Ceritasilat Novel Online

Kompilasi Tiga Kehilangan 4

Kompilasi Tiga Kehilangan Karya Dewi Kharisma Michellia Bagian 4


mengikuti penjelasan Tito di muka kelas.) [*]
Dewi Kharisma Michellia, lahir di Denpasar, 13 Agustus 1991. Kini tinggal di Yogyakarta.
Apa Bahagia 24 SANG PENYIHIR, SORCERESS,by Daniel Keyes m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Apa kau hari ini bahagia?"
Kepada pacarnya, gadis itu akan menanyakan pertanyaan yang sama berkali-kali, setiap hari,
setiap saat dia ingat. Namun Pion tak pernah mampu menjawab pertanyaan itu, seperti yang
sudah-sudah. Pion hanya menoleh singkat. Ia masih terlentang di ranjang, sibuk mengetik sesuatu pada
laptopnya. "Bagaimana kuliahmu?"
Prita menghela napas melihat Pion yang lagi-lagi tak merespon pertanyaannya. Alih-alih
berpura-pura tak peduli dan hendak meninggalkan Pion menuju dapur, tanpa sengaja Prita
menyenggol tas belanjanya sendiri. Sambil menggemeletukkan jemari, dia mulai memunguti
bungkus-bungkus bahan makanan yang tercecer di lantai.
Bahan-bahan untuk membuat kue tart dan makanan instan yang akan cukup untuk mereka makan
berdua. "Dini hari ini ulang tahunmu," jawab Prita kemudian. "Kau lupa?"
"Kita sudah bukan pacar lagi," balas Pion, "Kau lupa?"
Prita tersenyum. "Siapa yang memutuskan itu?"
"Aku pernah memelihara seekor landak yang menyebalkan. Kadang dia berlaku menyenangkan,
kadang berbulan-bulan dia menghindariku. Suatu ketika, landak itu benar-benar mati, dan aku
benar-benar dibuatnya menangis berhari-hari ..."
Prita memasang celemek di badannya. Dia tahu, Pion yang sangat logis itu - bila berhadapan
dengan permasalahan yang menyangkut perasaan, tak akan pernah berbicara tepat sasaran dan
tepat guna. Mereka akan selalu perlu berbicara berputar-putar sebelum akhirnya masuk ke
persoalan utama. Memahami karakter Pion, Prita coba mengikuti alur pembicaraan, "Saat itu kau
masih kecil?" "Aku berusia enam belas waktu itu." Pion menjawab datar.
"Berarti sudah cukup dewasa, bila hanya untuk menangisi peliharaan yang mati," sahut Prita.
Kemudian suasana hening kembali.
"Jadi menurutmu siapa yang memutuskan kita sudah bukan pacar lagi?" kali ini Pion yang bertanya.
"Kita kembali ke pembicaraan itu lagi?"
"Boleh aku tidur lebih awal?"
"Hanya bila kau mengizinkanku masuk ke mimpimu untuk merayakan ulang tahunmu di sana.
Tunggu, lah, sampai aku menyelesaikan masakanku."
"Baiklah. Kau ada rencana lain hari ini?"
25 SANG PENYIHIR, SORCERESS,by Daniel Keyes m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Tidak. Aku akan bersantai seharian di sini. Melihatmu menyampah di kamarmu, aku mungkin juga
akan membaca semua buku koleksimu."
"Aku ada acara. Nanti siang aku akan pulang ke rumah dan merayakan ulang tahunku di sana.
Kamu enggak keberatan kutinggal di sini sendiri?"
"Oh, shoot." Prita memotong jemarinya sendiri, tidak terpotong, tapi berdarah. "Gadis itu cantik?"
tanya Prita mencoba bersikap tenang.
Pion mengambilkan kotak P3K-nya, menuangkan alkohol pada kapas, menotol-notolkan yodium,
"Kau mau ikut tidak?"
"Pulang kampung bersamamu?"
"Ya." "Tapi cicipi dulu masakanku."
"Kau memasak dengan tangan berdarah-darah seperti ini?"
"Aku sudah janji akan melakukannya."
"Sekarang kau duduk, tunggu di ruang tamu, aku yang akan memasak."
Dengan paksaan Pion, Prita akhirnya berhasil digeser ke ruang tamu. Di dapur Pion memasak
makanan ulang tahun untuk dirinya sendiri. Ia mulai menekuri buku resep masakan Prita di meja
dapur. Terpikir olehnya, sekian jam berikutnya ia mungkin akan juga membawa kue tart buatannya
untuk orang-orang di rumahnya.
---- Puluhan tahun ke depan, di masa tuanya, ia ingin tinggal di daerah pegunungan. Di sana udara
sejuk, air dingin membekukan. Rumahnya tidak mesti besar, ia tak pernah suka tinggal di villa yang
penuh dengan kamar-kamar kosong. Ia hanya perlu satu ruangan besar untuk dirinya sendiri, tiga
ruangan cukup besar untuk buku-bukunya, dan ruang lainnya semata-mata akan ia jadikan sebagai
pelengkap. Ia ingin menanam apapun yang akan ia makan. Karena ia menyukai penggalian - ia pernah
bercita-cita menjadi seorang arkeolog - ia akan menggali terowongan untuk mendapatkan sumber
mata air yang paling alami di daerah tempat tinggalnya.
Kelak ia juga akan memelihara hamster dan anjing-anjing kecil, membesarkan mereka hingga
penghujung usia. Atau sekalipun ia mati lebih awal dari mereka, ia berniat meninggalkan seluruh
kekayaannya untuk satwa peliharaannya. Sepanjang hari mengelus rambut lebat anjing-anjingnya
ketika ekor-ekor mereka bergerak dan mereka mendekat dengan manja...
Harapan itu tumbuh sebelum ia mengenal Prita. Bertahun-tahun setiap ia berulang tahun,
harapan-harapan ia tambah ke dalam daftar kehidupan masa tuanya di pegunungan.
"Kupikir kau tidak akan pernah merasa cukup atas hidupmu?" ia berujar kepada Prita.
26 SANG PENYIHIR, SORCERESS,by Daniel Keyes m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Prita mendongakkan kepalanya ke angkasa yang kosong. Langit; di mana puluhan tahun lalu Pion
membayangkan burung-burung masih akan beterbangan, di mana di kala malam gemintang akan
berjejeran. "Aku tidak akan pernah merasa cukup," jawab Prita.
"Kau akan berkelana ke sepenjuru dunia, hidup nomaden, menyendiri dengan pemikiranmu." Pion
mendaftar semua rencana yang pernah diutarakan Prita pada kali pertama mereka bertemu.
"Dan di manapun aku akan selalu mencari replikamu," tukas gadis itu sembari mendudukkan dirinya
pada lahan membukit dengan rerumputan yang basah. "Kenapa, sih, aku tak bisa memilikimu?"
"Karena kau terlambat datang" Karena, seperti judul cerpen Puthut Ea, cinta tak pernah datang
tepat waktu," sahut Pion.
"Jangan khwatir, dia cantik. Aku membayangkan kau akan tinggal selamanya dengan gadis itu.
Rumah kecil, satu kamar tidur, tiga ruang untuk perpustakaan, hamster, anjing kecil... kau tahu,
sama sekali tidak menyenangkan membayangkan mimpi-mimpi yang sudah kamu bangun
bertahun-tahun dengan tiba-tiba kandas karena orang lain ikut campur atas hidupmu."
"Selama ini, aku selalu menunda impianku. Tapi dengan tidak menghabiskan seluruh hidupku
dengan orang yang kucintai, kupikir aku sudah membunuh semua impianku," jawab Pion, "Pria
anarkis ini selalu ingin jadi pemusik, arkeolog, bertualang, tapi kemudian ia berakhir di kota asing,
padat polusi, jatuh cinta dengan seorang gadis pasifis yang membenci dunia, tapi ternyata
berbelas-belas tahun sebelumnya, ia telah dijodohkan dengan gadis lain, dan ia terpaksa
meninggalkan gadis yang dicintainya. Kau tahu, rasanya hidupku bukan milikku sendiri."
Prita bangkit berdiri. Matari senja pekat menjingga di balik tubuhnya. Tersenyum, ia berujar, "Tapi
bukannya cita-cita utamamu hanya untuk hidup bahagia di pegunungan dengan segala detail yang
sudah kamu rencanakan jauh-jauh hari" Dan mati dengan keren?"
"Mungkin," jawab Pion, merasa tak pasti akan keinginannya sendiri.
"Kebahagiaan semacam itu pun akan bisa kau dapati tanpa aku, kan?" tambah Prita.
Pion tak mampu menjawabnya, tapi kemudian bibir Prita telah memagut bibirnya, di hadapan
mentari senja. ---- Ia menyajikan tartyang dibuatnya sendiri, kala itu Prita tertawa terpingkal melihatnya kerepotan di
dapur. Kini, gadis itu bahkan menyimpan senyumnya, bibirnya rapat mengunci sambil
menepuk-nepukkan tangan, sementara di sekeliling Pion kerabatnya bernyanyi dengan riang,
menyuruhnya berbahagia, menyuruhnya meniup lilin, dan memotong kue.
Ia diminta memanjatkan doa. Ia memejamkan mata sebentar, dan ketika ia membukakan mata,
seorang gadis sudah mengecup pipinya, "Kebahagiaan menyertai kita, Pion."
Kotak mungil diberikan kepadanya. Cincin di dalamnya, tanpa ia sepenuhnya memahami apa yang
27 SANG PENYIHIR, SORCERESS,by Daniel Keyes m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
akan terjadi nanti, dipasangkannya ke jemari gadis itu. Segera setelahnya, orang-orang bertepuk
tangan. Gadis itu memeluknya erat, tubuhnya tiba-tiba lemas, ia seolah menjadi marionette sang
gadis, karena mereka lantas seolah berputar-putar di sumbu yang sama.
Segera setelah ia sadar, bukan Prita yang berdiri di hadapannya.
"Apa kau hari ini bahagia?" Gadis yang biasanya menanyakan pertanyaan itu - dia berdiri di
hadapan Pion, ke dalam kantung-kantung blazer cokelatnya dia memasukkan tangan, dan memeluk
tubuhnya sendiri. Seraut senyum kecewa diberikannya kepada Pion.
Dunia bagi Pion tiba-tiba berguncang ketika melihat Prita berlalu pergi meninggalkan kerumunan,
namun setiap orang di ruangan itu berlomba-lomba menjadi pembatas antara dunianya dan Prita.
"Linda, kau yakin tetap bersedia mencintai orang yang tidak mencintaimu?" tanya Pion kepada
tunangannya. "Kata ibuku, cinta tumbuh karena terbiasa," senyum gadis itu lebih pekat daripada milik Prita.
Namun mata itu sama sekali tak sama dengan milik Prita yang selalu memancarkan cahaya
kehidupan untuknya. Pion hari itu tahu ia semestinya selalu dapat menjawab pertanyaan Prita. Ia semestinya tahu,
kebahagiannya bukan terletak di ujung dunia. Bukan pula terletak pada orang lain selain Prita. [*]
Dewi Kharisma Michellia, lahir di Denpasar, 13 Agustus 1991. Kini tinggal di Yogyakarta.
Sepotong Kisah Malam Kematian
"Mama, cepatlah sembuh, aku cinta Mama."
Pada malam yang pucat bertemankan gerimis kecil itu, setelah membacakan sekumpulan kisah dari
buku yang dia beli untuk ibunya, Naraya berkemas pulang. Terpikir olehnya ayahnya sedang
menunggu di tempat lain dalam keadaan demam. Dia mengecup dahi ibunya, memeluk wanita yang
telah seminggu koma itu dengan erat. Butiran air mata bergulir d
(http://cerita-silat.mywapblog.com)
28Evelyn Anthony - Pembunuh Bayaran m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
http://cerita-silat.mywapblog.com ( Saiful Bahri - Seletreng - Situbondo )
ari pipi Naraya, mansuh sebelum jatuh. Dadanya sesak saat membayangkan bilamana sebentar lagi
ibunya pergi tiada kembali.
Lorong rumah sakit terasa demikian panjang baginya. Sorot jingga lampu kendaraan terbiaskan
oleh derai hujan yang jatuh. Naraya masih jelas mengingat suatu subuh dengan warna lelap kota
yang sama, kala itu gerimis juga merintik, dia memeluk ibunya yang menggigil di dalam taksi,
tergesa mengantar wanita itu memesan kamar rawat inap.
Tepat sebulan telah berlalu.
Dalam bayangannya, duduk di bathtub, ibunya sedang menusukkan jarum suntik ke dada,
menyedot nanah dan darah dan menuangkannya ke dalam baskom. Berhari-hari kemudian wanita
itu demam tinggi. Naraya bolak-balik memberikan obat, mengompres, menyuapkan bubur, sembari
memaksa ibunya agar bersedia berobat ke rumah sakit.
Tetapi setelah sebulan dirawat, dianjurkan berpuasa, dibiopsi, pada suatu hari ibunya tiba-tiba tak
sadarkan diri lagi. Telah sekian hari lewat sejak saat itu. Bagi Naraya kini, takdir kematian memang
hanya Tuhan yang pegang. Nada dering selulernya melantun dari saku kemeja. "Aku mungkin pulang terlambat." Dia berbicara
di telepon. Taksi berhenti di depannya. Dia naik. "Aku sudah pulang dari rumah sakit. Ibu masih
belum sadar, tapi dia bisa merespon waktu aku bacakan cerita lucu, jemarinya sedikit bergerak. Oh
ya, maaf, sedang bicara di telepon, Pak; tolong ke arah Latumeten, Pak." Dia menutup pintu taksi.
"Ada urusan. Enggak lama, sebentar lagi pulang, kok. Ya, di Latumeten. Hahaha, rahasia.
Pokoknya kalau kamu percaya, aku enggak akan selingkuh."
Mata gadis itu terarah pada jalan yang ramai. Sambil bicara dengan pacarnya, pikirannya tak tentu
arah. "Aku tahu. Iya, sendiri. Bukan masalah, aku naik taksi sekarang. Mau tunggu di rumah" Tadi
kutinggal masih berantakan. Bawa kunci, kan" Kalau tidak, ambil di dalam pot bunga. Yang sebelah
kanan jendela, masak lupa. Enggak usah bersih-bersih. Di kulkas masih ada sisa sarapan yang tak
kuhabiskan. Kalau lapar, kamu bisa ambil."
Terdengar suara pintu dibuka, pacarnya pasti telah mencapai dapur dan memeriksa isi kulkas.
"Iya, aku cuma masak nasi goreng. Terlalu banyak, ya" Maklum, masih terbawa-bawa suasana
tinggal bareng ibu yang suka tambah sampai tiga piring kalau aku yang masak."
Pacarnya terkekeh dan menyuapkan nasi. Kunyahannya terdengar nikmat di telinga Naraya.
"Memangnya besok enggak ada kuliah" Malam-malam begini mampir"!"
Pacarnya menuntut dengan sedikit bercanda dan tertawa-tawa, membawa-bawa beragam alasan
yang ujung-ujungnya agak sedikit terkesan menggombal bagi Naraya. Bagaimanapun, dia suka
mendengar suara renyah Etan di telepon.
1 Evelyn Anthony - Pembunuh Bayaran m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Haha, oh ya aku lupa besok hari Minggu. Jadi sekarang malam minggu, ya" Pantas kamu
repot-repot datang. Biasanya, enggak peduli pacar sendiri. Iya, aku percaya kamu enggak
selingkuh. Jangan sok mengambek, nanti seperti anak kecil. Aku cuma lupa hari, tahu."
Bukankah sewaktu berpacaran, idealnya kamu bisa menjadi seperti anak kecil di depan
pacarmu. - pria itu kembali menuntut. Sudah berapa kali pacarnya itu mengatakan hal yang sama,
batin Naraya. "Iya, iya. Tuh, kan, aku jadi cerewet begini. Seperti nenek-nenek. Aku malas bicara di telepon,
enggak bisa lempar kamu pakai sepatu. Kamu tidur saja kalau kelamaan menunggu, agak larut
sepertinya aku baru pulang."
Separuh perjalanan selanjutnya dia habiskan dengan menyenderkan kepala pada jendela taksi dan
mendengarkan radio dari headset.
Banyak kebetulan terjadi dalam hidupku - kebetulan-kebetulan kecil, seperti yang selalu kamu
bilang. Bertemu denganmu adalah kebetulan yang paling berharga buatku. Sekarang aku sedang
duduk di taman belakang rumahmu, tempat kamu menghabiskan waktu senggangmu, kubaca
matamu dalam ?lbum-album foto, bertanya-tanya kenapa aku begitu terlambat bertemu denganmu"
Jaga dirimu, aku masih menunggu di rumah.
Etan masih sempat-sempatnya menggombal dengan mengiriminya teks panjang. Bukan gaya Etan
yang biasanya. Kamu bilang menunggu" Sudah pernah dengar Rainbow Bridge"Balasannya.
Hei nona pelupa. Kamu sudah kenalkan lagu itu padaku sejak awal kenal denganku, bagaimana
mungkin aku lupa" Sekarang kesempatanku, sudah pernah dengar Melody Fair" Kau tahu, gadis
yang jarang menyisir rambutnya dalam lagu itu mengingatkanku kepadamu... Etan membalas; tepat
ketika taksi yang ditumpangi Naraya telah berhenti di suatu bangunan tua. Sebuah rumah sakit
yang lain. Naraya membayar sedikit lebih mahal dari argo yang tertera hanya karena sopir taksi mengaku tak
membawa uang kembalian. Sudah pernah dengar.Aku jadi ingin menyimpulkan, kita memang selalu mendengar lagu-lagu pop
biasa. "Kondisi bapakmu sudah lebih baik beberapa hari ini. Baru kemarin kami melakukan kejut terapi
untuknya," ujar seorang suster kepada Naraya ketika dia sudah mencapai bangsal tempat ayahnya
dirawat. Naraya membuka selulernya untuk melihat balasan Etan. Hanya agar dia dapat menghilangkan
sedikit penatnya. Gadis kecil satu ini, tak suka lagu-lagunya didengar orang lain" Kuharap aku tak mengenal gadis
dalam lagu itu. Aku tak ingin kamu menangis lagi.
Etan memang selalu mampu membuatnya tersenyum. Namun itu selalu membuat Naraya merasa
Etan terlalu jauh darinya. Mungkin seharusnya Etan menemukan gadis lain suatu saat nanti.
2 Evelyn Anthony - Pembunuh Bayaran m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Menarik juga, kamu selalu memakai lagu-lagu favoritmu untuk merayuku. Akan kuingat semuua ini
bila nanti kau menikahi gadis lain.
Pikirkan sebaliknya, Lady. Aku hanya akan menikahimu. Etan tak pernah bisa dia usir pergi.
Itu akan kuingat juga, dan aku akan tetap menceritakan hal ini kepada istrimu kelak. Kembali dia
mencoba mengusir. Lagi, pria itu kembali. Hahahaha. Kuharap kau menceritakan itu ke dirimu sendiri. Membaca itu,
kemudian dicemplungkannya selulernya ke dalam tas. Naraya lantas mengetuk pelan pintu di
hadapannya. Telah sekian menit dia hanya memperhatikan ayahnya yang tertidur di atas ranjang.
Melihat kondisi ibu dan ayahnya, dia merasa menghidupi hidup yang palsu. Baru beberapa hari
setelah ibunya koma, dia bisa bercerita kepada Etan; namun tidak sekali pun dia pernah
menceritakan tentang kondisi ayahnya. Yang diborgolkan kakinya ke tiang-tiang ranjang, dan
terkadang dibekap mulutnya dengan lakban. Melihat bagaimana lelaki paruh baya itu disuntikkan
beragam obat penenang, menandatangani surat izin untuk memasukkan lelaki itu ke asilum,
menjual beberapa aset untuk membiayai pengobatan kedua orangtuanya, Naraya tidak dapat
membayangkan apa yang akan terjadi nanti.
Bahkan saat demam pun, kaki dan tangan ayahnya masih perlu diikatkan ke tiang-tiang ranjang.
Naraya menghela napas. "Ibu sudah seminggu koma, ayah. Maaf Naraya tak sempat datang selama ini. Kapan ayah akan
sembuh?" bisiknya di telinga ayahnya; lantas merebahkan kepala di ranjang di sebelah kepala lelaki
itu. Dia duduk di sebelah ayahnya sambil melantunkan lagu-lagu masa kecil yang biasa dinyanyikan
neneknya. "Tanpa kalian, rasanya Naraya tak punya siapa-siapa lagi dalam hidup ini."
Cukup lama dia tinggal, hingga Etan mengiriminya pesan singkat lagi. Hei miss late comer. Butuh
jemputan" Tidak. Aku pulang sekarang. Balasannya.
Hampir semua orang di sekelilingnya mengatakan ayahnya telah lama mati, bahkan mereka sempat
menjahili Naraya dengan menawarkan opsi euthanasia untuk ayahnya. Itu sebelum ibunya
diopname dan koma. "Bagaimana kalau saya sudah tidak bisa membiayai biaya rumah sakit?" Sebelum pergi, dia sempat
bertanya kepada suster jaga.
"Besok dibilang saja ke dokternya langsung. Pagi besok datang kemari lagi, mungkin bisa bertemu."
Demikian suster itu menjawab bijak. Sekian menit setelah Naraya berlalu, mereka
menyumpah-serapah agar ayah Naraya segera dikeluarkan dari daftar tanggung jawab mereka.
Merawat pria tua bangkotan itu hanya membuat makan hati.
Sebentar lagi mungkin ibuku mati.
3

Kompilasi Tiga Kehilangan Karya Dewi Kharisma Michellia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Evelyn Anthony - Pembunuh Bayaran m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Sambil menunggu taksi yang lewat, Naraya mengirimkan pesan singkat kepada Etan yang tentu
seperti biasanya masih terjaga di depan televisi.
Tiba-tiba saja telepon masuk. Nomor lokal. Pembicaraan di telepon itu mengabarkan kematian
ibunya yang telah dia prediksikan semenit sebelumnya.
Balasan Etan datang terlambat. Jangan terlalu pesimis. Bukannya ibumu pernah bilang calon
menantunya ini mengenal beliau lebih baik daripada kamu mengenalnya" Aku tahu ibumu akan
hidup seribu tahun lagi. Dia tidak kembali ke rumah sakit tempat ibunya dirawat untuk mengecek jenazah. Dia justru pulang
ke rumah untuk menemui Etan. Sekian menit menatap kosong pada semesta kecil hidupnya,
menyetop taksi di depan rumah, dia menelepon Etan.
"Aku sudah di luar," ujar Naraya.
Di dalam taksi." Lupa bawa payung." Ketika Etan membukakan pintu, tangan Naraya yang sudah gigil-beku kemudian menyentuh
pergelangan tangan Etan. "Tolong temani aku melihat jenazah ibuku," ucap gadis itu dari dalam
taksi. Etan yang berdiri di bawah payung besar yang ia bawa menatap tak percaya ke arah pacarnya.
Tetapi tak menunggu lama pria itu lantas masuk dan duduk di sebelah Naraya, memeluk tubuh
mungil gadis itu sepanjang perjalanan.
Naraya yakin lorong rumah sakit semakin bertambah panjang malam itu. Makin melangkahkan kaki,
dia merasa makin lemas. Jadilah Etan seolah membopong Naraya di pegangannya. Ketika tiba di
ruang jenazah dan melihat keranda, Etan merasakan tubuh Naraya memberat hingga gadis itu jatuh
pingsan. Gadis itu cepat-siuman. Tetapi dia tiba-tiba lupa ibunya telah meninggal. Saat Etan mencoba
mengingatkan, Naraya justru meronta-ronta dan memukul-mukul dada Etan. Meski tak berapa lama,
Naraya kembali pada kondisinya yang sediakala. Datar, dingin, dan tak acuh. Dalam kondisi
terburuknya pun, gadis sociopath itu entah mengapa selalu bisa membuat Etan jatuh cinta.
"Tidak menghubungi keluarga yang lain?" tanya Etan.
"Tidak ada yang bisa kami percaya. Maksudku, aku dan ibuku," sahut Naraya dingin, masih
menatap ke arah ubin. Gadis itu masih menolak untuk melihat jenazah ibunya.
"Tapi kamu harus lihat jenazah ibumu, karena malam ini dia seharusnya dimasukkan ke morgue,"
ujar Etan. "Aku enggak bisa membayangkan aku bisa bertahan hidup. Tanpa kedua orangtuaku, mungkin
aku... Aku dibesarkan sebagai anak yang manja yang selalu..."
"Yang selalu bisa memasak nasi goreng yang enak untuk dirinya sendiri?"
4 Evelyn Anthony - Pembunuh Bayaran m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Aku bicara soal menghasilkan uang sendiri,"
Etan tersenyum. "Naraya, kebutuhan hidup manusia itu sederhana. Makan-minum, tempat tinggal,
dan kebutuhan-kebutuhan dasar yang lain. Itu mudah buatmu, kan, selama masih bisa memasak
nasi goreng untuk diri sendiri" Kamu bahkan sudah punya teman hidup. Masih mencemaskan
apa?" "Aku ingin bisa membesarkan anak-anakku dengan ibuku, agar ibuku hadir di acara wisuda
kampusku, kami berfoto dan tersenyum. Tapi setelah ini, semua harapan itu sudah berakhir."
Naraya menghentikan kata-katanya.
"Kamu bisa membesarkan anak-anak kita denganku. Aku akan hadir di acara wisudamu, dan bukan
hanya di hari itu, aku akan juga menemanimu seumur hidupmu." Etan berbisik.
"Aku tak bisa..." Naraya memotong keras, "Kamu juga tak akan bisa," kisiknya kemudian.
"Kenapa aku tak akan bisa?"
"Setelah ini, aku mungkin enggak akan melanjutkan kuliahku. Aku akan pergi darimu. Aku mungkin
akan memutuskan hidup selibat, tidak punya anak. Aku akan..."
"Jadi, kamu akan menghancurkan hidupmu" Kamu pikir aku akan membiarkanmu melakukannya?"
"Aku hanya enggak mau orang-orang merasa kasihan kepadaku."
"Sekarang, apa aku terlihat seperti mengasihanimu?"
Naraya tersenyum, lantas melangkahkan kakinya ke arah keranda.
"Apa aku begitu, Naraya?" Etan mengikuti langkah Naraya, melihat gadis itu membukakan keranda,
melihat jenazah ibu Naraya terbaring di sana.
"Meskipun enggak, aku akan tetap berpikir begitu."
Etan melihat Naraya memejamkan mata dan membacakan doa, lalu mencium tumit kaki ibunya.
"Kenapa?" Etan bertanya ketika Naraya telah membuka mata.
"Selama ini kupikir aku sudah enggak butuh lagi orang-orang muncul di hidupku."
"Aku tak sekadar muncul. Aku akan tinggal," balas Etan sengit, mulai tak bisa menahan emosinya.
"Sudah enggak ada ruang kosong lagi untuk siapapun," jawab Naraya, berjalan menuju ke arah
petugas administrasi, lantas dia menandatangani beberapa berkas pemindahan jenazah ibunya ke
dalam morgue. Etan diam saja selama Naraya menyibukkan diri dengan petugas yang memindahkan ibunya ke
morgue. Hingga setelah segala urusan usai dan Naraya lantas pergi meninggalkan ruang jenazah,
Etan mengejarnya dan menagih jawaban, "Kenapa begitu tiba-tiba?"
5 Evelyn Anthony - Pembunuh Bayaran m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Karena ibuku juga meninggal dengan tiba-tiba," jawab Naraya, berjalan menyusuri lorong.
"Bukan itu.Aku tanya... Kenapa tiba-tiba kamu kuat berjalan secepat ini" Sendirian?" Etan bahkan
perlu mengejar langkah cepat Naraya untuk meraih pergelangan tangan gadis itu.
"Tolong lepaskan aku,"
"Kenapa kamu memintaku untuk menemanimu ke sini - kalau sekarang kamu mengusirku?"
"Hanya agar kau tahu aku juga bisa menjadi jahat. Kamu perlu memikirkannya berkali-kali untuk
menikahiku. Lagipula, aku enggak tertarik lagi menikahimu."
"Kenapa tidak?"
Naraya melempar pegangan Etan. "Aku tak menginginkanmu."
"Kenapa kamu tidak - ?" Etan memaki, "Kenapa kamu tidak merasa malu mengatakan itu
sekarang" Ibumu baru saja meninggal, dan kamu membuat drama semacam ini"Di dalam
morgueibumu membeku, dan kamu bahkan enggak bisa berpikiran wajar. Kamu sudah gila apa?"
"Jangan memaki padaku."
Etan menarik tangan Naraya, berjalan kembali ke arah ruang jenazah. "Aku enggak akan memaki
bila kamu bisa berpikir waras. Apa kamu pernah pikir hidup seperti apa yang akan kamu jalani kalau
kamu kabur dari hidupmu sekarang?"
"Aku akan memikirkannya nanti setelah aku sudah berada di tengah hutan,"
"Setidaknya jadilah putrid yang berbakti." ujar Etan lirih. Naraya terdiam. "Ojo mung waton. Jangan
hidup sembarangan." tambah Etan.
Ia mendudukkan Naraya di kursi tunggu ruang jenazah. Di sana gadis itu masih mencoba
melepaskan pegangan tangan Etan. Namun Etan menarik kepala Naraya ke bahunya. Tak berapa
lama, bahu itu kemudian basah.
"Aku seperti memanfaatkan situasi, ya" Harusnya aku enggak membuat drama semacam yang tadi
kulakukan," ujar Naraya kemudian, lebih dapat mengontrol emosinya.
Etan menepuk-nepuk kepala Naraya. "Bila aku jadi kamu, mungkin aku akan melakukan hal yang
sama." "Benar?" "Kamu pikir kenapa aku merasa nyaman berada denganmu?" ujar Etan, "Aku merasa kita seperti
cermin. Kupikir, waktu aku seusiamu, dan harus menghadapi kejadian seperti ini, aku akan
melakukan hal yang sama."
"Cuma karena itu?"
6 Evelyn Anthony - Pembunuh Bayaran m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Aku akan sedih melihatmu menghancurkan hidupmu. Aku dulu pernah melakukan kesalahan yang
sama. Cuti kuliah setahun hanya untuk mengasingkan diri, menghabiskan uang tabunganku untuk
naik kapal menyeberang pulau. Hidup lama di sana, orangtuaku yang bahkan sudah kuberitahu ke
mana aku pergi pun waktu itu menyangka anaknya sudah mati di pedalaman." Etan lantas tertawa
dan mengusap-usap rambut Naraya, "Aku tak ingin kamu mengulangi kesalahan yang sama. Kalau
kamu benar-benar ingin tahu, kamu bisa duduk saja di sebelahku dan kuceritakan semua yang
kamu perlu tahu."tambahnya.
"Kenapa kamu terlalu baik kepadaku?"
Etan mengerutkan dahi, menatap sangsi ke arah Naraya dan tersenyum, "Kenapa kamu
mengatakan kata-kata klise itu" Aku membacanya di novel-novel picisan."
Naraya tersenyum. "Jadi aku harus kembali murung?"
Etan tertawa dan menatap Naraya dengan jahil. "Ya, kita sedang berada di ruang jenazah - kalau
kamu sudah lupa." Naraya menginjak kaki Etan. "Cerita ini sangat Mary Sue," ujar gadis itu sambil tersenyum lebar.
"Setidaknya aku senang," ujar Etan, kembali menarik Naraya ke pelukannya.
Naraya mengarahkan pandangan kepada orang-orang yang juga bermalam di sekitar mereka,
semua orang itu telah tertidur sekenanya di sekitar ruang jenazah. Menyadari kondisi jiwanya
tiba-tiba berubah drastis, Naraya memperhatikan pacarnya lekat-lekat "Kau membuat hidupku
berjalan aneh," ujar Naraya.
"Kau membutuhkan itu, Naraya. Akan klise jadinya kalau kau menangisi apa yang orang lain biasa
tangisi. Dan malam ini kau butuh tidur lebih lelap dari biasanya." [*]
Dewi Kharisma Michellia, lahir di Denpasar, 13 Agustus 1991. Kini tinggal di Yogyakarta.
Takdir pada Suatu Fiksi Petang itu anjingku menyalak ketika tetanggaku berdiri di pagar rumahnya. Dengan tangan
menjinjing bungkusan plastik ia membuka pagar dengan rangkaian kunci di tangannya. Pria itu
orang baru di perumahan kami. Aku tak jelas tahu dari mana ia berasal, kami belum pernah
bertegur sapa sebelumnya. Yang jelas, ia selalu pulang larut malam, selalu membawa bungkusan
plastik makanan bersamanya.
Tirai tipis di kamarnya di lantai dua membuat bayangan tubuhnya terlihat jelas ketika disoroti sinar
lampu. Aku selalu dapat memerhatikan apa yang dilakukan pria kurus berkacamata itu setiap
malamnya. Biasanya, setelah menikmati sesuatu di meja makan, ia akan bergerak ke arah tengah ruangan,
7 Evelyn Anthony - Pembunuh Bayaran m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
duduk menghadap layar, mengetik sesuatu, menghabiskan malam duduk di sana sampai pukul dua
pagi, lantas beranjak tidur dan kembali duduk di depan layar setelah dua jam lewat. Ia selalu hanya
tidur sesebentar itu setiap malamnya. Mungkin pekerjaannya menuntutnya bekerja lembur di rumah
untuk menyelesaikan tugas kantor yang tak sempat selesai. Atau seperti yang diramalkan ayahku
ketika aku meminta pendapatnya tentang identitas tetangga baru kami itu, pria itu barangkali
berprofesi sebagai penulis, atau jurnalis; bagiku sama saja, ia melakukan hal itu karena tuntutan
pekerjaan. Tetapi malam itu ia nampak sedikit berbeda. Ia menghabiskan waktu cukup lama untuk merapikan
rumah, menikmati makanan di meja makan, sebelum akhirnya ia berjalan ke arah yang berlawanan
dari rumahku. Ia berjalan terus ke seberang, hingga bayangannya hilang. Sekadar tahu bahwa pria
itu barangkali tertidur di ruangan berbeda di rumahnya, aku lantas menutup tirai kamar dan
melanjutkan tugas kuliahku.
Malam itu tanpa berpikir banyak, aku tertidur dengan headset masih menempel di telinga dan ketika
terbangun esok paginya kulihat laporan praktikumku luntur terendam susu yang tak sengaja
kutumpahkan saat tertidur. Tidak biasanya aku terbangun begitu subuh, padahal aku baru bisa tidur
pukul dua dini hari tadi.
Setelah meminum segelas besar air yang selalu ditaruh ibu di meja di depan kamarku, aku berjalan
menuju dapur, di mana di sana aroma masakan ibu sedang menguar kuat.
"Tetangga kita yang baru saja pindah minggu lalu tadi pagi masuk rumah sakit. Beberapa tetangga
merumorkan kematiannya." Ibu berujar sembari mengaduk kuah di dalam panci.
Aku yang sedang mengupas bawang dengan pisau tentu kemudian menoleh dengan refleks. Aku
tiba-tiba membayangkan; bagaimana rasanya mati" Apakah seperti cerita Kafka dalam karyanya,
'Metamorfosis'; rasa kematian sama seperti ketika seseorang berubah wujud menjadi serangga
pada suatu pagi yang samar" Dan ia tiba-tiba bukan lagi manusia, dan ketika berubah menjadi
serangga ia lantas kehilangan segala ingatannya akan dunia"
"Meninggal kenapa, Bunda?" tanyaku lekas-lekas - karena aku masih melihatnya hidup tadi malam
sebelum tertidur. "Loncat dari lantai dua rumahnya."
Hanya hal seperti itu; bisa membuat seseorang mati"
"Setelah memutus nadinya dan menenggak racun."
"Bunda mendengar itu dari tetangga-tetangga kita?" tanyaku - bagaimana bisa ibu masih bisa
kelihatan begitu santainya memasak di dapur dan tidak melayat ke rumah tetanggaku itu"
---- Aku terkesima. Apakah Tuhan benar-benar berada di masa depan dan menulis tentang takdir-takdir
di masa lalu" Pria itu tidak mati, karena Tuhan"
Pria itu tidak mati. Ia hanya berhenti bernapas sebentar dan, kudengar dari tetanggaku, ia masih
perlu dirawat di rumah sakit. Semua orang, setiap membicarakan tentang kejadian itu, berkata
8 Evelyn Anthony - Pembunuh Bayaran m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
dengan nada pasti bahwa pria itu akan baik-baik saja. Meski kami semua merasa lega ia tidak mati
(selama ini belum pernah ada kejadian bunuh diri terjadi di kompleks rumahku), kurasa percobaan
bunuh dirinya benar-benar bukan sesuatu yang biasa.
Aku heran ia bisa selamat. Ia melakukan tiga lapis proses untuk mati: pertama, ia meminum segelas
cairan pembersih lantai (ada buktinya di kamarnya), lalu memutus nadi tangan (ada bekasnya di
tangannya ketika tubuhnya ditemukan tergeletak di trotoar), dan loncat dari lantai dua kamarnya
(untungnya kepalanya tidak membentur tanah, meski kabarnya tulang lengannya patah). Dan
karena pria itu tidak mati, aku berkesempatan untuk mengunjunginya di rumah sakit.
Seisi keluargaku mengamanatkan kesempatan itu kepadaku dengan alasan: ibu sibuk mengurusi
arisan satu kelurahan, ayah ada lembur (berhari-hari) di kantor, dan kakak sulungku yang tak bisa
kuandalkan tentu saja sudah langsung menolak ajakanku tanpa aku sempat berkata-kata, dengan
lagaknya yang selalu semau gue; ia tentunya lebih memilih mengurung diri di kamarnya untuk
bertransformasi menjadi seorang otaku, ketimbang menggandeng adik bungsunya menemui
seorang stranger. Dan seperti biasanya, mereka mengirimku untuk menjenguk orang (biasanya tetangga yang mana
ibu dan ayah tidak begitu kenal akrab) ke rumah sakit, seperti biasanya pula mereka menjadikanku
sebagai kurir buah. Tentu itu berarti ibu dan ayah menitipkan sedikit uang untuk kutukar dalam
bentuk buah yang bisa kujinjing bersamaku, dan mewanti-wanti agar aku ingat menyampaikan
pesan-pesan positif yang barangkali berguna bagi pria itu. Tentu, kami sama-sama belum pernah
berinteraksi dengan tetangga kami yang satu itu.
Aku membayangkan apa yang akan pria itu sukai ketika aku mengelilingi toko buah siang itu. Aku
tak punya bayangan buah apa yang disukai oleh pria dengan kebiasaan merokok semalam suntuk
(mungkin ia menghabiskan lebih dari empat pack rokok dalam sehari) yang hanya meluangkan
waktu untuk tidur dua jam sehari (mungkin ia melanjutkan tidur di busway). Dengan kebiasaan
hidupnya yang seperti itu, ia barangkali memang sudah memiliki niat yang kuat untuk mati, so why
on earth would he need something like... fruits - all of these nonsense"
Seketika aku berubah pikiran, dengan aura yang lebih positif, bagaimanapun kupikir Tuhan telah
memberikannya kesempatan untuk hidup. Setelah cukup lama menimbang-nimbang, aku menjadi
tidak peduli lagi pada buah apa yang akan pria itu sukai. Aku asal saja memasukkan buah-buah
favoritku ke dalam daftar belanja.
Aku tidak tahu bagaimana seorang pria suicidal akan menanggapi buah tanganku. Aku tak punya
bayangan apa yang akan aku katakan, atau bicarakan, karena mungkin saja setelah menaruh buah
dan sedikit berbasa-basi mengucapkan 'semoga lekas sehat', aku bisa segera berpamitan pulang
dan that's it" - tapi aku akan tetap datang, apapun yang terjadi nantinya.
Pria itu sedang mencoba mengupas apel ketika aku datang. Sekeranjang buah terletak di sisi
kasurnya. Banyak bingkisan lain kulihat berderet-deret di kamarnya. Mungkin hari ini ia tidak butuh
kunjungan tambahan. Aku melirik keranjang buah yang kubawa - lagipula, baru kusadari aku tak
pernah punya bakat mengupas buah.
Pluk. Hampir saja aku berjingkat berniat pulang. Tetapi sepertinya ia melihat wajahku dari jendela mini
pada pintu kamarnya karena kemudian ia melemparkan sesuatu ke arah pintu. Aku menoleh
9 Evelyn Anthony - Pembunuh Bayaran m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
kembali, dan kulihat ia menyeringai. Terpaksa kubuka pintu, dan kulihat pisau yang tadi
digunakannya untuk memotong apel kini telah menancap di pintu. Potongan-potongan apel
berserakan di lantai. Aku memicingkan mata. "Kau melempariku pisau"!" Aku tiba-tiba memaki.
Di ranjangnya ia terkekeh. "Kau tetanggaku, bukan?" tanyanya.
Aku meletakkan keranjang buahku di buffet tempat televisi. "Kau bisa bayangkan seandainya pintu
ini tidak ada dan kau melempar pisau ke punggungku?"
Ia kembali tertawa. "Kau gadis yang sering terjaga sampai pagi itu, kan" Baru tidur setelah aku
berpura-pura tidur?"
Sama sepertinya yang tak memedulikan makianku, aku pun tak menghiraukan kata-katanya. "Aku
hanya diminta untuk mengantarkan ini oleh orangtuaku. Kata mereka, kau seharusnya menjadi lebih
positif." Kuhentikan kata-kataku untuk menimbang-nimbang lagi apa yang akan aku katakana, "Kau
tahu bagaimana perasaan orang-orang yang mati bahkan sebelum impian mereka tercapai?"
Pria itu tertawa, "Menurutmu aku masih hidup sekarang?" ia bertanya dengan nada lembut.
"Yes, for sure," jawabku.
"Tak pernah ada orang yang tahu aku sudah mati. Duduklah. Biar kuceritakan sesuatu..." ia
meminta. "Kau tahu, aku masih marah karena kau melempariku pisau. Aku sudah bilang aku hanya ditugasi
mengantar buah. Dan sekarang, aku harus pulang."
"Setelah bercapek-capek kemari dengan menumpang angkutan umum, menghabiskan waktumu
menunggu kemacetan di jalan usai, kau yakin mesti pulang cepat" Tidak merasa nyaman di
ruangan ber-AC?" ia beretorika.
Aku mengamit tasku untuk bergegas pergi; ketika gerimis hujan tiba-tiba menyentuh permukaan
jendela. Lantas hujan melebat. Dan pria itu tertawa hebat, merasa menang.
Aku lantas duduk. Ia menyalakan televisi dengan remote di tangannya.
"Kau tahu bagaimana rasanya mati tanpa seorang pun datang ke pemakamanmu?" tanyanya.
Aku menggeleng. "Aku belum mati. Dan lagipula hal semacam itu tidak akan pernah terjadi dalam
sejarah hidupku, semua orang dalam hidupku menyayangiku, mereka akan datang," ujarku mantap.
"Aku sudah mati bertahun-tahun lalu, tak seorang pun pernah berziarah ke pemakamanku. Bahkan
tak seorang pun mengetahui kematianku. Rasanya dingin." Ia menunjuk pada parsel-parsel yang


Kompilasi Tiga Kehilangan Karya Dewi Kharisma Michellia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghiasi kamarnya. "Kau tahu dari mana datangnya bingkisan-bingkisan ini?"
Aku menggeleng. Aku tak suka orang-orang melankolis.
Ia tersenyum. "Aku meminta para perawat membelikannya untukku."
10 Evelyn Anthony - Pembunuh Bayaran m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Aku menelan ludah. Aku tiba-tiba merasa iba.
"Aku mungkin tidak mati secara fisik. Karenanya, dalam hidupku, kupikir aku hanya perlu
menyelesaikan satu hal lagi - setelah kematian jiwaku. Bulan kemarin, satu hal itu telah selesai.
Jadi aku memutuskan untuk bunuh diri, di suatu tempat baru di mana orang-orang tidak
mengenaliku." "Karena itu kau pindah ke kompleks perumahanku?" Aku menebak.
"Aku heran kenapa bisa gagal. Sebelum terjun dari kamarku, aku sudah menenggak racun dan
menyayat nadiku." Aku menoleh ke arah pisau yang tadi kuletakkan di sebelah bingkisan buahku. Pisau yang tadi ia
lempar ke arah pintu. Bisa-bisanya para perawat memberikan benda itu kepadanya"
"Tanpa kamu sadari, ada hal lain lagi yang perlu kamu penuhi" Um, memangnya hal apa yang
sudah kamu selesaikan?" tanyaku.
Ia tersenyum, nampak lebih bahagia, "Aku berhasil menamatkan seratus cerpen berseri. Tapi
mungkin ada hal-hal lain yang perlu kulakukan sebelum mati. Menerbitkan kumpulan cerpen itu
secara independen mungkin..."
Aku menghela napas. "Kamu tak pernah memikirkan apa pikiran pembacamu ketika membaca
cerita karangan seorang penulis yang mati karena bunuh diri?"
"Memangnya kenapa" Novel-novel religius bisa saja asalnya dari pengguna narkoba atau peminum
alkohol." "Sepalsu itu, ya, kehidupan kalian para penulis?"
"Cita-citamu apa?" ia bertanya kemudian.
"Belum tahu. Tapi aku sekarang berkuliah di jurusan pilihan orangtuaku."
"Menyenangkan?" tanyanya.
Aku tersenyum, "Mungkin. Sejauh ini."
"Aku menulis tentang hal-hal palsu di dunia ini, seagala yang superfisial. Orang-orang yang
menghidupi kehidupan orang lain. Kupikir kamu melakukan itu dalam hidupmu."
"Kamu seperti sudah bisa menebak apa yang akan aku katakan. Lagipula di saat kau tak tahu jalan
apa yang harus kau pilih, bukannya lebih baik mengambil jalan yang telah dipilihkan orang lain
untukmu?" jawabku sambil menghela napas.
Ia tergelak. "Sudah lama rasanya tidak berbicara dengan sesama manusia. Selama sebulan ini,
setelah sebulanan membatalkan niatku untuk mati, aku menulis sesuatu tentangmu. Kupikir sedikit
banyak tulisanku itu akan mengubah caramu berpikir tentang hidup. Kamu terlalu pesimis, kamu
tahu." 11 Evelyn Anthony - Pembunuh Bayaran m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Jadi sebenarnya ada satu cerita tentangku?" aku bertanya.
"Ya, dan ternyata karaktermu memang sesuai dugaanku, persis dengan apa yang kutulis dalam
ceritaku." "Tapi, setelah menyelesaikannya, kamu memutuskan untuk mati?"
Ia tertawa. "Di sana aku menanamkan harapanku. Aku tahu harapan itu tidak akan terwujud. Jadi
aku pikir..." ia menghentikan kata-katanya, "mungkin, kamu perlu membaca cerita itu."
"Bagaimana caranya?" tanyaku. "Kamu membawa naskah itu bersamamu?"
Ia menyerahkan serentetan kunci (yang biasa kulihat setiap ia membuka gerbang rumahnya)
kepadaku. "Naskahku aman di dalam komputerku. Password-nya ini..." Ia lantas juga menunjukkan
ketikan password di layar ponselnya kepadaku. Hujan mereda secara tiba-tiba, dan justru pria itulah
yang mengusirku, "Katanya kamu tadi mau pulang?"
Setuntasnya menikmati makan malam (dengan memasak sendiri sepiring nasi goreng telur mata
sapi), memastikan ayah dan ibu belum pulang dan kakakku sibuk dengan keotakuannya, aku
berjalan menuju rumah tetanggaku.
Anjingku sendiri menggonggongiku ketika aku membuka gerbang rumah si pria dengan serangkaian
kunci di tanganku. Aku melewati garis batas polisi yang menandakan bahwa rumah itu sempat
beberapa hari menjadi TKP (dan setelah mereka mebemukan bahwa pria itu masih hidup, garis itu
tentu sudah tidak lagi berarti apa-apa).
Rumahnya cukup rapi untuk ukuran pria. Dan tentu saja sempat ada aparat keamanan yang
sebelumnya telah menyisir ruangan-ruangan di sana. Aku segera menuju ke kamarnya (yang
selama ini hanya bisa kulihat dari jendela kamarku). Terdapat banyak ilustrasi dan poster-poster
strategi politik, buku-buku yang sebagian besarnya adalah karya literatur bangsa China, ada juga
beberapa novel-novel ringan, komik, dan alat gambar.
Hingga mataku kemudian mencapai komputer yang diletakkan di pojok ruangan. Kurogoh sakuku
untuk menemukan catatanku. Kumasukkan password dan mulai berkenala menelusuri
tulisan-tulisan pria itu di dalam satu folder. Aku terkesima karena ia benar-benar menulis begitu
banyak karya. Kusetel modified, pengelompokkan file berdasarkan akses yang dilakukan paling
terakhir. Kemudian kutemukan sebuah tulisan, dan namaku dijadikan judul tulisan itu. Ia bahkan
tahu namaku, batinku. ---- Halo, apa kabar" Aku tahu satu-satunya jalan untuk menemuimu adalah dengan melakukan
percobaan bunuh diri (aku terlalu malu untuk mengetuk pintu rumahmu), karena mungkin kamu
akan datang menjengukku. (lagipula kisah ini sudah tertulis di dalam fiksiku).
Dan saat kau datang, aku akan menceritakan beberapa hal, mengenalmu lebih dekat, berinteraksi
dengan karakter di dalam tulisanku sendiri.
Jadi, kalau kamu sudah membaca ini, aku tahu aku telah sukses memenuhi rencanaku. Namamu
12 Evelyn Anthony - Pembunuh Bayaran m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Arinda, apa aku benar" Aku Adrian. Susunan nama kita hanya seperti acakan huruf saja, ya"
Ketika aku mulai menulis cerita tentangmu, aku bukan penulis fiksi. Saat itu aku hanya seorang
mahasiswa tingkat akhir, mengambil jurusan Akuntansi, bosan mengerjakan skripsi, dan dari awal
mengerjakan skripsi hingga sidang, aku menulis... seratus cerita pendek.
Semuanya bercerita tentangmu. Aku tahu kita belum pernah bertemu sebelumnya. Aku juga heran
mengapa aku menulis semua itu.
Kau pernah membaca Thoreau" Awalnya aku hanya ingin menghilang dari dunia. Kau tahu
orang-orang yang berkelana ke tengah hutan karena mereka merasa bosan dengan kehidupan
yang superfisial" Sudah lama rasanya aku ingin membakar semua identitasku, dan bertualang ke
sepenjuru dunia. Tapi kau tahu, urusan dokumen negara (membuat paspor dan lain sebagainya)
sangatlah rumit untuk orang yang tak suka banyak berpikir sepertiku. Every child grows up, except
one. Dulu pernah kupikir cerita tentang si bocah Peter Pan hanyalah rekayasa, supaya membuat
orang-orang dewasa menolak kehidupannya sendiri, menolak menjadi tua. Tapi setelah kupikir-pikir
lagi, mungkin keinginanku untuk melakukan pengasingan sebenarnya berkaitan dengan harapanku
untuk selamanya menjadi kanak-kanak. Tidak direpotkan dengan kerjaan bertumpuk dari kantor,
tidak perlu berpura-pura berperilaku dengan penuh etiket di masyarakat, tidak dirusak dan diubah
oleh orang-orang di sekitarku.
Ketika menulis tentangmu, aku merasa tidak tumbuh besar. Rasanya menyenangkan. Yah, aku
pernah ingin menghilang. Namun kemudian aku terjerat untuk menulis satu cerita tentang seorang
gadis yang merasa tersesat di dunianya sendiri. Rasanya seperti menulis kisah Alice's Adventure in
Wonderland. Hingga akhirnya, pada cerpen keseratus, ceritamu tamat. Saat itu keinginanku untuk
mati atau sekadar menghilang dari dunia benar-benar sudah memuncak. Tapi kemudian aku iseng
mencari nama lengkap karakterku di internet, dan aku menemukanmu.
Aku tahu kau pasti tidak mengerti. Tetapi kalau kau menjadi seperti aku, penulis yang menulis
tentang orang yang benar-benar ada, mungkin kau akan mengerti"
Segera setelah kamu selesai membaca ini, tolong hubungi aku, ya" Kurasa aku perlu
membicarakan sesuatu denganmu. Pernah menonton film Stranger than Fiction"
---- Ia menyertakan nomor ponselnya di akhir suratnya. Aku mulai membuka folder yang memuat
seratus cerpen seperti yang ia bilang dan, sambil membaca-baca, aku mencoba menelepon nomor
ponsel yang tertera di sana. [*]
Dewi Kharisma Michellia, lahir di Denpasar, 13 Agustus 1991. Kini tinggal di Yogyakarta.
Hadiah untuk Kejujuran Mira
Sore itu saat aku pulang dari kegiatan ekstrakurikuler di sekolah, ibu masih berkutat dengan
13 Evelyn Anthony - Pembunuh Bayaran m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
bacaannya di rang tamu. Aku sudah menghafal kebiasaannya. Yang seumur hidup ibu akan
lakukan adalah mencari sebuah novel yang menuliskan kisah tentangnya karena dia percaya kisah
semua orang yang hidup di dunia ini sudah pernah tertulis sebelumnya.
Setelah kutaruh tasku di atas meja belajar, aku menuju ke arah dapur. Meja makan kosong, hari ini
ibu tidak memasak. Setelah pulang kantor, ibu pasti mampir ke toko buku langganannya dan
membeli buku baru. Dan sudah bisa ditebak dia akan membacanya sampai sore begini.
"Mira, buatkan Ibu mi goreng telur mata sapi, ya!"
Herannya, ibu masih selalu peka untuk memenuhi naluri kehidupannya. Dia bahkan tidak sadar saat
aku pulang tadi dan melintas di depannya di ruang tamu. Tapi dia tahu aku kelaparan dan mencari
makan di dapur dan dia minta dimasakkan mi juga!
"Ibu, besok ada pertemuan orang tua dengan wali kelas," kataku sambil meletakkan sepiring mi
goreng dan telur mata sapi di atas meja.
Ibu melipat tepi atas buku yang sedang dibacanya lalu diletakkannya di sofa di sebelahnya. "Wah,
dalam rangka apa?" "Mira ranking dua enam, Bu. Urutan dua empat dari bawah. Nilai rapor Mira banyak yang merah.
Kata wali kelas, kalau enggak masuk dua puluh besar, orang tua wali harus mengambil rapornya ke
sekolah." "Memangnya Mira enggak bisa di pelajaran apa?" Ibu memutar-mutar mi-nya, seperti biasa ia tidak
terlalu mempermasalahkan prestasi akademisku yang payah.
"Biologi, Fisika, Kimia, sama Matematika. Bahasa Prancis juga, sih."
Ibu tertawa mendengar jawabanku, "Iya, nanti kelas dua Mira pilih jurusan IPS."
Bagaimana bisa" Ibu dan ayah, kan, jurusan IPA! Kok, bisa-bisanya ibu bilang begitu"
"Iya, Mira nanti kalau besar mau jadi pelukis."Aku menjawab. Tidak peduli apapun yang akan
dibilang ayah nantinya, batinku.
Ibu tertawa sampai terbatuk-batuk. Aku pergi ke dapur untuk mengambil dua gelas air.
"Walau sebenarnya Mira maunya menjadi seperti ayah," jawabku sambil menyerahkan segelas air
kepada ibu, "Kerja di kantor, di ruang kerja juga menseriusi baca-baca buku tebal. Dan ayah
kelihatan menyukai apa yang dia kerjakan. Sampai pulang malam karena itu pun, enggak jadi
masalah buat Ayah. Ayah hebat."
Lagi-lagi ibu tertawa mendengarkan penjelasanku. "Yang bisa menjadi seperti ayah cuma ayah
sendiri. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang bisa menjadi seperti orang lain. Coba bayangkan
kalau yang menjadi Mira itu bukan Mira, jadinya bagaimana?"
Dengan garpu masih tergantung di udara, aku menatap tubuhku sendiri atas-bawah. Kalau idola di
sekolahku yang jadi aku, mana mungkin dia jadi idola sekolah. Kurus dan tinggal tulang, rambut
berminyak, muka pucat. Mirip zombie. Lalu, kalau juara umum di sekolahku punya otak seperti aku
14 Evelyn Anthony - Pembunuh Bayaran m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
yang hanya suka mengkhayal dan menulis cerita, menggambar komik, menyanyi dan joget-joget
aneh di kamar, mana mungkin dia jadi juara umum paralel satu sekolah!
"Ayah, kan, enggak punya jiwa seni sama sekali. Mengambar saja enggak bisa. Ayah paling-paling
cuma bisa melihat gambar preparat di bawah mikroskop. Pokoknya ayahmu pasti enggak bisa kritik
lukisan, deh, kalau nanti Mira punya kesempatan ngadain pameran di galeri."
Tiap kali mengobrol personal dengan ibu, aku merasa kehilangan pegangan. Orang tua biasanya
punya patokan pasti yang harus dicapai oleh anak-anaknya. Tetapi ini, sepertinya kalau aku tidak
menjadi apa-apapun takkan menjadi masalah besar bagi ibu.
"Setiap orang punya perannya sendiri," tambah ibu seolah bisa membaca pikiranku.
"Kalau begitu, harusnya yang tadi memasak mi itu ibu," keluhku.
"Kalau Ibu yang masak, jadinya enggak akan seenak buatan Mira, dong. Jadi bagaimana tadi di
sekolah?" Mendengar kata sekolah, yang kuingat bukan tentang mata pelajaran, tapi cowok itu. Aku tak
mungkin cerita pada ibu. Nanti ibu pasti akan bilang kalau cowok mengesalkan itu memang punya
perannya sendiri untuk hidup sebagai cowok usil yang tidak tahu malu.
Ibu mengangguk seolah paham, "Kok, diam" Memangnya ada apa?"
"Aku remed Fisika," jawabku. Tapi ada beberapa orang di kelasku yang nilainya masih di bawahku.
Lagipula aku memang tidak pernah menyukai pelajaran itu.
Ibu mengelus rambutku. Sejurus kemudian, dia lalu melangkah ke ruang bacanya.
"Coba kamu baca buku-buku ini." Ibu memberikan beberapa buku tebal kepadaku.
Aku menarik napas. Aku tidak pernah punya hobi baca buku.
"Semua hal itu harus seimbang, Mira. Sekarang Mira harus tahu semua hal. Supaya Mira bisa
benar-benar tahu hal apa yang Mira benar-benar sukai dan ingin tekuni."
Aku melihat-lihat sampul buku-buku itu. Buku tentang pohon ilmu pengetahuan, Epistemologi,
Filsafat Ilmu, ... tokoh-tokoh besar dunia, tokoh-tokoh pemenang nobel, "Lalu kalau ternyata peran
Mira hanya sebatas menjadi pelukis yang tidak terkenal?"
"Kalau begitu Mira memilih jalan hidup yang keliru."
"Ibu dan ayah juga tidak terkenal," cetusku asal.
"Berarti ibu dan ayah sudah salah memilih jalan hidup."
Jawaban ibu santai sekali! Aku terkesima. "Lalu ibu tidak masalah dengan itu?"
"Kalau seseorang benar-benar menyukai hal yang dia lakukan, dia pasti akan melakukan yang
terbaik dalam hal itu. Tapi kalau dia benar-benar sangat menyukai bidangnya, menjadi terkenal itu
15 Evelyn Anthony - Pembunuh Bayaran m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
bonus." Kepalaku sakit, "Ibu, mi-ku enggak habis. Aku pusing. Aku ke kamar, ya."
"Jalan hidup yang benar itu ... pilihan yang akan mengantarkan banyak hal-hal positif lainnya ke
dalam hidup seseorang. Sepanjang apapun perjalanan yang ditempuhnya untuk itu." Ibu
mengatakan itu ketika aku berjalan ke arah kamar.
Dari dalam kamar, kudengar suara ibu sedang mencuci piring. Kupeluk bantalku. Apa aku akan bisa
sehebat Pablo Picasso" Atau Affandi"
Tapi aku tidak punya bakat besar apa-apa lagi selain melukis. Dan juga, tidak ada orang-orang
yang tahu kalau aku bisa melukis apabila aku tidak memberitahu terlebih dulu. Itu pun hanya
segelintir teman dekatku saja yang tahu mengenai kesukaanku melukis. Guru-guru di sekolah
hanya mengenalku sebagai murid biasa yang selalu mendapatkan nilai jelek di mata pelajaran IPA.
Apa, sih, mauku sebenarnya" Aaaa, aku harus hebat di bidang ini!
Aku bangkit dari ranjangku dan menuju ke arah meja belajar. Kunyalakan lampu belajarku dan aku
mulai menggambar. Aku menggambar banyak gambar dalam beberapa menit. Namun kupikir, apa
bedanya gambarku dengan gambar orang-orang lain" Bakatku di mana sebenarnya"! Kalau
kesuksesan hanya masalah kesabaran, aku sebetulnya hanya memboroskan waktuku dengan hal
ini, kan" Seharusnya aku serius seperti si ranking satu. Bahkan dari kelas satu pun dia sudah ikut bimbingan
belajar untuk masuk universitas. Seharusnya aku seberani top model di sekolahku, mengikuti
banyak ajang lomba dan menang.
Tapi aku tidak boleh mengeluh! Kalau aku sudah suka, apapun risikonya harus kuambil.
Ponselku bernyanyi dan lampunya berkedip-kedip. Oh, nomor ponsel ayah.
"Iya, Ayah" Tumben telepon ke ponsel?"
"Apa Ayah enggak salah lihat, ya?" Ayah justru balik bertanya. Aku tidak mengerti.
"...salah lihat apa?"
"Nama Mira, kok, ada di ajang pameran yang bekerjasama dengan perusahaan Ayah?"
Namaku ada di ajang pameran yang berkerjasama dengan perusahaan pemerintah asing yang
bergerak di bidang Mikrobiologi"
Sejenak aku memutar isi kepalaku. Tapi aku tahu itu sama dengan membiarkan Ayah boros pulsa.
"Mira enggak mengerti."
"Ada dua puluh tiga lukisan atas nama Mira Cahya Puspita."
Tapi, siapa yang mengirim" Aku tidak pernah melukis di sembarang tempat. Aku jarang melukis di
kanvas... apalagi dalam jumlah sedemikian banyaknya.
16 Evelyn Anthony - Pembunuh Bayaran m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
"Cetakan digital. Aslinya gambar sketsa ukuran A3." Lanjut ayah.
Ugh! Itu gambarku. Tiga bulan lalu aku iseng ikut teman sekelasku masuk klub melukis di sekolah.
Tiga kali pertemuan setiap minggu. Dua puluh tiga gambar tentu jumlah yang wajar. Berarti
gambar-gambar itu sudah melalui proses seleksi. Dan itu gambarku!
Aku berteriak girang. "Iya itu gambarkuuuu!! Tapi bagaimana bisa" Maksud Mira, kok gambar Mira
bisa masuk ke sana?"
"Lho, seharusnya kan Ayah yang tanya. Sejak kapan Mira suka melukis?"
Aduh. Ayah mana tahu aku suka melukis. Yang tahu, kan, hanya ibu. Lukisan-lukisanku tidak
pernah menetap di dalam kamarku atau di rumah. Setelah kuselesaikan, lukisan-lukisanku
kemudian langsung kujual ke pemilik galeri.
Aku menggigit permukaan bibirku. "Mira enggak pernah dapat beasiswa dari sekolah, Ayah. Mira
membiayai sekolah Mira sendiri dengan hasil jualan lukisan. Mira enggak pernah jadi tiga besar di
kelas. Mira sama Ibu sudah bohong sama Ayah. Soalnya Mira..."
Tiba-tiba pembicaraan terputus. Ayah pasti marah.
Tapi aku senang sekali karena ... hei, apa ini bukan keajaiban namanya" Baru saja aku merasa aku
tidak akan menjadi apa-apa dengan bakat melukisku ... dan sekarang lukisanku dipajang di ajang
pameran berskala internasional! Berkaitan dengan bidang ayah pula! Berarti bakatku bisa
mensejajarkan kemampuanku dengan ayah.
Air mata mengalir di pelupuk mataku. Rasa bahagia yang muncul seperti aku telah berlari sejauh
ratusan kilometer. Semoga ini bukan mimpi. Tiba-tiba aku merasa lelah sekali dan ingin tidur.
Kubenamkan wajahku di atas buku sketsaku. Kalau mimpi, aku tidak akan mau bangun. Ini mimpi
terindah. "Mira, Nak..." Ibu membelai rambutku. "Mira, ayah mau bicara."
Kuusap mataku. Rasanya masih mengantuk. Aku masih mengenakan seragam sekolah sore tadi.
Kulirik jam dinding di kamarku, sudah pukul sembilan malam.
Ayah duduk di kursi di meja makan. Di atas meja makan ada banyak jenis makanan. Dan ada kue
tart. Siapa yang berulang tahun"
Berarti kalau ini hari ulang tahun ayah, setidaknya ayah tidak akan marah atas masalah di telepon
sore tadi. Dia akan menahan kemarahannya sampai besok pagi.
"Anggap saja semua hidangan ini sebagai hadiah untuk kejujuran Mira," kata ibu.


Kompilasi Tiga Kehilangan Karya Dewi Kharisma Michellia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku duduk di kursi di hadapan ayah. Ibu duduk di sebelahku, masih menggenggam tanganku.
"Soalnya ayah selalu bilang ingin punya anak yang juara kelas. Ayah selalu cerita tentang masa
sekolah ayah yang jadi juara kelas dan mendapatkan beasiswa dari SD sampai kuliah." Kucoba
menjelaskan apa yang kupikirkan tentang ayah selama ini. "Mira enggak mau mengecewakan ayah.
Mira memang enggak mampu menjadi seperti Ayah. Mira enggak bisa menjadi juara kelas dan
mendapatkanbeasiswa, tapi Mira bisa membiayai sekolah Mira sendiri."
17 Evelyn Anthony - Pembunuh Bayaran m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Ayah masih diam. Aku tahu selama ini aku telah mengecewakannya karena aku berbohong.
"Ibu memang bilang kalau Ayah enggak akan marah kalau Mira jujur. Mira enggak bisa di semua
mata pelajaran IPA di kelas, Ayah. Mira juga enggak begitu bagus di IPS dan Bahasa. Mira cuma
bisa menggambar, menyanyi, mengarang cerita. Tapi Mira enggak bisa berprestasi di bidang itu.
Mira mau Ayah melihat Mira memiliki prestasi yang sama seperti Ayah. Jadi juara kelas dan
mendapatkan beasiswa." Sambil menjelaskan itu, air mata jatuh di pipiku. Selama ini rasanya sakit
sekali membiarkan orang yang begitu senang mendengarkan prestasiku tidak mengetahui apa yang
sebenarnya terjadi. Tidak mengetahui kalau selama ini aku berbohong.
"Ayah tahu." Dan Ayah hanya menjawab sesingkat itu meski aku menunggu lanjutannya selama
sekian puluh menit setelahnya.
"Mira enggak bisa jadi seperti ayah. Mira enggak seperti teman-teman Mira yang lain yang populer
karena kecantikannya dan kecerdasannya. Mira enggak bisa membuat Ayah bangga." Kutarik
napasku. "Mira enggak cantik seperti ibu, Ayah. Kalau ini faktor genetik, hanya pelajaran Genetika di kelas
yang membuat Mira tertarik, Mira selalu membuat gambar peta silsilah keluarga. Kenapa Mira bisa
suka seni, padahal enggak ada satu pun orang di keluarga kita yang menekuni bidang seni, kenapa
Mira enggak pintar di akademis, padahal ayah dan ibu jago di bidang itu ... Mira ..."
Aku menatap mata ayah lekat.
"Seperti itulah, Mira. Ayah dan ibu mencintaimu, seperti apapun Mira. Ayah bangga sekali punya
anak yang jago melukis." Ayah memotong kue tart di atas meja dan menaruhnya di piring kecil,
menyerahkannya kepadaku. "Tapi nanti, Ayah mau punya cucu yang jadi ilmuwan seperti Ayah," canda ayah.
Ibu tertawa mendengarnya dan bilang, "Kalau tidak salah Ibu pernah membaca kisah cerita seperti
ini, entah di mana. Dan di akhir cerita, si anak memang memberikan cucu seorang ilmuwan."
Giliranku dan ayah yang tertawa. Bersamaan kami menyahut, "Semoga." [*]
Dewi Kharisma Michellia, lahir di Denpasar, 13 Agustus 1991. Kini tinggal di Yogyakarta.
Kuil Pemujaan Hewan Yogyakarta, 13 Agustus 2011
Pemakamanku! Orang-orang menyanyikan lagu yang tak kusukai. Mereka yang kuduga tak akan menangis ketika
18 Evelyn Anthony - Pembunuh Bayaran m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
melihatku mati ... kenyataannya ... menangis. Langit tak mendung, dunia tak kiamat. Tukang becak
tertidur di becaknya, pengamen transgender menjajakan penampilan, trotoar yang kumuh tetap bau
terasi seperti hari-hari biasa.
Pemakamanku dekat dengan trotoar jalan di mana sampah-sampah dikumpulkan. Di hari puasa ini,
orang-orang berjalan dengan sangat pelan menuju pemakaman.
Oh, tidak, tidak pernah kubayangkan aku mati dengan biasa-biasa, meski aku bukan orang terkenal,
pernah aku mengharapkan sebuah kematian yang epik. Minimal, mati di suatu tempat di mana
orang-orang tidak akan dapat menemukan jenazahku. Ketika itu, pikirku, 'Akankah arwahku
bergentayangan"'. Kenyataannya, kini, tubuhku mati karena pneumonia, aku dikubur di tanah yang
sama dengan... tidak, tidak, aku belum mati ... Aku hanya, entah mengapa, kini ...
... menjadi kucing. Yang mati karena pneumonia hanyalah tubuhku. Tepat ketika entah mengapa kesadaranku
berpindah ke tubuh kucing yang baru seminggu sebelumnya kuambil dari kontrakan saudara
sepupuku yang melanjutkan kuliah ke luar kota.
Aku tak mengerti bagaimana mungkin hal seabsurd itu dapat terjadi.
Tubuhku mati di hari ulang tahunku. Dua puluh tujuh tahun. Seharusnya aku menikah bulan depan.
Tentu kau tahu siapa yang kemudian menangis paling keras ketika aku dikabarkan telah tiada.
Padahal aku tidak mati. Ragam sumpah serapah kulontarkan untuk menenangkan gadis yang sore
itu menangis paling keras, tetap saja yang dapat keluar dari mulutku hanyalah bunyi, 'miaw', 'nyaw',
'miaw', 'nyaw'. Mengherankan. Aku tiba-tiba menjadi kucing. Tepat ketika itu, kulihat orang-orang di sekitarku panik
berlarian bolak-balik antara jalan raya dan perpustakaan mini rumah ayahku. Mobil polisi ada di
depan rumah, bukan ambulans. Baru sekian menit berikutnya ambulans muncul.
Melihat keluargamu, kekasihmu, orang-orang yang pernah dekat denganmu menangis histeris
mengelilingi jenazahmu yang semakin ungu dan kuning di lantai...
Ketika itu aku benar-benar kosong.
"Nyaaw," aku hanya bisa mengeong berulang-ulang. Sementara dari tubuhku yang sebenarnya...
bisu, kosong. Seorang pria muda dengan berat badan 57 kilo dan tinggi 178 senti, potongan rambut rapi, selalu
berpakaian dengan warna-warna alamiah, tidak pernah merokok, ataupun mencoba narkoba,
menghindari minuman keras dan seks bebas. Hanya pernah satu kali berpacaran, dengan seorang
wanita yang telah ia kenal selama belasan tahun dan rencananya akan ia nikahi bulan depan. Dan
pria naif itu mati di usia sangat muda dengan mulut berbusa.
ITU EPIK. SIALAN. ---- 19 Evelyn Anthony - Pembunuh Bayaran m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Jakarta, 25 Agustus 2011 Malam itu pacarku tidur di kamar flatku. Ibuku, dari rumahku di Yogyakarta, meminta pacarku untuk
kembali ke Bandung guna membantu merapikan barang-barangku dan kembali berkuliah. Sudah
cukup lama dia menginap di rumah orangtuaku, berhari-hari memeluk tanah pekuburanku yang dia
pungut dan dimasukannya toples.
Aku tahu. Aku tahu semuanya sudah berakhir. Tapi setidaknya di dalam bus ketika kembali ke
Bandung, dia membawaku bersamanya.
Jangan tanya mengapa aku meninggal karena pneumonia. Meski seringkali selama berhari-hari
mengunci diri di dalam kamar flat yang lembap, aku selama ini tak pernah merasakan gejala aneh di
dada. Seseorang mengetuk pintu malam itu. Pacarku tiba-tiba terbangun dari tidurnya, aku meloncat dari
telapak kakinya, kemudian membuntutinya membukakan pintu. Teman-teman kampusku. Tepatnya,
musuh-musuh bebuyutanku di kampus, berdiri di depan pintu flatku dengan senyum yang ganjil.
Pacarku mendorong pintu ketika hampir belasan dari orang-orang itu masuk ke dalam ruangan. Aku
duduk di pangkuan pacarku.
"Bagaimana?" Tania, wanita berkacamata dan gigi behel, memulai pembicaraan. Di kampusku
wanita itu mengambil doktor dalam bidang Teknik Biomedika.
Pacarku tersenyum sambil membelai-belaiku. Lantas, dengan tiba-tiba dia menarikku ke atas
kepalanya, mengangkat kedua kaki depanku tinggi-tinggi. "Tebak siapa ini?"
Dan semua orang di sana tertawa terbahak, seolah menyadari sesuatu.
"Aku berhasil melakukannya," ujar Tania lagi. Lantas dia menepuk tangan. Setiap orang di sana
lantas mengenakan bando. Tunggu ... Bando" Bando yang kudapat di hari ulang tahunku"
Dan sebelum aku dapat mencerna semua kenyataan itu dengan akal sehatku, mereka semua
tiba-tiba berubah menjadi kucing.
---- Kota Asing, Pada Waktu yang Tak Kuketahui
Setelah mereka semua berubah menjadi kucing, mereka lantas berlari ke arah loteng flatku. Entah
mengapa mereka dapat dengan gesit mendaki pipa penyaluran air. Bukannya mereka sebenarnya
manusia" Mereka tak memintaku untuk ikut, tapi aku mengejar mereka.
Aku tahu ada sesuatu yang mereka rahasiakan dariku. Tentang mengapa aku berubah menjadi
kucing, lalu dari mana asal bando yang mereka semua kenakan, dan mengapa bando itu diberikan
oleh pacarku di hari ulang tahunku, dan tunggu... bando itu berada di dalam topi, kado ulang tahun
20 Evelyn Anthony - Pembunuh Bayaran m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
pacarku untukku. Mengapa dia memaksaku mengenakan topi itu"
Pacarku pengkhianat. "Miaww," ... "Nyaaw," ... "Miaaawwww," ... "Nyaaawwww."
Mereka berbicara dengan bahasa Kucing. Aku samasekali tak paham!!! Aku hanya... aku ingin
berbicara, tapi yang keluar dariku hanyalah suara-suara kucing, tanpa kumengerti apa maknanya.
Namun, mereka" Mereka memahaminya!
Setelah memanjat cukup tinggi, kami, kira-kira delapan belas kucing (termasuk aku), akhirnya tiba di
atap. Dari sana kami melihat bulan benderang. Salah seekor kucing yang sedari tadi memimpin di
depan - kupikir di Gregorus, profesor Amerika yang ikut membantu proyek penelitian
Tania - tiba-tiba saja berdiri dengan satu kaki belakangnya, dua kaki depannya mengamit di atas
kepala. Semua kucing yang lain turut melakukan prosesi yang sama.
Pacarku, aku masih mengenalinya sebagai kucing (?), menyodok-nyodok kakiku ketika rentetan
'miaw', 'nyaw', 'miaw', 'nyaw'-nya tak kupedulikan. Dia seolah memaksaku untuk turut melakukan
ritual yang sama dengan belasan kucing lainnya.
YA, dan aku melakukannya. Tepat saat itu, kami semua melompat ke suatu tempat, pada masa
yang tak kuketahui kapan.
Pasar. Kucing, anjing, harimau, macan, singa, kuda, kambing... ... ...saling tawar-menawar
tembikar. Di bawah tempat kami berpijak, terdapat sebuah perkotaan dengan pasar yang berbeda. Ikan-ikan
dan binatang laut lainnya menjajakan makanan sambil mendorong gerobak mini. Di sana terlihat
aneka rumput laut dan kerang dengan ragam warna.
Sebagai manusia, aku tak pernah membayangkan tempat semacam ini bisa ada. Ini pasti bukan di
bumi. Mungkinkah berkaitan dengan Kuil Artemis dengan pemujaan terhadap bulan purnama"
Sambil terus bertanya-tanya, aku tetap mengikuti langkah petualangan belasan manusia kucing
lainnya. Di sebelahku pacarku yang pengkhianat mencoba berdekat-dekatan denganku.
---- Sebuah Toko di Dalam Kota Asing
Tibalah kami di suatu toko. Di sana terdapat banyak sekali perhiasan dengan gambar-gambar
hewan terpajang di setiap etalase toko. Toko yang cukup luas, menampung banyak perhiasan untuk
beragam jenis hewan. Tetapi nampaknya bukan itu yang kami cari di sana.
Ketika aku tiba di toko itu, dan saat belasan kucing manusia yang datang bersamaku
ber-miaw-nyaw-miaw-nyaw di sana, hampir semua hewan yang sedang berbelanja langsung
mengarahkan pandangannya ke arahku.
21 Evelyn Anthony - Pembunuh Bayaran m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Saat itu, aku langsung diserbu.
Tiba-tiba tubuhku sudah terikat.
---- Kuil Pemujaan Di sanalah kemudian aku menyadari apa yang akan terjadi padaku. Aku digantung pada tali, di
mana di bawahku terdapat api yang sedang berkobar demikian panasnya.
Malam hari. Dan semua hewan yang berkumpul di sana turut pula menghadirkan hewan-hewan
jenis mereka untuk digantung di sana juga.
Di sana, beragam jenis suara binatang terdengar.
Nyaw-guk-raaawwrrr-awwahwhuuu-muwawa-kang-kung-dar-tok-das-puit-kritiuwk.
Aku memandangi semua hewan yang juga digantung bersama denganku pada tiang-tiang di
sebelahku. Saat itu, aku berusaha menggunakan akal sehatku untuk berbicara dengan mereka.
Saat aku mulai berbicara, ... keadaan hening.
Nyaaaawww, miaawww, nyaaaw, miaaaw, nyaaaww, miaawwww, nyaaaw.
Aku tak tahu apa yang akan terjadi. [*]
Dewi Kharisma Michellia, lahir di Denpasar, 13 Agustus 1991. Kini tinggal di Yogyakarta.
Laudita yang Takut Ditinggalkan
Pagi itu Laudita duduk menyendiri di sebelah jendela. Di luar sedang hujan. Seisi rumah terlihat
sibuk. Mama sedang membuat roti bersama nenek. Ayah mengecat tembok ruang tamu dan kakek
membantu merapikan barang-barang yang berantakan. Semuanya disiapkan untuk menyambut
tamu yang akan datang nanti malam. Kata Mama, Kakak Amel akan dilamar malam ini. Mama
bilang, itu artinya sebentar lagi Kakak Amel akan menikah dan hidup bahagia. Dan tinggal di rumah
yang baru. Laudita membayangkannya seperti main rumah-rumahan. Kakak Amel akan punya rumah dan tidak
tinggal lagi bersama mereka. Rasanya sedih sekali.
Kakak Amel sering mendongeng untuk Laudita. Juga biasanya dengan pakaian lucu, selesai
mendongeng, dia akan mengajak Kakak Lulu menari-nari di depan Laudita. Kak Amel dan Kak Lulu
sangat pandai menari mengikuti irama musik. Dua kakaknya itu sangat suka menyanyi dan
menghadiahi Laudita kotak musik setiap ulang tahunnya. Dan nanti mungkin mereka tidak akan
menghadiahi Laudita kotak musik lagi. Rumah pasti akan sepi sekali.
22 Evelyn Anthony - Pembunuh Bayaran m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Laudita berjalan ke arah kamar Kak Amel dan berdiri di pintu. Di dalam kamar, kedua kakaknya
sedang mengecat kuku. Rambut mereka bergelombang indah, tidak biasanya. Di atas ranjang Kak
Amel ada banyak pakaian-pakaian indah. Warna-warni. Dan mereka berdua tersenyum ketika
melihat Laudita berdiri di sana.
Laudita ingin menangis. Nanti dia akan besar seperti kakak-kakaknya. Dia akan menjadi secantik
mereka. Dan akan tinggal di rumah yang baru juga suatu saat. Tapi bagaimana kalau Mama pergi
lebih dulu" Bagaimana kalau rumah sudah kosong sebelum dia pergi" Kalau kakek, nenek, dan
ayah meninggal karena usia tua"
"Sini Klaudi, masuk. Klaudi mau hadiah apa untuk Natal?" Kak Amel memanggilnya.
Mau hadiah apa" Untuk terakhir kali"
Laudita tidak bisa membayangkan kakak-kakaknya pergi meninggalkannya. Dia tidak mau ditinggal
pergi. Oleh siapapun. Laudita berlari ke kamarnya dan membenamkan kepalanya ke bantal. Dipeluknya bonekanya
erat-erat, dibukanya kotak-kotak musiknya yang diletakkannya di pinggiran jendela. Beragam musik
mengalun indah bercampuran di udara, dan Laudita tertidur pulas. Begitu lelap. Setitik air mata
terjatuh di bantal. ---- Sudah sore, Laudita hampir saja tidur sepanjang hari. Laudita menggeliat seperti kucing kecil di
atas ranjangnya, mengusap-usap matanya. Pendingin ruangan rasanya telah membekukan tubuh
Laudita. Dingin sekali. Ketika dia membuka selimutnya dan bangkit berdiri, dia sadar hujan masih
belum reda juga di luar sana. Tidak terdengar suara apapun dari luar kamarnya. Laudita membuka
pintu kamar dan aroma kue-kuean yang dibuat Mama sudah tercium begitu harumnya. Laudita
seketika membayangkan kue-kue manis kesukaannya. Bentuk yang lucu-lucu dengan krim
berwarna pelangi. Tapi entah kenapa dia tidak berselera, dia tidak mau pergi ke dapur dan
mencicipinya. Dan Laudita menutup pintu kamarnya lagi.
"Laudita, sayang, ayo ikut makan malam." Laudita merasakan tubuhnya begitu berat untuk bangun,
Mama memegang dahi Laudita dan Mama tahu putri bungsu kesayangannya itu sedang demam.
Maka Mama mengambilkan jaket tebal untuk Laudita dari dalam lemari, dimatikannya pendingin
ruangan, dan digendongnya putrinya itu keluar kamar.
Seluruh keluarga sudah berkumpul di meja makan. Ada beberapa orang yang Laudita belum pernah
jumpai. Mama duduk di sebelah Laudita. Orang-orang baru itu begitu ramah dan tersenyum ke arah
Laudita. Tapi Laudita tahu orang-orang itulah yang akan merebut Kak Amel dari keluarga mereka.
"Adik bungsunya Amel, ya" Wah, cantik seperti kakaknya, ya. Matanya seperti boneka."
Banyak orang melakukan hal yang sama, memuji mata Laudita. Tapi Laudita tidak pernah suka
dirinya dibilang mirip boneka. Maka Laudita menggeliat ke arah pangkuan Mama dan pura-pura
tertidur di sana. Mama memang sangat menyayangi Laudita. Mama pindah duduk di atas sofa nyaman di ruang
23 Evelyn Anthony - Pembunuh Bayaran m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
tamu, menyalakan televisi, sementara yang lainnya masih menyantap makanan di meja makan.
Terdengar ribut sekali, orang-orang yang sedang bercerita dari kejauhan. Sayup-sayup Laudita
mendengar banyak tawa sukacita. Tapi Laudita tidak bahagia. Setitik air mata lagi jatuh di pipinya.
Mama mengelus rambut Laudita dan mengecupnya. "Klaudi sedih mau ditinggal pergi Kak Amel,
ya?" Mamanya berbisik di telinga Laudita.
Laudita membuka sebagian matanya, dan ketika melihat senyum Mama, dia kembali memejamkan
kedua matanya. Mama tersenyum saja. Mama memeluk tubuh Laudita semakin erat dan lalu
mendudukannya di sofa. "Kak Amel pasti akan bahagia, Klaudi. Jadi Klaudi tidak boleh sedih, ya."
Tapi Laudita justru menangis. Mama tersenyum simpul. Dan Laudita menangis semakin keras.
Terisak-isak, lalu semakin menjadi-jadi, sampai suara tangisnya terdengar dari ruang makan.
Laudita mengencangkan pelukannya di dada Mama. Mama menenangkannya dengan
membelai-belai rambutnya.
"Klaudi sedih karena apa?" tanya Mama.
Tapi Klaudi tidak bisa berhenti menangis. Tangisnya semakin keras dan menjadi-jadi. Dia
membayangkan, nanti kalau Mama mati, siapa lagi yang akan memeluknya" Siapa lagi yang akan
mendengar tangisnya"
Saat itulah Ayah lalu datang dengan tergesa-gesa, diikuti oleh beberapa orang lainnya di
belakangnya. "Klaudi kenapa, Ma" Kamu kenapa, sayang?" Ayah bertanya khawatir.
Mama hanya menggelengkan kepala dan memberi isyarat Ayah untuk duduk. Yang lainnya lantas
juga menuruti perintah Mama dan ikut duduk di sebelah Ayah.
Laudita tidak tahu apa yang sedang ditakutkannya. Dia sekarang hanya takut kehilangan Kak Amel
dan Mama. Dia lalu juga berpikir kalau dia mungkin takut mati. Kenapa orang-orang harus mati"
Beberapa saat berlalu, tangis Laudita akhirnya reda juga. Dia merasa kelelahan dan tubuhnya
lemas sekali. Mama kembali mencium ubun-ubunnya dan bilang kalau semuanya akan baik-baik
saja. "Ma, kenapa Kakek harus mati" Kenapa Mama ditinggal sendiri?" tanya Laudita kemudian, sesaat
sebelum Mama berniat mengembalikannya ke tempat tidur.
Mama ingat kejadian satu tahun lalu. Saat itu, Laudita menemani mereka sekeluarga melayat ke
kampung halaman Mama. Dan Laudita melihat sendiri dengan mata kepalanya, kakeknya yang


Kompilasi Tiga Kehilangan Karya Dewi Kharisma Michellia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suka bercerita tentang kancil dan juga katak sudah tidak bisa diajaknya berbicara. Laudita waktu itu
minta didongengkan tentang kisah putri dan pangeran yang belum selesai diceritakan oleh
kakeknya. Dan dia menangis menjerit-jerit ketika tahu kakeknya sudah tiada.
"Kan, ada Klaudita. Ada Kak Amel, Kak Lulu, masih ada Ayah, kakek dan nenek dari Ayah. Jadi
Mama tidak sendiri," jawab Mama.
"Tapi kenapa Kak Amel menikah" Kenapa Kak Amel pindah ke rumah baru?"
24 Evelyn Anthony - Pembunuh Bayaran m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Ayah sudah bangkit dari kursinya dan memberikan tanda supaya Laudita segera dibawa kembali
tidur. Tapi Mama menggelengkan kepalanya, lalu menghadapkan wajah Laudita ke arah seluruh
orang di sana. "Klaudi lihat Mama, Mama juga pindah ke rumah baru waktu menikah. Semua orang
tidak tinggal di tempat yang sama lagi ketika sudah dewasa."
"Kenapa harus pergi?" Laudita kembali merasa sedih.
"Kalau tidak pergi, tidak akan menjumpai orang baru. Tidak akan punya teman baru, tidak akan
kenal siapa-siapa. Kalau Mama tidak pergi dari rumah, Mama tidak akan punya Klaudi. Klaudi tidak
akan lahir." "Kenapa harus punya teman baru?"
"Supaya kebahagiaan hidup bertambah. Teman-teman yang baik selalu membawa kebahagiaan,"
jawab Mama. "Tapi apa nanti Kak Amel lupa dengan kita" Kak Amel akan punya banyak teman baru. Kakek di
surga juga tidak pernah mendongengkan cerita untuk Klaudi lagi."
"Pasti, Klaudi. Tidak akan pernah ada yang lupa sama Klaudi," jawab Mama. "Asalkan Klaudi tidak
sering bersedih. Dan selalu tersenyum bahagia. Mereka pasti akan tetap ingat sama Klaudi. Karena
mereka selalu ingat Klaudi yang seperti itu. Klaudi yang manis dan ramah, juga suka tertawa. Kalau
Klaudi ingin terus diingat, hati Klaudi jangan pernah berubah."
Secercah sinar hadir di mata Laudita. Senyuman mengembang di wajahnya. Tidak akan ada yang
melupakannya. Bahkan ketika itu, dilihatnya bayangan kakeknya yang sudah meninggal berdiri jauh
di hadapannya. Tersenyum juga ke arah Laudita. [*]
Dewi Kharisma Michellia, lahir di Denpasar, 13 Agustus 1991. Kini tinggal di Yogyakarta.
Pertemuan Sepupu Kami bertemu dalam suatu acara keluarga. Ayahnya adalah sepupu jauh ibuku. Mereka tinggal di
pedalaman Kalimantan. Keluargaku tinggal di ibukota di Jakarta. Kalau tidak karena pertemuan
keluarga besar yang diadakan setiap dua puluh tahun sekali itu, aku barangkali tidak akan pernah
bertemu dengannya. Tentu saja aku tidak persis mengingat pertemuan pertama kami itu. Usia kami pada pertemuan itu
katanya baru tujuh bulan. Ibuku mungkin menggendongku di pelukannya sewaktu mengobrol
dengan ibu Asti yang juga menggendong Asti di pelukannya. Aku hafal betul apa yang Asti selalu
bilang mengenai pertemuan pertama kami itu: sudahlah, lagipula nampaknya hanya orang hebat
yang bisa punya ingatan yang begitu bagus untuk mengingat hal-hal seperti itu.
Namun sewaktu aku mencoba mencari-cari ingatan awalku tentangnya, aku tetap juga tidak mampu
25 Evelyn Anthony - Pembunuh Bayaran m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
mengingat terlalu banyak tentang awal mula kedekatan kami. Lantas kupikir, mungkin hal-hal
menggelikan seperti ini memang lumrah terjadi di kehidupan. Pertemuan-pertemuan yang tanpa
disadari. Hingga kemudian menjadi terbiasa. Seperti yang terjadi pada kami. Kami saling mengenal
bahkan sebelum kami saling menyadari takdir pertemuan yang mempertemukan kami.
Belasan tahun berlalu setelah saat itu. Kami terpisah jarak selama itu. Namun tentu saja kami masih
berkirim kabar. Belasan tahun kami tetap bercerita. Cerita-cerita kami jauh berbeda. Di saat dia
masih polos bercerita tentang boneka-boneka kiriman ibuku, aku sudah mulai membicarakan
tentang guru matematika yang kuidolakan di sekolah.
Bertahun-tahun lamanya baru aku bisa menyadari bahwa hanya pada dia aku bisa berbagi tentang
banyak hal. Hingga tiba kabar berita dari gelombang takdir yang semakin mendekat, sesuatu yang
kurasa adalah intuisi. Bermalam-malam aku bermimpi, berhari-hari aku merenung sendirian. Kata
batinku, sebentar lagi aku akan mati.
Dulu aku selalu membayangkan. Jika suatu saat kami akan berpisah, aku hanya bisa memikirkan
satu hal. Seandainya saja sebelum mati Tuhan mengijinkanku bertemu dengan seseorang, aku tak
akan ragu lagi untuk menyebut namanya.
Belasan tahun telah kami lalui bersama lewat perantara cerita-cerita keseharian kami dalam surat,
tanpa pernah bertemu muka satu sama lain.
Sesaat sebelum aku mati, jika boleh, aku merencanakan agar kami bisa bertemu di sebuah taman.
Daun-daun akan berguguran dengan lembut kala itu. Langit sudah akan senja. Ada kursi taman
berbahan kayu sono yang sudah lapuk. Pada kursi itu akan ada beberapa coretan sekadarnya dari
orang-orang yang pernah duduk di sana. Di kursi itulah kami akan duduk berdua.
Awalnya kami tidak akan membahas sesuatu hal. Kami hanya akan duduk di sana dan
memerhatikan layang-layang yang beradu di langit di hadapan kami. Orang-orang masih
berlalu-lalang di sekitar dan kami masih tidak akan membahas apa-apa.
Kami akan menjadi dua nenek-nenek yang kelihatan lucu di mata orang-orang. Anak-anak kecil
yang berlari berkejaran di sekitar kami mungkin akan sedikit mencuri pandang ke arah Asti atau
aku. Waktu kecil, aku berpikir apa jadinya aku ketika sudah tua nanti. Suatu saat nama-nama cantik kami
akan diberi gelar nenek. Nenek Asti. Atau Nenek Dini.
Kalau Tuhan memberiku takdir untuk bertemu dengannya beberapa saat sebelum aku mati, aku
ingin punya satu malam lagi untuk kuhabiskan bersamanya. Kami berdua yang telah renta akan
tidak tidur semalaman karena telah takdirnya demikian. Bukankah aku telah minta pada Tuhan agar
aku diberi waktu untuk melakukan hal itu"
Aku yakin kami akan bercerita dengan lancar. Tidak perlu kutentukan apa topiknya. Tetapi seperti
biasanya, seperti yang kami sering lakukan di usia muda kami, pembicaraan-pembicaraan akan
memilih arahnya sendiri dan tidak akan berhenti sebelum aku mati. Aku tahu hal-hal semacam itu
akan terjadi. Sudah sejak lama aku percaya bukan kamilah ternyata yang akan menjadi penemu mesin waktu.
Beberapa saat sebelum aku mati, aku mungkin akan mulai dengan berkata demikian. Aku akan
26 Evelyn Anthony - Pembunuh Bayaran m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
bilang, "Ternyata kita hanya berakhir sebagai nenek-nenek biasa yang seperti ini saja, ya?"
Di wajah kami tentu masih ada sinar mata kanak-kanak yang tidak akan pernah mati. Dan sinar itu
akan semakin terang kutemukan ketika Asti kemudian tersenyum kecil di saat mendapati aku
berkata demikian. Dia tentu akan menyahut, "Meski awalnya kita selalu berpikir kita bisa mengubah
dunia." "Dan membuat mesin waktu," cetusku.
"Menjadi pemimpin dunia."
"Menghancurkan dunia dan membuat dunia baru."
"Nuklir penghancur massa"!"
"Bukan, bukan itu. Sesuatu yang lebih besar yang bahkan belum bisa kubayangkan sampai
sekarang. Lantas bagaimana jika kita punya kesempatan menjadi pemimpin dunia" Apa yang akan
berubah?" "Nama kita akan tercantum dalam sejarah."
"Sebelum kita mati, sepertinya itu akan indah."
"Musuh terbesar dari mimpi hanyalah kematian."
"Bagaimana kalau setelah mati kita masih punya kesempatan untuk mewujudkan mimpi itu?"
"Kau bermimpi!"
Dan kami akan tertawa. Begitu lepas. Suara tawanya adalah suara tawa yang tidak akan
tergantikan oleh siapapun. Aku hanya bisa mendengarnya di telepon. Aku ingin mendengarnya
secara nyata. Itulah sebabnya aku hanya akan meminta pada Tuhan agar bisa bertemu dengannya
sebelum aku mati. Bukan dengan orang lain.
"Bagaimana pernikahanmu, Asti?" Mungkin aku akan tergelitik untuk menanyakan tentang
masa-masa indah dalam dongeng. Dongeng selalu menceritakan kisah yang indah, bukan"
Aku membayangkan dia akan menceritakan kehidupan masa depannya yang indah. "Aku menikah
dengan suami yang baik. Anak-anakku menikah dengan pasangan yang baik juga. Tidak ada yang
membuatku khawatir. Bagaimana denganmu?"
"Mungkin bodoh kedengarannya. Tapi aku hanya tinggal sendirian di sana." Aku akan menunjuk ke
arah rumahku yang beraura gelap. Itulah sebabnya aku minta pada Tuhan agar mempertemukan
kami di sebuah taman. Aku ingin memiliki sebuah rumah yang sepi dekat sebuah taman yang ramai.
Dan aku ingin agar aku tidak bisa pergi lebih jauh lagi selain ke taman itu. Kupikir, di usia tuaku
nanti, hidup yang tidak beranjak ke mana-mana akan terasa lebih sederhana.
"Tapi kau tidak terlihat seperti memiliki kehidupan yang suram?"
Tentu saja pertanyaan seperti itu akan muncul dari Asti. Dia selalu sangat peduli padaku. Namun
27 Evelyn Anthony - Pembunuh Bayaran m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
karena aku tak punya jawaban yang pasti atas jalan hidupku, aku mungkin akan menyahutinya
dengan pertanyaan lagi. "Sesuram itukah kelihatannya di matamu?"
"Jadi kau tidak menikah?"
Bagaimana caraku bilang padanya nanti kalau dia tanya begitu" Bagaimana jadinya kisah cintaku
nanti ketika tiba masanya aku beranjak tua"
Kupikir, kalau aku berani menceritakan tentang apa yang terjadi pada kisah cintaku di usia
belasanku, dia pasti paham betul bagaimana rasanya menjadi gadis lima belas tahun yang jatuh
cinta dengan pamannya yang berusia empat puluh lima. Ketika si gadis telah berusia dua puluh
lima, gadis itu masih tidak bisa mengejar sang paman di usianya yang kelima puluh lima.
Dan di saat sang gadis berusia enam puluh tahun, sang paman meninggal di usia sembilan puluh.
Cinta sang gadis untuk pamannya tak pernah berhenti selama itu. Ketika pamannya mati, cintanya
terkubur bersama jenazah paman itu.
Jadi mungkin itu saja mengenai kisah cintaku. Barangkali aku akan terus menyukai pamanku itu
bahkan sampai dia mati. Selamanya menjadi kanak-kanak di matanya. Dan aku akan memutuskan
tidak akan menikah dengan siapapun lagi jika ternyata akhirnya dia tidak bisa balas mencintaiku
juga. Mungkin aku akan benar tinggal di sebuah rumah yang suram dan di depan rumahku itu akan
ada sebuah taman. ---- Itulah yang kubayangkan sebelumnya. Sebelum kuketahui bahwa mimpi-mimpiku itu tidak akan
pernah menjadi kenyataan. Di saat sorot lampu sebuah truk menusuk mataku malam itu, di saat aku
tak bisa bergerak lagi dan menyerahkan tubuhku ditabrak begitu saja olehnya, mimpi-mimpi untuk
bertemu dengan Asti di usia senjaku kemudian hanyalah menjadi angan-angan.
Aku sadar saat ini aku hanya berhadapan pada gelap. Semuanya berpusat di kepalaku.
Suara-suara orang yang kukenal masih kudengar di sekitarku. Tapi aku tidak berada di manapun.
Kalau saja Tuhan masih memberiku takdir sebelum mati. Aku ingin bertemu dengan Asti. [*]
Dewi Kharisma Michellia, lahir di Denpasar, 13 Agustus 1991. Kini tinggal di Yogyakarta.
Pria Kecil, Permen Kuning dalam Toples Kaca, dan Segelas Air
February 16th 2008 - February 16th 2009
Pria kecil, 28 Evelyn Anthony - Pembunuh Bayaran m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Pagi itu, saat kamu menaruhku di dalam toples kaca sebelum berangkat sekolah, entah perasaan
apa yang ada di dalam diriku. Aku tak ingin kamu meninggalkanku. Karena entah kenapa, aku tahu
kamu tidak akan pernah kembali.
Tapi aku terus menanti kedatanganmu. Sampai akhirnya Ibumu mengangkat telepon dan menangis
setelahnya. Katanya kamu telah meninggal.
Hari itu Sabtu. Begitu kelabu buatku. Rumahmu sepi. Semua orang pergi ke rumah sakit untuk
memastikan bahwa itu memang kamu. Bahw
(http://cerita-silat.mywapblog.com)
29Topeng Setan m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
http://cerita-silat.mywapblog.com ( Saiful Bahri - Seletreng - Situbondo )
a kamu memang telah meninggal.
Andai kamu tahu. Aku selalu suka melihatmu tertidur di sebelahku, melihatmu bernapas dan
bermimpi. Aku suka memerhatikanmu tertawa. Sambil menanti saatnya kamu akan
memerhatikanku. Untuk mengatakan betapa manisnya diriku.
Aku tak tahu kenapa aku bisa menjadi begitu istimewa bagimu. Kami datang berdua belas. Kami
ditaruh dalam sebuah kotak. Jauh-jauh dibawa Ayahmu dari Amerika. Tapi aku heran kenapa kamu
hanya memakan kesebelas saudaraku. Tidakkah aku nampak manis bagimu"
Kami berkumpul, berwarna-warni bagai pelangi. Apa karena aku berwarna kuning maka kau tak
menyukaiku" Kata orang-orang warna kuning adalah warna yang dekat dengan simbolisme
kematian. Tapi aku tidak percaya. Aku tahu ada alasan lain kamu enggan memakanku.
Kamu menaruhku di dalam toples. Tidak pernah kamu makan, hanya kamu pandangi lekat. Sampai
pagi itu kamu mengambilku dari dalam toples, menatapku. Aku pikir kamu akan memakanku. Aku
yakin kamu akan menyukaiku.
Tapi Ibumu memanggilmu untuk mengikat tali sepatumu dan mengajakmu berangkat ke sekolah.
Kamu mengantongiku dan berlari ke arah Ibumu.
Ayahmu duduk di meja makan, setangkup roti bakar ada di atas piring besarnya. Aku ingat ketika
dulu beliau membeli kami untuk dijadikannya oleh-oleh buatmu. Khusus buat putra tunggalnya yang
baru saja memenangi olimpiade fisika nasional, katanya. Kami diboyong mengelilingi kota, ke
bandara, kami diajak ke rumah makan, ke toko pakaian, ke segala tempat yang ingin dia kunjungi
sebelum pulang ke rumah, sampai akhirnya kami diberikan kepadamu. Dan pagi itu, hanya aku
seorang yang tersisa. Tapi saking asyiknya aku memerhatikan Ayahmu, tak kusangka aku akan jatuh dari kantongmu.
Ibumu mengambilku. Dia bilang bahwa kamu tidak boleh memakan coklat untuk sementara waktu.
Katanya kamu sudah terlalu banyak memakan coklat. Beberapa gigimu berlubang karenanya. Maka
dia bilang agar kamu menyimpanku kembali ke dalam toples.
Aku mendengar percakapan kalian. Aku memerhatikanmu. Perjuanganmu untuk memakanku.
Ternyata ada alasan mengapa kamu memutuskan untuk memakanku paling akhir.
"Ini warna favoritku, Ibu. Coklat ini favoritku.. Aku sudah memutuskan untuk memakannya
sekarang," "Ibu tahu kamu selalu memakan makanan yang kamu sukai paling akhir, tapi dokter gigimu bilang
kamu tidak boleh makan coklat lagi untuk sementara waktu."
"Tapi Ibu..," "Kamu bisa memakannya lain waktu."
Biarpun wajahmu berkerut kesal, kamu tetap melakukan perintah Ibumu dengan patuh, kamu
membawaku kembali ke kamarmu dan meletakkanku di dalam toples di sebelah segelas penuh air
1 Topeng Setan m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
minum pada meja panjang di pinggir jendela. Setelahnya kamu membuka gorden. Aku melihat
cahaya matahari masuk melalui celah-celah ventilasi di bagian atasnya. Lalu kamu menutup toples.
---- Pria kecil, Andai kamu mengerti. Aku berharap kamu ada di sisiku saat ini. Dunia kecilku di dalam toples kaca
ini begitu menakutkanku. Matahari begitu terang, aku yakin alangkah panasnya di luar sana.
Segelas air di sisiku sudah menguap. Aku takut aku juga akan meleleh. Tapi ketika segelas air itu
sudah hampir habis, aku belum juga meleleh. Tapi aku tetap ketakutan. Aku tetap merasa
kehilanganmu. Aku menangis.
Beberapa tetes air yang tersisa di gelas itu menatapku ketika aku menangis ketakutan. Bertanya
kenapa aku menangis. Aku menjawab, karena aku telah kehilanganmu dan aku juga bertanya mengapa dia tidak menangis
padahal kamu telah meninggal.
Dia menjawab bahwa seharusnya aku merasa beruntung. Karena aku diletakkan di dalam toples
kaca yang terlindung dari cahaya dan debu. Tidak seperti dia yang dibiarkan terbuka tanpa penutup
oleh Ibumu dan menguap karena cahaya mentari.
Tapi aku adalah milikmu. Aku seharusnya dimakan olehmu, kataku dalam hati. Aku tetap menangis.
Semakin keras. Beberapa tetes air yang tersisa menatapku geram namun penuh kesabaran. Sebentar lagi air itu
akan habis. Apa kamu tahu benda-benda seperti kita juga memiliki takdirnya" Pria kecil itu menyayangimu maka
dia menjagamu bahkan sampai saat-saat terakhirnya. Dia tidak mengajakmu pergi pagi ini. Kamu
beruntung. Dia batal memasukkanmu ke dalam kantongnya. Dia meletakkanmu di wadah yang
aman di dalam toples. Sementara aku" Ibunya meletakkanku begitu saja di meja ini. Di sebelah
jendela. Alangkah panasnya, dia menjawab.
Kamu seharusnya bersyukur, dia melanjutkan.
Aku menatapnya. Sebentar lagi dia akan habis menguap.
Caraku tersakiti dalam wujudku ini adalah dengan hilang begitu saja tanpa pernah diminum oleh
siapapun., dia berkata. Tapi aku yakin dalam wujudku yang lain, aku akan menjadi apa yang
kuinginkan. Aku mungkin akan menguap, aku akan pergi ke awan-awan, kemudian turun lagi
sebagai hujan. Sesungguhnya, Permen Kuning, kita tidak pernah kehilangan apapun. Peringatan terakhir darinya.
Karena kita adalah zat, Pria Kecil itu adalah zat, dan kamu Permen Kuning., juga adalah zat. Akan
berubah wujud. Tubuh kita bersatu dengan alam semesta. Kita tidak terpisah, kita hanya bergerak
acak. Manusia yang kita kenal seperti Pria Kecil itu mungkin tidak pernah tahu bahwa kita memiliki
2 Topeng Setan m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
kesadaran. Ketidaksadaran itulah yang membuat wujud kita terpisah-pisah. Manusia mengira kita
adalah benda mati, seperti dia kira matahari juga adalah benda mati, planet-planet adalah juga
benda mati. Mereka tak menyadari bahwa kita hanya berubah wujud. Tidak ada yang pergi dan
tidak ada yang datang. Kita semua adalah bagian dari alam semesta. Menempati dan menyatu
dengan wadah kita masing-masing.
Dan Permen Kuning, aku yakin, suatu hari nanti, pasti akan ada orang yang akan memakanmu.
Bahkan bagiku, kamu begitu manis, Permen Kuning. Jangan takut. Jangan menangis lagi. Aku
benci melihatmu menangis.Kamu harus tahu, sekarang, aku tidak pergi meninggalkanmu. Aku
hanya berubah wujud. Aku menatapi kepergian tetes-tetes air itu. Dia hanya berubah wujud,
katanya. [*] Dewi Kharisma Michellia, lahir di Denpasar, 13 Agustus 1991. Kini tinggal di Yogyakarta.
Akhir Cerita di Pantai Kuta
Pantai Kuta, sejujurnya, tidak pernah terlihat cantik di mataku. Aku terkadang heran mengapa aku
selalu menyukainya. Atau justru ketidaksukaanku akan tempat ini bermula dari kebiasaanku yang
terlalu sering menyambanginya sehingga aku lupa hal apa yang selalu membuatku


Kompilasi Tiga Kehilangan Karya Dewi Kharisma Michellia di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jatuhcinta - menyukai Kuta"
Ketika kecil, setiap hari aku duduk di pasirnya yang tidak rata - yang membuatku menyangka ada
rayap yang tinggal di dalamnya - untuk sekadar duduk. Abu ibuku dibuang di pantai ini, abu ayahku
juga, abu kakekku, abu nenekku, semua abu dari keluarga besarku dibuang di pantai ini. Mungkin
hanya itu alasanku untuk merasa nyaman berada di sini, walau aku sama sekali tak menikmati
panorama pantai yang terhampar di hadapanku.
Di masa-masa setelah ibuku meninggal, aku hanya berada di sini, duduk dengan jiwa yang kosong.
Karena jiwaku berlarian ke masa lalu. Karena jiwaku tak pernah utuh lagi. Persis retakan kecil yang
perlahan-lahan menjelma lubang besar.
Ketika itu, pantai selalu mengingatkanku pada masa kecilku, bermain kano dan berenang sampai ke
tengah laut. Sampai air garam memenuhi selangkanganku dan membuatku kesulitan berjalan
normal selama seminggu. Aku ingat sekali waktu paling lama aku berenang di pantai ini, hampir satu jam lebih. Dulu ketika
kami selesai menyembahyangi abu ibuku, aku ikut bersama para pemuda banjarku untuk berenang
ke tengah laut, kata mereka lebih baik kalau aku berenang semakin jauh, karena mungkin dewa
lautan ada di tempat terjauh di dekat mentari yang terbenam.
Aku melakukannya, ketika para pemuda berhenti di tengah, aku terus berenang, semua kulakukan
untuk menitipkan jiwa ibuku di tempat yang aman. Kepada dewa lautan. Maka aku berenang sejauh
yang aku bisa, memeluk wadah yang berisikan abu ibuku di dalamnya.
Setelahnya, pantai selalu menjadi tempat yang aman untukku bisa menangis. Untuk
3 Topeng Setan m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
kegagalan-kegagalan yang menghampiriku, selalu ada pantai-pantai yang kujadikan sahabat untuk
bercerita. Pantai Sanur, Pantai Matahari Terbit, Pantai Sindhu, Dreamland, semuanya menjadi tempat yang
selalu kukunjungi, termasuk Kuta. Karena tempat yang paling banyak menyimpan
kenangan-kenangan tentang orang yang kita cintai, akan menjadi tempat utama yang selalu kita
ingin kunjungi. ---- Hari ini, Kuta menjadi tempat pertama yang kukunjungi di Bali.
Sudah lama sekali aku pergi. Sehingga kehadiranku di sini menjadi berbeda. Seolah aku datang ke
sini untuk pertama kali. Pantainya tetap sama, yang berbeda hanyalah beton setinggi enam puluh
senti yang membatasi areal sekitar pantai.
Pemandangan yang tak pernah aku sukai berada di mana-mana. Wanita berambut pirang berbikini
dengan pria kekar berkaca mata hitam yang bertelanjang dada. Kadang aku jumpai wajah oriental
dengan mata sipit dan pipi merona merah berciuman dengan turis lokal berkulit coklat yang hanya
sedikit tampan - tidak kekar.
Dulu pemandangan seperti itu selalu membuatku terkekeh, namun kini tak ada lagi yang bisa
ditertawakan. Tak ada yang lucu dari kebersamaan. Setelah tiga puluh tahun hidup melajang,
segala sikap belia membuatku merapuh.
Cinta monyet memang bukan hal yang kupandang indah di masa mudaku, namun kini lebih
daripada itu, aku sangat membutuhkan seseorang yang bisa menemaniku menangis. Hingga aku iri
dengan orang-orang yang bisa dengan bebasnya berciuman di tengah umum seperti itu. Sesuatu
yang sangat riskan untuk kulakukan.
Aneh rasanya berada sendiri di pantai ini. Tidak seperti sepuluh atau dua puluh tahun lalu. Ketika
selalu ada seseorang yang menemaniku - walau hanya sekadar duduk-duduk menyaksikan
layang-layang yang beraduan di langit biru berawan.
Menghilangkan kesepianku, aku mengambil kayu di dekatku, lalu aku menulis di pasir pantai.
Dengan huruf besar-besar.
Aku ingat sekali ketika lima belas tahun yang lalu aku menuliskan cita-citaku di pasir pantai. Bukan
pantai yang sama. Seperti yang setelahnya kulakukan, seperti ketika aku membuang ratusan
keping logam dengan beragam jenis mata uang yang kumiliki di ratusan air mancur berbeda.
Karenanya, kubiarkan orang-orang dengan bebasnya mengataiku kekanakan.
Tanpa mereka ketahui, ada ribuan hal lain yang membuatku masih suka disebut seperti
kanak-kanak. Mereka tak pernah tahu bahwa hanya seorang gadis kecil yang masih bisa
mengumpet di bawah ranjang di apartemennya ketika pria-pria datang untuk mengajaknya
berkencan. Hanya gadis kecil yang bisa membedakan es krim vanilla dengan es krim mocca hanya
dengan sekali melihat warnanya. Bahwa jiwaku memang telah mati ketika ibuku mati.
Aku telah kembali, lalu apa Ibu akan kembali"
4 Topeng Setan m.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Hanya itu yang kutulis berulang-ulang. Dengan huruf besar-besar.
---- Rumah yang kosong. Tingkat tiga. Ketika kumasukkan kunci dan kuputar, pintu seketika terbuka.
Sudah begitu lama aku pergi, namun masih kunci yang sama yang bisa kugunakan untuk membuka
pintu ini. Tidak ada yang berbeda. Kecuali akuarium yang kosong. Kecuali pigura-pigura pajangan
dengan foto orang-orang yang telah mati.
Aku bergegas menuju lantai paling atas. Tempat kami biasanya menyantap ikan bakar sambil
menatap bintang di langit malam.
Gelap. Bintang-bintang kecil berwarna putih berjejer, bersesak-sesakkan memenuhi langit yang
kelam. Aku duduk di gazebo yang sama, yang sudah semakin merapuh digigiti rayap, dan kusadari bahwa
Empat Besar 2 Sengsara Membawa Nikmat Karya Tulis St. Sati Hancurnya Istana Darah 3

Cari Blog Ini