Kau Aku Dan Sepucuk Angpau 6

Kau Aku Dan Sepucuk Angpau 6

Kau Aku Dan Sepucuk Angpau Merah Karya Tere Liye Bagian 6


"Tak apa, Bang. Aku berangkat saja." Perahuku mulai bergetar karena gas mulai ketekan.
"Sabar, Borno!" Petugas timer melotot.
"Aku berangkat Bang." Tekadku sudah bulat.
"Nah, apa kubilabg, hanya satu menit". Itu dia, penumpangnya sudah datang." Petugas"timeryang bolak-balik memelototiku, menoleh ke dermaga, menahan sepitku,
akhirnya berseru riang menunjuk gerbang dermaga.
Aku gemetar memutuskan menekan pol tuas gas, bodo amat petugas"timer, bodo amat Bang Togar (meski dia ketua PPSKT, pemegang puncak semua peraturan), aku
harus segera kabur dari dermaga. Menoleh selintas ke arah yang ditunjuk petugas"timer, ke arah Bang Togar yang berlari-lari kecil.
Dan hei" Ibu, itu bukan Bang Togar.
Gerakan tanganku terhenti. Tubuhku membeku.
Lihatlah, di tengah cahaya matahari pagi yang hangat menyenangkan, di antara kesibukan steher kayu, lenguh burung elang, gemeretuk suara motor tempel,
kecipak buih permukaan Kapuas, lihatlah, penumpang spesial itu datang mengenakan kemeja putih, celana kain panjang, sepatu kets, dengan tas berat oleh
buku, (salah-satu buku jatuh, dia membungkuk mengambil sebentar), menyibak rambut panjang di bahu, lantas kembali berlari-lari kecil mendekati bibir dermaga.
Itu sungguh bukan Bang Togar.
Penumpang spesial itu adalah Mei!
*** BAB 08. Kota Kita Pontianak!
?" Amboi, aku kehabisan kata. Jangan tanya sepitku, langsung meliuk kembali ke bibirsteher, tidak peduli seruan kaget dan protes sebal penumpang yang hampir
jatuh ke air. Aku mendongak menatap Mei, yang walau ngos-ngosan tetap tersenyum manis bukan kepalang.
"Nah, akhirnya kutemukan kau di sini, Borno."
Eh" Kenapa suara Mei jadi berat"
Aku menutupkan telapak tangan di dahi, berusaha melihat lebih baik, matahari membuat silau.
Itu bukan suara Mei, itu suara Bang Togar, dia tertawa lebar, wajahnya macam menang lotere berhadiah sebuah jembatan Kapuas, tiba-tiba sudah berdiri di
sebelah petugas"timer, dan di depan Mei.
"Aku cari kau kemana-mana, Borno." Bang Togar loncat ke atas perahu"sebelum Mei melakukannya. Bang Togar tidak segera duduk, dia jongkok, lantas menarik
lenganku agar berdiri. Sial, aku yang masih kaget, terkejut, terkesima, terpana, terpukau, mematung (menilik permainanku dengan Andi dulu, entah ada berapa belas sinonim kata
untuk menunjukkan perasaanku saat ini), tidak sensitif, tidak cepat bereaksi atas apa yang akan dilakukan Bang Togar. Tubuh besar itu sudah memelukku erat
sekali, macam pasangan kekasih yang lama tidak berjumpa. Bang Togar mencium pipiku, mencium keningku, mengacak-acak rambutku, menepuk-nepuk bahuku, tidak
peduli sepit jadi oleng kiri-kanan. Membuat penumpang tambah berseru-seru sebal.
"Aku minta maaf, Borno." Bang Togar mengatakan kalimat itu dengan suara bergetar, menyeka ujung mata, berkaca-kaca, "Aku minta maaf atas semua perangai
burukku selama ini. Kau tahu, selain pada Unai dan dua anak-anakku, kau berada di urutan pertama orang yang paling sering kuzalimi. Lihat, jamban itu,
tega sekali aku setahun lalu menyuruh kau menge-catnya. Menyuruh kau menyiramnya pagi, siang dan sore. Membentak-bentak macam sedang memarahi"romusha,
padahal Ibu kau sendiri tidak pernah membentak dan menyuruh kau membersihkan kakus."Tak kurang pula kuhina kau bagai anak tidak tahu diri, anak tidak tahu
untung. Maafkan abang kau ini, Togar."
Dan, astaga, sekali lagi Bang Togar memeluk badanku, mencium pipi, kening, mengacak-acak rambut, menepuk-nepuk bahu, tidak peduli dua penumpang sudah turun
dari sepit"sambil mengomel panjang lebar, bilang mau pindah ke sepit lain saja. Petugas"timer"tidak bisa mencegah, dia sendiri sibuk, setengah menahan
tawa, setengah bingung, menonton kejadian di atas perahuku. Apalagi Mei, yang keduluan sepersekian detik menyapa dan loncat ke perahu, mata sipitnya membesar,
dahinya terlipat (masih ngos-ngosan). Entah apa yang ada di pikiran Mei melihatku dicium-cium Bang Togar, tangannya terjulur, hendak memisahkan, wajahnya
bingung. "Tak kurang di warung makan Tulani, Acung, rumah Pak Tua, dermaga ini, rumah sakit, polres, di mana-mana, aku selalu menganggap kau remeh, Borno. Tak sekalipun
aku membanggakan kau. Dan lihatlah, apa balasannya" Kau justeru orang yang paling sering membezukku di penjara setelah Unai dan anak-anakku. Kau ringan
kaki mengantar Pak Tua, Ibu kau, siapa saja di sepanjang gang kita yang ingin membezukku. Kau bahkan menemaniku saat bertemu bapak Unai yang sakti itu".
Maafkan abang kau ini, Borno. Sungguh maafkan."
Dan, sekali lagi Bang Togar seperti hendak menangis memeluk badanku.
Kali ini aku bereaksi, aku menahan dada Bang Togar, buru-buru mengangguk, memasang wajah serius, "Iya, Bang, aku maafkan. Sudah kumaafkan jauh-jauh hari
malah." Gerakan tangan Bang Togar terhenti, dia memegang bahuku, terpana, menatapku sejenak, "Ya Tuhan, dengarlah." Bang Togar menoleh ke petugas"timer, "Dia bahkan
sudah memaafkanku jauh-jauh hari. Dia". Aku merasa amat bersalah, Borno. Kau benar-benar anak yang baik." Suara Bang Togar semakin serak, lantas tanpa
bisa kulawan, tubuh tinggi-besar itu sudah memelukku erat-erat ketiga-kalinya.
Aduh, rumit nian masalah ini. Aku mengutuk dalam hati, bagaimana aku menghentikan kelakuan aneh Bang Togar, menggeliat berusaha melepaskan pelukan Bang
Togar. Pengemudi lain sibuk tertawa"apalagi Jauhari, dia memukul-mukul pinggir perahunya, terpingkal-pingkal. Penumpang lain menoleh, berbisik satu sama-lain,
bertanya-tanya apa yang sedang terjadi.
"Cukup, Bang Togar. Cukup!" Petugas"timerakhirnya melibatkan diri, berusaha menarik tangan Bang Togar.
Yang ditarik menoleh, akhirnya melepas pelukan, sibuk menyeka mata, "Kau tahu, Sambas, anak ini, Borno, adalah anak paling berhati mulia sepanjang tepian
Kapuas. Anak yang paling kubanggakan, bukan karena bapaknya mati mendonorkan jantung, tapi karena dia mewarisi seluruh kebaikan itu. Hulu Kapuas, hilir
Kapuas, tak ada yang sebaik anak muda ini."
"Iya, Bang. Iya." Petugas"timer"masih dengan sisa tawanya, berusaha serius, "Tetapi anak paling berhati mulia sepanjang tepias Kapuas ini harus narik sepit.
Lihat, penumpangnya kabur semua."
Bang Togar seperti baru siuman dari pingsan, melihat sekitar, terkaget-kaget, menepuk jidat, "Ah iya, astaga, apa yang telah kuperbuat, aku sekali lagi
menganggu kau, Borno. Alangkah kurang ajar abang kau ini, membuat sepit kau kosong-melompong. Maafkan aku?"
"Aku maafkan, Bang. SUNGGUH!" Aku bergegas berkata tegas, "Tetapi aku harus narik, Bang. Bisa dilanjut nanti-nanti?"
Bang Togar mengangguk-angguk, menyeringai, "Iya, iya, baiklah. Kalau begitu, aku kembali kesteher. Terima-kasih banyak, Borno." Tubuh tinggi besar itu
loncat ke dermaga kayu. Tinggallah aku yang berdiri salah-tingkah membalas tatapan penumpang dan pengemudi lain, mengangkat bahu, menggaruk kepala yang tidak gatal.
"Boleh aku naik sekarang?" Mei bertanya ragu-ragu pada petugas"timer.
"Silahkan. Silahkan." Petugas timer buru-buru menyingkir, memberi jalan.
Mei gesit loncat ke atas sepit, duduk di papan melintang dekat buritan, tersenyum kepadaku (yang sudah duduk kembali dan bersiap memegang tuas kemudi).
"Woi!! Separuh ke sini, naik ke sepit Borno." Petugas"timer"segera berteriak, membuyarkan kerumunan penumpang yang menonton, "Ayo, semua naik. Bergegas,
terlambat sekolah, telatngantor"jangan salahkan sepit."
Perahu tempelku segera penuh.
"Nah, silahkan berangkat, Borno." Petugas menepuk ujung perahuku, mengedipkan mat, "Hati-hati, Kawan, penumpang spesial kau sudah duduk rapi."
Aku balas menyeringai, perlahan menarik pedal gas.
*** Setidaknya ada satu hikmah tersembunyi atas kelakuan norak, ganjil bin aneh Bang Togar tadi. Rasa gugup setiap kali bertemu Mei dikalahkan rasa jengah
dan malu jadi tontonan massal. Hei, aku bisa tersenyum normal pada Mei, balas menatapnya, sepit sudah meluncur di permukaan Kapuas.
"Abang lihat apa?" Mei nyengir, berseru berusaha mengalahkan suara mesin dan gelembung air.
"Tidak lihat apa-apa." Aku balas nyengir.
Kami tertawa satu sama lain.
"Apa kabar, Bang?" Mei bertanya.
"Buruk." Aku pura-pura memasang wajah buram, "Siapapun yang habis dipeluk-peluk Bang Togar pastilah buruk kabarnya."
Mei tertawa riang, memperbaiki anak rambut di dahi.
"Kau apa kabar?" Aku berseru, bertanya riang. Hei, barusan aku ternyata bisa bergurau dengan Mei, tidak grogi, tidak malu-malu.
"Buruk." Mei ikut memasang wajah masam.
Eh, aku melipat dahi, buruk apanya" Dia terlihat sehat wal"afiat. Cerah wajahnya mengalahkan cerah kota Pontianak pagi ini, sungguh.
"Siapapun yang habis menonton dua laki-laki dewasa saling berpelukan, berciuman di tempat terbuka, pastilah buruk kabarnya, bukan?" Mei mengangkat bahu,
nyengir, lantas tertawa. Aku ikut tertawa, "Enak saja. Berpelukan itu kalau aku ikut memeluknya. Bang Togar saja yang belingsatan". Begitulah, dia baru saja dibebaskan dari penjara."
Topik itu lantas menjadi bahan pembicaraan kami hingga sepit merapat di dermaga kayu seberang. Penumpang melipat payung, meletakkan lembaran uang di dasar
perahu, berdiri, bersiap loncat ke"steher. Alamak, aku sungguh berharap lebar Kapuas itu seperti selat Karimata. Jadi aku bisa berbincang dengan Mei lebih
lama. Tetapi baru sepuluh menit sudah mentok, sepitku sudah merapat. Mei bergegas berdiri, menyandang tas besar penuh buku.
"Senang bertemu Bang Borno lagi." Dia menyeringai, iseng, "Anak muda paling baik hatinya sepanjang tepian Kapuas." Dia tertawa.
"Ya, ya?" Aku nyengir, dalam hati mengutuk Bang Togar, "Aku juga senang bertemu Mei kembali."
"Sampai ketemu besok pagi, Bang. jangan lupa antrian sepit nomor tiga belas seperti biasa, jangan terlambat seperti pagi ini, jangan pula terlalu cepat."
Mei mengulum senyum. Wajahku memerah, salah-tingkah, mengangguk.
Gadis itu gesit loncat, melambaikan tangan, menghilang di antara kerumunan penumpang.
*** "Oh, ribuan kilo panjang Kapuas,
Bermuara di depan rumah, Oh, malam beranjaklah lekas,
Agar kami segera berjumpa"
"Astaga, ini sajak apa?" Andi tiba-tiba muncul di bingkai jendela, sembarang merampas kertas yang sedang kutulis, berlari menyelamatkan diri dari kejaranku,
memalang pintu depan, lantas membacanya kencang-kencang.
"Kembalikan!" Aku menggeram.
"Tidak mau." Andi tertawa, "Pantas saja kau tidak ada di rumah Pak Tua, tidak juga di balai bambu bermain gitar, ternyata kau sibuk menulis sajak. Ada
sesuatu yang aku tidak tahu" Ayolah ceritakan pada teman baik kau ini."
"Kembalikan!" Aku melotot, berusaha mendobrak pintu, terkunci kokoh. Baiklah, aku bergegas melangkah ke jendela, berusaha lompat keluar.
Andi sudah berlari ke kolong rumah, tertawa melambaikan kertas itu, membiarkan dibawa angir terbang ke permukaan sungai. Aku menyumpah-nyumpah. Bersungut-sungut
kembali ke kamar. Sudah pukul sepuluh malam, harusnya aku beranjak tidur, tapi mataku tidak bisa diajak bekerja-sama. Sebenarnya bukan mata, hatikulah yang memerintah otak,
lantas otak mengendalikan mata: jangan tidur. Bagaimana aku akan menghabiskan malam" Tidak sabaran menunggu esok pagi datang. Itu pertanyaan terbesarku
lepas bertemu Mei tadi pagi. Oh nasib, ternyata kalimat bijak itu benar adanya, perasaan semacam ini bisa membuat kau tidak bisa tidur.
Aku menatap bosan seekor cicak di langit-langit kamar.
*** Mataku baru terpejam pukul tiga dini hari, bangun kesiangan.
Tanpa sempat sarapan, tanpa sempat berganti baju, jangan tanya mandi atau tidak, aku pontang-panting berlari ke kolong rumah. Menghidupkan BORNEO, tanpa
dipanaskan, langsung menekan pol gasnya. "Woi, anak durhaka! Kau membuat sabunku hanyut lagi!!" Masih ingat Pak Sihol" Riak gelombang air dari sepitku
membuat kotak sabunnya jatuh dari batang kayu, tenggelam ke sungai Kapuas, dia bergegas naik ke pematang sungai, memakai handuk, mencak-mencak.
Inilah Kawan apa yang kulakukan setiap pagi.
Kembali ke masa setahun silam. Antrian sepit nomor tiga belas. Tak sabar duduk di buritan"macam duduk di atas tungku. Membaca buku tentang mesin selintas
lalu, kubuka, kubaca, tapi tidak ada yang masuk kepala. Terlonjak senang ketika melihat Mei datang di gerbang dermaga. Beda dengan dulu, kali ini Mei pasti
naik sepitku. Petugas"timer"memberikan keleluasaan antri padanya, "Astaga, tak usah marah-marahlah, Bu!" Petugas"timermengangkat tangan, "Macam tak pernah
muda saja. Ini spesial, gadis ini penumpang istimewa Borno." Menjawab gerutuan Ibu-Ibu yang dipaksa mengalah.
Aku menunggu momen ini selama 23 jam, 45 menit. Lantas bertemu 15 menit di atas sepit, sepanjang proses dia naik ke sepit, perahu penuh, menyebrangi Kapuas,
loncat ke dermaga seberang. Terpotong sana-sini oleh penumpang lain yang bertanya, mengendalikan sepit saat berpapasan dengan perahu lain, sibuk menanggapi
protes penumpang karena sepitku macam kura-kura berenang, sengaja kulambatkan, dan sebagainya. Tidak mengapa, meski hanya 15 menit, itu setimpal, termasuk
sebanding dengan sepanjang malam gelisahku. Semua kantuk, rasa tak sabar, gelisah, berguguran saat melihat Mei sudah duduk rapi di papan kayu. Tersenyum
hangat. Hanya 15 menit itulah waktuku bertemu Mei. Hari kedua aku tahu kalau dia memang kembali mengajar di Yayasan itu, "Terhitung mulai tahun ajaran baru ini,
Bang. Sekolah di Surabaya kutinggal, lebih menantang di sini. Kota ini juga kota kelahiranku, bukan. Jadi bisa kubilang aku kembali ke kota sendiri. Kita
kita." Aku mengangguk-angguk, soal itu menjadi topik pembicaraan hari ketiga, hari keempat dan hari kelima"terpaksa bersambung mengingat waktunya terbatas.
Hari keenam, gerimis turun membungkus kota. Gadis itu beranjak duduk di dekatku, membentangkan payung hitam besar, "Nanti kalau sudah di dermaga seberang,
Bang Borno yang harusnya membayar pada Mei." Aku menoleh tidak mengerti, sedikit gugup dengan jarak sedekat itu, tadi dia sudah kutolak, sudah biasa pengemudi
sepit hujan-hujan, "Anggap saja ini ojek payung, Bang. Nah, mahal kali tarifnya." Mei tertawa riang, menunjuk penumpang-penumpang lain yang membentangkan
payung. Lantas kami membicarakan hujan, berseru-seru mengalahkan suara motor tempel"padahal apa pula menariknya bicara tentang hujan saat lagi hujan-hujanan"
Basah" Hari ketujuh aku teringat sesuatu, hei, bukankah Mei pulang dari sekolah naik sepit juga" Kenapa kami tidak bertemu di siang hari" Itu bisa menambah waktu
pertemuan menjadi dua kali lima belas menit setiap hari. Mei menggeleng, berkata pelan, "Mei hanya pagi naik sepit, Bang. Jalan Pontianak padat, macet
di jembatan Kapuas, bisa satu jam baru tiba di sekolah. Lebih cepat naik sepit, memotong jalan. Nah, pulangnya Mei dijemput."
"Naik mobil." Aku bertanya, menelan ludah, teringat rumah Mei yang megah di dekat balai kota dan mobil jemputan yang mengkilap itu.
Mei mengangguk, "Bagaimana cerita Singkawang" Bang Borno berjanji melanjutkannya hari ini, bukan?" Dia sudah mengalihkan topik pembicaraan.
Hari kesekian belas, hari ke dua puluh sekian, minggu berganti, bulan baru datang, begitulah waktu kebersamaan kami, 23 jam 45 menit menunggu hanya untuk
percakapan singkat 15 menit di atas permukaan Kapuas. Apakah itu cukup" Entahlah, percakapan kami tidak lebih seperti sahabat baik, bergurau, tertawa.
Saling bercerita, saling mendengarkan.
Apa yang diharapkan dari 15 menit per hari" Kalau di total selama sebulan, hanya sekitar 7 jam saja. Lagipula aku bukan siapa-siapa dia" Astaga, Borno,
separuh hatiku menyergah, bukankah kau sudah berjanji akan melupakan gadis itu" Tidak ingatkan kau malam-malam terbaring sakit dulu" Lupakah kau dengan
ikrar tahu diri" Tahu diri siapa kau, dan tahu diri siapa gadis itu.
Hanya berteman, memangnya tidak boleh" Separuh hatiku yang lain membantah. Lagipula, aku tidak mengharapkan bertemu lagi, gadis itu saja tiba-tiba kembali.
Salahku kami jadi bertemu lagi"
Ini hanya akan menyakiti kita, Borno. Separuh hatiku menghela nafas kecewa, kau tahu itu, semua ini pasti akan berakhir dengan rasa sakit. Kita hanya seorang
anak-muda apa-adanya di tepian Kapuas. Cinta yang kita pahami amat sederhana. Kita"
"Woi, Borno!! Maju sepit kau!!" Petugas"timerberteriak kencang, memutus lamunan.
Aku buru-buru meletakkan buku tebal, merapikan rambut, memasang wajah terbaik.
Ah, tidak ada yang mudah dalam cinta, Kawan. Separuh hatiku bersorak senang, biarkan semua mengalir bagai sungai Kapuas. Maka kita lihat, apakah aliran
perasaan itu akan semakin membesar hingga tiba di muara atau habis menguap di tengah perjalanan. Lihatlah, Mei sudah tersenyum riang di bibir dermaga.
Hari ini dia memakai baju lengan panjang berwarna kuning.
***?" "Kenapa wajah kau sedih macam induk beruang kehilangan anak?" Aku nyengir, duduk sembarang di antara tumpukan mesin rusak, ban motor dan sebagainya.
"Memangnya kau pernah lihat induk beruang?" Andi menatapku datar"sebenarnya sebal tiba-tiba melamunnya diganggu.
"Belum, sih." Aku menggaruk kepala.
"Nah, bagaimana kau tahu tampang beruang lagi sedih" Sok tahu."
Aku menahan tawa, "Itu kan sekadar istilah, pemanis kalimat, Kawan. Biar asyik ngobrolnya. Jarang-jarang orang ngobrol pakai peribahasa. Coba kalau semua
orang bicara seperti Pak Tua, kaya dengan perumpamaan, penuh kiasan, lebih damai rasanya. Sekarang orang malah suka disingkat-singkat, langsung pada maksud,
terkadang kasar." "Terserah kaulah." Andi tidak berselera, sembarang melempar kunci nomor 12.
"Bagaimana kemajuannya" Motornya sudah beres?" Aku mendekat.
Andi mengangkat bahu, "Semakin rungsing."
Aku benaran tertawa, melihat tampang masam Andi. Sudah dua hari dia berkutat dengan motor rusak yang sama, "Itulah tabiat buruk kau. Bagaimana mungkin
selesai masalahnya kalau sedikit-sedikit dibuat pusing. Sedikit-sedikit kesal, mudah menyerah. Ayolah, bergembiralahsikit, montir itu pekerjaan yang menyenangkan."
Andi tidak menjawab, menyumpal mulut.
"Sini biar kubereskan." Aku beranjak mengambil obeng yang terserak di sebelah Andi. "Tenang saja, aku tidak akan bilang bapak kau kalau telah membantu."
Andi tidak membantah seperti kemarin. Bapak Andi belakangan memang sering uring-uringan padanya, motor itu sengaja diserahkan sepenuhnya pada Andi, pesannya
satu: jangan dibantu, biarkan saja dia berusaha sendiri.
Lima belas menit berlalu tanpa terasa, tanganku kotor terkena oli motor.
Gang sempit tepian Kapuas sepi dari pejalan kaki atau motor yang lewat.
"Kenapa kau mau-maunya belajar jadi montir?" Andi bertanya, memecah senyap.
Aku menoleh, menyeka dahi dengan belakang telapak tangan,"bukankah ini seru"
"Apanya yang seru" Tidak ada masa depan jadi montir. Lihatlah, bapakku sudah dua puluh tahun punya bengkel, hanya begini-begini saja jadinya. Dan dia terus
memaksaku melanjutkan bengkel tua, jelek dan kotor macam pembuangan sampah ini."
Aku menyeringai, "Setidaknya, lebih tidak ada masa depan kalau hanya jadi pengemudi sepit, Kawan."
Andi terdiam. Meraih kunci nomor 12 yang dia lempar tadi.
"Aku tidak suka jadi montir."
Aku nyengir, "Lah, lantas kau mau jadi apa?"
Andi menggaruk kepala, sedikit ragu-ragu, "Aku ingin punya toko besar seperti koh-koh China di pasar Pontianak. Luasnya tak berbilang, penuh onderdil,
peralatan, semuanya, serba canggih. Karyawan toko belasan, hilir-mudik membantu pembeli, mobil"box"datang bergantian mengantarkan pesanan, terkenal di
seluruh Pontianak." "Bukan main." Aku benar-benar menghentikan gerakan tangan memperbaiki motor, menatap Andi, "Nah, kalau semua sudah dikerjakan pegawai, kau sendiri mengerjakan
apa di toko itu?" "Menghitung uang-lah. Cengklang! Sekian ratus ribu masuk laci. Cengklang! Sekian belas ribu jadi kembalian. Cengklang! Beli ini, beli itu. Cengklang! Macam
Kokoh China itu-lah."
"Haiya, Kawan, kalau begitu, siapa pula yang tidak mau?" Aku tertawa, "Kau mau cepat jadi seperti itu" Bantu saja Koh Acung di toko kelontongnya. Beli
laci uang yang bisa bunyi cengklang! Cengklang! Beres."
Andi menatapku sebal, kembali menunduk, sibuk memainkan kunci nomor 12.
"Kau habis dimarahi bapak kau lagi?" Aku bertanya, agak menyesal telah tertawa.
Andi tidak menjawab. "Aku paling tidak tahan melihat wajah kau macam pengungsi perang seperti ini, Andi. Kusut, terlipat empat. Ayolah, bergembiralah sedikit."
Andi tetap menunduk, tidak menanggapi.
Aku sembarang melempar obeng, beranjak duduk di depannya, "Pak Tua selalu bilang padaku, sepanjang kau punya rencana, maka jangan pernah berkecil hati,
Borno". Aku dulu tidak suka dengan kalimat itu, itu hanya kalimat hiburan. Apalah yang diharapkan dari kita ini" Hanya lulus SMA. Modal tak punya, keahlian
tak ada, kesempatan minus, jaringan nol, yang tersisa cuma mimpi, cita-cita". Dulu aku bermimpi bisa kuliah sambil bekerja, lihat, sudah tiga tahun sejak
lulus SMA, hanya itu-itu saja kemajuan mimpiku. Jadi pengemudi sepit, penghasilan pas-pasan. Sementara lihat teman-teman SMA kita dulu, sibuk dengan kuliah
mereka, sibuk dengan masa depan. Ada yang hendak jadi PNS, ada yang mau jadi karyawan swasta necis."
"Bukan hanya kau, Andi, aku juga sering berpikir, sepuluh tahun lagi, jangan-jangan mereka semakin jauh di depan, sedangkan kita semakin jauh tertinggal.
Terus-terang saja, aku tidak mencemaskan soal mereka punya rumah, punya mobil, hidup hebat, tidak. Tetapi aku lebih mencemaskan jangan-jangan sepuluh tahun
lagi Borno tetap jadi seorang pengemudi sepit. Nasibku sama seperti Bang Jau, Jupri, dan yang lain. Dari kecil sudah jadi pengemudi sepit. Bang Togar masih
lumayan, dia pernah bertualang ke hulu Kapuas, punya masa muda yang berbeda. Pak Tua apalagi, menjadi pengemudi sepit hanya hobi, bahkan kupikir dia amat
menikmatinya setelah berpuluh-puluh tahun berkeliling dunia, kaya meski hidupnya sederhana. Sedangkan aku" Tidak ada hal hebat yang pernah kulakukan.
Andi perlahan mengangkat kepala.
"Sepanjang kau punya rencana, maka jangan pernah berkecil hati". Kau tahu, aku dulu tidak mengerti maksud kalimat itu. Hari ini aku paham benar maksudnya.
Nah, tadi kau bertanya, kenapa aku mau-maunya jadi montir" Aku punya rencana, Kawan. Tidak besar, juga tidak hebat, tapi rencana ini lebih dari cukup untuk
mengusir jauh-jauh perasaan rendah diri, kecil hati itu. Aku memang tidak kuliah, dan mungkin tidak akan pernah berkesempatan kuliah, tetapi enam bulan
terakhir aku membaca lebih banyak buku tentang mesin dibanding mahasiswa tahun terakhir. Kita memang tidak punya modal, tapi itu gampang, pasti ada jalan
keluarnya. Kita juga tidak punya jaringan, kenalan, tapi itu bisa dibangun perlahan-lahan. Jangan bilang bengkel ini tidak ada masa depannya, Andi. Tentu
Bapak kau marah besar, tersinggung, bengkelnya dibilang tempat sampah. Bukankah nafkah keluarga kau dari bengkel ini, selain jualan jengkol dan sebagainya
itu. Aku pun tersinggung mendengarnya.
Andi diam, menatapku lamat-lamat.
"Percayalah," Aku menepuk bahu Andi, "Sepanjang kita punya mimpi, cita-cita yang lantas dikongkritkan dengan sebuah rencana yang walau kecil tapi masuk
akal, maka tidak boleh sekalipun rasa sedih, rasa tidak berguna itu datang menganggu pikiran. Dan ingat ini, seandainya kau tidak punya rencana itu, kau
gagal melaksanakan rencana kau itu, kau tenang saja, rencanaku cukup besar untuk kita berdua. Masa depan yang lebih baik. Masa depan kita yang lebih cerah."
Aku membalas tatapan Andi dengan ekspresi wajah mantap, meyakinkan.
Andi menelan ludah, "Ini horor, Borno."
"Horor apanya?" Dahiku terlipat, bingung.
"Lama-lama kau mirip Pak Tua. Ini menakutkan."
*** Sial, atas nasehat dan petuahku yang bernas dan hebat itu, Andi justeru membalas memberikan nasehat dan petuah yang membuatku malu tidak kepalang.
Selepas"mood-nya membaik, kuceritakan pada Andi soal masalah pertemuanku dengan Mei sebulan terakhir, bertemu 15 menit, menunggu 23 jam 45 menit. Andi,
tidak seperti jamak mentertawakan, manggut-manggut takjim, lantas dengan wajah bersimpati bilang, "Itu mudah, Kawan. Mudah saja." Wajahku langsung cerah,
astaga, apakah Andi benar-benar punya cara baik agar frekuensi dan waktu pertemuanku dengan Mei jadi meningkat.
"Besok hari Sabtu, bukan" Nah, besok pagi-pagi, saat di atas sepit, kau ajak si sendu menawan kau itu jalan-jalan keliling Pontianak. Mau sekolah silat,
sekolah debus, apalagi sekolah SD, SMP, semua libur hari minggu, ajaklah dia lusa besok. Seharian penuh, beranjangsana naik perahu tempel, berdua saja.
Alamak, pastilah romantis dan eksotis."
Jenius! Aku bersorak dalam hati, benar sekali, kenapa aku tidak terpikirkan tentang itu. Dulu waktu di Surabaya, Mei juga pernah bilang, nanti giliran
Bang Bonro yang menemani Mei keliling Pontianak. Tetapi, aku segera meneguk ludah, menggaruk kepala yang tidak gatal.
"Kenapa" Ada masalah lain?" Andi bertanya.
"Bagaimana caranya?"
"Caranya" Apa susahnya" Tinggal jalan-jalan berdua. Perlu kukasih tips pula?" Andi macam konsultan percintaan, mengangkat bahu, memasang gaya norak.
"Bukan jalan-jalannya, tapi bagaimana cara mengajaknya. Bagaimana bilang padanya di atas sepit?" Aku menyeringai kecut. Itu tidak mudah, bukan?"Mei, maukah
kau besok jalan-jalan bersamaku?"Tidak mau."Mei, eh, cerah sekali pagi ini, besok sepertinya juga cerah, maukah kau pergi bersamaku?"Tidak mau."Mei, besok
kau libur, kan" Yuk, jalan-jalan."Tidak mau. Bagaimana kalau jawaban Mei hanya itu" Mau ditaruh di mana mukaku.
Andi tertawa kecil (lagi-lagi bukan mentertawakan, tapi macam tawa dukun sakti yang ditanya masalah remeh, cara ngupil misalnya), "Itu mudah, Kawan. Tentu
saja, sebelum kau ajak dia, sebelum kau"pepet"dia dengan permintaan itu, kau harus mengondisikan terlebih dahulu. Pasang skenario dua lapis, nah, lantas
barulah skak-mat, pasti sukses, gadis manapun tidak akan bisa menolak."
Aku terpesona. Masuk akal, penjelasan Andi berikutnya kutelan mentah-mentah.
*** Esok hari, di atas sepit yang melaju (lambat)"sengaja kulambatkan karena aku butuh waktu lebih lama, sampai Ibu-Ibu yang sering naik sepitku melotot, protes,
aku mengangkat bahu, "Propeler-nya lagi agak ngadat, Bu. Jadi sepitnya tak bisa cepat-cepat. Ayolah jangan protes, nanti malah mati sekalian di tengah
Kapuas." Ibu-ibu itu diam, jerih membayangkan perahu mengapung macam sabut kelapa di Kapuas yang mengalir deras.
Saat sepit sudah sepelemparan batu meninggalkan dermaga, aku mulai dengan skenario pertama: semua wanita suka cokelat.


Kau Aku Dan Sepucuk Angpau Merah Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku punya hadiah buat kau?" Aku memasang wajah senormal mungkin.
"Hadiah" Sungguh?" Mata Mei membesar, wajahnya riang.
Beberapa hari lalu dia memberiku buku sejarah tentang mesin, masih terbungkus rapi dari toko. Dihubungkan dengan saran "Master Cinta" Andi kemarin sore,
maka aku bisa mengarang kalimat berikut, "Hitung-hitung membalas hadiah Mei. Tak enak rasanya hanya menerima. Tak lengkap jika tidak dipasangkan dengan
memberi." "Aih, Bang Borno sudah macam pujangga." Mei tertawa renyah, memperbaiki anak rambut, "Mana hadiahnya, Bang?" Antusias.
Aku agak gugup mengeluarkan bungkusan dari saku baju.
"Ini apa?" Mei tidak sabaran.
"Buka saja." Aku menelan ludah"aku membelinya di toko perempatan besar kota, sengaja memilih yang paling pas, paling menarik, dibungkus dengan kertas terbaik.
"Ini cokelat, ya?" Mei bingung.
"Eh, kau tidak suka?" Aku cemas.
"Sebenarnya suka, Bang." Mei nyengir, menghela nafas pelan, "Tetapi Mei kan mengajar anak kelas 1 SD. Seminggu ini kami belajar tentang kesehatan mulut,
mengundang dokter gigi ke sekolah. Mei bahkan memasang wajah galak agar mereka tidak makan cokelat, permen, gula-gula. Dan ini ternyata cokelat?"
Lima belas detik terdiam.
"Ma-af." Aku jadi salah-tingkah"sambil mengutuk Andi dalam hati.
"Mei yang harusnya minta maaf. Aduh, harusnya Mei tidak usah bawa-bawa soal sekolah. Abang pasti sudah bela-belain beli cokelat seperti ini, terima-kasih.
Nanti bisa Mei kasihkan ke siapalah, biar tidak mubazir, boleh ya?" Mei memasukkan cokelat itu ke dalam tas, berusaha kembali riang.
Aku patah-patah mengangguk. Nasib! Sudah dibela-belain beli, menghabiskan penghasilan narik dua hari, ternyata tidak dimakan Mei.
Sepit terus melaju, diam-diaman lagi, waktuku tinggal lima menit, harus bergegas.
Baiklah, saatnya mengeluarkan skenario kedua: semua wanita suka dipuji cantik.
Aku berdehem-dehem. Mei mengangkat kepalanya.
"Ada apa, Bang?"
Aku pura-pura batuk kecil.
"Abang sakit batuk?"
Aku menggeleng. Diam sejenak. Waktuku tinggal 4 menit, 30 detik.
"Ibu Mei dulu pastilah cantik, ya?" Kalimat itu akhirnya meluncur setelah dipaksa-paksa.
"Bagaimana Abang tahu?" Mei menatapku.
"Eh, eh," Aku menelan ludah, "Karena Mei juga cantik." Alamak, itu kalimat paling ajaib yang pernah kuucapkan selama ini.
Cemas karena waktuku semakin sempit, akhirnya aku nekad menuruti semua skenario dialog yang disiapkan Andi kemarin, "Pasti berhasil, Kawan, yakinlah. Kujiplak
dari film India. Luar biasa dampaknya, macam buruk ditembak jatuh,"kelepak-kelepak." Belum lagi saat Andi menambahkan, "Kalau kau ingin mendapatkan hati
seorang gadis, maka dekatilah Ibunya, puji Ibunya, ramah dengan Ibunya, urusan akan lebih mudah. Ayahnya pun akan ikut takluk."
Di atas sepitku, ternyata dampaknya berbeda.
Mei hanya diam, menghela nafas perlahan, "Terima-kasih sudah bilang Ibu cantik, Bang."
"Kenapa" Ucapanku ada yang keliru, ya?" Aku bertanya cemas.
"Beliau sudah meninggal lima tahun lalu, Bang. Abang benar, wajahnya bahkan masih terlihat cantik meski sudah pergi selama-lamanya."
Aku mematung, menatap wajah sedih Mei. Astaga, apa yang telah kulakukan"
"Ma-af." Mei menggeleng perlahan, "Harusnya Mei yang minta maaf, Bang. Membawa-bawa masa lalu. Ohya, terima-kasih sudah bilang Mei cantik." Gadis itu berusaha riang.
Dasar Andi sialan! Semua sarannya berakhir seratus delapan puluh derajat dari tujuan. Tepi Kapuas semakin dekat, 15 menit waktu berhargaku musnah tak berguna,
sepit akhirnya merapat ke bibir"steher. Penumpang berloncatan turun, "Kau perbaiki segera sepit kau, Borno. Atau aku malas naik lagi. Macam naik kura-kura
saja, lambatnya minta ampun." Ibu-ibu yang tadi protes berseru kencang.
Aku hanya mengangguk, dari tadi menatap lamat-lamat Mei yang memasang tas besar penuh buku.
"Abang besok narik?"
Aku mengangguk. "Oh Mei kira abang libur."
Aku menggeleng. "Padahal kalau abang libur, siapa tahu mau menemani Mei keliling Pontianak. Besok Mei libur mengajar, daripada bengong di rumah." Gadis itu menatapku,
tersenyum. Aku hampir terjengkang dari buritan sepit, apa dia bilang" "Libur, Mei! Aku bisa libur narik." Bergegas meng-anulir kalimatku sebelumnya.
"Jangan dipaksakan, Bang. Abang bisa menemani Mei saat abang libur saja." Mei menggeleng.
Aku memasang wajah sungguh-sungguh, "Justeru itu, kalau tidak dipaksakan, mana ada pengemudi sepit yang libur. Besok aku temani Mei keliling pontianak,
bila perlu aku ajari mengemudikan sepit ini. Mau?" Aku menepuk-nepuk BORNEO.
Mei tertawa renyah, "Baiklah. Besok pukul sembilan di dermaga?"
"Sepakat." Aku menjawab mantap.
Dasar Andi sialan, ternyata aku tidak perlu semua saran kacaunya untuk mengajak Mei jalan-jalan besok. Hanya perlu bersabar, dan semua skenario baik itu
tercipta sendiri. Bukankah Pak Tua pernah bilang, ah, cinta, selalu saja misterius, jangan dipaksakan, jangan diburu-buru, atau kau akan merusak jalan
ceritanya sendiri. ***"Kudengar besok kau mau plesir keliling Pontianak bersama pacar baru kau, Borno?" Cik Tulani bertanya santai sambil menyerahkan tiga rantang makanan.
"Pacar baruku" Plesir keliling pontianak?" Aku hampir tersedak, pertama karena Cik Tulani tanpa pangkal-muasal bertanya soal itu (padahal aku disuruhnya
mengambil rantang makanan), kedua soal kata "pacar" (sejak kapan aku pacaran), ketiga dari mana Cik tahu urusanku itu"
"Siapa namanya" Mel" Mul" Mil" Mal" Mai" Ahiya, Mei, bukan?" Cik Tulani nyengir, mengabaikan ekspresi wajahku.
"Kata siapa aku besok mau jalan-jalan keliling Pontianak?" Intonasi suaraku menyanggah.
"Alamak, semua penghuni gang sempit tepian Kapuas ini juga sudah tahu, Borno." Cik Tulani tertawa, "Kalau kau tak mau cerita ya sudahlah, sana bergegas,
jangan lupa kau bawa pulang rantang-rantangnya. Awas kalau kau gadaikan di toko panci."
Aku menelan ludah, menatap punggung Cik Tulani yang kembali ke dapur warung makannya, sambil bersenandung lagu Melayu lama tentang Cinta. Aku bukan tersinggung
mendengar kalimat terakhirnya. Sial, ini pasti ulah Andi, dia macam ember, tumpah berceceran kemana-mana rahasia orang. Semoga hanya Cik Tulani yang tahu.
"Haiya, bilang terima-kasih banyak ke Tulani. Jarang-jarang dia kirim makanan masih segar begini. Yang sering juga kalau sudah hampir basi, baru kirim-kirim."
Koh Acung tertawa, lantas berlalu membawa rantang masuk ke bagian belakang toko kelontong, meneriaki istrinya, bilang tolong pindahkan isi rantang, Borno
menunggu. Sore tadi ada anak kecil di"steher"yang menitipkan pesan kalau Cik Tulani mencariku. Kupikir dia minta diperbaiki mesin parut kelapa, mesin apalah, keperluan
apalah, ternyata hanya disuruh mengantar tiga rantang makanan. Aku menatap Cik Tulani sebal, dia itu sering lupa, kalau aku sudah 22 tahun, bukan anak
ingusan yang dulu sering disuruh-suruhnya. Apa susahnya dia menyuruh anak tetangga warung, lebih cepat, dikasih uang seribuan juga sudah senang.
"Nah, tolong kembalikan rantangnya pada Tulani, Borno." Koh Acung menyerahkan rantang kosong.
Aku mengangguk, bersiap pamit, masih ada dua rantang tersisa.
"Semangat, Borno!" Koh Acung tiba-tiba menepuk-nepuk bahuku.
Aku yang bersiap pamit menoleh, semangat buat apa"
"Semangat buat besok!" Koh Acung mengepalkan tinju.
"Besok apa?" "Plesir dengan gadis pujaan hati kau-lah. Apalagi?" Koh Acung tertawa, "Aku senang sekali mendengar kabar kalau gadis itu masih keturunan China ya" Haiya,
kalau kau perlu melamar, mengurus pernikahan, tinggal bilang Koh. Gampang diatur. Aku bahkan bisa menjadi orang-tua angkat kau."
Astaga" Aku mengutuk Andi dalam hati"bocornya juga tiba di toko kelontong ini.
Tersisa dua rantang, tujuan kedua, rumah panggung Pak Tua.
"Bukan main." Pak Tua menggeleng-gelengkan kepala.
"Kalau Pak Tua mau ikut-ikutan bilang soal plesir besok lebih baik aku bergegas pulang." Aku memasang wajah bersungut-sungut, bersiap pamit, cukup sudah.
"Besok apa" Kau kenapa jadi mudah marah begini?" Pak Tua menyeringai, "Bukan main pindang ikan Tulani ini maksudku, Borno. Aromanya lezat tak terkira.
Siapa pula yang mau membahas urusan lain. Kau mau makan sekarang?"
Aku menggaruk kepala, salah-tingkah, keliru menduga.
"Ayolah, Borno, temani orang tua ini makan". Sebentar kusiapkan." Dan tubuh tua itu hilang dibalik pintu dapur, muncul beberapa menit dengan membawa nampan
berisi bakul nasi, piring, mangkok, gelas dan teko.
Perutku lapar, tadi bergegas ke warung Cik Tulani, tidak sempat makan malam. Menatap mangkok dengan kepul pindang, aromanya menusuk hidung, membuat air
liur menetes. Baiklah. Aku meraih kursi rotan, duduk rapi.
Lupakan soal besok"meski aku tidak sabar menunggunya. Saatnya menikmati hidangan sederhana di atas meja, sambil menatap kerlap-kerlip perahu melintasi
sungai Kapuas dari bingkai jendela. Malam beranjak matang.
*** Aku tidak kesiangan, bangun tepat waktu. Bagaimana tidak" Setiap setengah jam terbangun, bergegas melihat jam dinding. Tapi meski aku bangun tepat waktu,
aku tetap datang terlambat di dermaga kayu. Bagaimana tidak" Aduh, manusiawi sekali urusan ini, saat hendak berangkat, perutku mendadak sakit, melilit,
jadilah bolak-balik ke jamban. Dibela-belain nongkrong bengong, tetap tidak keluar. Salah-tingkah, bergegas naik sepit, menekan pol gas motor tempel, perutku
lagi-lagi melilit. Sial, tiga kali pergi ke jamban yang keluar hanya se-incrit. Seperti sengaja betul perut menyabotase janji jalan-jalanku dengan Mei.
Atau aku yang terlalu gugup, semangat, tidak sabaran, sehingga otakku mengirimkan mekanisme pertahanan yang keliru pada tubuh: sakit perut.
Bagaimana tidak" Prospek menghabiskan waktu seharian bersama Mei adalah hal hebat yang pernah kuharapkan seumur hidup. Sejak semalam aku sudah merancang
lokasi apa saja yang akan kukunjungi, rute terbaik, tempat paling eksotis, dan kalau nasibku sedang beruntung, aku bisalah sedikit-sedikit menyindir Mei
membahas perasaan, ehm, kau sudah punya pacar belum" Ehm, aku senang sekali pergi bersama kau hari ini, apakah kau juga sama" Ehm, ehm, boleh aku jadi
teman dekat Mei" Bukan, bukan cuma dekat, lebih dari itu, ehm, tahu maksudnya kan"
Mukaku (selalu) bersemu merah membayangkan kemungkinan dialog itu.
"Woi, alangkah kurang ajarnya anak satu ini. Kau sudah dua kali membuat sabunku tenggelam seminggu terakhir." Teriakan Pak Sihol membahana di tepian Kapuas.
Aku nyengir, melambaikan tangan. Bergegas atas nama cinta.
Sepitku merapat di dermaga. Dan alamak, Bang Togar bersama belasan pengemudi sepit lainnya sudah duduk menungguku di sana. Hanya kurang spanduk saja, maka
lengkap sudah penampilan mereka macam suporter kesebalasan sepak bola kota Pontianak yang tidak pernah berhasil masuk klansemen liga nasional.
Bertepuk-tangan ramai menyambutku turun.
Meneriakkan yel-yel, "Hidup, Borno!"
Berseru-seru, "Doa kami bersamamu!"
"Selamat berjuang, Borno."
Bang Togar mendekatiku, menepuk-nepuk bahuku, "Kau perlu tips dari abang kau ini, Borno?"
Aku menelan ludah. "Tentu saja perlu. Kau perlu tips jitu agar anjangsana kau seharian berjalan menyenangkan, bukan sebaliknya memalukan." Bang Togar manggut-manggut, menarik
bahuku, merapat, dan dia mulai berbisik serius, "Yang pertama, Borno, jadilah diri sendiri. Alangkah banyaknya pencinta yang justeru berusaha tampil hebat,
keren, gagah, sampai dia lupa menjadi dirinya sendiri. Kau tidak perlu bergaya seperti anggota grup musik ternama, atau aktor kawakan, atau orang paling
kaya sedunia, cukup jadilah diri sendiri, Borno, seorang pengemudi sepit Kapuas yang baik hati."
Aku menatap Bang Togar hampir-hampir tidak percaya.
"Jadilah pendengar yang baik, Borno. Itu tips kedua. Alamak, banyak sekali pencinta yang malah merusak acara spesial karena dia justeru mendominasi pembicaraan,
ingin terlihat pintar, ingin menutupi gugup, dan sejenisnya itulah, sehingga malah banyak bicara. Kau cukup menjadi Borno yang mendengarkan, perepuan manapun
suka itu. Jangan malah kau ajak gadis itu bercakap tentang mesin, meski kau ahli sekarang urusan itu, bisa jadi keriting rambut pujaan hati kau itu."
Mulutku ternganga, apakah tidak salah dengar.
"Yang ketiga, pusatkan perhatian pada dirinya, Borno. Dia, dia dan dia, itulah topik kau sepanjang hari. Tunjukkan betapa tertariknya kau padanya, bahkan
bila perlu kau puji sepatunya, tidak hanya bagaimana cantik baju yang dia pilih. Kau puji detail-detail kecil, maka hasilnya menakjubkan, Kawan. Percayalah
pada abangmu ini." Bang Togar terkekeh.
Aku menyeka peluh di dahi, astaga, sejak kapan Bang Togar amat lihai urusan ini" Kalau tahu begini, jauh-jauh hari aku memeluk lututnya, berharap diangkat
jadi muridnya. "Yang terakhir, nah, semua tergantung pada bagian penutup yang baik, bukan" Berikanlah penghormatan padanya, perlakukan dia sebagai wanita yang baik dan
amat berharga. Lantas tutup acara jalan-jalan sehari kau dengan kalimat kalau kau senang menghabiskan waktu bersamanya, kau sangat menikmati waktu bersamanya,
jauh lebih hebat dibandingkan mengantar Gubernur Kalimantan Barat menyeberangi Kapuas?"
"Aku belum pernah mengantar Gubernur, Bang." Aku memotong kalimat bersemangat Bang Togar.
"Astaga, kau karang-karang saja, Borno." Bang Togar menepuk dahinya, menatapku seperti melihat anak SD yang tidak mengerti dua ditambah dua, "Nah, sambil
tatap matanya penuh keyakinan, katakan kalau kau sungguh berharap pertemuan berikutnya, jalan-jalan berikutnya. Paham?"
Aku menelan ludah untuk kesekian kali, mengangguk.
"Bagus, Borno, selamat berjuang." Bang Togar terkekeh.
Belasan pengemudi sepit lain kembali bertepuk tangan, bersorak-sorak demi melihat Bang Togar mengacungkan tinju ke udara.
Aku menyeringai lebar. Ini sedikit berlebihan dan sedikit memalukan. Andi benar-benar ember bocor, kalau sudah begini, alamat seluruh gang sempit tepian
Kapuas tahu aku akan pergi bersama Mei sepanjang hari. Lihatlah, aku mengeluh dalam, aku janji bertemu dengan Mei di dermaga, dengan seluruh kehebohan,
kedatangan Mei akan membuat semua orang sempurna menonton kami. Wajah-wajah sumringah, wajah-wajah menggoda.
Aku menyeka peluh di leher, ternyata selain Bang Togar dan belasan pengemudi sepit yang sibuk ikut menunggu, ada hal lain yang harus lebih kucemaskan,
sudah pukul sembilan lewat lima belas, Mei tidak terlihat tanda-tandanya.
***Aku belum pernah ke dokter gigi, siapa sih yang mau sakit gigi" Tetapi aku bisa membayangkanlah sedikit bagaimana bentuk rupa tempat berpraktek dokter
gigi. Ruangan yang kaku, serba putih, bau obat menyengat, wajah perawat yang datar, ruang tunggu dengan majalah lama, dan kursi periksa pasien yang seram"lengkap
dengan peralatan cabut-mencabut, tambal-menambal, atau bersih-membersih gigi, sementara dokter berdiri tanpa banyak bicara, dengan masker tertutup, spatula
logam di tangan, menatap galak, mengaduk-aduk mulut pasien. Selain tukang cukur rambut yang bebas pegang-pegang kepala, dokter gigi sedikit di antara orang
di muka bumi yang bisa menyuruh-nyuruh bahkan presiden sekalipun buka dan tutup mulut.
Sepit yang dikemudikan Pak Tua merapat ke dermaga tujuan.
Matahari hampir tenggelam di balik bangunan-bangunan sarang burung walet dan tower BTS, jingga sejauh mata memandang, permukaan sungai terlihat berkilat-kilat
jingga, astaga, aku baru tahu kalau tempat praktek dokter yang kami tuju punya dermaga kayu sendiri, tertambat beberapa sepit milik pasien atau mengantar
pasien, dan sebuah"boat"keren berwarna putih yang anggun bergerak-gerak oleh riak sungai Kapuas. Dermaga kayu ini keren sekali. Lampu dermaga terlihat
menawan, bohlam besar-besar, papan lantai dermaga tersusun rapi, dari kayu terbaik, pastilah dibuat oleh tangan terampil.
Andi masih bersikukuh memegangi pinggir sepit, berteriak-teriak tidak mau. Pak Tua sebal menarik tangannya, mengomel, "Tidak ada yang akan dicabut, Andi.
Kalau benar dicabut, kita pulang."
Andi tetap tidak mau turun. "Astaga, kelakuan kau macam anak kecil saja, Andi. Belum pernah aku menemukan orang Bugis se-penakut kau. TURUN!!" Pak Tua
saking kesalnya, tidak sengaja melanggar etika SARA, membawa-bawa suku bangsa.
Aku tidak sibuk mengganggu Andi, tiba-tiba kehilangan selera, aku sedang terpesona melihat tempat praktek dokter gigi tujuan kami. Ini menakjubkan, rumput
terpangkas rapi di halaman luas, jalan setapak dari koral bebatuan, taman bunga, dan tempat praktek tujuan kami adalah rumah dua tingkat persis di tengah
halaman luas. Belasan motor parkir rapi, satu oplet, dan beberapa mobil pribadi, aku menatap kagum seluruh halaman, hingga tiba di ruang tunggu yang separuh
di beranda depan, separuh di halaman (ruang tunggunya lebih mirip beranda depan kafe dibandingkan ruang tunggu si sakit).
"Kau camkan kalimatku, Andi"." Pak Tua bersungut-sungut mendorong tubuh Andi memasuki ruang tunggu, "Kalau kau tak mau berobat di sini, biar orang tua
ini saja yang mencabut gigi kau. Kuikat dengan benang, kutambatkan benangnya di buritan sepit, lantas ku gas kencang-kencang sepitnya. Sekejap gigi busuk
kau sudah lepas." Orang-orang yang mendengar Pak Tua mengomel tertoleh.
"Kau pilih mana?" Pak Tua tidak peduli.
Andi bergidik, menoleh orang-orang yang menonton keributan, menimbang, akhirnya melangkah menuju ke meja pendaftaran.
Kami duduk di bangku panjang setelah mendaftar, nomor sembilan belas. Aku sibuk memperhatikan betapa asyik-nya tempat praktek dokter gigi ini. Pemilik
tempat praktek menyediakan dua layar televisi besar di depan bangku dengan saluran televisi berbayar"sedang menyiarkan pertandingan bola secara langsung,
salah-satu petugas jaga bahkan berbaik hati membagikan air minum, bilang "Gratis, kok." Saat aku ragu-ragu menerimanya.
"Pak Tua tahu dari mana tempat praktek dokter gigi ini?" Aku bertanya, santai meluruskan kaki. Awalnya, saat bapak Andi menyuruhku bergegas membawa Andi
berobat, sepitku menuju dermaga dekat klinik Rumah Sakit Umum Daerah Pontianak, tetapi saat kehabisan solar, berganti sepit Pak Tua, dia memutuskan menuju
arah lain. "Aku juga tidak tahu, Borno. Ada salah-satu penumpang sepitku yang cerita beberapa minggu lalu, bilang ada tempat praktek dokter gigi baru. Dia bilang
dokternya baik hati. Daripada kau ke rumah sakit umum yang jangan-jangan dokter kliniknya sudah tutup malam-malam." Pak Tua masih mencengkeram lengan Andi
erat-erat, takut kalau Andi tiba-tiba kabur.
Aku mengangguk, dilihat bagaimana ruang tunggunya, dokter yang akan kami datangi pastilah baik hati, "Bertahun-tahun aku menelusuri sungai Kapuas, aku
tidak pernah tahu kalau ada tempat seperti ini, Pak Tua. Luput dari pengamatan."
Pak Tua tertawa, "Aku juga baru tahu, Borno. Kota Pontianak ini luas, banyak bagian-bagian kecil yang kita tidak tahu. Bahkan ada penduduk kota ini yang
hanya tahu sepotong gang dan jalan di depannya saja, jangan tanya sudut kota yang manalah. Atau malah, seumur-umur hidup di Pontianak, tapi belum pernah
menumpang sepit sekalipun."
Aku ikut tertawa"Andi meringis, berusaha melepaskan cengkeraman Pak Tua.
Lama sekali kami menunggu, antrian pasien panjang, tiga jam berlalu hingga akhirnya nama Andi dipanggil. Kami bertiga melangkah masuk, aku mendorong pintu
kaca dengan gagang stainless, Pak Tua mendorong punggung Andi yang entah kenapa kumat lagi gentarnya"padahal tadi sudah tenang dia.
Hampir pukul sembilan malam, kami mungkin pasien terakhir.
"Selamat malam." Dokter gigi itu tersenyum, bangkit berdiri, memamerkan deretan giginya yang putih cemerlang ditimpa cahaya lampu neon 15 watt.
"Selamat malam, Bu." Pak Tua balas tersenyum.
"Aduh, jangan panggil saya Ibu." Dokter itu tertawa renyah, menggeleng.
Dan aku seketika menelan ludah, astaga, bukan menatap betapa terawat dan menawannya gigi dokter di hadapan kami (tentu saja kalian tidak mau berobat gigi
ke dokter gigi yang giginya hitam jelek), aku menelan ludah karena tidak menyangka, alangkah muda dokter yang kami temui. Kupikir dia tadi hanya perawat
biasa, petugas administrasi atau apalah yang sedang di ruangan dokter. Kupikir dokter giginya akan berusia setengah baya. Umur dokter gigi di hadapanku
bahkan paling juga dua-tiga tahun di atasku"untuk tidak bilang sepantaran, wajahnya ramah, dan, harus kuakui, dari caranya berdiri, menjulurkan tangan,
menyambut kami, dia dokter gigi yang menyenangkan"dan oh Ibu, dokter yang satu ini amat cantik, wajah cantik khas peranakan Melayu-China.
"Saya belum pantas dipanggil Ibu, kan". Juga tidak usah dipanggil Dok atau Dokter. Panggil saja nama langsung, Pak. Nama saya Sarah. Silahkan duduk." Dokter
itu menunjuk kursi. Pak Tua mengangguk, menyikut lenganku agar ikut duduk.
"Pastilah abang ini yang giginya sakit, bukan?" Dokter itu tersenyum menawan pada Andi, memasang masker di mulut, menuju ke tengah ruangan, cekatan menggeser
kursi periksa, meraih spatula logam.
"Darimana Dokter, eh Sarah tahu dia yang sakit gigi, padahal belum satu pun dari kami membuka mulut?" Pak Tua bertanya"sepertinya dia juga tertarik dengan
sosok dokter gigi itu, sama tidak menduganya.
"Itu mudah ditebak, Pak. Sama mudahnya menebak kalau seseorang sedang kebelet ke toilet." Dokter itu tertawa renyah lagi, sambil menatap Andi, "Wajah kusut
abang satu ini terlihat jelas, walaupun sepertinya dia meringis lebih karena takut denganku bukan karena sakit giginya."
"Kau benar." Pak Tua ikut terkekeh, "Aku harus menyeretnya untuk tiba di ruangan ini. Dia takut sekali giginya dicabut."
"Dicabut" Tidaklah". Itu hal terakhir yang dilakukan profesi kami, Pak. Jika masih bisa ditangani dengan cara lain, buat apa membuat abang ini jadi jarang
tersenyum karena malu terlihat giginya ompong. Ayo, biar saya periksa." Dokter itu memasang sarung tangan baru, menyilahkan Andi naik ke kursi menyeramkan
itu. Aku menelan ludah untuk kedua kali. Alangkah bersahajanya dokter satu ini, bergurau akrab dengan Pak Tua seperti teman lama. Dan aku tidak kuasa melepas
lirikan pada mata hitam bening miliknya, melupakan wajah sendu itu"sumpah, bukan karena aku sedang sakit hati pada Mei. Lihatlah Andi yang sejak tadi seperti
belut dipaksa keluar dari ember, sekarang malah cengar-cengir semangat duduk di kursi periksa, membuka mulutnya lebar-lebar sebelum disuruh.
"Kau malas gosok gigi." Cepat sekali dokter itu menarik kesimpulan, sambil tangannya cekatan memeriksa mulut Andi.
Yang diperiksa menyeringai tipis"membenarkan.
"Kau juga terlalu sering minum kopi." Dokter itu menggeleng-gelengkan kepala prihatin.
Andi menyeringai lagi, tidak bisa berkelit..
"Bukan hanya kopi, tapi juga minuman yang masih panas lainnya. Teh. Bahkan air minum biasa yang masih panas. Mulut kau juga?" Dokter itu kembali menggeleng-gelenggkan
kepala, tidak percaya apa yang dilihatnya, sambil tangannya yang memegang spatula gesit menyibak mulut Andi.
"Mulutnya juga ember." Aku nyeletuk, memotong.
"Eh, maaf?" Dokter itu mengangkat kepalanya dengan mulut tertutup masker, menoleh padaku.
Aku mengangkat bahu, baru sadar rasa sebalku pada Andi membuatku ketelapasan, "Eh, maksudku dia suka bicara yang tidak-tidak. Tukang sebar rahasia. Tukang
bohong." Pak Tua menyikut lenganku, menyuruh diam, berbisik, "Alangkah bebalnya kau, Borno. Sudah dari tadi kusuruh berhenti mengganggu Andi."
"Tapi itu benar, bukan" Andi itu mulutnya ember. Itu sumber penyakit. Kita saja yang tidak tahu berapa banyak orang sakit gigi karena mulutnya suka bergunjing,
boleh jadi banyak." Aku tidak mendengarkan Pak Tua, berseru ketus.
"Kau mengganggu dokter bekerja, Borno." Pak Tua melotot.
Tetapi dokter gigi di hadapan kami tidak marah karena celetukan dan kalimatku barusan, tangannya yang lincah menyibak mulut Andi berhenti sejenak, dia
tertawa di balik maskernya, "Menarik, kau benar, jangan-jangan itu bisa menjadi penyebab sakit gigi parah."
Aku mematung. Alamak, aku sempat bersitatap sejenak dengannya. Wajah cantik bertutupkan masker. Matanya yang hitam bening. Tangannya yang masih memegang
spatula"dan spatula itu masih di mulut Andi macam gelas masih ada sendoknya.
"Meski dunia medis begitu maju, pengetahuan dan teknologi kedokteran juga sudah modern, saya secara pribadi percaya bahwa penyakit asalnya dari apa yang
masuk ke dalam perut seseorang. Penyakit jantung, kanker, tumor, itu jelas akumulasi dari apa yang masuk ke dalam perutnya, jangan tanya sakit perut, diare,
atau mencret, itu jelas karena makanan. Saya percaya, pola makan sehari-hari yang merupakan turunan gaya hidup seseorang akan menunjukkan potensi sakit
apa saja yang dideritanya di masa mendatang. Dan tentu saja, sakit gigi, sariawan, apapun penyakit di dalam mulut itu terkait erat dengan makanan yang
masuk ke dalam perutnya." Dokter itu mengangguk-angguk padaku, masih menyisakan tawa, "Dan kau malam ini memberiku ide baru yang brillian, jangan-jangan
sakit gigi dan berbagai penyakit mulut lainnya disebabkan oleh kebiasaan buruk mulut, suka berbohong, suka berkata kasar, menyakiti, dan sebagainya."
"Jangan dengarkan, Borno. Dia memang sedang sakit-hati pada pasien itu, di luar sakit hati lain yang lebih parah." Pak Tua menyela percakapan.
"Boleh jadi kan, Pak". Meski itu jelas tidak valid di dunia medis sekarang." Dokter gigi tertawa, masih menatapku, "Ternyata nama kau, Borno. Jangan-jangan
kau juga punya pengetahuan banyak tentang ilmu kedokteran."
Aku menggeleng, aku tahu banyak tentang mesin.
"Apa pekerjaan abang Borno?" Gadis itu ramah bertanya.
Aku tiba-tiba menjadi minder, sedikit menunduk, perlahan menjawab, "Pengemudi sepit."
"Itu juga pekerjaan yang mulia, abang Borno." Di luar dugaan, gadis itu tidak jeda sedetik pun memasang wajah merendahkan, atau wajah yang terkesan demikian,
dia tetap tersenyum lebar padaku, seolah-olah baru mendengarku menjawab, "Pilot."
Senyum dokter gigi itu baru putus saat Andi tiba-tiba mengeluh, protes karena dari tadi mulutnya terbuka dengan spatula menggantung"sementara kami malah
asyik ngobrol. "Oh, maaf." Dokter itu bergegas kembali ke mulut pasiennya.
*** "Dokter giginya hebat." Aku berbisik.
"Dan cantik." Pak Tua mengangguk.
"Bukan itu maksudku, Pak Tua." Aku menyeringai, "Dia ramah sekali dengan kita, pasien antah-berantah yang datang ke ruang praktek miliknya. Dia mengajak
kita bercakap-cakap seperti teman saja, tidak galak, kaku, seperti kebanyakan. Maksudku, dokter giginya amat bersahabat."
"Dan cantik." Pak Tua mengangguk.


Kau Aku Dan Sepucuk Angpau Merah Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bukan itu maksudku, Pak." Aku menggaruk kepala yang tidak gatal, "Jarang bukan menemukan dokter pintar yang baik-hati" Bisa menebak penyebab sakit gigi
Andi dengan cepat. Memangnya Pak Tua pernah bertemu dokter seperti dia" Maksudku, dokter gigi ini profesional, berpengetahuan luas."
"Dan cantik." Pak Tua mengangguk.
"Bukan itu maksudku, Pak Tua." Aku menyikut Pak Tua sebal. Kami berdua sedang duduk menunggu di pojok ruangan praktek, sementara desing suara alat pembersih
karang gigi memenuhi langit-langit. Dokter gigi itu memutuskan membersihkan seluruh gigi Andi"kupikir, bahkan kalau dokter itu memutuskan mencabut beberapa
giginya tanpa pembiusan, Andi tetap akan mengangguk semangat.
Lima belas menit sejak kami masuk ruangan praktek, Andi masih duduk di bangku periksa, menurut semua perintah. Dokter gigi itu cekatan menggerakkan peralatan,
berdesing berisik, sekali-dua menyuruh Andi kumur-kumur, mengeluarkan karang gigi yang rontok dari mulutnya.
"Maksudku, lihatlah, ruangan prakteknya terasa nyaman, membuat betah. Memangnya Pak Tua pernah menemukan tempat praktek seperti ini" Dokter ini juga hanya
berpakaian biasa, berpenampilan biasa, tidak memakai baju putih seram itu, atau pernak-pernik dokter lainnya. Dia terlihat?"
"Dia memang terlihat cantik, kan?" Pak Tua berbisik padaku, menjaga suara kami tidak terdengar di antara desing peralatan.
"Tetapi bukan itu maksudku, Pak Tua."
Pak Tua terkekeh pelan, "Apa susahnya kau bilang dia cantik, Borno" Memangnya itu akan menjadi pengkhianatan besar pada Mei kau?"
Aku terdiam, apa hubungannya dengan Mei"
Percakapan kami terhenti sejenak, Andi sedang kumur-kumur, desing alat pembersih karang gigi berhenti.
"Cantikan mana" Mei atau dokter gigi ini?" Pak Tua mengedipkan mata setelah ruangan berisik kembali.
Aku menelan ludah. Cantikan mana"
"Menurutku, tapi kau jangan tersinggung, jangan marah," Pak Tua memainkan tongkat di tangannya, hendak tertawa lagi, "Mau sebelum kejadian tadi pagi, atau
setelah kejadian tadi pagi Mei entah kenapa tidak datang, tetap lebih cantik dokter gigi ini, bukan?"
Aku menatap Pak Tua sebal. Pak Tua sengaja menggodaku tentang Mei.
"Alamak, ada-ada saja urusan ini". Amboi, ternyata ada gadis baru, tokoh alias karakter baru dalam cerita cinta kita yang tiba-tiba datang di waktu yang
tepat, momen yang tepat, dan dengan semua kelebihannya. Tetapi kau harus memperhitungkan hal lain, Kawan." Pak Tua pura-pura mengeluh dalam, mengelus rambut
putihnya, "Andi, kau harus memperhitungkan Andi."
"Andi?" Aku bingung kemana arah pembicaraan.
"Iya, jangan-jangan Andi juga suka dengan dokter gigi ini."
Aku memutuskan berhenti bicara. Mengeluarkan puuh keras"untung suara desing peralatan pembersih karang gigi berisik, jadi tidak terdengar oleh dokter atau
Andi di tengah ruangan. Pak Tua itu kalau"moodberguraunya keluar, terkadang keterlaluan, tidakkah Pak Tua berpikir sejenak, kalau pun kami, bujang tepian
Kapuas ini memang suka, masalahnya, bagaimana pula dokter gigi ini akan suka denganku atau Andi. Jauh langit, jauh bumi.
Cantikan mana" Jenis pertanyaan apa pula itu" Aku menggaruk rambut yang tidak gatal, melirik untuk ke sekian kali wajah tertutup masker yang sekarang sedang
asyik bekerja. Cantikan mana" Aku segera mengusir kesimpulanku. Wajah itu jelas amat bersahabat"tidak seperti Mei yang terlihat sendu dan misterius.
*** "Kau menggosok gigi enam kali sehari pun, kalau caranya salah, tetap saja percuma." Dokter gigi di hadapan kami sudah melepas sarung tangannya, melepas
masker mulut, meraih pulpen dan selembar kertas, "Seperti yang kujelaskan tadi, gosok gigi yang benar bukan dengan menggosok keluar-masuk, melainkan seperti
tiang bendera, naik-turun, di seluruh permukaan gigi. Kau paham?"
Andi mengangguk. Dia sudah selesai. Tadi sibuk ber-hah-hah dengan telapak tangan di depan mulut, memamerkan giginya yang bersih, tersenyum kesana-kemari.
Sisa meringis kesakitannya sudah hilang"entah karena memang benar-benar sudah sembuh, atau karena penyebab lain.
"Nah, nasehat gratis barusan juga berlaku untuk Abang Borno. Sikat gigi-lah yang benar, bangun tidur, setelah makan dan menjelang tidur." Gadis itu menatapku,
tersenyum. Aku ketar-ketir"hampir ketahuan asyik menatap wajahnya yang sudah tidak bermasker, buru-buru mengangguk.
"Nasehat gratis itu hanya untuk Borno?" Pak Tua bertanya, pura-pura sebal, menepuk dahi, "Dokter tidak memberi nasehat gratis untuk orang tua ini?"
Dokter itu tersenyum penuh penghargaan pada Pak Tua, "Untuk orang tua yang berusia delapan puluh, dengan gigi utuh tanpa rontok satu pun, seharusnya Bapak
yang memberi kami tips dan nasehat hebat, bukan sebaliknya."
Pak Tua terkekeh, "Astaga. Kau benar-benar dokter yang pintar, bersahabat, baik hati, dan harus kuakui, meski teman di sebelahku ini malas mengakuinya,
kau juga amat cantik."
Aku tersedak oleh sikutan tiba-tiba Pak Tua, wajahku merah-padam.
Dokter itu melempar senyum manisnya"anggun menyikapi gurauan Pak Tua, "Mungkin hanya satu nasehatku untuk Bapak, sekali lagi, jangan panggil saya Dokter,
saya risih sekali dengan panggilan itu. Panggil saja Sarah. Itu lebih nyaman."
"Baik, baik" Sarah, akan ku panggil kau demikian". Sarah". Itu nama yang menarik untuk tokoh baru dalam cerita." Pak Tua manggut-manggut, bergumam sendiri.
Wajahku menggelembung, untuk kesekian kali merasa disindir.
*** Adalah lima menit dokter itu, eh, maksudku Sarah memberikan instruksi lebih-lanjut untuk Andi, dia berbaik hati menyebutkan secara detail pantangan selama
masih sakit gigi, memberikan resep obat kumur tradisional dan kebiasaan baik demi kesehatan gigi. Sarah juga memberikan beberapa tips lanjutan yang menarik:
seperti jangan terbiasa mengunyah hanya di mulut bagian kiri saja atau kanan saja. Jika kalian mengunyah hanya di sisi kanan terus misalnya, maka bukan
sekadar menyebabkan karang gigi menumpuk di salah-satu bagian mulut, tetapi juga akan membuat kuping kiri kalian bermasalah. Apa hubungannya gigi dengan
kuping" Pak Tua bertanya tertarik.
Sarah sambil tak lekang menyimpul senyum menjelaskan, mekanisme mengunyah erat kaitannya dengan mekanisme mengeluarkan tahi kuping, itulah cara alamiah
yang diciptakan sistem tubuh. Jika kita terbiasa mengunyah di mulut bagian kanan terus, tahi kuping sebelah kiri tidak akan rontok secara alami, menumpuk,
dan lama-lama mengeras, membuat penyakit baru. Aku takjub dengan tips itu, Pak Tua terkekeh, bilang jangan-jangan itulah sebabnya kenapa kuping sebelah
kirinya sering bermasalah kalau kemasukan air, jangan-jangan tahi kupingnya menumpuk karena dia terbiasa mengunyah dengan mulut bagian kanan.
Lima menit berlalu, kami bertiga akhirnya berdiri, berjabat tangan, hendak menyelesaikan biaya pengobatan gigi Andi di meja pendaftaran depan. Aku sekali
lagi bersitatap dengan mata hitam bening miliknya, menelan ludah, berusaha membalas senyumnya dengan baik.
Kami balik kanan, berjalan beriringan. Pak Tua sudah mendorong pintu kaca dengan gagang stainless ketika tiba-tiba gadis itu berseru.
"Tunggu sebentar. Sepertinya aku pernah mengenal kau"."
Kami bertiga menoleh. "Dokter pernah mengenalku?" Andi seketka GR alias gede-rasa, bertanya balik.
Dokter itu terdiam sejenak, keningnya berkerut, berusaha mengingat-ingat.
"Jangan-jangan kita memang pernah bertemu." Melihat dokter gigi itu diam berpikir, Andi semakin GR, entah kenapa dia tiba-tiba jadi PD alias percaya diri,
"Kita pernah bertemu di bengkel bapakku" Di oplet" Atau pernah satu sekolah?"
Aku menyikut Andi, itu tidak masuk akal, mana mungkin dokter seperti dia akan satu oplet dengannya. Satu sekolah pun mustahil, karena aku juga akan mengenalnya,
aku dan Andi satu sekolah sejak SD hingga"wassalam"lulus SMA.
Dokter itu menggeleng, "Bukan kau, Andi."
"Eh" Bukan aku" Dokter mengenal Pak Tua?" Suara Andi tadi yang bersemangat menjadi sedikit berbeda, jengah, buru-buru menunjuk Pak Tua untuk menutupi malu.
Dokter itu menggeleng lagi, "Bukan Pak Tua. Aku sepertinya pernah mengenal abang Borno."
Aku" Aku terdiam, menelan ludah. Oh Ibu" Gadis cantik ini bilang dia pernah mengenalku" Apa aku tidak salah dengar" Di mana" Kapan" Atau dia hanya pernah naik
sepitku" Siapa pula yang tidak mengenal pengemudi sepit bernama Borno dengan foto dilarang mendekat ke dermaga dipasang oleh Bang Togar di mana-mana.
Ruangan praktek yang nyaman dan menyenangkan terasa lengang. Dokter gigi itu menatapku lamat-lamat, masih berusaha mengingat. Andi ikut menatapku, ikut
penasaran"meski tatapannya sebal dan kecewa.
"Tidak salah lagi." Dokter itu memperbaiki anak rambut di dahi, "Tadi sejak kau masuk aku sudah merasa begitu kenal. Saat membersihkan karang gigi Andi,
berkali-kali aku melirik kau, aku merasa pernah melihat kau. Tidak mungkin salah lagi."
Dahiku terlipat, jangan-jangan dokter ini justeru salah orang. Aku tidak pernah ingat wajahnya. Jangankan mengenal dokter, punya teman yang temannya dokter
saja aku tidak pernah punya. Bahkan sekarang Pak Tua ikut menatapku (bergantian menatap gadis di depannya), bingung.
Dokter gigi itu bangkit dari kursinya, melangkah patah-patah mendekatiku, "Ya Tuhan, bukankah kita pernah bertemu di lorong Rumah Sakit sepuluh tahun silam?"
Sepuluh tahun silam" Lorong Rumah Sakit" Aku berusaha ikut mengingat.
"Aku tidak akan pernah melupakannya. Sungguh tidak bisa. Ya Tuhan, bagaimana mungkin aku bisa melupakan kau." Wajah dokter gigi itu tiba-tiba berubah begitu
senang, begitu terharu, begitu bahagia, dan begitu entahlah lagi.
Jarak kami tinggal tiga langkah, gadis itu menatapku dengan segenap emosi yang terlukis di wajah, susah payah menahan luapan emosi.
"Ubur-ubur". Operasi jantung bapakku"." Suara gadis itu tersendat.
"Aku ingat sekali" Aku ingat sekali" Abang Borno, kaulah anak kecil yang berteriak-teriak marah dini hari itu, kau anak dari?" Gadis itu dengan wajah bahagia
yang meledak"sehingga membuatnya berkaca-kaca tidak bisa menyelesaikan kalimatnya, dia sudah lompat ke arahku.
Dan sebelum aku mengerti apa yang telah terjadi, saat aku bingung apa maksudnya, sebelum aku sempat risih menolaknya, gadis itu, dokter gigi muda dengan
tempat praktek indah di tepian sungai Kapuas, dokter muda yang pintar, baik-hati, bersahabat, dokter muda yang meski susah, harus kuakui memang cantik
telah lompat memelukku erat-erat. Menangis riang seperti baru saja menemukan benda paling berharga miliknya.
Pelukan yang menikam waktu.
(Pak Tua berdiri) membeku.
*** BAB 09. Sarah dan Cerita Lama
" "Bapak belum mati!" Aku berteriak marah.
"Bapak kau tahu persis apa yang dilakukan, Borno." Ibu bersimbah air-mata memelukku erat-erat.
"Bapak belum mati! Kenapa dadanya dibelah!" Aku berusaha menyibak tangan Ibu.
"Secara klinis sudah meninggal." Itu penjelasan singkat dokter beberapa detik setelah melihat garis lurus di mesin, mendesah resah, memerintahkan tim operasi
mulai bekerja. "Bapak belum matiiii! Dia bisa sadar kapan saja." Aku loncat, berusaha menggedor pintu ruangan operasi, memaksa masuk. Cik Tulani, Koh Acung dan Pak Tua
bergegas membantu Ibu menahanku.
"Lepaskan! Bapak belum matiiii!" Aku beringas, berusaha memukul.
Tenaga mereka jauh lebih besar, satu menit, aku terkulai menyerah.
Umurku dua belas, duduk di lorong rumah sakit beberapa jam kemudian, terisak. Di ruangan berjarak sepuluh meter dariku, Bapak menunaikan kebaikan terakhir.
Kalian tahu, meski bersahaja, Bapak adalah orang terbaik di seluruh Pontianak yang pernah kukenal.?"
Kenangan itu melintas bagai ada yang jahil meletakkan televisi berwarna ukuran besar di tengah sepit, lantas macam kaset rusak, diputar berulang-ulang,
berulang-ulang. Aku yang duduk di papan melintang dekat buritan menghela nafas panjang menontonnya. Begitu detail kenangan itu melekat, bahkan aku masih
ingat rupa tegel rumah sakit, dinding cokelat dan plafon putih. Angin malam memainkan anak rambut, dingin. Tepian sungai Kapuas lengang, warung makanan,
toko kelontong, dan rumah-rumah sudah menutup pintu, hampir pukul sepuluh malam hingga akhirnya kami kembali dari tempat praktek dokter gigi bernama Sarah
itu. Hanya sesekali dua kami bertemu dengan perahu melintas, penduduk kota yang sama seperti kami, pulang kemalaman."
Pak Tua tidak banyak bicara takjim mengemudikan sepit dengan kecepatan rata-rata, Andi duduk di tengah"di tempat aku membayangkan ada televisi berwarna
itu, dan macam kaset rusak pula, sayangnya, sejak dari dermaga kayu indah itu Andi berkicau menggangguku.
"Bual-nye, dulu gagah sekali bilang haram menyentuh perempuan, bisa dibunuh Ibuku kalau sampai aku berani melakukannya. Ternyata." Andi berkata pelan,
seperti sedang bicara dengan langit-langi kapuas.
Aku masih diam. Aku tahu Andi menyindirku.
"Bual-nye, dulu mantap sekali bilang najis bersentuhan dengan perempuan, apa dia bilang, bisa tidak selamat pulang ke rumah kalau sampai ketahuan Ibuku.
Ternyata." Andi sekarang mengetuk-ngetuk dinding sepit, seperti sedang mengajak bicara sepit.
Aku tetap diam, menatap wajah mengkal Andi"dia pastilah sebal, untuk tidak bilang sirik, sudah GR, sudah sok-PD, ternyata malah aku yang dimaksud dokter
gigi itu." "Bual-nye, dulu khotbah bilang memangnya kau mau merendahkan perempuan dengan memegang-megangnya, Andi, bukankah Ibu kau juga perempuan" Kau seharusnya
menghormati setiap wanita sama seperti menghormati ibu kau. Ternyata hanya bual-nye." Andi terus merepet, dengan tampang sebal melirik-lirikku.
Aku mulai terganggu, balik menatapnya jengkel.
"Ternyata semua tipu. Tadi malah asyik saja dia dipeluk dokter itu. Pura-pura memasang wajah bodoh tidak mengerti. Pastilah enak dipeluk gadis cantik dan
wangi itu. Nasib. Punya kawan ternyata pintar ber-bual." Andi berseru ketus, menepuk dahi tidak percaya, seperti sedang bicara dengan bulan di atas sana,
terus bertingkah menyebalkan.
"Woi, siapa yang pura-pura memasang wajah bodoh. Siapa pula yang akan tahu kalau gadis itu akan memelukku" Itu bukan mauku." Lama-lama didiamkan, kelakuan
Andi semakin keterlaluan, aku menjawab omelnya.
"Nah, membantah dia sekarang, kupikir dia patung di atas sepit." Andi menggeleng-gelengkan kepala, masih seperti mengajak bicara bulan di atas.
"Siapa yang membantah?" Aku melotot, "Bukan salahku kalau ternyata aku yang dipeluk, aku tidak diminta dipeluk Sarah. Adalah bapakku yang dibelah jantungnya,
bukan bapak kau." "Woi, hebat sekali, dia hanya memanggil nama sekarang, Sarah oh Sarah. Tidak ada lagi memanggil Bu Dokter, Mbak Dokter atau Kak Dokter". Hanya soal waktu
dia nanti "ber-aku, kamu" dengan dokter cantik itu. Nasib, punya kawan pengkhianat." Andi seperti mendapatkan bahan baru olok-olok, melambaikan tangan.
"Siapa pula yang mengkhianati kau?" Aku mulai marah, tidak mengerti arah pembicaraan.
"Sudahlah, Borno, Andi." Pak Tua yang takjim mengemudikan sepit menengahi, "Kalian sejak tadi bertengkar terus. Bosan orang-tua ini mendengarnya. Sudah
malam, nanti seluruh penghuni sungai Kapuas terganggu berisik kalian."
"Tapi dia terus menyindir-nyindirku, Pak Tua. Mengganggu." Aku protes.
"Kau juga tadi sepanjang pergi menggangguku." Andi tidak mau kalah.
"Itu karena kau memang mulut ember, tukan sebar rahasia, bocor kemana-mana." Aku berdiri, mengacungkan telunjuk pada Andi.
"Nah, memangnya kau bukan tukang bual" Memangnya kau lebih baik" Bilang tidak akan pernah menyentuh wanita, bukankah kau tadi memang menyentuhnya, berpelukan
malah?" Andi ikut berdiri, membuat sepit jadi goyang.
"Tutup mulut kau, sirik." Aku melotot.
"Tutup mulut kau juga, pendusta." Andi mana mau disuruh diam.
"Astaga?" Pak Tua berseru geram, susah payah menyeimbangkan sepit, "Kalau kalian terus bertengkar, kumatikan saja motor tempel sepit ini, biar kita terapung-apung
di tengah Kapuas sampai kalian menyelesaikan urusan. Siapa tahu si hantu pontianak mau ikut bergabung di atas sepit, menonton." Pak Tua mengambil bilah
dayung darurat, menunjuk galak kami berdua.
Aku dan Andi menoleh pada Pak Tua, menelan ludah"lama sekali tidak mendengar kata hantu si pontianak dibawa-bawa dalam pembicaraan sejak pendiri kota ini
menaklukkannya ratusan tahun silam. Sungai Kapuas lengang.
Pak Tua masih melotot pada kami, "Borno! Andi! Bukankah sudah berkali-kali kubilang pada kalian berdua, cara terbaik untuk membuat orang lain berhenti
mengganggu, menyindir-nyindir, adalah dengan didiamkan. Biarkan saja bosan dia ngoceh. Percuma juga kalian tahu kebijakan itu, tapi prakteknya tidak pernah
dilakukan. Paham! Nah, sekarang kalian kembali duduk."
Aku diam, bersungut-sungut, kembali duduk rapi di papan melintang.
Andi juga diam, kembali duduk, menatapku dengan mencibirkan mulut.
Sebuah perahu besar, membawa barang sembako dari kota Pontianak menuju Putussibau dan sekitarnya melintas di depan kami, salah-satu awak kapalnya melambaikan
tangan memberi kode"khawatir sepit kami tidak melihatnya, bisa tabrakan. Pak Tua "yang tentulah pengemudi terampil berpengalaman"anggun membelokkan arah
sepit. Sepit kami lengang sejenak, menyisakan semilir angin.
Terlepas dari tingkah menyebalkan Andi, aku sejatinya masih kebas dengan kejadian satu jam lalu. Seperti bukan aku yang mengalaminya. Jadi mana mungkin
aku menikmati pelukan itu, aku justeru merasa ganjil. Sarah, gadis yang baru kukenal beberapa menit, tiba-tiba memelukku erat, lama sekali, menangis, berbisik,
bilang berkali-kali, "Terima-kasih, Abang Borno. Terima-kasih." Bagaimana mungkin aku mengharapkannya" Itu membuatku salah tingkah."
Saat aku jengah, bergegas hendak mendorong badannya, dia malah berseru sambil terus menangis, memelukku tambah erat, "Tahukah Abang, lama sekali aku berusaha
mencari tahu di mana Abang Borno selama ini". Sejak kejadian malam itu gelap, keluarga kami tidak pernah tahu di mana tempat tinggal keluarga yang berbaik
hati memberikan jantung untuk orang yang paling kami cintai".Tahukah Abang, bapak kau amat mulia, sebelum menyetujui donor itu, dia bahkan berwasiat menolak
pembayaran, menolak pemberian, dan menyuruh pihak rumah sakit merahasiakan alamat kalian. Ya Tuhan, satu-satunya yang aku tahu hanya wajah-wajah kalian,
terutama wajah kau. Aku tidak akan bisa melupakannya." Sarah terisak, suaranya bergetar.
Aku sekali lagi hendak mendorong badan Sarah.
Kali ini dokter gigi itu sendiri yang mengendurkan pelukan, tapi masih mencengkeram lenganku, menatapku penuh penghargaan. "Kau ingat, abang Borno, dini
hari itu kau justeru mengusirku pergi dari lorong. Kau menangis. Kau tidak mau aku mendekat, mengganggu kesendirian, semua sesak. Aku ingat sekali wajah
kau, wajah sedih, tidak mengerti apa yang telah dilakukan bapak kau". Dini hari itu aku bersumpah apapun yang terjadi pada bapakku, aku akan mencari kau,
anak dari seseorang yang telah meminjamkan jantungnya pada bapakku, kehidupan. Ya Tuhan, setelah begitu lama mencari, hari ini Engkau justeru mengirimkannya
padaku". Terima kasih Abang Borno, sungguh terima kasih."
Dan dokter gigi itu kembali memelukku erat-erat, sebelum aku sempat menarik nafas lega karena terbebas dari pelukannya. Aduh, bagaimanalah ini?"
Kejadian mengharu-biru itu baru berakhir setelah Pak Tua berdehem, membuat Sarah sambil menyeka pipi, merapikan rambutnya, berkata terbata-bata, "Maaf,
maaf, aku bertingkah berlebihan". Pak Tua, aku ingat siapa Bapak, bapak ikut mengantar abang Borno dini hari itu, bukan."
Pak Tua yang akhirnya mengerti apa yang terjadi tersenyum, "Ternyata dunia ini amat kecil. Aku juga ingat siapa kau. Tetapi dulu rambut kau dikepang dua,
berkeliaran di lorong rumah sakit dini hari, kupikir kau pasien kecil yang kesulitan mencari toilet."
Sarah tertawa pelan, masih dengan sisa sedu-sedan, "Tunggu sampai berita ini didengar keluargaku, Pak Tua. Mereka pasti tidak sabaran ingin bertemu dengan
abang Borno, Pak Tua, dan semua orang yang dulu hadir. Sudah lama sekali kami berusaha mencari tahu. Aku harus bergegas memberitahu mereka. Itu, itu akan
jadi kejutan besar bagi Ibuku."
Pak Tua mengangguk, arif.
Aku masih kebas menggosok dahi, menatap wajah menangis (yang tetap terihat ceria) di depanku. Wajah yang sekarang sibuk menyebut-nyebut rencananya, bertanya
alamat kami, bilang akan berkunjung, bilang inilah, itulah, semua kebahagiaan atas pertemuan malam ini. Sekali-dua Sarah bahkan memegang tanganku, menatapku
begitu riang, mengangguk-angguk, mengatakan kalimat yang baik, terima kasih, pujian. Aku masih kebas oleh pelukan barusan, aku tidak terlalu detail mendengarnya,
lihatlah, mata hitam bening yang basah itu begitu riang.
Hanya satu orang yang ekspresi wajahnya terlihat buruk. Kawan baikku yang bernama Andi, dia berdiri agak minggir, dan menonton seluruh kejadian dengan
wajah sebal"macam giginya tiba-tiba kembali nyilu tidak tertahankan. Sama sebalnya dia sepanjang perjalanan pulang di atas sepit. Sempat sekali aku mendengar
dia mengeluarkan suara puh, saat loncat dari sepit Pak Tua, "Jangan lupa, woi, Mei kau mau dikemanakan."
Aku tidak menanggapi. *** Pagi kesekian puluh ribu sejak Sultan Abdurrahman Alqadrie menaklukkan si hantu Pontianak.
"Woi, antrian nomor tiga belas. Maju ke depan." Petugas timer berteriak ke arah tambatan perahu kayu, sekejap kembali menoleh pada kerumunan penumpang
yang memenuhi bibir dermaga, "Antri, antri, berbaris rapi". Ayolah, jangan saling selak. Meski sepit kita jelas kalah kelas dibandingkan pesawat terbang,
buktikan kalau penumpangnya jauh lebih beradab dibanding antrian cek-in bandara."
"Memangnya Om pernah naik pesawat?" Salah-satu ibu-ibu yang berdiri di depan bertanya, iseng sambil menunggu sepit berikutnya merapat ke bibir steher.
"Ibu ini menghina sekali. Meski jelek-jelek begini aku pernah ke Jakarta, Surabaya, bahkan pernah ke pulau Sumatera."
"Wah, hebat dong, Om sering naik pesawat ke sananya, ya" Tahu sekali kebiasaan penumpang pesawat yang tidak mau antri?" Ibu-ibu itu mungkin sedang dapat
hadiah undian, mood-nya berlebih, semangat bercakap-cakap ringan beberapa detik sebelum loncat ke atas sepit, bertanya ingin tahu.
Petugas timer menggaruk kepala, "Tidak juga sih. Aku naik kapal laut, Bu. Hanya baca di koran saja, ada foto semrawutnya."
"Oo." Ibu-ibu itu mengangguk.
"Hati-hati loncat, Bu. Woi, Borno, kau lebih merapat, nanti celaka penumpang kita." Petugas timer sudah melupakan pembicaraan barusan, terus sibuk mengatur
penumpang. Pagi hari kesekian di dermaga gang sempit tepian Kapuas, semua sudah sibuk mengisi hari.
Aku menggeser tuas kemudi sedikit, propeler berputar, badan perahu kayuku anggun menempel pada dermaga. Satu, dua, tiga penumpang berloncatan. Anak-anak
sekolah yang masuk pagi, pegawai kantor pemerintah, penduduk kota yang sedang ada keperluan, segera mengisi papan melintang kosong."
Sisa satu tempat lagi. "Cukup, jangan diisi penuh." Petugas timer seperti biasa menahan antrian, perlakuan spesial untuk sepitku sebulan terakhir. Kepalanya celingukan kesana-kemari.
"Masih kosong satu, Om." Salah-satu penumpang protes"sepertinya dia jarang naik sepit, karena kalau sering, penumpang lain telah mahfum ada pengecualian
di papan melintang sepitku.
"Justeru karena masih kurang satu, makanya cukup. Kau pindah ke sepit berikutnya. JUPRI!!! Sepit kau maju Jupri, woi, berhenti mengupil kau." Petugas timer
menoleh ke tambatan antrian perahu kayu meneriaki pengemudi berikutnya, sekejap, kepalanya kembali celingukan mencari seseorang di antara kerumunan penumpang.
"Mana penumpang spesial kau, Borno?" Petugas timer bertanya, "Biasanya dia sudah rapi di antrian pukul segini.?"
Aku diam, menelan ludah. "Ini senin, kan" Bukankah dia mengajar seperti biasa?" Petugas timer masih rusuh mencari.
"Jalan saja, Oom. Aku sudah terlambat." Salah-satu penumpang yang duduk rapi di sepit mengeluh, melirik jam di pergelangan tangannya, menunjukkannya.
"Sebentar." Petugas timer menolak, menoleh padaku, "Kemana gadis itu, Borno?""
Aku masih diam, menghela nafas. Sejak tadi, saat bangun pagi-pagi, memanaskan sepit, menghabiskan sarapan, menuju steher, menambatkan antrian persis di
nomor tiga belas, meminta Bang Jupri menggeser sepitnya, aku tidak berhenti memikirkan apa yang akan terjadi pagi ini."
Kemungkinan, kemungkinan."
Apa yang akan kukatakan Mei untuk pertama kalinya setelah kemarin dia tidak datang. Bagaimana ekspresi wajahku. Apakah aku akan langsung bertanya kenapa.
Lantas apa yang akan dikatakan Mei, penjelasan darinya, jawabannya, wajahnya saat bicara. Sebenarnya aku gugup sekali. Bahkan aku sempat berpikir memutuskan
tidak berangkat saja agar tidak bertemu Mei. Tetapi aku meneguhkan diri, tetap berangkat, tetap menunggu antrian sambil membaca buku mesin tingkat lanjutan
(tidak ada lagi buku setebal itu di perpustakaan daerah), berkali-kali melirik ke gerbang dermaga. Dadaku berdetak lebih kencang saat matahari mulai naik,
saat pukul tujuh semakin dekat. Menghela nafas panjang setiap kali melihat ada gadis yang memasuki gerbang"berkali-kali menyangka itu Mei.
Hingga petugas timer meneriakiku, sepitku merapat, penumpang berloncatan, ternyata Mei tetap tidak kelihatan. Dia tidak pernah seterlambat ini sebulan
terakhir, yang ada malah menunggu sepitku merapat di pojokan dermaga.
"Ayolah, Oom, jalan saja. Yang Oom tunggu mungkin sakit, sedang ada keperluan lain. Tidak berangkat hari ini." Penumpang di sepitku kembali protes, mengeluh,
melirik jam di pergelangan tangannya, menunjukkannya.
"Satu menit lagi." Petugas timer bersikukuh menunggu.
"Jalan saja, Bang." Penumpang itu beralih membujukku, melirik jam di pergelangan tangannya untuk kesekian kali, menunjukkannya.
"Astaga, bukan kau saja yang punya jam, aku juga punya jam, lihat. Aku tahu jam berapa sekarang." Petugas timer berseru sebal, balas menunjukkan pergelangan
tangannya, ada dua jam di sana"dia memang selalu memakai dua jam sejak ada yang jahil memutar memperlambat jam tangannya, jadilah dia berangkat kesiangan
ke dermaga kayu, didenda banyak oleh Bang Togar dua tahun lalu" "Sabar sedikit lagilah. Satu menit."
Penumpang itu menyeringai melihat dua jam di pergelangan tangan petugas timer, berhenti berkomentar,
"Tidak apa-apa, Oom. Aku jalan saja.?"
"Eh" Kau mau pergi tanpa gadis itu di sepit kau, Borno?"
Aku mengangguk, "Sepertinya Mei tidak berangkat hari ini, Oom."
"Janganlah, Borno. Bagaimana kalau dia hanya terlambat."
"Dia tidak akan datang, Oom. Aku berangkat saja. Tidak diisi penuh, tidak mengapa, anggap saja tetap ada Mei di sana." Aku menunjuk tempat papan melintang
yang kosong. "Woi?" Dan sebelum petugas timer protes, aku sudah menarik gas, menggerakkan tuas kemudi, sepitku macam angsa berenang, melesat anggun meninggalkan steher. Buih
mengepul di buritan perahu, gelembung pecah di permukaan sungai Kapuas.
Entahlah. Seperti apa perasaanku sekarang. Rasa tegang, gugup, perasaan seperti baru pertama kali saja bertemu dengannya segera berguguran, digantikan
sedih, marah, atau entahlah. Mei ternyata tidak pergi dengan sepit pagi ini. Aku tidak tahu kenapa" Tidak tahu alasannya. Bahkan tadi sebenarnya kalau
Mei ada, aku baru mau bertanya kenapa kemarin dia tidak datang. Ada banyak hal yang tiba-tiba tidak kuketahui tentang dia dua hari terakhir. Boleh jadi
pagi ini dia naik mobil mewahnya. Diantar sopirnya menuju sekolah swasta terkemuka di kota Pontianak itu. Boleh jadi Mei memutuskan berhenti menemuiku.
Menjauh. Aku mengeluh. Berusaha mengusir sesak, menarik pedal gas.
"Pelan-pelan, Bang." Penumpangku berseru, mengatasi suara berisik motor tempel.


Kau Aku Dan Sepucuk Angpau Merah Karya Tere Liye di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Iya, alangkah cepatnya kau mengemudi sepit." Yang lain sambil berpegangan pinggir sepit ikut komplain, wajahnya tegang.
"AWAS PERAHU DI DEPAN!!" Beberapa penumpang wanita menjerit.
"AWASS TABRAKANNN!!!"
Astaga, teriakan barusan membuatku terkesiap, bergegas membanting kemudi ke kiri, sepitku meliuk kencang, cipratan air dari permukaan sungai mengenai penumpang.
Penumpangku menjerit ketakutan, berpegangan. Dua detik yang panjang, sepitku yang hampir terbalik, meliuk hanya berjarak setengah meter dari perahu nelayan
yang melintas berhiliran. Awak kapalnya berseru marah, mengacungkan tinju, memaki-maki.
"Woi, kau belajar dari mana mengemudi perahu, hah!"
"Kau pikir ini sungai bapak kau, apa?" Yang lain menimpali.
"Gila, sudah macam motor di jalanan raya saja, seenak perutnya.?"
Wajah-wajah pias penumpangku, satu-dua menyebut nama Tuhan.
Aku mengusap wajah, tanganku sedikit gemetar memegang kemudi, menyeringai, astaga, semua sesak ini bahkan membuatku lupa kalau sepitku meluncur terlalu
kencang. Aku baru-saja melanggar peraturan nomor satu untuk pengemudi sepit yang dibuat Bang Togar: dilarang membahayakan penumpang gara-gara melamun saat
mengemudi. Hampir saja kecelakaan. *** " "Bengkelnya ditutup?" Aku bertanya pada Andi yang justeru sibuk menarik gerbang besi saat aku persis tiba. Menatap bingung peralatan bengkel yang dirapikan.
Dua motor trail yang seminggu terakhir kukerjakan juga diselimuti penutup. Sekarang baru pukul dua siang, setelah narik sepit sepanjang pagi, tiga rit,
makan siang sekalian istirahat sebentar di rumah, hari ini jadwalku ke bengkel bapak Andi. Kenapa Andi malah sibuk menutup bengkel" Biasanya juga kami
baru berbenah hampir maghrib.
"Kita disuruh bapakku menyusul ke dermaga pelampung."
"Menyusul" Dermaga pelampung" Bapak kau menyuruh mengambil karung-karung jengkol?" Aku menyeringai, menyelidik, khawatir Andi masih sebal kejadian semalam
di tempat praktek dokter gigi, jadi boleh jadi dia hendak menipuku, membalas. Dermaga pelampung maksud Andi adalah terminal ferry Pontianak. Karung jengkol
maksudku adalah Bapak Andi selama ini memang punya sampingan jual beli kecil-kecilan, sering menerima kiriman barang di sana, jengkol, petai, durian, apa
saja yang bisa dia ambil dari Surabaya lantas dijual di Pontianak.
"Bukan karung-karung itu. Bapakku ada pertemuan dengan orang penting. Kita disuruh ikut. Bergegas bantu aku menutup bengkel, jangan macam buaya hanya mangap
menonton." Aku tertawa, "Memangnya kau pernah melihat buaya mangap?"
"Pernah. Barusan." Andi berkata santai, menunjukku.
Aku mengutuknya dalam hati, tidak berselera memperpanjang olok-olok, segera membantu dia mendorong gerbang, merapikan ember minyak pelumas, kaleng gemuk,
kunci-kunci. "Orang penting siapa?" Aku menepuk-nepuk tangan yang kotor.
"Mana aku tahu." Andi mengambil gembok gerbang, "Menurut bapakku semalam, orang itu mau jual bengkel miliknya."
Mataku langsung membesar, berseru antusias, "Kau tidak bohong, bukan?"
Andi melotot, tersinggung.
Aku tertawa, "Maksudku ini kabar hebat, Kawan. Bapak kau ternyata jadi ingin memperbesar bengkel tua ini. Kupikir dia selama ini hanya cuap-cuap omong
besar". Woi, dia mau beli bengkel orang lain. Hebat. Di mana" Bengkelnya lebih besar bukan" Jangan-jangan bengkel di jalan protokol Pontianak" Belasan
mobil bisa masuk." Andi mengangkat bahu, "Aku tidak tahu. Kita harus segera kesana, satu jam lagi pertemuannya. Jangan sampai bapakku mengomel gara-gara kita terlambat."
Aku mengangguk, semangat membantu Andi memasang gembok.
" *** Menurut Pak Tua yang bijak, rasa senang dan rasa sedih itu hanya soal "seni berharap". Misalnya, kalian dapat ponten 90 saja bisa tetap sedih (karena berharap
dapat 100); dan sebaliknya kalian dapat ponten 50 tetap bisa riang gembira (karena awalnya berharap hanya dapat nilai 30).
Aku senang sekali sepanjang pertemuan di lobi hotel dekat dermaga pelampung. Kami datang tepat waktu, persis ketika pertemuan segera dimulai. Bapak Andi
melambaikan tangan dari tengah lobi hotel, memperkenalkan kami pada dua orang dengan penampilan lazimnya pemilik bengkel besar.
"Dia montir terbaikku. Insinyur mesin hebat. Ayo sini, Borno." Bapak Andi menarik tanganku yang sejak masuk lobi hotel tadi mulai ragu-ragu"kalau Andi
sempat bilang lokasi pertemuan sebenarnya di hotel, aku akan menyempatkan berganti pakaian dan memakai sepatu.
"Kau bilang kau hanya punya bengkel sederhana di tepian sungai Kapuas, Daeng?" Salah-satu dari mereka menyeringai pada bapak Andi, "Tetapi ternyata kau
bisa memperkerjakan insinyur mesin?"
Bapak Andi terkekeh, "Sebenarnya Borno hanya tamatan SMA, tapi kupikir dia setahun terakhir membaca buku tentang mesin lebih banyak dibanding sarjana mesin.
Belum lagi soal membongkar mesin, dia bisa melakukannya simultan tiga motor sekaligus. Jadi bagiku dia tetap insinyur."
Dua pemilik bengkel besar itu manggut-manggut, entah percaya atau tidak dengan bual bapak Andi.
"Nah, yang satu ini, anakku. Andi."
"Dia insinyur mesin juga, Daeng?" Mereka bertanya, ingin tahu.
"Eh, dia asisten insinyur mesin, asisten Borno."
Aku nyengir melihat tampang sebal Andi"yang sudah berlagak, bersalaman dengan gaya, tetapi hanya dibilang bapaknya sebagai asistenku.
Kami berlima duduk melingkar, salah-satu pegawai hotel mengantarkan menu minuman dan makanan. Dua pemilik bengkel besar itu berbaik hati memilihkan, memesankan,
sekaligus bilang mereka yang traktir, saat melihat aku, Andi, dan bapak Andi berbisik-bisik bingung"ini peristiwa langka, biasanya juga kami makan di warung
Cik Tulani, yang bebas angkat kaki ke atas kursi, mencangkung.
?"Jalan Atmo, Daeng. Bengkel yang hendak kami jual ada di perempatan dekat lampu merah jalan Atmo." Pembicaraan dimulai.
Astaga" Apa aku tidak salah dengar, itu memang bukan jalan protokol kota Pontianak, tapi itu tetap jalan besar dan penting. Bandingkan gang sempit kami
yang hanya dilintasi motor kampung.
"Tidak luas. Bangunannya hanya empat puluh meter persegi, termasuk kantor kecil, workhsop, dan tempat suku cadang. Tanahnya seratus meter persegi termasuk
lahan parkir, tidak terlalu besar, tapi muat tiga mobil sekaligus." Pemilik bengkel menjelaskan lebih lanjut.
Aku yang duduk persis di sebelah Bapak Andi menelan ludah, tidak luas" Itu tetap lebih luas dibanding bengkel di gang sempit tepian Kapuas. Tiga motor
diperbaiki, sudah mentok kemana-mana, dan jelas sama sekali tidak bisa menerima perbaikan mobil.
"Semua peralatan lengkap, ini termasuk komputer pendeteksi kerusakan canggih yang ada dibengkel-bengkel modern, kalian bisa melihat fotonya." Dua pemilik
bengkel mengeluarkan belasan foto dari map yang mereka bawa, "Tentu saja boleh jika kalian hendak melihat langsung bengkelnya." Mereka menjawab sebelum
aku bertanya, "Tadi juga kami lebih suka pertemuan diadakan di bengkel langsung, sekalian survei, tapi Daeng kalian ini terburu-buru sekali, asal comot
tempat yang dekat dengan dermaga ferry. Dia bilang sekalian mengurus perdagangan antar pulau miliknya. Ngomong-ngomong Daeng bisnis jual-beli apa" Elektronik?"
Bapak Andi terkekeh, berbual bilang dia pedagang komoditas dan tekstil"padahal sebenarnya yang dia maksud jengkol, pisang, baju kodian, begitu-begitu saja.
Aku menelan ludah lagi, tidak mendengarkan percakapan melantur ke urusan lain. Memperhatikan lamat-lamat foto di atas meja, semua peralatan lengkap bengkel,
bangunan baru, plang nama keren, ini hebat. Tadinya meski sebelum berangkat aku bilang pada Andi, jangan-jangan bapaknya mau beli bengkel besar di jalan
protokol, itu hanya gurauan. Maksudku sebenarnya setidaknya bapak Andi akan memindahkan lokasi bengkel kami dari gang sempit tepian Kapuas ke agak dipinggir
jalan besarlah, agak elit-lah, agar kami bisa menerima mobil. Ternyata kenyataannya melampui harapan. Kukira ponten 60, ternyata yang keluar ponten 90.
Aku antusias memeriksa foto-foto.
"Kami sebenarnya juga pedagang, Daeng". Coba-coba menekuni bisnis lain, gagal total. Dua tahun bengkel itu beroperasi, hasilnya tidak maksimal. Montirnya
tidak bisa dipercaya, kasir dan karyawan suka bohong. Suku cadang dicuri, peralatan banyak hilang. Belum lagi pelanggan yang lari, bahkan komplain minta
ganti rugi, jadilah enam bulan terakhir bengkel itu hidup segan mati tak mau." Pemilik bengkel berbaik-hati menjelaskan alasan kenapa dia mau menjual bengkel.
"Sepertinya kami tidak berbakat mengurus bengkel, kami tidak bisa terus-menerus mengawasi, tidak punya ilmunya, jadi daripada terus merugi, kami jual saja.
Kami percaya, Daeng jauh lebih berpengalaman, apalagi kalau insinyur mesin yang satu ini memang jago seperti yang Daeng bilang tadi, dengan cepat banyak
pelanggan kembali datang. Lokasi bengkel itu amat strategis, kami jamin 100% soal itu. Kalau mau, Daeng bisa memanfaatkan separuh bangunan yang ada untuk
toko komoditas dan tekstil milik Daeng, jadi bisa lebih maju lagi. Sinergi."
Bapak Andi manggut-manggut. Aku antusias mencatat dengan baik semua percakapan dalam ingatan. Tidak sabaran ingin melihat langsung bengkel yang sedang
dibicarakan. Pertemuan itu tidak lama, setelah untuk kedua kali melantur membahas hal di luar bengkel, satu jam berlalu, dua pemilik bengkel nampak terburu-buru, bilang
hendak mengejar pesawat ke Jakarta. Mereka ijin pamit setelah akhirnya menyebut angka jual bengkel itu (yang membuat lobi hotel tiba-tiba terasa lengang
sejenak, tawa bapak Andi terhenti).
"Telepon saja kami jika Daeng tertarik." Mereka memberikan kartu nama sebelum pergi.
"Jangan lama-lama, ada banyak orang yang telah mengajak kami bertemu membahas bengkel itu. Jika harganya cocok, kami akan segera lepas pada siapapun yang
pertama kali menelepon."
Bapak Andi menghela nafas, mengangguk.
Dua orang itu pergi menumpang mobil hotel yang mengantar ke bandara.
Aku terdiam, menatap lamat-lamat. Harga jual bengkel itu jelas-jelas di luar harapanku, sudah di luar ponten-ponten yang bisa kubayangkan"mana ada ponten
200 juta" " *** "Itu uang yang banyak sekali, Pak." Aku berbisik pada bapak Andi, kami bertiga sedang menumpang oplet menuju lokasi bengkel"Bapak Andi memutuskan segera
men-survei bengkel. Hampir pukul empat, matahari mulai tumbang di kaki langit, udara kota tetap terasa gerah.
Bapak Andi hanya diam. Tidak menjawab. Aku menghela nafas perlahan, tidak bertanya lagi.
"Itu termasuk murah untuk bengkel sebagus ini, Borno." Bapak Andi baru menjawab pertanyaanku setelah kami sibuk memeriksa lokasi.
Semua kondisi bengkel baik, foto-foto itu tidak menipu. Tapi bengkel sudah tutup total, kami tadi harus menggedor gerbang besinya, dibukakan oleh penjaga
yang tersisa. "Murah" Bapak punya uang sebanyak itu?" Aku kembali semangat mendengar jawaban bapak Andi. Woi, akan menyenangkan sekali punya bengkel sebagus ini, peralatan
canggih seperti yang disebut buku-bukuku, metode mengelola bengkel yang tepat, ditambah dengan seluruh pegawai diberikan seragam keren, itu akan menjadi
kemajuan besar untuk karir montirku.
Bapak Andi menggeleng, "Aku tidak punya uang sebanyak itu, Borno."
Aku mengeluh (dalam hati).
"Tabunganku selama dua puluh tahun membuka bengkel di gang tepian Kapuas, ditambah berjualan, hanya separuh harga bengkel ini." Bapak Andi menatapku, tersenyum,
"Tetapi kau jangan cemas, Borno. Ada banyak jalan keluarnya, aku bisa menjual rumah dan bengkel lama untuk menggenapkannya."
Aku menelan ludah, "Menjual rumah" Bapak sungguh-sungguh?"
"Bukankah kau yang selama ini selalu semangat membahas tentang bengkel bagus untuk kita" Tentang memperbesar usaha?" Bapak Andi menepuk-nepuk bahuku, tertawa,
"Ini kesempatan besar, Borno. Kalau kita tidak mengambilnya, puluhan orang lain akan bergegas mengambil bengkel di lokasi strategis seperti ini. Menjual
rumah dan bengkel sempit di gang tepian Kapuas itu bukan masalah besar. Paling sial keluargaku tinggal saja di bengkel ini, bukan?"
Aku ikut tertawa, senang dengan wajah optimis Bapak Andi, mengangguk, "Itu benar, Pak. Bahkan kalau Andi tidak mau tidur di bengkel, Andi bisa berbagi
kamar di rumahku, Pak."
"Siapa pula yang mau tinggal dengan kau, tukang bual." Andi yang sedang asyik memeriksa mesin hidraulik mencibirkan mulut.
Aku nyengir. Bapak Andi kembali tertawa.
Kami memeriksa bengkel itu hampir dua jam, memastikan tidak ada yang luput diperiksa. Pukul enam, menjelang maghrib kami baru pulang menumpang oplet.
Aku bersenandung riang. Setelah sepanjang pagi tidak semangat narik, gulana dengan penjelasan kenapa Mei pagi tadi tidak datang ke dermaga, kenapa Mei
tidak menumpang sepit menuju sekolahnya, kabar bapak Andi akan membeli bengkel memberikan suntikan semangat baru. Setidaknya aku tidak sempat memikirkan
kemungkinan, kemungkinan penjelasan itu. Setelah sepanjang pagi hampir membuat celaka penumpang sepitku, menunggu antrian sepit dengan hela nafas panjang
resah, survei ke bengkel keren sepanjang sore ini membuatku sedikit lebih lega. Setidaknya aku tidak sempat bengong membayangkan wajah Mei, dan alasannya
tidak datang. Tetapi kabar hebat itu tidak cukup, ada suplemen energi yang lebih besar yang kuterima saat perjalanan pulang menumpang oplet.
"Aku tidak akan mengajak kau menjadi montir di bengkel itu nanti, Borno." Bapak Andi berkata sambil menyentuh lututku, kami duduk berhadap-hadapan di dalam
angkot yang sesak oleh penumpang pulang kerja, terjebak macet di atas jembatan Kapuas.
"Eh?" Aku menyeka peluh di leher. Aku tidak diajak" Bapak Andi tidak sedang bergurau, kan"
"Aku tidak akan mengajak kau menjadi montir, Borno." Bapak Andi mengulang kalimatnya.
"Bukankah bapak semalam bilang rencana membeli bengkel itu urung kalau Borno tidak mau jadi kepala montirnya" Kenapa tiba-tiba jadi berubah." Andi yang
seminggu terakhir selalu menyebalkan, kali ini mendukungku, wajahnya terlipat keberatan.
"Maksudku," Bapak Andi tersenyum, melambaikan tangan pada Andi, menyuruhnya diam, "Aku tidak hanya mengajak Borno sekadar menjadi montir di bengekel itu
nanti." Aku menatap bapak Andi, jadi maksudnya"
"Aku mengajak kau berkongsi, Borno. Ya, kita akan memiliki bengkel itu bersama." Bapak Andi tertawa senang dengan idenya, "Dengan begitu kita bisa memastikan
kau tidak akan kabur ke bengkel lain saat merasa gaji kau terlalu rendah."
Oplet masih tertahan di atas jembatan Kapuas yang selalu macet jam sibuk begini. Matahari sebentar lagi tenggelam di kaki langit, jingga sejauh mata memandang.
Burung layang-layang terbang berisik di atas langit-langit kota, dilatari menara BTS dan bangunan tinggi sarang mereka.
"Bagaimana" Kau mau jadi kongsiku, Borno?"
"Tapi aku tidak punya uang, Pak." Aku mengusap peluh di leher sekali lagi, menjawab perlahan setelah diam beberapa detik, mencerna maksud kalimat bapak
Andi, menggeleng, "Bagaimana pula pengemudi sepit sepertiku akan punya uang sebanyak itu. Separuh dari dua ratus juta."
Bapak Andi balas menggeleng, "Kita tidak perlu berkongsi separuh-separuh, Borno. Kau bisa saja hanya mengambil bagian sepersepuluh, atau seperduapuluh.
Sisanya bagianku. Berapapun yang kau ambil, kita tetap kongsi setara, hanya soal pembagian untung saja yang berbeda."
Aku menelan ludah, kembali mencerna penjelasan bapak Andi, itu sungguh ide bagus, "Tetapi sepersepuluh dari harga bengkel tetap banyak, Pak."
Bapak Andi menepuk lututku, "Ayolah, jangan pikirkan uangnya, pikirkan kesempatannya. Kau pasti punya cara untuk mendapatkan uang itu sebelum kita membuat
keputusan dengan dua pemilik bengkel tadi. Mulai malam ini kau pikirkan, Borno. Setuju?"
Aku diam. Suara klakson mobil yang tidak sabaran terdengar beruntun. Mobil padat merayap di dua sisi jembatan Kapuas"untung saja sepit tidak pernah macet
di sungai Kapuas. Aku punya bengkel" Itu sungguh ide yang bagus.
Kemungkinan itu sedikit banyak mengusir wajah sendu nan misterius Mei yang menari-nari di antara kerlip lampu kota Pontianak yang mulai menyala.
" *** " Kejutan besar. Dari jarak dua puluh meter aku sudah bingung melihat kenapa rumah papan Ibu terlihat ramai malam ini" Ada beberapa orang yang kukenali dan tidak kukenali
terlihat di beranda. "Dari mana saja kau, Borno." Bang Togar menyapaku saat aku baru mau naik anak tangga, dia sedang merapikan parkiran sepit, ada empat sepit di dekat kolong
rumah. "Eh, tadi pergi ke dermaga pelampung, Bang."
"Woi, jangan kau sebut nama haram itu di hadapanku, Borno. Bukankah kau tahu persis, mual aku mendengarnya." Bang Togar mengeluarkan suara puuh penuh kebencian.
Aku nyengir, ketelepasan, Bang Togar, ketua PPSKT, memang benci sekali dengan ferry penyeberangan sungai Kapuas, terlalu benci.
"Kau bergegas naik, Borno. Sejak tadi kau sudah ditunggu."
"Tetapi tidak ada apa-apa kan, Bang" Tidak ada hal buruk yang terjadi di rumah, kan?" Aku bertanya cemas.
"Ya pasti ada apa-apalah. Bagaimana mungkin orang-orang datang ke rumah kau hanya karena iseng. Sejak kapan rumah kau jadi mall apalagi taman kota, tempat
orang tidak ada apa-apa iseng berkumpul." Bang Togar menjawab ketus"sisa mood buruk gara-gara aku salah sebut nama "pelampung".
Aku nyengir, baiklah naik ke atas.
"Nah, akhirnya orang yang kita tunggu-tunggu datang". Kemari, Borno." Cik Tulani tertawa lebar.
Aku melangkah mendekat, menggaruk kepala, ada Pak Tua, Koh Acung, dan beberapa pengemudi sepit serta tetangga lain yang memenuhi beranda. Juga beberapa
orang-orang tidak kukenal, wajahnya khas peranakan China-Melayu. Anak-anak kecil berlarian di sela-sela tamu.
"Ini dia anak bujang tunggal dari orang yang sejak tadi kita bicarakan." Cik Tulani mengacak rambutku, berkata dengan suara bergetar oleh perasaan bangga,
"Tabiatnya persis mewarisi bapaknya. Sederhana, polos, baik hati. Dia bahkan tetap mau kusuruh-suruh mengantar rantang makanan."
Beranda rumah Ibu ramai oleh tawa. Aku melotot sebal pada Cik Tulani.
Ada apa sebenarnya" "Abang Borno, kau sudah pulang dari bengkel?" Kalimat riang dan bersahabat itu menjawab semuanya, kepalanya keluar dari balik pintu depan, tertawa lebar.
Mata hitam beningnya begitu senang melihatku, rambut sebahunya bergerak menawan.
"Mama, sini, Ma". Ini dia Borno." Sarah menoleh ke belakang, berseru.
"Mama, bergegas, bukankah Mama tadi tidak sabaran ingin bertemu."
Dan keluarlah wanita setengah baya ke beranda, sambil membimbing penuh penghargaan tubuh renta Ibu. Ditilik dari wajahnya, wanita ini sepertinya habis
menangis. "Boleh". Boleh aku memeluk Nak Borno." Wanita setengah baya yang dipanggil Sarah dengan Mama itu menatapku, memegang lenganku lembut.
"Peluk saja, Ma. Paling juga seperti memeluk batang pisang. Abang Borno-nya tidak bergerak-gerak, malah risih." Sarah tertawa.
Wanita setengah baya itu tidak menunggu jawabanku, dia sudah memelukku erat-erat, menangis haru, bahagia, berbisik tentang jutaan terima-kasih, tentang
dia lama sekali mencari tahu, tentang suaminya yang telah meninggal setahun lalu, bertahan sembilan tahun karena jantung bapakku.
"Kau tahu, Nak Borno," Wanita itu menyeka pipi, berlinang air-mata, "Suamiku bukan hanya menyaksikan anak-anak kami menikah, berkeluarga, cucu-cucu, suamiku
bahkan sempat menyaksikan Sarah menjadi dokter, puteri bungsunya menjadi dokter yang dia cita-citakan. Itu sungguh kebahagiaan terbesarnya. Terima-kasih,
Nak. Sungguh terima-kasih."
Aku menelan ludah, mengangguk, berusaha sesopan mungkin.
Mama Sarah memperkenalkan rombongan, empat orang adik kandung dari suami-nya, yang membawa anak dan istri. Tiga orang puteranya. "Mereka bahkan datang
dari Surabaya untuk menemui kau dan Ibu, Abang Borno." Sarah berbisik, memotong penjelasan Mama-nya. Aku mengangguk, bersalaman.
"Tentu saja kami datang, Borno." Salah-satu Kakak Sarah yang di belakangnya berdiri dua anaknya yang sudah remaja, tertawa, "Bukan karena adik bungsu kami
ini mengancam, memaksa datang, tetapi karena menyempatkan ke sini jauh lebih ringan dibandingkan memberikan kehidupan yang dilakukan bapak kau. Terima-kasih,
Borno. Sungguh terima-kasih."
Adalah lima belas menit aku berkali-kali dipeluk, ditatap begitu penuh penghargaan, aku hanya bisa balas mengangguk, memasang ekspresi wajah sebaik mungkin.
Mama Sarah bahkan memelukku sekali lagi, pelukan yang lama, berbisik, "Apa yang bisa kami lakukan untuk membalas kejadian sepuluh tahun lalu, Nak Borno.
Katakan saja, kami sekeluarga besar akan melakukannya. Apapun itu."
Aku tersenyum menggeleng, membalas pelukan penuh kasih-sayang itu dengan lebih baik.
"Anggap saja kami sekeluarga besar adalah bagian keluarga baru kau, Nak Borno"." Mama Sarah menyeka pipinya lagi, menangis lagi, "Karena sejatinya, sejak
jantung bapak kau ditanamkan di dada suamiku, maka sejak itu pula kalian adalah bagian keluarga kami. Kami sungguh menyesal baru tahu sekarang di mana
kalian. Seharusnya sejak sepuluh tahun lalu"."
Setelah sekali lagi pelukan Mama Sarah, Pak Tua akhirnya turun tangan, berdehem bijak, menengahi, meminta tamu-tamu itu duduk di beranda, meneriaki beberapa
remaja tanggung meminjam kursi di rumah tetangga. Rombongan itu membawa banyak makanan, kado, dan hadiah. Sekejap beranda rumah semakin ramai, penghuni
gang sempit berdatangan. Mama Sarah bersama anak-anak dan tamu wanita duduk di ruang tengah, menemani Ibu. Kakak-kakak Sarah, tamu laki-laki yang lain
mengobrol akrab di beranda dengan Cik Tulani, Koh Acung, Bang Togar dan Pak Tua, mengenang kejadian sepuluh tahun lalu. Kejutan, malam ini benar-benar
kejutan, aku tidak menyangka Sarah akan secepat itu mengajak keluarga besarnya datang.
" *** "Kau sudah mandi?"
"Eh?" Aku hampir berseru karena kaget.
Sarah sudah nyelonong masuk ke kamarku, di belakangnya salah-satu ponakan Sarah yang masih berumur empat-lima tahun ikut masuk.
Tadi Pak Tua menyuruhku mandi, berganti pakaian"sebenarnya Pak Tua kasihan melihatku dipeluk-peluk terus, jadi berusaha menyelamatkan, "mengusirku" dari
ruang depan. Suara percakapan, sesekali diseling tawa terdengar hingga ke dalam kamar.
"Astaga, kamar kau sudah seperti perpustakaan, abang Borno." Sarah asyik memeriksa kamarku, "Ini menakjubkan, bahkan aku dulu waktu kuliah kedokteran tidak
sebanyak ini bukunya."
Aku yang sedang menyisir rambut menelan ludah, nyengir salah-tingkah. Belum pernah ada gadis yang masuk kamarku. Dokter gigi satu ini benar-benar mudah
akrab. "Ini apa?" "Eh, maaf." Mukaku mendadak merah, Sarah menunjuk tumpukan pakaian kotor, sial, ada pakaian dalamku di atas tumpukan, aku bergegas menyingkirkannya ke
dalam ember. Sarah tertawa, "Abang tahu, aku baru kali ini masuk kamar anak laki-laki selain kamar kakakku dulu waktu mereka belum berkeluarga. Ternyata anak laki-laki
itu jorok dimana-mana."
Aku menyeringai, menggaruk rambut basah yang tidak jadi kusisir.
"Tante, bukunya besal-besal." Sementara ponakan Sarah sudah asyik menarik tumpukan buku di atas dipan. Roboh, berantakan.
"Itu bukan mainan, Sayang. Ayo letakkan kembali." Sarah tertawa, menggendong ponakannya dari tumpukan buku yang berjatuhan.
Si kecil menolak melepaskan, tetap mendekap buku tebal yang berhasil dia tarik sebelumnya.
"Tante tukar dengan cokelat ya, mau?" Sarah mengeluarkan sebatang cokelat dari saku bajunya.
"Holee!" Si kecil bersedia.
Aku menatap lamat-lamat batang cokelat lezat itu.
"Kenapa, Bang?" Sarah bertanya.
"Eh, tidak, hanya, hanya bukankah cokelat membuat gigi rusak. Bukankah anak-anak dilarang makan cokelat, permen atau yang manis-manis?" Aku mengangkat
bahu, batang cokelat yang sedang dibuka bungkusnya oleh ponakan Sarah mirip benar dengan batang cokelat yang dulu sengaja kubeli.
"Sebenarnya iya." Sarah memperbaiki anak rambut di dahi, tersenyum," "Tetapi kita tidak akan melarang anak-anak menikmati kesenangan dari sebatang cokelat
hanya karena terlalu khawatir giginya rusak, bukan. Lagipula ponakanku ini tahu persis, pulang dari sini, sebelum tidur, Tantenya macam satpam galak, akan
memastikan dia menggosok gigi."
Aku menelan ludah. Teringat, Mei dulu menolak cokelatku justeru karena alasan itu.
"Ini buku-buku milik abang semua?" Sarah sudah berganti topik.
"Separuh kupinjam dari perpustakaan," Aku menyeka air dari rambut yang mengalir di pelipis, "Separuhnya lagi aku beli dari pasar loak Pontianak."
Mei mengangguk-angguk. "Yang ini abang Borno beli" Tidak ada stiker perpustakaannya." Mei mengambil buku yang tadi ditarik oleh ponakannya, membuka-buka halamannya.
"Eh," Aku terdiam, menatap buku di tangan Sarah.
"Buku ini bagus sekali," Sarah tertarik, membaca-baca, "Bahkan untuk seorang dokter gigi buku ini menarik". Coba baca halaman ini, aku jadi tahu tips tentang
Meraba Matahari 8 Dewa Arak 73 Pembantai Dari Mongol Percobaan Test 1

Cari Blog Ini