Fear Street - Ratu Pesta Dansa The Prom Queen Bagian 3
membawanya. Yang ada hanya kunci pintu depan.
Tiba-tiba aku mendengar bunyi menyerupai bunyi langkah di
dalam. Aku langsung menahan napas, dan pasang telinga. Tidak ada
apa-apa. Mungkin aku salah dengar.
Aku membalik dengan kaku, lalu keluar dari garasi.
Cahaya bulan membantuku menemukan jalan ke pintu depan.
Tapi semak-semak yang begitu dibanggakan ayahku, semak-semak
yang mengapit jalan setapak, kini tampak bagaikan monster-monster
yang siap menerkamku. Jangan mengada-ada, Lizzy, aku berkata da-lam hati. Namun
tanganku tetap gemetaran, sehingga aku kerepotan membuka pintu.
Begitu aku berada di dalam rumah, pintu langsung kukunci
kembali. Aku menyalakan lampu ruang depan, dan semua lampu lain
yang kulewati. Rumahnya memang kosong. Aku menarik napas dalam-dalam. Kemudian aku menoleh ke
meja di ruang depan. Tak ada surat dari Kevin. Aku belum membalas
suratnya yang terakhir. Tapi aku tetap gusar karena dia tidak
mengirim kabar. Kenapa justru pada saat aku membutuhkannya dia
tidak ada" Cokelat. Itulah alternatif terbaik yang terpikir olehku. Aku
segera menuju ke dapur untuk menjarah tempat penyimpanan rahasia
ibuku. Lampu dapur sudah menyala.
Dan di meja dapur aku melihat Justin.
"Kejutan!" katanya.
"Justin"bagaimana kau bisa masuk?" Tiba- tiba saja aku
dicekam rasa takut. Senyumnya tampak aneh sekali.
"Orangtuamu membukakan pintu untukku. Kaupikir aku masuk
seperti maling?" "Ke mana mereka?" aku bertanya, tanpa berani beranjak dari
ambang pintu. "Mereka ke bandara untuk menjemput bibimu."
"Bibiku?" Aku langsung curiga bahwa Justin bohong.
Hampir saja aku berbalik dan berlari ke luar rumah sambil
menjerit-jerit. Baru kemudian aku teringat bahwa hari itu hari Kamis.
Bibi Rena memang mau datang dari Dallas. Aku sama sekali lupa.
"Sori," aku berkata sambil menghela napas. "Aku"aku lagi
banyak pikiran." "Yeah, aku mengerti," Justin menyahut dengan nada
menenangkan. "Aku juga begitu."
Aku mengangguk, lalu membuka lemari es dan mengambil
Ring-Ding. "Mau?"
Sambil nyengir dia menunjuk piring di hadapannya. Dari
remah-remah yang tersisa, aku menyimpulkan bahwa dia telah
menghabiskan kue wortel buatan ibuku.
Senyumnya bertambah lebar. Matanya yang biru bersinar-sinar.
Meski masih dikuasai rasa takut, aku tak dapat menyangkal
bahwa dia memang tampan sekali. Justin memiliki sesuatu, yang oleh
Elana disebut "daya tarik magnet". Begitu melihat dia, kita langsung
terpikat. "Begini," dia berkata, "aku datang ke sini karena?"
"Jadi kedatanganmu bukan sekadar untuk melahap kue buatan
ibuku" Wah, dia bisa sakit hati kalau mendengarnya!"
Perasaanku sudah lebih enak. Aku ikut duduk di meja dapur,
berseberangan dengan Justin.
"Aku datang ke sini," dia mulai lagi, "karena Suki."
Aku mengerutkan kening dan menunggu penjelasan lebih
lanjut. "Aku minta kau tidak menceritakan apa-apa."
"Tentang apa?" "Bahwa aku dan dia nonton film bersama-sama."
Aku berpikir sejenak. "Memangnya kenapa?" aku bertanya
setelah menelan segenggam Ring-Ding.
"Masalahnya begini, aku tidak mau berkencan lagi dengannya,"
Justin menjelaskan. "Dan aku tidak ingin orang-orang tahu bahwa aku
sempat berkencan dengan dia lalu mencampakkannya. Sekarang saja
reputasi dia sudah buruk."
Aku geleng-geleng kepala. Tapi Justin tetap menatapku dengan
pandangan tak berdosa. "Sebenarnya, aku merasa kesepian tanpa Simone," dia berkata.
"Kesepian?" Rasanya kata itu kurang tepat kalau pacar kita baru
saja mati dibunuh. Justin berdiri. Dia mondar-mandir di dapur, memandang ke luar
jendela, lalu kembali dan berdiri di belakangku. Aku menggeser
kursiku ke samping, sehingga aku bisa menatapnya. "Ya, kesepian,"
dia menegaskan. "Hidupku terasa kosong tanpa Simone."
Justin menyentuh pipiku. Kemudian tangannya berpindah dan
membelai-belai tengkukku. Aku segera menjauh dan menatapnya
dengan curiga. "Ayolah, Lizzy," dia berkata dengan lembut. "Akui saja, kau
tertarik padaku." Aku mendengus. Dia tampak terkejut.
"Sori," ujarku, "tapi kelihatannya kau orang paling besar kepala
dalam sejarah Shadyside. Kenapa kau menyangka aku tertarik
padamu?" Justin membelalakkan mata. "Hmm, kalau begitu, kau cewek
pertama yang bersikap begitu."
Aku ikut berdiri dan bergerak menjauhinya. "Aku rasa kau tidak
biasa ditolak, ya?" "Terus terang?" Justin menegakkan badan" "tidak."
"Aku tahu," aku membenarkan. "Tak pernah ada yang
menolakmu, walaupun waktu itu kau masih pacaran dengan Simone."
"Apa maksudmu?"
"Kau pasti sudah tahu apa yang kumaksud. Kau berkencan
dengan teman-teman Simone, diam-diam, tanpa sepengetahuan dia."
"Bohong." Hatiku mulai panas. "Jangan seenaknya menuduh orang
pembohong, Justin. Justru kau yang bohong. Kau berkencan dengan
Dawn. Kau berkencan dengan Rachel. Dengan Elana. Dan itu pun
pasti belum semuanya."
"Omong kosong," Justin menyangkal. Namun kini aku
menangkap kesan takut dalam sorot matanya.
"Kau bersama Elana pada hari Simone dibunuh," aku
melanjutkan. "Kau sendiri yang memberitahu polisi. Atau kau sudah
lupa?" "Memangnya kenapa?" balas Justin. "Itu tidak berarti bahwa
aku seorang pembunuh."
Aku menahan napas. "Aku tidak pernah menuduhmu sebagai
pembunuh," aku akhirnya berkata.
"Hmm... kalau begitu... apa tujuanmu sebenarnya?"
Dia kelihatan betul-betul bingung.
"Aku cuma tak habis pikir bahwa kau tega berbuat begitu
terhadap Simone," ujarku.
"Aku tidak mau bicara soal itu sekarang," kata Justin. Matanya
tampak menyala-nyala. "Dan kalau aku jadi kau, aku juga takkan
mengungkit-ungkit soal itu."
Dia berbalik dan pergi. Dan dia telah mengancamku.
Apa yang akan dilakukannya kalau aku tidak tutup mulut" aku
bertanya dalam hati. Seakan-akan sebagai jawaban, aku mendengar pintu depan
dibanting. *********************** Kelima calon ratu pesta dansa"termasuk Simone dan Rachel"
melenggak-lenggok di atas panggung dengan mengenakan gaun pesta
yang mewah. Semua gaun tampak sama. Semuanya berwarna merah
manyala. Kemudian kelima gadis itu berhenti sambil membelakangi
penonton. Mr. Sewali, Kepala Sekolah, berdiri di depan mikrofon. Di
tangan kirinya ada amplop kecil berwarna putih. Beliau didampingi
Lisa Blume, ketua OSIS Shadyside High, yang memegang mahkota
dan tongkat kebesaran sang ratu.
"Dan sekarang," Kepala Sekolah berkata, "pemenang ratu pesta
dansa Shadyside tahun ini..."
Mr. Sewali membuka amplopnya. Semua pengunjung pesta
berhenti berdansa dan menatap para calon ratu. Mr. Sewali juga. Tapi
apa yang dilihatnya begitu mengerikan, sehingga beliau tak sanggup
mengumumkan nama pemenangnya.
Di atas panggung, para calon membalik pelan-pelan, satu per
satu, untuk menghadap ke arah penonton.
Dan setiap kali terdengar jeritan-jeritan melengking.
Wajah-wajah kelima gadis itu telah membusuk. Rambut
semuanya penuh lumpur dan daun-daun mati. Sepertinya mereka
sudah berminggu-minggu terkubur dalam tanah basah.
Wajah Simone yang paling menyeramkan. Kulit dan daging di
pipinya telah mengelupas, sehingga tulang pipinya kelihatan jelas.
Hanya mata para ratu pesta dansa yang masih utuh. Dan
semuanya berwarna merah darah.
Wajah-wajah mengerikan. Dengan gaun-gaun indah.
Dengan langkah kaku kelima calon ratu berjalan ke arah
penonton. Semakin dekat. Semakin dekat.
Sampai bau bangkai mencekik semua orang di dalam
auditorium. Kelima gadis itu menengadah, sambil tertawa tanpa suara.
Dan di leher masing-masing terlihat puluhan belatung
menggeliat-geliut. Aku terbangun sambil menjerit.
Jeritanku begitu keras sehingga orangtuaku dan Bibi Rena ikut
terbangun. Ketiga-tiganya menyerbu ke kamarku, dan meski masih
terkantuk-kantuk, semuanya tampak cemas.
"Aduh, Sayang," ibuku berkata sambil duduk di tepi tempat
tidur, "kau bikin kaget saja."
"Kau cuma bermimpi buruk," ujar ayahku sambil membelaibelai kepalaku.
Itulah yang selalu dikatakannya sejak aku berumur empat tahun.
Aku tidak keberatan. Kalau suatu saat aku sendiri sudah punya anak,
aku pasti akan mengatakan hal yang sama kepada mereka.
Oh, kalau saja aku tidak dihantui mimpi buruk.
Kalau saja aku bisa tidur tanpa teringat pada teman-temanku
yang telah tiada, satu malam saja.
Orangtuaku dan Bibi Rena kembali ke kamar masing-masing.
Aku menatap langit-langit, berusaha menghapus bayangan para ratu
pesta dansa yang digerogoti belatung dari pikiranku.
Esok hari akan ada pertemuan di sekolah, dan aku harus
menyampaikan pidato dalam rangka pemilihan ratu pesta dansa. Aku
menyibukkan diri dengan mengingat-ingat kata-kata yang telah
kususun. Aku bermaksud bicara mengenai Rachel dan Simone.
"Kedua orang yang paling pantas dipilih tidak hadir hari ini,"
demikianlah aku ingin mengawali pidatoku. "Rachel West dan Simone
Perry." Tapi begitu aku mengucapkan nama mereka, wajah keduanya
kembali terbayang-bayang. Bukan wajah mereka yang sesungguhnya,
melainkan seperti yang kulihat dalam mimpiku.
Itu cuma mimpi, Lizzy, aku mengingatkan diriku.
Cuma mimpi. Lupakanlah. Lupakan saja.
Tapi kali ini ayahku keliru. Kali ini mimpi burukku bukan
sekadar mimpi buruk. Kali ini mimpi tersebut memang nyata.
BAB 17 "IDIH! Apa itu?" aku bertanya.
Aku sedang memperhatikan panci berisi makanan yang tak jelas
jenisnya. Aku mengenali butir-butiran jagung berwarna kuning,
potongan-potongan spageti, bubur kentang, daging hamburger
berminyak, kacang polong berwarna hijau pucat, serta sisa-sisa
makanan lain yang dihidangkan selama seminggu sebelumnya.
"Ini shepherd's pie," Mrs. Liston, petugas kantin sekolahku,
berkata tanpa berkedip. "Shepherd's pie, alias bubur purduk"bubur campur aduk,"
seseorang berkata dari belakangku. Rasanya aku kenal suara itu.
Aku menoleh. Ternyata Lucas.
Aku menggeser nampanku tanpa menanggapi kelakarnya. Aku
memang tidak seberapa lapar, apalagi kalau hidangannya seperti itu.
Lucas langsung mengikutiku. Makanan di piringnya mengepulngepul. "Ayo," katanya, "coba cicipi sedikit."
"Lucas, untuk terakhir kali, jangan ganggu aku."
"Atau?" dia bertanya dengan nada menantang.
"Atau mukamu akan kupermak sampai mirip dengan shepherd's
pie ini," aku menyahut. Hah, biar tahu rasa.
Aku membayar yoghurt dan salad yang kuambil, lalu mencari
meja kosong. Elana melambaikan tangan kepadaku. Dia duduk
bersama Dawn. Aku cuma mengangguk. Aku sedang tidak berminat
bergabung dengan mereka. Akhirnya aku menemukan tempat berseberangan dengan anak
kelas satu yang bertampang alim. Dia tampak terkejut waktu aku
duduk. "Tempat ini masih kosong?" aku bertanya padanya.
Dia tak sanggup menjawab.
"Syukurlah sekarang sudah hari Jumat," ujarku sambil mulai
melahap salad. "Yeah." Dia melirik ke ujung meja. Sejumlah anak kelas tiga sedang
memandang ke arah kami. Waktu aku kembali menatap anak di
seberangku, dia membusungkan dada sambil tersenyum bangga. Aku
mengedipkan mata. Selama sepuluh menit dia menyedot-nyedot kotak susu cokelat
yang sudah kosong, dan bercerita betapa dia membenci pelajaran
olahraga. "Guru itu mestinya dibunuh saja," dia berkata.
Aku mendesah. Ternyata anak kelas satu pun sudah mau jadi
pembunuh. "Terima kasih kau telah menghindari kami," sebuah suara
berkata ketika aku sedang menghabiskan yoghurtku. Aku menoleh
dan melihat Elana berdiri di belakangku. Roman mukanya kencang.
Tampaknya dia sama tegangnya dengan aku.
Aku berdiri dan berpamitan pada anak yang duduk di
seberangku. "Yeah, sampai besok," dia menyahut. Aku telah memperoleh
sekutu yang dapat diandalkan.
Elana tidak tersenyum. "Kau ada waktu sebentar" Aku perlu
bicara," dia berkata.
Waktu istirahat makan siang masih tersisa dua puluh menit.
Kami memutuskan untuk berbicara sambil berjalan-jalan.
Cuaca di luar cukup menyenangkan. Berkat hujan yang
mengguyur Shadyside, semuanya tampak segar dan hijau. Kawanan
burung berkicau-kicau, dan kumbang-kumbang terbang sambil
berdengung-dengung. Terasa sekali bahwa semuanya mulai hidup
Fear Street - Ratu Pesta Dansa The Prom Queen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lagi. Kami menuju ke Shadyside Park, yang terletak di belakang
sekolah. Baik Elana maupun aku lebih banyak diam.
Kami duduk di bangku taman yang baru saja dicat.
"Kau sudah siap untuk pertemuan nanti?" aku bertanya untuk
membuka percakapan. "Terus terang," balas Elana, "belakangan aku begitu banyak
pikiran, sampai aku tidak sempat memikirkannya lagi. Sepertinya aku
sudah tidak peduli lagi tentang itu."
Aku cuma mengangguk dan menunggu dia melanjutkan katakatanya.
Akhirnya Elana berkata, "Perasaanku tidak keruan," lalu
terdiam kembali. Aku menatapnya. Dia mengenakan sweter berwarna biru-putih,
celana biru, serta kalung emas yang pasti emas asli. Rambutnya diikat
ke belakang. Pipinya dipoles tipis dengan apricot blush.
Bisa jadi perasaannya tidak keruan, tapi yang jelas, itu tidak
menghalanginya untuk memperhatikan penampilan, pikirku dengan
sinis. Namun kemudian aku sadar bahwa aku terlalu keras
terhadapnya. Elana memang kelihatan sedih. "Aku merasa bersalah
sekali," katanya sambil mendesah.
"Kenapa?" Elana menatapku seakan-akan tidak percaya aku tidak tahu.
"Karena berkencan dengan Gideon," jawabnya. "Karena aku
menyebabkan dia dan Rachel putus."
Aku mengalihkan pandangan. Aku memang menganggap Elana
bersalah dalam hal itu, tapi pendapatku itu tidak perlu diungkapkan
saat itu. "Sebenarnya aku tidak berniat begitu," dia memberitahuku.
"Tapi Gideon selalu mengejar-ngejarku. Dia bilang, dia menyukaiku
dan bahwa dia dan Rachel memang sudah ditakdirkan untuk berteman
biasa saja." Elana kembali menatapku. Sepertinya dia berharap bahwa aku
akan membenarkan ceritanya. Tapi aku tidak sanggup memenuhi
harapannya itu. "Aku bahkan tidak sempat minta maaf sebelum dia mati," Elana
melanjutkan. "Aku" aku menyesal sekali. Aku selalu memikirkan
soal itu." Matanya mulai berkaca-kaca. Seumur hidup aku belum pernah
melihat Elana menangis. Tiba-tiba aku merasa kasihan padanya, dan
merangkulnya. "Hei," kataku. "Apa yang terjadi dengan Rachel bukan
salahmu. Jangan berpikir begitu, Elana."
Elana menatapku sambil tersenyum, lalu mengusap hidung
dengan punggung tangan. "Terima kasih," dia berbisik.
"Oh, ya... apakah Gideon pernah menyinggung kontes ratu
pesta dansa?" aku bertanya padanya.
Elana tampak heran. "Tidak. Atau mungkin juga. Kenapa?"
"Aku cuma ingin tahu saja. Keluarganya kan hampir sama
miskinnya dengan keluarga Rachel."
"Jadi?" Aku mempertimbangkan apakah aku perlu mengutarakan
kecurigaanku pada Elana. "Aku senang bahwa kita bisa sepakat untuk meneruskan kontes
ini," dia berkata. Pagi sebelumnya, kami bertiga"aku, Elana, dan Dawn"
sempat dipanggil Mr. Sewali. Dia ingin tahu apakah kami masih ingin
meneruskan kontes. Dawn menjawab, Simone dan Rachel pasti tidak
ingin kami membatalkan acara tersebut, dan Elana dan aku sependapat
dengannya. "Kau sudah menyiapkan baju?" tanya Elana, sambil
memperhatikan burung yang sedang menarik cacing dari lubang di
tanah. "Belum." "Semalam orangtuaku bilang aku harus pulang jam sebelas
seusai pesta." "Jam sebelas?" Dia cuma menggeleng-gelengkan kepala.
"Pesta ini ternyata tidak seperti yang kita bayangkan," aku
berkomentar. "Tracy Simon malah mengundurkan diri dari panitia pesta
dansa. Tadinya dia bertugas mengatur dekorasi Halsey Manor, tapi dia
tidak berani pergi ke hutan Fear Street."
"Aku sih maklum saja," ujarku. "Aku sendiri tidak terlalu
berminat pergi ke sana."
Elana menatap tangannya. "Kau sependapat dengan Dawn?" dia
bertanya pelan-pelan. "Tentang apa?" "Bahwa ada orang yang mau membunuh semua calon ratu pesta
dansa?" Aku menggigit-gigit bibir. "Entahlah. Mungkin saja."
Pandangan Elana menerawang. Dia selalu menutup diri seperti
itu kalau sedang merasa takut. Tiba-tiba dia mengembangkan senyum
"senyum lebar yang jelas-jelas dipaksakan" dan meregangkan ototototnya. "Kau tahu siapa teman kencanku untuk pesta dansa nanti"
Bruce Chadwin." Aku tahu bahwa Elana berusaha mengalihkan pembicaraan.
Dan aku tidak keberatan. "Bruce?" aku bertanya sambil melongo. "Dia
mengajakmu?" "He-eh." "Dawn pasti takkan senang."
"Aku tahu." Dia angkat bahu. "Apa pun yang kulakukan, selalu
saja ada orang yang tidak senang. Tapi bagaimana lagi dong" Bruce
mengajakku"bukan Dawn. Lagi pula, pilihannya untuk teman kencan
tidak terlalu luas. Oh, ngomong-ngomong soal teman ken?can..."
"Ayah Kevin tetap tidak mengizinkan dia datang ke sini,"
kataku. "Kelihatannya aku bakal pergi dengan sepupuku, Seth"yang
tinggal di Waynesbridge itu. Dia bilang dia mau menemaniku karena
kasihan padaku. Terlalu, ya" Tapi itu sebenarnya tidak apa-apa. Yang
membuatku senewen adalah pidatoku nanti sore. Barangkali kau bisa
membantuku" Aku selalu gugup sekali kalau harus berbicara di
hadapan orang banyak."
Itu memang benar. Lidahku mendadak kaku kalau harus
berpidato. Aku pernah membaca sebuah laporan survei yang
mengatakan bahwa bagi banyak orang, berbicara di depan umum lebih
menakutkan daripada kematian. Keadaanku belum separah itu, tapi
aku tetap enggan tampil di depan umum kalau tidak karena terpaksa.
Sepanjang sore aku sibuk memikirkan pidatoku. Tapi ketika
tiba giliranku untuk naik ke mimbar, semuanya ternyata berjalan
lancar. Semua calon disambut dengan meriah, dan ketika Elana selesai
menjelaskan alasan kami memutuskan untuk melanjutkan kontes,
hadirin segera berdiri dan bertepuk tangan untuk kami bertiga.
Aku langsung pulang seusai pertemuan, lalu makan malam
bersama orangtuaku dan Bibi Rena. Setelah itu, aku kembali ke
sekolah untuk mengikuti latihan sandiwara. Aku ingin tiba lebih dulu
dari yang lain karena ada masalah yang perlu kubereskan. Setiap kali
kuturunkan latar belakang bergambar rumah sang Kapten, latar
belakang tersebut macet sebelum sampai di bawah.
Pertunjukan perdana tinggal seminggu lagi, dan Robbie mulai
kehilangan rasa humornya. Terus terang, aku sedang tidak berminat
dibentak-bentak, jadi masalah itu ingin kuatasi sebelum dia datang.
Hanya berapa mobil saja tampak di pelataran parkir ketika aku
tiba. Lorong-lorong di sekolah pun lengang dan sunyi. Setiap kali aku
melewati locker yang terbuka, aku segera membanting pintunya. Aku
ingin membuat suasana segaduh mungkin.
Aku menarik napas dalam-dalam. Bau yang tercium telah
kukenal betul"campuran bau obat gosok lantai, keringat, selai
kacang, dan susu asam. Bagaimana mungkin terjadi sesuatu yang
buruk di sini" Kemudian aku membelok dan nyaris bertabrakan dengan Mr.
Santucci, yang sedang membersihkan lantai.
"Mau menakut-nakuti saya lagi, ya?" dia berkata. Dia tidak
tersenyum ketika mengucapkan kata-kata itu.
Auditorium sekolah bisa dibilang gelap gulita. Siapa yang
menarik gorden-gorden tebal sehingga semua jendela tertutup rapat"
Mr. Santucci, mestinya. Aku menyusuri gang di tengah, gang yang kulewati tadi sore
ketika hendak menyampaikan pidatoku. Tapi tadi ruangannya penuh
sesak, terang, dan gaduh.
Kini suasananya menyeramkan. Dan tiba-tiba aku merasa
seakan-akan aku tidak sendirian.
Aku menaiki tangga ke panggung. Tirainya juga tertutup,
sehingga aku terpaksa meraba-raba mencari jalan ke bagian samping
panggung. Aku berjalan pelan-pelan agar tidak tersandung.
Apa jadinya kalau aku berhasil mengelak dari pembunuh sinting
yang mengincarku, tapi kemudian tersandung dan mati karena patah
leher" Aku menemukan panil lampu, dan menyalakan lampu-lampu
satu per satu. Aku tahu bahwa lampu-lampu itu membanjiri panggung dengan
cahaya terang-benderang. Kemudian aku berbalik. Dan mulai menjerit. BAB 18 SAMBIL terus menjerit-jerit dengan sekuat tenaga, aku
bergegas ke panggung. Aku tidak bisa mengendalikan diri. Jeritanku
memantul dari dinding-dinding auditorium yang luas.
Ketika aku mendekati bagian tengah panggung, pemandangan
mengerikan itu semakin jelas. Elana tergeletak di tengah-tengah
panggung, dalam posisi tengkurap. Lengan kirinya terlipat secara
tidak wajar di bawah tubuhnya. Jari-jemari tangan kanannya terentang
lebar, seakan-akan hendak mencakar lantai. Percikan-percikan darah
terlihat sampai jarak beberapa meter.
Aku terus menjerit. Akhirnya pintu auditorium membuka dan
Mr. Santucci menyerbu masuk. Dia masih membawa tongkat pelnya.
"Panggil ambulans!" aku berseru padanya.
Dia menatapku dengan bingung. Aku berlari ke tepi panggung.
"Panggil ambulans! Cepat!"
Dia langsung menjatuhkan tongkatnya, membalik, dan bergegas
keluar. Aku masih berada di atas panggung, jongkok di samping tubuh
Elana yang tak bergerak, ketika para petugas ambulans muncul dua
menit kemudian. Mereka diikuti dua polisi.
Aku memperhatikan mereka berlari menyusuri gang tengah ke
arah panggung. Aku mendengar walkie-talkie mereka berkeresakkeresak. Saat itu aku sudah sadar mereka tidak perlu terburu-buru.
"Ya Tuhan," ujar seorang wanita berseragam putih yang paling
dulu menghampiriku. "Apa yang terjadi?" tanya polisi yang bertubuh jangkung
berambut merah sambil menaiki tangga ke panggung.
Dua petugas ambulans membalikkan tubuh Elana dengan hatihati.
Aku nyaris pingsan. Wajahnya hancur dan berlumuran darah. Persis seperti wajah
Elana yang kulihat dalam mimpi burukku.
Petugas ambulans pertama memeriksa nadi di leher Elana.
Kemudian dia menoleh ke arah kami. Wajahnya pucat. Dengan sedih
dia menggelengkan kepala.
"Sepertinya dia jatuh dari tempat yang tinggi," salah satu
petugas polisi berkomentar sambil mendongakkan kepala, lalu
menatapku. Aku mengenalinya. Dia Opsir Barnett. "Kau ada di sini
tadi" Kau melihat kejadiannya?" dia bertanya padaku.
"Tidak." Rekannya yang berambut merah menunjuk catwalk di atas.
"Mungkin dia jatuh dari situ."
Opsir Barnett membungkuk dan menggenggam pundakku.
"Kira-kira untuk apa dia naik ke sana?"
"Di atas sana ada gudang kecil untuk menyimpan
perlengkapan," aku memberitahunya. "Saya kadang-kadang bertugas
di sana. Bisa jadi dia"bisa jadi dia bermaksud mencari saya."
Opsir Barnett memanjat tangga untuk memeriksa gudang
perlengkapan. Aku tetap di panggung dan menjawab pertanyaanpertanyaan petugas polisi yang satu lagi.
Tubuh Elana telah dipindahkan ke tandu. Aku tidak mengerti
kenapa dia harus dibawa ke rumah sakit. Barangkali prosedurnya
memang begitu, biarpun korban telah meninggal dunia.
"Dia tidak jatuh," aku berkata kepada si petugas polisi berambut
merah. "Itu sudah pasti."
"Kenapa kau beranggapan begitu?"
Aku sadar aku tidak mempunyai bukti. Tapi bagiku semuanya
sudah jelas. "Pokoknya saya tahu," aku berkeras.
Dan kemudian aku melihatnya. Sesuatu yang dicengkeram oleh
tangan Elana. Tangan yang tampak seakan-akan hendak mencakar
lantai. Tangan Elana menggenggam sepotong kain satin berwarna
merah tua. *********************** "Jadi, kau sempat memperoleh kesan bahwa dia gelisah?" Opsir
Jackson bertanya. "Yeah. Bagaimana dia tidak gelisah?" aku menyahut. "Saya
gelisah. Dawn gelisah. Kami semua ketakutan setengah mati."
Ayahku merangkulku dengan erat. Dia duduk di sebelah kiriku
di sofa kami yang berwarna putih. Dawn duduk di sebelah kanan.
Opsir Jackson dan Opsir Barnett mengambil tempat berseberangan
dengan kami. Opsir Barnett sibuk mencatat semua keterangan yang
kuberikan. Saat itu sudah pukul sepuluh malam, dan acara tanya-jawab
telah berlangsung lebih dari satu jam. Rasa-rasanya sepanjang musim
semi ini aku terus berurusan dengan polisi.
Opsir Jackson berkata, "Tapi apakah dia kelihatan lebih gelisah
dari biasanya?" Aku menghela napas. "Ya!" aku berseru dengan gusar. Aku
tidak dapat menyembunyikan perasaanku. "Bagaimana dia bisa
tenang" Saya sendiri sampai tidak bisa tidur!"
"Seseorang berusaha membunuh semua calon ratu pesta dansa,"
Dawn berkata dengan sengit. "Itu kan sudah jelas!"
Dawn telah menceritakan teorinya kepada mereka. Opsir
Jackson menatapnya dengan tajam. "Kami menyelidiki setiap petunjuk
yang ada," katanya. "Waktu kami dicalonkan," Dawn melanjutkan, "saya benarbenar senang. Tapi sekarang kelihatannya kami dicalonkan untuk"
untuk mati! Masa Anda belum sadar juga?"
Opsir Jackson mengerutkan kening. "Saya mengharapkan kerja
sama kalian agar urusan ini bisa segera diselesaikan."
Opsir Barnett berdiri. "Maaf, Lizzy, ada beberapa pertanyaan
lagi yang harus kami ajukan. Kau orang terakhir yang melihat Rachel
dan Elana dalam keadaan hidup. Kami harus mendapatkan informasi
sebanyak mungkin." Dia berpaling kepada Dawn. "Sebelum latihan sandiwara di
sekolah, kau?" "Berlatih tenis," jawab Dawn.
"Dan terakhir kali kau melihat Elana adalah waktu pertemuan
sore hari?" "Ya." Opsir Barnett kembali berpaling kepadaku. "Soal jaket baseball
itu perlu kita bahas sekali lagi."
Fear Street - Ratu Pesta Dansa The Prom Queen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku memberitahunya segala sesuatu yang kuketahui. Entah
untuk keberapa kali, aku bercerita mengenai laki-laki yang kulihat
kabur ke hutan, laki-laki dengan jaket satin berwarna merah tua.
"Menurut saya, itu Lucas," aku menambahkan.
Opsir Jackson menutup buku catatannya dan berdiri. "Setelah
ini kami akan minta keterangan dari dia."
"Jadi siapa pelakunya menurut Anda?" tanya Dawn.
"Kami akan melacak setiap petunjuk," sahut Opsir Jackson,
tanpa memberikan jawaban tegas.
Dawn dan aku saling berpandangan. "Tidak bisakah Anda
memberitahu kami siapa yang Anda curigai?" Dawn bertanya dengan
suara meninggi. "Maksud saya, kami akan lebih aman kalau tahu
terhadap siapa kami perlu berhati-hati."
Opsir Jackson angkat bahu. "Sebaiknya kalian berjaga-jaga
terhadap segala kemungkinan," dia menyarankan. "Untuk sementara,
hanya itu yang bisa saya katakan."
Ayahku mengantarkan kedua petugas polisi ke pintu. Dawn ikut
berdiri, lalu meregangkan otot-ototnya. "Oke deh, aku juga mau
pulang dulu," ujarnya.
"Apa yang akan kaulakukan?" aku bertanya.
"Oh, aku cuma akan mengurung diri di dalam kamar, dan
menyiapkan senapan mesin. Seperti biasa."
Dia tersenyum kecut. Aku berusaha membalas senyumnya, tapi
tidak berhasil. "Sekarang tinggal kita," kata Dawn.
"Apa maksudmu?"
"Sebagai calon ratu pesta dansa."
Aku mengernyitkan dahi, lalu mengamati wajahnya untuk
melihat apakah dia serius. Ternyata ya.
"Kau masih juga memikirkan kontes itu" Tiga teman kita tewas
terbunuh, dan kau masih juga memikirkan siapa yang bakal menang?"
Dawn angkat bahu. "Oke, kau yang menang," kataku. "Aku mengundurkan diri.
Besok pagi aku akan memberitahu Mr. Sewali. Terus terang, aku
sudah tidak berminat jadi ratu pesta dansa. Lagi pula, pestanya mau
diadakan di mana" Di kamar jenazah Shadyside Hospital?"
Aku langsung berbalik. Sebenarnya aku ingin segera naik ke
kamar, tapi ternyata aku malah bertabrakan dengan ibuku.
"Hei, jangan terburu-buru," Ibu menegurku.
Tanpa sepatah kata pun aku melewatinya dan berlari menaiki
tangga. Aku masuk ke kamarku dan membanting pintu. Tapi aku tidak
semarah yang kuharapkan. Padahal sebetulnya aku ingin
melampiaskan kemarahanku pada Dawn, tapi tidak bisa.
Aku mendengar pintu depan menutup. Melalui jendela
kamarku, aku mengintip ke kegelapan di luar. Aku melihat Dawn
menuju ke mobilnya. Dia berjalan pelan-pelan, sambil menundukkan
kepala. Aku langsung menyesal karena tidak bisa mengendalikan
emosi tadi. Aku memperhatikannya sampai dia berangkat. Kemudian aku
tetap berdiri di jendela. Aku memperhatikan dahan-dahan berayunayun karena tiupan angin. Aku mendengarkan daun-daun berdesirdesir. Kalau memang ada orang di luar sana, dia bisa bersembunyi di
mana saja. Baru setelah duduk di tempat tidur, aku menyadari bahwa
kakiku gemetaran. Aku merasa gelisah sekali.
Aku berbaring untuk menenangkan diri. Setelah ini giliranku,
aku berkata dalam hati. Pikiran itu teramat menakutkan, tapi aku tak berhasil
mengusirnya dari benakku. Kata-kata itu sampai terngiang-ngiang di
telingaku: Giliranku... giliranku... giliranku...
Lalu ucapan Lucas: Aku menyukaimu. Aku betul-betul
menyukaimu. Dua puluh menit kemudian aku masih berbaring dengan mata
terbuka lebar, dihantui pikiran-pikiran mengerikan yang saling
menyusul. Dan kemudian pesawat telepon di meja di samping tempat tidur
berdering. Aku menatapnya dengan mata terbelalak, mendengarkan
deringannya dengan perasaan waswas bercampur ngeri.
Aku tidak berani mengangkat gagangnya.
BAB 19 "LIZZY?" "Yeah?" "Ini Justin." "Oh. Hai." "Hai." "Ada apa?" "Eh... ehm... aku, ehm?"
Sepertinya dia gugup. Kenapa dia harus gugup"
"Ada apa?" aku bertanya.
"Tidak ada apa-apa. Apakah aku bisa datang ke sana?"
"Datang ke sini?"
"Yeah." "Sekarang?" "Ehm, yeah." "Justin, sekarang sudah hampir pukul sebelas. Orangtuaku
sudah tidur." "Yeah, ehm, ini penting."
"Ada apa sih" Kau tidak apa-apa?"
"Oh, tidak ada apa-apa denganku."
"Kenapa kau tidak cerita lewat telepon saja?"
"Jangan," Justin langsung membalas. "Aku perlu ketemu
langsung denganmu. Oke?"
Kenapa sikapnya begitu misterius"
"Yeah, boleh juga deh...."
Sebenarnya aku merasa ada yang tidak beres, tapi aku tidak
tahu apa. "Oke. Aku akan datang lima belas menit lagi. Tapi, ehm, kalau
orangtuamu sudah tidur, ehm, mungkin lebih baik kalau aku tidak
tekan bel. Tolong tunggu aku di bawah, oke?"
"Oke." Tiba-tiba aku teringat sesuatu. "Justin?"
"Yeah?" "Aku tidak bisa menunggumu. Ayahku selalu menyalakan
alarm kalau sudah malam. Aku tidak bisa ke bawah."
"Pengamanan ketat, hmm?"
"Begitulah." "Hmm, kalau begitu," dia berkata, "matikan saja."
Lalu terdengar bunyi "klik", yang menandakan bahwa dia telah
meletakkan gagang telepon.
Panil kontrol utama untuk alarm kami berada di dinding selasar
di depan kamar orangtuaku. Aku melihat cahaya keluar dari celah di
bawah pintu mereka, namun tidak mendengar suara apa pun. Lampu
di ruang tidur tamu pun menyala, berarti Bibi Rena juga belum tidur.
Pada pegangan pintu orangtuaku ada tanda bertuliskan Alarm
Menyala. Dengan hati-hati aku menekan tombol-tombol untuk
memasukkan sandi pengamanan kami. Lampu LCD-nya yang
berwarna merah berkedip dua kali, lalu padam. Aku membalikkan
tanda tadi sehingga terbaca Alarm Mati.
Kemudian aku menuruni tangga sambil mengendap-endap.
Kira-kira dua puluh menit setelah itu wajah Justin muncul di
jendela depan. Dia mengenakan topi baseball Shadyside High
berwarna merah tua. Dia menunjuk ke pintu depan, dan aku segera
menuju ke sana. "Hai," Justin berbisik ketika aku membuka pintu. Dia cengarcengir tak menentu.
"Masuklah. Kita bicara di dalam saja."
Aku mengajaknya ke ruang baca dan menutup pintu. Justin
bersandar pada meja tulis ayahku sambil memasukkan ujung jari ke
saku celana jeansnya. Dia menyilangkan kaki. Lalu dia kembali
berdiri tegak. Lalu dia mengeluarkan tangan dari saku celana. Dia
kelihatan kikuk sekali. "Nah," dia berkata pelan-pelan, "kau sudah bicara dengan
polisi?" "Berjam-jam. Kau tidak perlu berbisik-bisik. Orangtuaku ada di
atas." "Bagus," dia menyahut, kali ini terlalu keras.
Ada apa sih dengan dia" Biasanya dia selalu tampil begitu
santai. Kini dia menatapku dengan tajam. Aku melihat butir-butir
keringat pada keningnya. "Sekarang ini memang banyak kejadian mengerikan," ujarnya.
"Kau pasti ketakutan, ya?"
"Memang." Untuk itukah dia datang malam-malam begini"
Pandanganku beralih ke tangannya. Dia pun menundukkan
kepala. Dia sedang menggenggam pisau pembuka amplop ayahku.
Pisau perak dengan gagang melengkung dan ujung yang tajam sekali.
Dia mulai mondar-mandir sambil memukul-mukul pisau itu ke telapak
tangannya. "Hmm," dia bergumam. "Jadi apa persisnya yang kauceritakan
kepada polisi?" "Segala sesuatu yang teringat olehku." Pandanganku melekat
pada pisau di tangannya. "Aku memberitahu mereka bahwa..."
Aku terdiam. "Apa?" Aku enggan mengatakannya.
"Apa, Lizzy?" Justin mendesak sambil menatapku dengan
tajam. Sebenarnya aku hendak berkata bahwa aku memberitahu polisi
mengenai potongan kain satin berwarna merah tua yang kutemukan
dalam genggaman Elana. Tapi akhirnya aku cuma berkata, "Apa
urusanmu?" Justin tertawa dengan gelisah. "Kau benar. Itu bukan urusanku."
Aku tak lagi menatap pisau pembuka amplop di tangannya.
Pandanganku tertuju pada topi baseball berlambang Tigers yang
dikenakan Justin. Kenapa baru sekarang aku mengingatnya" Justin juga anggota
regu baseball. Bukan cuma Lucas.
Justin pemain all-state, salah satu bintang dalam tim itu.
Berarti dia pun memiliki jaket satin berwarna merah tua.
"Kenapa kau berdiri jauh-jauh begini?" Justin bertanya sambil
tersenyum kikuk. "Kau takut aku akan menggigitmu?"
"Bukan, aku?" "Kalau begitu, maju sedikit dong."
Aku mulai kalang-kabut. "Aku lebih suka berdiri di sini."
Tapi Justin malah menghampiriku, pelan-pelan, dengan pisau
pembuka amplop di tangan...
BAB 20 PANDANGANKU terpaku pada mata pisau yang berkilaukilau. Tiba-tiba pintu ruang baca diketuk dari luar. Pintunya
membuka. "Ayah!" aku berseru dengan lega.
Ayahku berdiri di ambang pintu, dengan pakaian tidurnya yang
longgar dan bermotif garis-garis. Ayahku tampak bingung. "Lizzy,
kau bicara dengan siapa?"
Ayah terdiam ketika melihat Justin. Dia menatapnya sambil
membisu, lalu kembali berpaling padaku.
"Ayah?" ujarku. "Ini Justin Stiles. Justin, ayahku."
"Halo, Mr. McVay," kata Justin. Dia mengembalikan pisau
perak di tangannya ke atas meja.
"Rasanya sudah agak terlalu larut untuk menerima tamu,
bukan?" tanya ayahku sambil tersenyum. Dia selalu tersenyum kalau
mendadak sadar bahwa sikapnya seperti orangtua.
Aku lega sekali. Aku tidak keberatan ayahku bersikap seperti
itu. Aku justru ingin berlindung di belakangnya.
"Maaf kalau saya mengganggu Anda," kata Justin. "Ada sesuatu
yang perlu saya tanyakan kepada Lizzy, sesuatu yang tidak bisa
menunggu sampai besok."
"Oh, begitu," balas ayahku sambil menguap. "Bagaimana,
sudah kautanyakan?" Justin menoleh ke arahku, lalu kembali menatap Ayah. "Ya,"
dia berkata. Bertanya tentang apa" Dia belum menanyakan apa-apa, kecuali
soal polisi tadi. Jantungku masih berdebar-debar.
Aku tertawa, biarpun tak ada alasan untuk itu. "Dia sudah mau
pulang," aku memberitahu ayahku. "Mari, Justin, biar kuantarkan ke
depan." Aku menggiring Justin ke pintu depan, tapi dia berlama-lama di
sana dan tidak mau pergi.
Kami membalikkan badan dan melihat ke arah ayahku. Dia
melambaikan tangan dari ambang pintu ruang baca, lalu menuju ke
dapur. Aku tahu dia sengaja ke sana untuk menunggu Justin pulang.
"Terima kasih kau sudah datang ke sini," ujarku cepat-cepat.
"Sampai besok, ya." Aku bicara cukup keras agar ucapanku terdengar
sampai ke dapur. Justin menatapku tanpa berkedip. Akhirnya dia berkata, "Yeah.
Sampai besok." Aku memperhatikannya berjalan keluar pekarangan lalu
menghilang dalam kegelapan. Kemudian aku menutup pintu,
menguncinya, dan menempelkan keningku ke daun pintu.
Ayahku keluar dari dapur, berhenti di depan tangga, dan
menatapku. "Dia sudah pulang," kataku. Rasanya seumur hidup aku belum
pernah selega saat itu. Ayahku mengangguk, kemudian mulai menaiki tangga.
Mungkinkah Justin memang bermaksud menikamku"
Ataukah aku kembali diperdaya oleh daya khayalku sendiri"
Di pihak lain, Justin kelihatan gugup sekali tadi. Dan pasti ada
banyak hal dalam pikirannya yang tidak dia katakan. Tapi masa sih,
dia nekat datang ke rumahku untuk membunuhku dengan pisau
pembuka amplop" Aku menghela napas. Baru sekarang aku sadar betapa letihnya
aku. Jika kita merasa terancam maut, kita pasti seratus persen terjaga.
Tapi kini, setelah keadaannya sudah aman, aku langsung merasa lelah
sekali. Aku naik ke kamarku, menggosok gigi, berganti baju, dan naik
ke tempat tidur. Aku memejamkan mata, lalu membalik-balikkan
badan sambil merangkul guling untuk mencari posisi yang paling
nyaman. Siapa tahu aku bisa tidur nyenyak"satu malam saja.
Tok. Mataku langsung membuka lagi. Aku menajamkan
pendengaranku. Bunyi apa itu" Jangan-jangan ada orang di pintu" Atau di jendela" Atau yang
nekat mau masuk ke kamarku"
Dadaku bergerak naik-turun, seakan-akan aku baru selesai
berlari maraton. Tap tap. Tuh, ada lagi. Dan suaranya berasal dari jendela. Aku
menggelinding ke samping dan menyalakan lampu baca di samping
tempat tidur. Semuanya tampak normal. Aku turun dari ranjang.
Fear Street - Ratu Pesta Dansa The Prom Queen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pelan-pelan aku menghampiri jendela dan memandang keluar. Namun
akibat pantulan cahaya dari lampu bacaku, aku tidak bisa melihat apaapa.
Tap! Aku tersentak kaget. Hampir saja aku berteriak keras-keras.
Baru kemudian aku sadar bahwa suara itu ditimbulkan oleh ranting
pohon yang tertiup angin dan membentur-bentur jendela.
Cuma ranting"tapi bentuknya menyerupai tulang jari yang
bengkok. Aku kembali ke tempat tidur, dan ranting tadi terus membenturbentur jendelaku. Seakan-akan hendak menceritakan sesuatu, seakanakan hendak memberi pesan padaku.
Sepanjang malam aku tidak memejamkan mata.
Sepanjang akhir pekan pun aku tidak keluar rumah. Sebagian
besar waktu kuhabiskan di kamarku sambil tidur-tiduran di ranjang.
Seharusnya orangtuaku dan Bibi Rena menghadiri pesta pada malam
Minggu, tapi ibuku membatalkannya agar aku tidak sendirian di
rumah. Aku sempat memprotes sebentar, tapi dalam hati aku merasa
lega. Aku tersentak kaget setiap kali pesawat telepon berdering.
Setiap kali aku menyangka Justin yang menelepon. Tapi kali ini
ternyata Dawn. "Aku dengar Justin ke rumahmu semalam," dia
berkata. "Wah, cepat betul beritanya menyebar."
"Ada temanku yang melihat mobilnya di pekaranganmu," Dawn
menjelaskan. Shadyside memang kota kecil. Semua orang selalu saling
memperhatikan dan ikut campur dalam urusan orang lain. "Yeah, dia
memang ke sini," aku mengakui.
"Itu aku sudah tahu," balas Dawn dengan nada menggoda. "Aku
justru mau tanya kenapa dia ke rumahmu."
"Pertanyaan bagus. Aku juga tidak tahu."
"Apa maksudmu?"
"Maksudku, aku tidak tahu untuk apa dia datang ke sini. Tapi
terus terang, aku jadi agak ngeri."
Sebenarnya aku bukan sekadar agak ngeri "bayangkan saja,
Justin menghampiriku sambil membawa pisau pembuka amplop
segala "tapi aku tidak mau terburu-buru menyebarkan desas-desus
yang memojokkan dia. Sepanjang hari Senin aku berusaha menghindari dia di sekolah.
Tapi itu tidak mudah. Berulang kali aku memergoki dia sedang
melirik ke arahku. Suatu waktu, ketika aku harus pindah ruang kelas,
aku membelok di ujung salah satu lorong sekolah dan nyaris
bertabrakan dengannya. "Hai," aku bergumam, lalu cepat-cepat
kembali berjalan, sebelum dia sempat mengucapkan sepatah kata pun.
"Hei!" dia memanggil, tapi aku terus berjalan tanpa menoleh ke
belakang. Ketika pulang sekolah, aku menemukan sepucuk surat di atas
bantal. Ternyata dari Kevin. Langsung saja kubuka.
"Coba tebak!" begitu bunyi kalimat pertama yang kubaca.
"Ayahku akhirnya mengalah. Kau sudah mendapatkan teman kencan
untuk pesta dansa!" Aku tertawa dan menangis secara bersamaan.
Pesta dansa. Malam minggu ini.
Rasanya sudah lama sekali aku tidak memikirkan acara
tersebut. Kevin tidak tahu-menahu apa yang sedang terjadi di
Shadyside, sehingga suratnya berkesan lebih manis lagi.
Kutempelkan surat itu ke pipiku. Kalau saja Kevin bisa datang
lebih awal. Sekarang aku tinggal bertahan sampai Sabtu. Sampai pesta
dansa. Pada malam Rabu kami mengadakan latihan pertama dengan
kostum lengkap untuk The Sound of Music, yang akan dipertunjukkan
pada malam Sabtu. Semua pemain tampak tegang, seperti biasa pada
latihan berkostum lengkap. Hanya saja kali ini suasana betul-betul
tegang. Semua orang yang lalu-lalang di panggung mau tidak mau
teringat pada Elana. Apalagi aku. Aku tak sanggup melupakan
bagaimana dia tergeletak di tengah-tengah panggung.
"Ayo!" Robbie berseru. "Semangat sedikit dong. Atau kita akan
berada di sini sepanjang malam."
Aku sedang memeriksa perlengkapan yang telah kusiapkan
pada meja kecil di samping panggung, ketika Dawn menghampiriku
dari belakang. Make-up panggung yang tebal menyebabkan wajahnya
kelihatan janggal. "Apakah Justin berusaha menghubungimu lagi?" tanyanya
padaku. "Tidak." Dawn memandang ke panggung sambil menggigit bibir.
"Tinggal empat hari lagi."
"Aku tahu." "Aku sudah tak sabar menunggu urusan pesta dansa ini selesai."
"Aku juga." Dawn berkata, "Mungkin lebih baik kalau kita bubarkan
semuanya dan pergi ke luar kota. Barangkali kita bisa menginap di
rumah Kevin di Alabama?"
Tiba-tiba aku teringat"aneh, kok aku bisa sampai lupa" "Coba
tebak! Aku sudah dapat teman kencan. Kevin ternyata bisa datang ke
sini." Sejenak segala ketegangan mencair. Dawn tersenyum lebar dan
menepuk pundakku. "Wah, asyik dong!"
Aku angkat bahu. "Sekarang ini aku begitu kalut dan ketakutan,
aku sampai tidak tahu apakah aku harus ketawa atau menangis. Coba
pikirkan, Dawn"kalau memang ada orang yang mau membunuh
semua calon ratu pesta dansa, maka waktunya tidak banyak lagi."
"Aku tahu," ujar Dawn. Matanya tampak berkaca-kaca ketika
dia meremas tanganku. "Semuanya harap siap di tempat!" Robbie berseru dari
auditorium. "Semoga sukses," aku berkata kepada Dawn.
"Apakah aku berkeringat?"
"Ya." "Gara-gara make-up konyol ini," dia mengeluh. "Aku jadi
kepanasan dan kulitku gatal-gatal."
Tiba-tiba dia merentangkan tangan dan memelukku erat-erat.
Aku bisa merasakan jantungnya berdetak kencang.
Kemudian Dawn "Suster Maria" Rodgers bergegas ke
panggung untuk mengawali latihan.
"Oke, coba dengar sebentar," Robbie berseru dari auditorium
ketika semuanya sudah siap di tempat masing-masing. "Kali ini jangan
ada yang berhenti kalau ada kesalahan. Aku minta kalian terus
bermain dari awal sampai akhir."
Kemudian kami mulai. Latihan berkostum lengkap biasanya tidak berjalan lancar. Itu
sudah menjadi tradisi dunia teater. "Latihan buruk, pertunjukan
hebat," itu yang selalu dikatakan para aktor.
Kalau itu benar, maka pertunjukan The Sound of Music akan
menjadi salah satu pertunjukan terbaik dalam sejarah Shadyside High.
Sebab dalam latihan, semuanya kacau-balau.
Para biarawati berulang kali muncul pada saat yang keliru. Sang
kepala biara tampil di rumah sang kapten, di tengah-tengah adegan di
mana dia seharusnya tidak ikut serta. Para pemain lupa kalimat yang
mestinya mereka ucapkan, dan serta-merta mengarang kalimatkalimat baru yang ajaib. Berkali-kali semua orang di panggung
terdiam dan saling berpandangan dengan bingung.
Tapi yang paling tegang adalah Dawn. Dia mencampuradukkan nama anak-anak von Trapp, dan keliru menyapa pengurus
rumah dengan gelar kebangsawanan yang seharusnya milik sang
pemilik rumah. Dan untuk pertama kali pula kami berlatih dengan iringan band
lengkap, bukan hanya dengan pemain piano. Itu pun kacau-balau. Para
pemain musik sering tertinggal atau mendului para penyanyi.
Kesannya seperti balapan di mana masing-masing pihak silih berganti
mengambil pimpinan. Terus terang, aku sendiri juga tidak luput dari kesalahan. Ketika
Suster Maria berhenti sebagai pengurus rumah tangga dan kembali ke
biara, aku menarik tali yang salah. Seketika sebuah latar belakang
meluncur ke panggung, dan kepala Dawn nyaris tertimpa lagi.
Sewaktu kami akhirnya selesai, Robbie memanggil semua
pemain ke panggung. "Oke," katanya. "Mudah-mudah pengalaman ini
bisa segera kita lupakan, sebab apa yang kita perlihatkan tadi adalah
penampilan The Sound of Music paling buruk sepanjang sejarah
teater." "Ah, masa sih yang paling buruk, Robbie?" seru anak baru yang
berperan sebagai Gretel. "Yeah, Robbie," sang kapten menimpali sambil mencabut
kumis palsunya. "Paling tidak kita berhasil menampilkannya dari awal
sampai akhir, tanpa berhenti."
"Ya, dan kita semua sudah capek sekali," sang baroness
berkomentar. "Oke, oke, sori." Robbie ikut naik ke panggung. "Aku juga
capek." Dia mencopot kacamata dan menggosok-gosok matanya.
"Kalian benar," katanya. "Kita pasti akan berhasil. Kita sanggup
memberikan tontonan yang menarik."
Robbie menatap kertas catatan di tangannya. "Begini saja.
Latihan malam ini cukup sampai di sini. Besok pagi aku akan
membagikan catatanku. Sekarang kita pulang saja untuk beristirahat."
Beberapa orang bersorak-sorai. Tapi sorakan mereka berkesan
seadanya, kurang bersemangat. Semuanya lelah sekali. Para pemain
menuju ke ruang-ruang ganti untuk membersihkan make-up tebal
yang melekat pada wajah masing-masing.
Aku selalu butuh waktu paling lama untuk menuntaskan
tugasku seusai latihan. Pertama-tama aku harus mengumpulkan
barang-barang yang lupa dikembalikan ke meja perlengkapan.
Kemudian aku harus membawa semuanya ke gudang perlengkapan.
Setelah itu aku harus menaikkan berbagai latar belakang yang telah
dipakai, dan memastikan bahwa semuanya terikat dengan kencang.
Aku sudah dua kali mondar-mandir ke gudang perlengkapan
ketika kulihat pintu lemari setengah terbuka. Padahal aku yakin aku
telah menutupnya rapat-rapat. Sejak terakhir kali berada di gudang,
pintu itu belum kubuka-buka lagi.
Artinya... Artinya ada orang lain yang sempat masuk ke sana.
Aku langsung berhenti. Tiba-tiba sebuah suara menyapaku dari belakang, "Hai."
Ternyata Justin. Dia berdiri di ambang pintu sambil bersandar
ke kusen, dan menatapku dengan matanya yang biru. Dia kelihatan
gugup, sama seperti semalam.
"Nah...," dia berkata dengan gaya dibuat-buat, "akhirnya kita
berjumpa juga." "Justin?" Masih ada orang di bawah, aku berusaha
menenangkan diri. Dan kalau aku menjerit, mereka pasti akan
mendengarku. "Kau mungkin akan menganggapku tidak waras, Lizzy, tapi aku
mendapat kesan bahwa kau sengaja menghindariku."
"Jangan mengada-ada."
"Masalahnya begini, aku belum sempat mengatakan apa yang
sebenarnya ingin kutanyakan waktu aku ke rumahmu."
Aduh, apa yang harus kulakukan" Berusaha kabur" Atau
berteriak minta tolong" Kalau aku bergerak cepat, mungkin aku bisa
memperdaya Justin dan lolos dari hadangannya.
Terlambat. Dia mulai mendekatiku. Roman mukanya semakin
tegang. Kedua tangannya dimasukkan ke kantong celana. Janganjangan dia membawa pisau!
"Aku ingin tanya," dia berkata, "apakah kau sudah punya teman
kencan untuk pesta dansa."
Aku menatapnya sambil melongo.
"Ah, jangan pura-pura kaget. Aku tahu kau agak kesal padaku
dan menganggapku besar kepala dan sebagainya, tapi sebenarnya...
ehm..." "Kau mau mengajakku ke pesta dansa?" kataku.
Dia nyengir lebar. "Ya."
Aku mulai bisa bernapas lagi.
"Kau mau mengajakku ke pesta dansa?" aku bertanya sekali
lagi. Dia tertawa. "Ehm, yeah."
Aku ikut tertawa. Rupanya itu sebabnya dia begitu gugup! Dia
gugup karena mau mengajak aku ke pesta dansa. Hatiku langsung
berbunga-bunga. "Sori, aku bukannya menertawakan kau, tapi?"
Justin maju selangkah lagi. "Nah," dia berkata dengan lembut,
"bagaimana?" "Lizzy! Kau masih di atas?" sebuah suara terdengar dari
panggung di bawah. Dawn yang memanggilku. Aku melangkah ke
pintu. Justin mengikutiku.
"Aku turun sebentar lagi," aku menyahut. Aku mengunci pintu
gudang perlengkapan; kemudian Justin dan aku menyusuri catwalk.
"Ehm, begini," aku berkata pelan-pelan. "Aku tidak bisa pergi
denganmu." Justin langsung lemas. "Sori. Sebenarnya aku senang. Tapi Kevin" aku baru dapat
kabar"dia ternyata boleh datang ke sini."
"Oh." Justin tampak kecewa sekali. "Syukurlah!"
ebukulawas.blogspot.com Sejenak kami saling berpandangan dengan kikuk. Lalu dia
bergumam, "Ehm..." Dia lebih dulu menuruni tangga. Aku
mengikutinya. "Hai, Dawn," ujar Justin ketika kami sampai di panggung.
Dawn mengenakan celana jeans hitam serta kaus berwarna hijau
pastel. Make-up di sekitar matanya belum terhapus bersih.
"Sampai ketemu," Justin berkata kepadaku, lalu segera pergi.
Dawn menatapku dengan mata terbelalak.
"Apa yang terjadi?"
Aku tersenyum, dan menjelaskan maksud Justin sebenarnya.
"Hah" Dia mengajakmu ke pesta dansa?" Dawn berseru
tertahan. "Astaga!"
Aku agak kesal juga karena dia bersikap begitu kaget.
"Memangnya kenapa?"
"Tidak apa-apa." Dawn mulai mengorek keterangan lebih
lanjut. "Terus" Terus" Kau bilang apa?"
"Aku bilang, aku akan pergi bersama Kevin."
Dawn tampak kecewa dan langsung tidak tertarik pada topik
tersebut. "Oh, aku lupa. Bagaimana, kau sudah siap?"
"Lima menit lagi," jawabku.
Dia meraih jaket kulit yang kutaruh di salah satu kursi. "Untuk
apa kaupakai jaket setebal ini?" tanyanya sambil mencobanya.
"Sekarang kan sudah musim semi."
"Kalau begitu, kenapa aku kedinginan terus?"
Roger Brownmiller, yang berperan sebagai Paman Max, keluar
dari ruang ganti dan memanggil Dawn. "Kok masih di sini?" dia
berseru. Selain Dawn dan aku, dia orang terakhir di belakang
panggung. "Aku masih menunggu Lizzy," jawab Dawn.
"Tenang saja," balas Dawn, memperhatikan Roger pergi, lalu
kembali berpaling padaku. "Kau takkan percaya berapa banyak orang
yang mewanti-wanti agar aku tidak bunuh diri atau sebangsanya.
Memangnya penampilanku begitu jelek?"
Fear Street - Ratu Pesta Dansa The Prom Queen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kita semua tampil buruk," kataku.
"Terima kasih atas pujianmu." Dawn tersenyum kecut. Dia
turun dari panggung. "Jangan lama-lama, ya," dia berkata sambil
menaik-turunkan ritsleting jaketku. "Aku ngeri sendirian di sini."
Aduh, kenapa dia harus bilang begitu" Dari tadi aku
berkonsentrasi begitu keras pada tugasku, sehingga selama beberapa
jam aku sama sekali tidak merasa gelisah maupun cemas. Kini aku
mendadak sadar bahwa tinggal kami berdua di auditorium yang
remang-remang. Aku teringat Elana. Dan segala kenangan buruk lainnya segera
menyusul. "Aku sudah hampir selesai," seruku.
Dawn tidak kelihatan. Dan dia juga tidak menjawab.
"Dawn?" aku memanggil. "Jangan main-main dong. Aku lagi
tidak mau bercanda."
Kali ini dia menyahut. Dengan teriakan yang membuat bulu kudukku berdiri.
BAB 21 AKU berlari ke panggung yang terang benderang.
Dawn tidak kelihatan. Kemudian aku mendengar suara kasak-kusuk di sebelah
kananku. Aku langsung menoleh. Apa yang kulihat membuatku
tersentak kaget. Di sisi seberang ruangan, di bagian sayap yang remang-remang,
seseorang sedang bergumul dengan Dawn!
"Dawn!" aku berseru.
Aku mulai berlari ke arah mereka.
Dawn dan seorang laki-laki sedang bertarung mati-matian.
Sosok keduanya tidak kelihatan jelas. Tapi aku bisa melihat laki-laki
itu mengenakan topi baseball serta jaket baseball berwarna merah tua.
"Hentikan!" aku menjerit.
Siapa orang itu" aku bertanya dalam hati. Siapa yang berkelahi
dengan Dawn" Orang itu terlalu kurus untuk Lucas. "Justin?" aku sempat
berseru sambil berlari. Dan kemudian aku melihat sepotong logam berkilau-kilau.
Dia memegang pisau! Dawn pun membelalakkan mata ketika melihat pisau di tangan
lawannya. Mereka saling mendorong, dan sepintas lalu menyerupai
patung yang aneh. Kedua-duanya menatap pisau. Dawn berjuang
untuk menghalau tangan orang itu, yang berusaha menikamnya.
Tampaknya laki-laki tersebut di atas angin. Perlahan-lahan
tangannya bergerak mendekati Dawn.
Semakin dekat. Semakin dekat. Ujung pisaunya semakin rapat ke tubuh Dawn.
"Jangan!" aku menjerit, dan berlari menghampiri mereka.
Tahu-tahu aku jatuh berdebam.
Kakiku tersangkut seutas kabel listrik yang tebal. Aku terempas,
dan kepalaku membentur lantai kayu. Rasanya seperti dipukul dengan
tongkat baseball. Kepalaku berdenyut-denyut ketika aku memaksakan diri untuk
bangkit. Tiba-tiba aku kembali mendengar jeritan Dawn.
Si pembunuh menang. Dia menghunjamkan pisau dan menikam
dada Dawn. Aku terlambat. Genggaman Dawn pada lengan si pembunuh
perlahan-lahan mengendur. Dia roboh ke lantai, lalu tergeletak tak
bergerak. Sejenak si pembunuh menatap Dawn. Kemudian dia menoleh
ke arahku. Pandangan kami beradu. Dan dia maju ke tempat terang.
Dia masih memegang pisaunya"pisau yang kini berlumuran
darah. Darah Dawn. Dia menghampiriku dengan langkah panjang, sementara aku
mundur di atas panggung yang terang benderang.
Akhirnya aku tahu siapa dia.
BAB 22 "SIMONE!" aku berseru tertahan. "Kami pikir kau sudah?"
"Kalian pikir aku sudah mati," Simone menyahut dengan nada
mengejek. "Kalian memang berharap aku sudah mati, ya kan?"
"Bukan"aku?"
"Belum waktunya aku mati, Lizzy. Masih banyak yang harus
kulakukan." Aku mundur beberapa langkah. Simone terus mengikutiku.
"Aku mengatur segala sesuatu supaya orang-orang mengira aku
diculik," dia berkata dengan mata menyala-nyala. "Semuanya kuatur.
Aku tahu orangtuaku takkan peduli kalau aku hilang. Dan kau mau
tahu kenapa" Karena tak ada yang peduli padaku. Tak ada!"
"Itu tidak benar?" protesku.
"Diam!" dia membentak, dan mengacungkan pisaunya yang
penuh darah, menggerak-gerakkannya di depan wajahku.
"Dari dulu orangtuaku tidak peduli padaku. Mereka cuma sibuk
main golf dan minum-minum. Justin juga tidak peduli. Dia cuma
memanfaatkan aku. Tak ada yang peduli padaku. Tak ada."
Aku terus berjalan mundur. "Aku tidak mengerti," kataku.
"Kenapa kau membunuh para calon ratu" Kau kan tak pernah serius
mengenai kontes itu?"
Simone tertawa dengan sinis. Dia membuka topi baseball-nya
dan membiarkan rambutnya yang gelap dan panjang jatuh terurai.
"Ratu pesta?" ujarnya. "Siapa yang peduli tentang mereka" Aku
tidak menyangka kau sebodoh ini. Aku tidak membunuh para ratu
pesta. Aku membunuh semua orang yang mengkhianati aku, semua
orang yang mendekati Justin."
"Tapi, Simone?" aku kembali angkat bicara.
"Sudahlah, Lizzy," dia memotong dengan ketus. "Kau takkan
bisa lolos." Aku telah mundur melintasi panggung, dan kini hampir sampai
di sayap kiri. Aku tidak mau melangkah ke dalam kegelapan. Tapi
tidak ada pilihan lain. Simone tetap mendekatiku.
"Aku sudah berusaha supaya Justin menyayangiku," Simone
berkata sambil menyibakkan rambutnya. "Tapi karena tidak berhasil,
aku lalu bertekad untuk memberi ganjaran yang setimpal padanya.
Aku ingin dia merasakan penderitaan yang kurasakan. Dan untuk itu
aku membunuh setiap cewek yang diam-diam diajaknya berkencan."
Simone tertawa. "Aku sengaja pakai jaket baseball Justin dan
menjepit rambutku di bawah topi supaya kelihatan seperti cowok.
Berhasil, kan" Kau berpapasan denganku di bioskop, dan kau sama
sekali tidak mengenaliku."
"Tapi di mana kau bersembunyi selama ini?" tanyaku. Aku
ingin memancing Simone agar terus berbicara.
"Di langit," balas Simone. Dia menggunakan pisaunya untuk
menunjuk ke atas. "Aku serius," aku mendesaknya.
"Aku juga," dia menyahut sambil menyeringai. "Aku tinggal di
gudang perlengkapan di atas panggung. Tempatnya cukup nyaman,
dan aku juga bisa ambil makanan dari kantin. Tapi sebentar lagi aku
pindah. Tugasku sudah hampir selesai. Aku tinggal mengarang cerita
tentang penculikan, lalu pulang ke rumah. Kau tahu sendiri bahwa aku
pandai bersandiwara, Lizzy. Takkan ada yang curiga padaku."
Perlahan-lahan dia maju ke arahku.
"Tapi kenapa kau mengincarku?" tanyaku. "Aku tidak pernah
berkencan dengan Justin."
Simone mendengus. "Huh, dasar pembohong," katanya. "Semua
orang mendadak pandai mengarang kalau mereka ketakutan." Roman
mukanya kembali kencang. "Aku ada di situ!" dia menghardikku.
"Aku dengar bagaimana dia mengajakmu ke pesta dansa."
"Oke," aku terpaksa mengakui. "Dia memang mengajakku. Tapi
aku menolak." "Oh ya" Hah, omong kosong! Aku tidak percaya. Sekarang
giliranmu, Lizzy. Sori. Aku pikir kau temanku, tapi ternyata kau cuma
berpura-pura. Kau juga tidak peduli padaku. Kau sama saja dengan
yang lain." Otakku bekerja keras. Apa yang sedang dipikirkan Simone"
Apa yang akan kaupikirkan kalau jadi dia" aku bertanya dalam
hati. Barangkali dia merasa bahwa keadaannya sudah kepalang
tanggung. Barangkali dia merasa tidak bisa mundur lagi.
"Simone," kataku, "kalau kau tertangkap, kau akan dipenjara
untuk waktu yang lama. Kau tahu itu, bukan" Kenapa kau tidak
berhenti saja sekarang, mumpung belum terlambat. Sebelum
tanganmu berlumuran darah lagi. Kau hanya akan memperburuk
keadaan." Simone mengangkat pisaunya tinggi-tinggi. "Takkan ada yang
bisa menangkapku," ujarnya, "sebab satu-satunya orang yang tahu
rahasiaku akan lenyap."
Dia mulai menghampiriku lagi. Aku hendak melangkah
mundur. Tapi punggungku sudah menempel di dinding beton. Aku tak
bisa lari, tak bisa bersembunyi.
Kemudian aku merasakannya.
Tali-temali untuk menurunkan latar belakang yang diikat di
sebelah kanan tangan kiriku. Aku melirik ke arah tali-temali itu.
Salah satu tali akan menurunkan karung pasir tepat di
hadapanku. Tapi yang mana"
Yang mana" Aku cuma punya satu kesempatan.
Terburu-buru aku memilih salah satu dari sekian banyak tali.
Aku menarik napas dalam-dalam, memejamkan mata, lalu
menarik dengan sekuat tenaga.
BAB 23 AKU membuka mata dan melihat Simone menerjang ke arahku.
Pisaunya terangkat tinggi-tinggi, siap menikam.
Secara bersamaan kantong pasir yang berat meluncur turun.
Tali yang kutarik ternyata tali yang tepat!
Kantong itu mendarat di antara kami.
Aku mendengar suara berderak.
Sejenak Simone terbengong-bengong. Kemudian dia meringis
kesakitan. Dan mulai menjerit.
Suara berderak tadi"rupanya itu suara tulang kaki Simone
yang patah karena tertimpa kantong pasir.
Simone melepaskan pisaunya dan jatuh ke lantai. Dia
menggeliat-geliut kesakitan.
Sambil mengerang, dia menarik kakinya dari bawah kantong
pasir. Dia berusaha memegang kakinya, tapi nyerinya terlalu
menyiksa. Akhirnya dia menutup wajahnya dengan kedua tangan dan
berbaring di lantai. Dia tak bergerak.
Teriakannya pun berhenti.
Suasana menjadi hening. Menyeramkan.
Aku menunggu sambil berusaha mengatur napas. Kemudian
aku beringsut-ingsut menghampirinya. Jangan-jangan dia cuma
berpura-pura" Setelah mendekat beberapa langkah, aku yakin jeritannya tadi
bukan sekadar sandiwara. Kaki kanannya tertekuk tegak lurus di
bawah tubuhnya. Aku memungut pisau yang tergeletak di lantai, lalu
mengarahkannya ke sosok Simone yang tak berdaya. Aku histeris, dan
seluruh tubuhku gemetaran. Tapi Simone tidak bergerak.
Dia menatapku dengan pandangan memohon. "Sakit," dia
mengerang pelan-pelan. "Sakit."
Kemudian dia memejamkan mata. Kepalanya terkulai dengan
lemas. Rupanya dia kehilangan kesadaran.
Aku menatapnya sambil terbengong-bengong. Baru kemudian
aku sadar Simone tak dapat berbuat apa-apa dengan kakinya yang
cedera. Aku berlari melintasi panggung. "Dawn!" aku berseru. Tak
ada jawaban. Tapi sepertinya aku melihat dia bergerak.
"Dawn!" Sambil melepaskan pisau, aku menjatuhkan diri ke
lantai di sampingnya. "Dawn! Kita selamat! Kita selamat! Oh"kau
jangan mati. Dawn! Kau bisa mendengarku" Dawn!"
Perlahan-lahan dia mengalihkan pandangannya ke wajahku. Dia
membuka mulut seakan-akan hendak mengatakan sesuatu, namun tak
ada suara yang melewati bibirnya.
"Aku akan mencari pertolongan," aku memberitahunya. "Aku
akan segera kembali."
"Aku tunggu di sini saja."
Aku menatapnya sambil membelalakkan mata. Betulkah yang
kudengar itu" Atau dia cuma bercanda" "Jangan kuatir, kau pasti akan
sembuh." ebukulawas.blogspot.com
Aku membalik. Dan saat itulah dia menyergapku.
Wajah Simone berada beberapa inci di depan wajahku. Dia
mencekikku dengan kedua tangan. Kukunya yang panjang menggoresgores kulitku.
Aku bahkan tidak sempat berteriak. Dia menarik kepalaku ke
bawah. Sambil megap-megap aku jatuh ke belakang, menimpa Dawn.
Cengkeraman tangan Simone semakin kuat.
Aku berusaha melepaskan tangannya dari leherku, tapi tenagaku
telah terkuras habis. Pandanganku berkunang-kunang, dan aku tahu aku akan segera
jatuh pingsan. Tiba-tiba Simone berteriak kaget. Cengkeramannya langsung
mengendur. Terburu-buru aku mengisi paru-paruku dengan udara
sambil meremas-remas leherku.
Simone mundur. Dia masih menjerit kesakitan. Kemudian aku
melihat apa yang terjadi. Aku melihat darah segar membasahi celana
Simone. Aku melihat pisau yang terlepas dari tangan Dawn. Ternyata
kaki Simone ditikamnya. Aku masih sibuk menarik napas ketika Simone berusaha meraih
pisaunya. "Ja"jangan!" aku berbisik dengan suara parau.
Tapi Simone memungut senjata itu, berteriak dengan garang,
lalu mengangkatnya tinggi-tinggi.
Aku segera berdiri. Tanpa pikir panjang aku menerjang Simone.
Kami jatuh berdebam. Pisaunya terlepas dari tangannya, dan terlempar
ke ujung panggung. Kami mulai bergulat sambil berguling-guling. Simone meraih
segenggam rambutku dan menjambak dengan keras. Aku menjerit dan
menggelinding ke samping. Tapi sebelum aku sempat menarik napas,
Simone sudah memukul perutku dengan sekuat tenaga.
Aku meringkuk untuk melindungi diri.
Tapi kemudian aku menyadari bahwa Simone tidak
mengejarku. Dia malah menjauh, dan berusaha mengambil pisaunya.
Aku mengerahkan sisa tenaga terakhir, lalu melompat dan
menerjangnya dari belakang.
Dia kembali memekik. "Kakiku! Kakiku!" Kali ini dia
sepertinya bahkan lebih kesakitan lagi. Tapi aku tidak melepaskannya.
Aku menahan kedua tangannya di punggungnya dengan erat,
kemudian aku mulai berteriak-teriak.
Aku masih menahan tangan Simone ketika Mr. Santucci
akhirnya berlari masuk ke auditorium. Dia melongo, seolah-olah tidak
Fear Street - Ratu Pesta Dansa The Prom Queen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
percaya pada penglihatannya.
Posisiku belum berubah ketika polisi dan petugas-petugas
paramedis muncul tiga menit kemudian.
Baru setelah yakin keadaannya aman, aku berani melepaskan
Simone. Pakaianku berlumuran darah"tapi darah itu bukan darahku.
Aku melirik ke arah Dawn, yang tergeletak di lantai. Dia masih
mengenakan jaket kulitku yang tebal. Salah satu petugas paramedis
segera melepaskan jaketku agar dapat memeriksa luka Dawn.
Aku menahan napas ketika melihat lukanya.
Si petugas paramedis menoleh ke arahku. "Lukanya tidak
terlalu parah," dia berkata.
Dawn mendesah dengan lega.
"Kau bisa mendengarku?" aku bertanya.
Dawn mengangguk pelan. Petugas paramedis mulai membalut luka Dawn. "Bersyukurlah
kau karena telah mengenakan jaket ini," katanya pada Dawn.
Aku memaksakan senyum. "Nah, apa kubilang?" aku berkata
kepada Dawn. "Ada untungnya juga memakai baju tebal-tebal."
Dawn tampak pucat pasi. Tapi dia membalas senyumku.
"Sampai ketemu di pesta dansa," jawabnya.
BAB 24 KEVIN mendekapku erat-erat ketika kami berdansa diiringi
lagu berirama pelan. Kepalaku kusandarkan di bahunya. Aku
mencium wangi rangkaian gardenia yang terpasang di gaunku. Ketika
musik berhenti, Kevin menatapku dengan matanya yang hijau.
"Aku tidak tahu bagaimana perasaanmu," katanya, "tapi aku
takkan pernah melupakan pesta dansa ini."
"Ya, aku juga," aku menyahut. Tapi alasanku sangat berbeda
dari alasan Kevin. Kami meninggalkan lantai dansa sambil bergandengan tangan,
melewati dua papan pengumuman yang dipasang panitia untuk
memperingati Rachel dan Elana. Kevin melihatku melirik.
Dia berkata, "Aku salut pada Mr. Brandt. Dia telah
menyumbangkan uang hadiah ratu pesta dansa sebagai beasiswa
universitas untuk mengenang mereka." Kevin meraih tanganku.
"Kalau bukan kau yang cerita, aku takkan percaya kejadian-kejadian
itu." Aku memandang ke seberang ruang pesta di Halsey Manor
House, dan melihat Dawn sedang mengobrol dengan beberapa cowok
keren. Kontes ratu pesta telah dibatalkan, tapi dansa Dawn tetap
menjadi primadona. Musik kembali mengalun, dan Kevin menarikku ke lantai
dansa. Aku melihat Lucas Brown berdansa dengan Shari Paulsen.
Pasangan yang serasi"Shari sama anehnya dengan Lucas. Tapi sekali
ini Lucas tampak senang. Akhirnya dia berhasil juga mendapatkan
teman kencan. Sesaat kemudian aku melihat Dawn berdansa dengan salah satu
dari sekian banyak pengagumnya.
Dia mengamati gaunku. Aku mengenakan gaun hitam seksi
yang kami temukan di Ferrara's. Dawn berkeras bahwa akulah yang
lebih pantas mengenakan gaun tersebut.
"Kau tahu tidak?" Dawn berbisik di telingaku. "Kau lebih pas
memakai gaun itu." "Kau bilang begitu supaya aku senang, kan?" tanyaku dengan
curiga. "Tentu saja," jawabnya. Dan kemudian dia segera mengajak
pasangannya berputar-putar menjauh.END
Tragedi Tiga Babak 2 Naga Naga Kecil Kisah Para Naga Di Pusaran Badai Karya Marshall Lembah Nirmala 28
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama