Ceritasilat Novel Online

Sahabat Karib 1

Fear Street - Sahabat Karib The Best Friend Bagian 1


Bab 1 "Aaw... lepaskan. Sakit, tahu!"
Eric Fraser melepaskan cengkeramannya di kedua bahu Becka
Norwood. "Maaf. Aku tak bermaksud menyakitimu." Wajah pemuda
itu memerah. Ia menatap kaca depan mobil yang tertutup salju.
Becka bergeser menjauhi Eric sampai bahunya membentur
pintu mobil. Dirapikannya kerah mantelnya.
Kenapa aku duduk di sini berduaan dengannya" pikirnya. Aku
akan memutuskan hubunganku dengannya.
Kepingan salju yang besar dan basah terus berjatuhan. Semua
jendela diselimuti salju sekarang. Seperti berada dalam iglo, pikir
Becka, menggigil. Sambil menatap Becka dengan matanya yang kelam, Eric
mencondongkan tubuh, mendekati Becka.
Becka mengangkat tangannya untuk menghalangi cowok itu.
"Kita harus bicara," katanya, suaranya melengking di luar
kemauannya. "Bicara?" Eric terkekeh mendengar alasan itu. Becka sadar
bahwa ia tidak suka tawa genit cowok itu. Tawanya selalu mendadak
meledak pada saat tidak tepat.
Eric mengulurkan lengannya merangkul bahu Becka dan
berusaha menarik Becka lebih dekat.
"Jangan. Sungguh," Becka bersikeras sambil menghindar
melepaskan diri dari rangkulan Eric.
Eric kesal. "Kau ingin bicara apa?"
Becka menggigit-gigit ujung ibu jari tangannya, kebiasaannya
jika gugup. Beginilah, pikirnya. Perutnya terasa mual. Tenggorokannya
tersumbat. Becka sadar ia selalu gelisah berdekatan dengan Eric. Mereka
sudah berpacaran sejak sekolah dimulai September lalu. Lebih dari
tiga bulan. Tapi ia tidak pernah merasa santai bersama cowok ini.
Eric amat... amat membosankan.
Becka berhenti menggigiti ujung ibu jarinya, mengatupkan
kedua tangannya, dan meletakkannya di atas pangkuan. "Kupikir kita
perlu bicara tentang... semuanya." Udara terasa dingin di dalam mobil
yang diparkir di tepi hutan dengan mesin dimatikan, tanpa pemanas.
Becka menggigil lagi. Eric memutar bola matanya. "Kenapa kau selalu ingin bicara?"
Suaranya terdengar betul-betul tidak sabar. Nadanya marah.
"Kenapa kau tak pernah ingin bicara?" tanya Becka. Suaranya
bergetar. Perutnya terasa mengejang.
Jangan menangis, perintahnya kepada dirinya sendiri sambil
menggigit bibir bawahnya.
Ini bukan kiamat. Kau cuma akan memutuskan hubungan
dengannya. Kau bahkan tak menyukai hubunganmu dengannya
selama ini. Eric memalingkan wajahnya dari Becka dan mencengkeram
kemudi dengan kedua tangannya. "Kenapa aku kaupanggil?"
tanyanya. "Katamu kau ingin aku ke sini."
"Aku tahu." "Jadi kenapa kau ingin memulai pertengkaran" Aku sudah
minta maaf. Karena memegang bahumu terlalu keras. Aku tak
sengaja." Tangannya menyibakkan rambut cokelatnya yang dipotong
pendek ke belakang, merapikannya.
Jantung Becka berdebar-debar. Ia bergeser gelisah di jok mobil.
Di luar, angin bergemuruh, menerbangkan semakin banyak salju ke
kaca depan mobil. Jangan menangis, katanya kepada diri sendiri lagi.
Tenang saja. Untuk sekali dalam hidupmu, tenanglah.
"Menurutku sebaiknya kita tak kencan lagi." Nah. Sudah
kukatakan. "Apa?" Becka menoleh untuk melihat ekspresi wajah Eric yang
terkejut. "Kau sudah dengar."
Eric terkekeh. Tawa tak pantas yang mengerikan itu lagi. Ia
memindahkan tangannya ke kemudi, memutar-mutarnya terusmenerus.
"Menurutku sebaiknya kita mulai mencari orang lain," Becka
menambahkan, suaranya gemetar.
Jangan menangis. "Oke," sahut Eric. Wajahnya menjadi kosong"tanpa ekspresi
sama sekali. "Tak apa-apa."
Tiba-tiba Becka merasa harus menjelas-kan. "Menurutku kau
cowok yang hebat, Eric, tapi..."
Eric mengangkat tangannya untuk menghentikan Becka
meneruskan kata-katanya. Roman wajah cowok itu tetap kosong.
"Sudah kubilang tak apa-apa. Kau akan kuantarkan pulang, Becka."
Eric merapikan kerah jaket pembomnya yang terbuat dari kulit.
Kemudian ia memutar kunci kontak mobil. Mobil itu ngadat sejenak
sebelum mesinnya hidup. Tentu saja dia tenang-tenang saja menghadapi semua ini, pikir
Becka, sambil menggigiti ujung ibu jari tangannya dan menatap lurus
ke depan. Aku yang senewen. Kau memang selalu senewen, katanya kepada diri sendiri.
Kalau saja jantungnya akan berhenti berdetak begitu keras, ia
bisa merasakan urat-urat di pelipisnya berdenyut-denyut.
Eric menghidupkan penyeka kaca. Alat itu menyingkirkan salju
segar yang ringan dari kaca depan mobil, sehingga kegelapan malam
memenuhi mobil itu. Lampu-lampu utama mobil itu membentuk
terowongan menembus kegelapan, menerangi sebagian besar serpihan
salju yang berjatuhan. "Sori...," Becka memulai pembicaraan.
"Tak apa-apa," sahut Eric. Kakinya menginjak pedal gas, dan
mobil itu meluncur di jalanan yang tertimbun salju.
Haruskah dia tetap mengatakannya"
Kelihatannya dia sama sekali tak apa-apa, pikir Becka, semakin
kecewa. Becka berharap semuanya berlangsung dengan mudah. Tapi tak
semudah ini. Ia tidak ingin bertengkar.
Tampaknya mereka tidak melakukan apa-apa selain bertengkar
selama berminggu-minggu ini. Semua pembicaraan berubah menjadi
pertengkaran. Setiap kali hei keiu.in, mereka selalu berdebat. Atau
hanya cekcok. Itulah salah satu alasan Becka memutuskan unluk mengakhiri
hubungannya dengan Eric. Bill Planter merupakan alasan yang lainnya.
Ia tidak bermaksud membayangkan Bill malam ini.
Sambil menatap keheningan, salju yang berjatuhan, Becka
memikirkan Bill. Ia ingin tahu Bill sedang di mana, apa yang
dikerjakannya. Mungkin aku akan pergi ke rumahnya di Old Village, pikir
Becka. Hanya mampir. Mengabarkan aku sudah putus dari Eric.
Tidak. Tidak. Lupakan ide itu.
Orangtuanya akan membunuhnya jika tahu ia sedang berpikir
untuk kembali berkencan dengan Bill. Orangtuanya sangat lega,
sangat bersyukur ketika Becka mendepak Bill dan mulai berpacaran
dengan Eric. Tapi Eric sangat tidak dewasa. Selalu memancing pertengkaran.
Selalu terkekeh-kekeh. Selalu mencengkeramnya, mengasarinya.
Ia tidak bisa menyingkirkan Bill dari benaknya.
Ia menoleh kepada Eric. Mata cowok itu menatap lurus ke
jalanan di depannya. Disinari lampu utama yang menyilaukan,
sekarang salju tampak beterbangan ke segala arah.
"Jangan marah, ya," ujar Becka pelan.
"Tidak," jawab Eric. Ia mengangkat bahunya.
Eric mengangkat bahu dengan sangat biasa, sambil lalu, sangat
tenang, membuat amarah Becka timbul.
Kupikir dia juga ingin putus, pikir Becka. Kukira dia senang.
Itu bukanlah yang diharapkannya.
Ia tidak mengharapkan sikap itu. Seakan-akan bermingguminggu yang telah mereka lewatkan bersama tidak berarti apa-apa.
Sesuatu menyingkirkannya dalam sekejap.
Sekarang ia marah. Dan bingung.
Mengapa aku selalu harus memperlakukan segalanya dengan
lebih serius daripada orang lain" tanyanya pada diri sendiri.
Tepat pada saat itu Eric membelok ke Fear Street dan
menghentikan mobilnya di depan rumah Becka. Tubuh Becka
menggigil. Becka membuka pintu mobil. Embusan udara dingin
segera menyerbu masuk ke mobil.
"Sampai jumpa di sekolah," kata Eric ceria. "Sungguh lho."
Jahat sekali, pikir Becka tidak keruan.
Eric tak peduli denganku sama sekali.
Becka membanting pintu mobil di belakangnya. Eric tidak
menunggu sampai Becka masuk rumah. Eric memundurkan mobilnya
ke jalanan dan menghilang sementara Becka masih berdiri sambil
meraba-raba saku jinsnya untuk mencari kunci.
Pikirannya berputar-putar tanpa arah jelas, seperti salju yang
berjatuhan. Aku belum boleh masuk. Aku terlalu bingung.
Ia membawa kunci mobil orangtuanya dan kunci rumahnya.
Aku akan menemui Bill. Tidak, aku cuma naik mobil sebentar. Mencoba menenangkan
diriku sendiri. Ia berjalan menuju garasi, sepatunya berderak-derak di atas
salju segar. Pelan-pelan ia membuka pintu gulung, menaikkannya
sepelan mungkin, sehingga orangtuanya tidak akan mendengar.
Beberapa detik kemudian, ia keluar ke jalanan, lampu-lampu
utama mobil dimatikannya, kemudian mobil itu berderum menelusuri
Fear Street, roda-roda mobil menggelinding di bawahnya.
Salju itu amat indah, pikirnya, sambil menyalakan lampu utama
mobil, mencondongkan badannya ke depan untuk menatap kaca depan
mobil. Aku hanya akan naik mobil berkeliling kota, kemudian pulang.
Jantungnya masih berdebar-debar. Perutnya terasa seakan
melilit-lilit. Aku terlalu gugup karena akan putus dari Eric, pikirnya, sambil
berbelok ke Mill Road. Dan sekarang setelah melakukannya, aku
malahan semakin gugup. Ini tak masuk akal. Tapi itulah sifatku, Becka menyadari. Aku selalu lebih gugup
setelah sesuatu terjadi. Hadapilah, Nak, katanya pada diri sendiri, kau cuma gugup.
Titik. Aku harus menelepon Bill, pikirnya. Aku harus menelepon
Trish dan Lilah juga. Mereka akan terkejut karena aku putus dari Eric.
Lebih terkejut daripada Eric, pikirnya sedih.
Ia membayangkan Eric mengangkat bahu lagi. Wajahnya yang
kosong dan tak peduli. Siapa yang butuh dia" pikirnya.
Becka tenggelam dalam lamunannya, tidak melihat lampu
merah di perempatan jalan saat itu.
Ketika samping badan Corsica merah muncul di hadapan kaca
depan mobilnya, sudah terlalu terlambat.
Becka terkejut dan menginjak rem. Mobilnya meluncur kencang
menghantam mobil lain di depannya.
Ia memejamkan mata mendengar baja yang berderak dan kaca
yang hancur. Bab 2 " AKU tak percaya kau tak lecet sedikit pun!" seru Trish.
"Aku tidak ngebut," jawab Becka. "Karena salju itu. Mobil
kami bahkan tak rusak parah. Cuma satu lampu utama yang pecah."
"Kau sangat beruntung," kata Lilah.
"Hm... tidak tepat kalau dibilang beruntung," kata Becka kepada
mereka. "Ayahku memarahiku habis-habisan karena aku membawa
mobil tanpa minta izin."
Trish dan Lilah berdecak.
Siang itu adalah hari setelah kecelakaan itu terjadi, Sabtu cerah
dengan langit biru, tanah terselimuti salju, masih segar dan putih.
Becka dan kedua sahabatnya berada di loteng di kamar Becka, hangat
dan nyaman. Radiator tua yang ditempelkan di dinding berdesis.
Becka, memakai celana ketat hitam dan sweter wol biru yang
longgar, duduk di atas ranjangnya, punggungnya bersandar ke
tembok, kakinya disilangkan. Ia sedang berusaha mati-matian merajut,
segelondong benang rajut berwarna hijau pudar terletak di
pangkuannya. "Aku takkan pernah bisa. menyelesaikan sweter ini
sebelum Natal," gumamnya.
"Becka, hadiah buat siapa?" tanya Lilah, mengangkat kepalanya
dari karpet putih berbulu kasar tempatnya menelungkup sambil
membalik-balik majalah Sassy yang sudah usang.
"Sepupuku. Auw!" seru Becka. "Aku tertusuk." Ia mengangkat
jarinya untuk mengamat-amati lingkaran kecil darah merah yang
segar. "Sekarang darah ini akan menetes ke sweter."
Ia melemparkan rajutannya ke lantai dan mengaduk-aduk
lemari riasnya untuk mencari tisu.
"Aku merajut untuk menenangkan diri, tapi kelihatannya aku
tak bisa merajut hari ini," kata Becka sambil menekan-nekankan tisu
ke luka itu. "Setiap Natal aku dan sepupuku Rachel merajut sweter
untuk saling ditukar. Buatannya selalu sempurna, dengan setik-setik
kecil dan pola-pola kecil yang sempurna, dan punyaku..." Suara Becka
semakin lirih. "Sabarlah," hibur Lilah, sambil menutup majalah dan
membalikkan badan, tangannya diletakkan di bawah kepalanya. Lilah
memakai sweter Shadyside High warna merah marun dan putih serta
jins belel yang sobek di kedua lututnya.
"Kau perlu plester," kata Trish dari tempat duduk di bawah
jendela di seberang kamar. Ia sedang menatap salju yang menutupi
halaman depan. Kemudian ia menghampiri Becka untuk memeriksa
lukanya. "Bagaimana aku bisa merajut dengan jari diplester?" rengek
Becka. "Jelek?" canda Trish. Mata birunya berbinar-binar. Ia nyengir,
memamerkan bingkai giginya. Bingkai gigi yang telah dipakainya
selama setahun tapi masih membuatnya kurang percaya diri. Ia
memakai sweter abu-abu. Trish berbadan gemuk dan pendek, rambut
pirangnya yang keriting menutupi wajahnya yang jahil dan ceria.
"Aku suka model rambutmu," seru Lilah dari tempatnya di atas
karpet. "Yeah. Cakep sekali," Trish menambahkan penuh semangat.
Becka menatap bayangannya pada cermin rias. "Terlalu
pendek," ujarnya ragu-ragu.
"Nggak kok," Trish menimpali.
Becka telah melihat mode rambut sangat pendek yang
diperagakan model di Seventeen. Model itu mirip Becka. Rambut
pirang yang lembut, mata hijaunya berbentuk buah badam, tulang pipi
tinggi, kulit putih pucat, dan belahan di dagu. Jadi Becka menirunya
dan memotong pendek rambutnya. Kini ia tampil dengan penampilan
baru yang cantik dan manis.


Fear Street - Sahabat Karib The Best Friend di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku kelihatan seperti cowok," Becka bersikeras.
"Kau tampak hebat," kata Trish.
"Sudahlah, jangan memancing pujian terus," kata Lilah sambil
memutar-mutar bola matanya. "Kau kelihatan cantik dan kau tahu itu."
"Aku iri sekali lho," kata Trish dari tempat duduk di bawah
jendela. "Dengan wajah bulatku, aku tak pernah bisa memotong
rambutku pendek seperti itu. Aku akan kelihatan seperti bola boling
yang berkaki!" "Aku lebih suka kelihatan seperti bola boling daripada bangau!"
Lilah menggerutu. Diam-diam ia suka bertubuh tinggi, tapi terusmenerus mengeluhkan tubuhnya.
Becka mengangkat tisu dari jarinya. "Nah. Kupikir darahnya
sudah berhenti." Ia berjalan melangkahi Lilah kembali ke ranjangnya dan
memungut rajutannya. "Suka warna ini?" tanyanya kepada Lilah.
"Yeah. Bagus. Sepupumu itu buta warna, kan?"
Trish tertawa. "Jangan membesarkan hatinya," kata Becka kepada Trish
sambil cemberut. "Hei, kau tahu, leherku agak kaku. Karena
kecelakaan itu, kupikir."
"Malam sial," kata Trish sambil menggeleng-geleng. "Pertama,
kauhancurkan Eric. Kemudian, kauhancurkan mobil."
Lilah tertawa. "Seharusnya kau jadi pengarang, Trish. Kau bisa
mengolah kata-kata sedemikian rupa."
"Eric tidak apa-apa," kata Becka kering, sambil mencoba
mengingat sampai di mana rajutannya.
"Ceritakan lebih terperinci," kata Trish, sambil berjalan dan
duduk di tepi ranjang. "Kami ingin yang lebih terperinci."
"Aku sudah menceritakan semuanya," kata Becka. "Aku putus
dari Eric. Kubilang padanya, menurutku sebaiknya kami tidak kencan
lagi. Dan dia cuma duduk seperti sebongkah batu. Nyaris tak
mengucapkan sepatah kata pun. Sikapnya begitu dingin, yang paling
dingin yang pernah kulihat."
"Dia tak langsung menangis tersedu-sedu dan minta kesempatan
lagi dengan isak tangis yang menyedihkan?" tanya Trish.
Lilah tertawa. "Aku benar-benar bisa membayangkan itu. Eric
yang malang." "Tidak. Tak ada air mata. Tak ada apa-apa. Dia hanya
mengangkat bahu," sahut Becka. "Sungguh. Sikapnya sangat
menjengkelkan." "Dia terdiam, itu saja," Lilah memberi pendapat. "Dia shock."
"Yah. Pasti," kata Becka tajam. "Apakah ini sudah cukup
panjang menurut kalian?" Becka mengangkat rajutannya.
"Cukup panjang untuk apa?" tanya Trish. "Untuk syal?"
"Untuk lengan," jawab Becka.
"Satu lengan atau dua?" tanya Trish.
"Hah" Untuk satu lengan dong."
"Itu sudah cukup panjang," kata Trish.
Ketiga gadis itu tertawa.
Becka mulai merasa santai, lebih tenang.
"Apakah Eric kauberitahu tentang Bill?" tanya Lilah ingin tahu
sambil melakukan sit-up pelan di atas karpet, tangannya masih di
belakang kepalanya. "Tidak" Tentu saja tidak," jawab Becka.
"Itu pasti membuat dia bereaksi!" kata Trish.
"Ssttt!" Becka meletakkan telunjuknya di bibirnya. "Itu juga
akan membuat ibuku bereaksi hebat. Hati-hati. Kukira Mom di atas
sini, sedang membersihkan ruang tamu."
Trish dan Lilah mengintip ke luar pintu. Trish berdiri dan
menutup pintu itu. "Sekarang dia akan tahu kita di atas sedang ngapain," kata
Becka, keningnya mengernyit ketika ia menghitung setik rajutannya.
"Omong-omong, apa yang membuat ibumu menentang
hubunganmu dengan Bill?" tanya Lilah sambil berbisik walaupun
sekarang pintu sudah ditutup.ebukulawas.blogspot.com
"Oh, kau tahu," sahut Becka, cemberut. "Masalah itu muncul
sesudah Bill mendobrak masuk ke sekolah tahun lalu."
"Tapi itu bukan salahnya," kata Lilah membela Bill. "Itu
perbuatan kedua penjilat itu, Mickey Wakely dan Clay Parker. Mereka
mengakui merekalah yang mendobrak sekolah dan menyemprotkan
cat ke semua barang."
"Tapi Bill bersama mereka," kata Becka. "Dia tak melakukan
apa-apa, tapi dia di sana."
"Tempat yang salah, waktu yang salah," kata Trish sambil
menggeleng-geleng. "Tapi Mickey dan Clay...," Lilah memulai.
"Bill dicurigai juga, ingat?" Becka menyela. "Well, orangtuaku
ingat itu. Ingat betul. Setelah Bill dicurigai, itulah. Aku tak diizinkan
menemui atau meneleponnya atau yang lainnya."
"Aku ingat," kata Trish bersimpati. "Kau hampir sinting."
"Kami kira kau sakit atau kenapa," Lilah menambahkan, sambil
melanjutkan sit-up-nya. "Kau benar-benar kacau."
"Yah." Becka mengingat-ingat dengan sedih. Bola matanya
yang hijau berkaca-kaca. "Tapi itu tahun lalu. Kupikir tahun ini akan
lain. Kukira. Maksudku, Bill sudah sungguh-sungguh jadi baik lagi.
Dia tak bergabung dengan Mickey dan Clay lagi. Sebenarnya
wataknya baik, dan..."
Sebelum Becka menyelesaikan kalimatnya, pintu kamar tidur
terpentang dengan keras. Rajutan Becka terjatuh. Lilah terduduk
tegak. Trish melompat berdiri.
Mereka bertiga terbelalak heran ketika seorang cewek dengan
rambut pirang yang panjang dan tebal melangkah masuk ke kamar itu
dengan gembira. "Hai!" serunya, matanya beralih dari satu cewek ke
cewek yang lain, akhirnya tatapannya mendarat pada Becka.
"Becka!" teriak cewek itu. Ia melangkahi Lilah, lalu
membungkuk, mengulurkan kedua lengannya melingkari Becka, dan
memeluk Becka erat-erat. "Becka! Becka! Aku sangat gembiira
bertemu denganmu!" pekiknya.
Dengan mulut ternganga bingung, Becka berjuang melepaskan
diri dari pelukan cewek itu.
"Aku tak percaya!" jerit cewek itu. "Aku benar-benar tak
percaya! Becka, ini kau! Ini benar-benar kau!"
Becka menghela napas, tidak bisa bicara sama sekali. Siapa
cewek ini" tanyanya pada diri sendiri.
Aku belum pernah bertemu dengannya!
Bab 3 " AKU benar-benar tak percaya!" teriak cewek itu, akhirnya
melepaskan Becka dan mundur selangkah. Ia menyibakkan rambut
pirangnya yang tebal, melemparkannya ke belakang pundaknya,
kemudian melepaskan mantelnya. "Aku benar-benar tak percaya aku
di sini!" Becka buru-buru bangun dari ranjang dan hampir jatuh
tersandung Lilah yang akan berdiri, wajahnya kebingungan.
Apakah aku kenal dia" tanya Becka kepada dirinya sendiri
sambil menatap lekat-lekat pengacau itu, memperhatikan wajahnya,
bersusah payah mengingat-ingat cewek itu.
Pernahkah aku bertemu dengannya"
Perawakan gadis itu kira-kira seperti Becka, tapi tubuhnya
berisi. Ia tidak cantik. Tapi tampangnya sangat dramatis dengan
rambut pirang tergerai melewati bahunya, mata abu-abu bulat, dan
bibir penuh dipulas dengan lipstik warna gelap. Ia mengenakan sweter
oranye manyala yang tidak serasi dengan rambutnya dan rok mini
hijau di atas celana ketat hitamnya.
Becka tidak tahan untuk tidak memperhatikan tangan cewek itu,
yang terkepal erat di samping tubuhnya. Kepalannya sangat besar.
Ukuran tangannya tampak salah, tidak proporsional dibandingkan
dengan anggota badannya yang lain.
"Pintu di bawah terbuka, jadi aku masuk saja. Percaya nggak,
aku pindah tepat di sebelah rumahmu?" sembur cewek itu. "Kebetulan
yang paling menakjubkan, ya kan?"
Siapa cewek ini" Becka bertanya dalam hati, mencari-cari
dalam ingatannya dengan kalut. Ia melihat air mata menggenang di
sudut mata cewek itu. Dia sangat emosional, pikir Becka. Sangat gembira bertemu
aku. Amat sangat gembira. Aku harus tahu dia. Harus.
Becka berpaling kepada Trish untuk minta tolong. Tapi Trish
hanya membalas tatapannya dengan terbelalak sepintas. Lilah sedang
memandang gadis itu juga, kebingungan menyelimuti wajahnya.
"Oh, Becka, kau kelihatan tak berubah!" seru gadis itu dan maju
untuk memeluk Becka dengan pelukan emosional lagi.
"Kau juga," Becka berusaha menanggapi. Dipandangnya Lilah
lewat pundak gadis itu, sambil memberi isyarat kepada Lilah agar
menolongnya. "Hai, aku Lilah Brewer," kata Lilah ketika cewek itu sekali lagi
melepaskan Becka dari pelukannya. "Kupikir kita belum pernah
bertemu. Dan ini Trish. Trish Walters," kata Lilah, sambil menunjuk
Trish yang berdiri dari tempat duduknya di bawah jendela.
"Hai." Trish tersenyum kaku kepada gadis itu. Bingkai giginya
yang keperakan berkilauan tertimpa cahaya dari jendela.
Gadis itu berpaling dari Becka, ekspresi wajahnya terkejut,
seakan-akan ia tidak menyadari ada orang lain di ruangan itu. "Aku
juga ingat kalian," katanya, sambil menyeka air mata dari kedua
matanya dengan tangannya yang besar. "Namaku Honey Perkins."
Siapa" Becka bertanya-tanya sambil menatap gadis itu dengan
tajam. Kenalkah aku dengan seorang Honey Perkins"
Apakah ini kesalahan atau yang lain"
Honey menoleh kembali kepada Becka, senyumnya
mengembang lebih lebar. "Aku tak percaya. Aku sungguh tak bisa
mempercayainya. Percayakah kau, kami pindah ke sebelah rumahmu"
Bukankah itu mencengangkan?"
"Ya," sahut Becka, berusaha membangkitkan semangatnya.
"Mencengangkan!"
"Wow!" seru Honey, menatap Becka lekat-lekat. "Wow! Sori,
tapi aku betul-betul tak bisa bicara."
"Aku juga," jawab Becka.
Kenapa aku tak bisa mengingatnya" Apakah aku sudah pikun"
"Kau akan sekolah di Shady side High?" tanya trish dari depan
jendela. "Wow," kata Honey, menatap Becka.
Apakah dia harus menatapku seperti itu" pikir Becka tidak
senang. Sepertinya aku ini es krim yang akan dilahapnya!
"Apakah dulu kau pernah sekolah di sekolah kami, Honey?"
tanya Lilah. Honey, perhatiannya terpancang pada Becka, tampaknya tidak
mendengar pertanyaan yang dilontarkan kedua gadis itu. "Ini benarbenar kau," katanya kepada Becka.
"Ya. Ini memang aku," jawab Becka.
Aku tak bisa mengahadapi ini lebih lama lagi, pikir Becka.
Siapa dia dan apa maunya!
Sambil mengusap air mata dari kedua matanya, Honey akhirnya
menoleh kepada Lilah dan Trish. "Sori, aku sangat emosional,"
katanya sambil menggoyangkan kepala. "Tapi aku dan Becka"kalian
tahu, kami sahabat yang amat sangat karib di kelas tiga dan empat.
Dan aku sungguh-sungguh tak percaya aku kembali!"
Honey melangkah maju dan memeluk Becka lagi.
Sahabat karib" pikir Becka.
Aku tak ingat punya sahabat karib bernama Honey.
Sahabat karibku di kelas empat adalah Deena Martinson.
Sambil menyeringai kepada Becka, Honey mendorong
rambutnya yang tebal tinggi di atas kepalanya dengan kedua
tangannya. "Ini mencengangkan. Benar-benar mencengangkan!"
Becka terduduk lagi di pinggir ranjangnya. "Pasti." Becka
mempersilakan Honey mengambil kursi di depan meja riasnya.
"Aku sangat gembira. Aku tak tahu apakah aku bisa duduk,"
kata Honey. Tapi ia cepat-cepat menarik kursi di depan Becka dan
duduk sambil menyilangkan kaki, sebelah sepatu karetnya mengetukngetuk karpet.
"Jadi ke mana kau pindah setelah kelas empat?" tanya Lilah
sambil duduk di lantai, bersandar ke ranjang Becka dan melipat kedua
tungkainya yang panjang di bawah badannya.
Honey tampaknya tidak mendengar pertanyaan Lilah. da
menatap Becka. "Ketika aku mendengar kami akan pindah ke Fear
Street, pertama-tama yang kupikirkan adalah, apakah Becka masih
tinggal di sana" Dan aku cukup yakin, kau pasti masih di sini. Di
rumah yang tetap sama."
"Ya. Orangtuaku menyukai rumah tua ini," kata Becka
memandang sekilas ke seberang kamar ke arah Trish.
"Hebat! Kita bertetangga sekarang!" sembur Honey.
"Sebelumnya kau tinggal di mana?" tanya Trish.
"Hanya aku dan ayahku," kata Honey kepada Becka. "Ibuku
meninggal tahun lalu. Sangat keras, sangat berat bagi kami berdua.
Sangat berat." Apakah Honey tak menggubris Trish dan Lilah" Becka bertanya
dalam hati. Apakah dia tak mendengarkan pertanyaan mereka"
Honey menarik kursi tepat di depan Becka, seakan-akan kedua
gadis yang lain tidak boleh ikut dalam obrolan mereka.
"Itulah salah satu alasan kenapa aku begitu bahagia kau masih
tinggal di sini," lanjut Honey. Dipandangnya Becka dengan wajah
berseri-seri. Matanya yang abu-abu dan sangat besar itu seakan-akan
membakar mata Becka. "Jadi semuanya akan persis sama seperti masa
lalu. Maksudku, kita bisa jadi sahabat karib lagi."
Herannya, Becka tiba-tiba merasa dirinya merasa bersalah. Ia
ternyata penting dalam kehidupan Honey. Persahabatan mereka jelas
berarti banyak bagi Honey. Tapi Becka bahkan tidak bisa mengingat
ia mengenal Honey. Teman apa aku ini, pikir Becka, mengomeli dirinya sendiri.
Bagaimanapun, apa yang tak beres dengan diriku"
Trish mengucapkan sesuatu dari tempat duduk di bawah
jendela. Honey mengabaikannya lagi. "Kau harus menceritakan
padaku semuanya tentang dirimu," kata Honey kepada Becka. "Kita
punya begitu banyak hal menarik yang harus dikerjakan."
"Tak banyak yang harus kuceritakan," jawab Becka merasa
tidak enak. Tiba-tiba ibu Becka menjulurkan kepalanya ke kamar tidur.
"Bagaimana keadaan di sini?" tanyanya, matanya berpindah dari satu
wajah ke wajah lainnya. "Mrs. Norwood!" pekik Honey sambil melompat bangun dari
kursinya dengan gembira. Ia menyeberangi kamar itu dan memeluk
ibu Becka dengan emosional.
Mrs. Norwood melirik Becka sejenak dengan heran.
"Senang sekali bertemu Anda lagi! Anda kelihatan memesona!"
seru Honey. "Hm... terima kasih," jawab ibu Becka tergagap. "Apa kabar,
Sayang?" "Saya pindah tepat ke sebelah rumah Anda!" sahut Honey,
lengannya masih melingkari pinggang Mrs. Norwood yang ramping.
"Mengherankan, kan?"
"Ya. Kukira begitu," ibu Becka menjawab ragu.
"Menyenangkan sekali." Ia ber-pamitan dan cepat-cepat meninggalkan
kamar itu. Honey berbalik kepada Becka. "Ibumu sangat cantik. Aku


Fear Street - Sahabat Karib The Best Friend di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

selalu berpikir dia sungguh-sungguh rapi."
"Ya. Dia baik-baik saja," jawab Becka.
Mom juga tak mengenali Honey, Becka baru menyadari. Ini
membuat Becka merasa agak lebih baik, rasa bersalahnya agak
berkurang. Tapi tidak banyak. "Dia tampak lebih tua banyak," kata Honey, senyumnya pudar.
"Dia seharusnya tak membiarkan rambutnya jadi kelabu. Dia
seharusnya mengecatnya."
"Mom mengecat rambutnya," kata Becka. "Akhir-akhir ini
Mom sangat sibuk, jadi..."
"Aku suka mengecat rambutku," kata Lilah, sambil mengusap
ekor kudanya yang cokelat. "Cokelat adalah warna yang
membosankan. Tapi ibuku bilang akan membunuhku jika aku berbuat
macam-macam dengan rambutku."
"Paling tidak rambutmu kan lurus," Trish mengeluh.
"Oh. Aku suka bros ini. Bros apa ini?" tanya Honey, tidak
menggubris Trish dan Lilah, lalu mengambil bros dari atas meja rias
Becka. "Itu burung beo," sahut Becka sambil melangkah di samping
Honey. "Bill... eh... mantan pacarku, memberikan bros itu padaku
karena aku menyukai burung."
"Kau selalu menyukai binatang," kata Honey, sambil
mengangkat bros itu dan mengaguminya. "Ingat burung terluka yang
kita temukan itu" Kau membawanya pulang dan berusaha merawatnya
sampai sembuh" Ingat betapa kita berdua menangis terus waktu
burung kecil itu akhirnya mati?"
Tidak, pikir Becka. Aku tak ingat.
"Ya," jawabnya. "Aku ingat."
"Boleh kan aku memakainya?" tanya Honey, sambil
menempelkan bros itu ke sweter oranyenya. "Ini dari plastik?"
"Bukan. Dari enamel," jawab Becka.
"Kau selalu begitu gaya," kata Honey, berdiri di depan cermin
dengan bros itu. "Kau selalu tahu barang yang terbaru untuk dipakai.
Kau selalu kelihatan begitu hebat. Aku suka model rambutmu. Model
itu cocok sekali untukmu."
"Trims," kata Becka, melirik Trish, yang memandang ke luar
jendela. Honey mengagumi bros burung beo itu di depan cermin,
senyum senang merekah di wajahnya.
"Kupikir salju akan turun lagi," ujar Trish. "Lihat, betapa
gelapnya." "Lebih baik salju tak turun," kata Lilah, sambil bangkit berdiri
dan meluruskan badannya. "Kami mungkin akan mengunjungi
sepupuku malam ini. Jalanan selalu sangat licin."
"Aku bertaruh kita akan menikmati Natal yang putih tahun ini,"
kata Trish. "Sweterku. Aku takkan pernah menyelesaikannya tepat waktu!"
keluh Becka. "Kenapa kau tak beli saja dan kaukatakan kau sendiri yang
merajutnya?" saran Lilah.
"Akan terlalu bagus," jawab Becka.
"Belilah yang nggak bagus!" kata Lilah.
Becka dan Trish tertawa. Honey tampaknya tidak mendengarkan percakapan itu. "Aku
suka kamarmu," katanya, matanya memperhatikan poster- poster di
atas ranjang Becka. "Kamar ini kecil, tapi kau punya semua yang
kauinginkan. Kau sungguh-sungguh punya selera bagus."
"Trims," jawab Becka kaku.
"Aku ingin kamarku sama seperti ini," kata Honey sungguhsungguh. "Aku ingin sekali punya poster yang sama."
"Aku sudah bosan dengan poster-poster itu," kata Becka kepada
Honey. "Sungguh" Kalau begitu boleh kuambil?" tanya Honey.
"Maksudku, jika kau tak menginginkan poster-poster itu lagi?"
Becka sesungguhnya tidak siap menurunkan poster-poster itu.
Ia asal omong saja. Tapi sekarang Honey sedang menatapnya dengan
sungguh-sungguh, menantikan jawabannya dengan berminat sekali.
"Ya. Kukira," ujarnya dengan mengangkat bahu.
"Hebat! Kau tak harus menurunkannya sekarang. Aku masih
belum membuka kardus-kardus di kamarku," kata Honey. "Toh, aku
bisa mengambilnya lain waktu. Aku akan sering mengunjungimu."
Becka tidak menyahut. Ia melihat sekilas dengan enggan ke
poster-posternya. Aku sesungguhnya tak ingin memberikan poster-poster itu,
Becka menyadari. Aku seharusnya bilang tidak pada Honey.
Kenapa aku menawarkannya pada Honey"
Honey melihat ke jam di atas meja rias Becka sekilas. "Wow.
Aku harus pergi." Ia berbalik kepada Becka, wajahnya menampakkan
emosi yang dalam. "Oh, kuharap kita bisa bersahabat akrab lagi!"
serunya. "Persis seperti waktu kita kecil dulu."
Honey menyerbu ke depan dan memeluk Becka lagi. Kemudian
ia berbalik dan lari keluar kamar.
Becka, Lilah, dan Trish masih terdiam, mendengarkan langkahlangkah kaki Honey yang berat menuruni tangga. Begitu mendengar
pintu depan dibanting, mereka bertiga segera meledak.
"Apa maksud semua itu?" Trish penasaran.
"Dia sama sekali tak menggubris aku dan Trish di sini!" seru
Lilah. "Dia tak pamitan atau apa pun!"
"Siapa dia?" tanya Becka sambil menjatuhkan badannya ke
lantai di samping Lilah. "Apakah aku sudah hilang ingatan atau apa,
ya?" "Dia sahabat baikmu, Becka," kata Lilah dengan suara
mengejek. "Bisa-bisanya kau melupakan sahabat baikmu?"
Trish tergelak. Ia membenamkan wajahnya ke bantal tempat
duduk di bawah jendela. "Kau ingat dia?" Becka ingin tahu.
Lilah dan Trish menggeleng.
"Kenapa kita harus ingat dia?" kata Trish. "Dia kan temanmu
yang paling amat sangat akrab!"
Trish dan Lilah tertawa histeris.
Becka tidak ikut tertawa. Ia menarik bantal itu dari pegangan
Trish dan memeluknya. "Tapi... tapi bagaimana seandainya dia benar"
Bagaimana jika kami memang sahabat yang sangat karib" Bagaimana
aku bisa begitu payah sampai melupakannya?"
"Akui sajalah. Kau memang payah!" kata Trish. Ia dan Lilah
berpendapat istilah ini asyik juga.
Becka melemparkan bantal itu kepada Trish. Lemparannya
meleset dan bantal itu melayang ke luar jendela.
"Kau mungkin akan melupakan kami juga," ujar Lilah.
"Melupakan siapa?" teriak Trish.
Trish dan Lilah tertawa terbahak-bahak.
"Ayolah," desak Becka. "Ini serius, tahu. Kau lihat tidak, betapa
senangnya Honey melihatku" Dan yang bisa kulakukan cuma berdiri
di sana dengan mulut ternganga sampai dia pergi, 'Dahhh.'"
"Aku belum pernah melihatnya," kata Trish. "Waktu kelas
empat, kita tak sekelas, kan" Kau tak diajar Miss Martin?"
"Ya," sahut Becka.
"Aku juga," kata Lilah. "Bagaimana kabar Miss Martin?"
"Pindah, kukira," jawab Becka. "Kuduga dia punya anak dan
menikah." "Bukankah maksudmu menikah lalu punya anak?" tanya Lilah.
"Terserahlah," jawab Becka tidak sabar.
"Jadi kenapa kau tak ingat pada Honey Perkins?" tanya Lilah.
"Apakah kau punya foto-foto teman sekelasmu?" tanya Trish,
berdiri dan melangkahi mereka berdua.
"Dari kelas empat?" Becka menggeleng. "Kayaknya aku tak
punya. Oh. Tunggu." Ia menghampiri meja yang menempel ke
dinding, membungkuk, dan menarik laci bawah. "Mungkin aku punya
foto itu dalam kotak ini."
Ia menarik sebuah kotak kardus dan mulai mengaduk-aduk
isinya. Sebentar kemudian ia menarik foto kelas empat mereka.
Cewek-cewek itu berkerumun memandangi foto itu.
"Ini dia," kata Trish, sambil menunjuk satu wajah di sudut
kanan atas foto itu. "Ini pasti dia. Rambutnya sama."
Dan begitu Trish menyingkirkan tangannya, ketiga cewek itu
tiba-tiba ingat akan Honey.
"Ya. Benar. Itu dia," Becka ingat. "Dia itu aneh."
"Dia sungguh aneh," Trish setuju dengan pendapat Becka. "Dia
pendiam. Hampir tak pernah bicara. Kalau Miss Martin
memanggilnya, biasanya dia tersedak. Ingat" Wajahnya berubah
sangat pucat dan dia cuma tergagap."
"Tak seorang pun seperti dia," komentar Lilah sambil menatap
tajam foto itu. "Hei, Becka, poni yang manis!" serunya, menunjuk foto
Becka di baris depan. "Kau selalu begitu modis!" goda Trish.
Becka menyikut tulang rusuk Trish dengan keras dan kembali
menatap wajah Honey yang tidak tersenyum. "Honey biasanya
menangis tersedu-sedu dengan tiba-tiba dan tanpa alasan sama sekali,"
kenangnya. "Ya. Dia sangat menakutkan," tambah Trish.
"Dia tak punya teman sama sekali," kata Lilah.
"Jadi mengapa dipikirnya aku dan dia sahabat karib?" tanya
Becka. "Dia pasti punya kehidupan fantasi yang mencengangkan,"
Trish merenung. "Menurutku, kau sangat beruntung punya pengagum baru,"
Lilah menggoda Becka. "Ya. Sahabat yang amat sangat akrab," ujar Trish, nyengir.
Becka cemberut. "Aku tak begitu yakin."
Becka meletakkan foto itu kembali ke dalam kotak dan
memasukkan kotak itu ke laci meja. Mereka membicarakan Honey
lagi, mengenang betapa Honey itu gadis yang aneh dan penyendiri.
"Dia pindah sebelum kenaikan kelas empat," Lilah ingat. "Aku
ingat sekarang. Dia duduk di sebelahku. Dan kemudian suatu hari
bangkunya kosong." "Aku harus pergi," kata Trish tiba-tiba. "Sampai ketemu lagi,
Becka. Sungguh lho."
Ia berjalan ke pintu. Lilah mengikuti. "Tunggu. Aku bareng
kau. Nanti kutelepon," katanya kepada Becka.
Becka seakan tidak mendengar mereka berpamitan.
"Hei"brosku," katanya.
Lilah dan Trish berpaling melihat Becka ternganga menatap
meja riasnya. "Hah?"
"Bros burung beoku!" seru Becka. "Hilang!"
Bab 4 "APAKAH Honey mengambilnya?" tanya Lilah.
"Sepertinya kulihat Honey meletakkannya kembali di atas meja
rias," kata Trish. "Hm, bros itu tak ada di sana sekarang," gumam Becka sedih. Ia
merangkak, mencari-cari di atas karpet di sekitar meja rias itu.
Lilah dan Trish cepat-cepat membantu mencari bros itu. "Tak
ada di atas meja," lapor Trish.
"Cari di kolong meja. Mungkin jatuh," saran Lilah.
"Aku suka bros itu," kata Becka sambil membungkuk dalamdalam untuk melihat kolong meja rias itu. "Itu satu-satunya hadiah
Bill yang pernah kuterima, dan benda yang paling kusukai."
"Dan sangat modis. Jangan lupa modis," canda Trish,
mengolok-olok Honey. "Lucu sekali," kata Becka dengan berbisik. Ia bangkit berdiri.
"Dia mencurinya! Honey mencuri brosku!" teriaknya sambil berkacak
pinggang. "Dia tak mencurinya," kata Trish, masih mencari-cari,
kepalanya ada di kolong ranjang. "Mungkin dia lupa masih memakai
bros itu." "Ya. Aku yakin dia tak sengaja mengambilnya," Lilah setuju.
"Jika brosku itu hilang, aku akan sangat marah," kata Becka
dengan panas, sambil mencari-cari di atas meja rias lagi.
"Tanyakan saja pada Honey," saran Trish, sambil berdiri, dan
membersihkan debu dari bajunya. "Mungkin bros itu masih menempel
di sweternya." "Sweter oranye yang norak itu," Lilah mengomentari, sambil
mencebik. "Apa salahnya dengan sweter Honey" Aku menyukainya," ujar
Trish. "Honey seperti labu memakai itu," kata Becka asal-asalan. Ia
sedang berkonsentrasi dalam pencariannya.
"Kau, memang rambut merah selalu bersatu," Lilah menuduh
Trish. "Mungkin kau seharusnya yang jadi sobat karib Honey."
"Aku akan ke rumah sebelah untuk minta brosku kembali," kata
Becka. "Kalian mau ikut?"
"Buat apa?" tanya Trish.
"Aku akan pulang," kata Lilah sambil melirik arlojinya sekilas.
"Nanti kita ngobrol lagi."
Trish dan Lilah menghilang menuruni tangga. Becka
melanjutkan pencariannya sebentar. Tapi bros itu pasti tidak ada di
kamar itu. Becka memandang ke luar jendela sejenak, dilihatnya salju
mulai turun lagi. Serpihan salju yang besar melayang-layang turun
perlahan, terayun-ayun ke kiri dan ke kanan seperti bulu-bulu putih
berjatuhan. Aku akan lari ke rumah sebelah untuk menanyakan brosku pada
Honey, Becka memutuskan. Ia menarik jaketnya dari lemari, dan
sedang memakainya ketika telepon berdering.
Ia menekan tombol sambungan telepon di mejanya, tapi ia kalah
cepat. Bunyi itu berhenti setelah dering pertama. Ibunya pasti telah
mengangkat telepon itu di lantai bawah.
Sambil bersandar ke mejanya, Becka menunggu dengan masih
memakai jaketnya, ingin tahu apakah telepon itu untuknya. Ia cukup
yakin. Beberapa detik kemudian, ibunya berseru dari bawah tangga.
"Becka, telepon buatmu." Suara Mrs. Norwood terdengar tidak
senang. "Itu Bill. Kenapa dia meneleponmu, Becka" Kau tahu, kau tak
boleh menemuinya." "Aku tahu, Mom!" teriak Becka marah. "Jangan omeli aku,
oke?" Ia mengangkat gagang telepon, mendengarkan langkah kaki
ibunya menjauh, kemudian mengucapkan halo kepada Bill.
"Bill, hai. Apa kabar?"
"Hai, Becka. Aku baik-baik kok." Suaranya terdengar jauh. Ada
banyak gangguan. Dia pasti menelepon dari telepon umum, pikir
Becka. "Ibumu kedengarannya tak terlalu ramah," katanya.
"Dia hanya terkejut mendengar suaramu," Becka berbohong.
"Dia tak pernah menyukaiku. Mungkin cuma kupingku yang
peka." "Dia biasa begitu," kata Becka. "Kenapa kita membicarakan
ibuku?" Bill tertawa tertahan. "Bikin kacau saja." Becka menyukai suara
Bill. Lembut dan halus. Berirama. "Hai, bisakah kau menemuiku nanti
malam?" "Di mana?" Becka sadar ia sedang berbisik walaupun ibunya
tidak ada di dekatnya. "Temui aku di mal?"
"Aku tidak janji," jawab Becka ragu-ragu sambil berpikir keras.


Fear Street - Sahabat Karib The Best Friend di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kenapa" Karena ibumu?"
"Dan ayahku," canda Becka. "Jangan lupakan ayahku. Dia juga
tak menyukaimu." "Jadi artinya kau akan menemuiku?" tanya Bill licik.
Becka menyukai rasa humornya. Bahkan ketika Bill berbuat
kesalahan, ia diskors tidak boleh masuk sekolah dan dalam kesulitan
besar, Bill masih bisa bercanda.
"Tidak. Lebih baik tidak," bisik Becka. "Aku senang, tapi..."
"Apa itu artinya ya?"
"Tidak. Maksudku..."
"Pergilah diam-diam," Bill memaksa. "Tunggu sampai mereka
tertidur, dan menyelinaplah."
"Bill, kau tahu orangtuaku masih terjaga sampai larut malam,"
kata Becka sambil menggeleng. Tiba-tiba perasaannya tidak enak.
"Mom, Mom ikut nguping, ya?" tanya Becka keras.
Ia mendengar bunyi klik telepon ditutup di lantai bawah, tapi
tidak ada siap-siapa. "Wah." "Kupikir kau akan bicara dengan orangtuamu," kata Bill,
terdengar seperti tersinggung. "Kau tahu, kan. Beritahu mereka kalau
aku sudah jadi cowok baik sekarang."
"Akan kukatakan," kata Becka, merasa bersalah. "Hanya saja
ini bukan waktu yang tepat." Dan kemudian ia buru-buru
menambahkan, "Aku yakin mereka mau mengerti. Aku yakin mereka
akan memberimu kesempatan lagi, Bill."
"Yeah. Tentu," gumam Bill getir. "Kau mau atau tidak
menyelinap dan menemuiku malam ini, Becka?"
Becka ragu-ragu. "Kupikir tidak. Tidak malam ini," Becka
memutuskan. "Oke. Lagi pula aku sibuk," gurau Bill.
Becka tergelak. "Lucu sekali."
"Aku memang lucu," Bill menandaskan.
"Yah, tampangmu lucu."
"Apakah itu ide gurauanmu?"
Becka mendengar ibunya mendekati tangga. "Sudah dulu, ya.
Bye, Bill. Sampai jumpa." Ia cepat-cepat meletakkan gagang telepon.
Becka baru menuruni separo tangga, jaketnya yang berat
berkibar-kibar di belakangnya, ketika ibunya muncul di koridor. "Bill
mau apa?" tanya ibunya dengan cemberut.
"Cuma mau bilang hai," jawab Becka, sambil berhenti beberapa
anak tangga sebelum sampai di lantai.
"Kau tahu bagaimana perasaanku dan ayahmu tentang dirinya,
Becka." "Ya. Aku tahu. Tapi Bill lain sekarang, Mom. Dia..."
"Terutama setelah apa yang terjadi padamu, apa yang kaualami
sesudahnya." Pandangan mata Mrs. Norwood yang biru pucat itu
menerawang, yang selalu ditampilkan bila ia sedang mengingat-ingat
kembali peristiwa buruk. "Kau begitu sedih. Kau putus asa. Aku dan
ayahmu tak ingin melihatmu bersedih lagi."
"Mom...," Becka memulai, tapi menahan diri.
"Kau akan pergi ke mana" Hampir waktu makan malam
begini?" tanya ibunya sambil memperhatikan jaket itu.
"Aku takkan menyelinap untuk menemui Bill, jika itu yang
Mom maksud," jawab Becka nyaring.
"Becka...!" "Aku hanya akan pergi ke rumah sebelah. Aku akan segera
kembali." Becka berjalan melewati ibunya dan keluar lewat pintu
depan. Ia mengempaskan pintu dan melangkah keluar memasuki salju.
Ia menengadah menatap langit. Serpihan salju yang dingin
terasa enak menimpa kedua pipinya yang panas.
Kadang-kadang ibunya membuat dia sangat senewen. Apa
urusannya jika ia ingin kencan dengan Bill"
"Kapan dia akan berhenti mencampuri kehidupanku?" Becka
berteriak keras. "Kapan?" tanyanya ke langit.
Sebagai jawabannya, serpihan salju menjatuhi lidahnya.
Becka menunduk, sambil menarik tudung jaketnya menutupi
rambut, dan mulai berjalan terseok-seok di halaman depan rumahnya
yang tertutup salju menuju rumah Honey.
Rumah itu kosong selama beberapa bulan. Becka menyelinap
menerobos pagar tanaman yang tidak terurus yang memisahkan kedua
halaman itu. Rumput-rumput liar yang tinggi memenuhi halaman yang
tidak terawat itu, menyembul dari lapisan salju.
Memang lebih baik ada orang yang menempati rumah itu,
pikirnya. Seram sekali rasanya melihat rumah itu berdiri kosong
seperti itu. Sesampainya di depan rumah itu, ia berhenti di jalan masuk
mobil yang tertutup salju.
Dipandangnya rumah itu"dan ia menghela napas.
Bab 5 RUMAH itu masih kosong, Becka baru sadar dengan merasa
ngeri. Honey telah berbohong tentang kepindahannya ke rumah
sebelah. Angin berembus membentuk tirai butiran salju di halaman.
Pohon-pohon gundul bergemeretak, kemudian keheningan kembali
menyelubungi rumah itu. Rumah yang gelap dan sunyi.
Becka melihat dari jendela ke jendela, mencari-cari cahaya,
tanda-tanda kehidupan. Tapi rumah tua itu, dengan salju yang turun
dan menempel pada sirap-sirapnya yang gelap, untaian tetesan air
yang membeku dari atapnya yang rendah di beranda depan, tampak
sekosong dan sesepi selama berbulan-bulan ini.
"Bagaimana mungkin?" teriak Becka keras-keras.
Ketika ia berjalan terseok-seok melintasi jalan yang tidak
disekop menuju tangga depan yang tertutup es, punggungnya terasa
menggigil, menggigil karena ngeri.
Ada bekas-bekas tapak kaki di atas salju, tetapi jejak itu sudah
lama, separonya tertutup salju yang turun siang itu.
Becka terpeleset di undakan yang pertama, tapi berusaha tidak
terjatuh dengan mencengkeram talang air hujan dari logam di samping
beranda depan. Ia melangkah lebih hati-hati menyeberangi beranda
segi empat kecil itu dan mengetuk pintu depan keras-keras.
Hening. Sambil menjauh dari beranda, ia mengintip ke dalam lewat
jendela ruang tamu. Di dalam gelap. Apakah itu kardus yang menempel pada dinding" Terlalu gelap
untuk melihatnya. Becka mengetuk lagi. Memencet bel, tapi tombolnya membeku
di tempatnya. Hening. Angin berembus lagi menerbangkan butiran salju ke atas
beranda. Dengan menggigil, Becka meninggalkan rumah yang gelap dan
kosong itu, dengan hati-hati menuruni anak tangga yang membeku
dan berlari pulang. Di mana Honey" tanyanya pada dirinya sendiri, pertanyaanpertanyaan itu berputar-putar di benaknya seperti serpihan salju yang
ditiup angin. Kenapa dia muncul begitu tiba-tiba dan berbohong
tentang kepindahannya ke rumah sebelah" Di mana bros burung
beoku" Pasti ada penjelasan yang masuk akal untuk semua ini"betul,
kan" Betul" ******************* "Apa kaulihat Mary Harwood ketika dia keluar dari lemari
persediaan dengan David Metcalf" Di lehernya ada tanda keunguan
lebar." Lilah menggeleng-geleng dan cekikikan.
Becka berhenti berjalan dan ternganga memandang temannya.
"Maksudmu cupang?"
Lilah memutar-mutar bola matanya. "Kata Mary itu bekas
gigitan nyamuk. Alasan itu tak memuaskan, kan" Gigitan nyamuk di
bulan Desember?" Kedua gadis itu tertawa dan mulai berjalan lagi. Siang itu cerah,
matahari tinggi di langit, membuat salju yang mencair berkilauan
seperti perak. Sekolah baru saja usai, dan mereka telah memutuskan
untuk berjalan kaki pulang.
"Bagaimana dengan ibu Mary?" tanya Becka, sambil
memindahkan ranselnya dari pundak kanan ke pundak kiri, kemudian
membetulkan letak tudung jaketnya. "Apa dia tak tahu kalau Mary itu
petualang?" "Dia tak punya pikiran begitu," jawab Lilah, senyuman puas
mengembang di wajahnya. "Ibu Mary tinggal di planet lain. Kata Billy
Harper pada Lisa Blume, dia sedang bermesraan dengan Mary Sabtu
siang di sofa di ruang tamu Mary. Lalu ibu Mary menghampiri mereka
dengan membawa nampan dan bertanya apakah ada yang mau permen
buatannya!" Kisah ini membuat mereka berdua tertawa terbahak-bahak.
"Wow!" seru Becka. "Padahal ibuku memonitor semua telepon
untukku!" "Ngomong-ngomong soal telepon," kata Lilah, berubah menjadi
serius, "apakah Bill meneleponmu lagi?"
Becka menggeleng. "Tidak. Dia mungkin marah padaku karena
aku tak mau keluar diam-diam dan menemuinya di mal Sabtu malam."
Mereka menyeberangi jalan. Becka harus bergegas untuk
mengimbangi langkah Lilah yang panjang-panjang.
Bunyi klakson mobil mengejutkan mereka. Mereka menengok,
sebuah station wagon berderum lewat. Di dalamnya penuh dengan
anak-anak dari sekolah mereka. Mobil itu berhenti di tengah
persimpangan jalan. Jendela pengemudi diturunkan, dan Ricky Schorr
menjulurkan kepalanya keluar sambil nyengir.
"Mau ikut?" "Tak ada tempat," sahut Becka sambil menunjuk anak-anak
yang berdesak-desakan di bagian belakang mobil itu.
"Kau bisa duduk di pangkuanku!" teriak Ricky.
Tawa parau meledak dalam mobil itu.
"Aku lebih suka berjalan pulang dengan kaki telanjang," balas
Becka. Ia dan Lilah berbalik serta melanjutkan perjalanan. Station
wagon itu berderum menjauh.
"Pikir teman-temannya, Ricky itu sangat lucu," gumam Becka.
"Sejak kapan dia punya teman?"
"Sejak dia mulai membawa station wagon ke sekolah," jawab
Becka. "Jadi kau bilang pada orangtuamu bahwa kau ingin mulai
ketemu Bill lagi?" Becka menggeleng. "Aku tak ingin menyulut Perang Dunia
Ketiga." "Apakah kau akan keluar diam-diam dan menemuinya?"
"Tidak. Mungkin. Aku tak tahu. Aku tak bisa memutuskan."
"Kelihatannya kau agak bimbang," kata Lilah. Ia berhenti untuk
melambaikan tangan kepada seorang laki-laki dan seorang wanita di
halaman di seberang jalan. Laki-laki itu ada di atas tangga sedang
menggantungkan sederet lampu Natal di sepanjang tepi atap
rumahnya. Istrinya berdiri di bawah, sedang membantu suaminya
menguraikan lampu-lampu itu.
"Keluarga Anderson benar-benar akan merayakan Natal," kata
Lilah pelan. "Lihat lampu-lampu itu. Rumah mereka tampak seperti
salah satu kasino di Las Vegas! Bisakah kaubayangkan rekening
listrik mereka?" "Yah, paling tidak aku akan bertemu Bill di pesta Natal Trish,"
kata Becka dengan menghela napas panjang.
"Dia datang?" "Ya. Siapa yang tak datang" Pesta itu pasti ramai. Trish
mengundang semua orang di dunia ini!"
"Kau sudah beli gaun?" tanya Lilah, sambil menyepak
segumpal salju yang mengeras di sepanjang jalan.
"Aku punya rok bagus," kata Becka penuh semangat. "Rok itu
sangat pendek dan lembut sekali. Warnanya perak. Aku akan
memakainya di atas celana ketat hitam yang kubeli di mal."
"Aku tak bisa pakai celana ketat. Aku akan kelihatan seperti
sapu," Lilah mengeluh.
"Aku tak percaya kau tak suka punya tubuh tinggi," kata Becka
kepadanya. "Aku rela mati supaya jadi setinggi kau."
"Tidak, kau takkan mati."
"Yah... hampir setinggi kau!"
Kedua cewek itu tertawa. Mereka saling berpisah, dan berjanji
akan saling menelepon. Becka melihat Lilah berlari-lari kecil
melintasi salju menuju rumahnya, ekor kudanya yang cokelat dan
panjang itu menyembul dari bawah topi wol birunya. Kemudian
Becka berbelok dan menuju Fear Street, sambil memikirkan Bill dan
pesta Trish. "Ada orang di rumah?" tanya Becka, sambil melangkah masuk
ke dapur dan menutup pintunya. Dapur itu hangat, aroma kayu manis
tercium. Tidak ada jawaban.
Becka berjalan menuju koridor di belakang dan mulai menaiki
tangga menuju kamarnya untuk meletakkan ranselnya. Ia berhenti di
tengah tangga dan pasang telinga.
Ada suara di loteng. Dari kamarnya. Ibunyakah itu" Bicara dengan siapa"
Becka menaiki dua anak tangga lagi dan berhenti. Dari balik
pegangan tangga, ia mengintip ke seberang loteng ke kamarnya.
Pintu terbuka lebih dari separo. Lampu-lampu dinyalakan.
Becka bisa melihat sebagian ranjangnya.
Seseorang mondar-mandir di kamarnya, sedang mengobrol.
Seseorang. Becka menjulurkan wajahnya melalui pegangan tangga dan
mengawasi. Honey! Becka melihat dari lorong yang gelap, Honey sedang
meletakkan beberapa pakaiannya di atas ranjangnya.
Pakaianku, Becka sadar. Apa yang sedang terjadi di sini"
Honey ada di dalam kamarku, sedang mengeluarkan pakaianku
dari lemariku. Honey menghilang dari pandangannya. Becka mendengar
suaranya tapi tidak bisa mengerti apa yang sedang diucapkannya.
Ketika Honey muncul kembali, Becka mengenali rok yang
sedang dipakai Honey. Itu adalah rok perak yang dibelinya untuk
pesta Trish. Dia memakai rokku" Becka mencengkeram pegangan tangga erat-erat, terpaku. Ia
memandang apa yang diperlihatkan lampu segi empat di jalan masuk
kamarnya dengan tidak percaya.
Dia mengenakan rokku! Honey juga memakai blus sutra biru Becka, hadiah ulang tahun
dari orangtuanya. Sekali lagi, Honey hilang dari pandangan. Sekarang Becka
dapat mendengar laci-laci lemari riasnya dibuka.
Apa yang dikerjakannya di sini"
Kenapa dia ada di kamarku, mencoba pakaianku yang paling
bagus"

Fear Street - Sahabat Karib The Best Friend di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan siapa, tanya Becka dalam hati, yang diajaknya bicara"
Bab 6 "HONEY!" Becka menerobos masuk ke kamarnya, jantungnya
berdetak keras. "Oh, hai." Honey, yang sedang membungkuk di atas laci meja
rias itu, langsung berdiri tegak. Senyum mengembang di wajahnya.
"Kau sudah pulang."
Becka menatap Honey dengan mulut ternganga. Lalu
mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar. Dilihatnya Honey telah
mengeluarkan hampir semua pakaiannya dari lemari dan
menumpuknya di ranjang. "Eh... aku tak tahu... maksudku, aku tak berharap...," Becka
tergagap. Wajahnya memerah.
"Ibumu bilang aku boleh naik," ujar Honey sambil lalu. Ia
berbalik dan mendorong laci-laci meja rias itu hingga tertutup.
"Ibuku" Dia di rumah?"
"Tidak. Kukira dia pergi," sahut Honey.
"Lalu kau bicara dengan siapa?" tanya Becka penasaran, sambil
melangkah menuju ranjangnya dengan enggan.
"Hah?" Honey menatap Becka, ekspresi wajahnya bingung. Ia
menyibakkan rambut pirangnya yang kusut ke belakang.
"Kudengar kau sedang bicara dengan seseorang," Becka
menegaskan, sambil melongok melihat lemarinya yang hampir
kosong. "Tidak. Bukan aku," jawab Honey, senyum kembali menghiasi
wajahnya. "Aku sendirian kok."
"Tapi..." Becka sadar bahwa ia masih memegang ranselnya.
Dibiarkannya ransel itu meluncur ke lantai, lalu ia menyepaknya ke
kolong ranjang. "Oh, Becka, aku suka sekali pakaian-pakaianmu!" sembur
Honey. Ia berputar-putar di depan cermin, mengagumi dirinya sendiri
yang mengenakan rok perak dan blus sutra. "Kau selalu memiliki
selera hebat! Bahkan ketika kita masih kecil, kau sudah tahu betul apa
yang harus dibeli." "Tapi, Honey..."
"Aku tak percaya rok ini!" seru Honey, tidak memberi
kesempatan kepada Becka untuk mengucapkan sepatah kata pun. Ia
berputar-putar sekali lagi, kemudian melewati Becka, berhenti begitu
dekat dengan Becka, sehingga Becka bisa mencium napasnya yang
berbau permen karet. Merasa kikuk, Becka mundur selangkah.
"Rok itu baru saja kubeli. Belum pernah kupakai," kata Becka
sedih, sambil berharap Honey akan mendengar betapa jengkelnya dia.
"Di mana kau membelinya?" seru Honey. "Bukan di mal. Tak
mungkin kau membeli rok ini di salah satu toko norak di mal. Di
mana, Becka" Kau harus beritahu aku! Rok ini sangat seksi!"
"Di toko kecil di Old Village. Petermann, seingatku," gumam
Becka. Ini tak boleh terjadi, pikir Becka dengan perasaan tak keruan.
Honey tidak menangkap isyarat Becka. Ia berjalan kembali ke
cermin untuk mengagumi pakaian itu. "Blus ini kurang cocok. Apa ya
yang cocok dengan rok ini?"
"Aku tak tahu," kata Becka. "Rok itu akan kupakai di pesta
Natal." "Percaya nggak?" teriak Honey riang. "Ukuran kita masih
sama! Aku tahu, kelihatannya aku lebih besar daripada kau. Tapi
ukuran kita masih sama. Kita masih bisa mengenakan pakaian yang
sama, persis seperti waktu kita masih anak-anak."
"Sungguh?" tanya Becka. Ia tidak tahu bagaimana harus
menanggapinya. "Orang-orang selalu mengatakan kita seperti saudara kembar,"
sembur Honey, sambil memegang baju denim dan mengamatinya
pada cermin meja rias. "Begitukah?" "Kita selalu tukar-tukaran pakaian. Selalu tukar-tukaran
segalanya. Bahkan jins kita. Juga kaus kaki. Semuanya sangat
menakjubkan," kata Honey gembira. "Sampai kita tak tahu yang mana
milik kita sendiri. Kita persis seperti saudara kembar."
Bagaimana mungkin aku sampai tak mengingatnya" tanya
Becka pada diri sendiri. Rasanya aku bisa ingat seandainya semua itu
betul. Tampaknya Honey sangat bersungguh-sungguh. Kupikir dia
tidak sengaja berbohong. Apakah dia hidup di semacam dunia fantasi"
"Apa kau suka rambutku dinaikkan seperti ini?" tanya Honey,
mengangkat rambut pirangnya yang tebal dengan kedua tangannya
dan membentuk sanggul di atas kepalanya.
"Ya. Boleh juga," jawab Becka tanpa se-mangat.
"Kau tak melihat!" keluh Honey. "Lihat. Seperti ini" Atau,
seperti ini?" Ia melepaskan rambutnya dan membiarkan rambut itu
jatuh tergerai di belakang bahunya.
"Lebih bagus jika kau mengikat rambutmu seperti ekor kuda
dan membiarkannya tergantung jatuh," saran Becka. "Kau tahu,
dengan pita lebar." "Kau betul!" seru Honey gembira. "Kau selalu tepat mengenai
hal-hal seperti itu! Kau sangat mengagumkan, Becka!" Honey
melintasi kamar cepat-cepat, lalu memeluk Becka dengan sepenuh
hati dan lama sekali. Becka megap-megap. Hampir tidak bisa bernapas.
"Aku tak percaya kita akan jadi sahabat karib lagi!" kata Honey,
akhirnya mundur selangkah. "Aku sangat bahagia, Becka. Kau juga,
kan?" "Ya." Becka mencoba terdengar antusias. Tapi sebelum
kekagetannya mendapati Honey di kamarnya hilang, Becka ingat ia
punya pertanyaan-pertanyaan penting.
"Honey, aku pergi ke rumah sebelah untuk mencarimu Sabtu
siang," kata Becka, sambil mengamati wajah Honey seakan-akan
mencari-cari jawaban. "Tapi rumah itu... gelap sekali dan tak ada
orang di situ." Pelan-pelan senyum itu memudar dari wajah Honey. Ia
menyibakkan sehelai rambut dari keningnya ke belakang. "Aku tahu.
Ayahku tak bisa menghidupkan pendiangan. Dingin sekali di dalam
rumah tua itu. Jadi kami harus ngungsi. Aku begitu gembira pindah ke
rumah baru di sini, tapi aku dan Dad harus menghabiskan akhir
minggu ini di motel jelek."
"Oh, kasihan," kata Becka, masih mempelajari wajah Honey.
"Sudah beres sekarang?"
"Ya. Tukang pendiangan akhirnya datang dan kami bisa
pindah," kata Honey. "Tapi aku harus ke sekolah hari ini, jadi aku
masih tak punya waktu untuk membongkar barang-barang."
Becka menggigiti ujung ibu jarinya dengan gugup.
Percayakah aku padanya" tanya Becka pada diri sendiri.
Kukira aku percaya padanya. Benar-benar tak ada alasan untuk
tidak mempercayai cerita itu. Tampaknya sungguh-sungguh masuk
akal. "Apakah kau punya pita?" tanya Honey, sambil
mempermainkan rambutnya. "Aku ingin mencoba menata rambutku
seperti yang kausarankan."
"Seingatku aku punya beberapa pita di laci atas," kata Becka.
"Tapi warna pita-pita itu mungkin tak cocok." Becka menarik napas
dalam-dalam. Sadar bahwa tiba-tiba ia sangat gugup. "Ada satu
pertanyaan lagi." "Eh... hah?" Becka berdeham. "Kau tahu bros burung beo itu" Bros logam
yang pernah kaucoba" Apakah kau tak sengaja membawanya pulang
Sabtu lalu?" Honey ragu-ragu sejenak. Kemudian, bukannya menjawab pertanyaan Becka, ia
mengulurkan kedua lengannya yang besar, mencengkeram leher
Becka, dan mulai mencekiknya.
Bab 7 BECKA megap-megap ketika kedua tangan Honey melingkari
tenggorokannya. Dengan susah payah ia berjuang melepaskan diri dari
cengkeraman Honey yang kuat. Ia tidak bisa bernapas.
Dia mencekikku! Aku tak bisa bernapas! Kemudian, tiba-tiba sekali, cekikan kuat itu mengendur.
Sambil membungkuk, dan kedua tangannya menekan lututnya,
Becka menghirup udara dalam-dalam, mengembuskannya, lalu
menghirup lagi. Ketika ia menengadah, Honey sedang tertawa penuh
kemenangan. "Kena kau!" teriak Honey. "Aku menang kali ini!"
"Kau...," Becka mencoba bicara, tapi tenggorokannya masih
terasa tercekik dan kaku. "Kaucekik aku!" katanya dengan suara
tegang dan serak. Tawa Honey terhenti. "Hei... kau tak ingat permainan 'Kena
Kau' kita?" "Tidak. Aku..." Becka terbatuk. Napasnya terengah-engah,
dadanya naik-turun, jantungnya masih berdegup kencang.
"Kita biasa melakukan hal-hal yang terburuk satu sama lain,"
Honey mengingatkan sambil menggeleng. "Kita selalu menganggap
permainan 'Kena Kau' itu lucu sekali. Kau ingat"ya kan, Becka?"
Becka tidak menyahut. Napasnya masih terengah-engah. Ia
berjalan menuju cermin. Sambil mendekatkan badannya ke depan
cermin, ia memperhatikan lehernya. Lehernya merah, kulitnya lecet.
"Kausakiti aku!" kata Becka marah kepada bayangan Honey di
cermin. Senyum Honey mendadak memudar. Bibirnya yang dipulas
lipstik warna gelap cemberut. "Kau lupa permainan 'Kena Kau' kita?"
tanyanya pelan, ia tampak sedih.
Becka meraba lehernya dengan lembut. Lalu ia mengacak-acak
meja riasnya sampai menemukan sebotol lotion untuk kulit. Ia berdiri
membelakangi Honey, dan dengan hati-hati mengoleskan lotion putih
itu ke lehernya yang memar.
"Kita biasa saling mengagetkan sepanjang waktu," Honey
melanjutkan. "Ingat waktu kita kelas tiga ketika kau menyingkapkan
rokku di hadapan satu bus Pramuka Pemula" Itu yang paling buruk.
Paling jahat! Kupikir aku tak pernah bisa membalas perbuatanmu
yang satu itu. Wow, itu lucu! Saat-saat yang menyenangkan, heh,
Becka?" Aku tak ingat semuanya, pikir Becka tidak keruan. Aku benarbenar mengira dia mengada-ada mengenai semua peristiwa itu. Apa
yang sedang terjadi di sini"
"Dengar, Honey," kata Becka sambil bersandar ke meja riasnya
untuk menghentikan tangannya yang gemetar. "Apakah bros burung
beoku kebetulan terbawa olehmu?"
"Tentu saja, aku membawanya," jawab Honey tanpa ragu-ragu.
"Tapi itu bukan kebetulan."
Becka membalikkan badannya dengan terkejut. "Hah" Apa
maksudmu?" Honey mengibaskan rambut tebalnya ke belakang pundaknya.
"Kauberikan bros itu padaku, Becka, ingat?"
"Hah?" Becka melongo tidak percaya. "Aku apa?"
"Kauberikan bros itu padaku," Honey menegaskan dengan
gembira. "Tidak, aku..."
"Itu salah satu kebaikanmu juga," kata Honey, senyum hangat
mengembang di wajahnya. "Tidak, Honey... tunggu," kata Becka, urat nadinya terasa
berdenyut-denyut di pelipisnya. "Kau minta untuk mencoba bros itu,
dan..." "Dan kemudian kau bilang aku boleh mengambilnya, sebab aku
sangat menyukainya." Senyum Honey memudar. Sekarang ia menatap
Becka dengan ekspresi wajah terluka, bibirnya yang penuh bergetar.
"Kau sungguh-sungguh bilang aku boleh mengambilnya, Becka."
"Tapi, Honey..." Tiba-tiba Becka menyadari bahwa Honey
benar-benar bingung. Bahunya gemetar dan bibirnya bergetar.
"Tanyakan saja pada teman-temanmu," kata Honey membela
diri. "Tanyakan pada dua cewek itu. Mereka akan bilang padamu.
Mereka melihat kau memberikan bros itu padaku. Sungguh."
Becka tidak bisa memutuskan apa yang harus dilakukannya.
Dilihatnya Honey hampir menangis histeris. Becka tidak
menginginkan semua itu. Ia ingin brosnya kembali, tapi tidak ingin
melihat pemandangan yang amat emosional. Lebih-lebih lagi, ia hanya
menginginkan Honey pergi.
"Kauberikan bros itu padaku," kata Honey, menghaluskan nada
suaranya, "dan sekarang bros itu jadi milikku yang paling istimewa.
Aku akan selalu menyimpannya, Becka."
"Yah... eh, aku senang kau sangat menyukai bros itu, Honey,"
ujar Becka lemah. Sekarang Honey tersenyum. Tak ada tanda-tanda ia hampir
menangis atau membuat pemandangan yang tak enak dilihat. Ia
menjatuhkan badannya ke atas kasur, di atas salah satu blus Becka
yang terbagus. "Ah... maukah kau menolongku mengembalikan pakaianpakaian itu kembali ke lemari?" tanya Becka sambil mengumpulkan
beberapa jins dan celana panjangnya.
Lalu mungkin aku bisa mengusirmu pulang hingga aku bisa
menelepon Bill, pikirnya.
"Oh. Tentu," seru Honey penuh semangat. "Aku belum
mencoba semuanya. Tapi masih banyak waktu untuk mencobanya,
betul, kan?" "Ya. Tentu," jawab Becka enggan, sambil memasukkan jins-jins
itu ke raknya, kemudian kembali ke ranjang untuk mengambil pakaian
lagi. Sementara itu Honey masih berdiri di samping ranjang, tidak
beranjak membantunya. "Oh, lihat! Aku membuat. blusmu kotor,"
katanya, sambil menunjukkan noda itu lebih dekat. "Bagaimana bisa
ya?" tanyanya, mukanya ketakutan. "Lebih baik kucuci."
"Tidak, tak apa-apa," kata Becka cepat-cepat. "Tinggalkan saja.
Lagi pula aku sudah memakainya sebelumnya. Blus itu harus dicuci."
"Tidak, sungguh," Honey bersikeras. Ia berhenti di pintu.
"Begini saja. Blus ini akan kubawa pulang dan kubersihkan nodanya.
Aku akan mencucinya, lalu mengembalikannya sebagus seperti ketika
masih baru." "Tidak, sungguh...," Becka mulai bicara, tapi Honey sudah
membuat keputusan. Ketika Becka mengembalikan pakaiannya ke dalam lemari,
mondar-mandir dari ranjang ke lemari, Honey melepaskan rok perak
itu dan memakai kembali jins belel-nya. "Ini sangat luar biasa!"
teriaknya. Becka, yang sedang menggantung rok itu di lemarinya, tidak
memberikan tanggapan. "Kuharap kau tak marah padaku. Aku pindah tempat duduk di
kelas sehingga kita bisa duduk bersebelahan," kata Honey. Ia kembali
duduk di ranjang. "Tidak, tak apa-apa," jawab Becka datar.
"Sama seperti dulu," kata Honey gembira. "Kau tahu, kita bisa
berangkat ke sekolah bersama setiap pagi. Sama seperti yang kita
lakukan dulu." "Kadang-kadang ayahku mengantarkan aku," kata Becka,
sambil mendorong laci-laci meja riasnya hingga tertutup.


Fear Street - Sahabat Karib The Best Friend di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagus!" kata Honey. "Pasti menyenangkan."
"Dan kalau cuaca baik, kadang-kadang aku naik sepeda," kata
Becka. "Olahraga yang bagus."
"Ya. Aku harus membeli sepeda," kata Honey bersungguhsungguh. "Kau harus membiarkanku melihat sepedamu, supaya aku
tahu sepeda macam apa yang akan kubeli."
"Ke mana kau pindah ketika kau meninggalkan Shadyside?"
tanya Becka. "Oh. Daerah utara negara bagian," jawab Honey samar-samar.
"Terpaksa. Aku tak ingin pergi. Terutama, aku tak ingin
meninggalkanmu, sahabat karibku. Aku masih bisa mengingat hari
yang menyedihkan itu dengan begitu jelas, walaupun aku masih
berumur sembilan tahun. Bagaimana dengan kau?"
"Ya. Seingatku," jawab Becka dengan tidak enak.
Aku bahkan tak ingat bicara dengannya ketika berumur
sembilan tahun! "Waktu itu kita berdua duduk di pinggir jalan di depan
rumahku, berpelukan, menangis dan menangis. Menangis terusmenerus. Wow, itu menyedihkan. Ingat?"
"Ya," sahut Becka, menghindari tatapan Honey.
"Dan ingat laki-laki itu menghentikan mobilnya dan memotret
kita" Pikirnya itu pemandangan yang mengharukan. Ia memotret kita,
dan akibatnya kita malahan menangis lebih keras." Honey menghela
napas dan bersandar, menyangga tubuhnya sendiri dengan tangannya.
"Itulah hari yang paling buruk dalam hidupku, Becka. Sungguh."
"Yah, kupikir lebih baik aku turun sekarang," kata Becka kaku
sambil mengalihkan pandangannya ke pintu kamar. "Aku belum
Raja Naga 7 Bintang 2 Shugyosa Samurai Pengembara 9 Pendekar Bodoh 7

Cari Blog Ini