Empat Serangkai - Gunung Rahasia The Secret Mountain Bagian 2
ada pula yang rasanya sangat aneh. Mafumu memakan semuanya itu tanpa ngeringeri. Sehabis makan, ia mengelus-elus perutnya yang buncit sambil menyengir.
Pada hari kedua, ketika anak-anak sedang mendaki lereng gunung, tiba-tiba Mafumu
melihat semak-semak di tempat yang tinggi - jauh di depan mereka. Semak-semak
itu digantungi buah berry biru ranum-ranum. Mafumu tahu buah itu segar dan manis
sekali rasanya. Mengambil jalan memintas, anak itu lari ke tempat semak-semak
tadi. Setelah memetik cukup banyak buah berry, Mafumu lari kembali ke rombongan.
Tetapi malang, kakinya terinjak batu kecil yang segera menggelinding turun dan
mengenai kaki pamannya. Dengan marah sekali pamannya menyergap Mafumu, lalu memeganginya. Mafumu dipukul
keras-keras dengan tombaknya. Anak itu menjerit kesakitan sambil meronta
melepaskan diri. "Hentikan, hentikan!" teriak Jack yang paling benci kalau ada orang menyakiti
orang lain. "Mafumu cuma mengambil buah berry buat kita. Hentikan, hentikan!"
Tetapi paman Mafumu tidak juga menghentikan pukulan-pukulannya.
Jack jadi tak sabar. Ia lari ke depan. Direbutnya tombak dari tangan paman
Mafumu, lalu tombak itu ia lemparkan ke tepi bukit dengan marah. Wajah Jack
merah padam oleh amarah. Tombak yang dilemparkan Jack bergemerin-cing jatuh ke tanah dan hilang. Paman
Mafumu membalikkan badan, menghadap pada Jack. Tetapi Ranni siap di samping
Jack. Lelaki tinggi kekar itu berbicara kepada paman Mafumu dengan tegas. Sambil
mendengarkan, mata lelaki itu kelihatan menyorot marah. Tanpa mengucapkan
sepatah kata pun ia lalu berbalik dan berjalan lagi mendaki lereng gunung.
"Kau bilang apa, Ranni?" tanya Mike. "Kukatakan kepadanya bahwa cermin yang
kujanjikan takkan kuberikan kepadanya kalau ia sampai sekali lagi memukul
orang," kata Ranni. "Barusan ia hendak memukul Jack. Jangan ikut campur lagi, Jack. Biarkan aku yang
menyelesaikan kalau ada masalah."
"Baiklah kalau begitu," sahut Jack yang darahnya masih mendidih.
Mafumu bangkit dari tanah. Wajah dan lengannya luka-luka. Di kulitnya yang hitam
pun luka memar akibat pukulan pamannya tadi terlihat jelas. Mafumu berlari ke
sisi Jack, lalu berlutut di dekat kakinya sambil menucapkan kata-kata yang tidak
dimengerti oleh Jack. "Berdirilah kau, Mafumu," perintah Jack, merasa tak enak. "Astaga, anak ini!
Lihatlah ia berjalan menyusulku di atas kedua lututnya! Mafumu, bangun!"
"Dia mengatakan mau jadi hambamu selama-lamanya," kata Ranni, nyengir. "Katanya,
dia akan meninggalkan pamannya dan mengabdi padamu seumur hidup. Dia
menganggapmu raja anak lelaki."
"Raja Jack, Raja anak lelaki!" teriak Mike sambil menepuk-nepuk bahu Jack.
"Diam!" bentak Jack.
"Diam, diam, diam!" Mafumu menirukan dengan riang gembira. Anak itu bangkit dari
lututnya, lalu berjalan sedekat mungkin dengan pahlawannya.
Sejak saat itu Mafumu mengagumi Jack melebihi sebelumnya. Lama-kelamaan Jack pun
merasa biasa melihat anak berkulit hitam itu tak pernah lepas dari sisinya seperti bayang-bayang. Jack tak pernah bisa lolos dari Mafumu. Tetapi, dalam
hati ia merasa bangga dipilih Mafumu di antara yang lain-lain.
Makin tinggi mereka mendaki, udaranya terasa makin sejuk. Tinggi benar
gunungnya. Rasanya tak sampai-sampai mereka ke puncak.
"Mana bisa kita sampai ke puncaknya," ujar Peggy. Kakinya mulai lecet.
"Kita takkan naik sampai ke puncak," ucap Mike. "Kita cuma naik sampai ke jalan
penghubung kedua gunung ini. Ranni bilang kita menyimpang ke timur di sana, di
dekat batu raksasa itu, lalu dari situ menuju ke tempat pertemuan gunung ini dan
gunung yang satunya lagi. Nah, di situ ada semacam jalan kecil. Dari situ kita
bisa melihat Gunung Rahasia!"
"Wah!" ucap Paul. "Sudah sedekat itukah?"
"Yah, tidak dekat sekali sih," sahut Mike. "Tapi, cepat atau lambat kita akan
sampai ke sana. He, Peggy - sudah kauolesi tumitmu dengan obat yang diberi Ranni
tadi?" "Sudah," sahut Peggy. "Bagian yang lecet sudah kututupi dengan kapas. Beres deh,
pokoknya." "Bagus," kata Mike. "Lecet semacam itu tak boleh mengganggu petualangan seperti
ini." Semua tertawa. Mereka semua mengenakan mantel sekarang. Masing-masing merasa
bersyukur bisa mengenakan mantel, sebab dinginnya udara di gunung bukan main.
Lebih-lebih jika awan datang bergulung-gulung menuruni lereng dan menjadikan
daerah itu berkabut. Paling enak, minum minuman panas pada saat seperti itu.
Mereka menjerang air pada api unggun kecil yang dibuat dari ranting-ranting
pohon. Mafumu tahu di mana bisa mengambil air. Dengan membawa panci yang diberikan
Ranni kepadanya, anak itu pergi mengambil air dan meletakkan panci yang sudah
berisi air ke atas api untuk dijerang. Nikmat benar rasanya coklat susu panas
manis pada saat seperti itu!
Malam itu mereka bermalam di sebuah gua. Mereka tidur beralaskan tikar. Karena
dingin sekali, Nora dan Peggy tidur berdekatan dan saling mendekap. Mafumu tidur
tanpa alas. Herannya, anak itu nampaknya sama sekali tak kedinginan. Benar-benar aneh anak
berkulit hitam itu. Seperti biasa, Ranni dan Pilescu berjaga bergiliran. Kali ini, mereka bukan
hanya waspada terhadap singa atau binatang buas lainnya, tetapi juga terhadap
penduduk Gunung Rahasia! Suku bangsa yang aneh begitu harus dicurigai, sebab apa
yang mungkin mereka lakukan belum diketahui!
Mafumu tidur di tanah, dekat kaki Jack. Jack menawari anak itu selimut, tetapi
Mafumu tak mau. Ia malah mencoba membetulkan letak selimut Jack. Melihat ini
anak-anak yang lain jadi geli.
"Wah, dia kepingin jadi perawatmu, rupanya," goda Mike.
"Sudahlah, jangan terus-terusan bercanda," gerutu Jack. "Ini kan bukan salahku.
Aku tak bisa melarang Mafumu. Meskipun dilarang, anak itu akan terus begini."
"Besok kita sudah bisa melihat Gunung Rahasia," kata Nora, mengantuk. "Sudah tak
sabar rasanya. Bentuknya bagaimana, ya?"
"Kira-kira, paman Mafumu bisa menunjukkan jalan masuk kedalamnya atau tidak,
ya?" Mike penasaran. "Rasanya tak ada gunanya kalau cuma bisa melihat gunung
yang mereka tuju tanpa bisa masuk ke bagian tengahnya!
"Menurutmu, bagaimana bagian dalamnya" Apakah kira-kira di situ terdapat ronggarongga dan banyak terowongannya?" tanya Peggy sambil bergerak lebih mendekati
Nora lagi supaya tubuhnya terasa lebih hangat.
Mafumu memegangi kedua kaki Jack supaya hangat. Tangan anak itu memang panas.
Kali ini Jack tak berusaha menyingkirkan tangan Mafumu. Jack sudah hampir
tertidur, ia berbaring dengan mata terpejam, merasakan kehangatan tangan Mafumu
pada kakinya yang dingin.
"Selamat tidur, Mafumu," ujar Jack mengantuk.
"Halo, selamat tidur," sahut Mafumu, merasa senang karena boleh berada sedekat
itu dengan pahlawan pujaannya.
"Besok kita bisa melihat Gunung Rahasia," gumam Jack, lalu tertidur.
Besok - ya, besok! 9. Gunung Rahasia Subuh keesokan harinya ternyata berkabut luar biasa. Awan putih tebal seakan
melapisi permukaan lereng gunung. Dalam keadaan kabut begitu, pemandangan ke
depan tak bisa kelihatan. Anak-anak kecewa sekali.
Tetapi, sementara mereka berjalan terus maju ke jalan penghubung antara kedua
gunung, matahari mulai bersinar terang menembus kabut. Lama-kelamaan kabut pun
menghilang. "Bukan main!" seru Mike, mengagumi pemandangan di sekelilingnya. Di bawah,
terlihat lereng gunung yang telah mereka daki. Di kejauhan, membentang bermilmil jauhnya, terlihat berbagai negeri Benua Afrika. Di atas, langit cerah nan
biru seolah menyelimuti gunung-gunung di bawahnya.
"Warna alam di sini lebih cerah," kata Peggy. Gadis itu memetik sekuntum bunga
liar berwarna oranye, lalu menyelipkan ke topinya. "Astaga, Mafumu!"
Mafumu langsung berlari memetik bunga sebanyak-banyaknya ketika melihat Peggy
memetik bunga tadi. Bunga yang banyak itu kini ia persembahkan kepada Peggy.
Peggy jadi kepingin tertawa. Diterimanya bunga pemberian Mafumu. Ia tak tahu
harus ia apakan bunga sebanyak itu. Akhirnya, ia dan Nora menyelipkan bunga
sebanyak-banyaknya di sekeliling topi mereka.
"Rasanya seperti sedang jalan-jalan di kebun," ujar Nora. "Mudah-mudahan saja
Mafumu tidak memberi kita bunga terus-terusan."
"Sebentar lagi kita sampai ke tempat di mana kita bisa melihat Gunung Rahasia,"
ucap Ranni. Pemberitahuan ini membuat semuanya berjalan dengan lebih bersemangat. Tiga jam
lamanya mereka mendaki, menuju pintasan batu yang mereka tuju. Paman Mafumu
berjalan di depan, mencari jalan yang bisa dilalui. Di tempat yang tak mungkin
dilalui pun, masih ia temukan celah yang bisa dilalui. Kadang-kadang mereka
harus mendaki tebing terjal.
Kalau sampai ke tempat yang begitu, Ranni dan Peliscu harus menarik dan
mendorong anak-anak untuk membantu mereka naik. Terkadang, mereka harus
melintasi daerah yang berpohon lebat tempat berbagai jenis burung berkicau
bersahut-sahutan. Suasana di negeri itu betul-betul lain daripada yang lain.
Akhirnya mereka sampai ke puncak pintasan. Dari situ, mereka bisa melihat sisi
lain deretan pegunungan di sekitar situ. Pemandangannya sungguh indah mempesona!
Dari pintasan itu, mereka bisa melihat sekaligus ke timur dan barat. Di bawah,
membentang dengan luasnya, terlihat dataran Afrika sampai ke batas cakrawala. Di
depan mereka, menjulang sederetan gunung tinggi lain.
Di antara deretan gunung-gunung di sebelah sana dan pegunungan tempat mereka
berdiri, terdapat semacam lembah sempit memanjang.
Semua berdiri diam. Juga paman Mafumu. Sungguh, pemandangan disitu indah
menawan. Itu pendapat anak-anak. Lalu, dengan bersemangat Paul berkata,
"Mana Gunung Rahasia" Yang mana" Cepat tunjukkan!"
Ranni bertanya kepada paman Mafumu. Lelaki pribumi itu menunjuk dengan
tombaknya. Sambil menunjuk, ia berbicara cepat kepada Ranni.
Ranni menoleh kepada anak-anak yang asyik mendengarkan.
"Kalian lihat gunung yang di sebelah sana itu" Yang sekarang ini dilingkari oleh
awan putih" Tunggu sampai awannya pergi. Akan terlihat nanti bahwa puncak gunung
itu tidak runcing, melainkan datar. Kalian akan melihat pula bahwa gunungnya
kelihatan kekuning-kuningan. Kata si pribumi, warna kuning itu disebabkan oleh
semacam rumpun tumbuhan aneh yang hanya tumbuh di gunung itu. Pada musim-musim
tertentu warna kuning itu berubah menjadi merah menyala."
Agak mengerikan kedengarannya. Anak-anak memandang jauh ke gunung di seberang,
yang sedang diliputi awan. Sementara mereka memperhatikan gunung itu, awan yang
meliputinya berangsur pergi. Makin lama makin tipis yang tertinggal, hingga
akhirnya sama sekali lenyap. Kini semua bisa menyaksikan bentuk aneh Gunung
Rahasia! Warnanya yang kekuningan menyebabkan gunung itu menyolok dibandingkan dengan
gunung-gunung di sekitarnya. Selain itu, bentuk puncaknya yang datar membuat
daya tariknya lebih besar. Puncak Gunung Rahasia benar-benar datar. Tak ubahnya
dengan permukaan meja. Sambil menunjuk dengan tombak sekali lagi, paman Mafumu
mengatakan sesuatu kepada Ranni.
"Katanya, menurut desas-desus suku yang tinggal di gunung itu sering terlihat di
puncak sana. Di tempat itu mereka memuja dewa matahari," Ranni menceritakan
kembali yang dikatakan paman Mafumu. "Heran. Mana bisa melihat orang dari jarak
sekian jauh" Yang jelas, pasti ada jalan menuju ke puncaknya dari dalam gunung
itu." "Aku tak habis pikir - mengapa suku aneh itu memilih tinggal di tempat seperti
itu dan hidup menyendiri, tak mau bercampur dengan orang-orang lainnya," ucap
Jack. "Oh, banyak kelompok orang yang begitu," sahut Pilescu. "Kadangkala ada suku
yang memisahkan diri dan hidup di tengah hutan belantara, atau kadang-kadang
juga di sebuah pulau yang terpencil atau di tengah gurun. Tapi, belum pernah aku
mendengar ada yang tinggal di gunung seperti suku itu."
"Rupanya sesekali mereka keluar dari gunung untuk berburu," komentar Mike.
"Itulah sebabnya penduduk pribumi di sekitar sini tahu bahwa di Gunung Rahasia
hidup suku aneh itu. Anehnya, mereka berkulit putih kekuningan - bukan hitam
atau coklat seperti orang Afrika lainnya."
"Memang aneh," tambah Ranni. "Aku sendiri tak habis pikir. Nah - Gunung Rahasia
yang kita cari sudah berada di sana. Dia takkan bisa jalan mendekati kita. Jadi,
sebaiknya kita yang segera ke sana. Bagaimana kalau kita teruskan perjalanan
kita, Pilescu?" Paman Mafumu berkata-kata dengan cepat, sambil memberi isyarat dengan wajah dan
tangannya. "Dia tak berani berjalan lebih dekat ke gunung itu," kata Ranni. "Dia tanya apakah perlu dia ikut ke situ" Dia bilang, dia sama sekali tak tahu jalan masuk
ke gunung itu." "Buktinya dia sudah bisa menunjukkan jalan sampai kemari," kata Pilescu tegas.
"Kurasa, dia mungkin tahu jalan masuknya sesampainya kita di gunung itu!
Pokoknya, kalau dia tak mau ikut, cermin itu tak jadi kuberikan."
"Mana cerminnya?" tanya Nora. "Tidak kita bawa, kan?"
"Tentu saja tidak," Ranni menjawab sambil tertawa.
"Jadi, cermin itu kausimpan kembali di dalam kabin pesawat?" tanya Jack. "Kan
pesawatnya kita kunci?"
"Tidak. Cerminnya sudah kubungkus rapi dan kusembunyikan di bawah rantingranting pohon kate dekat kolam tempat kita cuci piring," sahut Ranni. "Si
pribumi akan kuberi tahu tempatnya kalau tugasnya sudah selesai. Sebelum
tugasnya selesai aku tak akan memberi tahu."
"Cerdik benar kau," kata Peggy.
Ranni berpaling kepada paman Mafumu, lalu mengatakan sesuatu kepadanya. Lelaki
itu menggeleng-gelengkan kepala. Ranni cuma mengangkat bahu, lalu menyuruh
rombongan meneruskan perjalanan.
Mereka berjalan lewat jalan berbatu, meninggalkan Mafumu dan pamannya di
belakang. Tetapi, belum jauh mereka berjalan, terdengar teriakan paman Mafumu. Ketika
mereka berpaling ke belakang, tampak paman Mafumu berlari-lari mengejar mereka.
Mafumu ikut lari di belakangnya. Wajahnya berseri-seri berhiaskan senyum lebar.
Paman Mafumu memohon-mohon pada Ranni. Tetapi Ranni menggeleng. Anak-anak bisa
menebak apa yang mereka perbincangkan. Pasti paman Mafumu minta Ranni memberikan
cermin yang dijanjikan, dan Ranni bersikeras tak mau memberikannya. Akhirnya si
pribumi mau ikut dengan mereka. Ranni berjanji hendak memberi tahu di mana
tempat cermin itu disimpannya setelah mereka sampai ke Gunung Rahasia.
Untunglah paman Mafumu ikut lagi. Jalan menuju Gunung Rahasia ternyata tak
gampang dicari. Iring-iringan itu berjalan melalui jalan yang tersembunyi hingga
kalau ada yang mengawasi dari Gunung Rahasia mereka tak kelihatan.
Ranni dan Pilescu sama sekali tak menduga bahwa ada jalan tersembunyi menuju ke
gunung itu. Seandainya tidak ditunjukkan jalannya oleh paman Mafumu, mungkin
jalan yang mereka tempuh adalah menyeberangi lembah yang ditumbuhi oleh berbagai
semak liar yang begitu rapat hingga tak mungkin ditembus.
Paman Mafumu mengajak mereka melewati sebuah sungai sempit. Sungai itu besarnya
tak melebihi sebuah parit. Airnya mengalir deras ke arah gunung yang mereka
tuju. Bagian atas sungai itu dinaungi oleh dahan dan ranting pepohonan yang
rimbun hingga menyerupai semacam terowongan hijau. Gemericik airnya terdengar
segar menyejukkan. "Astaga! Sungai!" teriak Jack berdebar-debar melihat sungai yang dinaungi oleh
terowongan hijau yang terbentuk dari tumbuhan rimbun. Suasana di situ gelap,
tentunya. "Bagaimana caranya kita lewat" Dangkalkah airnya" Kalau dangkal, kita bisa jalan
di air." "Di beberapa tempat memang airnya dangkal," kata Pilescu. "Tapi, jangan cobacoba jalan lewat sungai itu. "He, sedang apa Mafumu dan pamannya - wah, rupanya
sedang bikin rakit kasar-kasaran buat kita!"
"Asyik!" seru Paul sambil lari mendekati kedua orang berkulit hitam yang sedang
bekerja itu. Mafumu sedang sibuk mengangkati semacam gabus berwarna keunguan dan memberikan
kepada pamannya. Ia mengambil benda itu dari sebidang tanah yang berpaya-paya.
Baunya sangat tidak enak.
"Itu gabus, ya?" tanya Paul.
"Bukan. Kelihatannya sih seperti sejenis jamur raksasa," sahut Pilescu.
"Lihatlah! Pamannya sibuk mengikat jamur-jamur itu dengan tambang!"
Dalam waktu kurang lebih dua jam, siaplah empat buah rakit kecil yang terbuat
dari bahan seperti gabus yang baunya luar biasa itu. Bentuknya ganjil, begitu
Empat Serangkai - Gunung Rahasia The Secret Mountain di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pula baunya. Tetapi rakit-rakit itu bisa mengapung dan terayun-ayun di arus sungai seperti
itik sedang berenang. Anak-anak senang melihatnya. Asyik juga naik rakit dan
terapung-apung di sungai yang dinaungi terowongan hidup berwarna hijau-menuju
Gunung Rahasia! "Paman Mafumu bilang, suku mereka selalu menggunakan rakit semacam ini untuk
mencapai lembah dengan cepat - menghindari penduduk Gunung Rahasia," kata Ranni.
"Sungai ini mengalir sampai ke kaki Gunung Rahasia. Di sana, alirannya bergabung
dengan sebuah sungai. Sungai yang itu mengalir ke lembah berikutnya, lembah
tempat berburu yang paling disukai oleh suku Mafumu. Rakit semacam ini tak tahan
lama, katanya. Cuma tahan untuk dinaiki sampai ke lembah sebelah sana. Kalau
lebih lama lagi dipakai, sudah tidak aman karena bahan pembuatnya mulai hancur
berangsur-angsur." Pilescu dan Paul menaiki satu rakit. Walaupun diguncang keras oleh arus sungai
yang deras, tak sekali pun rakit itu tenggelam ke dalam air. Karena dinaiki dua
orang, hampir tak ada ruang gerak untuk penumpangnya. Paul dan Pilescu berpegang
kuat-kuat pada tambang pengikatnya sementara rakit mereka melaju mengikuti
aliran sungai seperti gabus terapung.
Rakit berikutnya dinaiki Ranni dan Nora, disusul oleh Peggy dan Mike. Paling
belakang adalah rakit yang ditumpangi Jack, paman Mafumu, dan Mafumu sendiri!
Mafumu sama sekali tak mau berpisah dengan Jack.
Perjalanan itu terasa ganjil dan sedikit menakutkan. Dahan dan ranting pepohonan
di kiri-kanan sungai bertemu di bagian atasnya. Daun-daunnya begitu rimbun
hingga tak sedikit pun sinar matahari dari luar masuk ke situ. Akibatnya suasana
sepanjang perjalanan diliputi warna hijau suram.
"Wajahmu jadi hijau!" teriak Peggy kepada Mike ketika mereka berangkat bersama
memasuki terowongan aneh yang melingkupi sungai.
"Mukamu juga," sahut Mike. "Wah, semua jadi hijau! Rasanya seperti di dalam air
saja! Mungkin karena kita tidak melihat cahaya sama sekali. Yang terlihat cuma
kehijauan pohon di kiri-kanan dan atas kita serta pantulannya di air sungai."
Aliran sungai terasa makin deras ketika menuruni lembah. Anehnya, mereka sama
sekali tak menjumpai tempat yang tidak ditumbuhi pohon di sepanjang sungai
hingga terowongan di atas mereka tak sekali pun berlubang. Rakit bikinan Mafumu
dan pamannya benar-benar hebat. Hanya saja, ketika mereka hampir sampai terasa
mulai ada bagian yang hancur.
Mula-mula bagian tepinya. Lama-kelamaan, beberapa bagian terlepas dari tambang
pengikatnya. "Wah! Tak lama lagi habis rakit ini. Di mana kita bisa mendarat?" tanya Ranni.
Paman Mafumu menjawab sambil berteriak.
"Hore! Untung saja! Rupanya kita sudah dekat dengan tempat yang kita tuju, Anakanak!" seru Ranni gembira. Rakit-rakit yang terapung itu berputar-putar sambil meluncur maju. Benar-benar
aneh! Tetapi anak-anak sangat terkesan. Mereka sedih melihat rakit-rakit itu mulai
hancur. Makin lama masing-masing rakit itu makin kecil!
Mendadak sungai yang mereka lalui mengalir ke semacam kolam besar yang tenang
airnya. Di ujung lain kolam itu, sungainya mengalir lagi ke luar. Ketika mendengar paman
Mafumu berteriak, anak-anak langsung tahu bahwa perjalanan air yang aneh itu
telah berakhir. Kolam besar berair tenang itu ternyata merupakan tempat pemberhentiannya. Kalau
mereka terus mengikuti aliran sungai, mereka akan mengelilingi kaki gunung dan
sampai ke lembah berikutnya.
Rakit Pilescu berputar-putar di kolam. Pilescu meraih ranting-ranting tumbuhan
di tepi kolam hingga rakitnya tertarik ke tepi, dan ia serta Paul bisa mendarat
ke tempat yang ditumbuhi semak-semak lebat. Rakit yang lain mengikuti. Hampir
saja rakit Mike dan Peggy terbawa arus terus. Ketika masuk ke kolam, rakit
mereka melaju persis di tengah-tengah. Untunglah Mike dan Peggy berhasil
membelokkan rakit itu. "Seandainya aku tak cepat-cepat melompat dari rakit itu," ujar Ranni. "Bisa-bisa
rakitku habis tenggelam." Beban tubuh Ranni yang berat memang mengakibatkan
rakitnya lebih cepat hancur dibanding dengan yang lain. Semua melompat dari
rakit mereka ke pinggir kolam. Mereka terpaksa berdiri di atas akar-akar
tumbuhan karena tanah di situ sama sekali tak kelihatan oleh rimbunnya pepohonan
dan semak-semak. "Yah, kita sudah sampai," kata Pilescu. "Di mana gunungnya" Sekarang ini kita
sudah berada di kakinya, kan?"
Dengan wajah ketakutan, paman Mafumu menunjukkan jalan melewati semak-semak yang
lebat. Dengan susah payah ia membukakan jalan. Akhirnya, sampailah mereka pada sebatang
pohon tinggi. Paman Mafumu memanjat pohon itu sambil memberi isyarat supaya yang
lain mengikuti dia. Ranni memanjat, diikuti yang lain. Mereka semua sudah tak sabar ingin melihat
sesuatu yang hendak ditunjukkan kepada mereka oleh paman Mafumu. Sementara
mereka memanjat dengan berpegang pada akar-akar yang bergelantungan, monyetmonyet ribut menyingkir. Paman Mafumu terus naik sampai mendekati puncak pohon. Pohon itu menjulang
tinggi di antara semak-semak dan pepohonan di sekitarnya. Dari situ, terlihat
dekat sekali oleh mereka, Gunung Rahasia!
10. Kejutan Gunung Rahasia menjulang tinggi dengan terjalnya. Permukaannya ditumbuhi oleh
semak-semak aneh berwarna kekuningan yang menyebabkan gunung itu terlihat kuning
dari kejauhan. Semak-semak itu berdaun kuning. Bunganya putih kecil-kecil banyak
sekali. Di sana-sini terlihat kupu-kupu dan serangga lain berkejaran.
Melebihi keadaan alam di sekitarnya, gunung itu sendirilah yang membuat anakanak sangat terpukau. Terjal sekali - hingga nampaknya takkan bisa didaki.
Gunung itu menjulang tinggi menyentuh langit tepat di hadapan mereka. Jaraknya
dekat sekali. Nora ngeri melihat besarnya gunung itu.
Paman Mafumu gemetar badannya. Sambil memandang gunung itu, ia menggumamkan
kata-kata yang aneh kedengarannya. Jelas sekali si pribumi itu ketakutan
setengah mati. Kalau tidak gara-gara kepingin punya cermin ajaib yang dijanjikan
kepadanya, ia takkan mau ke tempat itu. Paman Mafumu meluncur turun dari pohon,
ia lalu berbicara cepat kepada Ranni.
Ranni memberi tahu orang itu tempat cerminnya disembunyikan. Si Kulit Hitam
mengangguk-angguk sambil nyengir memperlihatkan sederet gigi berwarna putih, ia
berteriak memanggil Mafumu. Tak lama kemudian keduanya sudah menghilang di balik
semak-semak. "He, Mafumu - pamit dulu!" teriak Jack. Agak sedih juga hatinya melihat anak
periang itu pergi meninggalkan mereka. Tetapi, pamannya mencengkeram sebelah
telinga Mafumu dan menghelanya pergi. Mafumu tak bisa berbuat apa-apa lagi.
"Mestinya, paling tidak ia mesti berpamitan," kata Peggy. "Aku senang anak itu.
Asyik kalau dia bisa ikut kita."
"Apakah paman Mafumu memberikan gambaran bagaimana caranya masuk ke gunung itu?"
tanya Mike pada Ranni. Ranni menggeleng.
"Dia cuma mengatakan kita harus menembus batu," ujar Ranni. "Kurasa paman Mafumu
tak tahu persis keadaan gunung ini. ia cuma meneruskan cerita yang pernah ia
dengar." "Menembus batu!" seru Jack. "Kayak cerita Ali Baba saja! Kalian ingat kan dalam cerita itu kawanan perampoknya tinggal di sebuah gua yang terdapat di
dalam bukit. Ketika salah seorang pimpinan mereka berkata "Buka pintu!", sebuah batu
menggelincir ke samping, lalu mereka semua masuk!"
Pilescu dan Ranni belum pernah mendengar cerita Ali Baba. Karena itu mereka
mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Yah, mungkin saja jalan masuknya tertutup, batu yang bisa digeser," kata Ranni.
"Tapi, astaga! Mana mungkin kita mengelilingi gunung sebesar itu mencari batu
yang bisa digeser!" Seandainya ketemu pun, kurasa kita takkan tahu bagaimana
cara menggesernya!" Mereka semua duduk di kaki pohon, makan. Semuanya merasa lapar dan lelah. Di
lembah udaranya panas, meskipun banyak pohon. Kicau burung, celoteh monyet, dan
dengung serangga terus kedengaran di situ. Sementara itu matahari sudah condong
ke barat. Pilescu memutuskan mereka berkemah di tempat itu juga. ia mendongakkan kepala,
melihat cabang-cabang pohon raksasa tempat mereka berteduh. Kelihatannya, kalau
mereka membentangkan tikar pada sebuah dahannya yang besar, itu bisa dijadikan
tempat tidur yang aman. "Aku ngeri kalau anak-anak tidur di bawah malam ini," katanya kepada Ranni.
"Sebaiknya kita tidak menyalakan api untuk mengusir binatang buas. Kalau kita
menyalakan api, bisa-bisa penduduk Gunung Rahasia tahu lalu kita disergap.
Bagaimana menurutmu, Ranni bisakah pohon itu ditiduri mereka?"
Ranni melihat ke atas. "Kurasa bisa," sahutnya. "Tapi, bagaimana kalau mereka terjatuh waktu tidur?"
"Itu sih bisa dihindari," kata Pilescu. "Kita ikat saja mereka dengan akar-akar
gantung yang banyak terdapat di situ."
Ranni dan Pilescu bercakap-cakap dalam bahasa Baronia. Hanya Paul yang mengerti
apa yang sedang mereka perbincangkan, ia mendengarkan dengan senang.
"Kita tidur di pohon nanti malam!" katanya kepada teman-temannya. Mereka semua
kaget. "Kita tak boleh menyalakan api!"
"Wah, Asyik benar! Tak kuduga selama seminggu ini begitu banyak pengalaman yang
bisa kita peroleh!" seru Mike.
Hari masih terang benderang. Tetapi, Pilescu sudah menyuruh anak-anak naik ke
pohon. Di bagian tengah, batang pohon itu bercabang. Cabangnya membentang
panjang, membentuk semacam dataran berpermukaan kasar. Bagian-bagian berlubang
di antara dahan-dahannya diisi Pilescu dengan sumpalan akar gantung, ranting,
dan daun-daun raksasa yang diambil dari pohon lain. Lalu Ranni membentangkan
separuh tikar yang mereka bawa. Anak-anak disuruh duduk di situ.
Dengan segera mereka pun membaringkan diri. Semua berdebar senang membayangkan
malam nanti mereka akan tidur di situ. Beberapa ekor monyet dari pohon sebelah
ribut berceloteh melihat anak-anak berbaring. Monyet-monyet itu sudah lama
memperhatikan kesibukan orang-orang di pohon satunya.
"Monyet itu mengira kalian saudara jauhnya yang datang dari negeri seberang,"
goda Pilescu dengan senyum lebar. "Tak salah dugaan mereka. Nah, sekarang
berbaring tenang-tenang ya! Kuselimuti kalian dengan sisa tikar yang ada.
Sesudah itu kalian akan kuikat supaya tidak jatuh."
"Masa panas-panas begini mau diselimuti, Pilescu?" protes Paul sembil
menyibakkan selimutnya. "Besok pagi, kalian akan kaku kedinginan kalau tidak," kata Pilescu. "Baiklah,
buka dulu separuh selimutnya. Kalau hari mulai dingin nanti, kalian bisa
menariknya ke atas."
Pilescu dan Ranni bekerja keras mengikat anak-anak di dahan pohon. Sekarang
mereka aman! Kedua lelaki itu meluncur turun ke kaki pohon. Monyet-monyet menyingkir kaget.
Sementara itu, dengan agak mengantuk anak-anak mengobrol. Peggy menahankan diri
untuk tetap membuka mata. ia kepingin menikmati pengalaman aneh tidur di pohon
semalaman. Tetapi matanya sudah berat. Walaupun ia berusaha memusatkan perhatiannya pada
bunyi kodok dan burung-burung, sebentar saja ia sudah terlelap seperti yang
lain. Sebagaimana biasa, Ranni dan Pilescu bergilir berjaga. Keduanya duduk di kaki
pohon. Yang seorang melihat ke arah yang satu, yang lain melihat ke arah yang satu
lagi. Ranni yang mendapat giliran pertama. Baru kemudian Pilescu.
Pilescu membuka mata lebar-lebar, ia duduk sambil memegangi senjata. Telinganya
terbuka lebar, siap mendengar bunyi di sekitarnya yang mungkin ditimbulkan oleh
musuh. Terdengar olehnya bunyi kodok dan burung-burung. Di kejauhan terdengar pula
derap kaki gajah, aum singa, dan desir angin.
Mendekati subuh, ia mendengar sesuatu yang bukan suara burung atau binatang
lain. Ada yang merayap di antara semak-semak - pelan dan sangat berhati-hati.
Pilescu jadi tegang. Disiapkannya senjata. Mungkinkah yang datang itu orang dari
Gunung Rahasia" Suara itu terdengar makin dekat. Pilescu meraih Ranni lalu mengguncangkan tubuh
temannya itu pelan-pelan. Ranni langsung terbangun.
"Ada bunyi aneh di sana," bisik Pilescu. "Yang kulihat cuma bayangan bergerak.
Mungkinkah suku aneh Gunung Rahasia mengirimkan orang untuk memeriksa?"
Ranni memicingkan mata, memperhatikan semak-semak yang ditunjukkan Pilescu.
Benar. Ia pun melihat ada bayangan bergerak-gerak di situ.
"Biar aku menyelinap ke belakangnya," ujar Ranni. "Apa pun itu, akan kupukul
dari belakang. Dari sini aku bisa ke sana tanpa ketahuan."
Dengan lincahnya Ranni merayap ke balik semak-semak terdekat. Dari situ ia
merayap ke semak-semak lainnya, menunggu bayangan tadi lewat.
Disergapnya bayang-bayang itu ketika sudah dekat. Mendadak yang disergap memekik
keras, mengatakan, "Yakka, longa, yakka, longa!"
Ranni membopong dan membawa hasil tangkapannya kepada Pilescu. Keduanya kenal
sekali siapa dia, lalu berseru,
"Mafumu!" Benar. Itu tadi Mafumu. Malang benar anak itu. Dengan kesakitan ia merayap
menembus semak belukar - mencari teman-temannya yang ia tinggalkan sehari
sebelumnya. "Mafumu! Ada apa?" tanya Ranni.
Mafumu lalu bercerita. "Aku berjalan pulang dengan Paman, ia jahat. Katanya aku akan dilemparkan ke
buaya di sungai. Jadi aku melarikan diri, kembali ke Raja Jack. Terinjak olehku
sebuah duri raksasa. Kakiku sakit sekali hingga tak bisa berjalan. Akhirnya, aku
bisa menyambung perjalanan dengan merayap."
Betapa malangnya si Mafumu. Kakinya sakit dan kecapekan. Air mata meleleh dari
matanya. Waktu fajar menyingsing, Ranni menggendong anak itu sementara Pilescu dengan
hati-hati menarik duri dari kakinya. Setelah durinya berhasil dikeluarkan,
Pilescu membersihkan lukanya lalu membalutnya dengan kain kasa. Diberinya Mafumu
sebutir tablet. Anak itu disuruh meminum obat itu lalu tidur.
Walaupun enak tiduran di tangan Ranni, Mafumu tidak mau lama-lama di situ. ia
kepingin cepat-cepat menemui Raja Jack.
Segera ia memanjat pohon. Dalam sekejap anak itu sudah meringkuk di samping
Jack. Tidur Jack nyenyak sekali. Walau Mafumu hampir menindihnya, sedikit pun
tidurnya tak terusik. "Ada gunanya Mafumu bergabung dengan kita," ujar Pilescu kepada Ranni. "Setidaktidaknya, ia mengerti bahasa suku bangsa di sekitar sini dan tahu tempat
mengambil air atau buah-buahan. Dia bisa kita jadikan penunjuk jalan."
Pagi harinya, terdengar pekik gembira anak-anak ketika mereka bangun dan melihat
Mafumu ada di sana! "Mafumu!" "He, bagaimana kau bisa sampai kemari, Mafumu?"
"Mafumu, minggir! Aku tak bisa bergerak!"
"Mafumu, kenapa kakimu?"
Mafumu duduk di atas kaki Jack sambil tersenyum kepada anak-anak di
sekelilingnya dengan wajah gembira.
"Aku balik," ujarnya, bangga bisa mengucapkan beberapa kata yang artinya benar.
"Aku balik," ulangnya. Tapi cuma dua patah kata itu yang bisa didengar anakanak. Seterusnya, Mafumu berbicara kacau-balau seperti biasanya.
"Halo, selamat tidur, diam, ada apa!"
Anak-anak tertawa. Jack menepuk punggung Mafumu - gemas.
"Dasar konyol!" katanya. "Konyol-konyol, kau anak baik. Kami senang kau kembali.
Aku yakin kau akan banyak menolong kami!"
Jack benar. Kita lihat saja nanti!
11. Air Terjun Sambil duduk menikmati sarapan, mereka semua ribut memperbincangkan apa yang
sebaiknya dilakukan. Bagaimana caranya mencari jalan masuk ke Gunung Rahasia"
"Kurasa, paman Mafumu tahu," kata Ranni. "Mungkin ada semacam jalan rahasia.
Tapi, bagaimana caranya mencari jalan itu?"
"Ranni! Aku tahu caranya!" seru Mike bersemangat. "Bagaimana kalau kita sembunyi
- menunggu ada orang keluar. Kita ikuti orang itu sampai kita tahu dari mana dia
Empat Serangkai - Gunung Rahasia The Secret Mountain di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
masuk." "Ya - tapi, itu kalau kita bisa melihat mereka tanpa mereka melihat kita!" sahut
Ranni. "Kurasa, perlu juga kita memeriksa ke sana-sini sedikit. Yang jelas, dari
sebelah sini tak mungkin orang bisa masuk. Sisinya yang sebelah sini terlalu
terjal. Mungkin, kambing pun takkan bisa mendaki lerengnya yang sebelah sini!"
"Kalau begitu, kita selidiki saja sisinya yang lain," kata Mike. "Cepat habiskan
makan kalian, Nora, Peggy. Aku sudah tak sabar!"
"Tapi ingat! Kita harus hati-hati sekali," Pilescu mengingatkan. "Bukan mustahil
orang-orang di Gunung Rahasia tahu bahwa kita ada di sini. Bisa saja mereka
bikin rencana untuk menangkap kita."
"Oooh," keluh Nora, merasa tak enak mendengarnya. "Pokoknya aku akan selalu
jalan dekat-dekat dengan kau dan Ranni!"
"Bagus," ujar Pilescu sambil meraih tangan Nora dan menggenggamnya. "Kalau tahu
bakal begini, aku takkan mau membawa kalian kemari. Tapi, sekarang sudah
terlambat." "Kenapa begitu?" seru Mike jengkel. "Apa salahnya sih, Pilescu" Menurutku
segalanya berjalan lancar sekali. Kita sudah tahu di mana orang tua kami berada,
dan siapa tahu sebentar lagi kita sudah bisa menyelamatkan beliau" Lagi pula,
kita kan punya senjata!"
"Ya - tapi pertama-tama kita harus cari dulu kepastian di mana orang tua kalian
sebenarnya berada!" kata Pilescu. "Dan harus cari jalan bagaimana bisa melarikan
mereka." "Karena itu kita segera mulai saja," tambah Mike. "Ayo! Cepat! Sebentar lagi
udara akan terlalu panas! Sekarang saja pakaianku sudah lengket oleh keringat."
Mereka membereskan barang-barang bawaan. Sebagian besar lalu diangkat oleh Ranni
dan Pilescu. Anak-anak membantu membawa yang ringan-ringan. Dibanding dengan
anak-anak lainnya, seperti biasa Mafumu membawa paling banyak. Mereka mulai
menjelajah, berusaha berjalan sedekat mungkin dengan kaki gunung yang aneh, tapi
memilih tempat yang terlindung hingga tak kelihatan dari tempat lain.
Perjalanannya terbukti tidak gampang. Mafumu sangat berjasa. Ia tahu jalan yang
paling mudah dilalui, dan berjalan paling depan. Ranni dan Jack menyusul di
belakangnya. Pilescu berjalan paling belakang, siap dengan senjata di tangannya. Ia tak mau
ambil risiko! Ketika mereka sedang berjalan mengitari kaki gunung, mendadak terdengar bunyi
aneh. "Bunyi apa itu?" tanya Nora, kaget.
Semuanya berhenti, memasang telinga. Mafumu heran melihat semuanya berhenti, ia
tak tahu apa sebabnya. "Bunyi apa, Mafumu" Bunyi apa" Jack memberi isyarat kepada Mafumu agar memasang
telinga. Anak berkulit hitam itu tertawa. "Air besar," katanya. "Air besar."
Bangga benar ia bisa menjawab pertanyaan Jack dengan bahasa Inggris. Mafumu
memang cerdas sekali. Dalam waktu setengah jam ia bisa mengingat lebih dari dua
puluh patah kata baru. "Air besar?" tanya Jack keheranan. "Maksudmu - laut?"
"Bukan! Aku tahu apa maksudnya," ujar Mike. "Air terjun! Wah, suaranya seperti
guruh. Padahal itu bunyi air terjun yang letaknya tak jauh dari sini. Coba kita lihat!
Siapa tahu dugaanku benar."
Mereka meneruskan perjalanan. Mafumu memimpin di depan. Makin lama suaranya
makin keras terdengar. Memang bunyinya seperti guruh, tapi lebih berirama.
Gemanya terdengar berulang-ulang di lembah, dan sesekali bunyinya terdengar aneh
sekali di telinga anak-anak. Pada saat begitu, mereka menggoyang-goyangkan
kepala seakan menghilangkan bunyi aneh yang tiba-tiba masuk ke telinga mereka!
Aneh! Mendadak air terjunnya kelihatan! Luar biasa! Airnya terjun di sisi gunung
terjal - suaranya gemuruh. Cipratannya banyak hingga membentuk semacam kabut di sekitar
situ. Dari tempat mereka berdiri, anak-anak sesekali merasakan percikan air terlontar
jauh hingga mengenai wajah mereka. Semuanya berdiri diam mengagumi air terjun
raksasa yang memukau itu.
"Astaga!" ucap Peggy terkesima. "Pantas bunyinya begitu bergemuruh! Besarnya
seperti itu sih. Asalnya dari dalam perut gunung!"
"Wah, benar!" sahut Mike, menaruh tangan di atas mata untuk menahan silau.
"Kurasa di dalam gunung itu ada sungai bawah tanah. Wah, wah, wah - bagaimana
caranya lewat nih?" Sulit sekali. Mereka terpaksa harus memutar jauh sekali. Air terjun raksasa itu
membentuk sungai ganas menggelora di kaki gunung. Sungai itu mengalir deras
menuruni sisi lembah dan bergabung dengan sungai tersembunyi yang pernah mereka
lewati. Mafumu tak mau dikalahkan oleh air terjun! Ia berjalan menyusur tepi sungai
menggelora sampai ke tempat yang dangkal. Di situ batu-batu besar berserakan dan
bisa dijadikan batu loncatan.
"Cepat, cepat," ujar anak itu sambil menunjuk pada batu-batu besar yang terserak
di sungai. "Kita ke sana, cepat!"
"Wah, di situ kita bisa menyeberang," ucap Ranni. "Kelihatannya batunya kuat
diinjak. Akan kugendong Nora, lalu Peggy. Kau bawa si Paul, Pilescu. Yang lain kurasa
bisa menyeberang sendiri."
"Aku bisa menyeberang sendiri," kata Pangeran Paul meremehkan. "Aku juga anak
laki-laki, kan?" "Tapi kau belum sebesar yang lain," Pilescu berkata sambil tersenyum. Diraihnya
si pangeran yang sedang marah, lalu diangkat dan digendongnya. Paul marah
sekali. Wajahnya merah padam. Tetapi ia tak berani meronta karena takut Pilescu
terpeleset. Sekali Pilescu tergelincir. Hampir kecebur sungai. Untung ia segera
menguasai kembali keseimbangannya. Pilescu terduduk di sebuah batu besar. Paul
yang berada di bahunya hampir terjatuh.
Nora dan Peggy selamat sampai di seberang. Batu-batu di sungai itu memang
seperti sengaja diatur untuk menyeberang walaupun ada beberapa yang jaraknya
cukup jauh. Untunglah di tempat yang demikian airnya dangkal - cuma sampai ke pinggang.
Dengan demikian orang bisa turun ke air dan menyeberang tanpa terlalu sukar.
Mike, Jack, dan Mafumu menyeberang dengan gampang. Mafumu lebih-lebih lagi. Ia
melompat dari batu ke batu seperti seekor kambing.
Kini mereka berada di seberang air terjun. Bunyinya masih kedengaran bergemuruh.
"Seperti busa sabun," komenter Nora, melihat air yang berputar-putar di bawah
air terjun lalu mengalir ke sungai. "Jadi kepingin cuci tangan."
Matahari sementara itu telah meninggi. Gdara jadi panas sekali. Bahkan Mafumu
yang sudah terbiasa dengan panas di situ pun merasa kepanasan dan ingin
beristirahat Kakinya mulai terasa sakit lagi. Mereka semua lalu berteduh dan
duduk-duduk di bawah naungan sebatang pohon besar. Di situ sesekali terasa angin
berhembus sejuk, disertai percikan air terjun yang diterbangkannya.
"Baiknya kita sekalian makan," usul Ranni walaupun ia tampak malas menyiapkan
makanan. "Astaga! Dalam udara panas begini makan telur semut pun rasanya aku tak
sanggup!" komentar Jack. "Siapa yang mau kasih telur semut!" Peggy meledek. "Aku sih cuma kepingin minum!
Minum sesuatu yang manis dan segar."
Mafumu menghilang sejenak, ia datang membawa buah-buahan berbentuk aneh seperti kacang, tetapi juga mirip delima. Dibuatnya lubang pada kulit bagian
atasnya, lalu, diajarinya Peggy minum air dari dalamnya.
"Bisa diminum kan airnya?" Peggy bertanya ragu.
Ranni mengangguk. "Mafumu tahu bedanya buah yang boleh dimakan dan tidak," kata
Ranni. "Coba saja cicipi bagaimana rasanya. Kalau enak, aku juga mau!"
Peggy mengambil buah aneh berwarna hijau itu. Dalamnya berisi semacam cairan
kental. Mula-mula rasanya pahit, seperti jeruk limau. Tapi, makin diisap, makin terasa
nikmat dan sejuknya. "Wah!" ujar Peggy. "Seperti baru minum es krim! Bedanya ini tidak manis!
Cobalah!" Semua lalu mengisap-isap buah aneh itu. Mula-mula memang mereka kurang suka
pahitnya. Tetapi, akhirnya semua merasa senang.
"Mafumu, kau benar-benar pandai," ujar Jack setengah mengantuk.
Seperti biasanya, Mafumu meringkuk dekat kakinya. Mafumu nyengir girang. Sepatah
kata pujian dari Jack sangatlah menggembirakan hatinya.
Tak lama kemudian semua tertidur. Kecuali, tentu saja Ranni. ia merasa wajib
berjaga, walaupun merasa ngantuk bukan main. Udara sangat panas sampai-sampai
segala sesuatu di sekelilingnya nampak bergerak mengeluarkan asap. Seandainya
tak ada sapuan angin yang sesekali datang menerbangkan percikan air dari air
terjun, mungkin takkan tertahankan panasnya udara.
Monyet-monyet pun tak ada yang ribut. Ketika mulai terdengar monyet-monyet ribut
berceloteh lagi, Ranni membangunkan semuanya. Bagian terpanas hari itu telah
lewat. Kalau mereka berniat hendak menjelajah lagi, harus cepat-cepat berangkat.
Tiba-tiba rombongan itu terkejut bukan buatan. Mereka sedang melewati tikungan.
Mendadak terdengar suara orang! Langsung semuanya berhenti. Bernapas pun mereka
tak berani. Suara orang! Siapa orangnya! Penduduk pribumikah, atau - janganjangan suku yang tinggal di Gunung Rahasia"
Suaranya dalam dan tajam.
Ranni memberi isyarat kepada Mafumu supaya maju. Anak berkulit hitam itu bisa
bergerak tanpa kedengaran - seperti gerakan bayang-bayang. Mafumu tengkurap,
lalu bergerak maju dengan perutnya - seperti ular. Asyik juga memperhatikan
gerakan Mafumu. Anak-anak heran ia bisa bergerak begitu cepat dengan otot
perutnya. Yang lain mulai bersembunyi di balik semak-semak. Semuanya diam. Sementara itu
Mafumu terus maju meliak-liuk menembus semak-semak tebal. Banyak duri di situ.
Tetapi nampaknya Mafumu sama sekali tak merasakan goresannya. Dengan hati-hati
ia menyibakkan semak-semak di depannya, lalu mengintip.
Mafumu berpaling kepada Ranni. Wajahnya kelihatan gembira sekali. Ia memberi
isyarat dengan tangan. Ranni meniru Mafumu, bergerak maju sambil tengkurap.
Anak-anak geli melihat Ranni. Ternyata Ranni tak kalah lincah dengan Mafumu.
Sebentar saja ia sudah sampai ke dekat Mafumu, ikut mengintip lewat celah semak.
Keduanya mengintip di situ beberapa saat lamanya. Yang lain menunggu tak sabar.
Suara keras dan tajam orang-orang asing itu kedengaran sampai ke tempat
persembunyian mereka. Mereka jadi ingin ikut melihat dengan Mafumu dan Ranni.
Tiba-tiba saja terdengar bunyi benda berat digeser menggelinding - dan suara
orang-orang tadi tak kedengaran lagi. Bunyi aneh tadi kedengaran sekali lagi.
Bunyi geserannya nyaring sekali, sampai anak-anak merasa ngilu di gigi mereka.
Bunyi geseran tadi disusul oleh bunyi berdebam dahsyat yang berhenti secara
tiba-tiba. Kini yang kedengaran hanyalah kicau burung dan dengung serangga.
Sesekali diselingi oleh keributan kawanan monyet yang sedang berceloteh. Jauh di
belakang mereka, sayup-sayup terdengar bunyi air terjun.
Ranni dan Mafumu merayap kembali. Wajah mereka berseri-seri. Sesampainya di
dekat anak-anak yang sedang menunggu, keduanya langsung mengajak ke tempat yang
agak jauh. Di balik keteduhan sebuah batu besar, Ranni menceritakan semuanya
yang telah ia lihat bersama Mafumu beberapa saat sebelumnya.
12. Jalan Masuk ke Perut Gunung
"Cepat, Ranni! Ayo, cepat ceritakan semuanya!" ucap Jack
"Kami melihat penduduk Gunung Rahasia!" kata Ranni. "Mereka ternyata benar-benar
berpenampilan aneh. Persis seperti yang diceritakan paman Mafumu. Rambut mereka
merah seperti api. Begitu pula jenggot mereka. Kulitnya yang paling aneh kuning! Mata mereka tak terlihat olehku. Mereka berpakaian jubah berwarna-warni
dan kepalanya ditutup dengan semacam sorban, tetapi rambut mereka masih
kelihatan." "WAH!" kata Mike bersemangat, matanya bersinar-sinar. "Lalu bagaimana" Teruskan,
Ranni!" "Ada kejadian aneh," lanjut Ranni. "Rasanya aku tak percaya bahwa itu benarbenar terjadi. Begini kejadiannya. Ketika kami sedang asyik memperhatikan mereka
dari balik semak-semak tadi, orang-orang itu berada dekat sekali dengan sejenis
batu yang ganjil bentuknya. Mereka ribut mengobrol dengan suara keras dan
kasar." "Kenapa ganjil, Ranni" Bagaimana bentuknya?" tanya Pilescu.
"Batunya besar sekali," kata Ranni. "Yang membuat batu itu ganjil, bagian
kakinya lebih sempit dibanding dengan bagian puncaknya hingga seperti hendak
terjungkir. Nah, tiba-tiba salah seorang dari mereka naik ke atasnya lalu
mendorong batu itu kuat-kuat."
"Mana mungkin dia bisa menggeser batu sebesar itu?" seru Mike.
"Aku pun berpikir demikian," sambung Ranni. "Tapi, rupanya batu itu tergolong
jenis batu yang mempunyai keseimbangan mantap dan bisa diputar dengan mudah
walaupun ukurannya sangat besar sekali pun. Ada beberapa batu sejenis itu yang
dikenal di dunia ini. Nah, rupanya ini sebuah lagi."
"Apa yang terjadi ketika batunya berputar?" tanya Pilescu.
"Bukan cuma berputar, tetapi juga menggelincir ke samping," tambah Ranni.
"Persis seperti batu yang diceritakan dalam kisah Ali Baba oleh anak-anak
kemarin! Di belakang batu itu terdapat pintu menuju ke perut gunung. Kenop
pintunya terbuat dari logam mengkilap - berkilau-kilauan tertimpa sinar
matahari." Semua memandang Ranni tanpa bisa berkata-kata. Mereka heran dan senang bukan
buatan. Jadi, sekarang mereka tahu jalan masuknya! Ya, tahu secara kebetulan!
"Terus?" bisik Peggy akhirnya.
"Selebar apa pintunya terbuka, tak terlihat olehku," kata Ranni. "Rupanya
menggelincir ke samping, tanpa menimbulkan suara. Tapi, aku tak tahu apakah
pintu itu dibuka dari luar atau dari dalam. Dalam sekejap batu besar yang di
luar sudah menggelinding lagi ke tempatnya semula dengan suara geseran yang
dahsyat. Tentunya itu terdengar oleh kalian semua."
"Orang-orangnya masuk semua ke dalam gunung?" tanya Mike.
"Begitulah," jawab Ranni. "Tak seorang pun kulihat tertinggal di luar."
Sejenak semuanya duduk tanpa membuka mulut. Masing-masing sibuk memikirkan jalan
masuk ke Gunung Rahasia yang baru saja mereka temukan. Jadi, itulah rupanya yang
dimaksud oleh paman Mafumu. Ia bilang, orang harus jalan menembus batu kalau
hendak masuk ke dalamnya!
"Nah, lalu - apa yang hendak kita lakukan sekarang?" tanya Jack. "Kita sudah
tahu dari mana masuknya. Tapi, kita belum tahu bagaimana cara membuka pintunya!
Bagaimana, Ranni - bisakah kita mencoba masuk malam ini?"
"Sebaiknya begitu," kata Ranni. "Aku akan mencoba dulu. Ingin tahu bagaimana
cara kerjanya. Kalian cari tempat bersembunyi dulu. Aku akan membawa senjata."
Anak-anak tak sabar menunggu datangnya malam. Mereka sudah menemukan tempat
persembunyian, di atas sebuah pohon besar tak jauh dari jalan masuk tadi. Mafumu
yang mula-mula mendapat ide. Ia lalu membantu Jack naik. Anak-anak lainnya
bersembunyi di belakang semak-semak tebal.
Ketika bulan sudah memancarkan sinarnya dan bintang bertebaran di langit, Ranni
berangkat - merayap ke batu aneh yang ia lihat siang harinya. Bayangan batu itu
tampak lebih besar pada malam hari. Yang lain memperhatikan setiap gerakan Ranni
dengan waswas. Dengan perlahan-lahan Ranni melangkah ke dekat batu besar itu. Ia yakin tempat
mana yang harus ditujunya untuk menggerakkan batu itu. Tetapi, pada malam hari
tempat yang dicarinya itu agak sukar dicari.
Ranni mendorong-dorong. Lalu ia menempelkan tubuhnya ke batu, dan sekali
mendorongnya dengan sekuat tenaga. Tetapi, batu itu diam saja. Ranni berhenti
mendorong. Diusapnya keringat yang mengucur di dahi. ia sibuk mengingat-ingat
tempat mana yang didorong oleh orang gunung siang tadi.
Ranni mencoba dan mencoba lagi. Tepat ketika ia hampir putus asa, terdorong
olehnya tempat yang seharusnya didorong, tanpa sengaja!
Dengan bunyi gemuruh, batu itu berputar lalu menggelincir mundur. Bunyinya
dahsyat. Ranni cepat melompat mundur, takut tiba-tiba disergap oleh penduduk gunung dari
dalamnya. Pintu di baliknya berkilau-kilau tertimpa sinar bulan. Pintu itu tertutup.
Berdiri tegak dan megah, ia bagai menjaga jalan masuk ke Gunung Rahasia. Sunyi
senyap suasana di situ. Tak ada orang keluar.
Tak seorang pun muncul dan berteriak melihat siapa yang barusan memutar batu
Empat Serangkai - Gunung Rahasia The Secret Mountain di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
raksasa penutup pintu tadi. Yang kedengaran hanyalah bunyi binatang malam dan
desah air terjun di kejauhan.
Dengan harap-harap cemas anak-anak menunggu di tempat persembunyiannya. Tetapi
tak ada lagi yang terjadi. Batu yang telah menggelinding mundur dari tempatnya
semula tetap berada di situ. Sementara itu pintu besar di belakangnya berkilaukilauan. "Ranni! Mungkin mereka tak mendengar bunyinya!" bisik Pilescu. "Cobalah membuka
pintunya." Ranni merayap maju lagi, sengaja lewat di bawah bayangan batu. Sesekali sinar
bulan menimpa bagian logam senapannya. Ranni tak mau ambil risiko. Ke mana pun,
senapan tak pernah lepas dari tangannya.
Anak-anak melihat setiap gerakan Ranni dari tempat persembunyian mereka. Ranni
langsung menuju ke pintu. Diraba-rabanya pintu itu dengan tangannya, ia lalu
mendorong pintu itu pelan-pelan. Dicobanya mendorong ke samping. Kemudian,
dicobanya memutar kenopnya.
Setiap kemungkinan yang bisa membuat pintu itu terbuka dicoba Ranni. Tetapi,
pintu itu tetap saja tertutup.
"Kita susul Ranni, yuk," ajak Mike kepada Pilescu. Mike sudah tidak sabar.
Pilescu pun ingin sekali mencoba membuka pintu itu. Karena itu, bersama Mike,
Paul, dan kedua anak gadis ia merayap maju lewat bayangan batu.
Jack ingin ikut juga. Ia turun dari tempat persembunyiannya di atas pohon dengan
hati-hati. Kakinya terjerat oleh akar gantung yang banyak terdapat di situ.
Mafumu berusaha membantunya. Tetapi, makin Mafumu sibuk melepaskan ikatan yang
membelit kaki Jack, makin erat ikatannya terasa oleh Jack.
Pada saat ikatan-ikatan yang mengganggu tadi berhasil dilepaskan, mendadak
terdengar bunyi geseran batu dan bunyi berdebam yang keras sekali. Batu yang
berhasil digerakkan oleh Ranni beberapa saat sebelumnya ternyata bergerak
kembali ke tempatnya di muka pintu.
Semua terkurung di balik batu itu, kecuali Mafumu dan Jack! Nora, Peggy, Mike,
Ranni, dan Pilescu berada di celah yang terdapat di antara batu dan pintu.
Ranni berusaha keras menghentikan gerakan batu itu. Tetapi sekali bergerak, batu
itu langsung bergerak ke tempatnya semula. Tak ada yang sempat meloloskan diri.
Jack dan Mafumu memandang batu itu dengan bingung. Jack melompat turun dari
pohon, hampir kakinya terkilir. Sesampainya di bawah ia lari ke kaki Gunung
Rahasia. "Kalian tak apa-apa, kan" Kalian selamat kan?" teriaknya.
Tetapi tidak terdengar jawaban. Jack lalu memukul-mukul batunya, mencoba
mendorong seperti yang dilakukan Ranni. Mafumu membantunya. Tetapi keduanya
sama-sama tak berhasil menggerakkan batu tadi. Rahasia menggerakkannya belum
ketemu. Batu itu tetap saja tegak di tempatnya walaupun Jack dan Mafumu sibuk
berteriak sambil memukul-mukul.
Mendadak pintu besar yang tersembunyi di balik batu terbuka lebar! Dari luar
Jack dan Mafumu mendengar bunyinya. Kedua anak itu diam, mendengarkan. Apa yang
sedang terjadi" Ya, apa" Ketika pintunya membuka, rombongan yang terperangkap di balik batu cuma
bisa melongo - memandang ke dalam ruang semacam gua di balik pintu tadi. Ruangan
itu diterangi oleh lampu-lampu terang. Dari situ terdapat anak tangga turun.
Dari arah tangga itu muncul beberapa orang penduduk Gunung Rahasia. Mereka
mengenakan jubah berwarna-warni. Masing-masing memegang sebuah tongkat kuning
keemasan yang berkilau-kilau dari ujung ke ujungnya.
Ketua sukunya berbadan tinggi dengan rambut dan jenggot merah menyala. Matanya
berkilat-kilat, ia berbicara dengan Ranni. Bahasa yang ia gunakan mirip dengan
bahasa Mafumu. Ranni mengerti sedikit-sedikit.
"Dia menyuruh kita mengikutinya," kata Ranni kepada Pilescu. "Kaubawa senjata,
Pilescu?" "Bawa," sahut Pilescu. "Tapi, tak ada gunanya. Lihat saja! Jumlah mereka begitu
banyak. Lupakan saja senjata kita dulu! Kita dalam posisi tak enak. Cuma Jack dan Mafumu
yang aman!" Perjalanannya aneh, masuk ke tengah perut gunung. Lampu-lampu besar berukir
menerangi sepanjang jalan yang terdiri dari banyak tangga, tembok tinggi, dan
atap batu jauh di atas. "Banyak rongga di gunung ini! Mereka menggunakannya sebagai bangsal dan
ruangan," ujar Ranni setengah berbisik kepada Pilescu. "Hebat, ya" Kaulihat
lukisan di dinding tinggi sebelah sana" Aneh bentuknya, tapi indah."
Anak-anak terpesona melihat lukisan-lukisan besar pada dinding batu. Warnanya
cerah bermacam-macam. Beberapa buah lampu sengaja dipasang di tempat tertentu
hingga gambar manusia dan binatangnya tampak benar-benar hidup. Ternyata Gunung
Rahasia merupakan tempat yang mempesona!
Akhirnya perjalanan jauh menembus perut gunung berakhir. Mereka sampai ke sebuah
ruangan aneh. Langit-langitnya tinggi sekali hingga bentuknya tidak terlihat
jelas dengan lampu yang ada. Batu-batuan berkilauan menghiasi dindingnya hingga
tampak seperti bintang cemerlang yang bertebaran di langit.
Di salah satu sisinya terdapat lantai yang ditinggikan menyerupai panggung. Di
atasnya terhampar berbagai permadani indah dengan warna-warni cemerlang.
Kecapekan, anak-anak duduk di atasnya.
Ada beberapa guci tempat air berisi air dingin di meja. Mejanya terbuat dari
batu. Semua minum dengan lahap. Di samping guci terdapat piring ceper. Kue-kue tipis
disajikan di situ. Kering dan manis rasanya - enak dimakan. Semuanya makan
sampai kenyang. Sambil makan, mereka bertanya-tanya apa selanjutnya yang akan
terjadi. Pintu ruangan tempat mereka dijamu terbuat dari kayu kokoh, dan diselot dari
luar. Tak ada lagi yang bisa mereka lakukan selain menunggu. Orang-orang
berjubah penduduk Gunung Rahasia telah meninggalkan mereka di ruangan aneh itu.
Ruangan yang terdapat di tengah-tengah perut gunung.
"Baiknya kita beristirahat," usul Ranni. ia lalu menyelimuti anak-anak dengan
permadani yang tidak diduduki. "Bagaimana nasib Jack, ya" Untung dia tidak ikut
tertangkap. Tetapi, kadang-kadang aku ingin dia berada di sini bersama kita."
"Mudah-mudahan Jack dan Mafumu menemukan cara untuk menyelamatkan kita," ujar
Peggy penuh harap. Ranni tertawa pendek. "Rasanya sia-sia mengharap begitu, Peggy! Kalau ia coba-coba masuk - palingpaling ia juga tertangkap seperti kita!"
"Mungkinkah kita akan ketemu Ayah dan Ibu?" tiba-tiba Nora bertanya. "Pasti
beliau ada di perut gunung ini juga."
"Mungkin saja," Pilescu berkata setelah berpikir beberapa saat "Ranni, biarkan
aku yang berjaga sampai tengah malam. Tidurlah kau bersama anak-anak.
Dalam sekejap anak-anak sudah tidur dengan pulas di atas permadani lembut. Mulamula Ranni tak bisa tidur. Tapi, lama-kelamaan ia pun tertidur. Posisinya
setengah duduk, ia kuatir Pilescu membutuhkan bantuannya dengan segera.
Malam itu lewat tanpa seorang pun masuk ke ruangan aneh tempat mereka
beristirahat. Lampunya masih terus menyala. Cahayanya lembut menyinari ruangan berlangitlangit tinggi itu. Lampu itu masih menyala sampai hari jadi siang lagi. Tentu
saja! Di dalam perut gunung itu tak ada cahaya lain. Sinar matahari tak dapat
masuk ke situ! 13. Penemuan Mafumu Jack ketakutan dan benar-benar putus asa. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun,
Mafumu mendampingi pahlawannya dengan setia. Tak lepas-lepasnya anak berkulit
hitam itu memandang Jack dengan matanya yang bulat hitam. Keduanya lalu memukulmukul lagi batu besar di depan mereka. Terdengar pintu di baliknya tertutup
kembali, lalu sepi. "Yuk," kata Mafumu akhirnya. Digandengnya Jack, ia lalu menuntun Jack ke tempat
bekal dan barang bawaan mereka tinggalkan. Di situ keduanya duduk.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" ucap Jack sambil menutup wajah dengan
kedua tangannya. "Kawan-kawan kita tertangkap semua, dan kita tak bisa menolong
sama sekali." Mafumu tidak mengerti. Sambil duduk memandang Jack, anak itu menggumamkan
sesuatu dalam bahasanya sendiri, ia lalu sibuk menjajarkan bungkusan-bungkusan
yang tertinggal hingga membentuk semacam alas tidur. Akhirnya, didorongnya Jack
agar berbaring di atasnya.
"Kita tidur. Nanti kucari jalan," ucap Mafumu sambil menyeringai menunjukkan
sederetan gigi putih. Jack menurut ia berbaring - sadar bahwa tak ada yang bisa ia lakukan saat itu.
Mereka harus menunggu sampai hari pagi.
Sebentar saja Jack sudah tertidur. Setelah yakin Jack sudah tidur, Mafumu cepatcepat merayap pergi, ia berdiri tegak disinari rembulan, memandang gunung
raksasa di depannya. Bagimana caranya masuk ke dalam gunung itu"
Usia Mafumu belum genap dua belas. Tetapi, ia dikenal paling cerdas di kalangan
sukunya. Anaknya bandel, tidak suka menurut, dan banyak kemauannya - tetapi,
otaknya cemerlang. Sambil menunggu Jack tidur tadi, ia berpikir keras - mencari
cara masuk ke gunung tanpa harus melewati batu penghalang tadi.
Mendadak terbayang olehnya air terjun besar. Air terjun itu keluar dari sisi
gunung - airnya deras berkilauan seperti perak. Ia berniat hendak memastikan apakah air
itu berasal dari dalam Gunung Rahasia!
Di bawah cahaya bulan, Mafumu berjalan menuju air terjun. Kadang-kadang ia
berlari. Akhirnya ia sampai ke dekat air terjun. Indah benar pemandangannya di bawah
sinar bulan. Airnya memercik seperti perak asli. Pada malam hari, kerasnya
gemuruh air terjun terdengar dua kali lebih dahsyat daripada siangnya.
Mafumu jadi agak takut. Dengan perasaan ngeri, ia memandang ke sekelilingnya, ia
tak takut binatang buas atau ular. Yang ditakuti anak itu adalah yang dinamakan
sukunya roh hutan, bukit, dan padang. Di samping itu, ia juga takut kalau-kalau
ada orang dari dalam Gunung Rahasia. Di daerahnya, manusia berkulit kuning
dengan rambut merah begitu merupakan kelainan.
Mafumu naik ke lereng gunung. Sedapat mungkin ia menyusur pinggir air terjun.
Sesekali tubuhnya tersiram air. Tetapi anak itu tak peduli, ia malah senang.
Airnya sejuk! Walaupun malam, udara terasa panas. Mafumu mandi keringat. Mendaki lereng gunung yang curam itu bukan perjalanan gampang.
Akhirnya, sampailah ia ke tempat air terjun itu berasal. Mafumu berusaha naik
lagi hingga bisa melihat tempat air itu keluar. Dugaannya benar. Air itu
mengucur dari dinding gunung - keluar dari perut gunung! Pasti ada sungai bawah
tanah yang lewat dalam gunung itu. Puncaknya menjulang tinggi di atas Mafumu
hingga menyentuh awan. Tepat di bawahnya, air terjun jatuh dari dinding gunung. Percikan airnya
membasahi punggung anak itu.
Mafumu lalu turun lagi. Kupingnya pekak oleh gemuruhnya air terjun, ia sampai ke
tempat air tersembur ke luar dari perut gunung - membentuk semacam lengkungan.
Dengan susah payah ia merayap ke sana. Di situ ada semacam teras batu - mendatar
terus sampai ke belakang.
Mafumu berdiri di situ. Tubuhnya menggigil ketakutan. Bunyi air dahsyat sekali
di situ. ia benar-benar dilingkupi air yang tak berbeda dengan guruh yang sedang gusar.
Mafumu berjalan di teras batu yang persis terdapat di bawah lengkung air yang
tersembur. Teras itu melebar terus ke belakang.
Tersembunyi di balik beribu percikan yang mirip embun, Mafumu melihat jalan lain
untuk masuk ke Gunung Rahasia! Kalau air bisa keluar lewat lubang itu, tentu ia
dan Jack juga bisa masuk ke dalamnya.
Bulan menghilang dan kegelapan pun meliputi bumi. Mafumu takut. Sejenis kalung
aneh dari gigi buaya tergantung di lehernya. Mafumu memega-ngi kalungnya itu
kuat-kuat agar terhindar dari segala yang ia takuti. Mafumu meluncur turun
tergesa-gesa. Tubuhnya lecet-lecet tergores semak, sementara kakinya luka-luka
terantuk batu. Tetapi, tak sedikit pun ia merasa sakit. Ia ingin segera kembali
ke dekat Jack. Di situ ia takkan ketakutan lagi.
Hari sudah hampir subuh ketika ia sampai ke tempat Jack. Jack sudah bangun, ia
heran karena Mafumu tak ada. Wajahnya pucat penuh rasa kuatir. Masih belum
terpikir olehnya apa yang harus ia perbuat Hampir ia memutuskan hendak mencoba
lagi menggerakkan batu besar penutup jalan masuk kemarin. Ia ingin bersama
saudara-saudaranya kembali.
Tetapi Mafumu punya rencana lain. Dengan bahasa Inggris yang aneh dan lucu, si
anak pribumi berusaha menjelaskan maksudnya kepada Jack.
"Air besar, air besar," ucapnya, lalu menirukan bunyi gemuruh air terjun. "Raja
Jack ikut Mafumu lihat air besar. Masuk air besar. Ayo!"
Jack mengira Mafumu gila. Tetapi Mafumu nampak sangat bersungguh-sungguh. Jack
lalu mengangguk dan mengatakan ia mau ikut
Barang-barang bawaan dan bekal mereka tinggalkan di situ setelah lebih dulu
mereka timbuni dengan semak-semak dan ditindih batu-batuan. Kedua anak itu lalu
berjalan ke air terjun. Bunyinya keras sekali, hingga keduanya harus saling
berteriak kalau berbicara.
Mafumu ingat benar jalan yang ia lalui semalam. Anak kulit hitam itu tak pernah
lupa jalan yang pernah ia lalui. Bahkan setiap semak dan batu yang terlihat
olehnya di sepanjang jalan pun jelas teringat di benaknya. Karenanya, ia bisa
membantu Jack dengan mudah naik ke teras batu dekat tempat air tersembur ke
luar. Tubuh Jack basah kuyup dan telinganya pekak ketika sampai di tempat keluarnya
air dari dinding gunung. Diguncang-guncangnya kepalanya supaya bunyi yang terasa
menyumbat telinganya pergi. Tapi, tentu saja tak bisa.
Mafumu bersemangat. Dibawanya Jack masuk ke bawah lengkungan air. Ditunjukkannya
tempat air itu keluar - persis di atas kepala mereka. Aneh rasanya berdiri di
kolong air terjun raksasa yang airnya begitu deras dan bertenaga. Seandainya air
itu lewat di tempat mereka berdiri, tentu sudah hanyut keduanya di bawa air.
"Hi, aneh rasanya berdiri di kolong air terjun begini," kata Jack. "Mengapa
kaubawa aku kemari, Mafumu" Mana bisa kita masuk lewat lubang yang dilalui air
begitu deras" Kau sedang gila, barangkali?"
Mafumu tidak gila. ia mengajak Jack ke sisi lain teras batu, lalu menunjuk ke
celah sempit berdinding batu yang menuju ke dalam gunung. Celah itu juga dialiri
air. Tetapi airnya hanya setinggi beberapa inci. Di sampingnya terdapat sungai.
Palungnya dalam, terbentuk oleh erosi bertahun-tahun. Emper di sisi-sisinya
hanya sedikit tergenang. Itupun dikarenakan percikan air terjun yang terus-menerus.
"Kita masuk." Mafumu tersenyum lebar. "Kita masuk, ya?"
"Astaga, Mafumu - kau hebat!" kata Jack bersemangat. "Benar, kita bisa masuk ke
situ! Tapi, kita tak tahu sejauh mana jalannya bisa kita lewati dan ke mana arahnya!"
"Kita pergi," kata Mafumu. "Cepat, cepat!"
Keduanya lalu menyusur emper batu di sisi sungai yang mengalir lewat celah.
Seandainya sampai terpeleset ke pusaran air yang menyembur ke luar, tamatlah
riwayat mereka. Karena itu mereka berpegang kuat-kuat pada setiap tonjolan batu yang terdapat di
situ. Empernya basah dan licin. Udara di situ penuh dengan percikan air. Aneh rasanya
menyusur sungai deras yang menyembur jadi air terjun ganas beberapa meter di
belakang mereka! Emper batu yang mereka lewati memang menuju ke dalam gunung. Jaraknya dari
permukaan sungai deras yang dalam itu rata-rata setengah sampai satu meter. Jack
dan Mafumu berjalan menyusur emper itu. Sebentar saja air terjunnya sudah mereka
tinggalkan jauh di belakang. Di dalam gunung suasananya sunyi sepi. Di sebelah
kiri mereka, agak ke bawah, mengalir sungai bawah tanah. Walaupun aliran airnya
deras, bunyi yang ditimbulkan tidak ribut.
"Gelap, Mafumu," ujar Jack, menggigil. Bukan cuma gelap. Dingin juga. Sungai
tersembunyi itu tak pernah disinari matahari! Tetapi, tak lama kemudian ada
sinar aneh dari langit-langit dan dinding terowongan sungai.
Warna cahayanya hijau dan biru. Mafumu takut. Tapi Jack tahu bahwa itu cuma
menandakan bahwa dinding terowongan itu mengandung zat fosfor. Lega juga Jack
melihat cahaya lemah yang ditimbulkan zat itu. Paling tidak, ia bisa melihat
jalan yang akan dilalui. "Nah, aku takkan terpeleset masuk ke sungai dan terbawa ke air terjun kalau
begini," pikirnya. "Wah, pandai juga Mafumu - memikirkan bahwa pasti ada jalan lain
menuju ke perut gunung ini! Diberi waktu seratus tahun pun takkan terpikir
olehku! Alangkah senangnya kalau bisa menyelamatkan yang lain lewat jalan ini!"
Setelah menyusur emper sungai beberapa lama, Jack dan Mafumu mendapatkan bahwa
terowongan yang dilewati sungai itu di beberapa tempat melebar, membentuk
semacam rongga dan gua-gua. Jack terpesona menyaksikan dinding-dindingnya yang
berhiaskan batu berkilauan. Tetapi Mafumu takut
"Dinding punya mata banyak - lihat Mafumu," bisik Mafumu kepada Jack. Jack
Empat Serangkai - Gunung Rahasia The Secret Mountain di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tertawa - tapi langsung berhenti. Bunyi tawanya bergema berputar-putar di dalam gua
seperti tawa beratus-ratus raksasa yang mengepung mereka. Aneh dan menakutkan
bunyinya. Kedua anak itu meneruskan perjalanan. Keduanya diam agak takut. Mendadak mereka
sampai ke jalan buntu. "Mafumu! Sungainya lewat terowongan itu. Lihatlah, langit-langit atapnya hampir
menyentuh permukaan air!" ucap Jack kecewa, "Kita tak bisa terus."
Mafumu turun ke sungai. Di situ alirannya tidak deras. Walaupun begitu dalamnya
cukupan hingga anak itu terpaksa berenang, ia berenang masuk ke kolong
terowongan - hendak melihat sejauh mana ia bisa berenang dengan kepala tersembul
ke atas permukaan air. Sementara berenang, rambutnya yang tebal keriting menyentuh langit-langit
terowongan di atasnya. Karenanya, terpaksa ia berenang di bawah permukaan air
sambil berharap langit-langitnya akan naik sedikit hingga ia bisa menyembulkan
kepala dan bernapas! Mafumu pandai berenang. Ia kuat menahan napas untuk waktu yang lama. Tetapi
kerongkongannya terasa sakit sekali pada saat ia bisa menyembulkan kepala
menarik napas. Itu pun cuma sebentar sekali. Atap terowongan itu merendah lagi.
Panjangkah jalan yang seperti ini" Berapa lama lagi ia harus menahan napas"
Ia harus mencoba! Ya, itu satu-satunya yang bisa ia lakukan. Kalau tidak begitu,
tak ada pilihan lain kecuali kembali. Mafumu menarik napas dalam-dalam, lalu
menyelam kembali dan berenang secepat-cepatnya di bawah permukaan air. Sesekali
ia mencoba menyentuh atap dengan tangannya untuk melihat kalau-kalau ia bisa
menyembulkan kepala untuk menarik napas.
Usahanya tak sia-sia. Atap terowongan naik, dan Mafumu mendapatkan dirinya
berada di gua besar! Buru-buru Mafumu naik dari air. Napasnya terengah-engah, ia
bersyukur tidak terlalu cepat menyerah!
Beberapa menit lamanya Mafumu duduk - menghirup napas sebanyak-banyaknya.
Sekarang ia harus kembali - mengajak Jack kemari! ia tak yakin anak kulit putih
itu bisa tahan berenang lama di bawah permukaan air!
Mafumu pun kembali. Kali ini ia tahu persis di mana ia bisa menyembulkan kepala
untuk bernapas. Sementara itu Jack menanti dengan cemas, ia tak tahu apa yang
terjadi dengan Mafumu. Perginya lama sekali.
Mafumu berusaha menjelaskan kepada Jack apa yang harus mereka lakukan. Jack
mengerti. "Kau duluan, Mafumu," katanya sambil menghirup napas dalam-dalam. "Aku bisa
berenang, tapi mungkin tak sepandai kau!"
Keduanya masuk ke dalam air, lalu mulai berenang. Sebagian besar perjalanan
mereka lalui lewat bawah permukaan air. Tetapi di tempat-tempat tertentu mereka
menyembulkan kepala, menarik napas.
Sekali lagi mereka menyelam. Tubuh mereka menggigil. Airnya dingin seperti air
es. Mereka berenang secepat-cepatnya melalui terowongan yang atapnya rendah
menyentuh permukaan air. Dan beberapa saat kemudian dengan lega keduanya
menyembulkan kepala di gua besar yang ditemui Mafumu. Mereka merayap naik dari
air. Napas mereka terengah-engah. Keduanya duduk, beristirahat sambil menarik
napas dalam-dalam. Jantung mereka berdetak keras sekali. Baru setelah agak lama
duduk beristirahat keduanya bisa meneruskan perjalanan.
"Nah, mesti ke mana sekarang?" pikir Jack, memandang dinding gua di
sekelilingnya yang berkilau-kilauan. "Kelihatannya ada tiga atau empat
terowongan yang menuju ke luar dari sini. Sungainya sih mengalir di tengah. Yang
mana yang akan kita lewati, Mafumu?"
14. Di Dalam Gunung Mafumu berlari-lari memeriksa terowongannya satu per satu. Akhirnya ia berhenti,
lalu memberi isyarat kepada Jack. Jack mendekati anak itu. Dalam hati ia
bertanya-tanya, apa yang terlihat oleh Mafumu sebab anak itu nampaknya
kegirangan. Pantas Mafumu senang! Ada tangga menuju ke atas di salah satu terowongan yang ia
intip! Tangga itu terbuat dari batu yang ditatah. Permukaannya licin dan mengkilap
bekas digosok. Ada sebuah lampu besar tergantung di situ. Buatannya halus dan
sangat bagus. Lampu itu mengeluarkan cahaya hijau aneh.
Mafumu dan Jack berdiri di anak tangga terbawah sambil memandang ke atas. Ke
mana tangga itu menuju"
"Kita naik?" bisik Jack. Walaupun berbisik, suaranya terpantul dan bergema
berputar-putar. Mafumu mengangguk. Tanpa berkata-kata keduanya lalu naik. Tangganya lebar, mudah
didaki. Setelah beberapa lama keduanya mendaki, mendadak tangganya berbelok ke
kanan, dan selanjutnya melingkar-lingkar ke atas.
"Mungkin tangga ini menuju ke puncak gunung!" ujar Jack, mulai terengah-engah.
"Kita duduk dulu, yuk- istirahat sebentar. Kakiku penat mendaki terus."
Tak terlihat oleh mereka bahwa di tikungan tempat mereka beristirahat itu ada
pintu kayu terbuka. Mereka duduk di situ diam-diam. Mendadak terdengar suara
kasar orang-orang Gunung Rahasia!
Cepat kedua anak itu menoleh. Baru ketika itu mereka melihat ada pintu di
tikungan tangga. Pintu itu baru saja dibuka!
Jack dan Mafumu tak tahu apakah orang-orang itu akan naik atau turun. Mereka tak
punya waktu untuk berpikir. Tanpa sadar, keduanya langsung turun beberapa
langkah dan meringkuk di salah satu tikungan tangga yang ada di situ. Jantung
mereka berdegup keras. Kaki mereka gemetaran.
"Kalau mereka turun, pasti kita ketemu!" pikir Jack hampir putus asa. "Mau tak
mau mereka pasti menyentuh tubuh kita. Tangga di sini sangat sempit"
Untunglah orang-orang tadi ternyata naik, bukan turun! Jack dan Mafumu mendengar
bunyi langkah kaki mereka serta suara mereka makin jauh ke atas sana. Jack dan
Mafumu merayap kembali ke tempat pintu tadi. Masih terbuka!
"Astaga! Kita beruntung!" bisik Jack kepada Mafumu.
Walau Mafumu tak mengerti kata-kata yang diucapkan Jack, ia tahu maksudnya.
Mereka menyelinap masuk lewat pintu itu, dan mendapatkan diri mereka berada di
suatu serambi yang mengelilingi sebuah ruangan besar megah.
"Rupanya ini balai pertemuan," pikir Jack sambil memandang dari serambi
tempatnya berdiri ke lantai luas di bawahnya. "Wah, pasti ini persis di tengah
perut gunung! Astaga, aneh benar tempat ini!"
Dari balai pertemuan yang luas itu, terlihat beberapa tangga. Masing-masing
menuju arah yang berbeda. Jack dan Mafumu mendekati sederet pintu kayu bagus
bertatahkan logam berkilauan. Ternyata orang-orang Gunung Rahasia memiliki rumah
aneh yang mewah! Di situ tidak kelihatan seorang pun. Kesunyian yang mewarnai tempat itu jadi
terasa aneh. Lampu-lampu besar tergantung di atap ruangan - sedikit berayun
sambil memancarkan cahaya terang. Bayangannya di lantai bergoyang-goyang. Mafumu
menggigil ketakutan. Belum pernah ia menyaksikan tempat seperti itu.
"Mafumu! Kurasa orang-orang itu sebentar lagi balik," kata Jack, berbisik ke
kuping Mafumu. "Kita mesti buru-buru keluar dari sini lewat salah satu tangga mencari di mana teman-teman kita berada. Cepat!"
Berdiri di balai pertemuan yang besar itu, keduanya bingung hendak memilih
tangga yang mana. Akhirnya mereka memilih yang terdekat. Tangga itu lebar, tidak
tinggi, dan menuju ke sebuah pintu terbuka.
Mereka naik, lalu melewati pintu. Di depan mereka terdapat terowongan panjang
gelap. Dinding dan atapnya terbuat dari batu. Terowongan ini mereka telusuri, lalu
membelok ke sebuah terowongan lain. Mendadak mereka berhenti. Ada suara orang
bicara. Rupanya orang-orang yang sedang mengobrol tak mendengar kedatangan kedua anak
itu. Karenanya Mafumu dan Jack merayap lagi maju. Mereka sampai ke sebuah gua yang
indah. Dindingnya dihiasi kulit binatang dan tirai-tirai berkilauan. Lantainya
berhamparkan permadai tebal indah. Di atas permadani itu, duduk orang-orang
Gunung Rahasia. Aneh sekali kelihatannya orang-orang itu dalam cahaya lampu yang bergerak-gerak!
Semua berambut merah menyala dan berjenggot warna sama. Wajah mereka kuning
pucat. Yang perempuan tertutup seluruh tubuhnya, kecuali mata. Rambut dan
dagunya sama sekali tak kelihatan! Jack dan Mafumu tahu bahwa mereka perempuan,
sebab mereka berbicara dengan suara melengking nyaring.
Sambil mengobrol mereka bekerja. Ada yang membuat permadani, ada pula yang
menjalin tali panjang berwarna-warni mirip rafia. Beberapa orang sibuk memukuli
sesuatu. Sayang Jack dan Mafumu tak bisa melihat benda apa yang dipukuli itu.
"Kita balik saja," bisik Jack, mendorong Mafumu. "Ayo! Kalau sampai kita
ketahuan ada di sini, bisa-bisa kita ditawan."
Keduanya merayap kembali. Mafumu lebih ketakutan lagi setelah melihat orangorang tadi. ia menganggap mereka aneh sekali! Anak-anak itu merayap kembali sampai ke sebuah
pintu. Pintu itu tertutup. Mereka mencoba mendorong. Ternyata bisa dibuka.
Bagian dalam ruangan itu aneh sekali. Tak ada barang apa pun di situ, kecuali
tangga tali menuju ke atap yang gelap.
"Pasti ada semacam lubang sempit naik jauh ke atas sana," bisik Jack. "Ke mana,
ya" Ssst. Mafumu - ada orang datang."
Benar. Terdengar lagi suara orang bicara dan suara langkah kaki. Mafumu
menggigil ketakutan, memegangi tangga tali, dan dalam sekejap telah menghilang
ke kegelapan atap ruangan itu. Jack berpikir bagus juga kalau ia ikut Mafumu.
Pas sekali! Tiga orang masuk ke ruangan kecil itu, menutup pintunya, dan
mengobrol dengan suara keras. Jack dan Mafumu diam tak bergerak di tangga tali.
Mereka tak berani naik terus, sebab takut tangganya bergerak dan menarik
perhatian orang-orang itu.
Ketiga orang itu mengobrol kurang lebih sepuluh menit lamanya, lalu keluar.
Cepat Jack dan Mafumu naik. Mereka pikir di atas lebih aman daripada di bawah!
Tangga itu terikat pada sebuah serambi batu. Berseberangan dengan serambi itu
terdapat sebuah pintu besar kokoh. Luarnya diselot dengan selot besar yang
nampaknya sukar sekali digerakkan!
"Ada orang yang dikurung di dalamnya," bisik Jack. "Mungkinkah yang di dalam
situ Peggy, Nora, Mike, dan lain-lainnya?"
Mafumu mengangguk-angguk. Ya - ia merasa yakin mereka menemukan tempat temantemannya yang lain ditawan! Mafumu mulai mencoba menggerakkan selotnya.
Walaupun kelihatannya berat, ternyata selot besar itu berminyak cukup hingga
mudah digerakkan. Ada semacam palang pintu yang masih menghalangi pintu itu.
Jack menariknya. Mendadak pintu itu terbuka.
Tak terdengar suara apa pun dari dalam. Jack dan Mafumu hampir tak berani
mengintip ke dalam. Apa yang akan mereka lihat di situ" Seandainya benar temanteman mereka yang ada di dalam, pasti terdengar suara mereka.
Jack mendorong pintunya supaya lebih terbuka lagi. Tidak! Mike dan lain-lainnya
tidak ada di situ. Yang ada Kapten dan Nyonya Arnold! Mereka terbaring di
tumpukan permadani di sudut ruangan yang diterangi lampu remang-remang.
Kelihatannya pucat dan menderita.
Mereka melihat pintu dibuka, dan mengira orang datang membawakan makanan.
Melihat Jack, mereka langsung berdiri dengan keheran-heranan! Keduanya melongo,
seolah tak percaya akan penglihatan mereka sendiri. Mimpikah"
"Jack! Jack! Kaukah itu, Jack?" tanya Nyonya Arnold akhirnya. "Mana yang lain Mike, Peggy, dan Nora?"
Mike, Peggy, dan Nora adalah anak-anak Nyonya Arnold sendiri. Walaupun begitu
Nyonya Arnold juga menganggap Jack anaknya sendiri, karena Jack pernah menolong
anak-anaknya ketika mengalami kesulitan. Jack memandang Kapten dan Nyonya Arnold
kegirangan, ia lari ke pelukan Nyonya Arnold. Jack sangat sayang kepadanya.
"Kita tak punya waktu untuk ngobrol," kata Kapten Arnold cepat. "Jack telah
membukakan pintu kurungan kita. Sebaiknya kita cepat-cepat keluar mumpung ada
kesempatan! Ayo, ikuti aku. Aku tahu tempat aman yang bisa kita pakai untuk
mengobrol." Kapten Arnold keluar dari ruangan itu sambil membawa beberapa potong kue dan
sebuah guci berisi air. Sesampainya di luar, beliau berhenti - memasang kembali
palang pintu dan selotnya. Dengan demikian, kalau ada orang lewat tak ada hal
aneh yang terlihat Kapten Arnold tidak memilih tangga turun yang tadi dilalui
Jack dan Mafumu. ia berjalan menuju lorong gelap di sebelahnya yang arahnya
menanjak ke atas. Tak lama kemudian, terlihat cahaya terang! Alangkah
terkejutnya Jack dan Mafumu ketika tahu bahwa itu cahaya matahari!
"Ada beberapa jendela yang dibuat pada dinding terjal gunung ini!" ucap Kapten
Arnold. "Orang-orang yang menghuni gunung ini memakainya untuk berjemur-jemur. Tapi,
mencoba melarikan diri lewat jendela semacam itu tak ada gunanya. Terjal sekali
tempatnya, hingga orang bisa langsung menggelinding jatuh ke kaki gunung kalau
coba-coba keluar lewat situ. Kadang-kadang kami dibawa ke sini oleh mereka supaya kena matahari sedikit. Di sini aman! Tak ada orang lewat"
"Ayo, cepatlah bercerita, Jack," pinta Nyonya Arnold. "Mana yang lain?"
Jack dan Mafumu merasa lega bisa berjemur dan merasakan kembali kehangatan sinar
matahari. Mereka menyikat kue dan meminum air yang dibawakan Tuan Arnold
sementara Jack menceritakan segalanya dengan cepat Kapten Arnold dan istrinya
mendengarkan dengan keheranan.
"Petualangan kalian sudah banyak. Tapi, yang ini benar-benar luar biasa!"
komentar Kapten Arnold. "Nah, sekarang giliranku bercerita."
Kapten Arnold bercerita, bahwa mereka terpaksa mendarat karena ada kerusakan
yang harus diperbaiki pada Seriti Putih. Sementara ia sedang memperbaiki
pesawat, rupanya orang-orang Gunung Rahasia datang ke pesawat dengan diam-diam.
Kapten Arnold dan istrinya langsung ditangkap dan dibawa ke Gunung Rahasia.
Sejak saat itu mereka ditawan.
"Kami tak tahu mengapa mereka menangkap kami," tambah Kapten Arnold. "Aku kuatir
mereka punya maksud tak baik. Di puncak gunung sana, ada semacam kuil dan
pelataran tempat mereka memuja dewa matahari. Di situ mereka sering berkurban
untuk dewa yang mereka puja itu. Mudah-mudahan saja kami takkan mereka lemparkan
ke situ untuk menyenangkan dewa mereka!"
"Astaga!" Ucap Jack. Wajahnya mendadak pucat, ia pernah membaca kebiasaan
beberapa suku yang masih biadab. Mereka itu kebanyakan benar-benar tak punya
kasihan. "Lalu bagaimana dengan yang lain" Apakah orang-orang itu juga akan
memperlakukan mereka begitu"
"Jangan sampai itu terjadi," kata Kapten Arnold. "Yang lain ada di gunung ini
juga. Kita harus segera mencari di mana mereka! Sudah selesai makan, Jack" Kalau
sudah, kita tinggalkan tempat ini. Kita melihat-lihat sedikit. Kurasa mereka
takkan tahu kami lolos sampai besok pagi. Hari ini penjaganya sudah masuk
mengantar makanan. Kita punya cukup waktu untuk mencari yang lain!"
Mula-mula Mafumu malu menghadapi dua orang kulit putih yang baru saja mereka
temui. Tetapi, melihat Jack asyik mengobrol dengan keduanya, ia pun mulai tersenyumsenyum. "Aku Mafumu," katanya. "Aku Mafumu. Aku hamba Raja Jack!"
"Ayo, Mafumu. Kau harus ikut kami," kata Kapten Arnold. "Nah, sekarang, ikuti
aku menyusur lorong ini. Kita lihat ke mana arahnya."
15. Di Puncak Gunung Sementara itu, bagaimana yang lain" Mereka tidur dengan gelisah di ruang bawah
tanah. Lampu menyala di dekat mereka. Mereka tak tahu bahwa hari sudah pagi kalau tidak
karena jam sudah menunjukkan pukul enam.
"Aku lapar," Mike menguap. "Mudah-mudahan orang Gunung Rahasia kasih makanan
cukup untuk para tawanannya!"
Baru saja Mike selesai mengucapkan itu, mendadak pintu dibuka. Dua orang lelaki
berambut merah masuk. Jubah mereka melambai-lambai. Kedua orang itu membawa
tempat air berisi air segar serta piring besar berisi kue. Di samping itu mereka
juga membawa bermacam-macam buah-buahan. Betapa gembiranya anak-anak!
"Sedang apa si Jack dan Mafumu, ya?" kata Mike. "Menurutmu, apa yang mereka
lakukan, Ranni?" "Wah, aku tak bisa membayangkan," sahut Ranni, mengambil buah. ia dan Pilescu
sebenarnya sangat gelisah -jauh lebih gelisah daripada yang kelihatan oleh anakanak. Melihat orang-orang berambut merah itu keduanya kurang suka walaupun mereka
sendiri kadang-kadang mirip penduduk Gunung Rahasia. Bedanya, mata Ranni dan
Pilescu tidak hijau. Kulit mereka tidak juga kuning.
Menjelang sore hari, pintunya dibuka lagi. Seorang penjaga memberi isyarat
Empat Serangkai - Gunung Rahasia The Secret Mountain di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kepada mereka supaya keluar. Semuanya keluar sambil sibuk membayangkan apa yang
bakal terjadi. Mereka berjalan mengikuti penjaga tadi-melintasi lorong panjang berkelok-kelok.
Akhirnya mereka sampai ke sebuah pintu besar yang nampak berwarna hijau dan biru
karena sinar lampu di atasnya.
Ketika mereka sampai ke dekat pintu itu, pintunya menggelincir ke samping. Di
baliknya, ada tangga naik tinggi sekali. Warna anak tangganya aneh sekali berganti-ganti dari oranye ke kuning.
Setiap dua ratus anak tangga, tangganya memutar lalu naik lagi. Anak-anak merasa
lelah. Perjalanan naik itu serasa tak ada habis-habisnya. Mereka duduk beristirahat Di
belakang mereka berjalan orang-orang Gunung Rahasia. Jumlahnya cukup banyak.
Mereka berjalan sambil mendendangkan lagu aneh. Anak-anak tak suka mendengar
nadanya. Mengerikan! Beberapa kali rombongan itu berhenti, beristirahat Ranni dan Pilescu yakin
tangga itu menuju ke puncak gunung. Buatan tangganya bagus dan indah sekali. Di
sana-sini, di pinggir tangga, ditempatkan lampu-lampu berbentuk matahari yang
sedang bersinar. Nyalanya terang sekali, hingga anak-anak merasa silau jika memandangnya.
"Kurasa, kita dibawa ke puncak gunung," ujar Ranni. "Saat ini matahari sedang
tenggelam. Pemuja matahari biasanya berdoa pada saat matahari terbit atau
tenggelam. Kita bisa menyaksikan mereka memuja-muja matahari nanti!"
Ranni benar - tetapi ia tak menduga bahwa puncak Gunung Rahasia bentuknya
demikian! Aneh, lain daripada yang lain!
Dengan napas terengah-engah dan kecapekan, iring-iringan itu mendaki deretan
tangga terakhir. Mereka keluar lewat pintu gerbang keemasan, menuju ke suatu
koridor luas. Koridor itu berpilar-pilar di sisi kiri dan kanannya.
"Astaga!" ucap Mike keheranan. "Bukan main!"
"Itulah yang pertama-tama membuat semua melongo. Pemandangan dari puncak Gunung
Rahasia sangat memukau. Di sekelilingnya menjulang gunung-gunung lain. Ada
beberapa yang tinggi, dan ada pula yang agak rendah. Lembah-lembahnya membentang
hijau, dialiri sungai biru yang berkelok-kelok. Anak-anak benar-benar terpesona.
Mereka merasa kecil sekali di tengah-tengah gugusan gunung yang besar-besar itu.
Puas menyaksikan keindahan alam di sekitar Gunung Rahasia, mereka ganti
memperhatikan keadaan puncak gunung itu sendiri. Aneh sekali. Salah satu
sebabnya, karena puncak Gunung Rahasia telah diratakan hingga permukaannya sama
sekali datar. Di bagian tengahnya ada semacam pelataran. Lantainya terbuat dari
sejenis batu yang memancarkan cahaya kuning dan oranye seperti tangga yang tadi
dilewati. Tiga sisi pelataran itu pinggirnya mempunyai serambi panjang-panjang
berpilar tinggi. Sisinya yang keempat mempunyai bangunan besar berbentuk kuil,
menghadap ke lereng sebelah timur yang sangat curam.
Anak-anak, Ranni, dan Pilescu dibawa ke kuil tadi. Angin bertiup keras dan
dingin di puncak gunung. Semuanya menggigil. Seorang lelaki berambut merah
datang, melemparkan jubah mengkilap pada bahu mereka. Jubah-jubah itu
berlapiskan bahan bulu hingga terasa hangat Mereka dibawa naik ke puncak kuil.
Di situ terdapat sebuah menara bulat menjulang ke atas.
Dari menara itu terlihat matahari terbenam, bergerak perlahan-lahan ke balik
cakrawala barat Setelah matahari terbenam, orang-orang Gunung Rahasia berlutut
sambil menyanyikan lagu aneh.
"Kurasa mereka memuja matahari," kata Ranni geram, ia mengatakan hal itu kepada
Pilescu dalam bahasa Baronia. "Aku tak suka acara beginian! Kau?"
Pangeran Paul heran. "Mengapa kau tak suka, Ranni?" tanyanya.
Tetapi Ranni tak menjawab. Semuanya memusatkan perhatian pada matahari. Matahari
sementara itu menghilang sempurna ke balik cakrawala.
Mendadak suasana menjadi gelap gulita. Pemandangan gunung-gunung dan lembah jauh
di bawah sana menghilang. Sekarang yang kelihatan tinggallah kilau lantai
pelataran di puncak Gunung Rahasia.
Seorang lelaki tinggi berambut merah menuju ke tengah pelataran. Di situ ia
berbicara keras berapi-api. Ranni mendengarkan baik-baik, berusaha menangkap
setiap kata yang ia kenal.
"Dia ngomong apa sih?" tanya Mike.
"Menurut pengertianku, orang itu memohon agar matahari pergi dulu. Ia minta
hujan," kata Ranni. Rupanya sudah lama hujan tak datang-datang. Orang-orang Gunung
Rahasia memohon agar matahari berkenan mengenakan pakaian tebal berupa gumpalan
awan hingga hujan yang mereka tunggu-tunggu datang. Mungkin mereka punya ladang
di lereng gunung. Mereka takut ladang itu kering kalau hujan tak segera datang!"
Malam itu mereka tidur di atas permadani yang dibentangkan di lantai kuil. Angin
bertiup sangat kuat dan dingin sekali. Orang-orang Gunung Rahasia menghilang ke
balik pintu dorong kuning, membiarkan mereka sendirian di puncak gunung. Pintu
masuk dari puncak gunung ke dalam dikunci dan diselot dari dalam. Ranni dan
Pilescu menelusuri kuil, pelataran, dan serambi di sisi-sisinya dengan bantuan
cahaya senter. Tetapi, pintu masuk dari puncak gunung itu cuma ada satu - pintu
dorong berwarna kuning, yang tadi dilalui orang-orang Gunung Rahasia dan
sekarang diselot dari dalam. Mustahil mereka bisa lari dari puncak gunung. Sama
saja dengan dikurung di dalam ruang bawah tanah tadi malam.
Masing-masing sibuk memikirkan apa yang sedang dilakukan Jack dan Mafumu, di
mana mereka, dan apakah Tuan dan Nyonya Arnold ada di dekat-dekat situ!
Mereka sama sekali tak tahu bahwa keempat orang yang mereka pikirkan itu telah
berkumpul bersama. Dari tempat berjendela yang semula mereka pakai mengobrol,
keempatnya berjalan masuk lewat sebuah terowongan. Jalannya pelan-pelan sekali.
Mereka sampai ke deretan gudang. Tak seorang pun kelihatan di tempat itu.
Karenanya mereka lalu melihat-lihat isinya.
Di sebuah ruangan berdinding batu tebal, disimpan berbagai jenis cat dan sumba.
Kapten Arnold meneliti benda-benda yang ditemui.
"He, lihat," katanya. "Aku tahu sekarang! Orang-orang itu mencat rambutnya
dengan sumba merah ini. Sumba ini sangat kuat, dan warna merahnya aneh. Rupanya
mereka sengaja mencat rambut dengan warna begini supaya orang-orang di sekitar
daerah ini takut jika bertemu mereka. Dan, wah - ini zat warna kuning yang
mereka gunakan untuk mewarnai kulit mereka!"
Semua memperhatikan tempat cat yang dipegang Kapten Arnold. Tempat itu penuh
dengan cairan kuning yang dipakai orang Gunung Rahasia untuk mewarnai kulit
mereka! Pantas mereka berkulit kuning aneh begitu! Rupanya mereka mewarnai
rambut dan menyumba kulit mereka yang hitam menjadi kuning!
Setelah tahu ini, Jack tak takut lagi melihat penampilan aneh orang-orang Gunung
Rahasia. Uahh! Kalau cuma cat, tak perlu ditakuti! Diambilnya sebotol cairan
kuning, lalu ia masukkan ke dalam saku. "Untuk kenang-kenangan!" ujarnya girang.
"Kalau kita bisa selamat," pikir Kapten Arnold.
Meninggalkan gudang-gudang tadi, rombongan yang terdiri dari empat orang itu
menuruni lorong melengkung yang beratap tinggi. Mendadak terdengar bunyi
sesuatu. Ternyata mereka sudah berada kembali di tepi sungai bawah tanah. Airnya
berkecipak mengalir deras lewat tengah gua.
"Kalau tidak hati-hati, bisa-bisa kita tersesat," ucap Kapten Arnold, ia
berhenti berjalan, lalu memandang berkeliling. "Mungkin tempat ini dekat dengan
tempat sungainya keluar di sisi gunung, Jack?"
Jack dan Mafumu menggeleng.
"Jauh, jauh, jauh sekali," ujarnya. "Mafumu tak tahu jalan."
Keempatnya melintasi gua, meninggalkan sungai. Mereka tak yakin bahwa sungai itu
adalah sungai yang berujung di air terjun. Kapten Arnold mengira ada dua atau
tiga sungai yang mengalir lewat perut Gunung Rahasia. Menurut perkiraannya,
ketiga sungai itu menyatu jadi satu aliran. Tak ada gunanya mereka menyusur
sungai yang baru mereka tinggalkan.
Mereka menjumpai sebuah pintu aneh. Bentuknya bulat dihiasi bentuk-bentuk
matahari. Dari balik pintu itu terdengar suara orang bicara!
"Mereka bilang apa, Mafumu?" tanya Jack berbisik.
Mafumu mendekat ke pintu. Telinganya yang tajam mendengarkan obrolan orang-orang
di dalam. Sementara ia mendengarkan, mendadak wajahnya jadi pucat! Mafumu
merayap kembali ke tempat Jack menunggu.
"Kata mereka dewa matahari murka," bisiknya. "Mereka kira dewa matahari akan
bakar gunung, karena tak punya hamba yang bisa dijadikan pembantu. Kalau sudah
dapat pembantu, baru dewa itu mau bersembunyi di balik jubah awan hingga hujan
turun. Salah satu di antara kita akan dikurbankan jadi pembantu yang dicari!"
Mafumu bicara separuh dalam bahasanya sendiri dan separuh lagi dalam bahasa
Jack. Jack mengerti maksudnya. Segera ia menceritakan kembali cerita Mafumu tadi
kepada Kapten Arnold dan istrinya. Kapten Arnold berdiam diri lama sekali.
"Itu yang dari dulu kutakutkan," katanya. "Salah seorang di antara kita akan
mereka lemparkan ke kaki gunung untuk menyenangkan dewa mereka! Kita harus
berusaha menemukan Mike, Peggy, Nora, dan lain-lainnya sesegera mungkin! Apa pun
Kitab Mudjidjad 8 Jodoh Rajawali 09 Prasasti Tonggak Keramat Rahasia 180 Patung Mas 6
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama