Di Bawah Lentera Merah Karya Soe Hok Gie Bagian 1
DI BAWAH LENTERA MERAH (Karya : Soe Hok Gie) Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, 1999
Selamanja saja hidoep, selamanja saja akan berichtiar menjerahkan djiwa saja goena keperloean ra"jat Boeat orang jang merasa perboetannja baik goena sesama manoesia, boeat orang seperti itoe, tiada ada maksoed takloek dan teroes TETAP menerangkan ichtiarnja mentjapai Maksoednja jaitoe
HINDIA MERDIKA DAN SLAMAT SAMA RATA SAMA KAJA SEMOEA RA"JAT HINDIA
(Semaoen, 24 Djoeli 1919)
Ucapan Terima Kasih Karangan kecil ini adalah skripsi yang diajukan untuk menempuh ujian Sarjana Muda jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Pembuatan skripsi ini merupakan pengalaman pertama penulis, sehingga penulis mohon maaf jika sekiranya dalam karangan ini terdapat kejanggalan-kejanggalan, baik isi maupun cara pembuatannya yang masih banyak terdapat kesalahan.
Selama proses penulisan skripsi ini, penulis menerima banyak bantuan dari berbagai pihak, baik berupa peminjaman buku, sumbangan kertas maupun dorongan moril. Juga dari segenap staf perpustakaan musium, bantuan yang diberikan sangat penulis hargai. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada staf pengajar jurusan Sejarah, terutama kepada Ibu
Marwati D. Pusponegoro yang telah mendidik penulis selama belajar di jurusan Sejarah dengan tekunnya, kepada Drs. Abdurrachman Suryomiharjo yang telah membimbing pembuatan skripsi ini, dan kepada Drs. Nugroho Notosusanto yang telah mengajarkan kepada penulis tentang metode-metode membuat skripsi dan cara-cara menggunakan sumber sejarah.
Akhirnya secara khusus penulis perlu menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada Bapak Darsono dan Bapak Semaoen, yang telah berjam-jam menyediakan waktu dan telah sudi membaca dan memberikan petunjuk kepada penulis tentang banyak kekurangan pada skripsi ini serta melayani pertanyaan-pertanyaan yang penulis ajukan. Tanpa bantuan beliau yang berharga, skripsi ini akan jauh kurang lengkap.
Walaupun demikian, semua kekurangan dan kesalahan pada penulisan skripsi ini adalah karena kelalaian penulis sendiri, terutama kesalahan ketik dan cara-cara membuat catatan kaki.
Sekali lagi penulis memohon maaf. Semoga karangan yang sederhana ini akan ada manfaatnya.
Jakarta, 6 September 1964
Soe Hok Gie BAB I: Pendahuluan Beberapa tahun yang lalu, ketika meneliti koran-koran awal tahun tiga puluhan, saya kadang-kadang membaca berita-berita di sekitar proses pengadilan terhadap kaum komunis. Mereka ini, bukanlah tokoh-tokoh utamanya, melainkan hanya peserta biasa saja. Di dalam mengemukakan alasan mengapa mereka ikut memberontak di tahun-tahun 1926-1927, kebanyakan data menunjukkan kepada sebab-sebab kemiskinan. Biografi "rakyat kecil" ini pun sangat menarik. Terkadang, hanya karena hutang 50 sen, atau karena soal-soal kecil lainnya, mereka berani melawan Belanda. Dan waktu itu juga sering terbaca betapa keadaan orang-orang buangan di Digul. Saya pernah membaca betapa kerasnya watak Mas Marco, Boedisoetjitro, Winanta dan Najoan yang menolak utusan Gubernur jenderal menemui mereka.
Padahal pertemuan dengan utusan Hilman itu mungkin akan membebaskan mereka dari neraka Digul. Kadang-kadang saya membaca beberapa segi dari kehidupan tokoh-tokoh komunis ini. Misalnya, tentang kebandelan Mas Marco dan kedermawanan Najoan, kesemuanya sangat menarik hati.
Dan saya berminat untuk mengetahui lebih banyak lagi tentang bagaimana keadaan perkembangan komunisme di Indonesia sebelum tahun-tahun 1926. Tetapi, jika kita
membaca buku-buku penulis asing dari luar negeri, gambaran yang kita peroleh menjadi agak berbeda. Harry J. Benda misalnya, menganalisis pemberontakan itu terjadi ketika terdapat sejumlah kenaikan pendapatan dan perbaikan penghidupan. Dengan menunjuk kepada data-data yang lengkap, Benda menarik kesimpulan bahwa ?"The revolte were not certainly not bred in misery among poverty-sticken or exploited peasant and labores living under the yoke of western imperialist".
Harry J. Benda, The Crescent and the Rising Sun: Indonesian Islam Under Padahal, berita dari koran-koran pada waktu itu, justru cenderung menarik kesimpulan bahwa kemiskinan adalah sebab yang melatar belakangi pemberontakan itu. Kondisi ini juga yang melatar belakangi saya untuk melihat secara lebih mendetail sebab-sebab dari pemberontakan tahun 1926.
Dan untuk menunjang keinginan itu saya pun mulai membaca buku-buku sekitar pemberontakan, sepanjang yang dapat saya peroleh. Pembacaan ini malah telah merangsang saya untuk mengetahui awal mulanya pergerakan komunis di Indonesia, karena tanpa tahu awal mulanya, sama saja dengan membaca sebuah koran dari tengah-tengah.
Itulah sebabnya maka studi mengenai pemberontakan 1926, harus dimulai dari studi terhadap awal mulanya pergerakan kaum "Marxis" Indonesia. Dan dalam hal ini kita harus mulai dengan Sarekat Islam Semarang. Permulaan abad keduapuluh merupakan salah satu periode yang paling menarik dalam sejarah Indonesia, karena sekitar tahun-tahun itulah terjadi perubahan-perubahan sosial yang besar di tanah air kita.
Pesatnya perkembangan pendidikan Barat, pertumbuhan penduduk yang meningkat cepat dan mulai digunakan teknologi modern, kesemuanya menimbulkan perubahan sosial di Indonesia. Nilai-nilai tradisional yang telah mengakar di bumi Indonesia, tiba-tiba dikonfrontasikan secara intensif dengan nilai-nilai tradisional mereka dan malah ada yang sudah mulai melepaskannya, walaupun pegangan yang baru belum mereka peroleh. Ketiadaan pegangan menciptakan rangsangan untuk mendapatkan suatu pegangan. Sebagian dari mereka mencarinya di dalam pemikiran-pemikiran Islam, sedang yang lain mencari dengan menggali kembali kebudayaan lama untuk disesuaikan dengan dunia mereka yang modern. Sebagian lainnya lagi mencarinya di dalam alam pemikiran Barat.
Dengan berbaju modern, pada awal abad kedua puluh itu kita jumpai banyak aliran yang kadang-kadang saling bertentangan. Kita temui partai-partai yang saling cakar, disamping sarikat-sarikat buruh, gerakan pemuda, gerakan perempuan dan lain-lain. Dan jika mulai sedikit saja mengorek "kulit modern" itu, kita akan menemukan makna yang sesungguhnya dari gerakan-gerakan itu. Mereka tidak lain dari padanya merupakan kelanjutan bentuk dari kelompok-kelompok yang sudah ada dalam masyarakat tradisional. Apalagi jika kita memperhatikan dasar dari konsepsi-konsepsi mereka yang dikemukakan secara teliti, maka dengan tidak terlalu sulit kita dapat merasakan hubungannya dengan pemikiran-pemikiran pra abad ke-20.
Apa memangnya secara kebetulan saja, maka kaum priyayi bergabung ke dalam Boedi Oetomo dan kaum santri ke dalam Sarekat Islam di sementara tempat" Apakah ini bukan
merupakan perwujudan dari struktur masyarakat yang lebih tua dari kaum priyayi dan santri itu sendiri" Suatu gerakan hanya mungkin berhasil bila dasar-dasar dari gerakan tersebut mempunyai akar-akarnya di bumi tempat ia tumbuh. Ide yang jatuh dari langit tidak mungkin subur tumbuhnya.
Hanya ide yang berakar ke bumi yang mungkin tumbuh dengan baik. Demikian juga halnya dengan gerakan sosialistik Sarekat Islam Semarang. Saya pikir, bukanlah hal yang kebetulan saja menghebatnya gerakan-gerakan Samin ditahun 1917, bersamaan waktunya dengan munculnya ide-ide sosialis Sarekat Islam Semarang. Bahkan Sarekat Islam merasa adanya persamaan dasar, walaupun yang satu dicetuskan dalam suasana tradisional, sedang yang lainnya dengan jubah modern. Gerakan komunis bahkan mereka terjemahkan dengan gerakan Saminis.
Dan jika kaum Saminis menggunakan bahasa Jawa kasar untuk siapa saja, maka dalam masa yang bersamaan kita juga menemui gerakan Jawa Dwipa. Yang satu bergerak di desa, sedang yang lainnya di Surabaya.
Sarekat Islam Semarang merupakan gerakan dari sekelompok manusia yang tak mungkin melepaskan dirinya dari zaman lampaunya. Alam yang mendahuluinya, alam tradisional. Ide tokoh-tokohnya mau tidak mau merupakan lanjutan dan berhubungan dengan gagasan-gagasan yang hidup pada pra abad ke-20. Persoalannya sekarang, bagaimana hubungan abad tradisional itu dengan abad ke20, bagaimana perkembangan dan perubahannya. Hanya penyelidikan dan penelitian yang lebih mendalam yang akan menjawab pertanyaan menarik ini.
"Di Bawah Lentera Merah" hanyalah sebuah usaha kecil yang mencoba melihat salah satu bentuk pergerakan rakyat Indonesia di awal abad ke-20. Dan untuk membatasi persoalan, is memilih pergerakan Sarekat Islam di Semarang di dalam masa antara tahun1917-1920. Mengapa dimulai dengan tahun 1917, karena mulai tahun itulah tendensi-tendensi sosialistik mulai jelas, sedang batas Mei 1920, adalah bulan didirikannya Partai Komunis Indonesia. Dengan demikian, tulisan ini terhindar dari berkepanjangan tanpa batas.
Yang lebih menjadi perhatian karangan ini adalah ide-ide dari para tokoh Sarekat Islam Semarang dan tindak tanduk untuk mewujudkannya. Sangatlah mustahil untuk berbicara
tentang sesuatu ide tanpa berbicara tentang latar belakang yang membentuk ide-ide itu. Karena ia lahir atau dilahirkan oleh keadaan masyarakatnya. Saya memang tidak memberikan perhatian kepada segi hukum, tindakan maupun perubahan aturan Hindia Belanda, karena baik Robert van Niel (The Emergence of Modern Indonesia Elite) maupun Von Aex (L"evolution politique en Indonesien 1900-1944) telah mengupasnya secara panjang lebar. Sedangkan gerakan-gerakan rakyat lain, termasuk Sarekat Islam lokal di luar
Semarang akan disinggung hanya dalam hubungannya dengan SI Semarang. Hal yang sama akan berlaku juga terhadap Central Sarekat Islam.
Sumber tulisan ini adalah surat-surat kabar. Buku-buku perbandingan agak kurang terpakai karena kesulitan memperolehnya. Lagipula pengupasan terhadap buku-buku itupun jarang yang saya inginkan. Membaca koran pun mempunyai kesulitannya terutama karena ketuaan koran dan di sana-sini kurang lengkap. Kekurangan perawatan mengakibatkan kerapuhan dan kadang-kadang tak terbaca tintanya. Pengecekan kembali sumber-sumber juga kadang- kadang tidak dapat dilakukan karena koran-koran itu dibawai ke tempat perbaikan. Inilah sebabnya maka catatan-catatan kaki ada kalanya tak tersusun sempurna.
Tokoh-tokoh Sarekat Islam Semarang sebagian terbesar sudah meninggal dunia. Namun syukur sekali Semaoen dan Darsono (ketika tulisan ini dibuat tahun 1964, ed.) masih
hidup. Dari beliaulah saya mendapatkan banyak keterangan melalui wawancara langsung. Walau sayang banyak juga peristiwa-peristiwa yang lama berlalu itu terlupa.
Sebenarnya "Di Bawah Lentera Merah" ini lebih tepat jika dinamakan sebuah laporan pembacaan daripada sebuah skripsi, karena apa yang dibicarakan di sini masih jauh dari
selesai. BAB II: Latar Belakang Sosial
Pada tanggal 6 Mei 1917, 1 Presiden Sarekat Islam Semarang yang lama, Moehammad Joesoef, menyerahkan kedudukannya kepada Presiden yang baru, Semaoen, yang pada waktu itu baru berumur sembilan belas tahun.
Pada hari itu juga diumumkan komposisi yang baru, yang terdiri dari:
Presiden : Semaoen Wakil Presiden : Noorsalam
Sekretaris : Kadarisman Komisaris : Soepardi Aloei Jahja Aldjoefri H. Boesro Amathadi Mertodidjojo Kasrin Dari susunan pengurus baru ini, enam orang merupakan wajah baru. Mereka adalah, Semaoen, Noorsalam, Soepardi, Aloei, H. Boesro, Amathadi, Mertodidjojo, dan Kasrin.
Peristiwa pergantian pengurus ini mencerminkan adanya perubahan dalam masyarakat pendukung SI di Semarang.
Pada mulanya SI Semarang dipimpin oleh mereka dari kalangan kaum menengah dan pegawai negeri yang mulai keluar dari Sarekat Islam, termasuk Soedjono.
Kini, di bawah pimpinan Semaoen, para pendukung SI berasal dari kalangan kaum buruh dan rakyat kecil.
Pergantian pengurus itu adalah wujud pertama dari perubahan gerakan Sarekat Islam Semarang. Dari gerakan kaum menengah menjadi gerakan kaum buruh dan tani. Saat itu sangat penting artinya bagi sejarah modern Indonesia, karena dari sini lahirlah gerakan kaum Marxis pertama di Indonesia.
Proses perevolusioneran Sarekat Islam Semarang ini bukan saja dipengaruhi, tetapi juga ditentukan oleh keadaan masyarakat Indonesia dan Semarang menjelang berakhirnya Perang Dunia I. Sebelum membicarakan perkembangannya lebih lanjut, baiklah kita melihat beberapa persoalan yang ikut mempengaruhi kehidupan Semarang masa itu, baik dibidang sosial ekonomi maupun intelektual.
Agraria Semenjak tahun 1870, Pemerintah Hindia Belanda membuat beberapa peraturan baru yang mengubah Indonesia dari sistem jajahan ala VOC menjadi sebuah jajahan yang bersistem liberal. Perkebunan yang dulunya dimonopoli Pemerintah, kini boleh diusahakan modal-modal swasta.
Sistem kerja paksa dan rodi dihapus dan diganti dengan sistem kerja upah secara bebas.
Mulai sejak itu mengalirlah modal-modal asing ke Indonesia, menggarap pertambangan, perkebunan dan pabrik-pabrik. Perkembangan ini bukan mendatangkan kebaikan bagi rakyat Indonesia. Ia bahkan merupakan malapetaka, karena liberalisme bagi rakyat Indonesia merupakan "free figth competition to exploit Indonesian". Struktur kemasyarakatan Indonesia yang terdapat di Jawa masa itu, justru dipergunakan kaum kapitalis asing (Belanda) untuk mencapai tujuan-tujuan mereka. Walaupun pengusaha-pengusaha perkebunan tidak dapat memiliki tanah, namun mereka dapat dan berhak menyewa dari Pemerintah atau "Bumiputra". Dan dengan kekuasaan uangnya mereka berhasil memaksa desa-desa menyewakan tanah-tanah desa dan biasanya dengan memberikan premi tertentu kepada kepala-kepala desa. Sawah milik desa (komunal) dari petani lalu dijadikan perkebunan-perkebunan. Sedang penduduknya secara massal dijadikan kulinya.
Nasib kaum tani ini sama sekali dilalaikan. Para lurah yang seharusnya menjadi kepala desa, kini menjadi alat pemerintah semata-mata dan dengan sendirinya mereka menjadi praktis alat para pengusaha perkebunan.
Misalnya, pada tahun 1919, para pengusaha perkebunan memberikan premi f 2,50 (dua setengah rupiah Belanda) untuk setiap bau kepada lurah-lurah yang dapat mengubah sawah-sawah desa menjadi perkebunan tebu.5 (1 bau = 7096,50 m2).
Para petani itu kini tidak lebih daripada budak-budak belian.
Areal perkebunan yang semakin lama semakin meluas ini, mengakibatkan semakin berkurangnya areal persawahan.
Padahal penduduk Jawa kian lama kian padat sebagai akibat perbaikan kesehatan. Dengan mudah dapat dilihat bahwa produksi beras menjadi terus-menerus berkurang dalam
perbandingan penduduk yang mengakibatkan naiknya harga beras. Mulai dari sekitaran Cirebon, Pekalongan, Semarang dan terus ke Solo dan Yogyakarta berhamparan kebun-kebun tebu. Tetapi kehidupan kaum buruh dan tani yang menggerakkan produksi tebu dan pabrik gula itu, kian lama kian buruk. Sebuah komisi Belanda sendiri di tahun 1900 telah melaporkan bahwa kehidupan rakyat Jawa dari hari ke hari semakin sengsara. (Onderzoek naar de mindere welvaart de Inlandsche bevolking op Java en Madura). Dan keadaan itu bertambah memburuk antara tahun 1913-1923.
Di tahun 1916 hingga 1920, proses perluasan produksi tebu terus berlangsung, walaupun tuntutan untuk menguranginya semakin santer pula. Bila produksi tebu (gula) di tahun 1900
berjumlah 744.257 ton, maka di tahun 1915, ia menjadi 1.319.087, 1.629.827 di tahun 1916 dan 1.822.188 pada tahun 1917.8 Ini berarti berlanjutnya pengurangan areal persawahan dan produksi padi. Harga beras dengan demikian meningkat dan peningkatan itu diperhebat lagi oleh kurangnya pengangkutan antara Indonesia dengan negeri-negeri penghasil beras lainnya di Asia Tenggara sebagai akibat Perang Dunia I.
Karena para lurah disuap dengan f 2,50 untuk setiap bahu sawah yang dapat disewa bagi perkebunan tebu, maka di desa-desa terjadi "pemaksaan" atas kaum tani untuk tidak menanam padi dan menggantinya dengan tebu. Secara terperinci hal ini dikemukakan Bruno Lasker dalam "Human Bondage in South Asia," Chapel Hill, 1950.
Biasanya, para pengusaha perkebunan menyewa satu bulan lahan persawahan dengan f 66,- untuk selama delapan belas bulan. Bila satu bahu sawah itu ditanami padi (selama delapan belas bulan), maka ia menghasilkan tiga kali panen, atau sekurang-kurangnya dua kali (ditambah dengan palawija) dan itu berarti 3 x f 100,- sama dengan f 300.9 Demikianlah maka penanaman tebu itu berarti penyengsaraan rakyat. Uang sewa lahan persawahan yang 66,- itu tidak cukup untuk hidup selama delapan belas bulan. Dan kaum tani biasanya pergi ke kota untuk bekerja sebagai kuli. Manakala mereka tidak ke kota berkuli, mereka dapat juga berkuli di perkebunan dengan gaji antara 20 hingga 40 sen sehari. Atau mereka juga dapat menggali lubang. Tetapi, manakala tuan besar kurang puas dengan hasil kerja mereka, upah mereka dikurangi menjadi separo, jadi satu setengah sen. Itupun sesudah mereka dicaci maki.10 Dapat dibayangkan betapa sulitnya kehidupan kaum tani di daerah-daerah perkebunan.
Di desa-desa, tidak seorangpun yang membela para petani itu. Lurah-lurah mereka sudah sepenuhnya menjadi alat para pengusaha perkebunan. Untuk melepaskan diri dari keadaan
ini, hanya ada dua jalan tersedia bagi mereka. Pertama, lari ke kota-kota dan kedua, membakari kebun-kebun tebu itu sebagai pernyataan protes. Angka-angka statistik memperlihatkan kepada kita bahwa semakin kejam penindasan di desa-desa, semakin banyak kebun-kebun tebu yang dibakari. Setelah tahun 1900, angka itu melonjak "at a terific rate", tulis Wertheim.11 Di Kediri misalnya, pada tahun 1918, kebun-kebun tebu dibakari dan para petani merampasi tanaman kaspo (cassava).12 Sementara itu, para ibu menjual anak-anak mereka di pasar. Makanan pokok mereka telah berganti dengan jagung dan apar pisang.
Persoalan agraria ini mempengaruhi iklim pergerakan Sarekat Islam Semarang dan sekitarnya dalam tahun 17-an dan menjadikan organisasi itu lebih revolusioner. Kenyataan- kenyataan sosial yang mereka lihat, dengar dan alami, menggugah perasaan para tokoh organisasi itu.
Ketidakpuasaan umum, ketidak percayaan pada niat baik pemerintah dan lain sebagainya, akhirnya membuat Sarekat Islam Semarang lebih revolusioner.
Dibawah Lentera Merah 2 - Soe Hok Gie
By admin " Nov 4th, 2008 " Category: 6. Lain lain, SHG - Dibawah Lentera Merah **
Volksraad dan Indie Weebaar
Dalam tahun 1917, Gubernur Jenderal van Limburg Stirum menjanjikan akan membentuk sebuah "dewan rakyat" yang merupakan dewan penasihat kekuasaan legislatif. Hal ini mengecewakan tokoh prgerakan rakyat, karena yang mereka cita-citakan adalah dewan legislatif yang sungguh-sungguh.
Dalam tahun ini, masalah Indie Weerbaar yaitu satu gerakan yang menginginkan diadakan milisi "bumiputra" untuk mempertahankan Hindia Belanda dari musuh-musuh luar menjadi bahan perdebatan yang sengit sekali. Tokoh-tokoh pegerakan kiri (Sneevliet dan Tjipto Mangunkusumo) tidak setuju diselenggarakan suatu milisi "bumiputra" itu, karena kegiatan ini mereka lihat sebagai usaha untuk mempertahankan kepentingan Belanda dengan menjadikan rakyat Indonesia sebagai umpan peluru. Kedua persoalan ini lebih bersifat Intelektualistik, sedang massa rakyat agak pasif.
Wabah Pes Disamping persoalan yang bersifat nasional seperti agraria, Volksraad dan Indie Weerbaar itu, terdapat pula persoalan lokal, yaitu penyakit pes di Semarang dan sekitarnya. Dalam menghadapi wabah ini Kotapraja Semarang bertindak tidak bijaksana sehingga massa rakyat semakin diperlakukan sewenang-wenang.
Dalam triwulan pertama tahun 1917 di Semarang berjangkit penyakit pes. Wabah ini timbul dan meluas terutama karena perumahan rakyat di kampung-kampung sangat buruk.
Mereka tinggal di dalam gang-gang yang berjejal-jejal, sempit dan becek. Rumah yang terbuat dari atap rumbia dan bambu merupakan sarang tikus. Keadaannya yang berjejal-jejal itu membuat sinar matahari tidak masuk ke dalam ruangan rumah dan keadaan ini merupakan sorga bagi tikus. Kekurangan makan (nilai gizi yang rendah), tidak adanya pemeliharaan kesehatan masyarakat oleh Pemerintah Hindia Belanda, akhirnya menimbulkan wabah pes. Belanda hanya memperhatikan hal kesehatan ini apabila penyakit itu menulari mereka. Angka Kematian di bawah ini memperlihatkan betapa hebatnya korban wabah pes itu.
Angka Kematian Penduduk Semarang per 1000 jiwa (1917)
Daerah Triwulan Pertama Triwulan Kedua
Semarang Kulon 48 67 Semarang Kidul 32 57 Semarang Wetan 59 72 Semarang Tengah 45 49 Genuk 24 64 Srondol 13 23 Maranggen 26 24 Karangun 20 31.2 Kebonbatu 151 115 Rata Rata 98 78.6 Angka kematian yang luar biasa tingginya ini pasti menggugah perasaan rakyat dan pemimpin-pemimpinnya.
Kotapraja lalu mengambil beberapa tindakan. Perumahan rakyat yang merupakan sarang-sarang tikus itu dibongkar (dibakari dan rakyat diberi waktu 8 hari untuk pindah).
Penduduk miskin yang tidak mempunyai apa-apa terang tidak mampu membangun perumahan yang patut dalam waktu delapan hari. Memang pada akhirnya, Kotapraja, atas
tekanan berbagai organisasi rakyat, membangun juga perumahan rakyat. Tetapi tindakan-tindakan pertama Pemerintah sangat menyakitkan hati dan membangkitkan kemarahan rakyat. Maka itu agitasi Sarekat Islam Semarang tentang wabah pes mendapat sambutan hangat dari penduduk kampung-kampung. Namun situasi itu menjadi semakin buruk pada akhir tahun 1917, berhubung dengan tibanya musim hujan. Gang-gang menjadi kubangan lumpur dan kekurangan sinar matahari yang masuk ke rumah-rumah penduduk tetap memperhebat menjalarnya wabah. Bagi kalangan rakyat jelata yang buta huruf dan miskin, situasi 1917 di Semarang itu, membuat keadaan masak untuk gerakan-gerakan radikal revolusioner dari Semaoen dan kawan-kawannya.
Persdelict Sneevliet Pada tanggal 8 dan 9 Maret (penanggalan baru) 1917, kaum perempuan dan buruh yang lapar mengadakan demonstrasi sambil menyanyikan Mareseillaise. Tentara yang dikirim untuk membubarkan demonstrasi itu menolak untuk menembak "kaum yang lapar" ini. Dan dengan demikian meledaklah revolusi Rusia. Tsar turun takhta dan Pemerintah
Provesional Rusia dibentuk.
Berita-berita pertama tentang revolusi dan demonstrasi kaum buruh ini sampai ke Indonesia 10 hari kemudian. Dan orang yang tergerak untuk menuliskannya adalah H. Sneevliet, ketua ISDV. Yang setelah menerima berita itu segera menulis artikel Zegepraal (kemenangan). Keesokan harinya ia menyerahkan tulisan itu kepada redaksi De Indier (organ dari NIP-Nederlandsch Indische Partij). Later, penanggung jawab dari organ itu memperlunak tulisan H. Sneevliet dengan persetujuan. Namun masih sangat keras bagi telinga Belanda. Antara lain kita baca (saya mengutip terjemahan Semaoen):
Apakah soeara-soeara boengah masoek dalam kota desa dalam ini negeri" Di sini hidoeplah soeatoe ra"jat, dalam negeri jang terkaja sendiri. Di sini hidoeplah soeatoe ra"jat, miskin, bodo. Di sini hidoeplah soeatoe ra"jat
mengeloearkan kekajaan jang soedah bertahoen mengalir (ke) kantong-kantongnja bangsa jang memerintah, kantong-kantong di Eropah Barat, teroetama pergi sama negeri ketjil jang ada di sini pegang kekoeasaannja politik.
Di sini hidoeplah soeatoe ra"jat jang menoeroet sadja dengan lembek. Koempoelan politik dilarang ". hak bikin vergadering disangoepi, tetapi beloem diadakan teroes, pertimbangan (kritiek) dalam soerat kabar diantjam oleh justitie jang berat sebelah, sebab itoe justitie kepoenjaannja jang memerintah daja oepaja bergerak dilawan dengan keboeasaannja pemboengan. Pergerakan politiek hanja diperkenankan kalau itoe pergerakan kepoenjaannja jang memerentah, sebagai bikin maloe pada ra"jat" seoempamanja pergerakan memperkoeat balatentara boeat melindoengi tanah air,17 tanah air jang mana soedah
diambil dari tangannja ra"jat oleh pemerintah asing. Disini hidoeplah soeatoe ra"jat jang sabar, soeka menoeroet sadja bertahoen-tahoen"dan sesoedahnja Diponegoro tidak ada satoe pemoeka jang menggerakkan ra"jat boeat pegang nasibnja sendiri dalam tangannja sendiri. Ra"jat Djawa Revolutie di Rusland djoega memberi tjontoh pengadjaran pada kamoe. Djoega ra"jat di Rusland sabar dan soeka menoeroet dan memikoel sadja tindasan
bertahoen-tahoen, is djoega miskin dan sebagian besar tidak bisa toelis dan batja seperti kamoe Ra"jat dapat kemenangan lantaran berkelahi teroes meneroes memoesoehi (i) pemerintah boeas dan boedjoekan. Djoega di negeri Rusland koempoelankoempoelan kaoem boeroeh jang mempertimbangi itoe perkoempoelan-perkoempoelan.
Pekerdjaan oentoek mentjapai kemerdekaan jalah pekerdjaan berat. Pekerdjaan ini tidak bisa berboeat dalam tengah-tengah, djalan kekoeatiran atau djalan koerang tetap, pekerdjaan ini meminta seloeroeh djiwa, keberanian, jalan keberanian nomor satoe. Apakah soeara-soeara boengah sebab kemenangan itu masoek di hati kita"
Apakah terlebih kentjang dan keras daja oepaja si penjiar-penjiar benih boet menggerakkan keras gojangnya ra"jat berpohtiek dan berichtiar dalam pentjarian hidoepnja.
Dan apakah ia teroes sadja bekerja menanam benih meskipoen beberapa benih djatoeh di batoe-batoe dan tjoekoel sedikit sadja. Dan apakah ia teroes sadja bertentangan dengan daja oepaja tindasan atas kemerdekaan pergerakan" Maka tida lainlah ra"jat tanah Djawa, tanah Hindia tentu akan dapat apa jang soedah didapat ra"jat
Karena artikel itu ia diseret ke muka pengadilan dengan tuduhan yang bermacam-macam, antara lain menghasut rakyat Jawa, menghina pengadilan, menuduh Pemerintah berbuat sewenang-wenang dan tuduhan sebangsanya. Akhir November 1917 persidangan Sneevliet dimulai. Dalam tahap pertama pergerakan nasional, proses pengadilan politik sangatlah
penting artinya. Dalam persidangan yang terbuka, terjadi debat dakwa dan penuntut. Terdakwa biasanya membela rakyat, sedang penuntut selalu mewakili kepentingan pemerintah kolonial. Pengunjung persidangan biasanya para wartawan dan kader-kader politik. Di sana mereka belajar tentang cara-cara berdebat dan menjatuhkan argumentasi lawan. Sneevliet yang terkenal sebagai "orator" dengan gaya memikat dan meyakinkan berhasil menunjukkan kejahatan sistem kolonial di Indonesia. Selama persidangan berlangsung, kolom-kolom surat-surat kabar di Semarang memuat jalannya perdebatan.
Bagi pembaca Indonesia, pemuatan itu sangat menarik karena kebohongan pemerintah disoroti. Walaupun Jaksa menuntut supaya Sneevliet dijatuhi hukuman 9 bulan penjara, tetapi hakim menyatakan ia bebas dan tak lama kemudian ia dibuang. Rupanya, pembebasan itu untuk memudahkan proses pembuangannya. Ketika Semaoen menggerakkan Sarekat Islam ke jalan sosialistik revolusioner, kondisi-kondisi sosial telah tersedia, karena tanpa kondisi ini semua usaha-usaha Semaoen itu akan sia-sia saja. Keempat faktor di atas dengan sendirinya saling melengkapi. Persoalan tanah dan kemiskinan di desa-desa memungkinkan Sarekat Islam Semarang mendapatkan massanya dari kalangan kaum tani. Pembakaran rumah-rumah rakyat (akibat pes) memungkinkannya
menggerakkan massa kampung-kampung di kota. Dan Indie Weerbaar dan Volksraad serta persdelict Sneevliet lebih mempertajam pengertian pada kader secara teoritis mengenai masalah-masalah penjajahan. Pada waktu itu pergerakan politik jarang sekali, kalau tidak akan dikatakan tidak ada yang mempunyai basis-basis ideologis-teoretis. Perdebatan- perdebatan telah mengasah ketajaman pikiran pada politikus Indonesia di masa itu.
Dalam buku pergerakan nasional, faktor luar negeri sering dijadikan faktor penyebab dari peristiwa-peristiwa di dalam pergerakan nasional kita. Kemenangan Jepang atas Rusia (1905) diasosiasikan dengan kelahiran Budi Utomo. Revolusi Tiongkok 1911 dihubungkan dengan kelahiran Sarekat Dagang Islam (SDI). Dan juga Revolusi Rusia diasosiasikan dengan perevolusioneran gerakan rakyat ke kiri. Lembaga sejarah PKI misalnya, menulis, "Revolusi Sosialis Oktober 1971 di Rusia mempunyai pengaruh sangat besar" pada pergerakan revolusioner Rakyat Indonesia.
Tetapi, jika kita menilik pada pers Indonesia, juga pada surat kabar Sinar Djawa (di bawah asuhan Semaoen, Alimin, dan lain-lain) Revolusi Rusia tidak mendapat tempat yang besar.
Nama-nama Lenin, Trotsky dan Stalin hampir tak pernah disebut-sebut. Perdamaian Brest-Litowsky hanya sekali menjadi bahan sebuah artikel Kadarisman.19 Bahkan dalam mengenang tahun 1917 yang telah berlalu, Revolusi Oktober 1917 itu tak disebut-sebut, tetapi pengarang-pengarang lainnya disebut.
Hanya melalui Sneevliet-lah Revolusi Rusia itu pernah menarik perhatian publik di Indonesia dan baru sesudah tahun 1920, ketika kaum "Marxist" Indonesia mulai mengadakan hubungan internasional, hal-hal di sekitar Revolusi Rusia menarik perhatian Indonesia. Menurut pendapat saya, pengaruh kejadian-kejadian luar negeri baru mendapat perhatian di tanah air kita ini, setelah tahun-tahun 1926. Sebelumnya berita-berita luar negeri amat pendek-pendek dan hanya merupakan kutipan kawat. Masalah pengaruh luar negeri sampai sekarang masih sangat dilebih-lebihkan dan hanya penelitian yang lebih lanjut yang akan memberikan jawaban sebenarnya.
BAB III: Dari Kongres Nasional
Centraal Sarekat Islam ke-2 Sampai ke-3
Walaupun sejak bulan Mei 1917, Golongan "Marxis" di bawah Semaoen sudah berhasil menguasai Sarekat Islam Semarang, namun tidaklah berarti bahwa SI di kota Semarang berubah dengan segera. Sebelum dipimpin Semaoen, SI Semarang dikenal sebagai organisasi yang lembek dan yang menyatakan ini adalah INSULINDE, sebuah organisasi yang juga "lembek."
Perlahan-lahan Semaoen mempengaruhi para pemimpin SI Semarang. Dan lama-kelamaan is berhasil membawa gerakan ini bergeser ke arah sosialis revolusioner. Sebagai puncak usahanya merevolusionerkan SI Semarang, mulai 19 November 1917, organ SI Semarang yakni harian Sinar Hindia (kemudian berganti nama menjadi Sinar Djawa) berhasil dikuasainya. Perubahan-perubahan redaksi segera diadakan dengan memasukkan tenaga-tenaga muda yang militan.
Sebagai pemimpin redaksi, dipimpin oleh Semaoen, dengan di bantu oleh Moh. Joesoef (berita-berita Indonesia dan Semarang), Kadarisman (telegram), Notowidjojo (ekonomi),
Aloei (rapat-rapat dan reseve), Alimin (berita kesewenang-wenangan dan luar negeri), dan Semaoen sendiri menjadi redaktur politik. Alimin dimasukkan ke dalam redaksi, walaupun ia berdiam diri di Jakarta. Mereka masing-masing bertanggung jawab sendiri-sendiri di muka pengadilan dan semua tidak dibayar.
Dalam kata pengantarnya mereka menyatakan bahwa haluan Sinar Djawa akan lebih radikal dan terhadap pemerintah mereka akan menilainya secara jujur, sedangkan terhadap kaum kapitalis dan kaum priyayi yang memeras akan mereka musuhi.
Selanjutnya, sebelum kita meninjau dan membahas tindakan-tindakan Sarekat Islam Semarang ini, akan kita lihat lebih dahulu gagasan-gagasan perjuangannya. Jika kita telah melihatnya, maka tindakan-tindakan revolusionernya akan menjadi lebih mudah dipahami.
Sebab-sebab dan Cara Mengubah Kemacetan Masyarakat
Keadaan buruk yang terjadi pada tahun-tahun 1917-1918 tidaklah disangkal oleh dunia Pergerakan Indonesia baik yang berhaluan "keras" maupun "lembek". Bahkan orang-orang Belanda pun tidak menyangkalnya. Keadaan sosial yang buruk itu merupakan tantangan bagi setiap pemikir politik sosial Indonesia.
Mereka mulai mencari latar belakang kondisi sosial yang pincang ini dan saling mengajukan berbagai konsep untuk menyelesaikannya. Pers Indonesia pada waktu itu penuh dengan karangan-karangan yang mencoba memberikan jawaban atas persoalan-persoalan keburukan kondisi sosial.
Sebagian ada yang menyalahkan kemajuan teknik, sebagian lagi mengeluarkan konsepsi kebejatan moral, dan ada pula orang yang menyalahkan orang Jawa (Indonesia) sendiri,
karena mereka itu malas dan pemboros.
Tetapi ada pula kelompok yang mengajukan konsepsi Marxistis dalam membahas realitas sosial ini, dan tokoh utamanya adalah Hendricus Fransiscus Marei Sneevliet, ketua ISDV. Sneevliet bersama kaum ISDVnya berhasil mempengaruhi sekelompok angkatan muda dari Sl baik di Semarang (Semaoen, Darsono, dan lain-lain), Jakarta (Alimin dan Muso), Solo (H. Misbach) maupun di kota-kota lainnya.
Dari Sneevliet-lah mereka belajar menggunakan analisis Marxistis untuk memahami realitas sosial yang dialami.
Mereka berpendapat bahwa sebab dari kesengsaraan rakyat Indonesia adalah akibat dari struktur kemasyarakatan yang ada, yaitu struktur masyarakat tanah jajahan yang diperas oleh kaum kapitalis.
Dengan kekuasaan keuangannya, sejumlah orang berhasil memeras kekayaaan alam Indonesia, sekaligus memeras rakyatnya. Kemiskinan yang lahir sebagai akibatnya
menumbuhkan kriminalitas di kalangan rakyat Indonesia dalam bentuk perampokan dan kelaparan.4 Kesengsaraan itu menjadi semakin berat lagi oleh peperangan (Perang Dunia
I). Perang ini disebabkan adanya persaingan antara kepentingan kaum kapitalis Eropa (Kapitalis Inggris melawan Jerman). Di dalam analisisnya mereka melihat perkebunan,
terutama perkebunan tebu sebagai penyebab kemiskinan yang nyata. Dan cara untuk mengatasinya hanyalah dengan sosialisme, yaitu menasionalisasikan perusahaan-perusahaan yang penting bagi hajat hidup rakyat.
Pernerintah yang seyogyanya memperhatikan kepentingan rakyat terbanyak, tidak memperhatikannya dan malah memihak kepada kaum kapitalis. Menurut mereka pemerintah masa itu mewakili kaum uang.
Karena itu ia bertentangan dengan kepentingan kaum Kromo, dengan rakyat terbanyak. Bahkan para anggota Tweede Kamer sendiri, berkepentingan dengan adanya pabrik-pabrik gula.
Mereka mempunyai saham-sahamnya di sana. Pemerintah dan para pengusaha tidak memperhatikan rakyat dan bahkan karena mempunyai banyak uang mereka dapat membeli dan menyogok pegawai-pegawai pemerintah.
Banyak sekali tuntutan yang diajukan kelompok ini. Dalam persoalan agraria jelas sekali terlihat bahwa pemerintah lebih mementingkan kaum kapitalis daripada rakyat jelata. Dari
berbagai pajak yang dibayar rakyat jelata, pemerintah membangun irigasi-irigasi. Tetapi airnya diberikan untuk mengairi perkebunan dan baru kemudian untuk sawah rakyat. Siang hari yang diairi adalah perkebunan dan malam harinya untuk sawah rakyat. Padahal para pengusaha perkebunan itu mampu membayar orang untuk mengawasi Jalannya air di malam hari. Sedangkan rakyat pada siang harinya sudah bekerja, malamnya terpaksa begadang lagi.
Bila panen tebu sudah dekat, di beberapa daerah Pasuruan, rakyat disuruh lagi berjaga malam bagi perkebunan itu.
Semuanya itu untuk kepentingan para pengusaha perkebunan. "Ra"jat Hindia tidak poenya keperloean sama sekali fatsal adanya fabrik goela, ondermening thee, koffie, rubber dan sebagainja jang bagitoe banjak, sebab hasilnja kapitalis loear Hindia dan loear negri Belanda, sebab adanja ini semoea meroesak kemadjoen peroesahaan tanah boemipoetra,
peroesahaan jang mana perloe sekali boeat keselamatan ra"jat Hindia jang sebagian besar bikin merdeka boemipoetra dalam pentjarian idoepnja dan bikin makanan di sini."
Bahkan ketika banyak kelaparan sudah nyata di Jawa, usul-usul pengurangan areal tebu sebanyak 50% masih ditolak dengan pelbagai alasan tanpa mau peduli apakah rakyat sudah
kelaparan. Tetapi ketika adanya bahaya yang mengancam dari luar.
Tanpa malu-malu kaum kapitalis/pemerintah menganjurkan adanya milisi Bumiputra. Padahal milisi ini bertujuan untuk melindungi kapital mereka sendiri, dengan menjadikan orang Indonesia sebagai umpan peluru.
Secara sarkastis Mas Macro mensajakkan:
Indie Weebaar jang dibitjarakan
Sana sini sama mengatakan
Indie Weerbaar akan memasoekkan
anak Hindia di lobang meriam.
Karena itu, demi kepentingan Indonesia sendiri, Indie Weerbaar harus dilawan. Dalam bidang perburuhan pun Pemerintah berpihak kepada kaum majikan. Dan tidak mau peduli pada pihak kaum buruh.
Jam kerja dan syarat-syarat perburuhan tidak ditetapkan.
Tetapi jika kaum buruh bertindak sendiri menuntut dan memperjuangkan nasibnya, Pemerintah lalu turun tangan membela "setan uang" dengan mendatangkan tentara menangkapi pemogok.
Dalam pernyataan-pernyataannya, pemerintah menggunakan bahasa etis, selalu menjanjikan bahwa suatu ketika rakyat Indonesia akan mendapat zelfsbestuur. Tetapi waktunya bukan sekarang sehingga rakyat Indonesia harus bersabar. Untuk sampai taraf ini, yang diperlukan ialah pendidikan. Dan pemerintah tidak pernah sebenarnya mendidik rakyat Indonesia. Yang banyak didirikan hanya sekolah-sekolah guru dan pertanian. Seperti mendirikan Stovia dan KWSPHS.15 Guru-guru yang ada sengaja dibayar murah, sehingga minat menjadi guru tidak besar.16 Sadar akan pentingnya pendidikan inilah, maka kemudian di dalam rencana-rencana kerja Sarekat Islam Semarang (dan juga organisasi-organisasi rakyat lainnya) mencantumkan pendidikan sebagai program perjuangannya.
Pemerintah wakil kaum kapitalis juga membuat pasal-pasal hukum pidana yang bersifat karet untuk menjerat tokoh-tokoh pergerakan dan para wartawan yang berani mengkritik
dan mengungkapkan ketidakadilan di dalam kehidupan masyarakat. Pasal-pasal itu adalah 63 b dan 66 b yang berbunyi:
Barang siapa dengan perkataan atau dengan tanda-tanda atau dengan pertunjukan atau dengan cara-cara lainnya bertujuan menimbulkan atau menunjukkan perasaan permusuhan, benci atau mencela di antara berbagai golongan rakyat Belanda atau penduduk Hindia Belanda akan dihukum:
63 b dengan hukuman penjara 6 bulan sampai 6 tahun.
66 b dengan hukuman kerja paksa di luar penjara (rantai) selama 5 tahun.
Pasal ini pada tahun 1918 dicabut dan diganti dengan pasal 154 dan pasal 156 yang lebih berat lagi dan bunyinya:
Pasal 154: Barang siapa mengeluarkan pernyataan di tempat umum yang dapat menimbulkan perasaan permusuhan, benci kepada pemerin tah di Nederland atau Hindia Belanda, dihukum penjara selama-lamanya 7 tahun atau denda sebanyak-banyaknya 300 rupiah Belanda (Gulden).
Pasal 156: Barangsiapa mengeluarkan pernyataan di tempat umum yang dapat menimbulkan perasaan permusuhan, kebencian kepada beberapa golongan penduduk di Hindia Belanda, dihukum penjara selama-lamanya 4 tahun atau denda sebanyak-banyaknya 300 rupiah Belanda (Gulden).
Dibawah Lentera Merah 3 - Soe Hok Gie
By admin " Nov 4th, 2008 " Category: 6. Lain lain, SHG - Dibawah Lentera Merah **
Pasal ini pada tahun 1918 dicabut dan diganti dengan pasal 154 dan pasal 156 yang lebih berat lagi dan bunyinya:
Pasal 154: Barang siapa mengeluarkan pernyataan di tempat umum yang dapat menimbulkan perasaan permusuhan, benci kepada pemerin tah di Nederland atau Hindia Belanda, dihukum penjara selama-lamanya 7 tahun atau denda sebanyak-banyaknya 300 rupiah Belanda (Gulden).
Pasal 156: Barangsiapa mengeluarkan pernyataan di tempat umum yang dapat menimbulkan perasaan permusuhan, kebencian kepada beberapa golongan penduduk di Hindia Belanda, dihukum penjara selama-lamanya 4 tahun atau denda sebanyak-banyaknya 300 rupiah Belanda (Gulden).
Pasal-pasal yang bersifat karet ini terang merintangi kemajuan rakyat dan karena itu harus dilawan tanpa peduli akibat-akibatnya.
Sebagai pelaksanaan janji Pemerintah untuk mengikut-sertakan rakyat ke dalam soal Pemerintahan, dibentuklah Volksraad di mana wakil-wakil dari penduduk Indonesia dapat menyatakan pendapat-pendapatnya tentang soal-soal pemerintah. Dari 39 orang anggotanya,19 orang dipilih oleh dewan lokal (10 Indonesia, 9 Eropa dan Timur Asing), 19
diangkat (5 Indonesia, 14 Eropa dan Timur asing). Dengan demikian, dari 39 anggota, hanya ada 15 orang Indonesia.
Jelas sekali mengapa susunannya yang sedemikian, tidak memuaskan Sarekat Islam Semarang dan karena itu mereka menolaknya. Bagi mereka, Volksraad hanya suatu "Dewan
Rayap" dan anggota-anggotanya tidak lebih dari "anak komedi." Lebih-lebih setelah susunan yang diangkat Pemerintah diumumkan, ketidakpercayaan Sarekat Islam Semarang bertambah besar. Di dalam menganalisis 19 anggota dewan yang diangkat itu, Semaoen menyatakan pandangannya sebagai berikut:
Prangwedono (Mataram), ningrat etisi
Tengku Tjik Mohamad Thajeb (Peruela), ningrat
Bergmeyer (guru), tak dikenal
Schmutzer (saudagar), kapitalis, musuh Kromo
Ir. Cramer, bukan sosialis demokrat tulen bagi bumiputra
H.H.Kah (Kan Hok Hoey), musuh Kromo di tanah partikelir
Liem A Pat (Muntok), yang terang bukan wakil Kromo
Said Ismail, bukan wakil Kromo,
Soeselisa, idem Stokvis (etisi), idem Major Pabst, idem Koning, musuhnya Kromo Birne, musuhnya Kromo Coster, musuhnya Kromo F. Laoh, musuhnya Kromo Dr. Tjipto Mangunkusumo, nasionalis luntur (verwater-denasionalist)
Teeuwen, bukannya Kromo Dwidjosewojo, penganjur Indie Weerbaar
Oemar Said Tjokroaminoto, wakil Kromo dan seorang "diplomat".
Terhadap orang-orang itu Semaoen menganalisis lebih lanjut sebagai berikut: Dua puluh orang ini (sebenarnya 19), terdapat 5 orang kapitalis yang terang-terangan berlawanan dengan kepentingan Kromo. Dua orang ningrat yang bila dilihat dari kelasnya tidak akan memihak Kromo, 4 orang Belanda yang dalam batinnya bukan kawan Kromo, 3 orang asing yang tidak mempunyai kepentingan dengan kemerdekaan Indonesia, 2 orang Manado yang dijadikan alat Belanda, seorang weerbaar yang memperjuangkan kepentingan kapitalis dan hanya seorang Kromo yang diplomatis.
Di antara 39 anggota itu, diperinci lebih lanjut, 18 Belanda, (9 orang ambtenar dan 9 orang kapitalis) yang di dalam batin-nya memusuhi Kromo, 11 orang alat kapitalis (5 orang ningrat, kecuali Regen Serang, Hasan Djajadiningrat), 3 orang "toekang weerbaar", 3 orang Ambon (dan Menado) sebagai alat militer. Di samping itu terdapat pula 3 orang asing. Memang 5 orang yang sebenarnya dapat menjadi wakilnya Kromo, tetapi sayangnya mereka masih setengah masak. Mereka itu adalah 3 orang dari Insulinde dan 2 orang netral. Hanya
Tjokroaminoto seorang saja yang wakil Kromo. Namun demikian, Semaoen tetap mengharapkan kepada anggota-anggota Volksraad itu supaya mereka memberikan kritikan kepada pemerintah dan jangan menjadi "yes men" saja. Ia juga mengharapkan agar diusahakan hapusnya III RR, 47 RR dan pasal 155 dan 156. Kata terakhir Semaoen menyatakan supaya para wakil rakyat yang sesungguhnya tidak perlu membuang waktu. "Wakil rakyat tidak suka jadi wayang dalam tonil Volksraad."
Kenyataan-kenyataan itu menunjukkan bahwa justru dari pemerintah sendiri yang merupakan wakil kapitalis, penindasan-penindasan itu berasal. Dan ini menyadarkan mereka
bahwa di pundak rakyat sendiri terletak kewajiban untuk mencapai cita-cita perbaikan. Dengan persatuan yang teguh antara rakyat yang tertindas, dapat diciptakan kekuatan yang
mampu memaksa Pemerintah/kapitalis tunduk pada tuntutan-tuntutan rakyat. Karena itu persatuan sangatlah penting. Persatuan antara bumiputra dan Tionghoa, antara kalangan wartawan dan yang lain-lainnya. Dengan mengambil pelajaran dari revolusi-revolusi di Eropa (Lenin di Rusia, Bela Khoon di Hongaria, dan kaum Spartacus di Jerman). Pimpinan Sarekat Islam Semarang menjadi selalu menekankan betapa pentingnya persatuan antara buruh dan
tentara (istilah mereka, buruh berseragam). Persatuan demikian sangat ditakuti kaum imperalis. Antara kaum buruh dan tentara pada hakikatnya tidak ada perbedaan, karena
keduanya adalah rakyat miskin, yang diperas oleh kaum kapitalis. Pada waktu itu, gaji tentara hanyalah 25 sen sehari.
Dengan persatuan yang kuat, kaum kapitalis dapat dihadapi, dapat dipaksa untuk menerima tuntutan-tuntutan kaum buruh. Misalnya ketika Gubernur Jenderal menolak usul pengurangan areal tebu sebanyak 50%, Darsono menganjurkan pemogokan sebagai demonstrasi kekuataan.
Dan suatu yang menarik dari konsensi-konsensi "kaum Marxis" ini ialah jelas terbayangnya tendensi-tendensi nihilis.
Mereka sadar bahwa untuk melawan penindasan, kalau perlu menjalankan gerakan-gerakan bawah tanah dan secara samar-samar menganjurkan teror.25 Rakyat dan buruh hanya dapat dipersatukan manakala mereka sadar akan keperluannya. Dan selama mereka belum sadar, semua usaha akan gagal. Cara menyadarkannya, hanya satu. Yaitu, bicara "blak-blakan", nyata dan jelas, agar dimengerti oleh rakyat. Rakyat Jawa masih bodoh, kata Darsono dan untuk menyadarkannya di-perlukan cambuk, yaitu artikel-artikel (tulisan) yang berani.
Tulisan-tulisan yang logis dan ilmiah, tidak ada gunanya, karena tidak dimengerti oleh rakyat. Sekarang ini yang diperlukan adalah orang-orang berani. Bukannya orang yang terdidik dan pandai. Orang yang berani, menunjukkan gigi.
Bukannya lidah, kata Mas Marco.26 Mereka juga sadar tu- lisan-tulisannya akan mengantarkan mereka ke dalam penjara. Tetapi karena ini jalan satu-satunya, maka harus ditempuh.
Orang sering menganggap bahwa cara-cara "hantam kromo" pergerakan nasional dalam periode awalnya, merupakan cara perjuangan yang ngawur. Tidak berstrategi dan hanya didorong sentimen saja. Menurut pendapat saya, pendapat demikian kurang tepat. Sebab, setiap zaman mempunyai cara-caranya sendiri untuk menyadarkan massa. Dan seperti yang
telah dinyatakan Darsono, untuk periode tahun belasan, cara yang tepat adalah cara hantam kromo. Cara "intelektualistis" jika sekiranya digunakan mungkin tidak akan pernah
membangunkan semangat rakyat. Prinsip "hantam kromo" ini pernah pula dilakukan oleh Suwardi Suryaningrat (bersama dengan Dr. Tjipto Mangunkusumo dan Douwes Dekker) pada tahun 1913 ketika ia menulis "Als ik enn Nederlander was" (seandainya saya orang Nederland). Walaupun ia sudah diperingatkan oleh Abdul Moeis akan akibat-akibatnya, Suwardi tetap melakukannya.27 Dengan "shock theraphy" ini pergerakan rakyat bertambah militan dan tegas.
Aksi-Aksi Sarekat Islam Semarang (Mei 1917-Oktober 1918) Setelah melihat sejumlah konsep pemikiran Sl Semarang, akan kita lihat sekarang tindakan-tindakan dari SI Semarang, sebagai pelaksanaan konsep-konsep pemikiran itu. Jabatan
Presiden SI masa ini untuk pertama kalinya muncul soal-soal tanah pertikelir, perkebunan tebu, Volksraad dan masalah nasib buruh. Dan untuk pertama kalinya pula masalah- masalah itu dibawa ke dalam Kongres Nasional Sarekat Islam ke-2 di Jakarta yang diselenggarakan dari tanggal 20 hingga 27 Oktober 1917. Kongres itu dihadiri para utusan
Sarekat Islam dari seluruh Indonesia. Di sinilah Semaoen dan kawan-kawannya mencoba mempengaruhi para peserta kongres dengan konsepsi-konsepsinya tentang masalah perbaikan sosial. Usaha menyebarkan ide-idenya tentang Marxistis berhadapan dengan Abdoel Moeis yang tegas-tegas menolaknya. Mereka berbeda dalam hal Indie Weerbaar dan
soal-soal Nasionalisme. Kongres ternyata mendukung adanya milisi bumiputra (Indie Weerbaar). Semaoen mencoba untuk mencabut mosi tersebut. Tetapi tidak berhasil.28 Namun akhirnya dicapai suatu kompromi. Mosi yang mendukung pemecatan Semaoen atau Sarekat Islam Semarang dan mosi Semaoen dan kawan-kawan yang menolak Indie Weerbaar, kedua-duanya dicabut. 29 Dalam hal nasionalisme juga terdapat perbedaan antara Semaoen dan Abdoel Moeis. Didalam perasaan mengenai Nasionalisme, Abdoel Moeis
menyatakan bahwa kemerdekaan merupakan hal yang tidak dapat ditolak. Kita harus mempunyai rasa Nasionalisme dan sekarang ini kita perlu mengobarkannya. Pihak Belanda
"Tropen koolers" mempunyai beberapa cara untuk menentangnya. Pertama, secara terang-terangan. Kedua, mengadu domba antara peranakan dan "Boemipoetra". Tetapi yang paling berbahaya ialah Belanda yang bertopeng membela Indonesia dengan mulut manisnya. Melalui orang-orangnya, mereka menindas perasaan cinta tanah air dan bangsa dan memecah persekutuan Indonesia (yang dimaksud ialah ISDV dan Het Vrije Woordt). Kita tidak keberatan bila ada orang Belanda yang proIndonesia. Tetapi mereka tidak boleh memegang pimpinan pergerakan, yang harus tetap ditangan orang Indonesia.
Semaoen yang merasa disindir, segera membantah. Tetapi A. Moeis menjawab bahwa siapa yang merasa tersinggung, dialah orangnya. Seperti diketahui, Abdoel Moeis waktu itu baru saja datang dari negeri Belanda sebagai perutusan Indie Weerbaar. Dan di sinilah ia dipengaruhi kaum nasionalis Indische Partij.
Dalam hal kapitalisme, Semaoen dan kawan-kawannya juga berbeda pendapat mengenai "kapitalisme bumiputra" yang tidak jahat. Jadi tidak usah ditentang. Sidang Kongres CSI ke-2 akhirnya mengambil jalan tengah. Yaitu, menentang kapitalisme yang jahat. Istilah kapitalisme jahat ini mengandung pengertian bahwa ada kapitalisme yang baik.
Namun demikian, dari anggaran dasar yang disusun Kongres, jelas terlihat adanya pengaruh sosialisme. Kongres CSI ke-2 itu selanjutnya membahas hubungan antara agama, kekuasaan dan kapitalisme, dan kesimpulan yang dirumuskannya:
Dengan tiada ferdoelikan segala igama jang lain, dan mengoesahakan kesabaran hati sebagai jang terboeka oleh Al-Qoeran dalam soerat Qoelya, maka Central Sarekat Islam pertjaja igama Islam itoe memboeka rasa fikiran demokratis.
Sambil mendjoendjoeng tinggi pada koeasa negeri. Maka Centraal Sarekat Islam menoentoet bertambah-tambah koeasa negeri, pengaroehnya segala golongan ra"jat Hindia
di atas djalannja Pemerintahan agar soepaja kelak mendapat koeasa pemerintah sendiri (zelfsbestuur). Boeat mentjapai hal itoe maka Centraal SI akan menggoenakan segala kekoeatannja menoeroet djalan jang patoet.
Centraal Sarekat Islam tidak menjoekai soeatoe bangsa berkoeasa di atas bangsa jang lain dan menoentoet dari pihak koeasa negri akan memberikan perlindoengan jang besar oentoek orang-orang jang lembek dan miskin baik boeat keperloean mentjari kepandaian, moepoen boeat keperloean mentjari makan. Central Sarekat Islam memerangi kekoeasaannja kapitalisme jang djahat jang pada kejakinannja bahagian terbesar daripada pendoedoek boemipoetra amat boeroek adanja. Boeat mendjalankan dengan sepatoetnja semoea haknja penduduk negri, maka Central Sarekat Islam menimbang ta" boleh tidak perloelah didjalankannja boedi aqal masing-masing orang itoe akan bersama-sama dengan boedi pekerti, jang pada pendapatnja CSI igama itoelah daja oepaja jang teroetama boleh dipergunakan dalam maksoet itoe dan CSI pertjaja igama Islam adalah sebaiknja igama oentoek mendidik boedi pekertinja ra"jat. Dalam itoepoen negri hendaklah tiada terkena pengaroehnja pertjampoeran barang soeatoe igama itoe. CSI mentjari hoeboengan bantoe-membantoe kerdja bersama-sama dengan semoea perhimpunan politik dan orang-orang jang bersetoedjoe dengan azasnja.
Pengaruh kelompok Semarang atas progam kerja yang dihasilkan Kongres ini, tampak jelas. Mereka juga memperjuangkan nasionalisasi perusahaan-perusahaan besar atau yang
mendapat keuntungan-keuntungan besar. Bagi Sarekat Islam Semarang, Kongres Ke-2 CSI ini punya arti penting.
Golongan yang anti Indie Weerbaar dan memihak SI Semarang, hampir separo.35 Semaoen merasa puas dan ini juga diakui koran Abdoel Moeis, Kaoem Moeda dalam penerbitannya tanggal 29 Oktober 1917. Katanya, "Sarekat Islam sekarang sudah bernada sosialis". Perihal tengah antara kapitalisme, Semaoen belum mau mengemukakan pandangannya. la masih berharap Tjokroaminoto sendiri akan memberikan garis lurus untuk menghantam kapitalisme. Setelah kongres selesai, Sarekat Islam Semarang mulai mengadakan aksi-aksi untuk memperjuangkan cita-citanya. Desember tahun itu juga SI Semarang mengadakan rapat anggota dan menyerang ketidakberesan di tanah-tanah partikulir. Juga kaum buruh diorganisasi supaya lebih militan dan mengadakan pemogokan terhadap perusahaan-perusahaan yang sewenang-wenang. Korban pertama pemogokan ini adalah sebuah perusahaan mebel yang memecat 15 orang buruhnya. Atas nama Sarekat Islam, Semaoen dan Kadarisman memproklamasikan pemogokan dan menuntut 3 hal.
Pertama, pengurangan jam kerja dari 8,5 jam menjadi 8 jam.
Kedua, selama mogok, gaji dibayar penuh dan ketiga, setiap yang dipecat, diberi uang pesangon 3 bulan gaji. Dalam proklamasi pemogokan itu, mahalnya biaya hidup, juga digugat. Pemogokan ini temyata merupakan senjata yang ampuh. Dalam waktu 5 hari saja, majikan menerima tuntutan SI Semarang dan pemogokan pun dihentikan.
Kesadaran betapa ampuhnya senjata mogok yang diorganisasi dan dibantu Serekat Islam ini, sebulan kemudian dipakai kembali. Yang menjadi permasalahan ialah seorang mandor galak di sebuah bengkel mobil memukul kulinya. Sarekat Islam Semarang menyatakan mogok dan akan terus mogok, bila tidak diambil tindakan dan beberapa hari kemudian tuntutan SI Semarang itu diterima oleh majikan bengkel mobil tadi.
Usaha pertama Semaoen dalam bidang perburuhan yang berhasil baik ini, dengan sendirinya menaikkan daya dan semangat juang Sarekat Islam Semarang. Setelah ini mereka mulai berjuang melawan tuan-tuan tanah yang memeras penduduk desa di tanah-tanah partikulir. Langkah permulaan mereka ialah menulis surat terbuka kepada setiap tuan tanah di Semarang. Dalam surat itu dinyatakan harapan agar mereka mau menjual tanah-tanah mereka kepada pemerintah dan pemerintah agar mengurangi sewa tanah dengan 50%. Di samping itu diminta agar kerja rodi seperti gugur gunung dan jaga gedung dihapuskan. Akhirnya dikabulkan juga oleh tuan-tuan tanah dan SI Semarang, tetapi para petani tetap saja menjalankan "aksi sepihak". Waktu itu saja sudah ada lima orang petani yang ditangkap karena memotong padi di sawah yang mereka anggap sawah mereka. Dalam hal seperti itu, SI Semarang tetap membela kaum tani. Pengalaman dalam hal tanah ini merupakan pengalaman yang pahit bagi SI Semarang. Semenjak itu usaha-usaha kongkret mengenai tanah ini tidak lagi dikerjakan. Ketika SI Semarang membuat laporan kerja anggota tahunan, usaha melawan tuan-tuan tanah diakui sebagai sesuatu yang kurang berhasil.
Di samping usaha ke dalam tubuh SI Semarang, usaha untuk aktif menentang Pemerintah/Kapitalis, seperti Indie Weerbaar dan Volksraad serta lainnya juga tetap diaktifkan. Dalam setiap resolusi dan tulisan-tulisan, hal-hal itu tetap diserang.
Namun, hal ini akan lebih besar arti politis psikologisnya, manakala yang menyatakannya adalah Central Serekat Islam atau cabang-cabang SI lainnya.
Maka itu penebaran ide-ide sosialistis dilakukan SI Semarang dengan giat sekali. Abdoel Moeis yang dianggap sebagai lawan dari Central Serekat Islam (waktu itu ia wakil Presiden),
dimaki-maki, baik oleh ISDV maupun oleh SI Semarang.
Sebagai "Boedak Setan Oeang". Serekat Islam Semarang atas nama 20.000 anggotanya meminta agar Abdoel Moeis dipecat sebagai wakil presiden CSI. Ketika Tjokroaminoto ditunjuk Pemerintah sebagai anggota Volksraad, ia ragu dan meminta pendapat cabang-cabang SI Semarang dengan cepat menulisi cabang-cabang lainnya, agar mereka menyatakan tidak setuju duduknya Tjokroaminoto di Volksraad. Dalam surat SI Semarang itu antara lain dinyatakan bahwa Belanda tidak memandang mata kepada SI yang besar tetapi hanya diberi satu kursi. Abdoel Moeis sendiri bukanlah Wakil SI di Volksraad, karena ia mewakili Indie Weerbaar. Sedangkan ISDP (pecahan dari ISDV) mendapat 2 kursi. Tjokroaminoto diangkat rakyat supaya tidak berteriakteriak. Kepada cabang- cabang SI lainnya, dianjurkan agar mereka menuntut pemilihan umum.
Goena apa menoelis soerat
Kalau masih dapat berjoempa
Goena apa dapat Volksraad
Kalau masih koerang Sempoerna
Tetapi usaha mereka ini gagal. Ternyata suara yang menyetujui Tjokro ke Volksraad berjumlah 27, yang anti-26, 1 blangko dan tak sah. Dari kalangan pimpinan CSI sendiri yang duduk dalam Volksraad.
Selama triwulan pertama dan bulan-bulan berikutnya Sarekat Islam Semarang mendapatkan dua orang tenaga yang cakap.Yang pertama adalah Darsono, seorang pemuda yang baru berusia 19 tahun. Anak seorang pegawai negeri dan sejak kecil ia hidup di kalangan anak-anak kaum tani. Setelah ia menamatkan pendidikan sebagai "ahli" pertanian, ia bekerja di sebuah perkebunan. Di sini ia lihat kemiskinan dan sistem sosial yang sangat buruk. Selama itu ia membacai segala macam buku yang dapat ia peroleh. Ketika usahanya untuk melanjutkan pelajarannya ke Sekolah Dokter Hewan ditolak, ia keluar dari pekerjaannya dan kembali ke Semarang. Pada suatu hari is mengikuti persidangan Sneevliet dan ia sangat terkesan pada adann ya orang Belanda yang memihak rakyat.
Pada mulanya ia ragu. Tetapi setelah ia ketahui bagaimana Sneevliet karirnya di kantor dagang yang bergaji f. 1000,-, kemudian aktif membela rakyat, hormatnya pun bertambahtambah. Di pengadilan itu ia bertemu dengan Semaoen yang segera mengajaknya aktif dalam Sarekat Islam Semarang.
Di Bawah Lentera Merah Karya Soe Hok Gie di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Proses kejiwaannya yang mendorong ia mencari suatu sistem yang baru, membawa Darsono ke jalan Sosialisme. Semaoen dalam kenangan-kenangannya mengenai Darsono menulis"
"la (Darsono, Soe) melihat, bagaimana mereka makan koerang tjoekoep. Bodo-bodo seperti kanak-kanak, meskipoen soedah besar. Sakit koerang jang memelihara jang sebaik-baiknya,
beroemah dalam kombong-kombong dengan kekoerangan semoea perkara". Di samping itu juga ia melihat oran-gorang yang kaya raya. Terjadilah pergulatan di dalam pikiran untuk
mendapatkan jawaban. Islam, Kristen dan Budha tidak menjawabnya. Sampai ia menemukannya di dalam ilmu Sosialisme. Semaoenlah yang menempatkan Darsono ke redaksi Sinar Djawa sejak 27 Februari 1918, untuk bagian telegram.
Orang kedua yang ditemukan Semaoen adalah Marco Kartodikromo, seorang wartawan yang berani. Marco dilahirkan di Cepu. Ia pernah mernimpin redaksi Swatatomo di Solo ketika Sarekat Islam Tirtoadhisurjo (1913). Ia juga pernah menjadi sekretaris I Sarekat Islam. Dalam tahun 1914, Mas Marco mendirikan Inlands journalisten Bond di Solo dan ia sendiri menjadi ketuanya. Setahun kemudian ia dipenjarakan selama setahun karena memuat tulisan seseorang (mungkin Dr. Tjipto Mangunkusumo) tentang pergerakan nasional. Secara pikiran politik Marco sangat dekat dengan Tjipto Mangunkusumo. Tahun 1916, setelah keluar dari penjara, Mas Marco pergi ke Negeri Belanda dan di sini ia dekat dan dipengaruhi oleh tokoh-tokoh nasionalisme kiri seperti Suwardi Suryadiningrat. Menurut
Darsono, Mas Marco lebih nasionalis dari pada sosialis.
Dibidang jurnalistik Mas Marco lebih terkenal sebagai wartawan yang berani dan bandel. Nederland ternyata bukan tempatnya untuk berjuang bagi Marco dan tak lama kemudian ia kembali ke Indonesia. Selama di dalam perjalanana pulang ke Indonesia, Marco menulis "Samarata samarasa". Sebuah tulisan yang sangat tajam bagi Belanda.
Sebelum tulisan ini habis dimuat, Mas Marco sudah dilemparkan kembali ke penjara dan dihukum setahun lagi.
21 Februari 1918 ia keluar dari penjara dan ditawari kerja di Sinar Djawa di mana ia bekerja bersama Semaoen dan kawan- kawannya.
Dibawah Lentera Merah 4 - Soe Hok Gie
By admin " Nov 4th, 2008 " Category: 6. Lain lain, SHG - Dibawah Lentera Merah **
Semakin lama SI Semarang kembali radikal. Yang kurang radikal satu persatu mulai meninggalkan Sl mulai 28 Februari, Moh. Joesoef yang pertama-tama keluar dari Sinar Djawa.
Disusul kemudian Aloie dan Martowidjojo dari kalangan pimpinan SI Semarang. Kedua orang itu diganti oleh Darsono dan Mas Marco. Darsono diangkat menjadi Komisaris dan Mas Marco sebagai pejabat Presiden SI Semarang, bila Semaoen berada di luar Semarang atau dalam perjalanan.
Dalam bulan April 1918, SI Semarang kembali menghadapi persoalan yang sulit. Ia harus menangani pemogokan yang terjadi di Niuwe Courant, sebuah harian dimana terdapat juga
percetakan. Pemogokan ini merupakan perjuangan yang lama dan sengit. Majikan ternyata tidak menyerah pada tuntutan-tuntutan Sarekat Islam. Sampai Juli kaum buruhnya masih ada yang mogok dan SI Semarang mengerahkan dana untuk menolong buruh-buruh yang masih mogok. Setelah beberapa waktu lamanya, banyak buruh yang masuk kerja kembali.
Secara moril hal ini merupakan kekalahan SI Semarang.
Salah satu perjuangan lain dari SI Semarang yang gagal ialah usahanya bersama ISDV untuk ikut dalam pemilihan anggota Gemeente Raad Semarang. Calon SI Semarang (Semaoen, Marco, Darsono, Soepardi, Kadarisman, Moh. Joesoef dan Moh. Ali) memperoleh suara yang sangat sedikit. Mas Marco hanya memperoleh 42, Kadarisman 38, Moh. Ali 32, Moh. Joesoef 71, Semaoen 53, Soepardi 36, sedangkan Darsono sudah pindah ke Surabaya ketika itu. Kekalahan ini disebabkan oleh aturan pemilihan yang berdasarkan pajak.
Hanya mereka yang berpenghasilan f.600, setahun yang boleh memilih. Rakyat miskin yang justru menjadi tulang punggung SI Semarang, praktis tak memenuhi syarat ini dan karena itu tidak boleh memilih.
Jika kita melihat pengaruh ide-ide sosialis revolusioner di kalangan SI di kota-kota lainnya, ternyata bahwa Semaoen berhasil mempengaruhi hampir separuh jumlah SI lokal. Didalam sidang-sidang Kongres CSI, banyak cabang menyokong Semaoen dan kawan-kawannya yang hampir-hampir saja mengalahkan suara lawan-lawan mereka. Indie Weerbaar dan Volksraad, misalnya. Tokoh-tokoh SI Semarang menyadari hal itu. Dan mereka secara intensif mengadakan kursus-kursus kader untuk kemudian menyebarkannya ke kota lainnya. Darsono, dikirim Semaoen ke Surabaya (Pusat Sarekat Islam), justru menyerang golongan-golongan moderat. Di Pekalongan misalnya, terdapat Z. Mohamad, seorang tokoh Marxis yang berpengaruh. Di Jawa Timur tercatat Sukirno, dan di Solo Haji Misbach. Kader-kader
itulah yang diharapkan dapat menguasai SI Lokal dan
meyongkong ide-ide sosialistisme di dalam bahasa Melayu.
Dan bulan Juni tahun itu juga, kursus demikian telah dilakukan sendiri oleh SI Semarang yang mengiklankan hal itu di harian mereka sendiri, dan melalui kader-kader politiknya. Pemuda-pemuda yang sedikitnya punya diploma kelien-ambtenar-eksamen, yang suka menjadi pemimpin bangsanya, terutama Kaum Kromo dan yang suka bicara di dalam rapat-rapat (vergadering) besar. Pemuda akan diberi didikan oleh bestuur SI Semarang buat memimpin. Bestuur SI akan berikhtiar supaya mereka bisa dapat tempat di lokal- lokal SI yang meminta pemimpin mereka dengan dapat belanja dan lokal-lokal.
Sampai di mana kursus-kursus itu, kurang jelas. Tetapi yang terang niat untuk menyebarkan ide-ide sosialisme ke kota-kota lain telah pernah dilakukan SI Semarang.
Menjelang pertengahan 1918, persiapan untuk Kongres ke-2 Central Sarekat Islam telah mulai diadakan oleh SI Semarang. Di dalam sebuah rapat anggota ditentukan bahwa yang akan mewakili Semarang adalah Semaoen, Darsono, Kasrin, Kadarisman, Soepardi dan Soegeng. Tugas mereka ialah memperjuangkan keringanan pajak untuk rakyat dan pemberatan pajak buat kapitalis. Kongres tersebut akan diadakan di Surabaya dari 29 September hingga 6 Oktober dengan dihadiri 87 cabang Sarekat Islam.
Nada Kongres ini, seperti juga kongres ke-2, bersifat sosialistik. Dan seperti juga di Kongres ke-2, pertentangan Abdoel Moeis dan Semaoen berulang kembali. Kongres berlangsung tegang Abdoel Moeis yang sejak Kongres ke-2 diserang kelompok Semarang, kini berusaha menjatuhkan Semaoen. Pertentangan ini berkisar kepada beberapa soal pokok, yaitu: Agama Grup Abdoel Moeis agar agama Islam diperkembangkan. Sedang kelompok Semaoen sudah puas apabila agama Islam tidak dibelakangkan dari agama lain di Indonesia.
Nasionalisme Kelompok Moeis menolak pertuanan bangsa yang satu oleh bangsa yang lain. Di sinilah terletak hakekat perjuangan Semaoen menganggap perjuangan melawan kapitalisme adalah terpokok, walaupun dalam menghadapi kapitalisme "Bumiputra" dan tuan tanah "Bumiputra" akan digunakan pertimbangan-pertimbangan.
Kapitalisme Tetapi kedua kelompok itu setuju bahwa untuk mencapai kemerdekaan diperlukan penum pukan kapital. Tetapi Moeis ingin supaya kapital itu dimiliki orang Indonesia. Sedangkan Semaoen ingin kapital-kapital besar hanya dimiliki oleh koperasi-koperasi. Mengenai perusahaan besar-besar yang banyak mendatangkan keuntungan, kedua tokoh itu sependapat bila diadakan nasionalisasi. Bila Moeis masih mengharapkan pemerintah memberi bantuan, Semaoen hanya percaya pada ikhtiar sendiri.
Lain-lain Dalam mengemukakan masalah-masalah, terlihat bahwa Moeis lebih mementingkan hal-hal umum, sedangkan Semaoen lebih mementingkan hal-hal rakyat.5 5
Pertentangan ini begitu hebatnya sehingga dibicarakan di dalam rapat tertutup pimpinan. Semaoen mengancam akan melepaskan diri dari Sarekat Islam, bila tuntutan-tuntutannya
tidak diterima. Dalam hal ini Tjokroaminoto banyak memberi konsesi kepada Semarang. Semaoen dijadikan Komisaris SI untuk Jawa Tengah, sedangkan Darsono diangkat sebagai propagandis resmi Sarekat Islam. Di dalam rapat pimpinai itu juga Semaoen menggugat Moeis sebagai redaksi Harian Neratja (sebuah harian di Jakarta yang membawa suara Belanda), yang disubsidi Pemerintah Belanda. Semaoen berhasil meyakinkan sidang dan mendesak Moeis membuat sebuah surat pengakuan yang berbunyi:
Bahwa ia berjanji selamanja menjadi lid bestuur CSI Akan tetap menegakkan azas CSI.
Bahwa ia di dalam jabatannja selaku hoofdredacteur Surat Kabar Neratja, ia tidak ada perjanjian atau lain kesanggupan bahwa ia tidak di dalam pengaruh penerbitan Neratja dan mempunyai kalam merdika. Tetapi esok harinya juga di dalam sidang tertutup, Semaoen dan Darsono yang dituntut Moeis untuk membuat surat serupa:
Bahwa mereka selamanya menjadi lid bestuur SI akan tetap meneguhkan azasnya SI
Bahwa mereka berjanji kalau sekiranja ada perselisihan antara Vice President CSI, saudara Abdoel Moeis dengan pihak SI Semarang, sebelum perselisihan itu disiar-siarkan dalam surat kabar, akan diichtiarkan supaya perselisihan tadi diputuskan di dalam kalangannya bestuur CSI dengan perdamaian dan sekiranya perlu mereka menyerang di dalam surat kabar, mereka tidak akan menyerang orangnya, tetapi perbuatannya saja.
Kongres ke-2 CSI ini akhirnya dapat berjalan baik, karena kepemimpinan Tjokroaminoto yang tanpa kehadirannya, maka pertentangan Moeis dan Semaoen tak terhindarkan dan tak terpecahkan. Di antara keputusan yang diambil Kongres, salah satu yang sangat penting bagi SI Semarang ialah tekad untuk menentang kapitalisme dengan mengorganisasi kaum
buruh di kota-kota. Karena dari sinilah tumbuh akar perjuangan mati-matian kaum sosialis revolusioner dimulai sampai pada tahun 1926.
Catatan 1. Sinar Hindia, 14 Januari 1919, dinyatakan dalam laporan SI Semarang, medio Mei 1917-Mei 1918.
2. Sinar Djawa, 19 Nopember 1917.
3. 3.Sneevliet lahir pada tahun 1883 di Roterdam dan setelah menamatkan H.B.S., di kota is aktif dalam gerakan buruh kereta api. Selama tahun 1902-1909 is berselisih dengan Toelstra, karena Toelstra cenderung pada gerakan sosial demokrat. Dalam tahun 1913 is datang ke Indonesia sebagai sekretaris sebuah perkumpulan dagang. la sangat terharu melihat kemiskinan rakyat Indonesia. Dan di Semarang mulai tahun 1914 is mengorgansir ISDV, sebuah gerakan sosial kiri Belanda. Karena ia dilarang berpolitik oleh perusahaannya, lalu ia keluar dari pekerjaannya ini. Sikap memihak rakyat Indonesia dan kefasihan berpidato, memungkinkannya men dapat hubungan yang luas dengan rakyat Indonesia. Ia sering diundang dalam rapat-rapat dan kongres-kongres perkumpulan nasional dan perlahan-lahan akhimya is mendapat pengikut. Setelah diusir dari Indonesia (1918), kemudian is berdiam di Kanton sebagai Komintren dan berhubungan dengan Komintern Sun Yat Sen.
Konsepsi-konsepsi tentang perlunya kerjasama antara kaum komunis dan borjuis nasional dalam menghadapi Imperialis, seperti yang dilakukan di Indonesia (SI Semarang yang sosialis dan SI lain yang borjuistis) sangat mempengaruhi kaum komunis di Tiongkok. Teori-teori Mao TseTung tentang hal ini banyak dipengaruhi Sneevliet. Setelah Stalin berkuasa di
Komintern. la berselisih dengan Stalin (bersama Darsono, Tan Malaka, Tohir, dan lain-lain). Dalam tahun 1942 karena aktivitas-aktivitasnya menentang Nazi is ditembak mati. Lihat Sinar Djawa, 21 November 1917; Kahin, hal. 72; D.M Koch, on deVrijheid (Jakarta: Pembangunan, 1950), hal. 50; Winkler Paris Encyclopaidi, Jilid XVI, hal. 722, dan
wawancara dengan Darsono, 21 Agustus 1964 di Jakarta.
Dalam menyusun gambaran dari kaum Marxist ini, saga mendapatkan sedikit kesukaran. Mereka tidak mengemukakan teori ini secara jelas dan sistematis, melainkan hanya menggunakan di sana-sini dalam artikel-artikelnya. Karena itu dalam menyusun sistematikanya saya bebas. Yaitu dari pidato Semaoen, dalam Sinar Djawa dan Sinar Hindia.
Sidang-sidang tertutup sebenarnya tidak diumumkan. Tetapi setelah kongres berakhir, di koran-koran mulai timbul cerita-cerita di balik layar tentang pertentangan antara Semaoen dengan Abdul Moeis. Koran Neratja membuat ulasan seakan-akan pendapat Moeis berhasil
mendominasi sidang. Demikian pula De Indier (Insulinde) menyatakan bahwa Semaoen hanyalah alat ISDV. Untuk membantah semua ini akhirnya ia menulis sebuah surat pembaca di harian Oetoesan Hindia, menceritakan "sedikit" jalannya rapat tertutup. Lihat edisi 18 Oktober 1918 dengan judul "Tidak Berobah".
BAB IV: Dari Kongres Nasional CSI ke-3 Sampai PKI
Pergeseran ke kiri dari Kongres ke-3 ini, dengan sen dirinya berhubungan erat dengan semakin memburuknya situasi penghidupan rakyat pada umumnya. Tindakan pemerintah
terhadap dunia pergerakan kian lama kian terasa. Sneevliet diusir dari Indonesia pada akhir 1917 (1918). Darsono sementara itu dipenjarakan di Surabaya pada bulan September 1918 karena alasan persdelict.
Walaupun demikian, perjuangan melawan kenaikan harga makanan tetap berlangsung dengan hebatnya. Akhir 1918 harga-harga telah mencapai puncaknya. Misalnya, harga beras di Pekalongan mencapai f.16,- sepikulnya.
Harga ini terang berada di luar daya beli rakyat. Di Tangerang, pada awal 1919, rakyat yang"lapar" menyerbu sebuah toko beras dan menimbulkan insiden-insiden. Bala bantuan tentara bersepeda terpaksa dikerahkan dari Jakarta. Begitu parah keadaan bahan makanan, sehingga setiap hari kita membaca berita-berita tentang kelaparan di surat-surat kabar.
Di Volksraad, Dr. Tjipto Mangunkusumo berteriak-teriak menuntut pengurangan areal tebu dan perbaikan nasib rakyat.
Masalah ini diperdebatkan dengan sengit di dalam dewan.
Akhirnya datang berita bahwa Volksraad menolak ide pengurangan areal tebu dengan perbandingan suara 10 lawan 20. Sosrokardono yang dalam hal pikiran dekat dengan kelompok Semarang,
Merasa begitu kecewa dan menyatakan bahwa Volksraad bukannya "menjadi" raadnya rakyat (yolks), tetapi raadnya gula (suiker), suiker raad.
Penolakan Volksraad itu membenarkan pendapat Semaoen bahwa tidak ada gunanya percaya pada niat baik pemerintah, wakil kaum tebu itu. Hanya pada kekuatan sendirilah usaha membina pergerakan harus terwujud. Penolakan itu berart memperkuat kedudukan Semaoen di dalam Sarekat Islam dan kaum yang masih percaya makin terdesak karenanya.
Dalam bulan September 1918, Sarekat Islam mengadakan lagi sidangnya yang dihadiri oleh pengurus Centraal dan para Komisaris Daerah. Sidang diadakan di Surabaya. Tujuannya untuk membicarakan situasi politik yang semakin memburuk. Harga-harga semakin membumbung tinggi. Niat Pemerintah untuk mengadakan perubahan dalam aturan-aturan Pemerintahan, tekanantekanan yang semakin terasa lagi bagi tokoh-tokoh pergerakan, akan merupakan masalah di dalam sidang itu. Sidang yang diselenggarakan secepatnya itu hanya dihadiri 10 orang, yaitu: Tjokroaminoto, Semaoen, Soekirno dan Sosrokardono. Anggota pimpinan yang lainnya, seperti Abdoel Moeis, Hasan Djajaningrat, Moh. Joesoef,
M.H. Nizam Zoeny, Moh. Arief, Wignjadisastra, dan Brotosoehardjo tidak dapat datang. Pimpinan Sarekat Islam Medan tidak diundang (tidak sempat), sedangkan H.
Achmad Dahlan tidak memberi kabar.
Di dalam sidang ini diputuskan untuk membentuk sebuah badan yang bertujuan menyokong tokoh-tokoh pergerakan rakyat yang menjadi korban tindakan-tindakan pemerintah.
Termasuk mereka yang berada di luar Sarekat Islam. Badan ini dinamakan Kas Wakaf Pergerakan Kemerdekaan SI dan diketuai oleh Tjokrosoedarso. Segera sesudah badan ini berdiri, Semaoen meminta agar mendapat bantuan keuangan karena la korban pergerakan. Semaoen juga meminta agar Sneevliet diangkat menjadi wakil Sarekat Islam di Nederland.
Lagipula ia mempunyai massa yang dapat menolong pergerakan di Indonesia. Banyak tokoh SI yang berkeberatan, karena dikhawatirkan SI hanya akan menjadi alat dari Sneevliet. Akhirnya diadakan usul kompromi, yaitu Sneevliet diangkat menjadi wakil SI, tetapi dengan mandat terbatas yang dapat dicabut. Usul itu diterima sidang dengan perbandingan suara 5:4 dan 1 abstain.
Persoalan Indie Weerbaar menjadi masalah kembali di dalam sidang ini. Jika pada tahun 1917, Semaoen dikalahkan dengan mayoritas sedikit, kini usulnya menang. Tjokroaminoto bertanya kepada sidang, apakah sidang setuju bila ia minta duduk dalam komite ini. Ia sendiri menyatakan tidak setuju.
Semuanya menjawab tidak, kecuali satu. Perubahan sikap ini dengan sendirinya berhubungan erat dengan semakin memburuknya situasi serta sikap Belanda yang "lebih mementingkan tebu daripada rakyat". Mengenai Komisi Reform dan Komisi Bahan Makanan yang sedang dibentuk Pemerintah, sidang tidak menyokong dan tidak juga menentangnya. Perihal Radicale Concentratie, Sarekat Islam hanya akan ikut serta bila tuntutan SI dijadikan landasan perjuangannya. Hal lain yang juga diputuskan sidang ialah sikap terhadap orang Tionghoa. Yaitu, bila ada usul perdamaian dari mereka, usul itu akan diterima (waktu itu
Peristiwa Kudus, di mana rumah orang-orang Tionghoa dibakari dan beberapa orang Tionghoa terbunuh, masih sedang hangat-hangatnya), dengan syarat mereka ikut membantu usaha-usaha pergerakan, ikut membantu menghilangkan perbedaan-perbedaan dan tidak menentang usaha-usaha Sarekat Islam melawan kapitalisme. Usul ini datang dari Semaoen yang meyakinkan sidang bahwa perjuangan melawan orang-orang Tionghoa tidak ada gunanya karena musuh "kita" adalah kapitalis. Dengan diterimanya pandangan Semaoen ini, maka Sarekat Islam sebagai dicita-citakan untuk melawan pedagang Tionghoa,
sudah tamat riwayatnya. Hasil-hasil sidang memperlihatkan bahwa konsepsi-konsepsi Semaoen menguasai jalannya persidangan. Penolakan atas Indie Weerbaar, Perdamaian dengan orang Tionghoa, Pengangkatan Sneevliet sebagai wakil Sarekat Islam di Nederland adalah perjuangan Semaoen yang berhasil baik. Mungkin ketidakhadiran Moeis telah memperlancar sidang ini. Sebab, jika Semaoen dan Moeis hadir, selalu saja terjadi pertentangan-pertentangan yang sengit.
Tindakan-Tindakan Pemerintah
Pergeseran situasi ke kiri memang merupakan kemenangan Sarekat Islam Semarang. Tetapi hal ini berarti perjuangan akan semakin berat. Pemerintah tidak tinggal diam. Mereka berusaha menindas pergerakan SI Semarang. Cara yang dilakukan ialah mengadakan penangkapan-penangkapan terhadap tokoh-tokoh sosialis revolusioner. Korban pertama adalah Sneevliet yang sejak Desember 1918 telah diangkat ke kapal untuk dikirim balik ke Eropa.7 Korban kedua, Darsono yang sejak September 1918 telah dikeram di penjara Surabaya, dituduh menyiarkan hal yang berisi pernyataan kebencian terhadap Pemerintah. la dikenakan 9 persdelict.
Sementara itu, Douwes Dekker juga dituntut Pemerintah karena dituduh menyebarkan surat-surat selebaran kepada serdadu-serdadu Belanda dengan tu juan menghasutnya.
Semaoen dituntut karena menterjemahkan tulisan Sneevliet.
Padahal pemuatannya di luar tanggung jawabnya, karena tegas-tegas sudah ditulis di luar tanggung jawab redaksi.
Marco, musuh tradisional Belanda, hampir-hampir pula dijerat Asisten Residen karena ia menulis sebuah sajak yang dapat ditafsirkan sebagai anjuran mengusir kaum "kafir".
Partoatmodjo, Ketua Seksi Perburuhan SI Semarang yang juga anggota redaksi Sinar Hindia, dikenakan persdelict dan dalam bulan Mei 1919 is dihukum penjara 3 bulan.
Penindasan dan penuntutan terhadap anggota-anggota SI Semarang dan tokoh SI lainnya yang anti Pemerintah, mungkin sekali ada hubungannya dengan keputusan- keputusan yang diambil di dalam Kongres Nasional ke-3 CSI.
Seperti kita ketahui, di dalam Kongres ini sudah terdengar suara-suara untuk mengaktifkan pekerjaan di kalangan kaum buruh. Dan sebagai realisasinya, Mei 1919 di Bandung, diadakan Kongres PPPB yang dipimpin Sosrokardono.
Di Kongres itu dicetuskan ajakan kepada sarekat-sarekat buruh untuk memperkuat diri dengan mendirikan sebuah Vakbond.
Usul ini disambut hangat oleh VSTP. Pemerintah Belanda mulai waspada dan mungkin sekali ada hubungannya antara penindasan yang keras dengan menangnya ide-ide Sarekat
Islam Semarang. Penindasan itu, malah lebih memilitankan Sarekat Islam Semarang. Semaoen terpilih lagi sebagai ketua, sedangkan Marco terpilih kembali sebagai komisaris dan Pejabat Ketua.
Demikian pula Partoatmodjo, terpilih kembali sebagai Ketua Seksi Perburuhan, sedangkan Moh. Josoef kini kehilangan kedudukannya. Josoef kini hanya sebagai penasehat saja.11
Pada bulan-bulan pertama tahun 1919, penghimpunan massa diintensifkan. Sarekat Islam Seksi Perempuan dibentuk dan menghimpun 3041 Anggota. Kegiatan ini telah mulai dibina
sejak September 1918. Sebagai perangsang untuk menggerakkan kaum perempuan ini, dikobarkobarkan bahwa di pasar-pasar pun kaum perempuan diperlakukan sewenangwenang. Oleh karena itu, bergeraklah.
Golongan terendah dari masyarakat kota juga tidak dilupakan oleh Sarekat Islam Semarang. Golongan ini sangat ditakuti orang-orang Eropa. Golongan kaum gembel ini, siap untuk
mendengarkan "the cry of agitator."13 Kaum yang tidak mempunyai apa-apa ini dengan sendirinya mempunyai keberanian yang lebih besar untuk bertindak dan sangat mudah dibakar semangatnya. Atas inisiatif pimpinan Sarekat Islam, didirikan Sarekat Kere dalam bulan Februari. Tujuannya menghimpun orang-orang yang selalu miskin dan tidak punya "bondo", tanpa memandang bangsa. Dalam Sarekat Kere ini dihimpunlah gembel-gembel "bumiputra Tionghoa" yang "tumpah darahnya" di Hindia. Orang-orang kaya ditolak jadi anggota. Mereka hanya boleh jadi penyumbang. Sarekat Kere ini dipimpin oleh Kromoleo, sedangkan aktor intelektualnya ialah Partoatmodjo.
Mereka pun sadar bahwa kere-kere ini ditakuti oleh orang- orang kaya.
Bumiputra dan Tionghoa menjadi gumbira
Dengan Kere menjelma Kapitalisme mesti kasih derma Takut gombal nanti mara.
Napoleon pernah mengatakan bahwa 4 surat kabar yang memusuhi Pemerintah lebih berbahaya dari beribu-ribu tentara. Pada waktu itu pers yang anti pemerintah memang sangat banyak. Tetapi tidak terarahkan. Antara mereka sering terjadi perang pena. Ide untuk mempersatukan mereka pernah dilakukan Mas Marco pada tahun 1914. Tetapi setahun kemudian perkumpulan wartawan itu mati, ketika ketuanya, Mas Marco sendiri dilemparkan ke dalam penjara.
Antara tahun 1915 dan 1919 terjadi beberapa perubahan dalam peraturan-peraturan yang menyangkut pers. Bila dulu persdelict diperiksa oleh Raad van Justitie, kini hal itu dilakukan oleh Landraad. Dan fasal 154 dan 156 yang kejam itu diganti oleh peraturan 63b dan 66b yang dianggap juga keras. Karena itu di antara para wartawan sendiri terasa kebutuhan yang mendesak untuk bersatu melawan cengkeraman Pemerintah yang semakin tajam. Dalam tahun 1919, sejumlah besar wartawan dipenjarakan Pemerintah.
Keresahan ini digunakan dengan tepat oleh SI Semarang untuk membentuk kembali Persatuan Wartawan Indonesia yang kedua, sebagai ganti dari yang tahun 1915. Atas inisiatif SI Semarang, antara 8 dan 9 Maret 1919, diselenggarakan pertemuan-pertemuan wartawan dari seluruh Indonesia (Jawa). Hadir 32 utusan mewakili 13 surat kabar dan majalah 33 wartawan. Sebagai ketua sidang terpilih Dr. Tjipto Mangunkusumo, yang mengusulkan dibentuknya kembali sebuah organisasi wartawan. Dalam sidang kemudian, timbul persoalan apakah wartawan-wartawan keturunan Tionghoa dapat menjadi anggotanya. Sebagian besar menerima (27 suara) dan sebagian kecil (7 suara) tidak. Akhirnya sidang memutuskan menerima wartawan keturunan Tionghoa menjadi anggotanya. Maka itu nama organisasi tersebut ada-lah Indiers Journalist Bond.16 Dari keputusan ini terlihat ide-ide sempit dari kaum nasionalis lainnya. Ketika susunan pengurusnya dibentuk, terlihat pula bahwa wartawan dari grup sosialis berhasil menguasai organisasi mi. Susunan yang pertama adalah sebagai berikut
Ketua : Dr. Tjipto Mangunkusumo
Sekretaris : H. Misbach (Islam Bergerak)
Bendahara : Hardjasoemitro (Darmo Kondo)
Komisaris-Komisaris: Sosrokardono (Surabaya), Semaoen (Semarang), H. Agoes Salim (Jakarta),
Darnakoesoemah (Bandung) Dari kaum non-kooperasi (anti-Pemerintah) terdapat Sosrokardono, Semaoen, dan Haji Misbach, sedangkan lawannya hanya Haji Agoes Salim dan Darnakoesoemah. Hardjosoemitro tidak jelas, dan Dr. Tjipto adalah tokoh yang dapat diterima oleh semua. Mosi pertama sidang para wartawan itu adalah menuntut pembebasan Darsono yang masih di penjara di Surabaya.
Dibawah Lentera Merah 5 - Soe Hok Gie
By admin " Nov 4th, 2008 " Category: 6. Lain lain, SHG - Dibawah Lentera Merah **
Banyaknya aktivitas dengan sendirinya memerlukan banyak kader yang cakap. Dalam usahanya mempertinggi nilai kadernya tentang soal-soal sosialisme, Sarekat Islam Semarang membentuk sebuah perkumpulan diskusi bernama "Social-ist Ontwikkeling Club". Tetapi tidak pernah berjalan karena ditindas ("). Yang terang, aktivitas seperti yang tercantum dalam anggaran dasarnya tidak pernah berjalan.
Memburuknya penghidupan rakyat, penindasan Pemerintah yang semakin keras dan aktivitas-aktivitas yang luar biasa dari SI Semarang dengan sendirinya saling berjalan satu sama lain. Keadaan yang genting itu akhirnya meletuskan peristiwa Toli-Toli dan Cimamere. Peristiwa Toli-Toli adalah kerusuhan (Juni 1919) yang meminta korban beberapa orang pegawai Pemerintah dan satu di antaranya seorang Belanda.
Peristiwa Cimamere lebih-lebih menimbulkan kegoncangan masyarakat, terjadi sebulan sesudah Toli-Toli. Haji Flasan di Leles (Garut) adalah seorang petani yang menolak menyerahkan padinya kepada Pemerintah. Dalam usaha Pemerintah untuk memeriksa Haji Hasan menyerahkan padinya, Haji Hasan melawan dan ia tewas dalam perlawanan itu. Ketika diadakan pemeriksaan, ternyata ada petunjuk-petunjuk yang menyatakan adanya organisasi Sarekat Islam rahasia dengan menggunakan istilah Afdeling B, tujuan dari organisasi ini adalah mengusir Belanda dan Tionghoa dari Indonesia. Dan ternyata pula bahwa pimpinan yang aktif membinanya di Jawa Barat adalah Sosrokardono, Sekretaris Centraal Serekat Islam (CSI) merangkap ketua PPKB. Ia segera ditangkap. Peristiwa ini menyebabkan iklim politik Indonesia semakin panas. Kini, Sarekat Islam sendiri yang
dituduh ikut terlibat dalam gerakan untuk menumbangkan kekuasaan Belanda. Sarekat Islam Semarang menjadikan isu Cimamere ini untuk lebih mengerahkan massa dengan mengadakan rapat-rapat protes. Tetapi hal ini berarti tekanan terhadap gerakan Semaoen menjadi lebih keras lagi. Semaoen lalu dituduh menterjemahkan karangan Sneevliet oleh Landraad dan karenanya ia dihukum 2 bulan penjara. Tetapi ketika ia naik banding, hukuman diubah menjadi 4 bulan.
la masuk penjara Yogyakarta dalam bulan Juli dan itu berarti ia tidak dapat datang menghadiri Kongres Centraal Sarekat Islam ke 4. Partoatmodjo seorang tokoh buruh Sarekat Islam yang seringkah memimpin pemogokan-pemogokan, dengan alasan persdelict, dihukum penjara 2 bulan. Darsono sejak September 1918 telah dipenjarakan dan dijatuhi hukuman 3 bulan. Tetapi karena ia naik banding, hukumannya
diubah menjadi 1 tahun penjara. Sarekat Islam Semarang kini benar-benar terkena akibatnya.
Semaoen, orang pertamanya berada dalam penjara Yogya. Darsono. Orang keduanya (de Facto) di penjara Surabaya.
Partoatmodjo, tokoh buruhnya, salah satu kegiatan yang terpenting juga berada di dalam penjara Semarang. Jika kita memperhatikan tanggal penghukuman dan lamanya
hukuman, praktis ketiga tokoh ini sudah tidak dapat menghadiri Kongres CSI ke-4. Juga dengan ditangkapnya Sosrokardono, orang yang dekat dengan Semaoen, timbul kesan bahwa Belanda berusaha mencegah hadirnya golongan yang paling militan dan agresif menyerang Pemerintah pada Kongres Sarekat Islam. Delegasi yang dikirim SI Semarang
ke Kongres, bukanlah delegasi yang kuat. Mereka adalah Mas Marco, Kadarisman dan Kasrin.
Dalam proses perkembangan Sarekat Islam, semenjak 1911 hingga 1919, terjadi pergeseran pada pedagang menjadi pergerakan rakyat. Pergerakan kerakyatan ini berakar di desadesa. Dan sampai 1918, dapat dikatakan bahwa minat dan masalah-masalah yang dibahas dan diperjuangkan kebanyakan berkisar di sekitar masalah agraria dan kemelaratan kaum tani. Tapi perlahan-lahan kegiatan semakin bergeser ke kota dan soal-soal perburuhan makin mengambil peran yang penting. Di Semarang sendiri sejak konferensi dengan tuan tanah yang tidak berhasil, perjuangan di bidang agraria telah ditinggalkan.
Dukungan kaum pedagang dan kaum tani makin lama makin berkurang. Kondisi inilah yang menyebabkan perjuangan CSI bergeser semakin ke kota. Dalam Kongres CSI ke-4 di
Surabaya antara tanggal 26 Oktober sampai 2 November 1919 soal-soal yang dibahas adalah tentang perlunya mendirikan sebuah organisasi sentral kaum buruh.
Tjokroaminoto, Haji Agoes Salim, Alimin, Suwardi Suryaningrat dan Soerjopranoto dalam pidato-pidatonya menekankan perlunya dengan segera mendirikan sebuah sentral organisasi buruh. Susunan pengurus CSI pun memperlihatkan kecenderungan pergeseran di bidang
perjuangan. Susunan pengurus baru tersebut adalah:
Ketua/ Bendahara Tjokroaminoto
Wakil-Wakil Ketua Abdoel Moeis, Soerjopranoto
Sekretaris Sosrokardono, Brotosuharyo dan Rachman
Komisaris-Komisaris Djajadiningrat, Semaoen, Soekirno, Haji Agoes Salim, Haji Sjadzili,
Alimin, Mas Marco, H. Fachroeddin, Abikoesno Tjokrosoejoso, Moh. Samin (Sumatera Utara), Bratanata (Sumatera Selatan) dan Amir Hasan (Kalimantan).
Dari susunan pengurus yang baru kelihatan ada nya perubahan yang penting, yang menunjukkan perubahan medan perjuangan. Sebagai wakil ketua, di samping Moeis diangkat pula Soerjopranoto yang kemudian lebih terkenal sebagai Raja Mogok. Semaoen dan Sosrokardono, walaupun masih dalam penjara, tetap terpilih lagi. Dan ini menunjukkan bahwa mereka sebagai kaum yang paling anti-Belanda, tetap berpengaruh. Moh. Joesoef sebagai wakil dari kalangan kaum menengah, kini digantikan Mas Marco yang juga dari kalangan Semaoen. Soekirno dan Alimin yang merupakan tokoh-tokoh ISDV kini berhasil masuk pimpinan CSI. Komposisi seksi-seksi pun menunjukkan pergeseran kejalan sosialis-revolusioner. Di dalam seksi politik, di samping Tjokroaminoto dan Hasan Djajaningrat, duduk pula Darsono dan Sosrokardono, yang kedua-duanya masih berada di penjara. Di dalam seksi-seksi perubahan, di samping Soerjopranoto, duduk juga Semaoen, Kadarisman dan Alimin. Kini kaum sosialis-revolusioner sudah merupakan faktor yang ikut menguasai CSI. Bila kita bandingkan dengan tahun 1917, terlihatlah betapa besar hasil Semaoen dan
kawan-kawannya untuk menguasai CSI.
Sebagai realisasi keputusan-keputusan tersebut, tokohtokoh Sarekat Islam Semarang mengambil inisiatif menyebarkan undangan kepada seluruh organisasi buruh untuk mengadakan pertemuan di Yogya pada akhir Desember 1919 untuk mendirikan Revolusionere Socialistisct Vakcentrale diHindia. Sebagai pengundangnya antara lain Semaoen. Ketika pertemuan itu berlangsung, terjadi lagi pertentangan intern antara grup Semaoen melawan kelompok Soerjopranoto dan Haji Agoes Salim, yang berakhir dengan kompromi. Semaoen terpilih menjadi ketua, Soerjopranoto sebagai Wakil Ketua dan Haji Agoes Salim sebagai Sekretaris. Nama yang diusulkan Semaoen ditolak dan nama organisasi itu menjadi Persatuan Pergerakan Kaoem Boeroeh. Kedua belah pihak tidak puas dengan hasil kompromi yang mereka capai dan tak lama kemudian timbul lagi pertentangan yang menjadi penyebab perpecahan dari organisasi sentral kaum buruh untuk pertama kali.
Di Semarang sendiri usaha untuk mengorganisasi kaum buruh dilakukan dengan sekuat tenaga. Sebelum PPKB didirikan, di Semarang telah pernah diusahakan mendirikanpersatuan kaum buruh Semarang oleh kaum sosialis revolusioner untuk mempersatukan kaum buruh Semarang dalam sebuah organisasi sentral. Bagaimana hasilnya saya tidak tahu. Organisasi itu bernama Perkumpulan Kaoem Boeroeh Semarang, didirikan pada bulan Maret 1919.
Perjuangan kaum buruh dimulai kembali kedka ada pemecatan di Semarang Veem pada bulan Desember 1919.
Sarekat Islam Semarang lalu mengundang organisasi buruh Semarang untuk membicarakan kesewenang-wenangan para majikan. Partoatmodjo dari Sarekat Islam Semarang, Soegeng
dari PPKB, Noorsalam dari kaum kusir, Najoan dari kaum buruh Lindeteves (telah dipecat), Kwee Hing Tjiat dari Sarekat Buruh Tionghoa dan lain-lain menyatakan persetujuannya untuk mendirikan pengurus sementara dari kaum buruh Semarang dan ketuanya terpilih Najoan.
Pemerintah Belanda dengan sendirinya memperhatikan dengan penuh kewaspadaan gerakan dari kaum buruh Semarang itu. Partoatmodjo yang selama akhir Agustus hingga September 1919 berada di penjara, mulai Januari 1920 untuk selama 3 bulan dipenjarakan lagi karena tuduhan persdelict. Tetapi aksi buruh SI tetap berjalan walaupun dihalang-halangi Belanda.
Perjuangan mati-matian melawan kaum majikan yang disokong oleh Pemerintah, terjadi kembali di dalam bulan Februari 1920. 400 kaum buruh van Dorp mogok yang mendapat sokongan pula dari buruh-buruh percetakan.
Lalu diadakan pertemuan dari tokoh-tokoh buruh percetakan yang diorganisasi oleh Sarekat Islam Semarang. Sokongan mengalir dari mana-mana. Kini Semaoen sudah berhasil menghimpun kekuatan antikolonial. ISDV, ISDP dan NIP (diwakili Suwardi Suryaningrat) serta lain-lainnya menganjurkan persatuan buruh-buruh percetakan. Mereka juga menyokong usul untuk mendirikan Tijpograften Bond sebagai organisasi induknya. 35 Pemogokan meluas kepercetakan De Locomotif, Mist, Benyamin, Bischop dan Warna Warta yang merupakan percetakan koran-koran yang anti-Sarekat Islam. Jumlah pemogok telah berkisar sekitar 1000 orang. Karena para pemogok itu dengan sendirinya tidak boleh ditelantarkan begitu saja, maka Sarekat Islam Semarang terus membayarkan uang tunjangan kepada kaum buruh yang banyak itu. Fond-fond penolong digerakkan, tetapi yang terpenting ialah adanya fond rahasia. Jika Sarekat Islam Semarang mogok, biasanya ada orang-orang kaya menyumbang dalam jumlah beribu rupiah. Haji Busro, seorang pedagang kayu yang sangat kaya (Komisaris SI Semarang), Soemitro, seorang pengusaha kretek di Kudus, masing-masing menyumbang 3000 gulden (rupiah Belanda).
Harga beras yang agak jelek ketika itu biasanya 5 sen sekilo.
Juga seorang direktur bank Tionghoa di Semarang (namanya saya lupa) menyumbang 5000 gulden, karena ia sering dihina oleh koran De Locomotif. Kepada orang-orang itulah biasanya Semaoen pergi meminta sumbangan dikala terjadi pemogokan. Secara legal buruh Tionghoa ikut menyumbang 100 gulden sebulan selama terjadi pemogokan. Dari peristiwa itu terlihat bahwa motif anti-Tionghoa (pedagang) dari Sarekat Dagang Islam (SDI) sudah
terkubur. Sampai bulan April masih ada pemogok-pemogok walaupun banyak pula yang dapat dibujuk kapitalis untuk masuk kerja kembali. Majikan-majikan selalu mencari buruhburuh sewaan pengganti yang mogok. Pemogokan van Dorp dan De Locomotif ini adalah salah satu pemogokan yang terbesar dalam sejarah Indonesia.
Sikap keras dijawab dengan tindakan-tindakan keras pula oleh Belanda. Buku-buku Marco dan toko buku Sarekat Islam Semarang disita dan kemudian diikuti oleh penangkapan
Marco (belum dibicarakan).
Berdirinya Perserikatan Komunis di Hindia
Secara formalnya, PKI adalah lanjutan dari ISDV, sebuah perkumpulan sosialis Belanda yang didirikan dalam tahun 1914. ISDV menghimpun kaum sosialis Belanda (termasuk sosialis salon), walaupun orang yang bukan Belanda dapat juga diterima sebagai anggota. Dalam tahun 1915, perkumpulan ini menyelenggarakan kongresnya yang pertama. Pada waktu itu telah jelas tampak dua aliran revolusioner di bawah pimpinan Sneevliet dan kedua, aliran
evolusioner di bawah Schoutman. Schoutman berpendapat bahwa sosialisme belum tiba saatnya disebarkan di kalangan perkumpulan-perkumpulan Indonesia. Kalau disebarkan
sekarang, malah akan menimbulkan pemberontakan, karena mereka (orang Indonesia) belum masak. Saat sekarang sosialisme hanya boleh disebarkan ke tengah-tengah studie
club saja. Sneevliet menentang pendapat ini. la bertanya kepada Semaoen di dalam Kongres, orang Indonesia satu-satunya yang ikut menjawab bahwa orang Indonesia sudah
sadar karena mereka membayar pajak. Mereka selalu bertanya, untuk apa membayar pajak dan pertanyaan sosialisme ketengah-tengah orang Indonesia. Dan jika Indonesia sudah
berontak, itu tandanya "kami sudah masak". Sidang kongres gempar karenanya. Sebagian besar anggota-anggota Belanda tidak menyokong Sneevliet. Mereka keluar satu per satu. Lalu dalam tahun 1917, berselisihlah ISDP (sosialis kanan) yang mengakibatkan banyak anggota Sarekat Islam Semarang menjadi anggota ISDV. Sebenarnya tidak ada perbedaan
antara ISDV dengan SI Semarang. Di dalam proses perkembangannya ISDV semakin radikal. Orang-orang Belanda mulai meninggalkan ISDV, sedangkan orang-orang Indonesia mulai memasukinya. Dalam tahun 1918, ISDV praktis sudah menjadi perkumpulan INDONESIA, walaupun Belanda-Belanda masih dipasang di pucuk pimpinannya untuk memudahkan berurusan dengan pihak penguasa. Pembuangan tokoh Sneevliet, maupun mereka yang pulang kembali ke negeri Belanda mempercepat proses pengindonesiaan itu.
Pada awal 1920 ISDV menerima surat dari Haring (nama samaran Sneevliet) dari Shanghai (Canton - Ed.), yang menganjurkan agar ISDV menjadi anggota Komintern.
Untuk itu harus dipenuhi 21 syarat, antara lain memakai nama terang partai komunis dan menyebut nama negaranya.
Semaoen lalu mengirimkan tembusan surat ini kepada tokoh- tokoh ISDV, termasuk Darsono yang waktu itu masih ada di penjara Surabaya. Dalam suatu pertemuan dengan Hertog di penjara Surabaya, Darsono menyatakan persetujuannya sembari menambahkan 2 alasan lagi:
1. Manifest yang ditulis Marx-Engels dinamai Manifest Komunis dan bukannya Manifest Sosial Demokrat.
2. Rakyat Indonesia tidak dapat membedakan antara ISDV yang revolusioner dengan ISDP yang evolusioner.
Hertog yang waktu itu ketua ISDV, menolak pendapat Darsono itu.
Maka untuk membicarakan perubahan nama ini, diadakan Kongres Istimewa yang dihadiri 40 orang, semuanya orang Indonesia. Kongres ini berlangsung panas, sehingga Alimin meninggalkan sidang. Dalam sidang dua orang mengajukan keberatan dengan alasan, jika menerima perintah Komintern, ini berarti kita berada di bawah Rusia. Semaoen mencoba
menjelaskan bahwa Komintern bukan milik Rusia. Dan perubahan nama itu hanya sekadar disiplin organisasi.
Akhirnya sidang menerima perubahan nama itu. Maka pada tanggal 23 Mei 1920. Lahirlah Perserikatan Komunis di Hindia. Semaoen dipilih sebagai ketua, Darsono, wakil ketua, Bergsma, sekretaris, Dekker menjadi bendahara dan Kraan, anggota.43 Proses penggantian nama ini dapat dilihat sebagai pengindonesiaan gerakan Marxisme di Indonesia.
Pertengahan tahun 1920, bukanlah periode yang tepat untuk mengakhiri sebuah tulisan tentang perjuangan Marxisme, karena justru dalam tahun itulah puncak dan mati hidupnya perjuangan kaum radikal Semarang dimulai. Dan perjuangan itu baru akan berhenti di tahun 1926. Tetapi persoalan ini memerlukan sebuah studi khusus lagi yang tentu tidak akan tercakup oleh tulisan pendek ini. Semoga dalam kesempatan lain, periode itu akan kita bicarakan secara teliti.
BAB V: Sekadar Catatan Sejak abad ke-16 di Jawa telah tumbuh 3 akar kekuatan yang akan menjadi sendi-sendi kekuatan masya rakat dikemudian hari. Kelompok pertama adalah kaum priyayi (aristokrasi) dan merupakan kelompok yang berkuasa.
Mereka berakar pada kebudayaan Jawa-Hindu, sebagai bangsawan mereka berpusat di kantor-kantor. Dengan berkembangnya Islam, muncullah kaum santri. Mereka berakar pada masyarakat di sekitar pesantren dan sebagai Islam, mereka meru pakan kaum yang "ortodoks". Persaingan di antara ke dua kelompok ini di dalam bidang politik, jelas terlihat selama abad ke-16 dan ke-17, di mana kaum santri yang merupakan kekuatan pantai bertempur menghadapi kekuatan agraris yang lebih merupakan penerus kekuatan kerajaan-kerajaan pra-Islam. Kelompok ketiga adalah masyarakat pedesaan Jawa yang mendukung nilai-nilai kebudayaan zaman pra-Hindu, walaupun unsurunsur Hindu serta Islam juga kita temui. Mereka ini disebut kaum abangan.
Dan mereka inilah yang diperebutkan oleh kaum priyayi dan kaum santri.
Pertentangan antara kaum santri dengan kaum priyayi terus berlangsung setelah kedatangan Belanda. Usaha Sunan Amangkurat I untuk menumpas Sunan Giri, pembunuhan
terhadap ulama Islam Mataram, mungkin dapat kita lihat sebagai contoh pertentangan-pertentangan kedua kelompok tadi. Dalarn proses sejarah selanjutnya, kaum priyayi menjadi sekutu Belanda, .."for political reasons of their own were known to be either lukewarm Muslim or Outhrigth enemies of Islamic "Fanaticism"."
Dengan sendirinya kaum santri merupakan sumber kekuataan untuk melawan kaum kafir (Belanda) dan priyayi.
Islam selalu menjadi sumber kekuatan gerakan-gerakan rakyat untuk mengusir penjajahan selama abad ke-18 dan ke19 di Indonesia, mulai dari Perang Diponegoro sampai pada Perang Aceh. Sampai dengan 1910, dengan perkecualian Gerakan Samin, kerusuhan-kerusuhan melawan Belanda berputar sekitar tokoh-tokoh agama.
Abad ke-19 dan awal abad ke-20 membawa perubahan-perubahan penting bagi masyarakat Jawa sebagai akibat penggunaan teknologi modern dan pendidikan. Masa itu muncullah organisasi-organisasi "modern", dengan anggaran dasar, kongres dan sebagainya. Tahun 1900 berdirilah Tiong Hoa Kwee Kwan, kemudian Indo Verbond berdiri di tahun 1903. Dan tahun 1908, Budi Utomo. Apakah pertentangan-pertentangan yang sudah begitu berkarat lenyap begitu saja karenanya"
Budi Utomo sejak lahir sudah mewujudkan diri sebagai gerakan kaum priyayi, di mana kaum bangsawan dan pencinta-pencinta kebudayaan tradisional Jawa terhimpun.
Massa anggotanya kebanyakan terdiri dari kaum BB, dengan Regen serta Bupati sebagai kekuataan-kekuatan. Sedangkan kaum anti-priyayi, mendirikan Sarekat Islam yang mulanya tegas anti-BB. Bahkan pernah menolak kaum BB sebagai anggotanya. Kaum tani (abangan) Jawa ikut bergabung kedalam Sarekat Islam. Dan menjadikan SI sebagai media protes melawan "unwanted social change".6 Pertentangan segitiga atau segi dua berlanjut terus setelah tahun 1900, tetapi dengan baju dan semangat baru. Satu hal yang perlu dinyatakan disini, bahwa perbedaan dan pertentangan bukan seperti minyak dan air. Ketiga-tiganya malah saling isi-mengisi. Didalam setup golongan kita jumpai unsur-unsur dari kedua
golongan lainnya. Manusia tidak pernah bisa melepaskan diri dari keadaan sekelilingnya, dari mana ia hidup, dibesarkan oleh bumi dan dari mana ia berakar. Nilai-nilai yang didukung oleh lingkungannya, nilai yang dihayatinya sejak kecil, selalu membekas dalam pikiran dan pandangan-pandangannya.
Demikian pula pandangan-pandangan tokoh-tokoh yang menganut paham sosialisme. Mereka sedikit banyak dipengaruhi pandangan kebudayaan lama, entah Islam, Kejawen atau lainnya. Perjuangan melawan sesuatu kekuatan, sesuatu penindasan ataupun mempertahankan cita-cita, selalu dicoba mengidentifikasikannya pada bentuk-bentuk perjuangan dari kebudayaan yang lebih lama atau tua.
Unsur-unsur Islam misalnya dijadikan landasan perjuangan Haji Misbach. Beliau menerapkan cita-cita Marxisme ke dalam ayat-ayat Al-Qur"an sedemikian fasihnya, sehingga kita bertanya, apakah Marxisme yang menggunakan Islam sebagai alat perjuangan, ataukah perjuangan Islam yang menggunakan bahasa Marxisme"
Mas Marco pun mensejajarkan Islam dan Sosialisme.
Menurut Mas Marco, tujuan Islam adalah keselamatan dan ini pun menjadi tujuan Sosialisme. Di kalangan SI Semarang sendiri tidak ada lagi yang menggunakan Islam sebagai sumber moral yang ideal bagi cita-cita Sosialis, setidak-tidaknya yang tertulis.
Tetapi yang sangat jelas adalah pengaruh kebudayaan tradisional dalam perjuangan Sosialisme. Nama-nama samaran di dalam koran sosialis Sinar Hindia, biasanya menggunakan nama-nama wayang seperti Gatolotjo, menggunakan huruf (sic) dari tembang-tembang Jawa untuk penjelasan-penjelasan dalam artikel-artikel sosialistik. Cara
ini sering sekali dipergunakan Mas Marco, yang menganggap perjuangan sekarang (melawan kapitalisme) sebagai perang Bratayudha Joyobinangun untuk mempertahankan kemanusiaan dan kehidupan.
Dibawah Lentera Merah [habis] - Soe Hok Gie
By admin " Nov 4th, 2008 " Category: 6. Lain lain, SHG - Dibawah Lentera Merah **
Pengaruh alam tradisional Jawa memang sangat besar pada diri Marco. la sendiri adalah orang yang dididik dalam sekolah Jawa, bersih dari suasana Barat dan Islam. Bertapa merupakan salah satu caranya bila ia menghadapi persoalan sukar dan bila ia ingin mendapatkan ilham. Sikap ini mengingatkan kita pada sikap para resi di dalam alam tradisioanal Jawa. Marco, dilahirkan dan dibesarkan di Cepu, sebuah daerah minus di mana pengaruh abangan masih besar. Di daerah inilah pada tahun-tahun awal abad ke-20, timbul Gerakan Samin sebagai gerakan tani tradisional. Antara Gerakan Samin dan SI Semarang pun terdapat hubungan perasaan. Kaum SI Semarang melihat Gerakan Samin, sebagai gerakan Kaum Kromo seperti mereka juga. Hanya disayangkan oleh mereka bahwa Gerakan Samin itu gagal karena pemimpin-pemimpinnya tidak terpelajar dan tidak melawan secara aktif. Tetapi gerakan yang mulia ini akan lahir kembali dan Sarekat Islam akan merupakan
Saministische Partij. Menurut mereka, Gerakan Samin itu berbahaya bagi kapitalisme. Bagi saya, kurang jelas apakah pernyataan itu ditulis sejujurnya dan dari hati pengarang atau apakah bagi Mas Marco, kapitalisme itu identik dengan segala kepalsuan hidup. Di dalam rapat ]avaansche Cultuur Ontwikkeling, memuji-muji agama dan ajaran Budha. Puji-pujian yang dikeluarkan dengan setulus hati ini bukan hanya sekadar performa saja, sungguh merupakan keanehan untuk tokoh raksasa organisasi Islam.
Sikap tidak mendukung gerakan Islam juga diperlihatkan Sarekat Islam Semarang di dalam tahun 1918. Ketika ada seorang menghina Nabi Muhammad dan massa Islam bergerak mendirikan Tentara Nabi Muhammad, tetapi SI Semarang menolak untuk ikut serta dengan alasan kebebasan pers. Sikap tidak bergairah kepada Islam ini, mengingatkan kita pada sikap kaum priyayi dan abangan masyarakat tradisional. Dan SI Semarang bukan perkumpulan priyayi.
Jadi, apakah sikap demikian itu bukannya sikap "abangan way of life?" Benda menulis bahwa .. "The political signifi- cance of the abangan tradition as a likely recriting ground for anti Moslem, including Commnunist, parties can no longer be underrated". Geertz juga bicara tentang abangan flirtation with Marxism.19 Tetapi walau bagaimanapun, persoalan ini masih belum digarap semestinya. Dan menarik kesimpulan-kesimpulan yang berani adalah terlalu berbahaya. Jika kita membaca artikel-artikel tertentu di dalam Sinar Djawa/Sinar
Hindia, kadangkala kita akan bertanya. Apakah isi tulisan ini Marxisme dengan baju Jawa ataukah Jawa dengan baju Marxisme"
Ciri lain dari awal abad ke-20, adalah pendidikan yang dimulai orang Belanda. Dalam waktu singkat telah mulai keluar para lulusan sekolah-sekolah yang diselenggarakan Belanda itu untuk ditampung dalam masyarakat. Jika disekolah murid-murid Indonesia itu mendapatkan pendidikan kebudayaan dan sejarah Barat, maka dengan sendirinya ia mulai menyadarkan mereka tentang makna kebebasan, kemerdekaan dan hak asasi manusia. Sejarah perjuangan rakyat-rakyat Eropa melawan despotisme juga merangsang mereka melawan "despotisme" Belanda.20 Apa yang mereka pelajari tentang hak-hak pribadi manusia, ternyata berbeda sekali dengan kenyataan sehari-hari yang mereka lihat dan alami. Diskriminasi sosial yang sangat mencolok misalnya telah menyadarkan Mas Marco akan harga dirinya sebagai manusia. Perlakuan sewenang-wenang di stasiun kereta api dan penempelengan kuli-kuli telah merangsang Marco untuk bergerak. Pembacaannya tentang sejarah dunia, buku-buku Multatuli, Veth dan lain-lain telah ikut mempercepat kesadaran akan kebebasan Indonesia. Diskriminasi sosial juga merangsang Z. Mohamad, seorang tokoh ISDV dan SI Pekalongan yang pada suatu malam telah ditangkap karena naik sepeda tanpa lampu, didenda 50 sen. la menolak membayar dan karena itu ia dipenjarakan. Mungkin Mohamad merasa geram bagaimana polisi mencari-cari kesalahan kecil rakyat, sedangkan "tuan-tuan Belanda" setiap hari melanggar aturan, tidak diapa-apakan. Kejadian-kejadian itu tidak hanya terjadi pada kedua orang itu, pasti terjadi pada ribuan orang lainnya. Kebencian terhadap kelaliman itu kemudian memperoleh bentuk dan sistematikanya dalam pengenalan terhadap Marxisme.
Darsono, adalah orang yang setiap harinya melihat keadaan sosial yang buruk itu dan kemudian berontak terhadap lingkungan sosialnya. Semaoen adalah seorang buruh kereta api, lulusan HIS kemudian belajar sendiri berhasil memperoleh diploma A, yang disamakan dengan HBS.
Kenyataan-kenyataan yang menusuk hati dari kaum buruh kereta api dengan sendirinya menggugah hatinya sebagai manusia, yang akhirnya membawa Semaoen ke jalan Sosialisme. Keempat orang yang dikemukakan di atas bukanlah orang yang sangat miskin seperti para petani didesa-desa. Yang mendorong mereka ke arah Sosialisme adalah kebencian mereka terhadap diskriminasi sosial dan perlakuan sewenang-wenang Pemerintah terhadap rakyat kecil. Untuk sampai ke taraf itu, mereka sendiri telah mempunyai unsur- unsur pemikiran hasil pendidikan mereka. Tidak usah heran jika prosentasi, kaum sosial/komunis pada umumnya adalah mereka yang justru pernah mendapatkan pendidikan.
Di samping terdapat pula beberapa milyuner yang ikut bergabung pada Sarekat Islam Semarang, terus sampai ke PKI. Ke dalam golongan ini dapat kita masukkan Haji Busro dan Soemintro, Direktur Bank Tionghoa yang ikut menyumbang pemogokan-pemogokan dan lain-lain.
Walaupun SI Semarang antikapitalisme, mereka tetap setia pada gerakan ini. Motif apa yang menyebabkan mereka demikian, kurang jelas bagi saya.
Salah satu faktor lain yang mendorong orang berjuang di tengah-tengah barisan Sosialisme, adalah kemiskinan, akibat dari sistem social yang kemudian malah berjuang gigih sekali di dalam barisan kaum buruh.
Bergsma, walaupun bukan anggota Sarekat Islam Semarang adalah contoh tipikal dari kelompok ini. la seorang veteran Perang Aceh yang beristrikan seorang perempuan Indonesia. Anak-anaknya sangat banyak dan pensiunnya sangat kecil. la adalah satu-satunya Belanda yang konsekuen mengikuti gerakan Sosialisme/Komunisme sampai ia dibuang pada tahun 1923. Peristiwa-peristiwa yang dialami Najoan (kemiskinan dan pemecatan) juga telah membawanya ke jalan Sosialisme.
Tokoh-tokoh itu telah bertekad untuk memperjuangkan keadilan sama rata sama rasa, yang melalui usaha-usaha yang tidak terlalu sulit berhasil menghimpun massa rakyat. Di samping kondisi-kondisi objektif, seperti kemiskinan, usaha mereka itu dibantu pula oleh keadaan psikologis zamannya.
Orang-orang desa yang karena tekanan ekonomi pindah ke kota-kota, dengan sendirinya membawa serta watak dan cara-cara kehidupan pedesaan. Walaupun mereka tinggal di kota, tetapi sifatsifat gemainschaft pedesaan masih kita jumpai di dalam kampung- kampung perkotaan. Suasana gotong royong telah dilanjutkan di kota. Ikatan kerabatan untuk saling tolong- menolong dan berorganisasi disalurkan ke dalam partai dan serikat-serikat buruh.
Apa-apa yang mereka tinggalkan didesa, mereka bina kembali di kota. Keuntungan dari suasana ini dapat mengatasinya dengan cara seperti mereka menolong di desa-desa yang sedang ditimpa kemalangan dahulu.
Organisasi-organisasi waktu itu lebih merupakan tempat penyaluran ikatan solidaritas, yang ditinggalkan mereka didesa-desa. Sikap kepatuhan kepada pernimpin-pemimpin partai dan serikat-serikat buruh amat besar, karena mereka menganggap ketua suatu perkumpulan diangkat oleh pemerintah, seperti halnya Bupati yang dijunjung. Akibat buruknya ialah, jika pemimpin mereka menyeleweng, tidak ada kontrol dari bawah, sehingga kehidupan organisasi selalu tidak demokratis.
Betapa aneka ragamnya jalan yang ditempuh orang-orang itu sehingga mereka sampai ke jalan Sosialisme. Tanpa penguasaan teori-teori Marxis, mereka menggunakan metode-metodenya di Indonesia, karena didorong romantik dan idealisme yang berkobar-kobar. Apa yang mereka pahami sebagai Marxisme, sulit dipertanggungjawabkan sebagai Marxisme. Di dalam Sinar Djawa/Sinar Hindia, tulisan-tulisan teoretis hampir tak pernah kita jumpai. Dan kalau kita jumpai, agak aneh untuk mencernanya sebagai karangan Marxis.
Seorang sosialis bagi mereka adalah seorang yang berpandangan sama rata, yang setuju dengan membagi sama rata barang-barang dan hasil masyarakat. Komunisme adalah "hal menghapuskan barang-barang kepunyaan itu menjadi milik orang banyak, orang seisi negeri atau kerajaan dibagi sama rata, supaya jangan dikuasai seorang saja." Lalu Sosialisme ala Proudhoun disitirnya tanpa komentar. Jika seseorang telah mempelajari Sosialisme sekadarnya, bahwa
bagi Marx, Proudhoun itu adalah sosialis-borjuis.
Kekurangan teori-teori Marxisme ini juga menimbulkan adanya pikiran-pikiran berbahaya dalam konsepsi-konsepsi gerakan Sarekat Islam Semarang bila ditinjau secara Marxisme-Leninisme. Di dalam karangan-karangan mereka tendensi ke arah pemikiran-pemikiran nihilis terlihat dengan jelas. Onostrad (Darsono) menulis beberapa tulisan tentang
kaum nihilis Rusia dengan nada kagum. Heroisme ala Bakunin dari Sophia Borodina dan kawan-kawan yang dihukum mati Tsar, ditulis dengan berapi-api. Darsono memang sadar bahwa nihilis/anarkis tidak akan berhasil mencapai tujuan.35 Tetapi menulis tentang itu tanpa kritik, merupakan bahaya bagi kader-kader Marxis. Pelemparan-pelemparan bom ala Sophie Petrovsky di tahun 1920, rupanya akan digunakan beberapa tahun kemudian di Solo, yang mengakibatkan pembuangan Haji Misbach.
Kini kita sampai kepada akhir seluruh tulisan ini. Tokoh SI Semarang berasal dari kalangan yang berbeda-beda jalan kehidupannya, latar belakang sosialnya, pendidikannya, daerah dan akhirnya bersatu di dalam gerakan Marxisme. Mereka adalah para pemuda yang baru menginjak usia dua puluhan. Semaoen, Darsono, baru berumur 22 tahun. Partoatmojo 24 tahun pada tahun 1920. Tetapi mereka adalah orang-orang yang menentang struktur sosial zamannya yang penuh kemiskinan dan kebodohan. Dan mereka percaya bahwa di Hindia akan lahir juga suatu keselamatan yang sejati bagi segenap penduduknya.
Rangsangan sosialistik ini tidak hanya menarik mereka saja.
Ratusan pemuda lainnya, seperti Suwardi Suryaningrat yang waktu itu telah berumur 31 tahun juga tertarik. Pemuda inilah yang menterjemahkan lagi Internasionale ke dalam bahasa Melayu Indonesia (Melayu).
Bangoenlah bangsa jang tertindas. Bangoenlah kaoem jang lapar.
Kehendak jang moelia dalam doenia. Linjaplah adat fikiran toea. Hamba ra"jat sadar, sadar Doenia telah berganti roepa
Bafsoelah soedah tersebar" Tetapi di dalam perjuangan yang menarik ini ada pula suatu ciri yang menarik. Kebanyakan dari tokoh-tokoh sosialis Semarang itu meninggalkan Partai
Komunis, walaupun mereka tetap memihak "yang terhina dan yang lapar" sampai hari tuanya. Darsono dan Semaoen keluar dari PKI. Sneevliet, walaupun sampai detik terakhir
hidupnya di tonggak penembakan algojo Hitler, tetapi menjadi seorang pembela kaum yang tertindas secara konsekuen. Baars pun ingkar terhadap komunisme setelah ia melihat sendiri praktik-praktik Stalin. Lepas dari apa yang telah diperbuat mereka, perjuangan Sarekat Islam Semarang di bawah Semaoen, merupakan lembaran-lembaran yang paling indah dan agung dalam sejarah Indonesia, sejarah Asia dan Dunia.
R. Abdulgani sendiri memberikan contoh-contoh bahwa nyanyian-nyanyian Belanda memberikan rangsangan kuat kepada pelajar-pelajar Indonesia untuk merdeka. Sajak-sajak seperti Wilhesmus:
Den vaderland getrouwe tot de doen, dan "de tiranie verdreven die die mijn haart doorwont dan sajak-sajak Hoezee-hoezee; Hat is plicht dat ieder jongen voer de onaf hankelijkhied van zijn geliefde vederland zijn beste krachten wijn dan lain-lain.
Sajak-sajak yang merangsang ini dengan sendirinya merangsang putra-putri Indonesia di tahun-tahun belasan. Lihat Ruslan Abdulgani, Membina Mental Rakyat ke Arah Persatuan Bangsa (Penerbitan Khusus 279, Deppen, tanpa tahun).
Untuk menyambut 1 Mei 1920, Suwardi Suryaningrat menerjemahkan sajak "International" dan "March Socialist". Copyright dari lagu ini dipegang oleh Indonesiche Persbireu dan dalam kata pengantarnya dikatakan bahwa N.LP. pun berhaluan Sosialis. Lagu ini dimuat pada tanggal 5 Mei 1920 di Sinar Hindia.
Tamat Akhenaten Adventure 3 Animorphs - 40 Yang Lain The Other Dadu Setan 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama