek sendiri mesti hati-hati. Suara Nenek kedengaran
parau." Osugi meletakkan kuali nasi di atas anglo, untuk membuat bubur. "Tak apa," katanya.
"Tapi kau sakit. Kau mesti makan baik-baik, supaya merasa sehat waktu kapal datang."
Otsu menahan air matanya dan memandang ke tengah laut. Di sana ada beberapa perahu yang
sedang menangkap gurita, dan beberapa kapal muatan. Kapal dari Sakai tidak kelihatan.
"Sudah sore sekarang," kata Osugi. "Orang bilang, kapal datang sebelum petang." Dalam
suaranya terasa keluhan. Berita keberangkatan kapal Musashi itu tersebar cepat. Ketika berita itu terdengar oleh
Jotaro di Himeji, ia mengirim pembawa surat untuk menyampaikannya kepada Osugi. Pada
gilirannya, Osugi bergegas pergi ke Shippoji, di mana Otsu terbaring sakit akibat
pukulan-pukulan perempuan tua itu.
Sejak malam itu, begitu seringnya Osugi memohon maaf sambil menangis, hingga Otsu yang
mendengarnya merasa terbeban. Otsu tidak menganggap Osugi sebagai penyebab sakitnya.
Menurutnya, penyakitnya ini penyakit lama yang kambuh lagi, yang dulu menyebabkan ia
terkurung beberapa bulan lamanya di rumah Yang Dipertuan Karasumaru di Kyoto. Pagi hari
dan malam hari ia banyak batuk, disertai demam sedikit. Berat badannya turun, membuat
wajahnya tampak lebih cantik daripada biasanya, tapi kecantikan itu kecantikan yang
sangat lembut, yang membuat sedih orang-orang yang bertemu dan berbicara dengannya.
Namun matanya masih bersinar. Satu hal, ia merasa senang dengan perubahan yang terjadi
pada Osugi. Janda Hon'iden itu akhirnya mengerti bahwa penilaiannya terhadap Otsu dan
Musashi tidak benar, dan kini ia seperti orang yang dilahirkan kembali. Sementara itu,
Otsu mendapat harapan baru, karena yakin tak lama lagi ia akan bertemu kembali dengan
Musashi. Osugi mengatakan, "Untuk menebus semua kesengsaraan yang telah kutimbulkan bagimu, aku
akan menyembah dan memohon pada Musashi untuk meluruskan semuanya. Aku akan membungkuk.
Aku akan minta maaf. Aku akan membujuknya." Ia sampaikan pada seluruh keluarga dan
seluruh kampung bahwa pertunangan Matahachi dengan Otsu dibatalkan, lalu ia hancurkan
dokumen yang mencatat janji kawin itu. Semenjak itu, ia merasa berkewajiban
menyampaikan pada semua orang, bahwa satu-satunya orang yang akan menjadi suami yang
baik dan cocok buat Otsu adalah Musashi.
Karena keadaan di kampung sudah berubah, orang yang paling dikenal Otsu di Miyamoto
adalah Osugi. Osugi mewajibkan dirinya melayani gadis itu sampai sehat kembali, dan
mendatangi Kuil Shippoji pagi dan petang. Pertanyaan keprihatinan yang selalu
diajukannya adalah, "Kau sudah makan" Kau sudah makan obat" Bagaimana perasaanmu?"
Suatu hari, ia berkata sambil mencucurkan air mata, "Kalau malam itu kau tidak hidup
kembali, aku barangkali mau mati di sana juga."
Sebelumnya perempuan tua itu tak pernah ragu membengkokkan atau menyampaikan kebohongan
besar. Salah satu yang terakhir adalah tentang Ogin di Sayo. Sebetulnya tak seorang pun
pernah melihat atau mendengar tentang Ogin bertahun-tahun lamanya. Satu-satunya yang
diketahui orang adalah bahwa ia sudah kawin dan pindah ke provinsi lain.
Karena itu, semula Otsu merasa segala pernyataan Osugi itu tak dapat dipercaya. Kendati
pun sikap yang ditunjukkannya itu tulus, ada kemungkinan sesudah beberapa waktu
penyesalan itu akan pudar. Tapi hari berganti hari dan minggu berganti minggu, ternyata
ia semakin baik dan semakin banyak mencurahkan perhatian pada Otsu
"Tak pernah aku bermimpi, bahwa di dalam hatinya dia orang yang demikian baik," pikir
Otsu akhirnya. Dan karena sikap hangat dan kebaikan yang baru ditemukan Osugi itu
diteruskan pada semua orang di sekitarnya, perasaan itu secara luas dirasakan juga oleh
keluarga dan orang kampung, sekalipun banyak di antara mereka menyatakan keheranan
secara kurang halus, dengan kata-kata seperti, "Menurutmu apa yang sudah masuk dalam
kepala perempuan tua jelek itu?"
Osugi sendiri kagum, betapa baik semua orang terhadapnya sekarang. Biasanya, bahkan
orang-orang yang terdekat dengannya pun cenderung mengerut apabila melihat dirinya.
Kini mereka tersenyum dan bicara hangat. Demikianlah, akhirnya pada umur setua ini,
untuk pertama kalinya ia tahu apa arti dicintai dan dihormati orang lain.
Seorang kenalan bertanya terus terang, "Apa yang terjadi denganmu" Wajahmu tampak lebih
menarik, tiap kali aku melihatmu."
"Mungkin demikian," pikir Osugi pada hari itu juga, ketika ia melihat dirinya di dalam
cermin. Masa lalu telah meninggalkan jejaknya. Ketika ia meninggalkan kampung dulu,
rambutnya masih campuran hitam dan putih. Sekarang semuanya sudah putih. Tapi la tak
peduli, karena ia percaya bahwa setidaknya, di dalam hatinya sekarang ia sudah bebas
dari warna hitam. Kapal yang dinaiki Musashi seperti biasa berhenti untuk bermalam di Shikama, untuk
menurunkan dan menaikkan muatan.
Kemarin, sesudah menyampaikan pada Otsu tentang hal ini, Osugi bertanya, "Apa yang akan
kaulakukan?" "Tentu saya akan ke sana."
"Kalau begitu, aku juga."
Otsu bangkit dari tempat tidurnya, dan sejam kemudian mereka sudah dalam perjalanan.
Sampai larut petang, mereka berjalan ke Himeji. Selama itu Osugi terus mengurusi Otsu,
seakan-akan ia anak kecil.
Malam itu, di rumah Aoki Tanzaemon disusun rencana untuk menghidangkan makan malam di
Benteng Himeji, sebagai tanda ucapan selamat bagi Musashi. Diperkirakan, karena
pengalaman masa lalunya di benteng itu, ia akan menganggap suatu kehormatan dipestakan
dengan cara itu. Bahkan Jotaro pun berpendapat demikian.
Diputuskan juga sesudah berunding dengan para samurai seangkatan Tanzaemon, bahwa Otsu
tak boleh terlihat terang-terangan di depan umum bersama Musashi. Tanzaemon
menyampaikan pada Otsu dan Osugi inti persoalan ini, dan menyarankan agar mereka
menggunakan perahu saja. Dengan demikian, Otsu dapat hadir tanpa menjadi korban gosip
yang memalukan. Laut menggelap, dan warna langit memudar. Bintang-bintang mulai berkelip-kelip. Dekat
rumah tukang celup tempat Otsu dulu tinggal, sejak selewat sore tadi sudah menanti
sekitar dua puluh samurai Himeji, untuk menyambut Musashi.
"Barangkali bukan ini harinya," ujar seorang dari mereka.
"Tidak, jangan kuatir," kata yang lain. "Saya sudah kirim satu orang
kepada agen Kobayashi, untuk memastikan."
"Hei, apa bukan itu?"
"Kelihatannya begitu, jenis layarnya benar."
Mereka ribut bergerak lebih dekat ke tepi air.
Jotaro meninggalkan mereka, dan berlari ke perahu kecil di muara. "Otsu! Nek! Kapal
sudah kelihatan-kapal Musashi!" teriaknya pada kedua perempuan yang bergembira itu.
"Betul kau melihatnya" Di mana?" tanya Otsu. Ia sampai hampir jatuh ke laut, ketika
berdiri. "Hati-hati!" Osugi mengingatkan, sambil mencekalnya dari belakang. Mereka berdiri
berdampingan. Mata mereka mencari-cari dalam kegelapan. Berangsur-angsur sebuah titik
kecil nun jauh di sana berubah menjadi sebuah layar besar, hitam warnanya dalam cahaya
bintang, dan seolah-olah meluncur langsung ke dalam mata mereka.
"Itu dia!" teriak Jotaro.
"Cepat ambil dayung buritan" kata Otsu. "Bawa kami ke kapal itu."
"Tak perlu buru-buru. Seorang samurai dari pantai akan berdayung ke tengah, mengambil
Musashi." "Kalau begitu, kita mesti pergi sekarang! Kalau nanti dia bersama orangorang itu, tak
ada kesempatan Otsu bicara dengannya."
"Tak bisa kita berbuat begitu. Mereka semua akan melihat Otsu."
"Kalian ini terlalu banyak kuatir dengan pendapat para samurai. Itu sebabnya kita
tersingkir di perahu kecil ini. Kalau kalian mau tahu, mestinya kita menanti di rumah
tukang celup itu." "Tidak. Nenek keliru. Nenek tidak tahu bagaimana omongan orang. Tenang saja. Bapak saya
dan saya akan mencari jalan membawa dia kemari." Di situ la berhenti untuk berpikir.
"Kalau nanti dia mendarat, dia akan pergi ke rumah tukang celup untuk istirahat
sebentar. Saya akan menemuinya, dan mengatur supaya dia datang kemari menemui kalian.
Kalian tunggu saja di sini. Sebentar saya kembali." Ia bergegas ke pantai.
"Usahakan istirahat sedikit," kata Osugi.
Otsu dengan patuh membaringkan diri, tapi sukar baginya untuk bernapas.
"Terganggu batuk lagi, ya?" tanya Osugi lembut. Ia berlutut dan menggosok punggung
gadis itu. "Jangan kuatir. Tak lama lagi Musashi sampai di situ.
"Terima kasih, saya baik-baik saja sekarang." Begitu batuknya reda, Otsu membereskan
rambutnya, dan mencoba membuat penampilannya tampak lebih baik.
Tapi ketika waktu terus berlalu dan Musashi tidak juga muncul, Osugi mulai gelisah. Ia
tinggalkan Otsu di perahu, dan pergi ke tepi air.
Begitu Osugi hilang dari pandangan, Otsu menyurukkan kasur dan bantalnya ke balik
tikar, kemudian mengikatkan kembali obi-nya dan merapikan kimononya. Detak jantungnya
sama sekali tak berbeda dengan yang pernah ia alami ketika ia masih berusia tujuh belas
atau delapan belas tahun. Cahaya merah rambu laut yang digantungkan di dekat haluan
perahu menembus hatinya dengan kehangatan. Ia menjulurkan lengannya yang putih halus ke
atas bibir perahu, ia basahi sisirnya, dan ia sisir rambutnya sekali lagi. Kemudian ia
kenakan pupur pada pipinya demikian tipis, sehingga hampir tak terlihat. Pikirnya,
samurai pun kadang-kadang masuk kamar rias dan memulas wajahnya yang pucat dengan
sedikit pemerah, kalau tiba-tiba ia dipanggil menghadap tuannya, di tengah tidur
nyenyak. Yang paling meresahkan dirinya adalah apa yang akan ia katakan nanti kepada Musashi. Ia
kuatir akan susah bicara, seperti dialaminya ketika dulu bertemu Musashi. Ia tak ingin
mengucapkan sesuatu yang akan menyinggung perasaan Musashi, karena itu ia mesti
berhati-hati betul. Musashi sedang dalam perjalanan menghadapi pertarungan. Seluruh
negeri membicarakannya. Pada saat penting dalam hidupnya ini, Otsu tidak yakin Musashi akan kalah dengan
Kojiro. Namun juga belum pasti benar bahwa Musashi akan menang. Hal-hal lain bisa saja
terjadi. Kalau hari ini ia melakukan sesuatu yang keliru, dan kemudian Musashi
terbunuh, ia akan menyesalinya sepanjang hidup. Tak ada lagi yang tersisa baginya
kecuali menangis sampai mati, dan seperti kaisar Cina kuno itu, ia berharap
dipersatukan dengan kekasihnya di dunia lain.
Ia harus mengucapkan apa yang mesti diucapkannya, tak peduli apa yang akan dikatakan
atau dilakukan Musashi. la mengerahkan kekuatannya untuk sampai pada kesimpulan ini.
Sekarang pertemuan itu sudah dekat, maka detak nadinya berlomba hebat. Karena demikian
banyak yang terpikir olehnya, maka kata-kata yang ingin diucapkannya juga tidak
terbentuk. Osugi tak punya masalah seperti itu. Ia sedang memilih kata-kata yang akan
dipergunakannya untuk meminta maaf atas salah pengertian dan dendamnya, untuk
menghilangkan beban hatinya, dan untuk mohon pengampunan. Sebagai bukti ketulusan
hatinya, ia akan mengusahakan agar hidup Otsu dipercayakan pada Musashi.
Kegelapan hanya sekali-sekali terusik oleh pantulan air. Keadaan sunyi, sampai akhirnya
terdengar derap lari Jotaro.
"Oh, akhirnya kau datang, ya?" kata Osugi yang waktu itu masih berdiri di tepian. "Di
mana Musashi?" "Maaf, Nek." "Maaf" Apa artinya?"
"Coba dengarkan. Akan saya terangkan semuanya."
"Aku tak butuh penjelasan. Musashi datang atau tidak?"
"Tidak datang."
"Tidak datang?" Suara itu kosong penuh kekecewaan.
Dengan sangat kikuk, Jotaro menceritakan apa yang telah terjadi. Seorang samurai telah
berdayung ke kapal, dan mendapat pemberitahuan bahwa kapal tidak berhenti di sana .
Tidak ada penumpang yang hendak turun di Shikama, muatan sudah diangkut sebuah
tongkang. Samurai itu minta bertemu dengan Musashi, dan Musashi datang ke sisi kapal
dan bicara dengannya, tapi ia mengatakan tak ada rencana turun. Ia maupun kapten kapal
ingin sampai di Kokura selekas-lekasnya.
Ketika samurai itu tiba kembali di pantai dengan membawa berita tersebut, kapal sudah


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menuju laut lepas. "Kalian bahkan tak dapat melihatnya lagi," kata Jotaro kesal. "Sudah memutar hutan
pinus di ujung lain pantai ini. Maaf. Tak ada yang mesti disalahkan."
"Kenapa kau tidak pergi dengan perahu bersama-sama samurai itu?"
"Saya tak menduga.... Yah, tapi tak ada yang bisa kita lakukan sekarang. Tak ada
gunanya membicarakan itu."
"Kau benar, tapi ini sungguh sayang! Kita mesti bilang apa pada Otsu nanti" Kau yang
mesti mengatakannya, Jotaro, aku sendiri tak sampai hati. Kau bisa sampaikan padanya
apa yang terjadi... tapi mula-mula kau mesti bikin dia tenang. Kalau tidak, penyakitnya
bisa makin parah." Ternyata tak perlu lagi Jotaro menjelaskan. Otsu, yang duduk di belakang tirai itu,
sudah mendengar segalanya. Pukulan ombak ke lambung perahu agaknya sudah membuatnya
pasrah pada penderitaan. "Kalau malam ini aku gagal bertemu dengannya," pikirnya, "akan kutemui dia hari lain,
di pantai lain." Ia merasa dapat memahami, kenapa Musashi memutuskan untuk tidak meninggalkan kapal. Di
seluruh Honshu barat dan Kyushu, Sasaki Kojiro diakui sebagai pemain pedang terbesar.
Menantang keunggulannya berarti Musashi bertekad bulat untuk menang. Pikirannya pasti
cuma tertuju pada soal itu-soal itu saja. "Tapi alangkah dekatnya dia tadi," keluhnya.
Dengan air mata meleleh di pipi, ia tatap layar yang sudah tak kelihatan itu, yang
pelan-pelan bergerak berat. Dengan hati sedih ia bersandar pada sandaran perahu.
Kemudian ia sadar akan kekuatan besar yang berkembang bersama air matanya. Walaupun
dirinya rapuh, di dalam dirinya bersemayam himpunan tenaga supramanusia. Memang ia
tidak menyadarinya, tapi sesungguhnya ia memiliki kemauan gigih yang membuatnya sanggup
bertahan terus menempuh tahun-tahun penuh penyakit dan penderitaan. Darah segar
mewarnai pipinya, memberikan kepadanya hidup baru.
"Nek! Jotaro!" Mereka berdua menuruni tepi pantai itu pelan-pelan. Tanya Jotaro, "Ada apa, Otsu?"
"Aku sudah dengar pembicaraan kalian."
"Oh?" "Ya. Tapi aku takkan menangisinya lagi. Aku akan pergi ke Kokura. Akan kulihat sendiri
pertarungan itu ... kita tak dapat begitu saja menganggap Musashi pasti menang. Kalau
dia kalah, aku ingin mengambil abunya dan membawanya pulang."
"Tapi kau sedang sakit."
"Sakit?" Otsu sudah menyingkirkan jauh-jauh pikiran tentang sakit dari kepalanya.
Dirinya seolah sudah dipenuhi vitalitas yang mengatasi kelemahan tubuhnya. "Jangan
pikirkan soal itu. Aku betul-betul tak apa-apa. Yah, barangkali aku masih sedikit
sakit, tapi sebelum aku melihat kesudahan pertarungan itu..."
"Aku sudah bertekad untuk tidak mati." Itulah kata-kata yang hampir keluar dari
bibirnya. Ia tak jadi mengucapkan kata-kata itu, tapi menyibukkan diri membuat
persiapan untuk perjalanannya. Setelah siap, ia keluar sendiri dari perahu, walaupun
mesti bergayut kuat pada sandaran.
*** 106. Elang Pemburu dan Perempuan
KETIKA berlangsungnya Pertempuran Sekigahara, Kokura menjadi benteng yang dipimpin oleh
Yang Dipertuan Mori Katsunobu dari Iki. Sejak itu benteng dibangun kembali dan
diperbesar, dan memperoleh tuan yang baru. Menara-menara dan dinding-dindingnya yang
putih berkilau mengungkapkan keperkasaan dan martabat Keluarga Hosokawa yang kini
dikepalai Tadatoshi, pengganti ayahnya, Tadaoki.
Dalam waktu singkat sesudah kedatangan Kojiro, Gaya Ganryu yang dikembangkan atas dasar
yang ia pelajari dari Toda Seigen dan Kanemaki Jisai telah melanda seluruhKyushu. Orang
bahkan datang dari Shikoku untuk belajar di bawah pimpinannya, dengan harapan bahwa
sesudah setahun-dua tahun berlatih, mereka akan mendapat sertifikat dan memperoleh
persetujuan pulang sebagai guru gaya baru itu.
Kojiro memperoleh penghormatan dari orang-orang di sekitarnya, termasuk Tadatoshi yang
kabarnya menyatakan dengan rasa puas, "Saya melihat sendiri, dia pemain pedang yang
sangat baik." Di seluruh penjuru rumah tangga Hosokawa yang luas itu, orang sependapat
bahwa Kojiro adalah orang yang "berwatak menonjol". Apabila berjalan antara rumahnya
dan benteng, ia lakukan itu dengan penuh gaya, diiringi tujuh pemain lembing. Orang
banyak pun mendekat dan menyatakan hormat.
Sebelum ia datang, Ujiie Magoshiro, pelatih Gaya Shinkage, merupakan instruktur pedang
utama bagi klan itu. Bintangnya meredup cepat, bersamaan dengan semakin cemerlangnya
bintang Kojiro. Kojiro bicara tentangnya dengan kata-kata muluk. Kepada Yang Dipertuan
Tadatoshi ia mengatakan, "Bapak tak perlu melepaskan Ujiie. Gayanya memang tidak
mencolok, tapi dia memiliki kematangan tertentu, yang tidak dimiliki orang-orang muda
semacam kami." Ia menyarankan agar dirinya dan Magoshiro memberikan pelajaran di dojo
benteng berselang-seling hari, dan usul ini dilaksanakan.
Suatu ketika Tadatoshi berkata, "Kojiro berkata metode Magoshiro tidak menonjol, tapi
matang. Magoshiro berkata Kojiro seorang jenius, dan dengannya dia tak dapat beradu
pedang. Siapa yang benar" Aku ingin melihat demonstrasinya."
Kedua orang itu setuju untuk saling berhadapan dengan pedang kayu, yang dihadiri Yang
Dipertuan. Pada kesempatan pertama, Kojiro membuang senjatanya. Sambil duduk di kaki
lawannya ia menyatakan, "Saya bukan lawan Bapak. Maafkan kelancangan saya."
"Jangan terlalu merendahkan diri," jawab Magoshiro, "sayalah yang bukan lawan yang
pantas." Para saksi mata terbagi dua apakah Kojiro berbuat demikian atas dasar iba, atau atas
dasar kepentingan sendiri. Tapi, bagaimanapun, dengan sikapnya itu reputasinya menjadi
lebih tinggi lagi. Sikap Kojiro terhadap Magoshiro tetap toleran, tapi manakala orang menyinggung tentang
makin masyhurnya Musashi di Edo dan Kyoto, ia lekas mengoreksinya.
"Musashi?" katanya meremehkan. "Memang dia cukup
sendiri. Saya dengar dia bicara tentang Gaya Dua
alamiah tertentu. Saya sangsi ada orang di Kyoto
Kojiro sengaja menampakkan bahwa ia menahan diri
pintar mencari nama untuk diri
Pedang. Dia memang punya kecakapan
atau Osaka yang dapat mengalahkannya."
untuk bicara lebih banyak lagi.
Seorang petarung berpengalaman yang bertamu ke rumah Kojiro pada suatu hari mengatakan,
"Saya belum pernah bertemu dengan orang itu, tapi orang bilang Miyamoto Musashi itu
pemain pedang terbesar sejak Koizumi dan Tsukahara, tentu saja dengan perkecualian
Yagyu Sekishusai. Setiap orang rupanya berpendapat, kalau dia bukan pemain pedang
terbesar, setidak-tidaknya sudah mencapai taraf ahli."
Kojiro tertawa, wajahnya memerah. "Yah, orang-orang itu buta," katanya dengan tajam.
"Saya kira sebagian orang menganggapnya orang besar atau pemain pedang ahli. Ini
menjadi bukti bagi Anda, betapa merosotnya sudah Seni Perang dalam hal gaya maupun
tingkah laku perorangan. Jadi, pada zaman ini seorang pencari publisitas yang pintar
bisa saja menjadi tenar, setidaknya di hadapan orang-orang awam.
"Tak perlu saya nyatakan bahwa saya punya pandangan berbeda dalam hal ini. Saya melihat
bagaimana Musashi mencoba menjual diri di Kyoto beberapa tahun lalu. Dia memamerkan
kebrutalan dan kepengecutannya dalam pertarungan melawan Perguruan Yoshioka di
Ichijoji. Sifat pengecut bukan kata yang cukup hina untuknya. Memang waktu itu dia
kalah dalam jumlah, tapi apa yang dilakukannya" Dia angkat kaki seribu, begitu melihat
kesempatan. Mengingat masa lalunya dan ambisinya yang luar biasa, saya memandangnya
sebagai orang yang diludahi pun cak pantas.... Ha, ha"..kalau orang yang menghabiskan
hidupnya dengan mencoba belajar Seni Perang adalah seorang ahli, saya kira Musashi
memang seorang ahli. Tapi ahli pedang" Oh, bukan!"
Jelas Kojiro menganggap pujian kepada Musashi sebagai penghinaan terhadap dirinya.
Usahanya untuk mencoba menggiring setiap orang untuk menerima pandangannya itu demikian
hebat, hingga para pengagumnya yang paling setia pun mulai bertanya-tanya. Akhirnya
beredar cerita bahwa antara Musashi dan Kojiro memang sudah lama berlangsung
permusuhan. Dan tak lama kemudian, desas-desus tentang pertarungan pun menyebar.
Atas perintah Yang Dipertuan Tadatoshi, Kojiro akhirnya mengeluarkan tantangan.
Beberapa bulan kemudian, seluruh perdikan Hosokawa disibukkan oleh spekulasi tentang
kapan perkelahian akan diadakan dan bagaimana kira-kira hasilnya.
Iwama Kakubei yang kini sudah lanjut usia, datang mengunjungi Kojiro pagi dan petang,
kapan saja ia dapat menemukan alasan sekecil apa pun. Pada suatu sore di bulan keempat,
ketika bunga sakura bermahkota ganda warna merah muda sudah gugur, Kakubei berjalan
melintasi halaman depan Kojiro, lewat bunga-bunga azalea merah cemerlang yang
berkembang dalam bayangan batu-batu hias. Ia dipersilakan ke kamar dalam, yang hanya
diterangi cahaya redup matahari petang.
"Ah, Bapak Guru Iwama, saya senang berjumpa dengan Bapak," kata Kojiro yang waktu itu
berdiri agak di luar, memberi makan elang pemburu yang bertengger di atas tinjunya.
"Aku punya berita buatmu," kata Kakubei yang masih berdiri. "Dewan klan sudah
membicarakan tempat pertarungan hari ini, dihadiri oleh Yang Dipertuan, dan sudah
mencapai keputusan."
"Kami persilakan duduk," kata seorang abdi dari kamar sebelah.
Dengan gumam terima kasih, Kakubei duduk, dan melanjutkan, "Sejumlah tempat sudah
disarankan, di antaranya Kikunonagahama dan tepi Sungai Murasaki, tapi semuanya
ditolak, karena tempat-tempat itu terlalu kecil atau terlalu mudah dicapai orang
banyak. Memang kita dapat membuat pagar bambu, tapi itu pun takkan mencegah tepi sungai
itu dikerumuni orang-orang yang mencari hiburan menggetarkan."
"Saya paham," jawab Kojiro. Ia masih memperhatikan mata dan paruh elang pemburu itu.
Kakubei semula berharap beritanya akan diterima dengan napas tertahan, dan kini ia
kecewa. Seorang tamu biasanya tidak melakukan hal ini, tapi Kakubei melakukannya,
katanya, "Mari masuk. Ini bukan soal yang bisa dibicarakan sambil berdiri di sini."
"Sebentar," kata Kojiro sambil lalu. "Mau saya selesaikan dulu memberi makan burung
ini." "Apa ini elang yang diberikan Yang Dipertuan Tadatoshi sesudah kalian pergi berburu
bersama-sama musim gugur lalu?"
"Ya. Namanya Amayumi. Makin saya terbiasa, makin saya suka padanya." Kojiro membuang
sisa makanan, dan sambil memutar tali berumbai merah yang dikenakan pada leher burung
itu, ia berkata pada pembantu muda di belakangnya, "Ini, Tatsunosuke... kembalikan ke
sangkarnya." Burung pun beralih tempat dari kepalan Kojiro ke kepalan si pembantu, dan Tatsunosuke
mulai menyeberangi halaman luas. Di sebelah bukit kecil buatan manusia itu terdapat
rumpun pinus. Di sisi rumpun dibatasi pagar. Pekarangan itu terletak sepanjang Sungai
Itatsu. Banyak pengikut Hosokawa lain tinggal di sekitar tempat itu.
"Maaf, Bapak harus menunggu," kata Kojiro.
"Sudahlah! Aku ini kan bukan orang luar" Kalau aku datang kemari, itu hampir seperti
datang ke rumah anakku sendiri."
Seorang pelayan berumur sekitar dua puluh tahun masuk, dan dengan anggun menuangkan
teh. Sambil melontarkan pandang kepada tamu, ia mempersilakannya minum.
Kakubei menggeleng dengan nada kagum. "Senang sekali melihatmu lagi, Omitsu. Kau masih
tetap cantik." Omitsu memerah sampai ke bagian leher kimononya. "Dan Bapak selalu membuat saya
gembira," jawabnya sebelum menyelinap cepat keluar ruangan.
Kata Kakubei, "Kaubilang, makin terbiasa dengan elang itu, makin kau suka kepadanya.
Bagaimana dengan Omitsu" Apa tidak lebih baik kau didampingi dia, daripada burung
pemburu" Sudah lama aku ingin bertanya tentang niatmu terhadap gadis itu."
"Apa diam-diam dia mengunjungi rumah Bapak?"
"Kuakui, dia memang datang untuk berbicara denganku."
"Perempuan bodoh! Dia sama sekali tidak bilang soal itu pada saya." Dan Kojiro
melontarkan pandangan marah ke shoji putih itu.
"Tak usah hal itu menjengkelkanmu. Dan tak ada alasan kenapa dia tak boleh datang
kepadaku." Kakubei menanti, sampai menurutnya mata Kojiro melunak sedikit, lalu
lanjutnya, "Wajar kalau seorang perempuan merasa kuatir. Menurutku, bukannya dia sangsi
akan rasa sayangmu terhadapnya, tapi siapa pun yang berada pada kedudukan macam dia itu
akan menguatirkan masa depannya. Maksudku, apa yang bakal terjadi dengan dirinya?"
"Kalau begitu, dia sudah menceritakan segalanya pada Bapak?"
"Kenapa tidak" Itu hal yang biasa sekali terjadi di dunia ini, antara seorang lelaki
dan seorang perempuan. Tak lama lagi kau perlu menikah. Kau punya rumah besar dan
banyak pembantu. Kenapa tidak?"
"Apa Bapak tak dapat membayangkan apa kata orang, kalau saya mengawini gadis yang
sebelumnya bekerja sebagai pelayan di rumah saya?"
"Apa pula bedanya" Kau tentu takkan dapat menyingkirkan dia sekarang. Sekiranya dia
bukan calon istri yang cocok buatmu, memang janggal, tapi dia dari keluarga yang baik,
bukan" Orang bilang, dia kemenakan Ono Tadaaki."
"Betul." "Dan kau bertemu dengannya waktu kau masuk dojo Tadaaki dan membuka matanya bahwa
perguruan pedangnya berada dalam keadaan menyedihkan."
"Ya. Saya tidak bangga atas hal itu, dan saya tak dapat merahasiakannya dari orang
sedekat Bapak. Cepat atau lambat, sudah saya rencanakan untuk menyampaikan seluruh
ceritanya pada Bapak... Seperti Bapak katakan, hal itu terjadi sesudah pertarungan saya
dengan Tadaaki. Hari sudah gelap waktu saya berangkat pulang, dan Omitsu"dia tinggal
dengan pamannya waktu itu"membawa lentera kecil dan menyertai saya turun Lereng
Saikachi. Tanpa pikir panjang, saya goda dia sedikit, tapi dia menanggapi dengan
serius. Sesudah Tadaaki menghilang, dia datang menemui saya, dan..."
Sekarang giliran Kakubei yang menjadi malu. Ia mengibaskan tangan, sebagai tanda bahwa
ia sudah cukup mendengar tentang itu. Padahal baru belakangan ini saja ia tahu bahwa
Kojiro sudah memasukkan gadis itu sebelum ia meninggalkan Edo menuju ke Kokura. Ia
terkejut, tidak hanya karena kenaifannya sendiri, tapi juga karena menyaksikan
kemampuan Kojiro memikat perempuan, bercintaan, dan merahasiakan segalanya.
"Serahkan semua itu padaku," katanya. "Saartini kurang sesuai buatmu mengumumkan
perkawinan. Dahulukan yang penting. Itu bisa dilakukan sesudah pertarungan." Seperti
banyak orang lain, ia merasa yakin bahwa pemantapan terakhir bagi kemasyhuran dan
kedudukan Kojiro akan terjadi dalam beberapa hari lagi.
Teringat kembali maksud kedatangannya, ia melanjutkan, "Seperti kukatakan tadi, dewan
sudah memutuskan tempat buat pertarungan. Karena salah satu syaratnya adalah tempat itu
harus dalam wilayah Yang Dipertuan Tadatoshi, dan tak dapat dengan mudah didatangi
orang banyak, maka disetujui sebuah pulau merupakan tempat ideal. Yang terpilih adalah
pulau kecil bernama Funashima, antara Shimonoseki dan Moji."
Ia tampak merenung sebentar, kemudian katanya, "Terpikir olehku, apa tidak bijaksana
kalau kita melihat medan itu sebelum Musashi datang. Itu dapat memberikan keuntungan
tertentu padamu." Alasannya, kalau mengetahui letak tanahnya, seorang pemain pedang
bisa mendapat gambaran tentang bagaimana ia memanfaatkan medan dan kedudukan matahari.
Ia bisa memperoleh gambaran tentang jalannya pertarungan nanti, dan seberapa erat ia
harus mengikat tali sandalnya. Setidaknya, Kojiro akan memiliki rasa aman, yang tidak
mungkin diperolehnya apabila ia mendatangi tempat itu untuk pertama kali.
Ia sarankan agar mereka menyewa perahu nelayan dan pergi melihat Funashima hari
berikutnya. Kojiro tidak setuju. "Yang terpenting dalam Seni Perang adalah cepat memanfaatkan
peluang. Biarpun orang sudah mengambil tindakan berjagajaga, sering terjadi lawan sudah
bisa menebak lebih dulu, dan mendapat cara untuk mengimbangi. Jauh lebih baik melakukan
pendekatan dengan pikiran terbuka, dan bergerak dengan kebebasan sempurna."
Karena merasa argumentasi Kojiro memang logis, Kakubei tidak menyebutnyebut lagi soal
pergi ke Funashima. Atas panggilan Kojiro, Omitsu menghidangkan sake untuk mereka, dan kedua orang itu
minum-minum dan mengobrol sampai larut malam. Dari cara santai Kakubei dalam menghirup
sake, jelas kelihatan ia senang dengan hidupnya, dan bahwa ia merasa usahanya membantu
Kojiro telah membawa hasil.
Seperti seorang ayah yang besar hati, Kakubei berkata, "Kupikir ini bisa disampaikan
pada Omitsu. Kalau semua ini sudah lewat, kita dapat mengundang sanak keluarga dan
teman-temannya kemari untuk merayakan perkawinan. Memang bagus kalau kau setia kepada
pedangmu, tapi kau juga harus punya keluarga, kalau namamu hendak kaulanjutkan. Kalau
kau sudah menikah, aku merasa kewajibanku terhadapmu sudah terlaksana."
Tidak seperti si abdi tua yang bahagia dan sudah bertahun-tahun mengabdi itu, Kojiro
tidak memperlihatkan tanda-tanda mabuk. Namun akhir-akhir ini ia memang cenderung
berdiam diri. Begitu pertarungan diputuskan, Kakubei menyarankan, dan Tadacoshi
menyetujui, untuk membebaskan Kojiro dari kewajiban-kewajibannya. Semula ia dapat
menikmati waktu senggang yang tidak biasa itu, tapi ketika harinya semakin dekat dan
makin banyak orang datang berkunjung, ia merasa dirinya terpaksa melayani mereka.
Belakangan ini waktu istirahatnya semakin sedikit. Namun ia enggan mengurung diri atau
menyuruh menolak orang di pintu gerbang. Kalau ia melakukan hal itu, orang banyak akan
mengira ia sudah kehilangan kemantapan.
Yang ia inginkan adalah pergi ke pedesaan tiap hari, dengan elang pemburu di tangan.
Dalam cuaca bagus, berjalan-jalan di ladang dan gunung bertemankan burung itu bisa
meningkatkan semangatnya Manakala mata elang yang biru waspada itu melihat korban di langit, Kojiro
melepaskannya. Kemudian matanya sendiri, yang sama waspadanya, mengikuti burung itu,
sampai akhirnya burung itu membubung, dan kemudian menukik menerkam buruannya. Sebelum
bulu korban bertaburan ke bumi, ia tetap tak bernapas, terpaku, seakan-akan ia
sendirilah elang itu. "Bagus! Begitu mestinya!" serunya apabila elang itu berhasil membunuh. la banyak
belajar dari burung pemburu ini, dan sebagai akibat dari acara berburu itu, hari demi
hari wajahnya makin menampakkan keyakinan.
Pulang petang hari, ia disambut mata Omitsu yang bengkak karena menangis. Pedih
hatinya, melihat Omitsu berusaha menyembunyikan hal itu. Baginya kalah oleh Musashi
sungguh tak terpikirkan. Namun terpikir juga olehnya, apa yang akan terjadi dengan
gadis itu, sekiranya ia terbunuh.


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia juga teringat wajah almarhumah ibunya, yang selama bertahun-tahun hampir tak
diingatnya. Dan setiap malam, saat ia jatuh tertidur, bayangan mata elang yang biru dan
mata Omitsu yang bengkak itu datang mengunjunginva, bercampur aduk dengan kenangan
selintas tentang wajah ibunya.
*** 107. Sebelum Tanggal Tiga Belas
SHIMONOSEKI, Moji, kota benteng Kokura-selama beberapa hari terakhir, banyak musafir
datang ke situ, dan sedikit saja yang kembali. Penginapan-penginapan semuanya penuh,
dan kuda berderet-deret pada tiang tambatan di luar.
Perintah yang dikeluarkan oleh benteng berbunyi:
Pada tanggal tiga belas bulan ini, pada pukul delapan pagi, di Pulau Funashima di Selat
Nagato di Buzen, Sasaki Kojiro Ganryu, seorang samurai dari perdikan ini, atas perintah
Yang Dipertuan akan melakukan pertarungan dengan Miyamoto Musashi, seorang ronin dari
Provinsi Mimasaka. Para pendukung kedua pemain pedang dilarang keras membantu atau mengurangi perairan
antara daratan dan Pulau Funashima. Sampai pukul sepuluh pagi tanggal empat belas,
kapal pesiar, kapal penumpang, atau perahu nelayan tidak diizinkan memasuki selat.
Bulan empat (1612). Pengumuman itu dipasang secara mencolok pada papan-papan pengumuman di semua
persimpangan besar, dermaga-dermaga, dan tempat-tempat berkumpul.
"Tanggal tiga belas" Lusa, ya?"
"Orang dari mana-mana pasti ingin melihat pertarungan itu, supaya mereka dapat pulang
dan bercerita." "Tentu saja ingin, tapi bagaimana orang bisa melihat perkelahian yang berlangsung di
pulau yang jauhnya tiga kilometer dari pantai?"
"Yah, kalau kau pergi ke puncak Gunung Kazashi, akan kaulihat pohon-pohon pinus di
Funashima. Tap, biar bagaimana, orang akan datang walau sekadar menganga melihat
perahu-perahu dan orang banyak di Buzen dan Nagato."
"Saya harap cuaca tetap baik."
Akibat pembatasan kegiatan pelayaran, orang-orang perahu yang mestinya mendapat
keuntungan lumayan jadi merugi. Tapi para musafir dan orang kota menerima suasana itu
dengan tenang saja. Mereka sibuk mencari tempat-tempat yang menguntungkan, supaya dapat
melihat selintas kesibukan di Funashima itu.
Sekitar tengah hari tanggal sebelas, seorang perempuan yang sedang menyusui bayinya
berjalan ke sana kemari di depan kedai makan "satu baki", tempat masuknya jalan dari
Moji ke Kokura. Bayi yang sudah lelah karena perjalanan itu tak mau berhenti menangis. "Ngantuk" Tidur
sebentar sekarang. Nah, nah. Tidur, Nak, tidur." Akemi mengetuk-ngetukkan kakinya ke
tanah dengan berirama. Ia tak berhias. Karena ada bayi yang mesti disusuinya, hidupnya
berubah sekali, tapi ia sama sekali tak menyesali keadaannya sekarang.
Matahachi keluar dari warung, mengenakan kimono tak berlengan warna redup. Satu-satunya
pengingat masa ia berkeinginan menjadi pendeta adalah bandana yang ia kenakan di
kepalanya yang tadinya dicukur.
"Ya ampun, apa pula ini?" katanya. "Masih nangis" Kau mesti tidur sekarang. Sana,
Akemi. Biar kubawa dia, sementara kau makan. Makan yang banyak, biar banyak susu."
Sambil menggendong anak itu, ia mulai mendendangkan lagu nina bobo yang lembut.
"Oh, ini kejutan!" terdengar suara dari belakangnya.
"Hah?" Matahachi menatap orang itu, tapi tak dapat mengenalinya.
"Saya Ichinomiya Gempachi. Kita bertemu beberapa tahun lalu, di hutan pinus dekat Jalan
Gojo di Kyoto. Saya kira Anda tak ingat saya."
Matahachi terus juga menatap kosong kepadanya, lalu Gempachi berkata, "Waktu itu ke
mana-mana Anda bilang nama Anda Sasaki Kojiro."
"Oh!" gagap Matahachi keras. "Pendeta dengan tongkat itu...!"
"Betul. Saya senang ketemu Anda lagi."
Matahachi bergegas membungkuk, tapi bayinya justru jadi terbangun. "Nah, jangan nangis
lagi," mohonnya. "Apa Anda bisa tunjukkan, di mana Kojiro tinggal" Saya tahu dia tinggal di sini, di
Kokura," kata Gempachi.
"Maaf, saya tidak tahu sama sekali, saya sendiri baru datang kemari."
Dua pembantu samurai muncul dari toko, seorang di antaranya berkata kepada Gempachi,
"Kalau Bapak mencari rumah Kojiro, itu di dekat Sungai Itatsu. Kalau Bapak mau, kami
antar ke sana." "Terima kasih. Selamat tinggal, Matahachi. Sampai lain kali." Samurai itu berangkat,
dan Gempachi mengikuti. Melihat kotoran dan debu yang melekat pada pakaian orang itu, Matahachi berpikir, "Apa
dia datang dari Kozuke yang jauh itu?" Sungguh terkesan ia, bahwa berita tentang
pertarungan tersebut telah menyebar ke tempat-tempat yang demikian jauh. Kemudian
kenangan tentang perjumpaannya dengan Gempachi tergambar kembali dalam pikirannya. Ia
bergidik. Sungguh waktu itu ia sampah, dangkal, tak kenal malu! Bayangkan, waktu itu ia
demikian tak kenal malu, berani mencoba mempergunakan sertifikat Perguruan Chujo
sebagai sertifikatnya sendiri, untuk kedok sebagai... Biarpun begitu, untunglah bahwa
kini ia dapat melihat, betapa kasar dirinya waktu itu. Setidak-tidaknya, sejak itu ia
berubah. "Kukira," demikian pikirnya, "orang bodoh macam aku pun dapat menjadi baik,
asal sadar dan berusaha."
Mendengar bayinya menangis lagi, Akemi melahap makanannya dan berlari ke luar. "Maaf,"
katanya. "Aku bawa dia sekarang."
Matahachi meletakkan bayi itu ke punggung Akemi, lalu menggantungkan kotak penjaja
gula-gula ke bahunya, dan bersiap jalan lagi. Sejumlah orang lewat memandang dengan iri
ke arah pasangan yang miskin namun jelas bahagia itu.
Seorang perempuan tua yang tampak sopan datang mendekat, katanya, "Lucu sekali anak
ini! Berapa umurnya" Oh, lihat, dia tertawa."
Seolah-olah diperintah, pembantu pria yang menyertainya pun melongok dan menatap wajah
si bayi. Mereka berjalan bersama sebentar. Kemudian, ketika Matahachi dan Akemi membelok ke
jalan kecil untuk mencari penginapan, perempuan itu berkata, "Oh, jadi kalian ke situ?"
Ia mengucapkan selamat berpisah, tapi lalu tanyanya, "Kalian rupanya musafir juga, tapi
apa barangkali kalian tahu di mana rumah Sasaki Kojiro?"
Matahachi menyampaikan keterangan yang barusan didengarnya dari kedua pembantu samurai
tadi. Seraya memandang perempuan itu pergi, gumamnya muram, "Apa kiranya yang sedang
dilakukan ibuku hari-hari ini?"
Ya, kini, sesudah ia sendiri memiliki anak, baru ia dapat menghargai perasaan ibunya.
"Ayo kita jalan terus," kata Akemi.
Matahachi berdiri dan menatap kosong ke arah perempuan tua itu. Orang itu kira-kira
seumur Osugi. Rumah Kojiro penuh dengan tamu.
"Ini kesempatan besar buat dia."
"Ya, ini akan menentukan reputasinya untuk selamanya."
"Dia akan dikenal di mana-mana."
"Benar sekali, tapi kita tak boleh lupa, siapa lawannya. Ganryu harus sangat hatihati."
Banyak yang sudah datang malam sebelumnya, dan para pendatang melimpah ke pendopo
besar, ke pintu-pintu masuk samping dan gang-gang luar. Sebagian datang dari Kyoto atau
Osaka, sebagian lagi dari Honshu barat, dan satu orang dari Kampung Jokyoji di Echizen
yang jauh. Karena pembantu rumah tangga Kojiro tidak cukup, Kakubei memanggil sebagian
pembantunya untuk membantu. Para samurai yang belajar di bawah pimpinan Kojiro datang
dan pergi. Wajah mereka penuh hasrat, menanti pertarungan.
Semua kawan dan semua murid sama dalam satu hal: kenal Musashi atau tidak, ia adalah
musuh. Yang paling hebat dendamnya adalah para samurai daerah yang dahulu pernah
mempelajari metode-metode Perguruan Yoshioka. Rasa terhina karena kekalahan di Ichijoji
masih menggerogoti pikiran dan had mereka. Kecuali itu, tekad tunggal Musashi untuk
mengejar karier itu demikian rupa, hingga ia menciptakan banyak musuh. Murid Kojiro
sudah dengan sendirinya membencinya pula.
Seorang samurai muda mengantar satu orang yang baru datang dari pendopo ke kamar tamu
yang penuh sesak, dan menyatakan, "Orang ini datang dari Kozuke."
Orang itu berkata, "Nama saya Ichinomiya Gempachi," lalu dengan rendah hati duduk di
antara mereka. Bisik-bisik menyatakan kagum dan hormat terdengar di seluruh ruangan, karena Kozuke
terletak seribu lima ratus kilometer di sebelah timur laut. Gempachi minta agar jimat
yang ia bawa dari Gunung Hakuun ditempatkan di altar rumah. Orang pun berbisik-bisik
menyatakan setuju. "Cuaca akan baik pada tanggal tiga belas," ujar satu orang sambil memandang ke luar, ke
bawah tepian atap, ke arah matahari petang yang menyala-nyala. "Hari ini tanggal
sebelas, besok dua belas, dan berikutnya..."
Kepada Gempachi, seorang tamu berkata, "Saya kira, kedatangan Anda dari tempat yang
begitu jauh untuk menyampaikan doa buat kemenangan Kojiro ini sungguh hebat. Apa Anda
ada hubungan dengannya?"
"Saya abdi Keluarga Kusanagi di Shimonida. Almarhumah tuan saya, Kusanagi Tenki, adalah
kemenakan Kanemaki Jisai. Tenki mengenal Kojiro ketika Kojiro masih kanak-kanak."
"Ya, saya sudah dengar Kojiro belajar pada Jisai."
"Itu benar. Kojiro berasal dari perguruan yang sama dengan Ito Ittosai. Saya dengar
Ittosai sering mengatakan bahwa Kojiro petarung cemerlang." Lalu ia menceritakan
bagaimana Kojiro memilih menolak sertifikat dari Jisai, dan menciptakan gayanya
sendiri. Ia bercerita juga betapa ulet Kojiro waktu itu, biarpun masih kanak-kanak.
Gempachi bercerita terus, melayani pertanyaan-pertanyaan penuh semangat itu dengan
memberikan keterangan terperinci.
"Apa Sensei Ganryu tak ada di sini?" tanya seorang pembantu muda, seraya berjalan di
antara orang banyak. Karena tidak melihat Kojiro, ia terus berjalan dari ruangan yang
satu ke ruangan lain. la menggerutu, tapi akhirnya ia berjumpa dengan Omitsu yang waktu
itu sedang membersihkan kamar Kojiro. "Kalau Anda mencari Guru," kata Omitsu, "dia ada
di sangkar elang." Kojiro ada di dalam sangkar, memperhatikan mata Amayumi dengan penuh minat. Ia memberi
makan burung itu, melepaskan bulu-bulunya yang longgar dengan sikat, membiarkan burung
itu bertengger sebentar di atas tinjunya, dan kini menepuk-nepuknya penuh sayang.
"Sensei." "Ya?" "Ada seorang wanita yang menyatakan datang dari Iwakuni, ingin menemui Guru. Dia
mengatakan Guru akan mengenalnya kalau Guru melihatnya."
"Hmm. Kemungkinan adik ibuku."
"Ke ruangan mana mesti saya persilakan?"
"Aku tak ingin ketemu dia. Aku tak ingin ketemu siapa-siapa... Ah, tapi barangkali aku
mesti menjumpainya. Dia bibiku. Antar dia ke kamarku." Orang itu pergi, lalu Kojiro
berseru kepadanya dari pintu, "Tatsunosuke."
"Ya, Pak." Tatsunosuke masuk sangkar dan berlutut dengan satu kaki di belakang Kojiro.
Sebagai murid yang tinggal di rumah Kojiro, ia jarang jauh dari sisi gurunya.
"Tinggal menunggu sebentar lagi, ya?" kata Kojiro.
"Ya, Pak." "Besok aku pergi ke benteng, menyatakan hormat kepada Yang Dipertuan Tadatoshi. Akhirakhir ini aku belum bertemu beliau. Sudah itu, aku ingin malam yang tenang."
"Tamu begini banyak. Bagaimana kalau Bapak menolak berjumpa dengan mereka, supaya dapat
istirahat dengan baik?"
"Itu yang ingin kulakukan."
"Begini banyak orang di tempat ini. Bisa-bisa Bapak dikalahkan pendukung-pendukung
sendiri." "Jangan bicara begitu. Mereka sudah datang dari tempat-tempat jauh dan dekat... Aku
menang atau tidak, itu tergantung apa yang bakal terjadi nanti, pada waktu yang sudah
ditentukan. Ini tidak sepenuhnya soal nasib, tapi juga... begitulah selalu yang terjadi
dengan petarung-kadang menang, kadang kalah. Kalau Ganryu mati, akan kautemukan dua
wasiat terakhir di kamar kerja. Berikan yang satu pada Kakubei, dan yang lain pada
Omitsu." "Bapak sudah menulis wasiat?"
"Ya. Sudah sewajarnya seorang samurai mengambil tindakan berjaga-jaga. Satu soal lagi.
Pada hari pertarungan, aku boleh mendapat seorang pembantu. Aku ingin kau ikut
denganku. Kau mau?" "Itu kehormatan yang tak pantas saya terima."
"Amayumi juga." Kojiro memandangi burung elang itu. "Dia akan menjadi hiburan buatku,
dalam perjalanan dengan perahu."
"Saya mengerti sepenuhnya."
"Baik. Aku temui bibiku sekarang."
Kojiro mendapati wanita itu duduk di kamarnya. Di luar, awan petang menghitam, seperti
baja yang sudah mendingin sehabis ditempa. Cahaya putih sebatang lilin menerangi kamar.
"Terima kasih atas kedatangan Bibi," kata Kojiro sambil duduk dengan sikap penuh
takzim. Sesudah ibunya meninggal, bibinya itulah yang membesarkannya. Berbeda dengan
ibunya, bibinya sama sekali tidak memanjakannya. Sadar akan kewajiban terhadap
kakaknya, ia berusaha dengan tulus ikhlas menempa Kojiro menjadi pengganti yang pantas
bagi nama Sasaki, dan menjadi orang terkemuka. Dari semua kerabat Kojiro, wanita itulah
satu-satunya yang mencurahkan perhatian terbesar kepada karier dan masa depan Kojiro.
"Kojiro," kata wanita itu khidmat, "aku mengerti, kau akan menghadapi salah satu dari
saat-saat menentukan dalam hidupmu. Setiap orang di daerah kita bicara tentang itu,
karena itu aku merasa mesti bertemu denganmu, setidak-tidaknya sekali lagi. Aku senang
melihatmu sudah mencapai kedudukan sejauh ini." Diam-diam wanita itu membandingkan
samurai yang mulia dan berada di hadapannya itu dengan pemuda yang dahulu meninggalkan
rumah hanya dengan pedangnya.
Dengan kepala masih menunduk, jawab Kojiro, "Sepuluh tahun sudah berlalu. Saya harap
Bibi memaafkan saya karena saya tidak selalu menghubungi Bibi. Saya tidak tahu apakah
orang lain memandang saya berhasil atau belum, tapi saya sama sekali belum mencapai
semua yang ingin saya capai. Itu sebabnya saya tidak menulis surat."
"Itu tidak apa-apa. Berita tentang dirimu sering kudengar."
"Juga di Iwakuni?"
"Tentu. Semua orang di sana memihakmu. Kalau kau kalah dari Musashi, seluruh Keluarga
Sasaki"seluruh provinsi"akan merasa terhina. Yang Dipertuan Katayama Hisayasu dari
Hoki, yang tinggal sebagai tamu di perdikan Kikkawa, merencanakan membawa serombongan
besar samurai Iwakuni untuk melihat pertarungan ini."
"Betul?" "Ya. Kukira mereka akan sangat kecewa, karena ternyata perahu-perahu tidak diizinkan
keluar... Oh, ya, aku lupa. Ini, kubawa ini buatmu." Ia membuka sebuah bungkusan kecil,
dan ia keluarkan jubah dalam yang dilipat. Jubah itu terbuat dari katun. Di situ
tertulis nama-nama dewa perang dan dewi pelindung yang dipuja para prajurit. Satu
kalimat nasib baik dalam bahasa Sansekerta disulamkan pada kedua lengannya oleh seratus
perempuan pendukung Kojiro.
Kojiro mengucapkan terima kasih pada bibinya, dan dengan takzim meletakkan pakaian itu
di depan dahinya. Kemudian katanya, "Bibi bisa tinggal di kamar ini, dan tidur kapan
saja Bibi suka. Sekarang, maafkan saya harus pergi."
Ia meninggalkan bibinya, dan pergi duduk di kamar lain. Tak lama kemudian, para tamu
datang ke kamar itu untuk menghaturkan berbagai hadiah kepadanya-kalimat suci dari
Tempat Suci Hachiman di Gunung Otoko, baju rantai, ikan laut yang sangat besar, juga
satu tong sake. Tak lama kemudian, sudah hampir tak ada tempat untuk duduk.
Orang-orang yang mengucapkan selamat itu memang mendoakan kemenangan Kojiro dengan
tulus, namun delapan dari sepuluh sesungguhnya sedang menjilat. Mereka berharap dapat
memenuhi ambisi-ambisinya sendiri di kemudian hari.
"Apa yang terjadi sekiranya aku hanya seorang ronin?" pikir Kojiro. Sifat menjilat itu
menekan dirinya, tapi ia puas juga, bahwa justru dirinya dan bukan orang lain yang
menyebabkan para pendukungnya percaya dan menaruh keyakinan kepadanya.
"Aku harus menang. Harus, harus."
Pemikiran tentang kemenangan itu memberikan beban psikologis kepadanya. Ia sadar akan
hal itu, tapi ia sendiri tak bisa berbuat lain. "Menang, menang, menang." Seperti ombak
yang dihalau angin, perkataan itu terus mendengung-dengung dalam benaknya. Kojiro tak
dapat memahami, kenapa dorongan primitif untuk menaklukkan itu demikian hebat memukulmukul otaknya.
Malam terus berlalu, tapi sejumlah tamu masih terus tinggal, minum, dan bercakap-cakap.
Malam sudah larut ketika berita itu datang.
"Musashi sudah datang hari ini. Dia kelihatan turun dari perahu di Moji, kemudian
berjalan kaki menyusuri sebuah jalan di Kokura."
Reaksi atas berita itu seperti arus listrik, walaupun diucapkan dengan sembunyisembunyi, engan bisik-bisik bersemangat.
"Sudah tentu." "Apa sebagian dari kita tak perlu ke sana untuk melihat keadaan?"
*** 108. Di Waktu Fajar MUSASHI tiba diShimonoseki beberapa hari sebelumnya. Karena ia tak kenal siapa pun di
sana dan tak seorang pun mengenalnya pula, maka ia dapat melewatkan waktunya dengan
tenang, tidak terganggu oleh para penjilat dan tukang campur tangan.
Pagi hari tanggal sebelas, ia menyeberangi Selat Kammon ke Moji untuk mengunjungi
Nagaoka Sado, dan menegaskan kesepakatannya atas waktu dan tempat pertarungan yang
telah ditetapkan. Seorang samurai menerimanya di pendopo sambil menatapnya tanpa malu-malu, sementara
dalam kepalanya terlintas pemikiran, "Jadi, inilah Miyamoto Musashi yang terkenal itu!"
Namun yang diucapkan pemuda itu hanyalah, "Tuan saya masih di benteng, tapi sebentar
lagi akan datang. Silakan masuk dan menanti."
"Terima kasih, tapi saya tak punya urusan lain dengan beliau. Kalau Anda tidak
keberatan menyampaikan pesan saya..."
"Ah, tapi Anda sudah datang begitu jauh. Beliau akan kecewa sekali, tidak berjumpa
dengan Anda. Kalau Anda memang mesti pergi, setidaknya biarkan saya menyampaikan pada
yang lain-lain bahwa Anda ada di sini."
Belum lagi ia menghilang masuk rumah, Iori sudah datang berlari-lari, dan langsung


Mushasi Karya Eiji Yoshikawa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masuk pelukan Musashi. "Senseil' Musashi menepuk-nepuk kepalanya. "Apa kau sudah belajar, seperti anak yang baik!"
"Ya, Pak." "Sudah jangkung sekali kau!"
"Apa Bapak tahu, saya ada di sini?"
"Ya, Sado mengatakan padaku dalam surat. Aku juga mendengar tentang kau di tempat
Kobayashi Tarozaemon di Sakai. Aku senang kau ada di sini. Tinggal di rumah macam ini
baik buatmu." Iori tampak kecewa, tapi tak tapi tak mengatakan apa-apa.
"Ada apa?" tanya Musashi. "Kau tak boleh lupa, Sado sudah bersikap baik sekali padamu."
"Ya, Pak." "Kau mesti belajar lebih banyak selain berlatih seni bela diri. Kau mesti belajar dari
buku-buku. Dan biarpun kau mesti jadi orang pertama yang menolong orang jika
diperlukan, kau mesti mencoba lebih rendah hati dari anak-anak lain."
"Ya, Pak." "Dan jangan jatuh dalam perangkap rasa kasihan pada diri sendiri. Banyak anak macam
kau, yang kehilangan ayah dan ibu, berbuat begitu. Kau tak dapat membayar kebaikan hati
orang lain, kecuali jika kau juga hangat dan baik hati."
"Ya, Pak." "Kau memang pandai sekali, Iori, tapi hati-hati. Jangan sampai pendidikan kasar inilah
yang menguasaimu. Kendalikan dirimu baik-baik. Kau masih kanak-kanak, di hadapanmu
terbentang hidup yang panjang. Jagalah hidup itu baik-baik. Selamatkan dia, sebelum kau
dapat mengarahkannya kepada hal yang sungguh-sungguh baik"kepada negerimu,
kehormatanmu, kepada Jalan Samurai! Berpeganglah pada hidupmu, dan jadikan hidupmu itu
tulus dan berani." Iori mendapat kesan berat bahwa ini saat perpisahan, perpisahan terakhir. Gerak hatinya
barangkali menyatakan demikian juga kepadanya, bahkan seandainya Musashi tidak bicara
tentang hal-hal serius macam itu. Diucapkannya kata "hidup" itulah yang menimbulkan
kesan tersebut. Begitu Musashi mengatakannya, kepala Iori langsung terbenam dalam dada
Musashi. Anak itu tersedu-sedan tanpa dapat dikendalikan lagi.
Musashi kini menyesali khotbahnya, karena dilihatnya Iori terawat baik sekali-rambutnya
tersisir dan terikat baik, dan kaus kakinya yang putih tampak bersih sekali. "Jangan
menangis," katanya. "Tapi bagaimana kalau Bapak..."
"Hentikan tangis itu. Dilihat orang banyak nanti."
"Pak, Bapak pergi ke Funashima lusa?"
"Ya, mesti." "Saya minta Bapak menang. Saya tak mau kalau sampai tidak melihat Bapak lagi."
"Ha, ha. Kau menangis karena itu, ya?"
"Sebagian orang bilang, Bapak tak bisa mengalahkan Kojiro. Kalau begitu, mestinya Bapak
jangan bersedia melawan dia."
"Aku tidak heran. Orang banyak selalu omong macam itu."
"Padahal Bapak bisa menang, kan, Sensei?"
"Aku tak mau membuang waktu memikirkan soal itu."
"Maksudnya, Bapak yakin takkan kalah?"
"Sekalipun kalah, aku berjanji akan bersikap berani."
"Tapi kalau menurut Bapak akan kalah, kenapa tidak pergi saja ke tempat lain buat
sementara waktu?" "Selalu ada benih kebenaran dalam desas-desus yang seburuk-buruknya, Iori. Aku bisa
saja berbuat kekeliruan, tapi sekarang... sesudah perkembangan sekian jauh, lari
berarti meninggalkan Jalan Samurai. Itu akan mendatangkan aib tidak hanya bagi diriku,
tapi juga bagi orang-orang lain."
"Tapi Bapak sudah mengatakan, saya mesti berpegang pada hidup saya dan menjaganya baikbaik, kan?"
"Memang betul, dan kalau nanti orang menguburkan aku di Funashima, biarlah itu menjadi
pelajaran buatmu. Hindari terlibat perkelahian yang akan berakhir dengan membuang
nyawa." Karena merasa telah berlebihan, Musashi mengubah pokok pembicaraan. "Aku sudah
minta salam hormatku disampaikan kepada Nagaoka Sado. Kuminta kau menyampaikannya juga,
dan sampaikan pada beliau, aku akan bertemu dengannya di Funashima."
Pelan-pelan Musashi melepaskan diri dari anak itu. Ia menuju pintu gerbang, dan Iori
bergayut pada topi anyaman yang dipegangnya. "Jangan... Tunggu..." Hanya itu yang dapat
dikatakannya. Satu tangan lagi ia tutupkan ke wajahnya, dan bahunya berguncang.
Nuinosuke datang lewat pintu di samping pintu gerbang, dan memperkenalkan diri pada
Musashi. "Iori rupanya enggan melepaskan Anda, dan saya cenderung bersimpati padanya. Saya yakin
Anda punya urusan-urusan lain yang mesti diselesaikan, tapi apa tak bisa Anda menginap
semalam saja di sini?"
Musashi membalas bungkukan badan Nuinosuke, katanya. "Terima kasih saya ucapkan atas
undangan ini, tapi saya kira saya tak bisa menerimanya. Dalam beberapa hari ini,
barangkali saya akan tidur buat selamanya. Saya pikir tidak benar, kalau sekarang saya
membebani orang lain. Itu bisa menjadi hal memalukan di belakang hari."
"Anda sungguh baik budi, tapi saya kuatir tuan saya akan marah sekali pada kami, karena
membiarkan Anda pergi."
"Akan saya kirimkan surat kepada beliau, untuk menjelaskan segalanya. Saya datang hari
ini hanya untuk menyatakan hormat. Saya pikir, saya harus pergi sekarang."
Di luar pintu gerbang, ia membelok ke arah pantai, tapi belum sampai separuh jalan, ia
mendengar suara-suara yang memanggilnya dari belakang. Ketika ia menoleh, dilihatnya
sejumlah samurai Keluarga Hosokawa yang tampak sudah tua, dua di antaranya berambut
putih. Karena tak mengenal orang-orang itu, ia simpulkan mereka menegur orang lain, dan
ia berjalan terus. Sampai di pantai, ia berdiri memandang ke arah laut. Sejumlah perahu nelayan membuang
jangkar tidak jauh dari sana, layarnya tampak kelabu dalam cahaya berkabut di awal
petang itu. Jauh di sana tampak sosok Pulau Hikojima yang lebih besar. Garis pantai
Pulau Funashima hampir tak terlihat.
"Musashi!" "Anda Miyamoto Musashi, kan?"
Musashi membalik menghadapi mereka. Ia heran, ada urusan apa kiranya antara para
prajurit berumur lanjut ini dengannya.
"Anda tak ingat kami, ya" Saya pikir memang tak ingat, karena sudah terlalu lama. Nama
saya Utsumi Magobeinojo. Kami berenam ini semua dari Mimasaka. Kami dulu bekerja pada
Keluarga Shimmen di Benteng Takeyama."
"Dan saya Koyama Handayu. Magobeinojo dan saya adalah sahabat dekat ayah Anda."
Musashi tersenyum lebar. "Wah, kalau begitu, ini kejutan besar!" Cara bicara mereka
yang dipanjangkan bunyi-bunyinya itu tidak salah lagi adalah cara bicara kampung
halamannya, dan itu membangkitkan kenangannya akan masa kecilnya. Sesudah membungkuk
pada masing-masing dari mereka, kata Musashi, "Saya senang bertemu dengan Anda
sekalian. Tapi saya ingin tahu, bagaimana kejadiannya maka Anda sekalian sampai di
tempat ini, tempat yang begini jauh dari rumah?"
"Seperti Anda ketahui, Keluarga Shimmen bubar sesudah Pertempuran Sekigahara. Kami
menjadi ronin, melarikan diri ke Kyushu, dan sampai di Provinsi Buzen ini. Untuk
sementara, demi penghidupan, kami menganyam sepatu kuda dari jerami. Kemudian kami
mendapat nasib baik."
"Betul" Terus terang, saya tidak pernah menduga akan bertemu dengan teman-teman ayah
saya di Kokura." "Dan bagi kami sendiri pun, ini merupakan kegembiraan yang tak terduga. Anda sungguh
samurai yang tampan, Musashi. Sayang sekali, ayah Anda tak ada di sini untuk melihat
Anda." Beberapa menit lamanya mereka saling berkomentar tentang ketampanan Musashi. Kemudian
Magobeinojo berkata, "Ah, bodoh juga saya ini. Saya lupa tujuan kami mengikuti Anda.
Baru saja tadi kami kehilangan jejak Anda di rumah Sado. Rencana kami menemani Anda
satu malam saja. Semua ini sudah dipersiapkan bersama Sado."
Handayu menimpali, "Betul. Sungguh kasar sekali, Anda hanya sampai di pintu depan, dan
pergi lagi tanpa bertemu Sado. Anda putra Shimmen Munisai. Soal itu Anda mesti lebih
tahu dari kami. Sekarang mari kembali bersama kami." Agaknya ia merasa, karena ia teman
ayah Musashi, ia berkuasa memberi perintah-perintah kepada sang anak. Tanpa menanti
jawaban, ia mulai berjalan, dengan harapan Musashi akan mengikuti.
Musashi sebetulnya sudah hampir mengikuti mereka, tapi tidak jadi.
"Maaf," katanya. "Saya tak bisa pergi. Saya minta maaf telah berlaku demikian kasar,
tapi salah kalau saya ikut dengan Anda sekalian."
Semua orang terkejut. Magobeinojo berkata, "Salah" Apa salahnya" Kami ingin memberikan
sambutan layak pada Anda... karena persamaan kampung dan semua yang lain itu."
"Sado juga mengharapkan bertemu dengan Anda. Anda tak ingin menyinggung perasaannya,
bukan?" Magobeinojo menambahkan dengan suara kesal, "Ada apa memangnya" Apa Anda marah karena
suatu hal?" "Saya ingin ke sana," kata Musashi sopan, "tapi ada hal-hal yang mesti dipertimbangkan.
Barangkali ini cuma desas-desus, tapi saya mendengar bahwa pertarungan saya dengan
Kojiro ini menjadi sumber perpecahan antara dua abdi tertua dalam Keluarga Hosokawa,
Nagaoka Sado dan Iwama Kakubei. Orang bilang, pihak Iwama mendapat dukungan Yang
Dipertuan Tadatoshi, dan Nagaoka mencoba memperkuat pihaknya sendiri dengan menentang
Kojiro." Kata-kata ini disambut dengan bisik-bisik terkejut.
"Saya yakin," sambung Musashi, "bahwa ini tak lebih dari spekulasi iseng, namun
pembicaraan umum itu berbahaya. Apa pun yang terjadi dengan seorang ronin seperti saya
ini sebetulnya tidak banyak artinya, tapi saya takkan melakukan sesuatu untuk mengipasi
desas-desus itu dan menimbulkan kecurigaan-kecurigaan terhadap Sado ataupun Kakubei.
Mereka berdua adalah orang-orang yang berharga di dalam perdikan."
"Begitu," kata Magobeinojo.
Musashi tersenyum. "Nah, setidak-tidaknya, itulah alasan saya. Terus terang, karena
saya anak kampung, sukar bagi saya mesti duduk dan berlaku sopan sepanjang petang.
Lebih baik saya bersantai."
Mereka terkesan sekali oleh pertimbangan Musashi yang mementingkan orang lain itu,
namun enggan berpisah dengannya, karena itu mereka berkumpul membicarakan keadaan
tersebut. "Hari ini tanggal sebelas bulan empat," kata Handayu. "Selama sebelas tahun terakhir,
kami berenam selalu berkumpul pada tanggal ini. Kami punya aturan keras untuk tidak
mengundang orang luar, tapi Anda datang dari kampung yang sama dengan kami, dan Anda
anak Munisai, karena itu kami ingin meminta Anda bergabung dengan kami. Bukan sebangsa
hiburan yang hendak kami hidangkan, tapi Anda tak perlu kuatir mesti bersikap sopan,
dilihat orang, atau dibicarakan orang."
"Kalau demikian," kata Musashi, "tak bisa lagi saya menolak."
Jawaban tersebut sangat menyenangkan samurai tua itu. Mereka berembuk lagi sebentar,
lalu diputuskan bahwa Musashi akan menemui seorang dari mereka, yang bernama Kinami
Kagashiro, beberapa jam kemudian, di depan warung teh. Lalu mereka berpisah.
Musashi menjumpai Kagashiro pada jam yang telah ditetapkan, dan mereka berjalan sekitar
dua kilometer dari pusat kota, ke suatu tempat dekat Jembatan Itatsu. Musashi tidak
melihat rumah samurai ataupun restoran. Tak satu pun yang kelihatan, kecuali lampu
sebuah warung minum, dan sebuah penginapan murah yang terletak beberapa jauh dari sana.
Sebagai orang yang selalu waspada, ia mulai menimbang-nimbang kemungkinan. Sebetulnya
tidak ada yang mencurigakan pada cerita mereka; mereka tampak sesuai dengan umurnya,
dan dialek mereka cocok dengan yang mereka ceritakan. Tapi kenapa pula pergi ke tempat
terpencil begini" Kagashiro meninggalkannya, pergi ke arah tepi sungai. Kemudian ia panggil Musashi,
katanya, "Semua sudah datang. Mari turun sini," dan mendahului menyusuri jalan sempit
di atas tanggul. "Barangkali pesta di perahu," pikir Musashi sambil tersenyum memikirkan betapa
berlebihan ia berjaga-jaga. Namun tidak kelihatan ada perahu. Sebaliknya, ia dapati
mereka duduk di tikar-tikar buluh, dengan gaya resmi.
"Maafkan kami, membawa Anda ke tempat seperti ini," kata Magobeinojo. "Di sinilah kami
biasa mengadakan pertemuan. Kami rasa, nasib baik khususlah yang telah menyatukan Anda
dengan kami. Silakan duduk dan istirahat sebentar." Dengan gaya cukup resmi, yang lebih
tepat untuk mempersilakan seorang tamu terhormat memasuki kamar tamu yang elok, dengan
shoji berlapis perak, ia menyorongkan selembar tikar pada Musashi.
Musashi bertanya-tanya dalam hati, inikah gagasan mereka tentang cara mengekang diri
yang elegan, atau ada alasan khusus untuk tidak bertemu di tempat yang lebih terbuka"
Tapi, sebagai tamu, ia terpaksa berlaku sebagai tamu. Setelah membungkuk, ia duduk rapi
di tikar. "Silakan duduk yang enak," desak Magobeinojo. "Nanti kita adakan pesta kecil, tapi
mula-mula kita mesti melakukan upacara. Takkan makan waktu lama."
Keenam orang itu mengatur kembali letak duduk mereka secara lebih leluasa, masingmasing mengeluarkan berkas jerami yang mereka bawa, dan mulai menganyam sepatu kuda
dari jerami itu. Dengan mulut tertutup rapat, dan mata yang tak pernah berhenti
memandang pekerjaan di tangan, mereka tampak khidmat, bahkan saleh. Musashi
memperhatikan dengan sikap hormat. Ia merasakan kekuatan dan kegairahan di dalam gerak
mereka ketika meludah ke tangan, menjalin, dan menganyamnya di antara kedua telapak
tangan. "Saya kira ini cukup," kata Handayu sambil meletakkan sepasang sepatu kuda yang telah
diselesaikannya, dan memandang kepada yang lain-lain. "Saya juga sudah selesai."
Mereka semua meletakkan sepatu kuda di hadapan Handayu, mengipasngipas dan merapikan
pakaian. Handayu menimbun seluruh sepatu kuda di meja kecil di tengah rombongan samurai
itu, kemudian Magobeinojo yang tertua berdiri.
"Sekarang ini tahun kedua belas sejak Pertempuran Sekigahara. Hari kekalahan yang tak
pernah terhapus dari kenangan kita. Kita semua hidup lebih lama daripada yang dapat
kita harapkan. Ini berkat perlindungan dan karunia Yang Dipertuan Hosokawa. Kita harus
berusaha, agar anak-anak dan cucu kita ingat akan kebaikan Yang Dipertuan kepada kita
ini." Bisik-bisik tanda setuju terdengar di antara orang-orang itu. Mereka duduk dengan sikap
takzim dan mata tertunduk.
"Kita juga harus senantiasa ingat kemurahan hati kepala-kepala Keluarga Shimmen,
sekalipun keluarga besar itu tak ada lagi. Kita pun tak boleh melupakan kesengsaraan
dan keputusasaan yang pernah kita alami ketika datang kemari. Untuk mengingatkan diri
Pasukan Pembunuh 1 Hardy Boys Terperangkap Di Laut Buronan Singo Wulung 1

Cari Blog Ini