K.A. Applegate Pertempuran Bawah Air (Animorphs #3) Ebook PDF: eomer eadig Http://ebukulawas.blogspot.com
Convert & Re edited by: Farid ZE
blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Chapter 1 NAMAKU Tobias. Aku adalah keajaiban alam. Tak ada makhluk lain seperti aku.
Aku takkan menyebutkan nama belakangku. Soalnya aku tidak bisa. Begitu juga nama
kota tempat aku tinggal. Aku terpaksa merahasiakannya.
Sebenarnya aku ingin terus terang, menceritakan semuanya. Sayangnya aku tidak
bisa mengungkapkan identitasku, atau identitas teman-temanku. Tapi semua yang
akan kuceritakan adalah benar.
Aku tahu kau akan terheran-heran, tapi percaya deh, aku tidak mengada-ada.
Aku Tobias. Aku anak yang biasa-biasa saja. Maksudku, dulunya aku begitu.
Prestasiku di sekolah dulu termasuk lumayan. Memang tidak bisa dibilang oke
banget, tapi juga tidak buruk-buruk amat. Ya, lumayan deh pokoknya.
Cuma dari segi pergaulan aku memang agak payah. Aku sering jadi bahan ejekan.
Aku sering dicemooh dan dijaili. Rambutku dulu pirang dan selalu acak-acakan.
Mataku berwarna... hmm, apa ya warna mataku"
Wah, baru beberapa minggu saja aku sudah lupa seperti apa tampangku sewaktu
masih jadi manusia. Tapi sudahlah. Sekarang mataku berwarna emas dan cokelat. Sorot mataku selalu
galak, seperti lagi marah. Padahal aku tidak selalu galak atau marah, namun
tampangku tetap begitu. Sore itu aku sedang melayang-layang di udara. Aku terbang dengan bantuan angin
termal, yaitu arus udara panas yang naik dari permukaan Bumi. Aku melayang
tinggi di angkasa, persis di bawah lapisan awan gelap yang siap menumpahkan
hujan. Aku memandang ke bawah dan memfokuskan mataku yang setajam sinar laser. Mataku
yang galak. Aku masih bisa membaca - aku belum lupa caranya. Aku melihat papan
iklan besar berwarna merah-putih dengan tulisan: TOKO MOBIL BEKAS DEALIN' DAN
HAWKE. Kulipat sayapku ke belakang, lebih rapat ke tubuhku. Dan seketika aku mulai
meluncur ke bawah. Turun, turun, turun! Kencang, semakin kencang!
Aku menerobos udara petang yang hangat, dan jatuh bagaikan sebongkah batu.
Bagaikan peluru artileri yang menuju sasarannya. Tak ada suara apa pun selain
deru udara yang menerpa sayapku.
Permukaan tanah semakin dekat dan siap menyambutku. Aku melihat sebuah kandang.
Panjang sisinya sekitar satu meter. Di dalam kandang itu bertengger seekor
elang. Seekor elang berekor merah.
Seperti aku. Seorang pria berdiri di dekat kandang. Aku mengenalinya karena aku sering
melihat iklan TV-nya dulu. Ia adalah Dealin' Dan Hawke. Pemilik showroom mobil
bekas. Ia menyekap elang betina tersebut untuk dijadikan maskot usahanya. Dalam
iklan-iklannya di TV ia memperkenalkan elang itu sebagai si Polly Banting Harga.
Huh, memuakkan sekali. Bagaimana aku tidak marah" Aku kan juga burung elang.
Aku melihat kamera yang dikelilingi tiga laki-laki. Tampaknya mereka sedang
bersiap-siap membuat film iklan yang baru lagi. Tapi aku tidak peduli.
Dealin' Dan menghampiri kandang untuk memberi makan si elang. Kandangnya dikunci
dengan rantai sepeda dan gembok kombinasi empat angka. Aku melihat Dealin' Dan
mengotak-atik gembok. Kombinasinya 8-1-2-5.
Aku berada di ketinggian dua ratus meter, dan menukik nyaris tegak lurus dengan
kecepatan lebih dari seratus kilometer per jam. Tapi aku bisa melihat angkaangka yang diputarnya. Dan bagian manusia dalam diriku, Tobias, bisa mengingat
angka-angka tersebut. Ia membuka kandang dan melemparkan makanan. Lalu segera ditutup dan digemboknya
pintu itu. Lampu-lampu yang terang benderang mulai menyala. Dealin' Dan siap memulai
syuting. Iklannya akan disiarkan secara langsung ke seluruh wilayah kota dan
daerah sekitarnya. Rencanaku memang gila. Dan Marco pasti sependapat. "Gila" adalah salah satu kata
favoritnya. Kapan saja, di mana saja, ia sering mengucapkan kata itu.
Tapi aku tidak peduli. Seekor elang disekap dalam kandang sempit dan dijadikan pajangan. Betul-betul
keterlaluan. Itu tidak bisa kubiarkan. Aku tidak bisa diam saja.
" Tseeeeeeeeerr," aku memekik.
Baru pada saat terakhir aku merentangkan sayap, sekitar lima meter sebelum
membentur permukaan tanah. Tekanan udara pada sayapku nyaris tak tertahankan.
Aku berusaha meringankan tubuh.
Aku melintasi deretan mobil yang diparkir dan meluncur mendekati kandang.
Aku mendarat di atas kandang dan mencengkeram jeruji besinya dengan cakarku.
Aku memutar angka pertama pada gembok dengan ujung paruhku yang runcing.
"Hei! Apa-apaan ini?" seseorang berseru.
Lampu sorot yang terang benderang diarahkan pada diriku.
"Wah, para pemirsa yang budiman," ujar Dealin' Dan dengan tampang kaget, "Ada
elang yang berusaha masuk ke kandang Polly Banting Harga. Cepat usir burung
itu." Yeah, coba saja, pikirku.
Aku memutar angka kedua. Beberapa orang mulai mendekat.
Aku melihat seorang montir mengayun-ayunkan kunci inggris. Tapi aku takkan pergi
sebelum berhasil membebaskan burung yang malang ini.
Tempat elang bukan di dalam kandang. Elang seharusnya bebas mengarungi angkasa.
Aku dikepung. "Hajar dia, Earl! Hajar saja!"
"Hati-hati paruhnya!"
"Jangan-jangan dia punya penyakit rabies!"
WUSSS! Si montir mengayunkan kunci Inggris! Kepalaku nyaris kena. Riwayatku bakal tamat
di sini kalau aku tidak segera mendapat bantuan.
di dalam kepalaku. Begitulah cara kami berkomunikasi kalau sedang berubah wujud melalui pikiran. Aku menarik napas lega. Bala bantuan telah tiba.
"HhhuuuuurrHHHHHEEEEEAAAAAH!"
"Ada apa lagi ini?" seru si montir.
Aku tahu bunyi apa itu. Itu suara Rachel. Rachel yang cantik berambut pirang.
Tapi saat ini ia tidak bisa dibilang cantik. Mengesankan memang, namun bukan
cantik. GUBRAK! Kr-a-a-ak! "Oh. Ya Tuhan!" seru Dealin' Dan. "Biarkan saja burung itu. Mobilku diinjakinjak gajah!" Kalau saja aku punya mulut, aku pasti nyengir. Aku memutar angka terakhir, lalu
membuka pintu kandang. Si elang tampak waswas. Ia elang sejati yang mengandalkan pikiran dan naluri
seekor elang. Tapi ia takkan menyia-nyiakan kesempatan untuk kembali ke langit
luas. Ia langsung keluar dari kandang. Saking cepatnya, aku cuma melihat bayangan
berbulu kelabu, cokelat, dan putih. Ia tidak tahu bahwa aku yang membebaskannya.
Pikirannya tidak bisa menjangkau sejauh itu. Dan ia juga tidak mengenal rasa
terima kasih. Tapi ia segera mengepakkan sayap dan melesat ke udara. Ia bebas.
Tiba-tiba aku dilanda perasaan yang aneh sekali. Hati kecilku berseru agar aku
ikut dengan elang itu. Aku seperti mendengar bisikan bahwa tempatku adalah di
sampingnya.
Suaranya membahana. Ia mengayun-ayunkan belalai dan menginjak-injak semua mobil
di dekatnya. Tampaknya ia cukup senang - untuk ukuran gajah, maksudnya. Tapi
memang sudah waktunya kami pergi. Rachel harus kembali ke wujudnya sebagai
manusia. Aku kembali memandang ke langit. Aku melihat sinar matahari menerobos ekor elang
tadi. Ia terbang tinggi, seakan hendak mengejar matahari yang sedang terbenam.
Chapter 2
Kami sudah sampai di hutan di belakang showroom Dan.
Sebenarnya bukan hutan sungguhan, soalnya cuma ada beberapa pohon gersang di
antara tempat penjualan mobil bekas itu dan toko serba ada. Aku bertengger di
dahan rendah, menyaksikan Rachel menjelma kembali sebagai manusia. Proses
metamorfosis itu ajaib sekali. Pokoknya susah dipercaya deh kalau kau belum
melihatnya dengan mata kepala sendiri.
Ketika perubahan dimulai, Rachel masih berbentuk gajah Afrika dewasa. Tingginya
sekitar tiga meter. Panjang badannya, dari kepala sampai ekor, lebih dari lima
meter. Beratnya paling tidak tiga ton. Aku bilang "paling tidak", sebab angka
itu cuma dugaan saja. Kami belum pernah mengukur beratnya. Maklum saja, modal
kami cuma timbangan di kamar mandi masing-masing.
Ia memiliki sepasang gading melengkung sepanjang badan anak kecil. Belalainya
selalu terseret di tanah kalau ia berjalan. Dengan belalainya itu ia mampu
mengangkat prajurit Hork-Bajir yang sedang mengamuk dan melemparnya sejauh lima
meter. Kalau yang ini bukan dugaan. Aku pernah melihatnya.
sungguhan.> Pengendali. Kata ini perlu diingat baik-baik. Pengendali adalah sebutan bagi siapa pun yang
membawa Yeerk dalam kepalanya. Yeerk adalah makhluk parasit dari luar angkasa,
yang bentuknya mirip keong tanpa rumah. Mereka hidup dalam tubuh makhluk lain
yang dijadikan budak. Seluruh bangsa Hork-Bajir telah menjadi Pengendali. Begitu
pula bangsa Taxxon. Dan semakin lama semakin banyak manusia Bumi menjadi
Pengendali. Mereka disebut Pengendali-manusia.
Tubuh Rachel mulai mengerut. Ekornya lenyap seperti spageti masuk ke dalam
mulut. Belalainya semakin kecil. Rambut pirang tumbuh di keningnya yang lebar
berwarna kelabu. Matanya bergeser dari sisi kepala ke bagian tengah wajah.
Telinganya pun kembali ke ukuran dan warna normal.
Tubuh Rachel semakin kecil sehingga ia bisa berdiri dengan kedua kaki
belakangnya. Kaki depannya langsung berubah menjadi sepasang lengan. Kaki
belakangnya pun tak lagi sebesar batang kelapa, melainkan kelihatan panjang dan
langsing. Baju senam hitam ketat yang selalu dipakainya pada waktu berubah wujud mulai
muncul. Kedua gadingnya seperti terisap, lalu membelah menjadi sederet gigi
putih berkilau. Rachel kembali tampak cantik, hanya saja hidungnya masih
berwarna kelabu dengan panjang setengah meter. Tapi akhirnya sisa belalai itu
pun seakan-akan tergulung dan berubah menjadi hidung biasa.
Rachel menjelma menjadi anak cewek. Ia telanjang kaki, sebab kami belum tahu
bagaimana caranya meniru sepatu. Mulutnya sudah kembali normal. Ia bicara dengan
suaranya yang biasa, tak lagi melalui pikiran. Cara itu hanya bisa dipakai kalau
kita sedang berubah wujud.
"Oke, aku siap. Ayo kita kabur!"
Bunyi sirene semakin dekat.
"Mudah-mudahan lagi ada diskon sepatu," gerutu Rachel. "Masalah sepatu ini mulai
terlalu menyebalkan."
Gajah tadi telah hilang. Sebagai gantinya berdiri seorang cewek kece.
Nah, apa kubilang" Kau pasti bingung, kan"
Kisah ajaib ini bermula di sebuah tempat pembangunan yang terbengkalai, ketika
kami menemukan pesawat pangeran Andalite yang jatuh di Bumi. Ia Andalite
terakhir di jagat raya ini. Ia dan rekan-rekan Andalite-nya telah bertempur
mati-matian untuk mengusir pesawat induk kaum Yeerk. Mereka bertempur dengan
gagah berani, namun berhasil dikalahkan.
Sebelum tewas di tangan pemimpin Yeerk, makhluk mengerikan bernama Visser Three,
si Andalite sempat memberi kami sesuatu yang istimewa - sesuatu yang merupakan
anugerah sekaligus kutukan.
Pemberiannya adalah metamorfosis atau kemampuan berubah wujud. Kami diberi
kemampuan untuk menyadap DNA binatang apa saja dan menjelma menjadi binatang
tersebut. Kemampuan khas kaum Andalite itu belum pernah diberikan pada bangsa
lain. Sejak itu hidup kami jadi penuh rahasia. Dan dibayang-bayangi bahaya.
Kaum Yeerk menyangka kami sekelompok Andalite yang berhasil lolos. Mereka tahu
bahwa yang menyerang kolam Yeerk bukan binatang sungguhan. Mereka tahu lawan
mereka telah berhasil menyusup ke rumah salah satu Pengendali paling penting Mr. Chapman, wakil kepala sekolah kami.
Tapi mereka tidak tahu bahwa kami cuma lima anak biasa yang pada suatu malam
hendak pulang dari mall. Visser Three ingin kami segera ditangkap. Hidup atau mati tak jadi soal. Dan
keinginan Visser Three biasanya terpenuhi.
Tapi aku malah senang karena bisa berjuang melawan kaum Yeerk. Mungkin karena
aku tidak memikul beban seberat teman-temanku. Atau mungkin juga karena kematian
sang pangeran Andalite telah menyentuh hati nuraniku, sehingga aku merasa
terpanggil untuk membuat perhitungan dengan musuh-musuhnya.
Tapi tak ada perjuangan tanpa pengorbanan. Kemampuan berubah wujud ada batasnya.
Kita tidak boleh berubah lebih dari dua jam. Kalau batas waktu itu dilanggar,
kita akan terperangkap dalam wujud tersebut.
Untuk selama-lamanya. Dan itulah kutukan yang terkandung dalam pemberian si
Andalite. Itu pula sebabnya aku tidak ikut berubah ketika Rachel kembali menjelma menjadi
manusia. Rachel butuh waktu agak lama untuk sampai di rumah karena ia naik bus. Aku lebih
cepat. Karena itu aku tidak perlu terburu-buru.
Matahari sedang terbenam. Aku teringat elang yang berhasil kami bebaskan tadi.
Mudah-mudahan ia menemukan tempat yang nyaman di hutan untuk bermalam. Itulah
yang disukai elang buntut merah: dahan pohon yang nyaman dengan pandangan bebas
ke padang rumput yang penuh tikus dan cecurut dan tupai. Begitulah cara berburu
kami... maksudku, mereka.
Aku menuju ke arah gedung-gedung tinggi di pusat kota. Aku memanfaatkan angin
termal yang berembus dari dinding beberapa pencakar langit.
Angin termal adalah arus udara panas yang mengalir ke atas. Arus itu seakan-akan
mengganjal sayap kita, dan membuat kita membubung tinggi tanpa perlu
mengeluarkan tenaga. Aku meluncur ke atas bagaikan naik lift.
Karena sekarang hari Sabtu, banyak ruangan kantor dalam keadaan kosong. Tapi,
kira-kira di lantai enam puluh, seorang pria setengah baya sedang berdiri seraya
memandang ke luar jendela.
Penampilannya menunjukkan ia pengusaha besar dan penting.
Namun ketika melihatku, ia mengembangkan senyum. Ia mengamati aku terbang
semakin tinggi. Aku tahu ia iri padaku karena aku bisa terbang bebas.
Setelah mencapai ketinggian sekitar delapan ratus meter, aku membelok dan menuju
ke rumah Rachel. Matahari sudah hampir terbenam. Bulan mulai mengintip dari
balik cakrawala. Tiba-tiba aku merasa... entahlah, aku tidak bisa menjelaskannya. Aku cuma tahu
bahwa ada sesuatu di atasku. Sesuatu yang besar. Sangat besar! Lebih besar dari
pesawat terbang mana pun.
Aku memandang ke atas. Tapi tidak ada apa-apa di situ.
Meski begitu, aku bisa merasakan kehadirannya. Aku tahu ada sesuatu di atas
sana. "Benda" itu melaju mendekat, kira kira dua kilometer lebih tinggi daripada
Animorphs - 3 Pertempuran Bawah Air di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
aku. Aku memfokuskan mata elangku ke langit.
Ada riak! Ya, riak. Seperti riak air yang timbul kalau kita melempar batu ke kolam yang
tenang. Bintang-bintang sore yang redup berkedip sejenak. Sinar matahari pun
membias. Dan sepintas lalu aku seperti melihat...sesuatu.
Hmm, entahlah. Mungkin juga aku salah lihat.
Udara serasa bergolak, sehingga menimbulkan lubang di langit.
Aku berusaha mengejar lubang itu, tapi kecepatannya terlalu tinggi.
Aku berusaha menentukan ke arah mana benda itu pergi. Dan dari mana asalnya.
Sepertinya benda itu bergerak menjauh dari pegunungan dan melesat semakin cepat.
Dalam waktu singkat aku telah kehilangan jejak.
Aku terbang ke rumah Rachel. Aku melihatnya turun dari bus, jauh di bawahku.
Teman-temanku yang lain - Jake, Marco, dan Cassie - sudah menunggu kami di kamar
Rachel. Seperti sudah kuduga.
Ia hanya bisa melambaikan tangan. Sebagai manusia kita bisa mendengar pikiran,
tapi tidak bisa menjawab dengan cara yang sama.
ujarku pada Rachel. Rachel mengedipkan mata. Ia masuk lewat pintu depan. Aku terbang melalui jendela
terbuka. Dan kami kembali berkumpul: kelima anggota Animorphs.
Rupanya teman-temanku yang lain sempat melihat Rachel dan aku di TV, dan tampang
mereka sama sekali tidak senang.
Marco yang pertama angkat bicara.
"Apa kalian sudah GILA"!!" teriaknya.
Chapter 3 MARCO marah-marah. Jake memaksa kami berjanji untuk tidak pernah lagi bertindak
sebodoh itu. Dan mendamaikan kami semua, seperti biasa.
"Memangnya kita petugas penyelamat binatang," kata Marco. "Kita seharusnya
menyelamatkan seluruh umat manusia dari perbudakan kaum Yeerk."
Ia menatapku dengan mata melotot. Tapi percuma saja. Berkat mata elangku, siapa
pun pasti kalah kalau nekat adu melotot denganku.
"Memang," ujar Marco akhirnya. "Tapi karena kalian semua punya cita-cita jadi
pahlawan penyelamat dunia, dan karena kalian temanku, berarti harus ada satu
orang yang tetap waras, yang mencegah kalian bertingkah terlalu konyol."
Di antara kami berlima, Marco yang paling enggan jadi anggota Animorphs. Padahal
justru Marco yang menciptakan nama kelompok kami. Dan ia sudah ikut sejak awal
peristiwa ini. Hanya saja menurutnya kami perlu mengutamakan keselamatan diri
sendiri dan keluarga masing-masing.
Rasanya Marco dan aku takkan pernah bisa akur. Ia sok tahu banget. Ia selalu
yakin dirinya paling benar. Dan ia selalu siap melontarkan komentar, baik
komentar lucu maupun pedas. Anaknya tidak bisa dibilang jangkung. Dengan kata
lain, ia pendek. Tapi ia disukai anak-anak cewek karena rambutnya yang panjang
dan cokelat serta matanya yang gelap. Mereka pikir Marco keren. Huh!
Jake menatap Marco sambil nyengir. "Jadi kau yang harus mencegah kami bertingkah
konyol?" "Wah, kalau Marco yang paling waras, matilah kita semua," Rachel menimpali.
Kami semua tertawa. Jake meninju pundak Marco, tapi cuma main-main. "Tapi aku senang kau mau
menyelamatkan kami. Aku jadi terharu nih."
Marco meringis. Ia menimpuk Jake dengan bantal yang diambilnya dari tempat tidur
Rachel. Marco dan Jake benar-benar bertolak belakang. Tingkah mereka beda banget,
walaupun mereka sudah bersahabat sejak kecil. Jake punya badan besar. Memang sih
tidak sebesar pemain rugbi, tapi tetap cukup kekar. Jake bisa dibilang anak yang
dilahirkan untuk jadi pemimpin. Seandainya kita terperangkap di dalam gedung
yang sedang terbakar, kita pasti berpaling pada Jake dan bertanya, "Apa yang
harus kita lakukan sekarang?" Dan ia akan menemukan jalan keluar.
Jake dan Rachel saudara sepupu. Sifat mereka hampir sama. Keduanya pantang
mundur kalau sudah punya mau.
"Aku harus pulang nih," ujar Cassie. "Aku masih harus memberi makan kuda dan
membersihkan kandang burung."
"Jangan sebut-sebut 'kandang burung' kalau ada Tobias," kata Marco. "Bisa-bisa
dia melakukan serangan elang-gerilya-berani-malu ke klinik kalian. Belum lagi
kalau dia membujuk Rachel untuk menginjak-injak rumah kalian sampai rata dengan
tanah." Semua tertawa, sebab kami tahu kenapa banyak kandang burung di rumah Cassie.
Ayah dan ibunya dokter hewan. Ibunya bekerja di The Gardens, tempat rekreasi
berupa gabungan taman hiburan dan kebun binatang.
Ayahnya mengelola Klinik Perawatan Satwa Liar di gudang jerami di rumah
pertanian mereka. Pusat Perawatan Satwa Liar itu merawat binatang-binatang yang
sakit atau cedera. Kandang-kandang yang harus dibersihkan Cassie berisi burung-burung gereja yang
patah sayap, elang-elang yang kena tembak, dan burung-burung camar yang terjerat
sampah plastik. Cassie ahli satwa kami. Kami sering pergi ke rumahnya untuk mendatangi hewan
yang hendak kami tiru. Sifat Cassie lemah lembut. Dan di antara kami semua,
Cassie-lah yang paling menguasai proses metamorfosis.
Kami berdiri dan bersiap-siap pulang.
"Kau mau ikut?" Jake bertanya padaku.
"Oke," katanya. "Nanti kutaruh makanan di gudang bawah atap. Siapa tahu kau
pulang malam. Makanannya akan kusimpan dalam wadah tertutup supaya jangan
dicuri. Kau bisa membuka wadah Rubbermaid, kan?"
Aku melihat teman-temanku yang lain mengalihkan pandang ketika Jake menyinggung
soal gudang bawah atap. Mereka merasa kasihan padaku.
Tom kakak laki-laki Jake. Ia salah satu dari mereka - para Pengendali.
Semua mengucapkan selamat malam. Aku melihat tangan Jake dan tangan Cassie
bersentuhan sejenak, seakan-akan cuma kebetulan. Kemudian semua pulang. Kecuali
Rachel dan aku. "Aku tidak tega membayangkan kau tinggal di gudang bawah atap yang dingin," kata
Rachel.
perlu menceritakan lubang di langit yang kulihat tadi. Tapi masalahnya aku
sendiri tidak tahu pasti apa yang kulihat.
Jangan-jangan itu malah bikin Rachel semakin cemas. Sekarang saja ia sudah
mencemaskan diriku.
"Yeah. Hati-hati, Tobias."
Aku terbang keluar jendela. Aku sadar Rachel menatapku dengan sedih. Terus
terang, aku tidak suka dikasihani. Mereka cuma tahu bahwa aku tidak sama seperti
dulu. Mereka cuma tahu bahwa aku tidak memiliki rumah.
Tapi sebenarnya mereka tidak mengerti. Aku tak pernah punya rumah, dalam arti
sebenarnya, sejak orang tuaku meninggal. Aku sudah biasa hidup sebatang kara.
Dan sekarang langitlah yang kumiliki.
Chapter 4 KEESOKAN harinya aku memutuskan kembali ke tempat aku melihat benda besar yang
melintas di langit. Aku tidak tahu apa yang kulihat, tapi aku punya firasat buruk.
Aku terbang melintasi daerah yang sama dengan memanfaatkan angin termal
semaksimal mungkin. Maklum, daripada capek mengepakkan sayap, kan lebih enak
melayang-layang. Santai. Dalam hal memanfaatkan angin termal, elang masih kalah jago dibanding rajawali
atau beberapa jenis elang buzzard. (coba perhatikan bagaimana elang turkey
buzzard memanfaatkan angin termal. Benar-benar hebat!).
Sebenarnya, sebagai elang ekor merah, aku lebih suka bertengger di dahan pohon
sambil menanti mangsa yang lezat lewat.
Tapi aku tidak mencari makan seperti elang. Aku melahap makanan yang disediakan
Jake. Aku tidak berburu. Walaupun ada kalanya naluri berburu muncul dalam
diriku. Kalau sudah begitu, rasanya tidak tahan deh.
Marco pasti komentar macam-macam kalau aku sampai makan tikus. Atau bangkai
binatang yang mati terlindas di jalan raya.
Kalau kita sedang berubah jadi binatang, kita harus berjuang keras melawan
naluri binatang tersebut. Jake sudah merasakannya ketika ia menjelma jadi kadal.
Ia sempat memangsa labah-labah hidup-hidup.
Idiiih! Aku sih belum sejauh itu. Paling tidak, sampai saat ini. Aku takut tidak bisa
berhenti kalau sudah mulai makan yang heboh-heboh.
Aku terbang tinggi di atas kota, melintasi daerah yang kulewati kemarin. Tapi
tidak ada apa-apa. Tak ada yang melesat di atasku.
Tiba-tiba aku sadar: benda apa pun yang kulihat kemarin, mungkin hanya muncul
pada jam tertentu. kemarin matahari sudah hampir terbenam ketika aku merasakan
kehadiran benda tersebut.
Aku memutuskan kembali menjelang malam. Berarti aku punya waktu luang sehari
penuh. Tapi, bukannya senang, aku malah waswas.
Masalahnya, elang menghabiskan sebagian besar waktunya dengan berburu.
Sebagai Tobias dulu, aku mengisi waktu luangku dengan nonton TV, jalan-jalan di
mall, buat PR, membaca....pokoknya segala macam hal yang kini sulit kulakukan.
Aku rindu sekolah. Meskipun aku selalu dijaili anak-anak yang sok jago. Tapi aku
tidak merasa kehilangan rumahku. Setelah orangtuaku meninggal, tak ada yang
sungguh-sungguh mau mengasuhku. Akhirnya aku bolak-balik antara rumah pamanku di
kota ini dan rumah bibiku di kota lain yang jauh.
Baik paman maupun bibiku tidak peduli padaku.
Aku telah minta tolong pada Jake untuk mengirimkan surat pada pamanku. Dalam
surat itu kami memberitahukan bahwa aku memutuskan tinggal bersama bibiku. Surat
serupa juga kami kirimkan kepada bibiku, memberitahukan bahwa aku memutuskan
tinggal bersama pamanku. Dengan begitu masing-masing menyangka aku tinggal
bersama yang lain. Aku tidak tahu berapa lama aku bisa mengelabui keduanya.
Tapi apa pengaruhnya" Paling-paling mereka akan mcnelepon polisi dan melaporkan
bahwa aku lari dari rumah. Atau jangan-jangan itu pun tidak mau mereka lakukan.
Hmm. Jadi apa yang harus kuperbuat untuk mengisi waktu luang" Sudah beberapa jam
aku melayang-layang tepat di bawah gumpalan awan. Sudah waktunya pulang. Lain
kali saja kucoba lagi. Aku mengatur posisi sayap dan ekor, lalu menuju ke rumah Rachel. Barangkali ia
sedang berkeliaran di luar rumah.
Tiba-tiba aku merasakannya. Udara serasa bergolak. Kira-kira dua kilometer di
atasku timbul riak di udara. Sepertinya ada lubang menganga.
Aku langsung mengambil keputusan. Aku harus mendekat.
Kukepakkan sayap sampai dada dan pundakku terasa pegal.
Tapi "benda" itu meluncur terlalu cepat, dan terlalu jauh di atasku.
Benda itu semakin jauh. Tapi kali ini arahnya berbeda. Kali ini arahnya justru
menuju pegunungan. Lalu.....muncul sekawanan bebek yang sedang membentuk formasi huruf V.
Ada sekitar selusin bebek besar yang terbang cepat, seperti biasanya. Bebek
selalu terburu-buru. Seolah mereka mau bilang, "Minggir, kami bebek dan kami mau
lewat." Kawanan bebek itu terbang tepat menuju udara bergolak yang kurasakan tadi.
Sekonyong-konyong bebek yang paling depan terpental, seakan-akan baru ditabrak
truk. Sayapnya menekuk. Tapi bebek itu tidak jatuh.
Si bebek terus meluncur maju, jumpalitan dan berguling, seolah-olah tergelincir
di atap kereta api, melaju kencang.
Sebagian besar bebek lainnya mengalami nasib sama. Hanya satu atau dua yang
masih sempat menghindar, tapi bebek memang kurang cekatan.
Kawanan bebek itu seperti tergulung gelombang yang tidak terlihat. Semuanya
tergelincir di permukaan keras yang tidak tampak.
Dan setiap kali ada bebek yang menabrak permukaan tersebut, sekilas aku melihat
kilauan logam berwarna kelabu.
Gelombang itu berlalu. Bebek-bebek tadi berjatuhan dari langit.
Mati atau cacat. "Benda" itu tetap terbang, seakan-akan tidak terjadi apa-apa.
Lagi pula, kenapa kaum Yeerk harus peduli pada sekawanan bebek"
Aku yakin makhluk-makhluk jahat itulah yang bertanggung jawab atas peristiwa
yang menimpa bebek-bebek itu.
Dan aku yakin "benda" yang baru saja kulihat - lebih tepatnya yang kurasakan pastilah sebuah pesawat Yeerk.
Chapter 5 "MASUK akal," kata Marco sambil termenung-menung. "Kaum Yeerk pasti punya
kemampuan untuk menyelubungi pesawat mereka. Ini seperti teknologi stealth, cuma
jauh lebih hebat." Kami berkumpul di gudang jerami Cassie. Ayahnya sedang pergi dan baru kembali
nanti malam. Gudang jerami ini termasuk salah satu dari sedikit tempat kami bisa
berkumpul tanpa takut ketahuan.
Dari luar, gudang jerami itu sama saja seperti gudang jerami lainnya. Tapi di
dalam, berderet kandang bersih dan lampu-lampu neon. Di sana-sini berdiri
dinding pembatas untuk memisahkan kandang kuda dari kandang burung, kandang
raccoon, opossum, dan anjing liar yang sesekali menjadi pasien di sini.
Kuda memang gampang tegang. Biasanya ada selang air, ember, dan jerami yang
berserakan di lantai gudang. Pada masing-masing kandang terdapat kartu catatan
yang menunjukkan kondisi serta jenis pengobatan yang dijalani penghuninya.
Suasananya ramai sekali. Habis, bayangkan saja: ada burung-burung berkicau atau
berceloteh, kuda mendengus-dengus, dan raccoon yang sewot memperebutkan makanan.
Aku memperhatikan sepasang serigala jantan dan betina yang tampak gelisah. Salah
seekor terluka akibat tembakan. Seekor lagi telah memakan umpan beracun yang
dipasang petani. Serigala hewan pendatang baru di kawasan ini. Para ahli satwa
liar telah membawa beberapa ekor kembali ke hutan terdekat. Serigala membuat
elang agak gugup. "Selama ini kita bisa melihat pesawat-pesawat Yeerk," ujar Rachel. "Kita sempat
melihat pesawat tempur Bug Fighter dan pesawat Blade." Ia bersandar pada kandang
seekor merpati yang cedera. Burung itu mengawasiku dengan curiga.
"Memang, tapi semua pesawat Yeerk yang pernah kita lihat pasti sudah berada di
tanah atau hampir mendarat," Jake menanggapi.
"Mungkin saja teknologi itu tidak berfungsi saat pesawat hendak mendarat. Tapi
kalau dipikir-pikir, Marco benar. Mereka pasti memiliki kemampuan mengecoh
radar. Mereka pasti sanggup membuat pesawat mereka tidak tampak."
"Kau yakin?" tanya Cassie sambil terus bekerja. Ia sedang membersihkan kandang
kosong dengan sikat dan seember air sabun.
"Masalahnya, apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Jake.
Tapi aku langsung tahu bahwa ia bertekad melakukan sesuatu. Hanya saja Jake
tidak suka mengambil keputusan sendiri, meskipun kami semua menganggapnya
sebagai pemimpin kelompok Animorphs. Ia biasa membiarkan semua anak mengutarakan
pendapatnya dulu.
berlawanan. Ketinggiannya tidak cukup untuk terbang melintasi gunung-gunung.
Jadi, kesimpulanku, pasti ada sesuatu di daerah pegunungan.>
Rachel mengangguk. "Masuk akal."
Marco geleng-geleng kepala. "Daerah pegunungan" Anak kota seperti kalian tahu
apa soal pegunungan" Daerah itu luas sekali lho. Sebesar apa pun pesawat itu,
pasti ada seribu tempat untuk menyembunyikannya."
"Kalau begitu kita langsung saja mencarinya," sahut Rachel penuh semangat.
Cassie angkat bahu. "Entahlah, rasanya kita sudah berbuat cukup banyak. Coba
ingat. Kita sempat menyerang kolam Yeerk. Kita hampir celaka di sana. Lalu kita
menyusup ke rumah Chapman dan Rachel tertangkap. Lagi-lagi kita hampir celaka.
Sampai kapan kita harus mengambil risiko seperti itu" Berapa kali lagi kita
hampir celaka?" Bahkan Marco pun terkejut mendengar ucapan Cassie. Kedengarannya seakan-akan
Cassie mendadak berada di pihak Marco.
"Persis! Persis! Sejak awal aku sudah bilang begitu. Kenapa kita mesti membunuh
diri sendiri?" Tapi ucapan Cassie selanjutnya membuat Marco menahan kecewa.
"Kalau aku sih tidak bisa diam saja sementara ada orang yang dijadikan budak
Animorphs - 3 Pertempuran Bawah Air di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
oleh kaum Yeerk," ujar Cassie. "Mungkin aku memang..."
Ia angkat bahu. "Dengan kemampuan yang kumiliki..." Ia kembali angkat bahu.
"Pokoknya, aku tidak bisa diam saja."
"Begini, yang kita bicarakan di sini bukan orang-orang yang kita kenal," Marco
berdalih. "Mereka bukan temanku. Apalagi saudara." Sekilas ia melirik ke arah
Jake, seolah merasa bersalah. "Dan kita juga sudah berusaha sekuat tenaga untuk
menolong Tom. Jadi kenapa aku harus mati untuk orang yang tidak kukenal" Kita
takkan selamanya beruntung. Cepat atau lambat kita akan mengalami nasib sial.
Cepat atau lambat kita akan berkumpul sambil menangis karena Jake atau Rachel
atau Cassie atau Tobias jadi korban."
"Hei!" Rachel mendadak marah. "Asal tahu saja, aku sudah bosan membujukmu,
Marco. Kau mau mundur" Oke, MUNDURLAH!"
"Eh, Rachel, kau melakukan semua ini bukan cuma untuk menyelamatkan umat
manusia," balas Marco tak kalah sengit. "Tapi kau memang senang menantang
bahaya. Kau menyukainya. Karena itulah kau ikut dengan Tobias untuk membebaskan
burung tadi. Kau ikut bukan untuk menyelamatkan dunia, tapi cuma untuk senangsenang. Cuma untuk menyelamatkan seekor burung konyol."
Sekonyong-konyong Marco sadar ucapannya keterlaluan. Ia langsung terdiam. Yang
lain melirik ke arahku. Aku tahu mereka tidak enak hati. Rachel menatap Marco
dengan mata melotot.
atau tidak.> "Aku ikut," Rachel langsung memutuskan.
Cassie mengangguk. Jake tersenyum masam. "Aku juga."
Marco menggelengkan kepala. "Jangan," katanya.
"Ya, sudah. Terserah kau," balas Rachel.
"Bukan begitu," sahut Marco gusar. "Maksudku, jangan besok pagi. Besok kan hari
sekolah. Chapman pasti curiga kalau kita bolos ramai-ramai dan tahu-tahu kaum
Yeerk mengalami masalah."
Jake mengangkat alis. "Marco benar. Pulang sekolah saja." Ia menatap yang lain
sambil mengangguk. Aku agak sebal karena mereka mau menuruti saran Marco. Namun sarannya masuk
akal. Tingkah Marco memang sering bikin sebal, tapi sebenarnya ia anak pintar.
Aku jadi bimbang. Jangan-jangan komentarnya yang lain juga benar. Berapa kali
kami bisa menantang bahaya tanpa celaka" Berapa lama sampai anggota kelompok
kami tinggal empat" Atau dua" Atau malah habis sama sekali"
Chapter 6 JAKE menjelma sebagai peregrine falcon, jenis burung pemangsa yang sudah pernah
ditirunya. Marco dan Cassie sama-sama berubah menjadi burung osprey. Rachel
memilih elang berkepala botak. Karena kami semua berwujud burung, seharusnya
kami bisa terbang sama-sama ke pegunungan.
Hanya saja di negeri ini ada jutaan orang yang gemar mengamati burung di alam
bebas. Mereka orang baik-baik yang takkan pernah menyakiti burung. Mereka bukan
pemburu. Mereka cuma ingin mengamati burung yang sedang terbang atau bersarang.
Mereka pasti terbingung-bingung kalau melihat elang ekor merah, elang berkepala
botak, falcon, dan dua osprey terbang berombongan seakan-akan ada rapat besar
bangsa burung. Dan siapa tahu di antara para penggemar burung yang baik hati itu ada beberapa
Pengendali yang berhati busuk.
"Dasar tukang nonton burung!" Marco mendengus ketika kami masuk ke tengah hutan.
Kami berjalan melewati lapisan daun cemara yang menutupi tanah bagaikan karpet.
"Mestinya kita bisa terbang, eh gara-gara mereka, kita terpaksa jalan kaki.
Padahal jaraknya pasti jauh. Jangan-jangan tiga puluh kilometer!"
Pertanian Cassie dikelilingi hamparan rumput, berbatasan dengan hutan lindung.
Hutan itu luas sekali, membentang sampai ke pegunungan. Alamnya sangat indah,
belum terjamah tangan manusia.
"Aduh, Marco, jangan menggerutu terus, dong," ujar Cassie riang. "Ini kan
kesempatan untuk mencoba metamorfosis baru."
"Yeah," Jake menimpali. "Daripada duduk di rumah sambil membuat PR, kan lebih
enak berubah jadi serigala. Atau kau lebih suka mengerjakan soal-soal persamaan
kuadrat?" "Hmm, coba kupikir dulu," sahut Marco. "Matematika" Atau jadi serigala untuk
mencari gerombolan makhluk asing" Wah, aku mesti tanya guru pembimbing di
sekolah dulu. Ini kan masalah umum. Dia pasti punya saran bagus."
Karena kami tidak bisa terbang ramai-ramai, yang lain harus menjelma jadi
binatang yang mampu bergerak cepat di hutan. Dan kebetulan ada sepasang serigala
di gudang jerami Cassie....
Jake berhenti. Ia memandang berkeliling, lalu berkata, "Oke, di sini saja."
Kami berada beberapa ratus meter dari tepi hutan. Aku mendarat di dahan rendah
sebatang pohon ek yang besar sekali. Naluri elang dalam diriku menyuruhku
menoleh ke atas. Ternyata ada seekor tupai.
Begitu melihatku, tupai itu langsung berceloteh: Bahaya! Bahaya!
Hawk! Hawk! Aku menatapnya tanpa berkedip. Biji yang sedang dipegangnya langsung diselipkan
ke pipi, kemudian ia segera kabur.
"Aku mau tanya, nih," Marco berkata dengan nada sebal. "Kenapa aku harus berubah
jadi serigala betina?"
"Di klinik cuma ada sepasang serigala, satu jantan dan satu betina," Cassie
menjelaskan untuk kesepuluh kalinya. "Kalau dua dari kita meniru si jantan,
berarti ada dua serigala jantan. Dan dua serigala jantan mungkin akan berkelahi
untuk menentukan siapa yang berkuasa."
"Aku bisa mengendalikan diri kok," sahut Marco.
"Marco, sekarang saja kau dan Jake sudah saingan terus," Rachel berkomentar.
"Benar," Cassie menambahkan. "Bisa-bisa perjalanan kita terhambat gara-gara
perilaku jantan kalian yang primitif."
"Hei, waktu aku jadi gorila, aku bisa mengendalikan diri. Ya, kan?" Marco masih
terus memaksa. "Memang, Marco," sahut Rachel sambil mengedipkan mata. "Tapi itu lain. Pada
dasarnya kau memang sudah mirip gorila."
Cassie tertawa pelan. "Haha, lucu sekali," gerutu Marco .
"Kita sudah lempar koin." ujar Jake. "Dan aku menang. Jadi adil, kan?"
"Coba kuperiksa koin itu," kata Marco curiga.
Jake cuma tersenyum. "Oke, kita mulai saja. Cassie, kau mau duluan" Supaya kau
bisa membimbing kami nanti." Berdasarkan pengalaman, kami telah belajar bahwa
proses metamorfosis kadang-kadang sangat membingungkan. Jake pernah menjelma
sebagai kadal dan nyaris tak sanggup mengatasi naluri kadal yang selalu
ketakutan. Hal yang sama dialami Rachel ketika ia berubah jadi cecurut. Sampai
sekarang pun pengalaman itu masih suka mengejarnya dalam mimpi. Keinginan
menggebu-gebu untuk melahap belatung dan daging busuk memang bukan sesuatu yang
mudah dilupakan. Di pihak lain, Jake sempat menjelma sebagai kutu tanpa mengalami gangguan apa
pun. Otak kutu terlalu sederhana untuk menimbulkan masalah.
"Oke. Nanti kalian kuberitahu bagaimana rasanya." Cassie memejamkan mata dan
memusatkan pikiran. Tapi sejurus kemudian ia membuka mata lagi. "Tunggu. Aku mau
ganti baju dulu. Bisa-bisa aku malah terjerat bajuku sendiri nanti." Ia
menanggalkan seluruh pakaiannya kecuali baju senam ketat, melepaskan sepatu,
lalu berdiri dengan kaki telanjang di tanah yang tertutup daun cemara.
Yang pertama berubah adalah rambutnya. Dalam beberapa detik saja rambut hitamnya
yang amat pendek telah digantikan oleh bulu kasar berwarna keperakan. Bulu-bulu
itu menjalar dari kepala, melewati tengkuk dan pundak, lalu mengelilingi leher.
Kemudian hidungnya mulai menyembul ke depan.
Aku merinding. Meski sudah berkali-kali melihat, tetap saja kita ngeri melihat
orang berubah wujud. Rasanya seperti menonton mimpi buruk. Padahal Cassie punya
bakat alam. Ia bisa mengendalikan proses metamorfosis agar tidak tampak terlalu
mengerikan. Mungkin karena hidupnya sehari-hari dekat dengan banyak binatang.
Tapi tetap saja, hidungnya yang mulai menjorok ke depan, bukan pemandangan
indah. Telinganya menjadi runcing dan ditumbuhi bulu, lalu bergeser ke atas
sampai ujung-ujungnya hampir bersentuhan.
Matanya berubah dari cokelat tua menjadi cokelat keemasan. Bulu bermunculan di
sekujur tubuhnya, menggantikan baju senam pink dan hijau yang dipakainya. Dan
tiba-tiba saja ia telah berekor. Tulangnya berderak-derak ketika berpindah
posisi. Bagian atas lengannya bertambah pendek. Bagian bawahnya bertambah
panjang. Jari-jemarinya mengerut dan akhirnya lenyap sama sekali, sehingga yang
tersisa cuma kuku-kuku hitam pendek.
Sekali lagi terdengar bunyi berderak ketika lututnya berubah arah. Kakinya
mengecil dan berangsur-angsur tertutup bulu.
Cassie jatuh ke depan karena tak bisa lagi berdiri tegak.
Proses itu hanya berlangsung sekitar dua menit. Dalam waktu sesingkat itu Cassie
telah menjelma jadi serigala.
"Bagaimana rasanya?" tanya Jake.
Cassie tersentak dan berpaling ke arah Jake. Ia memperlihatkan gigi dan
menggeram keras-keras. Makhluk Taxxon pun pasti gentar kalau mendengar suaranya.
Giginya besar-besar. "Jangan ada yang bergerak," ujar Jake.
"Ide bagus," kata Marco. "Kita harus tetap diam. Soalnya taring-taring itu
benar-benar besar." Kami semua berdiri seperti patung. Kami sudah pernah menghadapi situasi seperti
ini. Kami tahu apa yang sedang terjadi.
Cassie sedang berjuang untuk menguasai naluri si serigala.
"Benar, nih?" tanya Rachel dengan nada waswas.
begitu hebat.> "Untung saja aku tidak lupa pakai deodoran tadi," Marco berkelakar.
Marco tertawa melihat Rachel langsung pasang tampang bersalah.
"Oooh, ketahuan kau. Gara-gara hidung ajaib Cassie."
"Ayo, kita mulai saja," kata Jake. "Waktu kita cuma dua jam."
Satu per satu mereka melirik ke arahku.
Diam-diam tentu saja. Aku adalah bukti nyata dari apa yang terjadi kalau batas waktu itu dilanggar.
Chapter 7 AKU iri pada mereka. Oke, kalau kita memang harus terperangkap dalam wujud binatang, rasanya elang
adalah pilihan nomor satu.
Tapi tetap saja aku iri. Teman-temanku kelihatan senang sekali setelah menjelma
sebagai serigala. Ini pasti pengalaman mengasyikkan bagi mereka.
Aku terbang melintasi hutan, tepat di atas pucuk-pucuk pepohonan, sementara
mereka lari di bawah. Saking gesitnya, aku tidak bisa bersantai-santai.
Sebenarnya kecepatan mereka tidak seberapa. Tapi mereka tidak pernah berhenti.
Tidak pernah istirahat. Mereka terus bergerak maju dengan kecepatan sekitar tiga puluh kilometer per
jam. Melompati batang-batang tumbang. Menyusup di antara pohon-pohon. Menerobos
semak-semak. Tak ada yang bisa memperlambat teman-temanku.
Ehm, sebenarnya sih itu tidak sepenuhnya benar. Ada dua hal yang sedikit
menghambat perjalanan mereka.
Yang pertama adalah Jake. Ia serigala jantan yang berkuasa. Pada kawanan
serigala, posisi itu disebut "alpha." Dan sebagai jantan alpha ia punya tugas
khusus.
bertanya setelah Jake berhenti untuk kelima kalinya.
semua jadi risi.> Hambatan kedua timbul ketika semua berhenti dan mulai melolong. Jake yang
memulai. Kami terkejut. Termasuk Jake sendiri.
"OWWW-ooooooooo-yow-yow-OOOOOO."
"Yow-yow-oooWWOOOO!"
Cassie dan Rachel pun tidak mau ketinggalan. "OOOO-yowwww-OWW-ooooo!"
Begitu mendengar mereka melolong-lolong, aku langsung mengitari pohon dan
terbang menghampiri mereka.
menduga-duga.
aku melihat "Cassie" mendongakkan kepala dan melolong sejadi-jadinya.
Aku mengepakkan sayap dan kembali terbang tinggi. Kawasan permukiman sudah
tertinggal jauh di belakang. Kami telah menempuh jarak cukup jauh dalam satu
jam. Hari menjelang senja. Waktunya kira-kira sama seperti ketika aku untuk
kedua kalinya bertemu pesawat yang tak tampak. Ketika pesawat itu menuju ke arah
pegunungan. Aku turun lagi ke pepohonan.
Aku membelok ke kiri, meluncur mengelilingi sebatang pohon, lalu mengepakkan
sayap untuk menambah ketinggian. Aku menanjak dengan pesat. Aku harus bekerja
keras. Tapi aku malah senang, karena usaha itu membantu mengalihkan pikiranku.
Kalau lagi sibuk, kita tidak punya waktu bersedih-sedih.
Setelah beberapa saat aku berhasil mendapatkan angin termal yang mendorongku ke
atas. Aku masih bisa melihat kawanan serigala di bawah yang sedang bergerak
cepat menembus hutan. Aku berusaha membayangkan bagaimana rasanya menjelma jadi serigala. Penciumannya
pasti luar biasa. Pendengarannya juga tajam sekali. Belum lagi keberaniannya, giginya yang tajam,
dan kecerdikannya. Mungkin aku akan menanyakannya pada Jake atau Rachel nanti.
Sekalian saja tanyakan bagaimana rasanya jadi manusia.
Barangkali mereka juga bisa bercerita tentang itu, pikirku dengan getir.
Berhenti, Tobias, aku menegur diriku sendiri. Stop!
Aku kuatir aku tidak bisa berhenti kalau aku sudah mulai menyesali nasib.
Mata elangku yang tajam terus mengamati langit di atasku. Tapi memang belum
waktunya pesawat itu muncul. Itu pun kalau pesawat itu datang. Belum tentu
mereka setiap hari kemari.
Kemudian, jauh di bawah, aku melihat sesuatu yang menarik perhatian. Ada iringiringan truk dan Jeep yang sedang menyusuri jalan tanah yang berliku-liku.
Jumlahnya sekitar lima kendaraan.
Semua berlambang Polisi Hutan dan tampaknya mereka terburu-buru.
Mereka menuju ke danau yang tampak di depan. Ketika tiba di tepi danau, iringiringan itu membelok keluar dari jalan dan menerobos di antara pepohonan. Tibatiba puluhan laki-laki berseragam melompat turun dari mobil-mobil itu. Mereka
segera menyebar di hutan.
Semua membawa senjata. Bukan senapan atau pistol, melainkan senapan mesin.
Hei, apa itu" Ada sesuatu yang melintas di langit!
Aku menoleh dan melihat dua helikopter. Keduanya terbang rendah di atas
pepohonan, lalu mulai mengitari danau. Keduanya juga berlambang Polisi Hutan.
Ada yang tidak beres, aku berkata dalam hati. Gerak-gerik mereka bukan seperti
Polisi Hutan, melainkan seperti prajurit.
Aku melihat setengah lusin laki-laki bersenjata mengepung sesuatu berwarna
kuning cerah. Sebuah tenda.
Dua pemuda - sepertinya mahasiswa - sedang memasak di depan tenda itu.
Mereka tampak kaget bercampur ngeri ketika menyadari enam orang bersenjata
mengepung mereka. Kedua pemuda itu digiring ke truk terdekat yang kemudian melesat dengan
kecepatan tinggi.
Animorphs - 3 Pertempuran Bawah Air di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku tidak tahu apa yang dikatakan para polisi itu kepada mereka. Bisa jadi para
Polisi Hutan memberitahu mereka bahwa ada buronan berbahaya di daerah itu. Atau
mungkin juga ada kebakaran hutan. Yang jelas, keduanya diangkut tanpa sempat
membereskan barang-barang mereka.
Kedua helikopter tadi mengelilingi danau, lalu mendarat bersamaan di tanah
terbuka di tepi seberang danau.
Jaraknya lebih dari satu setengah kilometer. Cukup jauh, bahkan untuk mata elang
sekalipun. Apalagi dalam cahaya sore yang semakin redup. Namun aku tetap bisa
melihat apa yang keluar dari kedua helikopter itu.
Satu melompat turun, menyusul satu lagi.
Tinggi mereka lebih dari dua meter. Dan penampilan mereka benar-benar
menakutkan. Tanduk-tanduk tajam sepanjang tiga puluh senti menyembul dari kepala
yang menyerupai kepala ular. Tanduk-tanduk serupa juga tampak di siku,
pergelangan tangan, dan lutut. Kaki mereka seperti kaki Tyrannosaurus rex.
Pasukan penggempur kaum Yeerk.
Prajurit Hork-Bajir. Chapter 8
itu aku masih berwujud manusia. Visser Three sedang mencemooh si Andalite yang
sudah tak berdaya. Sementara itu kami berlima meringkuk di balik tembok rendah.
Dan tak sampai dua meter dari tempat persembunyian kami, para Hork-Bajir
berjaga-jaga. Si Andalite sempat memberitahu kami bahwa bangsa Hork-Bajir sesungguhnya bangsa
yang cinta damai. Walaupun berpenampilan mengerikan, mereka sebenarnya bangsa
yang lemah lembut. Tapi kini semua Hork-Bajir telah menjadi Pengendali. Semua membawa makhluk Yeerk
dalam kepala masing-masing. Dan kini mereka tak lagi lemah lembut.
Aku langsung berbalik arah, teman-temanku harus segera diberitahu. Aku melintas
rendah di atas sekelompok Polisi Hutan, cukup rendah untuk membaca arloji salah
satu petugas. Teman-temanku sudah lebih dari satu jam berubah wujud.
Gawat. Batas waktu sudah dekat, sementara ada Hork-Bajir berkeliaran di hutan.
Tak lama kemudian aku sudah menemukan kawanan serigala yang kucari. Mereka masih
bergegas menembus hutan, tanpa kenal lelah. Hanya sesekali mereka berhenti agar
Jake dapat menandakan wilayah kekuasaannya.
Aku terbang menukik. Aku baru merentangkan sayap ketika berada tepat di atas
kepala mereka. "Yowl! Yip! Rrawr!" Mereka melompat-lompat. Jake memperlihatkan taringnya.
Aku mendarat di sebatang pohon tumbang.
Seketika, seolah diberi aba-aba, yang lain menyebar dan mengelilingiku. Kelimalimanya bersikap seperti kawanan serigala sungguhan, saat mengepung mangsa.
Tak ada jawaban. Jake menggeram kepada yang lain. Tunggu dulu. Lima" Lima
serigala" Jake, yang sebenarnya bukan Jake, berusaha menerkamku.
Hei! Serigala pada umumnya menghindari manusia, tapi mereka tidak segan-segan
memangsa burung kalau sedang lapar. Dan percayalah, serigala kelaparan dengan
mata menyala-nyala dan bulu tengkuk berdiri tegak bukan pemandangan yang
menyenangkan. Aku langsung mengepakkan sayap.
Aku berhasil mengelak dari serangan serigala jantan itu. Tapi serigala lain
masih mengelilingiku! Aku kembali mengepakkan sayap dan berhasil mengudara.
Dengan kalang kabut aku terbang melintasi lapisan daun cemara di permukaan
tanah. Siapa yang tidak panik kalau nyaris menjadi santap malam sekawanan
serigala" WUSSS! Angin bertiup pelan dari depan, tapi itu sudah cukup.
Aku langsung membubung tinggi. Kelima serigala yang mengejarku hanya bisa
melolong-lolong dan menyambar-nyambar udara karena kesal.
Sepuluh menit kemudian aku melihat kawanan serigala lain.
Kali ini jumlahnya kuhitung dulu. Empat serigala.
Tapi aku tetap waspada.
Aku mendarat di sebuah dahan rendah dan mengistirahatkan sayapku. Terus terang,
aku masih agak gemetaran karena nyaris membuat kesalahan fatal tadi.
danau. Dua pemuda yang sedang berkemah langsung diangkut naik truk, di bawah
todongan senjata.>
Rachel bertanya,
lewatkan begitu saja.>
berangkat. Jake paling depan.
Dengan hati-hati mereka mengelilingi sekelompok polisi gadungan. Tapi para
petugas sempat melihat mereka. Orang-orang itu bersiaga, namun segera kembali
tenang setelah tahu yang lewat cuma sekawanan serigala.
Aku memutuskan untuk terbang lebih tinggi. Sayangnya tak ada angin termal,
sehingga aku terpaksa menggunakan tenaga sendiri. Aku naik sampai ketinggian
beberapa ribu meter. Danau dan teman-temanku kelihatan jelas.
Tiba-tiba saja aku kembali merasakan kehadirannya.
Aku menoleh ke atas. Gelombang yang tak kelihatan. Riak yang melintas di langit.
Ya, riak itu terbang perlahan di atasku. Lebih pelan dari sebelumnya.
Dan sekonyong-sekonyong riak tersebut menampakkan bentuk sesungguhnya.
Chapter 9
teman-temanku.
Pesawat itu memang berukuran raksasa. Tapi kata raksasa pun masih kurang tepat.
Kau pernah melihat foto kapal tanker" Atau mungkin kapal induk" Itulah yang
kumaksud dengan ukuran raksasa. Dibandingkan benda ini, pesawat jumbo jet pun
tak lebih dari mainan. Bentuknya seperti ikan pari. Di tengah ada bagian tebal menggembung, dengan
sayap melengkung di kedua sisi. Di atas masing-masing sayap menyembul semacam
pipa. Ujung pipa yang menghadap ke depan menganga lebar. Bentuknya seperti
pengisap udara pada pesawat jet tempur, hanya saja jauh lebih besar. Mulut pipapipa itu cukup lebar untuk dilewati beberapa bus kota sekaligus.
Satu-satunya jendela di pesawat itu terletak pada suatu tonjolan kecil di bagian
depan. Pasti itu anjungannya, pikirku.
Aku memfokuskan mata, dan melihat bayangan sosok Taxxon di balik jendela.
Tapi yang paling mencolok adalah ukuran pesawat itu. Saking besarnya, matahari
pun terhalang. Tiba-tiba muncul sepasang pesawat tempur - Bug Fighter - dari bagian bawah pesawat.
Kami sudah pernah melihat pesawat tempur itu. Untuk pesawat antariksa, ukurannya
termasuk kecil. Memang tidak bisa diparkir di dalam garasi, tapi bisa didaratkan
di halaman depan rumah. Kedua pesawat tempur itu mirip kecoak dari logam, dengan
sepasang tonjolan mirip tombak berduri di kiri-kanan.
Aku mencoba bersikap seperti elang biasa yang tidak berbahaya. Aku terbang kian
kemari. Tapi pesawat utama itu benar-benar mencengangkan. Benda sebesar itu
tidak seharusnya melayang-layang di udara.
Tiba-tiba salah satu Bug Fighter menyusulku. Pesawat itu terbang rendah dengan
perlahan. Aku sempat melihat awaknya: satu Hork-Bajir dan satu Taxxon.
Bangsa Taxxon - dari segi jumlah - adalah Pengendali nomor dua. Mau tahu seperti apa
wujud makhluk Taxxon"
Hmm, bayangkanlah kelabang, atau kaki seribu, yang sangat besar.
Panjangnya kira-kira dua kali lebih panjang dari orang dewasa.
Badannya pun besar. Saking besarnya, tangan kita takkan bertemu kalau kita
memeluknya. Tapi siapa yang mau memeluknya" Makhluk Taxxon benar-benar menjijikkan. Dan
tidak seperti bangsa Hork-Bajir yang diperbudak dengan paksa, bangsa Taxxon
secara sukarela menjadi induk semang bagi kaum Yeerk. Mereka sekutu kaum Yeerk.
Apa sebabnya" Aku tidak tahu, dan aku juga tidak ingin tahu.
Pesawat Bug itu berlalu tanpa menggubrisku. Pesawat utama yang besar turun
pelan-pelan ke permukaan danau.
Itu ocehan Marco, tentu saja.
seekor burung melawan pesawat sebesar lapangan golf! Minta ampun deh!>
Pendekar Pedang Pelangi 8 Pendekar Super Sakti Serial Bu Kek Siansu 7 Karya Kho Ping Hoo Kaum Pemuja Setan 3