Ceritasilat Novel Online

Rumah Bisikan 2

Fear Street - Sagas Ii Rumah Bisikan House Of Whispers Bagian 2


Ida telah memasak scone kesukaanmu."
"Itu bukan kesukaanku," gumamnya. "Hai, Amy."
Lagi-lagi pria itu tampak marah. Mengapa" Dia begitu ramah
waktu mereka pertama kali bertemu"namun tiba-tiba dia berubah.
Amy benar-benar tidak mengerti.
"Hai, David," sahutnya. Amy bangga sekali suaranya tidak
gemetar seperti hatinya. Mrs. Hathaway mengulurkan secangkir teh yang masih
mengepul. Cangkir dan alasnya setipis dan sehalus kulit telur, dan
dihiasi lukisan kuncup-kuncup bunga dogivood.
"Porselen yang indah sekali," Amy berkata. Dia mencoba
memfokuskan perhatiannya pada Mrs. Hathaway. Dia pasti langsung
lemas tak berdaya bila memandang David.
Wajah Mrs. Hathaway berseri-seri. "Porselen ini punya kisah
yang sangat indah, Amy. Kakek moyangku membawanya dari Prancis
untuk mempelainya, Isabella. Dia sangat memuja istrinya. Dia
menyimpan kotak itu di atas tempat tidurnya di kapal. Porselen itu
selamat dari badai, serangan bajak laut, dan segala macam bahaya.
Tak satu buah pun pecah. Sekarang sisanya tinggal beberapa buah,
tapi aku sangat menyayanginya."
Amy tersenyum mendengar kisah romantis itu. Dia melirik
David sekilas. Pria itu bergeser sedikit. Dia mencoba melindungi
bagian wajahnya yang rusak dariku, Amy tersadar.
Jadi, itu rupanya! Dia malu terhadap penutup matanya. Itulah
sebabnya wajahnya kelihatan marah dan tertutup. Dia pasti
melupakannya waktu mereka pertama kali bertemu, pikir Amy, karena
ia sangat mengkhawatirkan ibunya.
Bagaimana mungkin orang-orang percaya ada sesuatu yang
jahat pada diri David" Untuk sesaat, hati Amy terasa sesak sekali.
"Itu tidak menggangguku kok." Amy menekap tangannya ke
mulutnya, ngeri karena telah mengucapkan isi benaknya.
David kelihatan sama terkejutnya. "Apa?"
Well, pikir Amy, dia toh tidak akan bicara padaku lagi, jadi,
lebih baik kulontarkan saja semuanya. "Penutup mata itu. Tidak jelek
kok. Malah sebenarnya, benda itu membuatmu tampak gagah."
Mrs. Hathaway menarik napas tajam.
"Gagah," ulang David, suaranya datar. Kemudian ia mulai
tertawa. Tawanya dalam, penuh, dan indah.
Amy nyaris menumpahkan tehnya. "Apa yang lucu?" desaknya.
"Apakah seharusnya aku berpura-pura tidak melihat penutup mata
atau ambin di tanganmu itu?"
"Apakah kau selalu blak-blakan begini, Amy Pierce?" ia
bertanya. Wajah Amy memerah. Jangan, pikirnya. Apakah wajahku akan
selalu merah padam setiap kali bicara padanya" "Aku dibesarkan di
desa. Di sana orang-orang cenderung mengungkapkan apa yang ada di
dalam pikiran mereka," ia menjelaskan. "Lagi pula, banyak pria
terluka dalam perang. Ayahku?"
Suaranya tercekat, dan ia menarik napas sebelum melanjutkan.
"Ayahku sedang mempertaruhkan nyawanya saat ini. Dan aku tak
peduli apakah dia punya mata atau tangan atau kaki, asal saja dia bisa
kembali ke rumah." David memandangnya berapi-api. "Begitukah yang
kaurasakan?" ia bertanya.
"Ya!" Tentu saja itu yang dirasakannya. Apakah pikirnya ia
lebih senang ayahnya mati daripada hidup dan terluka"
Mrs. Hathaway berdeham. "Wanita selalu lebih praktis daripada
pria, anakku. Tambah tehnya, Amy?"
Amy mengulurkan cangkirnya. Tangannya bergetar saat ia
mengaduk tehnya, hingga sendoknya beradu dengan cangkirnya.
David bersandar dan mengangkat kakinya yang bersepatu bot
ke atas meja di depannya. Ketegangan di hati Amy menguap. Ia
berhenti khawatir bahwa mereka akan menganggapnya norak.
Mrs. Hathaway yang bicara paling banyak" untung saja. Amy
sepertinya tak bisa menahan matanya agar tidak memandang David.
Pemuda itu tersenyum mendengar ucapan ibunya, dan Amy melihat
lesung pipi tepat di sudut kanan mulutnya. Sekali lagi ia membeliak,
terpana. Kemudian ia tersadar bahwa David melihat tepat ke arahnya.
David memergoki memelototinya! Ia tak pernah semalu ini
selama hidupnya. Amy buru-buru membuang muka. Setidaknya pemuda itu tidak
mengkhawatirkan penutup matanya lagi, pikirnya.
Jam di atas rak perapian berbunyi. Pukul lima! Dia sudah
berada di sini dua jam lebih. Rasanya seperti baru beberapa menit
saja. "Aku harus pulang," Amy berkata. "Angelica pasti sudah
bertanya-tanya apa yang terjadi padaku."
David bangkit berdiri. "Aku akan mengantarmu pulang."
Amy berpaling pada Mrs. Hathaway. Mengikuti dorongan
hatinya, ia membungkuk dan mencium pipi wanita yang lebih tua itu.
"Sore ini sangat menyenangkan," ia berkata.
"Bagiku juga." Mata Mrs. Hathaway bersinar-sinar oleh
perasaan senang. "Dan jangan lupa untuk segera berkunjung kemari."
David mengajak Amy keluar dari pintu belakang. Cuaca telah
berubah. Awan gelap bertumpukan di kaki langit, menyembunyikan
matahari. Angin dingin meniup dahan-dahan pepohonan dan dedaunan
kering di sepanjang jalan setapak.
Apa yang harus dikatakannya" Tanpa kehadiran Mrs.
Hathaway, Amy merasa malu dan kikuk.
"Sebentar lagi akan hujan," David berkata.
"Ya," timpal Amy. Satu kata. Hebat sekali, Amy, ia memaki
dirinya. Tak seorang pun dari mereka bicara sementara mereka berjalan
menyusuri jalan setapak yang mengantar mereka ke ujung halaman.
David sepertinya sedang tenggelam dalam lamunannya. Apa pun yang
terpikir oleh Amy Untuk dikatakan, rasanya konyol semuanya.
"Di manakah ayahmu?" akhirnya David bertanya.
"Di Virginia," sahut Amy, lega karena keheningan itu telah
pecah. "Ibuku di sana merawatnya. Itu sebabnya aku menginap di sini,
di rumah keluarga Fear."
"Kau mau aku mencari tahu tentang keadaannya?" David
bertanya. Teringat tawaran Angelica tempo hari, Amy bergidik. "Apakah
menurutmu kau bisa melakukannya?"
"Aku punya teman di ketentaraan," sahutnya. "Kalau kau bisa
memberitahuku di kota mana orangtuamu berada?"
"Aku tidak tahu," tukas Amy. "Ibu terpaksa memindahkan Ayah
karena peperangan itu."
David mendesah. "Kalau begitu, jadi lebih susah. Tapi aku akan
berusaha sekuat tenaga."
"Terima kasih, David."
Mereka sudah sampai di pintu gerbang. Amy menguakkannya,
tapi David meraih tangannya dan memutar gadis itu hingga mereka
berhadap-hadapan. EB?K?L?W?S.BL?GSP?T.C?M
"Sekarang giliranku untuk berterima kasih," ia berkata.
Amy menengadah terkejut. "Kenapa?"
"Karena telah membuatku berhenti mengasihani diriku sendiri."
David tersenyum padanya. "Setidaknya untuk satu sore."
Setitik besar air hujan jatuh di hidung Amy. Sebelum ia sempat
bereaksi, David telah mengulurkan tangan dan menghapusnya dengan
ibu jarinya. Langsung saja jantung Amy berdebar kencang.
"Hidungmu berbintik-bintik," David berkata.
Amy menutup hidungnya dengan tangan. "Aku membencinya."
"Aku suka bintik-bintik."
Setitik lagi air hujan jatuh di kepalanya, lalu setitik lagi di bahu
David, menciptakan noda gelap di atas bahan wol cokelatnya.
Semakin banyak titik hujan berjatuhan.
"Hujan semakin deras," ujar Amy. "Kalau kau kembali ke sana
dan aku ke sini, kita mungkin bisa sampai di rumah masing-masing
tanpa basah kuyup." Dan Angelica tidak akan melihat kita bersamasama, pikir Amy.
Ia mengulurkan tangan melewati Amy dan membuka pintu
gerbang. "Aku ingin bertemu denganmu lagi, Amy Pierce," katanya
pelan. "Segera."
Amy menyelinap lewat pintu gerbang dan berlari sepanjang
jalan setapak menuju mansion Fear. Ia melompat sedikit. David ingin
berjumpa dengannya lagi! Pranggg! Suara kaca pecah di atas Amy.
Seorang wanita menjerit ngeri. Amy menyentakkan kepala
menengadah. Sesuatu terjatuh dari jendela lantai tiga. Sesuatu yang besar.
Tubuh manusia! "Tolong!" jerit Amy. Rasanya seolah-olah kata itu terseret
keluar dengan pelan sekali dari bibirnya.
Nellie. Itu Nellie. Bab 7 "TIDDDAAAKKK!" jerit Amy.
Tangan Nellie mencakar-cakar udara, mulutnya menganga
ngeri. Tubuhnya menghantam batu ubin dengan wajah di bawah.
Kedengarannya seperti buah melon menghantam lantai kayu yang
keras. Amy berlari menghampiri Nellie. Ia menjatuhkan dirinya di sisi
tubuh gadis yang terdiam itu.
"Oh, Nellie," bisiknya. "Bagaimana ini bisa terjadi?"
Pelayan itu mengerang. Amy menahan napas. Nellie masih hidup!
Oh, banyak sekali darahnya! Terlalu banyak. Darah itu
merembes dari balik tubuh Nellie, membentuk genangan merah di atas
batu ubin itu. Dengan lembut Amy menyelipkan tangannya di bawah tubuh
pelayan itu. Kemudian dibalikkannya Nellie hingga telentang.
Wajahnya lenyap. Yang ada hanyalah segumpal daging penuh
darah. Koyakan-koyakan besar kulitnya telah terkelupas akibat
hantaman dengan batu ubin yang kasar. Amy bisa melihat serat-serat
urat dan pembuluh-pembuluh darah yang tipis.
Salah satu mata Nellie melesak jauh ke dalam tengkorak
kepalanya. Yang satu lagi merah oleh darah.
Bibir bawah Nellie benar-benar terobek lepas. Giginya hancur
dan patah-patah. Amy melihat potongan-potongan tulang berwarna putih
menembus keluar dari antara rambut Nellie yang hitam.
Tengkoraknya menganga. Ia tahu tak ada yang bisa dilakukannya. Ia ingin lari dari situ,
melupakan ia pernah melihat semua ini. Tapi ia tak bisa meninggalkan
Nellie sendirian. Tidak seperti ini.
Amy menelan ludah dengan susah payah. Disentuhnya bahu
Nellie dengan lembut. "Aku di sini. Aku ada di sini menemanimu,
Nellie. Aku tidak akan meninggalkanmu."
Nellie membuka bibirnya yang robek. Darah dan pecahan gigi
bagai dimuntahkan dari mulutnya.
"Amy," ia berhasil bicara dengan parau. "Ha...hati-hati tterhadap..."
Embusan napas yang panjang dan bergelembung menyembur
keluar dari tubuhnya. Darah berbuih keluar dari mulutnya dan tumpah
ke lantai. Ia terkulai lemas di pelukan Amy.
Sesaat Amy merasa sangat tenang. Ditepuknya bahu Nellie
sekali lagi, lalu menarik napas dalam-dalam.
Kemudian ia mengangkat tangannya. Darah menetes-netes dari
jemarinya dan mengalir menuruni pergelangan tangannya.
Tubuhnya membeku. Benaknya berhenti bekerja.
Pintu belakang terbuka lebar-lebar. Angelica berlari
menghampirinya. Dia berteriak-teriak. Amy bisa melihat mulutnya
membuka dan menutup. Tapi ia nyaris tak bisa mendengarnya.
Kedengarannya jauh sekali.
Seseorang menyambar bahunya dari belakang dan menyeretnya
bangkit berdiri. "Amy!" Suara lain. Lebih keras. "Amy!"
David. Itu suara David. Tangan David yang kokoh
memeluknya. Ketika itulah ia sadar dirinya menjerit-jerit. Tapi ia tak bisa
berhenti. Matanya terus menatap wajah Nellie yang hancur
berantakan. Dan mulut Amy terus menjerit.
David menariknya hingga mereka berhadap-hadapan. Amy
mengertakkan giginya, sekuat tenaga memaksa agar jeritannya
berhenti. "David, bawa dia masuk," perintah Angelica.
David mendorong Amy masuk ke rumah. Gadis itu nyaris tak
sanggup berjalan. Kakinya gemetaran. Ketika mereka tiba di pintu
belakang, Amy berbalik. Ia harus melihat Nellie sekali lagi.
Apa yang sedang dilakukan Angelica" Tak tahukah dia bahwa
dia tak bisa menolong Nellie" Tak seorang pun bisa.
Amy bergidik Saat ia menyaksikan Angelica mengusap wajah
Nellie yang rusak dan bersimbah darah dengan saputangannya.
Dengan hati-hati wanita itu melipat saputangan yang basah oleh darah,
lalu menyelipkannya ke dalam saku.
"Jangan lihat," gumam David. "Ayo, masuk." Dibimbingnya
Amy masuk, lalu berjalan cepat melewati para pelayan yang menatap
mereka dengan mata lebar dan ketakutan.
"Aku tak percaya ini terjadi. Kemarin dia masih di kamarku,
tertawa dan bergosip. Dan sekarang?" Amy terisak, bahunya
berguncang-guncang. "Jangan," ujar David parau. "Tak ada gunanya. Cobalah
melupakan?" "Melupakan!" Amy terkesiap. "Mana mungkin aku bisa lupa?"
David mengerang tidak sabar. "Duduklah," ujarnya seraya
mendorong Amy ke arah sofa ruang tamu.
Ia menyuruh Amy melupakan apa yang telah terjadi. Tapi Amy
tahu, pemuda itu sedang bergumul dengan perasaannya sendiri.
Mulutnya menegang membentuk garis tipis.
David mengeluarkan saputangannya dan mengusap wajah serta
tangan Amy. Sapu-tangannya langsung merah.
Darah. Darah Nellie. Perut Amy langsung berputar. Ia memejamkan mata erat-erat,
menunggu sampai mualnya hilang.
"David!" Amy membuka mata dan melihat Hannah melesat ke
dalam ruangan dan mengempaskan tubuhnya pada David. "David.
Apa yang terjadi" Ibu tak mau memberitahuku."
Dengan lembut David menarik tangan Hannah dari tubuhnya.
"Mereka hanya mencoba melindungimu," ia menjelaskan.
"Bukan!" teriak Hannah. "Beritahu aku apa yang telah terjadi."
"Nellie," Julia berkata lembut. Ia berdiri di ambang pintu.
Wajahnya seputih dinding di belakangnya, tubuhnya kentara sekali
gemetaran. Amy melompat berdiri dan menghampirinya.
"Aku melihatnya jatuh," Julia berkata, suaranya datar. "Dia
jatuh tepat melewati jendelaku."


Fear Street - Sagas Ii Rumah Bisikan House Of Whispers di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oh, Julia," Amy meraih kedua tangan gadis itu dan
menariknya ke sofa. Walaupun ruangan itu hangat, tangan Julia dingin
dan basah. "Amy" Anak-anak?" suara Angelica datang dari koridor. Sesaat
kemudian ia masuk ke ruangan.
"Aku takut, Ibu," isak Hannah, tangannya mencengkeram
bagian muka kemeja David.
"Tenang, Sayang," Angelica menenangkan. "Semuanya akan
baik-baik saja sekarang."
Angelica mengalihkan pandangannya pada Amy. "Sebaiknya
kau naik dan berganti pakaian," katanya. "Kau akan merasa jauh lebih
enak." Amy telah melupakan darah itu. Darah Nellie. Rasa yang tajam
dan pahit menyerang pangkal leher Amy. Ia melompat berdiri dan lari
meninggalkan ruangan itu.
Amy lari ke atas. Namun sebelum ia sempat membuka pintu
kamarnya, sesuatu menghentikannya. Firasat. Firasat yang
menyuruhnya pergi ke lantai paling atas.
Ia tak tahu dari mana datangnya perasaan itu. Tapi ia harus
mematuhinya. Amy memutarkan tubuh dan menaiki tangga ke lantai
paling atas. Perasaannya itu menyeretnya menyusuri koridor ke ruang baca
Angelica. Kakinya bergerak nyaris seolah-olah mereka memiliki
keinginan sendiri. Apa yang terjadi padaku"
Ia membuka pintu ruang baca itu"dan terkesiap dengan desis
tajam. Ia melihat pecahan kaca di bingkai jendela.
Nellie jatuh dari ruangan ini.
Jantung Amy memukul-mukul menyakitkan di dadanya.
Ia melihat kemoceng di atas lantai. Ia berjalan menghampirinya,
lalu memungutnya. "Oh, Nellie," gumamnya.
Kemudian Amy melihat kartu Angelica tergeletak di meja.
Tanpa berpikir, ia meraih kartu-kartu itu. Benda itu terasa hangat
dalam genggamannya. Menyambutnya.
Kata Angelica kartu-kartu itu bicara padanya. Mungkinkah
mereka yang telah memanggilnya naik"
Amy merinding. Tak mungkin, pikirnya. Namun ia tak begitu
yakin. Ia mulai mengocok kartu-kartu itu. Sekali lagi, ia merasakan
sensasi aneh yang mengusiknya; ia kehilangan kendali atas tangannya
sendiri. Tapi kali ini ia tidak melawan.
Dikocoknya kartu-kartu itu dengan ahlinya, seolah-olah ia telah
melakukannya ribuan kali. Tangannya tahu kapan harus berhenti.
Kartu paling atas nyaris bagai merayap di bawah ujung
jemarinya. Ia membaliknya. Kartu Kematian. Tengkorak yang nyengir balas menatapnya, lubang matanya
kosong melompong. Tengkorak itu mengenakan baju zirah dan
menunggang kuda putih melewati lanskap hitam yang hangus. Satusatunya warna di gambar itu adalah umbul-umbul merah di puncak
topi baja si tengkorak. Merah.
Merah seperti darah Nellie.
Hari ini kematian telah menyentuh Amy" meskipun itu bukan
kematiannya sendiri. Inikah pesan yang ingin disampaikan kartu-kartu itu" pikirnya.
Tidak. Rasanya belum semuanya.
Memejamkan mata, Amy merasakan kekuatan itu
membimbingnya. Diselipkannya kartu Kematian itu ke dalam
tumpukan dan dikocoknya lagi.
Sekali lagi, ia tahu kapan harus berhenti. Dibukanya matanya.
Kemudian dibalikkannya kartu paling atas.
Kematian. Tak ada yang perlu ditakuti, ia mengingatkan dirinya sendiri.
Kartu-kartu itu hanya mengulangi pesan yang sama.
Ia baru akan meletakkan kembali kartu-kartu itu"ketika
menemukan dirinya mengocoknya kembali.
Ia sudah tahu kartu apa yang bakal ada di paling atas. Tapi tetap
saja ia membalikkannya. Ia harus melakukannya.
Kematian. Tengkorak itu nyengir padanya.
"Amy?" Suara David mengejutkannya. Amy menjatuhkan kartu-kartu itu
ke meja, lalu berbalik. Wajahnya pasti tampak berantakan, sebab
David kemudian menghampiri dan menyambar tangannya.
"Mestinya kau tidak kemari," ia berkata seraya melayangkan
pandang menatap jendela yang pecah.
"Aku harus," sahut Amy. "Jangan khawatir. Aku takkan
pingsan. Apa yang kaulakukan di sini?"
Cahaya matahari jatuh berkilauan di penutup matanya yang
hitam. "Aku ingin memastikan kau baik-baik saja. Kau memang
bilang begitu. Tapi aku tidak yakin kau berkata yang sebenarnya."
"Kurasa aku tidak apa-apa." Amy ragu sebentar, tak yakin
bagaimana reaksi David ter-hadap pertanyaannya. Walau begitu ia
bertanya juga. "Kau benar-benar percaya seseorang bisa melupakan
sesuatu seperti ini" Melupakan bagaimana seseorang mati dengan cara
mengerikan seperti ini?"
Wajah David mengeras, nyaris marah. Suasana hatinya cepat
sekali berubah, pikir Amy.
"Kuharap kau bisa, tapi aku sendiri tidak," sahutnya.
Amy memeluk dirinya sendiri. "Kejadiannya begitu cepat.
Sesaat ia masih hidup, dan saat berikutnya... hancur remuk. Rasanya
seperti mimpi. Kalau saja aku bisa menemukan cara untuk bangun
dari mimpiku, segalanya akan kembali seperti dulu lagi."
David menatapnya lama sekali. "Aku tahu," akhirnya ia berkata.
"Dalam perang pun seperti itu. Sesaat orang-orang masih bertempur di
sisiku. Namun sesaat kemudian, mereka telah mati."
Amy nyaris tak bisa membayangkan bagaimana rasanya
menghadapi kematian demi kematian. Tak heran Angelica melihat
bahwa David telah berubah. Perang akan mengubah siapa pun.
Namun Amy tak percaya David kini suka membunuh. Ia bisa
merasakan kepedihan dalam suaranya saat pemuda itu berbicara
mengenai orang-orang yang telah tewas.
Amy mendesah. "Mana mungkin Nellie terjatuh dari jendela
itu" Mana mungkin kecelakaan seperti itu bisa terjadi?"
"Itu bukan kecelakaan," ujar David parau.
Bab 8 SATU minggu berlalu sejak kematian Nellie. Tapi Amy tak bisa
berhenti memikirkannya. Setiap kali memejamkan mata, ia melihat
tubuh Nellie yang hancur berantakan.
"Kau suka?" tanya Angelica.
Amy memaksa dirinya tersenyum. Dienyahkannya pikiranpikiran itu dari benaknya. Ia berputar di depan cermin untuk
mengagumi gaun kuning-mentega pemberian Angelica. Ini benarbenar gaun paling indah yang pernah dikenakannya, tapi dalam hati ia
masih was-was dirinya takkan bisa melebur dalam pesta malam ini.
Dipandangnya bayangan bibinya di dalam cermin. Angelica
duduk di atas tempat tidur, Julia dan Hannah di kanan-kirinya. "Aku
sangat menyukainya, Angelica. Terima kasih."
"Kalau saja aku ikut ke Pesta Dansa Panen," ujar Hannah. "Aku
akan mengenakan gaun biru." Disibakkannya ikal rambutnya yang
pirang. "Dan aku akan berdansa sepanjang malam dengan David."
"Dia terlalu tua untukmu," gumam Julia.
"Cukup, Julia," tukas Angelica tajam.
Dia tidak terlalu tua untukku, pikir Amy. Dia berharap David
hadir di pesta malam ini.
Dia merasa terhanyut oleh pemuda itu. Meskipun Angelica
telah mengingatkannya, meskipun suasana hati David sering jelek,
Amy ingin bertemu lagi dengannya.
Dan ia ingin bertanya padanya apa sebenarnya yang
dimaksudkannya waktu ia mengatakan kematian Nellie sama sekali
bukan kecelakaan. Mestinya ia langsung menanyakannya waktu itu. Tapi ketika itu
ia tak bisa bicara saking syoknya"dan David telah pergi sebelum
pikiran Amy bisa bekerja lagi.
Mungkin maksudnya Nellie telah melompat dengan sukarela.
Namun Nellie takkan pernah bunuh diri. Ia terlalu gembira, terlalu
hidup. Julia mendekati Amy dari belakang. "Aku ingin kau meminjam
gelang keberuntunganku," ia berkata. Diulurkannya gelang perak itu.
Leher Amy tercekat. Julia berusaha begitu keras agar disukai.
"Terima kasih, Julia. Kau baik sekali."
Julia nyaris tersenyum. "Kau tak mau meminjamiku" gelang konyol itu," gerutu
Hannah. Amy melihat Angelica sama sekali tidak menegur Hannah
seperti yang tadi dilakukannya terhadap Julia.
"Amy, kenapa kau tidak duduk di meja rias sebentar?" Angelica
berkata. "Aku ingin menyematkan beberapa kuntum bunga di
rambutmu." Amy menurut. Diperhatikannya Angelica di dalam cermin saat
wanita itu menyelipkan kuntum-kuntum mawar kuning di antara
gelungan rambut Amy yang merah kecokelatan.
"Aku juga mau!" seru Hannah.
"Sayang, bunga-bunganya hanya cukup untuk Amy," sahut
Angelica. "Tapi kita akan merendamnya di air sepulang dari pesta
nanti malam, dan kau boleh memakainya besok."
"Tapi aku ingin kelihatan cantik malam ini," gadis itu
bersikeras. "Aku ingin kelihatan secantik Amy!"
"Kau memang secantik Amy," ujar Angelica. "Mungkin malah
lebih cantik lagi," ia menambahkan sambil tersenyum.
*********** Amy berdiri bersama Angelica, memperhatikan orang-orang
yang tampan dan cantik yang memenuhi ruang dansa itu.
Ruangan itu sangat megah. Tiga kandelar raksasa berkilauan
bersimbah cahaya. Cahaya lilin dipantulkan berulang kali pada
dinding-dinding yang tertutup cermin. Sebuah para-para yang terdiri
atas ribuan mawar kertas berdiri di belakang meja hidangan.
Amy menelan dengan susah payah. Ia memainkan gelang perak
dengan jemarinya. Bisakah ia melebur" Ataukah ia akan menjadi satusatunya gadis yang tidak diajak berdansa"
Ia mengedarkan pandang memperhatikan gadis-gadis lain yang
kelihatannya begitu modis dan anggun. Ia merasa asing sama sekali.
Bahkan kalaupun seseorang mengajaknya berdansa, ia mungkin akan
tersandung kakinya sendiri.
Ia baru saja minta diri agar bisa kabur ke kamar kecil"ketika ia
melihat David. Pria itu sedang berdansa dengan seorang gadis yang sangat
cantik. Gadis mungil itu memiliki rambut yang hitam mengilat.
Tangan David yang terluka kelihatannya sama sekali tidak
menghalanginya. Malah sebenarnya ia tampak sangat menikmati
dirinya. "Wah, wah. Itu David. Dan Bernice Sutherland," komentar
Angelica. "Wah, dia telah menjelma menjadi gadis yang cantik. David
memang selalu memberi perhatian khusus terhadap gadis-gadis yang
paling cantik." Amy mengatakan pada dirinya sendiri bahwa ia tidak peduli.
Namun tetap saja ia merasa seolah-olah sesuatu yang berat telah
diletakkan di dadanya. "Oh, Mrs. Fear!" seseorang memanggil.
Amy berbalik dan melihat seorang gadis jangkung yang sangat
pirang berjalan menghampiri mereka. Gadis itu mengenakan gaun
sutra berwarna biru langit. Gaun itu sama persis dengan warna
matanya. "Halo, Chantal," ujar Angelica. "Amy, ini Chantal Duvane,
putri salah satu teman lama keluarga."
Chantal memandang Amy tanpa bicara. Kemudian ia berpaling
kembali pada Angelica. Amy merasakan wajahnya merah padam. Jelas sekali Chantal
memutuskan bahwa ia tidak cukup penting untuk diajak bercakapcakap.
"Tidakkah Anda perhatikan bahwa tetangga tampan Anda telah
memutuskan untuk da?tang?" tanya Chantal.
"Tetangga tampan yang mana, ya?" Angelica balas bertanya.
"David Hathaway, tentu saja," gadis itu menyahut.
"Ya, aku tahu," sahut Angelica. "Tapi kelihatannya Bernice-lah
yang pertama kali melihatnya."
"Oh, dia akan bosan terhadap Bernice setelah dansa pertama,"
tukas Chantal. "Gadis itu benar-benar tolol, dan David selalu
menyukai gadis-gadis yang penuh semangat."
"Yah, tak seorang pun pernah menuduhmu kekurangan
semangat," Angelica berkata sambil tersenyum.
Angelica bahkan tidak berusaha melibatkanku dalam
percakapan ini, pikir Amy. Belum pernah ia merasa jengah seperti ini,
berdiri di sebelah gadis anggun ini.
Amy memaksa dirinya tersenyum"berjaga-jaga kalau-kalau
David memandang ke arah mereka.
David berdansa melewati mereka bersama partner-nya. Mata
Chantal langsung berkilat-kilat, campuran damba dan cemburu yang
amat dikenal Amy tampak di sana.
"David tampan sekali malam ini, bukankah begitu?" tanya
Chantal. "Penutup matanya sama sekali tidak merusak rupanya. Tapi
wajah tampan memang sudah menjadi warisan dalam keluarganya."
Angelica tertawa. Amy sampai terpaksa mengertakkan giginya.
Kentara sekali Chantal tertarik pada David. Amat sangat tertarik.
Gadis itu membuka kipasnya. "Mrs. Fear, aku tahu Ibu sudah
memberitahu Anda bahwa kami bermaksud menghadiri jamuan
makan malam Anda bulan depan."
"Ya, memang." Alis kanan Angelica terangkat.
"Yah..." Si pirang ragu sebentar, tangannya mengipasi dirinya
sendiri. "Aku tahu keluarga Hathaway akan hadir juga. Aku akan
sangat berterima kasih bila Anda bersedia mengatur agar aku duduk di
sebelah David." "Kelihatannya David berhasil merebut hati seorang gadis lagi,
Amy," seloroh Angelica.
Dia berusaha membuatku tidak tertarik pada David, pikir Amy.
Musik berakhir. Pandangan Amy kembali ke tempat ia terakhir
kali melihat David. Ia terpaku kaget ketika dilihatnya pemuda itu berjalan ke
arahnya. Atau ke arah Chantal. Ia mungkin akan mengajak gadis
pirang itu berdansa. David membungkuk memberi salam. Kemudian ia mengulurkan
tangan. "Maukah kau berdansa denganku, Amy?"
Ia baru saja berpaling. Terkesiap, Amy memutar tubuhnya
kembali. Dan ketika melakukannya, tanpa sengaja ia melihat wajah
Angelica. Matanya yang hijau telah berubah keras dan dingin.
Kebencian menipiskan mulutnya.
Tapi Amy tak peduli. David telah mengajaknya, bukan Chantal.
Ia merasa dirinya melayang-layang.
"Aku senang sekali berdansa," ia bergumam.
Meraih tangannya, David membimbingnya ke lantai dansa.
Dipeluknya pinggang Amy dengan tangannya yang sehat. "Kau cantik
sekali malam ini," ia berkata.


Fear Street - Sagas Ii Rumah Bisikan House Of Whispers di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku... Itu karena gaun ini," sembur Amy. Benar-benar ucapan
yang tolol! Chantal mungkin tahu bagaimana menyahuti setiap
ucapan. "Tidak, bukan karena gaun itu," sahut David. Ia mempererat
pelukannya sedikit, cukup erat hingga jantung Amy berdebar kencang.
Belum pernah ia merasa seperti ini.
Terlalu cepat, musik pun berakhir. David masih memeluknya
selama beberapa saat, sebelum kemudian mundur selangkah. Dansa
mereka telah usai. Amy baru saja akan kembali ke Angelica, namun
David mengulurkan tangannya dan menyentuh tangan Amy.
"Kau mau punch?" ia bertanya.
Amy mengangguk senang. David menyelipkan tangan gadis itu
ke lekuk tangannya dan membimbingnya ke meja hidangan.
Ia berhenti di sebarisan kursi di sepanjang dinding. "Tunggulah
di sini," ia berkata, membimbingnya duduk di salah satu kursi. "Aku
akan segera kembali."
Amy memperhatikannya pergi ke meja hidangan. Di meja itu
tampak daging dan turki, kue kering dan aneka bolu. Mangkukmangkuk perak besar penuh buah-buahan. Kandil-kandil perak penuh
lilin-lilin yang tinggi dan putih. Cahaya lilin tampak berkedip seirama
dengan musik. Di ujung meja tampak wadah punch yang terbuat dari kristal.
Wadah berbentuk angsa itu mengapung-apung di atas hamparan
mawar kertas yang sama dengan mawar-mawar di para-para.
Amy memperhatikan para-para besar yang menjulang di
belakang meja panjang itu. Ia mencoba membayangkan berapa banyak
orang yang telah bekerja keras membuat semua kuntum mawar dari
kertas dan kawat itu. Mengagumkan sekali.
Ia menoleh dan melihat Bernice Sutherland memeluk David dan
mengajaknya ke tempat sempit di antara tiang para-para dan dinding.
Tidak apa-apa kok, Amy memberitahu dirinya.
Tapi sebenarnya apa-apa. David telah melupakannya. Bisabisanya ia berpikir pemuda itu telah memilihnya dari semua gadis
yang cantik dan anggun ini"
Air mata mengaburkan pandangannya, mengubah cahaya lilin
menjadi bayang kabur keemasan.
Amy mengusap matanya yang basah. Namun kilauan yang
sangat terang itu tak mau pergi, malah semakin terang saja.
"Kebakaran!" seseorang berteriak.
Para pemain musik sekonyong-konyong berhenti bermain.
Seorang wanita menjerit. Orang-orang melesat ke pintu. Saling
mendorong. Membalikkan kursi dan meja-meja. Piring dan gelasgelas jatuh berpecahan di atas lantai.
Amy tak bisa bergerak. Tidak sampai ia tahu bahwa David
aman. Ia berlari ke tempat David dan Bernice tadi menghilang,
bersusah payah menyeruak di antara kerumunan orang.
Ia bisa melihat meja hidangan yang panjang. Di belakangnya
api dengan rakusnya menjilati tiang para-para. Lidah api menyambar
tirai, melompat dari satu jendela ke jendela yang lain.
"David!" teriaknya. "Kau di mana?" Amy mendekat dengan
susah payah. Ia harus menemukan pria itu.
Api bagai meledak saat melahap kuntum-kuntum kertas di tiang
para-para. Bunga api dan abu yang hitam berhamburan ke manamana.
Amy terhuyung-huyung mundur. Diangkatnya tangannya untuk
melindungi wajah dan rambutnya dari hujan bunga api.
Kemudian seseorang tiba-tiba keluar menembus tiang-tiang
para-para yang terbakar api. Seorang wanita. Bernice Sutherland. Ia
melolong kesakitan. Bagian belakang gaunnya terbakar. Nyala api menjilati seluruh
gaun sutranya. Terlalu cepat. Dalam sekejap seluruh gaun itu sudah
terbakar api. Dan kemudian rambutnya ikut terbakar.
Menjerit kencang, Bernice menepis-nepis api itu sambil berlari.
Amy mencoba menangkapnya. Namun Bernice berputar menghindar,
masih terus menjerit-jerit.
Amy menyambar taplak meja dan berlari mengejarnya.
Api menghambur dari pakaian Bernice, dari rambutnya.
Cabikan pakaian yang telah hangus berlepasan dan jatuh berasap di
atas lantai. Ia terus menjerit, suaranya keras dan tinggi.
"Bernice, hentikan!" teriak Amy. "Jangan lari."
Bernice berbalik dan menghadapinya.
Amy menahan napas. Kulit Bernice menggelembung seperti lilin yang baru .
mendidih. Sebagian kulitnya terkelupas dan jatuh setiap kali ia
menjerit. Rambutnya melekat di tempurung kepalanya, membentuk
gumpalan-gumpalan yang mendesis.
Kemudian kulitnya berubah warna seperti arang, hitam seperti
daging yang terlalu lama dibakar di atas panggangan. Ia kelihatan
seperti boneka, seperti orang-orangan sawah yang terbakar, seperti apa
pun selain manusia. Amy melemparkan taplak meja itu ke atas tubuh gadis yang
terbakar itu hingga apinya padam.
Bernice terjatuh ke lantai. Asap keluar dari balik taplak meja
itu. Asap itu bau rambut, kain, dan daging yang terbakar.
Jeritan Bernice tiba-tiba berhenti. Ia sudah tidak kesakitan lagi
sekarang, Amy berkata pada dirinya. Setidaknya ia sudah tidak
kesakitan lagi. Bunga-bunga api berhamburan di sekeliling Amy. Ia
menengadah. Tiang-tiang para-para yang besar itu bergerak-gerak
maju-mundur. Kayunya berderak seperti binatang yang mengerang kesakitan.
Tak ada waktu untuk lari. Amy menyentakkan tangannya ke
atas saat tiang para-para yang dijilat api jatuh tepat ke arahnya.
Bab 9 MEJA hidangan itu terbalik dengan suara keras! Amy
merasakan semburan panas menyerang wajahnya.
Kemudian ia terlempar ke belakang.
Dan mendarat dengan entakan yang membuat napasnya
melompat keluar dari paru-parunya. Sesuatu yang keras mendarat di
atasnya. Dunia bagai pecah menjadi titik-titik hitam.
Kemudian pandangannya kembali jelas. Ia menemukan dirinya
tergeletak di lantai. Setengah tubuh David terbaring di atasnya.
"Kau tidak apa-apa?" tanya pemuda itu, napasnya memburu.
Amy terbatuk, asap membuatnya tercekik. "David... kau
menyelamatkan aku." Lelaki itu bangkit berdiri. Ditariknya Amy ke sisinya. "Lain kali
aku menyuruhmu menunggu, kau harus menuruti kata-kataku!"
bentaknya. Sebelum Amy sempat mengucapkan sesuatu, David
mencengkeram bahunya dan memutarnya ke pintu terdekat. "Ayo,
keluar dari sini," geramnya.
"Tapi bagaimana dengan kau?"
"Aku akan baik-baik saja." Didorongnya Amy. "Sekarang,
pergilah! Sebelum nasibmu berakhir seperti Bernice."
Mendengar itu Amy bergerak. Ia tak yakin apakah dirinya
sebenarnya lari dari pemuda itu atau dari api. Ia menoleh untuk
terakhir kalinya. Namun David telah lenyap.
Amy terhuyung-huyung melewati tubuh Bernice. Segumpal
asap melayang-layang di atasnya. Lebih gelap daripada asap yang
lain. Lebih hitam dan tebal. Menguar dari setiap jengkal kain yang
menutupi tubuh Bernice. Dari balik panasnya api, sesuatu yang dingin merayapi tulang
punggung Amy. Pergi. Ayo pergi, ia memerintahkan dirinya. Ia meluncur ke
luar, batuk dan tersedak.
Udara terasa lengket, sarat oleh janji akan turunnya hujan.
Setelah terkepung asap di dalam sana, udara seperti ini pun terasa
seperti surga. Amy menarik napas dalam-dalam.
"Amy!" seru Angelica.
Amy berbalik dan menemukan bibinya berjalan ke arahnya.
Tatapan mereka bertemu. Dari balik kerumunan orang, rasanya Amy
melihat nyala api kecil menari-nari di mata Angelica.
Perasaan dingin merayap cepat di punggungnya.
Kemudian, secepat munculnya, bayangan itu lenyap. Mata
Angelica kembali normal. Amy mengembuskan napas lega.
"Amy, Sayang," gumam Angelica. Diraihnya kedua tangan
gadis itu. "Kami sangat mengkhawatirkanmu!"
"Bernice tewas," bisik Amy. "Tubuhnya terbakar, dan sekarang
dia mati." Amy memeluk dirinya sendiri dengan kedua tangannya,
mencoba berhenti gemetar. "Aku mau pulang."
Angelica meremas tangannya. "Aku akan mengantarmu
pulang." Amy menggelengkan kepala. Ia tak ingin pulang ke mansion
Fear. Ia ingin pulang ke rumahnya sendiri. Ke Maurepas. Ke ayah dan
ibunya. Tapi ia tidak bisa. Ia terperangkap di sini.
*********** Amy bergelung di balik selimut. Tapi ia takut tidur. Ia tahu
mimpi-mimpinya akan penuh dengan kematian.
Dua orang telah tewas di depan matanya" Bernice dan Nellie.
Kalau saja semua itu tak pernah terjadi. Kalau saja ia bisa
melupakannya. Kalau saja...
Tiba-tiba sebuah pikiran membuatnya terduduk di atas tempat
tidurnya. Dua orang telah mati. Kartu-kartu Angelica telah mencoba
memberitahunya bahwa akan ada lebih banyak kematian lagi setelah
Nellie, tapi Amy tidak mengerti.
Ia merasakan jantungnya memukul-mukul di lehernya. Ia telah
membalikkan kartu Kematian tiga kali. Ada satu orang lagi yang bakal
tewas. Akan ada satu lagi.
Amy bergidik. Siapa lagi yang akan mati"
Ini pasti mimpi buruk. Mimpi yang sangat buruk. Sebentar lagi
dia akan terbangun di atas tempat tidurnya di rumah dan segalanya
akan baik kembali. Tapi sekarang pun dia sudah bangun. Dan dia tidak di rumah.
Tuk, tuk, tuk. Sesuatu memukul-mukul jendelanya. Siapa di luar sana"
Amy melompat dari balik selimutnya dan tergopoh-gopoh
menghampiri jendela. Ia mengintip dari balik tirai.
David berdiri di halaman di bawah sana. Ia melambai
menyuruhnya turun. Mau apa dia" Amy menyambar baju rumahnya dan
mengenakannya. Tanpa bersuara ia menyelinap keluar dari kamarnya
dan turun ke bawah. Dia menahan napas setiap kali papan lantai berderit. Angelica
bakal marah sekali bila ia memergokinya menyelinap keluar untuk
menemui David. David menantinya di pintu belakang. Diraihnya tangan Amy
dan ditariknya semakin jauh ke tengah halaman. Di sana mereka
takkan terlihat dari rumah.
"Aku menyesal telah bersikap kasar padamu malam ini. Hanya
saja aku harus mengeluarkanmu dari sana secepat mungkin. Aku ingin
memastikan kau baik-baik saja," David menjelaskan.
"Aku tidak apa-apa kok," sahut Amy. "Aku cuma tidak bisa
tidur. Takut mimpi, sungguh."
"Aku juga tahu tentang mimpi buruk." David menolehkan
kepalanya, dan sinar bulan tampak memantul di atas penutup matanya
yang hitam. "Ada banyak sekali yang tak ingin kuimpikan."
"Dari perang?" tanya Amy.
David mengangguk. Mulutnya menegang, dan kerutan di
dahinya semakin dalam. Amy kembali bergidik. Dan itu membuatnya malu.
Ditautkannya kedua tangannya erat-erat agar David tidak
memperhatikan. Tapi David melihatnya. Ia punya perasaan pria itu
melihat lebih banyak dengan satu mata daripada yang dilihat oleh
kebanyakan orang dengan dua mata.
Ia mengulurkan tangannya, namun kemudian
mengurungkannya. "Aku menyesal kau terpaksa menyaksikan
kejadian mengerikan seperti itu," ia berkata.
"Itu pesta dansa pertamaku." Amy bersidekap. "Dan aku tak
yakin ingin menghadiri pesta dansa lagi"sampai kapan pun."
Kali ini David tidak ragu. Diselipkannya tangannya di
sekeliling pinggang Amy dan ditariknya gadis itu ke sisinya. Amy
menghela napas saat kehangatan tubuh pemuda itu merembes ke
tubuhnya. "Bagaimana terjadinya?" tanya Amy.
"Bernice ingin bicara padaku," sahut David. "Empat mata.
Katanya penting. Jadi kami pergi ke balik tiang para-para, agar bisa
sendirian." "Aku tahu. Aku melihat kalian." Amy teringat bagaimana
rasanya melihat David dengan gadis lain.
"Semula aku berniat langsung kembali," ia meyakinkan Amy.
"Begitu kami jauh dari keramaian, Bernice mulai mengeluh karena
aku telah berdansa denganmu. Kukatakan padanya itu bukan
urusannya, dan mulai berjalan meninggalkannya. Dia menyambar
tanganku." David sangsi. "Aku tak yakin apa yang terjadi selanjutnya.
Ketika aku berbalik, tiang para-para itu telah terbakar."
Rahang David menegang. "Kejadiannya cepat sekali. Sesaat
segalanya baik-baik saja. Lalu sesaat kemudian... Bernice sudah
terbakar." David yang malang, pikir Amy. Sudah terlalu banyak yang
dialaminya"dan sekarang ini.
"Bisa kurasakan panas menyembur dari tubuhnya. Matanya
membeliak lebar, seolah-olah ia terkejut. Kemudian ia mulai menjerit.
Aku mengejarnya, Amy. Aku mungkin bisa menolongnya ketika itu.
Tapi dia kabur." "David?" Amy ingin mengatakan padanya bahwa ia tahu itu
bukan salahnya. Tapi David terus mencerocos.
"Apa pun yang disentuhnya terbakar," ia melanjutkan.
"Sangkaku aku sudah tahu semua cara mengerikan untuk mati. Tapi
aku keliru. Kematian Bernice adalah hal terburuk yang pernah kulihat
selama ini." Amy memeluknya. Memeluknya erat-erat.
David mengembuskan napas. Panjang dan bergetar. "Amy,"
gumamnya, suaranya rendah dan tegang.
Ia menarik kepalanya ke belakang, lalu menunduk menatap
gadis itu. Kemudian ia menciumnya. Bibirnya terasa hangat dan keras.
Amy menarik diri, ditatapnya pemuda itu dengan terkejut.
Jantungnya berdebar kencang di dalam dadanya.
"Aku harus meninggalkan New Orleans selama dua hari," ia
memberitahu Amy. "Tapi aku ingin menemuimu begitu aku kembali."
"Angelica tidak akan?"
"Aku tahu." "Temui aku di sini, di kolam ikan ini. Lusa," David berkata.
"Pada waktu seperti sekarang."
"Ya," janji Amy. "Aku akan ada di sini."
David tersenyum padanya, senyum berlesung pipi yang
membuat jantung Amy berdebur semakin cepat. Dan ketika itulah
Amy sadar ia mencintai pemuda itu.
Sekali lagi David menciumnya. Kemudian ia mundur


Fear Street - Sagas Ii Rumah Bisikan House Of Whispers di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

selangkah, menggenggam tangan Amy seuluran tangan. "Berhatihatilah, Amy. Hal-hal aneh terjadi, dan semuanya terlalu dekat
denganmu. Jangan percaya siapa pun juga."
"Tapi aku percaya padamu," protes Amy.
"Jangan," tukas David tajam. Diguncangnya tubuh gadis itu
pelan. "Kau tak boleh mempercayai siapa pun"terlebih aku."
BAGIAN DUA Rumah Kematian Bab 10 AMY duduk di atas tembok rendah yang mengelilingi kolam
ikan itu. Bulan sabit tipis tampak menghiasi langit yang berwarna
hitam-beledu. Bayang-bayang terhampar tebal menyelimuti halaman,
dan angin yang bertiup pelan mengembus dedaunan.
Amy mengulurkan tangan membelai permukaan air yang
tenang, membuyarkan bayang-bayang bintang di atasnya. Ia ingin
sekali bertemu David hingga rasanya seluruh dunia telah berhenti
bergerak. Dua hari belakangan ini sepertinya bergerak sangat lambat.
"David," ia berbisik.
Pemuda itu menyuruh Amy untuk tidak mempercayainya. Tapi
Amy tahu, David sebenarnya ingin ia percaya padanya. Kalau tidak,
mengapa ia meminta Amy menemuinya" Mengapa ia mencium Amy
dengan penuh gairah"
Malam amat sempurna, dan sebentar lagi David akan
bersamanya lagi. Kalau ia mempercayai pemuda itu, Amy tahu ia bisa
membantu David percaya pada dirinya sendiri lagi.
Setengah jam berlalu. Lalu setengah jam lagi. Tapi David
belum muncul-muncul juga. Amy jadi gelisah. Apa yang terjadi pada
pemuda itu" Tak mungkin ia lupa, ya kan"
"Amy?" sebuah suara berbisik.
Amy menyentakkan kepalanya ke arah suara itu. "Siapa di
situ?" desaknya. Julia berjalan keluar dari balik bayangan. Ia hanya mengenakan
sehelai gaun tidur berwarna putih. Kakinya yang telanjang basah oleh
rerumputan yang berembun.
"Apa yang kaulakukan di luar sini, Julia?" Amy bertanya.
"Aku melihatmu dari jendela kamarku," gadis itu menjawab.
"Apa yang kaulakukan di luar sini selarut ini?"
"Hanya sedang menikmati udara malam," sahut Amy.
Julia bersidekap. "Kau sedang menunggu David, iya kan?"
"Aku, ah..." "Kata Ibu, kau harus menjauhinya," tukas Julia.
"Yah, kurasa ibumu keliru," kilah Amy, marah karena Angelica
telah mengambil keputusan seperti itu baginya. "David lembut dan
baik hati, dan dia telah menyelamatkan nyawaku."
Cahaya memantul dari gelang perak Julia saat ia memutarmutarnya di pergelangan tangannya. "Hari ini Mrs. Hathaway datang
menanyakanmu," katanya akhirnya.
"Benarkah?" tanya Amy terkejut.
Julia mengangguk. "Kemarin juga. Ibu mengatakan padanya
bahwa kau sangat terpukul oleh kejadian di pesta dansa itu, dan tidak
bisa bertemu siapa pun."
"Dia tidak berhak melakukan hal itu." Amy bangkit berdiri, ia
marah sekali. "Ini hidupku, dan aku akan berteman dengan siapa pun
yang kuinginkan!" sergah Amy.
Kemudian, melihat kesedihan di wajah Julia, Amy
melembutkan nadanya. "Aku tahu itu bukan salahmu."
Julia mengangguk. "Kau temanku, Amy. Jangan khawatir. Aku
tidak akan memberitahu Ibu tentang pertemuanmu dan David. Tapi
berhati-hatilah di dekat Hannah. Dia suka mengadu. Dia senang kalau
orang lain dapat masalah."
Julia melepaskan gelangnya dan mengulurkannya pada Amy.
"Kurasa kau memerlukan keberuntungan lagi."
"Terima kasih, Julia." Amy tersenyum lemah padanya. "Tapi
aku sudah beruntung kok. Aku kan memiliki kau sebagai teman, iya
kan" Nah, sekarang lekaslah kembali ke tempat tidur."
Julia tersenyum dan berjalan tanpa suara menuju rumah. Gaun
tidurnya seperti melayang-layang di sekelilingnya.
Amy kembali duduk di atas tembok. Namun kemarahan masih
menggelegak di sekujur tubuhnya. Benar, ibunya telah meminta
Angelica untuk menjaga Amy. Tapi Angelica keterlaluan.
"Di manakah kau, David?" ia berbisik.
Waktu bergulir pelan. Ia seharusnya masuk saja sekarang.
Namun sebaliknya ia malah tetap di situ, berharap David akan
muncul. Ia tidak mungkin lupa. Ia tak boleh lupa.
Amy teringat betapa marahnya pemuda itu ketika mengatakan
Amy tak boleh mempercayainya. Mungkinkah David telah
memutuskan untuk tidak bertemu dengannya lagi"
Tiba-tiba angin berembus melintasi kolam, membuyarkan
bayangan bulan. Ketika permukaan air kembali licin, bayangan bulan
telah berubah. Bulan itu telah berubah menjadi wajah seorang wanita.
Bintang-bintang berputar menjadi ikal rambut pucat di sekitarnya.
Amy menatap ke dalam air. Pelan ia menggoyangkan kepalanya
maju-mundur. "Tidak," bisiknya.
Ia memejamkan mata erat-erat. Lalu membukanya. Namun
masih saja ia melihat bayangan wajah wanita itu.
Aku kenal dia, Amy tersadar. Dia Chantal Duvane. Pucat,
cantik. Mulutnya menekuk membentuk senyuman.
Kemudian senyum di wajah Chantal lenyap. Matanya
membeliak. Wajahnya penuh kengerian.
Chantal mulai tenggelam. Mana mungkin" pikir Amy panik. Kenapa aku melihat semua
ini" Gelembung-gelembung meluap keluar dari hidung dan mulut
Chantal. Ia mengulurkan tangan ke atas, menampar-nampar
permukaan air. Amy harus melakukan sesuatu, apa saja. Dicelupkannya
tangannya ke dalam air. Namun tangannya menembus Chantal,
membuyarkan bayangan gadis itu.
Amy menarik kembali tangannya dari dalam air, dan bayangan
Chantal muncul kembali. Napas Amy tersentak keras dalam
kengerian. Chantal masih terus tenggelam. Perlahan, amat pelan.
Tolong! Chantal menjerit tanpa suara, matanya menatap mata
Amy lurus-lurus. Apakah ia bisa melihatku" Amy berpikir panik. Apakah ini
sungguh-sungguh terjadi"
Tiba-tiba David muncul di air di belakang Chantal. Tangannya
mencengkeram bahu Chantal begitu kencang hingga Amy bisa melihat
ototnya mengembung. "Tolong dia," bisik Amy. "David, tolong dia."
Chantal menoleh ke belakang, dan harapan menyala di matanya.
Kemudian David mulai menyeret Chantal ke bawah. Turun ke dalam
air yang gelap dan berputar.
Mata Chantal semakin lebar hingga seluruh bola matanya
tampak. Mulutnya menganga menjerit.
Namun tak satu suara pun keluar. Tak seorang pun bisa
mendengarnya. David menyeret Chantal ke bawah. Turun, turun, turun.
Amy mendoyongkan tubuhnya jauh-jauh di atas permukaan air,
memperhatikan. Memperhatikan. Jantungnya yang berdebar-debar
bergemuruh di dalam telinganya.
Chantal menjerit dalam keheningan yang mengerikan.
Kemudian ia lenyap dalam kedalaman air yang dingin dan gelap.
Dia terbenam! pikir Amy. David membenamkan Chantal!
"Tidak," bisik Amy. "Tak mungkin!"
Ia memandang ke dalam air. Tapi tak ada bayangan apa-apa di
sana. Air itu hitam pekat.
************* Keesokan harinya, Amy, Angelica, dan anak-anak pergi piknik
ke tepi Danau Pontchartrain. Kelembapan melayang rendah di udara
sementara matahari menyerap embun hari kemarin.
"Main yuk!" teriak Robert begitu kereta kuda mereka berhenti.
"Ayo kita main perang-perangan," Brandon mengusulkan. "Kau
bisa jadi Grant, dan aku Jeb Stuart."
"Aku tak mau jadi Yankee," keluh Robert.
Angelica tertawa. "Ayo sana, anak-anak. Tapi jangan jauh-jauh
dari Amy dan jangan dekat-dekat ke air."
Amy menggendong Joseph dan mengikuti anak-anak lainnya
saat mereka berlari melintasi lapangan. Anak-anak laki-laki masih
bertengkar mengenai siapa yang akan menjadi jenderal Yankee.
Akhirnya mereka sepakat semuanya menjadi pemberontak. Julia
menjadi perawatnya dan Hannah wanita mata-mata yang gagah
berani. Sambil mendesah, Amy duduk di atas batang kayu tumbang
memperhatikan mereka. Ia tidak banyak tidur semalam. Ia terus
bergolek ke kiri dan kanan, bertanya-tanya mengapa David tidak
muncul. Dan mengapa ia mendapat penglihatan mengerikan itu. Belum
pernah ia mengalami hal seperti itu seumur hidupnya.
Bayangan wajah Chantal yang menjerit-jerit menyerbu benak
Amy. Hentikan! Ia memerintahkan dirinya. Jangan pikirkan hal itu
lagi. Kau mencintai David. Kau tahu dia pria yang baik. Yang lain
tidak penting. "Amy, lihat!" panggil Joseph.
Amy menoleh, dan melihat sesuatu berwarna putih
mengambang di dekat tepi danau. Kelihatannya seperti gundukan
kain. Kemudian ia melihat sesuatu terjulur keluar dari gundukan itu.
Kelihatannya seperti tangan.
Tak mungkin. Tidak di sini. Danau biru dan tenang di bawah
siraman sinar matahari. Burung-burung melayang-layang di atas,
memanggil-manggil satu sama lain. Dahan-dahan pohon bergoyang
pelan dalam embusan angin.
Gundukan itu pasti tepat seperti yang disangkanya pertama
kali"gundukan kain. Mungkin ada dahan pohon tersangkut di
baliknya, dan dari jauh kelihatannya seperti tangan manusia.
"Pasti itu," gumam Amy. "Cuma dahan pohon." Ia mengalihkan
perhatiannya kepada anak-anak.
Namun kulit di belakang lehernya meremang, seolah-olah
sesuatu yang dingin telah menyentuhnya. Ia harus mencari tahu. Ia
harus memastikannya. Dengan jantung berdebar-debar, Amy berjalan menuju danau.
Ia menatap ke dalam air. Perutnya bergolak. Tidak, pikirnya. Tidak, tidak, tidak.
Chantal. Itu Chantal. Amy ingat kecantikan Chantal. Senyumnya yang penuh percaya
diri. Namun Chantal tak lagi tersenyum.
Ia tak lagi cantik. Ia mati. Tenggelam. Ikan telah memakan matanya.
Bab 11 JANTUNG Amy bergemuruh di kepalanya saat ia menatap
lubang mata Chantal yang berdarah-darah. Ikan telah menggerogoti
sebagian hidungnya juga. Dan hampir seluruh bibirnya.
Lumut hijau telah mulai menghiasi lidah Chantal yang bengkak.
Ia tenggelam. Persis seperti yang kulihat semalam, pikir Amy.
"Amy!" seru Julia. "Apa yang kaulakukan?"
"Jangan kemari," teriak Amy seraya menoleh ke belakang. "Lari
dan beritahu ibumu bahwa aku membutuhkannya. Dan jangan dekatdekat, kalian semuanya."
Mereka pasti merasakan ketakutan dalam suaranya, karena
bahkan Hannah pun langsung menurut tanpa membantah. Amy bisa
mendengar mereka memanggil ibu mereka sambil berlari.
Sesaat kemudian, Angelica telah datang.
"Amy, demi Tuhan apa..." Angelica terdiam. Kemudian
matanya membelalak. "Ya Tuhan."
"Chantal Duvane," ujar Amy pelan.
Ia seolah-olah kembali melihat David menahan Chantal di
bawah permukaan air. Melihat Chantal menjerit tanpa suara meminta
pertolongan. "Amy, ajak anak-anak pergi dari sini sementara aku mengurus
Chantal," Angelica memerintah.
Amy mengangguk, berusaha mengenyahkan bayangan
mengerikan itu dari pikirannya.
Ia berpaling dan merentangkan tangannya lebar-lebar, mengusir
anak-anak di depannya seolah-olah mereka sekumpulan ayam. "Ayo
pergi," ujarnya. "Tak ada yang harus dilihat di sini. Ayo kita lihat
makanan apa yang dibawakan ibu kalian." Anak-anak itu berlari di
depannya. Amy yakin sekali dia takkan pernah bisa makan lagi. Mata
Chantal... Ia menarik napas dalam-dalam dan menoleh memandang
Angelica. Sebentar. Apa yang dilakukan wanita itu"
Amy menelan dengan susah payah. Angelica sedang
membungkuk di atas tubuh Chantal" menyumpalkan saputangannya
ke lubang mata Chantal yang berdarah. Diperhatikannya saat Angelica
dengan hati-hati melipat saputangan itu dan menyelipkannya ke balik
korset gaunnya. Amy buru-buru berpaling dan mengikuti anak-anak. Ia tak ingin
Angelica tahu ia telah memergokinya.
Angelica melakukan hal yang sama pada Nellie, Amy teringat.
Hal yang persis sama. Dia mengusap darah dari wajah Nellie"dan
kemudian menyimpannya. Bisa-bisanya dia! Dan kenapa dia melakukannya" Benarkah
Angelica mempraktekkan ilmu hitam" Apakah dia, entah bagaimana,
menggunakan darah itu untuk meningkatkan ilmunya"
Atau mungkin, pikir Amy, kematian itu sendirilah yang menjadi
makanan bagi ilmu Angelica.
Mungkin... mungkin Angelica telah membunuh Chantal.
Tapi bagaimana dengan penglihatan Amy" Dalam
penglihatannya, Angelica tidak membunuh Chantal. Tidak, dalam
penglihatannya, David-lah pembunuhnya.
Mungkinkah entah bagaimana pikiran Amy berhubungan
dengan Chantal saat gadis itu terbenam.
Mungkinkah David yang... Bongkahan yang keras dan dingin menekan perut Amy.
David tidak datang semalam. Ke mana dia" Bersama siapakah
dia" Dan mengapa, mengapa dia mengingkari janji untuk bertemu
dengannya" Lalu muncullah pikiran yang paling jelek, paling jelek dari
semua pikiran terjelek. Tiga wanita telah mati"Nellie, Bernice, dan Chantal. Dan
David mengenal ketiganya.
Nellie telah mencoba memberitahu Amy sesuatu terrtang
pemuda itu. Bernice bersamanya tepat sebelum gadis itu tewas.
Chantal menginginkan perhatian David.
"Oh, David," bisik Amy.
Mungkinkah dia pembunuhnya" Mungkinkah Amy benar-benar
salah menilainya" Sejak pertama kali bertemu dengan David, dia


Fear Street - Sagas Ii Rumah Bisikan House Of Whispers di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

begitu terpikat padanya. Kenangan demi kenangan berkelebat di
benaknya"perhatian David terhadap ibunya, kelembutannya terhadap
Amy pada hari Nellie tewas, senyum hangatnya ketika mereka
berdansa bersama. Tak mungkin Amy begitu keliru tentang dirinya. Atau
sebaliknya, mungkinkah"
Kenangan-kenangan yang lebih buruk membanjiri benak
Amy"peringatan Angelica bahwa David senang membunuh dan
menikmatinya, David yang dengan marah mengatakan agar Amy tidak
mempercayainya. Dan penglihatannya. Penglihatannya yang
mengerikan. Aku takkan percaya. Tidak akan, pikir Amy.
Tapi tak ada lagi yang masuk akal.
Air mata yang hangat mengalir menuruni pipinya.
Penglihatannya masih jelas sekali. Ia bisa melihat David
menahan Chantal di bawah permukaan air. Sampai gadis itu mati.
Tidak, tak ada lagi yang masuk akal.
Pembunuhnya pasti David. **************** Malam itu, Amy menunggu sampai semua orang pergi tidur.
Kemudian ia menyelinap keluar dari kamarnya. Ia harus menanyai
kartu Angelica apa yang akan terjadi berikutnya.
Ia harus tahu apakah akan ada lebih banyak kematian lagi.
Sandalnya tidak menimbulkan bunyi di atas anak-anak tangga
kayu ek saat ia naik ke lantai paling atas. Birai tangga itu terasa dingin
di bawah tangannya. Apa yang akan dikatakan kartu-kartu itu padanya
malam ini" Perasaan dingin yang tiba-tiba bagai menusuk-nusuk
punggungnya. Bulu kuduknya meremang.
Seseorang tengah mengawasinya. Angelica-kah"
Ia memandang tangga yang gelap, namun tidak melihat apa
pun. Jantungnya mulai memukul-mukul dadanya saat ia teringat kisah
mengerikan Julia tentang tiang asap wajah. Tiang asap itu menangkap
Marcus, dan menelannya. Daging dan darah dan tulang.
"Itu cuma cerita," ia berbisik.
Benarkah" Banyak sekali kejadian aneh di mansion Fear ini.
Sebulan yang lalu dia akan menganggap semua itu tak mungkin
terjadi. Ia menahan napas, mendengarkan.
Apakah sekarang benda-asap itu sedang membuntutinya,
meluncur menaiki tangga"
Akhirnya ia berlari menaiki sisa anak tangga dan masuk ke
ruang baca Angelica. Ia menutup pintu ruangan itu. Aman!
Ditempelkannya telinganya pada daun pintu, tapi yang ada hanya
keheningan. Ia mendesah lega. Semua itu hanya imajinasinya.
Tak ada seberkas pun cahaya menembus lewat jendela. Hujan
mulai menciptakan kabut di kaca jendela. Namun dalam kegelapan
pun Amy dapat merasakan kartu-kartu itu. Merasakan mereka
memanggilnya. Datanglah ke kami, kartu-kartu itu sepertinya berkata.
Amy maju selangkah. Perasaan dingin membungkus di
sekelilingnya. Tangan dan punggungnya merinding.
Ia maju lagi selangkah. Sesuatu sedingin es bagai menembus
kulitnya sampai ke tulangnya.
Ini bukan rasa dingin yang biasa, pikirnya. Sesuatu, suatu...
kekuatan tidak menginginkan dia menyentuh kartu-kartu itu.
"Aku harus tahu apa yang akan terjadi selanjutnya," ia berbisik.
"Aku harus tahu!" Ia kembali melangkah.
Sangat dingin. Sedingin es. Dengan sekuat tenaga ia mencoba
maju terus. Kalau ia berhenti, ia tak yakin dirinya bisa mulai bergerak
lagi. Perlahan-lahan, ia kembali maju selangkah. Lalu selangkah lagi.
Kakinya terasa seperti mati.
Ia berhenti, dadanya sesak. Ketika ia mencoba mengangkat
kakinya lagi, tubuhnya tidak mau menuruti perintahnya.
Ia mencoba berteriak. Tapi rasa dingin itu membekukan
suaranya di dalam lehernya.
Ia tak bisa bergerak. Ia sama sekali tak bisa bergerak.
Bab 12 ANGIN sedingin es bagai melolong di telinga Amy.
Lengkingannya yang tinggi membenamkan segala suara.
Kelopak mata Amy terasa makin berat. Sekuat tenaga ia
berusaha agar matanya tidak terpejam.
Jantungnya sepertinya berdebar semakin pelan. Ia menemukan
dirinya menantikan setiap detaknya. Takut detakan itu tak pernah
datang. Benaknya terasa berat dan lamban.
Namun sebongkah kecil bara api masih berkobar jauh di dalam
dirinya. Dibungkusnya bara api itu dengan seluruh sisa tenaga yang
masih dimilikinya. Bara itu bagai melindunginya dari rasa dingin itu.
Jika nyala yang kecil dan berharga itu padam, Amy tahu ia akan
tersesat selamanya. Ia harus bergerak. Ia harus melawan. Namun bagaimana ia bisa
melawan sesuatu yang tak bisa dilihatya"
"Kekuatan itu adalah milikmu," Angelica pernah berkata.
"Yang harus kaulakukan adalah menggunakannya."
Ia harus menggunakannya sekarang. Kalau tidak, ia bakal mati.
Dipusatkannya seluruh perhatiannya pada bara kecil di dalam
dirinya. Kartu-kartu itu memanggilnya, bahkan menembus melewati
rasa dingin yang mendirikan bulu kuduk itu. Kalau saja ia bisa meraih
kartu-kartu itu, ia akan punya kesempatan.
Oh, tapi rasanya dingin, sangat dingin. Ia tak yakin bisa
membuat tubuhnya mematuhinya lagi.
Ia harus mencoba, atau menyerah dan membiarkan rasa dingin
itu benar-benar menguasainya.
"Aku... tidak... akan... menyerah!" ia menahan napas.
Mengumpulkan setiap energi yang masih dimilikinya, ia
memaksa kedua kakinya untuk bergerak. Satu langkah. Lalu
selangkah lagi. Ia sempoyongan, sama sekali kehilangan kendali,
terhuyung-huyung menuju meja.
Semakin dekat, semakin dekat... ia nyaris menyentuhnya.
Napasnya bagai bongkahan es yang keras di dalam dadanya.
Kakinya berhenti bekerja. Kelumpuhan merayap naik ke
jantungnya. Sesaat lagi, dan semuanya akan berakhir.
Amy melompat ke depan. Mengempaskan dirinya ke meja.
Tangannya berhasil meraih tepi meja. Mencengkeramnya dengan
sekuat tenaga, ia menarik dirinya maju.
Dilemparkannya salah satu tangannya ke seberang meja.
Tangannya menyentuh tumpukan kartu itu.
Rasa panas mengguyur tubuhnya. Panas yang berasal dari kartu
itu. Kebekuan lenyap dari kaki dan tangannya. Ia selamat.
Kemenangan mengalir cepat dan membara di setiap pembuluh
darahnya. Rasa dingin itu berputar mengelilinginya, menginginkannya
kembali. Amy memejamkan mata. Ia memusatkan pikiran pada
gelombang panas yang mengaliri sekujur tubuhnya. Kartu itu
berdenyut-denyut di dalam genggamannya. Rasa dingin yang
mengerikan itu mundur, surut pergi seperti es dari api.
Amy terenyak di atas kursi Angelica. Tangan dan kakinya
bergetar lega. Kematian begitu dekat dengannya, terlalu dekat.
Namun ia menang. Ia menggunakan kekuatannya, dan menang.
Ia telah mengalahkan kekuatan apa pun yang telah menciptakan rasa
dingin yang jahat itu. Ia telah mengalahkannya.
Kartu-kartu itu berdenyut di dalam genggamannya,
mengingatkannya pada tujuannya semula. Ia harus tahu apakah akan
ada lebih banyak kematian lagi... apakah David akan mengambil
korban lagi. "Sudah waktunya," ia bergumam.
Hujan turun semakin deras, memukul-mukul daun jendela. Petir
menyambar di kejauhan, cahayanya berkeriap di angkasa.
Amy menyalakan lampu dan meletakkannya di meja.
Diambilnya kartu-kartu itu dan mulai dikocoknya. Ia tak lagi takut
pada mereka. Kartu-kartu itu telah menyelamatkannya. Kekuatan
mereka telah menjadi kekuatannya.
Inilah kekuatan yang Angelica inginkan untuknya. Yang harus
Amy lakukan adalah belajar menggunakannya. Dengan caranya.
Bukan cara Angelica"tapi caranya.
Ia selesai mengocok. Kartu-kartu itu sepertinya bergerak sendiri
saat ia membaginya. "Beritahu aku tentang masa depan," bisik Amy. "Tiga kematian
telah terjadi. Apakah akan ada kematian lagi?" Diletakkannya kartukartu itu dengan susunan baru, tangannya bergerak cepat dan mantap.
Salah satu kartu itu segera menyita perhatiannya. Kartu itu
berlatar belakang biru. Di sana tampak seorang wanita pirang di atas
singgasana yang tinggi. Wanita itu memegang tongkat dan bunga
matahari di masing-masing tangan. Seekor kucing hitam duduk di
dekat kakinya. Amy menyusuri permukaan kartu itu dengan ujung jemarinya.
Ada sesuatu yang akrab pada diri wanita itu...
Amy terpaku. Wanita itu seperti Chantal.
Kartu itu tampak kabur, gambarnya pelan-pelan lenyap ditelan
latar belakangnya yang biru.
Kemudian permukaan latarnya yang biru seperti beriak.
Kelihatannya seperti... air.
Amy mengerjapkan mata, namun bayangan itu tak enyah juga.
Hamparan biru itu semakin lebar dan dalam, dan Amy pun
tersadar dirinya sedang memandang kolam ikan.
Ia merasakan dirinya melayang ke sana.
Tidak! Tidak! Ia tak ingin pergi ke sana.
Tapi entah bagaimana tubuhnya jadi lebih ringan daripada
udara. Tak kuasa melawan angin yang mendorongnya maju.
Ia tahu bagaimana bayangan ini akan berakhir"dalam
kematian. Tak ada jalan keluar.
Amy melayang-layang di atas kolam, beberapa senti dari
permukaannya. Chantal tersenyum padanya dari bawah air. Amy
mencoba memperingatkan gadis itu, tapi suaranya tidak mau keluar.
Senyum Chantal lenyap. Matanya semakin lebar oleh rasa ngeri.
Dan ia mulai tenggelam. Amy mengulurkan tangan ingin meraihnya. Ia tahu ia tak bisa
menyelamatkan Chantal, tapi ia harus mencoba. Tangan Amy
menyentuh permukaan air. Ia bisa merasakan ketakutan Chantal di dalam dirinya sendiri.
Entah bagaimana, ia dan Chantal jadi terhubung begitu Amy
menyentuh airnya. Ia bisa merasakan semua yang dirasakan gadis itu.
Air menyeret gaunnya yang berat, menahannya dari
keselamatan. Kengerian menciptakan cabikan-cabikan merah di depan
matanya. Paru-parunya terbakar. Ia harus bernapas. Tapi tidak bisa.
Ada air di sekelilingnya. Bila ia menarik napas, air akan
memenuhi paru-parunya. Rasa sakit menyengat dadanya. Paru-parunya menjerit
menuntut udara. Udara. Ia membutuhkan udara. Ia harus bernapas.
Amy melawan rasa sakit itu. Ia mengulurkan tangannya ke
bawah dan menangkap tangan Chantal. Sekuat tenaga ia mencoba
menarik gadis itu ke permukaan.
Otot Amy robek. Sebentar lagi tangannya akan lepas dari
engselnya. Tapi ia tak sudi melepaskan. Kalau saja ia bisa menghentikan
penglihatan yang mengerikan ini. Kalau saja ia bisa menarik Chantal
ke permukaan dan membuatnya hidup lagi...
Sosok samar tampak berenang dari kedalaman air. Seorang pria.
Dia mencengkeram bahu Chantal. Jemarinya menancap di tubuh gadis
itu. David. Itu David. David menyeret Chantal dari Amy. Menyeretnya ke bawah air.
Gelembung-gelembung bergelegak keluar dari mulut dan
hidung Chantal. Wajahnya berubah. Ia akan mati.
Dan di bawah sana, ikan-ikan menantinya.
Mereka akan menyerang bagian-bagian yang lembek dulu.
Amy memalingkan wajah. Dan menemukan dirinya
memandang lurus-lurus ke mata Chantal yang putus asa. Gadis itu
juga tahu. Ia tahu siapa yang ditunggu ikan-ikan itu. Apa yang akan
mereka lakukan padanya. Mulutnya terbuka dalam jeritan-jeritan ngeri tanpa suara.
Jeritan-jeritan kematian.
Segalanya berubah gelap. Aku akan mati, Amy berpikir. Aku
akan mati bersama Chantal.
Kemudian kontak di antara Chantal dan Amy putus.
Ia kembali bisa melihat dengan jelas. Ia menarik napas dalamdalam. Ia hidup.
Tapi sesuatu masih terjadi di dalam kolam ikan itu. Wajah
Chantal berubah. Wajahnya berubah dan membaur, seolah-olah dagingnya
meleleh jadi air. Garis-garis muncul di kening dan di sekeliling
mulutnya. Rambutnya yang pirang berubah cokelat bergaris kelabu.
"Tidak," Amy menahan napas. "Kumohon, tidak."
Wajah di dalam kolam ikan itu telah berubah menjadi wajah
Mrs. Hathaway. Mrs. Hathaway-kah yang akan mati berikutnya"
Itukah arti bayangan mengerikan ini"
Wanita yang lebih tua itu mengulurkan tangan ke arah Amy.
Meminta pertolongan. Memohon untuk hidup.
Mrs. Hathaway menjeritkan jeritan ngeri tanpa suara itu.
Kemudian David berenang ke belakangnya dan menyambarnya.
Diseretnya wanita itu jauh ke bawah permukaan air. Turun, turun.
Ke bawah, menuju ikan-ikan yang menanti-nanti.
Bab 13 "DAVID, hentikan!" teriak Amy, seraya melompat berdiri.
Bayangan itu lenyap. Amy menunduk menatap kartu-kartu itu. Sekujur tubuhnya
gemetaran. Sekarang ia sudah tahu kejadian yang sebenarnya. Ia
mengetahui yang sebenarnya. Ia tahu apa yang akan terjadi kelak.
Mrs. Hathaway akan menjadi orang yang tewas berikutnya.
Wasiat Malaikat Dewa 2 Pukulan Naga Sakti Karya Khu Lung Kehidupan Para Pendekar 2

Cari Blog Ini