Fear Street - Cheerleaders Musibah Kedua The Second Evil Bagian 3
rumahku?" Kimmy berbalik dan menggelengkan kepala. "Lain kali saja.
Aku mau pulang dan mandi air panas."
"Tapi..." "Biarkan saja," kata Debra muram.
"Sampai besok di sekolah," Kimmy berseru dari pintu depan,
kemudian menghilang dari pandangan.
Corky kembali berpaling kepada Debra, yang menutup bukunya
dan menjepitnya di bawah lengan. "Aku benar-benar tegang tadi," ia
berkata kepada Corky. "Benar-benar tegang."
"Aku juga," Corky mengakui.
"Hanya kita yang tahu roh jahat itu gentayangan," ujar Debra
ketika mereka menuju pintu depan. "Hanya kita."
"Yeah," Corky membenarkan dengan sedih. "Orangtuaku
sendiri selalu mengalihkan pembicaraan kalau aku berusaha
menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi."
"Itulah sebabnya kita harus mengambil tindakan," tukas Debra.
"Aku selalu teringat lagi pada Sarah Beth Plummer dan Jon
Daly," ujar Corky sambil bergidik. Ia menaikkan kerah mantelnya dan
menyembunyikan kepala seperti kura-kura ketika mengikuti Debra ke
pintu. Mereka melangkah keluar. Udara di luar ternyata lebih hangat
dibandingkan udara di dalam rumah.
"Yeah, untuk apa mereka bertemu di pemakaman, tengah
malam buta, lagi," komentar Debra sambil mengerutkan kening.
Kemudian tampangnya menjadi lebih cerah. "Hei, bagaimana kalau
kita periksa mereka?"
"Maksudmu, berbicara dengan mereka?" tanya Corky. Ia
mengikuti Debra ke seberang jalan.
Debra mengangguk. "Yeah."
"Sekarang juga?" Corky bertanya sambil menatap arlojinya.
Sudah hampir pukul 22.00.
"Kenapa tidak?" Debra balik bertanya.
"Hmm..." Corky tampak ragu-ragu. Sebenarnya ia lebih suka
meniru Kimmy, pulang lalu mandi air panas.
"Ayo, naik mobilku saja," Debra mendesak sambil menarik
lengan Corky. "Dari sini hanya beberapa menit ke rumah Jon Daly."
"Yeah, tapi kita harus bilang apa setelah kita sampai di sana?"
tanya Corky. "Masa kita main masuk saja dan bilang, 'Jon, untuk apa
kau dan Sarah Beth Plummer pergi ke makam malam itu"'"
"Kenapa tidak?" balas Debra. Ia membuka pintu mobil dan
melemparkan lilin-lilin dan bukunya ke bangku belakang. "Itulah yang
akan kita tanyakan." Ia membuka tudung dan mengusap rambutnya
yang hitam lurus dengan sebelah tangan. "Ayo, Corky. Masuklah."
Corky berpikir sebentar, lalu membuka pintu dan naik ke mobil.
Debra pun masuk dan menaruh kedua tangannya di bagian atas
kemudi. Cahaya lampu jalanan menerangi tangan Debra yang pucat dan
langsing. Dan Corky teringat pada Chip.
Pada tangan Chip. Tangan yang tergeletak di samping gergaji
mesin. Tangan yang terputus tepat di pergelangan itu kembali
terbayang di depan matanya. Lalu genangan darah yang berwarna
gelap. Dan kemudian ia melihat Chip tergeletak tak bernyawa dalam
posisi tengkurap. "Corky, ada apa?" Debra berseru ketika melihat ekspresi ngeri
pada wajah temannya itu. Corky memejamkan mata rapat-rapat dan mengusir bayangbayang itu dari dalam benaknya. "Ayo, kita cari Jon Daly," bisiknya
dengan suara serak. Keluarga Daly tinggal di kawasan North Hills, bagian kota
Shadyside yang dihuni orang-orang kaya, beberapa blok dari
Shadyside High. Debra membelok ke pekarangan rumah keluarga itu,
rumah besar bergaya ranch dengan halaman rumput terawat rapi di
depannya. Pintu garasi di samping rumah terbuka. Sebuah Volvo berwarna
perak diparkir di dalamnya. Dua sepeda tergantung pada dinding.
Corky bertanya-tanya apakah salah satunya pernah menjadi milik
Jennifer. Begitu banyak kematian, ia berkata dalam hati ketika turun dari
mobil. Korban si roh jahat sudah begitu banyak.
Ia dan Debra berjalan berdampingan ke pintu depan, melewati
jalan setapak yang dilapisi batu pipih. Debra mengangkat tangan
untuk menekan bel pintu, lalu berhenti.
"Ayo!" Corky mendesaknya. "Percuma dong datang ke sini
kalau kita tidak jadi bicara dengan Jon Daly. Sudah tanggung nih."
Debra menekan bel. Mereka mendengar suara-suara di dalam
rumah, lalu bunyi langkah mendekat.
Lampu teras dinyalakan. Pintu depan membuka, dan Mrs. Daly
muncul di hadapan mereka. Rambutnya yang pirang diikat dengan
bandana merah. Ia tampak terkejut. "Oh, halo, anak-anak."
"Halo, Mrs. Daly," ujar Corky setelah berdehem. "Masih ingat
saya" Saya adik Bobbi."
"Tentu saja," jawab Mrs. Daly sambil menatap Debra.
"Kami ingin bertemu Jon."
Mrs. Daly membelalakkan mata.
"Siapa itu?" suara Mr. Daly terdengar dari ruang duduk.
"Kalian punya berita tentang Jon?" tanya Mrs. Daly pada
Corky, tanpa menggubris pertanyaan suaminya.
"Lho?" Corky terbengong-bengong. "Berita?"
"Siapa itu?" Mr. Daly kembali bertanya ketika muncul di
belakang istrinya. Ia jangkung, dengan rambut yang mulai menipis. Ia
mengenakan T-shirt Chicago Cubs dan celana korduroi berpotongan
lurus. Keningnya berkerut-kerut.
Seluruh rumah berbau asap rokok.
"Mereka punya berita tentang Jon," kata Mrs. Daly sambil
meraih tangan suaminya. "Bukan," Corky meralat. "Kami ingin bertemu dengan Jon."
"Kami perlu bicara dengan dia," Debra menimpali sambil
menarik-narik tudungnya. "Oh." Mrs. Daly langsung kecewa. Sorot matanya mendadak
meredup. "Jon tidak ada di sini," Mr. Daly berkata dengan serius.
"Kami sangat mengkhawatirkannya," Mrs. Daly menambahkan.
Ia kembali meraih tangan suaminya. "Sudah dua hari dia tidak pulang.
Dua hari. Kami sudah menghubungi polisi."
"Hah" Polisi?" Corky melirik kepada Debra, yang tak kalah
kaget. Mr. Daly mengangguk sedih. "Ya. Jon menghilang dua hari
yang lalu. Kami tidak tahu apa yang terjadi dengannya."
Bab 17 Fear ESOKNYA, seusai makan malam, Corky menunggu Debra di
Alma's, kedai kopi kecil tempat ia dan Chip sempat mengobrol dengan
Sarah Beth Plummer. Restoran itu penuh sesak. Semua meja ditempati
para mahasiswa yang asyik bercerita dan tertawa. Suara mereka
bersaing dengan bunyi sendok-garpu dan piring-piring, serta alunan
saksofon yang terdengar dari jukebox.
Akhirnya Debra bergegas masuk, terlambat sepuluh menit.
Pipinya tampak merah akibat hawa dingin di luar. Ia mengenakan baju
berlapis-lapis dan celana korduroi biru. Pandangannya menyapu
seluruh restoran, sampai ia menemukan Corky di meja nomor dua dari
belakang. Setelah melewati pelayan berseragam putih yang membawa
nampan berisi gelas-gelas tinggi di atas kepala, Debra duduk di kursi
di seberang Corky dan menarik napas panjang. "Sorry, aku telat,"
katanya. "Tidak apa-apa," balas Corky. Kedua tangannya memegang
secangkir cokelat panas. "Mana Kimmy?"
"Dia sakit," Debra memberitahu. "Ibunya bilang dia demam.
Karena itu dia tidak masuk sekolah tadi."
Corky tampak terkejut. "Sakit" Apakah dia bisa tampil di
pertandingan basket besok malam?"
Debra angkat bahu. "Mudah-mudahan saja."
Pelayan tadi menghampiri mereka dan menatap Debra dengan
pandangan tidak sabar. "Perlu menu?"
Debra menggelengkan kepala. "Saya mau pesan Coca-Cola
saja." "Sarah Beth Plummer tinggal di seberang jalan," ujar Corky
setelah si pelayan pergi lagi. "Dia sempat menunjukkan rumahnya
kepada Chip dan aku waktu itu"kami duduk di sana." Ia menoleh ke
meja paling belakang. "Dan dia bercerita tentang Sarah Fear."
Debra melirik ke meja yang ditunjuk Corky. Meja itu kini
ditempati empat gadis yang makan hamburger dan kentang goreng.
"Menurutmu, Sarah Beth ini mau membantu kita?"
Corky menghirup cokelatnya, lalu meringis. Bubuk cokelatnya
ternyata belum larut benar.
Rupanya kurang lama diaduk. "Waktu itu kesannya Sarah Beth
tahu jauh lebih banyak dari yang diceritakannya kepada kami.
Sikapnya agak mencurigakan. Sepertinya dia merahasiakan sesuatu."
Pesanan Debra datang. Ia meraih sedotan dan membuka tutup
gelasnya. "Sarah Beth Plummer ini, apakah dia sudah tua?"
Corky menggeleng, lalu menepis sejumput rambut yang
menutupi matanya. "Belum. Dia masih muda"kurasa sekitar awal
dua puluhan." "Kenapa kau yakin dia mau bicara dengan kita?" tanya Debra.
"Entahlah," balas Corky. "Tapi kupikir kita harus mencoba
bicara dengan dia. Habis, aku melihat dia menari di atas kuburan
Sarah Fear bersama Jon Daly. Dan sekarang Jon menghilang."
"Kaupikir Sarah Beth tahu di mana roh jahat itu berada?" Debra
bertanya sambil menghirup Coke-nya.
"Aku akan menanyakannya kepada dia," jawab Corky, lalu
menarik napas panjang. "Pembicaraan ini tidak masuk akal, ya" Kalau
ada yang mendengar kita, mereka pasti menyangka kita sinting."
"Tapi kita tidak sinting," ujar Debra cepat-cepat sambil
menggerak-gerakkan tangannya. Tanpa sengaja ia menyenggol
gelasnya sehingga isinya tumpah sedikit. "Roh jahat itu benar-benar
ada. Kita tahu itu."
"Aku tahu," Corky membenarkan.
"Coba kita lihat, apa yang diketahui Sarah Beth Plummer," kata
Debra. Kedua gadis itu berdiri, lalu bergegas meninggalkan restoran
setelah membayar. *********************** Tak ada papan nama di atas bel pintu, tapi Corky masih ingat
rumahnya. Bangunan sempit berlantai dua itu terbuat dari bata merah,
dan berada dalam deretan rumah kecil yang sebagian besar dihuni oleh
para mahasiswa. Kedua gadis itu berhenti di tangga beton sambil menatap
jendela bertirai di samping pintu. Corky sudah mau menekan bel, tapi
kemudian tangannya diturunkan lagi.
"Ada apa?" tanya Debra sambil berbisik.
Sebuah mobil melintas. Sorot lampunya mengenai mereka.
"Aku masih terbayang-bayang bagaimana Sarah Beth menari di
kuburan," balas Corky. "Dan bagaimana Jon bersandar pada batu
nisan Sarah Fear." Ia meraih lengan sweter Debra. "Sarah Beth
mungkin berbahaya, Debra. Maksudku, siapa tahu justru dia yang
dikuasai roh jahat itu." Corky merinding. "Bisa-bisa kita bakal mati
konyol di sini." "Kita harus mencari kepastian," sahut Debra dengan tegang.
"Kita harus menggali kebenaran." Sambil menarik napas panjang, ia
mengulurkan tangannya, lalu menekan bel pintu.
Mereka mendengar bunyi bel di dalam rumah. Sebuah lampu
dinyalakan. Mereka mendengar suara langkah, kemudian pintu
membuka. Sarah Beth Plummer mengintip ke luar. Kepalanya dibalut
handuk. Rupanya dia baru keramas, batin Corky.
Sarah Beth menatap Debra. Kemudian pandangannya beralih
kepada Corky. "Oh, hai!" Ia tampak heran bercampur bingung.
"Hai. Masih ingat aku?" tanya Corky.
"Ya. Kamu... Corky," kata Sarah Beth setelah berpikir sejenak.
"Ini temanku, Debra Kern," ujar Corky.
"Ayo, masuklah," kata Sarah Beth sambil menggigil. "Uh, di
luar sini dingin sekali, dan aku baru saja selesai keramas."
Kedua gadis itu mengikutinya ke ruang duduk sempit yang
dipenuhi perabot antik. Corky menutup pintu depan. Ruangan itu
panas dan berbau jeruk. Dua kursi dan sebuah sofa besar berwarna
ungu menghabiskan hampir seluruh tempat. Meja rendah di depan
sofa dipenuhi tumpukan buku, kertas, dan map. Rak-rak buku yang
hampir setinggi langit-langit tampak menempel pada dinding- dinding.
Sarah Beth menatap kedua tamunya. Ia mengenakan kemeja
putih gombrong, leggings hitam, serta kaus kaki wol tebal.
"Kami ingin bicara denganmu," kata Corky dengan kikuk, "tapi
mungkin waktunya kurang tepat."
"Oh, tidak apa-apa," balas Sarah Beth. Ia masih kelihatan
bingung. "Aku baru mau membuat kopi. Kalian juga mau?"
"Tidak, terima kasih," sahut Debra cepat-cepat.
"Mantelmu dibuka saja," kata Sarah Beth pada Corky. "Gantung
di sana saja." Ia menunjuk salah satu kursi di seberang sofa.
"Kupikir... ehm... barangkali kau bisa bercerita lebih banyak
tentang Sarah Fear," Corky tergagap-gagap. Dengan patuh ia
menggantungkan mantelnya pada sandaran kursi.
Sarah Beth terperanjat. "Kalau tidak merepotkan," Corky menambahkan.
"Sarah Fear?" Sarah Beth mengulangi. Ia mengamati kedua
tamunya dengan saksama. "Hmm..."
"Kami akan berterima kasih sekali," Debra angkat bicara. "Apa
saja yang kauketahui tentang dia."
"Oke," Sarah Beth menyetujui setelah berpikir sejenak. "Tapi
aku sendiri hanya tahu sedikit. Ayo, duduklah." Ia menunjuk ke sofa.
"Kumatikan kompor dulu. Sesudah itu kita bisa bicara. Aku
akan menceritakan segala sesuatu yang kuketahui tentang dia."
"Terima kasih banyak," kata Corky. "Aku tahu kau pasti
terganggu...." "Tidak apa kok," tukas Sarah Beth sambil bergegas ke dapur.
"Suaranya seperti nenek-nenek," bisik Debra.
"Yeah, memang," balas Corky. "Dia kaget waktu melihat kita"
tapi tidak sekaget yang kuduga," ia menambahkan sambil melirik ke
pintu dapur. "Dia bahkan tidak tanya kenapa kita mencari informasi tentang
Sarah Fear," bisik Debra.
Ia melewati kedua kursi dan duduk di tepi sofa.
Corky menuju ke ujung sofa yang satu lagi. Tapi tanpa sengaja
kakinya membentur meja, sehingga setumpuk map jatuh ke karpet.
"Awas, nanti jatuh," Debra berkelakar. Ia hendak membantu
Corky memungut map-map itu, tapi bantalan sofa yang kelewat
empuk membuatnya sulit berdiri.
Corky langsung berlutut dan mulai membereskan map-map.
Fear Street - Cheerleaders Musibah Kedua The Second Evil di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi karena terburu-buru, ia malah menjatuhkan sejumlah amplop dari
salah satu map. Ia memungut amplop-amplop itu dan mulai mengembalikan
semuanya ke tempat semula"lalu mendadak berhenti. Ia
membelalakkan mata. "Debra, lihat!" serunya dengan suara tertahan.
"Ada apa?" tanya Debra.
"Amplop-amplop ini...," ujar Corky dengan suara gemetar.
"Semuanya dialamatkan kepada Sarah Fear!"
Bab 18 Tenggelam "SARAH FEAR?" Debra merebut salah satu amplop dari
tangan Corky dan mengamatinya dengan saksama. "Tapi tanggal pada
cap pos-nya baru beberapa minggu yang lalu!" serunya.
Dengan gelisah Corky memandang ke pintu dapur. "Janganjangan Sarah Beth sebenarnya Sarah Fear!" bisiknya. Cepat-cepat ia
mengembalikan semua amplop ke dalam map.
"Maksudmu... apakah umurnya sudah lebih dari seratus tahun?"
tanya Debra. "Semua perabot di sini sudah tua," komentar Corky. "Sarah
Fear pasti betah di ruangan ini."
"Nah, sudah beres." Sarah Beth muncul kembali sambil
membawa secangkir kopi yang mengepul-ngepul. Ia berhenti di
ambang pintu. "Corky, sedang apa kau di bawah?"
"Aku tidak sengaja menjatuhkan beberapa barang," Corky
mengaku sambil menatap dengan tajam ke arah Sarah Beth.
"Oh, tidak apa-apa," ujar Sarah Beth. Ia menuju salah satu
kursi. "Tempat ini memang sudah berantakan. Biar kubereskan
sekalian nanti." "Ehm... Sarah Beth?" Corky mulai bicara. Ia mengangkat
sebuah amplop. "Aku kebetulan melihat surat-surat ini... ehm,
semuanya dialamatkan kepada Sarah Fear."
Sekelebat Sarah Beth memicingkan mata, tapi kemudian roman
mukanya langsung kembali ramah. "Aku tahu," katanya kepada
Corky. "Tapi..." Sarah Beth duduk di kursi yang empuk. Cangkir kopinya
diletakkannya pada sandaran tangan. Ia menarik napas panjang.
"Hmm, kelihatannya kalian sudah tahu rahasiaku. Aku memang
keturunan keluarga Fear."
Corky tercengang. Sarah Beth tertawa. "Hei, masalahnya tidak separah itu! Aku
bukan jin atau sebangsanya!" Rupanya ia merasa geli melihat reaksi
Corky. Corky bangkit dari lantai, lalu duduk di samping Debra di sofa.
"Jadi namamu sebenarnya Sarah Fear?" ia bertanya sambil menatap
mata Sarah Beth, seakan-akan hendak membaca pikirannya.
Sarah Beth mengangguk. "Tapi aku tidak memakai nama itu.
Biasanya aku menggunakan nama gadis ibuku"Plummer." Ia
menghirup kopinya. "Nama Fear itu seperti kutukan."
"Apa maksudmu?" Corky bertanya dengan tegang.
"Lihat saja bagaimana reaksimu tadi," balas Sarah Beth sambil
tersenyum. "Waktu kubilang aku anggota keluarga Fear, kau nyaris
pingsan!" Ketiganya tertawa. "Aku... aku cuma terkejut," Corky berusaha menjelaskan.
"Terkejut dan ngeri," Sarah Beth menambahkan. "Semua orang
di Shadyside tahu keluarga Fear itu keluarga aneh dan celaka. Nama
itu memang kutukan." Senyumnya telah lenyap. Ia menghirup
kopinya. "Kutukan."
"Apakah kau bersaudara dengan Sarah Fear yang pertama?"
Debra bertanya. "Apakah namamu diambil dari namanya?"
"Mestinya sih masih ada hubungan saudara," jawab Sarah Beth.
"Aku tidak tahu apakah orangtuaku mengambil namaku dari namanya
atau tidak"tapi rasanya sih tidak." Ia mengangkat sebelah tangan dan
melepaskan handuk yang melilit di kepalanya. Rambutnya yang hitam
dan masih basah langsung jatuh terurai. Ia menggantung handuknya
pada sandaran kursi. "Sepanjang hidupku aku berusaha menjauh dari nama celaka
itu," ia berkata dengan suara bergetar karena emosi. "Fear." Ia
meringis dengan jijik. "Tapi aneh"aku justru terpesona oleh kisah
keluarga Fear. Sepertinya ada kekuatan gaib yang menarikku untuk
menyelidikinya." "Waktu kita bicara terakhir kali," Corky angkat bicara, "di
restoran di seberang jalan..."
"Aku tidak menceritakan semuanya," Sarah Beth mengaku.
"Ya, itu benar." Matanya yang gelap menatap tajam mata Corky. "Aku
tidak ingin mengungkapkan semua yang kuketahui tentang Sarah
Fear." Ia terdiam sejenak, dan roman mukanya mengencang.
Kemudian ia menambahkan, "Dan sampai sekarang tetap begitu."
Corky kaget melihat perubahan sikap wanita muda di
hadapannya yang begitu mendadak. Ia melirik Debra, yang sedang
mengamati wajah Sarah Beth dengan saksama.
"Kami membutuhkan bantuanmu," ujar Corky. Suaranya serak.
"Kakakku dan teman-temanku"Bobbi, Chip, dan Jennifer"mereka
meninggal satu per satu. Dan... entahlah, mungkin aku mendapat
giliran berikut." Sarah Beth tampak terperanjat. Ia meletakkan cangkir kopinya
ke karpet di samping kakinya.
"Suatu kekuatan jahat membunuh Bobbi dan Chip," Corky
melanjutkan. "Suatu kekuatan jahat yang tidak berasal dari dunia ini.
Dan kami pikir ini ada sangkut pautnya dengan Sarah Fear."
"Karena itu kami perlu keterangan sebanyak mungkin tentang
Sarah Fear," ujar Debra sambil bergeser di sofa. "Kami perlu
mendengar segala sesuatu yang kauketahui, supaya punya peluang
untuk menghentikan semuanya ini."
Sarah Beth menatap Debra seakan-akan baru sekarang ia
melihatnya. "Aku tidak mengerti," akhirnya ia berkata. "Aku tidak
mengerti bagaimana cerita-cerita kuno itu bisa membantu kalian."
"Tolonglah!" pekik Corky melengking tanpa disengajanya.
"Kumohon, Sarah Beth. Bantulah kami. Tolong ceritakan apa saja
yang kauketahui." Sarah Beth mengangkat kedua tangannya seakan-akan
menyerah di bawah todongan pistol. "Oke. Aku akan cerita, aku akan
cerita!" serunya. "Jangan tembak!"
"Pertama-tama, tolong ceritakan kenapa kau dan Jon Daly pergi
ke makam Sarah Fear malam-malam," ujar Corky. Kata-kata itu
meluncur begitu saja dari mulutnya. Sebenarnya ia hendak
menyimpan pertanyaan tersebut sampai nanti.
Sarah Beth membelalakkan mata. "Kau ada di sana?" tanyanya
pada Corky. "Di pemakaman?"
"Tidak. Aku kebetulan lewat naik mobil," Corky menjelaskan.
Sarah Beth tersipu-sipu. Ia menarik napas panjang. "Aku tidak
menyangka ada yang melihat kami." Pandangannya terarah kepada
Corky. Dia mengulur-ulur waktu, Corky menyadari. Dia sedang
memutar otak, mencari alasan yang masuk akal. "Aku melihatmu
menari," Corky menambahkan sambil menantang Sarah Beth dengan
matanya. Sarah Beth tertawa sendiri dan menggelengkan kepala.
"Kejadian itu memang konyol."
"Konyol?" tanya Corky. Ia telah bertekad untuk mengorek
cerita sebenarnya dari Sarah Beth.
"Aku sudah lama kenal Jon," Sarah Beth menjelaskan. Pipinya
masih tampak merah. "Kami teman sekolah dulu. Kami bahkan pernah
berkencan, tapi akhirnya kehilangan kontak. Aku benar-benar terkejut
ketika Jon meneleponku beberapa minggu yang lalu."
"Dia meneleponmu?" tanya Corky.
Sarah Beth meraih cangkir kopinya dan minum seteguk. "Yeah.
Tiba-tiba saja. Sikapnya berapi-api waktu itu, bahkan agak sinting.
Tapi dari dulu Jon memang tidak kalem."
"Ada apa dia meneleponmu?" tanya Debra sambil melipat dan
menyilangkan kaki. "Dia mau bertemu aku. Di Pemakaman Fear Street," jawab
Sarah Beth. Ia menepuk-nepuk rambutnya yang masih lembap. "Jon
tahu aku keturunan keluarga Fear. Dan dia juga tahu aku tertarik pada
kisah leluhurku" serta pada makhluk halus dan ilmu gaib."
Ia menghabiskan kopinya dan meletakkan cangkirnya kembali
ke lantai. "Jadi aku menemuinya di kuburan," ia meneruskan.
"Sikapnya aneh sekali. Benar-benar aneh. Bahkan untuk Jon
sekalipun. Begitu aku sampai di sana, dia bertanya apakah aku tahu
apa yang sebenarnya terjadi dengan adiknya, Jennifer. Padahal aku
sama sekali tidak tahu apa yang dimaksudnya."
Pandangan Corky melekat pada Sarah Beth. Ia mendengarkan
setiap kata sambil mengamati mata wanita muda itu. Rasanya dia
tidak menceritakan yang sebenarnya, pikir Corky. Sepertinya ada yang
tidak beres dengan ceritanya.
"Kemudian Jon tanya apakah aku percaya roh jahat. Kubilang
aku percaya segala macam hal"tapi kelihatannya dia tidak puas
dengan jawabanku. Dia tahu aku mempelajari ilmu gaib dan dunia
roh. Dia tanya apakah aku tahu bagaimana caranya memanggil arwah.
Mula-mula aku cuma tertawa. Kupikir dia hanya main-main."
Ia menggoyang-goyangkan rambutnya yang lembap. "Kalian
tidak apa-apa" Mungkin terlalu panas di sini" Kalau kalian mau, aku
bisa mematikan alat pemanas."
"Tidak usah, kami tidak kepanasan kok," sahut Debra cepatcepat. "Tolong lanjutkan saja ceritamu."
"Nah, sebenarnya aku enggan memenuhi permintaannya. Tapi
Jon memaksa terus. Lalu kubilang aku pernah membaca ada tarian
yang harus dilakukan di atas makam seseorang, kalau kita mau
memanggil arwah orang itu. Jon mendesak agar aku membawakan
tarian tersebut. Akhirnya kuperagakan sedikit. Maksudku, sebagian
besar kukarang sendiri"soalnya aku juga tidak tahu banyak tentang
tarian itu." Ia berpaling kepada Corky. "Sepertinya waktu itulah kau
lewat naik mobil." Tapi kau kelihatan serius sekali, pikir Corky. Aku yakin kau
tidak menganggapnya sebagai lelucon, Sarah Beth.
"Lalu apa yang terjadi?" tanya Corky.
"Tidak terjadi apa-apa," jawab Sarah Beth sambil mengangkat
bahu. "Tak ada arwah yang muncul. Tadinya kupikir Jon bakal
kecewa, tapi ternyata dia malah senang. Entah kenapa, dia senang
sekali. Kemudian kami pulang sendiri-sendiri, dan setelah itu aku tak
pernah ketemu lagi dengan dia atau mendapat kabar darinya."
Ada yang tidak beres, kata Corky dalam hati. Ada yang tidak
beres dengan cerita ini. "Orangnya aneh sekali," ujar Sarah Beth. "Menakutkan. Benarbenar menakutkan."
Suasana menjadi hening. Mereka mendengar bunyi lonceng
jam. Corky melirik arlojinya. Pukul 21.00.
"Kalian benar tidak mau minum kopi?" Sarah Beth bertanya.
"Aku sudah bikin kok."
"Tidak, terima kasih," Corky dan Debra menjawab bersamaan.
"Kalau begitu, aku mau cerita tentang Sarah Fear," Sarah Beth
berkata sambil menguap. "Itu kan maksud kedatangan kalian?"
"Ya. Kami benar-benar perlu tahu tentang dia," sahut Corky
sambil mengamati wajah Sarah Beth.
"Tapi kalian bakal kecewa," Sarah Beth memperingatkan
mereka. "Aku sendiri hanya tahu sedikit. Sebagian besar kudapat dari
koran-koran lama dan dari catatan keluarga yang berhasil kutemukan.
Salah satu sepupu Sarah, Ben Fear, membuat buku harian. Itu cukup
membantu. Tapi percayalah, ceritanya tidak lengkap."
Sarah Beth menyilangkan kaki dan menyandarkan
punggungnya. Ketika mulai bertutur, ia bergantian memandang Corky
dan Debra. Tapi akhirnya ia menundukkan kepala dan menatap karpet
gelap di hadapannya. "Rasanya paling baik kalau kumulai dari saat Sarah Fear
meninggal. Atau lebih tepat, nyaris meninggal. Berarti tahun... ehm...
1899, kalau aku tidak salah. Sampai saat itu Sarah berhasil lolos dari
kutukan yang membayang-bayangi keluarga Fear, dan hidup cukup
bahagia. "Dalam buku hariannya, Ben Fear menggambarkan Sarah
sebagai wanita muda yang seperti bunga baru mekar. Begitulah Ben
menulis. Dia suka memakai bahasa berbunga-bunga. Tapi rasanya bisa
dibilang Sarah memang menawan dalam segala hal. Dia wanita muda
yang cantik, ramah, murah hati, dan penuh kasih sayang.
"Aduh, aku mulai bicara seperti Ben Fear," Sarah Beth
bergumam sambil memutar-mutar bola matanya. "Ah, biar saja deh.
Menurut catatan keluarga, Sarah bahagia dalam perkawinannya.
Paling tidak, untuk waktu yang singkat. Dia tak pernah punya anak.
"Dia dan suaminya tinggal di dekat kediaman Simon Fear.
Rumah mereka selalu penuh orang. Para sepupu, teman-teman,
pelayan-pelayan. Pokoknya cukup meriah.
"Dan semuanya tetap berlangsung begitu, bahkan setelah suami
Sarah meninggal akibat radang paru-paru. Dia berkabung selama
setahun penuh. Kemudian dia meneruskan hidupnya yang ramai.
"Lalu pada awal tahun 1899, hidupnya mendadak berubah.
Sarah yang malang jatuh sakit "sakit keras. Aku tidak tahu penyakit
apa yang dideritanya. Mungkin waktu itu juga tidak ada yang tahu.
Dalam buku hariannya, Ben Fear menyebutnya sebagai 'penyakit yang
menggerogoti semangat hidup'.
"Nah, para dokter sudah angkat tangan. Nyawa Sarah dianggap
tak terselamatkan. Mereka bahkan sudah menyiapkan liang kubur di
Pemakaman Fear Street. Seorang pendeta dipanggil dan diminta
menyiapkan upacara pemakaman.
"Tapi kemudian terjadi keajaiban. Di luar dugaan semua orang,
Sarah tidak meninggal. Dia malah sembuh dengan sangat cepat.
Kekuatannya seakan-akan pulih dalam semalam. Dan meskipun
keluarganya memohon agar dia beristirahat untuk memulihkan tenaga,
esoknya dia sudah bangun dari tempat tidur dan langsung mengurus
rumah tangganya lagi. "Di sinilah ceritanya mulai aneh. Setelah sembuh, Sarah
berubah. Dia bukan 'bunga' yang manis lagi. Menurut buku harian Ben
Fear, dia jadi pendiam dan menutup diri. Dia cepat naik darah dan
kadang-kadang bahkan mengamuk tanpa sebab yang jelas. Dia
menjauhi semua temannya. "Detail-detail dalam buku harian itu semakin tak jelas
menjelang akhir hayat Sarah. Menurutku, Ben Fear mungkin tak
pernah lagi diundang ke rumah Sarah, jadi dia hanya punya sedikit
informasi dari tangan pertama untuk ditulis di buku hariannya.
"Tapi dia sempat menyinggung desas-desus bahwa Sarah dan
seorang pelayan saling jatuh cinta.
"Aku menemukan berbagai laporan polisi tentang acara-acara
aneh di rumah Sarah. Pertemuan-pertemuan tengah malam. Acara
pemanggilan arwah. Pesta-pesta liar. Tapi laporan-laporan polisi itu
sangat berhati-hati. Jangan lupa"waktu itu Simon Fear masih hidup
dan masih merupakan tokoh berpengaruh.
"Koran-koran penuh berita mengerikan tentang peristiwaperistiwa yang terjadi di rumah Sarah. Suatu hari di musim semi,
seorang pelayan wanita ditemukan tewas terbunuh di pekarangan. Dia
ditikam tepat di jantung dengan gunting tanaman yang besar. Seorang
tamu juga mati terbunuh. Sebelah kakinya terpotong, dan ditemukan
tergeletak di sampingnya di lantai kandang kuda.
"Sarah Fear tak pernah dijadikan tersangka dalam pembunuhanpembunuhan itu. Dan misteri-misteri tersebut tak pernah bisa
dipecahkan.
Fear Street - Cheerleaders Musibah Kedua The Second Evil di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Lalu terjadi misteri paling besar dan tragis dari semuanya.
Perjalanan naik perahu pesiar. Perjalanan terakhir Sarah Fear.
Kejadiannya di Fear Lake. Kalian tahu, kan, Fear Lake yang tenang.
Danau kecil di balik hutan Fear Street.
"Ada lima penumpang di perahu itu. Sarah Fear. Tiga
saudaranya. Dan satu pelayan. Menurut laporan di koran, cuaca pada
hari di musim panas itu sangat bagus, tak berawan, tak berangin.
"Perahu pesiar Sarah bertolak dari tepi danau. Dan lima menit
kemudian terjadilah musibah itu"tiba-tiba saja. Tiupan angin
kencang yang misterius, seperti topan. Sama sekali tak terduga. Begitu
kencang sehingga sanggup membalikkan perahu besar itu. Secepat
kilat. "Dan semuanya tenggelam. Semuanya, termasuk Sarah Fear.
Padahal tepi danau masih kelihatan jelas"jaraknya paling-paling lima
sampai sepuluh menit berenang. Tapi semua orang di atas perahu itu
tenggelam. Tak ada yang selamat.
"Dan ini membawa kita ke bagian yang paling aneh," ujar Sarah
Beth. Ia membungkuk, menatap kedua gadis yang duduk di sofa di
hadapannya, dan merendahkan suara.
"Bagian yang paling aneh. Sewaktu mayat-mayat itu dibawa ke
darat, kulit mereka merah padam, melepuh, dan panas sekali"seakanakan Sarah dan yang lain tenggelam dalam air mendidih'."
Bab 19 Sudah Dengar Berita tentang Jon"
"PUTAR-PUTAR dulu deh," ujar Corky. "Aku belum mau
masuk." "Kita berhenti saja dan ngobrol-ngobrol," kata Debra. Ia
memarkir mobilnya di depan rumah Corky, lalu mematikan lampu dan
mesin. Corky menoleh ke arah rumahnya. Lampu di atas pintu
menghasilkan kerucut cahaya kuning di teras depan. Semua lampu
lain telah padam. Orangtuanya berada di belakang atau mungkin
sudah tidur. "Kau juga merasa kalau Sarah Beth menutup-nutupi sesuatu?"
Debra bertanya sambil mengetuk-ngetuk kemudi.
Corky merosot di tempat duduknya dan menaikkan lututnya ke
dasbor. "Yeah, sepertinya dia tahu lebih banyak dari yang diakuinya,"
ia membenarkan. "Tapi aku tidak tahu apa yang dirahasiakannya dari
kita." "Waktu kutanya apakah Sarah Fear dikuasai roh jahat, dia
malah menatapku seakan-akan aku makhluk luar angkasa atau
sebangsanya," kata Debra.
"Dia juga tidak mau menjawab pertanyaan-pertanyaanku,"
Corky mengeluh. "Kau dengar kan waktu aku bertanya apa yang
terjadi dengan pelayan yang disebut-sebut sebagai kekasih Sarah
Fear" Sarah Beth cuma bilang semua rahasia Sarah Fear ikut terkubur
bersamanya." Debra mendesah dan menggosok-gosok kaca samping yang
mulai berembun. "Dia memang aneh," komentarnya.
Mereka meninggalkan rumah Sarah Beth pukul 22.00 lewat
sedikit. Kepala kedua gadis itu serasa berputar-putar akibat kisah
ganjil yang diceritakan Sarah Beth kepada mereka. "Semoga ceritaku
ini bisa membantu kalian," Sarah Beth sempat berkata ketika
mengantar mereka ke pintu. "Kalau menemukan informasi baru, aku
akan menghubungi kalian."
Tapi ketika pulang mereka malah lebih curiga dan ragu
daripada ketika datang. Perjalanan singkat ke rumah Corky mereka
tempuh sambil membisu, masing-masing sibuk memikirkan apa yang
baru saja mereka dengar. "Ceritanya terlalu sempurna," ujar Debra. Ia mencengkeram
kemudi mobilnya dengan kedua tangan. "Dia cerita tentang Sarah
Fear" padahal namanya sendiri Sarah Fear. Ini terlalu sempurna, dan
terlalu aneh." "Mereka tenggelam dalam air mendidih," kata Corky sambil
memejamkan mata. "Kakakku juga meninggal begitu. Dalam air
mendidih." "Aku tahu," sahut Debra berbisik. Pandangannya tertuju lurus
ke depan. "Dan kau masih ingat soal ceret" Waktu tanganku terkena air
panas?" seru Corky. Ia membelalakkan mata dengan ngeri ketika
teringat kejadian tersebut. "Lagi-lagi air mendidih!"
"Aku ingat," kata Debra. Ia meletakkan tangannya ke bahu
Corky yang gemetaran. "Kau benar. Air mendidih memang sebuah
petunjuk." "Tapi petunjuk untuk apa?" tanya Corky dengan nada
melengking. "Petunjuk untuk apa?"
"Bagaimana dengan pembunuhan-pembunuhan di rumah Sarah
Fear?" tanya Debra sambil berpaling ke arah Corky. "Tamu yang
kakinya terpotong itu. Persis seperti Chip. Persis seperti tangan Chip."
Corky menelan ludah. "Aku... aku belum berpikir ke sana, Deb.
Tapi kau benar." Sejenak mereka kembali membisu sambil menatap kaca depan
yang berembun. "Jadi apa yang kita buktikan?" tanya Debra akhirnya.
"Ehm..." Corky memeras otak. "Kurasa kita membuktikan
bahwa roh jahat yang sama melakukan hal-hal mengerikan yang
sama"dulu dan sekarang."
"Dan bagaimana itu bisa membantu kita?" Debra kembali
bertanya. Ia menatap Corky dengan tajam.
Corky angkat bahu. "Aku tidak tahu." Dengan sedih ia
menggelengkan kepala. "Aku tidak tahu."
"Pasti ada petunjuk lain dalam cerita tentang Sarah Fear," Debra
berkeras. Roman mukanya mengencang ketika ia berkonsentrasi
penuh. "Pasti ada petunjuk tentang cara mengalahkan roh jahat itu.
Kita sudah tahu dia terperangkap dalam kuburan Sarah Fear. Dia
dipaksa tinggal di sana selama seratus tahun. Tapi bagaimana
caranya" Bagaimana Sarah Fear berhasil mengalahkannya?"
"Dia tidak berhasil," ujar Corky dengan getir. "Dia tidak
mengalahkan roh jahat itu. Justru sebaliknya. Dia yang mati."
"Oh, yeah," kata Debra lirih.
Mereka kembali terdiam. "Sekarang, seratus tahun kemudian, dia makan korban lagi,"
Corky berkomentar sambil menatap kaca depan. "Jennifer, Bobbi,
Chip..." Ia terisak-isak.
"Entah siapa yang dapat giliran berikut," Debra bergumam, dan
ia langsung bergidik. *************************
Orangtua Corky sedang menonton TV di ruang duduk di
belakang rumah. Setelah membuka mantel, ia pun menuju ke sana.
Tapi ternyata mereka sedang menyaksikan film detektif, dan Corky
segera sadar bahwa mereka tidak berminat mengobrol. Jadi ia
mengucapkan selamat malam dan naik ke kamarnya.
Corky sendiri juga tidak berminat mengobrol. Kepalanya terasa
berat sekali akibat segala sesuatu yang didengarnya. Berbagai pikiran
dan teori setengah matang berkecamuk di dalam benaknya.
Kalau saja kita bisa mempercayai Sarah Beth Plummer, ia
berkata dalam hati. Ia mulai membuka baju dan bersiap-siap tidur.
Tapi aku tahu dia tak bisa dipercaya. Jangan-jangan Sarah Beth justru
jelmaan roh jahat itu! Kalau saja ada seseorang yang bisa kita percaya.
Ia mengenakan baju tidur dan menumpuk pakaiannya di sebuah
kursi di seberang tempat tidurnya.
Debra, Kimmy, dan aku"kami harus berjuang sendiri, pikir
Corky. Kami harus berjuang sendiri melawan roh jahat itu. Hanya
kami yang tahu. Hanya kami yang percaya. Dan apa yang bisa kami
lakukan" Apa" Aku tidak tahu lagi apa yang harus kami lakukan, katanya
dalam hati ketika ia menuju kamar mandi untuk menggosok gigi.
Seharusnya kami tidak mendatangi Sarah Beth. Sekarang aku malah
lebih bingung dari sebelumnya.
Dan lebih ngeri. Corky baru mulai mengoleskan odol pada sikat giginya ketika
mendengar pesawat teleponnya berdering. Ia membiarkan sikat
giginya jatuh ke wastafel, dan langsung bergegas ke kamarnya untuk
mengangkat gagang telepon. "Halo?"
"Hai, Corky. Ini aku. Kimmy."
"Kimmy!" Corky berseru terkejut. "Bagaimana keadaanmu?"
"Rasanya sih sudah baikan," balas Kimmy. "Aku sudah tidak
demam. Tapi bukan karena itu aku meneleponmu."
"Ada apa?" ujar Corky.
"Kau sudah dengar berita tentang Jon Daly?" Kimmy bertanya.
"Ada apa dengan Jon?" Corky balik bertanya. "Apakah dia
sudah ditemukan?" "Yeah, dia sudah ditemukan," jawab Kimmy. "Jon ditemukan di
Fear Lake. Dia mati tenggelam."
Bab 20 Celaka "BAGAIMANA perasaanmu?" tanya Kimmy.
"Agak deg-degan," ujar Corky sambil menelan ludah.
Kimmy mengambil pom-pom berwarna merah-putih dari tangan
Corky dan merapikan bulu-bulunya. "Tenang saja," katanya, lalu
tersenyum ketika mengembalikan pom-pom kepada Corky. "Kalau
pertandingannya sudah mulai, kau pasti lupa betapa gugupnya kau
sebelumnya." Semoga dia benar, pikir Corky. Ia melirik ke papan pencatat
skor yang tengah dipersiapkan untuk pertandingan nanti. Semua
lampu dinyalakan, dan angka-angka pada jam digital sudah mulai
rusak, dan berjalan mundur lebih cepat daripada yang bisa dibaca oleh
Corky. Mudah-mudahan pertandingan ini cepat dimulai, ujar Corky
dalam hati, sambil menarik-narik ujung lengan sweternya yang
berwarna putih. Jantungnya berdetak dengan kencang. Ia menarik
napas panjang dan berusaha menenangkan diri.
Para penonton pertama sudah berdatangan, mereka menuju ke
tribun. Corky mengamati mereka, lalu kembali berpaling kepada jam
di papan pencatat skor. Masih setengah jam sebelum pertandingan
dimulai. Tiba-tiba pundaknya dipegang dari belakang. Corky tersentak
kaget. "Sorry," kata Miss Green. "Saya hanya mau tanya apakah kau
perlu nasihat untuk memompa semangatmu."
Corky tersenyum lebar. "Rasanya sih tidak perlu. Terima
kasih." "Gugup?" tanya pelatihnya sambil mengamati wajah Corky.
Corky mengangguk. "Yeah. Tapi saya kira saya bisa
mengatasinya." "Tenang saja," Miss Green berkata sambil melirik ke arah
orang-orang yang baru masuk melalui pintu utama. "Semuanya
berjalan lancar selama latihan. Formasi piramida yang baru pasti akan
mendapat sambutan meriah dari para penonton."
"Asal saya tidak terjerembap," Corky berkelakar.
Miss Green tertawa sendiri. "Rasa percaya dirimu yang dulu
akan kembali lagi kalau pertandingannya sudah dimulai. Lihat saja
nanti." Ia mengacungkan jempol kepada Corky, lalu berbalik
menghampiri Kimmy dan cheerleader yang lain.
Kini tribun penonton sudah setengah penuh. Menurut jam di
papan pencatat skor masih ada lima belas menit sebelum pertandingan
dimulai. Kedua tim sedang melakukan pemanasan di kedua ujung
lapangan. Ada yang melakukan gerakan lay-up, ada pula yang
menembakkan bola dari daerah tiga angka.
"Show time!" seru Kimmy sambil bertepuk tangan untuk
mengumpulkan para cheerleader. Corky segera bergabung. Ia
menggosokkan tangannya yang berkeringat ke rok mininya.
"Ayo, semangat!" seru Kimmy. "Kita bikin suasana jadi panas!"
Semuanya bersorak-sorai. Debra tersenyum kepada Corky dan
menepuk punggungnya. Setelah menyusun barisan, mereka
menghampiri tribun dan menyerukan pantun pembuka,
"Shadyside High! Shadyside High! Can you di g it" Everybody's here. So everybody CHEER!"
Mereka mengulanginya sekali lagi dan mengajak para penonton
ikut bersorak-sorai dan bertepuk tangan.
Sekali lagi. Dan sekali lagi. Semakin keras.
Penonton-penonton tertular oleh semangat para cheerleader.
Mereka bertepuk tangan dan mengentak-entakkan kaki, sampai tribun
yang sudah hampir penuh terguncang-guncang.
"Let"s get a little bit rowdy!
R-O-W-D-Y!" Sekali lagi. Para cheerleader mengulangi seruan itu sampai
semua pendukung Shadyside ikut meneriakkan kata-kata tersebut.
Kemudian mereka mengakhiri nomor pembuka dengan melakukan
salto ke belakang secara serempak. Semuanya mendarat dengan
sempurna, dan mengulangi seruan tadi.
Semuanya lancar, pikir Corky lega ketika sorak-sorai mereka
terdengar bergema dari dinding-dinding. Aku pasti bisa. Aku pasti
bisa! Ia menoleh, mengamati barisan cheerleader, lalu melihat
Kimmy tersenyum ke arahnya. Aku pasti bisa, Corky kembali berkata
dalam hati. Pertandingan dimulai. Suara langkah sepuluh pasang sepatu
basket serta bunyi pantulan bola pada lantai kayu yang mengilap
terdengar bergema. Corky berlutut di pinggir lapangan bersama anggota tim
cheerleader yang lain. Ia mengikuti jalannya pertandingan sambil
menunggu aba-aba dari Kimmy untuk beraksi. Jantungnya masih
berdebar-debar, tapi lebih karena luapan semangat daripada rasa
gugup. Pertandingan berlangsung dalam tempo tinggi. Kekuatan kedua
tim seimbang, dan mereka bergantian memimpin dalam pengumpulan
angka. Corky asyik menonton, dan ketika tiba waktunya untuk
bersorak-sorai sambil melompat-lompat, ia melakukannya dengan
anggun dan penuh semangat seperti dulu.
Di hadapan para penonton yang riuh, seakan ia bisa mengusir
semua masalahnya dengan berseru-seru.
Menjelang turun minum, ia menoleh dan melihat Kimmy
berdiri di belakangnya. Temannya itu membungkuk untuk
mengatakan sesuatu kepadanya. "Tentang piramida nanti!" seru
Kimmy. Corky menatapnya sambil tersenyum.
"Kalau gerakan itu sudah selesai dan kau sudah mau melompat,
kauhitung sampai tiga dulu, oke" Biar aku sempat mengambil posisi
untuk menangkapmu." "Oke, beres." Corky mengangguk. "Apakah aku melompat
terlalu cepat waktu latihan?"
"Aku cuma mau memastikan aku sudah siap," balas Kimmy
sambil meletakkan sebelah tangan ke pundak Corky. "Jadi hitung
sampai tiga, lalu lompat, dan aku akan menangkapmu."
"Thanks," ujar Corky. Kemudian ia menambahkan, "Aku
berterima kasih sekali, Kimmy. Atas semuanya."
Fear Street - Cheerleaders Musibah Kedua The Second Evil di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kimmy tidak mendengarnya. Ia telah bergeser untuk memberi
instruksi kepada Ronnie dan Heather.
Waktu turun minum tiba sebelum Corky menyadari.
Regu cheerleader tim tamu tampil lebih dulu. Mereka disertai
band sepuluh orang dan menampilkan tarian yang diselingi sorak-sorai
berirama rap. "Mereka bagus juga," Corky mendengar Megan berkata ketika
mereka menunggu di pinggir lapangan.
"Mereka lain," ia mendengar Heather menyahut. Jawaban
singkat itu tidak dimaksudkan sebagai pujian.
Beberapa menit setelah itu Corky mengikuti teman-temannya
ke tengah lapangan untuk memamerkan kebolehan mereka.
Jantungnya berdegup-degup.
Nomor-nomor awal berjalan dengan lancar. Tapi kemudian
Ronnie salah melompat dan mendarat dengan keras. Debra cepatcepat membantunya berdiri, dan nomor tersebut berlanjut terus. Selain
itu tak ada kesalahan lagi.
Penampilan kami cukup bagus, pikir Corky dengan riang.
Sekonyong-konyong ia bertanya dalam hati apakah orangtuanya
berada di antara penonton di tribun. Mereka memang sempat
menyinggung bahwa mau datang dan mengajak Sean.
Moga-moga mereka jadi datang, pikir Corky. Moga-moga
mereka melihat semuanya berjalan dengan baik.
Dan kemudian tibalah waktunya untuk menyusun piramida,
nomor penutup yang ditunggu-tunggu.
Semua penonton menunggu sambil berbisik-bisik ketika dua
anggota regu cheerleader naik ke pundak rekan-rekan mereka.
Corky menyilangkan jari sejenak, lalu menarik napas panjang
dan mulai memanjat. Naik, naik. Kemudian ia sampai di atas, dan piramida mereka terbentuk
dengan sempurna. Tanpa cela. Dan para penonton bertepuk tangan dengan gegap gempita.
Corky tersenyum dan merentangkan tangan.
Ketika ia memandang ke puncak tribun, gedung olahraga itu
mulai berpusing-pusing. Seluruh ruangan mulai bergerak melingkar
dengan kencang, bagaikan komedi putar yang lepas kendali.
Corky berseru tertahan. Ia merasakan lututnya mulai gemetaran.
"Ada apa ini?" Ia seolah-olah diselubungi cahaya, warna, dan suara.
"Tidak! Stop!" Ia memejamkan mata sambil berusaha menjaga keseimbangan.
Ketika ia membuka mata lagi, gedung olah-raga itu masih
berputar-putar. Tiba-tiba ia melihat wajah-wajah, ketika tribun penonton
tampak di hadapannya. Ia melihat seorang bocah berambut merah.
Jelas sekali. Ruangan kembali berputar. Cahaya yang menyelubunginya
semakin terang, menyilaukan. Merah, kuning, dan putih.
Ia melihat seorang pria dengan syal merah terlilit di leher yang
duduk di tepi lapangan. Dan ruangan kembali berputar.
Ia seolah-olah dikepung oleh sorak-sorai yang terasa mencekik
ketika gedung olahraga yang terang-benderang berputar semakin
cepat. Dan kemudian semuanya berhenti.
Dan ia melihat Sarah Beth Plummer berdiri di depan pintu
utama. Sarah Beth Plummer. Kenapa dia ada di sini"
Aku harus turun, pikir Corky. Keringat dingin mengalir di
keningnya, dan lututnya gemetaran. Aku harus turun.
Corky mengalihkan pandangannya ke lantai dan melihat
Kimmy. Temannya itu sudah siap. Ia sudah mengambil posisi"
menunggu. Menganggukkan kepala untuk meyakinkan Corky.
Corky menarik napas panjang.
Kakinya terasa lemas bagaikan karet. Ia membungkuk sedikit,
mengambil ancang-ancang. Lalu melompat. Kimmy meringis dengan ngeri.
Ia tidak bergerak untuk menangkap Corky. Ia tidak mengangkat
tangan. Dan Corky terempas ke lantai!
Bab 21 Tidak Baik-baik Saja SUASANANYA sunyi ketika Corky membuka mata.
Sunyi dan serba putih. Seluruh gedung olahraga diliputi keheningan.
Beberapa wajah muncul dan perlahan-lahan menjadi lebih jelas,
wajah-wajah yang kabur, berbayang-bayang.
"Aku tidak bisa bergerak!" ia mendengar sebuah suara memekik
di sekitarnya. "Aku tidak bisa bergerak! Aku tidak bisa mengangkat
tangan!" Itu suara Kimmy. Corky menyadari bahwa ia terbaring dalam posisi telentang,
dengan pandangan terarah ke langit-langit.
Rasa nyeri menghantam seluruh tubuhnya bagaikan sungai yang
sedang mengamuk. Miss Green menatapnya dari atas. Roman mukanya tampak
tegang karena cemas. Corky mengenali beberapa wajah lain.
Wajah Ronnie kelihatan pucat. Ia berlinangan air mata.
Debra berdiri di sampingnya. Matanya yang biru terbelalak
lebar. Bibirnya terkunci rapat-rapat karena ngeri.
Corky mendengar Kimmy menangis terisak-isak.
Semuanya terasa begitu dingin. Begitu dingin dan hening. Dan
rasa sakitnya hampir tak tertahankan.
"Aku hendak menangkapnya," ia mendengar Kimmy
menjelaskan kepada seseorang. Suaranya melengking dan bergetar.
"Aku berusaha menangkapnya. Tapi ada sesuatu yang menahan
tanganku!" Persis seperti yang dikatakan Bobbi, pikir Corky.
Wajah-wajah di sekelilingnya menjadi gelap kembali.
Kakakku mengalami hal yang sama, Corky menyadari.
Sesuatu menahan tangan Bobbi. Sesuatu membuatnya lumpuh.
Tapi tak ada yang mau percaya padanya.
Aku percaya, Bobbi. Aku percaya.
Sebab aku tahu siapa yang bertanggung jawab. Aku tahu siapa
yang melakukannya. Si roh jahat. Roh jahat itu ada di sini.
Di dalam gedung olahraga.
Tapi di mana" Dia mencoba membunuhku. Dan kemudian sebuah pikiran yang mengerikan menyelinap ke
dalam benak Corky, barangkali dia berhasil membunuhku.
Wajah-wajah itu semakin gelap.
Ia mendengar Kimmy terisak-isak.
Dan kemudian ia ditelan oleh kegelapan.
************************ Ketika Corky membuka mata, ia melihat wajah lain di
hadapannya. "Mom!" Suaranya terdengar serak.
Mrs. Corcoran menatap Corky sambil tersenyum lembut.
Matanya berkaca-kaca. "Kau akan baik-baik saja," ia berkata sambil
menempelkan tangannya yang sejuk ke kening Corky.
Corky mencoba duduk, tapi rasa sakit yang menusuk-nusuk
memaksanya tetap berbaring. "Di mana aku?"
"Di rumah sakit," jawab ibunya. Senyumnya seakan-akan
terpatri ke wajahnya"tidak berubah, bahkan saat ia berbicara. "Di
ruang gawat darurat." Ia menyeka sebelah matanya dengan tisu yang
telah diremas-remas. Ruangan tempat Corky berada mulai terlihat jelas. Sebenarnya,
Corky menyadari, bukan ruangan, melainkan petak kecil yang dibatasi
tirai-tirai kelabu. "Kau akan baik-baik saja," Mrs. Corcoran mengulangi, sambil
tetap memaksakan senyum. Tidak, aku tidak baik-baik saja, pikir Corky dengan muram.
"Salah satu tulang rusukmu retak. Dan tanganmu patah. Cuma
itu," ia diberitahu oleh ibunya.
Jadi roh jahat itu tidak berhasil membunuhku, Corky berkata
dalam hati. Pandangannya beralih pada tirai-tirai kelabu di
sekelilingnya. Dia tidak berhasil membunuhku. Kali ini.
Tapi lain kali... "Dad sedang mengisi beberapa formulir di luar," ujar Mrs.
Corcoran. "Kita bisa langsung pulang kalau sudah selesai. Bagus, kan"
Kau akan baik-baik saja."
Corky memaksakan senyum. Aku takkan baik-baik saja,
pikirnya. Aku takkan pernah baik-baik saja.
Roh jahat itu telah membunuh Bobbi.
Dan malam ini dia berada di gedung olahraga. Malam ini dia
berusaha membunuhku. Aku tidak baik-baik saja.
Seorang dokter muda berambut gelap dengan jas putih muncul
tiba-tiba. "Kau bisa duduk?" ia bertanya sambil tersenyum. "Gips-mu
perlu diperiksa sekali lagi."
Sambil menahan pundak Corky, ia membantunya duduk tegak
di tempat tidur. Di luar dugaan Corky, lengan kirinya ternyata
dibungkus gips tebal putih.
"Kalau aku jadi kau, aku takkan melakukan salto ke belakang
lagi"paling tidak untuk sementara," dokter muda itu bergurau.
************************ "Sean, kenapa kau belum tidur?" tanya Mrs. Corcoran jengkel.
Adik Corky itu, yang telah mengenakan piama ketika
menyambut mereka di pintu masuk, cuma angkat bahu.
"Dia tidak mau naik ke kamarnya," ujar Mrs. Barnaby, tetangga
mereka yang diminta menjaga Sean selama Mr. dan Mrs. Corcoran
menjemput Bobbi dari rumah sakit. "Dia bilang mau melihat gips di
lengan Corky dulu." "Kalau begitu mundur dulu dari pintu, supaya kakakmu bisa
masuk," seru Mr. Corcoran.
Sean membelalakkan mata ketika melihat gips yang membalut
lengan Corky. "Wow! Boleh kupegang?"
Corky menyodorkan gipsnya ke hadapan Sean. "Pegang saja,
kalau itu bisa membuatmu senang."
"Tunggu dulu," kata Sean dengan riang. "Aku mau kasih tanda
tangan. Gips harus ditandatangani, ya, kan?"
"Besok saja!" ibu mereka memohon.
"Corky harus beristirahat dulu," ujar Mr. Corcoran. "Jangan
ganggu dia terus." "Aku boleh tulis pesan, ya?" tanya Sean, yang seperti biasa
tidak menggubris orangtuanya. "Pesan yang konyol."
"Besok saja," balas Corky. "Sekarang ini aku masih lemas
sekali." Sean cemberut, tapi langsung mundur.
"Tadi ada dua telepon untukmu," Mrs. Barnaby memberitahu
Corky sambil mengenakan mantel dan melilitkan syal pada leher.
"Yang pertama dari Debra, yang satu lagi dari Ronnie. Saya bilang
kau masih di rumah sakit."
"Terima kasih," kata Corky dengan letih. "Besok saja saya
telepon mereka." Mrs. Barnaby mengucapkan selamat malam lalu pulang.
Sean masih berkeras selama beberapa saat. Tapi akhirnya ia
membiarkan ayahnya mengantarnya ke kamar. "Besok aku akan
menulis sesuatu yang benar-benar konyol di gipsmu," ia
memperingatkan Corky. "Thanks. Aku sudah tak sabar," jawab kakaknya singkat.
"Aku akan menyiapkan air panas untukmu," kata Mrs. Corcoran
kepada Corky. "Dokter bilang itu baik untuk mengendurkan ototototmu yang tegang."
Corky angkat bahu. "Oke, boleh juga."
Aku baru diserang oleh kekuatan jahat, dan Mom pikir mandi
air panas bisa membantu, gerutunya dalam hati.
"Tapi hati-hati, jangan sampai gipsmu basah," ibunya
mengingatkan. "Kuusahakan," gumam Corky.
Ia mengikuti ibunya ke atas. Setelah masuk ke kamarnya, ia
duduk dengan hati-hati di pinggir tempat tidur.
Rusuknya nyeri. Lengannya pun terasa berdenyut-denyut di
balik gips. Aku tidak bisa mengerjakan apa-apa, ia menyadari sambil
mendesah. Aku bahkan tidak bisa buka baju sendiri.
Ia mendengar suara air di kamar mandi di seberang selasar.
Beberapa detik kemudian ibunya muncul di pintu. "Biar Mom
membantumu buka baju."
Corky sebenarnya malu, tapi ia terlalu letih untuk memprotes.
Ibunya membungkus tubuhnya dengan kimono, lalu membantunya
mengikatkan sabuk. "Ini takkan mudah," ia berkata kepada putrinya.
"Tapi kita pasti bisa mengatasinya."
Corky hanya mendesah dan menuju ke kamar mandi.
"Kau mau dibantu masuk ke bath tub?" tanya Mrs. Corcoran.
"Kau harus berhati-hati sekali."
"Tidak, terima kasih," jawab Corky. "Aku bisa sendiri kok."
Ia masuk ke kamar mandi dan menutup pintu. Ruangannya
hangat dan beruap. Uap itu seakan-akan memijat pelipisnya.
Corky membungkuk dan mematikan keran air dengan tangan
kiri. "Mulai sekarang namaku diganti 'si Kidal' saja," ia berkata
kepada dirinya sendiri. Ia menatap air panas di dalam bath tub. Kelihatannya
mengundang sekali. Semua otot di tubuhnya terasa pegal.
Pasti nyaman, katanya dalam hati.
Ia baru mulai membuka kimono ketika menyadari bahwa ada
orang berdiri di belakangnya. Cepat-cepat ia berbalik.
Mula-mula ia mengenali seragam cheerleader yang berwarna
merah-putih. Kemudian ia melihat wajah gadis itu.
"Kimmy!" seru Corky heran. "Kenapa kau di sini?"
Bab 22 Waktunya Corky Mandi UAP putih mengepul-ngepul di sekeliling Kimmy. Matanya
yang gelap tampak seakan menyala.
"Aku mau menyingkirkanmu untuk selama-lamanya," ujarnya
dengan suara rendah dan parau.
Corky langsung mundur ke pintu kamar mandi. "Kimmy... apa"
Apa maksudmu" Jangan takut-takuti aku!"
Pipi Kimmy kelihatan merah padam. "Aku bukan Kimmy,"
katanya dengan suara yang aneh.
"Begini, Kimmy...," Corky mulai berkata. Tulang rusuknya
terasa nyeri. Begitu pula lengannya. "Aku capek sekali. Aku..."
"Kau tidak mau bekerja sama," tukas Kimmy sambil maju
Fear Street - Cheerleaders Musibah Kedua The Second Evil di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
selangkah. "Seharusnya kau mati"seperti kakakmu."
"Hei, tunggu dulu!" seru Corky. "Kimmy..."
"Aku bukan Kimmy!" kata gadis itu dengan nada mengejek.
Kemudian ia menggeram keras. "Akulah yang paling kautakuti."
"Oh!" Corky berusaha memekik. Ia mengangkat tangannya
yang sehat untuk menghalau sosok menakutkan di hadapannya.
Ia menyadari teka-tekinya sudah terjawab. Begitu ngerinya dia
sehingga tak dapat bergerak, tak sanggup berseru minta tolong, tak
mampu mengalihkan pandangan dari gadis yang menghampirinya.
Teka-tekinya telah terjawab.
Penyamaran si roh jahat telah terbuka.
Ia bersembunyi di dalam tubuh Kimmy.
"Di mana Kimmy?" Corky bertanya setelah bisa bersuara lagi.
"Apa yang kaulakukan pada Kimmy" Kau membunuhnya?"
Mula-mula makhluk itu tidak menyahut. Matanya yang gelap
mendadak kelihatan merah, lalu membara seperti api. Rambutnya"
rambut Kimmy yang hitam"terangkat sendiri dan menari-nari
bagaikan lidah api. Suara yang rendah dan parau itu berkata, "Aku sudah berada di
dalam tubuh Kimmy sejak malam itu. Malam di pemakaman itu.
Malam ketika kau menyangka kau berhasil memaksaku kembali ke
liang kuburku!" Dengan ngeri Corky menatap mata dan rambut makhluk itu.
"Kaupikir kau sudah mengalahkanku," lanjut si roh jahat. "Hah,
dasar congkak. Ronnie juga ada di sana. Debra juga. Dan Kimmy,
Kimmy yang beruntung."
"Kau pindah dari tubuh Jennifer ke tubuh Kimmy," bisik Corky.
Kakinya terasa lemas, dan ia harus menyandarkan punggung ke pintu
kamar mandi. Mata Kimmy menyala semakin terang, begitu terang sehingga
Corky terpaksa berpaling. "Kenapa?" ia bertanya. "Kenapa ini
kaulakukan" Kenapa kaubunuh Chip dan Jon" Kenapa kau berusaha
membunuhku?" "Musuh-musuh Kimmy juga musuh-musuhku," sahut suara itu.
"Aku membunuh Chip karena dia mencampakkan Kimmy dan
menyukaimu. Dan Jon mengikutiku ke mana-mana. Dia hampir
mengacaukan semuanya. Aku menyadari itu waktu aku melihatnya
bersama Sarah Beth Plummer." Makhluk itu terdiam dan
memicingkan mata. "Dan sekarang dia sudah pergi."
"Tapi kenapa kau harus membunuhku?" tanya Corky dengan
suara melengking yang tak dikenalinya.
"Aku harus membalas dendam atas perbuatanmu di kuburan
malam itu. Kau berusaha menghancurkanku. Sekarang kau yang akan
dibinasakan." "Tidak!" teriak Corky. Ia meraih pegangan pintu.
Tapi pintunya tidak bisa dibuka.
"Waktunya mandi," suara itu mengumumkan. "Rupanya kau
sudah menyiapkan air panas. Sekarang, Corky sayang, kau bisa mati
seperti kakakmu." Dengan tenaga yang luar biasa besar Kimmy menjambak
rambut Corky, menariknya ke bath tub, dan mulai mendorong
kepalanya ke dalam air yang panas.
Bab 23 Hanyut Terbawa Air "OHH!" Corky berusaha melawan ketika Kimmy menekan
kepalanya ke bath tub yang berisi air panas.
Tapi Kimmy terlalu kuat. Permukaan air yang mengepul-ngepul itu seakan-akan naik
untuk menyambut Corky. Aku bakal tenggelam, Corky menyadari.
Aku akan mati. Ia memejamkan mata ketika wajahnya masuk ke air.
Begitu panas. Ia menahan napas. Menggeliat-geliut. Berjuang mengangkat
kepala. Kimmy menekan dengan tenaga yang luar biasa.
Semakin dalam. Corky merasakan air mengalir ke telinganya.
Membasahi rambutnya. Aku akan mati. Kali ini aku akan mati. Berbagai bayangan muncul dalam benaknya. Wajah-wajah.
Semua temannya. Orang-orang yang tak dikenalnya.
Dadanya seperti mau pecah.
Aku tak sanggup menahan napas lebih lama lagi. Paru-paruku
sudah mau meledak. Semakin banyak bayangan berkecamuk. Wajah demi wajah
silih berganti. Ia melihat keluarganya. Ia melihat Sean. Sean
bertampang sedih. Ia takkan bisa menandatangani gipsku, Corky berkata dalam
hati. Kalau Sean bangun besok, aku sudah mati.
Mati, mati, mati. Dan Sean akan sendirian. Tidak! Sebuah suara berteriak di dalam kepalanya.
Tidak"aku tidak boleh membiarkan ini terjadi! Roh jahat itu
tidak boleh dibiarkan menang.
Ketakutannya berubah menjadi kemarahan, dan dengan
mengerahkan segenap tenaga, Corky mengayunkan lengannya yang
terbalut gips. "Oh!" Kimmy mengerang ketika gips yang berat itu
menghantam kepalanya. Ia sempat terhuyung-huyung, dan matanya meredup sampai
menjadi hitam. Corky langsung menegakkan badan. Kepalanya basah kuyup. Ia
menyambar rambut Kimmy dengan tangan kiri, menarik kepalanya ke
bawah"dan menekan wajah Kimmy ke air yang panas.
Semakin dalam. Semakin dalam. Sampai seluruh kepala Kimmy
terbenam ke air. Kimmy meronta-ronta untuk membebaskan diri. Ia mengayunayunkan tangan, menendang-nendang. Berjuang mati-matian untuk
mengangkat kepala. Rasa nyeri menjalar ke seluruh tubuh Corky. Napasnya
tersengal-sengal. Meski demikian ia terus menekan kepala Kimmy
dengan segenap berat badannya.
Kimmy terus meronta-ronta.
Ia mendorong dengan kekuatan yang melebihi kekuatan
manusia, dan berusaha mengangkat kepalanya dari air.
"Tenggelam kau! Tenggelam!" kata Corky tanpa sadar.
"Tenggelam! Tenggelam!"
Dan kemudian Kimmy membuka mulut lebar-lebar.
Angin kencang berembus dari mulutnya.
Ke dalam air. Angin yang begitu panas sehingga membuat airnya mendidih
seketika. Dan Corky tetap menekan. Ia menekan kepala Kimmy kembali
ke bawah, sehingga angin yang keluar dari mulut gadis itu
menyebabkan air mendidih di dalam bath tub bergolak dengan hebat.
Ruangan kecil itu dipenuhi uap. Awan putih dan panas naik dari
bath tub. Corky mulai sulit bernapas.
Aku tidak bisa melihat, ia menyadari. Awan ini lebih pekat
daripada kabut. Tangannya sendiri pun tak kelihatan. Ia tak lagi bisa melihat
kepala yang ditekannya ke dalam air.
Uap putih itu semakin menebal.
Corky seperti tercekik. Ia sampai megap-megap untuk menarik
napas. Namun ia tetap menekan. Ia menekan kepala Kimmy di tengah amukan angin, ke air yang
mendidih. Aku tak bisa bernapas, katanya dalam hati. Aku bakal mati
lemas dalam awan panas ini.
Mati lemas... seperti Bobbi.
Tapi ia terus bertahan. Terus menekan. Menekan dengan sisa
kekuatannya, tanpa menggubris rasa nyeri, menekan kepala itu ke
dalam air yang mendidih. Awan uap mulai menipis. Corky mulai bisa melihat lagi.
Kimmy mengerang keras di dalam air.
Cairan hijau yang menjijikkan mengalir dari mulutnya. Baunya
sampai keluar dari air yang bergolak.
Corky terbatuk-batuk. Ia berusaha menahan napas.
Cairan hijau kental itu terus mengalir dari mulut Kimmy,
memanjang bagaikan ular. Semakin panjang. Semakin panjang.
Melingkar di dasar bath tub. Semakin banyak keluar dari mulut
Kimmy yang terbuka lebar.
"Tenggelam! Tenggelam! Tenggelam! Ayo, tenggelam!" pekik
Corky. Sambil menahan kepala Kimmy dengan gipsnya, ia meraih ke
bawah dan membuka saluran air.
Ia mendengar bunyi air mengalir melalui lubang pembuangan.
Dan ia terbelalak tidak percaya ketika cairan hijau berbau busuk
itu ikut tersedot. Bab 24 Akhir dari MimpiBuruk"
KETIKA tersedot ke lubang pembuangan, cairan hijau kental
itu mengeluarkan bunyi yang semakin lama semakin keras. Bunyi
tersebut bergema di dalam kepala Corky, bergetar dengan hebat,
sampai dinding-dinding serasa ikut bergoyang.
Corky tetap menekan kepala Kimmy sampai seluruh air tersedot
habis. Ia terus menahan napas, berusaha menghalau bau menyengat
yang menusuk hidung. Awan putih yang naik dari bath tub menyelubunginya bagaikan
selimut panas dan basah. Sisa terakhir dari cairan hijau itu menghilang melalui lubang
pembuangan air. Corky memejamkan mata. Ketika membuka mata lagi, uap di
sekelilingnya sudah lenyap.
Suasana hening. Ia menatap bath tub di bawahnya.
Cairan hijau itu tak terlihat lagi.
Airnya pun sudah habis. Kimmy mengerang tertahan.
Corky mengendurkan tekanannya pada kepala Kimmy. Ia
menarik napas lega. "Hei!" seru Kimmy. Dengan suaranya sendiri, bukan dengan
suara parau si roh jahat.
"Hei!" Sambil membungkuk di atas bath tub, Kimmy
menggeleng-gelengkan kepala. Butir-butir air bercipratan ke segala
arah. Dengan waswas Corky melepaskan kepala Kimmy dan
menjauhi bath tub. Lengannya berdenyut-denyut di balik gips, dan
seluruh tubuhnya terasa nyeri.
Kimmy berbalik pelan-pelan. Ia mengedip-ngedipkan mata.
Kemudian ia menolakkan tubuhnya dari bath tub, bangkit sambil
tersengal-sengal. Ia menatap Corky seakan-akan tidak mengenalinya.
"Corky?" ia bertanya dengan bingung, lalu memandang
berkeliling. "Di mana aku" Kenapa aku di sini?"
Meski lelah, Corky berseru dengan gembira. "Kimmy, ini
benar-benar kau?" Pertanyaan itu sepertinya membuat Kimmy semakin bingung.
Corky mengulurkan tangan. "Kimmy, ternyata memang kau." Ia
membantu Kimmy berdiri. Kimmy berpegangan pada tepi wastafel untuk menjaga
keseimbangan. "Tapi bagaimana..." Aku... aku tidak mengerti." Tibatiba ia mengangkat kedua tangannya dan memegang rambutnya.
"Aku... aku basah. Aku tidak..."
"Tenang," ujar Corky lembut. "Ayo, kita keluar dulu dari sini.
Kita ke bawah, dan..."
"Tapi bagaimana aku bisa sampai di sini?" tanya Kimmy. "Tadi
aku masih di Pemakaman Fear Street. Kau sedang bergulat dengan
Jennifer. Di depan liang kubur yang terbuka."
"Itu hal terakhir yang kauingat?" seru Corky. "Kimmy, itu
sudah berbulan-bulan yang lalu."
"Hah?" Kimmy menatap Corky sambil terbengong-bengong. Ia
masih memegang rambutnya yang basah dengan kedua tangannya.
"Berbulan-bulan yang lalu" Apa maksudmu?"
Corky hendak menjawab. Tapi sebelum ia sempat berkata apaapa, ia mendengar pintu kamar mandi digedor-gedor dari luar.
"Corky, kau tidak apa-apa?" ibunya me-manggil. "Ada apa di
dalam sana?" Corky membuka pintu. "Tidak ada apa-apa, Mom."
Mrs. Corcoran membelalakkan mata. "Kimmy, kenapa kau ada
di sini?" "Saya... saya tidak tahu," balas Kimmy, yang masih linglung.
"Kimmy tidak apa-apa," kata Corky kepada ibunya. "Dia tidak
apa-apa. Biarkan dia ke bawah dulu."
"Tapi dia basah kuyup!" seru Mrs. Corcoran dengan bingung.
"Dan kau juga."
Corky berhasil menenangkan ibunya. Mereka membantu
Kimmy menuruni tangga, lalu menggiringnya ke sofa di ruang duduk.
Kemudian Mrs. Corcoran pergi ke dapur dan menelepon orangtua
Kimmy agar mereka menjemputnya.
Setelah ibunya meninggalkan ruangan, Corky duduk di samping
Kimmy di sofa dan berbisik kepadanya, "Roh jahat itu. Dia sudah
pergi." Kimmy hendak mengatakan sesuatu, tapi Corky menggamit
lengan temannya itu untuk mencegahnya.
"Dengarkan aku. Roh jahat itu sudah pergi. Aku
menenggelamkannya. Sungguh, aku menenggelamkannya. Aku
melihatnya menghilang. Barangkali mimpi buruk ini sudah berakhir.
Mudah-mudahan untuk selama-lamanya."
********************* Beberapa jam kemudian Corky sudah berbaring di tempat tidur.
Ia memperhatikan bayangan-bayangan pada langit-langit. Tulang
rusuknya masih nyeri. Dan lengannya terasa berdenyut-denyut dan
gatal di balik gips. Dengan gelisah ia bergeser sedikit.
Kasihan Kimmy, katanya dalam hati. Ia begitu bingung. Kurasa
ia takkan pernah bisa percaya apa yang telah terjadi.
Corky berusaha membalikkan badan, tapi segera berubah
pikiran ketika rasa nyeri menusuk-nusuk dadanya. Ia kembali
telentang dan menarik selimut dengan tangannya yang sehat.
Apakah roh jahat itu benar-benar pergi untuk selama-lamanya"
tanyanya dalam hati. Apakah hidupku akan kembali normal"
Ya. Corky menjawab sendiri pertanyaannya. Ya. Ya. Ya.
Ia terus mengulang kata tersebut sampai akhirnya tertidur
dengan pulas. Keesokan harinya ia bangun siang. Jam di samping tempat
tidurnya menunjukkan pukul 11.15 ketika ia duduk, menguap, dan
merentangkan tangannya yang sehat.
Ia merasa sudah lebih baik sewaktu turun dari tempat tidur.
Masih agak lemah, tapi jauh lebih baik.
Ia menatap ke luar jendela. Langit tampak biru bersih.
Fear Street - Cheerleaders Musibah Kedua The Second Evil di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hari yang cerah, pikirnya sambil tersenyum.
Akhirnya! Hari yang cerah.
Mulai sekarang setiap hari akan secerah hari ini, ia berkata
dalam hati. Sambil tersenyum ia menatap bayangannya di cermin.
Oh, aku lapar sekali, ia menyadari. Ia menyibakkan rambutnya
ke belakang sebelum menggosok-gosok mata untuk mengusir rasa
kantuk. Masih dengan baju tidur ia turun ke dapur sambil bersenandung
kecil. "Yuhu, siapa yang ada di rumah?"
Tak ada jawaban. Ia mulai membuka lemari es, tapi berhenti ketika melihat
tumpukan surat di meja dapur. Ia memeriksa semuanya dan
menemukan sepucuk surat yang ditujukan kepadanya.
Alamatnya ditulis tangan dengan tinta biru muda. Nama dan
alamat si pengirim tidak dicantumkan.
Penuh rasa ingin tahu Corky membuka amplop itu dengan
tangannya yang sehat. Ia mengeluarkan selembar kertas terlipat yang
tampaknya seperti pesan. "Dari siapa, ya?" Corky bertanya pada dirinya sendiri.
Dan kemudian ia menahan napas dengan ngeri ketika membuka
kertas itu dan membaca isinya yang singkat:
DIA TIDAK BISA TENGGELAM. END
Bunga Dalam Lumpur 2 Dewi Sri Tanjung 1 Jasa Susu Harimau Pendekar Lembah Naga 20
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama