Rahasia Kaum Falasha Karya Mahardhika Zifana Bagian 1
"Mahardhika Zifana Rahasia Kaum Falasha bagaimana kalau harta karun Nabi sulaiman itu jatuh ke tangan orang orang zionis" Mereka pasti bertambah sombong dan makin semena mena membantai lagi orang-orang Palestina.
Kegundahan menghantui Indra saat dia menemukan manuskrip kuno tentang orang orang Beta Israel anak cucu Menelik, putra Raja Sulaiman dari Ratu Saba. pada lembar kelima manuskrip peninggalan orang-orang yang juga dikenal sebagai Kaum Falasha itu menyebut-nyebut letak Tabut Perjanjian dan harta karun Nabi sulaiman. Didorong rasa khawatir harta karun Sulaiman bisa jatuh ke tangan Knights of zion yang terobsesi mendirikan The Kingdom of Heaven di tanah Israel, Indra nekat membakar lembar kelima manuskrip. kini isi lembar kelima itu hanya ada dalam kepala Indra Dan karena itu pula Indra menjadi buronan para Ksatria Zion yang berbahaya.
Esa dan Nisa, kawan-kawan Indra dari Indonesia, tak terhindar berpacu dengan waktu demi menemukan lokasi Tabut Perjanjian dan Harta Karun Nabi Sulaman itu .Dan tanpa diduga, di tengah perburuan, seorang anggota Knights of zion hadir di antara mereka. Benarkah ksatria of zion yang satu ini seorang kawan, Sebagaimana pengakuanya "
Berdasarkan riset yang dilakukan penulisnya selama 3 tahun lebih, novel petualangan Muslim pertama dalam sejarah kesusastraan Indonesia ini secara memikat merangkai Fakta dan informasi sejarah Harta Karun Nabi Sulaiman. Kini saatnya Anda, pembaca, menentukan apakah kisah ini fiksi, atau fakta.
ebook by: http://hana.-oki.blogspot.com
selamat membaca... *** Tabut Perjanjian (Inggris:
The Ark of Covenant,) adalah sebuah benda yang disucikan umat Yahudi. Bentuknya merupakan sebuah peti yang berisi gulungan kitab Torah yang asli (Sefer Torah), dua lauh batu bertuliskan sepuluh perintah Tuhan (The Ten Commandements) yang diberikan kepada Musa as di bukit Tursina, serta potongan Manna dan Salwa -makanan dari surga yang diberikan kepada Bani Israel saat mereka dalam perjalanan berhijrah dari Mesir ke tanah Kana'an.
Tabut Perjanjian dibuat berdasarkan perintah yang diterima Musa as di Gunung Sinai. Fungsi utamanya ialah sebagai sarana peribadatan dan komunikasi antara Tuhan dengan Musa as. Sepeninggal Musa as, Tabut Perjanjian dirawat oleh para Imam dan Nabi-Nabi Bani Israel yang datang silih berganti.
Setelah pengangkatan Thalut sebagai Raja Israel yang pertama, Tabut Perjanjian beralih menjadi tanggung jawab para Raja, walau perawatannya tetap dilakukan oleh para Imam. Bani Israel meyakini bahwa Tabut Perjanjian tersebut hilang pada saat terjadinya serangan Kerajaan Babilonia di bawah Raja Nebukadnedzar, bertahun-tahun setelah wafatnya Raja Sulaiman as.
Literatur terakhir yang menyebut-nyebut bahwa tabut suci masih berada di tangan orang Israel tertulis di dalam Alkitab (2 Tawarih 8:l I), saat Sulaiman mengusir putri Firaun yang dinikahinya dari tempat penyimpanan tabut suci tersebut karena putri Firaun tersebut tidak percaya kepada Allah.
Alkitab bukan satu-satunya literatur kuno yang menyebut-nyebut Tabut tersebut. Sebuah sumber kuno dari luar bangsa Israel juga menyebut-nyebut tabut tersebut. Kebra Negast, kitab yang berisi kronik para Kaisar Dinasti Solomonic, sebuah dinasti yang memerintah kerajaan Saba sejak 3000 tahun sebelum Masehi hingga berakhir di Ethiopia tahun 1976. Raja pertama dinasti ini ialah Menelik -putra dari Raja Israel, Sulaiman as, dan Ratu Saba, Balqis alias Makeda. Raja terakhir dinasti ini, Haile Selasie, dijatuhkan dalam sebuah kudeta di Ethiopia tahun 1976, kudeta yang disinyalir melibatkan campur tangan Zionis.
Al-Qur'an menyebut-nyebut keberadaan tabut tersebut dan fungsinya sebagai penanda kekuasaan pada Surah Al Baqarah ayat 248.
*** Heri berjalan terhuyung dengan napas tersengal. mengucur dari punggung dan bahunya, memberikan warna baru pada pakaiannya yang telah kotor berlumur lumpur dan tanah. Ia merasa pandangannya mulai kabur.
Indra memegangi tubuh Heri sekuat tenaga, membantunya berjalan dengan susah payah. Mereka terus berjalan hingga Heri merasa tak kuat lagi. Lalu ia meminta Indra berhenti. Indra membantu Heri duduk dan bersandar pada dinding ruangan yang kumuh. Dengan panik, Indra mencoba membersihkan darah dan kotoran dari tubuh Heri.
Tangan Heri memegang erat sebuah segitiga sama sisi berundak dengan warna kekuningan. Disodorkannya benda itu pada Indra, sementara matanya menatap dengan nada penuh harap pada Indra. Mulutnya nyaris tak mampu lagi berkata-kata.
Indra mengangguk sambil mengambil benda yang dipegang Heri. Kemudian dengan susah payah, Heri melantunkan dua kalimat syahadat dan perlahan-lahan matanya tertutup bersamaan dengan hembusan napas terakhir dari hidungnya. Indra meringis menutup matanya yang berair. Tangannya menggenggam erat segitiga yang baru diterimanya dari Heri. Kemudian Indra berdiri dan berlari meninggalkan jasad Heri di tempat itu hingga sosoknya menghilang ditelan kepekatan malam.
Addis Ababa'. *** Senin pagi pada pekan terakhir JUmmi 2005 di Kampus Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)', Bandung. Ujian akhir semester genap telah sepekan berlalu dan libur datang Kampus pun mendadak sepi. Para mahasiswa yang biasanya menghidupkan sudut-sudut kampus pada hari perkuliahan menghilang. Mereka lebih memilih pulang ke kampung halaman masing-masing daripada berkegiatan di kampus yang ditumbuhi banyak pepohonan rimbun tersebut. Pohon-pohon rimbun itu bernyanyi generisik tertiup angin, seolah menanyakan para mahasiswa yang biasa berteduh di bawah lindungan mereka pada hari-hari perkuliahan.
Walau begitu, di beberapa sudut kampus masih ada insan-insan kampus yang mencoba memberi sentuhan kehidupan pada kesunyian kampus dengan kesibukannya masing-masing.
Di gedung olahraga, anggota tim basket universitas sedang berlatih untuk menghadapi kejuaraan basket antar perguruan tinggi. Gedung Olahraga UPI terletak di tengah area kampus dan menghadap ke arah timur, bersebelahan dengan Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa alias Gedung PKM yang ada di sebelah kirinya. Segelintir aktivis mahasiswa hilirmudik keluar-masuk di beberapa sekretariat organisasi kemahasiswaan dan unit kegiatan mahasiswa yang ada di dalam Gedung PKM. Gedung Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni atau FPBS berada di sebelah kanan gedung olahraga, hanya terpisah oleh sebuah jalan yang lebarnya sekira enam meter. Gedung itu berbentuk persegi panjang dan memiliki tiga lantai. Di lantai bawah gedung tersebut, terdapat kantor tata laksana fakultas serta kantor dekan dan para pembantu dekan. Sementara di lantai dua, berderet beberapa ruang kelas. Lantai tiga ditempati oleh sebuah laboratorium bahasa dan kantor-kantor Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Daerah, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Inggris, serta Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Ketiga kantor Jurusan itu berderet berurutan dari timur ke barat, mengikuti ruang laboratorium bahasa yang berada di ujung paling timur. Sementara, tujuh jurusan FPBS lainnya berkantor di bagian lain kampus tersebut. Gedung itu pun nampak lengang.
Namun di beberapa ruang kantor, beberapa pegawai maupun dosen nampak sedang beraktivitas - melaksanakan beberapa pekerjaan yang tersisa di awal masa liburan. Di ruang muka Kantor Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Inggris, Esa sedang menekan tombol-tombol keybord komputer. Matanya yang berhias kacamata minus satu terarah ke layar monitor dengan sorot serius. Sesekali, dilihatnya lembar daftar nilai yang tergolek di samping keybord komputer. Ia sedang memasukkan data nilai akhir semester mahasiswa ke basis data jurusan. Kadang ia jenuh dan berhenti sejenak.
Sesekali Esa memikirkan kegiatan yang dapat dilakukannya selama masa libur. Dosen-dosen lain mungkin memilih untuk mengisi liburan dengan mengerjakan penelitian, menulis buku, mengajar semester pendek, atau aneka aktivitas lain yang masih berhubungan dengan dunia akademik. Namun Esa ingin agar liburannya kali itu harus menjadi liburan yang sesungguhnya, bukan liburan dengan aktivitas yang masih berkenaan dengan dunia akademik.
Tak jauh dari kantor itu, seorang lelaki muda bergerak cepat menyusuri jalan di antara Gedung PKM dan Gedung Olahraga yang ada di sampingnya. Langkah langkahnya tertuju ke Gedung FPBS yang berada di samping Gedung Olahraga. Raut muka lelaki itu menunjukkan kecemasan luar biasa. Sesekali, kepalanya mendongak dan menoleh ke berbagai arah: kanan, kiri, belakang, bahkan atas. Ia seolah tak ingin langkahnya diketahui oleh orang lain. Setiba di gedung yang ditujunya, ia bergegas masuk. Setengah berlari, ia melewati lobi gedung yang tidak terlalu luas menuju tangga di sudut lobi. Kakinya segera menapaki tangga-tangga beton hingga melewati lantai dua dan akhirnya tiba di lantai ketiga - lantai tertinggi di gedung itu. Ia berbelok dan menyusuri koridor yang membentang di muka pintu-pintu ruangan. Ruang ujung yang paling dekat dengan jalan tangga ialah Laboratorium Bahasa. Ruang itu dilewatinya dengan cepat hingga ia tiba di pintu ketiga pintu kantor Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Inggris. Kepalanya kembali mendongak dan menoleh ke berbagai arah. Kemudian ia menyimpan sebuah bungkusan di depan pintu sebelum ia mengetuk pintu kantor itu dengan interval yang jarang namun keras, Tik. tuk. tuk
Esa mendengar ketukan itu dari dalam.
"Siapa" Masuk saja! Tidak dikunci!"
Sejenak Esa menunggu. Namun tak ada suara apa pun. Esa melirik dari balik monitor komputer. Ia menatap ke arah pintu.
Tik. tuk. tuk. Ketukan itu kembali terdengar dari arah pintu. Esa lalu berdiri dan beranjak mendekati pintu. Dengan satu gerakan, ia memutar pegangan pintu dan pintu pun terbuka. Tak ada siapa pun di muka pintu.
"Aneh sekali!", Pikir Esa. Ia yakin bahwa ia mendengar ketukan di pintu. Esa menengok ke arah kanan dan kiri. Namun ia tak menemukan tanda-tanda kehidupan di koridor.
"Apa mungkin siang hari begini ada jin iseng?", Pikirnya.
Esa tak takut pada jin. Tak sedetik pun ia gentar pada makhluk yang jelas-jelas derajatnya lebih rendah daripada manusia.
"Yah, siapa pun Anda!" teriak Esa sendiri, "semoga sadar bahwa perbuatan mengganggu orang itu tidak baik. Anda bisa."
Ucapannya terhenti saat ia menunduk. Ia melihat sebuah bungkusan teronggok di muka pintu.
"Bungkusan apa pula, itu?", pikirnya.
Esa berjongkok dan mengambil bungkusan berbentuk kotak.Besar bungkusan itu hampir sama dengan Kamus Oxford Advanced Learners Dictionary edisi pocket yang selalu dibawanya kala mengajar di kelas.
"Apa mungkin tadi ada pengantar paket ke sini?", pikirnya.
Namun pikiran itu pun segera pupus dari benaknya saat ia tak menemukan cap pos. Lagipula, bila bungkusan itu dikirim melalui jasa pengiriman barang, biasanya ada tanda terima yang harus ditandatangani oleh penerima. Pada sampul bungkusan itu, tertera jelas nama yang menjadi tujuan paket itu:
To: DR. MAHESWARA WIRADIKA.
Itu namanya! Berarti paket itu memang untuknya.
"Tapi dari siapa, ya?" Benak Esa bertanya.
Mengingat ada pekerjaannya yang masih tertunda, Esa pun tak acuh. Ia kembali beranjak ke dalam dengan membawa paket misterius itu. Ia hendak melanjutkan pekerjaannya yang tertunda.
Baru dua langkah Esa berjalan, ponselnya berbunyi. Esa merogoh saku celananya dan mengangkat ponselnya. Nampak tulisan berkedip di ponselnya: AGUSMAN SETIAWAN
"Halo, Gus! Assalaamualaikum Ada apa?" Esa membuka percakapan.
"Waalaikumsalam! Halo, Kang Esa" . Himm, Begini, Kang.. saya hendak mengabarkan ...," sejenak suara terbata itu berhenti bicara.
"Ya" Ada apa, Gus?" Esa bertanya.
"Kang, begini, Kang Heri ... beliau ... hm. Kang Heri meninggal di Addis Ababa dua hari yang lalu. Siang ini, jenazahnya akan tiba di rumah. Kehadiran Akang sangat kami nantikan di sini."
Bagai disambar petir, Esa terkejut. Namun ia segera mencoba menguasai dirinya. Kemudian,
"Inalillaahi! Kenapa" Ada apa sebenarnya" Apa ia sakit" Seingatku, ketika ia pergi, ia baik-baik saja ...," kalimatnya terpotong,
"Ceritanya panjang! Kami juga kaget dan bahkan belum mengetahui sebabnya. Maaf, tapi saya tak bisa berlama-lama. Jenazahnya akan segera datang dan akan langsung kami makamkan. Sebaiknya Akang segera kemari bila hendak ikut dalam shaf shalat jenazah. Wassalamu'alaikum" Suara Agus menghilang dan tergantikan dengan nada putus..
Esa terhenyak. Pikirannya berada antara sadar dan tidak. Ia setengah tidak percaya pada kabar yang diberikan oleh Agus. Esa bergegas mematikan komputer yang masih menyala. Dengan agak tergesa, dimasukkannya semua berkas-berkas penting ke tas ransel kulit yang biasa dibawanya. Paket misterius yang baru saja ia terima juga dimasukkannya ke ransel tersebut. Setelah memastikan bahwa pintu kantor terkunci rapat, Esa setengah berlari memburu tangga dan dengan cepat ia telah berada di luar gedung. Ia terus berlari menuju mobilnya yang terparkir di depan gedung sedan Chevrolet tua bertahun 1968. Tiba di samping mobil, ia menarik pegangan pintu sedan tua itu, lalu masuk dan menempatkan diri di belakang kemudi. Ranselnya ia simpan di jok belakang.
Tanpa membuang waktu, Esa memutar kunci kontak. Mobil lalu menyala dan perlahan Esa menggerakkan kemudi dan pedal gas untuk menbawanya keluar dari areal kampus. Speedometer di balik kemudi menunjuk pada angka 40 km/jam. Esa mengemudi dengan hati-hati. Kesadarannya masih cukup kuat untuk menuntunnya agar tidak terpengaruh oleh rasa kaget dan terkejut. Walau begitu, tak urung pikirannya menerawang agak jauh dari konsentrasi pada kemudi dan pedal gas. Sejak semalam, ia menghabiskan waktu di kantor untuk membereskan pekerjaannya memasukkan data nilai ujian akhir semester mahasiswa ke basis data jurusan. Pekerjaannya hampir rampung saat tiba-tiba ia mendengar ketukan di pintu Lalu ia menemukan paket misterius di ambang pintu tanpa bertemu dengan pengantarnya. Belum sempat ia membuka paket itu, tibatiba ia menerima kabar mengejutkan dari Agus, adik Heri. Heri telah wafat. Aneh. Itu kata yang tepat untuk mengambarkan perasaan yang hinggap di pikiran Esa yang kemudian mengembara pada kenangan-kenangan bersama Heri .
Esa dan Heri bersahabat sejak mereka masih di universitas tempat mereka bekerja. Awal pertemuannya dengan Heri terjadi saat mereka mengikuti Pekan Orientasi Kampus alias Pekan OK di awal masa studi mereka sebagai mahasiswa. Saat itu, mereka terlambat datang sehingga sama-sama mendapat hukuman push-up 10 kali. Esa sedang bertiarap dan menunggu aba-aba untuk melakukan push-up saat Heri yang sedang tengkurap di sampingnya tiba-tiba saja bertanya,
"Hey! Namamu siapa?"
"Esa," jawab Esa singkat dan tanpa minat. Pikirannya lebih tercurah pada hukuman yang harus dijalaninya.
"Namaku Heri. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia," ujar Heri tanpa memedulikan Esa yang diam tak menjawab karena kurang berminat untuk bercakap-cakap sambil push-up.
Tanpa melihat kondisi lawan bicaranya, Heri terus berbicara,
"Rumahku di Pasteur. Tadi susah dapat angkot. Makanya, aku terlambat. Kalau kamu dari mana" Asli Bandung" Kenapa terlambat?"
Tiba-tiba, bentakan dari senior yang sok berkuasa berdentum bagai gong ditabuh di tengah sepi,
"Hey! Kamu berdua di sana. Dihukum, malah mengobrol pula! Tambah dua puluh lagi!"
Himh! Esa membatin. Gara-gara manusia di sampingnya itu, ia harus menambah menu hukuman yang diterimanya. Sementara orang di sampingnya itu malah tersenyum sambil melirik ke arahnya.
Terlepas dari pertemuan pertama yang kurang berkesan itu, mereka menjadi sangat akrab setelah peristiwa pagi itu. Jurusan yang berbeda bukan halangan bagi mereka untuk bersahabat. Esa mengambil Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Inggris, sementara Heri mengambil Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Setelah Pekan OK usai, mereka sama-sama mengambil peran populer sebagai aktivis organisasi. Peran itulah yang mempertemukan mereka sebagai sahabat. Masa yang mereka lewati bersama sebagai aktivis kampus telah nenempa kebersamaan di antara mereka menjadi sangat kuat.
Heri dua tahun lebih tua dari Esa. Mereka duduk satu angkatan karena Esa sebenarnya terlalu muda untuk duduk di angkatannya. Masa kecil Esa dihabiskan di Zimbabwe, Afrika. Ayahnya bekerja sebagai diplomat di negeri itu. Esa memiliki otak yang berada pada level superior, sehingga gurunya di Sekolah Internasional Zimbabwe menempatkan Esa pada dua tingkat di atas level kelas yang normal untuk anak seusianya. Esa kembali ke Indonesia ketika menginjak kelas satu SMA. Usianya yang dua tahun lebih muda dari usia ratarata anak di kelasnya membuat dirinya tersisih dari pergaulan. Ia berkembang sebagai remaja yang introvert. Konsekuensinya, Esa lebih menyibukkan dirinya pada urusan-urusan akademik daripada bergaul dengan temanteman satu kelas. Kebiasaan itu tentu saja ditunjang oleh kegeniusannya. Maka, nilai rapor yang rata-rata delapan lebih di setiap semesterbukan sesuatu yang asing bagi Esa. Sebagai anak superior, Esa pernah merasakan menjadi penenang medali emas Olimpiade Fisika dan medali perak Olimpiade Kimia tingkat internasional.
Walau ia memiliki kelebihan di bidang sains, minatnya adalah sastra. Itulah yang membuatnya menerima pinangan penerimaan mahasiswa jalur khusus di UPI untuk duduk sebagai mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Inggris. Minat Esa pada sastra disebabkan minimnya jam pergaulan dengan kawan-kawannya. Esa melampiaskan kelebihan waktu senggangnya untuk membaca karyakarya sastra Eropa klasik. Buku-buku karya Willian Shakespeare, Alexandre Dumas, dan lainnya menjadi menu wajib baginya sejak duduk dibangku SMA.
Perubahan besar terjadi pada dirinya setelah ia mengenal Heri dibangku kuliah. Sejak perkenalan mereka pada saat Orientasi Kampus, Heri berperan besar mengubah dirinya. Esa menjadi lebih terbuka dalam bergaul. Heri menyeretnya terlibat dalam berbagai kegiatan positif, mulai dari aktivitas di organisasi kemahasiswaan hingga terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial di berbagai LSM. Dulu mereka berdua bagai dua sisi pada sekeping uang logam, tak terpisahkan dan ke manapun selalu bersama. Esa dan Heri juga lulus dan diwisuda pada gelombang yang sama. Heri baru dua puluh dua tahun ketika lulus sebagai sarjana, sedang Esa tepat berusia dua puluh.
Keunggulan akademik yang mereka Miliki membuat almamater mereka meminta agar mengabdi sebagai dosen. Hanya berselang enam bulan setelah diangkat sebagai dosen, Esa mendapat beasiswa untuk melanjutkan studinya di Harvard University, Amerika Serikat. Ia mendalami program studi Sastra yang menjadi minatnya sejak remaja. Kecerdasan level superior memudahkan Esa untuk menyelesaikan studi hingga meraih gelar Master dalam dua tahun dan gelar Doktor hanya dalam satu setengah tahun. Ketika kembali ke Indonesia dengan menyandang gelar Doktor Bidang Sastra, ia berusia dua puluh empat. Esa adalah salah satu Doktor termuda di Indonesia.
Dibandingkan Esa, Heri memang tak lebih pandai. Tetapi Heri memiliki semangat belajar yang luar biasa. Heri memang tidak seberuntung Esa yang bisa langsung memperoleh beasiswa ke luar negeri setelah diangkat sebagai dosen. Heri harus menunggu selama satu tahun sebelum ia memperoleh kesempatan untuk melanjutkan studi ke jenjang Strata-2. Itu pun tidak jauh, hanya menyeberang ke negara tetangga Australia, di Monash University. Heri menekUmmi minatnya dalam bidang Linguistik dengan spesialisasi dalam ilmu filologi. Ia dapat menyelesaikan S-2 relatif cepat -hanya dua setengah tahun. Kemudian Heri melanjutkan perburuan gelar Doktor pada universitas yang sama.
Dua bulan lalu, Heri mengirim email untuk Esa. Ia sedang menyusun tesis untuk penyelesaian program Doktoralnya. Dalam emailnya, Heri memberitahu Esa bahwa ia hendak melangsungkan penelitian di Ethiopia untuk bahan disertasinya yang mengupas masalah filologi bangsa Afrika. Heri neneliti sejarah Ethiopia berdasarkan manuskrip-manuskrip kuno. Dalam email terakhirnya, Heri meminta agar Esa berdoa untuk kelancaran penelitiannya. Ia juga bertitip pesan agar Esa sering menjenguk ibu dan adiknya. Ternyata semuanya berakhir di hari itu.
Termenung dibalik kemudi, Esa masih terkonsentrasi pada kenangan-kenangannya bersama Heri. Beruntung sekali bahwa jalanan yang dilalui mobilnya tidak terlalu padat, sehingga konsentrasi mengemudi yang hanya setengah porsi pada otaknya tidak terlalu berpengaruh pada perjalanan kendaraan yang dikemudikannya.
Dari Kampus UPI di kawasan Ledeng, rumah Heri yang terletak di kawasan Pasteur dapat dicapai dengan kendaraan pribadi dalam waktu kurang dari tiga puluh menit. Jalan yang menghubungkan kedua kawasan itu lurus dan merupakan salah satu urat nadi utama kota Bandung. Dari kawasan Ledeng yang mendekati titik ketinggian kota Bandung, jalan menuju kawasan Pasteur.
Tanpa terasa, Esa pun tiba di muka rumah Heri. Rumah itu nampak sudah diramaikan para pelayat. Beberapa helai bendera kuning dari kertas telur tertancap di pagar rumah. Esa membuka pintu mobil perlahan. Ia lalu bergerak turun dari sedan tuanya. Sejenak ia berdiri dan memandang ke rumah itu. Setelah itu, kakinya mulai Melangkah menuju rumah itu, melanjutkan perjalanan hari yang terasa aneh baginya.
*** 1. selaksa jingga membingkai lembayung merah di ufuk barat sore itu. Esa mematung di tepi lang lahat. Tanah merah diuruk di atas lahat hingga menjelma menjadi gundukan dengan pusara di setiap ujungnya. Semua yang hadir di makam telah berlalu. Namun Esa masih betah berteman dengan selaksa jingga sambil menatap pusara itu dan menerbangkan angannya. Dulu Esa pernah menyaksikan selaksa jingga seperti itu. Bukan dari tepi pusara Heri tentunya. Selaksa jingga seperti itu pernah dilihatnya dari tepi makam ayahnya. Ayah Esa meninggal saat ia duduk di semester 4 kuliah. Ketika itu, Heri setia menemaninya menghabiskan waktu di makam hingga sore saat selaksa jingga tiba. Kini selaksa jingga serupa itu dijumpainya di makam Heri. Andai kematian tak akrab dengan Esa, ia mungkin menangis saat mendengar berita wafatnya Heri. Namun kematian telah begitu akrab dengannya. Ibunya meninggal saat melahirkannya. Ia dan ayahnya tak punya siapa-siapa lagi di dunia. Ayahnya memang masih memiliki saudara dan keluarga. Namun mereka tak peduli satu sama lain. Maka saat kematian menjemput ayahnya, Esa makin kukuh dalam kesendirian. Heri adalah orang yang menariknya keluar dari kubangan kesendirian. Heri ialah orang yang membuka mata hati Esa bahwa masih ada orang yang bisa memberinya kasih sayang di dunia ini. Heri ialah orang yang telah memberikan keluarga baru untuknya. Ibu Heri begitu sayang pada Esa, seperti pada anak-anaknya sendiri.
Tiba-tiba sebuah tepukan ringan mendarat di bahu Esa. Esa menoleh. Wajah Agus memberikan senyuman ringan.
"Akang masih di sini rupanya," ujar Agus.
"Iya, Gus," jawab Esa singkat. Kemudian ia berkata,
"Aku masih tidak percaya dengan apa yang telah terjadi hari ini. Rasanya...sangat aneh sekali."
"Aku bisa memahami perasaan Akang. Aku tahu bagaimana kedekatan Akang dengan Kang Heri. Tentunya, perasaan Akang sama dengan perasaan yang kualami," jawab Agus diplomatis.
Mereka lalu terdiam. "Kamu sudah mendapatkan informasi tentang motif pembunuhannya?" tanya Esa tiba-tiba.
"Pihak kedutaan menyebut, mereka mendapat informasi dari Kepolisian Ethiopia bahwa pembunuhan Kang Heri dilatarbelakangi dendam. Mereka juga mengatakan tersangka pembunuhnya adalah orang Indonesia juga."
"Dendam" Orang Indonesia juga?"
"Namanya Indra Hernawan. Orang Indonesia juga, tapi Memegang paspor Australia. Dia asisten Kang Heri dalam penelitian itu. Orang itu belum tertangkap hingga kini."
"Asistennya?" "Ya. Itulah yang dikatakan polisi. Menurut pihak kedutaan, polisi Ethiopia memperoleh keterangan dari penghUmmi flat di samping kamar Kang Heri bahwa pada malam terjadinya pembunuhan itu, ia mendengar suara orang bertengkar dalam bahasa yang tidak ia pahami. Polisi kemudian menyimpulkan bahwa pertengkaran itu adalah pertengkaran antara Kang Heri dengan Indra Hermawan dalam Bahasa Indonesia."
"Indra itu siapa ya" Maksudku..., apa Heri pernah bercerita padamu bahwa ia memiliki teman yang bernama Indra". Soalnya, seingatku..., aku kenal semua teman-teman Heri. Teman-temannya pasti temanku juga."
"Tidak. Saya tak pernah mengenal Indra Hermawan. Kang Heri juga tak pernah bercerita bila ia memiliki teman bernama Indra Hernawan. Saya hanya memperoleh penjelasan dari pihak kedutaan bahwa Indra ialah seorang pedagang barang antik. Ia lahir dan besar di Australia, karena itu ia memiliki paspor Australia. Orangtuanya bermigrasi ke Australia sebelum ia lahir. Kemungkinan, Kang Heri baru mengenal orang itu sejak ia tinggal di Australia."
Esa terdiam merenung. "Kau merasa ada yang janggal dengan kesimpulan itu, Gus?" tanya Esa.
"Iya. Aneh rasanya. Kang Heri tidak pernah asal memilih teman. Tentu Akang juga tahu akan hal itu..."
Agus diam sejenak. Lalu ia melanjutkan,
"Bagaimana mungkin seorang teman membunuh temannya sendiri. Kang Heri selalu berteman dengan orang baik-baik. Kemudian soal dendan yang diyakini sebagai motif pembunuhan, setahu saya, Kang Heri adalah tipe orang yang tak suka membuat masalah dengan orang lain. Apalagi membuat masalah dengan temannya sendiri hingga temannya itu menyimpan dendam. Saya rasa ada keganjilan dalam cerita itu."
Esa menatap Agus. Tangannya kemudian menggapai bahu Agus.
"Aku merasakan hal yang sama, Gus," ujar Esa.
Kemudian keduanya kembali diam. Sejenak mereka mematung bagai tak tahu lagi apa yang hendak dikatakan. Matahari perlahan mulai tak terlihat lagi wujudnya. Suara Agus kemudian memecah lamunan Esa.
"Sebaiknya kita pergi, Kang. Sekarang sudah dekat waktu maghrib. Ibu menunggu kita di rumah," ujar Agus.
Esa mengangguk. Mereka lalu berjalan beriringan meninggalkan makam Heri yang terletak tak jauh dari rumah Heri dan Agus. Kurang dari sepuluh menit kemudian, mereka telah berada di rumah Agus. Azan maghrib bergema menyambut kedatangan mereka di rumah. Agus dan Esa masuk ke dalam rumah yang masih dipenuhi pelayat-baik keluarga, tetangga, maupun kerabat Heri. Ibunda Heri yang tak kunjung henti menitikkan air mata sekilas menatap Esa, lalu tangannya melambai memanggil Esa. Esa beranjak melewati beberapa orang yang sedang hilir-mudik. Diraihnya tangan Ibu Kiem, Ibunda Heri, dan diciumnya khidmat. Bu Kiem tersenyum penuh makna. Satu sapuan saputangan ditujukannya ke matanya yang sembab. Ia kemudian berkata,
"Nak Esa sudah makan?"
Pertanyaan yang biasa ia berikan pada Esa jika bertandang ke rumahnya. Esa tersenyum. Pertanyaan tersebut memang rutin dan sederhana, namun pertanyaan itu yang membuat dirinya merasa bermakna kala berkunjung ke rumah keluarga sederhana itu.
"Belum, Bu. Ibu juga belum, kan?" Esa menjawab dan balik bertanya.
Bu Kiem hanya tersenyum. Tentu saja. Mana mungkin dalam kondisi seperti itu nafsu makan seseorang dapat timbul. Apalagi bagi seorang ibu yang baru saja kehilangan anak yang dicintainya, anak yang diharapkannya akan menjadi tulang punggung keluarga.
"Ibu mau shalat dulu. Setelah itu, kita makan bersama ya, Nak?" ucap Bu Kiem.
Esa tersenyum dan mengangguk. Ia lalu beranjak mengambil air wudhu. Orang-orang masih terus berdatangan, terutama teman dan kerabat Heri yang hendak ikut berdoa untuknya. Agus meminta Esa bermalam di rumah itu karena mungkin masih banyak teman dan kerabat keluarga yang akan datang melayat. Esa tak dapat menolaknya. Untuk Esa, keluarga Heri telah menjadi keluarganya juga.
Bu Kiem dan Agus memang selalu ramah pada kawan-kawan Heri. Suami Bu Kiem, ayah dari Heri dan Agus, telah wafat ketika Heri dan Agus masih berusia dua belas dan delapan tahun. Sejak itu, Bu Kiem membesarkan sendiri kedua anaknya. Mereka menerima warisan berupa empat toko beras di pasar. Warisan itu selalu dianggap Bu Kiem sebagai anugerah. Dengan berjualan beras, Bu Kiem dapat memberi makan dan menyekolahkan kedua anaknya hingga ke perguruan tinggi.
Esa menyelesaikan shalat maghrib di kamar Heri. Kemudian seusai shalat, saat masih duduk dalam posisi tasyahud, matanya menerawang menatap sekeliling ruangan tempatnya shalat. Dulu mereka sering menghabiskan waktu bersama di kamar itu. Hal yang paling sering mereka lakukan di situ adalah berdiskusi. Beragam topik telah mereka diskusikan, mulai dari topik yang paling akrab dengan mereka seperti sastra dan linguistik, hingga topik agama, politik, dan topik lainnya. Kamar itu telah memberikan banyak inspirasi bagi Heri dan Esa. Kamar itu tidak terlalu luas. Ukurannya hanya 4 x 5 meter dan nampak rapi. Bila Heri berada di rumah, kamar itu biasanya berantakan. Barang-barang berserakan di sana sini, mirip kapal pecah. Kamar Heri berantakan bukan tanpa alasan. Biasanya, benda yang paling banyak berserakan tak beraturan di kamar itu adalah kertas dan buku. Esa masih ingat bahwa Heri adalah seorang pemikir yang tidak pernah berhenti mempelajari sesuatu yang baru. Di kamar itu, satu-satunya benda yang senantiasa berada di tempatnya ialah tempat tidur kayu berukuran sedang di pojok kamar-berseberangan dengan pintu masuk ke ruangan tersebut. Di sebelah tempat tidur tersebut, teronggok sebuah meja belajar. Tepat di seberang meja belajar tersebut, ada sebuah meja komputer beserta perangkat komputernya. Di sampingmeja komputer tersebut, terdapat rak buku memanjang. Buku-buku berderet rapi di rak itu. Bila Heri berada di situ, buku-bukunya biasanya jalan-jalan ke segala penjuru ruangan sehingga membuat kamar tersebut sangat berantakan. Dinding-dinding kamar Heri dipenuhi bingkai-bingkai pigura yang memuat foto-foto kenangan Heri sejak ia kecil hingga yang terbaru, fotonya saat baru tiba di Australia untuk melanjutkan studinya.
Esa masih duduk di atas sajadah dan mengedarkan p.andangannya mengitari keadaan. Ia bagai sedang memutar slide film yang berisi beragam kenangannya bersama Heri di kamar tersebut. Ragam pertanyaan menari di benak Esa. Semuanya berputar tanpa menemukan jawaban. Esa lalu keluar dari kamar Heri. Para pelayat masih ramai memenuhi bagian dalam dan muka rumah. Sebagian tamu mengaji di ruang tengah. Seharusnya ia ikut bersila dan membaca Yaasin di dalam bersama pelayat lainnya. Namun kecamuk dalam pikirannya terlalu hebat untuk diabaikan begitu saja.
Di beranda rumah Heri terdapat satu set kursi rotan. Tanpa mengacuhkan orang-orang yang hilir mudik, Esa duduk di salah satu kursi itu dan mencoba menikmati aneka pikiran di kepalanya. lamunannya kemudian terpecah oleh alunan suara merdu yang tiba-tiba muncul dari hadapannya,
"Assalaamualaikum."
"Waalaikumsalam. Kamu."
Esa terpana sambil menunjuk perempuan yang baru saja berunjuk salam kepadanya. esa biasa memanggilnya Nisa. Nama lengkapnya E. KhairUmmi sa. Benak Esa masih mengingat saat pertama kali ia dan Heri bertemu Nisa. Ketika itu, Heri baru saja terpilih sebagai Ketua BEM FPBS UPI dan hendak membentuk kepengurusan baru yang akan bekerja bersamanya. Ia kemudian menggelar rapat staffing Dalam rapat itu, ia mengundang wakil-wakil dari semua jurusan di FPBS. Ketika rapat dimulai, Heri mengumumkan pada semua yang hadir bahwa ia mengangkat Esa sebagai Sekretaris Jenderal. Semua yang hadir ketika itu setuju dan mendukung keputusannya. Lalu posisi-posisi lainnya diisi satu-per satu. Mulai dari Ketua-Ketua Bidang hingga Ketua-Ketua Sub Bidang. Menjelang berakhirnya rapat, masih ada satu posisi yang masih kosong, yakni Bendahara Umum. Heri menawarkan posisi itu pada setiap orang yang hadir. Namun semua menolak. mungkin karena besarnya tanggung jawab yang diemban oleh seorang Bendahara Umum. Akhirnya Heri menutup rapat dan menunda penunjukan posisi Bendahara Umum. Dalam rapat berikutnya, Heri kembali menawarkan posisi itu pada orang-orang yang hadir. Lagi-lagi semua memberikan jawaban yang sama. Ketika rapat deadlock karena memikirkan posisi Bendahara Umum yang tak kunjung terisi, tiba-tiba pintu ruang rapat diketuk dari luar. Saat pintu dibuka, semua yang berada di ruang rapat terdiam dan memandang ke arah pintu. Sesosok perempuan berjilbab dengan tubuh semampai berdiri di ambang pintu. Wajahnya putih bercahaya dengan hidung mancung menyembul di antara kerudung yang membalut kepalanya.
"Assalaamualaikum," ujar perempuan itu memecah keheningan.
"Waalaikumsalam!" jawab semua orang di ruang itu serempak, bagai sekumpulan rusa yang tersentak karena kehadiran seekor singa.
Heri kemudian mempersilakan perempuan itu untuk duduk.
"Nah, berhubung semua orang di sini sudah saling memperkenalkan diri sejak pekan kemarin kecuali Anda, kita akan lanjutkan rapat ini dengan perkenalan diri Anda," ujar Heri pada perempuan itu.
Beberapa orang yang duduk di belakang serempak sibuk berdehem. Heri sendiri memasang wajah dingin tanpa ekspresi.
"Sebelumnya, mohon maaf karena saya datang terlambat. Pada rapat sebelumnya, saya juga tidak hadir karena ada keperluan lain yang tak bisa saya tinggalkan. Nama saya Nisa, lengkapnya Zahra KhairUmmi sa. Saya utusan dari HMJ Bahasa Perancis," ujarnya berbicara tanpa Canggung.
"Oo." hampir semua di ruangan itu berguman.
"Nah, untuk mempersingkat waktu rapat kita, dengan ini, saya langsung saja putuskan untuk mengangkat Nisa menjadi Bendahara Umum. Saya kira cukup sekian rapat staffing ini dan terima kasih atas kehadirannya. Mari kita tutup dengan membaca handalah dan doa akhir majelis. Wassalaanualaikun warrahmatullah," ujar Heri tiba-tiba.
Semua orang di ruangan itu mendadak saling berpandangan terheran-heran.
Sejak peristiwa sore itu, hingga beberapa waktu kemudian ketika mereka menghabiskan waktu bersama untuk mengurus organisasi, Esa cukup mafhum untuk memahami apa yang terjadi pada sahabatnya itu. Heri telah jatuh cinta. Walau Heri tak pernah mengakuinya secara terbuka, Esa dapat melihatnya dengan jelas. Esa dapat melihat hal itu melalui cara Heri menatap Nisa, caranya berbicara pada Nisa, dan cara Heri memperlakukan Nisa. Satu tahun mereka habiskan bersama untuk beraktivitas di BEM FPBS dan Esa semakin memahami hal tersebut. Namun Esa tak pernah menyengajakan diri untuk mencoba membahas hal tersebut bersama Heri. Esa tahu bahwa Heri tak akan melayani pembicaraan seputar hal tersebut. Ia tahu benar bahwa Heri ialah orang yang teguh memegang prinsip. Motonya ialah ilmiah, edukatif, dan religius. Menurut Heri, masalah cinta tak masuk dalam ketiga tanah prinsip itu. Cinta adalah pernikahan, sedang Heri tak mungkin melakukannya saat itu. Masih ada banyak hal yang ingin dilakukan dan dicapainya. Nisa memang cantik. Ia adalah tipe perempuan yang dapat membuat laki-laki ingin berlama-lama menatapnya. Itulah yang membuat Heri selalu menunduk ketika berbicara dengan Nisa. Esa kagum pada sahabatnya itu. Heri ialah seorang muslim yang saleh dan teguh memegang ajaran agama.
Bayang-bayang kenangan Esa lalu terhenti. Ia tersentak dari lamunannya oleh suara merdu Nisa.
"Hi, Esa. How are you?" tanya Nisa membuka percakapan di beranda rumah itu, di tengah gegar suara orang-orang yang membaca ayat-ayat Yaasin dari dalam rumah.
"Fine," jawab Esa pendek.
Ditatapnya sekilas wajah Nisa. Kemudian Ia cepat menunduk.
"You don't look Jine, you knou?" lanjut Nisa.
Esa diam. Diarahkannya pandangan ke pagar di depan rumah tempat di mana sebuah bendera kuning dari kertas telur terpasang dan melambai ditiup angin malam.
"Tentu saja tidak," Esa menjawab tanpa mengalihkan pandangannya pada bendera kuning yang melambai makin keras, seolah menegaskan bahwa salah satu penghUmmi rumah itu telah berlalu ke dunia lain.
"Aku tahu. I'm sorry," ujar Nisa lirih.
"So, where have you been" And what have you been doing?" tanya Esa.
Nisa menghela napas."Aku belum bertemu dengan ibunya Heri. Di mana beliau?" ujar Nisa tiba-tiba.
"Di dalam. Ayo, kuantar kau menemuinya," jawab Esa seraya berdiri.
Mereka masuk ke dalam, melewati para pelantun Yaasin yang seolah tak kenal lelah mengunandangkan ayat-ayat Suci itu. Nisa bertemu dengan Bu Kiem. Mereka kemudian berpelukan. Esa masih sempat menyaksikan tangan Bu Kiem membelai wajah halus Nisa dan bertukar kata sebelum ia kembali beranjak ke tempatnya semula di beranda rumah. Lalu Esa kembali diam dalam renungan. Sejenak Esa kembali melamun di beranda itu. Esa terpekur dalam diam. Hatinya bertanya pada Sang Khalik, menanyakan apa yang harus dia lakukan setelah berita duka yang ia terima. Kemudian Esa teringat bahwa ia masih memiliki pekerjaan yang tersisa. Daftar nilai mahasiswa untuk semester ini harus sudah beres esok hari. Maka setelah menimbang dengan saksama, ia memutuskan untuk pulang. Esa lalu membereskan beberapa barangnya dan pamit pada Ibu Kiem. Nisa masih bersama Bu Kiem saat Esa hendak pamit pergi.
"Saya harus pulang, Bu. Ada pekerjaan yang harus diselesaikan," ujar Esa mengawali pamitnya pada Bu Kiem.
Ibu Kiem diam sejenak. Lalu ia berkata,
"Ya, Nak. Ibu paham pekerjaanmu banyak. Tapi jangan lupa bertandang kemari bila sempat ya. Jangan lupakan kami. Kami tetap keluargamu meski Heri sudah tiada," jawab Bu Kiem lirih.
Esa mengangguk. Terasa ada sesuatu yang mengganjal di kerongkongannya ketika mendengar Bu Kiem berbicara. Sebenarnya ia bisa saja tinggal di rumah itu. setidaknya untuk hari itu. Namun perasaannya menolak menyaksikan kesedihan keluarga itu, keluarga yang sangat dicintainya. Esa segera beranjak meninggalkan rumah Heri. Ia baru melewati pagar di muka rumah saat seseorang memanggilnya,
"Esa...!" suara Nisa jelas terdengar di antara riuh suara para pelayat yang masih saja berdatangan ke rumah itu.
Esa berbalik. Nampak Nisa berjalan ke arahnya. Di balik pagar rumah ia berhenti dan sekilas menatap Esa.
"Mau pulang, kan?" tanya Nisa,
"aku juga mau pulang. Kamu bawa mobil, kan" Boleh numpang?"
Esa tertegun sejenak. "Hmmm.. Bagaimana ya?"
Esa bingung. Ia merasa tak enak jika harus berada di dalam mobil bersama seorang perempuan. Namun hari sudah berajak malam. Bila ia membiarkan Nisa pulang sendiri, ia pun khawatir. Agak lama ia berdiri mematung sambil berpikir.
"Bagaimana?" desak Nisa tiba-tiba.
Esa mengangguk. Ia sudah mempertimbangkan dan merasa lebih khawatir jika Nisa harus pulang dengan angkutan umum pada malam hari.
"Oke, biarkuantar kamu sampai rumah. Eh by the way, rumahmu masih yang dulu, kan" Di Dago?"
Nisa mengangguk. Tak lama kemudian, mereka telah berada di dalam sedan tua milik Esa yang membawa mereka pergi meninggalkan rumah duka itu. Esa mengemudikan Chevrolet tuanya dengan tenang. Aktivitas mengemudi membuat Esa dapat melupakan beban pikirannya sejenak.
"Ada beberapa hal yang hendak kutanyakan padamu," ujar Esa tiba-tiba,
Nisa diam sejenak. "Tanyakanlah." jawab Nisa.
Hatinya mulai menebak apa yang hendakditanyakan Esa padanya.
"First...uthere have you been?" lanjut Esa,
"ke mana saja kamu selama tiga tahun ini?"
Nisa diam, lalu menghela napas. Ia menyandarkan tubuhnya ke sandaran jok. Ia sudah tahu apa yang hendak ditanyakan Esa padanya. Seketika itu pula benaknya melayang pada peristiwa beberapa tahun sebelumnya. Nisa duduk di samping Esa yang sedang .,Ketika itu, Nisa, Heri, dan Esa baru lulus dari UPI. Mereka diwisuda dalam gelombang wisuda yang sama. Tak lama setelah wisuda, mereka segera bekerja. Setelah Esa dan Heri diterima sebagai dosen di almamater mereka, Nisa mendapat pekerjaan sebagai instruktur bahasa Perancis di sebuah lembaga pendidikan bahasa. Saat Esa pergi ke Amerika untuk melanjutkan S-2, mereka bertiga tetap dapat berhubungan berkat ketanggihan telekomunikasi. Satu tahun setelah Esa berada di Amerika, Heri mendapat beasiswa ke Australia. Tibatiba saja dalam email yang dikirimkannya pada Esa, ia menceritakan sebuah rencana penting yang berkenaan dengan masa depannya. Ia hendak melamar Nisa. Esa sungguh senang bahwa Heri akhirnya akan mengemukakan perasaannya pada Nisa. Karena antusiasnya, Esa kemudian mendahului Heri dan memberitahukan rencana itu pada Nisa. Namun suatu hal yang tak terduga oleh Heri maupun Esa terjadi. Tiba-tiba saja Nisa menghilang. Heri mencari ke rumahnya, namun keluarganya telah pindah dan para tetangganya tak tahu mereka pindah ke mana. Heri mengirimi Nisa email, begitu pula Esa. Namun tak pernah dijawab. Esa sangat menyesal karena ia mendahului Heri memberitahukan hal tersebut pada Nisa. Ia merasa itulah yang membuat Nisa menghilang dan tak pernah muncul lagi. Hingga kini, setelah Heri tiada.
Nisa masih termenung. Ia seolah lupa pada pertanyaan Esa, sehingga Esa harus mengulang pertanyaannya, untuk menyadarkan Nisa bahwa ia harus memberikan jawaban."Ke mana saja kamu selama tiga tahun ini?" ulang Esa.
"Singapura," jawab Nisa pendek.
"Singapura?" tanya Esa.
"Satu hari setelah kamu memberitahuku tentang rencana Heri, aku berangkat ke Singapura untuk bekerja di sebuah restoran Perancis. Sejak sebelumnya, aku memang sudah berencana untuk pindah kerja. Kemudian datang tawaran untuk bekerja di restoran itu."
"Itu bukan alasan sebenarnya, kan?"
"Ya." "Mengapa" Untuk menyakiti hatinya?"
"Agar dia tak sempat melamarku," jawab Nisa. Kaca-kaca air nampak mulai mengenang di matanya.
"Kenapa?" Esa melanjutkan dengan ekspresi dingin. Dia tak mau melihat dan memerhatikan air yang mulai membasahi pelupuk mata Nisa.
"Kenapa" Kenapa, katamu" Esa..., pernikahan bukan sesuatu yang sederhana. Harus ada cinta di dalamnya dan cinta bukan sesuatu yang dapat dipaksakan."
"Kamu menolak Heri dengan alasan kamu tidak cinta padanya" Kamu tahu, Nisa, seorang muslimah yang baik tak boleh Menolak pinangan seorang lelaki muslim yang hanif. Aku tak melihat kekurangan apa pun dalam diri Heri. Aku tak menyangka kau berpikiran sepicik itu!"
Nisa terisak, air matanya tak terbendung.
"Aku tahu, Esa," ujar Nisa lirih, "Aku paham hal tersebut. Heri memang tak memiliki kekurangan apapun. Dia saleh, dia baik, dia pintar. dan itulah yang membuat aku merasa tak berhak menolaknya. Satu-satunya cara menghindarinya ialah dengan pergi dari kehidupannya dan..," kalimatnya terpotong oleh kata-kata Esa,"Dan baru kembali setelah dia mati" Begitu" Puas"!"
Tangisan Nisa semakin dalam. Sementara Esa merasa ada sesuatu yang menyesakkan dadanya. Ia merasa bersalah pada Heri. Bersalah karena mendahului Heri tentang rencananya untuk melamar Nisa. Andai ia tahu bahwa Nisa akan memilih sikap itu, tentu ia tak akan melakukan hal bodoh itu.
"Esa, ada beberapa hal yang tidak kamu ketahui," ujar Nisa sambil berusaha mengatur napas dan menenangkan dirinya.
Kali ini, Esa yang tak sanggup menahan ledakan di dadanya. Beberapa bulir air yang hangat mendesak keluar dari kedua matanya.
"Kamu berhak untuk marah padaku," lanjut Nisa dengan suara yang lebih tenang, "aku tahu itu...tapi memang ada beberapa hal yang tidak kamu ketahui. Suatu saat mungkin kamu akan mengetahuinya. Untuk saat ini, aku hanya dapat meminta kamu untuk memaafkan aku."
Esa diam. Kemudian ia mengangguk.
"Aku tahu bahwa dalam hal ini, bukan hanya kamu yang salah. tapi aku juga," ujar Esa lirih, "Tapi..," lanjut Esa, "sebenarnya apa alasanmu?"
"Sudah kubilang, ada beberapa hal yang tidak kamu ketahui. Suatu saat mungkin kamu akan mengetahuinya."
"Aku mendesak ingin tahu pada saat ini," ujar Esa dingin.
Nisa menghirup napas dalam-dalam.
"Aku...," ujar Nisa, "mengharapkan seseorang. Orang lain yang melamarku."
Esa diam. Ia tak punya lagi kata untuk diucapkan. Hening kembali menghinggapi suasana di dalam sedan tua itu.
"Mau membicarakan hal lainnya?" tanya Nisa tibatiba.
"Boleh," jawab Esa. Ia sudah dapat menenangkan dirinya.
"Tapi kamu harus membuat janji dulu," lanjut Esa.
"Janji apa?" "Berjanjilah bahwa kamu tak akan pernah lagi menghilang tanpa kabar. Bagaimana?"
Nisa tersenyum. "Aku memang tidak berencana untuk menghilang lagi," jawab Nisa sambil mengukir senyum di wajahnya, "...setidaknya tidak dalam waktu dekat ini."
Esa tersenyum. Pembicaraan lalu terhenti karena mobil yang dibawa Esa sudah berada tepat di depan rumah Nisa.
"Mau masuk dulu?"tanya Nisa.
Esa menggeleng. "Ada sesuatu yang harus kukerjakan," jawab Esa singkat.
Nisa lalu turun dari mobil. Setelah mengucap salam dan melambaikan tangan, Esa berlalu meninggalkan Nisa di muka rumahnya.
Perjalanan menuju rumah Esa di Sarijadi dari rumah Nisa di kawasan Dago biasanya memakan waktu sekira 45 menit. Malam itu lalu lintas agak lengang dan Esa menjalankan kendaraannya dengan efektif Dalam tiga puluh menit saja, ia telah berada di rumahnya. Segera setelah mematikan mesin mobilnya, ia masuk ke dalam rumah.
Rumah mungil milik Esa sangat minimalis. Ruang tamu di muka rumah dipisahkan oleh dinding dengan ruang tengah. Dua kamar tidur dengan pintu-pintu dari kayu mahoni berada di sisi kanan ruang tengah tersebut. Kamar ujung yang dekat ke ruang tamu digunakan Esa sebagai kamar tidurnya. Sementara kamar satu lagi digunakannya sebagai ruang kerja yang terisi rak-rak buku dan bukunya, seperangkat komputer, dan lemari yang digunakannya menyimpan sajadah dan kitab-kitab agama. Esa juga terbiasa melaksanakan shalat malam di ruangan itu. Tepat di balik ruang tengah adalah dapur, bersisian dengan kamar mandi. Di ujung dapur rumahnya terdapat sebuah pintu menuju beranda belakang. Esa kadang menyepi di beranda belakang sambil menatap kolam ikan berukuran kecil yang sengaja dibuatnya di halanan belakang. Malam itu ia kembali melakukan kebiasaannya itu. Sambil menatap ikan-ikan yang meninggalkan di bawah cahaya neon, ia merenungkan rangkaian pengalamannya hari itu. Benaknya terus dihiasi berbagai pertanyaan dan kenangan tentang Heri. Sesuatu memang akan dirindukan ketika sesuatu itu jauh atau hilang dari kehidupan. Esa merindukan Heri. Heri baginya lebih dari sekadar sahabat. Heri ialah kakak yang selalu melindunginya, guru yang selalu mengajarinya, dan manusia yang selalu dikaguminya.
Renungan-renungan dan segala kebimbangan Esa kemudian terhenti ketika ia teringat bahwa ia masih harus menyusun daftar nilai yang harus disetorkan esok hari. Ia bergegas ke dalam dan mengambil laptop dan tasnya. Dikeluarkannya lembaran daftar nilai mahasiswa dari dalam tas. Lalu ia melihat bungkusan misterius yang diterimanya pada pagi hari. Benaknya bertanya-tanya tentang isi bungkusan itu. Sekali lagi ia memastikan bahwa bungkusan itu memang ditujukan untuknya. Namanya tertulis jelas pada sampul bungkusan itu. Bungkusan itu mungkin hadiah akhir tahun ajaran dari salah seorang mahasiswa. Tapi anehnya, kenapa pula bungkusan itu harus dikirimkan dengan sembunyi-sembunyi" Untuk menjawab rasa penasarannya, Esa membuka bungkusan itu.
Paket tersebut tidak terlalu besar. kurannya hanya sebesar Kamus Oxford Advanced Learners Dictionary edisi pocket yang selalu dibawanya bila mengajar di kelas. Bungkus kertas berwarna krem menutupi kotak itu. Esa membuka selotip yang merekat kertas pembungkus itu perlahan. Ia seolah tidak ingin merusak pembungkus paket tersebut. Setelah pembungkusnya terbuka, nampak bahwa kotak tersebut seperti boks yang biasa digunakan untuk kado ulang tahun. Dibukanya kotak tersebut dari bagian atas.
Esa tertegun. Di dalam kotak tersebut hanya ada sebuah gantungan kunci berbentuk segitiga sama sisi berwarna keemasan. Bentuk gantungan kunci iti agak aneh. Esa memerhatikan gantungan kunci berbentuk segitiga sama sisi itu dengan saksama. Segitiga itu nampaknya bukan benda yang sengaja dibuat untuk dijadikan gantungan kunci. Benda itu itu berwarna emas pudar, sementara rantai dan pengait gantungan berwarna perak menyala. Ia memerhatikannya dari atas dan samping. Lalu ia membalikkannya. Salah satu sisi segitiga itu rata, nampaknya itu bagian bawahnya. Sementara sisi lainnya bersusun tiga, mirip susunan sebuah candi.
Esa terus memerhatikan benda itu. Saat ia memerhatikan segitiga itu, sehelai kertas jatuh dari kotak yang sebelumnya dipakai sebagai bungkus segitiga itu. Esa memungut kertas putih itu. Nampak sederet tulisan pada permukaan kertas.
"bismillahirrohmanirrohim. maafkan saya karena mengantarkan paket ini tanpa Sempat bertatap muka dengan anda. keadaan sungguh tidak memungkinkan kita bertatap muka secara langsung. bersama surat ini ,saya titipkan benda yang dititipkan heri untuk anda. Heri berpesan agar benda ini dititipkan saja pada anda. saya pesan agar benda ini anda simpan dan jaga baik-baik. bila keadaan sudah memungkinkan suatu saat kita dapat bertatap muka secara langsung. semoga anda selalu berada dalam lindungan Allah swt. indra hernawan."
"Indra Hernawan?"
Esa berpikir keras. Rasanya ia pernah mendengar nama itu. Tapi siapa dia" Tak memerlukan waktu lama baginya untuk mengingat nama itu. Saat di makam, bukankah Agus menyebut bahwa tersangka pembunuh Heri bernama Indra Hernawan" Lalu mengapa ia mengirim benda itu padanya" Apa maksudnya" Apakah Heri sengaja membuat segitiga itu sebagai gantungan" Benda apa itu sebenarnya" Ragam pertanyaan lainnya ikut menari di benak Esa. Semuanya berputar tanpa menemukan jawaban.
Esa lalu memasukkan gantungan kunci tersebut ke saku kemejanya. Ponselnya mendadak berbunyi, menyentak benak yang tengah bekerja. Diraihnya ponsel di atas meja, tertera nomor 081320666180. Ia tak mengenal nomor itu. Kemudian ditekannya tombol hijau dari ponsel dan terdengar jawaban,
"Hallo,..." suara seorang lelaki.
"Halo," jawab Esa.
"Oh, ya! ini Esa, kan" Assalaamu'alaikum!"
"Waalaikum salam. Siapa ya?"
"Wah, rupanya sudah lupa sama suara saya ..."
"Wah, maaf. Tapi saya tidak tahu. siapa ya?"
"Ini saya, Sa. Pak Iwan."
"Ough! Pak Iwan. ganti nomor, nih Pak" Ada apa Pak?"
Terdengar suara Pak Iwan tertawa. Kemudian,
"Ah, tidak, cuma ingin memastikan kalau kamu baikbaik saja sesudah mendengar berita duka tentang Heri."
"Terima kasih, Pak. Insya Allah saya baik-baik saja."
"Ya, syukurlah kalau begitu. Besok bisa datang ke Kantor Jurusan kan"' tanya Pak Iwan.
"Ya, Pak! bisa, Insya Allah! Memangnya ada apa, Pak?"
"Ada hal yang ingin kusampaikan. Besok saja sekalian, kabar itu kusampaikan. Ok"! Kalau gitu sampai besok ya" See you, Assalaamu'alaikum"
"Waalaikum salam!"
Terdengar bunyi klik dan setelahnya benak Esa kembali berputar memikirkan peristiwa yang baru dialaminya. Ditimang-timangnya gantungan kunci dari Heri. Ia benar-benar bimbang. Seseorang yang menjadi tersangka pembunuh Heri mengantarkan sebuah paket dari Heri" Dan itu terjadi tepat sebelum ia menerima kabar kematian Heri" Apakah yang sebenarnya direncanakan Allah untuknya"
Esa lalu kembali memikirkan apakah ia harus memberitahu polisi ataupun seseorang bahwa tersangka pembunuh Heri telah mengirimkan sebuah paket. Di tengah kebimbangan dan aneka pertanyaan yang hinggap dalam benaknya, Esa memutuskan untuk menanyakan jawabannya pada Allah. Dia-lah yang mengatur semua rencana dalam hidup manusia. Dia-lah yang tahu semua jawaban atas segala pertanyaan.
Esa lalu beranjak mengambil air wudhu..Ia lalu shalat di ruang kerjanya. Pertama, ia ber-istikharah untuk meminta jawaban atas segala pertanyaan dan kebimbangan dalam hatinya. Setelah itu, Esa berdoa untuk Heri. Ia berdoa agar keimanan dan keislaman sahabatnya itu diterima oleh Allah. Sungguh, ia adalah saksi betapa sahabatnya itu memiliki komitmen dan keimanan yang tinggi pada agama yang dibawa oleh Muhammad Saw.
Berbagai kegiatan dan aktivitas pada hari itu membuat Esa letih. Ia berbaring dan mencoba mengistirahatkan mata dan tubuhnya. Walau tubuhnya letih, aneka pertanyaan dan kebimbangan akan semua hal yang baru saja dialaminya sangat menyita pikirannya. Ia lalu mencoba menenangkan pikiran dengan membaca beberapa ayat dari Juzz Amma. Cara tersebut rupanya efektif karena tak lama kemudian ia sudah berada di alam mimpi.
Esa bermimpi. Ia berada di sebuah sabana yang luas. Sejauh matanya memandang, ia hanya dapat melihathamparan hijau rumput di mana-mana. Tiba-tiba, seseorang menepuk pundaknya dari belakang. Ia menoleh dan melihat Heri tersenyum padanya. Heri mengenakan pakaian putih yang longgar, nampak seperti pakaian ihram. Ia nampak tenang dengan wajah bercahaya.
"Apa kabar, sahabat?" tanya Heri.
"Baik," jawab Esa.
Ia terpana melihat Heri. "Senang sekali bisa bertemu denganmu. Ada yang ingin kau sampaikan padaku?" Heri lanjut bertanya.
"Aku bingung," jawab Esa, singkat dan tak yakin pada apa yang dikatakannya.
"Kau tak usah bingung, sahabat. Allah telah merencanakan segalanya untukmu. Allah tak akan mencipta dan mengatur segalanya dengan sia-sia. Rencana-Nya adalah yang terbaik bagi hamba-Nya. Bertakwalah dan berserah dirilah pada-Nya, niscaya kebimbanganmu hilang."
"Apa... yang haruskulakukan?" tanya Esa tak yakin.
"Bertakwalah...bertakwalah pada-Nya. Bacalah ayatayat-Nya, sahabat. Bacalah semua ayat kauliyah dan kauniyah yang dapat kau saksikan. Sungguh, dalam semua ayat-Nya itu, terdapat tanda-tanda bagi orang yang berpikir. Engkau seorang pemikir, engkau cerdas. Kau adalah orang yang dianugerahi Allah dengan kemampuan berpikir yang luar biasa. Engkau pasti bisa memikirkannya."
"Baca... ayat-ayat-Nya" apa maksudmu?" Esa kembali bertanya.
"Ya...bacalah ayat-ayat-Nya. Semua ayat kauliyah dan kauniyah yang dapat kau saksikan, Sahabatku.
"Baca?" Esa kembali bertanya dengan nada tak yakin. Heri mengangguk pasti sambil tersenyum.
"Aku harus pergi sekarang," ujar Heri,
"berhati-hatilah dan selalu doakan aku."
Heri kemudian berbalik dan melangkah. Esa menatapnya. Namun tiba-tiba Heri berbalik.
"Oh, ya...satu lagi, sahabat," ujar Heri kemudian, "Aku titip ibu dan adikku."
Esa mengangguk cepat. "Kuterima titipanmu!" seru Esa. "Satu lagi," ujar Heri, "Titip Nisa ya."
"Nisa?" tanya Esa.
"Ya," jawab Heri, "jaga dia. Sampaikan salamku padanya. Katakan bahwa aku dapat memahami dan menghargai keputusannya. Itulah yang terbaik untuknya, untukku, dan juga untukmu. Berbaik-baiklah pada Nisa. Dia adalah salah satu ayat-Nya."
Heri kembali berbalik dan melangkah. Sementara Esa tiba-tiba merasa ada sesuatu yang menyilaukan pandangannya. Entah mengapa, sinar yang menyilaukan matanya itu begitu kuat sehingga terasa membutakan. Esa terbangun, lalu duduk di atas tempat tidur. Peluh dingin terasa mengalir di punggungnya. Keningnya juga basah karena peluh. Apakah ia berjumpa setan dalam mimpi" Kemudian beberapa kali ia beristighfar. Ia lalu melihat jam di dinding. Subuh sudah dekat. Benaknya kemudian bekerja mengingat apa yang baru saja dialaminya dalam mimpi.
Rahasia Kaum Falasha Karya Mahardhika Zifana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Esa kembali diliputi kebimbangan. Ia kembali berdoa,
"Allah..., berikan saya petunjuk"
pukul sepuluh pagi, Esa duduk di lobi kantor menunggu Pak Iwan. Ia asyik memilah milah beberapa surat masuk, mencari tahu apakah ada surat untuknya. Pak Tardi, staf administrasi jurusan, duduk di meja samping Esa dan melayani beberapa mahasiswa yang hendak mengontrak mata kuliah semester pendek di masa liburan. Umumnya, mahasiswa yang datang ke meja Pak Tardi dikenal Esa dengan baik. Ia sempat bertukar kata dengan beberapa mahasiswa yang menyapanya dengan ramah. Tak lama kemudian, Pak Iwan datang.
"Asalaamu'alaikum!" seru Pak Iwan.
"Waalaikumsalam!" Esa menyambut.
"Hai, Sa! Bagaimana" Are you okay?"
"Certainly, sir." jawab Esa.
Pak Iwan tersenyum. Ia dan Esa memang akrab walau usia keduanya terpaut jauh. Dulu Esa adalah mahasiswanya, kini menjadi koleganya. Pak Iwan berlalu ke ruang Ketua Jurusan. Esa mengikutinya masuk. Di balik meja kerjanya, Pak Iwan duduk sambil meraih dan mengamati surat kabar.
"Duduk, Sa." ujarnya pada Esa yang mengikutinya masuk ke ruang itu.
"Ada apa, Pak?" ujar Esa sambil meraih kursi dan duduk di depan Pak Iwan.
"Begini. kenarin malam, Pak Rektor menerima telepon dari Chancelor Monash University. Ini tentang Heri -temanmu yang dosen bahasa Indonesia itu." ujarnya sambil memandang ke arah Esa.
"Memangnya kenapa, Pak?" tanya Esa.
"Heri meninggal dunia saat sedang melakukan penelitian dan juga sedang berstatus sebagai mahasiswa post-graduate di Monash. Karena itu, Monash memiliki rencana untuk memberikan penghargaan bagi Heri. Keluarganya sudah dihubungi. Namun ibunya tak bisa datang ke Australia karena sakit diabetesnya kambuh."
Esa mengangguk. Ia sudah lama tahu bahwa Bu Kiem mengidap penyakit itu.
"Ya...tapi apa hubungannya dengan saya, Pak?" Esa kembali bertanya.
"Semula Pak Rektor meminta pada Pak Dekan agar pergi ke Australia untuk mewakili keluarga Heri. Namun Pak Dekan merasa ada orang yang lebih berhak untuk pergi, yaitu kamu. Kamukan teman dekatnya" Pak Dekan tahu benar bagaimana kedekatan kalian." ujar Pak Iwan sambil memasang kacamata baca dan menatap Esa.
Esa termenung sejenak. "Tapi kan masih ada adiknya Heri, Pak" Agus. Apa Ia juga tak bisa pergi mewakili keluarganya ke sana?" tanya Esa.
"Ya. Itu juga sudah ditanyakan oleh pihak Monash. tapi Agus harus menjaga ibunya yang sakit. Lalu Bu Kiem dan Agus juga ikut mengusulkan agar kamu saja yang pergi mewakili mereka. Kalau kau tak percaya, coba cek, ... hubungi Bu Kiem," jawab Pak Iwan.
"Baiklah, Pak. Kalau begitu, saya siap," ujar Esa sambil mengangguk dan mengerling ke arah Pak Iwan.
Pak Iwan mengangguk dengan cepat. "Ya, hitung-hitung liburan-lah buat kamu," ujar Pak Iwan, "Agar kamu bisa tetirah dan menapaktilasi kehidupan Heri semasa tinggal di sana."
"Ya, Pak," ujar Esa, "by the way, .kapan acaranya, Pak?"
"Akhir pekan ini. Soal visa dan tiket, universitas kita dan Monash akan mengurusnya untukmu. Jadi kamu tinggal berangkat..Hari Kamis. kamu bisa segera bertolak ke Aussie. Bagaimana?"
Esa mengangkat jempol kanannya.
"Ya sudah, Pak. Hmmm. kalau tidak ada lagi urusan, saya mau menyiapkan daftar nilai semester ini dan draft untuk silabus semester depan," ujar Esa.
Ia kemudian pamit dan hendak keluar. Namun beberapa saat sebelum keluar, tiba-tiba Pak Iwan berkata,
"Oh iya! Hampir saja lupa, Pak Dekan berpesan agar kamu juga menghadap ke kantornya setelah dari sini."
"Ada apa lagi, Pak?" tanya Esa."Entahlah...katanya sih ada kejutan buat kamu," jawab Pak Iwan.
"Kejutan" Seperti ulang tahun anak kecil saja," gumam Esa perlahan.
Ayo cepat, nanti Pak Dekannya keburu pergi," ujar Pak Iwan sambil mengibaskan tangan ke arah Esa.
Esa bergegas turun. Pada hari perkuliahan, biasanya tangga di gedung itu disesaki oleh para mahasiswa yang turun-naik. Namun pada masa liburan, Esa dapat menikmati rasanya menurUmmi tangga tanpa harus berpapasan atau berdesakan karena ramainya orang yang naik-turun. Seketika Esa telah berada di ujung tangga dan bergegas melintasi lobi.
"Esa...!" seseorang memanggilnya.
Esa menoleh. "Nisa?" ujar Esa sambil memicingkan matanya.
"Assalamualaikum,"
"Waalaikumsalam warrahmatullah," jawab Esa, "Kamu sedang apa di sini, Nis?"
"Kemarin aku baru menyerahkan lembar kopian ijazah untuk dilegalisasi. Nah, hari ini aku mau mengambilnya," jawab Nisa.
Mereka kemudian berjalan beriringan menuju kantor fakultas. Semula mereka diam dan hanya melangkah tanpa bertukar kata. Nisa tiba-tiba berkata,
"Tadi malam, aku bermimpi.. aneh sekali," ujar Nisa..
"Ah, Mimpi itu kan hanya bunga tidur."
"Ini serius!" ujar Nisa.
Ia kemudian menghentikan langkahnya dan menatap tajam ke arah Esa.
"Okay, okay. Memangnya kamu mimpiapa, sih?" tanya Esa.
"Entah mengapa, aku mimpi bertemu dengan Heri...dan dalam mimpiku tadi malam itu, dia membawa gambar kamu dan memberikannya padaku begitu saja."
Mereka berdua kemudian kembali melangkah. Namun Esa diam dan tak memberikan komentarapa pun setelah mendengar uraian Nisa tentang mimpinya. Dalam langkah-langkah mereka, masing masing menghias benaknya dengan sejuta hal. Tanpa terasa langkah mereka sampai di muka kantor fakultas.
"Aku mau bertemu dengan Pak Dekan sebentar. Kamu mau menungguku?"tanya Esa.
"Baik...aku memang menunggumu," jawab Nisa dengan ekspresi wajah yang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata.
Esa menunduk menghindari tatapan mata Nisa dan melangkah ke kantor Dekan. Dekan Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni ialah Pak Yusuf, guru besar Sastra Indonesia. Esa kembali teringat pada Heri. Dulu Heri sering bercerita bahwa Pak Yusuf adalah salah satu dosen favoritnya. Heri senang membaca tulisan-tulisan Pak Yusuf dan mengikuti kuliahkuliahnya yang menurutnya sangat berbobot bila dibandingkan dengan dosen lain di Jurusannya. Esa mengetuk pintu perlahan dan kemudian terdengar jawaban dari dalam,
"Ya! Silakan Masuk!"
"Assalamu'alaikum," ujar Esa.
"Waalaikumsalam," Jawab Pak Yusuf dari belakang meja kerjanya.
Tangannya bergerak mempersilakan Esa duduk di kursi yang teronggok di muka meja kerja itu. Esa pun duduk berhadapan dengan Pak Yusuf, terhalang oleh meja kerja Pak Yusuf. Sejenak Pak Yusuf menatap Esa. Kemudian ia menghela napas sebelum berkata,
"Kamu sudah bertemu dengan Pak Iwan, kan?"
"Iya, Pak," jawab Esa.
"Jadi sudah tahu tugas yang diberikan universitas padamu?"
"Tentu, Pak," jawab Esa. "Tapi, sebenarnya ada apa, Pak" Kenapa saya disuruh ke sini juga?"
"Oh, itu..., begini. sekira dua pekan yang lalu, universitas menerima undangan dari Universitas Al Azhar, Mesir, untuk mengikuti Konferensi Sastra Islam sedunia. Nah..., berhubung dosen-dosen senior sedang sibuk mengurus persiapan akreditasi tahun ini, Pak Rektor memutuskan untuk mengirim dosen muda saja. Ya...sekalian untuk regenerasi. Agar tidak hanya dosen dosen senior saja yang dapat menambah ilmu dan pengalaman. Nah..., di fakultas kita ini, kebetulan ada beberapa dosen muda yang berprestasi. Namun saya mengusulkan agar kamu saja yang pergi ke Mesir untuk mewakili universitas. Saya tahu persis bagaimana kelebihan dan kekuranganmu," urai Pak Yusuf Esa mengangguk-angguk.
Benaknya berpikir bahwa andai Heri masih hidup, Pak Yusuf tentu akan lebih memilih mantan mahasiswa kesayangannya itu untuk mewakili universitas.
"Kapan Konferensinya, Pak?" tanya Esa.
"Dua Pekan mendatang. Nah,... kamu pergi ke Australia pekan depan, kan" Jadi setelah dari Australia, kamu tak usah ke sini dulu, ... buang-buang uang. langsung saja bertolak ke Mesir. Bagaimana?" tanya Pak Yusuf.
Esa merenung sejenak. Kemudian tanpa menunggu reaksinya, Pak Yusuf melanjutkan,
"Selain kamu, saya tidak punya gambaran lagi tentang siapa yang pantas mewakili universitas kita. Bagaimana?"
Esa mengangguk cepat. Kemudian mereka berbincang tentang banyak hal. Topik tentang Heri menjadi topik yang dominan dalam obrolan itu. Hingga akhirnya Esa pun pamit dan berlalu dari hadapan Pak Yusuf .
Nisa duduk di bangku panjang yang berada di lobi fakultas. Ketika Esa muncul, ia sedang membaca koran edisi hari itu.
"Sudah selesai urusannya?" tanya Nisa.
Esa mengangguk cepat. Kemudian ia duduk tak jauh dari Nisa, dengan menjaga jarak agak renggang. Tanpa diminta, Esa menceritakan obrolannya dengan Pak Iwan dan Pak Yusuf. Nisa menyimak dengan penuh minat.
"Kamu enak, ya" Bisa jalan-jalan gratis keluar negeri," ujar Nisa ketika Esa selesai bercerita.
"Jalan-jalan?" Esa tersenyum simpul. Ia membayangkan andai ada waktu luang untuk itu. Namun yang terbayang dikepalanya ialah hari-hari dengan jadwal padat dan aneka kegiatan. Dikatakannya hal itu pada Nisa. Nisa tersenyum dan mengangguk."Eh, kamu mau ke mana sekarang?" tanya Nisa.
"Ke rumah Bu Kiem. Aku mau cerita soal tugasku, sekalian juga mau bertanya apakah barang-barang heri yang di sana hendak kuambilkan atau tidak."
"Aku ikut ya?" ujar Nisa setengah merajuk, persis anak kecil.
Esa tertegun sejenak. "Boleh," ujarnya seraya mengangguk. Namun wajahnya menyiratkan keraguan.
"Hey, kamu kenapa?"tanya Nisa,"Kok seperti tidak yakin" Jadi. kamu tidak suka kalau aku ikut?"
"Bukan apa-apa," jawab Esa, "soalnya... kamu perempuan dan aku laki-laki. Jadi. bagaimana ya?"
Nisa tersenyum. "Begini saja," ujar Nisa, "biar aku duduk di jok belakang mobilmu. Bagaimana?"
Esa merenung sejenak. Lalu ia mengangguk. Mereka kemudian berdiri dan berjalan menuju tempat parkir di depan gedung.
"Dari kemarin malam aku heran. Mobilmu kok masih belum ganti juga?" tanya Nisa ketika melihat Chevrolet tua milik Esa.
Esa tersenyum. "Belum. dan tak akan pernah," jawab Esa.
"Aku kira, setelah pulang dari Amerika, seleramu akan berubah," ujar Nisa.
Esa kembali tersenyum. Mobil itu terlalu berharga untuk ditukarnya dengan mobil merek apapun. Kakeknya mewariskan mobil itu pada ayahnya dan ayahnya memperlakukan mobil itu bagai barang antik. Ia hanya menghidupkan mesinnya satu kali dalam satu hari selama tiga puluh menit dan tak pernah mengendarainya. Setelah ayahnya meninggal, mobil itu adalah satu-satunya benda yang membuat Esa selalu merasa dekat dengan ayahnya. Seperti biasa, Esa menjalankan mobilnya dengan perlahan dan hati-hati. Apalagi, kali itu ia membawa penumpang dalam mobilnya. Tiba-tiba ponsel Esa berdering. Agak repot bila harus mengangkat ponsel sambil mengemudi. Namun, dalam situasi seperti itu, seorang pengemudi kadang tak punya pilihan lain. Beruntung sekali bahwa perusahaan-perusahaan pembuat ponsel juga membuat perangkat handsfree yang memungkinkan seseorang menelpon sambil mengemudi. Sekilas Esa memerhatikan layar ponselnya, rupanya Agus yang menelpon.
"Assalaamualaikum, Gus?"
"Waalaikumsalam, Kang. sedang ada di mana ya?"
"Aku baru mau ke rumahmu, Gus."
"Wah, Kang. sepertinya tidak bisa."
"Oh, ya" Kenapa, Gus?"
"Soalnya aku dan Ibu sudah ada di rumah Akang, nih sekarang Maaf, ya, nggak menelpon dulu. soalnya kami kira Akang ada di rumah."
"Oh ya" Wah. maaf, Gus. Okay, aku langsung ke rumah sekarang. Kalau mau masuk duluan juga boleh. Kuncinya ada di pot depan teras. Tahu, kan?"
Mereka kemudian menutup pembicaraan dengan salam. Esa memutar haluan mobilnya di perempatan Gegerkalong. Tujuannya bukan lagi menuju kawasan Pasteur, namun ke rumahnya di Sarjadi.
"Tadi Agus, Sa?" tanya Nisa.
"Iya. Eh iya..., Bu Kiem dan Agus ada di rumahku. Aku lupa bilang sama kamu. Kamu masih tetap mau ikut?"
"Tentu saja," ujar Nisa heran, "Kan memang aku mau bertemu dengan mereka juga" Terus...aku juga belum berkunjung ke rumahmu yang baru."
Esa tersenyum. Sebelum ayahnya meninggal, Esa dan ayahnya tinggal di kawasan Gegerkalong, tak jauh dari Kampus UPI. Setelah ayahnya meninggal, Esa merasa rumah itu terlalu besar untuknya. Ia lalu mengontrakkan rumah itu pada orang lain. Sementara ia pindah ke sebuah tempat kos. Setelah bekerja sebagai dosen di almamaternya, Esa membeli rumah di kawasan Sarjadi yang kemudian ditempatinya. Rumah itu jauh lebih kecil dari rumahnya yang dulu.
Tak sampai tiga puluh menit, mereka tiba di rumah Esa. Agus berdiri di teras menyambut mereka, sementara pintu depan agak terbuka. Pasti Bu Kiem sudah menunggu di dalam, pikir Esa. Esa menyapa Agus dan bersalaman dengannya. Ia lalu masuk ke ruang tamu. Bu Kiem tengah duduk sambil membaca majalah ketika Esa masuk ke ruang tamu rumahnya. Lalu, Esa beranjak menyapa dan mencium tangan Bu Kiem. ritual yang biasa ia lakukan ketika bertemu ibu dari sahabatnya itu. Nisa kemudian menyusul masuk dan melakukan hal yang sama.
"Sudah lama, Bu?" tanya Esa.
"Yah...sejauh perjalananmu dari kampus kemari, Nak," jawab Bu Kien sambil tersenyum. Esa ikut tersenyum.
"Oh iya, Ibu mau minum apa" Gus, mau minum apa?" tanya Esa pada ibu dan anak itu bergantian."Apa saja, Kang," jawab Agus.
Sementara Bu Kiem hanya tersenyum sambil mengangguk mengiringi katakata Agus.
"Kalau begitu, sebentar ya, Bu, Gus?" ujar Esa sambil beranjak ke belakang.
"Aku bantu, ya, Sa?" ujar Nisa tiba-tiba sambil mengikuti Esa kebelakang.
"Wah! Kamu sudah kehilangan sentuhan kerapihan rupanya!" ujar Nisa ketika melihat dapur rumah Esa yang nampak berantakan.
"Yaa... namanya juga bujangan, Nis. Aku sedang malas bersih-bersih. Apalagi libur begini, enaknya diam dan nonton TV," jawab Esa sambil tersenyum.
"Makanya cepat nikah! Biar ada istri yang bisa mengurus!"
"Emm, nikah, ya" Belum terpikir, tuh. Kamu. Kamu sendiri kapan?" Esa membalikkan. Nisa hanya tersenyum.
"Eh! Rumahmu bagus juga, Sa," ujar Nisa sambil mengedarkan pandangannya.
Esa mengambil dua cangkir. Kemudian ia mengisinya dengan air panas dari dispenser di ujung dapur. Nisa mengambil toples gula dan teh celup dari bufet.
"Biar kukerjakan sisanya," ujar Nisa.
Esa membiarkan Nisa membuat teh manis hangat. Sekilas, diperhatikannya wajah Nisa. Tak lama kemudian, mereka telah berada di ruang tamu. Esa menceritakan pengalamannya hari itu pada Bu Kiem. Bu Kiem rupanya sudah tahu karena telah dihubungi pihak universitas satu hari sebelumnya.
"Ibu hanya mau minta tolong agar Nak Esa membereskan barang-barangnya Heri di sana. Kalau ternyata barangnya banyak, dikirim lewat paket saja, tidak usah dibawa oleh Nak Esa," ujar Bu Kiem.
Esa mengangguk. "Rencana saya memang begitu, Bu. Soalnya, setelah urusan di Australia selesai, saya tidak akan langsung pulang ke Indonesia. Saya harus ke Mesir, ada tugas lain yang harus saya kerjakan," jawab Esa.
"Wah, ke Mesir" Setelah dari Australia" Jangan lupa oleh-olehnya ya, Kang?"
Agus berseloroh. Mereka tertawa.
"Oh ya,... ibu lupa, kemarin mau bertanya. Nak Nisa sekarang bekerja di mana, ya?" tanya Bu Kiem mengalihkan pembicaraan pada Nisa.
"Himm, setelah kemarin kontrak saya di Singapura habis, saya belum punya pekerjaan, Bu," jawab Nisa sambil tersenyum, "makanya kemarin saya meminta fotokopi legalisasi ke universitas."
"Kalau keluarga sekarang tinggal di mana?" lanjut Bu Kiem.
Esa mendongak. Sebenarnya sejak kemarin ia pun ingin menanyakan hal tersebut.
"Keluarga saya kan tinggal ibu dan adik saja...ketika saya pergi ke Singapura, Adik dan Ibu saya ikut tinggal di sana. Sekarang, saya pindah ke sini, mereka ikut lagi," urai Nisa sambil tetap mengukir senyum yang sama.
Esa mengangguk. Kata-kata tadi sekaligus menjawab pertanyaannya tentang mengapa keluarga Nisa ikut 'menghilang ketika Nisa juga tiba-tiba pergi tiga tahun lalu. Mereka kemudian terus berbincang-bincang tentang hal-hal lainnya. Topik tentang Heri dan kenangan yang ditinggalkannya mendominasi pembicaraan mereka. Esa sendiri lebih banyak diam dengan benak yang terus bekerja memikirkan paket yang dikirimkan Heri padanya.
Setelah beberapa saat, Agus dan Bu Kiem, pamit. Mereka hendak ke rumah sakit untuk memeriksakan kondisi kesehatan sang Ibu. Esa lalu menawarkan untuk mengantar mereka. Namun mereka menolak karena sudah memesan taksi yang tak lama kemudian datang untuk membawa mereka ke rumah sakit. Kemudian mereka berlalu dari rumah Esa. Esa dan Nisa mengantar kepergian ibu dan anak itu sampai di beranda rumah. Setelah Bu Kiem dan Agus berlalu, Esa baru menyadari sesuatu. Ia hanya berdua dengan Nisa di rumahnya. Jam dipergelangan tangannya menunjukkan hari masih siang. Karena bulan Juli ialah bulan libur, dari teras rumahnya Esa dapat melihat banyak anak-anak sedang bermain di lapangan depan rumahnya. Beberapa anak menyapanya ramah dan Esa membalasnya. Akhirnya, ia punya ide bagus.
"Duduk di situ saja, yuk?" ajak Esa sambil menunjuk kekursi rotan yang ada di teras rumahnya.
Nisa beranjak dan duduk di kursi yang ditunjuk Esa. Esa menyusul duduk di kursi sebelahnya yang terhalang sebuah meja kecil.
"Kamu mau minum?" tanya Esa.
"Air putih juga boleh," jawab Nisa.
Esa segera beranjak ke dalam dan tak beberapa lama kemudian kembali sambil membawa segelas air putih.
"Sa, mimpiku tadi malam itu.sepertinya...ada hubungannya dengan kematian Heri..," ujar Nisa tibatiba.
"Yah... sudah kukatakan, mimpi itu kan hanyabunga tidur,"
jawab Esa tak acuh. "Ya, memang...tapi perasaanku terlalu kuat untuk mengatakan bahwa itu bukan sekadar bunga tidur, Sa," lanjut Nisa.
Esa menghela napas dan mengedarkan pandangannya mengitari seisi ruang dapur.
"Nis, aku mau menceritakan sesuatu...aku sendiri sudah tidak kuat lagi menanggung beban cerita ini sendirian...," ujar Esa.
Nisa terdiam menunggu. Esa kembali menghela napas. Kemudian, semuanya mengalir begitu saja. Esa menceritakan semua yang dialaminya. Mulai dari peristiwa Senin pagi di mana ia menerima paket dari orang misterius yang kemudian diketahuinya sebagai tersangka pembunuh Heri, hingga mimpi pertemuannya dengan Heri. Setelah Esa menceritakan semua itu, keduanya kembali terdiam. Nisa lalu memulai inisiatif,
"Kamu mau nggak, menunjukkan gantungan kunci itu?"
Esa bergegas ke dalam dan kemudian kembali dengan membawa benda yang ditanyakan oleh Nisa. Nisa mengamati benda itu secara saksama.
"Itu...seperti bukan gantungan kunci kan, Nis," ujar Esa.
Nisa mengangguk. *** Nisa berjalan agak tergesa setelah menutup pagar rumah Esa. Setelah ia berada sekira seratus meter dari pagar rumah, ia menoleh dan memastikan bahwa Esa sudah tidak lagi berada di muka rumahnya dan mengawasinya. Kemudian ia mengeluarkan ponsel dari tas, dihubunginya salah satu nomor dari phone book.
"Halo," seseorang menjawab panggilan.
"Halo Avram! Kau benar. ia memiliki barang itu. Aku sudah melihatnya. Baru saja aku melihatnya. Dengar ...aku akan mencoba mengambilnya, tapi kau jangan mencoba melakukan tindakan bodoh apa pun padanya. Aku tidak ingin dia terluka atau celaka, mengerti?"
Orang yang dipanggil Avram itu tertawa lepas.
"Ha! Ternyata dugaanku benar. tak ada lelaki yang tahan untuk tidak jujur pada perempuan. Apalagi perempuan secantik kau, Nisa," ujar Avram dengan nada girang.
"Diam! Ingat...aku tak ingin kau ingkarjanji padaku. Segera setelah kuserahkan barang itu, penuhi janjimu," ujar Nisa tegas.
"Tenang saja, Nisa! Aku seorang ksatria. dan ksatria pasti selalu memenuhi janjinya."
"Baik. Kupegangucapanmu," ujar Nisa masih dengan nada tegas.
Kemudian ia memutus percakapan. Setelah itu, Nisa bergegas menuju tepi jalan raya dan menghentikan sebuah taksi yang melintas. Di dalam taksi, benak Nisa bekerja keras. Apakah ia melakukan sesuatu yang benar" Apakah orang itu akan memenuhi janjinya" Kemudian ingatannya berputar dan memutar kembali beberapa peristiwa yang dialaminya sejak beberapa tahun sebelumnya.
Nisa dibesarkan di tengah-tengah keluarga bahagia. Ia memiliki dua orangtua yang sangat menyayanginya. Ia hanya memiliki seorang adik lelaki, Dino. Ayahnya bekerja sebagai pilot di sebuah maskapai penerbangan dengan tugas menerbangkan pesawat pada rute lokal, sehingga ia jarang pulang. Namun bila ayahnya pulang, Nisa dapat merasakan bahwa mereka adalah harta paling berharga bagi ayahnya. Ayahnya mencurahkan kasih sayang yang begitu besar pada keluarganya. Ibunya bekerja sebagai guru di sebuah sekolah menengah. Ia memiliki banyak waktu untuk Nisa dan Dino. Dengan keluarga seperti itu, Nisa merasa menjadi anak perempuan paling berbahagia di dunia. Semua itu sirna saat Nisa duduk di kelas dua SMA. Suatu hari, seseorang mengabarkan pada mereka bahwapesawat yang dikemudikan ayahnya hilang saat sedang terbang menuju Ambon. Hilang yang dimaksud ialah hilang tak berbekas, bukan karena jatuh atau kecelakaan lainnya. Segalanya kemudian berubah begitu cepat. Ibunya berubah menjadi pemarah karena depresi. Mereka hampir tak dapat bertahan ketika ibunya berhenti bekerja karena tak dapat fokus pada pekerjaannya dan terpaksa harus dirawat di rumah sakit jiwa. Saat ibunya harus dirawat di rumah sakit, Nisa sudah menyelesaikan SMA-nya dan diterima kuliah di UPI. Ia kemudian kuliah sambil bekerja paruh waktu. Ia mengerjakan segala yang dapat ia kerjakan. Ia mencuci piring di rumah makan, berjualan makanan, dan melakukan berbagai pekerjaan lainnya demi mendapat uang agaria dan adiknya dapat terus hidup dan mendapat pendidikan. Ibunya kemudian dinyatakan sembuh dan keluar dari rumah sakit jiwa ketika Nisa duduk di tingkat tiga, tahun yang sama saat ia berkenalan dengan Esa dan Heri. Berkenalan dengan Esa dan Heri menjadi suatu keuntungan tambahan bagi Nisa. Mereka berdua banyak membantunya, secara moral maupun material.
Batin Nisa terus gelisah. Ia terus bertanya pada dirinya, apakah ia telah melakukan sesuatu yang benar. Dua pekan yang sebelumnya, saat ia masih berada di Singapura, seseorang datang padanya. Orang itu memperkenalkan dirinya sebagai Avram Meir, orang yang baru saja dihubunginya melalui ponsel. Ia menunjukkan foto-foto ayahnya pada Nisa. Ayahnya masih hidup. Avram Meir lalu menjelaskan bahwa dulu, ayahnya terpaksa 'menghilangkan diri karena suatu hal yang nyaris tak dapat dipercayai Nisa. Ayahnya terlibat dalam jaringan penyelundup narkotika. Ini sebenarnya suatu hal yang logis karena ayahnya bekerja sebagai pilot. Kargo pilot biasanya tak terlalu dicurigai oleh petugas-petugas bandara. Beberapa saat sebelum ayahnya hilang", aktivitasnya dalam penyelundupan obat-obatan terlarang tercium oleh aparat keamanan. Satu-satunya cara untuk menyelamatkan diri ialah dengan menghilangkan diri dan memulai kehidupan baru dengan identitas baru. Ayahnya kemudian tinggal di Yaman'. Pekerjaannya tak diketahui. Kabar tersebut ialah pukulan telak bagi Nisa. Semula, Ia tak menyangka dan tak percaya mendengar kabar itu. Namun Avram Meir itu menunjukkan bukti-bukti yang tak dapat dibantahnya: foto-foto ayahnya yang begitu jelas dan sebuah catatan dengan titimangsa tahun 2003. Catatan itu jelas merupakan tulisan tangan ayah Nisa. Nisa sangat mengenalinya. Apalagi catatan itu berisi keluh kesah dan ungkapan kerinduan Ayahnya pada keluarganya. Bagaimanapun juga, ayahnya ialah sebab keberadaannya di dunia ini. Nisa sangat memahami hal tersebut. Apa pun kesalahan dan kekhilafannya di masa lalu, Nisa sudah bertekad akan memaafkannya. Ayahnya adalah kerinduan terbesar Nisa dalam hidupnya. Nisa akan melakukan apa pun untuk dapat bertemu kembali dengan ayahnya walau hanya sesaat. Dan itulah yang dijanjikan oleh Avram Meir padanya. Ia berjanji untuk memberikan alamat ayahnya di Yaman pada Nisa dengan satu syarat. Ia meminta Nisa membantunya mencari tahu keberadaan sebuah benda-benda yang baru saja dilihatnya di rumah Esa.
*** Di sebuah apartemen di kawasan Senayan, Avram Meir duduk dengan rona wajah yang menunjukkan kepuasan. Tangannya masih memegang ponsel yang baru saja menberinya sebuah kabar gembira. Moses Goldstein yang berdiri tak jauh darinya menunggu dengan wajah harap dan cemas.
"How is it?" tanya Goldstein.
"Dugaan kita tak salah. pusaka itu memang ada padanya. Pelacur berkerudung itu baru saja memberitahuku soal itu," ujar Meir datar sambil mengambil sebatang Marlboro dari bungkusnya. Ia kemudian menyulut rokoknya.
"Jadi?" "Jadi, kita biarkan saja pelacur berkerudung itu yang mengambil pusaka itu untuk kita. Biar kita diam menunggu, okay?" ujar Meir dengan nada riang.
Tempat bersembunyi paling aman untuk seekor kelinci ialah kandang macan, demikian pepatah mengatakan. Maka tempat paling aman untuk sekelompok Yahudi jahat ialah di sebuah negeri muslim terbesar di dunia. Tidak banyak yang tahu bahwa operasi Zionisme Internasional di Indonesia memiliki dasar sejarah maupun data mutakhir yang kuat. Sejak didirikannya gerakan zionis internasional Freemasonry" pada tahun 1717, orang Yahudi-Zionis lebih suka menyelubungi aktivitas mereka dengan selimut perkumpulan teosofi yang bertujuan kemanusiaan". Semua mereka lakukan demi cita-cita keji mereka untuk menguasai dunia, menempatkan diri mereka sebagai pemimpin dunia dan menempatkan bangsa-bangsa gentle" sebagai budak-budak pelayan mereka. Upaya itu telahmereka lakukan selana berabad-abad. Pengumpulan dana organisasi Freemasonry dipusatkan di New York. Pada 17 November 1875, gerakan ini dipimpin seorang Yahudi Rusia, Nyonya Blavatsky Jurnal The Theosofist", yang diterbitkan di New York, pada terbitan tahun 1881, menyiarkan kabar bahwa Blavatsky mengutus seorang bernama Baron van Tengnagel untuk mendirikan loji, rumah ibadat kaum Vrijmetselarij di Pekalongan. Pekalongan dipilih karena sejak 1868 berubah status dari desa menjadi kota, di samping dikenal sebagai konsentrasi santri di Jawa Tengah. Loji itu didirikan tahun 1883, tetapi tidak berkembang karena reaksi keras masyarakat terhadap keberadaan kelompok ritual tersebut. Karena salah satu praktik ritual mereka ialah memanggil arwah, penduduk menyebut loji sebagai 'gedong setan'.Penolakan masyarakat membuat mereka terpaksa mengalihkan kegiatan ke Batavia. Dua loji besar didirikan di Blawatsky Straat', dan Vrijmerselarijueg'. Dua loji tersebut, di samping loji yang didirikan di Makassar, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, menjadi pusat kegiatan ritual saja, untuk Yahudi Belanda dan Eropa, yang bekerja di Hindia Belanda di sektor pemerintah' dan swasta. Aktivitas ritual belaka berujung pada kebuntuan: gerakan Zionis jalan di tempat. Maka gerakan Zionisme Internasional untuk kawasan Asia, yang berpusat di Adyar, India, pada 31 Mei 1909 mengutus Ir. A.J.E. van Bloomenstein ke Jawa. Hindia-Belanda' dianggap sebagai negeri yang aman sebagai wilayah operasi mereka, karena penduduk setempat menganggap Yahudi-Eropa sebagai orang Nasrani Belanda. Di samping itu, Gubernur Hindia Belanda selalu menjadi pembina Rotary Club, salah satu cabang organisasi Zionis. Di masa kolonialisme Belanda, banyak Yahudi yang mendapat posisi tinggi di pemerintahan. Salah satunya ialah Gubernur Jenderal AWL Tjarda van Starkenborgh Stachouler' Gedung Bappenas di kawasan elit Menteng, dulunya bernama gedung Adhuc Stat dengan logo Freemasonry di kiri kanan atas gedungnya, terpanpang jelas ketika itu. Pada abad ke-19 dan 20 serta menjelang Belanda hengkang dari Indonesia, sejumlah Yahudi membuka tokotoko di Noordwijk' dan Risjuijk'-dua kawasan etlie di Batavia kala itu-seperti Olislaeger, Goldenberg, Jacobson van den Berg, Ezekiel and Sons dan Goodwordh Company. Mereka hanya sejumlah kecil dari pengusaha Yahudi yang meraih sukses dengan berdagang berlian, emas dan intan, perak, jam tangan, kaca mata dan berbagai komoditas lainnya. Pusat hiburan elite di Jakarta juga diramaikan oleh pemusik Yahudi dari Polandia. Di masa lalu, Batavia ialah salah satu kota zionis yang terpenting di Asia. Ketika Jepang, sebagai sekutu Jerman di Perang Dunia II merebut Indonesia dari tangan Belanda, mereka menempuh sikap yang sama dengan Jerman dalam menghadapi gerakan Zionisme. Tokoh-tokoh zionis Hindia-Belanda, seperti Ir. Van Leeweun, dikirim ke kamp tahanan dan tewas di situ. Kesadaran antizionis juga merebak di kalangan rakyat dan tak terbatas pada umat Islam saja. Dr. Rattulangi, seorang cendekiawan Kristen asal Sulawesi, memimpin rapat raksasa di Lapangan Ikada untuk mengutuk aktivitas Zionisme di Palestina pada bulan Maret 1943. Usaha menghidupkan lagi gerakan Zionisme di Indonesia kembali dilakukan setelah kemerdekaan Indonesia. Pada 14 JUmmi 1954, berdiri Jewish Community in Indonesia, dengan Ketua F. Dias Santilhano dan Panitera I. Khazan. Di dalam anggaran dasarnya dinyatakan, perkumpulan itu merupakan kelanjutan dari Vereeniging Voor Joodsche Belangen in Nerderlandsch Indie te Batavia, yang berdiri pada 16 Juli 1927. Pada 1961, dengan alasan tidak sesuai dengan kepribadian bangsa, Presiden Sukarno melakukan pelarangan terhadap gerakan Freemasonry di Indonesia. Namun, pengaruh Zionis tidak pernah surut. Hubungan gelap teman tapi mesra antara tokoh-tokoh bangsa Indonesia dengan Israel terus berlangsung hingga zaman sekarang .
*** Setelah Nisa berlalu, Esa membereskan dapur rumahnya yang nampak berantakan. Esok hari, ia sudah harus bertolak ke Australia. Ia ingin agar rumahnya rapi saat ditinggalkan. Tak lama setelah merapikan dapur dan kamar tidur, ia beranjak ke ruang tengah dan menyalakan televisi. Sebelum duduk di sofa ruang tengah, Esa sempat meraih koran terbaru dari bufet di samping televisi. Berita seputar pembunuhan Heri ternyata cukup menyita perhatian media di Indonesia. Beberapa surat kabar bahkan menempatkan berita tersebut sebagai headline. Media massa tetap memberitakan bahwa Heri meninggal karena dibunuh asistennya dalam penelitiannya di Ethiopia. Pemerintah Ethiopia telah membuat pernyataan resmi tentang hal tersebut. Namun Esa yakin bahwa Heri tidak dibunuh oleh Indra Hernawan. Ia kembali teringat pada mimpi pertemuannya dengan Heri: Baca ayat-ayat Nya"
Acara televisi sore itu menyajikan berita. Baru beberapa saat Esa duduk dan menilik berita di koran sambil menyimak televisi, sebuah berita membuat Esa tertegun. Penyiar mengatakan bahwa mereka baru saja nenerima berita tentang dugaan bahwa tersangka pembunuh Heri, Indra Hernawan, berada di Indonesia. Gambar televisi lalu menayangkan wawancara tele Conference dengan Kepala Kepolisian Ethiopia. Dengan yakinnya, pria hitam berhidung mancung yang nampak berusia paruh baya tersebut berusaha menjelaskan secara detail perihal penyelidikan peristiwa pembunuhan Heri. Ia berbicara dengan bahasa Inggris beraksen khas Afrika.
Esa kembali pada lamunannya. Ia mengira-ngira, apakah memang Indra Hermawan itu yang mengirimkan langsung paket misterius padanya pada Senin pagi" Ia lalu beranjak mengambil benda yang dipikirkannya. Kemudian diamatinya baik-baik. Firasatnya mengatakan bahwa orang yang mengantarkan paket untuknya memang Indra Hernawan, sang tersangka pembunuh. Esa terus menyimak berita di televisi. Diperhatikannya baik-baik wajah si tersangka pembunuh. Ia harus hafal wajah orang itu karena bila dugaannya tentang pengantar paket misterius itu benar, maka besar kemungkinan bahwa ia akan bertemu lagi dengan orang itu.
Renungan Esa lalu terhenti oleh dering telepon. Ia beranjak mengangkatnya.
"Assalamualaikum, Esa," terdengar suara khas Nisa di seberang ketika Esa mengangkat telepon.
"Waalaikumsalam warrahmatullah. Nisa" Ada apa?"
"Anu, besok kamu berangkat ya?"
"Iya. Kenapa" Mau titip oleh-oleh?" Esa tersenyum.
"Boleh juga! By the way, ada hal lain yang ingin kubicarakan,"
"Soal apa?"tanya Esa.
"Benda dari Heri itu... mau kau simpan di mana" Apa kau akan membawanya ke Australia" Soalnya, bagaimana jika ternyata benda itu memang bukan gantungan kunci biasa dan...bagaimana kalau aku saja yang menyimpan benda itu?"
Esa terdiam sesaat. "Boleh juga," jawab Esa.
"Jadi?" tanya Nisa.
"Begini saja. Aku boleh ke rumahmu tidak" Kalau boleh, Aku akan ke sana nanti malam ba'da isya untuk menitipkan benda itu padamu. Bagaimana?"
"Boleh," jawab Nisa pendek.
"Anyway, kamu nonton berita di TV tidak?" tanya Esa.
"Ya. Aku menontonnya. Indra Hernawan itu tidak nampak seperti pembunuh, kan" Menurutmu bagaimana" Kau masih yakin jika orang itu yang mengantarkan benda berbentuk segitiga itu pada Senin pagi kemarin?"
"Iya. Aku yakin, jawab Esa, hanya masalahnya. rasanya agak aneh jika seorang buronan menempuh jarak yang jauh dari Ethiopia ke Indonesia hanya untuk menyerahkan gantungan kunci. Benar-benar aneh..."
Nisa diam sejenak. Lalu, "Kira-kira...apa penjelasan untuk semua yang telah kau alami?"
"Entahlah, Nisa. Aku bingung," ujar Esa. Kemudian mereka kembali terdiam.
"Ah. Sudahlah...kita bicarakan lagi nanti. Sampai bertemu nanti malam ya. Assalamualaikum!" ujar Nisa memungkas pembicaraan.
"Waalaikumsalam warrahmatullah," jawab Esa.
Klik. Telpon pun terputus. Esa merenung sejenak. Tak lama kemudian, ia meraih gantungan kunci pemberian Heri dan lagi-lagi mengamatinya. Dibawanya gantungan kunci itu ke ruang kerjanya. Lalu ia duduk di meja tulis dan merenungkan kembali mimpi pertemuannya dengan Heri. Bagaimana jika mimpi itu memang bukan mimpi biasa" Mimpi itu terjadi setelah ia beristikharah untuk meminta petunjuk pada Allah. Lalu ia membuat beberapa catatan dengan kertas dan pena yang baru diambilnya.
Sebagai seorang Doktor di bidang sastra, Esa cukup memahami semiotika, ilmu yang mempelajari lambang lambang dan tanda-tanda. Semula, dalam ilmu bahasa, semiotika biasanya digunakan untuk melacak morfologi" suatu kata. Kini, semiotika juga digunakan untuk berbagai keperluan dalam berbagai disiplin ilmu. Tiga komponen dasar dalam semiotika ialah tanda (sign), lambang (symbol), dan isyarat (signal). Studi tentang lambang membawa pemahanan subjek pada suatu objek. Sebagai contoh, warna merah putih oleh bangsa Indonesia dimaknai secara situasional, kondisional, dan kultural. Merah melambangkan keberanian, dan putih melambangkan kesucian.
Esa mereka-reka pada catatan yang dibuatnya. Apa saja yang dapat dilambangkan oleh segitiga" Pikirnya. Jawabannya tentu ada beberapa kemungkinan. Ia menulis Piramida, simbol kuburan dalam hieroglyph Mesir kuno, Delta, aksara Yunani kuno yang juga melambangkan diferensiasi dalam simbol matematika. Apalagi" Namun lama-lama, Esa jadi merasa terlalu pusing memikirkan banyak hal di kepalanya. Dilemparkannya pena yang dipegangnya kemeja dan beranjak mengambil air wudhu sebelum kemudian menuju masjid karena azan ashar telah berkumandang.
*** Pukul 17.00 WITA di Pulau Pasir, Nusa Tenggara, Indonesia. Hamparan laut yang luas membentang hingga ke batas cakrawala.
Indra duduk di bawah sebuah pohon kelapa sambil menatap ke batas cakrawala. Ratusan kilometer di balik cakrawala itu, terbentang benua Australia -tempat di mana ia dilahirkan dan dibesarkan. Kerinduan pada ibu dan adiknya begitu membuncah di dada hingga ia merasa bahwa ia akan mampu merenangi sendiri Samudera Hindia demi mencapai Negeri Kanguru. Perjalanan dari Kupang ke Darwin dapat ditempuh dalan waktu satu jam dengan pesawat. Namun sudah tujuh jam Indra berada di pulau kering tak berpenghUmmi ini karena tak mungkin baginya naik pesawat ke Darwin. Ia sedang menunggu Samuel, temannya yang seorang nelayan asal Darwin. Samuel akan menjemputnya di pulau itu. Sebelumnya ia menumpang perahu milik seorang nelayan lokal dan minta diturunkan di pulau itu.
Secara tradisi dan historis, Pulau Pasir yang berada tak jauh dari Pulau Wei merupakan bagian dari Indonesia. Karena itulah pulau itu dinamakan Pulau Pasir oleh para penduduk Nusa Tenggara di sekitar Pulau itu. Namun secara administratif, Pulau Pasir sekarang ini adalah bagian dari wilayah Australia. Entah bagaimana prosesnya, namun tiba-tiba saja pulau itu telah berada dalam peta negara Australia dan mendapat pengakuan dari negara-negara lain termasuk Indonesia sendiri.
Hari mulai beranjak petang. Indra mulai gelisah dalam penantiannya. Ia kembali mengedarkan pandangannya ke gugusan cakrawala. Rasa suntuknya mengajaknya berdiri dan berjalan-jalan di pantai itu. Tak berapa lama kemudian, sebuah kapal penangkap ikan berbendera Australia mencuat dari batas cakrawala dan mengarah ke pantai itu. Beberapa menit kemudian, kapal itu melempar sauh tak jauh dari batas dangkal pantai. Seorang lelaki bule berjanggut panjang melambaikan tangan dari anjungan kapal. Indra tersenyum. Kemudian ia bergegas membawa ranselnya dan mulai menjejakkan kakinya menembus air laut. Tak lama setelah itu, ia telah berada di anjungan kapal bersama Samuel, lelaki berjenggot itu.
*** Pesawat yang hendak membawa Esa telah tersedia di landasan pacu. Lalu ia dan para penumpang lainnya beriringan menuju pesawat yang tak lama kemudian telah lepas landas untuk meninggalkan bumi Indonesia, mengangkasa di antara awan. Seiring dengan lepas landasnya pesawat, benak Esa pun mengawang dengan aneka pikiran. Semula Esa ingin lelap menuju alam mimpi. Namun ia tak dapat tidur. Kemudian, ia meminta pena dan kertas pada pramugari dan membuat catatan. Ia ingin membuat catatan lanjutan dari apa yang telah ditulisnya ketika berada di rumah sehari sebelumnya. Tak jauh dari tempatnya duduk, seseorang terus mengawasinya. Tak sekejap pun orang itu membiarkan Esa lepas dari pengawasannya.
Sementara jauh di bawah pesawat yang telah mengangkasa meninggalkan Jakarta, Nisa berjalan tergesa di antara beberapa pedagang yang mangkal di muka Jalan Jaksa. Sudah lama kawasan di Jakarta itu terkenal sebagai tempat mangkalnya turis-turis kere dari mancanegara. kondisi yang aman dan nyaman bagi agen agen rahasia untuk melakukan aktivitas spionase di Jakarta. Kakinya kemudian tiba di muka sebuah rumah bercat putih dengan pagar kelabu. Ia lalu masuk ke dalam rumah yang dari luar nampak seperti rumah tinggal biasa. Di bagian dalan rumah tersebut, nampak pintu-pintu kamar berderet laksana kamar-kamar hotel. Nisa melintasinya dengan cepat hingga ia tiba di kamar paling ujung. Kemudian diketuknya pintu beberapa kali. Avram Meir membuka pintu dan langsung tersenyum ketika melihat Nisa berdiri di ambang pintu.
"Halo, cantik. Bagaimana tugasmu" Sudah kau laksanakan?" tanya Meir.
Nisa diam dan memperlihatkan sorot mata tak suka pada Meir.
"Masuklah," ujar Meir.
"Avram...aku tak bisa berada di tempat sepi bersama lelaki. Dan kamu tahu itu!"
Avram Meir tertawa lepas.
"Hei. kau masih bisa memikirkan ajaran agamamu yang sinting itu rupanya" Tak boleh berduaan dengan lelaki di tempat sepi" Hahaha...kau tak tahu betapa nikmatnya berdua-duaan di tempat sepi, sayang" ujar Meir seraya mengangkat tangan kanannya, hendak menyentuh dagu Nisa.
Nisa menepisnya dengan sebuah bungkusan yang dibawanya.
"Cepatlah Avram! Aku tak punya banyak waktu!" Bentak Nisa.
"Baik, baik... mana barang itu?"tanya Meir,
"Tidak! sebelum kau berikan alamatnya dan uangnya!" Nisa menjawab tegas.
Meir mengangkat bahu, lalu beranjak ke dalam. Tak lama kemudian, ia kembali dengan membawa buku cek. Diberikannya selembar cek pada Nisa. Nisa menyambarnya dengan cepat.
"Itu lima puluh ribu dolar," ujar Meir sementara tangan kanannya menyulut Marlboro yang terselip di mulutnya, "kau bisa membawa seluruh keluargamu ke Swiss atau Brazil dan hidup layak di sana."
Nisa mengamati cek yang ada di tangannya. "Bagaimana aku tahu bahwa cek ini asli?" tanya Nisa, "dan mana alamat ayahku?"
"Seperti kukatakan...aku adalah seorang ksatria, Nisa. Dan seorang Ksatria memegang janjinya. Kau boleh memotong kepalaku jika cek itu palsu atau kosong," jawab Meir, "Alamat ayahnu akan kuberikan setelah kau memberikan barang itu padaku."
Nisa diam sejenak dan mengamati bungkusan berbentuk kotak yang dibawanya. Kemudian dengan perlahan ia menyodorkan kotak itu pada Meir. Avram Meir menerima kotak itu dengan hati-hati. Lalu perlahan lahan ia membuka tutup kotak itu. Seketika senyuman terkembang di wajahnya saat ia melihat isi dalam kotak yang dipegangnya. Ia lalu mengambil secarik kertas dan menuliskan alamat pada kertas itu. Kemudian Meir menyerahkan kertas itu pada Nisa. Seperti ketika menerima cek, Nisa menyambar kertas itu dengan cepat.
"Urusan kita selesai!" tegas Nisa pada Meir, "jangan pernah lagi menemuiku! Aku tak ingin lagi berurusan denganmu!"
Avram Meir kembali tertawa lepas.
"Nikmatilah uangmu...dan waktu bersama keluargamu! Aku jamin kau tak akan pernah lagi melihat batang hidungku!" seru Meir dengan nada senang.
Nisa segera beranjak meninggalkan tempat itu. Pada saat yang bersamaan, Avram Meir menutup pintu kamarnya dan mengambil ponsel.
"Moses!" ujar Meir berbicara pada seseorang melalui ponselnya, "aku sudah dapatkan barangnya. Suruh seseorang membunuh pelacur berkerudung itu dan keluarganya!"
Setelah itu, Meir langsung mematikan ponselnya.
"Nisa malang. kau memang tak akan melihatku lagi..." ujar Avram Meir dalam hati busuknya.
*** Dalam beberapa jam, Esa telah menjejakkan kaki Di Sydney. Itulah kunjungan pertama Esa ke negeri Kanguru. Esa kurang begitu mengenal negeri tersebut. Beruntunglah bahwa negeri itu berbahasa Inggris. bahasa asing yang paling dikuasainya. Hal itu sangat membantunya.
Monash University terletak di Clayton, sebuah kota mandiri di pinggiran Melbourne. Dari Sydney, Esa memutuskan untuk menempuh perjalanan ke Melborne dengan menumpang bus. Esa enggan melanjutkan perjalanan dengan penerbangan domestik, karena pesawat yang membawanya dari Jakarta saja sudah membuat dirinya jet lag. Selain itu, Ia ingin menikmati perjalanannya di negeri itu.
Acara penyerahan penghargaan untuk almarhum Heri baru akan berlangsung dua hari kemudian. Jadi, Esa tak perlu terburu-buru karena ia memiliki waktu longgar.
Cuaca mendung memayungi Sydney saat itu. Dari bandara, Esa menumpang taksi ke terminal bus. Lalu sambil menunggu jam keberangkatan bus, ia melepas penat sejenak di sebuah kafe tak jauh dari terminal. Sambil mengisi waktunya di tempat itu, Esa membuka notebook yang sengaja dibawanya dari Indonesia. Ia masih menyimpan beberapa email dari Heri yang ingin ia baca dan cermati. Baca ayat-ayat-Nya, ujar Heri dalam mimpinya. Maka ia ingin membaca segalanya.
Sebuah email berjudul "I'm in Australia!" dibukanya. Email itu dikirimkan Heri saat pertama kali ia datang di Australia. Esa membaca isinya: setelah usai membaca isinya, Esa tersenyum. Matanya berkaca-kaca. Ia menbayangkan perasaan Heri ketika pertama kali menjejakkan kaki di Australia. Tentunya, berbeda dengan perasaannya saat itu, karena Esa datang hanya untuk melewatkan waktu selama empat atau lima hari saja.
"Aku harus bertemu dengan orang bernama Syaikh Rashed itu," ujar Esa dalam hatinya.
Kegiatan Esa membaca email lalu terhenti saat ia menyadari bahwa jam keberangkatan bus menuju Melbourne sudah dekat. Sebelum beranjak, ia sempat mencatat nomor telepon Syaikh Rashed-guru mengaji Heri-dari email Heri yang lain.
Dari Sydney, bus yang membawa Esa menuju Melbourne melintasi Hume Highway, sebuah jalan bebas hambatan yang besar. Selain antara Sydney dan Melbourne, jalan ini juga melintasi kota lain seperti Goulburn dan Yass. Melbourne juga memiliki sebuah jalan bebas hambatan lain, yakni Princes Highway, yang menghubungkan Melbourne ke Adelaide. Esa tidak mengkhawatirkan transportasi dalam kota di Melbourne. Dari beberapa email heri, ia mempelajari bahwa transportasi umun di Melbourne banyak ragamnya, antara lain kereta api, trem, dan bus. Layanan transportasi di Melbourne terintegrasi dalam sebuah jaringan bernama Metlink sehingga satu karcis dapat digunakan untuk ketiga layanan transportasi tersebut.
Melbourne berada di tenggara Australia, terletak di sekitar Port Philip. Kawasan pinggiran Melbourne di bagian utara tumbuh mengikuti alur Yarra River ke arah Yarra dan Dandenong Ranges. Di bagian selatan, perkembangannya terbagi ke dua arah. Kebarat terdapat kawasan Geelong yang terletak di Belarine Peninsula sedangkan ke arah timur terdapat beberapa kota kecil yang terletak di pinggir pantai seperti Rye, Sorrento, Apollo Bay, dan Lorne. Ujung Belarine dan Mornington Peninsula dipisahkan oleh sebuah selat kecil. Sebuah layanan penyeberangan menghubungkan kedua kawasan tersebut. Seperti yang diceritakan Heri dalam email-emainya, penduduk Melbourne umumnya keturunan pendatang dari Inggris dan Irlandia yang sudah menetap sejak lama. Wajah-wajah mereka sangat khas Inggris. Namun sejak beberapa dekade terakhir Melbourne mengalami peningkatan pendatang. Tiga kelompok pendatang terbesar adalah dari Yunani, Italia dan Vietnam. Selain itu, ada pula komunitas Cina yang cukup besar di kota ini. Itulah sebabnya dalam email-email Heri, Esa membaca bahwa Heri banyak menjumpai orang-orang berwajah oriental di kota itu.
Saat Esa tiba di Melbourne, hari sudah beranjak petang. Esa melihat bahwa jam di tangan kanannya menunjuk pada pukul 21. Ia belum menyesuaikan jamnya dengan waktu Australia. Setelah mengkonversi waktu pada jam di tangannya, Esa bergegas mencari telepon umum terdekat. Ia lalu mengontak Syaikh Rashed-guru mengaji Heri ketika tinggal di kota itu--melalui telepon.
Semula Esa hendak mencari hotel kecil di pinggiran Melbourne untuk menghemat uang. Namun setelah Esa menghubungi Syaikh Rashed, kebaikan sang guru membuatnya membatalkan niat untuk menginap di hotel karena ia bersikeras memaksa Esa untuk bermalam di rumahnya selama menyelesaikan beberapa urusan di kota Melbourne. Menurut sang Syaikh, Heri ialah salah satu muridnya yang terpandai dan ia merasa senang jika sahabat dari murid kesayangannya bersedia tinggal selama beberapa waktu di rumahnya. Sang Syaikh bahkan datang langsung untuk menjemput Esa dari tempatnya menelpon. Rumah Syaikh Rashed berada di kawasan Flinders, dekat dengan Stasiun Kereta Api Melbourne. Di rumah itu, Syaikh Rashed tinggal bersama istrinya yang berasal dari Libanon dan dua orang muridnya. Esa dapat menaksir jika usia kedua orang murid Syaikh Rashed itu tidak terpaut jauh dengan dirinya. Nama mereka Youness dari Maroko dan Hashem dari Yordania. Mereka juga kuliah di Monash, almamater yang sama dengan Heri. Ketika mengetahui bahwa Esa ialah sahabat Heri yang merupakan murid kesayangan Syaikh Rashed, mereka nampak menaruh hormat pada Esa. Karena Esa baru tiba pada malam hari di rumah itu, ia segera menunaikan shalat isya dan maghrib yang tertunda karena perjalanan. Tuan rumah menunggunya menunaikan shalat di ruang tengah. Setelah selesai shalat, Esa ingin meluangkan waktu untuk berbincang-bincang dengan tuan rumah. Namun Syaikh Rashed malah mempersilakan dirinya menyantap hidangan malam yang telah disiapkan oleh Ummi Alifa, istrinya. Itulah rezeki kedua yang diterima Esa malam itu selain menginap gratis. Saat Esa bersantap malam, Syaikh Rashed dan Ummi Alifa menemaninya tanpa bicara sepatah kata pun. Setelah Esa selesai makan, ia mulai sambil mengajak bercakap-cakap. Syaikh itu berbicara dalam bahasa Inggris dengan aksen Timur Tengah yang kental.
Candle Light Dinner 1 Candika Dewi Penyebar Maut V I I I Pembalasan Maha Durjana 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama