The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn Bagian 7
"Hewan memiliki perasaan yang dalam,"
hardik Shigeko. "Tapi dia tidak memiliki perasaan yang sama dengan manusia saat dipisahkan dari mereka
yang disayanginya." Shigeko beradu pandang dengan Hiroshi; gadis itu menahan tatapan Hiroshi selama beberapa
saat. Hiroshi yang berpaling lebih dulu.
"Dan mungkin kirin itu takkan kesepian di Miyako," kata Hiroshi dengan suara pelan, "karena
kau juga akan berada di sana."
Shigeko tahu maksud ucapan Hiroshi karena dia hadir saat Lord Kono mengatakan kalau istri
Saga Hideki meninggal baru-baru ini, kehilangan yang membuat bangsawan yang paling berkuasa di
Delapan Pulau bebas untuk menikah.
"Bila kirin merupakan hadiah yang sempurna bagi Kaisar," imbuhnya, "apa hadiah yang lebih
baik bagi jenderal Kaisar?"
Mendengar kegetiran dalam suara Hiroshi, Shigeko merasa gundah. Ia sudah lama menyadari
kalau Hiroshi mencintainya seperti ia mencintai laki-laki itu. Mereka berdua tahu apa yang ada di
benak masing-masing. Mereka berdua dilatih dengan Ajaran Houou, dan telah mencapai tahap
kesadaran serta kepekaan yang tinggi. Shigeko memercayai Hiroshi sepenuhnya. Namun
seperti tak ada gunanya membicara?kan perasaannya: ia akan menikahi orang pilihan ayahnya. Terkadang
ia bermimpi ayahnya memilih Hiroshi, dan terjaga dalam rasa bahagia. Terkadang ia bertanyatanya apa
bisa memilih calonnya sendiri karena kini ia penguasa Maruyama; terkadang ia sadar kalau tak
ingin mengecewakan ayah-nya. Shigeko dibesarkan dengan ajaran keras keluarga ksatria: ia tidak
bisa mematah?kannya begitu saja.
"Aku berharap tidak harus tinggal jauh dari Tiga Negara," gumamnya. Kirin berdiri begitu
dekat hingga bisa dirasakan hangatnya napas hewan itu di pipinya. "Kuakui, aku cemas dengan semua
tantangan yang me-nantiku di ibukota. Aku berharap perjalanan kita sudah berakhir"tapi di sisi lain aku
juga tak ingin perjalanan ini berakhir."
"Kau tak menunjukkan kecemasan saat bicara dengan Lord Kono tahun lalu," Hiroshi
mengingatkan. "Mudah untuk merasa percaya diri di Maruyama, saat dikelilingi begitu banyak orang yang
mendukungku"terutama kau."
"Kau juga akan mendapatkan dukungan itu di Miyako. Miyoshi Gemba juga akan berada di
sana." "Guru-guruku yang terbaik"kau dan dia."
"Shigeko," kata Hiroshi, memanggil dengan nama yang sering dilakukannya ketika gadis itu
masih kecil. "Jangan sampai ada hal yang mengurangi konsentrasimu selama penandingan itu. Kita
semua harus menyingkirkan keinginan pribadi untuk membiarkan ajaran kedamaian menang."
"Bukan menyingkirkan," sahut Shigeko, "tapi mengatasinya." Gadis itu terdiam, tidak berani
berkata apa-apa lagi. Lalu satu kenangan melintas di benaknya: pertama kali ia melihat sepasang
houou sewaktu kedua burung itu kembali ke hutan di sekitar Terayama untuk bersarang di pohon
pauwlonia dan membesarkan anak-anaknya.
"Ada ikatan yang kuat di antara kita," ujarnya. "Aku telah mengenalmu sejak kecil"bahkan
mungkin di kehidupan sebelumnya. Bila aku memang harus me?nikah dengan orang lain, ikatan itu jangan
pernah putus." "Tidak akan, aku bersumpah. Busur di
Halaman 626 dari 626 tanganmu, namun roh houou yang akan menuntun anak panahnya."
Shigeko tersenyum, yakin kalau pikiran dan tujuan mereka berdua telah menyatu.
Kemudian, sewaktu matahari tenggelam di ufuk barat, mereka berjalan ke bagian belakang
dek dan memulai latihan ritual kuno yang mengalir melewati udara bak air, namun mengubah otot dan
urat daging menjadi sekeras baja. Kilau sinar matahari mewarnai layar, membuat lambang bangau
Otori menjadi keemasan; panji-panji Maruyama berkibar di tali tiang kapal. Kapal pun tampak
bermandikan cahaya, seolah burung suci itu telah bertengger di atasnya. Langit di arah barat masih
memancarkan garis merah ketika di arah timur muncul bulan purnama dari bulan keempat.*
Beberapa hari setelah bulan purnama, Takeo meninggalkan Inuyama menuju wilayah Timur.
Kepergiannya dilepas dengan penuh semangat oleh penduduk kota. Saat itu ada perayaan
musim semi, ketika bumi hidup kembali, cairan dari dalam bumi mengalir ke pepohonan dan ke
dalam aliran darah semua orang. Kota itu dikuasai rasa percaya diri serta harapan karena Lord Otori bukan
hanya tengah mengunjungi Kaisar"tokoh yang dianggap separuh mistis oleh rakyat" tapi dia juga
meninggalkan seorang putra: kesedihan yang disebabkan oleh si kembar akhirnya tersingkir.
Tiga Negara belum pernah begitu sejahtera. Burung houou ber?sarang di Terayama, Lord Otori
akan meng?hadiahkan kirin kepada Kaisar; semua pertanda ini menegaskan apa yang dilihat
sebagian besar rakyat pada anak-anak mereka yang montok dan sawah yang subur. Semua ini
merupakan bukti dari penguasa yang adil dan memedulikan kesejahteraan rakyatnya.
Namun semua sorak sorai, tarian, bunga dan umbul-umbul tak mampu menyingkir?kan
kegelisahan Takeo. Meskipun ia ber?usaha menyembunyikannya, namun wajah tanpa ekspresi yang kini
menjadi kebiasaan?nya. Kecemasannya yaitu tidak adanya kabar dari Taku: apakah dia membelot atau
sudah mati. Kedua hal itu sama-sama musibah baginya, dan di satu sisi lagi, bagaimana dengan nasib
Maya" Takeo ingin sekali kembali dan mencari tahu sendiri, namun perjalanan membawa
dirinya makin jauh dari kemungkinan menerima kabar. Setelah me?mikirkan masak-masak, beberapa
di antara?nya diceritakannya pada Minoru, Takeo memutuskan untuk meninggalkan Kuroda
bersaudara di Inuyama, mengatakan bahwa mereka akan lebih berguna di sana, dan bahwa mereka harus
mengirim kurir secepat?nya bila ada kabar dari Taku.
"Jun dan Shin tidak senang," lapor Minoru. "Mereka bertanya kepadaku apa yang telah mereka
lakukan sehingga tidak dipercaya oleh Lord Otori."
"Tidak ada keluarga Tribe di Miyako," sahut Takeo. "Sungguh, aku tidak mem?butuhkan mereka
di sana. Tapi kau tahu, Minoru, kalau kepercayaanku pada mereka telah terkikis: bukan karena kesalahan mereka,
hanya karena aku tahu kesetiaan pertama mereka pasti pada Tribe."
"Kurasa Anda mestinya bisa lebih me?mercayai mereka," sahut Minoru.
"Mungkin aku menyelamatkan mereka dari pilihan yang menyakitkan, dan kelak mereka akan
berterima kasih padaku," sahut Takeo ringan, tapi sebenamya dia me?rindukan kedua
pengawal Tribe tersebut, merasa telanjang dan tidak terlindungi tanpa mereka berdua.
Empat hari keluar dari Inuyama, mereka berjalan melintasi Hinode, desa tempat Takeo pernah
beristirahat bersama Shigeru pada pagi setelah lari dari kejaran prajurit Iida Sadamu.
"Tempat kelahiranku berjarak satu hari perjalanan dari sini," komentarnya pada Gemba. "Aku
tidak melewati jalan ini lagi selama hampir delapan belas tahun. Aku ingin tahu apakah desa itu
masih ada. Di sanalah Shigeru menyelamatkan aku."
Halaman 627 dari 627 Tempat adikku, Madaren, dilahirkan, mengingatkan dirinya, tempat aku dibesarkan sebagai
orang Hidden. "Aku bertanya pada diriku sendiri, alangkah beraninya aku muncul di hadapan Kaisar. Mereka
semua akan membenciku k arena asal -usilk u."
Takeo dan Gemba berkuda berdampingan di jalur yang sempit, dan ia bicara pelan agar tidak
didengar orang lain. Gemba melihat sekilas ke arahnya lalu menyahut, "Kau tahu aku
membawa semua dokumen yang mem?buktikan keturunanmu dari Terayama: bahwa Lord Shigemori
adalah kakekmu, dan pengangkatanmu oleh Shigeru sah menurut hukum"dan disetujui oleh klan. Tak
ada yang bisa mempertanyakan legitimasimu."
"Tapi Kaisar sudah mempertanyakannya lebih dulu."
"Kau membawa pedang Otori, dan di?berkati dengan semua pertanda persetujuan Surga."
Gemba tersenyum. "Kau mungkin tidak menyadari kekaguman Shigeru saat membawamu pulang: kau
begitu mirip Takeshi. Seperti keajaiban: Takeshi tinggal cukup lama bersama kami sebelumnya.
Kakakku Kahri adalah sahabatnya. Rasanya seperti kehilangan saudara laki-laki tercinta. Namun
kesedihan kami tidak ada artinya dibandingkan dengan Lord Shigeru, dan itu
merupakan pukulan terakhir dari sekian banyak peristiwa buruk yang menimpanya."
"Ya, Chiyo menceritakan kisah-kisah kehilangannya. Hidupnya diliputi kesedihan dan nasib
buruk yang tidak layak diterima?nya; namun Shigeru tidak menunjukkannya. Aku ingat perkataannya
di malam pertama aku bertemu Kenji: Aku tidak diciptakan untuk berputus asa. Sering aku
memikirkan kata-kata ini, dan tentang keberaniannya saat kami berkuda ke Inuyama dalam pengawasan
Abe dan pasukannya. " "Kau harus mengatakan hal yang sama pada dirimu: kau tidak diciptakan untuk berputus asa."
Takeo berkata, "Seharusnya begitu, tapi dengan begitu banyak yang telah terjadi dalam
hidupku, itu menjadi suatu kepura?puraan."
Gemba tertawa. "Beruntunglah karena kau memiliki sekian banyak keahlian. Jangan remehkan
dirimu sendiri. Sifatmu mungkin lebih kelam dari Shigeru, tapi tak kalah kuatnya. Lihatlah apa yang
telah kau raih: hampir enam belas tahun kedamaian. Kau dan istrimu telah menyatukan semua pihak
yang bertikai di seluruh Tiga Negara; kau
menangani kesejahteraan negara dengan keseimbangan yang sempurna. Putrimu men?jadi
tangan kananmu, istrimu mendukung sepenuhnya di rumah. Percayalah pada mereka. Kau akan
membuat kalangan istana Kaisar terkesan sesuai dengan kemampuan?mu. Percayalah padaku." Gemba
terdiam dan setelah beberapa saat melanjutkan senandung kesabarannya.
Kata-kata Gemba terasa lebih dari sekadar menenangkan; kata-kata itu tidak menenang?kan
tapi justru membuat Takeo mampu menguasainya, dan akhirnya bisa melaluinya. Selagi tubuh dan
pikiran penunggangnya rileks, maka begitu pula dengan kudanya: Tenba menundukkan leher dan
mem?perpanjang langkahnya seolah jarak yang ditempuh tengah dilahapnya, hari demi hari.
Takeo merasa semua inderanya mulai terjaga: pendengarannya menjadi sama peka?nya saat
ia berusia tujuh belas tahun; mata dan tangan senimannya mulai bergerak lagi dengan
sendirinya. Saat mendiktekan surat di malam hari pada Minoru, rasanya ingin sekali mengambil kuas dari
tangan juru?tulisnya itu. Kadang Takeo memang melaku?kannya dengan cara menopang tangan
kanannya yang cacat dengan tangan kiri serta menjepit kuas dengan dua jarinya yang
ter?sisa, dibuatnya sketsa pemandangan yang ada di benaknya selama berkuda di siang hari:
sekawanan gagak beterbangan di sela-sela pepohonan cedar, barisan angsa di tebing dengan bentuk yang
aneh, seekor burung tila dan bunga lonceng di bebatuan. Minoru mengumpulkan sketsa-sketsa itu
lalu mengirimnya dengan surat-surat untuk Kaede, dan Takeo teringat pada lukisan burung tila
yang pernah ia berikan pada istrinya bertahun-tahun yang lalu di Terayama. Tangan cacatnya
selama ini telah mencegahnya untuk melukis, namun belajar untuk mengatasi kendala itu telah
mengasah bakat alaminya menjadi gaya lukisan yang unik dan luar biasa.
Halaman 628 dari 628 Jalanan dari Inuyama menuju perbatasan terawat baik dan cukup lebar untuk tiga penunggang
kuda berjalan berdampingan. Permukaan jalan rata karena Miyoshi Kahei dan pasukannya melewati
jalan ini beberapa minggu sebelumnya. Pasukan garda depan itu terdiri dari seribu orang yang
sebagian besar berkuda. Kahei juga membawa per?sediaan pangan di atas kuda beban dan
gerobak yang ditarik lembu. Sisanya akan bergerak dari Inuyama dalam beberapa minggu lagi.
Daerah perbatasan berbukit?bukit. Selain dari jalanan yang akan mereka lalui, puncaknya tak
bisa dilewati. Menyiagakan pasukan yang begitu besar selama musim panas membutuhkan banyak
sumber daya, dan banyak pasukan pejalan kaki yang berasal dari desa-desa tempat panen
tidak bisa dilakukan tanpa tenaga mereka di ladang.
Takeo dan rombongannya berjumpa dengan Kahei di dataran tinggi tepat di bawah jalur
sempit. Saat itu udara masih dingin, rumput tepercik bintik putih salju terakhir, air sungai dan kolam
membeku. Pos perbatasan kecil dibangun di sini, meski tidak banyak pengembara yang melakukan perjalanan
dari wilayah Timur melewati jalur darat karena lebih memilih jalur laut melalui Akashi. Gugusan
Awan Tinggi menjadi perbatasan alami yang selama bertahun?tahun membuat Tiga Negara
terlindungi, terabaikan bagian negara yang lain, tidak dikuasai atau dilindungi Kaisar.
Kemah yang dibangun tampak teratur dan disiapkan dengan baik: kuda-kuda berada di
barisannya, pasukan dipersenjatai lengkap serta terlatih. Dataran itu sudah diubah dengan
pagar penghalang yang didirikan dengan formasi kepala anak panah di sepanjang tepi dan gudang
penyimpanan dibangun dengan cepat untuk melindungi persediaan makanan dari cuaca dan
hewan. "Ada cukup tempat di ujung dataran bagi pasukan pemanah," tutur Kahei. "Tapi kita juga
memiliki cukup senjata api saat prajurit pejalan kaki datang dari Inuyama untuk mempertahankan
jalan bermilmil di belakang kita, begitu pula dengan pedesaan di sekitarnya. Kita akan mendirikan blokade.
Tapi jika mereka masuk ke daerah di sekitarnya, kita akan gunakan kuda dan pedang."
The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia menambahkan, "Apakah kita tahu senjata apa yang mereka miliki?"
"Waktu mereka kurang dari setahun untuk mendapatkan atau menempa senjata api serta
melatih pasukan untuk menggunakannya," sahut Takeo. "Kita lebih unggul dalam hal itu. Kita juga
memiliki pasukan pemanah: senjata tidak bisa diandalkan saat hujan atau angin. Aku berharap bisa
mengirim pesan padamu. Aku akan mencari tahu sebisanya"
tapi aku harus kelihatan seperti mencari kedamaian; aku tidak boleh memberi alasan bagi
mereka untuk menyerang. Semua persiapan ini demi mempertahankan Tiga Negara; kita tidak
mengancam siapa pun di luar perbatasan wilayah kita. Kau harus tetap di dataran ini dalam posisi yang
murni bertahan. Kita jangan sampai memancing Saga atau menantang Kaisar."
"Rasanya aneh melihat Kaisar dengan mata kepala sendiri," komentar Kahei. "Aku iri padamu:
kami mendengar tentang Kaisar sejak kami masih kecil; beliau adalah keturunan dewa, kendati
selama bertahun?tahun aku tidak percaya kalau beliau memang benar-benar ada."
"Klan Otori kabarnya adalah keluarga Kaisar," sahut Gemba. "Karena ketika Takeyoshi
diberikan Jato, bayi dalam kandungan salah seorang selir Kaisar juga akan djodohkan dengannya." Gemba
ter?senyum pada Takeo. "Maka kau pun memiliki darah yang sama."
*Agak tercampur setelah benahun-tahun," sahut Takeo dengan nada ringan. "Tapi mungkin
karena beliau adalah kerabatku maka akan memandangku dengan sikap yang
bersahabat. Bertahun-tahun lalu Shigeru mengatakan bahwa karena kelemahan sang Kaisar
sehingga orang seperti lida bisa merajalela tanpa bisa diawasi. Maka sudah menjadi
kewajibanku untuk memperkuat kedudukan Kaisar. Beliau adalah penguasa Delapan Pulau." Takeo
melayangkan pandangan ke arah gugusan gunung yang warnanya berubah menjadi ungu tua di bawah
cahaya malam. Langit tampak ber-warna putih kebiruan, dan bintang-bintang pertama mulai
bermunculan. "Aku hanya tahu scdikit tentang sisanya: bagaimana pemerintahannya, apakah mereka
sejahtera, apakah rakyatnya bahagia. Semua ini harus dicari tahu"dan dibicarakan."
Halaman 629 dari 629 "Dengan Saga Hideki-lah kau harus bicarakan semua itu," sahut Gemba. "Karena saat ini dialah
yang mengendalikan dua pertiga negara, termasuk Kaisar."
"Tapi kita tidak akan membiarkannya mengendalikan Tiga Negara," seru Kahei.
Ketidaksetujuan Takeo tidak diperlihatkan terang-terangan pada Kahei, tapi secara pribadi,
seperti biasa, ia telah memikirkan tentang negaranya dan cara terbaik untuk melindunginya. Takeo
sudah menyaksikan kehancuran dan kehilangan korban manusia akibat perang dan gempa. Ia tak ingin
menyerahkan negara yang telah makmur ini pada Zenko, tapi juga tidak ingin melihatnya terpecah belah
dan berperang lagi. Ia tidak percaya kalau Kaisar adalah dewa yang harus disembah. Tapi ia
menyadari pentingnya kaisar sebagai simbol kesatuan, dan siap untuk tunduk pada Kaisar demi
mem?pertahankan kedamaian dan meningkatkan kesatuan seluruh negara.
Namun aku takkan menyerahkan Tiga Negara kepada Zenko. Berulang kali dirinya kembali lagi
pada keyakinan ini. Aku takkan melihatnya berkuasa menggantikan diriku.
Mereka menyeberangi jalur perbatasan saat bulan menghilang, dan sebelum bulan penuh lagi
mereka hampir tiba di Sanda, kota kecil yang berada di jalur antara Miyako dan Akashi. Selagi
menuruni lembah, sekaligus memeriksa jalur pulang mereka"dan tempat sepasukan kecil pasukan
kemungkinan berbelok dan menghadang musuh bila diperlukan"Takeo mempelajari keadaan
desadesa, sistem pertanian, kesehatan anak?anak, kerap berkuda keluar dari jalan memasuki distrik di
sekitarnya. Ia tercengang
menemukan bahwa ia tak dikenal penduduk desa: reaksi mereka seolah kedatangan pahlawan
dari legenda yang mendadak muncul di tengah-tengah mereka. Di malam hari terdengar olehnya
penyanyi buta melantunkan lagi kisah Klan Otori: peng?khianatan atas Shigeru dan kematiannya,
kejatuhan Inuyama, perang Asagawa, mundur ke Katte Jinja serta pengambilalihan kota Hagi. Ada juga
nyanyian baru yang digubah tentang kirin karena hewan itu bersama putri Lord Otori yang
cantik tengah ditunggu di Sanda.
Daerah itu terbengkalai: Takeo terkejut dengan rumah-rumah yang setengah runtuh, sawah
yang tidak digarap. Ia tahu dalam perjalanan, dengan bertanya pada para petani, bahwa temyata
semua wilayah itu bertempur habis-habisan melawan Saga sebelum akhirnya menyerah dua tahun
lalu. Sejak itu pasukan bersenjata dan buruh yang dibutuhkan telah melemahkan sumber daya
manusia desa-desa tersebut. "Tapi setidaknya kini sudah damai, dan kami berterima kasih pada Lord Saga," kata salah
seorang laki-laki yang lebih tua. Takeo ingin tahu berapa banyak pengorbanan yang
mereka lakukan, dan masih ingin bertanya?tanya lebih banyak lagi, tapi saat makin
mendekati kota ia bergabung lagi dengan rombongannya dengan sikap yang lebih formal. Banyak dari orangorang itu
mengikutinya, berharap melihat kirin secara langsung. Ketika tiba di Sanda, mereka ditemani
oleh sekerumunan besar orang, dan makin bertambah ketika penduduk kota ber?hamburan keluar
untuk bertemu dengannya. Mereka melambaikan umbul-umbul serta rumbai-rumbai, menari dan
menabuh genderang. Sanda merupakan kota per?dagangan dan tidak memiliki kastil atau benteng.
Masih tampak sisa-sisa kehancuran akibat perang, tapi sebagian besar toko dan rumah yang hangus
terbakar sudah dibangun kembali. Ada beberapa rumah penginapan besar di dekat kuil; di
jalan utama di depan mereka, Takeo dipertemukan dengan sekelompok kecil prajurit, membawa
panji?panji bergambarkan puncak gunung kembar lambang Klan Saga.
"Lord Otori," ujar pemimpinnya, laki-laki bertubuh besar dan gemuk yang meng?ingatkan
Takeo pada Abe, pengawal senior Lord Iida. "Namaku Okuda Tadamasa. Ini
putra sulungku, Tadayoshi. Pemimpin kami yang agung dan jenderal Kaisar meng?ucapkan
selamat datang kepada Anda. Kami diutus untuk mendampingi Anda." Orang itu bicara dengan bahasa
resmi dan sopan. Sebelum Takeo sempat menjawab, Tenba meringkik lantang. Di atas atap laman di
penginapan muncul kirin dengan telinga yang seperti kipas, kepala bermata besar di atas
leher panjang bercorak. Kerumunan orang berseru kegirangan dengan serempak. Mata dan hidung
kirin Halaman 630 dari 630 tampak mencari-cari sahabatnya. Ketika melihat Tenba, wajahnya melembut seakan
tersenyum; dan bagi kerumunan itu, kirin seakan tersenyum pada Lord Otori.
Bahkan Okuda pun tak mampu menahan diri untuk meliriknya. Ekspresi kekaguman melintas
sesaat di wajahnya. Ototnya ber?kerut tegang berusaha keras menahan diri, matanya terbelalak.
Putranya, pemuda ber-usia kira-kira delapan tahun, terang-terangan menyeringai.
"Aku berterima kasih pada Anda dan Lord Saga," sahut Takeo tenang, mengabaikan keheranan
itu seolah kirin hanyalah hewan peliharaan biasa. "Kuharap Anda bisa mem
beri kehormatan dengan mengajakku dan putriku makan malam bersama."
"Kurasa Lady Maruyama sudah menunggu di dalam," sahut Okuda. "Aku terima undangan Anda
dengan senang hati."
Mereka semua turun dari kuda. Para pengurus kuda berlarian menghampiri untuk mengambil
tali kekang. Pelayan bergegas datang ke tepi beranda membawa baskom air untuk mencuci kaki
para tamu. Pemilik penginapan pun muncul, seorang tokoh penting dalam pemerintahan kota itu;
dia berkeringat karena gugup; membungkuk rendah, kemudian bangkit, mengatur pelayan dengan
banyak instruksi dan tepukan tangan, serta menggiring Takeo dan Gemba ke kamar tamu
utama. Kamarnya cukup menyenangkan, meski?pun tidak mewah. Alas lantainya masih baru dan
wangi, dan pintu-pintu bagian dalam terbuka ke arah taman kecil yang berisikan rumput dan sebongkah
batu hitam yang tidak biasa, seperti miniatur puncak kembar gunung.
Takeo menatapnya, seraya mendengarkan hiruk-pikuk kesibukan dalam penginapan di
sekelilingnya, suara bersemangat sang pemilik
penginapan. Kegiatan di dapur selagi makan malam disiapkan, ringkikan Tenba dari istal, dan
terakhir suara putrinya, langkah kakinya di luar. Takeo berbalik saat pintu bergeser terbuka.
"Ayah! Aku sudah tak sabar ingin bertemu ayah!"
"Shigeko," sahutnya, lalu dengan penuh kasih sayang, "Lady Maruyama!"
Gemba yang sedari tadi duduk di beranda sebelah dalam, kini berdiri dan menyerukan kata
yang sama. "Lady Maruyama!"
"Lord Miyoshi! Aku senang bertemu Anda." "Hmm, hmm," sahutnya seraya ter?senyum lebar
dan bersenandung riang. "Kau tampak baik."
Benar, pikir Takeo, putrinya bukan hanya berada di puncak kecantikan masa mudanya, tapi
juga memancarkan kekuatan dan kepercayaan diri seorang perempuan dewasa, seorang penguasa.
"Dan Ayah lihai bawaanmu tiba dengan sehat," ujar Takeo.
"Aku baru kembali dari kandang kirin. Hewan itu senang bertemu dengan Tenba. Agak
mengharukan. Tapi apa Ayah baik-baik saja" Perjalanan Ayah lebih berat. Ayah tidak
merasa kesakitan?" "Ayah baik-baik saja," sahutnya. "Cuaca hangat seperti ini rasa sakitnya masih bisa diatasi.
Gemba adalah teman seperjalanan yang baik, dan kudamu itu luar biasa."
"Tidak ada kabar dari rumah?" tanya Shigeko.
"Tidak ada, tapi karena Ayah tidak menunggu kabar, maka ketenangan ini tidak membuat Ayah
cemas. Di mana Hiroshi?" tanyanya.
"Dia sedang menengok keadaan kuda dan kirin," sahut Shigeko dengan tenang. "Bersama Sakai
Masaki, yang ikut bersama kami dari Maruyama."
Takeo mengamati putrinya yang tidak menunjukkan emosi apa pun. Setelah beberapa saat ia
bertanya, "Ada pesan dari Taku di Akashi?"
Halaman 631 dari 631 Shigeko menggeleng. "Hiroshi juga tengah menunggu sesuatu, tapi tak satu pun orang Muto di
sana mendapat kabar darinya. Mungkinkah terjadi sesuatu?"
"Aku tidak tahu; sudah lama tidak ada kabar darinya."
"Aku bertemu dengannya dan Maya di Hofu sebelum kami berangkat. Maya datang
untuk melihat kirin. Dia sehat, lebih mantap, juga lebih bisa menerima anugerah bakatnya
dan lebih bisa mengendalikannya."
"Kau anggap kerasukan itu sebagai anugerah?" seru Takeo, terkejut.
"Kelak akan begitu," sahut Gemba, lalu dia dan Shigeko saling tersenyum.
"Jadi, katakan padaku para Guru Besar?ku," ujar Takeo sinis, menyembunyikan kekesalannya.
"Mestikah aku mencemaskan Taku dan Maya?"
"Karena kau tak bisa berbuat apa-apa dari sini," Gemba menjelaskan, "maka tak ada gunanya
membuang energimu dengan mengkhawatirkan mereka. Kabar buruk cepat tersebar: kau akan
mendengarnya secepatnya."
Takeo menyadari kearifan kalimat ini, lalu berusaha menyingkirkan masalah ini dari benaknya.
Tapi di malam-malam selanjut?nya, selagi mereka melanjutkan perjalanan ke ibukota, ia sering
memimpikan kedua putri kembarnya, dan di dunia lain yang berkabut itu, disadarinya kalau mereka berdua
tengah menjalani semacam ujian berat yang aneh. Maya berkilau bak emas, menarik semua cahaya
dari Miki yang dalam mimpinya terlihat sehebat dan setajam sebilah pedang. Sekali dia bermimpi mereka berdua sebagai
kucing dan bayangannya: ia memanggil?manggil, tapi meskipun menengok, keduanya bukan saja lidak
melihat dirinya tapi juga berlari menjauh dengan langkah tak ter?dengar hingga berada di luar
jangkauan pendengaran dan perlindungannya. Takeo terbangun dengan perasaan kehilangan yang begitu
menyakitkan kalau kedua putrinya itu bukan anak-anak lagi. Bahkan bayi laki?lakinya akhirnya
akan tumbuh menjadi laki?laki dewasa dan menantang dirinya; bahwa orangtua membesarkan
anak-anak hanya untuk digantikan kedudukannya oleh mereka, bahwa harga yang hams dibayar untuk
kehidupan adalah dengan kematian.
Malam terasa lebih pendek, dan saat matahari makin bersinar cerah, Takeo kembali dari dunia
mimpi, mengumpulkan kembali tekad dan kekuatannya untuk melakukan tugas yang ada di
hadapannya, membingungkan lawan-lawannya dan me?menangkan keberpihakan mereka,
memper?tahankan negara serta Klan Otori, di atas segalanya, mencegah tejadinya perang.*
Perjalanan berlanjut tanpa insiden. Ini adalah waktu yang paling tepat untuk melakukan
perjalanan. Siang kian panjang seiring makin dekatnya waktu ketika matahari berada pada jarak terjauh
dari garis khatulistiwa. Okuda nampak terkesan"pada kirin, pada kuda Maruyama, dan pada Shigeko
yang memilih untuk berkuda di sisi ayahnya; laki-laki itu banyak bertanya pada Takeo tentang Tiga
Negara, perdagangan, administrasi, dan kapal. Jawaban jujur Takeo membuat mata?nya makin
terbelalak. Kabar tentang kedatangan kirin sudah sampai mendahului mereka, dan sewaktu mendekati
ibukota, kerumunan orang semakin banyak saat penduduk kota berhamburan keluar untuk menyambut.
Mereka membuat hari itu sebagai hari libun mereka mengajak istri dan anak dengan
mengenakan pakaian berwarna cerah, menggetar tikar dan mendirikan payung penahan sinar matahari
warna merah tua serta tenda putih, makan dan minum dengan gembira. Takeo merasakan semua kemeriahan ini
sebagai pemberkatan atas per?jalanannya, menyingkirkan pertanda buruk dari eksekusi di
Inuyama. Halaman 632 dari 632 Kesan ini di?perkuat dengan Lord Kono yang mengirim undangan untuk mengunjunginya pada
malam
The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pertama di ibukota. Kota itu dikelilingi tebing; danau besar di bagian utara menyediakan kota itu dengan air dan
ikan. Dua sungai yang mengaliri kota dihubungkan dengan beberapa jembatan yang indah. Kota itu
dibangun seperti kota kuno di Shin: berbentuk persegi dengan jalan lebar terbentang dari utara sampai
ke selatan, dengan jalanan yang lebih kecil bersaling?silang. Istana kekaisaran terletak di ujung
jalanan utama, di sebelah biara agung.
Takeo serta rombongannya menginap di kediaman yang tidak jauh dari tempat Kono. Sebuah
kandang dibangun dengan tergesa?gesa untuk kirin. Takeo berpakaian dengan ekstra hati-hati
untuk menghadiri pertemuan itu, lalu menaiki salah satu tandu mewah ber?pernis yang diangkut
dengan kapal laut dari Hagi menuju Akashi. Hadiah-hadiah untuk Kono dibawa oleh sebarisan pelayan:
produk Tiga Negara yang menjadi bukti kesejahteran dan pemerintahan yang baik, apa saja yang
dinikmati atau dikagumi Kono selama di wilayah Barat"salah satu hasil pengintaian Taku.
"Lord Otori telah tiba di ibukota saat matahari mendekati titik puncaknya," seru Kono. "Waktu
yang amat menguntungkan. Aku berharap dengan amat sangat atas ke?berhasilan Anda."
Ini orang yang membawa kabar bahwa pemerintahanku ilegal dan Kaisar memintaku agar
turun takhta serta mengasingkan diri, Takeo memperingatkan dirinya. Aku tidak boleh terbuai pada
sanjungannya. Takeo tersenyum dan berterima kasih pada Kono, lalu berkaia, "Semua ini ada
di tangan Surga. Aku akan tunduk pada kehendak Yang Mulia Kaisar."
"Lord Saga ingin sekali bertemu Anda. Apakah besok tidak terlalu cepat" Beliau ingin
menyelesaikan beberapa masalah se?belum musim hujan mulai."
"Tentu saja." Takto bisa melihat tidak ada gunanya menunda. Hujan pasti akan menahan
dirinya di ibukota sampai bulan ketujuh: tiba-tiba dilihat dirinya sendiri kalah
dalam pertandingan itu. Lantas apa yang harus ia lakukan" Bersembunyi di kota yang lembap
dan menjemukan ini sampai dirinya bisa menyelinap pulang dan mengatur pengasingan dirinya
sendiri" Atau mencabut nyawanya sendiri, meninggalkan Shigeko sendirian di tangan Saga, di bawah
kekuasaannya" Apakah ia memang tengah mempertaruhlan Tiga Negara, dirinya dan putrinya,
dalam sebuah pertandingan"
Takeo tak menunjukkan sedikit pun kekhawatirannya, tapi justru menghabiskan sisa malam itu
dengan mengagumi koleksi Kono dan membicarakan tentang lukisan dengan orang tersebut.
"Sebagian di antaranya adalah milik ayahku," tutur Kono ketika salah satu pen?dampingnya
membuka bungkusan sutra yang berisi benda-benda berharga. "Tentu saja sebagian besar koleksnya
sudah hilang.... Tapi kita tidak perlu mengingat masa-masa yang tidak menyenangkan itu. Aku minta
maaf. Aku pernah mendengar kalau Lord Otori sendiri adalah seniman yang berbakat."
"Aku sama sekali tidak berbakat," sahut Takeo. "Tapi melukis memberi kenikmatan besar
bagiku; meski aku tak sempat melakukannya." Kono tersenyum dan mengerutkan bibirnya dengan sengaja.
Tak diragukan lagi dia pasti berpikir kalau tak lama lagi aku ada waktu luang yang banyak,
renung Takeo, dan tak bisa menahan diri untuk tersenyum juga pada ironinya keadaan dirinya.
"Aku memberanikan diri untuk meminta Anda memberikan salah satu karya Anda. Dan Lord
Saga pasti gembira kalau bisa menerima satu juga."
"Kau berlebihan menyanjungku," sahut Takeo. "Aku tidak membawanya. Beberapa sketsa yang
kubuat selama perjalanan sudah kukirim pada istriku."
Halaman 633 dari 633 "Menyesal aku tidak bisa membujuk Anda," seru Kono dengan hangat. "Menurut pengalamanku,
semakin jarang seniman memamerkan karyanya, berarti semakin besar bakatnya. Seperti
harta terpendam, itu justru lebih mengesankan dan lebih ber?harga."
Kemudian dia melanjutkan dengan halus, "Putri Anda tentunya merupakan harta Lord Otori
yang paling berharga. Dia akan menemani Anda besok?"
Kedengarannya hanya sebagian dari sebuah pertanyaan. Takeo agak memiringkan kepala.
"Lord Saga amat menantikan bertemu dengan lawannya," gumam Kono.
*** Lord Kono datang keesokan harinya bersama Okuda, ayah dan anak, serta ksatria lain dari
kediaman Saga, untuk menjemput Takeo, Shigeko, dan Gemba ke kediaman jenderal itu. Sewaktu
mereka turun dari tandu di taman sebuah kediaman yang besar serta megah, Kono bergumam, "Lord Saga
memintaku untuk menyampaikan per?mintaan maafnya. Beliau sedang membangun kastil baru
" kelak akan ditunjukkannya pada Anda. Untuk sementara, beliau khawatir Anda merasa kalau
kediamannya ini terlalu sederhana"tidak sebanding dengan yang biasa Anda lihat di Hagi."
Takeo menaikkan alisnya dan melihat sekilas ke wajah Kono, tapi tidak dilihat adanya sindiran
di sana. "Kami mendapat keuntungan hidup selama bertahun-tahun dalam kedamaian,"
sahut Takeo. "Kendati demikian, aku yakin tak satu pun yang kami miliki di Tiga Negara bisa
dibandingkan dengan kemegahan ibukota. Kalian pasti memiliki perajin paling terampil, serta
seniman yang paling berbakat."
"Menurutku, orang-orang seperti itu mencari lingkungan yang tenang agar bisa menghasilkan
karya seni mereka. Banyak yang pergi dari ibukota dan baru sekarang?sekarang ini mulai kembali.
Lord Saga memberi banyak komisi. Beliau sangat mengagumi semua bentuk seni."
Minoru juga menemani mereka dengan membawa gulungan berisi silsilah keluarga dari semua
yang datang dan daftar hadiah untuk Lord Saga. Hiroshi memohon undur diri, berdalih tak ingin
meninggalkan kirin tidak terjaga, meski Takeo menduga ada alasan lain: kesadaran pemuda
itu akan kurangnya status dirinya, juga rasa enggan bertemu laki-laki yang mungkin akan dinikahi
Shigeko. Okuda, mengenakan pakaian formal ketimbang baju zirah yang dia pakai sebelumnya,
membimbing mereka berjalan menelusuri beranda yang lebar dan melewati
banyak ruangan yang masing-masing dihiasi lukisan yang cemerlang, warna-warna cerah
berlatar berwarna emas. Takeo tak tahan untuk tidak mengagumi ketegasan desain dan kemahiran
pembuatannya. Namun dirasakannya semua lukisan itu dibuat untuk memamerkan kekuatan
dari penguasa: semuanya berbicara tentang kemenangan; tujuannya adalah untuk mendominasi.
Ada lukisan burung merak berjalan dengan angkuh di bawah lebatnya pepohonan pinus. Dua
ekor singa mistis berjalan di sepanjang dinding; naga dan harimau saling meng?geram; elang
menatap dengan berlagak penting dari tempat yang memungkinkan pandangan luas dan jelas di puncak
tebing kembar. Bahkan ada juga sepasang burung houou sedang mematuk daun bambu.
Di ruangan terakhir inilah Okuda meminta mereka menunggu, sementara dia pergi bersama
Kono. Takeo telah menduga ini: ia pun kerap menggunakan tipu muslihat yang sama. Tak seorang
pun bisa dengan mudah bertemu seorang penguasa. Takeo menenangkan diri sambil memandang
lukisan burung houou. Ia yakin si seniman belum pernah melihat burung itu, namun
melukisnya dari legenda. Dilayangkannya pikirannya ke biara Terayama, ke hutan suci
pepohonan pawlonia di mana burung houou tengah menetas. Di benaknya ia melihat Makoto, sahabat
karibnya yang mengabdikan diri pada Ajaran Houou; ia merasakan kekuatan spiritual sahabatnya itu
dalam diri kedua pendampingnya yang ada di dekatnya, Gemba dan Shigeko. Mereka duduk tanpa bicara,
dan dirasakannya energi dalam ruangan itu semakin menguat, memenuhi dirinya dengan rasa
percaya diri Halaman 634 dari 634 yang mantap. Dipasang telinganya seperti yang pernah dilakukanya di kastil Hagi ketika
dipaksa menunggu dengan cara yang sama; di sana ia dengar pengkhianatan para paman Shigeru. Kini
ia dengar Kono berbicara pelan pada seorang laki-laki yang diduganya adalah Saga, tapi mereka
hanya membicarakan hal?hal yang biasa-biasa saja.
Kono sudah diperingatkan tentang pen?dengaranku, pikirnya. Apa lagi yang telah diungkap
Zenko kepadanya" Takeo mengenang masa lalunya yang hanya diketahui oleh Tribe; seberapa banyak yang Zenko
tahu" Beberapa saat kemudian Okuda datang
bersama seorang laki-laki yang diperkenal?kannya sebagai kepala pelayan dan pengurus
administrasi Lord Saga. Orang itulah yang akan mendampingi mereka ke ruang pertemuan, menerima
daftar hadiah yang disiapkan Minoru serta mengawasi para jurutulis yang mencatat acara yang akan
ber?langsung. Dia membungkuk sampai ke lantai di hadapan Takeo dan berbicara dengan
sopan santun yang luar biasa. Jalan lebar mengkilap membawa mereka melewati taman kecil yang indah menuju ke
bangunan lainnya yang jauh lebih besar dan lebih indah. Cuaca hari itu terasa semakin hangat, dan
gemericik air di kolam dan tangki air memberi perasaan dingin. Takeo bisa mendengar burung-burung di
sangkar berkicau di suatu tempat di kediaman ini, dan menduga semua itu peliharaan Lady Saga; lalu
teringat kehilangan tragis yang dialami Saga. Sesaat ia merasakan ketakutan akan istrinya yang begitu
jauh: bagaimana ia bisa bertahan bila istrinya tiada" Bisakah ia hidup tanpa istrinya" Menikah lagi
demi alasan negara" Teringat lagi nasihat Gemba, disingkir?kannya pikiran itu jauh-jauh, memusatkan
perhatiannya pada laki-laki yang akan ditemuinya.
Kepala pelayan itu berlutut, menggeser layar kasa agar terbuka dan menyembah hingga
kepalanya menyentuh lantai. Takeo melangkah masuk dan membungkuk. Gemba mengikutinya, tapi
Shigeko menunggu di ambang pintu. Hanya ketika Takeo dan Gemba diminta duduk tegak, barulah
gadis itu masuk dengan gerakan anggun dan menyembah di sebelah ayahnya.
Saga Hideki duduk di ujung ruangan. Ruang kecil di sebelahnya terdapat lukisan dengan gaya
daerah daratan utama. Shin. Mungkin itu lukisan bernama Genta Malam Hari dari Biara di Kejauhan
yang termahsyur, yang pernah Takeo dengar tapi belum pernah dilihatnya. Dibandingkan dengan ruangan
lainnya, dekorasi ruangan ini yang paling sederhana, seolah tak ada yang boleh menyaingi
kuatnya kehadiran orang itu. Ternyata efeknya luar biasa, pikir Takeo. Lukisan yang bersifat pamer
hanya menjadi pembungkus berhias: di sini hanya pedang yang dipamerkan, tak perlu hiasan, hanya
baja tajam nan mematikan itu. Semula Takeo mengira Saga adalah orang
yang brutal serta gegabah; kini ia mengubah pendapatnya. Mungkin kejam, tapi tidak gegabah
"dia laki-laki yang mengendalikan pikiran sama ketatnya dengan mengendalian tubuhnya. Tak
diragukan lagi kalau ia meng?hadapi lawan yang menakjubkan. Disesalinya kekurangan dirinya, kurang
terampil memanah, dan kemudian mendengar setiap senandung pelan dari sisi kirinya, tempat Gemba
duduk dengan sikap rileks. Dan tiba?tiba dilihatnya kalau Saga takkan bisa di?kalahkan dengan
kekuatan, tapi justru dengan kelembutan.
Shigeko tetap membungkuk dalam-dalam sementara kedua orang itu saling menatap. Usia
Saga pasti beberapa tahun lebih tua dari Takeo, mendekati empat puluh tahun, dengan tubuh gemuk
laki-laki separuh baya. Namun orang itu memiliki keluwesan yang tidak sesuai dengan usianya: duduk
dengan nyaman, gerakannya pun luwes. Memiliki bahu bidang dan berotot ciri khas pemanah, dan
tampak lebih bidang karena sayap lebar dari jubah resminya. Suaranya kasar, dengan huruf konsonan
diucapkan cepat, huruf hidup diperpendek: ini pertama kalinya Takeo mendengar aksen
daerah timur laut, Halaman 635 dari 635 tempat kelahiran Saga. Wajahnya lebar serta bergaris tegas, bentuk matanya panjang dan
agak seperti bertudung, sementara yang me?ngejutkan bentuk telinganya begitu halus, hampir
tanpa bagian bulat menonjol di bagian bawahnya, begitu dekat dengan kepalanya. Janggut dan
kumisnya agak panjang, keduanya agak beruban meski rambutnya tidak beruban.
Pandangan mata Saga pun tak kalahnya mengamati Takeo, berkedip memerhatikan tubuhnya,
berhenti sebentar saat melihat tangan kanan bersarung tangan hitam. Kemudian bangsawan
itu mencondongkan badan lalu berkata dengan kasar namun ramah, "Bagaimana pendapat Anda?"
"Lord Saga?" Saga memberi isyarat ke arah ruangan kecil di sampingnya. "Tentu saja lukisan itu."
"Luar biasa. Karya Yu-Chien, benar?"
"Ha! Kono menyarankan aku meng?gantungnya. Dia bilang Anda pasti mengenalnya, dan
bahwa lukisan ini lebih menarik perhatian Anda ketimbang benda?benda modern milikku. Bagaimana
dengan yang satu itu?" Saga berdiri lalu berjalan ke dinding
sebelah timur. Kemari dan lihatlah."
Takeo bangkit lalu berdiri di sampingnya. Tinggi mereka hampir sama, walau tubuh Saga jauh
lebih besar. Lukisan itu menggambarkan pemandangan taman yang dipenuhi bambu, plum dan
pinus. Juga dibuat dengan lima hitam, dilukis dengan tenang serta menggugah.
"Ini juga sangat bagus," sahut Takeo dengan kekaguman yang tulus. "Suatu maha karya."
"Tiga kawan baik," ujar Saga, "luwes, wangi serta kuat. Lady Maruyama, mari bergabung
bersama kami." Shigeko berdiri lalu berjalan perlahan ke sisi ayahnya.
The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ketiganya mampu menahan kerasnya musim dingin," ujar Shigeko dengan suara pelan.
"Memang," sahut Saga, kembali ke tempat duduknya. "Aku melihat kombinasi itu di sini." Dia
memberi isyarat agar mereka men?dekat. "Lady Maruyama adalah plum, sedang Lord Miyoshi adalah
pinusnya." Gemba membungkuk hormat atas pujian ini. "Kurasa aku bagian yang luwes," sahut Takeo
seraya tersenyum. "Dari riwayat Anda, kurasa juga begitu. Tapi bambu sangat sulit dibasmi bila tumbuh di
tempat yang salah." "Bambu akan selalu tumbuh," ujar Takeo setuju. "Lebih baik dibiarkan ditempatnya, dan
mengambil manfaat dari kegunaannya yang banyak serta bervariasi."
"Ha!" Saga mengeluarkan tawa
kemenangan. Matanya menatap ke arah Shigeko dengan ekspresi ingin tahu, per?hitungan
sekaligus hasrat. Kelihatannya dia ingin bicara langsung pada gadis itu, namun kemudian
membatalkannya dan kembali berbicara pada Takeo.
"Apakah filsafat ini menjelaskan alasan Anda tidak menghadapi Arai?"
Takeo menjawab, "Bahkan tanaman beracun pun bisa diambil manfaatnya, dalam ilmu
ketabiban, misalnya." "Kudengar Anda tertarik dengan per?tanian."
"Ayahku, Lord Shigeru, yang mengajariku di bidang ini sebelum kematiannya. Bila petani
bahagia, maka negara akan menjadi kaya dan stabil."
"Baiklah, aku tidak punya banyak waktu untuk bertani beberapa tahun ini. Aku terlalu
Halaman 636 dari 636 disibukkan dengan peperangan. Tapi akibat?nya kami kekurangan persediaan makanan di
musim dingin ini. Okuda mengatakan bahwa Tiga Negara menghasilkan beras lebih banyak dari yang
bisa dikonsumsi." "Kini banyak dari daerah di negara kami yang mempraktikkan sistem panen ganda," tutur
Takeo. "Memang benar, kami memiliki banyak persediaan beras, begitu pula kacang kedelai, gandum
dan wijen. Kami diberkahi panen yang baik selama bertahun-tahun, serta terhindar dari
kekeringan dan kelaparan." "Anda telah menghasilkan permata. Tak heran begitu banyak orang yang mengincar?nya
dengan tamak." Takeo agak memiringkan kepala. "Aku pemimpin sah Klan Otori, dan menguasai Tiga Negara
secara sah menurut hukum. Kekuasaanku adil dan direstui Surga. Aku tak mengatakan semua ini
untuk membual, tapi untuk mengatakan bahwa sementara aku mencari dukungan Anda, dan
keberpihakan Kaisar"memang, aku bersiap tunduk pada Anda sebagai jenderal Kaisar"harus dengan
persyaratan yang melindungi negara dan pewarisku."
"Kita akan bicarakan itu nanti. Sekarang mari makan dan minum."
Mengimbangi kesederhanaan ruangan itu, makanannya pun lezat: hidangan musiman ibukota
yang tertata rapi, masing-masing menawarkan pengalaman luar biasa bagi mata yang memandang
sena lidah yang mengecap-nya. Sake juga dihidangkan, tapi Takeo hanya minum sedikit, mengingat
perundingan bisa berlangsung hingga malam. Okuda dan Kono bergabung dengan mereka
untuk santap siang, dan perbincangan berlangsung dengan suasana riang. Mereka hanya
membicarakan lukisan, arsitektur, keistimewaan Tiga Negara dibandingkan yang ada di ibukota, yaitu puisi.
Di pengujung santap siang, Okuda, yang sudah lebih mabuk ketimbang yang lainnya,
meng?ungkapkan lagi kekaguman bersemangatnya pada kirin.
"Aku ingin sekali melihatnya dengan mata kepalaku sendiri," ujar Saga, dan kelihatan tanpa
berpikir panjang berdiri. "Mari kita ke sana sekarang. Siang ini cuaca cerah. Kita akan lihat lapangan
tempat pertandingan kita." Digandengnya Takeo selagi berjalan kembali ke pintu masuk utama dan
berkata dengan sikap penuh rahasia, "Dan aku harus menemui juara-juara Anda. Lord Miyoshi pasti
salah satunya, kurasa, dan beberapa ksatriamu yang lain."
"Yang kedua adalah Sugita Hiroshi. Sedangkan yang ketiga Anda sudah bertemu. Putriku, Lady
Maruyama." Cengkeraman tangan Saga mengencang ketika berhenti; diputarnya tubuh Takeo agar bisa
menatap langsung wajahnya. "Memang itu yang dilaporkan Lord Kono, tapi aku mengira itu hanya
lelucon." Orang itu menatap Takeo dengan tajam. Lalu tertawa dengan kasar, dan memelankan
suaranya. "Selama ini Anda memang berniat untuk tunduk. Penandingan ini hanya formalitas bagi Anda"
Aku mengerti alasannya: menyelamatkan mukamu."
"Aku tidak ingin menyesatkan anggapan Anda," sahut Takeo. "Justru ini jauh dari formalitas.
Aku menganggapnya sangat serius, begitu pula dengan putriku. Taruhan?nya tidak bisa lebih tinggi
lagi." Tapi bahkan sewaktu bicara, keraguan berkecamuk dalam dirinya. Ke mana kepercayaannya
pada Guru Besar Ajaran Houou membimbing dirinya" Takut kalau Saga akan menganggap peng
gantian dirinya dengan Shigeko sebagai penghinaan dan penolakan untuk berunding.
Kendati demikian, setelah beberapa saat diam karena terkejut, bangsawan itu tertawa lagi.
"Akan menjadi pertunjukan yang indah. Lady Maruyama yang cantik melawan bangsawan paling
berkuasa di Delapan Pulau." Saga tenawa kecil sewaktu melepaskan tangan Takeo dan berjalan menyusuri
beranda, berseru dengan suara lantang, "Bawakan busur dan anak panahku, Okuda. Aku ingin
memperlihatkannya pada lawanku."
Mereka menunggu di bawah tepi atap yang melengkung sementara Okuda pergi ke tempat
penyimpanan senjata. Orang itu kembali dengan membawa busur yang besamya lebih dari
serentangan lengan dan dilapisi pernis merah dan hitam. Seorang pengawal mengikuti dengan
membawa tabung panah berisi serangkaian anak panah.
Halaman 637 dari 637 Anak panahnya tidak kalah mengesankan, diikat dengan tali berlapis pernis emas; Saga
mengambil satu anak panah dari dalam tabung lalu mengacungkannya untuk diperlihatkan kepada
mereka, anak panah itu terbuat dari kayu pawlonia dengan ujung
tumpul, berbulu putih. "Bulu burung bangau," ujar Saga, sambil mengelus bulu-bulu itu dengan lembut lalu melirik ke
arah Takeo, yang sadar sepenuhnya dengan lambang bangau Otori di bagian belakang jubahnya.
"Kuharap Lord Otori tidak tersinggung. Menurutku, bulu bangau menghasilkan bidikan yang
terbaik." Diserahkannya kembali anak panah itu pada pengawalnya lalu mengambil busur dari tangan
Okuda, mengulur dan meregangkan dengan satu gerakan yang seperti tanpa tenaga. "Kurasa busur ini
hampir sama tingginya dengan Lady Maruyama," ujarnya. "Pemahkah Anda turut dalam
perburuan anjing?" "Tidak, kami tidak berburu anjing di wilayah Barat," sahut Shigeko.
"Itu olahraga yang hebat. Anjing-anjing sangat bersemangat mengikutinya. Tentu saja kami
tidak membidik untuk membunuhnya. Kau harus menyatakan bagian yang hendak kau bidik. Aku
ingin memburu singa atau harimau. Itu akan menjadi buruan yang lebih layak!"
"Bicara tentang harimau," lanjutnya
dengan karakternya yang sigap dan cepat, seraya mengembalikan busur dan mengena?kan
sandalnya di anak tangga. "Kita harus ingat untuk membicarakan tentang per?dagangan. Anda
mengirim kapal ke Shin dan Tenjiku, bukan begitu?"
Takeo mengangguk patuh. "Dan Anda telah kedatangan orang-orang barbar dari selatan" Mereka amat menarik bagi
kami." "Kami membawa hadiah-hadiah dari Tenjiku, Silla, Shin serta Kepulauan Selatan untuk Lord
Saga dan Yang Mulia Kaisar," sahut Takeo.
"Hebat, hebat!"
Para pemanggul tandu beristirahat di bawah tenda di luar gerbang. Mereka ber?gegas berdiri
lalu membungkuk hormat sementara majikan mereka menaiki tandu, tanpa kenyamanan, menuju
penginapan yang dijadikan tempat tinggal Otori. Panji-panji bergambar bangau berkibar di
atas gerbang dan di sepanjang jalan. Bangunan utamanya terletak di sebelah barat daerah
berundak: sebelah timur dibangun istal, tempat kuda?kuda Maruyama menghentak kaki serta
mengibaskan kepala. Di depan istal ini, di
kandang beratap tiang bambu di satu sisi dengan atap ilalang, berdirilah kirin, Di sekeliling
gerbang, telah berkumpul sekerumunan orang yang berusaha melihat kirin: anak-anak memanjat
pohon, dan seorang pemuda yang penuh inisiatif meng?gunakan tangga.
Lord Saga satu-satunya orang di kelompok itu yang belum pernah melihat makhluk
menakjubkan itu. Semua orang menatap dengan pandangan gembira. Mereka tidak kecewa. Bahkan Saga,
dengan pengendalian diri yang nyaris sempuma, tak kuasa menahan tatapan penuh takjub di
wajahnya. "Hewan ini jauh lebih tinggi dari yang kukira," serunya. "Pasti sangat kuat dan cepat."
"Hewan ini justru sangat lembut," sahut Shigeko seraya mendekati kirin. Saat itu Hiroshi
datang dari istal menuntun Tenba yang tengah melompat dan berjingkrak di ujung tali kekangnya.
"Lady Maruyama," seru Hiroshi. "Aku tak menduga Anda kembali begitu cepat." Sesaat keadaan
sunyi senyap. Takeo perhatikan saat Hiroshi melihat sekilas ke arah Saga lalu wajahnya pucat.
Kemudian pemuda itu membungkuk hormat sebisa mungkin sambil mengendalikan kuda, dan berkata dengan
canggung, "Tadi aku menunggang Tenba."
Halaman 638 dari 638 Kirin mulai melangkah dengan gembira ketika melihat tiga makhluk yang paling disayanginya.
"Aku akan mengembalikan Tenba bersama kirin," ujar Hiroshi. "Kirin merindukannya. Setelah
berpisah kirin justru kelihatan semakin terikat dengannya!"
Saga bicara seolah Hiroshi adalah pengurus kuda. "Keluarkan kirin itu. Aku ingin melihatnya
lebih dekat." "Tentu, tuan," sahut Hoiroshi dengan membungkuk hormat lagi, rona merah kembali merayapi
leher dan pipinya. "Kuda ini sangat tampan," komentar Saga sewaktu Hiroshi mengikat Tenba pada tali yang
diregangkan dari masing-masing sisi sudut dalam kandang. "Bersemangat. Dan lumayan tinggi."
"Kami membawa banyak kuda dari Maruyama sebagai hadiah," ujar Takeo padanya. "Kuda-kuda
itu dibiakkan serta dibesarkan Lady Maruyama dan pengawal seniornya, Lord Sugita Hiroshi."
Sewaktu Hiroshi menuntun kirin keluar dengan tali
sutra merah di tangan, Takeo menam?bahkan, "Ini Sugita."
Saga mengangguk ke arah Hiroshi dengan sikap asal-asalan: perhatiannya tersita habis pada
kirin. Tangannya menggapai dan mengelus kulit bercorak coklat muda ke?kuningan itu. "Lebih halus
dari kulit perempuan!" serunya. "Bayangkan kalau kulit ini dihamparkan di lantai atau di tempat
tidur." Seolah sekonyong-konyong tersadar dengan kesunyian yang merasa sakit hati atas katakatanya
terse-but, dia meminta maaf, "Hanya setelah hewan ini mati karena usia tua, sewajarnya."
Kirin menjulurkan lehernya yang panjang ke arah Shigeko dan dengan lembut mengusap pipi
gadis itu dengan hidung. "Kulihat, kau adalah kesayangannya," ujar Saga, memalingkan tatapan penuh kekaguman
Shigeko. "Kuucapkan selamat pada Anda, Lord Otori. Kaisar akan ter?pesona dengan hadiah Anda.
Belum pernah ada makhluk seperti ini di ibukota."
Kata-kata tadi diucapkan dengan murah hati, tapi Takeo menduga ada nada iri dan dengki di
dalamnya. Setelah menginspeksi kuda-kuda lebih jauh lagi, serta memper
sembahkan dua kuda betina dan tiga kuda jantan hitam kepada Lord Saga, mereka kembali ke
kediaman Saga. Bukan ke ruangan sederhana sebelumnya, tapi ke aula pertemuan yang
didekorasi dengan megah, tempat lukisan seekor naga terbang melintasi dinding dan seekor harimau
berkeliaran mencari mangsa. Di sini Saga tidak duduk di lantai, melainkan di kursi ukiran, mirip Kaisar.
Lebih banyak pengawalnya yang menghadiri pertemuan tersebut; Takeo menyadari keingintahuan
mereka pada dirinya dan terutama pada Shigeko. Tidak biasa seorang perempuan duduk di
tengah?tengah laki-laki dalam acara seperti ini dan turut berbicara tentang kebijakan. Takeo merasa kalau
mereka cenderung tersinggung dengan pelanggaran adat semacam ini; namun silsilah Klan Maruyama
lebih tua ketimbang Klan Saga dan klan wilayah Timur lainnya"sama tuanya dengan keluarga
kekaisaran yang merupakan keturunan Dewi Matahari.
Pertama-tama mereka membicarakan tentang upacara dalam acara perburuan anjing, harihari
jamuan dan ritual, arak?arakan Kaisar; peraturan penandingan. Dua
lingkaran tali dipasang di atas tanah, satu tali di dalam tali yang satunya lagi. Di setiap babak
enam anjing akan dilepas, satu demi satu. Si pemanah berderap di sekeliling lingkaran di tengah:
nilai diberikan pada bagian tubuh anjing yang dibidik. Permainan itu merupakan permainan
keterampilan, bukan pembantaian: anjing yang terluka parah atau mati dianggap tidak sah. Anjing dipilih
berbulu putih agar jika berdarah bisa segera terlihat. Shigeko menanyakan satu atau dua penanyaan
teknis: lebar arena, apakah ada ketentuan ukuran busur atau anak panah. Saga menjawab dengan
cepat, dan dibumbui dengan kelakar sehingga membuat para pengawalnya tersenyum.
"Dan sekarang kita bicara tentang hasil?nya," ujarnya sopan. "Jika Lady Maruyama menang,
apa syarat Anda, Lord Otori?"
"Kaisar mengakui aku dan istriku sebagai penguasa sah Tiga Negara; Anda mendukung kami
The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan pewaris kami; Anda memerintah?kan Arai Zenko tunduk pada kami. Sebagai imbalannya, kami
akan Halaman 639 dari 639 bersumpah setia pada Anda dan Kaisar, demi kesatuan dan ke?damaian Delapan Pulau; kami
akan menyediakan makanan, tenaga manusia sera
kuda untuk kampanye militer Anda berikutnya, serta membuka pelabuhan kami bagi kalian
untuk perdagangan. Kedamaian dan kesejahteraan Tiga Negara bergantung pada sistem
pemerintahan kami, dan ini tidak boleh diubah."
"Terlepas dari hal terakhir ini yang ingin kubicarakan dengan Anda lebih jauh lagi, semuanya
aku terima dengan baik," sahut Saga, tersenyum dengan penuh percaya diri.
Dia tidak merasa terganggu dengan satu pun syaratku karena memang dia tidak merasa
dirugikan, renung Takeo. "Dan apa syarat Lord Saga?" tanyanya.
"Bahwa Anda segera mundur dari kehidupan publik, dan menyerahkan Tiga Negara pada Arai
Zenko yang telah ber?sumpah setia padaku dan juga pewaris sah ayahnya Arai Daiichi; bahwa Anda
boleh mencabut nyawa Anda sendiri atau mengasingkan diri ke Pulau Sado; bahwa putra Anda harus
dikirim padaku sebagai tawanan; dan bahwa putri Anda harus menikah denganku."
Kata-kata maupun nada suaranya seperti menghina, dan kemarahan Takeo mulai meluap.
Dilihatnya ekspresi semua orang, kepuasan dan kesenangan yang mereka rasakan atas penghinaan terhadap dirinya.
Mengapa aku ke sini" Lebih baik mati dalam perang ketimbang tunduk pada ial ini. Takeo
duduk tanpa bergerak, sadar kalau tidak ada pilihan lain: setuju dengan usulan Saga atau
menolaknya, lari dari ibukota bak penjahat dan bersiap, jika ia dan teman?temannya hidup berhasil sampai di
perbatasan, untuk berperang.
"Menang atau kalah," Saga melanjutkan bicaranya, "Kurasa Lady Maruyama pasti bisa menjadi
istri yang baik bagiku, dan aku minta Anda pertimbangkan tawaranku."
"Aku turut berduka atas meninggalnya istri Anda," sahut Takeo.
"Mendiang istriku orang yang baik: dia memberiku empat anak yang sehat serta merawat
anakku yang lain; kurasa anakku jumlahnya sepuluh atau dua belas. Kurasa pernikahan antara
keluarga kita bisa sangat menguntungkan kedua belah pihak."
Semua rasa sakit hati yang pernah ia rasakan ketika Kaede diculik kembali menyapu dirinya.
Sungguh keterlaluan kalau ia mesti menyerahkan putri tercintanya pada laki-laki kejam yang
sudah tua ini, laki-laki yang sudah memiliki beberapa selir, yang takkan memperlakukan putrinya sebagai penguasa
atas haknya sendiri, yang hanya ingin memiliki putrinya belaka. Namun orang ini yang paling
berkuasa di seluruh Delapan Pulau; kehormatan dan manfaat politis dari pernikahan ini besar sekali.
Tawaran itu telah diucapkan di depan orang banyak: bila ia tolak secara langsung itu berarti menghina.
Shigeko duduk dengan tatapan tertunduk, tidak menunjukkan reaksinya pada pem?bicaraan
tersebut. Takeo berkata, "Kehormatan ini terlalu besar bagi kami. Putriku masih sangat muda, tapi aku
berterima kasih pada Anda dari lubuk hatiku. Aku ingin bicarakan ini dengan istriku"Lord Saga
mungkin belum tahu kalau istriku turut menjalankan pemerintahan Tiga Negara bersamaku"
aku yakin, seperti halnya aku, istriku akan sangat gembira dengan penyatuan antara kita."
"Semula aku ingin membiarkan istrimu hidup, karena baru saja melahirkan, tapi bila peran
istrimu sama besarnya dengan dirimu dalam pemerintahan, maka dia juga harus diperlakukan sama
seperti dirimu: kematian atau pengasingan," sahut Saga dengan kesal. "Andaikata Lady Maruyama menang, dia boleh
pulang untuk membicarakan hal ini dengan ibunya."
Untuk pertama kalinya Shigeko angkat bicara, "Aku juga memiliki syarat, jika aku
diperbolehkan bicara." Halaman 640 dari 640 Saga melihat sekilas ke arah anak buahnya lalu tersenyum dengan sabar. "Kami
men?dengarnya, nona." "Aku minta Lord Saga untuk bersumpah mempertahankan garis pewarisan keturunan
perempuan di Maruyama. Dan sebagai pimpinan klan, aku bisa membuat pilihanku sendiri dalam pernikahan,
setelah ber?konsultasi dengan para pengawal seniorku, juga dengan ayah dan ibuku sebagai
atasanku. Aku sangatlah berterima kasih pada Lord Saga atas kemurahan hatinya serta
kehormatan yang dianugerahkan pada diriku, tapi aku tak bisa menerimanya tanpa persetujuan dari
klanku." Shigeko bicara dengan tegas, sekaligus dengan pesona yang kuat, hingga sulit bagi siapa pun
untuk merasa tersinggung. Saga membungkuk hormat.
"Kulihat kalau aku punya lawan se
banding," serunya, dan riak tawa melanda anak buahnya.*
Bulan baru dari bulan keenam bergelayut di langit sebelah timur di balik pagoda enam lapis
selagi mereka kembali ke kediaman. Setelah mandi, Takeo meminta dipanggilkan Hiroshi lalu
menceritakan tentang pem-bicaraan hari itu kepadanya, tidak keting?galan satu pun, dan menutupnya
dengan usulan pernikahan. Hiroshi hanya diam mendengarkan, hanya mengatakan, 'Tentu saja ini tak terduga, dan suatu
kehormatan besar." "Namun laki-laki seperti itu..." ujar Takeo pelan. "Shigeko akan mengikuti saranmu, juga saran
aku dan istriku. Kita harus mem pertimbangkan masa depannya sama pentingnya dengan yang
terbaik bagi Tiga Negara. Kurasa hanya ada sedikit peluang untuk memutuskan secepatnya." Takeo
menghela napas. "Begitu banyak yang dipertaruhkan pada pertandingan ini"dan semua orang
di pihak Saga sudah memutus kan hasilnya!" "Matsuda Shingen yang menyarankan Anda untuk kemari, kan" Anda harus memercayai
penilaiannya." "Ya harus datang, dan aku percaya pada?nya. Tapi akankah Saga mematuhi kesepakatannya"
Dia orang yang tidak mau kalah, dan begitu yakin akan menang."
"Seluruh kota terpukau dengan kegembiraan pada Anda, Lady Shigeko, juga kirin. Lukisanlukisan
bergambar kirin sudah dijual, dan gambarnya ditenun menjadi kain dan bordiran di jubah.
Sewaktu Lady Shigeko memenangkan lomba ini, dan memang dia akan memenangkannya, Anda akan
didukung"dan dilindungi"oleh rakyat. Mereka bahkan telah menggubah nyanyian tentang hal
itu." "Cinta rakyat adalah kisah tentang kehilangan dan tragedi," sahut Takeo "Saat aku di
pengasingan di Pulau Sado, mereka akan mendengar kisah melankolis tentang diriku dan menangis, dan
menikmatinya!" Kemudian terdengar langkah ringan di luar. Ketika pintu digeser terbuka, Shigeko masuk
diikuti Gemba yang membawa kotak berpenis hitam dengan motif houou berlapis
emas. Saat melihat putrinya saling menatap dengan Hiroshi dalam tatapan yang penuh kasih
sayang, membuat hati Takeo pedih dengan penyesalan dan rasa iba. Mereka sudah seperti pasangan
suami istri, pikirnya, terikat dengan ikatan yang kuat seperti itu. Takeo berharap dapat memberikan
putrinya pada pemuda yang sangat dihormatinya ini, yang setia sejak masih kecil, pemuda yang pandai
dan Halaman 641 dari 641 pemberani, dan sangat mencintai putrinya. Namun semua ini tidak sebanding dengan status
dan kekuasaan yang dimiliki Saga Hideki.
Gemba menyela renungannya. "Takeo, kami mengira kau ingin melihat senjata?senjata Lady
Shigeko." Ditaruhnya kotak itu di lama: dan Shigeko berlutut membukanya.
Takeo berkata dengan gelisah, "Kotaknya kecil sekali"pasti tidak bisa memuat busur dan anak
panah." "Baiklah, memang ukurannya kecil," aku Gemba. "Tapi Shigeko tidak terlalu tinggi: dia harus
memiliki sesuatu yang bisa dipegang."
Shigeko mengeluarkan busur miniatur yang indah, tabung anak panah, dan kemudian anak
panah, berujung tumpul serta dengan bulu putih dan emas.
"Ini lelucon, kan?" ujar Takeo, jantungnya berdebar ketakutan.
"Tidak, Ayah. Lihat, anak panahnya dibului dengan bulu burung houou."
"Begitu banyak burung houou di musim semi ini hingga kita bisa mengumpulkan cukup bulu,"
jelas Gemba. "Mereka mem?biarkan bulu-bulunya jatuh seolah mereka menawarkannya."
"Mainan ini hampir tidak bisa menembak burung gereja, apalagi anjing," sahut Takeo.
"Ayah tak ingin kami menyakiti anjingnya, bukan begitu Ayah?" kata Shigeko seraya tersenyum.
"Kami tahu betapa sayangnya Ayah pada anjing."
"Tapi ini perburuan anjing!" serunya. "Tujuannya yaitu memanah anjing sebanyak mungkin,
lebih banyak dari Saga!" "Anjing-anjing itu pasti bisa dipanah," ujar Gemba. "Tapi dengan anak panah ini tidak
berbahaya dan tidak menyakiti anjing-anjing itu."
Teringat cahaya api yang Gemba lemparkan untuk membakar habis kekesalan waktu itu, ia
mencoba menekan kekesalan?nya sekarang. "Tipuan sulap?"
"Lebih dari itu," sahut Gemba. "Kami akan gunakan kekuatan Ajaran Houou: keseimbangan
antara laki-laki dan perempuan. Selama keseimbangannya bisa dipertahankan, maka kekuatannya tak
terkalahkan. Kekuatan ini yang menyatukan Tiga Negara: kau dan istrimu merupakan simbol hidup
kekuatan itu; putrimu adalah hasilnya, buktinya."
Gemba tersenyum yakin, seolah me?mahami keberatan Takeo yang tak terucap.
"Kesejahteraan dan kebahagiaan yang kau banggakan itu takkan terwujud tanpa kekuatan itu. Lord Saga sama
sekali tidak mengenal kekuatan unsur perempuan, maka dengan begitu dia akan dikalahkan."
"Ngomong-ngomong," kata Gemba sewaktu mereka saling mengucapkan selamat malam.
"Jangan lupa menawarkan Jato kepada Kaisar besok." Melihat tatapan Takeo yang terkejut, dia lalu
meneruskan, "Hal itu sudah diminta dalam pesan pertama Kono, kan?"
"Ya, memang, tapi begitu juga dengan pengasingan diriku. Bagaimana kalau Kaisar ingin
menyimpannya?" "Jato senantiasa menemukan pemiliknya
yang berhak, bukan begitu" Lagipula, kau tidak menggunakannya lagi. Sudah waktunya
diserahkan." Memang benar Takeo tak lagi meng?gunakan pedang itu dalam pertempuran sejak kehilangan
jarijarinya, tapi nyaris tak satu hari pun berlalu tanpa dirinya menyandang pedang itu. Ia juga cukup
mahir meng?gunakan tangan kiri untuk menopang tangan kanannya, setidaknya dalam latihan
per?tarungan. Jato memiliki arti paling besar bagi dirinya; pedang itu pemberian Shigeru dan
merupakan simbol nyata dari pemerintahan?nya yang sah. Pikiran untuk melepaskannya amat
mengganggunya hingga ia merasa perlu menghabiskan waktu beberapa lama untuk
bermeditasi, setelah berganti dengan pakaian tidur.
Halaman 642 dari 642 Disuruhnya Minoru dan pelayannya pergi, lalu ia duduk sendirian dalam ruangan yang gelap,
mendengarkan suara-suara malam dan melambatkan napas dan pikirannya. Nyanyian dan
genderang bergema dari tepi sungai, tempat penduduk kota menari-nari. Katak berkuak di kolam taman,
dan jangkrik berderik di sela-sela semak. Perlahan-lahan disadarinya kearifan dari saran Gemba:
ia akan mengembalikan Jato kepada Kaisar, tempat pedang itu berasal.
*** Musik dan genderang terus terdengar hingga larut malam, dan keesokan harinya jalanan
dipenuhi orang dewasa dan anak-anak yang menari-nari. Mendengarkan suara mereka saat ia bersiap
menemui Kaisar, Takeo bukan hanya mendengar nyanyian tentang kirin tapi juga tentang
burung houou: Burung houou bersarang di Tiga Negara; Lord Otori telah muncul di ibukota. Kirin adalah
hadiah bagi Kaisar; Kuda-kudanya menggetarkan tanah kami Selamat datang Lord Otori!
"Semalam aku keluar untuk melihat suasana kota," ujar Hiroshi. "Aku men?ceritakan pada satu
atau dua orang lentang bulu burung houou."
"Ternyata sangat efektif!" sahut Takeo, menjulurkan tangan untuk mengambil jubah sutra
tebalnya. "Rakyat menganggap kunjungan Anda
sebagai pertanda datangnya kedamaian."
Perasaan tenang yang telah dicapainya semalam kian dalam. Diingatnya semua pelatihannya,
dari Shigeru dan Matsuda juga dari Tribe. Takeo menjadi terasing dan tanpa ekspresi; semua
kegelisahan telah sirna dari dirinya.
Para pendampingnya pun tampak dirasuki kepercayaan diri yang sama. Takeo dibawa dengan
tandu berhias yang indah. Shigeko dan Hiroshi menunggang kuda bersurai abu?abu pucat, Ashige dan
Keri, masing-masing di kanan dan kiri kirin, keduanya memegangi tali sutra merah tua yang terikat
di kalung berwarna emas berbentuk daun berlapiskan kulit. Kirin berjalan dengan anggun tanpa
terganggu, memalingkan lehernya untuk melihat kerumunan yang tengah mengagumi dirinya.
Teriakan dan seruan tidak mem?pengaruhi ketenangan dirinya maupun pen?dampingnya.
Kaisar telah melakukan perjalanan singkat dari Istana Kekaisaran menuju Biara Agung dengan
kereta megah berpernis yang ditarik sapi jantan hitam. Ada banyak lagi kereta yang membawa
bangsawan laki-laki dan perempuan. Bangunan biara berwarna merah
cerah, baru dipugar dan dicat ulang. Di depan bagian dalam gerbang, terdapat satu arena
yang luas, lingkaran-lingkaran yang memiliki titik pusat telah diiandai dengan warna-warna kontras,
tempat perlombaan akan diadakan. Para pemanggul tandu berderap melintasi lingkaran ini, diikuti
rombongan Takeo. Para penjaga dengan ramah menghadang kerumunan tapi mem?biarkan gerbang
sebelah luar tetap terbuka. Pohon pinus berderet di bagian sampingnya, dan di bawahnya gerai kayu dan
The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tenda serta anjungan sutra didirikan bagi para penonton, dan ratusan bendera dan umbul-umbul
berkibar ditiup angin. Banyak orang, ksatria dan bangsawan, sudah duduk di sini meski perburuan
anjing baru dimulai besok, memanfaatkan tempat menonton yang sangat bagus ini untuk melihat kirin.
Para perempuan herambut hitam panjang, sedangkan laki-laki mengenakan topi resmi kecil,
membawa bantal sutra dan payung pelindung sinar matahari, makanan dalam kotak-kotak berpernis. Di
gerbang berikut?nya tandu diturunkan dan Takeo melangkah keluar. Shigeko dan Hiroshi turun dari
kuda; Hiroshi mengambil tali kekang dan Takeo
berjalan dengan putrinya serta kirin menuju bangunan utama biara.
Dinding putih dan balok merah ber?kilauan diterpa sinar matahari siang. Saga Hideki dan Lord
Kono telah menanti dengan pelayan di atas anak tangga. Semua pelayan itu mengenakan jubah
resmi yang sangat mewah, lubah Saga berhiaskan kura-kura dan burung jenjang,
Halaman 643 dari 643 Sedangkan jubah Kono berhiaskan bunga peoni dan burung merak. Semuanya saling bertukar
hormat dan sopan santun, lalu Lord Saga membimbing Takeo ke dalam, menuju aula remang-remang
yang disinari ratusan lentera. Di bagian atas ruangan itu terdapat mimbar berundak, di belakang
tirai halus dari bambu yang melindunginya dari mata fana dunia, duduklah sang Kaisar, bagian dari dewadewa.
Takeo menyembah, mencium aroma asap minyak, keringat Saga tertutup oleh aroma dupa
wangi, dan aroma wewangian pelayan Kaisar, Menteri Kanan dan Menteri Kiri duduk di anak tangga di
bawah penguasa mereka. Ini sama seperti yang ia harapkan, diterima Kaisar, anggota pertama Klan Otori yang
dihormati sejak Takeyoshi yang legendaris.
Saga mengumumkan dengan suara yang jelas namun sopan, "Lord Otori datang dari Tiga
Negara untuk mempersembahkan hadiah yang indah bagi Paduka Yang Mulia, serta meyakinkan
Paduka Yang Mulia akan kesetiaannya."
Kata-kata ini diulang salah satu Menteri yang duduk di anak tangga mimbar tertinggi dengan
suara bernada tinggi dengan banyak tambahan bahasa yang halus serta sopan santun kuno. Ketika
dia selesai bicara, semua orang membungkuk hormat lagi, dan sesaat kesunyian melanda. Takeo
merasa diamati Kaisar dengan seksama dari sela-sela celah tirai bambu.
Kemudian dari balik tirai sang Kaisar bicara, dengan suara yang tak lebih dari sekadar bisikan.
"Selamat datang, Lord Otori. Kami sangat senang menerima kedatanganmu. Kami tahu ikatan
lama yang ada di antara keluarga kita."
Takeo mendengar semua ini diucapkan ulang oleh sang Menteri, dan ia bisa meng?gerakkan
sedikit posisinya untuk mengamati reaksi Saga. Ia seperti mendengar tarikan napas pelan dari lakilaki di
sebelahnya. Kata kata Kaisar singkat"namun lebih dari yang diharapkan: pengakuan atas hubungan Klan Otori.
Sungguh kehormatan yang amat besar dan tak terduga.
Takeo memberanikan diri berkata, "Bolehkah hamba bicara kepada Paduka Yang Mulia?"
Permintaan itu diulang, dan ijin Kaisar diucapkan ulang.
Takeo berkata, "Berabad-abad lampau nenek moyang Paduka Yang Mulia mem?berikan pedang
ini, Jato, kepada Otori Takeyoshi. Pedang ini diserahkan kepada hamba oleh ayah hamba, Shigeru,
sebelum kematiannya. Hamba diminta mengembali?kannya kepada Yang Mulia, dan kini
hamba dengan rendah hati melaksanakannya, menawarkannya kepada Paduka sebagai tanda
kesetiaan dan pengabdian hamba." Menteri Sebelah Kanan berunding dengan Kaisar, lalu bicara lagi kepada Takeo.
"Kami menerima pedangmu dan peng?abdianmu."
Takeo maju dengan tutut, lalu mengambil pedang itu dari sabuknya. Rasa menyesal
menghunjam selagi ia menyodorkan pedang itu dengan dua tangan.
Selamat tinggal, ujarnya pelan dalam hati.
Para menteri yang berada di undakan paling rendah mengambil Jato dan mengoperkannya dari
satu petugas ke petugas lainnya hingga sampai ke tangan Menteri Kiri yang kemudian
meletakkannya di depan tirai. Jato akan bicara; Jato akan kembali padaku, pikir Takeo, namun Jato hanya tergeletak di
lantai, diam dan tak bergerak. Kaisar bicara lagi, dan Takeo mendengar kalau itu bukan suara dewa atau bahkan bukan suara
penguasa besar, tapi suara manusia biasa yang penuh keingintahuan.
Halaman 644 dari 644 "Aku ingin melihat kirin dengan mataku sendiri." Terjadi kegemparan mendadak karena tak
seorang pun yakin akan cara tepat apa yang harus dilakukan. Kemudian Kaisar melangkah keluar dari
balik lirai serta menjulurkan tangan kepada para pelayannya untuk menuntunnya menuruni anak
tangga. Kaisar mengenakar jubah emas dengan bordiran naga merah tua melintang di punggung dan
lengannya; hiasan itu menambah tinggi badannya, tapi penilaian Takeo sebelumnya ternyata
benar. Di balik megahnya pakaian yang dikenakannya,
berdiri seorang laki-laki berperawakan agak pendek berusia kira-kira dua puluh delapan
tahun; pipinya tembam, mulutnya kecil dan tegas, menunjukkan kecerdasan; matanya berkilat dengan
harapan. "Biarkan Lord Otori ikut denganku," ujarnya sewaktu berjalan melewati Takeo, dan Takeo pun
mengikutinya, berjalan dengan lutut.
Shigeko menunggu di luar bersama kirin. Gadis itu berlutut dengan satu kaki ketika Kaisar
mendekat, dan dengan kepala ter?tunduk memegangi tali, dia berkata, "Paduka Yang Mulia: hewan ini tak
sebanding dengan keagungan Paduka Yang Mulia, namun kami menawarkannya dengan
harapan Paduka Yang Mulia akan melihat dan mengakui bawahan Paduka di Tiga Negara."
Ekspersi Kaisar merupakan salah satu kekaguman yang murni, mungkin sama kagumnya karena
diajak bicara seorang perempuan dan saat melihat kirin. Diambilnya tali itu dengan hati-hati,
menengok sekilas pada para pegawai tinggi kekaisaran, mendongak melihat leher kirin yang
panjang dan kepalanya, lalu tertawa gembira.
Shigeko berkata, "Paduka Yang Mulia bisa menyentuhnya: hewan ini amatlah lembut," dan
manusia setengah dewa itu menjulurkan tangan lalu mengelus bulu halus hewan yang menakjubkan
itu. Kaisar bergumam, ''Kirin hanya muncul ketika sang penguasa diberkati Surga."
Shigeko menyahut dengan suara yang sama pelannya, "Maka Paduka Yang Mulia memang
diberkati." "Ini laki-laki atau perempuan?" tanya Kaisar pada Saga yang datang menghampiri dengan cara
sama yang dilakukan Takeo, berlutut, karena Shigeko bicara dengan menggunakan bahasa seorang
penguasa laki?laki. "Paduka Yang Mulia, ini putri Lord Otori, Lady Maruyama."
"Dari tanah tempat perempuan berkuasa" Lord Otori telah membawa banyak benda yang
eksotis! Semua yang kami dengar tentang Tiga Negara memang benar adanya. Alangkah inginnya aku
berkunjung ke sana, tapi mustahil aku meninggalkan ibukota." Dielusnya lagi kirin. "Apa yang
bisa kuberikan sebagai imbalannya?" tanyanya. "Aku sangsi kalau memiliki apa pun yang
sebanding." Kaisar berdiri seolah berpikir keras selama beberapa saat, dan kemudian berbalik
dan menengok ke belakang seakan tersengat oleh ilham yang datang tiba-tiba. "Bawakan padaku
pedang Otori," serunya. "Akan kuanugerahkan kepada Lady Maruyama!"
Takeo ingat suara dari masa lalu: Pedang itu akan berpindah dari satu tangan ke tangan
lainnya. Kenji. Pedang yang Kenji serahkan kepada Shigeru setelah kekalahan Otori di Yaegahara, dan
kemudian dibawa Yuki, putri Kenji, untuk Takeo, dan kini diserahkan ke tangan Maruyama
Shigeko oleh Kaisar. Takeo membungkuk hingga menyentuh tanah lagi, dan selagi duduk legak, dilihatnya Kaisar
tengah mengamatinya dengan penuh selidik. Pada saat itu, godaan akan kekuatan mutlak berkilat di
hadapannya. Siapa pun yang disukai Kaisar"atau, bisa diungkapkan dengan kata yang lebih
sederhana, mengendalikan Kaisar"maka bisa mengen?dalikan Delapan Pulau.
Itu bisa saja aku dan Kaede, pikirnya. Kami bisa bersaing dengan Saga: jika kami
mengalahkannya besok dalam pertandingan,
kami bisa menggantikan kedudukannya. Pasukan kami sudah siap. Aku bisa kirim kurir kepada
Kahei lebih awal. Kami akan mendesaknya kembali ke utara dan ke arah laut. Sagalah yang akan
diasingkan, bukan aku! Halaman 645 dari 645 Takeo menghibur diri dengan khayalannya selama beberapa saat, lalu menyingkirkannya jauhjauh. Ia
tidak menginginkan Delapan Pulau; ia hanya menginginkan Tiga Negara, dan ingin agar
negaranya tetap damai. *** Sisa hari itu dihabiskan dengan jamuan makan, pertunjukan musik dan drama, kompetisi puisi,
dan bahkan peragaan permainan kegemaran para bangsawan muda, yaitu bola sepak. Lord Kono
membuktikan diri sangat mahir dalam permainan ini.
"Perilakunya yang acuh tak acuh menyem?bunyikan keahlian fisiknya," komentar Takeo pelan
kepada Gemba. "Mereka akan menjadi lawan yang sebanding," sahut Gemba setuju dengan tenang.
Kemudian ada juga balapan kuda sebelum
matahari terbenam. Tim Lord Saga yang menunggang kuda perang Maruyama menang dengan
mudah, menambah kekaguman pengunjung kepada sang jenderal, dan kegembiraan serta
kekaguman akan hadiah yang tiada bandingannya.
Takeo kembali ke kediaman dengan rasa gembira dan bersemangat atas hasil hari ini,
meskipun masih cemas tentang esok hari. Ia telah menyaksikan keahlian berkuda lawan. Ia tak percaya
kalau putrinya bisa menang. Namun Gemba ternyata benar tentang pedang itu. Seharusnya ia juga
percaya tentang hasil pertandingan itu.
Dinaikkannya tirai tandu yang terbuat dari sutra untuk menikmati udara malam. Saat ditandu
melewati gerbang, dia melihat, dari sudut matanya, garis bentuk tubuh ber?bayang dari seseorang yang
menggunakan kemampuan menghilang. Ia terkejut karena tidak menduga ada anggota Tribe
beroperasi di ibukota: tidak ada dalam catatannya, maupun sepengetahuan keluarga Muto
yang pernah menyatakan kalau mereka telah menembus sejauh ini sampai ke wilayah Timur.
Secara naluri disentuhnya pedang, sadar
kalau ia tak bersenjata, percikan keingin?tahuannya muncul lagi saat menghadapi kekekalan
hidupnya"apakah orang ini yang akan berhasil membunuhnya, dan mem?buktikan bahwa
ramalan itu salah?"saat tandu belum menyentuh tanah ia sudah turun. Dengan mengacuhkan para
pelayan?nya, ia berlari ke gerbang dan mencari-cari dengan mata orang itu di antara
kemmunan, penasaran apakah tadi ia salah lihat. Namanya dilantunkan banyak suara, tapi ia seperti bisa
membedakan satu orang yang dikenalnya, lalu dilihatnya gadis itu.
Takeo segera mengenalinya sebagai anggota Muto, tapi butuh waktu beberapa saat untuk
mengingat siapa gadis itu: Mai, adik Sada, yang ditempatkan di kediaman orang asing untuk mempelajari
bahasa serta memata-matai mereka.
"Mari cepat masuk," perintahnya pada gadis itu. Begitu sudah di dalam, diperintah?nya
penjaga untuk menutup serta memalang gerbang, kemudian berbalik lagi pada gadis itu. Gadis itu kelihatan
lelah dan kotor karena perjalanan jauh.
"Apa yang kau lakukan di sini" Apa kau membawa kabar dari Taku" Apakah Jun
mengirimmu?" "Aku harus bicara dengan Lord Otori saja," bisiknya.
Melihat kesedihan di garis bibir dan dalam tatapan matanya, jantungnya berdegup kencang
karena takut pada apa yang akan disampaikan gadis itu.
"Tunggu di sini. Aku akan langsung memanggilmu."
Takeo memanggil pelayan untuk mem?bantunya mengganti jubah resminya. Setelah menyuruh
mereka menyajikan teh, memanggil gadis itu lalu menyuruh mereka pergi; bahkan putrinya,
atau Lord Miyoshi tak boleh masuk. "Apa yang telah terjadi?"
Halaman 646 dari 646 "Lord Taku, dan kakakku sudah tiada, tuanku."
Kabar itu menghantam dirinya bak pukulan ke dadanya. Takeo menatap gadis itu, tak bisa
bicara, merasakan gelombang kesedihan menggelegak hingga ke urat nadi?nya; Takeo memberi
isyarat agar gadis itu melanjutkan. "Mereka diduga diserang bandit di tempat berjarak satu hari berkuda dari Hofu." "Bandit?"
tanyanya tak percaya. "Bandit
macam apa yang ada di Negara Tengah?"
"Itulah pernyataan resmi yang dikeluarkan Zenko," sahut Mai. "Tapi Zenko sedang melindungi
Kikuta Akio. Desas-desus yang beredar bahwa Akio dan putranya yang bunuh Taku untuk balas
dendam atas kematian Kotaro. Sada tewas bersamanya."
"Dan putriku?" bisik Takeo, air mata menggenang di pelupuk matanya dan hampir menetes.
"Lord Otori, tidak ada yang tahu di mana putri Anda. Mungkin putri Anda berhasil lari, atau
ditangkap Akio...." "Ditangkap Akio?" ucapnya mengulang perkataan itu.
"Mungkin dia melarikan diri," sahut Mai. "Tapi dia belum ke Kagemura, atau Terayama, atau
tempat lainnya yang diperkirakan sebagai tujuannya melarikan diri."
"Apakah istriku tahu?"
"Aku tidak tahu, tuan."
Dilihatnya ada hal lain lagi, alasan lain mengapa gadis mi menempuh perjalanan sejauh ini,
mungkin tanpa ijin dari Tribe, dan tidak diketahui mereka, bahkan Shizuka.
"Ibu Taku pasti sudah diberitahu?"
"Sekali lagi, aku tak tahu. Sesuatu telah terjadi dalam jaringan Muto, tuan. Pesan?pesan salah
sasaran, atau dihaca oleh orang yang salah. Orang-orang mengatakan kalau mereka ingin
kembali ke masa silam, saat Tribe memiliki kekuasaan yang sesungguh?nya. Kikuta Akio sangat dekat
dengan Zenko dan banyak orang Muto menyetujui persahabatan mereka"orang-orang mengata?kan
The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka berdua seperti Kenji dan Kotaro sebelum..."
"Sebelum aku datang," ujar Takeo murung.
"Aku tidak berhak mengatakannya. Lord Otori. Keluarga Muto bersumpah setia kepada Anda,
dan Taku serta Sada setia kepada Anda. Itu sudah cukup bagiku. Aku meninggalkan Hofu tanpa
mengatakan pada siapa pun, berharap bisa menyusul Lady Shigeko dan Lord Hiroshi, tapi
mereka sudah beberapa hari di depanku. Aku terus mengikuti hingga aku sadar sudah di ibukota. Aku
berjalan selama enam minggu."
"Aku sangat berterima kasih." Teringat olehnya kalau gadis itu juga tengah bersedih. "Dan aku
sangat berduka atas kematian kakakmu dalam melayani keluargaku."
Mata gadis berkilat diterpa sinar lentera, namun tidak menangis.
"Mereka diserang dengan menggunakan senjata api," tuturnya dengan nada sedih. "Tak ada
yang bisa membunuh mereka dengan menggunakan senjata biasa. Taku tertembak di leher; dia
pasti mati kehabisan darah, dan peluru itu menghantam Sada setelah menembus kuda, tapi dia bukan
mati karena peluru: lehernya digorok."
"Akio punya senjata api" Darimana dia dapat?"
"Dia sudah di Kumamoto selama musim dingin. Senjata itu pasti pemberian Zenko; mereka
sudah melakukan perdagangan dengan orang-orang asing."
Takeo duduk terdiam, teringat saat ia mencengkeram leher Taku yang menyelinap masuk ke
kamarnya di Shuho: saat itu Taku baru berumur sembilan atau sepuluh tahun. Kenangan itu
diikuti dengan kenangan lainnya, hampir membuat ia terpuruk. Seraya menutupi wajah dengan
tangan, ia Halaman 647 dari 647 berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis. Kesedihannya disulut dengan kemarahannya
atas Zenko yang telah ia biarkan hidup hanya untuk melihat orang itu bersekongkol mem
bunuh adiknya. "Lord Otori," ujar Mai ragu-ragu. "Haruskah aku memanggil seseorang agar menemui Anda?"
"Tidak!" sahutnya, seraya berusaha mengendalikan diri, waktu untuk menjadi lemah sudah
berakhir. "Kau tak tahu situasi kami di sini. Kau tidak boleh mengatakan ini pada siapa-siapa. Jangan
ada hal yang mengganggu selama beberapa hari ke depan. Akan ada pertandingan yang melibatkan
putriku dan Lord Hiroshi. Mereka tidak boleh diganggu. Mereka tidak boleh tahu hal ini hingga
pertandingannya selesai. Tidak seorang pun boleh tahu."
"Tapi Anda harus segera kembali ke Tiga Negara! Zenko..."
"Aku akan kembali secepatnya, lebih awal dari rencana. Tapi aku tak ingin menyinggung tuan
rumah"Lord Saga, Kaisar"maupun membiarkan Saga mencium pengkhianatan Zenko.
Sementara ini aku dalam posisi yang menguntungkan" tapi itu bisa berubah kapan saja. Begitu lombanya
selesai dan kami tahu hasilnya, aku akan pamit. Meskipun beresiko terjebak dalam hujan,
namun hal ini tidak bisa ditunda. Kau akan ikut dengan kami, tentu saja; tapi untuk sementara waktu ini aku
memintamu untuk menjauh. Shigeko bisa mengenalimu. Hanya dua hari. Nanti aku akan ceritakan tentang kabar
ini padanya dan juga Hiroshi."
Takeo mengatur agar Mai diberi uang dan dicarikan penginapan, lalu gadis itu pergi, berjanji
akan kembali dalam dua hari. Mai baru saja pergi ketika Shigeko dan Gemba datang. Sedari tadi mereka memeriksa keadaan
kuda, menyiapkan pelana dan tali kekang untuk lomba besok, serta membahas strategi. Shigeko,
yang biasanya pandai mengendalikan diri serta tenang, kini gembira dengan kejadian hari ini, dan
tak sabar menanti penandingan. Ia lega karena ini berarti putrinya takkan memerhatikan sikap diam
dan kurang bersemangat dirinya, juga lega karena gelapnya ruangan.
Shigeko berkata, "Aku kembalikan Jato pada Ayah."
"Tidak boleh," sahutnya. "Kaisar yang berikan padamu. Sekarang pedang itu menjadi milikmu."
"Pedang ini terlalu panjang," protes
putrinya. Takeo memaksakan diri untuk tersenyum. "Kendati demikian, tetap saja itu milikmu."
"Akan kuberikan pada biara sampai...."
"Sampai apa?" Takeo memotong ucapan putrinya.
"Sampai putra Ayah, atau putraku, cukup dewasa untuk memilikinya."
"Bukan penama kalinya pedang itu berada di biara," sahut Takeo. "Tapi pedang itu milikmu,
dan pedang juga memastikan dirimu bukan hanya sebagai pewaris Klan Maruyama, tapi juga Klan
Otori." Takeo menyadari bahkan saat ia bicara bahwa pengakuan Kaisar membuat persoalan
pernikahan Shigeko justru makin penting. Shigeko akan menyerahkan Tiga Negara kepada orang yang
menikahinya, suami yang direstui Kaisar. Apa pun permintaan Saga, ia takkan menyerah begitu
saja, tidak sebelum ia konsultasi dengan Kaede.
Takeo sangat merindukan Kaede saat ini, bukan hanya menginginkan tubuhnya, tapi kearifan,
kejernihan pikiran, sena kekuatan?nya yang lembut, aku tidak berarti tanpa dia, pikirnya.
Rasanya ingin sekali berada di rumah.
Tak sulit untuk membujuk Shigeko beristirahat lebih awal, dan Gemba juga pergi tidur,
meninggalkan Takeo sendirian meng?hadapi malam yang panjang.*
Halaman 648 dari 648 Minoru datang, seperti biasa, saat matahari baru terbit. Dia datang bersama para pelayan
perempuan yang membawa teh. "Hari ini sepertinya akan menjadi hari yang cerah," ujarnya. "Aku telah menyiapkan catatan
atas semua yang terjadi kemarin, dan juga mencatat semua yang akan terjadi hari ini."
Ketika Takeo mengambil catatan itu tanpa menjawab, si jurutulis berkata dengan ragu, "Lord
Otori kelihatannya tidak sehat."
"Aku kurang tidur, itu saja. Aku sehat?sehat saja, aku harus terus memesona serta
mengesankan. Aku tidak bisa bersikap sebaliknya."
Minoru menaikkan alis sedikit, terkejut dengan suara dingin Takeo.
"Tentunya kunjungan Anda sangat berhasil, kan?"
"Kita akan tahu sore ini."
Takeo tiba-tiba memutuskan dan berkata, "Aku akan mendiktekan sesuatu padamu.
Jangan berkomentar dan jangan beritahu siapa-siapa. Kau harus mengatur kepulangan kita
agak lebih awal dari rencana."
Minoru menyiapkan batu tinta dan meng?ambil kuas tanpa bicara. Tanpa memihak Takeo
menceritakan semua vang diceritakan Mai semalam, dan Minoru menulisnya.
"Aku turut berduka cita," ujarnya ketika Takeo selesai mendikte. Takeo memandang Minoru
dengan tatapan menuduh. "Aku minta maaf atas kurang terampilnya diriku ini. Tanganku gemetar dan
tulisanku sangat buruk."
"Tidak apa-apa, selama masih bisa dibaca. Simpan baik-baik: aku akan memintamu
membacakannya, malam ini atau besok."
Minoru membungkuk hormat. Takeo sadar akan simpati tanpa kata-kata dari jurutulisnya;
kenyataan bahwa ia telah berbagi kabar kematian Taku mengurangi penderitaannya.
"Lord Saga mengirim surat untuk Anda," ujar Minoru, mengeluarkan gulungan kertas. "Beliau
pasti menulisnya tadi malam. Beliau sangat menghormati Anda."
"Biar kulihat." Tulisannya menggambar?kan orangnya, tebal dan ditekan, guratan
tinta kelihatan hitam dan legas, bergaya kotak.
"Beliau mengucapkan selamat padaku atas keramahan Kaisar padaku, dan atas ke?berhasilan
hadiahku, serta mengucapkan semoga berhasil hari ini."
"Beliau khawatir atas popularitas Anda," ujar Minoru. "Dan takut bila Anda kalah dalam
pertandingan itu, Kaisar masih tetap mendukung Anda."
"Aku akan mematuhi kesepakatan, dan aku berharap dia pun begitu," sahut Takeo.
"Beliau mengharapkan Anda menemukan cara untuk berkelit dari kesepakatan tersebut, agar
beliau mendapat alasan untuk tidak menepatinya."
"Minoru, sikapmu menjadi begitu sinis! Lord Saga adalah bangsawan besar berasal dari klan
kuno. Dia telah mengumumkan kesepakatannya. Dia takkan mengingkari kesepakatan itu tanpa
membuat dirinya tidak terhormat, dan begitu pula aku!"
"Persis seperti itulah cara bangsawan men?jadi besar," gumam Minoru.
Halaman 649 dari 649 Jalanan jauh lebih ramai lagi dibanding kemarin, dan masyarakat menari-nari seperti
kesurupan. Cuaca makin panas dengan kelembapan yang menandakan hujan plum. Arena di Biara Agung
dipenuhi penonton: perempuan mengenakan kimono bertudung, laki-laki berpakaian cerah,
anakanak, semua memegang payung dan kipas. Di dalam lingkaran terluar pasir merah para pe?nunggang
kuda menunggu: kuda tim Saga memiliki sabuk kulit yang dikaitkan di bawah ekor serta tali
dada berwarna merah, sedangkan milik Shigeko berwarna putih. Pelana kuda dilapisi kerang
mutiara; surai dikepang; jambul dan ekornya mengkilat serta sehalus rambut seorang putri. Seutas tali
jerami kuning membagi lingkaran sebelah luar dari lingkaran yang sebelah dalam, dengan pasir berwarna
putih. Takeo bisa mendengar gongongan anjing yang bersemangat dari sisi timur arema, tempat
sekitar lima puluh ekor anjing dalam sebuah kerangkeng berhiaskan daun dan rumbai-rumbai putih. Di
bagian belakang lapangan terdapat bilik dari kain sutra didirikan bagi Kaisar, yang tersembunyi
seperti sebelumnya, di balik tirai bambu.
Takeo dibimbing ke tempat di sebelah kanan bilik Kaisar. Di tempat itu Takeo disambut para
bangsawan, ksatria dan istri mereka, sebagian sudah bertemu dengannya sehari sebelumnya.
Pengaruh kirin sudah tampak: seorang laki-laki memperlihatkan padanya pena lintang yang
diukir mengikuti bentuk kirin, dan beberapa perempuan mengenakan tudung berhiaskan gambar
kirin. Suasana hari itu terasa bagai piknik di pedesaan, meriah dan ramai, dan Takeo berusaha ikut
ambil bagian di datamnya dengan sepenuh hati. Namun sesekali pemandangan tampak kabur dan
langit semakin kelam, dan mata dan pikirannya dipenuhi dengan bayangan-bayangan Taku yang
tertembak di leher lalu mati kehabisan darah.
Ia mengalihkan perhatian pada mereka yang masih hidup, pada perwakilannya, Shigeko,
Hiroshi dan Gemba. Kedua kuda abu-abu pucat dengan surai dan ekor hitam terlihat sangat kontras
dengan kuda Gemba yang berbulu hitam. Kuda-kuda melangkah tenang mengelilingi lingkaran. Saga
me?nunggang kuda besar dengan bulu warna
coklat kemerahan. Kedua pendukungnya, Okuda dan Kono, menunggang kuda belang dan juga
merah bata. Busur milik mereka jauh lebih besar dibandingkan dengan busur Shigeko"dan
ketiganya memiliki anak panah yang dibului dengan bulu bangau warna putih dan abu-abu.
Takeo belum pernah menyaksikan per?buruan anjing, dan peraturan permainan itu dijelaskan
oleh kawan pendampingnya. "Anda hanya boleh menembak bagian ter?tentu di tubuh anjing: punggung, kaki, leher. Anda
tidak boleh menembak kepala, bagian lunak di perut atau kematuan, dan nilai Anda akan dikurangi
jika anjingnya berdarah atau mati. Makin banyak darah menetes, makin buruk tembakannya. Ini
semua tentang pengendalian sempurna yang sangat sulit dicapai sewaktu kuda berderap."
Mereka berkuda dalam barisan menurut urutan pangkat, dari yang terendah sampai yang
tertinggi, pasangan pertama Okuda dan Hiroshi.
"Okuda akan mulai lebih dulu untuk menunjukkan cara melakukannya," tutur Saga kepada
Hiroshi, dengan ramah, karena penunggang kedua memiliki peluang lebih
menguntungkan. Anjing pertama dibawa masuk ke lingkaran: Okuda juga memasuki lingkaran lalu menderapkan
kudanya, membiarkan tali kekang menggantung di leher kuda selagi dia menaikkan busur
panah dan menaruh anak panahnya. Tali anjing dilepaskan dan hewan itu segera berjingkrakan, mengonggong pada kuda yang
tengah berderap. Anak panah pertama Okuda berdesing melewati telinga anjing itu, membuatnya
menyalak kaget lalu mundur, dengan ekor di sela kaki belakang?nya. Anak panah kedua mengenai dada.
"Tembakan yang bagus!" seru laki-laki di sebelah Takeo.
Tembakan yang ketiga terkena punggung anjing yang tengah berlari. Anak panah itu
dilepaskan terlalu kuat: darah mulai menodai bulu putih anjing itu.
Halaman 650 dari 650 "Kurang baik," adalah penilaian juri.
Takeo merasakan ketegangan mulai ber?tambah saat Hiroshi memasuki lingkaran dan Keri
mulai berderap. Takeo sudah mengenai kuda itu selama ia mengenai pemuda itu: hampir delapan
belas tahun. Mampukah kuda abu-abu itu bertahan dalam per
tandingan semacam ini" Akankah kuda itu mengecewakan penunggangnya" Takeo tahu Hiroshi
mahir memanah, tapi mampukah pemuda itu bersaing dengan pemanah nomor satu dari
ibukota" Anjing dilepaskan. Mungkin anjing tiu sudah melihat nasib kawannya dan tahu apa yang
menantinya dalam lingkaran itu; anjing itu secepatnya berlari keluar lingkaran, meng?hempaskan
tubuhnya di antara anjing-anjing lain. Anak panah Hiroshi luput mengenai anjing itu sejauh serentangan
kaki. Anjing itu ditangkap, dibawa masuk lagi dan dilepas sekali lagi. Takeo bisa melihat kalau
anjing itu ketakutan dan menggeram. Anjing-anjing itu pasti mencium amis darah sehingga ketakutan,
pikirnya. Atau mungkin anjing saling berkomunikasi lalu memper?ingatkan. Kali ini Hiroshi lebih siap,
tapi anak panahnya tetap tidak kena sasaran.
"Lebih sulit dari kelihatannya," ujar tetangga Takeo dengan simpatik. "Butuh latihan selama
bertahuntahun." Takeo menatap anjing itu saat dibawa masuk untuk yang ketiga kalinya, berusaha menyuruh
agar anjing itu tenang. Ia tidak mau Hiroshi menyakiti anjing itu, tapi ia
The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ingin pemuda itu setidaknya mendapat satu nilai untuk bidikannya. Penonton terdiam: di balik
suara derap kuda, terdengar olehnya senandung yang amat pelan, suara yang dikeluarkan Gemba
saat merasa gembira. Tak ada orang lain yang bisa mendengar?nya, tapi anjing itu bisa mendengarnya. Hewan itu
berhenti meronta dan menyalak. Anjing itu tidak kabur saat dilepas, tapi malah duduk dan menjilati
bulunya sebelum bangkit lalu berjalan pelan mengitari lingkaran. Anak panah ketiga Hiroshi kena
bagian samping anjing itu, membuatnya ter?jatuh dan menyalak, tapi tidak berdarah.
"Itu tembakan yang mudah! Okuda akan memenangkan babak ini."
Juri memutuskan demikian. Tembakan kedua Okuda, meski membuat si anjing ber?darah,
mendapat nilai lebih tinggi ketimbang dua tembakan Hiroshi yang meleset,
Takeo bersiap menerima satu kekalahan lagi"maka tak peduli sebaik apa pun Shigeko
melakukannya, hasil pertandingan sudah ditentukan. Matanya terpaku pada Gemba yang tak
lagi bersenandung, tapi kelihatan sangat waspada. Kuda hitam tunggangannya juga tampak waspada,
menatap pemandangan asing dengan telinga tegak dan bola mata mem besar. Lord Kono
menunggu di sebelah luar lingkaran di atas kuda merah bata yang kuat sena penuh semangat. Laki-laki
itu mahir berkuda, seperti yang sudah diketahui, dan kudanya memang cepat.
Karena Hiroshi kalah pada babak sebelum?nya, kali ini Gemba mendapat giliran per?tama.
Anjing yang berikutnya lebih lincah, dan kelihatan tidak takut pada kuda yang tengah berderap.
Panah pertama Gemba tampak melayang dan mendarat perlahan di tungging anjing itu. Tembakan
yang bagus, dan tidak ada darah. Tembakannya yang kedua hampir sama, sekali lagi tidak
mengeluarkan darah, tapi kini anjing itu ketakutan, berlarian ke kanan dan kiri melintasi lapangan.
Tembakan ketiga Gemba meleset. Kemudian Kono keluar dengan menunggang kuda merah bata, membuat
kudanya berderap mengelilingi lingkaran sebelah luar, membuat pasir merah beterbangan. Para
penonton berseru kagum. "Lord Kono sangat mahir dan terkenal," orang di sebelah Takeo memberitahunya.
"Kemahirannya memang enak di
pandang!" ujar Takeo setuju dengan sikap sopan, seraya berpikir, aku akan kehilangan
segalanya, tapi aku takkan terlihat marah atau sedih.
Halaman 651 dari 651 Anjing-anjing dalam kerangkeng makin bersemangat; gonggongan berubah menjadi lolongan,
dan setiap anjing yang dibebaskan semakin liar karena ketakutan. Namun tetap saja Kono
membukukan dua nilai tembakan sempurna tanpa darah. Pada tembakan ketiga, kuda tunggangannya
terlalu ber?semangat karena sorak sorai penonton, agak meloncat saat Kono menarik busur. Panahnya
melayang di atas kepala anjing dan kena bagian samping pangg:ung kayu di belakangnya.
Beberapa pemuda berlompatan turun untuk mengambilnya, pemenang yang beruntung mengayunkan
anak panah itu di atas kepalanya.
Setelah diskusi panjang para juri, babak kedua diputuskan seri.
"Kini kita mungkin menunggu keputusan Kaisar," seru laki-laki di sebelah Takeo. "Cara ini
sangat digemari pengunjung: bila hasilnya seri secara keseluruhan."
"Tampaknya cara itu kurang sesuai karena kurasa Lord Saga akan dianggap memiliki
lebih dalam olahraga ini."
"Tentu, Anda benar. Aku hanya tidak ingin...." Laki-laki itu tak kuasa menahan malu. Setelah
diam dengan sikap canggung selama beberapa saat, dia lalu mohon diri menjauh untuk bergabung
dengan kelompok lain. Laki-laki itu berbisik kepada mereka, dan Takeo mendengar kata-katanya
dengan jelas. "Sungguh, aku tak tahan duduk di sebelah Lord Otori saat dia menghadapi hukuman mati. Aku
nyaris tidak bisa menikmati pertandingan karena mengasihani dirinya!"
"Kabarnya pertandingan ini hanyalah alasan baginya untuk mengundurkan diri tanpa kalah
dalam perang. Lord Otori tidak keberatan, maka kita tak perlu iba padanya."
Kemudian kesunyian melanda seluruh arena sewaktu Shigeko memasuki lingkaran dan Ashige
mulai berderap. Takeo hampir tidak sanggup memandang putrinya, namun ia juga tak mampu
memalingkan wajah. Setelah peserta laki-laki, putrinya terlihat kecil dan rapuh.
Meskipun penonton bersorak-sorai,
gonggongan anjing yang ketakutan, dan
ketegangan yang makin meningkat, baik si
kuda maupun penunggangnya tampak benar?benar tenang. Gaya berjalan si kuda cepat dan
mulus. sedang si penunggang duduk tegak dan tenang. Busur miniatur dan anak panahnya membuat
penonton terkesima, dan berubah menjadi kekaguman saat anak pertama menyentuh pelan
bagian samping tubuh anjing buruan. Anjing itu, terluka atau ketakutan, mengibaskan anak panah itu
seakan hanya lalat. Kemudian anjing itu seperti menganggap kalau ini adalah per?mainan yang
menyenangkan. Anjing itu berlarian mengitari lingkaran di waktu yang bersamaan dengan si
kuda: Shigeko mem?bungkuk dan melepaskan anak panah kedua seolah benda itu adalah tangannya
dan tengah mengelus leher hewan itu. Si anjing menggelengkan kepala dan mengibaskan ekor.
Shigeko mendesak kudanya untuk ber?derap lebih cepat dan anjing itu berlari tungganglanggang,
moncong menganga, telinga melambai-lambai. Mereka mengitari arena sebanyak tiga kali
seperti ini; kemudian Shigeko menarik kudanya berhenti di depan Kaisar. Anjing itu duduk di belakangnya,
berjingkrakan. Shigeko membungkuk dalam
dalam, membuat kudanya berderap lagi, ber?jalan memutar semakin mendekati anjing yang
duduk memerhatikan, memutar kepala?nya, dengan lidah merah mudanya terjulur. Anak panah
ketiga terbang lebih cepat namun tak kurang lembutnya, mengenai anjing itu nyaris tanpa suara
tepat di bawah kepalanya. Takeo tak kuasa mengagumi putrinya, kekuatan dan kemahirannya yang diperkuat dengan
kelembutan. Dirasakan pelupuk matanya menghangat, dan takut kalau rasa bangga akan
menghilangkan kesedihannya. Takeo mengerutkan dahi lalu menahan agar wajahnya tetap
tanpa ekspresi, tidak meng?gerakkan satu otot pun.
Halaman 652 dari 652 Saga Hideki, peserta terakhir, kini menunggang kuda memasuki lingkaran berpasir putih. Kuda
coklat kemerahan itu menarik-narik besi yang dipasang di mulutn?ya, melawan penunggangnya,
namun laki?laki itu mengendalikan kuda dengan mudah. Saga mengenakan jubah hitam, berhiaskan
bulu anak panah di bagian punggungnya, dan kulit rusa di kedua paha untuk melindungi kakinya,
ekor pendeknya menggantung hampir menyentuh tanah. Saat
dia mengangkat busur, penonton meng?hembuskan napas; ketika dia menaruh anak panah,
mereka menahan napas. Kudanya berderap, buih dari mulutnya beterbangan. Anting dilepas:
menggonggong dan me?lolong, tubuh anjing itu terhempas ke tanah. Anak panah Saga terbang lebih cepat
dari pandangan mata, mendapat nilai sempurna; ke bagian samping tubuh si anjing dan berhasil
menjatuhkannya. Si anjing berusaha bangkit terhuyung-huyung dan ke?bingungan. Mudah bagi
Saga untuk me?nembaknya lagi dengan anak panah kedua, sekali lagi ddak membuat anjing itu
ber?darah. Matahari sudah di ufuk barat, hawa kian panas, bayangan kian memanjang. Meskipun orangorang
berteriak, anjing melolong, dan anak-anak menjerit, namun Takeo tenang sedingin es.
Perasaan itu mematikan semua perasaannya, menutupi semua kesedihan, penyesalan dan amarah.
Disaksikannya dengan perasaan tanpa memihak selagi Saga menderapkan kuda mengitari lingkaran lagi,
seorang laki-laki dengan pengendalian jiwa dan raga yang sempurna. Pemandangan itu tampak seperti
dalam mimpi. Anak panah terakhir melesat di samping badan si anjing lagi dengan suara yang nyaris tak terdengar. Pasti
keluar darah, pikirnya, tapi bulu putih si anjing atau pasir berwarna pucat itu tetap bersih.
Semua orang terdiam. Takeo merasakan semua mata tertuju pada dirinya, meskipun ia tidak
memandang siapa pun. Telah dirasakannya kekalahan di tenggorokan, perut, hingga
empedunya. Saga dan Shigeko setidaknya seri. Dua seri dan satu menang" Saga akan meraih kemenangan.
Tiba-tiba, di depan matanya, seolah masih terus bermimpi, di pasir putih arena mulai
tercemar warna merah. Anjing tadi meng?alami pendarahan hebat, dari mulut dan anusnya. Penonton berseru
kaget. Punggung anjing itu melengkung, mencecerkan darah berbentuk melengkung di pasir,
men?dengking satu kali, lalu mari. Tenaga Saga terlalu besar, pikir Takeo. Dia tidak bisa menundukkan kekuatan laki?lakinya: dia
bisa melambatkan anak panah, namun tak mampu mengurangi tenaganya. Dua tembakan pertama
telah menghancur?kan organ tubuh anjing itu dan mem?bunuhnya.
Takeo seperti mendengar teriakan dan sorak sorai yang berasal dari tempat jauh. Perlahan ia
bangkit, menatap ke ujung arena, tempat Kaisar duduk di balik tirai bambu. Pertandingan berakhir
seri: kini keputusan ada di tangan Kaisar. Perlahan-lahan pe?nonton terdiam. Para peserta menunggu,
diam tak bergerak: kelompok merah di bagian timur, sementara kelompok putih di bagian barat.
Bayangbayang panjang kaki kuda terbentang melintasi arena. Anjing?anjing masih saja menyalak dari balik
kandang, tapi tidak ada suara lain.
Takeo menyadari kalau selama per?tandingan orang-orang telah menjauhinya, tak ingin
menyaksikan terlalu dekat peng?hinaan terhadap dirinya, atau berbagi takdir?nya yang tidak
menguntungkan. Kini ia menunggu seorang diri untuk mendengarkan hasilnya.
Terdengar bisikan dari balik tirai, tapi Takeo sengaja menutup pendengarannya. Hanya saat
Menteri muncul dari balik tirai dan dilihatnya pandangan resmi pertama ter?tuju pada Shigeko, dan
kemudian, pandangan yang lebih gugup, tenuju pada Saga, Takeo merasa ada secercah harapan.
"Karena kelompok Lady Maruyama tidak menumpahkan darah, Kaisar menganugerah?kan
kemenangan kepada kelompok putih!"
Takeo berlutuT dan menyembah. Kerumunan penonton bersorak menyetujui?nya. Ketika Takeo
duduk tegak, seketika dilihatnya ruang di sekelilingnya telah dipenuhi orang yang berhambur
meng?hampiri untuk memberinya selamat, ingin dekaT dengannya. Ketika berita itu menyebar
ke seluruh penjuru arena dan di luarnya, nyanyian pun mulai terdengar lagi.
Halaman 653 dari 653 Lord Otori telah muncul di ibukota; Kuda-kudanya menggetarkan tanah kami. Putrinya meraih
kemenangan besar; Lady Maruyama tidak menumpahkan darah. Pasir tetap putih. Anjing pun tetap putih. Para
penunggang putih menang. Tiga Negara hidup dalam damai;
Begitu pula Delapan Pulau
Takeo memandang ke arah Saga, dan melihat bangsawan itu juga tengah menatapnya.
Tatapan mata mereka bertemu, dan Saga menundukkan kepala sebagai peng?akuan atas kemenangan itu.
Ini tidak seperti dugaannya, pikir Takeo,
lalu teringat kata-kata Minoru. Saga berharap bisa menyingkirkan diriku tanpa berperang,
namun dia gagal. Dia akan memanfaatkan alasan apa pun untuk mengingkari janjinya.
*** Lord Saga telah merencanakan mengadakan jamuan makan besar untuk merayakan
kemenangannya yang sudah diketahui lebih dulu; jamuan makan memang dilakukan seperti yang
direncanakan, namun berbeda dengan kegembiraan tulus di jalan-jalan di kota, perayaan tersebut tidak
sepenuhnya tulus. Kendati begitu, tata krama tetap ber?laku, dan Saga mengumbar sanjungannya kepada
Lady Maruyama; semakin jelas kalau dia menginginkan pernikahan itu lebih dari sebelumnya.
"Kita akan menjadi sekutu, dan Anda akan menjadi ayah mertuaku," ujar Saga, tertawa
dengan kegembiraan yang dipaksakan. "Walaupun aku percaya usiaku lebih tua beberapa tahun."
"Aku akan senang sekali memanggil Anda putraku," sahut Takeo, dengan agak ter?cengang
selagi kata-kata itu meluncur dari
mulutnya. "Tapi kita harus menunda peng?umuman pertunangan sampai putriku me?minta
pendapat klannya. Termasuk ibunya." Takeo melihat sekilas ke arah Lord Kono dan ingin tahu reaksi
jujur bangsawan itu, di balik sikap sopan yang ditunjukkannya; pesan apa yang akan orang itu kirim
pada Zenko tentang hasil pertandingan ini, dan apa yang tengah dilakukan Zenko"
Jamuan berlangsung hingga larut malam: bulan sudah muncul dan bintang-bintang tampak
besar, cahayanya berpencar dan ber?kabut dengan lembapnya udara.
"Aku minta kalian semua tidak pergi tidur dulu," ujar Takeo ketika mereka kembali ke
kediaman. Ia membimbing Shigeko, Gemba dan Hiroshi ke ruangan paling terpencil di kediaman itu. Semua
pintu terbuka lebar; air bergemericik di taman dan sesekali nyamuk berdengung. Minoru dipanggil.
"Ayah, ada apa?" tanya Shigeko segera. "Apakah ada kabar buruk dari rumah" apakah Ibu" Adik
bayiku?" "Minora akan membacakannya," sahut Takeo, dan memberi isyarat agar si jurutulis mulai
membaca. Minora membaca tanpa perasaan, dengan
sikap dinginnya seperti biasa, tapi perasaan mereka bertiga tidak kurang bergolaknya. Shigeko
menangis terang-terangan. Hiroshi terduduk pucat pasi, seolah terkena pukulan di dadanya
lalu terhuyung-huyung. Gemba berdengus keras lalu berkata, "Kau me?rahasiakan ini seharian?"
"Aku tidak ingin konsentrasi kalian ter?pecah. Aku tak menduga kalian akan menang.
Bagaimana aku harus berterima kasih kepada kalian" Kalian tadi sangat luar biasa!" Takeo bicara dengan
berlinang
The Harsh Cry Of The Heron Kisah Klan Otori Karya Lian Hearn di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
air mata penuh perasaan. "Beruntung Kaisar cukup terkesan pada?mu dan tak ingin menyinggung dewa-dewa dengan
memutuskan untuk menentangmu. Segalanya bercampur aduk untuk meyakin?kan dirinya
bahwa kau memiliki restu dari Surga."
"Kurasa dia memutuskan ini agar men?dapatkan orang yang bisa mengimbangi kekuatan Saga,"
sahut Takeo. Halaman 654 dari 654 "Itu juga," Gemba setuju. "Tentu saja, dia manusia setengah dewa"tapi juga tak ber?beda
dengan kita semua, termotivasi oleh gabungan antara idealisme, pragmadsme, penyelamatan diri
sendiri dan niat yang baik!" "Kemenangan kalian membuat Kaisar ber?pihak pada kita," ujar Takeo. "Tapi kematian Taku
berarti kita harus segera kembali. Zenko harus dihadapi sekarang juga."
"Ya, kurasa kini waktunya kita pulang," sahut Gemba. "Bukan hanya karena Taku, tapi demi
mencegah kekacauan lebih jauh lagi. Ada satu hal lagi yang tidak beres."
"Berkaitan dengan Maya?" tanya Shigeko dengan ketakutan yang terdengar dalam nada
suaranya. "Mungkin," sahut Gemba tanpa berkata lagi.
"Hiroshi," ujar Takeo. "Kau telah kehilangan sahabat terdekatmu... Aku menyesal."
"Aku berusaha menahan keinginanku untuk balas dendam." Suara Hiroshi terdengar parau.
"Yang kuinginkan hanyalah kematian Zenko, begitu pula dengan Kikuta Akio dan putranya. Naluriku
mengatakan kalau kita haras segera pergi dan memburu mereka"tapi Ajaran Houou
menahanku untuk tidak melakukan kekerasan. Lalu bagaimana cara kita menghadapi para pem?bunuh
ini?" "Kita memang akan memburu mereka," sahut Takeo. "Tapi akan dilakukan dengan adil. Aku
telah diakui Kaisar, kekuasaanku telah ditegaskan oleh Paduka Yang Mulia. Zenko tidak memiliki lagi
dasar hukum yang sah untuk menentangku. Bila dia tidak benar-benar tunduk, kita akan
mengalah?kannya dalam pertempuran dan dia akan mencabut nyawanya sendiri. Akio akan digantung seperti
penjahat biasa. Tapi kita harus pergi secepatnya."
"Ayah," ujar Shigeko. "Aku tahu Ayah benar. Tapi tidakkah kepergian yang tergesa?gesa akan
menyinggung Lord Saga dan Kaisar" Dan jujur saja, aku cemas pada keadaan kirin.
Kesehatannya merupakan masalah terpenting bagi kelangsungan kedudukan Ayah. Hewan itu akan ketakutan
bila kita semua pergi begitu mendadak. Tadi?nya aku berharap bisa melihatnya tenang dulu
sebelum kita pergi.... Mungkin aku bisa tinggal di sini menemaninya?"
"Tidak, Ayah takkan meninggalkan dirimu di tangan Saga," sahutnya dengan suara keras yang
mengejutkan mereka sendiri. "Apakah aku harus menyerahkan semua putriku kepada
musuhmusuhku" Kita telah berikan kirin kepada Kaisar. Kaisar dan orang?orangnya yang harus bertanggung jawab atas nasib
hewan itu. Kita harus pergi sebelum akhir minggu: kita akan memanfaatkan cahaya bulan antara bulan
sabit dan bulan purnama untuk melakukan perjalanan."
"Kita akan berkuda di tengah hujan, dan mungkin tak melihat bulan sama sekali," gumam
Hiroshi. Takeo berpaling ke arah Gemba. "Gemba, kau telah membuktikan kalau dirimu tahu segalanya
sejauh ini. Apakah Surga masih terus berpihak pada kita dengan menunda hujan plum?"
"Kita lihat saja apa yang bisa kita laku?kan," sahut Gemba berjanji sambil senyum, di sela-sela
air matanya.* Sejak Takeo memintanya mengambil alih kepemimpinan Tribe, Muto Shizuka telah melakukan
perjalanan ke hampir seluruh Tiga Negara. Dia mengunjungi desa-desa ter?sembunyi di
pegunungan dan rumah-rumah pedagang tempat kerabatnya menjalankan berbagai usaha: membuat sake,
fermentasi kedelai, peminjaman uang, hingga kegiatan mata-mata. Hierarki kuno Tribe masih
tetap Halaman 655 dari 655 ditegakkan dengan struktur vertikalnya serta kesetiaan tradisional keluarga, yang berarti
bahkan dalam kalangannya sendiri. Tribe menyimpan rahasia dan sering bertindak dengan cara
mereka sendiri. Seperti biasa Shizuka disambut dengan sopan santun terta penghormatan, namun ia sadar ada
sakit hati terhadap posisi barunya: andai Zenko mendukung, keadaannya pasti berbeda; tapi sadar
selagi putranya itu masih hidup, maka ketidakpuasan di dalam keluarga Muto bisa berkembang
Durjana Berparas Dewa 1 Azab Dan Sengsara Karya Merari Siregar Pendekar Pedang Sakti 16
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama